Upload
mursalinmukdiem
View
63
Download
14
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan geomin
Citation preview
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN
GEOLOGI DAN MINERALOGI TANAH
Disusun oleh:
1. Husna Rafi Julias (13536)
2. Angga Prasetya (13596)
3. Fariz Habibie R C (13681)
4. Mursalin Mukdiem (13710)
5. Alip Yuli Susanto (13759)
Dosen Pengampu : Dr. Agr. Makruf Nurudin, SP., MP.
LABORATORIUM PEDOLOGI
DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
ABSTRAKBatuan merupakan bahan induk yang akan melapuk kemudian menjadi tanah. Batuan induk merupakan salah satu faktor pembentuk tanah yang menjadi dominan pada sifat tanah yang terbentuk. Dari batuan ini dapat diketahui mineral-mineral apa saja yang terkandung di dalamnya yang dapat pula menjadi ciri atau sifat tanah yang terbentuk. Praktikum lapangan geologi dan mineralogi tanah dilaksanakan pada tanggal 9-10 April 2016. Praktikum ini dilaksanakan dengan melakukan pengamatan di 9 stopsite yaitu Tegalrejo, Bayat, Klaten; Pendul, Tegalrejo, Bayat, Klaten; Gunung Kenong, Klaten; Gunung Gadjah, Bayat, Klaten; Bayat, Klaten; Gunung Joko Tuo, Bayat, Klaten; Bayat, Klaten; Perbukitan Diatas Teluk Pacitan; dan Bedoyo Gunung Kidul. Dari hasil praktikum didapatkan bahwa pada daerah Tegalrejo, Bayat, Klaten di dapatkan jenis tanah vertisol; Pendul, Tegalrejo, Bayat, Klaten di dapatkan jenis tanah inseptisol; Gunung Kenong, Klaten di dapatkan jenis tanah alfisol; Gunung Gadjah, Bayat, Klaten di dapatkan jenis tanah entisol; Bayat, Klaten di dapatkan jenis tanah mollisol; Gunung Joko Tuo, Bayat, Klaten di dapatkan jenis tanah inseptisol; Bayat, Klaten di dapatkan jenis tanah entisol; Perbukitan Diatas Teluk Pacitan di dapatkan jenis tanah entisol; dan Bedoyo Gunung Kidul di dapatkan jenis tanah andisol.
I. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Tanah merupakan bahan di permukaan bumi hasil alihrupa
(transformation) bahan organik dan atau mineral melalui proses gabungan anasir-
anasir alami, yaitu bahan-bahan induk, iklim, topografi, dan organisme yang
bekerja pada waktu tertentu. Fase pertama pembentukan tanah adalah pelapukan
dan peruraian batuan atau bahan induk tanah, dan fasa kedua adalah pembentukan
tubuh tanah atau horisonasi.
Proses pembentukan tubuh tanah merupakan suatu kejadian rumit,
beruntun mencakup reaksi saling terkait dan penyusunan kembali bahan-bahan
yang sangat mempengaruhi tanah di tempat itu. Beberapa kejadian dapat
berlangsung serentak atau beruntun untuk saling memperkuat atau melawan
terhadap yang lainnya. Pembentukan tubuh tanah merupakan suatu kejadian
tersembunyi dari pandangan mata sehingga penyidikannya hanya dapat dilakukan
pada saat kejadian itu telah selesai, kecuali untuk beberapa fenomena, khususnya
yang berlangsung dekat permukaan bumi.
Sebagai ilmu yang mempunyai dimensi kesejahteraan konsep waktu dan
ruang (space dan time) memberikan ciri khas terhadap geologi, istilah evolusi
didasari dimensi ruang dan waktu sebagai suatu perubahan yang terjadi secara
perlahan-lahan atas dasar itu pengetahuan geeologi tidak hanya memperkenalkaan
bahan pembentuk kerak bumi (batuan) sejalan dengan itu diperkenalkan proses-
proses geologi. Tiga aspek yang pada hakekatnya, mendasari semua ilmu yaitu
materi, proses, ruang dan waktu. Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup
manusia peranan geologi dengan sudut pandang diatas akan sangat membantu
dalam rangka inventarisasi sumber daya alam, yang dapat berlaku sebagai unsure
pendukung (support) dan unsur pembatas (constrain) seperti bencana alam yang
harus diperhitungkan dalam proses perencanaan tata ruang.
Ada dua jenis proses alam yaitu yang bersumber dari dalam bumi yang
disebut proses endogen dan yang bersumber dari luar bumi yang disebut proses
eksogen. Gaya yang berasal dari dalam bumi (endogen) yaitu suatu gaya tektonik
yang menyebabkan deformasi pada kerak bumi. Manifestasi dari gaya endogen
yaitu letusan gunung berapi dan gempa bumi yang dapat menimbulkan goncangan
dan pensesaran pada permukaan pada gilirannya gempa dapat memicu terjadinya
longsor didaerah yang lerengnya curam dengan keadaan batuan yang
uncocsolidate. Gaya yang berasal dari luar bumi (eksogen) yang terdiri dari
faktor-faktor iklim yaitu : hujan, angin, dan perubahan temperatur batuan
mengalami pelapukan (weathering), pelapukan batuan akan memberikan
gambatan tentang uraian bentuk variasi roman permukaan yang berlandaskan
kepada karakterisitik batuan penyusunnya, serta proses agradasi dari degradasi
yang kesemuanya dilandasi latar belakang kondisi geologi sebelumnya, yang
disebut dengan proses-proses geomorfologi. Dengan melihat geologi dari segi
kepentingan manusia maka proses perencanaan (planning) yang menyangkut
usaha manusia memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak cukup hanya berorientasi
pada masalah-masalah permukaan tanpa memperhitungkan kondisi alamiahnya.
Di dalam ilmu geologi juga dipelajari kerak bumi.
II. TUJUAN
Dalam praktikum lapangan ini bertujuan untuk mengetahui jenis batuan
dan tanah yang terbentuk akibat dari proses geomorfologi, geologi, dan
mineralogi yang terjadi di alam.
III. TINJAUAN PUSTAKA
Geologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata yaitu : Geo
dan Logos, Geo yang berarti bumi dan Logos yang berarti ilmu pengetahuan.
Dengan demikian geologi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan proses terbentuknya
bumi, keberadaan bumi serta fenomena lainnya yang berkaitan dengan bentukan-
bentukan alam. Pengertian keberadaan tersebut menyangkut aspek proses
terbentuknya, susunan, manusia, hewan serta fungsi dan peranannya bagi
kehidupan manusia. Karena geologi menjelaskan berbagai aspek yang berkaitan
dengan kebumian, maka metri bahasannya menjadi yang sangat kompleks, karena
itu dalam mempelajarinya perlu adanya pemilahan/pemisahan menurut konteks
bahasan yang menjadi sasaran (Munir, 1996).
Batuan adalah segala macam material padat yang menyusun kulit bumi, baik
yang telah padu maupun yang masih lepas. Material padat tersebut terjadi dari
agregat mineral, baik hanya satu jenis mineral maupun berbagai jenis mineral.
Pengelompokan batuan berdasarkan kejadiannya atau cara terbentuknya menjadi
tiga kelompok utama, yaitu :
1. Batuan beku atau batuan magma adalah batuan yang terbentuk dari hasil
pembekuan atau kristalisasi magma
2. Batuan sedimen atau batuan endapan adalah batuan yang terbentuk dari
bahan sedimen yang diendapkan, dan setelah mengalami proses geologi
menjadi batuan sedimen
3. Batuan metamorfosa atau batuan malihan adalah batuan yang terbentuk
karena batuan mengalami tekanan dan atau suhu yang tinggi sehingga
berubah sifat(mengalami metamorfosa) menjadi batuan metamorf atau
batuan malihan.
Magma merupakan cairan yang panas, maka ion-ion yang menyusun
magma akan bergerak bebas tak beraturan. Sebaliknya pada saat magma
mengalami pendinginan, pergerakan ion-ion yang tidak beraturan ini akan
menurun, dan ion-ion akan mulai mengatur dirinya menyusun bentuk yang teratur.
Proses tersebut disebut kristalisasi. Pada proses ini yang merupakan kebalikan
dari proses pencairan, ion-ion akan saling mengikat satu dengan yang lainnya dan
melepaskan kebebasan untuk bergerak. Ion-ion tersebut akan membentuk ikatan
kimia dan membntuk kristal yang teratur. Pada umumnya material yang
menyusun magma tida membeku pada waktu yang bersamaan (Munir, 1996).
Batuan beku atau Igneous Rock berasal dari bahasa latin, Inis = fire (api).
Batuan beku adalah batuan yang terjadi pada pembeku materi yang kental yang
berasal dari magma. Magma panas yang bergerak dari dalam bumi ke permukaan
bumimakin lama makin dingin dan akhirnya membeku. Ada yang belum
mencapai permukaan bumi sudah membeku, sehingga dikenal sebagai batuan
beku dalam atau batuan intrusi atau batuan plutonis. Ada juga yang membeku
setelah mencapai permukaan bumi sehingga dikenal dengan nama batuan beku
luar atau batuan ekstrusi atau batuan vulkanis (Munir, 1996).
Karst merupakan salah satu bentang lahan yang ada di permukaan bumi ini.
Bentang lahan karst terbentuk oleh adanya proses karstifikasi pada batuan
karbonat dan evaporit yang mudah tersolusi seperti batu gamping, dolomit,
marbel, gypsum, dan halite (Parise, 2007). Bentang lahan karst ini dicirikan oleh
adanya aliran-aliran tertelan (sinking stream), goa-goa, bentukan depresi tertutup,
singkapan batuan berlubang dan mata air yang besar (Ford dan Williams, 2007).
Sistem karst tersebar pada berbagai morfologi lahan seperti pegunungan, mata air
pada lembah yang dalam, dataran, hingga pantai (Litwin dan Andreychouk, 2007).
Lebih lanjut Ford dan Williams (2007) mendefinisikan istilah lahan karst sebagai
suatu lahan yang memiliki bentuk dan hidrologi khusus yang muncul oleh
kombinasi pelarutan batuan yang tinggi dan porositas sekunder yang terbentuk
dengan baik.
