36

Majalah Dinamika Edisi 6

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Majalah Dwi Bulanan yang diterbitkan oleh Bagian Humas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Citation preview

Page 1: Majalah Dinamika Edisi 6
Page 2: Majalah Dinamika Edisi 6

Tomasz Miskiewicz

Senang Kunjungi Kampus UIN Jakarta

Indeks Edisi 06/Tahun III/2010

SALAM REDAKSIKALAMDiversifikasi Peran UINFOKUSPro Kontra Gelar BaruDr. Arief Subhan:Gelar Berdasarkan Bi-dang IlmuProf. Dr. Yunan YusufPerlu Disosialisasikan dengan Baik

WAWANCARA KHUSUSProf. Dr. Zainun Kamal“UU Penodaan AgamaPerlu direvisi”SEPUTAR KAMPUSKPA ArkadiaGedung AkademikGedung FKIKKala Pegawai Belajar Foto-grafiSitu Kuru Riwayatmu Kini

DnK TV, Tak Sekedar Televui KomunitasARTIKELSOSOKProf. Dr. Andi FaisalDunia Akademik Panggilan JiwakuAPA DAN SIAPAAirin Rachmi DianiTifatul SembiringSuryadharma Ali

FokusPro Kontra Gelar BaruMUNcUlNYA Permenag Nomor 36 Tahun 2009 menuai reaksi beragam. Mahasiswa di berbagai kota, bulat menolak peraturan itu. Sementara reaksi dari pihak pimpinan PTAI sendiri juga beragam. Di Jakarta, cirebon, Bandung, dan Bengkulu peraturan baru itu tegas segera diterapkan. lainhalnya dengan di Surabaya, mereka memilih mempertahankan gelar yang lama.

Prof. Dr. Zainun KamalUU Penodaan Agama Perlu DirevisiSejumlah intelektual muslim, antara lain Moeslim Abdurrahman, Djo-han Effendi, dan Siti Musdah Mulia, Garin Nugroho, Thamrin Amal Tamagola dan tokoh JIl luthfie Assyaukanie mengajukan judicial reviewUU No 1/PNPS/1965 tentang larangan Penodaan Agama ke Mahka-mah Konstitusi (MK) Ketahui Alasannya di Hal 10

Prof. Dr. Azyumardi AzraPendidikan Pasca UU BHPBanyak masyarakat merasa lega dengan pembatalan UU Badan Hu-kum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Ma-ret lalu. UU BHP tersebut sejak awalnya kontroversial dan ditentang banyak kalangan: dari kelompok mahasiswa; orang tua mahasiswa; organisasi swasta penyelenggara pendidikan, khususnya perguruan tinggi (PT); lingkungan pesantren; dan berbagai kalangan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Lebih Lengkap di Hal 26

10

2632

03

12

3

10

14

2630

32

Page 3: Majalah Dinamika Edisi 6

�DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

DinaMikaMajalah DinaMika

Untuk Kemajuan Sivitas AkademikaIzin Terbit

SK Rektor No. 031 Tahun 2007Penerbit

Bagian Sistem InformasiUIN Syarif Hidayatullah Jakarta

PelindungKomaruddin Hidayat

(Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)Dewan Redaksi

JamhariAmsal Bakhtiar

Ahmad Thib RayaSudarnoto Abdul Hakim

Sumuran HarahapAbd Shomad

Hamid SholihinPemimpin Umum

Nurul JamaliWakil Pemimpin UmumHelmi Halimatul Udhmah

Pemimpin Redaksi:Nanang Syaikhu

Redaksi Pelaksana:Moh Hanifudin Mahfuds

Staf Redaksi:Jaenuddin Ishaq

Elly AfrianiLay Out & Design:

SaumiereFotografer:

Didi GunawanSekretaris Redaksi:

Evanauli Aprilia Tata Usaha:

AzizahDistributor:

Andi Lala Alamat Redaksi:

Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. Juanda No. 95 Ciputat 15412, Jakarta Selatan Telp. (021) 7401925

Ext. 1806 Fax: (021) 7402982 Website: www.uinjkt.ac.id

E-Mail: [email protected]

Dari Redaksi

Pembaca, kami mohon maaf jika DINAMIKA terlambat hadir ke hadapan Anda. Semula majalah ini direncanakan akan terbit Februari lalu dan seterusnya terbit secara berkala setiap dua bulan sekali. Namun, berbagai kendala masih saja terus menghadang, terutama tenaga yang siap tempur di lapangan. Kami memang me-miliki SDM, hanya saja semua tidak banyak yang diharapkan mengingat mereka berstatus trainee, tepatnya tenaga relawan. Padahal, untuk menggarap sebuah media penerbitan, menyediakan SDM andal dan profesional seharusnya menjadi prioritas penanganan para pemegang kebijakan.

Kami juga, sekali lagi, menyadari bahwa mencari SDM yang andal dan profe-sional itu tidak mudah. Selain itu, dibutuhkan ketersediaan anggaran memadai untuk menggaji mereka secara wajar mengingat beban pekerjaan yang juga sebenarnya ti-dak mudah. Meski demikian, kami masih memegang optimisme karena bagaimana-pun DINAMIKA harus tetap hadir secara berkala setiap tahunnya.

Pembaca, pada edisi kali kami coba untuk menyajikan Fokus sebagai laporan uta-ma tentang perubahan gelar akademik. Laporan utama ini kami angkat dari keluarnya Peraturan Menteri Agama Nomor 36 Tahun 2009 tentang Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik Peguruan Tinggi Agama. Sebagaimana disebut dalam Permenag tersebut, sejumlah gelar akademik yang diberikan kepada para penyandang sarjana berubah dan disesuaikan dengan bidang kehahlian atau keilmuan yang mereka kua-sai. Sejak dikeluarkannya, Permenag itu ternyata memicu banyak kontroversial, teru-tama di kalangan para calon sarjana keluaran PTAIN/PTAIS di berbagai daerah. Sebagian menganggap perubahan tersebut terasa “janggal”, namun sebagian lagi memandang tepat karena sesuai keahlian tadi. Sebagai contoh, untuk gelar sarjana lulusan Jurusan Akidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin, yang semula bergelar Sarjana Theologi Islam atau disingkat “S.Th.I”, kini berubah menjadi Sarjana Ushuluddin atau disingkat “S.Ud”. Demikian juga dengan gelar-gelar lain, terutama untuk bidang keahlian agama, praktis semua mengalami perubahan.

Nah, penting atau tidak penting gelar-gelar tadi, bagi sebagian penyandangnya perubahan gelar berdampak secara psikologis dan menimbulkan traumatik. Pasalnya, mereka takut gelar baru tersebut tak laku di pasaran kerja, sekalipun pasar bukan menuntut gelar melainkan keahlian para penyandangnya.

Selain masalah perubahan gelar, beberapa rubrik lain kami isi sesuai yang telah kami rencanakan. Rubrik Wawancara Khusus misalnya, kami isi dengan wawancara Dekan Fakultas Ushuluddin Prof Dr Zaenun Kamaluddin Fakih seputar kontro-versi undang-undang penistaan agama. Rubrik lain seperti Sosok, kami isi dengan profil Prof Dr Andi Faisal Bhakti, Direktur International Office (IO) dan guru besar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Sedangkan pada Seputar Kampus, di antaranya ada cerita tentang gedung Akademik dan gedung Fakultas Kedokteran dan ilmu Kesehatan. Selamat membaca.

Tim Redaksi DINAMIKA: berpose usai rapat redaksi di Situ Gintung, pertengahan Juni lalu.

Page 4: Majalah Dinamika Edisi 6

DinaMika� Edisi: 01/Thn. IV/2010

FokusKalam

Nanang SyaikhuPemred DINAMIKA

ReKTOR Prof Dr Komaruddin Hidayat saat melantik sejumlah pejabat baru di Auditorium Prof Dr Harun Nasution akhir Juli lalu mengungkapkan harapannya agar UIN Jakarta mengemban peran ganda. Ia mengatakan sebagai lembaga pendidikan Islam, UIN Jakarta juga bisa berperan sebagai “lembaga fatwa” semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Menurut Rektor, dirinya selama ini kerap diminta media massa untuk menanggapi sejumlah isu nasional terkait masalah sosial keagamaan dan bahkan politik. Dalam konteks tersebut ia terkadang tidak mewakili sebuah institusi melainkan lebih sebagai gagasan pribadi. Karena itu, menurut Rektor, di masa mendatang kampus UIN Jakarta harus pula memerankan diri sebagai lembaga fatwa seperti halnya di Universitas Al-Azhar Kairo melalui lembaga kemuftian.

Meski demikian, Rektor menyadari bahwa UIN Jakarta selama ini belum mampu memerankan diri sebagai pemberi fatwa. Peran UIN Jakarta masih sebatas sebagai lembaga penyelengara pendidikan dan pengajaran.

Apa yang dikemukakan Rektor tampaknya patut dikaji. Paling tidak untuk melihat sejauhmana dunia perguruan tinggi berperan bagi masyarakat dan dalam batas-batas mana pula peran tersebut diberikan.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi Pasal 1, Perguruan Tinggi adalah lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di atas perguruan tingkat menengah, dan yang memberikan pendidikan dan pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia dan dengan cara ilmiah.

Sementara tujuan perguruan tinggi (Pasal 2) adalah (1) membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila dan bertanggung-jawab akan terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materiil dan spirituil; (2) menyiapkan tenaga yang cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan tinggi dan yang cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan; (3) melakukan penelitian dan usaha kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan.

Secara garis besar, peran perguruan tinggi dibagi ke dalam tiga ranah yang disebut Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, dari tiga ranah peran perguruan tinggi itu, ranah akademik (pendidikan/pengajaran) tampaknya masih mendominasi

di banyak perguruan tinggi. Hal ini berasumsi bahwa bidang akademik adalah core dari suatu perguruan tinggi sehingga karenanya peran lain menjadi sedikit terabaikan.

Dalam konteks peran diversifikasi di atas, perguruan tinggi sejatinya memang tidak menjadi menara gading. Pengabdian kepada masyarakat bagaimanapun harus tetap mendapat penanganan yang sama dengan bidang akademik, demikian juga terhadap bidang penelitian. Sayangnya, lagi-

lagi, mengingat adanya kecenderungan untuk lebih memperhatikan bidang akademik tadi, peran perguruan tinggi di ranah masyarakat acap tertinggal. Pengabdian kepada masyarakat selama ini hanya bertumpu kepada program kuliah kerja nyata (KKN) yang kegiatannya sangat normatif dan konvensional.

Dalam hal ini respon perguruan tinggi terhadap masyarakat umumnya hanya dilayani melalui program KKN yang sudah menjadi agenda tahunan. Padahal, jika dilihat dari kompleksitas permasalahannya, apa yang terjadi di masyarakat jelas sangat memerlukan penanganan multidisiplin, yakni tak hanya dari satu aspek melainkan banyak aspek. Demikian pula tak hanya dilakukan melalui terapi sesaat melainkan harus berjangka panjang dan berkesinambungan.

Karena itu, peran perguruan tinggi seyogyanya memang tak melulu berkutat dengan program-program yang bersifat ad hoc melalui, misalnya, model KKN. Peran lain dapat dilakukan dalam lingkup yang lebih luas dan bersifat proaktif, semisal ikut merespon berbagai fenomena aktual yang terjadi di tengah masyarakat, khususnya di bidang sosial keagamaan.

UIN Jakarta sebagaimana yang diharapkan Rektor tampaknya cukup beralasan jika melakukan upaya diversifikasi peran terhadap masyarakat. Lebih-lebih sebagai perguruan tinggi Islam, peran tersebut jelas akan banyak dibutuhkan mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Karena itu UIN Jakarta harus berkomitmen bahwa apapun permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia merupakan juga tanggung jawab segenap insan akademis di perguruan tinggi, personal maupun komunal. Namun, untuk mengejewantahkan hal itu masih dibutuhkan pemikiran mendalam dari kalangan ahli di UIN Jakarta. Demikian pula terkait dengan sistem kelembagaannya dapat dirumuskan secara bersama agar tak tumpang tindih dengan yang lain. Semoga.

Diversifikasi Peran UIN

Page 5: Majalah Dinamika Edisi 6

Fokus

�DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

Ibarat petir di siang bolong. Akhir 2009 lalu, sivitas akademika Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Indonesia

dikejutkan dengan keluarnya Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik Perguruan Tinggi Agama. Pasalnya, keluarnya gelar baru itu seolah tak menyerap aspirasi mahasiswa. Tak pelak, sejumlah gelar, khususnya di dua fakultas, Fakultas Syariah dan Fakultas Ushuluddin dibanjiri protes dari mahasiswa dan dosen dari berbagai penjuru tanah air.

Berdasarkan peraturan tersebut, lulusan fakultas syariah yang sebelumnya bergelar Sarjana Hukum Islam (SH.I) dan Sarjana ekonomi Islam (Se.I), misalnya, kini berganti menjadi Sarjana Syariah (S.Sy) dan Sarjana ekonomi Syariah (Se.Sy). Sedangkan lulusan fakultas ushuluddin, yang sebelumnya bergelar Sarjana Theologi Islam (STh.I) dan Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I), kini menjadi Sarjana Ushuluddin (S.Ud).

Reaksi keras datang dari kota pelajar, Yogyakarta. Pertengahan Maret lalu, sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Syariah se-Indonesia (Formasi) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar apel akbar di halaman kampus untuk menolak Permenag Nomor 36 Tahun 2009.

Mereka tak begerak sendiri. Sejumlah dosen dan jajaran dekanat Fakultas Syariah pun ikut turun gunung mendukung protes mahasiswa. Bahkan, Dekan Fakultas Syariah Prof Dr Yudian Wahyudi memimpin langsung aksi pengumpulan seribu tanda tangan menolak Permenag Nomor 36 Tahun 2009 itu. Mereka bulat menolak gelar baru yang mendiskriminasi mahasiswa PTAI.

“Kami menuntut dikembalikan sistem pendidikan pada ruh perjuangan kemerdekaan dan penyetaraan gelar kampus Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan kampus umum,” kata Ketua Formasi UIN Sunan Kalijaga

Munculnya Permenag Nomor 36 Tahun 2009 sempat menuai reaksi beragam. Mahasiswa di berbagai kota, seperti yogyakarta, Bandung, dan Jakarta bulat menolak peraturan itu. Sementara reaksi dari pihak pimpinan PTaI sendiri juga beragam. Di Jakarta, cirebon, Bandung, dan Bengkulu peraturan baru itu tegas segera diterapkan. lain halnya dengan di Surabaya, mereka memilih mempertahankan gelar yang lama.

Peserta Wisuda Sarjana ke-80: mulai menyandang gelar baru.

Page 6: Majalah Dinamika Edisi 6

Fokus

DinaMika� Edisi: 01/Thn. IV/2010

Fokus

Aris Sukamto seperti dilansir Kantor Berita Antara, Kamis 11 Maret lalu.

Aris berpendapat, peraturan menteri tersebut akan berdampak serius bagi lulusan dalam kancah persaingan global dan menimbulkan sekat-sekat. Tak hanya di dalam kampus, mahasiswa juga melakukan aksi di jalan sekitar kampus. Mereka mengajak mahasiswa yang mereka temui untuk membubuhkan tanda tangan sebagai wujud penolakan gelar baru.

Aksi di Yogyakarya tak berhenti hari itu. Selang dua pekan kemudian, giliran mahasiswa Fakultas Ushuluddin yang turun ke jalan. Pada akhir Maret lalu, sekitar 100 mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berunjuk rasa di halaman Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Yogyakarta. Tuntutan mereka satu, menolak penggunaan gelar Sarjana Ushuludin (S.Ud) bagi lulusan fakultas tersebut.

Sejalan dengan tuntutan mahasiswa Fakultas Syariah, mahasiswa Fakultas Ushuluddin pun menuntut Permenag Nomor 36 Tahun 2009 yang menjadi dasar hukum penggunaan gelar tersebut dicabut. Dalam orasinya, Koordinator Aksi, Imam S Arizal menganggap, keputusan Menteri Agama terlalu dipaksakan dan tergesa-gesa. Untuk mngakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan, menurut Imam, tidak harus melakukan perubahan gelar. Perubahan gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) hanya menimbulkan disorientasi keilmuan.

“Yang harus dipahami adalah karena di Fakultas Ushuluddin terdapat beberapa jurusan, seperti Aqidah Filsafat, Perban-dingan Agama, Tafsir dan Hadis, dan Sosiologi Agama, sehingga kebijakan untuk menyeragamkan gelar adalah sebuah hal yang tidak logis,” kata Imam seperti dilansir harian Seputar Indonesia.

Imam menegaskan, karena mahasiswa menekuni bidang keilmuan dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Seharusnya gelar yang diperolehnya pun menunjukkan konsentrasi ilmu yang diperoleh selama menuntut ilmu di UIN Sunan Kalijaga. “Penyamaan gelar kesarjanaan berakibat pada pembunuhan karakter keilmuan yang diperoleh. Perubahan gelar ini juga tidak adil karena tidak dilakukan di perguruan tinggi umum,” ungkapnya.

Dia mencontohkan, gelar akademik yang diberlakukan di Universitas Paramadina Jakarta. Di kampus tersebut, gelar akademik untuk mahasiswa Jurusan Agama dan Falsafah tetap menggunakan S Fil, begitu pula di UGM Yogyakarta. Atas dasar itu, dia meminta agar peraturan tersebut dicabut. “Jika memang akan dilakukan perubahan gelar akademik harus melibatkan semua jurusan,” tegasnya.

Aksi hari itu disambut baik Kanwil Depag DIY. Usai berorasi, perwakilan mahasiswa diterima oleh Kabag Tata Usaha Kanwil Depag DIY Mastul Haji di ruangannya. Perwakilan mahasiswa menuntut agar Kanwil Depag DIY mendukung dan menyampaikan aspirasi mahasiswa ke Kementerian Agama di Jakarta.

“Setelah kami berunding kami bersepakat meneruskan aspirasi mahasiswa ke Jakarta. Ini akan kami kirimkan dalam waktu yang secepat-cepatnya,” kata Mastul Haji yang juga menandatangani dukungan aspirasi mahasiswa UIN Yogyakarta. Setelah

mendengar pernyataan Mastul Haji, mahasiswa pun membubarkan diri.

Dekan Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Prof Yudian mengaku cukup memahami keresahan para mahasiswa. “Mereka khawatir perubahan gelar akan berdampak pada sempitnya akses dunia kerja setelah wisuda nanti. Terlebih persoalan yang sama pernah terjadi 2002 lalu, dimana gelar lulusan fakultas Syariah yang tadinya SAg menjadi sarjana hukum Islam (SH.I). Kami berupaya menggelar pertemuan dengan fakultas Syariah se-Indonesia untuk mengatasi persoalan ini,” jelasnya.

Gelombang unjuk rasa menolak Permenag Nomor 36 Tahun 2009 yang disulut mahasiswa di Yogyakarta berlanjut ke Bandung. Pada awal April lalu, mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Syariah UIN Sunan Gunung Djati Bandung merilis empat pernyataan sikap. Pertama, menolak Permenag Nomor 36 Tahun 2009 tentang perubahan gelar dengan gelar Sarjana Syariah (S.Sy). Kedua, mendesak dekanat dan rektorat untuk melakukan kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah ataupun swasta untuk memproyeksikan lulusan FSH.

Ketiga, mendesak dekanat dan rektorat untuk melakukan pengkajian ulang dan sama-sama menyatakan penolakan terhadap Permenag Nomor 36 Tahun 2009 tersebut karena tidak ada keberpihakan bagi mahasiswa. Dan, keempat, mendesak dekanat dan rektorat untuk memberikan masukan tentang penggelaran akademik yang lebih representatif, prospektif dan

Peserta Wisuda Sarjana ke-80 UIN Jakarta di Auditorium Prof Dr Harun Nasution. Mereka mu-

lai menyandang gelar baru.

