81
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono Pengembangan BUMDes dalam menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana Jurnal Desentralisasi LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Volume 13 Nomor 2 Halaman 85-157 2015 ISSN : 1412-3568 JURNAL DESENTRALISASI VOLUME 13 NOMOR 2 TAHUN 2015

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

  • Upload
    lehuong

  • View
    225

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono Pengembangan BUMDes dalam menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana

Jurnal

Desentralisasi

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Volume 13 Nomor 2 Halaman 85-157 2015

ISSN : 1412-3568

JUR

NA

L D

ESE

NT

RA

LISA

SI VO

LU

ME

13

NO

MO

R 2

TA

HU

N 2

01

5

Page 2: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

i

ISSN : 1412-3568

Jurnal Desentralisasi Vol. 13 No. 2 Tahun 2015

Redaksi :

Pengarah : Sri Hadiati WK, SH, MBA Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi : Dr. Ridwan Rajab, M.Si Dewan Redaksi : Dr. Ridwan Rajab, M.Si

Ani Suprihartini, SE, MM Widhi Novianto, S.Sos, M.Si Dr. Edy Sutrisno, SE, M.Si

Mitra Bestari : Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, MA (Administrasi

Publik) Dr. Makhdum Priyatno, MA (Administrasi Publik) Dr. Hanif Nurcholis, M.Si (Pemerintahan Desa) Dr. Kurniawati Hastuti Dewi, MA (Politik Lokal)

Redaktur Pelaksana : Tony Murdianto Hidayat, S.Si Redaksi : Muhamad Imam Alfie Syarien, S.Sos, MPA

Rico Hermawan, SIP Rusman Nurjaman, S.Fil

Maria Dika Puspita Sari, SIA

Diterbitkan oleh:

Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

(Center For Decentralization and Lokal Autonomy Studies)

Lembaga Administrasi Negara

(National Institute Of Public Administration)

Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110

Telp. (021) 3688201-05 Ext 114, 115, Fax (021) 3865102

Website : www.lan.go.id/web/dkk/

Email : [email protected]

2015

UNDANGAN MENULIS:

Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis isu-isu dalam lingkup bidang Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Politik Lokal. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Judul, Abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke Redaksi, melalu pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan softfile copy. Redaksi berhak, melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang masuk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Reviewer). Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan yang menarik

Page 3: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ii JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Daftar Isi

Editorial iii - iv

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto

85-105

Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono

107-117

Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas

119-131

Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto

133-146

Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana

147-157

Petunjuk Penulisan

Page 4: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 iii

Editorial

Akhir Desember 2015 merupakan kick off

pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN

atau MEA. MEA merupakan pasar tunggal

ASEAN yang memungkinkan negara-negara

ASEAN menjual barang dan jasa dengan

mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Tenggara sehingga kompetisi akan semakin

ketat. Tujuan diberlakukannya MEA adalah

untuk menghilangkan atau paling tidak me-

minimalisir hambatan-hambatan di dalam

melakukan kegiatan ekonomi lintas kawasan,

misalnya perdagangan barang, jasa dan in-

vestasi.

Dengan diberlakukannya MEA berarti

membuka arus barang, jasa, dan investasi

serta tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.

Jika tidak diantisipasi dengan baik, pemberla-

kuan MEA akan berdampak negatif bagi per-

ekonomian Indonesia. Alih-alih bisa menang-

kap peluang dan potensi yang ada, Indonesia

hanya bisa menjadi pasar yang menerima

limpahan produk-produk negara ASEAN lain.

Apalagi, sebagai negara dengan jumlah pen-

duduk terbesar di Asia Tenggara, Indonesia

merupakan pasar potensial bagi produk ne-

gara ASEAN lainnya.

Oleh karena itu, perlu upaya serius dalam

menyiapkan segenap komponen bangsa un-

tuk menghadapi MEA. Penyiapan tersebut ti-

dak hanya bagi para pelaku usaha yang bakal

terimbas langsung dengan MEA, tetapi juga

bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Melalui

berbagai perangkat kebijakan yang ada, pe-

merintah bisa mendorong pelaku usaha un-

tuk berperan serta secara aktif memanfaat-

kan pasar tunggal ASEAN tersebut. Edukasi

kepada masyarakat juga perlu dilakukan su-

paya masyarakat semakin sadar bahwa saat

ini tingkat persaingan terbuka tidak hanya

terjadi di dalam negeri tetapi juga di tingkat

regional.

Untuk itulah Jurnal Desentralisasi kali ini

mengangkat tema tentang kesiapan Indone-

sia dalam pemberlakuan MEA sebagai topik

utamanya. Melalui tema ini, diharapkan mun-

cul ide, gagasan dan pemikiran konstruktif

untuk meningkatkan kapasitas bangsa dalam

rangka menangkap peluang pemberlakuan

MEA—terutama terkait dengan tantangan

peningkatan kompetensi ASN Pemda di dae-

rah. Dengan demikian, sebagai negara terbe-

sar di ASEAN, Indonesia tidak hanya menjadi

pasar poduk-produk asing tetapi mampu me-

manfaatkan peluang MEA bagi peningkatan

ekonomi bangsa.

Edisi kali ini mengetengahkan sejumlah

tulisan yang merefleksikan sejumlah gagasan

sebagai respon terhadap pemberlakuan MEA

dalam waktu dekat ini. Melalui tulisannya

yang berjudul “Penyusunan Standar Kompe-

tensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan

Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah

Dalam Menghadapi ASEAN Economic Commu-

nity (AEC)” Widhi Novianto mencoba meru-

muskan kompetensi teknis yang perlu dimi-

liki Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemda khu-

susnya di sektor perdagangan dan industri.

Kompetensi teknis tersebut disusun dengan

beberapa pendekatan antara lain pendekatan

konseptual, AEC Blueprint, Rencana Pemba-

ngunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-

2019, Rencana Pembangunan Jangka Mene-

ngah Daerah (RPJMD) di Pemerintah Provinsi

Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara

dan Nusa Tenggara Barat serta pembagian

urusan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabu-

paten/Kota di bidang perdagangan dan peri-

ndustrian.

Di aras lokal, dua penulis lain menyoroti

masalah kesiapan kecamatan dan desa dalam

menghadapi MEA. Dalam tulisan yang berta-

juk “Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strate-

gi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di

Tingkat Lokal”, Marsono mengingatkan pen-

tingnya peran strategis kecamatan sebagai

pembina kewilayahan di tingkat pemerintah

terbawah dalam menghadapi MEA. Menurut-

nya paling tidak ada 6 (enam) peran strategis

kecamatan dalam rangka menyiapkan desa

Page 5: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

iv JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

untuk menghadapi MEA. Oleh karena itulah,

penguatan kapasitas kecamatan merupakan

suatu keniscayaan guna mendukung peran

strategis keamatan tersebut.

Selaras dengan hal tersebut, Harditya

Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas

menyampaikan gagasan penguatan BUMDes

dalam rangka kemandirian desa menghadapi

MEA. Melalui tulisan yang berjudul “Pengem-

bangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian

Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi

ASEAN (MEA)”, kedua penulis tersebut

menyatakan bahwa kesiapan dalam mengha-

dapi MEA juga harus dilakukan hingga

tingkat desa. Sebagai penggerak ekonomi

desa, BUMDes harus ditingkatkan kapasitas-

nya. Ada beberapa langkah yang perlu dilaku-

kan dalam pengembangan kapasitas BUM-

Des, antara lain 1) Penataan kelembagaan

desa; 2) Pengelolaan BUMDes dilakukan

dengan profesional, kooperatif dan mandiri;

3) Peningkatan peran dan kerja sama; dan 4)

Memahami kebutuhan masyarakat desa ter-

hadap BUMDes.

Selain tentang MEA, edisi kali ini juga

menyajikan pemikiran mengenai implemen-

tasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintah Daerah. Dalam tulisan

yang bertajuk “Kewenangan Pemerintah Dae-

rah dan Kemungkinan Problematika Imple-

mentasi Undang-undang Nomor 23 Tahun

2014”, Suryanto menyoroti adanya peruba-

han distribusi urusan pemerintahan. Peme-

rintahan desa yang sebelumnya lebih banyak

melaksanakan kewenangan delegasi dari su-

pra desa, saat ini dituntut untuk mampu me-

laksanakan kewenangan lokal berskala desa.

Di bagian akhir tulisan, penulis menyampai-

kan saran terkait antisipasi yang sudah dan

perlu dilakukan di masa depan dan dalam

waktu yang cepat (segera).

Artikel terakhir yang dimuat terbitan kali

ini adalah hasil tulisan Yogi Setya Permana.

Dalam artikel yang berjudul “Aristokrat dan

Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (In-

termediary Actors) di Kabupaten Sumbawa”,

penulis membahas kebangkitan identitas lo-

kal melalui masyarakat Adat (Lembaga Adat

Tana Samawa–LATS). Dalam dokumen resmi-

nya, LATS dimaksudkan sebagai aktor pene-

ngah yang memediasi antara pemerintah da-

erah dengan masyarakat. Tulisan ini menco-

ba mengelaborasi apakah kehadiran LATS di

Sumbawa dapat memperkuat demokrasi lo-

kal di Sumbawa di tengah derasnya pertum-

buhan aparatur negara.

Redaksi menyampaikan ucapan terima

kasih dan penghargaan serta apresiasi yang

setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari sela-

ku reviewer yang memberikan masukan yang

berharga atas seluruh naskah yang masuk.

Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan

kepada semua penulis yang telah berupaya

keras dan tidak putus asa telah melakukan

revisi dan perbaikan naskahnya sesuai ko-

reksi dan masukan dari mitra bestari. Kepada

sidang pembaca budiman, kami haturkan se-

lamat membaca. Komentar dan masukan dari

pembaca mengenai isi, topik, dan pengemba-

ngan jurnal ke depan juga sangat kami nanti-

kan. Semoga bermanfaat.

********************

Page 6: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 85

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam

Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Formulation of Technical Competence Standards for Senior Executives in Local

Governments in Dealing with the ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

Peneliti Madya pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Lembaga Administrasi Negara

Abstrak Dalam konteks ASEAN Economic Community (AEC), aparatur negara memerlukan penyesuaian-penyesuaian kapasitas untuk menghadapi tantangan baru yang akan muncul di lingkungan ASEAN. Pemerintah tidak hanya harus mereposisi kebijakan-kebijakan ekonominya, tetapi juga memastikan komponen aparatur siap dengan perubahan struktural ini. Langkah maju dalam reformasi birokrasi telah dilakukan oleh pemerintah, yakni dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Ten-tang Aparatur Sipil Negara. Tidak berlebihan, lahirnya UU tersebut merupakan tonggak keberhasilan reformasi dan juga lahirnya Aparatur Sipil Negara yang berbasis profesionalisme dan kompetensi serta memenuhi kualifikasi dalam menjalankan jabatannya. Sejalan dengan implementasi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dalam konteks AEC, maka diperlukan penyusunan kompetensi Apa-ratur Sipil Negara khususnya kompetensi teknis bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam menghadapi liberalisasi di sektor perdagangan baik perdagangan dalam maupun luar negeri serta peningkatan daya saing sektor perindustrian. Standar kompetensi teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah disusun dengan mempertim-bangkan beberapa pendekatan antara lain pendekatan konseptual, AEC Blueprint, Rencana Pembang-unan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat serta pembagian urusan pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di bidang perdagang-an dan perindustrian.

Kata Kunci: ASEAN Economic Community, Aparatur Sipil Negara, Kompetensi.

Abstract

In the context of the AEC, government apparatus needs to adjust its capacity to cope with new challenges that will arise within ASEAN. The government not only has to tailor its economic policies, but also to make sure all the components of its apparatus are ready with this structural change. The enactment of Law No. 5 of 2014 On the Civil Servant is a milestone in Indonesian bureaucratic reform. The birth of this law signified the birth of the new civil service management based on profes-sionalism and competence. In order to implement of the Law within the context of the AEC, formu-lation of technical competence for civil servants, particularly those assuming the senior executives levels, is a necessity to deal with the trade liberalisation and to enhance regional industry compe-titiveness level. The technical competence standards for senior executives in local governments are built on multiple consideration being relevant theoretical concepts, ASEAN Ecconomic Community Blueprint, National Mid-Term Development Plan (RPJMN) 2015-2019, Regional Mid-Term Develop-ment Plans (RPJMD) of Kepulauan Riau Province, East Java Province, North Sulawesi and West Nusa Tenggara Province, and the related laws and regulations concerning distribution of power between central and local government in the field of trade and industry.

Keywords: ASEAN Economic Community , the State Civil Apparatus , Competence

Page 7: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

86 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

A. PENDAHULUAN

Setelah krisis ekonomi yang melanda khu-

susnya kawasan Asia Tenggara, para Kepala

Negara ASEAN dalam KTT ASEAN ke-9 di Bali

pada tahun 2003, menyepakati pembentukan

komunitas ASEAN (ASEAN Community) da-

lam bidang Keamanan Politik (ASEAN Politi-

cal-Security Community), Ekonomi (ASEAN

Economic Community), dan Sosial Budaya

(ASEAN Socio-Culture Community) dikenal

dengan Bali Concord II. Untuk pembentukan

AEC pada tahun 2015, ASEAN menyepakati

perwujudannya diarahkan pada integrasi

ekonomi kawasan yang implementasinya

mengacu pada AEC Blueprint.

AEC Blueprint merupakan pedoman bagi

negara-negara Anggota ASEAN dalam mewu-

judkan AEC 2015. AEC Blueprint memuat em-

pat pilar utama yaitu: (1) ASEAN sebagai pa-

sar tunggal dan berbasis produksi tunggal

yang didukung dengan elemen aliran bebas

barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik

dan aliran modal yang lebih bebas; (2)

ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing

ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan

kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas

kekayaan intelektual, pengembangan infra-

struktur, perpajakkan dan e-commerce, (3)

ASEAN sebagai kawasan dengan pengemba-

ngan ekonomi yang merata dengan elemen

pengembangan usaha kecil dan menengah,

dan prakarsa integrasi ASEAN, (4) ASEAN

sebagai kawasan yang terintegrasi secara

penuh dengan perekonomian global dengan

elemen pendekatan yang koheren dalam

hubungan ekonomi di luar kawasan, dan

meningkatkan peran serta dalam jejaring

produksi global.

Sesuai dengan empat pilar utama AEC

tersebut, negara-negara ASEAN telah mela-

kukan persiapan yang diawali dengan diber-

lakukannya penghapusan hambatan tarif

menjadi 0% pada tahun 2010 oleh negara-

negara ASEAN 6 (Brunei, Indonesia, Malaysia,

Filipina, Singapura dan Thailand). Akan teta-

pi, perencanaan para elite politik negara

ASEAN melalui pilar-pilar tersebut nyatanya

menimbulkan permasalahan utama dalam

pencapaian regionalisasi ekonomi ASEAN

yaitu ketimpangan signifikan antara dua pilar

pertama dengan dua pilar yang terakhir.

Laporan tahunan pembentukan AEC tahap II

misalnya, menunjukkan bahwa target inte-

grasi dengan pasar global telah tercapai

85,7% sementara target peningkatan daya

saing regional dan pemerataan pembangun-

an baru tercapai berturut-turut 67,9% dan

66,7% (ASEAN Secretariat, 2012). Dengan

kata lain, upaya ASEAN untuk membebaskan

pasarnya dengan berbagai kesepakatan pasar

bebas dengan negara-negara diluar kawasan

jauh lebih akseleratif daripada memperkuat

daya saing internal kawasan ASEAN itu sen-

diri.

Kendati secara regional pencapaian em-

pat pilar utama AEC masih menemui gan-

jalan, data Perdagangan pada tahun 2014

menunjukkan bahwa share perdagangan in-

tra-ASEAN menunjukkan angka yang cukup

menjanjikan pada masing-masing share per-

dagangan ke negara-negara ASEAN, yaitu di

atas 15%. Hal ini berarti bahwa regionalis-

me ekonomi di Asia Tenggara merupakan hal

yang krusial bagi masing-masing negara

ASEAN.

Seiring dengan perkembangan konstelasi

ekonomi global, Indonesia tetap terus ber-

upaya mendorong peningkatan kerjasama in-

ternasional baik di forum bilateral, regional,

maupun multilateral. Salah satunya adalah

melalui peningkatan peran dan kemampuan

Indonesia dalam melakukan diplomasi eko-

nomi. Pada tingkat bilateral, saat ini telah ada

kesepakatan kerjasama ekonomi antara Indo-

nesia-Jepang, Indonesia-Korea Selatan, Indo-

nesia-Australia serta Indonesia dengan nega-

ra-negara European Free Trade Association

(EFTA) seperti gambar berikut ini.

Page 8: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 87

Gambar 1. Kerjasama Ekonomi Bilateral, Multilateral, dan Regional

Pada tingkat regional, kerjasama ekonomi

ASEAN semakin meningkat sejak dimulainya

integrasi ekonomi regional dalam ASEAN

Free Trade Area (AFTA) hingga kepada pem-

bentukan AEC yang akan diimplementasikan

secara penuh pada tanggal 31 Desember

2015. Perkembangan persiapan implemen-

tasi AEC yang diukur melalui scorecard,

menunjukkan bahwa Indonesia telah menca-

pai 82,4 persen dari 431 butir penilaian pada

scorecard AEC, capaian tersebut di atas rata-

rata ASEAN yang saat ini mencapai 82,1

persen dari 229 Key Deliverables prioritas

yang ditargetkan selesai pada tahun 2015.

Tabel 1.

AEC Scorecard Key Deliverables Phases I-III (2008-2013)

Tantangan kerjasama ekonomi internasi-

onal antara lain: 1) masih belum selarasnya

antara diplomasi politik dan diplomasi eko-

nomi; 2) belum optimalnya kualitas koordi-

nasi lintas sektor dan seluruh pihak terkait

dalam proses penyiapan dan implementasi

hasil-hasil kerjasama ekonomi internasional

serta 3) belum optimalnya pemanfaatan ke-

sepakatan kerjasama ekonomi internasional

dalam mencapai kepentingan nasional ter-

utama untuk mendorong pertumbuhan eko-

nomi dan meningkatkan kesejahteraan rak-

yat

Page 9: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

88 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Awareness dan preparedness pemerintah

menjadi kunci penting dalam memenangkan

AEC. Studi yang dilakukan oleh Pusat Studi

ASEAN (2014) menunjukkan bahwa peme-

rintah daerah masih memfokuskan diri pada

pelaku ekonomi yang berbasis ekspor. Pa-

dahal dampak AEC nantinya tidak hanya

dirasakan pelaku ekspor, namun juga pelaku

ekonomi yang menggunakan bahan baku

impor maupun pelaku ekonomi lokal yang

memproduksi barang yang sama dengan

negara lain di ASEAN. Kondisi tersebut

menunjukkan bahwa rendahnya kesiapan

pelaku ekonomi terhadap AEC ditentukan

oleh pendekatan pemerintah dan aparatur-

nya yang kurang komprehensif.

Dalam konteks AEC, aparatur memerlu-

kan penyesuaian-penyesuaian kapasitas un-

tuk menghadapi tantangan baru yang akan

muncul di lingkungan ASEAN (Hill dan

Menon, 2012; Aksaranee dan Arunanondchai,

2005). Penyesuaian tersebut antara lain ter-

kait dengan liberalisasi di sektor perdagang-

an dan jasa yang membuat pemerintah tidak

hanya harus mereposisi kebijakan-kebijakan

ekonominya, tetapi juga memastikan semua

komponen aparatur siap dengan perubahan

struktural ini.

Terkait dengan kapasitas misalnya, dalam

menghadapi AEC, Kasali (2014) mengisyarat-

kan perlunya penyesuaian kapasitas internal

organisasi. AEC memberikan paradigma baru,

sebuah transformasi dari cara pandang ‘siapa

yang mampu beradaptasi akan bertahan’

menjadi ‘siapa yang cepat, dialah pemenang-

nya’. Menurut Kasali, tantangan seperti AEC

tadi memerlukan sebuah kapasitas yang

dibangun secara berkelanjutan agar organi-

sasi mampu merespon perubahan dengan

waktu yang efisien, tangkas dan efektif.

Kasali menyebutnya sebagai agility dan dyna-

mic capability yaitu kualitas sensorik yang

cepat dalam mengidentifikasi ancaman mau-

pun kesempatan.

Namun demikian, pemerintah saat ini

masih punya beberapa persoalan serius. Ca-

tatan ASEAN Competitiveness Fundamentals

(2013) memperlihatkan bahwa Indonesia

masih cukup tertinggal dalam hal pengemba-

ngan infrastruktur makroekonomi dan masih

belum memiliki institusi yang responsif ter-

hadap perkembangan ekonomi regional.

Dengan kata lain, daya saing institusional

pemerintah masih belum kompatibel dengan

AEC. Akibatnya indeks daya saing Indonesia

masih cukup rendah di sektor infrastruktur

(terendah dari ASEAN-5), perkembangan

pasar tenaga kerja (terendah dari ASEAN-5),

serta cukup minim dalam hal pengembangan

institusional (hanya lebih baik daripada

Thailand yang baru saja mengalami kudeta

militer).

Beberapa fakta di atas mengisyaratkan

pentingnya Indonesia untuk mempersiapkan

kapasitas pemerintah dalam menghadapi

AEC. Secara garis besar, Indonesia memiliki

peluang sebagai negara tujuan investasi di

ASEAN karena share FDI yang tinggi serta

market size yang sangat besar. Dari persepsi

investor, Indonesia adalah the most favorable

country sebagai ekonomi pasar yang besar

dan tenaga kerja yang juga cukup menjanji-

kan (ASEAN Business Outlook, 2015). Namun,

selama ini ada problem institusional yang

belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan

kerangka Good Governance. Data Global

Competitiveness Report empat tahun terakhir

menunjukkan bahwa masalah paling krusial

yang dihadapi di Indonesia dalam menjaga

daya saingnya adalah permasalahan di sektor

publik baik berupa inefisiensi maupun

korupsi. Kondisi ini tentunya akan meng-

ganggu iklim untuk berbisnis akibat ekonomi

biaya tinggi.

Langkah maju dalam reformasi birokrasi

telah dilakukan oleh pemerintah, yakni

dengan disyahkan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.

Tidak berlebihan, lahirnya UU tersebut meru-

pakan tonggak keberhasilan reformasi dan

juga lahirnya Aparatur Sipil Negara yang

berbasis profesionalisme dan kompetensi

serta memenuhi kualifikasi dalam menja-

lankan jabatannya. UU Aparatur Sipil Negara

mengatur bahwa kompetensi meliputi:

a. kompetensi teknis yang diukur dari ting-

kat dan spesialisasi pendidikan, pelatih-

Page 10: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 89

an teknis fungsional, dan pengalaman be-

kerja secara teknis;

b. kompetensi manajerial yang diukur dari

tingkat pendidikan, pelatihan struktural

atau manajemen, dan pengalaman kepe-

mimpinan; dan

c. kompetensi sosial kultural yang diukur

dari pengalaman kerja berkaitan dengan

masyarakat majemuk dalam hal agama,

suku, dan budaya sehingga memiliki wa-

wasan kebangsaan.

Kompetensi teknis bagi Aparatur Sipil Ne-

gara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah

Daerah dalam menghadapi AEC merupakan

jenis-jenis kompetensi yang seharusnya di-

miliki Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah

Provinsi dalam menghadapi AEC. Sejalan

dengan implementasi Undang-Undang Apara-

tur Sipil Negara dalam konteks AEC, maka

diperlukan penyusunan kompetensi Aparatur

Sipil Negara khususnya kompetensi teknis

bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan

Tinggi di Pemerintah Daerah dalam mengha-

dapi liberalisasi di sektor perdagangan baik

perdagangan dalam maupun luar negari serta

peningkatan daya saing sektor perindustrian.

No 2010 2011 2012 2013

1 Inefisiensi Birokrasi Korupsi Inefisiensi Birokrasi Korupsi

2 Korupsi Inefisiensi Birokrasi Korupsi Inefisiensi Birokrasi

3 Infrastruktur Infrastruktur Infrastruktur Infrastruktur

4 Akses Pembiayaan Ketidakstabilan Politik Etika kerja buruk Akses pembiayaan

5 Inflasi Akses Pembiayaan Peraturan ketenagakerjaan

Peraturan Ketenagakerjaan

Sumber: Global Competitiveness Report, 2013, diolah.

Tabel 2 Faktor Paling Bermasalah di Indonesia dalam Global Competitiveness Report

Paling tidak ada tiga argumen penting

mengapa sektor perdagangan dan industri

menjadi fokus dalam tulisan ini. Pertama, isu

perdagangan dan industri adalah salah satu

dari empat elemen penting dalam AEC yang

akan dihadapi oleh Indonesia. Cetak Biru AEC

(2007) telah menyatakan bahwa ASEAN akan

menginisiasi sebuah pasar dan basis produk-

si tunggal, yang salah satu substansi penting-

nya adalah arus bebas perdagangan barang

dan jasa. Konsekuensinya, isu perdagangan

menjadi penting untuk direspons oleh semua

kalangan di Indonesia.

Kedua, Secara komparatif, Indonesia

cukup tertinggal dari negara-negara anggota

ASEAN lain dalam dua isu ini. Data indeks

ASEAN Competitiveness Fundamentals menu-

njukkan bahwa Indonesia tertinggal dari

Singapura dan Malaysia dalam inovasi, per-

tumbuhan pasar keuangan, serta infrastruk-

tur pasar barang dan jasa. Padahal, tiga vari-

abel ini penting dalam menopang industri

dan perdagangan barang dan jasa di ASEAN.

Ketiga, isu perdagangan dan industri

adalah dua isu yang krusial bagi negara-

negara Middle Power seperti Indonesia, kare-

na isu ini menunjukkan daya saing (competi-

tiveness) Indonesia di tingkat global. Dengan

pertumbuhan ekonomi dan market size yang

cukup besar, Indonesia berpotensi untuk

menjadi sasaran ekspansi perdagangan da-

lam skema liberalisasi di kawasan maupun

global. Jika pemerintah tidak mempersiapkan

diri menyambut hal ini, Indonesia akan diru-

gikan karena hanya akan menyediakan tena-

ga kerja murah dan konsumsi karena market

size-nya yang besar. Oleh sebab itu, memper-

siapkan sektor perdagangan dan industri

menjadi penting, tanpa diikuti oleh produkti-

vitas dari sektor perdagangan dan industri,

Indonesia akan kehilangan daya saingnya

dalam pasar global dan kawasan. Pada titik

inilah pemerintah bisa memfasilitasi semua

Page 11: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

90 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

elemen untuk memperkuat daya saing

dengan menumbuhkan knowledge economy

sebagai fondasi ekonomi menghadapi inte-

grasi ekonomi (Irawati dan Rutten, 2014).

Secara garis besar, penelitian ini mengam-

bil sampel Provinsi Jawa Timur karena ka-

rakteristiknya sebagai area industri dan per-

dagangan, dengan potensi investasi di sektor

industri pengolahan (lihat BPS 2014). Provin-

si Kepulauan Riau dipilih karena karakteris-

tiknya sebagai area perdagangan bebas (free

trade zone) dan dengan demikian akan men-

jadi salah satu area penting dalam integrasi

ekonomi kawasan (lihat BPS Kepulauan Riau,

2014). Provinsi Sulawesi Utara dipilih karena

karakteristiknya sebagai kepulauan yang ber-

batasan dengan Filipina dan memiliki Kawa-

san Ekonomi Khusus, dengan potensi sektor

ekspor dan impor (lihat RPJMD Provinsi Sula-

wesi Utara). Sedangkan Provinsi Nusa Teng-

gara Barat dipilih karena karakteristiknya

sebagai destinasi wisata dan mewakili kori-

dor ekonomi Bali-Nusa Tenggara.

B. PENDEKATAN DALAM MENYUSUN

STANDAR KOMPETENSI TEKNIS

Dalam penyusunan standar kompetensi

teknis dilakukan dengan beberapa pendekat-

an antara lain pendekatan konseptual, AEC

Blueprint, Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJMN) 2015-2019, Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) di beberapa lokus serta pembagian

urusan pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabu-

paten/Kota di bidang perdagangan dan per-

industrian.

Secara teoretik, penelitian ini akan meng-

gunakan bingkai Competitive and Representa-

tive Government (Pusat Studi ASEAN UGM,

2015) untuk mendefinisikan kapasitas-kapa-

sitas tertentu yang harus dimiliki oleh nega-

ra. Competitive and Representative Govern-

ment memerlukan kapasitas negara yang bisa

menghadapi kompetisi di tingkat regional/

global tetapi juga mampu membangun legiti-

masi internal di tingkat domestik (Bretton,

2007). Hal ini membutuhkan konseptualisasi

mengenai apa saja kapasitas yang perlu dimi-

liki oleh negara.

Proyek integrasi ekonomi regional secara

teoretik melahirkan satu konsep baru dalam

paradigma pengelolaan negara yakni regula-

tory state. Model pengelolaan negara ini

membutuhkan pergeseran dalam paradigma

penyelenggaraan negara dari state-building

menjadi capacity building (Hameiri, 2010;

Irawati dan Rutten, 2004). Sebagai regulator,

negara memerlukan kemampuan untuk me-

lakukan manajemen risiko dan krisis untuk

menyelamatkan perekonomian ketika pasar

tidak mampu berjalan secara optimal

(Hameiri, 2010). Di sisi lain, negara juga di-

tuntut untuk beradaptasi dengan knowledge

economy yang beriringan dengan regionalisa-

si produksi dan bisnis di kawasan. Dalam

model knowledge economy, ada tiga elemen

yang diperlukan: (1) institusi untuk mendu-

kung inovasi; (2) jaringan untuk mengem-

bangkan dan mentransfer pengetahuan (ke

dalam inovasi), serta (3) dukungan infra-

struktur inovasi untuk mendorong perusa-

haan untuk berinovasi (Irawati dan Rutten,

2004). Dalam konteks ini, kapasitas negara

dan aparatur di dalamnya sangat penting

untuk mendukung inovasi, baik yang diini-

siasi oleh aparatur, entitas bisnis, maupun

komunitas-komunitas masyarakat kreatif.

Dalam konteks yang lebih luas, negara

juga menjadi aktor yang penting untuk mene-

gosiasikan kepentingannya dalam forum-

forum yang tidak hanya mengikutsertakan

negara, tetapi juga aktor bisnis. Artinya,

kapasitas diplomasi yang dimiliki oleh negara

tidak hanya ditujukan hanya pada perunding-

an yang melibatkan negara, tetapi juga

dengan pasar (Nesadurai, 2013). Pada kon-

teks ini, artinya, perlu ada reposisi paradig-

ma penyelenggaraan negara untuk mengha-

dapi proyek integrasi ekonomi regional.

Dengan demikian, dalam lanskap integrasi

ekonomi regional tersebut, posisi negara

menjadi penting untuk membangun kapasi-

tas dalam empat hal penting. Pertama,

kapasitas regulatory, yakni kapasitas untuk

membuat aturan-aturan, norma, dan koridor

yang memastikan pasar bisa berjalan secara

optimal dan risiko-risiko yang berpotensi

muncul dalam hal tersebut dapat diantisipasi.

Kedua, kapasitas pengetahuan, yakni kapasi-

Page 12: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 91

tas untuk merespons perubahan-perubahan

yang terjadi di tingkat global/regional dan

menghubungkan pengetahuan tersebut, seca-

ra institusional, dengan para pemangku ke-

pentingan (stakeholders). Ketiga, kapasitas

pemberdayaan stakeholders, yakni kapasitas

untuk memperkuat pemangku kepentingan

yang tidak memiliki kapasitas skill, pengeta-

huan, serta akses terhadap modal yang mem-

buat mereka gagal berkompetisi dalam pasar

regional/global. Keempat, kapasitas negosia-

si, yakni kapasitas untuk bisa berhubungan

dengan kekuatan ekonomi lain, baik didalam

maupun luar negeri, serta membangun kerja-

sama yang bisa menguntungkan untuk

pengembangan ekonomi domestik.

Dalam konteks Indonesia yang mengala-

mi desentralisasi, keempat kapasitas ini perlu

diturunkan menjadi daftar kapasitas yang

bisa diimplementasikan, baik oleh pemerin-

tah daerah maupun pemerintah pusat. Kebe-

radaan lembaga riset seperti Lembaga Apara-

tur Negara atau instansi terkait akan menjadi

sangat krusial dalam memastikan kapasitas-

kapasitas tersebut bisa diimplementasikan

dalam pengembangan kapasitas aparatur

negara di berbagai tingkatannya.

Pertanyaan mendasar kemudian muncul

di aras yang lebih mikro, bagaimana aparatur

negara harus menyikapi integrasi ekonomi

regional? Tantangan bagi administrator pu-

blik secara paradigmatis telah berkembang

dari peran tradisional sebagai pembentuk

enabling environment seperti regulasi, infra-

struktur, pendidikan dan pelatihan; mem-

bentuk prakondisi bagi ekonomi pasar yang

efektif seperti menjaga kompetisi yang sehat,

menjamin keterbukaan informasi, penegakan

hukum, dan minimalisasi dampak eksterna-

litas (Klinger, 2004) menuju peran nontradi-

sional Governing on The Edges. Dengan pen-

dekatan baru tersebut, Mintzberg (2004)

dalam Abonyi & Slyke (2010) menekankan

pada kebutuhan untuk menghubungkan pe-

merintah dengan lingkungan global yang

kompleks, dinamis dan saling terkait.

Paradigma Governing on The Edges memer-

lukan kolaborasi yang efektif antara peme-

rintah dengan sektor privat dalam memben-

tuk kebijakan yang mampu memberikan

insentif bagi dunia bisnis namun di saat yang

sama merupakan pendekatan yang mengede-

pankan aspek akuntabilitas publik. Secara

umum Governing on The Edges berpegang

erat pada prinsip (1) linking ketimbang com-

manding (2) convincing daripada controlling

(3) enabling, partnering versus doing.

Sebenarnya ada dua problem utama yang

harus diselesaikan dalam memecahkan masa-

lah inkompatibilitas aparatur negara dengan

tantangan seperti AEC. Chen dan Neo (2007)

melalui pendekatan dynamic governance

menjelaskan problem tersebut sebagai perta-

ma, ketidakmampuan organisasi publik

dalam memahami perubahan yang terjadi di

sekitarnya dan kedua, sulitnya membuat

penyesuaian-penyesuaian institusional sehi-

ngga organisasi tetap efektif dalam merespon

perubahan.

