54
1 Wahana Lingkungan Hidup Indone- sia (WALHI- Friends of the Earth Indo- nesia) berdiri sejak 15 Oktober 1980. Adalah forum organisasi lingkun- gan hidup terbesar di Indone- sia yang membangun gerakan lingkungan menuju lingkungan hidup yang adil, sehat dan lestari. Hadir di 25 propinsi dengan 435 anggota organisasi dan 122 ang- gota individu. WALHI menggalang sumber daya dari publik (donatur dan relawan Sahabat WALHI) dan tidak menerima pendanaan dari perusahaan maupun partai politik. Dengan Rp. 1000,- per hari Anda telah menjadi Sahabat WALHI dan mendukung upaya penyelama- tan lingkungan hidup Indonesia. Untuk menjadi Sahabat WALHI, Hub: 021-79193363-68 atau [email protected] Korporatokrasi,Menyempurnakan Negara Sebagai Pengabdi Perusahaan Defenisi, Teori, Filsafat tentang Korporatokrasi (Hubungan antara Negara dan Modal) Danial Indrakusuma..........................................2 Historis Korporatokrasi (Cengkeraman Modal terhadap Negara) di Indonesia Arianto Sangaji.................................................11 Ekonomi Partikelir di Era Neokolonialisme Dani Setiawan dan Longgena Ginting............19 Orkestrasi Gerakan Hijau dan Pesta Korporatokrasi Khalisah Khalid................................................28 Korporatokrasi dan Cara Bekerjanya di Indonesia Salamuddin Daeng dan Pius Ginting..............35 Catatan Hitam Praktik Korporatokrasi Di Indonesia Sudiarto............................................................47 Selamatkan Indonesia Dari Cengkeraman Korporatokrasi Sudiarto............................................................50 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia DAFTAR ISI Alamat Redaksi: Jl.Tegal Parang Utara No.14 Mampang Prapatan,Jakarta 12790 Telp:(021)79193363/68 Fax:(021)7941673 Email:[email protected] Website:www.walhi.or.id REDAKSI Penanggung Jawab : Berry Nahdian Forqan Redaktur Pelaksana: Pius Ginting Dewan Redaksi: Erwin Usman Teguh Surya Mariamah Achmad Pius Ginting Distribusi: Triyanto Suhardi tanah air Jurnal Jurnal Ilmiah Gerakan Lingkungan Hidup www.walhi.or.id | www.eng.walhi.or.id

Layout jurnal tanah air walhi januari2009

  • Upload
    walhi

  • View
    247

  • Download
    15

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

1

Bahasan: Korporatokrasi

Wahana Lingkungan Hidup Indone-sia (WALHI- Friends of the Earth Indo-nesia) berdiri sejak 15 Oktober 1980.

Adalah forum organisasi lingkun-gan hidup terbesar di Indone-sia yang membangun gerakan lingkungan menuju lingkungan hidup yang adil, sehat dan lestari.

Hadir di 25 propinsi dengan 435 anggota organisasi dan 122 ang-gota individu. WALHI menggalang sumber daya dari publik (donatur dan relawan Sahabat WALHI) dan tidak menerima pendanaan dariperusahaan maupun partai politik.

Dengan Rp. 1000,- per hari Anda telah menjadi Sahabat WALHI dan mendukung upaya penyelama-tan lingkungan hidup Indonesia.

Untuk menjadi Sahabat WALHI, Hub: 021-79193363-68 atau [email protected]

Korporatokrasi,Menyempurnakan

Negara Sebagai Pengabdi Perusahaan

Defenisi, Teori, Filsafat tentang Korporatokrasi(Hubungan antara Negara dan Modal)Danial Indrakusuma..........................................2

Historis Korporatokrasi (Cengkeraman Modal terhadap Negara) di IndonesiaArianto Sangaji.................................................11

Ekonomi Partikelir di Era NeokolonialismeDani Setiawan dan Longgena Ginting............19

Orkestrasi Gerakan Hijau dan Pesta KorporatokrasiKhalisah Khalid................................................28

Korporatokrasi dan Cara Bekerjanya di IndonesiaSalamuddin Daeng dan Pius Ginting..............35

Catatan Hitam Praktik Korporatokrasi Di IndonesiaSudiarto............................................................47

Selamatkan Indonesia Dari Cengkeraman KorporatokrasiSudiarto............................................................50

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

DAFTAR ISI

Alamat Redaksi:Jl.Tegal Parang Utara No.14Mampang Prapatan,Jakarta 12790Telp:(021)79193363/68 Fax:(021)7941673Email:[email protected]:www.walhi.or.id

REDAKSI

Penanggung Jawab :Berry Nahdian Forqan

Redaktur Pelaksana:Pius Ginting

Dewan Redaksi:Erwin UsmanTeguh SuryaMariamah AchmadPius Ginting

Distribusi:TriyantoSuhardi

tanah airJurnal

Jurnal Ilmiah Gerakan Lingkungan Hidup

www.walhi.or.id | www.eng.walhi.or.id

Page 2: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

2

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

Awalnya, semangat kontrak bersama rakyat Indonesia untuk mendirikan Republik Indonesia adalah merdeka dan terbebas dari penjajahan, yakni merdeka dari sistem ekonomi kapitalisme (dengan aktor utamanya: korporasi). Maka tertuanglah dalam pasal 33 UUD 1945 bahwa semua kekayaan alam Indonesia digunakan untuk kepentingan rakyat (setelah sebelumnya dikelola oleh perusahaan perkebunan swasta, tambang swasta, dll); demikian juga semangat yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa… bukan untuk kepentingan korporasi, atau kepentingan investasi (modal).

Namun semenjak tahun 1965 telah terjadi perubahan haluan yang tajam. Dari awalnya ada upaya mengusahakan sistem ekonomi yang mandiri, menjadi membukakan diri kepada kepentingan korporasi. Orde Baru bisa saja berlagak memperjuangkan kepentingan nasional. Dalam prakteknya, dia makin menggiring Indonesia ke dalam cengkeraman sistem korporatrokasi. Setelah kejatuhan harga minyak internasional tahun 1980-an, dan terakhir karena krisis Asia tahun 1997, jejaring sistem korporatorkasi semakin merasuk ke hampir semua pori-pori bangsa Indonesia.

Sejarah telah memberikan contoh atas bertumbangannya sistem-sistem yang sudah dinilai tidak rasional lagi pada perkembangan selanjutnya, seperti kehancuran sistem kekaisaran yang besar yang pernah dunia kenal, sistem kerajaan, kehancuran dominasi gereja di Eropa. Tampaknya, sistem korporatokrasi pun bukan yang pertama bisa selamat dari kehancuran ini. Sistem tersebut telah gagal menjawab kebutuhan manusia, malahan telah memperburuk banyak persoalan: kemiskinan, kelaparan, penurunan tingkat kesehatan, dan penghancuran lingkungan hidup.

Sistem korporatokrasi menempatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam sebagai barang komoditi untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan instrumen pasar dan kekuasaan (politik) sekaligus sehingga mengabaikan prinsip keadilan dan keberlanjutan kehidupan rakyat. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya manusia dan sumber-sumber kehidupan rakyat (aset alam) yang kemudian berdampak kepada terjadinya kemiskinan struktural dan bencana ekologi. Dalam sistem korporatokrasi ini tidak ada jaminan bagi rakyat atas keamanan dan kesejahteraan hidupnya, atas keberlanjutan produktivitasnya dan atas keberlanjutan jasa pelayanan alam.

Kesadaran publik akan bahaya sistem korporatokrasi berkembang terus. Jika gerakan mahasiswa tahun 1998 lebih terfokus kepada menentang kediktatoran, maka seiring dengan laju kebijakan neoliberal beserta berbagai produk perundang-undangan yang dibuat institusi negara yang terang-terangan memfasilitasi kepentingan korporasi, maka kini tudingan publik pun makin mengarah kepada pokok dan sumber permasalahan: sistem korporatoraksi.

Sebagai contoh, dalam isu perubahan iklim, gerakan sosial kian menyadari bahwa dalang penghambat bagi agenda-agenda mengurangi dampak polusi gas rumah kaca adalah korporasi; dan kepentingan korporasi tersebut memiliki lobi yang kuat terhadap negeri-negeri industri, dan juga para intelektual.

Dalam situasi di mana lebih setengah penduduk dunia hidup di bawah kemiskinan dan bumi berada dalam spiral kerusakan ekologis, maka sewajarnya lah mayoritas umat manusia memikirkan dan mengusahan sistem yang lain, yang lebih manusiawi, yang bisa merestorasi kerusakan lingkungan, sistem sosial dan ketidakadilan yang telah terjadi.

Untuk menundukkan sistem korporatokrasi tersebut tentunya dengan memperluas ruang kontrol publik terhadapnya. Dan itu tidak hanya pekerjaan aktivis, profesor dari belakang meja komputer, tapi menuntut upaya kerjasama dan solidaritas dari komunitas-komunitas rakyat yang selama ini digusur demi investasi, diberangus demi investasi; dan komponen lainnya yang menginginkan keadaan yang lebih manusiawi dan lestari.

Semoga Jurnal Tanah Air edisi kali ini bisa membawa pencerahan dan berkontribusi untuk mewujudkannya.

Salam

Berry Nahdian Forqan

Kata Pengantar

Page 3: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

3

Bahasan: Korporatokrasi

Landasan-Pijak Teoritik Korporatokrasi

Bila saja Marx masih hidup, ia mungkin akan

tercengang menyaksikan kreativitas borjuis dalam

mendayagunakan negara demi kepentingannya1; Hamza

Alavi tentu akan maklum atas semakin sempitnya ruang

otonomi relatif negara di tengah semakin rentannya

sistim kapitalisme (negeri-negeri maju) terhadap krisis

(yang dampak gelombangnya semakin mendunia)2; dan

bila saja Richard Robison mempertimbangkan dari mana

sumber dana dan kebijakan negara (Orde Baru), maka

tentu ia tak akan berposisi: negara (Orde Baru) mampu

“menciptakan” kelas (di Indonesia)?3

Kadang korporatokrasi (corporatocracy)

sering dikaitkan dengan gerakan anti-globalisasi,

mungkin karena terkesiap atas gejala bagaimana

pemerintahan (terutama) negeri-negeri berkembang

tunduk pada kepentigan-kepentingan perusahaan-

perusahaan besar/transnasional. Misalnya saja, John

Omaha, Phd, menyimpulkan bahwa perang Irak

dicetuskan oleh perusahaan-perusahaan yang telah

berhasil menguasai negara (dan segala kelembagaannya)

republik demokratik Amerika—yang sekarang telah

menjadi korporatokrasi.4

Perusahaan-perusahaan dianggap memiliki

Korporatokrasi,Menyempurnakan Negara Sebagai

Pengabdi Perusahaan*

Di semua tempat, apakah itu dalam kebudayaan popular, hingga sistim propaganda, terdapat tekanan terus

menerus agar orang merasa bahwa dirinya tak bisa ditolong lagi, bahwa peran mereka hanyalah menyetujui

segala keputusan dan melahapnya—Chomsky.

Hambatan sesungguhnya bagi produksi kapitalis adalah kapital itu sendiri—Marx.

kekayaan yang begitu besar sehingga bisa menyuap,

menyusup dan menguasai pemerintahan di berbagai

negeri. Bahkan, ia sanggup mengemudikan eksekutif,

media-media terkemuka, legislatif, dan lembaga-

lembaga hukum, menyatukannya ke dalam suatu unit

yang berentang-dunia yang dinamakan korporatokrasi.

Fokus dari tujuannya hanya satu, tak terbagi5:

perusahaan—keuntungan harus maksimal; sumber

daya alam, segala kelembagaan, warga negara, harus

digunakan (atau disingkirkan bila tak diperlukan lagi)

demi memaksimalkan keuntungan; perusahaan harus

memiliki pasar-pasar baru untuk dikuasai; dan, bila

perlu, perusahaan-perusahaan yang memproduksi

peralatan militer harus memiliki pasar serta

menyesuaikannya dengan penaklukkan negeri-negeri

yang akan mengakumulasi keuntungan perusahaan6.

Bahkan, sejak akhir Perang Dunia II,

perusahaan-perusahaan besar telah muncul sebagai

penguasa dominan planet ini. Bank Dunia (World

Bank/WB), Dana Moneter Internasional (International

Monetary Fund/IMF) dan Organisasi Perdagangan

Dunia (World Trade Organization/WTO) pun tak lepas

dari cengkeraman korporatokrasi.7 [Aku lebih percaya

bahwa lembaga-lembaga tersebut merupakan kreasi

dari perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam

korporatokrasi rahasia, bukan sekadar kesepakatan

Danial Indrakusuma

1 Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, Neuron, [email protected]; Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte , dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works, dalam 1 Jilid, London, 1970.2 Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and Bangladesh, dalam Imperialism and Revolution in South Asia, ed. Kathleen Gough dan Hari P. Sharma, Monthly Review Press, New York and London, 1973.

3 Richard Robison, Indonesia: The rise of capital, Allen & Unwin, Sydney 1986.

4 John Omaha, Ph.D., Corporatocracy and the Iraqi War, http://www.sourcewatch.org/index.php?title= Corporatocracy.

5 Walaupun, dalam situasi tertentu, perusahaan bisa saja (atau harus) sedikit mengucurkan keuntungannya kepada pihak-pihak lain, namun tujuan dari pembagian tersebut tetap saja demi melancarkan maksimalisasi keuntungan perusahaan.

6 Boeing, Lockheed Martin, Ford, merupakan beberapa perusahaan yang mendapat keuntungan besar dari perang di Vietnam, Grenada, Panama, Afghanistan, Colombia, Kuwait, Yugoslavia, Albania, Irak. Penjualan persenjataan Amerika Serikat (AS) jumlahnya sama dengan penjualan persenjataan (gabungan) berbagai negeri di dunia.

7 Lembaga-lembaga tersebut turut memberikan sumbangan yang menyebabkan 200 perusahaan besar dunia bisa menguasai 28,3% output dunia; dan 50 bank komersil serta perusahaan-perusahaan finansial (derivatif) berhasil mengangkangi 60% dari 20 trilyun dollar saham (modal produktif) dunia.

* Naskah diterima oleh Redaksi pada 30 September 2008

Page 4: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

4

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

multilateral negeri-negeri kapitalis maju. Lebih jauh lagi,

Hannah Holleman dan R. Jonna mengatakan:

Dalam kenyataannya, pertentangan—yang

tidak sekadar tercermin dalam berbagai wujud

kekuasaan—justru merupakan sumber kekuasaan

dalam hubungan-hubungan sosial sistim kapitalis. Dan

pertentangan tersebut tidaklah dimulai dengan kelahiran

lembaga-lembaga tersebut the (IMF, World Bank, WTO,

GATT, dan lain sebagainya.)—dan tidak juga akan

berakhir di lembaga-lembaga tersebut…]8

Dikatakan bahwa korporatokrasi juga

memasukkan cara-cara kriminal dalam strategi-

taktiknya—membuat laporan-laporan keuangan palsu,

merekayasa pemilu, menyogok, mengancam, seks,

membunuh, kudeta—sebagaimana yang diungkapkan

oleh John Perkins, Sang Penjagal (bidang) Ekonomi

(Economic Hit Man).9 Contoh lainnya: Manajer-manajer

perusahaan Rockefeller melakukan perdagangan BBM,

melalui negeri netral Swiss, dengan musuh Sekutu:

Jerman. Kantor Chase Bank di teritori yang diduduki Nazi,

Paris, melakukan bisnis jutaan dollar dengan musuh dan

sepengetahuan kantor pusatnya di Manhattan (keluarga

Rockefeller adalah salah satu pemiliknya); truk-truk

Jerman yang digunakan untuk menduduki Prancis

dibuat oleh Ford dengan persetujuan dari Dearborn,

Michigan; Kolonel Sosthenes Behn, kepala perusahaan

(konglomerat) ITT, terbang dari New York ke Madrid, lalu

ke Berne, selama perang berlangsung untuk membantu

mengembangkan sistim komunikasi Hitler dan bom-

bom robot yang meluluhlantakkan London. Bahkan ITT

mengembangkan FockeWulfs, yang menjatuhkan bom-

bom ke tentara Inggris dan Amerika.10

Pengertian korporatokrasi di atas tidak bisa

disamakan dengan korporatisme—yang mengacu pada

sistim ekonomi dan politik yang dikendalikan oleh

suatu badan (yang tidak dipilih secara demokratik

dan memiliki hirarki internalnya sendiri) berisikan

perwakilan-perwakilan dari kelompok-kelompok

ekonomi, industrial, agraria, sosial, kebudayaan dan/

atau professional.11

Istilah korporatisme popular pada masa

kekuasaan Getulio Vargas di Brazil selama tahun 1920-

an dan 1930-an, saat dia memerlukan lembaga yang

dapat memoderatkan pasar bebas—yang ia maknai

sebagai kapitalisme modern—dengan kesejahteraan

sosial. Ilmuwan politik biasa juga menggunakan istilah

korporatisme untuk memaknai negara yang, dengan

kekuasaannya, mewajibkan dan membuat aturan

yang menyatukan pimpinan-pimpinan agama, sosial,

ekonomi, atau organisasi-organisasi popular, agar dapat

dikooptasi dan diredam potensinya untuk melawan

kekuasaan serta mencari legitimasinya dari kekuasaan.

Pada tahun 1891, korporatisme juga pernah digunakan

oleh Paus Leo XIII (encyclical Rerum Novarum)

sebagai wadah kolaborasi/tawar menawar antara kelas

buruh dengan kelas kapitalis karena Katolik khawatir

akan pengaruh ideologi sosialis terhadap serikat buruh

Katolik. Dan korporatisme juga dipraktekkan oleh fasis

Italia (tokohnya adalah Alfredo Rocco dan Mussolini)

serta rejim diktator Orde Baru (Indonesia) (tokohnya

adalah Suhardiman, Ali Murtopo). Namun, pada masa-

masa selanjutnya, korporatisme sering digunakan untuk

meloloskan kepentingan perusahaan (dengan legitimasi

negara) di atas kepentingan publik. Ada juga istilah

neokorporatisme, misalnya dalam wujud kongkrit:

International Labour organization (ILO); Komite Ekonomi

dan Sosial Uni Eropa; pengaturan kesepakatan bersama

di antara negeri-negeri Skandinavia; Kemitraan Sosial di

Irlandia; Dewan Pengupahan Nasional di Singapura; dan

banyak lagi. Walupun korporatokrasi berbeda makna

dengan korporatisme, namun korporatokrasi sering

menggunakan unsur-unsur dalam korporatisme sebagai

variabel penting dalam strategi-taktik mereka, apalagi

unsur-unsur dalam dalam korporatisme (atau, misalnya,

sisa-sisanya yang masih banyak berkiprah dalam serikat-

serikat buruh di Indonesia pasca kejatuhan Suharto)

berkarakter lemah.

Kita harus melihat korporatokrasi dari

pendekatan ekonomi-politik yang historis, agar jangan

sampai terjerembab pada analisa on the spot seolah-olah

korporatokrasi lahir dari ruang hampa sosial—misalnya

melihat korporatokrasi dari sisi sosiologis (kapitalis

memerlukan wadah yang lebih struktural dan permanen

untuk lobbying); dari sisi ilmu politik [korporatokrasi

merupakan wadah, yang bisa saja di luar struktur

negara, yang dapat menjamin kediktatoran kelas

kapitalis; dan dibedakan dengan korporatisme (yang

8 Hannah Holleman dan R. Jonna, The War for Control of the Periphery, Monthly Review, February, 2008.

9 Lihat John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 2004.

10 Lihat Charles Higham, Trading With The Enemy: The Nazi-American Money Plot 1933-1949, iUniverse, Inc., Lincoln, NE, 2007.

11 Lihat From Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Corporatism.

Page 5: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

5

Bahasan: Korporatokrasi

merupakan ruang di dalam struktur negara) yang masih

memberikan kesempatan tarik menarik kepentingan];

atau, walaupun pendekatannya historis, korporatokrasi

hanya dilihat sebagai rangkaian (kronologis) fragmen-

fragmen bagaimana negara dan kapitalis bekerjasama

mengorbankan kepentingan kelas pekerja atau warga

negara.

Tidak, secara historis negara dan kapitalisme

bukanlah dua entitas yang terpisah, negara (kapitalis)

adalah anak kandung kedikatatoran (ekonomi)

kapitalisme. Seperti kata Marx:

“Borjuis senantiasa makin bersemangat menghapuskan keadaan penduduk yang terpencar-pencar dari alat-alat produksinya, dan dari hak pemilikannya. Ia telah menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi, dan telah mengkonsentrasikan hak pemilikan ke dalam beberapa tangan. Akibat yang seharusnya dari hal tersebut adalah pemusatan politik. Provinsi-provinsi yang merdeka atau yang tak begitu erat kepentingannya, undang-undang, pemerintah dan sistim pajak yang berlainan, menjadi terpadu sebagai suatu bangsa, dengan satu pemerintah, satu undang-undang, satu kepentingan kelas, satu bangsa, satu perbatasan dan satu

tarif pabean.”12

Atau seperti kata Engels:

“Negara, dengan demikian, adalah sama sekali bukan merupakan kekuatan yang dipaksakan dari luar kepada masyarakat, sebagai suatu yang sesempit ‘realitas ide moral’, ‘bayangan dan realitas akal’, sebagaimana yang ditegaskan oleh Hegel. Justru, negara adalah produk

masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; …”13

Atau, lebih kongkret lagi, Marx menjelaskan bagaimana

borjuis menyempurnakan negara agar sesuai dengan

kepentingannya:

“Tetapi revolusi adalah radikal. Ia masih dalam perjalanannya, melewati tempat pensucian arwah. Ia melaksanakan usahanya berdasarkan suatu metoda. Sampai tanggal 2 Desember, 1851 (hari berlangsungnya kudeta Louis Bonaparte), ia telah menyelesaikan separuh dari pekerjaan persiapannya, sekarang ia sedang menyelesaikan separuh yang lainnya. Pertama-tama, ia menyempurnakan kekuasaan parlementer, agar menggulingkan kekuasaan lama. Sekarang, setelah itu tercapai, ia akan menyempurnakan kekuasaan eksekutif, …”14

“Kekuasaan eksekutif tersebut, dengan organisasi birokrasi serta militernya yang sangat hebat, dengan mesin negaranya yang serba rumit dan cerdik, yang meliputi lapisan-lapisan luas, dengan barisan pegawainya yang berjumlah setengah juta, di samping tentaranya yang juga sebesar setengah juta, badan yang bersifat parasit mengerikan ini, yang menjerat tubuh masyarakat Prancis seperti jala dan menyumbat segala pori-pori di kulitnya, terjadi pada masa monarki absolut saat keruntuhan sistem feodal, dan jasad parasit itu telah membantu mempercepat keruntuhannya. Revolusi Prancis, pertama-tama ia telah mengembangkan sentralisasi, ‘tetapi pada saat yang bersamaan’ ia memperluas sifat dan jumlah agen-agen kekuasaan pemerintahan. Napoleon menyempurnakan mesin negara ini. Monarki Legitimis dan Monarki Juli tidak memberikan manfaat apapun, kecuali pembagian kerja yang lebih besar. Akhirnya, dalam perjuangan menentang revolusi, republik parlementer menemukan dirinya sebagai suatu hal keterpaksaan, bersama dengan tindakan-tindakan penindasan, memperkuat sarana-sarana dan sentralisasi kekuasaan pemerintah. Semua penggulingan kekuasaan menyempurnakan mesin ini,

bukan menghancurkannya…”15

Dengan penjelasan di atas, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa:

1. pembentukan negara bukanlah sekadar hasil

dari hasrat moral dan sebagai entitas di luar

masyarakat (dipaksakan kepada masyarakat);

2. dalam perkembangan tertentu suatu

masyarakat16, muncul kelas borjuis yang

membutuhkan—lebih tegas lagi: menciptakan—

negara (borjuis) karena negara lama tak lagi

bersesesuaian dengan kepentingannya;

3. pada akhir analisa, bukan negara (borjuis) yang

menciptakan kelas (borjuis), tapi sebaliknya;

4. karenanya, landasan kepentingan borjuislah

(konsentrasi/sentralisasi tenaga produktif,

akumulasi kapital, perluasan pasar, bahkan

politik) yang mendorong (keniscayaan)

pembentukan, penaklukan, penyesuaian dan

penyempurnaan negara (borjuis).

Dengan demikian, telaah terhadap korporatokrasi

haruslah dilandasi oleh penelitian tentang:

1. sejarah perkembangan kapitalisme (maju),

dan sejauh manakah (instrumen kelas borjuis)

12 Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, hal. 49, Neuron, [email protected].

13 Friedrich Engels, Asal Usul Keluarga, Milik Perseorangan dan Negara, dalam Lenin, Negara dan Revolusi, http://marxists.org/indonesia/-archive/lenin/1917/negara/state2.htm

14 Karl Marx, Brumaire ke-18 Louis Bonaparte, dalam Lenin, Negara dan revolusi, http://marxists.org/-indonesia/-archive/lenin/1917/negara/state2.htm.

15 Ibid.

16 Sering juga dikatakan: dalam fase tertentu perkembangan tenaga produktifnya.

Page 6: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

6

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

negara telah lebih sempurna melayaninya;

2. dan, saat kapitalisme (maju) tersebut

merentangkan cengkeramannya secara

global—sebagai suatu keniscayaan (kebutuhan

untuk mengkonsentrasi/sentralisasikan

tenaga produktif; mengakumulasi kapital

dan meluaskan pasar)—maka sampai sejauh

manakah negara (nasional) yang akan menjadi

koloninya perlu disempurnakan agar sesuai

dengan kebutuhannya;

3. kontradiksi negara (apa?) terhadap borjuis tentu

saja mengisyaratkan, menceminkan, bahwa

negara sedang dalam proses penggulingan oleh

unsur-unsur revolusioner; atau hanya sedang

digerogoti unsur-unsur sosial-demokrat, yang

bisa saja menghasilkan reaksi balik sogokan

otonomi relatif negara (dalam berhadapan

dengan borjuis)—agar sistim kapitalisme secara

keseluruhan tidak runtuh.17;

4. atas dasar kesejarahannya, tentu saja, negara

negeri-negeri berkembang (yang kaya tenaga

produktif sumberdaya alam18) akan paling tidak

sempurna, tidak bersesuaian dengan negara

negeri-negeri kapitalis maju;

5. Kasus bailout di negeri-negeri koloni/

berkembang (misalnya, BLBI di Indonesia), atau

negeri kapitalis maju (misalnya, permohonan

talangan 700 milyar dollar oleh Bush kepada

Kongres), substasinya sama: pada krisis

kapitalisme yang sudah mendunia, maka jalan

keluar daruratnya adalah (apa yang aku sebut)

penyangga rapuh finansial—merampas kembali

uang (sosial) kelas pekerja yang sudah diserahkan

borjuis pada negara (perampokan fiskal).

Paling tidak, kelima faktor tersebut di ataslah yang akan

menjadi pertimbangan kadar kekejaman korporatokrasi.

Sekarang, marilah kita lihat apa makna sejarah

perkembangan kapitalismenya:

Ruang hidup korporatokrasi: konsentrasi/

sentralisasi tenaga produktif; akumulasi modal;

perluasan pasar; dan krisis kapitalisme (global)

Bahwa perkembangan kapitalisme tidak dapat

dilepaskan dari pengamatan terhadap dinamika hukum-

hukumnya—apakah sebagaimana yang telah dirumuskan

oleh Marx dan Engels; atau yang kemudian tak sempat

diamatinya—karena, di dalam perkembangannya,

kapitalisme dibebani oleh hukum (besi) yang melekat

di dalamnya (inheren). Dalam Kesipulan Garis Besar

Sketsa Evolusi sejarah, Engels mengatakan:

C. “Di satu pihak, penyempurnaan mesin-mesin, yang dirangsang oleh persaingan—yang merupakan kewajiban bagi setiap individu pemilik pabrik—diembel-embeli oleh semakin meningkatnya pemutusan hubunga kerja. Bala tentara pengangguran, atau pasukan cadangan industri. Di lain pihak, perluasan produksi tanpa batas—yang di bawah tekanan persaingan, juga merupakan kewajiban bagi setiap pemilik pabrik. Gabungan keduanya menghasilkan perkembangan tenaga-tenaga produktif yang sebelumnya tak pernah ada, kelebihan penawaran dibanding permintaan, kelebihan produksi (overproduction), banjir barang-barang dagangan di pasar-pasar…

D. Kelas kapitalis itu sendiri dipaksa secara sepihak untuk mengakui watak sosial tenaga-tenaga produktif. Lembaga-lembaga besar harus mengambilalihnya—guna kepentingan produksi dan komunikasi—pertama-tama oleh perusahaan saham-gabungan, kemudian oleh gabungan perusahaan dan, pada akhirnya, oleh negara. …”19

Menurut Doug Lorimer:

“Untuk mengendalikan akumulasi kapital, menurut Marx, caranya harus mempertentangkan kapitalis dengan buruh, dan mempertentangkan buruh dengan buruh. Dan, selain itu, juga harus mempertentangkan kapitalis dengan kapitalis. Setiap kapitalis “harus tunduk pada hukum mati produksi kapitalis, hukum eksternal dan memaksa”. Karena semua daya upayanya ditujukan untuk mengakmulasi kapital, atau sekadar berfungsi dalam proses akumulasi kapital, maka mau tak mau harus berseteru dengan kapitalis lainnya.

Proses akumulasi kapital dan persaingan antar-kapitalis semakin lama akan semakin mengkonsentrasikan dan mensentralisasikan kapital ke tangan segelintir kapitalis saja, layaknya ikan besar melahap ikan kecil. …”20

Perkembangan spekulasi saham dan finansial tak dapat

sepenuhnya diamati oleh Marx, padahal ekonom-

ekonom kiri sering melihatnya sebagai salah satu faktor

yang memperdalam krisis. Misalnya saja, Engels, dalam

catatan tambahan bagi Capital, Jilid III, mengatakan:

“…bursa saham masih merupakan elemen sekunder

17 Sebagaimana pembacaanku atas Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte, dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works, dalam 1 Jilid, London, 1970; dan Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and Bangladesh, dalam Imperialism and Revolution in South Asia, ed. Kathleen Gough dan Hari P. Sharma, Monthly Review Press, New York and London, 1973. 18 Dalam perkembangan selanjutnya, proporsi kebutuhan akan tenaga produktif pekerja semakin menurun.19 Dikutip dan diterjemahkan dari Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific, dalam Karl Marx dan Friedrich Engels, Selected Works (dalam 3 Jilid), Jilid 3, hal. 150-151, Progress Publisher, Moscow, 1970-1977.20 Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, hal. 107, Neuron, [email protected].