Page 7: Majalah Dinamika Edisi 6

Fokus Fokus

�DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

marketebel bagi lulusan fakultas syariah dan hukum kepada pihak yang terkait.

Sejalan dengan mahasiswa Yogyakarta dan Bandung, mahasiswa UIN Jakarta juga melakukan aksi yang sama. Kali ini, tak sekadar dari satu kampus UIN Jakarta. Sedikitnya 15 Badan eksekutif Mahasiswa (BeM) dari berbagai Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) berkumpul di Jakarta. Awalnya mereka sekadar mengikuti lokakarya yang digelar BeM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, di tengah jalan, salah satu agenda yang dibahas dalam lokakarya bertema Memperkokoh Peran PTAIN dalam Membangun Bangsa itu, adalah tentang Permenag Nomor 36 Tahun 2009.

Setelah berdiskusi panjang lebar, pada Rabu 21 April, sebanyak 15 BeM PTAIN dari seluruh Indonesia sepakat menolak Permenag Nomor 36 Tahun 2009. Pre-siden BeM UIN Jakarta (waktu itu) Aditnya Prana menegaskan, alasan penolakan itu karena gelar baru yang termaktub dalam Permenag Nomor 36 Tahun 2009 merugikan mahasiswa. Gelar baru dianggap tidak mampu untuk bersaing dengan perguruan tinggi lain.

Di sisi lain, lanjut Adit, dengan gelar yang lama pun hingga kini masih banyak lulusan PTAIN yang menganggur, bagaimana dengan gelar baru yang belum membumi di masyarakat. “Kami mempertanyakan apa komitmen pemerintah untuk lapangan kerja dan seperti apa prospeknya ke depan terhadap peraturan tersebut,” kata mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) itu.

Kendatipun akan diterapkan, Adit juga menyesalkan minimnya sosialisasi gelar baru kepada segenap stake holders dan masyarakat umum. “Jadi lebih baik pemerintah memperbaiki dulu peraturan tersebut agar tidak merugikan lulusan PTAIN sendiri,” katanya di depan perwakilan BeM PTAIN se-Indonesia yang berkumpul di Ruang Diorama.

Berlanjut hingga ke FacebookReaksi langsung dalam bentuk aksi

turun ke jalan sudah dilakukan. Sampai di situ apakah mahasiswa berhenti? Tidak. Dengan caranya masing-masing, mahasiswa dari berbagai kampus menggalang dukungan melalui dunia maya. Di Jakarta, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta membuat grup di Facebook dengan nama Gerakan Penolakan Peraturan Menteri

BeM FSH menamsilkan, “Jangankan lulus, untuk seleksi administratif saja kita sudah ditolak.”

Padahal di tengah defisit moral para penegak hukum yang berasal dari sarjana hukum konvensional, sejatinya jika diberi ruang yang lebih luas, sarjana hukum Islam dari FSH diyakini dapat mewarnai wajah penegakan hukum di Indonesia lebih baik. Namun, hal itu tidak dimungkinkan jika secara administrasi mereka dibatasi.

Karena itu, BeM FSH juga mempertanyakan apakah pemerintah dapat menjamin bahwa dengan gelar baru itu mahasiswa FSH se-Indonesia bisa dengan leluasa berkarir dan mengabdi untuk bangsa ini di lingkungan semua Departemen dan Peradilan? Namun realitas yang ada menunjukkan, para dosen FSH sendiri banyak yang mengambil gelar SH di luar kampus UIN Jakarta. Artinya gelar baru jelas kalah kompetitif dibanding SH.

“Jika kita lihat dari beberapa dosen di atas yang mengambil “kuliah lagi” untuk mendapatkan gelar SH, jelaslah gelar SH sangat diterima luas berbagai kalangan dan lembaga pemerintahan dan lebih laku dijual dari pada gelar SHI/S.Sy,” tegas Pengurus BeM FSH.

PTAI terbelahPermenag disikapi beragam oleh

pimpinan PTAI. Jika sebagian besar PTAI menerima dan melaksanakan peraturan itu seperti UIN Jakarta, UIN Bandung, IAIN Ambon, STAIN Surakarta, STAIN Kudus, dan IAIN Cirebon. Lain halnya dengan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Karena dianggap masih rancu, IAIN Surabaya memperrtahankan gelar akademik pola lama dan akan mengusulkan hal ini kepada Kementrian Pendidikan dan Agama.

Seperti dirilis Harian Surya, Rektor IAIN Sunan Ampel Nur Syam, pada 18 April lalu, menyatakan, untuk wisuda terakhir dan yang akan datang pihaknya masih menggunakan gelar akademik lama sampai ada aturan revisi. Dirjen Dikti Kementrian Pendidikan, kata Nur Syam seperti dikuti Surya, telah menjanjikan segera ada revisi pemberian gelar.

Hal senada disampaikan Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan SDM IAIN Sunan Ampel Abd A’la. Ia menambahkan, sebenarnya sudah ada PP 17/2010 tentang Gelar Akademik. Sesuai PP ini, gelar akademik bisa sesuai nama program studi yang

Agama (Permenag) RI Nomor 36 Tahun 2009.

Grup yang didirikan oleh seorang yang memiliki akun facebook bernama Nuye Keyen itu kini telah memiliki anggota sebanyak 784 orang. Keterangan yang dipampang di halaman info, menerangkan, keluarnya Permenag Nomor 36 Tahun 2009 yang cacat hukum dan tanpa sosialisasi mencirikan bobroknya sistem di lingkungan pemerintah Indonesia. Dari pantauan DINAMIKA, aktivitas grup itu berlangsung antara Maret hingga awal Mei lalu.

Di halaman dinding (wall), tampak berbagai aspirasi mahasiswa terkait gelar baru itu, dari upaya menggalang dukungan yang lebih luas, undangan dialog, hingga update informasi tentang perkembangan perjuangan penolakan gelar itu. Misalnya, pernyataan salah seorang anggota grup dengan nama akun Ucoxs Vincento.

“Bila semua keputusan yang diambil hanya untuk kekuasaan saja dan tidak melihat dampak psikologis dan dampak sosiologis yang ditimbulkan akibat keputusan yang salah...apakah ini semua dapat kita tolerir... Sudah saatnya kita melakukan suatu gerakan yang berarti buat perubahan...demi Indonesia jaya dan demi dunia hukum dan pendidikan yang lebih baik,” tulisnya.

Selain itu, di halaman forum diskusi grup itu juga terdapat rilis pernyataan sikap BeM FSH UIN Jakarta terkait gelar baru itu. Dalam pernyataan itu, BeM FSH menilai, Permenag Nomor 36 Tahun 2009 lahir tiba-tiba alias prematur dan tidak memenuhi rasa keadilan mahasiswa. Secara sosiologis, sebagai negara Pancasila, bukan negara agama, hukum yang diterapkan mestinya juga hukum positif termasuk soal gelar.

“Kita semua menyadari betul, gelar SHI saja yang diberlakukan sejak tahun 2003 yang telah disetarakan dengan gelar SH dalam UU Advokat tetap saja tidak bisa diterima di PN/Umum dan kehakiman. Tetap saja gelar SHI terkebiri dan terdikotomi secara sistemik dan mengakar!” kata Pengurus BeM FSH seperti tertulis dalam pernyataan sikap itu.

Selama ini, lulusan Fakultas Syariah yang hanya bermodalkan gelar SHI memang belum bisa masuk ke sektor yang lebih luas. Lulusan Fakultas Syariah baru dapat diakomodasi dalam UU Advokat, Kementrian Agama, dan Peradilan Agama saja. Di lembaga lain, lulusan Fakultas Syariah belum bisa masuk. Pengurus

Page 8: Majalah Dinamika Edisi 6

Fokus

DinaMika� Edisi: 01/Thn. IV/2010

Fokus

diambil.Tapi, bagi PTAI pemberian gelar bisa memunculkan persoalan, mengingat ada beberapa program studi yang muatan pendidikannya sebenarnya sama dengan prodi umum.

”Untuk ekonomi syariah bisa kabur, harus melihat dulu mana yang kontennya lebih besar, ekonominya atau syariahnya,” ungkap A’la. Langkah merivisi gelar akademik lulusan PTAI itu didukung penuh oleh hampir semua PTAI Indonesia dan sudah ada dua kali pertemuan membahas ini.

Tiga perspektifMenurut alumni Fakultas Syariah

dan hukum (FSH) UIN Jakarta, yang kini telah menjadi lektor kepala di almamaternya, Dr Ahmad Tholabi Kharlie, ada tiga perspektif untuk memahami Permenag Nomor 36 Tahun 2009. Pertama, pendekatan politis-legal formal. Secara legal formal, kebijakan mengenai pembidangan keilmuan serta penetapan gelar akademik di lingkungan pendidikan tinggi agama memang menjadi kewenangan Kementerian Agama, cq. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

“Dari sisi ini saya kira tidak ada masalah dan memang demikian adanya. Hanya saja, ada kesan yang cukup mengganggu terkait dengan sering berganti-gantinya gelar kesarjanaan di lingkungan pendidikan tinggi agama. Secara marketing, saya kira ini tidak terlalu baik. Dan hal ini pula yang kerap dikeluhkan alumni,” kata Tholabi yang juga pegiat seni kaligrafi dan qari itu.

Kedua, lanjut Tholabi, dari sisi keilmuan. Sejatinya penetapan gelar yang terangkum dalam Permenag No.36/2009 ini, dari beberapa sisi, oleh banyak pihak dinilai telah sesuai dengan nomenklatur keilmuan masing-masing. Misalnya, fakultas Syariah mengeluarkan alumni bergelar Sarjana Syariah (S.Sy), alumni fakultas Ushuluddin bergelar Sarjana ushuluddin (S.Ud), dan seterusnya.

“Terkait dengan gelar “Sarjana Syariah”, nomenklatur ini ternyata inheren dalam pelbagai peraturan perundang-undangan, hal mana penyebutan “Sarjana Syariah” ditujukan untuk menyebut sarjana yang ahli dalam bidang hukum Islam. Lihat misalnya dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah dan disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Pada pasal 13 ayat (1) huruf g, Undang-undang ini secara jelas menyebutkan nomenklatur

“Sarjana Syariah”. Jadi tidak ada yang asing dalam hal ini,” tegasnya.

Karena itu, Tholabi menambahkan, dari aspek keilmuan dan pengakuan sistem hukum formal, sejatinya istilah Sarjana Syariah telah mendapatkan legitimasi dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam konteks kewenangan salah satu sistem kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Peradilan Agama. Namun, kendati secara legal formal memiliki dasar yuridis, namun dtinjau dari perspektif ketiga, yaitu praksis-sosiologis, peraturan baru itu mendapatkan tantangan yang cukup kuat.

“Terutama penyebutan gelar “Sarjana Syariah” (S.Sy) dan “Sarjana Ushuluddin” (S.Ud) terasa demikian eksklusif, karena sarat nuansa ‘sara’. Hal ini, jika dilihat dalam konteks pengembangan kiprah dalam masyarakat yang pluralis, dinilai akan memberikan sekat yang sangat kentara,” katanya.

Padahal, selama ini kiprah alumni perguruan tinggi agama, termasuk Syariah dan Ushuluddin, tidak terbatas pada lembaga-lembaga atau profesi-profesi yang pas dengan kompetensinya. Tapi sejauh ini banyak alumni fakultas keagamaan bergerak melintasi kompetensi utamanya, seperti dalam dunia politik, jurnalistik, bisnis, dan sebagainya.

“Nah, yang saya pahami dari keberatan kawan-kawan mahasiswa dan alumni terkait perubahan gelar akademik ini, antara lain, adalah karena perubahan gelar ini, terutama yang menggunakan terminologi Arab, akan mempersempit ruang gerak untuk berkiprah di tengah minimnya ketersediaan lapangan profesi yang sesuai dengan kompetensinya. Saya kira hal ini perlu kita pikirkan bersama,” tegasnya.

Dual Degree sebagai solusiBagaimana jika gelar akademik FSH

menjadi Sarjana Hukum (SH)? Tholabi menjawab, ada hubungan yang erat antara gelar dengan struktur kurikulum. Ada ketentuan-ketentuan akademik yang harus dipenuhi untuk meraih gelar tertentu. Nah, untuk meraih gelar Sarjana Hukum (S.H.), misalnya, seorang mahasiswa sekurang-kurangnya telah memenuhi 60 persen core matakuliah ilmu hukum.

Karena itu, kalau mau mengubah gelar, struktur kurikulum harus didesain sedemikian rupa, sehingga memenuhi syarat 60 persen. Pekerjaan ini tentu tidak terlalu mudah, perlu waktu dan akan memengaruhi struktur lainnya. Di

pelbagai fakultas hukum, di samping hukum pidana, perdata, dan tata negara, salah satu program kekhususan yang ditawarkan adalah hukum Islam. Mahasiswa yang mengambil program ini juga bergelar “Sarjana Hukum (S.H.)”, bukan Sarjana Hukum Islam atau Sarjana Syariah.

“Nah, program studi hukum Islam atau Syariah di UIN atau IAIN saya kira bisa bergelar S.H. asalkan struktur kurikulum diubah untuk memenuhi standar sarjana hukum. Masalahnya, akan banyak mata kuliah kesyariahan yang akan dihapus dan berganti dengan ilmu hukum umum. Ini khan jadi masalah juga. Nanti dikhawatirkan akan menghilangkan akar keilmuan Syariah di UIN atau IAIN,” katanya.

Tapi sebagai solusi, Tholabi menambahkan, program double degree atau dual degree internal yang sedang dirancang Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, bisa jadi solusi untuk merengkuh dua gelar sekaligus dalam waktu yang relatif singkat.

Soal banyaknya lulusan PTAI yang menganggur karena gelarnya yang tak sesuai dengan tuntutan dunia kerja, Tholabi mengatakan, keterserapan di dunia kerja tidak tergantung gelar, melainkan kompetensi mereka. “Biasanya suatu instansi atau institusi pencari tenaga kerja tidak mencantumkan gelarnya tapi kompetensinya. Misalnya: dicari sarjana hukum bidang keperdataan, hukum tatanegara, dan sebagainya,” tamsilnya.

Kendati demikian, Tholabi tak menampik fakta di lapangan, dimana sering ditemukan kendala terkait gelar akademik. Yang menjadi masalah da-lam hal ini, lanjut Tholabi, terletak pada kurangnya sosialisasi tentang gelar tertentu, terutama pada panitia pelaksana penerimaan pegawai berbagai instansi. Ia mencontohkan, banyak instansi pemerintah atau institusi hukum plat merah yang tidak tahu apa itu Sarjana Hukum Islam (SHI). Akibatnya perlakuan diskriminatif menjadi tidak terhindarkan.

Bagi pria yang kerap menjadi dewan hakim Musabaqah Tilawatil Qur’an ini, apapun bunyi gelarnya, kalau tanpa upaya sosialisasi yang memadai kepada seluruh stakeholders, maka tetap saja akan melahirkan permasalahan, berupa penolakan dan perlakuan dikriminatif lainnya. “Meskipun dalam aneka peraturan perundang-undangan jelas-jelas mencantumkan nomenklatur tersebut,” pungkasnya[]. Hanifudin Mahfuds

Page 9: Majalah Dinamika Edisi 6

Fokus Fokus

�DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

Gelar akademik atau gelar akademis, menurut Ensiklopedia Bebas Wikipedia,

adalah gelar yang diberikan kepada lulusan pendidikan akademik bidang studi tertentu dari suatu perguruan tinggi. Gelar akademik dalam bahasa Belanda sering disebut titel.

Di Indonesia, seperti halnya juga di negara-negara lain, kita mengenal gelar akademik dan umumnya diklasikasikan ke dalam tiga strata atau tingkatan, yakni Strata Satu atau S1 (bachelor), Strata Dua atau S2 (master), dan Strata Tiga atau S3 (doctor). Gelar-gelar tadi mengiringi nama penyandangnya, baik sebelum maupun sesudah nama seseorang. Penggunaan gelar-gelar ini telah diatur melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 178/U/2001 tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi. Sementara di lingkungan perguruan tinggi agama (untuk bidang keahlian agama), secara khusus diatur pula melalui peraturan menteri agama yang diperbaharui, yakni Permenag No. 36 Tahun 2009.

Dalam sejarahnya, penggunaan gelar akademik memang telah mengalami beberapa perubahan sesuai keadaan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada tingkatan sarjana S1, sebelum tahun 1993, gelar sarjana yang ada di Indonesia antara lain Doktorandus (Drs.), Doktoranda (Dra.), dan Insinyur (Ir.). Setelah tahun 1993, penggunaan baku gelar sarjana antara lain Sarjana ekonomi (S.e.), Sarjana Hukum (S.H.), Sarjana Teknik (S.T.), Sarjana Teknologi Pertanian (S.TP), Sarjana Agama (S.Ag.), Sarjana Pendidikan (S.Pd.), Sarjana Komputer (S.Kom.) dan Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.). Gelar sarjana ini ditulis di belakang nama yang berhak dengan mencantumkan huruf S diikuti inisial bidang studi. Studi Sarjana terdiri atas 144 SKS (satuan kredit semester) dan secara normatif ditempuh selama empat tahun.

Pada Strata Dua (Magister), nama gelar yang digunakan antara

lain Magister Manajemen (M.M.), Magister Sains (M.Si.), Magister Ilmu Komputer (M.Kom.), Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI.), Magister Pendidikan (M.Pd.), dan Magister Teknik (M.T.). Gelar magister tersebut ditulis di belakang nama yang berhak dengan mencantumkan huruf M diikuti inisial bidang studi. Sedangkan pada Strata Tiga (Doktor), penggunaanya tidak disandarkan kepada keahlian penyandangnya melainkan bersifat umum, apapun keahlian itu.

Di sejumlah negara lain, nama gelar ditulis beracam-macam. Seperti di Hindia-Belanda dan Belanda, kita mengenal gelar Doktorandus (Drs.), Igenieur (Ir.), dan Meester in de Rechten (Mr.)

Kata “Doktorandus” merupakan kata pungutan dari bahasa Belanda yang memungutnya dari bahasa Latin. Doktorandus berarti “Ia yang akan dijadikan ilmuwan (doktor)”. Karena itu di Belanda gelar ini diberikan kepada orang yang sudah menyelesaikan program Master (S-2), dan hampir mencapai gelar doktor, yaitu gelar tertinggi dalam bidang akademis. Si pemilik gelar hanya tinggal menulis disertasi untuk mencapai gelar doktornya.

Namun, di Indonesia gelar doktorandus ini mengalami degradasi dan sampai tahun 1990 gelar ini diberikan bagi lulusan program S-1 dalam ilmu sosial. Untuk wanita dibuat pembedaan dengan pemberian gelar Doktoranda (Dra.), sementara di Belanda pembedaan tersebut tidak dibuat lagi.

Insinyur adalah orang yang bekerja dalam bidang teknik. Dengan kata lain orang-orang yang menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menyelesaikan masalah praktis menggunakan teknologi. Di Indonesia, dahulu istilah ini digunakan sebagai gelar seorang sarjana keteknikan (tidak tertutup pada bidang pertanian). Namun, setelah muncul gelar ST (Sarjana Teknik), istilah ini digunakan untuk

sarjana keteknikan yang, singkatnya, telah tergabung dalam PII (Persatuan Insinyur Indonesia).

Sementara Meester in de Rechten (disingkat Mr.) adalah sebuah gelar yang diperoleh seseorang setelah menyelesaikan studinya dalam ilmu hukum pada sebuah universitas yang mengikuti sistem yang berlaku di Belanda dan Belgia. Dalam bahasa Belanda, gelar ini berarti “Magister dalam ilmu hukum”. Pada praktiknya, gelar ini biasa disingkat menjadi Meester saja, seperti “Meester Moh. Yamin” atau “Meester Cornelis”. Gelar ini biasa disingkat menjadi Mr. dan ditulis di depan nama seseorang.