Dalam konteks AEC, permasalahan perta-

ma bisa diartikan sebagai problem awareness.

Aparatur negara perlu menjadi yang terde-

pan untuk memahami aturan main perdaga-

ngan bebas dan investasi di ASEAN, membaca

dan menerjemahkannya menjadi serangkaian

peluang dan tantangan yang perlu diantisipa-

si oleh seluruh elemen masyarakat. Aspek

kedua adalah unsur preparedness dalam tata-

ran pragmatis tentang bagaimana aparatur

melakukan penyesuaian. Penyesuaian misal-

nya dalam hal kelembagaan, dengan aturan

main baru di tingkat regional apakah perlu

direspon dengan lembaga yang ramping dan

ringkas sehingga gerak organisasi menjadi

tangkas. Ataukah diperlukan organisasi yang

besar, merespon banyak permasalahan sehi-

ngga pendekatan terhadap AEC menjadi lebih

komprehensif.

Konseptualisasi peran aparatur negara

dalam menghadapi AEC juga bisa dilihat

dalam kapabilitas seperti apakah aparatur

negara telah memiliki mindset untuk thinking

ahead; thinking again dan thinking across

(Chen & Neo, 2007). Aparatur harus berpikir

ke depan (thinking ahead), menyadari bahwa

dalam lanskap ekonomi baru ide, kreativitas

dan pengetahuan merupakan faktor produksi

atau input yang sangat penting. Dalam skema

Page 13: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

92 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

liberalisasi perdagangan jasa AEC, hanya te-

naga kerja bersertifikasi dengan skill khusus

yang dapat memaksimalkan kesempatan mo-

bilitas tenaga kerja.

Selanjutnya, think again yang berarti apa-

ratur harus mampu meninjau ulang kebija-

kan yang sudah ada apakah mampu menja-

wab tantangan yang berkembang sehingga

kebijakan dapat berkinerja lebih baik dari

sebelumnya. Dalam hal ini, penyesuaian atau

adaptasi kebijakan tidak hanya sebuah reaksi

pasif dari tekanan eksternal tapi merupakan

pendekatan proaktif terhadap inovasi, kon-

tekstualisasi dan eksekusi kebijakan. Think

across berarti kemampuan dan keterbukaan

untuk belajar dari pengalaman institusi lain-

nya di luar batas-batas organisasi sehingga

ide baru dapat diperkenalkan dalam sebuah

institusi. Kemampuan ini juga memerlukan

kapasitas aparatur untuk bekerja sama de-

ngan institusi lainnya di luar batas-batas ad-

ministratif birokrasi. Berdasarkan uraian

konseptual tersebut, maka dapat diidenti-

fikasi beberapa jenis kompetensi teknis di bi-

dang perindustrian dan perdagangan seba-

gai berikut:

No Konsepsi Usulan Jenis Kompetensi

1. Dalam kerangka Competitive and Representative Go-vernment memerlukan kapasitas negara yang bisa menghadapi kompetisi di tingkat regional/global te-tapi juga mampu membangun legitimasi internal ditingkat domestik

Kemampuan menyusun kebijakan untuk meningkatkan daya saing

Kemampuan untuk menyusun kebijakan untuk membangun dan mengembangan industri dalam negeri

2. Dalam model knowledge economy, ada tiga elemen yang diperlukan: (1) institusi untuk mendukung ino-vasi; (2) jaringan untuk mengembangkan dan men-transfer pengetahuan (ke dalam inovasi), serta (3) dukungan infrastruktur inovasi untuk mendorong perusahaan untuk berinovasi

Kemampuan melakukan inovasi Kemampuan mengembangkan dan men-

transfer pengetahuan

3. Dalam lanskap integrasi ekonomi regional diperlu-kan beberapa kapasitas: Pertama, kapasitas regu-latory, Kedua, kapasitas pengetahuan, yakni kapa-sitas untuk merespons perubahan-perubahan, Keti-ga, kapasitas pemberdayaan stakeholders, yakni ka-pasitas untuk memperkuat kapasitas pemangku kepentingan d a n Keempat, kapasitas negosiasi, yakni kapasitas untuk bisa berhubungan dengan kekuatan ekonomi lain.

Kemampuan menyusun kebijakan Kemampuan merespon perubahan Kemampuan untuk fokus kepada pelang-

gan Kemampuan melakukan negosiasi

4. Konseptualisasi peran aparatur negara dalam menghadapi AEC juga bisa dilihat dalam memiliki mindset untuk thinking ahead; thinking again dan thinking across

Kemampuan berpikir ke depan Kemampuan meninjau ulang kebijakan Kemampuan dan keterbukaan untuk be-

lajar

Tabel 3 Identifikasi Jenis Kompetensi Berbasis Konsepsi

Penyusunan standar kompetensi teknis

ASN JPT di pemerintah daerah dapat diidenti-

fikasi berdasarkan AEC Blueprint yang rele-

van di bidang perindustrian dan perdagang-

an sebagai berikut:

No Pilar Usulan Jenis Kompetensi

1. ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas

Kemampuan memahami dan melaksanakan kebijakan perdagangan luar negeri

2. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindu-ngan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, penge-mbangan infrastruktur, perpajakkan dan e-commerce

Kemampuan memahami dan melaksana-kan kebijakan peraturan kompetisi

Kemampuan memahami dan melaksana-

Page 14: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 93

No Pilar Usulan Jenis Kompetensi

kan kebijakan perlindungan konsumen Kemampuan memahami dan melaksana-

kan kebijakan hak atas kekayaan intelek-tual

3. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan eko-nomi yang merata dengan elemen pengembangan usa-ha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN

Kemampuan memahami dan melaksanakan kebijakan pengembangan UKM

4. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara pe-nuh dengan perekonomian global dengan elemen pen-dekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.

Kemampuan memahami kebijakan jejaring produksi global

Tabel 4 Identifikasi Jenis Kompetensi Berbasis AEC Blueprint

Penyusunan standar kompetensi teknis

ASN JPT di pemerintah daerah di bidang per-

industrian dan perdagangan dapat diidentifi-

kasi berdasarkan RPJMN dan RPJMD sebagai

berikut:

No Bidang Isu Strategis Usulan Jenis Kompetensi

1 Industri 1) Deindustrialisasi 2) Populasi dan Struktur Industri

Lemah 3) Bahan mentah diekspor, se-

mentara bahan setengah jadi diimpor.

4) Ketergantungan pada impor tinggi

5) Produktivitas Rendah 6) Industri Terkonsentrasi di Pu-

lau Jawa dan Sumatera

Mengetahui dan mampu menyusun kebijakan pembangunan Kawasan Industri Mengetahui dan mampu menyusun kebijakan pembangun Sentra Industri Kecil dan Mene-ngah (SIKIM) Mampu berkoordinasi dengan para pemangku dalam mengimplementasikan kebijakan

Mampu menyusun kebijakan untuk mendo-rong investasi untuk industri pengolah sum-ber daya alam, baik hasil pertanian maupun hasil pertambangan (hilirisasi) Mampu menyusun kebijakan untuk mendo-rong investasi industri penghasil barang kon-sumsi kebutuhan dalam negeri, penghasil ba-han baku, bahan setengah jadi, komponen dan sub-assembly Mampu menyusun kebijakan dalam memanfa-atkan kesempatan dalam jaringan produksi global baik sebagai perusahaan subsidiary, contract manufacturer, maupun sebagai indep-endent supplier (Integrasi ke Global Production Network). Mampu menyusunan kebijakan dalam pembi-naan industri kecil dan menengah (Pembinaan IKM) agar dapat terintegrasi dengan rantai nilai industri pemegang merek (Original Equipment Manufacturer, OEM) di dalam negeri dan dapat menjadi basis penumbuhan populasi industri besar dan sedang. Mampu menyusun kebijakan dalam penguasa-an Iptek / Inovasi Mampu menyusun penguasaan dan pelaksa-naan pengembangan produk baru (New Pro-duct Development) oleh industri domestik.

Page 15: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

94 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

No Bidang Isu Strategis Usulan Jenis Kompetensi

2 Perdagangan DN 1) Masih terdapatnya kelangkaan stok dan disparitas harga ba-han pokok yang tinggi

2) Belum optimalnya aktivitas perdagangan dalam negeri

3) Masih rendahnya minat masya-rakat terhadap produk domes-tik.

4) Belum optimalnya upaya pelin-dungan konsumen

1) Mampu menyusun kebijakan pembenahan sistem distribusi bahan pokok dan sistem logistik rantai pasok

2) Mampu menyusun kebijakan pembenahan iklim usaha perdagangan yang lebih kondu-sif

3) Mampu menyusun kebijakan perlindungan konsumen dan standardisasi produk lokal di pusat dan di daerah

3 Perdagangan LN 1) Besar ekspor merupakan ko-moditas Primer.

2) Masih rendahnya tingkat diver-sifikasi pasar tujuan ekspor.

3) Masih rendahnya daya saing ekspor jasa

4) Meningkatnya hambatan non tarif.

5) Fasilitasi ekspor yang belum optimal

Kemampuan diplomasi perdagangan

Mampu menyusun kebijakan dalam mening-katkan peran perwakilan dagang di luar nege-ri Mampu memanfaatkan kerjasama perdagang-an yang ada dan meningkatkan kerjasama perdagangan bilateral Mampu meningkatkan peran perwakilan da-gang di luar negeri Mampu menyusun kebijakan meningkatkan promosi ekspor Mampu menyusun kebijakan pemanfaatan Rantai Nilai Global dan Jaringan Produksi Global yang menghasilkan barang dan jasa berorientasi ekspor Mampu menyusun kebijakan meningkatkan efektivitas market intelligence Mampu meningkatkan kapasitas dan kemam-puan calon eksportir dan eksportir pemula Mampu meningkatkan sosialisasi dan disemi-nasi informasi mengenai produk potensial ke-pada seluruh produsen atau pelaku usaha po-tensial Mampu meningkatkan daya saing produk na-sional Mampu menyusun kebijakan untuk mening-katkan efektivitas manajemen impor Mampu menyusun kebijakan untuk mengop-timalkan fasilitas safeguards dan pengamanan perdagangan lainnya Mampu melakukan evaluasi terhadap pelak-sanaan Free Trade Agreements (FTA) yang su-dah dilakukan Mampu menyusun kebijakan dalam mengem-bangkan fasilitasi perdagangan yang lebih efektif

4 Kerjasama Eko-nomi Internasio-nal

Kerjasama Ekonomi Internasional (peningkatan kerjasama interna-sional baik di forum bilateral, re-gional, maupun multilateral)

Mampu merumuskan strategi diplomasi eko-nomi nasional Mampu menyusun kriteria dalam menentukan prioritasi (seleksi) kerja sama ekonomi inter-nasional

Mampu melakukan pemantauan, kaji ulang, dan evaluasi terhadap perjanjian kerjasama ekonomi internasional Mampu meningkatkan koordinasi antar lem-baga pemerintah, antara lembaga pemerintah dengan kalangan dunia usaha, akademisi,

Page 16: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 95

No Bidang Isu Strategis Usulan Jenis Kompetensi

LSM, dan masyarakat dalam proses perumus-an strategi diplomasi ekonomi, serta imple-mentasi dan pemanfaatan kerja sama ekonomi internasional yang telah disepakati. Mampu melakukan identifikasi kepentingan nasional untuk diperjuangkan dalam forum kerja sama ekonomi internasional, baik dalam forum bilateral, regional, maupun multilateral Mampu menyusun road map kerangka kerja sama ekonomi maritim dalam rangka mendu-kung pembangunan, pengelolaan, dan peman-faatan wilayah maritim Indonesia yang lebih baik.

Tabel 5 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMN 2014-2019 dan

RPJMD di Beberapa Lokus Kajian

Penyusunan standar kompetensi teknis

ASN JPT di pemerintah daerah, juga memper-

hatikan pembagian urusan di bidang perda-

gangan dan perindustrian sebagaimana di-

atur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 ten-

tang Pemerintah Daerah, sebagai berikut:

No Sub Urusan Kewenangan Provinsi Usulan Jenis Kompetensi

1 Perdagangan a. Perizinan dan Pendaf-

taran Perusahaan 1. Penertiban surat izin usaha perdaga-

ngan minuman beralkohol toko bebas bea dan rekomendasi penerbitan SIUP-MB bagi distributor.

2. Penerbitan surat izin usaha perdaga-ngan bahan berbahaya pengecer ter-daftar, pemeriksaan sarana distribusi bahan berbaya dan pengawasan dis-tribusi, pengemasan pelabelan bahan berbahaya di tingkat Daerah provinsi.

3. Rekomendasi untuk penerbitan PGAPT dan SPPGRAP.

4. Penerbitan surat keterangan asal bagi Daerah provinsi yang telah ditetapkan sebagai instansi penerbit surat kete-rangan asal).

5. Penerbitan angka pengenal importir (API).

Kemampuan menyusun kebi-jakan pelayanan perizinan

b. Sarana Distribusi Per-dagangan

Pembangunan dan pengelolaan pusat dis-tribusi regional dan pusat distribusi pro-vinsi.

Kemampuan membuat kebija-kan pengelolaan sarana per-dagangan

c. Stabilisasi Harga Ba-rang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting

1. Menjamin ketersediaan barang kebu-tuhan pokok dan barang penting di tingkat daerah provinsi.

2. Pemantauan harga, informasi keterse-diaan stok barang kebutuhan pokok dan barang penting di tingkat pasar provinsi.

3. Melakukan operasi pasar dalam rang-ka stabilisasi harga pangan pokok yang dampaknya beberapa daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) dae-rah provinsi.

Kemampuan menyusun kebi-jakan stabilisasi harga

Page 17: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

96 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

No Sub Urusan Kewenangan Provinsi Usulan Jenis Kompetensi

4. Pengawasan pupuk dan pestistida tingkat daerah provinsi dalam mela-kukan pelaksanaan pengadaan, pe-nyaluran dan penggunaan pupuk ber-subsidi di wilayah kerjanya.

d. Pengembangan Ekspor 1. Penyelenggaraan promosi dagang melalui pameran dagang internasio-nal, pameran dagang nasional dan pa-meran dagang lokal serta misi dagang bagi produk ekspor unggulan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) dae-rah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi.

2. Penyelenggaraan kampanye pencitra-an produk ekspor skala nasional (lin-tas Daerah provinsi).

Kemampuan menyusun kebi-jakan pengembangan ekspor

e. Standardisasi dan Per-lindungan Konsumen

Pelaksanaan perlindungan konsumen, pengujian mutu barang, dan pengawasan barang beredar dan/atau jasa di seluruh Daerah kabupaten/kota.

Kemampuan menyusun kebi-jakan standarisasi dan perlin-dungan konsumen

2. Perindustrian a. Perencanaan Pemba-

ngunan Industri Penetapan rencana pembangunan industri provinsi.

Kemampuan menyusun kebi-jakan perencanaan pemba-ngunan industri

b. Perizinan 1. Penerbitan IUI Besar. 2. Penerbitan IPUI bagi industri besar. 3. Penerbitan IUKI dan IPKI yang lokasi-

nya lintas Daerah kabupaten/kota dalam (satu) Daerah provinsi.

Kemampuan menyusun kebi-jakan perizinan

c. Sistem Informasi In-dustri Nasional

Penyampaian laporan informasi industri untuk: - IUI Besar dan Izin perluasannya; dan - IUKI dan IPKI yang lokasinya lintas

Daerah kabupaten/kota.

Kemampuan menyusun kebi-jakan sistem perizinan indus-tri nasional

Tabel 6 Identifikasi Jenis Kompetensi Teknis Berbasis Pembagian Urusan

Perdagangan dan Perindustrian

C. IDENTIFIKASI KOMPETENSI

Berdasarkan pertimbangan-pertimbang-

an tersebut, berikut ini disampaikan bebe-

rapa jenis kompetensi bagi Aparatur Sipil Ne-

gara khususnya Jabatan Pimpinan Tinggi bi-

dang perindustrian dan perdagangan di Pe-

merintah Daerah dalam menghadapi AEC, ya-

itu:

No Jenis Kompetensi Deskripsi

1. Menyusun kebijakan di bidang perdagangan dan perindustrian

Mengetahui dan mampu menyusun kebijakan di bidang perdagangan dan perindustrian

2. Menkoordinaskan perdagangan dalam negeri Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan berba-gai aspek terkait dengan perdagangan barang atau jasa dalam negeri,

3. Mengkoordinasikan perdagangan luar negeri Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan berba-gai aspek terkait dengan perdagangan barang dan jasa luar negeri.

4. Merumuskan sasaran pembangunan dan penge-mbangan industri

Mengetahui dan mampu merumuskan sasaran pem-bangunan dan pengembangan industri

Page 18: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 97

No Jenis Kompetensi Deskripsi

Bidang Industri

5. Mengarahkan Desain Produk Industri Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan desain produk industri baik dalam perancangan, perencanaan, dan pembuatan produk industri.

6. Mengarahkan Standarisasi Produk Industri Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan produk industri dengan mempertimbangkan aspek daya saing dan perlindungan konsumen.

7. Mengarahkan Hak Kekayaan Intelektual Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan hak kekayaan intelektual

8. Mengarahkan Sistem Informasi Industri Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan penerapan sistem informasi industri.

9. Membina Manajemen IKM Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan manajemen IKM baik dalam hal pembiayaan, pen-ciptaan nilai tambah, jangkauan pasar, penguatan kelembagaan usaha, dan perlindungan usaha, serta menumbuhkan semangat kewirausahaan.

10. Membina Pemanfaatan Rantai Nilai Global dan Jaringan Produksi Global

Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan pemanfaatan rantai nilai global dan jaringan pro-duksi global.

11. Mengarahkan Pemanfaatan Teknologi Industri Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan pemanfaatan teknologi industri.

Bidang Perdagangan Dalam Negeri

12. Membina Perlindungan Konsumen Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan perlindungan konsumen dan pengawasan produk yang beredar.

13. Mengendalikan Stabilisasi Harga Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan stabilitas harga barang atau jasa

14. Mengendalikan Manajemen Stok Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan persediaan dan pendistribusian barang-barang kebutuhan pokok

15. Mengkoordinasikan Fasilitasi Sarana Penunjang Perdagangan

Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan penye-diaan sarana penunjang perdagangan

16. Mengevaluasi Pemberiaan Izin Usaha Mengetahui dan mampu mengevaluasi pemberian izin usaha

Bidang Perdagangan Luar Negeri

17. Mengarahkan promosi Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan promosi produk-produk yang dihasilkan

18. Mengarahkan pemanfaatkan market intellegence Mengetahui dan mampu memanfaatkan market in-tellegence penetrasi pasar dan pengembangan pasar

19. Mengevaluasi insentif perdagangan Mengetahui dan mampu mengevaluasi kebijakan insentif perdagangan

20. Mengevaluasi fasilitasi ekspor dan Impor Mengetahui dan mampu mengevaluasi kebijakan fasilitasi ekspor dan impor

21. Mengarahkan pemanfaatan Teknologi Informasi Mengetahui dan mampu memanfaatkan teknologi informasi dalam rangka membuka akses pasar dan meningkatkan pangsa pasar produk Indonesia

Tabel 7 Jenis Kompetensi Teknis

Page 19: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

98 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

D. VALIDASI STANDAR KOMPETENSI

Berdasarkan identifikasi jenis-jenis kompetensi teknis tersebut,

kajian ini melakukan validasi terhadap jenis-jenis kompetensi-kompe-

tensi teknis tersebut di 4 lokus kajian yaitu Provinsi Riau, Provinsi

Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Nusa Tenggara Ba-

rat sebagai berikut:

1. Provinsi Kepulauan Ria

Gambar 1. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Kepulauan Riau

Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015

Page 20: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 99

2. Provinsi Jawa Timur

Gambar 2. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Jawa Timur

Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015

Page 21: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

100 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

3. Provinsi Sulawesi Utara

Gambar 3. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Sulawesi Utara

Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015

Page 22: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 101

4. Provinsi Nusa Tenggara Barat

Gambar 4. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Nusa Tenggara Barat

Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015

Page 23: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

102 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Berdasarkan hasil temuan lapangan di be-

berapa lokus tersebut, sebagian besar respo-

nden memberikan jawaban sangat relevan

dan relevan terhadap jenis-jenis kompetensi

yang telah disusun oleh tim PKDOD. Namun

menurut responden ada beberapa jenis-jenis

kompetensi yang dipandang relevan bagi

Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan

Tinggi di pemerintah daerah dalam mengha-

dapi AEC khususnya di bidang perdagangan

dan perindustrian, yaitu:

Pengetahuan tentang Ekonomi Regio-nal Selain penguasaan kompetensi teknis tertentu, responden juga mengusulkan agar aparatur di level kepala dinas juga harus mempunyai kompetensi terkait dengan pengetahuan tentang ekonomi regional

Pengetahuan tentang Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Perdagangan dan perindustrian selalu terkait dengan situasi fiskal dan moneter. Dengan memahami kebijakan fiskal dan moneter, seorang kepala dinas akan mampu merumuskan langkah-langkah strategis dan taktis dalam kebijakan dan programnya dengan mengintegrasikan perspektif fiskal dan moneter.

Pengetahuan tentang industri kreatif Standar kompetensi juga mengakomoda-si kebutuhan jenis yang terkait dengan industri kreatif.

Pengetahuan Perundangan-undangan (Regulatory Mapping) Lintas Sektor Selain pengetahuan perundang-undang-an di bidang perdagangan dan perindus-trian, responden juga mengusulkan pe-ngetahuan perundang-undangan lintas sektor sebagai jenis kompetensi yang ha-rus dimiliki oleh aparatur Pemda di dinas terkait.

Pengetahuan tentang Pengembangan Industri Berwawasan Lingkungan. Pengetahuan pengembangan industri berwawasan lingkungan sebagai jenis kompetensi juga harus diakomodir da-lam pengembangan standar kompetensi teknis ASN Pemda di dinas terkait.

Pengetahuan GeoSpasial Pengembangan kawasan industri sangat

terkait dengan masalah tata ruang (RT

RW). Pengetahuan geo-spasial mencakup

pengetahuan tentang tata ruang dan ke-

wilayahan.

E. PENUTUP

Pada bagian penutup ini, akan disampai-

kan kesimpulan, rekomendasi dan rencana

aksi sebagai tindak lanjut dari kajian penyu-

sunan standar kompetensi teknis dalam

menghadapi AEC.

1. Kesimpulan:

1) Dalam konteks AEC, aparatur memerlu-

kan penyesuaian-penyesuaian kapasitas

untuk menghadapi tantangan baru yang

akan muncul di lingkungan ASEAN.

Penyesuaian tersebut antara lain terkait

dengan liberalisasi di sektor perdagang-

an dan jasa yang membuat pemerintah

tidak hanya harus mereposisi kebijakan-

kebijakan ekonominya, tetapi juga me-

mastikan semua komponen aparatur siap

dengan perubahan struktural ini. Namun

demikian, pemerintah saat ini masih

punya beberapa persoalan serius. Cata-

tan ASEAN Competitiveness Fundamentals

(2013) memperlihatkan bahwa Indone-

sia masih cukup tertinggal dalam hal

pengembangan infrastruktur makroeko-

nomi dan masih belum memiliki institusi

yang responsif terhadap perkembangan

ekonomi regional. Dengan kata lain, daya

saing institusional pemerintah masih

belum kompatibel dengan AEC. Akibat-

nya indeks daya saing Indonesia masih

cukup rendah di sektor infrastruktur

(terendah dari ASEAN-5), perkembangan

pasar tenaga kerja (terendah dari

ASEAN-5), serta cukup minim dalam hal

pengembangan institusional (hanya lebih

baik daripada Thailand yang baru saja

mengalami kudeta militer).

2) Langkah maju dalam reformasi birokrasi

telah dilakukan oleh pemerintah, yakni

dengan disyahkan Undang-Undang No-

mor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Si-

pil Negara. Tidak berlebihan, lahirnya UU

tersebut merupakan tonggak keberhasil-

an reformasi dan juga lahirnya Aparatur

Sipil Negara yang berbasis profesionalis-

Page 24: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 103

me dan kompetensi serta memenuhi kua-

lifikasi dalam menjalankan jabatannya.

UU Aparatur Sipil Negara mengatur bah-

wa kompetensi meliputi kompetensi tek-

nis, kompetensi manajerial dan kompe-

tensi sosial kultural. Sejalan dengan im-

plementasi Undang-Undang Aparatur Si-

pil Negara dalam konteks AEC, maka

diperlukan penyusunan kompetensi Apa-

ratur Sipil Negara khususnya kompetensi

teknis bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan

Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah

dalam menghadapi liberalisasi di sektor

perdagangan baik perdagangan dalam

maupun luar negeri serta peningkatan

daya saing sektor perindustrian.

3) Dalam penyusunan standar kompetensi

teknis dilakukan dengan beberapa pen-

dekatan antara lain pendekatan konsep-

tual, AEC Blueprint, Rencana Pembangun-

an Jangka Menengah (RPJMN) 2015-

2019, Rencana Pembangunan Jangka Me-

nengah Daerah (RPJMD) di beberapa lo-

kus serta pembagian urusan pemerintah

Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di

bidang perdagangan dan perindustrian.

Dalam kerangka Competitive and Repre-

sentative Government memerlukan kapa-

sitas negara yang bisa menghadapi kom-

petisi di tingkat regional/global tetapi ju-

ga mampu membangun legitimasi inter-

nal di tingkat domestic. Dalam model

knowledge economy, ada tiga elemen

yang diperlukan: (1) institusi untuk men-

dukung inovasi; (2) jaringan untuk me-

ngembangkan dan mentransfer pengeta-

huan (ke dalam inovasi), serta (3) duku-

ngan infrastruktur inovasi untuk mendo-

rong perusahaan untuk berinovasi. Da-

lam lanskap integrasi ekonomi regional

diperlukan beberapa kapasitas: Perta-

ma, kapasitas regulatory, Kedua, kapasi-

tas pengetahuan, yakni kapasitas untuk

merespons perubahan-perubahan, Keti-

ga, kapasitas pemberdayaan stakehol-

ders, yakni kapasitas untuk memperkuat

kapasitas pemangku kepentingan dan

Keempat, kapasitas negosiasi, yakni ka-

pasitas untuk bisa berhubungan dengan

kekuatan ekonomi lain. Konseptualisasi

peran aparatur negara dalam menghada-

pi AEC juga bisa dilihat dalam memiliki

mindset untuk thinking ahead; thinking

again dan thinking across.

4) AEC Blueprint digunakan sebagai salah

satu pertimbangan dalam menyusun

standar kompetensi teknis, dimana AEC

Blueprint merupakan pedoman bagi ne-

gara-negara Anggota ASEAN dalam me-

wujudkan AEC 2015. AEC Blueprint me-

muat empat pilar utama yaitu: (1) ASEAN

sebagai pasar tunggal dan berbasis pro-

duksi tunggal yang didukung dengan ele-

men aliran bebas barang, jasa, investasi,

tenaga kerja terdidik dan aliran modal

yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai

kawasan dengan daya saing ekonomi

tinggi, dengan elemen peraturan kompe-

tisi, perlindungan konsumen, hak atas

kekayaan intelektual, pengembangan in-

frastruktur, perpajakkan dan e-commer-

ce, (3) ASEAN sebagai kawasan dengan

pengembangan ekonomi yang merata de-

ngan elemen pengembangan usaha kecil

dan menengah, dan prakarsa integrasi

ASEAN, (4) ASEAN sebagai kawasan yang

terintegrasi secara penuh dengan pere-

konomian global dengan elemen pende-

katan yang koheren dalam hubungan

ekonomi di luar kawasan, dan mening-

katkan peran serta dalam jejaring pro-

duksi global.

5) Penyusunan standar kompetensi yang

dibutuhkan Aparatur Sipil Negara Jabat-

an Pimpinan Tinggi di Pemerintah Dae-

rah dalam menghadapi AEC juga mem-

pertimbangkan Nawa Cita (9 Program

Prioritas Pemerintahan Jokowi) dan as-

pek lingkungan strategis sebagaimana

tertuang dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN

2015-2019) dan Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah (RPJMD) pada

lokus kajian. Aparatur Sipil Negara diha-

dapkan pada beberapa permasalahan di

bidang perindustrian antara lain dein-

dustrialisasi, populasi dan struktur in-

dustri lemah, bahan mentah diekspor,

sementara bahan setengah jadi diimpor,

ketergantungan pada impor tinggi serta

Page 25: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

104 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

produktivitas rendah. Sedangkan perma-

salahan perdagangan dalam negeri anta-

ra lain masih terdapatnya kelangkaan

stok dan disparitas harga bahan pokok

yang tinggi, belum optimalnya aktivitas

perdagangan dalam negeri, masih ren-

dahnya minat masyarakat terhadap pro-

duk domestik, dan belum optimalnya

upaya pelindungan konsumen, serta per-

masalahan luar negeri peningkatan ker-

jasama internasional baik di forum bila-

teral, regional, maupun multilateral.

2. Rekomendasi dan Rencana Aksi:

1) Membangun kepedulian dan kesiapan

pemerintah dan pemda dalam mengha-

dapi AEC dengan rencana aksi:

Aspek kebijakan, merancang dan

mengintegrasikan isu AEC dalam ke-

bijakan agar mampu meminimalisir

resiko-resiko yang muncul.

Aspek kelembagaan, membangun si-

nergi dan aksi kolaboratif antara

pemerintah dan pemerintah daerah,

perguruan tinggi, dunia usaha dalam

menghadapi AEC.

Aspek SDM, sosialisasi AEC kepada

ASN untuk membangun kepedulian

dan kesiapan ASN dalam menghada-

pi AEC

2) Penyusunan standar kompetensi yang

bersifat spesifik, dengan rencana aksi:

Identifikasi potensi daerah, penyu-

sunan standar kompetensi seharus-

nya didasarkan potensi daerah ma-

sing-masing.

Identifikasi geospasial, penyusunan

standar kompetensi mencakup pe-

ngetahuan tentang tata ruang dan

kewilayahan masing-masing daerah.

Dokumen Perencanaan, penyusunan

standar kompetensi didasarkan pada

RPJMN, RPJMD dan Renstra

3) Integrasi standar kompetensi dengan

manajemen ASN, dengan rencana aksi:

Melakukan integrasi standar kompe-

tensi dengan Promosi

Melakukan integrasi standar kompe-

tensi dengan Rotasi

Melakukan integrasi standar kompe-

tensi dengan Pelatihan dan Pengem-

bangan

Melakukan integrasi standar kompe-

tensi dengan Evaluasi kinerja

4) Penyusunan kebijakan standar kompe-

tensi, dengan rencana aksi:

Penyusunan kebijakan standar kom-

petensi oleh pemerintah daerah

Kebijakan tersebut dijadikan acuan

dalam bagi pemerintah daerah da-

lam rangka pelaksanaan manajemen

ASN di pemerintah daerah

5) Melaksanakan dan melakukan evaluasi

terhadap standar kompetensi, dengan

rencana aksi

Pelaksanaan standar kompetensi

yang telah disusun

Melakukan evaluasi terhadap stan-

dar kompetensi

6) Penyesuaian standar kompetensi dengan

target-target kinerja dalam RPJMN/D,

dengan rencana aksi:

Mengidentifikasi isu-isu strategik,

sasaran, arah kebijakan dan strategi

sebagaimana diatur dalam dokumen

RPJMN dan RPJMD

Melakukan evaluasi terhadap stan-

dar kompetensi dengan mempertim-

bangkan target-target kinerja dalam

dokumen perencanaan.

7) Melakukan tindak lanjut kajian dengan

mengidentifikasi standar kompetensi

teknis negara-negara ASEAN lainnya, de-

ngan rencana aksi:

Melakukan tindak lanjut kegiatan de-

ngan mengidentifikasi standar kom-

petensi beberapa negara ASEAN lain-

nya dengan menjalin kemitraan de-

ngan Sekretariat ASEAN.

Memetakan kompetensi ASN di be-

berapa Negara ASEAN dalam meng-

hadapi AEC.

F. DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 3 Tentang Perindus-

trian

Page 26: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 105

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Ten-

tang Aparatur Sipil Negara

Undang-Undang Nomor 7 Tentang Perdaga-

ngan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Ten-

tang Pemerintahan Daerah

Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional 2015-2019

Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah Provinsi Kepulauan Riau

Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah Provinsi Jawa Timur

Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah Provinsi Sulawesi Utara

Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Rencana Strategis Kementerian Perdagangan

Rencana Strategis Kementerian Perindustri-

an

Rencana Strategis Provinsi Kepulauan Riau

Rencana Strategis Provinsi Jawa Timur

Rencana Strategis Provinsi Sulawesi Utara

Rencana Strategis Provinsi Nusa Tenggara

Barat

2. Buku:

Abonyi, G. & Van Slyke, D. M. (2010). Go-

verning On The Edges: Globalization

Of Production And The Challenge to

Public Administration In The Twenty

First Century. Public Administration

Review. 70 (1): 33-45.

ASEAN. (2007). Blueprint of ASEAN Econo-

mic Community. Jakarta: ASEAN Secre-

tariat. Bretton, A. (2007). The Econo-

mic Theory of Representative Govern-

ment. Transaction Publishers.

Bowornwathana, B. (2009). The Need To

Build Administrative Capacity In The

Age Of Rapid Globalization: A “Mo-

dest” Prescription or A Major Blue-

print? Public Administration Review,

69(6), 1031-1033.

Hameiri, S. (2007). Failed States Or A

Failed Paradigm? State Capacity And

The Limits Of Institutionalism. Jour-

nal Of International Relations And

Development, 10 (2), 122-149.

Hameiri, S. (2010). Regulating Statehood:

State Building and the Transforma-

tion of the Global Order. Basingstoke,

UK: Palgrave Macmillan.

Irawati, D., & Rutten, R. (Eds.). (2013).

Emerging Knowledge Economies in

Asia: Current Trends in ASEAN 5:

Current Trends In ASEAN-5. London

And New York: Routledge.

Kasali, R. (2014). Agility: Bukan Singa Yang

Mengembik. Jakarta: Gramedia.

Neo, B. S & Chen, G. 2007. Dynamic Go-

vernance: Embedding Culture, Capa-

bilities And Change In Singapore.

