33
Makalah Akhir Individu untuk Mata Kuliah Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat PROGRAM PERTUKARAN PELAJAR SEBAGAI IMPLEMENTASI SOFT POWER DAN INSTRUMEN DIPLOMASI AMERIKA SERIKAT DENGAN NEGARA MUSLIM PASCA TRAGEDI 9/11 Binar Sari Suryandari 1006664685

Makalah Akhir Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Program Pertukaran Pelajar Sebagai Implementasi Soft Power dan Instrumen Diplomasi Amerika Serikat dengan Negara Muslim Pasca Tragedi 9/11

Citation preview

Makalah Akhir Individu untuk Mata Kuliah Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat

PROGRAM PERTUKARAN PELAJAR SEBAGAI IMPLEMENTASI SOFT POWER DAN INSTRUMEN DIPLOMASI AMERIKA SERIKAT DENGAN NEGARA MUSLIM PASCA TRAGEDI 9/11

Binar Sari Suryandari 1006664685

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001

merupakan sebuah fenomena yang menandai bangkitnya kembali terorisme di dunia

internasional. Apa yang terjadi pada hari itu benar-benar mengguncang masyarakat

internasional. Dunia saat itu menyaksikan kebangkitan jaringan terorisme internasional

yang berhasil menyerang salah satu negara dengan power terbesar di dunia yaitu Amerika

Serikat. Peristiwa ini dilakukan dengan cara penyerangan yang berbeda dari aksi

terorisme sebelumnya, yaitu membajak dan menabrakkan pesawat terbang ke gedung

kembar World Trade Center yang terletak di kota New York pada tanggal 11 September

2001. Sekitar tiga ribu orang tewas akibat serangan terorisme ini. Tragedi mengenaskan

ini tidak hanya mempengaruhi Amerika Serikat sebagai negara ’korban’ dalam

merumuskan kebijakannya terkait terorisme, tragedi ini juga mengubah pandangan

masyarakat dunia dan negara-negara lain dalam membentuk kebijakan dalam melawan

terorisme.

Peristiwa terorisme yang terjadi tersebut jelas menciptakan pergeseran-pergeseran

yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam kebijakan-kebijakannya. Hal ini

diimplementasikan melalui kebijakan ”War on Terror” yang dikemukakan oleh Presiden

Bush dan kebijakan-kebijakan lainnya. Namun demikian, kebijakan dalam hal ini

bukanlah hanya kebijakan dalam bidang hard power, namun juga kebijakan dalam bidang

soft power. Pasca terjadinya tragedi 9/11 tersebut, Amerika Serikat merumuskan

kebijakan dan metode diplomasi untuk dapat mencegah hal serupa dari kemungkinan

terulang kembali. Tragedi 9/11 ini seringkali diasosiasikan dengan eksistensi umat

muslim di dunia. Hal ini dikarenakan kelompok jaringan terorisme pelaku indak

kejahatan terorisme di Amerika Serikat pada 11 September 2001 yang didalangi oleh

Osama Bin Laden tersebut mengatasnamakan agama Islam sebagai latar belakang

tindakannya.1 Keterkaitan agama dalam peristiwa ini pada akhirnya juga menjadi salah

1 Fareed Zakaria, “The Politics Of Rage: Why Do They Hate Us?” yang diakses dari http://www.thedailybeast.com/newsweek/2001/10/14/the-politics-of-rage-why-do-they-hate-us.html pada 28 Desember 2012 pukul 21.09 WIB.

1

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

satu penentu dan karakteristik khusus yang menjadi pertimbangan pemerintah Amerika

Serikat dalam merumuskan kebijakannya.

Kebijakan dan diplomasi yang diambil oleh Amerika Serikat terkait peristiwa

terorisme tersebut pada dasarnya beragam. Budaya merupakan salah satu dimensi yang

dimanfaatkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk dapat menanggulangi masalah

terorisme ini. Sejak terjadinya tragedi 9/11, terdapat peningkatan yang cukup signifikan

atas jumlah siswa dari negara muslim yang menempuh pendidikan ataupun mengikuti

program pertukaran pelajar di Amerika Serikat.2 Hal ini mengindikasikan usaha

pemerintah Amerika Serikat untuk melaksanakan kebijakan dan diplomasinya dalam

bidang budaya untuk dapat meredam masalah terorisme bernafaskan Islam yang terjadi di

Amerika Serikat. Fenomena peningkatan jumlah pelajar dari negara muslim dan jumlah

program pertukaran pelajar yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan negara-negara

muslim di dunia inilah yang menarik perhatian penulis untuk mengangkat fenomena

tersebut sebagai topik dalam makalah ini.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa makalah ini akan membahas mengenai

kebijakan dan diplomasi Amerika Serikat pasca 9/11 yang melibatkan unsur budaya dan

pengimplementasian program pertukaran pelajar dengan negara-negara Muslim di dunia.

Makalah ini secara umum ingin mengkaji lebih dalam mengenai usaha pemerintah

Amerika Serikat dalam diplomasinya untuk dapat mengambil hati dan menciptakan

pemahaman antara Amerika Serikat dengan negara-negara muslim untuk mencegah

peristiwa serupa terulang kembali.

1.2 Pertanyaan Permasalahan

Dalam makalah ini, pertanyaan permasalahan yang berusaha dijawab adalah:

“Bagaimana penerapan program pertukaran pelajar sebagai instrumen diplomasi

Amerika Serikat dengan negara Muslim pasca tragedi 9/11?”. Dengan demikian,

makalah ini akan menjelaskan mengenai penerapan program pertukaran pelajar yang

dilakukan oleh Amerika Serikat dengan negara Muslim pasca tragedi 9/11, serta

bagaimana pelaksanaan program tersebut dapat menjadi salah satu instrumen dalam

pelaksanaan diplomasi antara Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim di dunia.

2 Nambee Ragavan, “International Student Exchange Among Muslim Nations; Soft Power and Voting Alliances at the United Nations”, dalam Political Science Senior Thesis, Bemidji State University, 2011, hlm. 2.

2

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

1.3 Kerangka Pemikiran

1.3.1 Soft Power

Dalam bukunya, Joseph S. Nye mengatakan bahwa power merupakan

kemampuan untuk mempengaruhi perilaku pihak lain untuk mendapatkan hasil yang

kita inginkan.3 Namun terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk

mempengaruhi perilaku pihak lain, baik dengan memaksa mereka, melalui

kekerasan, ataupun melalui usaha menarik hati agar mereka juga menginginkan apa

yang kita inginkan. Dalam hal ini, soft power berbeda dengan hard power yang

syarat dengan unsur militer, pemaksaan, dan kekerasan. Nye menyatakan bahwa soft

power merupakan usaha untuk mempengaruhi pihak lain agar menginginkan apa

yang kita inginkan melalui usaha melibatkan pihak tersebut, dan bukan melalui

pemaksaan atau kekerasan.4 Soft power bergantung pada kemampuan untuk

membentuk keinginan atau preferensi pihak lain.5 Dengan demikian, dapat dipahami

bahwa pada dasarnya soft power merupakan usaha untuk dapat mempengaruhi dan

mendorong pihak lain dalam menginginkan apa yang kita inginkan melalui

pelibatan dan perangkulan pihak tersebut sehingga pihak tersebut juga

menginginkan apa yang kita inginkan.

Bagi Nye, soft power tidak sama dengan sekedar pengaruh dan soft power juga

lebih dari usaha membujuk atau menggerakkan pihak lain melalui argumen, tetapi

juga melibatkan kemampuan untuk memikat pihak lain, dan pemikatan tersebut

seringkali berujung pada persetujuan dan dukungan.6 Berbeda dengan hard power

yang membuat pihak lain menyetujui apa yang kita lakukan secara paksa melalui

kekuatan militer atau sanksi ekonomi yang dapat dijatuhkan, soft power berusaha

memikat hati pihak lain melalui nilai-nilai, budaya, dan pemeliharaan hubungan

sosial di antara keduanya. Nye menyatakan bahwa terdapat tiga sumber soft power,

yaitu (1) Budaya, (2) Political Values, (3) Kebijakan Luar Negeri.7

Pengimplementasian soft power ini menjadi lebih signifikan dibanding hard power

di masa ini mengingat perkembangan zaman yang disertai dengan kecanggihan ilmu

3 Joseph S. Nye, Jr., Soft Power: The Means to Success in World Politics (New York: Public Affairs, 2004) hlm. 2.4 Ibid., hlm. 5.5 Ibid.6 Ibid., hlm. 6.7 Ibid., hlm. 11.

3

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan perubahan sosial yang terjadi dalam

masyarakat.

1.3.2 Diplomasi Publik (Public Diplomacy)

Konsep public diplomacy pertama dikenalkan oleh Edward Murrow pada

Tahun 1963 sebagai salah satu cara untuk menangani pengaruh dari pola tingkah

laku publik dalam formasi dan eksekusi kebijakan luar negeri. Public Diplomacy

berbeda dengan diplomasi tradisional yang interaksinya hanya antara pemerintah,

namun juga keterlibatan aktor non-state seperti organisasi dan individu. Aktivitas

public diplomacy adalah (1) melaporkan peristiwa luar negeri dan dampaknya

terhadap kebijakan, (2) media komunikasi, antara diplomat dan koresponden asing,

dan sebagai (3) proses komunikasi lintas budaya. 8 Public diplomacy merupakan

salah satu cara untuk mempromosikan kepentingan nasional dan keamanan

nasional melalui pemahaman yang sama, sharing informasi, dan mempengaruhi

masyarakat asing serta memperluas dialog antara individu, institusi, serta rekan

yang berada di luar negeri. Secara sempit, public diplomacy dapat didefinisikan

sebagai proses pemerintah dalam berkomunikasi dengan masyarakat asing sebagai

ajakan untuk lebih memahami ide dan idealisasi negara, institusi dan kebudayaan,

serta tujuan nasional dan kebijakan yang berlaku.9

Agar dapat berfungsi secara efektif public diplomacy harus dilihat sebagai

komunikasi dua arah. Public diplomacy tidak hanya meliputi pembentukan pesan

yang ingin disampaikan oleh suatu negara, namun juga sebagai alat analisa dan

memahami bagaimana pesan tersebut diinterpretasikan serta menjadi alat untuk

mengembangkan dan berkomunikasi sebagai pendukung persuasi.10 Dampak yang

dihasilkan dari public diplomacy terdiri dari 4 bentuk, yaitu :

1) Meningkatkan familiaritas masyarakat terhadap negara pelaku , dengan

cara memikirkannya serta update terhadap opini yang diberikan oleh

negara tersebut.

8 Edward R. Murrow, Public Diplomacy (Tufts University : The Edward R. Murrow Center, 2005), diakses dari http://fletcher.tufts.edu/murrow/public-diplomacy.html pada tanggal 29 Desember 2012 pukul 12.15 WIB.9 Hans. N. Tuck, Communicating with the World : U.S. Public Diplomacy Overseas (New-York : St. Martins Press, 1990), Hal. 3.10

4

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

2) Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap negara pelaku , dengan

membentuk persepsi positif yang kemudian mengajak orang lain untuk

melihat isu global dari perspektif yang sama.

3) Membentuk ikatan dengan masyarakat , dengan memperkuat ikatan baik

dari segi edukasi, tourism, produksi nasional, dan kooperasi ilmiah untuk

mengajak lebih memahami nilai-nilai yang dianut.

4) Memberi influence pada masyarakat , dengan realisasi adanya investasi

dan kerjasama yang terjalin.

1.3.3 Diplomasi Budaya (Cultural Diplomacy)

Secara umum, diplomasi budaya merupakan bagian dari diplomasi publik

yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Diplomasi budaya merupakan upaya

mencapai pemahaman bersama melalui institusi budaya, NGO, organisasi

pendidikan, dan kelompok lainnya yang bergerak di bidang yang serupa. Milton C.

Cummings mempaparkan bahwa diplomasi budaya adalah bentuk pertukaran ide,

informasi, nilai, sistem, tradisi, kepercayaan, dan aspek budaya lainnya dengan

intense untuk menciptakan pemahaman bersama. Pelaku diplomasi budaya adalah

para “diplomat budaya” yaitu penjelajah, akademisi, seniman, dan lain-lain yang

mengutamakan interaksi dengan budaya asing. 11 Pada dasarnya, diplomasi budaya

memberikan peluang untuk penciptaan pemahaman dan penghargaan akan adanya

kesamaan serta perbedaan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di

dalamnya.

Cultural diplomacy mendorong penciptaan landasan akan ‘trust’ atau rasa

percaya antara pihak yang terlibat sehingga pada akhirnya rasa percaya tersebut

dapat digunakan untuk persetujuan politik, ekonomi, dan militer.12 Diplomasi

budaya juga lebih mengena dan dapat menyentuh aktor-aktor hingga level

masyarakat dan individu. Diplomasi jenis ini juga lebih mudah untuk disampaikan

atau ditanamkan pada generasi muda, masyarakat non-elit, dan lingkup masyarakat

11 Institute of Cultural Diplomacy, What is Cultural Diplomacy?, diakses dari http://www.culturaldiplomacy.org/index.php?en_culturaldiplomacy pada tanggal 29 Desember 2012 pukul 13.00 WIB.12 US Department of State, “Cultural Diplomacy: The Linchpin of Public Diplomacy” dalam Report of the Advisory Committee on Cultural Diplomacy, September 2005, hlm. 1.

5

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

yang lebih luas karena pada dasarnya menekankan pada hubungan antar

masyarakat.13 Tidak hanya itu, diplomasi budaya dapat menjembatani perbedaan

dan kesalah-pahaman antara masyarakat yang berbeda sehingga kebencian antara

masyarakat tersebut dapat lebih diredam. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa

diplomasi budaya dapat mendorong terciptanya keterbukaan, mendorong open-

mindedness, dan toleransi antar masyarakat.

13 Ibid., hlm. 2.

6

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

BAB II

PEMBAHASAN

Dalam bab ini, pembahasan akan dibagi menjadi empat bagian. Pembagian ini

dilakukan untuk kemudahan pemahaman mengenai topik dalam makalah ini. Pada bagian

pertama, penulis akan menjelaskan mengenai persepsi anti-Amerikanisme yang muncul

dalam masyarakat dunia hingga pada akhirnya mewujudkan terjadinya tragedi terorisme 9/11.

Dalam bagian tersebut pula akan dibahas mengenai bagaimana peristiwa tersebut

mengindikasikan besarnya persepsi anti-Amerikanisme selama ini. Pada bagian kedua, akan

dijelaskan kebijakan terkenal yang diambil oleh Amerika Serikat pasca terjadinya tragedi

9/11, yaitu kebijakan yang dikenal sebagai “War On Terror”. Dalam bagian ini, penulis akan

menjelaskan bagaimana sesungguhnya kebijakan yang melibatkan unsur kekerasan tersebut

gagal dalam meredam persepsi anti-Amerikanisme dan justru dapat memperburuk hubungan

antara Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim di dunia.

Pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan mengenai kebijakan dan diplomasi Amerika

Serikat yang mengedepankan unsur soft power, yaitu melalui pelaksanaan program

pertukaran pelajar. Dalam bagian tersebut, penulis akan memaparkan peningkatan

pelaksanaan program tersebut antara Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim di dunia

dan bagaimana pelaksanaan program tersebut sebagai instrumen diplomasi yang memiliki

perbedaan sifat dengan pelaksanaan kebijakan “War On Terror” yang dijelaskan pada bagian

sebelumnya. Selanjutnya, pada bagian terakhir akan dijelaskan mengenai analisa penulis akan

pelaksanaan program pertukaran pelajar tersebut sebagai instrumen diplomasi publik dengan

melibatkan unsur budaya bagi Amerika Serikat pasca tragedi 9/11. Bagian analisa ini juga

akan memaparkan opini penulis mengenai signifikansi pelaksanaan program tersebut dan

bagaimana pelaksanaan program tersebut dapat lebih berkontribusi dalam pengurangan

persepsi anti-Amerikanisme di negara-negara Muslim.

2.1 Amerika Serikat, Anti-Americanism, dan Tragedi 9/11

Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Amerika Serikat merupakan salah satu

negara dengan power terbesar dalam sistem internasional. Negara ini dianggap sebagai

salah satu negara adidaya yang cukup mendominasi agenda-agenda dan interaksi antar

7

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

negara-negara di dunia. Hal ini pada dasarnya kembali pada kepemilikan power yang

besar oleh Amerika Serikat sehingga negara tersebut mampu memberikan pengaruh baik

secara langsung maupun tidak langsung pada apa yang tengah terjadi di dunia. Selain itu,

Amerika Serikat juga dikenal sebagai negara yang kental dengan sistem kapitalisme dan

sering sering terlibat serta melakukan intervensi pada konflik-konflik yang terjadi di

dunia. Nyatanya, posisi dan apa yang selama ini dilakukan Amerika Serikat dalam

kerangka sistem internasional tidak seluruhnya berdampak baik pada Amerika Serikat

sebagai negara. Terdapat banyak pihak yang pada akhirnya tidak menyukai posisi dan apa

yang dilakukan oleh Amerika Serikat tersebut. Persepsi ini seringkali disebut dengan anti-

Amerikanisme.

Rubinstein dan Smith mengatakan anti-Amerikanisme sebagai “any hostile act or

expression that becomes part and parcel of an undifferentiated attack on the foreign

policy, society, culture and values of the United States.”14 Dasar utama dari anti-

Amerikanisme ini adalah kepercayaan bahwa apapun yang dilaksanakan oleh Amerika

Serikat merupakan sebuah usaha negara tersebut untuk menguasai dunia, dan negara

tersebut akan menggunakan power-nya, baik dalam bidang militer, ekonomi, budayam

maupun kesuksesannya untuk mencapai kepentingan mereka.15 Persepsi ini muncul akibat

posisi Amerika Serikat dan bagaimana Amerika Serikat bertindak terhadap suatu konflik

atau permasalahan. Selain itu, persepsi ini juga dikatakan sebagai bentuk gerakan anti-

kapitalisme yang merupakan sistem inti negara adidaya tersebut. Dengan demikian, pada

dasarnya anti-Amerikanisme ini dapat dipahami sebagai sebuah persepsi kebencian

terhadap Amerika Serikat yang tumbuh di berbagai belahan dunia. Persepsi anti-

Amerikanisme ini seringkali juga diasosiasikan dengan eksistensi agama Islam. Hal ini

terjadi akibat beberapa kebijakan Amerika Serikat yang dinilai mendiskriminasi dunia

Islam.

Apa yang terjadi pada 11 September 2001 merupakan sebuah hantaman keras bagi

pemerintah dan masyarakat Amerika Serikat pada saat itu. Peristiwa tersebut seolah

mencerminkan bagaiman besarnya kebencian yang diarahkan kepada Amerika Serikat

sebagai negara. Terorisme yang terjadi tersebut dinyatakan sebagai terorisme yang

dilatar-belakangi oleh agama, dan hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya anti-

14 Alvin Z. Rubinstein, dan Donald E. Smith, “Anti-Americanism in the Third World” dalam Annals of the American Academy of Political and Social Science 497 (1), 1988, hlm. 36. 15 Barry Rubin dan Judith Colp Rubin, “Anti-Americanism Re-Examined” dalam Brown Journal of World Affairs, Summer / Fall 2004, Vol. XI, Issue 1, hlm. 18.

8

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

Amerikanisme berkembang secara lebih besar dan pesat dari apa yang diprediksikan oleh

Amerika Serikat. Peristiwa terorisme tersebut tak ayal menjadi cerminan nyata akan

besarnya persepsi kebencian dan anti-Amerikanisme yang tertanam di masyarakat seluruh

dunia. Anggapan bahwa terorisme berkaitan erat dengan anti-Amerikanisme dan ajaran

agama Islam inilah yang pada dasarnya membentuk dan mengarahkan kebijakan-

kebijakan luar negeri Amerika Serikat setelah tragedi 9/11 yang akan dijelaskan pada

bagian-bagian selanjutnya.

2.2 Kegagalan Kebijakan ‘War On Terror’ Pasca Tragedi 9/11

Peristiwa terorisme yang terjadi pada 11 September 2001 tersebut tentunya sangat

mencengangkan publik Amerika Serikat sebagai negara ‘korban’ terorisme. Peristiwa

tersebut nyatanya juga cukup mengagetkan serta membangkitkan amarah para pengambil

keputusan Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai ‘negara korban’ saat itu menanggapi

peristiwa tersebut secara keras. Pemerintah Amerika Serikat, terutama Presiden Amerika

Serikat, pada saat itu mencanangkan sebuah kebijakan politik yang disebut sebagai ‘War

On Terror’. Istilah ‘War On Terror’ ini pada dasarnya adalah sebuah kebijakan yang

mengecam segala jenis teror. Amerika Serikat mengutuk tindak terorisme yang

menyerang negaranya tersebut. ‘War On Terror’ pun menjadi sebuah istilah yang

dicanangkan oleh Presiden Bush dalam rangka menanggapi apa yang terjadi kepada

negaranya. Kemarahan Bush tersebut pun terlihat dari beberapa pernyataan yang

dikemukakannya dalam pidato-pidato pasca peristiwa 9/11, seperti dalam salah satu

pidatonya ia mengatakan, “Either you are with us, or you are with the terrorists.”16

Kebijakan ’War On Terror’ yang disodorkan oleh Bush tersebut merupakan sebuah

kebijakan yang memerangi terorisme. Kebijakan ini dilaksanakan melalui peningkatan

keamanan secara besar-besaran. Selain itu, administrasi Bush juga melaksanakan

kebijakan ini dengan menyerang atau menginvasi negara-negara yang dianggap sebagai

sumber teroris.17 Pada dasarnya negara-negara lain menyadari bahaya terorisme dan

menunjukkan simpati mereka terhadap Afganistan yang dimulai antara Oktober dan

16 Disampaikan oleh George W. Bush dalam pidatonya pada tanggal 20 September 2001 di Washington D.C., diakses dari http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/09/20010920-8.html pada 29 Desember 2012 pukul 21.19 WIB.17 Patrick Hayden, “The “War On Terror” and The Just Use of Military Force” dalam Tom Lansford et. al. (ed.), America’s War On Terror, Second Edition (Burlington: Ashgate Publishing Company, 2009) hlm. 49.

9

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

Desember 2001.18 Pasukan Amerika Serikat masuk ke Afganistan dan mengintervensi

Northern Alliance untuk menggulingkan pemerintahan fundamentalis Taliban yang

dianggap telah menyediakan tempat berlindung bagi Osama bin Laden dan jaringan

terorisnya, yaitu Al-Qaeda yang merupakan pelaku tindak terorisme 11 September 2001.

Aksi Amerika Serikat tersebut sangat didukung oleh aliansi NATO dan dilegitimasi oleh

resolusi PBB.19 Amerika Serikat ternyata tidak berhenti sampai di situ. Pada 2002,

administrasi Bush memutuskan untuk melakukan perang melawan Irak dan mulai saat

itulah dukungan-dukungan dari dunia internasional mulai berkurang. Kebijakan ini sering

dianggap sebagai kebijakan yang memerangi umat muslim, hal ini tentu merupakan

implikasi dari serangan-serangan Amerika Serikat yang menyerang negara-negara yang

mayoritas berpenduduk muslim. Masyarakat dunia merasa bahwa Presiden Bush secara

tidak langsung menganggap Islam merupakan agama bagi para teroris dan sebagai alasan

di balik terorisme yang terjadi.

Kebijakan ”War On Terror” ini lama-kelamaan pun semakin terlihat gagal dalam

memperoleh simpati masyarakat internasional. Hal ini dikemukakan oleh Anup Shah

dalam artikelnya. Ia mengatakan bahwa terdapat tiga jenis dampak internasional yang

terkait dengan reputasi negara Amerika Serikat atas implementasinya akan ”War On

Terror” 20, yaitu:

a. Semakin banyaknya masyarakat yang marah terkait dengan nama baik Islam

yang tercoreng. Dengan adanya persepsi buruk Amerika Serikat terhadap

umat muslim, agama Islam sering menjadi agama yang dianggap

melatarbelakangi sekelompok orang melakukan terorisme.

b. Amerika Serikat sedikit demi sedikit kehilangan simpati dari dunia

internasional karena serangannya terhadap negara-negara yang

digeneralisasikan sebagai sumber teroris, seperti Afganistan. Citra dan

reputasi Amerika Serikat juga semakin memburuk akibat keradikalan

kebijakan pemberantasan terorisme di dunia.

c. Dampak yang ketiga ini berhubungan dengan segi sosial, yaitu banyaknya

korban yang berjatuhan akibat penerapan kebijakan ”War On Terror” yang

radikal.

18 Joseph S. Nye, Jr., Op.Cit., hlm 19419 Ibid.20 Anup Shah, ““War On Terror”” yang diakses dalam http://www.globalissues.org/issue/245/war-on-terror pada 29 Desember 2012 pukul 22.03 WIB.

10

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

Kegagalan yang dicerminkan dari dampak pengimplementasian ”War On Terror”

ini nyatanya dapat semakin mengancam Amerika Serikat akan kemungkinan semakin

merebaknya persepsi anti-Amerikanisme, terutama yang datang dari negara-negara

muslim. Kebijakan ini justru dapat menjadi boomerang bagi kondisi keamanan Amerika

Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa hard power tidak selalu efektif dalam melindungi

keamanan suatu negara.

2.3 Program Pertukaran Pelajar Antara Amerika Serikat dengan Negara Muslim Pasca

Tragedi 9/11

Pada bagian sebelumnya, telah dapat dipahami bahwa dalam usahanya untuk

mencegah peristiwa terorisme terjadi lagi, pengimplementasian kebijakan “War On

Terror” yang melibatkan unsur kekerasan dan militer nyatanya justru dapat mendorong

semakin merebaknya persepsi anti-Amerikanisme. Di lain sisi, Amerika Serikat juga

melakukan usaha-usaha kebijakan dan diplomasi lainnya yang pada dasarnya juga

berusaha meredam persepsi anti-Amerikanisme yang dapat mengancam keamanan

negaranya. Salah satu cara yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat adalah melalui

penerapan program pertukaran pelajar Amerika Serikat dengan pelajar di berbagai

negara-negara Muslim di dunia.

Program pertukaran pelajar ini pada dasarnya merupakan program beasiswa yang

ditawarkan langsung oleh pemerintah Amerika Serikat pada pelajarnya dan juga pada

pelajar di negara tujuan untuk dapat saling menempuh pendidikan dan pertukaran budaya.

Pertukaran pelajar pada dasarnya telah berlangsung sejak cukup lama, bahkan sebelum

terjadinya peristiwa 9/11. Namun demikian, setelah terjadinya peristiwa 9/11 tersebut,

nyatanya jumlah pelajar muslim internasional yang menempuh pendidikan di Amerika

Serikat meningkat cukup signifikan.21 Hal ini juga didukung oleh meningkatnya jumlah

program pertukaran pelajar yang ditawarkan pasca 9/11.22 Fakta tersebut menunjukkan

bahwa pasca 9/11, Amerika Serikat berusaha membentuk kembali image mereka di dunia

internasional melalui kebijakan dan diplomasinya, termasuk melalui program pertukaran

pelajar dengan negara-negara muslim ini.

Setiap tahunnya, kongres Amerika Serikat mengalokasikan dana yang cukup

banyak untuk pelaksanaan program-program pertukaran pelajar sebagai usaha diplomasi 21 Nambee Ragavan, Op. Cit., hlm. 2.22 Ibid.

11

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

publik dan diplomasi budaya. Alokasi dan penggunaan dana untuk hal ini nyatanya pun

semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002 misalnya, dana yang dialokasikan

adalah sebesar 231 juta dollar di bawah Education and Cultural Exchange Program

(ECE), dan pada 2010, jumlah dana tersebut meningkat hingga 633 juta dollar.23 Jumlah

yang besar tersebut mengindikasikan keseriusan pemerintah Amerika Serikat untuk dapat

terus melaksanakan program pertukaran pelajar dan budaya dengan negara-negara

lainnya. Hal ini tidak mungkin dilakukan jika program tersebut tidak berlangsung efektif

atau tidak menghasilkan benefit apapun bagi Amerika Serikat.

Pertukaran pelajar dan budaya ini biasanya dilakukan dengan mengirimkan pelajar

dari luar Amerika Serikat untuk tinggal di Amerika Serikat bersama dengan keluarga

angkat, menempuh pendidikan menengah atas di daerah tersebut, dan berinteraksi dengan

masyarakat sekitar daerah tersebut. Pemerintah Amerika Serikat juga mengirimkan

pelajar Amerika Serikat untuk melakukan hal yang sama di negara lainnya. Seperti yang

telah disebutkan sebelumnya, pertukaran budaya sejenis ini pada dasarnya sudah terjadi

sejak cukup lama, namun mulai semakin signifikan pasca terjadinya tragedi 9/11. Dalam

makalah ini, akan dijelaskan mengenai dua program yang cukup terkenal oleh

masyarakat, yaitu Fulbright Scholar Program dan KL-YES Program.