Page 7: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

7

Bahasan: Korporatokrasi

dalam sistim kapitalis, namun setelah masa itu mulai nampak perubahannya. Sekarang ini, bursa saham memegang peranan yang sangat penting dan terus menerus berkembang sehingga, kemudian, cenderung mengkonsentrasikan seluruh cabang produksi—apakah itu industri atau pun pertanian, bersama dengan seluruh perdagangannya; apakah itu alat-lat komunikasi maupun pertukaran fungsinya—ke tangan para spekulator bursa saham, sehingga bursa saham menjadi perwakilan produksi kapitalis yang sedemikian penting.”21

Sedangkan menurut Allen Myers:

Namun alasan utama mengapa begitu banyak uang yang digunakan dalam spekulasi semacam itu adalah karena krisis kelebihan produksi/kelebihan kapasitas. Terlalu banyak kapital yang tidak bisa diinvestasikan kembali.22

Dan menurut Castro:

Sekarang ini, dalam skala dunia, jumlah transaksi harian penjualan mata uang asing (yang langsung bisa disediakan) diperkirakan mencapai US $ 1, 5 trilyun. Jumlah tersebut tak termasuk dengan apa yang disebut sebagai operasi-operasi keuangan tambahan, yang jumlahnya kurang lebih sama. Camkanlah perbandingannya dengan jumlah total ekspor dunia dalam satu tahun, yang berjumlah sekitar US $ 6.5 trilyun, sehingga kita bisa membayangkan: betapa luar biasa besarnya jumlah transaksi moneter yang tak berkaitan dengan perdagangan nyata.23

Total saham aset-aset keuangan seperti saham

perusahaan dan macam-macamnya, obligasi (hutang)

negara, dan lain sebagainya, naik dari 5 trilyun dollar,

pada tahun 1980, menjadi 35 trilyun dollar, pada tahun

1992, dan diharapkan akan naik lagi menjadi 80 trilyun

dollar, dan itu artinya tiga kali lipat nilai total barang dan

jasa yang diproduksi oleh ekonomi kapitalis maju. Begitu

banyaknya uang yang dispekulasikan menjadi uang,

tanpa menjadi produksi riil, tanpa menjadi perdagangan

nyata, sehingga bila tak diatasi akan memperbesar

dan mempercepat pecahnya gelembung finansial yang

mematikan produktivitas dan kemampaun daya beli

masyarakat. Bahkan seorang Keynes pun percaya bahwa

kebangkitan kapital finansial, sebagaimana yang terjadi

pada tahun 1920-an, akan mengakhiri rasionalitas

kapitalis, mengubah perusahan produktif, menjadi

(dalam bahasanya) suatu “gelembung di atas pusaran-

air spekulasi”24.

Semua hukum-hukum tersebut, pada akhirnya (dalam

siklus krisis), akan menghasilkan ekses lanjutan:

Secara tipikal, bisa disimpulkan, bahwa suatu perputaran krisis muncul akibat adanya kesenjangan antara nilai dengan harga: selama periode boom, karena harga-harga dan keuntungan meningkat, bahkan kapitalis yang paling tak efisien pun bisa menghasilkan laba. Dan karena setiap orang berupaya merebut peluang, maka terjadi kelangkaan, yang akan menyebabkan naiknya harga-harga dan keuntungan yang lebih besar lagi. Tingkat harga rata-rata meningkat lebih tinggi dan lebih tinggi lagi di atas tingkat nilai rata-rata. Akibatnya, modal yang kurang efisien akan tersingkir bersama tenaga kerja sosial yang tak bisa digunakan lagi (pemborosan).

Demikian pula, kesenjangan antara nilai dengan harga menjadi terlalu besar, sehingga tiba-tiba menyebabkan sebagian besar kapitalis tak mungkin lagi bisa mendanai biaya produksi25 dan menghasilkan keuntungan normalnya. Depresi/resesi klasik diatasi dengan meredam kontradiksi yang paling penting, yakni mengupayakan keseimbangan (kembali) antara nilai dengan harga—terutama melalui pernyataan pailit atau pengambilalihan perusahaan-perusahaan yang kurang efisien—atau, dengan kata lain: penghancuran kapital.26

Redaksi Monthly Review percaya bahwa kapitalisme

memiliki wajah yang baru: pertumbuhan yang melambat,

kapital berekses, dan menggunungnya hutang. Sektor

finansial ekonomi kapitalis tidak lagi sekadar diarahkan

demi kebutuhan produksi, meningkatkan kesempatan

kerja, dan investasi. Dimulai sejak tahun 1980-an,

sektor finansial semakin menjadi bentuk otonom mata

pencaharian (mencari uang), khususnya di pasar-pasar

derivatif. Kecepatan pertumbuhan dan ambruknya

nilai-nilai finansial menambah resiko bahkan pada

kesejahteraan individual. Dan karena sektor finansial

secara keseluruhan merupakan bagian yang sangat

penting, maka resikonya pun akan membebani ekonomi

secara keseluruhan—apalagi bank bisa meminjamkan

hingga 95% dana bagi aktivitas pembelian derivatif.

Dalam kapitalisme monopoli, ekses kapasitas tidak

21 Friedrich Engels, catatan untuk Karl Marx, Capital, Jilid 3, http://marxists.org/archive/marx/works/-1894-c3/pref.htm.

22 Allen Myeers, “Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional”, Jurnal Kiri, Volume.3, ,hal. 114, Neuron, [email protected].

23 Fidel Castro Ruz, Arsitektur Keuangan Internasional, Apendiks pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.

24 Lihat John Bellamy Foster, The End of Rational Capitalism, Monthly Review, March 2005.

25 Padahal, bersamaan dengan ketidakberdayaan kapitalis mendanai biaya produksnya lagi, sebagian keuntungan yang lalu sekarang (oleh kapitalis) lebih nyaman dispekulasikan/diperjudikan di bursa-bursa saham, pasar-pasar valas dan lain-lain derivaitif keuangan lainnya—penulis.

26 Opcit, hal. 105.

Page 8: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

8

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

bisa dipandang sekadar sebagai gejala temporer yang

berkaitan dengan siklus penurunan bisnis. Sebagaimana

yang dikatakan oleh Josef Steindl dalam tulisannya

Maturity and Stagnation in American Capitalism (New

York: Monthly Review Press, 1976, hal. 10-12), “kelesuan”

atau “ketidakseimbangan” ekses kapasitas bisa saja

“dalam makna praktis…permanen”, selalu mengekor

pada kecenderungan fundamental ekonomi yang sedang

menuju stagnasi.27

Bahkan Bank Dunia, saat menilai Asia Timur, pun

berkata:

…tak diragukan lagi bahwa hidup puluhan juta manusia akan semakin terpuruk dalam beberapa tahun ke depan. Krisis yang demikian parah sekarang ini merupakan peringatan bahwa penderitaan atas hilangnya potensi manusia tetap akan terasa selama bertahun-tahun sekalipun krisis tersebut sudah berlalu. Anak-anak yang terpaksa harus putus sekolah telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Di Indonesia, sebagai contoh, pejabat pemerintahnya melaporkan bahwa jumlah yang mendaftar sekolah menurun secara drastis, dari 78% menjadi 54%. Tekanan ekonomi telah memaksa banyak keluarga tercerai berai, memaksa gadis-gadis belia menjadi pelacur, dan menyebabkan para manula miskin terancam hidupnya.28

Nampaknya krisis dunia memang akan merupakan siklus

krisis jangka panjang. Krisis Asia menandai permulaan

sebuah siklus krisis kelebihan produksi (cyclical

overproduction) dalam perekonomian dunia, seperti

yang terjadi pada tahun 1974-1975, pada tahun 1980-

1983, pada tahun 1990-1993, pada tahun 1997-2000-an

dan, sekarang, tanda-tandanya sudah mulai kelihatan

(dengan adanya krisis finansial ekonomi Amerika). Dalam

laporan World Economic outlook, IMF memperkirakan

bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil

dunia pada tahun 1998 hanya akan meningkat 2% saja.

Laporan tersebut juga memberikan catatan: “Pada tahun

1999, peluang-peluang beberapa perbaikan signifikan

juga telah menurun, dan resiko kemerosotan yang lebih

dalam, lebih luas dan lebih panjang telah meningkat.”29

Krisis tersebut tidak saja sudah dan akan melanda Asia

(termasuk Jepang dan Korea Selatan), tapi juga sudah

dan akan melanda Amerika dan Eropa, yang ditandai

dengan stagnasi relatif dalam pertumbuhan.30

Kadar krisis tersebutlah yang akan menarik-ulur taring

korporatokrasi. Dan, seperti biasanya, melalui IMF,

akan diyakinkan bahwa obat bagi krisis tersebut adalah

kebijakan-kebijakan mutakhir kapitalisme yang sesuai

dengan hukum besinya—konsentrasi/sentralisasi

tenaga produktif; akumulasi kapital; dan perluasan

pasar—yakni: seraya menyodorkan paket penyelamatan

(bailout) milyaran dollar, IMF menuntut perubahan

kebijakan, berupa bahwa pemerintah akan menjamin

hutang luar negeri sektor swasta; penurunan tingkat

permintaan domestik melalui kebijakan suku bunga

tinggi dan surplus anggaran pemerintah (termasuk

potongan segala macam subsidi); serta “reformasi”

struktural untuk menghilangkan hambatan-hambatan

yang menghalangi pasar “bebas” (termasuk privatisasi).

Kebangkrutan kapital Dunia Ketiga dapat membantu

menaikan rata-rata keseluruhan tingkat keuntungan dan,

di akhir perang dingin, imperialisme tak lagi merasakan

adanya kebutuhan untuk memajang etalase “macan”

ekonomi sebagai kontra terhadap contoh-contoh ekonomi

“komunis’ dari Cina dan Uni Soyet. Sebagi altenatifnya,

hanya diberi sogokan (wortel) pembangunan terbatas;

sedangkan untuk mempertahankan ketertiban kapitalis

di negeri-negeri semi-kolonial, mereka lebih banyak

tergantung pada kekerasan (tongkat)—seperti di Irak.

Namun demikian, bagi imperialisme, peningkatan

penghisapan Dunia Ketiga tak cukup untuk mengatasi

krisis. Sekarang ini, juga merupakan suatu periode

persaingan sengit antar-imperialis, yang bentuknya

berbeda-beda.

Suatu respon terhadap krisis kelebihan produksi

adalah meningkatkan monopolisasi (baca: konsentrasi/

sentralisasi tenaga produktif): melalui penghancuran

atau menyerap para pesaing Dunia Ketiga, juga melalui

pengambilalihan atau merjer. Respon terhadap dua

bentuk kapital—kapital produktif dan kapital finansial—

adalah berkembangnya maniak merjer, yang skalanya

dijadikan jaminan apakah mampu atau tidak keluar dari

krisis.

Neoliberalisme, globalisasi krisis

27 Lihat The New Face of Capitalism: Slow Growth, Excess Capital, and a Mountain of Debt, Editors, Monthly Review, April, 2002.

28 The World Bank, East Asia: The Road to Recovery, Washington, DC, 1998, hal, IX.

29 International Monetary Fund, World Economic Outlook: October 1998, Washington DC, 1998, hal.1, dalam Allen Myeers, “Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional”, Jurnal Kiri, Volume.3, hal. 114, Neuron, [email protected].

30 Untuk melihat angka-angkanya, lihat Robert Brenner, From Neoliberalism to Depression?, Against the Current, November/Desember 1998, hal.22.

Page 9: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

9

Bahasan: Korporatokrasi

Bahkan termasuk spekulator besar seperti George Soros

pun merasa khawatir bahwa “globalisasi” dan kebijakan

“pasar bebas” neoliberal yang sudah diberlakukan

akan mengenyampingkan partisipasi rakyat pekerja,

dan menggantikannya dengan hukum kapital yang

akan membangkitkan “keresahan sosial yang massal”.;

demikian pula majalah Inggris, Economist, yang jelas-

jelas merupakan juru bicara paling gigih kapitalis

laissez-faire (siapa kuat, dia menang) sejak majalah itu

diterbitkan pada awal abad ke-19, bekomentar:

“…Dalam bidang ekonomi, dunia sudah ditata menjadi suatu kesatuan aktivitas. Dalam bidang politik, masih saja…terpecah-pecah. Tekanan antara kedua kecenderungan antitesis yang saling berlawanan tersebut telah menghasilkan runtunan pukulan, kejutan dan menghancurkan kehidupan sosial manusia.”31

Economist sebenarnya merujuk pada krisis ekonomi yang

lebih besar dari Great Depression, yang diglobalisasikan

ke seluruh negeri-negeri kapitalis, pun bukan sederet

krisis keuangan dan kejatuhan ekonomi seperti di Jepang

(1989), di Mexico (1994), di Korea Selatan, di Thailand

dan di Indonesia (1997), serta di Rusia (1998). Sebut saja

salah satu contoh menyedihkan: kenaikan suku bunga

di Amerika mendorong kenaikan suku bunga di seluruh

dunia, merusak nilai kredit-bermanfaat negeri-negeri

yang berhutang banyak. Negeri-negeri yang bermodal

minim mencoba untuk mengekspor guna mencari jalan

keluar dari krisis keuangannya, namun proteksionisme

meningkat, beban hutang menjadi semakin berat,

kegagalan demi kegagalan memaksa sistim keuangan

internasional semakin menegang. Pemotongan upah dan

rencana-rencana penghematan lainnya, yang nampaknya

dianggap sebagai solusi yang paling “realistik” bagi

setiap orang, justru semakin membuat kacau persoalan.

Ekonomi pinggiran, yang cadangan keuangannya tak

memadai, menunda pembayaran-pembayarannya

karena kondisi kapital yang kabur (capital flight)

semakin buruk.

Dan menurut Castro:

Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan sebagai lampiran doktrin, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pada tahap/masa neoliberal tidaklah

lebih tinggi ketimbang yang dicapai oleh kebijakan pembangunan (negara) sebelumnya. Setelah PD II, Amerika Latin tak memiliki hutang sama sekali tapi, sekarang, berhutang sebesar 1 trilyun dollar. Itu merupakan hutang per kapita tertinggi di dunia. Kesenjangan pendapatan antara si kaya dengan si miskin juga terbesar di dunia. Saat ini, Amerika Latin, mengalami saat yang paling berat sepanjang sejarahnya karena semakin banyak orang miskin, pengangguran, dan yang kelaparan.

Sebenar-benarnya, di bawah kebijakan neoliberalisme, ekonomi dunia ternyata tidak mengalami pertumbuhan yang pesat; tapi, malahan lebih sering tidak stabil, lebih banyak spekulasi, peningkatan hutang luar negeri dan pertukaran/perdagangan yang tak setara. Demikian juga, terdapat kecenderungan lebih besar dan semakin seringnya krisis keuangan, sementara kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan antara negeri-negeri Utara (yang makmur) dengan negei-negeri Selatan (yang dimiskinkan) malah makin melebar.

Dalam dua tahun terakhir ini, krisis, instabilitas, kekacauan dan ketidakpastian merupakan kalimat yang biasa digunakan untuk menjelaskan tatanan ekonomi dunia.

Deregulasi—yang melekat dalam neoliberalisme—dan liberalisasi nilai kapital telah memberikan dampak negatif sangat mendalam terhadap ekonomi dunia karena mengakibatkan ledakan spekulasi mata uang dan pasar-pasar yang terkena dampaknya, yang transaksi hariannya (sebagian besar spekulatif) bernilai tak kurang dari 3 trilyun dollar.32

Setelah semua penjelasan di atas, atau setelah perluaan

kapitalis (berserta krisisnya) berentang-dunia maka,

pada tahap inilah, keniscayaan korporatokrasi mulai

nampak:

Globalisasi neoliberal tak lain dan tak bukan adalah

globalisasi (perluasan ke seluruh penjuru dunia)

kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial neoliberal.

Namun kebijakan-kebijakan tersebut tak ada urusannya

dengan, atau bertujuan untuk, memperlemah kekuasaan

penekan negara-bangsa terhadap rakyat pekerja,

atau bertujuan memperlemah kekuasaan penekan

negara-bangsa imperialis, khususnya negara-bangsa

Amerika Serikat, terhadap penjuru duna lainnya. Malah

sebaliknya, mereka bertujuan menjamin bahwa pasar

penjuru dunia lainnya dibuka bagi barang-barang dan

investasi mereka.

31 Lihat Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, hal. 115-116, Neuron, [email protected].

32Fidel Castro Ruz, Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga, pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.33 Kontradiksi kapitalisme, bagaimanapun juga, tidak bisa dihilangkan dalam kerangka-kerja kapitalisme, tak peduli seperti apapun demokrasi politik yang dijejalkannya. Kontradiksi tersebut hanya bisa diakhiri bila perbudakan tenaga kerja manusia oleh hukum-hukum pasar diakhiri dan digantikan oleh sosialisasi tenaga produktif (termasuk tenaga kerja manusia), yang diabdikan pada pengawasan demokratik agar tenaga produktif (termasuk tenaga kerja) tersebut dapat diorgansir secara kolektif atau, dengan kata lain, digantikan oleh: sosialisme.

Page 10: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

10

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

Tak cocok dengan doktrin “pasar bebas” liberal, pembuat

kebijakan imperialis yang ada di Washington begitu

mengerti bahwa kekuatan kekerasan yang terorganisir,

sebagai esensi kekuasaan negara, merupakan alat yang

sangat dibutuhkan (krusial) dalam kebijakan ekonomi,

dan merupakan instrumen yang menentukan dalam

memutusakan siapa yang akan jadi pemenang dan

siapa yang akan menjadi pecundang dalam kompetisi

global mengakumulasi kapital di antara geng pengeruk

keuntungan yang saling berseteru. (Siapapun yang ragu

akan hal tersebut, harus mengujinya dengan pengalaman

ekonomi Irak sejak Perang Teluk.)

Berbeda dengan pendapat kaum terpelajar borjuis,

intelektual-intelektual mantan-radikal dan liberal-kiri,

yang berpendapat bahwa globalisasi neoliberal telah

memperlemah kekuasaan negara-bangsa, ternyata kapital

Amerika Serikat terus menerus memperkuat kekuasaan

penekan negara-bangsanya dengan meningkatkan

pembelanjaan untuk mesin-mesin militernya melebihi

seluruh pembelanjaan militer enam negeri kuat yang ada

sekarang ini.

Dan organisasi-organsisai penguasa imperialis, yang

harus memaksakan kebijakan-kebijakannya kepada

negeri-negeri kapitalis berkembang, seperti WB, IMF

dan lainnya, sebenarnya bukanlah lembaga-lembaga

yang anggotanya terdiri berbagai nasionalitas (supra-

national). Lembaga-lembaga tersebut, sebenarnya,

merupakan cerminan kekuasaan negara-bangsa

imperialis (terutama) yang paling kuat, Amerika Serikat,

dalam ekonomi global dan, langsung atau tak langsung,

merupakan cerminan perusahaan-perusahaan besar

transnasional, cerminan korporatokrasi (rahasia atau

terbuka)—bisa saja disebut neo-korporatokrasi.

Kesimpulan

1. Bahwa korporatokrasi, pada tahap tertentu

kapitalisme, merupakan salah satu (dari banyak)

pranata (institution) keniscayaan dalam upaya

borjuis menggunakan negara sebagai instrumen

bagi kepentingan-kepentingannya karena, seperti

kata Marx dan Engels, walaupun negara (borjuis)

itu merupakan hasil bentukkan borjuis (kadang

dengan memanipulasi rakyat/kelas pekerja

pengikutnya), namun negara (borjuis) tak akan

serta merta melengkapi mesin-mesinnya sesuai

dengan keinginan hukum-hukum kapitalisme;

kadang, terutama dalam sistim kapitalisme yang

sudah lebih maju, negara merupakan cerminan

persaingan borjuis, yang di dalamnya mereka saling

berebut pengaruh (penaklukan) karena, biasanya

(secara tradisi), borjuis lama (Rockefellers, Ford,

Mellons, Morgans, DuPonts, Whitneys, Warbugs,

Vanderbilts) sudah terlalu lama mendekam

menguasai negara, menindas kesempatan borjuis

baru dalam menggunakan negara sebagai instrumen

kepentingan-kepentingannya; atau negara (borjuis)

sedang dalam “ancaman” digulingkan oleh kaum

revolusioner, atau sedang sekadar digerogoti oleh

kaum sosial demokrat;

2. Selama mesin-mesin negara (beserta ideologinya)

belum lengkap, belum sempurna bersesuaian

dengan, mengakomodir, kepentingan-kepentingan

borjuis (termasuk membantu mengatasi krisis-

krisisnya), maka korporatokrasi dibutuhkan

oleh borjuis dan, oleh karena itu, karakternya:

transisional. Masalahnya: korporatokrasi tak

akan bisa menyelesaikan krisis kapitalisme;

korporatokrasi bukan pranata (institution) untuk

menyelesaikan krisis tapi, (terutama) pada saat

krisis, ia sekadar pranata (institution) untuk

menyelamatkan individu dan/atau klik borjuis

dengan cara (seperti telah dijelaskan di atas):

perampokan fiskal dan penindasan (bila ada

perlawanan).

Rekomendasi:

Hanya ada dua jalan pilihan: pertama, selagi kita masih

hidup, agar keseluruhan sistim kapitalisme tidak ambruk,

turut membantu memperpanjang hidup kapitalisme

dengan mendukung perampokan fiscal (bailout)

seraya menuntut ceceran jaring pengaman sosial. Dan

hasilnya bisa dinikmati selagi kita masih hidup; atau

kedua, selagi kita masih hidup, menggulingkan sistim

kapitalisme dengan mempercepat persatuan di kalangan

kiri dan/dengan kalangan progresif guna mempercepat

pembentukan/perluasan kekuatan alternatif rakyat

mandiri, alternatif dan mandiri terhadap kekuatan-

kekuatan politik lama dan reformis gadungan. Dan

hasilnya belum tentu bisa dinikmati selagi kita masih

hidup33; tak ada pilihan lain.

Daftar Acuan

Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte ,

dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works,

dalam 1 Jilid, London ,1970.

----------Theories of Surplus Value, bagian 1, Progress

Publishers, Moscow, 1963.

Friedrich Engels, Asal Usul Keluarga, Milik

Page 11: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

11

Bahasan: Korporatokrasi

Perseorangan dan Negara, dalam Lenin, Negara dan

Revolusi, http://marxists.org/indonesia/-archive/

lenin/1917/negara/state2.htm.

----------Socialism: Utopian and Scientific, dalam Karl

Marx dan Friedrich Engels, Selected Works (dalam 3

Jilid), Jilid 3, Progress Publisher, Moscow, 1970-1977.

----------Catatan untuk Karl Marx, dalam Capital, Jilid 3,

http://marxists.org/archive/-marx/works/-1894-c3/pref.htm.

Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”,

Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, Neuron, revolt83@

hotmail.com.

Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and

Bangladesh, dalam Imperialism and Revolution in South Asia,

ed. Kathleen Gough dan Hari P. Sharma, Monthly Review Press,

New York and London, 1973.

Richard Robison, Indonesia: The rise of capital, Allen & Unwin,

Sydney, 1986.

John Omaha, Ph.D., Corporatocracy and the Iraqi War, http://

www.sourcewatch.org/-index.php?title=Corporatocracy.

Hannah Holleman dan R. Jonna, The War for Control of the

Periphery, Monthly Review, February, 2008.

John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Berrett-

Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 2004.

Charles Higham, Trading With The Enemy: The Nazi-American

Money Plot 1933-1949, iUniverse, Inc., Lincoln, NE, 2007.

Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/

Corporatism.

Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan

Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli

2000, Neuron, [email protected].

Allen Myeers, “Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional”,

Jurnal Kiri, Volume.3, Neuron, [email protected].

John Bellamy Foster, The End of Rational Capitalism, Monthly

Review, March, 2005.

----------Monopoly Capital and the New Globalization, Monthly

Review, January, 2002.

----------The Financialization of Capitalism, Monthly Review,

April, 2007.

----------The Financialization of Capital and the Crisis, Monthly

Review,

April, 2008.

Editor Monthly Review, The New Face of Capitalism: Slow

Growth, Excess Capital, and a Mountain of Debt, Monthly

Review, April, 2002.

The World Bank, East Asia: The Road to Recovery,

Washington, DC, 1998, hal. IX.

International Monetary Fund, World Economic Outlook:

October 1998, Washington DC, 1998, hal.1.

Robert Brenner, From Neoliberalism to Depression?, Against the

Current, November/Desember 1998.

Michal Kalecki, Essays in the Theory of Economic Fluctuations,

Allen and Unwin, London, 1939.

Michael Klare, The New Geopolitics, Monthly Review, July–

August, 2003.

John Hobson, Imperialism: A Study, Ann Arbor: University of

Michigan Press, 1965.

Noam Chomsk, The Cold War and the Superpowers, Monthly

Review, November, 198.

Neil Smith, American Empire: Roosevelt’s Geographer and the

Prelude to Globalizaton, University of California Press, Berkeley,

2003.

James Burnham, The Struggle for the World, John Day, New

York, 1947.

The New Geopolitics, Economist, July 31, 1999.

G. John Ikenberry, America’s Imperial Ambition, Foreign Affairs,

Vol. 81, No. 5, September–October 2002.

William K. Tabb, Labor and the Imperialism of Finance, Monthly

Review, October, 1999.

Minqi Li, After Neoliberalism: Empire, Social Democracy, or

Socialism?, Monthly Review, January, 2004.

United Nations, Human Development Report, Oxford University

Press, 2000 dan 2002.

James Petras and Henry Veltmeyer, Globalization Unmasked,

Zed Books, London and New York, 2001.

Oskar Lange and Fred M. Taylor, On the Economic Theory of

Socialism, McGraw-Hill, New York, 1964.

Fidel Castro Ruz, Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga,

pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan

Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi

Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan

yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.

----------Arsitektur Keuangan Internasional, Apendiks pidato

Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri

Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat

Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang

tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.

Page 12: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

12

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

Menteorikan korporatokrasi

Dalam bukunya yang laris manis ‘Confessions

of an Economic Hit Man’, John Perkins (2004)

menyebut korporatokrasi. Sebutan ini merujuk kepada

sebuah kekaisaran global (global empire) yang memiliki

tiga pilar, korporasi, perbankan, dan pemerintah.

Katanya, korporatokrasi bukan sebuah konspirasi, tetapi

pilar-pilarnya menjunjung nilai dan tujuan bersama.

Salah satu fungsi utama dari korporatokrasi adalah

melanggengkan, memperluas dan memperkuat sistem

secara terus-menerus. Nilai dan tujuan bersama, serta

system yang dimaksud tak lain adalah sistem kapitalis.

Buku itu sendiri lebih bertutur tentang an

Economic Hit Man (EHMs). Kalau menerjemahkannya

secara bebas berarti para pembunuh professional

ekonomi. Dalam logat (slang) bahasa Inggris, hit man

berarti seseorang yang disewa oleh sebuah sindikat

kriminal sebagai pembunuh profesional. Dengan EHMs

Perkins (2004:ix) maksudkan adalah para professional

bergaji sangat tinggi, yang menipu seluruh negeri

dengan trilyunan dollar. Mereka menyalurkan uang

dari World Bank, USAID, dan organisasi keuangan

internasional yang lain ke dalam brankas korporasi-

korporasi raksasa dan saku segelintir keluarga-keluarga

kaya yang mengontrol sumber daya alam di planet ini.

Senjata mereka adalah laporan-laporan keuangan yang

penuh tipu muslihat, pemilihan umum yang curang,

hadiah (payoffs), pemerasan, seks, dan pembunuhan.

Sebenarnya, inti gagasan Perkins bukan hal

baru dalam percakapan ilmu-ilmu sosial. Empat tahun

sebelum buku Perkins terbit, Michael Hard dan Antonio

Negri (2000) telah menjelaskan satu regim global baru

yang sedang tumbuh, yang oleh keduanya memberi

sebutan ‘Empire’. Mengombinasikan antara pendekatan

post-modernisme dan ekonomi politik, keduanya

Historis Korporatokrasi (Cengkeraman Modal terhadap

Negara) di Indonesia *Oleh Arianto Sangaji

memakai istilah ini untuk menjelaskan sebuah bentuk

kedaulatan global yang baru (the new global form of

sovereignty) yang ditandai dengan merosotnya dominasi

kekuatan Negara-bangsa (nation-state). Faktor-faktor

produksi dan pertukaran—uang, teknologi, orang, dan

barang— bergerak cepat melintasi batas-batas negara, di

mana negara-bangsa kian tidak berdaya mengatur dan

menggunakan kewenangannya. Negara-bangsa paling

kuat dan berpengaruh pun tidak dapat mempertahankan

supremasinya, bahkan dalam wilayah kedaulatannya

sendiri. Poin pokoknya adalah bahwa kedaulatan yang

baru ini terdiri dari organisme nasional dan supranasional

yang menyatu di bawah satu kekuatan tunggal berbentuk

jaringan kekuasaan. Keduanya meletakkan kekuatan US,

IMF, World Bank, bahkan NGO ke dalam regim ini.

Lantas apa yang bisa dilakukan? Di dalam

buku mereka yang lain ’multitude’ (2006), keduanya

membayangkan tentang pentingnya demokrasi sebagai

jalan keluar. Tetapi, konsep demokrasi yang mereka

bayangkan adalah yakni nonkapitalis, nonrepresentative,

dan nonnational. Konsep ini diwadahi dalam apa yang

disebut dengan multitude, yakni tidak lain adalah

semacam organisasi common singularities. Mereka

mengakui perbedaan (plurality) atau difference, tetapi

bukan fragmentary. Di sini mereka menganggap

pentingnya aksi-aksi bersama. siapa saja yang berpotensi

ambil bagian aksi-aksi bersama itu?. Atau dalam bahasa

keduanya potential subjectivity of multitude. Itu

berwujud bentuk dalam perjuangan menentang IMF,

World Trade Organization, WB, gerakan mahasiswa di

Indonesia dan Korea Selatan, perjuangan anti-dolarisasi

di Equador, dan sebagainya.

Jauh sebelum konsep Empire lahir, sudah

berkembang terlebih dulu apa yang disebut dengan

imperialisme, dengan pengertian yang berbeda, tetapi

* Naskah diterima oleh Redaksi pada 15 September 2008

Page 13: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

13

Bahasan: Korporatokrasi

sama-sama berusaha memahami arah perkembangan

globalisasi atau kapitalisme. Vladimir Lenin (1982, 1943)

punya perhatian yang luas dan mendalam mengenai

imperialisme, baik dalam menejelaskan sifat-sifatnya

juga cara menghadapinya. Lenin (1982:83) menyatakan

bahwa imperialisme merupakan hasil transformasi

dari sistem kapitalis berbasis kompetisi bebas ke

sistem kapitalis monopoli. Sistem monopoli memiliki

ciri pemusatan produksi dan modal di dalam industri

berskala besar, setelah industri-industri berskala kecil

mengalami kebangkrutan atau dibangkrutkan. Bentuk-

bentuk monopoli meliputi kartel, sindikasi, trusts, dan

merger di antara perusahaan-perusahaan besar. Menurut

Lenin sistem ini bekerja melalui operasi monopoli dan

kompetisi untuk memperoleh bahan-bahan mentah di

seluruh dunia. Hal ini terjadi melalui ekspansi ekonomi

yang melintasi batas-batas negerinya sendiri, melalui

kolonisasi untuk mengeruk keuntungan dari negeri-

negeri koloninya.

Kalau kita menengok ke dunia hari ini, apa

yang disebut dengan imperialisme tetap terjadi, tentu

saja dengan cara kerja yang lebih canggih. Tetapi, watak

pokoknya tetap ada, yaitu eksploitasi oleh kelas borjuis,

baik yang berlangsung di negerinya sendiri, maupun

antar negeri. Kendati dewasa ini banyak kosakata baru

dipercakapkan, seperti neo-imperialisme, empire,

neo-liberalisme, dan globalisasi, tetapi kata-kata itu

sebenarnya melahirkan kegelisahan yang kurang lebih

sama, akibat dari eksploitasi. Itulah, dengan membaca

buku Katherin Robinson (1986) ’Stepchildren of

Progress’, sebenarnya kita bisa melihat bagaimana

imperialisme bekerja dengan ganasnya di pedalaman

pulau Sulawesi, saat puluhan ribu ton nickel dikeruk

oleh korporasi raksasa Inco untuk pasar Jepang. Sebuah

proses akumulasi keuntungan yang berdarah-darah

dan penuh air mata, melalui perampasan tanah dan

eksploitasi buruh, baik dengan teror kekerasan, maupun

dengan berbagai aturan perundangan yang seolah

beradab.

Kata kunci yang penting adalah akumulasi

keuntungan. Dalam hubungan ini Karl Marx (1976)

memberikan konsep mendasar dan penting, yaitu

akumulasi primitif (primitive accumulation). Dari

kitabnya ‘Capital’ jilid pertama, kita menggaris-bawahi

pengertian akumulasi primitif dalam hubungannnya

dengan cara produksi kapitalis untuk mengeruk

keuntungan sebanyak-banyaknya melalui pengrusakan,

perbudakan, penaklukan, dan pengambilan secara paksa.

Dia menjelaskan proses ini dalam kasus pertambangan

di wilayah penduduk asli di Amerika, kasus penaklukan

India di Asia, dan perburuan orang-orang kulit hitam di

Afrika untuk tujuan komersil.

Dalam sejarah perkembangan kapitalisme

akumulasi primitif terus berulang. Tentu saja, cara

kerjanya pada zaman sekarang jauh lebih kompleks,

tetapi dengan ruh yang sama. Dalam tujuan ini, mengikuti

Marx, David Harvey (2003:145) membuat istilah lain,

yang dia namakan akumulasi melalui pengambilan

secara paksa (accumulation by dispossession). Dengan

istilah ini Harvey menunjuk pada komodifikasi dan

privatisasi tanah dan pengusiran para petani secara

paksa; pergantian berbagai bentuk hak milik (seperti hak

milik bersama, hak milik kolektif, hak milik negara, dan

sebagainya) ke dalam hak milik pribadi secara ekslusif;

komodifikasi tenaga kerja dan pengekangan terhadap

bentuk-bentuk produksi dan konsumsi asli; proses-

proses pengambilan asset seperti sumber daya alam

dengan cara-cara kolonial, neo-kolonial, dan imperial;

monetisasi semua bentuk pertukaran dan perpajakan,

terutama di bidang pertanahan; perdagangan budak;

riba, hutang nasional, dan dan penerapan sistem kredit.

Modal di Indonesia

Masa penjajahan

Kedatangan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)

di tahun 1602 merupakan tonggak sejarah penting

dari kolonialisme dan imperialisme di nusantara. Pada

dasarnya, badan ini adalah sebuah usaha dagang untuk

keperluan ekonomi Belanda. Tetapi kalau melihat

kegiatannya, VOC seperti sebuah negara, karena

memiliki tentara, membuat perjanjian, memungut

pajak, menghukum para pelanggar hukum dan lainnya

(Anderson, 1983:479). Selama dua abad VOC menguasai

Page 14: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

14

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

kegiatan perdagangan dan mengeruk keuntungan besar

dari kepulauan nusantara dengan cara kerja seperti itu.

Badan ini kemudian mengalami kebangkrutan

karena korupsi dan salah urus, sehingga pemerintah

Belanda mengambil alih kegiatan-kegiatan yang

sebelumnya dijalankan VOC. Pemerintah bertindak

melalui kegiatan pengawasan produksi dan kegiatan-

kegiatan pengerukan keuntungan ekonomi. Belanda

memulainya dengan membentuk NHM (Nederlandsche

Handed Maatchappij) dan Javasche Bank pada 1825,

dan memberlakukan cultuur-stelsel (tanam paksa)

1830. NHM merupakan agen untuk kegiatan ekspor dan

impor, sementara Javasche Bank merupakan pelayan

jasa keuangan. Boleh dibilang, pemerintah Belanda

bukan saja menjalankan mesin birokrasi pemerintahan,

tetapi sekaligus bertindak sebagai saudagar. Dan seperti

yang kita lihat di kemudian hari, pemerintah menjadi

pelaku penting untuk memutar roda perekonomian di

nusantara, dengan langsung ikut ambil bagian dalam

usaha perkebunan dan pertambangan (Furnivall,1944).

Peningkatan pengaruh kekuatan politik liberal

setelah 1850-an, yang diikuti dengan penghapusan

Sistem Tanam Paksa pada 1870, menyurutkan campur

tangan pemerintah di dalam kegiatan ekonomi, dan lebih

memusatkan perhatian pada pemeliharaan hukum dan

ketertiban serta penyediaan infrastruktur. Pemerintah

juga mengkhususkan dirinya sebagai pembuat kebijakan

untuk menjamin pertumbuhan usaha swasta. Di

antaranya, dengan mengeluarkan Undang-undang

Agraria 1870, agar perusahaan-perusahaan swasta

memperoleh kemudahan-kemudahan, seperti sewa tanah

pertanian/perkebunan selama 75 tahun. Pemerintah

juga mengeluarkan UU tentang Gula yang membatasi

kontrolnya atas perkebunan gula (Furnivall,1944). Kedua

UU itu telah mempercepat proses modernisasi pada

pabrik-pabrik gula, yang hasil produksinya ditujukan

ke pasar internasional. Juga, pada 1899, pemerintah

kolonial mengeluarkan UU pertambangan (Indische

Mijnwet) pertama, agar mendorong peran swasta di

bidang ini (ter Braake,1977). Sebelumnya, pada tahun

1850, pemerintah memberlakukan mijnreglemen 1850,

sebuah peraturan perundangan yang memberi peran

swasta di usaha pertambangan. Dua tahun berikutnya,

pemerintah mengeluarkan izin penambangan timah

kepada sebuah usaha swasta Billiton Maatchappij di

Pulau Belitung (Lindblad,2002:95).

Kecuali ditunjang dengan berbagai kebijakan,

maka aspek penting yang mendukung pertumbuhan

swasta adalah tersedianya infrastruktur keuangan yang

luas. Selain dari NHM atau maskapai perdagangan

Belanda, maka lembaga-lembaga perbankan seperti

Javasche Bank aktif memberikan kredit untuk

membiayai investasi swasta terutama di bidang pertanian,

perkebunan, dan pertambangan (Furnivall,1944).

Sejak awal abad 20, kebijakan-kebijakan

yang mendukung usaha swasta semakin berkembang,

sehingga sektor ini tumbuh secara cepat. Tetapi, krisis

ekonomi 1930an, intervensi negara kembali diperlukan

untuk melindungi pasar luar negeri dan industri-industri

baru. Tentu saja, hal ini bertentangan dengan tradisi

pemerintah Belanda sejak 1870 yang mempercayai

peran swasta, kompetisi dan perdagangan bebas

(Furnivall,1944).

Masa kemerdekaan – 1965

Setelah kemerdekaan, warisan ekonomi

kolonial masih berkerja. Berbagai perusahaan milik

asing terus beroperasi kendati mengalami banyak

hambatan sepanjang zaman revolusi. Tonggak paling

penting dari kembalinya modal asing adalah keputusan

Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 di Den Haag, yang

mengakui kedaulatan politik Indonesia, dan sebaliknya

hak-hak modal asing tetap dipertahankan. Itu berarti

perusahaan-perusahaan Belanda dan perusahaan-

perusahaan asing lain tetap dizinkan beroperasi di

wilayah nusantara. Akibatnya, perusahaan-perusahaan

asing leluasa beroperasi di bidang modern, seperti

perbankan, pertambangan, transportasi, distribusi, dan

pertanian. Perusahaan-perusahaan itu bersifat padal

modal dan memusatkan kegiatannya untuk tujuan-

tujuan ekspor.

Menyadari warisan ekonomi kolonial,

Page 15: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

15

Bahasan: Korporatokrasi

pemerintah sebenarnya juga bermaksud membangun

perekonomian yang lebih nasionalistis. Misalnya, tahun

1951, pemerintah memperkenalkan program rekonstruksi

ekonomi, yang disebut ’Rencana Urgensi Perekonomian

(RUP)’. Pada hakikatnya, RUP bertujuan untuk

mengembangkan industri nasional dan meningkatkan

peran pengusaha pribumi. Tetapi boleh disebut,

program ini gagal melahirkan kelas borjuasi domestik

yang kuat, kecuali pekembangan sektor pemerintah

yang menonjol. Peran negara dalam kehidupan ekonomi

terutama tumbuh lebih meyakinkan pada masa-masa

berikutnya setelah nasionalisasi perusahaan asing.

Ketika itu perusahaan-perusahaan negara dibentuk

untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda

setelah nasionalisasi (Robison,1986:213).

Modal asing tetap diberikan ruang dalam

perekonomian Indonesia. RUP tidak memusuhi modal

asing. Bahkan secara formal mendorongnya, asalkan

memenuhi persyaratan 51 % dimiliki oleh orang

Indonesia, dan pembatasan-pembatasan pada bidang

tertentu yang disediakan untuk pemilikan domestik

secara eksklusif (Hill, 1990:14). UU No.78/1958 tentang

penanaman modal asing (PMA) memberikan jaminan

investasi asing secara terbatas. UU PMA pertama setelah

kemerdekaan ini membatasi modal asing dalam beberapa

sektor pelayanan publik – angkutan/transportasi,

telekomunikasi, pembangkit listrik – dan beberapa

bidang pertambangan.

Tetapi, rencana-rencana itu tidak dapat

dilaksanakan, karena meningkatnya ketegangan

politik. Konflik Indonesia-Belanda soal Irian Barat

memicu sentimen kuat anti Belanda. Pemerintah

Indonesia mengeluarkan UU No 13 tahun 1956 tentang

Pembatalan Konferensi Meja Bundar. Sentimen anti-

Belanda meningkat tajam pada 1957, setelah PBB gagal

mengesahkan resolusi yang menghimbau Belanda

merundingkan soal Irian Barat. 3 Desember 1957, serikat-

serikat buruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai

Nasional Indonesia (PNI) mengambil alih perusahaan-

perusahaan dan kantor-kantor dagang Belanda.

Pemerintah bertindak mengambil alih

perusahaan Belanda, dengan mengeluarkan Undang-

undang 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-

perusahaan Milik Belanda pada 31 Desember 1958. UU

ini dinyatakan berlaku surut sampai 3 Desember 1957,

tentu dimaksudkan untuk memayungi aksi pengambil-

alihan perusahaan-perusahaan Belanda oleh serikat-

serikat buruh. Pasal 1 UU ini secara tegas menyatakan

bahwa “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang

berada di wilayah Republik Indonesia yang akan

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan

nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang

penuh dan bebas Negara Republik Indonesia”. Ratusan

perusahaan di berbagai sektor (perkebunan/pertanian,

perdagangan, pertambangan, keuangan, angkutan/

transportasi, industri, dan sebagainya) dinasionalisasi

dalam periode ini.

Dengan nasionalisasi perusahaan-

perusahaan asing, maka kegiatan-kegiatan ekonomi

kemudian digerakkan oleh pemerintah. Sejak ahir

1950-an dan sepanjang awal 1960-an, pemerintah

mendirikan perusahaan-perusahaan negara di berbagai

bidang, seperti perkebunan, kehutanan, pertanian,

pertambangan, angkutan dan transportasi, perdagangan,

keuangan dan sebagainya. Sebagian di antaranya jatuh

di bawah kontrol Tentara Nasional Indonesia (Robison

1986:251). Sementara sektor swasta besar yang tersisa

seperti tiga perusahaan minyak asing (Stanvak, Caltex,

dan Shell), karena pertimbangan tertentu dibiarkan

tetap beroperasi. Meskipun berada di bawah tekanan

nasionalisasi yang kuat.

Masa Orde baru - reformasi

Sejak 1966, Indonesia mulai melaksanakan

pembangunan ekonomi yang kapitalistik. Regim

Suharto di bawah bimbingan negara-negara barat

memperkenalkan skema kebijakan ekonomi liberal, yang

disusun oleh sekelompok ahli ekonomi berpendidikan

Amerika, yang dikenal dengan ‘Mafia Berkeley’ (Ransom,

1970). Bersama-sama dengan IMF, WB juga ikut

berperan penting dengan mendorong pemerintah Orde

Baru untuk menyatukan ekonomi Indonesia ke dalam

sistem kapitalis. Lembaga-lembaga itu bersama dengan

Page 16: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

16

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

negara-negara kapitalis menyediakan dana pinjaman

kepada Indonesia, termasuk dengan mendirikan sebuah

konsorsium pemberi pinjaman Inter-Government

Group on Indonesia (IGGI), yang kemudian berganti

nama menjadi Consultative Group for Indonesia (CGI).

Dapat disimpulkan bahwa di akhir dekade 1960, sebuah

model ekonomi Barat menjadi pilihan untuk modernisasi

Indonesia.

Regim baru memulainya dengan membuat

kebijakan yang menghormati modal asing. Kebijakan

pemerintah disambut dengan lega oleh modal luar

negeri, yang di masa pemerintahan Sukarno mengalami

kesulitan. Pada tahun 1967, pemerintah mengeluarkan

Undang-Undang Penanaman Modal Asing, di mana

ketentuan-ketentuannya sangat liberal dibanding dengan

UU yang sama tahun 1958 (Hill, 1990:48). Memastikan

tidak akan ada nasionalisasi seperti pada masa lalu, maka

UU baru menjamin hak milik dan menghormati semua

ketentuan dalam perjanjian internasional. Bahkan,

pemerintah mendorong modal asing dengan keringanan

perpajakan (tax holiday). Tidak heran, kebijakan ini

cukup sukses menarik investasi asing. Berdasarkan data

statistik yang dikeluarkan BKPM, dari tahun 1967 hingga

1999, pemerintah telah menyetujui 7,665 proyek investasi

aing dengan nilai sekitar US$ 228,2 milyar (dikutip oleh

Embassy of United States of America, 2000).

Selain industri manufaktur, perdagangan,

perbankan, perkebunan, kelautan, maka industri

pertambangan adalah contoh paling nyata dari

kehadiran modal swasta asing. Kita menyaksikan

sesudah Freeport Indonesia (subsidiary of Freeport

Sulphur Co, USA) memperoleh kontrak karya (KK)

tahun 1967, maka berbagai pemain dalam industri

pertambangan berlomba-lomba masuk ke Indonesia.

Industri pertambangan minyak merupakan contoh yang

lain, betapa hebatnya perusahaan-perusahaan asing

berkiprah di negeri ini. Misalnya, Arco (Amerika) yang

beroperasi di Indonesia dengan menggunakan bendera

Atlantic Richfield Indonesia; PT Caltex Pacific Indonesia

(sahamnya dikuasai oleh dua perusahaan Amerika

Texaco Inc. 50 % dan Chevron 50 %); Maxus Southeast

Asia Ltd., yang tidak lain adalah anak perusahaan dari

Maxus Energy dari Amerika; Total Indonesia, yakni

anak perusahaan dari Compagnie Francaise des Petroles

Perancis. Perusahaan-perusahaan lain adalah Exxon

Mobil Oil, Conoco Ltd, Unocal, Expan, Santa Fe, dan

Vico.

Selain kebijakan yang menganak-emaskan

penanaman modal asing, pemerintah juga mendukung

perkembangan perusahaan-perusahaan swasta di

dalam negeri. Tetapi seperti yang kita lihat, perusahaan-

perusahaan yang tumbuh dapat disebutkan sebagai

kelompok-kelompok usaha yang didukung oleh negara.

Pemerintah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam

Negeri pada tahun 1968. Kebijakan berhasil menelorkan

perusahaan-perusahaan swasta nasional dalam jumlah

yang besar. Fakta bahwa kehadiran konglomerat

Indonesia yang bergerak di bidang keuangan, industri

otomotif, industri pertanian, perdagangan, kehuatanan,

perkebunan, elektronik, real estate, pertekstilan, rokok,

minyak dan hasil tambang lainnya, menunjukkan

gambaran nyata dari kemajuan tersebut. Perkembangan

ini terlihat pada peranan penting dari modal domestic

yang dikuasai oleh pengusaha keturunan China, dan

dalam hubungan mereka dengan modal internasional,

dan kekuasaan politik-birokrasi (politico-bureaucratic

power) (Robison, 1986). Pada lapisan berikut, kita

dapat melihat perkembangan yang sangat menonjol dari

bisnis-bisnis keluarga para politisi (politico-businesses

families) karena hubungan mereka dengan otoritas

pengelola negara (Robison & Hadiz, 2004:57-60).

Dalam semangat yang kurang lebih sama, terutama sejak

1980an, pemerintah memberikan perhatian khusus

kepada pengusaha-pengusaha pribumi, di mana peranan

dari kantor Sekretariat Negara sebagai patron untuk

menciptakan atau memelihara klien-klien bisnisnya

(Pangaribuan, 1995:56-7).

Dengan demikian, apa yang kita lihat dari

perkembangan modal dalam negeri adalah munculnya

borjuasi-borjuasi nasional yang asal-usulnya memiliki

kedekatan dengan pemerintah. Bisnis keluarga Suharto

adalah contoh paling lengkap. Ketika dia turun dari

tahta, keluarganya memiliki saham kurang lebih di

1,251 perusahaan-perusahaan besar. Saham-saham

Page 17: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

17

Bahasan: Korporatokrasi

itu juga berhubungan dengan perusahaan-perusahaan

asing seperti General Electric, Du Pont, British

Petroleum, Lloyds of London, Nestle, dan Energy Equity

Corporation (Backman, 1999: 261, 290-291). Sementara

pengusaha-pengusaha pribumi yang juga mengeruk

keuntungan karena kedekatan dengan pemerintah

adalah Bakrie, Bukaka Teknik Utama, Medco, Kalla

Group (Pangaribuan, 1996:51-7).

Industri pertambangan menjadi contoh bagus

dari sepak terjang pengusaha nasional yang memperoleh

keuntungan karena kedekatannya dengan pemerintah.

Di zaman Orde Baru, Bakrie Group dan kemudian PT

Nusamba Mineral menguasai PT Indocopper Investama

Corporation, di mana perusahaan ini menguasai saham

sebesar 9, 36 % atas PT Freeport Indonesia (PT FI).

Selain mengambil keuntungan dari investasi asing,

pengusaha nasional juga menjadi pemain utama dalam

industri ini. Misalnya, PT Medco Energy Corporation –

investasi dan holding company dari belasan perusahaan.

Grup perusahaan ini dirintis oleh Arifin Panigoro dengan

bisnis intinya adalah minyak dan gas.

Seperti telah kita lihat, berbasiskan pada

borjuasi nasional yang lengket dengan kekuasan

negara dan menggantungkan harapannya pada modal

internasional, ekonomi kapitalis Indonesia mengalami

pukulan telak, ketika krisis keuangan menyerang di tahun

1997. Krisis itu menjungkir-balikkan oligarki ekonomi

dan politik Orde Baru yang segera diikuti dengan sebuah

revolusi borjuis untuk mengakhiri kediktatoran Suharto.

Sebuah regime korup dengan tangan berlumuran darah

selama 32 tahun tumbang karena karib internasionalnya

(negara-negara Barat dan lembaga-lembaga keuangan

internasional) tidak mau lagi mendukung, perpecahan di

kalangan elit yang terbuka dan vulgar, serta perlawanan

heroik mahasiswa, anak-anak muda kelas menengah

perkotaan.

Revolusi borjuis itu membawa Indonesia

ke sistem yang benar-benar liberal di bidang politik

dan ekonomi. Dibarengi dengan kekerasan-kekerasan

berdarah dan pemerintahan yang korup, revolusi 1998

melahirkan sebuah demokrasi borjuis penuh hingar

bingar. Di lapangan ekonomi, di bawah dikte lembaga-

lembaga keuangan internasional dan negara-negara

kapitalis maju, regim baru menjadi agen kekuatan

imperialis, dengan menjalankan kebijakan liberalisasi,

seperti privatisasi, pencabutan subsidi, dan berbagai

kebijakan yang memudahkan borjuasi internasional

mengeruk lebih dalam kekayaan sumber daya alam. UU

No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan

contoh paling jelas bagaimana kekuatan-kekuatan

imperialis mendikte proses pengambilan keputusan

negara. Seperti kita lihat UU ini memaksa Pertamina

untuk melepaskan dominasinya di industri hulu minyak

dan gas. Bahkan liberalisasi juga dilakukan di sektor

hilir, dengan demikian semakin memangkas peranan

Pertamina. Semangat yang sama juga bisa dilihat dari

UU No 19/2004 tentang Kehutanan dan Keputusan

Presiden 41/2004 yang mengizinkan 13 perusahaan

tambang beroperasi di hutan lindung.

Tidak heran, perusahaan transnasional

dengan leluasanya mendulang kekayaan dari perut bumi

Indonesia. Enam perusahaan transnasional di sektor

pertambangan, masing-masing Rio Tinto, Broken Hill

Property Company Ltd, Newmont Mining Coorporation,

Newcreast Mining Ltd, Inco Ltd (sekarang Vale Inco),

dan Freeport Mc Moran Copper & Gold menguasai

industri pertambangan Indonesia dalam penambangan

emas, perak, tembaga, nikel, dan batubara (Sangaji,

2002). Perusahaan-perusahaan transnasional juga

menguasai industri perminyakan. Tercatat, produser

minyak terbesar adalah Chevron yang menguasai bekas

aset milik Caltex Pacific dan Unocal. Produser lain yang

menonjol adalah British Petroleum, ConocoPhillips,

ExxonMobil, dan Total. Sementara itu, kendati, PT

Pertamina turut juga bermain, tetapi enam perusahaan

transnasional mendominasi industri gas Indonesia.

Keenamnya adalah Total (diperkirakan menguasai

sekitar 30 persen pasar [market share] pada tahun

2004), ExxonMobil (17 persen), Vico (a BP-Eni joint

venture, 11 persen), ConocoPhillips (11 persen), BP (6

persen), and Chevron (4 persen) (Anonymous, 2007).

Seperti di masa Orde Baru, borjuasi nasional

yang dekat dengan kekuasaan politik kembali berkibar-

Page 18: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

18

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

kibar. Bisnis keluarga politisi menjadi contoh yang pas

bagaimana kelompok-kelompok borjuasi nasional warisan

Orde Baru dengan leluasa memperoleh privelese. Seperti

dilaporkan oleh George J Adtjondro (2006a:13, 2006b)

bahwa sejak Jusuf Kalla menjadi Wakil Presiden R.I.

dan kemudian merangkap Ketua Umum Partai Golkar,

PT Bukaka, salah satu perusahaan milik keluarganya

membangun berbagai proyek kelistrikan di pulau

Sulawesi dan Sumatera. Dalam laporannya tentang Aceh

setelah perjanjian damai Helsinki, Aditjondro (2007)

juga mengupas tuntas bagaimana kerajaan-kerajaan

bisnis para politisi-bisnis, seperti Abu Rizal Bakrie dan

Surya Paloh berbisnis dengan leluasa di sana.

Jalan keluar

Lalu apa yang mesti dilakukan?. Dewasa

ini respon terhadap imperialisme berlangsung dalam

berbagai bentuk, dari perlawanan yang ditunjukan oleh

satu negara secara individual, atau koalisi di antara

negara-negara dalam wilayah tertentu, dan perlawanan

yang bersifat transnasional. Di luar respon revolusioner

seperti yang diajarkan oleh Lenin, dewasa ini kita

menyaksikan gerakan-gerakan anti-globalisasi/anti-

neo-liberalisme/ anti-imperialisme berlangsung di dua

tingkatan. Pertama, aksi yang dilakukan oleh organisasi

non-pemerintah (Ornop) secara global. Aksi tersebut

memiliki bahasa yang berbeda karena titik berdiri dan

kepentingannya yang beragam. Ada kelompok moderat

yang menonjolkan isyu partisipasi dan transparansi;

kelompok liberal yang mendorong restrukturisasi sistem

dan lembaga-lembaga global; dan kelompok radikal

yang berorientasi kepada penghancuran lembaga-

lembaga global (Marcuse, 2000:27). Perlawanan-

perlawanan berskala transnasional itu pada umumnya

melibatkan kelompok masyarakat sipil (civil society)

antar negara. Genoa, Seattle, dan protes anti perang

adalah contoh paling konkrit tentang reaksi masyarakat

sipil transnasional terhadap merajalelalnya praktik

imperialisme.

Di Indonesia, perlawanan terhadap globalisasi/

neo-liberalisasi/imperialisme lumayan bergaung.

Banyak kelompok kelas menengah secara sporadik selalu

menyuarakan tuntutan-tuntutan, baik yang bersifat

reformis maupun radikal, dengan spektrum isyu yang

luas, dari penolakan-penolakan terhadap pencabutan

subsidi BBM, liberalisasi pasar tenaga kerja (labor

market flexibility[LMF]), privatisasi hak atas tanah,

privatisasi air, pertanian dan perkebunan monokultur,

hingga nasionalisasi perusahaan-perusahaan tambang.

WALHI tergolong salah satu ornop yang cukup konsisten

melakukan perlawanan itu sejak zaman Suharto. Dengan

menggunakan jaringan yang luas di nusantara dan

jaringan internasionalnya, perlawanan organisasi ini

telah menarik perhatian publik luas. Freeport adalah salah

satu contoh kasus yang secara konsisten dikampanyekan

oleh WALHI. Lainnya adalah aksi permohonan kepada

Mahkamah Konstitusi untuk mencabut UU No 19/2004.

Tetapi seperti kita lihat perlawanan-perlawanan yang

selalu menyerap perhatian media itu selalu menemui

kegagalan.

Kedua, aksi politik untuk menguasai negara.

Di Amerika Latin, perlawanan anti-imperialisme/

globalisasi/neo-liberalisme merupakan perjuangan

politik melalui penguasaan institusi negara. Tetapi,

seperti terjadi di Venezuela, perjuangan itu telah

meninggalkan cara-cara revolusioner klasik, yang

oleh Martha Harnecker (2005:147) ditandai dengan

pentingnya sebuah blok sosial alternatif (alternative

social block) yang luas. Blok ini harus mencakup berbagai

kelompok dengan latar belakang yang beragam seperti

kelas pekerja di kota dan desa, kelompok-kelompok yang

mewakili sektor yang termarginalisasi dan termiskinkan,

sektor-sektor menengah yang termiskinkan, pengusaha-

pengusaha skala menengah dan kecil, pekerja sector

ekonomi informal, lapisan mayoritas dari kelas

professional, penganggur, orang-orang tua, anggota-

anggota koperasi, polisi, tentara berpangkat menengah

dan rendahan, dan sektor-sektor kapitalis yang

berkontradiksi dengan modal transnasional.

Di Indonesia, meskipun dalam satu dekade

terakhir, lebih banyak kegagalan dalam mendorong

kebijakan anti-imperialis, tetapi optimisme bukannya

tidak ada. Beberapa kelompok mulai menyadari

keterbatasan perlawanan dengan menggunakan

Page 19: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

19

Bahasan: Korporatokrasi

instrumen non-negara, dan memikirkan solusi lain

melalui perjuangan politik. Dalam hubungan ini, inisiatif

sejumlah aktivis untuk membangun partai politik untuk

ambil bagian dalam politik elektoral seperti Sarikat

Hijau, PPR, dan Papernas merupakan langkah politik

yang maju. Bagaimanapun sulit untuk membayangkan

sebuah perubahan kebijakan strategik di tingkat negara,

tanpa menguasai instrumen-instrumen negara. Oleh

karena itu, sikap anti partai di sebagian aktivis ornop

barangkali perlu ditahan dulu, kalau memang belum

bisa dihilangkan sama sekali. Prinsipnya, perlawanan

terhadap imperialisme tidak bisa lagi dilakukan

sendiri-sendiri, dengan menggunakan cara-cara lama

khas ‘advokasi’ dari luar negara semata. Saya tidak

mengatakan bahwa cara-cara itu sudah ketinggalan

zaman, tetapi sebaiknya memperkayanya dengan alat-

alat baru. Dengan begitu, kita bisa masuk ke dalam

salah satu pilar korporatokrasi seperti disebut Perkins,

yakni pemerintah. Hanya dari sanalah peluang untuk

menggunting imperialisme terbuka lebar.

Referensi

Aditjondro, G.J., (2007). Profiting from Peace: The political

economy of Aceh’s post-Helsinki reconstruction. Report For

INFID. Jakarta.

------------------, (2006a). Terlalu Bugis, Kurang Perancis,

Makalah disampaikan dalam acara bedah buku Manusia Bugis

karangan Christian Pelras di Bentara Budaya, Jakarta, hari

Kamis, 16 Maret.

------------------ (2006b). Potret Masalah Ekonomi Politik

di Indonesia, Sesudah 61 Tahun Merdeka, Makalah untuk

Temu Raya Oikmas 2 GKI Sinode Wilayah Jawa Barat di GKI

Samanhudi, Jl. Samanhudi no. 28, hari Jumat, 25 Agustus.

Anderson, B.R O’G., (1983). Old State, New Society : Indonesia’s

New Order in comparative historical perspective, Journal of

Asian Studies, 42 (3):477-496.

Anonymous (2007). Indonesia: Oil & Natural Gas. [Online].

Dapat diakses melalui: http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/

Indonesia/NaturalGas.html. (akses 12-9-2008).

Backman, M., (1999). Asian Eclipse, Exploring the Dark Side of

Business in Asia, John Wiley & Sons (Asia). Singapore: Pte Ltd.

Embassy of The United States of America, (2000). Indonesia :

Investment Climate Statement 2000, Jakarta.

Furnivall,J.S., (1944). Netherlands India: A Study of Plural

Economy. London: Cambridge University Press.

Hardt, M.,&Negri, A., (2006). Mutlitude: War and democracy in

the age of empire. London: Penguin Books.

--------------, (2000). Empire. Massachusetts: Harvard

University Press.

Harnecker, M. (2005). On Leftist Strategy. Science & Society, 69

(2):142-152.

Harvey, D. (2003). The New Imperialism. Oxford: Oxford

University Press.

Hill, H., (1990). Investasi Asing dan Industrialisasi di

Indonesia (diterjemahkan oleh Burhanuddin Abdullah dari

Foreign Investment and Industrialization in Indonesia).

Jakarta: LP3ES.

Lenin, V.I., (1982). Imperialism: The highest stage of

capitalism. Moscow: Progress Publisher.

--------------., (1943). State and Revolution. New York:

International Publisher.

Lindblad, J.T., (2002). The Outer Islands in the 19th century :

Contest for periphery, in Howard Dick,et,al, eds, The Emergence

of a National Economy, an economic history of Indonesia,

1800-2000, Honolulu: Allen & Unwin and University of Hawai’I

Press.

Marcuse, P. (2000). The Language of Globalization. Monthly

Review, 52 (3):23-27.

Pangaribuan, R. (1996). The Indonesian State Secretariat 1945

– 1993. (translated by Vedi Hadiz. Jakarta: Sinar Harapan.

Perkins, J., (2004). Confessions of an Economic Hit Man. San

Francisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc.

Marx, K. (1976). Capital: A critique of Political Economy

(Volume one) (Translated by Ben Fowkes). London: Penguin

Books.

Ransom, D., (1970). The Berkeley Mafia and the Indonesian

Massacre. Ramparts, 9 (4): 27-29, 40-49.

Robinson, K.M., (1986), Stepchildren of Progress,the Political

Economy of Development in an Indonesia Mining Town,

Albany: State University of New York.

Robison, R. (1986). Indonesia: The rise of capital. Sydney: Allen

& Unwin.

Robison, R. and Hadiz, V.(2004). Reorganizing Power in

Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. New

York: RoutledgeCurson.

Sangaji, A. (2002). Buruk Inco Rakyat Digugat: Ekonomi

politik pertambangan Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.

ter Braake, A. L, (1977). Mining in the Netherlands East Indies,

New York: Arno Press.

Page 20: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

20

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

Korporatokrasi (corporatocracy), saat ini menjadi

terminologi baru yang dikaji banyak kalangan. Istilah ini

sering digunakan untuk menggambarkan keadaan saat

pemerintah dalam banyak hal bekerja di bawah tekanan,

tunduk kepada, dan sekaligus melayani kepentingan

perusahaan swasta besar.

John Perkins mengartikan korporatokrasi sebagai “a

system of governance controlled by big corporations,

international banks, and government”.1 Tujuan

akhirnya adalah melanggengkan tatanan global yang

pro-akumulasi modal. Amin Rais menggunakan istilah

korporatokrasi sebagai sistem atau mesin kekuasaan

yang bertujuan untuk mengkontrol ekonomi dan

politik global yang memiliki 7 unsur, yaitu: korporasi-

korporasi besar; kekuatan politik pemerintahan tertentu;

perbankan internasional; kekuatan militer; media massa;

kaum intelektual yang dikooptasi; dan elit nasional yang

bermental inlander.2

Meskipun belum dikenal secara umum di antara

kalangan akademik, setidaknya istilah baru ini mampu

memberi penjelasan secara tepat tentang kekuasaan yang

sedang mengontrol dunia. Merekalah para kelompok

yang mendominasi sistem sosial, politik dan ekonomi

masyarakat sehingga berjalan di atas hukum pasar

ekonomi neoliberal saat ini. Korporatokrasi tidak hanya

membuka tabir gelap tentang kekuasaan segelintir elit

yang zalim di panggung kekuasaan, namun membongkar

motif penyingkiran Negara dari wilayah-wilayah publik

dan hanya menjadikannya sebagai penjaga malam bagi

berjalannya kepentingan perusahaan-perusahaan besar

mengeruk keuntungan.

Ekonomi Partikelir di Era Neokolonialisme *

Oleh: Dani Setiawan dan Longgena Ginting

* Naskah Diterima oleh Redaksi pada 20 Oktober 2008

1 John Perkins, Confession of an Economic Hit Men, (2004), hal. Xii.2 Amin Rais, Selamatkan Indonesia, (Yogyakarta: PPSK Press, 2008), hal. 82-83.

Ungkapan ini setidaknya membantu kita untuk

menjelaskan mengapa di Negara Indonesia yang

kaya ini masih terdapat banyak orang miskin dan

pengangguran. Mengapa emas, tambang, batubara, gas,

minyak yang terus diambil dari bumi Indonesia tidak

memberi dampak bagi meningkatnya kesejahteraan

rakyat. Dalam kasus lain, istilah korporatokrasi dapat

memberi penerangan yang jelas mengapa seolah tidak

tersedia alternatif pembiayaan selain utang luar negeri

yang notabene menciptakan ketergantungan ekonomi

yang tinggi kepada Negara lain. Bagaimana mungkin

rakyat harus menanggung beban pembayaran utang

yang sangat besar, sehingga subsidinya harus dicabut.

Sedangkan di sisi lain sejumlah perbankan (termasuk

perbankan asing) menikmati “subsidi” terselubung dari

Negara lewat pembayaran obligasi.

Penelusuran lebih jauh terhadap masalah ini akan

menghasilkan fakta historik kekuasaan lembaga-lembaga

keuangan internasional di Indonesia dalam mengkontrol

kebijakan ekonomi. Transaksi utang luar negeri telah

berhasil membentuk aliansi transnasional antara elit di

Negara-negara kreditor dengan elit penguasa di tingkat

domestik. Persekutuan ini melahirkan kerjasama yang

apik dalam merancang kembalinya kekuatan kolonial,

terutama perusahaan-perusahaan transnasional

dalam mendominasi struktur ekonomi dan politik di

Indonesia.

Sejarah Kolonialisme

Kolonialisme di nusantara ditandai dengan tindak

eksploitasi manusia melalui sistem perundang-undangan

yang berlaku, seperti pajak tanah (landrente), kerja

Page 21: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

21

Bahasan: Korporatokrasi

pada pihak Belanda. Kedua, atau mereka yang sengaja

berkolaborasi dengan Belanda untuk kepentingannya

sendiri. Teori “kolaborasi” ini menjelaskan mengapa

orang Eropa dalam jumlah sedikit – sering cuma

segelintir – sanggup terus berkuasa di dunia non Eropa:

Elit pribumi terbukti bersedia bekerjasama karena di

bawah tekanan, dan ada pergeseran dalam perimbangan

kekuatan. Ini juga menjelaskan mengapa kekuasaan

kolonial berakhir ketika sebuah elit nasionalis baru

membatalkan kerjasama mereka.4

Para elit bermental inlander tersebut memilih untuk

takluk di bawah kekuasaan kolonial dan rela menjual

harga diri dan tanah airnya demi memperoleh dukungan

politik Belanda. Demikian seterusnya politik kolonial

menjadikan kekuasaan para raja untuk melakukan

penindasan kepada rakyat untuk mengeksploitasi hasil

bumi Indonesia. Tak kurang Belanda pun menjadi peyulut

dan sumber perselisihan antar kerajaan atau praktek

adu domba untuk memastikan penguasa-penguasa lokal

tunduk pada aturan-aturan kolonial.

Begitulah kekuasaan pada masa itu dijalankan untuk

memenuhi motif memperoleh kehormatan dan

keagungan. Belanda telah mengembangkan teori-teori

imperialisme dengan cara mengawinkan birokrasi

pribumi dengan birokrasi Barat atas nama pemerasan

dan penindasan. Walaupun mengalami keterlambatan

dalam ekspansi kolonialisme, Belanda telah berhasil

melakukan perluasan-perluasan wilayah kekuasaannya

di Indonesia dan menjadi salah satu Negara di Eropa

yang kuat dan cukup disegani oleh para Negara kolonial

lainnya seperti Inggris dan Perancis.

Pelajaran dari VOC masa lalu di Indonesia, menjadi

gambaran bahwa praktek korporatokrasi sudah lama

terjadi di Indonesia. Adapun terjadi kemiripan dengan tipe

kekuasaan saat ini, lebih merupakan bentuk transformasi

praktek kolonialisme dalam era neoliberalisme. Sejarah

sungguh bukan berulang, tetapi hampir tidak ada

interupsi dari praktek eksploitasi ekonomi di Indonesia.

Struktur perekonomian Indonesia tidak pernah berubah.

Perusahaan besar dan perusahaan menengah berada di

tangan bangsa asing dan warga keturunan. Sementara

rakyat Indonesia hanya menjadi kuli dari keseluruhan

proses produksi yang sedang berlangsung.

Sejak jauh hari wakil presiden Muhamad Hatta

paksa (culture stelsel), kuli kontrak (onderneming), dan

sistem feodalisme yang sangat menindas.

Tentang riwayat berkuasanya perusahaan di panggung

politik pemerintahan, sesungguhnya sudah terjadi sejak

lama. Dalam sejarah kolonialisme Indonesia, sebuah

perusahaan swasta Belanda VOC (Vereenigde Oost-

Indische Compagnie) melakukan ekspansi imperialisme

pada awal abad 17, dan diteruskan oleh Pemerintahan

Belanda hingga berakhirnya Perang Dunia II. Peran

VOC dalam proses kolonialisme di Indonesia menarik

untuk diperhatikan. Sebuah perusahaan swasta Belanda

yang sangat kuat karena pengaruhnya terhadap

pemerintahan.

Ekspansi perdagangan VOC yang telah berhasil menguras

sumber daya alam di kepulauan Indonesia saat itu tidak

lepas dari dukungan politik pemerintahan Belanda.

Bukan hanya itu, hak monopoli dagang di Hindia Timur

(Nusantara) yang diberikan oleh pemerintahan Belanda

menjadikan perusahaan ini memiliki wewenang untuk

menduduki wilayah manapun yang dikehendakinya.

Semua hal tersebut dilakukan oleh VOC dengan dukungan

militer serta persenjataan lengkap yang disediakan oleh

pemerintah Belanda.

Hasilnya, pada tahun 1669 VOC menjadi perusahaan

swasta terbesar di dunia, memiliki 150 kapal dagang,

40 kapal perang, 50.000 karyawan, angkatan darat

swasta sebesar 10.000 prajurit, dan pembayaran

deviden sebanyak 40%.3 Tidak hanya armada dagang

dan armada perang, kekuatan kolonial juga memelihara

para intelektual yang bertugas untuk memberikan

saran akademis dan melakukan justifikasi atas praktek

imperialisme di negeri jajahan. Praktek kongkret dapat

kita lihat dalam peran Snouge Hugronge memberikan

saran kepada pemerintah Belanda tentang bagaimana

cara memerangi rakyat Aceh.

Meskipun dukungan militer dan pemerintah yang

kuat, serta para “intelektual tukang” yang berada di

sekitarnya, kekuasaan VOC niscaya tidak akan pernah

besar tanpa dukungan elit penguasa lokal yang memilih

tunduk kepada pihak Penjajah. Meski dapat diurai

berbagai alasan yang mendasarinya, ketertundukan para

penguasa lokal disebabkan oleh dua hal. Pertama, mereka

yang memilih tidak melakukan perlawanan karena

ketidakseimbangan kekuatan dan memilih menyerah

3 http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch-East-India-Company4 Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial; Hubungan Jambi – Batavia dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, (Jakarta: Mei 2008), hal. 22

Page 22: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

22

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

mengingatkan ancaman kembalinya praktek

imperialisme melalui kekuatan korporasi. Hatta (1967)5

menyebut di dalam pasal 33 sebagai sendi politik

perekonomian nasional tercantum cita-cita ekonomi

berencana di mana pemerintah memiliki peranan yang

menentukan. Ayat (1), (2), dan (3) pasal 33 merupakan

bagian dari upaya mewujudkan demokrasi ekonomi,

terdapat pembagian yang jelas antara sektor-sektor

yang dapat diselenggarakan secara privat dengan sektor-

sektor yang harus diselenggarakan secara kolektif.

Dalam sistem pasal 33 UUD 1945, perusahaan berskala

kecil dan besar dapat dikerjakan oleh koperasi. Dan

usaha yang besar-besar dikerjakan oleh pemerintah.

Bukan saja perusahaan yang tergolong masuk “public

utilities” diselenggarakan oleh pemerintah, melainkan

juga cabang-cabang produksi yang penting sebagai

industri dasar, tambang dan lain-lainnya dimiliki atau

dikuasai oleh pemerintah. Dalam pengelolaannya, Hatta

menyebutkan bahwa pemerintah dapat menyerahkan

manajemen perusahaan kepada orang-orang yang

cakap dan tenaga ahli yang disewa dari luar negeri,

asalkan dapat dipercaya dan bertanggung jawab kepada

pemerintah.

Inisiatif partikelir (swasta) tetap diberikan tempat oleh

pemeritah asalkan sejalan dengan strategi perekonomian

yang telah dibuat. Tetapi seiring dengan meningkatnya

kemampuan koperasi untuk mengelola usaha-usaha

sedang dan besar, pihak swasta diharapkan semakin kecil

peranannya dalam perekonomian nasional. Hal tersebut

sejalan dengan semangat kolektifitas yang menjadi ciri

dalam pengelolaan perekonomian Indonesia merdeka

yang dicita-citakan. Sebagaimana dikhawatirkan oleh

Hatta, bahwa suatu politik perekonomian yang didasarkan

pada inisiatif partikelir hanya akan membuka jalan bagi

masuknya kapitalis asing ke Indonesia. Dan, dengan itu,

sejarah kolonialisme ekonomi, berulang kembali.

Ciri kolektifisme dalam ekonomi Indonesia bertolak

belakang dengan pendirian ekonomi pasar yang dianut

ekonomi neoliberalisme. Desain ekonomi nasional

dalam skenario konstitusi tersebut diarahkan untuk

membuka kesempatan bagi rakyat untuk terlibat di

seluruh lapangan perekonomian. Rakyat terlibat dalam

proses produksi, distribusi dan menikmati hasil-hasil

produksi. Identitas kolektifisme dalam perekonomian

Indonesia dianggap yang paling sesuai dengan tradisi

gotong-royong masyarakat Indonesia dan saling tolong-

menolong.

Konsep kolektifisme berbeda dengan persaingan bebas

(free competition) dan pasar bebas (free market) yang

oleh kaum Smithian dianggap dapat menghasilkan

efisiensi ekonomi. Di dalamnya, kebebasan individual

dalam ekonomi harus diberikan seluas-luasnya untuk

mengoptimalkan pamrih pribadi (self-interest).

Dalam perekonomian yang bebas, proteksi dan subsidi

dianggap sebagai penyakit yang menimbulkan distorsi

pasar sehingga menyebabkan pemborosan dan efisiensi.

Begitu berkuasanya “pasar” hingga dapat mengalahkan

kepentingan umum rakyat dan menggadaikan

kedaulatan bangsa. Hingga kita patut bertanya, siapakah

yang disebut “pasar” oleh para ekonom dan pengkhotbah

neoliberalisme itu. Apakah menunjuk pada pasar

tradisional yang umum kita kenal di Indonesia seperti

pasar Bringharjo di Yogyakarta, pasar Tanah Abang di

Jakarta, atau justru yang dimaksud sebenarnya adalah

pasar keuangan?.

Prof. Sri Edi Swasono menjelaskan bahwa pasar adalah

the global financial tycoon atau para taoke keuangan

global dengan para fund manager mereka.6 Si miskin,

acapkali sekedar merupakan penonton dan sekaligus

sebagai objek pasar, tetapi bukan penentu keputusan-

keputusan pasar. Para taoke keuangan global ini

membentukkan diri sebagai ”a global governance” yang

terstruktur dalam jaringan trans national corporation

(TNCs) yang mencapai jumlah 37.000 (2002), Bank

Dunia, IMF, G8, TC (Trilateral Commision Forum)

dan seterusnya. Dalam definisi ini, jelas kiranya yang

dimaksud adalah kebijakan ekonomi yang harus ramah

kepada pasar, dimaksudkan untuk melayani kepentingan

korporasi dan lembaga-lembaga keuangan internasional

ini.

Jangkauan wilayah ekspansi bisnis korporasi

multinasional yang luas menjadikan kekuatan

ekonominya melebihi perusahaan-perusahaan nasional

atau negara berdaulat sekalipun. Motif mencari

keuntungan, keagungan dan kehormatan membuat

para eksekutif korporasi multinasional melakoni

perselingkuhan dengan para politisi dan pejabat di negara

asal mereka. Sama halnya di negara wilayah ekspansi,

kerjasama-kerjasama yang dilakukan bersama politisi

5 M. Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia,(Jakarta: 1985),hal.82-836 Prof.Dr.Sri Edi Swasono,Daulat Rakyat versus Daulat Pasar, (PUSTEP UGM: 2005),hal.16

Page 23: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

23

Bahasan: Korporatokrasi

dan elit penguasa dilakukan demi tercapainya ambisi

mencari keuntungan. Meskipun dalam prakteknya,

harus dilakukan dengan mengorbankan kepentingan

rakyat banyak dan melanggar aturan-aturan hukum

yang berlaku.

Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945,

tragedi paling mengerikan berkuasanya korporasi asing

terjadi ketika proses peralihan kekuasaan dari Soekarno

kepada Suharto. Terlepas dari berbagai versi mengenai

situasi yang terjadi menjelang 1965 – 1967, setidaknya

ada dua peristiwa penting yang patut diperhatikan.

Pertama, beralihnya kekuasaan Soekarno kepada

Suharto telah diikuti dengan pembuatan undang undang

baru yang mendukung investasi asing di Indonesia. Pada

Agustus 1965, sebulan sebelum Peristiwa 30 September,

terbit UU Nomor 16 Tahun 1965. Isinya mencabut UU

Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal

Asing. Bagian Menimbang UU itu berbunyi antara lain

“bahwa penanaman modal asing di Indonesia, yang

bagaimanapun juga adalah bersifat menarik keuntungan

sebanyak-banyaknya dan dengan demikian menjalankan

terus-menerus penghisapan atas rakyat Indonesia,

serta menghambat jalannya Revolusi Indonesia dalam

menyelesaikan tahap nasional demokratis untuk

menjalankan Sosialisme Indonesia berdasarkan

Pancasila”. Jadi, dalam UU Nomor 16 Tahun 1965 ini

Indonesia jelas sekali mengambil sikap tegas antimodal

asing dan itu disahkan pada 23 Agustus 1965, lima

minggu sebelum Peristiwa 30 September 1965.

Banyak sudut pandang sejarah yang mencoba

menjelaskan maupun mengaburkan apa sebetulnya yang

terjadi di balik Peristiwa 30 September 1965 itu. Apa

pun model penafsirannya, satu hal jelas bahwa peristiwa

itu merupakan upaya sistematis pihak asing kembali

meletakkan Indonesia di bawah kekuasaan mereka.

Mari melihat lagi fakta sejarah. Bulan Februari 1966

keluar UU Nomor 1 Tahun 1966 tentang Penarikan Diri

Republik Indonesia dari Keanggotaan Dana Moneter

Internasional (IMF) dan Bank Internasional untuk

Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank

for Reconstruction and Development). UU ini memang

keluar setelah 30 September 1965, tetapi ia sudah

telanjur diproses sebelumnya dan baru disahkan pada

Februari 1966. Menyusul setelah itu adalah komitmen

rezim Suharto untuk melunasi utang luar negeri warisan

Hindia Belanda disepakati untuk dibayar selama 35

tahun terhitung sejak 1968. Sedangkan utang luar negeri

warisan Soekarno disepakati untuk dibayar selama 30

tahun terhitung sejak 1970.7

Kedua, dalam bulan November 1967, menyusul

digulingkannya Soekarno dan pembantaian terhadap

hampir 1 juta orang anggota dan simpatisan Partai

Komunis Indonesia, The Time-Life Corporation

mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang

dalam waktu tiga hari merancang pengambil-alihan

Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang

paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David

Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili:

perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General

Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland,

British American Tobacco, American Express, Siemens,

Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel.

Di seberang meja adalah orang-orangnya Suharto yang

oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia

yang top”, begitu penuturan Jeffrey Winters.

Perekonomian Indonesia sejak saat itu dibagi-bagi

menurut kepentingan pihak korporasi internasional.

Mereka mendiktekan apa-apa saja yang menjadi

kemauannya termasuk meminta pemerintah merancang

infrastruktur hukum untuk investasi di Indonesia. Tidak

mungkin masuk dalam akal sehat kita sebuah modal

internasional dapat duduk satu meja dengan wakil

negara berdaulat dan merancang perampokan global

atas masuknya investasi asing ke negaranya sendiri.

Hasilnya adalah, Freeport mendapatkan tambang

tembaga dan emas di Papua Barat (di mana Henry

Kissinger duduk sebagai board dalam perusahaan itu).

Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel di Papua

Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari

bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan

Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan

tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan.

Dua peristiwa penting ini luput dari perhatian publik

sejak lama. Bahkan, terkesan ditutup-tutupi oleh rezim

yang berkuasa hingga saat ini. Padahal jika melakukan

penelusuran sejarah lebih mendalam, segera dapat

diketahui bahwa transisi kekuasaan politik pada masa

tersebut diikuti dengan bangkitnya kekuatan korporasi

asing menguasai sumber daya alam di Indonesia.

Peristiwa tersebut menggambarkan bagaimana kekuatan

7 Revrisond Baswir, Republik Utang, Republika, 17 April 2006.

Page 24: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

24

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

korporatokrasi ikut terlibat dalam pembentukan sebuah

rezim otoriter Suharto. Watak otoriter dari politik

kekuasaan Suharto digunakan sebagai tameng untuk

menghadapi perlawanan rakyat terhadap praktek

investasi asing. Bahkan bagi lembaga keuangan

internasional, pelanggaran HAM terhadap rakyat yang

menolak sebuah proyek utang serta praktek korupsi atas

proyek-proyek utang yang dilakukan oleh rezim ini tidak

menghalangi mereka untuk tetap menyalurkan utang

luar negeri. Akibatnya, dalam era pemerintahan Suharto

tercatat jumlah utang luar negeri Indonesia justru

membengkak menjadi 54 miliar dolar AS.

Utang dan Korporatokrasi

Menurut Perkins, Korporatokrasi dimulai saat

World Bank/IMF/ADB menyalurkan pinjaman

untuk pembangunan megaproyek di negara miskin

atas rekomendasi fiktif buatan Economic Hit Men

(EHM). Kredit cair jika dengan syarat: tender-tender

pembangunan dihadiahkan kepada MNC/mitra lokal

atas restu korporatokrasi.

Maka, negara miskin itu terjebak utang luar negeri

ratusan miliar dollar AS yang takkan bisa dilunasi sampai

tujuh turunan. Sebaliknya, profit MNC/mitra lokal naik

setiap tahun selama proyek dikerjakan.

Derita negara itu belum selesai. Negara dunia ketiga

seperti Indonesia menjadi gagal menjalankan amanat

untuk mensejahterakan rakyat karena anggaran

negaranya habis untuk membayar cicilan dan pokok

utang. Sebagai contoh, kewajiban pembayaran cicilan

dan bunga utang luar negeri yang sudah ditunaikan

pemerintah Indonesia sampai tahun 2005 berjumlah

100.31 milyar USD. Dengan demikian kewajiban

pembayaran utang luar negeri pemerintah masih tersisa

sebesar 61.81 milyar USD. Selain itu, pemerintah masih

berkewajiban untuk membayar biaya komitmen atas

utang luar negeri yang belum dicairkan. Sampai dengan

akhir tahun 2005 lalu biaya komitmen yang sudah

dibayarkan pemerintah sudah mencapai 24 milyar USD

lebih8.

Seluruh kewajiban utang luar negeri tersebut telah

menghabiskan sepertiga belanja pemerintah dalam

APBN setiap tahunnya dan praktis membatasi alokasi

belanja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada

tahun 2008, pemerintah menghabiskan alokasi belanja

negara untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga

utang luar negeri sebesar Rp92 triliun. Ditambah beban

pembayaran cicilan bunga utang dalam negeri sebesar

Rp66 triliun, maka total alokasi APBN untuk pembayaran

cicilan pokok dan bunga utang mencapai Rp158 triliun.

Bandingkan dengan `pos anggaran pendidikan sebesar

Rp 45 triliun dan anggaran kesehatan sebesar Rp18

triliun.9

Dalam RAPBN 2009, pembayaran bunga utang dalam

dan luar negeri sebesar Rp110.327 triliun atau 2,1

persen terhadap PDB. Sebesar 77.088 triliun merupakan

pembayaran bunga utang dalam negeri, sedangkan

sisanya sebesar Rp33.239 triliun merupakan pembayaran

bunga utang luar negeri. Jumlah tersebut menunjukan

peningkatan dibandingkan realisasi APBN 2008. Kondisi

ini semakin parah jika kita memasukkan komponen

pembayaran angsuran pokok utang luar negeri sebesar

Rp59.642 triliun. Maka pembayaran cicilan pokok dan

bunga utang dalam dan luar negeri dalam RAPBN 2009

berjumlah Rp169 triliun. Pos alokasi pembayaran cicilan

pokok dan bunga utang inilah sebenarnya penyumbang

terbesar melebarnya defisit anggaran selama ini.

Kondisi perekonomian semacam ini dimanfaatkan oleh

korporatokrasi untuk menekan sebuah negara untuk

menjual kekayaan alamnya demi membayar utang luar

negeri. Korporatokrasi mendikte kebijakan reformasi

ekonomi di negara penunggak utang dengan agenda-

agenda ekonomi yang sesuai dengan prinsip Konsensus

Washington. Seperti melakukan privatisasi, liberalisasi,

dan deregulasi.

Lembaga keuangan internasional mendorong kebijakan

deregulasi guna memperkokoh liberalisasi ekonomi di

Indonesia melalui transaksi utang luar negeri. Perjanjian

utang telah mensyaratkan sebuah negara untuk

membuka sektor-sektor strategis, seperti pertambangan

dan kehutanan bagi masuknya investasi asing. Pada

akhirnya, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya

praktek de-nasionalisasi ekonomi.

Kuatnya arus de-nasionalisasi ekonomi telah membentuk

kembali susunan ekonomi Indonesia di bawah dominasi

korporasi asing yang saat ini menguasai 85,4% konsesi

pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa

Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan

8 Presentasi Depkeu dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI9 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2009

Page 25: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

25

Bahasan: Korporatokrasi

perbankan di Indonesia (FRI, 2007).

Hingga kini 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan

lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh

korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen

migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan

pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesia

(Prancis), China National Offshore Oil Corporation

(Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development

Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro

Energy, 2007).

Sementara itu, delapan di antara 10 besar produsen gas

di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesia

menempati peringkat pertama dengan total produksi gas

mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina

diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd

(Investor Daily, 2007).

Syarat yang lainnya adalah, pihak kreditor memaksa

dilakukan privatisasi BUMN strategis, mengurangi

subsidi bagi rakyat, membuka keran impor bagi

masuknya produk-produk dari negara maju, serta

menggenjot ekspor produk bahan mentah (tambang,

energi, kayu, dll) untuk memenuhi kebutuhan industri di

negara-negara kreditor. Tercatat selama periode 1998 –

2006 sebanyak 21 BUMN strategis di sektor perbankan,

telekomunikasi, transportasi, serta pertambangan sudah

diprivatisasi oleh pemerintah dengan berbagai skema.10

Atas rekomendasi IMF, pemerintah juga melakukan

restrukturisasi sejumlah perusahaan negara seperti PLN

dan Pertamina sebagai langkah awal menuju privatisasi

dan liberalisasi sektor migas di Indonesia bagi masuknya

investor asing.

Berbagai persyaratan (conditionalities) yang menyertai

setiap transaksi utang, sesungguhnya digunakan untuk

meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi negara maju.

Misalnya kewajiban memakai konsultan asing, teknologi

serta barang-barang produksi yang berasal dari negara

yang meminjamkan utang serta persyaratan lainnya yang

mendorong pelaksanaan agenda liberalisasi ekonomi.

Hal tersebut sesuai dengan pengertian sesungguhnya

mengenai utang luar negeri sebagai bentuk fasilitas kredit

pembelian barang dan jasa dari negara-negara kreditor.

Dengan mensyaratkan penggunaan jasa konsultan asing,

pembeliaan produk barang bagi kegiatan proyek yang

diimpor dari luar, maka dapat dipastikan sebagian besar

dana utang akan kembali ke negara kreditor. Belum lagi

keuntungan yang diperoleh akibat operasi perusahaan-

perusahaan asing itu di hampir semua sektor ekonomi.

Dari sisi ini, dapat diketahui bahwa keinginan berutang

dari suatu negara sebagian besar dilandasi oleh

penawaran pihak kreditor yang ingin menggunakan

instrumen utang sebagai mekanisme perdagangan luar

negerinya.

Kecenderungan tersebut didukung oleh satu teori

tentang desakan utang yang diformulasikan oleh Darity

dan Horn,11 yang mengemukakan bahwa peningkatan

akumulasi utang luar negeri pada sebagian besar

negara-negara berkembang secara substansial terjadi

akibat dorongan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

keuangan internasional yang mengguasai surplus

petrodolar. Surplus petrodolar ini sengaja di lempar

ke negara-negara berkembang karena berkurangnya

permintaan utang di negara maju. Akibatnya, banyak

proyek ekonomi di negara-negara berkembang tidak

dapat dipertanggung jawabkan secara ekonomis.

Di sinilah terletak kolaborasi antara pihak kreditor

dengan pejabat-pejabat pemerintahan terjadi. Sehingga

kebijakan ekonomi melalui pembangunan proyek-proyek

yang dibiayai oleh utang luar negeri dibuat atas rekayasa

atau tekanan pihak kreditor. Selain tidak berdampak

pada peningkatan kapasitas produksi nasional, bahkan

seringkali menjadi proyek mubazir atau tidak bisa

dimanfaatkan. Bentuk kolaborasi antara pihak loan-

pusher dengan pemerintahan juga mengakibatkan

terjadinya manipulasi nilai proyek yang dibiayai dari

pinjaman.

Di titik ini analisis Revrisond Baswir sungguh relevan

untuk diperhatikan. Transaksi utang menurutnya terjadi

dalam suatu konstruksi sosial dan ideologis tertentu,

yaitu sistem ekonomi kapitalisme.12 Dengan demikian,

untuk memahami konsepsi utang lebih jauh, penyelidikan

mengenai siapa yang membuat, memberi, dan paling

banyak mendapat manfaat dari transaksi utang-piutang

tersebut, tidak dapat dielakkan. Penyelidikan ini berlaku

di kedua belah pihak, baik di sisi pemberi utang maupun

di sisi penerima utang.

10 http://www.bumn-ri.com/#reportPriv1 http://jurnal-ekonomi.org/2008/02/06/bom-privatisasi-indonesia-2008/trackback/11 Sritua Arif, Pembangunan dan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: 1998), hal. 12412 Revrisond Baswir, Utang dan Imperialisme, 2006.

Page 26: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

26

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

Undang-undang Penanaman Modal nomor 25 tahun

2007. Undang-undang ini dibuat untuk memfasilitasi

masuknya modal asing di hampir semua sektor strategis

dan penting bagi negara. Undang-undang tersebut

diikuti dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor

76/2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan

Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang

Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman

Modal dan Peraturan Presiden Nomor 77/2007 tentang

Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha

yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman

Modal.

Lahirnya dua Peraturan Presiden tersebut sungguh

telah membuka mata banyak orang di negeri ini. Betapa

tidak, dalam peraturan inilah UU Penanaman Modal

menunjukan watak aslinya. Mendorong dominasi

kepemilikan asing terhadap sektor-sektor produksi

nasional serta mengabaikan aspek kedaulatan ekonomi

kita sebagai bangsa.13

Peran Mafia Berkeley

Kondisi Indonesia di bawah cengkraman korporatokrasi

semacam ini negeri bukanlah fenomena baru. Situasi ini

sengaja diciptakan sejak awal kemerdekaan Republik,

lalu dilanjutkan oleh para menteri dan sejumlah ekonom

jebolan Amerika yang menjadi arsitek perekonomian

Orde Baru. Para Menteri dan ekonom tersebut dikenal

dengan sebutan Mafia Berkeley. Mereka adalah kelompok

ekonom beraliran neoklasik yang berkuasa menentukan

arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama

hampir 41 tahun nyaris tanpa henti dari 1966-2007.

