38
MAGMATISME I.1 Magmatisme Pada Zona Subduksi Konsep tektonik lempeng menjelaskan bahwa kulit bumi terdiri dari beberapa bagian lempeng yang kaku (rigid), yang bergerak satu sama lain diatas massa astenosfer yang plastis dengan kecepatan rata-rata 10cm/tahun atau 100 km/10 juta tahun (Morgan, 1968; Hamilton, 1970 dalam Alzwar dkk., 1988). Berdasarkan konsep tersebut, maka pergerakan lempeng bumi dapat dibagi menjadi tiga yaitu konvergen (saling bertumbukan), divergen (saling menjauh) dan transform (saling berpapasan) (Lockwood & Hazlett, 2010), dimana kegiatan magmatisme akan terjadi pada batas-batas lempeng ini. Gambar 1.1. Lokasi-lokasi terbentuknya magma dalam konteks tektonik lempeng. Pada ilustrasi diatas terlihat jelas bahwa punggungan tengah samudera (MOR) menempati urutan pertama sebagai penghasil magma terbesar, diikuti oleh zona subduksi, oceanic intraplate dan continental intraplate(Schmincke, 2003)

Magmatisme Dan Tektonik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hau

Citation preview

Page 1: Magmatisme Dan Tektonik

MAGMATISME

I.1 Magmatisme Pada Zona Subduksi

Konsep tektonik lempeng menjelaskan bahwa kulit bumi terdiri dari beberapa bagian

lempeng yang kaku (rigid), yang bergerak satu sama lain diatas massa astenosfer yang plastis

dengan kecepatan rata-rata 10cm/tahun atau 100 km/10 juta tahun (Morgan, 1968; Hamilton,

1970 dalam Alzwar dkk., 1988). Berdasarkan konsep tersebut, maka pergerakan lempeng

bumi dapat dibagi menjadi tiga yaitu konvergen (saling bertumbukan), divergen (saling

menjauh) dan transform (saling berpapasan) (Lockwood & Hazlett, 2010), dimana kegiatan

magmatisme akan terjadi pada batas-batas lempeng ini.

Gambar 1.1. Lokasi-lokasi terbentuknya magma dalam konteks tektonik lempeng. Pada

ilustrasi diatas terlihat jelas bahwa punggungan tengah samudera (MOR) menempati urutan

pertama sebagai penghasil magma terbesar, diikuti oleh zona subduksi, oceanic intraplate

dan continental intraplate(Schmincke, 2003)

Batas lempeng konvergen salah satunya berupa zona subduksi. Zona subduksi adalah

bagian dari permukaan bumi yang dibentuk oleh penenggelaman (subduksi) dari lempeng

litosfer yang dingin dan tebal sampai ke mantel bumi (Tatsumi & Eggins, 1995). Zona

subduksi dicirikan oleh pembentukan palung-palung laut dalam, rantai gunung api (Perfit &

Davidson, 2000) serta konsentrasi hiposenter gempa bumi yang tinggi (kebanyakan pada

kedalaman 100 km sampai > 600 km) pada zona Wadati-Benioff (Schmincke, 2003).

Subduksi ini akan membawa batuan dengan komposisi kimia beragam  ke dalam  mantel

seperti kerak samudera basaltik, peridotit dan sedimen laut dalam (Tatsumi & Eggins, 1995).

Page 2: Magmatisme Dan Tektonik

Proses subduksi biasanya akan termanifestasi dalam bentuk magmatisme dan vulkanisme

seperti pada Ring of Fire di Samudera Pasifik (Tatsumi & Eggins, 1995). Proses magmatisme

ini terutama dipengaruhi oleh  volatil (H2O) yang terbawa oleh kerak samudera yang

menunjam dimana akan mendorong terjadinya pelelehan sebagian (partial melting).

Pelelehan sebagian ini disebabkan oleh dehidrasi mineral-mineral pembawa air pada kerak

samudera yang menunjam seperti amfibol (d=110 km) dan plogophit (d=200 km) (Tatsumi &

Eggins, 1995).

Gambar 1.2. Vulkanisme diatas zone subduksi. Penunjaman dari kerak samudera

yang dingin menyebabkan upwelling dari mantel panas dibawah busur vulkanik.

Senyawa volatil seperti H2O dilepaskan dari kerak samudera ke mantel diatasnya

sehingga menyebabkan pelelehan (Sigurdsson, 2000)

I.1.1 Pembentukan Magma pada Zona Subduksi

Proses pembentukan magma diperoleh modelnya menggunakan titik leleh batuan

peridotit. Peridotit dipilih karena merupakan penyusun mantel sebagai sumber asal magma.

Pada batuan ini, pelelehan dapat terjadi karena perubahan 3 parameter dasar :tekanan (P),

temperatur (T) dan komposisi kimia (X), yaitu (Schmincke,  2003):

Page 3: Magmatisme Dan Tektonik

Gambar 1.3. Tiga model pembentukan magma basa oleh pelelehan sebagian (partial

melting) peridotit dimana a= penambahan temperatur, b=pengurangan tekanan

c=penambahan H2O dan CO2(Schmincke, 2003)

-          Kenaikan temperatur (T) pada kondisi P dan X yang konstan

-          Penurunan tekanan P pada T dan X yang konstan

-          Perubahan X pada P dan T yang konstan (terutama penambahan fluida khususnya H2O dan

CO2)

-          Kombinasi antara satu faktor dengan faktor yang lain (Lockwood & Hazlett, 2010)

Atom yang menyusun kristal/mineral mempunyai nomor proton dan elektron tertentu,

dan atom yang bermuatan sering disebut ion. Jika energi panas mengenai ion tersebut, maka

akan menyebabkan ikatannya melemah sehingga akhirnya terjadi pelelehan (Lockwood &

Hazlett, 2010). Jika terjadi fluxing atau percampuran antara mineral dengan mineral/senyawa

lainnya, titik pelelehannya bisa menjadi lebih rendah (Lockwood & Hazlett, 2010)

         Kenaikan temperatur pada P&X yang konstan

Berdasarkan percobaan pada peridotit, kenaikan temperatur pada tekanan dan

komposisi kimia konstan dapat menyebabkan suatu batuan mengalami pelelehan sebagian.

(Schimnke, 2003).

Ada beberapa teori yang menyebutkan tentang sumber panas penyebab kenaikan

temperatur, salah satunya adalah peluruhan dari unsur-unsur radioaktif seperti U, Th dan K

yang jumlahnya melimpah sejak pembentukan bumi pada 4,6 milyar tahun yang lalu

Page 4: Magmatisme Dan Tektonik

(Schimnke, 2003) menjadi mineral-mineral yang lebih stabil dan ringan (Lockwood &

Hazlett, 2010). Panas ini terlepas secara konstan dengan cara bermigrasi ke permukaan bumi

yang lebih dingin dan akhirnya teradiasi ke atmosfer. Selain itu, sumber panas juga bisa

berasal dari proses friksi mekanik yang menghasilkan pelelehan sebagian contohnya pada

bagian dasar lempeng litosfer yang bergerak di sepanjang zona Wadati Benioff.

Tabel 1.1. Kontribusi relatif dari panas yang dihasilkan oleh peluruhan radioaktif

berdasarkan studi geonutrino (Araki et al (2005) dalam Lockwood & Hazlett (2010))

        Penurunan Tekanan pada Suhu dan Komposisi Kimia yang tetap

Ketika temperatur dari suatu batuan mantel konstan, maka penurunan tekanan bisa

menyebabkan pelelehan sebagian (Schminke, 2003) karena tekanan akan menjaga ikatan

antar ion  tetap kuat  sehingga strukturnya tetap kristalin (Lockwood & Hazlett, 2010).

Dengan kata lain, panas internal dari batuan yang naik selama penurunan tekanan cukup

untuk memicu terjadinya pelelehan. Proses ini sangat tepat untuk sistem padatan kering,

contohnya ketidakhadiran fluida (Schminke, 2003)

            Proses penurunan tekanan dari material mantel yang naik merupakan mekanisme

pembentukan magma yang paling penting (Schminke, 2003) karena kebanyakan aktivitas

gunung api di dunia dihasilkan dari pelelehan karena penurunan tekanan ini (Lockwood &

Hazlett, 2010)

         Penambahan unsur kimia pada suhu dan tekanan yang tetap

Pada proses pembentukan magma yang ketiga, tekanan (P) dan temperatur (T) adalah dalam

kondisi konstan, akan tetapi dengan adanya penambahan fase fluida seperti H2O dan

CO2 maka akan menyebabkan titik pelelehan batuan menjadi lebih rendah.

Page 5: Magmatisme Dan Tektonik

Gambar 2.4. Grafik yang menunjukkan penurunan titik leleh akibat penambahan H2O dan

CO2 pada magma. Suhu pada saat magma belum terkena penambahan unsur kimia

disebut dry solidus (Sigurdsoon, 2000)

I.1.2 Komposisi Magma

Magma merupakan istilah yang diberikan untuk campuran material padat dan cair 

yang bersifat mudah bergerak. Pada bumi, material cair (liquid)  ini merupakan campuran

dari silikat kompleks dan gas-gas terlarut seperti air, karbondioksida dan senyawa-senyawa

lainnya (Rogers & Hawkesworth, 2000). Karena batuan beku merupakan manifestasi magma

yang paling mudah diidentifikasi, maka komposisi magma biasa ditentukan menggunakan

komposisi batuan beku. Komposisi batuan beku diuraikan dalam bentuk unsur mayor, unsur

minor dan unsur jarang (Rogers & Hawkesworth, 2000). Unsur-unsur tersebut menurut

Rogers & Hawkesworth (2000) antara lain:

a.      Unsur mayor adalah unsur yang mempunyai kelimpahan oksida > 1wt.%, mengontrol sifat

magma serta merupakan penyusun utama mineral esensial.

Contoh: SiO2,  Al2O3, FeO, Fe2O3, CaO, MgO dan Na2O

b.    Unsur minor mempunyai kelimpahan oksida 0,1-1 % , sebagai pengganti dari unsur mayor

pada mineral esensial atau bisa membentuk sejumlah kecil mineral aksesoris.

Contoh: K2O, TiO2, MnO  dan P2O5

c.      Unsur jarang mempunyai kelimpahan oksida < 0,1 % berat serta sebagai pengganti dari

unsur mayor maupun unsur minor pada mineral esensial maupun aksesoris.

Contoh: LILE (Cs, Rb, K, Ba, Sr, Pb), HFSE (Sc, Y, Th, U, Pb, Zr)

Page 6: Magmatisme Dan Tektonik

d.      Unsur volatil dan oksida, pada bagian bumi yang dalam semua unsur volatil akan larut

dalam magma, tetapi ketika tekanan berkurang karena pergerakan magma keatas maka gas

akan membentuk fase uap yang terpisah dari magma (Nelson, 2012)

Contoh: H2O, CO2, SO2, F, Cl, etc.

I.1.3 Diferensiasi Magma

I.1.3.1 Proses Fraksinasi Kristalisasi Magma

Diferensiasi adalah proses dimana terbentuk magma turunan yang secara kimia dan

mineralogi berbeda dari magma asal (parental magma) (Schmincke, 2003). 

                   

                     Gambar 2.5. Ilustrasi proses fraksinasi kristalisasi pada dapur magma (Tarbuck &

Lutgens, 2004)

Diferensiasi diperkirakan terjadi pada dapur magma dengan kedalaman lebih dari 10

kilometer di kerak bumi, ketika magma dalam kondisi stagnan, mendingin secara perlahan

dan mulai mengkristal (Schmincke, 2003). Proses diferensiasi meliputi dua hal yaitu

fraksinasi kristalisasi (mekanisme utama) dan asimilasi (Schmincke, 2003).

Selama proses fraksinasi kristalisasi, kristal-kristal mineral yang lebih berat (berat

jenis tinggi) akan tenggelam dalam magma yang berkomposisi lebih asam membentuk

timbunan kristal (cumulates) (Schmincke, 2003).

I.1.3.2 Proses Asimilasi dan Magma Mixing

Proses diferensiasi yang lain yakni asimilasi dan percampuran magma (magma mixing).

Asimilasi ini merupakan perubahan komposisi magma, sebagai akibat adanya reaksi antara

magma dengan batuan dinding yang berkomposisi berbeda (Schmincke, 2003). Proses

asimilasi ini bisa mengubah komposisi kimia magma secara lebih jauh (Schmincke, 2003).

Page 7: Magmatisme Dan Tektonik

Sedangkan percampuran magma (magma mixing) ini terjadi ketika magma dari dua dapur

magma yang berbeda menyatu sehingga membentuk magma baru dengan komposisi

campuran antara keduanya.

                        

                   Gambar 2.6. Ilustrasi proses asimilasi dan proses percampuran magma yang terjadi

pada dapur magma (Tarbuck & Lutgens, 2004)

Selanjutnya, proses diferensiasi ini akan menyebabkan perubahan komposisi kimia

pada magma menjadi lebih asam (felsic) pada perjalanannya keatas sebelum mencapai

permukaan bumi. Magma yang sudah mengalami perubahan komposisi kimia akibat proses

diferensiasi ini disebut magma turunan (Schminke, 2003).

Page 8: Magmatisme Dan Tektonik

TEKTONIK

Bumi merupakan salah satu planet dari galaksi bimasakti. Manusia dan ciptaan Tuhan

melangsungkan kehidupan di bumi. Kita hidup di bumi berada di bagian kerak bumi

(lithospher) atau di permukaan bumi. Permukaan bumi terbentuk dari berbagai macam batuan

yang kurang lebih 80% adalah diselimuti oleh batuan sedimen dengan volume kurang lebih

0,32% dari volume bumi. Setiap daratan di bumi ini di bentuk oleh batuan – batuan ang

bermacam – macam. Dari sejumlah batuan yang memiliki ciri khas yang berbeda – beda

terangkum dalam sebuah lempeng – lempeng yang tersebar di seluruh dunia. Lempeng –

lempeng di permukaan bumi bersifat dinamis, karena adanya perbedaan perlapisan dan

tenaga endogen yang mengakibatkan pergerakan lempeng. Dari pergerakan lempeng dapat

menimbulkan sebuah siklus batuan yang tak dapat dipungkri adanya.

Lempeng tektonik adalah bagian dari kerak bumi dan lapisan paling atas, yang disebut

juga lithosphere. Atau menjelaskan tentang gerakan bumi dengan skala besar dari lithoepher

bumi. Teori yang meliputi konsep-konsep lama (kontinental drift) dikembangkan selama satu

setengah abad sejak abad ke-20 oleh Alfred Wegner tentang lantai samudra (seafloor) pada

tahun 1960-an. Lempeng tektonik memiliki tebal sekitar 100 km (60 mill) yang terdiri dari

dua jenis bahan pokok yaitu kerak samudra (disebut juga sima yang terdiri dari silikon dan

magnesium) dan kerak benua (disebut juga sial yang terdiri dari silicon dan megnesium).

Komposisi dari dua jenis lapisan terluar atau kulit dari kerak samudra adalah batuan basalt

(mafic) dan kerak benua terdiri dari batuan granitic yang prinsip kepadatannya rendah.

Permukaan bumi terdiri dari 15 lempeng besar (mayor) dan 41 lempeng kecil (minor), 11

lempeng kuno dan 3 dalam orogens, dengan jumlah keseluruhan 70 lempeng tektonik yang

tersebar di seluruh permukaan bumi. Lempeng mayor di bumi di anataranya :

Page 9: Magmatisme Dan Tektonik

African Plate covering Africa - Continental plate Afrika Plate meliputi Afrika - Benua

piring

Antarctic Plate covering Antarctica - Continental plate Antarctic Plate meliputi

Antartika - Benua piring

Australian Plate covering Australia - Continental plate Australia Plate meliputi

Australia - Benua piring

Indian Plate covering Indian subcontinent and a part of Indian Ocean - Continental

plate Indian Plate meliputi anak benua India dan merupakan bagian dari Samudra

Hindia - Benua piring

Eurasian Plate covering Asia and Europe - Continental plate Eurasian Plate meliputi

Asia dan Eropa - Benua piring

North American Plate covering North America and north-east Siberia - Continental

plate

South American Plate covering South America - Continental plate

Pacific Plate covering the Pacific Ocean - Oceanic plate

Lempeng tetonik memiliki nama yang berbeda – beda sesuai tempat atau asal lempeng

itu berada. Pada 225 juta tahun yang lalu, seluruh daratan di bumi ini merupakan satu

kesatuan yang disebut dengan Benua Pangaea pada zaman permian. Pergerakan lapisan bumi

terus terjadi saat 200 juta tahun yang lalu pada zaman triassic terbagi menjadi 2 Benua

Laurasia dan Benua Gondwanaland. Pergerakan lapisan bumi terjadi hingga saat ini terbagi

menjadi 5 belahan benua. Perubahan keadaan permukaan bumi terjadi selama 4 zaman

kurang lebih selama 225 juta tahun. Perubahan permukaan bumi ini yang mengakibatkan

adanya batas – batas lempeng tektonik di masing – masing lapisan bumi. Pergerakan yang

berasal dari tenaga endogen ini mengakibatkan sebuah siklus batuan dalam peroses

pergeseran lempeng.

Lempeng tektonik merupakan sebuah siklus batuan di bumi yang terjadi dalam skala

waktu geologi. Sikklus batuan tersebut terjadi dari pergerakan lempeng bumi yang bersifat

dinamis. Dengan pergerakan lempeng tektonik yang terjadi mampu membentuk muka bumi

serta menimbulkan gejala – gejala atau kejadian – kejadian alam seperti gempa tektonik,

letusan gunung api, dan tsunami. Pergerakan lempeng tektonik di bumi digolongkan dalam

tiga macam batas pergerakan lempeng, yaitu konvergen, divergen, dan transform

(pergeseran).

Page 10: Magmatisme Dan Tektonik

1. Batas Transform.

Terjadi bila dua lempeng tektonik bergerak saling menggelangsar (slide each other),

yaitu bergerak sejajar namun berlawanan arah. Keduanya tidak saling memberai maupun

saling menumpu. Batas transform ini juga dikenal sebagai sesar ubahan-bentuk (transform

fault).

2. Batas Divergen.

Terjadi pada dua lempeng tektonik yang bergerak saling memberai (break apart). Ketika

sebuah lempeng tektonik pecah, lapisan litosfer menipis dan terbelah, membentuk batas

divergen. Pada lempeng samudra, proses ini menyebabkan pemekaran dasar laut (seafloor

spreading). Sedangkan pada lempeng benua, proses ini menyebabkan terbentuknya lembah

retakan (rift valley) akibat adanya celah antara kedua lempeng yang saling menjauh tersebut.

Pematang Tengah-Atlantik (Mid-Atlantic Ridge) adalah salah satu contoh divergensi yang

paling terkenal, membujur dari utara ke selatan di sepanjang Samudra Atlantik, membatasi

Benua Eropa dan Afrika dengan Benua Amerika.

3. Batas Konvergen.

Terjadi apabila dua lempeng tektonik tertelan (consumed) ke arah kerak bumi, yang

mengakibatkan keduanya bergerak saling menumpu satu sama lain (one slip beneath

another). Wilayah dimana suatu lempeng samudra terdorong ke bawah lempeng benua atau

lempeng samudra lain disebut dengan zona tunjaman (subduction zones). Di zona tunjaman

inilah sering terjadi gempa. Pematang gunung-api (volcanic ridges) dan parit samudra

(oceanic trenches) juga terbentuk di wilayah ini.

Dari ketiga batas lempeng yang mendukung adanya siklus batuan di bumi ini. Setiap

daratan atau negara atau benua di dunia di batasi oleh lempeng yang berbeda – beda.

Dikarenakan sifatnya dinamis dan kekuatan masing – masing lempeng berbeda – beda, maka

terbentuk 3 batas lempeng tektonik Gempa yang terjadi di akibatkan oleh pergerakan

lempeng tektonik. Dan apabila dilihat pada daerah Indonesia yang merupakan daerah

ternbanyak yang dilewati oleh titik – titik gempa yang tersebar di seluruh nusantara.

Disebelah barat hingga ke selatan dari Indonesia dibatasi oleh lempeng tektonik, disebelah

utara dibatasi dengan lempeng yang berbeda, dan dibagian timur dibatasi dengan lempeng

yang berbeda pula. Jadi Indonesia dibatasi oleh 3 lempeng mayor dunia yang berbeda. Maka

Page 11: Magmatisme Dan Tektonik

dari itu Indonesia memiliki titik gempa yang tersebar hampir diseluruh nusantara. Negeri kita

tercinta berada di dekat batas lempeng tektonik Eurasia dan Indo-Australia. Jenis batas

antara kedua lempeng ini adalah konvergen. Lempeng Indo-Australia adalah lempeng yang

menunjam ke bawah lempeng Eurasia. Selain itu di bagian timur, bertemu 3 lempeng

tektonik sekaligus, yaitu lempeng Philipina, Pasifik, dan Indo-Australia. Seperti telah

dijelaskan sebelumnya, subduksi antara dua lempeng menyebabkan Lempeng Indo-Australia

dan Lempeng Eurasia menyebabkan terbentuknya deretan gunung berapi yang tak lain adalah

Bukit Barisan di Pulau Sumatra dan deretan gunung berapi di sepanjang Pulau Jawa, Bali dan

Lombok, serta parit samudra yang tak lain adalah Parit Jawa (Sunda). Lempeng tektonik

terus bergerak. Suatu saat gerakannya mengalami gesekan atau benturan yang cukup keras.

Bila ini terjadi, timbullah gempa dan tsunami, dan meningkatnya kenaikan magma ke

permukaan. Jadi, tidak heran bila terjadi gempa yang bersumber dari dasar Samudra Hindia,

yang seringkali diikuti dengan tsunami, aktivitas gunung berapi di sepanjang pulau Sumatra

dan Jawa juga turut meningkat.

Indonesia terletak pada jalur gunungapi tersebut dan merupakan negara dengan jumlah

gunungapi terbanyak. Pola penyebaran gunungapi menunjukkan jalur yang hampir mirip

dengan pola penyebaran fokus gempa dan tipe aktivitas kegunungapiannya tergantung pada

batas lempengnya. Hubungan ini menunjukkan bahwa volkanismamerupakan salah satu

produk penting sistem tektonik.

Akibatnya berbagai gejala alam di Indonesia sering terjadi. Yang salah satunya banyak

di jumpai gunung api di bagian selatan Indonesia yang merupakan buah karya dari

pergerakan lempeng Ino-Australian dengan lempeng Eurasian. Jumlah gunung api di

Indonesia 177 gunung api, Sert gunung api juga di temui di daerah sebagain dari pulau

halmahera dan sebagian dari pulau sulawesi yang merupakan tempat pertemuan lempeng

pasifik dengan lempeng eurasian.

Dari segi ilmu kebumian, Indonesia benar-benar merupakan daerah yang sangat

menarik. Kepentingannya terletak pada rupabuminya, jenis dan sebaran endapan mineral

serta energi yang terkandung di dalamnya, keterhuniannya, dan ketektonikaannya. Oleh

sebab itulah, berbagai anggitan (konsep) geologi mulai berkembang di sini, atau

mendapatkan tempat untuk mengujinya (Sukamto dan Purbo-Hadiwidjoyo, 1993).

Inilah wilayah yang memiliki salah satu paparan benua yang terluas di dunia (Paparan

Sunda dan Paparan Sahul), dengan satu-satunya pegunungan lipatan tertinggi di daerah

Page 12: Magmatisme Dan Tektonik

tropika sehingga bersalju abadi (Pegunungan Tengah Papua), dan di sini pulalah satu-satunya

di dunia terdapat laut antarpulau yang terdalam (-5000 meter) (Laut Banda), dan laut sangat

dalam antara dua busur kepulauan (-7500 meter) (Dalaman Weber). Dua jalur gunungapi

besar dunia bertemu di Nusantara. Beberapa jalur pegunungan lipatan dunia pun saling

bertemu di Indonesia. Indonesia pun dibentuk oleh pertemuan dua dunia : asal Asia dan asal

Australia. Ini mengakibatkan begitu kayanya biodiversitas Indonesia.

Meskipun Indonesia hanya meliputi sekitar 4 % dari luas daratan di Bumi, tidak ada

satu negeri pun selain Indonesia yang mempunyai begitu banyak mamalia, 1/8 dari jumlah

yang terdapat di dunia). Bayangkan, satu dari enam burung, amfibia, dan reptilia dunia

terdapat di Indonesia; satu dari sepuluh tumbuhan dunia terdapat di Indonesia (Kartawinata

dan Whitten, 1991). Indonesia juga memiliki keanekaragaman ekosistem yang lebih besar

dibandingkan dengan kebanyakan negara tropika lainnya. Sejarah geologi dan

geomorfologinya yang beranekaragam, dan kisaran ikim dan ketinggiannya telah

mengakibatkan terbentuknya banyak jenis hutan daratan dan juga hutan rawa, sabana, hutan

bakau dan vegetasi pantai lainnya, gletsyer, danau-danau yang dalam dan dangkal, dan lain-

lain.

Salah satu jalur timah terkaya di dunia menjulur sampai di Nusantara, daerahnya

mempunyai akumulasi minyak dan gasbumi yang tergolong besar. Meskipun berumur muda,

batubara Indonesia yang jumlahnya cukup besar dapat dimanfaatkan untuk berbagai

keperluan. Tak kalah pentingnya adalah endapan nikel dan kromit yang terbawa oleh

tesingkapnya kerak Lautan Pasifik di beberapa wilayah di Indonesia Timur.

Bagian tertentu Indonesia sangat baik untuk dihuni. Ini tidak hanya berlaku saat ini

yang memungkinkan orang dapat bercocok tanam dan memperoleh hasil yang baik karena

tanah subur dan air yang berlimpah, tetapi juga pada masa lampau, sebagaimana terbukti

dengan temuan fosil manusia purba di beberapa tempat di Indonesia. Maka, Indonesia

penting dalam dunia paleoantropologi sebagai salah satu pusat buaian peradaban manusia di

dunia. Semua kepentingan dan keunikan geologi Indonesia ini timbul karena latar belakang

perkembangan tektonik wilayah Nusantara. Di sinilah wilayah tempat saling bertemunya tiga

lempeng besar dunia : Eurasia - Hindia-Australia - Pasifik yang menghasilkan deretan busur

kepulauan dan jajaran gunungapi, tanah yang subur, pemineralan yang kaya dan khas,

pengendapan sumber energi yang melimpah, dan rupabumi yang menakjubkan

(Sukamto dan Purbo-Hadiwidjoyo, 1993).

Busur Sunda: Produk Geodinamika Regional

Page 13: Magmatisme Dan Tektonik

Sistem penunjaman Sunda merupakan salah satu contoh yang baik untuk menunjukkan

hubungan geodinamika Indonesia dengan geodinamika regional. Sistem penunjaman Sunda

berawal dari sebelah barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta

berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Busur ini menunjukkan morfologi berupa palung,

punggungan muka busur, cekungan muka busur, dan busur vulkanik. Arah penunjaman

menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta

menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Kemiringan ini

terjadi karena adanya perbedaan arah gerak dengan arah tunjaman yang tidak 90o. Sistem

penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang

berlangsung selama Kenozoikum Tengah – Akhir (Katili, 1989; Hamilton, 1989) Menurut

Hamilton (1989) Palung Sunda bukan menunjukkan batas litosfer samudera India, tetapi

merupakan salah satu jejak sistem penunjaman busur Sunda. Penunjaman mempunyai

kemiringan sekitar 7o. Sedimen dalam palung terdiri dari sedimen klastik turbidit

longitudinal, serta menunjukkan pembentuk lantai samudera dan asal turbidit. Sedimen

klastik tersebut terutama berasal dari Sungai Gangga dan Brahmaputra di India, yang berjarak

3.000 km dari palung. Busur akresi terbentuk selebar 75 – 150 km dari palung dengan

ketebalan material terakresi mencapai 15 km. Dinamika akresi dapat ditunjukkan oleh

imbrikasi internal serta pertumbuhan vertikal dan horisontal material terakresi, yang

merupakan hasil penggilasan simultan yang disertai pemencaran oleh gravitasi. Punggungan

muka busur mengalami migrasi, relatif menuju ke arah kraton. Formasi bancuh di busur

akresi dihasilkan oleh oleh penggerusan yang berhubungan dengan subduksi, bukan oleh

luncuran di lereng punggungan akresi. Cekungan muka busur berada di antara punggungan

muka busur dan garis pantai sistem penunjaman Sunda dengan lebar 150 - 200 km. Bagian

dasar cekungan Jawa dan Sumatera mempunyai kecepatan tipikal litosfer samudera, dengan

kecepatan di sektor Sumatera lebih besar dari litosfer samudera. Busur vulkanik yang

sekarang aktif di atas zona Benioff berada pada kedalaman 100 – 130 km. Busur magmatik

ini berubah dari kecenderungan bersifat kontinen di Sumatera, transisional di Jawa ke busur

kepulauan (oceanic island arc) di Bali dan Lombok. Komposisi vulkanik muda bervariasi

secara sistematis yang berkesesuaian antara karakter litosfer dengan magma yang

dierupsikan.

Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah

penunjaman, busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari

propinsi Jawa, Sumatera Selatan dan Tengah, Sumatera Utara – Nicobar, Andaman dan

Burma. Diantara Propinsi Jawa dan Sumatera Tengah – Selatan terdapat Selat Sunda yang

Page 14: Magmatisme Dan Tektonik

merupakan batas tenggara lempeng Burma. Provinsi Jawa bermula dari Sumba sampai Selat

Sunda. Di propinsi ini palung Sunda mempunyai kedalaman lebih dari 6.000 m. Saat ini

konvergensi sepanjang propinsi Jawa mencapai 7,5 cm/tahun dengan sudut penunjaman

antara 5o – 8o. Sedimen memiliki ketebalan antara 200 – 900 m. Imbrikasi di bawah

punggungan muka busur mempunyai ketebalan lebih dari 10 km. Palung hanya berisi

sedimen tipis dengan sedikit sedimen pelagis. Kerangka tektonik utama antara Jawa dan

Sumatera secara umum dipotong oleh selat Sunda yang dianggap sebagai zona

diskontinyuitas. Selat Sunda adalah unsur utama pemisah propinsi Jawa dan Sumatera busur

Sunda. Selat ini diasumsikan batas sebagai batas tenggara lempeng Burma. Namun apabila

dicermati dari data geofisika tang ada, batas Jawa dan Sumatera terletak di sekitar Banten dan

Jawa Barat.

Provinsi Sumatera Selatan dan Tengah mempunyai kedalaman palung yang berangsur

menurun dari 6.000 – 5.000 m. Sedimen dasar palung mempunyai ketebalan sekitar 2 km di

utara dan 1 km di selatan. Penunjaman miring dengan komponen penunjaman menurun ke

utara antara 7,0 – 5,7 cm/tahun. Komponen pergeseran lateral yang bekerja di lempeng ini

diasumsikan sangat berperan dalam membentuk sistem strike slip fault di Sumatera.

Pada Propinsi Sumatera Utara - Nikobar, di sebelah barat Pulau Simalur sumbu palung

menajam ke barat, dan di barat-laut Pulau Simalur cenderung ke utara – barat-laut. Palung

mempunyai kedalaman berkisar antara 3.500 – 5.000 m. Pertemuan di sepanjang propinsi ini

sangat miring dan kecepatan penunjaman ke arah utara mengalami penurunan 5,6 – 4,1

cm/tahun.

Di Pulau Andaman palung cenderung berarah utara – selatan dengan kedalaman sekitar

3.000 m. Di propinsi ini pertemuan lempeng sangat miring, dengan kisaran kecepatan

penunjaman berkisar antara 0,7 – 0,2 cm/tahun. Komponen lateral ini dipengaruhi oleh

pemekaran di laut Andaman, dengan lempeng Burma memisah ke arah barat daya dari

lempeng Eurasia.

Palung Burma mempunyai kedalaman kurang dari 3.000 m. Di sini punggungan muka

busur menjadi punggungan Indoburman dan cekungan muka busur menjadi palung sebelah

barat dari Lembah Burma. Sudut penunjaman yang sangat miring. Ketebalan endapan di

propinsi ini sekitar 8.000 – 10.000 m. Komponen gerak lateral ini mempengaruhi

terbentuknya sesar Sagaing di Burma.

Sesar Sumatra: Produk Geodinamika Busur Sunda Sesar besar Sumatra dan Pulau

Sumatra merupakan contoh rinci yang menarik untuk menunjukkan akibat tektonik regional

pada pola tektonik lokal. Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat

Page 15: Magmatisme Dan Tektonik

didominasi oleh keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh

keberadaan lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik ketebalan

lempeng samudera sekitar 20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer

(Hamilton, 1979).

Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa

pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu,

yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-

lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan

ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai

kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena

terjadi proses tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30

milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983

dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai

sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini,

menurut teori “indentasi” pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar

geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara

tektonik (Tapponier dkk, 1982).

Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan

busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi.

Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik

Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh,

2000). Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun

lalu dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak

beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman. Bagian selatan Pulau

Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) Sesar Sumatera menunjukkan sebuah

pola geser kanan en echelon dan terletak pada 100 ~ 135 kilometer di atas penunjaman, (2)

lokasi gunungapi umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar, (3) cekungan busur muka

terbentuk sederhana, dengan kedalaman 1 ~ 2 kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama,

(4) punggungan busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal dan berbentuk

sederhana, (5) sesar Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan busur muka

dan cekungan busur muka relatif utuh, dan (6) sudut kemiringan tunjaman relatif seragam.

Bagian utara Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) sesar Sumatera

berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125 ~ 140 kilometer dari garis penunjaman, (2)

busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatera, (3) kedalaman cekungan busur muka

Page 16: Magmatisme Dan Tektonik

1 ~ 2 kilometer, (4) punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat

beragam, (5) homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama dengan struktur

Mentawai yang berada di sebelah selatannya, dan (6) sudut kemiringan penunjaman sangat

tajam.

Bagian tengah Pulau Sumatera memberikan kenampakan tektonik: (1) sepanjang 350

kilometer potongan dari sesar Sumatera menunjukkan posisi memotong arah penunjaman, (2)

busur vulkanik memotong dengan sesar Sumatera, (3) topografi cekungan busur muka

dangkal, sekitar 0.2 ~ 0.6 kilometer, dan terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun

miring , (4) busur luar terpecah-pecah, (5) homoklin yang terletak antara punggungan busur

muka dan cekungan busur muka tercabik-cabik, dan (6) sudut kemiringan penunjaman

beragam. Proses penunjaman miring di sekitar Pulau Sumatera ini mengakibatkan adanya

pembagian / penyebaran vektor tegasan tektonik, yaitu slip-vector yang hampir tegak lurus

dengan arah zona penunjaman yang diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar anjak. Hal ini

terutama berada di prisma akresi dan slip-vector yang searah dengan zona penunjaman yang

diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar besar Sumatera. Slip-vector sejajar palung ini

tidak cukup diakomodasi oleh sesar Sumatera tetapi juga oleh sistem sesar geser lainnya di

sepanjang Kepulauan Mentawai, sehingga disebut zona sesar Mentawai (Diament, 1992).

Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi

lempeng Asia Tenggara terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-vector ini secara

geometri akan mengalami kenaikan ke arah barat-laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut

konvergensi antara dua lempeng tersebut. Pertambahan slip-vector ini mengakibatkan

terjadinya proses peregangan di antara sesar Sumatera dan zona penunjaman yang disebut

sebagai lempeng mikro Sumatera (Suparka dkk, 1991). Oleh karena itu slip-vector komponen

sejajar palung harus semakin besar ke arah barat-laut. Sebagai konsekuensi dari kenaikan

slip-vector pada daerah busur-muka ini, maka secara teoritis akan menaikkan slip-rate di

sepanjang sesar Sumatera ke arah barat-laut. Pengukuran offset sesar dan penentuan

radiometrik dari unsur yang terofsetkan di sepanjang sesar Sumatera membuktikan bahwa

kenaikan slip-rate memang benar-benar terjadi (Natawidjaja, Sieh, 1994). Pengukuran slip-

rate di daerah Danau Toba menunjukkan kecepatan gerak sebesar 27 milimeter / tahun, di

Bukit Tinggi sebesar 12 milimeter / tahun, di Kepahiang sebesar 11 milimeter / tahun

(Natawidjaja, 1994) demikian pula di selat Sunda sebesar 11 milimeter / tahun (Zen dkk,

1991)

Sesar Sumatera sangat tersegmentasi. Segmen-segmen sesar sepanjang 1900 kilometer

tersebut merupakan upaya mengadopsi tekanan miring antara lempeng Eurasia dan India–

Page 17: Magmatisme Dan Tektonik

Australia dengan arah tumbukan 10°N ~ 7°S. Sedikitnya terdapat 19 bagian dengan panjang

masing-masing segmen 60 ~ 200 kilometer, yaitu segmen Sunda (6.75°S ~ 5.9°S), segmen

Semangko (5.9°S ~ 5.25°S), segmen Kumering (5.3°S ~ 4.35°S), segmen Manna (4.35°S ~

3.8°S), segmen Musi (3.65°S ~ 3.25°S), segmen Ketaun (3.35°S ~ 2.75°S), segmen Dikit

(2.75°S ~ 2.3°S), segmen Siulak (2.25°S ~ 1.7°S), segmen Sulii (1.75°S ~ 1.0°S), segmen

Sumani (1.0°S ~ 0.5°S), segmen Sianok (0.7°S ~ 0.1°N), segmen Barumun (0.3°N ~ 1.2°N),

segmen Angkola (0.3°N ~ 1.8°N), segmen Toru (1.2°N ~ 2.0°N), segmen Renun (2.0°N ~

3.55°N), segmen Tripa (3.2°N ~ 4.4°N), segmen Aceh (4.4°N ~ 5.4°N), segmen Seulimeum

(5.0°N ~ 5.9°N)

Tatanan tektonik regional sangat mempengaruhi perkembangan busur Sunda. Di bagian

barat, pertemuan subduksi antara lempeng benua Eurasia dan lempeng samudra Australia

mengkontruksikan busur Sunda sebagai sistem busur tepi kontinen (epi-continent arc) yang

relatif stabil; sementara di sebelah timur pertemuan subduksi antara lempeng samudra

Australia dan lempeng-lempeng mikro Tersier mengkontruksikan sistem busur Sunda sebagai

busur kepulauan (island arc) kepulauan yang lebih labil. Perbedaan sudut penunjaman antara

propinsi Jawa dan propinsi Sumatera Selatan busur Sunda mendorong pada kesimpulan

bahwa batas busur Sunda yang mewakili sistem busur kepulauan dan busur tepi kontinen

terletak di selat Sunda. Penyimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola

kenampakan anomali gaya berat (gambar 2.6) menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian

barat yang cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola struktur

Jawa bagian Timur. Secara vertikal perkembangan struktur masih menyisakan permasalahan

namun jika dilakukan pembangingan dengan struktur cekungan Sumatra Selatan, struktur-

struktur di Pulau Sumatra secara vertikal berkembang sebagai struktur bunga.

Tektonik Indonesia Barat dan Timur

Pembahasan tatanan teknonik Indonesia menggunakan pendekatan tektonik lempeng

telah lama dilakukan. Aplikasi teori ini untuk menerangkan gejala geologi regional di

Indonesia dilakukan oleh Hamilton (1970, 1973, 1978), Dickinson (1971), dan Katili (1975,

1978, 1980). Secara setempat-setempat Audley-Charles (1974) menerapkan teori ini untuk

menjelaskan gejala geologi kawasan Pulau Timor, Rab Sukamto (1975) dan Simanjuntak

(1986) menerapkannya untuk memahami keruwetan Sulawesi. Sartono (1990)

mengemukakan bahwa tatanan tektonik Indoenesia selama Neogen yang dipengaruhi oleh

tatanan geosinklin pasca Larami. Busur-busur geosiklin ini merupakan zona akibat proses

tumbukan kerak benua dan samudra. Kerak benua yang bekerja pada waktu itu terdiri dari

kerak benua Australia, kerak benua Cina bagian selatan, benua mikro Sunda, kerak samudra

Page 18: Magmatisme Dan Tektonik

Pasifik, dan kerak samudra Sunda. Tumbukan Larami tersebut membentuk busur-busur

geosinklin Sunda, Banda, Kalimantan utara dan Halmahera-Papua. Peta anomali gaya berat

dapat menunjukkan dengan baik pola hasil tektonik ini. Tatanan tektonik Indonesia bagian

barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding Indonesia timur.

Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan Paparan Sunda yang

relatif stabil. Pergerakan dinamis menyolok hanya terjadi pada perputaran Kalimantan serta

peregangan selat Makassar. Hal ini terlihat pada pola sebaran jalur subduksi Indonesia Barat

(Katili dan Hartono, 1983, dan Katili, 1986; dalam Katili 1989). Sementara keberadaan benua

mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sesar (Katili, 1973 dan Pigram

dkk., 1984 dalam Sartono, 1990) sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik Indonesia

bagian timur.

Manfaat dari tatanan lempeng tektonik Indonesia

Penyebaran mineral ekonomis di Indonesia ini tidak merata. Seperti halnya penyebaran

batuan, penyebaran mineral ekonomis sangat dipengaruhi oleh tatanan geologi Indonesia

yang rumit. Berkenaan dengan hal tersebut, maka usaha-usaha penelusuran keberadaan

mineral ekonomis telah dilakukan oleh banyak orang. Mineral ekonomis adalah mineral

bahan galian dan energi yang mempunyai nilai ekonomis. Mineral logam yang termasuk

golongan ini adalah tembaga, besi, emas, perak, timah, nikel dan aluminium. Mineral non

logam yang termasuk golongan ini adalah fosfat, mika, belerang, fluorit, mangan. Mineral

industri adalah mineral bahan baku dan bahan penolong dalam industri, misalnya felspar,

ziolit, diatomea. Mineral energi adalah minyak, gas dan batubara atau bituminus lainnya.

Belakangan panas bumi dan uranium juga masuk dalam golongan ini walaupun cara

pembentukannya berbeda. (Sudradjat, 1999)

Keberadaan Mineral Logam

Pembentukan mineral logam sangat berhubungan dengan aktivitas magmatisme dan

vulkanisme, pada saat proses magmatisme akhir (late magmatism), pada suhu sekitar 200oC.

Westerveld (1952) menerbitkan peta jalur kegiatan magmatik. Dari peta tersebut dapat

diperkirakan kemungkinan keterdapatan mineral logam dasar yang pembentukannya

berkaitan dengan kegiatan magmatik. Carlile dan Mitchell (1994), berdasarkan data-data

mutakhir Simanjuntak (1986), Sikumbang (1990), Cameron (1980), Adimangga dan Trail

(1980), memaparkan busur-busur magmatik seluruh Indonesia sebagai dasar eksplorasi

mineral. Teridentifikasikan 15 busur magmatik, 7 diantaranya membawa jebakan emas dan

tembaga, dan 8 lainnya belum diketahui. Busur yang menghasilkan jebakan mineral logam

tersebut adalah busur magmatik Aceh, Sumatera-Meratus, Sunda-Banda, Kalimantan Tengah,

Page 19: Magmatisme Dan Tektonik

Sulawesi-Mindanau Timur, Halmahera Tengah, Irian Jaya. Busur yang belum diketahui

potensi sumberdaya mineralnya adalah Paparan Sunda, Borneo Barat-laut, Talaud, Sumba-

Timor, Moon-Utawa dan dataran Utara Irian Jaya. Jebakan tersebut merupakan hasil

mineralisasi utama yang umumnya berupa porphyry copper-gold mineralization, skarn

mineralization, high sulphidation epithermal mineralization, gold-silver-barite-base metal

mineralization, low sulphidation epithermal mineralization dan sediment hosted

mineralization.

Jebakan emas dapat terjadi di lingkungan batuan plutonik yang tererosi, ketika kegiatan

fase akhir magmatisme membawa larutan hidrotermal dan air tanah. Proses ini dikenal

sebagai proses epitermal, karena terjadi di daerah dangkal dan suhu rendah. Proses ini juga

dapat terjadi di lingkungan batuan vulkanik (volcanic hosted rock) maupun di batuan sedimen

(sedimen hosted rock), yang lebih dikenal dengan skarn. Contoh cukup baik atas skarn

terdapat di Erstberg (Sudradjat, 1999). Skarn Erstberg berupa roofpendant batugamping yang

diintrusi oleh granodiorit. Sebaran skarn dikontrol oleh oleh struktur geologi setempat.

Sebagai sebuah roofpendant, zona skarn bergradasi dari metasomatik contact sampai

metamorphic zone (Juharlan, 1993).

Konsep cebakan emas epitermal merupakan hal baru yang memberikan perubahan

signifikan pada potensi emas Indonesia. Cebakan yang terbentuk secara epitermal ini terdapat

pada kedalaman kurang dari 200 m, dan berasosiasi dengan batuan gunungapi muda berumur

kurang dari 70 juta tahun. Sebagian besar host rock merupakan batuan vulkanik, dan hanya

beberapa yang merupakan sediment hosted rock. Cebakan emas epitermal umumnya

terbentuk pada bekas-bekas kaldera dan daerah retakan akibat sistem patahan.

Proses mineralisasi dalam di lingkungan batuan vulkanik ini dikenal sebagai sistem porfiri

(porphyry). Contoh baik atas porfiri terdapat di kompleks Grasberg di Papua, dengan

mineralisasi utama bersifat disseminated sulfide dengan mineral bijih utama kalkopirit yang

banyak pada veinlet (MacDonald, 1994). Contoh lain terdapat di Pongkor dan Cikotok di

Jawa Barat, Batu Hijau di Sumbawa, dan Ratotok di Minahasa. Lingkungan lain adalah

kondisi gunungapi di daerah laut dangkal. Air laut yang masuk ke dalam tubuh bumi

berperan membawa larutan mineral ke permukaan dan mengendapkannya. Contoh terbaik

atas proses ini terjadi di Pulau Wetar, yang menghasilkan mineral barit. Proses pengkayaan

batuan karena pelapukan dikenal dengan nama pengkayaan supergen. Batuan granitik yang

lapuk akan menghasilkan mineral pembawa aluminium, antara lain bauxit. Proses ini sangat

berhubungan dengan keberadaan jalur magmatik, berupa subduksi pada lempeng benua

bersifat asam, sehingga menghasilkan baruan bersifat asam. Contoh pelapukan granit ini

Page 20: Magmatisme Dan Tektonik

antara lain terjadi di Kalimantan Barat, Bangka, Belitung dan Bintan. Peridotit terbentuk di

lingkungan lempeng samudera yang akan kaya mineral berat besi, nikel, kromit, magnesium

dan mangan. Keberadaannya di permukaan disebabkan oleh lempeng benua Pasifik yang

terangkat ke daratan oleh proses obduksi dengan lempeng benua Eurasia, yang kemudian

“disebarkan” oleh sesar Sorong (Katili, 1980) sebagai pulau-pulau kecil di berada di

kepulauan Maluku. Pelapukan akan menguraikan batuan ultrabasa tersebut menjadi mineral

terlarut dan tak terlarut. Air tanah melarutkan karbonat, kobalt dan magnesium, serta

membawa mineral besi, nikel, kobalt, silikat dan magnesium silikat dalam bentuk koloid

yang mengendap. Endapan kaya nikel dan magnesium oksida disebut krisopas, dan cebakan

nikel ini disebut saprolit. Proses pelapukan peridotit akan menghasilkan saprolit, batuan yang

kaya nikel. Pelapukan ini terjadi di sebagian kepulauan Maluku, antara lain di pulau Gag,

Buton dan Gebe (Sudrajat, 1999).

Keberadaan Minyak dan Gas Bumi

Energi minyak dan gas bumi mempunyai peran yang sangat strategis dalam berbagai

kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Pada umumnya minyak bumi dewasa ini

memiliki peran sekitar 80% dari total pasokan energi untuk konsumsi kebutuhan energi di

Indonesia. Dengan demikian peran minyak dan gas bumi dalam peningkatan perolehan devisa

negara masih sangat diperlukan. Nayoan dkk. (1974) dalam Barber (1985) menjelaskan

bahwa terdapat hubungan yang erat antara cekungan minyak bumi yang berkembang di

berbagai tempat dengan elemen-elemen tektonik yang ada. Cekungan-cekungan besar di

wilayah Asia Tenggara merepresentasikan kondisi setiap elemen tektonik yang ada, yaitu

cekungan busur muka (forearc basin), cekungan busur belakang (back-arc basin), cekungan

intra kraton (intracratonic basin), dan tepi kontinen (continent margin basin), dan zona

tumbukan (collision zone basin). Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan dari berbagai

sumber, telah diketahui ada sekitar 60 basin yang diprediksi mengandung cebakan migas

yang cukup potensial. Diantaranya basin Sumatera Utara, Sibolga, Sumatera Tengah,

Bengkulu, Jawa Barat Utara, Natuna Barat, Natuna Timur, Tarakan, Sawu, Asem-Asem,

Banda, dll.

Cekungan busur belakang di timur Sumatera dan utara Jawa merupakan lapangan-

lapangan minyak paling poduktif. Pematangan minyak sangat didukung oleh adanya heat

flow dari proses penurunan cekungan dan pembebanan. Proses itu diperkuat oleh gaya-gaya

kompresi telah menjadikan berbagai batuan sedimen berumur Paleogen menjadi perangkap

struktur sebagai tempat akumulasi hidrokarbon (Barber, 1985). Secara lebih rinci,

perkembangan sistem cekungan dan perangkap minyak bumi yang terbentuk sangat

Page 21: Magmatisme Dan Tektonik

dipengaruhi oleh tatanan struktur geologi lokal. Sebagai contoh, struktur pull apart basin

menentukan perkembangan sistem cekungan Sumatera Utara (Davies, 1984). Perulangan

gaya kompresif dan ekstensional dari proses peregangan berarah utara-selatan mempengaruhi

pola pembentukan antiklinorium dan cekungan Palembang yang berarah N300oE

(Pulunggono, 1986). Demikian pula pola sebaran cekungan Laut Jawa sebelah selatan sangat

dipengaruhi oleh pola struktur berarah timur-barat (Brandsen & Mattew, 1992), sedang pola

cekungan di Laut Jawa bagian barat-laut berarah berarah timur-laut – baratdaya, sedang pola

cekungan di timur-laut berarah barat-laut – tenggara. Cekungan Kutai dan Tarakan

merupakan cekungan intra kraton (intracratonic basin) di Indonesia. Pembentukan cekungan

terjadi selama Neogen ketika terjadi proses penurunan cekungan dan sedimentasi yang

bersifat transgresif, dan dilanjutkan bersifat regresif di Miosen Tengah (Barber, 1985). Pola-

pola ini menjadiken pembentukan delta berjalan efektif sebagai pembentuk perangkap

minyak bumi maupun batubara.

Zona tumbukan (collision zone), tempat endapan-endapan kontinen bertumbukan

dengan kompleks subduksi, merupakan tempat prospektif minyak bumi. Cekungan Bula,

Seram, Bituni dan Salawati di sekitar Kepala burung Papua, cekungan lengan timur Sulawesi,

serta Buton, merupakan cekungan yang masuk dalam kategori ini. (Barber, 1985).

Keberadaan endapan aspal di Buton berasosiasi dengan zona tumbukan antara mikro

kontinen Tukang Besi dengan lengan timur-laut Sulawesi, dengan Banggai Sula sebagai

kompleks ofiolit (Barber, 1985; Sartono, 1999). Kehadiran minyak di Papua berasosiasi

dengan lipatan dan patahan Lenguru, yang merupakan tumbukan mikro kontinen Papua Barat

dengan tepi benua Australia (Barber, 1985). Sumber dan reservoar hidrokarbon terperangkap

struktur di bagian bawah foot-wall sesar normal serta di bagian bawah hanging-wall sesar

sungkup (Simanjuntak dkk, 1994.

Keberadaan Batubara dan Bituminus

Parameter yang mengendalikan bembentukan batubara adalah (1) sumber vegetasi, (2)

posisi muka air tanah (3) penurunan yang terjadi bersamaan dengan pengendapan, (4)

penurunan yang terjadi setelah pengendapan, (5) kendali lingkungan geotektonik endapan

batubara dan (6) lingkungan pengendapan terbentuknya batubara. Batubara lazim terbentuk

di lingkungan (1) dataran sungai teranyam, (2) lembah aluvial, (3) dataran delta, (4) pantai

berpenghalang dan (5) estuaria (Diessel, 1992). Batubara di Indonesia umumnya menyebar

tidak merata, 60% terletak di Sumatera Selatan dan 30% di Kalimantan Timur dan Selatan.

Sebagian besar batubara terbentuk di lingkungan litoral, paralik dan delta, sedang beberapa

Page 22: Magmatisme Dan Tektonik

terbentuk di lingkungan cekungan antar pegunungan. Kualitas batubara umumnya berupa

bituminous, termasuk dalam steaming coal. Antrasit berkualitas rendah karena pemanasan

oleh intrusi ditemukan di Bukit Asam, Sumatera dan Kalimantan Timur sedang pematangan

karena tekanan tektonik terbentuk di Ombilin, Sumatera Barat (Sudradjat, 1999).

Urutan kualitas batubara cenderung menggambarkan umurnya. Selama ini batubara di

Indonesia dihasilkan oleh cekungan berumur Tersier. Gambut berumur Resen sampai

Paleosen, batubara sub bituminus berumur Miosen dan batubara bituminus berumur Eosen.

Keberadaan Panasbumi

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki panas bumi terbesar di dunia.

Panasbumi sebaai energi alternatif tidak mempunyai potensi bahaya seperti energi nuklir,

serta dari sisi pencemaran jauh lebih rendah dari batubara. Keberadaan lapangan panas bumi

tersebut secara umum dikontrol oleh keberadaan sistem gunungapi. Di Indonesia lapangan

panasbumi tersebar di sepanjang jalur gunungapi yang memperlihatkan kegiatan sejak

Kwarter hingga saat ini. Jalur ini merentang dari ujung barat-laut Sumatera sampai kepulau

Nusatenggara, kemudian melengkung ke Maluku dan Sulawesi Utara. Pada jalur memanjang

sekitar 7.000 km, dengan lebar 50-200 km tersebut, terdapat 217 lokasi prospek, terdiri dari

70 lokasi prospek entalpi tinggi (t > 200oC) dan selebihnya entalpi menengah dan rendah.

Lapangan prospek tersebut tersebar di Sumatera (31), Jawa-Bali (22), Sulawesi (6),

Nusatenggara (8) dan Maluku (3), dengan seluruh potensi mencapai 20.000 MWe, dengan

total cadangan sekitar 9.100 Mwe. Pengembangan geotermal di Indonesia saat ini

dikonsentrasikan di Sumatera, Jawa-Bali dan Sulawesi Utara. Hal ini dikarenakan kawasan

tersebut telah memiliki infrastruktur yang memadai serta memiliki pertumbuhan kebutuhan

listrik yang tinggi. (Sudrajat, 1982: Sudarman dkk., 1998)

Mineralisasi Busur Vulkanik Jawa:

Sebuah Contoh Busur vulkanik Jawa merupakan bagian dari busur vulkanik Sunda-

Banda yang membentang dari Sumatera hingga Banda, sepanjang 3.700 km yang dikenal

banyak mengandung endapan bijih logam (Carlile & Mitchell, 1994). Batuan vulkanik hasil

kegiatan gunungapi yang berumur Eosen hingga sekarang merupakan penyusun utama pulau

Jawa. Terbentuknya jalur gunungapi ini merupakan hasil dinamika subduksi ke arah utara

lempeng Samudera Hindia ke Lempeng Benua Eurasia (Katili, 1989) yang berlangsung sejak

jaman Eosen (Hall, 1999). Kerak kontinen yang membentuk tepi benua aktif (active continent

margin) mempengaruhi kegiatan vulkanisme Tersier Jawa bagian barat, sedang kerak

Page 23: Magmatisme Dan Tektonik

samudera yang membentuk busur kepulauan (island arc) mempengarui kegiatan vulkanisme

Tersier Jawa bagian timur (Carlile & Mitchell, 1994).

Jalur penyebaran gunungapi di Indonesia terdiri dari jalur gunungapi tua (Tersier) dan

muda (Kwarter), yang sejajar dengan jalur penunjaman. Kegiatan vulkanisma Tersier terjadi

dalam dua perioda, yaitu perioda Eosen Akhir – Miosen Awal yang sebagian besar berafinitas

toleitik dan perioda Miosen Akhir – Pliosen yang sebagian besar berafinitas alkali kapur K

tinggi (Soeria-Atmadja dkk, 1991) beberapa batuan berafinitas shosonitik terdapat di Pacitan

dan Jatiluhur (Sutanto, 1993). Berdasarkan pentarikhan umur dengan menggunakan metoda

K/Ar, batuan volkanik Tersier tertua terdapat di Pacitan dengan umur 42,7, juta tahun, sedang

termuda terdapat di Bayah dengan umur 2,65 juta tahun (Soeria-Atmadja, 1991). Kegiatan

vulkanisma umumnya menghasilkan komposisi batuan bersifat andesitik. Beberapa

singkapan batuan beku bersifat dasitik terdapat di beberapa tempat, misalnya intrusi dasit

Ciemas Jawa Barat dan granodiorit Meruberi Jawa Timur serta retas-retas basalt yang banyak

terdapat di Kulonprogo Yogyakarta dan Pacitan Jawa Timur (Soeria-Atmadja, 1991; Sutanto,

1993; Paripurno dan Sutarto, 1996). Pola ritmik initerjadi karena adanya perubahan sudut

penunjaman.

Sutanto (1993) mengelompokkan batuan vulkanik Jawa berdasarkan waktu

terbentuknya, yaitu batuan-batuan vulkanik yang terbentuk oleh (1) Eosen-Oligosen awal, (2)

vulkanisme Eosen-Miosen Akhir, (3) vulkanisme Eosen Akhir – Miosen Awal, (4)

vulkanisme Miosen Tengah – Pliosen, serta (5) vulkanisme Kwarter. Batuan-batuan volkanik

Tersier di atas dikenal sebagai batuan vulkanik kelompok Andesit Tua (van Bemmerlen,

1933), yang saat ini lebih dikenal dengan nama Formasi Jampang, Formasi Cikotok dan

Formasi Cimapag untuk wilayah Jawa Barat; Formasi Gabo, Formasi Totogan, untuk wilayah

Kebumen dan sekitarnya; Formasi Kebo, Formasi Butak, Formasi Semilir, Formasi

Nglanggran, Formasi Semilir, untuk kawasan Gunungsewu dan sekitarnya; serta Formasi

Kaligesing, Formasi Dukuh, Formasi Giripurwo untuk wilayah Kulonprogo dan sekitarnya;

serta di Jawa Timur dikenal dengan nama Formasi Besole, Formasi Mandalika dan Fomasi

Arjosari.

Proses hidrotermal di Jawa yang terdapat mulai dari Pongkor Jawa Barat sampai

Sukamade Jawa Timur. Sebagian besar cebakan merupakan tipe low sulphidation epithermal

mineralization. Tipe lain berupa volcanogenic massive sulphide mineralization, misalnya

terdapat di Cibuniasih; sedang tipe veins assosiated with porphyry system misalnya terdapat

di Ciomas, dan sediment hosted mineralization hanya terdapat di beberapa tempat, misalnya

di Cikotok.

Page 24: Magmatisme Dan Tektonik

Secara umum cadangan yang terdapat di Jawa bagian barat lebih besar dibanding yang

terdapat di Jawa bagian timur. Cadangan terbesar di Jawa bagian barat terdapat di Pongkor

dengan kadar rata-rata 17,4 (Sumanagara dan Sinambela, 1991) dan jumlah cadangan lebih

dari 98 ton Au dan 1.026 Ag (Milesi dkk, 1999). Vulkanisme yang terkait dengan

mineralisasi umumnya menunjukkan umur yang relatif muda, Miosen Tengah – Pliosen.

Pentarikhan pada beberapa urat di Pongkor menunjukkan umur 2,7 juta tahun, di Cirotan

menujukkan umur 1,7 juta tahun, serta di Ciawitali menujukkan umur 1,5 juta tahun. Di

Cirotan urat-urat tersebut memotong ignimbrit riodasit berumur 9,5 juta tahun yang diintrusi

oleh mikrodiorit berumur 4,5 juta tahun (Milesi dkk., 1994). Di Pongkor urat-urat tersebut

berada pada lingkungan vulkanik kaldera purba yang terdiri dari batuan tufa breksi,

piroklastika dan lava bersusunan andesit-basalt yang diintrusi oleh andesit, dasit dan basalt

(Sumanagara dan Sinambela, 1991).

Gempa dan bencana lain suatu saat dan kapan saja akan terjadi pada kita. Namun

daibalik dari semua itu ada sisi baik dari sebuah bencana yang terjadi selama ini dengan

kelimpahan selain sumber daya alam adalah berupa bahan tambang yang telah dapat kita

nimati. Rasa syukur kita senantiasa menjauhkan kita dari bencana dan marabahaya yang

sewaktu – waktu datang pada kita.