Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
123
TRANSKRIP WAWANCARA I
WAKIL PENGAGENG SASANA WILAPA
(KP) WINARNAKUSUMA
Lokasi: Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Waktu: 31 Desember 2014
Surakarta atau Keraton Surakarta menghormati Sura itu kan memang bulan
pertama awal tahun Jawa. Lha siapa yang bisa menciptakan tahun jawa itu, dan
apa saja namanya tahun jawa itu, dan apa saja bulan jawa itu, anda harus tahu.
Ya jadi tahun jawa itu yang menciptakan adalah Kanjeng Sultan Agung
Prabu Hanyakra Kusuma Narendra Mataram Islam itu nama lengkapnya, tapi
disingkat Sultan Agung. Itu ceritanya dia itu kan patriotisme, Raja yang anti
penjajah. Waktu itu masyarakat Mataram memang belum kompak ya, pernah
menyerang ke batavia 2x tapi belum berhasil karena kalah persenjataan yang
berat, namun Kanjeng Sultan Agung mendapatkan petunjuk bahwa bisa
kompaknya masyarakat menjadikan menggabungkan Tahun Saka Hindu dan
Tahun Hijriah Islam. Nah penggabungan itu antara Saka Hindu dan Hijriah Islam
jadilah Tahun Jawa. Tetapi, oleh Sultan Agung Tahun Jawa itu melanjutkan
Tahun Saka. Nah, waktu digabungkan itu Tahun Saka sudah sampai angka 1554
sedangkan Tahun Hijriah sampai angka 1043. Nah, waktu itu Masehi-nya 1633,
jadi pertengahan Sultan Agung menjabat jadi Raja. Karena Tahun Jawa itu
melanjutkan Tahun Saka sehingga Tahun Jawa mulai pertama mulai 1555. Nah,
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
124
itu mulai Tahun Jawa sampai sekarang. Anda nanti mungkin di kalender kok
angkanya Tahun Jawa dengan tahun biasa kok besar Tahun Jawa…
Nah sekarang kan Tahun Jawa 1948, Tahun Hijriah-kan baru 1943 atau 44,
anda harus tahu kok lebih besar Tahun Jawa, asli umurnya Tahun Jawa itu sendiri
itu adalah 1948 dikurangi 1555 tadi. Nah, itu sekitar 390 atau 89 gitu.
Nah Tahun Jawa itu ada 8 nama yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be,
Wawu, Jimakir. Ini nama sewindu. Nanti kalo sudah Jimakir, balik ke Alip lagi
setiap 8 tahun ganti. Kalau sekarang ini tahunnya Tahun Ehe. Nah tahunnya 8
bulannya 12, diawali dari Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal,
Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkangijah, Besar ada 12.
Nah, kenapa bulan Sura itu disakralkan? Karena pertama Raja atau
masyarakat Surakarta setiap kali upacara-upacara pasti yang digunakan Tahun
Jawa bukan Tahun Masehi. Karena apa, Raja menghormati menghargai jerih
payah, pengorbanan Sultan Agung yang telah berhasil membuat Tahun Jawa itu
karena Sultan Agung itu leluhurnya Raja-raja Jawa. Makanya 1 Sura disakralkan.
Dalam menyambut hari tahun baru 1 Sura itu dengan sifat bentuk meditasi
tidak hura-hura seperti nanti malam-kan hurahura biasanya, kalau Tahun Jawa
ndak. Sifatnya semedi batin dalam mengkirabkan Pusaka itu pasti dengan sifat
berdoa. Dalam perjalanan itu ndak boleh bicara, berdoa yang intinya introspeksi
diri. Selama satu tahun kita mohon ampun kepada yang mahakuasa, mohon
bimbingan, petunjuk, pengayoman agar dalam menapaki tahun yang baru diberi
karunia keselamatan, keberkahan, kesehatan, dan sebagainya. itu dalam
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
125
menyambut 1 Sura itu yang pertama.
Serta yang kedua, bulan Sura itu bagi Keraton Surakarta, hari yang
diperingati sebagai tonggak sejarah, yaitu tanggal 17 Sura, itu hari berdirinya
Negara Surakarta, karena sebelum adanya NKRI, negara itu Surakarta, jadi belom
pojo-pojo ada NKRI itu Negara Surakarta Hadiningrat. Anda harus tahu sejarah
itu, adanya NKRI itu karena adanya Negara Surakarta. Walaupun sudah diramal
200 tahun, jadi Keraton Surakarta ini berdirinya 17 Sura tahunnya Je 1670 atau 20
Februari 1745. 200 tahun persis 1945 ada NKRI itu prosesnya ya dari Surakarta,
waktu terjadinya di Den Haag ada Konferensi Meja Bundar. Yang menjadi
delegasi kesana Ir. Soekarno, Sinuwun Pakubuwono ke-12, Raja Surakarta, dan
Mangkunegoro 8.
Disana dunia (PBB) menanyakan, dunia mengakui adanya NKRI kalau sudah ada
pernyataan dari negara yang ada, dan negara yang ada itu Surakarta. Nah sebab itu
1 September 1945, Sinuwun Pakubuwono ke-12 membuat maklumat yang isinya
antara lain bahwa Negara Surakarta berdiri di belakang Republik. Nah kemudian
kompensasinya, Negara Surakarta menjadi Daerah Istimewa. Nah kemudian oleh
Insinyur Soekarno yang kemudian menjadi Presiden Pertama, minta Bendera
Negara Surakarta yang namanya Gulo Klopo atau nama lainnya merah putih itu
diminta menjadi bendera NKRI. Bendera Merah Putih itu benderanya Surakarta.
Itu sejarah anda harus tahu. Kemudian Insinyur Soekarno berpesan dengan 3 suku
kata yaitu JASMERAH: Jangan lupakan sejarah. Sejarah terjadinya NKRI itu dari
Surakarta, tidak ada pernyataan dari Surakarta ndak ada NKRI. Itu sejarah. Nah
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
126
kemudian Presiden Soekarno turun ke Presiden Soeharto makin mikir ke Keraton,
setelah itu sampai sekarang lupa. Lupa Keraton, dan Keraton tuh harapannya mau
dihilangkan karena apa nusantara ini kan miliknya Surakarta, Negara Surakarta.
Tetapi, ya kebetulan waktu itu memang kami memang seringkali ada siaran
radio dan TV ada pertanyaan bagaimana masalah seperti ini? Lha saya ngomong
selama negara tidak memperhatikan Keraton lagi, lupa sejarah, jangan harap
negara tenteram damai sejahtera. Karena sudah lupa pada sejarah, sekarang kan
situasinya seperti ini, mereka lupa pada keraton, pada siapa yang menjadikan
negara, negara indonesia itu tidak tiba-tiba jatuh.
*Pembicaraan terhenti karena narasumber sedang menerima telepon*
Sekarang anda harus tahu dulu, nah kemudian proses mahargya atau
memperingati Tahun Baru Jawa 1 Sura tadi di Keraton Surakarta mengadakan
prosesi Kirab Pusaka tapi juga ada Wilujengan, kebetulan 1 Sura itu bertepatan
dengan wafatnya Sinuwun Pakubuwono yang ke-10, Sinuwun yang masa jayanya.
Itu tepat pada 1 Sura. Nah maka diawali dengan wilujengan, tahlilan, tuputan, itu
dilaksanakan sekitar pukul 10 malam. Satu jam sebelumnya sudah persiapan, nah
tapi sejak pagi abdi dalem sudah bersiap berkumpul disini dengan
kelengkapannya berpakaian adat dengan membawa Pusaka-Pusaka yang dibawa
untuk nanti pas tengah malam. Nanti prosesinya yang pertama paling depan itu
Kerbau Kyai Slamet. Nah tapi gini mbak, Kirab Pusaka itu dulu jaman PB X tadi
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
127
itu diadakan setiap malam jumat dan malam selasa kliwon tetapi muternya hanya
di dalam Baluwarti, nah kemudian masa pemerintahan Soeharto terjadi kekisruhan
Negara karena ada peristiwa 15 januari yang disingkat Malari, pernah dengar ndak
tuh? Malari peristiwa 15 januari. Nah Negara goyah waktu itu, kemudian Presiden
Soeharto utusan Asprinya, itu Bapak Sujono Mardhani itu datang ke Keraton
menemui Sinuwun 12 minta pinjam beberapa Pusaka dibawa ke Jakarta, itu ada
Wayang ada macem-macem sekarang sudah kembali semua. Nah disamping itu
Pak Harto minta agar Kirab Pusaka itu keluar, di batas luar maksudnya, supaya
lebih merata dan diharap Sinuwun Pakubuwono 12 diharap bisa membantu
memulihkan ketentraman negara. Tapi Pak Harto konsekuen, membiayai kirab
Pusaka itu karena itu diikuti puluhan ribu masyarakat, nah itu berjalan sampai
sekarang tetapi setelah itu ya karena pemerintah berbeda, ndak mikir lagi, kami
Keraton berdikari. Berdiri dikaki sendiri.
Nah karena itu petugas kami sebagai lembaga yang ikut adat itu peninggalan
para leluhur tidak mungkin kami meniadakan, tetap kami laksanakan dengan
kemampuan yang ada sampai sekarang dan karna 1 Sura bukan lagi miliknya
Keraton Surakarta, sudah milik dunia, lha makanya apapun, ditentang Pemerintah
kami tetap berjalan karena sebelum ada Negara, Negara itu Surakarta dan sampai
sekarang Keraton Surakarta tetap mempertahankan aturan hukum adat disamping
kami juga menghormati hukum nasional. Nah, tapi hukum adat ndak bisa
ditinggalkan dan kami tidak mau dirubah apalagi diinjak-injak oleh Pemerintah
karena tetap hukum adat, kami tetap bertahan, jadi kita tetap melaksanakan dan
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
128
menghormati. dalam kepres 23-pun disebutkan pemerintah wajib memelihara,
menghidupi masalah hukum adat. Khawatir mungkin Negara terhadap Keraton
akan meminta Negara. Padahal tidak seperti itu.
Nah itu sejarahnya. Nah yang saya sebutkan Pusaka yang setiap malam
jumat itu Pusakanya namanya Ki Slamet, nah kemudian kebo itu selalu mengikuti,
nah lama-lama kebo itu disebut menjadi Kebo Kyai Slamet.
Nah prosesnya setelah kerbau, nanti ada beberapa Pusaka. Tiap Pusaka itu
rangkaiannya ada Dupa, kemudian 1 Pusaka itu biasanya dibawa sekitar 20 orang.
Jadi berwujud tombak begitu depan belakang 20 orang yang jalannya sekitar 5
kilo, nah itu bergantian, sepanjang malam itu, nah itu berapa meter ganti.. ganti….
Semua ingin ngalah berkah. Jumlah pasti-nya bisa 20 kadang lebih kadang kurang
tergantung dari petugasnya. Jadi yang mengawal depan !0 orang belakang 10
orang. Kalau yang bawa Pusakanya ya satu-satu nanti gentian.
*Pusakanya itu apa aja pak?
Namanya tetap dirahasiakan, karena Pusaka itu keunggulan Keraton,
Keraton itu banyak sekali Pusaka, dari peninggalan Majapahit sampai sekarang
masih tersimpan dan Pusakanya banyak sekali.
*Itu yang boleh bawa hanya abdi dalemnya saja?
Iya, yang sudah mendapat mandat, mendapat tanda.
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
129
*Mandatnya itu dapetnya darimana apa gimana?
dari Keraton sini, dari Pengageng.
*Misalnya abdi dalemnya yang sudah 30 tahun di sini apa gimana?
Ya pokoknya kriterianya tergantung kebutuhan dari pengageng, kesetiaan
mereka sebagai abdi dalem, loyalitasnya, begitu.
*Jadi kerbau, Pusaka, Pusakanya kira-kira jumlahnya ada berapa?
Kemarin 11, lalu pernah 13, pernah 9.
*Masih dikawali sama abdi dalemnya sini?
Iya, lalu kanan kirinya itu ada tombak Ligan yang mengawal, tombak yang
terhunus itu, kemudian ada lampu petromax, ada lampu oncor, setelah itu nanti
dibelakangnya, masyarakat. Nah setiap Pusaka ya gitu, diikuti masyarakat
sehingga perjalanan itu panjang sekali.
*Itu pakai pengawal keraton juga ya?
lha ini semua jadi pengawal secara otomatis, tapi kami juga tidak
meninggalkan aparat yang berpartisipasi, walaupun tapi bukannya saya
ngentengke petugas, di Keraton ini lebih.. Lebih… Kalau di Bali, Pacalang, lebih
dihargai dari pada polisi. Misalnya, polisi melarang, orang masih bisa melanggar,
tapi kalo yang melarang Pacalang, orang sudah tidak berani, karena adat. Di sini
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
130
Keraton pun masih mempertahankan adat. Jadi kalau ada yang macam-macam ya
tetap terkena.
Nah dan yang terakhir juga biasanya dibelakang itu ada Polisi, Pramuka, ada
Menwa (Resimen Mahasiswa) mereka berpartisipasi. Oh ada juga ambulance itu
juga pasti ada.
*kalau kerabat keraton gitu juga ikut jalan atau nggak?
Iya, tapi nggak semua. Jadi yang memikul Pusaka nomor 1-4 itu khusus
Sentono artinya keluarga dekat, nah yang ke 5 sampai 11 itu abdi dalem yang lain
yang sudah ditunjuk. Nah, masyarakat yang lain itu menunggu untuk bergabung
dari Pusaka satu, ke-dua, sampai terakhir. Semuanya itu pakai hitam-hitam.
*1-4 itu berarti bisa Raja atau bagaimana?
Oh Raja nggak bisa, Raja hanya memerintahkan, paling Putra-Putri Raja
atau Keluarga Raja.
*Itu sebelum Pusakanya diputar-putar dalam lingkungan Keraton gitu
Pusakanya dimandiin dulu apa gimana?
Kalau Pusaka Keraton itu mandinya tidak hanya setiap tahun, jadi di keraton
itu ada petugas yang setiap kamis itu menyucikan atau membersihkan Pusaka.
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
131
*Beda-beda ya antara menyucikan satu Pusaka dengan yg lain?
Iya, dan yang boleh membersihkan itu harus Putra-Putri Raja atau yang
sudah disumpah. Belum disumpah ndak berani dia.
*Ritual muternya itu kemana aja pak?
Jadi namanya Pradaksina yang artinya selalu menempatkan Keraton itu di
sebelah kanan, jadi keluarnya ini itu trus kiri, Alun-alun, Gladag, ke utara sampai
perempatan Telkom, belok kanan, kemudian Jalan Kapten Mulyadi ke kanan, jadi
Keraton selalu berada di sebelah kanan, itu terus sampai perempatan Baturono, itu
ke kanan sampai Pasar Gading, itu lurus sampai perempatan Gemblegan, belok
kanan sampai Nonongan itu terus ngalor sampai jalan Slamet Riyadi, kanan lagi,
sampai Gladag, masuk lagi ke Keraton, biasanya sampai jam 3 pagi sudah masuk.
*Setelah masuk ada acara lagi ndak di dalam keraton?
Jadi gini ya mbak, mereka yang mampu, dirasa ikut mampu, muter, yang
tidak tinggal di Keraton mengadakan sholat tahajud di Keraton atau masjid di luar,
pokoknya tinggal diluar dengan berdoa sesuai dengan agama masing-masing,
yang pertama yang didoakan ya keselamatan Keraton Surakarta dan seisinya dan
keselamatan NKRI, Pokoknya dua itu disamping yang lain-lain. Nah terus
biasanya mereka yang ikut itu menunggu taburan bunga-bunga, mereka
mengharapkan itu, nggak tahu keyakinan itu. Mereka mengharapkan mendapatkan
berkah dari bunga-bunga itu. Petugas langsung kami siapkan minum kopi dan
arem-arem.
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
132
*Berarti untuk persiapan ritualnya itu bisa sehari langsung siap atau?
Ya bisa persiapan itu karena sudah rutin petugasnya kemudian beberapa
masyarakat itu macem-macem, semua agama datang kesini sejak tahun sebelum-
sebelumnya.
*Tapi ada pengaruh agama tertentu nggak Pak, misalnya ini kan
percampuran agama Hindu dan Muslim, nah kalau untuk ritualnya sendiri
doa-doanya itu?
Doanya sesuai agama masing-masing, di Keraton itu ada Patung Hindu, ada
Patung Malaikat, Patung Budha, karena Keraton itu menerima semua agama,
diayomi.
*Kalau kirabnya itu kan mulainya jam 10 malem?
Jam 9 itu sudah berdatangan, ngumpul di Pendopo depan itu sambil
menunggu cek siapa yang sudah didata tadi, bagi yang datang diberi id card,
masuk persiapan di Pelataran itu nanti kemudian naik ke Pendopo dan menerima
Pusaka itu. Itu keluarnya Pusaka itu sekitar jam 12 malam setelah selesai acara-
acara tahlil tadi baru Pusaka dikeluarkan.
*Acara tahlil mulai jam berapa pak?
Jam 10.
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
133
*Ada warna khusus nggak harus warna gelap atau bagaimana?
Harus hitam. Pakaiannya hitam. Kecuali ulama, ulamanya putih, memang
itu beskap putih.
*Kenapa harus hitam?
Hitam itu kekal.
*Kalo abdi dalem yang perempuan juga boleh ikut?
Boleh.
*Ada pantangannya?
Nggak ada, mungkin mereka sendiri kalau sedang menstruasi ya ngga
berani, sebetulnya-kan kalau sedang menstruasi itu-kan kesehatannya menurun,
padahal kan perjalanan lama, ngangkut, bisa semaput nanti kalo ngga tahan.
Sebetulnya seperti itu saja bukan terus kotor itu enggak. Orang kemanapun
membawa kotoran mbak. Jadi memang biasanya orang Jawa sukanya nggedek-
nggedekke. Ada pula yang mengatakan tidak boleh kerja di bulan Sura, kerja
hanya untuk Keraton. Keraton tidak pernah melarang, namun memang dari
Keraton menghimbau agar bulan Sura untuk instropeksi bukan untuk hura-hura.
*Kalau selama pelaksanaan dari tahun pertama sampai tahun sekarang itu
selalu lancar?
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
134
Oh lancar, cuma pernah diricuhi, mungkin anda juga mendengar kasus
Keraton yang Rajanya dua, mereka yang mengakunya Raja yang diluar kan
memberontak itu, sebenarnya sudah mau menggagalkan tapi dilarang atau
ditentang apapun kami tetap jalan karena ini adat sudah dari jaman nenek moyang
kita, siapapun tidak dapat menentang karena ini sudah bukan milik Keraton
Surakarta sendiri tapi sudah milik dunia. Bahkan kemarin sempat lewat dari
prediksi saya, biasanya jam 4 pagi baru masuk tetapi jam 3 pagi sudah tiba di
Keraton ternyata kerbau yang mengawal itu kemudian yang tua-tua sudah mati,
yang muda-muda jalannya semangat. Ternyata jalannya kerbau itu cepat.
*Kerbau-nya jumlanya berapa Pak?
Kemarin 9.
*Itu selalu ganjil atau bagaimana?
Ya tidak tentu mbak, karena waktu itu yang memang mau kita bawa delapan
tetapi yang satu masih kecil baru berapa bulan lalu waktu dilatih dia ikut,
semangat, dan kalau tidak diikutkan Ibunya tidak mau jalan. Kemudian kita latih,
dan mampu.
*Pembicaraan terhenti karena narasumber sedang menerima seorang abdi
dalem*
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
135
*Pak, kenapa yang ngawal Pusaka itu kerbau yang dipilih?
Dia bukan mengawal, paling depan dia. Karena memang sejak awal kerbau
itu selalu mengikuti. Kenapa Kerbau? Kerbau itu lambang. Lambang, macem-
macem. Pertama kerbau itu lambang penolak bala. Menolak bala itu melindungi
dari perkara jahat entah itu yang kasar ataupun yang halus. Makanya seringkali
ada istilah ditumbali kepala kerbau. Tapi makna tumbal kepala kerbau itu orang
Jawa-kan katakan bodo plonga-plongo koyo kebo, artinya apa, yang ditanam kan
kepalakan otaknya, otaknya yang bodo, bukan darah atau badan dan kaki yang 4
itu artinya yang bodo itu yang harus ditanam ndak boleh bangkit. Maksudnya
manusia itu harus pinter nggak boleh bodo.
Dan yang berikutnya kerbau itu lambang masyarakat kecil. Masyarakat
Indonesia itu kan masyarakat agraris, petani. Kerbau itu melambangkan
masyarakat kecil khususnya petani tetapi itu merupakan kekuatan yang luar biasa.
Karena Keraton atau negara itu akan kuat bila didukung masyarakat kecil, atau
kawula atau warga. Anda bayangkan misalnya negara mengadakan pemilihan
umum, coba masyarakat nggak ada yang mau datang ke TPS, apa jadinya?
Kekuatan-kan ada di masyarakat-kan, nah tetapi setelah jadi mereka lupa pada
masyarakat kecil, maka Keraton sangat mengutamakan masyarakat kecil karena
himpunan luar biasa kekuatannya. Seringkali pejabat-pejabat sudah duduk disana
lupa.
Terus anda bayangkan kerbau dengan sapi beda kan? Sapi itu gerakannya
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
136
lincah, tapi kerbau klemer-klemer, tetapi kalau kebo sudah marah kebo sulit
dikendalikan, kalau sapi masih bisa. Itu artinya kalau masyarakat ngamuk, bubar
negarane. Kalau terus-terusan diinjak-injak lama-lama ya bisa marah. Makanya
saya berpesan sama mbak kalau jadi pejabat jangan lupa sama masyarakat kecil.
Maknanya begitu jadi kalau masyarakat jawa itu selalu prihatin artinya dekat
dengan Tuhan.
Saya disini Kristen tetapi Jowo, jadi boleh Kristen boleh Islam boleh
Katolik tapi Jowo, artinya jangan meninggalkan Budaya Jawa. Dan saya Kristen,
setiap tahun minimal 2 kali saya berada di Masjid Agung kemarin saya
menjelaskan tentang Sekaten, apa maknanya, kan saya nggak harus jadi orang
Islam, dan mimbar yang saya pakai itu tidak pernah dicuci, padahal mereka itu
tahu kalau saya orang Kristen. Karena saya Kristen neng Jowo, dan Masjid Agung
itu punyanya Keraton. Jadi jangan pernah mengasingkan atau memusuhi agama
diluar kita, karena semua agama itu datangnya baik dan kita semua umat Tuhan
yang menciptakan itu Tuhan, jangan dimusuhi. Apa kita bisa menciptakan
manusia? Kan Tuhan, nah berarti kita memusuhi Tuhan kan. Apapun, bahkan
musuh kita harus kita cintai kok. Kasihilah musuhmu, berdoalah bagi mereka
yang menganiaya kamu.
*Kalau untuk bunga ada dipasang di Gamelan gitu apa nggak pak?
Gamelan itu selalu. Karena Gamelan itu alat musik yang Keraton tidak
hanya satu Gamelannya, banyak sekali Gamelan ini, ini, ini kewajibannya
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
137
fungsinya masing-masing. Yang saat ini dipakai Gamelan Sekaten, Kyai Guntur
Madu, Kyai Guntur Sari, ada Kyai Guru lokananta, Kyai Semar Ngugel, disini
Kyai Pamedakin, dan itu semua ada fungsinya.
*Kalau untuk yang Suro ada?
Justru ada.
*Itu dimaininnya gimana?
Yang Suro itu kan permanen di Pendopo itu, itu selalu dibunyikan ada alat
yang Ladrang Wilujeng, menyanyikan lagu yang berupa puji-puji‟an.
*Ini dimaininnya pas lagi tahlilan itu?
Bukan, waktu tahlil justru berhenti, sebelum dan sesudah, pas saat tahlil
berhenti. Nanti pas Pusaka keluar itu terus Ladrang Wilujeng terus. Alunan
gending itu membawa makna, pujian.
*Maknanya gimana?
Ya namanya Ladrang Wilujeng-kan Wilujeng artinya selamat, mohon
keselamatan.
Setiap kali itu padahal kan ada isu-isu wah ada bom, ada apa, ternyata, ya silakan
mau ngebom-ngebom apa wong ya lancar saja. Pengacau mungkin ada tetapi
terbukti setelah Pusaka lewat semua seperti terdiam terkena daya. Itu bukti
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
138
berkali-kali seperti itu, banyak Masyarakat yang melihat setelah Pusaka lewat
mereka tidak bisa berlaku apa-apa. Boleh percaya boleh tidak, nek wong Jowo
katakan keno ra percoyo ning ojo maido.
*Kalau untuk bunganya, ada bunga-bunga khusus yang dipakai?
Khusus, bunganya melati, karena putih dan suci dan harum, dan ada yang
dikalungkan, dan ada ciri khas khusus dipakai disini namanya Gajah Oling itu
pasti dipakai di telinga kiri.
*Kenapa di telinga kiri?
Ya itu kepercayaan yang perlu anda harus tahu, dan lainnya Keraton ndak
ada, jadi petugas disini yang di Sekaten sekalipun semua pakai Gajah Oling
sebelah kiri, itu dironce, dan ngeroncenya itu tidak sembarang, nggak semua bisa
membuat roncen itu. Artinya apa, kenapa di sebelah kiri, telinga kita itu kan 2,
kanan kiri, falsafah Jawa kanan itu untuk mendengarkan suara yang keras,
menggoda, menarik, tapi menjerumuskan. kalau kiri itu yang lembut, tapi itu suara
roh kudus, makanya selalu diberi yang harum-harum yang wangi-wangi seperti
itu.
Ndilalah ndak punya uang, judge-kan. Nah itu keluar ke pematang sawah.
Lha disana ada sepeda yang ditutupi jerami supaya tidak terkena panas,
pemiliknya ada di jauh. Suara telinga kanan mendengar, kamu butuh SPP, itu ada
sepeda nganggur, ambil, jual. Itu cukup untuk bayar SPP, yang kiri bunyi, jangan,
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
139
itu bukan milikmu. Lalu yang kanan semakin keras kamu butuh SPP kalo nggak
bayar SPP anakmu nggak bisa sekolah. Lalu dia harus hati-hati‟kan bisa saja
terjerumus. Nah yang kedua kita Kirab pakai Gajah Oling itu artinya kita masih
hidup. Hidup sekarang kan tidak mungkin setiap pasang dua kalinya, anda kalo
PBB maju pertama kan pasti kiri kemudian kanan nah anda masih hidup anda
masih harus melangkah. Sehingga kita ini masih hidup dan berkelanjutan,
senantiasa kita harus berbuat yang harum dengan hati yang jujur.
*Pusaka-nya dibuka apa ditutup pak?
Oh ditutup.
*Pakai kain putih gitu ya?
Bukan, kainnya beludru merah gitu kemudian nanti pakai kroncen melati.
*Pembicaraan terhenti karena narasumber sedang menerima seorang tamu*
*Pak, kan Masyarakat sudah semakin maju kan, nah itu ada pembentukan
budaya baru atau nggak? Kan pasti ada perbedaan dari tahun-tahun
sebelumnya sampai tahun sekarang ini?
Kami tidak pernah merubah. Jadi upacara adat itu.. Ya paling misalnya
perubahan ya dari masyarakat sendiri. Misalnya, ya kalo di adat sini nggak pernah
berubah. Prosesi dan aturan tetap seperti itu karena ini sudah adat. Nggak bisa.
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
140
Masyarakat secara langsung berarti sudah sadar ya kalau tata cara-nya
pelaksanaannya itu tenang, kidmat..
*Pembicaraan terhenti karena narasumber sedang menerima telepon*
*Kalau misal cuacanya hujan acara tetap dilaksanakan?
Oh tetap, dan selama ini mbak pengalaman mulai saya kirab pertama sampai
sekarang mulai 74, itu.. Tapi pernah terjadi, biasanya sore itu hujan, pasti hujan.
Nah sore itu kan gludag-gludug udah pasti kehujanan kalau kirabnya sore.
Dulu Kanjeng Gusti sowan kesini, nah karena situasinya kami
mengkhawatirkan hujan terus, kami menyiapkan plastik besar untuk
mengamankan Pusaka, tapi sampai masuk ya ndak hujan. Itu selama ini ndak
pernah hujan, hujan itu pasti sebelum acara, saat Pusaka keluar pasti terang,
sampai masuk.
*Ndak pakai pawang itu pak?
Endak. Jadi kemudian kita menjadi yakin kalau akan seperti itu biasanya
karena sudah kebiasaan seperti itu. Sore itu pasti hujan.
*Ada tokoh-tokoh yang boleh berbicara? Awal mula tata cara itu ada
pemangku adatnya yang boleh ngendika?
Ya jadi nanti itu setiap mau proses itu kan dipanggili, diabsen gitu satu-satu,
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
141
setelah siap disana, penyerahan Pusaka itu secara otomatis tidak dengan bicara,
nanti masuk lagi diserahkan yaudah langsung diserahkan saja. Jadi nanti otomatis
itu Gamelan yang berbicara, kecuali yang tahlilan itu. Ulama itu kan sebelum
acara.
*Berarti ketika proses acara itu secara otomatis?
Ya, jadi tidak protokoler. Adat yang berbicara, ya memang karna ada
banyaknya orang, sebelum adat dimulai kita sering mengumumkan,
mengingatkan, agar dalam proses upacara ini tidak sambil gojekan, berkelakar,
ngrokok, bermain hape, itu selalu diingatkan, kalau sudah berjalan ya sudah tapi
kalau nanti do nekat ya silakan, setelah mengingatkan ya sudah kami tidak bicara
lagi.
*Terus untuk yang boleh ikut itu dibebaskan usia semuanya?
Ya, usia tidak dibatasi, kadang ada yang tua, kita perkirakan apa masih kuat,
ternyata ya mampu sampai selesai.
*Berarti individualisnya itu setiap orang yang ikut itu mereka introspeksi
diri gitu?
Ya betul, tapi kami tanggung jawab kalau memang kami ingin ikut bertugas
memang harus siap, ndak boleh sembrono gitu, karena tanggung jawabnya ada
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
142
pada anda sendiri, kalau ada apa-apa anda yang menanggung sendiri. Nah karena
di Keraton itu anda harus jujur. Ndak boleh macem-macem, kalau macem-macem,
dagelan, ya risiko ditanggung sendiri.
*Pas Gamelan main itu ada Sinden-nya Pak?
Ada.
*Itu kalau boleh tahu yang dinyanyikan lagu-nya apa saja?
Ya yang pertama Ladrang Wilujeng, itu yang utama berisi puji-pujian.
*Ada peribahasa atau pantun-pantun yang diucapkan pas ritual?
Ya. Jawa itu kan mempunyai syair-syair, buku-buku, dari para pujangga
yang dipakai di karawitan-karawitan itu kan ngambil dari lagu-lagu Keraton itu,
misal ada Kinanthi, ada Pangkur, gitu. Karena Budaya Jawa itu kan sumbernya
dari Keraton Surakarta, yang diluar-luar itu kan semuanya mengikuti dari sini.
*Untuk bahasa yang digunakan?
Jawa. Krama Inggil. Tapi kalau acara adat Keraton, tidak hanya sekedar
bahasa Jawa Krama Inggil, tetapi bahasa Kedaton.
*Bahasa Kedaton itu bagaimana, Pak?
Ya, contohnya seperti yang kemarin dilaksanakan, waktu membunyikan
Gamelan Sekaten. Dari utusan Keraton, utusan Ndalem, memerintahkan pada
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
143
pemimpin karawitannya, sebut namanya, Pakenwiro nampi hajat dalem parden
atau apa mang tindakake kadumanan dongane. Seperti itu.
*Yang mengerti Bahasa Kedaton itu hanya orang Keraton ya?
Iya, diluar pun sudah banyak yang ngerti, kalau seringkali melihat.
*BAPAK BOLEH MINTA DATA PRIBADINYA?
Nama lengkapnya KP Winarnakusumo. Jabatan sebagai Wakil Pengageng
Sasana Wilapa juga disamping itu sebagai Humas. Sasana Wilapa itu tempat
administrasi jadi Sekretaris Negara.
*Pembicaraan terhenti karena narasumber bertemu tamu kemudian
menerima telepon*
*Kok Pusaka itu bisa dianggap suci?
Ya itu tergantung. Kami menganggap suci, anda tidak menganggap suci ya
ndak masalah. Itu keyakinan og mbak. Jadi Keraton itu bagaimanapun menurut
kita itu sakral, tapi kalau orang luar nggak menganggap hal itu ya itu hak mereka.
*Nah kok kalau di dalam Keratonnya bisa menganggap itu sakral?
Ya, karena memang keyakinan tadi. Ini peninggalan para leluhur yang harus
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
144
kita pelihara, kita rawat agar tetap bagus, agar tetap terpelihara. Jadi bukannya
kami menyembah itu bukan. Jadi anda harus bisa membedakan antara berhala atau
musrik dengan perawatan, budaya karena ini. Seringkali orang itu nggak tahu
dikira musrik atau berhala, pahami dulu bagaimana cara perlakuannya. Makanya
jadi monggo orang luar itu katakana "Wah Keraton itu musrik". Ya silakan, itu
pendapat mereka, tapi bagi yang tahu ndak mungkin menuduh seperti itu.
*Berarti kalau misalkan abdi dalem yang membawa secara tidak langsung
dia dari dirinya sendiri.
Iya, otomatis dah terbawa, artinya terbawa dengan menghormati,
menghormati cara pembawaannya, karena gini ada istilah. Pusoko, yang disebut
Pusoko itu tidak harus senjata, segala sesuatu yang umurnya sudah berabad-abad
itu Pusoko, yang artinya perlu dirawat. Dihormati, dirawat, bukan disembah.
Supaya awet, supaya bertahan gitu maksudnya. Jadi Pusoko apapun yen diuri-uri
mberkahi ning yen disio-sio malati.
*Atribut-nya dari Keraton pakainya?
Keraton itu pasti punya lambang yang namanya Radya Laksana itu yang
dipakai di dada kiri itu dan pakaian adat Jawa-nya memang sudah ciri khas wong
Jowo, beskap lengkap.
*Jariknya?
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
145
Jariknya itu memang ada semacam larangan bagi abdi dalem. Misalnya
tidak boleh memakai yang corak lereng. Itu yang boleh memakai hanya Raja dan
Pangeran dan Putro Dalem Sentono.
*Bagaimana dengan jumlah abdi dalem yang ikut mengiringi Pusaka?
Jumlahnya ratusan ribu. Dimana-mana dia tidak berkewajiban secara penuh
atau hanya sewaktu-waktu ada upacara-upacara bisa datang, dan dia tidak berhak
menerima honor.
*Tugas Bapak selama Pusaka di Kirab?
Tugasnya. Saya? Karena saya sebagai Penanggung Jawab di Sasana saya
bertahan berhenti disini, sampai selesai, sampai semua Pusaka kembali, sampai
semua petugas pulang, setelah itu baru tugas saya selesai dan boleh pulang.
*Pesan Bapak mungkin untuk saya?
Tinggalnya di Tangerang, tapi jangan sampai lupa Jawanya. Jawa itu
merendah, menghormati orang lain. Terus jangan merasa unggul atau dikatakan
ojo rumongso biso ning biso’o rumongso. Wani ngalah, luhur wekasane.
*Untuk pelestarian Budaya sendiri?
Memang kami sebagai Pelaku Adat ya wajib, wajib harus dengan usaha
dengan segala cara apa yang bisa kami lakukan. Jadi misal mengadakan kursus-
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
146
kursus. Kan kami punya sanggar yang sudah meluluskan 2000-an siswa untuk
melestarikan budaya tata krama, bisa berbahasa jawa, berpakaian jawa, tembang
jawa, tulis jawa. Kita ajarkan setiap senin dan kamis.
*Itu bebas untuk siapa saja?
Ya bebas, ada yang punya TK, ada yang S2, lha itu murid saya itu dosen-
dosen, polisi-polisi, guru-guru, banyak. Nah tapi setiap angkatan itu 6 bulan. 6
bulan nanti ujian.
*Itu daftarnya gimana Pak?
Ya di Keraton sini, nanti ini kan udah berjalan 1 bulan. Ini sudah angkatan
ke-22 dan kami juga membuka cabang di Blitar, Tulung Agung, Malang,
Semarang, kemudian Ambarawa. Tapi mereka-mereka itu kalau ujian kesini
semua. Ujian akhirnya di sini.
*BOLEH FOTO BERSAMA PAK?
Boleh.
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
147
TRANSKRIP WAWANCARA II
SENTONO DALEM KERATON SURAKARTA HADININGRAT
DRS. KRRA. SUKARNO PUTRA NAGORO
Lokasi: Kediaman Beliau Bangsal SMARAKATA Keraton Surakarta Hadiningrat
Waktu: 02 Januari 2015
Jaman dahulu, binatang sebagai tuntunan itu bukan kerbau, tapi sapi
*Kenapa terus berubah, dari sapi jadi kerbau?
Kenapa berubah permasalahannya karena sapi itu kan satu-satunya binatang
dalam agama Hindu yang paling suci, maka jadi kendaraan utama dari Dewa
Siwa. Siapa yang bisa minum air susunya maka akan terkabul segala
permintaannya, karena dapat membuat terkabul maka para Dewa sepakat bahwa
sapi menjadi kendaraan Dewa Siwa. Kalau Dewa Siwa dalam dunia pewayangan
itu disebut Batara Guru atau Ismoyo.
*Nah tapi terus kenapa jadi kerbau? Kalau kemarin kata-nya Kanjeng Win
yang di Keraton itu karena kerbau itu kuat dia bisa menolak bala, kan dia
kan diiring-iringan depan?
Ya itu boleh-boleh saja ndak apa-apa. Itu sebenarnya hanya sanepan,
sanepan itu lambang. Lambang bahwa kebo itu satu-satunya binatang yang oleh
orang Jawa dianggap paling bodo, bodo longa-longo koyo kebo tapi disamping
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
148
kebodohannya itu lugu, tulus, ikhlas. Manut apa yang dikehendaki oleh si-
empunya. Hingga akhirnya secara turun-temurun, kebo inilah yang digunakan
sebagai tumbal, bagi Keraton Surakarta demi keselamatan Keraton dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang upacara itu dilaksanakan di gunung atau di
hutan Krendhowahono. Namanya Mahesa Lawung.
*Eyang pas ikut upacaranya itu sebagai apa? Pas ikut upacaranya itu?
Ya karena dianggap sebagai Putera Raja hanya mengikuti saja, sebab setelah
dipotong kan yang dibawa kesana hanya kepalanya. Kepalanya didoakan disana.
Di tengah hutan di puncak gunung itu ada satu pohon beringin yang besar
kemudian disarungi dengan kain hitam-putih. Mengapa hitam putih karena untuk
sebagai bukti peninggalan dari jaman Hindu. Menggambarkan kesucian mereka
tetapi itu atas permintaan dewa yang diperintah oleh sang Maha Dewa untuk
menjaga Hutan Solo Utara. Nyai Kalayuwati itu yang di Krendhowahono kalau
yang di selatan itu Nyai Ratu Kidul atau Sri Kencana Sari. Kulon Nyai Petruk,
Wetan Sunan Lawu. Sunan Lawu itu sebenarnya nama lain dari Brawijaya V,
setelah mantu bar mantu diserang sama anak mantunya. Sekarang ya, yang
disebut Raden Patah itu berakhirnya Brawijaya V, berakhirnya Majapahit,
berakhirnya Hindu, maka muncul-lah Islam. Terus dibawa ke Bintoro-Ndemak.
Semua kawula minggat-nya ngetan nyebrang pulau akhirnya menghuni satu pulau
khusus Bali itu. Maka di Bali jelas merupakan Hindu asli Jawa. Terus Sinuwun
sendiri perginya ke Barat naik gunung mencari kesempurnaan, sebab puncak
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
149
gunung itu dikatakan sebagai tempat Dewa (Khayangan) kemudian kesepakatan
bersama oleh Para Sunan, dinobatkan sebagai Sunan Lawu. Sunan Lawu akhirnya
menjadi penguasa halus berubah nama menjadi Kanjeng Pangeran Koco Negoro
yang itulah saya menyaksikan sendiri diutus oleh Keraton untuk menginjakkan
kaki di Lawu seorang diri.
*Eyang ikut naik itu?
Bukan ikut naik, memang saya seorang diri, hanya diikuti satu orang abdi
dalem. Kaki nggak bisa diangkat nggak bisa jalan, sudah ndeprok-pasrah. Pada
saat pasrah saya mendengar burung berkicau. Jalak, saya hitung tujuh kali setelah
ke-tujuh diam. Apa ini ya yang akan menyelamatkan saya? Karena saya pasrah.
Ayo jalan lagi. Baru beberapa langkah, Pringgodani yang menjadi tujuan sudah di
depan mata. Akhirnya dari Pasar Tawang Mangu sampai di Pringgodani hanya
satu jam. Padahal biasanya tiga jam tidak sampai. Kemudian, keesokan harinya
pukul Sembilan lanjut naik ke puncak berikutnya atau paling atas. Ke Telogo Wali
diminta untuk meresmikan Padepokan sebagai wakil Raja. Mahasiswa banyak
yang naik.
*Eyang sendiri memaknai acara malam 1 Sura itu sebagai seperti apa? Kan
kalau orang kebanyakan kan bilangnya untuk instropeksi diri biar Ndonga?
Iya, sebenarnya-lah semua doa yang benar yang secara khusus langsung ke
sang pencipta alam kan mencari kesempurnaan hidup hanya mohon dipahami
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
150
kesempurnaan hidup ada dua jenis. Kesempurnaan hidup saat masih hidup dan
setelah hidup yang ke-dua. Jadi duniawi dan rohani, artinya mendapat satu tempat
terindah baik di dunia maupun akhirat dalam hal ini tujuan utama naik ke Gunung
pertama Gunung adalah lambang tempat para Dewa, tujuan saya ke sana adalah
untuk menyucikan diri seolah saya seorang Dewa, maka saya tidak akan berani
berbuat apapun yang menentang kebenaran. Itu nah dengan demikian untuk
mencapai moksa atau kesempurnaan pada kehidupan yang pertama maupun yang
kedua manusia harus berani bermati raga. Bermati raga boleh dikatakan bertapa
tapi dalam keadaan gerak. Hanya tidak makan tidak minum, sekuatnya.
Alhamdulilah saya 24 jam kuat, menek terus, jalan kira-kira hanya setengah meter,
sini jurang, sini dinding. Dinding gunung. Akhirnya malah buat njangkah raiso.
Duduk. Jalan sendiri.
*Itu sampai Hargo Dalem Eyang?
Iya, sampai puncak Lawu.
*Hargo Dumillah berarti. Setelah sampai di sana upacaranya?
Upacaranya saya tetapkan itu di Pringgodani, pagi hari naik lagi ke Telogo
Wali. Nah, disana upacara itu lagi. Jadi ada dua pertapaan Ageng yang pertama di
Pringgodani yang kedua di Telogo Wali itu.
*Di Pringgodani ngapain Eyang? Upacaranya itu kek ngapain gitu?
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
151
Upacaranya setelah saya datang, diterima oleh si empunya yang menjaga
pertapaan Ageng Pringgodani itu. Kanjeng, Kanjeng panjenengan pinangka wakil
ing Ratu kadawan ngaturaken Upacara mangke monggo kula cawisaken
Padupan, panjengan ndalem lenggah donga monggo, sak sampunipun ndonga
mangke kedhah minger paring pangestu in poro abdi dalem ingkang sowan.
Ternyata setelah saya mbalik keluar mengarah ke halaman, ribuan manusia. Iki
manungsa tenan opo dudu yo ora ngerti, padahal semua itu yang datang ya
awalnya banyak tapi hanya satu, dua, mereka kan datang untuk bersujud dari jam
2 rampung sampai jam 6, eh jam 4 sampai jam 8. Rampung, doa. Doa-nya itu
berupa tumpeng kecil satu, semua hasil tanaman, jangan lupa harus ada pohung.
Karena apa, pohung itu menggambarkan sifat kehidupan yang tidak pernah mati
disana. Pohung sing godonge lincip-lincip cilik-cilik ngono kae, terus godonge
mung koyo jari-jari. Semalem wes kui mangan ra doyan, turu ra iso turu, ademe,
ndemok banyu we ra wani koyo ndemok prongkolan, ngombe wedang ra enek
wedang. 24 jam banyu segelas mung kelong 2 glegekan. Jam 2 malam pintu
didodok karo Kyai sing nunggu, kawula nyungsungake ageman kei klambi dinggo
sak yah mene lagi wae. Tak nggo pas bianget kok yo ora kesesak’en. Digawani
sembako, wah nggowo awak we wes dengkelen. Dee mlaku koyo semut penake ra
kiro-kiro. Itu merupakan salah satu pengalaman yang tidak akan terlupa dan baru
sekali itu melaksanakan Perintah langsung Sinuwun untuk di Gunung biasanya
kan ikut. Nah itulah salah satu keunikan nek iso ki yo ojo kemaken.
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
152
*Kemudian perbicangan dengan Narasumber menggunakan Bahasa Jawa
yang kurang berkaitan dengan kebutuhan Penulis
*Kalau upacara yang di Tlogo Wali itu bagaimana Eyang?
Sama, meresmikan tempat itu untuk dijadikan tempat bertapa maka
namanya pertapaan Ageng. Mengapa Tlogo Wali karena yang paling atas itu
punyanya Sunan Lawu, tempatnya hampir puncak, dari Pringgodani terus
munggah. Kanjeng dalem mboten pareng ingkan minggah, kolo mbenjeng…
Mungkin karena tidak ada penarinya, ayu-ayu, ijo-ijo, gek putih-putih, nyenengke
ngono.
*Kenapa harus ada penarinya?
Lambang, Bidadari. Kalau ada Bidadari berarti saya bukan sembarang
Manusia.
*Kenapa harus 7 atau 9 tidak 8?
Itu karena sudah turun-temurun ini bisa juga dikaitkan dengan agama ya
boleh. Murid dalam Yesus 12, Mohammad 11, lajeng poro wali 9, cacahing dino
7.
*Pas tengah malamnya Eyang ngapain?
Cukup duduk bersamadi, sebab mau tidur tidak bisa, tidak ada yang dipikir,
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
153
dingin-nya luar biasa, hanya dengan doa saya bisa tenang dan hangat. Bahkan
lepas baju dan tidak terasa dingin, biasa saja.
*Eyang itu semedi-nya di?
Dalam kamar, di Pringgodani, cukup dingin, dan hanya disediakan untuk
saya
*Itu sampai pagi atau?
Sampai pagi, sampai jam 7 kemudian mulai makan. Makan itu juga masih
hangat ya rasanya sedap saja, saya ya hanya makan aromanya, lihat nasi ya kurang
rasanya.
*Jadi itu semua keinginan Eyang sendiri ya?
Iya, jadi seolah-olah ada yang memberi tahu, padahal diri sendiri juga tidak
tahu. Hanya menyebut yang Maha Kuasa. Ramai sekali, banyak sekali abdi yang
hadir. Malam selesai, orang-orang juga sudah tidak ada, sepertinya manusianya
campur (Asli manusia atau Mahkluk halus). Karena yang hadir disitu semua
meminta sandang, pangan, papan agar lebih diberkahi.
*Eyang pas merasakan upacara itu magis-mistis atau bagaimana?
Ya, secara mentereng memang begitulah tapi saya benar-benar bisa
menyaksikan alam yang saya kehendaki yang ada hanya terang-riang-gembira,
tidak ada permasalahan yang mengecewakan. Contoh lagi, karena saya kesana
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
154
tidak pamitan.
*Eyang ini kerabat Keraton apa bagaimana?
Iya, saya merupakan sentono dalem atau kerabat dalam, maka saya punya
hak untuk diangkat terus, dan saya satu-satunya orang yang paling cepat bisa naik.
Kanjeng Raden Riya Arya / Pangeran yang bukan Putera Raja. Pangeran dari
Sentono dalem karena sudah dianggap Keluarga dalam.
*Itu pas suasana disana orang juga pada diam?
Iya, diam karena namanya pertapaan. Suasana kampus, kampus pertapaan.
Hahaha….
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
155
Curriculum Vitae
Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : R.A. Gabriella Imelda Wiseso
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Katholik
Alamat asli : Jalan Ahmad Yani No 364-368, Kerten-
Laweyan, Surakarta
Alamat rantau : Jalan Dalton Selatan 1 No 46, Cluster Dalton –
Scientia Garden Summarecon, Gading Serpong,
Tangerang
Tempat Lahir : Surakarta
Tanggal Lahir : 22 Oktober 1992
Kewarganegaraan : WNI
Status : Lajang
No.HP : 0812-1913-5655
Email : [email protected]
Latar Belakang Pendidikan:
Formal :
1998 – 2005 : SD Marsudirini, Surakarta
2005 - 2008 : SMP Marsudirini St. Theresia, Surakarta
2008 - 2011 : SMA Pangudiluhur St. Yosef, Surakarta
2011 - : Universitas Multimedia Nusantara, Gading
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
156
Serpong, Tangerang (Komunikasi – Public
Relations)
Non-Formal :
2008 – 2011 : Kursus Bahasa Inggris di LEC, Surakarta
Kemampuan :
Kemampuan Public Speaking atau berbicara di depan umum
Kemampuan dalam Public Relations
Kemampuan Komputer (Ms Word, Ms Excel, Ms Power Point)
Kemampuan bekerja dalam tim
Pengalaman Organisasi :
1. Humas Teater KataK periode 2012-2013
2. Anggota dari UKM Sosial – Rencang periode 2012-2013
3. Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UMN periode 2012-
2013
4. Ketua Panitia Jumat Batik „JUMBA‟ UMN periode 2012-2013
5. Panitia Sie. Acara ION (Peringatan Hari Gizi Sedunia) 2012
6. Panitia Sie. Acara Orientasi Mahasiswa Baru 2012
7. Panitia Sie. Publikasi Blood Donation 2013
8. Panitia Sie. Perlengkapan Rencang Night 2013
9. Koordinator Tim Kostum „Perkawinan‟ Teater KataK 2013
10. Panitia Sie. Dana Pentas Inagurasi Teater KataK 2013
11. Panitia Sie. Publikasi YES (Kunjungan ke Yayasan Sayap Ibu) 2013
12. Koordinator Sie. LO Peresmian Kompas Corner 2013
13. Koordinator PIC Orientasi Mahasiswa Baru 2013
14. Ketua Panitia Miss UMN „The First Lady in Diversity‟ 2013
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
157
15. Koordinator Hubungan Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) UMN periode 2013-2014
16. Panitia Sie. Make-Up „Joyful‟ Teater KataK 2014
17. Volunteer Taman Baca Indonesia Menyala – Indonesia Mengajar di
Taman Baca, Lereng Indah - Pondok Cabe
18. Panitia Sie. Acara Peluncuran Buku „1001 Virus Cinta Keluarga‟ karya
Dra. Mathilda AMW Birowo, M.Si.
19. Koordinator Sie. Dana Miss UMN „Be Brave to Inspire‟ 2014
20. Koordinator PIC Orientasi Mahasiswa Baru 2014
21. Panitia Sie. Acara Komisi Pemilihan Umum UMN 2014
Sertifikat :
1. Peserta Kemah Kebangsaan KANTATA, 2006
2. Juara ke-2 Lomba Pramuka Penggalang Tingkat Kota Surakarta, 2007
3. Peserta Pelatihan Jurnalistik Rubrik ID dan Fotografi Muda Media
Indonesia, 2009
4. General English Course – Elementary (LEC) 2009
5. Peserta Journalism Photography Workshop, 2009
6. Peserta Training Motivasi LPT CINDO, 2009
7. General English Course – Intermediate (LEC) 2010
8. General English Course – Advance (LEC) 2011
9. Peserta Generasi Merah Putih, 2011
10. Peserta Forum Ultima: Living in the Clouds, 2012
11. Peserta Talk Show „Ekspedisi Cincin Api – Kompas Gramedia‟, 2012
12. Peserta Forum Ultima: Etika Media Massa, 2012
13. Peserta Hoot Up Gathering, 2012
14. Panitia Sie. Acara Orientasi Mahasiswa Baru UMN, 2012
15. Panitia Sie.Acara ION, 2013
16. Panitia Peresmian Kompas Corner, 2013
17. Aktivis „Action with Mangrove‟, 2013
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015
158
18. Panitia Sie. Publikasi YES, 2013
19. Koordinator PIC Orientasi Mahasiswa Baru UMN, 2013
20. Peserta Student Leaders Gathering, 2014
21. Koordinator PIC Orientasi Mahasiswa Baru UMN, 2014
Demikian daftar riwayat ini saya buat dengan sebenar-benarnya, dan jika
terjadi kekeliruan saya akan pertanggungjawabkan sesuai dengan hukum yang
berlaku.
Hormat saya,
R.A. Gabriella Imelda Wiseso
Pemaknaan Ritual..., R.A. Gabriella Imelda Wiseso, FIKOM UMN, 2015