Batuan karbonat memiliki sifat yang keras dan tidak berpori. Namun batuan
tersebut mudah terlarut olah air terutama air yang banyak mengandung unsur CO2
seperti air hujan. Proses pelarutan pada batuan karbonat oleh air tersebut
dinamakan dengan proses karstifikasi. Proses pelarutan inilah yang memicu
munculnya celah, rekah, dan rongga (lapies) pada batuan tersebut. Celah dan
rekah yang saling terhubung membentuk jalur yang menuju lorong-lorong gua
sebagai pengumpul air dalam akuifer karst. Air hujan yang jatuh pada permukaan
karst akan masuk melalui jalur porositas sekunder tersebut menuju akuifer.
Batuan evaporit terbentuk oleh hujan yang berasal dari air garam dan
terkumpul hingga melebihi batas kejenuhan penguapan mineral pada suatu
lingkungan lagunal atau danau (Waltham dkk, 2005). Batuan evaporite ini terdiri
dari sulfat yang berupa gipsum (CaSO42H2O) dan anhydrit (CaSO4), serta garam
batu yang berupa halit (NaCl). Batuan evaporit memiliki tingkat pelarutan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan batuan karbonat (Parise dkk, 2007). Proses
pelarutan pada batuan evaporit pada air akan meningkat sejalan dengan
peningkatan temperatur air (Milanovic, 2005).
Karstifikasi
Proses karstifikasi pada batuan karbonat terjadi terutama pada batu gamping
(limestone/CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2 (Milanovic, 2005). Batu gamping
merupakan batuan karbonat yang memiliki kandungan mineral kalsit (CaCO3)
tinggi. Namun demikian, batu gamping yang memiliki kandungan kalsium
karbonat murni adalah sangat jarang. Waltham dkk (2005) menyebutkan besaran
kandungan mineral kalsit pada limestone adalah sebesar 50 – 90%, sedangkan
dolomit hanya berkisar antara 10 – 40%. Proses pelarutan pada batu gamping
akan semakin intensif dengan semakin tingginya kandungan kalsium karbonat
tersebut. Peran temperatur dalam proses karstifikasi pada limestone berbeda
dengan batuan evaporit. Proses pelarutan akan semakin intensif dengan semakin
rendahnya temperatur air (Milanovic, 2005).
Haryono dan Adjie (2004) menyebutkan bahwa proses karstifikasi dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong. Faktor pengontrol
adalah faktor yang memungkinkan terjadinya proses karstifikasi, sedangkan
faktor pendorong adalah faktor yang mempengaruhi kecepatan atau intensitas
karstifikasi. Beberapa hal yang menjadi faktor pengontrol karstifikasi adalah :
Batuan yang mudah larut, kompak, tebal, dan memiliki banyak rekahan
Curah hujan yang cukup atau lebih dari 250 mm/tahun
Batuan terekspose pada permukaan yang tinggi sehingga memungkinkan
terjadinya perkembangan drainase secara vertikal.
Faktor-faktor tersebut akan menentukan terjadi atau tidaknya proses karstifikasi
pada batuan karbonat. Kecepatan proses karstifikasi selanjutnya dipengaruhi oleh
faktor-faktor pendorong yaitu temperatur dan tutupan vegetasi.
III. METODOLOGI
Praktikum Geologi dan Mineralogi Tanah dilaksanakan pada tanggal 9 –
10 April 2016 di 9 stopsite yaitu Tegalrejo, Bayat, Klaten; Pendul, Tegalrejo,
Bayat, Klaten; Gunung Kenong, Klaten; Gunung Gadjah, Bayat, Klaten;
Bayat, Klaten; Gunung Joko Tuo, Bayat, Klaten; Bayat, Klaten; Perbukitan
Diatas Teluk Pacitan; dan Bedoyo Gunung Kidul. Alat yang digunakan pada
praktikum lapangan ini diantaranya yaitu peta geologi, alat tulis, kamera, skop,
munsell soil colour chart, plastik, tisu, pipet tetes, dan khemikalia yang terdiri dari
HCl 10%, H2O2 10% serta H2O2 3%.
Pada praktikum lapangan ini, dilakukan pengamatan dan penjelasan
tentang formasi, letak obyek, kondisi obyek baik secara geografis, geomorfologis
dan geologis, latar belakang atau peristiwa yang terjadi terkait kondisi geologi di
setiap lokasi, serta kondisi vegetasi yang ada pada tempat–tempat tersebut.
Praktikum lapangan dilaksanakan dengan melakukan perjalanan selama 2 hari.
Pada hari pertama perjalanan dimulai dari Yogyakarta menuju ke Tegalrejo,
Bayat, Klaten; Pendul, Tegalrejo, Bayat, Klaten; Gunung Kenong, Klaten;
Gunung Gadjah, Bayat, Klaten; Bayat, Klaten; Gunung Joko Tuo, Bayat, Klaten;
Bayat, Klaten.Stop site yang diamati pada hari kedua adalah Perbukitan Diatas
Teluk Pacitan; Dan Bedoyo Gunung Kidul.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
STOPSITE 1 : Tegalrejo,Bayat,Klaten ( Tanah Vertisol)
A. Informasi Tapak
1. Hari/tanggal pengamatan : Sabtu 9 April 2016
2. Nama Surveyor : Kelompok 1
3. Koordinat : S 07°47’1,2” E110°39’09,9”
4. Ketinggian Tempat : 140 mdpl
5. Deskripsi Lokasi : Tegal Rejo
6. Bentang Lahan :
a. Utama : -
b. Topografi : -
c. Torehan : -
d. Pola Drainase : Dendritik
7. Lereng :
a. Posisi : -
b. Bentuk : -
c. Arah : -
d. Panjang : -
8. Timbulan Mikro : -
9. Kenampakan Permukaan Tanah :
a. Kebatuan : Sedikit
b. Kerakal : Sedikit
c. Cara Pembajakan : -
d. Kondisi : Tergenang
e. Tutupan : -
10. Bahan Induk : Alluvium
11. Jeluk Mempan : 25 cm (padi)
12. Drainase Tanah :
a. Kelas : lambat
b. Permeabilitas : lambat
c. Limpasan : banyak/tinggi
13. Kedalaman Air Tanah : -
14. Banjir : kecil
a. Frekuensi : -
b. Lama : -
c. Kedalaman : -
15. Erosi/Sedimentasi : erosi lembar
16. Penggunaan Lahan : sawah
17. Vegetasi : Padi
18. Iklim : tropis
19. Kesesuaian Lahan : S1 (sangat sesuai)
B. Deskripsi Horison :
1. Horison :-
a. Nama : -
b. Jeluk (cm) : -
c. Batas : -
2. Warna :
a. Kondisi Lengas : -
b. Matriks : -
3. Tekstur : lempung debuan
4. Struktur :
a. Bentuk : gumpal menyudut
b. Ukuran/Kelas : sedang
c. Derajat : kuat
5. Pori Tanah : -
6. Konsistensi : lekat
7. Perakaran : Meso jumlah banyak
8. pH Lapangan : -
9. Kondisi Redoks : (-)
10. Karbonat : -
11. Bahan Organik : (++)
12. Konkresi : -
13. pH Potensial : -
C. Klasifikasi Tanah :
a. USDA : Vertisol
b. FAO : Vertisol
c. PPT Bogor : Grumusol
STOPSITE 2
Informasi Tapak
1. Hari/tanggal pengamatan : Sabtu 9 April 2016
2. Nama Surveyor : Kelompok 2
3. Koordinat : S 07°46’2,7” E110°40’13,6”
4. Ketinggian Tempat : 145-175 mdpl
5. Deskripsi Lokasi :
6. Bentang Lahan :
a. Utama : -
b. Topografi : bergelombang
c. Torehan : ada
d. Pola Drainase : Dendritik
7. Lereng :
a. Posisi : -
b. Bentuk : -
c. Arah : -
d. Panjang : -
8. Timbulan Mikro : -
9. Kenampakan Permukaan Tanah :
a. Kebatuan : banyak
b. Kerakal : banyak
c. Cara Pembajakan : -
d. Kondisi : -
e. Tutupan : jati, kacang tanah, jagung,
ketela
10. Bahan Induk : diorit
11. Jeluk Mempan : 40 cm
12. Drainase Tanah :
a. Kelas :
b. Permeabilitas : sedang
c. Limpasan : sedang
13. Kedalaman Air Tanah : -
14. Banjir :
a. Frekuensi : -
b. Lama : -
c. Kedalaman : -
15. Erosi/Sedimentasi : erosi parit
16. Penggunaan Lahan : tegalan
17. Vegetasi : jati, kacang tanah, jagung,
ketela
18. Iklim :
19. Kesesuaian Lahan : S2 ( sesuai)
Deskripsi Horison :
1. Horison :
a. Nama : BW 1 & BW 2
b. Jeluk (cm) : -
c. Batas : tidak jelas
d. Topografi : bergelombang
2. Warna :
a. Kondisi Lengas : -
b. Matriks : 5YR ¾ & 7,5 YR ¾
c. Keterangan : dark reddish brown & dark
brown
3. Tekstur : geluh pasiran
4. Struktur :
a. Bentuk : remah
b. Ukuran/Kelas : kecil
c. Derajat : lemah
5. Pori Tanah : makro jumlah banyak
6. Konsistensi : lembab , agak plastis
7. Perakaran : Mikro jumlah banyak
8. pH Lapangan : 6 & 6
9. Kondisi Redoks : (-)
10. Karbonat : (+++) & (+++)