Pada awal pemerintahan orde baru, para ekonom

ini memang mencatat prestasi yang meningkatkan

popularitasnya. Dengan bantuan IMF, mereka berhasil

menekan inflasi sekitar 600 persen pada tahun 1966

menjadi di bawah 10 persen pada tahun 1969. Mereka

juga berhasil membekukan pembayaran utang luar negeri

selama beberapa tahun, menggalang pembuatan utang

luar negeri baru, dan menggenjot masuknya investasi

asing secara besar-besaran. Hasilnya perekonomian

indonesia tumbuh pesat rata-rata enam persen per

tahun.14

Dalam sejarahnya, kelompok mafia tersebut dipersiapkan

Dalam konsep ini, peranan elit berkuasa di kedua

belah negara memegang peranan yang cukup penting.

Kebijakan penyalurkan utang di negara kreditor dan

keputusan berutang di negara debitor dilakukan dalam

ruang kekuasaan elit yang tertutup dan jauh dari

kontrol rakyat. Sesuai dengan motivasi di atas, sangat

mungkin kebijakan utang luar negeri dibuat dengan

mempertimbangkan kepentingan korporasi, para

konsultan, serta elit politik yang mendapat bagian dari

setiap transaksi utang luar negeri.

Contoh paling anyar menjadi bukti yang relevan untuk

ditampilkan. Bagaimana lembaga-lembaga internasional

terlibat dalam proses liberalisasi sektor energi (Migas dan

listrik) di Indonesia. Terkuaknya bukti-bukti keterlibatan

IMF, USAID, Bank Dunia, dan ADB dalam mendorong

kebijakan restrukturisasi sektor energi dengan membuat

regulasi baru di sektor migas (UU Migas Nomor 22/2001)

dan listrik (UU Ketenagalistrikan No. 20/2002).

UU Migas nomor 22 tahun 2001 jelas memberikan

landasan bagi praktek liberalisasi sektor migas di

Indonesia. Pemain asing, seperti Chevron, Shell,

Petronas, dll yang telah lama menguasai cadangan

minyak nasional, bermaksud memperkuat legitimasinya

dengan ikut berbisnis di sektor hilir dengan cara

mendorong liberalisasi harga migas. Selain itu, juga

memberi landasan penting bagi keberlanjutan supply

cadangan migas nasional bagi kepentingan ekspor untuk

negara-negara maju. Sementara di dalam negeri rakyat

dan sektor industri menanggung beban berat akibat

kebijakan salah ini.

Di sektor air yang melayani hajat hidup orang banyak

kondisinya tidak jauh berbeda. Kehadiran swasta

asing lewat pembuatan UU Sumber Daya Air nomor

7 tahun 2004 menyebabkan tarif air bersih menjadi

komersial karena mengikuti hukum full cost recovery

sesuai hukum pasar. Kondisi ini menyebabkan rakyat

kecil harus membayar air bersih lebih mahal dari

pendapatannya yang juga semakin tergerus. Selain itu,

UU ini juga memungkinkan penguasaan sektor swasta

asing terhadap cadangan-cadangan air dan Daerah Aliran

Sungai bagi kepentingan komersial. Padahal, praktek ini

menyebabkan sawah pertanian menjadi kering karena

tidak mendapat aliran air.

Praktek kolonialisme yang paling akhir adalah penetapan

13 Dani Setiawan, Arah Liberalisasi Investasi, Jawa Pos, 14 Juli 2007.14 Revrisond Baswir, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: 2006) hal. 17-18.

Page 27: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

27

Bahasan: Korporatokrasi

secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama

sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965) sebagai

bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan

progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Disebut

dengan istilah “Mafia Berkeley” karena kebanyakan dari

generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di

Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat.

Kelompok Mafia Berkeley memiliki jaringan

internasional yang kuat dan meluas seperti USAID,

IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia.

Bahkan sumber pembiayaan utama lembaga-lembaga

akademik dan penelitian yang dikontrol Mafia tersebut

berasal dari bantuan atau grant lembaga internasional

tersebut. Tidak aneh bila produk hasil penelitian dan

rekomendasi kebijakan biasanya sejalan-sebangun

dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF-Bank

Dunia, Policy Pappers USAID atau lembaga kreditor

internasional lainnya.

Untuk menjaga agar arah strategis kebijakan ekonomi

Indonesia sejalan dengan arahan IMF-Bank Dunia,

USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan

Undang-undang atau peraturan pemerintah yang

dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri. Dengan

mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional

Indonesia dijamin menjadi sub-ordinasi kepentingan

global. Mekanisme mengaitkan utang luar negeri dengan

penyusunan Undang-undang dan peraturan pemerintah

juga menyebabkan adanya intervensi kepentingan global

terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia.

Hal inilah yang menjadi penyebab utama ketertinggalan

ekonomi Indonesia sejak lama, sekaligus menempatkan

bangsa ini pada posisi permanen sebagai subordinasi

dari kepentingan global.

Penutup

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat

ciri-ciri yang hampir seragam mengenai proses transisi

kolonialisme lama di masa penjajahan Belanda menuju

era neokolonialisme di masa Suharto hingga praktek

berikutnya setelah kejatuhan Suharto.

Praktek kolonialisme di nusantara dimulai dengan

menerapkan aturan-aturan hukum guna melancarkan

penguasaan dan perampasan atas wilayah dan sumber

daya alam. Begitupun transisi politik di era Suharto

dilakukan dengan membuat aturan-aturan hukum baru

yang melanggengkan kekuasaan modal internasional di

Indonesia. Di masa Suharto, sejumlah undang-undang

digunakan oleh pihak kolonial, yaitu para korporasi

multinasional untuk menaklukkan rezim politik agar

berpihak pada kepentingan modal. Sekaligus dapat

melancarkan misi utama untuk merampas sumber daya

alam tanpa khawatir mendapatkan sanksi internasional

maupun perlawanan rakyat.

Sayangnya, bau anyir darah akibat pembantaian

500.000 – 1.000.000 orang yang dituduh sebagai

simpatisan sebuah partai politik serta kejatuhan rezim

anti imperialisme Barat kala itu merupakan harga yang

dibayarkan demi pembentukan struktur politik dan

ekonomi pro modal semacam ini. Bagi kekuatan kolonial,

sebuah goncangan sosial (social shock) terkadang

diperlukan agar penetrasi kapital dan doktrin neoliberal

jauh lebih dalam memasuki setiap relung kehidupan

masyarakat.

Setelah kejatuhan Suharto, lembaga keuangan

internasional seperti IMF dan Bank Dunia menjadikan

orde reformasi sebagai era pengukuhan agenda-

agenda neokolonialisme di Indonesia. Mekanisme

ketergantungan baru dibuat melalui kucuran utang

luar negeri yang diakumulasi setiap rezim. Pada

intinya, agar para penguasa baru itu mau mengikuti

aturan-aturan yang telah digariskan dalam Structural

Adjustment Programe atau Letter of Intent milik Bank

Dunia dan IMF, di antaranya adalah membuat undang-

undang untuk meliberalisasi ekonomi. Padahal dua

lembaga tersebut sejak lama dianggap lebih merupakan

kepanjangan tangan negara-negara industri maju dan

perusahaan-perusahaan multinasional.

Sebuah koreksi total atas arah pembangunan ekonomi

nasional yang bercorak kolonial ini perlu segera dilakukan

sebagai agenda penting menuju kemerdekaan yang

hakiki. Perubahan tidak cukup mengenai para aktor saja,

tetapi juga harus meliputi perubahan paradigma dalam

mengelola negara termasuk merubah semua uturan-

aturan yang telah merugikan kepentingan nasional dan

kepentingan rakyat secara umum. Konstitusi harus

menjadi acuan utama, sebuah konsensus nasional serta

petunjuk yang objektif bagi bangsa Indonesia dalam

bernegara. Tanpa itu semua, sesungguhnya kita sedang

menunggu kehancuran sebuah negara bangsa bernama

INDONESIA.

Page 28: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

28

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

Aransemen Korporatokrasi

Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah

pernyataan yang disampaikan oleh mantan Direktur

WALHI, Chalid Muhammad yang mengatakan bahwa

“negeri ini telah dikuasai oleh rezim korporatokrasi dan

kleptokrasi”. Sebuah pernyataan yang menggambarkan

bagaimana kekuatan aktor-aktor korporatokrasi

telah menghegomoni seluruh kehidupan bangsa ini.

Korporatokrasi saat ini kembali ramai menjadi wacana

publik, karena tidak ada satupun yang dapat menyangkal

bahwa krisis yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh

semakin kuatnya rezim ini memainkan peran-perannya,

baik secara ekonomi maupun politik.

Istilah korporatokrasi sendiri diperkenalkan

oleh John Perkins dalam bukunya Confression of an

Economic Hit Man (2004) yang mengatakan bahwa dunia

saat ini dikuasai oleh imperium internasional, dimana

imperium ini menyatukan kekuatan yang dimilikinya,

baik kekuatan finansial maupun kekuatan politiknya

untuk menguasai berbagai sumber kehidupan di belahan

bumi ini. Dalam bukunya yang berjudul Selamatkan

Indonesia (2008), Amin Rais melihat korporatokrasi

sebagai sebuah gambaran atas sistem kekuasaan yang

dikontrol dan didominasi oleh berbagai korporasi besar,

bank internasional dan pemerintah.

Korporasi semakin menemukan ruang

kemenangannya ketika pengurus negara memberikan

penguasaan penuh untuk memainkan peran-peran

mereka, dengan melegalisasi melalui sejumlah undang-

undang dan produk regulasi lainnya. Disinilah bentuk

transaksi antara penguasa dengan modal salah satunya

adalah kebijakan, kenyataan inilah yang disebut dengan

alur kolonialisasi secara ekonomi, berjalan beriringan

dengan kolonialisasi secara politik.

Orkestrasi Gerakan Hijau dan Pesta Korporatokrasi *

“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat,”

Oleh : Khalisah Khalid

Kuasa korporasi yang sangat besar di Indonesia

di awali oleh peraturan perundangan yang di keluarkan

pemerintah sejak ujung kekuasaan Soekarno, di perbesar

oleh rezim Suharto dan berlangsung hingga saat ini. Di

awali UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing,

UU No 5/67 Tentang Kehutanan, UU No 11/67 tentang

Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan Generasi

I dan II, menghantar Indonesia memasuki fase: Jual

Murah; Jual Cepat; dan Jual Habis Kekayaan Alam

demi kejayaan korporasi. Beberapa perundangan yang

menyokong kuasa korporasi antara lain: UU Minyak dan

Gas, UU 41/99 tentang Kehutanan, Perpu No 1/2004

yang telah jadi UU N0 19.2004 tentang Pertambangan di

Kawasan Lindung, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya

Air, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No

26/2007 tentang Tata Ruang, UU no 27/2007 tentang

Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau kecil, Pepres

36/2005 jo Pepres 65/2005 tentang Pengadaan Tanah

untuk Infrastruktur dan lain-lain.

Secara legal, setiap jengkal tanah dan setiap

tetes air Indonesia telah dikuasai oleh korporasi baik

melalui kontrak karya pertambangan, kontrak bagi hasil

minyak dan gas, kontrak bagi hasil batu bara, kuasa

pertambangan, hak penguasaan hutan, hak penguasaan

perkebunan besar kelapa sawit. Data WALHI dan

JATAM pada tahun 2005 menujukan, bahwa sekitar 35,1

juta hektar kawasan hutan telah dikuasai oleh perusahan

pemegang HPH, 15 juta hektar untuk Hak Guna Usaha,

8,8 juta hektar untuk Hutan Tanaman Industeri, 35

% daratan Indonesia di kuasai oleh 1.194 pemegang

kuasa pertambangan, 341 Kontrak Karya Pertambangan

dan 257 Kontrak Pertambangan Batubara (PKP2B).

Sementara rakyat yang selama ini hidup didalam dan

sekitar hutan, dipaksa keluar dari tanah mereka.

* Naskah Diterima oleh Redaksi pada 7 Oktober 2008

Page 29: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

29

Bahasan: Korporatokrasi

Negara sesungguhnya tidak pernah

diuntungkan dari aktifitas mereka, kasus penunggakan

pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan batubara

baru-baru ini, semakin memperjelas posisi bahwa yang

diuntungkan oleh korporasi yang mengeruk sumber

daya alam hanyalah segelintir elit, yang menjual

kekayaan alam dan buruh murah tanpa perlindungan

keselamatan kerja. Nampaknya apa yang disampaikan

oleh Cecil Rhodes (1852-1902), yang menyatakan bahwa

kolonialisme adalah penemuan tanah baru dimana

dari tanah tersebut dapat dengan mudah mendapatkan

bahan-bahan mentah (sumber daya alam) yang dapat

dieksploitasi dengan menggunakan buruh murah

dari penduduk pribumi. Sumber daya alam (SDA),

sesungguhnya selalu menjadi alasan utama bagi kolonial

baru (baca, korporasi) dimanapun untuk mendominasi

dan menanamkan kekuasannya, dan entitas politik

negeri ini mengamini seluruh nafsu kolonialisme

tersebut, karena menguntungkan bagi mereka secara

politik melalui ongkos-ongkos politik yang disediakan

oleh kekuatan modal.

Modal internasional tidak hanya mengeruk

sumber daya alam untuk pemenuhan konsumsi bagi

negara-negara maju, mereka bahkan mendikte negara

untuk mengurangi tanggungjawabnya melindungi

dan mensejahterakan rakyatnya sebagaimana yang

dimandatkan oleh Konstitusi. Telah terjadi defisit

kedaulatan negara dan bertemu dengan defisit

kesejahteraan yang berujung pada kemiskinan. Mencabut

subsidi terhadap BBM bagi rakyat miskin, menjadi

salah satu contoh kuat bagaimana kekuatan ekonomi

internasional telah mengambil-alih tanggungjawab

negara dan menyerahkannya kepada pasar. Corporate

Social Responsibility (CSR) menjadi salah satu contoh

dari sebuah alat yang didorong oleh modal untuk

mengambilalih peran dan fungsi sosial negara, dan

mengalihkan tanggungjawab negara tersebut.

Kekuatan aransemen kolaboratif yang

dimainkan begitu cantik oleh korporasi besar, lembaga

keuangan internasional dan elit politik yang duduk

di pemerintahan, telah menghasilkan sebuah cerita

penghisapan ekonomi disatu sisi, dan kerusakan

lingkungan hidup disisi yang lain, bahkan telah melahirkan

krisis dan ancaman terhadap keberlangsungan dan

keberlanjutan kehidupan rakyat intra dan antar generasi.

Industri tambang misalnya, industri ini memiliki karakter

yang tidak terbarukan,berumur pendek, berdaya rusak

tinggi dan berorientasi ekspor.

Dengan watak dan cara kerjanya, kekuatan ini

telah mendominasi semua yang menyangkut kehidupan

nasib orang banyak, dengan memegang prinsip

mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan

modal yang semurah-murahnya dengan menggunakan

buruh murah, dan mengabaikan lingkungan hidup yang

dinilai berbiaya mahal dan tidak menguntungkan bagi

kepentingan bisnis mereka.

Sumber daya alam (SDA) ditempatkan tidak

lebih hanya sebagai sebuah komoditas, yang bisa dikeruk

habis guna memenuhi tingkat konsumsi bagi negara-

negara maju, dan menghancurkan secara sistematis

dan struktural produktifitas yang disebabkan oleh

penguasaan akses dan kontrol atas tanah dan alat-alat

produksi yang lain, dan menghancurkan pengetahuan

lokal yang mengatur regulasi wilayah dan tata kehidupan

masyarakat itu sendiri. Semua modal sosial yang ada

dalam tatanan masyarakat, diruntuhkan oleh mesin-

mesin kapitalisme yang bekerja secara baik dan didukung

penuh oleh kekuatan politik.

Pemilu, Absen Agenda Krisis

Reformasi 1998, memang terjadi berbagai

perubahan yang positif menyangkut hak-hak sipil-

politik, seperti kebebasan pers, kebebasan pendirian

partai-partai politik, reformasi dalam sistem pemilu,

antara lain sistem pemilihan presiden langsung. Namun

secara substansial, berbagai perubahan ini hanya

mencerminkan pergeseran kepentingan dan sirkulasi

di tingkat elit kekuasaan, dengan mengabaikan aspek

akuntabilitas dan representasi kepentingan publik. Ini

tercermin dari kegagagalan reformasi mewujudkan

janjinya, untuk memperbaiki pemenuhan keadilan dan

hak-hak dasar rakyat di bidang ekonomi dan sosial.

Page 30: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

30

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

Agenda reformasi bahkan dibajak oleh elit

politik untuk kepentingan kekuasaannya, bahkan

korporasi semakin memperkuat perangkatnya dengan

serangkaian strategi yang lebih sistematis dengan

kemasan legal reform, economic dan economic

reform, yang semakin melahirkan angka kemiskinan

yang panjang. Kompas dalam headlinenya bahkan

memprediksikan bahwa dalam 25 tahun mendatang,

Indonesia akan mengalami krisis pangan. Bahkan

ILO menyatakan bahwa pada bulan Februari 2008,

terdapat 52,1 juta pekerja miskin. Ini belum ditambah

dengan pukulan kenaikan harga sebesar 125 persen yang

disebabkan oleh kenaikan harga BBM.

Elit politik yang sudah lama menghiasi

reklame iklan di media massa juga absen melihat krisis

rakyat dalam agenda-agenda politik yang ditawarkan.

Jalan keluar yang disodorkan bahkan tidak melihat

persoalan mendasar yang dialami oleh bangsa ini. Tidak

ada tawaran perubahan atas pilihan ekonomi, yang

menempatkan tata kuasa, tata guna lahan, tata produksi

dan tata konsumsi kedalam sebuah kebijakan yang adil

dan berkelanjutan.

Kekuatan korporatokrasi telah mampu

mempengaruhi agenda-agenda politik mulai dari

tingkatan Pilkada hingga Pemilu Legislatif dan Pilpres.

Caranya melalui dukungan finasial pada kandidat-

kandidat yang bertarung pada pesta demokrasi, janji-

janji politik yang disampaikan tidak lebih hanya untuk

semakin melanggengkan dominasi agenda neoliberal.

Harapan pembaruan terhadap pemilu 2009, hampir sama

dengan pemilu 2004. Berbagai janji juga digelontorkan

oleh partai politik dan beberapa calon presiden melalui

belanja iklannya di media massa yang menawarkan

berbagai jalan baru, yang jika dicermati secara seksama

tidak lebih hanya sebuah kamuflase.

Dari diskusi panjang Demokrasi Dibawah

Tirani Modal yang beberapa waktu lalu diselenggarakan

di Universitas Indonesia, semakin memperjelas posisi

korporatokrasi ini terhadap ruang demokrasi yang

dibangun di Indonesia. Demokrasi yang terpusat pada

pemilihan umum (electoral democracy) tidak lebih hanya

sebagai sebuah kemenangan dari politik prosedural, dan

hanya memberi kesempatan kepada kekuatan neoliberal

dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-

lembaga negara. Hasil dari pertarungan ini adalah

kombinasi yang amat buruk: liberalisasi di bidang

ekonomi dan konservatif di bidang politik.

Pemilu sama sekali jauh dari krisis yang

dialami oleh rakyat, bahkan hiruk pikuk pilkada

dan ribuan banner dan bendera partai politik telah

menenggalamkan jeritan penderitaan yang dialami

oleh perempuan yang tidak bisa memberikan asupan

gizi yang cukup bagi keluarganya. Pilkada pemilihan

Gubernur Jawa Timur menjadi sebuah pembelajaran

yang utuh untuk menggambarkan, bagaimana kekuatan

korporasi yang bernama Lapindo Brantas Inc telah

mampu menutup mata seluruh kandidat Gubernur

Jawa Timur untuk membicarakan derita rakyat korban

lumpur Lapindo yang harus menjadi pengungsi ekologis

dan tercerabut dari ruang hidupnya.

Blok Politik Hijau, Meretas Jalan Perubahan

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup

yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan.”

Gerakan lingkungan hidup sebagai bagian

dari gerakan sosial menyadari bahwa begitu berat dan

besarnya musuh yang dihadapi oleh rakyat, karena

kekuatan mereka bahkan telah masuk ke ruang-ruang

kehidupan masyarakat, yang menjelma menjadi sebuah

fasisme baru yang diyakini sebagai sebuah kebenaran.

Kita dapat menyaksikan, bagaimana fundamentalisme

pasar telah melahirkan sebuah bentuk fundamentalisme

agama yang menduplikasi cara kerja yang sama yakni

tidak menghormati pluralisme dan keberagaman tak

ubahnya cara pandang monukultur dalam industri

perkebunan besar.

Namun, ditengah berbagai ancaman hidup

yang diciptakan oleh kekuatan modal dan politik, berbagai

inisiatif perjuangan juga diciptakan oleh berbagai

elemen rakyat. Mencoba membangun demokrasi dan

Page 31: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

31

Bahasan: Korporatokrasi

ekonomi dari bawah sebagai sebuah bentuk perlawanan

yang digagas oleh rakyat sebagai sebuah alternatif diluar

proses electoral democracy

Demikian juga inisiatif yang dibangun dari

gerakan lingkungan hidup, yang bercita-cita melakukan

perubahan gerakan, salah satunya dengan menggunakan

blok politik hijau sebagai kendaraannya untuk

membangun kekuatan politik alternatif yang dibangun

dari pondasi massa rakyat yang kritis. Memainkan peran-

peran politiknya untuk dapat mendiseminasi gagasan

hijau sebagai sebuah upaya melakukan reformasi

pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan

konsepsi ekonomi yang berbasiskan pada kedaulatan

rakyat dan keadilan ekologi sebagai sebuah jalan baru

yang ditawarkan.

Inisiatif ini didasari atas sebuah keyakinan,

bahwa gerakan lingkungan hidup berada di jantung

perlawanan atas penghisapan penjajahan baru

(eksploitasi sumber-sumber kehidupan), karenanya

dibutuhkan kekuatan dari blok politik anti imperialisme

lainnya selain blok politik hijau (buruh, nasionalis, sosialis

dan lain-lain) yang menjadi kekuatan politik alternatif

dengan garis ideologi yang kuat dan berbasiskan pada

kekuatan massa kritis yang masif, terorganisir, terpimpin

untuk mendobrak kebekuan politik yang terjadi.

Pandangan ini juga didasari atas analisis bahwa

rezim kekuasaan hari ini berada di dalam kebangkrutan

karena menjadi sumber ancaman keselamatan rakyat

dan menanamkan benih kehancuran negeri ini. Bahwa

oligarki politik hari ini bercokol di hampir semua partai

politik yang ada hari ini. kepentingannya tunggal yakni

mempertahan kekuasaan dan share/pembagian sekaligus

persaingan kalangan sendiri untuk meperebutkan rente

ekonomi dari penggadaian kekayaan alam negeri ini.

Kalau pun ada pertentanganan dan sikap yang seolah-

olah opisisi, sesungguhnya hanya permainan politik dan

sirkulasi elit atau oligarki politik-ekonomi.

Habermas menyatakan bahwa bagaimana

demokrasi dapat memasuki ruang-ruang kuasa, bukan

hanya kepada elit, tetapi juga kepada masyarakat sipil.

Blok politik hijau, kemudian yang menjadi sebuah

alternatif yang ditawarkan oleh berbagai gerakan

sosial, baik gerakan tani, buruh, maupun gerakan yang

mengusung isu lingkungan sebagai agenda utama

perubahan.

Dalam survey nasional yang dilakukan

oleh DEMOS yang berjudul Satu Dekade, Maju dan

Mundurnya Demokrasi di Indonesia menilai bahwa

aktor-aktor demokrasi yang ada saat ini marjinal secara

politik dan mengambang secara sosial. Karenanya Blok

politik hijau diharapkan mampu berdialektika untuk

menghadapi politik keteraturan yang dimainkan oleh elit

oligarki dibawah bendera korporatokrasi. Blok politik

hijau diharapkan dapat melakukan aktifitas politik yang

teroganisir bersama dengan pihak-pihak yang selama ini

menjadi korban kebijakan pembangunan dan eksploitasi

sumber daya alam.

Riset ini juga menemukan mulai tumbuhnya

agenda dan visi yang komprehensif, dalam fenomena

jejaring gerakan green politic. Ditemukan bahwa

kasus-kasus individual yang berkaitan dengan isu

tanah, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat

adat, hak-hak sosial ekonomi, lingkungan hidup dan

kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi,

tampak berhubungan erat dengan isu-isu pembangunan

berkelanjutan dan pembangunan partisipatoris -

termasuk pengelolaan secara swadaya atas kehidupan

sosial-ekonomi, pengelolaan sumberdaya kolektif/

komunitas, maupun tuntutan perbaikan penyelenggaraan

kepentingan umum dalam rangka melawan privatisasi;

juga gagasan-gagasan mengenai participatory

budgeting.

Semua ini bisa menjadi basis bagi agenda politik

kiri-hijau yang lebih umum. Ini berseberangan dengan

tidak adanya pertanda yang sama dalam agenda gerakan

buruh yang lebih luas, dengan atau tanpa kepedulian

kelas menengah liberal. Lepas dari sudah terbentuknya

demokrasi prosedural menyangkut keberadaan lembaga-

lembaga pemilu, amandemen konstitusi, legislatif,

eksekutif, yudikatif namun perjalanan meraih demokrasi

substansial masih jauh. Maka tidak bisa tidak, kita

harus semakin gigih melawan dengan kecerdasan dan

Page 32: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

32

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

imajinasi.

JAWABAN KRISIS KESELAMATAN RAKYAT,

TEGAKAN KEADILAN SOSIAL

Kunci untuk mewujudkan keadilan sosial

adalah pemerataan alokasi dan distribusi sumber daya

sosial, lingkungan hidup (alam) yang berlangsung

dari tingkat lokal, nasional hingga tingkat global.

Selama ini kemiskinan dan kehancuran lingkungan

hidup bukan disebabkan oleh tingkat pertumbuhan

penduduk di negara dunia ketiga, sebagaimana yang

selalu dikampanyekan oleh negara dunia pertama.

Realitas dunia yang timpang saat ini, lebih dikarenakan

penguasaan akses sumber daya alam yang hanya

bertumpu pada segelintir kelompok, untuk pemenuhan

tingkat konsumsi mereka dengan mengabaikan sebagian

besar dari penduduk bumi.

Keadilan sosial ini untuk menjamin pemihakan

yang kuat terhadap kelompok terlemah di dalam

masyarakat dunia, jaminan terpenuhinya kebutuhan

dasar manusia, adanya jaminan bagi semua warga

negara memiliki kebebasan dan kesempatan untuk

mengembangkan kehidupan pribadi dan sosial, sekaligus

tanggung jawab sosial dan ekologinya. Tercakup di dalam

perwujudan keadilan sosial adalah penghargaan terhadap

pluralisme budaya, keadilan gender, masyarakat adat

dan keadilan antar generasi.

JAWABAN KRISIS RUANG HIDUP RAKYAT,

TEGAKAN KEADILAN DAN KEBERLANJUTAN

LINGKUNGAN HIDUP (KEADILAN EKOLOGI)

Sering kali agenda lingkungan hidup juga

disetir oleh kekuatan pasar, yang membelokkan wacana

kepentingan lingkungan untuk kepentingan pasar.

Lingkungan hidup kemudian didominasi oleh kekuatan

modal yang memodernisasi pembangunan dengan

tujuan untuk menyingkirkan rakyat yang tidak memiliki

kekuatan secara politik dan ekonomi terhadap sumber-

sumber kehidupan. Kasus penggusuran masyarakat

adat dari tanah mereka untuk kepentingan konservasi,

menunjukkan bahwa lingkungan hidup dijadikan

sebagai alasan untuk menyingkirkan rakyat dari ruang

hidupnya. Disinilah kita dapat menilai, bagaimana

strategi modal dalam menjawab isu keadilan ekologi,

melalui penghindaran, kambing hitam dan kooptasi.

Keadilan ekologi yang dimaksud adalah

bagaimana Lingkungan Hidup dipandang kesatuan ruang

dengan segala benda, daya, keadaan dan makhluk hidup,

termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan

manusia serta makhluk hidup lain. Salah satu komponen

terpenting dari lingkungan hidup dan menjadi prasyarat

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia

adalah alam. Alam menjamin pemenuhan kebutuhan

sekaligus menjadi ruang hidup manusia.

Namun, alam memiliki keterbatasan untuk

menunjang kehidupan manusia. Karenanya, alam harus

dikelola secara keberlanjutan. Keberlanjutan pelayanan

alam sama artinya dengan memberikan akses dan

kontrol terhadap sumber daya alam yang utuh yang

memungkinkan manusia dapat hidup dan bertahan,

termasuk tanah, tempat tinggal, pangan, air dan udara.

Untuk itu kita perlu menghargai integritas

ekosistim dan menjamin keanekaragamannya sebagai

prasyarat untuk mendukung kelangsungan kehidupan

manusia. Dengan itu sekaligus terdapat jaminan bagi

generasi saat ini untuk melangsungkan perikehidupannya

dengan baik, dan jaminan generasi mendatang untuk

menikmati kualitas alam yang sama baiknya.

JAWABAN KRISIS PRODUKTIFITAS RAKYAT,

TEGAKAN KEDAULATAN DAN KEMANDIRIAN

SOSIAL-EKONOMI

“Perekonomian nasional diselenggarakan

berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi

nasional”.

Demokrasi politik yang sejati haruslah

dibangun berdasarkan kerangka kedaulatan dan

Page 33: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

33

Bahasan: Korporatokrasi

kemandirian dalam penguasaan dan pengelolaan

sumber-sumber kehidupan rakyat atau basis material

yang menjadi fondasi tata kemasyarakatan dan negara.

Penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan

rakyat (sosial dan ekonomi) haruslah berlandaskan

semangat BERDIKARI dan kekuatan daya kreasi rakyat

secara kolektif di tingkat lokal. Hak menguasai negara

atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara

dan menguasai hajat hidup orang atas bumi, air, dan

kekayaan alam untuk sepenuh-penuhnya kemakmuran

rakyat, memiliki legitimasi apabila didedikasikan kepada

kepentingan hak asasi warganya.

Bung Hatta dalam konsepsi ekonominya

menyebutkan, bahwa bangsa ini akan mencapai

kemandiriannya jika menggunakan mesin ekonomi

yang digerakkan oleh kekuatan rakyat untuk mencapai

kesejahteraan bagi rakyat. Hatta mengatakan bahwa

manusia tidak mungkin bisa hidup damai dan sejahtera,

jika sumber-sumber kehidupannya dikuasai oleh manusia

yang lain yang berkuasa baik secara ekonomi maupun

politik. Dalam pemikirannya, ekonomi menjadi penting

dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan politik, harusnya

diletakkan dengan tujuan untuk menata sumber-sumber

kehidupan (ekonomi) yang menempatkan rakyat sebagai

pelaku utamanya.

Kepentingan rakyat atau hak asasi rakyat,

terutama dalam hal akses terhadap bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus

dijadikan sarana utama dan tujuan akhir dari hak

menguasai negara. Dengan demikian, maka peran modal

bersifat sekunder dan komplementer, bukan substitusi

pengelolaan oleh rakyat. Inilah yang dinamakan

mengalokasikan kekayaan alam untuk pemenuhan dalam

negeri, bukan komoditas ekspor atau yang diistilahkan

oleh Ichsanudin Noorsy dengan Close Sirkuit Economy

dalam sebuah diskusi yang mengupas tentang politik

anggaran dan penyakit kronis ekonomi klasik.

