44
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 82/PUU-XI/2013 PERKARA NOMOR 3/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 16/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 45/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN, PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2011 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL, PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA PENGUCAPAN PUTUSAN JAKARTA, SELASA, 23 DESEMBER 2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ...mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan... · (11)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 -Pengujian

Embed Size (px)

Citation preview

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---------------------

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 82/PUU-XI/2013

PERKARA NOMOR 3/PUU-XII/2014

PERKARA NOMOR 16/PUU-XII/2014

PERKARA NOMOR 45/PUU-XII/2014

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013

TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN,

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2011

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004

TENTANG KOMISI YUDISIAL, PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-

UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

PENGUCAPAN PUTUSAN

JAKARTA,

SELASA, 23 DESEMBER 2014

i

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

-------------- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 82/PUU-XI/2013 PERKARA NOMOR 3/PUU-XII/2014

PERKARA NOMOR 16/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 45/PUU-XII/2014

PERIHAL

- Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan [Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2), ayat (3), Pasal 58, Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan [Pasal 1 angka 1, angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2), ayat (3), Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial [Pasal 28 ayat (3) huruf c, ayat (6), dan Pasal 37 ayat (1)] serta Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung [Pasal 45A ayat (1), dan ayat (2) huruf a, huruf b, serta huruf c] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON 1. Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah (Pemohon Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013) 2. Yayasan FITRIA Sumatera Utara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) (Pemohon Perkara Nomor

3/PUU-XII/2014) 3. Edy Suandi Hamid dan Sri Hastuti Puspitasari (Pemohon Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014) 4. Noes Soediono (Pemohon Perkara Nomor 45/PUU-XII/2014) ACARA Pengucapan Putusan Selasa, 23 Desember 2014, Pukul 15.42-17.17 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Hamdan Zoelva (Ketua) 2) Arief Hidayat (Anggota) 3) Patrialis Akbar (Anggota) 4) Muhammad Alim (Anggota) 5) Anwar Usman (Anggota) 6) Wahiduddin Adams (Anggota) 7) Aswanto (Anggota) 8) Maria Farida Indrati (Anggota) 9) Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota) Cholidin Nasir Panitera Pengganti Saiful Anwar Panitera Pengganti Wiwik Budi Wasito Panitera Pengganti Achmad Edi Subiyanto Panitera Pengganti

ii

Pihak yang Hadir:

A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013:

1. M. Najih 2. Ibnu Sina Chandranegara 3. Syaiful Bakhri

B. Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014:

1. Poengky Indarti

C. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014:

1. Wahyudi Djafar D. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014:

1. Zairin Harahap 2. Anang Zubaidy 3. Ahmad Khairun

E. Pihak Terkait Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014:

1. Anatomi 2. Nur Chusni 3. J. Tigor Simanjuntak

F. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 45/PUU-XII/2014:

1. Rusdianto Matulatuwa 2. Ferdinand Robot

G. PEMERINTAH:

1. Budijono 2. Tri Rahmanto 3. Jaya 4. Indra Baskoro (Kesbangpol)

H. DPR:

1. Agus Trimorowulan

1

1. KETUA: HAMDAN ZOELVA

Sidang Mahkamah Konstitusi untuk pengucapan putusan dalam Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013, Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, Nomor 16/PUU-XII/2014, Nomor 45/PUU-XII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.

Ya, saya mau absen dulu. Pemohon Nomor 82/PUU-XI/2013 hadir?

2. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 82/PUU-XI/2013:

IBNU SINA CHANDRANEGARA

Pemohon Nomor 82/PUU-XI/2013 hadir. Pemohon Prinsipal Prof. Dr. H. Din Syamsudin, kemudian kuasa hukumnya.

3. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Terima kasih. Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014? 4. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 3/PUU-XII/2014:

WAHYUDI DJAFAR Hadir, Yang Mulia. 5. KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014? 6. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 16/PUU-XII/2014:

ZAIRIN HARAHAP Hadir, Yang Mulia. 7. KETUA: HAMDAN ZOELVA Perkara Nomor 45/PUU-XII/2014?

SIDANG DIBUKA PUKUL 15.42 WIB

KETUK PALU 3X

2

8. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 45/PUU-XII/2014: RUSDIANTO MATULATUWA

Hadir, Yang Mulia. 9. KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. Pemerintah? 10. PEMERINTAH: BUDIJONO Hadir, Yang Mulia. 11. KETUA: HAMDAN ZOELVA DPR? 12. DPR: AGUS TRIMOROWULAN Hadir, Yang Mulia. 13. KETUA: HAMDAN ZOELVA

Pihak Terkait Nomor 16/PUU-XII/2014? 14. PIHAK TERKAIT: ANATOMI Hadir, Yang Mulia. 15. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ada dua Pihak Terkaitnya? 16. PIHAK TERKAIT: ANATOMI Satu, dari KPK. 17. KETUA: HAMDAN ZOELVA

Satu, dari KPK. Dari KY, tidak ada, baik. Baik. Terima kasih. Kita mulai pengucapan putusan untuk perkara Nomor 82/PUU-XI/2013.

3

PUTUSAN NOMOR 82/PUU-XI/2013

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan

terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah, yang diwakili oleh Prof. Dr. Din Syamsudin dan Dr. Abdul Mu’ti M.Ed, yang bertindak dalam jabatannya sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 12 September 2013 memberi kuasa kepada 1). Dr. Syaiful Bakhri, S.H., MH., 2). Dr. Trisno Rahardjo, S.H., M. Hum., 3). Dr. Danang Wahyu Muhammad, S.H., M.Hum., 4). Dr. Natangsa Surbakti, S.H., M.H., 5). Noor Ansyari. S.H., 6). Ibnu Sina Chandranegara, S.H., 7). Bachtiar, S.H., 8). Mochamad Iksan, S.H., M.H., 9). Sudaryono, S.H., M.Hum., 10). Iwan Satriawan, S.H., M.CL., 11). Muhammad Najih, S.H., MH., 12). Aris Budi Cahyono, S.H., 13). Mujahid Latief, S.H., MH., 14). Iswanto, S.H., M.Hum., 15). Jamil Burhan, S.H., 16). Saptono Hariadi, S.H. Kesemuanya adalah Advokat dan Pembela Umum, yang tergabung dalam Tim Majelis Hukum Dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang beralamat di Jalan Menteng Raya Nomor 62, Jakarta Pusat, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------- Pemohon

[1.3] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; Memeriksa bukti-bukti Pemohon;

Mendengar keterangan ahli Pemohon; Mendengar keterangan saksi dan ahli Presiden;

Membaca kesimpulan tertulis Pemohon; 18. ARIEF HIDAYAT

Pendapat Mahkamah [3.16]Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas

permasalahan konstitusional yang dimohonkan oleh Pemohon adalah apakah secara keseluruhan UU 17/2013 bertentangan

4

dengan prinsip kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 atau beberapa norma tertentu dalam UU 17/2013 bertentangan dengan UUD 1945, yaitu mengenai: 1. Prinsip sukarela dan tidak adanya jaminan keberadaan Ormas

yang berdasarkan kesamaan agama dalam pengertian dan definisi Ormas (Pasal 1 dan Pasal 33 UU 17/2013);

2. Pengaturan yang rinci mengenai tujuan, simbol, lambang dan urusan rumah tangga Ormas bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat (Pasal 5, Pasal 21, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38,dan Pasal 59 UU 17/2013);

3. Adanya pertentangan antara norma Ormas yang bersifat nirlaba dengan dibolehkannya Ormas mendirikan badan usaha (Pasal 4 dan Pasal 39 UU Ormas), tidak adanya jaminan Ormas berdasarkan kesamaan agama (Pasal 1 angka 1 UU Ormas), padahal dalam norma yang lain (Pasal 21) salah satu tujuan Ormas adalah pelaksanaan keyakinan agama yang dengan demikian, menurut Pemohon, bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil;

4. Pembedaan antara Ormas pada lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota serta pengaturan rinci mengenai format kepengurusan yang bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat (Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU17/2013);

5. Pendaftaran Ormas tidak berbadan hukum yang seharusnya tidak perlu diatur undang-undang (Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 UU 17/2013);

6. Hak dan kewajiban Ormas yang seharusnya tidak perlu diatur undang-undang, tetapi cukup dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ormas. Demikian juga pengaturan mengenai lambang Ormas yang seharusnya sudah diatur dalam UU Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, atau Rahasia Dagang (Pasal 20, dan pengaturan pidana yang berlebihan dalam 59 ayat (1) huruf a, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 UU 17/2013);