Singapore: World Scientific.

Nesadurai, H. E. (2003). Globalisation, Do-

mestic Politics and Regionalism.

London: Routledge.

Nesadurai, H. (2013). “ASEAN/East Asia

and Global Economic Governance:

Reasserting the State as Market Actor”

Studia Diplomatica [P], 66 (1), 51-70.

Permana, P., Sulistyastuti, D. R. and

Rachman, N.A. (2014). “Gearing Up for

ASEAN Economic Community: Small

and Medium Enterprises‟ Responses

and Preparedness to Regional Market

Integration”. Working Paper No. 1,

ASEAN Studies Center, Universitas

Gadjah Mada

Page 27: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

Widhi Novianto

106 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Page 28: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 107

Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di Tingkat

Lokal

Strengthening the Capacity of Sub-Disctricts: A Local-Based Anticipative

Strategy for the ASEAN Economic Community

Marsono

Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik

Lembaga Administrasi Negara

Abstrak Kebijakan membangun Indonesia dari Desa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak akan pernah menafikkan peran strategis Kecamatan sebagai pembi-na kewilayahan di tingkat pemerintahan terbawah (akar rumput) dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang segera diberlakukan. Selanjutnya tantangan berat bagi Kecamatan saat ini adalah pelaksanaan perannya sebagai transformator dan akselerator bagi pemerintah desa dalam menghadapi MEA di tingkat lokal. Peran ini tentu menjadi sangat penting manakala Desa/Kelurahan harus dapat bersaing dengan beberapa negara di kawasan ASEAN, baik menyangkut produk-produk pertaniannya maupun terkait dengan tenaga kerjanya. Oleh karena itu, agar tenaga kerja dan ekonomi lokal memiliki daya saing yang baik dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, maka Kecama-tan harus memiliki kapasitas untuk dapat melakukan perannya tersebut. Peran strategis yang harus dimainkan Kecamatan terkait dengan kesiapan Desa dalam menghadapi MEA, antara lain: (1) mem-fasilitasi desa untuk melakukan mapping (pemetaan) potensi unggulan; (2) penguatan pelaku usaha dan industri di desa; (3) mendorong dan memfasilitasi Desa untuk membentuk BUMDes (4) bantuan program pelatihan kewirausahaan, manajemen, pemasaran, teknik produksi modern, teknis penge-masan modern, bantuan peralatan, modal usaha, dan lainnya; (5) mendampingi desa untuk mening-katkan wawasan sumber daya manusia (SDM) pelaku UKM terhadap MEA; (6) mendorong dan men-dampingi para pelaku UMKM desa untuk menerapkan standarisasi atau sertifikasi produk-produk unggulannya, sehingga akan memiliki daya saing.

Kata Kunci: Penguatan kapasitas, daya saing dan MEA

Abstract

The spirit of “development from the villages” as brought by the Law Number 6 Year 2014 concerning

Village could not ignore the strategic role of Sub-district as the lowest level government, particularly

in anticipating the upcoming ASEAN Economic Community (AEC). One of the biggest challenges for

Sub-district administration is to play its role as the transformator and accelerator for village

administration in responding the threat of AEC. This role becomes strategic when villages are forced

to compete with their likes in ASEAN, both in terms of produces and labour. Therefore, to enhance

local labour and economy in the AEC, sub-districts has to improve its capacity. Some of sub-districts

role in anticipating the AEC are 1) facilitating villages to map their superior products; 2) strengthe-

ning local industry in villages; 3) facilitating villages to establish village-owned company; 4) sup-

porting villages through trainings on entrepreneurship, marketing, management, production, packa-

ging, as well as through subsidy and ease of capital; 5) advocating the potential businessmen in the

villages to enhance their knowledge regarding AEC; and 6) accelerating and advocating local busi-

nesses to comply with the international standards.

Keywords: capacity strengthening, competitiveness, AEC

Page 29: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal

Marsono

108 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

A. PENDAHULUAN

Data empiris terkait dengan pembentuk-

an pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN

(MEA) atau pasar bebas Asia Tenggara

diawali dari KTT ASEAN di Bali Oktober

2003. Para Pemimpin ASEAN mendeklarasi-

kan bahwa Komunitas Ekonomi ASEAN

(KEA) merupakan tujuan integrasi ekonomi

regional (Bali Concord II) pada tahun 2020.

Selain KEA, Komunitas Keamanan ASEAN dan

Komunitas Sosial Budaya ASEAN merupakan

dua pilar integral lain dari komunitas ASEAN

yang akan dibentuk. Ketiga pilar tersebut

diharapkan dapat bekerja secara erat dalam

pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun

2020.

Selanjutnya pada pertemuan ke-38 Men-

teri Ekonomi ASEAN di Kuala Lumpur Malay-

sia pada Agustus 2006 telah bersepakat un-

tuk menyusun “Suatu Cetak Biru” yang terpa-

du untuk mempercepat pembentukan KEA.

Kemudian dilanjutkan dengan mengidentifi-

kasi berbagai karakteristik dan elemen KEA

pada tahun 2015 sesuai Bali Concord II, de-

ngan sasaran dan kerangka waktu yang jelas

dalam mengimplementasikan berbagai lang-

kah serta fleksibilitas yang telah disepakati

sebelumnya guna mengakomodir kepenting-

an seluruh negara anggota ASEAN.

Upaya percepatan implementasi pasar be-

bas ASEAN telah disepakati pada KTT ASEAN

Ke-12, dimana para pemimpin ASEAN mene-

gaskan komitmen yang kuat untuk memper-

cepat pembentukan Komunitas ASEAN pada

tahun 2015 sejalan dengan Visi ASEAN 2020

dan BALI Concord II, dan menandatangani

Cebu Declaration on Acceleration of the Esta-

blishment of an ASEAN Community by 2015.

Secara khusus, para pemimpin sepakat

untuk mempercepat pembentukan Komuni-

tas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan

mentranformasikan kawasan ASEAN menjadi

suatu kawasan dimana terdapat aliran bebas

barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja tram-

pil, serta aliran modal yang lebih bebas. Ter-

dapat Empat Pilar utama yang dijadikan pe-

doman dalam mencapai AEC 2015 yaitu:

a. Pilar Pertama ASEAN merupakan pasar

tunggal dengan basis produksi elemen

aliran adalah barang bebas, investasi, te-

naga kerja terampil, serta aliran modal.

b. Pilar Kedua ASEAN dengan daya saing

ekonomi tinggi, elemen yang digunakan

adalah peraturan kompetisi, perlindung-

an pelanggan (konsumen), HAKI, penge-

mbangan infrastruktur, serta perpajakan

dan e – commerce.

c. Pilar Ketiga ASEAN adalah pengembang-

an ekonomi merata, elemen yang diguna-

kan yaitu pengembangan UKM, serta pra-

karsa dari integrasi ASEAN kepada Nega-

ra Kambodia, Laos, Vietnam dan Myan-

mar ).

d. Pilar Keempat ASEAN kawasan integrasi

penuh terhadap ekonomi global. Elemen

yang digunakan yaitu dengan pendekat-

an yang koheren antara hubungan eko-

nomi kawasan luar ASEAN, serta pening-

katan dalam produksi global.

Percepatan pemberlakuan pasar bebas

Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut, dite-

ngarai hanya akan membuat Indonesia hebat

dalam menjadi konsumen. Kondisi tersebut

bukan tidak mungkin, mengingat kapasitas

SDM yang relatif rendah dan tidak memiliki

daya saing di lingkungan Negara-negara ang-

gota ASEAN. Sejalan dengan kondisi tersebut,

Faisal Basri (2014) menyatakan bahwa pasar

bebas tersebut tentu saja dapat menjadi hal

positif bagi kita jika kita mampu bersaing.

Namun, sebaliknya dapat merugikan kita jika

kita tidak mampu bersaing. Pasar bebas tentu

saja menguntungkan bagi para produsen

yang target pasarnya internasional. Lalu un-

tuk produsen dalam negeri, apakah sudah

siap menghadapi persaingan dengan produk

yang ditawarkan asing. Sudahkah siap SDM

kita bersaing dengan SDM asing yang mung-

kin lebih berkompeten daripada kita. Dalam

menghadapi pasar bebas 2015 nanti, masya-

rakat dan pemerintah perlu berbenah untuk

memperbaiki kualitas diri, agar mampu ber-

saing dengan asing dan mendapatkan manfa-

at sebanyak-banyaknya dari pasar bebas

2015 nanti.

Page 30: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 109

Terkait dengan penguatan kapasitas Keca-

matan sebagai strategi antisipasi Masyarakat

Ekonomi ASEAN (MEA) di tingkat lokal, pada

hakekatnya adalah upaya yang sangat pen-

ting dimana dalam manajemen pemerintahan

menempatkan Kecamatan sebagai pembina

dan akselerator bagi Pemerintah Desa dan

Kelurahan dalam menghadapi MEA.

B. PERAN DAN KEDUDUKAN KECAMAT-

AN DALAM PEMERINTAHAN DAERAH

Pemerintah kecamatan merupakan ting-

kat pemerintahan yang mempunyai peranan

penting dalam pelaksanaan pelayanan terha-

dap masyarakat, hal ini yang kemudian men-

jadikan Camat sebagai ujung tombak dalam

pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah-

an serta sebagian urusan otonomi yang di-

limpahkan oleh Bupati/Walikota untuk dilak-

sanakan dalam wilayah kecamatan.

Perubahan kedudukan kecamatan sejak

diberlakukannya kebijakan otonomi daerah

melalui pemberlakuan Undang-Undang No.

22 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui

dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ten-

tang Pemerintahan Daerah membawa dam-

pak berubahnya kedudukan kecamatan.

Kecamatan berubah dari Perangkat Kewi-

layahan yang menyelenggarakan fungsi-fung-

si dekonsentrasi dan tugas pembantuan,

menjadi Perangkat Daerah Otonom, yang

membawa dampak pada kewenangan yang

dijalankan oleh camat. Camat selain mene-

rima kewenangan atributif yang melekat

dalam jabatannya, juga memperoleh kewena-

ngan delegatif dari pejabat atasannya (Bupa-

ti/Walikota).

Pelimpahan adalah proses menyerahkan

sebagian wewenang dari pejabat kepada pe-

jabat untuk melaksanakan sebagian urusan.

Mengapa pelimpahan kewenangan ini perlu

dilakukan? Dengan adanya pelimpahan ke-

wenangan, maka camat dapat memiliki “ru-

ang gerak” yang lebih luas untuk melakukan

berbagai upaya termasuk inovasi dalam pe-

nyelenggaraan pemerintahan terutama pela-

yanan kepada masyarakat. Pelimpahan we-

wenang ini sebenarnya merupakan upaya un-

tuk optimalisasi peran dan fungsi Kecamatan

dalam rangka meningkatkan pelayanan kepa-

da masyarakat. Hasil yang diharapkan adalah

terealisasikannya Kecamatan sebagai pusat

pelayanan masyarakat yang mudah, murah,

cepat dan berkualitas.

Dalam skema pelimpahan ini, kecamatan

sebagai SKPD dan koordinator wilayah ber-

fungsi mendukung pencapaian Standar Pela-

yanan Minimal (SPM) menuju peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Kecamatan juga

harus bekerjasama dengan unit-unit peme-

rintahan di lingkup kecamatan (seperti Pus-

kesmas, Cabang Dinas, UPTD, Sekolah, para

penyuluh). Kerjasama sinergi ini dimaksud-

kan agar kemampuan yang ada dapat diaku-

mulasi dalam rangka mendukung Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam mencapai SPM/Tar-

get Kinerja yang ditetapkan oleh Bupati.

Dalam kerangka itulah maka kecamatan

mendapatkan sejumlah pelimpahan kewena-

ngan seperti bidang: kesehatan, pendidikan

dasar, perizinan, pembinaan mukim dan

gampong (desa), serta perpajakan. Adapun

aspek yang dilimpahkan pada dasarnya ber-

fungsi untuk mengefektifkan koordinasi. Oleh

karena itu camat mendapatkan pelimpahan

kewenangan untuk: (a) fasilitasi, perencana-

an dan penganggaran, (b) koordinasi dan fa-

silitasi penyelenggaraan kegiatan dan moni-

toring pelaksanaan kegiatan, (c) pengawasan

kegaiatan yang dilakukan UPTD tingkat keca-

matan, (d) Fasilitasi Pengaduan Masyarakat,

dan (e) Evaluasi Kinerja Bidang yang dilim-

pahkan. Untuk memastikan efektifitas pelim-

pahan maka kecamatan bersama SKPD Kabu-

paten/Kota mendapatkan Target Kinerja.

Namun, tugas tersebut tidak dengan serta

merta memposisikan Camat sebagai kepala

wilayah seperti pada waktu lalu. Camat ber-

kedudukan dibawah dan bertanggungjawab

kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris

daerah. Tugas-tugas umum pemerintahan

yang diselenggarakan oleh Camat, meliputi:

(a) Mengkoordinasikan kegiatan pemberda-

yaan masyarakat; (b) Mengkoordinasikan

upaya penyelenggaraan ketentraman dan ke-

Page 31: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal

Marsono

110 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

tertiban umum; (c) Mengkoordinasikan pe-

nerapan dan penegakan peraturan perun-

dang-undangan; (d) Mengkoordinasikan pe-

meliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan

umum; (e) Mengkoordinasikan penyelengga-

raan kegiatan pemerintahan di tingkat keca-

matan; (f) Membina penyelenggaraan peme-

rintahan desa dan/atau kelurahan, dan; (g)

Melaksanakan pelayanan masyarakat yang

menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau

yang belum dapat dilaksanakan pemerintah-

an desa/kelurahan.

Selain melaksanakan tugas-tugas umum

pemerintahan Camat juga melaksanakan ke-

wenangan pemerintahan yang dilimpahkan

oleh pemerintahan di atasnya untuk mena-

ngani sebagian urusan otonomi daerah, yang

meliputi aspek perizinan, rekomendasi, koor-

dinasi, pembinaan, pengawasan, fasilitasi, pe-

netapan, penyelenggaraan, kewenangan lain

yang dilimpahkan. Pelimpahan sebagian we-

wenang ini dilakukan berdasarkan kriteria

ekternalitas dan efisiensi. Eksternalitas yang

dimaksud adalah adalah kriteria pelimpahan

urusan pemerintahan dengan memperhati-

kan dampak yang timbul sebagai akibat dari

penyelenggaraan suatu urusan pemerintah-

an. Apabila dampak yang ditimbulkan ber-

sifat internal kecamatan, maka urusan peme-

rintahan tersebut menjadi kewenangan ca-

mat. Sedangkan yang dimaksud dengan efisi-

ensi adalah kriteria pelimpahan urusan pe-

merintahan dengan memperhatikan daya gu-

na tertinggi yang dapat diperoleh dari penye-

lenggaraan suatu urusan pemerintahan di

lingkup kecamatan. Apabila urusan pemerin-

tahan lebih berdayaguna ditangani oleh keca-

matan, maka urusan tersebut menjadi kewe-

nangan camat.

Sedangkan berdasarkan Peraturan Peme-

rintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa

Pasal 98 ayat (2) dan Pasal 102, mengisya-

ratkan bahwa Camat wajib membina dan

mengawasi penyelenggaraan pemerintahan

desa dan lembaga kemasyarakatan. Pembina-

an dan pengawasan tersebut, meliputi: (1)

Memfasilitasi penyusunan peraturan desa

dan peraturan kepala desa; (2) Memfasilitasi

administrasi tata pemerintahan desa; (3)

Memfasilitasi pengelolaan keuangan desa

dan pendayagunaan aset desa; (4) Memfasi-

litasi pelaksanaan urusan otonomi daerah

Kabupaten/Kota yang diserahkan kepada

desa; (5) Memfasilitasi penerapan dan pene-

gakan peraturan perundangundangan; (6)

Memfasilitasi pelaksanaan tugas kepala desa

dan perangkat desa; (7) Memfasilitasi upaya

penyelenggaraan ketentraman dan ketertib-

an umum; (8) Memfasilitasi pelaksanaan tu-

gas, fungsi, dan kewajiban lembaga kemasya-

rakatan; (9) Memfasilitasi penyusunan pe-

rencanaan pembangunan partisipatif; (10)

Memfasilitasi kerjasama antar desa dan ker-

jasama desa dengan pihak ketiga; (11) Mem-

fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masya-

rakat desa; (12) Memfasilitasi kerja-sama an-

tar lembaga kemasyarakatan dan kerjasama

lembaga kemasyarakatan dengan pihak keti-

ga; (13) Memfasilitasi bantuan teknis dan

pendampingan kepada lembaga kemasyara-

katan; dan (14) Memfasilitasi koordinasi unit

kerja pemerintahan dalam pengembangan

lembaga kemasyarakatan.

Sehingga dalam hal penyelenggaraan

pembinaan dan pengawasan pemerintahan

desa, Camat mempunyai peranan yang sangat

penting, karena dalam hirarki pemerintahan

kecamatan merupakan salah satu lembaga

supra desa, yang mana salah satu tugasnya

adalah melakukan pembinaan dan pengawa-

san terhadap pemerintahan desa/kelurahan

dalam rangka tertib administrasi pemerinta-

han.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun

2008 tentang Kecamatan, maka dapat dijelas-

kan bahwa tugas Camat dalam melaksanakan

pembinaan dan pengawasan pemerintahan

desa, meliputi:

a. Melakukan pembinaan dan pengawasan

tertib administrasi pemerintahan desa

dan/atau kelurahan; Dalam menjalankan

perannya Camat juga melakukan pembi-

naan dan pengawasan terhadap adminis-

trasi pemerintahan desa dan/atau kelu-

rahan dalam rangka tertib administrasi

pemerintahan, seperti dalam proses

pembuatan peraturan desa, peraturan

kepala desa, maupun keputusan kepala

Page 32: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 111

desa, sehingga produk hukum dimaksud

tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

b. Memberikan bimbingan, supervisi, fasili-

tasi, dan konsultasi pelaksanaan admi-

nistrasi desa dan/atau kelurahan; Selain

melaksanakan pembinaan dan pengawa-

san tertib administrasi pemerintahan

desa, Camat juga memberikan bimbing-

an, supervisi, fasilitasi dan konsultasi

yang berkaitan dengan pelaksanaan ad-

ministrasi desa dan/atau kelurahan.

c. Melakukan pembinaan dan pengawasan

terhadap kepala desa dan/atau lurah; Ca-

mat juga melakukan pembinaan dan pe-

ngawasan terhadap kinerja kepala desa,

meskipun secara de jure kepala desa bu-

kan merupakan bawahan dari Camat ka-

rena kepala desa dipilih secara langsung

oleh masyarakat, akan tetapi wilayah

kerja kepala desa berada dalam wilayah

kecamatan sehingga Camat dapat mela-

kukan pembinaan dan pengawasan ter-

hadap kepala desa walaupun hanya ber-

sifat koordinatif.

d. Melakukan pembinaan dan pengawasan

terhadap perangkat desa dan/atau kelu-

rahan; Selain melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap kepala desa, Ca-

mat juga melaksanakan tugas pembinaan

dan pengawasan terhadap perangkat de-

sa dan/atau kelurahan.

e. Melakukan evaluasi penyelenggaraan pe-

merintahan desa dan/atau kelurahan di

tingkat kecamatan; Camat juga berkewa-

jiban melakukan evaluasi terhadap pe-

nyelenggaraan pemerintahan desa dan/

atau kelurahan pada tingkat kecamatan,

agar dapat mengetahui sampai sejauh

mana tugas-tugas pemerintahan, pelaya-

nan dan pembangunan terhadap masya-

rakat yang telah dilaksanakan.

f. Melaporkan pelaksanaan pembinaan dan

pengawasan penyelenggaraan pemerin-

tahan desa dan/atau kelurahan di tingkat

kecamatan kepada Bupati/Walikota.

C. KONSEPSI KAPASITAS DAN PENGUAT-

AN KAPASITAS

Pengertian kapasitas menurut UNDP

1998, disebutkan bahwa “kapasitas adalah

kemampuan individu dan organisasi atau

unit-unit organisasi untuk melaksanakan tu-

gas pokok dan fungsinya secara efektif, efisi-

en, dan berkelanjutan. Kapasitas juga dapat

diartikan dalam konteks sistem dimana suatu

entitas bekerja untuk mencapai tujuan ber-

sama berdasarkan proses dan aturan-aturan

baku tertentu.”

Pengertian kapasitas berdasarkan Mc

Nair C.J (1994) yang dikutip oleh Mutiara S.

tahun 2013, mendefinisikan kapasitas seba-

gai sumber daya yang dimiliki oleh perusaha-

an yang siap untuk digunakan yang dapat

menggambarkan potensi keuntungan yang

akan didapatkan oleh perusahaan pada masa

mendatang. Mc Nair C.J dan Vangermeersch

(1998) mendefinisikan kapasitas sebagai ke-

mampuan dari suatu organisasi atau perusa-

haan untuk menciptakan nilai dimana ke-

mampuan tersebut didapatkan dari berbagai

jenis sumber daya yang dimiliki oleh perusa-

haan.

Menurut Chase (2001), definisi kapasitas

dalam konteks manajemen operasi sebaiknya

didefinisikan sebagai, “The amount of resour-

ce inputs available relative to output require-

ments over a particular period of time”. Ber-

dasar definisi tersebut maka disimpulkan

bahwa kapasitas adalah kemampuan penge-

lolaan sumberdaya yang ada untuk mengha-

silkan hasil akhir yang sesuai dengan kebutu-

han pelanggan dalam kerangka waktu terten-

tu.

Definisi kapasitas menurut Hilton, Maher

dan Selto (2003) adalah ukuran dari kemam-

puan proses produksi dalam mengubah sum-

ber daya yang dimiliki menjadi suatu produk

atau jasa yang akan digunakan oleh konsu-

men.

Selanjutnya terkait dengan penguatan

atau pengembangan kapasitas secara termi-

nologi masih terjadi adanya perbedaaan pen-

dapat, sebagian orang merujuk kepada

pengertian dalam konteks kemampuan

Page 33: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal

Marsono

112 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

(pengetahuan, keterampilan) sebagian lagi

mengartikan kapasitas dalam konteks yang

lebih luas termasuk di dalamnya soal sikap

dan perilaku. Dalam hal ini yang akan kita ba-

has adalah kapasitas yang terkait dengan ma-

nusia dan juga sistem yang ada di sekitarnya,

kapasitas yang dapat pula diartikan sebagai

kemampuan manusia, kemampuan institusi

dan juga kemampuan sistemnya.

Pengembangan kapasitas secara umum

ditujukan agar individu, organisasi maupun

juga sistem yang ada dapat dipergunakan se-

cara efektif dan efisien untuk mencapai tuju-

an dari individu maupun organisasi tersebut.

Sedangkan dalam konteks kekinian, pengem-

bangan kapasitas ditujukan terutama untuk

menciptakan tata kepemerintahan yang baik

atau yang lebih dikenal dengan good gover-

nance. Suatu kondisi kepemerintahan yang

yang dicita-citakan semua pihak dan mampu

menjawab persoalan-persoalan dunia saat

ini.

Terkait dengan pengertian pengembang-

an kapasitas, A9CBF (2001) menyatakan bah-

wa peningkatan kapasitas dapat didefinisikan

sebagai sebuah proses untuk meningkatkan

kemampuan individu, kelompok, organisasi,

komunitas atau masyarakat untuk mengana-

lisa lingkungannya; mengidentifikasi masa-

lah-masalah, kebutuhan-kebutuhan, isu-isu

dan peluang-peluang; memformulasi strate-

gi-strategi untuk mengatasi masalah-masa-

lah, isu-isu dan kebutuhan-kebutuhan terse-

but, dan memanfaatkan peluang yang rele-

van. merancang sebuah rencana aksi, serta

mengumpulkan dan menggunakan secara

efektif, dan atas dasar sumber daya yang ber-

kesinambungan untuk mengimplementasi-

kan, memonitor, dan mengevaluasi rencana

aksi tersebut, serta memanfaatkan umpan

balik sebagai pelajaran.

Selanjutnya Riyadi Soeprapto lebih mene-

kankan mengenai konsepsi pengembangan

kapasitas pada: (1) Pengembangan sumber

daya manusia; training, rekruitmen dan pe-

mutusan pegawai profesional, manajerial dan

teknis; (2) Keorganisasian, yaitu pengaturan

struktur, proses, sumber daya dan gaya ma-

najemen; (3) Jaringan kerja (network), beru-

pa koordinasi, aktifitas organisasi, fungsi net-

work, serta interaksi formal dan informal; (4)

Lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule)

dan undang-undang (legislation) yang me-

ngatur pelayanan publik, tanggung jawab dan

kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang

menjadi hambatan bagi development tasks,

serta dukungan keuangan dan anggaran; (5)

Lingkungan kegiatan lebih luas lainnya, meli-

puti faktor-faktor politik, ekonomi dan situ-

asi-kondisi yang mempengaruhi kinerja.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengertian

Pengembangan Kapasitas, yaitu: (1) Pengem-

bangan kapasitas bukanlah produk, melain-

kan sebuah proses; (2) Pengembangan kapa-

sitas adalah proses pembelajaran multi-ting-

katan meliputi individu, grup, organisasi, dan

sistem; (3) Pengembangan kapasitas meng-

hubungkan ide terhadap sikap; dan (4) Pe-

ngembangan kapasitas dapat disebut sebagai

actionable learning dimana pengembangan

kapasitas meliputi sejumlah proses-proses

pembelajaran yang saling berkaitan, akumu-

lasi benturan yang menambah prospek untuk

individu dan organisasi agar secara terus me-

nerus beradaptasi atas perubahan.

Sedangkan UNDP memfokuskan pada tiga

dimensi, yaitu: (1) Tenaga kerja (dimensi hu-

man resources), yaitu kualitas SDM dan cara

SDM dimanfaatkan; (2) Modal (dimensi fisik),

menyangkut sarana material, peralatan, ba-

han-bahan yang diperlukan dan ruang/ge-

dung; (3) Teknologi, yaitu organisasi dan ga-

ya manajemen, fungsi perencanaan, penentu-

an kebijakan, pengendalian dan evaluasi, ko-

munikasi, serta sistem informasi manajemen.

Secara umum pengembangan kapasitas

dilakukan secara berjenjang pada 3 (tiga)

area sebagai berikut: (1) area individual; (2)

area organisasi; dan (3) area sistem atau ling-

kungan strategik. Terkait hal tersebut, Riyadi

Soeprapto (2010) menyatakan bahwa penge-

mbangan kapasitas dilaksanakan dalam ber-

bagai tingkatan dengan skema sebagai beri-

kut:

Page 34: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 113

Gambar 1. Skema Pengembangan Kapasitas

Berdasarkan skema tersebut, dapat terli-

hat bahwa pengembangan kapasitas harus

dilaksanakan secara efektif dan berkesinam-

bungan pada 3 (tiga) tingkatan-tingkatan, ya-

itu: (1) Tingkatan sistem, seperti kerangka

kerja yang berhubungan dengan pengaturan,

kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang

mendukung pencapaian obyektivitas kebijak-

an tertentu; (2) Tingkatan institusional atau

keseluruhan satuan. Contohnya adalah struk-

tur organisasi-organisasi, proses pengambi-

lan keputusan di dalam organisasi-organisasi,

prosedur dan mekanisme-mekanisme peker-

jaan, pengaturan sarana dan prasarana, hu-

bungan-hubungan dan jaringan-jaringan or-

ganisasi; (3) Tingkatan individual, contohnya

ketrampilan-ketrampilan individu dan per-

syaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah

laku, pengelompokan pekerjaan dan motiva-

si-motivasi dari pekerjaan orang-orang di da-

lam organisasi-organisasi.

D. PENGUATAN KAPASITAS KECAMATAN

KEDEPAN

Berdasarkan konsepsi dan lingkup penge-

mbangan kapasitas sebagaimana tersebut di

atas, maka penguatan kapasitas Kecamatan

tentu saja juga mencakup paling tidak 3 (tiga)

aspek, yaitu pada aspek: (1) individu; (2)

organisasi; dan (3) sistem atau lingkungan

strategis, sesuai dengan Panduan Pengemba-

ngan Kapasitas INAGARA (2015) sebagai be-

rikut:

1. Dalam konteks individual, adalah pe-

ningkatan penerapan pengetahuan dan

wawasan, pengalaman, keterampilan dan

keahlian, serta pembentukan sikap dan

perilaku kerja serta motivasi penyeleng-

gara pemerintah dalam menunjang pe-

laksanaan kinerja organisasi dan penye-

lenggaraan pemerintahan negara. Penge-

mbangan kapasitas individu dapat dilak-

sanakan dengan proses pembelajaran,

berbagi pengetahuan dan pengalaman,

penyelenggaraan pendidikan formal, pe-

latihan dan kursus, seminar, magang,

mentoring, pembinaan, pendampingan

serta coaching clinic yang mendukung tu-

gas dan fungsi.

2. Dalam konteks organisasi, pengemba-

ngan kapasitas organisasi tentu lebih di-

arahkan pada: (1) peningkatan kapasitas

struktur organisasi yang efisien dan pro-

porsional dalam menunjang pelaksanaan

kinerja; (2) Pelaksanaan proses pengam-

bilan keputusan yang melibatkan partisi-

pasi setiap elemen dalam organisasi; (3)

Penerapan Standard Operating Procedu-

res (SOP) dan mekanisme kerja sebagai

panduan dalam melaksanakan tugas dan

fungsi; (4) Peningkatan kapasitas dan pe-

ngaturan sarana dan prasarana yang me-

Page 35: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal

Marsono

114 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

madai serta sesuai dengan kebutuhan

kerja; (5) Peningkatan hubungan dan ja-

ringan kerja dalam organisasi; (6) Pe-

ningkatan budaya kerja organisasi yang

berbasis kualitas dalam rangka memba-

ngun daya saing. Pengembangan Kapasi-

tas Organisasi Kecamatan dilaksanakan

dengan cara: (1) Penataan struktur orga-

nisasi yang dilakukan dengan mengeva-

luasi kelembagaan organisasi saat ini dan

menyesuaikan dengan tugas dan fungsi

yang dilakukan; (2) Pembenahan pola

dan metode pelibatan dan partisipasi pe-

gawai dalam pengambilan keputusan

organisasi; (3) Penetapan Standard Ope-

rating Procedures (SOP) dan mekanisme

kerja sehingga dapat dijadikan panduan

dalam melaksanakan pekerjaan; (4) Pe-

nyediaan sarana dan prasarana yang da-

pat menunjang pelaksanaan pekerjaan;

(5) Perbaikan mekanisme hubungan dan

jaringan kerja yang mendukung tercapai-

nya tujuan organisasi; dan (6) Internali-

sasi nilai-nilai ASN dalam pembangunan

budaya kerja organisasi yang inovatif.

3. Dalam konteks sistem atau lingkung-

an strategis, peningkatan kapasitas de-

ngan menyiapkan kerangka kerja lingku-

ngan strategis yang berhubungan dengan

aturan, kebijakan dan kepentingan stake-

holders; Penyusunan aturan dan kebijak-

an berdasarkan prinsip-prinsip good go-

vernance dan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; Pe-

ningkatan peran serta stakeholders da-

lam setiap penentuan arah kebijakan. Pe-

ngembangan Kapasitas Lingkungan Stra-

tegis dilaksanakan dengan cara penyusu-

nan kerangka kerja yang berhubungan

dengan aturan, kebijakan dan partisipasi

stakeholders; Perbaikan metode dan me-

kanisme penyusunan aturan dan kebijak-

an; Pembenahan mekanisme pelibatan

partisipasi stakeholders dalam penyusu-

nan setiap aturan dan kebijakan.

E. PERAN STRATEGIS KECAMATAN DA-

LAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

(MEA) DI TINGKAT LOKAL

Strategi membangun Indonesia dari Desa/

Kelurahan sebagaimana diamanatkan Un-

dang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa, tidak akan pernah menafikkan peran

strategis Kecamatan sebagai Pembina kewila-

yahan di tingkat pemerintahan terbawah

(akar rumput). Menurut Undang-Undang No-

mor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah pada pasal 209 dijelaskan bahwa Ke-

camatan adalah perangkat daerah Kabupa-

ten/kota, dimana dinyatakan bahwa Perang-

kat Daerah kabupaten/kota terdiri atas: (a)

Sekretariat Daerah; (b) Sekretariat DPRD; (c)

Inspektorat; (d) Dinas; (e) Badan; dan (f) Ke-

camatan.

Selanjutnya terkait dengan Kedudukan

Kecamatan dijelaskan pada pasal 221 sebagai

berikut: (1) Daerah kabupaten/kota mem-

bentuk Kecamatan dalam rangka meningkat-

kan koordinasi penyelenggaraan pemerintah-

an, pelayanan publik, dan pemberdayaan ma-

syarakat Desa/kelurahan; (2) Kecamatan se-

bagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk

dengan Perda Kabupaten/Kota berpedoman

pada peraturan pemerintah; (3) Rancangan

Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan

Kecamatan yang telah mendapatkan persetu-

juan bersama bupati/walikota dan DPRD ka-

bupaten/kota, sebelum ditetapkan oleh bu-

pati/walikota disampaikan kepada Menteri

melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah

Pusat untuk mendapat persetujuan.

Jadi Kecamatan dibentuk dalam rangka

meningkatkan koordinasi penyelenggaraan

pemerintahan artinya dengan adanya Keca-

matan, Camat sebagai pimpinan tertinggi di

Kecamatan harus dapat mengkoordinasikan

semua urusan pemerintahan di Kecamatan,

kemudian juga Camat harus memberikan pe-

layanan publik di Kecamatan dan juga pem-

berdayaan masyarakat Desa/Kelurahan. Sela-

njutnya Kecamatan dibentuk cukup dengan

Peraturan Daerah, dengan berpedoman pada

Peraturan Pemerintah. Namun Rancangan

Perda tentang pembentukan Kecamatan ter-

sebut sebelumnya harus mendapat persetu-

Page 36: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 115

juan bersama antara Bupati/Walikota disam-

paikan kepada Menteri melalui Gubernur un-

tuk mendapat persetujuan.