11. Bahan Organik : (+) & (+)
12. Konkresi : -
13. pH Potensial : 7,5 & 6,5
14. Klasifikasi Tanah :
a. USDA : Inceptisol
b. FAO : Regosol
c. PPT Bogor : Regosol
STOPSITE 3
A. Informasi Tapak
1. Hari/tanggal pengamatan : Sabtu 9 April 2016
2. Nama Surveyor : Kelompok 3
3. Koordinat : S 07°46’2,7” E110°40’13,6”
4. Ketinggian Tempat : 145-175 mdpl
5. Deskripsi Lokasi :
6. Bentang Lahan :
a. Utama : Interupsi diorit
b. Topografi : bergunung
c. Torehan : ada
d. Pola Drainase : Dendritik
7. Lereng :
a. Posisi : >450
b. Bentuk : -
c. Arah : -
d. Panjang : -
8. Timbulan Mikro : -
9. Kenampakan Permukaan Tanah :
a. Kebatuan : banyak
b. Kerakal : banyak
c. Cara Pembajakan : -
d. Kondisi : Basah
e. Tutupan : jati, kayu putih, pohon pisang
10. Bahan Induk : Scish
11. Jeluk Mempan : 90 cm
12. Drainase Tanah :
a. Kelas :
b. Permeabilitas : Rendah
c. Limpasan : banyak
13. Kedalaman Air Tanah : 1,5 meter
14. Banjir :
a. Frekuensi : tinggi
b. Lama : panjang
c. Kedalaman : -
15. Erosi/Sedimentasi : alur
16. Penggunaan Lahan : tegalan
17. Vegetasi : jati
18. Iklim : mendung
19. Kesesuaian Lahan : S2 ( sesuai)
Deskripsi Horison :
1. Horison :
a. Nama : A, Bt dan C
b. Jeluk (cm) : -
c. Batas : -
d. Topografi : -
2. Warna :
a. Kondisi Lengas : lembab
b. Matriks : 2,5YR 3/6 & 2,5 YR 4/6
c. Keterangan :
3. Tekstur : lempung debuan, lempung pasiran
4. Struktur :
a. Bentuk : gumpal menyudut
b. Ukuran/Kelas : -
c. Derajat : -
5. Pori Tanah : makro jumlah banyak
6. Konsistensi : lembab , sangat plastis
7. Perakaran : Mikro jumlah banyak
8. pH Lapangan : 6|5, 5,5| dan 5|4
9. Kondisi Redoks : (-)
10. Karbonat : (- + -)
i. Bahan Organik : (+ + ++)
11. Konkresi : (+++ - +)
12. pH Potensial :
13. Klasifikasi Tanah :
a. USDA : Alfisol
b. FAO :
c. PPT Bogor :
STOPSITE 4
A. Informasi Tapak
1. Hari/tanggal pengamatan : Sabtu 9 April 2016
2. Nama Surveyor : Kelompok 4
3. Koordinat : S 07°45’38,6” E110°40’34,5”
4. Ketinggian Tempat : 145 mdpl
5. Deskripsi Lokasi :
6. Bentang Lahan :
a. Utama :
b. Topografi : berombak
c. Torehan : ada
d. Pola Drainase :
7. Lereng :
a. Posisi : -
b. Bentuk : -
c. Arah : -
d. Panjang : -
8. Timbulan Mikro : -
9. Kenampakan Permukaan Tanah :
a. Kebatuan : sedikit
b. Kerakal : sedikit
c. Cara Pembajakan : -
d. Kondisi : lembab
e. Tutupan : rumput dan semak
10. Bahan Induk : sedimen organik numulitik
11. Jeluk Mempan : > 100 cm
12. Drainase Tanah :
a. Kelas : baik
b. Permeabilitas : lambat
c. Limpasan : cepat
13. Kedalaman Air Tanah : 10 meter
14. Banjir :
a. Frekuensi : -
b. Lama : -
c. Kedalaman : -
15. Erosi/Sedimentasi : alur
16. Penggunaan Lahan : hutan sekunder
17. Vegetasi : jati dan singkong
18. Iklim : berawan
19. Kesesuaian Lahan : S2 ( sesuai)
Deskripsi Horison :
1. Horison :
a. Nama : lapisan 1
b. Jeluk (cm) : < 40 cm
c. Batas : -
d. Topografi : -
2. Warna :
a. Kondisi Lengas : reddrsh brown
b. Matriks : 5YR 4/3
c. Keterangan :
3. Tekstur :
4. Struktur :
a. Bentuk : remah
b. Ukuran/Kelas : -
c. Derajat \: -
5. Pori Tanah : meso (++)
6. Konsistensi : lembab , agak plastis
7. Perakaran : Meso
8. pH Lapangan : 6 dan 5
9. Kondisi Redoks : (-)
10. Karbonat : (-)
11. Bahan Organik : (++)
12. Konkresi : (-)
13. pH Potensial :
14. Klasifikasi Tanah :
a. USDA : Entisol
b. FAO : Regosol
c. PPT Bogor : Latosol
STOPSITE 5
A. INFORMASI TAPAK(SITE)1. MACAM OBSERVASi :2. TANGGAL PENGAMATAN : 9 April 20163. SURVEYOR : Kelompok 54. KOORDINAT : S 07°45’64,5” E 110°40’57,6”5. KETINGGIAN TEMPAT : 148mdpl6. DESKRIPSI LOKASI : Gunung Temas7. BENTANG LAHAN (LANDFORM)
a. Utama : b. Topografi : bergelombangc. Torehan : sedikitd. Pola drainase : bagus
8. LERENGa. Posisi : tengahb. Bentuk : berbukitc. Arah :d. Panjang :
9. TIMBULAN MIKRO : terasiring10. KENAMPAKAN PERMUKAAN TANAH
a. Kebatuan : b. Kerakal : cukup banyak
c. Cara pembajakan : -d. Kondisi : subute. Tutupan : semak-semak, rumput, akasia
11. BAHAN INDUK : kapur sedimen oraganik (kapur koral)
12. JELUK MEMPAN : 13. DRAINASE TANAH
a. Kelas : -b. Permeabilitas : sedangc. Limpasan : lambat
14. KEDALAMAN AIR TANAH :15. BANJIR
a. Frekuensi : -b. Lama : -c. Kedalaman : -
16. EROSI/SEDIMENTASI : parit17. PENGGUNAAN LAHAN : perkebuna /tegalan18. VEGETASI : Jati,,akasia, gadung, ketela19. IKLIM : musim hujan 4 bulan-6 bulan20. KESESUAIAN LAHAN : S2 (sesuai)B. DESKRIPSI HORISON
No. Pengamatan Lapisan I Lapisan II Lapisan III
1. HORISON
a. Nama
b. Jeluk (cm)
c. Batas
d. topografi
A20
jelas
B
80
samar
C
80-bawah
jelas
2. Warna Tanah
a. Kondisi lengas Coklat tua Coklat
muda
Batuan putih
b. Matrik 10YR 2/6 10YR 4/8 10YR 5/3
c. Ikutan/bercak - - -
3. Tekstur Lempung Lempung Lempung pasiran
4. kebatuan/kerakal kerikil
5. Struktur
a. Tipe Gumpal
menyudut
Gumpal
menyudut
Gumpal
menyudut
b. Kelas
c. Derajat - - -
6. Konsistensi
a. Kondisi Lengas
b. konsistensi Plastis Plastis Plastis
7. Sementasi
a. derajat
b. bahan BO BO BO
8. Bercak /mottles
a. bentuk
b. ukuran
c. jumlah
9. Konsentrasi
a. bentuk
b. ukuran
c. jumlah
10. Lamella
a. macam
b. jumlah
11. Pori tanah
a. macam
b. jumlah
12. Kutan
a. macam
b. tipe
c. jumlah
13. Perakaran
a. ukuran mikro makro makro
b. jumlah banyak sedikit sedikit
14. pH lapangan A: 6; P: 6,5 A: 5,5; P:
6,5
A: 5,5; P: 6
15. Kondisi redoks
16. Karbonat ++++ ++++ ++++
17 Bahan organik ++++ +++ +++
18. Konkresi + ++ -
C. KLASIFIKASI TANAH
1. SIFAT DAN HORISON PENCIRI
a. Rejim Lengas Tanah : Ustik
b. RejimSuhu Tanah : isohypothermic
c. Horizon penciri
Epipedon : Mollik
Endopedon :
Lainnya :
2. KLASIFIKASI TANAH
a. USDA : Mollisol
b. FAO : Rendzina
c. PPT Bogor : Rendzina
STOPSITE 6
DESKRIPSI TAPAK DAN PROFIL TANAH
D. INFORMASI TAPAK(SITE)21. MACAM OBSERVASi :22. TANGGAL PENGAMATAN : 9 April 201623. SURVEYOR : Kelompok 624. KOORDINAT : S 07°45’37,7” E 110°40’28,9”25. KETINGGIAN TEMPAT : 154,6mdpl26. DESKRIPSI LOKASI :27. BENTANG LAHAN (LANDFORM)
e. Utama : (marmer) Diorit+Sedimen organic numulitf. Topografi : (relief bukit marmer) berombak-
bergelombangg. Torehan : tidak adah. Pola drainase : dendritik
28. LERENGe. Posisi :f. Bentuk :g. Arah :h. Panjang :
29. TIMBULAN MIKRO :30. KENAMPAKAN PERMUKAAN TANAH
f. Kebatuan : Banyakg. Kerakal : Sedikith. Cara pembajakan : -i. Kondisi : lembab j. Tutupan : ada
31. BAHAN INDUK : marmer32. JELUK MEMPAN : 60-7033. DRAINASE TANAH
d. Kelas :e. Permeabilitas : sedangf. Limpasan : lambat
34. KEDALAMAN AIR TANAH :35. BANJIR
d. Frekuensi :e. Lama :f. Kedalaman :
36. EROSI/SEDIMENTASI : erosi lembar37. PENGGUNAAN LAHAN : hutan sekunder38. VEGETASI : Jati39. IKLIM :40. KESESUAIAN LAHAN : S2 (sesuai)E. DESKRIPSI HORISON
No. Pengamatan Lapisan I
1. HORISON
e. Nama
f. Jeluk (cm)
g. Batas
h. topografi
A
2. Warna Tanah
d. Kondisi lengas Coklat tua
e. Matrik 10YR ¾(Dark
Yellowish brown)
f. Ikutan/bercak -
3. Tekstur Geluh pasiran
4. kebatuan/kerakal kerikil
5. Struktur
d. Tipe remah
e. Kelas kasar
f. Derajat -
6. Konsistensi
c. Kondisi Lengas Basah
d. konsistensi Agak Plastis dan
agak lekat
7. Sementasi
c. derajat
d. bahan
8. Bercak /mottles
d. bentuk
e. ukuran
f. jumlah
9. Konsentrasi
d. bentuk
e. ukuran
f. jumlah
10. Lamella
c. macam
d. jumlah
11. Pori tanah
c. macam
d. jumlah
12. Kutan
d. macam
e. tipe
f. jumlah
13. Perakaran
c. ukuran
d. jumlah