7. Perlindungan hukum bagi Ormas yang sudah cukup diatur dalam berbagai Undang-Undang, antara lain, KUHP, KUHPerdata, KUHAP;

8. Pengaturan yang berlebihan mengenai kerja sama Ormas (Pasal 20 UU 17/2013);

9. Pengaturan pidana yang berlebihan [Pasal 59 ayat (3) UU 17/2013];

10. Kewajiban laporan keuangan Ormas yang harus sesuai dengan standar akuntansi (Pasal 37 dan Pasal 38 UU 17/2013);

5

11. Pengaturan kesamaan hak dan kewajiban anggota yang tidak menghargai keragaman Ormas (Pasal 33 dan Pasal 34 UU 17/2013);

12. Pemberdayaan Ormas oleh pemerintah (Pasal 40 UU 17/2013) yang menurut Pemohon berpotensi adanya tindakan korup.

[3.17] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permasalahan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, terlebih dahulu Mahkamah mengemukakan hal sebagai berikut: Hakikat demokrasi pada umumnya (secara universal) memberikan otonomi yang luas kepada kebebasan manusia atau badan hukum sebagai warga di dalam suatu negara. Oleh karena itu, demokrasi sangat menghormati serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia (human dignity). Dari sinilah hubungan antara hak asasi manusia dan demokrasi sebagai model penyelenggaran pemerintahan suatu negara tidak dapat dipisahkan. Hak asasi manusia merupakan anasir dasar yang memberi isi pada demokrasi. Demokrasi tanpa penghormatan atas hak asasi dan tanpa pemberian otonomi luas kepada martabat kemanusiaan adalah absurd. Oleh karena harkat kemanusiaan yang menjadi hakekat demokrasi maka dalam kehidupan politik dan kenegaraan demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyatlah sesungguhnya yang memiliki kedaulatan dan menjadi sumber kekuasaan. Dalam makna yang demikian, pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan yang memberi peran kunci kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Segala kebijakan pemerintahan ditentukan oleh rakyat, dilaksanakan oleh rakyat melalui organ kekuasaan yang dibentuk oleh rakyat serta penyelenggaraan pemerintahan yang selalu diawasi oleh rakyat agar tidak menyimpang dari kehendak rakyat. Pemerintahan demokrasi memberi peran dan otonomi luas kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan dan pembentukan norma hukum serta kebijakan dalam pemerintahan negara; Para pendiri Negara Republik Indonesia telah mengadopsi nilai dan prinsip demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dianut dalam penyelenggaraan negara. Hal tersebut tegas dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

6

Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Untuk itu, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Model pemerintahan yang berdasar kedaulatan rakyat adalah model pemerintahan demokrasi karena menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Dalam rangka menjamin pelaksanaan pemerintahan demokrasi UUD 1945 menegaskan jaminan dan pengakuan atas hak-hak asasi manusia yang dirumuskan secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Dasar itu sendiri. Selain itu, UUD 1945 juga mengatur dengan tegas bahwa pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara adalah pemerintah yang dipilih oleh rakyat baik yang dipilih secara langsung maupun tidak langsung oleh rakyat. Bahkan lebih jauh lagi, UUD 1945 memberi ruang kebebasan kepada rakyat untuk mengawasi dan berpartisipasi dalam pemerintahan negara yang antara lain dengan memberikan jaminan hak dan kebebasan kepada setiap orang untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, dan berserikat; Prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul secara tegas ditentukan dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Kemudian, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian, setiap orang berhak dan bebas membentuk atau ikut serta dalam keanggotaan atau pun menjadi pengurus organisasi dalam kehidupan bermasyarakat dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat adalah termasuk salah satu prinsip negara demokrasi. Namun demikian, menurut UUD 1945, dalam menjalankan hak kebebasan berserikat dan berkumpul bukan tidak tak terbatas. Kebebasan tersebut dibatasi oleh tanggung jawab dan kewajiban dalam hubungan dengan orang lain, masyarakat, bangsa, dan negara. Kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi, namun kebebasan tersebut dapat dibatasi oleh negara melalui ketentuan Undang-Undang dalam batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh konstitusi, yaitu dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945];

7

Oleh karena itu, menurut Mahkamah jaminan atas hak asasi manusia tidak didasarkan pada hak yang bersifat kebebasan individual semata, namun para perumus Undang-Undang Dasar memilih paradigma bahwa hak asasi manusia harus ditempatkan dalam hubungannya dengan kewajiban terhadap masyarakat dan negara, terutama nilai-nilai yang dianut oleh Bangsa Indonesia; Pengaturan mengenai organisasi kemasyarakatan yang berlaku saat ini merupakan upaya untuk menjalankan amanat konstitusional bahwa negara harus memberikan jaminan atas penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan kebebasan berkumpul dan berserikat warga negara. Pengaturan ini sekaligus sebagai pembatasan agar kebebasan berserikat yang dimiliki warga negara tidak melanggar hak dan kebebasan warga negara lain. Di sisi lain, pembentuk Undang-Undang yang merepresentasikan kekuasaan negara dalam menyusun Undang-Undang juga tidak boleh semena-mena, terlebih bahwa Undang-Undang yang disusunnya mengatur mengenai keberadaan dan kebebasan warga negara yang dijamin dalam konstitusi. Negara juga harus memberi ruang kepada masyarakat untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara; Berdasarkan pertimbangan tersebut, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan norma-norma yang termuat dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon bertentangan dengan UUD 1945, sebagai berikut:

[3.18] Menimbang bahwa permohonan Pemohon secara umum mendalilkan bahwa UU 17/2013 secara keseluruhan bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945, karena telah mengatur urusan Ormas secara rinci yang seharusnya merupakan wilayah kebebasan rakyat dalam berkumpul dan berorganisasi sehingga membatasi makna kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Selain itu, menurut Pemohon sejumlah norma dalam Undang-Undang a quo mengandung perumusan norma yang bias dan saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya sehingga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Menurut Mahkamah, memang benar banyak norma dalam Undang-Undang a quo, mengatur urusan Ormas secara rinci. UUD 1945 menjamin hak dan kebebasan masyarakat untuk berkumpul dan berserikat, yang dalam pelaksanaannya, konstitusi memberikan otoritas kepada negara untuk mengatur hak kebebasan berkumpul dan berserikat tersebut lebih lanjut dalam Undang-Undang. Menurut Mahkamah pengaturan dalam Undang-Undang adalah merupakan pembatasan, tetapi sepanjang pembatasan tersebut tidak eksesif

8

dan masih dalam rangka dengan maksud semata-mata untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum maka pembatasan tersebut dapat dibenarkan. Mahkamah menilai, pengaturan kebebasan berkumpul dan berserikat yang lebih rinci tidak serta merta mengakibatkan keseluruhan norma dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon untuk menyatakan keseluruhan norma UU 17/2013 bertentangan dengan UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum;

[3.19]Menimbang bahwa walaupun demikian Mahkamah perlu menilai dan mempertimbangkan permohonan Pemohon yang spesifik mengenai pasal dan norma tertentu, sebagai berikut: [3.19.1]Bahwa Pemohon pada pokoknya mempersoalkan prinsip

sukarela dalam pembentukan Ormas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU 17/2013 karena kesukarelaan tidak menjadi dasar seseorang masuk ke dalam suatu Ormas. Ada sebagian Ormas yang mengharuskan calon anggota untuk memberikan kontribusi ke dalam Ormasnya. Selain itu, adanya persamaan agama tidak terumuskan dalam Pasal 1 angka 1 UU 17/2013, sehingga Ormas yang didirikan berdasarkan persamaan agama menjadi kehilangan dasar hukum dalam pembentukannya; Menurut Mahkamah, kebebasan berserikat adalah salah satu hak yang paling penting dalam negara demokrasi karena kebebasan berserikat merupakan jantung dari sistem demokrasi. Dengan kebebasan berserikat, warga negara dapat secara bersama-sama memperjuangkan kepentingannya yang tidak mungkin atau sulit dicapai secara individu. Selain itu, dengan kebebasan berserikat di dalamnya juga dijamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk mendirikan atau bergabung dalam organisasi manapun. Menurut Mahkamah, pengertian sukarela dalam ketentuan Undang-Undang a quo adalah adanya jaminan hak dan kebebasan setiap orang untuk mendirikan atau menjadi anggota Ormas sesuai dengan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Adapun tidak tercantumnya kesamaan agama dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang a quo, tidak berarti masyarakat tidak dapat mendirikan Ormas yang memiliki kegiatan keagamaan karena aspek kesamaan aspirasi, kesamaan kehendak, kesamaan