Reformasi Pengelolaan Lingkungan

Semua agenda yang ditawarkan oleh gerakan

lingkungan hidup ini akan terwujud jika gerakan

lingkungan hidup mampu mempengaruhi publik luas

bahwa agenda reformasi pengelolaan lingkungan hidup

dikemas dalam sebuah gerakan reformasi pengelolaan

lingkungan hidup, dan semua dapat diwujudkan dengan

pra syarat sebagai berikut: Pertama, mengembalikan

mandat negara sebagaimana yang terdapat didalam

konstitusi untuk melindungi, menjamin dan memenuhi

hak dasar rakyat, khususnya terkait dengan hak ekonomi,

sosial dan budaya (ekosob). Kedua, menata kembali relasi

antara negara, rakyat dan modal yang telah mengalami

ketimpangan karena begitu kuatnya agenda korporasi

yang menggunakan kekuatan hak menguasai negara,

untuk kepentingan akumulasi modal mereka. Rakyat

justru ditempatkan sebagai pihak pelengkap, padahal

sesungguhnya kontrol terhadap pengelolaan sumber

daya alam berada di tangan rakyat sebagaimana yang

terdapat didalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketiga,

menyelesaikan konflik sumber daya alam dan agraria

struktural yang dialami oleh rakyat menghadapi dua

kekuatan yakni kekuatan di sektor bisnis dan atau negara

sebagaimana yang disebutkan oleh Alexis Tocqueville.

Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA) mencatat, tidak

kurang dari 1.753 kasus tanah terjadi dari tahun 1970-

2001. Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup

Indonesia (WALHI) juga mencatat, tidak kurang 70

kasus konflik sumber daya alam di tingkat nasional yang

masih belum bisa diselesaikan.

Beberapa gerakan sosial mengusulkan

nasionalisasi sebagai jawaban atas agenda penguasaan

dan dominasi korporasi. Namun gerakan politik hijau

juga menekankan hendaknya sebelum kita bicara soal

nasionalisasi industri, yang seharusnya dilihat lebih jauh

dan dan tajam adalah prasyarat yang harus dipenuhi

untuk mendukung sebuah jalan menuju nasionalisasi

industri. Bagaimana tata kuasanya, bagaimana tata

guna lahannya, bagaimana tata produksinya, bagaimana

tata konsumsinya. Belum lagi syarat-syarat yang harus

dijamin oleh negara seperti syarat keselamatan rakyat,

syarat produktivitas rakyat, syarat kesejahteraan rakyat,

syarat keberlanjutan pelayanan alam. Semua prasyarat

tersebut, harus sudah mampu dijawab sebelumnya, dan

menempatkan warga krisis sebagai aktor utama untuk

menentukan arah sebuah pembangunan kemandirian

negara, yang salah satunya melalui nasionalisasi industri

sebagai salah satu alat demokrasi politik kerakyatan.

Page 34: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

34

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

Critical Mass, Belajar dari Lao Tzu

Semua mimpi membangun orkestrasi gerakan

yang membawa perubahan oleh gerakan blok politik

hijau, hanya akan menjadi cita-cita yang melangit. Cita-

cita tersebut tidak akan terwujud, jika tidak diturunkan

ke bumi sebagai sebuah cita-cita bersama rakyat.

Masyarakat Indonesia memang masih banyak

yang meragukan blok politik hijau ini, menyadari

bahwa isu lingkungan hidup di Indonesia masih berupa

”kesadaran semu” bukan ”pengetahuan”. Namun

berbagai bencana ekologi yang datang silih berganti,

penurunan kualitas lingkungan hidup yang semakin

tinggi, konflik sumber daya alam dan krisis yang selalu

muncul menghiasi media, sebenarnya menjadi cukup

alasan bagi gerakan blok politik hijau untuk mengajak

masyarakat lebih luas untuk mendukung gerakan ini.

Massa yang kritis sebagai pra syarat utama

perubahan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera

diselesaikan oleh gerakan blok politik hijau ini, sehingga

mimpi perubahan Indonesia ini diciptakan sendiri oleh

rakyat. Mengutip apa yang dikatakan oleh Lao Tzu :

”berjalanlah bersama rakyat, tinggal bersama mereka,

belajar dari mereka, cintailah mereka, mulailah dengan

apa yang mereka miliki. Hanya dengan pemimpin terbaik,

ketika pekerjaan sudah selesai dan tujuan tercapai, rakyat

akan berkata kita telah melakukannya sendiri. Semuanya

bisa dimulai dengan inisiatif-inisiatif perlawanan lokal

yang telah dipraktekkan oleh berbagai organisasi rakyat,

dan terus memperluas dan memperbesar gerakan ini

menuju keberlanjutan lingkungan dan kamandirian

ekonomi rakyat.”

Blok politik hijau diharapkan mampu

membangun dialektika dengan momentum politik 2009

sebagai titik awalnya, untuk membuat sebuah jalan baru

yang diharapkan bisa merespon krisis yang dialami oleh

rakyat dan bangsa ini. Apa yang ditawarkan oleh Blok

Politik Hijau semangatnya seperti apa yang diletakkan

secara mendasar oleh gerakan kemerdekaan yang diusung

dimasa kolonial. Semangat yang ingin digelorakan lagi

adalah bagaimana membangun optimisme, menuju

Indonesia merdeka seratus persen secara ekonomi dan

politik.

Page 35: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

35

Bahasan: Korporatokrasi

khalayak ramai. Mereka menentukan undang-undang,

mengatur bekerjanya instrument politik, mengatur

pembagian kekayaan negara ke tangan-tangan mereka,

mengatur militer, polisi dan para penegak hukum dan

bahkan mengatur sistem idiologi yang harus diyakini

oleh masyarakat.

Praktek demokrasi liberal yang dijalankan

di Indonesia saat ini adalah tempat belajar yang

paling mudah untuk memahami bagaimana korporasi

membentuk pemerintahan dalam rangka mengontrol

negara. Contohnya, seorang calon gubernur, bupati atau

calon anggota legislatif (caleg) membutuhkan biaya yang

sangat besar untuk mengikuti proses demokrasi liberal

seperti pemilu dan pilkada, dimana seorang kandidat

membutuhkan dukungan modal besar untuk dapat

mengikuti proses tersebut untuk membiayai pendaftaran,

kampanye yang mahal melalui koran, televisi, radio,

poster, pamflet, mobilisasi massa, membayar saksi di

setiap TPS dan lain sebagainya. Bahkan dengan uang

yang besar pula memungkinkan terjadinya manipulasi

dan kecurangan dalam proses politik semacam itu.

Hasilnya sudah dapat dipastikan korporasi atau pemilik

modal besar yang akan memenangkan calon-calon yang

mereka biayai dalam demokrasi liberal semacam ini.

Selanjutnya kemenangan korporasi dalam

politik akan memperbesar kontrol mereka dalam bidang

ekonomi. Korporasi mengatur penuh kegiatan produksi

Korporatokrasi

dan Cara Bekerjanya di Indonesia *

Oleh :Salamuddin Daeng dan Pius Ginting

* Naskah Diterima oleh Redaksi pada 17 November 2008

1 Istilah korporatokrasi di gunakan oleh John Perkins untuk menggambarkan betapa dalam

rangka membangun imperium global, korporasi, international finance institutions dan pemerintah

bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia

mengikuti kehendak mereka (John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, 2004)

Studi tentang korporatokrasi adalah suatu studi yang luas, karena masalah ini tidak hanya menyangkut urusan-

urusan ekonomi, akan tetapi berhubungan dengan sistem idiologi dan praktek politik yang dianut oleh suatu

negara. Manifestasi kekuasaan korporatokrasi menurut banyak kalangan1 bahkan telah merasuk jauh dalam

hubungan-hubungan sosial dan kebudayaan masyarakat dewasa ini, sehingga dibutuhkan studi yang mendalam

untuk memahami masalah ini secara lebih lengkap. Artikel berikut ini hanya akan meninjau sebagian kecil saja

dari fenomena koporasi dalam mewujudkan kekuasaan ekonomi mereka.

Istilah korporatokrasi dihubungkan dengan

kekuasaan perusahaan-perusahaan (korporasi) besar

termasuk perusahan keuangan (finasial institution)

yang menyatukan seluruh kekuatan yang dimilikinya

membentuk pemerintahan dalam rangka mengontrol

negara dan seluruh masyarakat. Dengan kekuasaan yang

dimilikinya tersebut baik negara maupun masyarakat

menjadi sangat tergantung kepada korporasi tersebut

dan tidak memiliki banyak pilihan. Manifestasi

korporatokrasi sangat gampang dilihat dalam praktek

penyelenggaraan kekuasaan negara maju saat yang

menempatkan masyarakat dunia di bawah kontrol

mereka.

Barangkali tidak banyak orang yang menyadari

kekuasaan korporasi besar tersebut, akan tetapi

faktanya setiap hari kita mendapatkan suguhan yang

dipaksakan oleh korporasi raksasa. Seluruh kebutuhan

hidup kita yang paling dasar, mulai dari minyak tanah,

bensin, minyak goreng, sabun mandi, listrik, telepon,

transportasi adalah produk dari korporasi. Bahkan

diruang-ruang hidup kita yang paling privat, korporasi

hadir dalam bentuk iklan, sinetron, berita dan informasi

yang membetuk fikiran kita sesuai dengan kehendak

korporasi tersebut.

Korporasi sangat berkuasa, bahkan kekuasaan

mereka lebih besar dari apa yang dibayangkan oleh

Page 36: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

36

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

sumber-sumber penting yang menyangkut hajat hidup

orang banyak. Hal ini dapat kita lihat bagimana kekuasaan

korporasi atas produksi minyak, gas, batubara, minyak

sawit (CPO), tebu dan sumber-sumber tambang lainnya.

Penguasaan mereka atas sumber-sumber pangan dan

energi akan sangat mementukan hidup matinya suatu

masyarakat. Contohnya penguasaan korporasi dalam

hal produksi di hulu minyak, gas, batubara menjadikan

mereka mampu mengatur produksi, distribusi dan

harga harus dibayar masyarakat. Dengan demikian

kemampuan suatu masyarakat dalam mendapatkan

barang dan jasa kebutuhannya sangat ditentukan oleh

kebijakan korporasi. Contoh lainnya dapat dilihat dari

bagaimana korporasi mendorong parlemen menaikkan

tarif listrik, tarif jalan tol dan lain sebagainya.

Kekuasaan korporasi di Indonesia

Sebelum kita membahas bagimana cara bekerjanya

korporatokrasi di Indonesia maka sebaiknya kita terlebih

dahulu memahami korporasi terkemuka di Indonesia

yang menguasai sektor-sektor ekonomi strategis seperti

pertambangan minyak, gas, mineral, perusahaan

keuangan dan perusahan perdagangan. Meskipun

pendekatan ini bukan merupakan satu-satunya alat

untuk memahami masalah ini, akan tetapi menurut

penulis aspek inilah yang paling penting dan paling

relevan untuk mengetahui siapa mereka saat ini.

Pada level paling atas kita menemukan bahwa kontrol

terhadap perekonomian Indonesia dilakukan oleh

perusahaan besar yang berasal dari luar negeri atau

disebut pemodal asing. Mereka sekelompok perusahaan

yang berasal dari negara-negara maju yang sebagian

diantaranya berasal dari yang pernah menjajah Indonesia

secara langsung. Mereka menguasai sektor-sektor

ekonomi utama di negara ini. Mulai dari minyak, gas,

mineral, perkebunan, perusahaan-perusahan keuangan

dan jasa.

Korporasi asing menguasai lebih dari 85 persen kegiatan

ekploitasi minyak dan gas di Indonesia. Sedangkan

kepemilikan asing di luar sektor tersebut diatas dalam

aktifitas investasi langsung (FDI) mencapai lebih dari 75

% dari total investasi yang ada. Lebih dari 95 juta hektar

lahan telah diserahkan kepada perusahaan minyak

di sektor hulu dalam rangka ekploitasi minyak. Lebih

dari 40 juta hektar diserahkan dalam rangka ekploitasi

mineral dan batubara, sekitar 7 juta hektar diserahkan

untuk korporasi perkebunan dan sekitar 31 juta hektar

diserahkan untuk korporasi kehutanan.

Struktur Penggunaan Lahan di Indonesia

Tahun 2005

Penggunaan Luas

(juta Ha)1. Kontrak Kerja Migas 95.452. Kontrak Karya (mineral) 6.473 KP mineral 7.674 KP Batu Bara 24.775 KKB/ PKP2B 5.26 HPH Alam 27.72

HTI 3.47 Perkebunan Negara * 3.38 Perkebunan Swasta * 1.08

Total 175.06Luas Lahan Pertanian 11.8Luas Daratan 192,26

Sumber : Data diolah dari berbagai sumber, ESDM,

Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian.

Keterangan : * Data tahun 2003

Tidak hanya disektor ekstraktif, di sektor keuangan

korporasi asing mengambil tempat yang semakin

dominan. Kepemilikan asing atas aset perbankan

nasional mencapai 47,02 persen, terus meningkat sejak

krisis1. Contohnya, kepemilikan saham publik di Bank

Rakyat Indonesia Tbk (BRI) lebih didominasi investor

asing dengan per 31 Maret 2007 kepemilikan saham

investor asing mencapai 37,2 persen, sedangkan investor

domestik hanya menguasai 5,8 persen saham BRI.2 Di

sektor keuangan lainnya kepemilikan modal asing juga

terjadi dalam jumlah yang cukup besar. Tahun 2007

kepemilikan modal asing di pasar modal sebesar 67,34

persen dengan nilai Rp 601,055 triliun.3

Tidak hanya itu, dalam hal kepemilikan surat utang

negara (SUN) oleh pihak asing saat ini meningkat sekitar

Rp26 triliun atau mencapai Rp104 triliun jika dibanding

dengan kondisi pada awal 2008 sebesar Rp78 triliun.

Sekarang porsi asing di SUN 19,5 persen atau Rp104

triliun, meningkat dibandingkan 16,6 persen atau Rp78

triliun pada awal 2008 4.

Page 37: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

37

Bahasan: Korporatokrasi

Bagaimana dengan pelaku nasional, pengusaha nasional

kaitannya dengan praktek korporatokrasi di Indonesia?

Pelaku-pelaku nasional adalah pemain yang paling

tampak. Upaya-upaya untuk mengotrol Negara dan

mengendalikannya sekaligus berdasarkan keinginan

dan orientasi mereka sangat jelas. Wakil presiden

dan beberapa menteri adalah berasal dari kalangan

pengusaha. Bahkan salah satu menteri dalam Kabinet

SBY – JK adalah orang paling kaya di Asia sebelum krisis

keuangan global melanda dunia.

Krisis ekonomi Indonesia tahun 1997 adalah penampakan

nyata kekuasaan pemilik modal nasional. Pemilik modal

dapat menyelamatkan diri mereka dari hantaman badai

krisis yang melanda saat itu dengan cara menjebol uang

Negara sebesar 630 trilun dalam proyek rekapitalisasi.

Ini adalah angka yang sangat besar dibandingkan dengan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat

itu. Hingga saat ini Negara harus menanggung utang

yang sangat besar dari kegiatan ini dan harus membayar

bunga utang tersebut. Keluarnya uang Negara yang

sangat besar tersebut dilakukan secara legal sesuai

hukum Indonesia.

Meski kedudukan mereka cenderung dibawah dominasi

modal asing, pelaku-pelaku usaha nasional tidaklah

terlalu lemah dalam hal skala penguasaan ekonomi

mereka. Mereka menggunakan konstitusi untuk

mendorong Negara membuat suatu undang-undang

yang memungkinkan bagi modal nasional untuk

membantu modal asing atau bekerja di sana. Misalnya

dengan menjadi subkontraktor korporasi tambang

besar di berbagai bidang seperti penyediaan makanan

bagi pekerja tambang hingga pembelian limbah dengan

dengan keuntungan besar. Undang-undang No. 1 Tahun

1967 Tentang Penanaman Modal di jaman Orde Baru

memberi strategi bagi pembesaran modal nasional

dengan menjadi pembantu modal asing, khususnya

di sektor pertambangan. Keadaan yang terjadi di

PT. Freeport Indonesia sebuah perusahaan tambang

terbesar di Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara

sebuah perusahaan tambang mineral terkaya di dunia

memperlihatkan peran modal-modal nasional kedua

perusahaan tersebut sebagai pembantu perusahaan asing

pada bisnis-bisnis yang tidak diminati oleh perusahaan

asing lainnya.

Pemodal nasional pun berkepentingan meluaskan

kepentingannya di bagian hilir di sektor migas. Setelah

hak Pertamina di sektor hulu migas dimutilasi melalui

undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Pengelolaan

Minyak dan Gas dan dirubahnya perusahaan tersebut

menjadi perusahaan swasta, menyebabkan sebagian

besar industri pengelolaan migas dihulu dikuasai modal

asing. Para pemilik modal nasional berbondong-bondong

menguasasi sektor hilir. Sebagian besar pelaku di sektor

hilir yang jumlahnya ribuan adalah pemodal nasional,

mereka adalah distributor-distributor dan pedagang

ritel BBM. Para pemodal nasional inilah yang selalu

menjadi pendukung kenaikan harga penjualan produk

BBM seperti premium, minyak tanah dan solar dan

belakangan menjadi pendukung utama kenaikan harga

penjualan gas bagi rumah tangga. Seluruh perdagangan

BBM di dalam negeri milik perusahaan nasional akan

mendapatkan revenue lebih dari 500 triliun dalam

tahun 2008. Jumlah tersebut dua kali lipat dari seluruh

biaya yang mereka perlukan dalam menghasilkan BBM.

Sementara di sektor gas, PT. Perusahaan Gas Nasional

(PGN) menguasai lebih dari 90 persen perdagangan

Gas di Indonesia. Meski terus untung perusahaan ini

terus mendorong kenaikan harga gas dalam rangka

melipatgandakan keuntungan.

Kekuasaan modal nasional memang sebagian besar

dalam bisnis ritel barang-barang yang diproduksi

oleh modal asing. Inilah yang menjadikan dasar bagi

pembangunan outlet-outlet dan pusat perbelanjaan yang

begitu luas terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Rencana pembesaran uang para pelaku nasional tersebut

dilakukan juga dengan mendorong kebijakan impor

produk pertanian seperti beras, gandum, kedelai dan

impor produk pangan lainnya.

2 Selasa, 9 September 2008 | 07:50 WIB, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Muliaman Hadad, Senin (8/9) di Jakarta3 Jakarta (ANTARA News),Kepemilikan Saham Publik BRI Didominasi Investor Asing4 Rabu, 25 Juli 2007 | 18:20 WIB, TEMPO Interaktif, Jakarta5 http://www.bankdki.co.id/index.php?option=com_content&task= view&id=227&Itemid=91

Page 38: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

38

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

Pembesaran modal nasional terjadi melalui bisnis ritel

lainnya seperti perdagangan produk otomotif dengan

menumpang pada industri modal asing di sektor ini.

Bisnis ritel ini juga melahirkan keuntungan bagi modal

pelaku nasional di sektor perbankan melalui ekspansi

kredit murah produk otomotif seperti mobil dan sepeda

motor. Eskpansi kredit tersebut berpotensi menjadi

subprime mortgage versi Indonesia.

Legitimasi Hukum dan Politik

Kekuasaan perusahaan asing yang sedemikian luas di

Indonesia memang adalah buah dari kerja keras mereka

dalam memperalat birokrasi Negara melalui proyek

utang yang besar. Cara ini sangat efektif dan menjadi alat

paling kuat bagi upaya penetrasi ke dalam perekonomian

Indonesia.

Sampai dengan tahun 2008 utang luar negeri telah

mencapai angka 1.400 triliun lebih. Uang yang sebagian

besar berasal dari negara-negara maju dan lembaga

keuangan internasional yang beroperasi di Indonesia

dalam rangka mendukung kepentingan korporasi-

korporasi besar, yaitu kepentingan untuk terus

mempertahankan kekuasaan mereka pada kegiatan-

kegiatan ekonomi paling strategis di Indonesia. Utang

luar negeri adalah modal asing yang memiliki signifikasi

langsung dengan kepentingan korporasi, dikarenakan

melalui utang luar negeri baik dalam bentuk proyek

dan program berkaitan langsung dengan kepentingan

korporasi.

Negara maju dan lembaga keuangan internasional

yang memberikan utang adalah alat perusahaan

multinasional dalam rangka pembesaran skala ekonomi

mereka. Alhasil, negara maju-negara maju seperti

Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa

adalah sumber utang terbesar bagi Indonesia. Proyek

utang telah menghasilkan pendapatan yang besar bagi

negara-negara maju dan lembaga keuangan melalui

bunga. Sementara para pengusaha asing mendapatkan

kebijakan negara dan infrastruktur yang dibiayai dengan

utang dalam rangka menopang investasi asing.

Kepentingan utang untuk mendukung investasi asing

dalam rangka pencarian sumber daya alam adalah

contoh kongkrit dalam hal ini. Jepang sebagai negara

pemberi utang bagi Indonesia adalah negara yang ahirnya

menerima sumber daya alam paling besar. Jepang adalah

penerima ekspor gas, minyak dan batubara tersebesar

dari Indonesia. Tanpa keberadaan perusahaan yang

dibiayai langsung dengan investasi tersebut maka dapat

dipastikan ekonomi Jepang akan kesulitan

Demikian halnya dengan utang dari lembaga pinjaman

Bank Dunia (WB), kesemuanya ditujukan agar negara

membangun institusi-institusi yang mendukung

penanaman modal dan mempromosikan pertumbuhan

ekonomi. Dalam setiap peraturan pinjaman pembangunan

untuk Indonesia, Bank Dunia menetapkan prioritas agar

utang ditujukan untuk mendukung perbaikan-perbaikan

iklim penanaman modal, pengelolaan keuangan publik

dan prioritas kunci lainnya.5

Infrastruktur yang dibiayai utang tersebut tersebut

menjadi penopang investasi-investasi swasta. Dua

lembaga lainnya yang bernaung di bawah Bank Dunia

sekaligus yang berurusan dengan sektor swasta ialah

Korporasi Keuangan Internasional (IFC)6 dan Badan

Penjamin Investasi Multilateral (Multilateral Investment

Guarentee Agency/MIGA)7. IFC adalah badan

penanaman modal swasta dari kelompok Bank Dunia.

IFC menawarkan pinjaman jangka panjang dan investasi

modal. Investasi IFC disalurkan kepada korporasi swasta

yang selanjutnya memberikan bantuan pembiayaan

proyek investasi perusahaan swasta di negara-negara

terbelakang yang kaya sumber daya alam.

Perusahaan yang dijamin MIGA di Indonesia, yakni

Tambang Grasberg, Papua Barat; PT East Java Power Co,

(pada tahun 1997). Pada Tahun anggaran 1995-2000,

5 Laporan Tahunan ini juga tersedia di internet dengan situs www.worldbank.org.

6 Didirikan pada tahun 1956, memiliki 178 Anggota, Komitmen porfolio: $2 ,6 milyar dolar (termasuk

$5, milyar dolar pinjaman-pinjaman sindikat). Komitmen untuk Pembukuan Tahun 2006: $6,7 milyar

dolar untuk 284 proyek perusahaan di 66 negara. IFC berkantor di Washington, DC, dengan kantor-

kantor cabang tersebar di seluruh dunia.

7 Didirikan pada tahun 1988, memiliki 167 Anggota, Jaminan kumulatif yang sudah dikeluarkan :$ 6

milyar, Pembukuan tahun 2006 jaminan yang sudah dikeluarkan sebesar $ , 3 milyar

Page 39: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

39

Bahasan: Korporatokrasi

MIGA menjamin dua proyek lain di Indonesia. Pada

tahun 1997, US West International Holding, Inc. dan

Chase Manhattan Bank (bertindak atas nama sekelompok

pemberi pinjaman) menerima sebuah jaminan sebesar

14 juta dolar AS untuk investasi modal dan pinjaman

mereka untuk perluasan dan pengoperasian jaringan

telepon di Jawa Barat.

MIGA terlibat dalam dua kasus yang paling kontroversial

di Indonesia, yakni asuransi resiko politik dari PT Enron

Java Power Co. Ketika PLN membatalkan perjanjian

pembelian tenaga listrik dengan PT East Java Power

Co, anak perusahaan PT Enron Java Co. akibatnya,

Indonesia terkena penalti sebesar 15 juta dolar AS. Data

dari Statistik Bank Indonesia menyebutkan pada tahun

2001, Indonesia harus menanggung utang dari MIGA

sebesar 8 juta dolar AS. Kasus PT. Enron berawal dari

perjanjia jual beli daya listrik (PPA) yang disepakati

Enron bersama Presiden Suharto digelembungkan 30%

lebih tinggi dari harga pasar. Enron memenangkan

proyek itu tanpa proses tender sebagaimana seharusnya.

PLN didesak Suharto untuk menandatangani perjanjian

itu. Walau Indonesia tengah dirundung masalah setelah

krisis, Pemerintahan Clinton mendesak Indonesia

untuk menghormati seluruh perjanjian bisnis yang

ditandatangani era Suharto. Pemerintahan Clinton

mengatakan bila Indonesia mengingkari janji artinya

sama saja dengan melecehkan ”kemurnian” kontrak.

Ketika awalnya Indonesia menolak membayar penuh

tagihan sebesar 15 juta dolar, MIGA menolak memberikan

asuransi kepada Indonesia. Sanksi tersebut baru dicabut

pada tahun 2001 ketika pada akhirnya Indonesia setuju

untuk membayar. Meskipun MIGA membayar 15 juta

dolar atas tuntutan tersebut ditambah bunga 220.000

Dolar AS, MIGA juga menerima 10,5 juta dolar dari

penjamin kedua (re-insurer) dan 880.000 Dolar dari

pemerintah Indonesia.

Pada tahun 1996, MIGA menerbitkan jaminan sebesar

USD 50 juta untuk Capital Indonesia Power I C.V., anak

cabang General Electric Capital Co. dari Amerika Serikat.

GE Capital mencari asuransi untuk investasi modalnya

sebesar USD 61,2 juta dalam pembangunan dan

pengoperasian dua pembangkit listrik tenaga batubara

berdaya 615 megawatt di Kompleks Pembangkit Listrik

Paiton, Jawa Timur8.

Lembaga keuangan lainnya, yakni ADB juga merupakan

pemberi utang besar bagi Indonesia dengan skema yang

sama. Lembaga keuangan ini terlibat dalam perlombaan

untuk memberi utang kepada Indonesia dengan harapan

memperoleh bunga dan sumber daya alam yang besar

bagi perusahaan swasta asing sebagai hasilnya. Pada

Agustus 2006 ADB telah menyetujui pinjaman untuk

sektor swasta terkait pengembangan infrastruktur. ADB

memberikan pinjaman senilai AS$ 350 juta untuk Proyek

Pengembangan Lapangan Gas Tangguh di Irian Barat

oleh British Petroleum (BP). Selain itu, proyek Pipanisasi

Gas dari Sumatera ke Jawa Barat oleh PT Perusahaan

Gas Negara Tbk (PGN) juga mendapat pinjaman senilai

US$ 80 juta. Pinjaman-pinjaman tersebut merupakan

pinjaman dengan bunga komersial yang menggunakan

tingkat bunga LIBOR+ 20 basis poin, serta biaya

komitmen.9

Sebagian telah diakui secara terbuka oleh

agen korporatokrasi bahwa mereka berperan dalam

merancang undang-undang mengakomodir kepentingan

korporatokrasi. Diantaranya adalah melalui Undang-

undang Migas peran Pertamina dibatasi dan sertai

subsidi BBM dicabut (”dieufemiskan dengan mengikuti

nilai keekonomian). Hal tersebut diungkapkan USAID

melalui web site nya bahwa lembaga tersebut bersama

ADB mendonori pembuatan undang-undang tersebut.10

Revrisond Baswir menyatakan tidak hanya UU Migas,

namun hal yang sama juga terjadi dengan UU Kelistrikan,

UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan beberapa

produk perundang-undangan lainnya. RUU Kelistrikan

disusunkan oleh Bank Dunia, sedangkan RUU BUMN

disusunkan oleh Price Waterhouse Coopers11.

Jika John Perkins dalam bukunya Pengakuan

Bandit Ekonomi Dunia menyatakan dia bekerja untuk

lembaga konsultan MAIN laporan-laporan bagus (namun

manipulatif) tentang indikator-indikator pembangunan,

8 Factsheet LKI diterbitkan oleh Down to Earth, Kampanye Internasional untuk Lingkungan Hidup

yang Berkeadilan di Indonesia.http://dte.gn.apc.org/Aif16.htm

9 Wednesday, 1 November 2006: ADB Tawarkan Pinjaman US$ 4 Miliar JAKARTA, Investor Daily

10 (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html

11 Revrisond Baswir, Amerikanisasi BBM

12 Ibid

Page 40: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

40

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

13 http://www.suarapembaruan.com/News/2003/10/21/Ekonomi/eko02.htm

14 http://www.mpi.org.au/companies/bhpb/bhp_deceiver/

15 http://www.corporatepolicy.org/issues/FCPA.htm

16 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/01/17/LK/mbm.20050117.LK97651.id.htm

17 “Negara tidak lain tidak bukan adalah alat penindasan satu kelas terhadap kelas lainnya—begitu

kejadiannya dalam sebuah republik demokratik begitupula dalam sebuah monarki”, Preface to Karl

Marx, The Civil War in France, 1891

maka “Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM,”

yang diterbitkan oleh Pusat Studi Energi, Departemen

ESDM pada Desember 2001, kajian tersebut ternyata

dibiayai oleh AUSAID (Australia Agency for

International Development), melalui International

Trade Strategies (ITS) Pte. Ltd., Australia12. Bank Dunia

pun pernah menulis surat kepada Menteri ESDM agar

para pemain baru diberi akses menggunakan fasilitas-

fasilitas produksi dan distribusi milik Pertamina. Bank

yang didominasi Amerika Serikat tersebut mengatakan

jika tidak hal tersebut tidak dilakukan, para pemain

baru yang akan datang tidak akan kuat bersaing dengan

Pertamina yang terlanjur memiliki fasilitas yang cukup

lengkap. 13 Hal tersebut telah dilakukan

oleh pemerintahan Indonesia. Benar-benar, sistem

korporatokrasi telah tercipta sempurna.

Korporasi memanfaatkan kartu lainnya,

yakni kedutaan di negeri mereka beroperasi untuk

mempengaruhi dan menekan pejabat setempat. Dalam

sebuah acara sidang di parlemen Australian pada akhir

tahun 2002, Menteri Luar Negeri, Downer, mengaku

bahwa staf Kedutaan Besar Australia, bahkan Duta

Besarnya secara langsung, melakukan lobi intensif

atas nama BHP Biliton, Newcrest, Placer Dome, and

Rio Tinto. Para korporasi ini secara khusus meminta

dan menerima bantuan lobi dari Keduataan agar

Indonesia membiarkan korporasi tersebut beroperasi

di kawasan lindung di Indonesia. Pejabat kedutaan

sebanyak sembilan kali memaksa parlemen Indonesia,

juga Departemen Ekonomi (Budiono), Pertambangan

(Purnomo S), Kehutanan dan Lingkungan Hidup agar

mencabut larangan melakukan penambangan terbuka

di kawasan-kawasan lindung di tempat perusahaan

tersebut beroperasi.14

Kedutaan menjadi ujung tombak kepentingan

korporasi untuk menekan pemerintah juga terjadi dalam

kasus pencemaran lingkungan di Teluk Buyat. Duta

Besar Amerika Serikat mendatangai Presiden Megawati

Soekarnoputri, dan memperingkatkan (namun bisa

kita tafsirkan mengancam) bahwa kasus Buyat ”bisa

berdampak pada iklim investasi di Indonesia”.