Di Belanda maupun di Indonesia, ketika sistem pendidikan Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh sistem Belanda, gelar “Mr.” setara dengan gelar S-2 (magister), seperti gelar MA dalam ilmu hukum (LLM) di negara-negara yang berbahasa Inggris.

Di Indonesia setelah zaman kemerdekaan, gelar ini diganti dengan gelar Sarjana Hukum (S.H.) yang kurang lebih bisa dikatakan merupakan terjemahan bebas dalam gelar bahasa Belanda. Perbedaannya ialah bahwa di Indonesia, gelar ini ditulis setelah nama seseorang, dan derajatnya menurun hingga menjadi gelar S-1.

Di negara-negara yang menganut sistem Anglo-Saxon, gelar akademik untuk tingkat S1 ditulis seperti Bachelor of Art (BA), Bachelor of Science (B.Sc.), Bachelor in Computer Science, dan Bachelor of Law (L.L.B.) Tingkat S2 ditulis Master of Arts (M.A.), Master of Science (M.Sc.), Master of engineering (M.eng.), Master of Busines Administration (M.B.A.), Master of Theology (M.Th.), Theologiae Magister (Th.M.), dan Master of Laws (L.L.M.). Sedangkan tingkat S2 ditulis Master of Philosophy atau disingkat M.Phil. (pra-S3), Doctor of Philosophy (Ph.D.), Doctor of Theology (Th.D.), dan Doctor of education (ed.D.). []

Nanang Syaikhu, dari berbagai sumber

Gelar Akademik di Sejumlah Negara

Page 10: Majalah Dinamika Edisi 6

Fokus

DinaMika10 Edisi: 01/Thn. IV/2010

Fokus

Dr Arief SubhanDekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Gelar Itu Berdasarkan Bidang IlmuPeraturan Menteri Agama (Permenag) RI No-mor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pem-bidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Ling-kungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) se-Indonesia menuai kontroversi. Pasalnya, perubahan gelar itu tidak sesuai dengan no-menklatur gelar perguruan tinggi lain di Indo-nesia. Sementara, di sisi lain, gelar lama pun belum cukup sosialisasi, sehingga gelar sarjana PTAI yang baru itu terkesan “asing” bagi para pengguna lulusan. Bagaimana tanggapan ka-langan PTAI? Berikut petikan wawancara Elly Afriani dengan Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Dr Arief Subhan, di ru-ang kerjanya awal Mei lalu.

Apa tanggapan Anda tentang Permenag No-mor 36?Permenag itu harus dilaksanakan. Pro-kontra boleh, tapi yang namanya peraturan tetap harus dilaksanakan. Apalagi berlakunya sejak tanggal ditetapkan. Secara institusi di bawah Kement-erian Agama, STAIN, IAIN, UIN ya memang harus melaksanakan Permenag tersebut.Permenag tak hanya mengatur soal gelar tapi juga pembidangan ilmu dalam lingkup STAIN, IAIN dan UIN. Pembidangan ilmu menegas-kan, bahwa ada bidang-bidang distingtif dalam ilmu-ilmu agama Islam. Ushuluddin distingtif, dakwah distingtif, adab distingtif, syariah dis-tingtif, itu adalah bidang-bidang ilmu. Karena itu kemudian dibuat gelar berdasarkan bidang ilmu ini.

Meskipun nanti bisa mengecil lagi, misalnya orang bertanya ushuluddin ini memang satu bidang ilmu, tapi bagaimana dengan tafsir hadis dan perband-ingan agama, apakah itu termuat juga dalam ushuluddin? Jadi, gelar sarjana memang harus menunjukkan bidang ilmu apa yang kompeten dimiliki seorang sarjana. Supaya eksplisit, memang dipergunakan sesuai pembidangan yang disepakati di Permenag itu.

Tapi buktinya banyak mahasiswa yang menolak?Yang menolak itu kan mahasiswa, dan hanya di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), sedangkan lainnya menerima. Tapi apakah ada penolakan dari STAIN, IAIN, UIN secara institusi, saya rasa ti-dak. Yang ditolak mahasiswa itu belum tentu tidak baik untuk mahasiswa itu sebenarnya. Mereka itu belajar, dan ini bukan peraturan kontroversial. Per-soalannya sekarang, Permenag itu sudah keluar dan ditandatangani Menteri Agama, jadi mestinya Permenag itu dilaksanakan. Kalau mahasiswa ingin pro-tes silakan ke Menteri Agama, bukan ke universitas.

Selama ini gelar sarjana di perguruan tinggi agama cenderung tidak populer, bagaimana pendapat Anda?Sebenarnya gelar-gelar di IAIN memang tidak pernah populer. Apa Sarjana Agama (S.Ag) itu populer, saya rasa tidak. Dulu gelar yang populer doctorandus (Drs) dan cukup lama digunakan, dan antara STAIN, IAIN, dan perguruan tinggi umum menggunakan gelar yang sama untuk bidang ilmu yang sama. Karena tidak menjelaskan apa-apa, gelar tersebut diubah depdiknas dengan asumsi gelar itu harus menunjukkan bidang keahliannya.Saya belum bisa berkomentar tentang gelar yang baru ini, apakah ada pen-garuhnya atau tidak gelar baru tersebut kepada sarjana lulusan UIN Jakarta. Karena kenyataannya, gelar baru tersebut belum diterapkan, belum ada lulu-san kita yang memakai gelar baru tersebut. Tapi, pendapat saya tidak ada pen-garuhnya. Mau gelar apa saja, yang penting belajar serius, pasti bisa berhasil. Jadi jangan menyalahkan gelar.

Memang bagaimana dengan proses awal dari pembuatan peraturan menteri ini?Diskusi tentang perubahan gelar itu sudah dimulai sejak masa menteri agama Maftuh Basyuni. Ini melalui rapat yang panjang. Gelar itu urusan universitas. Yang mengusulkan gelar ini tidak hanya Jakarta, ini diusulkan STAIN, IAIN, UIN se-Indonesia. Jangan mengira bahwa draf yang sudah jadi peraturan men-teri ini, disetujui semua pihak yang ikut serta dalam diskusi tersebut. Tapi jika sudah menjadi peraturan, harus dilaksanakan.

Bagaimana dengan di fakultas yang Anda pimpin, apa reaksi mahasiswa ten-tang Permenag tersebut?Di Fidikom sendiri gelarnya berubah, dari Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) men-jadi Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I). Jadi, di Fidikom tidak ada masalah. Kita menerima dengan menempatkan ini sebagai peraturan yang sudah ditetap-kan. Mahasiswa Fidikom sendiri menanggapi positif peraturan itu. Mereka senang dengan gelar baru itu. Meskipun fakultas kita namanya Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, tetapi pembidangan kita ilmu dakwah, jadi kita memakai S.Kom.I. kalau fakultas ilmu komunikasi yang lain gelarnya Sarjana Sosial (S.Sos). Program studi yang ada Fidikom, seperti Manajemen Dakwah (MD), Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI), dan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) itu dianggap sebagai bagian ko-munikasi Islam, karena basisnya dakwah itu. Gelar yang baru ini cukup ber-gengsi untuk sebagian mahasiswa karena jelas dan eksplisit pembidangannya.

Apakah gelar itu dirasa tepat dan sudah diterapkan pada sarjana Fidikom?Saya tidak mau menilai gelar ini tepat atau tidak. Tapi gelar ini bisa menjelas-kan kompetensi keilmuan mahasiswa Fidikom. Jadi, bukan soal tepat dan ti-dak tepat. Kapan diterapkannya bergantung UIN, dan bisa saja beda waktu pemberlakuannya antara STAIN, IAIN dan UIN yang satu dengan yang lain. Saya tidak tahu kapan pastinya diterapkan, untuk sarjana yang diwisuda ke-79 kemarin sepertinya belum diterapkan.[]

Page 11: Majalah Dinamika Edisi 6

Fokus Fokus

11DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

Prof Dr Yunan YusufAnggota Badan Standar Nasional Pendidikan

Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Agama (Permenag) RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pem-bidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) se-Indonesia. Peraturan tersebut menuai kontroversi terutama di kalangan mahasiswa. Sebab peraturan tersebut dianggap merugikan karena gelar yang telah ditetapkan dikhawatirkan tidak mampu bersaing ke-tika alumni memasuki dunia kerja. Untuk membahas hal itu, Apristia Krisna Dewi dari DINAMIKA mewawancarai anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Guru Besar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom) UIN Jakarta, Prof Dr Yunan Yusuf, di Gedung Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta, akhir Mei lalu. Berikut petikannya.

Bagaimana komentar Anda terhadap kontroversi Permenag RI Nomor 36 Tahun 2009?Menurut saya mahasiswa menolak peraturan tersebut karena perubahan gelar dianggap menimbulkan kerugian bagi para alumni PTAI. Gelar yang lama dianggap masih diakrabi oleh masyarakat dan dunia kerja. Dengan gelar baru, mereka harus memikul gelar yang dianggap memberikan efek beban psiklogis karena mereka menganggap gelar tersebut kurang familiar dan sulit bersaing dengan alumni perguruan tinggi lainnya. Apalagi saat memasuiki dunia pekerjaan, mereka beranggapan bahwa dengan gelar yang baru akan sulit mendapatkan pekerjaan kare-na masyarakat dan dunia kerja masih mengakrabi gelar yang lama. Apalagi hingga saat ini peraturan itu kurang disosialisa-sikan dengan baik.

Apa penilaian Anda?Menurut saya, gelar tersebut sebenarnya bergantung pada maha-siswa sendiri yang menilai, apakah gelar tersebut menimbulkan kekhawatiran dan beban psikologis bagi mereka. Pada gelar yang lama saja masih terlihat banyaknya pengangguran. Apalagi gelar yang baru. Sebenarnya gelar tidak terlalu berpengaruh meski-pun mahasiswa itu sendiri beranggapan bahwa gelar sangat berpengaruh, terutama pada kesempatan dunia kerja. Tetapi, kompetisilah yang sangat berpengaruh ketika memasuki dunia

kerja, bukan gelar yang disandang. Banyaknya mahasiswa yang menganggur itu bukan hanya karena gelar, tetapi juga kurang kompetitif.

Menurut Anda, apakah gelar-gelar tadi sesuai dengan bidang keilmuan dan keahlian penyandangnya?Perubahan gelar yang ditetapkan Menag sebenarnya sudah tepat dan bedasarkan bidang keilmuan itu sendiri. Bidang keilmuan Ushuluddin misalnya, yang biasanya bernama Fakultas Ushu-luddin, salah satu gelar seperti S.Th.I untuk jurusan Tafsir Hadis berubah menjadi Sarjana Ushuludin (S.Ud), Di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi juga demikian, misalnya Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Manajemen Dakwah, dan lain-nya yang sebelumnya para alumninya bergelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos.I), sekarang gelarnya adalah Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I). Nah, itu sudah tepat sasaran karena bidang keilmuannya berada di ilmu dakwah dan ilmu komunikasi. Ka-lau mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Fidikom keberatan, menurut saya perlu dijelaskan dan disosialisasikan bahwa gelar yang baru sudah tepat sesuai bidang keilmuannya.

Bagaimana Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) meli-hat penggunaan gelar akademik di Indonesia?Pada kasus kontroversi perubahan gelar akademik ini, BSNP tidak bertanggung jawab. Tugas BSNP hanya memberikan sa-ran, pertimbangan, pengawasan, dan penilaian. Tanggungjawab berada di tangan pemerintah selaku yang menetapkaan per-aturan itu sendiri yaitu Menteri Agama. Sejauh ini BSNP sudah melakukan tugasnya dengan baik.

Lantas apa saran Anda?Saran saya gelar akademik yang baru perlu disosialisasikan agar masyarakat dan dunia kerja dapat menerima sehingga tidak ber-patokan lagi dengan gelar lama. Dan sosialisainya perlu penjela-san bahwa gelar tersebut sudah tepat dan efektif sesuai bidang keilmuannya. Sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran dan beban psikologis bagi mahasiswa terutama bagi para alumni PTAI.[]

Perlu Disosialisasikan dengan Baik

Page 12: Majalah Dinamika Edisi 6

1�

))) Wawancara Khusus

DinaMika12 Edisi: 0�/Thn. IV/2010 1�

MK menolak judicial review UU tentang Larangan Penodaan Agama, apa komentar Anda?

Kalau itu berdasarkan atau sesuai undang-undang negara, ya kita terima saja tak ada masalah. Landasan undang-undang neg-ara tentu undang-undang yang sudah dibuat, bahkan undang-undang itu pertimbangannya dari orang-orang agama sendiri. Kalau negara mengundangkan ya kita tak bisa menolak.

Kata sebagian masyarakat, UU itu menimbulkan diskriminasi bagi kelompok agama atau aliran minoritas?

Persoalan yang menjadi perdebatan sesungguhnya disebab-kan karena mereka (kelompok minoritas) tak disebutkan dalam undang-undang dan setiap orang menafsirkan UU seperti itu. Tentu yang menafsirkan orang-orang yang memegang kekua-saan. Dulu Pancasila, misalnya, ditafsirkan menurut orang-orang yang berkuasa dan itu dianggap keputusan yang sah. ‘Kan dulu ada butir-butir Pancasila dan pengetahuan P4 yang tak bisa dibantah karena dibuat oleh orang yang berkuasa. Karena itu, bergantung pada cara kita melihat, dengan kacamata apa.

Anda setuju MK menolak mencabut UU itu?Ya kalau memang itu sesuai Undang-Undang Dasar saya

setuju, itu kalau pandangan hukum negara. Tentunya MK hanya menguatkan itu saja karena tak ada kesalahan. Kecuali persoalan-nya jika kita mau melihat dan merevisi hal seperti itu. Jangankan hukum negara, hukum agama saja kita berbeda ‘kan, Al-Quran berbicara seperti ini, tapi ada multitafsir ‘kan. Kalau orang yang berkuasa menafsirkan seperti itu bagaimana, dan orang tak pu-nya kekuasaan bisa ditolak, apakah diberikan kebebasan untuk menafsirkan seperti itu. Sebab orang yang menginterpretasikan itu tak berada dalam kekuasaan. Coba lihat sekarang agama itu difatwakan seperti itu didukung kebijakan negara dan rakyat tak bisa membantah apapun, itu ‘kan persoalan. Bahkan itu didu-kung lembaga-lembaga agama itu sendiri.

Kelompok minoritas bisa tertindas?Yang mau merivisi siapa, karena orang yang memegang

kekuasaan atau mayoritas tidak mungkin mau merevisi. Kekua-saan dipegang dia pula. Bagaimana cara merevisinya. Kecuali kita benar-benar mau berdialog untuk berdebat terbuka. Kita sekarang bisa menjadi ‘diktator mayoritas’, yakni orang yang banyaklah yang menentukan dan yang menang. Dia yang mem-

Prof Dr Zainun Kamaluddin Fakih

“UU Penodaan Agama Perlu Direvisi”

SeJUMLAH intelektual muslim, antara lain Moeslim Abdurrahman, Djohan effendi, dan Siti Mus-dah Mulia, budayawan Garin Nugroho, sosiolog UI Thamrin Amal Tamagola dan tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Luthfie Assyaukanie mengajukan judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa waktu lalu. Para pemohon mengajukan agar UU tersebut dicabut karena berpotensi mengancam disintegrasi bangsa dan me-langgar Hak Asasi Manusia. Gugatan kandas. Pada 19 April lalu, MK menolak seluruh gugatan pemohon. MK menilai alasan pengkajian formal dan material yang diajukan pemohon tak beralasan. Lantas, bagaimana nasib Ahmadiyah dan aliran kepercayaan lainnya dalam menjalankan kebebasan berkeyakinan di masa mendatang? Akhwani Subkhi dari DINAMIKA menemui Prof Dr Zainun Ka-mal, guru besar filsafat sekaligus Dekan Fakultas Ushuluddin (FU), di kediamannya, di Komplek Dosen UIN Jakarta. Petikannya:

Dekan Fakultas Ushuluddin

Page 13: Majalah Dinamika Edisi 6

1�1�

Wawancara Khusus (((

1�DinaMika Edisi: 0�/Thn. IV/2010

buat undang-undang dan dia yang memutuskan segalanya. Kita lihat yang menyuarakan mencabut atau merevisi undang-undang itu orang-orang kuat atau lemah. Orang kuat tak mau disamakan dengan orang lemah.

Kelompok kecil tak bisa mengubahnya?Ya tak akan bisa. Itu suatu kenyataan, kecuali saya bilang

orang tua atau kuat sudah menjadi sadar bahwa ini suatu kes-alahan dan orang lemah menyurakan itu mungkin bisa diubah. Persoalannya, kita tak bisa duduk bersama. Jangan ditafsirkan keputusan itu, dukung kebijakan itu, saya tak sepakat hal seperti itu.

Menurut Anda semestinya UU tersebut dicabut atau direvisi?Direvisi dong, tapi revisi itu tentu untuk kemaslahatan ber-

sama. Kita mesti mendefinisikan kembali apa penodaan agama itu. Orang Kristen juga menganggap agamanya dinodai orang Is-lam, dan sebaliknya orang Islam menganggap agamanya dinodai orang Kristen. Kalau kita melihat perjalanan sejarah pendekatan penodaan agama dan mengkaji sejarah Islam maka ia tak akan berbuat begitu. Jika belajar teologi baca bukunya Al-Asy’ari Maqalat Al-Islami dan bukunya Al-Syahrastani Al-Milal wa An-Nihal. Jika membacanya betapa banyaknya golongan-golongan di dalam Islam, mereka saling dikafirkan dan menyalahkan satu sama lain. Bahkan dasar keimanannya juga berbeda. Seingat saya tahun 1980-an MUI menganggap Syiah itu aliran sesat, tapi sekarang MUI tak berani menyuarakan itu lagi karena sudah melihat kekuatan Syiah. Jika kita belajar filsafat ada yang tak percaya pada nabi, tapi ini lebih baik masih percaya pada nabi. Apabila tak setuju dengan pendapat orang lain lalu kita menin-das dan mengeluarkan fatwa maka itu tak benar caranya.

Bagaimana Anda melihat praktik kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia?

Saya mengikuti sejarah saja, biarkan mereka berkeyakinan masing-masing asalkan jangan berbuat kriminal. Misalnya Anda memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat orang lain, lalu Anda membunuh dan merusak tempat ibadahnya, maka saya tak setuju dengan itu. Apabila ada orang lain tak benar maka dialog saja dengan dia dan tak usah melakukan kekerasan atau mengeluarkan fatwa sesat. Jika Anda menyakiti orang lain atau merusak tempat ibadah orang lain, maka orang akan benci terhadap kita, dakwah Islam jadi dakwah kebencian.

Tapi faktanya ada kelompok berdakwah dengan tindakan ke-kerasan?

Ya tapi itu malah didukung dan dipertahankan, padahal se-benarnya itu yang salah. Saya bilang kelompok yang kuat yang jadi persoalan. Jika itu keputusan MK, ya lantas bagaimana.

Kebebasan berkeyakinan masih bermasalah?Bukan lagi bermasalah tapi memang benar-benar berma-

salah, kenapa hanya lima agama saja yang diakui. Ketuhanan yang Maha esa itu kan berasal dari Bumi Pertiwi, ajaran nenek moyang kita yang disebut aliran kebatinan atau kejawen, itu asli dari Indonesia. Islam, Kristen, Hindu, dan Budha itu kan pen-datang, tapi kenapa hanya pendatang yang diakui. Ajaran asli nenek moyang kita sendiri seperti aliran kebatinan hingga seka-rang tak diakui dan dihargai, padahal mereka pribumi. Semen-tara pendatang dibiarkan masuk dan berkembang bahkan mer-eka menindas orang pribumi. Ini suatu keanehan, jika mereka

memiliki anak maka tak diakui sebagai bangsa Indonesia. Anda diminta ikut salah satu agama yang benar.