14. pH lapangan A: 5; P: 6
15. Kondisi redoks
16. Karbonat
17 Bahan organik +
18. Konkresi
F. KLASIFIKASI TANAH
3. SIFAT DAN HORISON PENCIRI
d. Rejim Lengas Tanah : Ustik
e. RejimSuhu Tanah : isohypothermic
f. Horizon penciri
Epipedon :
Endopedon :
Lainnya :
4. KLASIFIKASI TANAH
d. USDA : Inceptisol
e. FAO : Regosol
f. PPT Bogor : Regosol
STOPSITE 7
1. Kabupaten Klaten bagian selatan, Provinsi Jawa Tengah
A. Informasi Tapak
1. Tanggal pengamatan : 9 April 2016
2. Macam observasi : singkapan
3. Serveyor : Kelompok 7
4. Koordinat : S 07◦ 47’ 37,8” LS dan E 110◦ 42’ 53”
5. Ketinggian tempat : 139,3 mdpl
6. Deskripsi lokasi : dekat jalan raya
7. Bentang lahan (landform)
a. Utama : sedimen laut dalam
b. Topografi : berombak
c. Pola drainase : dendritik
8. Lereng
a. Bentuk : cekung
9. Timbulan mikro : terasering
10. Kenampakan permukaan tanah
a. Kebatuan : semua batuan
b. Kerakal : banyak
c. Kondisi : kering
d. Tutupan : semak belukar, akasia
11. Bahan induk : batuan sedimen laut dalam yang dipengaruhi oleh
arus turbid
12. Jeluk mempan : 50 cm
13. Drainase tanah
a. Kelas : baik
b. Permeabilitas : cepat
c. Limpasan : tidak ada
14. Erosi/sedimentasi : erosi parit
15. Penggunaan lahan : hutan sekunder
16. Vegetasi : jati, kacang tanah, akasia
17. Kesesuaian lahan : S3
B. Deskripsi Horison
1. Horison (10-50 cm)
a. Jeluk (cm) : lereng dan cekungan (3-7)
2. Warna
a. Kondisi lengas : lereng dan cekungan (putih keabu-abuan)
b. Matrik : lereng (5 YR 3/2), cekungan (2,5 YR 4/2)
3. Tekstur : geluh pasiran
4. Kebatuan/kerakal/kerikil : banyak
5. Struktur
a. Bentuk : remah
6. Konsistensi
a. Kondisi lengas : basah
b. Konsistensi : plastis agak lekat
7. Pori tanah
a. Macam : makro
b. Jumlah : +++
8. Ph lapangan : 6 – 7,5
9. Karbonat : +++
10. Kapur : ++++
C. Klasifikasi Tanah
1. Sifat dan horison penciri
a. Rejim lengas tanah : ustik
b. Rejim suhu tanah : isohipertermik
2. Klasifikasi tanah
a. USDA : entisol
b. PPT Bogor : Litosol
STOPSITE 8
2. Kaki Tebing di Pinggiran Jalan Raya di Kawasan Teluk Pacitan
A. Informasi Tapak
1. Tanggal pengamatan : 10 April 2016
2. Serveyor : Kelompok 8
3. Koordinat : S 08◦ 13’ 8,17” LS dan E 111◦ 4’ 4,14”
4. Ketinggian tempat : 75 mdpl
5. Deskripsi lokasi : dekat teluk pacitan ± 1 km
6. Bentang lahan (landform)
a. Utama : Intruksi Andesit
b. Topografi : Berbukit
c. Torehan : sedang
d. Pola drainase : dendritik
7. Timbulan mikro : tidak ada
8. Kenampakan permukaan tanah
a. Kebatuan : sedang
b. Kerakal : sedang
c. Kondisi : lembab
d. Tutupan : ada tutupan
9. Bahan induk : andesit
10. Jeluk mempan : 35 - 40 cm
11. Drainase tanah
a. Kelas : tinggi/besar
b. Permeabilitas : tinggi
c. Limpasan : rendah
12. Erosi/sedimentasi : rendah
13. Penggunaan lahan : hutan
14. Vegetasi : akasia, mahoni, jati
15. Kesesuaian lahan : S3
B. Deskripsi Horison
1. Warna
a. Kondisi lengas : 10 YR 4/4
b. Matrik : dark yellowish
c. Ikutan/bercak : brown
2. Tekstur : lempung debuan
3. Struktur
a. Bentuk : remah
4. Konsistensi
a. Kondisi lengas : lembab, basah, kering
b. Konsistensi : gembur, agak plastis, agak lembab, lekat
5. Ph lapangan
a. H20 : 6,5
b. KCl/HCl : 7
6. Bahan organik : +
7. Kapur : ++++
C. Klasifikasi Tanah
1. Sifat dan horison penciri
a. Rejim lengas tanah : ustik
b. Rejim suhu tanah : isohipertermik
2. Klasifikasi tanah
a. USDA : entisol
b. FAO : Regosol
c. PPt Bogor : Litosol
STOPSITE 9
Stopsite 9
KoordinatS 07°
49' 6.71"
E 110° 28'
52.14"Ketinggian Tempat -
Deskripsi Lokasi Bedoyo, Gunung Kidul
Bentang Lahan
(Landform)
Utama AlluvialTopografi BergunungTorehan -
Pola Karsitik
Drainase
Lereng
Posisi -Bentuk -Arah -
Panjang -Timbulan Mikro -
Kenampakan Permukaan
Tanah
Kebatuan SedangKerakal Sedang
Cara Pembajakan -
Kondisi -Tutupan -
Bahan Induk Abu VulkanikJeluk Mempan 30 cm
Drainase Tanah
Kelas SedangPermeabilitas Sedang
Limpasan TinggiKedalaman Air Tanah -
BanjirFrekuensi -
Lama -Kedalaman -
Erosi / Sedimentasi Erosi ParitPenggunaan Lahan Hutan Sekunder
Vegetasi Rumput-rumputan, Kayu Putih, Serai
Iklim TropisKesesuaian Lahan Tidak Sesuai
Deskripsi HorizonStopsite 9Lapisan -
Horizon
Nama -Jeluk (cm) -
Batas -Topografi -
WarnaKondisi Lengas Xery Dark
BrownMatrik 10 YR 2/2
Ikutan / Bercak -
Tekstur Geluh Lempung Pasiran
Kebatuan / Krakal / Krikil -Struktur Bentuk Remah
Ukuran / Kelas KecilDerajat Lemah
KonsistensiKondisi Lengas -
Konsistensi Lepas-Lepas
Pori TanahMacam -Jumlah -
Kutan (Clayskin)
Macam -Tipe -
Jumlah -
PerakaranUkuran MesoJumlah Banyak
pH LapanganAktual -
Potensial 6NaF 8,5
Kondisi Redoks 0Karbonat -
Bahan Organik +Konkresi -
Kandungan Mn -Kandungan Kapur -
Klasifikasi TanahStopsite 9
Sifat dan Horison Penciri
Rejim Lengas Tanah -Rejim Suhu Tanah -
Horison Penciri
Epipedon -Endopedon -
Lainya -
Klasifikasi TanahUSDA AndisolFAO Regosol
PPT Bogor Regosol
B. PEMBAHASAN
SITE 1
Pengamatan di daerah Tegalrejo
(Sumber gambar: dok. pribadi)
Daerah tersebut termasuk daerah endapan merapi tua Alluvial atau
alluvium. Tanah yang terbentuk adalah Vertisol (FAO/USDA) atau Grumusol
(PPT) yang mengandung lempung 2:1 Montmorillonit yang mempunyai sifat
kembang kerut. Daerah tersebut termasuk daerah cekungan sehingga kondisi
hidrologi (drainase) buruk akibatnya terjadi perubahan terhadap bahan-bahan
aluvial, sehingga pedogenesis atau pembentukan tanahnya berkembang lanjut dan
terbentuk lempung (mineral sekunder).
Pegunungan Bayat membentuk jajaran pegunungan dari timur ke barat
mulai dari Kebobuta, Nglanggeran, Semilir, dan Sambipitu. Pada lokasi bagian
Barat ini hidrologi yang ada tergolong buruk karena topografi yang berupa
cekungan, air tidak bisa bergerak atau mengalir ke tempat lain. Ketika musim
hujan, ruang antar kisi dipenuhi air saat musim hujan, sehingga di musim hujan
tanah vertisol dijadikan lahan sawah. Lalu pada musim kemarau, untuk
mempertahankan unsur hara diterapkan sistem bero. Tanahnya juga mengandung
butir-butir kapur (Caliche / CaCO3) yang merupakan sedimen kimia yang
terbentuk karena pergantian musim.
Vertisol merupakan tanah yang memiliki sifat khusus yakni mempunyai
sifat vertik, hal ini disebabkan karena kandungan mineral lempung tipe 2:1 yang
relative banyak. Karena itu dapat mengkerut dan mengembang jika keadaan jenuh
air. Proses mengembang dan mengkerut itu disebabkan karena masing-masing
unit yang terdiri dari 2Si tetra hedral ditambah dengan 1 Al okta hedral , masing-
masing unit dihubungkan dengan unit lainnya oleh ikatan yang lemah dari oksigen
ke oksigen sehingga air maupun kation dapat masuk pada ruang antar lapisan
sehingga mudah mengembang dan mengkerut. Vertisol terbentuk pada tempat-
tempat yang berketinggian tidak lebih dari 300 meter diatas permukaan laut ,
temperatur tahunan rata-rata 25°c dengan curah hujan kurang dari 1500
mm/tahun dan topografi datar sampai daerah yang berlereng curam , bertekstur
halus/lempung didominasi mineral lempung tipe 2:1 atau terdiri dari bahan-bahan
yang sudah mengalami pelapukan batu kapur , tuff , endapan alluvial dan abu
Vulcan.Tanah ini mempunyai permeabilitas yang relative sangat lembab , maka
tanah ini sesuai sekali untuk areal persawahan untuk tanaman padi. Tanah ini pada
musim hujan bisa juga ditanami seperti tanaman jagung , tebu ,kacang tanah ,dan
lain-lain.