9

kebutuhan, kesamaan kepentingan, kesamaan kegiatan, dan kesamaan tujuan secara eksplisit mengakomodasi semua jenis organisasi termasuk Ormas yang berlatar belakang dan berdasar keagamaan seperti Pemohon (PP Muhammadiyah), sehingga pengertian Ormas dalam Pasal 1 angka 1 UU 17/2013 tidak menghambat Ormas yang didirikan dengan latar belakang dan dasar keagamaan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;

[3.19.2]Pemohon mendalilkan bahwa terdapat pertentangan antara Pasal 4 dengan Pasal 39 UU 17/2013 karena di satu sisi Ormas bersifat nirlaba namun di sisi lain Ormas diperbolehkan mendirikan badan usaha, sehingga kedua ketentuan tersebut saling bertentangan dan mengandung ketidakpastian hukum. Menurut Mahkamah, pada hakikatnya pembentukan Ormas tidak dalam rangka untuk mencari keuntungan (bersifat nirlaba) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang a quo. Berbeda dengan perseroan terbatas yang bertujuan profit atau mencari keuntungan. Namun demikian, tidak berarti Ormas tidak boleh mendirikan badan usaha yang hasilnya untuk kepentingan Ormas itu sendiri. Menurut Mahkamah, dibolehkannya Ormas mendirikan badan usaha yang bersifat mencari keuntungan, justru akan menjadikan Ormas memiliki kemandirian dan sangat membantu Ormas dalam menjalankan kegiatannya yang bersifat sosial, budaya maupun keagamaan, sehingga Pasal 4 tidak dapat dipertentangkan dengan Pasal 39 Undang-Undang a quo. Terlebih lagi Mahkamah juga tidak menemukan alasan atau argumentasi yang tepat bahwa ada persoalan konstitusionalitas norma dimaksud;

[3.19.3]Pemohon mendalilkan bahwa perumusan tujuan organisasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 UU 17/2013 adalah sesuatu hal yang berlebih-lebihan. Perumusan Pasal 5 Undang-Undang a quo, menunjukkan bahwa tujuan Ormas harus kumulatif sehingga tidak memberikan jaminan dan perlindungan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, tujuan yang termuat dalam Pasal 5 merupakan penjabaran dari sifat Ormas yang bercirikan sosial dan nirlaba. Persoalannya ketika tujuan yang dirumuskan dalam pasal a quo, sebagai kumulasi justru akan membuat Ormas dengan tujuan tertentu akan menjadi kabur dan Ormas kehilangan identitasnya. Demikian juga, bagi Ormas yang tidak mencantumkan

10

salah satu tujuan dari seluruh tujuan Ormas yang tercantum dalam Pasal 5 UU 17/2013, terancam mendapatkan sanksi administrasi sehingga kehilangan legalitasnya sebagai Ormas. Oleh karena itu, menurut Mahkamah apabila tujuan yang termuat dalam Pasal 5 UU 17/2013 harus secara kumulatif dipenuhi oleh Ormas maka hal itu justru bertentangan dengan hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Menurut Mahkamah setiap Ormas harus diberikan kebebasan untuk menentukan tujuannya masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan dasar negara dan UUD 1945, tanpa memaksakan untuk merumuskan tujuan secara kumulatif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 UU 17/2013. Agar tujuan yang termuat dalam Pasal 5 UU 17/2013 tersebut tidak melanggar hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 maka kata “dan” yang terdapat pada Pasal 5 huruf g UU 17/2013 harus ditambah dengan kata “/atau” agar tujuan tersebut dapat bersifat alternatif. Dengan demikian, menurut Mahkamah, selain hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 tidak terlanggar, tujuan yang termuat dalam Pasal 5 UU 17/2013 juga dapat dipenuhi oleh Ormas. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Pasal 5 huruf g UU 17/2013 menjadi sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini;

19. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM

[3.19.4]Bahwa Pemohon memohon pengujian konstitusionalitas

pembedaan Ormas yang lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU 17/2013. Pemohon mendalilkan, ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat karena pembedaan tersebut mengandung pembatasan yang merupakan wujud pengkerdilan makna kebebasan berserikat. Terhadap dalil tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa penentuan lingkup Ormas dalam Undang-Undang pada lingkup nasional, provinsi, atau daerah dapat membatasi pertumbuhan atau perkembangan Ormas yang mungkin saja pada awalnya merupakan Ormas yang berada di tingkat kabupaten/kota tetapi selanjutnya dapat menjadi Ormas yang memiliki lingkup nasional. Sebaliknya, Ormas yang semula merupakan Ormas berlingkup nasional tetapi kemudian kehilangan organisasinya di daerah maka tidak dapat lagi disebut sebagai Ormas lingkup nasional. Lagi

11

pula, pembatasan Ormas dengan lingkup tertentu akan membatasi kegiatan Ormas di luar lingkup keberadaannya yang akan menghambat suatu Ormas untuk melakukan kegiatan atau usaha bagi kemajuan organisasi atau anggotanya. Selain itu, pembedaan dan pembatasan lingkup suatu Ormas dapat membatasi Ormas yang berbadan hukum seperti Yayasan dan Perkumpulan, yang sifatnya tidak selalu memiliki lingkup kepengurusan dan berjenjang secara nasional yang tidak dapat dibatasi untuk melakukan kegiatan secara nasional. Mahkamah menilai, pembedaan lingkup Ormas tersebut dapat mengekang prinsip kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh konstitusi. Mahkamah tidak menemukan alasan yang dibenarkan menurut Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, untuk melakukan pembatasan demikian. Tidak ada hak dan kebebasan orang lain yang terhalang maupun tidak ada nilai keadilan karena pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum yang terganggu oleh keberadaan Ormas yang memiliki ketiga lingkup tersebut secara bersamaan, walaupun suatu Ormas hanya memiliki kepengurusan pada tingkat kabupaten/kota. Adapun masalah administrasi, ketika suatu Ormas melakukan aktivitas yang dibiayai oleh negara di tingkat nasional, provinsi atau kabupaten/kota, maka hal itu persoalan administrasi yang tidak perlu diatur dalam Undang-Undang. Artinya, pelayanan terhadap Ormas dalam menjalankan suatu kegiatan dengan menggunakan anggaran negara, atau pelayanan dalam bentuk pembinaan oleh pemerintah terhadap suatu Ormas dapat dibatasi oleh pemerintah dengan peraturan yang lebih rendah sesuai lingkup Ormas yang bersangkutan. Menurut Mahkamah, yang menjadi prinsip pokok bagi Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat mendaftarkan diri kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk itu dan dapat pula tidak mendaftarkan diri. Ketika suatu Ormas yang tidak berbadan hukum, telah mendaftarkan diri haruslah diakui keberadaannya sebagai Ormas yang dapat melakukan kegiatan organisasi dalam lingkup daerah maupun nasional. Suatu Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas

12

terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum; Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil permohonan Pemohon mengenai Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU 17/2013 beralasan menurut hukum;

[3.19.5]Bahwa walaupun Pemohon tidak mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18 UU 17/2013, tetapi ketiga pasal tersebut terkait lingkup Ormas, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam paragraf [3.19.4] di atas, maka ketentuan mengenai pendaftaran Ormas yang dikaitkan dengan lingkup suatu Ormas harus dinyatakan inkonstitusioal pula. Ormas yang menghendaki untuk mendaftarkan suatu Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat saja melakukan pendaftaran Ormasnya di tempat kedudukan Ormas yang bersangkutan. Adapun tata cara pendaftaran Ormas tersebut dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang a quo;

[3.19.6]Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 34 ayat (1) UU 17/2013 yang menentukan, “Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama”, karena bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan a quo memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk “ikut campur” terlalu berlebihan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Ketentuan tersebut terlampau jauh mengatur hal-hal yang sesungguhnya menjadi kewenangan otonomi masyarakat dalam menentukan aturan internal organisasinya; Menurut Mahkamah, hak dan kewajiban anggota suatu Ormas adalah masalah internal dan wilayah otonom dari masing-masing Ormas. Merupakan hak otonomi suatu Ormas sesuai dengan karakteristiknya untuk menentukan hak kewajiban anggotanya yang dapat saja berbeda antara satu Ormas dengan Ormas yang lainnya. Negara tidak dapat mencampuri dan tidak dapat memaksakan suatu ormas mewajibkan anggotanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, karena akan membelenggu kebebasan masyarakat dalam mengatur urusan organisasi yang menjadi wilayah otonomi dari masyarakat. Oleh karena itu, menurut Mahkamah pengaturan yang demikian

13

adalah bentuk pembatasan yang melanggar prinsip kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 dan tidak memiliki alasan konstitusional yang dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa pembatasan dapat dibenarkan sepanjang dilakukan dengan maksud “untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil” dengan ukuran-ukuran pembatasan yang harus memenuhi kesesuaian berdasarkan (i) pertimbangan moral, (ii) nilai-nilai agama, (iii) keamanan, dan (iv) ketertiban umum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang a quo adalah beralasan menurut hukum;

[3.19.7]Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 40 UU 17/2013 mengenai posisi Pemerintah dalam melakukan pemberdayaan terhadap Ormas karena bertentangan dengan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat serta hak dan kebebasan untuk memperjuangkan hak secara kolektif untuk memajukan masyarakat dan negaranya; Menurut Mahkamah, hakikat Ormas adalah organisasi yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat yang memiliki kesamaan aspirasi dan tujuan. Dalam kerangka sistem pemerintahan demokrasi, kebebasan rakyat untuk berkumpul dan berserikat adalah salah satu hak asasi yang dijamin oleh negara. Negara tidak boleh terlalu jauh mencampuri hak dan kebebasan ini kecuali dalam batas-batas yang diperkenankan oleh konstitusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Terhadap ketentuan a quo yang memberi peran kepada pemerintah untuk melakukan pemberdayaan terhadap Ormas dengan melakukan fasilitasi kebijakan, penguatan kapasitas kelembagaan, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia, menurut Mahkamah, walaupun tujuan pengaturan tersebut baik dan positif bagi pengembangan Ormas, tetapi pemberian peran tersebut bertentangan dengan hakikat Ormas sebagai organisasi masyarakat yang mandiri dan otonom. Pemberian peran yang demikian itu akan sangat potensial mengintervensi serta mengganggu kebebasan dan kemandirian Ormas sebagai organisasi yang mandiri. Menurut Mahkamah, kemajuan dan kemunduran suatu Ormas adalah urusan internal yang menjadi kebebasan dan tanggung jawab Ormas yang bersangkutan. Apabila pada akhirnya Ormas tidak mampu

14

meneruskan keberlangsungan organisasinya maka hal demikian merupakan hal yang alamiah dan wajar. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa negara tidak boleh memberi bantuan kepada Ormas baik berupa dana maupun dukungan lain untuk memajukan suatu Ormas. Pemberian bantuan yang demikian wajar saja, sepanjang Ormas yang bersangkutan memerlukannya dan secara sukarela menerimanya. Artinya bentuk bantuan apa pun dari pemerintah, sangat tergantung kepada suatu Ormas untuk menerima bantuan negara atau tidak, tetapi negara tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada Ormas melalui wadah pemberdayaan. Lain halnya jika kegiatan dan aktivitas Ormas terbukti mengancam keamanan dan ketertiban umum, mengganggu hak kebebasan orang lain, serta melanggar nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama, negara berkewajiban dalam fungsinya menjamin ketertiban umum dapat melakukan penegakan hukum, bahkan dapat menghentikan kegiatan suatu Ormas. Menurut Mahkamah, campur tangan negara dalam pemberdayaan Ormas akan mengancam kreativitas masyarakat dalam mengekspresikan hak kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945, sehingga dalil Pemohon mengenai Pasal 40 Undang-Undang a quo beralasan menurut hukum;

[3.19.8]Pemohon mendalilkan mekanisme penyelesaian sengketa internal Ormas melalui pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU 17/2013 bertentangan dengan UUD 1945 karena telah mengebiri hak asasi manusia untuk berserikat dan berkumpul. Hal itu juga bermakna tidak memberikan perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, sesuai dengan argumentasi Pemohon, Pemohon tidak menjelaskan secara rinci dan lengkap apa dan bagaimana pertentangan antara norma a quo dengan UUD 1945. Walaupun demikian, menurut Mahkamah, pengaturan penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas norma, karena mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah hal yang wajar apabila seluruh mekanisme penyelesaian yang lain di luar pengadilan tidak menemukan titik temu. Pengaturan hal yang demikian dalam norma undang-undang hanya konstatasi dari kenyataan dalam kelaziman praktik yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Demikian pula, mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyelesaikan sengketa suatu Ormas

15

tidak serta merta merupakan intervensi negara terhadap Ormas [Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) UU 17/2013], sepanjang mediasi tersebut dilakukan atas permintaan dan kesepakatan para pihak di internal Ormas untuk menyelesaikan perselisihan. Sebaliknya, negara dengan ketentuan tersebut tidak dapat dimaknai dapat secara langsung ikut campur dan terlibat dalam perselisihan internal suatu Ormas, karena adanya perselisihan internal suatu Ormas atau hanya karena permintaan salah satu pihak yang berselisih dalam Ormas. Oleh karena itu, negara harus benar-benar menjadi penengah yang netral dan tidak memihak dalam penyelesaian perselisihan internal. Pengaturan yang termuat dalam Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 58 UU 17/2013 justru diperlukan untuk memberi kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa suatu Ormas, sehingga menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;

[3.19.9]Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a UU 17/2013 merupakan ketentuan yang multitafsir karena di satu sisi perbuatan yang demikian itu merupakan tindak pidana dan di sisi lain hanya bersifat pelarangan. Oleh karena itu, menurut Pemohon pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap larangan penggunaan lambang negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013, Mahkamah perlu mengutip Putusan Nomor 4/PUU-X/2012, tanggal 15 Januari 2013 yang antara lain mempertimbangkan sebagai berikut: “... Mahkamah berpendapat larangan penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf d Undang-Undang a quo tidak tepat. Apalagi larangan tersebut diikuti dengan ancaman pidana, yang seharusnya ketentuan mengenai perbuatan yang diancam pidana harus memenuhi rumusan yang bersifat jelas dan tegas (lex certa), tertulis (lex scripta), dan ketat (lex stricta); Terkait penggunaan lambang negara, hal yang tidak boleh dilupakan adalah keberadaan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Mahkamah berpendapat bahwa kata “menjamin” dalam Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 harus diartikan sebagai kewajiban negara yang di sisi lain merupakan hak warga negara atau masyarakat untuk “memelihara dan mengembangkan nilai-

16

nilai budayanya”. Dengan mengingat bahwa Pancasila, yang dilambangkan dalam bentuk Garuda Pancasila, adalah seperangkat sistem nilai (budaya) yang menjadi milik bersama atau kebudayaan bersama seluruh warga negara Indonesia maka menjadi hak warga negara untuk melaksanakan nilai-nilainya termasuk di dalamnya menggunakan lambang negara. Apalagi jika mengingat bahwa Pancasila sebagai sistem nilai adalah terlahir atau merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia;

[3.19]Menimbang bahwa sesuai pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat pembatasan penggunaan lambang negara merupakan bentuk pengekangan ekspresi dan apresiasi warga negara akan identitasnya sebagai warga negara. Pengekangan yang demikian dapat mengurangi rasa memiliki yang ada pada warga negara terhadap lambang negaranya, dan bukan tidak mungkin dalam derajat tertentu mengurangi kadar nasionalisme, yang tentunya justru berlawanan dengan maksud dibentuknya Undang-Undang a quo; Oleh karena ketentuan Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013 mengandung materi muatan yang sama dengan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-X/2012, tanggal 15 Januari 2013, yaitu mengenai penggunaan lambang negara maka pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-X/2012 tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum pula dalam permohonan a quo khususnya Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013, sehingga dalil Pemohon sepanjang Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013 beralasan menurut hukum; Adapun permohonan Pemohon mengenai Pasal 59 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, serta ayat (3) huruf a UU 17/2013, menurut Mahkamah tidak tepat karena larangan demikian adalah pembatasan yang dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yaitu dalam rangka untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh karena itu, dalil Pemohon sepanjang Pasal 59 ayat (1) huruf b dan huruf d serta ayat (3) huruf a UU 17/2013 tidak beralasan menurut hukum; [3.19.10]Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,

Pasal 21, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 36, serta Pasal 38 UU 17/2013 bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah tidak menemukan

17

alasan yang diajukan Pemohon tentang adanya pertentangan antara norma dalam pasal-pasal a quo dengan UUD 1945, karena Pemohon hanya secara umum dan tidak menguraikan secara spesifik alasan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo kabur atau tidak jelas;

[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon beralasan hukum untuk sebagian;

20. KETUA: HAMDAN ZOELVA

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo; [4.3] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk

sebagian; [4.4] Permohonan Pemohon mengenai Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,

Pasal 21, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 36, serta Pasal 38 UU 17/2013 kabur atau tidak jelas; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian:

1.1. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

18

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tujuan dimaksud bersifat kumulatif dan/atau alternatif;

1.2. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa tujuan dimaksud bersifat kumulatif dan/atau alternatif;

1.3. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) selengkapnya menjadi: “Ormas bertujuan untuk: a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat; b. memberikan pelayanan kepada masyarakat; c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa; d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika,

dan budaya yang hidup dalam masyarakat; e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup; f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong

royong, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat; g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan

kesatuan bangsa; dan/atau h. mewujudkan tujuan negara”.

1.4. Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.5. Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Permohonan Pemohon mengenai Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 36, serta Pasal 38 Undang-Undang Nomor 17

19

Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) tidak dapat diterima;

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara

Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh dua, bulan Oktober, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tiga, bulan Desember, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 16.31 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir dan Saiful Anwar sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Selanjutnya Putusan Nomor 3/PUU-XII/2014.

PUTUSAN

NOMOR 3/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Nama : Yayasan FITRA Sumatera Utara, yang diwakili oleh Irvan Hamdani HSB., S.Kom.

Alamat : Jalan Arief Rahman Hakim, Gg. Sukmawati Nomor 1A, Medan 20217

Sebagai------------------------------------------------------Pemohon I;

KETUK PALU 1X

20

2. Nama : Perkumpulan Indonesia Corruption Watch (ICW), yang diwakili oleh Danang Widoyoko, ST.

Alamat : Jalan Kalibata Timur IV/D Nomor 6, Jakarta Selatan

Sebagai----------------------------------------------------Pemohon III; 3. Nama : Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif Dan

Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), yang diwakili oleh Abdi Suryaningati

Alamat : Jalan Pedati Raya, Nomor 20, Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur

Sebagai-----------------------------------------------------Pemohon IV; 4. Nama : Ir. H. Said Iqbal

Pekerjaan : Karyawan Swasta dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)

Alamat : Jalan Lestari RT/RW. 009/003, Kelurahan Kalisari, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur

Sebagai-----------------------------------------------------Pemohon V; 5. Nama : M. Choirul Anam, SH.

Pekerjaan : Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG)

Alamat : Jalan Mahoni Blok CO, Nomor 02, BDB 2, RT/RW 006/015, Kelurahan Sukahati, Kecamatan Cibinong, Bogor

Sebagai----------------------------------------------------Pemohon VI; 6. Nama : Poengky Indarti, SH., LL.M.

Pekerjaan : Direktur Eksekutif Imparsial

Alamat : Perumahan Bumi Sentosa, Blok D8, Nomor 10, RT/RW 007/009, Kelurahan Nanggewer Mekar, Kecamatan Cibinong, Bogor

Sebagai-----------------------------------------------------Pemohon VII; Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 November 2013, memberi kuasa kepada Wahyudi Djafar, S.H., Al Araf, S.H., M.T., Indriaswati D. Saptaningrum, S.H., LL.M., Kristina Virri, S.H., Bahrain, S.H., Zainal Abidin, S.H., Wahyu Wagiman, S.H., Andi Muttaqien, S.H., Ardimanto Putra, S.H., Ridwan Bakar, S.H., Jeremiah U.H. Limbong, S.H., Emerson Junto, S.H., Donal Fariz, S.H., Lola E. Kaban, S.H., Abraham Utama, S.H., Erwin Natosmal Oemar, S.H., Refki Saputra, S.H., Moh. Ainul Yaqin, S.H.I., Julius Ibrani, S.H., Wahyu Nandang Herawan, S.H., Dina

21

Ardiyanti, S.H., M.A., M. Fandrian Hadistianto, S.H., Ari Lazuardi, S.H., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Eddy H. Gurning, S.H., dan Adiani Viviana, S.H., para advokat/pengacara publik/asisten advokat/asisten pengacara publik, yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Kebebasan Berserikat, yang beralamat di Jalan Siaga II Nomor 31 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai--------------------------para Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon; Mendengar keterangan saksi para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; Membaca kesimpulan para Pemohon;

21. HAKIM ANGGOTA : PATRIALIS AKBAR Pendapat Mahkamah Pokok Permohonan [3.11] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan pengujian materiil

Pasal 1 angka 1 dan angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e UU 17/2013 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: a. Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 29 ayat (1), Pasal 57 ayat (2),

dan ayat (3) UU 17/2013 telah mempersempit jaminan perlindungan hak atas kebebasan berserikat sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, karena batasan pengertian mengenai organisasi kemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU 17/2013 yang kemudian membawahi semua bentuk asosiasi atau organisasi yang hidup di Indonesia, dengan memberikan nomenklatur sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas), telah mempersempit ruang lingkup perlindungan hak atas kebebasan berserikat dan tidak mampu mengakomodasi berbagai macam bentuk asosiasi atau organisasi yang masuk dalam cakupan perlindungan hak tersebut. Adapun pembatasan terhadap tujuan organisasi kemasyarakatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UU 17/2013, nampak sekali pertentangannya dengan cakupan perlindungan hak atas kebebasan berserikat, maupun syarat-syarat pembatasan terhadap hak atas

22

kebebasan berserikat. Begitupula dengan Pasal 29 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), dan ayat (3) UU 17/2013 telah memberikan ruang bagi pemerintah dalam urusan internal organisasi yang mengancam independensi organisasi sebagai pilar utama hak atas kebebasan berserikat;

b. Pasal 8 juncto Pasal 23, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 42 ayat (2), Pasal 1 angka 6, dan Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e UU 17/2013, pengaturannya telah menciptakan situasi dan ketidakpastian hukum yang diakibatkan munculnya pertentangan (konflik) antar norma dan menimbulkan keluasan dalam penafsiran, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

c. Pasal 10 dan Pasal 11 serta Pasal 1 angka 6 juncto Pasal 42 ayat (2) UU 17/2013 menghambat peran serta masyarakat dalam pembangunan sehingga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, karena ketentuan-ketentuan tersebut telah mempersempit ruang bagi individu untuk mendirikan suatu organisasi dan/atau mereka yang ingin tergabung dalam suatu wadah organisasi guna berperan serta dalam pengembangan masyarakat, bangsa, dan negara sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945;

[3.12]Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya para Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan P-19, serta saksi dan ahli yaitu Muhammad Muazzin Fauzi, Dr. Meuthia Ganie Rochman, Surya Tjandra, Amir Effendi Siregar, Sri Budi Eko Wardani, Roichatul Aswidah, Syamsuddin Haris, Zainal Arifin Mochtar, dan keterangan tertulis ahli Saldi Isra, yang keterangan selengkapnya masing-masing termuat pada bagian Duduk Perkara;

[3.13]Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden dan DPR tidak memberikan keterangan baik secara lisan di persidangan maupun keterangan tertulis;

[3.14]Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, mendengarkan keterangan ahli dan membaca keterangan tertulis ahli para Pemohon, serta memeriksa bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon sebagaimana termuat lengkap pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan bahwa terhadap Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 23, Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), UU 17/2013 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah dipertimbangkan dan diputus oleh Mahkamah dalam putusan Nomor 82/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Desember 2014, pukul ........ , sehingga pertimbangan hukum dalam putusan tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum pula dalam permohonan a quo.

23

[3.15] Menimbang bahwa terhadap Pasal 1 angka 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), dan Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, serta huruf e UU 17/2013 yang juga dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.15.1]Bahwa Pasal 1 angka 6 UU 17/2013 yang dimohonkan

pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon adalah pasal yang mengatur mengenai ketentuan umum yaitu mengenai pengertian atau batasan suatu kata atau frasa yang terdapat dalam pasal-pasal sehingga ketentuan umum pada pokoknya tidak mengandung materi muatan norma. Setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama seluruh kata “menteri” dalam Undang-Undang a quo, ternyata terdapat 4 (empat) kelompok kata “menteri” yang terdapat dalam pasal-pasal yaitu: (i) menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri; (ii) menteri yang menyelenggarakan urusan hukum dan hak asasi manusia; (iii) menteri yang menyelenggarakan urusan luar negeri; dan (iv) menteri yang tidak secara spesifik disebutkan urusannya. Menurut Mahkamah, menteri yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 UU 17/2013 adalah menteri yang termasuk dalam kelompok keempat sehingga menteri yang termasuk dalam kelompok tersebut harus dimaknai sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 6 Undang-Undang a quo. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

[3.15.2]Bahwa terhadap permohonan para Pemohon mengenai Pasal 10 dan Pasal 11 UU 17/2013, Mahkamah mempertimbangkan bahwa kedua pasal tersebut mengatur tentang adanya dua jenis Ormas yaitu Ormas yang berbadan hukum dan Ormas yang tidak berbadan hukum. Ormas yang berbadan hukum terdiri atas dua jenis yaitu yayasan dan perkumpulan yang secara spesifik diatur atau akan diatur lebih rinci dalam Undang-Undang tersendiri. Adapun Ormas yang tidak berbadan hukum, oleh Undang-Undang a quo mengatur, antara lain, mengenai pendaftaran. Ormas yang tidak terdaftar atau tidak mendaftarkan diri tidak pula dilarang dalam Undang-Undang a quo sehingga Ormas yang demikian tetap memiliki hak hidup sepanjang kegiatan-kegiatannya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, melanggar hak kebebasan orang lain, serta tidak bertentangan dengan nilai moral dan agama. Pendaftaran

24

Ormas adalah mekanisme yang ditentukan oleh negara yang memungkinkan negara memberikan fasilitasi atau bantuan, baik materiil maupun non-materiil. Adapun Ormas yang tidak mendaftarkan diri adalah wajar apabila tidak mendapatkan fasilitasi atau bantuan dari negara. Mahkamah tidak menemukan pertentangan antara kedua norma yang dimohonkan pengujian a quo dengan norma yang lain, baik dalam Undang-Undang a quo maupun Undang-Undang yang lainnya sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, atau bahkan tidak pula bersifat diskriminatif. Dengan demikian, permohonan para Pemohon mengenai Pasal 10 dan Pasal 11 UU 17/2013 tidak beralasan menurut hukum;

[3.15.3]Bahwa terhadap permohonan para Pemohon mengenai Pasal 29 ayat (1) UU 17/2013, menurut Mahkamah, musyawarah dan mufakat adalah proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada demokrasi Pancasila. Namun demikian, demokrasi Pancasila tidak menegasikan proses pengambilan keputusan melalui suara terbanyak. Ketentuan a quo yang tidak memungkinkan adanya pengambilan keputusan melalui suara terbanyak dapat menimbulkan persoalan dan stagnasi terhadap Ormas karena musyarawah dan mufakat tidak selalu dapat dicapai dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru bertentangan dengan UUD 1945. Untuk menghindari timbulnya persoalan dan stagnasi tersebut menurut Mahkamah ketentuan a quo harus memberikan kemungkinan terhadap proses pengambilan keputusan melalui suara terbanyak sehingga pasal a quo harus dimaknai sebagaimana dalam amar putusan di bawah;

[3.15.4]Bahwa terhadap permohonan para Pemohon mengenai Pasal 42 ayat (2) UU 17/2013, pasal tersebut adalah pengaturan mengenai sistem informasi Ormas yang dikembangkan oleh kementerian atau instansi terkait dan dikoordinasikan serta diintegrasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Menurut Mahkamah, pengaturan yang demikian adalah pengaturan yang wajar dan semestinya dalam rangka implementasi administrasi pemerintah mengenai sistem informasi Ormas yang diintegrasikan melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Pengaturan yang demikian

25

juga diperlukan dalam rangka upaya pengembangan dan pemberian pelayanan kepada Ormas untuk meningkatkan peran sertanya dalam memajukan Bangsa dan Negara. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

[3.15.5]Bahwa terhadap permohonan para Pemohon mengenai Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e UU 17/2013, pasal tersebut mengatur tentang larangan melakukan kegiatan tertentu bagi suatu Ormas. Menurut Mahkamah, larangan tersebut adalah bentuk pembatasan terhadap Ormas yang dimungkinkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945;

[3.16]Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian;

22. KETUA: HAMDAN ZOELVA

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo; [4.3] Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum

untuk sebagian; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian:

26

1.1. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai adanya kemungkinan pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak;

1.2. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai adanya kemungkinan pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak;

1.3. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) selengkapnya menjadi, “Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara musyawarah dan mufakat atau dengan suara terbanyak”;

2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh dua, bulan Oktober, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tiga, bulan Desember, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan Pukul 16.46 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasa,

KETUK PALU 1X

27

Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Selanjutnya Putusan Nomor 16/PUU-XII/2014.

PUTUSAN

NOMOR 16/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Nama : Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec

Pekerjaan : Dosen/Rektor Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Alamat : Jalan Kaliurang Km 14,5 Sleman, Provinsi D. I. Yogyakarta

sebagai ------------------------------------------------- Pemohon I;

2. Nama : Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. Pekerjaan : Dosen FH UII/Direktur Pusat Studi

Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Alamat : Jalan Lawu Nomor1, Kotabaru,

Yogyakarta sebagai --------------------------------------------------

Pemohon II; Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 24 Januari 2014 memberi kuasa kepada Zairin Harahap, S.H., M.Si., Anang Zubaidy, S.H., M.H., dan Ahmad Khairun H., S.H., M.Hum. yang semuanya adalah Advokat/ Konsultan Hukum yang tergabung pada Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH-UII) yang berkedudukan hukum di Jalan Lawu Nomor 1, Kotabaru, Yogyakarta, D.I. Yogyakarta, Telp./Fax.: (0274) 545658, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai ----------------------- para Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden;

28

Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi;

Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; Membaca kesimpulan tertulis para Pemohon. 23. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI

Pendapat Mahkamah [3.13]Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama

permohonan para Pemohon, keterangan Presiden, keterangan Komisi Pemberantasan Korupsi, keterangan ahli yang diajukan oleh para Pemohon, bukti tertulis yang diajukan para Pemohon, dan kesimpulan tertulis yang diajukan oleh para Pemohon yang selengkapnya pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Bahwa perubahan UUD 1945 secara umum dilakukan dalam rangka peningkatan demokratisasi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkait dengan kekuasaan kehakiman, perubahan UUD 1945 dilakukan dalam rangka untuk lebih memberikan jaminan secara konstitusional tentang independensi dan imparsialitas (kemerdekaan) dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945]; Bahwa dalam perubahan UUD 1945 tersebut, dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, dibentuk lembaga KY yang secara konstitusional bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [vide Pasal 24B ayat (1) UUD 1945]. Ketentuan konstitusional tersebut telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006, yang antara lain mempertimbangkan: (Dianggap dibacakan). Bahwa sebagai lembaga negara yang diberikan fungsi tertentu oleh UUD 1945 maka anggota KY haruslah orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, yang untuk pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) [vide Pasal

29

24B ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945]. Selanjutnya, UUD 1945 juga memerintahkan kepada Pembentuk Undang-Undang supaya mengatur susunan, kedudukan, dan keanggotaan KY dengan Undang-Undang [vide Pasal 24B ayat (4) UUD 1945];

[3.14] Menimbang bahwa terhadap pengujian konstitusionalitas mengenai ketentuan yang terdapat pada frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c, kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6), dan frasa ”sebanyak 3 (tiga) kali dari” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa secara umum pasal-pasal tersebut mengatur tentang rekrutmen untuk pengisian anggota KY yang untuk itu UU KY sebagai pelaksanaan amanat konstitusi menugaskan kepada Presiden untuk membentuk Panitia Seleksi (Pansel) dalam rangka pemilihan anggota KY dengan prosedur dan jangka waktu yang telah ditentukan. Frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c dan frasa ”sebanyak 3 (tiga) kali dari” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY diartikan bahwa Pansel dalam menyelenggarakan seleksi calon anggota KY yang berjumlah 7 (tujuh) orang harus menghasilkan 21 calon dan demikian pula untuk mengisi kekosongan 1 (satu) anggota, Pansel harus menghasilkan 3 (tiga) calon. Jumlah tersebut adalah 3 (tiga) kali dari komposisi anggota KY atau 3 (tiga) kali dari kekosongan anggota yang akan diisi. Selanjutnya hasil tersebut oleh Presiden diajukan kepada DPR. Kaitannya dengan ketentuan pada kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY, DPR wajib memilih dan menetapkan 7 (tujuh) dari 21 (dua puluh satu) calon atau 1 (satu) dari 3 (tiga) calon yang diajukan oleh Presiden; Bahwa berdasarkan uraian di atas, permasalahan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 atau secara khusus bertentangan dengan pasal-pasal yang menjadi dasar permohonan para Pemohon;

[3.15]Menimbang bahwa terhadap mekanisme rekrutmen untuk pengisian keanggotaan KY, menurut Mahkamah, memiliki kesamaan dengan mekanisme rekrutmen Hakim Agung yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bertanggal 9 Januari 2014, sebagai berikut: Paragraf [3.15.8] dianggap dibacakan dan Paragraf [3.16] dianggap dibacakan.

30

[3.16]Menimbang bahwa substansi dalam pertimbangan di atas adalah ketentuan konstitusional tentang “persetujuan” sebagaimana diatur UUD 1945 yang dalam Undang-Undang diubah menjadi pemilihan dalam proses rekrutmen calon hakim agung di DPR yang oleh Mahkamah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula mengenai Komisi Yudisial, Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa “Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa antara proses pengisian Hakim Agung dan anggota Komisi Yudisial adalah sama yaitu harus dengan persetujuan DPR. Berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena dalam permohonan pengujian konstitusionalitas a quo adalah sama dengan substansi pertimbangan dalam putusan di atas, maka substansi pertimbangan hukum tersebut mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan dalam putusan permohonan a quo. Bahwa khusus mengenai kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang a quo manakala kata dimaksud secara konstitusional dimaknai dengan “menyetujui”, sedangkan sebelumnya terdapat frasa “DPR wajib” dan sesudahnya terdapat frasa “dan menetapkan” maka selengkapnya Pasal 28 ayat (6) tersebut menjadi “DPR wajib menyetujui dan menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden”. Pemaknaan tersebut akan menimbulkan implikasi hukum bahwa DPR dengan kewenangan yang ada padanya menjadi tidak bisa lain kecuali wajib menyetujui dan menetapkan calon yang diusulkan oleh Presiden. Dengan istilah lain, DPR hanya menjadi “tukang stempel” saja. Hal tersebut secara konstitusional tidak boleh terjadi. Terlebih lagi, manakala dikaitkan dengan semangat reformasi yang menjadi jiwa perubahan UUD 1945, DPR dengan kewenangan yang ada harus kuat, supaya prinsip checks and balances terselenggara sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pemaknaannya harus meliputi kata “wajib” yang terdapat sebelumnya, kata “menetapkan” yang terdapat sesudahnya dan pemaknaan kata “memilih” harus pula tetap menyediakan ruang kebebasan DPR dalam menjalankan kewenangannya untuk mengambil keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diajukan oleh Presiden. Adapun frasa “dan menetapkan” harus dimaknai “untuk menetapkan”. Dengan demikian, dengan pemaknaan dimaksud pasal tersebut menjadi “DPR berwenang menyetujui atau tidak menyetujui untuk menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden”.

31

Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum;

[3.17] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas kata “dipilih” dalam Pasal 30 ayat (1) dan frasa “memilih dan menetapkan” dalam Pasal 30 ayat (10) dan ayat (11) UU KPK, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa KPK merupakan lembaga penting yang dibentuk dalam era reformasi karena fungsinya untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pada saat sekarang ini tindak pidana korupsi terus meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas yang akan membawa bencana yang mengancam kehidupan perekonomian nasional pada khususnya, serta kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, yang dengan demikian menjadi tindak pidana yang tidak konvensional lagi (tindak pidana luar biasa). KPK sebagai penegak hukum untuk memberantas korupsi dibentuk dengan latar belakang ketika penegakan hukum secara konvensional tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. KPK dibentuk berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang didasarkan pada amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (selanjutnya disebut TAP MPR XI/1998) dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU 28/1999) [vide Penjelasan Umum UU KPK]. Dengan demikian, dalam hal yang terkait dengan norma yang menjadi dasar pembentukan kelembagaan dan mekanisme rekrutmen untuk pengisian jabatan di dalamnya, antara KPK dan KY adalah berbeda. Prosedur dan mekanisme pengisian anggota KY ditentukan secara tegas dalam UUD 1945, sedangkan prosedur dan mekanisme pengisian anggota KPK ditentukan oleh Undang-Undang; Bahwa Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) UU KPK secara umum memuat norma yang mengatur tentang rekrutmen untuk pengisian jabatan anggota merangkap pimpinan KPK yang dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden. Dalam rangka pengusulan tersebut Presiden membentuk panitia seleksi (Pansel) yang bertugas melakukan seleksi calon tersebut dan menentukan nama calon yang akan disampaikan kepada Presiden dalam waktu tertentu. Presiden menyampaikan nama calon sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang dibutuhkan kepada DPR;

32

[3.18] Menimbang bahwa UU KPK adalah Undang-Undang yang dibentuk dalam rangka memberikan dasar hukum kepada pembentukan KPK, dan untuk mengatur mekanisme penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sebagai penegakan hukum yang luar biasa. Pengaturan penegakan hukum yang demikian, sebagaimana diuraikan di atas, merupakan pemenuhan tuntutan dinamika sosial politik terhadap eskalasi dan meluasnya tindak pidana korupsi yang telah terjadi sedemikian rupa supaya tidak menjadi bencana yang mengancam perekonomian nasional sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Dengan demikian, pembentukan UU KPK, meskipun dimaksudkan sebagai dasar hukum pembentukan lembaga dan mekanisme penegakan hukum luar biasa, namun secara kelembagaan tidak terdapat ketentuan konstitusional yang secara spesifik mengamanahkan pembentukannya, apalagi mekanisme pengisian pimpinan merangkap anggota KPK, karena hal tersebut merupakan tuntutan dari dinamika sosial politik dalam implementasi penegakan hukum yang berada dalam ranah kebijakan umum pemerintahan negara;

[3.19]Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, pemberian kewenangan kepada Presiden mengusulkan calon pimpinan merangkap anggota KPK dan pemberian kewenangan kepada DPR memilih calon yang diajukan Presiden tersebut adalah berada di dalam ranah kebijakan pembentuk Undang-Undang (opened legal policy). Hal tersebut merupakan implementasi dari prinsip checks and balances system antara Presiden dan DPR. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum.

24. KETUA: HAMDAN ZOELVA

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo; [4.3] Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum

untuk sebagian; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,

33

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).

AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

1.1. Frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “sebanyak 7 (tujuh) calon”;

1.2. Frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sebanyak 7 (tujuh) calon”;

1.3. Pasal 28 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) selengkapnya menjadi, “Panitia seleksi mempunyai tugas: ... c. menentukan dan menyampaikan calon anggota Komisi Yudisial sebanyak 7 (tujuh) calon dengan memperhatikan komposisi anggota Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari.”;

1.4. Frasa “wajib memilih dan” dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

34

Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “berwenang menyetujui atau tidak menyetujui”;

1.5. Frasa “wajib memilih dan” dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berwenang menyetujui atau tidak menyetujui”;

1.6. Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) selengkapnya menjadi, “DPR berwenang menyetujui atau tidak menyetujui untuk menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden.”;

1.7. Frasa ”sebanyak 3 (tiga) kali dari” dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “sebanyak sama dengan”;

1.8. Frasa ”sebanyak 3 (tiga) kali dari” dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sebanyak sama dengan”;

1.9. Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) selengkapnya menjadi, “Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Yudisial, Presiden mengajukan calon anggota pengganti sebanyak sama dengan jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR.”;

35

2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, Aswanto, Wahiduddin Adams, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal dua puluh tujuh, bulan Oktober, tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tiga, bulan Desember, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 17.06 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, Aswanto, Wahiduddin Adams, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Wiwik Budi Wasito sebagai Panitera Pengganti, dihadiri para Pemohon dan/atau kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, serta Pihak Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi. Terakhir Putusan Nomor 45/PUU-XII/2014.