Kita juga kerap mendengar fatwa aliran sesat, apa pendapat Anda?

Karena yang mengeluarkan fatwa itu yang didukung pemer-intah, sang pemilik kekuasaan. Aliran sesat dalam sejarah Islam itu sangat banyak tapi itu jalan saja. Kecuali mereka melaku-kan tindakan kriminal, itu persoalan lain. Atau ada persoalan perilaku pergaulan bebas, itu juga persoalan lain dan itu tak bisa dibiarkan karena bertentangan dengan moral kebangsaan kita. Tapi selama mereka melakukan kebaikan apalagi kebaikan un-tuk kehidupan manusia biarkan saja. Sekarang ini kita bukan berdialog otak, tapi berdialog otot.

MUI atau pemerintah tak berhak memfatwakan aliran sesat?Ya mereka tak berhak dong, ukurannya apa sesat dan tak se-

sat, apakah yang ada pada dirinya, atau apa yang selama ini di-pegang oleh umat. Banyak pemikiran-pemikiran baru sekarang dianggap sesat, misalnya Jaringan Islam Liberal. Apa barometer kebenarannya, apalagi jika kembali ke Ahmadiyah. Ahmadiyah itu melakukan salat, puasa, dan haji, sama dengan kita tapi me-mang ada beberapa ayat Al-Quran yang diubah tapi kita berdia-log atau berdiskusi saja, ngapain dipenjarakan.

Bagaimana sikap kita jika ada fatwa aliran sesat, perlu diteri-ma atau tidak?

Seharusnya yang berfatwa terlebih dahulu menjelaskan kepada umat apa makna fatwa itu, karena umat kita belum mengerti fatwa. Fatwa dianggap keputusan yang mengikat lay-aknya keputusan seorang hakim padahal fatwa itu tak mengikat, hanya mengikat pada orang yang memfatwakan. Misalnya MUI

Page 14: Majalah Dinamika Edisi 6

1�

))) Wawancara Khusus

DinaMika1� Edisi: 0�/Thn. IV/2010

PENGHARGAAN

memfatwakan rokok haram tapi bagi saya tidak. Mahasiswa mengucapkan selamat Natal haram, menurut saya tidak.

Bagaimana perlindungan hukum bagi aliran kebatinan atau kelompok minoritas?

Seharusnya kita tak bicara tentang mayoritas dan minoritas, tapi setiap individu mendapatkan hak dan perlindungan yang sama. Hak asasi itu bukan pemberian dari negara tapi hak yang ada pada setiap individu, dan negara berkewajiban melindungi hak itu. Jika sekiranya kelompok mayoritas menindas kelompok minoritas maka negara harus melindungi orang yang ditindas dan menindak orang yang melakukan penindasan. Aliran kebati-nan tak dilindungi dan harus masuk pada salah satu agama yang diakui. Mereka terancam karena agamanya ilegal sebab ukuran-nya undang-undang negara. Di luar agama yang lima maka di-anggap ilegal, maka baru diakui jika masuk salah satu agama yang diakui.

Tapi faktanya tak demikian?Jika faktanya begitu kita patut bertanya siapakah sesungguh-

nya yang salah. Di negara kita ini tak ketahuan lagi mana yang salah dan benar. Tadi saya bilang kebenaran itu ukuranya bagi mayoritas atau orang yang memegang kekuasaan. Akhirnya, ke-benaran yang ada pada kita, kebenaran preman.

Bagaimana menyikapi perbedaan agar tak menimbulkan kon-flik?

Misalnya ada kelompok kecil yang berbeda dengan yang um-umnya, ya dialog saja dengan mereka, mengapa Anda begini, apa makna ajarannya. Bisa tidak dia menjelaskan, jika tak bisa maka perlu ada kebijakan. Yang membuat aturan salah adalah pihak yang mayoritas.

Penyebab konflik bukan karena pemahaman yang dangkal?Ya karena masyarakat sudah memiliki kriteria yang benar,

jika berbeda dengan yang ini maka dianggap salah. Konflik bisa muncul juga karena ada motivasi ingin menghancurkan Islam dari dalam, maka dibikinlah hal-hal yang aneh lalu ada kecaman di mana-mana, itu jika pendekatannya politis. Tapi jika pendeka-tannya intelektual bisa dialog ada yang berbeda ya silakan saja,

yang penting tak kriminial. Jika ada orang yang tak setuju den-gan saya silahkan datang kepada saya, saya di luar dicaci maki sudah biasa.

Berarti penyebabnya karena pendekatannya salah?Ya salah pendekatan saja, yang ini melihatnya dari sini, dan

yang itu melihatnya dari situ. Para ulama fiqih saja berbeda pendapat, apalagi filsafat dan tasawuf itu bermacam-macam perbedaanya. Ukuran benar dan salah itu apa, itu perlu dilurus-kan. Menurut saya dia tak salah sejauh tak melakukan tindakan kriminal atau kejahatan.

Bagaimana agar tercipta keharmonisan umat beragama?Terutama bagi orang yang tahu harus menjelaskan dan ber-

sikap terbuka serta membina umat. Sekarang orang ramai-ramai sudah menjelaskan jihad, apakah sama dengan teroris atau tidak. Umat harus dididik secara cerdas dan tak ada cara lain, pendi-dikan harus diarahkan kepada Islam itu sebagai agama rahmat dan kasih sayang bagi semua, itu dianggap sebagai toleransi dan saling menghargai pendapat.

Saran Anda kepada pemerintah dalam menciptakan keruku-nan umat beragama?

Pemerintah harus memfasilitasi dialog yang terbuka dan mendukung kajian-kajian toleransi beragama. Saya kira itu ha-rus masuk dalam kurikulum pendidikan seperti kurikulum pen-didikan antikorupsi, itu harus difasilitasi pemerintah. Setelah difasilitasi pemerintah, kemudian pemerintah menindak siapa saja yang melakukan tindak kekerasan. Karena hal itu melang-gar hak asasi seseorang. Tapi bagi orang yang tak tahu, men-ganggap jihad itu sama saja dengan teroris. Mereka membunuh orang dianggap jihad dan nanti masuk surga. Itu karena mereka salah paham atau memang sudah frustasi hidupnya, jadi tak ta-kut mati.

Menurut saya seharusnya agama sebagai jembatan untuk menciptakan saling kasih sayang, apapun ajarannya dan ke-percayaannya jadikan agama untuk berbuat baik antar sesama. Kebenarannya serahkan kepada Tuhan, nanti ia masuk surga atau neraka itu bukan urusan kita. Yang penting Anda memiliki keyakinan untuk menanamkan investasi kebaikan sesama manu-sia, yang dalam Islam disebut amal shaleh. Semakin banyak kita menanamkan investasi kebaikan, maka orang lain akan menilai positif diri kita. Pengakuan diri kita itu berasal dari orang lain, bukan dari kita sendiri. Sekarang kita tak begitu, kita tak mena-namkan investasi kebaikan, tapi malah menanamkan investasi kebencian kepada orang lain. []

Akhwani Subkhi

Seharusnya kita tak bicara tentang mayoritas dan minoritas, tapi setiap individu mendapatkan hak dan perlindungan yang sama

Page 15: Majalah Dinamika Edisi 6

1�

PENGHARGAAN

1�DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

CeNDeKIAWAN Muslim yang juga mantan Rektor UIN Jakarta dua periode (1998-2002, 2002-2006) dan kini Direktur Sekolah Pascasarjana, Prof Dr Azyumardi Azra, menerima penghargaan Commander of the Order of the British Empire (CBe Award) atau “Panglima Kerajaan Inggris” dari Ratu Inggris elizabeth II. Penghargaan CBe untuk Azyumardi Azra diberikan di kediaman resmi Duta Besar Inggris di Jalan Teuku Umar 72 , Jakarta, oleh Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Martin Hatfull, Selasa, 28 September 2010. Dalam pemberian penghargaan tersebut hadir sejumlah pejabat pemerintah Indonesia serta tokoh lintas agama.

Penghargaan diberikan karena Azra dinilai berjasa dan memberikan kontribusi penting dalam membangun hubungan baik antaragama di tingkat internasional, khususnya antara Indonesia dan Inggris. Ini terutama ketika ia menjadi Ketua Bersama UK-Indonesia Islamic Advisory Council (Dewan Penasehat Islam Inggris-Indonesia) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Tony Blair pada Maret 2006. Dewan Penasehat ini aktif dalam menyelenggarakan berbagai program, baik di Inggris maupun Indonesia dalam rangka memperkuat dan memberdayakan hubungan yang damai baik di antara kaum Muslimin sendiri maupun dengan umat-umat beragama lainnya.

“Penghargaan (CBe Award) tersebut tentu bukan hanya kehormatan besar bagi saya, tetapi juga bagi UIN Jakarta dan umat Islam Indonesia yang selalu berusaha mengembangkan Islam washatiyyah, yang damai dan toleran, sehingga dapat menjadi model pada tingkat global,” kata Azra kepada Dinamika sebelum menerima penghargaan di ruang kerjanya, akhir September 2010.

Menurut Azra, pada 7 Juni 2010, ia dikontak dan diminta kesediaan oleh Duta Besar Inggris Martin Hatfull untuk diusulkan kepada Ratu Inggris menerima CBe Award. Lalu pada 27 Juni 2010 Ratu Inggris menyetujui, dan pada 27 Agustus 2010 pihak Kedubes Inggris menyiapkan proses pemberian penghargaan tersebut yang dilakukan pada 28 September 2010.

Menurut Martin, Azra dipandang berdedikasi memajukan pemahaman antar umat beragama selama bertahun-tahun. “Pemerintah Inggris menyadari bahwa tugas tersebut sangatlah penting dalam mendorong hubungan yang lebih baik lagi di antara agama-agama besar yang ada di dunia,” katanya.

Azyumardi Azra merupakan orang pertama Indonesia yang menerima penghargaan yang sangat prestisius ini. Selain itu, Azra juga orang pertama yang mendapat penghargaan CBe yang berasal dari negara bukan Persemakmuran (Commonwealth) - negara dan wilayah yang dulu pernah dikuasai Kerajaan

Inggris. Penerima CBe Award lain untuk 2010 adalah Dan Sten Olsson (Inggris) dalam bidang ekonomi, Giuseppe Orsi (Inggris) dalam bidang industri pertahanan, dan Prof Dr Jurgen Karl erich Schlaeger (Jerman) dalam bidang hubungan Anglo-Jerman.

Kerajaan Inggris sejak 1917 aktif memberikan penghargaan kepada warga sipil dan militer, khususnya bagi Inggris dan negara-negara Persemakmuran, yang berjasa dalam berbagai bidang. Penghargaan tersebut dimulai semasa George Frederick ernest Albert memangku jabatan sebagai Raja Inggris kelima (George V). Bentuk penghargaan dibagi dalam lima kelas atau tingkat, yakni Knight Grand Cross of the Order of the British Empire (GBe), Knight Commander of the Order of the British Empire (KBe), Commander of the Order of the British Empire (CBe), Officer of the Order of the British Empire (OBe), dan Member of the Order of the British Empire (MBe).[]

Nanang Syaikhu

CBE Award untuk Azyumardi Azra

Azyumardi Azra didampingi keluarga sesaat setelah menerima penghargaan Commander of the Order of the British empire dari Ratu Inggris Elizabeth II di Kediaman Resmi Duta Besar Inggris untuk Indonesia Martin Hathful.

Page 16: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus

DinaMika1� Edisi: 01/Thn. IV/2010

Seputar Kampus

Membuat Daur Ulang Kertas, Menyelamatkan Bumi?

Di kampus UIN Jakarta, Kelompok Pecinta Alam (KPA) Arkadia, membuat sebuah inspirasi baru

bagaimana sampah kertas didaur-ulang hingga menjadi kertas baru yang berguna. Hasilnya memang tak terlalu sempurna. Namun, cara itu setidaknya dapat mengu-rangi tumpukan sampah kertas sekaligus menyelamatkan lingkungan dari anca-man limbah sampah organik itu.

Menurut Samsul Umar, staf Arkadia, sampah-sampah organik sebenarnya san-gat mudah dimanfaatkan kembali. Selain dapat dijadikan kompos atau media ta-nam, sampah organik seperti kertas juga bisa disulap menjadi kertas baru yang ber-guna. “Di lingkungan kita pasti banyak sampah kertas. Nah, jika didaur-ulang, tentu akan bermanfaat seperti untuk menulis atau sebagai alat pembungkus,” ujarnya saat ditemui DINAMIKA di tem-pat workshop peragaan kertas daur ulang di lapangan Student Center, Selasa, 8 Juni 2010.

Namun, kata dia, pemanfaatan kem-bali kertas bekas tak semata untuk tujuan ekonomis, tetapi yang paling penting

adalah ikut serta menyelamatkan bumi. Dengan mendaur-ulang kertas, misalnya, hal itu berarti dapat mengurangi pene-bangan pohon sebagai bahan baku utama kertas. “Bayangkan, jika pohon banyak ditebangi, bukan saja hutan menjadi gun-dul tapi bumi juga kian panas,” dalih ma-hasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora semester akhir ini.

Karena itu, agar bumi terselamatkan, sejumlah langkah penghematan peng-gunaan kertas dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, setiap mencetak sedapat mungkin menggunakan kertas di kedua sisi (timbal balik) atau kertas bekas. Kedua, menggunakan kertas daur ulang, dan ketiga memanfaatkan alat elektronik (digital file) seperti komputer dan internet baik untuk kepentingan surat-menyurat (e-mail) maupun penyimpanan arsip.

Untuk penggunaan kertas hasil daur ulang, Samsul menyarankan agar tak buru-buru dulu membeli di toko kertas yang belakangan banyak dijual. Sebab, pembuatan daur ulang kertas dapat di-lakukan sendiri secara mudah dan dengan

alat sederhana.Dia menjelaskan, beberapa cara un-

tuk membuat daur ulang kertas itu dapat dilakukan sebagai berikut. Siapkan bah-an-bahan yang dibutuhkan, seperti papan triplek kain tipis, screen (biasa digunakan sebagai alat menyablon) dengan kerapat-an 36 atau 38 berukuran 25 x 25 centi-meter atau 35 x 45 centimeter, rakel (alat perata), blender, bak besar berukuran 60 x 70 centimeter atau ember, kertas-lertas bekas (limbah), pewarna alami atau buat-an, pemutih, dan lem kayu.

Langkah pertama dalam pembuatan kertas daur ulang, kertas bekas seperti koran, hvs berbagai ukuran, atau karton terlebih dahulu disobek-sobek kecil dan direndam dalam air selama sekitar dua hingga empat jam (bergantung jenis ker-tas, semakin tebal semakin membutuh-kan waktu lama perendaman). Untuk memperoleh hasil kertas baru yang baik, rendaman kertas juga dapat dilakukan dengan blender hingga halus dan menjadi bubur (pulp) dengan perbandingan 1 gelas kertas dan 3 gelas air. Blender juga sekitar satu setengah sendok teh lem kayu seb-

ANDA pusing dengan tumpukan kertas yang tak berguna? Tak perlu dibuang ke tong sampah atau dijual kiloan dulu. Sebab, kertas tak berguna akan menjadi barang bernilai ekonomis jika berada di tangan orang yang kreatif. Bahkan, ikut pula menyelamatkan bumi.

Tim Arkadia tengah memeragakan proses pembuatan kertas daur ulang (kiri) dan hasil pembuatan kertas daur ulang (kanan).

Page 17: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus Seputar Kampus

1�DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

agai perekat. Langkah kedua, masukkan bubur kertas ke dalam bak persegi berisi air dengan perbandingan 15 liter air dan 3 liter bubur kertas.

Langkah ketiga, masukkan screen yang sudah dibingkai persegi (ukuran disesuaikan) ke dalam bak hingga teren-dam dan angkat (tiriskan). Pastikan bubur kertas merata di atas permukaan screen. Setelah itu, siapkan dan pasang papan triplek yang sudah dibasahi air dengan kemiringan 45 derajat. Tempelkan screen pada papan tadi lalu gosok beberapa kali dengan rakel di atas permukaan screen hingga airnya turun. Jika sudah selesai je-mur dan keringkan. Kemudian kertas pun siap dipergunakan.

Ulangi semua langkah di atas dengan cara yang sama untuk memperoleh jum-lah kertas daur ulang yang diinginkan. Hanya saja, hasil tersebut kemungkinan kurang optimal, misalnya tekstur dan permukaan kertas yang tidak merata atau halus. Jika ingin menghasilkan kertas berwarna, dapat juga diberi zat pewarna alami seperti kunyit (kuning), daun jadi (merah), gambir (hitam), daun pandan (hijau), dan pacar cina (merah muda).

“Jadi, caranya memang praktis dan mudah meskipun menggunakan alat sederhana,” kata Samsul seraya memper-lihatkan beberapa kertas hasil daur ulang yang dibuat tim Arkadia.

Meski demikian, kertas daur ulang

yang dibuat tim Arkadia hingga kini ti-dak diproduksi secara massal, apalagi untuk kepentingan komersil. Tim Arka-dia hanya ingin memperlihatkan kepada publik bahwa dengan cara seperti itulah kertas-kertas yang tak berguna di kantor, sekolah, dan bahkan di rumah dapat did-aur-ulang. “Daripada dibuang, lebih baik dimanfaatkan lagi sambil berkreasi. Di samping itu, juga untuk menyelamatkan bumi yang kini sudah panas akibat hi-langnya sebagian pohon karena ditebang maupun dibalak,” seloroh Samsul tanpa bermaksud mempromosikan Arkadia, lembaga kemahasiswaan yang concern ter-hadap lingkungan.

Nanang Syaikhu

Berbenah Diri Demi MahasiswaGedung Akademik

Gedung Akademik UIN Jakarta kini telah berbenah diri. Ruan-gan yang sebelumnya terkesan

padat dan menyesakkan itu ‘disulap’ menjadi terhampar luas, nyaman, megah dan indah. Memasuki gedung ‘baru’ itu udara segar dari pendingin ruangan segera menyapa. Sekilas mata meman-dang, tata letak gedung itu memang berubah total.

Kini, di bagian depan gedung, pas Anda masuk, ada meja resepsionis. Ma-suk lebih dalam, berderet beberapa larik kursi tunggu yang empuk. Di pinggir, dekat jendela, berjejer standing com-puter layar sentuh untuk registrasi on-line. Berbagai tambahan fasilitas dan perubahan itu merupakan perwujudan dari cita-cita UIN Jakarta menjadi world class university dan ikon universitas ke-banggaan Muslim Tanah Air.

“Dengan perubahan ini, kita ber-harap dapat mewujudkan cita-cita UIN Jakarta menjadi universitas kelas dunia, dan menjadi pusat ikon kebanggan Mus-lim Indonesia,” kata Kepala Biro Admin-istrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK) Drs Abd Shomad MA kepada DINAMIKA saat ditemui di Ruang ker-

Gedung Akademik tampak dari depan.

Page 18: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus

DinaMika1� Edisi: 01/Thn. IV/2010

Seputar Kampus

janya, beberapa hari lalu.Shomad menambahkan, untuk men-

capai cita-cita UIN Jakarta menjadi 500 top universitas dunia, dibutuhkan pe-rubahan yang konsisten. Tidak hanya pada bidang akademis, tapi juga pada dukungan administrasinya. Masih kata Shomad, Bidang Akademik UIN Jakarta akan terus memberikan layanan terbaik dan memfasilitasi mahasiswa sememuas-kan mungkin. Dengan demikian, perjala-nan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dapat berjalan sesuai harapan seluruh sivitas akademika.

