50
BAB I PENDAHULUAN Terapi cairan dan elektrolit adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan penanganan pasien kritis. Dalam langkah – langkah resusitasi, langkah D (drug and fluid treatment) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan langkah yang penting secara silmutan dengan langkah - langkah yang lainnya. Tindakan ini seringkali merupakan langkah “live saving” pada pasien yang menderita kehilangan cairan yang banyak seperti perdarahan, dehidrasi karena muntah, diare dan atau lainnya. 1 Penyebab utama kematian pada trauma adalah cedera kepala, yang sebagian besar mengenai usia produktif yaitu 15-24 tahun dengan rasio pada laki-laki dua kali lebih besar daripada perempuan. 2 Angka mortalitas pasien cedera kepala tiga kali lebih besar dibandingkan pasien tanpa cedera kepala. Penyebab utama cedera kepala adalah karena kecelakaan lalulintas. Pada cedera kepala akut dapat terjadi kerusakan otak yang diakibatkan oleh cedera mekanik, edema, perdarahan, dan iskemia otak. 2 Kerusakan otak akibat trauma dapat dibagi dua yaitu: trauma primer dan sekunder. Trauma primer terjadi selama kejadian trauma itu sendiri sehingga bersifat irreversible dan tidak mungkin diminimalisir. Trauma sekunder terjadi sesudah kejadian trauma sebagai 1

Lapsus Terapi cairan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Terapi cairan pada cedera kepala

Citation preview

Page 1: Lapsus Terapi cairan

BAB I

PENDAHULUAN

Terapi cairan dan elektrolit adalah salah satu terapi yang sangat menentukan

keberhasilan penanganan pasien kritis. Dalam langkah – langkah resusitasi,

langkah D (drug and fluid treatment) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan

langkah yang penting secara silmutan dengan langkah - langkah yang lainnya.

Tindakan ini seringkali merupakan langkah “live saving” pada pasien yang

menderita kehilangan cairan yang banyak seperti perdarahan, dehidrasi karena

muntah, diare dan atau lainnya.1

Penyebab utama kematian pada trauma adalah cedera kepala, yang

sebagian besar mengenai usia produktif yaitu 15-24 tahun dengan rasio pada laki-

laki dua kali lebih besar daripada perempuan.2 Angka mortalitas pasien cedera

kepala tiga kali lebih besar dibandingkan pasien tanpa cedera kepala. Penyebab

utama cedera kepala adalah karena kecelakaan lalulintas. Pada cedera kepala akut

dapat terjadi kerusakan otak yang diakibatkan oleh cedera mekanik, edema,

perdarahan, dan iskemia otak.2

Kerusakan otak akibat trauma dapat dibagi dua yaitu: trauma primer dan

sekunder. Trauma primer terjadi selama kejadian trauma itu sendiri sehingga

bersifat irreversible dan tidak mungkin diminimalisir. Trauma sekunder terjadi

sesudah kejadian trauma sebagai akibat faktor intrakranial (edema dan hematoma)

dan faktor sistemik (hipoksia, hipotensi, hiperkapnia) yang masih mungkin untuk

diminimalisir. 2

Kadangkala setelah cedera kepala pasien masih sadar, bicara, kemudian

memburuk dan akhirnya meninggal. Hal ini dapat diduga disebabkan oleh cedera

otak sekunder sehingga perlu intervensi aktif dalam mengelola pasien ini. Ada dua

faktor penting yang paling sering dan paling menentukan angka kematian pasien

yaitu hipoksia dan hipotensi.2 Evaluasi awal merupakan hal pertama yang

dilakukan yang mencakup penilaian kesadaran dengan menggunakan skor GCS

(Glasgow Coma Scale) dan penilaian tanda vital. Penilaian GCS juga dapat

digunakan dalam menentukan tingkatan cedera kepala dari ringan sampai berat.

Tahap selanjutnya dilakukan stabilisasi dengan perhatian khusus pada ABC

1

Page 2: Lapsus Terapi cairan

(airway, breathing, circulation).2 Oksigenasi dan perfusi darah ke otak yang

adekuat sangat vital untuk mencegah kerusakan otak sekunder dan memegang

peranan penting dalam menentukan keberhasilan terapi. Peran ahli anestesi sangat

diperlukan dalam mengoreksi dan mengelola faktor-faktor tersebut, bukan hanya

di kamar operasi tapi juga yang tidak memerlukan pembedahan, intervensi

sebelum dan sesudah pembedahan, khususnya di ruang gawat darurat, kamar

operasi dan perawatan di ruang intensif. 2

Pada pasien dengan cedera kepala, manajemen cairan diperlukan untuk

memelihara normovolemia serta mencegah hipotensi. Jumlah cairan pemeliharaan

yang diperlukan adalah 30-40 mL/kgBB/hari. Cairan yang digunakan adalah

cairan yang bukan hipotonis dan serum osmolalitas dijaga pada nilai 290-300

mOsm/l untuk mencegah perpindahan cairan ke otak yang cedera. Selain hal

tersebut, dihindari juga cairan yang mengandung dekstrosa karena air yang tersisa

setelah glukosa termetabolisme akan memperberat edema serebri serta kenaikan

gula darah pasien akan memperjelek kondisi pasien. Penggunakan 3% NaCl pada

pasien dengan edema serebri oleh karena cedera kepala dengan tujuan untuk

menaikkan nilai natrium plasma dan osmolalitas sehingga akan mengurangi

tekanan intrakranial.

2

Page 3: Lapsus Terapi cairan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terapi Cairan

2.1.1 Definisi Terapi Cairan

Pemberian cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian

sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena

(pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan

dari tubuh.1

Tujuan terapi cairan pada umumnya dapat dijabarkan sebagai berikut:

o Mengganti cairan yang hilang.

o Mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung.

o Mencukupi kebutuhan perhari.

o Mengatasi syok.

o Mengoreksi dehidrasi.

o Mengatasi kelainan akibat terapi lain.

2.1.2 Cairan Tubuh

Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, presentasinya dapat berubah

tergantung pada umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi

usia <1 tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia

>1 tahun mengandung sebanyak 70-75%. Seiring dengan pertumbuhan seseorang,

presentase jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada

laki-laki dewasa 50-60% berat badan, sedangkan wanita dewasa 50% berat

badan.3

Tabel 1. Perubahan cairan tubuh sesuai usia 3

Usia Kilogram Berat (%)

Bayi prematur 80

3 bulan 70

6 bulan 60

1-2 tahun 59

11-16 tahun 58

3

Page 4: Lapsus Terapi cairan

Dewasa 58-60

Dewasa dengan obesitas 40-50

Dewasa kurus 70-75

Perubahan julah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada

perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun

perioperatif dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan

tersebut tidak dikoreksi secara adekuat, maka resiko penderita menjadi lebih

besar.3

Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular

dan kompertemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi

menjadi cairan intravaskular dan intersisial.3

1. Kompartemen

Secara fungsional dibagi 2 kompartemen utama, yaitu kompartemen

intraseluler dan ekstraseluler. Kompartemen intraseluler (Intracelluler

Fluid Volume (ICFV)) kira-kira 40% BB. Kompartemen ekstraseluler

(Extracelluler Fluid Volume (ECFV)) kira-kira 20 %, terdiri dari 5 %

kompartemen intravaskular dan 15% cairan intertisial (Intersitial Fluid

Volume (ICFV)).3

Cairan Intraselular

4

Tubuh100 %

Air60 % (100)

Jaringan40 %

Ruang Intraseluler40 % (60)

Ruang Ekstraseluler20 % (40)

Ruang Intertisial15 % (30)

Ruang Intravaskular5 % (10)

Gambar 1. Distribusi cairan tubuh3

Page 5: Lapsus Terapi cairan

Cairan intraselular merupakan cairan yang terkandung di dalam sel. Pada

orang dewasa, sekitar 2/3 dari cairan tubuhnya terdapat di intraselular

(sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan 70

kg), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan

cairan intraselular.3 Ruang intraseluler sendiri merupakan ruang terbesar

(± 23 liter) dimana Kalium merupakan kation terbesar. Oleh karena itu

cairan yang mengandung Natrium tidak didistribusi ke intraseluler.4

Cairan ekstraselular

Cairan yang berada di luar sel. Jumlah relatif cairan ekstraselular

berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari

cairan tubuh terdapat di ruang ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah

cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total.3

Cairan ekstraselular dibagi menjadi:

1. Cairan Interstitial

Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar

11-12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume

interstitial. 3Karena berada diantara sel dan ruang intravaskuler,

biasanya cairan in memfasilitasi transpor antara keduanya dan karena

merupakan jaringan ikat, bisa memberikan kontribusi struktur umum

dan bentuk tubuh. Bagian dari air ruang intertisial mengandung

elektrolit dengan predominan kation natrium dengan konsentrasi yang

sama dengan ruang intravaskuler. Kadang ruang intertisial dan

intravaskuler disebut ruang ekstraseluler.4

2. Cairan Intravaskular

Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah, misalnya

volume plasma. Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 liter.

Dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah

merah, sel darah putih dan platelet.3

3. Cairan transeluler

Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu

seperti serebrospinal, sendi sinovial, intraokular, dan sekresi saluran

5

Page 6: Lapsus Terapi cairan

pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah

sekitar 1 liter. 3,4.

2. Isi cairan tubuh

Ada 2 jenis bahan yang terlarut didalam cairan tubuh, yaitu elektrolit dan

non elektrolit.

Elektrolit ialah zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus

listrik. Elektrolit dibed kan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif

(anion).jumlah kation dan anion dalam larutan selalu sama. Kation utama

dalam cairan ekstraselular adalah natrium, sedangkan dalam cairan

intraselular adalah kalium. Anion utama cairan ekstraselular adalah klorida

dan bicarbonat, sedangkan dalam cairan intraselular adalah ion fosfat.3

Non elektrolit merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak

terdisosiasi dalam cairan.

2.1.3 Jenis Cairan Intravena

a. Kristaloid

6

Gambar 2. Susunan Kimia Cairan Ekstraseluler dan Intraseluler3

Page 7: Lapsus Terapi cairan

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler. Keuntungan dari

cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat

kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok

anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.

Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan

koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian koloid untuk mengatasi defisit

volome intravaskular. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar

20-30 menit. Kebutuhan penggantian volume intravaskuler adalah 3 kali lebih

banyak dari volume darah yang hilang, karena ratio volume darah (60 cc/kg)

terhadap ISFV (150 cc/kg) secara kasar 1 : 3, dimana 25 % akan tetap berada di

ruang intravaskuler. Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke interstitial

berlangsung selama 30-60 menit dan akan keluar dalam 24-48 jam lewat urin.

Kristaloid dapat berupa cairan isotonik atau hipertonik. Cairan isotonik

menyebar ke kompartemen intravaskular maupun interstisial tapi tidak

menyebabkan perubahan intraselular. Hal ini dapat secara efektif mengganti

perubahan cairan interstisial. Cairan hipertonik dapat menyebabkan redistribusi

cairan intraselular ke kompartemen ekstraselular tapi terutama pada ruang

interstisial. Keuntungan secara teoritis dari cairan hipertonik terutama kebutuhan

volume yang sedikit untuk resusitasi.

Edema perifer muncul pada penggunaan kristaloid karena ¾ cairan

didistribusikan ke interstisial. Namun edema perifer pada trauma atau pasien

postoperatif tidak mengindikasikan keadekuatan volume intravaskular.

Adanya faktor keamanan edema membatasi jumlah dari edema paru

interstisial sampai titik tertentu. Jika total volume kristaloid dibatasi untuk

mencegah overload volume intravaskular, tidak ada perbedaan pada fungsi paru

menggunakan kristaloid maupun koloid.

Tabel 2. Komposisi berbagai macam cairan kristaloid.

Na K Cl CaGlu

Kosa

Lak

tatHCO3 Osmolariti Mg Asetat

mEq

/L

mEq

/L

mEq/

L

mEq/

Lg/dL

mEq/

L

MEq/

LMosmol/L

mEq/

L

mEq/

L

D5% - - - - 5 - - 257 - -

7

Page 8: Lapsus Terapi cairan

NaCl

0,9%154 - 154 - - - - 308 - -

RL 130 4 109 3 - 28 - 273 - -

NaCl 3% 513 - 513 - - 900 - -

Normal Salin

NaCl 0,9 % adalah isotonik dan isoosmotik terhadap konsentrasi sodium plasma,

tetapi mengandung klorida yang lebih banyak dibandingkan cairan ekstraselular.

Bila diberikan pada jumlah besar, hipernatremi ringan dan hiperkloremia dapat

terjadi. Cairan ini terutama digunakan untuk cedera kepala, alkalosis metabolik,

hipokloremia, hiponatremia, atau pada pasien hiperkalium pada gagal ginjal

karena cairan ini tidak mengandung kalium5.

Larutan Garam Seimbang

Larutan garam seimbang (laruran Ringer’s Laktat) dibuat sesuai dengan

komposisi ECFV. Kecuali jika dibandingkan dengan Na+ dia sedikit hipotonis.

Metabolisme terutama di hati dan sedikit di ginjal dengan laju metabolisme 100

mEq/jam. Dibandingkan NaCl 0,9 %, larutan ini menyediakan beberapa elektrolit

dan selama pemberian yang cepat saat operasi menimbulkan gangguan yang lebih

sedikit. RL dapat diberikan dalam jumlah besar pada hipovolemik dan sindrom

syok. 5

Hipertonik Salin

Penggunaan hipertonik salin yang rasional adalah dengan volume kecil dapat

mengembangkan volume plasma ekstraseluler dengan translokasi osmotik cairan

ekstraseluler dan intraseluler. Ini dapat meminimalkan ruang penyimpanan yang

dibutuhkan. Misalnya NaCl 1,8%, 3%, 5%, 7%, 10%.5 Sebagai tambahan, volume

minimal dari cairan yang disuntikan mengurangi pembentukan edema. Ini

penting pada pasien dengan predisposisi edema jaringan, misalnya bedah

gastrointestinal yang lama, luka bakar, cedera otak. Osmolaritas larutan ini

melebihi kadar cairan intraselular sehingga tidak dapat menembus membran sel

secara bebas. Akibatnya cairan intraselular menjadi hipoosmolar dan akhirnya

berpindah ke ekstraselular. Saat ini larutan ini jarang dipakai untuk pasien syok,

namun masih dipakai untuk pasien dengan hiponatremia.

8

Page 9: Lapsus Terapi cairan

Dekstrosa 5 %

Fungsi dekstrosa 5 % sebagai air bebas, karena dekstrosa dimetabolisme. Cairan

ini isoosmotik dan tidak menyebabkan hemolisis, dimana dapat terjadi bila air

murni disuntikan intravena, karena gerakan cepat dari air ke dalam sel darah

merah. Ini dapat digunakan untuk koreksi hipernatremi juga hipoglikemia pada

pasien diabetes yang mendapat terapi insulin karena mengandung glukosa

50gram/L.5

b. Koloid

Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik, sehingga menghasilkan

tekanan onkotik. Bila diinfuskan, koloid akan tinggal terutama dalam ruang

intravaskular. Darah dan produk darah (human albumin, fraksi protein plasma,

fresh frozen plasma, larutan imunoglobulin) menghasilkan tekanan onkotik karena

mengandung molekul protein besar. Koloid ini dikenal sebagai ekspander plasma,

sebab mengekspansikan volume plasma lebih besar dari volume yang

diinfuskan.3,5 Koloid iso-onkotik mengekspansikan volume plasma sebesar

volume yang diinfuskan dan dikenal sebagai substitut plasma.3 Larutan koloid

biasanya diberikan dalam jumlah yang sama dengan volume kehilangan darah.

Volume awal distribusi sama dengan volume plasma.3

Tekanan hidrostatik dan osmotik memperlihatkan pergerakan cairan antara

kompartemen yang berbeda pada tubuh melewati membran semi permiabel.