Dalam perkembanganya mineral 2:1 yang sangat dominan memegang
peran penting pada tanah ini. Komposisi mineral lempung dari Vertisol selalu
didominasi oleh mineral 2:1, biasanya montmorilonit, dan dalam jumlah sedikit
sering dijumpai mineral lempung lainya seperti illit dan kaolinit. Tanah ini sangat
dipengaruhi oleh agrilipedotrubation yaitu proses pencampuran lapisan atas dan
bawah yang diakibatkan oleh kondisi basah dan kering yang disertai pembentukan
rekahan-rekahan secara periodik. Proses-proses tersebut menciptakan struktur
tanah dan pola rekahan secara spesifik. Ketika basah tanah menjadi lekat dan
plastis, serta kedap air, tetapi ketika kering tanah menjadi sangat keras dan masif,
atau membentuk pola prisma yang terpisah oleh rekahan (Prasetyo, 2007).
Vertisol pada umumnya mempunyai tekstur lempungan , kandungan
lempung berkisar antara 35% sampai 90% dari total tanah. Lempung halus (<0,2
mm) dapat menyusun lebih dari 80% dari fraksi lempung. Pada vertisol variasi
kandungan lempung dengan kedalaman tanah bukan disebabkan oleh migrasi
lempung tetapi mungkin berasal dari bahan induk. Pada umumnya tanah vertisol
pada bagian permukaannya mempunyai warna hitam dan ini merupakan ciri khas
bagi tanah ini.warna gelap ini terjadi karena dari bahan organik. Vertisol adalah
tanah yang memiliki kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa yang tinggi
Di daerah ini diperkaya Si yang berasal dari pelapukan bahan-bahan dari
daerah atas oleh aliran air yang membawa ke bagian lebih rendah. Di daerah
atasan terjadi keseimbangan kimia sehingga Si larut. Fe mengalami reduksi
sehingga tanah berwarna kelabu, jika Fe mengalami oksidasi maka tanah akan
berwarna merah.
Syarat terjadinya rekahan adalah banyak kation basa (seperti Ca, K, Na)
dan Si, terdapat inter layer space, dan didominasi oleh lempung 2:1. Adanya inter
layer space menyebabkan kation basa yang berukuran kecil dapat larut sehingga
dalam pemupukan harus diperhatikan jumlah airnya agar kation tidak terjepit
dalan ruang antar layer tersebut.
Pengolahan Vertisol adalah dengan pembalikan tanah, selain itu
mengupayakan agar tanah selalu tergenang supaya tidak timbuk rekahan.
Pemberian bahan organik berfungsi sebagai spon yaitu untuk menyimpan air
karena daya pegang air 300% dari berat tanah itu sendiri, meningkatkan KPK
tanah sehingga daya pegang terhadap kation dalam tanah tinggi, dan untuk
memperbaiki stuktur tanah.
SITE 2
Sumber: Dokumentasi pribadi
Stopsite kedua masih di kawasan Bayat, Tegal Rejo, Dusun Banyuripan,
memiliki ketinggian tempat 145-175 mdpl. Dengan titik koordinat S 07°46’2,7”
E110°40’13,6”, Pendul memiliki topografi berbulat dengan torehan yang besar.
Kebatuan yang tampak pada permukaan tanah adalah batuan beku dalam (diorit),
yang merupakan bahan induk pembentuk tanah di Pendul. Batuan Diorit – Andesit
mempunyai kandungan mineral yang dominan adalah plagioklas 56,0%; piroksen
11,0%; BJ 3,1 g.cm-3; warna batuan kelabu tua (Sunarminto, et al., 2014). Diorit
yang ditemukan merupakan diorite intermediet, hasil intrusi dari pembekuan di
dalam Bumi. Di kiri dan kanan Diorit Pendul tersebar batuan malian. Batuan ini
mengalami pelapukan speroidal (pelapukan kulit bawang) yaitu melapuk sedikit
demi sedikit pada setiap lapisan. Mineral primernya serupa dengan mineral
andesit dari Merapi, tapi batuan lebih solid dan massif, tidak ada celah sedikit
pun.
Intrusi diorit ini terjadi di bawah laut, pada cekungan penghasil material
yang mengalami diagenesis menjadi batuan lempung. Lalu berkembang menjadi
Malian yang membentuk kapur dan lempung. Batuan lempung dengan sedikit
kalsium disebut batuan napal, sementara yang memiliki banyak kandungan
kalsium di sebut napal berkapur. Bila ditelusuri lebih jauh akan ditemukan pula
kapur numulitik karena dulunya merupakan dasar laut. Malian sendiri terbentuk
karena intrusi oleh suhu yang sangat tinggi, maka batuannya meliuk-liuk tidan
teratur, tidak massif, batuan juga berlapis-lapis dengan kandungan Si sekitar 50%
sampai 80%.
Batuan diorite mempunyai bentuk butir yang kasar, bertekstur
holokristalin serta mengandung mineral plagioklas sekitar 55-70% dan mineral
mafis (hornblende ataubiotit) 25-40%. Apabila rata-rata mineral plagioklasnya
lebih basa dari pada andesit, maka batuan cenderung sebagai gabbro, tetapi
apabila kuarsa menjadi mineral utamanya, maka batuana tersebut disebut dengan
tonalit atau diorite-kuarsa (Munir, 1996). Hasil pengujian laboratorium, diorite
yang berada di daerah Gunung Pendul tidak menunjukkan reaksi yang signifikan
apabila dikenaidengan larutan HCl 10%, H2O2 3% maupun H2O2 10%. Hal ini
menunjukkan bahwa batuan diorite merupakan batuan plutonik yang bersifat
intermediet yang tidak terlalu basa maupun asam sertakan dengan bahan organic
yang rendah. Pembentukan/diagenesis dari kristal batuan diorite selalu
dipengaruhi oleh keadaan suhu yang selalu panas.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, terdapat perbedaan morfologi,
sifatkimia, maupun sifat fisiknya dari tanah yang berbahan induk diorite. Tekstur
tanah menunjukkan kandungan fraksi lempung yang rendah pada semua horizon.
Tekstur tanah berbahan induk diorit umumnya lebih kasar dari tanah berbahan
induk sekis. Kejenuhan basa dari tanah berbahan induk diorit lebih tinggi daripada
tanah berbahan induk sekis. Kapasitas Tukar Kation tanah berbahan induk diorit
lebih tinggi dari tanah berbahan induk sekis karena adanya perbedaan jenis
mineral lempung yang dominan. Mineral smektit merupakan mineral lempung
dominan dalam tanah berbahan induk diorit, di samping terdapat sedikit kaolinit.
Dominasi smektit ini diduga berasal dari kontaminasi batulempung berumur
Eosen dalam tanah berbahan induk diorit, sedangkan kaolinitnya diduga berasal
dari pelapukan feldspar. Mineral kaolinit dan ilit merupakan mineral lempung
dominan dalam tanah berbahan induk sekis. Kaolinit diduga berasal dari mineral
lempung yang sudah ada dalam bahan induk sekis, sedangkan ilit diduga berasal
dari alterasi muskovit. Proses erosi yang kuat terjadi di bagian puncak, cembung,
dan lurus pada tanah berbahan induk sekis maupun diorit. Proses penimbunan
bahan yang berasal dari lereng di atasnya terjadi di bagian cekung dan kaki lereng
pada kedua tanah berbeda bahan induk dan pada bagian lurus dari tanah berbahan
induk sekis. Akibat proses-proses tersebut maka pembentukan tanahnya
terhambat. Tanah yang terbentuk adalah inceptisol.
Kesesuaian lahannya S2. Tanah yang ada belum sempat terbentuk
sehingga diduga tanah tersebut inseptisol atau entisol. Namun kesuburan yang
dimiliki tanah sangat potensial. Bila dilihat tanahnya, dari lapisan Bw1, Bw2,
menampilkan warna coklat cerah. Masing masing warna kuantitatif adalah 5YR ¾
& 7,5 YR ¾. Frekuensi banjir rendah, namun ancaman erosi/sedimentasinya
besar. Lahan digunakan untuk tegalan dan tanaman tahunan dengan vegetasi yang
terdapat di sana Jati, kacang, jagung dan singkong.
SITE 3
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Lokasi stopsite ke-3 yaitu berada di Gunung Konang, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten. Gunung Konang merupakan bagian dari puncak-puncak
perbukitan Jiwo Timur. Berdasarkan deskripsi tapak yang diamati, pengambilan
sempel tanah terletak pada koordinat S 7° 46’ 2,7” dan E 110°40’13,6”, elevasi
145-175 m dpal, dengan topografi bergunung, posisi kelerangan lebih dari 450,
vegetasi yang menutupi lahan diantaranya pohon jati, pohon kayu putih, dan
pohon pisang. Tanah yang terbentuk adalah tanah alfisol yang terbentuk dari
pelapukan batuan schist. Tanah yang diamati diklasifikasikan Alfisol karena
dicirikan oleh horizon eluviasi dan iluviasi yang jelas, yang mana horizon
permukaan umumnya berwarna terang karena dipengaruhi oleh beberapa jenis
mineral seperti kwarsa yang dapat mempengaruhi warna tanah Alfisol menjadi
lebih terang. Warna tanah Alfisol yang diamati adalah warna merah, hal ini
disebabkan karena tanah ini banyak mengandung ion Fe teroksidasi, banyaknya
kandungan Fe disebabkan karena tanah ini telah mengalami pelindihan kation-
kation basa yang cukup banyak oleh air hujan yaitu curah hujannya sekitar
2000mm. Akan tetapi, tanah Alfisol belum mengalami pencucian atau pelindian
lanjut jika dibandingkan dengan tanah Ultisol ataupun tanah Oxysol yang berada
pada tempat dengan curah hujan diatas 2500mm, sehingga tanah Alfisol masih
banyak mengandung unsur Na, K, Ca, dan Mg. Tanah Alfisol jika ditetesi dengan
larutan HCl maka akan berbuih karena kandungan unsur Ca tinggi. Pada
pengukuran pH pada tanah Alfisol akan menunjukkan hasil pH yang tinggi. Pada
horizon B tanah Alfisol terdapat cley skin atau selaput lempung yang mengkilap
(selaput lempung yang menyelimuti bongkahan tanah) yang menyebabkan tanah
menjadi argilik (endopedo). Cley skin terbentuk dari tanah yang memiliki pori-
pori ketika lempung turun ke bawah akan mengisi pori-pori tanah tersebut
sehingga akan mengendap sepanjang pori-pori dan menyebabkan tanah
mempunyai selaput lempung yang mengkilap. Tanah ini mempunyai epipedon
okrik dan horizon argilik dengan kejenuhan basa sedang sampai tinggi. Pada
umumnya tanah tidak kering. Tanah yang ekuivalen adalah tanah half-bog,
podsolik merah-kuning, dan planosols. Tanah Alfisol sudah berkembang cukup
dalam sehingga banyak mengandung mineral lempung kaolinit tipe 1:1, sehingga
sangat bagus untuk dijadikan bahan baku pembuatan gerabah.