Kini, suasana yang lebih tertib dan nyaman, bisa disaksikan saat pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) dan pendaf-taran ulang penerimaan mahasiswa baru melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) periode 2010-2011. “Mereka lebih nyaman registrasi melalui standing komputer layar sentuh. Fasilitas ini merupakan salah satu ben-tuk administrasi akademik sejak gedung itu direnovasi,” papar Shomad. Gedung ini diresmikan penggunaannya kembali oleh Menteri Perdagangan RI, Dr Mari elka Pangestu, pada 6 Januari 2010. Peresmian ditandai pemotongan pita. Mendampingi Mari Pangestu, Rektor UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hi-dayat dan Walikota Tangerang Selatan, HM Saleh MT. Dalam kesempatan itu,

Mendag menyerahkan bantuan 24 unit komputer untuk keg-iatan di Bagian Akademik.

Pelayanan di Gedung Aka-demik, kini melalui dua jalur. Pertama, Front Office. Di sini petugas selalu stanby untuk membantu para mahasiswa dan calon mahasiswa jika menemukan kesulitan dalam admin-istrasi atau penggunaan standing komputer layar sentuh, maupun kesulitan lain yang berkaitan dengan akademik.

Di Front Office juga disediakan kursi tunggu. Agar pendaftar tidak capek be-diri dan mengantre.

Setelah mahasiswa dan calon maha-siswa selesai registrasi administrasi (men-gisi Kartu Sudi Mahasiswa,perbaikan ni-lai dan keperluan lainnya), mereka bisa langsung pergi melalui pintu keluar yang nyaman dan teratur. Ini yang biasa dise-but Back Office.

Di gedung ini juga ada dua ruan-gan lain yang tertata rapi, yaitu bagian Pendidikan dan Pengajaran (Dikjar), dan Kepala Sub Bagian (Kasubbag). Di bagian Dikjar bertugas mengolah semua data atau nilai mahasiswa dan calon mahasiswa yang masuk. Jika ada keke-liruan angka nilai, misal, mereka bisa langsung menemui pegawai di bagian Dikjar. Bagian Kasubbag bertugas me-nerima mahasiswa dan calon mahasiswa

Interior gedung akademik dilengkapi ruang tunggu yang nyaman.

saat pendaftaran maupun urusan admin-istrasi lainnya.

Dengan perbaikan dan pengaturan tata letak ruangan akademik ini, diharap-kan ada semangat baru yang mengangkat prestasi kampus dan dapat memberikan pelayanan secara maksimal. “ Jika ge-dung suatu universitas bagus, tapi pelay-anannya belum maksimal, berarti uni-versitas itu belum maju,” tambahnya.

Mahasiswa dan calon mahasiswa merupakan konsumen. Jika mereka puas dengan pelayanan yang diberikan, akan makin percaya pada mutu kampus. Den-gan pelayanan yang memuaskan, UIN Jakarta akan menjadi universitas yang bermutu tinggi dan dipercaya oleh ma-hasiswa, masyarakat, dan dunia. Salah satu layanan kami juga adalah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk menghimpun donasi beasiswa bagi ma-hasiswa berprestasi dan perlu dukungan dana. “Tapi mahasiswa harus tetap kon-sisten dengan tujuan utama; menimba ilmu di UIN Jakarta,” tegas Shomad. [] Abdullah Suntani

“Mereka lebih nyaman regis-trasi melalui standing komputer layar sentuh. Fasilitas ini meru-pakan salah satu bentuk admin-istrasi akademik sejak gedung itu direnovasi,”

Mahasiswa tengah mengisi KRS secara online melalui computer standing.

Page 19: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus Seputar Kampus

1�DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

Seperti gedung fakultas lain di UIN Jakarta, arsitektur gedung FKIK mempertahankan nuansa Timur

Tengah dan Islami. Masuknya unsur Je-pang modern menjadikan gedung itu berbeda dengan bangunan fakultas lain. Menurut Pembantu Rektor Bidang Aka-demik Dr Jamhari Makruf, pihaknya menginginkan gedung FKIK sesuai den-gan gedung eksisting, yakni berupa desain Timur Tengah yang dilengkapi dome seb-agai ciri khas nuansa Islami.

“Tapi ada pula unsur modern, teruta-ma pada desain interior yang dikombinasi dengan nuansa Jepang modern. Selain itu, kami juga meminta agar dari segi maintenance lebih mudah dan murah,” kata Jamhari yang dalam proyek ini diper-caya menjadi Direktur Implementation Project Unit Japan Bank for International Cooperation (JBIC).

Nuansa Islami gedung FKIK ditonjol-

kan melalui panel-panel GRC yang men-dominasi fasade bangunan. Di samping itu, penggunaan material yang didomi-nasi panel GRC juga menjadikan sirkulasi udara serta penerangan alami di gedung ini terpenuhi.

Penggunaan panel-panel GRC yang bercorak Islami tersebut, menurut Co Team Leader Project Management Engineer-ing Service (PMeS) Ir Denny Iskandar, juga berfungsi sebagai penahan cahaya matahari. Mengingat kondisi lahan yang menyebabkan bangunan ini memanjang dari utara ke selatan, berbeda dengan bangunan umumnya di Indonesia yang memanjang dari arah timur ke barat. “Su-paya bila siang atau sore hari tidak terlalu panas,” dalilnya.

Dari segi konsep desain, gedung FKIK terdiri dari dua sayap bangunan. Pertama, sayap utara, yakni fakultas ter-masuk di antaranya ruang administrasi,

ruang perpustakaan, ruang kuliah, dan ruang problem based learning (PBL). Kedua, sayap selatan yang terdiri dari ruang labo-ratorium. Sedangkan pusat desain terletak pada pusat lingkar atrium, dan di sini ter-letak sirkulasi utama dan titik pertemuan.

Ruang perkuliahan FKIK dibuat me-nyesuaikan metode pengajarannya, yakni PBL. Perkuliahan lebih banyak dilakukan dengan diskusi. Karena itu ruang yang dibutuhkan berukuran kecil yang dapat menampung kapasitas 15-20 orang untuk berdiskusi dan ada ruang untuk menga-wasi yang sedang berdiskusi. Namun, ruang tersebut tetap bisa menjadi ruang yang besar atau ruang yang fleksibel. Hal itu diterjemahkan dalam arsitektur oleh perencana dengan cukup baik.

Dengan desain seperti itu, penampi-lan gedung FKIK berbeda dengan bangu-nan fakultas lain, termasuk jika diband-ingkan dengan gedung Fakultas Psikologi

MAU melihat perkawinan gaya arsitektur Timur Tengah dan Jepang modern dalam satu gedung? Datanglah ke Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Jakarta. Terletak di Kampus II, Jalan Kertamukti, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Perpaduan arsitektur dua peradaban besar itu, menampak-kan sebuah bangunan yang berkesan Islami, megah, dan modern.

Memadukan Arsitektur Jepang dan Timur Tengah

Gedung FKIK tampak depan, terlihat megah dan modern.

Page 20: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus

DinaMika20 Edisi: 01/Thn. IV/2010

Seputar Kampus

dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) yang belum lama selesai. Gedung FKIK tampak lebih modern dan dinamis. Belum lagi, ditambah luas lahan kosong yang dibiarkan menjadi taman membuat lingkungan di sekitar gedung FKIK tam-pak asri.

Dari segi warna eksterior bangunan, gedung FKIK tak banyak berbeda dengan bangunan eksisting yakni menggunakan warna bernuansa beige. Sedangkan warna interior bangunan berbeda-beda tiap ru-angan. Cukup banyak warna yang digu-nakan di proyek ini, baik ada warna dind-ing maupun lantai.

Yang unik dari gedung FKIK adalah adanya kolam air pada lansekap bangu-nan. “Kami memberikan masukan ke-pada owner, agar lansekap diberi kolam air yang berfungsi untuk konservasi air pada musim hujan. Jadi air hujan tidak dibuang begitu saja. selain itu juga bisa di-gunakan untuk duduk-duduk para maha-siswa di tepi kolam. Owner setuju, tetapi masalah akan timbul bila datang musim kemarau,” ungkap Projec Manager PT PP Ir Nugraha Adi S.

Nugraha tak kehilangan akal, untuk mengantisipasi, pihaknya mengusulkan untuk memanfaatkan saluran pembuan-gan limbah rumah tangga di tepi pagar lokasi proyek untuk didaurulang, agar air limbah yang sudah dijernihkan bisa digunakan pada kolam air di musim ke-marau. Selain itu, untuk mengendalikan banjir juga dibuat resapan air seluas

1.200 meter persegi sedalam 2 meter. Resapan air pent-ing dan merupakan salah satu syarat yang memudahkan dalam pengurusan Ijin Mendirikan Bangungan (IMB).

Dengan ge-dung yang baru, diharapkan FKIK menjadi salah satu ikon penting dalam dunia kedokteran di Indonesia. Apa-lagi jika sarana dan prasarana lain yang terkait seperti adanya Teaching Hospital, harapan besar itu akan terwujud. Hanya saja, pembangunan Teaching Hospital ma-sih terkendala soal lahan.

Namun, bukan tak ada jalan, toh sela-ma ini FKIK juga telah menjalin kerjasa-ma dengan sejumlah rumah sakit daerah. Sebagai alternatif, dalam sambutannya di UIN Jakarta beberapa waktu lalu, Men-teri Agama RI Drs Suryadharma Ali MSi, berjanji akan memberikan Rumah Sakit Haji di Pondok Gede kepada FKIK UIN Jakarta. “Paling tidak fungsinya dapat di-gunakan oleh UIN sebagai wadah praktik mahasiswa Fakultas Kedokteran,” kata mantan Menteri Koperasi dan UKM ini.

Sementara itu Dekan FKIK Prof Dr dr MK Tadjudin SP.And mengharap-

kan melalui sarana dan prasarana yang lengkap cita-cita FKIK tercapai. “Kami berupaya mendidik para mahasiswa men-jadi dokter yang mempunyai kompetensi profesi yang baik tetapi juga mempraktik-kan ilmu kedokteran bernapaskan islami antara lain dengan bersikap baik terhadap pasien. Kami ingin menanamkan nilai bahwa melayani kesehatan masyarakat

adalah ibadah,” ujarnya. Pemban-

gunan ge-dung FKIK secara resmi dimulai pada 15 Januari 2009 dengan p e m a s a n g a n tiang pancang pertama dilaku-kan oleh Men-teri Agama RI (kala itu) Maf-tuh Basyuni. Bagi Maftuh pembangunan FKIK bermakna ganda yaitu un-tuk menyiapkan sumber daya ma-nusia di bidang kesehatan yang memiliki integri-tas keilmuan dan keislaman tinggi, serta penyediaan layanan kesehat-an bermutu bagi masyarakat.

G e d u n g FKIK dibangun sebagai bagian dari imple-

mentasi kerjasama UIN Jakarta dengan Pemerintah Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang ditandatangani pada 31 Maret 2005. Pem-bangunan gedung dan asrama FKIK itu menelan biaya sebesar Rp 81,9 miliar. Bangunan seluas 15.000 meter persegi yang berdiri di atas lahan seluas 25.000 meter persegi itu, mampu menampung 1.000 mahasiswa.

Kini pembangunan gedung sudah se-lesai. Setelah selama lima tahun ruang perkuliahan dan administrasi FKIK ter-pisah-pisah, sebentar lagi, semua kegiatan baik perkuliahan, administrasi, dan prak-tikum akan dipusatkan di satu gedung, yaitu di gedung FKIK baru yang megah, modern, dan bernuansa Islami. []

Hanifudin Mahfuds

1. Tangga darurat 2. Auditorium 3. Taman dalam.

12

3

Page 21: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus Seputar Kampus

21DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

Sang juru foto tak lain adalah seo-rang fotografer amatiran. Ia sedang belajar memotret suatu objek ter-

tentu di sebuah taman. Kegiatan itu dila-kukannya pada acara pelatihan fotografi yang diadakan Bagian Sistem Informasi UIN Jakarta di Cibulan, Cisarua, Jawa Barat. Pelatihan yang digelar selama dua hari (14-15 Juli 2010) tersebut diikuti oleh 40 peserta. Sementara sang pemandu foto berasal dari unit kegiatan mahasiswa (UKM) Kalacitra, Andikey Kristianto dan Miladi Ahmad ditambah Drs Nurul Jamali MSi dari Tifany Foto Studio.

Menariknya, para peserta adalah para pegawai UIN Jakarta yang bekerja di sejumlah unit. Mereka sengaja diajari teknik-teknik fotografi agar terampil me-motret di sela-sela kesibukannya sebagai tenaga administratif. “Jika ada kegiatan

di setiap unit, para pegawai itu paling ti-dak siap menjadi fotografer,” ujar Drs Nurul Jamali MSi, Kepala Bagian Sistem Informasi.

Sayangnya, untuk belajar fotografi ter-sebut, tak semua peserta memiliki kamera canggih seperti SLR (single lens reflex) yang kini lagi ngetren di kalangan fotografer profesional.

Maklum, selain harganya lumayan mahal, kamera jenis itu masih awam di kalangan sebagian peserta. Meski de-mikian, tak berarti acara pelatihan foto-grafi di kawasan berhawa dingin itu men-gurangi minat peserta belajar fotografi. Mereka justru terlihat antusias sekalipun harus menggunakan kamera poket. Bah-kan sebagian di antara mereka justru tak membawa kamera sama sekali.

“Ini pengalaman pertama bagi saya

belajar memotret. Ternyata, memotret itu asyik juga ya,” ujar Rusdi Tumanggor, pegawai di bagian administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pengala-man yang sama diakui Syamsuri, pega-wai administrasi di bagian umum gedung Rektorat. Bahkan bagi PNS yang mantan Komandan Satpam kampus ini, pernah berandai jika kegiatan fotografi dapat menjadi “sekoci” dirinya seusai pensiun kelak.

Menurut Nurul Jamali, kegiatan me-motret sebenarnya dapat dilakukan siapa saja. Apalagi sejak era kamera digital ba-nyak muncul di pasaran dan makin prak-tis penggunaannya. Berbeda dengan era film dulu, selain riweuh juga perlu biaya banyak untuk sekadar melihat hasilnya. Namun, untuk sampai kepada tingkat pengetahuan dasar mengenai cara-cara memotret serta seni fotografi, tampaknya tak semua orang dapat memahami. Kare-na itu, kata pria yang mengaku berprofesi sebagai fotografer ketimbang pegawai, ini keterampilan dasar memotret perlu dimi-liki sehingga dapat menghasilkan karya seni yang indah, baik untuk kepentingan dokumentasi maupun publikasi.

“Memotret itu tak lain melukis dengan cahaya. Semakin bagus cahaya yang tere-kam dalam kamera, semakin bagus pula

SeORANG fotografer amatiran siap membidikkan kamera poket kesayangannya. Dan, klik! Kamera pun berhasil merekam objek yang dibidik. Namun, sayang, hasilnya tak terlalu memuaskan. Selain objek kurang fokus, cahaya yang masuk juga terlalu over sehingga menimbulkan warna bias. Karena tak puas, sang juru foto itu pun lalu kembali siap membidik. Kali ini ia coba mengatur beberapa fitur yang ada di kamera itu. Klik! Klik! Klik! Gambar diambil berkali-kali pada objek tadi dengan beberapa angle. Tak lama, sang juru foto tersenyum dan menarik nafas lega setelah hasil bidikkannya terlihat lebih baik dari sebelumnya.

Kala Pegawai Belajar FotografiPeserta workshop fotografi, menambah keterampilan pegawai.

Page 22: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus

DinaMika22 Edisi: 01/Thn. IV/2010

Seputar Kampus

hasilnya,” katanya berdalih. Soal pengetahuan cahaya inilah di antara teknik-teknik memotret yang jarang dikuasai oleh para fotografer amati-ran. “Karena itu jangan heran jika ha-silnya bias (over) atau malah buram,” kata Nurul Jamali, yang sudah meng-geluti dunia fotografi selama puluhan tahun ini.

Andikey menambahkan, keahlian memotret memiliki banyak teknik atau cara. Pengetahuan itu tak seka-dar pada kemampuan menggunakan fitur-fitur yang tersedia dalam ka-mera, melainkan juga kepiawaian ter-hadap penentuan point of interest dan pengambilan angel. “Banyak objek menarik yang mungkin dapat dijadi-kan sebagai angel, tapi karena kurang piawai bisa jadi momen itu terlewat-kan untuk direkam. Sebab, kriteria hasil foto yang bagus bukan saja pada ketajaman gambar atau fokusnya, ba-hkan juga sangat ditentukan pada pe-milihan angel tadi,” urainya.

Di kalangan jurnalis foto, men-urut Andikey, ketepatan memilih angel sangat ditekankan, baik pada pe-ristiwa berita biasa maupun human in-terest. Sebab, jika hal itu diabaikan be-rita foto bisa tidak membuat menarik untuk dilihat pembaca selain meng-

Tapi nanti dulu. Suasana seperti itu hanya dapat dinikmati di era 1970-an saat Situ Kuru belum ban-

yak terjamah tangan manusia. Sekarang, jangankan akan melihat lagi mahasiswa duduk bersender di kursi sambil mem-baca buku, danau yang bening pun sudah keruh dan bahkan kerap menimbulkan aroma tak sedap. Beberapa lahan di ping-giran danau bahkan kini sudah padat den-gan rumah penduduk.

Keindahan Situ Kuru tempo doeloe tak hanya dinikmati mahasiswa, warga pun ikut senang karena bisa memancing atau sekadar mencari udara segar.

“Dulu, para warga sekitar biasa me-nikmati semilir angin di tepian Situ Kuru sambil memancing,” ungkap Yusuf (51 tahun), warga setempat.

Ia juga bercerita, jika musim panas

SeMILIR angin berhembus dari hamparan air danau yang bening. Sementara suara gemericik air mengalir tenang tanpa henti. Di pinggiran danau, tepatnya di be-lakang kos-kosan di Jalan Pesang-garahan, sejumlah mahasiswa sore itu sibuk membaca buku sambil menikmati sejuknya semi-lir angin.

esankan tidak profesional. “Itulah sebab-nya mengapa, misalnya, para fotografer olahraga begitu tak henti membidikkan kamera ke arah pemain. Mereka seolah tak ingin melewatkan momen bagus saat para pemain beraksi di lapangan,” ujar mantan fotografer Okezone.com ini.

Pemilihan angel tak hanya dikenal di kalangan jurnalis foto media cetak. Bagi para fotografer wedding atau fotografer humas pun hal itu harus tetap menjadi pegangan. Banyak momen penting yang bisa diabadikan pada foto perkawinan, misalnya saat saling memasukkan cincin ke jari atau saling (maaf) berciuman. Se-mentara untuk dokumentasi kehumasan sang fotografer dapat mengambil angel saat-saat pejabat atau tamu sedang ekpre-sif, seperti tersenyum atau tertawa serta menggerak-gerakkan tangan.

Selama setengah hari, para peserta pelatihan fotografi itu lantas diminta praktik mengambil gambar untuk bebe-rapa angel. Objek yang direkam berupa pemandangan bebas, foto jurnalistik, dan foto dokumentasi. Lalu, layaknya foto-grafer profesional, mereka sibuk menen-teng kamera dan kemudian menyebar ke sejumlah lokasi dengan mata dan tangan siap membidik.[]

Nanang Syaikhu

Situ Kuru, kini mulai banyak dipenuhi bangunan.

Salah satu peserta tengah praktik memotret.

Page 23: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus Seputar Kampus

2�DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

Situ Kuru, kini mulai banyak dipenuhi bangunan.

Situ Kuru, Riwayatmu Kinidi Kecamatan Ciputat, Situ Bungur, di Kelurahan Pondok Ranji, Ciputat Timur, dan Situ Antap di Ciputat.

