5

Click here to load reader

LegalStanding.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LegalStanding.docx

Legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in judicio yang artinya

adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan. Legal Standing

(lazim dibahasakan "kedudukan hukum") merupakan hal yang mendasari pembenaran

subyektum pencari keadilan mengajukan permohonan pengujian UU ke hadapan Mahkamah

Konstitusi (MK). Legal Standing adalah suatu entitle atau dasar hak subyektum hukum untuk 1

mengajukan permohonan pengujian UU. Legal standing adalah keadaan dimana seseorang

atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk

mengajukan permohonan perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahmakah

Konstitusi. Ini penting kenapa karena tidak jarang dalam suatu perkara di MK misalnya 2

persoalan mengenai Legal Standing dapat membuat suatu perkara dinyatakan NO (niet

ontvankelijke verklaard) dengan demikian persoalan Legal Standing perlu dicermati lebih

dalam jika ingin suatu perkara atau permohonan dapat diterima. Pada dasarnya Legal Standing

adalah syarat mutlak untuk mengajukan perkara di Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi secara detail dan eksplisit memuat ketentuan perihal

kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon dengan merujuk pada ketentuan vide Pasal 74

ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 3

ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara

Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

Vide Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No.16 tahun 2009

1. Para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU anggota DPR, DPD, dan

DPRD adalah:

a. Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta Pemilu sebagai

Pemohon;

b. partai politik peserta Pemilu sebagai Pemohon;

1 Standing atau locus Standi (kedudukan hukum) dapat dimaknai sebagai hak menggugat di muka hukum atau dalam praktik adalah pengadilan. Di dalam Black's Law Dictionary, HENRY CAMPBELL BLACK, M. A menafsirkan istilah tadi sebagai “LOCUS STANDI. A place of standing; standing in court. A right of appearance in a court of justice, or before a legislative body, on a given question.” see. Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary 5th ed, pg 1090 (West Publishing, 1979) ISBN 0-8299-2041-2. 2 Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Wakil Ketua MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 176.

pg. 1

Page 2: LegalStanding.docx

c. partai politik dan partai politik lokal peserta Pemilu anggota DPRA dan DPRK di

Aceh sebagai Pemohon;

d. KPU sebagai Termohon

2. Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD provinsi dan/atau

DPRA, KPU provinsi dan/atau KIP Aceh menjadi Turut Termohon.

3. Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD kabupaten/kota

dan/atau DPRK di Aceh, KPU kabupaten/kota dan/atau KIP kabupaten/kota di Aceh

menjadi Turut Termohon.

4. Peserta Pemilu selain Pemohon yang berkepentingan terhadap permohonan yang diajukan

Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait.

5. Pemohon, Termohon, Turut Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili oleh kuasa

hukumnya masing-masing berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh

pendamping berdasarkan surat keterangan yang dibuat khusus untuk itu.

Vide Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi No.16 tahun 2009

Keberadaan Pihak Terkait dalam perkara PHPU ditetapkan oleh Mahkamah.

Selain dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, ketentuan Legal Standing pun dapat kita tafsirkan secara lebih lagi dalam Pasal 51

ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mengingat

ketentuan di dalamnya yang menjelaskan mengenai Pemohon adalah pihak yang secara hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan.

HM Laica Marzuki Guru Besar Hukum Tata Negara; Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia membahas makna dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No 24 th 2003 dalam opininya yang

dimuat di laman digital kompas opini 3

Dalam ketentuan Legal Standing Redaksional Pasal 51 UU tentang Mahkamah Konstitusi

akan memetakan beberapa unsur penting Legal Standing diantaranya;

1. Pertama, unsur "hak dan/atau kewenangan konstitusional". Hak dan kewenangan

konstitusional adalah hak dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi sehingga

harus merupakan hak yang diatur dalam UUD. Hal ini hampir secara aklamasi diterima

oleh setiap pemikir hukum. Hanya saja, hal yang sering dipersoalkan adalah apakah "ruh"

3 Disadur dari artikel di laman http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0411/08/opini/1369103.htm

pg. 2

Page 3: LegalStanding.docx

dari pasal ini dapat digunakan dan bukan sekadar susunan tekstual. Marzuki sendiri

berpendapat, "ruh" pasal itu juga dapat digunakan sebagai landasan mendalilkan suatu

hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan. Adanya kerugian dari Pemohon

yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang dan adanya kepentingan nyata

yang dilindungi oleh hukum.

2. Kedua, unsur kata "menganggap". Kata ini melahirkan dua jenis arti yang berangkat dari

ranah pemikiran yang juga berbeda. Dari sisi gramatikal, kata ini beraliran subyektif.

Karena itu, tiap orang yang menganggap dirinya dirugikan merasa berhak mengajukan

permohonan oleh perasaan yang dirugikan itu sehingga dapat mengajukan

permohonan. Sementara dari penafsiran hukum, kata ini bukan diartikan dalam bingkai

subyektivitas, tetapi include di dalamnya keharusan untuk membuktikannya sehingga

kata-kata yang lebih tepat adalah "mendalilkan". Pilihan menggunakan kata-kata

"menganggap" pada proses legal drafting UU (menurut Marzuki) tidak lebih dari sekadar

ketergesa-gesaan legislator yang dibatasi untuk menyelesaikan UU Mahkamah

Konstitusi sebelum 17 Agustus 2003 sehingga ada kesan terburu-buru dan tidak

berhati-hati dalam merumuskan kata "menganggap" ini.

3. Ketiga, unsur kata "dirugikan". Ini unsur penting karena merasa dirugikan, subyek hukum

merasa berkepentingan. Zonder belang, het is geen rechtsingang. Kepentingan ini lahir

karena adanya kerugian tadi sehingga ia harus merupakan kerugian yang telah aktual dan

bukan sekadar potensial. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengajukan permohonan

perkara jika hanya bersandarkan pada adanya peluang untuk dirugikan. Namun, dari hal ini

muncul peluang perbedaan pendapat tentang batasan peluang dirugikan. Ada perbedaan

dalam memahami manakah yang merupakan kerugian potensial dan manakah yang

merupakan kerugian aktual.

4. Keempat, harus ada causal verband, hubungan sebab akibat yang jelas untuk

memperlihatkan hubungan antara keberlakuan UU dan kerugian yang pemohon derita.

Bukan menghindari tumpukan perkara. Mahkamah Konstitusi merupakan the last

bastion of justice, het laatste bolwerk, yang menjadi tumpuan terakhir dari rakyat

banyak selaku justiciabelen.

Dengan demikian jelasnya unsur Legal Standing begitu penting untuk itu, Pemohon dalam

permohonannya selanjutnya wajib menguraikan dengan jelas tentang hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya. Sehingga untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi

pg. 3

Page 4: LegalStanding.docx

Pemohon harus dengan jelas mengkualifikasikan dirinya apakah bertindak sebagai perorangan

warga negara Indonesia, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, sebagai badan hukum

publik atau privat atau sebagai lembaga negara. Selanjutnya menunjukkan hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan akibat keberlakuan undang-undang. Pemohon

yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan di atas berarti memiliki legal

standing untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian legal standing ini

menjadikan Pemohon sebagai subjek hukum yang sah untuk mengajukan pengujian

undang-undang terhadap undang-undang dasar ke lembaga negara ini. Persyaratan legal

standing mencakup syarat formal sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang dan

syarat material yakni adanya kerugian konstitusional akibat keberlakuan undang-undang yang

bersangkutan.

Sebagai tambahan atau update terbaru terkait para pihak yang dapat mengajukan

permohonan dalam perkara PHPU mulai tahun 2014 ini, terdapat beberapa perubahan dalam

Peraturan MK tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu. “Meskipun kita

semua sudah mengetahui perubahan itu, tetapi tentu kita harus benar-benar bisa memahami

letak perubahannya dan konsekuensi ikutan terhadap perubahan itu. Bukan normanya saja

yang harus kita ketahui,” kata Janejdri dalam Sesi pertama Workshop Penyelesaian

Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 bagi Pegawai Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat

(7/2) malam di Cisarua, mengangkat tema “Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang

Pedoman Beracara dalam PHPU Anggota DPR, DPD dan DPRD”. Bertindak sebagai

narasumber adalah Sekjen MK Janedjri M. Gaffar dan Panitera MK Kasianur Sidauruk, dengan

moderator Kepala P4TIK MK M. Guntur Hamzah.

Dijelaskan Janedjri, yang dimaksud dengan perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara

peserta dan penyelenggara, dalam hal ini KPU, mengenai penetapan perolehan suara hasil

pemilu secara nasional oleh KPU. Sementara para pihak dalam perkara PHPU adalah hal baru.

Bahwa para pihak dalam perkara PHPU nanti, sesuai putusan MK, maka perseorangan calon

anggota DPR dan DPRD diberi legal standing. Begitu juga untuk perseorangan calon anggota

DPRA dan DPRK, diberi legal standing untuk mengajukan permohonan kepada Mahkamah,

bersengketa sesama calon dalam satu parpol di dapil yang sama. Namun ada persyaratan,

dalam Peraturan MK diatur bahwa perseorangan calon anggota DPR, DPRD serta DPRA dan

DPRK dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu apabila telah memperoleh

pg. 4

Page 5: LegalStanding.docx

persetujuan secara tertulis dari DPP parpol. Permohonannya itu harus diajukan oleh DPP 4

parpol yang bersangkutan sehingga dalam nanti permohonan yang diajukan parpol, di

dalamnya akan dijumpai kemungkinan permohonan perseorangan calon anggota DPR dan

DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota. Namun harus dilakukan verifikasi terhadap

permohonan itu terkait dengan apakah permohonan perseorangan itu sudah mendapatkan

persetujuan tertulis dari DPP parpol. Persetujuan tertulis itu ditandatangani oleh ketua umum

dan sekretaris jenderal

Selanjutnya, Janedjri menjelaskan, ada pihak baru dalam Peraturan MK yakni pemberi

keterangan, dalam hal ini Bawaslu. Mahkamah Konstitusi dapat memanggil Bawaslu untuk

diminta keterangan terkait penyelenggaraan Pemilu. Dengan dmeikian, ada sedikit perubahan

dari Pedoman Beracara yang lama. Pertama, untuk tata cara pengajuan permohonan.

Permohonan ini diajukan oleh peserta Pemilu setelah pengumuman penetapan perolehan

suara hasil pemilu secara nasional oleh KPU. MK memberi ruang dan waktu kepada Pemohon,

apakah itu parpol nasional, parpol lokal maupun perseorangan calon anggota DPD bisa

menyampaikan permohonannya secara online atau melalui email atau faksimil. Tetap aturan

mainnya 3 x 24 jam, ini artinya MK harus mempersiapkan permohonan online, email, bahkan

faksimil karena permohonan online sangat sederhana, tidak perlu seluk-beluk, hanya sekadar

mengajukan permohonan. Selain itu, permohonan harus ditandatangani oleh kuasa hukum,

dilampirkan surat kuasa yang ditandatangani ketua umum dan sekjen serta yang diberi kuasa.

.:Referensi

Marzuki, M. Laica dan Zainal A. M. Husein, Berjalan-jalan di ranah hukum: pikiran-pikiran lepas

Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

4 Lihat ketentuan terbaru di PMK No 1/2014 tentang Pedoman Beracara dalam PHPU DPR, DPD, dan DPRD.

pg. 5