Berdasarkan bahan induk tanah di tempat yang diamati, batuan induknya
yaitu batuan metamorf. Batuan metamorf didaerah Gunung Konang adalah sekis,
filit, dan kwarsit. Morfologi Perbukitan Gunung Konang mempunyai singkapan
Batu Sekis-Filit dengan komposisi mineral mika dari kuarsa yang ada didalamnya.
Singkapan sekis dijumpai setempat-setempat, seperti di Jiwo Timur dijumpai di
bagian barat G.Jokotuo, G.Konang, G. Semangu, dan lereng tenggara Gunung
Pendul, sedangkan di Jiwo Barat lereng selatan G. Merak. Di lokasi sekis
ini terdapat sebagai fragmen dalam batu lempung Eosen Formasi Wungkal-
Gamping. Hasil analisis petrografi menunjukkan, bahwa mineralogi penyusun
sekis ini antara lain mineral kuarsa (40-55%), felspar (10-15%), muskovit (10-
35%), dan sedikit mineral opak. Diantara sekis ini, sampel yang diambil di lereng
selatan G.Konang komposisinya ada yang mengandung garnet (15%) disamping
kuarsa dan muskovit.
Schist (sekis) adalah batuan metamorf yang mengandung lapisan mika,
grafit, dan horndlende. Mineral pada batuan ini umumnya terpisah menjadi
berkas-berkas bergelombang yang diperlihatkan dengan kristal yang mengkilap,
Sekis berasal dari metamorfisme siltstone, shale, dan basalt, dengan ciri khas
foliasi yang kadang bergelombang, dan terdapat kristal garnet. Berdasarkan
pengamatan dilapangan, bahan induk Schist (Sekis) yang terdapat di Gunung
Konang adalah batu malihan yang mempunyai ciri khas jika dikenai suhu dan
tekanan menjadi terhimpit meliuk-liuk atau melekuk-lekuk dan tidak teratur,
terkadang membentuk lapisan-lapisan atau lempeng-lempeng seperti batu sabak
dan tergantung dari bahan penyusunnya. Pelapukan dari schist (sekis) akan
membentuk tanah dengan horizon C yang memiliki ciri sudah gembur .
Susunan schist (sekis) yang melekuk-lekuk dan meliuk-liuk menyebabkan
pelapukannya tidak mesti dari atas tetapi bisa dari arah mana saja. Jika schist
melapuk maka unsur-unsur akan melarut dan kehilangan kation-kation basa, tetapi
bentuk schist (sekis) masih tetap sama. Mineral primer di dalam schist (sekis)
memiliki ciri khas adanya kenampakan mengkilap dibagian luarnya. Unsur
dominan dari schist (sekis) adalah Si, Al, dan Fe dan akan membentuk mineral
primer yang bermacam-macam. Semua batuan didominasi dengan Si (50-80%).
Selain ditemukan schist (sekis) di Gunung Konang juga ditemukan kwarsit.
Kwarsit merupakan kwarsa yang terbentuk melalui proses malihan. Kwarsit
terbentuk karena intrusi batuan diorite dengan suhu tinggi yang melelehkan
Batuan-batuan yang ada disekelilingnya, ketika meleleh unsur akan mengumpul
sesuai dengan berat jenis masing-masing bahan, Si mengumpul bersama Si dan Al
mengumpul bersama Al. Unsur-unsur yang mengumpul akan membeku bersama-
sama dengan batuan diorite. Kwarsit biasanya terbentuk disekeliling batuan
diorite. Diorite yang membeku dikanan kirinya akan terbentuk kwarsit, yang
berbentuk seperti kapur disebut kalsit. Kwarsit didominasi oleh unsur Si,
sedangkan kalsit didominasi oleh CaCO3.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, kwarsit yang ditetesi dengan
HCl tidak mengeluarkan buih, sedangkan schist (sekis) berbuih dibagian luarnya
tetapi tidak berbuih dibagian dalamnya. Pada schist (sekis) yang berbuih adalah
kapur yang menyelimuti schist (sekis), karena disekitar schist (sekis) terdapat
kapur yang mengotori schist (sekis). Jika kapur yang melapisi schist (sekis) sudah
habis maka tidak akan berbuih lagi. Kapur tersebut berasal dari dasar laut,
disekitar Gunung Konang terdapat kapur nummulites, namun unsur yang dominan
pada schist (sekis) adalah Si dan Al.
SITE 4
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Secara administrasi lokasi stopsite ke-4 yaitu berada di desa Gunung
Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Perbukitan lereng agak terjal,
perbukitan agak terjal. Vegetasi yang dijumpai antara lain pohon jati, rumput-
rumput liar, dan tanaman lading seperti ketela pohon. Batuan yang ditemukan
pada lokasi ini adalah batu sedimen yang bersifat semi metamorf atau meta
sedimen. Batu ini bernama batu gamping numulites yang sering disebut sedimen
organik. Warnanya putih kecoklatan, bentuk butirnya angular dan strukturnya
massif. Watuprau pada awalnya merupakan wilayah laut dangkal, organisme laut
banyak yang tinggal di daerah ini kemudian organisme yang didominasi oleh
kerang atau numulites ini mati dan terendapkan disini. Setelah itu, daerah ini
mengalami subduksi sehingga laut dangkal yang ada tadinya menjadi terangkat
atau (uplifting). Dalam proses pengangkatan endapan terjadi proses
metamorfisme pada batu sedimen yang berupa batugamping numulites, namun
tak seluruhnya termetamorfisme. Sehingga batuan sedimen mengalami
metamorfisme sebagian atau dikatakan batu metasedimen. Karena tidak
termetamorfisme seutuhnya maka termasuk dalam metamorfisme derajat rendah.
Kemudian dalam waktu yang sangat lama, batuan ini menjadi sangat kompak
karena pengaruh suhu dan tekanan. Bukti batu ini adalah batu metasedimen dapat
terlihat dari dalam batu gamping numulites ini terdapat batu marmer yang sedang
tumbuh namun belum sempurna.
Secara geografis kawasan yang digunakan untuk pengamatan pada stop
site 4 berada pada koordinat S 07°45’38.6” dan E 110°40’34,5” dengan
ketinggian tempat 145 mdpl. Batuan induk dari tanah yang diamati mempunyai
struktur kimia organik karena terdapat organisme mati yaitu numulites yang
melekat di batuan. Termasuk jenis batuan sedimen non klastik. Batuan gamping
numulites tersebut sebagian telah berubah menjadi marmer yang menandakan
batuan tersebut terbentuk pada kala Eiosen. Apabila mengalami pelapukan batuan
akan membentuk tanah entisol (USDA)/regosol (FAO). Tanah pada lokasi ini
diklasifikasikan sebagai entisol disebabkan jeluk tanahnya sangat tipis yaitu
kurang dari 40 cm dan tanah ini termasuk tanah yang baru.
Berdasarkan uji khemikalia pada lapisan top soil tanah diketahui bahwa
pH tanah adalah aktual 5 dan pH potensialnya 6. Pada tanah ini tidak terjadi reaksi
reduksi oksidasi. Kandungan bahan organik tanah sedang (++) dan kandungan
kapurnya cukup banyak. Warna dari tanah yang terbentuk setelah diukur dengan
soil munsell colour chart menunjukkan nilai matriks 4/3 5 YR yaitu reddish
brown. Tekstur tanah ini geluh pasiran, dan berstruktur remah dan konsistensi
lembabnya agak plastis. Konsistensinya agak plastis disebabkan ada bahan
sementasinya yaitu kandungan bahan organik dalam tanah yang berasal dari
vegetasi diatasnya. Tanah ini digunakan sebagai hutan sekunder yaitu tanaman
yang paling dominan adalah pohon Jati. Penggunaan lahan sebagai hutan jati ini
sesuai (S2) karena tanah ini banyak mengandung Ca yang cukup banyak dari
bahan induknya. Ca sendiri merupakan hara makro yang penting untuk bahan
penyusun dinding sel tumbuhan yang diutamakan untuk tanaman jati adalalah
penyusun dinding sel bagian batang, karena Jati akan dipanen pada bagian
batangnya. Tanah entisol yang digunakan untuk hutan sekunder juga bagus karena
akar pada tanaman sangat membantu proses genesis pada tanah muda seperti
entisol.
SITE 5
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Pengamatan pada stopsite 5 dilakukan di kawasan Gunung Temas yang berlokasi
di daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Gunung ini merupakan salah satu bagian
dari perbukitan Jiwo. Perbukitan Jiwo ini dibagi atas dua wilayah besar yakni
perbukitan Jiwo Barat danJjiwo Timur yang dipisahkan oleh sungai Dengkeng.
Gunung Temas sendiri berada pada kawasan Jiwo Timur, pada daerah yang
tersusun batuan gamping membentuk puncak – puncak bukit yang datar dan
tumpul. Pegunungan Jiwo mengalami dua kali pengangkatan dan dua kali
penurunan muka air laut. Daerah ini menunjukkan lingkungan pengendapan slope.
Pada daerah Gunung Temas relief kemiringannya menandakan bahwa Gunung
Temas mempunyai daya longsoran di dalam laut, sehingga banyak terjadinya
proses sedimentasi pada daerah ini (Dwirini, 2014). Dinamika sedimentasi ini
banyak dipengaruhi oleh adanya naik turunnya permukaan air laut kala itu. Pada
lokasi tersebut tersingkap batuan sedimen berupa perlapisan batugamping yang
terendapkan secara tidak selaras diatas batuan beku dibawahnya (Dwirini, 2014).
Batuan sedimen di lokasi Gunung Temas memiliki beberapa informasi geologi
yang dapat dijadikan sebagai objek penelitian. Beberapa peneliti terdahulu yang
telah membahas mengenai Gunung Temas antara lain, Setiady (1999) membagi
batuan di Gunung Temas kedalam 3 tipe mikrofasies yang diendapakan pada
lingkungan toe of slope. Selain itu penelitian yang dilakukan Ardhito dan
Akmaluddin (2013) mengenai biostratigrafi berdasarkan nannofosil yang
membagi umur batuan pada Gunung Temas menjadi dua zona yaitu zona NN10
dan Zona NN11 yang sebanding dengan umur N16- N17 pada Miosen Akhir.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Dwirini (2014), penelitiannya
mengenai pembagian fasies, penentuan umur, dan lingkungan pengendapan
daerah penelitian menggunakan sayatan petrografi dan fosil foraminifera kecil
yang terkandung pada batuan.
Batuan pada daerah Gunung Temas proses terbentuknya batuan dimulai
pada miosen awal dan terbentuk pada masa miosen akhir (Dwirini, 2014). Batuan
yang ditemui pada daerah pengamatan di Gunung Temas ini adalah batuan kapur.
Bahan induk batu kapur yang terdapat didaerah ini berasal dari kapur laut
dangkal. Batu kapur ini disebut dengan koral yaitu batuan sedimen organic yang
mengandung banyak CaCO3 dan mempunyai pengotor yang sedikit yang akan
menyebabkan terbentuknya tanah dengan solum yang tipis. Daerah ini merupakan
daerah bukit kaput yang mengalami pelarutan akibat adanya asam-asam organic.
Koral ini terbentuk dari bekas-bekas rumah terumbu karang.
Formasi yang terbentuk pada daerah ini mirip seperti formasi Wonosari
yang mempunyai fisiografi Pegunungan Seribu. Formasi yang terbentuk pada
daerah lain yang sama seperti daerah ini lumayan banyak, tetapi tidak luas (seperti
formasi yang terbentuk di Hutan Bunder). Profil diamati terletak pada koordinat S
07°45’64,5” E 110°40’57,6” dengan ketinggian tempat 148 mdpl. Landform
utama pada stopsite yang diamati adalah daerah angkatan berupa pengangkatan
kapur koral (berasal dari laut dangkal) dengan topografi bergelombang dengan
sedikit torehan (adanya garis-garis pemisah), dah pola drainase yang bagus karena
berbentuk pola seperti alur dendritik. Lerengnya mempunyai posisi di tengah
dengan bentuk berbukit yang cukup terjal yang mengabitkan tanah yang tebentuk
mempunyai solum tidak tebal yang didukung iklim mikronya berupa musim hujan
selama 4-bulan (erosi dan sedimentasi menjadi sering terjadi). Pengaruh iklim
yang lembab ini akan mendukung sebagian bahan organic mengalami humifikasi.
Timbulan mikro yang tampak berupa terasiring yang dibuat oleh manusia agar
memperkecil terjadinya erosi. Kenampakan permukaan tanah berupa kerakal yang
cukup banyak dengan kondisi subur karena kaya akan bahan organic (bahan
organic berasal dari akumulasi sisa-sisa daun tanaman yang gugur dari pepohonan
di hutan tersebut, dan waktu dulu daerah kapur ini dikenal dengan hutan aslinya
yang lebat) dan tutupannya berupa semak-semak, graminae, dan akasia. Bahan
induk dari tanah ini berupa kapur koral (sedimen organic) yang sulit lapuk. Kapur
koral ini akan menyebabkan pH yang tinggi (basa) dan tanah yang terbentuk akan
mempunyai solum yang tipis (karena pengotor yang terkandung dari koral yang
akan menjadi bahan pembentuk tanah hanya sekitar 10%) dan berwarna gelap.
Jikalau tanah yang terbentuk dari bahan induk ini mengalami perkembangan
lanjut dan ditandai adanya akumulasi oksida Fe, maka tanah akan berwarna merah
gelap, tidak seperti alfisol yang terbentuk dari bahan induk skiss yaitu merah
cerah. Drainase tanah keadaan tanah ini mempunyai permeabilitas yang sedang
dengan limpasan yang cepat karena bentuk lerengnya yang berbukit. Erosi atau
sedimentasinya berasal dari parit. Penggunaan lahan berupa tegalan atau
perkebunan yang dikelola oleh manusia dengan vegetasi berupa jati, akasia,
gadung, dan ketela (hutan sekunder). Tanaman-tanaman tahunan ini cocok
ditanam pada tanah di daerah ini karena perakaran tanaman dapat mengurangi
erosi di kelerengannya yang cukup terjal, dan didukung oleh iklimnya yang
mempunyai musim hujan (keadaan lembab) sekitar 4-6 bulan dimana intensitas
dari hujan tersebut akan mencukupi kebutuhan air dari tanaman-tanaman ini. pH
basa yang berasal dari kapur yang memberi asupan Ca2+ yang banyak sangat
mendukung pertumbuhan tanaman-tanaman tersebut terutama pohon jati dalam
pembentukan lamella dan kambiumnya (batang pohon jati yang tumbuh
dilingkungan yang kaya akan Ca2+ akan lebih kuat dan keras batangnya daripada
yang tumbuh dilingkungan masam). Kesuaian lahan pada tanah ini sesuai (masuk
dalam kategori S2).
Tanah yang dibuka profilnya mempunyai horizon A, Bw dan C dengan
masing-masing jeluknya yaitu 0-20cm, 20cm-80cm, dan 80cm-terbawah dan batas
pada horizon A jelas, pada horizon Bw samar, dan pada horizon C jelas. Horizon-
horison tersebut dapat dibedakan melalui perubahan warnanya yang jelas dan
perubahan struktur yang jelas dimana keadaan tersebut menandakan tanah ini
mempunyai epipedon mollik. Horison C berasal dari horizon R yang sudah mulai
lunak (mulai lapuk). Horizon A mempunyai warma coklat tua (10YR 2/2),
horizon B mempunyai warna coklat muda (10YR 3/2), dan batuan induknya
(horizon C) berwarna putih (10YR5/3). Warna tanah ini berasal dari banyaknya
bahan organic yang terkandung pada tanah ini karena tanah yang berbahan induk
kapur ini dulunya terkenal dengan hutannya yang lebat dimana daun dari pohon-
pohonya banyak yang gugur yang nantinya akan terakumulasi dan terdekomposisi
menjadi bahan organic yang berwarna hitam (bahan dari bahan organic yang
paling berperan dalam pewarnaan tanah tersbut adalah bahan yang sulit lapuk).
Material dari bahan organic (BO) seperti lignin tahan terhadap dekomposisi lanjut
karena prosesnya yang sudah lampau. Struktur pada horizon A dan B mempunyai
bentuk gumpat menyudut, sedangkan pada horizon C bentuknya remah. Struktur
gumpal menyudut tersebut ditandai pada saat kita membelah gumpalan tanahnya
menjadi 2 akan terbentuk gumpal yang mempunyai sudut. Pada musim kering,
tanah ini akan agak sedikit keras dan pada musim hujan lumayan mengembang
dan lunak, karena tanah ini mengandung sedikit mineral lempung montmorillonit.
Walaupun tanah ini mengandung montmorillonit, tetapi epipedon moliknya tetap
tidak berubah. Hal ini sebenarnya agak menyimpang dari penciri horizon dari
tanah Mollisol yang terbentuk pada daerah ini, namun pernah ada diskusi khusus
antar pakar tanah di Indonesia dan tetapi mengklasifikasikannya sebagai Mollisol.
Strukturnya bagus untuk pertumbuhan tanaman karena selain diperkaya oleh clay
yang berasal dari bahan induknya, tanah ini juga diperkaya dengan BO-nya
dimana BO tersebut juga berperan sebagai bahan sementasi (material dari BO
yang sulit lapuk seperti lignin) untuk membentuk agregat-agregat tanah, Ca2+
dari bahan induknya juga berperan sebagai bahan sementasi. Bahan organic
tersebut mengisi antar layer-layernya, mewarnai tanah, dan juga menyelimuti
tanah tersebut (berperan untuk bahan sementasi). Kandungan BO dan clay yang
tinggi akan menyebabkan KPKnya menjadi tinggi. Teksturnya sudah jelas
lempung pada horizon A dan B karena partikel lempung pada horizon A sudah
terakumulasi agak lanjut ke lapisan bawahnya membentuk horizon Bw. Clay
tersebut berasal dari pengotor batuan induk dari tanah ini (Si, Al, Mg, dan kation
lainnya) yang sudah larut dimana clay terbentuk dari gabungan Si dan Al dan
akhirnya menjadi mineral sekunder yaitu mineral lempung. Konsistensi disemua
horisonnya adalah plastis, karena pada saat sampel di buat basah, pasta tanah yan
terbentuk akan menempel banyak disalah satu jari dan pipa tanah dapat dibentuk
huruf S. pH actual setiap lapisan umumnya agak netral dan netral, dimana pH ini
dipengaruhi oleh bahan induknya dan waktu pembentukan tanahnya yang sudah
berkembang agak lanjut. pH potensial disemua lapisan lebih besar daripada pH
aktualnya , maka menandakan tanah ini didominasi oleh muatan negative.