“Keempat situ itu keberadaannya kini sudah tak terlihat di peta bahkan tak terpantau satelit,” jelasnya. Kusparmadi mengaku prihatin dengan keberadaan situ-situ tersebut. Ke depan, ia berharap agar Pemkot Tangsel segera melakukan pendataan kemba gairan Dinas Bina Mar-ga Kabupaten Tangerang Yulianto men-gatakan, awalnya keberadaan situ-situ itu tidak terurus. Akibatnya, terjadi pendang-kalan dan oleh warga lalu dijadikan area permukiman.

Rektor UIN Jakarta Prof Dr Koma-ruddin Hidayat saat berdiaolog dengan Pejabat Walikota Tangsel HM Saleh MT dalam beberapa kesempatan sempat me-minta agar Situ Kuru dibenahi dan dikem-balikan fungsinya sebagai daerah resapan air. Harapan yang sama dikemukakan kembali saat berdialog dengan sejumlah anggota DPRD Kota Tangsel di kampus UIN Jakarta. “Kami meminta agar Situ Kuru dibenahi karena sekarang sudah banyak diambilalih sebagai permukiman warga,” katanya.

Tak hanya itu, UIN Jakarta melalui

juga ada di antaranya pegawai dan dosen UIN Jakarta.

Dosen Planologi Institut Teknologi Indonesia (ITI) Tangerang Kusparmadi mengatakan, di Kota Tangerang Selatan ini terdapat sembilan situ, yakni Situ Pamulang atau Tujuh Muara di Pamu-lang, Situ Kedaung di Pamulang, Situ Parigi di Pondok Aren, Situ Rawa Kutub di Serpong Utara, Situ Gintung di Ciren-deu Ciputat Timur, Situ Legoso (sekarang Situ Kuru) di Kelurahan Cempaka Putih, Ciputat Timur, Situ Rumpang di Keca-matan Ciputat, Situ Bungur di Kelurahan Pondok Ranji Kecamatan Ciputat Timur, dan Situ Antap di Ciputat.

“Dari sembilan situ yang telah kita in-ventarisir, empat di antaranya telah hilang keberadaannya,” kata Kusparmadi seperti dikutip Radar Banten (20/2). Dijelaskan Kusparmadi, keempat situ yang din-yatakan hilang itu masing-masing adalah Situ Kuru di Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Situ Rumpang

Lembaga Pengabdian kepada Masyara-kat (LPM) belum lama ini juga telah melayangkan surat permohonan serupa. Surat yang ditujukan ke Pemkot Tangsel, DPRD Tangsel, dan Balai Besar Kali Cili-wung dan Cisadane itu mendesak agar Situ Kuru segera dialihfungsikan kembali sebagai daerah resapan air dan taman wi-sata. “Kami ingin Situ Kuru seperti tahun 70-an dan kelak dibuatkan joging track untuk olahraga,” kata Dr Yayan Sopyan, Sekretaris LPM.[]

Nanang Syaikhu dan Ana Sabhana Azmy

tiba, tak sedikit warga dari luar yang datang ke Situ Kuru, seperti dari Ciputat, Kampung Sawah, dan Rempoa. Mereka dapat duduk-duduk sambil menikmati indahnya pemandangan situ dengan ke-jernihan airnya. Saking jernihnya pula, air Situ Kuru sering dimanfaatkan warga untuk mencuci beras atau mandi. “Bah-kan, dulu kalau sedang capek dan kehau-san, kami suka minum air situ langsung meski tidak setiap hari,” kenang Yusuf.

Situ Kuru berada persis di samping kampus UIN Jakarta yang dibelah Jalan Pesanggrahan. Luas danau semula men-capai sekitar lima hektar, namun kini telah menyusut hingga 7.500 meter persegi saja. Belum diketahui persis kapan sejarah situ tersebut dibangun. Tapi yang jelas, riwayat Situ Kuru kini semakin memprihatinkan. Selain sudah banyak yang diurug, tak se-dikit pula warga mendirikan bangunan berupa hunian dan tempat usaha. Ironis-nya, bangunan-bangunan itu didirikan tanpa izin yang jelas.

“Ada sekitar 30 bangunan yang berdiri tanpa surat izin,” kata Widya, Ketua RT 03/RW 03 Kelurahan Cempaka Putih. Ia menyebut, pemilik bangunan di kawasan itu tak hanya warga pendatang melainkan

Eceng gondok pun menjadi pemandangan lain di Situ Kuru.

“Dari sembilan situ yang telah kita inventarisir, empat di antaranya telah hilang keberadaannya,”

Page 24: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus

DinaMika2� Edisi: 01/Thn. IV/2010

Seputar Kampus

Ruang studio di lantai tiga gedung Fidikom sebenarnya tak besar-besar amat. Namun, ruangan itu

masih mampu me-nyimpan perangkat teknik siaran televisi, seperti editing, mix-ing, chargen, dan audio. Tak hanya itu, ruangan tersebut juga berfungsi sebagai ruang kontrol studio. Selain ruang untuk perangkat video dan audio, studio DnK TV dilengkapi dengan ruang produksi siaran berikut propertinya. Awal Maret 2010 lalu, DnK TV mulai resmi siaran. Meski tak ada peresmian secara khusus, siaran perdananya itu berlangsung lancar. Pimpinan fakultas dan sejumlah kru yang terlibat pun bergembira. Dan, sejak itu, DnK TV aktif menayangkan program-programnya secara berkala.

DnK TV merupakan televisi komu-nitas. Namun, ia juga berfungsi sebagai laboratorium bagi mahasiswa Fidikom, khususnya Jurusan Komunikasi dan Pe-

nyiaran Islam (KPI) serta Jurusan Jurnal-istik. Layaknya sebuah televisi komunitas, DnK TV jelas memiliki banyak keterba-tasan, baik dalam penggunaan kanal mau-pun jangkauan siarannya. Termasuk dalam hal ini adalah program-program siaran yang ditayangkan setiap harinya.

“Kita maklumi (DnK TV) ini bukan televisi komersial, tapi sekadar televisi komunitas sekaligus untuk praktikum mahasiswa,” kata Kepala Laboratorium Fidikom, Drs Tarmi MM, kepada DIN-AMIKA akhir 28 Juni lalu.

DnK TV mengudara di kanal 24 Ultra High Frequency (UHF) dan dengan daya jangkau siaran sekitar lima kilometer. Televisi itu on air setiap Senin hingga Ju-mat mulai pukul 12.00-14.00.

Menurut Tarmi, siaran DnK TV sudah mengantongi izin dari Kemenkominfo, Kemenkumham, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dengan izin itu DnK

TV memiliki hak siar hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Namun, menurut dia, untuk dapat on air secara berkala, produksi siaran DnK TV diakuinya masih banyak ken-dala, baik soal SDM maupun pendanaan. Maklum, media stasiun televisi termasuk padat modal dan padat karya. “Anggaran memang ada. Hanya saja angkanya tak mampu meng-cover ongkos produksi se-cara penuh, apalagi untuk dapat siaran rutin,” jelasnya.

Dalam praktik, DnK TV sebenarnya tak hanya diperuntukkan bagi kedua juru-san di atas. DnK TV juga dapat dipakai pada semua jurusan di Fidikom, terutama untuk penggunaan sebagai media dakwah. Hanya saja, berbeda dengan Jurusan KPI dan Jurnalistik, pada jurusan lain sangat sedikit pengenalan perkuliahan yang ter-kait dengan dunia broadcasting. Sebabnya, KPI dan Jurnalistik merupakan dua ju-rusan yang secara spisifik diarahkan ke dunia jurnalistik, khususnya media cetak dan elektronik.

Pembantu Dekan Bidang Akademik Fidikom Drs Wahidin Saputra MA me-nyatakan, penyediaan sarana praktik seperti DnK TV mutlak diadakan bagi mahasiswa. Hal ini untuk memberikan bekal tambahan agar mahasiswa memiliki pengetahuan ilmu komunikasi tak hanya secara teoritis tapi juga praktis sekaligus. Lebih dari itu kelak lulusan Fidikom me-miliki keterampilan memadai sehingga dapat diserap di pasar kerja dengan baik. “Harapan inilah sehingga Fidikom mem-fasilitasi belajar mahasiswa dengan berb-agai praktikum seperti studio DnK TV,” ujarnya.

Wahidin juga berharap, sesuai visinya, yaitu menjadikan DnK TV sebagai media informasi, komunikasi, dan edukasi yang mengedepankan nilai-nilai Knowledge, Piety, dan Integrity dalam mewujudkan masyarakat madani, DnK TV mampu menjadi saluran komunikasi yang dian-dalkan.

Ia juga menyarankan agar DnK TV dimanfaatkan mahasiswa dengan baik. Sebab, kehadiran DnK TV di antaranya untuk mencetak broadcaster andal dan pro-fesional.

“DnK TV merupakan stasiun televisi yang berorientasi pada siaran yang ber-nilai edukatif. Jadi, tidak menonjolkan banyak hiburan apalagi berupa tayangan negatif,” kata Kepala Produksi dan Pelak-sanan Harian DnK TV, Dedy Fahrudin.[]

Apristia Krisna Dewi

DnK TV, Tak Sekadar Televisi KomunitasTeLeVISI layar datar di sudut lantai dasar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom) siang itu tiba-tiba menjadi perhatian se-jumlah mahasiswa. Pandangan mereka tertuju pada sebuah acara talk-show yang saat itu sedang disiarkan. Tayangan itu tak lain berasal dari DnK TV, televisi komunitas milik Fidikom.

Mahasiswa tengah praktik studio DnK di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komuni-kasi.

Page 25: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus Seputar Kampus

2�DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

Peluang itulah yang ditangkap den-gan sangat baik oleh dosen Pro-gram Studi Agribisnis Fakultas

Sains dan Teknologi (FST), Dr elpawati. Bersama tim, elpa, demikian ia biasa di-sapa, memanfaatkan sampah tersebut un-tuk diubah menjadi pupuk kompos. Hasil-nya kini pupuk-pupuk hasil produksinya itu banyak diminati masyarakat sekitar kampus.

“Awalnya saya berpikir sayang banget jika sampah itu dibuang begitu saja. Bah-kan, hal itu juga sempat terpikirkan oleh teman-teman di gedung rektorat,” kata elpa.

Setelah muncul ide untuk memanfaat-kan sampah menjadi pupuk kompos, elpa lantas menyosialiasikan ide tersebut ke te-man-temannya di Dharma Wanita dalam berbagai kesempatan. Gayung bersam-but, pengurus Dharma Wanita setuju dan kemudian segera memisahkan sampah organik dan non-organik yang ada di se-tiap rumah.

Setelah itu, elpa mengatur program

pembuatan pupuk kompos atas nama Dharma Wanita. Kebetulan, saat itu di tahun 2009, ada mahasiswa yang tengah Kuliah Kerja Nyata (KKN) di seputar kampus yang kemudian diminta bantuan untuk mempersiapkan sejumlah program, seperti membuat lubang biopori, mem-buat tong sampah, menandai sampah organik dan non-organik, dan pembuatan pupuk kompos.

“Namun, dari program yang dilaku-kan pada KKN 2009 itu, yang diteruskan hanya satu yaitu pembuatan pupuk kom-pos,” katanya.

Selain membantu mempersiapkan program-program tersebut, para peserta KKN juga diminta membuat konsep rumah kompos. Sementara dana pembua-tan diperoleh dari pinjaman lunak Bank BRI senilai Rp 44.560.000 ditambah ku-curan tambahan dari UIN Jakarta sebesar Rp 5 juta.

“Dana tersebut kami gunakan untuk pembuatan rumah kompos, gaji pegawai, serta membeli peralatan seperti dua buah

mesin pencacah sampah, mesin jahit, timbangan, cangkul, plastik, fermentasi e4 atau penghancur sampah dan kotoran sapi untuk produk awal,” urai elpa.

Setelah semua siap, produksi pupuk kompos sebaagi media tanam pun dimu-lai. Lalu tanpa disangka, ternyata saat pertama kali diproduksi respon dari ma-syarakat sekitar kampus cukup baik. Se-lain produksi pupuknya bagus, harga yang ditawarkannya pun relatif terjangkau.

Sambil berproduksi, sosialisasi ke ma-syarakat sekitar kampus juga terus dilaku-kan. Alhasil, dalam waktu relatif singkat, permintaan pun terus mengalir.

Pupuk kompos yang diproduksi UIN Jakarta tersebut dibandrol dengan harga Rp 10.000 per kantong ukuran 5 kg dan Rp 30.000 per kantong ukuran 18 kg. “Harga ini termasuk murah bila diband-ing dengan yang dijajakan di luar kampus. Kami menjual murah sebagai perkenalan terlebih dahulu, agar mereka tahu bahwa pupuk yang kami produksi berkualitas sangat bagus dan cocok untuk semua

Elpawati, Mengubah Sampah Menjadi Kompos

SeLAMA ini penanganan sampah di kampus UIN Jakarta masih di-lakukan secara tradisional alias belum dimanfaatkan menjadi barang yang bernilai ekonomi. Bertruk-truk sampah yang diangkut dari kampus setiap hari dibuang percuma begitu saja. Padahal, di balik sampah-sam-pah itu terdapat peluang usaha yang lumayan.

Elpawati dan pupuk kompos hasil ola-hannya.

Page 26: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus

DinaMika2� Edisi: 01/Thn. IV/2010

Seputar Kampus

tanaman yang ada di pekarangan rumah,” tuturnya seraya berpromosi.

Pupuk kompos produksi UIN Jakarta termasuk dalam kategori pupuk yang bagus. Sebab, pupuk itu dibuat dengan perbandingan antara sampah organik dengan bahan lain yang cukup sepadan. elpa menuturkan, biasanya dalam mem-produksi pupuk kompos, perbandingan komposisinya yaitu sampah organik se-banyak 47,5 persen, sekam bakar 10 pers-en, kotoran sampai 40 persen, dan dedak 2,5 persen. Dengan kombinasi tersebut, pupuk yang dihasilkan Dharma Wanita sangat bagus dan dapat membuat tana-

man tumbuh dengan subur.Kini elpa terus berusaha meningkat-

kan kualitas hasil produksinya. Semen-tara ini, pihaknya baru bisa memproduksi tiga ton per dua minggu pupuk kompos. Sebab, skala produksinya masih terfokus untuk memenuhi kebutuhan rumah tang-ga UIN Jakarta, seperti di kampus satu dan kampus dua, warga komplek dosen dan sekolah sekitar kampus.

Menurut elpa, peluang memasarkan pupuk secara lebih luas sangat terbuka. Jika produksinya sudah meningkat, per-mintaan pun sangat besar. “Sebenarnya ada perusahaan pupuk BUMN yang mau

bekerja sama dengan kita. Ketentuannya kita yang memproduksi dan perusahaan tersebut yang menjual. Syaratnya wajib lima persen organik. Kemudian ada juga perusahaan perkebunan skala besar yang meminta kerja sama, ketentuannya pen-cacahan sampahnya 3 cm,” jelasnya.

Namun, hingga kini, elpa mengaku, masih banyak kendala. Salah satunya, pa-sokan sampah organik dari kampus dan masyarakat masih sedikit. Di samping itu, masyarakat sekitar kampus pun belum ada kesadaran untuk memilah sampah organik dan non-organik.[]

Nanang Syaikhu Hamzah Farihin

Selamat dan SuksesAtas pemberian penghargaan Commander of the British of the empire (CBe Award) kepada Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MAdari Ratu Kerajaan Inggris elizabeth II 28 September 2010 Pimpinan dan Staf

DinaMika

Page 27: Majalah Dinamika Edisi 6

Seputar Kampus Seputar Kampus

2�DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

Penerbitan smartcard, menu-rut Ketua Pusat Komputer (Puskom) Dr Husni Teja,

tak lain untuk memudahkan ma-hasiswa dalam memperoleh ak-ses pelayanan di UIN Jakarta. Di samping itu, kartu lama yang se-lama ini dipakai mahasiswa dan pembuatannya dikerjasamakan dengan sebuah bank milik pemer-intah, banyak dikeluhkan maha-siswa.

Keluhannya selain lama terbit juga dinilai kurang praktis. Jika kartu lama cuma berfungsi sebagai identitas (KTM) dan pembayaran kuliah melalui sistem ATM, kartu baru selain untuk kedua fungsi tadi juga dapat digunakan sebagai kartu anggota perpustakaan dan pelayanan rumah sakit.

Hanya saja, tambah dia, fungsi sebagai kartu ATM untuk semen-tara belum dapat dilakukan meng-ingat hal itu harus dikerjasamakan dengan pihak bank terlebih dahu-

lu. “Untuk kerja sama (dengan pi-hak bank) tersebut kita masih bu-tuh waktu. Sekarang bagaimana mahasiswa memperoleh kartu se-bagai identitas dahulu, setelah itu akan dipikirkan fungsinya sebagai kartu ATM,” katanya kepada DIN-AMIKA, akhir September lalu.

Husni menegaskan, pembua-tan smartcard oleh pihak univer-sitas tak butuh waktu lama. Sejak awal masuk perkuliahan, maha-siswa dapat langsung memilikinya karena proses cetak yang cepat sesuai jumlah mahasiswa.

“Kartu serba bisa tersebut hanya diberlakukan bagi maha-siswa baru mulai tahun akademik 2010/2011. Sementara mahasiswa lama tetap maih menggunakan kartu lama,” jelasnya. Untuk ta-hun akademik sekarang, jumlah kartu yang dicetak sekitar 4.000 kartu atau sesuai dengan jumlah mahasiswa yang diterima.

Husni berharap, tahun aka-

Smartcard, Kartu Serba Bisa MahasiswaPUSAT Komputer (Puskom) UIN Jakarta menerbitkan kartu baru bagi mahasiswa. Kartu yang disebut smartcard tersebut tak hanya berguna se-bagai identitas mahasiswa, tetapi juga untuk pelayanan perpustakaan dan rumah sakit.

demik mendatang smartcard bisa terintegrasi dengan berbagai ke-butuhan mahasiswa di kampus. Misalnya mencetak surat ket-erangan mahasiswa, kartu hasil studi (KHS), legalisir ijazah, dan sebagai alat trasanksi pembayaran parkir serta kantin seperti lay-aknya kartu debit.

“Banyak hal yang akan kita ren-canakan ke depan, agar smartcard ini bisa lebih banyak lagi fungsin-ya sehingga bisa mempermudah berbagai hal,” ujar Husni.

Secara fisik, kartu berukuran 8,5 x 5,5 cm itu memiliki bebera-pa perbedaan dengan kartu lama. Di antaranya tidak lagi berbahan magnetik untuk membaca data yang tersimpan, tetapi menggu-nakan chip seperti halnya kartu perdana. Selain itu smartcard juga memiliki karakteristik yang artis-tik, misalnya dari warna dan de-sain yang menawan.

Kartu terbagi dalam dua muka. Pada bagian depan terdapat logo dan tulisan nama kampus, nama dan foto, nomor induk mahasiswa (NIM) serta nama fakultas peme-gang kartu. Selain itu juga terdapat barcode dan masa berlaku kartu.

“Nomor induk mahasiswa juga berubah, dari 12 digit menjadi 13 digit,” jelas dosen Fakultas Sains dan Teknologi tersebut.

Adapun pada bagian be-lakang terdapat logo UIN Jakarta transparan, moto dan visi, pesan peringatan, serta alamat kampus.

“Karena smartdcard belum dapat dipakai sebagai alat transak-si pembayaran kuliah, jadi untuk sementara pembayaran hanya di-lakukan secara manual,” ungkap Husni. [] NS/Elly Afriani

Kartu baru identitas mahassiwa UIN Jakarta.

