41
LAPORAN TUTORIAL TRAUMA MAKSILOFASIAL Untuk memenuhi tugas tutorial pada blok Penyakit Dentomaksilofasial I Disusun Oleh: Kelompok Tutorial 6 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

Laporan Tutorial

Embed Size (px)

DESCRIPTION

laporan tutorial trauma maksilofasial

Citation preview

Page 1: Laporan Tutorial

LAPORAN TUTORIAL

TRAUMA MAKSILOFASIAL

Untuk memenuhi tugas tutorial

pada blok Penyakit Dentomaksilofasial I

Disusun Oleh:

Kelompok Tutorial 6

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS JEMBER

Juli 2012

Page 2: Laporan Tutorial
Page 3: Laporan Tutorial

Anggota Kelompok Tutorial 6

Pembina : Dr. drg. I Dewa Ayu Ratna Dewanti, M.Si

Ketua : Khamda Rizki Dhamas P. 111610101069

Scriber Papan : Ega Sofiana 111610101053

Scriber Meja : Sheila Dian Pradipta 111610101071

Anggota:

1. Stefanus Christian 111610101051

2.Mohammad Harish 111610101055

3. Afif Surya Adena 111610101059

4. Anugerah Nur Yuhyi 111610101063

5. Fitria Krisnawati 111610101064

6. Sitti Nur Qomariah 111610101066

7. Tiara Fortuna Bela Binanda 111610101067

8. Adinda Martina 111610101072

9. Dewi Martinda Hartono 111610101073

10. Nurbaetty Rochmah 111610101074

Page 4: Laporan Tutorial

KATA PENGANTAR

Pertama,Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala

bimbingan dan petunjuk-Nya, serta berkat rahmat, nikmat, dan karunia-Nya

sehingga kami diberi kesempatan untuk menyelesaikan Laporan tutorial yang

berjudul “Trauma Maksilofasial”. Laporan tutorial yang kami buat ini sebagai

salah satu sarana untuk lebih mendalami materi tentang fraktur dan trauma pada

maksilofasial. Kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. drg. I Dewa Ayu Ratna Dewanti, M.Si yang telah memberi kami

kesempatan dan bimbingan untuk lebih mendalami materi dengan pembuatan

laporan tutorial ini.

2. Teman-teman kelompok tutorial 6 yang telah berperan aktif dalam pembuatan

laporan tutorial ini.

Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna, baik dari

segi isi maupun sistematika. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada kesalahan

karena kami masih dalam proses pembelajaran. Kami juga berharap laporan

tutorial yang telah kami buat ini dapat bermanfaat bagi kami dan teman-teman

yang lain.

Jember, 16 Juli 2012

Penulis

Page 5: Laporan Tutorial

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

          Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai

jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi,

mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan

trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan

terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,

hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu,

diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

                Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi

terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah

usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun.

Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial

paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan

kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit

dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan

kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera

pada wajah, mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti

cedera, atau mengetahui seseorang yang memiliki.

Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma

maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta

menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan

terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan

lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun,

trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut  terjadi

mungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien

Page 6: Laporan Tutorial

dengan kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan

dari darah, patahan gigi.

Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan

tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah

maksilofasial (wajah). Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma

maksilofasial oleh dokter umum  hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic

life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien

sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu,

para dokter umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma

Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang

mengalami kegawatdaruratan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja etiologi dan faktor predisposisi trauma maksilofasial?

2. Apa saja klasifikasi fraktur dan trauma maksilofasial?

3. Bagaimana gambaran klinis dari trauma maksilofasial?

4. Bagaimana cara menegakkan diagnosis pada trauma maksilofasial

5. Bagaimana proses penyembuhan fraktur tulang?

Page 7: Laporan Tutorial

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Etiologi dan Faktor Predisposisi

2.1.1 Etiologi

Penyebab utama trauma maksilofasial sangat bervariasi.

Penyebab trauma maksilofasial dapat dibagi menjadi dua yaitu

secara langsung dan tidak langsung. Contoh dari trauma secara

langsung antara lain:

- Kecelakaan lalu lintas

- Terjatuh

- Kecelakaan saat berolahraga

- Pukulan langsung

- Cedera dan benturan

- Gaya meremuk

- Kecelakaan kerja

Sedangkan contoh dari trauma secara tidak langsung

antara lain:

- Kontraksi otot ekstrim

- Gerakan punter mendadak

Tekanan yang berlebihan juga dapat menyebabkan fraktur

karena dapat membuat tulang menjadi rapuh dan dapat

mempermudah terjadinya fraktur. Serta daerah yang rawan terjadi

fraktur seperti sutura, karena komposisinya tidak padat. Apabila

terjadi fraktur pada daerah tersebt akan menyebabkan kerusakan

pembuluh darah dan saraf yang menyebabkan mati rasa pada daerah

tersebut.

Fraktur dental pada umumnya terjadi bersamaan dengan

cidera mulut lainnya. Penyebab umum fraktur dental adalah benturan

atau trauma terhadap gigi yang menyebabkan disrupsi atau

kerusakan enamel, dentin, atau keduanya. Benturan atau trauma,

baik berupa pukulan langsung terhadap gigi atau berupa pukulan

Page 8: Laporan Tutorial

tidak langsung terhadap mandibula, dapat menyebabkan pecahnya

tonjolan-tonjolan gigi, terutama gigi-gigi posterior. Selain itu,

tekanan oklusal yang berlebihan terutama terhadap tumpatan yang

luas dan tonjol-tonjolnya tak terdukung oleh dentin dapat pula

menyebabkan fraktur.

2.1.2 Faktor Predisposisi

Faktor predispoisi dari trauma maksilo fasial dapat dibagi

menjadi dua, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik

antara lain daya tahan untuk timbulnya fraktur, elastisitas, kepadatan

tulang, dan kapasitas absorpsi. Sedangkan faktor ekstrinsik

tergantung pada tekanan, besar dari tekanan, waktu dan arah

tekanan.

Kelainan-kelainan atau penyakit tertentu dapat

menyebabkan tulang menjadi rapuh dan dapat menyebabkan fraktur

spontan seperti saat mengunyah ataupun berbicara, misalnya kista

atau tumor jinak pada rahang, osteomyelitis, osteopororsis,

osteogenesis imperfekta, atrofi tulang, metabolic bone disease.Selain

itu post normal oklusi, overjet yang melebihi 4mm, anatomi gigi

serta riwayat medis juga dapat mempengaruhi tulang untuk mudah

terjadi fraktur.

2.2 Klasifikasi Fraktur dan Trauma Maksilofasial

2.2.1 Menurut Penyebab Terjadinya Fraktur

1. Fraktur traumatik

Trauma langsung (direk)

Trauma tersebut langsung mengenai anggota tubuh

penderita. Contohnya seperti pada antebrakhii yang menahan

serangan pukulan dari lawan yang mengakibatkan terjadinya

fraktur pada ulna atau kedua tulang tersebut (radius dan ulna).

Page 9: Laporan Tutorial

Trauma tidak langsung (indirek)

Terjadi seperti pada penderita yang jatuh dengan tangan

menumpu dan lengan atas-bawah lurus, berakibat fraktur kaput

radii atau klavikula. Gaya tersebut dihantarkan melalui tulang-

tulang anggota gerak atas dapat berupa gaya berputar,

pembengkokan (bending) atau kombinasi pembengkokan

dengan kompresi yang berakibat fraktur butterfly, maupun

kombinasi gaya berputar, pembengkokan dan kompresi seperti

fraktur oblik dengan garis fraktur pendek. Fraktur juga dapat

terjadi akibat tarikan otot seperti fraktur patela karena kontraksi

quadrisep yang mendadak.

2. Fraktur fatik atau stress

Trauma yang berulang dan kronis pada tulang yang

mengakibatkan tulang menjadi lemah. Contohnya pada fraktur

fibula pada olahragawan.

3. Fraktur patologis

Pada tulang telah terjadi proses patologis yang

mengakibatkan tulang tersebut rapuh dan lemah. Biasanya fraktur

terjadi spontan. Penyebab fraktur patologi adalah :

1. Umum (general)

Tumor dissemineted (myelomatosis), osteoporosis penyakit

metabolis seperti : ricket dan ostoemalasia, adrenal

hiperkortikolisme atau terapi kortikosteroid yang lama,

hiperparatiroidisme, penyakit paget dan kondisi neuropati seperti

sipilis dan siringomelia, osteogenesis imperfekta.

2. Lokal

Tumor sekunder seperti : tumor mammae, prostat, tiroid,

ginjal dan paru-paru. Tumor ganas primer pada tulang, tumor jinak

Page 10: Laporan Tutorial

pada tulang, hiperemi dan infektif dekalsifikasi seperti osteitis

misalnya :

2.2.2 Menurut Hubungan dengan Jaringan Ikat Sekitarnya

1. Fraktur simpel

Disebut juga fraktur tertutup, oleh karena kulit di sekeliling

fraktur sehat dan tidak sobek.

2. Fraktur terbuka

Kulit di sekitar fraktur sobek sehingga fragmen tulang

berhubungan dengan dunia luar (bone expose) dan berpotensi untuk

menjadi infeksi. Fraktur terbuka dapat berhubungan dengan ruangan

di tubuh yang tidak steril seperti rongga mulut.

3. Fraktur komplikasi

Fraktur tersebut berhubungan dengan kerusakan jaringan atau

struktur lain seperti saraf, pembuluh darah, organ visera atau sendi.

2.2.3 Menurut Bentuk Fraktur

1. Fraktur komplit

Garis fraktur membagi tulang menjadi dua fragmen atau lebih.

Garis fraktur bisa transversal, oblik atau spiral. Kelainan ini dapat

menggambarkan arah trauma dan menentukan fraktur stabil atau

unstabile.

2. Fraktur inkomplit

Kedua fragmen fraktur terlihat saling impaksi atau masih

saling tertancap.

3. Fraktur komunitif

Fraktur yang menimbulkan lebih dari dua fragmen.

Page 11: Laporan Tutorial

4. Fraktur kompresi

Fraktur ini umumnya terjadi di daerah tulang kanselus.

2.2.3 Menurut organ yang terjadi

Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas

beberapa fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks

zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur dento-alveolar, fraktur

mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II,

dan III.

1. Fraktur Komplek Nasal

Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami

fraktur , tetapi yang lebih umum adalah bahwa fraktur – fraktur

itu meluas dan melibatkan proses frontal maksila serta bagian

bawah dinding medial orbital.

Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum

hidung. Kadang – kadang tulang rawan septum hampir tertarik

ke luar dari alurnya pada vomer dan plat tegak lurus serta plat

kribriform etmoid mungkin juga terkena fraktur.

Gambar 1. Fraktur Kompleks Nasal terdiri dari sebuah pertemuan beberapa tulang: (1) tulang

frontal, (2) tulang hidung, (3) tulang rahang atas, (4) tulang lakrimal, (5) tulang ethmoid, dan (6)

tulang sphenoid

Page 12: Laporan Tutorial

Perpindahan tempat fragmen – fragmen tergantung pada

arah gaya fraktur. Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung

akan mengakibatkan tulang hidung dan bagian-bagian yang ada

hubungannya dengan proses frontal maksila berpindah tempat ke

satu sisi.12 Dalam penelitian retrospektif Sunarto Reksoprawiro

tahun 2001-2005, insidensi fraktur komplek nasal sebesar

12,66%.3

Fraktur nasal dapat diklasifikasikan menjadi:

- Fraktur hidung sederhana, merupakan fraktur pada tulang hidung

saja sehingga dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam

analgesi local. Akan tetapi pada anak-anak atau orang dewasa

yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan memerlukan

anestesi umum

- Fraktur tulang hidung terbuka, menyebabkan perubahan tempat

dari tulang hidung tersebut yang disertai laserasi pada kulit atau

mukoperiosteum rongga hidung. Kerusakan atau kelainan pada

kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi

pada saat tindakan.

- Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks, jika nasal piramid

rusak karena tekanan aau pukulan dengan benda berat akan

menimbulkan fraktur yang hebat pada tulang hidung, lakrimal,

etmoid, maksila dan frontal. Tulang hidung bersambungan

dengan prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os

frontal. Bagian dari nasal pyramid yang terletak antara dua bola

mata akan terdorong ke belakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid,

fraktur nasomaksila dan fraktur nasoorbita.

2. Fraktur Komplek Zigoma

Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang

maksila, tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang –

tulang tersebut biasanya terlibat bila tulang zigomatik mengalami

Page 13: Laporan Tutorial

fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini disebut “fraktur

kompleks zigomatik”.

Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah

zigoma beserta suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura

zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar. Suatu benturan

atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan

tulang pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat

mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan tempat dari tulang

zigomatik.

Gambar 2. Pandangan frontal dari Gambar 3. Pandangan submentoverteks

fraktur zigomatik kompleks dari fraktur zigomatik kompleks

Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut

fraktur ”tripod”, namun fraktur kompleks zigomatik merupakan

empat fraktur yang berlainan. Keempat bagian fraktur ini adalah

arkus zigomatik, tepi orbita, penopang frontozigomatik, dan

penopang zigomatiko-rahang atas.

Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah

dari fraktur zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi

atau takikan pada arkus, yang hanya bisa dilihat dengan

menggunakan film submentoverteks dan secara klinis berupa

gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau mendapat

perawatan yang kurang baik. Insidensi fraktur komplek zigoma

sendiri berbeda pada beberapa penelitian. Pada penelitian Hamad

Ebrahim Al Ahmed dan kawan-kawan insidensi fraktur komplek

Page 14: Laporan Tutorial

zigoma sebesar 7,4%. Sedangkan hasil penelitian yang lain

menunjukkan bahwa insidensi fraktur komplek zigoma sebesar

42% dan 7,9%.

3. Fraktur Dentoalveolar

Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau

terlepasnya gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan

dengan fraktur yang terjadi di alveolus, dan mungkin terjadi

sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan setiap bentuk

fraktur lainnya.

Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan

terjadinya injuri wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang

menimbulkan fraktur dengan atau tanpa terbukanya saluran pulpa.

Page 15: Laporan Tutorial

Gambar 4. A. Infraksi Mahkota, B. Fraktur mahkota terbatas pada enamel dan dentin

( fraktur mahkota sederhana ), C.Fraktur mahkota langsung melibatkan pulpa

(fraktur mahkota terkomplikasi), D. Fraktur akar sederhana, E. Fraktur mahkota-akar

terkomplikasi, F.Fraktur akar Horizontal

Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada

gigi insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian

dalam bibir atas dan kadang-kadang terjadi luka setebal bibir.

Sering kali injuri semacam ini menghantam satu gigi atau lebih,

sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan seluruh gigi yang

terkena injuri tersebut tertanam di dalam bibir atas.

Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi

yang terkena fraktur atau gigi yang terlepas sama sekali mungkin

tertelan pada saat terjadi kecelakaan, sehingga sebaiknya jika

terdapat gigi atau pecahan gigi yang hilang setelah terjadinya injuri

fasial agar selalu membuat radiograf dada pasien, terutama jika

terjadi kehilangan kesadaran pada saat terjadinya kecelakaan.

Fraktur pada alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa

adanya hubungan dengan injuri pada gigi-gigi. Fraktur tuberositas

maksilar dan fraktur dasar antrum relatif merupakan komplikasi

yang umum terjadi pada ilmu eksodonti.

Page 16: Laporan Tutorial

Gambar 5. Cedera tulang alveolar. A. Fraktur dinding tunggal dari alveolus, B. Fraktur dari

prosesus alveolar

4. Fraktur Maksila

Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah

fraktur maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis

fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari

beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur

maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.3,19

a. Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan

tunggal atau bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III.

Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur

transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar

ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang

melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan

palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah

sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini

sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.12-15

b. Fraktur Le Fort II

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara

klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya

berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal

melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan

nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena. Seperti pada

Page 17: Laporan Tutorial

fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias

merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan.

Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort

I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.

c. Fraktur Le Fort III

Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang

parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat

perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai

dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena

trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan

pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma

intrakranial.

Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III

5. FrakturMandibula

Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari

trauma kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur

mandibula dapat terjadi akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan

sepeda bermotor, dan trauma interpersonal. Di instalasi gawat

darurat yang terletak di kota-kota besar, setiap harinya fraktur

mandibula merupakan kejadian yang sering terlihat.

Page 18: Laporan Tutorial

Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah cedera

terjadi, dan menyadari bahwa adanya rasa sakit dan maloklusi.

Pasien dengan fraktur mandibula sering mengalami sakit sewaktu

mengunyah, dan gejala lainnya termasuk mati rasa dari divisi

ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas segmen mandibula

merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam menentukan

apakah si pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun,

mobilitas ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat

terjadi pada bagian anterior mandibula ( simpisis dan

parasimpisis ), angulus mandibula, atau di ramus atau daerah

kondilar mandibula.

Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus

mandibula merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan

mobilitas sewaktu dipalpasi.

Namun, fraktur mandibula yang sering terjadi disini adalah

fraktur kondilus yang biasanya tidak terbuka dan hanya dapat hadir

sebagai maloklusi dengan rasa sakit. Dalam beberapa penelitian

sebelumnya, dikatakan bahwa fraktur mandibula merupakan

fraktur terbanyak yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas pada

pengendara sepeda motor, dengan masing-masing persentase

sebesar 51% dan 72,8%.

Gambar 7. Fraktur Mandibula

2.2.4 Menurut Ellis, klasifikasi dentoalveolar dapat dibagi menjadi sebagai

berikut:

Page 19: Laporan Tutorial

· Klas I : Tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau tanpa

memakai perubahab tempat

· Klas II : Fraktur mengenai dentin dan belum mengenai pulpa dengan atau

tanpa memakai perubahan tempat.

· Klas III : Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka dengan atau tanpa

perubahan tempat

· Klas IV : Gigi mengalami trauma sehingga gigi menjadi non vital dengan

atau tanpa hilangnya struktur mahkota

· Klas V : Hilangnya gigi sebagai akibat trauma

· Klas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkota

· Klas VII : Perpindahan gigi atau tanpa fraktur mahkota atau akar gigi

· Klas VIII : Fraktur mahkota sampai akar

· Klas IX : Fraktur pada gigi desidui

2.3 Gambaran Klinis

1. Fraktur Nasal

Gambaran klinis yang biasa ditemukan pada fraktur nasal antara lain

sebagai berikut:

- Kelembutan ketika menyentuh hidung

- Pembengkakan hidung

- Memar hidung atau di bawah mata

- Deformitas hidung (hidung bengkok)

- Mimisan

- Ketika menyentuh hidung ada suara berderak atau sensasi seperti

yang terbuat dari rambut ketika menggosok antara 2 jari

- Nyeri dan kesulitan bernafas

2. Fraktur Zygoma

Gambaran klinis dari fraktur zygoma antara lain sebagai

berikut:

- Asimetri wajah pada arkus zigomatik. Pipi menjadi lebih rata

dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma

Page 20: Laporan Tutorial

- Palpasi zygomatic buttress terdapat krepitus, bengkak dan nyeri

saat di palpasi

- Kerusakan saraf infraorbita yang menyebabkan nyeri dan

hypethesia di pipi

- Herniasi lemak orbital ke sinus maksila atau terjepitnya rectus

inferior yang menyebabkan diplopia

- Forced duction test positif yang menandakan terjepitnya otot

inferior rectus atau inferior oblique muscle

- Perubahan letak arkus zigomatik pada prosesus koronoideus atau

spasme otot masseter dan temporalis akibat kontusio langsung,

menyebabkan trismus

- Perdarahan di sinus maksila

- Laserasi pembuluh darah kantus mata inferior

- Enoftalmos

3. Fraktur Maksila

Gambaran klinis dari fraktur maksila adalah sebagai berikut:

- Mobililitas palatum

- Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris

inferior

- Anesthesia dapat terjadi pada satu sisi bibir bawah, pada

gingival, atau pada gigi dimana nervus alveolaris inferior rusak

- Perubahan posisi mandibula

- Maloklusi

- Gangguan mobilitas, terjadi krepitasi

- Trismus, nyeri waktu mengunyah

- Gangguan obstruksi jalan nafas

- Fraktur gigi atau avulsi

4. Fraktur Orbita

Gambaran klinis dari fraktur orbita adalah sebagai berikut :

- Periokular ekimosis

- Enoftalmos

- Proptosis

Page 21: Laporan Tutorial

- Diplopia

- Asimetri pada muka, kelainan ini tidak lazim pada blow out

fraktur dari dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik terdapat

pada fraktur yang meliputi tepi orbita inferior atau fraktur yang

menyebabkan dislokasi zygoma.

- Hyphestesia, hyphestesia dan anesthesia dari saraf sensoris

nervus infra orbitalis berhubungan erat dengan fraktur yang

terdapat pada dasar orbita. Bila fraktur timbul sudah timbul

kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis

infraorbitalis. Selanjutnya gangguan fungsi nervus infraorbita

sangat mungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada rima

orbita.

5. Fraktur Mandibula

Gambaran klinis dari fraktur mandibula adalah sebagai berikut:

- Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang

meliputi mandibula

- Rasa nyeri yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris

inferior

- Anesthesia dapat terjadi pada satu bibir bawah, pada gingival

atau pada nervus alveolaris inferior menjadi rusak

- Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi

- Maloklusi, adanya fraktur mandibula sangat sering menimbulkan

maloklusi

- Gangguan jalan nafas, kerusakan hebat pada mandibula dapat

menyebabkan perubahan posisi, trismus, hematoma, serta edema

pada jaringan lunak

2.4 Penegakan Diagnosa

2.4.1 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maksilofasial dapat

dilakukan dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral dan

Page 22: Laporan Tutorial

intra oral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografis yang dapat

membantu dalam menegakkan diagnosa dari fraktur maksilofasial.

1. Fraktur Komplek Nasal

Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks nasal dilakukan dalam

dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada

pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan visualisasi dan palpasi.

Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas pada tulang hidung,

laserasi, epistaksis, bentuk garis hidung yang tidak normal. Sedangkan

secara palpasi dapat terlihat adanya luka robek pada daerah frontal

hidung, edema, hematom, dan tulang hidung yang bergerak dan remuk.

Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi

dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas yang

berlanjut, deviasi pada tulang hidung, ekhimosis dan laserasi.

Sedangkan secara palpasi terdapat bunyi yang khas pada tulang hidung.

dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat

terlihat adanya laserasi, edema dan ekimosisi pada daerah bibir.

Sedangkan secara palpasi terdapat pecahan gigi pada jaringan bibir.

Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi

dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya laserasi pada

permukaan lidah dan sulkus labial, avulsi dan subluksasi. Sedangkan

secara palpasi terdapat deformitas tulang, krepitus. Pemeriksaan fraktur

dentoalveolar dilakukan dengan radiograf intra-oral dan panoramik.

2. Fraktur Maksila

Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le

Fort III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort

tersebut berbeda.

2.1 Le Fort I

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam

dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada

pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi

dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada

bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat

Page 23: Laporan Tutorial

bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral,

pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara

visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan

secara palpasi terdapat rasa nyeri.

2. 2 Le Fort II

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam

dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada

pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi

dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama

tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi

terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati

rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis.

Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara

visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya

gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan

fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya

lengkung rahang atas.

2.3 Le Fort III

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara

ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan

dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan

pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha

untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan

pergeseran seluruh bagian atas wajah.14

3. Fraktur Mandibula

Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

visualisasi terlihat adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang

mengalami fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara

palpasi terdapat step deformity. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan

dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya

Page 24: Laporan Tutorial

gigi yang satu sama lain, gangguan oklusi yang ringan hingga berat,

terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami

fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak enak

pada garis fraktur serta pergeseran.

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang

1. Rontgen

Beberapa tehnik Roentgen dapat digunakan untuk melihat adanya

fraktur antara lain ;

- foto skull AP/Lateral

- foto Eisler ; foto ini dibuat untuk pencitraan mandibula bagian ramus

dan korpus, dibuat sisi kanan atau sisi kiri sesuai kebutuhan.

- Towne’s view ; dibuat untuk melihat proyeksi tulang maksila, zigoma

dan mandibula

- reverse Towne’s view ; dilakukan untuk melihat adanya fraktur neck

condilus mandibula terutama yang displaced ke medial dan bias juga

melihat dinding lateral maksila

- Panoramic ; disebut juga pantomografi atau rotational radiography

dibuat untuk mengetahui kondisi mandibula mulai dari kondilus kanan

sampai kondilus kiri beserta posisi geliginya termasuk oklusi terhadap

gigi maksila. Dibuat film didepan mulut pada alat yang rotasi dari pipi

kanan ke pipi kiri, sinar-x juga berlawanan arah rotasi dari arah tengkuk

sehingga tercapai proyeksi dari kondulus kanan sampai kondilus kiri.

Keuntungan panoramic adalah ; cakupan anatomis yang luas,

dosis radiasi rendah, pemeriksaan cukup nyaman, bisa dilakukan pada

penderita trismus,. Kerugiannya tidak bisa menunjukkan gambaran

anatomis yang jelas daerah periapikal sebagaimana yang dihasilkan foto

intra oral

Page 25: Laporan Tutorial

- Temporomandibular Joint ; pada penderita trauma langsung daerah

dagu sering didapatkan kondisi pada dagu baik akan tetapi terjadi

fraktur pada daerah kondilus mandibula sehingga penderita mengeluh

nyeri pada daerah TMJ bila membuka mulut, trismus kadang sedikit

maloklusi. Pada pembuatan foto TMJ yang standard biasanya di

lakukan proyeksi lateral buka mulut (Parma) dan proyeksi lateral tutup

mulut biasa (Schuller). Biasanya dibuat kedua sendi kanan dan kiri

untuk perbandingan.

- orbitocondylar view ; dilakukan untuk melihat TMJ pada saat buka

mulut lebar, menunjukkan kondisi struktur dan kontur dari kaput

kondilus tampak dari depan

2. CT Scan

Pemeriksaan ini pada kasus emergency masih belum merupakan

pemeriksaan standart. Centre yang telah maju dalam penggunaan

modalitas ini telah menggunakan CT Scan terutama untuk fraktur

maksilofasial yang sangat kompleks. Pemeriksaan ini membirak banyak

informasi mengenai cidera di bagian dalam.

3. MRI

Pemeriksaan ini terutama untuk melihat kerusakan pada jaringan

lunak.

2.5 Proses Penyembuhan Fraktur

Pada saat terjadi fraktur, pembuluh darah disekitarnya bisa terputus

hal ini dapat menyebabkan perdarahan yang kemudian dapat membentuk

stasis. Perdarahan biasanya terjadi sepuluh hari pertama setelah terjadi

fraktur. Dari stasis kemudian dapat terbentuk hematom. Dari hematom

kemudian sel-sel berdiferensiasi menjadi condroblast dan osteoblast.

Condroblast akan mensekresi fosfat yang akan menginduksi deposisi kalsium

dan membentuk kallus yang tebal. Terbentuknya kalus biasanya pada 10-20

Page 26: Laporan Tutorial

hari berikutnya. Kemudian secondary kallus akan terbentuk pada 20-60 hari

berikutnya untuk memperbaiki system havers. Sedangkan osteoblast akan

membentuk trabekula-trabekula yang saling menyambung dari tiap patahan.

Proses remodeling dilakukan oleh osteoclast, osteoclast kemudian meresorbsi

kallus yang tebal dan bagian yang fraktur dan membentuk dimensi tulang

yang sama dengan sebelumnya.

Faktor Yang Mengganggu Penyembuhan Fraktur:

• Imobilisasi yang tidak cukup

Imobilisasi dalam balutan gips umumnya memenuhi syarat

imobilisasi, asalkan persendian proksimal dan distal dari patah tulang turut di

imobilisasi. Gerakan minimal pada ujung pecahan patah tulang di tengah otot

dan di dalam lingkaran kulit dalam gips, yang misalnya disebabkan oleh

latihan ekstremitas yang patah tulang tidak mengganggu, bahkan dapat

merangsang perkembangan kalus. Hal ini berlaku nutuk atah tulang yang

ditangani gips maupun traksi.

• Infeksi

Infeksi di daerah patah tulang merupakan penyulit berat. Hematom

merupakan lingkungan subur untuk kuman patologik yang dapat

menyebabkan osteomyelitis di kedua ujung patah tulang, sehingga proses

penyembuhan sama sekali tidak dapat berlangsung.

• Interposisi

Interposisi jaringan seperti otot atau tendo antara kedua fragmen patah

tulang dapat menjadi halangan perkembangan kalus antara ujung patahan

tulang Penyebab yang lain, karena distraksi yang mungkin disebabkan oleh

kelebihan traksi atau karena tonus dan tarikan otot.

• Gangguan perdarahan setempat

Pendarahan jaringan tulang yang mencukupi untuk membentuk tulang

baru merupakan syarat mutlak penyatuan fraktur.

• Trauma local ekstensif

• Kehilangan tulang

• Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang

• Keganasan local

Page 27: Laporan Tutorial

• Penyakit tulang metabolic (mis; penyalit paget)

• Radiasi (nekrosis radiasi

• Nekrosis avaskuler

• fraktur intra artikuler (cairan sinovial mengandung fibrolisin, yang akan

melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendala

• Usia (lansia sembuh lebih lama)

• Kortikosteroid (menghambat kecepata perbaikan)

Faktor Yang Mempercepat Penyembuhan Fraktur

• Imobilisasi fragmen tulang

• Kontak fragmen tulang maksimal

• Asupan darah yang memadai

• Nutrisi yang baik

• Latihan-pembebanan berat badan untuk tulang panjang

• Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid kalsitonin, vitamain D, steroid

anabolic

• Potensial listrik pada patahan tulang

Page 28: Laporan Tutorial

DAFTAR PUSTAKA

Ellis Edward., Muniz Oscar, Anand Kapil., Treatmend Considerations for

Comminuted Mandibular Fractures, J Oral Maxillofac Surg 61:861-870, 2003

Greenberg M Alex, Management of facial fractures, New York State Dental

Journal, mar 1998. Vol 64 Iss 3; pg 42

Armis, dr., Trauma Sistema Muskuloskeletal, FK-UGM, Yogyakarta.

Grabb & Smith’s, 1997, Plastic Surgery, Fifth Edition, Lippincott-Raven,

Philadelphia, New York.

Soetjipto D, Mangunkusumo Endang, RetnoS.Wardani.dalam:Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga HidungTenggorok edisi VI cetakan II. Balai Penerbit FK-UI,

Jakarta2008.hal 118-122

Higler, Peter. Hidung (Anatomi dan fisiologi terapan).Dalam:Effendi H,

editor:BOEIS:Buku Ajar Penyakit THT.Edisikeenam.Philadelphia:WB Saunders

Company,1997.Hal 173-188