Berkaitan dengan implementasi MEA pa-

da akhir Tahun 2015 ini, sesungguhnya pe-

ran aktif Kecamatan dalam menstransformasi

Desa/Kelurahan dalam menghadapi pasar

bebas ASEAN di tingkat lokal sungguh sangat

vital. Peran ini tentu menjadi sangat penting

manakala Desa/Kelurahan harus dapat ber-

saing dengan beberapa Negara di kawasan

ASEAN baik menyangkut produk-produk per-

taniannya maupun terkait dengan tenaga

kerjanya. Oleh karena itu, agar tenaga kerja

dan ekonomi lokal memiliki daya saing yang

baik dalam menghadapi pasar bebas ASEAN,

maka Kecamatan harus memiliki kapasitas

untuk dapat melakukan perannya tersebut.

Sebagai akselerator implementasi MEA di

tingkat lokal, maka aparatur Kecamatan juga

perlu diberikan pemahaman secara kompre-

hensif terhadap agenda dan program-pro-

gram pelaksanaan pasar bebas ASEAN ini,

sehingga peran strategis Kecamatan dapat

dipahami secara jelas oleh seluruh unsur

aparatur Kecamatan. Beberapa agenda utama

MEA, yaitu: (1) Single Market and Production

Base (Pasar Tunggal Berbasis Produksi; (2)

Competitive Economic Region (Kawasan Eko-

nomi yang Kompetitif); (3) Equitable Econo-

mic Development (Pembangunan Ekonomi

yang Setara); dan (4) Integration into the

Global Economy (Integrasi Ke Dalam Ekonomi

Global). Dari 176 kegiatan, pembagiannya

terdiri dari 4 kebijakan, 17 strategi, dan 65

program. Berdasarkan jumlah 176 kegiatan,

dan 4 agenda utama sebagaimana tersebut di

atas, maka pembagiannya adalah untuk

Single Market and Production Base (Pasar

Tunggal Berbasis Produksi), terdiri dari 5

plus 2 bagian, yakni Free flow of goods (aliran

bebas barang), Free flow of services (aliran

bebas sektor jasa), Free flow of investment

(aliran bebas investasi), Free flow of capital

(aliran modal yang lebih bebas), Free flow of

skilled labor (aliran bebas lalu lintas tenaga

kerja terampil), Priority Integration Sectors

(sektor integrasi prioritas), Food, agriculture

and forestry (Pangan, Pertanian, dan kehuta-

nan).

Dengan memahami secara komprehensif

MEA, peran kecamatan menjadi jelas pada

kegiatan apa, program apa, strategi apa dan

kebijakan apa dapat dipetakan dengan jelas.

Sebagai ilustrasi bagaimana kecamatan me-

miliki peran strategis dalam implementasi

MEA konkritnya adalah, misalnya, dalam Free

flow of services (aliran bebas sektor jasa),

maka tidak ada hambatan bagi pemasok jasa

dalam menyediakan jasa apapun lintas nega-

ra; dan aturan tidak membatasi pendirian

perusahaan lintas batas. Bila kondisi ini dite-

rapkan, siapa saja bisa membuka jasa apa

saja, dalam level kecamatan dikhawatirkan

akan menimbulkan benturan karena faktor

adat, budaya, agama, kebiasaan, dan tradisi

setempat. Untuk itu kecamatan perlu meng-

antisipasi dengan berbagai kebijakan yang

diperlukan, sosialisasi, strategi yang diper-

lukan, keterlibatan para tokoh masyarakat,

tokoh agama, pemuda, wanita, adat, dan lain-

lain.

Demikian juga untuk free flow of skilled

labor. Bebas visa dan ijin bekerja bagi para

profesional dan tenaga kerja terlatih ASEAN

menjadi salah satu kesepakatan. Untuk itu

kecamatan memiliki peran strategis agar ti-

dak terjadi gesekan dengan tenaga kerja lo-

kal. Untuk itu peningkatan keterampilan te-

naga kerja di Desa/Kelurahan di lingkungan

wilayah kerja masing-masing Kecamatan

menjadi keniscayaan. Dari dua contoh ilus-

trasi di atas, dapat menggambarkan peran

konkrit Kecamatan dalam rangka implemen-

tasi MEA di tingkat lokal. Untuk selanjutnya,

masing-masing Kecamatan perlu menyusun

peta kegiatan, program, strategi dan kebija-

kan secara jelas untuk seluruh kegiatan MEA,

sehingga Kecamatan memiliki peran konkrit

dalam mengantisipasi implementasi MEA di

tingkat lokal.

Agar pengembangan kapasitas Kecamatan

dapat link and match dengan kebutuhan Desa

dalam menghadapi MEA, maka Desa juga ha-

rus didorong untuk lebih proaktif terkait de-

ngan kesiapan Desa/Kelurahan dalam meng-

hadapi MEA, misalnya:

Page 37: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal

Marsono

116 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

1. Desa didorong untuk melakukan map-

ping (pemetaan) potensi unik dan lokal

untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai

potensi unggulan atau produk unggulan

lokal;

2. Desa didorong untuk melakukan pengua-

tan pelaku usaha dan industri di desa

yang rata-rata merupakan usaha rumah

tangga dan industri kecil menengah

(UKM/IKM) dalam hal akses permodalan,

pemasaran, teknologi dan sumber daya

manusia;

3. Desa didorong untuk segera membentuk

BUMDes. Karena melalui BUMDes ini

dana desa dapat dikelola secara produk-

tif untuk menggerakkan ekonomi desa

demi meningkatkan kesejahteraan ma-

syarakat desa;

4. Bantuan program pelatihan kewirausa-

haan, manajemen, pemasaran, teknik

produksi modern, teknis pengemasan

modern, bantuan peralatan, modal usaha,

dan lainnya bagi masyarakat desa;

5. Desa didorong untuk meningkatkan wa-

wasan sumber daya manusia (SDM) pela-

ku UKM terhadap MEA, peningkatan efi-

siensi produksi dan manajemen usaha,

peningkatan daya serap pasar produk

UKM lokal dan penciptaan iklim usaha

yang kondusif;

6. Desa didorong untuk mendampingi para

pelaku UMKM Desa untuk menerapkan

standarisasi atau sertifikasi produk-pro-

duk unggulannya, sehingga akan memili-

ki daya saing.

F. PENUTUP

Upaya membangun Indonesia dari Desa

sebagaimana diamanatkan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak

akan pernah menafikkan peran strategis Ke-

camatan sebagai Pembina kewilayahan di

tingkat pemerintahan terbawah (akar rum-

put). Selanjutnya berkaitan dengan pelaksa-

naan MEA pada akhir Tahun 2015, sesung-

guhnya peran aktif Kecamatan dalam men-

transformasi Desa/Kelurahan dalam meng-

hadapi pasar bebas ASEAN di tingkat lokal

sungguh sangat vital. Peran ini tentu menjadi

sangat penting manakala Desa/Kelurahan ha-

rus dapat bersaing dengan beberapa Negara

di kawasan ASEAN baik menyangkut produk-

produk pertaniannya maupun terkait dengan

tenaga kerjanya. Oleh karena itu, agar tenaga

kerja dan ekonomi lokal memiliki daya saing

yang baik dalam menghadapi pasar bebas

ASEAN, maka Kecamatan harus memiliki

kapasitas untuk dapat melakukan perannya

tersebut.

Adapun peran strategis yang harus dima-

inkan Kecamatan terkait dengan kesiapan

Desa/Kelurahan dalam menghadapi MEA, se-

bagaimana telah di uraikan di atas adalah: (1)

memetakan kegiatan sebagai respon terha-

dap implementasi seluruh agenda utama

MEA; (2) menyusun program kerja; (3) me-

rancang strategi dan kebijakan secara jelas

untuk seluruh kegiatan MEA, sehingga Keca-

matan memiliki peran konkrit dalam meng-

akselerasi Desa/Kelurahan dalam menghada-

pi MEA di tingkat lokal. Disamping itu, agar

Desa/Kelurahan melakukan upaya-upaya

proaktif secara mandiri dalam mengantisipa-

si pasar bebas ASEAN ini, maka yang perlu di-

lakukan Kecamatan antara lain: (1) Desa di-

dorong untuk melakukan mapping (pemeta-

an) potensi unik dan lokal untuk dikembang-

kan lebih lanjut sebagai potensi unggulan

atau produk unggulan lokal; (2) Desa dido-

rong untuk melakukan penguatan pelaku

usaha dan industri di desa yang rata-rata

merupakan usaha rumah tangga dan industri

kecil menengah (UKM/IKM) dalam hal akses

permodalan, pemasaran, teknologi dan sum-

ber daya manusia; (3) Desa didorong untuk

segera membentuk BUMDes. Karena melalui

BUMDes ini dana desa dapat dikelola secara

produktif untuk menggerakkan ekonomi de-

sa demi meningkatkan kesejahteraan masya-

rakat desa; (4) Bantuan program pelatihan

kewirausahaan, manajemen, pemasaran, tek-

nik produksi modern, teknis pengemasan

modern, bantuan peralatan, modal usaha,

dan lainnya bagi masyarakat desa; (5) Desa

didorong untuk meningkatkan wawasan

sumber daya manusia (SDM) pelaku UKM

terhadap MEA, peningkatan efisiensi produk-

si dan manajemen usaha, peningkatan daya

serap pasar produk UKM lokal dan pencipta-

an iklim usaha yang kondusif; (6) Desa dido-

Page 38: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 117

rong untuk mendampingi para pelaku UMKM

Desa untuk menerapkan standarisasi atau

sertifikasi produk-produk unggulannya, sehi-

ngga akan memiliki daya saing.

Agar peran strategis Kecamatan dalam

mengakselerasi Desa untuk dapat bersaing

dalam pelaksanaan Masyarakat Ekonomi

ASEAN (MEA) di local state, maka diperlukan

penguatan atau pengembangan kapasitas Ke-

camatan dalam 3 (tiga) cakupan, yaitu: (1)

penguatan individu; (2) penguatan organisa-

si; dan (3) penguatan sistem atau lingkungan

strategis.

G. DAFTAR PUSTAKA

African Capacity Building Foundation

(ACBF), 2001, Capacity Needs Assess-

ment: A Conceptual Framework, ACBF

Newsletter, Vol.2, p. 9-12.

Anwar Syarif, (2013) Pengembangan Kapasi-

tas Sumber Daya Manusia, Artikel

Umum, Mei 2013.

Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN

(ASEAN Economic Community Blue-

print), Direktorat Jenderal Kerjasama

ASEAN Departemen Luar Negeri RI

2009.

Didik Herdiana, Konsep Umum Pengembang-

an Kapasitas, Sabtu, 11 Agustus 2012.

Lembaga Administrasi Negara, Panduan Pe-

ngembangan Kapasitas Inovasi Admi-

nistrasi Negara (Inagara) Jakarta,

2015.

Marwan Jafar, Hadapi Pasar Bebas ASEAN,

Daya Saing Desa Perlu Ditingkatkan,

Kompas, 28 Januari 2015.

Marwan Jafar, Sambut MEA, Menteri (Men-

des PDTT) Benahi UMKM Desa De-

ngan Program Peningkatan Daya Sa-

ing, Jurnal Pewarta, 28 Januari 2015.

Mutiara S. Pengembangan Kapasitas Organi-

sasi (Capasity Building), Universitas

Airlangga, Surabaya, 2013.

http:/mutiara-fisip11.web.unair.ac.id

Riyadi Soeprapto,The Capacity Building For

Lokal Government Toward Good Go-

vernance, Word Bank

http://www.tempo.co/read/news/2014/06

/25/090587919/Faisal-Basri-MEA-

Bukan-Ancaman-Ekonomi-ASEAN.

http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kp

i/Umum/Setditjen/Buku%20Menuju

%20ASEAN%20ECONOMIC%20COM

MUNITY%202015.pdf

http://www.kompasiana.com/sutardjo/tant

angan-desa-menuju-masyarakat-

ekonomi-asean-mea-

2015_54f42ff77455139e2b6c87fc

http://www.kamusbesar.com/17613/kapasi

tas,Konsep Umum Pengembangan Ka-

pasitas.

Page 39: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal

Marsono

118 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Page 40: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 119

Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Development of BUMDes in Maintaining Village Autonomy in Facing ASEAN

Economic Community

Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas

Peneliti Pertama pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik

Lembaga Administrasi Negara

Abstrak Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mempunyai tujuan untuk membentuk ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, hal ini untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi dan maju. Bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi MEA sampai level desa. BUMDes sebagai penggerak ekonomi desa harus mengembangkan kapasitas sehingga da-pat menjaga kemandirian desa dalam menghadapi MEA. Tujuan dari tulisan ini adalah: 1) melihat kondisi realitas BUMDes saat ini; 2) mengetahui peluang dan tantangan BUMDes di era MEA; dan 3) mengetahui upaya-upaya pengembangan BUMDes. Langkah-langkah pengembangan BUMDes dalam upaya peningkatan kapasitas antara lain: 1) penataan kelembagaan desa; 2) pengelolaan BUMDes di-lakukan dengan profesional, kooperatif, independen dan efektif; 3) peningkatan peran, koordinasi dan kerjasama; dan 4) Memahami kebutuhan masyarakat desa terhadap BUMDes.

Kata Kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), BUMDes, Desa

Abstract

The ASEAN Economic Community (AEC) has objectives to turn ASEAN into a single market and

production base, and to make ASEAN as a highly competitive and advanced economic region.

Indonesia has to be well prepared to face the challenges that AEC brought, from the central

government to the village level. BUMDes as a driver of the rural economy must develop its capacity so

as to keep the village survive in the free-market competition of the AEC. This paper aims at: 1)

describing the situation faced by BUMDes; 2) exploring the opportunities and challenges for BUMDes

in the AEC; 3) developing strategy for BUMDes in coping with the AEC. Steps that need to be done to

enhance BUMDes capacity for the AEC being 1) changing institutional arrangement of village

administration; 2) creating professional, cooperative, and independent BUMDes management; 3)

Increasing BUMDes’ role and partnership; and 4) contextualising BUMDes business with the need of

village residents.

Keywords: ASEAN Economic Community (AEC), BUMDes, Village

A. LATAR BELAKANG

Implementasi Masyarakat Ekonomi

ASEAN (MEA) secara umum mempunyai tu-

juan untuk membentuk kawasan ASEAN

sebagai pasar tunggal dan basis produksi

yang menggerakkan pelaku usaha sehingga

menjadikan regional ini sebagai kawasan

ekonomi perdagangan yang berdaya saing

tinggi, unggul dan maju. Selain itu pembentu-

kan MEA juga didasari persiapan menghada-

pi persaingan ekonomi dan perdagangan glo-

bal melawan invasi dagang negara-negara la-

in, terutama India dan China. ASEAN mempu-

nyai tekad untuk segera meningkatkan pertu-

mbuhan perekonomian dan daya saing antar

negara ASEAN dalam menghadapi berbagai

usaha dan persaingan global. Negara di kawa-

san ASEAN diharapkan bukan hanya sebagai

penonton dalam kancah persaingan global

melainkan juga sebagai pemain dan berparti-

sipasi aktif dalam arus perdagangan dunia.

Page 41: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas

120 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Menurut Edi Kuntadi, ada 4 (empat) hal

penting dalam MEA. Pertama, implementasi

MEA berpotensi menjadikan Indonesia seke-

dar pemasok energi dan bahan baku bagi in-

dustrialisasi di kawasan ASEAN, sehingga

manfaat yang diperoleh dari kekayaan sum-

ber daya alam minimal. Kedua, melebarnya

defisit perdagangan jasa seiring peningkatan

perdagangan barang. Ketiga, implementasi

MEA juga akan membebaskan aliran tenaga

kerja sehingga harus mengantisipasi dengan

menyiapkan strategi karena potensi memba-

njirnya Tenaga Kerja Asing (TKA) akan ber-

dampak pada naiknya remitansi TKA yang

saat ini pertumbuhannya lebih tinggi dari-

pada remitansi TKI. Akibatnya, ada beban ta-

mbahan yaitu dalam menjaga neraca transak-

si berjalan dan mengatasi masalah pengang-

guran. Keempat, implementasi MEA akan

mendorong masuknya investasi ke Indonesia

dari dalam dan luar ASEAN.

Melihat kondisi di atas, MEA dapat mem-

berikan dampak yang signifikan jika bangsa

Indonesia belum siap dibandingkan dengan

negara lain, misalnya hilangnya pasar produk

ekspor bangsa Indonesia jika tidak siap ber-

saing dengan harga dan kualitas negara lain

di ASEAN. Kemudian bergabungnya tenaga

kerja asing dari luar negeri akan menggeser

peran tenaga kerja Indonesia. Dan, dampak

utamanya adalah banyaknya produk impor

negara ASEAN lain yang akan membanjiri pa-

sar dalam negeri, yang akan berakibat pada

matinya usaha-usaha di dalam negeri baik

pada skala lokal, regional maupun nasional.

Persiapan bangsa Indonesia jangan sam-

pai tertinggal dari negara lain di kawasan

ASEAN dalam menghadapi MEA. Dari tingkat

pusat sampai daerah harus bergerak ber-

sama untuk mempersiapkan diri dalam

menyongsong era MEA 2015. Setiap daerah

di Indonesia harus menyiapkan diri sedini

mungkin dalam menghadapi MEA. Kesiapan

ini bisa dilihat melalui upaya peningkatan

daya saing produk lokal daerah di berbagai

sektor, tidak terkecuali sampai dengan ling-

kup desa.

Desa saat ini merupakan garda terdepan

pembentuk perekonomian suatu daerah dan

bukan hanya sebagai suatu bentuk lembaga

pemerintahan saja. Sebagai lembaga peme-

rintahan selama ini, desa hanya merupakan

bagian terdepan dalam memberikan pelayan-

an kepada masyarakat desa. Tetapi paradig-

ma tersebut harus diubah dimana desa harus

dipergunakan sebagai penggerak roda pere-

konomian di daerah. Di level desa ini perlu

digerakkan Badan Usaha Milik Desa (BUM-

Des) yang bisa dipakai sebagai motor peng-

gerak strategis dalam perekonomian di dae-

rah.

BUMDes adalah usaha desa yang diben-

tuk/didirikan oleh pemerintah desa yang ke-

pemilikan modal dan pengelolaannya dilaku-

kan oleh pemerintah desa dan masyarakat.

BUMDes menjadi wadah pemerintah desa

dan warganya yang secara proporsional me-

laksanakan program pemberdayaan pereko-

nomian di tingkat desa. Tujuan pendirian

BUMDes secara umum adalah: (1) mening-

katkan sumber Pendapatan Asli Desa (PA-

Des); (2) memberikan pelayanan terhadap

kebutuhan masyarakat; (3) meningkatkan

kesempatan berusaha dan mengurangi pe-

ngangguran di desa; (4) meningkatkan pen-

dapatan masyarakat desa; dan (5) mengura-

ngi kemiskinan.

BUMDes ini juga diharapkan mampu men-

stimulasi dan menggerakkan roda perekono-

mian di pedesaan. Aset ekonomi yang ada di

desa harus dikelola sepenuhnya oleh masya-

rakat desa. Substansi dan filosofi BUMDes

harus dijiwai dengan semangat kebersamaan

dan self help sebagai upaya memperkuat as-

pek ekonomi dan kelembagaannya. Pada ta-

hap ini, BUMDes akan bergerak seirama de-

ngan upaya meningkatkan sumber-sumber

pendapatan asli desa, menggerakkan kegia-

tan ekonomi masyarakat di mana peran

BUMDes sebagai institusi payung dalam

menaungi. Upaya ini juga penting dalam ke-

rangka mengurangi peran free-rider yang se-

ringkali meningkatkan biaya transaksi dalam

kegiatan ekonomi masyarakat melalui prak-

tek rente (Nurcholis, 2011)

Menghadapi MEA 2015 masih banyak di-

temukan kendala dan hambatan dalam pe-

ngelolaan BUMDes. Menurut Sutoro Eko dkk,

Page 42: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 121

berdasarkan pengamatan lapangan maupun

berbagi informasi di berbagai forum selama

ini, upaya-upaya pengembangan BUMDes

masih menghadapi berbagai macam keku-

rangan. Pertama, belum optimalnya penata-

an kelembagaan desa sehingga BUMDes be-

lum dapat diinstitusionalisasikan dalam for-

mat kepemerintahan dan perekonomian de-

sa. Kedua, adanya keterbatasan kapasitas

sumber daya manusia di desa untuk menge-

lola dan mengembangkan BUMDes yang

akuntabel dan berkinerja baik. Ketiga, ren-

dahnya inisiatif lokal untuk menggerakkan

potensi ekonomi lokal bagi peningkatan ke-

sejahteraan sosial dan ekonomi warga desa.

Keempat, belum berkembangnya proses

konsolidasi dan kerjasama berbagai pihak

untuk mewujudkan BUMDes sebagai patron

ekonomi yang berperan memajukan ekonomi

kerakyatan. Kelima, kurangnya responsivitas

pemerintah daerah untuk menjadikan BUM-

Des sebagai program unggulan untuk mem-

berdayakan desa dan menyejahterakan ma-

syarakat.

Kondisi BUMDes saat ini bisa dikatakan

belum optimal dalam menjaga kemandirian

perekonomian desa sehingga akan sulit un-

tuk mendukung bangsa Indonesia dalam me-

nyongsong era MEA 2015. Perlu dilakukan

berbagai usaha pengembangan ke arah pe-

ningkatan kapasitas BUMDes sehingga bisa

menjadi stimulus dan penggerak motor pere-

konomian desa. Tulisan ini dimaksudkan un-

tuk memahami kondisi BUMDes saat ini yang

mengarah pada kemandirian desa, sehingga

diketahui peluang dan tantangan yang diha-

dapi menjelang diberlakukannya MEA 2015.

Dan akhirnya dapat ditemukan arah pengem-

bangan kapasitas BUMDes sebagai penggerak

perekonomian desa demi kesejahteraan ma-

syarakat desa.

B. PRAKTEK PENGELOLAAN BUMDES DI

BERBAGAI DAERAH

BUMDes merupakan salah satu wadah

ekonomi rakyat yang dibentuk secara formal

oleh pemerintahan terbawah yaitu pemerin-

tahan desa. Sebagai badan usaha, modal ter-

besar dari BUMDes berasal dari pemerintah

desa melalui penyertaan secara langsung

yang berasal dari kekayaan desa. BUMDes ju-

ga berperan sebagai bentuk penguatan terha-

dap lembaga-lembaga ekonomi desa yang da-

pat mendayagunakan ekonomi lokal yang

mengandalkan berbagai ragam jenis potensi

desa.

Sebagai aturan pendirian BUMDes, diter-

bitkan Peraturan Menteri Desa, Pembangu-

nan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No-

mor 4 tahun 2015 tentang Pendirian, Pengu-

rusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Ba-

dan Usaha Milik Desa. Peraturan ini diharap-

kan menjadi pedoman bagi daerah dan desa

dalam pembentukan dan pengelolaan BUM-

Des. Pendirian BUMDes sebelumnya diatur

dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No-

mor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Mi-

lik Desa, selain itu diatur pula dalam Peratu-

ran Pemerintah nomor 72 Tahun 2005 ten-

tang Desa. Akan tetapi setelah adanya UU

nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang

mengatur bahwa pengurusan desa diserah-

kan kepada pada kementerian khusus dalam

hal ini adalah Kementerian Desa, Pembangu-

nan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, ma-

ka disusun kembali pedoman pengelolaan

BUMDes oleh Kementerian Desa, Pembangu-

nan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Data Kementerian Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal dan Transmigrasi saat ini

telah tercatat 1.022 BUMdes yang tersebar di

74 Kabupaten, 264 Kecamatan dan 1022 De-

sa. Kepemilikan BUMDes terbanyak berada di

Jawa Timur dengan 287 BUMDes, kemudian

Sumatera Utara dengan 173 BUMDes. Selain

itu terkait payung hukum pendirian BUMDes

telah diterbitkan sebanyak 45 Peraturan Dae-

rah dan 416 Peraturan Desa yang mengatur

tentang pembentukan dan pengelolaan BUM-

Des. Hal ini sangat memungkinkan untuk

mengembangkan kemandirian desa jika In-

donesia bisa kuat dalam menghadapi masya-

rakat ekonomi ASEAN nantinya. Akan tetapi

persentase jumlah BUMDes dari total 74.093

desa di Indonesia masih sangat terbatas yak-

ni sebesar 1,4 persen. Oleh karena itu Kepala

Desa perlu didorong untuk serius memben-

tuk dan mengembangkan BUMDes.

Page 43: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas

122 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Pengelolaan BUMDes memerlukan sum-

ber komoditi yang jelas dan jenis usaha me-

nurut Kementerian Desa, Pembangunan Dae-

rah Tertinggal dan Transmigrasi yang dapat

dikembangkan antara lain: usaha bisnis sosi-

al melalui usaha air minum desa, usaha listrik

desa dan lumbung pangan, usaha bisnis pe-

nyewaan melalui usaha alat transportasi,

perkakas pesta, gedung pertemuan, rumah

toko dan tanah milik BUMDes, usaha peran-

tara melalui jasa pembayaran listrik dan pa-

sar desa untuk memasarkan produk yang di-

hasilkan masyarakat, usaha bisnis yang ber-

produksi dan/atau berdagang melalui usaha

pabrik es, pabrik asap cair, hasil pertanian,

sarana produksi pertanian dan sumur bekas

tambang, usaha bisnis keuangan melalui ak-

ses kredit dan peminjaman, dan usaha bersa-

ma sebagai induk dari unit-unit usaha yang

dikembangkan melalui pengembangan kapal

desa dan desa wisata. Contoh riil pengelolaan

BUMDes yang bisa dirasakan manfaatnya

bagi peningkatan kas desa dan kesejahteraan

warganya dalam catatan Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trans-

migrasi adalah Desa Pagedangan yang

mengelola sentra kuliner dan tempat pem-

buangan sampah terpadu (TPST) yang bisa

menampung sampah dari 1.000 rumah tang-

ga dan BUMDes Karya Mandiri Desa Cibodas

Kabupaten Bandung yang mengelola usaha di

bidang air, sewa gedung olahraga/gedung

serbaguna dan pengelolaan kios desa. Hasil

dari semua usaha BUMDes tersebut dapat

digunakan untuk meningkatkan kesejahtera-

an dan kualitas hidup manusia masyarakat

desa serta penanggulangan kemiskinan se-

suai dengan tujuan pembangunan desa. Sela-

in itu dapat juga dimanfaatkan untuk penge-

mbangan usaha, pembangunan desa, pem-

berdayaan masyarakat desa, dan pemberian

bantuan untuk masyarakat miskin melalui hi-

bah, bantuan sosial, dan kegiatan dana ber-

gulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pen-

dapatan dan Belanja Desa.

Pendirian BUMDes sangat penting. Dalam

UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pasal

90 tertulis bahwa Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupa-

ten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong

perkembangan BUMDes dengan memberikan

hibah dan/atau akses permodalan, melaku-

kan pendampingan teknis dan akses ke pasar

dan memprioritaskan BUMDes dalam penge-

lolaan sumber daya alam di desa. Pernyataan

dalam pasal tersebut sudah jelas bahwa pe-

merintah ingin mendorong desa agar dapat

meningkatkan daya saing dengan mengguna-

kan BUMDes sebagai badan usahanya.

Beberapa daerah sudah banyak yang telah

mengembangkan BUMDes di wilayahnya. Pe-

ndirian BUMDes ini bagi sebagian besar desa

merupakan upaya melanjutkan program pe-

mberdayaan masyarakat dengan membentuk

unit simpan pinjam. Padahal, sesuai dengan

peraturan terbaru maka dimungkinkan bagi

BUMDes untuk membuka unit kerja yang

menggarap sektor riil untuk menggali potensi

alam maupun sumber daya manusia. BUM-

Des juga bisa menjadi garda depan dalam

menjaga dan mengelola aset-aset desa sehin-

gga lebih berdaya guna dan memberikan

manfaat kepada masyarakat.

Pengelolaan BUMDes di beberapa daerah

telah dilakukan dengan tidak meyimpang da-

ri peraturan perundangan yang telah ditetap-

kan. Pengelolaan BUMDes tidak terlepas dari

kapasitas desa dalam mengatur dan member-

dayakan sumber daya dengan semangat ke-

keluargaan dan gotong royong. Kapasitas de-

sa bukan sekadar kesanggupan dan kelancar-

an pemerintah desa menjalankan tugas po-

kok dan fungsinya atau mengikuti prosedur

administrasi yang sudah baku, tetapi berupa

inisiatif untuk melakukan inovasi atau pem-

baharuan terhadap pengelolaan pembangun-

an, pemerintahan dan kemasyarakatan agar

desa berkembang lebih dinamis dan maju.

Menurut Sutoro Eko (2004), dahulu ada se-

buah doktrin yang menegaskan bahwa keber-

hasilan otonomi daerah tergantung pada 3-M

(man, money, management), yaitu kemampu-

an manusia pengelola daerah, uang atau da-

lam bentuk PAD yang melimpah, dan profesi-

onalitas pengelolaan daerah (sistem, manu-

sia, uang, sumberdaya, dll). Pemerintah te-

rus-menerus melakukan pembinaan kepada

daerah dan desa, tetapi tetap saja mengede-

pankan argumen “tidak siap” kepada daerah

Page 44: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 123

ketika daerah menuntut otonomi yang lebih

besar. Saat ini doktrin 3-M bisa dikatakan

sudah usang. Pemerintah, pemimpin, dan ma-

syarakat Indonesia, harus “siap” untuk bela-

jar satu sama lain, termasuk yang terkait de-

ngan pengembangan pengelolaan BUMDes

dalam menyiapkan kemandirian untuk meng-

hadapi masyarakat ekonomi ASEAN. Oleh ka-

rena itu, upaya-upaya konkret untuk menem-

pa kapasitas desa harus segera dilakukan.

Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu pa-

da tahun 2013 memberikan modal bagi 10

BUMDes untuk penguatan ekonomi masyara-

kat Desa. Kesepuluh BUMDes tersebut adalah

BUMDes Gudang Batu Sejahtera desa Gudang

Batu Kecamatan Pasir Penyu, BUMDes Karya

Mandiri Desa Pematang Kecamatan Batang

Peranap, BUMDes Makmur Jaya desa Rimpi-

an Kecamatan Lubuk Batu Jaya, BUMDes Se-

melinang Bersemi Desa Semelinang Tebing

Kecamatan Peranap, BUMDes Sepakat Sejah-

tera Desa Simpang Koto Medan Kecamatan

Kelayang, BUMdes Berkah Bersama Desa Se-

resam Kecamatan Seberida, BUMDes Maju Ja-

ya Sendawu Desa Sungai Dawu Kecamatan

Rengat Barat. Kemudian BUMDes Karya Ber-

sama Desa Titian Resak Kec Seberida, BUM-

Des Usaha Mulya Desa Talang Mulya Kecama-

tan Batang Cenaku, dan BUMDes Cahaya Ce-

naku Desa Kuala Mulia Kec Kuala Cenaku.

Pemkab Indragiri Hulu juga telah menerbit-

kan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 05 Ta-

hun 2011 tentangPembentukan Badan Usa-

ha Milik Desa untuk memperkuat keberadaan

BUMDes di Indragiri Hulu. Pemberian dana

hibah sebesar Rp 500 juta per desa atau kelu-

rahan sebagai modal awal untuk meningkat-

kan Usaha Ekonomi Produktif (UEP), seperti

perkebunan, pertanian, peternakan, perikan-

an, jasa, industri dan perdagangan.

Pemerintah Kabupaten Bandung pada ta-

hun 2010 juga telah menetapkan Peraturan

Daerah Kabupaten Bandung Nomor 18 Ta-

hun 2010 Tentang Pedoman Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes). Di dalam peraturan

tersebut telah diterangkan pula tentang tuju-

an pendirian BUMDes yang ujungnya dapat

meningkatkan daya saing dan kesejahteraan

masyarakat. Hal ini juga telah dijelaskan pada

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Dae-

rah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor 4 tahun 2015 tentang Pen-

dirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pe-

mbubaran Badan Usaha Milik Desa dan juga

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39

Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa.

Dalam memetakan potensi desa sebagai

modal utama BUMDes, pemerintah desa di

Nusa Tenggara Barat telah memulai program

peningkatan pendapatan untuk diperguna-

kan bagi kesejahteraan masyarakat desa. Saat

ini ada beberapa BUMDes yang mulai ber-

konsentrasi ke arah itu, seperti BUMDes Len-

ka, BUMDes LKM, BUMDes Sakra Barat, BUM-

Des Bual. Dalam Diskusi Forum KTI Wilayah

NTB pada tanggal 25 Februari 2015 bertajuk

”Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Desa melalui BUMDes sebagai persiapan pe-

nerapan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa”

terungkap bahwa di wilayah NTB masih

banyak pemahaman mengenai badan usaha

di tingkat Desa hanya dalam bentuk simpan

pinjam. Forum ini mendorong pemerintah

desa untuk membuat usaha dan program

sesuai dengan potensi yang dimiliki desa.

Dengan begitu potensi daerah dapat terang-

kat melalui BUMDes. Selain itu, daya saing

desa juga akan terasah dan desa akan jauh

lebih mandiri.

BUMDes juga dapat menerapkan bentuk

kredit bersubsidi dengan sasaran tertentu se-

bagai salah satu usahanya. Hal ini dapat dili-

hat dari keberadaan BUMDes di Landungsari,

Kabupaten Malang. BUMDes yang mendapat

dana hibah dari alokasi dana desa sebesar

kurang lebih sembilan juta rupiah ini menja-

lankan usahanya sebanyak 7 (tujuh) bidang

usaha, antara lain: 1) bidang pertanian, 2)

bidang peternakan, 3) bidang simpan pinjam,

4) bidang pengelolaan sampah, 5) bidang jasa

bazis, 6) bidang home industri, dan 7) bidang

pasar. Akan tetapi pada saat awal berdiri

yang berjalan hanyalah bidang simpan pin-

jam. Hal ini disebabkan modal usaha yang

terbilang minim. Rendahnya produktivitas

pelayanan di BUMDes lebih disebabkan oleh

lemahnya sumberdaya manusia di bidang

manajemen dan lain lain. Dengan lebih me-

Page 45: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas

124 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

mandang dari segi kerjasama dalam menge-

mbangkannya sumber dana untuk pening-

katan pendapatan desa melalui BUMDes da-

pat direalisasikan. Menurut Ramadana, dkk.

(2013), BUMDes menjadi salah satu unsur

yang berkontribusi dalam pembangunan de-

sa mandiri yang dapat berjalan dengan per-

caya diri bahwa desa memang mampu meng-

atur rumah tangganya sendiri dan mencipta-

kan kemandirian yang tidak hanya bergan-

tung kepada alokasi anggaran dana desa yang

telah diberikan oleh pemerintah kabupaten

Malang. Sebagian masyarakat merasa terban-

tu dengan adanya BUMDes, seperti melalui

layanan penyewaan kios pasar dan pemi-

njaman modal. Oleh karena itu, Pemerintah

Kabupaten Malang seharusnya dapat mem-

perkuat dan meningkatkan daya saing BUM-

Des.

Namun demikian, BUMDes jangan sampai

mengambil alih peran dan fungsi jenis usaha

yang selama ini sudah menjadi sumber peng-

hidupan warga. Tetapi harus mengambil pe-

ran dan fungsi untuk memilih jenis unit usa-

ha yang berbasis pada aset yang dimiliki desa

atau kebutuhan dasar warga yang lebih tepat

jika dilayani oleh desa. Berdasarkan peneliti-

an IRE (2015), BUMDes Desa Labbo di Kabu-

paten Bantaeng dan Desa Karangrejek, Kabu-

paten Gunungkidul DIY mengambil peran da-

lam melayani kebutuhan dasar air bersih ma-

syarakat melalui unit usaha air bersih. Air

bersih ini dapat dijangkau oleh masyarakat

dari segi biaya, sehingga warga merasakan

manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan ke-

seharian. Sedangkan BUMDes Desa Bleberan

di Gunungkidul melakukan pengembangan

wisata minat khusus dengan mengoptimal-

kan pengelolaan beberapa situs yang menjadi

primadona setempat, seperti air terjun “Sri

Gethuk”, situs purbakala Mataram, dan pe-

mancingan ikan. Desa wisata ini telah mera-

up omzet sekitar Rp 1,2 milyar pada tahun

2012. Pendapatan bersih yang diperoleh dari

pengelolahan potensi wisata tersebut, sekitar

Rp 361 juta, dimana 20 persen (Rp 72,2 juta)

dikontribusikan sebagai PADes Desa Bleber-

an.

Pendirian BUMDes diharapkan mampu

meningkatkan kemampuan pemerintah desa

sehingga penyelenggaraan pemerintahan, pe-

mbangunan dan pelayanan masyarakat dapat

berjalan dengan baik serta mengarah pada

peningkatan pendapatan asli desa. BUMDes

juga dapat mendorong berkembangnya usa-

ha mikro sektor informal yang nantinya da-

pat menyerap tenaga kerja asli di desa. Selain

itu dapat pula mengembangkan potensi sum-

ber daya alam sehingga menjadi nilai tambah

bagi masyarakat desa. Hal tersebut telah dije-

laskan pada berbagai contoh di atas.

MEA, yang awalnya digagas untuk me-

ningkatkan pertumbuhan ekonomi perdaga-

ngan dan daya saing antar sesama negara

anggota ASEAN, menuntut upaya perbaikan

untuk menghadapi persaingan global dengan

negara lain. Penguatan daya saing tersebut

harus dimulai dengan memperkuat lapisan

terendah dari sebuah negara. Oleh karena itu,

bangsa Indonesia harus gencar melakukan

upaya untuk meningkatkan kemampuan desa

sebagai lapisan terbawah melalui BUMDes.

Peluang dan tantangan ini harus diambil oleh

pemerintah desa jika tidak ingin menjadi pe-

nonton dan tamu di negeri sendiri. Pening-

katan investasi asing yang menjadi salah satu

tujuan dari gagasan MEA mungkin dapat

mencapai level desa dan dimasukkan ke da-

lam klausul yang ada dalam peraturan dae-

rah. Investasi itu sendiri dimaksudkan untuk

meningkat kesejahteraan masyarakat desa

melalui kerjasama dengan pihak ketiga ber-

dasarkan prinsip saling menguntungkan bagi

semua pihak dan mendapat persetujuan dari

Pemerintah Desa.

C. PELUANG DAN TANTANGAN BUMDES

DI ERA MASYARAKAT EKONOMI

ASEAN

BUMDes dibangun atas prakarsa dan

inisiatif masyarakat dalam perencanaan dan

pembentukannya. Prinsip-prinsip yang dipe-

gang dalam pengelolaannya adalah koope-

ratif, partisipatif dan emansipatif, dimana

anggota menjalankan dan saling membantu

dalam mengelolanya. BUMDes diamanatkan

agar dapat meningkatkan pendapatan masya-

Page 46: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 125

rakat dan desa melalui prinsip yang diambil

dalam pengelolaannya. Menurut Ramadana

dkk, (2013) sebagai lembaga komersial,

BUMDes merupakan institusi sosial-ekonomi

desa yang betul-betul mampu berkompetisi

ke luar desa yang berpihak kepada pemenuh-

an kebutuhan (produktif maupun konsumtif)

masyarakat. Hal ini terlihat dari bidang usaha

yang dilakukannya. Pada akhirnya BUMDes

berperan untuk meningkatkan perekonomi-

an masyarakat desa dengan mengangkat po-

tensi yang dimiliki desa.

Menurut Abdur Rozaki dkk, (2015), pen-

dirian BUMDes harus diletakkan sebagai stra-

tegi jitu dalam mengelola aset desa. Gagasan

pendiriannya harus diorganisir melalui me-

kanisme musyawarah desa, yakni sebuah fo-

rum demokratis yang mempertemukan BPD,

pemerintah desa dan kelompok warga. Mu-

syawarah desa merupakan mandatori UU De-

sa yang melembagakan demokrasi lokal me-

lalui perbincangan isu-isu strategis, salah sa-

tunya soal pendirian BUMDes. BUMDes pada

dasarnya membangun tradisi demokrasi di

desa untuk mencapai derajat ekonomi ma-

syarakat desa yang lebih tinggi. Oleh karena

itu, BUMDes harus memiliki daftar inventa-

risasi dan peta aset desa. Dengan begitu, me-

reka akan lebih mudah dalam hal menyepa-

kati gagasan pengelolaan dan pemanfaatan

aset-aset desa untuk meningkatkan kemandi-

rian desa itu sendiri. Pendirian dan pengem-

bangan BUMDes harus memperhatikan aset

desa yang dapat dikelola dan dimanfaatkan

secara maksimal berdasarkan pada potensi

yang ada. Sebagai contoh, desa-desa pesisir

dapat mengembangkan potensi laut untuk

memperbaiki kesejahteraan kaum nelayan,

sedangkan daerah pedalaman lebih menge-

depankan pengembangan unit usaha sarana

dan prasarana pertanian.

Peluang BUMDes cukup besar dalam me-

ningkatkan kemandirian desa serta pereko-

nomian masyarakat desa. Hal ini terlihat dari

ruang usaha yang dapat dikelola dan faktor

yang harus dipertimbangkan dalam mendiri-

kan sebuah BUMDes. Berdasarkan Permen-

desa, PDT, dan Transmigrasi No. 4 Tahun

2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pe-

ngelolaan, dan Pembubaran BUMDes Pasal 4

Ayat 2, pendirian BUMDes harus mempertim-

bangkan: 1) inisiatif pemerintah desa dan/

atau masyarakat desa; 2) potensi usaha eko-

nomi desa; 3) sumber daya alam di desa; 4)

sumber daya manusia yang mampu menge-

lola BUMDesa; dan 5) penyertaan modal dari

pemerintah desa dalam bentuk pembiayaan

dan kekayaan desa yang diserahkan untuk

dikelola sebagai bagian dari usaha BUMDes.

Berdasarkan aturan tersebut sumber daya

alam yang tersedia di desa menjadi salah satu

prioritas yang harus dipertimbangkan. Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian dari IRE ta-

hun 2015 yang menyebutkan kompetensi

dan komitmen para pengurus BUMDes (pe-

merintah desa dan masyarakat) dalam men-

jalankan BUMDes sesuai dengan potensi desa

terbukti mampu membuat BUMDes berjalan

secara kokoh dan berkembang secara berke-

lanjutan.

Banyak dari BUMDes yang didirikan oleh

pemerintah desa merambah ke sektor Usaha

Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Data

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, se-

perti yang dikutip oleh Budiman dan Prabo-

wo (Syncmagz, 2015), menunjukkan bahwa

kontribusi UMKM terhadap Pendapatan Do-

mestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2011 se-

besar 56,6% dan menyerap 97% dari tenaga

kerja nasional. Adapun kontribusi sektor

UMKM dalam penambahan devisa negara

yang berbentuk penerimaan ekspor sebesar

27.700 milyar dan menyumbang sebesar

4,86% terhadap total ekspor. Tentu saja

BUMDes di beberapa desa ikut berperan di

sana. Dari data yang dikutip tersebut dapat

dinilai bahwa UMKM terbukti mampu berta-

han dari goncangan ekonomi dan menjadi pe-

nyelamat bagi perekonomian pada krisis keu-

angan tahun 1997 dan krisis global 2008. De-

ngan begitu, kesiapan UMKM yang sebagian

besar dikelola BUMDes sangat menentukan

keberhasilan dalam bersaing menghadapi

MEA.

Tantangan saat ini terkait dengan berhasil

tidaknya BUMDes dalam menjalankan fungsi

utama untuk meningkatkan ekonomi lokal di

desa, yaitu menggairahkan dan menciptakan

Page 47: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas

126 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

sumber-sumber pendapatan baru yang men-

dorong kesejahteraan masyarakat desa. Di si-

si lain, terdapat tuntutan MEA yang lebih me-

nuntut potensi dan kelebihan yang dimiliki

oleh negara ASEAN untuk menghadapi persa-

ingan ke depan. Jika perekonomian lokal di

desa memiliki produktivitas dan daya saing

tinggi maka desa akan siap untuk bersaing

secara mandiri.

Rancangan MEA digagas untuk memben-

tuk sebuah pasar tunggal di kawasan ASEAN

yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan

investasi asing. Cara yang dapat dilakukan

adalah dengan membuka arus perdagangan

barang dan jasa dengan mudah ke berbagai

negara di tingkat regional Asia Tenggara. Da-

lam pelaksanaan MEA 2015 nanti ada 5 (li-

ma) hal yang tidak boleh dibatasi peredaran-

nya di seluruh negara ASEAN, yaitu: arus ba-

rang, arus jasa, arus modal, arus investasi,

dan arus tenaga kerja terlatih. Kelima hal ini

dapat menjadi peluang untuk berkembang-

nya BUMDes sehingga dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Namun sebalik-

nya, hal ini dapat juga menjadi tantangan jika

tidak ditangani secara profesional dan akun-

tabel. Dengan kata lain bahwa daya saing,

baik dari sisi produk maupun SDM, menjadi

taruhan. Oleh karena itu, apabila tidak disi-

apkan secara matang, ada kemungkinan ma-

syarakat hanya akan menjadi tujuan pasar

produk asing karena tidak mampu bersaing.

Dalam menghadapi tantangan MEA yang

mulai diberlakukan pada akhir 2015 (maju 5

tahun), Presiden mengeluarkan Instruksi

Presiden Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pe-

ningkatan Daya Saing Dalam Rangka Mengha-

dapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Presiden

meminta untuk mengambil langkah-langkah

yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi,

dan kewenangan masing-masing secara ter-

koordinasi dan terintegrasi untuk melakukan

peningkatan daya saing nasional dan melaku-

kan persiapan pelaksanaan MEA. Lewat

BUMDes, produk-produk pengusaha desa

ataupun industri berbasis desa lainnya turut

difasilitasi untuk mampu bersaing di pasar

domestik, regional, bahkan global.

Problematika UMKM yang biasanya men-

jadi sektor usaha yang dikelola BUMDes, me-

nurut Budiman dan Prabowo (2015), adalah

terkait masalah produktivitas dan kualitas

produk yang belum seimbang dengan per-

kembangan jumlah UMKM itu sendiri. Pada

umumnya, kondisi itu terjadi karena rendah-

nya kualitas SDM, manajemen organisasi

yang belum matang, kurangnya penguasaan

teknologi, dan pemasaran. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut harus dilakukan pe-

ningkatan sentra atau klaster dalam upaya

pengembangan produk unggulan. Selain itu,

dilakukan usaha mendorong peningkatan ku-

alitas sumber daya manusia dan kewirausa-

haan serta berusaha meningkatkan kualitas

dan standarisasi produk. Menurut Syncore

(Syncmagz, 2015), BUMN, BUMD, BUMDes

adalah cermin kekuatan perekonomian Indo-

nesia, terutama di sektor strategi untuk

menghadapi MEA. Masyarakat seharusnya

berkontribusi dalam mengawal keberlangsu-

ngan sektor usaha yang dijalankan. Melalui

keterbukaan teknologi dan informasi me-

mungkinkan pengawalan terhadap BUMDes

dapat dilakukan dengan baik.

Peningkatan kapasitas dan kesadaran ma-

syarakat menjadi tantangan tersendiri bagi

kesuksesan perwujudan kemandirian desa

melalui pengembangan BUMDes. Di saat ke-

mandirian desa tercapai, di situlah peningka-

tan perekonomian masyarakat desa menjadi

taruhannya. Jika peningkatan perekonomian

itu tercapai maka desa menjadi akar kesiapan

bangsa Indonesa dalam menghadapi MEA se-

hingga dapat bersaing dengan negara lain di

kawasan ASEAN. Salah satu faktor penambah

daya saing adalah adanya investasi yang di-

butuhkan untuk peningkatan kualitas produk

serta kinerja BUMDes. Desa melalui BUMDes

yang dikelola harus dapat menciptakan ling-

kungan yang lebih menarik bagi masuknya

investasi yang nantinya dapat mendorong pe-

ningkatan kemandirian desa. Jika hal ini da-

pat dilakukan maka akan dapat menarik in-

vestor lebih banyak serta dapat menanam-

kan modal dan memberikan kontribusi terha-

dap pertumbuhan ekonomi, pembangunan

dan kemandirian desa.

Page 48: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 127

Tantangan dan peluang juga dapat dilihat

dari usaha negara tetangga dalam menghada-

pi MEA. Seperti yang dikutip dari buku Infor-

masi Umum MEA (Kementerian Perdagang-

an) bahwa Brunei Darussalam, Indonesia,

Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand

telah menghapus sebanyak 7.881 tarif dari

pos tarif tambahan sehingga terdapat sejum-

lah 54.467 pos tarif yang bea masuknya nol

(zero duty) atau 99,65% dari pos tarif yang

diperdagangkan dalam Common Effective Pre-

ferential Tariff (CEPT-AFTA). Dari 7.881 pos

tarif tambahan tersebut, terdapat barang-ba-

rang dalam sektor prioritas integrasi (PIS)

sebesar 24,15% pos tarif, besi dan baja seba-

nyak 14,92%, mesin dan peralatan mekanis

8,93%, dan bahan kimia 8,3%. Penghapusan

tarif dari pos tarif tambahan ini telah menu-

runkan rata-rata tingkat tarif ASEAN, yaitu

dari 0,79% pada tahun 2009 menjadi 0,05%

sejak 1 januari 2010 sebagai langkah awal

kesiapan menghadapi MEA. Selain itu, bebe-

rapa negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar

dan Vietnam menurunkan bea impor dari

98,86% pos tarif yang diperdagangkan men-

jadi 0-5% saja sebagai tahap awal komitmen

menghadapi MEA. Berbagai produk seperti

bahan makanan olahan, mebel, plastik, ker-

tas, semen, keramik, kaca, dan aluminium

asal ASEAN juga akan menikmati bebas bea

masuk ke Brunei Darussalam, Indonesia, Ma-

laysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Be-

berapa hasil produk itu justru berada di sek-

tor usaha yang sangat berpotensi dihasilkan

oleh BUMDes untuk meningkatkan kesejahte-

raan masyarakat serta meningkatkan daya

saing perekonomian desa.

D. PENINGKATAN KAPASITAS BUMDES

BUMDes sebagai salah satu lembaga yang

mendukung perekonomian desa mempunyai

peran penting dalam usaha untuk mendo-

rong terwujudnya kesejahteraan ekonomi

masyarakat desa secara keseluruhan. Kegia-

tan perekonomian yang digalakkan oleh

BUMDes harus mendukung usaha peningka-

tan ekonomi lokal di tingkat regional dalam

upaya mencapai taraf ekonomi secara nasi-

onal dan bersaing di tingkat global. Dalam

lingkup perekonomian nasional ini maka

BUMDes harus dikelola dengan baik sehingga

dapat mendukung dalam menghadapi MEA.

BUMDes di tingkat desa yang meningkat dan

mandiri akan membantu bangsa Indonesia

dalam kerawanan ekonomi menyambut MEA.

Sebagai upaya untuk mencapai tujuan terse-

but maka diperlukan pengembangan dan pe-

ningkatan kapasitas BUMDes secara optimal

dan berkesinambungan berbasis sumber da-

ya desa yang dimiliki. Selain itu, juga tetap

perlu dukungan untuk mendorong kreativi-

tas dan inovasi dari pemerintah dan masya-

rakat desa dalam mendukung kemajuan

BUMDes.

Perkiraan membanjirnya produk impor di

dalam negeri akibat dampak negatif dari

MEA, yang disinyalir dapat mematikan usa-

ha-usaha sampai tingkat lokal mewajibkan

perangkat ekonomi dari tingkat pusat sampai

desa untuk bersiap diri, salah satunya dengan

meningkatkan kapasitas BUMDes. BUMDes,

sebagai salah satu pilar ekonomi di tingkat

bawah, apabila dikelola dengan signifikan da-

pat menjaga kemandirian ekonomi desa sehi-

ngga dapat mendukung perekonomian secara

nasional dan berdaya saing dalam menyong-

song MEA 2015.

Dalam usaha untuk mengembangkan

BUMDes perlu dipahami langkah-langkah

membangun BUMDes itu sendiri. Memba-

ngun BUMDes secara inkremental jauh lebih

baik daripada membangun secara cepat dan

serentak, dengan langkah sebagai berikut: 1)

Sosialisasi dan pembelajaran; 2) Musyawarah

desa; 3) Pembentukan dan pelembagaan

BUMDes yang berbisnis pelayanan dan pe-

nyewaan; 4) Analisis kelayakan usaha BUM-

Des yang berorientasi ekonomi (trading dan

brokering); 5) Pembentukan dan pelembaga-

an BUMDes trading maupun brokering. Ini

adalah bentuk konsolidasi usaha warga men-

jadi sebuah korporasi desa yang kolektif, se-

hingga menjadi penanda satu desa satu pro-

duk; 6) Penjajakan dan pengembangan kerja-

sama kemitraan strategis, baik dalam bentuk

korporasi antardesa atau kerjasama dengan

pihak ketiga; dan 7) Diversifikasi usaha da-

lam bentuk banking maupun holding dengan

Page 49: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas

128 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

sekala yang lebih besar (Sutoro Eko, dkk,

2013).

Upaya dalam pengembangan BUMDes,

harus juga memperhatikan berbagai kapasi-

tas yang dimiliki desa. Menurut Sutoro Eko

(2004), ada beberapa kapasitas desa yang

bisa dikembangkan. Pertama, kapasitas re-

gulasi yaitu kemampuan pemerintah desa

mengatur kehidupan desa beserta isinya

(wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan

peraturan desa, berdasarkan kebutuhan dan

aspirasi masyarakat setempat. Kedua, kapa-

sitas ekstraksi yaitu kemampuan mengum-

pulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan

aset-aset desa untuk menopang kebutuhan

(kepentingan) pemerintah dan warga masya-

rakat desa. Ketiga, kapasitas distributif yaitu

kemampuan pemerintah desa membagi sum-

ber daya desa secara seimbang dan merata

sesuai dengan prioritas kebutuhan masyara-

kat desa. Keempat, kapasitas responsif yaitu

kemampuan untuk peka atau memiliki daya

tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan

warga masyarakat untuk dijadikan sebagai

basis dalam perencanaan kebijakan pemba-

ngunan desa. Kelima, kapasitas jaringan yai-

tu kemampuan pemerintah dan warga ma-

syarakat desa mengembangkan jaringan ker-

ja sama dengan pihak-pihak luar dalam rang-

ka mendukung kapasitas ekstraktif.

Berbagai kapasitas yang dimiliki desa da-

pat ditingkatkan sebagai langkah pengemba-

ngan BUMDes. Di sisi lain, menurut Nurul

Purnamasari, pengembangan BUMDes dapat

dilakukan dengan cara: 1) Pengembangan

dan penguatan kelembagaan yang dilakukan

dengan cara pemerintah melakukan revisi

berbagai peraturan perundangan yang ku-

rang relevan dalam mendukung BUMDes dan

mengoptimalkan peran SKPD (Badan Pem-

berdayaan Masyarakat dan Pemerintahan

Desa) dalam pembinaan terhadap BUMDes;

2) Penguatan kapasitas melalui kegiatan

pemberdayaan, pelatihan, dan fasilitasi yang

dilakukan secara berjenjang, mulai dari Pe-

merintah kepada Pemerintah Daerah, dan

dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah

Desa dan Pengelola BUMDes; 3) Penguatan

pasar, yang dapat dilakukan melalui kerja-

sama BUMDes dengan berbagai pihak untuk

memperluas pasar dan mendapat fasilitasi

akses terhadap peningkatan sumber daya;

dan 4) Keberlanjutan, yang dapat dilakukan

apabila BUMDes memiliki forum advokasi

untuk mendapat dukungan masyarakat dan

dunia usaha diluar desa.

Berdasarkan paparan di atas, beberapa

langkah nyata berikut dapat dilakukan dalam

upaya meningkatkan kapasitas BUMDes se-

bagai roda penggerak perekonomian masya-

rakat desa terutama menjelang diberlaku-

kannya MEA 2015. Pertama, penataan kele-

mbagaan di tingkat desa yang mendukung

pendirian BUMDes. Selama ini BUMDes be-

lum dilembagakan secara formal dalam ta-

taran pemerintahan dan perekonomian desa.

Padahal kelembagaan BUMDes diperlukan

untuk: 1) menjaring pelibatan peran partisi-

pasi aktif masyarakat dalam pembangunan

dan pengembangan desa; 2) menciptakan

berbagai kreativitas yang mengarah pada pe-

luang usaha bagi masyarakat desa, 3) men-

ciptakan peluang lapangan pekerjaan sehing-

ga dapat mengurangi angka kemiskinan dan

pengangguran di desa. Kedua, pengelolaan

BUMDes harus dilakukan dengan profesional,

kooperatif, independen dan efektif. Pola pe-

ngelolaan seperti itu harus didukung dengan

penguatan kapasitas sumber daya manusia

yang mengelolanya sehingga dapat menge-

mbangkan BUMDes yang akuntabel, berku-

alitas dan berkinerja baik. Hal ini bisa dilaku-

kan dengan mengikutsertakan sumber daya

manusia yang ada dalam kegiatan pendidik-

an, pelatihan, maupun pemberdayaan, baik

secara formal maupun nonformal. Ketiga, pe-

ningkatan peran, koordinasi, dan kerjasama

semua pihak. Pemerintah daerah harus mem-

berikan respon positif dengan menjadikan

BUMDes sebagai program utama untuk pem-

berdayaan desa dan peningkatan kesejahte-

raan masyarakat desa. Selain itu, pihak supra

desa juga harus memberikan dukungan yang

kuat, melalui kegiatan berupa fasilitasi, advo-

kasi, maupun kerja sama yang berusaha me-

wujudkan BUMDes sebagai usaha untuk me-

majukan ekonomi dan kesejahteraan masya-

rakat desa. Keempat, memahami kebutuhan

masyarakat desa terhadap BUMDes yang se-

Page 50: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 129

suai dengan karakteristik kemampuan dan

potensi masyarakat desa dalam memandiri-

kan ekonomi desa. Hal ini bisa dilakukan me-

lalui peningkatan inisiatif dan kreativitas lo-

kal untuk menggerakkan potensi lokal bagi

peningkatan kesejahteraan dan ekonomi rak-

yat.

Satu catatan penting dalam upaya pening-

katan kapasitas BUMDes pada khususnya dan

desa pada umumnya bahwa diperlukan pe-

ran 4 (empat) aktor utama yang terlibat lang-

sung di dalamnya. Sutoro Eko menyebutkan

keempat aktor itu adalah: 1) para pemangku

kepentingan desa (lurah, BPD, lembaga desa,

tokoh masyarakat dan warga masyarakat).

Mereka juga harus mengambil prakarsa dan

bergerak sendiri untuk mengembangkan ka-

pasitas pada lingkup desa; 2) pemerintah su-

pradesa. Pemerintah pusat berperan membe-

rikan standar dan norma umum. Pemerintah

provinsi mempunyai perangkat dan bantuan.

Pemerintah kabupaten mempunyai kewena-

ngan, kebijakan, tenaga, anggaran dan lain-

lain yang sangat dibutuhkan untuk memper-

kuat kapasitas desa; 3) perguruan tinggi

(PT), mempunyai mandat pendidikan, peneli-

tian dan pengabdian kepada masyarakat, an-

tara lain juga dipersembahkan untuk menge-

mbangkan kapasitas para pengelola desa;

dan 4) LSM, merupakan kekuatan baru yang

ikut terlibat dalam proses pengembangan ka-

pasitas desa. Peran-peran yang dilakukan an-

tara lain penelitian aksi secara partisipatif,

diskusi komunitas, membuka ruang-ruang

belajar, pendampingan, pelatihan dan peng-

organisasian. Semua elemen di atas apabila

menjalankan peran dan fungsi yang optimal

maka upaya pengembangan BUMDes untuk

mewujudkan kemandirian desa akan terca-

pai.

Berbagai upaya pengembangan dan pe-

ningkatan kapasitas di atas merupakan suatu

langkah untuk menjadikan BUMDes lebih

operasional sebagai penggerak roda pereko-

nomian desa di era MEA. BUMDes harus bisa

menjadi elemen utama dan mengoptimalkan

perannya sebagai lembaga ekonomi untuk

meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan

masyarakat desa.

E. KESIMPULAN

Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Eco-

nomic Community) adalah salah satu keputu-

san Bali Concord II, yang mensyaratkan bah-

wa sebelum tahun 2016 Asia Tenggara akan

menjadi pasar dan basis produksi tunggal.

Negara-negara di kawasan ASEAN mempu-

nyai tekad untuk segera meningkatkan pertu-

mbuhan perekonomian dan daya saing antar

negara ASEAN dalam menghadapi berbagai

usaha dan persaingan global. Oleh karena itu,

bangsa Indonesia juga harus siap sedini

mungkin menghadapi MEA dari tingkat pusat

sampai ke tingkat desa.

Pada level desa, BUMDes bisa dimaksi-

malkan perannya sebagai motor penggerak

perekonomian di tingkat desa dalam meng-

hadapi era MEA. BUMDes juga berperan se-

bagai bentuk penguatan terhadap lembaga-

lembaga ekonomi desa yang dapat mendaya-

gunakan ekonomi lokal yang mengandalkan

ragam jenis potensi desa. BUMDes diharap-

kan juga mampu menstimulasi dan mengge-

rakkan roda perekonomian di pedesaan sehi-

ngga sampai tingkat paling bawah kita mam-

pu bersaing ke tingkat ASEAN. Sampai saat

ini telah tercatat 1.022 BUMDes yang terse-

bar di 74 Kabupaten, 264 Kecamatan dan

1.022 Desa. Namun demikian, di lapangan

masih ditemukan beberapa kendala, antara

lain: 1) penataan kelembagaan desa belum

berjalan secara maksimal; 2) keterbatasan

kapasitas sumberdaya manusia; 3) rendah-

nya inisiatif lokal; 4) belum berkembangnya

proses konsolidasi dan kerja sama antar

stakeholders; 5) kurangnya responsivitas

Pemda.

Peluang BUMDes cukup besar dalam me-

ningkatkan kemandirian desa serta pereko-

nomian masyarakat desa. Hal ini terlihat dari

ruang usaha yang dapat dikelola oleh BUM-

Des. Dalam pelaksanaan MEA ada 5 (lima) hal

yang tidak boleh dibatasi peredarannya di se-

luruh negara ASEAN termasuk Indonesia,

yaitu arus barang, arus jasa, arus modal, arus

investasi dan arus tenaga kerja terlatih. Keli-

ma hal ini dapat menjadi peluang untuk ber-

kembangnya BUMDes dalam menggerakkan

perekonomian desa.

Page 51: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas

130 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Beberapa langkah berikut dapat dilaku-

kan dalam upaya meningkatkan kapasitas

BUMDes sebagai roda penggerak perekono-

mian masyarakat desa terutama menjelang

diberlakukannya MEA 2015. Pertama, pena-

taan kelembagaan di tingkat desa yang men-

dukung pendirian BUMDes. Kedua, pengelo-

laan BUMDes harus dilakukan dengan profe-

sional, kooperatif, independen dan efektif.

Ketiga, peningkatan peran, koordinasi dan

kerjasama semua pihak. Keempat, memaha-

mi kebutuhan masyarakat desa terhadap

BUMDes yang sesuai dengan karakteristik

kemampuan, dan potensi masyarakat desa

dalam memandirikan ekonomi desa. BUMDes

sebagai salah satu pilar ekonomi apabila di-

kelola dan dikembangkan dengan optimal

akan dapat menjaga kemandirian ekonomi

desa sehingga dapat mendukung perekono-

mian nasional dan berdaya saing dalam me-

nyongsong MEA 2015.

F. DAFTAR PUSTAKA

Bakti.or.id. “Memetakan Potensi Desa seba-

gai Modal Utama BUMDes”. Tersedia

online

(http://www.bakti.or.id/berita/mem

etakan-potensi-desa-sebagai-modal-

utama-bumdes, diakses 12 November

2015 )

Budiman, Kukuh, dan Desyan Prabowo.

2015. “MEA diambang mata, bagaima-

na peluang UMKM?”. Majalah Sync-

magz, Edisi 01-Agustus 2015.

Eko, Sutoro, dkk. 2013. Policy Paper “Mem-

bangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh

dan Berkelanjutan”.

Eko, Sutoro. 2004. “Memperkuat Kapasitas

Desa”. Makalah Disajikan Dalam Semi-

loka “Penguatan Kapasitas Perencana-

an Pembangunan Masyarakat Desa”,

yang diselenggarakan oleh Program

Studi Pembangunan Masyarakat Desa

Diploma III, Sekolah Tinggi Pemba-

ngunan Masyarakat Desa “APMD”,

Yogyakarta, 26 Agustus 2004.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah

Tertinggal dan Transmigrasi. “BUM-

Des Perkuat Ekonomi Desa”. Tersedia

online

(http://www.kemendesa.go.id/berita

/1674/bumdes-perkuat-ekonomi-

desa, diakses 12 November 2015 )

Kementerian Perdagangan. 2011. Informasi

Umum: Masyarakat Ekonomi ASEAN.

ASEAN Community in a Global Com-

munity of Nations. Kementerian Per-

dagangan Republik Indonesia: Jakarta

Kuntadi, Edi. Peranan Pengusaha Daerah Da-

lam Menghadapi MEA 2015.

Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Jakarta: Erlangga.

Pemerintah Kabupaten Malang. 2015. Kabu-

paten Malang Menuju MEA 2015.

Malang: Pemkab Malang

Putri, Winda Destiana. “Menteri Marwan Do-

rong Pembentukan dan Pengembang-

an BUMDes”. Tersedia online

(http://www.republika.co.id/berita/n

asional/umum/15/10/25/nws9iq359

-menteri-marwan-dorong-

pembentukan-dan-pengembangan-

bumdes, diakses 12 November 2015 )

Ramadana, Coristya Berlian, et. al. 2013.

“Keberadaan Badan Usaha Milik Desa

(BUMDes) Sebagai Penguatan Ekono-

mi Desa (Studi di Desa Landungsari,

Kecamatan Dau, Kabupaten Malang)”.

Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol.

1, No. 6, Hal. 1068-1076. Universitas

Brawijaya.

Risadi, Aris Ahmad. “Dukungan DAK SPDT

terhadap BUMDes dalam Mengem-

bangkan Perekonomian Desa”. Terse-

dia online

(http://www.kemendesa.go.id/artikel

/84/dukungan-dak-spdt-terhadap-

bumdes-dalam-mengembangkan-

perekonomian-desa, diakses 12

November 2015 )

Rozaki, Abdur, dkk.,. 2015. “Membangun Ke-

mandirian Desa Melalui BUMDes”.

Policy Brief Institute for Research and

Empowerment (IRE). IRE: Yogyakarta

Syncore. 2015. Hadapi MEA, Pemerintah,

BUMN, Dunia Usaha dan Masyarakat

Wajib Bersinergi. Majalah Syncmagz.

Edisi 01-Agustus 2015.

Page 52: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 131

Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Ten-

tang Desa

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Da-

erah Tertinggal, Dan Transmigrasi Re-

publik Indonesia Nomor 4 Tahun

2015 Tentang Pendirian, Pengurusan

dan Pengelolaan, dan Pembubaran

Badan Usaha Milik Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39

Tahun 2010 Tentang Badan Usaha

Milik Desa.

Page 53: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas

132 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Page 54: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 133

Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014

Local Government Affairs: Potential Problems for the Implementation of Law

Number 23 Year 2014

Suryanto

Peneliti Madya pada Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara

Lembaga Administrasi Negara

Abstrak Setiap perubahan selalu dihadapkan pada tantangan, karena apapun perubahan itu biasanya memba-wa kepada situasi ketidakpastian. Demikian pula ketika terbit dan berlaku UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, “ketidakpastian” pun muncul dalam penataan urusan pemerintahan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Yang dimaksud ketidakpastian disini adalah bahwa de-ngan perubahan dan pergeseran serta penambahan beberapa bagian aspek urusan pemerintahan tentu akan berimplikasi pada penataan urusan pemerintahan dan hubungan antar level pemerintah-an. Peta urusan pemerintahan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengalami perubahan diba-nding urusan pemerintahan dalam UU . 32 Tahun 2004 c.q. PP No. 38 Tahun 2007. Tulisan ini akan menggambarkan peta urusan pemerintahan dalam UU No. 23 Tahun 2014 dan lampirannya. Pada ba-gian akhir tulisan disampaikan saran terkait antisipasi yang perlu dilakukan dalam penataan urusan pemerintahan di masa depan.