Page 28: Majalah Dinamika Edisi 6

2�

>>> Wacana <<<

DinaMika2� Edisi: 01/Thn. IV/2010 2�

>>> Wacana <<<

Banyak masyarakat merasa lega dengan pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh

Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Ma-ret lalu. UU BHP tersebut sejak awalnya kontroversial dan ditentang banyak kalan-gan: dari kelompok mahasiswa; orang tua mahasiswa; organisasi swasta penyeleng-gara pendidikan, khususnya perguruan tinggi (PT); lingkungan pesantren; dan berbagai kalangan pemangku kepentin-gan (stakeholders) lainnya.

MK ternyata sependapat dengan para pemangku kepentingan menentang UU BHP. Karena, MK melihat bahwa UU itu pada dasarnya adalah upaya penyer-agaman kelembagaan pendidikan, mulai yang negeri dan swasta yang sepanjang sejarah beragam. Walaupun beragam dan kebanyakan hidup secara pas-pasan, mer-eka telah memberikan kontribusi yang tidak bisa diabaikan terhadap kemajuan pendidikan dan tentu turut mencerdas-kan anak-anak bangsa.

Lebih jauh, MK juga memahami pandangan para penentang bahwa UU BHP juga merupakan legalisasi privatisa-si dan komersialisasi pendidikan, khusus-nya perguruan tinggi negeri (PTN). Ge-jala itu sudah terlihat dalam dasawarsa terakhir ketika berbagai PTN, baik yang sudah menjadi BHMN maupun yang non-BHMN, memperkenalkan pening-katan pembiayaan pembelajaran melalui macam-macam skema yang harus dibayar masyarakat.

Kita masih harus menunggu respons dan langkah konkret Kemendiknas, Dik-ti, PTN BHMN, dan PTN lain yang se-dang menyiapkan diri menjadi BHP atau bahkan BLU. Satu hal sudah pasti, para pemangku kepentingan berharap, lang-kah para pihak ini mengandung substansi yang sama dengan UU BHP yang telah dibatalkan tersebut.

Bagaimanapun pendidikan, terma-suk pendidikan tinggi, merupakan bagian dari usaha untuk mewujudkan public good , kebajikan publik. Maksud dari kebaji-kan publik adalah pendidikan bertujuan membangun generasi bangsa yang unggul

dalam iptek dan imtak. Kebajikan publik itu lebih jauh terlihat dalam perincian tujuan-tujuan ideal pendidikan untuk menghasilkan anak bangsa yang mengua-sai ilmu dan keterampilan; memiliki kara-kter sesuai jati diri bangsa; dan siap meng-hadapi tantangan globalisasi. Semua ini adalah tujuan mulia untuk mewujudkan public good yang mestinya merupakan tanggung jawab negara, bukan mengalih-kannya kepada masyarakat.

Untuk tingkat dasar dan menengah, pembiayaan pendidikan sepenuhnya dipi-kul pemerintah. Akan tetapi, ini hanya berlaku untuk sekolah/madrasah negeri, tidak untuk sekolah swasta. Bahkan, un-tuk sekolah/madrasah negeri, bukan ra-hasia lagi, masyarakat masih juga harus mengeluarkan berbagai biaya tambahan yang bisa disebut ‘tidak resmi’ atau ‘seten-gah resmi’, baik ketika memasukkan anak maupun selama si anak menempuh pen-didikannya sampai tamat. Jadi, jika ada pernyataan ‘pendidikan gratis’, itu hanya mungkin mencakup SPP dan tidak biaya-biaya lainnya.

Sedangkan, untuk pendidikan tinggi, pemerintah cenderung memberlakukan prinsip ‘otonomi’. dalam hal ini, PTN dapat mengambil berbagai kebijakan me-nyangkut pembiayaan. Apalagi, dalam kenyataannya selama ini, dana yang disediakan APBN tidak pernah memadai untuk menutupi pembiayaan yang mesti dikeluarkan PTN. Hasilnya, mereka ha-rus menggali sumber-sumber dana yang mungkin untuk memenuhi biaya opera-sional, khususnya melalui mahasiswa. Lebih dari itu, banyak PTN juga beru-saha menggalang dana guna peningkatan kesejahteraan dosen dan karyawan kare-na gaji yang disediakan pemerintah tidak cukup untuk membuat mereka sejahtera.

Dalam konteks itu, pencabutan UU BHP mendatangkan dilema yang sulit bagi dunia pendidikan kita, khususnya sekolah/madrasah negeri. Pada satu pi-hak, pemerintah tetap tidak atau belum mampu menyediakan anggaran memadai untuk terselenggaranya pendidikan se-hari-hari, apalagi pendidikan berkualitas tinggi yang kompetitif. Memang, terjadi peningkatan anggaran sampai 20 persen dari APBN (termasuk gaji), tetapi pertam-bahan dana itu belum mampu, misalnya, membuat gedung sekolah yang tidak reot atau roboh. Dengan kata lain, peningka-tan anggaran pendidikan ternyata tidak serta-merta membuat fasilitas dan proses pembelajaran kian meningkat pula.

Pada pihak lain, sekolah/madrasah dan PTN usai pencabutan UU BHP agaknya tidak lagi terlalu bebas melaku-kan berbagai pungutan, yang diharapkan dapat menutup kekurangan anggaran, kecuali lembaga-lembaga pendidikan ini melakukan berbagai trick atau skema ter-tentu yang membuat peserta didik mem-bayar pungutan-pungutan tersebut. Di tengah pergulatan seperti ini, persoalan peningkatan mutu cenderung terlupak-an sehingga pendidikan kita tetap tidak kompetitif di tengah persaingan global yang kian keras.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 9 April 2010

Pendidikan Pasca-UU BHP

Oleh Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 29: Majalah Dinamika Edisi 6

2�

>>> Wacana <<<

2�

>>> Wacana <<<

DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

Dalam konteks semakin miskin-nya pencerahan nilai politik, me-nyeruak sebuah gagasan tentang

asketisme politik dari politisi muda yang kini menjadi Ke-tua Umum Partai De-mokrat (PD), Anas Urbaningrum. Gaga-san yang sesungguhnya bukan hal baru, juga bukan hal istimewa bagi para pengka-ji pemikiran dan tindakan politik. Namun demikian, gagasan tersebut cukup menjadi oase di tengah dahaga dan kekeringan ni-lai pada ranah politik praktis negeri ini. Gagasan itu bermula dari seruan agar para politisi kita menerapkan asketisme politik yang disampaikan Anas saat berbuka pua-sa bersama di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Minggu, (22/8).

Bisa jadi, Anas menyampaikan se-ruan soal asketisme politik itu tak lebih dari hanya sekedar kata atau istilah retoris untuk menghiasi kesan positif dalam pi-datonya. Bisa jadi juga gagasan asketisme politik itu hanya muncul sporadis tanpa penyiapan turunan di level praksis untuk mengelolanya menjadi tindakan politik yang dapat diobservasi secara empiris. Na-mun, terlepas dari apapun konteks masa lalu dan masa mendatang pidatonya itu, seruan mengenai urgensi asketisme politik patut diapresiasi terutama di tengah situasi miskin pencerahan nilai politik yang saat ini akut dialami elit politisi kita.

Kata asketisme, bermula dari bahasa Yunani ascesis yang bermakna “pela-tihan”. Biasanya para atlit di Yunani, melakukan latihan keras sebelum pertand-ingan di Bukit Olimpus, yang salah satu tu-juannya adalah mengosongkan dan men-gasingkan diri dari nafsu-nafsu duniawi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asketisme diberi arti ‘paham yang mem-praktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban’. Sementara dalam en-cyclopedia of the Middle Ages, Volume 2 (2000: 118) asketis merupakan sejumlah latihan penyesalan diri, hidup kekurangan, menahan malu atau aib, serta kontemplasi untuk menuju jiwa yang sempurna.

Dengan demikian, asketisme politik se-cara umum bisa kita pahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasar-

kan pada prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat ba-nyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan pribadi untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan semata-mata me-lainkan demi tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Artinya, asketisme politik tak sekedar moralitas melainkan juga tindakan sosial. Dalam konstruks berpikir Haber-mas tindakan sosial ini biasanya melibat-kan dua dimensi praksis yakni kerja dan interaksi.

Jika menilik ragam rasionalitas yang melandasi tindakan politik aktor dalam konteks politik Indonesia kekinian, nam-pak ada dominasi yang sangat kuat dari hasrat politik rendah (low politic). Poli-tik hanya menjadi instrumen pemuasan siapa mendapat apa dan kapan, tanpa tergerak melakukan pencerahan. Basis rasionalitasnya jika meminjam kategori dari Weber adalah zweckrationalitat atau rasionalitas-tujuan. Karakteristik menon-jol dari rasionalitas ini, lebih mementing-kan cara-cara mencapai tujuan, sekaligus memarjinalkan nilai yang dihayati se-bagai isi kesadaran.

Jika asketisme politik ini hendak di-realisasikan tentu tindakan politik para politisi kita jangan mengacu pada ra-sionalitas-tujuan melainkan harus men-jadikan wertrationalitat atau rasionalitas-bertujuan sebagai soko guru tindakan. Prilaku politik mengacu pada komit-men rasional akan nilai yang dihayati-nya secara pribadi baik nilai etis, estetis maupun religius. Berpolitik yang asketis berarti menjadikan politik lebih santun, beretika dan mengedepankan keberman-faatannya untuk khalayak luas. Namun mungkinkah asketisme politik ini bisa diimplementasikan di dalam kehidupan politik kita? Muncul pesimisme bahkan ada yang mengatakan hal tersebut seb-agai utopia di tengah carut-marut persoa-lan yang membentang dari hulu ke hilir. Meski sesungguhnya, asketisme politik ini merupakan satu di antara landasan penting dalam masyarakat dan negara yang berkesejahteraan.

Residu politikAsketisme politik memang tak mudah direalisasikan, meski bukan hal mustahil. Tantangan paling nyata ada pada sosok para politisi dan lembaga politik yang saat ini telah banyak tercemar oleh residu politik rendah. Menurut saya paling ti-dak ada beberapa langkah untuk kembali menghadirkan asketisme dalam politik kekinian kita.

Pertama, para politisi mesti mampu menempatkan kepekaan untuk menden-gar denyut suara masyarakat. Jangan me-maksakan opini mereka secara arogan di puncak hirarki opini publik. Kini, betapa banyaknya arogansi opini elit sekaligus sentralisasi respek hanya di antara me-reka, dengan menihilkan suara dan res-pek masyarakat. Sebagai contoh, rencana pembangunan gedung baru DPR yang menuai kritik sekaligus melahirkan kon-troversi terutama jika melihat angkanya yang fantastis, 1,6 triliun. Meski menuai banyak kritik, rencana pembangunan ge-dung baru ini tetap berjalan bahkan bulan Oktober 2010 diagendakan peletakkan batu pertamanya.

Kedua, asketisme politik bisa hadir melalui kaderisasi politik yang sistemik dan berkelanjutan. Saat ini, fenomenan-ya hampir seragam, semua partai hanya peduli pada saat harus mendulang su-ara banyak dalam perhelatan Pemilu. Dengan demikian, partai bukan tempat menetaskan kader-kader terbaik melaink-an mengerami para oportunis dan politisi pragmatis yang berkesadaran teknokratis. Untuk mendukung munculnya asketisme politik, dibutuhkan tindakan komunika-tif. Istilah yang oleh Habermas dipahami sebagai tindakan yang diarahkan oleh norma yang disepakati bersama berdasar-kan hubungan timbal-balik di antara par-tai dengan kadernya. Partai sebaiknya menjadi pembentuk sekaligus penyuplai kader yang berpikir dan bertindak asketis, bukan sebaliknya menjadi penyedia para drakula![]

Tulisan ini pernah dimuat Seputar Indonesia, 2 September 2010, serta disunting seperlunya.

Asketisme Politik, Mungkinkah?

Oleh Gun Gun HeryantoDirektur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Page 30: Majalah Dinamika Edisi 6

DinaMika�0 Edisi: 01/Thn. IV/2010

>>> Resensi <<< >>> Resensi <<<>>> Resensi <<<

Politik pencitraan, terminologi itu kini sudah menjadi komoditas se-hari-sehari para aktor politik, teru-

tama mereka yang maju sebagai kandidat kepala daerah dalam pemilukada. Bah-kan pada level kepala negara pun, strategi marketing itu semakin dibutuhkan untuk mendapat simpati publik yang lebih be-sar.

Bentuk dan pola komunikasi politik seperti itu pada dasarnya dibangun atas suatu asumsi bahwa publik kini semakin cerdas. Karena itu untuk memberikan kepercayaan kepada publik politik pen-citraan diri menjadi penting dan amat strategis.

Dalam beberapa kasus, pencitraan diri memang terbukti ampuh. Tak sedikit aktor politik yang maju sebagai kandidat kepala daerah (gubernur/bupati/waliko-ta) terpilih. Alhasil, politik pencitraan kemudian semakin meneguhkan fakta bahwa hanya dengan cara demikianlah “jalan mudah” menuju kepala daerah dapat dicapai secara efektif.

Buku yang ditulis Gun Gun Hery-anto ini memaparkan sejumput persoalan mengenai komunikasi politik para aktor di panggung politik. Buku ini lebih meru-pakan gagasan, pengamatan, dan analisis penulis terhadap beragam perilaku aktor politik yang kemudian dimuat di sejum-lah media massa nasional.

Secara garis besar isi buku dibagi ke dalam lima bab. Pada bab pertama berisi tentang manajemen kesan pengemasan citra diri dalam proses pemasaran poli-tik di situasi yang makin kompetitif. Bab kedua mengurai praktik komunikasi poli-tik pemerintahan SBY. Bab ketiga, secara khusus, membahas relasi kuasa dalam ko-munikasi politik aktor. Pada bab ini bera-gam isu dipaparkan untuk menunjukkan

kepada pembaca bahwa komunikasi poli-tik merupakan bagian yang sangat pent-ing dikuasai dalam konteks relasi kuasa di antara para aktor yang terlibat dalam politik. Bab keempat membahas posisi penting media dalam mengonstruksi re-alitas politik, terutama bagaimana peran, fungsi dan dinamisasi media saat menjadi saluran komunikasi politik. Sedangkan bab kelima mengulas atas sejumlah isu yang terkait dengan politik internasional.

Menurut Gun Gun, realitas politik yang terjadi saat ini, menuntut para poli-tisi perserorangan atau pun partai untuk memiliki akses seluas-luasnya terhadap mekanisme industri citra, yakni industri berbasis komunikasi dan informasi yang akan memasarkan ide, gagasan, pemiki-ran, dan tindakan politik. Politik dalam industri citra merupakan upaya memen-garuhi orang lain untuk mengubah atau mempertahankan suatu kekuasaan ter-tentu melalui pengemasan citra dan popu-laritas. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk berkuasa pun semakin besar (hal. 84-85).

era baru politik pencitraan sesung-guhnya mulai dikemas sejak pemilu 2004 yang memenangkan pasangan SBY-JK sebagai presiden dan wakil presiden. Pa-sangan ini mampu meraup suara terban-yak pada pemilu langsung yang digelar pertama kali pascatumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998. Tampilnya SBY-JK di tampuk kepemimpinan nasional tak lepas dari upaya strategi marketing politik yang dilakukan keduanya. Dalam hal ini keduanya mampu memainkan politik pencitraan diri melalui sejumlah saluran komunikasi politik, terutama pemanfaatan media massa sebagai basis strategisnya. Dari sini, strategi marketng politik yang dikemas para aktor politik

kemudian semakin menemukan momen-tumnya dengan digelarnya sejumlah pe-milukada di berbagai daerah, termasuk pemilu legislatif.

Meski demikian, politik pencitraan yang kini sudah menjadi mesin industri di ranah politik tidak serta merta men-jadi parameter atau tolok ukur tingkat efektivitas berhasilnya sang kandidat di panggung politik. Toh, dalam banyak ka-sus hal itu juga mengindikasikan betapa politik pencitraan bukan segalanya. Tak sedikit para aktor politik harus tumbang, bukan soal kemasan atau tidak berjalan-nya mesin politik yang dimainkan tim sukses dan konsultan politik, tapi hal itu juga sangat bergantung kepada nilai kes-adaran berpolitik konstituen masing-ma-sing partai, yang memiliki hak otoritatif berdemokrasi dalam pemilu.

Dalam politik pencitraan setidaknya ada tiga saluran komunikasi politik yang kerap dijadikan instrumen para aktor un-tuk memenangkan pertarungan dalam pemilu. Pertama, melalui saluran kam-panye. Untuk meraih dukungan suara, para aktor politik kerap memanfaatkan media kampanye sebagai alat pencitraan dirinya. Bahkan, menurut Gun Gun, dalam sebuah proses komunikasi politik,

Era Baru Politik PencitraanJudul Buku : Komunikasi Politik di era Industri CitraPenulis : Gun Gun Heryanto MSiPenerbit : PT Laswell Visitama, Jakarta: 2010Tebal : xxii + 365 halaman

Politik pencitraan yang kini sudah menjadi mesin indus-tri di ranah politik tidak serta merta menjadi parameter atau tolok ukur tingkat efektivitas berhasilnya sang kandidat di panggung politik.

Page 31: Majalah Dinamika Edisi 6

>>> Resensi <<< >>> Resensi <<<

�1DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

>>> Resensi <<<

kampanye memegang peranan penting dalam proses persuasi khalayak. Karena itu sejak awal harus disadari pasangan kandidat bahwa kampanye politik pada prinsipnya hanyalah “to tell what to think about”. Membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Den-gan teknik pemilihan dan penonjolan, kampanye memberikan petunjuk tentang mana isu yang lebih penting (hal. 77).

Dalam perspektif komunikasi politik, kampanye termasuk ke dalam kategori penyampaian pesan politik. Aktivitas kampanye biasanya merupakan upaya sistemik, terencana dan terorganisir un-tuk memengaruhi khalayak agar men-jatuhkan pilihannya pada kandidat yang menjadi kontestan. Kampanye sebagian besar diorientasikan bagi publik umum. Mereka dipersuasi, dikenalkan dan diajak turut serta memilih salah satu kandidat (hal. 87).

Kedua, melalui saluran media mas-sa. Media memiliki kekuatan yang sig-nifikan dalam melakukan produksi dan reproduksi citra politik. Asumsi seperti ini relevan dengan pendapat Tuchman, yang mengatakan seluruh isi media seb-agai realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah “cerita”. Karena itu wajar jika kemudian muncul rumusan “siapa yang menguasai media maka akan menguasai dunia” dalam konteks pemilukada tentu

saja, siapa yang menguasai opini publik melalui media massa maka biasanya ber-potensi besar untuk ditasbihkan sebagai pemenang (hal. 90).

Mengingat besarnya pengaruh me-dia massa (koran, televisi, radio, dunia maya), tak sedikit para aktor politik ha-rus rela merogoh kocek miliaran rupiah. Dengan dana itu mereka bisa memasang iklan spot dan display, iklan advertorial, dan bahkan membeli rubrik atau blocking time untuk sekadar dapat memasarkan diri ke khalayak.

Ketiga, melalui tim sukses dan kon-sultan politik. Keberadaan tim sukses dipandang efektif bagi upaya menampil-kan citra diri ke khalayak. Tim sukses biasanya dilakukan oleh partai maupun kelompok tertentu sebagai simpatisan. Persuasi melalui tim sukses ini secara dialektika juga terkadang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan lain yang saling berpengaruh, seperti media atau sejenisnya. Bahkan, tak jarang melalui persuasi personal semisal mendekati tokoh-tokoh atau orang-orang tertentu yang dipandang memiliki pengaruh besar dalam proses komunikasi sosial dengan basis massanya.

