Upload
sheila-dian-pradipta
View
317
Download
26
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan tutorial trauma maksilofasial
Citation preview
LAPORAN TUTORIAL
TRAUMA MAKSILOFASIAL
Untuk memenuhi tugas tutorial
pada blok Penyakit Dentomaksilofasial I
Disusun Oleh:
Kelompok Tutorial 6
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
Juli 2012
Anggota Kelompok Tutorial 6
Pembina : Dr. drg. I Dewa Ayu Ratna Dewanti, M.Si
Ketua : Khamda Rizki Dhamas P. 111610101069
Scriber Papan : Ega Sofiana 111610101053
Scriber Meja : Sheila Dian Pradipta 111610101071
Anggota:
1. Stefanus Christian 111610101051
2.Mohammad Harish 111610101055
3. Afif Surya Adena 111610101059
4. Anugerah Nur Yuhyi 111610101063
5. Fitria Krisnawati 111610101064
6. Sitti Nur Qomariah 111610101066
7. Tiara Fortuna Bela Binanda 111610101067
8. Adinda Martina 111610101072
9. Dewi Martinda Hartono 111610101073
10. Nurbaetty Rochmah 111610101074
KATA PENGANTAR
Pertama,Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala
bimbingan dan petunjuk-Nya, serta berkat rahmat, nikmat, dan karunia-Nya
sehingga kami diberi kesempatan untuk menyelesaikan Laporan tutorial yang
berjudul “Trauma Maksilofasial”. Laporan tutorial yang kami buat ini sebagai
salah satu sarana untuk lebih mendalami materi tentang fraktur dan trauma pada
maksilofasial. Kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. drg. I Dewa Ayu Ratna Dewanti, M.Si yang telah memberi kami
kesempatan dan bimbingan untuk lebih mendalami materi dengan pembuatan
laporan tutorial ini.
2. Teman-teman kelompok tutorial 6 yang telah berperan aktif dalam pembuatan
laporan tutorial ini.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna, baik dari
segi isi maupun sistematika. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada kesalahan
karena kami masih dalam proses pembelajaran. Kami juga berharap laporan
tutorial yang telah kami buat ini dapat bermanfaat bagi kami dan teman-teman
yang lain.
Jember, 16 Juli 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai
jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi,
mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan
trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan
terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,
hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu,
diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi
terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah
usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun.
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial
paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan
kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit
dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan
kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.
Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera
pada wajah, mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti
cedera, atau mengetahui seseorang yang memiliki.
Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma
maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta
menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan
terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan
lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun,
trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi
mungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien
dengan kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan
dari darah, patahan gigi.
Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan
tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah
maksilofasial (wajah). Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma
maksilofasial oleh dokter umum hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic
life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien
sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu,
para dokter umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma
Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang
mengalami kegawatdaruratan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja etiologi dan faktor predisposisi trauma maksilofasial?
2. Apa saja klasifikasi fraktur dan trauma maksilofasial?
3. Bagaimana gambaran klinis dari trauma maksilofasial?
4. Bagaimana cara menegakkan diagnosis pada trauma maksilofasial
5. Bagaimana proses penyembuhan fraktur tulang?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etiologi dan Faktor Predisposisi
2.1.1 Etiologi
Penyebab utama trauma maksilofasial sangat bervariasi.
Penyebab trauma maksilofasial dapat dibagi menjadi dua yaitu
secara langsung dan tidak langsung. Contoh dari trauma secara
langsung antara lain:
- Kecelakaan lalu lintas
- Terjatuh
- Kecelakaan saat berolahraga
- Pukulan langsung
- Cedera dan benturan
- Gaya meremuk
- Kecelakaan kerja
Sedangkan contoh dari trauma secara tidak langsung
antara lain:
- Kontraksi otot ekstrim
- Gerakan punter mendadak
Tekanan yang berlebihan juga dapat menyebabkan fraktur
karena dapat membuat tulang menjadi rapuh dan dapat
mempermudah terjadinya fraktur. Serta daerah yang rawan terjadi
fraktur seperti sutura, karena komposisinya tidak padat. Apabila
terjadi fraktur pada daerah tersebt akan menyebabkan kerusakan
pembuluh darah dan saraf yang menyebabkan mati rasa pada daerah
tersebut.
Fraktur dental pada umumnya terjadi bersamaan dengan
cidera mulut lainnya. Penyebab umum fraktur dental adalah benturan
atau trauma terhadap gigi yang menyebabkan disrupsi atau
kerusakan enamel, dentin, atau keduanya. Benturan atau trauma,
baik berupa pukulan langsung terhadap gigi atau berupa pukulan
tidak langsung terhadap mandibula, dapat menyebabkan pecahnya
tonjolan-tonjolan gigi, terutama gigi-gigi posterior. Selain itu,
tekanan oklusal yang berlebihan terutama terhadap tumpatan yang
luas dan tonjol-tonjolnya tak terdukung oleh dentin dapat pula
menyebabkan fraktur.
2.1.2 Faktor Predisposisi
Faktor predispoisi dari trauma maksilo fasial dapat dibagi
menjadi dua, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik
antara lain daya tahan untuk timbulnya fraktur, elastisitas, kepadatan
tulang, dan kapasitas absorpsi. Sedangkan faktor ekstrinsik
tergantung pada tekanan, besar dari tekanan, waktu dan arah
tekanan.
Kelainan-kelainan atau penyakit tertentu dapat
menyebabkan tulang menjadi rapuh dan dapat menyebabkan fraktur
spontan seperti saat mengunyah ataupun berbicara, misalnya kista
atau tumor jinak pada rahang, osteomyelitis, osteopororsis,
osteogenesis imperfekta, atrofi tulang, metabolic bone disease.Selain
itu post normal oklusi, overjet yang melebihi 4mm, anatomi gigi
serta riwayat medis juga dapat mempengaruhi tulang untuk mudah
terjadi fraktur.
2.2 Klasifikasi Fraktur dan Trauma Maksilofasial
2.2.1 Menurut Penyebab Terjadinya Fraktur
1. Fraktur traumatik
Trauma langsung (direk)
Trauma tersebut langsung mengenai anggota tubuh
penderita. Contohnya seperti pada antebrakhii yang menahan
serangan pukulan dari lawan yang mengakibatkan terjadinya
fraktur pada ulna atau kedua tulang tersebut (radius dan ulna).
Trauma tidak langsung (indirek)
Terjadi seperti pada penderita yang jatuh dengan tangan
menumpu dan lengan atas-bawah lurus, berakibat fraktur kaput
radii atau klavikula. Gaya tersebut dihantarkan melalui tulang-
tulang anggota gerak atas dapat berupa gaya berputar,
pembengkokan (bending) atau kombinasi pembengkokan
dengan kompresi yang berakibat fraktur butterfly, maupun
kombinasi gaya berputar, pembengkokan dan kompresi seperti
fraktur oblik dengan garis fraktur pendek. Fraktur juga dapat
terjadi akibat tarikan otot seperti fraktur patela karena kontraksi
quadrisep yang mendadak.
2. Fraktur fatik atau stress
Trauma yang berulang dan kronis pada tulang yang
mengakibatkan tulang menjadi lemah. Contohnya pada fraktur
fibula pada olahragawan.
3. Fraktur patologis
Pada tulang telah terjadi proses patologis yang
mengakibatkan tulang tersebut rapuh dan lemah. Biasanya fraktur
terjadi spontan. Penyebab fraktur patologi adalah :
1. Umum (general)
Tumor dissemineted (myelomatosis), osteoporosis penyakit
metabolis seperti : ricket dan ostoemalasia, adrenal
hiperkortikolisme atau terapi kortikosteroid yang lama,
hiperparatiroidisme, penyakit paget dan kondisi neuropati seperti
sipilis dan siringomelia, osteogenesis imperfekta.
2. Lokal
Tumor sekunder seperti : tumor mammae, prostat, tiroid,
ginjal dan paru-paru. Tumor ganas primer pada tulang, tumor jinak
pada tulang, hiperemi dan infektif dekalsifikasi seperti osteitis
misalnya :
2.2.2 Menurut Hubungan dengan Jaringan Ikat Sekitarnya
1. Fraktur simpel
Disebut juga fraktur tertutup, oleh karena kulit di sekeliling
fraktur sehat dan tidak sobek.
2. Fraktur terbuka
Kulit di sekitar fraktur sobek sehingga fragmen tulang
berhubungan dengan dunia luar (bone expose) dan berpotensi untuk
menjadi infeksi. Fraktur terbuka dapat berhubungan dengan ruangan
di tubuh yang tidak steril seperti rongga mulut.
3. Fraktur komplikasi
Fraktur tersebut berhubungan dengan kerusakan jaringan atau
struktur lain seperti saraf, pembuluh darah, organ visera atau sendi.
2.2.3 Menurut Bentuk Fraktur
1. Fraktur komplit
Garis fraktur membagi tulang menjadi dua fragmen atau lebih.
Garis fraktur bisa transversal, oblik atau spiral. Kelainan ini dapat
menggambarkan arah trauma dan menentukan fraktur stabil atau
unstabile.
2. Fraktur inkomplit
Kedua fragmen fraktur terlihat saling impaksi atau masih
saling tertancap.
3. Fraktur komunitif
Fraktur yang menimbulkan lebih dari dua fragmen.
4. Fraktur kompresi
Fraktur ini umumnya terjadi di daerah tulang kanselus.
2.2.3 Menurut organ yang terjadi
Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas
beberapa fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks
zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur dento-alveolar, fraktur
mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II,
dan III.
1. Fraktur Komplek Nasal
Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami
fraktur , tetapi yang lebih umum adalah bahwa fraktur – fraktur
itu meluas dan melibatkan proses frontal maksila serta bagian
bawah dinding medial orbital.
Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum
hidung. Kadang – kadang tulang rawan septum hampir tertarik
ke luar dari alurnya pada vomer dan plat tegak lurus serta plat
kribriform etmoid mungkin juga terkena fraktur.
Gambar 1. Fraktur Kompleks Nasal terdiri dari sebuah pertemuan beberapa tulang: (1) tulang
frontal, (2) tulang hidung, (3) tulang rahang atas, (4) tulang lakrimal, (5) tulang ethmoid, dan (6)
tulang sphenoid
Perpindahan tempat fragmen – fragmen tergantung pada
arah gaya fraktur. Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung
akan mengakibatkan tulang hidung dan bagian-bagian yang ada
hubungannya dengan proses frontal maksila berpindah tempat ke
satu sisi.12 Dalam penelitian retrospektif Sunarto Reksoprawiro
tahun 2001-2005, insidensi fraktur komplek nasal sebesar
12,66%.3
Fraktur nasal dapat diklasifikasikan menjadi:
- Fraktur hidung sederhana, merupakan fraktur pada tulang hidung
saja sehingga dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam
analgesi local. Akan tetapi pada anak-anak atau orang dewasa
yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan memerlukan
anestesi umum
- Fraktur tulang hidung terbuka, menyebabkan perubahan tempat
dari tulang hidung tersebut yang disertai laserasi pada kulit atau
mukoperiosteum rongga hidung. Kerusakan atau kelainan pada
kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi
pada saat tindakan.
- Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks, jika nasal piramid
rusak karena tekanan aau pukulan dengan benda berat akan
menimbulkan fraktur yang hebat pada tulang hidung, lakrimal,
etmoid, maksila dan frontal. Tulang hidung bersambungan
dengan prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os
frontal. Bagian dari nasal pyramid yang terletak antara dua bola
mata akan terdorong ke belakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid,
fraktur nasomaksila dan fraktur nasoorbita.
2. Fraktur Komplek Zigoma
Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang
maksila, tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang –
tulang tersebut biasanya terlibat bila tulang zigomatik mengalami
fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini disebut “fraktur
kompleks zigomatik”.
Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah
zigoma beserta suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura
zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar. Suatu benturan
atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan
tulang pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat
mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan tempat dari tulang
zigomatik.
Gambar 2. Pandangan frontal dari Gambar 3. Pandangan submentoverteks
fraktur zigomatik kompleks dari fraktur zigomatik kompleks
Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut
fraktur ”tripod”, namun fraktur kompleks zigomatik merupakan
empat fraktur yang berlainan. Keempat bagian fraktur ini adalah
arkus zigomatik, tepi orbita, penopang frontozigomatik, dan
penopang zigomatiko-rahang atas.
Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah
dari fraktur zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi
atau takikan pada arkus, yang hanya bisa dilihat dengan
menggunakan film submentoverteks dan secara klinis berupa
gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau mendapat
perawatan yang kurang baik. Insidensi fraktur komplek zigoma
sendiri berbeda pada beberapa penelitian. Pada penelitian Hamad
Ebrahim Al Ahmed dan kawan-kawan insidensi fraktur komplek
zigoma sebesar 7,4%. Sedangkan hasil penelitian yang lain
menunjukkan bahwa insidensi fraktur komplek zigoma sebesar
42% dan 7,9%.
3. Fraktur Dentoalveolar
Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau
terlepasnya gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan
dengan fraktur yang terjadi di alveolus, dan mungkin terjadi
sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan setiap bentuk
fraktur lainnya.
Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan
terjadinya injuri wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang
menimbulkan fraktur dengan atau tanpa terbukanya saluran pulpa.
Gambar 4. A. Infraksi Mahkota, B. Fraktur mahkota terbatas pada enamel dan dentin
( fraktur mahkota sederhana ), C.Fraktur mahkota langsung melibatkan pulpa
(fraktur mahkota terkomplikasi), D. Fraktur akar sederhana, E. Fraktur mahkota-akar
terkomplikasi, F.Fraktur akar Horizontal
Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada
gigi insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian
dalam bibir atas dan kadang-kadang terjadi luka setebal bibir.
Sering kali injuri semacam ini menghantam satu gigi atau lebih,
sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan seluruh gigi yang
terkena injuri tersebut tertanam di dalam bibir atas.
Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi
yang terkena fraktur atau gigi yang terlepas sama sekali mungkin
tertelan pada saat terjadi kecelakaan, sehingga sebaiknya jika
terdapat gigi atau pecahan gigi yang hilang setelah terjadinya injuri
fasial agar selalu membuat radiograf dada pasien, terutama jika
terjadi kehilangan kesadaran pada saat terjadinya kecelakaan.
Fraktur pada alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa
adanya hubungan dengan injuri pada gigi-gigi. Fraktur tuberositas
maksilar dan fraktur dasar antrum relatif merupakan komplikasi
yang umum terjadi pada ilmu eksodonti.
Gambar 5. Cedera tulang alveolar. A. Fraktur dinding tunggal dari alveolus, B. Fraktur dari
prosesus alveolar
4. Fraktur Maksila
Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah
fraktur maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis
fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari
beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur
maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.3,19
a. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan
tunggal atau bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III.
Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur
transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar
ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang
melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan
palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah
sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini
sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.12-15
b. Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara
klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya
berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal
melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan
nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena. Seperti pada
fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias
merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan.
Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort
I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.
c. Fraktur Le Fort III
Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang
parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat
perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai
dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena
trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan
pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma
intrakranial.
Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III
5. FrakturMandibula
Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari
trauma kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur
mandibula dapat terjadi akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan
sepeda bermotor, dan trauma interpersonal. Di instalasi gawat
darurat yang terletak di kota-kota besar, setiap harinya fraktur
mandibula merupakan kejadian yang sering terlihat.
Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah cedera
terjadi, dan menyadari bahwa adanya rasa sakit dan maloklusi.
Pasien dengan fraktur mandibula sering mengalami sakit sewaktu
mengunyah, dan gejala lainnya termasuk mati rasa dari divisi
ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas segmen mandibula
merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam menentukan
apakah si pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun,
mobilitas ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat
terjadi pada bagian anterior mandibula ( simpisis dan
parasimpisis ), angulus mandibula, atau di ramus atau daerah
kondilar mandibula.
Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus
mandibula merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan
mobilitas sewaktu dipalpasi.
Namun, fraktur mandibula yang sering terjadi disini adalah
fraktur kondilus yang biasanya tidak terbuka dan hanya dapat hadir
sebagai maloklusi dengan rasa sakit. Dalam beberapa penelitian
sebelumnya, dikatakan bahwa fraktur mandibula merupakan
fraktur terbanyak yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas pada
pengendara sepeda motor, dengan masing-masing persentase
sebesar 51% dan 72,8%.
Gambar 7. Fraktur Mandibula
2.2.4 Menurut Ellis, klasifikasi dentoalveolar dapat dibagi menjadi sebagai
berikut:
· Klas I : Tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau tanpa
memakai perubahab tempat
· Klas II : Fraktur mengenai dentin dan belum mengenai pulpa dengan atau
tanpa memakai perubahan tempat.
· Klas III : Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka dengan atau tanpa
perubahan tempat
· Klas IV : Gigi mengalami trauma sehingga gigi menjadi non vital dengan
atau tanpa hilangnya struktur mahkota
· Klas V : Hilangnya gigi sebagai akibat trauma
· Klas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkota
· Klas VII : Perpindahan gigi atau tanpa fraktur mahkota atau akar gigi
· Klas VIII : Fraktur mahkota sampai akar
· Klas IX : Fraktur pada gigi desidui
2.3 Gambaran Klinis
1. Fraktur Nasal
Gambaran klinis yang biasa ditemukan pada fraktur nasal antara lain
sebagai berikut:
- Kelembutan ketika menyentuh hidung
- Pembengkakan hidung
- Memar hidung atau di bawah mata
- Deformitas hidung (hidung bengkok)
- Mimisan
- Ketika menyentuh hidung ada suara berderak atau sensasi seperti
yang terbuat dari rambut ketika menggosok antara 2 jari
- Nyeri dan kesulitan bernafas
2. Fraktur Zygoma
Gambaran klinis dari fraktur zygoma antara lain sebagai
berikut:
- Asimetri wajah pada arkus zigomatik. Pipi menjadi lebih rata
dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma
- Palpasi zygomatic buttress terdapat krepitus, bengkak dan nyeri
saat di palpasi
- Kerusakan saraf infraorbita yang menyebabkan nyeri dan
hypethesia di pipi
- Herniasi lemak orbital ke sinus maksila atau terjepitnya rectus
inferior yang menyebabkan diplopia
- Forced duction test positif yang menandakan terjepitnya otot
inferior rectus atau inferior oblique muscle
- Perubahan letak arkus zigomatik pada prosesus koronoideus atau
spasme otot masseter dan temporalis akibat kontusio langsung,
menyebabkan trismus
- Perdarahan di sinus maksila
- Laserasi pembuluh darah kantus mata inferior
- Enoftalmos
3. Fraktur Maksila
Gambaran klinis dari fraktur maksila adalah sebagai berikut:
- Mobililitas palatum
- Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris
inferior
- Anesthesia dapat terjadi pada satu sisi bibir bawah, pada
gingival, atau pada gigi dimana nervus alveolaris inferior rusak
- Perubahan posisi mandibula
- Maloklusi
- Gangguan mobilitas, terjadi krepitasi
- Trismus, nyeri waktu mengunyah
- Gangguan obstruksi jalan nafas
- Fraktur gigi atau avulsi
4. Fraktur Orbita
Gambaran klinis dari fraktur orbita adalah sebagai berikut :
- Periokular ekimosis
- Enoftalmos
- Proptosis
- Diplopia
- Asimetri pada muka, kelainan ini tidak lazim pada blow out
fraktur dari dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik terdapat
pada fraktur yang meliputi tepi orbita inferior atau fraktur yang
menyebabkan dislokasi zygoma.
- Hyphestesia, hyphestesia dan anesthesia dari saraf sensoris
nervus infra orbitalis berhubungan erat dengan fraktur yang
terdapat pada dasar orbita. Bila fraktur timbul sudah timbul
kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis
infraorbitalis. Selanjutnya gangguan fungsi nervus infraorbita
sangat mungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada rima
orbita.
5. Fraktur Mandibula
Gambaran klinis dari fraktur mandibula adalah sebagai berikut:
- Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang
meliputi mandibula
- Rasa nyeri yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris
inferior
- Anesthesia dapat terjadi pada satu bibir bawah, pada gingival
atau pada nervus alveolaris inferior menjadi rusak
- Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi
- Maloklusi, adanya fraktur mandibula sangat sering menimbulkan
maloklusi
- Gangguan jalan nafas, kerusakan hebat pada mandibula dapat
menyebabkan perubahan posisi, trismus, hematoma, serta edema
pada jaringan lunak
2.4 Penegakan Diagnosa
2.4.1 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maksilofasial dapat
dilakukan dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral dan
intra oral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografis yang dapat
membantu dalam menegakkan diagnosa dari fraktur maksilofasial.
1. Fraktur Komplek Nasal
Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks nasal dilakukan dalam
dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas pada tulang hidung,
laserasi, epistaksis, bentuk garis hidung yang tidak normal. Sedangkan
secara palpasi dapat terlihat adanya luka robek pada daerah frontal
hidung, edema, hematom, dan tulang hidung yang bergerak dan remuk.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas yang
berlanjut, deviasi pada tulang hidung, ekhimosis dan laserasi.
Sedangkan secara palpasi terdapat bunyi yang khas pada tulang hidung.
dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya laserasi, edema dan ekimosisi pada daerah bibir.
Sedangkan secara palpasi terdapat pecahan gigi pada jaringan bibir.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya laserasi pada
permukaan lidah dan sulkus labial, avulsi dan subluksasi. Sedangkan
secara palpasi terdapat deformitas tulang, krepitus. Pemeriksaan fraktur
dentoalveolar dilakukan dengan radiograf intra-oral dan panoramik.
2. Fraktur Maksila
Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le
Fort III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort
tersebut berbeda.
2.1 Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam
dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada
bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan
secara palpasi terdapat rasa nyeri.
2. 2 Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam
dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama
tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi
terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati
rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan
fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya
lengkung rahang atas.
2.3 Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara
ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan
dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan
pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha
untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan
pergeseran seluruh bagian atas wajah.14
3. Fraktur Mandibula
Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi terlihat adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang
mengalami fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara
palpasi terdapat step deformity. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya
gigi yang satu sama lain, gangguan oklusi yang ringan hingga berat,
terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami
fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak enak
pada garis fraktur serta pergeseran.
2.4.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen
Beberapa tehnik Roentgen dapat digunakan untuk melihat adanya
fraktur antara lain ;
- foto skull AP/Lateral
- foto Eisler ; foto ini dibuat untuk pencitraan mandibula bagian ramus
dan korpus, dibuat sisi kanan atau sisi kiri sesuai kebutuhan.
- Towne’s view ; dibuat untuk melihat proyeksi tulang maksila, zigoma
dan mandibula
- reverse Towne’s view ; dilakukan untuk melihat adanya fraktur neck
condilus mandibula terutama yang displaced ke medial dan bias juga
melihat dinding lateral maksila
- Panoramic ; disebut juga pantomografi atau rotational radiography
dibuat untuk mengetahui kondisi mandibula mulai dari kondilus kanan
sampai kondilus kiri beserta posisi geliginya termasuk oklusi terhadap
gigi maksila. Dibuat film didepan mulut pada alat yang rotasi dari pipi
kanan ke pipi kiri, sinar-x juga berlawanan arah rotasi dari arah tengkuk
sehingga tercapai proyeksi dari kondulus kanan sampai kondilus kiri.
Keuntungan panoramic adalah ; cakupan anatomis yang luas,
dosis radiasi rendah, pemeriksaan cukup nyaman, bisa dilakukan pada
penderita trismus,. Kerugiannya tidak bisa menunjukkan gambaran
anatomis yang jelas daerah periapikal sebagaimana yang dihasilkan foto
intra oral
- Temporomandibular Joint ; pada penderita trauma langsung daerah
dagu sering didapatkan kondisi pada dagu baik akan tetapi terjadi
fraktur pada daerah kondilus mandibula sehingga penderita mengeluh
nyeri pada daerah TMJ bila membuka mulut, trismus kadang sedikit
maloklusi. Pada pembuatan foto TMJ yang standard biasanya di
lakukan proyeksi lateral buka mulut (Parma) dan proyeksi lateral tutup
mulut biasa (Schuller). Biasanya dibuat kedua sendi kanan dan kiri
untuk perbandingan.
- orbitocondylar view ; dilakukan untuk melihat TMJ pada saat buka
mulut lebar, menunjukkan kondisi struktur dan kontur dari kaput
kondilus tampak dari depan
2. CT Scan
Pemeriksaan ini pada kasus emergency masih belum merupakan
pemeriksaan standart. Centre yang telah maju dalam penggunaan
modalitas ini telah menggunakan CT Scan terutama untuk fraktur
maksilofasial yang sangat kompleks. Pemeriksaan ini membirak banyak
informasi mengenai cidera di bagian dalam.
3. MRI
Pemeriksaan ini terutama untuk melihat kerusakan pada jaringan
lunak.
2.5 Proses Penyembuhan Fraktur
Pada saat terjadi fraktur, pembuluh darah disekitarnya bisa terputus
hal ini dapat menyebabkan perdarahan yang kemudian dapat membentuk
stasis. Perdarahan biasanya terjadi sepuluh hari pertama setelah terjadi
fraktur. Dari stasis kemudian dapat terbentuk hematom. Dari hematom
kemudian sel-sel berdiferensiasi menjadi condroblast dan osteoblast.
Condroblast akan mensekresi fosfat yang akan menginduksi deposisi kalsium
dan membentuk kallus yang tebal. Terbentuknya kalus biasanya pada 10-20
hari berikutnya. Kemudian secondary kallus akan terbentuk pada 20-60 hari
berikutnya untuk memperbaiki system havers. Sedangkan osteoblast akan
membentuk trabekula-trabekula yang saling menyambung dari tiap patahan.
Proses remodeling dilakukan oleh osteoclast, osteoclast kemudian meresorbsi
kallus yang tebal dan bagian yang fraktur dan membentuk dimensi tulang
yang sama dengan sebelumnya.
Faktor Yang Mengganggu Penyembuhan Fraktur:
• Imobilisasi yang tidak cukup
Imobilisasi dalam balutan gips umumnya memenuhi syarat
imobilisasi, asalkan persendian proksimal dan distal dari patah tulang turut di
imobilisasi. Gerakan minimal pada ujung pecahan patah tulang di tengah otot
dan di dalam lingkaran kulit dalam gips, yang misalnya disebabkan oleh
latihan ekstremitas yang patah tulang tidak mengganggu, bahkan dapat
merangsang perkembangan kalus. Hal ini berlaku nutuk atah tulang yang
ditangani gips maupun traksi.
• Infeksi
Infeksi di daerah patah tulang merupakan penyulit berat. Hematom
merupakan lingkungan subur untuk kuman patologik yang dapat
menyebabkan osteomyelitis di kedua ujung patah tulang, sehingga proses
penyembuhan sama sekali tidak dapat berlangsung.
• Interposisi
Interposisi jaringan seperti otot atau tendo antara kedua fragmen patah
tulang dapat menjadi halangan perkembangan kalus antara ujung patahan
tulang Penyebab yang lain, karena distraksi yang mungkin disebabkan oleh
kelebihan traksi atau karena tonus dan tarikan otot.
• Gangguan perdarahan setempat
Pendarahan jaringan tulang yang mencukupi untuk membentuk tulang
baru merupakan syarat mutlak penyatuan fraktur.
• Trauma local ekstensif
• Kehilangan tulang
• Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang
• Keganasan local
• Penyakit tulang metabolic (mis; penyalit paget)
• Radiasi (nekrosis radiasi
• Nekrosis avaskuler
• fraktur intra artikuler (cairan sinovial mengandung fibrolisin, yang akan
melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendala
• Usia (lansia sembuh lebih lama)
• Kortikosteroid (menghambat kecepata perbaikan)
Faktor Yang Mempercepat Penyembuhan Fraktur
• Imobilisasi fragmen tulang
• Kontak fragmen tulang maksimal
• Asupan darah yang memadai
• Nutrisi yang baik
• Latihan-pembebanan berat badan untuk tulang panjang
• Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid kalsitonin, vitamain D, steroid
anabolic
• Potensial listrik pada patahan tulang
DAFTAR PUSTAKA
Ellis Edward., Muniz Oscar, Anand Kapil., Treatmend Considerations for
Comminuted Mandibular Fractures, J Oral Maxillofac Surg 61:861-870, 2003
Greenberg M Alex, Management of facial fractures, New York State Dental
Journal, mar 1998. Vol 64 Iss 3; pg 42
Armis, dr., Trauma Sistema Muskuloskeletal, FK-UGM, Yogyakarta.
Grabb & Smith’s, 1997, Plastic Surgery, Fifth Edition, Lippincott-Raven,
Philadelphia, New York.
Soetjipto D, Mangunkusumo Endang, RetnoS.Wardani.dalam:Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga HidungTenggorok edisi VI cetakan II. Balai Penerbit FK-UI,
Jakarta2008.hal 118-122
Higler, Peter. Hidung (Anatomi dan fisiologi terapan).Dalam:Effendi H,
editor:BOEIS:Buku Ajar Penyakit THT.Edisikeenam.Philadelphia:WB Saunders
Company,1997.Hal 173-188