Sering terjadi namun hanya sesekali terungkap,

korporasi memberikan uang kepada kepada penguasa

politik untuk melancarkan usaha mereka mengejar

keuntungan. Monsanto, pada tahun 2002, melalui

anak perusahaannya menyuap pejabat Departemen

Pertanian Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup

agar produk transgenik bisa masuk ke Indonesia. Hingga

kini tidak ada penuntutan hukum terhadap kasus ini di

Indonesia, dan dari media menyatakan bahwa Mosanto

setuju membayar $ AS 1,5 juta tidak dituntut secara

hukum di Indonesia.15 Pembayaran terhadap pejabat

tersebut berlangsung cukup lama, dari periode 1997-

2002 (yang sudah terbuka ke publik). Monsanto diduga

telah menyetor uang US$ 700 ribu (setara dengan Rp

6,3 miliar) kepada sedikitnya 140 pejabat Indonesia.

Transaksi suap terbesar yang pernah dilakukan Monsanto

adalah pemberian tanah dan pembangunan rumah yang

diatasnamakan istri seorang pejabat tinggi Departemen

Pertanian, senilai US$ 373.990 (Rp 3,37 miliar)16.

Bagi pemerintah Indonesia yang ada saat ini,

hal-hal tersebut bukan sebagai pelanggaran terhadap

kedaulatan negara (karena negaranya memang telah

ditempa dan teruji untuk mengakomodir kekuatan

korporasi). Kedualatan dan keutuhan negara hanya jadi

alat pemukul mana kala muncul gerakan rakyat yang

dikategorikan separatis atau menentang proyek yang

disebut vital yang sebenarnya adalah milik korporasi.

Demokrasi Semu dan Berbiaya Mahal

Dengan begitu mencengkeramnya kekuatan korporasi

terhadap negara (sehingga terjadi sistem korporatokrasi),

maka demokrasi yang ada sekarang ini sebenarnya adalah

semu. Atau sering diistilahkan hanya prosedural, tanpa

Page 41: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

41

Bahasan: Korporatokrasi

substansial, karena dalam prakteknya, paska pemilihan,

lembaga-lembaga dan pejabat negara dikontrol oleh

kepentingan korporasi. Sesuatu hal yang seharusnya

tidak perlu membuat kita terkejut, karena jauh-jauh hari

Engels17 telah menyatakan negara adalah alat dari kelas

yang berkuasa, dan yang saat ini yang berkuasa adalah

kelas kapitalis (bukan lagi kelas feodal yang sudah

almahrum, dan saat ini bukan pula petani miskin, kaum

miskin kota, dan buruh yang paling terkena dampak-

dampak negatif ekspansi korporasi).

Pengalaman pribadi saya (Pius), sedikit

mundur ke belakang dari cerita pengaruh-pengaruh

korporasi di atas. Tak lama usai Pemilu 1999

mendampingi aksi buruh dari salah satu kawasan Industri

di Jawa Barat. Aroma demokrasi (namun ilusif) masih

mengental, banyak berharap bahwa wakil rakyat yang

dipilih dalam situasi lebih demokratis akan bisa berbuat

banyak bagi rakyat. Jumlah buruh tersebut adalah 500

orang lebih, sedangkan direksi dan manajer perusahaan

tidak lebih dari 50 orang. Namun DPRD yang mereka

datangi bahkan tidak kuasa memaksa pengusaha untuk

datang ke gedung parlemen agar berunding dengan

buruh. Belum lupa lagi bau tinta pemilu, namun prinsip

penjumlahan one man/woman one vote kalah dengan

kekuatan modal (one dollar one vote, makin banyak

uang makin berkuasa).

Di Amerika Serikat, pengaruh uang korporasi

terhadap anggata parlemen selama pemilihan mereka

telah banyak diungkap ke media. Misalnya, www.

opensecrets.org mencatat uang dari 50 korporasi

sebanyak $ 813,671,471 ke anggota Konggres selama

pemilihan umum 2007-2008.18

Dana korporasi melalui dalam pemilihan

pilpres dan caleg juga terjadi di Indonesia. Hal tersebut

dinyatakan oleh Amien Rais bahwa capres tertentu

dalam Pilpres 2004 menerima dana bantuan kampanye

dari Yayasan Washington19. Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono mengancam akan menuntutnya terkait

pendanaan tersebut, namun hal tersebut tidak kunjung

dilakukan, membuat publik makin berkeyakinan bahwa

dana tersebut benar adanya.

Menyingkap aliran uang korporasi kepada

caleg, capres dan partai di Indonesia masih menjadi

tantangan yang perlu dilakukan sebagai bagian dari

kampanye menghentikan intervensi korporasi terhadap

institusi publik.

Militer dalam Sistem Korporatokrasi

Dalam buku Kisah Lanjutan Pengakuan Bandit

Ekonomi, John Perkins mengungkapkan pengakuan

seorang seorang perwira militer Indonesia bahwa sejak

lengsernya Suharto keadaan makin memburuk. ”Mereka

pikir dengan mengurangi anggaran militer, tujuan

akan tercapai [agar militer tunduk kepada sipil]. Tapi

para jenderal tahu ke mana mereka harus meminta

bantuan: perusahaan-perusahaan pertambangan dan

energi.” (Perkins:2007:60). Freeport telah mengakui

memberikan uang $AS 20 juta [Rp.184 milyar, $AS

1=Rp 9.200] kepada komandan dan satuan-satuan

yang berada di daerah pertambangan tersebut atas jasa

pengamanannya. Laporan lain mengungkapkan pribadi

Jenderal Mahidin Simbolon menerima uang sebanyak

$ AS 247,705 dari Freeport dari tahun 2001 hingga

tahun 2003. Keterpautan antara militer dari korporasi

juga terlihat di Aceh. Militer penjaga Exxon terbukti

melakukan pemerkosaan, pembunuhan dan penyiksaan

ketika mengamankan Exxon Mobile di Aceh.20 Kejadian-

kejadian ini menunjukkan institusi militer telah dibawah

kendali korporasi.

Pengaruh ini diperkuat dengan bantuan militer

AS ke militer Indonesia yang dipulihkan kembali setelah

pemerintahan Bush. Bantuan militer dari AS ini tentu

tidak terlepas dari lobi dan kepentingan korporasi21.

Bagian dari program bantuan ini adalah penyekolahan

perwira-perwira militer Indonesia ke Amerika Serikat.

Mereka orang-orang yang terbukti kemudian memegang

18 http://www.opensecrets.org/industries/mems.php

19 http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2007/5/20/n3.html

20 http://www.jatam.org/content/view/508/1/

21 Roger Moody (2005) mengatakan Freeport melobi Kongges dan Presiden AS untuk menambah

bantuan militer terhadap Indonesia.

Page 42: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

42

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

peran penting dalam militer, diantaranya Susilo Bambang

Yudhono22, Prabowo Subianto. Sekolah militer Amerika

Serikat ini ini terkenal melahirkan banyak perwira yang

melakukan pelanggaran HAM23.

Tentang pentingnya pengaruh Amerika Serikat

melalui penyekolahan perwira ke AS ini, dari pengalaman

Venezuela, yang menghentikan pelatihan militernya ke

Amerika Serikat, dimulai pada generasi Chavez dalam

derajat tertentu diakui oleh Chavez terhadap menurunnya

pengaruh Amerika terhadap militer negeri tersebut24.

Kekuasaan Kolonial Baru

Secara sederhana strategi praktek ekonomi kolonial

dijalankan dalam bentuk mobilisai sumber daya alam

melalui investasi langsung yang berorientasi ekspor.

Tesis ekonomi modern saat ini dibuat di universitas

terkemuka di dunia dalam rangka memberi landasan

bagi beroperasinya ekonomi negara-negara terbelakang

agar tetap bersedia memproduksi sumber-sumber yang

diinginkan perusahaan-persuahaan multinasional yang

berkantor pusat di negara-negara maju. Digunakannya

Product Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator

ekonomi adalah bukti nyata dari tidakan tersebut.

Mengapa Indonesia menjadi incaran? Dunia

mengibaratkan negeri ini bagaikan untaian mutiara

di katulistiwa. Seluruh wilayah daratan Indonesia

adalah tanah yang subur. Menyediakan syarat bagi

berkembangbiaknya hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Menjadikan Indonesia sebagai wilayah dengan hutan

tropis terluas ketiga di dunia. Tutupan hutannya

mencapai lebih dari 101 juta ha, dengan kekayaan flora

yang terlengkap di dunia. Selain itu, wilayah perairan

Indonesia kaya dengan beragam kehidupan biota laut.

Terumbu karangnya yang melengkapi keindahan pulau-

pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.

Bagaimana kekuasaan perusahaan asing sedemikian

besar, tentu ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja.

Dalam menganalisis soal ini memang memerlukan

penjelasan historis yang memadai. Suatu penjelasan

tentang sejarah penguasaan modal asing di Indonesia

selama lebih dari 400 tahun lamanya dan masih

berlangsung hingga saat ini.

Fakta ini bukan sesuatu yang sulit untu ditunjukkan,

kita dapat mengambil contoh bagaimana penguasaan

mineral di Indonesia sejak kontrak karya generasi

pertama, terdapat suatu upaya sistematis dari modal

asing dalam rangka menguasai sumber daya mineral

di negeri ini. Keluarnya undang-undang No. I tahun

1967, selanjutnya diikuti dengan kontrak karya Generasi

pertama yang diperoleh oleh PT. Freeport Indonesia

adalah upaya langsung dari modal asing. Bahkan

kontrak karya Freeport tersebut diberikan tanpa

menunggu rampungnya aturan-aturan pertambangan

yang seharusnya menjadi payung hukum bagi ekploitasi

tambang.

Selama kekuasaan Orde Baru, praktis perekonomian

Indonesia dikontrol secara penuh oleh modal asing.

Kebijakan semacam ini terus berlanjut sampai saat ini.

Meskipun sudah terjadi empat kali pergantian rezim

pasca tumbangnya Orde Baru, kebijakan ekonomi

Indonesia cenderung mengabdi pada kepentingan

korporasi asing.

Bahkan di dalam Undang-undang Penanaman

Modal yang baru, yaitu UU No. 25 Tahun 2007 yang

menggantikan Undang-undang yang berlaku selam

40 tahun lebih di Indonesia, sangat jelas dimaksudkan

sebagai undang-undang yang mendukung kepentingan

bisnis modal asing di Indonesia. Beberapa hal di dalam

undang-undang tersebut menjadi bukti dari diperalatnya

instrumen Negara sebagai strategi modal asing,

seperti: pemberlakukan azas perlakukan yang sama

bagi penanaman modal, hak menguasai tanah hingga

jangka waktu 95 tahun, insentif pajak yang berlebihan,

kebebasan melakukan transfer, repatriasi asset dan lain

22 Pendidikan militer SBY di Amerika Serikat: Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia,

AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih

honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), dan Command and General Staff College

di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991) http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/susilo-b-

yudhoyono/biografi/jenderal.shtml

23 Cerita tentang kekerasan para alumni sekolah militer yang banyak melatih perwira negara dunia

ketiga yang kemudian hari banyak jadi petinggi negara ini bisa dilihat di www.soaw.org

24 Memahami Revolusi Venezuela, Monthlyreview, New York, 2007

Page 43: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

43

Bahasan: Korporatokrasi

sebagainya. Kesemuanya adalah jalan termurah bagi

modal asing untuk memperluas ruang ekploitasi dan

dominasi ekonominya di Indonesia.

Tindakan-tindakan ekonomi dalam bentuk pembesaran

ekspor adalah tindakan yang sejalan dengan kepentingan

korporasi asing. Sebagaimana kita ketahui bahwa

perusahaan-persuahaan asing tersebut melakukan

investasi di Indonesia dalam rangka untuk mendapatkan

sumber daya alam bagi industri-industri di negara.

Contoh nyata adalah investasi pada PT. Newmont

Nusa Tenggara yang dibiayai Jepang. Perusahaan ini

adalah salah satu perusahaan tambang besar yang telah

terikat kontrak dengan pembeli dari Jepang untuk

jangka panjang sejak perusahaan akan mengembangkan

tambang tembaga di Batu Hijau, Sumbawa. Sebanyak

90% produk berupa konsentrat tembaga beserta emas

yang merupakan produk mineral ikutan dalam konsentrat

tersebut langsung diekspor ke Jepang 25.

Karakteristik eksploitasi oleh perusahaan asing di

Indonesia saat ini, mirip dengan model ekploitasi sistem

kolonialisme liberal yang diterapkan jaman Belanda

(1870 – 1900-an). Beberapa hal yang mencirikan

persamaan tersebut diantaranya adalah ; pertama, saat

itu pemerinta Hindia Belanda mengundang banyak

investor asing untuk menanamkan modalnya di Hindia

Belanda (Indonesia), kedua, pemerintah Hindia Belanda

hanya mengatur lalu lintas investasi dan perdagangan,

menetapkan pungutan bea masuk (invoerrechten)

dimana bea masuk tersebut dipungut semata-mata

untuk kepentingan keuangan negara (birokrasi) dan

bukan karena alasan-alasan perlindungan atau proteksi.

Ketiga, menerapkan sistem kerja bebas (upah) melalui

kerja kontrak, penanaman bebas, dan persewaan tanah26

oleh partikelir-partikelir untuk penanaman komoditi

tertentu27.

Praktek pengerukan kekayaan alam sebagaimana

yang dikatakan sebelumnya, memang ditujukan

bagi industrialisasi di negara-negara maju. Hal ini

dikarenakan perusahaan-persuahaan yang beroperasi

di sektor ini menggunakan sumber-sumber keuangan

yang berasal dari negara maju dalam bisnis mereka.

Orientasi ekspor dari seluruh sumber-sumber strategis,

minyak gas mineral merupakan sebab bagi tidak

tumbuhnya industrialisasi nasional dan industrialisnya.

Yang tumbuh sebagian besar hanyalah makelar, calo dan

birokrat antek korporasi asing.

Media, Intelektual Perguruan Tinggi dan

Program CSR

Adalah tidak mungkin suatu kekuasaan perusahaan

raksasa yang dijalankan memalui praktek kolonial bisa

bertahan sedemikan lama di sebuah negara miskin dan

tanpa penolakan, malainkan dikarenakan lengkapnya

strategi yangt dijalankan oleh para penyokongnya.

Hampir setiap hari kita menyaksikan di televisi, membaca

di koran-koran bisnis dan ekonomi tentang masalah-

masalah utama yang dihadapi ekonomi Indonesia. Secara

umum pemberitaannya adalah tentang perkembangan

nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, tentang

Indeks harga saham gabungan (ISHG) yang seolah-olah

masalah tersebut dihadapi oleh rakyat Indonesia sehari-

hari. Padahal tidak demikian keadaannya. Apa yang

dipertontonkan di media-media massa tersebut adalah

aktifitas ekonomi yang dijalankan oleg segelintir orang

saja, sekitar 300 – an emiten di bursa saham dan lebih

dari separuh adalah pemilik modal asing yang tengah

25 Investor Tambang (Baru) wajib membangun Smelter, Bronto Sutopo, Thu, 04 Jan 2007 20:20:44

–0800 : Bisnis Indonesia

26 Pada tahun 1874 diadakan peraturan mengenai pembukaan tanah oleh penduduk untuk dijadikan

milik perorangan. Selanjutnya hak milik perorangan atas tanah dilindungi oleh pemerintah. Akan

tatapi diberlakukan larangan pemindahan hak atas tanah (vervreemdingsverbod). Dalam staatblad

1875 no. 179, dalam mana pemindahan hak atas tanah oleh orang Indonesia asli kepada orang-orang

bukan Indonesia asli dinyatakan tidak sah (illegal). Dalam periode ini pemerintah kolonial melakukan

pembagian tanah secara luas terutama di Jawa dan Madura, dari tahun 1882 sampai dengan 1932

kepemilikan tanah perorangan meningkat dari 47 persen menjadi 83 persen. (Burger, 1962 hal : 218).

27 Dalam tahun 1891 penanaman perusahaan atas tanah-tanah rakyat yang disewakan meliputi tiga

perempat daripada seluruh penanaman-penanaman tebu. Juga dalam tahun berikutnya merupakan

penanaman yang terpenting. (burger, 1962, hal : 222)

Page 44: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

44

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

menjalankan aktifitas spekulasi uang panas (hot money).

Sebagian besar masyarakat di Indonesia dan bahkan

mayoritas masyarakat di dunia tidak mengetahui apapun

tentang prilaku para pelaku pasar (pemilik modal besar),

apalagi mengetahui bagaimana mereka mengambil

untung dari pasar keuangan derivatif yang menjadi

sumber dari krisis keuangan global saat ini.

Spekulasi di pasar modal dan pasar keuangan adalah

contoh paling gamblang betapa minoritas korporasi

raksasa menjadikan media sebagai sarana untuk

mefasilitasi kepentingan-kepentingan mereka. Media

massa dipaksa tunduk pada kepentingan ekspansi,

akumulasi bahkan tidakan-tindakan rekayasa sistem

finasial dalam rangka untuk mendapatkan legitimasi.

Masayarakat tidak akan pernah mengetahui tiba-tiba

tabungan meraka di Bank telah menyusut dan bahkan

bisa lenyap nilainya, baik karena nilai tukar yang berubah

maupun ambruknya saham-saham tempat mereka

menabung dan menanamkan modalnya.

Doktrin-doktrin media massa telah menyebabkan

hampir tidak ada gugatan terhadap masalah ini. Media

massa yang memang dihidupkan dan dibesarkan oleh

sistem ini telihat seperti seorang tamu yang mabuk dan

memasuki rumah-rumah penduduk. Bahkan tempat

paling rahasia dari rumah-rumah tersebut, kamar-

kamar tidur dan kamar mandi. Televisi telah menjadi

tamu yang paling dihormati di semua rumah. Sepanjang

hari mengoceh menyampaikan pesan–pesan agar

masyarakat terus bertambah boros terus mengkonsumsi

dalam rangka memperbesar akumulasi keuntungan para

pemilik modal besar. Media adalah langkah termurah

bagi korporatokrasi untuk menguasai keadaan.

Baik terhadap praktek-praktek praktek-praktek di

bursa saham dan pasar mata uang, maupuan terhadap

iklan dan dorongan berkonsumsi secara rakus, tidak

mengalami kritik dari kalangan akademisi yang mengerti

tentang kedaan ini. Para intelektual di kampus-kampus

terkemuka yang mereka sepenuhnya mengerti tentang

masalah ini, bahkan melakukan penjungkirbalikan teori.

Mereka memberikan analisis yang mendukung praktek-

praktek semacam ini. Bahkan belakangan beberapa

ekonom dan akademisi menyatakan bahwa konsumsi

yang besar adalah penentu pertumbuhan ekonomi

Indonesia. Artinya, para akademisi sama sekali tidak

memberi kritik terhadap konsumsi yang telah melewati

batas pendapatan riel yang diterima masyarakat. Para

akademiksi tidak mengatakan bahwa konsumsi yang

ditopang oleh kredit konsumsi dan utang masyarakat

kepada perbankkan adalah sesuatu yang membahayakan

bagi kehidupan ekonomi.

Hal tersebut terjadi karena akademisi adalah elemen

yang terlibat secara langsung dan mengambil keuntungan

dari kolonial ini. Kapitalisme telah memperkaya proyek-

proyek penelitian mereka dan dan tidak ada jalan

keluar lain karena dasar keilmuan yang dimiliki oleh

sebagian besar akademisi adalah menganut mainstream

pemikiran ortodoks semacam itu. Tidak hanya itu,

kalangan kampus-kampus terutama kampus terkemuka,

mengambil keuntungan dari proyek yang dikeluarkan

oleh lembaga-lembaga keuangan dunia seperti World

Bank (WB), Asian Development Bank (ADB) bagi

pengembangan dunia pendidikan, mulai dari program

pembangunan infrastruktur, hingga proyek-proyek

penelitian ilmiah dalam rangka meraup sumber daya

alam dan potensi bagi ekspansi bisnis. Keadaan tersebut

telah menyebabkan kepentingan para akademisi dan

kalangan kampus telah tegabung ke dalam kepentingan

pebisnis.

Di luar kampus berjamur lembaga-lembaga penelitian

yang memperebutkan proyek-proyek penelitian dari

lembaga keuangan dan perusahaan swasta, dan bersaing

dengan kampus-kampus yang ada. Hasil penelitain

mereka seringkali secara ekstrim mengeluarkan

dukungan kepada perusahaan dan lembaga keuangan

global dalam rangka mengatur dunia pendidikan.

Indonesia Country Assistance Strategy (CAS) adalah

sebuah proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia28. Bank

tersebut menyebutkan bahwa salah satu rekomendasi

28 Sebagai bagian dari penyusunan CAS periode 2001-2003, diklaim telah dilakukan serangkaian

konsultasi publik dilaksanakan dengan segenap organisasi dan jaringan masyarakat sipil. Proses ini,

yang melibatkan sekitar 400 organisasi masyarakat sipil (OMS), difasilitasi oleh Lembaga Penelitian,

Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jakarta.

Page 45: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

45

Bahasan: Korporatokrasi

dari Masyarakat Sipil medukung Bank Dunia agar

di bidang pendidikan Bank Dunia perlu membantu

pendanaan dalam bentuk grant bagi reformasi kebijakan

untuk mendisain kembali kolonial pendidikan nasional

secara komprehensif 29. Bagaimana mungkin institusi

pendidikan tempat mencetak kader bangsa diserahkan

untuk didesain oleh kepentingan global yang bekerja

pada korporasi. Jelas ini adalah rencana ”pemusrikan”

yang paling hebat terhadap kader-kader bangsa.

Terhadap pengeritiknya, korporasi

melakukan pemberangusan, baik melalui jalur hukum

maupun luar jalur hukum. Beberapa aktivis WALHI

telah dan sedang menghadapi pemberangusan ini,

diantaranya Rignolda Jamaludin, Yani Sagaroa, dan

Jull Takaliuang. Pemberangusan ini adalah kelanjutan

dari tindakan penyangkalan terhadap publik terhadap

keberadaan kerusakan lingkungan dan juga praktek

pabrik pemeras keringat (sweatshop) dilakukan oleh

korporasi. Penyangkalan tersebut dikombinasikan

dengan kampanye-kampanye bahwa korporasi telah

memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat

dan lingkungan. Kepedulian tersebut dikenal saat ini

dikenal dengan nama tanggung jawab sosial perusahaan

(corporate sosial responsibility--CSR), yang tidak lebih

sebagai usaha menutup borok perilaku buruk korporasi.

Josep Stiglitz, mantan ekonom Bank Dunia yang kini

menjadi pengeritik ekses globalisasi, pun menganjurkan

bahwa CSR adalah salah satu alternatif agar globalisasi

bisa tetap bekerja. Namun dia pun menyadari bahwa

bahwa bahkan perusahaan yang paling polutif dan

dengan perlakuan yang buruk terhadap buruh pun

telah menyewa jasa perusahaan kehumasan (PR) untuk

mengagung-agungkan perasaan bertanggung jawab

terhadap sosial dari perusahaan30.

Dengan mengikuti defenisi Milton Friedman

(ideolog korporasi yang sangat kanan namun tidak

menutup nutupi logika korporatokrasi) menyatakan

bahwa “Korporasi adalah milik pemilik saham.

Kepentingan korporasi adalah kepentingan pemilik

saham. Hanya ada satu “tanggung-jawab sosial

perusahaan”, para eksekutif perusahaan harus mencetak

uang sebanyak mungkin bagi pemilik sahamnya. Hanya

ada satu situasi dimana tanggung-jawab sosial korporasi

ditoleransi, yakni ketika para eksekutif perusahaan

memperhatikan nilai-nilai sosial dan lingkungan sebagai

cara untuk memaksimalkan keuntungan. Menurutnya,

CSR tak lebih dari menaruh seorang perempuan cantik

di depan sebuah mobil. Tujuannya, bukanlah untuk

menjual kencantikan, namun mobil terjual.31 Joel Bakan,

seorang ahli hukum dan penulis buku The Corporation:

Pathological Pursuit of Profit and Power menelanjangi

kelemahan CSR ini.

Dibandingkan dengan keuntungan korporasi, tidak

banyak uang yang dikeluarkan untuk aktifitas CSR

ini, berkisar antara 0,5 sampai dengan 1 persen dari

keuntungan perusahaan. PT. PGN salah satu BUMN

di Indonesia mengeluarkan hanya 0,8 persen dari

keuntungannya untuk CSR. Perusahaan Newmont Nusa

Tenggara salah satu perusahaan asing terkaya di dunia

mengeluarkan 1 persen saja dari keuntungan yang

diperolehnya untuk program CSR yang disebut sebagai

program pengembangan masyarakat. Program tersebut

hampir setiap saat dikampanyekan melalui media-

media massa. Di sektor pengelolaan migas biaya CSR

perusahaan-perusahaan minyak hulu seperti Exxon,

Chevron, dan lainnya bahkan ditanggung oleh negara

melalui cost recovery32.

Sepak terjang perusahaan tambang skala besar adalah

tempat yang tepat untuk mempelajari dampak CSR

bagi masyarakat lokal. Hampir di seluruh tempat di

mana perusahaan tambang beroperasi masyakat telah

kehilangan banyak dari sumber ekonomi mereka. Lahan-

lahan pertanian berkurang secar signifikan, laut-laut

tercemar akibat pembuangan limbah, sumber air bagi

pertanian telah berkurang akibat hutan digali untuk

tambang. Fakta–fakta yang dialami masyarakat berbeda

29 http://www-wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/

06/29/000012009_20050629124725/Rendered/ PDF/315340rev.pdf

30 Joseph Stiglitz. Making Globalization Work. Penguin Books, 2007

31 Joel Bakan. The Corporation: Pathological Pursuit of Profit and Power, Constable&Robinson, 2004

32 Cost recovery adalah biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah sebagai penggantian atas

seluruh biaya ekplorasi dan ekploitasi migas yang dilakukan oleh perusahaan di sektor hulu minyak

yang didominasi oleh perusahaan asing.

Page 46: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

46

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

jauh dengan apa yang dikeluarkan oleh para peneliti dari

kalangan kampus. Entah bagaimana metode penelitian

yang dilakukan, hampir sebagian besar hasil penelitian

yang dilakukan oleh kampus-kampus terkemuka

menggambarkan situasi yang berbeda dengan keadaan-

keadaan di lapangan.

Yang terjadi di lapangan adalah meluasnya kemiskinan

dan kelaparan, keadaan yang menyebabkan masyarakat

semakin tergantung pada belas kasihan perusahaan

tambang. Sementara pada saat yang sama pemerintahan

lokal tidak memperdulikan masalah ini. Para aktivis

lokal selalu mencurigai pemerintahan dan anggota DPRD

mengambil dana-dana CSR untuk berbagai kegiatan yang

tidak penting sebagai imbalan atas dukungan politik

yang diberikan kepada perusahaan tambang. Dugaan

kalangan LSM cukup berdasar, akan tetapi seringkali

tidak dapat dibuktikan karena tidak transparannya

pengelolaan dana CSR sendiri.

Luasnya saling mencurigai dikalangan masyarakat,

gerakan sosial dan pemerintahan lokal menjadi

keuntungan tersendiri bagi korporasi tambang.

Para pengamat yang independen mengetahui bahwa

perusahaan tambang berusaha menyogok tidak hanya

pemerintahan lokal dan anggota DPRD akan tetapi

juga aktifis-aktifis yang kritis dan bahkan lembaga

swadaya masyarakat. Dengan cara itu, korporasi dapat

menciptakan kompetisi diantara aktivis lokal dalam

rangka mencari perhatian perusahaan, dan mengalihkan

perhatian para aktivis kritis agar memusuhi agen-agen

yang justru dipelihara perusahaan tambang. Hal ini

menjadi bagian paling berbahaya dari program CSR yang

memecahkan persatuan diantara kalangan gerakan sosial

dan menjauhkan gerakan sosial dari strategi perjuangan

massa.

Makin kecil anggaran negara untuk dana peningkatan

kesejahteraan masyarakat sejalan dengan kebijakan

neoliberal yang didorong oleh pendukung sistem

korporatokrasi, makin kuatlah ketergantungan

masyarakat terhadap dana CSR korporasi. Padahal,

secara prinsip/konstitusi, negara bertanggung-jawab

untuk kesejahteraan rakyat, bukannya mengakomodir

kepentingan korporasi. Seharusnya negara menjalankan

kewajiban konstitusinya untuk kesejahteraan dengan

mengenakan pajak bagi korporasi untuk kesejahteraan

rakyat. Tentu saja, hal itu pun belumlah menjamin

kesejahteraan masyarakat dan terjaganya lingkungan,

karena korporasi akan membebankan kembali semua

biaya ke massa konsumen (sebagian besar adalah kelas

menengah ke bawah) termasuk ekternalitas negatif

(pengerusakan lingkugan) ke masyarakat, terutama

komunitas sekitar lokasi operasi korporasi. Konsekuensi

logis jalan mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah

dijalankannya unit-unit ekonomi secara kolektif oleh

rakyat. Dan karena lingkungan sekitar adalah ruang hidup

rakyat dan mereka terikat erat di dalamnya (tidak seperti

korporasi yang bisa menerapkan keruk lalu pergi), maka

tentunya rakyat berkepentingan menjaga lingkungan

sambil menjalankan aktivitas untuk kelangsungan

hidupnya…Semoga menjadi bahan pelajaran.

Page 47: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

47

Bahasan: Korporatokrasi

Judul :Catatan Hitam Lima Presiden

Indonesia - Sebuah Investigasi 1997-2007,

Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun

Indonesia

Penulis : Ishak Rafick

Penerbit : Ufuk Publishing House (Jakarta)

Cetakan : I (Januari 2008)

Tebal : 422 halaman + xx (hard cover)

Menulis buku, terutama topik yang cukup

serius, jarang sekali dilakukan oleh jurnalis di Indonesia.

Ishak Rafick, dengan pengalaman jurnalistiknya belasan

tahun selama bekerja di majalah bisnis terkemuka

SWAsembada dan GlobeAsia, telah menulis berbagai

artikel tentang ekonomi-politik, korporasi dan

manajemen. Buku yang semula hendak diberi judul

“Jalan Baru Membangun Indonesia” ini memaparkan

investigasi selama 10 tahun, dari 1997 hingga 2007,

memotret perjalanan Indonesia selama berlangsungnya

reformasi, tarik-menarik dalam strategi ekonomi sejak

pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY-JK,

dan membiarkan para aktor politik dan bisnis berbicara

sendiri menanggapi situasi.