Satu hal lagi yang tak dapat dinapi-kan, belakangan juga muncul apa yang disebut konsultan politik. Konsultan poli-tik biasanya dilakukan oleh suatu lem-baga yang secara terorganisir memiliki pengaruh dan peran besar untuk meng-

giring opini publik secara real terhadap para aktor politik yang menjadi klien konsultannya. Mereka memanfaatkan ja-ringan surveyor yang tersebar di sejumlah daerah hingga ke tingkat desa-desa. Me-nariknya, dalam konteks tertentu, sering terjadi “perang” politik pencitraan yang tak hanya melibatkan antarkandidat di panggung politik tetapi juga antarkon-sultan politik itu sendiri. Masing-masing konsultan politik mencoba membuat per-sepsi, analisis, serta pemetaan terhadap hasil survey bagi sang klien untuk kemu-dian dipublikasikan ke khalayak secara luas. Meski dalam beberapa kasus me-miliki tingkat signifikansi dan validitas yang tepat atas hasil survey dengan the real game-nya, namun tak sedikit “terawa-ngan” sang konsultan politik harus pudar begitu saja.

Perang politik pencitraan di era in-dustri citra tampaknya akan terus ber-lanjut seiring dengan semakin efektifnya model-model persuasi dalam komunikasi politik bagi proses pemenangan pemilu antarkandidat. Namun, politik pen-citraan dengan memanfaatkan berbagai saluran komunikasi politik seperti di atas juga sebenarnya sangat bergantung ke-pada sisi rasionalitas pemilih. Sebab bo-leh jadi kecerdasan pemilih akan mampu mengalahkan logika pragmatis kandidat sekalipun dibingkai dalam kemasan yang menarik dan menjanjikan.[]

Nanang Syaikhu

Menariknya, dalam konteks tertentu, sering terjadi “perang”

politik pencitraan yang tak hanya

melibatkan antar-kandidat di pang-gung politik tetapi

juga antarkonsultan politik itu sendiri.

Page 32: Majalah Dinamika Edisi 6

Sosok

DinaMika�2 Edisi: 01/Thn. IV/2010

Sosok

Ia merupakan sebagian kecil dosen UIN Jakarta yang kaya akan pengalaman akademis di tingkat internasional. Karirnya sebagai dosen telah melintas batas benua. Ia pernah mengajar di berbagai universitas top di tiga benua: Amerika, Eropa, dan Asia. Selain itu, ia juga di-percaya menjadi fellow di berbagai lembaga bergengsi di dunia. Tulisannya kerap menghiasi berbagai jurnal dan penerbitan berskala internasional. Tak berlebihan jika pada 2007 lalu, Ke-menterian Agama RI menobatkannya sebagai penulis terbaik internasional. Itulah barangkali harga yang terbayarkan dari seorang yang menjalani profesi dosen sebagai panggilan jiwanya.

“Dunia Akademis Panggilan Jiwaku”

Prof Dr Andi Faisal Bakti

Page 33: Majalah Dinamika Edisi 6

Sosok Sosok

��DinaMika Edisi: 01/Thn. IV/2010

Prof Dr Andi Faisal Bakti, begitu nama lengkap pria kelahiran Wajo, Makassar, 15 November 1962 itu.

Di kalangan mahasiswa UIN Jakarta, pria berkaca mata itu dikenal sebagai dosen komunikasi yang humoris, cerdas, enerjik dan pandai mencairkan suasana hingga menjadi hangat dalam mengajar. Tak heran, jika kehadirannya di ruang kuliah selalu ditunggu mahasiswa-mahasiswanya.

Guru Besar Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom) ini, memang dekat dengan mahasiswa. Sebab, selain mengampu beberapa mata kuliah, --diantaranya Komunikasi Antaragama

dan Budaya, Sistem Komunikasi Internasional, dan Metodologi Penelitian Komunikasi-- ia juga rajin memberikan motivasi kepada mahasiswanya.

Andi tak hanya mengajar di UIN Jakarta. Ia juga mengajar di berbagai kampus, baik negeri maupun swasta. Sebut saja, Universitas Indonesia, Universitas Gunadarma, Universitas Pancasila, dan beberapa kampus lain yang hingga kini menjadi tempat Andi berbagi ilmu kepada para mahasiswa, baik di jenjang S1, S2 maupun S3.

Profesi dosen bagi Andi merupakan panggilan hatinya untuk mentransfer ilmu yang telah didapatkannya bertahun-tahun. Andi mulai menjadi Pegawai

Negeri Sipil (PNS) sejak 1988. “Saya sudah menjadi PNS selama 22 tahun, dan sudah mendapatkan penghargaan dari Presiden RI karena sudah mengabdi selama 20 tahun,” kata Andi saat diwawancarai DINAMIKA di kantor UIN Online, beberapa waktu lalu.

Direktur International Office (IO) UIN Jakarta itu mengaku tidak mengharapkan materi dari aktivitasnya sebagai pengajar. Mengajar baginya lebih sebagai pengabdian. Menurutnya, dunia pendidikan bukan tempat untuk mencari uang. Tempat mencari uang adalah dunia bisnis, tegasnya. Ya, selain sebagai dosen, Andi memang seorang bussinesman. Dia memiliki sedikitnya 15 cabang koperasi simpan pinjam di beberapa daerah di Indonesia. Di daerah Ciputat sendiri, dia mendirikan Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Selain itu, ia juga mendirikan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Center for Cross Cultural Communication and Human Relations in Actions.

Kuliah di KanadaBidang Akademis memang sudah

menjadi panggilan jiwa Andi Faisal Bakti. Sejak tamat dari Program Studi Bahasa Arab di IAIN Alauddin Makassar, pada 1986, ia memutuskan menjadi dosen. “Saya beruntung masuk program pembibitan calon dosen. Bersama dosen-dosen dari IAIN Jakarta, saya dikirim ke McGill University tahun 1991. Di McGill saya mengambil kuliah Islamic studies dengan konsentrasi muslim development, lebih khusus lagi pada cross culture communication,” jelas bapak satu anak ini.

Andi lulus dari program Masternya tahun 1993 setelah mempertahankan tesis berjudul Islam and Nation State Formation in Indonesia, a Cross Cultural Perspective. Karya itu kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Nation Building: Kontribusi Komunikasi Lintas Agama dan Budaya dalam Persatuan Indonesia.

Tamat dari program Master, tak lama berselang, Andi melanjutkan kuliah di Program Doktor di Universite du Quebec a Montreal (UQAM), Kanada. Di sela-sela kuliah, ia nyambi menjadi asisten pengajar di universitas yang sama. Program Doktor diselesaikan Andi tepat waktu pada 1998. Ia lulus dengan predikat Summa Cum Laude (4.15/4.30) setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul Communication, Islam, and Development in Indonesia: Various Perspectives

Suatu hari, di tengah kesibukannya studi di McGill University, secara tak sengaja Andi Faisal Bakti bertemu perempuan muslim warganegara Kanada, di perpustakaan kampus. Perempuan bernama Isabelle Aisyah Lecomte itu rupanya mendalami konsentrasi pendidikan yang sama dengan Andi, yaitu komunikasi pembangunan internasional.

Dari pertemuan tak sengaja itu, rupanya ada rahasia Tuhan untuk mendekatkan keduanya. Pertemuan pun berlanjut. Dan mereka menemukan kecocokan sikap masing-masing, juga prinsip hidup yang sama. Dengan penuh keyakinan, akhirnya Andi memutuskan untuk menikahi Isabelle pada Februari 1994, di salah satu masjid di Kanada. Tiga tahun kemudian, mereka dikaruniai seorang putra yang diberi nama Camille Hasan.

Sang Isteri tercinta, Isabelle, merasa tertarik dengan Islam, jauh sebelum mengenal pria berdarah Bugis ini. Lalu dia memutuskan untuk menjadi muallaf, tahun 1990. “Saya tertarik pada Islam karena saya melihat apa yang orang Islam bicarakan, mereka juga melakukannya dalam bentuk tingkah laku,” kata Andi menirukan ucapan isterinya saat ditanya mengapa ia tertarik pada Islam.

Akhirnya, Andi pulang ke Indonesia, memboyong isteri dan anak hasil pernikahannya dengan Isabelle. Di Jakarta, isteri Andi juga berprofesi sebagai dosen di sejumlah universitas. Sementara anak semata wayangnya kini telah berusia 12 tahun dan menempuh pendidikan setingkat kelas satu SMP di Lycee International Francais “Louis-Charles Demais.”

Sesibuk apapun pekerjaan Andi dan Isabelle, kedekatan antara satu dengan yang lain dalam hubungan anggota keluarga tetap terjalin dengan hangat. Mereka selalu berusaha berkumpul bersama anaknya, waktu sore atau malam hari, setelah melakukan aktivitas untuk sekedar bercengkrama.

Andi bersyukur, putranya kini telah mewarisi kebiasaan akademiknya. Di usianya yang masih remaja, Camille sudah menguasai bahasa Inggris dan Prancis, selain Bahasa Indonesia dan mulai belajar Bahasa Arab dan Bugis. Selain itu, Camille sudah terbiasa mengikuti ayahnya saat memberikan kuliah atau seminar internasional di luar negeri. Pemahamannya tentang Islam pun bisa dikatakan melebihi pengetahuan anak seusianya. [] Elly Afriani

Mempersunting Wanita Bule

Page 34: Majalah Dinamika Edisi 6

Sosok

DinaMika�� Edisi: 01/Thn. IV/2010

of the South Sulawesi Muslim Population on Family Planning and Welfare.

Dalam disertasi itu, Andi meneliti program keluarga berencana (KB) di kampung halamannya, Sulawesi Selatan. Disertasi itu merupakan bukti bahwa selain pakar di bidang teori komunikasi, Andi juga menguasai secara mendalam teori-teori kesejahteraan sosial. “Saya meneliti bagaimana umat Islam merespon program global keluarga berencana dan kesejahteraan sosial. Jadi, pengetahuan saya tentang teori kesejahteraan dan teori komunikasi sangat mendalam. Saya juga mengikuti perkembangan teori itu sejak awal dan hingga kini,” kata Direktur International Office (IO) UIN Jakarta itu.

Semasa kuliah, baik di Makassar maupun di Kanada, Andi aktif mengikuti berbagai organisasi. Saat kuliah di Makassar, dia sempat menjabat Ketua Bidang Pembinaan Umat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar. Sementara, saat di Kanada, Andi pernah menjadi Ketua Umum Ikatan Cenderkiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kanada selama dua tahun (1998-2000).

Lalu, menjadi Ketua ICMI Amerika Utara selama lima tahun (2000-2005).Dosen Terbang dan Peneliti

Setelah menyelesaikan program doktor, Andi diangkat menjadi dosen di Fakultas Asia Timur dan Komunikasi, McGill University selama dua tahun (1998-2000). Dua tahun kemudian, dia kembali diangkat menjadi dosen di Victoria University, Kanada. Di belahan benua lain, di negeri Belanda, Andi juga diangkat menjadi dosen dan peneliti di Universitas Leiden. Di kampus itulah dia banyak menulis tentang kegiatan dakwah di Indonesia dan di Asia Tenggara.

“Saya juga meneliti dan mengajar selama setahun di Oxford University, Inggris. Saya merupakan orang kedua dari UIN Jakarta setelah Prof. Azyumardi Azra yang dipercaya mengajar di pusat studi terbesar di dunia itu,” katanya.

“Barulah setelah itu saya pulang ke Indonesia,” kenangnya. “Saya memang disurati Pak Komarudin Hidayat, Pak Azyumardi Azra dan Menteri Agama saat itu, Pak Malik Fajar untuk pulang dan mengajar di Indonesia. Maka pulang lah saya ke sini, paparnya, mengenang kepulangannya sehabis sekolah di negeri orang.

Pada awal 2004, Andi pun mulai berkiprah di UIN Jakarta. Ia mengajar di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Di Jakarta ia tinggal di kompleks Bali Village M-20, Jalan Asem Dua, Cipete Selatan, Jakarta Selatan. Di rumah yang nyaman itu, Andi selalu menyediakan waktu weekend-nya untuk mahasiswa yang ingin berkunjung ke rumahnya, baik untuk berdiskusi maupun sekadar membaca di perpustakaan pribadi miliknya, yang memiliki lebih dari 10.000 judul buku.

Selain mengajar, aktivitas yang tak dapat dilepaskan dari Andi sejak di luar negeri maupun ketika sudah kembali ke Indonesia yaitu meneliti. Pengalamannya di bidang penelitian telah menorehkan sejumlah prestasi membanggakan. Ia mendapatkan berbagai fellowship, antara lain dari International Institute for Asian Studies (IIAS) Leiden (2002), KITLV Leiden (2004), Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University (2005), Asian Scholarship Foundation joint with Ford Foundation, Bangkok (mulai 2007 hingga saat ini), Southeast Asian Research for education Program (SeAReP), Manila (mulai 2008 sampai sekarang), dan Asian Public Intellectual (API), Jepang, (dari 2008 hingga sekarang).

Sebagai dosen dan peneliti, aktivitas Andi juga tak dapat dipisahkan dari kegiatan menulis. Ia terbilang produktif dalam berkarya. Lebih dari 45 tulisan dan hasil penelitiannya dipublikasikan pada jurnal, penerbitan, dan ensiklopedia internasional, seperti Brill (Belanda), Palgrave (New York), First Book (New York), Archipell (Paris), dan CAPI (Victoria).

Berkat salah satu tulisannya yang berjudul Communication and Dakwah: Religious Learning Groups and Their Role in the Islamic Human Security and Rights for Indonesian Civil Society yang terangkum dalam buku Comparative Education, Terrorism and Human Security from Critical Pedagogy to Peace Building yang diedit oleh Wayne Nelles (ed), pada 2007 lalu, Andi menerima penghargaan sebagai penulis terbaik internasional dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI. “Saya senang karena karya-karya saya ternyata ada yang mengapresiasi,” ujar Pria yang memperoleh gelar profesor pada 2007 itu.

Hingga kini, Andi masih terlibat di ASeAN Scholarship Foundation yang dibiayai oleh Raja Bhumibol Thailand. Melalui lembaga inilah dia mendapat kesempatan untuk meneliti dunia Melayu. Selain itu, dia juga menjadi reseach fellow di Asian Public Intellectuals (API), sebuah lembaga penelitian bergengsi, yang disokong Kaisar Jepang. Di API ia mendapatkan fellowship untuk meneliti Islam di Filipina dan di Jepang.

Selain meneliti, Andi juga berkesempatan mengajar di Filipina dan di Jepang. “Dari aktivitas arena itu, saya mendapat fellowship dari SeASReP dari Manila. Sampai sekarang saya menjadi fellow di sana,” jelas peneliti yang sering diminta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai pembaca dan pembahas hasil penelitian.

Sembari berdakwah di masjid, perusahaan-perusahaan, majelis taklim, dan talk show di berbagai TV nasional di Jakarta, Andi juga masih aktif mengikuti seminar baik tingkat internasional, nasional, maupun lokal yang dilaksanakan UIN Jakarta.

“Kini, saya tengah mempersiapkan penerbitan tulisan hasil penelitian saya tentang civil society di dunia Melayu. Jika sudah 10 negera Asia yang saya teliti, barulah saya akan terbitkan dalam satu buku. Mudah-mudahan ini akan menjadi masterpiece saya,” harapnya. []

Elly Afriani

Page 35: Majalah Dinamika Edisi 6

Sosok

Mengunjungi UIN Jakarta, Menteri Agama RI, Drs Suryadharma Ali, Msi., mengaku seperti pulang kampung. Pasalnya, di kampus inilah Surya pernah menghabiskan masa mudanya saat kuliah dan menjadi ak-tivis mahasiswa.

“Hari ini saya bertemu dengan banyak teman seangkatan dan seper-mainan ketika menjadi mahasiswa di IAIN tahun 1970-an,” tutur Surya saat menyampaikan sambutan dalam “Penghargaan FISIP UIN 2009” yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) bekerjasa-ma dengan Lembaga Survey Indonesia (LSI), Senin, 14 Desember 2009.

Kunjungan Suryadharma Ali ke UIN Jakarta merupakan yang per-tama sejak ia diangkat Presiden SBY menjadi Menteri Agama RI, pada 22 Otober lalu. Selain mengaku seperti pulang kampung, Surya berbagi pengalaman selama menjadi aktivis mahasiswa.

Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pemban-gunan (DPP PPP) itu, menjadi aktivis mahasiswa memiliki nilai plus tersendiri. “Aktivis mahasiswa lebih kaya pengalaman, berbeda dengan mahasiswa yang hanya belajar,” katanya.

Buktinya, lanjut Surya, teman-teman lamanya sesama aktivis, kini banyak di-percaya menduduki jabatan publik dan organisasi. “Aktivis lebih siap mengemban amanah, karena selain belajar di kelas juga ditempa di organ-isasi,” kata Surya.

Suryadharma menempuh pen-didikan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1977 hingga 1984. Semasa kuliah ia aktif menjadi Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Cipu-tat. Sebelum menjabat Men-teri Agama, pada Kabi- net Indonesia Bersatu I, ia di- p e r -caya menjadi Menteri Koperasi dan UKM.

[] HM

“Mari pangestu mengunyah sirih, cukup sekian dan terima kasih,” begitulah gaya Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengakhiri sambutannya pada acara “Dia-log Publik Penguatan Ketahanan Sosial Masyarakat Meng-hadapi Tantangan Globalisasi” yang digelar atas kerjasama UIN Jakarta dan Kementerian Komunikasi dan Informatika di Auditorium Harun Nasution, Selasa 30 Maret yang lalu.

Pria yang diangkat menjadi Menteri Komunikasi dan In-formatika pada Kabinet Indonesia Bersatu II ini, menyatakan ada dua hal yang menjadi ancaman nasional, disintegrasi bangsa dan pengikisan peradaban.

“Kita berada di era globalisasi, dengan kemajuan teknolo-gi yang pesat. Tapi hal itu tidak boleh mengubah identitas dan budaya kita sebagai bangsa Indonesia,” ujar pria kelahi-ran Bukittinggi, Sumatera Barat, 28 September 1961.

Setelah memberikan sambutan, dia mendatangi gedung National Information Communication and Technology Hu-man Resources Development (NICT-HRD) yang berlokasi di jalan Kertamukti. [] Elly Afriani

kampus UIN Jakarta,” ujarnyaMiskiewiez pun akan mengambil pelajaran

dari UIN Jakarta, terutama pada peradaban dan keragaman yang ada di Indonesia. “Ya saya akan belajar dan mengambil hikmahnya,” tuturnya singkat.

Selain itu, Miskiewicz juga telah menemui Menteri Agama RI Suryadharma Ali dan sejumlah pejabat Kementerian Pertanian RI untuk saling bertukar informasi mengenai sertifikasi produk makanan halal. Dan Miskiewicz juga berkeinginan untuk menjalin kerja sama dengan UIN Jakarta dalam bidang pendidikan.[] Abdullah Suntani

APA DAN SIAPA

Tomasz MiskiewiczSenang Kunjungi Kampus UIN Jakarta

Mufti Polandia Tomasz Miskiewicz dan istrinya, Barbara Miskiewicz, merasa senang dapat mengunjungi kampus UIN Jakarta. Hal itu diakuinya saat menjadi tamu dan pembicara dalam kuliah umum bertema Islam Polandia: Sejarah dan perkembangannya Sampai Sekarang, di Ruang Diorama, akhir Maret 2010.

“Ini adalah kunjungan yang pertama bagi saya di kampus UIN Jakarta. Secara pribadi saya merasa senang dapat mengunjungi kampus ini. Megah, bersih, dan terlebih pada keharmonisan dan keramahan warga

Page 36: Majalah Dinamika Edisi 6

Atas terpilihnya kembali

Prof. Dr. Komaruddin HidayatSebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 2010-2015Semoga Mampu Mengemban Amanah dan Mengawal Kampus UIN JakartaMenuju World Class University

Pimpinan dan Staff

DinaMikaUntuk Kemajuan Civitas Akademika