Upload
trandien
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LEMBAR JUDUL
SEMIOTIKA SURAH AL-MU‘AWWIDZATAYN
ANALISIS STRUKTURAL FERDINAND DE SAUSSURE
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Desi Aryani
NIM: 11140340000116
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
LEMBAR PENGESAHAN PAN
ABSTRAK
Desi Aryani
Semiotika Surah Al-Mu‘awwidztayn; Analisis Struktural Ferdinand De
Saussure
Dalam kalangan umat muslim surah al-Mu„awwidzatayn adalah dua surah
yang sebagian besar umat Islam hafal dan sering dibaca dalam wiridan maupun
dalam sholat. Surah al-Mu„awwidztayn terdiri dari surah al-Falaq dan surah al-
Nâs, kedua surah tersebut dinamakan surah al-Mu„awwidzatayn karena
merupakan dua surah yang sama-sama membahas mengenai perlindungan.
Penelitian dalam skripsi ini berkisar pada surah al-Mu„awwidzatayn (Q.S al-Falaq
dan Q.S al-Nâs). Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika struktural
Ferdinand de Saussure yang terdiri dari empat metode yaitu penanda-petanda,
langue-parole, sinkronik-diakronik, sintagmatik-paradigmatik, yang pada intinya
ingin menerapkan pendekatan semiotika pada al-Qur‟an, dan ingin mengetahui
pesan yang terdapat dalam surah al-Mu„awwidzatayn apabila diteliti
menggunakan pendekatan semiotika struktural Ferdinand de Saussure. Surah al-
Mu„awwidztayn yaitu surah al-Falaq dan surah al-Nâs merupakan dua surah yang
membahas mengenai perlindungan, perintah memohon perlindungan kepada
Allah. Dalam surah al-Falaq Allah menyebutkan manusia diperintahkan untuk
berlindung kepada Allah dari empat hal yaitu, apa-apa yang Allah telah ciptakan,
malam apabila telah gelap gulita, dari kejahatan penyihir yang meniup pada
buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia telah dengki.
Kemudian dalam surah Al-Nâs Allah memerintahkan manusia untuk berlindung
kepada Allah dari kejahatan bisikan-bisikan yang ada dalam dada manusia. Empat
hal kejahatan yang terdapat dalam surah al-Falaq merupakan kejahatan yang
menimpa manusia dari faktor eksternal, sedangkan satu hal kejahatan yang
terdapat dalam surah al-Nâs merupakan suatu kejahatan yang menimpa manusia
dari faktor internal. Dalam surah al-Falaq Allah menyebutkan namanya hanya
satu kali, sedangkan dalam surah al-Nâs Allah menyebutkan namanya hingga tiga
kali, hal tersebut menunjukkan bahwa melindungi diri dari kejahatan yang ada
dalam diri sendiri lebih sulit dibandingkan melindungi diri dari kejahatan-
kejahatan yang timbul dari luar. Karena kejahatan yang ada dalam diri sendiri,
ada dimanapun manusia berada, sedangkan kejahatan dari luar diri, masih ada cara
untuk mennghindarinya agar tidak bertemu.
Kata Kunci : Al-Mu„awwidzatayn, Al-Falaq, Al-Nâs, Semiotika, Ferdinand De
Saussure
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt., karena atas petunjuk,
taufik, cahaya ilmu dan rahmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terwujud
dengan judul “Semiotika Surah Al-Mu„awwidztayn : Analisis Struktural
Ferdinand de Saussure”. Skripsi ini diajukan guna memenuhi syarat dalam
penyelesaian pendidikan pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari dari kesempurnaan, untuk itu
penulis akan menerima dengan senang hati semua koreksi dan saran-saran demi
untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
Pada dasarnya skripsi ini, tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak
yang turut memberikan andil, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik
moril ataupun material. Maka, sepatutnya peneliti mengucapkan rasa syukur,
terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
1. Kedua orang tua (bapak Endang dan ibu Maesaroh) penulis yang tiada
henti-hentinya memberikan dukungan, kasih sayang, do‟a yang tulus, serta
nasihat kepada penulis agar selalu menjadi sosok yang kuat dan sabar
dalam menghadapi hidup.
2. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
4. Ibu Dr. Lilik. Ummi Kaltsum, M.A, selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekretaris
Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
5. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A, yang
senantiasa membimbing, mengarahkan dan memberikan motivasi kepada
penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
6. Dosen penasehat akademik, Bapak Kusmana, P.hd, yang banyak memberi
masukan kepada penulis selama studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
7. Seluruh dosen di Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, yang dengan tulus
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
8. Para staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ushuluddin. Terimaksih
atas referensi yang ada sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada abi Bahrudin dan umi Tuti Rosmaya selaku pimpinan pondok
pesantren Daar El-Hikam, yang dengan tulus memberikan ilmu dan selalu
memberikan dukungan kepada penulis.
10. Teman-teman di pondok pesantren Daar El-Hikam, khususnya angkatan
2014 di antaranya adalah Aisyah, Farikha, lismaya, Adam, Ari, Zein dan
mereka yang tidak bisa disebutkan satu per-satu disini yang telah
memberikan hari-hari lebih berwarna dan saling memberikan motivasi satu
sama lain.
11. Pengurus ISDAH 2017-2018 dan 2018-2019 yang telah mengajarkan
penulis memiliki rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugas.
viii
12. Teman-teman satu jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir yang senantiasa
menemani penulis dalam menimba ilmu pengetahuan di Kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Di antaranya yaitu Tria, Riah, Evi, Ditha,
Zizah, Teti dan mereka yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini.
Berjumpa dengan kalian adalah sesuatu yang akan selalu terkenang.
Terima kasih telah menemani hari-hariku dalam menimba ilmu dan
semoga tuhan selalu menemani kita semua dalam segala hal.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ............................................................................................................. 1
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................................. iv
LEMBAR PENGESAHAN PAN ..................................................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ix
DAFTAR BAGAN DAN TABEL ................................................................................... xi
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian .................................................................................................. 5
E. Metode Penelitian ................................................................................................... 6
F. Kajian Pustaka ........................................................................................................ 8
BAB II SEMIOTIKA STRUKTURAL DAN FERDINAND DE SAUSSURE ......... 13
A. Pengertian dan Ruang Lingkup ............................................................................. 13
B. Sejarah Perkembangan .......................................................................................... 16
C. Ferdinand de Saussure .......................................................................................... 18
D. Analisis Struktural Ferdinand de Saussure ........................................................... 20
BAB III TINJAUAN UMUM SURAH Al- MU‘AWWIDZATAYN DAN
PENAFSIRANNYA ........................................................................................................ 28
A. Tinjauan Umum Surat Al-Mu„awwidzatayn ......................................................... 29
B. Penafsiran Surat Al-Mu„awwidzatayn .................................................................. 32
BAB IV PESAN SEMIOTIKA SURAT Al-MU‘AWWIDZATAYN ......................... 53
A. Parole .................................................................................................................... 53
B. Sintagmatik ........................................................................................................... 54
C. Penanda – Petanda ................................................................................................ 56
D. Paradigmatik ......................................................................................................... 59
x
E. Langue................................................................................................................... 62
BAB V PENUTUP .......................................................................................................... 66
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 66
B. Saran ..................................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 68
xi
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
A. Daftar Tabel
Tabel 2.1 Analisis Sintagmati dan Paradigmatik pada jumlah fi‟liyah 25
Tabel 2.1 Analisis Sintagmati dan Paradigmatik pada jumlah Ismiyah 26
Tabel 4.1 Analisis Sintagmatik Pada Surah Al-Falaq 55
Tabel 4.2 Analisis Sintagmatik Pada Surah Al-Nâs 56
Tabel 4.3 Pengaplikasian Penanda dan Petanda 57
B. Daftar Bagan
Bagan 4.1 Analisis Paradigmatik Surah Al-Falaq 60
Bagan 4.2 Analisis Paradigmatik Surah Al-Nâs 61
Bagan 4.3 Analisis Langue Surah Al-Falaq 62
Bagan 4.4 Analisis Langue Surah Al-Nâs 63
Bagan 4.5 Analisis Langue Surah Al-Nâs 64
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transeliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku pedoman penulis skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman
Akademik Program Strata 1 tahun 2014/2015 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H H dengan garis bawah ح
Kh Ka dan ha خ
D De د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan ye ش
S Es dengan garis bawah ص
Ḏ De dengan garis bawah ض
Ṯ Te dengan garis bawah ط
Ẕet Zet dengan garis bawah ظ
„ عKoma berbalik keatas,
menghadap kekanan
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
xiii
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ‟ ء
Y Ye ي
b. Vocal
Vocal dalam bahasa Arab, seperti vocal dalam bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan
A Fatẖah
I Kasroh
U Ḏhommah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i أي
au a dan u أو
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harokat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
tâ a dengan topi di atas حا
tî i dengan topi di atas ح
tû u dengan topi di atas حو
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. Suatu mukjizat yang dapat disaksikan oleh seluruh umat
manusia sepanjang masa, karena Nabi diutus oleh Allah untuk keselamatan
manusia di mana dan di masa apapun mereka berada. Salah satu kemukjizatan Al-
Qur‟an yang sering diperbincangkan ialah dalam hal kebahasan, karena bahasa
yang digunakan oleh al-Qur‟an sangat tinggi kesusastraannya. Selain itu ia
mampu menempatkan kata sesuai dengan keadaan dan ketentuan yang sangat
tepat. Suatu kata yang diungkapkan al-Qur‟an mempunyai timbangan atau
maksud tersendiri, sehingga satu kata mempunyai makna yang bervariasi sesuai
pada kalimat apa kata tersebut ditempatkan.1
Al-Qur‟an merupakan ujaran wahyu yang terkodifikasikan dalam bentuk
teks. Teks-teks tersebut merupakan sekumpulan tanda-tanda bersistem yang
mengandung pesan-pesan dari Allah Swt, untuk disampaikan kepada manusia.
Peran al-Qur‟an dalam peradaban umat Islam sangat besar. Oleh sebab itu Nasr
Hamid Abu Zaid mengatakan bahwa Islam merupakan peradaban teks.2
Al-Qur‟an dengan bahasa Arab di dalamnya memiliki sistem tanda yang
menarik untuk dikaji. Pandangan seperti ini menganggap bahwa al-Qur‟an adalah
dunia tanda, sehingga untuk menemukan meaning (arti) dan significance (makna)
1 Zainal Abidin, Seluk Beluk Al-Qur‟an (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 100.
2 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nass : Dirasah fî Ulum al-Qur‟an (Beriut: Markaz
al-Tsaqafi al-Araby, 1996), h. 9.
2
sistem tanda yang ada di dalamnya harus dikaji. Konsep-konsep yang ada di balik
sistem tanda pada bahasa al-Qur‟an dicari dengan meneliti pola hubungan antara
penanda dan petanda yang ada. Meskipun demikian ada catatan penting yang
perlu diketahui, karena bahasa al-Qur‟an memiliki kekhasan sendiri. Bahasa al-
Qur‟an merupakan bahasa agama yang memiliki banyak istilah-istilah atau
ungkapan-ungkapan metafisik.3 Misal, kata al-Khannâs berarti tersembunyi. Kata
al-Khannâs ini memiliki arti dan makna yang beragam.
Karena al-Qur‟an sebagai dunia tanda, oleh karena itu penulis ingin
mengaitkan al-Qur‟an dengan menggunakan metode semiotika, yang mana
semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Sedangkan menurut Lechte, semiotika adalah teori tentang tanda dan penanda.4
Semiotika dalam kamus Sastra Arab seperti kamus Musṭahât al-Adab karya Majdi
Wahbah disebut dengan „ilmu al-„alâmât atau ilmu tanda.5 Kata “semiotika” itu
sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme yang
berarti “penafsir tanda”.6
Dari sekian banyak ayat-ayat dalam al-Qur‟an yang harus dipahami, salah
satunya ialah ayat mengenai perlindungan diri, yang terdapat pada surah al-Nâs
dan al-Falaq . Dalam Tafsir Al-Misbâh surah al-Falaq dan al-Nâs dinamai dengan
surah al-Mu„awwidzatayn. Nama itu terambil dari kata kedua surah tersebut yang
menggunakan kata A„ûdzu yang berarti aku berlindung, sehingga al-
Mu„awwidzatayn berarti dua surah yang menuntun pembacanya kepada tempat
3 Ali Imron, Semiotika Al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf
(Yogyakarta: Teras, 2011), Cet. Ke-1, h. 4. 4 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung ; PT Remaja Rosdakarya, 2009), Cet ke-
4, h. 15-16. 5 Sukron Kamil, Najib Mahfuz (Jakarta; PT. Dian Rakyat, 2013), Cet ke-3, h. 96.
6 Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 16.
3
perlindungan. Para ulama menamai surah al-Falaq dengan surah al-
Mu„awwidzatayn al-Ulâ (yang pertama), dan surah al-Nâs dengan surah al-
Mu„awwidzatayn ats-Tsâniyah (yang kedua). Tema utama surah ini ialah
pengajaran untuk menyandarkan diri dan memohon perlindungan hanya kepada
Allah dalam menghadapi aneka kejahatan. 7
Dua surah tersebut tidaklah asing di kalangan masyarakat muslim, karena
banyak dari kalangan masyarakat muslim yang menjadikan surah tersebut sebagai
wiridan di pagi hari dan juga biasa dibaca ketika hendak tidur.8 Hal tersebut
merupakan salah satu bentuk bacaan yang percayai oleh mayoritas umat Islam
ketika memohon perlindungan kepada Allah dari segala macam bahaya yang ada.
Pada penulisan skripsi ini, penulis ingin mengaplikasikan al-qur‟an
menggunakan metode barat, yaitu menggunakan metode semiotika. Karena
apabila hanya dikaji dengan menggunakan metode tematik belum terlihat jelas
pesan yang terdapat pada surah al-Mu„awwidzatayn. Seperti dalam skripsi Saiful
Fajar yang membahas mengenai Konsep Syaitân dalam Al-Qur‟an dengan
menggunakan metode semantik Toshihiko Izutsu. Kata syaitân apabila hanya
dikaji menggunakan metode maudhu‟i tidak terlihat makna dasarnya apa, dan kata
tersebut digunakan untuk apa saja. Akan tetapi setelah dikaji menggunakan
metode semantik Thosihiko Izutsu terlihat bahwa makna dasar kata syaitân adalah
jauh, kemudian kata syaitân digunakan sebagai kosakata yang senantiasa
bermakna buruk untuk manusia, yaitu menjauhkan manusia dari menyembah
Allah Swt, mengganggu diri manusia, dan menjadikan manusia saling
7 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbâh Pesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati,
2007), h. 619-620 8 Chodjim, An-Nās, h. 13.
4
bermusuhan,9 apabila hanya menggunakan metode maudhu‟i saja tidak akan ada
kesimpulan seperti itu, oleh karena itu penulis ingin menggunakan metode
semiotika untuk mengkaji makna dan pesan yang terdapat pada surah al-
Mu„awwizdayn.
Dari sekian banyak pemikiran tokoh semiotika, teori-teori semiologi
Ferdinand de Saussure dipandang sesuai untuk diaplikasikan dalam penafsiran
surah Al-Mu„awwidzatayn, karena Saussure dikenal dengan metode strukturalnya,
oleh karena itu untuk mengetahui struktur yang terdapat pada surah Al-
Mu„awwidzatayn penulis menggunakan metode struktural Ferdinand De Saussure.
Selain itu juga penulis terbantu untuk memahami tanda pada surah Al-
Mu„awwidzatayn dari sisi dalam (makna internal dari surah al-Mu„awwidzatayn),
kemudian pembaca diarahkan untuk bisa memahami hubungan makna internal
dengan kontekstualisasi dan penggunaan makna tersebut pada realitas. Oleh
karena itu penulis mengangkat judul “SEMIOTIKA SURAH AL-
MU„AWWiDZATAYN: ANALISIS STRUKTURAL FERDINAND DE
SAUSSURE”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini terfokus pada tema yang diharapkan,
maka penulis membatasi rumusan masalah yang menjadi fokus utama yaitu, apa
makna dan pesan surah al-Mu„awwidzatayn (QS. Al-Falaq dan QS.An-Nâs)
apabila dianalisis dengan perspektif struktural Ferdinand de Saussure?
9 Saiful Fajar, “Konsep Syaitân dalam Al-Qur’an: Kajian Semantik Toshihiko Izutsu” Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018.
5
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menguraikan makna dan pesan pada surah al-Mu„awwidzatayn.
2. Menjelaskan struktur yang terdapat pada surah al-Mu„awwidzatayn dengan
menggunakan semiotika struktural Ferdinand de Saussure.
