Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
LEGALITAS PEMULANGAN IMIGRAN OLEH PEMERINTAH
INDONESIA BERDASARKAN HUKUM PENGUNGSI DAN
HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
SHELMA YUSMINAR HAJAR
NIM. E0008433
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2 0 1 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
LEGALITAS PEMULANGAN IMIGRAN OLEH PEMERINTAH
INDONESIA BERDASARKAN HUKUM PENGUNGSI DAN HUKUM HAK
ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
Oleh
SHELMA YUSMINAR H AJAR
NIM. E0008433
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Januari 2013
Dosen Pembimbing
m (Skripsi)
Pembimbing I
Erna Dyah K, S.H., M.Hum.,LL.M
NIP. 197703302003122001
Pembimbing II
Ayub Torry Satriyo K, S.H., M.H
NIP. 198307162008011005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
LEGALITAS PEMULANGAN IMIGRAN OLEH PEMERINTAH
INDONESIA BERDASARKAN HUKUM PENGUNGSI DAN
HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
Disusun oleh :
Shelma Yusminar Hajar
NIM. E0008433
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Pada:
Hari : Rabu
Tanggal : 23 Januari 2013
DEWAN PENGUJI
1. Prasetyo Hadi Purwandoko, S.H., M.S :……………………………
Ketua
2. Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H :……………………………
Sekretaris
3. IErna Dyah Kusumawati, S.H., M.Hum., LL.M :……………………………
Anggota
Mengetahui,
Dekan
(Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.)
NIP. 195702031985032001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
SURAT PERNYATAAN
Nama : Shelma Yusminar Hajar
NIM : E0008433
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
LEGALITAS PEMULANGAN IMIGRAN OLEH PEMERINTAH
INDONESIA BERDASARKAN HUKUM PENGUNGSI DAN HUKUM HAK
ASASI MANUSIA INTERNASIONAL adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal
yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya
tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi)
ini.
Surakarta, Januari 2013
Yang Membuat Pernyataan,
Shelma Yusminar Hajar
NIM. E0008433
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Shelma Yusminar Hajar. 2013. E0008433. LEGALITAS PEMULANGAN
IMIGRAN OLEH PEMERINTAH INDONESIA BERDASARKAN HUKUM
PENGUNGSI DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL.
Penulisan Hukum (Skripsi). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini mendeskripsikan dan mengkaji permasalahan, pertama apakah
pemulangan imigran (pengungsi dan pencari suaka) oleh pemerintah Indonesia sudah
sesuai dengan hukum pengungsi (The 1951 Convention Relating to the Status of
Refugees dan The 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees) dan hukum hak
asasi manusia internasional. Kedua, bagaimana kewajiban Pemerintah Indonesia
dalam menangani pemulangan pengungsi sedangkan Indonesia belum meratifikasi
kedua aturan hukum pengungsi internasional tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif bersifat preskriptif. Jenis data
sekunder meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan melalui Cyber media, instrumen
penelitian berupa Konvensi 1951 dan Protokol tambahan 1967, selanjutnya teknis
analisis yang digunakan adalah metode deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan pemulangan imigran
berdasarkan hukum pengungsi dan hak asasi manusia internasional yaitu tahap
penentuan status pengungsi. Setelah imigran mendapat status pengungsi maka
UNHCR akan mencarikan solusi berkelanjutan, yaitu pemulangan sukarela ke negara
asal atau integrasi lokal atau pemukiman kembali ke negara ke tiga. Untuk
pemulangan sukarela harus benar-benar memperhatikan kesukarelaan pengungsi dan
keadaan negara asal serta menghormati hak asasi manusia. Meskipun Indonesia
belum meratifikasi konvensi pengungsi dan protokol tambahan namun atas dasar
kemanusiaan dan prinsip non-refoulement Pemerintah Indonesia tetap harus
melindungi pengungsi dan pencari suaka yang singgah atau masuk ke wilayah
Indonesia. Pemulangan imigran oleh Pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan
hukum pengungsi dan hak asasi manusia. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus
pemulangan yang ditangani oleh Indonesia.
Kata Kunci : Pemulangan, imigran, Hukum Pengungsi dan Hukum HAM
internasional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRAK
Shelma Yusminar Hajar. E0008433. 2013. The Legality of the Refoulement of
Ilegal Immigrants by The Indonesia Government Based on the Refugee Law and
International Human Rights law. Legal Writing. Law Faculty of Sebelas Maret
University Surakarta.
This study describes and examines the problems regarding the refoulement of
illegal immigrants, in this regard are refugees and asylum seekers by the government
of Indonesia whether or not it is inaccordance to the international refugee law (The
1951 Convention Relating to the Status of Refugees and The 1967 Protocol Relating
to the Status of Refugees) and international human rights law; as well as the
obligation of the government of Indonesia in dealing with the refoulement of the
refugees in which Indonesia is not a party to the refugee convention and its its
convenan.
This research is normative legal research which is prescriptive. In nature the
data used in this research is secondary data including primary legal materials,
secondary and tertiary. Data collection techniques used is library study and through
Cyber media. A Convention 1951 on the status of refugees and the 1967 Additional
Protocol will be the main instrument to be considered. Technical analysis is
deductive method.
The results shows that the repatriation of refugees and legal immigrants
based on international human rights, namely the determination of refugee status. The
second stage after declared as refugees then the UNHCR will seek sustainable
solutions, namely voluntary repatriation to the country of origin or local integration
or resettlement to a third country. When the vouluntary repatriation is cloosen, the
condition of the country origin as well as the refugees volunterism should be paid
attention to respect human rights. Voluntary repatriation should really pay attention
to volunteerism refugees and the State of the country of origin as well as respect for
human rights. Although Indonesia has not yet to ratified the Refugee Convention and
the Additional Protocol, but on the basis of humanity and the principle of non-
refoulement remained Indonesia's Government must protect refugees and asylum
seekers who are in transit or entry into the territory of Indonesia. The refoulement of
immigrants by the Government of Indonesia is in compliance to international refugee
law and human rights law. This is proven by the number of cases dealt with the
refoulement carried out by Indonesia Government.
Keywords: Refoulement, Immigrants, Refugee and International Human Rights Law
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang
laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita juga
ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu”
(QS. An Nisaa:32)
“Nikmati hidup karena hidup itu sungguh luar biasa! Hidup adalah perjalanan
yang indah!”
(Bob Proctor)
“If something went wrong, don’t be sad. It’s just God way to forgive your sins”
(A.K)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada :
1. Kedua orang tuaku tersayang, mamaku Nurul Fadlilah dan papaku Muhamad
Yusuf, S.H
2. Kakakku, Muhammad Yasrul Hajar, S.H
3. Keluarga Besar Alm. H. Daeng Mattemu
4. Keluarga Besar Alm. H. Ahmad Milatu
5. Tito Erlangga
6. Sahabat-sahabatku: Goestania Firstkaputri, Karlina dyah K, Veri Puspita I, Titis
Restuning K, Indah Handaningrum, Danni Sepgavia dan lainnya.
7. Almamaterku, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha
Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “LEGALITAS PEMULANGAN
IMIGRAN OLEH PEMERINTAH INDONESIA BERDASARKAN HUKUM
PENGUNGSI DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL”.
Penulisan hukum ini membahas tentang pemulangan imigran dalam hal ini
yaitu pengungsi dan pencari suaka oleh pemerintah Indonesia berdasarkan hukum
pengungsi dan hak asasi manusia. Dimana terdapat prinsip non-refoulement yang
sudah menjadi hukum kebiasaan internasional semua negara harus mematuhinya,
tidak ada pengecualian.
Dalam kesempatan ini, Penulis menyadari bahwa penulisan hukum (skripsi)
ini tidak lepas dari bimbingan, saran dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta, beserta seluruh Pembantu Rektor ;
2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret, beserta seluruh Pembantu Dekan;
3. Ibu Sri Lestari Rahayu, S.H., M.Hum, selaku Ketua Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah memberi ijin dan kesempatan
kepada penulis untuk melaksanakan penulisan hukum ini;
4. Ibu Erna Dyah Kusumawati, S.H., M.Hum.,LLM selaku Dosen Pembimbing I
yang telah meluangkan waktu, memberikan ilmu yang sangat bermanfaat,
bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
ini;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
5. Bapak Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H.,M.H, selaku Dosen Pembimbing II
yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan arahan kepada penulis dalam
penulisan hukum ini ;
6. Ibu Siti Muslimah, S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan
bimbingan dan nasihat selama Penulis menempuh kuliah S1;
7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu yang
bermanfaat bagi Penulis;
8. Seluruh karyawan Fakultas Hukum UNS yang telah membantu penulis selama kuliah di
Fakultas Hukum UNS;
9. Kedua orang tuaku, Papaku Muhamad Yusuf S.H, Ibuku Nurul Fadlilah, dan kakak M.
Yasrul Hajar, S.H serta Tito Erlangga yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, doa,
semangat, dukungan, kepercayaan dan perhatiannya selama ini;
10. Sahabat-sahabatku Goestania Firstkaputri, Karlina dyah K, Veri Puspita I, Titis
Restuning K, Indah Handaningrum, Danni Sepgavia, Mifta Adi, Liya Listiana, Nisa,
Cristian terimakasih atas dukungan dan doa kalian selama ini;
11. Sahabat seperjuangan dalam penulisan hukum (Skripsi) Hukum Internasional Mbak
Dina, Hanafi Dwi Atmojo, Stefanus Donatumar, Mohammad Ali Potera Lesmana;
12. Sahabat Black Photography Community, Mas Tio, Mas Fauzan, Mas Puguh, Mas Iang,
Mas Indra, Pak Fredy, Pak Yunus, Mas Nanang, Mas Adit, Mas Ael, Mas Keke, Mas
Widodo. Terimakasih atas persahabatan, keceriaan hunting foto dan berbagi ilmu
photography selama ini;
13. Teman-teman angkatan 2008 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Semoga penulisan hukum (skripsi) ini bermanfaat dan Penulis memohon maaf yang
sebesar-besarnya apabila kesalahan dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Januari 2013
Penulis,
Shelma Yusminar Hajar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................. v
HALAMAN MOTTO ............................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ix
DAFTAR ISI.............................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah ......................................................................... 8
C. Perumusan Masalah ......................................................................... 8
D. Tujuan Penelitian............................................................................... 9
E. Manfaat Penelitian............................................................................. 10
F. Metode Penelitian .............................................................................. 11
G. Sistematika Penelitian ....................................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Imigrasi......................................................... 17
2. Tinjauan Tentang Pemulangan .................................................. 25
3. Tinjauan Tentang Penanganan WNA yang Melanggar
Hukum ...................................................................................... 27
4. Tinjauan Tentang Imigran (Pengungsi dan Pencari Suaka) ...... 30
5. Tinjauan Tentang Hukum Hak Asasi Manusia .......................... 46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
6. Tinjauan Tentang Organisasi Internasional Urusan
Pengungsi ................................................................................. 52
B. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 61
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ................................................................................. 63
1. Pengaturan Pemulangan Imigran dalam Hukum Pengungsi dan Hukum
Hak Asasi Manusia Internasional ............................................... 63
a. Pengaturan Pemulangan Imigran Berdasarkan
Hukum Pengungsi ........................................................ 63
b. Pengaturan Pemulangan Imigran Berdasarkan
Hukum Hak Asasi Manusia Internasional .................... 69
2. Pemulangan Imigran oleh Pemerintah Indonesia Sesuai dengan Hukum
Pengungsi dan Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional ............................................................................... 71
B. Pembahasan ....................................................................................... 74
1. Pengaturan Pemulangan Imigran dalam Hukum Pengungsi dan Hukum
Hak Asasi Manusia .................................................................... 74
a. Pengaturan Pemulangan Imigran Berdasarkan
Hukum Pengungsi ........................................................ 74
b. Pengaturan Pemulangan Imigran Berdasarkan Hukum
Hak Asasi Manusia Internasional ................................. 82
2. Pemulangan Imigran oleh Pemerintah Indonesia Sesuai dengan Hukum
Pengungsi dan Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional ............................................................................... 85
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 92
B. Saran ......................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kedudukan dan Tugas Pokok UNHCR ...................................................... 58
Gambar 2 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 61
Gambar 3 Penentuan Status Pengungsi ....................................................................... 68
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjalanan zaman membawa pengaruh besar terhadap perkembangan suatu
negara di dunia. Penduduk di suatu negara dapat berpindah ke negara lain karena
beberapa faktor dengan negara mereka seperti adanya perang, adanya
penganiayaan, sistem pemerintahan yang tidak sesuai dengan kehendak mereka,
ketidakcocokan dengan sistem ekonomi, adanya bencana alam dan lain
sebagainya. Mobilitas atau perpindahan tersebut dibagi menjadi dua yaitu
permanen dan non-permanen. Mobilitas permanen meliputi migrasi,emigrasi dan
remigrasi. Migrasi merupakan perpindahan penduduk dari suatu wilayah atau
negara ke luar menuju wilayah atau negara lain. Emigrasi berupa keluarnya
penduduk suatu negara untuk masuk ke negara lain, sedangkan remigrasi adalah
kembalinya penduduk ke negara asalnya. Kedua yaitu mobilitas non-permanen
seperti seperti berwisata, bekerja, pendidikan dan sebagainya. ( Wagiman,
2012:54-55).
Emigrasi merupakan istilah yang biasa dipakai oleh negara asal karena
penduduknya meninggalkan wilayahnya sedangkan Imigrasi adalah istilah yang
biasa digunakan oleh negara tujuan. Untuk masuk ke suatu wilayah negara harus
melengkapi beberapa persyaratan antara lain paspor. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, paspor berarti “Surat keterangan yang dikeluarkan oleh pemerintah
untuk seorang warga negara yang akan mengadakan perjalanan ke luar negeri”.
Menurut M. Iman Santoso disebutkan bahwa Passport adalah pas atau izin
melewati pelabuhan atau pintu masuk, yang berasal dari kata pass yaitu melewati,
dan port yaitu pelabuhan atau pintu masuk. Passport ini biasanya memuat
identitas pemegang serta negara yang mengeluarkan. Paspor juga menunjukkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
identitas kewarganegaraan pemegang. Oleh karena itu negara yang mengeluarkan
berkewajiban memberikan perlindungan hukum bagi pemegang di mana pun
pemegang berada. Selain itu di dalam paspor dicantumkan kepada semua pihak
yang berkepentingan untuk mengizinkan pemegang paspor melewati suatu
wilayah secara leluasa, memberi bantuan, dan perlindungan kepadanya di dalam
melintasi batas suatu negara (M. Iman Santoso, 2004: 16).
Dalam rangka menyeleksi orang asing yang ingin masuk dan melakukan
perjalanan ke negara lain, dibutuhkan visa. Visa dipergunakan sebagai istilah
teknis di bidang keimigrasian yang artinya cap atau tanda yang diterakan pada
paspor, yang menunjukkan telah diperiksa dan disetujui oleh pejabat negara
tujuan, di luar negeri, untuk memasuki negara asal pejabat negara asing itu.
Pemeriksaan paspor dan visa yang tercantum di dalamnya merupakan bagian dari
proses keimigrasian pada saat kedatangan (M. Iman Santoso, 2004: 16).
Kedua surat-surat di atas adalah syarat umum untuk melalui suatu wilayah
negara. Bagi orang asing yang ingin berpergian ataupun singgah ke negara lain
wajib mempunyai surat-surat tersebut agar lalu lintas masuk keluarnya orang
asing dalam suatu negara berjalan dengan lancar. Lalu-lintas keluar masuknya
imigran di Indonesia ternyata tidak semuanya berjalan lancar sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang ada. Banyak diantaranya masuk secara
illegal, dalam arti tidak memenuhi persyaratan baik berupa tidak lengkapnya
paspor dan visa atau persyaratan lainnya seperti kartu identitas untuk para imigran
masuk ke suatu negara. Untuk itu diperlukan adanya pengawasan terhadap
imigran yang masuk ke Indonesia yang ditujukan untuk mengontrol keluar
masuknya imigran sesuai dengan ketentuan Imigrasi yang berlaku. Hal tersebut
dilakukan untuk menghindari adanya illegal migrant yang masuk ke Indonesia.
Berdasarkan data laporan ilegal imigran dari Kantor Imigrasi di Indonesia
Tahun 2000- 2001 tercatat 1.663 Warga Negara Asing (WNA) masuk secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
illegal dan 704 diantaranya tidak memiliki kerwarganegaraan yang jelas
(Direktorat Jenderal Imigrasi, 2000-2001). Pada tahun 2002 tercatat tidak kurang
dari 3.500 imigran gelap dari berbagai kewarganegaraan masuk ke Indonesia.
Tercatat tidak kurang dari 1.594 imigran ditangani United Nations High
Commissions of Refugees (UNHCR), 482 orang dinyatakan sebagai pengungsi
setelah proses penyaringan oleh UNHCR (screen-in). Bagi Imigran yang telah
mendapatkan status pengungsi oleh UNHCR diberi bantuan Rp 500.000,00
perbulan per keluarga. Sementara 1.114 orang lainnya berstatus suaka yang
sedang menunggu proses dari UNHCR (M. Iman Santoso, 2004: 228-229).
Sampai dengan 31 Maret 2012, sebanyak 3,781 pencari suaka dan 1,140
pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta. Sementara, belum ada jumlah pasti untuk
orang yang tidak memiliki kewarganegaraan ( http://www.unhcr.or.id/id/siapa-
yang-kami-bantu Diakses pada 18 April 2012 pukul 21:34 WIB). Sebagian besar
imigran tersebut berasal dari Afghanistan, Irak, Iran, Srilanka serta beberapa
negara Afrika lainnya. Para imigran tersebut biasanya menuju negara yang
mereka anggap aman seperti Australia sebagai negara migrant (migrant country)
http://www.unhcr.or.id/id/tugas-dan-kegiatan/solusi-jangka-panjang diakses pada
tanggal 21 Oktober 2012 pukul 21.30 WIB).
Perjalanan panjang menuju negara tujuan, banyak di antara imigran
terdampar di Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini. Negara-negara tersebut
diklasifikasikan sebagai negara transit (transit countries). Negara transit tersebut
hanya sebagai negara yang harus dilewati oleh para imigran. Imigran yang masuk
ke negara transit harus memiliki dokumen-dokumen yang lengkap, namun syarat-
syarat tersebut tidak semuanya dapat dipenuhi oleh para imigran. Hal inilah yang
menjadi permasalahan serius bagi negara transit. Dari rangkaian perjalanan
panjang tersebut untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi perlu kerjasama
yang komprehensif antarnegara yang berkaitan. Terlebih lagi kalau mengacu pada
politik hukum keimigrasian yang tidak mengatur secara khusus tentang imigran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
yang melewati wilayahnya dan sebagian besar negara transit bukan merupakan
migrant country sehingga tentu saja tidak ada dasar hukum bagi kaum imigran itu
untuk bertempat tinggal di negara transit tersebut (M. Iman Santoso, 2004:229).
Pada satu sisi kehadiran orang asing di suatu negara memberikan
keuntungan bagi hubungan international antar negara. Misalnya kerjasama
diplomatik dan konsuler serta kedatangan wisatawan asing yang memberikan
devisa kepada negara. Namun, disisi lain dapat memberikan kerugian bagi suatu
negara misalnya penyelundupan dan perdagangan manusia yang berakibat
terancamnya keamanan dan kedaulatan suatu negara
http://www.dephan.go.id/kemhan/files/04f92fd80ee3d01c8e5c5dc3f56b34e3.pdf
diakses pada tanggal 28 Oktober 2012 pukul 10.44 WIB) . Untuk mencegah
terjadinya tindakan kejahatan maka negara dapat melakukan
pemulangan/pengusiran atau tindakan hukum yang disebut dengan deportasi.
Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara hukum juga melaksanakan deportasi bagi
orang asing yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana di
wilayah negara Indonesia.
Pelaksanaan deportasi dilaksanakan oleh Dirjen Imigrasi Indonesia
berdasarkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang keimigrasian. Pasal 1
menjelaskan bahwa deportasi adalah tindakan paksa mengeluarkan orang asing
dari wilayah Indonesia. Deportasi pada dasarnya merupakan hak suatu negara
untuk mengusir orang asing yang dianggap melanggar peraturan,mengganggu
kestabilan negara, bahkan mengancam kedaulatan negara. J.G Strake dalam
bukunya “Pengantar Hukum Internasional (J.G Starke, 1972:98) mengatakan
bahwa: “Negara berwenang untuk mengusir orang-orang asing, mengembalikan
mereka ke negara asalnya dan mengantarkan mereka keperbatasan” .
Dapat disimpulkan bahwa deportasi adalah hak yang dimiliki oleh suatu
negara untuk mengeluarkan atau mengusir orang asing yang berada di wilayah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
territorial negaranya karena yang bersangkutan tidak dikehendaki oleh negara
penerima. Negara berhak mendeportasi orang asing yang terbukti melakukan
pelanggaran di suatu wilayah negara yang disinggahinya. Penderpotasian harus
dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan negara penerima. Apabila
sudah terbukti melakukan tindak pidana maka negara penerima segera
menindaklanjuti untuk segera dilakukan pendeportasian. Namun, sekali lagi
negara penerima dalam harus sangat teliti dalam mendeportasikan, sebab hal
tersebut berkenaan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM perlu
memperhatikan hukum international yang mengatur tentang pemulangan imigran
terlebih imigran pencari suaka dan pengungsi. Hukum Internasional mengenal
prinsip larangan pengusiran (non-refoulement), yaitu prinsip berupa larangan atau
tidak diperbolehkannya suatu negara untuk mengembalikan atau mengirimkan
pencari suaka dan pengungsi (refugee) ke suatu wilayah tempat pengungsi akan
menghadapi persekusi atau penganiayaan yang membahayakan hidupnya karena
alasan-alasan yang berkaitan dengan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada
kelompok sosial tertentu, atau keyakinan politiknya (Dwi Astuti Palupi, 2007:7).
Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Pasal 31 Konvensi Pengungsi
1951, yang melarang negara dimana pengungsi berada untuk melakukan
pengusiran dengan alasan formal, misalnya kedatangan secara tidak sah atau
kegagalan melaporkan kepada otoritas yang berwenang dalam batas waktu yang
telah ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 33 Konvensi Pengungsi
1951 yang menyatakan bahwa “negara pihak tidak boleh melakukan pengusiran
atau pengembalian pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah-wilayah
dimana hidup dan kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan,
keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Dapat diperjelas disini bahwa deportasi dan refoulement adalah berbeda.
Walaupun sekilas terlihat sama yaitu sama-sama dalam hal pengusiran imigran
dari suatu wilayah negara, namun pada dasarnya dua hal tersebut sangat berbeda.
Deportasi merupakan pengusiran orang asing di suatu wilayah negara lain karena
yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana atau melanggar aturan di
negara tersebut. Sedangkan refoulement tidak didasarkan imigran tersebut
melakukan tindak pidana atau melakukan pelanggaran yang bertentangan dengan
peraturan keimigrasian suatu negara tetapi berdasarkan karena imigran tersebut
merupakan pencari suaka atau pengungsi yang harus mendapat perlindungan
sehingga negara yang disinggahi tidak dapat melakukan pemulangan dengan
sewenang-wenang.
Pelaksanaan deportasi dan prinsip non-refoulement diatur dalam Universal
Declaration of Human Rights 1948 (UDHR-DUHAM), yaitu Pasal 3, Pasal 9 dan
Pasal 14. Hak-hak tersebut diakui dalam International Customary Law/ hukum
kebiasaan internasional sebagai hak yang melekat pada individu dan tidak dapat
dihalang-halangi atau diambil (non derogable rights). Pasal 13 Paragraf 2
Deklarasi HAM PBB 1948 menyebutkan “Everyone has the right to leave any
country, including his own, and to return to his country”. Hal ini disebabkan
karena Universal Declaration of Human Rights1948 bersifat universal sehingga
menjadi modal ideal bagi dokumen atau konstitusi hak asasi manusia yang
terdapat di beberapa negara (Dwi Astuti Palupi, 2007:10).
Selain DUHAM tersebut diatas terdapat konvensi lain yang mengatur
tentang hak asasi manusia yaitu Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik
(KIHSP) yang dikenal dengan nama resmi International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR). Saat ini KIHSP telah diratifikasi oleh 167 negara
(http://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-
4&chapter=4&lang=en diakses pada tanggal 3 Juni 2012 pukul 18.07 WIB) .
Tidak kurang dari 80% negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
(PBB) yang berjumlah 193 negara telah menjadi negara pihak (State Parties)
dari kovenan tersebut. Ditinjau dari segi tingkat ratifikasi, maka dapat dikatakan
kovenan ini memiliki tingkat universalitas yang sangat tinggi bila dibanding
dengan perjanjian internasional hak asasi manusia lainnya (Ifdhal Kasim,
2011:2).
Konvenan ini mewajibkan negara pihak untuk melaksanakan tanggung
jawab perlindungan dan upaya pemenuhan terhadap kebebasan terdapat dalam
Pasal 2 ayat (1) ICCPR menyatakan bahwa “setiap negara yang meratifikasi
perjanjian itu terikat atau berkewajiban untuk menghormati hak-hak dari individu
yang berada di wilayahnya tanpa membeda-bedakan ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik, pendapat, asal kebangsaan atau kelas sosial,
kelas kejayaan dan lain-lain status”.
Dalam kaitannya dengan masalah pemulangan/deportasi konvenan ini
mengatur secara jelas dalam Pasal 13 yang berbunyi:
“An alien lawfully in the territory of a State Party to the present Covenant
may expelled therefrom only in pursuance of a decision reached in
accordance with law and shall, except where compelling reasons of national
security otherwise require, be allowed to submit the reasons against his
expulsion and to have his case reviewed by, and be represented for the
purpose before, the competent authority or a person or persons especially
designated by the competent authority”
Pasal tersebut berarti bahwa hak sebagai orang asing hanya dapat diusir
atau dipulangkan berdasarkan putusan hukum dan alasan keamanan nasional,
selain dua alasan tersebut prinsip non-refoulement berlaku. Hal tersebut secara
jelas diterangkan kembali dalam Penjelasan dari Pasal 13 ICCPR dalam General
Comment 15 menjelaskan bahwa Pasal 13 mengatur secara langsung hanya
tentang prosedur dan tidak alasan-alasan substantif dari pengusiran. Namun,
dengan menentukan “hanya menurut keputusan yang dikeluarkan berdasarkan
hukum”, maka tujuan pasal jelas untuk mencegah pengusiran secara sewenang-
wenang. Di sisi lain, pasal ini memberikan hak bagi setiap non-warga negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
untuk mengambil keputusan dalam kasusnya sendiri, oleh karena itu, pasal 13
tidak terpenuhi hanya dengan hukum atau keputusan-keputusan mengenai
pengusiran kolektif atau massal, mengenai diperbolehkannya orang asing yang
akan diusir untuk mengajukan kembali kasus deportasinya sesuai dengan hukum
kecuali terpaksa atas alasan keamanan negara, serta tidak ada diskriminasi
terhadap warga negara. Sehubungan dengan hal tersebut karena sejauh ini
pemerintah Indonesia belum memiliki mekanisme nasional untuk menangani
pengungsi dan pencari suaka yang mengakibatkan aparat pemerintah kita
seringkali mengalami kesulitan dalam menangani pengungsi dan pencari suaka
yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan uraian di atas, penulis membuat penelitian hukum dalam
bentuk skripsi dengan judul LEGALITAS PEMULANGAN IMIGRAN
OLEH PEMERINTAH INDONESIA BERDASARKAN HUKUM
PENGUNGSI DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL.
B. Pembatasan Masalah
Dalam Penelitian ini penulis membatasi permasalahan pada subjek
penelitian yaitu Imigran pencari suaka dan pengungsi yang dipulangkan oleh
Indonesia didasarkan atas hukum pengungsi yaitu Konvensi 1951 dan Protokol
Tambahan 1967 serta beberapa Hukum Hak Asasi Manusia yaitu yaitu :Universal
Declaration of Human Rights 1948 dan International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR).
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam latar belakang masalah maka
penulis akan merumuskan permasalahan yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan pemulangan imigran berdasarkan Hukum Pengungsi
dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
2. Apakah pemulangan imigran oleh pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan
Hukum Pengungsi dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional?
D. Tujuan Penelitian
Agar suatu penelitian dapat berjalan dengan baik maka harus mempunyai
tujuan. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif dan merupakan
pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut (Soerjono
Soekanto,2007:118-119). Tujuan yang dikenal dalam penelitian ada dua macam,
yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif. Tujuan objektif dan subjektif adalah:
1. Tujuan objektif
Tujuan objektif adalah tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang
mendasari penulis dalam melakukan penelitian. Tujuan objektif dari penelitian
ini adalah:
a. Untuk mendeskripsikan pengaturan pemulangan imigran dalam Hukum
Pengungsi dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional
b. Untuk mendeskripsikan pemulangan imigran oleh negara Indonesia
ditinjau dari Hukum Pengungsi dan Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional
2. Tujuan subjektif
Tujuan subjektif adalah tujuan penulisan yang dilihat dari tujuan pribadi
penulis.Tujuan subjektif adalah yang menjadi dasar penulis dalam melakukan
penulisan. Tujuan subjektif penulis adalah:
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis di bidang ilmu
hukum Internasional;
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana
dibidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
c. Untuk menerapkan dan mengasah ilmu serta teori-teori hukum yang telah
penulis peroleh agar dapat memberi mafaat bagi penulis sendiri khususnya
dan masyarakat pada umumnya.
E. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian diharapkan mampu memberi manfaat atau faedah, baik
secara tertulis maupun praktis yang nantinya dapat berguna bagi penulis,
masyarakat luas maupun perkembangan ilmu hukum sendiri. Manfaat yang
diharapkan dalam penelitian ini yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis adalah manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan
dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari penulisan ini adalah
sebagai berikut:
a. Penulisan hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan di
bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum internasional pada
khususnya;
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya
referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan di bidang hukum tentang
pemulangan Imigran ke negara asal berdasarkan Hak Asasi Manusia
(HAM) Internasional;
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-
penelitian sejenis selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis adalah manfaat dari penelitian hukum ini yang berkaitan
dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari penulisan ini sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
a. Menjadi wahana bagi penulisan untuk mengembangkan penalaran dan
pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh;
b. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memberi masukan
kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
F. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan
argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa untuk menghasilkan
suatu argumentasi, teori maupun konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah, maka diperlukan suatu kontruksi pemikiran yang bersifat
logis. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini
adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atau
ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan
hukum yang lain. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab
isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 35).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum
itu sendiri dan ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif.
Sebagai penelitian yang bersifat preskriptif, maka penelitian ini mempelajari
tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005 :22).
Penelitian hukum ini mempelajari tentang pemulangan Imigran di Indonesia
sesuai dengan hukum pengungsi dan Hukum Hak Asasi Manusia (HAM)
Internasional yang kemudian dihubungkan dengan fakta (kasus) yang terjadi
di Indonesia.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian normatif yang digunakan antara lain adalah
pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, pendekatan analitis,
pendekatan kasus, pendekatan filsafat, pendekatan historis, dan pendekatan
perbandingan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
perundang-udangan yaitu undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Keimigrasian dan Hukum Pengungsi Internasional dan Hukum Hak Asasi
Manusia (HAM) Internasional serta pendekatan kasus yaitu beberapa kasus
pemulangan imigran.
4. Jenis Bahan Hukum
Dalam suatu penelitian hukum dibutuhkan adanya bahan hukum.
Menurut Peter Mahmud, sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan
menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan- bahan hukum primer
dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan
hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan
hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki,
2005:141). Adapun bahan hukum primer dan sekunder dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum atau bahan pustaka yang
mempunyai unsur mengikat. Bahan hukum primer meliputi:.
1) The 1951 Convention Relating to the Status of Refugess;
2) The 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees;
3) Universal Declaration of Human Rights 1948;
4) International Covenant on Civil and Political Rights;
5) Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011
Tentang Keimigrasian
Peraturan pada level internasional adalah, Hukum Pengungsi yaitu
The 1951 Convention Relating to the Status of Refugess dan The 1967
Protocol Relating to the Status of Refugees serta Hukum Hak Asasi
Manusia Internasional yaitu Universal Declaration of Human Rights
1948I dan nternational Covenant on Civil and Political Rights sebagai
premis mayor dan pemulangan imigran oleh pemerintah Indonesia
berdasarkan hukum pengungsi dan hak asasi manusia sebagai premis
minor.
b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang memberi penjelasan
hukum primer, seperti buku-buku, jurnal hukum, dan hasil penelitian yang
relevan atau berkaitan dengan penelitian ini. Jurnal yang digunakan
diantaranya yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
1) Sukanda Husin, 1998, “UNHCR dan Perlindungan Hak Azasi
Manusia”. Jurnal Hukum No 7 Th. V/ 1998. Padang : FH Univ.
Andalas;
2) Betts Alexander International Journal of Refugee Law Vol. 22 No. 2
(2010).
c. Bahan hukum tersier, meliputi:
1) Internet;
2) Kamus;
3) Modul;
4) Ensiklopedia.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah teknik studi pustaka dan studi dokumen. Teknik ini
dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Langkah selanjutnya penulis membaca ,menganalisa, mengkaji
serta membuat hasil analisis yang didapat dari buku-buku, peraturan
perundang-undangan dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Peraturan perundang-undangan yang dipakai yaitu
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian dan peraturan
internasional yaitu The 1951 Convention Relating to the Status of Refugess;
The 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees; Universal Declaration
of Human Rights 1948; dan International Covenant on Civil and Political
Rights;
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini sumber hukum yang diperoleh dari perundang-
undangan, buku-buku, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dikumpulkan
kemudian dianalisis untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian
ini adalah metode deduktif. Menurut Philipus M. Hajdon yang dikutip oleh
Peter Mahmud Marzuki menerangkan bahwa metode deduksi sebagaimana
silogisme yang diajarkan Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal
dari pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan
premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik
kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 47). Premis
major dalam penelitian ini yaitu pemulangan imigran berdasarkan hukum
pengungsi dan hukum hak asasi manusia. Sedangkan premis minor yaitu
kasus pemulangan imigran oleh pemerintah Indonesia berdasarkan hukum
pengungsi dan hak asasi manusia. Kemudian dapat disimpulkan bahwa
pemulangan imigran oleh pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan hukum
pengungsi dan hak asasi manusia (legal).
G. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mengetahui gamabaran secara menyeluruh sistematika penulisan
hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk
mempermudah pemahaman penulisan hukum ini, maka penulis menjabarkan
dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab
dimana tiap-tiap bab terbagi menjadi sub-sub bab yang nantinya mempermudah
pemahaman mengenai penulisan ini secara keseluruhan. Sistematika penulisan
hukum ini terdiri dari pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan dan penutup.
Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan
hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori
ini penulis menguraikan tinjauan mengenai Pengertian imigran, pengungsi serta
peraturan yang mengaturnya. Sedangkan dalam kerangka pemikiran penulis
memberikan gambaran dalam melakukan penulisan hukum.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang telah didapat serta menganalisis
permasalahannya seperti yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Dalam
penulisan hukum ini yang menjadi pokok permasalahan adalah pemulangan
imigran dalam kasus pemulangan imigran oleh pemerintah Indonesia ke negara
asal.
BAB IV PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari pembahasan sebelumnya disertai dengan
saran sebagai pemecahan permasalahan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
Dalam penulisan ini peneliti mengkaji beberapa teori hukum pengungsi
internasional, imigrasi, Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan pelaksanaan
pemulangan imigran oleh pemerintah Indonesia untuk menjawab permasalahan
dalam penelitian hukum ini. Beberapa teori tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Tinjauan tentang Imigrasi
Istilah imigrasi berasal dari bahasa latin migratio yang artinya
perpindahan orang dari suatu tempat atau negara menuju ke tempat atau
negara lain. Ada istilah emigratio yang mempunyai arti berbeda, yaitu
perpindahan penduduk dari suatu wilayah atau negara ke luar menuju wilayah
atau negara lain. Sebaliknya, istilah immigratio dalam bahasa latin
mempunyai arti perpindahan penduduk dari suatu negara untuk masuk ke
dalam negara lain. Pada hakikatnya emigrasi dan imigrasi itu menyangkut hal
yang sama yaitu perpindahan penduduk antar negara, tetapi yang berbeda
adalah cara memandangnya. Ketika seseorang pindah ke negara lain, peristiwa
ini dipandang sebagai peristiwa emigrasi, namun bagi negara yang didatangi
orang tersebut peristiwa itu sebagai peristiwa imigrasi (Iman Santoso, 2004:
14-15).
Menurut Koemiatrnanto Soetorawiro, keimigrasian adalah hal ihwal
mengenai orang-orang yang masuk atau keluar di wilayah Indonesia sekaligus
mengawasi terhadap orang asing tersebut. Pada dasarnya penduduk Indonesia
terdiri atas dua golongan, yaitu warga negara Indonesia dan orang asing atau
warga negara Indonesia dan orang asing atau warga asing. Untuk itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Indonesia harus mengatur permasalahan masuk dan keluarnya orang asing
yang ada di Indonesia terutama yang berkaitan dengan prinsip, tata
pengawasan, tata pelayanan guna menjamin kemanfaatan dan melindungi
berbagai kepentingan nasional Indonesia (Koemiatrnanto Soetorawiro,
1996:74).
Terdapat berbagai alasan yang menyebabkan seseorang melakukan
imigrasi, misalnya ketidaknyamanan berada di negara asal (adanya perang),
penyerbuan atau pendudukan bangsa lain, adanya keinginan untuk mencari
kehidupan yang lebih layak, ketidakcocokan dengan sistem pemerintahan di
negara asal, adanya keinginan untuk mempelajari ilmu baru yang terdapat di
negara lain serta alasan lain yang memungkinkan seseorang melakukan
imigrasi dari negara asal.
Forced Migration Online (FMO) telah mengadopsi definisi ' migrasi
paksa' dipromosikan oleh International Association for the Study of Forced
Migration (IASFM)/ Asosiasi Internasional untuk Studi Migrasi Paksa yang
menggambarkan sebagai istilah umum yang mengacu pada pergerakan
pengungsi dan orang terlantar (orang-orang terlantar akibat konflik) sebagai
serta orang-orang terlantar akibat bencana alam atau lingkungan, kimia atau
bencana nuklir, kelaparan, atau proyek pembangunan. FMO memandang
migrasi paksa sebagai satu set kompleks, luas dan menyebar luas fenomena.
Studi tentang migrasi terpaksa multidisiplin, internasional, dan multisektoral,
menggabungkan perspektif akademis, praktisi, lembaga dan lokal. FMO
berfokus pada tiga terpisah, meskipun kadang-kadang simultan dan saling
terkait, jenis migrasi paksa. Ketiga jenis dikelompokkan menurut faktor
penyebab mereka: konflik kebijakan pembangunan, dan proyek, dan bencana,
http://www.forcedmigration.org/about/whatisfm/what-is-forced-migration
diakses pada t anggal 17 Juli 2012, pukul 10.49 WIB), yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
a. Conflict-Induced Displacement
People who are forced to flee their homes for one or more of the following
reasons and where the state authorities are unable or unwilling to protect
them: armed conflict including civil war; generalized violence; and
persecution on the grounds of nationality, race, religion, political opinion
or social group.
b. Development-Induced Displacement
These are people who are compelled to move as a result of policies and
projects implemented to supposedly enhance „development‟. Examples of
this include large-scale infrastructure projects such as dams, roads, ports,
airports; urban clearance initiatives; mining and deforestation; and the
introduction of conservation parks/reserves and biosphere projects.
c. Disaster-Induced Displacement
This category includes people displaced as a result of natural disasters
(floods, volcanoes, landslides, earthquakes), environmental change
(deforestation, desertification, land degradation, global warming) and
human-made disasters (industrial accidents, radioactivity). Clearly, there
is a good deal of overlap between these different types of disaster-induced
displacement. For example, the impact of floods and landslides can be
greatly exacerbated by deforestation and agricultural activities.
Ketiga jenis pengungsi diatas mempunyai alasan-alasan yang berbeda-
beda namun memiliki persamaan yaitu sama-sama faktor ketidaknyamanan,
sehingga memaksa mereka untuk pergi ke luar wilayah. Pengungsi yang
masuk ke suatu negara tetap melalui prosedur sesuai dengan negara yang
disinggahi. Seperti Indonesia yang seringkali menjadi negara transit
mempunyai badan yang berwenang mengurusi lalu lintas keluar masuknya
orang ke wilayah Indonesia yaitu Direktorat Keimigrasian. Direktorat
Keimigrasian termasuk salah satu instansi pemerintah, yang salah satu
kegiatannya memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Pelayanan dalam
hal memberikan segala perizinan keimigrasian berupa Visa, Izin masuk,
pendaftaran orang asing, izin masuk kembali, izin keluar tidak kembali, Surat
Perjalanan RI, tanda bertolak, tanda masuk, surat keterangan keimigrasian dan
perubahan keimigrasian. Tempat-tempat pelayanan keimigrasian, meliputi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
bidang atau sub bidang imigrasi pada Perwakilan Indonesia di luar negeri, di
perjalanan dalam pesawat udara, maupun kapal laut, tempat pemeriksaan
imigrasi, Kantor Imigrasi, Bidang Imigrasi pada Kantor Wilayah Kementerian
Kehakiman dan HAM, serta Direktorat Jenderal Imigrasi.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21634/4/Chapter%20I.pdf
diakses pada tanggal 14 Agustus 2012 pukul 22.17 WIB).
Keimigrasian di Indonesia diatur oleh Undang Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pengertian keimigrasian dalam undang-
undang tersebut dijelaskan bahwa: “Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas
orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam
rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara”. Dari pengertian tersebut dapat
ditarik kesimpulan terdapat 2 unsur pengaturan keimigrasian yang penting,
yaitu:
a. Pengaturan tentang berbagai hal mengenai aturan keluar masuk dan
tinggal dari dan ke dalam wilayah negara republik Indonesia.
b. Pengaturan tentang berbagai hal mengenai pengawasan orang asing di
wilayah Republik Indonesia.
Selanjutnya untuk menjaga keamanan negara Indonesia terhadap orang
yang masuk atau datang ke Indonesia dan keluar dari Indonesia maka mereka
wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku. Orang asing
yang memasuki wilayah yurisdiksi Indonesia, wajib memenuhi beberapa
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian, yaitu
(Wahyudin Ukun, 2004:23-24):
a. Wajib memiliki surat perjalanan yang sah dan masih berlaku, sebagaimana
dimaksud Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian (selanjutnya disebut dengan UUK), dan menurut Petunjuk
Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: F- 307.IZ.01.10 Tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
1995 tanggal 15 Maret 1995. Menurut Petunjuk Pelaksanaan Direktur
Jenderal Imigrasi Nomor: F-307.IZ.01.10 Tahun 1995 tanggal 15 Maret
1995 tersebut, yang dimaksud dengan surat perjalanan yang masih berlaku
adalah minimal 6 (enam) bulan. Pengertian surat perjalanan menurut Pasal
8 ayat (1) UUK adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang dari suatu negara yang memuat identitas pemegangnya
dan berlaku untuk melakukan perjalanan antar negarai. Jenis surat
perjalanan negara asing antara lain: paspor diplomatik, paspor dinas,
paspor biasa, certificate of identity, seamans book. Jenis surat perjalanan
seamans book, belum semua negara memberlakukannya termasuk
Indonesia.
b. Wajib memiliki visa.
Pasal 8 ayat (2) UUK menyebutkan: “Setiap Orang Asing yang masuk
Wilayah Indonesia wajib memiliki Visa yang sah dan masih berlaku,
kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang Undang ini dan perjanjian
internasional”. Visa hanya diberikan kepada orang asing yang maksud dan
tujuan kedatangannya di Indonesia bermanfaat serta tidak akan
menimbulkan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan nasional.
Pengecualian dari kewajiban orang asing yang memiliki visa sebagaimana
yang diatur pada Pasal 43 ayat (2) UUK yaitu:
1) warga negara dari negara tertentu yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Presiden dengan memperhatikan asas timbal balik dan asas
manfaat;
2) warga negara asing pemegang Izin Tinggal yang memiliki Izin Masuk
Kembali yang masih berlaku;
3) nahkoda, kapten pilot, atau awak yang sedang bertugas di alat angkut;
4) nahkoda, awak kapal, atau tenaga ahli asing di atas kapal laut atau alat
apung yang datang langsung dengan alat angkutnya untuk beroperasi
di perairan Nusantara, laut teritorial, landas kontinen, dan/atau Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
c. Wajib melalui pemeriksaan oleh pejabat imigrasi di tempat pemeriksaan
imigrasi. Pemeriksaan keimigrasian dilakukan terhadap surat dan atau
orang, antara lain surat perjalanan, visa atau dibebaskan dari keharusan
memiliki visa, fisik sepanjang menyangkut gangguan jiwa atau penyakit
menular, kartu embarkasi dan disembarkasi, daftar cekal, dan daftar awak
alat angkut serta daftar penumpang;
d. Wajib mendapat izin masuk yaitu izin yang diterakan pada visa atau surat
perjalanan orang asing untuk memasuki wilayah Indonesia yang diberikan
oleh pejabat imigrasi di tempat pemeriksaan imigrasi;
e. Wajib memiliki izin masuk kembali yang masih berlaku bagi orang asing
yang memiliki izin tinggal terbatas dan tetap;
f. Namanya tidak termasuk dalam daftar penangkalan yaitu larangan yang
bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk masuk ke wilayah
berdasarkan alasan tertentu.
Visa adalah ijin tertulis yang diberikan oleh pejabat berwenang pada
perwakilan Republik Indonesia atau di tempat lainnya yang ditetapkan oleh
Pemerintah Indonesia yang memuat persetujuan bagi orang asing untuk
masuk dan melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia (Koemiatrnanto
Soetorawirom, 1996:75). Jenis-jenis visa Indonesia:
a. Visa Diplomatik
Visa diplomatik diberikan kepada orang asing termasuk anggota
keluarganya berdasarkan perjanjian internasional, prinsip resiprositas, dan
penghormatan (courtesy). Pasal 35 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian);
b. Visa Dinas
Visa dinas diberikan kepada orang asing pemegang paspor dinas dan
paspor lain yang akan melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia dalam
rangka melaksanakan tugas resmi yang tidak bersifat diplomatik dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
pemerintah asing yang bersangkutan atau organisasi internasional (Pasal
36 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian).
c. Visa Kunjungan yang terdiri dari:
Visa kunjungan, digunakan dalam penerapannya dapat diberikan untuk
melakukan kegiatan, antara lain:
1) wisata;
2) keluarga;
3) sosial;
4) seni dan budaya;
5) tugas pemerintahan;
6) olahraga yang tidak bersifat komersial;
7) studi banding, kursus singkat, dan pelatihan singkat;
8) memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pelatihan dalam penerapan
dan inovasi teknologi industri untuk meningkatkan mutu dan desain
produk industri serta kerja sama pemasaran luar negeri bagi
Indonesia;
9) melakukan pekerjaan darurat dan mendesak;
10) jurnalistik yang telah mendapat izin dari instansi yang berwenang;
11) pembuatan film yang tidak bersifat komersial dan telah mendapat
izin dari instansi yang berwenang;
12) melakukan pembicaraan bisnis;
13) melakukan pembelian barang;
14) memberikan ceramah atau mengikuti seminar;
15) mengikuti pameran internasional;
16) mengikuti rapat yang diadakan dengan kantor pusat atau perwakilan
di Indonesia;
17) melakukan audit, kendali mutu produksi, atau inspeksi pada cabang
perusahaan di Indonesia;
18) calon tenaga kerja asing dalam uji coba kemampuan dalam bekerja;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
19) meneruskan perjalanan ke negara lain; dan
20) bergabung dengan alat angkut yang berada di Wilayah Indonesia.
d. Visa tinggal terbatas;
Visa tinggal terbatas diberikan kepada orang asing yang
bermaksud bertempat tinggal dalam jangka waktu yang terbatas dan dapat
juga diberikan kepada orang asing eks warga negara Indonesia yang telah
kehilangan kewarganegaraan Indonesia berdasarkan Undang Undang
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan bermaksud untuk
kembali ke Indonesia dalam rangka memperoleh kewarganegaraan
Indonesia kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. (Pasal 39 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian).
Beberapa pendapat dalam hukum internasional mengenai hak-hak dan
kewajiban negara-negara berkenaan dengan orang-orang asing mengenai izin
masuk ada 4 (empat) pendapat penting dinyatakan berkenaan dengan izin
masuk (admission) orang-orang asing ke negara-negara bukan negara mereka,
yaitu:
a. Suatu negara berkewajiban memberikan izin kepada semua orang
asing;
b. Suatu negara berkewajiban untuk memberi izin kepada semua orang
asing, dengan syarat bahwa negara tersebut berhak menolak gabungan-
gabungan tertentu, misalnya pecandu-pecandu obat bius, orang-orang
berpenyakit tertentu dan orang-orang yang tidak dikehendaki lainnya;
c. Suatu negara terikat untuk mengizinkan orang-orang asing untuk
masuk tetapi dapat mengenakan syarat-syarat yang berkenaan dengan
izin masuk mereka;
d. Suatu negara sepenuhnya berhak melarang semua orang asing menurut
kehendaknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Sejauh menyangkut praktek negara, boleh dikatakan bahwa pendapat
yang pertama di atas tidak pernah diterima sebagai suatu kaidah umum hukum
internasional. Sebagian besar negara menyatakan dalam teori hukum untuk
menolak setiap orang asing yang tidak dikehendakinya, yang menegaskan
bahwa hak penuh tersebut merupakan suatu akibat esensial pemerintah yang
berdaulat.
2. Pemulangan (Deportasi)
Pasal 1 angka 36 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
keimigrasian menjelaskan bahwa deportasi adalah tindakan paksa
mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah Indonesia. Tindakan yang sering
dilakukan suatu negara terhadap warga negara asing (WNA) yang telah
melakukan tindakan yang merugikan kepentingan negara (Dwi Palupi Astuti,
2007:38).
Pengertian Deportasi menurut Sri Setianingsih Suwandi yaitu bahwa
“pengusiran orang asing untuk keluar wilayah suatu negara dengan alasan
bahwa dengan adanya orang asing tersebut dalam wilayahnya tidak
dikehendaki oleh negara yang bersangkutan”. Menurut O‟Connel yang dikutip
oleh Sri Setianingsih Suwandi, pada umumnya alasan yang dipergunakan
untuk mendeportasi seseorang adalah (Sri Setianingsih Suwandi, 1977:85):
a. Karena melakukan tindakan yang membahayakan kepentingan umum;
b. Karena tidak dapat lagi membiayai hidupnya;
c. Karena melakukan kejahatan berhubungan dengan pelacuran;
d. Karena menderita penyakit menular;
e. Karena alasan-alasan politik, misalnya mengadakan kegiatan spionase
atau kegiatan politik lainnya;
f. Karena melakukan tindakan melawan hukum setempat; dan
g. Karena menghina bendera negara-negara yang bersangkutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Deportasi sebagai salah satu cara mengeluarkan orang yang melanggar
hukum pada prinsipnya bukan merupakan tindakan penghukuman tetapi
merupakan tindakan administrasi. Deportasi merupakan suatu perintah dari
negara yang menetapkan orang asing dalam jangka waktu harus pergi atau
keluar dari wilayah teritorialnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa deportasi
adalah suatu tindakan sepihak dan bagi orang asing yang dikenai deportasi,
tidak ada jalan lain lagi kecuali mematuhi perintah pendeportasian (Dwi
Astuti Palupi, 2007:7).
Ada beberapa macam tindakan keimigrasian dilakukan terhadap orang
asing yang dianggap telah melanggar ketentuan sebagai berikut:
a. Pembatasan, perubahan atau pembatalan izin keimigrasian (izin keberadaan
atau izin tinggal);
b.Larangan untuk berada di suatu wilayah atau beberapa tempat tertentu di
wilayah Indonesia;
c. Keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di wilayah
Indonesia;
d.Pengusiran atau deportasi dari wilayah Indonesia atau penolakan masuk
kewilayah Indonesia.
Proses deportasi meliputi kelengkapan dokumen perjalanan (paspor),
tiket pulang ke negara asal dan sebagainya. Apabila orang asing tersebut
selesai di deportasi, maka selesailah rangkaian proses penegakan hukum
keimigrasian melalui proses peradilan sebagai sub sistem dan Sistem
Peradilan Pidana. Mengenai proses peradilan dari waktu penyidikan hingga
vonis peradilan diperlukan waktu dari 2 (dua) bulan hingga 3 (tiga) bulan
lamanya. Kemudian proses itu sendiri PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil)
tidak langsung menyerahkan Berkas Perkara kepada Penuntut Umum (Jaksa),
harus melalui Koordinator Pengawas (Penyidik POLRI), dalam hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
terdapat jenjang birokrasi dalam hal penyelesaian perkara kasus tindak pidana
tertentu (tindak pidana keimigrasian) (Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal
Imigrasi Nomor F.337.IL.02.01). Maka selesailah proses tindakan
keimigrasian oleh pihak yang berwenang.
Tindakan pelanggaran keimigrasian diatas dianggap telah melanggar
ketentuan perundang-undangan yang ada, untuk itu dalam setiap bentuk
keputusan tindakan keimigrasian harus disertai dengan alasan-alasan yang
jelas, misalnya karena melakukan kegiatan yang berbahaya atau patut diduga
berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum atau karena tidak
menghormati atau mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan untuk menetapkan Keputusan Tindakan Keimigrasian di tingkat
operasional ada pada Kepala Kantor Imigrasi di tingkat pengawasan dan
pengendalian ada pada koordinator/bidang Imigrasi pada setiap Kantor
Wilayah dan tingkat pusat dalam hal ini Direktur Jenderal Imigrasi yang
dalam pelaksanaannya pada Direktur Pengawasan dan Penindakan
Keimigrasian. Meskipun pengaturan mengenai keberadaan dan kegiatan orang
asing di suatu negara merupakan instrumen penegakan kedaulatan negara,
Undang Undang keimigrasian juga mengatur hak orang asing yang terkena
tindakan keimigrasian untuk mengajukan keberatan secara urut atau hierarki,
hal ini berarti bahwa hukum keimigrasian juga memperhatikan masalah
tersebut sebagai bagian hak asasi manusia.
3. Penanganan Warga Negara Asing (WNA) yang melanggar hukum di
Indonesia
Bentuk pelanggaran yang biasanya dilakukan oleh warga negara asing
yaitu menyalahgunakan visa turis, pemalsuan surat-surat, serta melanggar
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mekanisme penanganan WNA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
yang dituduh melakukan pelanggaran/melakukan tindak pidana di Indonesia
(Syahmin, 2008: 253):
a. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum setempat perlu segera
memberitahukan Kementerian Luar Negeri dan departemen/lembaga
pemerintah terkait lainnya (Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Hukum dan HAM, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Badan
Intelijen Strategis, dan Badan Intelijen Negara) atas setiap penangkapan
WNA yang diduga melakukan pelanggaran/ melakukan tindak pidana di
daerah.
b. Pemberitahuan dilengkapi dengan dokumen pendukung, yaitu:
1) kronologi penangkapan/penahanan yang bersangkutan;
2) berkas tuduhan/dakwaan kepolisian/kejaksaan setempat;
3) kopi paspor yang bersangkutan;
4) hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mempercepat proses
pemeriksaan/peradilan yang bersangkutan.
c. Berdasarkan keterangan dan dokumen diatas, Kementerian Luar Negeri
memberitahukan perwakilan diplomatik/konsuler WNA tersebut dan
menjelaskan jenis tuduhan/dakwaan terhadap yang bersangkutan serta
proses hukum/peradilan yang akan ditempuh berikut, apabila diperlukan,
permintaan klarifikasi keaslian identitas/paspor yang bersangkutan dan
hal-hal lain yang dapat mempercepat proses pemeriksaan/peradilan yang
bersangkutan.
d. Kementerian Luar Negeri memberitahukan kasus penangkapan/penahanan
tersebut kepada perwakilan RI di luar negeri dan apabila diperlukan,
meminta Perwakilan RI untuk mengonfirmasikan kepada pemerintah
setempat,keaslian identitas/paspor yang bersangkutan.
e. Terhadap WNA yang dituduh melakukan tindak pidana atau digugat
secara perdata berdasarkan hukum Indonesia, namun proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
pemeriksaan/peradilan mengalami kendala akibat ketidakhadiran yang
bersangkutan di wilayah hukum Indonesia, Pemerintah Indonesia dapat
melakukan upaya hukum, diantaranya melalui:
1) Pengekstradisian yang bersangkutan atau dengan menggunakan
mekanisme bantuan timbal balik di bidang pidana dengan pemerintah
WNA tersebut berada, berdasarkan perjanjian ekstradisi/mutuallegal
assistance in criminal matters atau melalui kesepakatan masing-
masing negara;
2) Penyampaian relaas panggilan untuk menghadiri sidang pengadilan
kasus-kasus perdata.
f. Upaya tersebut secara formal disampaikan Pemerintah Indonesia c.q
Kementerian Luar Negari kepada pemerintah negara asing melalui saluran
diplomatik dengan melibatkan perwakilan diplomatik/konsuler negara
yang bersangkutan di Indonesia dan perwakilan diplomatik/konsuler
Indonesia di negara yang bersangkutan.
Beberapa pertimbangan yang menyebabkan sanksi pidana dalam
Undang Undang Keimigrasian yang termasuk dalam hukum administratif di
mana ancaman pidananya tergolong berat, tidak ringan sebagaimana lainnya,
yaitu (M. Imam Santoso, 2006:223)
a. keimigrasian berkaitan erat dengan penegakan kedaulatan negara,
ketentuan-ketentuan keimigrasian merupakan bagian dari instrumen
penegakan kedaulatan negara;
b. keimigrasian berkaitan erat dengan sistem keamanan negara, aspek
keimigrasian terkait langsung dengan kegiatan intelijen, dukungan
terhadap penegakan hukum secara umum misalnya pemeriksaan terhadap
pelaku kejahatan dan sebagainya;
c. penegakan hukum secara umum misalnya pemeriksaan terhadap pelaku
kejahatan dan sebagainya. Keimigrasian berkaitan dengan aspek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
pencapaian kesejahteraan masyarakat, melalui pelayanan keimigrasian
terhadap para wisatawan, investor asing dan lain-lain kegiatan yang
mempunyai dampak langsung ataupun tidak langsung dalam rangka
pembangunan nasional;
d. Keimigrasian berkaitan dengan hubungan internasional baik dalam bentuk
pelayanan maupun penegakan hukum ataupun dalam bentuk kerjasama
secara bilateral maupun internasional;
e. Keimigrasian berkaitan langsung dengan upaya-upaya memerangi
kejahatan yang bersifat terorganisir dengan scope international, sesuai
dengan konvensi-konvensi PBB, termasuk dalam hal penanganan refugee
dan asylum seekers;
f. Keimigrasian berkaitan dengan tuntutan universal, mengenai hak-hak sipil
dan hak-hak asasi manusia yang sudah berlaku secara universal.
4. Imigran (Pengungsi dan Pencari Suaka)
a. Pengungsi
Pengungsi adalah “sebagai orang yang dipaksa untuk keluar dari
rumah atau wilayah yang merupakan tempat mereka tinggal, mencari
nafkah, berkeluarga, dan sebagainya. Paksaan yang dilakukan terhadapnya
disebabkan oleh kondisi yang tidak memungkinkan adanya rasa aman atau
jaminan keamanan atas dirinya oleh pemerintah”(Enny Soeprapto, 1982:
25).
Pendapat para ahli:
1) Pietro Verri
Pietro Verri memberikan definisi tentang pengungsi dengan mengutip
bunyi pasal 1 UN Convention on the Status of Refugees tahun 1951
adalah „applies to many person who has fled the country of his
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
nationality to avoid persecution or the threat of persecution‟.
(Achmad Romsan dkk, 2003 : 36-37)
2) Menurut Convention Relating to the Status of Refugees 1951
(Konvensi 1951)
a. Pengungsi Mandat adalah orang-orang yang diakui statusnya
sebagai pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi, wewenang
atau mandat yang ditetapkan oleh statuta UNHCR.
b. Pengungsi Statuta adalah orang-orang yang berada di wilayah
negara-negara pihak pada Konvensi 1951 (setelah mulai
berlakunya konvensi ini sejak tanggal 22 April 1954) dan / atau
Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya Protokol ini sejak 4
Oktober 1967).
3) Menurut Protokol Tanggal 31 Januari 1967 Tentang Status Pengungsi
(Protocol Relating to the Status of Refugees of 31 January 1967)
Pengertian pengungsi terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Protokol tanggal
31 Januari 1967, yaitu :
“Untuk tujuan Protokol ini, maka istilah “pengungsi”, kecuali
mengenai penerapan ketentuan ayat 3 pasal ini, berarti siapa
pun yang tercakup dalam definisi Pasal 1 Kovensi seolah-olah
kata-kata “Sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi
sebelum 1 Januari 1951 dan… “ dan kata-kata “Sebagai akibat
peristiwa-peristiwa tersebut,” dalam Pasal 1 A (2)
dihilangkan”.
4) Pengertian pengungsi menurut Deklarasi Suaka Teritorial tahun 1967
adalah “setiap orang yang meninggalkan negaranya, termasuk
mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, dan pemulangan ke
negaranya”.
5) Menurut Konvensi Pengungsi Organization of Africa Unity (OAU),
definisi pengungsi sebagai berikut (UNHCR. 2005:58):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
“Seorang pengungsi adalah seseorang yang terpaksa
meninggalkan negaranya karena agresi diluar, pendudukan,
dominasi asing atau kejadian-kejadian yang mengganggu
ketertiban umum secara serius di salah satu bagian atau di
seluruh negara asal atau negara kebangsaan”
6) Definisi pengungsi menurut Deklarasi Kartagena yaitu:
“Pengungsi jika mereka meninggalkan negaranya karena
hidup, keselamatan atau kebebasannya telah terancam oleh
kekerasan umum, agresi asing, konflik dalam negeri,
pelanggaran berat atas hak asasi manusia atau keadaan-keadaan
lain yang mungkin mengganggu ketertiban umum secara
serius”
7) Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa akar kata dari
istilah pengungsi adalah ungsi dan kata kerjanya adalah mengungsi,
yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari bahaya atau
menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman),
pengungsi adalah kata benda yang berarti orang yang mengungsi.
adalah penduduk suatu negara yang pindah ke negara Pengungsi
politik lain karena aliran politik yang bertentangan dengan politik
penguasa negara asalnya.
8) Malcom Proudfoot
Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dengan melihat
keadaan para pengungsi akibat Perang Dunia II. Walaupun tidak
secara jelas dalam memberikan pengertian tentang pengungsi,
pengertiannya yaitu. (Achmad Romsan, 2003: 36 ) :
“These forced movements, …werw the result of the
persecution, forcible deportation, or flight of Jews and
political opponents of the authoritarians governments; the
transference of ethnic population back to their homeland or to
newly created provinces acquired by war or treaty; the
arbitatry rearrangement of prewar boundaries of sovereign
states; the mass flight of the air and the terror of bombarment
from the air and under the threat or pressure of advance or
retreat of armies over immense areas of Europe; the forced
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
removal of populations from coastal or defence areas underv
military dictation; and the deportation for forced labour to
bloster the German war effort‟”
9) Dalam Black‟s Law Dictionary pengungsi diartikan sebagai “A person
who arrives in a country to settle there permanently; a person who
immigrates” (Bryan A. Graner, 1999:1307)
10) Dalam The Concise Oxford Dictionary, pengungsi diartikan sebagai “
A person taking refuge, esp. in a foreign country from war or
persecution or natural disaster” (R.E. Allen, 1990:321)
11) Longman Dictionary of Contemporary English pengungsi diartikan
sebagai “ A person who has been driven from his country for political
reason or during war” (ST Ives, 1981:321)
12) Dalam Wedbster Ninth New Collegate Dictionary, pengungsi diartikan
dengan “One who fless to a foreign country or power to escape
danger or persecution” (Merriam-Webster Inc, 1990:991).
13) Irawati Handayani membagi pengertian pengungsi menjadi dua bagian
yaitu pengungsi yang disebabkan oleh peristiwa alam (natural
disaster) dan pengungsi yang disebabkan oleh perbuatan manusia
(human made disaster) (Irawati Handayani, 2002:158).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengungsi adalah
seseorang atau sekelompok orang yang terpaksa pindah ke daerah lain
akibat adanya penyiksaan, perang di daerah mereka, pemulangan secara
paksa, pengembalian etnik tertentu ke negara asal mereka atau provinsi
baru yang timbul akibat perang atau perjanjian.
Secara singkat UNHCR dalam information papernya mengatakan
batasan pengungsi: Pengungsi adalah orang yang terpaksa memutuskan
hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut yang berdasar-
mengalami persekusi (persecution). Rasa takut yang berdasar inilah yang
membedakan pengungsi dari jenis migrant lainnya, seberat apa pun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
situasinya dan juga dari orang lain yang membutuhkan bantuan
kemanusiaan. Karena pengungsi tidak dapat mengandalkan perlindungan
dari negara yang seharusnya memberikan perlindungan kepada mereka,
maka untuk menanggapi situasi menyedihkan yang dihadapi pengungsi,
persiapan-persiapan khusus harus dibuat oleh masyarakat internasional
(UNHCR, tanpa tahun;1).
Berdasarkan permasalahan tersebut maka Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) berupaya mengatasi masalah-masalah diatas hingga upaya
ini mencapai puncaknya pada tanggal 28 Juli 1951, ketika konferensi
khusus PBB menyetujui disahkannya Konvensi mengenai Status
Pengungsi. Badan PBB yang menangani pengungsi adalah UNHCR
yang bekerja sejak 1 Januari 1951. Pada awalnya, perangkat pertama
ini terbatas melindungi pengungsi Eropa setelah Perang Dunia II, namun
The 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees kemudian
memperluas jangkauan Konvensi sejalan dengan semakin meluasnya
permasalahan orang-orang yang tersisih di seluruh dunia. Sebanyak 146
negara di dunia sudah meratifikasi konvensi konvensi
(http://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=
V-5&chapter=5&lang=en diakses pada tanggal 2 Desember 2012 pukul
21.22 WIB). Sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi konvensi
pengungsi tersebut, hal ini menyebabkan Indonesia kesulitan dalam
penetapan status pengungsi. Penetapan seseorang menjadi pengungsi
(Refugee Status) sebenarnya merupakan proses yang terjadi dalam dua
tahap:
1) Penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada
memang orang tersebut adalah Refugee;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
2) Fakta dihubungkan dengan persyaratan-persyaratan dalam Konvensi
1951 dan Protokol 1967. Setelah itu, dihubungkan apakah yang
bersangkutan memang merupakan pengungsi atau tidak.
Dalam hukum pengungsi internasional selain istilah pengungsi
(refugee), juga dikenal istilah-istilah yang lain yang berkaitan dengan
pengungsi, seperti (Achmad Romsan, 2003:29):
1) Migrant Ekonomi (Economic migrant):
„Person who,in pursuit of employment or a better over all standart of
living (that is, motivated by economic considerations), leave their
country to take up residence elsewhere‟ (Migran Ekonomi adalah
orang-orang yang mencari pekerjaan atau penghidupan yang layak
(dikarenakan pertimbangan ekonomi) meninggalkan negaranya untuk
bertempat tinggal dimanapun
2) Pengungsi sur place (Refugees sur place):
A person who not a refugee when she left her country, but who became
a refugee at a later date. A person becames a refugee sur place due to
circumstances arising in her country of origin during her absence
(Seseorang yang tidak termasuk kategori pengungsi sewaktu dia
tinggal di negaranya, tetapi kemudian menjadi pengungsi dikarenakan
keadaan yang terjadi di negara asalnya selama dia tidak berada).
3) Pengungsi Statuta (Statutory refugees):
Persons who meet the definitions of international instruments
concerning ferugees prior to the 1951 convention are usually referred
to as “statutory refugees (Pengungsi Statuta adalah orang-orang yang
yang memenuhi kriteria sebagai pengungsi menurut instrumen-
instrumen internasional sebelum tahun 1951. Istilah ini hanya dipakai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
untuk membedakan antara “pengungsi sebelum Konvensi 1951”
dengan “pengungsi menurut Konvensi 1951)
4) Pengungsi Perang (War refugees)
“Persons compelled to leave their country of origin as a result of
international or national armed conflicts are not normally
considered refugees under the 1951 Conventions of 1967 Protocol.
They do, however, have the protection provided for in other
international instruments, i.e. the Geneva Convention of 1949,
et.al. In the case of forces invasion and subsequent occupation,
occupying forces may begin to persecute segment of the
populations. In such cases, asylum seekers may meet the
conditions of the Convention definition”. (Pengungsi Perang
adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara asalnya akibat
pertikaian bersenjata yang bersifat internasional atau nasional yang
tidak dianggap pengungsi biasa menurut Konvensi 1951 atau
Protokol 1967. Pengungsi jenis ini mendapat perlindungan
menurut instrumen internasional yang lain, yakni Konvensi-
Konvensi Geneva 1949).
UNHCR menjalankan prosedur Penentuan Status Pengungsi
(Refugee Status Determination) (RSD), yang dimulai dengan registrasi
atau pendaftaran terhadap para pencari suaka. Setelah registrasi, UNHCR
akan melakukan wawancara individual dengan masing-masing pencari
suaka, dengan didampingi seorang penerjemah yang kompeten. Proses ini
menghasilkan keputusan yang beralasan yang menentukan apakah
permintaan status pengungi seseorang diterima atau ditolak dan
memberikan masing-masing individu sebuah kesempatan (satu kali) untuk
mengajukan banding apabila permohonannya ditolak. Mereka yang
teridentifikasi sebagai pengungsi akan menerima perlindungan selama
UNHCR mencarikan solusi jangka panjang, yang biasanya berupa
penempatan di negara lain. Untuk tujuan ini, UNHCR berhubungan erat
dengan negara-negara yang memiliki potensi untuk menerima pengungsi.
Sampai dengan akhir Februari 2012, sebanyak 3.583 pencari suaka dan
1.109 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta (http://unhcr.or.id/id/tugas-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
dan-kegiatan/penentuan-status-pengungsi diakses pada tanggal 13 Juli
2012 pukul 21.18 WIB).
Seseorang menjadi pengungsi sejak yang bersangkutan memenuhi
persyaratan yang tertulis dalam Konvensi 1951 atau Protokol 1967 (atau
perangkat regional dan nasional yang terkait). Agar pemerintah dapat
melindungi pengungsi secara efektif, pemerintah harus mengenali mereka
dulu sehingga dapat dibedakan dari orang asing lainnya yang ingin tinggal
di negaranya. Cara pembedaan tersebut tergantung dari kebiasaan hukum
dalam memeriksa setiap permohonan pengungsi atau suaka.
Prosedur penentuan status pengungsi ini dibagi menjadi 2 (dua),
yaitu prosedur penentuan individu dan prosedur penentuan berkelompok.
Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi pengungsi secara individu
berbeda untuk masing-masing negara, tergantung dari kebiasaan hukum
setempat, sumberdaya dan keadaan. Di banyak negara, keputusan pertama
dilakukan oleh panitia khusus atau petugas, setelah melakukan wawancara
dengan para pencari suaka. UNHCR akan mengakses berkas-berkas kasus
tersebut dan memberikan masukan mengenai kasus-kasus individu kepada
aparat negara yang bersangkutan. Sesuai dengan Kesimpulan Executive
Committee No. 8 (XXVII) 1977, mengenai penentuan status pengungsi
menegaskan bahwa beberapa standar dasar perlu ditegakkan untuk
menjamin terciptanya prosedur yang adil dan efisien, yaitu:
a. Semua petugas yang berhubungan dengan proses permohonan suaka
harus mempunyai ketrampilan yang memadai, termasuk pemahaman
yang baik mengenai prinsip non-refoulement;
b. Pencari suaka/pengungsi mempunyai informasi yang jelas mengenai
prosedur yang terlibat dan mendapat semua bantuan yang diperlukan
seperti penerjemah, untuk menampilkan kasusnya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
c. Pencari suaka/pengungsi harus dapat menghubungi UNHCR jika
meminta;
d. Harus ada hak untuk mengajukan banding/permohonan tersendiri atau
peninjauan ulang jika permohonan suakanya ditolak;
e. Pencari suaka atau pengungsi harus diijinkan untuk tinggal di negara
yang bersangkutan hingga kasusnya selesei, termasuk selama proses
pengajuan banding/tinjauan ulang, kecuali jika permohonan yang
diajukan jelas-jelas merupakan penyalahgunaan.
Prosedur penentuan berkelompok yaitu jika sejumlah besar
pengungsi tiba dalam saat yang bersamaan, penentuan status secara
individu sulit dilakukan. Dalam keadaan demikian, penyebab terjadinya
arus besar pengungsi seperti terjadinya peningkatan kekerasan perang sipil
antar suku biasanya cukup jelas. Jika bukti yang dapat dipercaya mengenai
kejadian-kejadian paling mutakhir yang terjadi di negara asal yang
diperoleh dari berbagai sumber, termasuk dari media massa dan laporan
diplomatik menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka yang tiba
berhak memperoleh status pengungsi, maka negara suaka perlu mengakui
orang-orang yang datang secara masal tersebut sebagai pengungsi. Setiap
anggota dari kelompok tersebut kemudian dianggap sebagai pengungsi
prima facie (yaitu, tanpa adanya bukti yang membatalkan/sebaliknya) oleh
pemerintah setempat (Pada situasi-situasi tertentu, UNHCR juga dapat
mengakui pengungsi berdasarkan prima facie sesuai mandatnya). Jika
setelah status pengungsi prima facie diberikan lalu muncul bukti-bukti
yang meragukan keabsahan status pengungsi salah satu individu dalam
kelompok tersebut, maka pemeriksaan atas kasus individu tersebut akan
dilaksanakan untuk menentukan apakah status pengungsi prima facie
individu tersebut perlu dibatalkan (Modul Pembelajaran Mandiri
UNHCR,118-122).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Hukum pengungsi internasional menyediakan untuk kondisi dan
situasi yang bisa membuat orang tidak lagi diakui sebagai pengungsi atau
karena yang dilarang untuk mengakui seseorang sebagai pengungsi.
Dalam arti lain adanya pemberhentian dan pengecualian. Penghentian
status pengungsi Menurut Pasal 1C Konvensi Pengungsi Jenewa,
Konvensi berhenti berlaku pada saat:
1) Pengungsi dengan sukarela telah memanfaatkan kembali kembali
kesempatan untuk memperoleh perlindungan dari negara
kewarganegaraannya atau;
2) Karena telah kehilangan kewarganegaraannya, dia dengan sukarela
telah memperolehnya kembali; atau
3) Pengungsi telah memperoleh kewarganegaraan baru, dan menikmati
perlindungan negaranya atau kebangsaan barunya, atau
4) Pengungsi dengan sukarela telah bertempat tinggal kembali di negara
yang dia tinggalkan atau dia tetap tinggal di luar negara yang
bersangkutan karena takut pada penganiayaan; atau
5) Pengungsi tidak dapat lagi, karena keadaan-keadaan yang
berhubungan dengannya dia telah diakui sebagai seorang pengungsi
sudah tidak ada, terus menolak memanfaatkan kesempatan untuk
memperoleh perlindungan dari negara kewarganegaraannya atau
tempat tinggalnya.
Dengan syarat bahwa ayat ini tidak akan berlaku pada
pegungsi yang termasuk ketentuan seksi (bagian) A (1) pasal ini yang
dapat meminta alasan-alasan mendesak yang muncul dari
penganiayaan sebelumnya karena menolak memanfaatkan kesempatan
untuk memperoleh perlindungan dari negara kewarganegaraan;
6) Karena merupakan orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dia,
karena keadaan-keadaan yang berhubungan dengannya di mana dia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
sudah tidak lagi diakui sebagai pengungsi, dapat kembali ke negara
bekas tempat tinggalnya;
Dengan syarat bahwa ayat ini harus tidak berlaku pada
pengungsi yang termasuk ketentuan seksi (A) pasal ini yang dapat
meminta alasan-alasan mendesak yang muncul dari penganiayaan
sebelum karena menolak kembali ke negara bekas tempat tinggalnya.
b. Pencari Suaka
Menurut hukum internasional suaka dan pengungsi sebenarnya
mempunyai perbedaan. Pengungsi adalah satu status yang diakui oleh
hukum internasional dan/atau nasional. Seseorang yang telah diakui
statusnya sebagai pengungsi akan menerima kewajiban-kewajiban yang
ditetapkan serta hak-hak dan perlindungan atas hak-haknya itu yang diakui
oleh hukum internasional dan/atau nasional. Seorang pengungsi adalah
sekaligus seorang pencari suaka. Sebelum seseorang diakui statusnya
sebagai pengungsi, pertama-tama ia adalah seorang pencari suaka. Status
sebagai pengungsi merupakan tahap berikut dari proses kepergian atau
beradanya seseorang di luar negeri kewarganegaraan atau tempat tinggal
biasanya yang terdahulu. Sebaliknya, seorang pesuaka belum tentu
merupakan seorang pengungsi. Ia baru menjadi pengungsi setelah diakui
statusnya demikian oleh instrumen internasional dan/atau nasional (Enny
Soeprapto, 1982: 20).
Beberapa pendapat para ahli mengenai suaka:
1) Dr. Kwan Sik, SH, mengatakan suaka adalah perlindungan yang
diberikan kepada individu oleh kekuasaan lain atau oleh kekuasaan
dari negara lain (negara yang memberikan suaka) (Sulaiman Hamid.
2000:45);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
2) Oppenheim Lauterpacth mengatakan bahwa suaka adalah dalam
hubungan dengan wewenang suatu negara mempuyai kedaulatan
diatas territorialnya untuk memperbolehkan seorang asing memasuki
dan tinggal di dalam wilayahnya dan atas perlindungannya (L.
Oppenheim, 1966: 678);
3) Charles de Visscher dalam bukunya “Theory and reality in public
international law” mengatakan, suaka adalah sesuatu kemerdekaan
dari suatu negara untuk memberikan suatu suaka kepada seseorang
yang memintanya (Sulaiman Hamid. 2000:45);
4) Gracia Mora dalam bukunya “International Law and Asylum As
Human Right” sebagaimana yang dikutip oleh Sulaiman Hamid,
mengatakan suaka adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh
sesuatu negara kepada orang asing yang melawan negara asalnya
(Sulaiman Hamid. 2000:45);
5) Prof. Dr. F Sugeng Istanto, S.H mengatakan: bahwa asylum adalah
perlindungan individu di wilayah negara asing tempat ia mencari
perlindungan. Asylum merupakan perlindungan negara asing di
wilayah negara tersebut dikediaman perutusan asing atau dikapal
asing. Dengan adanya perlindungan itu individu tersebut tidak dapat
diambil oleh penguasa negara lain (Sugeng Istanto, 1994: 146);
6) Prof. Dr. Sumaryo Suryokusuma mengatakan bahwa suaka adalah
dimana seorang pengungsi/pelarian politik mencari perlindungan baik
di wilayah sesuatu negara lain maupun di dalam lingkungan gedung
Perwakilan Diplomatik dari suatu negara. Jika perlindungan yang
dicari itu diberikan, pencari suaka itu dapat kebal dari proses hukum
dari negara dimana ia berasal (Sumaryo,1995:163);
7) Sulaiman Hamid mengatakan bahwa suaka adalah suatu perlindungan
yang diberikan oleh suatu negara kepada individu yang memohonnya
dan alasan mengapa individu-individu itu diberikan perlindungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
adalah berdasarkan alasan perikemanusiaan, agama, diskriminasi ras,
politik dan sebagainya (Sulaiman Hamid, 2002:46);
Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa suaka
adalah suatu bentuk perlindungan suatu negara kepada
individu/sekelompok dari negara lain yang meminta perlindungan.
Individu/kelompok tersebut merasa terancam jiwanya di tempat dimana ia
berasal. Secara definitif belum ditemui adanya ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang bersifat universal yang menentukan status
“pesuaka” (asylee). Tidak ada yang menentukan secara hukum pengertian
tentang “suaka” dan atau “pesuaka”. Demikian pula dengan batasan
“pencari suaka” (asylum-seeker) tidak ditemui dalam ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang bersifat universal atau regional yang berkaitan
dengan masalah lembaga suaka (Sulaiman Hamid, 2002: 44). Namun,
sebagai dasar hukum kita dapat berpatokan pada Pasal 1 Paragraf 3
Deklarasi tentang Suaka Territorial 1967 bahwa secara tegas menyatakan
bahwa penilaian alasan-alasan bagi pemberi suaka diserahkan kepada
negara pemberi suaka (“it shall rest with the state granting asylum to
evaluate the grounds for the grant of asylum”) (Enny Soeprapto,
1982:23).
Deklarasi Suaka Teritorial ini sangat penting mengingat di antara
para pengungsi itu mungkin saja terdapat orang-orang yang mencari suaka
(asylum seekers). Beberapa Pasal penting dalam deklarasi tersebut:
1) Pasal 1 Deklarasi Suaka Teritorial Tahun 1967
Pemberian asylum oleh suatu negara, dalam rangka pelaksanaan
kedaulatannya sebagai sebuah negara yang berdaulat. Namun hak
untuk mendapatkan asylum itu tidak dapat diberikan apabila si
pemohon (asylee) melakukan tindak pidana kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
2) Pasal 2 ayat (2) Deklarasi Suaka Teritorial Tahun 1967
Bila negara mengalami kesulitan untuk memberikan suaka kepada
pemohon, maka negara baik secara individu ataupun secara bersama-
sama ataupun melalui Perserikatan Bangsa Bangsa akan
mempertimbangkan, dalam semangat solidaritas internasional,
langkah-langkah untuk meringankan beban negara tersebut.
3) Pasal 3 ayat (1) Deklarasi Suaka Teritorial Tahun 1967
Para pemohon suaka tidak boleh ditolak di perbatasan, ataupun apabila
ia telah memasuki wilayah suatu negara untuk memohon suaka
dipulangkan secara paksa ke negara dimana ia mungkin akan
mengalami persekusi, kecuali dengan alasan keamanan nasional
ataupun untuk menyelamatkan bangsa, seperti dalam hal a mass influx
of persons yaitu masuknya massa atau sekelompok orang ke suatu
negara(http://www.unhcr.org/cgibin/texis/vtx/search?page=search&co
mid=4c470a426&title=mass%20influx diakses pada tanggal 3 Mei
2012 pukul 21.28 WIB) ,ciri-ciri:
a) Cukup besar jumlah orang yang tiba melalui perbatasan
internasional;
b) Kedatangan dengan kecepatan tinggi;
c) Tidak memadai penyerapan atau kapasitas respon di negara tuan
rumah, terutama selama fase darurat;
d) Prosedur suaka individu, bila ada, yang tidak dapat menangani
penilaian jumlah yang besar tersebut.
4) Pasal 4 Deklarasi Suaka Teritorial Tahun 1967
Terhadap orang-orang yang telah mendapat suaka tidak boleh
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip-
prinsip Perserikatan Bangsa Bangsa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Masuknya pencari suaka ke suatu negara melewati beberapa
prosedur, yaitu:
1) Setelah masuk ke wilayah suatu negara, pencari suaka berhak untuk
diperlakukan sesuai hukum pengungsi internasional dan hukum hak
asasi manusia internasional, hak asasi manusia, termasuk hak untuk
memperoleh tempat penampungan yang memadai berlaku untuk
semua orang. Perlakuan yang diterima para pencari suaka berbeda di
tiap negara, tergantung dari sumber dana yang ada, sistem hukum yang
berlaku dan perilaku sosial. Kesimpulan Executive Committee No. 93
(LIII) 2002 tentang penerimaan terhadap pencari suaka di negara
masing-masing menegaskan bahwa standar perlakuan dasar harus
dihormati untuk setiap pencari suaka, dan kebutuhan khusus
perempuan dan anak-anak harus diperhitungkan;
2) Setelah tiba di negara baru seringkali hanya dengan barang seadanya,
para pencari suaka akan membutuhkan bantuan untuk memperoleh
kebutuhan hidup yang paling dasar. Kebanyakan dari mereka tidak
membawa uang yang cukup untuk menyewa tempat untuk menginap.
Oleh karenanya, negara suaka dengan bantuan masyarakat
internasional dan UNHCR jika perlu, bertanggung jawab untuk
memberikan tempat penampungan, makanan dan pakaian yang
memadai;
3) Semakin banyak negara yang membatasi kebebasan bergerak para
pencari suaka. Mereka ditempatkan di ruang penahanan atau
dikenakan berbagai aturan yang membatasi sambil menunggu
penyelesaian terhadap permohonan mereka. Penahanan para pencari
suaka sangat tidak disarankan, menurut pandangan UNHCR. Negara
tidak boleh menahan seseorang secara otomatis atau menggunakan
penahanan sebagai cara untuk menangkal pencari suaka lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Penahanan hanya boleh dilakukakan jika memang disarankan oleh
hukum dan jika dipandang perlu sesuai empat keadaan yang
ditegaskan dalam kesimpulan Executive Committee No. 44 (XXXVII)
1986:
a) verifikasi identitas jika hal ini dipertanyakan atau tidak diketahui;
b) melakukan wawancara awal untuk mengetahui dasar alas an
penganjuan suaka;
c) jika individu telah melakukan penipuan dengan menghancurkan
dokumen perjalananan atau identitasnya atau menggunakan
dokumen-dokumen palsu untuk mengelabui petugas;
d) jika orang yang dimaksud merupakan ancaman bagi keamanan
negara atau ketertiban umum.
Walau penahanan terkadang perlu untuk alasan-alasan
tersebut diatas, langkah ini hanya boleh dilakukan untuk jangka
waktu yang pendek. Konvensi 1951 dengan tegas menyatakan
bahwa sanksi pidana bagi orang yang masuk secara tidak sah ke
negara suaka tidak boleh dikenakan pada pencari suaka yang
mempunyai alasan yang berdasar untuk menggunakan cara
tersebut agar bisa masuk ke dalam wilayah negara dan yang
dengan segera telah menghubungi para aparat.
4) Sementara menunggu hasil dari permohonannya, para pencari suaka
perlu ditegaskan status hukumnya selama tinggal disana. Mereka perlu
diberi semacam dokumen identitas walau bersifat sementara dan
dalam bentuk sederhana melalui registrasi. Registrasi yaitu proses
dimana data-data pokok seseorang diperoleh dari setiap pencari suaka
dan juga merupakan cara yang efektif untuk menjamin perlindungan
hukum. Resgistrasi mempermudah pemberian bantuan bagi pencari
suaka serta membantu mengidentifikasi orang-orang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
membutuhkan perlindungan khusus. Pertimbangan utama dalam setiap
proses registrasi adalah di samping menjaga kerahasiaan setiap data
yang dikumpulkan, dapat dilihat dalam Kesimpulan Executive
Committee No. 91 (LII) 2001. Pentingnya registrasi sebagai alat
perlindungan juga diakui dalam Agenda Perlindungan.
5) Kebijakan mengenai penerimaan harus mempertimbangkan kebutuhan
khusus perempuan dan anak-anak (laki-laki dan perempuan). Ketika
menangani anak-anak yang menjadi pencari suaka, kepentingan yang
terbaik untuk mereka baik itu secara individu maupun kolektif, perlu
menjadi prioritas. Prinsip ini ditegaskan dalam Konvensi Hak Anak
1989 yang mendefinisikan bahwa anak adalah seorang manusia yang
berusia di bawah delapan belas tahun. Penahanan anak pencari suaka
harus dihindari dengan cara apapun mengingat besarnya dampak
psikologis yang dapat ditimbulkan pada seorang anak usia muda.
5. Hukum Hak Asasi Manusia (HAM)
a. Universal Declaration of Human Rights 1948
Hak (right) adalah hak (entitlement) (C.de Cover, 2000:56).
Hak adalah yang dapat diajukan seseorang terhadap orang lain sampai
kepada batas-batas pelaksanaan hak tersebut. Hak Asasi Manusia (HAM)
adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hak-hak
tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin,
laki-laki ataupun perempuan. Hak-hak tersebut mungkin saja dilanggar
tetapi tidak pernah dapat dihapuskan (C. de Rover, 1998:47).
Universal Declaration of Human Rights 1948 atau Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia ditandatangani pada tanggal 10 Desember
1948. Deklarasi tersebut di latar belakangi dengan usainya Perang Dunia
II dan banyaknya negara-negara di Asia & Afrika dan bergabung dalam
United Nation (UN) atau PBB yang tujuan awalnya adalah untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
mencegah terjadi Perang Dunia kembali. DUHAM memuat pokok-pokok
tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta,hak-hak dalam
perkawinan, pendidikan, hak kerja dan kebebasan beragama (termasuk
pindah agama). Deklarasi itu, ditambah dengan berbagai instrumen
lainnya yang diadopsi setelah UDHR, misalnya:
1) International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination 1965 (Konvensi International tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965);
2) The Convention Agains Torture and Other In human or Degrading
Treatment or Punishment 1984;
3) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women, 1979 (CEDAW);
4) Convention on The Rights of the Child 1989.
Beberapa konvensi diatas merupakan dasar bahwa pentingnya
DUHAM dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak memandang gender,
umur, ras, agama serta kedudukan. Tak terkecuali permasalahan tentang
pendeportasian imigran. Permasalahan deportasi tidak lepas hubungannya
dengan HAM. Perlakuan suatu negara terhadap orang asing yang ada di
negaranya harus tetap menjunjung tinggi nilai HAM. Beberapa Pasal yang
erat hubungannya dengan deportasi:
1) Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
“Setiap orang berhak mendapatkan kehidupannya, kebebasan dan
keamanan pribadi”
2) Pasal 9 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
“tidak ada seorangpun yang boleh ditangkap, ditahan atau dibuang
dengan sewenang-wenang”
3) Pasal 10 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
”Setiap orang berhak sepenuhnya atas pemeriksaan perkara secara
umum dan adil oleh pengadilan yang berdiri sendiri dan tidak berat
sebelah dalam menentukan hak dan kewajibannya dan dari setiap
tuduhan kejahatan terhadap dirinya”
4) Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
“setiap orang berhak mendapatkan tempat pelarian di negeri lain untuk
menjauhkan pengejaran”
Batasan dan pembagian bidang, jenis dan macam hak asasi
manusia dunia mencakup enam kelompok, yaitu (Wagiman, 30-31:2012):
1) Hak Asasi Pribadi (Personal Right)
a) Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah
tempat;
b) Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat;
c) Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan;
d) Hak kebebasan untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama
dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.
2) Hak Asasi Politik ( political Right)
a) Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan;
b) Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan;
c) Hak membuat dan mendirikan partai politik (Parpol) dan
organisasi politik lainnya;
d) Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.
3) Hak Asasi Hukum ( Legal Equality Right)
a) Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan;
b) Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil;
c) Hak mendapatkan layanan dan perlindungan hukum.
4) Hak Asasi Ekonomi/ Property Rights
a) Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
b) Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak;
c) Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, utang-piutang
dan lain-lain;
d) Hak kebebasan untuk memiliki sesuatu;
e) Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
5) Hak Asasi Peradilan (Procedural Rights)
a) Hak mendapatkan pembelaan hukum di Pengadilan;
b) Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, pengangkapan,
penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6) Hak Asasi Sosial Budaya (Social Culture Right)
a) Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan;
b) Hak mendapatkan pengajaran;
c) Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan
minat.
Esensi hukum hak asasi manusia international mengatur
kemanusiaan universal tanpa terikat atribut ruang dan waktu tertentu
(Agus Fadillah, vi:2007). Hal tersebut penting mengingat setiap negara
tidak tertutup kemungkinan membicarakan hukum hak asasi manusia
dalam konteks domestiknya. Hak asasi manusia dalam konteks pengungsi
setidaknya berhubungan dengan tigal hal. Pertama, perlindungan terhadap
penduduk sipil akibat konflik bersenjata. Kedua, perlindungan secara
umum yang diberikan kepada penduduk sipil dalam keadaan biasa.
Ketiga, perlindungan terhadap pengungsi baik Internally displaced
persons (IDP‟s) maupun pengungsi lintas batas (Koesparmo Irsan, 6-
7:2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
b. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) lahir
sebagai hasil dari kompromi politik yang keras antara kekuatan negara
blok Sosialis melawan negara blok Kapitalis (Ifdhal Kasim, 2001: 29-30).
Saat itu situasi ini mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional
hak asasi manusia yang ketika itu sedang digarap Komisi Hak Asasi
Manusia PBB. Hasilnya adalah pemisahan kategori hak-hak sipil dan
politik dengan hak-hak dalam kategori ekonomi, sosial, dan budaya ke
dalam dua kovenan atau perjanjian internasional yang tadinya diusahakan
dapat diintegrasikan ke dalam satu kovenan saja. Tapi realitas politik
menghendaki lain. Kovenan yang satunya lagi itu adalah Kovenan
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau International
Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan
penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur
represif negara yang menjadi negara-negara pihak ICCPR. Maka dari itu
hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak
negatif (negative rights). Hak negatif artinya hak-hak dan kebebasan yang
dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi
atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan intervensionis, tak bisa
dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar
oleh negara. Sedangkan hak positif apabila peran negara tidak dibatasi dan
negara berperan aktif. (http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham
/Konvensi_SIPOL.pdf diakses pada tanggal 3 Juni 2012 pukul 20.24
WIB).
Penghormatan terhadap HAM yang diatur dalam ICCPR mulai
dari hak hidup hingga masalah larangan perbudakan. Dalam ICCPR juga
diatur larangan penangkapan secara sepihak dan syarat yang harus
dipenuhi bila seseorang diambil kemerdekaannya, bahkan larangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
pemenjaraan yang didasarkan pada hubungan kontraktual. Negara peserta
juga wajib menjamin agar setiap orang bebas bergerak dan dilarang
melakukan tindakan deportasi secara sewenang-wenang. Bagi mereka
yang dituduh melakukan tindak pidana diatur secara rinci syarat-
syaratnya. Berdasarkan protokol ini Komite HAM diberi kewenangan
untuk menyelidiki, menyelesaikan dan memutus keluhan-keluhan dari
individu atau sekelompok atas pelanggaran HAM di negara peserta
(http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=5160&coid=4&caid=3
3 diakses pada tanggal 9 September 2012 pukul 20.32 WIB). Sesuai
dengan bunyi Pasal 2 Optional Protocol to the Covenant on Civil and
Political Rights yang berbunyi:
“Subject to the provisions of article 1, individuals who claim that
any of their rights enumerated in the Covenant have been violated
and who have exhausted all available domestic remedies may
submit a written communication to the Committee for
consideration”.
Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan
kebebasan yang dijanjikan di dalam kovenan ini adalah di pundak negara,
khususnya yang menjadi negara Pihak ICCPR. Hal ini ditegaskan pada
Pasal 2 (1) yang menyatakan, negara-negara pihak diwajibkan untuk
“menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam kovenan ini,
yang diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah
dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa diskriminasi macam apapun.
Apabila hak dan kebebasan yang terdapat di dalam kovenan ini belum
dijamin dalam yurisdiksi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan
untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu
guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu (Pasal 2 ayat (2)). Perlu
diketahui, tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban
yang terbit dari ICCPR ini, adalah bersifat mutlak dan harus segera
dijalankan (immediately).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Kovenan ini menciptakan badan pengawasannya sendiri (treaty-
based organ), yaitu Komite Hak Asasi Manusia (United Nations
Commission on Human Rights). Komite inilah yang diberikan mandat
untuk mengawasi jalannya pelaksanaan isi ICCPR pada semua negara
Pihak. Untuk melengkapi pengawasan yang dilakukan oleh Komite ini,
pada ICCPR ditambahkan satu protokol yang bersifat pilihan, yakni
Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political
Rights (selanjutnya disebut Protokol Opsional). Artinya negara-negara
Pihak ICCPR boleh memilih terikat atau tidak kepada prosedur yang
disusun di dalam Protokol Opsional tersebut
(pusham.uii.ac.id/files.php?type=art&id=188&lang=id diakses pada
tanggal 9 September 2012 pukul 20.51 WIB).
Pencari suaka dan pengungsi memiliki hak atas kebebasan dan hak
untuk bebas dari sewenang-wenang penahanan, sebagaimana dijamin oleh
Pasal 9 ICCPR. ICCPR menyatakan bahwa "setiap orang berhak atas
kebebasan dan keamanan pribadi" dan dari sasaran penangkapan
sewenang-wenang (http://www.humanrightsfirst.org/wp-conten t /uploads
/pdf/RPP-ICCPR-submission.pdf).
6. Organisasi Internasional Urusan Pengungsi
a. Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi / United Nations High
Commissioner for Refugees (UNHCR)
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
dibentuk pada tahun 1951 berdasarkan Resolusi majelis umum
Perserikatan bangsa-bangsa No. 428 (V) dan keberadaannya diakui sejak
bulan Januari 1951 sampai dengan 31 Desember 1953, namun masa kerja
itu diperpanjang untuk lima tahun berikutnya yaitu 1958, 1963, 1968, dan
1973. Dalam melaksanakan tugasnya UNHCR berpedoman kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
mandat yang diberikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa
dan Economic and Social Council (ECOSOC). Wewenang atau tugas
adalah memberikan, berdasarkan alasan kemanusiaan dan non-politik,
perlindungan internasional kepada pengungsi serta mencarikan solusi
permanen bagi mereka. Orang-orang yang telah menerima bantuan dari
organisasi-organisasi PBB lainnya ketika Undang Undang UNHCR
disahkan, dikecualikan dari mandate UNHCR. Jadi, orang-orang yang
mengungsi akibat perang Korea dan mendapat bantuan dari Badan
Rekonstruksi PBB untuk Korea (UNKRA), tidak termasuk dalam mandat
UNHCR. Dalam statuta UNHCR tahun 1950 menyebutkan tentang fungsi
utama UNHCR adalah:
“The United Nations High Commissioner for Refugees, acting
under the authority of the General Assembly, shall assume the
function of providing international protection, under the
auspices of the United Nations, to refugees who fall within the
scope of the present Statute and of seeking permanent solutions
for the problem of refugees by assisting Governments and,
subject to the approval of the Governments concerned, private
organizations to facilitate the voluntary repatriation of such
refugees, or their assimilation within new national
communities.”
Badan PBB untuk urusan pengungsi diatur oleh Sidang Umum
PBB dan Economic and Social Council (ECOSOC). Komite Eksekutif
UNHCR yang terdiri dari 85 anggota, menyetujui program biennial
UNHCR yaitu usulan anggaran progam dua tahunan Badan PBB untuk
urusan pengungsi diatur oleh Sidang Umum PBB dan Economic and
Social Council (ECOSOC). Setiap tahun Komisioner Tinggi melaporkan
kinjerja UNHCR kepada ECOSOC dan Sidang Umum PBB. Mandat
UNHCR ditentukan dalam Statuta tahun 1950, yang awalnya ditetapkan
untuk periode tiga tahun. Pada tahun 2003, Sidang Umum memperluas
rentang waktu mandat tersebut hingga solusi ditemukan bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
permasalahan pengungsi. Sebagai ketua organisasi, Komisioner Tertinggi
bertanggung jawab untuk mengarahkan dan mengontrol Sistem UNHCR.
Mereka akan mengarahkan kerja UNHCR dengan bantuan Deputi
Komisioner Tinggi dan Asisten Komisioner Tinggi untuk bidang
Perlindungan dan Operasi (http://www.unhcr.or.id/id/tentang-
unhcr/struktur-unhcr diakses pada tanggal 26 Juli 2012 pukul 21.02 WIB).
Dijelaskan pula oleh Alexander Betts dalam jurnalnya yang
berjudul “Towards a „Soft Law‟ Framework for the Protection of
Vulnerable Irregular Migrants” bahwa:
“UNHCR would not necessarily take on institutional
responsibility for the protection of vulnerable migrants, which
would be outside of its current normative and operational
mandate. However, as a rights-based organisation with
expertise in protection, it could play a facilitative role by
designing and overseeing the process of negotiation of a soft
law framework and a collaborative response to the
implementation of that framework. (Alexander Betts,
2011:216).
Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa UNHCR dapat
memainkan peran fasilitatif dengan merancang dan mengawasi proses
negosiasi kerangka hukum yang berkaitan dengan imigran. Untuk
melaksanakan fungsinya dengan baik, sesuai dengan General Assembly
Resolution 428 (V ) of 14 December 1950 on - the Statute of UNHCR
1951, dalam Pasal 2 mensyaratkan kepada negara-negara di dunia untuk
bekerjasama dengan UNHCR dengan cara sebagai berikut:
1) Menjadi peserta setiap konvensi internasional untuk melindungi
pengungsi serta mengimplementasikan konvensi tersebut;
2) Membuat perjanjian-perjanjian khusus dengan UNHCR untuk
melaksanakan langkah-langkah yang dapat memperbaiki keadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
pengungsi dan mengurangi jumlah pengungsi yang membutuhkan
perlindungan;
3) Tidak mengesampingkan pengungsi yang dalam kategori paling
miskin;
4) Membantu UNHCR dalam upaya mempromosikan repatriasi sukarela;
5) Mempromosikan pembauran, terutama dengan memberikan fasilitas
naturalisasi;
6) Memberikan dokumen perjalanan dan dokumen lainnya yang
memungkinkan pemukiman kembali para pengungsi;
7) Mengizinkan pengungsi untuk mentransfer asset mereka terutama
untuk keperluan pemukiman kembali; dan
8) Memberi informasi kepada UNHCR berkaitan dengan jumlah dan
kondisi pengungsi dan hukum serta aturan yang berkaitan dengan
pengungsi.
Selain perlindungan internasional, UNHCR juga diberikan
kewenangan untuk (General Assembly Resolution 428 (V) of 14 December
1950) on the Statute of the Office of the United Nations High
Commissioner for Refugees 1951 yaitu:
1) Promoting the conclusion and ratification of international conventions
for the protection of refugees, supervising their application and
proposing amendments thereto;
2) Promoting through special agreements with Governments the
execution of any measures calculated to improve the situation of
refugees and to reduce the number requiring protection;
3) Assisting governmental and private efforts to promote voluntary
repatriation or assimilation within new national communities;
4) Promoting the admission of refugees, not excluding those in the most
destitute categories, to the territories of States;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
5) Endeavouring to obtain permission for refugees to transfer their assets
and especially those necessary for their resettlement;
6) Obtaining from Governments information concerning the number and
conditions of refugees in their territories and the laws and regulations
concerning them;
7) Keeping in close touch with the Governments and inter-governmental
organizations concerned;
8) Establishing contact in such manner as he may think best with private
organizations dealing with refugee questions;
9) Facilitating the co-ordination of the efforts of private organizations
concerned with the welfare of refugees.
Pendeportasian atau pemulangan imigran dilakukan oleh
pemerintah yang bekerja sama dengan UNHCR dengan beberapa Solusi
jangka panjang yang ada terdiri dari integrasi lokal, pemulangan secara
sukarela, atau penempatan di negara ketiga (http://www.unhcr.or.id
/id/tugas-dan-kegiatan/solusi-jangka-panjang Diakses pada 18 April 2012
pukul 21:34 WIB):
1) Integrasi lokal saat ini belum menjadi pilihan yang memungkinkan
untuk kebanyakan kasus di Indonesia mengingat Indonesia belum
memiliki Undang Undang lokal untuk mengatur hak-hak dan cara
pengintegrasian pengungsi. Pengungsi dan pencari suaka hanya
memperoleh ijin untuk tinggal di Indonesia secara sementara.
2) Pemulangan sukarela menjadi pilihan bagi sebagian kecil pencari
suaka dan pengungsi dari Afghanistan, Irak, Iran dan Sri Lanka di
Indonesia. Peran UNHCR Jakarta adalah untuk melakukan konseling
dengan masing-masing individu untuk memastikan bahwa mereka
memang secara sukarela tidak keberatan untuk kembali ke negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
asalnya. Segala kebutuhan perjalanan seperti dokumen, penerbangan,
uang tunai dan penerimaan di negara asal ditangani oleh mitra
operasional UNHCR, International Organization for Migration
(IOM). Pada tahun 2011, sejumlah 139 pengungsi dan pencari suaka
memilih dengan sukarela untuk dipulangkan ke negara asalnya (42%
diantara mereka berasal dari Afghanistan).
3) Penempatan di negara ketiga bukanlah hak bagi pengungsi dan negara
tidak memiliki kewajiban internasional untuk menerima pengungsi
yang secara sementara tinggal di negara suaka yang pertama. Dengan
demikian, penempatan di negara ketiga adalah solusi jangka panjang
yang bergantung pada kesediaan negara penerima. Di Indonesia,
penempatan di negara ketiga menjadi pilihan yang paling
memungkinkan bagi mayoritas pengungsi. Di Indonesia, sejak tahun
2001 hingga Desember 2011, sebanyak 1.916 orang telah menerima
penempatan di negara ketiga, terutama di Australia. Konteks yang
berlaku di Indonesia, penempatan di negara ketiga menjalankan fungsi
strategis khususnya dalam hal relevansi terkait “ruang perlindungan”
yang diberikan pemerintah bagi pencari suaka dan pengungsi yang
baru datang.
UNHCR berkantor di Indonesia di Indonesia sejak 1979. Banyak
kasus pengungsi di berbagai negara dan Indonesia ditangani oleh UNHCR
seperti pengungsi dari berbagai negara yang menetap maupun menjadikan
Indonesia sebagai negara transit. Untuk kasus-kasus permohonan
pengungsi di Indonesia, pihak pemerintah akan membawanya ke pihak
UNHCR. Untuk selanjutnya lembaga tersebut melakukan serangkaian
prosedur tetap guna penentuan status pengungsi pemohon. Dalam
melaksanakan tugasnya UNHCR bekerjasama dengan mitra kerja yang
berdomisili atau memiliki perwakilan di Indonesia. UNHCR
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
melaksanakan program-program bantuan kepada pengungsi. Bantuan
tersebut berupa bantuan makanan, kesehatan, konseling serta kebutuhan
lainnya yang diperlukan. Jika dijelaskan dengan bagan mengenai
kedudukan dan tugas pokok UNHCR dapat digambarkan sebagai berikut
(Wagiman, 2012:190):
Gambar 1
b. International Organization for Migration (IOM)
International Organization for Migration (IOM) didirikan tahun
1951 atas inisiatif Belgia dan Amerika. IOM terbentuk sebagai
manisfestasi hasil Konferensi Internasional tentang migrasi yang diadakan
di Brusels. Badan ini diberikan nama Provisional Intergovernmental
Committee for the Movements of Migrant from Europe (PICMME).
Provisional Intergovernmental Committee for the Movements of Migrant
United Nations High Commissioner for Refugees
(UNHCR)
A subsidiary organ of The United
Nations General Assembly
(Boards, Commissions, Committees,Cou
ncils and Panels, and Working Groups
and others.
Primary mandate
Responsibility for the protection of refugees
And solution to the problems of refugees
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
from Europe kemudian berubah nama menjadi Intergovernmental
Committee for Eropean Migrantion (ICEM). Tahun 1989 ICEM‟s Council
berubah nama lagi menjadi Intergovernmental Committee for Migrantion
(ICM) dengan skala kerja yang lebih luas, tidak hanya mencakup Eropa
saja. Kemudian pada tahun 1989 ICM berubah menjadi IOM (Wagiman,
2012:191).
Struktur organisasi IOM meliputi Office of the Director General
yang membawahi Director General, dan Working Group on Gender
Issues. Office of the Director General dipilih oleh suatu Dewan masa kerja
lima tahun. Badan ini meliputi Executive Officer yang memiliki otoritas
untuk mengelola organisasi dan mengadakan kegiatan sesuai mandat yang
memformulasikan kebijakan-kebijakan organisasi serta menyusun
program pengembangan sesuai dengan prioritas serta strategi organisasi.
Di bawah Office of the Director General adalah seluruh tenaga
administrasi dan staf petugas lapangan yang melaksanakan kegiatan-
kegiatan IOM. Office of the Director General membawahi Executive
Group yang berkewajiban melaporkan kegiatan-kegiatan IOM pada
officer of the Director General. Executive Group meliputi pelaksana
diantaranya (Wagiman, 2012:192):
1) Inspector General yang tugasnya melakukan evaluasi dan audit
internal berdasarkan standar umum serta penerapan metodologi untuk
suatu penilaian program organisasi. Audit internal mengerjakan tugas
untuk mengedit keuangan dan manajemen markas-markas IOM di
seluruh dunia;
2) Legal Service, badan ini bertanggung jawab untuk menjamin aktivitas
organisasi agar sesuai dengan konstitusi organisasi IOM serta
instrumen-instrumen hukum lainnya yang sesuai. Disamping itu juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
memfasilitasi hubungan dengan pemerintah-pemerintah di dunia,
organisasi-organisasi internasional, instusi swasta serta individu-
individu yang berhubungan dengan kerangka kerja IOM;
3) Meeting Secretariat, badan ini bertanggung jawab dalam perencanaan,
pengorganisasian, monitoring, menghadiri pertemuan-pertemuan serta
menindaklanjuti Governing Body Meeting. Termasuk dalam tugasnya
adalah mempersiapkan serta mendistribusikan seluruh dokumen dan
informasi untuk pertemuan antar pemerintah dengan unsur-unsur
terkait;
4) Policy Guidance and Media, badan ini bertugas untuk membantu
Director General‟s Office dalam memetakan dan
mengimplementasikan suatu strategi untuk mendesiminasikan
informasi-informasi kebijakan baik internal maupun eksternal.
Termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan IOM, khususnya pada
media dan publik.
IOM memulai operasinya di Indonesia dengan memproses migran
Vietnam di Tanjung Pinang, Riau pada 1979. Serangkaian usaha berlanjut
dengan penyediaan perawatan, pemeliharaan dan bantuan pemulangan
sukarela bagi para pengungsi Timor Timur. Hubungan IOM dengan
pemerintah Indonesia dimulai pada 1999 ketika Indonesia resmi menjadi
pengamat dalam dewan IOM. Sebuah perjanjian kerjasama yang
ditandatangani pada 2000 mengakui hubungan yang sangat bermanfaat
antara pemerintah dan IOM dalam meningkatkan penanganan migrasi.
Program-program IOM Indonesia telah berkembang dari sisi geografis
maupun target penduduk, khususnya sejak tsunami menghantam propinsi
Aceh di ujung utara pulau Sumatera pada Desember 2004. Kantor – kantor
cabang kini berdiri di penjuru nusantara dengan lebih dari 600 staff
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
bekerja dalam beragam kegiatan.(http://www.iom.or.id/index.jsp?lang=ind
diakses pada tanggal 14 Juli 2012 pulul 23.45 WIB).
2. Kerangka Pemikiran
Gambar 2
Imigrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu Negara untuk masuk
ke dalam Negara lain.Di Indonesia aturan mengenai imigrasi diatur dengan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Warga negara
asing yang masuk ke suatu negara mempunyai kepentingan yang berbeda-
beda yang melalui beberapa prosedur. Namun, banyak diantaranya masuk
secara illegal, dalam arti tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke suatu
negara. Hal ini disebabkan sulitnya memenuhi persyaratan tersebut atau tidak
diakuinya status oleh organisasi internasional baik itu sebagai pengungsi
maupun sebagai pencari suaka. Sehingga mereka masuk secara diam-diam ke
negara tujuan melalui bantuan pihak yang yang tidak bertanggung jawab.
Kedudukan negara Indonesia dalam hal ini sebenarnya adalah hanya
sebagai negara transit yang sama sekali tidak memiliki kewajiban terhadap
Imigran\Warga Negara
Asing (WNA)
Pemulangan/Deportasi
Hukum Pengungsi dan HAM internasional
UU Keimigrasian
Pelanggaran hukum /tindak
pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
mereka. Para imigran illegal tersebut pergi menuju negara migrant seperti
Australia yang secara langsung untuk menuju kesana harus melewati
Indonesia. Sebagian dari mereka berasal dari Timur Tengah seperti
Afghanistan, Iran, Irak, Palestina, dan Pakistan. Dimana negara-negara
tersebut merupakan negara yang rawan konflik, sehingga tidak mengherankan
apabila banyak dari penduduk dari negara tersebut keluar untuk mengungsi
atau mencari suaka ke negara lain.
Salah satu cara mengatasi adanya Imigran gelap yang masuk ke
Indonesia adalah dengan cara memulangkan mereka ke negara asal
(deportasi). Dalam memulangkan imigran gelap tersebut, pemerintah tidak
bisa bertindak sewenang-wenang karena di dalam hukum internasional
terdapat prinsip non-refoulement adalah larangan atau tidak diperbolehkannya
suatu negara untuk mengembalikan atau mengirimkan pengungsi ke suatu
wilayah tempat dia akan menghadapi persekusi atau penganiayaan yang
membahayakan hidupnya karena alasan-alasan yang berkaitan dengan ras,
agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, atau
keyakinan politiknya. Hal tersebut sangat berhubungan erat dengan Hukum
Hak Asasi Manusia Internasional yang pada dasarnya harus ditaati oleh setiap
negara.
Atas dasar itulah maka Indonesia harus berhati-hati dalam
memulangkan imigran yang bermasalah. Adanya UNHCR membantu
Indonesia dalam menentukan status para imigran tersebut. Apakah sebagai
pengungsi atau pencari suaka. Mengingat Indonesia belum meratifikasi
Konvensi Pengungsi Tahun 1951.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Pengaturan Pemulangan Imigran Berdasarkan Hukum Pengungsi dan
Hukum Hak Asasi Manusia Internasional
a. Pengaturan Pemulangan Imigran Berdasarkan Hukum Pengungsi
Permasalahan pengungsi dan pencari suaka merupakan
permasalahan klasik bagi dunia internasional yang saat ini masih menjadi
tugas utama bagi PBB beserta seluruh negara anggotanya untuk
menyelesaikannya. Melalui UNHCR organisasi resmi penanganan
pengungsi yang dibentuk oleh PBB dapat membantu menurunkan
permasalahan pengungsi di dunia. Tak hanya UNHCR yang bekerja,
namun diperlukan pula kerjasama yang baik dengan negara-negara lain
baik itu negara penerima, negara ketiga maupun negara tempat pengungsi
atau pencari suaka berasal.
UNHCR memiliki perwakilan di beberapa negara (kantor regional)
yang bekerja sama dengan pemerintah suatu negara dalam upaya
menangani pencari suaka dan memproses pemohon pengungsi. Setiap
tahunnya organisasi ini menyimpulkan secara garis besar data jumlah
asylum seekers, refugees maupun IDP‟s. dari data yang didapat dari
UNHCR Global Trends tahun 2011 tercatat di benua Afrika terdapat
2.693.400 pengungsi, Amerika terdapat 807.400 pengungsi, Asia Pasific
terdapat 3.607.200 pengungsi, Eropa terdapat 1.557.500 pengungsi dan
Middle East and North Africa sejumlah 1.739.300 pengungsi. Jika kita
melihat untuk wilayah Asia Pasific disimpulkan bahwa jumlah pengungsi
menempati urutan teratas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Indonesia sendiri dari data UNHCR diketahui bahwa angka imigran
yang masuk di Indonesia baik itu berstatus sebagai pengungsi atau pencari
suaka cukup banyak terutama apabila dikhususkan dalam wilayah Asia
Tenggara. Berdasarkan data tahun 2011 di Indonesia tercatat sebanyak
1.006 pengungsi dan pencari suaka (pending cases) sebanyak 3.233 orang
(UNHCR Global Trends :2011).
Semakin meningkatnya jumlah imigran dan pencari suaka di dunia
membuat UNHCR semakin dibutuhkan. UNHCR sebagai badan PBB
memiliki wewenang penuh untuk mengatur dan melindungi pengungsi dan
pencari suaka yang masuk ke suatu negara. Badan ini berwenang untuk:
1) menerbitkan kartu yang menerangkan status pemiliknya sebagai pencari
suaka atau pengungsi;
2) mencarikan negara yang mau menerima mereka yang berstatus
pengungsi;
3) mengelompokkan imigran yang bukan termasuk sebagai pencari suaka
menjadi kelompok kedua. Dimana motif kepergian imigran bukanlah
dikarenakan hidupnya terancam melainkan karena motif ekonomi.
Mereka ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Namun mereka
umumnya mengaku-aku sebagai pencari suaka atau pengungsi. Sebab
kedua status inilah yang membuat imigran aman bergerak, tanpa takut
dihukum.
Selain wewenang-wewenang diatas, UNHCR juga bertugas untuk
menetapkan status pencari suaka. Penetapan tersebut terdiri dari beberapa
langkah,) yaitu (http://unhcr.or.id/id/tugas-dan-kegiatan/penentuan-status-
pengungsi) :
1) Mengajukan permohonan status pengungsi, imigran harus mengisi
"Formulir Aplikasi RSD" di kantor UNHCR. Setiap anggota keluarga
dewasa (orang18 thn atau di atas) diperlukan untuk mengisi formulir,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
bahkan jika mereka mengajukan status pengungsi sebagai bagian dari
keluarga. semua pertanyaan pada formulir harus dijawab secara jujur.
Informasi ini diperlakukan secara rahasia dan tidak dibagi dengan pihak
ketiga, termasuk anggota keluarga lainnya;
2) Imigran akan dijadwalkan wawancara sesegera mungkin setelah
pendaftaran, tetapi dilakukan dalam masa tunggu yang tergantung pada
jumlah aplikasi suaka yang diterima oleh kantor. Jika Imigran merasa
lebih nyaman menjadi diwawancarai oleh seseorang yang berjenis
kelamin sama, dapat meminta ini dengan mencentang kotak yang sesuai
pada RSD Formulir Aplikasi. Selama wawancara Imigran akan memiliki
kesempatan untuk memberikan alasan rinci tentang mengapa ia
meninggalkan negara dan mengapa ia tidak bisa atau tidak ingin
kembali. Imigran perlu membawa setiap dokumen yang dianggap
penting, termasuk dokumen identitas, dan yang dapat membantu klaim.
Membuat pernyataan palsu atau menyembunyikan informasi akan
memiliki efek negatif pada keputusan. Jika Imigran memiliki dokumen
yang mendukung untuk status pengungsi, imigran harus
memberitahukan kepada UNHCR sesegera mungkin. UNHCR akan
membuat salinan dari dokumen asli tapi tidak akan membuat dokumen
asli dalam file;
3) Untuk status pengungsi akan diperiksa secara menyeluruh. UNHCR
akan berhati-hati mempertimbangkan pernyataan imigran, serta
informasi dari negara asal. Imigran akan diberitahu keputusan UNHCR
sesegera mungkin. Jika aplikasi suaka ditolak, maka Imigran akan
mengatakan alasan untuk keputusan ini oleh UNHCR Petugas dengan
bantuan seorang juru bahasa, jika diperlukan. Jika Imigran berpikir
keputusan ini salah maka imigran tersebut memiliki hak untuk
mengajukan banding dalam waktu 30 hari. Imigran akan diberikan
sebuah formulir untuk membantu menulis banding. Jika Imigran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
tersebut tidak mengajukan banding dalam waktu 30 hari, file akan
ditutup dan Kantor Imigrasi akan memberikan informasi;
4) Jika imigran menarik kembali pengajuan bandingnya, maka akan
diwawancarai kedua kalinya oleh petugas UNHCR yang berbeda. Jika
ditolak untuk kedua kalinya, UNHCR tidak akan dapat membantu lebih
lanjut. Jika diakui sebagai pengungsi, Petugas UNHCR akan
memberitahukan tentang keputusan ini dan menjelaskan apa yang akan
terjadi selanjutnya. Imigran akan menerima brosur informasi yang
terpisah dengan informasi penting bagi pengungsi;
5) Hak dan kewajiban di Indonesia:
a) Sebagai pencari suaka,dengan intervensi berwenang UNHCR
Indonesia untuk melindungi Imigran dari deportasi ke negara asal
untuk tinggal illegal di Indonesia;
b) Harus mematuhi hukum dan menghormati Indonesia lokal tradisi,
adat istiadat, dan budaya. Jika melakukan tindak pidana di Indonesia,
imigran akan dituntut dan dihukum sesuai dengan Hukum Indonesia;
c) Imigran harus mendaftar dengan polisi setempat di daerah di mana
imigran tersebut berada. Hal ini berlaku untuk seluruh penduduk
Indonesia dan warga negara asing di Indonesia.
6) Sementara menunggu keputusan sebagai pencari suaka, imigran tidak
akan menerima keuangan bantuan dari UNHCR secara
finansial. Namun, menerima pengobatan gratis dalam kasus keadaan
darurat (misalnya, dalam kehidupan mengancam situasi). Solusi
permanen: UNHCR telah diberi mandat untuk mencari solusi
berkelanjutan bagi pengungsi di seluruh dunia. Ada tiga solusi
permanen yaitu:
a) Pemulangan sukarela ke negara asal
b) Integrasi lokal di negara tuan rumah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
c) Pemukiman kembali ke negara ketiga. Pemukiman kembali bukan
hak dan karenanya tidak secara otomatis diproses setelah status
pengungsi diberikan. Setiap kasus ditinjau secara individual oleh
UNHCR untuk menyimpulkan apakah pemukiman kembali adalah
solusi terbaik tahan lama. Proses pemindahan juga tergantung pada
ketersediaan kuota dan keputusan negara ketiga tempat pemukiman
kembali.
Kepada kelompok kedua yaitu imigran yang pergi karena alasan
ekonomi kita dapat melakukan tindakan hukum. Mereka dapat kita minta
secara baik-baik untuk kembali ke negara asalnya. Prosesnya dinamakan
repatriasi. Apabila mereka tidak memiliki biaya ke negara asal (atau
biasanya biaya untuk membeli tiket pesawat) maka International
Organization for Migration (IOM) akan menyediakan biaya.
Apabila mereka menolak pulang secara baik-baik maka negara
tempat orang asing itu berada bisa memulangkan secara paksa. Prosesnya
dinamakan deportasi. IOM tidak akan menanggung biaya pemulangan
paksa. Jadi Pemerintah harus mengeluarkan biaya untuk membayar biaya
perjalanan mereka. Non-refoulement tidak sama dengan deportasi ataupun
pemindahan secara paksa. Deportasi ataupun pengusiran terjadi ketika
warga negara asing dinyatakan bersalah karena melakukan tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan negara setempat atau ia menjadi
tersangka perbuatan pidana di suatu negara dan melarikan diri dari proses
peradilan (Sigit Riyanto, 2010: 435). Maka dari negara harus mengetahui
dan menyelidiki bahwa perbuatan yang dilakukan orang asing tersebut
termasuk tindak pidana atau bukan.
Situasi bertambah rumit jika ada imigran yang tidak memiliki status
pencari suaka atau pengungsi dan juga tidak memiliki paspor. Tanpa
paspor, mereka tidak bisa diketahui kewarganegaraannya dan tidak jelas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
tujuan pemulangan. Dalam hal ini adalah tugas Kementerian Luar Negeri
dan kantor imigrasi untuk menghubungi kedutaan besar negara asal
imigran tersebut dan melakukan koordinasi bersama. Koordinasi dengan
kantor kedutaan berkaitan dalam hal:
1) imigran tersebut tidak mempunyai identitas perjalanan/paspor;
2) imigran tidak memiliki biaya pemulangan;
3) tentang waktu pemulangannya, sampai kedutaan yang bersangkutan
mengeluarkan paspor.
Setelah berkoordinasi maka kedutaan yang bersangkutan akan
memberikan biaya untuk pemulangan imigran dan diberangkatkan sesuai
tanggal tiket. Namun apabila imigran tersebut adalah pengungi maka harus
melalui proses oleh UNHCR untuk mengetahui bahwa imigran tersebut
benar-benar pengungsi. Penentuan status pengungsi dapat dijelaskan dalam
bagan dibawah ini yang didasarkan atas definisi pengungsi dalam Konvensi
1951:
Gambar 3
Skrining Penentuan Status Pengungsi
Diterima
Dikirim ke negara penerima suaka
Ditolak
Banding
Definitif ditolak
Dideportasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Proses penentuan apakah pemohon pengungsi dikategorikan
screening-in atau screening-out sangat ditentukan oleh alasan yang dapat
dipenuhi sebagaimana ditentukan Konvensi 1951, dimana terdapat teori
yang diperkenalkan oleh Jean-Yves Carlier yaitu (Jean-Yves Carlier,
1999:140-144):
a. Apakah risiko sungguh-sungguh ada?
Poin ini merupakan tahap pada tataran risiko (Risk/R)
b. Apakah penganiayaan/penyiksaan/tekanan sungguh-sungguh ada?
Poin ini merupakan tahap pada tataran terjadinya
Penyiksaan/penganiayaan (Persecution?Pe)
c. Apakah resiko penganiayaan cukup dimungkinkan?
Poin ini merupakan tahap pada tataran bukti (Proof/Pr)
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa proses untuk
memulangkan orang asing sangatlah sulit dan membutuhkan waktu yang
sangat lama. Sehingga tidak mengherankan apabila banyak dari para
imigran ini menuggu lama di rumah detensi migrasi (Rudenim) sampai ia
mendapatkan sertifikasi dan status pengungsi dari UNHCR. Hambatan lain
yaitu saat ini sulit untuk menemukan negara maju yang mau menerima
pengungsi dan pencari suaka sebagai warga negaranya ataupun jika
dikembalikan ke negara asal sulit pula mendapat kesepakatan untuk
menerima mereka kembali sementara keadaan negara masih kacau.
b. Pengaturan Pemulangan Imigran Berdasarkan Hukum Hak Asasi
Manusia Internasional
Kebebasan merupakan hak dasar pengungsi dan pencari suaka yang
berarti termasuk dalam hak asasi manusia dan tercantum dalam beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
instrumen-instrumen internasional. Seperti yang tercantum dalam Pasal 13
ayat (1) DUHAM yang menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas
kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara. Hal
tersebut berarti kebebasan termasuk hak semua orang di dunia termasuk
pengungsi dan pencari suaka tanpa adanya diskriminasi.
Pengungsi dan pencari suaka yang melintasi batas negaranya atau
dalam kata lain memasuki wilayah negara lain menjadikan permasalahan
baru di negara tempat mereka singgah. Negara yang disinggahi tidak dapat
melakukan pemulangan secara paksa. Sesuai dengan Pasal 33 Konvensi
Pengungsi 1951 yang mengatur tentang prinsip non-refoulement (prinsip
tidak memulangkan kembali). Selain Pasal tersebut DUHAM juga
mengatur pemulangan pengungsi dan pencari suaka yaitu:
1) Tidak seorangpun dapat menjadi sasaran penangkapan yang sewenang-
wenang, penahanan atau pengasingan” (Pasal 9 DUHAM);
2) Setiap orang mempunyai hak untuk mencari dan menikmati suaka di
negara lain akibat pengejaran” (Pasal 14 DUHAM);
3) Setiap orang mempunyai hak atas suatu kewarganegaraan” (Pasal 15
DUHAM);
4) hak atas kebebasan bergerak dan berdiam dalam batas-batas tiap
negara (Pasal 13 (1) DUHAM);
5) hak untuk meninggalkan negara, termasuk negara sendiri dan hak
untuk kembali ke negaranya (Pasal 13 (2) DUHAM).
Pasal-pasal diatas merupakan hak-hak dasar yang tidak boleh
dilanggar oleh dalam perlindungan pengungsi dan pencari suaka. Hak
tersebut dihubungkan dengan tata cara pemulangan yang sudah ditetapkan
dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 dengan bantuan
UNHCR dan IOM. Namun dalam proses pemulangan pengungsi tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
harus berhati-hati dan melihat bagaimana keadaan negara asal pengungsi,
karena dapat menjadi permasalahan fatal apabila negara asal masih
membahayakan pengungsi atau pencari suaka tersebut.
Pemulangan kembali hanya dapat dilakukan dan bersifat manusiawi
manakala ia dilaksanakan secara sukarela, dan dengan memperhatikan
penghormatan atas hak asasi pengungsi. Selama pelanggaran hak asasi
manusia tetap terjadi di negara asal, diragukan apakah ada pengungsi yang
memutuskan untuk kembali dengan sukarela. Oleh sebab itu, perbaikan
penghormatan dan pemajuan terhadap semua jenis hak asasi manusia, dan
penghentian pertikaian dengan kekerasan di negara asal merupakan syarat
yang dibutuhkan untuk pemulangan pengungsi secara sukarela (Lembar
HAM dan pengungsi, tt: 20)
2. Pemulangan Imigran oleh Pemerintah Indonesia Berdasarkan Hukum
Pengungsi dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional
Pemulangan imigran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia harus
melalui prosedur yang sesuai Undang Undang yang ada. Kasus-kasus
pemulangan Imigran di Indonesia tidak semuanya dapat ditangani dengan
Undang Undang regional namun sebagian diselesaikan dengan hukum
internasional. Pemulangan imigran yang melakukan tindak pidana berbeda
dengan pemulangan pengungsi dan pencari suaka. Berikut beberapa kasus
pemulangan imigran di Indonesia:
a. Pendeportasian 14 warga China
Kantor Imigrasi Karawang memeriksa 14 warga negara Cina yang
dicurigai telah menyalahgunakan visa yang mereka gunakan. Para WNA
itu ditangkap ketika sedang bekerja di pabrik PT KPSS. Visa yang mereka
pegang hanya untuk kunjungan pelatihan kerja. Mereka tertangkap saat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
sedang berada di lingkungan pabrik, bukan di tempat latihan kerja. Sudah
ada peringatan kepada para WNA tersebut agar mengurus izin sesuai
peraturan perundang-udangan yang berlaku jika ingin kembali lagi ke
Indonesia. Peringatan disampaikan juga kepada pihak PT KPSS yang
dicurigai sering mendatangkan warga Cina untuk bekerja di pabriknya.
Pihak perusahaan harus mempunyai surat Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dari Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi sebelum mendatangkan para pekarja asing. PT KPPS
berdalih telah mengajukan RPTKA namun hingga saat belum juga terbit.
Pada akhirnya mereka tetap mendatangkan warga China dengan hanya
mengggunakaan izin kunjungan kerja.
Kantor Imigrasi Karawang akhirnya memulangkan secara paksa
(deportasi) empat belas warga Guang Zhou, Cina yang sedang bekerja di
pabrik pengolahan logam PT Karawang Prima Sejahtera Steel (KPSS),
Pangkalan, Kabupaten Karawang. Mereka dianggap telah
menyalahgunakan izin keimigrasian seperti diatur dalam Pasal 122 huruf a
Undang-undang No.6 tahun 2011. Mereka akan dipulangkan melalui
Bandara Soekarno-Hatta dengan menggunakan pesawat Garuda dan Cina
Airlines.
Para WNA Cina tersebut diberangkatkan dari mess PT KPSS
dengan pegawalan dari pihak imigrasi hingga ke Bandara Soekarno-Hatta.
Setelah berada di bandara pasport mereka akan diserahkan kepada
pemiliknya masing-masing. Hal itu dilakukan agar para WNA itu telah
dipastikan pulang ke negaranya, bukan dipindahkan ke tempat lain yang
masih berada di wilayah Indonesia. (A-106). (Sumber:
http://www.imigrasi.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id
=763&Itemid=34 diakses pada tanggal 27 September 2012 pukul 11.31
WIB).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
b. Pemerintah Australia menerima 50 Pengungsi asal Afganistan yang berada
di Indonesia
Pemerintah Australia dipastikan akan menerima sebanyak 50
orang imigran asal Afghanistan yang saat ini ditampung di Rumah
Detensi Imigrasi Pusat Tanjungpinang, Kepulauan Riau, karena mereka
sudah berstatus sebagai pengungsi. Penentuan status tersebut ditetapkan
oleh UNHCR. Dimana selama ini pengungsi tersebut berada di Indonesia
dan menunggu untuk penempatan di negara yang baru. Hingga akhirnya
Australia mau menerima para pengungsi tersebut untuk tinggal di
Australia (suaraindonesia.co diakses pada tanggal 10Desember 2012).
c. Pendeportasian 214 warga negara asing oleh pemerintah Indonesia
Rumah Detensi Imigrasi Pusat Tanjungpinang Kepulauan Riau
mendeportasi 214 orang dari 676 warga negara asing (WNA) yang
menghuni penampungan selama 2012. sebagian dari mereka adalah
imigran illegal, pencari suaka dan imigran yang melanggar hukum
keimigrasian Indonesia. WNA yang dideportasi itu adalah para imigran
ilegal dan mereka yang melakukan pelanggaran keimigrasian.
Pendeportasian imigran illegal tersebut telah diverifikasi pihak Komisariat
Tinggi Perserikatan Bangsa-Banga Urusan Pengungsi (UNHCR).
sedangkan yang berstatus sebagai pengungsi masih menunggu di Rudenim
untuk proses lebih lanjut http://berita.plasa.msn.com/nasional/republika
/sebanyak-214-wna-terpaksa-dideportasi-dari-indonesia diakses pada
tanggal 31 Januari 2013).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
B. Pembahasan
1. Pengaturan Pemulangan Imigran Berdasarkan Hukum Pengungsi dan
Hukum Hak Asasi Manusia
a. Pengaturan Pemulangan Imigran Berdasarkan Hukum Pengungsi
Imigran dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama,
pencari suaka (asylum seekers) dan yang kedua yaitu pengungsi (refugees).
Mereka adalah orang-orang yang kabur dari negara asal karena merasa
hidupnya terancam. Bisa karena berasal dari etnis minoritas. Atau karena
perbedaan pandangan politik dan keyakinan. Masyarakat internasional
memiliki kewajiban untuk melindungi kelompok pertama ini. Mereka tidak
boleh dihukum karena pelanggaran keimigrasian (misalnya masuk ke
Indonesia tanpa paspor dan visa atau tidak punya ijin tinggal di Indonesia).
Mereka juga tidak boleh dikembalikan ke negara asalnya (D. W. Bowett.
2007: 306).
Pengaturan pemulangan imigran yang dilakukan oleh UNHCR
berdasarkan mandatnya yaitu tahap demi tahap. Tahap pertama yaitu tahap
penentuan status pengungsi oleh UNHCR melalui identifikasi dan
wawancara. Sambil menunggu keputusan imigran tersebut ditempatkan di
rudenim. Tahap kedua, apabila sudah dinyatakan statusnya sebagai
pengungsi maka UNHCR akan mencari solusi berkelanjutan, yaitu
pemulangan sukarela ke negara asal, integrasi lokal, pemukiman kembali
ke negara ke tiga. Untuk pemulangan sukarela harus benar-benar
memperhatikan kesukarelaan pengungsi dan keadaan negara asal serta
menghormati hak asasi manusia.
Larangan pengembalian diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Konvensi
1951 tentang Status Pengungsi menyebutkan bahwa negara-negara peserta
konvensi ini tidak diperbolehkan untuk mengusir ataupun mengembalikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
pengungsi dalam bentuk apapun ke luar wilayahnya dimana keselamatan
dan kebebasan mereka terancam karena alasan ras, agama, kebangsaan,
keanggotaan pada kelompok sosial ataupun pandangan politiknya.
Larangan pengusiran/pemulangan secara paksa disebut juga dengan
prinsip non-refoulement. Prinsip non-refoulement yang mencerminkan
perlindungan minimum berdasarkan alasan kemanusiaan tercantum dalam
Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi. Pasal 33 ini
mencakup 3 (tiga) hal penting yaitu (Jun Justinar, 2011: 19-20):
1) Konvensi 1951 hanya mengikat negara-negara yang telah menjadi pihak
pada konvensi tersebut. Berdasarkan Pasal I ayat (2) Protokol 1967,
suatu negara yang tidak menjadi pihak pada Konvensi 1951 namun
menjadi pihak pada Protokol 1967, juga terikat pada Pasal 2 hingga
Pasal 34 Konvensi 1951. Dengan demikian, Pasal 33 Konvensi 1951
mengikat negara-negara yang menjadi pihak pada Konvensi 1951 atau
Protokol 1967, atau pada kedua instrument tersebut;
2) Konvensi 1951 bersifat kemanusiaan. Hal ini secara jelas tercantum
dalam paragraf pembukaan Konvensi 1951 yang mengemukakan bahwa
“PBB peduli pengungsi dan menjamin pengungsi mendapatkan hak-hak
dasarnya serta kebebasannya sebagaimana yang tercantum
dalam Universal Declaration of Human Right (Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia)”. Hal ini merupakan pengakuan dari seluruh
negara terhadap aspek sosial dan kemanusiaan dari masalah pengungsi;
3) Larangan pengusiran mengandung hal yang khusus. Hal ini didukung
oleh Pasal 42 ayat (1) Konvensi 1951 yang mengecualikan Pasal 33 dari
tindakan reservasi, dengan demikian larangan pengusiran dalam Pasal
33 Konvensi 1951 merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat
dikurangi sedikitpun (non-derogable) yang membangun esensi
kemanusiaan dalam Konvensi 1951.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Saat ini prinsip non-refoulement telah menjadi kebiasaan
internasional yang harus ditaati oleh semua negara tanpa terkecuali.
Dalam arti lain negara-negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951
harus mentaati dan menghormati prinsip ini. Namun, terdapat
pengecualian yang tercantum dalam Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951
mengatur bahwa “penerapan prinsip non-refoulement tidak berlaku bila
pengungsi tersebut keberadaannya mengancam keamanan nasional atau
mengganggu ketertiban umum di negara tempat ia mencari
perlindungan”, dengan syarat terdapat bukti yang menyatakan bahwa
pengungsi tersebut benar-benar membahayakan keamanan negara.
Prinsip non refoulement inipun telah diakui sebagai bagian dari
hukum kebiasaan internasional (international customary law).
International customary law maksudnya yaitu walaupun Indonesia tidak
meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 namun dengan
dikeluarkannya Resolusi Nomor 429 (V) oleh Majelis Umum PBB yang
menyatakan bahwa prinsip tersebut merupakan hukum kebiasaan
internasional yang harus atau wajib dilaksanakan. Sehingga, negara yang
belum menjadi pihak (state parties) dari Konvensi Pengungsi 1951 pun
harus menghormati prinsip non refoulement ini. Prinsip utama yang
melatar belakangi perlindungan internasional bagi pengungsi yaitu
konvensi 1951 dan protokol 1967 mencakup pula ketentuan-ketentuan
yang berupa (UNHCR. 2005: 39):
1) larangan untuk memulangkan pengungsi dan pencari suaka yang
beresiko menghadapi penganiayaan saat dipulangkan (prinsip non-
refoulement);
2) persyaratan untuk memperlakukan semua pengungsi dengan cara
yang non diskriminatif;
3) standar perlakuan terhadap pengungsi;
4) kewajiban pengungsi kepada negara tempatnya suaka;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
5) tugas negara untuk bekerja sama dengan UNHCR dalam
melaksanakan fungsi-fungsinya.
Telah dijelaskan diatas bahwa prinsip non-refoulement
merupakan hukum kebiasaan internasional, akibat dari pernyataan
tersebut maka aturan tersebut mengikat semua negara. Dalam arti lain
tidak hanya untuk negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi
1951 atau Protokol 1967, termasuk Indonesia yang belum meratifikasi
aturan-aturan tersebut.
Selain prinsip non-refoulement, di dalam Konvensi Pengungsi
1951 dan Protokol 1967 terdapat pula pasal-pasal yang mengatur tentang
perlindungan pengungsi yaitu berupa hak-hak dasar mereka. Berikut
beberapa pasal yang menjelaskan secara mendasar tentang perlindungan
pengungsi:
1) Pasal 30 Protokol 1967
“Ketentuan Konvensi harus diterapkan tanpa diskriminasi
berdasarkan ras, agama atau negara asal”
2) Pasal 15 Konvensi 1951
“berkaitan dengan asosiasi dan perhimpunan dagang non politik
dan nirlaba negara-negara pihak harus menyetujui pengungsi
tinggal secara sah di dalam wilayah mereka dengan perlakuan
sangat baik yang sama dengan warga negara asing, dalam keadaan
yang sama “
3) Pasal 16 Konvensi 1951
“Para pengungsi akan memperoleh akses bebas ke pengadilan di
wilayah semua negara pihak”
4) Pasal 26 Konvensi 1951
“Pengungsi sah di wilayah negara pihak memiliki hak untuk
memilih tempat tinggal mereka dan bergerak secara bebas di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
wilayah tersebut, tunduk kepada peraturan yang berlaku kepada
orang asing pada umumnya dalam keadaan yang sama”
5) Pasal 27 Konvensi 1951
“negara pihak harus mengeluarkan kartu identitas kepada setiap
pengungsi di wilayah mereka yang tidak memiliki dokumen
perjalanan yang sah”
6) Pasal 28.1 Konvensi 1951
“untuk tujuan perjalanan ke luar wilayah negara tersebut,
pengungsi diberikan dokumen perjalanan, kecuali ada alasan
keamanan nasional atau ketertiban umum memaksa yang
mengharuskan hal sebaliknya”
7) Pasal 31 Konvensi 1951
“hukuman tidak boleh dikenakan kepada orang yang masuk atau
datang secara tidak sah ke dalam wilayah negara untuk mencari
perlindungan seperti ditentukan dalam Pasal 1, dengan ketentuan
bahwa orang-orang tersebut datang sendiri tanpa mengabaikan
penguasa dan menunjukan alasan yang benar untuk masuk atau
kedatangan mereka”.
Sampai saat ini Indonesia masih belum meratifikasi baik itu
Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967 yang mengakibatkan
sulitnya Indonesia dalam memproses dan mengatur hadirnya pengungsi
serta pencari suaka. Imigran yang masuk di Indonesia hanya diatur oleh
Undang Undang Keimigrasian, sehingga terjadi kekosongan peraturan
yang mengatur perlindungan pengungsi dan pencari suaka. Indonesia
telah mempunyai Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, Undang Undang tersebut menjadi tolak ukur
Pemerintah Indonesia dalam membuat dan mengesahkan suatu perjanjian
internasional. Dijelaskan dalam Pasal 10 Undang Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bahwa: Pengesahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan:
1) Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
2) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik
Indonesia;
3) Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5) Pembentukan kaidah hukum baru;
6) Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Pasal 8 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional menentukan bahwa: materi muatan yang harus
diatur dengan Undang Undang berisi hal-hal yang:
1) Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang meliputi:
a) Hak-hak asasi manusia;
b) Hak dan kewajiban warga negara;
c) Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara;
d) Wilayah negara dan pembagian daerah;
e) Kewarganegaraan dan kependudukan;
f) Keuangan negara
2) Diperintahkan oleh suatu Undang Undang untuk diatur dengan
Undang Undang
Selain alasan diatas terdapat juga alasan lain yaitu Indonesia
sebagai negara transit yang sering menjadi tempat singgah para imigran
yang ingin menuju Australia. Sebagai negara transit Indonesia
membutuhkan aturan-aturan mengenai penanganan imigran yang masuk.
Aturan tersebut dibutuhkan untuk menjamin hak-hak para imigran
termasuk kewajiban Indonesia dalam memberikan perlindungan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
menjaga stabilitas keamanan negara, namun sampai saat ini masih di
Indonesia masih terjadi kekosongan peraturan tersebut. Dari penjelasan
tersebut telah jelas menjadi alasan agar Indonesia segera meratifikasi
Konvensi 1951 dan Protokol 1967, hal ini disebabkan bahwa konvensi
tersebut mengatur perlindungan Hak Asasi Manusia, memberikan
pengakuan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut oleh seluruh
anggota masyarakat yang memberikan penghargaan terhadap martabat
manusia. Dengan meratifikasi konvensi tersebut Indonesia dapat
melaksanakan asas dan prinsip yang terkandung dalam perundang-
undangan nasional yang nantinya akan diikuti oleh seluruh rakyat
Indonesia tanpa mengabaikan norma, nilai, agama dan adat istiadat bangsa
Indonesia serta sesuai dengan keadaan Indonesia baik itu dari segi
ekonomi, sosial maupun politik.
Ada beberapa hak yang perlu diperhatikan dan dipenuhi oleh
pemerintah Indonesia sebelum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan
Protokol 1967, yaitu:
1) Kebebasan mempraktekkan agama dan pendidikan agama bagi anak-
anak pengungsi (Pasal 4);
2) Hak atas milik bergerak dan tidak bergerak (Pasal 13);
3) Hak berserikat (Pasal 15);
4) Hak berswakarya (Pasal 18)
5) Hak menjalankan profesi liberal (Pasal 19);
6) Hak atas pendidikan (Pasal 22);
7) Hak atas kondisi kerja yang layak dan jaminan sosial (Pasal 24);
8) Kebebasan berpindah tempat (Pasal 26).
Beberapa hak diatas merupakan hak-hak yang harus diterima oleh
pengungsi dan pencari suaka selama mereka berada di Indonesia, selain
terdapat hak-hak yang dapat direservasi yaitu ketentuan Pasal 4 sedangkan
pasal-pasal yang lain tidak boleh direservasi. Ketentuan-ketentuan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
tidak boleh direservasi tersebut terdapat dalam Pasal 42 Konvensi 1951,
yaitu:
1) Definisi istilah pengungsi (Pasal 1);
2) Non diskriminasi (Pasal 3);
3) Kebebasan beragama (Pasal 4);
4) Akses ke Pengadilan (Pasal 6 ayat (1));
5) Non-Refoulement (Pasal 33);
6) Klausula akhir (Pasal 36-46).
Pemerintah Indonesia dapat melakukan reservasi terhadap
ketentuan Pasal 13,14, Pasal 17 yang mewajibkan negara untuk memberi
perlakuan yang sama terhadap pengungsi dan warga negara sendiri serta
orang lain yang tinggal di wilayahnya. Pertimbangan untuk mereservasi
pasal-pasal tersebut adalah bagi negara berkembang seperti Indonesia
menyediakan fasilitas bagi warga negaranya sendiri saja masih sulit untuk
dilaksanakan, terlebih harus memberikan pelaksanaan hal tersebut kepada
pengungsi.
Ketentuan Pasal 35 Konvensi 1951 menyatakan bahwa Komisariat
Tinggi mengawasi penerapan instrumen internasional oleh negara pihak
harus memberi kemudahan bagi pelaksanaan tugas Komisariat Tinggi
tersebut. Keikutsertaan negara pihak dalam penerapan instrumen
internasional dapat membantu kemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia yang berkaitan langsung dengan perlindungan pengungsi serta
negara wajib memenuhi kewajiban tersebut walaupun dalam keadaan
darurat sekalipun termasuk penerapan prinsip non-refoulement (Atik
Krustiyati, 2010:64).
Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip non refoulement
tersebut telah mengikat semua negara-negara di dunia. Dengan kata lain
walaupun suatu negara tidak meratifikasi konvensi namun ia tidak dapat
menghindar dari kewajiban tersebut. Sedangkan pihak yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
meratifikasi mempunyai kewajiban internasional yang mengikat secara
yuridis. Indonesia sebagai salah satu anggota PBB meskipun tidak
meratifikasi Konvensi Pengungsi namun Indonesia harus melaksanakan
kewajiban melindungi pengungsi sebagai wujud melindungi ketertiban
dunia yang merupakan kewajiban sebagai anggota PBB.
b. Pengaturan Pemulangan Imigran Berdasarkan Hukum Hak Asasi
Manusia Internasional
Permasalahan pengungsi dan pencari suaka tidak dapat dilepaskan
dari hak asasi manusia. Pengungsi dan pencari suaka berhak mendapat
perlindungan dari segala ancaman dan siksaan di negaranya. Seperti yang
diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Universal Declaration of Human Right
(UDHR) 1948 yang berbunyi ”Setiap orang berhak meninggalkan suatu
negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya” dan
Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk
mencari dan menikmati suaka dari negara lain karena takut akan
penyiksaan. Setiap pencari suaka-pun memiliki hak untuk tidak diusir atau
dikembalikan secara paksa apabila mereka telah tiba di suatu negara
dengan cara yang tidak lazim. Prinsip ini kemudian dikenal sebagai prinsip
non-refoulement.
Selain UDHR terdapat pula beberapa konvensi yang berkaita
dengan HAM yang mengatur tentang prinsip non-refoulement, yaitu:
1) Pasal 13 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
“Orang asing yang berada secara sah di wilayah Negara Pihak
pada Kovenan ini dapat diusir dari Negara tersebut hanya
menurut keputusan yang dikeluarkan berdasarkan hukum dan,
kecuali ada alasan-alasan kuat sehubungan dengan keamanan
nasional, ia harus diberi kesempatan mengajukan keberatan
terhadap pengusiran dirinya, dan meminta agar kasusnya
ditinjau kembali dan diwakili untuk keperluan ini, oleh pihak
yang berwenang atau orang-orang yang secara khusus ditunjuk
oleh pihak yang berwenang”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
2) Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture)
a) Tidak ada satu negara Pihak pun yang boleh mengusir,
mengembalikan (refouler) atau mengekstradisikan seseorang ke
negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga
bahwa orang itu berada dalam bahaya karena dapat menjadi sasaran
penyiksaan.
b) Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu,
pihak yang berwenang harus mempertimbangkan semua hal yang
berkaitan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap
pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak asasi
manusia di negara tersebut.
3) Pasal 45 paragraf 4 Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva Convention)
tahun 1949 yang berbunyi ”Dalam situasi apapun, orang yang dilindungi
ditransfer ke negara di mana ia mungkin memiliki alasan untuk takut
penganiayaan karena pendapat politik nya atau keyakinan agama”.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi
Jenewa IV, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dimana
kesemuanya mengatur tentang Prinsip Non-Refoulement. Pada umumnya
Prinsip non-refoulement terdapat pada Konvensi 1951 dimana Indonesia
belum meratifikasi. Namun demikian, dalam berbagai Konvensi
Internasional tentang HAM yang sudah diratifikasi oleh Indonesia
mengatur prinsip yang sama. Selain itu terdapat pula hukum nasional
Indonesia yang mengakui keberadaan prinsip ini. Adapun peraturan-
peraturan tersebut adalah:
1) Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan;
2) Pasal 45 paragraf 4 Konvensi Jenewa IV tahun 1949;
3) Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966;
4) Pasal 24 Tap MPR No. XVII/1998 mengenai HAM;
5) Pasal 28 G ayat 2 UUD 1945;
6) Pasal 28 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 mengenai
HAM;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
7) Pasal 26-28 Undang-undang Nomor 37 Tahun1999 mengenai
Hubungan Luar Negeri.
Praktik penerapan prinsip non-refoulement ini di Indonesia
dilaksanakan berdasarkan Surat Direktur Jenderal Imigrasi (untuk
selanjutnya disebut dengan Surat Dirjen) Nomor F-IL.01.10-1297, yang
ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia (untuk selanjutnya disebut dengan Kakanwil Depkum HAM
RI) dan Kepala Kantor Imigrasi di seluruh Indonesia, untuk memberikan
petunjuk mengenai penanganan terhadap orang asing yang menyatakan diri
sebagai pencari suaka atau pengungsi.Surat tersebut menegaskan bahwa
Indonesia secara umum menolak orang asing yang datang memasuki
wilayah Indonesia jika tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang
berlaku. Hal ini wajar mengingat setiap negara berhak menentukan orang
asing mana saja yang diijinkan masuk ke wilayahnya. Kemungkinan
masalah timbul dalam hal masuknya pengungsi, baik secara ilegal maupun
legal, yang tidak boleh dikembalikan ke daerah yang membahayakan
dirinya. Namun jika pengungsi tersebut terbukti melakukan tindak pidana,
maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30/1994 mengenai Tata Cara
Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan, Pemerintah berhak menangkal
pengungsi tersebut masuk ke wilayah RI. (Jun Justinar, 2011:18).
Pasal 3 Deklarasi Umum HAM PBB berbunyi : ” any individual
has the right to life, freedom and personal security”. Hak tersebut
termasuk dalam non derogable yang sering disebut sebagai ius cogens
tercantum dalam Vienna Convention on The Law of Treaties (Konvensi
Wina tentang Hukum Perjanjian Tahun 1969) yaitu norma-norma yang
telah diterima dan diakui oleh komunitas internasional, yang tidak boleh
dicabut dan tidak boleh dikecualikan oleh siapa pun, seperti yang dikatakan
oleh J.G Starke (1999:66) mengatakan konsep ius cogens yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
”serangkaian prinsip atau norma yang tidak dapat diubah, peremptory,
yang tidak boleh diabaikan, dan yang karenanya dapat berlaku untuk dapat
membatalkan suatu traktat. Pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa prinsip non-refoulement tidak dapat dikecualikan bahkan dihindari.
Semua negara di dunia mempunyai kewajiban untuk menghormati dan
melaksanakan prinsip ini tanpa adanya diskriminasi, termasuk pula negara-
negara yang bukan peserta konvensi.
2. Pemulangan Imigran oleh Pemerintah Indonesia Berdasarkan Hukum
Pengungsi dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional
Pemulangan Imigran oleh Pemerintah di Indonesia selama ini tidak lepas
dari aturan-aturan di Indonesia dan beberapa aturan Internasional baik yang sudah
diratifikasi oleh Indonesia maupun aturan yang menjadi kebiasaan internasional.
Berikut beberapa kasus pemulangan oleh pemerintah Indonesia:
a. Pendeportasian 14 warga China
Kantor Imigrasi Karawang akhirnya memulangkan secara paksa
(deportasi) empat belas warga Guang Zhou, Cina yang sedang bekerja di
pabrik pengolahan logam PT Karawang Prima Sejahtera Steel (KPSS),
Pangkalan, Kabupaten Karawang. Mereka dianggap telah menyalahgunakan
izin keimigrasian seperti diatur dalam Pasal 122 huruf a Undang Undang
No.6 tahun 2011. Mereka akan dipulangkan melalui Bandara Soekarno-
Hatta dengan menggunakan pesawat Garuda dan Cina Airlines.
Pihak imigrasi terpaksa memulangkan para pekerja asing asal Cina
itu karena mereka tidak mempunyai izin untuk bekerja. Visa yang mereka
pegang hanya untuk kunjungan pelatihan kerja. Mereka tertangkap saat
sedang berada di lingkungan pabrik, bukan di tempat latihan kerja. Sudah
ada peringatan kepada para WNA tersebut agar mengurus izin sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
peraturan perundang-udangan yang berlaku jika ingin kembali lagi ke
Indonesia. Peringatan disampaikan juga kepada pihak PT KPSS yang
dicurigai sering mendatangkan warga Cina untuk bekerja di pabriknya.
Pihak perusahaan harus mempunyai surat Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dari Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi sebelum mendatangkan para pekarja asing. PT KPPS berdalih
telah mengajukan RPTKA namun hingga saat belum juga terbit. Pada
akhirnya mereka tetap mendatangkan warga China dengan hanya
mengggunakaan izin kunjungan kerja. Para WNA Cina tersebut akan
diberangkatkan dari mess PT KPSS dengan pegawalan dari pihak imigrasi
hingga ke Bandara Soekarno-Hatta. Setelah berada di bandara pasport
mereka akan diserahkan kepada pemiliknya masing-masing. Hal itu
dilakukan agar para WNA itu telah dipastikan pulang ke negaranya, bukan
dipindahkan ke tempat lain yang masih berada di wilayah Indonesia. Kantor
Imigrasi Karawang memeriksa 14 warga negara Cina yang dicurigai telah
menyalahgunakan visa yang mereka gunakan. Para WNA itu ditangkap
ketika sedang bekerja di pabrik PT KPSS. Setelah diperiksa ternyata
kecurigaan pihak Kantor Imigrasi terbukti, hingga akhirnya ke-14 warga
China itu diputuskan untuk dideportasi. (A-106). (Sumber:
http://www.imigrasi.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7
63&Itemid=34 diakses pada tanggal 27 September 2012 pukul 11.31 WIB).
Kasus diatas merupakan salah satu permasalahan imigran di
Indonesia. Pasal 8 ayat (2) Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
keimigrasian mengatakan bahwa: “Setiap Orang Asing yang masuk Wilayah
Indonesia wajib memiliki Visa yang sah dan masih berlaku, kecuali
ditentukan lain berdasarkan Undang Undang ini dan perjanjian
internasional”. Pada kasus di atas visa yang digunakan oleh warga negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
china tersebut berupa visa pelatihan kerja namun mereka justru bekerja di
Indonesia sedangkan masa berlaku visa tersebut telah habis.
Pelanggaran lain yang dilakukan yaitu perusahaan yang
mendatangkan mereka yaitu PT KPSS telah melanggar ijin tinggal yang
telah diberikan. Sesuai dengan Pasal 122 huruf a Undang Undang Nomor 6
Tahun 2011 Tentang keimigrasian yang menyatakan: “Dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”:
1) setiap Orang Asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau
melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya;
2) setiap orang yang menyuruh atau memberikan kesempatan kepada
Orang Asing menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang
tidak sesuai dengan maksud atau tujuan pemberian Izin Tinggal
yang diberikan kepadanya.
Atas pelanggaran-pelanggaran tersebut untuk itu pemerintah
Indonesia telah bertindak tegas untuk memulangkan secara paksa
(Deportasi) warga Cina tersebut ke negara asal karena telah melakukan
tindak pidana berupa melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan
sehingga merugikan negara Indonesia. Tindakan pendeportasian tersebut
sudah sesuai dengan peraturan di Indonesia dan juga hukum pengungsi serta
hukum HAM internasional. WNA tersebut bukanlah pengungsi ataupun
pencari suaka, sehingga tidak ada alasan Indonesia untuk tidak
memulangkan mereka.
b. Pemerintah Australia menerima 50 Pengungsi asal Afganistan yang berada
di Indonesia
Pemerintah Australia dipastikan akan menerima sebanyak 50
orang imigran asal Afghanistan yang saat ini ditampung di Rumah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Detensi Imigrasi Pusat Tanjungpinang, Kepulauan Riau, karena mereka
sudah berstatus sebagai pengungsi. Penentuan status tersebut ditetapkan
oleh UNHCR. Selama ini pengungsi tersebut berada di Indonesia dan
menunggu untuk penempatan di negara yang baru. Hingga akhirnya
Australia mau menerima para pengungsi tersebut untuk tinggal di
Australia (http://suaraindonesia.co/ nasional/4163/ australia- terima- 50 –
pengungsi-asal-afghanistan diakses pada tanggal 10Desember 2012).
Permasalahan pengungsi merupakan permasalahan yang sudah
lama terjadi dan sampai saat ini masih menjadi perhatian khusus bagi
negara-negara di dunia. Kasus diatas merupakan salah satu permasalahan
yang biasa terjadi di Indonesia. Seperti yang telah kita ketahui bahwa
letak Indonesia merupakan jalur lalu lintas yang dilewati oleh pengungsi
dan pencari suaka ke negara yang mereka tuju. Contohnya yaitu Australia
sebagai migrant country.
Sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 6 Tahun
2011 Tentang keimigrasian bahwa “Setiap orang yang masuk atau keluar
Wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh
Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi”. Setelah dilakukan
pemeriksaan dan penyelidikan barulah diketahui alasan para imigran
masuk ke Indonesia baik itu dalam keadaan terpaksa atau tidak. Seperti
kasus diatas bahwa imigran asal Afganistan yang masuk ke Indonesia
setelah dilakukan pemeriksaan oleh UNHCR terbukti bahwa mereka
adalah pengungsi.
Penetapan seseorang menjadi pengungsi (Refugee Status) sebenarnya
merupakan proses yang terjadi dalam dua tahap:
1) Penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada
memang orang tersebut adalah Refugee;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
2) Fakta dihubungkan dengan persyaratan-persyaratan dalam Konvensi
1951 dan Protokol 1967. Setelah itu, dihubungkan apakah yang
bersangkutan memang merupakan pengungsi atau tidak.
Setelah mendapatkan status pengungsi, maka negara tempat singgah
pengungsi tersebut tidak diperbolehkan melakukan pengusiran atau
mengembalikan secara paksa. Sesuai dengan Pasal 33 Konvensi Pengungsi
1951 yang berisi larangan pengusiran atau pengembalian (refoulement).
Meskipun Indonesia sebagai negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951
dan Protokol 1967, namun Indonesia atas dasar kemanusiaan tetap harus
melindungi para pengungsi tersebut, selain itu dalam Pasal 28 G ayat (2)
Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain. Namun hal yang sangat mendasar yang berkaitan
dengan hukum internasional adalah adanya prinsip non-refoulement yang
wajib ditaati oleh semua negara karena sudah menjadi kebiasaan
internasional dan secara otomatis mengikat semua negara. Hal inilah yang
membedakan dengan kasus-kasus pemulangan imigran lain yang tidak
mempunyai dasar kemanusiaan seperti ekstradisi dan deportasi.
Kasus penempatan ke negara ketiga seperti kasus diatas sangat
membutuhkan kesediaan negara ketiga dalam hal ini Australia. Australia
mau menerima imigran-imigran tersebut karena mereka sudah terbukti
sebagai pengungsi. Mengingat negara Australia tidak menginginkan
masuknya imigran yang tidak mempunyai dokumen lengkap seperti illegal
imigran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
c. Pendeportasian 214 warga negara asing oleh pemerintah Indonesia
Rumah Detensi Imigrasi Pusat Tanjungpinang Kepulauan Riau
mendeportasi 214 orang dari 676 warga negara asing (WNA) yang
menghuni penampungan selama 2012. Sebagian dari mereka adalah imigran
illegal, pencari suaka dan imigran yang melanggar hukum keimigrasian
Indonesia. WNA yang dideportasi itu adalah para imigran ilegal dan mereka
yang melakukan pelanggaran keimigrasian. Pendeportasian imigran illegal
tersebut telah diverifikasi pihak Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-
Banga Urusan Pengungsi (UNHCR). Sedangkan yang berstatus sebagai
pengungsi masih menunggu di Rudenim untuk proses lebih lanjut
http://berita.plasa.msn.com/nasional/republika/sebanyak-214-wna-terpaksa-
dideportasi-dari-indonesia diakses pada tanggal 31 Januari 2013).
Sikap Indonesia pada kasus ini tidak serta merta memulangkan atau
bahkan mengusir secara paksa para imigran gelap tersebut. ada beberapa
prosedur perlindungan dan pemulangan terhadap mereka. Serta kerja sama
dengan organisasi internasional yaitu UNHCR dan IOM. Indonesia sebagai
negara yang dilintasi para imigran tersebut meskipun secara yuridis tidak
mempunyai kewajiban menampung para imigran tersebut namun atas dasar
kemanusiaan dan berdasarkan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM serta Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 tentang
pengesahan convention against torture and other cruel, inhuman or
degrading treatment or punishment maka Indonesia wajib untuk melindungi
para Imigran ini. Untuk selanjutnya dibutuhkan kerjasama UNHCR untuk
membuktikan bahwa imigran-imigran tersebut merupakan pengungsi atau
pencari suaka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Proses pembuktian tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama
untuk mengetahui status mereka. Dalam jangka waktu tersebut Indonesia
tetap harus melindungi dan tidak dapat melakukan pemulangan imigran
gelap tersebut. Hal ini berdasarkan atas prinsip non- refoulement yang sudah
menjadi kebiasaan internasional sehingga tidak ada pengecualian untuk tidak
mentaatinya meskipun Indonesia bukanlah negara peserta konvensi 1951.
Berdasarkan data yang didapat dalam kasus diatas Indonesia melakukan
deportasi terhadap imigran yang melanggar hukum keimigrasian dan imigran
illegal tang tidak terbukti sebagai pengungsi. Para imigran tersebut
dipulangkan kembali ke negara asal mereka. Sedangkan imigran yang
terbukti sebagai pengungsi masih dalam tahap menunggu di Rudenim untuk
penempatan oleh UNHCR.
Pemulangan imigran oleh pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan
hukum hak asasi manusia dan tidak bertentangan dengan prinsip non-
refoulement. Pada saat Indonesia melakukan pemulangan imigran, hal itu
dikarenakan imigran tersebut bukan merupakan pencari suaka atau
pengungsi melainkan mereka adalah illegal imigran dan melakukan
pelanggaran hukum di Indonesia. Sehingga, Indonesia sebagai negara yang
berdaulat berhak untuk memulangkan ke negara asal (deportasi).
Indonesia juga telah memenuhi kewajiban perlindungan HAM bagi
pengungsi meskipun belum meratifikasi Konvensi 1951 beserta protokolnya.
Hal ini terbukti pada saat datangnya pengungsi vietnam di Pulau Galang
tahun 1979. Indonesia mau menerima mereka untuk sementara waktu sampai
para pengungsi tersebut di tempatkan kembali oleh UNHCR. Selain itu
koordinasi yang baik antara pemerintah Indonesia dengan UNHCR dan IOM
dalam membantu proses pemulangan imigran di Indonesia menjadi lebih
baik dan terstruktur. Sehingga permasalahan pengungsi di Indonesia secara
perlahan dapat ditangani dan dikontrol oleh pemerintah sampai Indonesia
meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Tambahan 1967.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Pengaturan pemulangan imigran dalam Hukum Pengungsi dan Hukum Hak
Asasi Manusia (HAM) Internasional yaitu diawali dengan tahap penentuan
status pengungsi. Selanjutnya yaitu setelah imigran dinyatakan sebagai
pengungsi maka UNHCR akan mencarikan solusi berkelanjutan, yaitu
pemulangan sukarela ke negara asal atau integrasi lokal atau pemukiman
kembali ke negara ke tiga. Untuk pemulangan sukarela harus benar-benar
memperhatikan kesukarelaan pengungsi dan keadaan negara asal serta
menghormati hak asasi manusia. Hukum Internasional yang digunakan untuk
melindungi pengungsi sampai saat ini ialah Konvensi Pengungsi 1951 dan
Protokol 1967, serta hukum HAM internasional di antaranya yaitu Universal
Declaration of Human Rights 1948, dan International Convenant on Civil and
Political Rights. Terdapat prinsip non-refoulemet (larangan pemulangan
secara paksa) yang sudah menjadi hukum kebiasan internasional yang tidak
dapat dikecualikan.
2. Pemulangan imigran oleh Pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan hukum
pengungsi dan hukum hak asasi manusia (HAM) internasional, sehingga dapat
dikatakan pemulangan imigran sudah bersifat legal. Hal ini dibuktikan dengan
kasus pemulangan seperti pendeportasian 14 warga China, kasus 50
pengungsi Afghanistan di Indonesia yang diterima oleh Australia, dan kasus
pendeportasian 214 WNA di Indonesia. Pemerintah Indonesia bersedia
menampung mereka untuk sementara waktu. Selanjutnya proses penentuan
status pengungsi dan penempatan mereka dengan bantuan UNHCR dan IOM
sebagai organ yang menyediakan biaya serta kebutuhan imigran-imigran
selama mereka di Indonesia. Kalaupun Indonesia melakukan
pemulangan/pendeportasian, hal itu dikarenakan mereka bukan merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
pencari suaka atau pengungsi melainkan mereka adalah illegal imigran dan
melakukan pelanggaran hukum di Indonesia
B. Saran
Berdasarkan simpulan disarankan:
1. Dirjen Imigrasi Indonesia perlu meningkatkan pengawasan yang ketat
terhadap kinerja aparat imigrasi dalam menangani imigran yang masuk untuk
melindungi kedaulatan Negara Indonesia.
2. Pemerintah Indonesia (legislatif) perlu ratifikasi Hukum Pengungsi karena
dua instrument tersbut yaitu Konvensi Pengungsi 1961 dan Protokol 1967
merupakan instrument yang cukup lunak dan fleksibel yang aturan tersebut
tidak hanya berisi tentang keharusan melainkan juga membolehkan negara
yang terikat untuk berbuat sesuatu serta mereservasi pasal tertentu.