Upload
heny-ceiycan
View
132
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi ini, perlu disadari pentingnya karakter dalam upaya
pengembangan sumber daya manusia suatu bangsa pada umumnya bahwa bangsa
yang maju adalah bangsa yang memiliki karakter kuat. Nilai-nilai karakter
tersebut adalah nilai-nilai yang digali dari khazanah budaya yang selaras dengan
karakteristik masyarakat setempat (kearifan lokal) dan bukan “mencontoh” atau
hanya sekadar menjiplak nilai-nilai bangsa lain yang belum tentu sesuai dengan
karakteristik dan kepribadian bangsa tersebut. Misalnya, Jepang menjadi bangsa
yang maju terutama di bidang teknologi karena berkat keberhasilannya
mencontoh semangat bushido yang digali dari semangat nenek moyangnya (kaum
samurai).
Wagiran (2012: 330) mendefinisikan bahwa kearifan lokal paling tidak
menyiratkan beberapa konsep, yaitu (1) kearifan lokal adalah sebuah pengalaman
panjang yang diendapkan sebagai petunjuk perilaku seseorang; (2) kearifan lokal
tidak lepas dari lingkungan pemiliknya; dan (3) kearifan lokal itu bersifat dinamis,
lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan zamannya. Konsep demikian
juga sekaligus memberikan gambaran bahwa kearifan lokal selalu terkait dengan
kehidupan manusia dan lingkungannya. Kearifan lokal muncul sebagai penjaga
iklim global yang melanda kehidupan manusia.
Di Indonesia, kearifan lokal jelas mempunyai makna positif karena
`kearifan' selalu dimaknai secara baik. Disadari atau tidak, kata kearifan lokal
merupakan cara yang tepat untuk membangun dan menciptakan citra yang lebih
baik mengenai pengetahuan lokal, tetapi memang tidak selalu dimaknai secara
positif. Dengan menggunakan istilah kearifan lokal, sadar atau tidak orang
bersedia menghargai pengetahuan tradisional, pengetahuan lokal warisan nenek
moyang dan kemudian bersedia memahaminya untuk bisa memperoleh berbagai
kearifan yang ada dalam suatu komunitas, yang mungkin relevan untuk kehidupan
manusia di masa kini dan di masa yang akan datang.
Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan
peserta didik untuk selalu lekat dengan situasi konkret yang mereka hadapi. Paulo
2
Freire (dalam Wagiran, 2010: 333) menyebutkan bahwa dengan dihadapkan pada
problem dan situasi konkret yang dihadapi, peserta didik akan semakin tertantang
untuk menanggapinya secara kritis. Akan tetapi pada kenyataannya, peserta didik
sekarang ini kurang mencintai budaya lokalnya. Mereka cenderung lebih
mencintai budaya barat. Dengan kondisi tersebut, perlu diadakan penanaman yang
harus ditumbuhkan oleh siswa sejak dini, terutama pada kesenian tradisional.
Dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Pendidikan Karakter Kementrian
Pendidikan Nasional 2010-2014 (dalam Kamiran, 2013:6) disebutkan bahwa
pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, moral dan
watak yang bertujuan mengembangkan peserta didik untuk memberikan
keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu
dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Yoyon Bahtiar Irianto (2010: 5), menyebutkan unsur-unsur ideal dalam
pendidikan karakter berkenaan dengan moral knowing, moral loving dan moral
doing (acting).Moral knowing berkenaan dengan kesadaran (awareness), nilai-
nilai (values), sudut pandang (perspective taking), logika (reasoning),
menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral
loving berkenaan dengan kepercayaan diri (self esteem), kepekaan terhadap orang
lain (emphaty), mencintai kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self
control), dan kerendahan hati (humility). Moral doing berkenaan dengan
perwujudan dari moral knowing dan moral loving yang berbentuk tabiat reflektif
dalam perilaku keseharian.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak pertunjukan yang dipertontonkan
dengan kemasan modern, seperti sinetron dan film yang bermunculan di layar
kaca dan bioskop. Tentunya, hal tersebut lebih diminati peserta didik
dibandingkan dengan memilih pertunjukan kesenian tradisional seperti Ludruk.
Ludruk juga bersifat humoris, tetapi pemikiran peserta didik yang sudah
menganggap seni tradisional itu ketinggalan zaman, maka mereka lebih banyak
yang meninggalkan Ludruk.
Ludruk merupakan salah satu kesenian tradisional yang cukup dikenal di
Jawa Timur. Ludruk termasuk jenis teater tradisional Jawa yang lahir dan
berkembang di tengah-tengah rakyat dan bersumber pada spontanitas kehidupan
3
rakyat. Ludruk disampaikan dengan penampilan dan bahasa yang mudah dicerna
masyarakat. Selain berfungsi sebagai hiburan, kesenian ini juga sering
dimanfaatkan sebagai penyaluran kritik sosial. Dengan adanya kritik sosial yang
disampaikan melalui pementasan ludruk, hal tersebut menunjukkan bahwa ludruk
sebagai salah satu kesenian Jawa Timur memiliki keunggulan tertentu disamping
fungsinya sebagai hiburan. Dulu, dengan adanya pementasan ludruk tersebut,
ludruk mampu membuat masyarakat untuk mencintai tanah air serta
menumbuhkan rasa antipati terhadap penjajahan Jepang. Hal ini memicu
semangat perjuangan masyarakat untuk melawan para penjajah.
Seiring dengan berjalannya waktu, setelah Indonesia berhasil mendapatkan
kemerdekaannya, banyak periode telah dilewati oleh kesenian tradisional Jawa
Timur ini yang memicu pasang-surutnya minat masyarakat terhadapnya.
Ditambah era globalisasi yang memaksa masyarakat mau tidak mau harus
bersentuhan dengan budaya global yang disuguhkan melalui banyak media,
seperti majalah, televisi aupun internet. Sehingga membuat ludruk kian
terabaikan. Ludruk yang notabene lahir dari kalangan rakyat jelata semakin
terlihat tidak modern bagi sebagian masyarakat. Perkembangan zaman pun seolah
mendoktrin bahwa hal-hal yang berbau kuno dan tradisional tidaklah menarik.
Apalagi pementasan seni ludruk sendiri terkadang tak begitu menggairahkan
dikalangan masyarakat.
Dengan adanya paparan di atas, dapat dikatakan betapa pentingnya
kesenian tradisional ludruk sehingga perlu dilestarikan dan dijaga oleh penerus
bangsa, terutama peserta didik agar tidak punah. Penulis akan menghubungkan
pendidikan karakter siswa dengan budaya kearifan ludruk agar peserta didik
mengetahui bahwa budaya ludruk mempunyai dampak positif. Melalui
lingkungan keluarga maupun sekolah seharusnya perlu ditumbuhkan kebiasaan
menyaksikan pementasan atau minimal bisa menggambarkan wujud ludruk. Hal
tersebut disebabkan karena secara historis ludruk adalah salah satu kesenian Jawa
Timur yang cukup berpengaruh dan memiliki nilai-nilai luhur serta semangat
juang yang sayang untuk ditinggalkan.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah hakikat dari kesenian tradisional ludruk?
2. Bagaimanakah bentuk pendidikan kearifan lokal ?
3. Bagaimanakah kisah ludruk “Lakon Sakerah”?
4. Bagaimanakah bentuk pendidikan kearifan lokal ludruk dalam “Lakon
Sakerah” ?
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Kesenian Ludruk
a. Pengertian Kesenian Ludruk
Kata ludruk berasal dari kata lodrok. Kata itu dikategorikan ke dalam kata
bahasa Jawa tingkat ngoko yang berarti badut atau lawak. Kata ludruk juga
bermakna ‘jembek, ‘jeblok’, ‘gluprut’, ‘badut’, dan ‘teater rakyat’. Dendi Sugono
pada Kamus Bahasa Indonesia (2008: 949) menyatakan bahwa ludruk adalah
teledhek dan badut/pelawak atau pertunjukan sandiwara yang dilakukan dengan
cara menari dan menyanyi.
Ludruk adalah seni pertunjukan (drama) tradisional khas Jawa Timur yang
mengambil cerita kehidupan rakyat sehari-hari, seperti tukang becak, peronda,
sopir, atau cerita perjuangan dan cerita-cerita lainnya. Ludruk tersebar di
Surabaya dan Jawa Timur, mulai Banyuwangi di bagian timur dan paling barat di
Kediri (Kathleeh Azali, 2011:1).
Ludruk mendorong para partisipannya untuk menghayati secara langsung
tindakan sosial yang ada dalam proses modernisasi. Pertunjukan ludruk
menghadirkan tindakan sosial dalam setiap pertunjukannya dengan “mengajak
partisipannya untuk mengidentikkan diri dengan para pemain yang sedang
menjalankan tindakan-tindakan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu”,
seolah-olah mereka mengalaminya sendiri hal-hal dan dituasi-situasi yang sulit
dicapai dalam kehidupan nyata. Ludruk kemudian juga mengarahkan para
partisipan “untuk lebih menyukai peran-peran, situasi-situasi, tujuan-tujuan, atau
cara-cara tertentu jika memang kehidupan nyata menyediakan pilihan-pilihan,
peran, dan situasi yang bisa dipilih oleh seseorang”, dan cara-cara yang diciptakan
oleh ludruk ini :semakin menjadi tipe yang kongruen dengan proses modernisasi”
(James L Peacock, 1968:8).
Folktale berasal dari tradisi kecil. Pengertian Ludruk sebagai sebuah nama
dapat dicari makna etimologisnya yang diperoleh dari berbagai informasi yang
relevan. Informasi ini diperoleh dari tokoh seniman dan budayawan ludruk.
Secara etimologis, kata ludruk berasal dari kata molo-molo dan gedrak-gedruk.
6
Molo-molo berarti mulutnya penuh dengan tembakau sugi (kata-kata yang pada
saat keluar tembakau sugi) tersebut hendak dimuntahkan dan keluarlah kata-kata
yang membawakan kidung dan dialog. Sedangkan gedrak-gedruk berarti kakinya
menghentak-hentak pada saat menari di pentas (Mukhsin Ahmadi, 1987:7).
Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk
merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian
yang digelarkan di panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat
sehari-hari, cerita perjuangan, dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan
dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. (id.wikipedia.org, 2008).
Dari penjelasan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa ludruk
sebagai kesenian tradisonal Jawa Timur ditandai oleh aspek cerita yang pada
umumnya diangkat rakyat dengan menceritakan kehidupan sehari-hari atau kritik
sosial, kekhasan ludruk tampak pada tari rema dengan kidung jula-juli dan lawak,
serta bahasa Jawa dialek Jawa Timur sebagai media utamanya. Dengan demikian,
ludruk sebagai seni pertunjukan memiliki tiga gender penting, yaitu tari rema,
dagelan/lawak, dan cerita.
b. Fungsi dan Ciri-ciri Kesenian Ludruk
1. Ciri-ciri Kesenian Ludruk
a. Pemain
Semua tokoh cerita ludruk memiliki sifat yang agak lucu. Apa pun posisi
sosialnya (James L Peacock, 1968: 68).Tidak ada tokoh penjahat yang sangat
serius. Sementara pemain dagelan merupakan tokoh yang oleh para penonton
sangat diidentikkan sebagai “salah satu dari kami”. Pemain dagelan membelotkan
norma-norma, mereduksi segala yang tinggi menjadi sesuatu yang rendah, yang
komsmopolitan menjadi udik, alus menjadi kasar. Pemain ludruk sebagian besar
terdiri dari laki-laki, baik untuk peran laki-laki sendiri maupun untuk peran
wanita. Hanya sedikit pemain perempuan yang tampil.
b. Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam ludruk adalah bahasa yang mudah dicerna
masyarakat, yakni bahasa Jawa logat Surabaya. Selain itu, sesuai dengan tuntutan
cerita, di dalam bentuk seni ini sering pula digunakan kata-kata Cina, Belanda,
Inggris dan Jepang. Selain dalam hal pemain dan bahasa, kekhasan ludruk juga
7
terdapat dalam cerita, dekorasi, kostum, dan urutan pementasan (Ki Demang
Sokowaten, 2006: 31).
c. Cerita
Cerita ludruk dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni:
1) Cerita pakem, yaitu cerita mengenai tokoh-tokoh terkemuka dari wilayah
Jawa Timur, seperti Cak Sakera dan Sarif Tambak Yoso.
2) Cerita fantasi, yaitu cerita karangan individu tertentu yang biasanya
berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari hari. Cerita dalam ludruk
biasanya diselingi dengan adegan tragedi dan humor (Ki Demang
Sokowaten, 2006:31).
d. Dekorasi
Dekorasi ludruk cukup terbatas. Diantaranya adalah dekorasi interior
rumah, alam pedesaan dan pegunungan, kuburan, dan resepsi perkawinan.
Panggung ditampilkan dengan geber, dekorasi, dan peralatan panggung lainnya
seperti meja, kursi tamu, bufet, kursi pengantin, dan sebagainya (Ki Demang
Sokowaten, 2006:31).
e. Kostum
Kostum yang dikenakan disesuaikan dengan tuntutan cerita. Oleh karena
itu, setiap kelompok kesenian ludruk paling sedikit memiliki kostum pakaian
harian, pakaian penganten, seragam tentara, dan sebagainya. (Ki Demang
Sokowaten, 2006:31).
f. Urutan Adegan
Struktur pementasan dikatakan tidak banyak berubah dari zaman dulu
dengan tatanan sebagai berikut (Ayu Sutarto, 2009: 8), yaitu
1) Pembukaan dengan atraksi tari remo.
2) Bedayan, yaitu tarian joget ringan oleh beberapa transvesti sambil
melantunkan kidungan jula-juli.
3) Dagelan, lawakan yang menyajikan satu kidungan, disusul oleh
beberapa pelawak lain. Mereka kemudian berdialog dengan materi
humor yang lucu.
4) Penyajian lakon atau cerita yang merupakan inti dari pementasan.
Biasanya lakon dibagi menjadi beberapa babak dengan setiap babak
8
dibagi lagi menjadi beberapa adegan. Di sela-sela adegan biasanya diisi
selingan berupa tembang jula-juli yang biasanya dinyanyikan oleh
seorang waria.
g. Penyutradaraan
Penyutradaraan pertunjukan dilakukan secara longgar dan spontan. Sekitar
satu jam sebelum main, sutradara terlebih dahulu mengumpulkan para pemain
yang ada. Kemudian ia menjelaskan lakon yang akan dimainkan. Setelah itu satu-
persatu pemain didatangi dan ditunjuk sebagai pemeran tokoh tertentu.
Selanjutnya sutradara memberikan petunjuk mengenai akting dan garis besar serta
pola dialog yang harus dibawakan oleh pemain tersebut. Apabila waktu tidak
mencukupi, adegan tertentu diatur pada waktu adegan sebelumnya sedang
berlangsung. Apabila ada pemain yang semula ditunjuk, tetapi tidak dapat
melaksanakan tugasnya karena berbagai alasan, pemain itu dapat dengan mudah
diganti oleh pemain lainnya (Ki Demang Sokowaten, 2006: 31).
h. Perangkat Lainnya
Perangkat gamelan disebut sengganen, yaitu kienengan gong kecil yang
terdiri saron dan demung, peking, penerus, kendang, dan gong kecil. Penabuh
gamelan terdiri dan empat orang, masing-masing memegang peralatan rangkap.
Ada yang menangani saron dan demung, peking dan penerus. Kendang dan gong
kecil masing-masing dipegang oleh satu orang (Ki Demang Sokowaten, 2006:31).
2. Fungsi Ludruk
Fungsi primer seni pertunjukkan ludruk adalah bersifat ritual, estetis
(tontonan), dan sebagai hiburan pribadi. Adapun fungsi sekundernya adalah :
a) Sebagai alat pendidikan masyarakat;
b) Sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektif;
c) Sebagai alat yang memungkinkan seseorang dapat bertindak bijaksana
sesuai dengan kedudukan dan kekuasaan terhadap orang yang
menyeleweng;
d) Memberi kesempatan kepada seseorang untuk melarikan diri untuk
sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayal yang
terjadi di masyarakat;
9
e) Pengendali terhadap pelanggaran norma-norma yang berlaku di
masyarakatnya;
f) Pemain teater dapat mengekspresikan hal-hal yang dilarang atau atabu
dalam bentuk keseleo lidah (Danandjaja, 1983:80—89).
Apabila dilihat secara sepintas, fungsi tersebut dapat dibagi menjadi dua
golongan besar, yaitu fungsi individual, yaitu untuk hiburan diri sendiri (pemeran)
dan pemirsa secara individual dan fungsi sosial. Apabila diamati dari sisi
pementasan, fungsi ludruk dapat dikatakan sebagai media pendidikan masyarakat,
media perjuangan, media kritik sosial, media pembangunan dan media sponsor.
Predikat ludruk sebagai segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi sesuai
dengan kerangka pola bentuk dan penerapan yang selalu berulang. Hal ini berarti
bahwa ludruk sebagai teater tradisional memiliki ciri-ciri :
a) Pertunjukkan dilakukan secara improvisasi dan spontan;
b) Konvensi-konvensi yang khas ludruk, misalnya pemeran ludruk sebagian
besar adalah pria, lagu seniman disebut kidungan, tari remo, dan lakon-
lakon dari cerita rakyat yang telah dikenal oleh masyarakatnya; dan
d) Nyanyian khas yang disebut jula-juli yang berbentuk syair dan pantun
yang tentu saja lebih cenderung menyajikan dan mengumandangkan hal-
hal yang berisi nasihat, pendidikan, kritik yang sangat dekat dengan
kehidupan masyarakat.
Ciri khusus yang menandai bahwa ludruk dapat dikategorikan sebagai
teater rakyat adalah :
a) Lakon ludruk yang dipentaskan adalah ekspresi kehidupan rakyat sehari-
hari yang juga mengisahkan keseharian masyarakat, dan juga sejarah;
b) Iringan musik berupa gamelan dengan lagu jula-juli yang akrab dengan
peminatnya;
c) Tata busana menggambarkan kehidupan rakyat sehari-hari yang
sederhana;
d) Aspek bahasa disesuaikan dengan lakon yang dipentaskan yang pada
umumnya memakai bahasa daerah;
d) Kidungan terdiri atas bentuk pantun dan syair; dan
e) Sifat pertunjukkan sederhana, spontan dan menyatu dengan penonton.