D. Manfaat Penelitian
Secara akademik, penelitian ini bermanfaat untuk melengkapi hasil
peneliatian Zamzam Afandi dalam mengkaji Relasi Jin dan Al-Ins dengan
menggunakan pendekatan semantik Toshihiko Izutsu,10
dan menguatkan pendapat
para ulama yang mengatakan bahwa surah Al-Falaq dan Al-Nâs disebut dengan
surah Al-Mu„awwidzatayn, yaitu dua surah yang membahas mengenai
perlindungan.11
Secara praktis, kesimpulan penelitian ini dapat menjadi bagian dari bahan
ajar pada mata kuliah Pendekatan Modern, Hermeuneutika dan Semiotika serta
dapat menjadi perbandingan terhadap penelitian-penelitian berikutnya khususnya
penelitian yang menggunakan metode semiotika Ferdinand De Saussure.
Penelitian ini juga, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menunjukkan
pentingnya kajian bahasa dalam proses penafsiran, sehingga Fakultas Ushuluddin
khususnya studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, dapat memberikan tempat yang
semestinyadalam pengajaran mata kuliah linguistik.
10
Zamzam Afandi dan Ja‟far Shodiq, “Relasi Jin dan Al-Ins dalam Al-Qur‟an: Kajian
Semantik Toshihiko Izutsu” (Ihya‟ „Ulum al-Din, 19 Februari, 2018) . 11
Beberapa ulama tafsir yang codong pada pendapat ini adalah Ibnu Katsir, Al-Qurṯubi,
Buya Hamka dan Muhammad Abduh.
6
E. Metode Penelitian
1. Metode dan Pendekatan
Pendekatan ini menggunakan metode analitik dalam membahas data-data,
dengan pendekatannya adalah semiotika Ferdinand de Saussure, yang mana ia
tidak mencakup tanda-tanda yang nonlinguistik. Pengaruh Saussure sangat kuat,
terutama pada tradisi penelitian semiologi-strukturalis.12
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan
data-data kepustakaan (library research), karena yang menjadi objek utama dalam
penelitian ini adalah penafsiran atas teks al-Qur‟an. Penulis akan menggunakan
teori semiotika Ferdinand De Saussure dalam menganalisis bangunan struktur teks
surah al-Mu„awwidzatayn. Maksudnya konsentrasi penelitian ini adalah untuk
mendapatkan dan mengelola data-data pustaka, baik berbentuk buku, jurnal,
maupun artikel yang berhubungan dengan teori-teori strukturalisme dan semiologi
yang nantinya akan digunakan dalam menafsirkan teks surah al-Mu„awwidzatayn
tersebut.
3. Sumber Data
Data primer dalam penulisan skripsi ini adalah al-Qur‟an yaitu pada surah
al-Mu„awwidzatayn (surah al-Nâs dan al-Falaq). Sedangkan data sekundernya
adalah kitab-kitab Tafsir, dan buku-buku serta jurnal yang membahas mengenai
surah al-Mu„awwidzatayn dan semiotika.
Untuk panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman
Akademik Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
12
Okke K.S. Zaimar, Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra (Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 7.
7
2014/2015 Program Strata 1, yang diterbitkan oleh Biro Administrasi Akademik
dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ushuluddin. Mengenai transliterasinya
dalam penulisan skripsi ini mengacu pada transliterasi berdasarkan pada Pedoman
Akademik Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2014/2015 Program Strata 1.
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode
dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dari sumber-sumber bahan atau
kepustakaan yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
5. Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, data-data yang telah didapatkan dan dikumpulkan
akan diolah atau diproses sebagaimana berikut:
a. Deskripsi
Menguraikan data berupa ayat-ayat al-Qur‟an, yaitu surah al-
Mu„awwidzatayn yang terdiri dari surah al-Falaq dan al-Nâs.
b. Analisis
Tahapan analisis dalam metode semiotika dalam penelitian ini dilakukan
dengan beberapa langkah, yaitu pertama menulis surah al-Mu„awwidzatayn pada
skripsi penulis di bab 4 karena surah tersebut disebut sebagai parole. Tahap kedua,
penulis menganalisis sintagmatik yaitu mencari subjek, predikat dan objek akan
8
tetapi jika dalam al-Qur‟an yang dicari ialah yang menjadi fi„il, fâ„il dan maf„ûl.
Tahap ketiga, penulis mencari tanda yang terdapat pada surah al-Mu„awwidzatayn
dan mengaplikasikan petanda menggunakan kamus dan tafsiran-tafsiran pada bab
3. Tahap keempat, mengaplikasikan metode paradigmatik dengan mencari kata-
kata yang mempunyai kedudukan yang sama. Tahap kelima, penulis
menggabungkan metode sintagmatik dan paradigmatik kemudian menjadi langue
sehingga dapat disimpulkan apa pesan yang terdapat pada surah al-
Mu„awwidztayn.
F. Kajian Pustaka
Kajian mengenai surah al-Mu„awwidzatayn dan semiotika, sudah banyak
dilakukan oleh para sarjana sebelumnya. Buku-buku yang membahas tentang
semiotika di antaranya buku yang berjudul Al-Falaq dan Al-Nas yang ditulis oleh
Achmad Chodim di dalamnya menjelaskan bahwa dalam surah al-Falaq terdapat
empat hal kejahatan dan pada surah al-Nâs terdapat satu hal kejahatan, untuk
menjauhi kejahatan tersebut manusia diperintahkan untuk berlindung kepada
Allah.
Kemudian skripsi yang berjudul Relasi Jin dan Al-Ins Dalam Al-Qur‟an:
Kajian Semantik Thosihiko Izutsu yang ditulis oleh Zamzam Afandi. Menurut
Zamzam mengenai relasi antara jinn dan al-ins dalam al-Qur‟an, disebutkan
bahwa jin dan manusia adalah benar-benar makhluk Allah yang diciptakan dari
unsur yang berbeda. Kesimpulan dari skripsi Zamzam bahwa jin dan ins bisa
diartikan syaitân, karena jin dan manusia termasuk kedalam golongan syaitân.13
13
Zamzam Afandi dan Ja‟far Shodiq, “Relasi Jin dan Al-Ins dalam Al-Qur‟an: Kajian
Semantik Toshihiko Izutsu” (Ihya‟ „Ulum al-Din, 19 Februari, 2018) .
9
Buku yang berjudul Semiotika Al-Qur‟an Metode dan Aplikasi Terhadap
Kisah Yusuf yang ditulis oleh Ali Imron. Dalam karyanya tersebut, ia menjelaskan
teori semiotika dengan al-Qur‟an. Penulis memilih kisah nabi Yusuf a.s. dalam al-
Qur‟an sebagai objek material kajiannya. Sedangkan objek formalnya adalah
analisis semiotik terhadap kisah nabi Yusuf a.s. dan pesan-pesan yang terkandung
di dalamnya. Secara garis besar kajian ini akan menjawab pertanyaan tentang
bagaimana penerapan anallisis semiotika al-Qur‟an kisah nabi Yusuf a.s.,
sekaligus mencari pesan-pesan yang hendak disampaikan al-Qur‟an melalui kisah
nabi Yusuf a.s. melalui ideologi-ideologi yang dibangun.14
Sementara itu, karya ilmiah berupa skripsi S1 mengenai semiotik adalah
“Relevansi Semiotika dalam Kajian Tafsir Kontemporer” yang ditulis Luthfi
Firdaus. Dalam karyanya tersebut, ia menjelaskan teori semiotik dan para
tokohnya serta kemungkinan penerapannya dalam kajian tafsir kontemporer
sebagai alternatif penafsiran al-Qur‟an. Menurutnya, semiotika sangat relevan
dengan kajian al-Qur‟an. Luthfi mengambil kesimpulan bahwa semiotika solusi
bagi penafsiran yang bersifat artificial dan letterlux, karena proses penafsiran
semiotika melalui historisitas teks.15
Skripsi lain yang juga mengangkat tema yang sama adalah karya Rony
Subayu dengan judul “al-Qur‟an Sebagai Narasi Mistis : Konsep Mitos Roland
Barthes sebagai Metode Penafsiran al-Qur‟an”. Dalam skripsinya tersebut, ia
menggunnakan mitologi Roland Barthes untuk menafsirkan al-Qur‟an dan
14
Imron, Semiotika Al-Qur‟an, h. 7. 15
Luthfi Firdaus, “Relevansi Semiotika dalam Kajian Tafsir Kontemporer “, Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2005).
10
menyimpulkan bahwa tafsir mistis hanya berlaku untuk ayat-ayat mu‟amalah saja,
tidak untuk ubudiyah.16
Skripsi selanjutnya adalah karya tulis Husni Mubarak, “Mitologisasi
Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semiologi Roland Barthes”. Ia menjelaskan
bahwa mitos senantiasa berjalan dalam setiap bahasa. Karyanya ditekankan pada
penciptaan mitos baru yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan.17
Skripsi lain yang
mengangkat tema semiotik ialah karya Pipit Aidul Fitriyana yang menulis dengan
judul, “Kisah Yūsuf dalam Al-Qur‟an: Perspektif Semiologi Roland Barthes”.
Dalam skripsinya itu ia membahas kisah Yūsuf dengan pisau analisis teori mitos
Roland Barthes.18
Dan skripsi Irpan Sanusi yang berjudul “Pesan Semiotika Al-Qur‟an:
Analisis Strukturalisme QS. Al-Lahab”. Dalam skripsinya itu ia membahas figur
Abu Lahab yang dijadikan objek kisah QS. Al-Lahab syarat dengan nuansa
simbolik yang dikenal di benak komunitas muslim sebagai sosok calon penghuni
neraka .19
Dari beberapa karya di atas, pembahasan mengenai surah al-Falaq dan al-
Nâs dan semiotika sudah banyak diteliti. Akan tetapi, sejauh pengamatan penulis
bahwa pembahasan yang khusus mengenai surah al-Mu„awwidzatayn dengan
menggunakan metode semiotika belum penulis temukan. Untuk itu penulis
16
Rony Subayu, “Al-Qur‟an sebagai Narasi Mistis: Konsep Mitos Roland Barthes
Sebagai Metode Penafsiran Kontemporer”, Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, (2005). 17
Husni Mubarak, “Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semioogi Roland
Barthes”, Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2006). 18
Pipit Aidul Fitriyana, “Kisah Yūsuf dalam al-Qur‟an: Perspektif Semiologi Roland
Barthes”, Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2014). 19
Irpan Sanusi, “Pesan Semiotika Al-Qur‟an: Analisis Strukturalisme QS. Al-Lahab”,
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2016).
11
mengajukan sebuah judul Semiotika Surah al-Mu„awwidzatayn: Analisis
Struktural Ferdinand de Saussure.
G. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam skripsi ini disusun dalam beberapa bab yang diperinci
sebagai berikut:
Bab I bertujuan untuk memberikan gambaran umum dari awal hingga
akhir dari pembahasan skripsi ini, oleh karena itu ia sangat berkaitan erat dengan
bab II, III, IV, bahkan kesimpulan, ia berisi tentang pendahuluan, dan pembahasan
itu terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penulisan, metodologi penulisan, kajian pustaka, serta sistematika
penulisan.
Bab II bertujuan untuk landasan teori, ini menjadi penting karena dengan
cara pandang itulah penulis mencoba untuk melihat teks yang ada sebagaimana
yang Saussure lakukan menurut orang-orang. Bab II ini berisi tentang pengertian
dan ruang lingkup semiotik, sejarah dan perkembangan semiotika, semiotika
Ferdinand De Saussure yang terdiri dari: riwayat hidup serta pemikiran Ferdinand
De Saussure mengenai semiotika, dan analisis strukturalisme Ferdinand de
Saussure.
Bab III bertujuan untuk memaparkan data yang berisi tentang tinjauan
umum surah al-Mu„awwadzatayn, teks dan terjemahan, asbab al-Nuzūl serta
manfaat, keistimewaan dan penafsiran yang dibagi menjadi dua bagian yaitu
penafsiran ulama klasik dan penafsiran modern.
12
Bab IV bertujuan untuk menganalisis data sehingga bab IV sangat
berkaitan dengan bab I, II, III, karena landasan teori dan pemaparan data yang
dibahas di bab sebelumnya akan diterapkan dalam bab IV ini, ia berisi tentang
pesan semiotika surah al-Mu„awwadzatayn, dan pengaplikasian surah al-
Mu„awwidzatyn terhadap struktural semiotika Ferdinand de Saussure .
Bab V bertujuan untuk menjawab permasalahan dari skripsi ini, yang
berisi kesimpulan dan saran. Penulis akan memberikan kesimpulan dari
permasalahan yang penulis angkat dalam rumusan masalah. Dalam bab ini akan
diuraikan secara singkat, terkait dengan jawaban yang penulis dapatkan dari
semua pembahasan yang telah penulis jelaskan dalam bab-bab sebelumnya,
kemudian mengajukan saran sesuai dengan temuan hasil penelitian, disampaikan
juga hal-hal apa saja yang perlu ditindak lanjuti sebagai hasil penelitian yang telah
dilakukan.
13
BAB II
SEMIOTIKA STRUKTURAL DAN FERDINAND DE
SAUSSURE
Pada bab II ini penulis akan membahas mengenai semiotika strukural dan
Ferdinand de Saussure, yang berisi tentang pengertian dan ruang lingkup
semiotika, sejarah dan perkembangan semiotika, dan semiotika Ferdinand de
Saussure yang terdiri dari: riwayat hidup, pemikiran, dan analisis strukturalisme
Ferdinand de Saussure. Semiotika itu dikenal sebagai ilmu yang membahas
mengenai tanda, seperti dalam kehidupan sehari-hari yang manusia jalani, tanpa
disadari bahwa di sekitar kehidupan yang dilaluinya itu terdapat tanda-tanda, dan
setiap tanda memiliki arti.
A. Pengertian dan Ruang Lingkup
Semiotika merupakan sebuah model ilmu pengetahuan dalam memahami
dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut “tanda”.1
Sedangkan menurut Lechte semiotika adalah teori tentang tanda dan penanda.2
Semiotika dalam kamus Sastra Arab seperti kamus Musṯalahât al-Adab karya
Majdi Wahbah disebut dengan „ilmu al-„alamat atau ilmu tanda.3 Secara definitif,
semiotika berasal dari kata seme, yang mana dalam bahasa Yunani, memiliki arti
penafsiran tanda. Ada juga yang mengatakan semiotika berasal dari kata semeion,
yang berarti tanda. Oleh sebab itu, semiotika sering disebut sebagai ilmu yang
1 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama (Malang:
UIN-Malang Press, 2007), h. 9. 2 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung ; PT Remaja Rosdakarya, 2009), Cet ke-
4, h. 15-16. 3 Sukron Kamil, Najib Mahfuz (Jakarta; PT. Dian Rakyat, 2013), Cet ke-3 , h. 96
14
mengkaji tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial dan
kebudayaan merupakan sekumpulan tanda-tanda, sehingga dalam hal ini
semiotika dianggap ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan atau
konvensi-konvensi yang memungkinkan suatu tanda memiliki arti.4
Saussure menyatakan bahwa ia membayangkan suatu ilmu yang
mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Di dalamnya dipelajari apa saja
tanda-tanda itu dan kaidah-kaidah yang mengaturnya. Ilmu itu disebutnya
semiologi. Linguistik hanyalah sebagian kecil dari ilmu umum itu.5
Semiotika merupakan ilmu yang mengkaji tanda, baik sistem tanda
maupun produksi tanda. Sementara itu, tanda sendiri adalah segala sesuatu yang
dapat dipakai sebagai pengganti sesuatu yang lain secara signifikan. Sesuatu yang
lain ini tidak harus eksis secara aktual di suatu tempat, sehingga tanda dapat
menggantikannya.6
Teori semiotika merupakan bagian dari salah satu teori sastra yang
digunakan untuk mengkaji karya sastra. Oleh sebab itu, kajian karya sastra dengan
menggunakan teori semiotika tidak dapat dilepaskan dari analisis unsur karya
sastra, sebab unsur-unsur karya sastra sendiri merupakan bagian dari sistem tanda.
Dengan kata lain, struktur yang terdapat dalam karya sastra merupakan tanda yang
harus dikaji.7
Sebagaimana dikutip oleh Ali Imran, menurut Charles Morris seorang
filsuf yang juga menaruh perhatian atas ilmu tanda-tanda, semiotika pada
4 Ali Imron, Semiotika Al-Qur‟an Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf
(Yogyakarta: Teras, 2011), Cet ke-1, h. 9. 5 Harimurti Kridalaksana, Mogin Ferdinand de Saussure (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), Cet ke-1, h. 50. 6 Imron, Semiotika Al-Qur‟an, h. 25.