Transisi dari sistem otoriter ke sistem

demokrasi ternyata tidak membawa manfaat yang besar

pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat.

Dalam kondisi vakum ideologi, dominasi pragmatisme,

politik uang, dan kelemahan visi para pemimpin

bangsa, Indonesia akhirnya berada di bawah pengaruh

pandangan ekonomi ortodoks dan neoliberal yang

mengecilkan peran Negara dalam menyejahterakan

rakyat. Peran lembaga-lembaga internasional seperti

IMF dan Bank Dunia begitu dominan dalam menentukan

arah dan kebijakan ekonomi Indonesia. Letter of Intent

(LoI) yang ditandatangani Suharto pada 20 Januari 1998

dalam operasionalnya menjadi semacam “GBHN super

dari bawah meja IMF”, dan mengikat presiden-presiden

penggantinya. Biasanya orang tidak mau datang ke

dokter yang sama dua kali, bila pada kali pertama si

dokter telah membeli obat yang salah. Tapi Suharto,

menjelang kejatuhannya, dengan panik kembali ke

pelukan mentornya, menerima mentah-mentah resep-

resep IMF justru setelah terbukti sebelumnya gagal.

Indonesia pun batal tinggal landas. Jika pada tahun 1967

GNP per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan

dan Cina nyaris sama yaitu kurang dari US$ 100 per

kapita, pada tahun 2004 menjadi: Taiwan US$ 14.590,

Malaysia US$ 4.520, Thailand US$ 2.490, Cina US$

1.500 dan Indonesia US$ 1.100!

Peran Mafia Ekonomi Membangkrutkan

Indonesia

John Pilger, wartawan terkemuka

berwarganegara Australia yang bermukim di Inggris,

membuat film dokumenter tentang Indonesia, The

New Rulers of the World. Ia menggambarkan, pada

November 1967, setelah Jenderal Suharto berkuasa,

diadakan konferensi istimewa di Jenewa dalam waktu

CATATAN HITAM

PRAKTIK

KORPORATOKRASI

DI INDONESIA

Oleh: Sudiarto

RESENSI BUKU

Page 48: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

48

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

tiga hari merancang “pengambilalihan Indonesia”. Para

pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa

di dunia, orang-orang seperti Rockefeller. Semua

raksasa korporasi terwakili, seperti General Motors,

British American Tobacco, American Express, Siemens,

Goodyear, dan US Steel. Di seberang meja adalah

tim Suharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-

ekonom Indonesia yang top”. Dalam konferensi, tim

yang diketuai Sultan Hamengkubuwono IX terkenal

dengan sebutan Mafia Berkeley, karena beberapa di

antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah

Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California

di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang

menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan

yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari

negara dan bangsanya, Sultan menawarkan: “…… buruh

murah yang melimpah…. cadangan besar dari sumber

daya alam ….. pasar yang besar...”

Selama 40 tahun kemudian, Mafia Berkeley

terbukti gagal membawa Indonesia menjadi negara yang

besar dan sejahtera. Strategi dan kebijakan ekonomi

yang dirancang oleh Mafia Berkeley selalu menempatkan

Indonesia di bawah subordinasi kepentingan global,

padahal tidak ada negara yang berhasil meningkatkan

kesejahteraannya dengan mengikuti model Konsensus

Washington. Kemerosotan selama tiga dasawarsa di

Amerika Latin (1970-2000) adalah contoh monumental,

dan justru negara-negara yang melakukan penyimpangan

dari model Konsensus Washington seperti Jepang,

Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan Cina yang berhasil

meningkatkan kesejahteraan dan memperbesar kekuatan

ekonominya.

Menjelang kejatuhan rejim Orde Baru,

tepatnya pada Maret 1998, utang luar negeri Indonesia

mencapai US$ 137,424 milyar, dan lebih dari separuhnya

(US$ 73,962 milyar) adalah utang swasta besar alias

konglomerat. Sebagian besar utang ini berasal dari

bank komersial yang mengenakan persyaratan berat:

berjangka pendek dan berbunga tinggi. Sedangkan utang

domestik pemerintah tercipta melalui penggelontoran

bantuan likuiditas (BLBI) hingga mencapai Rp 144

triliun ke sejumlah bank yang mengalami rush akibat

badai krisis moneter. Atas desakan IMF, pemerintah

lalu mengeluarkan obligasi sebesar Rp 430 triliun untuk

rekapitalisasi perbankan, biasa dikenal dengan obligasi

rekap, yang bersama bunganya menjadi Rp 600 triliun

lebih.

Menurut Kwik Kian Gie, mantan Menko

Perekonomian zaman Gus Dur dan ketua Bappenas

zaman Megawati, mulanya obligasi rekap hanya sebatas

instrumen saja, akan ditarik lagi kalau banknya sudah

sehat. Tapi ketika sudah sehat dan bebas dari kredit

macet, IMF mendesak agar bank-bank rekap itu mesti

dijual bersama obligasinya. Lalu demi memelihara

kepercayaan internasional, bank-bank itu jatuh ke

tangan asing atau konsorsiumnya. Maka, pemerintah

pun jatuh ke dalam jebakan utang yang kedua setelah

utang luar negeri, karena tanpa disadari pemerintah

telah mengubah utang swasta menjadi utang publik.

Beban utang ini menggelayuti pemerintahan

pasca-reformasi. Tahun 2004, Kabinet Gotong-Royong

Mega-Hamzah membayar pokok dan bunga utang

dalam dan luar negeri sebesar Rp 139,4 triliun. Kabinet

Indonesia Bersatu SBY-JK membayar Rp 126,315 triliun

pada 2005, dengan rincian cicilan utang pokok Rp

61,614 triliun dan bunga Rp 64,691 triliun. Lebih rendah

Rp 17,2 triliun dari yang dianggarkan karena mendapat

moratorium akibat bencana tsunami di Aceh dan Nias.

Dalam APBN 2006, untuk pembayaran utang dalam dan

luar negeri pemerintah telah mengalokasikan Rp 140,22

triliun, atau empat kali lebih besar daripada anggaran

pendidikan yang dijatah hanya Rp 34 triliun. Masih jauh

lebih besar daripada selisih antara harga BBM domestik

dan internasional yang dipelintir menjadi “subsidi” (Rp

95 triliun). Itupun masih didesak IMF untuk dipangkas

hingga nol dalam tenggat waktu yang telah ditentukan,

padahal BBM menyangkut hajat hidup orang banyak.

Profesor William R. Liddle menyebut

kehadiran Boediono sebagai Menko Perekonomian

dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua sebagai

reinkarnasi Mafia Berkeley yang pada masa Orde Baru

dipimpin oleh Widjojo Nitisastro. Bedanya, jika waktu

itu Widjojo cs tinggal datang untuk mempresentasikan

konsepnya kepada Suharto, audiens Boediono adalah

pasar, tepatnya pasar modal dan pasar uang. Hanya saja,

sangat mubazir kalau doktor ekonomi sekaliber Boediono

dan Menteri Keuangan Sri Mulyani ditugasi untuk

menjual surat utang negara (SUN), yang yield-nya 329

Page 49: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

49

Bahasan: Korporatokrasi

basis poin di atas treasury bill AS atau bunganya 3,29%

lebih tinggi dari obligasi internasional di AS. “Mahasiswi

semester 2 jurusan Tataboga saja bisa melakukan,

malah lebih mudah lewat MLM,” sindir Rafick sinis

(hlm. 21). Semestinya orang-orang sekaliber Boediono

dan Sri Mulyani ditugasi kerja-kerja besar semacam

penghapusan dan pemotongan utang, atau menarik

obligasi rekap dan menyatakannya tidak berlaku.

Berbeda dengan Pakistan yang berani meminta

kepada AS untuk memotong utang sampai 50% bahkan

bunganya diturunkan sampai 0% demi mendukung

invasi ke Afghanistan, atau Nigeria dengan dalih “ongkos

demokrasi” meminta pemotongan utang sampai 70%,

Boediono waktu menjabat Menkeu Kabinet Gotong-

Royong bersama Menko Perekonomian Dorodjatun

Koentjorojakti sama sekali tidak berupaya ke arah sana.

Mendengar ide penghapusan utang saja sudah waswas.

Boediono-Sri Mulyani juga bungkam soal Blok Cepu

dan rencana buyback Indosat, tapi keras menolak segala

program yang meringankan beban rakyat dan lihai

mengutak-atik angka sehingga berkurangnya anggaran

publik (subsidi BBM, listrik, kesehatan dan pendidikan)

tampak manis. Pada minggu ketiga 2006, Menkeu Sri

Mulyani terang-terangan menyatakan, “Kalau ingin

pertumbuhan 6% per tahun dengan PDB Rp 3000 triliun,

perlu dana investasi Rp 150 triliun kali empat, karena

output rasio investasi kita masih empat, artinya kredit

dan investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 600 triliun.”

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Boediono-Sri

Mulyani tak punya alternatif lain kecuali mengikuti jalan

yang telah digariskan IMF dan pendahulunya.

Jalan Baru Seperti Apa?

Subordinasi kepentingan rakyat dan

nasional kepada kepentingan korporatokrasi global

mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian

dalam perumusan perundang-undangan, strategi dan

kebijakan ekonomi, dan hanya terpaku pada model

generik Konsensus Washington. Selama tidak ada

perubahan dalam arah dan kepemimpinan ekonomi,

Indonesia tidak akan pernah mampu mengangkat

kesejahteraan mayoritas rakyat.

Meskipun tidak ditujukan sebagai cerita

pengantar tidur untuk menyenangkan semua orang,

namun narasi yang dibangun Ishak Rafick membuat

buku ini begitu nikmat untuk dibaca, ringan, mengalir

dari awal sampai akhir. Hampir tak ada yang luput dari

penelusuran jurnalistik Rafick, seperti diniatkannya

sebagai kajian yang komprehensif memotret Indonesia

selama 10 tahun terakhir. Sayangnya, Rafick tak

hendak membuat pendahuluan dan penutup, sebagai

kesimpulan, menganggapnya teknik penulisan yang

“kuno” yang cocok untuk tulisan ilmiah di kampus. Tak

dijelaskan jalan baru seperti apa yang dibutuhkan untuk

membangun Indonesia ke depan. Pembaca dibiarkan

menarik kesimpulan sendiri dari paparan dalam bab

demi bab.

Tapi, untuk memberikan gambaran apa

adanya tentang Indonesia, dan memberikan pencerahan

kepada anak bangsa, buku ini telah meraih tujuannya.

Buku ini layak dibaca untuk memahami bagaimana

struktur korporatokrasi bekerja merusak perekonomian

Indonesia, khususnya pada periode 1997-2007.

Page 50: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

50

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

“Mengapa Indonesia tetap miskin, terbelakang

dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain?”

Amein Rais, sang lokomotif reformasi, menuangkan

permenungannya dalam buku ini. Mengambil

perumpamaan nasionalisme sepakbola, jika bangsa ini

diibaratkan rumah di pinggir jalan, olahraga adalah

pagar depan yang tampak oleh setiap orang yang lewat.

Bangsa atau pemerintah kita memiliki obsesi yang aneh,

yang penting pagar rumah terlihat bersih dan mengkilap,

yang lain masa bodoh. Sehingga ketika perabotan rumah

dicuri orang di depan mata pemilik rumah, bahkan ketika

isteri dan anak-anaknya digondol keluar rumah, ia hanya

bisa menonton, sama sekali tidak merisaukan.

Nasionalisme dangkal ini yang membuat

kita hanya membisu, seperti kehilangan harga diri dan

martabat, menyaksikan penjarahan kekayaan alam oleh

korporasi asing, bahkan hingga isi perundang-undangan

pun didiktekan oleh kartel neokolonial. Revrisond Baswir

mencatat peranan Bank Dunia dalam penyusunan UU

Migas, Price Waterhouse Cooper dalam UU BUMN, dan

Asian Development Bank (ADB) dalam UU Kelistrikan.

Paling buruk adalah terbitnya UU No. 25 tahun 2007

SELAMATKAN INDONESIA DARI CENGKERAMAN

KORPORATOKRASIOleh: Sudiarto

tentang Penanaman Modal yang memperbolehkan

kepemilikan asing hingga 95% di sektor kelistrikan,

migas, jalan tol, air minum dan pertanian, sedang di

bidang pendidikan diperbolehkan mencapai 49%.

“Sejarah berulang kembali,” tulis Amien Rais

pada bab pertama bukunya. Pada masa VOC, berbeda

dengan Sultan Agung yang berjuang mengirim pasukan

ke Batavia untuk mengusir VOC, penerusnya yaitu

Sultan Amangkurat I justru memilih melepaskan tanah-

tanah di Jawa Barat sebagai imbalan atas dukungan

VOC mengalahkan pemberontakan Trunojoyo. Konsesi

tanah VOC terus meluas, hingga pada 1755 wilayah

kerajaan Mataram hanya menyisakan Yogyakarta dan

Surakarta. Mentalitas inlander inilah yang membuat

VOC dan Belanda menjajah negeri ini hingga tiga

setengah abad. Ironisnya, pemerintahan sekarang di

bawah kepemimpinan SBY-JK mengulangi langgam

yang sama, mensubordinasikan diri kepada kepentingan

korporatokrasi.

Elemen-elemen Korporatokrasi

Korporatokrasi, menurut John Perkins

(2005: xii), adalah gabungan kekuasaan korporasi,

perbankan dan pemerintahan yang mendukung nilai-

nilai dan sasaran-sasaran bersama untuk terus-menerus

mengabadikan, memperluas dan memperkuat diri.

Amien Rais menguraikan 7 unsur korporatokrasi.

Pertama, korporasi besar. Tujuan utama korporasi

besar adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya

dengan biaya serendah-rendahnya, dan dengan segala

cara, tidak peduli terhadap harga nyawa manusia dan

Judul : Agenda Mendesak Bangsa -

Selamatkan Indonesia!

Penulis : Mohammad Amien Rais

Penerbit : PPSK Pers (Yogyakarta)

Cetakan : II (April 2008)

Tebal : 298 halaman + xv

RESENSI BUKU

Page 51: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

51

Bahasan: Korporatokrasi

pelestarian lingkungan. Tak heran, korporasi besar

dianggap mengidap pathology of profit. Terkuaknya

skandal korporasi Enron (2001) dan Worldcom (2002)

di Amerika Serikat (AS) hanya yang terekspose saja,

karena hampir semua perusahaan di AS pernah dan

sedang melakukan berbagai skandal: suap, monopoli,

pemalsuan akuntansi, pencucian uang, perusakan

lingkungan, dan sebagainya.

Kedua, pemerintahan. Meskipun secara

teoretis pemerintah mendapatkan mandat kekuasaan

dari rakyat, dalam kenyataannya ia lebih banyak tunduk

dan melayani kepentingan korporasi. Cara paling mudah

bagi korporasi menaklukkan pemerintah adalah dengan

membiayai kampanye kandidat kepala pemerintahan.

David Korten, dalam bukunya When Corporations Rule

the World (Kumarian Pres, 1995), menulis bahwa di AS

demokrasi tidak saja dijual kepada korporasi-korporasi

Amerika, tetapi juga korporasi asing. Pemerintah

Meksiko mengeluarkan sedikitnya 25 juta dolar

sebagai pelicin untuk lobi politik di Washington demi

mengamankan posisi Meksiko di NAFTA. Sedangkan

uang semir Jepang ke tokoh-tokoh politik di Washington

mencapai 100 juta dolar setahun, dan 300 juta dolar

untuk tokoh-tokoh yang dapat mempengaruhi opini

publik. Jepang mendirikan 92 biro hukum, humas dan

lobi, disusul Inggris (42), Kanada (25), dan Belanda (7),

untuk melahirkan atau mengganti undang-undang yang

lebih menguntungkan korporasi.

Ketiga, perbankan dan lembaga keuangan

internasional. Di antara banyak bank korporat, dua

lembaga keuangan bentukan konferensi Bretton Woods

di akhir Perang Dunia II yaitu Bank Dunia dan IMF

adalah pilar atau pemain utama globalisasi, bahkan

arsiteknya. Keduanya berperan sebagai instrumen untuk

membela kapitalisme global, mengupayakan keuntungan

maksimal bagi korporasi besar, dan melestarikan

dominasi ekonomi AS. Pembagian kerjanya, Bank

Dunia memberikan pinjaman jangka panjang ke negara-

negara berkembang untuk mendanai proyek-proyek

pembangunan infrastruktur, sedang IMF memberikan

arahan-arahan atau tepatnya “tekanan-tekanan” apa yang

harus dikerjakan oleh negara-negara yang mendapatkan

bantuan utang. Kegiatannya sering tumpang tindih, tapi

tetap satu formula, yaitu SAP (structural adjustment

programs).

Keempat, militer. Dalam buku The Power

Elite (Oxford Press, 1956), C. Wright Mills menulis

bahwa struktur ekonomi, struktur militer, dan struktur

politik adalah saling mengunci. Eisenhower, tiga hari

sebelum lengser dari jabatan presiden AS pada 1961,

memperingatkan akan bahaya military-industrial

complex. Contoh mutakhir bagaimana kompleks

militer-industrial ini bekerja adalah betapa cepatnya

ribuan kontraktor AS menyerbu Irak begitu Baghdad,

Basra dan kota-kota lainnya luluh lantak, dengan dalih

“rekonstruksi Irak”. Di antara korporasi predator yang

ikut kenduri Irak adalah Halliburton, yang CEO-nya dulu

adalah Dick Cheney, wakil presiden Bush. Belum mulai

bekerja saja Halliburton sudah me-markup tagihan

minyak untuk kebutuhan tentara AS sebesar 60 juta

dolar. Anak perusahaan Halliburton yang sebenarnya

sudah bangkrut, KBR (Kellog, Brown, and Root),

dihidupkan kembali dan memenangkan kontrak ratusan

juta dolar.

Kelima, media massa. Pemikir konservatif

Inggris, Edmund Burke (1729-1797), memasukkan

media massa sebagai pilar keempat demokrasi, di

samping tiga pilar Trias Politika Montesquieu, yakni

lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun teori

muluk ini dibantah oleh Noam Chomsky, yang sejak 20

tahun lalu telah memperingatkan bahwa media massa

pada dasarnya menyuarakan kepentingan korporasi

besar, sehingga isi pokok media massa sejatinya adalah

“propaganda” untuk melindungi kepentingan korporasi.

Di AS, empat stasiun televisi raksasa yang berpengaruh

dalam arah pemberitaan ternyata dimiliki oleh korporasi

besar non-media, yaitu NBC (General Electric), ABC

(Walt Disney Company), NBC (Viacom Inc.), dan CNN

(AOL-Time Warner). Sedangkan pimpinan tiga koran

besar AS juga duduk dalam pimpinan berbagai korporasi

besar; mereka adalah New York Times duduk di Carlyle

Group, Ford, dan Johnson and Johnson, Wahington

Post di Lockheed Martin, Coca Cola, dan Gillette, dan

The Tribune (Chicago dan LA Times) duduk di 3M,

Caterpillar, ConocoPhilips, Kraft, McDonalds dan Pepsi.

Selain melalui kepemilikan usaha, penyeragaman suara

media massa juga terjadi melalui pemasangan iklan,

produksi berita besar-besaran oleh instansi-instansi

Page 52: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

52

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

penguasa, dan flak atau berondongan kritik dan ancaman

yang diarahkan kepada media massa oleh pusat-pusat

kekuasaan politik dan ekonomi. Fenomena embedded

journalist dalam Perang Irak menunjukkan bahwa

media massa telah berhenti perannya sebagai watch dog

(musuh pemerintah dan korporasi), ataupun guard dog

(mendukung sekaligus mengkritik), dan akhirnya hanya

menjadi lap dog, anjing jinak untuk dipangku dan dielus-

elus, tidak lagi berbahaya.

Keenam, intelektual pengabdi kekuasaan.

Dalam 20-30 tahun belakangan, universitas dijadikan

sasaran oleh kekuatan korporat untuk mencetak

sebanyak mungkin lulusan dalam berbagai disiplin ilmu

yang menghamba dan melayani kepentingan korporasi.

Campur tangan korporasi makin jauh merasuk ke tubuh

universitas setelah mengalami himpitan finansial.

Berbagai riset dilakukan untuk tujuan korporat sebagai

imbalan balik dari pihak donor. Jika komersialisasi

menjadi misi keempat universitas, setelah riset, transfer

pengetahuan, dan pengabdian masyarakat, maka kaum

intelektual hanya akan menjadi budak kekuasaan

ekonomi dan politik.

Ketujuh, elite nasional bermental inlander.

Selama kolonisasi mental tetap bercokol di benak para

pemimpin bangsa, sulit diharapkan bangsa tersebut

dapat memelihara kedaulatan dan kemandiriannya.

Musuh dari dalam ini, yaitu mentalitas terjajah, dengan

kompleks inferioritasnya dan penyakit selalu kalah,

membuahkan kebingungan, kelembaman (inertia),

dan kehilangan rasa percaya diri. Amien Rais khawatir,

berlarut-larutnya Indonesia jatuh di bawah bayang-

bayang korporatokrasi global karena sebagian pemimpin

kita masih bermental terjajah, merasa diri tidak dapat

mencapai kemajuan selain mengikuti jalan Barat. Tidak

seperti para pemimpin di negara-negara lain seperti

Mahathir Mohammad (Malaysia), Chavez (Venezuela),

Evo Morales (Bolivia), Raffale Correa (Ekuador) dan

Nestor Kirchner (Argentina) yang berani berkata

tidak kepada resep-resep ala Konsensus Washington.

Begitu pula negara-negara seperti Iran dan dua raksasa

Asia, India dan Cina. Negara-negara yang mengalami

kemajuan pesat pada 20-30 tahun belakangan adalah

negara-negara yang mempunyai pemimpin bermental

bebas, merdeka, berdaulat dan mandiri serta percaya

diri. Sebaliknya dengan negara-negara Afrika yang terus

menjadi pelayan kapitalisme global. Menurut laporan

George Ayyittey, intelektual berkebangsaan Ghana, di

depan Komisi Luar Negeri Senat AS, Afrika telah menjadi

vampire states, negara-negara penghisap kesejahteraan

rakyat, di mana Negara terdiri dari gerombolan gangster

dan pencoleng yang memperkaya diri dan kroni-kroninya

dengan mengucilkan kelompok lain, bahkan adakalanya

presidennya sendiri adalah kepala bandit.

Tawaran Agenda Penyelamatan Bangsa

Untuk menaklukkan Indonesia, kekuatan

korporatokrasi internasional tak perlu mengirim pasukan

seperti di Irak dan Afghanistan, ataupun mengirim para

jackals (meminjam istilah John Perkins), karena negeri

ini telah dijajah, atau dalam istilah Amien Rais “state

capture corruption” (korupsi yang menyandera Negara).

Korupsi ini lebih jahat daripada korupsi biasa, karena

dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa dengan

tunduk dan setia pada kepentingan korporasi asing.

Semua pemerintahan, dari zaman Orde Baru hingga

reformasi, mengikuti agenda Konsensus Washington,

dengan meliberalisasi sektor keuangan di mana asing

bisa memiliki 99% saham bank di Indonesia (era

Habibie), privatisasi BUMN dan pengampunan terhadap

para obligor bermasalah (era Megawati), dan liberalisasi

investasi (era SBY-JK).

Amien Rais menawarkan sejumlah saran

demi penyelamatan bangsa, yaitu mempersiapkan

kepemimpinan alternatif yang diisi oleh tokoh-tokoh

muda dan mempunyai semangat kemandirian nasional.

Berbagai Kontrak Karya pertambangan dan KPS

(Kontrak Production Sharing) di sektor migas harus

dinegosiasi ulang dengan memprioritaskan kepentingan

bangsa. Bahkan demi kepentingan pelestarian

lingkungan, kegiatan korporasi asing bisa dihentikan

secara sepihak. Indonesia juga harus membentuk sendiri

badan arbitrase untuk menyelesaikan konflik dengan

korporasi asing. Semua HPH harus ditinjau ulang,

dan para pemegang HPH yang menghancurkan hutan

harus diberi sanksi tegas. Kepemimpinan baru ini juga

diharapkan menghilangkan penyakit kecanduan utang

(debt-addict) dan melakukan renegosiasi pembayaran

utang luar negeri.

Page 53: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air

53

Bahasan: Korporatokrasi

Dengan menuliskan gagasannya dalam bentuk

buku, Amien Rais tak sekadar melontarkan kritik-kritik

pedas yang seringkali hanya berhenti pada moderasi

belaka, seperti dilakukannya selama ini. Ia menerima

Habibie sebagai penerus Suharto. Ia menolak desakan-

desakan untuk menjatuhkan Megawati, dan sekarang

SBY-JK, di tengah jalan. “Tentukan melalui pemilu

saja,” kata Amien Rais di sela-sela peluncuran bukunya

di Gelora Bung Karno. Sebaliknya, terhadap Gus Dur,

dijatuhkannya melalui Sidang Istimewa ketika Amien

Rais menjabat Ketua MPR. Dalam buku ini, sub-bab

tentang zaman Gus Dur seperti sengaja dilewatkan.

Padahal menarik untuk membahas bagaimana Gus

Dur menghadapi tekanan korporatokrasi, misalnya

penolakan Gus Dur melikuidasi perusahaan Texmaco

yang membawa bendera Indonesia, sehingga IMF tak

pernah mencairkan pinjaman selama Gus Dur berkuasa.

Amien Rais juga tidak mengupas gerakan-gerakan anti-

globalisasi yang fenomenal sejak Seattle (1999) maupun

ajang World Social Forum (WSF), dan hanya menampilkan

para elite, sejalan dengan manuver-manuver elitisnya

selama berkiprah di dunia politik. Tetapi secara umum,

gambaran lengkap dalam buku ini tentang sepak terjang

tiga pilar globalisasi (IMF, Bank Dunia dan WTO),

hegemoni Pax Americana, dan korporatokrasi, dapat

mengisi kekosongan pemikiran mainstream tentang

ancaman globalisasi dan korporatokrasi, sehingga

diharapkan bisa memberi energi baru kepada kalangan

aktivis dan intelektual.(*)

Sahabat WALHI, Sahabat LingkunganGerakan Bersamauntuk Menyelamatkan Lingkungan Hidup Indonesia

Mendapatkan Info Lingkungan Hidup melalui Jurnal Tanah Air

Partisipasi langsung dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh WALHI

Kebersamaan adalah kekuatan,Dalam upaya WALHI

menjadi organisasi publik, kami mengajak siapa

saja yang peduli terhadap lingkungan hidup dan

mau membantu upaya penyelamatan lingkungan

hidup di Indonesia secara sukarela dan mandiri

untuk bergabung dalam Sahabat WALHI dengan menjadi

relawan,Dengan menjadi Sahabat WALHI anda akan

bergabung bersama sahabat-sahabat lain yang telah terlibat

aktif mendukung gerakan lingkungan hidup di Indonesia.

1. Bayar biaya keanggotaan Rp.120.000.-/tahun(atau cuma Rp.10.000,-/bulan)

2. Sumbangan secara rutin kepada WALHI, dengan jumlah sumbangan minimal Rp.120.000,-/tahun

3. Jadi Relawan Aktif selama 3 bulan

Cara PembayaranTransfer keYayasan WALHINo.Rek.070 - 0003016420Bank Mandiri cabang Mampang PrapatanJl.Mampang Prapatan Raya No.61 Jakarta Selatan

atau Antar Langsung ke:Kantor Eksekutif Nasional WALHIJL.Tegal Parang Utara No.14,Mampang,Jakarta Selatan 12790Telp :(021) 7919 3363Fax :(021) 7919 1673

Ada tiga Cara bergabung menjadi Sahabat WALHI yaitu dengan mengisi formulir anggota Sahabat WALHI dan :

Page 54: Layout jurnal tanah air walhi januari2009

54

Jurnal tanah air | edisi Januari 2009

Bahasan: Korporatokrasi

Arianto Sangajilahir di Mareku, Tidore, 9 April 1962. Menjabat sebagai Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Memperoleh MA di School of Social Science, University of Birmingham, Inggris. Buku karya-karya antara lain: The Security Forces and Regional Violence in Poso, dalam Schulte Nordholt, Henk and Gerry van Klinken, eds, Renegotiating Boundaries: local Politics in Post-Suharto Indonesia, KITLV, Leiden, 2007; The masyarakat adat movement in Indonesia: a critical insider’s view, dalam Jamie S. Davidson and David Henley, eds, The Revival of Tradition in Indonesian Politics, Routledge, London and New York, 2007; Politik Konservasi : Orang Katu di Behoa Kakau, KPSHK, Bogor, 2002; Buruk Inco, Rakyat Digusur : Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 2002; PLTA Lore Lindu ; Orang Lindu Menolak Pindah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. Dia dapat dihubungi melalui [email protected]

Dani SetiawanLahir di Bogor pada tanggal 05 Agustus 1982. Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pemikiran Politik Islam. Mantan Sekretaris Jenderal Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) dan saat ini menjabat sebagai Ketua Koalisi Anti Utang (KAU). Aktif menulis di berbagai media massa serta jurnal nasional. Editor buku “Menjala Ikan Terakhir” dan “Lapindo: Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi” (Walhi, 2007). Menulis buku “Monitoring Proyek Utang Luar Negeri” (KAU, segera terbit). Dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Danial IndrakusumaPernah belajar di Universitas Kristen Indonesia (Ekonomi), Universitas Indonesia (Sejarah), University of Tulsa, Tulsa, Oklahoma, AS; Documentary Script Development, Jakarta Internasional Film Festival. Kini aktif sebagai dalam organisasi Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM). Dia dapat dihubungi melalui [email protected]

Khalisah KhalidSaat ini adalah Anggota Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Dia dapat dihubungi melalui: [email protected]

Longgena GintingSebelumnya adalah Direktuf Eksekutif Nasional WALHI. Kini sebagai Kordinator Kampanye IFIs (International Financial Institutions) Friend of The Earth International. Dia dapat dihubungi melalui: [email protected]

Pius GintingSaat ini adalah Officer Publikasi WALHI Eksekutif Nasional. Sebelumnya adalah pekerja sosial di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS) dan redaksi Tabloid Pembebasan. Dia dapat dihubungi melalui: [email protected].

Salamuddin Daeng, Sebelumnya adalah peneliti di WALHI NTB dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Sekarang peneliti di Institute Global Justice. Merupakan saksi ahli dari Koalisi Masyarakat Sipil Menolak UU PMA, yang mengajukan gugatan judicial review terhadap UU Penanaman Modal di Mahkamah Konstitusi.Dia dapat dihubungi melalui [email protected]

Khalisah KhalidSaat ini adalah Anggota Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Aktif menulis di media massa seperti Koran Tempo, Kompas, Buletin Elektronik Praxis, dan Media Indonesia

SudiartoLahir di pesisir utara Kabupaten Tegal pada 29 Juni 1978, pernah belajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), dan semasa kuliah aktif dalam pengorganisasian kekuatan rakyat khususnya petani Badega (Garut), dan mendukung aksi-aksi buruh di Bandung Raya. Sebelumnya bekerja di PT Penta Software Indonesia (Pentasoft), kini menjadi staf informasi dan dokumentasi di Institute for Global Justice (IGJ). Dia dapat dihubungi melalui [email protected]

Penulis: