Upload
walhi
View
247
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Â
Citation preview
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
1
Bahasan: Korporatokrasi
Wahana Lingkungan Hidup Indone-sia (WALHI- Friends of the Earth Indo-nesia) berdiri sejak 15 Oktober 1980.
Adalah forum organisasi lingkun-gan hidup terbesar di Indone-sia yang membangun gerakan lingkungan menuju lingkungan hidup yang adil, sehat dan lestari.
Hadir di 25 propinsi dengan 435 anggota organisasi dan 122 ang-gota individu. WALHI menggalang sumber daya dari publik (donatur dan relawan Sahabat WALHI) dan tidak menerima pendanaan dariperusahaan maupun partai politik.
Dengan Rp. 1000,- per hari Anda telah menjadi Sahabat WALHI dan mendukung upaya penyelama-tan lingkungan hidup Indonesia.
Untuk menjadi Sahabat WALHI, Hub: 021-79193363-68 atau [email protected]
Korporatokrasi,Menyempurnakan
Negara Sebagai Pengabdi Perusahaan
Defenisi, Teori, Filsafat tentang Korporatokrasi(Hubungan antara Negara dan Modal)Danial Indrakusuma..........................................2
Historis Korporatokrasi (Cengkeraman Modal terhadap Negara) di IndonesiaArianto Sangaji.................................................11
Ekonomi Partikelir di Era NeokolonialismeDani Setiawan dan Longgena Ginting............19
Orkestrasi Gerakan Hijau dan Pesta KorporatokrasiKhalisah Khalid................................................28
Korporatokrasi dan Cara Bekerjanya di IndonesiaSalamuddin Daeng dan Pius Ginting..............35
Catatan Hitam Praktik Korporatokrasi Di IndonesiaSudiarto............................................................47
Selamatkan Indonesia Dari Cengkeraman KorporatokrasiSudiarto............................................................50
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
DAFTAR ISI
Alamat Redaksi:Jl.Tegal Parang Utara No.14Mampang Prapatan,Jakarta 12790Telp:(021)79193363/68 Fax:(021)7941673Email:[email protected]:www.walhi.or.id
REDAKSI
Penanggung Jawab :Berry Nahdian Forqan
Redaktur Pelaksana:Pius Ginting
Dewan Redaksi:Erwin UsmanTeguh SuryaMariamah AchmadPius Ginting
Distribusi:TriyantoSuhardi
tanah airJurnal
Jurnal Ilmiah Gerakan Lingkungan Hidup
www.walhi.or.id | www.eng.walhi.or.id
2
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Awalnya, semangat kontrak bersama rakyat Indonesia untuk mendirikan Republik Indonesia adalah merdeka dan terbebas dari penjajahan, yakni merdeka dari sistem ekonomi kapitalisme (dengan aktor utamanya: korporasi). Maka tertuanglah dalam pasal 33 UUD 1945 bahwa semua kekayaan alam Indonesia digunakan untuk kepentingan rakyat (setelah sebelumnya dikelola oleh perusahaan perkebunan swasta, tambang swasta, dll); demikian juga semangat yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa… bukan untuk kepentingan korporasi, atau kepentingan investasi (modal).
Namun semenjak tahun 1965 telah terjadi perubahan haluan yang tajam. Dari awalnya ada upaya mengusahakan sistem ekonomi yang mandiri, menjadi membukakan diri kepada kepentingan korporasi. Orde Baru bisa saja berlagak memperjuangkan kepentingan nasional. Dalam prakteknya, dia makin menggiring Indonesia ke dalam cengkeraman sistem korporatrokasi. Setelah kejatuhan harga minyak internasional tahun 1980-an, dan terakhir karena krisis Asia tahun 1997, jejaring sistem korporatorkasi semakin merasuk ke hampir semua pori-pori bangsa Indonesia.
Sejarah telah memberikan contoh atas bertumbangannya sistem-sistem yang sudah dinilai tidak rasional lagi pada perkembangan selanjutnya, seperti kehancuran sistem kekaisaran yang besar yang pernah dunia kenal, sistem kerajaan, kehancuran dominasi gereja di Eropa. Tampaknya, sistem korporatokrasi pun bukan yang pertama bisa selamat dari kehancuran ini. Sistem tersebut telah gagal menjawab kebutuhan manusia, malahan telah memperburuk banyak persoalan: kemiskinan, kelaparan, penurunan tingkat kesehatan, dan penghancuran lingkungan hidup.
Sistem korporatokrasi menempatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam sebagai barang komoditi untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan instrumen pasar dan kekuasaan (politik) sekaligus sehingga mengabaikan prinsip keadilan dan keberlanjutan kehidupan rakyat. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya manusia dan sumber-sumber kehidupan rakyat (aset alam) yang kemudian berdampak kepada terjadinya kemiskinan struktural dan bencana ekologi. Dalam sistem korporatokrasi ini tidak ada jaminan bagi rakyat atas keamanan dan kesejahteraan hidupnya, atas keberlanjutan produktivitasnya dan atas keberlanjutan jasa pelayanan alam.
Kesadaran publik akan bahaya sistem korporatokrasi berkembang terus. Jika gerakan mahasiswa tahun 1998 lebih terfokus kepada menentang kediktatoran, maka seiring dengan laju kebijakan neoliberal beserta berbagai produk perundang-undangan yang dibuat institusi negara yang terang-terangan memfasilitasi kepentingan korporasi, maka kini tudingan publik pun makin mengarah kepada pokok dan sumber permasalahan: sistem korporatoraksi.
Sebagai contoh, dalam isu perubahan iklim, gerakan sosial kian menyadari bahwa dalang penghambat bagi agenda-agenda mengurangi dampak polusi gas rumah kaca adalah korporasi; dan kepentingan korporasi tersebut memiliki lobi yang kuat terhadap negeri-negeri industri, dan juga para intelektual.
Dalam situasi di mana lebih setengah penduduk dunia hidup di bawah kemiskinan dan bumi berada dalam spiral kerusakan ekologis, maka sewajarnya lah mayoritas umat manusia memikirkan dan mengusahan sistem yang lain, yang lebih manusiawi, yang bisa merestorasi kerusakan lingkungan, sistem sosial dan ketidakadilan yang telah terjadi.
Untuk menundukkan sistem korporatokrasi tersebut tentunya dengan memperluas ruang kontrol publik terhadapnya. Dan itu tidak hanya pekerjaan aktivis, profesor dari belakang meja komputer, tapi menuntut upaya kerjasama dan solidaritas dari komunitas-komunitas rakyat yang selama ini digusur demi investasi, diberangus demi investasi; dan komponen lainnya yang menginginkan keadaan yang lebih manusiawi dan lestari.
Semoga Jurnal Tanah Air edisi kali ini bisa membawa pencerahan dan berkontribusi untuk mewujudkannya.
Salam
Berry Nahdian Forqan
Kata Pengantar
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
3
Bahasan: Korporatokrasi
Landasan-Pijak Teoritik Korporatokrasi
Bila saja Marx masih hidup, ia mungkin akan
tercengang menyaksikan kreativitas borjuis dalam
mendayagunakan negara demi kepentingannya1; Hamza
Alavi tentu akan maklum atas semakin sempitnya ruang
otonomi relatif negara di tengah semakin rentannya
sistim kapitalisme (negeri-negeri maju) terhadap krisis
(yang dampak gelombangnya semakin mendunia)2; dan
bila saja Richard Robison mempertimbangkan dari mana
sumber dana dan kebijakan negara (Orde Baru), maka
tentu ia tak akan berposisi: negara (Orde Baru) mampu
“menciptakan” kelas (di Indonesia)?3
Kadang korporatokrasi (corporatocracy)
sering dikaitkan dengan gerakan anti-globalisasi,
mungkin karena terkesiap atas gejala bagaimana
pemerintahan (terutama) negeri-negeri berkembang
tunduk pada kepentigan-kepentingan perusahaan-
perusahaan besar/transnasional. Misalnya saja, John
Omaha, Phd, menyimpulkan bahwa perang Irak
dicetuskan oleh perusahaan-perusahaan yang telah
berhasil menguasai negara (dan segala kelembagaannya)
republik demokratik Amerika—yang sekarang telah
menjadi korporatokrasi.4
Perusahaan-perusahaan dianggap memiliki
Korporatokrasi,Menyempurnakan Negara Sebagai
Pengabdi Perusahaan*
Di semua tempat, apakah itu dalam kebudayaan popular, hingga sistim propaganda, terdapat tekanan terus
menerus agar orang merasa bahwa dirinya tak bisa ditolong lagi, bahwa peran mereka hanyalah menyetujui
segala keputusan dan melahapnya—Chomsky.
Hambatan sesungguhnya bagi produksi kapitalis adalah kapital itu sendiri—Marx.
kekayaan yang begitu besar sehingga bisa menyuap,
menyusup dan menguasai pemerintahan di berbagai
negeri. Bahkan, ia sanggup mengemudikan eksekutif,
media-media terkemuka, legislatif, dan lembaga-
lembaga hukum, menyatukannya ke dalam suatu unit
yang berentang-dunia yang dinamakan korporatokrasi.
Fokus dari tujuannya hanya satu, tak terbagi5:
perusahaan—keuntungan harus maksimal; sumber
daya alam, segala kelembagaan, warga negara, harus
digunakan (atau disingkirkan bila tak diperlukan lagi)
demi memaksimalkan keuntungan; perusahaan harus
memiliki pasar-pasar baru untuk dikuasai; dan, bila
perlu, perusahaan-perusahaan yang memproduksi
peralatan militer harus memiliki pasar serta
menyesuaikannya dengan penaklukkan negeri-negeri
yang akan mengakumulasi keuntungan perusahaan6.
Bahkan, sejak akhir Perang Dunia II,
perusahaan-perusahaan besar telah muncul sebagai
penguasa dominan planet ini. Bank Dunia (World
Bank/WB), Dana Moneter Internasional (International
Monetary Fund/IMF) dan Organisasi Perdagangan
Dunia (World Trade Organization/WTO) pun tak lepas
dari cengkeraman korporatokrasi.7 [Aku lebih percaya
bahwa lembaga-lembaga tersebut merupakan kreasi
dari perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam
korporatokrasi rahasia, bukan sekadar kesepakatan
Danial Indrakusuma
1 Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, Neuron, [email protected]; Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte , dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works, dalam 1 Jilid, London, 1970.2 Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and Bangladesh, dalam Imperialism and Revolution in South Asia, ed. Kathleen Gough dan Hari P. Sharma, Monthly Review Press, New York and London, 1973.
3 Richard Robison, Indonesia: The rise of capital, Allen & Unwin, Sydney 1986.
4 John Omaha, Ph.D., Corporatocracy and the Iraqi War, http://www.sourcewatch.org/index.php?title= Corporatocracy.
5 Walaupun, dalam situasi tertentu, perusahaan bisa saja (atau harus) sedikit mengucurkan keuntungannya kepada pihak-pihak lain, namun tujuan dari pembagian tersebut tetap saja demi melancarkan maksimalisasi keuntungan perusahaan.
6 Boeing, Lockheed Martin, Ford, merupakan beberapa perusahaan yang mendapat keuntungan besar dari perang di Vietnam, Grenada, Panama, Afghanistan, Colombia, Kuwait, Yugoslavia, Albania, Irak. Penjualan persenjataan Amerika Serikat (AS) jumlahnya sama dengan penjualan persenjataan (gabungan) berbagai negeri di dunia.
7 Lembaga-lembaga tersebut turut memberikan sumbangan yang menyebabkan 200 perusahaan besar dunia bisa menguasai 28,3% output dunia; dan 50 bank komersil serta perusahaan-perusahaan finansial (derivatif) berhasil mengangkangi 60% dari 20 trilyun dollar saham (modal produktif) dunia.
* Naskah diterima oleh Redaksi pada 30 September 2008
4
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
multilateral negeri-negeri kapitalis maju. Lebih jauh lagi,
Hannah Holleman dan R. Jonna mengatakan:
Dalam kenyataannya, pertentangan—yang
tidak sekadar tercermin dalam berbagai wujud
kekuasaan—justru merupakan sumber kekuasaan
dalam hubungan-hubungan sosial sistim kapitalis. Dan
pertentangan tersebut tidaklah dimulai dengan kelahiran
lembaga-lembaga tersebut the (IMF, World Bank, WTO,
GATT, dan lain sebagainya.)—dan tidak juga akan
berakhir di lembaga-lembaga tersebut…]8
Dikatakan bahwa korporatokrasi juga
memasukkan cara-cara kriminal dalam strategi-
taktiknya—membuat laporan-laporan keuangan palsu,
merekayasa pemilu, menyogok, mengancam, seks,
membunuh, kudeta—sebagaimana yang diungkapkan
oleh John Perkins, Sang Penjagal (bidang) Ekonomi
(Economic Hit Man).9 Contoh lainnya: Manajer-manajer
perusahaan Rockefeller melakukan perdagangan BBM,
melalui negeri netral Swiss, dengan musuh Sekutu:
Jerman. Kantor Chase Bank di teritori yang diduduki Nazi,
Paris, melakukan bisnis jutaan dollar dengan musuh dan
sepengetahuan kantor pusatnya di Manhattan (keluarga
Rockefeller adalah salah satu pemiliknya); truk-truk
Jerman yang digunakan untuk menduduki Prancis
dibuat oleh Ford dengan persetujuan dari Dearborn,
Michigan; Kolonel Sosthenes Behn, kepala perusahaan
(konglomerat) ITT, terbang dari New York ke Madrid, lalu
ke Berne, selama perang berlangsung untuk membantu
mengembangkan sistim komunikasi Hitler dan bom-
bom robot yang meluluhlantakkan London. Bahkan ITT
mengembangkan FockeWulfs, yang menjatuhkan bom-
bom ke tentara Inggris dan Amerika.10
Pengertian korporatokrasi di atas tidak bisa
disamakan dengan korporatisme—yang mengacu pada
sistim ekonomi dan politik yang dikendalikan oleh
suatu badan (yang tidak dipilih secara demokratik
dan memiliki hirarki internalnya sendiri) berisikan
perwakilan-perwakilan dari kelompok-kelompok
ekonomi, industrial, agraria, sosial, kebudayaan dan/
atau professional.11
Istilah korporatisme popular pada masa
kekuasaan Getulio Vargas di Brazil selama tahun 1920-
an dan 1930-an, saat dia memerlukan lembaga yang
dapat memoderatkan pasar bebas—yang ia maknai
sebagai kapitalisme modern—dengan kesejahteraan
sosial. Ilmuwan politik biasa juga menggunakan istilah
korporatisme untuk memaknai negara yang, dengan
kekuasaannya, mewajibkan dan membuat aturan
yang menyatukan pimpinan-pimpinan agama, sosial,
ekonomi, atau organisasi-organisasi popular, agar dapat
dikooptasi dan diredam potensinya untuk melawan
kekuasaan serta mencari legitimasinya dari kekuasaan.
Pada tahun 1891, korporatisme juga pernah digunakan
oleh Paus Leo XIII (encyclical Rerum Novarum)
sebagai wadah kolaborasi/tawar menawar antara kelas
buruh dengan kelas kapitalis karena Katolik khawatir
akan pengaruh ideologi sosialis terhadap serikat buruh
Katolik. Dan korporatisme juga dipraktekkan oleh fasis
Italia (tokohnya adalah Alfredo Rocco dan Mussolini)
serta rejim diktator Orde Baru (Indonesia) (tokohnya
adalah Suhardiman, Ali Murtopo). Namun, pada masa-
masa selanjutnya, korporatisme sering digunakan untuk
meloloskan kepentingan perusahaan (dengan legitimasi
negara) di atas kepentingan publik. Ada juga istilah
neokorporatisme, misalnya dalam wujud kongkrit:
International Labour organization (ILO); Komite Ekonomi
dan Sosial Uni Eropa; pengaturan kesepakatan bersama
di antara negeri-negeri Skandinavia; Kemitraan Sosial di
Irlandia; Dewan Pengupahan Nasional di Singapura; dan
banyak lagi. Walupun korporatokrasi berbeda makna
dengan korporatisme, namun korporatokrasi sering
menggunakan unsur-unsur dalam korporatisme sebagai
variabel penting dalam strategi-taktik mereka, apalagi
unsur-unsur dalam dalam korporatisme (atau, misalnya,
sisa-sisanya yang masih banyak berkiprah dalam serikat-
serikat buruh di Indonesia pasca kejatuhan Suharto)
berkarakter lemah.
Kita harus melihat korporatokrasi dari
pendekatan ekonomi-politik yang historis, agar jangan
sampai terjerembab pada analisa on the spot seolah-olah
korporatokrasi lahir dari ruang hampa sosial—misalnya
melihat korporatokrasi dari sisi sosiologis (kapitalis
memerlukan wadah yang lebih struktural dan permanen
untuk lobbying); dari sisi ilmu politik [korporatokrasi
merupakan wadah, yang bisa saja di luar struktur
negara, yang dapat menjamin kediktatoran kelas
kapitalis; dan dibedakan dengan korporatisme (yang
8 Hannah Holleman dan R. Jonna, The War for Control of the Periphery, Monthly Review, February, 2008.
9 Lihat John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 2004.
10 Lihat Charles Higham, Trading With The Enemy: The Nazi-American Money Plot 1933-1949, iUniverse, Inc., Lincoln, NE, 2007.
11 Lihat From Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Corporatism.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
5
Bahasan: Korporatokrasi
merupakan ruang di dalam struktur negara) yang masih
memberikan kesempatan tarik menarik kepentingan];
atau, walaupun pendekatannya historis, korporatokrasi
hanya dilihat sebagai rangkaian (kronologis) fragmen-
fragmen bagaimana negara dan kapitalis bekerjasama
mengorbankan kepentingan kelas pekerja atau warga
negara.
Tidak, secara historis negara dan kapitalisme
bukanlah dua entitas yang terpisah, negara (kapitalis)
adalah anak kandung kedikatatoran (ekonomi)
kapitalisme. Seperti kata Marx:
“Borjuis senantiasa makin bersemangat menghapuskan keadaan penduduk yang terpencar-pencar dari alat-alat produksinya, dan dari hak pemilikannya. Ia telah menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi, dan telah mengkonsentrasikan hak pemilikan ke dalam beberapa tangan. Akibat yang seharusnya dari hal tersebut adalah pemusatan politik. Provinsi-provinsi yang merdeka atau yang tak begitu erat kepentingannya, undang-undang, pemerintah dan sistim pajak yang berlainan, menjadi terpadu sebagai suatu bangsa, dengan satu pemerintah, satu undang-undang, satu kepentingan kelas, satu bangsa, satu perbatasan dan satu
tarif pabean.”12
Atau seperti kata Engels:
“Negara, dengan demikian, adalah sama sekali bukan merupakan kekuatan yang dipaksakan dari luar kepada masyarakat, sebagai suatu yang sesempit ‘realitas ide moral’, ‘bayangan dan realitas akal’, sebagaimana yang ditegaskan oleh Hegel. Justru, negara adalah produk
masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; …”13
Atau, lebih kongkret lagi, Marx menjelaskan bagaimana
borjuis menyempurnakan negara agar sesuai dengan
kepentingannya:
“Tetapi revolusi adalah radikal. Ia masih dalam perjalanannya, melewati tempat pensucian arwah. Ia melaksanakan usahanya berdasarkan suatu metoda. Sampai tanggal 2 Desember, 1851 (hari berlangsungnya kudeta Louis Bonaparte), ia telah menyelesaikan separuh dari pekerjaan persiapannya, sekarang ia sedang menyelesaikan separuh yang lainnya. Pertama-tama, ia menyempurnakan kekuasaan parlementer, agar menggulingkan kekuasaan lama. Sekarang, setelah itu tercapai, ia akan menyempurnakan kekuasaan eksekutif, …”14
“Kekuasaan eksekutif tersebut, dengan organisasi birokrasi serta militernya yang sangat hebat, dengan mesin negaranya yang serba rumit dan cerdik, yang meliputi lapisan-lapisan luas, dengan barisan pegawainya yang berjumlah setengah juta, di samping tentaranya yang juga sebesar setengah juta, badan yang bersifat parasit mengerikan ini, yang menjerat tubuh masyarakat Prancis seperti jala dan menyumbat segala pori-pori di kulitnya, terjadi pada masa monarki absolut saat keruntuhan sistem feodal, dan jasad parasit itu telah membantu mempercepat keruntuhannya. Revolusi Prancis, pertama-tama ia telah mengembangkan sentralisasi, ‘tetapi pada saat yang bersamaan’ ia memperluas sifat dan jumlah agen-agen kekuasaan pemerintahan. Napoleon menyempurnakan mesin negara ini. Monarki Legitimis dan Monarki Juli tidak memberikan manfaat apapun, kecuali pembagian kerja yang lebih besar. Akhirnya, dalam perjuangan menentang revolusi, republik parlementer menemukan dirinya sebagai suatu hal keterpaksaan, bersama dengan tindakan-tindakan penindasan, memperkuat sarana-sarana dan sentralisasi kekuasaan pemerintah. Semua penggulingan kekuasaan menyempurnakan mesin ini,
bukan menghancurkannya…”15
Dengan penjelasan di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1. pembentukan negara bukanlah sekadar hasil
dari hasrat moral dan sebagai entitas di luar
masyarakat (dipaksakan kepada masyarakat);
2. dalam perkembangan tertentu suatu
masyarakat16, muncul kelas borjuis yang
membutuhkan—lebih tegas lagi: menciptakan—
negara (borjuis) karena negara lama tak lagi
bersesesuaian dengan kepentingannya;
3. pada akhir analisa, bukan negara (borjuis) yang
menciptakan kelas (borjuis), tapi sebaliknya;
4. karenanya, landasan kepentingan borjuislah
(konsentrasi/sentralisasi tenaga produktif,
akumulasi kapital, perluasan pasar, bahkan
politik) yang mendorong (keniscayaan)
pembentukan, penaklukan, penyesuaian dan
penyempurnaan negara (borjuis).
Dengan demikian, telaah terhadap korporatokrasi
haruslah dilandasi oleh penelitian tentang:
1. sejarah perkembangan kapitalisme (maju),
dan sejauh manakah (instrumen kelas borjuis)
12 Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, hal. 49, Neuron, [email protected].
13 Friedrich Engels, Asal Usul Keluarga, Milik Perseorangan dan Negara, dalam Lenin, Negara dan Revolusi, http://marxists.org/indonesia/-archive/lenin/1917/negara/state2.htm
14 Karl Marx, Brumaire ke-18 Louis Bonaparte, dalam Lenin, Negara dan revolusi, http://marxists.org/-indonesia/-archive/lenin/1917/negara/state2.htm.
15 Ibid.
16 Sering juga dikatakan: dalam fase tertentu perkembangan tenaga produktifnya.
6
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
negara telah lebih sempurna melayaninya;
2. dan, saat kapitalisme (maju) tersebut
merentangkan cengkeramannya secara
global—sebagai suatu keniscayaan (kebutuhan
untuk mengkonsentrasi/sentralisasikan
tenaga produktif; mengakumulasi kapital
dan meluaskan pasar)—maka sampai sejauh
manakah negara (nasional) yang akan menjadi
koloninya perlu disempurnakan agar sesuai
dengan kebutuhannya;
3. kontradiksi negara (apa?) terhadap borjuis tentu
saja mengisyaratkan, menceminkan, bahwa
negara sedang dalam proses penggulingan oleh
unsur-unsur revolusioner; atau hanya sedang
digerogoti unsur-unsur sosial-demokrat, yang
bisa saja menghasilkan reaksi balik sogokan
otonomi relatif negara (dalam berhadapan
dengan borjuis)—agar sistim kapitalisme secara
keseluruhan tidak runtuh.17;
4. atas dasar kesejarahannya, tentu saja, negara
negeri-negeri berkembang (yang kaya tenaga
produktif sumberdaya alam18) akan paling tidak
sempurna, tidak bersesuaian dengan negara
negeri-negeri kapitalis maju;
5. Kasus bailout di negeri-negeri koloni/
berkembang (misalnya, BLBI di Indonesia), atau
negeri kapitalis maju (misalnya, permohonan
talangan 700 milyar dollar oleh Bush kepada
Kongres), substasinya sama: pada krisis
kapitalisme yang sudah mendunia, maka jalan
keluar daruratnya adalah (apa yang aku sebut)
penyangga rapuh finansial—merampas kembali
uang (sosial) kelas pekerja yang sudah diserahkan
borjuis pada negara (perampokan fiskal).
Paling tidak, kelima faktor tersebut di ataslah yang akan
menjadi pertimbangan kadar kekejaman korporatokrasi.
Sekarang, marilah kita lihat apa makna sejarah
perkembangan kapitalismenya:
Ruang hidup korporatokrasi: konsentrasi/
sentralisasi tenaga produktif; akumulasi modal;
perluasan pasar; dan krisis kapitalisme (global)
Bahwa perkembangan kapitalisme tidak dapat
dilepaskan dari pengamatan terhadap dinamika hukum-
hukumnya—apakah sebagaimana yang telah dirumuskan
oleh Marx dan Engels; atau yang kemudian tak sempat
diamatinya—karena, di dalam perkembangannya,
kapitalisme dibebani oleh hukum (besi) yang melekat
di dalamnya (inheren). Dalam Kesipulan Garis Besar
Sketsa Evolusi sejarah, Engels mengatakan:
C. “Di satu pihak, penyempurnaan mesin-mesin, yang dirangsang oleh persaingan—yang merupakan kewajiban bagi setiap individu pemilik pabrik—diembel-embeli oleh semakin meningkatnya pemutusan hubunga kerja. Bala tentara pengangguran, atau pasukan cadangan industri. Di lain pihak, perluasan produksi tanpa batas—yang di bawah tekanan persaingan, juga merupakan kewajiban bagi setiap pemilik pabrik. Gabungan keduanya menghasilkan perkembangan tenaga-tenaga produktif yang sebelumnya tak pernah ada, kelebihan penawaran dibanding permintaan, kelebihan produksi (overproduction), banjir barang-barang dagangan di pasar-pasar…
D. Kelas kapitalis itu sendiri dipaksa secara sepihak untuk mengakui watak sosial tenaga-tenaga produktif. Lembaga-lembaga besar harus mengambilalihnya—guna kepentingan produksi dan komunikasi—pertama-tama oleh perusahaan saham-gabungan, kemudian oleh gabungan perusahaan dan, pada akhirnya, oleh negara. …”19
Menurut Doug Lorimer:
“Untuk mengendalikan akumulasi kapital, menurut Marx, caranya harus mempertentangkan kapitalis dengan buruh, dan mempertentangkan buruh dengan buruh. Dan, selain itu, juga harus mempertentangkan kapitalis dengan kapitalis. Setiap kapitalis “harus tunduk pada hukum mati produksi kapitalis, hukum eksternal dan memaksa”. Karena semua daya upayanya ditujukan untuk mengakmulasi kapital, atau sekadar berfungsi dalam proses akumulasi kapital, maka mau tak mau harus berseteru dengan kapitalis lainnya.
Proses akumulasi kapital dan persaingan antar-kapitalis semakin lama akan semakin mengkonsentrasikan dan mensentralisasikan kapital ke tangan segelintir kapitalis saja, layaknya ikan besar melahap ikan kecil. …”20
Perkembangan spekulasi saham dan finansial tak dapat
sepenuhnya diamati oleh Marx, padahal ekonom-
ekonom kiri sering melihatnya sebagai salah satu faktor
yang memperdalam krisis. Misalnya saja, Engels, dalam
catatan tambahan bagi Capital, Jilid III, mengatakan:
“…bursa saham masih merupakan elemen sekunder
17 Sebagaimana pembacaanku atas Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte, dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works, dalam 1 Jilid, London, 1970; dan Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and Bangladesh, dalam Imperialism and Revolution in South Asia, ed. Kathleen Gough dan Hari P. Sharma, Monthly Review Press, New York and London, 1973. 18 Dalam perkembangan selanjutnya, proporsi kebutuhan akan tenaga produktif pekerja semakin menurun.19 Dikutip dan diterjemahkan dari Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific, dalam Karl Marx dan Friedrich Engels, Selected Works (dalam 3 Jilid), Jilid 3, hal. 150-151, Progress Publisher, Moscow, 1970-1977.20 Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, hal. 107, Neuron, [email protected].
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
7
Bahasan: Korporatokrasi
dalam sistim kapitalis, namun setelah masa itu mulai nampak perubahannya. Sekarang ini, bursa saham memegang peranan yang sangat penting dan terus menerus berkembang sehingga, kemudian, cenderung mengkonsentrasikan seluruh cabang produksi—apakah itu industri atau pun pertanian, bersama dengan seluruh perdagangannya; apakah itu alat-lat komunikasi maupun pertukaran fungsinya—ke tangan para spekulator bursa saham, sehingga bursa saham menjadi perwakilan produksi kapitalis yang sedemikian penting.”21
Sedangkan menurut Allen Myers:
Namun alasan utama mengapa begitu banyak uang yang digunakan dalam spekulasi semacam itu adalah karena krisis kelebihan produksi/kelebihan kapasitas. Terlalu banyak kapital yang tidak bisa diinvestasikan kembali.22
Dan menurut Castro:
Sekarang ini, dalam skala dunia, jumlah transaksi harian penjualan mata uang asing (yang langsung bisa disediakan) diperkirakan mencapai US $ 1, 5 trilyun. Jumlah tersebut tak termasuk dengan apa yang disebut sebagai operasi-operasi keuangan tambahan, yang jumlahnya kurang lebih sama. Camkanlah perbandingannya dengan jumlah total ekspor dunia dalam satu tahun, yang berjumlah sekitar US $ 6.5 trilyun, sehingga kita bisa membayangkan: betapa luar biasa besarnya jumlah transaksi moneter yang tak berkaitan dengan perdagangan nyata.23
Total saham aset-aset keuangan seperti saham
perusahaan dan macam-macamnya, obligasi (hutang)
negara, dan lain sebagainya, naik dari 5 trilyun dollar,
pada tahun 1980, menjadi 35 trilyun dollar, pada tahun
1992, dan diharapkan akan naik lagi menjadi 80 trilyun
dollar, dan itu artinya tiga kali lipat nilai total barang dan
jasa yang diproduksi oleh ekonomi kapitalis maju. Begitu
banyaknya uang yang dispekulasikan menjadi uang,
tanpa menjadi produksi riil, tanpa menjadi perdagangan
nyata, sehingga bila tak diatasi akan memperbesar
dan mempercepat pecahnya gelembung finansial yang
mematikan produktivitas dan kemampaun daya beli
masyarakat. Bahkan seorang Keynes pun percaya bahwa
kebangkitan kapital finansial, sebagaimana yang terjadi
pada tahun 1920-an, akan mengakhiri rasionalitas
kapitalis, mengubah perusahan produktif, menjadi
(dalam bahasanya) suatu “gelembung di atas pusaran-
air spekulasi”24.
Semua hukum-hukum tersebut, pada akhirnya (dalam
siklus krisis), akan menghasilkan ekses lanjutan:
Secara tipikal, bisa disimpulkan, bahwa suatu perputaran krisis muncul akibat adanya kesenjangan antara nilai dengan harga: selama periode boom, karena harga-harga dan keuntungan meningkat, bahkan kapitalis yang paling tak efisien pun bisa menghasilkan laba. Dan karena setiap orang berupaya merebut peluang, maka terjadi kelangkaan, yang akan menyebabkan naiknya harga-harga dan keuntungan yang lebih besar lagi. Tingkat harga rata-rata meningkat lebih tinggi dan lebih tinggi lagi di atas tingkat nilai rata-rata. Akibatnya, modal yang kurang efisien akan tersingkir bersama tenaga kerja sosial yang tak bisa digunakan lagi (pemborosan).
Demikian pula, kesenjangan antara nilai dengan harga menjadi terlalu besar, sehingga tiba-tiba menyebabkan sebagian besar kapitalis tak mungkin lagi bisa mendanai biaya produksi25 dan menghasilkan keuntungan normalnya. Depresi/resesi klasik diatasi dengan meredam kontradiksi yang paling penting, yakni mengupayakan keseimbangan (kembali) antara nilai dengan harga—terutama melalui pernyataan pailit atau pengambilalihan perusahaan-perusahaan yang kurang efisien—atau, dengan kata lain: penghancuran kapital.26
Redaksi Monthly Review percaya bahwa kapitalisme
memiliki wajah yang baru: pertumbuhan yang melambat,
kapital berekses, dan menggunungnya hutang. Sektor
finansial ekonomi kapitalis tidak lagi sekadar diarahkan
demi kebutuhan produksi, meningkatkan kesempatan
kerja, dan investasi. Dimulai sejak tahun 1980-an,
sektor finansial semakin menjadi bentuk otonom mata
pencaharian (mencari uang), khususnya di pasar-pasar
derivatif. Kecepatan pertumbuhan dan ambruknya
nilai-nilai finansial menambah resiko bahkan pada
kesejahteraan individual. Dan karena sektor finansial
secara keseluruhan merupakan bagian yang sangat
penting, maka resikonya pun akan membebani ekonomi
secara keseluruhan—apalagi bank bisa meminjamkan
hingga 95% dana bagi aktivitas pembelian derivatif.
Dalam kapitalisme monopoli, ekses kapasitas tidak
21 Friedrich Engels, catatan untuk Karl Marx, Capital, Jilid 3, http://marxists.org/archive/marx/works/-1894-c3/pref.htm.
22 Allen Myeers, “Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional”, Jurnal Kiri, Volume.3, ,hal. 114, Neuron, [email protected].
23 Fidel Castro Ruz, Arsitektur Keuangan Internasional, Apendiks pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.
24 Lihat John Bellamy Foster, The End of Rational Capitalism, Monthly Review, March 2005.
25 Padahal, bersamaan dengan ketidakberdayaan kapitalis mendanai biaya produksnya lagi, sebagian keuntungan yang lalu sekarang (oleh kapitalis) lebih nyaman dispekulasikan/diperjudikan di bursa-bursa saham, pasar-pasar valas dan lain-lain derivaitif keuangan lainnya—penulis.
26 Opcit, hal. 105.
8
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
bisa dipandang sekadar sebagai gejala temporer yang
berkaitan dengan siklus penurunan bisnis. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Josef Steindl dalam tulisannya
Maturity and Stagnation in American Capitalism (New
York: Monthly Review Press, 1976, hal. 10-12), “kelesuan”
atau “ketidakseimbangan” ekses kapasitas bisa saja
“dalam makna praktis…permanen”, selalu mengekor
pada kecenderungan fundamental ekonomi yang sedang
menuju stagnasi.27
Bahkan Bank Dunia, saat menilai Asia Timur, pun
berkata:
…tak diragukan lagi bahwa hidup puluhan juta manusia akan semakin terpuruk dalam beberapa tahun ke depan. Krisis yang demikian parah sekarang ini merupakan peringatan bahwa penderitaan atas hilangnya potensi manusia tetap akan terasa selama bertahun-tahun sekalipun krisis tersebut sudah berlalu. Anak-anak yang terpaksa harus putus sekolah telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Di Indonesia, sebagai contoh, pejabat pemerintahnya melaporkan bahwa jumlah yang mendaftar sekolah menurun secara drastis, dari 78% menjadi 54%. Tekanan ekonomi telah memaksa banyak keluarga tercerai berai, memaksa gadis-gadis belia menjadi pelacur, dan menyebabkan para manula miskin terancam hidupnya.28
Nampaknya krisis dunia memang akan merupakan siklus
krisis jangka panjang. Krisis Asia menandai permulaan
sebuah siklus krisis kelebihan produksi (cyclical
overproduction) dalam perekonomian dunia, seperti
yang terjadi pada tahun 1974-1975, pada tahun 1980-
1983, pada tahun 1990-1993, pada tahun 1997-2000-an
dan, sekarang, tanda-tandanya sudah mulai kelihatan
(dengan adanya krisis finansial ekonomi Amerika). Dalam
laporan World Economic outlook, IMF memperkirakan
bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil
dunia pada tahun 1998 hanya akan meningkat 2% saja.
Laporan tersebut juga memberikan catatan: “Pada tahun
1999, peluang-peluang beberapa perbaikan signifikan
juga telah menurun, dan resiko kemerosotan yang lebih
dalam, lebih luas dan lebih panjang telah meningkat.”29
Krisis tersebut tidak saja sudah dan akan melanda Asia
(termasuk Jepang dan Korea Selatan), tapi juga sudah
dan akan melanda Amerika dan Eropa, yang ditandai
dengan stagnasi relatif dalam pertumbuhan.30
Kadar krisis tersebutlah yang akan menarik-ulur taring
korporatokrasi. Dan, seperti biasanya, melalui IMF,
akan diyakinkan bahwa obat bagi krisis tersebut adalah
kebijakan-kebijakan mutakhir kapitalisme yang sesuai
dengan hukum besinya—konsentrasi/sentralisasi
tenaga produktif; akumulasi kapital; dan perluasan
pasar—yakni: seraya menyodorkan paket penyelamatan
(bailout) milyaran dollar, IMF menuntut perubahan
kebijakan, berupa bahwa pemerintah akan menjamin
hutang luar negeri sektor swasta; penurunan tingkat
permintaan domestik melalui kebijakan suku bunga
tinggi dan surplus anggaran pemerintah (termasuk
potongan segala macam subsidi); serta “reformasi”
struktural untuk menghilangkan hambatan-hambatan
yang menghalangi pasar “bebas” (termasuk privatisasi).
Kebangkrutan kapital Dunia Ketiga dapat membantu
menaikan rata-rata keseluruhan tingkat keuntungan dan,
di akhir perang dingin, imperialisme tak lagi merasakan
adanya kebutuhan untuk memajang etalase “macan”
ekonomi sebagai kontra terhadap contoh-contoh ekonomi
“komunis’ dari Cina dan Uni Soyet. Sebagi altenatifnya,
hanya diberi sogokan (wortel) pembangunan terbatas;
sedangkan untuk mempertahankan ketertiban kapitalis
di negeri-negeri semi-kolonial, mereka lebih banyak
tergantung pada kekerasan (tongkat)—seperti di Irak.
Namun demikian, bagi imperialisme, peningkatan
penghisapan Dunia Ketiga tak cukup untuk mengatasi
krisis. Sekarang ini, juga merupakan suatu periode
persaingan sengit antar-imperialis, yang bentuknya
berbeda-beda.
Suatu respon terhadap krisis kelebihan produksi
adalah meningkatkan monopolisasi (baca: konsentrasi/
sentralisasi tenaga produktif): melalui penghancuran
atau menyerap para pesaing Dunia Ketiga, juga melalui
pengambilalihan atau merjer. Respon terhadap dua
bentuk kapital—kapital produktif dan kapital finansial—
adalah berkembangnya maniak merjer, yang skalanya
dijadikan jaminan apakah mampu atau tidak keluar dari
krisis.
Neoliberalisme, globalisasi krisis
27 Lihat The New Face of Capitalism: Slow Growth, Excess Capital, and a Mountain of Debt, Editors, Monthly Review, April, 2002.
28 The World Bank, East Asia: The Road to Recovery, Washington, DC, 1998, hal, IX.
29 International Monetary Fund, World Economic Outlook: October 1998, Washington DC, 1998, hal.1, dalam Allen Myeers, “Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional”, Jurnal Kiri, Volume.3, hal. 114, Neuron, [email protected].
30 Untuk melihat angka-angkanya, lihat Robert Brenner, From Neoliberalism to Depression?, Against the Current, November/Desember 1998, hal.22.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
9
Bahasan: Korporatokrasi
Bahkan termasuk spekulator besar seperti George Soros
pun merasa khawatir bahwa “globalisasi” dan kebijakan
“pasar bebas” neoliberal yang sudah diberlakukan
akan mengenyampingkan partisipasi rakyat pekerja,
dan menggantikannya dengan hukum kapital yang
akan membangkitkan “keresahan sosial yang massal”.;
demikian pula majalah Inggris, Economist, yang jelas-
jelas merupakan juru bicara paling gigih kapitalis
laissez-faire (siapa kuat, dia menang) sejak majalah itu
diterbitkan pada awal abad ke-19, bekomentar:
“…Dalam bidang ekonomi, dunia sudah ditata menjadi suatu kesatuan aktivitas. Dalam bidang politik, masih saja…terpecah-pecah. Tekanan antara kedua kecenderungan antitesis yang saling berlawanan tersebut telah menghasilkan runtunan pukulan, kejutan dan menghancurkan kehidupan sosial manusia.”31
Economist sebenarnya merujuk pada krisis ekonomi yang
lebih besar dari Great Depression, yang diglobalisasikan
ke seluruh negeri-negeri kapitalis, pun bukan sederet
krisis keuangan dan kejatuhan ekonomi seperti di Jepang
(1989), di Mexico (1994), di Korea Selatan, di Thailand
dan di Indonesia (1997), serta di Rusia (1998). Sebut saja
salah satu contoh menyedihkan: kenaikan suku bunga
di Amerika mendorong kenaikan suku bunga di seluruh
dunia, merusak nilai kredit-bermanfaat negeri-negeri
yang berhutang banyak. Negeri-negeri yang bermodal
minim mencoba untuk mengekspor guna mencari jalan
keluar dari krisis keuangannya, namun proteksionisme
meningkat, beban hutang menjadi semakin berat,
kegagalan demi kegagalan memaksa sistim keuangan
internasional semakin menegang. Pemotongan upah dan
rencana-rencana penghematan lainnya, yang nampaknya
dianggap sebagai solusi yang paling “realistik” bagi
setiap orang, justru semakin membuat kacau persoalan.
Ekonomi pinggiran, yang cadangan keuangannya tak
memadai, menunda pembayaran-pembayarannya
karena kondisi kapital yang kabur (capital flight)
semakin buruk.
Dan menurut Castro:
Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan sebagai lampiran doktrin, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pada tahap/masa neoliberal tidaklah
lebih tinggi ketimbang yang dicapai oleh kebijakan pembangunan (negara) sebelumnya. Setelah PD II, Amerika Latin tak memiliki hutang sama sekali tapi, sekarang, berhutang sebesar 1 trilyun dollar. Itu merupakan hutang per kapita tertinggi di dunia. Kesenjangan pendapatan antara si kaya dengan si miskin juga terbesar di dunia. Saat ini, Amerika Latin, mengalami saat yang paling berat sepanjang sejarahnya karena semakin banyak orang miskin, pengangguran, dan yang kelaparan.
Sebenar-benarnya, di bawah kebijakan neoliberalisme, ekonomi dunia ternyata tidak mengalami pertumbuhan yang pesat; tapi, malahan lebih sering tidak stabil, lebih banyak spekulasi, peningkatan hutang luar negeri dan pertukaran/perdagangan yang tak setara. Demikian juga, terdapat kecenderungan lebih besar dan semakin seringnya krisis keuangan, sementara kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan antara negeri-negeri Utara (yang makmur) dengan negei-negeri Selatan (yang dimiskinkan) malah makin melebar.
Dalam dua tahun terakhir ini, krisis, instabilitas, kekacauan dan ketidakpastian merupakan kalimat yang biasa digunakan untuk menjelaskan tatanan ekonomi dunia.
Deregulasi—yang melekat dalam neoliberalisme—dan liberalisasi nilai kapital telah memberikan dampak negatif sangat mendalam terhadap ekonomi dunia karena mengakibatkan ledakan spekulasi mata uang dan pasar-pasar yang terkena dampaknya, yang transaksi hariannya (sebagian besar spekulatif) bernilai tak kurang dari 3 trilyun dollar.32
Setelah semua penjelasan di atas, atau setelah perluaan
kapitalis (berserta krisisnya) berentang-dunia maka,
pada tahap inilah, keniscayaan korporatokrasi mulai
nampak:
Globalisasi neoliberal tak lain dan tak bukan adalah
globalisasi (perluasan ke seluruh penjuru dunia)
kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial neoliberal.
Namun kebijakan-kebijakan tersebut tak ada urusannya
dengan, atau bertujuan untuk, memperlemah kekuasaan
penekan negara-bangsa terhadap rakyat pekerja,
atau bertujuan memperlemah kekuasaan penekan
negara-bangsa imperialis, khususnya negara-bangsa
Amerika Serikat, terhadap penjuru duna lainnya. Malah
sebaliknya, mereka bertujuan menjamin bahwa pasar
penjuru dunia lainnya dibuka bagi barang-barang dan
investasi mereka.
31 Lihat Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, hal. 115-116, Neuron, [email protected].
32Fidel Castro Ruz, Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga, pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.33 Kontradiksi kapitalisme, bagaimanapun juga, tidak bisa dihilangkan dalam kerangka-kerja kapitalisme, tak peduli seperti apapun demokrasi politik yang dijejalkannya. Kontradiksi tersebut hanya bisa diakhiri bila perbudakan tenaga kerja manusia oleh hukum-hukum pasar diakhiri dan digantikan oleh sosialisasi tenaga produktif (termasuk tenaga kerja manusia), yang diabdikan pada pengawasan demokratik agar tenaga produktif (termasuk tenaga kerja) tersebut dapat diorgansir secara kolektif atau, dengan kata lain, digantikan oleh: sosialisme.
10
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Tak cocok dengan doktrin “pasar bebas” liberal, pembuat
kebijakan imperialis yang ada di Washington begitu
mengerti bahwa kekuatan kekerasan yang terorganisir,
sebagai esensi kekuasaan negara, merupakan alat yang
sangat dibutuhkan (krusial) dalam kebijakan ekonomi,
dan merupakan instrumen yang menentukan dalam
memutusakan siapa yang akan jadi pemenang dan
siapa yang akan menjadi pecundang dalam kompetisi
global mengakumulasi kapital di antara geng pengeruk
keuntungan yang saling berseteru. (Siapapun yang ragu
akan hal tersebut, harus mengujinya dengan pengalaman
ekonomi Irak sejak Perang Teluk.)
Berbeda dengan pendapat kaum terpelajar borjuis,
intelektual-intelektual mantan-radikal dan liberal-kiri,
yang berpendapat bahwa globalisasi neoliberal telah
memperlemah kekuasaan negara-bangsa, ternyata kapital
Amerika Serikat terus menerus memperkuat kekuasaan
penekan negara-bangsanya dengan meningkatkan
pembelanjaan untuk mesin-mesin militernya melebihi
seluruh pembelanjaan militer enam negeri kuat yang ada
sekarang ini.
Dan organisasi-organsisai penguasa imperialis, yang
harus memaksakan kebijakan-kebijakannya kepada
negeri-negeri kapitalis berkembang, seperti WB, IMF
dan lainnya, sebenarnya bukanlah lembaga-lembaga
yang anggotanya terdiri berbagai nasionalitas (supra-
national). Lembaga-lembaga tersebut, sebenarnya,
merupakan cerminan kekuasaan negara-bangsa
imperialis (terutama) yang paling kuat, Amerika Serikat,
dalam ekonomi global dan, langsung atau tak langsung,
merupakan cerminan perusahaan-perusahaan besar
transnasional, cerminan korporatokrasi (rahasia atau
terbuka)—bisa saja disebut neo-korporatokrasi.
Kesimpulan
1. Bahwa korporatokrasi, pada tahap tertentu
kapitalisme, merupakan salah satu (dari banyak)
pranata (institution) keniscayaan dalam upaya
borjuis menggunakan negara sebagai instrumen
bagi kepentingan-kepentingannya karena, seperti
kata Marx dan Engels, walaupun negara (borjuis)
itu merupakan hasil bentukkan borjuis (kadang
dengan memanipulasi rakyat/kelas pekerja
pengikutnya), namun negara (borjuis) tak akan
serta merta melengkapi mesin-mesinnya sesuai
dengan keinginan hukum-hukum kapitalisme;
kadang, terutama dalam sistim kapitalisme yang
sudah lebih maju, negara merupakan cerminan
persaingan borjuis, yang di dalamnya mereka saling
berebut pengaruh (penaklukan) karena, biasanya
(secara tradisi), borjuis lama (Rockefellers, Ford,
Mellons, Morgans, DuPonts, Whitneys, Warbugs,
Vanderbilts) sudah terlalu lama mendekam
menguasai negara, menindas kesempatan borjuis
baru dalam menggunakan negara sebagai instrumen
kepentingan-kepentingannya; atau negara (borjuis)
sedang dalam “ancaman” digulingkan oleh kaum
revolusioner, atau sedang sekadar digerogoti oleh
kaum sosial demokrat;
2. Selama mesin-mesin negara (beserta ideologinya)
belum lengkap, belum sempurna bersesuaian
dengan, mengakomodir, kepentingan-kepentingan
borjuis (termasuk membantu mengatasi krisis-
krisisnya), maka korporatokrasi dibutuhkan
oleh borjuis dan, oleh karena itu, karakternya:
transisional. Masalahnya: korporatokrasi tak
akan bisa menyelesaikan krisis kapitalisme;
korporatokrasi bukan pranata (institution) untuk
menyelesaikan krisis tapi, (terutama) pada saat
krisis, ia sekadar pranata (institution) untuk
menyelamatkan individu dan/atau klik borjuis
dengan cara (seperti telah dijelaskan di atas):
perampokan fiskal dan penindasan (bila ada
perlawanan).
Rekomendasi:
Hanya ada dua jalan pilihan: pertama, selagi kita masih
hidup, agar keseluruhan sistim kapitalisme tidak ambruk,
turut membantu memperpanjang hidup kapitalisme
dengan mendukung perampokan fiscal (bailout)
seraya menuntut ceceran jaring pengaman sosial. Dan
hasilnya bisa dinikmati selagi kita masih hidup; atau
kedua, selagi kita masih hidup, menggulingkan sistim
kapitalisme dengan mempercepat persatuan di kalangan
kiri dan/dengan kalangan progresif guna mempercepat
pembentukan/perluasan kekuatan alternatif rakyat
mandiri, alternatif dan mandiri terhadap kekuatan-
kekuatan politik lama dan reformis gadungan. Dan
hasilnya belum tentu bisa dinikmati selagi kita masih
hidup33; tak ada pilihan lain.
Daftar Acuan
Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte ,
dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works,
dalam 1 Jilid, London ,1970.
----------Theories of Surplus Value, bagian 1, Progress
Publishers, Moscow, 1963.
Friedrich Engels, Asal Usul Keluarga, Milik
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
11
Bahasan: Korporatokrasi
Perseorangan dan Negara, dalam Lenin, Negara dan
Revolusi, http://marxists.org/indonesia/-archive/
lenin/1917/negara/state2.htm.
----------Socialism: Utopian and Scientific, dalam Karl
Marx dan Friedrich Engels, Selected Works (dalam 3
Jilid), Jilid 3, Progress Publisher, Moscow, 1970-1977.
----------Catatan untuk Karl Marx, dalam Capital, Jilid 3,
http://marxists.org/archive/-marx/works/-1894-c3/pref.htm.
Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”,
Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, Neuron, revolt83@
hotmail.com.
Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and
Bangladesh, dalam Imperialism and Revolution in South Asia,
ed. Kathleen Gough dan Hari P. Sharma, Monthly Review Press,
New York and London, 1973.
Richard Robison, Indonesia: The rise of capital, Allen & Unwin,
Sydney, 1986.
John Omaha, Ph.D., Corporatocracy and the Iraqi War, http://
www.sourcewatch.org/-index.php?title=Corporatocracy.
Hannah Holleman dan R. Jonna, The War for Control of the
Periphery, Monthly Review, February, 2008.
John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Berrett-
Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 2004.
Charles Higham, Trading With The Enemy: The Nazi-American
Money Plot 1933-1949, iUniverse, Inc., Lincoln, NE, 2007.
Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/
Corporatism.
Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan
Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli
2000, Neuron, [email protected].
Allen Myeers, “Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional”,
Jurnal Kiri, Volume.3, Neuron, [email protected].
John Bellamy Foster, The End of Rational Capitalism, Monthly
Review, March, 2005.
----------Monopoly Capital and the New Globalization, Monthly
Review, January, 2002.
----------The Financialization of Capitalism, Monthly Review,
April, 2007.
----------The Financialization of Capital and the Crisis, Monthly
Review,
April, 2008.
Editor Monthly Review, The New Face of Capitalism: Slow
Growth, Excess Capital, and a Mountain of Debt, Monthly
Review, April, 2002.
The World Bank, East Asia: The Road to Recovery,
Washington, DC, 1998, hal. IX.
International Monetary Fund, World Economic Outlook:
October 1998, Washington DC, 1998, hal.1.
Robert Brenner, From Neoliberalism to Depression?, Against the
Current, November/Desember 1998.
Michal Kalecki, Essays in the Theory of Economic Fluctuations,
Allen and Unwin, London, 1939.
Michael Klare, The New Geopolitics, Monthly Review, July–
August, 2003.
John Hobson, Imperialism: A Study, Ann Arbor: University of
Michigan Press, 1965.
Noam Chomsk, The Cold War and the Superpowers, Monthly
Review, November, 198.
Neil Smith, American Empire: Roosevelt’s Geographer and the
Prelude to Globalizaton, University of California Press, Berkeley,
2003.
James Burnham, The Struggle for the World, John Day, New
York, 1947.
The New Geopolitics, Economist, July 31, 1999.
G. John Ikenberry, America’s Imperial Ambition, Foreign Affairs,
Vol. 81, No. 5, September–October 2002.
William K. Tabb, Labor and the Imperialism of Finance, Monthly
Review, October, 1999.
Minqi Li, After Neoliberalism: Empire, Social Democracy, or
Socialism?, Monthly Review, January, 2004.
United Nations, Human Development Report, Oxford University
Press, 2000 dan 2002.
James Petras and Henry Veltmeyer, Globalization Unmasked,
Zed Books, London and New York, 2001.
Oskar Lange and Fred M. Taylor, On the Economic Theory of
Socialism, McGraw-Hill, New York, 1964.
Fidel Castro Ruz, Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga,
pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan
Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi
Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan
yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.
----------Arsitektur Keuangan Internasional, Apendiks pidato
Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri
Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat
Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang
tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.
12
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Menteorikan korporatokrasi
Dalam bukunya yang laris manis ‘Confessions
of an Economic Hit Man’, John Perkins (2004)
menyebut korporatokrasi. Sebutan ini merujuk kepada
sebuah kekaisaran global (global empire) yang memiliki
tiga pilar, korporasi, perbankan, dan pemerintah.
Katanya, korporatokrasi bukan sebuah konspirasi, tetapi
pilar-pilarnya menjunjung nilai dan tujuan bersama.
Salah satu fungsi utama dari korporatokrasi adalah
melanggengkan, memperluas dan memperkuat sistem
secara terus-menerus. Nilai dan tujuan bersama, serta
system yang dimaksud tak lain adalah sistem kapitalis.
Buku itu sendiri lebih bertutur tentang an
Economic Hit Man (EHMs). Kalau menerjemahkannya
secara bebas berarti para pembunuh professional
ekonomi. Dalam logat (slang) bahasa Inggris, hit man
berarti seseorang yang disewa oleh sebuah sindikat
kriminal sebagai pembunuh profesional. Dengan EHMs
Perkins (2004:ix) maksudkan adalah para professional
bergaji sangat tinggi, yang menipu seluruh negeri
dengan trilyunan dollar. Mereka menyalurkan uang
dari World Bank, USAID, dan organisasi keuangan
internasional yang lain ke dalam brankas korporasi-
korporasi raksasa dan saku segelintir keluarga-keluarga
kaya yang mengontrol sumber daya alam di planet ini.
Senjata mereka adalah laporan-laporan keuangan yang
penuh tipu muslihat, pemilihan umum yang curang,
hadiah (payoffs), pemerasan, seks, dan pembunuhan.
Sebenarnya, inti gagasan Perkins bukan hal
baru dalam percakapan ilmu-ilmu sosial. Empat tahun
sebelum buku Perkins terbit, Michael Hard dan Antonio
Negri (2000) telah menjelaskan satu regim global baru
yang sedang tumbuh, yang oleh keduanya memberi
sebutan ‘Empire’. Mengombinasikan antara pendekatan
post-modernisme dan ekonomi politik, keduanya
Historis Korporatokrasi (Cengkeraman Modal terhadap
Negara) di Indonesia *Oleh Arianto Sangaji
memakai istilah ini untuk menjelaskan sebuah bentuk
kedaulatan global yang baru (the new global form of
sovereignty) yang ditandai dengan merosotnya dominasi
kekuatan Negara-bangsa (nation-state). Faktor-faktor
produksi dan pertukaran—uang, teknologi, orang, dan
barang— bergerak cepat melintasi batas-batas negara, di
mana negara-bangsa kian tidak berdaya mengatur dan
menggunakan kewenangannya. Negara-bangsa paling
kuat dan berpengaruh pun tidak dapat mempertahankan
supremasinya, bahkan dalam wilayah kedaulatannya
sendiri. Poin pokoknya adalah bahwa kedaulatan yang
baru ini terdiri dari organisme nasional dan supranasional
yang menyatu di bawah satu kekuatan tunggal berbentuk
jaringan kekuasaan. Keduanya meletakkan kekuatan US,
IMF, World Bank, bahkan NGO ke dalam regim ini.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Di dalam
buku mereka yang lain ’multitude’ (2006), keduanya
membayangkan tentang pentingnya demokrasi sebagai
jalan keluar. Tetapi, konsep demokrasi yang mereka
bayangkan adalah yakni nonkapitalis, nonrepresentative,
dan nonnational. Konsep ini diwadahi dalam apa yang
disebut dengan multitude, yakni tidak lain adalah
semacam organisasi common singularities. Mereka
mengakui perbedaan (plurality) atau difference, tetapi
bukan fragmentary. Di sini mereka menganggap
pentingnya aksi-aksi bersama. siapa saja yang berpotensi
ambil bagian aksi-aksi bersama itu?. Atau dalam bahasa
keduanya potential subjectivity of multitude. Itu
berwujud bentuk dalam perjuangan menentang IMF,
World Trade Organization, WB, gerakan mahasiswa di
Indonesia dan Korea Selatan, perjuangan anti-dolarisasi
di Equador, dan sebagainya.
Jauh sebelum konsep Empire lahir, sudah
berkembang terlebih dulu apa yang disebut dengan
imperialisme, dengan pengertian yang berbeda, tetapi
* Naskah diterima oleh Redaksi pada 15 September 2008
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
13
Bahasan: Korporatokrasi
sama-sama berusaha memahami arah perkembangan
globalisasi atau kapitalisme. Vladimir Lenin (1982, 1943)
punya perhatian yang luas dan mendalam mengenai
imperialisme, baik dalam menejelaskan sifat-sifatnya
juga cara menghadapinya. Lenin (1982:83) menyatakan
bahwa imperialisme merupakan hasil transformasi
dari sistem kapitalis berbasis kompetisi bebas ke
sistem kapitalis monopoli. Sistem monopoli memiliki
ciri pemusatan produksi dan modal di dalam industri
berskala besar, setelah industri-industri berskala kecil
mengalami kebangkrutan atau dibangkrutkan. Bentuk-
bentuk monopoli meliputi kartel, sindikasi, trusts, dan
merger di antara perusahaan-perusahaan besar. Menurut
Lenin sistem ini bekerja melalui operasi monopoli dan
kompetisi untuk memperoleh bahan-bahan mentah di
seluruh dunia. Hal ini terjadi melalui ekspansi ekonomi
yang melintasi batas-batas negerinya sendiri, melalui
kolonisasi untuk mengeruk keuntungan dari negeri-
negeri koloninya.
Kalau kita menengok ke dunia hari ini, apa
yang disebut dengan imperialisme tetap terjadi, tentu
saja dengan cara kerja yang lebih canggih. Tetapi, watak
pokoknya tetap ada, yaitu eksploitasi oleh kelas borjuis,
baik yang berlangsung di negerinya sendiri, maupun
antar negeri. Kendati dewasa ini banyak kosakata baru
dipercakapkan, seperti neo-imperialisme, empire,
neo-liberalisme, dan globalisasi, tetapi kata-kata itu
sebenarnya melahirkan kegelisahan yang kurang lebih
sama, akibat dari eksploitasi. Itulah, dengan membaca
buku Katherin Robinson (1986) ’Stepchildren of
Progress’, sebenarnya kita bisa melihat bagaimana
imperialisme bekerja dengan ganasnya di pedalaman
pulau Sulawesi, saat puluhan ribu ton nickel dikeruk
oleh korporasi raksasa Inco untuk pasar Jepang. Sebuah
proses akumulasi keuntungan yang berdarah-darah
dan penuh air mata, melalui perampasan tanah dan
eksploitasi buruh, baik dengan teror kekerasan, maupun
dengan berbagai aturan perundangan yang seolah
beradab.
Kata kunci yang penting adalah akumulasi
keuntungan. Dalam hubungan ini Karl Marx (1976)
memberikan konsep mendasar dan penting, yaitu
akumulasi primitif (primitive accumulation). Dari
kitabnya ‘Capital’ jilid pertama, kita menggaris-bawahi
pengertian akumulasi primitif dalam hubungannnya
dengan cara produksi kapitalis untuk mengeruk
keuntungan sebanyak-banyaknya melalui pengrusakan,
perbudakan, penaklukan, dan pengambilan secara paksa.
Dia menjelaskan proses ini dalam kasus pertambangan
di wilayah penduduk asli di Amerika, kasus penaklukan
India di Asia, dan perburuan orang-orang kulit hitam di
Afrika untuk tujuan komersil.
Dalam sejarah perkembangan kapitalisme
akumulasi primitif terus berulang. Tentu saja, cara
kerjanya pada zaman sekarang jauh lebih kompleks,
tetapi dengan ruh yang sama. Dalam tujuan ini, mengikuti
Marx, David Harvey (2003:145) membuat istilah lain,
yang dia namakan akumulasi melalui pengambilan
secara paksa (accumulation by dispossession). Dengan
istilah ini Harvey menunjuk pada komodifikasi dan
privatisasi tanah dan pengusiran para petani secara
paksa; pergantian berbagai bentuk hak milik (seperti hak
milik bersama, hak milik kolektif, hak milik negara, dan
sebagainya) ke dalam hak milik pribadi secara ekslusif;
komodifikasi tenaga kerja dan pengekangan terhadap
bentuk-bentuk produksi dan konsumsi asli; proses-
proses pengambilan asset seperti sumber daya alam
dengan cara-cara kolonial, neo-kolonial, dan imperial;
monetisasi semua bentuk pertukaran dan perpajakan,
terutama di bidang pertanahan; perdagangan budak;
riba, hutang nasional, dan dan penerapan sistem kredit.
Modal di Indonesia
Masa penjajahan
Kedatangan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)
di tahun 1602 merupakan tonggak sejarah penting
dari kolonialisme dan imperialisme di nusantara. Pada
dasarnya, badan ini adalah sebuah usaha dagang untuk
keperluan ekonomi Belanda. Tetapi kalau melihat
kegiatannya, VOC seperti sebuah negara, karena
memiliki tentara, membuat perjanjian, memungut
pajak, menghukum para pelanggar hukum dan lainnya
(Anderson, 1983:479). Selama dua abad VOC menguasai
14
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
kegiatan perdagangan dan mengeruk keuntungan besar
dari kepulauan nusantara dengan cara kerja seperti itu.
Badan ini kemudian mengalami kebangkrutan
karena korupsi dan salah urus, sehingga pemerintah
Belanda mengambil alih kegiatan-kegiatan yang
sebelumnya dijalankan VOC. Pemerintah bertindak
melalui kegiatan pengawasan produksi dan kegiatan-
kegiatan pengerukan keuntungan ekonomi. Belanda
memulainya dengan membentuk NHM (Nederlandsche
Handed Maatchappij) dan Javasche Bank pada 1825,
dan memberlakukan cultuur-stelsel (tanam paksa)
1830. NHM merupakan agen untuk kegiatan ekspor dan
impor, sementara Javasche Bank merupakan pelayan
jasa keuangan. Boleh dibilang, pemerintah Belanda
bukan saja menjalankan mesin birokrasi pemerintahan,
tetapi sekaligus bertindak sebagai saudagar. Dan seperti
yang kita lihat di kemudian hari, pemerintah menjadi
pelaku penting untuk memutar roda perekonomian di
nusantara, dengan langsung ikut ambil bagian dalam
usaha perkebunan dan pertambangan (Furnivall,1944).
Peningkatan pengaruh kekuatan politik liberal
setelah 1850-an, yang diikuti dengan penghapusan
Sistem Tanam Paksa pada 1870, menyurutkan campur
tangan pemerintah di dalam kegiatan ekonomi, dan lebih
memusatkan perhatian pada pemeliharaan hukum dan
ketertiban serta penyediaan infrastruktur. Pemerintah
juga mengkhususkan dirinya sebagai pembuat kebijakan
untuk menjamin pertumbuhan usaha swasta. Di
antaranya, dengan mengeluarkan Undang-undang
Agraria 1870, agar perusahaan-perusahaan swasta
memperoleh kemudahan-kemudahan, seperti sewa tanah
pertanian/perkebunan selama 75 tahun. Pemerintah
juga mengeluarkan UU tentang Gula yang membatasi
kontrolnya atas perkebunan gula (Furnivall,1944). Kedua
UU itu telah mempercepat proses modernisasi pada
pabrik-pabrik gula, yang hasil produksinya ditujukan
ke pasar internasional. Juga, pada 1899, pemerintah
kolonial mengeluarkan UU pertambangan (Indische
Mijnwet) pertama, agar mendorong peran swasta di
bidang ini (ter Braake,1977). Sebelumnya, pada tahun
1850, pemerintah memberlakukan mijnreglemen 1850,
sebuah peraturan perundangan yang memberi peran
swasta di usaha pertambangan. Dua tahun berikutnya,
pemerintah mengeluarkan izin penambangan timah
kepada sebuah usaha swasta Billiton Maatchappij di
Pulau Belitung (Lindblad,2002:95).
Kecuali ditunjang dengan berbagai kebijakan,
maka aspek penting yang mendukung pertumbuhan
swasta adalah tersedianya infrastruktur keuangan yang
luas. Selain dari NHM atau maskapai perdagangan
Belanda, maka lembaga-lembaga perbankan seperti
Javasche Bank aktif memberikan kredit untuk
membiayai investasi swasta terutama di bidang pertanian,
perkebunan, dan pertambangan (Furnivall,1944).
Sejak awal abad 20, kebijakan-kebijakan
yang mendukung usaha swasta semakin berkembang,
sehingga sektor ini tumbuh secara cepat. Tetapi, krisis
ekonomi 1930an, intervensi negara kembali diperlukan
untuk melindungi pasar luar negeri dan industri-industri
baru. Tentu saja, hal ini bertentangan dengan tradisi
pemerintah Belanda sejak 1870 yang mempercayai
peran swasta, kompetisi dan perdagangan bebas
(Furnivall,1944).
Masa kemerdekaan – 1965
Setelah kemerdekaan, warisan ekonomi
kolonial masih berkerja. Berbagai perusahaan milik
asing terus beroperasi kendati mengalami banyak
hambatan sepanjang zaman revolusi. Tonggak paling
penting dari kembalinya modal asing adalah keputusan
Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 di Den Haag, yang
mengakui kedaulatan politik Indonesia, dan sebaliknya
hak-hak modal asing tetap dipertahankan. Itu berarti
perusahaan-perusahaan Belanda dan perusahaan-
perusahaan asing lain tetap dizinkan beroperasi di
wilayah nusantara. Akibatnya, perusahaan-perusahaan
asing leluasa beroperasi di bidang modern, seperti
perbankan, pertambangan, transportasi, distribusi, dan
pertanian. Perusahaan-perusahaan itu bersifat padal
modal dan memusatkan kegiatannya untuk tujuan-
tujuan ekspor.
Menyadari warisan ekonomi kolonial,
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
15
Bahasan: Korporatokrasi
pemerintah sebenarnya juga bermaksud membangun
perekonomian yang lebih nasionalistis. Misalnya, tahun
1951, pemerintah memperkenalkan program rekonstruksi
ekonomi, yang disebut ’Rencana Urgensi Perekonomian
(RUP)’. Pada hakikatnya, RUP bertujuan untuk
mengembangkan industri nasional dan meningkatkan
peran pengusaha pribumi. Tetapi boleh disebut,
program ini gagal melahirkan kelas borjuasi domestik
yang kuat, kecuali pekembangan sektor pemerintah
yang menonjol. Peran negara dalam kehidupan ekonomi
terutama tumbuh lebih meyakinkan pada masa-masa
berikutnya setelah nasionalisasi perusahaan asing.
Ketika itu perusahaan-perusahaan negara dibentuk
untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda
setelah nasionalisasi (Robison,1986:213).
Modal asing tetap diberikan ruang dalam
perekonomian Indonesia. RUP tidak memusuhi modal
asing. Bahkan secara formal mendorongnya, asalkan
memenuhi persyaratan 51 % dimiliki oleh orang
Indonesia, dan pembatasan-pembatasan pada bidang
tertentu yang disediakan untuk pemilikan domestik
secara eksklusif (Hill, 1990:14). UU No.78/1958 tentang
penanaman modal asing (PMA) memberikan jaminan
investasi asing secara terbatas. UU PMA pertama setelah
kemerdekaan ini membatasi modal asing dalam beberapa
sektor pelayanan publik – angkutan/transportasi,
telekomunikasi, pembangkit listrik – dan beberapa
bidang pertambangan.
Tetapi, rencana-rencana itu tidak dapat
dilaksanakan, karena meningkatnya ketegangan
politik. Konflik Indonesia-Belanda soal Irian Barat
memicu sentimen kuat anti Belanda. Pemerintah
Indonesia mengeluarkan UU No 13 tahun 1956 tentang
Pembatalan Konferensi Meja Bundar. Sentimen anti-
Belanda meningkat tajam pada 1957, setelah PBB gagal
mengesahkan resolusi yang menghimbau Belanda
merundingkan soal Irian Barat. 3 Desember 1957, serikat-
serikat buruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai
Nasional Indonesia (PNI) mengambil alih perusahaan-
perusahaan dan kantor-kantor dagang Belanda.
Pemerintah bertindak mengambil alih
perusahaan Belanda, dengan mengeluarkan Undang-
undang 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-
perusahaan Milik Belanda pada 31 Desember 1958. UU
ini dinyatakan berlaku surut sampai 3 Desember 1957,
tentu dimaksudkan untuk memayungi aksi pengambil-
alihan perusahaan-perusahaan Belanda oleh serikat-
serikat buruh. Pasal 1 UU ini secara tegas menyatakan
bahwa “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang
berada di wilayah Republik Indonesia yang akan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan
nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang
penuh dan bebas Negara Republik Indonesia”. Ratusan
perusahaan di berbagai sektor (perkebunan/pertanian,
perdagangan, pertambangan, keuangan, angkutan/
transportasi, industri, dan sebagainya) dinasionalisasi
dalam periode ini.
Dengan nasionalisasi perusahaan-
perusahaan asing, maka kegiatan-kegiatan ekonomi
kemudian digerakkan oleh pemerintah. Sejak ahir
1950-an dan sepanjang awal 1960-an, pemerintah
mendirikan perusahaan-perusahaan negara di berbagai
bidang, seperti perkebunan, kehutanan, pertanian,
pertambangan, angkutan dan transportasi, perdagangan,
keuangan dan sebagainya. Sebagian di antaranya jatuh
di bawah kontrol Tentara Nasional Indonesia (Robison
1986:251). Sementara sektor swasta besar yang tersisa
seperti tiga perusahaan minyak asing (Stanvak, Caltex,
dan Shell), karena pertimbangan tertentu dibiarkan
tetap beroperasi. Meskipun berada di bawah tekanan
nasionalisasi yang kuat.
Masa Orde baru - reformasi
Sejak 1966, Indonesia mulai melaksanakan
pembangunan ekonomi yang kapitalistik. Regim
Suharto di bawah bimbingan negara-negara barat
memperkenalkan skema kebijakan ekonomi liberal, yang
disusun oleh sekelompok ahli ekonomi berpendidikan
Amerika, yang dikenal dengan ‘Mafia Berkeley’ (Ransom,
1970). Bersama-sama dengan IMF, WB juga ikut
berperan penting dengan mendorong pemerintah Orde
Baru untuk menyatukan ekonomi Indonesia ke dalam
sistem kapitalis. Lembaga-lembaga itu bersama dengan
16
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
negara-negara kapitalis menyediakan dana pinjaman
kepada Indonesia, termasuk dengan mendirikan sebuah
konsorsium pemberi pinjaman Inter-Government
Group on Indonesia (IGGI), yang kemudian berganti
nama menjadi Consultative Group for Indonesia (CGI).
Dapat disimpulkan bahwa di akhir dekade 1960, sebuah
model ekonomi Barat menjadi pilihan untuk modernisasi
Indonesia.
Regim baru memulainya dengan membuat
kebijakan yang menghormati modal asing. Kebijakan
pemerintah disambut dengan lega oleh modal luar
negeri, yang di masa pemerintahan Sukarno mengalami
kesulitan. Pada tahun 1967, pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Penanaman Modal Asing, di mana
ketentuan-ketentuannya sangat liberal dibanding dengan
UU yang sama tahun 1958 (Hill, 1990:48). Memastikan
tidak akan ada nasionalisasi seperti pada masa lalu, maka
UU baru menjamin hak milik dan menghormati semua
ketentuan dalam perjanjian internasional. Bahkan,
pemerintah mendorong modal asing dengan keringanan
perpajakan (tax holiday). Tidak heran, kebijakan ini
cukup sukses menarik investasi asing. Berdasarkan data
statistik yang dikeluarkan BKPM, dari tahun 1967 hingga
1999, pemerintah telah menyetujui 7,665 proyek investasi
aing dengan nilai sekitar US$ 228,2 milyar (dikutip oleh
Embassy of United States of America, 2000).
Selain industri manufaktur, perdagangan,
perbankan, perkebunan, kelautan, maka industri
pertambangan adalah contoh paling nyata dari
kehadiran modal swasta asing. Kita menyaksikan
sesudah Freeport Indonesia (subsidiary of Freeport
Sulphur Co, USA) memperoleh kontrak karya (KK)
tahun 1967, maka berbagai pemain dalam industri
pertambangan berlomba-lomba masuk ke Indonesia.
Industri pertambangan minyak merupakan contoh yang
lain, betapa hebatnya perusahaan-perusahaan asing
berkiprah di negeri ini. Misalnya, Arco (Amerika) yang
beroperasi di Indonesia dengan menggunakan bendera
Atlantic Richfield Indonesia; PT Caltex Pacific Indonesia
(sahamnya dikuasai oleh dua perusahaan Amerika
Texaco Inc. 50 % dan Chevron 50 %); Maxus Southeast
Asia Ltd., yang tidak lain adalah anak perusahaan dari
Maxus Energy dari Amerika; Total Indonesia, yakni
anak perusahaan dari Compagnie Francaise des Petroles
Perancis. Perusahaan-perusahaan lain adalah Exxon
Mobil Oil, Conoco Ltd, Unocal, Expan, Santa Fe, dan
Vico.
Selain kebijakan yang menganak-emaskan
penanaman modal asing, pemerintah juga mendukung
perkembangan perusahaan-perusahaan swasta di
dalam negeri. Tetapi seperti yang kita lihat, perusahaan-
perusahaan yang tumbuh dapat disebutkan sebagai
kelompok-kelompok usaha yang didukung oleh negara.
Pemerintah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam
Negeri pada tahun 1968. Kebijakan berhasil menelorkan
perusahaan-perusahaan swasta nasional dalam jumlah
yang besar. Fakta bahwa kehadiran konglomerat
Indonesia yang bergerak di bidang keuangan, industri
otomotif, industri pertanian, perdagangan, kehuatanan,
perkebunan, elektronik, real estate, pertekstilan, rokok,
minyak dan hasil tambang lainnya, menunjukkan
gambaran nyata dari kemajuan tersebut. Perkembangan
ini terlihat pada peranan penting dari modal domestic
yang dikuasai oleh pengusaha keturunan China, dan
dalam hubungan mereka dengan modal internasional,
dan kekuasaan politik-birokrasi (politico-bureaucratic
power) (Robison, 1986). Pada lapisan berikut, kita
dapat melihat perkembangan yang sangat menonjol dari
bisnis-bisnis keluarga para politisi (politico-businesses
families) karena hubungan mereka dengan otoritas
pengelola negara (Robison & Hadiz, 2004:57-60).
Dalam semangat yang kurang lebih sama, terutama sejak
1980an, pemerintah memberikan perhatian khusus
kepada pengusaha-pengusaha pribumi, di mana peranan
dari kantor Sekretariat Negara sebagai patron untuk
menciptakan atau memelihara klien-klien bisnisnya
(Pangaribuan, 1995:56-7).
Dengan demikian, apa yang kita lihat dari
perkembangan modal dalam negeri adalah munculnya
borjuasi-borjuasi nasional yang asal-usulnya memiliki
kedekatan dengan pemerintah. Bisnis keluarga Suharto
adalah contoh paling lengkap. Ketika dia turun dari
tahta, keluarganya memiliki saham kurang lebih di
1,251 perusahaan-perusahaan besar. Saham-saham
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
17
Bahasan: Korporatokrasi
itu juga berhubungan dengan perusahaan-perusahaan
asing seperti General Electric, Du Pont, British
Petroleum, Lloyds of London, Nestle, dan Energy Equity
Corporation (Backman, 1999: 261, 290-291). Sementara
pengusaha-pengusaha pribumi yang juga mengeruk
keuntungan karena kedekatan dengan pemerintah
adalah Bakrie, Bukaka Teknik Utama, Medco, Kalla
Group (Pangaribuan, 1996:51-7).
Industri pertambangan menjadi contoh bagus
dari sepak terjang pengusaha nasional yang memperoleh
keuntungan karena kedekatannya dengan pemerintah.
Di zaman Orde Baru, Bakrie Group dan kemudian PT
Nusamba Mineral menguasai PT Indocopper Investama
Corporation, di mana perusahaan ini menguasai saham
sebesar 9, 36 % atas PT Freeport Indonesia (PT FI).
Selain mengambil keuntungan dari investasi asing,
pengusaha nasional juga menjadi pemain utama dalam
industri ini. Misalnya, PT Medco Energy Corporation –
investasi dan holding company dari belasan perusahaan.
Grup perusahaan ini dirintis oleh Arifin Panigoro dengan
bisnis intinya adalah minyak dan gas.
Seperti telah kita lihat, berbasiskan pada
borjuasi nasional yang lengket dengan kekuasan
negara dan menggantungkan harapannya pada modal
internasional, ekonomi kapitalis Indonesia mengalami
pukulan telak, ketika krisis keuangan menyerang di tahun
1997. Krisis itu menjungkir-balikkan oligarki ekonomi
dan politik Orde Baru yang segera diikuti dengan sebuah
revolusi borjuis untuk mengakhiri kediktatoran Suharto.
Sebuah regime korup dengan tangan berlumuran darah
selama 32 tahun tumbang karena karib internasionalnya
(negara-negara Barat dan lembaga-lembaga keuangan
internasional) tidak mau lagi mendukung, perpecahan di
kalangan elit yang terbuka dan vulgar, serta perlawanan
heroik mahasiswa, anak-anak muda kelas menengah
perkotaan.
Revolusi borjuis itu membawa Indonesia
ke sistem yang benar-benar liberal di bidang politik
dan ekonomi. Dibarengi dengan kekerasan-kekerasan
berdarah dan pemerintahan yang korup, revolusi 1998
melahirkan sebuah demokrasi borjuis penuh hingar
bingar. Di lapangan ekonomi, di bawah dikte lembaga-
lembaga keuangan internasional dan negara-negara
kapitalis maju, regim baru menjadi agen kekuatan
imperialis, dengan menjalankan kebijakan liberalisasi,
seperti privatisasi, pencabutan subsidi, dan berbagai
kebijakan yang memudahkan borjuasi internasional
mengeruk lebih dalam kekayaan sumber daya alam. UU
No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan
contoh paling jelas bagaimana kekuatan-kekuatan
imperialis mendikte proses pengambilan keputusan
negara. Seperti kita lihat UU ini memaksa Pertamina
untuk melepaskan dominasinya di industri hulu minyak
dan gas. Bahkan liberalisasi juga dilakukan di sektor
hilir, dengan demikian semakin memangkas peranan
Pertamina. Semangat yang sama juga bisa dilihat dari
UU No 19/2004 tentang Kehutanan dan Keputusan
Presiden 41/2004 yang mengizinkan 13 perusahaan
tambang beroperasi di hutan lindung.
Tidak heran, perusahaan transnasional
dengan leluasanya mendulang kekayaan dari perut bumi
Indonesia. Enam perusahaan transnasional di sektor
pertambangan, masing-masing Rio Tinto, Broken Hill
Property Company Ltd, Newmont Mining Coorporation,
Newcreast Mining Ltd, Inco Ltd (sekarang Vale Inco),
dan Freeport Mc Moran Copper & Gold menguasai
industri pertambangan Indonesia dalam penambangan
emas, perak, tembaga, nikel, dan batubara (Sangaji,
2002). Perusahaan-perusahaan transnasional juga
menguasai industri perminyakan. Tercatat, produser
minyak terbesar adalah Chevron yang menguasai bekas
aset milik Caltex Pacific dan Unocal. Produser lain yang
menonjol adalah British Petroleum, ConocoPhillips,
ExxonMobil, dan Total. Sementara itu, kendati, PT
Pertamina turut juga bermain, tetapi enam perusahaan
transnasional mendominasi industri gas Indonesia.
Keenamnya adalah Total (diperkirakan menguasai
sekitar 30 persen pasar [market share] pada tahun
2004), ExxonMobil (17 persen), Vico (a BP-Eni joint
venture, 11 persen), ConocoPhillips (11 persen), BP (6
persen), and Chevron (4 persen) (Anonymous, 2007).
Seperti di masa Orde Baru, borjuasi nasional
yang dekat dengan kekuasaan politik kembali berkibar-
18
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
kibar. Bisnis keluarga politisi menjadi contoh yang pas
bagaimana kelompok-kelompok borjuasi nasional warisan
Orde Baru dengan leluasa memperoleh privelese. Seperti
dilaporkan oleh George J Adtjondro (2006a:13, 2006b)
bahwa sejak Jusuf Kalla menjadi Wakil Presiden R.I.
dan kemudian merangkap Ketua Umum Partai Golkar,
PT Bukaka, salah satu perusahaan milik keluarganya
membangun berbagai proyek kelistrikan di pulau
Sulawesi dan Sumatera. Dalam laporannya tentang Aceh
setelah perjanjian damai Helsinki, Aditjondro (2007)
juga mengupas tuntas bagaimana kerajaan-kerajaan
bisnis para politisi-bisnis, seperti Abu Rizal Bakrie dan
Surya Paloh berbisnis dengan leluasa di sana.
Jalan keluar
Lalu apa yang mesti dilakukan?. Dewasa
ini respon terhadap imperialisme berlangsung dalam
berbagai bentuk, dari perlawanan yang ditunjukan oleh
satu negara secara individual, atau koalisi di antara
negara-negara dalam wilayah tertentu, dan perlawanan
yang bersifat transnasional. Di luar respon revolusioner
seperti yang diajarkan oleh Lenin, dewasa ini kita
menyaksikan gerakan-gerakan anti-globalisasi/anti-
neo-liberalisme/ anti-imperialisme berlangsung di dua
tingkatan. Pertama, aksi yang dilakukan oleh organisasi
non-pemerintah (Ornop) secara global. Aksi tersebut
memiliki bahasa yang berbeda karena titik berdiri dan
kepentingannya yang beragam. Ada kelompok moderat
yang menonjolkan isyu partisipasi dan transparansi;
kelompok liberal yang mendorong restrukturisasi sistem
dan lembaga-lembaga global; dan kelompok radikal
yang berorientasi kepada penghancuran lembaga-
lembaga global (Marcuse, 2000:27). Perlawanan-
perlawanan berskala transnasional itu pada umumnya
melibatkan kelompok masyarakat sipil (civil society)
antar negara. Genoa, Seattle, dan protes anti perang
adalah contoh paling konkrit tentang reaksi masyarakat
sipil transnasional terhadap merajalelalnya praktik
imperialisme.
Di Indonesia, perlawanan terhadap globalisasi/
neo-liberalisasi/imperialisme lumayan bergaung.
Banyak kelompok kelas menengah secara sporadik selalu
menyuarakan tuntutan-tuntutan, baik yang bersifat
reformis maupun radikal, dengan spektrum isyu yang
luas, dari penolakan-penolakan terhadap pencabutan
subsidi BBM, liberalisasi pasar tenaga kerja (labor
market flexibility[LMF]), privatisasi hak atas tanah,
privatisasi air, pertanian dan perkebunan monokultur,
hingga nasionalisasi perusahaan-perusahaan tambang.
WALHI tergolong salah satu ornop yang cukup konsisten
melakukan perlawanan itu sejak zaman Suharto. Dengan
menggunakan jaringan yang luas di nusantara dan
jaringan internasionalnya, perlawanan organisasi ini
telah menarik perhatian publik luas. Freeport adalah salah
satu contoh kasus yang secara konsisten dikampanyekan
oleh WALHI. Lainnya adalah aksi permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk mencabut UU No 19/2004.
Tetapi seperti kita lihat perlawanan-perlawanan yang
selalu menyerap perhatian media itu selalu menemui
kegagalan.
Kedua, aksi politik untuk menguasai negara.
Di Amerika Latin, perlawanan anti-imperialisme/
globalisasi/neo-liberalisme merupakan perjuangan
politik melalui penguasaan institusi negara. Tetapi,
seperti terjadi di Venezuela, perjuangan itu telah
meninggalkan cara-cara revolusioner klasik, yang
oleh Martha Harnecker (2005:147) ditandai dengan
pentingnya sebuah blok sosial alternatif (alternative
social block) yang luas. Blok ini harus mencakup berbagai
kelompok dengan latar belakang yang beragam seperti
kelas pekerja di kota dan desa, kelompok-kelompok yang
mewakili sektor yang termarginalisasi dan termiskinkan,
sektor-sektor menengah yang termiskinkan, pengusaha-
pengusaha skala menengah dan kecil, pekerja sector
ekonomi informal, lapisan mayoritas dari kelas
professional, penganggur, orang-orang tua, anggota-
anggota koperasi, polisi, tentara berpangkat menengah
dan rendahan, dan sektor-sektor kapitalis yang
berkontradiksi dengan modal transnasional.
Di Indonesia, meskipun dalam satu dekade
terakhir, lebih banyak kegagalan dalam mendorong
kebijakan anti-imperialis, tetapi optimisme bukannya
tidak ada. Beberapa kelompok mulai menyadari
keterbatasan perlawanan dengan menggunakan
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
19
Bahasan: Korporatokrasi
instrumen non-negara, dan memikirkan solusi lain
melalui perjuangan politik. Dalam hubungan ini, inisiatif
sejumlah aktivis untuk membangun partai politik untuk
ambil bagian dalam politik elektoral seperti Sarikat
Hijau, PPR, dan Papernas merupakan langkah politik
yang maju. Bagaimanapun sulit untuk membayangkan
sebuah perubahan kebijakan strategik di tingkat negara,
tanpa menguasai instrumen-instrumen negara. Oleh
karena itu, sikap anti partai di sebagian aktivis ornop
barangkali perlu ditahan dulu, kalau memang belum
bisa dihilangkan sama sekali. Prinsipnya, perlawanan
terhadap imperialisme tidak bisa lagi dilakukan
sendiri-sendiri, dengan menggunakan cara-cara lama
khas ‘advokasi’ dari luar negara semata. Saya tidak
mengatakan bahwa cara-cara itu sudah ketinggalan
zaman, tetapi sebaiknya memperkayanya dengan alat-
alat baru. Dengan begitu, kita bisa masuk ke dalam
salah satu pilar korporatokrasi seperti disebut Perkins,
yakni pemerintah. Hanya dari sanalah peluang untuk
menggunting imperialisme terbuka lebar.
Referensi
Aditjondro, G.J., (2007). Profiting from Peace: The political
economy of Aceh’s post-Helsinki reconstruction. Report For
INFID. Jakarta.
------------------, (2006a). Terlalu Bugis, Kurang Perancis,
Makalah disampaikan dalam acara bedah buku Manusia Bugis
karangan Christian Pelras di Bentara Budaya, Jakarta, hari
Kamis, 16 Maret.
------------------ (2006b). Potret Masalah Ekonomi Politik
di Indonesia, Sesudah 61 Tahun Merdeka, Makalah untuk
Temu Raya Oikmas 2 GKI Sinode Wilayah Jawa Barat di GKI
Samanhudi, Jl. Samanhudi no. 28, hari Jumat, 25 Agustus.
Anderson, B.R O’G., (1983). Old State, New Society : Indonesia’s
New Order in comparative historical perspective, Journal of
Asian Studies, 42 (3):477-496.
Anonymous (2007). Indonesia: Oil & Natural Gas. [Online].
Dapat diakses melalui: http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/
Indonesia/NaturalGas.html. (akses 12-9-2008).
Backman, M., (1999). Asian Eclipse, Exploring the Dark Side of
Business in Asia, John Wiley & Sons (Asia). Singapore: Pte Ltd.
Embassy of The United States of America, (2000). Indonesia :
Investment Climate Statement 2000, Jakarta.
Furnivall,J.S., (1944). Netherlands India: A Study of Plural
Economy. London: Cambridge University Press.
Hardt, M.,&Negri, A., (2006). Mutlitude: War and democracy in
the age of empire. London: Penguin Books.
--------------, (2000). Empire. Massachusetts: Harvard
University Press.
Harnecker, M. (2005). On Leftist Strategy. Science & Society, 69
(2):142-152.
Harvey, D. (2003). The New Imperialism. Oxford: Oxford
University Press.
Hill, H., (1990). Investasi Asing dan Industrialisasi di
Indonesia (diterjemahkan oleh Burhanuddin Abdullah dari
Foreign Investment and Industrialization in Indonesia).
Jakarta: LP3ES.
Lenin, V.I., (1982). Imperialism: The highest stage of
capitalism. Moscow: Progress Publisher.
--------------., (1943). State and Revolution. New York:
International Publisher.
Lindblad, J.T., (2002). The Outer Islands in the 19th century :
Contest for periphery, in Howard Dick,et,al, eds, The Emergence
of a National Economy, an economic history of Indonesia,
1800-2000, Honolulu: Allen & Unwin and University of Hawai’I
Press.
Marcuse, P. (2000). The Language of Globalization. Monthly
Review, 52 (3):23-27.
Pangaribuan, R. (1996). The Indonesian State Secretariat 1945
– 1993. (translated by Vedi Hadiz. Jakarta: Sinar Harapan.
Perkins, J., (2004). Confessions of an Economic Hit Man. San
Francisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc.
Marx, K. (1976). Capital: A critique of Political Economy
(Volume one) (Translated by Ben Fowkes). London: Penguin
Books.
Ransom, D., (1970). The Berkeley Mafia and the Indonesian
Massacre. Ramparts, 9 (4): 27-29, 40-49.
Robinson, K.M., (1986), Stepchildren of Progress,the Political
Economy of Development in an Indonesia Mining Town,
Albany: State University of New York.
Robison, R. (1986). Indonesia: The rise of capital. Sydney: Allen
& Unwin.
Robison, R. and Hadiz, V.(2004). Reorganizing Power in
Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. New
York: RoutledgeCurson.
Sangaji, A. (2002). Buruk Inco Rakyat Digugat: Ekonomi
politik pertambangan Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
ter Braake, A. L, (1977). Mining in the Netherlands East Indies,
New York: Arno Press.
20
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Korporatokrasi (corporatocracy), saat ini menjadi
terminologi baru yang dikaji banyak kalangan. Istilah ini
sering digunakan untuk menggambarkan keadaan saat
pemerintah dalam banyak hal bekerja di bawah tekanan,
tunduk kepada, dan sekaligus melayani kepentingan
perusahaan swasta besar.
John Perkins mengartikan korporatokrasi sebagai “a
system of governance controlled by big corporations,
international banks, and government”.1 Tujuan
akhirnya adalah melanggengkan tatanan global yang
pro-akumulasi modal. Amin Rais menggunakan istilah
korporatokrasi sebagai sistem atau mesin kekuasaan
yang bertujuan untuk mengkontrol ekonomi dan
politik global yang memiliki 7 unsur, yaitu: korporasi-
korporasi besar; kekuatan politik pemerintahan tertentu;
perbankan internasional; kekuatan militer; media massa;
kaum intelektual yang dikooptasi; dan elit nasional yang
bermental inlander.2
Meskipun belum dikenal secara umum di antara
kalangan akademik, setidaknya istilah baru ini mampu
memberi penjelasan secara tepat tentang kekuasaan yang
sedang mengontrol dunia. Merekalah para kelompok
yang mendominasi sistem sosial, politik dan ekonomi
masyarakat sehingga berjalan di atas hukum pasar
ekonomi neoliberal saat ini. Korporatokrasi tidak hanya
membuka tabir gelap tentang kekuasaan segelintir elit
yang zalim di panggung kekuasaan, namun membongkar
motif penyingkiran Negara dari wilayah-wilayah publik
dan hanya menjadikannya sebagai penjaga malam bagi
berjalannya kepentingan perusahaan-perusahaan besar
mengeruk keuntungan.
Ekonomi Partikelir di Era Neokolonialisme *
Oleh: Dani Setiawan dan Longgena Ginting
* Naskah Diterima oleh Redaksi pada 20 Oktober 2008
1 John Perkins, Confession of an Economic Hit Men, (2004), hal. Xii.2 Amin Rais, Selamatkan Indonesia, (Yogyakarta: PPSK Press, 2008), hal. 82-83.
Ungkapan ini setidaknya membantu kita untuk
menjelaskan mengapa di Negara Indonesia yang
kaya ini masih terdapat banyak orang miskin dan
pengangguran. Mengapa emas, tambang, batubara, gas,
minyak yang terus diambil dari bumi Indonesia tidak
memberi dampak bagi meningkatnya kesejahteraan
rakyat. Dalam kasus lain, istilah korporatokrasi dapat
memberi penerangan yang jelas mengapa seolah tidak
tersedia alternatif pembiayaan selain utang luar negeri
yang notabene menciptakan ketergantungan ekonomi
yang tinggi kepada Negara lain. Bagaimana mungkin
rakyat harus menanggung beban pembayaran utang
yang sangat besar, sehingga subsidinya harus dicabut.
Sedangkan di sisi lain sejumlah perbankan (termasuk
perbankan asing) menikmati “subsidi” terselubung dari
Negara lewat pembayaran obligasi.
Penelusuran lebih jauh terhadap masalah ini akan
menghasilkan fakta historik kekuasaan lembaga-lembaga
keuangan internasional di Indonesia dalam mengkontrol
kebijakan ekonomi. Transaksi utang luar negeri telah
berhasil membentuk aliansi transnasional antara elit di
Negara-negara kreditor dengan elit penguasa di tingkat
domestik. Persekutuan ini melahirkan kerjasama yang
apik dalam merancang kembalinya kekuatan kolonial,
terutama perusahaan-perusahaan transnasional
dalam mendominasi struktur ekonomi dan politik di
Indonesia.
Sejarah Kolonialisme
Kolonialisme di nusantara ditandai dengan tindak
eksploitasi manusia melalui sistem perundang-undangan
yang berlaku, seperti pajak tanah (landrente), kerja
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
21
Bahasan: Korporatokrasi
pada pihak Belanda. Kedua, atau mereka yang sengaja
berkolaborasi dengan Belanda untuk kepentingannya
sendiri. Teori “kolaborasi” ini menjelaskan mengapa
orang Eropa dalam jumlah sedikit – sering cuma
segelintir – sanggup terus berkuasa di dunia non Eropa:
Elit pribumi terbukti bersedia bekerjasama karena di
bawah tekanan, dan ada pergeseran dalam perimbangan
kekuatan. Ini juga menjelaskan mengapa kekuasaan
kolonial berakhir ketika sebuah elit nasionalis baru
membatalkan kerjasama mereka.4
Para elit bermental inlander tersebut memilih untuk
takluk di bawah kekuasaan kolonial dan rela menjual
harga diri dan tanah airnya demi memperoleh dukungan
politik Belanda. Demikian seterusnya politik kolonial
menjadikan kekuasaan para raja untuk melakukan
penindasan kepada rakyat untuk mengeksploitasi hasil
bumi Indonesia. Tak kurang Belanda pun menjadi peyulut
dan sumber perselisihan antar kerajaan atau praktek
adu domba untuk memastikan penguasa-penguasa lokal
tunduk pada aturan-aturan kolonial.
Begitulah kekuasaan pada masa itu dijalankan untuk
memenuhi motif memperoleh kehormatan dan
keagungan. Belanda telah mengembangkan teori-teori
imperialisme dengan cara mengawinkan birokrasi
pribumi dengan birokrasi Barat atas nama pemerasan
dan penindasan. Walaupun mengalami keterlambatan
dalam ekspansi kolonialisme, Belanda telah berhasil
melakukan perluasan-perluasan wilayah kekuasaannya
di Indonesia dan menjadi salah satu Negara di Eropa
yang kuat dan cukup disegani oleh para Negara kolonial
lainnya seperti Inggris dan Perancis.
Pelajaran dari VOC masa lalu di Indonesia, menjadi
gambaran bahwa praktek korporatokrasi sudah lama
terjadi di Indonesia. Adapun terjadi kemiripan dengan tipe
kekuasaan saat ini, lebih merupakan bentuk transformasi
praktek kolonialisme dalam era neoliberalisme. Sejarah
sungguh bukan berulang, tetapi hampir tidak ada
interupsi dari praktek eksploitasi ekonomi di Indonesia.
Struktur perekonomian Indonesia tidak pernah berubah.
Perusahaan besar dan perusahaan menengah berada di
tangan bangsa asing dan warga keturunan. Sementara
rakyat Indonesia hanya menjadi kuli dari keseluruhan
proses produksi yang sedang berlangsung.
Sejak jauh hari wakil presiden Muhamad Hatta
paksa (culture stelsel), kuli kontrak (onderneming), dan
sistem feodalisme yang sangat menindas.
Tentang riwayat berkuasanya perusahaan di panggung
politik pemerintahan, sesungguhnya sudah terjadi sejak
lama. Dalam sejarah kolonialisme Indonesia, sebuah
perusahaan swasta Belanda VOC (Vereenigde Oost-
Indische Compagnie) melakukan ekspansi imperialisme
pada awal abad 17, dan diteruskan oleh Pemerintahan
Belanda hingga berakhirnya Perang Dunia II. Peran
VOC dalam proses kolonialisme di Indonesia menarik
untuk diperhatikan. Sebuah perusahaan swasta Belanda
yang sangat kuat karena pengaruhnya terhadap
pemerintahan.
Ekspansi perdagangan VOC yang telah berhasil menguras
sumber daya alam di kepulauan Indonesia saat itu tidak
lepas dari dukungan politik pemerintahan Belanda.
Bukan hanya itu, hak monopoli dagang di Hindia Timur
(Nusantara) yang diberikan oleh pemerintahan Belanda
menjadikan perusahaan ini memiliki wewenang untuk
menduduki wilayah manapun yang dikehendakinya.
Semua hal tersebut dilakukan oleh VOC dengan dukungan
militer serta persenjataan lengkap yang disediakan oleh
pemerintah Belanda.
Hasilnya, pada tahun 1669 VOC menjadi perusahaan
swasta terbesar di dunia, memiliki 150 kapal dagang,
40 kapal perang, 50.000 karyawan, angkatan darat
swasta sebesar 10.000 prajurit, dan pembayaran
deviden sebanyak 40%.3 Tidak hanya armada dagang
dan armada perang, kekuatan kolonial juga memelihara
para intelektual yang bertugas untuk memberikan
saran akademis dan melakukan justifikasi atas praktek
imperialisme di negeri jajahan. Praktek kongkret dapat
kita lihat dalam peran Snouge Hugronge memberikan
saran kepada pemerintah Belanda tentang bagaimana
cara memerangi rakyat Aceh.
Meskipun dukungan militer dan pemerintah yang
kuat, serta para “intelektual tukang” yang berada di
sekitarnya, kekuasaan VOC niscaya tidak akan pernah
besar tanpa dukungan elit penguasa lokal yang memilih
tunduk kepada pihak Penjajah. Meski dapat diurai
berbagai alasan yang mendasarinya, ketertundukan para
penguasa lokal disebabkan oleh dua hal. Pertama, mereka
yang memilih tidak melakukan perlawanan karena
ketidakseimbangan kekuatan dan memilih menyerah
3 http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch-East-India-Company4 Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial; Hubungan Jambi – Batavia dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, (Jakarta: Mei 2008), hal. 22
22
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
mengingatkan ancaman kembalinya praktek
imperialisme melalui kekuatan korporasi. Hatta (1967)5
menyebut di dalam pasal 33 sebagai sendi politik
perekonomian nasional tercantum cita-cita ekonomi
berencana di mana pemerintah memiliki peranan yang
menentukan. Ayat (1), (2), dan (3) pasal 33 merupakan
bagian dari upaya mewujudkan demokrasi ekonomi,
terdapat pembagian yang jelas antara sektor-sektor
yang dapat diselenggarakan secara privat dengan sektor-
sektor yang harus diselenggarakan secara kolektif.
Dalam sistem pasal 33 UUD 1945, perusahaan berskala
kecil dan besar dapat dikerjakan oleh koperasi. Dan
usaha yang besar-besar dikerjakan oleh pemerintah.
Bukan saja perusahaan yang tergolong masuk “public
utilities” diselenggarakan oleh pemerintah, melainkan
juga cabang-cabang produksi yang penting sebagai
industri dasar, tambang dan lain-lainnya dimiliki atau
dikuasai oleh pemerintah. Dalam pengelolaannya, Hatta
menyebutkan bahwa pemerintah dapat menyerahkan
manajemen perusahaan kepada orang-orang yang
cakap dan tenaga ahli yang disewa dari luar negeri,
asalkan dapat dipercaya dan bertanggung jawab kepada
pemerintah.
Inisiatif partikelir (swasta) tetap diberikan tempat oleh
pemeritah asalkan sejalan dengan strategi perekonomian
yang telah dibuat. Tetapi seiring dengan meningkatnya
kemampuan koperasi untuk mengelola usaha-usaha
sedang dan besar, pihak swasta diharapkan semakin kecil
peranannya dalam perekonomian nasional. Hal tersebut
sejalan dengan semangat kolektifitas yang menjadi ciri
dalam pengelolaan perekonomian Indonesia merdeka
yang dicita-citakan. Sebagaimana dikhawatirkan oleh
Hatta, bahwa suatu politik perekonomian yang didasarkan
pada inisiatif partikelir hanya akan membuka jalan bagi
masuknya kapitalis asing ke Indonesia. Dan, dengan itu,
sejarah kolonialisme ekonomi, berulang kembali.
Ciri kolektifisme dalam ekonomi Indonesia bertolak
belakang dengan pendirian ekonomi pasar yang dianut
ekonomi neoliberalisme. Desain ekonomi nasional
dalam skenario konstitusi tersebut diarahkan untuk
membuka kesempatan bagi rakyat untuk terlibat di
seluruh lapangan perekonomian. Rakyat terlibat dalam
proses produksi, distribusi dan menikmati hasil-hasil
produksi. Identitas kolektifisme dalam perekonomian
Indonesia dianggap yang paling sesuai dengan tradisi
gotong-royong masyarakat Indonesia dan saling tolong-
menolong.
Konsep kolektifisme berbeda dengan persaingan bebas
(free competition) dan pasar bebas (free market) yang
oleh kaum Smithian dianggap dapat menghasilkan
efisiensi ekonomi. Di dalamnya, kebebasan individual
dalam ekonomi harus diberikan seluas-luasnya untuk
mengoptimalkan pamrih pribadi (self-interest).
Dalam perekonomian yang bebas, proteksi dan subsidi
dianggap sebagai penyakit yang menimbulkan distorsi
pasar sehingga menyebabkan pemborosan dan efisiensi.
Begitu berkuasanya “pasar” hingga dapat mengalahkan
kepentingan umum rakyat dan menggadaikan
kedaulatan bangsa. Hingga kita patut bertanya, siapakah
yang disebut “pasar” oleh para ekonom dan pengkhotbah
neoliberalisme itu. Apakah menunjuk pada pasar
tradisional yang umum kita kenal di Indonesia seperti
pasar Bringharjo di Yogyakarta, pasar Tanah Abang di
Jakarta, atau justru yang dimaksud sebenarnya adalah
pasar keuangan?.
Prof. Sri Edi Swasono menjelaskan bahwa pasar adalah
the global financial tycoon atau para taoke keuangan
global dengan para fund manager mereka.6 Si miskin,
acapkali sekedar merupakan penonton dan sekaligus
sebagai objek pasar, tetapi bukan penentu keputusan-
keputusan pasar. Para taoke keuangan global ini
membentukkan diri sebagai ”a global governance” yang
terstruktur dalam jaringan trans national corporation
(TNCs) yang mencapai jumlah 37.000 (2002), Bank
Dunia, IMF, G8, TC (Trilateral Commision Forum)
dan seterusnya. Dalam definisi ini, jelas kiranya yang
dimaksud adalah kebijakan ekonomi yang harus ramah
kepada pasar, dimaksudkan untuk melayani kepentingan
korporasi dan lembaga-lembaga keuangan internasional
ini.
Jangkauan wilayah ekspansi bisnis korporasi
multinasional yang luas menjadikan kekuatan
ekonominya melebihi perusahaan-perusahaan nasional
atau negara berdaulat sekalipun. Motif mencari
keuntungan, keagungan dan kehormatan membuat
para eksekutif korporasi multinasional melakoni
perselingkuhan dengan para politisi dan pejabat di negara
asal mereka. Sama halnya di negara wilayah ekspansi,
kerjasama-kerjasama yang dilakukan bersama politisi
5 M. Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia,(Jakarta: 1985),hal.82-836 Prof.Dr.Sri Edi Swasono,Daulat Rakyat versus Daulat Pasar, (PUSTEP UGM: 2005),hal.16
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
23
Bahasan: Korporatokrasi
dan elit penguasa dilakukan demi tercapainya ambisi
mencari keuntungan. Meskipun dalam prakteknya,
harus dilakukan dengan mengorbankan kepentingan
rakyat banyak dan melanggar aturan-aturan hukum
yang berlaku.
Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945,
tragedi paling mengerikan berkuasanya korporasi asing
terjadi ketika proses peralihan kekuasaan dari Soekarno
kepada Suharto. Terlepas dari berbagai versi mengenai
situasi yang terjadi menjelang 1965 – 1967, setidaknya
ada dua peristiwa penting yang patut diperhatikan.
Pertama, beralihnya kekuasaan Soekarno kepada
Suharto telah diikuti dengan pembuatan undang undang
baru yang mendukung investasi asing di Indonesia. Pada
Agustus 1965, sebulan sebelum Peristiwa 30 September,
terbit UU Nomor 16 Tahun 1965. Isinya mencabut UU
Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal
Asing. Bagian Menimbang UU itu berbunyi antara lain
“bahwa penanaman modal asing di Indonesia, yang
bagaimanapun juga adalah bersifat menarik keuntungan
sebanyak-banyaknya dan dengan demikian menjalankan
terus-menerus penghisapan atas rakyat Indonesia,
serta menghambat jalannya Revolusi Indonesia dalam
menyelesaikan tahap nasional demokratis untuk
menjalankan Sosialisme Indonesia berdasarkan
Pancasila”. Jadi, dalam UU Nomor 16 Tahun 1965 ini
Indonesia jelas sekali mengambil sikap tegas antimodal
asing dan itu disahkan pada 23 Agustus 1965, lima
minggu sebelum Peristiwa 30 September 1965.
Banyak sudut pandang sejarah yang mencoba
menjelaskan maupun mengaburkan apa sebetulnya yang
terjadi di balik Peristiwa 30 September 1965 itu. Apa
pun model penafsirannya, satu hal jelas bahwa peristiwa
itu merupakan upaya sistematis pihak asing kembali
meletakkan Indonesia di bawah kekuasaan mereka.
Mari melihat lagi fakta sejarah. Bulan Februari 1966
keluar UU Nomor 1 Tahun 1966 tentang Penarikan Diri
Republik Indonesia dari Keanggotaan Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Internasional untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank
for Reconstruction and Development). UU ini memang
keluar setelah 30 September 1965, tetapi ia sudah
telanjur diproses sebelumnya dan baru disahkan pada
Februari 1966. Menyusul setelah itu adalah komitmen
rezim Suharto untuk melunasi utang luar negeri warisan
Hindia Belanda disepakati untuk dibayar selama 35
tahun terhitung sejak 1968. Sedangkan utang luar negeri
warisan Soekarno disepakati untuk dibayar selama 30
tahun terhitung sejak 1970.7
Kedua, dalam bulan November 1967, menyusul
digulingkannya Soekarno dan pembantaian terhadap
hampir 1 juta orang anggota dan simpatisan Partai
Komunis Indonesia, The Time-Life Corporation
mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang
dalam waktu tiga hari merancang pengambil-alihan
Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang
paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David
Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili:
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General
Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland,
British American Tobacco, American Express, Siemens,
Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel.
Di seberang meja adalah orang-orangnya Suharto yang
oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia
yang top”, begitu penuturan Jeffrey Winters.
Perekonomian Indonesia sejak saat itu dibagi-bagi
menurut kepentingan pihak korporasi internasional.
Mereka mendiktekan apa-apa saja yang menjadi
kemauannya termasuk meminta pemerintah merancang
infrastruktur hukum untuk investasi di Indonesia. Tidak
mungkin masuk dalam akal sehat kita sebuah modal
internasional dapat duduk satu meja dengan wakil
negara berdaulat dan merancang perampokan global
atas masuknya investasi asing ke negaranya sendiri.
Hasilnya adalah, Freeport mendapatkan tambang
tembaga dan emas di Papua Barat (di mana Henry
Kissinger duduk sebagai board dalam perusahaan itu).
Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel di Papua
Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari
bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan
Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan
tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan.
Dua peristiwa penting ini luput dari perhatian publik
sejak lama. Bahkan, terkesan ditutup-tutupi oleh rezim
yang berkuasa hingga saat ini. Padahal jika melakukan
penelusuran sejarah lebih mendalam, segera dapat
diketahui bahwa transisi kekuasaan politik pada masa
tersebut diikuti dengan bangkitnya kekuatan korporasi
asing menguasai sumber daya alam di Indonesia.
Peristiwa tersebut menggambarkan bagaimana kekuatan
7 Revrisond Baswir, Republik Utang, Republika, 17 April 2006.
24
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
korporatokrasi ikut terlibat dalam pembentukan sebuah
rezim otoriter Suharto. Watak otoriter dari politik
kekuasaan Suharto digunakan sebagai tameng untuk
menghadapi perlawanan rakyat terhadap praktek
investasi asing. Bahkan bagi lembaga keuangan
internasional, pelanggaran HAM terhadap rakyat yang
menolak sebuah proyek utang serta praktek korupsi atas
proyek-proyek utang yang dilakukan oleh rezim ini tidak
menghalangi mereka untuk tetap menyalurkan utang
luar negeri. Akibatnya, dalam era pemerintahan Suharto
tercatat jumlah utang luar negeri Indonesia justru
membengkak menjadi 54 miliar dolar AS.
Utang dan Korporatokrasi
Menurut Perkins, Korporatokrasi dimulai saat
World Bank/IMF/ADB menyalurkan pinjaman
untuk pembangunan megaproyek di negara miskin
atas rekomendasi fiktif buatan Economic Hit Men
(EHM). Kredit cair jika dengan syarat: tender-tender
pembangunan dihadiahkan kepada MNC/mitra lokal
atas restu korporatokrasi.
Maka, negara miskin itu terjebak utang luar negeri
ratusan miliar dollar AS yang takkan bisa dilunasi sampai
tujuh turunan. Sebaliknya, profit MNC/mitra lokal naik
setiap tahun selama proyek dikerjakan.
Derita negara itu belum selesai. Negara dunia ketiga
seperti Indonesia menjadi gagal menjalankan amanat
untuk mensejahterakan rakyat karena anggaran
negaranya habis untuk membayar cicilan dan pokok
utang. Sebagai contoh, kewajiban pembayaran cicilan
dan bunga utang luar negeri yang sudah ditunaikan
pemerintah Indonesia sampai tahun 2005 berjumlah
100.31 milyar USD. Dengan demikian kewajiban
pembayaran utang luar negeri pemerintah masih tersisa
sebesar 61.81 milyar USD. Selain itu, pemerintah masih
berkewajiban untuk membayar biaya komitmen atas
utang luar negeri yang belum dicairkan. Sampai dengan
akhir tahun 2005 lalu biaya komitmen yang sudah
dibayarkan pemerintah sudah mencapai 24 milyar USD
lebih8.
Seluruh kewajiban utang luar negeri tersebut telah
menghabiskan sepertiga belanja pemerintah dalam
APBN setiap tahunnya dan praktis membatasi alokasi
belanja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada
tahun 2008, pemerintah menghabiskan alokasi belanja
negara untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga
utang luar negeri sebesar Rp92 triliun. Ditambah beban
pembayaran cicilan bunga utang dalam negeri sebesar
Rp66 triliun, maka total alokasi APBN untuk pembayaran
cicilan pokok dan bunga utang mencapai Rp158 triliun.
Bandingkan dengan `pos anggaran pendidikan sebesar
Rp 45 triliun dan anggaran kesehatan sebesar Rp18
triliun.9
Dalam RAPBN 2009, pembayaran bunga utang dalam
dan luar negeri sebesar Rp110.327 triliun atau 2,1
persen terhadap PDB. Sebesar 77.088 triliun merupakan
pembayaran bunga utang dalam negeri, sedangkan
sisanya sebesar Rp33.239 triliun merupakan pembayaran
bunga utang luar negeri. Jumlah tersebut menunjukan
peningkatan dibandingkan realisasi APBN 2008. Kondisi
ini semakin parah jika kita memasukkan komponen
pembayaran angsuran pokok utang luar negeri sebesar
Rp59.642 triliun. Maka pembayaran cicilan pokok dan
bunga utang dalam dan luar negeri dalam RAPBN 2009
berjumlah Rp169 triliun. Pos alokasi pembayaran cicilan
pokok dan bunga utang inilah sebenarnya penyumbang
terbesar melebarnya defisit anggaran selama ini.
Kondisi perekonomian semacam ini dimanfaatkan oleh
korporatokrasi untuk menekan sebuah negara untuk
menjual kekayaan alamnya demi membayar utang luar
negeri. Korporatokrasi mendikte kebijakan reformasi
ekonomi di negara penunggak utang dengan agenda-
agenda ekonomi yang sesuai dengan prinsip Konsensus
Washington. Seperti melakukan privatisasi, liberalisasi,
dan deregulasi.
Lembaga keuangan internasional mendorong kebijakan
deregulasi guna memperkokoh liberalisasi ekonomi di
Indonesia melalui transaksi utang luar negeri. Perjanjian
utang telah mensyaratkan sebuah negara untuk
membuka sektor-sektor strategis, seperti pertambangan
dan kehutanan bagi masuknya investasi asing. Pada
akhirnya, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya
praktek de-nasionalisasi ekonomi.
Kuatnya arus de-nasionalisasi ekonomi telah membentuk
kembali susunan ekonomi Indonesia di bawah dominasi
korporasi asing yang saat ini menguasai 85,4% konsesi
pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa
Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan
8 Presentasi Depkeu dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI9 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2009
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
25
Bahasan: Korporatokrasi
perbankan di Indonesia (FRI, 2007).
Hingga kini 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan
lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh
korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen
migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan
pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesia
(Prancis), China National Offshore Oil Corporation
(Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development
Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro
Energy, 2007).
Sementara itu, delapan di antara 10 besar produsen gas
di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesia
menempati peringkat pertama dengan total produksi gas
mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina
diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd
(Investor Daily, 2007).
Syarat yang lainnya adalah, pihak kreditor memaksa
dilakukan privatisasi BUMN strategis, mengurangi
subsidi bagi rakyat, membuka keran impor bagi
masuknya produk-produk dari negara maju, serta
menggenjot ekspor produk bahan mentah (tambang,
energi, kayu, dll) untuk memenuhi kebutuhan industri di
negara-negara kreditor. Tercatat selama periode 1998 –
2006 sebanyak 21 BUMN strategis di sektor perbankan,
telekomunikasi, transportasi, serta pertambangan sudah
diprivatisasi oleh pemerintah dengan berbagai skema.10
Atas rekomendasi IMF, pemerintah juga melakukan
restrukturisasi sejumlah perusahaan negara seperti PLN
dan Pertamina sebagai langkah awal menuju privatisasi
dan liberalisasi sektor migas di Indonesia bagi masuknya
investor asing.
Berbagai persyaratan (conditionalities) yang menyertai
setiap transaksi utang, sesungguhnya digunakan untuk
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi negara maju.
Misalnya kewajiban memakai konsultan asing, teknologi
serta barang-barang produksi yang berasal dari negara
yang meminjamkan utang serta persyaratan lainnya yang
mendorong pelaksanaan agenda liberalisasi ekonomi.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian sesungguhnya
mengenai utang luar negeri sebagai bentuk fasilitas kredit
pembelian barang dan jasa dari negara-negara kreditor.
Dengan mensyaratkan penggunaan jasa konsultan asing,
pembeliaan produk barang bagi kegiatan proyek yang
diimpor dari luar, maka dapat dipastikan sebagian besar
dana utang akan kembali ke negara kreditor. Belum lagi
keuntungan yang diperoleh akibat operasi perusahaan-
perusahaan asing itu di hampir semua sektor ekonomi.
Dari sisi ini, dapat diketahui bahwa keinginan berutang
dari suatu negara sebagian besar dilandasi oleh
penawaran pihak kreditor yang ingin menggunakan
instrumen utang sebagai mekanisme perdagangan luar
negerinya.
Kecenderungan tersebut didukung oleh satu teori
tentang desakan utang yang diformulasikan oleh Darity
dan Horn,11 yang mengemukakan bahwa peningkatan
akumulasi utang luar negeri pada sebagian besar
negara-negara berkembang secara substansial terjadi
akibat dorongan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
keuangan internasional yang mengguasai surplus
petrodolar. Surplus petrodolar ini sengaja di lempar
ke negara-negara berkembang karena berkurangnya
permintaan utang di negara maju. Akibatnya, banyak
proyek ekonomi di negara-negara berkembang tidak
dapat dipertanggung jawabkan secara ekonomis.
Di sinilah terletak kolaborasi antara pihak kreditor
dengan pejabat-pejabat pemerintahan terjadi. Sehingga
kebijakan ekonomi melalui pembangunan proyek-proyek
yang dibiayai oleh utang luar negeri dibuat atas rekayasa
atau tekanan pihak kreditor. Selain tidak berdampak
pada peningkatan kapasitas produksi nasional, bahkan
seringkali menjadi proyek mubazir atau tidak bisa
dimanfaatkan. Bentuk kolaborasi antara pihak loan-
pusher dengan pemerintahan juga mengakibatkan
terjadinya manipulasi nilai proyek yang dibiayai dari
pinjaman.
Di titik ini analisis Revrisond Baswir sungguh relevan
untuk diperhatikan. Transaksi utang menurutnya terjadi
dalam suatu konstruksi sosial dan ideologis tertentu,
yaitu sistem ekonomi kapitalisme.12 Dengan demikian,
untuk memahami konsepsi utang lebih jauh, penyelidikan
mengenai siapa yang membuat, memberi, dan paling
banyak mendapat manfaat dari transaksi utang-piutang
tersebut, tidak dapat dielakkan. Penyelidikan ini berlaku
di kedua belah pihak, baik di sisi pemberi utang maupun
di sisi penerima utang.
10 http://www.bumn-ri.com/#reportPriv1 http://jurnal-ekonomi.org/2008/02/06/bom-privatisasi-indonesia-2008/trackback/11 Sritua Arif, Pembangunan dan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: 1998), hal. 12412 Revrisond Baswir, Utang dan Imperialisme, 2006.
26
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Undang-undang Penanaman Modal nomor 25 tahun
2007. Undang-undang ini dibuat untuk memfasilitasi
masuknya modal asing di hampir semua sektor strategis
dan penting bagi negara. Undang-undang tersebut
diikuti dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor
76/2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan
Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman
Modal dan Peraturan Presiden Nomor 77/2007 tentang
Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha
yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal.
Lahirnya dua Peraturan Presiden tersebut sungguh
telah membuka mata banyak orang di negeri ini. Betapa
tidak, dalam peraturan inilah UU Penanaman Modal
menunjukan watak aslinya. Mendorong dominasi
kepemilikan asing terhadap sektor-sektor produksi
nasional serta mengabaikan aspek kedaulatan ekonomi
kita sebagai bangsa.13
Peran Mafia Berkeley
Kondisi Indonesia di bawah cengkraman korporatokrasi
semacam ini negeri bukanlah fenomena baru. Situasi ini
sengaja diciptakan sejak awal kemerdekaan Republik,
lalu dilanjutkan oleh para menteri dan sejumlah ekonom
jebolan Amerika yang menjadi arsitek perekonomian
Orde Baru. Para Menteri dan ekonom tersebut dikenal
dengan sebutan Mafia Berkeley. Mereka adalah kelompok
ekonom beraliran neoklasik yang berkuasa menentukan
arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama
hampir 41 tahun nyaris tanpa henti dari 1966-2007.
Pada awal pemerintahan orde baru, para ekonom
ini memang mencatat prestasi yang meningkatkan
popularitasnya. Dengan bantuan IMF, mereka berhasil
menekan inflasi sekitar 600 persen pada tahun 1966
menjadi di bawah 10 persen pada tahun 1969. Mereka
juga berhasil membekukan pembayaran utang luar negeri
selama beberapa tahun, menggalang pembuatan utang
luar negeri baru, dan menggenjot masuknya investasi
asing secara besar-besaran. Hasilnya perekonomian
indonesia tumbuh pesat rata-rata enam persen per
tahun.14
Dalam sejarahnya, kelompok mafia tersebut dipersiapkan
Dalam konsep ini, peranan elit berkuasa di kedua
belah negara memegang peranan yang cukup penting.
Kebijakan penyalurkan utang di negara kreditor dan
keputusan berutang di negara debitor dilakukan dalam
ruang kekuasaan elit yang tertutup dan jauh dari
kontrol rakyat. Sesuai dengan motivasi di atas, sangat
mungkin kebijakan utang luar negeri dibuat dengan
mempertimbangkan kepentingan korporasi, para
konsultan, serta elit politik yang mendapat bagian dari
setiap transaksi utang luar negeri.
Contoh paling anyar menjadi bukti yang relevan untuk
ditampilkan. Bagaimana lembaga-lembaga internasional
terlibat dalam proses liberalisasi sektor energi (Migas dan
listrik) di Indonesia. Terkuaknya bukti-bukti keterlibatan
IMF, USAID, Bank Dunia, dan ADB dalam mendorong
kebijakan restrukturisasi sektor energi dengan membuat
regulasi baru di sektor migas (UU Migas Nomor 22/2001)
dan listrik (UU Ketenagalistrikan No. 20/2002).
UU Migas nomor 22 tahun 2001 jelas memberikan
landasan bagi praktek liberalisasi sektor migas di
Indonesia. Pemain asing, seperti Chevron, Shell,
Petronas, dll yang telah lama menguasai cadangan
minyak nasional, bermaksud memperkuat legitimasinya
dengan ikut berbisnis di sektor hilir dengan cara
mendorong liberalisasi harga migas. Selain itu, juga
memberi landasan penting bagi keberlanjutan supply
cadangan migas nasional bagi kepentingan ekspor untuk
negara-negara maju. Sementara di dalam negeri rakyat
dan sektor industri menanggung beban berat akibat
kebijakan salah ini.
Di sektor air yang melayani hajat hidup orang banyak
kondisinya tidak jauh berbeda. Kehadiran swasta
asing lewat pembuatan UU Sumber Daya Air nomor
7 tahun 2004 menyebabkan tarif air bersih menjadi
komersial karena mengikuti hukum full cost recovery
sesuai hukum pasar. Kondisi ini menyebabkan rakyat
kecil harus membayar air bersih lebih mahal dari
pendapatannya yang juga semakin tergerus. Selain itu,
UU ini juga memungkinkan penguasaan sektor swasta
asing terhadap cadangan-cadangan air dan Daerah Aliran
Sungai bagi kepentingan komersial. Padahal, praktek ini
menyebabkan sawah pertanian menjadi kering karena
tidak mendapat aliran air.
Praktek kolonialisme yang paling akhir adalah penetapan
13 Dani Setiawan, Arah Liberalisasi Investasi, Jawa Pos, 14 Juli 2007.14 Revrisond Baswir, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: 2006) hal. 17-18.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
27
Bahasan: Korporatokrasi
secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama
sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965) sebagai
bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan
progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Disebut
dengan istilah “Mafia Berkeley” karena kebanyakan dari
generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di
Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat.
Kelompok Mafia Berkeley memiliki jaringan
internasional yang kuat dan meluas seperti USAID,
IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia.
Bahkan sumber pembiayaan utama lembaga-lembaga
akademik dan penelitian yang dikontrol Mafia tersebut
berasal dari bantuan atau grant lembaga internasional
tersebut. Tidak aneh bila produk hasil penelitian dan
rekomendasi kebijakan biasanya sejalan-sebangun
dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF-Bank
Dunia, Policy Pappers USAID atau lembaga kreditor
internasional lainnya.
Untuk menjaga agar arah strategis kebijakan ekonomi
Indonesia sejalan dengan arahan IMF-Bank Dunia,
USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan
Undang-undang atau peraturan pemerintah yang
dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri. Dengan
mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional
Indonesia dijamin menjadi sub-ordinasi kepentingan
global. Mekanisme mengaitkan utang luar negeri dengan
penyusunan Undang-undang dan peraturan pemerintah
juga menyebabkan adanya intervensi kepentingan global
terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia.
Hal inilah yang menjadi penyebab utama ketertinggalan
ekonomi Indonesia sejak lama, sekaligus menempatkan
bangsa ini pada posisi permanen sebagai subordinasi
dari kepentingan global.
Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
ciri-ciri yang hampir seragam mengenai proses transisi
kolonialisme lama di masa penjajahan Belanda menuju
era neokolonialisme di masa Suharto hingga praktek
berikutnya setelah kejatuhan Suharto.
Praktek kolonialisme di nusantara dimulai dengan
menerapkan aturan-aturan hukum guna melancarkan
penguasaan dan perampasan atas wilayah dan sumber
daya alam. Begitupun transisi politik di era Suharto
dilakukan dengan membuat aturan-aturan hukum baru
yang melanggengkan kekuasaan modal internasional di
Indonesia. Di masa Suharto, sejumlah undang-undang
digunakan oleh pihak kolonial, yaitu para korporasi
multinasional untuk menaklukkan rezim politik agar
berpihak pada kepentingan modal. Sekaligus dapat
melancarkan misi utama untuk merampas sumber daya
alam tanpa khawatir mendapatkan sanksi internasional
maupun perlawanan rakyat.
Sayangnya, bau anyir darah akibat pembantaian
500.000 – 1.000.000 orang yang dituduh sebagai
simpatisan sebuah partai politik serta kejatuhan rezim
anti imperialisme Barat kala itu merupakan harga yang
dibayarkan demi pembentukan struktur politik dan
ekonomi pro modal semacam ini. Bagi kekuatan kolonial,
sebuah goncangan sosial (social shock) terkadang
diperlukan agar penetrasi kapital dan doktrin neoliberal
jauh lebih dalam memasuki setiap relung kehidupan
masyarakat.
Setelah kejatuhan Suharto, lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia menjadikan
orde reformasi sebagai era pengukuhan agenda-
agenda neokolonialisme di Indonesia. Mekanisme
ketergantungan baru dibuat melalui kucuran utang
luar negeri yang diakumulasi setiap rezim. Pada
intinya, agar para penguasa baru itu mau mengikuti
aturan-aturan yang telah digariskan dalam Structural
Adjustment Programe atau Letter of Intent milik Bank
Dunia dan IMF, di antaranya adalah membuat undang-
undang untuk meliberalisasi ekonomi. Padahal dua
lembaga tersebut sejak lama dianggap lebih merupakan
kepanjangan tangan negara-negara industri maju dan
perusahaan-perusahaan multinasional.
Sebuah koreksi total atas arah pembangunan ekonomi
nasional yang bercorak kolonial ini perlu segera dilakukan
sebagai agenda penting menuju kemerdekaan yang
hakiki. Perubahan tidak cukup mengenai para aktor saja,
tetapi juga harus meliputi perubahan paradigma dalam
mengelola negara termasuk merubah semua uturan-
aturan yang telah merugikan kepentingan nasional dan
kepentingan rakyat secara umum. Konstitusi harus
menjadi acuan utama, sebuah konsensus nasional serta
petunjuk yang objektif bagi bangsa Indonesia dalam
bernegara. Tanpa itu semua, sesungguhnya kita sedang
menunggu kehancuran sebuah negara bangsa bernama
INDONESIA.
28
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Aransemen Korporatokrasi
Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah
pernyataan yang disampaikan oleh mantan Direktur
WALHI, Chalid Muhammad yang mengatakan bahwa
“negeri ini telah dikuasai oleh rezim korporatokrasi dan
kleptokrasi”. Sebuah pernyataan yang menggambarkan
bagaimana kekuatan aktor-aktor korporatokrasi
telah menghegomoni seluruh kehidupan bangsa ini.
Korporatokrasi saat ini kembali ramai menjadi wacana
publik, karena tidak ada satupun yang dapat menyangkal
bahwa krisis yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh
semakin kuatnya rezim ini memainkan peran-perannya,
baik secara ekonomi maupun politik.
Istilah korporatokrasi sendiri diperkenalkan
oleh John Perkins dalam bukunya Confression of an
Economic Hit Man (2004) yang mengatakan bahwa dunia
saat ini dikuasai oleh imperium internasional, dimana
imperium ini menyatukan kekuatan yang dimilikinya,
baik kekuatan finansial maupun kekuatan politiknya
untuk menguasai berbagai sumber kehidupan di belahan
bumi ini. Dalam bukunya yang berjudul Selamatkan
Indonesia (2008), Amin Rais melihat korporatokrasi
sebagai sebuah gambaran atas sistem kekuasaan yang
dikontrol dan didominasi oleh berbagai korporasi besar,
bank internasional dan pemerintah.
Korporasi semakin menemukan ruang
kemenangannya ketika pengurus negara memberikan
penguasaan penuh untuk memainkan peran-peran
mereka, dengan melegalisasi melalui sejumlah undang-
undang dan produk regulasi lainnya. Disinilah bentuk
transaksi antara penguasa dengan modal salah satunya
adalah kebijakan, kenyataan inilah yang disebut dengan
alur kolonialisasi secara ekonomi, berjalan beriringan
dengan kolonialisasi secara politik.
Orkestrasi Gerakan Hijau dan Pesta Korporatokrasi *
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat,”
Oleh : Khalisah Khalid
Kuasa korporasi yang sangat besar di Indonesia
di awali oleh peraturan perundangan yang di keluarkan
pemerintah sejak ujung kekuasaan Soekarno, di perbesar
oleh rezim Suharto dan berlangsung hingga saat ini. Di
awali UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing,
UU No 5/67 Tentang Kehutanan, UU No 11/67 tentang
Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan Generasi
I dan II, menghantar Indonesia memasuki fase: Jual
Murah; Jual Cepat; dan Jual Habis Kekayaan Alam
demi kejayaan korporasi. Beberapa perundangan yang
menyokong kuasa korporasi antara lain: UU Minyak dan
Gas, UU 41/99 tentang Kehutanan, Perpu No 1/2004
yang telah jadi UU N0 19.2004 tentang Pertambangan di
Kawasan Lindung, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya
Air, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No
26/2007 tentang Tata Ruang, UU no 27/2007 tentang
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau kecil, Pepres
36/2005 jo Pepres 65/2005 tentang Pengadaan Tanah
untuk Infrastruktur dan lain-lain.
Secara legal, setiap jengkal tanah dan setiap
tetes air Indonesia telah dikuasai oleh korporasi baik
melalui kontrak karya pertambangan, kontrak bagi hasil
minyak dan gas, kontrak bagi hasil batu bara, kuasa
pertambangan, hak penguasaan hutan, hak penguasaan
perkebunan besar kelapa sawit. Data WALHI dan
JATAM pada tahun 2005 menujukan, bahwa sekitar 35,1
juta hektar kawasan hutan telah dikuasai oleh perusahan
pemegang HPH, 15 juta hektar untuk Hak Guna Usaha,
8,8 juta hektar untuk Hutan Tanaman Industeri, 35
% daratan Indonesia di kuasai oleh 1.194 pemegang
kuasa pertambangan, 341 Kontrak Karya Pertambangan
dan 257 Kontrak Pertambangan Batubara (PKP2B).
Sementara rakyat yang selama ini hidup didalam dan
sekitar hutan, dipaksa keluar dari tanah mereka.
* Naskah Diterima oleh Redaksi pada 7 Oktober 2008
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
29
Bahasan: Korporatokrasi
Negara sesungguhnya tidak pernah
diuntungkan dari aktifitas mereka, kasus penunggakan
pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan batubara
baru-baru ini, semakin memperjelas posisi bahwa yang
diuntungkan oleh korporasi yang mengeruk sumber
daya alam hanyalah segelintir elit, yang menjual
kekayaan alam dan buruh murah tanpa perlindungan
keselamatan kerja. Nampaknya apa yang disampaikan
oleh Cecil Rhodes (1852-1902), yang menyatakan bahwa
kolonialisme adalah penemuan tanah baru dimana
dari tanah tersebut dapat dengan mudah mendapatkan
bahan-bahan mentah (sumber daya alam) yang dapat
dieksploitasi dengan menggunakan buruh murah
dari penduduk pribumi. Sumber daya alam (SDA),
sesungguhnya selalu menjadi alasan utama bagi kolonial
baru (baca, korporasi) dimanapun untuk mendominasi
dan menanamkan kekuasannya, dan entitas politik
negeri ini mengamini seluruh nafsu kolonialisme
tersebut, karena menguntungkan bagi mereka secara
politik melalui ongkos-ongkos politik yang disediakan
oleh kekuatan modal.
Modal internasional tidak hanya mengeruk
sumber daya alam untuk pemenuhan konsumsi bagi
negara-negara maju, mereka bahkan mendikte negara
untuk mengurangi tanggungjawabnya melindungi
dan mensejahterakan rakyatnya sebagaimana yang
dimandatkan oleh Konstitusi. Telah terjadi defisit
kedaulatan negara dan bertemu dengan defisit
kesejahteraan yang berujung pada kemiskinan. Mencabut
subsidi terhadap BBM bagi rakyat miskin, menjadi
salah satu contoh kuat bagaimana kekuatan ekonomi
internasional telah mengambil-alih tanggungjawab
negara dan menyerahkannya kepada pasar. Corporate
Social Responsibility (CSR) menjadi salah satu contoh
dari sebuah alat yang didorong oleh modal untuk
mengambilalih peran dan fungsi sosial negara, dan
mengalihkan tanggungjawab negara tersebut.
Kekuatan aransemen kolaboratif yang
dimainkan begitu cantik oleh korporasi besar, lembaga
keuangan internasional dan elit politik yang duduk
di pemerintahan, telah menghasilkan sebuah cerita
penghisapan ekonomi disatu sisi, dan kerusakan
lingkungan hidup disisi yang lain, bahkan telah melahirkan
krisis dan ancaman terhadap keberlangsungan dan
keberlanjutan kehidupan rakyat intra dan antar generasi.
Industri tambang misalnya, industri ini memiliki karakter
yang tidak terbarukan,berumur pendek, berdaya rusak
tinggi dan berorientasi ekspor.
Dengan watak dan cara kerjanya, kekuatan ini
telah mendominasi semua yang menyangkut kehidupan
nasib orang banyak, dengan memegang prinsip
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
modal yang semurah-murahnya dengan menggunakan
buruh murah, dan mengabaikan lingkungan hidup yang
dinilai berbiaya mahal dan tidak menguntungkan bagi
kepentingan bisnis mereka.
Sumber daya alam (SDA) ditempatkan tidak
lebih hanya sebagai sebuah komoditas, yang bisa dikeruk
habis guna memenuhi tingkat konsumsi bagi negara-
negara maju, dan menghancurkan secara sistematis
dan struktural produktifitas yang disebabkan oleh
penguasaan akses dan kontrol atas tanah dan alat-alat
produksi yang lain, dan menghancurkan pengetahuan
lokal yang mengatur regulasi wilayah dan tata kehidupan
masyarakat itu sendiri. Semua modal sosial yang ada
dalam tatanan masyarakat, diruntuhkan oleh mesin-
mesin kapitalisme yang bekerja secara baik dan didukung
penuh oleh kekuatan politik.
Pemilu, Absen Agenda Krisis
Reformasi 1998, memang terjadi berbagai
perubahan yang positif menyangkut hak-hak sipil-
politik, seperti kebebasan pers, kebebasan pendirian
partai-partai politik, reformasi dalam sistem pemilu,
antara lain sistem pemilihan presiden langsung. Namun
secara substansial, berbagai perubahan ini hanya
mencerminkan pergeseran kepentingan dan sirkulasi
di tingkat elit kekuasaan, dengan mengabaikan aspek
akuntabilitas dan representasi kepentingan publik. Ini
tercermin dari kegagagalan reformasi mewujudkan
janjinya, untuk memperbaiki pemenuhan keadilan dan
hak-hak dasar rakyat di bidang ekonomi dan sosial.
30
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Agenda reformasi bahkan dibajak oleh elit
politik untuk kepentingan kekuasaannya, bahkan
korporasi semakin memperkuat perangkatnya dengan
serangkaian strategi yang lebih sistematis dengan
kemasan legal reform, economic dan economic
reform, yang semakin melahirkan angka kemiskinan
yang panjang. Kompas dalam headlinenya bahkan
memprediksikan bahwa dalam 25 tahun mendatang,
Indonesia akan mengalami krisis pangan. Bahkan
ILO menyatakan bahwa pada bulan Februari 2008,
terdapat 52,1 juta pekerja miskin. Ini belum ditambah
dengan pukulan kenaikan harga sebesar 125 persen yang
disebabkan oleh kenaikan harga BBM.
Elit politik yang sudah lama menghiasi
reklame iklan di media massa juga absen melihat krisis
rakyat dalam agenda-agenda politik yang ditawarkan.
Jalan keluar yang disodorkan bahkan tidak melihat
persoalan mendasar yang dialami oleh bangsa ini. Tidak
ada tawaran perubahan atas pilihan ekonomi, yang
menempatkan tata kuasa, tata guna lahan, tata produksi
dan tata konsumsi kedalam sebuah kebijakan yang adil
dan berkelanjutan.
Kekuatan korporatokrasi telah mampu
mempengaruhi agenda-agenda politik mulai dari
tingkatan Pilkada hingga Pemilu Legislatif dan Pilpres.
Caranya melalui dukungan finasial pada kandidat-
kandidat yang bertarung pada pesta demokrasi, janji-
janji politik yang disampaikan tidak lebih hanya untuk
semakin melanggengkan dominasi agenda neoliberal.
Harapan pembaruan terhadap pemilu 2009, hampir sama
dengan pemilu 2004. Berbagai janji juga digelontorkan
oleh partai politik dan beberapa calon presiden melalui
belanja iklannya di media massa yang menawarkan
berbagai jalan baru, yang jika dicermati secara seksama
tidak lebih hanya sebuah kamuflase.
Dari diskusi panjang Demokrasi Dibawah
Tirani Modal yang beberapa waktu lalu diselenggarakan
di Universitas Indonesia, semakin memperjelas posisi
korporatokrasi ini terhadap ruang demokrasi yang
dibangun di Indonesia. Demokrasi yang terpusat pada
pemilihan umum (electoral democracy) tidak lebih hanya
sebagai sebuah kemenangan dari politik prosedural, dan
hanya memberi kesempatan kepada kekuatan neoliberal
dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-
lembaga negara. Hasil dari pertarungan ini adalah
kombinasi yang amat buruk: liberalisasi di bidang
ekonomi dan konservatif di bidang politik.
Pemilu sama sekali jauh dari krisis yang
dialami oleh rakyat, bahkan hiruk pikuk pilkada
dan ribuan banner dan bendera partai politik telah
menenggalamkan jeritan penderitaan yang dialami
oleh perempuan yang tidak bisa memberikan asupan
gizi yang cukup bagi keluarganya. Pilkada pemilihan
Gubernur Jawa Timur menjadi sebuah pembelajaran
yang utuh untuk menggambarkan, bagaimana kekuatan
korporasi yang bernama Lapindo Brantas Inc telah
mampu menutup mata seluruh kandidat Gubernur
Jawa Timur untuk membicarakan derita rakyat korban
lumpur Lapindo yang harus menjadi pengungsi ekologis
dan tercerabut dari ruang hidupnya.
Blok Politik Hijau, Meretas Jalan Perubahan
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.”
Gerakan lingkungan hidup sebagai bagian
dari gerakan sosial menyadari bahwa begitu berat dan
besarnya musuh yang dihadapi oleh rakyat, karena
kekuatan mereka bahkan telah masuk ke ruang-ruang
kehidupan masyarakat, yang menjelma menjadi sebuah
fasisme baru yang diyakini sebagai sebuah kebenaran.
Kita dapat menyaksikan, bagaimana fundamentalisme
pasar telah melahirkan sebuah bentuk fundamentalisme
agama yang menduplikasi cara kerja yang sama yakni
tidak menghormati pluralisme dan keberagaman tak
ubahnya cara pandang monukultur dalam industri
perkebunan besar.
Namun, ditengah berbagai ancaman hidup
yang diciptakan oleh kekuatan modal dan politik, berbagai
inisiatif perjuangan juga diciptakan oleh berbagai
elemen rakyat. Mencoba membangun demokrasi dan
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
31
Bahasan: Korporatokrasi
ekonomi dari bawah sebagai sebuah bentuk perlawanan
yang digagas oleh rakyat sebagai sebuah alternatif diluar
proses electoral democracy
Demikian juga inisiatif yang dibangun dari
gerakan lingkungan hidup, yang bercita-cita melakukan
perubahan gerakan, salah satunya dengan menggunakan
blok politik hijau sebagai kendaraannya untuk
membangun kekuatan politik alternatif yang dibangun
dari pondasi massa rakyat yang kritis. Memainkan peran-
peran politiknya untuk dapat mendiseminasi gagasan
hijau sebagai sebuah upaya melakukan reformasi
pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan
konsepsi ekonomi yang berbasiskan pada kedaulatan
rakyat dan keadilan ekologi sebagai sebuah jalan baru
yang ditawarkan.
Inisiatif ini didasari atas sebuah keyakinan,
bahwa gerakan lingkungan hidup berada di jantung
perlawanan atas penghisapan penjajahan baru
(eksploitasi sumber-sumber kehidupan), karenanya
dibutuhkan kekuatan dari blok politik anti imperialisme
lainnya selain blok politik hijau (buruh, nasionalis, sosialis
dan lain-lain) yang menjadi kekuatan politik alternatif
dengan garis ideologi yang kuat dan berbasiskan pada
kekuatan massa kritis yang masif, terorganisir, terpimpin
untuk mendobrak kebekuan politik yang terjadi.
Pandangan ini juga didasari atas analisis bahwa
rezim kekuasaan hari ini berada di dalam kebangkrutan
karena menjadi sumber ancaman keselamatan rakyat
dan menanamkan benih kehancuran negeri ini. Bahwa
oligarki politik hari ini bercokol di hampir semua partai
politik yang ada hari ini. kepentingannya tunggal yakni
mempertahan kekuasaan dan share/pembagian sekaligus
persaingan kalangan sendiri untuk meperebutkan rente
ekonomi dari penggadaian kekayaan alam negeri ini.
Kalau pun ada pertentanganan dan sikap yang seolah-
olah opisisi, sesungguhnya hanya permainan politik dan
sirkulasi elit atau oligarki politik-ekonomi.
Habermas menyatakan bahwa bagaimana
demokrasi dapat memasuki ruang-ruang kuasa, bukan
hanya kepada elit, tetapi juga kepada masyarakat sipil.
Blok politik hijau, kemudian yang menjadi sebuah
alternatif yang ditawarkan oleh berbagai gerakan
sosial, baik gerakan tani, buruh, maupun gerakan yang
mengusung isu lingkungan sebagai agenda utama
perubahan.
Dalam survey nasional yang dilakukan
oleh DEMOS yang berjudul Satu Dekade, Maju dan
Mundurnya Demokrasi di Indonesia menilai bahwa
aktor-aktor demokrasi yang ada saat ini marjinal secara
politik dan mengambang secara sosial. Karenanya Blok
politik hijau diharapkan mampu berdialektika untuk
menghadapi politik keteraturan yang dimainkan oleh elit
oligarki dibawah bendera korporatokrasi. Blok politik
hijau diharapkan dapat melakukan aktifitas politik yang
teroganisir bersama dengan pihak-pihak yang selama ini
menjadi korban kebijakan pembangunan dan eksploitasi
sumber daya alam.
Riset ini juga menemukan mulai tumbuhnya
agenda dan visi yang komprehensif, dalam fenomena
jejaring gerakan green politic. Ditemukan bahwa
kasus-kasus individual yang berkaitan dengan isu
tanah, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat
adat, hak-hak sosial ekonomi, lingkungan hidup dan
kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi,
tampak berhubungan erat dengan isu-isu pembangunan
berkelanjutan dan pembangunan partisipatoris -
termasuk pengelolaan secara swadaya atas kehidupan
sosial-ekonomi, pengelolaan sumberdaya kolektif/
komunitas, maupun tuntutan perbaikan penyelenggaraan
kepentingan umum dalam rangka melawan privatisasi;
juga gagasan-gagasan mengenai participatory
budgeting.
Semua ini bisa menjadi basis bagi agenda politik
kiri-hijau yang lebih umum. Ini berseberangan dengan
tidak adanya pertanda yang sama dalam agenda gerakan
buruh yang lebih luas, dengan atau tanpa kepedulian
kelas menengah liberal. Lepas dari sudah terbentuknya
demokrasi prosedural menyangkut keberadaan lembaga-
lembaga pemilu, amandemen konstitusi, legislatif,
eksekutif, yudikatif namun perjalanan meraih demokrasi
substansial masih jauh. Maka tidak bisa tidak, kita
harus semakin gigih melawan dengan kecerdasan dan
32
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
imajinasi.
JAWABAN KRISIS KESELAMATAN RAKYAT,
TEGAKAN KEADILAN SOSIAL
Kunci untuk mewujudkan keadilan sosial
adalah pemerataan alokasi dan distribusi sumber daya
sosial, lingkungan hidup (alam) yang berlangsung
dari tingkat lokal, nasional hingga tingkat global.
Selama ini kemiskinan dan kehancuran lingkungan
hidup bukan disebabkan oleh tingkat pertumbuhan
penduduk di negara dunia ketiga, sebagaimana yang
selalu dikampanyekan oleh negara dunia pertama.
Realitas dunia yang timpang saat ini, lebih dikarenakan
penguasaan akses sumber daya alam yang hanya
bertumpu pada segelintir kelompok, untuk pemenuhan
tingkat konsumsi mereka dengan mengabaikan sebagian
besar dari penduduk bumi.
Keadilan sosial ini untuk menjamin pemihakan
yang kuat terhadap kelompok terlemah di dalam
masyarakat dunia, jaminan terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia, adanya jaminan bagi semua warga
negara memiliki kebebasan dan kesempatan untuk
mengembangkan kehidupan pribadi dan sosial, sekaligus
tanggung jawab sosial dan ekologinya. Tercakup di dalam
perwujudan keadilan sosial adalah penghargaan terhadap
pluralisme budaya, keadilan gender, masyarakat adat
dan keadilan antar generasi.
JAWABAN KRISIS RUANG HIDUP RAKYAT,
TEGAKAN KEADILAN DAN KEBERLANJUTAN
LINGKUNGAN HIDUP (KEADILAN EKOLOGI)
Sering kali agenda lingkungan hidup juga
disetir oleh kekuatan pasar, yang membelokkan wacana
kepentingan lingkungan untuk kepentingan pasar.
Lingkungan hidup kemudian didominasi oleh kekuatan
modal yang memodernisasi pembangunan dengan
tujuan untuk menyingkirkan rakyat yang tidak memiliki
kekuatan secara politik dan ekonomi terhadap sumber-
sumber kehidupan. Kasus penggusuran masyarakat
adat dari tanah mereka untuk kepentingan konservasi,
menunjukkan bahwa lingkungan hidup dijadikan
sebagai alasan untuk menyingkirkan rakyat dari ruang
hidupnya. Disinilah kita dapat menilai, bagaimana
strategi modal dalam menjawab isu keadilan ekologi,
melalui penghindaran, kambing hitam dan kooptasi.
Keadilan ekologi yang dimaksud adalah
bagaimana Lingkungan Hidup dipandang kesatuan ruang
dengan segala benda, daya, keadaan dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Salah satu komponen
terpenting dari lingkungan hidup dan menjadi prasyarat
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia
adalah alam. Alam menjamin pemenuhan kebutuhan
sekaligus menjadi ruang hidup manusia.
Namun, alam memiliki keterbatasan untuk
menunjang kehidupan manusia. Karenanya, alam harus
dikelola secara keberlanjutan. Keberlanjutan pelayanan
alam sama artinya dengan memberikan akses dan
kontrol terhadap sumber daya alam yang utuh yang
memungkinkan manusia dapat hidup dan bertahan,
termasuk tanah, tempat tinggal, pangan, air dan udara.
Untuk itu kita perlu menghargai integritas
ekosistim dan menjamin keanekaragamannya sebagai
prasyarat untuk mendukung kelangsungan kehidupan
manusia. Dengan itu sekaligus terdapat jaminan bagi
generasi saat ini untuk melangsungkan perikehidupannya
dengan baik, dan jaminan generasi mendatang untuk
menikmati kualitas alam yang sama baiknya.
JAWABAN KRISIS PRODUKTIFITAS RAKYAT,
TEGAKAN KEDAULATAN DAN KEMANDIRIAN
SOSIAL-EKONOMI
“Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional”.
Demokrasi politik yang sejati haruslah
dibangun berdasarkan kerangka kedaulatan dan
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
33
Bahasan: Korporatokrasi
kemandirian dalam penguasaan dan pengelolaan
sumber-sumber kehidupan rakyat atau basis material
yang menjadi fondasi tata kemasyarakatan dan negara.
Penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan
rakyat (sosial dan ekonomi) haruslah berlandaskan
semangat BERDIKARI dan kekuatan daya kreasi rakyat
secara kolektif di tingkat lokal. Hak menguasai negara
atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang atas bumi, air, dan
kekayaan alam untuk sepenuh-penuhnya kemakmuran
rakyat, memiliki legitimasi apabila didedikasikan kepada
kepentingan hak asasi warganya.
Bung Hatta dalam konsepsi ekonominya
menyebutkan, bahwa bangsa ini akan mencapai
kemandiriannya jika menggunakan mesin ekonomi
yang digerakkan oleh kekuatan rakyat untuk mencapai
kesejahteraan bagi rakyat. Hatta mengatakan bahwa
manusia tidak mungkin bisa hidup damai dan sejahtera,
jika sumber-sumber kehidupannya dikuasai oleh manusia
yang lain yang berkuasa baik secara ekonomi maupun
politik. Dalam pemikirannya, ekonomi menjadi penting
dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan politik, harusnya
diletakkan dengan tujuan untuk menata sumber-sumber
kehidupan (ekonomi) yang menempatkan rakyat sebagai
pelaku utamanya.
Kepentingan rakyat atau hak asasi rakyat,
terutama dalam hal akses terhadap bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus
dijadikan sarana utama dan tujuan akhir dari hak
menguasai negara. Dengan demikian, maka peran modal
bersifat sekunder dan komplementer, bukan substitusi
pengelolaan oleh rakyat. Inilah yang dinamakan
mengalokasikan kekayaan alam untuk pemenuhan dalam
negeri, bukan komoditas ekspor atau yang diistilahkan
oleh Ichsanudin Noorsy dengan Close Sirkuit Economy
dalam sebuah diskusi yang mengupas tentang politik
anggaran dan penyakit kronis ekonomi klasik.
Reformasi Pengelolaan Lingkungan
Semua agenda yang ditawarkan oleh gerakan
lingkungan hidup ini akan terwujud jika gerakan
lingkungan hidup mampu mempengaruhi publik luas
bahwa agenda reformasi pengelolaan lingkungan hidup
dikemas dalam sebuah gerakan reformasi pengelolaan
lingkungan hidup, dan semua dapat diwujudkan dengan
pra syarat sebagai berikut: Pertama, mengembalikan
mandat negara sebagaimana yang terdapat didalam
konstitusi untuk melindungi, menjamin dan memenuhi
hak dasar rakyat, khususnya terkait dengan hak ekonomi,
sosial dan budaya (ekosob). Kedua, menata kembali relasi
antara negara, rakyat dan modal yang telah mengalami
ketimpangan karena begitu kuatnya agenda korporasi
yang menggunakan kekuatan hak menguasai negara,
untuk kepentingan akumulasi modal mereka. Rakyat
justru ditempatkan sebagai pihak pelengkap, padahal
sesungguhnya kontrol terhadap pengelolaan sumber
daya alam berada di tangan rakyat sebagaimana yang
terdapat didalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketiga,
menyelesaikan konflik sumber daya alam dan agraria
struktural yang dialami oleh rakyat menghadapi dua
kekuatan yakni kekuatan di sektor bisnis dan atau negara
sebagaimana yang disebutkan oleh Alexis Tocqueville.
Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA) mencatat, tidak
kurang dari 1.753 kasus tanah terjadi dari tahun 1970-
2001. Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) juga mencatat, tidak kurang 70
kasus konflik sumber daya alam di tingkat nasional yang
masih belum bisa diselesaikan.
Beberapa gerakan sosial mengusulkan
nasionalisasi sebagai jawaban atas agenda penguasaan
dan dominasi korporasi. Namun gerakan politik hijau
juga menekankan hendaknya sebelum kita bicara soal
nasionalisasi industri, yang seharusnya dilihat lebih jauh
dan dan tajam adalah prasyarat yang harus dipenuhi
untuk mendukung sebuah jalan menuju nasionalisasi
industri. Bagaimana tata kuasanya, bagaimana tata
guna lahannya, bagaimana tata produksinya, bagaimana
tata konsumsinya. Belum lagi syarat-syarat yang harus
dijamin oleh negara seperti syarat keselamatan rakyat,
syarat produktivitas rakyat, syarat kesejahteraan rakyat,
syarat keberlanjutan pelayanan alam. Semua prasyarat
tersebut, harus sudah mampu dijawab sebelumnya, dan
menempatkan warga krisis sebagai aktor utama untuk
menentukan arah sebuah pembangunan kemandirian
negara, yang salah satunya melalui nasionalisasi industri
sebagai salah satu alat demokrasi politik kerakyatan.
34
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Critical Mass, Belajar dari Lao Tzu
Semua mimpi membangun orkestrasi gerakan
yang membawa perubahan oleh gerakan blok politik
hijau, hanya akan menjadi cita-cita yang melangit. Cita-
cita tersebut tidak akan terwujud, jika tidak diturunkan
ke bumi sebagai sebuah cita-cita bersama rakyat.
Masyarakat Indonesia memang masih banyak
yang meragukan blok politik hijau ini, menyadari
bahwa isu lingkungan hidup di Indonesia masih berupa
”kesadaran semu” bukan ”pengetahuan”. Namun
berbagai bencana ekologi yang datang silih berganti,
penurunan kualitas lingkungan hidup yang semakin
tinggi, konflik sumber daya alam dan krisis yang selalu
muncul menghiasi media, sebenarnya menjadi cukup
alasan bagi gerakan blok politik hijau untuk mengajak
masyarakat lebih luas untuk mendukung gerakan ini.
Massa yang kritis sebagai pra syarat utama
perubahan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera
diselesaikan oleh gerakan blok politik hijau ini, sehingga
mimpi perubahan Indonesia ini diciptakan sendiri oleh
rakyat. Mengutip apa yang dikatakan oleh Lao Tzu :
”berjalanlah bersama rakyat, tinggal bersama mereka,
belajar dari mereka, cintailah mereka, mulailah dengan
apa yang mereka miliki. Hanya dengan pemimpin terbaik,
ketika pekerjaan sudah selesai dan tujuan tercapai, rakyat
akan berkata kita telah melakukannya sendiri. Semuanya
bisa dimulai dengan inisiatif-inisiatif perlawanan lokal
yang telah dipraktekkan oleh berbagai organisasi rakyat,
dan terus memperluas dan memperbesar gerakan ini
menuju keberlanjutan lingkungan dan kamandirian
ekonomi rakyat.”
Blok politik hijau diharapkan mampu
membangun dialektika dengan momentum politik 2009
sebagai titik awalnya, untuk membuat sebuah jalan baru
yang diharapkan bisa merespon krisis yang dialami oleh
rakyat dan bangsa ini. Apa yang ditawarkan oleh Blok
Politik Hijau semangatnya seperti apa yang diletakkan
secara mendasar oleh gerakan kemerdekaan yang diusung
dimasa kolonial. Semangat yang ingin digelorakan lagi
adalah bagaimana membangun optimisme, menuju
Indonesia merdeka seratus persen secara ekonomi dan
politik.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
35
Bahasan: Korporatokrasi
khalayak ramai. Mereka menentukan undang-undang,
mengatur bekerjanya instrument politik, mengatur
pembagian kekayaan negara ke tangan-tangan mereka,
mengatur militer, polisi dan para penegak hukum dan
bahkan mengatur sistem idiologi yang harus diyakini
oleh masyarakat.
Praktek demokrasi liberal yang dijalankan
di Indonesia saat ini adalah tempat belajar yang
paling mudah untuk memahami bagaimana korporasi
membentuk pemerintahan dalam rangka mengontrol
negara. Contohnya, seorang calon gubernur, bupati atau
calon anggota legislatif (caleg) membutuhkan biaya yang
sangat besar untuk mengikuti proses demokrasi liberal
seperti pemilu dan pilkada, dimana seorang kandidat
membutuhkan dukungan modal besar untuk dapat
mengikuti proses tersebut untuk membiayai pendaftaran,
kampanye yang mahal melalui koran, televisi, radio,
poster, pamflet, mobilisasi massa, membayar saksi di
setiap TPS dan lain sebagainya. Bahkan dengan uang
yang besar pula memungkinkan terjadinya manipulasi
dan kecurangan dalam proses politik semacam itu.
Hasilnya sudah dapat dipastikan korporasi atau pemilik
modal besar yang akan memenangkan calon-calon yang
mereka biayai dalam demokrasi liberal semacam ini.
Selanjutnya kemenangan korporasi dalam
politik akan memperbesar kontrol mereka dalam bidang
ekonomi. Korporasi mengatur penuh kegiatan produksi
Korporatokrasi
dan Cara Bekerjanya di Indonesia *
Oleh :Salamuddin Daeng dan Pius Ginting
* Naskah Diterima oleh Redaksi pada 17 November 2008
1 Istilah korporatokrasi di gunakan oleh John Perkins untuk menggambarkan betapa dalam
rangka membangun imperium global, korporasi, international finance institutions dan pemerintah
bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia
mengikuti kehendak mereka (John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, 2004)
Studi tentang korporatokrasi adalah suatu studi yang luas, karena masalah ini tidak hanya menyangkut urusan-
urusan ekonomi, akan tetapi berhubungan dengan sistem idiologi dan praktek politik yang dianut oleh suatu
negara. Manifestasi kekuasaan korporatokrasi menurut banyak kalangan1 bahkan telah merasuk jauh dalam
hubungan-hubungan sosial dan kebudayaan masyarakat dewasa ini, sehingga dibutuhkan studi yang mendalam
untuk memahami masalah ini secara lebih lengkap. Artikel berikut ini hanya akan meninjau sebagian kecil saja
dari fenomena koporasi dalam mewujudkan kekuasaan ekonomi mereka.
Istilah korporatokrasi dihubungkan dengan
kekuasaan perusahaan-perusahaan (korporasi) besar
termasuk perusahan keuangan (finasial institution)
yang menyatukan seluruh kekuatan yang dimilikinya
membentuk pemerintahan dalam rangka mengontrol
negara dan seluruh masyarakat. Dengan kekuasaan yang
dimilikinya tersebut baik negara maupun masyarakat
menjadi sangat tergantung kepada korporasi tersebut
dan tidak memiliki banyak pilihan. Manifestasi
korporatokrasi sangat gampang dilihat dalam praktek
penyelenggaraan kekuasaan negara maju saat yang
menempatkan masyarakat dunia di bawah kontrol
mereka.
Barangkali tidak banyak orang yang menyadari
kekuasaan korporasi besar tersebut, akan tetapi
faktanya setiap hari kita mendapatkan suguhan yang
dipaksakan oleh korporasi raksasa. Seluruh kebutuhan
hidup kita yang paling dasar, mulai dari minyak tanah,
bensin, minyak goreng, sabun mandi, listrik, telepon,
transportasi adalah produk dari korporasi. Bahkan
diruang-ruang hidup kita yang paling privat, korporasi
hadir dalam bentuk iklan, sinetron, berita dan informasi
yang membetuk fikiran kita sesuai dengan kehendak
korporasi tersebut.
Korporasi sangat berkuasa, bahkan kekuasaan
mereka lebih besar dari apa yang dibayangkan oleh
36
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
sumber-sumber penting yang menyangkut hajat hidup
orang banyak. Hal ini dapat kita lihat bagimana kekuasaan
korporasi atas produksi minyak, gas, batubara, minyak
sawit (CPO), tebu dan sumber-sumber tambang lainnya.
Penguasaan mereka atas sumber-sumber pangan dan
energi akan sangat mementukan hidup matinya suatu
masyarakat. Contohnya penguasaan korporasi dalam
hal produksi di hulu minyak, gas, batubara menjadikan
mereka mampu mengatur produksi, distribusi dan
harga harus dibayar masyarakat. Dengan demikian
kemampuan suatu masyarakat dalam mendapatkan
barang dan jasa kebutuhannya sangat ditentukan oleh
kebijakan korporasi. Contoh lainnya dapat dilihat dari
bagaimana korporasi mendorong parlemen menaikkan
tarif listrik, tarif jalan tol dan lain sebagainya.
Kekuasaan korporasi di Indonesia
Sebelum kita membahas bagimana cara bekerjanya
korporatokrasi di Indonesia maka sebaiknya kita terlebih
dahulu memahami korporasi terkemuka di Indonesia
yang menguasai sektor-sektor ekonomi strategis seperti
pertambangan minyak, gas, mineral, perusahaan
keuangan dan perusahan perdagangan. Meskipun
pendekatan ini bukan merupakan satu-satunya alat
untuk memahami masalah ini, akan tetapi menurut
penulis aspek inilah yang paling penting dan paling
relevan untuk mengetahui siapa mereka saat ini.
Pada level paling atas kita menemukan bahwa kontrol
terhadap perekonomian Indonesia dilakukan oleh
perusahaan besar yang berasal dari luar negeri atau
disebut pemodal asing. Mereka sekelompok perusahaan
yang berasal dari negara-negara maju yang sebagian
diantaranya berasal dari yang pernah menjajah Indonesia
secara langsung. Mereka menguasai sektor-sektor
ekonomi utama di negara ini. Mulai dari minyak, gas,
mineral, perkebunan, perusahaan-perusahan keuangan
dan jasa.
Korporasi asing menguasai lebih dari 85 persen kegiatan
ekploitasi minyak dan gas di Indonesia. Sedangkan
kepemilikan asing di luar sektor tersebut diatas dalam
aktifitas investasi langsung (FDI) mencapai lebih dari 75
% dari total investasi yang ada. Lebih dari 95 juta hektar
lahan telah diserahkan kepada perusahaan minyak
di sektor hulu dalam rangka ekploitasi minyak. Lebih
dari 40 juta hektar diserahkan dalam rangka ekploitasi
mineral dan batubara, sekitar 7 juta hektar diserahkan
untuk korporasi perkebunan dan sekitar 31 juta hektar
diserahkan untuk korporasi kehutanan.
Struktur Penggunaan Lahan di Indonesia
Tahun 2005
Penggunaan Luas
(juta Ha)1. Kontrak Kerja Migas 95.452. Kontrak Karya (mineral) 6.473 KP mineral 7.674 KP Batu Bara 24.775 KKB/ PKP2B 5.26 HPH Alam 27.72
HTI 3.47 Perkebunan Negara * 3.38 Perkebunan Swasta * 1.08
Total 175.06Luas Lahan Pertanian 11.8Luas Daratan 192,26
Sumber : Data diolah dari berbagai sumber, ESDM,
Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian.
Keterangan : * Data tahun 2003
Tidak hanya disektor ekstraktif, di sektor keuangan
korporasi asing mengambil tempat yang semakin
dominan. Kepemilikan asing atas aset perbankan
nasional mencapai 47,02 persen, terus meningkat sejak
krisis1. Contohnya, kepemilikan saham publik di Bank
Rakyat Indonesia Tbk (BRI) lebih didominasi investor
asing dengan per 31 Maret 2007 kepemilikan saham
investor asing mencapai 37,2 persen, sedangkan investor
domestik hanya menguasai 5,8 persen saham BRI.2 Di
sektor keuangan lainnya kepemilikan modal asing juga
terjadi dalam jumlah yang cukup besar. Tahun 2007
kepemilikan modal asing di pasar modal sebesar 67,34
persen dengan nilai Rp 601,055 triliun.3
Tidak hanya itu, dalam hal kepemilikan surat utang
negara (SUN) oleh pihak asing saat ini meningkat sekitar
Rp26 triliun atau mencapai Rp104 triliun jika dibanding
dengan kondisi pada awal 2008 sebesar Rp78 triliun.
Sekarang porsi asing di SUN 19,5 persen atau Rp104
triliun, meningkat dibandingkan 16,6 persen atau Rp78
triliun pada awal 2008 4.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
37
Bahasan: Korporatokrasi
Bagaimana dengan pelaku nasional, pengusaha nasional
kaitannya dengan praktek korporatokrasi di Indonesia?
Pelaku-pelaku nasional adalah pemain yang paling
tampak. Upaya-upaya untuk mengotrol Negara dan
mengendalikannya sekaligus berdasarkan keinginan
dan orientasi mereka sangat jelas. Wakil presiden
dan beberapa menteri adalah berasal dari kalangan
pengusaha. Bahkan salah satu menteri dalam Kabinet
SBY – JK adalah orang paling kaya di Asia sebelum krisis
keuangan global melanda dunia.
Krisis ekonomi Indonesia tahun 1997 adalah penampakan
nyata kekuasaan pemilik modal nasional. Pemilik modal
dapat menyelamatkan diri mereka dari hantaman badai
krisis yang melanda saat itu dengan cara menjebol uang
Negara sebesar 630 trilun dalam proyek rekapitalisasi.
Ini adalah angka yang sangat besar dibandingkan dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat
itu. Hingga saat ini Negara harus menanggung utang
yang sangat besar dari kegiatan ini dan harus membayar
bunga utang tersebut. Keluarnya uang Negara yang
sangat besar tersebut dilakukan secara legal sesuai
hukum Indonesia.
Meski kedudukan mereka cenderung dibawah dominasi
modal asing, pelaku-pelaku usaha nasional tidaklah
terlalu lemah dalam hal skala penguasaan ekonomi
mereka. Mereka menggunakan konstitusi untuk
mendorong Negara membuat suatu undang-undang
yang memungkinkan bagi modal nasional untuk
membantu modal asing atau bekerja di sana. Misalnya
dengan menjadi subkontraktor korporasi tambang
besar di berbagai bidang seperti penyediaan makanan
bagi pekerja tambang hingga pembelian limbah dengan
dengan keuntungan besar. Undang-undang No. 1 Tahun
1967 Tentang Penanaman Modal di jaman Orde Baru
memberi strategi bagi pembesaran modal nasional
dengan menjadi pembantu modal asing, khususnya
di sektor pertambangan. Keadaan yang terjadi di
PT. Freeport Indonesia sebuah perusahaan tambang
terbesar di Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara
sebuah perusahaan tambang mineral terkaya di dunia
memperlihatkan peran modal-modal nasional kedua
perusahaan tersebut sebagai pembantu perusahaan asing
pada bisnis-bisnis yang tidak diminati oleh perusahaan
asing lainnya.
Pemodal nasional pun berkepentingan meluaskan
kepentingannya di bagian hilir di sektor migas. Setelah
hak Pertamina di sektor hulu migas dimutilasi melalui
undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Minyak dan Gas dan dirubahnya perusahaan tersebut
menjadi perusahaan swasta, menyebabkan sebagian
besar industri pengelolaan migas dihulu dikuasai modal
asing. Para pemilik modal nasional berbondong-bondong
menguasasi sektor hilir. Sebagian besar pelaku di sektor
hilir yang jumlahnya ribuan adalah pemodal nasional,
mereka adalah distributor-distributor dan pedagang
ritel BBM. Para pemodal nasional inilah yang selalu
menjadi pendukung kenaikan harga penjualan produk
BBM seperti premium, minyak tanah dan solar dan
belakangan menjadi pendukung utama kenaikan harga
penjualan gas bagi rumah tangga. Seluruh perdagangan
BBM di dalam negeri milik perusahaan nasional akan
mendapatkan revenue lebih dari 500 triliun dalam
tahun 2008. Jumlah tersebut dua kali lipat dari seluruh
biaya yang mereka perlukan dalam menghasilkan BBM.
Sementara di sektor gas, PT. Perusahaan Gas Nasional
(PGN) menguasai lebih dari 90 persen perdagangan
Gas di Indonesia. Meski terus untung perusahaan ini
terus mendorong kenaikan harga gas dalam rangka
melipatgandakan keuntungan.
Kekuasaan modal nasional memang sebagian besar
dalam bisnis ritel barang-barang yang diproduksi
oleh modal asing. Inilah yang menjadikan dasar bagi
pembangunan outlet-outlet dan pusat perbelanjaan yang
begitu luas terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Rencana pembesaran uang para pelaku nasional tersebut
dilakukan juga dengan mendorong kebijakan impor
produk pertanian seperti beras, gandum, kedelai dan
impor produk pangan lainnya.
2 Selasa, 9 September 2008 | 07:50 WIB, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Muliaman Hadad, Senin (8/9) di Jakarta3 Jakarta (ANTARA News),Kepemilikan Saham Publik BRI Didominasi Investor Asing4 Rabu, 25 Juli 2007 | 18:20 WIB, TEMPO Interaktif, Jakarta5 http://www.bankdki.co.id/index.php?option=com_content&task= view&id=227&Itemid=91
38
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Pembesaran modal nasional terjadi melalui bisnis ritel
lainnya seperti perdagangan produk otomotif dengan
menumpang pada industri modal asing di sektor ini.
Bisnis ritel ini juga melahirkan keuntungan bagi modal
pelaku nasional di sektor perbankan melalui ekspansi
kredit murah produk otomotif seperti mobil dan sepeda
motor. Eskpansi kredit tersebut berpotensi menjadi
subprime mortgage versi Indonesia.
Legitimasi Hukum dan Politik
Kekuasaan perusahaan asing yang sedemikian luas di
Indonesia memang adalah buah dari kerja keras mereka
dalam memperalat birokrasi Negara melalui proyek
utang yang besar. Cara ini sangat efektif dan menjadi alat
paling kuat bagi upaya penetrasi ke dalam perekonomian
Indonesia.
Sampai dengan tahun 2008 utang luar negeri telah
mencapai angka 1.400 triliun lebih. Uang yang sebagian
besar berasal dari negara-negara maju dan lembaga
keuangan internasional yang beroperasi di Indonesia
dalam rangka mendukung kepentingan korporasi-
korporasi besar, yaitu kepentingan untuk terus
mempertahankan kekuasaan mereka pada kegiatan-
kegiatan ekonomi paling strategis di Indonesia. Utang
luar negeri adalah modal asing yang memiliki signifikasi
langsung dengan kepentingan korporasi, dikarenakan
melalui utang luar negeri baik dalam bentuk proyek
dan program berkaitan langsung dengan kepentingan
korporasi.
Negara maju dan lembaga keuangan internasional
yang memberikan utang adalah alat perusahaan
multinasional dalam rangka pembesaran skala ekonomi
mereka. Alhasil, negara maju-negara maju seperti
Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
adalah sumber utang terbesar bagi Indonesia. Proyek
utang telah menghasilkan pendapatan yang besar bagi
negara-negara maju dan lembaga keuangan melalui
bunga. Sementara para pengusaha asing mendapatkan
kebijakan negara dan infrastruktur yang dibiayai dengan
utang dalam rangka menopang investasi asing.
Kepentingan utang untuk mendukung investasi asing
dalam rangka pencarian sumber daya alam adalah
contoh kongkrit dalam hal ini. Jepang sebagai negara
pemberi utang bagi Indonesia adalah negara yang ahirnya
menerima sumber daya alam paling besar. Jepang adalah
penerima ekspor gas, minyak dan batubara tersebesar
dari Indonesia. Tanpa keberadaan perusahaan yang
dibiayai langsung dengan investasi tersebut maka dapat
dipastikan ekonomi Jepang akan kesulitan
Demikian halnya dengan utang dari lembaga pinjaman
Bank Dunia (WB), kesemuanya ditujukan agar negara
membangun institusi-institusi yang mendukung
penanaman modal dan mempromosikan pertumbuhan
ekonomi. Dalam setiap peraturan pinjaman pembangunan
untuk Indonesia, Bank Dunia menetapkan prioritas agar
utang ditujukan untuk mendukung perbaikan-perbaikan
iklim penanaman modal, pengelolaan keuangan publik
dan prioritas kunci lainnya.5
Infrastruktur yang dibiayai utang tersebut tersebut
menjadi penopang investasi-investasi swasta. Dua
lembaga lainnya yang bernaung di bawah Bank Dunia
sekaligus yang berurusan dengan sektor swasta ialah
Korporasi Keuangan Internasional (IFC)6 dan Badan
Penjamin Investasi Multilateral (Multilateral Investment
Guarentee Agency/MIGA)7. IFC adalah badan
penanaman modal swasta dari kelompok Bank Dunia.
IFC menawarkan pinjaman jangka panjang dan investasi
modal. Investasi IFC disalurkan kepada korporasi swasta
yang selanjutnya memberikan bantuan pembiayaan
proyek investasi perusahaan swasta di negara-negara
terbelakang yang kaya sumber daya alam.
Perusahaan yang dijamin MIGA di Indonesia, yakni
Tambang Grasberg, Papua Barat; PT East Java Power Co,
(pada tahun 1997). Pada Tahun anggaran 1995-2000,
5 Laporan Tahunan ini juga tersedia di internet dengan situs www.worldbank.org.
6 Didirikan pada tahun 1956, memiliki 178 Anggota, Komitmen porfolio: $2 ,6 milyar dolar (termasuk
$5, milyar dolar pinjaman-pinjaman sindikat). Komitmen untuk Pembukuan Tahun 2006: $6,7 milyar
dolar untuk 284 proyek perusahaan di 66 negara. IFC berkantor di Washington, DC, dengan kantor-
kantor cabang tersebar di seluruh dunia.
7 Didirikan pada tahun 1988, memiliki 167 Anggota, Jaminan kumulatif yang sudah dikeluarkan :$ 6
milyar, Pembukuan tahun 2006 jaminan yang sudah dikeluarkan sebesar $ , 3 milyar
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
39
Bahasan: Korporatokrasi
MIGA menjamin dua proyek lain di Indonesia. Pada
tahun 1997, US West International Holding, Inc. dan
Chase Manhattan Bank (bertindak atas nama sekelompok
pemberi pinjaman) menerima sebuah jaminan sebesar
14 juta dolar AS untuk investasi modal dan pinjaman
mereka untuk perluasan dan pengoperasian jaringan
telepon di Jawa Barat.
MIGA terlibat dalam dua kasus yang paling kontroversial
di Indonesia, yakni asuransi resiko politik dari PT Enron
Java Power Co. Ketika PLN membatalkan perjanjian
pembelian tenaga listrik dengan PT East Java Power
Co, anak perusahaan PT Enron Java Co. akibatnya,
Indonesia terkena penalti sebesar 15 juta dolar AS. Data
dari Statistik Bank Indonesia menyebutkan pada tahun
2001, Indonesia harus menanggung utang dari MIGA
sebesar 8 juta dolar AS. Kasus PT. Enron berawal dari
perjanjia jual beli daya listrik (PPA) yang disepakati
Enron bersama Presiden Suharto digelembungkan 30%
lebih tinggi dari harga pasar. Enron memenangkan
proyek itu tanpa proses tender sebagaimana seharusnya.
PLN didesak Suharto untuk menandatangani perjanjian
itu. Walau Indonesia tengah dirundung masalah setelah
krisis, Pemerintahan Clinton mendesak Indonesia
untuk menghormati seluruh perjanjian bisnis yang
ditandatangani era Suharto. Pemerintahan Clinton
mengatakan bila Indonesia mengingkari janji artinya
sama saja dengan melecehkan ”kemurnian” kontrak.
Ketika awalnya Indonesia menolak membayar penuh
tagihan sebesar 15 juta dolar, MIGA menolak memberikan
asuransi kepada Indonesia. Sanksi tersebut baru dicabut
pada tahun 2001 ketika pada akhirnya Indonesia setuju
untuk membayar. Meskipun MIGA membayar 15 juta
dolar atas tuntutan tersebut ditambah bunga 220.000
Dolar AS, MIGA juga menerima 10,5 juta dolar dari
penjamin kedua (re-insurer) dan 880.000 Dolar dari
pemerintah Indonesia.
Pada tahun 1996, MIGA menerbitkan jaminan sebesar
USD 50 juta untuk Capital Indonesia Power I C.V., anak
cabang General Electric Capital Co. dari Amerika Serikat.
GE Capital mencari asuransi untuk investasi modalnya
sebesar USD 61,2 juta dalam pembangunan dan
pengoperasian dua pembangkit listrik tenaga batubara
berdaya 615 megawatt di Kompleks Pembangkit Listrik
Paiton, Jawa Timur8.
Lembaga keuangan lainnya, yakni ADB juga merupakan
pemberi utang besar bagi Indonesia dengan skema yang
sama. Lembaga keuangan ini terlibat dalam perlombaan
untuk memberi utang kepada Indonesia dengan harapan
memperoleh bunga dan sumber daya alam yang besar
bagi perusahaan swasta asing sebagai hasilnya. Pada
Agustus 2006 ADB telah menyetujui pinjaman untuk
sektor swasta terkait pengembangan infrastruktur. ADB
memberikan pinjaman senilai AS$ 350 juta untuk Proyek
Pengembangan Lapangan Gas Tangguh di Irian Barat
oleh British Petroleum (BP). Selain itu, proyek Pipanisasi
Gas dari Sumatera ke Jawa Barat oleh PT Perusahaan
Gas Negara Tbk (PGN) juga mendapat pinjaman senilai
US$ 80 juta. Pinjaman-pinjaman tersebut merupakan
pinjaman dengan bunga komersial yang menggunakan
tingkat bunga LIBOR+ 20 basis poin, serta biaya
komitmen.9
Sebagian telah diakui secara terbuka oleh
agen korporatokrasi bahwa mereka berperan dalam
merancang undang-undang mengakomodir kepentingan
korporatokrasi. Diantaranya adalah melalui Undang-
undang Migas peran Pertamina dibatasi dan sertai
subsidi BBM dicabut (”dieufemiskan dengan mengikuti
nilai keekonomian). Hal tersebut diungkapkan USAID
melalui web site nya bahwa lembaga tersebut bersama
ADB mendonori pembuatan undang-undang tersebut.10
Revrisond Baswir menyatakan tidak hanya UU Migas,
namun hal yang sama juga terjadi dengan UU Kelistrikan,
UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan beberapa
produk perundang-undangan lainnya. RUU Kelistrikan
disusunkan oleh Bank Dunia, sedangkan RUU BUMN
disusunkan oleh Price Waterhouse Coopers11.
Jika John Perkins dalam bukunya Pengakuan
Bandit Ekonomi Dunia menyatakan dia bekerja untuk
lembaga konsultan MAIN laporan-laporan bagus (namun
manipulatif) tentang indikator-indikator pembangunan,
8 Factsheet LKI diterbitkan oleh Down to Earth, Kampanye Internasional untuk Lingkungan Hidup
yang Berkeadilan di Indonesia.http://dte.gn.apc.org/Aif16.htm
9 Wednesday, 1 November 2006: ADB Tawarkan Pinjaman US$ 4 Miliar JAKARTA, Investor Daily
10 (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html
11 Revrisond Baswir, Amerikanisasi BBM
12 Ibid
40
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
13 http://www.suarapembaruan.com/News/2003/10/21/Ekonomi/eko02.htm
14 http://www.mpi.org.au/companies/bhpb/bhp_deceiver/
15 http://www.corporatepolicy.org/issues/FCPA.htm
16 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/01/17/LK/mbm.20050117.LK97651.id.htm
17 “Negara tidak lain tidak bukan adalah alat penindasan satu kelas terhadap kelas lainnya—begitu
kejadiannya dalam sebuah republik demokratik begitupula dalam sebuah monarki”, Preface to Karl
Marx, The Civil War in France, 1891
maka “Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM,”
yang diterbitkan oleh Pusat Studi Energi, Departemen
ESDM pada Desember 2001, kajian tersebut ternyata
dibiayai oleh AUSAID (Australia Agency for
International Development), melalui International
Trade Strategies (ITS) Pte. Ltd., Australia12. Bank Dunia
pun pernah menulis surat kepada Menteri ESDM agar
para pemain baru diberi akses menggunakan fasilitas-
fasilitas produksi dan distribusi milik Pertamina. Bank
yang didominasi Amerika Serikat tersebut mengatakan
jika tidak hal tersebut tidak dilakukan, para pemain
baru yang akan datang tidak akan kuat bersaing dengan
Pertamina yang terlanjur memiliki fasilitas yang cukup
lengkap. 13 Hal tersebut telah dilakukan
oleh pemerintahan Indonesia. Benar-benar, sistem
korporatokrasi telah tercipta sempurna.
Korporasi memanfaatkan kartu lainnya,
yakni kedutaan di negeri mereka beroperasi untuk
mempengaruhi dan menekan pejabat setempat. Dalam
sebuah acara sidang di parlemen Australian pada akhir
tahun 2002, Menteri Luar Negeri, Downer, mengaku
bahwa staf Kedutaan Besar Australia, bahkan Duta
Besarnya secara langsung, melakukan lobi intensif
atas nama BHP Biliton, Newcrest, Placer Dome, and
Rio Tinto. Para korporasi ini secara khusus meminta
dan menerima bantuan lobi dari Keduataan agar
Indonesia membiarkan korporasi tersebut beroperasi
di kawasan lindung di Indonesia. Pejabat kedutaan
sebanyak sembilan kali memaksa parlemen Indonesia,
juga Departemen Ekonomi (Budiono), Pertambangan
(Purnomo S), Kehutanan dan Lingkungan Hidup agar
mencabut larangan melakukan penambangan terbuka
di kawasan-kawasan lindung di tempat perusahaan
tersebut beroperasi.14
Kedutaan menjadi ujung tombak kepentingan
korporasi untuk menekan pemerintah juga terjadi dalam
kasus pencemaran lingkungan di Teluk Buyat. Duta
Besar Amerika Serikat mendatangai Presiden Megawati
Soekarnoputri, dan memperingkatkan (namun bisa
kita tafsirkan mengancam) bahwa kasus Buyat ”bisa
berdampak pada iklim investasi di Indonesia”.
Sering terjadi namun hanya sesekali terungkap,
korporasi memberikan uang kepada kepada penguasa
politik untuk melancarkan usaha mereka mengejar
keuntungan. Monsanto, pada tahun 2002, melalui
anak perusahaannya menyuap pejabat Departemen
Pertanian Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup
agar produk transgenik bisa masuk ke Indonesia. Hingga
kini tidak ada penuntutan hukum terhadap kasus ini di
Indonesia, dan dari media menyatakan bahwa Mosanto
setuju membayar $ AS 1,5 juta tidak dituntut secara
hukum di Indonesia.15 Pembayaran terhadap pejabat
tersebut berlangsung cukup lama, dari periode 1997-
2002 (yang sudah terbuka ke publik). Monsanto diduga
telah menyetor uang US$ 700 ribu (setara dengan Rp
6,3 miliar) kepada sedikitnya 140 pejabat Indonesia.
Transaksi suap terbesar yang pernah dilakukan Monsanto
adalah pemberian tanah dan pembangunan rumah yang
diatasnamakan istri seorang pejabat tinggi Departemen
Pertanian, senilai US$ 373.990 (Rp 3,37 miliar)16.
Bagi pemerintah Indonesia yang ada saat ini,
hal-hal tersebut bukan sebagai pelanggaran terhadap
kedaulatan negara (karena negaranya memang telah
ditempa dan teruji untuk mengakomodir kekuatan
korporasi). Kedualatan dan keutuhan negara hanya jadi
alat pemukul mana kala muncul gerakan rakyat yang
dikategorikan separatis atau menentang proyek yang
disebut vital yang sebenarnya adalah milik korporasi.
Demokrasi Semu dan Berbiaya Mahal
Dengan begitu mencengkeramnya kekuatan korporasi
terhadap negara (sehingga terjadi sistem korporatokrasi),
maka demokrasi yang ada sekarang ini sebenarnya adalah
semu. Atau sering diistilahkan hanya prosedural, tanpa
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
41
Bahasan: Korporatokrasi
substansial, karena dalam prakteknya, paska pemilihan,
lembaga-lembaga dan pejabat negara dikontrol oleh
kepentingan korporasi. Sesuatu hal yang seharusnya
tidak perlu membuat kita terkejut, karena jauh-jauh hari
Engels17 telah menyatakan negara adalah alat dari kelas
yang berkuasa, dan yang saat ini yang berkuasa adalah
kelas kapitalis (bukan lagi kelas feodal yang sudah
almahrum, dan saat ini bukan pula petani miskin, kaum
miskin kota, dan buruh yang paling terkena dampak-
dampak negatif ekspansi korporasi).
Pengalaman pribadi saya (Pius), sedikit
mundur ke belakang dari cerita pengaruh-pengaruh
korporasi di atas. Tak lama usai Pemilu 1999
mendampingi aksi buruh dari salah satu kawasan Industri
di Jawa Barat. Aroma demokrasi (namun ilusif) masih
mengental, banyak berharap bahwa wakil rakyat yang
dipilih dalam situasi lebih demokratis akan bisa berbuat
banyak bagi rakyat. Jumlah buruh tersebut adalah 500
orang lebih, sedangkan direksi dan manajer perusahaan
tidak lebih dari 50 orang. Namun DPRD yang mereka
datangi bahkan tidak kuasa memaksa pengusaha untuk
datang ke gedung parlemen agar berunding dengan
buruh. Belum lupa lagi bau tinta pemilu, namun prinsip
penjumlahan one man/woman one vote kalah dengan
kekuatan modal (one dollar one vote, makin banyak
uang makin berkuasa).
Di Amerika Serikat, pengaruh uang korporasi
terhadap anggata parlemen selama pemilihan mereka
telah banyak diungkap ke media. Misalnya, www.
opensecrets.org mencatat uang dari 50 korporasi
sebanyak $ 813,671,471 ke anggota Konggres selama
pemilihan umum 2007-2008.18
Dana korporasi melalui dalam pemilihan
pilpres dan caleg juga terjadi di Indonesia. Hal tersebut
dinyatakan oleh Amien Rais bahwa capres tertentu
dalam Pilpres 2004 menerima dana bantuan kampanye
dari Yayasan Washington19. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengancam akan menuntutnya terkait
pendanaan tersebut, namun hal tersebut tidak kunjung
dilakukan, membuat publik makin berkeyakinan bahwa
dana tersebut benar adanya.
Menyingkap aliran uang korporasi kepada
caleg, capres dan partai di Indonesia masih menjadi
tantangan yang perlu dilakukan sebagai bagian dari
kampanye menghentikan intervensi korporasi terhadap
institusi publik.
Militer dalam Sistem Korporatokrasi
Dalam buku Kisah Lanjutan Pengakuan Bandit
Ekonomi, John Perkins mengungkapkan pengakuan
seorang seorang perwira militer Indonesia bahwa sejak
lengsernya Suharto keadaan makin memburuk. ”Mereka
pikir dengan mengurangi anggaran militer, tujuan
akan tercapai [agar militer tunduk kepada sipil]. Tapi
para jenderal tahu ke mana mereka harus meminta
bantuan: perusahaan-perusahaan pertambangan dan
energi.” (Perkins:2007:60). Freeport telah mengakui
memberikan uang $AS 20 juta [Rp.184 milyar, $AS
1=Rp 9.200] kepada komandan dan satuan-satuan
yang berada di daerah pertambangan tersebut atas jasa
pengamanannya. Laporan lain mengungkapkan pribadi
Jenderal Mahidin Simbolon menerima uang sebanyak
$ AS 247,705 dari Freeport dari tahun 2001 hingga
tahun 2003. Keterpautan antara militer dari korporasi
juga terlihat di Aceh. Militer penjaga Exxon terbukti
melakukan pemerkosaan, pembunuhan dan penyiksaan
ketika mengamankan Exxon Mobile di Aceh.20 Kejadian-
kejadian ini menunjukkan institusi militer telah dibawah
kendali korporasi.
Pengaruh ini diperkuat dengan bantuan militer
AS ke militer Indonesia yang dipulihkan kembali setelah
pemerintahan Bush. Bantuan militer dari AS ini tentu
tidak terlepas dari lobi dan kepentingan korporasi21.
Bagian dari program bantuan ini adalah penyekolahan
perwira-perwira militer Indonesia ke Amerika Serikat.
Mereka orang-orang yang terbukti kemudian memegang
18 http://www.opensecrets.org/industries/mems.php
19 http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2007/5/20/n3.html
20 http://www.jatam.org/content/view/508/1/
21 Roger Moody (2005) mengatakan Freeport melobi Kongges dan Presiden AS untuk menambah
bantuan militer terhadap Indonesia.
42
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
peran penting dalam militer, diantaranya Susilo Bambang
Yudhono22, Prabowo Subianto. Sekolah militer Amerika
Serikat ini ini terkenal melahirkan banyak perwira yang
melakukan pelanggaran HAM23.
Tentang pentingnya pengaruh Amerika Serikat
melalui penyekolahan perwira ke AS ini, dari pengalaman
Venezuela, yang menghentikan pelatihan militernya ke
Amerika Serikat, dimulai pada generasi Chavez dalam
derajat tertentu diakui oleh Chavez terhadap menurunnya
pengaruh Amerika terhadap militer negeri tersebut24.
Kekuasaan Kolonial Baru
Secara sederhana strategi praktek ekonomi kolonial
dijalankan dalam bentuk mobilisai sumber daya alam
melalui investasi langsung yang berorientasi ekspor.
Tesis ekonomi modern saat ini dibuat di universitas
terkemuka di dunia dalam rangka memberi landasan
bagi beroperasinya ekonomi negara-negara terbelakang
agar tetap bersedia memproduksi sumber-sumber yang
diinginkan perusahaan-persuahaan multinasional yang
berkantor pusat di negara-negara maju. Digunakannya
Product Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator
ekonomi adalah bukti nyata dari tidakan tersebut.
Mengapa Indonesia menjadi incaran? Dunia
mengibaratkan negeri ini bagaikan untaian mutiara
di katulistiwa. Seluruh wilayah daratan Indonesia
adalah tanah yang subur. Menyediakan syarat bagi
berkembangbiaknya hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Menjadikan Indonesia sebagai wilayah dengan hutan
tropis terluas ketiga di dunia. Tutupan hutannya
mencapai lebih dari 101 juta ha, dengan kekayaan flora
yang terlengkap di dunia. Selain itu, wilayah perairan
Indonesia kaya dengan beragam kehidupan biota laut.
Terumbu karangnya yang melengkapi keindahan pulau-
pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Bagaimana kekuasaan perusahaan asing sedemikian
besar, tentu ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja.
Dalam menganalisis soal ini memang memerlukan
penjelasan historis yang memadai. Suatu penjelasan
tentang sejarah penguasaan modal asing di Indonesia
selama lebih dari 400 tahun lamanya dan masih
berlangsung hingga saat ini.
Fakta ini bukan sesuatu yang sulit untu ditunjukkan,
kita dapat mengambil contoh bagaimana penguasaan
mineral di Indonesia sejak kontrak karya generasi
pertama, terdapat suatu upaya sistematis dari modal
asing dalam rangka menguasai sumber daya mineral
di negeri ini. Keluarnya undang-undang No. I tahun
1967, selanjutnya diikuti dengan kontrak karya Generasi
pertama yang diperoleh oleh PT. Freeport Indonesia
adalah upaya langsung dari modal asing. Bahkan
kontrak karya Freeport tersebut diberikan tanpa
menunggu rampungnya aturan-aturan pertambangan
yang seharusnya menjadi payung hukum bagi ekploitasi
tambang.
Selama kekuasaan Orde Baru, praktis perekonomian
Indonesia dikontrol secara penuh oleh modal asing.
Kebijakan semacam ini terus berlanjut sampai saat ini.
Meskipun sudah terjadi empat kali pergantian rezim
pasca tumbangnya Orde Baru, kebijakan ekonomi
Indonesia cenderung mengabdi pada kepentingan
korporasi asing.
Bahkan di dalam Undang-undang Penanaman
Modal yang baru, yaitu UU No. 25 Tahun 2007 yang
menggantikan Undang-undang yang berlaku selam
40 tahun lebih di Indonesia, sangat jelas dimaksudkan
sebagai undang-undang yang mendukung kepentingan
bisnis modal asing di Indonesia. Beberapa hal di dalam
undang-undang tersebut menjadi bukti dari diperalatnya
instrumen Negara sebagai strategi modal asing,
seperti: pemberlakukan azas perlakukan yang sama
bagi penanaman modal, hak menguasai tanah hingga
jangka waktu 95 tahun, insentif pajak yang berlebihan,
kebebasan melakukan transfer, repatriasi asset dan lain
22 Pendidikan militer SBY di Amerika Serikat: Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia,
AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih
honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), dan Command and General Staff College
di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991) http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/susilo-b-
yudhoyono/biografi/jenderal.shtml
23 Cerita tentang kekerasan para alumni sekolah militer yang banyak melatih perwira negara dunia
ketiga yang kemudian hari banyak jadi petinggi negara ini bisa dilihat di www.soaw.org
24 Memahami Revolusi Venezuela, Monthlyreview, New York, 2007
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
43
Bahasan: Korporatokrasi
sebagainya. Kesemuanya adalah jalan termurah bagi
modal asing untuk memperluas ruang ekploitasi dan
dominasi ekonominya di Indonesia.
Tindakan-tindakan ekonomi dalam bentuk pembesaran
ekspor adalah tindakan yang sejalan dengan kepentingan
korporasi asing. Sebagaimana kita ketahui bahwa
perusahaan-persuahaan asing tersebut melakukan
investasi di Indonesia dalam rangka untuk mendapatkan
sumber daya alam bagi industri-industri di negara.
Contoh nyata adalah investasi pada PT. Newmont
Nusa Tenggara yang dibiayai Jepang. Perusahaan ini
adalah salah satu perusahaan tambang besar yang telah
terikat kontrak dengan pembeli dari Jepang untuk
jangka panjang sejak perusahaan akan mengembangkan
tambang tembaga di Batu Hijau, Sumbawa. Sebanyak
90% produk berupa konsentrat tembaga beserta emas
yang merupakan produk mineral ikutan dalam konsentrat
tersebut langsung diekspor ke Jepang 25.
Karakteristik eksploitasi oleh perusahaan asing di
Indonesia saat ini, mirip dengan model ekploitasi sistem
kolonialisme liberal yang diterapkan jaman Belanda
(1870 – 1900-an). Beberapa hal yang mencirikan
persamaan tersebut diantaranya adalah ; pertama, saat
itu pemerinta Hindia Belanda mengundang banyak
investor asing untuk menanamkan modalnya di Hindia
Belanda (Indonesia), kedua, pemerintah Hindia Belanda
hanya mengatur lalu lintas investasi dan perdagangan,
menetapkan pungutan bea masuk (invoerrechten)
dimana bea masuk tersebut dipungut semata-mata
untuk kepentingan keuangan negara (birokrasi) dan
bukan karena alasan-alasan perlindungan atau proteksi.
Ketiga, menerapkan sistem kerja bebas (upah) melalui
kerja kontrak, penanaman bebas, dan persewaan tanah26
oleh partikelir-partikelir untuk penanaman komoditi
tertentu27.
Praktek pengerukan kekayaan alam sebagaimana
yang dikatakan sebelumnya, memang ditujukan
bagi industrialisasi di negara-negara maju. Hal ini
dikarenakan perusahaan-persuahaan yang beroperasi
di sektor ini menggunakan sumber-sumber keuangan
yang berasal dari negara maju dalam bisnis mereka.
Orientasi ekspor dari seluruh sumber-sumber strategis,
minyak gas mineral merupakan sebab bagi tidak
tumbuhnya industrialisasi nasional dan industrialisnya.
Yang tumbuh sebagian besar hanyalah makelar, calo dan
birokrat antek korporasi asing.
Media, Intelektual Perguruan Tinggi dan
Program CSR
Adalah tidak mungkin suatu kekuasaan perusahaan
raksasa yang dijalankan memalui praktek kolonial bisa
bertahan sedemikan lama di sebuah negara miskin dan
tanpa penolakan, malainkan dikarenakan lengkapnya
strategi yangt dijalankan oleh para penyokongnya.
Hampir setiap hari kita menyaksikan di televisi, membaca
di koran-koran bisnis dan ekonomi tentang masalah-
masalah utama yang dihadapi ekonomi Indonesia. Secara
umum pemberitaannya adalah tentang perkembangan
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, tentang
Indeks harga saham gabungan (ISHG) yang seolah-olah
masalah tersebut dihadapi oleh rakyat Indonesia sehari-
hari. Padahal tidak demikian keadaannya. Apa yang
dipertontonkan di media-media massa tersebut adalah
aktifitas ekonomi yang dijalankan oleg segelintir orang
saja, sekitar 300 – an emiten di bursa saham dan lebih
dari separuh adalah pemilik modal asing yang tengah
25 Investor Tambang (Baru) wajib membangun Smelter, Bronto Sutopo, Thu, 04 Jan 2007 20:20:44
–0800 : Bisnis Indonesia
26 Pada tahun 1874 diadakan peraturan mengenai pembukaan tanah oleh penduduk untuk dijadikan
milik perorangan. Selanjutnya hak milik perorangan atas tanah dilindungi oleh pemerintah. Akan
tatapi diberlakukan larangan pemindahan hak atas tanah (vervreemdingsverbod). Dalam staatblad
1875 no. 179, dalam mana pemindahan hak atas tanah oleh orang Indonesia asli kepada orang-orang
bukan Indonesia asli dinyatakan tidak sah (illegal). Dalam periode ini pemerintah kolonial melakukan
pembagian tanah secara luas terutama di Jawa dan Madura, dari tahun 1882 sampai dengan 1932
kepemilikan tanah perorangan meningkat dari 47 persen menjadi 83 persen. (Burger, 1962 hal : 218).
27 Dalam tahun 1891 penanaman perusahaan atas tanah-tanah rakyat yang disewakan meliputi tiga
perempat daripada seluruh penanaman-penanaman tebu. Juga dalam tahun berikutnya merupakan
penanaman yang terpenting. (burger, 1962, hal : 222)
44
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
menjalankan aktifitas spekulasi uang panas (hot money).
Sebagian besar masyarakat di Indonesia dan bahkan
mayoritas masyarakat di dunia tidak mengetahui apapun
tentang prilaku para pelaku pasar (pemilik modal besar),
apalagi mengetahui bagaimana mereka mengambil
untung dari pasar keuangan derivatif yang menjadi
sumber dari krisis keuangan global saat ini.
Spekulasi di pasar modal dan pasar keuangan adalah
contoh paling gamblang betapa minoritas korporasi
raksasa menjadikan media sebagai sarana untuk
mefasilitasi kepentingan-kepentingan mereka. Media
massa dipaksa tunduk pada kepentingan ekspansi,
akumulasi bahkan tidakan-tindakan rekayasa sistem
finasial dalam rangka untuk mendapatkan legitimasi.
Masayarakat tidak akan pernah mengetahui tiba-tiba
tabungan meraka di Bank telah menyusut dan bahkan
bisa lenyap nilainya, baik karena nilai tukar yang berubah
maupun ambruknya saham-saham tempat mereka
menabung dan menanamkan modalnya.
Doktrin-doktrin media massa telah menyebabkan
hampir tidak ada gugatan terhadap masalah ini. Media
massa yang memang dihidupkan dan dibesarkan oleh
sistem ini telihat seperti seorang tamu yang mabuk dan
memasuki rumah-rumah penduduk. Bahkan tempat
paling rahasia dari rumah-rumah tersebut, kamar-
kamar tidur dan kamar mandi. Televisi telah menjadi
tamu yang paling dihormati di semua rumah. Sepanjang
hari mengoceh menyampaikan pesan–pesan agar
masyarakat terus bertambah boros terus mengkonsumsi
dalam rangka memperbesar akumulasi keuntungan para
pemilik modal besar. Media adalah langkah termurah
bagi korporatokrasi untuk menguasai keadaan.
Baik terhadap praktek-praktek praktek-praktek di
bursa saham dan pasar mata uang, maupuan terhadap
iklan dan dorongan berkonsumsi secara rakus, tidak
mengalami kritik dari kalangan akademisi yang mengerti
tentang kedaan ini. Para intelektual di kampus-kampus
terkemuka yang mereka sepenuhnya mengerti tentang
masalah ini, bahkan melakukan penjungkirbalikan teori.
Mereka memberikan analisis yang mendukung praktek-
praktek semacam ini. Bahkan belakangan beberapa
ekonom dan akademisi menyatakan bahwa konsumsi
yang besar adalah penentu pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Artinya, para akademisi sama sekali tidak
memberi kritik terhadap konsumsi yang telah melewati
batas pendapatan riel yang diterima masyarakat. Para
akademiksi tidak mengatakan bahwa konsumsi yang
ditopang oleh kredit konsumsi dan utang masyarakat
kepada perbankkan adalah sesuatu yang membahayakan
bagi kehidupan ekonomi.
Hal tersebut terjadi karena akademisi adalah elemen
yang terlibat secara langsung dan mengambil keuntungan
dari kolonial ini. Kapitalisme telah memperkaya proyek-
proyek penelitian mereka dan dan tidak ada jalan
keluar lain karena dasar keilmuan yang dimiliki oleh
sebagian besar akademisi adalah menganut mainstream
pemikiran ortodoks semacam itu. Tidak hanya itu,
kalangan kampus-kampus terutama kampus terkemuka,
mengambil keuntungan dari proyek yang dikeluarkan
oleh lembaga-lembaga keuangan dunia seperti World
Bank (WB), Asian Development Bank (ADB) bagi
pengembangan dunia pendidikan, mulai dari program
pembangunan infrastruktur, hingga proyek-proyek
penelitian ilmiah dalam rangka meraup sumber daya
alam dan potensi bagi ekspansi bisnis. Keadaan tersebut
telah menyebabkan kepentingan para akademisi dan
kalangan kampus telah tegabung ke dalam kepentingan
pebisnis.
Di luar kampus berjamur lembaga-lembaga penelitian
yang memperebutkan proyek-proyek penelitian dari
lembaga keuangan dan perusahaan swasta, dan bersaing
dengan kampus-kampus yang ada. Hasil penelitain
mereka seringkali secara ekstrim mengeluarkan
dukungan kepada perusahaan dan lembaga keuangan
global dalam rangka mengatur dunia pendidikan.
Indonesia Country Assistance Strategy (CAS) adalah
sebuah proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia28. Bank
tersebut menyebutkan bahwa salah satu rekomendasi
28 Sebagai bagian dari penyusunan CAS periode 2001-2003, diklaim telah dilakukan serangkaian
konsultasi publik dilaksanakan dengan segenap organisasi dan jaringan masyarakat sipil. Proses ini,
yang melibatkan sekitar 400 organisasi masyarakat sipil (OMS), difasilitasi oleh Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jakarta.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
45
Bahasan: Korporatokrasi
dari Masyarakat Sipil medukung Bank Dunia agar
di bidang pendidikan Bank Dunia perlu membantu
pendanaan dalam bentuk grant bagi reformasi kebijakan
untuk mendisain kembali kolonial pendidikan nasional
secara komprehensif 29. Bagaimana mungkin institusi
pendidikan tempat mencetak kader bangsa diserahkan
untuk didesain oleh kepentingan global yang bekerja
pada korporasi. Jelas ini adalah rencana ”pemusrikan”
yang paling hebat terhadap kader-kader bangsa.
Terhadap pengeritiknya, korporasi
melakukan pemberangusan, baik melalui jalur hukum
maupun luar jalur hukum. Beberapa aktivis WALHI
telah dan sedang menghadapi pemberangusan ini,
diantaranya Rignolda Jamaludin, Yani Sagaroa, dan
Jull Takaliuang. Pemberangusan ini adalah kelanjutan
dari tindakan penyangkalan terhadap publik terhadap
keberadaan kerusakan lingkungan dan juga praktek
pabrik pemeras keringat (sweatshop) dilakukan oleh
korporasi. Penyangkalan tersebut dikombinasikan
dengan kampanye-kampanye bahwa korporasi telah
memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat
dan lingkungan. Kepedulian tersebut dikenal saat ini
dikenal dengan nama tanggung jawab sosial perusahaan
(corporate sosial responsibility--CSR), yang tidak lebih
sebagai usaha menutup borok perilaku buruk korporasi.
Josep Stiglitz, mantan ekonom Bank Dunia yang kini
menjadi pengeritik ekses globalisasi, pun menganjurkan
bahwa CSR adalah salah satu alternatif agar globalisasi
bisa tetap bekerja. Namun dia pun menyadari bahwa
bahwa bahkan perusahaan yang paling polutif dan
dengan perlakuan yang buruk terhadap buruh pun
telah menyewa jasa perusahaan kehumasan (PR) untuk
mengagung-agungkan perasaan bertanggung jawab
terhadap sosial dari perusahaan30.
Dengan mengikuti defenisi Milton Friedman
(ideolog korporasi yang sangat kanan namun tidak
menutup nutupi logika korporatokrasi) menyatakan
bahwa “Korporasi adalah milik pemilik saham.
Kepentingan korporasi adalah kepentingan pemilik
saham. Hanya ada satu “tanggung-jawab sosial
perusahaan”, para eksekutif perusahaan harus mencetak
uang sebanyak mungkin bagi pemilik sahamnya. Hanya
ada satu situasi dimana tanggung-jawab sosial korporasi
ditoleransi, yakni ketika para eksekutif perusahaan
memperhatikan nilai-nilai sosial dan lingkungan sebagai
cara untuk memaksimalkan keuntungan. Menurutnya,
CSR tak lebih dari menaruh seorang perempuan cantik
di depan sebuah mobil. Tujuannya, bukanlah untuk
menjual kencantikan, namun mobil terjual.31 Joel Bakan,
seorang ahli hukum dan penulis buku The Corporation:
Pathological Pursuit of Profit and Power menelanjangi
kelemahan CSR ini.
Dibandingkan dengan keuntungan korporasi, tidak
banyak uang yang dikeluarkan untuk aktifitas CSR
ini, berkisar antara 0,5 sampai dengan 1 persen dari
keuntungan perusahaan. PT. PGN salah satu BUMN
di Indonesia mengeluarkan hanya 0,8 persen dari
keuntungannya untuk CSR. Perusahaan Newmont Nusa
Tenggara salah satu perusahaan asing terkaya di dunia
mengeluarkan 1 persen saja dari keuntungan yang
diperolehnya untuk program CSR yang disebut sebagai
program pengembangan masyarakat. Program tersebut
hampir setiap saat dikampanyekan melalui media-
media massa. Di sektor pengelolaan migas biaya CSR
perusahaan-perusahaan minyak hulu seperti Exxon,
Chevron, dan lainnya bahkan ditanggung oleh negara
melalui cost recovery32.
Sepak terjang perusahaan tambang skala besar adalah
tempat yang tepat untuk mempelajari dampak CSR
bagi masyarakat lokal. Hampir di seluruh tempat di
mana perusahaan tambang beroperasi masyakat telah
kehilangan banyak dari sumber ekonomi mereka. Lahan-
lahan pertanian berkurang secar signifikan, laut-laut
tercemar akibat pembuangan limbah, sumber air bagi
pertanian telah berkurang akibat hutan digali untuk
tambang. Fakta–fakta yang dialami masyarakat berbeda
29 http://www-wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/
06/29/000012009_20050629124725/Rendered/ PDF/315340rev.pdf
30 Joseph Stiglitz. Making Globalization Work. Penguin Books, 2007
31 Joel Bakan. The Corporation: Pathological Pursuit of Profit and Power, Constable&Robinson, 2004
32 Cost recovery adalah biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah sebagai penggantian atas
seluruh biaya ekplorasi dan ekploitasi migas yang dilakukan oleh perusahaan di sektor hulu minyak
yang didominasi oleh perusahaan asing.
46
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
jauh dengan apa yang dikeluarkan oleh para peneliti dari
kalangan kampus. Entah bagaimana metode penelitian
yang dilakukan, hampir sebagian besar hasil penelitian
yang dilakukan oleh kampus-kampus terkemuka
menggambarkan situasi yang berbeda dengan keadaan-
keadaan di lapangan.
Yang terjadi di lapangan adalah meluasnya kemiskinan
dan kelaparan, keadaan yang menyebabkan masyarakat
semakin tergantung pada belas kasihan perusahaan
tambang. Sementara pada saat yang sama pemerintahan
lokal tidak memperdulikan masalah ini. Para aktivis
lokal selalu mencurigai pemerintahan dan anggota DPRD
mengambil dana-dana CSR untuk berbagai kegiatan yang
tidak penting sebagai imbalan atas dukungan politik
yang diberikan kepada perusahaan tambang. Dugaan
kalangan LSM cukup berdasar, akan tetapi seringkali
tidak dapat dibuktikan karena tidak transparannya
pengelolaan dana CSR sendiri.
Luasnya saling mencurigai dikalangan masyarakat,
gerakan sosial dan pemerintahan lokal menjadi
keuntungan tersendiri bagi korporasi tambang.
Para pengamat yang independen mengetahui bahwa
perusahaan tambang berusaha menyogok tidak hanya
pemerintahan lokal dan anggota DPRD akan tetapi
juga aktifis-aktifis yang kritis dan bahkan lembaga
swadaya masyarakat. Dengan cara itu, korporasi dapat
menciptakan kompetisi diantara aktivis lokal dalam
rangka mencari perhatian perusahaan, dan mengalihkan
perhatian para aktivis kritis agar memusuhi agen-agen
yang justru dipelihara perusahaan tambang. Hal ini
menjadi bagian paling berbahaya dari program CSR yang
memecahkan persatuan diantara kalangan gerakan sosial
dan menjauhkan gerakan sosial dari strategi perjuangan
massa.
Makin kecil anggaran negara untuk dana peningkatan
kesejahteraan masyarakat sejalan dengan kebijakan
neoliberal yang didorong oleh pendukung sistem
korporatokrasi, makin kuatlah ketergantungan
masyarakat terhadap dana CSR korporasi. Padahal,
secara prinsip/konstitusi, negara bertanggung-jawab
untuk kesejahteraan rakyat, bukannya mengakomodir
kepentingan korporasi. Seharusnya negara menjalankan
kewajiban konstitusinya untuk kesejahteraan dengan
mengenakan pajak bagi korporasi untuk kesejahteraan
rakyat. Tentu saja, hal itu pun belumlah menjamin
kesejahteraan masyarakat dan terjaganya lingkungan,
karena korporasi akan membebankan kembali semua
biaya ke massa konsumen (sebagian besar adalah kelas
menengah ke bawah) termasuk ekternalitas negatif
(pengerusakan lingkugan) ke masyarakat, terutama
komunitas sekitar lokasi operasi korporasi. Konsekuensi
logis jalan mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah
dijalankannya unit-unit ekonomi secara kolektif oleh
rakyat. Dan karena lingkungan sekitar adalah ruang hidup
rakyat dan mereka terikat erat di dalamnya (tidak seperti
korporasi yang bisa menerapkan keruk lalu pergi), maka
tentunya rakyat berkepentingan menjaga lingkungan
sambil menjalankan aktivitas untuk kelangsungan
hidupnya…Semoga menjadi bahan pelajaran.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
47
Bahasan: Korporatokrasi
Judul :Catatan Hitam Lima Presiden
Indonesia - Sebuah Investigasi 1997-2007,
Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun
Indonesia
Penulis : Ishak Rafick
Penerbit : Ufuk Publishing House (Jakarta)
Cetakan : I (Januari 2008)
Tebal : 422 halaman + xx (hard cover)
Menulis buku, terutama topik yang cukup
serius, jarang sekali dilakukan oleh jurnalis di Indonesia.
Ishak Rafick, dengan pengalaman jurnalistiknya belasan
tahun selama bekerja di majalah bisnis terkemuka
SWAsembada dan GlobeAsia, telah menulis berbagai
artikel tentang ekonomi-politik, korporasi dan
manajemen. Buku yang semula hendak diberi judul
“Jalan Baru Membangun Indonesia” ini memaparkan
investigasi selama 10 tahun, dari 1997 hingga 2007,
memotret perjalanan Indonesia selama berlangsungnya
reformasi, tarik-menarik dalam strategi ekonomi sejak
pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY-JK,
dan membiarkan para aktor politik dan bisnis berbicara
sendiri menanggapi situasi.
Transisi dari sistem otoriter ke sistem
demokrasi ternyata tidak membawa manfaat yang besar
pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat.
Dalam kondisi vakum ideologi, dominasi pragmatisme,
politik uang, dan kelemahan visi para pemimpin
bangsa, Indonesia akhirnya berada di bawah pengaruh
pandangan ekonomi ortodoks dan neoliberal yang
mengecilkan peran Negara dalam menyejahterakan
rakyat. Peran lembaga-lembaga internasional seperti
IMF dan Bank Dunia begitu dominan dalam menentukan
arah dan kebijakan ekonomi Indonesia. Letter of Intent
(LoI) yang ditandatangani Suharto pada 20 Januari 1998
dalam operasionalnya menjadi semacam “GBHN super
dari bawah meja IMF”, dan mengikat presiden-presiden
penggantinya. Biasanya orang tidak mau datang ke
dokter yang sama dua kali, bila pada kali pertama si
dokter telah membeli obat yang salah. Tapi Suharto,
menjelang kejatuhannya, dengan panik kembali ke
pelukan mentornya, menerima mentah-mentah resep-
resep IMF justru setelah terbukti sebelumnya gagal.
Indonesia pun batal tinggal landas. Jika pada tahun 1967
GNP per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan
dan Cina nyaris sama yaitu kurang dari US$ 100 per
kapita, pada tahun 2004 menjadi: Taiwan US$ 14.590,
Malaysia US$ 4.520, Thailand US$ 2.490, Cina US$
1.500 dan Indonesia US$ 1.100!
Peran Mafia Ekonomi Membangkrutkan
Indonesia
John Pilger, wartawan terkemuka
berwarganegara Australia yang bermukim di Inggris,
membuat film dokumenter tentang Indonesia, The
New Rulers of the World. Ia menggambarkan, pada
November 1967, setelah Jenderal Suharto berkuasa,
diadakan konferensi istimewa di Jenewa dalam waktu
CATATAN HITAM
PRAKTIK
KORPORATOKRASI
DI INDONESIA
Oleh: Sudiarto
RESENSI BUKU
48
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
tiga hari merancang “pengambilalihan Indonesia”. Para
pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa
di dunia, orang-orang seperti Rockefeller. Semua
raksasa korporasi terwakili, seperti General Motors,
British American Tobacco, American Express, Siemens,
Goodyear, dan US Steel. Di seberang meja adalah
tim Suharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-
ekonom Indonesia yang top”. Dalam konferensi, tim
yang diketuai Sultan Hamengkubuwono IX terkenal
dengan sebutan Mafia Berkeley, karena beberapa di
antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah
Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California
di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang
menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan
yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari
negara dan bangsanya, Sultan menawarkan: “…… buruh
murah yang melimpah…. cadangan besar dari sumber
daya alam ….. pasar yang besar...”
Selama 40 tahun kemudian, Mafia Berkeley
terbukti gagal membawa Indonesia menjadi negara yang
besar dan sejahtera. Strategi dan kebijakan ekonomi
yang dirancang oleh Mafia Berkeley selalu menempatkan
Indonesia di bawah subordinasi kepentingan global,
padahal tidak ada negara yang berhasil meningkatkan
kesejahteraannya dengan mengikuti model Konsensus
Washington. Kemerosotan selama tiga dasawarsa di
Amerika Latin (1970-2000) adalah contoh monumental,
dan justru negara-negara yang melakukan penyimpangan
dari model Konsensus Washington seperti Jepang,
Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan Cina yang berhasil
meningkatkan kesejahteraan dan memperbesar kekuatan
ekonominya.
Menjelang kejatuhan rejim Orde Baru,
tepatnya pada Maret 1998, utang luar negeri Indonesia
mencapai US$ 137,424 milyar, dan lebih dari separuhnya
(US$ 73,962 milyar) adalah utang swasta besar alias
konglomerat. Sebagian besar utang ini berasal dari
bank komersial yang mengenakan persyaratan berat:
berjangka pendek dan berbunga tinggi. Sedangkan utang
domestik pemerintah tercipta melalui penggelontoran
bantuan likuiditas (BLBI) hingga mencapai Rp 144
triliun ke sejumlah bank yang mengalami rush akibat
badai krisis moneter. Atas desakan IMF, pemerintah
lalu mengeluarkan obligasi sebesar Rp 430 triliun untuk
rekapitalisasi perbankan, biasa dikenal dengan obligasi
rekap, yang bersama bunganya menjadi Rp 600 triliun
lebih.
Menurut Kwik Kian Gie, mantan Menko
Perekonomian zaman Gus Dur dan ketua Bappenas
zaman Megawati, mulanya obligasi rekap hanya sebatas
instrumen saja, akan ditarik lagi kalau banknya sudah
sehat. Tapi ketika sudah sehat dan bebas dari kredit
macet, IMF mendesak agar bank-bank rekap itu mesti
dijual bersama obligasinya. Lalu demi memelihara
kepercayaan internasional, bank-bank itu jatuh ke
tangan asing atau konsorsiumnya. Maka, pemerintah
pun jatuh ke dalam jebakan utang yang kedua setelah
utang luar negeri, karena tanpa disadari pemerintah
telah mengubah utang swasta menjadi utang publik.
Beban utang ini menggelayuti pemerintahan
pasca-reformasi. Tahun 2004, Kabinet Gotong-Royong
Mega-Hamzah membayar pokok dan bunga utang
dalam dan luar negeri sebesar Rp 139,4 triliun. Kabinet
Indonesia Bersatu SBY-JK membayar Rp 126,315 triliun
pada 2005, dengan rincian cicilan utang pokok Rp
61,614 triliun dan bunga Rp 64,691 triliun. Lebih rendah
Rp 17,2 triliun dari yang dianggarkan karena mendapat
moratorium akibat bencana tsunami di Aceh dan Nias.
Dalam APBN 2006, untuk pembayaran utang dalam dan
luar negeri pemerintah telah mengalokasikan Rp 140,22
triliun, atau empat kali lebih besar daripada anggaran
pendidikan yang dijatah hanya Rp 34 triliun. Masih jauh
lebih besar daripada selisih antara harga BBM domestik
dan internasional yang dipelintir menjadi “subsidi” (Rp
95 triliun). Itupun masih didesak IMF untuk dipangkas
hingga nol dalam tenggat waktu yang telah ditentukan,
padahal BBM menyangkut hajat hidup orang banyak.
Profesor William R. Liddle menyebut
kehadiran Boediono sebagai Menko Perekonomian
dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua sebagai
reinkarnasi Mafia Berkeley yang pada masa Orde Baru
dipimpin oleh Widjojo Nitisastro. Bedanya, jika waktu
itu Widjojo cs tinggal datang untuk mempresentasikan
konsepnya kepada Suharto, audiens Boediono adalah
pasar, tepatnya pasar modal dan pasar uang. Hanya saja,
sangat mubazir kalau doktor ekonomi sekaliber Boediono
dan Menteri Keuangan Sri Mulyani ditugasi untuk
menjual surat utang negara (SUN), yang yield-nya 329
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
49
Bahasan: Korporatokrasi
basis poin di atas treasury bill AS atau bunganya 3,29%
lebih tinggi dari obligasi internasional di AS. “Mahasiswi
semester 2 jurusan Tataboga saja bisa melakukan,
malah lebih mudah lewat MLM,” sindir Rafick sinis
(hlm. 21). Semestinya orang-orang sekaliber Boediono
dan Sri Mulyani ditugasi kerja-kerja besar semacam
penghapusan dan pemotongan utang, atau menarik
obligasi rekap dan menyatakannya tidak berlaku.
Berbeda dengan Pakistan yang berani meminta
kepada AS untuk memotong utang sampai 50% bahkan
bunganya diturunkan sampai 0% demi mendukung
invasi ke Afghanistan, atau Nigeria dengan dalih “ongkos
demokrasi” meminta pemotongan utang sampai 70%,
Boediono waktu menjabat Menkeu Kabinet Gotong-
Royong bersama Menko Perekonomian Dorodjatun
Koentjorojakti sama sekali tidak berupaya ke arah sana.
Mendengar ide penghapusan utang saja sudah waswas.
Boediono-Sri Mulyani juga bungkam soal Blok Cepu
dan rencana buyback Indosat, tapi keras menolak segala
program yang meringankan beban rakyat dan lihai
mengutak-atik angka sehingga berkurangnya anggaran
publik (subsidi BBM, listrik, kesehatan dan pendidikan)
tampak manis. Pada minggu ketiga 2006, Menkeu Sri
Mulyani terang-terangan menyatakan, “Kalau ingin
pertumbuhan 6% per tahun dengan PDB Rp 3000 triliun,
perlu dana investasi Rp 150 triliun kali empat, karena
output rasio investasi kita masih empat, artinya kredit
dan investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 600 triliun.”
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Boediono-Sri
Mulyani tak punya alternatif lain kecuali mengikuti jalan
yang telah digariskan IMF dan pendahulunya.
Jalan Baru Seperti Apa?
Subordinasi kepentingan rakyat dan
nasional kepada kepentingan korporatokrasi global
mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian
dalam perumusan perundang-undangan, strategi dan
kebijakan ekonomi, dan hanya terpaku pada model
generik Konsensus Washington. Selama tidak ada
perubahan dalam arah dan kepemimpinan ekonomi,
Indonesia tidak akan pernah mampu mengangkat
kesejahteraan mayoritas rakyat.
Meskipun tidak ditujukan sebagai cerita
pengantar tidur untuk menyenangkan semua orang,
namun narasi yang dibangun Ishak Rafick membuat
buku ini begitu nikmat untuk dibaca, ringan, mengalir
dari awal sampai akhir. Hampir tak ada yang luput dari
penelusuran jurnalistik Rafick, seperti diniatkannya
sebagai kajian yang komprehensif memotret Indonesia
selama 10 tahun terakhir. Sayangnya, Rafick tak
hendak membuat pendahuluan dan penutup, sebagai
kesimpulan, menganggapnya teknik penulisan yang
“kuno” yang cocok untuk tulisan ilmiah di kampus. Tak
dijelaskan jalan baru seperti apa yang dibutuhkan untuk
membangun Indonesia ke depan. Pembaca dibiarkan
menarik kesimpulan sendiri dari paparan dalam bab
demi bab.
Tapi, untuk memberikan gambaran apa
adanya tentang Indonesia, dan memberikan pencerahan
kepada anak bangsa, buku ini telah meraih tujuannya.
Buku ini layak dibaca untuk memahami bagaimana
struktur korporatokrasi bekerja merusak perekonomian
Indonesia, khususnya pada periode 1997-2007.
50
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
“Mengapa Indonesia tetap miskin, terbelakang
dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain?”
Amein Rais, sang lokomotif reformasi, menuangkan
permenungannya dalam buku ini. Mengambil
perumpamaan nasionalisme sepakbola, jika bangsa ini
diibaratkan rumah di pinggir jalan, olahraga adalah
pagar depan yang tampak oleh setiap orang yang lewat.
Bangsa atau pemerintah kita memiliki obsesi yang aneh,
yang penting pagar rumah terlihat bersih dan mengkilap,
yang lain masa bodoh. Sehingga ketika perabotan rumah
dicuri orang di depan mata pemilik rumah, bahkan ketika
isteri dan anak-anaknya digondol keluar rumah, ia hanya
bisa menonton, sama sekali tidak merisaukan.
Nasionalisme dangkal ini yang membuat
kita hanya membisu, seperti kehilangan harga diri dan
martabat, menyaksikan penjarahan kekayaan alam oleh
korporasi asing, bahkan hingga isi perundang-undangan
pun didiktekan oleh kartel neokolonial. Revrisond Baswir
mencatat peranan Bank Dunia dalam penyusunan UU
Migas, Price Waterhouse Cooper dalam UU BUMN, dan
Asian Development Bank (ADB) dalam UU Kelistrikan.
Paling buruk adalah terbitnya UU No. 25 tahun 2007
SELAMATKAN INDONESIA DARI CENGKERAMAN
KORPORATOKRASIOleh: Sudiarto
tentang Penanaman Modal yang memperbolehkan
kepemilikan asing hingga 95% di sektor kelistrikan,
migas, jalan tol, air minum dan pertanian, sedang di
bidang pendidikan diperbolehkan mencapai 49%.
“Sejarah berulang kembali,” tulis Amien Rais
pada bab pertama bukunya. Pada masa VOC, berbeda
dengan Sultan Agung yang berjuang mengirim pasukan
ke Batavia untuk mengusir VOC, penerusnya yaitu
Sultan Amangkurat I justru memilih melepaskan tanah-
tanah di Jawa Barat sebagai imbalan atas dukungan
VOC mengalahkan pemberontakan Trunojoyo. Konsesi
tanah VOC terus meluas, hingga pada 1755 wilayah
kerajaan Mataram hanya menyisakan Yogyakarta dan
Surakarta. Mentalitas inlander inilah yang membuat
VOC dan Belanda menjajah negeri ini hingga tiga
setengah abad. Ironisnya, pemerintahan sekarang di
bawah kepemimpinan SBY-JK mengulangi langgam
yang sama, mensubordinasikan diri kepada kepentingan
korporatokrasi.
Elemen-elemen Korporatokrasi
Korporatokrasi, menurut John Perkins
(2005: xii), adalah gabungan kekuasaan korporasi,
perbankan dan pemerintahan yang mendukung nilai-
nilai dan sasaran-sasaran bersama untuk terus-menerus
mengabadikan, memperluas dan memperkuat diri.
Amien Rais menguraikan 7 unsur korporatokrasi.
Pertama, korporasi besar. Tujuan utama korporasi
besar adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan biaya serendah-rendahnya, dan dengan segala
cara, tidak peduli terhadap harga nyawa manusia dan
Judul : Agenda Mendesak Bangsa -
Selamatkan Indonesia!
Penulis : Mohammad Amien Rais
Penerbit : PPSK Pers (Yogyakarta)
Cetakan : II (April 2008)
Tebal : 298 halaman + xv
RESENSI BUKU
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
51
Bahasan: Korporatokrasi
pelestarian lingkungan. Tak heran, korporasi besar
dianggap mengidap pathology of profit. Terkuaknya
skandal korporasi Enron (2001) dan Worldcom (2002)
di Amerika Serikat (AS) hanya yang terekspose saja,
karena hampir semua perusahaan di AS pernah dan
sedang melakukan berbagai skandal: suap, monopoli,
pemalsuan akuntansi, pencucian uang, perusakan
lingkungan, dan sebagainya.
Kedua, pemerintahan. Meskipun secara
teoretis pemerintah mendapatkan mandat kekuasaan
dari rakyat, dalam kenyataannya ia lebih banyak tunduk
dan melayani kepentingan korporasi. Cara paling mudah
bagi korporasi menaklukkan pemerintah adalah dengan
membiayai kampanye kandidat kepala pemerintahan.
David Korten, dalam bukunya When Corporations Rule
the World (Kumarian Pres, 1995), menulis bahwa di AS
demokrasi tidak saja dijual kepada korporasi-korporasi
Amerika, tetapi juga korporasi asing. Pemerintah
Meksiko mengeluarkan sedikitnya 25 juta dolar
sebagai pelicin untuk lobi politik di Washington demi
mengamankan posisi Meksiko di NAFTA. Sedangkan
uang semir Jepang ke tokoh-tokoh politik di Washington
mencapai 100 juta dolar setahun, dan 300 juta dolar
untuk tokoh-tokoh yang dapat mempengaruhi opini
publik. Jepang mendirikan 92 biro hukum, humas dan
lobi, disusul Inggris (42), Kanada (25), dan Belanda (7),
untuk melahirkan atau mengganti undang-undang yang
lebih menguntungkan korporasi.
Ketiga, perbankan dan lembaga keuangan
internasional. Di antara banyak bank korporat, dua
lembaga keuangan bentukan konferensi Bretton Woods
di akhir Perang Dunia II yaitu Bank Dunia dan IMF
adalah pilar atau pemain utama globalisasi, bahkan
arsiteknya. Keduanya berperan sebagai instrumen untuk
membela kapitalisme global, mengupayakan keuntungan
maksimal bagi korporasi besar, dan melestarikan
dominasi ekonomi AS. Pembagian kerjanya, Bank
Dunia memberikan pinjaman jangka panjang ke negara-
negara berkembang untuk mendanai proyek-proyek
pembangunan infrastruktur, sedang IMF memberikan
arahan-arahan atau tepatnya “tekanan-tekanan” apa yang
harus dikerjakan oleh negara-negara yang mendapatkan
bantuan utang. Kegiatannya sering tumpang tindih, tapi
tetap satu formula, yaitu SAP (structural adjustment
programs).
Keempat, militer. Dalam buku The Power
Elite (Oxford Press, 1956), C. Wright Mills menulis
bahwa struktur ekonomi, struktur militer, dan struktur
politik adalah saling mengunci. Eisenhower, tiga hari
sebelum lengser dari jabatan presiden AS pada 1961,
memperingatkan akan bahaya military-industrial
complex. Contoh mutakhir bagaimana kompleks
militer-industrial ini bekerja adalah betapa cepatnya
ribuan kontraktor AS menyerbu Irak begitu Baghdad,
Basra dan kota-kota lainnya luluh lantak, dengan dalih
“rekonstruksi Irak”. Di antara korporasi predator yang
ikut kenduri Irak adalah Halliburton, yang CEO-nya dulu
adalah Dick Cheney, wakil presiden Bush. Belum mulai
bekerja saja Halliburton sudah me-markup tagihan
minyak untuk kebutuhan tentara AS sebesar 60 juta
dolar. Anak perusahaan Halliburton yang sebenarnya
sudah bangkrut, KBR (Kellog, Brown, and Root),
dihidupkan kembali dan memenangkan kontrak ratusan
juta dolar.
Kelima, media massa. Pemikir konservatif
Inggris, Edmund Burke (1729-1797), memasukkan
media massa sebagai pilar keempat demokrasi, di
samping tiga pilar Trias Politika Montesquieu, yakni
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun teori
muluk ini dibantah oleh Noam Chomsky, yang sejak 20
tahun lalu telah memperingatkan bahwa media massa
pada dasarnya menyuarakan kepentingan korporasi
besar, sehingga isi pokok media massa sejatinya adalah
“propaganda” untuk melindungi kepentingan korporasi.
Di AS, empat stasiun televisi raksasa yang berpengaruh
dalam arah pemberitaan ternyata dimiliki oleh korporasi
besar non-media, yaitu NBC (General Electric), ABC
(Walt Disney Company), NBC (Viacom Inc.), dan CNN
(AOL-Time Warner). Sedangkan pimpinan tiga koran
besar AS juga duduk dalam pimpinan berbagai korporasi
besar; mereka adalah New York Times duduk di Carlyle
Group, Ford, dan Johnson and Johnson, Wahington
Post di Lockheed Martin, Coca Cola, dan Gillette, dan
The Tribune (Chicago dan LA Times) duduk di 3M,
Caterpillar, ConocoPhilips, Kraft, McDonalds dan Pepsi.
Selain melalui kepemilikan usaha, penyeragaman suara
media massa juga terjadi melalui pemasangan iklan,
produksi berita besar-besaran oleh instansi-instansi
52
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
penguasa, dan flak atau berondongan kritik dan ancaman
yang diarahkan kepada media massa oleh pusat-pusat
kekuasaan politik dan ekonomi. Fenomena embedded
journalist dalam Perang Irak menunjukkan bahwa
media massa telah berhenti perannya sebagai watch dog
(musuh pemerintah dan korporasi), ataupun guard dog
(mendukung sekaligus mengkritik), dan akhirnya hanya
menjadi lap dog, anjing jinak untuk dipangku dan dielus-
elus, tidak lagi berbahaya.
Keenam, intelektual pengabdi kekuasaan.
Dalam 20-30 tahun belakangan, universitas dijadikan
sasaran oleh kekuatan korporat untuk mencetak
sebanyak mungkin lulusan dalam berbagai disiplin ilmu
yang menghamba dan melayani kepentingan korporasi.
Campur tangan korporasi makin jauh merasuk ke tubuh
universitas setelah mengalami himpitan finansial.
Berbagai riset dilakukan untuk tujuan korporat sebagai
imbalan balik dari pihak donor. Jika komersialisasi
menjadi misi keempat universitas, setelah riset, transfer
pengetahuan, dan pengabdian masyarakat, maka kaum
intelektual hanya akan menjadi budak kekuasaan
ekonomi dan politik.
Ketujuh, elite nasional bermental inlander.
Selama kolonisasi mental tetap bercokol di benak para
pemimpin bangsa, sulit diharapkan bangsa tersebut
dapat memelihara kedaulatan dan kemandiriannya.
Musuh dari dalam ini, yaitu mentalitas terjajah, dengan
kompleks inferioritasnya dan penyakit selalu kalah,
membuahkan kebingungan, kelembaman (inertia),
dan kehilangan rasa percaya diri. Amien Rais khawatir,
berlarut-larutnya Indonesia jatuh di bawah bayang-
bayang korporatokrasi global karena sebagian pemimpin
kita masih bermental terjajah, merasa diri tidak dapat
mencapai kemajuan selain mengikuti jalan Barat. Tidak
seperti para pemimpin di negara-negara lain seperti
Mahathir Mohammad (Malaysia), Chavez (Venezuela),
Evo Morales (Bolivia), Raffale Correa (Ekuador) dan
Nestor Kirchner (Argentina) yang berani berkata
tidak kepada resep-resep ala Konsensus Washington.
Begitu pula negara-negara seperti Iran dan dua raksasa
Asia, India dan Cina. Negara-negara yang mengalami
kemajuan pesat pada 20-30 tahun belakangan adalah
negara-negara yang mempunyai pemimpin bermental
bebas, merdeka, berdaulat dan mandiri serta percaya
diri. Sebaliknya dengan negara-negara Afrika yang terus
menjadi pelayan kapitalisme global. Menurut laporan
George Ayyittey, intelektual berkebangsaan Ghana, di
depan Komisi Luar Negeri Senat AS, Afrika telah menjadi
vampire states, negara-negara penghisap kesejahteraan
rakyat, di mana Negara terdiri dari gerombolan gangster
dan pencoleng yang memperkaya diri dan kroni-kroninya
dengan mengucilkan kelompok lain, bahkan adakalanya
presidennya sendiri adalah kepala bandit.
Tawaran Agenda Penyelamatan Bangsa
Untuk menaklukkan Indonesia, kekuatan
korporatokrasi internasional tak perlu mengirim pasukan
seperti di Irak dan Afghanistan, ataupun mengirim para
jackals (meminjam istilah John Perkins), karena negeri
ini telah dijajah, atau dalam istilah Amien Rais “state
capture corruption” (korupsi yang menyandera Negara).
Korupsi ini lebih jahat daripada korupsi biasa, karena
dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa dengan
tunduk dan setia pada kepentingan korporasi asing.
Semua pemerintahan, dari zaman Orde Baru hingga
reformasi, mengikuti agenda Konsensus Washington,
dengan meliberalisasi sektor keuangan di mana asing
bisa memiliki 99% saham bank di Indonesia (era
Habibie), privatisasi BUMN dan pengampunan terhadap
para obligor bermasalah (era Megawati), dan liberalisasi
investasi (era SBY-JK).
Amien Rais menawarkan sejumlah saran
demi penyelamatan bangsa, yaitu mempersiapkan
kepemimpinan alternatif yang diisi oleh tokoh-tokoh
muda dan mempunyai semangat kemandirian nasional.
Berbagai Kontrak Karya pertambangan dan KPS
(Kontrak Production Sharing) di sektor migas harus
dinegosiasi ulang dengan memprioritaskan kepentingan
bangsa. Bahkan demi kepentingan pelestarian
lingkungan, kegiatan korporasi asing bisa dihentikan
secara sepihak. Indonesia juga harus membentuk sendiri
badan arbitrase untuk menyelesaikan konflik dengan
korporasi asing. Semua HPH harus ditinjau ulang,
dan para pemegang HPH yang menghancurkan hutan
harus diberi sanksi tegas. Kepemimpinan baru ini juga
diharapkan menghilangkan penyakit kecanduan utang
(debt-addict) dan melakukan renegosiasi pembayaran
utang luar negeri.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
53
Bahasan: Korporatokrasi
Dengan menuliskan gagasannya dalam bentuk
buku, Amien Rais tak sekadar melontarkan kritik-kritik
pedas yang seringkali hanya berhenti pada moderasi
belaka, seperti dilakukannya selama ini. Ia menerima
Habibie sebagai penerus Suharto. Ia menolak desakan-
desakan untuk menjatuhkan Megawati, dan sekarang
SBY-JK, di tengah jalan. “Tentukan melalui pemilu
saja,” kata Amien Rais di sela-sela peluncuran bukunya
di Gelora Bung Karno. Sebaliknya, terhadap Gus Dur,
dijatuhkannya melalui Sidang Istimewa ketika Amien
Rais menjabat Ketua MPR. Dalam buku ini, sub-bab
tentang zaman Gus Dur seperti sengaja dilewatkan.
Padahal menarik untuk membahas bagaimana Gus
Dur menghadapi tekanan korporatokrasi, misalnya
penolakan Gus Dur melikuidasi perusahaan Texmaco
yang membawa bendera Indonesia, sehingga IMF tak
pernah mencairkan pinjaman selama Gus Dur berkuasa.
Amien Rais juga tidak mengupas gerakan-gerakan anti-
globalisasi yang fenomenal sejak Seattle (1999) maupun
ajang World Social Forum (WSF), dan hanya menampilkan
para elite, sejalan dengan manuver-manuver elitisnya
selama berkiprah di dunia politik. Tetapi secara umum,
gambaran lengkap dalam buku ini tentang sepak terjang
tiga pilar globalisasi (IMF, Bank Dunia dan WTO),
hegemoni Pax Americana, dan korporatokrasi, dapat
mengisi kekosongan pemikiran mainstream tentang
ancaman globalisasi dan korporatokrasi, sehingga
diharapkan bisa memberi energi baru kepada kalangan
aktivis dan intelektual.(*)
Sahabat WALHI, Sahabat LingkunganGerakan Bersamauntuk Menyelamatkan Lingkungan Hidup Indonesia
Mendapatkan Info Lingkungan Hidup melalui Jurnal Tanah Air
Partisipasi langsung dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh WALHI
Kebersamaan adalah kekuatan,Dalam upaya WALHI
menjadi organisasi publik, kami mengajak siapa
saja yang peduli terhadap lingkungan hidup dan
mau membantu upaya penyelamatan lingkungan
hidup di Indonesia secara sukarela dan mandiri
untuk bergabung dalam Sahabat WALHI dengan menjadi
relawan,Dengan menjadi Sahabat WALHI anda akan
bergabung bersama sahabat-sahabat lain yang telah terlibat
aktif mendukung gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
1. Bayar biaya keanggotaan Rp.120.000.-/tahun(atau cuma Rp.10.000,-/bulan)
2. Sumbangan secara rutin kepada WALHI, dengan jumlah sumbangan minimal Rp.120.000,-/tahun
3. Jadi Relawan Aktif selama 3 bulan
Cara PembayaranTransfer keYayasan WALHINo.Rek.070 - 0003016420Bank Mandiri cabang Mampang PrapatanJl.Mampang Prapatan Raya No.61 Jakarta Selatan
atau Antar Langsung ke:Kantor Eksekutif Nasional WALHIJL.Tegal Parang Utara No.14,Mampang,Jakarta Selatan 12790Telp :(021) 7919 3363Fax :(021) 7919 1673
Ada tiga Cara bergabung menjadi Sahabat WALHI yaitu dengan mengisi formulir anggota Sahabat WALHI dan :
54
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Arianto Sangajilahir di Mareku, Tidore, 9 April 1962. Menjabat sebagai Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Memperoleh MA di School of Social Science, University of Birmingham, Inggris. Buku karya-karya antara lain: The Security Forces and Regional Violence in Poso, dalam Schulte Nordholt, Henk and Gerry van Klinken, eds, Renegotiating Boundaries: local Politics in Post-Suharto Indonesia, KITLV, Leiden, 2007; The masyarakat adat movement in Indonesia: a critical insider’s view, dalam Jamie S. Davidson and David Henley, eds, The Revival of Tradition in Indonesian Politics, Routledge, London and New York, 2007; Politik Konservasi : Orang Katu di Behoa Kakau, KPSHK, Bogor, 2002; Buruk Inco, Rakyat Digusur : Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 2002; PLTA Lore Lindu ; Orang Lindu Menolak Pindah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. Dia dapat dihubungi melalui [email protected]
Dani SetiawanLahir di Bogor pada tanggal 05 Agustus 1982. Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pemikiran Politik Islam. Mantan Sekretaris Jenderal Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) dan saat ini menjabat sebagai Ketua Koalisi Anti Utang (KAU). Aktif menulis di berbagai media massa serta jurnal nasional. Editor buku “Menjala Ikan Terakhir” dan “Lapindo: Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi” (Walhi, 2007). Menulis buku “Monitoring Proyek Utang Luar Negeri” (KAU, segera terbit). Dapat dihubungi melalui email: [email protected].
Danial IndrakusumaPernah belajar di Universitas Kristen Indonesia (Ekonomi), Universitas Indonesia (Sejarah), University of Tulsa, Tulsa, Oklahoma, AS; Documentary Script Development, Jakarta Internasional Film Festival. Kini aktif sebagai dalam organisasi Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM). Dia dapat dihubungi melalui [email protected]
Khalisah KhalidSaat ini adalah Anggota Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Dia dapat dihubungi melalui: [email protected]
Longgena GintingSebelumnya adalah Direktuf Eksekutif Nasional WALHI. Kini sebagai Kordinator Kampanye IFIs (International Financial Institutions) Friend of The Earth International. Dia dapat dihubungi melalui: [email protected]
Pius GintingSaat ini adalah Officer Publikasi WALHI Eksekutif Nasional. Sebelumnya adalah pekerja sosial di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS) dan redaksi Tabloid Pembebasan. Dia dapat dihubungi melalui: [email protected].
Salamuddin Daeng, Sebelumnya adalah peneliti di WALHI NTB dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Sekarang peneliti di Institute Global Justice. Merupakan saksi ahli dari Koalisi Masyarakat Sipil Menolak UU PMA, yang mengajukan gugatan judicial review terhadap UU Penanaman Modal di Mahkamah Konstitusi.Dia dapat dihubungi melalui [email protected]
Khalisah KhalidSaat ini adalah Anggota Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Aktif menulis di media massa seperti Koran Tempo, Kompas, Buletin Elektronik Praxis, dan Media Indonesia
SudiartoLahir di pesisir utara Kabupaten Tegal pada 29 Juni 1978, pernah belajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), dan semasa kuliah aktif dalam pengorganisasian kekuatan rakyat khususnya petani Badega (Garut), dan mendukung aksi-aksi buruh di Bandung Raya. Sebelumnya bekerja di PT Penta Software Indonesia (Pentasoft), kini menjadi staf informasi dan dokumentasi di Institute for Global Justice (IGJ). Dia dapat dihubungi melalui [email protected]
Penulis: