LP KEJANG DEMAM 2.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • i

    UNIVERSITAS INDONESIA

    ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN

    MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN KEJANG DEMAM DI

    RSUP FATMAWATI

    KARYA ILMIAH AKHIR NERS

    FAHMITA AYUNI, S.Kep

    0806333890

    FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

    PROGRAM NERS ILMU KEPERAWATAN

    DEPOK, JAWA BARAT

    JULI 2013

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • ii

    UNIVERSITAS INDONESIA

    ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN

    MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN KEJANG DEMAM DI

    RSUP FATMAWATI

    KARYA ILMIAH AKHIR NERS

    Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

    Ners Ilmu Keperawatan

    FAHMITA AYUNI, S.Kep

    0806333890

    FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

    PROGRAM NERS ILMU KEPERAWATAN

    DEPOK, JAWA BARAT

    JULI 2013

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • : Fahmita A'Yllni, S.Kep

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

    Karya ilmiah akhir ini adalah hasil karya saya sendiri,

    dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuktelah saya nyatakan dengan benar.

    Nama

    NPM

    Tanda Tangan

    Tanggal : 24 Juli 2013

    IIIAnalisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • iv

    LEMBAR PENGESAHAN

    Karya Ilmiah ini diajukan oleh :

    Nama : Fahmita Ayuni NPM : 0806333890

    Program Studi : Profesi Ilmu Keperawatan

    Judul Karya Ilmiah : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan

    Masyarakat Perkotaan pada Pasien Kejang

    Demam di RSUP Fatmawati

    Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai

    bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners pada Program

    Studi Profesi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas

    Indonesia

    DEWAN PENGUJI

    Pembimbing: Happy Hayati, S.Kp. M.Kep. ( )

    Penguji : Siti Chodidjah, S.Kp., M.N. ( )

    Penguji : Ns. Ngatmi, S.Kp. ( )

    Ditetapkan di: Depok

    Tanggal: 24 Juli 2013

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • v

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillahirabbilalamin. Puji dan syukur penulis panjatkan

    kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta

    memberikan kekuatan dan pengetahuan selama penerapan, pengamatan, dan

    penulisan karya ilmiah akhir ini. Penulis menemui kesulitan-kesulitan dalam

    menyusun karya ilmiah ini yang kemudian dapat penulis selesaikan berkat

    bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima

    kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu selama

    pelaksanaan dan penulisan karya ilmiah akhir ini, di antaranya:

    1. Ibu Fajar Triwaluyanti, S.Kp., M.Kep., Sp. Kep. An. selaku Koordinator mata

    ajar peminatan anak dan Ketua Kelompok Keilmuan Keperawatan Anak FIK

    UI yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan

    karya ilmiah ini sampai tuntas.

    2. Ibu Happy Hayati, S.Kp. M.Kep selaku pembimbing yang telah memberikan

    waktu untuk membimbing dan mengarahkan serta memberikan dukungan,

    semangat, dan nasihat kepada penulis selama pelaksanaan penelitian sampai

    berakhirnya proses penulisan karya ilmiah akhir.

    3. Ibu Siti Chodidjah, S.Kp., M.N. selaku penguji atas saran dan kritik yang

    membangun bagi penulis.

    4. Ibu Ns. Ngatmi, S.Kp selaku pembimbing lahan klinik (clinical instructor)

    atas arahan, perhatian, dukungan, saran, kritik, dan motivasi yang diberikan

    selama praktik profesi di stase Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan

    Masalah Perkotaan (PKKKMP) di ruang rawat inap anak RSUP Fatmawati.

    5. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan

    Universitas Indonesia.

    6. Kakak-kakak perawat yang bertugas di ruang rawat anak RSUP Fatmawati

    atas penerimaan, pembelajaran, dan keteladanan yang positif yang diberikan

    semasa praktik, yang tidak dapat penulis temukan selama menuntut ilmu di

    kampus.

    7. Bapak dan Ibu yang selalu mendukung, memberikan kasih sayang, bimbingan,

    nasihat, semangat, dan doa yang tiada putus-putusnya serta pelajaran-

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • vi

    pelajaran berharga bagi penulis. Kakakku Lutfi dan adik-adikku Giri dan Nisa

    atas keceriaan dan dukungannya kepada penulis.

    8. Sahabat-sahabat tersayang atas pertemanan, doa, canda, dan semangat yang

    senantiasa dilakukan sampai saat ini.

    9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah banyak

    membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah akhir ini.

    Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan

    karya ilmiah akhir ini. Oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun sangat

    berarti bagi penulis untuk menjadi lebih baik di masa mendatang. Akhir kata,

    penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak. Semoga penulisan karya

    ilmiah akhir ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan dan peningkatan

    ilmu keperawatan.

    Depok, 24 Juli 2013

    Penulis

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI

    KARYA ILMIAH AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

    Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

    Nama : Fahmita A 'yuni, S.KepNPM : 0806333890Program Studi : Sarjana Ilmu KeperawatanFakultas : Ilnlu KeperawatanJenis Karya : Karya Ilmiah Akhir Ners

    Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas RoyaIti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

    "Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan PadaPasien Kejang Demam Di Rsup Fatmawati"

    Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas RoyaltiNoneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan.,mengalihmedia/formatkan, mengelola dalanl bentuk pangkalan data (data base)~merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa lneminta izin dari sayaselama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagaipemilik Hak Cipta.

    Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

    Dibuat di: Depok

    Pada tanggal: 24 Juli 2013

    Yang Menyatakan

    (Fahmita A'yuni, S.Kep)

    viiAnalisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • viii

    ABSTRAK

    Nama : Fahmita Ayuni, S.Kep Program Studi : S1 Program Ners Fakultas Ilmu Keperawatan

    Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat

    Perkotaan Pada Pasien Kejang Demam di RSUP Fatmawati

    Karya ilmiah ini membahas asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien anak

    di RSUP Fatmawati dengan kasus yang cukup sering terjadi pada masyarakat

    perkotaan, yaitu kejang demam. Satu anak berusia 18 bulan, yang didiagnosis

    menderita kejang demam, menjadi pasien kelolaan selama hari pertama sampai

    terakhir perawatan di ruang rawat inap dengan penerapan pemberian tepid sponge

    disertai obat antipiretik saat anak demam yang menjadi salah satu intervensi dari

    asuhan keperawatan yang diberikan. Meminimalkan risiko infeksi dan mencegah

    demam timbul kembali menjadi fokus utama dalam asuhan keperawatan pada

    pasien kelolaan. Kombinasi pemberian tepid sponge dan obat antipiretik

    memperlihatkan penurunan suhu sebesar 2oC dalam waktu 60 menit. Tidak

    terlihat ketidaknyamanan anak selama tepid sponge dilakukan. Penelitian lebih

    lanjut dibutuhkan untuk mengetahui tingkat pengetahuan orang tua tentang

    pemberian terapi tepid sponge untuk mencegah demam

    Kata kunci: anak, demam, kejang demam, perawatan

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • ix

    ABSTRACT

    Name : Fahmita A'yuni, S.Kep

    Study program : Graduate of Program Ners of Nursing Science, Faculty of

    Nursing

    Title : Analysis Clinical Practice of Urban Health Nursing in Patient

    with Febrile Convulsion at RSUP Fatmawati

    This paper was discussed about the nursing care given to one patient of children in

    Fatmawatis Hospital who had febrile convulsion as a fairly common case in urban communities. One child in the range of 6 months to 5 years who were

    diagnosed febrile seizures were being managed patients during the first until the

    last day of inpatient care with application of the provision tepid sponge and

    antipyretic drugs when the child had fever. It became one of nursing care

    interventions given. Minimize the risk of infection and prevent the fever comes

    back were the main focus in nursing intervention on that managed patient. The

    other child in the same range of age and diagnosis became an individual control

    with antipyretic administration only when the child had a fever. The combination

    giving tepid sponge and antipyretic drug showed a drop in temperature of 2 C

    within 60 minutes. Not visible discomfort in children during tepid sponge done.

    Further research is needed to determine the level of parental knowledge about

    therapy tepid sponge to prevent fever.

    Keywords: child, febrile convulsion, fever, treatment

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • x

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.. iii LEMBAR PENGESAHAN iv KATA PENGANTAR v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.. vii ABSTRAK. viii DAFTAR ISI.. x DAFTAR TABEL.. xi DAFTAR GAMBAR. xii 1. PENDAHULUAN. 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 3 1.3 Tujuan Penulisan 4 1.4 Manfaat Penulisan.. 4 2. Tinjauan Pustaka.. 6 2.1 Kejang Demam.. 6 2.2 Klasifikasi Kejang. 7 2.3 Manifestasi Klinis Kejang Demam... 9 2.4 WOC Kejang Demam... 11 2.5 Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kejang Demam 11 2.6 Cara Penurunan Panas Tubuh.. 13 2.7 Hasil Penelitian Terkait Pemberian tepid Water Sponge pada

    Anak dengan Kejang Demam 15 3. Laporan kasus Kelolaan Utama... 17 3.1 Gambaran Kasus... 17 3.2 Asuhan Keperawatan pada Anak A.. 17 3.2.1 Pengkajian 17 3.2.2 Analisis Data dan Diagnosa keperawatan 20 3.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan 22 3.2.4 Implementasi 23 3.2.5 Evaluasi 25 4. Analisis Situasi.. 26 4.1 Profil Lahan Praktik.. 26 4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait

    KKMP dan Konsep Kejang Demam 27 4.3 Analisis Intervensi Tepid Water Sponge dengan Konsep Terkait 30 4.4 Alternatif Pemecahan yang dapat dilakukan 31 5. Penutup. 33 5.1 Kesimpulan... 33 5.2 Saran. 33 DAFTAR PUSTAKA. 34

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • xi

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Kejang Demam... 10

    Tabel 3.1 Analisis Data Hasil Pengkajian. 20

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • xii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 WOC Kejang Demam... 11

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 1

    Universitas Indonesia

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar belakang

    Kejang demam selama ini merupakan tipe kejang yang umumnya sering

    ditemukan pada anak-anak terutama pada usia balita. Di Amerika Serikat,

    Amerika Selatan, dan Eropa Barat sekitar 2-5% anak-anak menderita kejang

    demam di bawah usia 5 tahun (Shinnar & Glauser (2002) dalam David, 2009).

    Di Denmark, Eropa Utara, angka kematian akibat kejang demam mencapai 132

    dari 100.000 anak (Vestergaard et al., 2008). Penulis belum menemukan

    penelitian atau riset baik nasional maupun lokal mengenai prevalensi atau

    insiden kejang demam di Indonesia. Namun di RS Fatmawati, tercatat 36 kasus

    kejang demam yang didiagnosis dalam periode bulan April sampai Mei 2013,

    jumlah terbesar dibandingkan kasus lainnya (RSUP Fatmawati, 2013). Sebuah

    penelitian di Cina tahun 2006 menyatakan bahwa 103 dari 565 anak usia 1-6

    tahun yang menderita kejang demam memiliki kekambuhan yang cukup tinggi

    pada usia 1, 2, dan 3 tahun dengan jumlah persentase masing-masing 12,7%,

    18,7%, dan 20,5% (Chung, Wat, dan Wong, 2006).

    Kejang demam adalah peristiwa neurologis umum di antara anak-anak di

    seluruh dunia, tetapi lebih banyak ditemukan pada daerah tropis (Birbeck,

    2010). Di negara berkembang, penduduk perkotaan sering tinggal di

    permukiman kumuh besar yang kekurangan sanitasi dasar dan utilitas seperti

    air dan listrik (Unit For Sight, 2013). Kurangnya infrastruktur dasar tersebut

    dapat memperburuk tingkat penyakit menular atau infeksi yang merupakan

    pencetus timbulnya kejang demam. Kesadaran untuk menerapkan kebiasaan

    mencuci tangan dengan sabun juga masih tergolong rendah pada masyarakat

    perkotaan (Mikail, 2011). Hal ini turut menjadi penyebab balita di perkotaan

    memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi sehingga lebih berisiko menderita

    kejang demam.

    Epilepsy Foundation of America menyatakan 3-4% dari semua anak

    mengalami setidaknya satu kali kejang demam dalam hidupnya (Epilepsy

    Foundation of America, 2012). Tiga puluh sampai 40% dari mereka yang

    1

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 2

    Universitas Indonesia

    mengalami kejang ini akan memiliki kekambuhan, namun, sebagian besar pulih

    pada usia 5 tahun dan dapat berkembang secara normal. Kasus kejang demam

    tersebut relatif sedikit untuk selanjutnya berkembang menjadi epilepsi. Hanya

    9% anak-anak yang mengalami tiga kali atau lebih kejang demam dengan

    faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi (Epilepsy Foundation of America,

    2012). Beberapa faktor tersebut yaitu kejang pertama yang terjadi sebelum usia

    18 bulan, kejang terjadi dalam beberapa jam, demam yang mencapai 38oC-

    39oC, dan riwayat kejang demam keluarga dekat.

    National Health Service (NHS) di UK menyatakan bahwa kejang demam

    umumnya disebabkan oleh penyakit umum seperti infeksi saluran pernapasan

    atas virus seperti flu, infeksi telinga atau roseola (virus yang menyebabkan

    suhu dan ruam). Kondisi lain yang dapat menyebabkan suhu tinggi misalnya

    tonsillitis dan infeksi ginjal atau infeksi saluran kemih (National Health

    Service/NHS, 2012). Manifestasi klinis kejang demam meliputi kejadian yang

    tiba-tiba seperti kekakuan tubuh, kehilangan kesadaran yang cepat, gerakan-

    gerakan otot tangan, kaki, dan wajah menyentak, nafas dapat ireguler, dan

    tidak ada kemampuan mengunyah (White, 2005). Kejang demam biasanya

    terjadi pada awal saat terjadi demam tinggi dan biasanya kejang terjadi hanya

    sekali dalam waktu kurang dari 3 menit. Kejang dapat menyebabkan

    kerusakan sel-sel otak apabila kejang terjadi lebih dari 5 menit (Nursewian,

    2012).

    Kejang demam pada anak membutuhkan penanganan yang tepat dan segera

    untuk mencegah terjadinya kejang berulang. Pencegahan infeksi, demam, dan

    cedera menjadi fokus utama dalam pemberian asuhan keperawatan kejang

    demam pada anak (Sara, 2002; Wong, 2004). Edukasi parental merupakan hal

    penting untuk diberikan karena mayoritas orang tua umumnya percaya bahwa

    kejang demam adalah peristiwa yang mengancam jiwa, dan sebagian orang tua

    tidak tahu apa yang harus dilakukan selama episode kejang demam (Kayserili

    et al., 2008).

    Penulis menemukan masalah yang terdapat pada anak yang mengalami kejang

    demam yaitu demam yang hilang timbul. Demam disebabkan oleh antigen

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 3

    Universitas Indonesia

    atau mikoroorganisme yang menyebabkan peradangan dan pelepasan pirogen

    yang merupakan zat yang menginduksi demam (Vera, 2013). Demam terjadi

    pada anak dengan kejang demam akibat infeksi. Demam akan dialami anak

    selama penanganan infeksi belum tuntas. Penanganan demam saat ini

    dilakukan dengan pemberian terapi obat antipiretik, manajemen cairan,

    pemakaian baju yang tipis, dan pemberian tepid sponge.

    Tepid sponge adalah adalah proses sponging dengan air hangat untuk

    mengurangi suhu tubuh dengan evaporasi atau penguapan (Clement, 2007).

    Suhu air yang digunakan untuk tepid sponge adalah 26oC-32

    oC. Sebuah

    penelitian di India menunjukkan bahwa pemberian antipiretik yang disertai

    tindakan tepid sponge menurunkan suhu tubuh lebih cepat dibandingkan

    dengan pemberian antipiretik saja (Thomas, Vijaykumar, Naik, Moses, &

    Antonisamy, 2009). Penelitian Tia Setiawati, 2009 menunjukkan bahwa

    terdapat perbedaan bermakna antara suhu tubuh sebelum dan setelah diberikan

    antipiretik disertai tepid sponge pada kelompok intervensi.

    Penulis bermaksud menyampaikan hasil praktik pemberian asuhan

    keperawatan pada pasien anak dengan kejang demam yang mengalami masalah

    kesehatan demam yang hilang timbul. Aplikasi metode tepid sponge disertai

    terapi obat antipiretik termasuk dalam asuhan keperawatan yang diberikan

    untuk mengatasi masalah demam anak.

    1.2 Perumusan masalah

    Kejang demam, sebagai kasus yang memiliki angka kejadian yang cukup

    tinggi setiap tahunnya, membutuhkan penanganan yang tepat. Tindakan yang

    utama adalah mencegah kejadian kejang berulang dengan cara mengurangi

    timbulnya demam. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan di rumah

    sakit bertanggung jawab terhadap tindakan baik mandiri maupun kolaboratif

    yang dapat mendukung proses penyembuhan anak dengan kejang demam.

    Salah satu tindakan mandiri perawat yang dapat diberikan adalah dengan

    melakukan kompres hangat atau tepid water sponge untuk membantu proses

    penurunan suhu tubuh anak saat demam.

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 4

    Universitas Indonesia

    1.3 Tujuan Penulisan

    1.3.1 Tujuan Umum

    Mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada anak dengan kejang

    demam dengan pemberian tepid sponge disertai pemberian antipiretik

    untuk mengatasi demam.

    1.3.2 Tujuan khusus:

    1. Mengetahui gambaran umum anak dengan kejang demam.

    2. Mengetahui gambaran masalah keperawatan yang terjadi pada anak

    dengan kejang demam.

    3. Mengetahui gambaran rencana asuhan keperawatan pada anak dengan

    kejang demam.

    4. Mengetahui gambaran implementasi keperawatan dan evaluasi pada

    anak dengan kejang demam.

    5. Mengetahui efek pemberian tepid sponge disertai pemberian antipiretik

    pada anak yang mengalami demam.

    1.4 Manfaat penulisan

    Hasil penulisan karya ilmiah ini kelak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

    dalam ruang lingkup keperawatan. Karya ilmiah ini dapat dipergunakan untuk

    mahasiswa, instansi pendidikan keperawatan, dan perkembangan ilmu

    keperawatan.

    1.4.1 Bagi mahasiswa

    Karya ilmiah ini dapat menambah wacana bagi mahasiswa kesehatan

    khususnya mahasiswa keperawatan dalam mempelajari konsep maupun

    praktik asuhan keperawatan pada anak dengan kejang demam.

    Mahasiswa keperawatan diharapkan mampu mempraktikkan asuhan

    keperawatan dengan tepat pada anak dengan kejang demam saat praktik

    di lapangan dengan pemahaman yang baik terhadap asuhan keperawatan

    tersebut.

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 5

    Universitas Indonesia

    1.4.2 Bagi Instansi Pendidikan Keperawatan

    Informasi dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi instansi

    pendidikan FIK UI sebagai laporan hasil asuhan keperawatan mahasiswa

    profesi ners pada anak dengan kejang demam. Instansi juga dapat

    menggunakan karya ilmiah ini sebagai sumber referensi bagi peserta

    didik, terutama yang sedang mengikuti mata kuliah keperawatan anak.

    1.4.3 Bagi Masyarakat

    Karya ilmiah ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi yang dapat

    disebarluaskan kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui

    penanganan terhadap anak dengan kejang demam. Masyarakat juga

    diharapkan dapat mengerti dan mampu menerapkan tepid sponge sebagai

    salah satu upaya yang cepat, praktis, dan dapat dilakukan secara mandiri

    untuk meredakan demam anak.

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 6

    Universitas Indonesia

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Kejang Demam

    Kejang demam adalah kejang yang muncul akibat demam pada bayi atau anak

    kecil (National Institute of neurological Disorders and Stroke/ NINDS, 2013).

    Anak sering kehilangan kesadaran selama kejang demam, dan tampak

    bergetar, bergerak kaki di kedua sisi tubuh. Anak mungkin menjadi kaku atau

    bergetar hanya sebagian dari tubuh, seperti tangan atau kaki, atau di sebelah

    kanan atau sisi kiri saja, tetapi ini lebih jarang terjadi. Kejang demam yang

    paling terakhir satu atau dua menit, meskipun beberapa dapat sesingkat

    beberapa detik sementara yang lain berlangsung selama lebih dari 15 menit

    (NINDS, 2013).

    Kejang demam diklasifikasi menjadi dua jenis utama, yaitu kejang demam

    sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah

    jenis yang paling umum dari kejang demam, terhitung sekitar 8 dari 10 kasus

    (NHS, 2012). Kejang yang kurang umum terjadi adalah kejang demam

    kompleks dengan angka kejadian 2 dari 10 kasus. Masing-masing tipe kejang

    tersebut memiliki ciri khas atau manifestasi klinis yang berbeda.

    Patofisiologi dari kejang demam sampai saat ini masih belum sepenuhnya

    dipahami (Shellhaas, et al., 2011). Faktor genetik diperkirakan menjadi

    penyebab pada sebagian besar kasus kejang demam. Kejang ini dipicu oleh

    kenaikan suhu yang drastis yang disebabkan oleh infeksi viral atau bakterial.

    Kenaikan suhu 1 C pada keadaan demam akan mengakibatkan kenaikan

    metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%

    sehingga pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan

    dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion K dan Na

    melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian

    besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitar

    dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Kejang dapat terjadi

    pada kenaikan suhu sampai 38 C, ini terjadi pada anak yang memiliki ambang

    6

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 7

    Universitas Indonesia

    kejang yang rendah, namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi,

    kejang baru terjadi pada suhu diatas 39oC (Elsevier, 2012).

    Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak

    meninggalkan gejala sisa, tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15

    menit) biasanya disertai dengan apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan

    energi untuk kontraksi otot skelet yang mengakibatkan hipoksemia,

    hiperkapnea, dan asidosis laktat. Faktor yang terpenting adalah gangguan

    peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat

    meningkatnya permeabilitas vaskular dan udem otak serta kerusakan sel

    neuron.

    2.2 Klasifikasi Kejang

    Kejang adalah malfungsi singkat dari sistem listrik otak yang terjadi karena

    muatan neuron kortikal (Wong, 2004). Kejang diklasifikasikan menjadi dua

    yaitu kejang parsial dan kejang umum.

    2.2.1 Kejang Parsial

    Kejang parsial dimulai dengan pelepasan listrik di satu daerah tertentu

    dari otak. Beberapa hal berbeda dapat menyebabkan kejang parsial,

    misalnya cedera kepala, infeksi otak, stroke, tumor, atau perubahan

    dalam cara daerah otak dibentuk sebelum lahir (disebut displasia

    kortikal). Penyebab kejang parsial masih belum jelas tetapi faktor

    genetik mungkin berperan (Schachter, 2013). Kejang parsial

    diklasifikasikan lagi menjadi tiga yaitu kejang parsial sederhana, kejang

    sensori khusus, dan kejang parsial kompleks (Wong, 2004).

    Kejang parsial sederhana ditandai dengan kondisi yang tetap sadar dan

    waspada, gejala motorik terlokalisasi pada salah satu sisi tubuh.

    Manifestasi lain yang tampak yaitu kedua mata saling menjauh dari sisi

    fokus, gerakan tonik-klonik yang melibatkan wajah, salivasi, bicara

    berhenti, gerakan klonik terjadi secara berurutan dari mulai kaki,

    tangan, atau wajah (Wong, 2004).

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 8

    Universitas Indonesia

    Kejang sensori khusus dicirikan dengan berbagai sensasi. Kebas,

    kesemutan, rasa tertusuk, atau nyeri yang berasal dari satu lokasi

    (misalnya wajah atau ekstremitas) dan menyebar ke bagian tubuh

    lainnya merupakan beberapa manifestasi kejang ini. Pengelihatan dapat

    membentuk gambaran yang tidak nyata. Kejang ini tidak umum pada

    anak-anak di bawah usia 8 tahun (Wong, 2004).

    Kejang parsial kompleks lebih sering terjadi pada anak-anak dari usia 3

    tahun sampai remaja. Kejang ini dicirikan dengan timbulnya perasaan

    kuat padadasar lambung yang naik ke tenggorokan, adanya halusinasi

    rasa, pendengaran, atau penglihatan. Individu juga sering mengalami

    perasaan deja-vu. Penurunan kesadaran terjadi dengan tanda-tanda

    individu tampak linglung dan bingung, dan tidak mampu berespons atau

    mengikuti instruksi. Aktivitas berulang tanpa tujuan dilakukan dalam

    keadaan bermimpi, seperti mengulang kata-kata, menarik-narik

    pakaian, mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, atau bertindak agresif

    (kurang umum pada anak-anak). Anak dapat merasa disorientasi,

    konfusi, dan tidak mengingat fase kejang pada saat pasca kejang

    (Wong, 2004).

    2.2.2 Kejang Umum

    Kejang umum terbagi menjadi kejang tonik-klonik, kejang atonik,

    kejang akinetik, dan kejang mioklonik (Wong, 2004).

    Kejang tonik-klonik merupakan kejang yang paling umum dan paling

    dramatis dari semua manifestasi kejang dan terjadi tiba-tiba. Fase tonik

    dicirikan dengan mata tampak ke atas, kesadaran hilang dengan segera,

    dan bila berdiri langsung terjatuh. Kekakuan terjadi pada kontraksi

    tonik simetrik pada seluruh otot tubuh yaitu lengan biasanya fleksi,

    kaki, kepala, dan leher ekstensi. Tangisan melengking terdengar dan

    tampak adanya hipersalivasi. Fase klonik ditunjukkan dengan gerakan

    menyentak kasar pada saat tubuh dan ekstremitas berada pada kontraksi

    dan relaksasi yang berirama. Hipersalivasi menyebabkan mulut tampak

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 9

    Universitas Indonesia

    berbusa. Anak juga dapat mengalami inkontinensia urin dan feses.

    Gerakan berkurang saat kejang berakhir, terjadi pada interval yang lebih

    panjang, lalu berhenti secara keseluruhan (Wong, 2004).

    Kejang atonik disebut juga serangan drop dan biasa terjadi antara usia 2

    dan 5 tahun. Kejang ini terjadi tiba-tiba dan ditandai dengan kehilangan

    tonus otot sementara dan kontrol postur. Anak dapat jatuh ke lantai

    dengan keras dan tidak dapat mencegah jatuh dengan menyangga

    tangan, sering terjadi kulai kepala, sehingga dapat menimbulkan cedera

    serius pada wajah, kepala, atau bahu. Anak tidak atau dapat mengalami

    kehilangan kesadaran sementara (Wong, 2004).

    Kejang akinetik ditandai dengan adanya gerakan lemah tanpa

    kehilangan tonus otot. Anak tampak kaku pada posisi tertentu dan tidak

    jatuh. Anak biasanya mengalami gangguan atau kehilangan kesadaran

    (Wong, 2004).

    Kejang mioklonik dapat terjadi dalam hubungannya dengan bentuk

    kejang lain. Kejang ini dicirikan dengan kontraktur tonik singkat dan

    tiba-tiba dari suatu otot atau sekelompok otot. Kejang terjadi sekali atau

    berulang tanpa kehilangan kesadaran dengan jenis simetrik atau

    asimetrik (Wong, 2004).

    2.3 Manifestasi Klinis Kejang Demam

    Kejang yang dialami anak diawali dan disertai dengan suhu tubuh yang tinggi.

    Mayoritas anak-anak dengan kejang demam memiliki suhu rektal lebih dari

    38,9oC (NINDS, 2013). Kejang demam pada anak umumnya terjadi selama

    hari pertama demam. Anak-anak yang rentan terhadap kejang demam tidak

    dianggap memiliki epilepsi, karena epilepsi ditandai dengan kejang berulang

    yang tidak dipicu oleh demam. Seorang anak dikatakan mengalami demam

    saat suhu tubuh mencapai atau di atas salah satu dari level: a) 100.4 F (38

    C) diukur dalam bagian bawah (dubur), b) 99,5 F (37,5 C) diukur dalam

    mulut (per oral), c) 99 F (37,2 C) diukur di bawah lengan (aksila).

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 10

    Universitas Indonesia

    Sekitar satu dari 25 anak akan mengalami minimal satu kali kejang demam,

    dan lebih dari sepertiga anak-anak tersebut akan mengalami kejang demam

    berikutnya apabila belum mendapatkan penanganan (NINDS, 2013). Kejang

    demam biasanya terjadi pada anak-anak antara usia 6 bulan dan 5 tahun (60

    bulan) dan sangat umum pada balita. Anak-anak jarang menampakkan kejang

    demam pertama mereka sebelum usia 6 bulan atau setelah 3 tahun. Semakin

    tua usia seorang anak saat kejang demam pertama terjadi, semakin kecil

    kemungkinan anak mengalami kejang demam berulang.

    Perbedaan manifestasi klinis pada kejang demam sederhana dan kompleks

    dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

    Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Kejang Demam

    Kejang Demam Sederhana Kejang Demam Kompleks

    1. Kejang terjadi selama < 15 menit

    2. Gejala motorik terlokalisasi pada salah

    satu sisi tubuh

    3. Tidak berulang dalam periode 24 jam

    1. Kejang terjadi selama > 15 menit

    2. Gejala motorik dapat terlokalisasi atau

    terjadi pada seluruh tubuh, atau kejang

    umum didahului kejang parsial

    3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam

    periode 24 jam

    Sumber: Mick & Cummings (2006)

    Adapun perubahan fisik yang tampak ketika anak mengalami kejang demam

    yaitu anak teraba panas dengan suhu 39,8oC (Mick & Cummings, 2006).

    Anak tampak tidak sadar dan tampak kaku atau bergetar pada tangan dan kaki

    pada salah satu sisi atau seluruh tubuhnya. Mata anak tampak berputar atau

    melihat ke arah atas selama kejang berlangsung (Appleton & Marson, 2009).

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 11

    Universitas Indonesia

    2.4 WOC Kejang Demam

    Faktor risiko:

    Infeksi virus atau bakteri pada

    saluran pernapasan atas, telinga,

    ISK, kandung kemih, cacar air,

    atau tonsilitis

    Inflamasi

    Hipertermia

    Konsentrasi Na intrasel dan

    K ekstrasel

    Potensial membran

    Gangguan fungsi astrosit

    Eksitabilitas otak

    Kejang: spasme otot involunter

    Spasme otot-otot respirasi

    Apnea

    Suplai O2 ke otak menurun

    Gambar Bagan 2.1 WOC Kejang Demam

    Sumber: Sherwood (2001), Wong (2004), Appleton & Marson (2009)

    2.5 Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kejang Demam

    Pengkajian keperawatan pada anak dengan kejang demam, selain identitas

    pasien, berfokus pada riwayat kesehatan anak, pemeriksaan fisik, dan

    pemeriksaan penunjang. Perawat perlu mengetahui riwayat kesehatan anak

    terutama yang berkaitan dengan kejadian prenatal, perinatal, dan nenonatal

    (Wong, 2004). Adanya infeksi virus menjadi penyebab utama yang sering

    dialami anak dengan kejang demam (Ricci dan Kyle, 2009). Demam tinggi

    dapat menandakan anak sedang terinfeksi namun dibutuhkan pemeriksaan

    Masalah keperawatan: risiko infeksi

    Masalah keperawatan:

    ketidakefektifan

    termoregulasi

    Masalah keperawatan: risiko jatuh

    Masalah keperawatan: gangguan

    perfusi jaringan serebral

    Intervensi keperawatan:

    1. kolaborasi pemberian antibiotik

    sesuai dosis

    2. memantau kadar leukosit setiap

    hari

    3. menjaga kebersihan pasien dan

    lingkungan tempat tidur pasien Intervensi keperawatan:

    1. kolaborasi pemberian antipiretik

    2. melakukan tepid water sponge

    3. meningkatkan sirkulasi udara

    4. memantau suhu tubuh anak

    5. mengenakan pakaian yang tipis pada anak saat

    demam

    Intervensi keperawatan:

    1. Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikovulsan.

    2. Menghitung durasi dan frekuensi kejang

    3. Menjauhkan anak dari benda yang dapat mencederai

    4. Menjaga suara dan sikat tenang saat melakukan tindakan pada

    anak.

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 12

    Universitas Indonesia

    laboratorium darah untuk memastikannya. Kadar leukosit yang tinggi (>17500

    sel/L) menunjukkan bahwa tubuh anak terkena infeksi. Penurunan kadar Hb

    dan eritrosit perlu menjadi perhatian perawat. Kadar Hb di bawah rentang

    normal (11-16 g/dl) menunjukkan adanya masalah dalam pemenuhan

    kebutuhan O2 pada anak yang dapat memperburuk kejang anak. Pemeriksaan

    diagnostik seperti pungsi lumbal, CT Scan, atau MRI, diperlukan untuk

    memastikan tidak ada infeksi yang berasal dari sistem saraf pusat. Perawat

    kemudian mengidentifikasi data hasil pengkajian untuk menentukan masalah

    yang muncul dan menegakkan diagnosa keperawatan pada anak dengan

    kejang demam.

    Perawat menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan keadaan klinis anak

    secara aktual untuk merencanakan asuhan keperawatan yang tepat, sesuai

    dengan kebutuhan pasien. Beberapa diagnosa keperawatan utama yang dapat

    ditegakkan pada anak dengan kejang demam antara lain risiko infeksi,

    ketidakefektifan termoregulasi, risiko tinggi cedera, dan perubahan proses

    keluarga (Ricci dan Kyle, 2009; Wong, 2004). Intervensi-intervensi

    keperawatan diutamakan untuk meminimalkan risiko infeksi dan mencegah

    kenaikan suhu tubuh yang ekstrim pada anak, salah satunya dengan

    memberikan tepid water sponge saat anak demam. Penelitian Tia Setiawati,

    2009 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara suhu tubuh

    sebelum dan setelah diberikan antipiretik disertai tepid sponge pada kelompok

    intervensi pada menit ke 10 setelah periode tepid sponge (menit ke 30 setelah

    pemberian antipiretik) dan pada menit ke 30 setelah pengukuran pertama

    (menit ke 60 setelah pemberian antipiretik). Tujuan intervensi ini juga penting

    untuk disampaikan kepada orang tua.

    Dukungan dan edukasi parental tentang kejang demam dapat membantu

    menurunkan ansietas orang tua terhadap penyakit yang sebenarnya tidak

    berbahaya tetapi sangat mengkhawatirkan mayoritas orang tua tersebut (Ricci

    dan Kyle, 2009). Pemahaman yang tepat tentang penyakit anak membuat

    orang tua menjadi lebih tenang dan lebih mudah dilibatkan dalam membantu

    proses perawatan anak di rumah sakit terutama untuk meminimalkan efek

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 13

    Universitas Indonesia

    hospitalisasi. Perawat secara berkelanjutan mengevaluasi perkembangan

    kesehatan pasien terhadap terapi medis (misal antikonvulsan, antipiretik, dan

    antibiotik) dan keperawatan (misal kompres hangat, perawatan selang infus,

    atau edukasi hand hygiene) yang diberikan.

    2.6 Cara Penurunan Panas Tubuh

    Suhu tubuh yang stabil diperoleh dari pemasukan dan pengeluaran panas

    tubuh yang seimbang. Apabila suhu mulai meningkat di atas normal, maka

    dapat dikoreksi dengan meningkatkan pengurangan panas, sementara produksi

    panas juga dikurangi. Hipotalamus bekerja sebagai pusat termoregulasi tubuh

    yang mampu berespon terhadap perubahan suhu darah sekecil 0,01oC

    (Sherwood, 2001). Hipotalamus secara terus menerus mendapat informasi

    mengenai suhu tubuh melalui termoreseptor untuk membuat penyesuaian-

    penyesuaian hingga terjadi keseimbangan antara mekanisme pengurangan

    panas dan mekanisme penambahan panas. Peningkatan suhu tubuh di atas

    normal menimbulkan pengaturan regio anterior di hipotalamus yang

    diaktifkan oleh rasa hangat, sehingga memicu refleks-refleks yang

    memperantarai pengurangan panas. Refleks yang pertama adalah dengan

    penurunan aktivitas sismpatis melalui respons vasomotor kulit. Vasodilatasi

    pembuluh darah kulit menyebabkan peningkatan aliran darah ke kulit sehingga

    dapat meningkatkan pengurangan panas. Apabila vasodilatasi kulit yang sudah

    maksimum gagal mengurangi kelebihan panas tubuh, mekanisme berkeringat

    diaktifkan, sehingga pengeluaran panas dapat berlanjut melalui proses

    evaporasi.

    Terdapat 4 mekanisme perpindahan panas yang digunakan tubuh yaitu radiasi,

    konduksi, konveksi, dan evaporasi (Sherwood, 2001). Radiasi adalah emisi

    energi panas dari permukaan tubuh yang hangat dalam bentuk gelombang

    elektromagnetik atau gelombang panas, yang berjalan melalui ruang. Tubuh

    mengalami penurunan panas melalui radiasi ke benda-benda di lingkungan

    yang permukaannya lebih dingin daripada permukaan kulit misalnya dinding,

    meja-kursi, atau pohon. Rata-rata manusia kehilangan hampir separuh energi

    panasnya melalui radiasi (Sherwood, 2001).

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 14

    Universitas Indonesia

    Konduksi adalah perpindahan panas antara benda-benda yang berbeda

    suhunya yang berkontak langsung satu sama lain. Panas tubuh dapat

    berkurang melalui konduksi apabila kulit berkontak dengan suatu konduktor

    yang baik seperti air (Sherwood, 2001). Konveksi adalah perpindahan energi

    panas melalui arus udara. Udara dingin dihangatkan oleh tubuh, lalu bergerak

    ke atas dan digantikan oleh udara yang lebih dingin. Kombinasi proses

    pengeluaran panas melalui konduksi-konveksi dari tubuh diperkuat oleh

    gerakan paksa udara melintasi permukaan tubuh seperti gerakan angin atau

    kipas, atau misalnya saat mengendarai sepeda. Kejadian ini membuat tubuh

    terasa lebih dingin karena gerakan paksa udara menyapu udara yang

    dihangatkan saat konduksi dan lebih cepat menggantikannya dengan udara

    yang lebih dingin (Sherwood, 2001).

    Metode terakhir pemindahan panas yang digunakan tubuh adalah evaporasi,

    yaitu pemindahan panas dari permukaan kulit ke udara melalui proses

    penguapan (Sherwood, 2001). Pengurangan panas evaporatif terus

    berlangsung melalui dinding saluran pernapasan, dan dari permukaan kulit.

    Proses ini tidak berada di bawah kontrol fisiologis dan terus berlangsung.

    Berkeringat menjadi proses evaporatif aktif (di bawah kontrol saraf simpatis)

    ketika suhu lingkungan melebihi suhu kulit. Keringat secara aktif dikeluarkan

    ke permukaan kulit oleh kelenjar-kelenjar keringat yang tersebar di seluruh

    permukaan tubuh, kemudian menguap sehingga terjadi pengurangan panas

    (Sherwood, 2001).

    Tepid sponge merupakan salah satu tindakan yang dianjurkan untuk

    menurunkan suhu tubuh. Tepid sponge merupakan salah satu metode

    pendinginan yang digunakan untuk menurunkan suhu tubuh pada anak dengan

    menggunakan kompres hangat (Sheiber, 1997). Suhu air hangat yang

    digunakan yaitu suhu air 30-35C. Sebuah penelitian di India menunjukkan

    bahwa pemberian antipiretik yang disertai tindakan tepid sponge menurunkan

    suhu tubuh lebih cepat dibandingkan dengan pemberian antipiretik saja

    (Thomas, Vijaykumar, Naik, Moses, & Antonisamy, 2009). Penelitian Tia

    Setiawati 2009 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 15

    Universitas Indonesia

    kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang diberikan terapi tepid sponge

    dan disertai pemberian antipiretik. Tindakan ini diberikan pada pasien dengan

    suhu tubuh lebih dari 38oC per aksila.

    2.7 Hasil Penelitian Terkait Pemberian Tepid Water Sponge pada Anak

    dengan Kejang Demam

    Suatu studi komparatif dilakukan untuk membandingkan efektifitas antara

    pemberian tepid sponge dan parasetamol, dan parasetamol saja. Studi ini

    melibatkan 150 anak berusia 6 bulan sampai 12 tahun dengan suhu aksila

    101oF (38,3

    oC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan suhu tubuh

    pada kelompok yang diberikan tepid sponge dan antipiretik secara signifikan

    lebih cepat daripada kelompok yang hanya diberikan antipiretik. Namun

    kedua kelompok mencapai tingkat suhu yang sama pada 2 jam terakhir. Anak-

    anak dalam kelompok tepid sponge dan obat antipiretik memiliki

    ketidaknyamanan yang signifikan lebih tinggi daripada kelompok antipiretik,

    tapi ketidaknyamanan itu sebagian besar dalam tingkat ringan (Thomas, et al.,

    2009).

    Penelitian di India tahun 2011 juga mendukung hasil studi di atas. Penelitian

    dilakukan pada 150 anak berusia 6 bulan - 14 tahun dengan suhu rektal lebih

    dari 39C untuk membandingkan efektivitas antara pemberian tepid sponge

    dan parasetamol, parasetamol saja, dan tepid sponge saja pada anak-anak yang

    demam dan mempelajari tingkat ketidaknyamanan yang berhubungan dengan

    itu. Hasil penelitian menunjukkan penurunan suhu tubuh dalam kelompok

    tepid sponge dan obat antipiretik secara signifikan lebih cepat daripada

    kelompok antipiretik saja dan parasetamol saja. Meskipun pada akhir 1 jam

    semua tiga kelompok telah mencapai derajat suhu yang sama, terapi

    kombinasi memiliki penurunan klinis suhu yang signifikan (Edbor et al.,

    2011).

    Penelitian tahun 2012, yang melibatkan 986 anak-anak secara total,

    menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Hasil penelitian menunjukkan

    bahwa pemberian tepid sponge saja dapat mengakibatkan penurunan langsung

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 16

    Universitas Indonesia

    terhadap suhu, namun respon ini berdurasi pendek (Watts & Robertson, 2012).

    Pemberian antipiretik saja atau antipiretik yang disertai tepid sponge memiliki

    efek lebih tahan lama dalam penurunan suhu. Selain itu, tingkat

    ketidaknyamanan anak-anak yang diberikan tepid sponge lebih tinggi daripada

    kelompok lain.

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 17

    Universitas Indonesia

    BAB 3

    LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

    3.1 Gambaran Kasus

    An. A usia 1 tahun 6 bulan dirawat di ruang rawat inap anak (IRNA) RSUP

    Fatmawati. Anak masuk dari ruang IGD dengan keluhan demam sejak 2 hari

    yang lalu, kejang 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang berlangsung

    selama kurang dari 5 menit, mata mendelik ke atas dan seluruh tubuh kaku.

    Keluar cairan buih dari mulut saat anak kejang. Tidak ada kelemahan pada

    salah satu sisi tubuh setelah anak sadar. Demam tidak turun dengan obat

    penurun panas. An. A didiagnosis menderita kejang demam kompleks (KDK).

    An. A memiliki riwayat kejang demam saat usia 11 bulan. An. A lahir dengan

    bantuan alat vacuum.

    3.2 Asuhan Keperawatan pada An. A

    Asuhan keperawatan pada An. A dengan kejang demam kompleks meliputi

    pengkajian, penegakan diagnosa keperawatan, penentuan intervensi

    keperawatan, implementasi, dan evaluasi dari setiap tindakan keperawatan.

    Tahap-tahap asuhan keperawatan, yang dilakukan mulai dari pengkajian

    sampai dengan evaluasi, dijelaskan pada pemaparan di bawah ini.

    3.2.1 Pengkajian

    Pengkajian dilakukan pada tanggal 4 Juni 2013 saat hari rawat pertama

    An. A pukul 14.30 WIB. Perawat pertama kali mengkaji identitas pasien,

    riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit

    keluarga. Perawat kemudian melakukan pemeriksaan fisik, dan

    mengidentifikasi hasil pemeriksaan laboratorium pasien.

    Identitas pasien yang diperoleh berdasarkan pengkajian yaitu An. A

    (inisial) berusia 1 tahun 6 bulan, lahir tanggal 31 Mei 2011, berjenis

    kelamin perempuan, beragama islam, bertempat tinggal di Jl. Pondok

    Cabe, Tangerang Selatan bersama ayah dan ibunya. Pergelangan tangan

    klien dipasang gelang identitas pasien yang tertera nama lengkap, usia,

    17

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 18

    Universitas Indonesia

    dan nomor rekam medis pasien. An. A adalah anak pertama dari Tn. S

    dan Ny. F (orang tua). Ny. F mengatakan An. A pernah mengalami

    kejang disertai demam saat berusia 11 bulan. Ny. F tidak pernah merokok

    begitu juga selama mengandung An. A, tetapi kebiasaan minum kopi

    tidak bisa ditinggalkan. Ny. F berusaha mengurangi minum kopi semasa

    hamil. Ny. F mengalami kesulitan saat proses melahirkan An. A sehingga

    harus dibantu dengan alat vacuum. Keluarga dekat An. A tidak ada yang

    pernah menderita kejang baik dari garis keturunan Tn. S maupun Ny. F,

    serta tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit keturunan

    seperti jantung, diabetes, hipertensi, dan asma.

    Perawat melanjutkan pemeriksaan fisik setelah melakukan pengkajian

    identitas pasien, riwayat keluarga, dan riwayat kesehatannya. Perawat

    melakukan penimbangan dan pungukuran tinggi badan terlebih dahulu

    kemudian pemeriksaan fisik head to toe. An. A memiliki berat badan

    8,5kg dan tinggi badan 38cm. Adapun hasil pemeriksaan fisik lainnya

    pada An. A adalah sebagai berikut:

    1. Kepala

    Bentuk kepala tampak simetris dan normal dengan ukuran lingkar kepala

    43cm. Tidak tampak lesi atau ruam kemerahan pada kepala. Rambut

    berwarna hitam, tampak agak tebal, dan tidak rontok. Ubun-ubun rata.

    Wajah, kedua mata, hidung, dan mulut tampak simetris. Sklera tidak

    ikterik, konjungtiva anemis, dan refleks pupil dan penglihatan normal.

    Tidak ada sekret atau hambatan pada hidung. Daun telinga tampak

    bersih, sedikit serumen kuning di dalam lubang telinga. Membran mukosa

    bibir tampak lembab, merah muda terang, halus, tidak ada kandidiasis

    pada lidah maupun rongga mulut,lidah dapat bergerak bebas, tidak ada

    lesi atau massa di bawah lidah jumlah gigi 12 dan tampak bersih.

    2. Leher

    Leher tampak simetris, tidak teraba adanya massa dan tidak tampak

    bengkak. Tidak ada kesulitan untuk menelan makanan atau minuman.

    3. Dada

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 19

    Universitas Indonesia

    Inspeksi: Dada tampak normal , saat dilakukan inspeksi tidak ditemukan

    lesi maupun ruam kemerahan. Pergerakan dada simetris dan regular.

    Selama inspirasi dada mengembang dan sebaliknya saat ekspirasi. Puting

    susu dengan pigmentasi lebih gelap terletak pada garis midklavikula iga

    keempat dan kelima. Ukuran lingkar dada 44cm. Frekuensi napas normal

    28 kali per menit, reguler, tenang, tanpa bantuan otot-otot bantu napas.

    Auskultasi: Terdengar bunyi vesikuler pada seluruh lapang paru, dan

    bronkial pada atas trakea. Tidak ada ronchii ataupun wheezing.

    Palpasi: Teraba vibrasi simetris pada torakal sinistra dan dekstra

    Perkusi: Terdengar bunyi resonans pada interkosta ketiga dan keempat,

    dan bunyi pekak pada interkosta kelima sejajar midklavikula sinistra dan

    dekstra.

    Jantung: Dinding dada tampak simetris, pengisian kapiler 1 detik, suara

    jantung 1 dan 2 jernih, regular, frekuensi sama dengan nadi radialis yaitu

    112 kali per menit, tidak terdengar suara murmur atau gallop.

    4. Abdomen

    Umbilikus tampak menonjol pada posisi tegak dan datar saat berbaring.

    Ukuran lingkar perut 39cm. Gerakan perut seirama dengan gerakan dada.

    Bising usus terdengar sekali setiap 12 detik. Hepar teraba 1cm di bawah

    marjin kostal dekstra. Tidak ada distensi abdomen.

    5. Genitalia

    Tampak bersih, tidak teraba adanya massa pada labia, tampak meatus

    uretra, klitoris, dan perineum. Tidak ada lesi di sekitar meatus. Bokong

    tampak padat, lipatan gluteal simetris, refleks anal positif. Tidak tampak

    dermatitis di daerah sekitar genitalia.

    6. Punggung dan Ekstremitas

    Vertebra tampak lordosis. Bahu, skapula dan ilium tampak simetris.

    Panjang tangan dan kaki simetris dengan ukuran yang sama. Kedua

    tangan dan kaki fleksibel, rentang gerak penuh, tidak ada rasa nyeri atau

    kekakuan. Jumlah jari kedua tangan dan kaki lengkap. Kuku tampak

    merah muda. Tidak tampak deformitas pada keempat ekstremitas. Refleks

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 20

    Universitas Indonesia

    plantar ada (ibu jari kaki fleksi). Ukuran lingkar lengan atas (LILA)

    14cm. Suhu tubuh 37,8oC (aksila).

    Adapun pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan

    darah lengkap pada saat dirawat di IGD (3 Juni 2013) dan urinalisa pada

    hari rawat kedua (5 Juni 2013). Hasil pemeriksaan darah lengkap

    memperlihatkan kadar normal pada serum darah, glukosa darah, dan

    elektrolit serum. Kadar Hb 11,8g/dl, Ht 36%, eritrosit 4,42 juta/uI, leukosit

    17.200/uI, trombosit 257.000/uI, GDS 103mg/dl, Na 135 mmol/L, K 4,18

    mmol/L, dan Cl 108 mmol/L. Hasil urinalisa An. A yaitu keton 1+,

    leukosit trace, warna kuning jernih, leukosit 3-6/LPB (lapang pandang

    besar). Terapi medis yang didapatkan An. A sejak hari rawat pertama

    adalah pemberian antipiretik (paracetamol 4x5cc peroral), antikonvulsan

    (diazepam 4x0,85mg), antikonvulsan (stesolid 1x5mg jika kejang), dan

    antibiotik (cefixime 2x1,5cc peroral).

    3.2.2 Analisis Data dan Diagnosa Keperawatan

    Hasil pengkajian kemudian dianalisis dan diidentifikasi untuk menegakkan

    diagnosa keperawatan pada An. A. Analisis data hasil pengkajian dapat

    dilihat pada tabel di bawah ini.

    Tabel 3.1 Analisis Data Hasil Pengkajian

    No. Data Analisis Masalah

    Keperawatan

    1.

    Objektif:

    -An. A berusia kurang dari 2

    tahun (18 bulan)

    -An. A dirawat di tempat

    tidur box dengan jarak

    cukup tinggi ke lantai

    -An. A menderita penyakit

    akut (kejang demam)

    -Skala humpty dumpty: 17

    Anak usia 18 bulan sudah

    mampu berdiri dan berjalan

    tetapi belum mampu untuk

    mengkoordinasikan gerakan

    dengan lingkungan sekitarnya.

    Penyakit kejang demam yang

    dialami mungkin terjadi

    berulang. Kejang ini

    menyebabkan spasme otot

    involunter.

    Risiko jatuh

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 21

    Universitas Indonesia

    2.

    3.

    4.

    5.

    Subjektif: Ibu mengatakan

    An. A demam sejak 2 hari

    SMRS

    Objektif: lekosit sedimen

    urin 3-6/LPB, suhu aksila:

    37,8oC

    Subjektif: ibu mengatakan

    anak masih demam, demam

    muncul beberapa jam

    setelah minum obat penurun

    panas.

    Objektif: suhu anak saat

    pengkajian awal masuk:

    37,4oC, jam 14.00 suhu

    meningkat menjadi 37,8oC,

    kulit teraba hangat.

    Subjektif: Ibu mengatakan

    dirinya sangat cemas

    dengan kejang yang diderita

    An. A, ibu biasa

    mengompres kening anak

    dengan air dingin untuk

    membantu menurunkan

    demam anak.

    Subjektif: ibu mengatakan

    anak pernah mengalami

    Leukosit sedimen urin An. A

    lebih dari rentang normal (0-

    5/LPB). Hasil ini menujukkan

    adanya infeksi saluran kemih

    atau kontaminasi saluran

    urogenital seperti vagina,

    serviks. Suhu tubuh meningkat

    akibat infeksi tersebut.

    Pelepasan pirogen endogen,

    sebagai respon terhadap invasi

    mikroba, memicu pengeluaran

    prostaglandin sehingga

    menaikkan termostat

    hipotalamus.

    Suhu tubuh anak fluktuatif dan

    cenderung demam akibat adanya

    infeksi yang dibuktikan dengan

    peningkatan leukosit pada

    pemeriksaan sedimen urin.

    Ibu menunjukkan sikap yang

    kurang tepat dalam merawat

    anak dengan demam yaitu

    melakukan kompres dingin pada

    kening untuk membantu

    menurunkan demam anak.

    Kejang yang dialami An. A

    dapat terjadi berulang dan dapat

    Risiko infeksi

    Ketidakefektifan

    termoregulasi

    Ketidakmampuan

    koping keluarga

    Risiko cedera

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 22

    Universitas Indonesia

    kejang demam saat usia 11

    bulan dan kejang terjadi

    berulang, anak kejang 2 kali

    saat 6 jam SMRS. Anak

    sadar dan sering bolak-balik

    merangkak saat tidak

    kejang.

    Objektif: An. A berusia 18

    bulan dan dirawat di tempat

    tidur box

    menyebabkan penurunan

    kesadaran atau automatisme. Hal

    ini meningkatkan risiko cedera

    pada An. A karena An. A cukup

    aktif saat kejang tidak muncul.

    Berdasarkan analisis data hasil pengkajian maka ditegakkan tiga diagnosa

    keperawatan utama yaitu risiko infeksi, ketidakefektifan termoregulasi, dan

    risiko cedera. Pembuatan rencana asuhan keperawatan disesuaikan dengan

    ketiga diagnosa tersebut. Rencana asuhan keperawatan pada An. A meliputi

    intervensi disertai tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan.

    3.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan

    Risiko infeksi menjadi diagnosa keperawatan utama yang ditegakkan pada

    An. A karena berhubungan dengan organisme infektif yang merupakan

    etiologi utama dari kejang demam yang diderita An. A. Tanda-tanda infeksi

    diharapkan tidak ada setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 72

    jam. Intervensi-intervensi yang akan diberikan diutamakan untuk

    mendukung imunitas tubuh An. A seperti mempertahankan nutrisi yang

    adekuat, melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik

    sesuai dosis yang dibutuhkan, mengajarkan dan mengevaluasi penerapan

    teknik hand hygiene yang benar, menjaga daerah genitalia An. A tetap

    kering, dan menganjurkan ibu untuk memandikan An. A 2 kali sehari

    dengan sabun (Wong, 2003).

    Diagnosa keperawatan kedua yang diangkat adalah ketidakefektifan

    termoregulasi. Diagnosa ini dikaitkan dengan suhu tubuh An. A yang

    fluktuatif dan cenderung demam. Kenaikan suhu yang ekstrim harus segera

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 23

    Universitas Indonesia

    ditangani karena dapat memicu kambuhnya kejang. Intervensi keperawatan

    diberikan untuk menjaga suhu tubuh anak dalam batas normal. Intervensi

    tersebut meliputi tindakan kolaborasi pemberian antipiretik dalam dosis

    yang sesuai berat badan anak, melakukan tepid water sponge,

    meningkatkan sirkulasi udara, memantau suhu tubuh anak setiap 30 menit

    saat demam, menganjurkan ibu untuk mengenakan pakaian yang tipis pada

    anak saat demam (Wong, 2003).

    Risiko cedera dapat terjadi sewaktu-waktu ketika suhu tubuh anak masih

    tidak stabil. Peningkatan suhu tubuh yang terjadi dengan cepat dapat

    memungkinkan kambuhnya kejang. Pasien diharapkan tidak mengalami

    cedera dan tetap tenang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 72

    jam. Intervensi yang akan diberikan yaitu menghitung durasi kejang apabila

    anak kembali kejang, melindungi anak selama kejang dengan

    menyingkirkan barang berbahaya di sekitar tempat tidur anak,

    menempatkan anak pada daerah yang aman (jauh dari jendela, alat

    pemanas, dll.), dan tidak membuat anak teragitasi dengan bersuara lembut

    dan bersikap tenang (Wong, 2003). Perawat melindungi anak setelah

    periode kejang (postiktal) dengan tetap bersama anak dan menenangkan

    anak sampai tersadar. Orang tua sebagai orang terdekat dan memiliki ikatan

    batin yang kuat dengan anak dapat dilibatkan untuk menenangkan anak.

    Perawat juga berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat

    antikovulsan dengan dosis tepat sesuai berat badan anak.

    3.2.4 Implementasi

    An. A dirawat selama empat hari di ruang rawat inap RSUP Fatmawati.

    Perawat memberikan tindakan keperawatan sesuai asuhan keperawatan

    yang sudah direncanakan. Implementasi keperawatan pada An. A selama

    empat hari perawatan akan dijelaskan lebih lanjut pada pemaparan di

    bawah ini.

    An. A mendapatkan terapi pengobatan antibiotik yaitu cefixime dengan

    dosis 7mg/kg berat badan per hari. Dosis total per hari yaitu 60mg yang

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 24

    Universitas Indonesia

    diberikan sekali setiap 12 jam. Tindakan kolaborasi ini dilakukan karena

    kadar leukosit pada pemeriksaan sedimen urin melebihi rentang normal

    yang menandakan adanya infeksi pada An. A. Perawat menjelaskan,

    mendemonstrasikan, dan memberikan kesempatan melakukan

    redemonstrasi kepada orang tua cara mencuci tangan dengan benar

    menggunakan hands rub yang sudah disediakan di ruang rawat untuk

    meminimalkan paparan infeksi nosokomial pada An. A. Perawat menjaga

    kebersihan pasien dan lingkungan sekitarnya dengan menganjurkan orang

    tua untuk memperhatikan kebersihan diri, pakaian, peralatan makan dan

    minum, dan tempat tidur pasien. Perawat juga melakukan teknik aseptik

    pada setiap tindakan yang bersentuhan dengan pasien seperti mengganti

    laken, memberikan obat oral, dan melakukan pemeriksaan fisik.

    Obat antipiretik yaitu parasetamol sirup dengan dosis 120mg (5ml)

    diberikan 6 jam sekali saat suhu tubuh An. A melebihi 38oC. Perawat

    menjelaskan tujuan tindakan pencegahan demam dan melibatkan orang tua

    dalam pelaksanaannya. Kompres hangat (tapid water sponge) dilakukan

    bersamaan atau sesaat setelah pemberian parasetamol guna mempercepat

    penurunan suhu tubuh anak. Perawat menganjurkan orang tua untuk tidak

    menutup tubuh An. A dengan selimut karena dapat meningkatkan suhu

    tubuh anak, dan menyarankan untuk mengenakan pakaian yang tipis dan

    menyerap keringat pada An. A. Asupan cairan An. A juga diperhatikan

    karena saat demam anak rentan mengalami dehidrasi. Perawat memantau

    tanda-tanda dehidrasi pada An. A terutama saat An. A demam dan

    menganjurkan ibu lebih sering memberikan ASI dan air putih selama An. A

    tidak menolak dan tidak ada kesulitan menelan.

    Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikovulsan dibutuhkan selama

    An. A masih demam dan untuk mencegah kejang demam berulang yang

    dapat menyebabkan cedera pada An. A. Antikonvulsan yang diberikan

    yaitu diazepam oral dengan dosis 0,4mg/kg berat badan per hari, 0,85mg

    setiap 6 jam. An. A kejang satu kali selama dirawat yaitu pada hari rawat

    pertama jam 23.00 dengan suhu tubuh 38,6oC. Perawat menghitung durasi

    kejang anak yaitu kejang terjadi satu kali selama 1 menit, kemudian anak

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 25

    Universitas Indonesia

    sadar dan menangis. Perawat tidak melihat adanya benda berbahaya di

    dekat pasien dan kemudian memberitahu orang tua agar meletakkan benda

    yang dapat mencederai jauh dari jangkauan An. A. Perawat menjaga suara

    dan sikap tetap tenang saat melakukan tindakan sehingga tidak

    mengejutkan An. A. Perawat melibatkan ibu untuk menenangkan An. A

    yang menangis setelah tersadar dari kejang.

    3.2.5 Evaluasi

    Kondisi An. A tampak membaik setelah 3 hari dirawat. Pemberian

    antibiotik dan antipiretik dihentikan pada hari rawat ketiga karena kadar

    leukosit sedimen urin An. A sudah dalam rentang normal (0-5/LPB) dan

    An. A sudah tidak demam. Nafsu makan An. A sempat menurun saat hari

    rawat pertama dan kedua, tetapi masih mau meminum ASI dan air putih.

    Tidak tampak tanda-tanda dehidrasi selama anak demam. Kompres hangat

    dengan teknik tapid sponge disertai pemberian antipiretik lebih cepat

    meredakan demam. Ibu sudah mampu melakukan teknik tapid water

    sponge dengan benar, tidak hanya di kening, tetapi kompres hangat pada

    seluruh tubuh anak. Ibu juga mengikuti anjuran perawat untuk mengenakan

    pakaian yang tipis dan menyerap keringat pada An. A.

    An. A termasuk anak yang terbuka dan mudah akrab dengan orang baru

    sehingga perawat tidak sulit melakukan pendekatan saat memberikan

    intervensi pada An. A. Orang tua terutama ibu An. A mampu bekerja sama

    dengan baik dalam proses perawatan An. A. Perawat berusaha untuk

    memberikan reinforcement positif terhadap respon positif yang diberikan

    An. A dan orang tua.

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 26

    Universitas Indonesia

    BAB 4

    ANALISIS SITUASI

    4.1 Profil Lahan Praktek

    Ruang rawat anak gedung teratai lantai III selatan merupakan salah satu ruang

    rawat penyakit dalam anak di RSUP Fatmawati yang terdiri dari ruang rawat

    inap kelas III, ruang immunocompromised, dan ruang isolasi. Ruang ini

    memiliki kapasitas kamar untuk untuk kelas III sebanyak 5 kamar, 2 kamar

    immunocompromised, dan 2 kamar isolasi. Kapasitas tempat tidur yang ada di

    ruang III selatan yaitu 40 tempat tidur. Tingkat ketergantungan pasien di

    ruangan ini sebagian besar total care karena pasien yang dirawat rata-rata

    adalah balita. Penyakit yang cukup sering didiagnosis pada pasien di ruangan

    ini salah satunya adalah kejang demam dengan jumlah 36 kasus dalam rentang

    periode April-Juni di RSUP Fatwawati. Sebagian besar pasien berusia 1-2

    tahun dengan lama hari rawat 3-5 hari.

    Kejang demam merupakan penyakit yang berkaitan dengan proses radang

    akibat infeksi pada tubuh selain infeksi pada sistem saraf pusat. Panas tubuh

    dapat meningkat di atas normal karena infeksi yang belum tertangani. Tes

    hematologi dilakukan untuk melihat nilai leukosit yang tinggi sebagai tanda

    adanya infeksi. Tes urinalisa juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya

    infeksi pada saluran kemih atau urogenital. Hasil dari pemeriksaan-

    pemeriksaan tersebut penting untuk menandakan bahwa infeksi bukan berasal

    dari sistem saraf pusat. Terapi antibiotik dan antikonvulsan diberikan dengan

    dosis sesuai dengan berat badan anak. Terapi cairan infus hanya diberikan

    apabila anak tidak mampu minum dengan adekuat melalui oral.

    Pencegahan infeksi juga dilakukan perawat di ruangan dengan menjaga

    kebersihan tangan, melakukan edukasi hand hygiene, mengganti laken dengan

    rutin atau jika tampak kotor. Perawat juga menyarankan orang tua atau

    pendamping pasien untuk menjaga kebersihan tempat tidur dan lingkungan

    kamar pasien. Hal ini terlihat sederhana tetapi fatal apabila tidak diperhatikan

    dan dilakukan dengan benar.

    26

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 27

    Universitas Indonesia

    Pemantauan tanda-tanda vital terutama suhu tubuh merupakan hal yang turut

    diutamakan dalam perawatan pada pasien kejang demam di ruangan lantai III

    selatan. Pengukuran suhu tubuh dilakukan pada saat awal shift pagi, sore, dan

    malam, dan pada waktu pemberian obat. Perawat-perawat di ruangan

    menyarankan kepada orang tua pasien untuk melakukan kompres hangat dan

    memberikan minum ketika anak demam. Perawat ruangan juga menganjurkan

    ibu untuk memakaikan baju atau celana yang longgar dan tipis, bukan

    menutupi anak dengan selimut. Suhu di kamar-kamar rawat pasien terasa lebih

    hangat terutama jika pintu kamar dan jendela tidak dibuka lebar-lebar. Hal ini

    dapat menghambat pengurangan panas tubuh melalui udara dan cukup

    mengganggu tidur pasien. Parasetamol diberikan apabila suhu aksila anak

    mencapai 38oC.

    Penyakit kejang demam menimbulkan kecemasan yang tinggi pada sebagian

    besar orang tua. Edukasi terkait penyakit ini merupakan hal yang tentunya

    sangat berharga bagi orang tua pasien. Pemberian edukasi mengenai penyakit

    kejang demam pada pasien dan orang tua di ruangan adalah kewajiban dokter.

    Namun perawat juga bertanggung jawab untuk secara kontinyu mengevaluasi

    hasil dari edukasi yang diberikan. Perilaku orang tua atau pendamping pasien

    seringkali tidak mendukung perawatan pada pasien. Kurangnya tenaga

    perawat yang berimbas pada overload beban kerja menyebabkan perawat tidak

    memiliki cukup waktu untuk melakukan edukasi sesuai kebutuhan pasien dan

    orang tua.

    4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan

    Konsep Kejang Demam

    Anak dalam rentang usia balita yaitu usia 6 bulan sampai 5 tahun rentan

    mengalami kejang demam, begitu pula An. A yang usianya baru mencapai 18

    bulan. Beberapa faktor, selain usia, mempengaruhi terjadinya kejang demam

    pada An. A. Adapun faktor eksternal yang terlibat meliputi tempat tinggal,

    gaya hidup maternal, dan proses intranatal, sedangkan faktor internal antara

    lain sistem imun dan lama menyusu.

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 28

    Universitas Indonesia

    Kejang demam merupakan kasus penyakit yang biasa terjadi pada anak-anak

    di seluruh dunia, tetapi paling banyak ditemukan di negara-negara tropis,

    termasuk di Indonesia (Birbeck et al., 2010). Penulis belum menemukan

    penelitian atau riset baik nasional maupun lokal mengenai prevalensi atau

    insiden kejang demam di Indonesia. Kasus kejang demam di RSUP Fatmawati

    dalam periode 3 bulan yaitu Maret sampai Juni 2013 tercatat sejumlah 36

    kasus yang mayoritas adalah kejang demam kompleks (RSUP Fatmawati,

    2013). Jumlah yang dominan dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya

    seperti diare, bronkhitis, pneumonia, sindrom nefrotik, dll. Mayoritas anak-

    anak yang menderita kejang demam ini bertempat tinggal di kota-kota padat

    penduduk seperti Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.

    An. A bersama orang tuanya bertempat tinggal di Tangerang Selatan. Wilayah

    ini merupakan kota urban dengan angka kepadatan penduduk yang tinggi

    (Riani, 2013). Kondisi pelayanan yang kurang efisien di lingkungan perkotaan

    dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan banyak limbah

    menumpuk dan akhirnya mencemarkan kebersihan tanah dan air (Alirol, et al.,

    2010). Air yang tercemar dapat menjadi sumber berkembangnya

    mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia yang

    menggunakannya. Tercemarnya sumber air minum di wilayah Jakarta dan

    sekitarnya, menyebabkan angka kejadian penyakit infeksi di wilayah ini terus

    meningkat (Ermawati, 2011). Kota Tangerang sebagai salah satu kota urban

    menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi yang menjadi

    faktor presipitasi terjadinya kejang demam pada An. A.

    Infeksi pada An. A adalah infeksi saluran kemih yang dibuktikan dengan

    adanya peningkatan kadar leukosit per lapang pandang besar (LPB) pada

    pemeriksaan sedimen urin. Infeksi ini dapat terjadi akibat perineal hygiene

    yang buruk, yang dapat disebabkan oleh penggunaan sumber air yang kurang

    bersih untuk mandi, membersihkan daerah perineum setelah mikturisi atau

    defekasi, atau mencuci pakaian sehingga mikroorganisme dari air tersebut

    dapat mengkontaminasi bagian-bagian tubuh yang mudah terpapar seperti

    fekal atau saluran urinaria.

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 29

    Universitas Indonesia

    Kejang demam pada An. A terjadi karena infeksi saluran kemih. Demam

    timbul akibat stimulasi leukosit (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen

    eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun (Sherwood,

    2001). Leukosit kemudian mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan

    pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen

    endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk

    prostaglandin yang kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat

    termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang

    lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-

    mekanisme untuk meningkatkan panas yang akhirnya menyebabkan suhu

    tubuh naik ke patokan yang baru tersebut. Suhu tubuh An. A saat mengalami

    kejang pada hari rawat pertama yaitu 38,6oC (aksila), yang berarti terjadi

    kenaikan metabolisme basal sebesar 14% dan kebutuhan oksigen 28%.

    Peningkatan tersebut menyebabkan perubahan keseimbangan dari membran

    sel otak dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion K maupun ion Na

    melalui membran tersebut sehingga terjadi lepasnya muatan listrik yang cukup

    besar. Neurotransmiter membantu memperluas lepasnya muatan listrik ke

    seluruh sel/membran sel di dekatnya, sehingga menyebabkan An. A

    mengalami kejang.

    Kejang pada An. A kambuh satu kali saja, yaitu pada hari rawat pertama di

    ruang rawat inap. Kejang terjadi selama kurang lebih 1 menit disertai demam

    (38,6oC). Hal ini sesuai dengan manifestasi klinis menurut Wong pada anak

    dengan kejang demam sederhana, yaitu kejang terjadi hanya sekali dalam

    periode 24 jam dengan durasi kurang dari 15 menit. Terjadinya kejang pada

    An. A kemungkinan besar dipengaruhi oleh proses infeksi yang belum

    tertangani sempurna dengan terapi antibiotik yang baru diberikan 2 kali pada

    hari rawat pertama. Selain itu, peningkatan suhu yang cepat pada An. A yang

    mencetuskan kejangnya dapat disebabkan oleh suhu yang cukup hangat dan

    sirkulasi udara yang kurang memadai di ruang rawat An. A. Selimut kain yang

    ditutupkan ibu ke tubuh An. A semakin menghambat pengeluaran panas tubuh

    sehingga mempercepat kenaikan suhu An. A. Hal ini disebabkan kurangnya

    pengetahuan orang tua tentang cara yang tepat menurunkan demam anak.

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 30

    Universitas Indonesia

    Pemberian edukasi merupakan hal yang penting dan sangat berharga bagi

    orang tua anak yang sering mengalami kekhawatiran yang sangat, terutama

    saat kejang anak timbul. Ibu An. A, sebagai orang tua yang sering menemani

    An. A selama perawatan di rumah sakit, tampak lebih tenang dan mampu

    melakukan tindakan penurunan demam sederhana setelah diberikan edukasi

    tentang cara tepat menurunkan demam anak. Ibu memakaikan An. A pakaian

    yang longgar dan tipis, menyusui An. A lebih sering selama An. A mau, dan

    tidak menutupi tubuh An. A dengan kain saat tidur. Ibu tampak semakin

    percaya diri melakukan hal tersebut karena merasa saat suhu An. A ternyata

    dapat dikontrol dengan parasetamol dan tindakan-tindakan tersebut, kejang

    An. A sudah tidak timbul lagi.

    4.3 Analisis Intervensi Tepid Sponge dengan Konsep Terkait

    Pemberian tepid water sponge pada An. A terbukti efektif disertai dengan

    pemberian parasetamol. Suhu tubuh An. A mencapai 37,5oC (dari 38,6

    oC)

    pada menit ke 30 dan 36,6oC pada menit ke 60 setelah diberikan parasetamol

    dan tepid sponge. Hal sesuai dengan penelitian pada tahun 2009 yang

    menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara suhu tubuh sebelum dan

    setelah diberikan antipiretik disertai tepid sponge dan pada menit ke 30

    setelah pengukuran suhu pertama (60 menit setelah pemberian antipiretik).

    Penurunan suhu tubuh ini terjadi karena teknik tepid sponge memanfaatkan

    mekanisme umpan balik (feed back) yang diperankan oleh pusat termoregulasi

    di hipotalamus.

    Pemberian antipiretik saja pada salah satu pasien anak dengan kejang demam,

    yaitu Anak R berusia 2 tahun 3 bulan, memberikan penurunan suhu dengan

    rentang penurunan yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang disertai

    pemberian tepid sponge. Anak R mengalami penurunan suhu sebesar 0,6oC,

    dari 38,1oC menjadi 37,5

    oC. Hal ini sesuai dengan studi komparatif tahun

    2009 yang memaparkan bahwa penurunan suhu tubuh pada kelompok yang

    diberikan tepid sponge dan antipiretik secara signifikan lebih cepat daripada

    kelompok yang hanya diberikan antipiretik (Edborr, Arora, & Mukhrejee,

    2011).

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 31

    Universitas Indonesia

    Kejang An. A sudah tidak muncul lagi sejak hari rawat kedua sampai keempat

    (terakhir). Selain pengaruh pemberian antibiotik yang rutin, faktor yang

    mendukung adalah terapi kombinasi penanganan demam nonfarmakologis,

    yaitu tepid sponge, dan farmakologis, yaitu parasetamol sebagai obat

    antipiretik. Keterlibatan orang tua sebagai bagian integral dari perawatan anak

    selama di rumah sakit juga sangat berpengaruh terlebih setelah diberikan

    edukasi. Ibu An. A mudah memahami dan mampu meredemonstrasikan

    pemberian tepid sponge yang diajarkan sehingga mampu melakukan tepid

    sponge secara mandiri saat tubuh An. A teraba panas, dan melakukan hal-hal

    yang telah diinformasikan dan diajarkan guna membantu menurunkan suhu

    tubuh anak saat demam.

    4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan

    Aplikasi terapi tepid sponge disertai pemberian antipiretik pada klien kelolaan

    utama memperlihatkan hasil yang positif yaitu mampu menurunkan suhu

    tubuh dengan efektif. Namun perawat di ruangan dalam melaksanaan terapi ini

    mempunyai beberapa kendala yang dihadapi. Pertama, durasi pemberian tepid

    sponge yang tidak sebentar sulit dilakukan dengan jumlah tenaga perawat

    yang kurang memadai. Perawat tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan

    terapi ini sehingga hanya dapat berfokus pada terapi medis saja yaitu

    pemberian obat antipiretik. Kedua, jumlah tenaga perawat yang minim juga

    menyebabkan kurangnya edukasi demonstrasi yang diberikan oleh perawat

    pada orang tua terkait pemberian tepid sponge pada anak. Keterlibatan orang

    tua selama proses perawatan anak yang sangat tinggi kurang mendapat

    dukungan dari sisi edukasi.

    Kedua permasalahan di atas dapat diatasi dengan cara perawat melibatkan

    orang tua atau pendamping pasien dalam perawatan demam anak. Perawat

    dapat melakukan sekaligus mengajarkan kepada orang tua prosedur atau cara

    memberikan tepid sponge pada anak. Tujuan pemberian terapi tepid sponge

    dapat dijelaskan diawal oleh perawat sebelum tindakan dilakukan agar orang

    tua memiliki pemahaman yang benar dan akhirnya mau terlibat untuk

    memberikan terapi ini pada anaknya. Pelibatan orang tua dalam perawatan

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 32

    Universitas Indonesia

    anak sesuai dengan konsep family centered care (FCC) yang mendukung

    adanya pendekatan kemitraan untuk pengambilan keputusan dalam perawatan

    kesehatan antara keluarga dan penyedia layanan kesehatan. FCC ini dianggap

    sebagai standar perawatan kesehatan anak-anak baik dalam praktek klinis,

    rumah sakit, maupun kelompok kesehatan (Kuo et al, 2011).

    Penerapan FCC dalam perawatan anak dapat memberikan efek positif bagi

    kedua belah pihak baik perawat maupun keluarga pasien. Pemberian edukasi

    yang tepat oleh perawat terkait tepid sponge menjadikan orang tua memiliki

    pengetahuan dan pengalaman yang lebih untuk merawat anak mereka saat

    demam. Pemberian tepid sponge yang selanjutnya dilakukan oleh orang tua

    tetap dievaluasi oleh perawat. Alternatif ini mungkin dapat menjadi solusi bagi

    perawat-perawat yang bertugas di ruangan. Asuhan keperawatan tetap

    terlaksana dengan optimal meskipun di tengah kondisi jumlah tenaga yang

    kurang.

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 33

    Universitas Indonesia

    BAB 5

    PENUTUP

    5.1 Kesimpulan

    Gambaran umum anak dengan kejang demam diperoleh data, anak memiliki

    riwayat kejang, spasme otot saat kejang, suhu tubuh fluktuatif dan cenderung

    demam, anak tampak lemas, dan nafsu makan berkurang. Proses infeksi

    menjadi penyebab timbulnya kejang demam. Peningkatan suhu di atas normal

    yang terjadi dengan cepat menjadi pencetus timbulnya kejang. Asuhan

    keperawatan kejang demam telah diberikan pada An. A untuk mengatasi

    masalah keperawatan risiko infeksi, ketidakefektifan termoregulasi, dan risiko

    cedera. Ketiga masalah keperawatan tersebut telah teratasi. Penerapan aplikasi

    tepid sponge terbukti lebih cepat dalam menurunkan suhu tubuh anak. Suhu

    sebelum diberi terapi yaitu 38,6oC dan setelah diberi terapi tepid sponge dan

    antipiretik mengalami penurunan sebanyak 2oC dalam 60 menit pertama.

    Selama hari perawatan telah dilakukan pemantauan tanda-tanda vital terutama

    suhu dan mencegah penyebaran infeksi. An. A diberikan terapi antibiotik

    untuk perawatan dirumah dan dianjurkan untuk datang mengikuti rawat jalan

    di rumah sakit.

    5.2 Saran

    Infeksi yang menjadi penyebab kejang demam sering kali diakibatkan oleh

    sistem imun tubuh anak yang lemah. Asupan nutrisi hendaknya tidak luput

    dari perhatian perawat, karena asupan nutrisi yang adekuat penting untuk

    proses metabolisme sel-sel tubuh termasuk antibodi yang berperan penting

    bagi pertahanan tubuh.

    Penting bagi perawat untuk mengevaluasi pencegahan infeksi nosokomial

    yang dilakukan orang tua setelah diberikan edukasi seperti ketepatan cara

    melakukan hand hygiene dan waktu-waktu penerapan hand hygiene.

    33

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 34

    Universitas Indonesia

    DAFTAR PUSTAKA

    Alirol,E., et al. (2010). Urbanisation and infectious diseases in a globalised

    world. http://www2.uah.es/salud-y-

    enfermedad/pdf/Urbanisation%20and%20infectious%20diseases%20in%20a

    %20globalised%20world.pdf

    Appleton, R., Marson, A. (2009). Epilepsy: the facts, 3rd

    Ed. Oxford, UK: Oxford

    University Press

    Birbeck, G. L., et al. (2010). Febrile seizures in the tropics. Epilepsies, Vol.22,

    Number 2, 103-9. doi: 10.1684/epi.2010.0303. http://www.jle.com/e-

    docs/00/04/59/28/article.phtml

    Chung, B., Wat, L. C. Y., Wong, V. (2006). Febrile seizures in southern chinese

    children: incidence and recurrence. Pediatric Neurology , volume 34, Issue 2,

    Page 121-126. doi:10.1016/j.pediatrneurol.2005.08.007

    http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0887899405004662

    Clement, I. (2007). Basic concepts on nursing procedures. New Delhi: Replika

    Press Pvt. Ltd.

    David, R. B. (2009). Clinical pediatric neurology, 3rd

    Ed. USA: Demos Medical

    Publishing

    Edbor, A. J., Arora, A. K, Mukherje, P. S. (2011). Early management of fever:

    benefits of combination therapy. Bombay Hospital Journal, Vol. 53, No. 4,

    2011. http://www.bhj.org.in/journal/2011-5304-oct/download/702-

    705.pdfWatts Robertson 2012

    Epilepsy Foundation of America. (2012). Febrile convulsions (3 months to 5

    years).

    http://www.epilepsyfoundation.org/livingwithepilepsy/parentsandcaregivers/

    parents/infants/febrileconvulsions.cfm

    Elsevier. (2012). Febrile seizures.

    https://www.clinicalkey.com/topics/pediatrics/febrile-seizures.html

    34

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 35

    Universitas Indonesia

    Kaneshiro. (2010). Fever.

    http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003090.htm

    Kayserili, et al. (2008). Parental knowledge and practices regarding febrile. Turk J

    Med Sci 2008; 38 (4): 343-350.

    http://journals.tubitak.gov.tr/medical/issues/sag-08-38-4/sag-38-4-9-0708-

    4.pdf

    Mick, N. W., Cummings, B. M. (2006). Emergency management of the pediatric

    patient: cases, algorithms, evidence. USA: Lippincott Williams & Wilkins

    Mikail, B. (2011). Kebiasaan cuci tangan masih rendah.

    http://health.kompas.com/read/2011/09/29/17324045/Kebiasaan.Cuci.Tangan

    .Masih.Rendah.

    National Institute of neurological Disorders and Stroke. (2013). Febrile Seizures

    Fact Sheet.

    http://www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_seizures.ht

    m

    National Health Service. (2012). Febrile

    seizures.http://www.nhs.uk/conditions/Febrile-

    convulsions/Pages/Introduction.aspx

    Nursewian. (2012).Bahaya kejang demam pada anak dan langkah-langkah yang

    harus dilakukan saat anak kejang. http://buletinkesehatan.com/bahaya-

    kejang-demam-pada-anak-dan-langkah-langkah-yang-harus-dilakukan-saat-

    anak-kejang-1/#sthash.aXfzfcje.dpuf

    Preidt, R. (2008). Death from febrile seizure rare in children.

    http://abcnews.go.com/Health/Healthday/story?id=5537620&page=1#.UdvD

    0Mn43cg

    Riani. (2013). Penduduk Tangsel berpotensi padat seperti DKI.

    http://www.bantenhits.com/metropolitan/1237-penduduk-tangsel-berpotensi-

    padat-seperti-dki.html

    Ricci, S. S., Kyle, T. (2009). Maternity and pediatric nursing. Philadelphia:

    Wolters Kluwer Health

    Sara, R. (2002). Paediatrics - febrile convulsions assessment, treatment and

    education. http://www.inmo.ie/Article/PrintArticle/2661

    34

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

  • 36

    Universitas Indonesia

    Schachter. (2013). Types of seizures.

    https://www.epilepsy.com/epilepsy/types_seizures

    Setiawati,T.(2009). Pengaruh tepid sponge terhadap penurunan suhu tubuh dan

    kenyamanan pada anak usia pra sekolah dan sekolah yang mengalai demam

    di ruang perawatan anak Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung. Tesis

    Fakultas Ilmu Keperawatan, UI. Depok

    Sharber, J. (1997). The efficacy of tepid sponge bathing to reduce fever in young

    children. American Journal Emergency Medical, 188-192.

    Shellhaas, R., Camfield, C.S., Camfield, P. (2011). Febrile seizures.

    http://www.medmerits.com/index.php/article/febrile_seizures/P3

    Sherwood, L. (1996). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. (Penerjemah, Brahm,

    U & Pendil, 2001). Edisi 2. Cetakan I. Jakarta: EGC.

    Thomas, S., Vijaykumar, C., Naik, R., Moses, P.D., & Antonisamy, B. (2009).

    Comparative effectiveness of tepid sponge and antipyretic drug versus

    only antipyretic drug in the management of fever among children: a

    randomized control trial. Indian Pediatrics, 46 (2), 133-136.

    Unit For Sight. (2013). Urban versus rural health.

    http://www.uniteforsight.org/global-health-university/urban-rural-health

    Vera, M. (2012). 5 benign febrile convulsions nursing care plans.

    http://nurseslabs.com/5-benign-febrile-convulsions-nursing-care-plans/#_

    Vestergaard, et al. (2008). Death in children with febrile seizures: a population-

    based cohort study. Lancet, 2008 Aug 9;372(9637):457-63. doi:

    10.1016/S0140-6736(08)61198-8.

    White, L. (2005). Foundations of maternal and pediatric nursing. 2nd

    Ed. USA:

    Thomson Delmar Learning

    Wong, D. L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik, alih bahasa, Monica

    Ester; editor edisi bahasa Indonesia. Jakarta: EGC

    Watts, R., Robertson, J. (2012). Non-pharmacological management of fever in

    otherwise healthy children. JBI, Vol 10, No 28, ISSN 1838-2142.

    Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013

    Halaman JudulAbstrakAbstractDaftar IsiBab IBab IIBab IIIBab VBab IVDaftar Pustaka