Kata kunci: otonomi daerah, urusan pemerintahan daaerah, problematika

Abstract

Every change will always bring challenges, because changes usually lead to a situation of uncertainty.

Similarly, when the Law No. 23 of 2014 about Local Government enacted, "uncertainty" appeared in

the distribution of authority/government affairs between provincial and district governments. The

definition of uncertainty here is that the changes, both in terms of shift between actors as well as

addition, in the authorities would invite changes in the government structure and intergovernmental

relations. At the end of the article there will be suggestions related to the anticipation that needs to

be done in dealing with the distribution of authority and the uncertainties it brings.

Keywords: decentralization, local government affairs, wicked problem

A. PENDAHULUAN

Esensi penyelenggaraan desentralisasi

dan otonomi daerah adalah terjadinya penye-

rahan/pelimpahan kewenangan (dalam ter-

minologi UU 23/2014 disebut urusan peme-

rintahan) dari pemerintah tingkat di atas ke-

pada pemerintah di bawahnya. Hal ini sejalan

dengan pendapat Nurcholis (2005) bahwa

desentralisasi adalah penyerahan wewenang

politik dan administrasi dari puncak hirarki

organisasi (pemerintah pusat) kepada jen-

jang di bawahnya (pemerintah daerah). Sela-

njutnya, Smith (1985) menyebutkan bahwa-

sanya desentralisasi memiliki ciri-ciri dianta-

ranya adanya penyerahan wewenang untuk

melaksanakan fungsi pemerintah tertentu

dari pemerintah pusat kepada daerah oto-

nom.

Penyerahan wewenang (baca: urusan pe-

merintahan) dari pemerintah pusat kepada

pemerintah di bawahnya berbeda antara ne-

gara federal dengan negara kesatuan. Sesung-

guhnya paham yang dianut pada federalisme

adalah non sentralisasi. Hal ini menyangkut

asal kedaulatan dari negara tersebut, dimana

kedaulatan yang dimiliki negara federal bera-

sal dari negara-negara berdaulat yang me-

nyerahkan kewenangan sisa kepada peme-

rintah nasional (pemerintah federal) untuk

dikelola bagi kepentingan bersama negara-

Page 55: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014

Suryanto

134 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

negara berdaulat tersebut. Kedaulatan tidak

bersifat tunggal pada pemerintah nasional

karena negara-negara bagian di dalam wila-

yah negara tersebut juga memiliki kedaula-

tan ke luar (Adi Suryanto dkk., 2008).

Berbeda dengan negara kesatuan (seperti

Indonesia), kedaulatan itu bersifat tunggal

dan tidak dibagi kepada unit-unit pemerinta-

han di bawahnya. Konsep negara kesatuan

(unitary state) adalah bahwa semua kekuasa-

an pada prinsipnya merupakan milik peme-

rintah pusat. Kedaulatan yang dimiliki peme-

rintah daerah di negara yang berbentuk kesa-

tuan hanya bersifat ke dalam. Mekanisme

pendistribusian kewenangan dari pusat ke-

pada daerah dalam negara kesatuan hanya

sekedar menjalankan kewenangan sisa dari

pemerintah pusat berdasarkan mekanisme

yang telah ditentukan apalah dilimpahkan,

diserahkan atau didelegasikan (Cohen dan

Paterson, 1999; Adi Suryanto dkk., 2008).

Mencermati pendapat Cohen dan Pater-

son tersebut di atas, menurut hemat kami

penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia

sudah lebih maju (advanced) dalam artian

bahwa pembagian urusan pemerintahan ti-

dak hanya berdasarkan prinsip “residu” teta-

pi justru sebaliknya.1 Pemerintah (pusat) te-

lah menyerahkan/melimpahkan urusan pe-

merintahan yang sangat besar kepada peme-

rintah daerah untuk dikelola dan dipertang-

gungjawabkan kembali kepada pemberi man-

dat, meskipun terdapat dinamika “penarikan

urusan pemerintahan” di antara level peme-

1 Pada saat pemberlakuan UU No. 22/1999 jo PP 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang sangat terbatas (kewenangan residu dari Pemerintah). Namun pada saat berlaku UU No. 32/2004 jo PP 38/2007 pemda provinsi dan pemda kabupaten/kota memiliki kewenangan yang sangat besar. Begitu pula pada saat berlakunya UU 23/2014 (belum terbit PP tentang pembagian urusan pemerinta-han), pemda provinsi dan pemda kab/kota masih memiliki kewenangan/urusan pemerintahan yang besar, meskipun terdapat dinamika “penarikan urusan pemerintahan” dari pemda kabupaten/ko-ta ke pemda provinsi.

rintahan terutama dari pemda kab/kota ke

pemda provinsi.

Sebelumnya perlu dibedakan terlebih da-

hulu pemahaman mengenai pemerintahan

daerah dan pemerintah daerah. Di dalam Un-

dang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, yang dimaksud peme-

rintahan daerah adalah penyelenggaraan

urusan pemerintahan oleh pemerintah

daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah

menurut asas otonomi dan tugas pembantu-

an dengan prinsip otonomi seluas-luasnya

dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar Negara Repu-

blik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan peme-

rintah daerah adalah kepala daerah sebagai

unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah

yang memimpin pelaksanaan urusan peme-

rintahan yang menjadi kewenangan daerah

otonom. Jadi jelas yang dimaksud dengan

pemberian kewenangan dari pemerintah pu-

sat tersebut adalah pemberian kewenangan

kepada kepala daerah dan jajarannya (admi-

nistratif) serta kepada pimpinan dan anggota

DPRD sebagai mitra kerja kepala daerah (po-

litis).

Selanjutnya, wewenang yang telah dise-

rahkan/dilimpahkan tersebut, baik melalui

pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsen-

trasi maupun tugas pembantuan (medebe-

wind), maka menjadi tanggung jawab kepala

daerah (gubernur, bupati, walikota) untuk

melaksanakan dan mempertanggungjawab-

kannya. Yang menarik adalah, menurut UU

No. 23 Tahun 2014 beberapa kewenangan

pemerintah kabupaten/kota “ditarik/dialih-

kan” ke pemerintah provinsi. Hal ini telah

mengubah peta kewenangan pemerintah da-

erah provinsi dan pemerintah daerah kabu-

paten/kota. Bagaimana peta kewenangan da-

erah menurut UU No. 23 Tahun 2014? Apa

yang membedakannya dengan peta kewena-

ngan daerah menurut UU No. 32 Tahun 2014

c.q. PP No. 38 Tahun 2007?

B. KONSEPSI KEWENANGAN

Kewenangan atau wewenang berasal dari

suatu istilah yang biasa digunakan dalam bi-

Page 56: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 135

dang hukum publik. Apabila dicermati terda-

pat perbedaan antara keduanya. Kewenang-

an adalah apa yang disebut sebagai “kekuasa-

an formal”, yaitu kekuasaan yang diberikan

oleh undang-undang atau legislatif dari keku-

asaan eksekutif atau administratif. Adapun

“wewenang” hanya mengenai suatu “onder-

deel” tertentu saja dari kewenangan (Asshid-

diqie, 2006).

Menurut Philipus M. Hadjon (2005), jabat-

an memperoleh wewenang melalui 3 (tiga)

sumber yakni atribusi, delegasi, dan mandat.

Atribusi merupakan wewenang yang melekat

pada suatu jabatan. Dalam tinjauan Hukum

Tata Negara, atribusi ditunjukkan melalui

wewenang yang dimiliki oleh organ pemerin-

tah dalam menjalankan pemerintahannya

berdasarkan kewenangan yang ditunjuk oleh

pembuat undang-undang. Kewenangan atri-

busi tersebut melekat pada kewenangan asli

atas dasar konstitusi. Kewenangan atribusi

hanya dimiliki oleh DPR, Presiden, dan DPD

dalam hal pembentukan undang-undang.

Kewenangan tidak dapat dipisahkan dari

kekuasaan (power). Dalam hirarki Weber, di-

temukan korelasi positif antara tingkat hirar-

ki jabatan dalam birokrasi dengan kekuasa-

an. Semakin tinggi lapis hirarki jabatan sese-

orang dalam birokrasi maka semakin besar

kuasanya dan semakin rendah lapisan hirar-

kinya semakin tidak berdaya (powerless). Ka-

rena korelasi ini menunjukkan bahwa peng-

gunaan kekuasaan pada hirarki atas sangat

tidak imbang dengan penggunaan kekuasaan

tingkat bawah. Dengan kata lain, sentralisasi

kekuasaan yang berada di tingkat hirarki atas

semakin memperlemah posisi pejabat hirarki

bawah dan tidak memberdayakan masyara-

kat yang berada di luar hirarki (Thoha 2003).

Berangkat dari konsep hirarki dan keku-

asaan tersebut, maka perlu ada transfer ke-

wenangan dari level atas ke level bawah guna

menghindari penumpukan kekuasaan. We-

wenang atau kewenangan adalah padanan

kata “authority” yakni “the power or right

delegated or given: the power to judge, act or

command”. Kewenangan dapat dirumuskan

sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan

yang secara asli melekat pada jabatan yang

diduduki oleh pimpinan. Otoritas adalah ke-

kuasaan yang disahkan oleh peranan formal

seseorang dalam suatu organisasi (Ibid,

2003). Dalam Ensiklopedi Administrasi (Wa-

sistiono dkk., 2009), wewenang didefinisikan

sebagai hak seorang pejabat untuk mengam-

bil tindakan yang diperlukan agar tugas dan

tanggung jawabnya dapat dilaksanakan de-

ngan baik.

Pendelegasian atau pelimpahan kewena-

ngan dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu

aspek tugas, tanggung jawab, dan wewenang.

Pada prinsipnya, pendelegasian atau pelim-

pahan sama dengan penyerahan. Jadi, pende-

legasian atau pelimpahan kewenangan berar-

ti penyerahan sebagian hak untuk mengambil

tindakan yang diperlukan agar tugas dan

tanggung jawabnya dapat dilaksanakan de-

ngan baik dari pejabat satu kepada pejabat

lainnya. Menurut Sutarto (2002), pelimpahan

kewenangan itu bukan penyerahan hak dari

atasan kepada bawahan, melainkan penyera-

han hak dari pejabat kepada pejabat. Format

pendelegasian wewenang dapat dilakukan

oleh pejabat yang berkedudukan lebih tinggi

(superior) kepada pejabat yang berkeduduk-

an rendah (subordinate) atau pejabat atasan

kepada pejabat bawahan (vertikal). Di sam-

ping itu, pelimpahan wewenang dapat pula

dilakukan di antara pejabat yang berkedudu-

kan pada jenjang yang sama antara pejabat

yang sederajat (horisontal).

Selanjutnya Wasistiono (2009), membe-

dakan kewenangan menjadi dua jenis yakni

atributif dan delegatif. Atributif adalah kewe-

nangan yang melekat dan diberikan kepada

suatu institusi atau pejabat yang berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Sedangkan

delegatif adalah kewenangan yang berasal

dari pendelegasian kewenangan dari institusi

atau pejabat yang lebih tinggi tingkatannya.

Masing-masing pejabat diberikan tugas mele-

kat sebagai bentuk tanggung jawab agar tu-

gas yang diberikan itu dapat dilaksanakan

dengan baik. Tanggung jawab merupakan ke-

harusan pada seseorang pejabat untuk me-

laksanakan secara layak segala sesuatu yang

telah dibebankan kepadanya. Tanggung ja-

wab hanya dapat dipenuhi bila pejabat yang

Page 57: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014

Suryanto

136 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

bersangkutan disertai dengan wewenang ter-

tentu dalam bidang dan tugasnya.

Agar pelimpahan kewenangan dapat efek-

tif, maka perlu memperhatikan prinsip-prin-

sip sebagaimana dikemukakan oleh Koontz

O’Donnel dan Weihrich (1980), meliputi: 1)

principle of delegation by results expected; 2)

principle of functional definition; 3) scalar

principle; 4) authority level principle; 5) prin-

ciple of unity of command; 6) principle of ab-

soluteness of responsibility; and 7) principle of

parity of authority and responsibility.

Prinsip pertama, pelimpahan berdasar-

kan hasil yang diharapkan, maksudnya ada-

lah pelimpahan diberikan berdasarkan tuju-

an dan rencana yang telah disiapkan sebe-

lumnya. Perlu atau tidaknya sebuah kewe-

nangan dilimpahkan akan tergantung pada

hasil yang diharapkan, apakah menguntung-

kan bagi pencapaian tujuan organisasi. Prin-

sip kedua, pendelegasian berdasarkan prin-

sip definisi fungsional, yang dimaksudkan

bahwa pelimpahan kewenangan hendaknya

didasarkan pertimbangan fungsional agar pe-

kerjaan atau tugas tertentu dapat dilaksana-

kan secara efektif dan efisien. Prinsip ini le-

bih menekankan pada ketepatan arah pelim-

pahan sesuai dengan fungsi penerima limpa-

han.

Prinsip ketiga, berurutan berdasarkan

hirarki jabatan. Kewenangan yang diberikan

hendaknya secara berurutan dari jabatan

tertinggi hingga jabatan terendah. Hal ini di-

maksudkan agar kewenangan-kewenangan

setiap level jabatan jelas tingkat proporsi dan

substansinya. Prinsip keempat, yaitu jen-

jang kewenangan prinsip ini mengarapkan

adanya pelimpahan secara bertahap berda-

sarkan tingkat kewenangan yang dimiliki pe-

jabat atau satu unit organisasi tertentu. Prin-

sip ini erat kaitannya dengan prinsip ketiga

dimana jenjang hirarki berimplikasi kepada

tahapan-tahapan pendelegasian wewenang,

baik dalam arti tahapan proses maupun

struktur atau tingkatan organisasi.

Prinsip kelima, yaitu kesatuan komando,

yang menekankan akan pentingnya satu ke-

satuan komando dalam pelimpahan kewena-

ngan. Dengan adanya satu komando dapat di-

hindari kesimpangsiuran ataupun tumpang

tindih kegiatan dan tanggung jawab. Apa

yang harus dilakukan dan kepada siapa harus

bertanggung jawab akan menjadi jelas arah-

nya. Prinsip keenam, mengharapkan adanya

pelimpahan kewenangan yang diimbangi de-

ngan pemberian tanggung jawab yang penuh.

Pihak yang melimpahkan tidak seharusnya

terlalu campur tangan terhadap urusan yang

sudah dilimpahkannya. Oleh karena itu, ke-

percayaan penuh dari pemberi wewenang

kepada penerima wewenang menjadi faktor

utama yang diperhatikan sehingga penerima

wewenang dapat mengambil keputusan dan

dapat mempertanggungjawabkan sepenuh-

nya kewenangan yang dimilikinya tersebut.

Prinsip ketujuh, yakni keseimbangan antara

kewenangan dan tanggung jawab, artinya

bahwa kewenangan yang dilimpahkan harus

disertai dengan tanggung jawab yang se-

imbang. Dalam hal ini proporsi pertanggung-

jawaban sesuai dengan kewenangan yang di-

berikan/dilimpahkan.

C. PETA URUSAN PEMERINTAHAN DAE-

RAH PROVINSI DAN KABUPATEN/ KO-

TA

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 ten-

tang Pemerintahan Daerah, klasifikasi urusan

pemerintahan terdiri dari 3 urusan yakni

urusan pemerintahan absolut, urusan peme-

rintahan konkuren, dan urusan pemerintah-

an umum. Urusan pemerintahan absolut ada-

lah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Uru-

san pemerintahan konkuren adalah Urusan

Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah

Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabu-

paten/kota. Urusan pemerintahan umum

adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Presiden sebagai kepala peme-

rintahan. Anatomi pembagian urusan peme-

rintahan adalah sebagai berikut:

Page 58: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 137

Bagan 1. Anatomi Pembagian Urusan Pemerintahan

Terkait kewenangan pemerintah, hal ini

secara jelas tersurat pada Pasal 10 dan Pasal

12 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerinta-

han Daerah. Kewenangan pemerintah pusat

menurut Pasal 10 Ayat (1) UU No. 23 Tahun

2014 meliputi politik luar negeri, pertahanan,

keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasio-

nal, dan agama (6 urusan). Dalam urusan pe-

merintahan yang menjadi kewenangan Pe-

merintah di luar keenam urusan tersebut, Pe-

merintah dapat menyelenggarakan sendiri

sebagian urusan pemerintahan, melimpah-

kan sebagian urusan pemerintahan kepada

Gubernur selaku wakil Pemerintah, atau me-

nugaskan sebagian urusan kepada pemerin-

tahan daerah dan/atau pemerintahan desa

berdasarkan asas tugas pembantuan.

Sementara itu, urusan pemerintahan kon-

kuren adalah Urusan Pemerintahan yang di-

bagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah

provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Pem-

bagian urusan konkuren antara pemerintah

pusat, pemerintah daerah provinsi dan pe-

merintah daerah kabupaten/kota didasarkan

pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, ekster-

nalitas dan kepentingan strategis nasional.

Akuntabilitas adalah kriteria pembagian

urusan Pemerintahan dengan memperhati-

kan pertanggungjawaban Pemerintah peme-

rintahan daerah Provinsi, dan pemerintahan

daerah kabupaten/kota dalam penyelengga-

raan urusan Pemerintahan tertentu kepada

masyarakat. Efisiensi adalah kriteria pemba-

gian urusan pemerintahan dengan memper-

hatikan daya guna tertinggi yang dapat dipe-

roleh dari penyelenggaraan suatu urusan pe-

merintahan. Eksternalitas adalah kriteria pe-

mbagian urusan pemerintahan dengan mem-

perhatikan dampak yang timbul sebagai aki-

bat dari penyelenggaraan suatu urusan pe-

merintahan. Apabila dampak yang ditimbul-

kan bersifat lokal, maka urusan pemerintah-

an tersebut menjadi kewenangan pemerinta-

han daerah kabupaten/kota.

Berdasarkan prinsip tersebut, kriteria

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewena-

ngan Pemerintah Pusat adalah: a) Urusan Pe-

merintahan yang lokasinya lintas Daerah

URUSAN

PEMERINTAHAN

DAERAH

PEMERINTAHAN

UMUM

Pelayanan Dasar

ABSOLUT KONKUREN

PILIHAN WAJIB

1. Kelautan & Perikanan

2. Pariwisata 3. Pertanian 4. Kehutanan 5. Energi dan

Sumber Daya Mineral

6. Perdagangan 7. Perindustrian 8. Transmigrasi

1. Politik Luar Negeri

2. Pertahanan 3. Keamanan 4. Yustisi 5. Moneter &

Fiskal Nasional

6. Agama

Non Pelayanan

Dasar

Sumber: UU No. 23 Tahun 2014

Page 59: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014

Suryanto

138 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

provinsi atau lintas negara, b) Urusan Peme-

rintahan yang penggunanya lintas Daerah

provinsi atau lintas negara, c) Urusan Peme-

rintahan yang manfaat atau dampak negatif-

nya lintas Daerah provinsi atau lintas negara,

d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan

sumber dayanya lebih efisien apabila dilaku-

kan oleh Pemerintah Pusat, dan/atau e) Uru-

san Pemerintahan yang peranannya strategis

bagi kepentingan nasional.

Sedangkan Urusan Pemerintahan yang

menjadi kewenangan Daerah provinsi ada-

lah: a) Urusan Pemerintahan yang lokasinya

lintas Daerah kabupaten/kota, b) Urusan Pe-

merintahan yang penggunanya lintas Daerah

kabupaten/kota, c) Urusan Pemerintahan

yang manfaat atau dampak negatifnya lintas

Daerah kabupaten/kota; dan/atau d) Urusan

Pemerintahan yang penggunaan sumber da-

yanya lebih efisien apabila dilakukan oleh

Daerah Provinsi.

Adapun Urusan Pemerintahan yang men-

jadi kewenangan Daerah kabupaten/kota

adalah: a) Urusan Pemerintahan yang lokasi-

nya dalam Daerah kabupaten/kota, b) Uru-

san Pemerintahan yang penggunanya dalam

Daerah kabupaten/kota, c) Urusan Pemerin-

tahan yang manfaat atau dampak negatifnya

hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/

atau d) Urusan Pemerintahan yang penggu-

naan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.

Sementara itu, dalam Pasal 12 disebutkan

bahwa selain urusan pemerintahan absolut

terdapat urusan pemerintahan konkuren

yang menjadi kewenangan Daerah (baca: da-

erah otonom) terdiri atas Urusan Pemerinta-

han Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.

Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas Uru-

san Pemerintahan yang berkaitan dengan Pe-

layanan Dasar dan Urusan Pemerintahan

yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Da-

sar. Urusan Pemerintahan Wajib yang berka-

itan dengan Pelayanan Dasar adalah Urusan

Pemerintahan Wajib yang sebagian substan-

sinya merupakan Pelayanan Dasar. Urusan

wajib yang berkaitan dengan pelayanan da-

sar meliputi (Pasal 12 Ayat 1): pendidikan,

kesehatan, pekerjaan umum dan penataan

ruang, perumahan rakyat dan kawasan per-

mukiman, ketenteraman, ketertiban umum,

dan pelindungan masyarakat, dan sosial (6

urusan wajib berkaitan dengan pelayanan da-

sar).

Urusan wajib yang tidak berkaitan dengan

pelayanan dasar meliputi (Pasal 12 Ayat 2):

tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan

pelindungan anak, pangan, pertanahan, ling-

kungan hidup, administrasi kependudukan

dan pencatatan sipil, pemberdayaan masya-

rakat dan Desa, pengendalian penduduk dan

keluarga berencana, perhubungan, komuni-

kasi dan informatika, koperasi, usaha kecil,

dan menengah, penanaman modal, kepemu-

daan dan olah raga, statistik, persandian, ke-

budayaan, perpustakaan; dan kearsipan (18

urusan wajib tidak berkaitan dengan pelaya-

nan dasar).

Pasal 24 UU No. 23 Tahun 2014 menjelas-

kan bahwa Kementerian dan lembaga bersa-

ma dengan pemerintah daerah melakukan

pemetaan urusan pemerintahan wajib yang

tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dan

urusan pilihan yang dipriorotaskan oleh se-

tiap Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/

kota. Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan

Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelaya-

nan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan

ditetapkan dengan peraturan menteri (yang

bersangkutan) setelah mendapatkan rekome-

ndasi dari Menteri (Mendagri).

Pemetaan urusan wajib yang tidak berka-

itan dengan pelayanan dasar dimaksudkan

untuk:

1. Untuk menentukan intensitas Urusan Pe-

merintahan Wajib yang tidak berkaitan

dengan Pelayanan Dasar berdasarkan

jumlah penduduk, besarnya APBD, dan

luas wilayah.

2. Untuk menentukan Daerah yang mempu-

nyai Urusan Pemerintahan Pilihan berda-

sarkan potensi, proyeksi penyerapan te-

naga kerja, dan pemanfaatan lahan.

3. Untuk bahan pertimbangan bagi Daerah

dalam penetapan kelembagaan, perenca-

naan, dan penganggaran dalam penyele-

nggaraan Urusan Pemerintahan yang

menjadi kewenangan Daerah.

Page 60: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 139

4. Untuk pembinaan kepada Daerah dalam

pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib

yang tidak berkaitan dengan Pelayanan

Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan

secara nasional.

Bagan 2. Pembagian Urusan Pemerintahan Wajib

Sumber: UU No. 23 Tahun 2014

Selain urusan wajib berupa pelayanan da-

sar dan non pelayanan dasar, terdapat uru-

san pemerintahan pilihan (Pasal 12 Ayat 3)

yang meliputi: kelautan dan perikanan, pari-

wisata, pertanian, kehutanan, energi dan

sumber daya mineral, perdagangan, per-

industrian, dan transmigrasi (8 urusan pili-

han). Jika dicermati lebih mendalam, sebe-

narnya tidak ada perbedaan antara substansi

urusan pilihan dalam UU 32/2004 dengan UU

23/2014 terkait yakni sama-sama memiliki 8

urusan.

Yang menarik dalam substansi UU baru

ini adalah “penegasan” mengenai urusan

pemerintahan umum. Dalam Pasal 25 UU No.

23 Tahun 2014 disebutkan bahwa urusan pe-

merintahan umum meliputi: a) pembinaan

wawasan kebangsaan dan ketahanan nasio-

nal dalam rangka memantapkan pengamalan

Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Da-

sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta per-

tahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia; b) pembinaan

persatuan dan kesatuan bangsa; c) pembina-

URUSAN WAJIB

1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. PU & Penataan Ruang 4. Perumahan Rakyat dan

Kawasan Permukiman 5. Ketenteraman, Ketertiban

Umum & Perlindungan Masyarakat

6. Sosial

NON PELAYANAN DASAR

1. Tenaga Kerja 2. Pemberdayaan Perempuan &

Perlindungan Anak 3. Pangan 4. Pertanahan 5. Lingkungan Hidup 6. Administrasi Kependudukan &

Pencatatan Sipil 7. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa 8. Pengendalian Penduduk & Keluarga

Berencana 9. Perhubungan 10. Komunikasi dan Informatika 11. Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah 12. Penanaman Modal 13. Kepemudaan & Olah Raga 14. Statistik 15. Persandian 16. Kebudayaan 17. Perpustakaan 18. Kearsipan

PELAYANAN DASAR

Page 61: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014

Suryanto

140 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

an kerukunan antarsuku dan intrastruktur,

umat beragama, ras, dan golongan lainnya

guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal,

regional, dan nasional; d) penanganan konflik

sosial sesuai ketentuan peraturan perun-

dang-undangan; e) koordinasi pelaksanaan

tugas antar instansi pemerintahan yang ada

di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabu-

paten/kota untuk menyelesaikan permasala-

han yang timbul dengan memperhatikan

prinsip demokrasi, hak asasi manusia, peme-

rataan, keadilan, keistimewaan dan kekhu-

susan, potensi serta keanekaragaman Daerah

sesuai dengan ketentuan peraturan perun-

dang-undangan; f) pengembangan kehidupan

demokrasi berdasarkan Pancasila; dan g) pe-

laksanaan semua Urusan Pemerintahan yang

bukan merupakan kewenangan Daerah dan

tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.

Hal lain yang menarik dalam kaitan de-

ngan urusan pemerintahan umum adalah

pembentukan forum komunikasi pimpinan

daerah (Forkopimda) baik di level provinsi,

kabupaten/kota maupun kecamatan. Kehadi-

ran Forkopimda dimaksudkan untuk mem-

bantu gubernur dan bupati/walikota serta

camat dalam pelaksanaan urusan pemerin-

tahan umum, dengan pembiayaan dari APBN.

D. PERBEDAAN URUSAN PEMERINTAH-

AN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM

UU NO. 32 TAHUN 2004 C.Q. PP NO. 38

TAHUN 2007 DENGAN UU NO. 23

TAHUN 2014 DAN KEMUNGKINAN HA-

MBATAN

Terdapat perbedaan yang cukup menda-

sar antara urusan pemerintahan daerah yang

tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2004 c.q.

PP No. 38 Tahun 2007 dengan kewenangan

dalam UU No. 23 Tahun 2014 antara lain:

1. Jumlah urusan pemerintahan daerah da-

lam UU No. 23/2014 lebih sedikit diban-

dingkan dengan yang terdapat dalam UU

No. 32/2014 c.q. PP No. 38/2007.

2. Dalam UU No. 23/2014, beberapa urusan

pemerintahan daerah kabupaten/kota

dialihkan ke pemerintah provinsi, seperti

urusan pemerintahan pendidikan mene-

ngah kewenangan kehutanan, dan kewe-

nangan pertambangan.

3. Perbedaan dalam hal pembagian urusan

pemerintahan wajib, pada UU No.

32/2004 tidak terdapat pembagian uru-

san wajib, namun pada UU No. 23/2014,

urusan wajib tersebut dibedakan antara

urusan wajib pelayanan dasar dan non

pelayanan dasar.

Implementasi urusan pemerintahan khu-

susnya urusan pemerintahan konkuren dan

urusan pemerintahan umum oleh satuan ker-

ja perangkat daerah (SKPD) sesuai dengan

bidang tugasnya akan ditentukan oleh ba-

nyak aspek. Salah satu aspek yang sering di-

sebut sebagai hambatan dalam implementasi

urusan pemerintahan adalah adanya kenya-

taan yang cenderung mengarah pada “tarik

ulur dan inkonsistensi” antar level pemerin-

tahan. Sebagai contoh, penarikan sebagian

urusan wajib bidang pendidikan yakni penge-

lolaan pendidikan menengah yang semula di-

tangani oleh pemda kabupaten/kota ke pem-

da provinsi, dimungkinkan akan menimbul-

kan hambatan dalam pelaksanaannya.

No. Sub Urusan Pemerintah Pemda Provinsi Pemda Kab/Kota

1. Manajemen Pendidi-kan

Penetapan standar nasi-onal pendidikan, Pengelolaan Pendidikan Tinggi

Pengelolaan pendidik-an menengah, Pengelolaan pendidik-an khusus

Pengelolaan pendidik-an dasar, Pengelolaan pendidik-an usia dini dan pendi-dikan nonformal

2. Kurikulum Penetapan kurikulum nasional pendidikan me-nengah, pendidikan da-sar, pendidikan anak usia dini dan pendidikan nonformal

Penetapan kurikulum muatan lokal, pendidi-kan menengah, dan muatan lokal; pendidi-kan khusus

Penetapan kurikulum muatan lokal pendidik-an dasar, pendidikan anak usia dini dan pen-didikan nonformal

Page 62: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 141

No. Sub Urusan Pemerintah Pemda Provinsi Pemda Kab/Kota 3. Akreditasi Akreditasi perguruan ti-

nggi, pendidikan mene-ngah, pendidikan dasar, pendidikan anak usia di-ni, dan pendidikan non-formal

-- --

4. Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Pengendalian formasi pendidik, pemindahan pendidik, dan pengem-bangan karir pendidik; Pemindahan pendidik dan tenaga kependidik-an lintas daerah provinsi

Pemindahan pendidik dan tenaga kependidi-kan lintas daerah ka-bupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi

Pemindahan pendidik dan tenaga kependidik-an dalam daerah kabu-paten/kota

5. Perizinan Pendidikan

Penerbitan izin perguru-an tinggi swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat, Penerbitan izin penye-lenggaraan satuan pen-didikan asing

Penerbitan izin pendi-dikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat, Penerbitan izin pendi-dikan khusus yang di-selenggarakan oleh masyarakat

Penerbitan izin pen-didikan dasar yang di-selenggarakan oleh ma-syarakat, Penerbitan izin pendi-dikan anak usia dini dan pendidikan non-formal yang disele-nggarakan oleh ma-syarakat

6. Bahasa dan Sastra Pembinaan bahasa dan sastra Indonesia

Pembinaan bahasa dan sastra yang penutur-nya lintas daerah ka-bupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi

Pembinaan bahasa dan sastra yang penuturnya dalam daerah kabupa-ten/kota

Sumber: Lampiran UU No. 23 Tahun 2014

Tabel 1. Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Bidang

Pendidikan Menurut UU No. 23 Tahun 2014

Dari tabel tersebut jelas bahwa pengalih-

an sebagian urusan pendidikan yaitu penge-

lolaan pendidikan menengah dari pemerin-

tah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi

telah mengurangi kewenangan pemerintah

kabupaten/kota—yang notabene merupakan

titik berat pelaksanaan otonomi daerah. Hal

ini semakin memperkuat sinyalemen terjadi-

nya pemusatan (resentralisasi) baik yang me-

ngarah ke pemerintah pusat (kementerian/

lembaga) maupun ke pemerintah di atasnya

(provinsi).

Senada dengan persoalan tersebut,

Dwiyanto (2012) mengidentifikasi setidak-

nya dua isu yang menjadi problematika pem-

bagian urusan pemerintahan. Pertama, dis-

torsi dalam pelaksanaan asas penyelengga-

raan pemerintahan daerah. Kedua, perubah-

an distribusi urusan pemerintahan dan krite-

ria pembagian urusan. Kedua permasalahan

tersebut memang merupakan respons beliau

ketika menanggapi UU No. 32 Tahun 2004

c.q. PP No. 38 tahun 2007, namun menurut

kami masih relevan untuk memberikan war-

ning terhadap pemberlakuan UU No. 23 Ta-

hun 2014.

Permasalahan yang mungkin timbul ter-

kait isu yang pertama antara lain: benturan

regulasi, pemerintah pusat mendekonsentra-

sikan urusan yang telah dilaksanakan di dae-

rah, campur tangan pemerintah provinsi ter-

hadap urusan pemerintah kabupaten/kota,

kerancuan penerapan asas dekonsentrasi

dan tugas pembantuan.

Penyelenggaraan otonomi daerah menga-

nut tiga asas yakni desentralisasi, dekonsen-

trasi dan tugas pembantuan. Artinya, dalam

penyelenggaraan pemerintahan—sebagaima-

na dijelaskan pada bagian sebelumnya—selu-

ruh urusan pemerintahan telah diserahkan

Page 63: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014

Suryanto

142 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/

kota melalui asas desentralisasi, kecuali uru-

san pemerintahan absolut. Oleh karena itu,

posisi kementerian teknis/sektoral hanya

menjadi steering (pengarah) dengan mem-

berikan norma, standar, prosedur dan krite-

ria (NSPK) terhadap urusan-urusan pemerin-

tahan yang telah diserahkan. Namun pada

masa lalu, kadang terjadi penarikan urusan

pemerintahan melalui turunan undang-un-

dang sektoral, misalnya peraturan menteri/

surat edaran menteri dan lainnya. Kondisi ini

tentu akan menyebabkan terjadinya bentu-

ran regulasi, yaitu benturan antara UU Pem-

da dengan UU Sektoral.

Kemudian, permasalahan kedua adalah

manakala pemerintah pusat—dalam hal ini

kementerian—mendekonsentrasikan urusan

yang telah dilaksanakan di daerah. Kondisi

ini ibaratnya “menjilat ludah dan meludah-

kannya kembali” karena urusan pemerintah-

an dimaksud telah diserahkan kepada daerah

dan pemerintah daerah pun telah melaksana-

kan urusan pemerintahan tersebut. Namun

pada saat bersamaan, Pemerintah mende-

konsentrasikan sebagian urusan pemerintah-

an dimaksud kepada daerah. Sebagai contoh,

urusan pemerintahan bidang pendidikan ten-

tang tunjangan profesi bukan guru tetap bu-

kan PNS yang belum memiliki jabatan fung-

sional guru. Urusan tersebut telah diserahkan

kepada pemerintah kabupaten/kota, namun

kembali di-dekon-kan kepada Gubernur sela-

ku wakil pemerintah pusat. Yang menjadi

pertanyaan adalah, hal ini terjadi apakah

karena kabupaten/kota tidak memiliki kapa-

sitas untuk melaksanakan urusan tersebut

ataukah ada alasan lainnya.

Permasalahan selanjutnya adalah terda-

pat intervensi pelaksanaan urusan pemerin-

tahan di kabupaten/kota oleh pemerintah

provinsi. Masalah ini telah menjadi perhatian

banyak pihak di masa pemberlakuan UU No.

32 Tahun 2004 jo PP No. 38 Tahun 2007 lalu,

dimana pemerintah provinsi terkadang men-

desain dan melaksanakan program dan kegi-

atan yang juga dilaksanakan oleh kabupa-

ten/kota sehingga terjadi overlapping. Kondi-

si tumpang tindih seperti ini sekaligus menu-

njukkan minimnya koordinasi antar ting-

katan pemerintahan sebagai satu kesatuan

integral yang seharusnya menjalankan fung-

sinya sebagai pengarah/fasilitator dan yang

diarahkan/pihak yang difasilitasi. Padahal,

dalam UU Pemda walaupun Pemda Provinsi

dan Pemda Kabupaten/Kota bukan merupa-

kan “garis atasan-bawahan” tetapi pemda

provinsi memiliki fungsi supervisi, koordina-

si dan fasilitasi terhadap pemda kabupaten/

kota.

Terakhir, permasalahan pada isu pertama

adalah terjadinya kerancuan pelaksanaan

asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Hal ini terjadi karena keengganan pemerin-

tah pusat (kementerian sektoral) untuk men-

distribusikan anggaran yang dimilikinya me-

lalui mekanisme dana alokasi khusus (DAK)

dibanding melalui dekon maupun tugas pem-

bantuan. Alasannya, jika pendistribusian ang-

garan melalui mekanisme DAK maka kemen-

terian sektoral akan kehilangan kewenangan-

nya dalam mengelola anggaran tersebut.

Akhirnya, untuk menghindari terjadinya ke-

hilangan kewenangan dan agar tetap dapat

tetap “cawe-cawe” (ikut serta) dalam penge-

lolaan anggaran, kementerian mendekonsen-

trasikan dan atau melakukan tugas pemban-

tuan kepada pemerintah provinsi, padahal

urusan tersebut telah didesentralisasikan ke-

pada kabupaten/kota. Contoh kasus yang sa-

ngat menonjol terjadi di Kementerian Pendi-

dikan.

Permasalahan yang mungkin timbul ter-

kait isu perubahan distribusi urusan peme-

rintahan dan kriteria pembagian urusan ada-

lah menyangkut kriteria pembagian urusan

dan mekanisme penarikan dan penambahan

urusan. Pembagian urusan pemerintahan se-

sungguhnya telah ditetapkan dengan kriteria

yang disepakati: akuntabilitas, efisiensi, eks-

ternalitas, dan kepentingan strategis nasio-

nal. Kriteria terakhir merupakan kriteria ba-

ru dalam UU No. 23 Tahun 2014. Masalahnya,

dengan pembagian urusan yang hanya dibagi

dalam matriks kewenangan pemerintah pu-

sat, provinsi, kabupaten/kota itu, bagaimana-

kah pelaksanaannya di lapangan terutama

terkait dengan penganggarannya? Sebagai

Page 64: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 143

contoh, dalam kasus pengelolaan pendidikan

menengah yang menurut UU No. 23 Tahun

2014 menjadi kewenangan pemerintah pro-

vinsi, sejauhmana peran pemda kabupaten/

kota karena keberadaan SMA/SMK/MA di

lingkup kabupaten/kota. Dampak ikutan dari

kebijakan tersebut juga terjadi pada saat pen-

daftaran siswa baru (terutama melalui sistem

online) yang sering menimbulkan berbagai

persoalan di daerah. Manajemen pendidikan

menengah oleh pemerintah provinsi sebisa

mungkin tidak mempersulit pelaksanaan

urusan pemerintahan ini di daerah.

Kedua, permasalahan pada isu perubahan

distribusi urusan ini terkait dengan penarik-

an dan penambahan urusan pemerintahan.

Kiranya sudah menjadi rahasia umum bahwa

pemerintah pusat sering melakukan tarik-

ulur urusan pemerintahan. Tentu hal ini sah-

sah saja sepanjang dilakukan secara benar

dan sesuai dengan kepentingan yang lebih

besar. Asas “kepentingan strategis nasional”

sebagaimana yang dituangkan dalam UU No.

23 Tahun 2014 mungkin dapat menjadi alat

pembenar dilakukannya kebijakan penarikan

atau penambahan kewenangan tersebut. Na-

mun, apabila penarikan dan penambahan ter-

sebut dilakukan secara sewenang-wenang

tentu akan berakibat kontraproduktif dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan. Da-

lam spektrum yang lebih luas, hambatan-ha-

mbatan di atas dapat terjadi pada berbagai

urusan pemerintahan, bukan hanya pada

urusan pemerintahan pendidikan, tetapi juga

pada urusan kesehatan, pekerjaan umum, ke-

pendudukan, dan sebagainya.

E. ANTISIPASI IMPLEMENTASI URUSAN

PEMERINTAHAN

Terlepas dari tepat atau tidaknya, terbit-

nya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.

120/253/SJ tanggal 16 Januari 2015 tentang

Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan me-

rupakan salah satu antisipasi terhadap keva-

kuman penyelenggaraan otonomi daerah ka-

rena UU No. 23 Tahun 2014 belum disertai

dengan peraturan pelaksanaannya. Dalam SE

No. 120/253/SJ tersebut dijelaskan hal-hal

sebagai berikut:

1. Pada Pasal 404 UU No. 23 Tahun 2014

menyatakan bahwa serah terima person-

el, pendanaan, sarana dan prasarana, ser-

ta dokumen (P3D) sebagai akibat pemba-

gian urusan pemerintahan antara Peme-

rintah, Daerah Provinsi, dan Kabupaten/

Kota yang diatur berdasarkan UU ini di-

lakukan paling lama 2 (dua) tahun ter-

hitung sejak UU ini diundangkan. Untuk

menghindarkan terjadinya stagnasi pe-

nyelenggaraan pemerintahan daerah

yang berakibat terhentinya pelayanan

kepada masyarakat, maka penyelengga-

raan urusan pemerintahan konkuren

yang bersifat pelayanan kepada masya-

rakat luas dan masif, yang pelaksana-

annya tidak dapat ditunda dan tidak

dapat dilaksanakan tanpa dukungan P3D,

tetap dilaksanakan oleh tingkatan/susu-

nan pemerintahan yang saat ini menyele-

nggarakan urusan pemerintahan konku-

ren tersebut sampai dengan diserahkan-

nya P3D. Adapun urusan konkuren terse-

but meliputi: pengelolaan pendidikan

menengah, pengelolaan terminal penum-

pang tipe A dan tipe B, pelaksanaan reha-

bilitasi di luar kawasan hutan negara,

pelaksanaan perlindungan hutan lindung

dan hutan produksi, pemberdayaan ma-

syarakat di bidang kehutanan, pelaksana-

an penyuluhan kehutanan provinsi, pe-

laksanaan metrologi legal berupa tera,

tera ulang dan pengawasan, pengelolaan

tenaga pengawas ketenagakerjaan, pe-

nyelenggaraan penyuluhan perikanan

nasional, dan penyediaan dana untuk ke-

lompok masyarakat tidak mampu; pem-

bangunan sarana penyediaan tenaga lis-

trik belum berkembang daerah terpencil

dan perdesaan.

2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan

konkuren di luar urusan pada angka 1 di-

laksanakan oleh susunan/tingkatan pe-

merintahan sesuai pembagian urusan pe-

merintahan sebagaimana terdapat dalam

UU No. 23 Tahun 2014.

3. Khusus penyelenggaraan perizinan da-

lam bentuk pemberian atau pencabutan

izin dilaksanakan oleh susunan/tingkat-

an pemerintahan sesuai pembagian urus-

Page 65: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014

Suryanto

144 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

an pemerintahan sebagaimana terdapat

dalam UU No. 23 Tahun 2014 dengan

mengutamakan kecepatan dan kemudah-

an proses pelayanan perizinan serta

mempertimbangkan proses dan tahapan

yang sudah dilalui.

4. Penataan/perubahan perangkat daerah

untuk melaksanakan urusan pemerinta-

han konkuren hanya dapat dilakukan se-

telah ditetapkannya hasil pemetaan uru-

san pemerintahan sebagaimana dimak-

sud dalam UU No. 23 Tahun 2014.

5. Urusan pemerintahan umum sebagaima-

na dimaksud dalam Pasal 25 UU No. 23

Tahun 2014 dilaksanakan oleh Badan/

Kantor Kesbangpol dan/atau Biro/Bagi-

an pada sekretariat daerah yang membi-

dangi pemerintahan sebelum terbentuk-

nya instansi vertikal yang membantu gu-

bernur dan bupati/walikota untuk me-

laksanakan urusan pemerintahan umum

tersebut.

6. Pelaksanaan tugas dan wewenang Gu-

bernur selaku Wakil Pemerintah Pusat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91

UU No. 23 Tahun 2014 dibantu SKPD

provinsi sampai dengan dibentuknya pe-

rangkat gubernur sebagai Wakil Peme-

rintah Pusat.

7. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di

atas, Gubernur, Bupati, dan Walikota di-

minta: a) Menyelesaikan secara seksama

inventarisasi P3D antar susunan peme-

rintahan sebagai akibat pengalihan uru-

san pemerintahan konkuren paling lam-

bat tanggal 31 Maret 2016 dan serah te-

rima personel, sarana dan prasarana,

serta dokumen (P2D) paling lambat tang-

gal 2 Oktober 2014, b) Gubernur, Bupati/

Walikota segera berkoordinasi terkait

dengan pengalihan urusan pemerintahan

konkuren, c) Melakukan koordinasi de-

ngan kementerian/lembaga terkait yang

membidangi masing-masing urusan pe-

merintahan dan dapat difasilitasi oleh

Kemendagri, d) Melakukan koordinasi

dengan pimpinan DPRD masing-masing,

dan e) Melaporkan pelaksanaan Surat

Edaran ini kepada Menteri Dalam Negeri

pada kesempatan pertama.

Bagaimanapun, terbitnya surat edaran ini

setidaknya dapat menjadi “guidance” bagi

pemerintah daerah dalam mengimplementa-

sikan urusan pemerintahan yang menjadi ke-

wenangannya. Sebagaimana diketahui bersa-

ma, beberapa bagian urusan pemerintahan

telah mengalami perubahan atau pergeseran

dari sebelumnya. Sebagai contoh, manajemen

pendidikan menengah yang semula menjadi

kewenangan kabupaten/kota kemudian dige-

ser/dipindahkan kepada pemerintah provin-

si. Pergeseran pengelolaan pendidikan mene-

ngah dari pemerintah daerah kabupaten/ko-

ta ke pemerintah daerah provinsi tentunya

tidak sesederhana yang dibayangkan. Oleh

karena, implementasi pengelolaan urusan pe-

ndidikan khususnya urusan manajemen pe-

ndidikan menengah perlu dibimbing dengan

regulasi yang lebih sesuai.

Memang disadari bahwa kebiasaan menu-

nggu petunjuk pelaksanaan dari pemerintah

pusat sebenarnya dapat dikatakan ‘kurang

baik’, namun dalam konteks pelaksanaan

urusan pemerintahan kiranya keberadaan

peraturan pelaksana tersebut masih tetap

relevan. Untuk itu, Pemerintah sebaiknya

segera mengambil langkah-langkah akselera-

si (percepatan) untuk menerbitkan Peratu-

ran Pemerintah (PP)2 atau peraturan pelak-

sana yang lebih tinggi dari SE sebagai payung

hukum SE Mendagri No. 120 Tahun 2015 dan

sekaligus sebagai pengganti PP tentang pem-

bagian urusan pemerintahan. Pembahasan

perubahan PP tadi sedapat mungkin dilaksa-

nakan dengan mengikutsertakan segenap

stakeholders di antaranya K/L, pemda pro-

vinsi, pemda kabupaten/kota, dan para pakar

atau pemerhati kepemerintahan daerah.

Selain itu, antisipasi yang dapat dilakukan

adalah menerbitkan peraturan presiden (PP)

sesuai amanat Pasal 15 Ayat (2) UU No. 23

Tahun 2014: Urusan pemerintahan konkuren

2 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan umum akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pertanyaan kritisnya ada-lah bagaimana dengan urusan wajib dan pilihan, apakah cukup berpegang pada lampiran UU No. 23/2014 ataukah harus menunggu lahirnya PP pengganti PP No. 38/2007?

Page 66: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 145

yang tidak tercantum dalam Lampiran Un-

dang-Undang ini menjadi kewenangan tiap

tingkatan atau susunan pemerintahan yang

penentuannya menggunakan prinsip dan kri-

teria pembagian urusan pemerintahan kon-

kuren; dan Ayat (3): Urusan pemerintahan

konkuren sebagaimana dimaksud pada Ayat

(2) ditetapkan dengan peraturan presiden.

F. PENUTUP

Produk perundangan silih berganti hadir

di tengah carut-marutnya kehidupan masya-

rakat, berbangsa dan bernegara. Tujuannya

tidak lain untuk memberikan jaminan dan

kepastian, jaminan akan masa depan yang

lebih baik dari sebelumnya. Namun ada

kalanya, peraturan perundangan yang hadir

justru telah memiliki ‘cacat bawaan’ atau

paling tidak potensi yang mengarah kepada

kondisi ‘cacat kinerja’. Menurut penulis,

hadirnya UU No. 23 Tahun 2014 merupakan

obat untuk menyembuhkan penyakit yang

disebabkan pemberlakuan UU sebelumnya.

Oleh karenanya, penulis mencoba mengela-

borasi permasalahan-permasalahan yang

mungkin timbul dalam implementasinya ke-

lak.

Dengan mengikuti alur berpikir Dwiyanto

(2012), penulis telah mengidentifikasi bebe-

rapa problematika dalam pelaksanaan uru-

san pemerintahan yang tertuang dalam UU

No. 23 Tahun 2014, di antaranya: Pertama,

permasalahan yang berasal dari isu distorsi

penyelenggaraan urusan pemerintahan dae-

rah dan, kedua, isu perubahan distribusi uru-

san pemerintahan dan kriteria pembagian

urusan pemerintahan. Dalam konteks pem-

berlakuan UU No. 23 Tahun 2014, upaya un-

tuk menelisik kemungkinan munculnya per-

masalahan-permasalahan turunannya masih

tetap relevan dan layak menjadi perhatian

semua pihak guna menyusun antisipasi pe-

nanggulangannya.

Beberapa langkah antisipasi yang perlu

ditempuh antara lain: Pertama, Kementerian

Dalam Negeri dan stakeholders terkait diha-

rapkan segera menerbitkan peraturan per-

undang-undangan yang diamanatkan dalam

UU No. 23/2014, yakni peraturan pemerintah

(PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Per-

soalannya apakah perlu dilakukan penyem-

purnaan/revisi PP No. 38 Tahun 2007 ten-

tang Pembagian Urusan Pemerintahan guna

mempertegas pembagian yang sudah tertu-

ang dalam lampiran UU No. 23/2014? Hal ini

menjadi menarik, mengingat pemikiran un-

tuk merevisi PP No. 38/2007 sebenarnya

bertentangan dengan UU No. 23/2014 karena

amanat untuk menerbitkan PP hanya dituju-

kan pada ketentuan pelaksanaan urusan pe-

merintahan umum (Pasal 25 Ayat 7) dan pe-

rubahan terhadap pembagian urusan peme-

rintahan konkuren antara Pemerintah Pusat

dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/

kota yang tercantum dalam lampiran UU No.

23/2014 (Pasal 15 Ayat 4).

Kedua, penataan kembali hubungan an-

tarlevel pemerintahan, termasuk hubungan

pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam

implementasi urusan pemerintahan yang le-

bih baik di masa mendatang.

G. DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus, Pembagian Urusan Peme-

rintahan: Problematika dan Rekomen-

dasi Kebijakan, DSF: 2012

Nurcholis, Hanif, 2005, Teori dan Praktik Pe-

merintahan dan Otonomi Daerah, Gra-

sindo: Jakarta

Suryanto, Adi dkk., 2008, Manajemen Peme-

rintahan Daerah, LAN: Jakarta

Wasistiono, 2009, Perkembangan Organisasi

Kecamatan dari Masa Ke Masa, Fokus

Media: Bandung

Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Da-

ya Aparatur, 2015, Policy Paper: Desa-

in Organisasi Pemerintah Desa Prog-

resif Kontekstual-Menata Struktur Pe-

rangkat Desa Berdasarkan Karakteris-

tik Kewenangannya Pasca UU No. 6

Tahun 2014.

Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara,

2013, Kedudukan dan Kewenangan

Pejabat Publik Menurut Perspektif

HAN, LAN: Jakarta

Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, 2004,

Sistem Manajemen Kinerja Otonomi

Daerah, LAN: Jakarta

Page 67: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014

Suryanto

146 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ten-

tang Desa

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ten-

tang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

2014 tentang Peraturan Pelaksanaan

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

Peraturan Menteri Desa, PDT, dan Transmi-

grasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Pedoman Kewenangan Berdasarkan

Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal

Berskala Desa

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-

content/uploads/2015/04/SOSIALIS

ASI-UU-NO-23-tAHUN-2014-

KEBUDAYAAN-DIR-UPD-II1.pdf

https://plus.google.com/+VianMolo/posts/

hoGUtZBRMLj tentang Efektivitas Pe-

limpahan Wewenang Walikota/Bupati

kepada Camat dalam Penyelenggara-

an Otonomi Daerah di tingkat Keca-

matan.

Page 68: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 147

Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa

Aristocrats and Traditional Institutions as Intermediary Actors in Sumbawa

Yogi Setya Permana

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Abstrak Pasca desentralisasi, dalam perpolitikan lokal di Indonesia berkembang fenomena baru, yaitu pengu-atan identitas lokal. Salah satu contoh menguatnya identitas lokal adalah bangkitnya lembaga adat seperti kerajaan dan lembaga adat lainnya. Pada saat yang sama, desentralisasi juga meningkatkan kehadiran aparatur negara, terutama di pulau-pulau terluar Indonesia. Birokrasi merepresentasikan kekuasaan negara pun mendominasi kepemimpinan politik di daerah-daerah tersebut. Kabupaten Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah contoh daerah pulau terluar yang me-ngalami peningkatan masif keberadaan aparatur negara dan kebangkitan identitas lokal pada saat yang bersamaan. Birokrat di sana mendominasi kepemimpinan formal maupun informal. Sementara itu, kelompok bangsawan lokal membangkitkan semangat kerajaan dengan merevitalisasi Lembaga Adat Tana Samawa (LATS). Dalam dokumen resminya, LATS dimaksudkan sebagai aktor penengah yang memediasi antara pemerintah daerah dan masyarakat. Oleh sebab itu, muncul pertanyaan apa-kah kehadiran LATS dengan modal simboliknya mampu memperkuat demokrasi lokal di Sumbawa sebagai penyeimbang kepemimpinan politik yang selama ini dimonopoli oleh birokrat. Artikel ini akan mengelaborasi sejauh mana kehadiran LATS di Sumbawa dapat memperkuat demo-krasi lokal di tengah derasnya pertumbuhan aparatur negara.

Kata kunci: Bangsawan, Lembaga Adat Tana Samawa, Birokrat, Aktor Penengah, Desentralisasi

Abstract

After decentralization been applied, local politics in Indonesia is marked by the emergence of new

phenomena such as the strengthening of local identity. The example of strengthening the local

identity is the revival of traditional institutions such as the monarchy and adat institutions. At the

same time, decentralization condition to the expansion of the state apparatus especially in the outer

islands. State authorities that represented by the bureaucracy dominate the political leadership in

these areas.

Sumbawa District in West Nusa Tenggara Province is an example of an area in the outer island that is

experiencing a massive expansion of the state apparatus and the revival of local identities at the same

time. The bureaucrat apparatus dominates formal and informal leadership in the region. Meanwhile,

the Sumbawa aristocrats evoke the romance of the monarchy with revitalizing Lembaga Adat Tana

Samawa (LATS). In the official documents, it is noted that LATS is intended to be as intermediary

actors that mediate between local governments and society. Therefore, it raises a question namely is

the presence of LATS with the symbolic capital can strengthen local democracy in Sumbawa as balan-

cing political leadership that monopolized by bureaucrats?

This essay will elaborate to what extent the presence of Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) in

Sumbawa can strengthen local democracy in the midst of a massive expansion of the state apparatus.

Key words: Aristocrats, Lembaga Adat Tana Samawa, Bureaucrats, Intermediary Actors, Decen-

tralization.

Page 69: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa

Yogi Setya Permana

148 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Gambar 1. Peta Kabupaten Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat

A. PENGANTAR

Setelah kebijakan desentralisasi diaplika-

sikan, politik lokal di Indonesia ditandai oleh

kemunculan berbagai fenomena baru salah

satunya adalah penguatan identitas lokal.

Fenomena penguatan identitas lokal ini bisa

dilihat melalui kebangkitan kembali lembaga-

lembaga tradisional seperti aristokrasi dan

lembaga adat. Aristokrasi yang dimaksudkan

ialah sistem kesultanan atau kerajaan yang

dijalankan oleh para bangsawannya. Pada

saat yang sama, desentralisasi mengkondisi-

kan terjadinya perluasan dominasi negara

(state apparatus expansion) di level kabupa-

ten/kota. Otoritas negara yang direpresenta-

sikan oleh birokrasi atau pemerintah daerah

menjadi kekuatan yang dominan dalam poli-

tik dan kepemimpinan di daerah-daerah. Bi-

rokrasi menjadi begitu kuat terutama di dae-

rah-daerah yang sumber daya ekonominya

menggantungkan pada anggaran daerah

(APBD) dan dana alokasi dari pemerintah

pusat. Tidak adanya entitas kelompok masya-

rakat sipil dan para aktor-aktor penengah

(intermediary actors) yang mampu mengim-

bangi dominasi birokrasi di daerah membuat

pelembagaan demokrasi lokal terhambat.

Kabupaten Sumbawa yang berada di Pro-

vinsi Nusa Tenggara Barat merupakan se-

buah contoh tentang daerah di pulau terluar

yang mengalami perluasan dominasi negara

(state apparatus expansion) secara masif se-

kaligus kebangkitan kembali identitas lokal

secara bersamaan. Para birokrat daerah men-

dominasi baik kepemimpinan formal maupun

informal di kabupaten tersebut. Sementara

itu, para aristokrat Sumbawa membangkit-

kan romantisme sejarah dengan merevitali-

sasi Kesultanan Sumbawa melalui Lembaga

Adat Tana Samawa (LATS). Di dalam doku-

men resminya, para pendiri LATS bertujuan

untuk menempatkan lembaga tersebut seba-

gai aktor yang mampu menjembatani antara

pemerintah daerah dan masyarakat di Sum-

bawa. Dengan demikian, hal ini memuncul-

kan pertanyaan lebih jauh yakni apakah

LATS, sebagai sebuah aktor intermediari,

mampu memperkuat demokrasi lokal di

Sumbawa?

Saya berargumen bahwa LATS tidak

mampu untuk berfungsi sebagai aktor inter-

mediari yang baik karena ada dua faktor yang

berpengaruh. Pertama, ada persoalan kelem-

bagaan yang membuat kinerja LATS tidak

responsif dan efektif; Kedua, adanya kepen-

tingan ekonomi dan politik yang mengakibat-

kan LATS tidak melakukan pembelaan terha-

dap kelompok yang terpinggirkan. Artikel ini

akan mengelaborasi sejauh mana kehadiran

Page 70: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 149

Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) mampu

menjalankan perannya sebagai aktor-aktor

penengah dalam rangka memperkuat demo-

krasi lokal di Sumbawa. Struktur dari artikel

ini terdiri dari (i) pengantar (ii) ulasan teore-

tis (iii) latar belakang sejarah dan politik

Sumbawa (iv) elaborasi LATS sebagai aktor

penengah (intermediary actor) (v) kesimpul-

an.

B. ULASAN TEORI

Saat ini kita bisa menemukan banyak lite-

ratur akademis tentang politik Indonesia

yang mendiskusikan fenomena penguatan

identitas lokal terutama setelah berakhirnya

rezim Orde Baru dan dimulainya sistem de-

sentralisasi (Mietzner dalam Hill, 2014:

Schulte Nordholt dalam Harris, Stokke,

Tornquist, 2005; Davidson dan Henley (ed),

2007). Sentimen kebangkitan kembali identi-

tas lokal merupakan konsekuensi dari mana-

jemen nation-building pada masa rezim Orde

Baru yang menerapkan kebijakan sentralisasi

secara ketat (Mietzner dalam Hill, 2014).

Suharto mengontrol beragam kelompok etnis

dan budaya di Indonesia secara represif

dengan menggunakan retorika persatuan dan

kesatuan. Birokrasi, Golkar, dan militer me-

rupakan lembaga yang menjadi alat politik

bagi Rezim Orde Baru untuk memastikan

kontrol yang efektif dan dominasinya di selu-

ruh wilayah Indonesia. Para birokrat senior

dan petinggi militer dari Jawa dikirim ke ber-

bagai tempat di Indonesia untuk menjadi

kepala daerah terutama di daerah-daerah pu-

lau terluar.

Bentuk dari penguatan identitas lokal

adalah kebangkitan kembali simbol-simbol

otoritas pra-republik (Van Klinken dalam Da-

vidson dan Henley, 2007). Desentralisasi me-

ndorong terjadinya revivalisme identitas, bu-

daya, adat, dan aristokrasi dalam dinamika

politik lokal. Kebangkitan ini merefleksikan

suatu sentimen primordial yang khas dima-

na keterikatan dengan tanah, komunitas, dan

adat-istiadat merupakan referensi pilihan po-

litik utama yang mengalahkan logika-logika

keterikatan lainnnya seperti negara bangsa,

kelas, dan hukum negara (Henley, Davidson,

Moniaga (Eds) dalam Pendahuluan, 2010, hal.

50). Revivalisme sentimen primordial ini

disebabkan pula oleh kebutuhan akan tertib

politik baru yang belum bisa disediakan de-

ngan baik oleh aturan dan sistem politik mo-

dern. Ketidakadilan sosial, lemahnya hukum,

dan tindak kekerasan yang sering terjadi me-

mbuat masyarakat di banyak daerah mencari

solusi alternatif dimana tradisi dan adat-isti-

adat adalah jawaban sementara (Henley, Da-

vidson, Moniaga (Eds) dalam Pendahuluan,

2010, hal. 18).

Para sultan mencoba eksis kembali dalam

peta politik lokal dengan menghadirkan gam-

baran bukan sebagai diktator yang menung-

gangi feodalisme akan tetapi lebih sebagai

representasi adat, identitas, komunitas lokal,

milik bersama (common good), serta mena-

warkan rasa aman. Orde Baru dengan para-

digma pertumbuhan ekonomi dan develop-

mentalismenya telah mengasingkan masya-

rakat di akar rumput Indonesia. Naik-tu-

runnya dinamika politik pasca 1998 juga me-

rongrong rasa aman di benak warga. Etnisi-

tas, indigenitas, adat, dan dongeng-dongeng

tentang keraton merupakan jalan pulangnya

mereka dari alienasi karena menawarkan ke-

akraban akan nilai dan ikatan lama yang

telah (di)hilang(kan) (Van Klinken dalam Da-

vidson, Henley, Moniaga (eds) 2010, hal.

169). Para sultan memiliki peranan simbolik

yang bisa dimanfaatkannya sendiri untuk

meraih jabatan publik atau untuk mendu-

kung kepemimpinan politik lokal tertentu.

Peranan ini kerap bersinggungan dengan ke-

kuasaan birokrasi dan kontrol atas tanah.

Peranan simbolik sultan juga merupakan per-

taruhan dalam perlawanannya terhadap mo-

dernitas yang menggerus rasa hormat ma-

syarakat terhadap institusi kerajaannya (Van

Klinken dalam Davidson, Henley, Moniaga

(eds) 2010). Gerry Van Klinken (dalam Da-

vidson, Henley, Moniaga (eds) 2010, hal. 169)

mencatat bahwa terdapat lusinan aristokrasi

yang pamornya meningkat atau mulai dike-

nal kembali oleh publik seperti Keraton Kase-

puhan di Cirebon. Ada juga beberapa keraja-

an di Borneo dan Maluku Utara yang bangkit

kembali untuk muncul di dalam masyarakat.

Terakhir, ada enam aristokrasi yang sedang

Page 71: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa

Yogi Setya Permana

150 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

mengalami penggalian kembali peninggalan

kerajaan seperti Kesultanan Jailolo.

Studi Ari Dwipayana yang membanding-

kan aristokrasi di dua kota (Gianyar dan Su-

rakarta) pasca Orde Baru menangkap kesan

yang kurang lebih sama dengan kesimpulan

Van Klinken bahwa ada kebangkitan kembali

atau minimal daya survivalitas kelompok

aristokrasi dalam sistem politik yang baru

lewat berbagai strategi. Strategi survivalitas

dari aristokrasi di dua kota tersebut adalah

berayun dari politik akomodatif ke konfron-

tatif atau sebaliknya tergantung dari kekua-

tan dari luar. Apabila kekuatan dari luar atau

daya desak eksternal itu sangat kuat maka

kelompok aristokrat akan mengambil jalan

politik akomodatif namun jika kekuatan dari

luar yang mendesak perubahan itu berada

dalam kekuatan yang seimbang maka ayunan

akan mengarah ke politik konfrontatif (Dwi-

payana, 2004. hal. 158).

Selain tentang penguatan identitas, desen-

tralisasi juga mengondisikan terjadinya pene-

trasi negara secara masif di daerah. Desen-

tralisasi memperkuat kehadiran negara (pu-

sat) di daerah-daerah (Mietzner dalam Hill,

2014: 47). Hal ini tentunya berlawanan de-

ngan asumsi umum yang diterima tentang

desentralisasi dimana desentralisasi mem-

perlemah negara. Pengertian dari desentra-

lisasi adalah pemerintah pusat mendelegasi-

kan sebagian kewenangan atau otoritas kepa-

da pemerintah daerah namun tidak serta-

merta negara menjadi lemah (Mietzner da-

lam Hill (ed), 2014: 57). Kehadiran negara

melalui lembaga birokrasinya menjadi se-

makin bertambah signifikan di daerah-dae-

rah terluar Indonesia yang bahkan pada masa

pemerintahan Orde Baru belum begitu ter-

sentuh. Penyebab utamanya adalah karena

kebijakan pemekaran daerah yang membuat

negara semakin dekat kepada publik. Repre-

sentasi utama kehadiran negara di daerah-

daerah saat ini bukanlah militer seperti yang

terjadi pada masa lalu melainkan birokrasi si-

pil (Mietzner dalam Hill (ed), 2014: 58).

Birokrasi yang kuat di dalam politik lokal

bisa terlihat pada masa-masa awal setelah

transisi 1998 dimana mayoritas dari kepala

daerah memiliki latar belakang sebagai biro-

krat (Aspinall dan Fealy dalam Malley, 2003).

Setelah reformasi 1998, birokrat di daerah

adalah elite lokal yang dibesarkan oleh rezim

Orde Baru. Mereka mampu untuk beradapta-

si dengan sistem politik yang baru sehingga

mampu mempertahankan keberlangsungan

dominasi kekuasaannya. Setelah diberlaku-

kannya kebijakan pemilihan kepala daerah

secara langsung pada tahun 2005, birokrat

mampu untuk mempertahankan dominasi-

nya di banyak daerah. Tercatat bahwa 36

persen dari para kandidat yang maju dalam

50 pilkada yang dipilih dalam survey, memi-

liki latar belakang birokrasi. Posisi kedua ter-

banyak ditempati oleh pengusaha sebanyak

28 persen dan diikuti oleh politisi atau ang-

gota DPR baik pusat maupun daerah seba-

nyak 22 persen (Mietzner, 2014). Hal ini me-

nunjukkan walaupun rezim politik berubah,

para elite lama masih bisa bertahan. Mereka

mampu beradaptasi dengan sistem politik

yang berubah.

Bertahannya elite lama menggambarkan

betapa dominasi elite bisnis-politik pada ma-

sa Orde Baru masih terjaga. Walaupun Suhar-

to sudah jatuh dari kekuasaan, dominasi elite

oligarki tidak terputus (Robison dan hadiz,

2004). Oligarki masih mampu bertahan di te-

ngah tekanan reformasi tata kelola pemerin-

tahan yang didorong oleh berbagai lembaga

donor dan lembaga keuangan internasional

(Robison dan Hadiz, 2013). Kesuksesan oli-

garki untuk mampu bertahan karena mereka

masih mampu merawat jaringan yang ada di

institusi negara maupun di sektor ekonomi.

Para predator politik yang memiliki afiliasi

secara langsung maupun tidak langsung de-

ngan oligarki nasional kemudian membajak

agenda-agenda desentralisasi (Hadiz, 2010).

Sirkulasi kekuasaan pada level lokal terbatas

pada kelompok oligarki yang mampu bera-

daptasi secara tepat. Kelompok oligarki ini

beraliansi dengan para multi level kapitalis di

tingkat lokal, nasional, dan internasional un-

tuk mendominasi sumber daya politik dan

ekonomi di daerah-daerah (Hadiz, 2010).

Dengan demikian, dalam rangka merawat

advokasi terhadap kepentingan publik dan

Page 72: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 151

pendalaman demokrasi, peran dari para ak-

tor intermediari bisa diharapkan. Konsep

tentang aktor-aktor intermediari ini merujuk

pada konsep yang diajukan oleh Olle Torn-

quist (2009) di dalam bukunya yang berjudul

“Rethinking Popular Representation”. Aktor-

aktor intermediari merupakan aktor perse-

orangan atau lembaga yang mampu bertin-

dak sebagai mediator antara publik dengan

urusan publik. Maksud dari urusan publik ia-

lah kepentingan bersama yang harus dikon-

trol oleh orang banyak seperti yang berkaitan

dengan kebutuhan dasar, akuntabilitas, dan

common goods. Lebih jauh lagi, urusan publik

bisa dicontohkan dengan pelayanan keseha-

tan yang terjangkau, biaya pendidikan yang

murah namun bermutu, atau pemenuhan ra-

sa aman dari instrumen koersif negara yang

profesional.

Ada tiga jenis mediasi (Tornquist, Web-

ster, and Stokke, 2009). Jenis yang pertama

adalah melalui masyarakat sipil seperti NGO,

kelompok-kelompok asosiasi, dan diskursus

publik. Masyarakat sipil dalam hal ini didefi-

nisikan bukan yang terisolasi hanya di level

akar rumput namun juga mampu berfungsi

sebagai mediator yang bernegosiasi dengan

entitas-entitas politik lain. Jenis kedua adalah

melalui masyarakat politik yakni partai seba-

gai aktor utama. Jenis ketiga adalah tokoh-to-

koh informal atau kelompok yang utamanya

berdasarkan hubungan kekerabatan, agama,

dan etnisitas.

C. ARISTOKRAT DAN POLITIK DI KABU-

PATEN SUMBAWA

Pada bagian ini saya akan menjelaskan

peran dari para aristokrat Sumbawa di dalam

politik. Hal ini penting karena dengan menge-

laborasi latar belakang sejarah Aristokrasi

Sumbawa, kita akan memahami konteks ke-

munculan Lembaga Adat Tana Samawa

(LATS) dan kebangkitan kembali Kesultanan

Sumbawa. Fenomena kemunculan LATS me-

rupakan konsekuensi dari sejarah politik di

Sumbawa. Pemahaman LATS sebagai aktor

antara pun akan didapatkan secara kompre-

hensif.

Pada masa kolonial, Belanda menjalin ali-

ansi dengan elit aristokrat dalam rangka

menjalankan pemerintahan tidak langsung

atau indirect rule. Setelah Indonesia merdeka,

para aristokrat bersaing dengan aktor-aktor

politik lainnya untuk mempertahankan posisi

kekuasaan. Aristokrasi, terutama di pulau-

pulau terluar, bekerja sama dengan para bi-

rokrat dari Jawa untuk mempertahankan po-

sisi politiknya dari lawan-lawan politik pada

tahun 1950-an. Para birokrat kiriman dari Ja-

wa tersebut mendapatkan keuntungan dari

aliansi yang terjalin dengan para aristokrat

dalam menghadapi musuh bersama yakni

partai Islam dan kelompok kiri.

Akan tetapi, situasi di Sumbawa menun-

jukkan kondisi yang berbeda. Tidak ada kon-

flik besar yang terjadi terkait dengan segre-

gasi politik yang umum terjadi pada tahun

1950 – 1960-an. Situasi di Sumbawa cukup

berbeda dengan yang terjadi di Jawa maupun

daerah-daerah lainnya di Provinsi Nusa

Tenggara Barat seperti Bima dan Lombok.

Kesultanan Sumbawa dengan kekuatan-ke-

kuatan politik lainnya relatif mampu men-

jaga perdamaian bersama. Kelompok-kelom-

pok Islam reformis seperti Muhammadiyah

dan PSII merupakan pendukung Kesultanan

Sumbawa. Dengan kemampuannya untuk

merangkul kelompok-kelompok Islam, Aris-

tokrat Sumbawa bisa mempertahankan ka-

risma dan otoritasnya di dalam masyarakat.

Aristokrat Sumbawa mulai kehilangan ek-

sistensinya sejak penghapusan status kesul-

tanan dan penetapan Sumbawa sebagai wila-

yah Swatantra II atau sederajat dengan kabu-

paten pada akhir tahun 1950-an. Kemerosot-

an eksistensi aristorkat Sumbawa ini berlan-

jut hingga masa Orde Baru dimana tidak ada

lagi aristokrat yang menjadi bupati di Sumba-

wa. Bupati terakhir yang berlatar belakang

aristokrat adalah Sultan Mohammad Kaha-

ruddin III yang menjabat pada tahun 1959

sebelum digantikan oleh Madilau ADT pada

tahun 1960. Madilau ADT merupakan biro-

krat karir yang menjadi bupati Sumbawa

dalam kurun waktu cukup lama yakni 1960 –

1965 dan 1979 – 1989.

Page 73: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa

Yogi Setya Permana

152 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Terbentuknya Rezim Orde Baru menandai

pula akan mundurnya kekuasaan Aristokrat

Sumbawa. Militer mendominasi politik di

tingkat lokal maupun nasional pada masa Or-

de Baru. Kandidat yang akan menjadi bupati

sudah ditentukan oleh Pemerintah Pusat me-

lalui Menteri Dalam Negeri. Para aristokrat

Sumbawa kemudian mencoba untuk berga-

bung ke Golkar dengan harapan mampu tera-

komodasi dalam kekuasaan. Akan tetapi, ha-

rapan para arsitokrat tersebut tidak bisa ter-

wujud. Mereka masih terpinggirkan dalam

kepemimpinan politik di Kabupaten Sumba-

wa.

Semua bupati yang pernah menjabat di

Sumbawa memiiki latar belakang sebagai bi-

rokrat atau anggota militer. Tidak ada satu-

pun bupati yang berlatar belakang aristokrat.

Hasan Usman (1967 – 1979) adalah seorang

birokrat karir yang berasal dari keluarga pe-

tani biasa. Jakob Koswara (1989 – 1999) me-

rupakan seorang perwira militer yang bera-

sal dari Jawa Barat. Sebelum menjadi bupati,

Ia adalah seorang komandan militer yang

bertempat di Mataram, ibukota Provinsi Nusa

Tenggara Barat. Ia ditugaskan oleh pemerin-

tah pusat sebagai bupati di Sumbawa (wa-

wancara dengan Arassy Muhkan, 9 Juni,

2012). Situasi yang terjadi di Kabupaten

Sumbawa tersebut menggambarkan hubung-

an pusat-daerah yang diciptakan oleh Rezim

Orde Baru. Pemerintah pusat mengontrol se-

cara ketat kepemimpinan politik di tingkat

lokal. Marcus Mietzner (dalam Hill (ed),

2014: 58) mencatat bahwa 73 persen dari

seluruh provinsi di luar Jawa pada periode

tahun 1965 – 1998 dijabat oleh gubernur

yang berasal dari Jawa atau Sunda. Selain itu,

20 dari 26 provinsi pada tahun 1970 dijabat

oleh gubernur yang berlatar belakang militer

(Nordholt dalam Harris, Stokke, Tornquist,

2005).

Disamping penghapusan status kesultan-

an, penurunan eksistensi Aristokrasi Sumba-

wa disebabkan oleh hilangnya kuasa dan

kontrol atas tanah kesultanan. Kebijakan land

reform yang dikeluarkan oleh Sukarno mela-

lui Undang-Undang Agraria tahun 1960, me-

ngurangi kepemilikan tanah dari para aristo-

krat Sumbawa secara signifikan. Bagi para

aristrokat, tanah merupakan sumber daya

ekonomi yang sangat penting. Melalui pengu-

asaannya atas tanah, mereka menjaga struk-

tur patronase. Dengan hilangnya basis sum-

ber daya ekonomi tersebut, para aristokrat di

Sumbawa kehilangan pengaruhnya di masya-

rakat secara drastis.

Sebelumnya, Aristokrat Sumbawa mengu-

asai lebih kurang 500 hektar tanah komunal.

Kesultanan Sumbawa mempunyai hak kepe-

milikan terhadap tanah yang sangat luas mi-

rip dengan tanah sultan yang ada di Yogya-

karta. Tanah yang dimiliki oleh Kesultanan

Sumbawa disebut sebagai ‘uma pemangan’

dimana maksudnya ialah tanah sawah yang

berfungsi sebagai sumber makanan bagi is-

tana dan penghuninya. ‘Uma pemangan’ yang

dimiliki oleh kesultanan sebagian besar me-

rupakan tanah subur dengan sistem irigasi

yang baik. Setelah kebijakan land reform di-

laksanakan di Sumbawa, tanah tersebut tidak

lagi dimiliki oleh kesultananan karena status

kepemilikannya berpindah. Akan tetapi, sta-

tus kepemilikan tanah kesultanan tersebut

tidak serta merta semuanya dimiliki oleh pu-

blik. Militer menguasai lebih dari 37 ribu me-

ter persegi yang digunakan sebagai Markas

Polisi Militer dan perumahan untuk prajurit

(wawancara dengan pengurus LATS, 7 Juni

2012).

Setelah runtuhnya Rezim Orde Baru, do-

minasi birokrat di dalam politik formal mau-

pun informal belum tergantikan. Semua bu-

pati yang terpilih memiliki latar belakang bi-

rokrasi. Latif Madjid yang menjadi bupati pa-

da periode 2000 -2005 sebelumnya menjabat

sebagai Sekretaris Daerah kabupaten Sumba-

wa Barat. Jamaluddin Malik yang terpilih se-

bagai bupati pada tahun 2005 – 2015 posisi

terakhirnya adalah Sekretaris Daerah Kabu-

paten Sumbawa. Asosiasi-asosiasi kelompok

masyarakat pun dipimpin oleh para birokrat

baik yang sudah pensiun maupun yang masih

aktif bekerja. Kelompok-kelompok asosiasi

masyarakat seperti Majelis Ulama Indonesia

(MUI) dan Forum Persaudaraan Umat Ber-

agama (FPUB) dipimpin oleh para pensiunan

birokrat. Lebih jauh lagi, banyak dari para bi-

Page 74: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 153

rokrat yang memiliki surat kabar-surat kabar

lokal di Sumbawa. Tidak sedikit pensiunan

birokrat juga yang menjadi ketua cabang par-

tai politik di Sumbawa.

Dominasi birokrat di Sumbawa juga dipe-

ngaruhi oleh postur anggaran daerah. Ekono-

mi Kabupaten Sumbawa masih bertumpu pa-

da dana dari pemerintah. Sumber keuangan

terbesar Kabupaten Sumbawa pada tahun

2010 beradal dari Dana Alokasi Umum (DAU)

yang jumlahnya mencapai 436 miyar rupiah.

Sementara itu, kontribusi dari Pendapatan

Asli Daerah (PAD) hanya mencapai 41 milyar

rupiah. Alokasi terbesar dari anggaran peme-

rintah daerah tersebut tentu saja untuk mem-

biayai pengeluaran birokrasi.

Eksistensi Aristokrat Sumbawa mening-

kat sejak kepulangan kembali Daeng Muham-

mad Abdurahman Kaharuddin atau yang se-

ring disebut dengan Daneg Ewan ke Sumba-

wa. Ia adalah putra dari Sultan Muhammad

Kaharuddin III yang merupakan Sultan Sum-

bawa terakhir. Daeng Ewan diangkat diang-

kat menjadi Sultan secara resmi melalui mu-

sakarah adat atau upacara tradisional pada

tahun 2011. Sejak masa mudanya, Daeng

Ewan sudah merantau keluar dari Sumbawa.

Ia kemudian kuliah di Universitas Indonesia

dan berhasil meraih gelar sarjana. Ia kemu-

dian melanjutkan bekerja sebagai bankir.

Daeng Ewan pernah menjadi Direktur Bank

Bumi Daya dan komisaris di Bank Pembangu-

nan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Barat.

Sebelum secara resmi diangkat sebagai

Sultan Sumbawa, Daeng Ewan pernah men-

coba untuk maju sebagai kandidat bupati da-

lam pemilihan kepala daerah secara langsung

Kabupaten Sumbawa pada tahun 2005. Akan

tetapi, Ia tidak mampu memperoleh cukup

dukungan dari partai politik untuk menda-

patkan sedikitnya 15 persen dari total kursi

di lembaga legislatif daerah. Daeng Ewan pun

kemudian tidak lolos syarat administrasi un-

tuk maju dalam tahap pencalonan berikut-

nya. Para pendukung Daeng Ewan percaya

bahwa Latif Madjid, bupati petahana, adalah

aktor yang menyabotase dukungan partai po-

litik yang sebelumnya berjanji untuk diberi-

kan kepada sang putra mahkota tersebut

(wawancara dengan pengurus LATS, 7 Juni

2012). Mereka berasumsi bahwa ada bebera-

pa elite dan pendukungnya yang khawatir

dengan eksistensi aristokrat di Sumbawa. Se-

telah kegagalan dalam tahapan proses pemi-

lihan umum kepala daerah secara langsung

tersebut, Daeng Ewan memilih untuk fokus

melakukan revitalisasi Kesultanan Sumbawa

melalui Lembaga Adat Tana Samawa (LATS).

Ia berharap keberadaannya mampu memper-

kuat kembali eksistensi Aristokrasi Sumbawa

dengan modal simboliknya sebagai sultan

(wawancara dengan Daeng Ewan, 9 Juni,

2012).

D. LATS SEBAGAI AKTOR PENENGAH

Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) sebe-

narnya sudah berdiri sejak tahun 1996 tetapi

payung hukum tentang keberadaan lembaga

adat tersebut baru dibuat pada tahun 2007

yakni melalui Peraturan Daerah Kab. Sumba-

wa No. 23 tahun 2007. LATS saat pertama ka-

li didirikan bertujuan untuk merawat waris-

an budaya Sumbawa. Akan tetapi dengan tia-

danya payung hukum dan pengorganisasian

yang relatif tidak terlembaga dengan baik

maka kinerja LATS tidak optimal. Lembaga

tersebut tidak banyak melakukan aktivitas

dan sepi dari kegiatan. LATS tidak lebih dari

sekedar “lembaga papan nama” yang tidak

memiliki kiprah signifikan. Absennya figur

panutan yang memimpin lembaga adat turut

pula memposisikan LATS tidak terlalu eksis

di tengah masyarakat. Kondisi tersebut mem-

buat LATS tidak mampu untuk mengakomo-

dasi agenda-agenda kebudayaan dan adat-is-

tiadat dalam kebijakan publik di Kabupaten

Sumbawa. Setelah kepulangan Daeng Ewan

ke Sumbawa, LATS diaktifkan kembali seiring

dengan keinginan untuk membangkitkan

kembali Kesultanan Sumbawa. Dengan diang-

katnya Daeng Ewan sebagai pemangku adat

sekaligus Ketua LATS pada Musakarah Adat

2011, Ia diharapkan untuk mampu mening-

katkan eksistensi para aristokrat melalui

LATS.

Penunjukan Daeng Ewan sebagai Ketua

LATS dan penobatannya sebagai Sultan Sum-

bawa ke-17 sesungguhnya sebagai bagian da-

Page 75: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa

Yogi Setya Permana

154 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

ri upaya revitalisasi eksistensi kesultanan di

dalam masyarakat. Daeng Ewan sejak muda-

nya merantau sehingga relatif kurang ber-

akar di dalam masyarakat Sumbawa. Terle-

bih beliau belum dilantik menjadi sultan keti-

ka masa-masa tersebut. Bupati-bupati yang

memimpin Sumbawa pun lebih banyak yang

berasal dari luar Sumbawa dan bukan dari

keluarga kesultanan. Mayoritas para bupati

tersebut berlatar belakang birokrat dan mili-

ter. Representasi kepemimpinan tradisional

dari Sumbawa di dalam politik formal pun

kemudian menghilang.

LATS dimaksudkan menjadi representasi

simbolik dari warisan kesultanan dan identi-

tas budaya masyarakat Sumbawa karena ke-

sultanan secara resmi telah dihapuskan sejak

bergabung dengan Republik Indonesia. De-

ngan demikian untuk memulihkan eksistensi

tersebut kebutuhan untuk menciptakan figur

panutan menjadi penting. Hal inilah kemudi-

an yang melatarbelakangi revitalisasi LATS

dan penobatan Daeng Ewan menjadi Sultan

Sumbawa. Masyarakat Sumbawa merindukan

atribut budayanya sebagai identitas kolektif

yang beberapa waktu sebelumnya tidak bisa

diekspresikan secara sempurna karena sen-

tralisme ketat politik Orde Baru. Para pemim-

pin politik formal di Sumbawa sebelumnya

dinilai tidak menaruh banyak perhatian ter-

hadap nilai-nilai pengembangan budaya Sa-

mawa.

Musakarah Adat di tahun 2011 juga

menghasilkan keputusan penting selain pe-

nobatan Daeng Ewan sebagai Sultan dan pe-

mangku adat. menempatkan LATS sebagai

lembaga penengah (intermediary) antara pe-

merintah daerah (state) dengan masyarakat

(society). LATS diharapkan menjadi jembatan

mediasi bila terjadi konflik antara pemerin-

tah dengan masyarakat. Peraturan Daerah

Nomor 23 tahun 2007 juga memberikan

tugas bagi LATS untuk bisa berperan menjadi

fasilitator dan mediator dalam penyelesaikan

perselisi-han yang menyangkut adat istiadat

dan kebiasaan masyarakat. Dengan demiki-

an, muncul pertanyaan lebih lanjut yakni

apakah LATS mampu menjadi antor antara

yang mengimbangi dominasi birokrasi di

Sumbawa? Ada dua hal yang menjelaskan

mengapa LATS tidak mampu berfungsi seba-

gai aktor antara secara efektif di Sumbawa

yaitu karena persoalan kelembagaan dan

orientasi terhadap sumber daya ekonomi.

Pertama, adanya persoalan kelembagaan

yang dialami oleh LATS menyebabkan lemba-

ga tersebut tidak mampu bekerja secara efek-

tif sehingga tidak sesuai dengan yang diha-

rapkan pada saat didirikannya. Dominasi pe-

merintah daerah di dalam tubuh organisasi

LATS ternyata sangat besar. Dengan duduk-

nya bupati sebagai anggota dewan penasehat

dan para birokrat lainnya di kepengurusan

LATS, tetap terbuka kemungkinan adanya ko-

optasi oleh pemerintah daerah. Komunitas-

komunitas adat yang ada di Sumbawa tidak

disertakan dalam perumusan peraturan dae-

rah yang mengatur tentang keberadaan

LATS. Hal ini menunjukkan bahwa pada ma-

sa-masa awal keberadaannya, LATS sudah

terkooptasi oleh pemerintah daerah. Komu-

nitas adat Sumbawa, yang dimotori oleh para

aristokrat dan para pendukungnya, tidak di-

berikan ruang untuk merumuskan sendiri

postur kelembagaan dari LATS.

Peraturan daerah tentang LATS tidak di-

lengkapi dengan aturan yang lebih teknis ter-

kait dengan lingkup dengan kewenangan

yang diberikan kepada lembaga tersebut.

Tanpa kewenangan yang jelas tentang ling-

kup kerjanya, LATS tidak mempunyai otono-

mi untuk menentukan agendanya sendiri. Se-

lain itu, para petinggi birokrasi daerah men-

duduki posisi-posisi penting di dalam lemba-

ga sehingga secara tidak langsung kewibawa-

an dari LATS di depan masyarakat pun menu-

run.

Dominasi birokrat di dalam LATS sebe-

narnya bertentangan dengan Peraturan Adat

No. 1 tahun 2009 tentang pemberdayaan, pe-

lestarian perlindungan, dan pengembangan

adat istiadat dan lembaga adat wilayah nega-

ra Republik Indonesia. Peraturan tersebut

memberi mandat bahwa relasi antara lemba-

ga adat dengan pemerintah daerah adalah ke-

mitraan dan koordinatif. Dengan demikian,

lembaga adat bukanlah bawahan dari peme-

rintah daerah. Lembaga adat seharusnya ti-

Page 76: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 155

dak disubordinasi oleh pemerintah daerah.

Hal ini karena tujuan dari aktor antara, seba-

gaimana LATS, adalah sebagai representasi

alternatif yang menghubungkan antara ma-

syarakat dengan pemerintah.

Kedua, kepentingan terhadap sumber da-

ya ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan keter-

libatan LATS di dalam konflik antara suku

Cek Bocek dengan PT Newmont dan Peme-

rintah Kabupaten Sumbawa. Selain tidak

mencoba untuk melakukan pembelaan terha-

dap suku Cek Bocek, LATS terlibat dalam per-

sekusi terhadap kelompok masyarakat terse-

but dengan modal simbolik yang dimiliki.

Daeng Ewan, sebagai Sultan Sumbawa sekali-

gus pemimpin adat, menggunakan otoritas-

nya untuk memberikan pernyataan bahwa

Suku Cek Bocek bukan bagian dari Kesultan-

an Sumbawa ataupun etnis Samawa. Samawa

merupakan etnis yang tinggal di daerah Ka-

bupaten Sumbawa serta yang mendirikan Ke-

sultanan Sumbawa.

Konflik antara Suku Cek Bocek dengan PT

Newmont dan Pemerintah Kabupaten Sum-

bawa bermula dari penolakan suku tersebut

terhadap kegiatan eksplorasi tambang yang

mencakup 16.568.54 hektar pada tahun 2006

(Harianto, 2012). Penolakan tersebut karena

kegiatan eksplorasi tambang menduduki pe-

mukiman penduduk asli dan tanah leluhur

Suku Cek Bocek. Masyarakat adat Suku Cek

Bocek tersebar pada tiga desa di wilayah se-

latan Kabupaten Sumbawa. Tiga desa ter-

sebut antara lain Desa Lawin, Desa Lebang-

kar, dan Desa Ketapang. Suku Cek Bocek yang

mendiami Desa Lawin berjumlah 400 kepala

keluarga. Sedangkan yang mendiami Desa

Lebangkar dan Ketapang masing-masingnya

berjumlah 500 kepala keluarga dan 600

kepala keluarga (Antara, 7 Januari, 2012). Se-

lain menduduki wilayah pemukiman, kegi-

atan eksplorasi tambang juga mencakup Hu-

tan Elang Dodo yang merupakan tanah lelu-

hur sekaligus lokasi yang disakralkan oleh

Suku Cek Bocek. Mereka juga menggunakan

Hutan Elang Dodo untuk memenuhi kebutuh-

an hidup seperti berburu, beternak madu,

dan mengambil hasil hutan lainnya seperti

kayu.

Kegiatan eksplorasi tambang yang diten-

tang oleh Suku Cek Bocek merupakan bagian

dari kontrak jangka panjang yang telah dise-

tujui oleh Pemerintah Indonesia dan PT New-

mont Gold Company pada tahun 1986. Kon-

trak karya tersebut mengatur operasi PT

Newmont dalam menambang komoditas

tembaga dan emas seluas 1.127.134 hektar

yang berada di wilayah Nusa Tenggara Barat

(Harianto, 2012). Setelah dilaksanakannya

desentralisasi, Pemerintah Kabupaten Sum-

bawa memiliki otoritas untuk menyetujui

perpanjangan kontrak pada tahun 2005.

Suku Cek Bocek kemudian meminta DPRD

untuk membela hak mereka dengan melaku-

kan protes kepada Pemerintah Kabupaten

Sumbawa dan PT Newmont. Akan tetapi, per-

mintaan Suku Cek Bocek tersebut tidak men-

dapatkan respon yang diharapkan. Pemerin-

tah Kabupaten Sumbawa menilai bahwa Hu-

tan Elang Dodo bukan merupakan tanah adat

dari Suku Cek Bocek. Hutan tersebut adalah

milik negara (Sumbawa News, 12 Januari,

2012). Sebagai akumulasi kekecewaan, Suku

Cek Bocek melakukan penghentian aktivitas

eksplorasi PT Newmont secara paksa di ta-

nah yang diklaim sebagai tanah adat, terma-

suk yang ada di Hutan Elang Dodo.

Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) terli-

bat dalam konflik namun bukan dalam kapa-

sitasnya sebagai mediator. Pimpinan LATS,

melalui Daeng Ewan, yang sekaligus sebagai

pemimpin adat, tidak mengakui eksistensi

Suku Cek Bocek sebagai bagian dari etnis Sa-

mawa. Sultan berargumen bahwa keberada-

an Suku Cek Bocek tidak pernah muncul da-

lam catatan sejarah Kesultanan Sumbawa.

Pernyataan dari Daeng Ewan selaku pemim-

pin LATS tersebut menjadi legitimasi Peme-

rintah Kabupaten Sumbawa untuk menolak

tuntutan Suku Cek Bocek (Sumbawa News, 3

Januari, 2012).

Pernyataan pimpinan LATS tersebut ke-

mudian ditolak oleh perwakilan dari Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang

mendampingi Suku Cek Bocek dalam konflik

dengan PT Newmont dan Pemerintah Kabu-

paten Sumbawa. Ketua AMAN, Abdon Naba-

ban, ikut serta secara langsung membantu

Page 77: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa

Yogi Setya Permana

156 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Suku Cek Bocek dalam beberapa pertemuan

dengan pemerintah dan PT Newmont. AMAN

menyatakan bahwa Suku Cek Bocek sah un-

tuk disebut sebagai orang asli di Sumbawa

(Sumbawa News, 16 Januari, 2012). Hal ini

karena mereka sudah tinggal selama bebera-

pa generasi pada lokasi geografi tertentu dan

menerapkan aturan adat sendiri. Selain itu,

AMAN berpendapat bahwa Lembaga Adat Ta-

na Samawa (LATS) bukanlah representasi

masyarakat adat melainkan Aristokrasi Sum-

bawa. Dengan demikian, LATS merepresenta-

sikan feodalisme yang bertentangan dengan

prinsip egalitarian dalam komunitas adat.

LATS, yang merepresentasikan Kesultan-

an Sumbawa saat ini, tidak mampu untuk

memposisikan diri sebagai aktor antara

seperti yang diharapkan sebelumnya. Modal

simbolis yang dimiliki oleh LATS dan Kesul-

tanan hanya digunakan sebagai alat untuk bi-

sa mengakses sumber daya ekonomi yang di-

sediakan oleh pemerintah maupun korporasi

global. Hal ini, kurang lebih, bisa dilihat dari

bersedianya pemimpin LATS untuk menem-

pati posisi sebagai anggota Komite Konsultasi

Eksplorasi (KKE) PT Newmont Nusa Tengga-

ra.

E. KESIMPULAN

Kasus Sumbawa menunjukkan bahwa pe-

nguatan identitas lokal melalui kebangkitan

kembali aristokrasi tidak memberikan kon-

tribusi yang signifikan bagi pendalaman de-

mokrasi di daerah. Kesultanan Sumbawa

yang direpresentasikan oleh kehadiran Lem-

baga Adat Tana Samawa (LATS) tidak mam-

pu untuk berperan sebagai aktor penengah

(intermediary actor) yang memberikan pem-

belaan terhadap kelompok marjinal. Mereka

justru menjadi bagian dari oligarki lokal –

korporasi global yang menjalin aliansi untuk

membajak agenda-agenda desentralisasi.

Besarnya pengaruh negara melalui peme-

rintah daerah tidak mampu diimbangi oleh

LATS. Dominasi birokrat di tubuh LATS me-

nyebabkan lembaga tersebut relatif tidak in-

dependen. Pengurus LATS non birokrat juga

tidak disertakan dalam perumusan regulasi

yang mengatur kerja LATS. Hubungan antara

LATS dan pemerintah daerah bukan lagi ke-

mitraan melainkan subordinasi. LATS hanya

memberikan dukungan dan legitimasi ter-

hadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan

oleh pemerintah daerah seperti yang terjadi

pada kasus Suku Cek Bocek.

Hal ini cukup ironis mengingat potensi

LATS untuk mampu menjalankan fungsinya

dengan baik sebagai penengah antara state

dengan society (intermediary actors). Legiti-

masi simbolik dari warga karena merupakan

lembaga yang mengakomodasi atribut buda-

ya dan identitas lokal adalah modal yang bisa

dikonversi menjadi alat tekan ampuh terha-

dap pemerintah daerah untuk mendesakkan

kebijakan daerah yang sesuai dengan agenda

LATS. LATS dengan kepengurusannya yang

ditargetkan hingga masuk sampai level desa

memiliki akar yang kuat dalam masyarakat

sehingga kebutuhan untuk mobilisasi massa

pun bukan sesuatu yang sulit. Jangan sampai

LATS hanya menjadi alat para elite lokal, ter-

masuk aristokrat yang muncul kembali, un-

tuk mengejar kepentingan ekonomi-politik.

F. DAFTAR PUSTAKA

Antara News. 2012. “Masyarakat Adat Kha-

watirkan Konflik Horizontal di Sum-

bawa” Mataram: Antara News, Janu-

ary 7.

Dwipayana, AAGN. 2004. Bangsawan dan

Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di

Dua Kota. Yogyakarta: IRE Press

Erb, Mariberth dan Priyambudi Sulistyanto

(eds). 2009. Deepening Democracy in

Indonesia? Direct Elections for Local

Leaders (Pilkada). Singapore: ISEAS

Hadiz, Vedi R. 2010. Localising Power in

Post-Authoritarian Indonesia: A

Southeast Asia Perspective. Stanford:

Stanford University Press.

Hadiz, Vedi R. and Richard Robison. 2013.

The Political Economy of Oligarchy

and the Reorganization of Power in

Indonesia. Indonesia, No. 96, Special

Issue: Wealth, Power, and Contempo-

rary Indonesian Politics (October

2013), pp. 35-57

Page 78: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 157

Harianto, Iwan. 2012. Sengketa Usaha Perta-

mbangan di Wilayah Hutan Elang Do-

do Kabupaten Sumbawa. University of

Udayana: Unpublished Material

Harris John, Kristian Stokke and Olle Torn-

quist (eds). 2005. Politicising Demo-

cracy: Local Politics and Democratisa-

tion in Developing Countries. London:

Palgrave Macmillan

David Henley, Jamie Davidson, Sandra Moni-

aga (Ed). 2010. Adat dalam Politik In-

donesia. Jakarta: KITLV

Klinken, Gerry Van. “Return of the Sultans:

The Communitarian turn in local Poli-

tics” in Jamie S. Davidson and David

Henley (ed). 2007. The Revival of Tra-

dition in Indonesian Politics: The de-

ployment of adat from colonialism to

indigenism. New York: Routledge

Malley, Michael. “New rules, old structures

and the limits of democratic decentra-

lisation” in Edward Aspinall and Greg

Fealy (ed) 2003. Local Power and

Politics in Indonesia: Decentralisation

and Democratisation. Singapore:

ISEAS

Mietzner, Marcus. “Indonesia’s decentraliza-

tion: the rise of local identities and the

survival of the nation-state” in Hal Hill

(ed). 2014. Regional Dynamics in a

Decentralized Indonesia. Singapore:

ISEAS

Mietzner, Marcus. 2014. More Democracy

Through Pilkada? The Direct Local

Elections Since 2005. Unpublished

Material

Pulau Sumbawa News. 2012. “Pertemuan

Pemda, LATS dengan Cek Bocek Ber-

langsung Ricuh”. Sumbawa Besar: Pu-

lau Sumbawa News, January 16

Pulau Sumbawa News. 2012. “Bupati Sum-

bawa Tidak Akui Suku Cek Bocek”. Su-

mbawa Besar: Pulau Sumbawa News,

January 3

Robison, Richard and Vedi. R. Hadiz. 2004.

Reorganising Power in Indonesia: The

Politics of Oligarchy in an Age of Mar-

kets. London: Routledge.

Schulte Nordholt, Henk dan Gerry van Klin-

ken (eds). 2007. Politik Lokal di Indo-

nesia, Jakarta: KITLV-Yayasan Obor

Indonesia

Schulte Nordholt, Henk dan Ireen Hoogen-

boom (eds). 2006. Indonesian Transi-

tions. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2006

Schulte Nordholt, Henk. “Decentralisation in

Indonesia: Less State, More Democra-

cy?” in John Harriss, Kristian Stokke

and OlleTornquist (ed). 2005. Politici-

sing Democracy: The New Local Poli-

tics of Democratisation. New York:

Palgrave Macmillan

Tornquist, Olle. “Introduction: The Problem

is Representation! Towards an Analy-

tical Framework” in Olle Tornquist,

Neil Webster, and Kristian Stokke

(ed). 2009. Rethinking Popular Repre-

sentation. New York: Palgrave Mac-

millan.

Page 79: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa

Yogi Setya Permana

158 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015

Page 80: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Petunjuk Penulisan

JURNAL DESENTRALISASI merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Kajian

Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara dengan Kode

ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para

peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah atau pengamat untuk menyum-

bangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikiran kritis di bidang desentralisasi

dan otonomi daerah dan otonomi daerah. Topik jurnal desentralisasi mencakup

berbagai isu dan permasalahan otonomi daerah. Substansi yang dikembangkan me-

liputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, dimensi-dimensi pelaksanaan

otonomi daerah.

Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Desentralisasi adalah sebagai berikut:

1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isu-isu di bidang

desentralisasi dan otonomi daerah, yang meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan

otonomi daerah, serta dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah;

2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/intisari dan keyword/kata kunci diketik

dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran ku-

arto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabel dan daftar pustaka). Menggunakan hu-

ruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3

cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm.

3. Setiap tabel dan gambar diberi judul. Posisi judul tabel berada di bawah tabel, sedangkan posisi

judul gambar berada di atas gambar.

4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas:

a. Judul tulisan;

b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama

adalah penulis utama;

c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor te-

lepon dan alamat email penulis;

d. Abstrak/intisari ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-ma-

sing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci;

e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema

tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemuka-

kan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topik tulisan dengan disertai data-data

pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis;

f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu ditulis-

kan metode penelitian yang digunakan;

g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan

topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap

data;

h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan pe-

nulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan;

i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan susunan

dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan dengan tanda koma),

tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama penerbit. Untuk sumber yang dipe-

roleh dari internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa

contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:

Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Cha-

nges: a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York: Routledge.

Page 81: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Jurnal Desentralisasi ... mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta: Gha-

lia Indonesia.

5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi nas-

kah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip;

6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung,

gambar, serta tabel yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam

daftar pustaka;

7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Desentralisasi dengan

alamat:

Redaksi Jurnal Desentralisasi

Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara

Gedung B Lantai 3

Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110

Telp. (021) 3868201-07 Ext. 114, 115

Email: [email protected]

Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di-review oleh Mitra

Bestari, dan terhadap setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan

yang layak kepada penulis.***