Koloid yang ideal meliputi :

1. Stabil dengan efek kerja lama

2. Bebas pirogen, antigen dan toksin

3. Bebas dari risiko transmisi penyakit

4. Efek ekspansi volume plasma bertahan sampai beberapa jam

5. Metabolisme dan ekskresi tidak berefek negatif terhadap pasien

6. Tidak ada efek merugikan

Albumin

Albumin merupakan suatu larutan yang telah lama dinilai dapat memberikan

keuntungan yang paling besar (gold standard). Walaupun albumin didapatkan dari

plasma manusia namun tidak ada risiko transmisi penyakit karena albumin telah

9

Page 10: Lapsus Terapi cairan

dipanaskan dan disterilisasi dengan filtrasi ultra. Dalam hal transmisi penyakit

infeksius, albumin secara umum dianggap aman.

Berat molekul albumin adalah 69.000 dalton. 4% albumin bersifat hipo-

onkotik, 5% iso-onkotik serta 20% sampai 25% hiperonkotik. Larutan ini

memiliki shelf life yang singkat (~1 tahun) pada suhu ruangan, tapi dapat bertahan

sampai 5 tahun pada suhu 2-80 C. Human Albumin 5% digunakan untuk terapi

hipovolemia pada kondisi klinis yang bervariasi. Konsentrasi Human Albumin

20% digunakan untuk terapi hipoalbuminemia dengan overload garam dan air

(misal hepatic failure). Pada penelitian lama yang mempelajari tekanan onkotik

dari albumin manusia terkonsentrasi (misal 20%) telah menunjukkan mampu

mengurangi edema paru. Efek albumin tergantung pergerakannya antara

kompartemen intravaskular dan ekstravaskular dan sangat bervariasi tergantung

penyakit dari pasien. Pada pasien dengan perubahan integritas endotel vaskular

(misal setelah bedah jantung), albumin dapat melewati ruang interstisial, dimana

cairan bertukar dari kompartemen vaskular mungkin meningkat, volume

interstisial meningkat dan perfusi jaringan dapat berubah. Waktu paruh pemberian

albumin dalam sirkulasi normalnya sekitar 16 jam, bisa lebih cepat 2-3 jam pada

kondisi patologis. 6

Albumin diproduksi di hati dan protein aktif utama secara osmotik,

memberi kontribusi sekitar 80% dari tekanan onkotik koloid plasma. Reduksi

50% pada konsentrasi albumin serum mengurangi tekanan onkotik koloid sampai

1/3 dari normal. Albumin mengikat kation dan anion dari protein transpor utama

untuk logam, obat, asam lemak, hormon dan enzim.6

Pada orang dewasa, 4-5 gram albumin/kgBB terdapat di ruang

ekstraselular (30-40% pada kompartemen intravaskular dan sekitar 50-60% di

kompartemen interstisial). Albumin didistribusikan lebih lama dibandingkan

kristaloid. Paruh waktu plasma dari albumin sekitar 16 jam (tidak seperti

kristaloid yang hanya 20-30 menit). Satu gram albumin mengikat 18 ml air

dengan aktivitas onkotiknya.

Terapi albumin dapat dipertimbangkan untuk terapi deplesi volume

intravaskular akut yang termasuk diantaranya hemoragi, trauma, hemodilusi akut

dan vasodilatasi akut. Koloid harus diberikan bersama dengan kristaloid untuk

10

Page 11: Lapsus Terapi cairan

mengurangi edema dari jumlah besar resusitasi volume kristaloid pada pasien tua

dengan penyakit kardiopulmonal atau kehilangan darah akut lebih dari 30%

volume darah.

Albumin 5% merupakan albumin yang paling sering diberikan. Albumin 5

%, atau fraksi protein plasma (misalnya plasmanate), memiliki tekanan koloid

osmotik sebesar 20 mmHg. Cairan ini dipilih bila kristaloid gagal menopang

volume plasma untuk lebih dari beberapa menit selama COP rendah. Lebih baik

bila ada kehilangan abnormal protein dari vaskuler, contoh peritonitis, luka bakar

luas.

Albumin 25 % mengandung albumin yang dimurnikan 5 kali konsentrasi

normal. Bila diberikan mempunyai potensial mengembangkan volume plasma 5

kali dari volume. Dipilih bila volume plasma berkurang, laju tekanan darah masih

dapat diterima dan total ECFV terekspansi, pada kondisi pasien stabil

hemodinamik dengan jumlah besar piting edema. Ekspansi volume muncul pada

periode sekitar 24 jam.

Larutan albumin telah berhasil digunakan pada pasien dengan kehilangan

cairan ekstensif “third space” termasuk peritonitis akut, mediastinitis, dan

postoperatif pembedahan besar. Larutan albumin juga direkomendasikan ntuk

pasien dengan luka bakar >50% permukaan tubuh. Namun lebih baik untuk

menunggu sampai 24 jam pertama saat kebocoran kapiler telah hilang.

Efek samping yang dapat terjadi antara lain :

Edema paru : masih banyak diperdebatkan

Depresi kalsium yang terionisasi : albumin dapat menurunkan level

kalsium serum terionisasi menghasilkan efek negatif dan kemungkinan

koagulopati

Anafilaksis : angka kejadian antara 0,47-1,53% (sangat rendah)

Risiko hepatitis dan AIDS : tidak ada risiko terjadinya baik agen sekunder

sampai inaktivasi virus selama persiapan dari larutan albumin

Dekstran

Dekstran merupakan polisakarida yang dibiosintesis dari sukrose oleh bakteri

Leuconastoc mesenteroides menggunakan enzim dekstran sukrase, yang

11

Page 12: Lapsus Terapi cairan

menghasilkan dekstran dengan berat molekul tinggi yang kemudian dipecah oleh

hidrolisis asam dan dipisahkan dengan fraksinasi etanol berulang untuk

menghasilkan produk akhir dengan kisaran berat molekul yang sempit.

Dekstran merupakan campuran polydispersed dari polimer glukosa.

Mempunyai cabang polisakarida sebanyak 200.000 unit glukosa. 6% dekstran 70

(berat molekul rata-rata 70.000 dalton) dan 10% dekstran 40 (berat molekul rata-

rata 40.000 dalton) merupakan dua preparat dekstran yang tersedia. Perbedaan

utama antara kedua larutan adalah karena pengaruhnya terhadap mikrosirkulasi.

Infus dengan dekstran 40 dapat meningkatkan aliran mikrosirkulasi karena

pengurangan sel darah merah dan sisa platelet, ekspansi volume dan reduksi yang

diinduksi hemodilusi pada viskositas darah. Peningkatan volume plasma setelah

infusi dengan 1.000 ml dekstran 70 berkisar antara 600-800 ml.6

Penggunaan dari dekstran antara lain :

Ekspansi volume : larutan dekstran ideal sebagi ekspansi volume plasma.

Pada syok, beberapa penelitian menunjukkan bahwa dekstran

meningkatkan tingkat keselamatan dan meningkatkan parameter

hemodinamik. Infus dekstran berhubungan dengan peningkatan aliran

plasma ginjal dan penurunan hormon anti diuretik serum yang memiliki

efek hemodinamik yang diharapkan untuk mengembalikan volume

intravaskular pada syok dibandingkan volume ekspander yang lain.

Prevensi tromboemboli : dekstran efektif dalam menurunkan insiden

penyakit tromboemboli

Peningkatan aliran darah perifer : dekstran menyelimuti permukaan

endotel pembuluh darah, mengurangi interaksi dengan elemen selular

dalam darah. Penurunan viskositas dan platelet adheren dari terapi

dekstran membatasi formasi trombus dan aktivasi kaskade kloting.

Preparat dekstran stabil pada suhu ruangan dan memiliki shelf life yang

lama. Larutan koloid dari 6 % dekstran 70 dalam normal salin diberikan dengan

indikasi yang sama dengan albumin 5 %.5 Dekstran 70 digunakan sebagai

pengganti plasma untuk terapi hipovolemia dan memiliki efek ekspansi volume

intravaskular yang bertahan sampai 6 jam. Dekstran 40 digunakan karena efeknya

pada aliran mikrosirkulatori dan koagulasi darah pada beberapa pembedahan,

12

Page 13: Lapsus Terapi cairan

misalnya bedah vaskular, saraf dan bedah plastik. Dekstran 40 tidak boleh

digunakan sebagai pengganti plasma pada terapi hipovolemia karena walaupun

menghasilkan ekspansi volume plasma yang cepat namun dapat mengobstruksi

tubulus renalis dan menyebabkan gagal ginjal.

Molekul dekstran didistribusikan dalam ruang ekstraselular terutama

kompartemen intravaskular. Rute utama eliminasi dekstran dari ruang

intravaskular yaitu melalui ekskresi renal. 60-70% dekstran 40 dan 30-40%

dekstran 70 dibersihkan selama 12 jam. Hanya 10% dekstran tetap di sirkulasi

setelah 24 jam. Partikel yang besar (dekstran 70) diambil oleh sistem

retikuloendotelial dan dimetabolisme menjadi karbondioksida dan air.

Adapun efek samping dari penggunaan dekstran antara lain :

Gagal ginjal : dekstran menginduksi munculnya gagal ginjal terutama pada

undiagnosa hipovolemia. Mekanisme gagal ginjal yaitu obstruksi tubular

sekondari terhadap konsentrasi dan presipitasi dekstran dalam tubulus

dengan cast formasi

Anafilaksis : insiden reaksi anafilaksis antara 1%-5,3%, dengan gejala

urtikari, rash, nausea, spasme bronkus, syok sampai kematian.

Gelatin

Gelatin merupakan kolagen daging sapi yang dimodifikasi. Di AS, gelatin telah

ditinggalkan sejak 1978 karena tingginya insiden reaksi hipersensitivitas. Gelatin

didapat dalam 3 macam yaitu cross linked gelatin (gelofundiol), urea linked

gelatin (haemaccel) dan succinylated gelatin (gelofusine). Satu-satunya perbedaan

utama antara ketiga preparat tersebut adalah perbedaan konsentrasi elektrolit, urea

linked gelatin terdiri dari kalsium dan potasium yang tinggi sedangkan

succinylated gelatin memiliki kalsium dan potasium yang rendah. Karena berat

molekul rata-rata yang rendah (kira-kira 35.000 dalton) paruh waktu plasmanya

singkat (maksimal 2 jam) sehingga re-infus gelatin diperlukan untuk menjaga

volume darah secukupnya.

Insiden terjadinya reaksi terhadap gelatin dapat diterima (<0,5%) dan

bervariasi dari skin rash ringan dan pireksia sampai anafilaksis yang mengancam

13

Page 14: Lapsus Terapi cairan

nyawa. Reaksi yang timbul tampaknya berhubungan dengan pelepasan histamin,

yang mungkin diakibatkan oleh efek langsung gelatin pada sel mast.

Hestastarch

Hydroxyetylstarch (HES) diproduksi oleh substitusi hidroksietil amilopektin,

suatu polimer D-glukosa, yang didapat dari sorghum (sejenis tanaman yang

menyerupai jagung atau gandum) atau maize. Durasi retensi intravaskular sesuai

dengan berat molekulnya yaitu >6 jam bahkan untuk berat molekul 130.000

dalton. Berat molekul rata-rata yaitu 10.000-100.000 dalton. 3

Preparat HES dibagi secara luas berdasarkan efek fisikokemikalnya. Pada

manusia dan hewan, amilopektin dihidrolisa secara cepat oleh alpha amilase dan

dieksresi lewat ginjal. Preparat HES dibedakan berdasarkan :

1. Konsentrasinya (3%, 6%, 10%)

2. Berat molekul rata-rata (berat molekul (Mw): jumlah tiap berat molekul

dibagi total berat campuran dikali berat molekul)

a. berat molekul rendah (LMW)-HES : 70.000 dalton

b. berat molekul sedang (MMW)-HES : 130.000 dalton – 260.000

dalton

c. berat molekul tinggi (HMW)-HES : >450.000 dalton

2. Substitusi molar (MS : rasio molar dari jumlah total grup hydroxyethyl

terhadap jumlah total unit glukosa)

a. MS rendah : 0,4-0,5

b. MS sedang : 0,62

c. MS tinggi : 0,7

3. Rasio C2/C6. Rasio C2:C6 HES merupakan faktor kunci dari sifat

farmakokinetik HES yang mungkin juga untuk efek sampingnya.

HES dapat digunakan kapan pun cairan koloid diindikasikan untuk

ekspansi volume plasma. Juga dapat digunakan pada bypass kardiopulmonal

sebagai primer. HES sedikit lebih efektif daripada ekspansi albumin 5% pada

basis volume. Untuk volume 1 liter HES akan mengekspansi kompartemen

intravaskular sekitar 500-700 ml selama 2 jam.

Untuk menghindari overload dan edema paru, monitoring hemodinamik

adekuat harus dilakukan. Mengawasi output urin dengan HES dapat memberikan

14

Page 15: Lapsus Terapi cairan

kesalahan sama pada dekstran, karena osmotik diuresis yang diproduksi dan

partikel HES yang kecil. Pasien dengan gagal ginjal khususnya berisiko adanya

overload volume saat menggunakan HES. Level amilase serum akan menjadi 2-3

kali normal dengan penggunaan HES, dan bukan indikasi untuk pankreatitis.

Ekstensi dan durasi ekspansi plasma sangat tergantung dari karakteristik

fisik dan kimia larutan HES. Ekskresi hestastarch rumit karena ukuran

molekulnya yang besar, rata-rata 450.000. Molekul < 50.000 diekskresi cepat

melalui urin, sedangkan molekul yang lebih besar dimetabolisme oleh amilase

menjadi lebih kecil dan keluar melalui urin. Kecepatan keluar dari tubuh

mempunyai waktu paruh 13 hari. 90% molekul pada infus tunggal dari HES

meninggalkan sirkulasi sampai 42 hari dengan paruh waktu 17 hari. Sisa 10%

memiliki paruh waktu 48 hari. Ekspansi volume plasma dengan HES sama atau

lebih besar dari yang dihasilkan oleh dekstran 70 atau albumin 5%. Infus HES

meningkatkan volume intravaskular dengan jumlah sama atau lebih besar dari

volume infus.

Produk HES memiliki insiden efek samping yang masih bisa diterima

termasuk reaksi anafilaktoid. Efek samping yang dapat terjadi antara lain :

Koagulopati : profil koagulasi berubah termasuk penurunan hitung

platelet, protrombin time dan partial protrombin time memanjang.

Anafilaksis :angka insiden anafilaksis dari HES adalah <0,085%, insiden

reaksi berat yang menimbulkan syok atau kardiopulmonal arrest 0,008%

Hiperamilasemia : level amilase serum meningkat. Hal ini disebabkan

karena kompleks antara amilase dan molekul hetastarch, menimbulkan

partikel makroamilase yang menyebabkan ekskresi urin lebih pelan

daripada molekul amilase.

Deposit pada jaringan dapat menimbulkan gatal jika volume besar HES

diberikan secara infus selama beberapa hari.

Tabel 3. Perbandingan sifat antara Kristaloid dan Koloid 1

Sifat-sifat Kristaloid Koloid

1. Berat molekul

2. Distribusi

Lebih kecil

Lebih cepat

Lebih besar

Lebih lama dalam

15

Page 16: Lapsus Terapi cairan

3. Faal hemostasis

4. Penggunaan

5. Untuk koreksi

perdarahan

Tidak ada pengaruh

Untuk dehidrasi

Diberikan 2-3 kali

jumlah perdarahan

sirkulasi

Mengganggu

Pada perdaraha massif

Sesuai dengan jumlah

perdarahan

2.1.4 Penggunaan Terapi Cairan

Berikut ini adalah pembagian cairan berdasarkan penggunaannya:1

1. Cairan pemeliharaan

Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru

dan keringat. Jumlah kehilangan air tubuh ini berbeda sesuai dengan umur, yaitu:

Tabel 4. Kebutuhan cairan rumatan berdasarkan umur1

Dewasa 1,5 – 2 ml/kg/jam

Anak-anak 2 – 4 ml/kg/jam

Bayi 4 – 6 ml/kg/jam

Neonatus 3 ml/kg/jam

Selain diukur berdasarkan umur, kebutuhan cairan juga juga ditentukan

berdasarkan berat badan. Seperti yang terlihat pada tabel 5.

Tabel 5. Kebutuhan cairan pemeliharaan1

Berat badan Kebutuhan cairan

10 kg pertama

10 kg berikutnya (sampai BB 20 kg)

Untuk setia kg diatas 20 kg

4 ml/kg/jam

Tambahkan 2 ml/kg/jam

Tambahkan 1 ml/kg/jam

Cairan yang hilang ini umumnya mengandung sedikit elektrolit, sehingga

dipertimbangkan diberikan cairan elektrolit hipotonis-isotonis atau bisa juga

menggunakan cairan non elektrolit.

16

Page 17: Lapsus Terapi cairan

Cairan elektrolit misalnya:

- Dextrose 5% dalam NaCl 0,9%

- Dextrose 5% dalam NaCl 0,4%

- Dextrose 5% dalam NaCl 0,225%

- Dextrose 5% dalam Ringer laktat

- Dextrose 5% dalam Ringer

- Maltose 5% dalam Ringer

Cairan non elektrolit misalnya:

- Dextrose 5% atau 10% dalam air.

- Maltose 5% atau 10%.1

2. Cairan pengganti

Tujuan adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebabkan oleh

sekuestrasi atau proses patologi yang lain, misalnya fistula, efusi pleura, drainase,

lambung, dehidrasi dan perdarahan pada pembedahan atau cedera. Sebagai cairan

pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan kristaloid, misalnya NaCl 0,9% dan

Ringer Laktat atau koloid, misalnya dextrans 40 dan 70, albumin dan plasma.

Kehilangan cairan dapat terjadi melalui luka operasi, kita harus melakukan

peenggantian cairan pada perdarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui

organ ekskresi. Cairan yang digunakan adalah cairan pengganti, bisa kristaloid

dan koloid atau transfusi darah. Pedoman koreksinya adalah:1

Mengikuti pedoman terapi cairan prabedah,

Berikan tambahan cairan sesuai dengan jumlah perdarahan yang

terjadi ditambah dengan koreksi cairan sesuai dengan perhitungan cairan yang

hilang berdasarkan jenis operasi yang dilakukan dengan asumsi :

– Operasi besar : 6 - 8 ml/kgbb/jam

– Operasi sedang : 4 - 6 ml/kgbb/jam

– Operasi kecil : 2 - 4 ml/kgbb/jam

Koreksi perdarahan selama operasi :

- Dewasa

17

Page 18: Lapsus Terapi cairan

Perdarahan > 20% dari perkiraan volume darah : transfusi

darah.

Perdarahan < 20% dari perkiraan volume darah : berikan

kristaloid sebanyak 2-3 x jumlah perdarahan atau koloid

yang jumlahnya sama dengan perkiraan jumlah perdarahan

atau campuran kristaloid + koloid.

- Bayi dan Anak

Perdarahan > 10% dari perkiraan volume darah : transfusi

darah.

Perdarahan < 10% dari perkiraan volume darah : berikan

kristaloid sebanyak 2-3 x jumlah perdarahan atau koloid

yang jumlahnya sama dengan perkiraan jumlah perdarahan

atau campuran kristaloid + koloid.

- Perlu dihitung jumlah perdarahan selama operasi dengan cara:

Jumlah darah yang tertampung dalam botol

penampung

Tambahan berat kasa yang digunakan (1 gram = 1

ml darah)

Ditambahkan dengan faktor koreksi sebesar 25% x

jumlah perdarahan yang terukur.

3. Cairan untuk tujuan khusus lainnya

Yang dimaksud diatas adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya

natrium bikarbonat 7,5% kalsium glukosa untuk tujuan koreksi khusus terhadap

gangguan keseimbangan elektrolit.1

4. Cairan nutrisi

Digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak mau makan, tidak

boleh makan, dan tidak bisa makan peroral. Jenis cairan nutrisi parenteral pada

18

Page 19: Lapsus Terapi cairan

saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk parenteral parsial atau total

maupun untuk kasus penyakit tertentu. 1

2.1.5 Evaluasi Terapi Cairan

Evaluasi resusitasi cairan dan perfusi organ perlu dilakukan untuk menilai

keberhasilan terapi dan perbaikan dari hemodinamik. Tanda-tanda dan gejala-

gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk diagnosis syok, dapat

juga digunakan untuk menentukan respon penderita. Pulihnya tekanan darah ke

normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan

bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu, pengamatan tersebut

tidak memberi informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada status sistem

syaraf sentral dan peredaran kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan

perfusi, tetapi kuantitasnya sukar ditentukan.1

Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk

perfusi ginjal. Pasien dengan syok lama sebaiknya dipasang kateter urine.

Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria

dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin. Produksi urine

yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal yang cukup, bila

tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin

merupakan salah satu dari pemantau utama resusitasi dan respon penderita.

Perubahan pada tekanan vena sentral dapat memberikan informasi yang berguna,

dan resiko pemasangan jalur vena sentral harus diambil bila kasusnya rumit. Bila

diperlukan indeks tekanan pengisian jantung, maka pengukuran tekanan vena

sentral cukup baik untuk kebanyakan kasus.1

2.2 Cedera Kepala

2.2.1 Patofisiologi Cedera Kepala (Traumatic Brain Injury)

Cedera kepala atau Trauma Brain Injury/TBI terdiri dari dua stadium,yaitu cedera

otak primer yang diikuti dengan cedera otak sekunder. Tipe dan keparahan trauma

akan mempengaruhi struktur lesi. Akselerasi, deselerasi menyebabkan disfungsi

axon, edema otak, hematoma, perubahan makro-mikroskopik serta ultra

mikroskopik.2

19

Page 20: Lapsus Terapi cairan

Perubahan mikroskopik meliputi aktivasi gen multiphasic yang berperan

dalam mekanisme perbaikan atau kematian (diduga oleh karena terbebasnya

excitatory amino acid (EAA)), Ca intrasel berlebih, radikal bebas, aktivasi proses

proinflamasi cytokine serta molekul adesi.

Intrakranial hematom tidak saja meningkatkan ICP dan serebral hipoksia,

namun juga berperan terhadap terbebasnya EAA, inflamasi, disfungsi

mikrovaskuler yang kemudian akan membatasi autoregulasi.

Pada stadium akhir adanya darah diekstravaskuler menyebabkan

vasospasme yang merupakan predisposisi hipoperfusi sehingga menyebabkan

iskemi daerah distal lesi.

Terdapat tiga fase perubahan CBF pada TBI. Pasca trauma < 12 jam, CBF

global menurun kadang sampai batas iskemia (<20 ml/100 gr otak). Antara 12-24

jam pasca TBI, CBF meningkat kadang sampai supranormal ditandai hiperemia,

berkurangnya Cerebral Oxygen Extraction (COE) yang menunjukkan adanya

hambatan flow-metabolism atau adanya hiperperfusi. Respon hemodinamik

memberi kontribusi peningkatan ICP. Kenaikan ICP akan menyebabkan iskemia

sehingga menimbulkan sitotoxic edema sekunder. Naiknya CBF dan CBV

(cerebral blood volume) pada hari kedua cedera menyebabkan dilatasi pembuluh

darah sehingga mencetuskan terjadinya hipertensi intrakranial. Kebocoran sawar

darah otak yang terjadi pada hari kedua sampai ketujuh pasca trauma dan edema

vasogenik memberi kontribusi terjadinya pembengkakan otak.

Pada pasien trauma kepala, iskemia merupakan faktor determinan terhadap

merosotnya keadaan pasien. Prognosis pada cedera kepala secara kuat

berhubungan dengan derajat dan durasi iskemia.

2.2.2 Klasifikasi Cedera Kepala

a. Berdasarkan klinis (GCS) ada 3, yaitu:7

Cedera kepala ringan (CKR): GCS 14-15

Cedera kepala sedang (CKS): GCS 9-13

Cedera kepala berat (CKB): GCS 3-8

b. Berdasarkan patologis ada 2, yaitu:

20

Page 21: Lapsus Terapi cairan

Cedera otak primer (primary brain injury)

Kerusakan primer pada neuron dan pembuluh darah yang timbul karena

gerakan mendadak seperti fleksi, ekstensi, akselerasi-deserelasi dan rotasi

otak, serta shearing force otak kesisi berlawanan. Primary brain injury

atau komplikasi awal dari cedera pada kepala itu dapat berupa diffuse atau

focal. Cedera yang diffuse ditandai adanya kerusakan mikroskopik pada

keseluruhan area dari otak. Suatu kekuatan yang mengenai jaringan otak

dapat menyebabkan kerusakan pada axon. Cedera otak focal merupakan

cedera yang hanya mengenai area yang spesifik dari otak dan dapat

menyebabakan kerusakan yang sering dapat dideteksi dengan menggunakan

CT scan atau x-ray.

Focal injury dapat berupa:

1. Contusion,yaitu cedera berupa memar otak menyebabkan pembengkakan,

perdarahan, dan kerusakan jaringan otak. Memar otak ini sering terjadi

pada area frontal dan temporal. Lobus parietal dan occipital juga bisa

terkena tapi lebih jarang.

2. Perdarahan otak (cerebral/ intracranial hemorrhage) yang terjadi ketika

darah berasal dari pembuluh darah yang bocor menuju jaringan otak.

Besarnya perdarahan berkisar antara perdarahan ringan sampai perdarahan

berat dan gejalanya tergantung pada besarnya dan lokasi dari perdarahan

tersebut.

3. Infarction

4. Hematoma seperti subdural hematoma (SDH), epidural hematoma (EDH),

dan subarachnoid hemorrhage (SAH)

5. Laserasi otak akibat peluru dan benda tajam seperti pisau yang

mengakibatkan fragmen seperti tulang menembus otak.

Diffuse Brain Injury dapat berupa:

1. Diffuse axonal injury (DAI)

DAI dapat menyebabkan kerusakan fiber saraf yang besar dan meregangnya

pembuluh darah pada beberapa area di otak. Selain terjadi perdarahan otak,

21

Page 22: Lapsus Terapi cairan

tipe dari injury ini dapat juga menginduksi terjadinya kaskade biokimia dari

bahan toxic pada otak pada saat awal-awal terjadinya injury. DAI bisa terjadi

pada keseluruhan otak dan yang paling rentan terkena adalah pada bagian

frontal dan temporal. Manifestasi klinis yang paling sering adalah

terganggunya fungsi kognitif, hal ini bisa terjadi karena terjadinya

disorganisasi, terganggunya ingatan dan hilangnya konsentrasi. DAI bisa juga

mengenai nerve center (white matter tracts) yang menyebabkan hilangnya

lapang pandang atau kelemahan pada satu sisi tubuh.

2. Concussion

Concussion merupakan cedera kepala yang ditandai oleh hilangnya secara

singkat fungsi neurologi. Pada bentuk yang ringan, cedera ini menyebabkan

amnesia/kebingungan sementara. Concussion juga sering menyebabkan

hilangnya kesadaran yang bersifat sementara.

Cedera Otak Sekunder (Secondary Brain Injury)2

Cedera otak sekunder merupakan respon fisiologis karena kaskade

biokimiawi yang dicetuskan oleh primary brain injury dan mengarah kepada

kematian sel lebih luas. Secondary brain injury dapat berlangsung dalam

beberapa menit, jam bahkan hari setelah kerusakan otak primer dan akan

menyebabkan kerusakan jaringan neuron lebih lanjut. Penyebab kerusakan

sekunder bisa sistemik atau intrakranial. Penyebab sistemik adalah hipoksemia,

hiperkapnia, arterial hipotensi, anemia, hipoglikemia, hiponatremia, osmotic

imbalance, hipertermia, sepsis, koagulopati, dan hipertensi. Penyebab

intrakranial adalah epidural/subdural hematoma, kontusio/intraserebral, infeksi

intrakranial, hiperemia serebral, epilepsi pasca trauma. Penyebab

Secondary Injury dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6 Penyebab Secondary Injury

Sistemik Intrakranial

- arterial hypotension

- hypoxemia

- hypercapnia

- epidural/subdural hematoma

- contusion/intracerebral hematoma

- raised intracranial pressure

22

Page 23: Lapsus Terapi cairan

- anemia

- hypoglycemia

- hyponatremia and osmotic imbalance

- hyperthermia

- sepsis

- coagulopathy

- hypertension

- cerebral edema

- cerebral vasospasm

- intracranial infection

- cerebral hyperemia

- posttraumatic epilepsy

2.3 Terapi Cairan pada Cedera Kepala

Pada pasien dengan cedera kepala, manajemen cairan bertujuan untuk memelihara

normovolemia serta mencegah hipotensi. Terapi cairan dipandu dengan kondisi

klinis, laboratorik, serta monitor ketat. Jumlah cairan pemeliharaan yang

diperlukan adalah 30-40 mL/kgBB/hari. Pemilihan cairan cenderung berdasar

nilai osmolaritas dibanding tekanan onkotik, sehingga penggunaan cairan

hipotonik dihindari dan serum osmolaritas dijaga pada nilai 290-300 mOsm/l

untuk mencegah perpindahan cairan ke otak yang cedera. Selain hal tersebut,

dihindari juga cairan yang mengandung dekstrosa karena air yang tersisa setelah

glukosa termetabolisme akan memperberat edema serebri serta kenaikan gula

darah pasien akan memperjelek kondisi pasien. Penggunakan 3% NaCl pada

pasien dengan edema serebri oleh karena cedera kepala dengan tujuan untuk

menaikkan nilai natrium plasma dan osmolalitas sehingga akan mengurangi

tekanan intrakranial.2,8

Pencegahan terjadinya hipotensi pada cedera kepala sangatlah penting

karena hipotensi ini merupakan salah satu faktor penyebab cedera kepala

sekunder. Dilaporkan hipotensi pada cedera kepala (tekanan darah sistolik <90

mmHg) pasca cedera kepala akan menurunkan outcome secara nyata. Kombinasi

peningkatan tekanan intra kranial dan hipotensi sistemik menyebabkan penurunan

tekanan perfusi otak, memperburuk iskemia serebral.2

Untuk meningkatkan tekanan darah karena hipovolemia dapat diberikan

kristaloid isotonik. Hindari cairan hipotonik, karena akan memperburuk edema

serebral. Dekstrosa merupakan kontra indikasi karena rendah natrium dan tinggi

glukosa. Dimana bias mengakibatkan edema serebri dan asidosis laktat.2,8

23

Page 24: Lapsus Terapi cairan

Koloid seperti albumin, HES dan plasmanate lebih efisien untuk

meningkatkan volume intravaskuler, akan tetapi dengan rusaknya sawar darah

otak, edema serebri akan bertambah karena masuknya partikel dengan berat

molekul besar tersebut ke dalam sel otak dan terakumulasi di sana.

Cairan isotonic lebih umum dipakai dengan catatan tanpa dekstrose

sebagai cairan resusitasi pada cedera kepala.penggunaan normal saline (NaCl

0,9%) lebih menguntungkan karena osmolaritasnya lebih tinggi dari plasma yaitu

308 mOsm/l. Hindari RL karena osmolaritasnya kurang dari osmolaritas plasma

(273 mOsm/l), apalagi cairan hipotonik seperti NaCl 0,45%, D 5%, D5W karena

menurunkan tekanan osmotic plasma.2,8

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : SIM

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 27 tahun

Agama : Hindu

24

Page 25: Lapsus Terapi cairan

Pendidikan : Tamat SMA

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Alamat : Pagutan Mataram.

Bangsa : Indonesia

Status Perkawinan : Sudah Menikah

Tanggal MRS : 16 Mei 2011

No. RM : 01.48.12.19

Ruang : HCU

3.2 Anamnesis

Pasien datang tidak sadar setelah terjatuh dari tangga ± 12 jam sebelum masuk

rumah sakit Sanglah. Kejadiannya tepatnya tanggal 15 Mei 2011 pada pukul

20.00 WITA di Mataram. Riwayat pingsan ada, riwayat sadar setelah pingsan

tidak ada. Pasien merupakan rujukan dari RS Sentra Medika Mataram dengan

diagnose EDH Luas.

Mechanism of injury: Pasien terjatuh dari tangga saat membetulkan lampu.

Riwayat penyakit sistemik (-), riwayat alergi (-), riwayat operasi sebelumnya (-).

3.3 Pemeriksaan Fisik

Primary Survey

Airway : Tersumbat , trakea di tengah.

Breathing : dada simetris, RR 40x/menit, ves+/+,rh-/-,wh-/-

Circulatory : tekanan darah 120/80mmHg, Nadi 100x/menit

kuat angkat regular.

Disability : Pain response

Secondary Survey

Kepala :cephal hematoma (+) , brill hematoma tidak ada,

tidak ada otore dan rinore. Sistem saraf pusat: GCS E1V1M2,

Reflek pupil +/+ anisokor diameter 3/2 mm .

Maxilofacial : terdapat vulnus appertum terawat pada regio

periorbita kiri

C spine : jejas tidak ada

25

Page 26: Lapsus Terapi cairan

Chest : jejas tidak ada, simetris kanan-kiri

cor: S1S2 tunggal regular mur-mur tidak ada.

Pulmo: vesikuler +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen :jejas tidak ada, distensi tidak ada, BU (+) normal

Genital-perineum: terpasang dower catheter. Warna urin kuning

jernih

Musculoskeletal: dalam batas normal

3.4 Pemeriksaan Penunjang

16/5/2011: AGD: pH 7,28/pCO2 50,00/pO2 312,00 /HCT 43,00/HCO3- 23,50 /BE

-3,70/SO2 100/Na 139,00/K 3,60.

DL: WBC 13,0/RBC 4,61/HGB 14,4/HCT 41,0/PLT 190

CT-scan Kepala: EDH fronto temporo parietal (S)

3.5 Assestment

CKB + EDH fronto temporo parietal (S), fr. Linear temporoparietal (S)

3.6 Terapi Cairan Pasien di ICU

16 Mei 2011: IVFD NaCl 0,9% + PRC 2 kolf

17 Mei 2011: IVFD NaCl 0,9%

18 Mei 2011: IVFD NaCl 0,9% +PRC 4 kolf +tutofusin OPS

19 Mei 2011: IVFD NaCl 0,9% + PRC 3 kolf + tutofusin OPS

20 Mei 2011: IVFD NaCl 0,9%. Selain itu, pasien diberikan nutrisi enteral berupa

peptisol, dan terapi parenteral berupa tutofusin OPS

3.7 Follow-up Pasien

Tanggal Perjalanan Penyakit Intruksi Pengobatan

17/05/2011 S: DPO

O: TD: 123/77 N: 120x/menit

Resp. : assisted PL 20 RR 14 Frac 40% PECP 5

Kepala: Luka terawat, drain (+) 200 cc

Mata: Reflek pupil +/+ anisokor 1/2 mm

Thorax: cor: S1S2 tunggal regular mur-mur (-)

Inj:

- Meropenem 2x1gr

- Ikaphen 3x1amp

- Rantin 3x1amp (3x50 mg)

- Brain Act 3x500 mg

- Kalnex 3x500 mg

26

Page 27: Lapsus Terapi cairan

Po: Ves+/+, Rh-/-, Wh-/-

Abdomen: distensi -, BU (+) N

Extremitas: hangat keempat ektremitas

Penunjang DL: Hb: 9,1/Plt: 67/ Hct: 25,9

A: Post trepanasi ec EDH frontotemporoparietal ( S)

- Koreksi Hb s/d Hb > 10

gr/dL

Lanjut perawatan intensif

18/05/2011 S:Somnolen

O: Status present

TD 110/64mmHg

N 95x/menit

Resp. : assisted PL 20 RR 14 Frac 40% PECP 5

Kepala: Luka terawat, drain (+) produksi minimal

Mata: Reflek pupil +/+ anisokor 1/2mm

Cervikal : emfisema sub kuits (+)

Thorax: emfisema sub kutis (+)

cor: S1S2 tunggal regular mur-mur (-)

Po: Ves+/+, Rh-/-, Wh-/-

Abdomen: distensi -, BU (+) N

Extremitas: hangat keempat ektremitas

Penunjang DL: WBC 19,9/Hb: 6,5/Hct: 19,8/Plt: 75 /

K: 3,20

A: Post trepanasi ec EDH frontotemporoparietal ( S)

Inj.:

- Meropenem 2x1gr

- Ikaphen 3x1amp

- Rantin 3x1amp (3x50 mg)

- Brain Act 3x500 mg

- Kalnex 3x500 mg

- Koreksi Hb s/d Hb > 10

gr/dL

Lanjut perawatan intensif

19/05/2011 S:Somnolen

O: Status present

TD 164/102mmHg

N 105 x/menit

Resp. : spontan RR 25 x/menit

Kepala: Luka terawat, drain (+) produksi minimal

Mata: Reflek pupil +/+ anisokor 1/2mm

Cervikal : emfisema sub kuits (+)

Thorax: emfisema sub kutis (+)

cor: S1S2 tunggal regular mur-mur (-)

Po: Ves+/+, Rh-/-, Wh-/-

Abdomen: distensi -, BU (+) N

Extremitas: hangat keempat ektremitas

Penunjang DL: Hb: 8,0/ HCt : 19,8 /Plt: 127/ K: 3,10

A: Post trepanasi ec EDH frontotemporoparietal ( S)

Inj.:

- Meropenem 2x1gr

- Ikaphen 3x1amp

- Rantin 3x1amp (3x50 mg)

- Brain Act 3x500 mg

- Kalnex 3x500 mg

- Koreksi Hb s/d Hb > 10

gr/dL

Lanjut perawatan intensif

20/5/2011 S:Somnolen Inj.:

27

Page 28: Lapsus Terapi cairan

O: Status present

TD 164/102mmHg

N 105 x/menit

Resp. : spontan RR 25 x/menit

Kepala: Luka terawat, drain (+) produksi minimal

Mata: Reflek pupil +/+ anisokor 1/2mm

Cervikal : emfisema sub kuits (+)

Thorax: emfisema sub kutis (+)

cor: S1S2 tunggal regular mur-mur (-)

Po: Ves+/+, Rh-/-, Wh-/-

Abdomen: distensi -, BU (+) N

Extremitas: hangat keempat ektremitas

Penunjang DL: Hb: 11,5/Plt: 178/K : 3,18

A: Post trepanasi ec EDH frontotemporoparietal ( S)

- Meropenem 2x1gr

- Ikaphen 3x1amp

- Rantin 3x1amp (3x50 mg)

- Brain Act 3x500 mg

- Kalnex 3x500 mg

- Koreksi Hb s/d Hb > 10

gr/dL

Lanjut perawatan intensif

BAB IV

PEMBAHASAN

Manajemen cairan pada pasien cedera kepala bertujuan untuk memelihara

normovolemia serta mencegah hipotensi. Terapi cairan dipandu dengan kondisi

klinis, laboratorik, serta monitor ketat. Jumlah cairan pemeliharaan yang

diperlukan adalah 30-40 mL/kgBB/hari. Pemilihan cairan cenderung berdasar

28

Page 29: Lapsus Terapi cairan

nilai osmolaritas dibanding tekanan onkotik, sehingga penggunaan cairan

hipotonik dihindari dan serum osmolaritas dijaga pada nilai 290-300 mOsm/l

untuk mencegah perpindahan cairan ke otak yang cedera. Selain hal tersebut,

dihindari juga cairan yang mengandung dekstrosa karena air yang tersisa setelah

glukosa termetabolisme akan memperberat edema serebri serta kenaikan gula

darah pasien akan memperjelek kondisi pasien..

Pencegahan terjadinya hipotensi pada cedera kepala sangatlah penting

karena hipotensi ini merupakan salah satu faktor penyebab cedera kepala

sekunder. Dilaporkan hipotensi pada cedera kepala (tekanan darah sistolik <90

mmHg) pasca cedera kepala akan menurunkan outcome secara nyata. Kombinasi

peningkatan tekanan intra kranial dan hipotensi sistemik menyebabkan penurunan

tekanan perfusi otak, memperburuk iskemia serebral.

Pada pasien ini, selama di rawat di HCU mendapatkan terapi cairan berupa

IVFD NaCl 0,9%. Cairan ini dipilih karena bersifat isotonis, dan osmolaritas lebih

tinggi dari plasma yaitu 308 mOsm/l, sehingga tidak mengakibatkan edema

serebri pada pasien. Dalam kasus ini, dihindari cairan hipotonik, karena akan

memperburuk edema serebral. Pemeberian RL dihindari karena osmolaritasnya

kurang dari osmolaritas plasma (273 mOsm/l) sehingga dapat menurunkan

tekanan osmotic plasma yang berujung pada resiko peningkatan terjadinya edema

serebri. Cairan hipertonik kristaloid pun (semisal NaCl 3 %) tidak dipilih.

Meskipun cairan tersebut efektif untuk penggantian volume, dan menurunkan

resiko edema serebral dibandingkan isotonis kristaloid. Namun, pemakainnya

sangat dibatasi karena cairan tersebut mampu mengakibatkan hipernatremia.

Dekstrosa tidak diberikan, karena merupakan kontra indikasi . Dekstrosa

merupakan cairan yang rendah natrium dan tinggi glukosa. Dimana bisa

mengakibatkan edema serebri dan asidosis laktat. Dekstrosa hanya diberikan pada

pasien yang mengalami hipoglikemia. Sedangkan pasien ini tidak mengalami

hipoglikemia.

Koloid seperti albumin, HES dan plasmanate lebih efisien untuk

meningkatkan volume intravaskuler, akan tetapi dengan rusaknya sawar darah

otak, edema serebri akan bertambah karena masuknya partikel dengan berat

molekul besar tersebut ke dalam sel otak dan terakumulasi di sana.

29

Page 30: Lapsus Terapi cairan

Terapi cairan tersebut terbukti cukup bagus untuk menjaga agar tidak

terjadi hipovolemik dan hipotensi pada pasien ini. Hal ini telihat dari tekanan

darah pasien. Selama dirawat di HCU, tekanan darah sistolik pasien selalu > 90

mmHg tanpa adanya tanda-tanda peningkatan intra kranial.

Selain diberikan NaCl 0,9%, pasien juga mendapatkan transfusi PRC,

tutofusin OPS, dan juga pemberian nutrisi parenteral berupa peptisol. Tujuan

pokok pemberian transfusi adalah untuk meningkatkan kemampuan darah,

sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat dipertahankan. Transfusi darah dan

produk darah dilakukan pada pasien yang jumlah hematokritnya rendah guna

mengoptimalkan oksigen delivery. Hematokrit harus dipertahankan sebesar 30 %,

dan bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr % sebaiknya pasien diberikan

transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen. Pasien tersebut

mendapatkan transfusi oleh karena anemia (kadar Hb < 10 gr%) dan disertai

dengan kadar hematokrit yang rendah (< 30 %). Transfusi yang diberikan pada

pasien adalah berupa PRC karena ketiadaan abnormalitas komponen darah yang

lain. Sehingga dirasakan cukup untuk memberikan transfusi PRC saja. Selain itu,

keuntungan yang dapat diperoleh dengan transfusi PRC adalah bisa meningkatkan

daya angkut oksigen tanpa menambah beban volume darah.

Pada pasien diberikan tutofusin OPS. Dalam tiap liternya, tutofusin OPS

mengandung natrium sebanyak 100 meq, Kalium 18 meq, Ca 4 meq, Mg 6 meq,

Cl 90 meq, acetate 38 meq, dan sorbitol 50 gram. Dari hasil pemeriksaan

elektrolit, didapatkan bahwa pasien mengalami hipokalemia. Sehingga diperlukan

pemasukan kalium. Karena pasien tidak mampu mendapatkan asupan kalium per

oral, maka total pemasukan kalium hanya didapatkan lewat parenteral. Cairan RL

tidak diberikan oleh karena seperti yang telah dijabarkan di atas. Sehingga dapat

diberikan cairan lain yang mengandung kalium. Dalam hal ini dipilihlah tutofusin

OPS. Selain mengandung jumlah kalium yang lebih tinggi dari RL, tutofusin juga

mengandung sorbitol. Sorbitol merupakan gula alkohol yang dimetabolisme

lambat dalam tubuh, dan memiliki nilai gizi karena mengandung energi sebanyak

2,6 kkal per gram. Selain itu, disebutkan bahwa apabila pengkonsumsian sorbitol

> 50 gram akan menghasilkan efek laksatif yang diperlukan oleh pasien guna

30

Page 31: Lapsus Terapi cairan

memperbaiki keseimbangan pada saluran cerna. Sehingga pasien tidak mengalami

konstipasi.

Pada pasien bedah, minimal dibutuhkan 30 kkal/kg BB per hari. Apabila

terdapat komplikasi dapat ditingkatkan menjadi 40-45 kkal/kg BB/ hari, dalam

keadaan hiperkatabolisme misalnya sepsis atau luka bakar, 50-60 kkal/kg BB/hari.

Dan pada keadaan sepsis hendaknya setiap peningkatan temperatur 1 derajat

celcius jumlah kalori ditambah 12 %. Peptisol tiap 100 gramnya mengandung

protein sebanyak 22,2 gram, lemak 4,6 gram, karbohidrat 66,7 gram dengan

energi sebesar 397 kkal. Diberikan peptisol guna melengkapi kaidah prinsip terapi

cairan pasca bedah pada pasien dewasa. Dimana apabila puasa > 3 hari maka

diberikan cairan nutrisi yang mengandung air, elektrolit, karbohidrat dosis

dinaikkan beserta asam amino dan pada hari kelima ditambahkan lemak. Pepetisol

mengandung air lewat cara penyajiannya. Peptisol 63 gram dilarutkan dalam 200

ml air hangat untuk mendapatkan 250 kkal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku, Gd. 2002. Terapi Cairan. Diktat Kumpulan Kuliah Jilid II..

Laboratorium Anestesiologi dan Reanimasi. Fakultas Kedokteran

Udayana. hal 42-46.

2. Rahardjo, S. Manajemen Perioperatif Cedera Kepala. In: Anestesia &

Critical Care 2006; 24: pp 80-93.

31

Page 32: Lapsus Terapi cairan

3. Hartanto W W. 2007. Terapi cairan dan elektrolit perioperatif. Bagian

farmakologi klinik dan terapeutik fakultas kedokteran Universitas

Padjajaran. Hal 1-25.

4. Ken H. Colloid Versus Crystalloids In Shock. In: Indian J Crit Med

2004;8(1):pp 14-21.

5. Sunatrio S. Terapi cairan pada syok hipovolemik. Dalam: Resusitasi

Cairan. Edisi pertama. Jakarta: Media Aesculapius FK UI, 2002. Hal

1-42.

6. Boldt J. Intraoperative Fluid Therapy-Crystalloid/Colloid Debate. In:

Conferencias Magistrales 2005; 28 (1): pp S23-S28.

7. Maliawan S, Golden N. Trauma Kepala. Dalam: Seminar Sehari

“Traumatologi” Laboraturium Selatan Universitas Udayana 2002: pp

1-19.

8. Newfield P, Cottrell JE. Fluid Management. In: Handbook of

Neuroanestesia ed 4th, Philadelphia 2002; 4: 379-395.

32