7 Imron, Semiotika Al-Qur‟an, h. 29.
15
dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan, yaitu sintaktika
(sintaksis), semantika (semantik) dan pragmatika (pragmatik).8
Sintaktika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan
formal di antara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain. Dengan kata lain,
karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang
mengendalikan tuturan dan interpretasi, maka pengertian sintaktik kurang lebih
adalah “gramatika”.9
Semantik adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari
hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang
diacunya. Yang dimaksud designata adalah makna tanda-tanda sebelum
digunakan di dalam tuturan tertentu.10
Semantic mengkaji secara internal (ujaran
dan makna).11
Pragmatika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari
hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakai
tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi,
khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.12
Tanda itu berada di mana-mana, kata atau kalimat adalah tanda. Demikian
juga gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Bahkan bahasa
Tuhan pun dapat dikatakan sebagai “tanda” (al-ayat), baik itu yang ada di alam
(al-kauniyah) maupun tanda yang ada dalam kitab suci (al-qauliyyah). Struktur
8 Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, h. 11.
9 Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agamah, h. 11.
10 Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, h. 11-12.
11 Moch Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab (Tangerang Selatan: Alkitabah,
2012), h. 132. 12
Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, h. 12.
16
karya sastra, struktur film, bangunan, artefact, nyanyian, mode pakaian, atau
sejarah dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda.13
Al-Qur‟an dengan menggunakan bahasa sebagai media merupakan lahan
subur bagi kajian semiotika. Dalam al-Qur‟an terdapat tanda-tanda yang memiliki
arti, yang dapat dikaji dengan menggunakan semiotika. Dengan demikian,
semiotika al-Qur‟an dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu semiotika yang
mengkaji tanda-tanda yang ada di dalam al-Qur‟an, dengan menggunakan
konvensi-konvensi yang ada di dalamnya. Al-Qur‟an memiliki satuan-satuan
dasar yang dinamakan ayat (tanda). Tanda dalam al-Qur‟an tidak hanya bagian-
bagian terkecil dari unsur-unsurnya, seperti: kalimat, kata atau huruf, tetapi
totalitas struktur yang menghubungkan masing-masing unsur termasuk dalam
kategori tanda al-Qur‟an. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wujud al-Qur‟an
adalah serangkaian tanda-tanda yang memiliki arti.14
B. Sejarah Perkembangan
Semiotika mempunyai sejarah yang sangat panjang sejak zaman Yunani
kuno, melalui zaman pertengahan dan renaissance, hingga masa modern ini.
Bidang penelitiannya juga sangat luas, bahkan tak jelas batas-batasnya, mulai dari
tradisi bidang kedokteran, filsafat, linguistik, dan lain-lain.15
Kemunculan semiotika merupakan akibat langsung dari formalisme dan
strukturalisme. Pada dasarnya kelahiran strukturalisme di awal abad ke-20, yang
kemudian disusul oleh semiotika, merupakan akibat stagnasi strukturalisme itu
13
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan
Tanda (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), Cet-1, h. 130. 14
Imron, Semiotika Al-Qur‟an, h. 33-34. 15
Okke K.S. Zaimar, Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra (Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 2.
17
sendiri. Pemikiran tentang tanda sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman
Yunani. Para ahli filsafat Yunani sekali-kali sudah memikirkan fungsi tanda.
Selain itu, pada masa filsafat Yunani abad pertengahan pengertian serta
penggunaan tanda juga telah disinggung. Istilah semiotika sendiri baru digunakan
pada abad ke-18 oleh Lambert (seorang ahli filsafat dari Jerman) sebagai sinonim
kata logika, dan orang baru memikirkan secara sistematis tentang penggunaan
tanda dan ramai-ramai membahasnya pada abad ke-20.16
Berdasarkan perkembangan sejak zaman Yunani sampai zaman modern,
kelahiran strukturalisme dan semiotika masing-masing berakar dalam kondisi
berbeda sesuai konteks sosial yang melahirkannya. Strukturalisme merupakan dua
teori yang identik. Strukturalisme memusatkan perhatian struktur karya sastra,
sedangkan semiotika pada tanda di dalamnya. Sementara itu, menurut Noth ada
empat tradisi yang melatar belakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik, logika,
retorika, dan hermeneutika.17
Kelahiran semiotika modern tidak bisa dilepaskan dari dua tokoh yang
sering disebut sebagai bapak semiotika modern, yaitu: Ferdinand de Saussure
(1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Kedua tokoh ini tidak
saling mengenal dan masing-masing mengembangkan teori semiotika di daerah
yang berbeda. Saussure mengembangkan semiotika di Perancis, sedangkan Peirce
di Amerika. Kedua tokoh ini pun memiliki perbedaan-perbedaan terutama dalam
penerapan konsep. Perbedaan ini disebabkan karena latar belakang yang berbeda.
Saussure adalah seorang ahli bahasa dan menjadi cikal bakal linguistik umum,
16
Imron, Semiotika Al-Qur‟an, h. 10. 17
Imron, Semiotika Al-Qur‟an, h. 10.
18
sementara itu Peirce adalah seorang ahli filsafat dan logika.18
Sedangkan
pengikut-pengikutnya yang mengembangkan pikiran keduanya adalah Hjmslev
(1819-1965), seorang strukturalis Denmark, Roland Barthes (1915-1980), Ch
Morris, Umberto Eco, dan di Indonesia Aart Van Zoest, seorang ahli semiotic
Belanda yang beberapa semester menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia.19
Selain itu, perbedaan antara Saussure dengan Peirce adalah mazhab yang
mereka gunakan, Saussure dikenal dengan mazhab diadik yang artinya serba dua
yaitu yang terdiri dari penanda-petanda, langue-parole, sinkronik-diakronik, dan
sintagmatik-paradigmatik, sedangkan Peirce dikenal dengan mazhab triadik yang
artinya serba tiga yaitu interpretant, representamen, dan object. Dari tiga
pembagian tersebut masing-masing dibagi menjadi tiga bagian. Interpretant terdiri
dari rheme, discent, dan argument. Representamen terdiri dari qualisign, sinsign,
dan legisign, dan objek terdiri dari ikon, indeks dan simbol.20
C. Ferdinand de Saussure
1. Riwayat Hidup
Ferdinand de Saussure adalah sebuah nama yang tidak akan terhapuskan
dalam disiplin linguistik. Prinsip-prinsip linguistiknya terpancang kokoh dalam
rancang bangun ilmu ini.21
Saussure merupakan sosok yang sangat menarik dan
penuh teka-teki karena ia menjalani kehidupan yang tidak banyak peristiwanya.
Saussure lahir pada 26 November 1857,22
setahun sesudah Freud dan setahun
sebelum Durkheim. Saussure adalah anak lelaki dari seorang naturalis terpandang
18
Imron, Semiotika Al-Qur‟an, h. 11. 19
Kamil, Najib Mahfuz, h. 99. 20
Kris Budiman, Semiotika Visual ; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas (Yogyakarta:
Jalasurya, 2011), Cet ke-1, h. 17-31. 21
Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra (Yogyakarta; Jalasutra, 2009), Cet ke-1, h. 13. 22
Hidayat, Filsafat Bahasa, h. 105.
19
dan anggota keluarga dengan tradisi keberhasilan yang kuat dalam bidang ilmu
alam. Mongin-Ferdinand de Saussure adalah tokoh linguistik modern kelahiran
Genewa, Swiss.23
Ferdinand de Saussure diakui oleh para linguis di seluruh dunia sebagai
bapak linguistik modern dan dianggap sebagai pelopor strukturalisme. Awalnya,
tokoh ini belajar ilmu kimia dan fisika di Universitas Jenewa, kemudian belajar
ilmu bahasa di Leipzig pada tahun 1876 sampai 1879. Pada tahun 1880 Saussure
mendapat gelar doktor summa cum laude (IPK 4,00) dari Universitas Leipzig
dengan disertasinya De 1‟emploi du genitif absolu en sanserif. Pada tahun 1878
ketika berusia 21 tahun, Saussure sudah dapat dianggap sebagai ahli linguistik
historis yang sangat cemerlang. Namun, de Saussure lebih dikenal oleh para
linguis sebagai pakar linguistik umum sekalipun sumbangannya bagi linguistik
historis sangat menonjol. Saussure termasyhur karena buku yang tidak pernah
ditulisnya, yang berisi tiga seri kuliahnya tentang linguistik umum. Ketiga seri
kuliahnya itu dikumpulkan oleh tiga orang mahasiswanya, yaitu Ch. Bally, A.
Sechehaye, dan A. Riedlinger, dan buku tersebut diterbitkan pada tahun 1916,
dengan diberi judul Cours de linguistique generale (Pengantar Linguistik Umum).
Berkat buku itulah Saussure dikenal sebagai peletak dasar linguistik modern.24
2. Pemikiran
Saussure mengatakan bahwa akan hadir ilmu tanda yang disebutnya
semiologi. Saussure tidak membuat teori-teori tanda yang mencakup tanda-tanda
yang nonlinguistik. Meskipun demikian, pengaruh Saussure sangat kuat, terutama
pada tradisi penelitian semiologi-strukturalis. Hal ini terutama disebabkan oleh
23
E. Zaenal Arifin dkk, Asas-Asas Linguistik Umum (Tangerag : Pustaka Mandiri, 2015),
Cet. ke-1, h. 2. 24
Arifin dkk, Asas-Asas Linguistik Umum, h. 3.
20
gagasannya bahwa penelitian linguistik dapat menjadi pola semiologi. Selain itu,
berkat Saussure para ahli semiologi mengakui perlunya sistem tanda.25
Ferdinand de Saussure memiliki pemikiran yang sangat brilian. Saussure
membedakan dua aspek tanda bahasa, yaitu signifiant dan signifie (lapisan yang
memaknai dan lapisan yang dimaknai). Dalam kajian linguistik, Saussure juga
membedakan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik, serta membedakan linguistik
sinkronik dan linguistik diakronik.26
D. Analisis Struktural Ferdinand de Saussure
Saussure mengajarkan bahwa seluruh sistem bahasa sebagai forma dan
bukan substansi dapat disederhanakan dan dijelaskan sebagai relasi sintagmatis
dan paradigmatis; dan bahwa sistem itu terjadi dari tingkat-tingkat struktur. Pada
tiap tingkat terdapat unsur-unsur yang saling berkontras dan saling berkombinasi
untuk membentuk satuan-satuan yang lebih tinggi. Prinsip-prinsip penstrukturan
pada tiap tingkat pada dasarnya sama. Tujuan linguistik ialah mencari sistem
tersebut dari kenyataan yang konkret. Ajaran tersebut menjadi dasar dari apa yang
disebut pendekatan struktural. Untuk memahami pendekatan tersebut perlu dicatat
apa yang disebut struktur. Suatu deskripsi pernah diberikan oleh Jean Piaget,
seorang ahli psikologi dan pemikir Swiss. Menurut sarjana itu, struktur adalah
suatu tatanan wujud-wujud yang mencakup keutuhan, transformasi, dan
pengaturan diri.27
Konsep struktural Ferdinand de Saussure menggunakan mazhab diadik
ialah serba dua, dan konsep strukturalnya terbagi menjadi empat yaitu;
25
Zaimar, Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra, h. 7-8. 26
Arifin dkk, Asas-Asas Linguistik Umum, h. 2-3. 27
Kridalaksana, Mogin Ferdinand de Saussure, h. 46.
21
a. Penanda-Petanda
Salah satu penemuan Saussure yang terpenting adalah tentang tanda
bahasa. Ia menampilkan tiga istilah di dalam teorinya ini, yaitu tanda bahasa
(sign), penanda (signifier), dan petanda (signified). Menurut pendapatnya, setiap
tanda bahasa terdiri atas dua sisi, yaitu sisi penanda yang berupa imaji bunyi dan
petanda yang berupa konsepnya.28
Penanda adalah aspek material, seperti suara, huruf, bentuk, gambar, dan
gerak, sedangkan petanda adalah aspek mental atau konseptual yang ditunjuk oleh
aspek material. Kedua aspek ini, yaitu penanda dan petanda kemudian disebut
komponen tanda. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan
penanda, sedangkan konsepnya adalah petanda, sehingga keberadaan dua unsur
ini tidak bisa dipisahkan, dan pemisahannya hanya akan mengaburkan pengertian
kata itu sendiri. Dalam pandangan Saussure, tanda adalah kesatuan dari suatu
bentuk penanda dengan sebuah ide, atau petanda. Dengan kata lain, penanda
adalah bunyi atau coretan yang bermakna. Jadi penanda adalah aspek material dari
bahasa, apa yang dikatakan atau didengar, dan apa yang ditulis atau dibaca,
sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi penanda
adalah aspek mental dari bahasa.29
Contoh pada lampu lalu lintas, sebagai sebuah tanda non-kebahasaan,
memperlihatkan penanda yang berupa citra-visual, yakni ketika lampu merah.
Citra visual yang tertera pada lampu lalu lintas adalah penanda, sedangkan
petanda atau maknanya adalah harus berhenti.30
28
Zaimar, Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra, h. 8-9. 29
Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, h. 17-18. 30
Budiman, Semiotika Visual ; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, h. 31.
22
b. Langue-Parole
Langue adalah bahasa atau sarana yang digunakan manusia untuk
berbicara dan berkomunikasi dengan sesamanya.31
Ada juga yang mengatakan
bahwa langue adalah keseluruhan kekayaan bahasa, seperti kosakata dan tata
bahasa.32
Langue adalah bahasa sebagai objek sosial yang murni dan dengan
demikian, keberadaannya terletak di luar individu, yakni sebagai seperangkat
konvensi-konvensi sistematik yang berperan penting di dalam komunikasi.
Langue juga merupakan institusi sosial yang otonom, tidak tergantung kepada
materi-materi tanda-tanda pembentuknya. Sebagai sebuah institusi sosial, langue
sama sekali bukan tindakan dan tak bisa pula dirancang, diciptakan, atau diubah
secara pribadi karena ia pada hakikatnya merupakan kontrak kolektif yang
sungguh-sungguh mesti dipatuhi apabila kita ingin bisa berkomunikasi. Singkat
kata langue adalah bahasa dalam wujudnya sebagai suatu sistem.33
Yang dimaksud parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang,
termasuk kontruksi-kontruksi individu yang muncul dari pilihan penutur, atau
pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan kontruksi-
kontruksi ini berdasarkan pilihan juga.34
Parole juga dapat diartikan sebagai
keseluruhan yang diujarkan individu, termasuk segala kekhasan dalam ucapan dan
pilihan struktur yang digunakan.35
Parole adalah ujaran yang diucapkan atau
didengar oleh kita dari seseorang. Parole terjadi dari pilihan perseorangan yang
tidak terhitung jumlahnya, banyak sekali pengucapan dan kombinasi-kombinasi
baru. Parole bukanlah sesuatu yang kolektif, semua perwujudannya bersifat
31
Hidayatullah, Cakrawala Lingustik Arab, h. 11. 32
Zaimar, Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra, h. 8. 33
Budiman, Semiotika Visual, h. 24-25. 34
Kridalaksana, Mogin Ferdinand de Saussure, h. 16. 35
Zaimar, Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra, h. 8.
23
sesaat, pengungkapannya bersifat sesaat dan merupakan prilaku pribadi. Parole
yang artinya tuturan, yaitu bahasa yang dipakai orang tertentu, yang diujarkan
seseorang secara konkret, yang dapat juga disebut logat, ucapan, atau perkataan
adalah juga objek penelitian linguistik.36
c. Sinkronik-Diakronik
Pada abad ke 19 penelitian linguistik dilakukan dengan pendekatan diakronik,
yaitu yang berdasarkan sejarah atau perkembangan bahasa. Namun Saussure
berpendapat bahwa bahasa tidak hanya dapat diteliti secara diakronik, tetapi juga
dilakukan dengan pendekatan sinkronik.37
Gagasan mengenai metode sinkronik yang dilontarkan Ferdinand de
Saussure itu memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan
linguistik, tidak hanya pada model struktural, tapi juga pada perkembangan
linguistik sendiri. Sekarang tidak hanya dipraktikkan general linguistics
(linguistik umum), historical linguistics atau disebut juga dengan sebutan
linguistik diakronik dan linguistik komparatif, tetapi juga dipraktikkan linguistik
sinkronik yang penyelidikannya tidak dibatasi oleh waktu tertentu seperti pada
linguistik diakronik. Linguistik sinkronik bertugas memberikan deskripsi dan
analisis bahasa. Dalam bahasa tersebut diterangkan bagaimana kerja dan
penggunaannya oleh para penutur pada kurun waktu tertentu. Objek kajiannya
tidak hanya bahasa hari ini (modern), tapi bahasa yang sudah mati pun bisa
dijadikan objek kajian.38
Jadi, sinkronik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sisi statik
dari suatu ilmu. Analisis bahasa secara sinkronik adalah analisis bahasa sebagai
36
Arifin dkk, Asas-Asas Linguistik Umum, h. 6. 37
Zaimar, Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra, h. 8. 38
Hidayat, Filsafat Bahasa, h. 111-112.
24
sistem yang eksis pada suatu titik tertentu, yang sering kali berarti “saat ini” atau
kontemporer dengan mengabaikan rute yang telah dilaluinya sehingga dapat
berwujud seperti sekarang.39
Diakronik adalah segala sesuatu yang bersangkutan
dengan evolusi.40
d. Sintagmatik-Paradigmatik
Sebagai sebuah sistem atau struktur, bahasa mempunyai aturan yang
mengorganisasikan, menguasai, dan menentukan seluruh jalinan antar tanda yang
menjadi bagiannya. Tata bahasa adalah satu perwujudan dari aturan bahasa
tersebut. Jalinan antar tanda bahasa itu mempunyai dua poros utama, yakni poros
sintagmatik dan paradigmatik.41
Sintagmatik adalah hubungan linear antara unsur bahasa yang satu dan
unsur bahasa yang lain dalam tataran tertentu. Hubungan sintagmatik adalah
hubungan mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Suatu sintagma atau
konstruksi dapat berupa satuan berurutan apa saja yang jelas batasnya; jumlahnya
sekurang-kurangnya ada dua, baik berupa urutan fonem, suku kata, morfem, kata,
maupun frasa, dan sebagainya.42
Paradigmatik adalah ilmu yang mengkaji makna yang dipengaruhi oleh
hal-hal di luar bahasa.43
Hubungan paradigmatik (hubungan asosiatif, ke bawah)
berkaitan dengan hubungan unsur bahasa yang lain di luar tingkat itu, yang dapat
dipertukarkan. Jadi, hubungan paradigmatik adalah sistematis antar unsur bahasa
yang memiliki kesesuaian.44
39
Budiman, Semiotika Visual, h. 23-24. 40
Budiman, Semiotika Visual, h. 24. 41
Widada, Saussure Untuk Sastra, h. 20-21. 42
Arifin dkk, Asas-Asas Linguistik Umum, h. 8. 43
Hidayatullah, Cakrawala Lingustik Arab, h. 132. 44
Arifin dkk, Asas-Asas Linguistik Umum, h. 10.
25
Contoh hubungan sintagmatik dan paradigmatik dalam bentuk jumlah
fi„liyah sebagai berikut:
HUBUNGAN SINTAGMATIK
Tabel 2.1 Analisis Sintagmatik dan Paradigmatik pada jumlah
fi’liyah
P
A
R
A
D
I
G
M
A
T
I
K
فعل فاعل هفعول
الباب
زد
فخح
-
عل
قام
أهرا
احود
نصر
Dari contoh hubungan paradigmatik dan sintagmatik di atas termasuk
jumlah kalimat fi„liyah karena terdapat fi„il, fâ„il dan maf„ûl. Kemudian dari
contoh di atas terdapat jumlah fi„liyah dari Fi„il lazim dan muta‟adi.
Secar sintagmatik (linear ke kanan), berdasarkan contoh di atas, dapat
diketahui bahwa kalimat فخح زد الباب sudah benar dan dapat dipahami maknanya.
Jika urukannya diubah, maka kalimat juga akan berubah.
26
Secara paradigmatik, baik fungsi fi„il, fâ„il maupun maf‟ul di atas dapat
diisi oleh kata atau frasa yang sejenis. Maksudnya kata yang berkedudukan fâ„il
dapat ditukar dengan kata lain yang sama berkedudukan sebagai fâ„il, seperti kata
.عل dan أحود dapat ditukar dengan kata زد
Contoh hubungan sintagmatik dan paradigmatik dalam bentuk jumlah
ismiyah sebagai berikut:
HUBUNGAN SINTAGMATIK
Tabel 2.1 Analisis Sintagmati dan Paradigmatik
pada jumlah Ismiyah
P
A
R
A
D
G
M
A
T
I
K
المبتدأ الخبر
كرن
دمحم
هاهر
الطالة
Dari contoh hubungan paradigmatik dan sintagmatik di atas termasuk
jumlah kalimat ismiyah karena terdapat mubta‟da dan khobar.
27
Secar sintagmatik (linear ke kanan), berdasarkan contoh di atas, dapat
diketahui bahwa kalimat دمحم كرن sudah benar dan dapat dipahami maknanya. Jika
urukannya diubah, maka kalimat juga akan berubah.
Secara paradigmatik, baik fungsi mubta‟da atau pun khobar di atas dapat
diisi oleh kata atau frasa yang sejenis. Maksudnya kata yang berkedudukan
mubta‟da dapat ditukar dengan kata lain yang sama berkedudukan sebagai
mubta‟da, seperti دمحم dapat ditukar dengan kat . الطالة
Berdasarkan pemaparan pada bab II ini, maka dapat disimpulkan
semiotika merupakan sebuah model ilmu pengetahuan yang membahas tentang
tanda, dan dalam membahas semiotika tidak lepas dari dua komponen yaitu
penanda dan petanda. Istilah semiotika baru digunakan pada abad ke-18.
Kelahiran semiotika modern tidak bisa lepas dari dua tokoh yaitu, Ferdinand de
Saussure dan Charles Sander Peirce. Dua tokoh ini dikenal sebagai bapak
semiotika modern. Pada skripsi ini penulis mencoba menerapkan metode
strukturalisme Ferdinand de Saussure dalam membaca tanda-tanda di dalam al-
Qur‟an. Ferdinand de Saussure dikenal dengan mazhab diadik yang berarti serba
dua, yang mana konsep strukturalnya terdapat 4 konsep yang setiap konsepnya
terdiri dari dua, sebagaimana yang telah dibahas oleh penulis pada bab II ini.
28
BAB III
TINJAUAN UMUM SURAH Al- MU‘AWWIDZATAYN DAN
PENAFSIRANNYA
Pada bab sebelumnya penulis membahas mengenai semiotika struktural
dan Ferdinand de Saussure, dan pada bab ini penulis akan membahas mengenai
tinjauan umum surah al-Mu„awwidzatayn dan penafsirannya. Adapun poin-poin
yang akan dibahas pada bab III ini ialah mengenai tinjauan umum surah al-
Mu„awwidzatayn yang terdiri dari: teks surah dan terjemahannya, serta asbab an-
nuzulnya, dan penafsiran dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah
penafsiran ulama klasik yang terdiri dari tafsir Ibn Katsir dan tafsir Al-Qurṯubi,
dan yang kedua adalah penafsiran ulama kontemporer yaitu, tafsir Al-Azhar dan
tafsir Muhammad Abduh. Dalam bab III ini penulis membagi dua penafsiran yaitu
antara penafsiran ulam klasik dan penafsiran ulama modern bertujuan untuk
membandingkan penafsiran ulama terdahulu dan ulama zaman modern, serta
melihat apakah perubahan zaman mempengaruhi penafsiran seseorang dan apakah
budaya juga mempengaruhi dalam penafsiran. Dalam penafsiran ulama klasik
penulis menggunakan dua penafsiran yaitu tafsir Ibn Katsir dan tafsir al-Qurṯubi,
yaitu untuk mengetahui di mana perbedaan antara penafsiran bil ma‟tsur (tafsir
Ibn Katsir) dan penafsiran yang menggunakan perpaduan bil ma‟tsur dan bil ra‟yi
(tafsir al-Qurṯubi). Sedangkan dalam penafsiran ulama modern penulis
menggunakan dua penafsiran yaitu, Tafsir al-Azhar dan Tafsir Juz „Amma
Muhammad Abduh karena ingin mengetahui perbedaan penafsiran ulama dari
Indonesia dan dari luar Indonesia.
29
A. Tinjauan Umum Surat Al-Mu„awwidzatayn
1. Teks Surah dan Terjemahan
Surah Al-Falaq
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari
kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap
gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus
pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki."45
Surah Al-Nâs
Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan
menguasai) manusia. raja manusia. sembahan manusia. dari kejahatan
(bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan)
ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.46
2. Asbab Nuzûl
Dilihat dari sudut pandang sebab-sebab ayat al-Qur‟an diturunkan, ayat-
ayat al-Qur‟an dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yakni:
kelompok ayat-ayat yang dapat dikenali sabab nuzulnya, dan kelompok ayat-ayat
al-Qur‟an yang tidak diketahui sabab nuzulnya. Atau dalam ungkapan al-Buthi
45
Lihat Q.S Al-Falaq/113 : 1-5. 46
Lihat Q.S Al-Nâs/114 : 1-6.
30
sebagaimana yang dikutip oleh Amin Suma, ada kelompok ayat yang
penurunannya dipertautkan dengan sejumlah sebab dan kejadian yang melatar-
belakanginya; dan ini jumlahnya relatif lebih banyak. Sedangkan sebagian ayat
yang lain, turun tanpa ada sabab nuzul yang mendahului. Ayat-ayat yang turun
tanpa sebab yang mendahului ini pada umumnya ialah ayat-ayat yang berkaitan
dengan kisah umat manusia masa lalu serta sifat-sifat surga dan neraka.47
Asbab an-Nuzûl surah al-Mu„awwidzatayn (QS. Al-Nâs dan Al-
Falaq) ialah pada suatu saat Rasulullah SAW menderita sakit sangat parah.
Maka Allah SWT mengutus dua orang malaikat menjenguk beliau. Salah
seorang malaikat duduk di sebelah kepala, dan yang satunya duduk di
bagian kaki. Dua malaikat itu terlibat dalam dialog.
“Apa yang kamu lihat terhadap diri Rasulullah”, tanya malaikat
yang berada di bagian kaki.
“Beliau kena sihir”, jawab yang di bagian kepala.
“Apa sihir itu?”
“Sihir adalah guna-guna”.
“Siapa gerangan yang menyihirnya?”.
“Labid bin al-A‟sham, seorang Yahudi. Sihirnya berupa ijuk
gulungan yang ditaruh di sumur sebelah sana, pada keluarga si anu,
diletakkan di bawah batu besar. Maka timbalah air sumur dan angkatlah
batu besar itu, kemudian ambil dan bakarlah ijuk tersebut”.
Rasulullah SAW memperhatikan dialog tamunya, dan pada
keesokan harinya memerintahkan Amar bin Yasir dan kawan-kawan
mendatangi sumur yang dikatakan malaikat. Ketika sampai di sumur,
terlihat airnya sangat merah bagai darah. Maka air pun ditimba dan batu
besar pun diangkat. Gulungan ijuk dikeluarkan kemudian dibakar. Ketika
diamati, dalam gulungan ijuk terdapat sebelas buhul pada seutas tali. Maka
terbuktilah apa yang dikatakan malaikat yang berpura-pura menjadi tamu
yang menjenguk Rasulullah SAW. Malaikat telah menjelma sebagai
manusia, dua insan yang bersaudara.
Kedua surah Al-Nâs dan Al-Falaq diturunkan sehubungan dengan
sakit Rasulullah SAW. Ia diperintahkan Allah SWT agar membaca dua
surah tersebut. Setiap satu ayat dibaca, maka lepaslah buhul tali pada
47
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an (Jakarta: Rajawali Pres,2014), Cet ke-2,
h. 208.
31
gulungan ijuk yang digunakan untuk menyihir beliau. Maka begitu beliau
selesai membaca, badan pun sehat kembali seperti sedia kala.48
3. Surah Al-Mu„awwidzatayn
a. Al-Falaq
Surah al-Falaq terdiri dari lima ayat, berada pada urutan ke-113 pada
urutan nama surah di dalam al-Qur‟an. Arti dari surah al-Falaq adalah “waktu
subuh”.49
Mayoritas ulama berpendapat bahwa surah al-Falaq termasuk surah
makkiyah yakni turun sebelum Nabi SAW berhijrah ke Madinah. Surah ini
dinamai Nabi SAW dengan nama surah Qul A„ûdzu bi Rabb al-Falaq. Ada juga
yang mempersingkat dengan menamainya surah al-Falaq. Surah al-Falaq juga
disebut sebagai surah al-Mu„awwidzatayn. Nama itu terambil dari kata kedua
surah tersebut yang menggunakan kata A„udzu yang berarti “aku berlindung”,
sehingga al-Mu„awwidzatayn berarti dua surah yang menuntun pembacanya
kepada tempat perlindungan, atau memasukkannya ke dalam arena yang
dilindungi. Dari nama tersebut sementara para ulama menamai surah ini dengan
surah al-Mu„awwidzatayn al-U‟la (yang pertama).
Surah al-Falaq juga dinamai dengan al-Muqasyqaisyatain, yang menurut
al-Qurthubi berarti yang membebaskan manusia dari kemunafikan. Tema utama
surah ini adalah pengajaran untuk menyadarkan diri dan memohon perlindungan
hanya kepada Allah dalam menghadapi aneka kejahatan. 50
48
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah-
An-Nâs (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-1, h. 970-971. 49
Mahmud Yunus, Tafsîr Qur‟an Karîm (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah,
2015), h. 923. 50
Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an (Jakarta:
Lentera Hati,2007), Vol.VX Cet. IX h. 619-620.
32
b. Al-Nâs
Surah al-Nâs terdiri atas enam ayat, dan berada dalam urutan ke 114 dalam
urutan nama surah didalam al-Qur‟an. Arti dari surah al-Nâs adalah ”manusia”.51
Surah al-Nâs diturunkan sesudah surah al-Falaq, dan termasuk dalam golongan
surah makkiyah. Namanya yang populer adalah surah al-Nâs, surah ini juga
disebut sebagai surah al-Mu„awwidzatayn yaitu surah al-Mu„awwizdatayn ats-
Tsaniyah (yang kedua), dan dinamai juga dengan al-Muqasyqaisyatain seperti
surah al-Falaq.
Tema utama surah ini sebagaimana surah al-Falaq adalah permohonan
perlindungan kepada Allah SWT. Nabi SAW bersabda: “Allah telah menurunkan
kepadaku ayat-ayat yang tidak ada tandingannya; “Qul A„udzu bi Rabbi al-Nâs
dan Qul A„udzu bi Rabb al-Falaq” (HR. Muslim dan At-Tirmidzî melalui „Uqbah
Ibn „Amir al-Juhani). Yang dimaksud dengan tidak ada bandingannya adalah
dalam hal do‟a meminta perlindungan. Dalam riwayat lain Nabi SAW bersabda
kepada „Uqbah (sahabat yang meriwayatkan hadits ini): “Mohonlah perlindungan
dengan membaca keduanya, karena tidak satu pun yang meminta perlindungan,
serupa dengannya.” 52
B. Penafsiran Surat Al-Mu„awwidzatayn
1. Tafsir Klasik ( Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurṯubi)
Tafsir Ibn Katsîr merupakan tafsir bil ma‟tsur dan al-laun wa al-ittijah
(corak dan oreintasi). Selain itu tafsir ini juga, merupakan tafsir yang paling
banyak memuat atau memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya,
kemudian diikuti dengan hadits-hadits marfu‟ yang ada relevansinya dengan ayat,
51
Mahmud Yunus, Tafsîr Qur‟an Karîm, h. 924. 52
Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, h. 637-638.
33
serta menjelaskan apa yang dijadikan hujjah dari ayat tersebut. Kemudian diikuti
pula dengan atsar para sahabat dan pendapat tabi‟in dan ulama salaf sesudahnya.53
Tafsir al-Qurṯubi pengarangnya adalah Abu „Abdillâh Muhammad bin
Ahmad al-Anshâri al-Malikî al-Qurṯubi (w. 671H/1273M). Ia lahir di lingkungan
keluarga petani di Cordova pada masa kekuasaan Bani Muwahhidûn tahun
580H/1184M. Tafsir ini memadukan antara bil ma‟tsur dan bil ra„yi, kemudian
memiliki corak sejarah dan fiqh. Al-Qurṯubi adalah seorang penganut sunni
asy‟ari dan ia membela dan mempertahannkan ahlu sunnah. Dalam persoalan
madzhab Ia adalah seorang malikiah.54
a). Surah Al-Falaq
Ibn Katsir dalam menafsirkan kata al-falaq dalam kitab tafsirnya
mengambil rujukan melalui hadits riwayat Ibn Abu Hatîm mengatakan: Ahmad
bin Ishâm berkata kepada kami, Abu Ahmad Az-Zubairî berkata kepada kami,
Hasan bin Shalih berkata kepada kami dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil
dari Jabir ia berkata: qul a„udzu bi rabb al-falaq Maksud kata al-falaq adalah
subuh.55
Selain itu Ibn Katsir mengambil pendapat dari Al-Qurhzi, Ibn Zaid, dan
Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa kata al-falaq pada ayat ini, sama dengan
firman Allah,
53
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2013), Cet. ke-16, h. 528. 54
Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Ke-1, h. 19-21. 55
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma min Tafsîr Al-Qur‟an Al „Adzîm, Penerjemah. Farizal
Tirmidzî (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Cet. 11, h. 421
34
“Dia menyingsingkan subuh Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan
malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk
perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha
mengetahui .” (Qs. Al An‟âm (6):96).56
Untuk memperkuat, Ibn Kasir juga memasukan hadits yang diriwayatkan
oleh Ibn Hatim: Ayahku berkata kepada kami, Suhail bin Utsman berkata kepada
kami dari seseorang, dari As-Sady, dari Zaid bin Ali, dari Ayahnya: Al-Falaq
adalah penjara di dasar neraka Jahanam yang memiliki penutup. Jika penutupnya
itu terbuka, maka keluarlah darinya api yang akan membuat neraka Jahanam
berteriak, lantaran panas yang amat tinggi yang keluar dari penjara api dasar
neraka Jahanam. Menurut Ibn Jarir yang benar adalah pendapat yang pertama,
yang mengatakan bahwa al-Falaq artinya subuh. Ini adalah pendapat yang benar.57
Sedangkan al-Qurṯubi dalam menafsirkan kata al-falaq mengambil
pendapat dari beberapa ulama di antaranya yaitu: Jabir bin Abdullah, Al-Hasan,
Sa‟id bin Jubair, Mujahid, Qatadah, Al-Qurzhi, Ibnu Zaid dan Ibn Abbas yang
mengartikan kata Al-Falaq dengan "waktu subuh", dan pendapat dari Al-Hasan
dan Adh-Dhahhak yang mengartikan kata al-Falaq dengan segala sesuatu yang
dapat terbelah akibat ciptaan lainnya, seperti hewan, waktu pagi, bulir tumbuh-
tumbuhan, biji buah-buahan, atau benih apapun yang dapat menumbuhkan
sesuatu.58
Dalam menafsirkan Min syarri mâ khalaq (dari kejahatan makhluknya)
Ibnu Katsir mengambil pendapat dari Tsabit Al Bunani dan Al Hasan Al Bashri
56
Lihat Q.S Al-An’âm/6 ; 96. 57
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma, h. 422. 58
Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, Penerjemah Dudi Rosyadi dan Faturrahman
(Jakarta: Pustaka Azzam,2009), Jilid. 20, h. 908-909.
35
yang mengatakan: maksudnya adalah dari kejahatan neraka Jahanam dan dari
kejahatan Iblis serta anak-anaknya.59
Sedangkan al-Qurṯubi mengatakan yang dimaksud Min Syarri Mâ Khalaq
adalah iblis beserta keluarga dan keturunannya, dan semua keburukan atau semua
yang dapat mendatangkan keburukan dari dari makhluk Allah.60
Dalam tafsirnya Ibn Katsir menafsirkan Wa min syarri ghâsiqin idzâ
waqaba (dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita), mengambil
pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ghâsiqin idzâ waqaba artinya
malam, jika matahari telah terbenam, kemudian pendapat Ibn Zaid yang
mengatakan Al ghasiq, menurut orang Arab, artinya adalah “jatuhnya bintang
tujuh, yang pada jatuhnya bintang itu, berbagai macam penyakit dan keburukan
akan semakin merajalela, dan pendapat Ibn Jarir yang mengatakan ghâsiqin idzâ
waqaba artinya bulan jika telah menjadi gelap.61
Menurut Ibnu Katsîr, landasan
semua pendapat ini adalah hadits riwayat Imam Ahmad: Abu Daud Al Hafari
berkata kepada kami dari Ibnu Abu Dzi‟b, dari Al Harits, dari Abu Salamah, ia
berkata: Rasulullah SAW memegang tanganku lalu beliau memperlihatkanku
bulan yang sedang terbit dan beliau bersabda,
“Hendaklah engkau berlindung kepada Allah dari bulan malam ini ketika
gelap.” 62
Al-Qurṯubi memaknai kata ghâsiqin, dalam tafsirnya dengan "malam"
pendapat ini di ambil dari Ibn Abbas, Adh-Dhahhak dan Qatadah. Pada kata
waqaba al-Qurṯubi memaknai seperti hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzî,
59
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma, h. 422. 60
Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h. 911. 61
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma, h. 422-423. 62
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma, h. 424.
36
dari Aisyah, ia berkata: ketika pada suatu hari nabi saw melihat ke arah bulan,
beliau berkata kepadaku;
"Wahai Aisyah, mintalah perlindungan dari Allah akan keburukan
yang mungkin akan terjadi pada saat sekarang ini, karena saat inilah yang
dimaksud al-gâsiq idzâ waqab (bulan yang tertutupi)."63
Ibn Katsir dalam menafsirkan Wa min syarrin-naffâtsâti fi al-„uqudi (Dan
dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul)
wa min syarri hâsidin idzâ hasada (dan dari kejahatan orang yang dengki apabila
ia dengki),
Mengambil hadits yang diriwayatkan oleh Mujahid berkata dari Ikrimah,
Al Hasan, Qatadah, dan Adh-Dhahhak: maksudnya adalah para tukang
sihir. Mujahid mengatakan maksudnya wanita-wanita itu melakukan sihir
dengan meniup ikatan-ikatan tali, dan mengambil hadits yang
diriwayatkan oleh Ibn Jarir mengatakan: Ibnu Abdul A‟la berkata kepada
kami, Ibn Tsaur berkata kepada kami dari Ma‟mar, dari Ibn Thawus, dari
ayahnya, ia berkata: sesungguhnya yang paling dekat dengan kesyirikan
adalah melakukan sihir ular dan orang-orang gila. Selain hadits di atas Ibn
Katsir juga mengambil hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yaitu
hadits yang mengatakan bahwa malaikat Jibril datang kepada Nabi
Muhammad SAW lalu berkata, “Wahai Muhammad apakah engkau
sakit?” Beliau menjawab “Ya.” Jibril berkata, “Dengan nama Allah aku
akan meruqyahmu dengan ruqyah syar‟i, agar kamu terhindar dari segala
macam buruknya kedengkian „ain (sihir mata). Allah akan
menyembuhkanmu.” Kemungkinan yang dialami oleh Nabi SAW adalah
penyakit yang disebabkan oleh sihir, kemudian Allah menyembuhkan
beliau serta mengembalikan tipu daya para tukang sihir serta orang-orang
yang iri dan dengki kepada Nabi Muhammad SAW dikalangan orang
yahudi. 64
Sedangkan menurut al-Qurthubi yang dimaksud dari ayat tersebut yaitu
perintah Allah kepada manusia untuk berlindung dari kejahatan wanita-wanita
tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul yakni, para penyihir
(penyebutan wanita pada ayat ini, karena ilmu sihir yang identik dengan wanita,
63
Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h. 911-913. 64
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma, h. 424.
37
seperti istilah nenek sihir) yang meniupkan ikatan benang untuk melancarkan
sihirnya.65
Al-Qurṯubi dalam menafsirkan wa min syarri hâsidin idzâ hasada ( dan
dari kejahatan orang yang dengki, apabila ia dengki). Menurutnya makna dari kata
ẖasada (dengki) adalah mengharapkan hilangnya nikmat yang dirasakan oleh
orang yang dengki, walaupun orang yang mendengki tidak menginginkan nikmat
tersebut beralih kepadanya. Kedengkian adalah dosa pertama yang dilanggar di
langit, dan kedengkian juga menjadi dosa pertama yang dilanggar dibumi. Adapun
dilangit adalah ketika iblis dengki kepada Adam, sedangkan dibumi adalah ketika
Qabil dengki terhadap Habil. Sifat dengki adalah sifat yang buruk, dibenci, dan
dilaknat.66
Al-Qurṯubi mengatakan dalam tafsirnya bahwa surah ini menunjukkan
keburukan juga diciptakan dari Allah, dan Nabi SAW diperintahkan untuk selalu
meminta perlindungan kepada-Nya dari segala hal-hal yang buruk. Lalu Allah
juga menutup surah ini dengan menyebutkan sifat dengki, sebagai peringatan akan
besarnya akibat yang akan tercipta, juga besarnya bahaya yang akan terjadi dari
suatu kedengkian.67
b.) Surah Al-Nâs
Dalam menafsirkan Qul A„ûdzu bi Rabbi al-Nâs, Malik al-Nâs, Ilâhi al-
Nâs (katakanlah: aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai)
manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Ibn Katsir mengatakan Ini adalah
tiga sifat diantara sifat-sifat Allah, yaitu Rububiyah, Al Malik, dan Ilahiyah.
Artinya, Allah adalah Tuhan pemilik sesuatu (dengan demikian segala sesuatu itu
65
Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h. 419. 66
Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h. 913-918. 67
Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h. 918.
38
adalah makhluk yang diciptakan), raja dari segala sesuatu dan Tuhan yang
disembah oleh segala sesuatu dan Tuhan yang disembah oleh segala sesuatu serta
segala sesuatu menyembah-Nya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan pada
semua yang memohon perlindungan untuk berlindung kepada Allah SWT yang
memiliki sifat-sifat ini, dari kejahatan yang tersembunyi, yaitu syetan yang selalu
menyertai manusia, karena sesungguhnya setiap manusia pasti memiliki syetan
yang mendampinginya, yang akan membisikan buruk syetan itu hanya manusia
yang mendapat perlindungan dari Allah.68
Ketika menafsirkan Qul A„ûdzu bi Rabb Al-Falaq al-Qurthubi
mengatakan, dalam surah Al-Nâs ada dua alasan dalam penyebutan manusia
secara khusus, walaupun Allah swt adalah Tuhan bagi seluruh makhluk di alam
semesta ini, yaitu:
1. Karena manusia lebih mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya.
2. Karena manusia diperintahkan untuk memohon perlindungan dari segala
keburukan yang datang dari jenis mereka sendiri.69
Adapun penyebutan ayat kedua dan ketiga, yang artinya "raja manusia"
dan "sembahan manusia", al-Qurṯubi mengatakan: sesungguhnya di antara mereka
ada yang menjadi raja-raja, namun Allah adalah raja yang sebenarnya. Oleh sebab
itu Allah mengingatkan manusia bahwa Allah-lah Tuhan mereka. Allah adalah
sesembahan mereka, Allah adalah satu-satunya yang berhak untuk dimintai
perlindungan dan permohonan, bukan kepada raja-raja atau penguasa dari jenis
mereka sendiri.70
68
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma, h. 429-430. 69
Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h. 923. 70
Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h. 924.
39
Ibn Katsir ketika menafsirkan Min Syarri al-Waswâsi al-Khannâs
mengambil hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yaitu:
Rasulullah SAW bersabda, “tiap-tiap orang diantara kalian telah
disertakan syetan yang akan mengganggunya.” Para sahabat bertanya,
“Bagaimana denganmu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “ya,
termasuk aku. Akan tetapi, sesungguhnya Allah telah membantuku, maka
aku terhindar dari syetan itu. Allah juga tidak menyuruhku kecuali untuk
melakukan kebaikan.”71
Selain hadits di atas Ibn kastir dalam penafsirannya memakai
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hafidz Abu Ya‟la Al Mushily,
Muhammad bin Bahar, berkata kepada kami: Adi bin Abu Umarah berkata
kepada kami, Ziyad An-Namiri berkata kepada kami dan Anas bin Malik
berkata: Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya syetan meletakkan
cicinnya (berada) di hati manusia. Jika manusia itu ingat kepada Allah,
maka syetan akan berbunyi, namun jika manusia lupa kepada Allah, maka
syetan akan menelan (menguasai) hati manusia. Itulah yang dimaksud
dengan bisikan yang biasa bersembunyi.72
Kemudian Ibn Katsir mengambil pendapat dari Qatadah dan Sa‟id bin
Jubair yang mengatakan dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya: Min Syarri Al
waswâsi al khannâs (dari kejahatan bisikan syetan yang biasa tersembunyi): itu
adalah syetan yang bersembunyi dalam hati manusia. Jika manusia itu lupa atau
lalai, maka syetan akan membisikan kejahatan pada manusia. Namun jika manusia
itu ingat kepada Allah dengan berdzikir, maka syetan itu akan bersembunyi.73
Ketika menafsirkan Min Syarri al-Waswâsi al-Khannâs Ibn Katsir
mengambil pendapat dari al-Farra yang mengatakan Allah memerintahkan
manusia untuk berlindung dari kejahatan (bisikan) syetan yang bisa bersembunyi,
yakni dari kejahatan yang suka membisikkan (dzul waswaas), dan mengambil
pendapat dari At-Tirmidzi Al-Hakim dalam kitab Nawadir Al-Ushul, dari Wahab
bin Munabbih yang mengatakan bahwa al-Khonnâs adalah nama salah satu dari
anak iblis yang dititipkan oleh iblis kepada Siti Hawa. Kemudian al-Qurthubi
mengatakan adapun penamaan khunnas itu dikarenakan ia sering bersembunyi,
71
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma, h. 430. 72
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma, h. 430-431. 73
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma, h. 431.
40
dan makna ini sesuai dengan makna bahasanya. Al-Qurṯubi mengambil pendapat
dari Ibn Jubair dari Ibn Abbas yang mengatakan bahwa kata khannas bermakna
kembali, karena syetan itu akan kembali kepada hati seorang hamba yang lalai
dari mengingat Allah. Kemudian Ibn Jubair mengatakan bahwa akibat dari bisikan
Khannas itu ada dua bentuk, pertama: membuat seseorang berpaling dari hidayah,
dan yang kedua: membuat seseorang dipenuhi keragu-raguan.74
Alladzî Yuwaswisu fî Sudûri al-Nâs (yang membisikan kejahatan ke dalam
dada manusia). Minal jinnati wa al-nâs (dari golongan jin dan manusia). Ibn
Katsir mengatakan bahwa ayat ini merupakan penafsiran ayat sebelumnya, yaitu
menyatakan bahwa ayat kelima dari surah ini bersifat umum, yaitu golongan jin
dan manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-An‟aam ayat 112.75
Ketika menafsirkan Alladzî Yuwaswisu fî Sudûri al-Nâs (yang membisikan
kejahatan ke dalam dada manusia) al-Qurthubi mengambil pendapat dari Munqatil
yang mengatakan: Sesungguhnya Syetan yang berbentuk seperti seekor babi dapat
berlari-larian di aliran darah manusia disetiap ruas urat yang mereka miliki, dari
kaki hingga kepala, dan yang menjadi pusat kediaam mereka adalah di kalbu
manusia.76
Minal Jinnati wa al-Nâs (dari golongan jin dan manusia) menurut Ibnu
Katsir ayat ini merupakan penafsiran dari Alladzî Yuwaswisu fî Sudûri al-Nâs.77
Dalam penafsiran Minal Jinnati wa al-Nâs al-Qurthubi mengambil
pendapat dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa ada dua golongan yang disebut
Khannâs. Adapun dari golongan jin disampaikan ke dalam dada manusia,
74
Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h. 924-928. 75
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma, h. 432. 76
Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h. 928. 77
Ibn Katsîr, Tafsîr Juz „Amma, h. 432.
41
sedangkan bisikan dari golongan manusia disampaikan secara terang-terangan.
Dengan penafsiran seperti ini, maka yang diperintahkan oleh ayat ini adalah
memohon perlindungan dari kejahatan yang diperbuat oleh bangsa jin dan
kejahatan yang diperbuat oleh sesama manusia.78
2. Tafsir Modern (Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Muhammad Abduh)
Tafsir Al-Azhar adalah hasil karya H. Abdul Malik Karim Amrullah, yang
biasa dikenal dengan Buya Hamka. Dalam sumber penafsiran atau juga sering
disebut dengan naw‟u (jenis) ada dua sumber yang digunakan yaitu bi al-ma‟tsur
dan bi al-ra‟yi. Menggunakan metode tahlili. Tafsir al-Azhar dalam menjelaskan
ayat itu bercorak sastra budaya kemasyarakatan (adabi ijtima‟i).79
Tafsir Al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur‟an dengan
ungkapan yang teliti, menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam al-Qur‟an
dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas
sosial dan sistem budaya yang ada, dan disusun tanpa membawa pertikaian antar
mazhab.80
Muhammad „Abduh nama lengkapnya adalah Muhammad bin „Abduh bin
Hasan Khairullah. Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266 H/1849 M dan wafat
pada tahun 1323 H/1905 M di Iskandaria.81
Ada dua fokus utama pemikiran tokoh
pembaru Mesir ini. Pertama, membebaskan umat dari taqlîd dengan berupaya
memahami agama langsung dari sumbernya yaitu al-Qur‟an dan Sunnah. Kedua,
memperbaiki gaya bahasa Arab yang sangat bertele-tele, yang dipenuhi oleh
78
Qurthubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h. 930-932. 79
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat: CV. Sejahtera Kita, 2013), Cet. Ke-2,
h.170-188. 80
Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, (Jakarta: Gema Insani, 2015), Cet.1, h.340 81
Lilik Umi Kaltsum, “Mendialogkan Realitas Dengan Teks”, (Surabaya: IAIN Press
Sunan Ampel), h. 1.
42
kaidah-kaidah kebahasaan yang sulit dimengerti. Kedua fokus tersebut ditemukan
dengan sangat jelas dalam karya-karyanya dibidang tafsir.82
a). Surah Al-Falaq
Menurut Buya Hamka pada surah al-Falaq ini manusia diperintahkan
untuk berlindung kepada Allah. Karna Allah adalah tempat manusia berlindung.
Qul A‟ûdzu bi Rabb al-Falaq (Katakanlah, “aku berlindung kepada Tuhan-Nya
waktu subuh” menurut Buya Hamka kata al-Falaq dapat diartikan cuaca subuh,
tetapi ada juga yang mengartikan dengan peralihan.83
Dalam menafsirkan Qul A„ûdzu bi Rabb al-Falaq (Katakanlah, “aku
berlindung kepada Tuhan-Nya waktu subuh”. Muhammad Abduh mengambil
pendapat yang mengatakan bahwa al-Falaq ialah waktu subuh. Sedangkan
Tuhannya subuh, adalah Allah SWT. Kemudian mengambil pendapat dari para
ahli tafsir yang menyatakan bahwa al-Falaq ialah semua maujud di alam semesta,
dan Allah SWT Tuhannya wujud semesta ini semuanya, dan hanya kepadanyalah
manusia memohon perlindungan.84
Dalam menafsirkan Min syarri mâ khalaq (dari kejahatan makhluknya)
Buya Hamka mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada manusia agar
berlindung dari kejahatan yang telah diciptakan. Allah-lah yang menciptakan
semua makhluk, baik langit dengan segala yang ada dilangit, atau bumi dengan
segala isinya, dan segala yang telah Allah jadikan itu bisa saja membahayakan
manusia. Seperti hujan lebat bisa menjadi banjir.85
82
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm: Juz „Amma, Penerjemah Muhammad
Bagir, (Bandung: Mizan,1998), h.16. 83
Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, h. 322. 84
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. .371-372. 85
Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, h. 322-323.
43
Min Syarri mâ Khalaqa (dari kejahatan makhluk-Nya), maksud dari ayat
ini menurut Muhammad Abduh adalah berlindung dari setiap kejahatan atau
gangguan yang dapat menimpa anda, yang berasal dari segala sesuatu yang Allah
ciptakan.86
Allah SWT menciptakan segala ciptaan-Nya demi hikmah yang tidak
kita ketahui. Meskipun adakalanya Allah menunjukkan juga hikmahnya. Setiap
makhluk adalah baik dalam dirinya sendiri, karena ia telah menempati posisinya
dalam hidup ini. Yaitu kebaikan yang tidak mungkin ia tergeserkan darinya.
Adapun kejahatan-kejahatan yang kadang-kadang ia jumpai adalah hal-hal yang
bersifat relatif. Sesuatu yang merupakan suatu kejahatan bagi anda, mungkin ia
adalah kebaikan bagi makhluk yang lainnya.87
Itu sebabnya, ayat ini menisbahkan
kejahatan kepada makhluk (ciptaan) Allah. Karena, sesuatu yang disebut
„kejahatan‟ itu sendiri adalah relatif, berkaitan dengan sisi pandangan masing-
masing.88
Wa min syarri ghâsiqin idzâ waqaba (dan dari kejahatan malam apabila
telah gelap gulita), menurut Buya Hamka maksud dari ayat tersebut yaitu manusia
diperintahkan oleh Allah untuk berlindung dari kejahatan malam. Apabila
matahari telah terbenam dan malam datang menggantikan siang, bertambah lama
bertambah tersungkurlah matahari itu sebaliknya bumi dan bertambah kelamlah
malam. Maka dalam malam hari itu berbagai ragam bahayalah yang dapat
terjadi.89
Wa Min Syarri Ghāsiqin Idzā Waqaba (dan dari kejahatan malam apabila
telah pekat kegelapannya). Muhammad abduh mengambil asal kata ghasiq
86
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 372. 87
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 372. 88
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 372. 89
Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, h. 324.
44
mengandung arti „mengalir atau tercurah dengan kuat‟, sedangkan asal kata waqab
ialah lubang di dalam gunung dan sebagainya. Sedangkan kata kerja waqaba
berarti masuk sedalam-dalamnya sehingga menembus apa saja yang dilaluinya.90
Adapun menurut Muhammad Abduh yang dimaksud dengan ghâsiq disini ialah
„malam‟ apabila ia waqaba „masuk seraya meliputi segalanya‟, sehingga menjadi
gelap gulita. Suasana seperti itu, biasanya mencekam dan membuat manusia takut
mengalami sesuatu yang mengganggu, sementara manusia tidak tahu bagaimana
menyelamatkan diri.91
Wa min syarrin-naffâtsâti fi al-„uqudi (Dan dari kejahatan wanita-wanita
tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul), ketika menafsirkan ayat ini
Buya Hamka mengatakan bahwa Allah memerintahkan manusia agar berlindung
dari kejahatan mantra-mantra sang dukun. Segala macam mantra atau sihir yang
digunakan untuk mencelakakan orang lain. Dengan adanya ayat ini, nyatalah
bahwa al-Qur'an mengakui adanya hal-hal demikian.92
Dalam tafsirnya Muhammad Abduh mengatakan bahwa Allah SWT
mengkhususkan beberapa makhluk lainnya yang ada kemungkinan timbulnya
kejahatan dari mereka, serta sulitnya menghindar darinya. Maka tak ada jalan lain
kecuali melindungkan diri kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya. Wa Min
Syarri al-Nafâtsâti Fî al-„Uqadi (dan dari kejahatan para pengembus pada buhul-
buhul ikatan), dalam menafsirkan ayat ini Muhammad Abduh Mengatakan bahwa
kata عقد adalah kata jamak dari عقدة yang berarti buhul ikatan. Kemudian kata itu
digunakan secara lebih luas untuk segala sesuatu yang diikat dengan kuat.93
90
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 373. 91
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 373. 92
Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, h. 324. 93
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 373-374.
45
Kemudian kata النفث ialah tiupan yang halus, adakalanya disertai sedikit air liur.
Sedangkan النفاثت ialah orang yang amat sering melakukan hal itu, baik laki-laki
atau perempuan. Kata jamaknya النفاثاث Yang dimaksud disini adalah para
penyebar fitnahan atau memanas-manasi perselisihan antara dua orang atau
kelompok, dengan tujuan memutuskan hubungan persaudaraan.94
Dalam
menafsirkan ayat ini Muhammad Abduh mengambil riwayat yang menyatakan
bahwa Nabi SAW pernah disihir oleh Labid bin Al-A‟sham. Sihir tersebut telah
mempengaruhi diri nabi SAW, sehingga adakalanya ia telah melakukan sesuatu,
padahal ia tidak melakukannya. Atau mendatangi sesuatu padahal ia tidak
mendatanginya. Allah SWT kemudian memberitahukan hal itu kepadanya. Maka
dikeluarkanlah media sihir itu dari dasar sebuah sumur. Sejak itu, nabi SAW
terbebas dari pengaruh sihir, lalu turunlah surah ini.95
Wa Min Syarri Hâsidin Idzâ Hasada ( dan dari kejahatan orang yang
dengki, apabila ia dengki), dalam menafsirkan ayat ini Buya Hamka mengatakan
bahwa manusia diperintahkan oleh Allah agar berlindung dari kejahatan orang
yang dengki, apabila dia melakukan kedengkian. Pada hakikatnya dengki itu
adalah salah satu penyakit yang menimpa jiwa manusia. Sakit hatinya melihat
nikmat yang dianugrahkan Allah kepada seseorang, padahal dia sendiri tidaklah
dirugikan oleh pemberian Allah itu. Oleh karena itu bisa saja orang yang dengki
bertindak yang tidak-tidak kepada yang didengkinya.96
Oleh sebab kejahatan-
kejahatan yang ada, manusia diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dalam
94
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 374. 95
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 375. 96
Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, h. 325-326.
46
namanya sebagai Rabb, penjaga, pemelihara, pendidik dan pengasuh agar
diselamatkan dari segala bahaya yang ada.97
Wa Min Syarri Hâsidin Idzâ Hasada (dan dari kejahatan orang yang
dengki apabila ia mendengki), dalam menafsirkan ayat ini Muhammad Abduh
mengatakan, seorang pendengki adalah yang mengharapkan hilangnya
kenikmatan dari orang yang ia dengki dan tidak rela akan datangnya kenikmatan
baru baginya. Orang seperti itu, manakala melaksanakan kedengkiannya dengan
benar-benar berupaya menghilangkan kenikmatan orang yang ia dengki.
Pendengki termasuk makhluk Allah yang paling besar gangguannya, paling
tersembunyi tipu dayanya, dan paling licik caranya. Sementara itu, orang yang ia
dengki tidak berdaya membuat senang lawannya dengan cara apa pun juga, dan
tidak pula mampu mengetahui tipu daya macam apakah yang direncanakan
terhadapnya.98
Kemudian Muhammad Abduh mengatakan, maka tak ada
perlindungan dari kejahatan seperti itu, kecuali terhadap Allah SWT. Allah yang
maha kuasa untuk mencegah gangguan tersebut dan mengagalkan rencana
jahatnya. Maka semoga Allah SWT menjaga kita dari kedengkian para pendengki,
dan menolakkan rencana para perencana kejahatan.99
b.) Surah Al-Nâs
Buya Hamka mengatakan dalam tafsirnya bahwa di dalam surah Al-Nâs
dijelaskan bagaimana cara manusia berlindung kepada Allah dari sesama manusia,
dan dalam surah Al-Imran ayat 112, dengan tegas Allah memberikan peringatan,
bahwa kehinaan akan dipikulkan Allah kepada manusia kecuali dengan berpegang
kepada dua tali yaitu, hablun minallah dan hablun minan-nâs. Manusia bisa
97
Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, h. 330. 98
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 379. 99
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 379.
47
menguntungkan dan bisa juga membahayakan manusia yang lainnya. Maka
diajarkanlah pada surah Al-Nâs ini, bagaimana cara manusia menghadapi dan
hidup ditengah-tengah manusia lainnya. Melalui ajaran nabi Muhammad saw
manusia diperintahkan untuk berlindung kepada Allah. Karena Allah adalah
Rabbun al-Nâs, Maliki al- Nâs, dan Ilâhi al-Nâs.100
Allah adalah kholiq, artinya
pencipta. Buya Hamka juga mengatakan Allah adalah Rabb al-Nâs yaitu
pemelihara manusia. Allah adalah Maliki al-Nâs, penguasa dari seluruh manusia.
Jika kata malik itu dibaca tidak dipanjangkan bacaan pada mim (tidak dengan
madd), berartilah ia penguasa atau raja. Tetapi jika maalik dbaca panjang dua alif
pada mim, berarti dia "yang empunya" (yang memiliki). Namun dipanjangkan
atau tidak, pada kedua bacaan itu memang terkandung pemgertian, Allah itu raja
atau penguasa mutlak atas diri manusia. Maka tidaklah ada artinya mengakui
Allah sebagai Rabbun (pemelihara), jika manusia tidak mengakui Allah itu
sebagai Malikun (penguasa atas hambanya). Oleh sebab itu hanya Allah-lah
pemelihara, penguasa, maka Allah pulalah yang berhak untuk disembah dan
dipuja.101
Muhammad Abduh dalam tafsirnya mengatakan surah al-Nas mengandung
perintah Allah SWT agar kita berlindung kepada-Nya, dan memohon pertolongan-
Nya guna menolak kejahatan. Namun kejahatan seperi ini sering kali dilupakan
orang, sehingga mereka tidak mempedulikannya. Ia mendatangi mereka dari arah
syahwat hawa nafsu mereka, dan berbaur secara tersembunyi dengan berbagai
kekuatan dan potensi diri mereka. Akibatnya, secara tidak sadar mereka
terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan buruk, sementara mereka mengira
100
Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, h. 331-332. 101
Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, h. 332-333.
48
dirinya melakukan perbuatan-perbuatan yang baik-baik saja.102
Mengingat bahwa
kejahatan dari jenis ini amat halus dan tersembunyi, sedemikian sehingga
kekuatan orang tidak mampu menolaknya dengan mudah, maka diperlukan
pertolongan Allah SWT untuk menangkalnya, dan perlindungan-Nya pula dalam
upaya mengatasinya. Kejahatan yang dimaksud adalah yang disebut waswas.103
Dalam menafsirkan Qul A‟ûdzu bi Rabb al-Nâs (katakanlah “aku
berlindung kepada Rabb-nya manusia”), Muhammad Abduh mengatakan bahwa
Rabb-nya manusia adalah Allah SWT, yang memelihara mereka dengan karunia-
karunia-Nya dan memberikan pendidikan kepada mereka dengan hukuman-
Nya.104
Maliki al-Nâs (rajanya manusia), menurut Muhammad Abduh maksudnya
ialah yang menguasai mereka, mengawasi perbuatan-perbuatan mereka, mengatur
segala usaha mereka, menetapkan perundangan-perundangan-Nya di antara
mereka, dan menetapkan berbagai peraturan dan batasan umum agar mereka tidak
melanggarnya.105
Ilâhi al-Nâs (Tuhannya manusia), menurut Muhammad Abduh
maksudnya ialah yang menguasai jiwa-jiwa mereka dengan keagungan-Nya,
sementara mereka tidak mampu menjangkau hakikat kekuasaan-Nya, dan hanya
menunduk khusyu‟ di hadapan-Nya. Dia meliputi semua arah jiwa-jiwa mereka,
sementara mereka tidak tahu dari arah manakah ia mencapai mereka. Dialah
Tuhan dan sembahan yang haqq, dan tempat berlindung bagi manusia setiap kali
mengalami situasi yang tidak menguntunkan.106
Menurut Muhammad Abduh
sebutan tentang manusia ini diulang-ulang, setiap kali dengan menggunakan kata
102
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 381-382. 103
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 382. 104
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 382. 105
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 382. 106
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 382.
49
“manusia”, bukan dengan kata ganti “mereka”. Hal ini menunjukan keseriusan
persoalan, mengingat begitu besarnya ketergantungan mayoritas manusia pada
khayalan-khayalan mereka, dan berpegang teguhnya mereka pada pikiran-pikiran
yang melenceng.107
Maka Allah SWT ingin mengingatkan mereka dengan cara
mengulang-ulang sebutan kata manusia pada ayat 1-3, dan telah jelas bahwa
manusia tidak mempunyai Rabb, atau Raja, atau Illah selain Allah SWT.108
Alladzî Yuwaswisu fî Sudûri al-Nâs (yang membisikan kejahatan ke dalam
dada manusia). Minal jinnati wa al-nâs (dari golongan jin dan manusia). Ketika
menafsirkan ayat tersebut Buya Hamka mengatakan bahwa pada surah Al-Nâs
manusia diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dari bisikan-bisikan orang
yang selalu mengintai jika ada peluang. Maka saat manusia lengah itulah, peluang
yang baik baginya untuk membisik-bisikan sesuatu. Dia masuk ke dalam dada
manusia secara halus sekali. Dia menumpang dalam aliran darah, dan darah
berpusat ke jantung, dan jantung terletak dalam dada. Maka dengan tidak disadari
bisikan yang dimasukkan melalui jantung yang di balik benteng dada
terpengaruhlah oleh bisikan itu. Yang memasukkan waswas itu disebut khonnas.
Ada yang secara halus, itulah dari golongan jin, dan ada yang secara kasar, itu
adalah dari golongan manusia.109
Min Syarri al-Waswâsi (dari kejahatan waswas). Muhammad Abduh
mengatakan kata waswas berasal dari kata waswasah suara yang lirih atau
tersembunyi. Adakalanya, suara perhiasan wanita ketika bergerak, disebut
waswasah. Adapun yang dimaksud dengan waswas disini adalah sesuatu atau
107
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 383. 108
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 383. 109
Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, h. 333.
50
seseorang yang membisikkan kata-kata jahat kedalam jiwa manusia,110
dan Al-
Khannâs (yang datang dan kembali secara sembunyi-sembunyi). Asalnya dari
kata kerja khanasa, yang berarti datang atau kembali (secara sembunyi-sembunyi).
Muhammad Abduh mengatakan bahwa kata-kata jahat yang berupa bisikan yang
jahat seperti itu, apabila diperhitungkan dan diteliti akibat-akibatnya secara akal,
pasti akan hilang lenyap, dan si penimbul waswas itu pun akan berhenti dan pergi
bersembunyi.111
Siapa saja pelaku waswas, yang gemar membisikkan kejahatan
ke dalam jiwa manusia, pasti mudah pergi menyembunyikan diri. Karena ia
berada disisi kebatilan, dan takkan mampu melawan kebenaran apabila keduanya
saling berbenturan. Tetapi ia akan menjerumuskan siapa saja yang mengikutinya
dan mengikuti bisikan jahatnya ke dalam jurang kehancuran.112
Menurut Muhammad Abduh dalam ayat 4 Allah SWT menyebutkan sifat
sesuatu yang datang dan pergi secara sembunyi-sembunyi, untuk mengingatkan
manusia tentang celah kelemahan dari penimbul waswas. Agar manusia mampu
menolak kejahatan nya, seraya memohon perlindungan dan pertolongan Allah
SWT. Untuk menunjukkan kepada manusia, bahwa bencana yang menimpa
manusia dari arahnya disebabkan dari kelemahan tekad serta kebutaan mata hati
mereka sendiri.113
Alladzî Yuwaswisu fî Sudûri al-Nâs (yang membisikan kejahatan dalam
dada manusia, dari jin dan manusia). Menurut Muhammad Abduh maksud kalimat
dari jin dan manusia adalah penjelasan berkaitan dengan al-waswâsi al-khannas,
110
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 383-384. 111
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 384. 112
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 384. 113
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 384-385.
51
atau tentang siapa saja yang menimbulkan waswas, adakalanya dari bangsa jin
ataupun manusia biasa.114
Muhammad Abduh mengatakan bahwa para penyebar waswas ini terdiri
atas dua jenis makhluk. Pertama, yang disebut jin, jenis makhluk yang
tersembunyi dan tidak kasat mata. Manusia tidak mengenal mereka, tetapi dapat
dirasakan dalam diri manusia adanya suatu pengaruh yang dinisbatkan kepada
mereka. Bagi setiap manusia ada syetan yang senantiasa berupaya
mempengaruhinya. Yaitu suatu kekuatan yang mengajak kepada kejahatan, dan
menimbulkan pikiran-pikiran jahat dalam hati manusia. Ayat ini menyebutkan
tempat timbulnya waswas ialah dada manusia. Jenis kedua dari para pelaku
waswas yaitu manusia. Sebab Allah SWT menisbahkannya kepada manusia,
dalam firman-Nya, Mina al-Jinnati wa al-Nâs (dari jenis jin dan manusia). Maka
seharusnya manusia-manusia yang menimbulkan waswas dalam jiwa manusia
lainnya, memiliki belalai dan paruh yang masuk ke dalam dada-dada, dan
diletakkan di telinga hati. Setiap kali nama Allah disebutkan, belalai itu mengerut
seperti yang mereka sebutkan berkaitan dengan manusia.115
Oleh sebab itu,
manusia diperintahkan unutuk berlindung kepada Allah SWT dari al-waswas al-
khannâs, dari bangsa jin dan manusia yang menimbulkan kejahatan dalam dada
manusia.116
Dari empat penafsiran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika
menafsirkan ayat Ibn Katsir lebih menggunakan ayat-ayat yang bersangkutan
kemudian diikuti dengan hadits-hadits dan menambahkan juga pendapat-pendapat
114
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 385. 115
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 385-386. 116
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 387.
52
dari ulama-ulama sebelumnya. Al-Qurṯubi ketika menafsirkan ayat lebih banyak
mengambil pendapat-pendapat ulama terdahulu dan pendapat dari dirinya sendiri.
Al-Qurṯubi juga mencantumkan hadits dan ayat qur‟an yang bersangkutan akan
tetapi hanya sebagian kecil saja dari penafsirannya. Kemudian Buya Hamka
dalam menafsirkan ayat lebih banyak menggunakan pendapat sendiri. Ia juga
menyantumkan beberapa ayat yang bersangkutan akan tetapi hanya sebagian kecil
saja. Buya Hamka dalam menafsirkan ayat mengaitkan penafsirannya dengan
realita sosial dan budaya yang ada. Sedangkan Muhammad Abduh ketika
menafsirkan ayat lebih banyak menggunakan akal atau pendapat dirinya sendiri,
kemudian dalam menafsirkan ayat Muhammad Abduh lebih sering menafsirkan
per-kata dan mencari asal kata tersebut.
53
BAB IV
PESAN SEMIOTIKA SURAT Al-MU‘AWWIDZATAYN
Pada bab IV ini penulis akan memaparkan pengaplikasian metode
struktural Ferdinand de Saussure pada surah al-Mu„awwidzatayn, yang diawali
dari parole, sintagmatik, penanda-petanda, paradigmatik, dan langue. Pada bab IV
ini penulis tidak mengaplikasikan metode sinkronik dan diakronik karena menurut
Ferdinand de Saussure hanya sinkronik yang penting dalam mengkaji bahasa.
Sinkronik adalah makna bahasa saat ini, karena dalam petanda penulis
mengkonseptualkan dengan makna saat ini jadi metode sinkronik tidak perlu
dikaji lagi karena sudah terdapat dalam petanda.
A. Parole
Parole bisa juga dikatakan sebagai aplikasi dari sistem bahasa tersebut.
Firman Allah dari surah al-Fatihah hingga surah al-Nas disebut sebagai parole.
Karena surah tersusun dari ayat, ayat tersusun dari lafadz. Gabungan dari lafadz
tersebut yang tersusun mengikuti kaidah jadi parole. Parole dari surah al-
Muawwidzatyn adalah QS. Al-Nâs dan QS Al-Falaq.
Surah Al-Falaq
54
Surah Al-Nâs
B. Sintagmatik
Sintagmatik adalah hubungan linear antara unsur bahasa yang satu dan
unsur bahasa yang lain dalam tataran tertentu.1 Pada skripsi ini penulis mencoba
menerapkan analisis sintagmatik pada surah al-Mu„awwidzatayn (surah al-Falaq
dan surah al-Nâs).
2
Hubungan sintagmatik yang terdapat pada surah al-Falaq:
Tabel 4.1 Pengaplikasian Sintagmatik Pada Surah Al-Falaq
فعل فاعل مفعول األولى مفعول الثانى
- قل هللا الناس
الناس برب من شر أعوذ
ما -
هللا خلق
- - وقب غاسق
- - حسد حاسد
1 E. Zaenal Arifin, Asas-Asas Linguistik Umum, (Tangerag : Pustaka Mandiri, 2015), Cet.
ke-1. h.8. 2 Lihat Q.S Al-Falaq/113 : 1-5.
55
Secara sintagmatik (linear ke kanan), berdasarkan contoh di atas, dapat
diketahui bahwa kalimat kata قل fâ„ilnya adalah Allah dan maf„ulnya adalah al-
Nâs. Oleh karena itu, kalimat tersebut sudah dapat dipahami yaitu “Allah
memerintahkan manusia untuk berkata (mengerjakan).
Pada fi„il أعوذ sudah terlihat di dalam tabel fâ„il dan maf„ulnya, sehingga
dapat dipahami bahwa “Manusia berlindung kepada Allah dari kejahatan”, Dan
pada kalimat di bawahnya dapat dipahami seperti contoh 1 dan 2.
3
Hubungan sintagmatik yang terdapat pada surah al-Nâs:
Tabel 4.2 Pengaplikasian Langue Pada Surah Al-Nâs فعل فاعل مفعول الأوىل مفعول الثىن
قل هللا الناس -
أأعوذ الناس برب من رش
يوسوس اخلناس ىف صدور الناس -
Pada surah al-Nâs terdapat jumlah fi„liyah yang membentuk suatu kalimat
yaitu kata قل, أعوذ, وسوس . Secara sintagmatik (linear ke kanan), berdasarkan
contoh di atas, dapat diketahui bahwa kalimat kata قل fâ„ilnya adalah Allah dan
maf„ulnya adalah al-Nâs. Oleh karena itu, kalimat tersebut sudah dapat dipahami
yaitu “Allah memerintahkan manusia untuk berkata (mengerjakan).
3 Lihat Q.S Al-Nâs/114 : 1-6.
56
Pada fi„il أعوذ sudah terlihat di dalam tabel fâ„il dan maf„ulnya, sehingga dapat
dipahami bahwa “Manusia berlindung kepada Allah dari kejahatan”. Kemudian
pada kata وسوس setelah diketahui fi‟il dan fâ„ilnya sebagaimana yang penulis
paparkan di dalam tabel maka dapat dimaknai dengan “ Al-Khannâs membisiki ke
dalam dada manusia”.
C. Penanda – Petanda
Seperti yang telah dibahas pada bab II, Penanda adalah aspek material,
seperti suara, huruf, bentuk, gambar, dan gerak, sedangkan petanda adalah aspek
mental atau konseptual yang ditunjuk oleh aspek material.4 Karena al-Qur‟an
sebagai dunia tanda, dan ayat dalam al-Qur‟an disebut sebagai tanda, sehingga
penulis mencoba mencari tanda yang terdapat pada surah al-Mu„awwidzatayn
(QS.al-Nâs dan QS.al-Falaq).
Tabel 4.1 Pengaplikasian Penanda dan Petanda
No. Penanda Petanda
1. Rabb
Kata Rabb secara etimologis berarti
pemelihara, pendidik, pengasuh pengatur,
yang menumbuhkan.5 Kata rabb biasa
sebagai salah satu nama tuhan karena
Tuhanlah yang secara hakiki menjadi
pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur
dan yang menumbuhkan makhluknya.6
2. Falaqa
Falaqa berarti “waktu fajar”,7 dan falaqa
berarti “membelah”.8 Falaqa berupa waktu
ketika bulan mulai menghilang dan berganti
dengan munculnya matahari. Dalam tafsir al-
Azhar yang dimaksud falaqa adalah ketika
perpisahan di antara gelap malam dengan
mulai terbit fajar hari akan siang.9
Sedangkan dalam tafsir al-Qurṯubi falaqa
4 Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, h.17-18.
5 Sahabuddin, Ensiklopedia Al-Qur‟an Kajian Kosa Kata, h.231
6 Sahabuddin, Ensiklopedia Al-Qur‟an Kajian Kosa Kata, (Jakarta; Lentera Hati, 2007)
7 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Al-Arshi, h. 1406
8 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
h.1071 9 Buya Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, (Jakarta: Gema Insani, 2015), Cet.1. h.322.
57
bermakna terangnya langit tatkala matahari
terbit.10
3. Syarri Syarri berarti “ perbuatan jahat/jelek” 11
,
4. Khalaqa
Khalaqa berarti menciptakan.12
Khalaqa
berupa ciptaan-ciptaan Allah seperti
manusia, langit dan isinya, beserta bumi dan
seluruh isinya.
5. Ghâsiq
Ghâsiq berarti “malam yang gelap gulita”13
Petanda dari kata ghâsiq adalah waktu ketika
matahari mulai terbenam dan bulan mulai
terlihat. Ketika mendengar kata ghâsiq
(malam hari) yang terbesit dalam pikiran
adalah bumi yang terang menjadi gelap
gulita, dan malam hari adalah waktu dimana
manusia beristirahat setelah melakukan
aktivitas di siang hari. Al-Qurṯubi memaknai
kata ghâsiqin, dalam tafsirnya dengan
"malam" pendapat ini di ambil dari Ibnu
Abbas, Adh-Dhahhak dan Qatadah.14
6. Waqaba
Waqaba berarti “terbenam”15
, yang di
maksud waqaba menurut Qatadah dalam
tafsir al- Qurṯubi adalah hilang atau tertutup
oleh sesuatu hingga tidak terlihat.16
7. Al-Naffâtsât
Al-Nafâtsât berarti tukang sihir atau dukun,
ialah orang yang suka mengirimkan guna-
guna kepada seseorang. Kata النفاثاث Yang
menurut Muhammad Abduh dalam tafsirnya
adalah para penyebar fitnahan atau
memanas-manasi perselisihan antara dua
orang atau kelompok, dengan tujuan
memutuskan hubungan persaudaraan.17
8. Uqada
Uqada berarti “simpul buhul / ikatan”18
,
menurut Muhammad Abduh dalam tafsirnya
kata uqada berarti buhul ikatan. Kemudian
kata itu digunakan secara lebih luas untuk
segala sesuatu yang diikat dengan kuat.19
10
Al-Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, Penerjemah Dudi Rosyadi dan Faturrahman,
(Jakarta: Pustaka Azzam,2009), Jilid. 20. h.909. 11
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir , h. 758. 12
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor , Kamus al-Arshi, h. 855. 13
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir , h. 1005. 14
Al-Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h.911 15
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir , h. 1679. 16
Al-Qurthubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h.912 17
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 374. 18
Mahmud Yunus, “Kamus Arab Indonesia”, (PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,
Ciputat : 2010), h.274. 19
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm, h. 374.
58
9. Hasada
Hasada berarti “dengki”.20
Hasada (dengki)
adalah seseorang yang syirik (tidak
menyukai) ketika seseorang memiliki
sesuatu. Dengki adalah semacam penyakit,
atau kehilangan kewarasan pikiran, maka
bisa saja si dengki itu bertindak yang tidak-
tidak kepada orang yang didengkinya.21
Dalam tafsir al-Qurṯubi yang dimaksud
hasada adalah mengharapkan hilangnya
nikmat yang dirasakan oleh orang yang
didengki, walaupun orang yang mendengki
tidak menginginkan nikmat tersebut beralih
kepadanya.22
10. Malik Malik berarti “raja / pemilik”23
11. Ilâh Ilâh berarti “menyembah”24
12. Khannâs
Khannâs menurut bahasa berarti
“tersembunyi”.25
Khannâs adalah syetan
yang bersembunyi dalam hati manusia. Jika
manusia itu lupa atau lalai, maka syetan akan
membisikan kejahatan pada manusia.26
13. Jin
Jin adalah nama lain dari syaitan. Hal ini
dikarenakan beberapa ayat yang menjelaskan
perbuatan jin, pada ayat lain al-Qur‟an
menyebutnya dengan kata syaitan dalam
konteks dan perbuatan yang sama.27
Salah
satunya pada (Q.S Al-An‟am ayat 112)
14. Al-Nâs
Al-Nâs menurut bahasa adalah “manusia”.28
Al-Nâs yaitu hayawanu natiq (makhluk
hidup yang memiliki akal), dan yang terbesit
ketika mendengar al-Nas atau manusia
adalah makhluk hidup yang memiliki dua
kaki, dua tangan, dua telinga, dua mata, satu
hidung dan satu mulut.
Dari banyak kata yang terdapat dalam surah al-Mu„awwidzatayn (Q.S Al-
Falaq dan Al-Nâs) hanya 14 kata yang dijadikan penanda oleh penulis, karena
20
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 262. 21
Buya Hamka, Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar, h. 326. 22
Al-Qurṯubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an, h. 917. 23
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir,h. 1455. 24
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir , h. 39. 25
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h.372. 26
Ibn katsir, Tafsîr Juz „Amma min Tafsîr Al-Qur‟an Al „Adzîm, h. 431. 27
Saiful Fajar, “Konsep Syaitân dalam Al-Qur‟an : Kajian Semantik Toshihiko Izutsu”
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018, h. 56. 28
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor , Kamus Al-Asr, h.1878.
59
kata-kata tersebut dianggap penting oleh penulis untuk dikaji. Oleh karena itu,
penulis hanya mencantumkan 14 kata yang berposisi sebagai penanda.
D. Paradigmatik
Analisis paradigmatik pada surah Al-Falaq yaitu:
Bagan 4.1 Analisis Paradigmatik Surah Al-Falaq
:memiliki relasi paradigmatik dengan (kejahatan) شر
a. ها خلق (apa-apa yang Allah ciptakan)
b. غاسق إذا وقة (malam apabila telah gelap gulita)
c. النفثج فى آلعقد (penyihir yang meniup pada buhul-buhul)
d. حاسد اذا حسد (orang yang dengki apabila ia telah dengki)
Paradigmatik adalah hubungan asosiatif, pada surah al-Falaq Allah
memerintahkan manusia untuk berlindung kepada Allah dari kejahatan apa-apa
yang Allah ciptakan. Kemudian ketika dalam ucapan mengatakan berlindung dari
من شر حاسد إذا حسد
من شر النفثت فى العقد
من شر غاسق إذا وقب
من شر ما خلق
برب
أعوذ الفلق
60
kejahatan apa-apa yang Allah ciptakan, dan dalam pikiran timbul pemikiran
kejahatan malam apabila telah gelap gulita, kejahatan penyihir yang meniup pada
buhul-buhul dan kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ketika mengatakan Allah memerintahkan manusia untuk
berlindung kepada-Nya dari kejahatan apa-apa yang Allah ciptakan, kata atau
objek dari apa-apa yang Allah ciptakan bisa diganti dengan kejahatan malam
apabila telah gelap gulita, kejahatan penyihir yang meniup pada buhul-buhul dan
kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki, karena kalimat tersebut sama-
sama berkedudukan sebagai ma„fûl tsânî, oleh karena itu kalimat tersebut dapat
ditukar satu sama lain.
Surah Al-Nâs
Analisis paradigmatik pada surah Al-Nâs yaitu:
Bagan 4.2 Analisis Paradigmatik Surah Al-Nâs
من شر الوسواس الخناس
إله الناس
ملك الناس
برب الناس
أعوذ
61
Allah memiliki relasi paradigmatik dengan Rabb, Malik, dan Ilâh. Karena
pada surah al-Nâs pada ayat pertama bahwa Allah memerintahkan manusia untuk
berlindung kepada Tuhan pemelihara (Rabb) manusia. Kata Rabb disana bisa di
ganti dengan kata Allah, Mâlik, dan Ilâh. Karena ketika sedang mengucapkan kata
Rabb maka timbullah dalam pikiran kita asma-asma Allah yang lain seperti Malik
dan Ilâh, selain itu karena kata-kata tersebut sama-sama berkedudukan sebagai
maf„ûl ûlâ.
Analisis paradigmatik pada surah Al-Nâs yaitu:
Bagan 4.3 Analisis Paradigmatik Surah Al-Nâs
Relasi paradigmatik kata Al-Khannâs yaitu Jin, dan Manusia, seperti
dalam surah al-Nâs ayat 4-5 al-Khannâs yang membisik-bisiki kedalam dada
manusia. Kata Khannâs dapat di ganti dengan kata Jin dan manusia, karena
mereka merupakan bagian dari al-Khannâs yaitu yang memiliki sifat suka
membisik-bisiki ke dalam dada manusia. Jin membisiki kedalam dada manusia
secara halus (tidak terlihat), sedangkan manusia suka membisik-bisiki ke dalam
dada manusia secara kasar (terlihat secara kesat mata), selain itu juga karena kata
al-Khannâs, jin dan al-Nâs sama-sama berkedudukan sebagai fâ„il.
الخناس يوسوس فى صدورالناس
الناس
آلجنة
62
E. Langue
Pada bab II telah dibahas apa yang dimaksud langue, langue adalah bahasa
atau sarana yang digunakan manusia untuk berbicara dan berkomunikasi dengan
sesamanya.29
Langue bisa disebut juga sebagai sistem bahasa. Al-Qur‟an menggunakan
bahasa Arab, sehingga dalam al-Qur‟an terdapat dua kaidah bahasa yaitu terdiri
dari jumlah fi„liyah dan jumlah ismi‟ah. Jumlah fi„liyah terbagi menjadi dua yaitu
fi„il lazim dan fi„il muta‟adi. Fi„il lazim terdiri dari fi„il, fa„il saja dan tidak
membutuhkan ma„ful, sedangkan fi„il muta‟adi terdiri dari fi„il, fa„il dan maf„ul,
dan jumlah ismi‟ah terdiri dari mubtada dan khobar.
Berikut adalah bagan pengaplikasian langue pada surah al-Falaq :
Bagan 4.4 Analisis Langue Surah Al-Falaq
Dari pengaplikasian sintagmatik dan paradigmatik maka dapat
diaplikasikan pada langue seperti bagan di atas. Kemudian dari bagan tersebut
dapat dipahami bahwa dalam surah al-Falaq, Allah memerintahkan manusia untuk
29
Moch Syarif Hidayatullah , Cakrawala Linguistik Arab, (Tangerang Selatan: Alkitabah,
2012). h.11.
External
ما خلق
غاسق إذا
وقب
النفثت فى
العقد
حاسد إذا
حسد
قل أعوذ برب من شر
63
berlindung kepada Rabb dari kejahatan apa-apa yang Allah ciptakan, kejahatan
malam apabila telah gelap gulita, kejahatan wanita-wanita peniup buhul-buhul,
kejahatan pendengki apabila ia telah dengki. Kejahatan-kejahatan tersebut
merupakan kejahatan yang terdaji dari luar diri manusia, oleh karena itu penulis
menyebutnya dengan kejahatan eksternal.
Berikut adalah bagan pengaplikasian langue pada surah al-Falaq :
Bagan 4.5 Analisis Langue Surah Al-Nâs
Dari pengaplikasian sintagmatik dan paradigmatik maka dapat
diaplikasikan pada langue seperti bagan di atas. Kemudian dari bagan tersebut
dapat dipahami bahwa dalam surah al-Nâs, Allah memerintahkan manusia untuk
berlindung kepada Rabb, Malik dan Ilâh dari kejahatan bisikan-bisikan al-
Khannâs, dan yang termasuk ke dalam al-Khannâs adalah dari golongan jin dan
manusia. Kejahatan-kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang terdaji dari luar
diri manusia, oleh karena itu penulis menyebutnya dengan kejahatan internal.
Setelah penulis menganalisis surah al-mu„awwidzatayn menggunakan
struktural Ferdinand de Saussure, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pesan
yang terdapat pada surah al-mu„awwidzatayn (QS. Al-Falaq dan Al-Nâs) adalah
Internal الخناس
إله
قل أعوذ من شر ب ملك
رب الناس الجن
64
bahwa kedua surah tersebut sama-sama membahas mengenai perlindungan, akan
tetapi terdapat perbedaan dalam hal berlindung, yaitu surah Al-Falaq membahas
mengenai manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk berlindung kepadanya
dari kejahatan yang terdapat dari luar dirinya karena dari macam-macam
kejahatan yang disebutkan dalam surah al-Falaq yaitu, pertama dari apa-apa
ciptaan Allah termasuk kedalam kejahatan dari luar karena dari empat tafsir yang
penulis gunakan bahwa yang dimaksud ciptaan Allah disini adalah makhluk salah
satunya adalah hewan. Hewan merupakan salah satu makhluk Allah yang dapat
menimbulkan bahaya, bahaya tersebut terdapat diluar diri manusia.
Kedua, dari malam apabila telah gelap gulita, malam termasuk salah satu
kejahatan karena waktu malam adalah waktu kebanyakan manusia untuk istirahat,
akan tetapi ada sebagian orang yang memanfaatkan waktu tersebut untuk
melakukan kejahatan salah satunya adalah merampok. Oleh karena itu, malam
merupakan salah satu kejahatan yang terdapat dari luar diri manusia.
Ketiga, dari kejahatan wanita peniup buhul-buhul yang biasa kita kenal
dengan nama sihir, ini merupkan salah satu kejahatan karena akibat dari sihir
tersebut dapat membahayakan manusia salah satunya adalah membuat orang tak
sadarkan diri. Oleh karena itu kejahatan ini termasuk kejahatan yang terdapat dari
luar diri manusia, karena ada pelakunya terlihat jelas.
Keempat, dari kehatan orang yang dengki apabila iya telah dengki, hal ini
merupakan kejahatan karena apabila orang telah dengki segala hal dapat ia
lakukan salah satunya dengan memfitnah orang yang didengki. Oleh karena itu
kejahatan ini termasuk kejahatan yang terdapat dari luar diri manusia, karena ada
pelakunya.
65
Oleh karena itu, dalam surah al-Falaq dapat disimpulkan bahwa Allah
memerintahkan manusia dari kejahatan yang terdapat dari luar dirinya yaitu empat
hal yang telah penulis paparkan diatas.
Sedangkan dalam surah al-Nâs Allah memerintahkan manusia untuk
berlindung dari kejahatan yang ada dalam dirinya sendiri, yaitu bisikan-bisikan
dari jin dan manusia yang masuk kedalam dadanya. Kejahatan yeng terdapat pada
surah al-Nâs merupakan kejahatan yang timbul dari diri manusia sendiri karena
karena al-Khannâs adalah yang selalu membisik-bisiki dalam dada manusia. Yang
dimaksud al-khannâs adalah al-Nâs dan jin, jin adalah makhluk yang samar tak
terlihat oleh kesat mata oleh karena itu, manusia tidak menyadari bahwa terdapat
kejahatan yang disebabkan oleh jin dengan cara membisik-bisiki kedalam dada
manusia dengan hal kejahatan. Kemudian al-Nâs, yang dimaksud al-Nâs disini
bukan manusia melainkan pikiran negatif yang terdapat dalam diri manusia hal ini
ditemukan penulis setelah mengkaji kata al-Nâs menggunakan metode diakronik.
Dalam pra-qur‟anik kata al-Nâs diartikan sebagai binatang liar, kemudian pada
masa qur‟anik dan pasca qur‟anik diartikan dengan manusia. Setelah penulis teliti
bahwa dari arti binatang liar kemudian menjadi manusia karena manusia
merupakan salah satu makhluk hidup yang mempunyai akal untuk berpikir, liar
disitu merupakan pikiran manusia yang bebas untuk berfikir. Oleh karena itu,
yang dimaksud al-Nâs disini adalah fikiran negatif yang terdapat dalam diri
manusia. Oleh karena itu, dalam surah al-Nâs dapat disimpulkan bahwa Allah
memerintahkan manusia dari kejahatan yang terdapat dari dalam dirinya yaitu dari
kejahatan al-Khonnâs yaitu terdiri dari Jin dan al-Nâs sebagaimana yang telah
penulis paparkan di atas, dan dapat disimpulkan dengan bagan di bawah ini:
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis penulis terhadap surah al-Mu„awwidzatayn dengan
menggunakan pendekatan semiotika struktural Ferdinand de Saussure, terdapat
dua jenis permohonan perlindungan. Pertama dalam surah Al-Falaq terdapat jenis
permohonan perlindungan kepada Allah yang disebabkan oleh faktor dari luar,
yaitu dari kejahatan ciptaannya, dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
dari kejahatan penyihir yang meniup pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang
yang dengki apabila ia telah dengki. Kedua dalam surah Al-Nâs terdapat jenis
permohonan perlindungan kepada Allah yang disebabkan dari dalam diri sendiri,
yaitu kejahatan bisikan-bisikan yang ada dalam dada manusia.
Oleh karena itu dalam surah Al-Falaq Allah menyebutkan nama-Nya
hanya satu kali, sedangkan dalam surah al-Nâs Allah menyebutkan namanya
hingga tiga kali. Hal tersebut menunjukan bahwa melindungi diri dari kejahatan
yang terdapat dalam diri sendiri lebih berat dari pada melindungi diri dari
kejahatan dari luar diri kita (dari makhluk sekitar).
Dalam menganalisis juga penulis menemukan banyak hal yang sinkron
antara penafsiran surah al-Mu„awwidzatayn dengan merujuk kepada kitab-kitab
tafsir yang ada, dan dengan menerapkan metode semiotika struktural Ferdinand
de Saussure. Oleh karena itu, metode semiotika dapat dijadikan sebagai metode
67
untuk mengkaji al-qur‟an, karena hasil yang di dapat penulis tidak jauh berbeda
dan tidak melenceng dari kaidah-kaidah dalam al-qur‟an.
B. Saran
Penelitian ini masih banyak kekurangannya. Terutama dalam
mengaplikasikan analisis struktural Ferdinand de Saussure. Penelitian semiotika
yang penulis lakukan hanya bagian kecil dari penerapan teori semiotika Ferdinand
de Saussure terhadap surah Al-Mu„awwidzatayn. Masih terbuka lebar
kesempatan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai tanda terhadap
ayat-ayat dalam al-qur‟an dengan menggunakan semiotika struktural Ferdinand de
Saussure, karena al-Qur‟an merupakan dunia tanda.
68
DAFTAR PUSTAKA
„Abduh, Muhammad. Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm: Juz „Amma. Penerjemah
Muhammad Bagir. Bandung: Mizan. 1998.
Abidin, Zainal. Seluk Beluk Al-Qur‟an. Jakarta: PT Rineka Cipta,1992.
Ahmad. Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet-1.
Ali, Atabik dan Muhdlor. Ahmad Zuhdi. Kamus al-Arshi.
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Ciputat: CV. Sejahtera Kita. 2013. Cet.
Ke-2.
Arifin ,E. Zaenal. Asas-Asas Linguistik Umum. Tangerang : Pustaka Mandiri,
2015. Cet. ke-1.
Budiman, Kris. Semiotika Visual ; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas.
Yogyakarta: Jalasurya. 2011. Cet ke-1.
Fajar, Saeful. “Konsep Syaitân dalam Al-Qur‟an : Kajian Semantik Toshihiko
Izutsu” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2018.
Fathani, Abdul Halim. Al-Qur‟an dalam Fuzzy Clustering. Jakarta; Lintas
Pustaka. 2007.
Firdaus, Luthfi. “Relevansi Semiotika dalam Kajian Tafsir Kontemporer “. Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2005.
Fitriyana, Pipit Aidul. “Kisah Yūsuf dalam al-Qur‟an: Perspektif Semiologi
Roland Barthes”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2014.
Hamka. Juz „Amma Tafsîr Al-Azhar. Jakarta: Gema Insani. 2015. Cet.1.
Hidayatullah, Moch Syarif. Cakrawala Linguistik Arab. Tangerang Selatan:
Alkitabah. 2012.
Imron, Ali. Semiotika Al-Qur‟an Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf.
Yogyakarta: Teras. 2011. Cet ke-1.
69
Izutsu, Thoshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap
Al-Qur‟an. Penerjemah: Asep Hidayat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
1997. Cet. Ke-1.
Kaltsum, Lilik Umi. “Mendialogkan Realitas Dengan Teks”. Tulisan ini
disampaikan pada acara Konferensi Internasional di Opasca Sarjana.
2011.
Kamil, Sukron. Najib Mahfuz. Jakarta; PT. Dian Rakyat. 2013. Cet ke-3.
Katsîr. Tafsîr Juz „Amma min Tafsîr Al-Qur‟an Al „Adzîm. Penerjemah. Farizal
Tirmidzî. Jakarta: Pustaka Azzam. 2007. Cet. 11.
Kridalaksana, Harimurti. Mogin Ferdinand de Saussure. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2005. Cet ke-1.
Mahali, Mudjab. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur‟an Surat Al-
Baqarah-An-Nas. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002. Cet. Ke-1.
Ibn Manzur, Abî al-Fadl Jâmâl bin Mukarram bin Manzûr al-Mishrî. Lisan al-
„Arab .
Mubarak, Husni. “Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semioogi
Roland Barthes”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2006).
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir . Surabaya: Pustaka Progresif.
1997.
Muzakki, Akhmad. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama.
Malang: UIN-Malang Pres. 2007.
Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
2013. Cet. ke-16.
Al-Qurthubi, Al-Jamî‟ li Ahkâm Al-Qur‟an. Penerjemah Dudi Rosyadi dan
Faturrahman. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009. Jilid. 20.
Sahabuddin. Ensiklopedia Al-Qur‟an Kajian Kosa Kata. Jakarta; Lentera Hati.
2007.
Sanusi, Irpan. “Pesan Semiotika Al-Qur‟an: Analisis Strukturalisme QS. Al-
Lahab”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2016.
70
Saussure, Ferdinand de. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
Universty Press. 1988.
Shihab, Muhammad Quraisy. Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati. 2007. Vol.VX Cet. IX.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung ; PT Remaja Rosdakarya. 2009. Cet
ke-4.
Subayu, Rony. “Al-Qur‟an sebagai Narasi Mistis: Konsep Mitos Roland Barthes
Sebagai Metode Penafsiran Kontemporer”. Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2005.
Sulaimân, Mahmûd Yâqut. I„râb Al-Qur‟âni Al-Karîm. Mesir : Darul Ma‟arif Al-
Jami‟iyah. Jilid 10.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur‟an. Jakarta: Rajawali Pres. 2014. cet ke-2.
Syibromalisi, Faizah Ali, dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2011. Cet. Ke-1.
Widada, Rh. Saussure Untuk Sastra. Yogyakarta; Jalasutra. 2009. Cet ke-1.
Yâqut, Mahmûd Sulaimân. I‘râb Al-Qur’âni Al-Karîm. Mesir : Darul Ma’arif Al-Jami’iyah.
Jilid 10.
Yunus, Mahmud. Tafsîr Qur‟an Karîm. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah. 2015.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Mafhum al-Nâs : Dirasah fi Ulum al-Qur‟an. Beirut:
Markaz al-Tsaqafi al-Araby.
Zaimar, Okke K.S. Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008.