10
B. Bentuk Pendidikan Kearifan Lokal
Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan
peserta didik untuk selalu lekat dengan situasi konkret yang mereka hadapi. Paulo
Freire (Wagiran, 2010) menyebutkan, dengan dihadapkan pada problem dan
situasi konkret yang dihadapi, peserta didik akan semakin tertantang untuk
menanggapinya secara kritis. Hal ini selaras dengan pendapat Suwito (2008) yang
mengemukakan pilar pendidikan kearifan lokal meliputi (1) membangun manusia
berpendidikan harus berlandaskan pada pengakuan eksistensi manusia sejak
dalam kandungan; (2) pendidikan harus berbasis kebenaran dan keluhuran budi,
menjauhkan dari cara berpikir tidak benar dan grusa-grusu atau waton sulaya; (3)
pendidikan harus mengembangkan ranah moral, spiritual (ranah afektif) bukan
sekedar kognitif dan ranah psikomotorik; dan (4) sinergitas budaya, pendidikan
dan pariwisata perlu dikembangkan secara sinergis dalam pendidikan yang
berkarakter.
Kearifan lokal merupakan modal pembentukan karakter luhur. Karakter
luhur adalah watak bangsa yang senantiasa bertindak dengan penuh kesadaran,
purba diri, dan pengendalian diri. Pijaran kearifan lokal selalu berpusar pada
upaya menanggalkan hawa nafsu, meminimalisir keinginan, dan menyesuaikan
dengan empan papan. Kearifan lokal adalah suatu wacana keagungan tata moral.
Upaya pengembangan pendidikan kearifan lokal tidak akan terselenggara dengan
baik tanpa peran serta masyarakat secara optimal. Keikutsertaan berbagai unsur
dalam masyarakat dalam mengambil prakarsa dan menjadi penyelenggara
program pendidikan merupakan kontribusi yang sangat berharga, yang perlu
mendapat perhatian dan apresiasi (Wagiran, 2012: 333)
Berbagai bentuk kearifan lokal yang merupakan daya dukung bagi
penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan antara lain sebagai berikut.
1) Kearifan lokal masyarakat dalam bentuk peraturan tertulis tentang kewajiban
belajar, seperti kewajiban mengikuti kegiatan pembelajaran bagi warga
masyarakat yang masih buta aksara.
2) Kearifan lokal dalam menjaga keharmonisan hubungan antarsesama manusia,
melalui aktivitas gotong royong yang dilakukan masyarakat dalam berbagai
aktivitas.
11
3) Kearifan lokal yang berkaitan dengan seni. Keseniaan tertentu memiliki nilai
untuk membangkitkan rasa kebersamaan dan keteladan serta rasa
penghormatan terhadap pemimpin dan orang yang dituakan.
4) Kearifan lokal dalam sistem anjuran (tidak tertulis), namun disepakati dalam
rapat yang dihadiri unsur-unsur dalam masyarakat untuk mewujudkan
kecerdasan warga, seperti kewajiban warga masyarakat untuk tahu baca tulis
ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga.
Yoyon Bahtiar Irianto (2010: 5), menyebutkan unsur-unsur ideal dalam
pendidikan karakter berkenaan dengan moral knowing, moral loving dan moral
doing (acting).Moral knowing berkenaan dengan kesadaran (awareness), nilai-
nilai (values), sudut pandang (perspective taking), logika (reasoning),
menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral
loving berkenaan dengan kepercayaan diri (self esteem), kepekaan terhadap orang
lain (emphaty), mencintai kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self
control), dan kerendahan hati (humility). Moral doing berkenaan dengan
perwujudan dari moral knowing dan moral loving yang berbentuk tabiat reflektif
dalam perilaku keseharian.
C. Kisah Ludruk “ Lakon Sakerah”
Cerita kepahlawanan Sakerah ini hidup di daerah Bangil, Pasuruan, yang
dipercaya masyarakat setempat memang pernah benar-benar terjadi pada masa
penjajahan Belanda. Ada persamaan dengan Sarip Tambak Oso, yang diduga kuat
merupakan kisah nyata di Sidoarjo dan juga sudah menjadi lakon legendaris
dalam ludruk. Salah satu kesamaannya adalah Sakerah dan Sarip merupakan
representasi rakyat kecil melawan kesewenang-wenangan penguasa.
Sebagai cerita rakyat, dikisahkan seorang warga desa berdarah Madura
bernama Sadiman yang pernah belajar di perguruan persilatan. Sadiman bekerja
sebagai mandor di perkebunan tebu milik pabrik gula. Ia dikenal sebagai seorang
mandor yang baik hati dan sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerja
hingga dijuluki Pak Sakera atau Sakerah. Konon dalam bahasa Kawi Sakera
memiliki arti ringan tangan, akrab/mempunyai banyak teman.
12
Sakerah adalah sosok yang tidak bisa melihat wong cilik diperlakukan
semena-mena. Oleh karena itu, ketika dia menyaksikan upah para kuli dipotong
oleh bawahannya, Sakerah meminta mereka agar memberikan hak para kuli
sepenuhnya. Tindakan itu dianggap sebagai tantangan, Sakerah dilaporkan pada
pimpinan pabrik. Sakerah yang buta huruf, berada di posisi yang salah karena
membubuhkan cap jempol di bukti pembayaran. Sakerah dituduh korupsi. Ketika
Herman, administratur pabrik gula menodongkan pistol di kepalanya, Sakerah tak
kuasa menahan emosi, ia tepiskan pistol Herman dan Sakerah langsung
membacoknya dengan celurit. Akibatnya, hukuman penjara 25 tahun harus ia
terima. Ia mendekam di penjara kolonial Kalisosok Surabaya.
Ada versi lain mengenai penyebab Sakerah masuk penjara. Konon suatu
saat setelah musim giling selesai, pabrik gula tersebut membutuhkan banyak lahan
baru untuk menanam tebu. Karena kepentingan itu, orang Belanda sebagai
pimpinan ambisius ingin perusahaan ini membeli lahan perkebunan yang seluas-
luas dengan harga semurah-murahnya. Belanda menyuruh carik untuk bisa
menyediakan lahan baru bagi perusahaan dalam jangka waktu singkat dan murah,
dan dengan iming-iming harta dan kekayaan hingga carik bersedia memenuhi
keinginan tersebut. Carik Rembang menggunakan cara-cara kekerasan kepada
rakyat dalam mengupayakan tanah untuk perusahaan.
Sakerah melihat ketidak-adilan ini mencoba selalu membela rakyat dan
berkali-kali upaya carik Rembang gagal. Carik Rembang melaporkan hal ini
kepada pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan marah dan mengutus
wakilnya Markus untuk membunuh Sakera. Suatu hari di perkebunan pekerja
sedang istirahat, Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta
menantang Sakerah. Sakerah yang dilapori hal ini marah dan membunuh Markus
serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak saat itu dia menjadi buronan polisi
pemerintah Hindia Belanda.
Suatu saat ketika Sakerah berkunjung ke rumah ibunya, di sana ia
dikeroyok oleh carik Rembang dan polisi Belanda. Karena ibu Sakerah diancam
akan dibunuh, maka Sakerah akhirnya menyerah, Sakerah pun masuk penjara
Bangil (bukan Kalisosok). Saat dipenjara, tiba-tiba ia bertemu pamannya, Pak
Tas. Paman Sakerah sengaja mencuri sapi agar dapat dihukum dan menemui
13
keponakannya. Menurut penuturan sang paman, perilaku mandor semakin tidak
terkendali. Selain itu, istri muda Sakerah, Marlena kerap dirayu Brodin,
keponakan Sakerah.
Sakerah yang memiliki kekuatan untuk melenturkan besi berhasil kabur
dari penjara. Dengan sekali tebas, dia membunuh Brodin. Tak hanya itu, Sakerah
juga membunuh carik dan petinggi. Tak ayal, dirinya pun jadi target pengejaran
Gubermen. Sakerah dijebak dalam suatu pesta tayub. Tokoh legendaris Madura
itu berhasil ditangkap, dan akhirnya dihukum mati.
(Sumber: http://henrinurcahyo.wordpress.com/2012/12/23/kepahlawanan-sakera-
dalam-ludruk-karya-budaya/)
Berikut ini beberapa dokumentasi pementasan “Lakon Ludruk” .
Gambar 1.
Pemain
“Lakon
Sakerah”
Gambar 2. Sakerah dan temannya di penjara
14
Gambar 3. Sakerah Menjeblos Penjara
Gambar 4.
Sakerah Menari
Tayub
Gambar 5.
Tarian
Bedayan
Gambar 6.
Kelompok
Pengrawit
(Sumber: http://ekomagelang.blogspot.com/2012/12/sakerah-ludruk-karya-budaya-
15
mojokerto.html dan http://henrinurcahyo .files.wordpress.com /2012/ 12 /img_3386.jpg)
D. Bentuk Pendidikan Kearifan Lokal Ludruk dalam “Lakon Sakerah”
Sebagai alat pemupuk rasa solidaritas kolektif, ludruk merupakan wahana
masyarakat untuk menyuarakan kemauan, keinginan, kesusahan dan keprihatinan,
dengan itu masyarakat seolah terwakili dan tersampaikan isi hatinya yang
nantinya akan berkembang menjadi rasa solidaritas antarsesama. Sebagai alat
pendidikan, ludruk dapat memberikan pengajaran tentang sisi positif yang dapat
diambil pada cerita sehari-hari (Danandjaja,1983).
Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan, menurut Peacock (dalam
Pemimpi, 2008), ludruk dapat diketahui bahwa pertunjukan ludruk merupakan
keutuhan dari tiga gender, yaitu ngremo (tari kepahlawanan), dagelan (lawakan),
dan cerita. Salah satu kehebatan ludruk sebelum 1965, seperti yang diungkap
James L. Peacock, adalah konsistensinya sebagai pertunjukan proletar,
improvisasi kreatif, suka memainkan simbol untuk menyampaikan pesan-pesan
perubahan kehidupan di tengah hiruk-pikuk kota Surabaya dan sekitarnya.
Pertunjukan ludruk selalu tampil bukan hanya memikat tetapi juga mampu
membangkitkan emosi dan semangat penontonnya. Penonton tersebut sebenarnya
tidak hanya diminati oleh kalangan dewasa saja, tetapi pelajar juga perlu
mendapattkan suguhan dari ludruk. Banyak nilai-nilai yang disampaikan serta
tradisi yang positif sehingga dapat dilestarikan oleh pelajar, misalnya, menari,
bermain alat musik tradisional.
Hubungan budaya kearifan lokal Ludruk dengan karakter siswa cukup
berkaitan erat. Dapat kita ambil contoh dalam lakon Sakerah di zaman Belanda.
Lakon Sakerah yang dibawakan Sutan Remy Sjahdeini mengusung nilai-nilai
moral yang disajikan dalam penuh humor. Nilai tersebut sudah terlihat dari
karakter Sakerah, jujur, setia, dan tidak bisa melihat orang kecil diperlakukan
semena-mena mengalir dalam darah Maduranya. Dengan kejadian tersebut, siswa
dapat mengambil nilai karakter, yaitu kita harus mempunyai sikap jujur dan sadar
untuk membela dan membantu golongan orang kurang mampu agar tidak
diperlukan semena-mena oleh golongan menengah atas/orang yang memiliki
kekuasaan.
16
Sebagai orang yang jujur, peka terhadap orang lain/warganya, dan
mencintai kebenaran, Sakerah justru dijebloskan penjara. Sakerah tidak terima
penghasilan para buruh dipotong begitu saja oleh mandor pabrik gula. Kegerahan
hati Sakerah mengantarnya ke rumah pemilik pabrik gula, Herman. Di sana ia
disambut dengan acungan pistol oleh Administratur Pabrik Herman. Merasa
terancam, Sakerah menghujamkan celuritnya pada Herman. Terkapar dan mati
seketika. Sebuah perbuatan yang menjadi alasan Sakerah dijebloskan dalam
penjara. Dengan kejadian tersebut, nilai pendidikan karakter siswa yang dapat
diambil, yaitu walaupun kita mencintai kebenaran dan peduli terhadap orang lain,
kita juga harus ada pengendalian diri agar sikap peduli dan kebenaran dapat
merugikan diri sendiri.
Dalam lakon Sakerah, Sang guru, yang diperankan oleh Basofi Soedirman,
mantan Gubernur Jatim, memesankan pada Sakerah dan saudara seperguruannya,
kalau jadi pemimpin itu jangan melupakan hak rakyatnya. Namun, rakyat juga
jangan lupa akan kewajibannya, jangan hanya menuntut hak. Berhubungan
dengan kejadian tersebut, nilai karakter siswa yang dapat diambil, yaitu sebagai
siswa jangan hanya menuntut haknya, misalnya meminta uang jajan terus tanpa
diimbangi dengan kewajibannya sebagai pelajar.
Teater tradisional Ludruk merupakan salah satu teater tradisional yang
memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Selain sifatnya yang egaliter,
demokratis, memiliki solidaritas yang tinggi, dan sesuai dengan pola hidup
masyarakat di wilayah budaya Jawa Timur pada umumnya, juga merupakan salah
satu teater tradisional yang memiliki kekhasan budaya. Ludruk dapat menjadi
salah satu media dalam menjaga dan memelihara kearifan lokal. Tujuan
khususnya adalah (1) mendekatkan Ludruk sebagai pertunjukan yang bercirikan
tradisional egaliter dan gaul. (2) mendorong Ludruk untuk disaksikan oleh semua
lapisan masyarakat, baik masyarakat kelas bawah maupun kelas atas. (3)
menstimulasi tumbuhnya kelompok-kelompok Ludruk yang baru di wilayah
budaya Jawa Timur dan Indonesia pada umumnya. Hal ini dimungkinkan karena
ludruk tidak harus menggunakan bahasa Jawa Timuran, tetapi dapat menggunakan
bahasa yang sesuai dengan masyarakat penyangganya. Ludruk Gaul diterapkan di
sekolah menengah (pertama dan atas) sebagai prioritas utama, karena sekolah
17
memiliki kurikulum ekstra dan intrakurikuler.
Ludruk Gaul adalah sebuah pertunjukan Ludruk yang “intim”, terjadinya
interaksi antara masyarakat penonton dan pemain Ludruk, dan dijadikannya
Ludruk sebagai media pengembangan pendidikan, budi pekerti maupun moral di
sekolah. Untuk itu, tanggapan masyarakat perlu diformulasikan. Ludruk perlu
diformat ulang. Kajian tanggapan masyarakat (social responsibility) tentang
Ludruk diharapkan menghasilkan bentuk-bentuk pertunjukan yang sesuai dengan
zamannya. Konsepnya adalah mendekatkan masyarakat dengan Ludruk sebagai
institusi sosial yang mampu memberikan semangat hidup, pemahaman tentang
budi pekerti, moral dan cara-cara menghadapi persaingan hidup yang sehat.
Bentuk teater tradisional yang telah melakukan modifikasi selama ini diantaranya
adalah Lenong Rumpi. Media televisi di Surabaya, seperti JTv juga sedang
berusaha mengembangkannya dalam bentuk Ludruk Kabaret.
Akhirnya, perlu ditegaskan kembali, bahwa inovasi teater tradisional
Ludruk di wilayah budaya Jawa Timur memungkinkan dilakukan sejalan dengan
pilihan masyarakatnya, khususnya peserta didik. Berdasarkan karakter sosial,
politik, ekonomi, dan budaya, ludruk memiliki kesamaan dengan masyarakatnya.
Jika siswa (penonton/penyangga) belum menjadikan ludruk sebagai pilihan dalam
memenuhi kebutuhan apresiasi, maka Ludruk harus mencari alternatif dalam
produksinya. Ludruk Gaul menjadi wacana untuk dijadikan alternatif inovasi
teater tradisional Ludruk di wilayah budaya Jawa Timur. Hal ini didasarkan pada
perkembangan zaman dan orientasi segmen masyarakatnya. Dengan demikian,
Ludruk (diharapkan) berpeluang menjadi bagian penting bagi pertumbuhan
masyarakatnya dengan sikap positifnya agar dapat ditiru siswa yang masih dini.
Semakin besar segmen siswa yang menjadi penyaksi Ludruk, semakin besar pula
kesempatan Ludruk memberikan kontribusi pada zamannya.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
18
A. Simpulan
Simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan tersebut adalah:
1. Ludruk merupakan salah satu bentuk kearifan lokal di Jawa Timur yang lahir
dan berkembang di tengah-tengah rakyat dan bersumber pada spontanitas
kehidupan rakyat. Penampilan dan bahasa yang digunakan mudah dicerna
masyarakat karena seni pertunjukan ini berfungsi menghibur dan sebagai
pengungkapan suasana kehidupan masyarakat pendukungnya.
2. Bentuk kerifan lokal lebih mendidik keagungan tata moral. Peran serta
masyarakat dalam kearifan lokal merupakan kontribusi yang berharga agar
terselenggara secara optimal.
3. Inti dari “Lakon Sakerah” adalah mengisahkan seorang mandor yang baik
hati dan memperhatikan rakyat kecil. Sifat yang baik itu justru membawa
Sakerah masuk ke dalam tahanan. Perjuangan membela rakyat di sekitarnya,
membuat dirinya mengorbankan dirinya sendiri hingga titik darah
penghabisan.
4. “Lakon Sakerah” mempunyai hubungan yang positif bagi pendidikan kearifan
lokal, diantaranya:
a. Sikap jujur dan sadar untuk membela dan membantu golongan orang
kurang mampu agar tidak diperlukan semena-mena oleh golongan
menengah atas/orang yang memiliki kekuasaan.
b. Harus ada pengendalian diri agar sikap peduli dan kebenaran tidak dapat
merugikan diri sendiri.
B. Saran
1. Agar kesenian tradisional khas Jawa Timur ini tetap eksis dan dapat terus di
lestarikan maka dapat disarankan sebagai berikut. (1) Para pemain/seniman
ludruk seharusnya lebih sering tampil di berbagai kesempatan dan di
berbagai lapisan masyarakat, khususnya sering di tanggap pada acara-acara
hajatan masyarakat. (2) Menyebarluaskan perkembangan kesenian ludruk
dengan cara memberi jatah lebih banyak porsinya dengan acara yang lain
untuk tampil baik di media televisi, radio seperti acara-acara musik, sinetron.
(3) Diberi kesempatan untuk di berikan modal untuk pengembangan
19
kelompok ini lewat pemberdayaan group ludruk sebagai pekerjaan
sampingan.