13
41 LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA Ditinjau dari U.U.D. 1945 *) ______ Oleh: Prof. Dr. Ismail Suny. S.H., M.C.L. __ -- __ _ Sebagai layaknya sebuah negara demo- krasi, maka adalah hak setiap warga- negara untuk berperan serta dalam membicarakan Undang-Undang yang di kemudian hari akan merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang akan berlaku bagi dirinya pribadi atau golongannya ataupun seluruh wargane- gara, bahkan mungkin pula bagi selu- ruh penduduk di negara kita. Apabila lima R.U.U. yang dewasa ini sedang diperdebatkan DPR dapat di- sempurnakan oleh DPR atau oleh sa- ran-saran yang dat.ang dari luar DPR (extra parlernentair), dapat sangat ber- guna dalam pem bangunan so sial poli- tik, sehingga tercapai cita-cita hukum sebagai yang dikehendaki oleh U.U.D. 1945 : pemerintahan berdasar atas sistim konstitusi (hukum dasar). Da- lam suatu negara yang bersistem kon- stitusional harus ada "stufenbau des recht", di mana ketentuan hukum se- perti konstitusi yang berada di puncak piramida dari hierarchie perundang-un- dangan itu tidak boleh dikesamping- kan oleh undang-undang yang meru- pakah ketentuan yang lebih rendah. Pada tanggal 23 Juni 1984 Keterangan Pemerintah mengenai Lima Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum, Perubahan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan *) Makalah ceramah dalam rangka Bulan ceramah & FH-UI. DPRD, Perubahan Undang-Undang Partai Politik dan Golongan Karya, Referendum dan Organisasi Kemasya- rakatan telah disampaikan dalam Ra· pat Paripurna DPR. Kelima RUU tentang Hukum Tatane- gara itu "sangat penting artinya bagi kehidupan politik kita di masa depan", "kelima Rancangan Undang-Undang yang telah disampaikan" "merupakan pelaksanaan amanat Garis-garis . Besar Haluan Negara 1983 dan berkaitan langsung dengan pem bangunan nasio· nal yang sedang kita laksanakan", de· mikian Memorie van Toelichting itu lebih lanjut. R.U.U. Tentang Perubahan utI Pemi- lihan Umum Sesuai dengan Keterangan Pemerintah di DPR baiklah kita mulai pembahasan kita dari RUU Tentang Perubahan UU Pemilu. Memberikan pandangan walaupun da· lam arti pokok-pokok pikiran saja ten· tang R UU itu, mengharuskan kita mengingat pasal-pasal berikut ini da lam UUD 1945 : 1. Menurut Pembukaan Undang-un dang Dasar 1945 ditetapkan "Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negaraRepublik · Indonesia, yang berkedaulatan rakyat". Batang tubuh UUD

LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

41

LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

Ditinjau dari U.U.D. 1945 *)

______ Oleh: Prof. Dr. Ismail Suny. S.H., M.C.L. __ --__ _

Sebagai layaknya sebuah negara demo­krasi, maka adalah hak setiap warga­negara untuk berperan serta dalam membicarakan Undang-Undang yang di kemudian hari akan merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang akan berlaku bagi dirinya pribadi atau golongannya ataupun seluruh wargane­gara, bahkan mungkin pula bagi selu­ruh penduduk di negara kita. Apabila lima R.U.U. yang dewasa ini sedang diperdebatkan DPR dapat di­sempurnakan oleh DPR atau oleh sa­ran-saran yang dat.ang dari luar DPR (extra parlernentair), dapat sangat ber­guna dalam pem bangunan so sial poli­tik, sehingga tercapai cita-cita hukum sebagai yang dikehendaki oleh U.U.D. 1945 : pemerintahan berdasar atas sistim konstitusi (hukum dasar). Da­lam suatu negara yang bersistem kon­stitusional harus ada "stufenbau des recht", di mana ketentuan hukum se­perti konstitusi yang berada di puncak piramida dari hierarchie perundang-un­dangan itu tidak boleh dikesamping­kan oleh undang-undang yang meru­pakah ketentuan yang lebih rendah. Pada tanggal 23 Juni 1984 Keterangan Pemerintah mengenai Lima Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum, Perubahan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan

*) Makalah ceramah dalam rangka Bulan ceramah & FH-UI.

DPRD, Perubahan Undang-Undang Partai Politik dan Golongan Karya, Referendum dan Organisasi Kemasya­rakatan telah disampaikan dalam Ra· pat Paripurna DPR. Kelima RUU tentang Hukum Tatane­gara itu "sangat penting artinya bagi kehidupan politik kita di masa depan", "kelima Rancangan Undang-Undang yang telah disampaikan" "merupakan pelaksanaan amanat Garis-garis . Besar Haluan Negara 1983 dan berkaitan langsung dengan pem bangunan nasio· nal yang sedang kita laksanakan", de· mikian Memorie van Toelichting itu lebih lanjut.

R.U.U. Tentang Perubahan utI Pemi­lihan Umum

Sesuai dengan Keterangan Pemerintah di DPR baiklah kita mulai pembahasan kita dari RUU Tentang Perubahan UU Pemilu. Memberikan pandangan walaupun da· lam arti pokok-pokok pikiran saja ten· tang R UU itu, mengharuskan kita mengingat pasal-pasal berikut ini da lam UUD 1945 :

1. Menurut Pembukaan Undang-un dang Dasar 1945 ditetapkan "Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negaraRepublik· Indonesia, yang berkedaulatan rakyat". Batang tubuh UUD

Page 2: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

42

1945 dalam pasal 1 ayat 2 men­jabar ketentuan dalam Pembuka­an itu dengan lebih tegas dengan kata-kata "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan se­penuhnya oleh Majelis Permu­syawaratan Rakyat".

• 2. Setelah menegaskan dirinya se-

_ bagai penganut ajaran kedaulat­an rakyat, UUD 1945 dalam pembukaannya antara lain men­dasarkan dirinya pula pada salah satu sila dari Pancasila, "Kerakyatan yang dipirnpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per­musyawaratan/perwakilan". Sila ini dijabarkan dengan ketentuan harus adanya Majelis Permusya­waratan Rakyat dan Dewan Per­wakilan rakyat karen a telah di­anutnya ajaran Kedaulatan Rak­yat oleh UUD 1945, maka sesuai dengan systematische interpreta- . tie (Penafsiran Sistematis/) ang­gota-anggota yang dipilih oleh

rakyat harus lebih banyak jum-lahnya daripada yang ditunjuk. Undang-undang yang memung­kinkan pengangkatan anggota MPR lebih banyak dari yang di­pilih adalah bertentangan dengan UUD 1945, dengan perkataan lain inkonstitusional.

3. UUD 1945 menganut prinsip persamaan di hadapan hukum, di mana tidak dapat dibenarkan perbedaan dalam hukum antara rakyat biasa dan rakyat yang berasal dari ABRI. Pasal 27 ayat (1) dalam UUD 1945 yang mengakui segala warganegara berkesamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan,

1) Mengenai penafsiran lihat Prof. Mr. LJ. van Apeldoom, Inleiding tot de 8tudle van het Nederlandse Recht, h.303-305.

4.

. Hukum dan Pembangunan

menyebabkan dalam DPR hanya ada perwakilan dari organisasi so sial politik peserta Pemilihan Umum. Pasal 28 UUD 1945 menetapkan kemerdekaan berserikat dan ber­kumpul . . . . . ditetapkan de­ngan Undang-Undang. A uthentieke interpretatie(penaf­siran resmi) yang dibuat oleh Penjelasan UUD 1945 sendiri menjatakan: "Pasal ini .... me­muat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan kea­dilan sosial dan perikemanusia­aan ". Dalam negara Repub1ik In­donesia yang Undang-Undang Dasarnya sendiri telah commit­ted kepada prinsip-prinsip: "Ne­gara yang berdasar atas hukum", "Pemerintahan berdasar atas sis­tern konstitusi", baik MPR, Pre­siden, DPR, maupun badan yudi­catif tidak dapat melenyapkan jaminan yang diberikan UUD itu. 2) Sebagai kita ketahui dalam nega­ra yang bersifat demokratis, pembentukan suatu partai poli­tik at au kekuatan sosial politik tidak dapat dibatasi, kecuali bagi partai atau kekuatan sosial politik yang telah menghancur­kan sifat demokratis dari negara itu sendiri. Dengan demikian ke­tentuan yang hanya memuhgkin­kan tiga kekuatan so sial politik saja untuk mengikuti Pemilu adalah tidak sesuai dengan UUD 1945. Penyederhanaan kekuatan

Lihat Suny, Gagasan Asas Tunggal Bagi Institusi Sosial Kemasyarakatan Suatu Analisa dari Hukum Tata Ne­gara, ceramah di depan Forum Studi Dinamika Kemasyarakatan, P.B. HMI 26 Nopember 1983.

Page 3: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

R UU Hukum Tatanegara

sosial politik yang dikehendaki oleh UUD 1945 adalah pemba­tasan yang demokratis, di mana kekuatan so sial politik boleh di­bentuk dan ikut pemilu, tetapi untuk menempatkan wakil-wa­kilnya dalam DPR dapat diada­kan quota tertentu.

Oleh karena Undang-Undang Pemilu kita selama ini belum sesuai dengan ketentuan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945 antara lain mengenai asas persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan dan pembatasan kekuat­an so sial politik yang boleh ikut dalam pemilu, maka kuranglah tepat apabila perubahan yang dituangkan dalam RUU ini "tidak mengubah dasar pi­kiran, tujuan, asas dan sistem Pemilih­an Umum". Berdasarkan ketentuan UUD 1945 se­bagai telah diuraikan, saya menyaran­kan perlunya diubah sarna sekali UU Pemilu kita, sekurang-kurangnya harus memuat ketentuan-ketentuan di ba­wah ini;

1. Pasal I ayat (1), (2) disempurna­kan menjadi:

"Pemilihan U mum diselenggara­kan berdasarkan demokrasi Pan­casila dengan mengadakan pe­mungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia dan ber- , kesamaan n.

2. Pasal I ayat 5, disempurnakan menjadi:

"Ketentuan Pasal 13 a diganti dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut:

"Pemilihan Umum diikuti oleh semua organisasi kekuatan sosial politik yang mempunyai kedu­dukan hak dan kewajiban yang , sarna" .

RUU Tentang Perubahan Undang-Un-

43 .

dang Susunan dan MPR, DPR, dan DPRD

Dalam hubungan susunan dan kedu­dukan MPR, DPR dan DPRD, keten­tuan-ketentuan yang telah diatur oleh UUD 1945 adalah sebagai berikut :

1. Sebagai telah diuraikan di atas, Pembukaan UUD 1945 meng­anut ajaran kedaulatan rakyat dan kedaulatan itu dilakukan se­penuhnya oleh MPR.

2. Menurut pasal2 UUD 1945 dise­butkan MPR terdiri atas anggota-

anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Maksud­nya, kata Penjelasan pasal 2 UUD 1945 "Supaya seluruh rak­yat, seluruh go longan, seluruh daerah akan mempunyal wakil dalam Majelis sehingga Majelis itu betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat".

Mengenai wakil golongan-golong­an, ada penafsiran resmi dalam Penjelasan UUD 1945 yang me­nyebutkan: Golongan-golongan, "ialah Badan-Badan seperti Ko­perasi, Serikat Sekerja dan lain­lain badan kolektif". Aturan demikian memang sesuai dengan aliran zaman, berhubung dengan anjuran mengadakan sis­tern koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya golongan-golongan dalam badan-badan ekonomi". Kita te­lah sepakat menerima extensieve interpretatie. (penafsiran per­luasan) dari kata-kata "lain-lain badan kolektif" itu dengan me­masukkan utusan-utusan ABRI dalam MPR. Mengenai wakil seluruh daerah, pasal 2 UUD 1945 menyebutkan utusan-utusan dari Daerah-Dae­rah, tetapi tidak memberikan pe-

Pebruari 1985

Page 4: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

44

,

nafsiran resmi mengenai daerah­daerah mana yang dimaksud, Walaupun pasa1 18 UUD 1945 membagi Daerah Indonesia atas Daerah Besar dan Daerah Keeil, tetapi Penje1asan pasa1 itu me­nyebutkan: "Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah pro-

,

pinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula da1am daerah yang 1ebih keeil". Dewasa ini undang-undang yang menyatakan bahwa pengertian "Daerah Resar" itu ada1ah dae­rah tingkat satu. Da1am Penje1as­an pasa1 18 itu ditegaskan oleh UUD 1945: "Di daerah-daerah yang bersifat autonoom akan di­adakan badan perwakilan dae­rah, oleh karena di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan". Ada1ah menarik bahwa pembuat UUD 1945 mempergunakan isti­lah "utusan-utusan dari. daerah­daerah dan golongan-go1ongan" , bukan "anggota-anggota" seperti halnya bagi a-anggota DPR. Ini membuat penulis menarik ke­simp ulan berdasarkan penafsiran bahasa, bahwa perbedaan istilah ini karena perbedaan penempat­an mereka di 1embaga-1embaga yang diwaki1inya. Untuk DPR disebut anggota-anggota , karena harus dipilih oleh rakyat, agar sesuai dengan namanya "Dewan Perwakilan Rakyat" dan " seba­gat wakil dari se1uruh rakyat" . Untuk utusan-utusan dari dae,­rah-daerah disebut demikian , ka­rena memang tidak harus dipi­lih oleh se1uruh rakyat , tetapi cukup diutus oleh DPR Daerah Tingkat I untuk duduk da1am MPR. Begitu pula disebut utus-

dari goiongan-goiong-

Hukum dan Pembangunan

aI\, disebut demikian karen a ti­dak sebagai halnya DPR, tetapi sarna dengan utusan-utusan dari daerah-daerah, memang tidak ha­rus dipilih oleh seluruh rakyat , tetapi eukup diutus golongan-go­iongan berdasarkan penafsiran sistematis dan Penjelasan pasal 2 UUD 1945 yang menyebutkan "golongan-golongan" ialah ba­dan-badan seperti Koperasi , Seri­kat Sekerja dan lain-lain badan kolektif.

Dengan demikian dalam MPR akan terdapat wakil seluruh rak­yat berdasarkan pilihan rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah berdasarkan ,

pilihan DPR Daerah, dan utusan-utusan dari golongan-golongan berdasarkan pengangkatan.

Ketiga macam ear a penempatan yang berbeda-beda ini memung­kinkan MPR untukberfungsi "sebagai penjelmaan rakyat".

Oleh karena menurut Pancasila, salah satu dari dasar · negara RI adalah bKerakyatan yang dipim­pin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwa­kilan" dan " Kerakyatan" atau demokrasi adalah menjadi ben­tuk negara, maka wakil seluruh rakyat berdasarkan pilihan rak- '

. yat itu harus merupakan jum-lah yang sangat menentukan da­lam MPR. Sedang utusan-utusan dari daerah-daerah berdasarkan pilihan DPR Daerah dan utusan­utusan dari golongan-golongan berdasarkan pengangkatan de­ngan pemakaian kata "ditam­bah" pada pasal 22 UUD 1945 , berarti harus sungguh-sungguh " tambahan" (Complementary) dari wakil seluruh rakyat ber­dasarkan pilihan rakyat.

Page 5: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

R UU Hukum Tatanegara

Oleh karena UUD 1945 telah memperhitungkan faktor daerah dan faktor golongan-golongan dalam MPR, maka DPR harus­lah semata-mata menjadi tempat dari wakil-wakil seluruhrakyat, yang berdasarkan pasal 27 ayat (1) terdiri dari warga negara yang bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerin­tahan. Dengan demikian pengangkatan anggota ABRI dalam DPR, ada­lah bertentangan UUD 1945. Oleh karena dalam DPR hanya wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyatlah yang harus du­duk, bukan tempat untuk utus­an-utusan golongan. Utusan-utus­an golongan baik dari karya ABRI dan bukan ABRI. Tempat­nya adalah di MPR, karena ha­nya di lembaga MPR itulah seha­rusnya duduk Utusan-utusan go­longan berdasarkan pengangkat­an. Dengan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen se­perti di at as itu, barulah pemilu dapat diselenggarakan secara de­mokratis, karena juga bersifat berkesamaan (pasal 27 ayat (1)). Dalam ketetapan MPR No.1l1/ MPR/1983 tentang pemilu pasal 1 ayat (2) hanya menetapkan pemilu diselenggarakan berdasar­kan Demokrasi Pancasila dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Selalu menjadi per­tanyaan, apakah sifat berkesama­an yang dikenal oleh pemilu sesuai dengan pernyataan Umum Hak-hak Asasi Manusia itu tidak sesuai dengan Demokrasi Panca­sila. Dapat dinyatakan di sini bahwa pasal 27 ayat (1) yang mengakui sega1a warga negara

45

berkesamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan juga dengan sendirinya mengakui sifat berkesamaan itu. Hanya ka­rena adanya anggota DPR yang diangkat da1am sistem kita, ma­ka sifat berkesamaan itu tidak dimasukkan dalam sifat-sifat pe­milu kita, di samping sifat lang· sung, umum, bebas dan rahasia. Berdasarkan ketentua·n-keten­tuan UUD 1945 yang telah di­uraikan, say a menyarankan per-1unya diu bah sarna sekali UU tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, seku­rang-kurangnya harus memuat hal·hal seperti berikut:

1. Oleh karena anggota DPR seha­rusnya "sebagai wakil seluruh rakyat",

karena itu semuanya harus berdasar· kan pilihan rakyat, maka ketentuan dalam pasal I, 1, (1) yang berbunyi:

"Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat" ditambah dengan kata-kata

"hasil pemilihan umum", sehinggu. berbunyi:

"Terdiri atas Anggota Dewan Perwa· kilan Rakyat hasilPemilihan Umum".

2. Pasa1 I, 1 (1) a yang berbunyi· "Utusan Daerah yangjumlahnya sesuai dengan pc::rhitungan sebagairnana. di­maksud dalam pasa1 8 ayat (1) dan ayat (4) diubah menjadi: "Utusan Daerah yang jumlahnya adalah dua orang untuk tiap-tiap daerah tingkat J". Apabila dipertahankan seperti keada­annya dalam R UU sekarang ini, maka faktor jumlah penduduk diperhitung­kan 2 kali. Sekali pada waktu menentukan jumlah anggota DPR dan sekali lagi dalam penentuan jumlah utusan daerah dan ini terang bertentangan dengan pasal 2 UUD 1945, yang tegas membedakan tiga macam cara penempatan dalam MPR: Pemilihan bagi anggot4 DPR,

JIIIbnuIri 1 g'J

Page 6: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

46

pengutusan bagi utusan-utusan daerah dan pengangkatan bagi utusan-utusan golongan.

3. Pasal I, I , (1) b di mana meng­atur anggota tambahan MPR dari or­ganisasi kekuatan sosial politik peserta Pemilihan Umum , dihapuskan, karena anggota DPR "sebagai wakil seluruh rakyat" telah seluruhnya menjadi ang­gota MPR. Bagian b itu hanya ber­bunyi: "Utusan Golongan Karya Ang­katan Bersenjata Republik Indonesia, selanjutnya disebut Utusan Golongan Karya ABRI, yang jumlahnya dite­tapkan sebesar 100 orang".

Dengan demikian utusan Golongan Karya ABRI dalam MPR berarti 20% dari anggota DPR yang direncanakan 500 orang.

4. Pasal I, I , (1) c di mana meng­atur anggota tambahan MPR dari utus­an golongan-golongan sebagaimana di­maksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 diubah menjadi: "Utusan golong­an-golongan sebagairnana dimaksud da­lam Undang-Undang Dasar 1945 , se­lanjutnya disebut Utusan Golongan­Golongan, yang beIjumlah 50 orang.

5. Pasal I , 1, (2 ) yang mengatur "organisasi peserta Pemilihan Umum yang ikut Pemilihan Umum diiamin sekurang-kurangnya 5 (lima) utusan di MPR" dihapuskan , karena tidak ada pengangkatan bagi wakil seluruh rak­yat.

6. Pasal 1,1, (3) yang menyatakan : "Jumlah Anggota MPR adalah dua kali lip at jumlah Anggota Dewan Perwakil­an Rakyat" , seharusnya ditiadakan , karena ketentuan itu tidak diatur oleh UUD 1945. Penerapan ketentuan se­perti itu telah membuat anggota MPR yang diangkat lebih besar jumlahnya daripada yang dipilih.

• Hukum dan Pembangunan

7. Ketentuan pasal 8 ayat (I) di­ganti dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: "Jumlah anggota tam­bahan MPR yang berkedudukan seba­gai Utusan Daerah adalah dua orang untuk tiap-tiap Daerah Tingkat I".

8. Ketentuan pasal 10 ayat (1) di­ganti dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: "Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR , ter­diri atas wakil-wakil dari organisasi peserta Pemilihan Umum".

9 . Ketentuan pasal 10 ayat (3) di­ganti dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: "Jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak 500 (lima rat us) orang".

10. Ketentuan pasal 10 ayat (4) dihapus, begit].l juga ketentuan pasal 10 ayat (5) dihapus.

II. Ketentuan pasal 17 ayat (I) diganti dengan ketentuan yang berbu­nyi sebagai berikut: "Dewan Perwa­kilan Rakyat Daerah Tingkat I , selan­jutnya disebut DPRD I, terdiri atas wakil-wakil dari organisasi kekuatan sosial politik peserta Pemilihan Umum". Kata-kata Golongan Karya ABRlnya dihapuskan.

12 . Ketentuan pasal 24 ayat (1) diganti dengan ketentuan yang berbu­nyi sebagai berikut: " Dewan Perwakil­an Rakyat Daerah Tingkat II , selanjut­nya disebut DPRD II , terdiri atas wa­kil-wakil dari organisasi kekuatan so­sial politik peserta Pemilihan Umum". Kata-kata Golongan Karya ABRlnya dihapuskan.

Dengan demikian dalam MPR yang akan datang komposisi adalah sebagai berikut :

I. Anggota DPR 500 orang

2. Utusan-utusan Daerah 54 orang

Page 7: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

R UU Hukum Tatanegara

3. Utusan Golongan Karya ABRI 100 orang

4. Utusan golongan me-nurut UUD 1945 50 orang

lumlah 704 orang

Oleh karena anggota DPR adalah hasil Pemilihan Umum dan utusan-utusan Daerah Tingkat I dapat dikatagorikan sebagai meneerminkan hasil Pemilihan Umum, maka pengangkatan Go1ongan Karya ABRI 100 orang dan pengang­katan golongan menurut UUD 1945 50 adalah 21,5 % dari seluruh anggota MPR.

RUU Tentang Perubahan UU Partai Politik dan Golongan Karya

Dalam banyak konstitusi-konstitusi di dunia, perkataan partai politik me­mang tidak selalu terdapat. Tetapi bu­kanlah itu berarti bahwa partai politik tidak ada di negara-negara yang mem­punyai konstitusi itu. Pemerintahan demokratis dan bertanggung jawab, mem butuhkan pelayanan partai-partai pOlitik. 3

)

Demikian pula halnya dalam UUD 1945 perkataan partai politik atau ke-· kuatan so sial politik tidak terdapat.

1. Walaupun demikian peranan organisasi kemasyarakatan atau orga­nisasi sosial politik termasuk partai politik dan organisasi keagamaan da­lam perjuangan kemerdekaan Indone­sia telah mendapat pengakuan dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Un­dang Dasar Republik Indonesia 1945 dengan kata-kata: "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia te­lah sampailah kepada saat yang berba-

3) Lihat Ismail Suny. Tinjauan Un dang-Undang Partai Politik dan Golongan Karya, dalam Lima puluh Tahun Pen­didikan Hukum di Indonesia. Him­punan Karya Ilmiah Guru-guru Besar Hukum di Indonesia, 1974, h. 583-593.

47

hagia dengan selamat sentausa meng­antarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara In­donesia, yang merdeka, bersatu, ber­daulat, adil dan makmur".

2. UUD 1945 bukan saja meng­akui peranan organisasi dan pergerak­an-pergerakan terse but dalam menea­pai kemerdekaan Indonesia, bahkan mengakui dan menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluar­kan pikiran dengan lisan dan tulisan dalam pasal 28 UUD 1945 dengan ka­ta-kata: "Kem erdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran de­ngan lis an dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang". Agar Pemerintah, pembuat undang-un­dang dan para hakim jangan salah me­nafsirkan pasal ini, maka penjelasan UUD 1945 sendiri melakukan authen­tieke interpretatie dengan menyata­kan: "P asal ini . . . m em ua t hasra t bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis". Ka­rena dalam negara yang bersifat demo­kratis harus ada kebebasan untuk membentuk organisasi kekuatan so sial politik dan organisasi kemasyarakatan, maka pasal 28 ini adalah merupakan dasar hukum adanya partai dan go­longan karya serta organisasi kemasya­rakatan di negara kita.

3. Bahwa UUD 1945 mengakui dan menjamin keanekaragaman organi­sasi kekuatan sosial politik dan organi­sasi kemasyarakatan. Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: "Majelis Per­musyawaratan Rakyat terdiri atas ang­gota-anggota Dewan Perwakilan Rak­yat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-go­longan menurut aturan yang dit"etap­kan dengan undang-undang". 01eh Penje1asan UUD 1945, golongan-go­longan ini diartikan "Ia1ah Badan-Ba­danseperti Koperasi, Serikat Sekerja

Pebruari 1985

Page 8: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

48

dan lain-lain badan kolektif". Ini dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mento­lerir adanya keanekaragaman organisa­si, bukan menginginkan keesaan (mo­nolitik) kekuatan so sial politik atau­pun organisasi kemasyarakatan.

4. Bahwa UUD 1945 mengakui dan menjamin keanekaragaman orga­nisasi kekuatan so sial politik ataupun organisasi ~emasyarakatan, terbukti dari bunyi pasa129 UUD 1945:

" 1. N egara berdasar atas ke Tuhanan Yang Maha Esa.

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan un­tuk beribadat menurut agama­nya dan kepercayaannya itu".

Jaminan negara terhadap adanya kebe­basan bagi tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, memungkinkan penduduk apalagi war­ga negara untuk mengadakan organi­sasi kekuatan so sial politik ataupun organisasi kemasyarakatan yang bersi­fat atau berciri keagamaan.

5. Dalam tata cara pengambilan keputusan dalam UUD 1945 juga di­perkenankan hak untuk berbeda pen­dapat (right of dissent). Pasal 6 ayat (2): "Presiden dan wakil Presiden dipi­lih oleh Majelis Permusyawaratan Rak­yat dengan suara terbanyak". Pasa137 ayat (2) mengenai perubahan UUD 1945: "Putusan diambil dengan perse­tujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari­pada jumlah anggota yang hadir". De­ngan pengambilan keputusan, "dengan suara terbanyak" dan "2/3 daripada jumlah anggota yang hadir" tidak mengharuskan orang berpendapat sa­rna (aklamasi), dapat disimpulkan bah­wa UUD 1945 mentolerir adanya per­bedaan suara dan perbedaan pendapat.

Dari lima butir-butir UUD 1945

Hukum dan Pembangunan

yang disebutkan itu, terbuktilah bah­wa sistem yang dianut adalah sistem terbuka, yang memberikan pengakuan dan bahkan menjamin adanya kebe­basan berserikat dan berkumpul, baik bagi partai politik dan golongan karya maupun bagi organisasi kemasyarakat­an, baik yang umum maupun yang bersifat keagamaan, bahkan menjamin diperbolehkannya perbedaan suara dan perbedaan pendapat, baik lis an mau­pun tulisan sesuai dengan kebhineka­an dan menjamin kemajemukan ma­syarakat Indonesia. Di zaman pemerintahan Soekarno, soal Pancasila sebagai dasar negara sebenar­nya sudah selesai. la sendiri berpenda­pat dalam ceramahnya yang berjudul "Anjuranku Kepada Segenap Bangsa Indonesia' di depan pertemuan Gerak­an Pembela Pancasila di Istana Mer­deka 'tanggal 17 Juli 1954: " ... Ja­ngan Pancasila diaku oleh sesuatu Par­tai ! J angan ada sesuatu Partai berkata Pancasila adalah azasku". "PNI tetap­lah kepada azas Marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justru karena PNI ber­azas Marhaenisme, oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila seba­gai dasar negara. Tetapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila .. . " Dalam rangka pelaksanaan pasal 28 UUD 1945 negara kita telah mengun­dangkan UU No.3 tahun 1975 tentang partai politik dan golongan karya. Pa­sal 2 UU itu mengatur: "Azas Partai Politik dan Golongan Karya adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945". Selain ketentuan terse but da­lam ayat (1) pasal ini, azas/ ciri Partai Politik dan Golongan Karya yang telah ada pada saat diundangkannya Un-

o dang-Undang ini adalah juga azas/ciri Partai Politik dan Golongan Karya". Dalam komentar saya mengenai UU No.3 tahun 1975 saya menulis: "Da­pat disimpulkan bahwa terdapat 2 ma­cam azas:

Page 9: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

,

• • • •

R UU Hukum Tatanegara

I , . Azas-Azas Umum yang berlaku bagi setiap Partai Politik dan Go­loltgan karya ialah Pancasila dan UUD 1945 .

2. Azas-Azas Khusus, yang hanya berlak u bagi Partai Politik ter­tentu dan Golongan Karya ter­tentu" .

Perubahan UU Partai Politik dan .Go­longan Karya yang dimaj uk an dalam DPR sekarang ini melenyapkan sifat terbuka yang dianut oleh UUD 1945, karena diinginkan Partai Politik dan Golongan Karya berazaskan Pancasila sebagai satu-satunya azas. Menuput pendapat saya di sam ping kekurangan­kekurangannya yang terdapat dalam UU Partai Politik dan Golongan Karya,

ildalah lebih scsuaidengan UUD 1945 d iband ingkan dengan Pcrubahan yang d imaj ukan dewasa ini.

RUU Tentang Referendum

Dalam hubungan dengan RUU ten­tang Referendum ketentuan-ketentuan yang tclah tercantum dalam UUD 1945 sepcrti berikut pcrlu diperhati­kan:

I. Bahwa sccara hukum konsti-tusional , UUD 1945 tclah mcnyata­kan dalam pasal 37 bahwa untuk mengubah UUD 1945 sek urang-ku­rangnya 2/ 3 dari pada jumlah anggota MPR harus had ir dan putusannya di­ambil dengan persetujuan sek urang-ku­rangnya 2 /3 dari pada jumlah anggota yang hadir.

2. Cara perubahan UUD 1945 yang dapat dikalcgorikan rigid ini, mcngin trod usir Ie m baga referendu m untuk perubahan UUD 1945 . Dan da-

lam rangka makin menumbuhk an kehi­dupan Demnkrasi I)ancasila dan ke­inginan unluk lIleninJau kctcntuan p~ngangkutan yang mayoritas dalam

49

MPR , perlu ditemukan jalan konstitu­sional agar pasal 37 UUD 1945 tidak mudah digunakan untuk mengubah UUD 1945 .

3. Melestarikan dasar negara Pancasila se bagai suatu "safeguarding of right,,4) dapat dipertanggung jawab­kan, asal saja dilakukan dengan cara­cara yang telah diatur oleh UUD 1945 ,

. antara lain dengan memegang teguh dasar negara demokrasi, seperti .diru­muskan dalam Pembukaan UUD 1945:

"kerakyatan yang dipimpin oleh hik­mat kebijaksanaan dalam Permusyawa­ratan /perwakilan" .

4. Oleh karena dalam pasal 27 ayat (l) dianut prinsip persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, maka tidak dapat dibenarkan adanya pembe­daan antara rakyat dan ABRI dalam pelaksanaan hak-hak politik.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai terse but di atas, mengenai RUU ten tang Referendum saya berpendapat sebagai berikut:

I. Oleh karena referendum akan di­laksanakan oleh warganegara, baik ABRI maupun bukan, maka pasal 3 ayat (]) disempurnakan sebagai berikut: "Referendum diselenggarakan dengan meng­adakan pemungutan pendapat rakyat secara ]angsung, umum, be bas, rahasia dan berkesamaan ".

2. Untuk menjamin sifat bebas dari referendum, maka pasa] 8 disem­purnakan sehingga berbunyi:

4)

"Pelaksanaan referendum dipim­pin oleh Lembaga Pemilihan Umum/Referendum yang terdiri

Lihat Ismail Suny. Undtm6-undang DaMr 1945 dan R~f~rrndum. Ma;alah ILUNI-FHUI. 2. Th. I. 1982.

Pebruan' 1985

Page 10: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

50

dari semua kekuatan so sial poli­tik". Pasal 8 ayat (2) ditiadakan.

3. Pasal 9 ayat (I) disempurnakan sebagai berikut: "Untuk melak­sanakan referendum Ketua Lem­baga Pemilihan Umum/Referen­dum membentuk panitia pelak­sana di tingkat Propinsi, Kabu­paten/Kotamadya, Kecamatan, Kelurahan/Desa, dan di Perwa­kilan Republik Indonesia di luar negeri" .

4. Pasal 13 ayat (2) disempurnakan menjadi: "Penerangan sebagai di­

. maksud dalam ayat (1) diseleng­garakan oleh Panitia Pelaksana dengan biaya Pemerintah".

5. Pasal 17 ayat (2, disempurnakan menjadi: "Hasil referendum se­bagai dimaksud dalam ayat (I) oleh Ketua Lembaga Pemilihan Umum/Referendum diumumkan kepada rakyat' , .

RUU Tentang Organisasi Kemasyara­katan

Pada waktu memberi ceramah "Hak Berserikat dan Berkumpul menurut Undang-undang Dasar 1945" pada tanggal 3 Juni 1976 saya mengatakan

. ten tang Partai Politik dan Golongan Karya yang mengatur organisasi ke­kuatan so sial politik dalam rangka un­dang-undang tentang Kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Kita belum mempunyai undang-undang ten tang or­ganisasi so sial lainnya. Dapat diperde­batkan kepentingan atau ketidak pen­tingan undang-undang itu. Tetapi yang lebih penting dari kedua hal itu ada­lah bahwa di negara demokrasi semua kebebasan-kebebasan yang telah dija­min konstitusi itu, baik kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan pers, ke akade.mi dan kebebas­an -kebebasan lainnya harus dilindungi oleh alat-alat penegak hukum.

Hukum dan Pembangur,un

Dengan demikian tidaklafi beraiti bahwa kebebasan-kebebasan itu dapat ditempatkan di bawah kekuasaan yang . lebih rendah dari konstitusi atllu di­tiadakan sarna sekali oleh kekuasaan yang lebih rendah itu. Ini kalau kita benar-benar mau melaksanakan hak asasi itu dalam hukum dan praktek" 5). Sewaktu membicarakan RUU tentang perubahan UU Partai Politik dan Go­longan Karya di atas tadi, sengaja say a sekaligus menyebut organisasi ke­kuatan sosial politik dan organisasi kemasyaralcatan. Dengan demikian saya maksudkan ·kelima butir-butir UUD 1945 dalam rangka organisasi kekuatan so sial politik itu berlaku juga mutatis mutandis dalam hubung­an pembicaraan kita ten tang organi­sasi kemasyarakatan sekarang ini. Saya ingin menegaskan lagi kesimpulan sa­ya: "Dari lima butir-butir Undang-un­dang Dasar 1945 yang kita sebutkan itu, terbuktilah bahwa sistem yang di­anut adalah sistem terbuka, yang mem­berikan pengakuan dan bahkan menja­min adanya kebebasan bers~rikat dan berkumpul, baik bagi partai politik dan golongan karya maupun organisasi kemasyarakatan, baik yang urn urn maupun yang bersifat keagamaan , bah­kan menjamin diperbolehkannya per­bedaan suara dan perbedaan pendapat, baik lisan maupun tulisan sesuai de­ngan kebhinekaan dankemajemukan masyarakat Indonesia".

Dalam konsiderans Mengingat dari R UU ten tang Organisasi Kemasyara­katan telah disebutkan pasal-pasaJ 5 ayat (I), 20 ayat (I) dan 28 UUD 1945.

Lihat Ismail Suny, Hak berserikat . dan Berkumpul menurut Un dang- Un­dang Dasar 1945, K ompas, 16 J uni 1976.

Juga da~ Ismail Suny, Mencari Ke­adllan, hal 401-405.

Page 11: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

,

,

R UU Hukum Tatanegara

Sebagai telah kita buktikan di atas, pa­sal 2 ayat (I), 6, 29 dan 37· ayat (2) UUD 1945 seeara langsung berhubung­an dengan organisasi kemasyarakatan dan oleh karena itu perlu ditambahkan dalam konsiderans Mengingat. Oleh kare~a dalam konsiderans Meng­ingat juga disebutkan kata-kata: "Ke­tetapan Majelis !'ermusygwaratan Rak­yat Republik Indonesia" No.IljMPRj 1983 tentang Garis-garis Besar Haluan N etara", berlainan dengan Partai poli­tik dan Golongan Karya yang harus berasaskan Pancasila sebagai satu-satu­nya asas, GBHN secara ter.surat me; muat penegasan seperti halnya untuk Partai Politik dan Golongan Karya itu bagi organisasi kemasyarakatan,

Pemerintah dalam keterangannya untuk metnbenarkan tincr~kannya ., mengharuskan orgnisasi kemasyarakat­an menjadikan Pancasila sebagai satu­satunya asas, mempergunakan kata­kata: "Garis-garis ~esar Haluan Negara 1983 sebagai kesepakatan nasional ha­rus ,. dikembangkan dan' dilak~Jlakan

sebaik-balknya serta dilihat sebagai suatu keseluruhan".

• Dengan memakai termin910gi hu-

kum Pemerintalr~ dalam menafsirkan , GBHN itu melakukan systematische interpreta tie (penafsiran sistema tis) , yang dalam hal ini menyebabkan G BHN diberikan pengertian lebih luas , dengan.. demikian dapat disebut exten­sieve interpretatie (penafsiran meluas­kan).6)

j ika kita melakukan " wet histo­rische in terpreta tie" (penaf siran sej a- ,. rah Undang-undang), dalam hal ini mempelajari memori van toelichting,

"

Keterangan Pemerintah tanggal 23 •

6) Ismafr Suny, Rencana Undang·un· _ dang ten tang Organisasi Kemasyara­katan ditinjau dari Undang-undang Dasar 1945, Fakultas Hukum Univer­sitas Muhammadiyah, Palembang, 30 April 1984.

51

luni yang lalu, penyusunan RUU ini berland ask an kepada Ketetapan MPRj II j'MPRjl983 tentang GBHN, Bab IV , Politik , huruf g dan huruf h yang ber-

bunyi:

g. Dalam rangka memantapkan per­tumbuhan demokrasi Pancasiia per­lu chtingkatkan terselenggarakannya komunikasi sosial timbal-balik antar masyarakat, serta an tara masyara­kat .dengan lembaga perwakilan rak­yatmaupun dengan pemerintah.

h. Dalam rangka meningkatkan peran­an organisasi-organisasi kemasyara­katan dalam pembangunan nasional sesuai dengan bidang kegiatan, pro-

-iesi dan fungsinya masing-masing, maka perlu ditingkatkan usaha me­mantapkan dan menata organisasi­organisasi tersebut. Untuk itu perlu disusun Und'ang-undang ten tang or­ganisasi kemasyarakatan".

Patut dicatat bahwa RUU yang di-•

sampaikan kepada DPR sekarang ini , dalam Ketentua1tUmum pasal 1 telah menam bahkan kata-kata "Agama" da­lam definisi dari organisasi kemasya­rakatan berbeda dengan draft RUU , sebelumnya. Dengan demikian kesama­an kegiatan , profesi, fungsi dan agama, memungkinkan dibentuknya organisasi kemasyarakatan oleh anggota masyara­kat warganegara Indonesia secara suka­rela. Crucial point dalam RUU ini adalah pasal 2, yang berbunyi: ' . I. Organisasi kemasyarakitan ber­

asaskan Pancasila sebagai satu-sa­tunya asas.

2. Asas sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) adalah asas da­lam ketiidupan bermasyarakat , . berbangsa dan bernegara.

Grammaticare interpretatie (penafsiran Inenurut tata bahasa), di sini mungkin lebih tepat taalkundige interpretatie (penafsiran menurut iImu bahasa) di-

-

,

Page 12: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

.•

52 •

berikan oleh penjelasan pasal 2 dari RUU ini sebagai berikut: "Dalam pasal ini, pengertian asas meliputi juga pe· ngertian "dasar", "landasan", "pe\lo­man pokok" atau kata-kata lain yang . ngertiannya dapat · disamakan. dengan asas.

; Penerimaal"! Pancasila ~bagai asas .... '.

dalam kehldupan berbangsa dan berne-gara, menurut penulis tidak merupa-

.' kan persoalan. Konsensus N asional pada 18 Agustus 1945 telah menetap­kan hal it. dallMil Pembukaan UUD - .

1945. Dan thesis yang menyatakan sila-sila dari Pancasila adalah sebagian dari prinsip-prinsip dasar dari ajaran Islam sendiri dinyatakan dalam per-, nyataan Majelis Ulama DKI Jakarta, 30 April 1976 dapat menyelesalkan soal ini. ').

Apalagi "Pokok Pikiran Majelis-Ma­jeJis Agama di Indonesia dalam Wadah Musyawarah Antar U mat Beragama" pada tanggal 19 Desember 1983 telah mengakui Pancasila sebagai satu-satu­nya asas bagi kehidupan ke'negaraan.

Sewaktu pada pertengahan tahun 1964 Aidit, Ketua Umum PKI waktu itu mempersoaikan kelangsungan Pan­casila dapat diterima untuk mempe'r­satukan ~kuatan Nasakom. Tetapi se­kali Nasakom telah menjadi realitas, Pancasila akan pasti berakhir, demikian Aidit. Bahkan hingga perte-

• •

ngahan tahun 1 ~65 dalam rangka men--tavipkan kurikulum Perguruan Tinggi

adackeinginan pihak PKI untuk meng-ajirrkan Marxi%ne. Oleh karena itu pada waktu itu,' penulis mengemuka­kan "semua sila dari Pancasila harus dikuliahkan di semua Fakultas sampai tahun kelima", bahwa Pancasila seba­gai filsafat negara bukan saja menjadi

') Ismail Suny, Contribution of Islam to •

Constitutional Law, paper for Inter-national Conference of Muslim Scho-14113, r""lIbad, Pa1ci3tan, 7-10 March 1981.

• •

Hukum dan Pembangunan ,

• pedoman bagi pelaksanaan pemerintah tapi juga harus dilaksanakan, dalam ma­syarakat. Dalam hubungan inilah penulis, pad a 9 Juni 1965 menulis Nilai Yuridis Pan­casila dalam Pembukaan UUD 1945 . 8

) •

Kompromi yang dicapai oleh KNPI dengan Kelompok Cipayung baru-baru ini, mengenai peneriinaan 'Pancasila se­bagai asas dalam kehidupan berbangsa

. . dan bernegara , dengan tidak menye-butkan sebagai asas dalam kehidupan bermasyarakat semoga dapat dijadikan jalan ke luar dalam perumusan akhir dari RUUini. Dengan demikian or­ganisasi kemasyarakatan masih dapat mencantumkan ciri khususnya sesuai dengan persamaan kegiatan, profesi, fungsi dan agama yang telah diakui dalam RUU itu send iri . Dengan de­mikian apa yang diyakini oleh Peme­rintah da!am Keterangannya tanggal 23 juni 1984, "khususnya mengenai hubungan agama dan Pancasila, Peme­rintah ingin menegasK'an kern bali bah­wa Pancasila bukan agama, Pancasila tidak akan da.n tidak mungkin meng--gantikan agama. Pancasila tidak akan diagamakan, juga agama tidak mung­kin dipancasil~an", dengan kompro­mi seperti di ata'~·: itu, semoga daflat diatasi masalll'h ini.

Pasal 12 dari · RUU ini di mana di­sebutkan Pemerintah melakukan pem- ' binaan terhadap organisasi kemasyara­katan perlu ~ndapat perhatian kita . Penjelasan pasal ini menjelaskan: "Pembinaan tersebut dipetlukan dalam rangka mendorong organisasi kemasya-

, rakatan ke arah pertumbuhan yang se-hat sesuai dengan jiwa dan semangat

.

Undang-undang ini". Perumusan me-•

ngenai "p.embinaan" ini memerlukan perumusan-perumusan yang lebih ter­perinci, sehingga hak asasi yang telah

Lihat Ismail Suny, Mencari Keadilan. op_ cit •• hal 80.

,

Page 13: LIMA R.U.U. TENTANG HUKUM TATANEGARA

• -

R UU Hukum Tatanegara 53

dijamin dleh UUD 1945 dan Undang­undang tidak lenyap oleh pembinaan di kemudian hari.

Suatu hal lain yang penting diingat­kan dalam RUU ten tang organisasi kemasyarakatan adalah peranan peme­rintah yang dapat mem bekukan pengu­rus atau pengurus pusat organisasi ke-

demokratis, negara yang berdasar atas hukum, pemerintah berdasar atas sis­tern konstitusi dan kekuasaan keha­kiman adalah kekuasaan yang merdeka artiny"a terlepas dari pengaruh kekua­saan Pemerintah, bila pembekuan dan pem bubaran organisasi kemasyarakat­an dilakukan melalui proses pengadil­an 9

) . masyarakatan sebagai dimungkinkah oleh Bab VII dari RUU ini. Adalah lebih sesuai dengan negara bersifat

.

'1 Lihat Herman Finer, The Major Go­vernments of Modem Europe

I)

-

, .. •

=

• •

,

• •

JANG'1N "'OAI­TANAHNYA PAPA

ORANe-ORANe JAKARTA, YA '"

../

,

.'

REP. SINARHARAPAN

, •

Manusia paling suka berpura-pura. Berganti-ganti top eng . . (Winahyo)

Dunia ini sebenamya tak sejelek seperti yang dilakukan oleh beberapa oran~ terhadapnya. Baik buruknya ter- / gantung kepada cara kita memperlakukannya .

- (M.W. Beck)

,

.. •

- .

. PebTUari 1985