Upload
krisna-silawa
View
261
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN WISATA BUDAYA
Disusun oleh :
1. Ameyta Loeis P (01)
2. Krisna Silawa (09)
3. Lina Karina (23)
4. Ratna Sutyaningrum (28)
Kelas : 2 TPHP 2
SMK N 1 (STM PEMBANGUNAN)
TEMANGGUNG
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan
pembuatan laporan WISATA BUDAYA ini dengan baik dan lancar.
Makalah ini digunakan sebagai salah satu sarana pembelajaran IPS bagi
siswa. Dalam laporan ini membuat beberapa aspek tentang pentingnya wisata
budaya generasi muda sehingga mereka dapat mengetahui tentang budaya-budaya
serta peninggalan-peninggalan sejarah yang merupakan kekayaan kebudayaan
yang diniliki oleh bangsa Indonesia.
Kami ucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yang turut membantu
dalam pembuatan makalah ini :
1. Bapak Drs. Purwono selaku kepala SMK N 1 (STM PEMBANGUNAN )
TEMANGGUNG yang telah memberi izin untuk terlaksananya kegiatan
WISATA BUDAYA ini,
2. Bapak Rofi’un selaku guru mata diklat IPS
3. Ibu dan bapak guru pembina
4. Biro perjalanan
5. Ayah dan ibu kami yang telah mendukung
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan laporan
ini,oleh karena itu kami mohon maaf atas segala kekurangan laporan yang kami
buat. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Temanggung, 8 November 2012
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Contents
SEJARAH........................................................................................................................................xiii
Masa Belanda..............................................................................................................................xiii
1. Tahun 1760 – 1765...............................................................................................................xvi
2. Tahun 1765 – 1788...............................................................................................................xvi
3. Tahun 1788 – 1799..............................................................................................................xvii
4. Tahun 1799 – 1807..............................................................................................................xvii
5. Tahun 1807 – 1811..............................................................................................................xvii
6. Tahun 1811 – 1816..............................................................................................................xvii
7. Tahun 1816 – 1942..............................................................................................................xvii
Masa Jepang...............................................................................................................................xvii
Masa Kemerdekaan.....................................................................................................................xix
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kondisi kebudayaan Indonesia pada saat ini sangat memprihatinkan.
Kecintaan terhadap budaya sendiri kini sudah mulai luntur , dan kebudayaan luar
kini sangat popular khususnya dikalangan generasi muda saat ini. Indonesia
mempunyai banyak tempat wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi,sepeti
tempat wisata bermain,kebun binatang, museum, dan lain sebagainya. Tetapi
diantara tempat-tempat tersebut yang paling diminati oleh masyarakat yaitu wisata
bermain. Rekreasi memeng hal yang penting untuk menenangkan pikiran, tetapi
pengetahuan dan sejarah juga tidak kalah penting. Oleh sebab itu Mengunjungi
tempat yang bersejarah atau museum alangkah baiknya.
Karena mulai luntur kebudayaan Indonesia, pada saat ini sekolah-sekolah
berusaha mempertahankan nilai-nilai kebudayaan dengan cara mengadakan
WISATA BUDAYA ke tempat-tempat bersejarah. Seperti halnya SMK N 1 (STM
PEMBANGUNA ) TEMANGGUNG yang mengadakan WISATA BUDAYA ke
museum Sonobudoyo dan benteng Vredeburg yang berada di Jogjakarta.
B. Tujuan
Karya tulis ini dibuat dengan beberapa tujuan, yaitu:
1. Untuk menambah wawasan pembas=ca mengenai tempat-tempat yang
bersejarah di Jogjakarta,
2. Untuk memenuhi tugas IPS,
3. Untuk meningkatkan kesadaran kita dalam melestarikan dan mencintai
budaya yang kita miliki.
C. Motto
iv
1. Kebudayaan yang lampau adalah warisan nenek moyang yang harus di
lestarikan oleh generasi muda.
2. Kenanglah sejarah karena mungkin anda adalah bagian dari sejarah itu.
v
BAB 2
PEMBAHASAN
A. MUSEUM SONOBUDOYO
Sejarah
Pada tahun 1919 Sebuah yayasan yang bergerak dibidang kebudayaan
Jawa,Madura,Bali dan Lombok berdiri di Surakarta dengan nama Java
institut.Dalam keputusan kongres tahun 1942 Java institut akan mendirikan
sebuah museum di Yogyakarta guna melestarikan benda-benda peninggalan
bangsa Indonesia.Panitia pendirian museum di bentuk pada tahun 1931 dengan
anggota Ir.Th.Kaisten,sitsen dan S.kopenberg.tahun 1934 panitia pendirian
museum ini diberi wewenaang untuk menentukan lokasi serta corak arsitektur
bangunannya.Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menghadiahkan tanah dan
bangunan sebagai modal utama pendirian museum.Pada saat bersamaan panitia
kecil mulai membangun pendopo kecil dengan sengkalan "buta Ngaisa Estining
Lata".Sengkalan yang bermakna tahun 1865 Jawa bertepatan dengan tahun 1934
M.Museum Sonobudoyo dibuka secara resmi oleh Sri Sultan HB VIII 6
November 1935.Pembukaan bertepatan dengan tanggal kelahiran Sri sultan HB
VII.
Museum Sonobudoyo terletak di bagian utara Alun-alun Utara dari
Keraton Yogyakarta. Bangunan museum yang didesain oleh Ir Th Karsten ini
berbentuk rumah joglo dengan diilhami arsitektur gaya bangunan Masjid
Kasepuhan Cirebon. Pencetus berdirinya Museum Sonobudoyo adalah sebuah
yayasan yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan
Lombok, yang bernama Java Institut. Pada tanggal 6 November 1935 yayasan
yang waktu itu dipimpin oleh Prof. Dr. Huseun Djajaningrat mendirikan Museum
Sonobudoyo atas restu dari Ng. D.S.D.I.S. Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
vi
VIII. Peresmiannya ditandai dengan Candrasengkala “Kayu Winayang Ing
Brahma Buddha”.
Sebagai sebuah museum, Sonobudoyo masih berfungsi terus hingga saat
ini, walaupun pengelolanya berganti-ganti. Pada saat Jepang berkuasa (1942),
Museum Sonobudoyo dikelola oleh pemerintahan Jepang. Kemudian, sejak
Jepang kalah hingga tahun 1949 museum ini dikelola oleh Dinas Wiyotoprojo.
Tahun 1950-1973 dikelola oleh Inspeksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Yogyakarta. Namun, pada tanggal 11 Desember 1974, melalui SK
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 693/0/1979, Museum Sonobudoyo
diambilalih oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan dijadikan sebagai
Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dan, saat ini
Museum Negeri Sonobudoyo merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah pada
Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, yang mempunyai fungsi pengelolaan benda
museum yang memiliki nilai budaya ilmiah. Sedangkan, tugasnya adalah
mengumpulkan, merawat, pengawetan, melaksanakan penelitian, pelayanan
pustaka, bimbingan edukatif kultural serta penyajian benda koleksi.
Koleksi Museum Sonobudoyo
Sampai saat ini Museum Sonobudoyo memiliki 42.698 buah koleksi yang
dibagi menjadi 10 kategori, yaitu: koleksi geologi, biologi, etnografi, arkeologika,
historika, numismatika, filologika, keramologi, seni rupa, dan teknologika.
Benda-benda koleksi Museum Sonobudoyo itu ada yang dipamerkan di
luar dan di dalam gedung. Koleksi yang dipamerkan di luar gedung museum
umumnya terbuat dari batu yang relatif tahan terhadap cuaca, yang terdiri dari
berbagai macam patung dari zaman kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, benda-benda kelengkapan upacara, serta bagian dan hiasan
candi.
vii
Sedangkan, benda-benda yang dipamerkan di dalam museum adalah
benda-benda yang peka terhadap pengaruh cuaca, kotoran, cahaya dan bahkan
serangga. Benda-benda itu umumnya dimasukkan ke dalam vitirin, guna
melindunginya dari proses kerusakan. Benda-benda yang dipamerkan di dalam
museum diantaranya adalah: (1) berbagai macam hasil karya seni yang terbuat
dari kayu dan bambu, seperti topeng Jawa dan Bali, wayang golek, puluhan model
perahu serta tandu (jempono) yang diantaranya adalah tandu lawak dari zaman
Sultan Hamengku Buwono I, tandu Kyai Kudus, Kyai Purbonegoro, dan Kyai
Wegono Putro; (2) berbagai macam jenis batik beserta peralatan pembuatnya; dan
(3) benda-benda yang terbuat dari perunggu, emas, perak dan besi seperti, patung
kuwera, genta dari Kalasan, lampu gantung berbentuk kenari serta seperangkat
gamela Jawa dan Cirebon serta senjata (mandau, rencong dan keris). Sebagai
catatan, Museum Sonobudoyo menyimpan sekitar 1200-an koleksi keris yang
sebagian besar merupakan sumbangan dari Java Institut dan sebuah wesi buddha,
yang merupakan bahan baku pembuat keris yang digunakan sekitar tahun 700
Masehi.
Sebagai catatan pula, selain sebagai tempat untuk memamerkan benda-
benda sejarah dan purbakala, Museum Negeri Sonobudoyo juga dilengkapi
dengan dengan auditorium, laboratorium, preparasi, kantor dan perpustakaan
dengan puluhan ribu judul buku, khususnya terbitan sebelum Perang Dunia II
dalam berbagai bahasa. Di samping itu dapat pula dijumpai manuskrip (naskah
tulisan tangan) berhuruf Jawa dan Arab.
Mengunjungi Museum Sonobudoyo adalah salah satu alternatif bila ingin melihat
beragam koleksi keris dari penjuru nusantara dan benda-benda yang berkaitan dengannya.
Museum yang menyimpan sekitar 1200-an koleksi keris (sebagian besar merupakan
sumbangan Java Institut) ini akan mengobati kekecewaan anda, sebab Kraton Yogyakarta
yang menyimpan keris-keris pusaka hingga kini tak memperbolehkan pengunjung
menikmati koleksinya
Museum Sonobudoyo dapat dijangkau dengan mudah dari Kraton Yogyakarta,
berada di seberang Alun Alun Utara Yogyakarta. Untuk memasukinya, anda hanya perlu
viii
membayar tiket seharga Rp 3.000,00. Sementara, untuk melihat beragam koleksi keris,
prosedurnya cukup sulit karena mesti meminta ijin pada pimpinan museum. Hal itu
disebabkan karena banyak koleksi keris masih disimpan di ruang koleksi, belum
ditampilkan untuk umum.
Museum Sonobudoyo dulu adalah sebuah yayasan yang bergerak dalam
bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Yayasan ini berdiri di
Surakarta pada tahun 1919 bernama Java Instituut. Dalam keputusan Konggres
tahun 1924 Java Instituut akan mendirikan sebuah museum di Yogyakarta. Pada
tahun 1929 pengumpulan data kebudayaan dari daerah Jawa, Madura, Bali dan
Lombok. Panitia Perencana Pendirian Museum dibentuk pada tahun 1913 dengan
anggota antara lain: Ir.Th. Karsten P.H.W. Sitsen, Koeperberg.
Bangunan museum menggunakan tanah bekas “Shouten” tanah hadiah dari
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan ditandai dengan sengkalan candrasengkala
“Buta ngrasa estining lata” yaitu tahun 1865 Jawa atau tahun 1934 Masehi.
Sedangkan peresmian dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VIII pada hari
Rabu wage pada tanggal 9 Ruwah 1866 Jawa dengan ditandai candra sengkala
“Kayu Kinayang Ing Brahmana Budha” yang berarti tahun Jawa atau tepatnya
tanggal 6 Nopember 1935 tahun Masehi. Pada masa pendudukan Jepang Museum
Sonobudoyo dikelola oleh Bupati Paniradyapati Wiyata Praja (Kantor Sosial
bagian pengajaran). Di jaman Kemerdekaan kemudian dikelola oleh Bupati
Utorodyopati Budaya Prawito yaitu jajaran pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Selanjutnya pada akhir tahun 1974 Museum Sonobudoyo diserahkan ke
Pemerintah Pusat / Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan secara langsung
bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal dengan berlakunya Undang-
undang No. 22 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan
Propinsi sebagai Otonomi Daerah. Museum Sonobudoyo mulai Januari 2001
bergabung pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi DIY diusulkan
menjadi UPTD Perda No. 7 / Th. 2002 Tgl. 3 Agustus 2002 tentang pembentukan
dan organisasi UPTD pada Dinas Daerah dilingkungan Pemerintah Propinsi
ix
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan SK Gubernur No. 161 / Th. 2002 Tgl. 4
Nopember tentang TU – Poksi.
Museum Negeri Sonobudoyo ini tersimpan 10 Jenis Koleksi :
1. Jenis Koleksi Geologika
2. Jenis Koleksi Biologika
3. Jenis Koleksi Ethnografkai
4. Jenis Koeksi Arkeologi
5. Jenis Koleksi Numismatika/ Heraldika
6. Jenis Koleksi Historika
x
7. Jenis Koleksi Filologika
8. Jenis Koeksi Keramologika
9. Jenis Koleksi Senirupa
10. Jenis Koleksi Teknologika
Jumlah 10 jenis koleksi Museum Negeri Sonobudoyo dengan rincian sebagai berikut :
1. Koleksi Geologi : 132. Koleksi Biologi : 343. Koleksi Ethnografi : 8.1574. Koleksi Arkeologi : 1.9815. Koleksi Historika : 426. Koleksi Numismatika : 21.9147. Koleksi Filologika : 1.2408. Koleksi Keramologika : 3849. Koleksi Senirupa : 9.120
xi
10. Koleksi Teknologi : 384
Jumlah : 43.235
Posisi pada bulan Maret 2006 Dari data jumlah 10 jenis benda koleksi Museum Negeri Sonobudoyo sebanyak 43.235 buah :
1. Sudah diinventarisir sejumlah 11.031 buah ( 25,51 % )2. Belum diinventarisir sejumlah 32.204 buah ( 74,48 % )
Koleksi yang dipamerkan pada ruang Pameran tetap di Museum Negeri Sonobudoyo unit I sebanyak 1.184 buah terdiri :
1. Koleksi Etnografi : 715 buah2. Koleksi Arkeologi : 445 buah3. Koleksi Nimismatika : 14 buah4. Koleksi Keramologika : 7 buah5. Koleksi Filologika : 3 buah
Koleksi yang dipamerkan pada ruang Pameran tetap di Museum Negeri Sonobudoyo Unit II sebanyak 810 buah terdiri dari :
1. Koleksi Geologika : 38 buah2. Koleksi Biologika : 31 buah3. Koleksi Ethnografika : 304 buah4. Koleksi Numismatika : 147 buah5. Koleksi Filologika : 12 buah6. Koleksi Senirupa : 161 buah
FASILITAS MUSIUM SONOBUDOYO
Pendopo
Bila pengunjung ingin memasuki Museum Sonobudoyo, terlebih dahulu
akan melewati sebuah Pintu Gerbang yang berbentuk Semar Tinandu, dan
beratapkan model joglo. Didinding bagian dalam gapura sisi Timur terdapat
Prasasti dengan Candra Sengkala “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha”, yang
berarti Tahun 1886 (Tahun Jawa), atau 1935 Masehi, dimana Museum
Sonobudoyo didirikan. Kunjungan selanjutnya menuju ruang Pendopo yang
berbentuk Limas Lambang Tumpang Sari, mirip bangunan Masjid Kanoman
xii
Cirebon. Fungsi pendopo adalah sebagai tempat untuk menerima pengunjung
dalam jumlah banyak.
Didalam ruang ini dipamerkan dua perangkat Gamelan, antara lain :
1. Gamelan Kyai Mega Mendung, yang bernada Pelog dan slendro.berasal dari
daerah Cirebon pada abad 19. Pada gamelan tersebut terdapat hiasan yang
bermotifkan Mega Mendung.
2. Gamelan Kyai dan Nyai Ririrs Manis, Gaya Yogyakarta yang bernada Slendro
dan Pelog.
Auditorium
Masyarakat pada umumnya telah mengenal adanya Museum Negeri
Sonobudoyo dengan Benda Koleksi yang dipamerkan, akan tetapi belum kenal
betul tentang aktifitas dan fasilitas yang ada dan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat, adapun nama ruang tersebut adalah Ruang Auditorium dan Ruang
Serbaguna.
Ruang Auditorium, terletak didalam kompleks Gedung Museum Sonobudoyo
Unit I, Jl. Trikora No 6 Yogyakarta, dibagian sisi sebelah Barat. Gedung
terdiri dua lantai, adapun pengunaannya adalah untuk menyelenggarakan
kegiatan seperti Seminar, Sarasehan, Ceramah, Workshop, Rapat Kerja, dan
lain sebagainya.
Kapasitas ruang : lantai pertama 75 Orang
: lantai dua 100 Orang.
Ruang Serbaguna, terletak Di Museum Negeri Sonobudoyo Unit II, Jl. Mijilan
No I , Dalem Condrokiranan Yogyakarta (Sebelah Tenggara Museum Negeri
Sonobudoyo Unit I). Pengunaan ruang tersebut adalah untuk acara Upacara
Pernikahan Gaya Yogyakarta, Seminar, Ceramah, Sarasehan, Rapat - Rapat
dan lain sebagainya.Kapasitas Gedung : 500 Orang
Laboratorium Konservasi
Pada Tahun 1975 Ruang Laboratorium Konservasi Museum Negeri
Sonobudoyo telah selesai dibangun, adapun fungsi ruang tersebut adalah untuk
mengantisipasi semua benda koleksi museum yang segera untuk mendapat
xiii
penanganan pengamanan secara rutin. Kegiatan ini sesuia dengan tugas pokok
dari museum, yaitu, mengumpulkan, memelihara, merawat dan mengawetkan
benda koleksi, sehingga keselematan benda koleksi tersebut akan lebih terjamin
keamanannya dari kerusakan yang diakibatkan karena faktor iklim maupun usia.
Beberapa peralatan telah dimiliki oleh laboratorium baik untuk analisa maupun
melakukan treatment terhadap koleksi.
Perpustakaan
Pada Tahun 1940 Museum Sonobudyo telah dilengkapi dengan
Perpustakaan yang menempati Gedung seluas 668 m2. Adapun buku buku dan
naskah yang terdapat dalam Perpustakaan sebagaian besar menggambarkan
kebudayaan Bangsa Indonesia. Perpustakaan Museum Sonobudoyo dapat
dimanfaatkan bagi seluruh kalangan masyarakat, mulai dari Pelajar, Mahasiswa,
Peneliti maupun komunitas lain yang berhubungan dengan kebudayaan
xiv
B. BENTENG VREDEBURG
SEJARAH
Masa Belanda
Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya
Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berrhasil
menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran
Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) adalah merupakan hasil politik
Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu
itu. Nama Perjanjian Giyanti, karena traktat tersebut disepakati di Desa Giyanti,
suatu desa yang terletak di dekat Surakarta.
Perjanjian yang berhasil dikeluarkan karena campur tangan VOC selalu
mempunyai tujuan akhir memecah belah dan mengadu domba pihak-pihak yang
bersangkutan. Demikian pula dengan perjanjian Giyanti. Orang Belanda yang
berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti tersebut adalah Nicolaas
Harting, yang menjabat Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouverneur en
Directeur van Java’s noordkust) sejak bulan Maret 1754.
Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk
membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta. Untuk selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah
oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku
Buwono Senopati Ing Alogo Adul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatulah I.
Sedang Kasunanan Surakarta diperintah oleh Paku Buwono III.
Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I
adalah segera memerintahkan membangun kraton. Dengan titahnya Sultan segera
memerintahkan membuka hutan Beringan yang terdapat dusun Pacetokan. Sri
Sultan Hamengku Buwono I mengumumkan bahwa wilyah yang menjadi daerah
kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat (Ngayogyakarta
Hadiningrat) dengan ibukota Ngayogyakarta. Pemilihan nama ini dimaksudkan
xv
untuk menghormati tempat bersejarah yaitu Hutan Beringan yang pada j=zaman
almarhum Sri Susuhunan Amangkurat Jawi (Amangkurat IV) merupakan kota
kecil yang indah. Di dalamnya terdapat istana pesanggrahan yang terkenal dengan
Garjitowati. Kemudian pada zaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di
Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Pada masa itu
dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan
dimakamkan di Imogiri.
Hutan kecil ini mula-mula adalah tempat peristirahatan Sunan
Pakubuwono II dengan nama Pesanggrahan Garjitowati. Untuk selanjutnya beliau
menggantinya dengan nama Ayogya (atau Ngayogya). Nama Ngayogyakarta
ditafsirkan dari kata “Ayuda” dan kata “Karta”. Kata “a” berarti tidak dan “yuda”
berarti perang. Jadi “Ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau
damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tentram. Jadi Ngayogyakarta dapat
diartikan sebagai “ Kota yang aman dan tenteram”.
Disamping sebagai seorang panglima perang yang tangguh Sri Sultan
Hamengku Buwono I adalah pula seorang ahli bangunan yang hebat. Kraton
Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama
pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan
Ambarketawang Gamping, kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis
Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 meski belum selesai dengan sempurna, Sultan
dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di saat raja dan keluarganya
menempati kraton ditandai dengan candra sangkala “Dwi Naga Rasa Tunggal”.
Dalam tahun jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan
tanggal 7 Oktober 1756.
Setelah kraton mulai ditempati kemudian segera disusul berdiri pula
bangunan-bangunan pendukung lainnya. Kraton dikelilingi tembok yang tebal. Di
dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan
kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun
tahun 1756. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757.
xvi
Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1761 dan 1762.
Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton
selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikianlah kraton
Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke
waktu.
Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh
Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul.
Sehingga pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diijinkan membangun
sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda
dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut
maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam
mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Letak benteng
yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap
ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat
dimanfaatkan sebagai benteng stragi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat
dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga
apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya
kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap
perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi “kekuatan” yang sulit
dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini
termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin
Belanda untuk membangun benteng, dikabulkan. Sebelum dibangun benteng pada
lokasinya yang sekarang (Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun
1760 atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng
yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat
tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh Sultan keempat sudut
tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut),
Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).
Menurut penuturan Nicolas Harting seorang Gubernur dari Direktur Pantai
Utara Jawa di Semarang, bahwa benteng tersebut keadaannya masih sangat
xvii
sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari
kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu
dengan atap ilalang.Dalam perkembangan selanjutnya sewaktu W.H. Ossenberch
menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, tahun 1765 mengusulkan kepada
Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih
menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng
dikerjakan dibawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang
bernama Ir. Frans Haak. Tahun 1767 pembangunan benteng dimulai. Menurut
rencana pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun itu juga. Akan tetapi
dalam kenyataannya proses pembangunan tersebut berjalan sangat lambat dan
baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut Sultan yang
bersedia mengadakan bahan dan tenaga dalam pembangunan benteng, sedang
disibukkan dengan pembangunan Kraton Yogyakarta, sehingga bahan dan tenaga
yang dijanjikan lebih banyak teralokasi dalam pembangun kraton. Setelah selesai
bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Rustenburg
yang berarti “Benteng Peristirahatan”.
Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga
banyak merobohkan beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (yang
dibangun tahun 1824), Tugu Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan-
bangunan yang lain. Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali.
Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan
yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg
diganti menjadi Vredeburg yang berarti “Benteng Perdamaian”. Nama ini diambil
sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak
Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.
Bentuk benteng tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar.
Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagaan yang disebut “seleka” atau
“bastion”. Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh
parit. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit,
gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Di
xviii
Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis
dan para medis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda
digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di
Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor residen yang berada
berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.Sejalan dengan perkembangan
politik yang berjadi di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula
perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg.
Secara kronologis perkembangan status tanah dan bangunan Benteng Vredeburg
sejak awal dibangunnya (1760) sampai dengan runtuhnya kekuasaan Hindia
Belanda (1942) adalah sebagai berikut :
1. Tahun 1760 – 1765
Pada awal pembangunannya tahun 1760 status tanah merupakan milik
kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC)
dibawah pengawasan Nicolaas Harting, Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa.
2. Tahun 1765 – 1788
Secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan tetapi secara de
facto penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda. Usul Gubernur
W.H. Van Ossenberg (pengganti Nicolaas Hartingh) agar bangunan benteng lebih
disempurnakan, dilaksanakan tahun 1767. Periode ini merupakan periode
penyempurnaan Benteng yang lebih terarah pada satu bentuk benteng pertahanan.
3. Tahun 1788 – 1799
Pada periode ini status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik
kasultanan, secara de facto dikuasai Belanda. Periode ini merupakan saat
digunakannya benteng secara sempurna oleh Belanda (VOC). Bangkrutnya VOC
tahun 1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche
Republic (Pemerintah Belanda). Sehingga secara de facto menjadi milik
pemerintah kerajaan Belanda.
4. Tahun 1799 – 1807
Status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan,
tetapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Bataafsche Republik
xix
(Pemerintah Belanda) di bawah Gubernur Van Den Burg. Benteng tetap
difungsikan sebagai markas pertahanan.
5. Tahun 1807 – 1811
Pada periode ini benteng diambil alih pengelolaannya oleh Koninklijk
Holland. Maka secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi
secara de facto menjadi milik Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah
Gubernur Daendels.
6. Tahun 1811 – 1816
Ketika Inggris berkuasa di Indonesia 1811 – 1816, untuk sementara
benteng dikuasai Inggris dibawah Gubernur Jenderal Rafles. Namun dalam
waktu singkat Belanda dapat mengambil alih. Secara yuridis formal benteng
tetap milik kasultanan.
7. Tahun 1816 – 1942
Status tanah benteng tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto
dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena kuatnya pengaruh Belanda maka
pihak kasultanan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi masalah
penguasaan atas benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala Tentara
Jepang tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang dengan ditandai
dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat.
Masa Jepang
Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang, membuat kedudukan pulau Jawa
sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda terancam. Ketika akan menyerang
Indonesia, Jepang lebih dulu menguasai daerah-daerah penghasil minyak bumi di
Kalimantan Timur seperti Tarakan, Pulau Bunyu dan Balikpapan. Penguasaan
daerah tersebut sangat penting untuk mendukung kepentingan perang pasukan
Jepang di kawasan Pasifik. Setelah Kalimantan, Jepang kemudian menyerang
Sumatera yaitu Dumai, Pakan Baru dan Palembang. Terakhir baru Jepang
menyerang Pulau Jawa dengan mendaratkan pasukannya di Banten, Indramayu
dan Banyuwangi. Dalam waktu singkat berhasil menduduki tempat strategis di
Pulau Jawa. Hingga akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa
syarat pada Jepang di Kalijati, Jawa Barat. Maka sejak itulah Jepang berkuasa di
Indonesia.
xx
Masa pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsung sejak tanggal 6
Maret 1942. Mereka segera menempati gedung-gedung pemerintah yang semula
ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas kota Yogyakarta
berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan. Dengan semboyan Tiga A (Nipon
Cahaya Asia, Nipon Pemimpin Asia dan Nipon Pelindung Asia), mereka
melakukan pawai dengan jalan kaki dan bersepeda bergerak menuju pusat kota
Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati rakyat Yogyakarta.
Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1
tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di
bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor
di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang
disamping ditempatkan di Kotabaru juga di pusatkan di Benteng Vredeburg.
Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu
tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam.
Disamping itu benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat
penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap.
Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan
menentang Jepang.
Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan
persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan
terlebih dulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap
sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan pertimbangan bahwa di
kawasan tersebut keamanan lebih terjamin. Penempatan gudang mesiu di setiap
sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah disaat terjadi perang secara
mendadak.
Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942
sampai dengan tahun 1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan
xxi
nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan.
Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang tetapi secara yuridis
formal status tanah tetap milik kasultanan.
Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang
(1942-1945) bangunan benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara
Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo
Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.
Masa Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 telah
berkumandang di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita tersebut sampai ke
Yogyakarta melalui Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta (sekarang
Perpustakaan Daerah, Jl. Malioboro Yogyakarta). Kepala kantor berita Domei
Cabang Yogyakarta waktu itu adalah orang Jepang. Sedangkan kepala bagian
radio adalah Warsono, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga lainnya, yaitu Soeparto,
Soetjipto, Abdullah dan Umar Sanusi.
Pada siang hari itu, berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia
disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan
keluarnya Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Pernyataan 5 September
1945) yang kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas
berdirinya negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat
semakin berapi-api.
Sebagai akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera
Merah Putih, perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata Jepang. Masih
kuatnya pasukan Jepang yang berada di Yogyakarta, menyebabkan terjadinya
kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Dalam aksi
perampasan gedung ataupun vasilitas lain milik Jepang, benteng Vredeburg juga
menjadi salah satu sasaran aksi. Setelah Benteng dikuasai oleh pihak RI untuk
xxii
selanjutnya penanganannya diserahkan kepada Instansi Militer yang kemudian
dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam pasukan
dengan kode Staf “Q” dibawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang bertugas
mengurusi perbekalan militer. Sehingga tidak mustahil bila pada periode ini
Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai markas juga sebagai gudang
perbekalan termasuk senjata, mesiu dll. Pada tahun 1946 di dalam komplek
Benteng Vredeburg didirikan Rumah Sakit Tentara untuk melayani korban
pertempuran. Namun dalam perkembangannya rumah sakit tersebut juga melayani
tentara beserta keluarganya.
Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan disaat
perbedaan persepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi, maka meletuslah
peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu percobaan Kudeta
yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal
maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad
Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap. Sebagai tahanan politik mereka
pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg.
Pada masa Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) Benteng
Vredeburg yang waktu itu dijadikan markas militer RI menjadi sasaran
pengeboman pesawat-pesawat Belanda. Kantor TKR yang berada di dalamnya
hancur. Setelah menguasai lapangan terbang Maguwo, tentara Belanda yang
tergabung dalam Brigade T pimpinan Kolonel Van Langen berhasil menguasai
kota Yogyakarta, termasuk Benteng Vredeburg. Selanjutnya Benteng Vredeburg
dipergunakan sebagai markas tentara Belanda yang tergabung dalam IVG
(Informatie Voor Geheimen), yaitu dinas rahasia tentara Belanda. Disamping itu
Benteng Vredeburg juga difungsikan sebagai asrama prajurit Belanda dan juga
dipakai untuk menyimpan senjata berat seperti tank, panser dan kendaraan militer
lainnya.
Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai usaha untuk
menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI bersama dengan TNI masih
xxiii
ada, Benteng Vredeburg menjadi salah satu sasaran di antara bangunan-bangunan
lain yang dikuasai Belanda seperti Kantor Pos, Stasiun Kereta Api, Hotel Toegoe,
Gedung Agung, dan Tangsi Kotabaru. Kurang lebih 6 (enam) jam kota
Yogyakarta dapat dikuasai oleh TNI beserta rakyat pejuang. Baru setelah bala
bantuan Tentara Belanda yang didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta,
TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan melakukan perjuangan gerilya.
Meski mampu menduduki kota Yogyakarta hanya sekitar 6 jam, namun
secara politis serangan tersebut mempunyai arti yang luar biasa. Kebohongan
Belanda yang selama ini ditutup-tutupi akhirnya terbongkar, dan terbukalah mata
dunia internasional. Sehingga berawal dari persetujuan Roem – Royen (7 Mei
1949), akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda terpaksa mengakui
Kedaulatan RIS setelah sebelumnya harus melalui proses yang panjang di KMB
(Koferensi Meja Bundar) yang berlangsung pada tanggal 23 Agustus – 2
Nopember 1949. Proses itu tidak dapat dipisahkan dengan peran besar pemancar
radio gerilya di Banaran, Playen, Gunung Kidul, yaitu Radio AURI PC-2.
Setelah Belanda meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg
dikuasai oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Kemudian
pengelolaan benteng diserahkan kepada Militer Akademi Yogyakarta. Pada waktu
itu Ki Hadjar Dewantara pernah mengemukakan gagasannya agar Benteng
Vredeburg dimanfaatkan sebagai ajang kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu
terhenti karena terjadi peristiwa “Tragedi Nasional” Pemberontakan G 30 S / PKI
tahun 1965. Waktu itu untuk sementara Benteng Vredeburg digunakan sebagai
tempat tahanan politik terkait dengan peristiwa G 30 S / PKI yang langsung
berada dibawah pengawasan HANKAM. Rencana pelestarian bangunan Benteng
Vredeburg mulai lebih terlihat nyata setelah tahun 1976 diadakan studi kelayakan
bangunan benteng yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah diadakan penelitian maka usaha
kearah pemugaran bangunan bekas Benteng Vredeburg pun segera dimulai.
Tanggal 9 Agustus 1980 dilakukan penandatanganan piagam perjanjian antara Sri
Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pihak I dan Dr. Daud Jusuf (Mendikbud)
xxiv
sebagai pihak II tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg.
Dengan pertimbangan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg tersebut
merupakan bangunan bersejarah yang sangat besar artinya maka pada tahun 1981
bangunan bekas Benteng Vredeburg di tetapkan sebagai benda cagar budaya
berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor
0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981. Tentang pemanfaatan bangunan Benteng
Vredeburg, dipertegas lagi oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Mendikbud RI)
tanggal 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan bekas Benteng
Vredeburg akan difungsikan sebagai museum Perjuangan Nasional yang
pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.
Sesuai dengan Piagam Perjanjian serta surat Sri Sultan Hamengku
Buwono IX Nomor 359/HB/85 tanggal 16 April 1985 menyebutkan bahwa
perubahan-perubahan tata ruang bagi gedung-gedung di dalam komplek benteng
Vredeburg diijinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum. Untuk
selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan bekas benteng dan kemudian
dijadikan museum. Tahun 1987 museum telah dapat dikunjungi oleh umum. Pada
tanggal 23 November 1992 bangunan bekas Benteng Vredeburg secara resmi
menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (ketika itu Prof. Dr.
Fuad Hasan) Nomor 0475/O/1992 dengan nama Museum Benteng Yogyakarta.
Selanjutnya Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003
Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mempunyai Kedudukan, Tugas Pokok
dan Fungsi yaitu sebagai museum khusus merupakan Unit Pelaksana Teknis yang
berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang
Sejarah dan Purbakala yang bertugas melaksanakan pengumpulan, perawatan,
pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan memberikan
bimbingan edukatif cultural mengenai benda dan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia di wilayah Yogyakarta.
xxv
Secara kronologis perkembangan status tanah dan pemanfaatan benteng
Vredeburg sejak Proklamasi Kemerdekaan (1945) sampai dengan dimanfaatkan
sebagai museum khusus sejarah perjuangan sebagai berikut :
1. Tahun 1945 – 1977
Status tanah benteng masih tetap milik kasultanan Yogyakarta. Dengan
diproklamasikannya kemerdekaan RI tahun 1945, benteng diambil alih oleh
instansi militer RI. Tahun 1948 benteng sempat sementara diambil alih oleh
Belanda pada waktu agresi militernya yang kedua (19 Desember 1948). Waktu
Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk sesaat TNI berhasil menguasai daerah
sekitar Benteng Vredeburg. Tetapi tidak lama kemudian berhasil dikuasai kembali
oleh Belanda sampai dengan Penarikan Belanda dari Yogyakarta sebagai hasil
persetujuan Roem-Royen (7 Mei 1949). Selanjutnya Benteng Vredeburg dibawah
pengelolaan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).
2. Tahun 1977 – 1992
Dalam periode ini status penguasaan dan pengelolaan benteng pernah
diserahkan dari pihak HANKAM kepada Pemerintah Daerah Yogyakarta. Tanggal
9 Agustus 1980 diadakan penandatanganan piagam perjanjian tentang
pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg oleh Sri Sultan HB IX (pihak I)
dan Mendibud Dr. Daud Jusuf (pihak II). Kemudian dikuatkan dengan pernyataan
Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto tanggal 5 November 1984, bahwa
bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai sebuah museum. Tahun 1985
Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengijinkan diadakannya perubahan bangunan
sesuai dengan kebutuhannya. Tahun 1987 museum dapat dikunjungi oleh umum.
Pada periode ini Benteng Vredeburg pernah dipergunakan sebagai ajang
Jambore Seni (26 – 28 Agustus 1978), Pendidikan dan latihan Dodiklat POLRI.
Juga pernah dipergunakan sebagai markas Garnizun 072 serta markas TNI AD
Batalyon 403. Meski demikian secara yuridis formal status tanah tetap milik
kasultanan.
3. Tahun 1992 sampai sekarang
Melalui Surat Keputusan Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hasan nomor
0475/O/1992 tanggal 23 November 1992 secara resmi Benteng Vredeburg
xxvi
menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng
Yogyakarta. Untuk meningkatkan fungsionalisasi museum ini maka mulai tanggal
5 September 1997 mendapat limpahan untuk mengelola Museum Perjuangan
Yogyakarta di Brontokusuman Yogyakarta, dari Museum Negeri Propinsi DIY
Sonobudoyo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng
Vredeburg Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di
lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala.
xxvii
C. MALIOBORO
Jalan Malioboro adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di Kota
Yogyakartayang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan
Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Pangeran
Mangkubumi, Jalan Malioboro dan Jalan Jend. A. Yani. Jalan ini merupakan
poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta. Terdapat beberapa obyek bersejarah di
kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung
Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburgdan Monumen Serangan Oemoem
1 Maret.
Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang
menjajakan kerajinan khas jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang
menjual makanan gudeg khas jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya
paraSeniman-seniman-seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka
seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim dan lain-lain disepanjang
jalan ini.
Tidak lepas dari kota Jogja, bahkan bisa dibilang sudah menjadi ikon kota
Jogja. Setiap kali menyebutkan Malioboro, orang akan tahu bahwa Malioboro itu
di Jogja. Malioboro yang terletak sekitar 1 km dari Kraton Jogja merupakan
pusat perekonomian yang sangat ramai di kota Jogja. Di jalan ini berdiri
pertokoan, rumah makan hotel dan perkantoran yang membuat kawasan ini tidak
pernah lengang. Di ujung Selatan dari kawasan ini, tepatnya di Jl. Ahmad Yani,
terdapat Pasar Beringharjo yang juga dikenal dengn sebutan 'Pasar Gede.
Terdapat juga Benteng Vredeburg yang dulunya merupakan benteng pertahanan
Belanda dari serangan pasukan Kraton. Diseberang benteng ini adalah Gedung
Agung, yang dulu pernah digunakan sebagai Istana Negara pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno saat ibukota negara dipindahkan ke Jogjakarta.
Di kawasan Malioboro ini terkenal juga dengan para pedagang kaki lima.
Anda bisa berbelanja aneka produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan,
wayang kulit, bermacam tas, sandal, sepatu juga blangkon (topi khas Jawa) serta
xxviii
barang-barang perak, emas, hingga pedagang yang menjual pernak pernik lain.
Saat berbelanja di kaki lima, anda bisa menawar harga barang yang akan anda
beli, jika pandai menawar dan beruntung, anda bisa mendapatkan penurunan
harga sepertiga atau bahkan setengah harga dari harga yang ditawarkan.
Saat hari mulai menjelang sore, banyak lapak lesehan yang mulai dibuka.
Disini anda bisa menikmati makanan khas Jogja seperti gudeg atau pecel selain itu
juga tersedia aneka masakan oriental ataupun seafood. Bagi anda yang ingin
mencicipi makanan di sepanjang jalan Malioboro, pastikan untuk meminta
daftar harga serta memastikan harganya pada penjual guna menghindari naiknya
harga yang kurang wajar.
“Malioboro adalah kanal bisnis bagi kelompok Tionghoa yang dimasa lalu
memiliki sejarah hubungan naik turun dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.
Di Kotagede, kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena memang
sudah ada mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang dan Kelompok
pedagan Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadijah. Di tengah kota
kelompok Tionghoa ini menjadikan Malioboro sebagai daerah modal untuk
mengembangkan bisnisnya. Perang Jawa tidak akan bisa lepas dari percaturan
politik Tionghoa. Tokoh seperti Tumenggung Secodiningrat. Sejarah
Secodiningrat adalah sejarah percampuran juga sejarah politik dan kebencian
rasial. Politik Cinta-Benci yang selalu menandai sejarah kekuasaan Jawa-Mataram
ini ternyata mendapatkan tempat dalam cerita jalan Malioboro. Di jaman
Secodiningrat inilah jalan Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton yang
kemudian juga melibatkan ketidaksenangan Paku Alam terhadap peran
Secodiningrat.”
Sekitar tahun 1916 kawasan pecinan yang berkembang di wilayah
setjodiningratan yaitu sebelah timur kantor pos besar, mulai menjadi basis bisnis
menyaingi wilayah kotagede. apalagi setelah dibangun pasar gedhe yang sekarang
bernama pasar bringharjo dan mulai beroprasi tahun 1926 geliat ekonomi di
kawasan ini mulai beranjak naik. padahal sebelumnya jalan ini hanyalah jalan
biasa yang jarang dijamah kecuali sebagai tempat lewat menuju keraton.
xxix
Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara, sampai ke Stasiun Tugu yang
dibangun pada 1887 dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel
Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng
Rusternburg (kini Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan
lumrah di sepanjang jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro
merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina. Maliboro yang
berarti jalan bunga (mungkin untuk menghubungkan dengan pasar kembang
disebelah utara) sebelum menjadi pusat niaga hanyalah jalan luji kebon.
perkembangan malioboro selain ditunjang oleh bakat bisnis orang-orang
tionghhoa juga ditunjang oleh posisi yang stretegis dalm filosofi garis imajiner
jogja. muncul dan berdirinya bangunan-bangunan strategis juga berperan pada
perkembangan malioboro seperti pasar bringharjo, hotel grand jogja hingga
stasiun tugu.
Hingga kini malioboro menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah intrik
kehidupan jogja (bisa di baca di tulisan sebelumnya). selain sejarah intrik dagang,
malioboro adalah saksi bisu penangkapan soekarno sat agresi miiter 2 belanda,
saksi pertempuran 6 jam. hingga kini di malioboro juga menjadi pusat dari
pemerintahan jogja dengan berdirinya kantor-kantor pemerintahan.
Tetapi yang jarang terlintas dalam perkembangan sejarah jogja adalah
dunia sastra. dari sinilah dunia sastra jogja mulai mengembangkan taring. dalam
Antologi Puisi Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul
“MALIOBORO” untuk buku tersebut, uku yang berisi 110 penyair yang tinggal
dan pernah tinggal di yogyakarta selama kurun waktu lebih dari setengah abad.
Selain itu malioboro memberi jejak tersendiri pada dunia sastra indonesia pada
umumnya maupun jogja pada khususnya. kisah ini terlacak saat tahun 1970-an,
Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro
menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya senisono.
Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu
Paranggi cucu raja sumba, yang melahirkan muid-murid berkaliber “monster”
xxx
dalam dunia sastra (alm) Linus Suryadi dan Emha Ainun Najib serta korys layun
rampan, hingga ratusan pemuja umbu dalam lingkaran komuniats PSK (persada
studi klub) . Daya hidup seni jalanan ini akhirnya mandek pada 1990-an setelah
gedung Senisono ditutup.
Warisan ‘para seniman ini di Malioboro adalah ‘budaya lesehan’, yang
lalu menjadi eksotisme dan merupakan daya jual kekhasan warung-warung di
Malioboro. Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Indies Hindia
Belanda, Jawa dan Cina di kawasan ini mungkin masih menjadi peninggalan yang
berarti, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti
Mal Malioboro. Malioboro adalah Sebuah jalan pada satu kota adalah kumpulan
kenangan yang tergabung secara kolektif bagi penghuninya, namun secara umum
saya lebih menikmati titik nol KM jogja yang merupakan ujung selatan jaln
malioboro, di situlah hingga kini “budaya lesehan” para seniman masih terus
berlanjut.
xxxi
BAB 3
PENUTUP
1. Kesimpulan Setelah kita mempelajari keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia,kita semakin
bangga bahwa Indonesia sangat kaya akan budayanya. Agar budaya indonesia yang
sangat beragam ini tetap lestari,kita sebagai generasi muda wajib untuk mencintai serta
melestarikanya.
2. Kritika. Banyak generasi muda Yang tidak tahu akan keaneragaman budaya di Indonesia,
b. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan budayanya sendiri.
3. Sarana. Sebaiknya digalakn pengetahuan tentang keanekaragaman budaya di Indonesia
Diperlukan kesadaran sebagai generasi muda untuk mestarikan budaya di Indonesia
xxxii
BAB 4
LAMPIRAN
xxxiii
xxxiv
xxxv
xxxvi
DAFTAR PUSTAKA
1. www.google.com
2. Museum Sonobudoyo
3. Benteng Vredeburg
4. Jalan Malioboro
xxxvii