Upload
fransisca-winandari
View
54
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Selamat belajar
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
1. Pengertian
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian
terjadi sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun
sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup
pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA.
(Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI)
merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari
angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
(Sudoyo, 2006)
2. Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan
akumulasi lipid.
3. Faktor resiko
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi:
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Suku bangsa dan warna kulit
d. Genitik
Faktor yang dapat dimodifikasi:
a. Hipertensi
b. Hiperlipidemia
c. Merokok
d. Diabetes mellitus
e. Kegemukan
f. Kurang gerak dan kurang olahraga
g. Konsumsi kontrasepsi oral.
4. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya
tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology menunjukkan plak
koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap yang tipis dan
intinya kaya lipid (lipid rich core).
Infark Miokard yang disebabkan trombus arteri koroner dapat mengenai
endokardium sampai epikardium, disebut infark transmural, namun bisa juga
hanya mengenai daerah subendokardial,disebut infark subendokardial. Setelah 20
menit terjadinya sumbatan, infark sudah dapat terjadi pada subendokardium,dan
bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural.
Kerusakan miokard ini dari endokardium ke epikardium menjadi komplit dan
ireversibel dalam 3-4 jam.Meskipun nekrosis miokard sudah komplit,proses
remodeling miokard yang mengalami injury terus berlanjut sampai beberapa
minggu atau bulan karena daerah infark meluas dan daerah non infark mengalami
dilatasi.
5. Manifestasi Klinis
Keluhan utama adalah sakit dada yang terutama dirasakan di daerah sternum,bisa
menjalar ke dada kiri atau kanan,ke rahang,ke bahu kiri dan kanan dan pada
lengan.Penderita melukiskan seperti tertekan,terhimpit, diremas-remas atau
kadang hanya sebagai rasa tidak enak di dada. Walau sifatnya dapat ringan, tapi
rasa sakit itu biasanya berlangsung lebih dari setengah jam.Jarang ada
hubungannya dengan aktifitas serta tidak hilang dengan istirahat atau pemberian
nitrat.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan
lemas. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin.
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi
menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan
darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa
minggu, tekanan darah kembali normal.
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.
Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi
sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan
suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung
dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel
jantung.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Anamnesis
Adanya nyeri dada yang lamanya lebih dari 30 menit di daerah
prekordial,retrosternal dan menjalar ke lengan kiri,lengan kanan dan ke
belakang interskapuler. Rasa nyeri seperti dicekam,diremas-remas,tertindih
benda padat,tertusuk pisau atau seperti terbakar.Kadang-kadang rasa nyeri
tidak ada dan penderita hanya mengeluh lemah,banyak keringat, pusing,
palpitasi, dan perasaan akan mati.
b. Pemeriksaan fisik
Penderita nampak sakit,muka pucat,kulit basah dan dingin.Tekanan darah bisa
tinggi,normal atau rendah.Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang pecah
paradoksal,irama gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang
tampak atau teraba di dinding dada pada IMA inferior.
c. EKG
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark
akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan
elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan
berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi
gelombang non-Q. Pada STEMI inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II,
III, dan aVF.
d. Pemeriksaan laboratorium
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang
interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan
aliran limfatik. Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari
pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-
protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase (AST), lactate
dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB),
mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC)
dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). Peningkatan kadar serum
protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard.
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Time is muscle semboyan dalam penanganan STEMI, artinya semakin cepat
tindakan maka kerusakan otot jantung semakin minimal sehingga fungsi
jantung kelak dapat dipertahankan. Terapi STEMI hanyalah REPERFUSI,
yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi lancar. Reperfusi ada 2
macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI) yang berupa tindakan invasive
(semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur infuse (agen fibrinolitik).
PCI walaupun terkesan lebih menyeramkan ketimbang terapi dengan sekedar
obat per infuse, sebenarnya memiliki efek samping yang lebih kecil ketimbang
terapi obat per infuse tersebut selain itu efektivitasnya jauh lebih baik, bahkan
mendekati sempurna. Tindakan PCI yang berupa memasukkan selang kateter
langsung menuju jantung dari pembuluh darah di pangkal paha dapat berupa
pengembangan ballon maupun pemasangan cincin/stent.
Walaupun terkesan mudah saja untuk dilakukan (hanya seperti obat-obat per
infuse seperti umumnya), fibrinolitik menyimpan efek samping yang sangat
berbahaya yaitu perdarahan. Resiko paling buruk adalah terjadinya stroke
perdarahan (sekitar 1,4 % pasien. Efektivitas fibrinolitik adalah baik,
walaupun tidak sebaik PCI.
b. Penatalaksanaan Fisioterapi
Manajemen fisioterapi dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu pada tahap in
patient, tahap out patient, dan yang terakhir tahap long-term maintenance.
Selama fase inpatient, tujuan intervensi fisioterapi adalah mencegah atau
menangani sequelae dari bed rest. Teknik-teknik yang digunakan bertujuan
untuk mencegah kolaps paru dan membantu mengembalikan aktivitas secara
mandiri dengan bantuan sederhana. Aktivitas harus ditingkatkan secara
perlahan dan mencakupkan program latihan dan mobilisasi sehingga pada saat
pasien keluar dari rumah sakit, pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari
secara mandiri.
Pada tahap outpatient, lanjutan fisioterapi untuk pasien jantung bisa dilakukan
dengan edukasi dan sesi latihan sekali atau lebih per minggu selama 1-2 bulan,
yang disertai dengan latihan di rumah, atau bisa juga dibuatkan program
latihan berbasis-rumah agar lebih memudahkan pasien.
Latihan long term maintenance untuk pasien jantung sekarang telah banyak
tersedia. Banyak pasien yang termotivasi untuk melakukan program latihan
bersama pasien jantung lainnya.
Adapun modalitas fisioterapi yang dapat digunakan dalam penanganan pasien
gagal jantung kongestif antara lain:
1) Breathing exercise. Merupakan latihan yang bertujuan untuk memberikan
latihan pernafasan, pada kasus ini untuk meningkatkan volume paru
selama bed rest, pemberianbreathing exercise dapat memperlancar
jalannya pernafasan. Latihan pernafasan ini dilakukan bila pasien mampu
menerima instruksi dari fisioterapis. Latihan pernafasan ini juga dapat
digunakan untuk relaksasi, mengurangi stress,dan ketegangan.
2) Passive movement, adalah suatu latihan yang digunakan dengan gerakan
yang dihasilkan oleh tenaga/kekuatan dari luar tanpa adanya kontraksi otot
atau aktifitas otot. Semua gerakan dilakukan sampai batas nyeri atau
toleransi pasien. Efek pada latihan ini adalah memperlancar sirkulasi
darah, relaksasi otot, memelihara dan meningkatkan LGS, mencegah
pemendekan otot, mencegah perlengketan jaringan.
3) Active movement, Merupakan gerak yang dilakukan oleh otot-otot
anggota tubuh itu sendiri. Gerak yang dalam mekanisme pengurangan
nyeri dapat terjadi secara reflek dan disadari. Gerak yang dilakukan secara
sadar dengan perlahan dan berusaha hingga mencapai lingkup gerak penuh
dan diikuti relaksasi otot akan menghasilkan penurunan nyeri. Disamping
itu gerak dapat menimbulkan ” pumping action” pada kondisi oedem
sering menimbulkan keluhan nyeri, sehingga akan mendorong cairan
oedem mengikuti aliran ke proximal.
4) Latihan gerak fungsional, Latihan ini bertujuan untuk mempersiapkan
aktivitas kesehariannya seperti duduk, berdiri, jalan sehingga penderita
mampu secara mandiri dapat melakukan perawatan diri sendiri.
5) Home program education, Dalam hal ini pasien diberi pengertian tentang
kondisinya dan harus berusaha mencegah cidera ulang atau komplikasi
lebih lanjut dengan cara aktifitas sesuai kondisi yang telah diajarkan oleh
terapis. Disamping itu juga peran keluarga sangatlah penting untuk
membantu dan mengawasi segala aktifitas pasien di lingkungan
masyarakatnya. Pasien diberi pengertian juga tentang kontraindikasi dari
kondisi pasien itu sendiri untuk menghindari hal-hal yang dapat
memperburuk keadaannya.
8. Komplikasi
a. Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk,
ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark.
Proses ini disebut remodeling ventricular dan umumnya mendahuluai
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun
pasca infark. SEgera setetlah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara
akut, hasil ini berasala dari ekspansi infark al: slippage serat otot, disrupsi sel
miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya
terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang
disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara
keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi
terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan
hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis
lebih buruk Progresivitas dilatasi dan knsekuensi klinisnya dapat dihambat
dengan terapi inhi bitot ACE dan vasodilator lain. PAda pasien dengan fraksi
ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitore ACE harus
diberikan.
b. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari
infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki
basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen
sering dijumpai kongesti paru.
9. Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan
setelah serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang
ditingkatkan dengan kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini
penting bahwa semua pasien yang menderita serangan jantung secara teratur dan
terus malakukan terapi jangka panjang dengan obat-obatan seperti:
a. ASPIRIN®
b. clopidrogel
c. statin (cholesterol lowering) drugs
d. beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi
otot jantung)
e. ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada
yang khas, biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan jika
penampilan karakteristik EKG ST elevasi tidak dilihat, serangan jantung
mengakibatkan kerusakan otot jantung, sehingga cara terbaik untuk menangani
serangan jantung adalah untuk mencegah mereka.