Fulbright Scholar Program merupakan program pertukaran pelajar yang didukung

oleh pemerintah Amerika Serikat. Program ini dirancang untuk meningkatkan mutual

understanding antara masyarakat Amerika Serikat dengan masyarakat di negara lainnya.24

Program ini telah ada sejak tahun 1946, dan hingga saat ini jumlah partisipannya

mencapai 310.000 pelajar. Hingga saat ini, program Fulbright ini telah beroperasi di 155

negara di seluruh dunia.25 Program ini pada dasarnya merupakan program untuk

mahasiswa di perguruan tinggi, dan sedikit berbeda dengan trend pertukaran pelajar bagi

pelajar sekolah menengah atas. Namun demikian, program ini memiliki tujuan yang

kurang lebih sama, yaitu untuk menjembatani pemahaman antara Amerika Serikat dan

negara-negara lainnya.

Berbeda dengan Fulbright Scholar Program, The Kennedy-Lugar Youth Exchange

and Study (KL-YES) Program merupakan program pertukaran pelajar menengah atas

yang didanai sepenuhnya oleh U.S. Department of State dan disponsori oleh Bureau of

23 Ibid., hlm. 3.24 “Fulbright” yang diakses dari http://www.cies.org/Fulbright/ pada 29 Desember 2012 pukul 23.11 WIB.25 Ibid.

12

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

Educational & Cultural Affairs (ECA) untuk pelajar usia 15-17 tahun (pelajar SMA) dari

negara-negara dengan populasi muslim yang besar untuk menghabiskan satu tahun

akademik di Amerika Serikat. 26 Program ini dirilis oleh kongres pada Oktober 2002

sebagai respon dari peristiwa 11 September 2001.27 Pelajar tersebut tinggal bersama

keluarga angkat, menempuh persekolahan, mengikuti aktivitas-aktivitas untuk memahami

mengenai masyarakat dan nilai Amerika, meningkatkan kepemimpinan, dan membantu

menjelaskan pada masyarakat Amerika Serikat mengenai negara dan budaya asli

mereka.28 Di lain sisi, pemerintah Amerika Serikat sejak 2009 juga merilis program yang

sejenis untuk pelajar Amerika Serikat untuk menempuh satu tahun akademik di negara

dengan populasi muslim yang besar, yaitu YES Abroad. Program YES ini telah

bekerjasama dengan negara-negara seperti Afghanistan, Albania, Bahrain, Bangladesh,

Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Kamerun, Mesir, Gaza, Ghana, India, Indonesia, Israel

(Arab Communities), Jordan, Kenya, Kosovo, Kuwait, Lebanon, Liberia, Malaysia, Mali,

Maroko, Mozambik, Nigeria, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Arab Saudi, Senegal,

Sierra-Leone, Afrika Selatan, Suriname, Tanzania, Thailand, Tunisia, Turkey, West

Bank, dan Yaman.29 Eksistensi program ini menunjukkan keseriusan Amerika Serikat

untuk memperbaiki image-nya melalui pertukaran pelajar berusia muda pasca terjadinya

tragedi 9/11.

Kedua contoh program ini pada dasarnya merupakan bentuk komitmen Amerika

Serikat untuk dapat menumbuhkan mutual understanding mengenai nilai-nilai dan

budaya Amerika Serikat dan negara-negara lain yang juga berpartisipasi. Melalui

program ini, Amerika Serikat menginginkan negara-negara lain dapat memahami nilai-

nilai Amerika Serikat dan menjembatani perbedaan sehingga perdamaian serta hubungan

baik antara negara dapat benar-benar diwujudkan. Pada dasarnya masih banyak program-

program lainnya yang diselenggarakan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk

pelaksanaan pertukaran pelajar ini. Peningkatan jumlah pelajar maupun negara yang

berpartisipasi, serta peningkatan dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan

program semacam ini dari tahun ke tahun pasca 9/11 ini merupakan fenomena yang

26 “YES & YES Abroad” yang diakses dari http://www.yesprograms.org/about pada 29 Desember 2012 pukul 23.41 WIB.27 Ibid.28 Ibid.29 Ibid.

13

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

menarik dan menunjukkan bahwa Amerika Serikat tidak hanya menggunakan hard power

dalam usahanya mengurangi persepsi anti-Amerikanisme.

2.4 Analisa Program Pertukaran Pelajar sebagai Instrumen Diplomasi Amerika Serikat

dengan Negara Muslim di Dunia

Pada bagian-bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai eksistensi persepsi anti-

Amerikanisme, kebijakan “War On Terror”, dan eksistensi kebijakan pertukaran pelajar

antara Amerika Serikat dengan negara-negara lainnya. Peristiwa 9/11 menjadi hantaman

keras bagi pemerintah Amerika Serikat serta menunjukkan kekuatan dari persepsi

kebencian masyarakat internasional pada Amerika Serikat. Tragedi terorisme yang

mengenaskan itu di satu sisi membakar amarah pemerintah Amerika Serikat dan hal ini

diwujudkan dengan pernyataan Presiden Bush mengenai “War On Terror”. Namun

demikian di sisi lain, peristiwa tersebut juga menjadi titik balik perubahan-perubahan

kebijakan Amerika Serikat, dan pemerintah Amerika Serikat menyadari perlunya

pembenahan mengenai persepsi masyarakat di luar negara tersebut mengenai Amerika

Serikat dan nilai-nilai di dalamnya.

Dari pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya pada dasarnya dapat dipahami

bahwa Amerika Serikat telah berusaha melakukan diplomasi dengan menggunakan kedua

jenis power, yaitu hard power dan soft power. Invasi militer yang dilancarkan oleh

Amerika Serikat pada negara-negara seperti Afghanistan dan Irak merupakan contoh

nyata usaha Amerika Serikat dalam menggunakan hard power-nya. Namun demikian,

dalam hal ini penulis melihat bahwa implementasi Amerika Serikat tersebut justru

membahayakan Amerika Serikat karena dapat memicu rasa benci terhadap negara

Amerika Serikat yang semakin meluas. Di lain sisi, penulis melihat bahwa penggunaan

soft power Amerika Serikat yang diwujudkan melalui pelaksanaan program pertukaran

pelajar dan budaya merupakan sebuah usaha yang lebih efektif.

Pelaksanaan program pertukaran pelajar dan budaya melibatkan unsur masyarakat

suatu negara secara langsung tanpa perantara. Implementasi program ini pun

memungkinkan terjadinya interaksi antar masyarakat secara lebih intense dan pemahaman

antara dua masyarakat yang berbeda pun semakin mungkin untuk tercapai. Program

pertukaran pelajar ini melibatkan pelajar untuk tinggal langsung di Amerika Serikat,

memahami budaya dan nilai Amerika Serikat, dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar

14

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

di Amerika Serikat. Hal tersebut tentunya dapat menciptakan rasa kecintaan seorang

individu terhadap keluarga angkatnya, teman-teman yang dimilikinya di negara tersebut,

bahkan kecintaan terhadap negara tersebut pun juga dapat tumbuh. Pengetahuan yang

dimiliki oleh seorang individu secara dalam mengenai suatu negara dapat menggiring

individu tersebut hingga pada tingkat ‘memahami’. Pemahaman inilah yang sebenarnya

diusahakan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk tercipta, sehingga persepsi kebencian

atau anti-Amerikanisme yang selama ini eksis dapat berkurang.

Peristiwa 9/11 yang dialami oleh Amerika Serikat tersebut menyadarkan Amerika

Serikat akan perlunya engagement antara Amerika Serikat dengan negara-negara lain di

dunia. Melihat motif utama pada pelaku terorisme 9/11 yang dilatar-belakangi oleh

agama, perangkulan oleh Amerika Serikat pada negara-negara yang memiliki populasi

Muslim banyak tentunya diperlukan. Hal inilah yang mendorong Amerika Serikat untuk

merumuskan program-program pertukaran budaya yang ditekankan pada negara-negara

dengan populasi Muslim terbanyak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, program

pertukaran pelajar ini merupakan sebuah instrumen diplomasi yang cukup efektif. Hal ini

dikarenakan pelibatan unsur masyarakat secara langsung yang dapat memudahkan

terciptanya pemahaman timbal-balik antara dua masyarakat yang berbeda. Pelaksanaan

program ini memungkinkan masyarakat Muslim untuk dapat menyelam pada kehidupan

masyarakat Amerika Serikat sebenarnya. Hal ini dengan demikian membuka kesempatan

untuk terciptanya pemahaman akan kedua jenis budaya yang berbeda, serta toleransi akan

perbedaan di antara keduanya menjadi mungkin untuk terwujud. Masyarakat Amerika

Serikat yang didatangi oleh pelajar dari negara Muslim tersebut pun tentunya juga

mengalami proses pembelajaran melalui interaksi yang dilakukannya dengan para pelajar

yang datang ke masyarakat mereka. Kedua belah pihak akan dapat saling memahami

budaya dan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat masing-masing, dan hal

tersebutlah yang pada dasarnya dapat memunculkan rasa toleransi dan pemahaman antara

satu sama lain.

Di lain sisi, pelajar Amerika Serikat yang dikirimkan untuk belajar di negara-

negara dengan mayoritas populasi Muslim pun pada dasarnya memiliki misi diplomasi

yang sama. Mereka juga tinggal di negara-negara Muslim dan berinteraksi dengan

masyarakat di dalamnya. Hal ini memungkinkan masyarakat negara-negara Muslim untuk

memahami Amerika Serikat melalui nilai-nilai dan budaya yang dibawa oleh pelajar

tersebut. Hal ini serupa dengan apa yang terjadi pada pelajar Muslim yang dikirimkan

15

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

untuk tinggal dan bersekolah di Amerika Serikat. Dengan demikian, pertukaran pelajar

semacam ini tidaklah sekedar pengalaman bersekolah di negara lain, tetapi juga merujuk

pada pertukaran budaya di antara dua masyarakat yang berbeda yang memungkinkan

terciptanya hubungan baik antara dua masyarakat. Proses yang dialami oleh pelajar

maupun masyarakat di mana pelajar tersebut ditempatkan merupakan sebuah proses

pembelajaran yang dapat berpengaruh hingga pada level kenegaraan.

Penjelasan mengenai program pertukaran pelajar yang telah dipaparkan di atas

memperlihatkan bahwa sebenarnya program ini bukanlah sekedar beasiswa bagi pelajar

untuk mengenyam pendidikan di negara lain. Program ini merupakan sebuah instrumen

diplomasi publik dan diplomasi budaya karena di dalam program tersebut masyarakat

dilibatkan dalam proses pembelajaran antara dua budaya dan proses tersebut dapat

berdampak pada pemahaman suatu masyarakat akan masyarakat lainnya yang memiliki

perbedaan. Baik disadari maupun tidak, pelajar-pelajar yang dikirimkan pun pada

dasarnya membawa misi diplomasi untuk menciptakan pemahaman. Pemerintah Amerika

Serikat dengan demikian melakukan hal yang benar dan cukup efektif melalui pelaksnaan

program pertukaran pelajar ini. Keefektifan yang dimaksud didukung oleh keterlibatan

masyarakat secara langsung serta usia pelajar yang cukup muda. Keterlibatan masyarakat

secara langsung memungkinkan engagement kuat terbentuk antara pelajar dengan

masyarakat di mana ia ditempatkan. Pelaksanaan aktivitas pelajar sehari-hari di negara

tersebut tentunya akan memperkuat intensitas interaksi serta hubungan yang dapat

berujung pada rasa saling menghargai. Selain itu, usia pelajar yang tergolong muda dalam

hal ini dapat memudahkan misi diplomasi tersebut untuk dapat tersampaikan. Pelajar

melaksanakan kegiatan persekolahan di sekolah di mana ia ditempatkan. Melalui interaksi

antara pelajar tersebut dengan teman-temannya di sekolah, pemahaman akan perbedaan

dan bagaimana hal tersebut tidak seharusnya menggiring manusia pada konflik dapat

dilakukan sejak dini dan ditanamkan pada generasi muda.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa peningkatan pelaksanaan program

pertukaran pelajar pasca peristiwa 9/11 merupakan sebuah langkah diplomasi yang tepat.

Bahkan hal ini perlu lebih ditingkatkan agar efektivitas dan pemahaman di antara dua

budaya yang berbeda dapat lebih tertanam. Pelaksanaan program ini dapat mencegah

perluasan rasa kebencian terhadap Amerika Serikat atau persepsi anti-Amerikanisme

sehingga peristiwa terorisme yang serupa tidak lagi terulang. Pelajar-pelajar yang

berpartisipasi serta masyarakat yang berinteraksi dengan pelajar-pelajar tersebut pada

16

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

dasarnya merupakan bagian dari pelaku diplomasi. Interaksi di antara dua belah pihak

dapat memunculkan pemahaman dan rasa saling menghargai sehingga perdamaian dan

hubungan baik antara Amerika Serikat dan negara-negara Muslim dapat terwujudkan.

Amerika Serikat dapat lebih memahami mengenai budaya suatu negara dan bagaimana

agama Islam pada dasarnya tidak syarat dengan unsur kekerasan dan tidak seluruh

Muslim setuju dengan tindakan terorisme tersebut. Sebaliknya, masyarakat di negara

Muslim pun dapat lebih dalam memahami nilai-nilai Amerika Serikat dan tidak semata-

mata melihat Amerika Serikat sebagai negara yang mendominasi dan imperialis.

Pemahaman antara keduanya inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh pemerintah

Amerika Serikat. Dengan demikian, pelajar-pelajar yang dikirimkan pun pada dasarnya

dapat dikatakan sebagai diplomat-diplomat muda negara karena baik disadari ataupun

tidak, mereka memikul misi diplomasi demi terciptanya pemahaman di antara dua negara

dengan nilai-nilai dan budaya berbeda.

17

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dilakukan tersebut, dapat dipahami bahwa penerapan

program pertukaran pelajar yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan negara-negara

Muslim di dunia pasca tragedi 9/11 merupakan sebuah langkah diplomasi publik dan

budaya yang cukup efektif. Pelaksanaan program tersebut nyatanya berpotensi untuk

menjembatani perbedaan yang ada di antara budaya dan masyarakat yang berbeda.

Pertukaran pelajar ini juga memungkinkan terciptanya pemahaman akan nilai-nilai dan

budaya yang dimiliki satu sama lain dan pemahaman inilah yang dibutuhkan oleh

Amerika Serikat untuk dapat mengurangi persepsi anti-Amerikanisme dan terorisme yang

ditujukan pada negara adidaya tersebut. Interaksi dalam level masyarakat dan individu

yang tercipta melalui pelaksanaan program pertukaran pelajar inilah yang pada dasarnya

memungkinkan tumbuhnya rasa toleransi dan pemahaman di antara dua masyarakat yang

berbeda. Dengan demikian, penulis melihat bahwa program pertukaran pelajar yang

dilakukan oleh Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim merupakan sebuah

instrumen diplomasi publik dan budaya, serta implementasi soft power yang cukup efektif

dan perlu untuk lebih ditingkatkan demi perbaikan image Amerika Serikat serta untuk

mengurangi persepsi anti-Amerikanisme sehingga aksi-aksi yang membahayakan

keamanan dan survivability Amerika Serikat dapat dicegah dan tidak terulang kembali.

18

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

DAFTAR PUSTAKA

BUKU DAN JURNAL

Hayden, Patrick. 2009. “The “War On Terror” and The Just Use of Military Force” dalam

Tom Lansford et. al. (ed.), America’s War On Terror, Second Edition. Burlington:

Ashgate Publishing Company.

Murrow, Edward R. 2005. Public Diplomacy. Tufts University: The Edward R. Murrow

Center.

Nye, Jr., Joseph S. 2004. Soft Power: The Means to Success in World Politics. New York:

Public Affairs.

Ragavan, Nambee. 2011. “International Student Exchange Among Muslim Nations; Soft

Power and Voting Alliances at the United Nations” dalam Political Science Senior

Thesis. Bemidji State University

Rubin, Barry dan Judith Colp Rubin. 2004. “Anti-Americanism Re-Examined” dalam Brown

Journal of World Affairs, Summer / Fall 2004, Vol. XI, Issue 1.

Rubinstein, Alvin Z. dan Donald E. Smith. 1988. “Anti-Americanism in the Third World”

dalam Annals of the American Academy of Political and Social Science 497 (1) .Tuck,

Hans. N. 1990. Communicating with the World : U.S. Public Diplomacy Overseas.

New York: St. Martins Press.

US Department of State. 2005. “Cultural Diplomacy: The Linchpin of Public Diplomacy”

dalam Report of the Advisory Committee on Cultural Diplomacy.

ARTIKEL INTERNET

--. “Fulbright” yang diakses dari http://www.cies.org/Fulbright/.

--. “YES & YES Abroad” yang diakses dari http://www.yesprograms.org/about

19

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

--. Institute of Cultural Diplomacy, What is Cultural Diplomacy?, diakses dari

http://www.culturaldiplomacy.org/index.php?en_culturaldiplomacy

Pidato George W. Bush pada tanggal 20 September 2001 di Washington D.C., diakses dari

http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/09/20010920-8.html

Shah, Anup. ““War On Terror”” yang diakses dalam

http://www.globalissues.org/issue/245/war-on-terror Zakaria, Fareed. “The Politics Of

Rage: Why Do They Hate Us?” yang diakses dari

http://www.thedailybeast.com/newsweek/2001/10/14/the-politics-of-rage-why-do-

they-hate-us.html

20