PUTUSAN NOMOR 45/PUU-XII/2014

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan

terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Nama : Dra. Noes Soediono Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 28 Maret 1939 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Jalan Hang Lekir II/19, Blok H RT

009/006, Kelurahan Gunung, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

KETUK PALU 1X

36

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Nomor 42/KH.M&M/K/IV/2014, tertanggal 10 April 2014 memberi kuasa kepada Rusdianto Matulatuwa, S.H., Oktryan Makta, S.H., M.H., dan Ferdinand Robot, S.H., Advokat dari Kantor Hukum Matulatuwa & Makta, yang beralamat di Wisma Nugra Santana 14th Floor, Suite 1416, Jalan Jenderal Sudirman Kav 7-8, Jakarta, baik bersama-sama atau sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------- Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar keterangan ahli Pemohon; Memeriksa bukti Pemohon; Membaca kesimpulan Pemohon.

25. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Pendapat Mahkamah

Dalam Pokok Permohonan [3.10]Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama

permohonan Pemohon, keterangan Presiden, keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, keterangan ahli Pemohon dan bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.10.1]Bahwa permohonan pengujian konstitusionalitas yang

dimohonkan oleh Pemohon adalah Pasal 45A ayat (2) huruf a UU 5/2004 terhadap UUD 1945. Menurut Pemohon, hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dilanggar dengan adanya ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf a UU 5/2004. Berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pemohon mendalilkan berhak mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam menggunakan upaya hukum kasasi terhadap penghentian penyidikan melalui surat ketetapan yang dikuatkan dengan Penetapan Praperadilan oleh Pengadilan Negeri Surakarta; Untuk membuktikan dalilnya, Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-3 dan dua orang ahli yaitu Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., dan Dr. Muhammad Arif Setiawan, S.H., M.H., yang keterangannya telah dimuat pada bagian Duduk Perkara;

37

Terhadap permohonan a quo, Presiden memberi keterangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa pembatasan terhadap perkara yang dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung di samping dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung, sekaligus juga dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan di dalam masyarakat. Perubahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45A UU 5/2004 agar dalam perkara tertentu tidak selalu dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, sekaligus juga mendorong agar pengadilan di bawah Mahkamah Agung memiliki nilai atau kualitas di dalam putusannya. Oleh karena itu, perubahan atau pembatasan dalam melakukan upaya kasasi semata-mata bertujuan agar pengadilan di bawahnya berkualitas dalam membuat putusan. Bahwa ketentuan tersebut (adanya pembatasan) juga dimaksudkan agar asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan diimplementasikan, sehingga kepastian hukum dan keadilan segera dapat diwujudkan.

[3.10.2] Bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah perlu mengutip pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 28/PUU-X/2012, bertanggal 19 September 2012, yang menguji Pasal 45A ayat (2) huruf c UU 5/2004 terhadap UUD 1945, antara lain menyatakan: “... pembatasan kasasi tidak membatasi atau melanggar hak asasi warga negara untuk mendapatkan keadilan atau melakukan upaya hukum, karena selain terhadap putusan pengadilan tingkat pertama masih diberi kesempatan untuk mengajukan banding di pengadilan tingkat banding, juga masih dapat diajukan upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.” (vide paragraf [3.13])

[3.10.3] Bahwa praperadilan adalah bagian dari sistem peradilan pidana Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Praperadilan dimaksudkan sebagai mekanisme kontrol terhadap penegak hukum atas kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan/atau penghentian penuntutan, baik yang disertai dengan

38

permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi ataupun tidak. Di sisi lain, praperadilan juga dimaksudkan untuk memberi jaminan perlindungan atas hak-hak konstitusional tersangka atau terdakwa;

[3.10.4] Bahwa praperadilan pada dasarnya merupakan mekanisme pemeriksaan pendahuluan sebelum dilakukan pemeriksaan pokok perkara. Hal ini selaras dengan istilah pra-peradilan yang secara literal (letterlijk) merupakan gabungan dari kata “pra” dan “peradilan” yang dapat dimaknai sebagai “sebelum peradilan”. Sebagai acara pemeriksaan yang dilakukan sebelum pemeriksaan pokok perkaranya memiliki konsekuensi bahwa pemeriksaan praperadilan harus dilakukan secara cepat. KUHAP menetapkan secara rinci jangka waktu yang harus dipenuhi dalam setiap tahapan pendaftaran, pemeriksaan hingga putusan perkara praperadilan. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan praperadilan hakim tunggal yang ditunjuk harus segera menetapkan hari sidang dan selambat-lambatnya dalam jangka waktu tujuh hari hakim tunggal yang memeriksa perkara praperadilan harus sudah menjatuhkan putusan [vide Pasal 82 ayat (1) huruf a dan huruf c KUHAP]. Permohonan praperadilan gugur apabila pengadilan sudah mulai memeriksa pokok perkara pidana tersebut, sedangkan permohonan praperadilan belum diputus oleh pengadilan [vide Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP]. Dalam Putusan Mahkamah Nomor 65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei 2012, Mahkamah, antara lain, mempertimbangkan bahwa Pasal 83 ayat (2) KUHAP yang mengatur mengenai pengecualian atas putusan praperadilan yang dapat dimintakan banding adalah bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa “... acara praperadilan adalah acara cepat, sehingga seharusnya tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding” (vide Putusan Mahkamah Nomor 65/PUU-IX/2011 tersebut paragraf [3.14]). Dengan demikian, terhadap tiap putusan praperadilan tidak dapat diajukan banding;

[3.10.5] Bahwa Pemohon menjadikan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar pengujian konstitusionalitas Pasal 45A ayat (2) huruf a UU 5/2004. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 secara tegas memberi jaminan atas pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Meskipun hak untuk memperoleh kepastian hukum yang adil merupakan kelompok hak sosial politik dari setiap warga

39

negara tidak berarti bahwa negara kemudian lepas tangan dalam pemenuhan hak sosial politik tersebut. Dalam rangka memberi perlindungan akan hak warga negara untuk mendapat kepastian hukum dan keadilan, negara juga wajib menyediakan upaya hukum bagi warga negara untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapinya. Bila negara tidak hadir dalam penyelesaian masalah hukum warga negaranya maka sama artinya negara telah lalai dalam melindungi warga negara untuk mencari keadilan;

[3.10.6] Bahwa lembaga praperadilan dibentuk sebagai upaya untuk memberi jaminan bagi warga negara atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, terutama perlindungan bagi hak-hak tersangka atau terdakwa. Praperadilan merupakan mekanisme kontrol atas tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum. Praperadilan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana ditetapkan dengan acara pemeriksaan cepat. Oleh karena itu, pengaturan mengenai mekanisme praperadilan pun disusun secara rinci dalam peraturan perundang-undangan. Norma pengaturan dalam Pasal 45A ayat (2) huruf a UU 5/2004 merupakan konsekuensi dari praperadilan sebagai acara pemeriksaan cepat. Bahwa pasal a quo bukan merupakan pembatasan bagi warga negara untuk memperoleh kepastian hukum yang adil. Pasal a quo justru harus diartikan sebagai suatu bagian dari sebuah sistem tatanan hukum yang memberikan kepastian bagi pemeriksaan pokok perkara yang harus dihadapi oleh tersangka atau terdakwa. Pengaturan demikian bertujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Dengan membuka kemungkinan untuk melakukan upaya hukum atas putusan praperadilan hanya akan membuat pemeriksaan pokok perkara menjadi berlarut-larut. Menurut Mahkamah, seandainya pun hal tersebut dinilai sebagai pembatasan hak asasi maka pembatasan dengan Undang-Undang, dalam hal ini KUHAP, adalah hal yang wajar sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

40

26. KETUA: HAMDAN ZOELVA

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo; [4.3] Dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

AMAR PUTUSAN Mengadili,

Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, Aswanto, Patrialis Akbar, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh sembilan, bulan Oktober, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tiga, bulan Desember, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 17.17 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, Aswanto, Patrialis Akbar, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Achmad Edi Subiyanto sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUK PALU 1X

41

Seluruh putusan hari ini sudah diucapkan dan para pihak, para Pemohon, Presiden, dan DPR akan diserahkan secara langsung salinan putusan tadi setelah sidang ini selesai.

Sidang selesai dan dinyatakan ditutup.

Jakarta, 24 Desember 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004

KETUK PALU 3X

SIDANG DITUTUP PUKUL 17.17 WIB

Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.