Kandungan CaCO3 disetiap lapisan sangat tinggi karena berasal dari bahan
induknya yaitu kapur koral yang didominasi CaCO3 sebanyak 90% daripada
bahan pengotornya yang hanya sekitar 10%. Pada horizon A dan B terdapat
konkresi berupa Mn yang dapat berperan juga sebagai pewarnaan tanah (tapi tidak
terlalu berperan). Bahan penyusun konkresi berupa zat-zat yang dihasilkan dari
pengendapan kimia yang melarutkan bahan yang berasal dari air laut, air danau,
dan air tanah (Munir, 1996). Bahan organic yang terkandung dari masing-masing
horizon cukup tinggi, dimana BO tersebut berasal dari penimbunan sisa-sisa daun
daun tananaman yang gugur kemudian terdekomposisi dan terakumulasi secara
terus menerus kelapisan dibawahnya. BO akan mengalami perombakan menjadi
humus yang disebut sebagai humifikasi. BO yang tinggi tersebut berasal dari
vegetasi disekitar tanah ini yang dulunya sangat banyak dan lebat. BO ini dapat
menjadi inhibitor (penghambat) pembentukan oksida Fe2+ dimana banyaknya
oksida Fe2+ akan memacu pembentukan mineral lempung geotite dan hematite.
Oksida Fe relative tidak terbentuk pada tanah yang kandungan BOnya tinggi.
Tetapi seiring dengan waktu, suatu tanah akan berkembang lanjut dan oksida-
oksida Fe akan terbentuk dan terakumulasi, apalagi bila dipicu dengan pemasokan
BO yang rendah.
Rezim lengas pada tanah ini adalah ustik, rejim lengas tanah ustik adalah
rezim lengas intermediere antara rezim aridic dan rezim udic. Asupan lengas dari
rezim lengas ini terbatas tetapi cukup dan cocok untuk pertumbuhan tanaman.
Tanah yang mempunyai permafrost tidak akan mempunyai rezim lengas ini.
Rezim suhu tanahnya adalah isohypothermic, isohypotermic menunjukkan suhu
rata-rata tahunanya diatas 22°C (Soil Survey Staff, 2014)
Horizon pencirinya adalah mempunyai epipedon mollik, yang ditandai
dari perubahan warna dan struktur dari antar lapisan secara signifikan. Klasifikasi
tanah menurut USDA adalah Mollisol, sedangkan menurut FAO dan PPT Bogor
adalah Rendzina. Menurut Soil Survey Staff (2014), tanah yang termasuk
Molllisol adalah tanah yang mempunyai epipedon mollik, memenuhi syarat
karakteristik epipedon mollik (perubahan struktur atau warna secara signifikan
dan atau strukturnya remah), mempunyai subhorison salah satunya diatara argilik,
kandik, atau natrik. Serta mempunyai kejenuhan basa diatas 50%.
SITE 6
Sumber : Dokumn Pribadi
Pengamatan stopsite 6 ini dilakukan di perbukitan Jiwo. Perbukitan Jiwo
adalah daerah perbukitan rendah yang terletak diantara kota Klaten dengan
Pegunungan Selatan. Perbuktian ini mencuat dari daerah rendah di sekitarnya,
yang merupakan kaki selatan tenggara dari Gunung Merapi. Oleh karena kota
kecamatan Bayat terletak pada kaki perbukitan Jiwo ini, daerah perbuktian Jiwo
juga sering dikenal dengan daerah Bayat. Daerah Perbukitan Jiwo merupakan
daerah yang relatif sempit namun memiliki kondisi geologi yang kompleks.
Semua jenis batuan dapat dijumpai di daerah ini pada tempat-tempat singkapan
yang mudah dicapai.
Jokotuwo termasuk ke dalam deretan Perbukitan Jiwo Timur yang terdiri
dari gunung-gunung: Konang, Pendul, Semangu, Jokotuwo dan Temas. Joko
tuwo merupakan tubuh batuan intrusi mikrodiorit. Ini masih berada di perbukitan
Gunung Pendul sebelah utara, dengan jarak kurang lebih 150 meter kearah barat
dari stopsite watuprau. Lokasi pengamatan tepat di samping jalan desa. Keadaan
kelerengan cukup terjal, dengan ketinggian tebing kecil sekitar 3 meter.
Letak koordinat batuan metamorf yang diamati ini yaitu S 07°45’37,7” E
110°40’28,9” dan berada di ketinggian 154,6 mdpl. Bentang lahan utamanya
adalah marmer yang terbentuk pada saat diorit yang melakukan intrusi tersebut
mempunyai magma yang panas (suhunya tinggi) lalu menabrak kapur
numulit/koral (watu prau) sehingga kapur numulit tersebut mengalami
rekristalisasi tetapi komponen penyusunnya tetap, dan terbentuknya batuan ini
disekitar kanan kiri intrusi tersebut. Batuan ini juga dapat terbentuk di zona
subduction dimana terjadinya pendesakan secara terus menerus pada lempeng
benua oleh lempeng samudra sehingga penyababkan terjadinya pergesekan yang
lalu menghasilkan magma yang mempunyai suhu yang sangat tinggi (sangat
panas)dan lalu melakukan intrusi dan menabrak kapur numulit dan menghasilkan
marmer muda seperti di Gunung Jokotuo ini. Marmer muda pada Gunung Jokotuo
ini merupakan marmer yang kualitasnya kurang bagus. Marmer muda ini
berwarna putih keabuan, kadang kemerahan berstuktur foliasi, dan bertekstur
granuloblastik. Terjadinya struktur foliasi terjadi karena proses rekristalisasi oleh
karena adanya tenaga endogen. Akibat rekristalisasi, maka struktur asal batuan
membentuk tekstur baru dan keteraturan butir. Batuan marmer ini diperkirakan
berumur sekitar 30–60 juta tahun atau berumur Kuarter hingga Tersier. Deposit
dari marmer muda ini tidak banyak karena bekas penambangan yang berlebihan.
Marmer muda ini bila ditetesi dengan HCl maka akan menghasilkan buih-buih
yang menandakan masih terkandungnya CaCO3 didalam batu marmer ini
walaupun strukturnya berubah dan tidak mirip sama sekali dari bentuk kapur
numulitik sebelumnya. Topografi pada daerah ini adalah berombak-bergelombang
dengan kemiringan sekitar 8-15%. Pola drainase nya adalah dendritik yang
berberentuk seperti alur sungai.
Kebatuan dari kenampakan permukaan tanahnya banyak, yang berisi batu
marmer itu sendiri dan bebatuan lainnya, dengan kerakal yang sedikit. Kondisi
didaerah ini lembab yang diikuti dengan iklim mikro berupa curah hujan 4-6
bulan. Tutupannya berupa vegetasi tanaman tahunan tetapi tidak terlalu banyak.
Bahan induknya adalah batuan metamorf yang terbentuk di samping kanan kiri
intrusi karena panas yang tinggi (diorite yang menabrak kapur numulit). Jeluk
mempan sekitar 60-70cm. Drainase pada daerah ini mempunyai permabilitas yang
sedang dengan limpasan yang lambat. Sedangkan erosi atau sedimentasinya
berupa erosi lembar. Erosi lembar adalah erosi yang terjadi ketika lapisan tipis
permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan air
larian yang mengalir di permukaan tanah secara merata sehingga partikel-partikel
tanah yang hilang merata di permukaan tanah yang menyebabkan permukaan
tanah menjadi lebih rendah secara merata. Penggunaan lahan berupa hutan
sekunder yang ditanami tanaman-tanaman tahunan seperti jati, dengan kesesuaian
lahan masuk dalam kategori S2 (sesuai).
Horizon yang ada pada profil tanah yang diamatin hanya terdapat horizon
A dengan kedalaman >50cm yang dalam klasifikasi USDA masuk dalam kategori
Inceptisol, sedangkan menurut FAO dan PPT Bogor masuk dalam kategori
Regosol. Menurut Soil Survey Staff (2014), inceptisol mempunyai ciri memiliki
endopedon dari salah satu berikut ini: cambic, calcic, petrocalcic, gypsic,
fragipan, sulfuric, atau crycic; mempunyai solum dengan ketebalan >50cm,
kandungan lempung yang sedikit (<8%), mempunyai epipedon dari salah satu:
plaggen, mollik, umbrik, histic, atau folistic, dan dapat juga mempunya epipedon
salic; dan mempunyai KPK 15%atau lebih pada kedalaman 20-50cm, tetapi KPK
akan menurun seiring dengan pertambahan panjang solum (>50cm).
Warna horizon A dari profil tanah ini mempunyai matriks 10 YR ¾
(coklat kekuningan gelap) dimana warna tanah ini dipengaruhi oleh bahan
induknya itu sendiri. Buol et al. (1989) cit. Tufaila et al. (2011) menyebutkan
bahwa karakteristik batuan induk mempengaruhi sifat tanah yang terbentuk.
Tekstur yang dimiliki dari tanah ini berupa geluh pasiran, dimana pada saat tanah
dibuat adonan berupa bubur diatas telapak tangan, ketika digosok-gosk dengan
cari terasa kasar. Struktur yan dimiliki berbentuk remah dan kasar (5-10mm).
Konsistensinya pada keadaan basah menunjukkan agak lekat karena menempel
sedikitpada jari dan pipa yang dibentuk berupa pipa yag retak-retak dan tidak
dapat dibentuk pola tertentu. pH potensial yang terukur lebih besar (6) daripada
ph aktualnya (5) yang menandakan tanah didominasi oleh muatan negative. Bahan
organic yang terkandung pada sampel yang diambil hanya sedikit sekali yang
menandakan belum ada akumulasi dan dekomposisi bahan organic lebih lanjut
(tanah belum berkembang lanjut). Walaupun tanah ini belum berkembang lanjut,
tanah ini sudah memiliki bahan organic walaupun sedikit, yang dikarenakan oleh
ikliim mikro yang lembab yang dapat mendukung terjadinya humifikasi BO.
Kelerengan yang cukup curam juga memicu pembentukan tanah dengan ketebalan
yang tipis karena pengaruh erosi yang cukup tinggi oleh air, seperti oleh air hujan.
Vegetasi yang masih jarang dan tidak terlalu lebat menyebabkan tanah belum
terbentuk lebih lanjut dan menyebabkan akumulasi sisa-sisa tanaman masih
sedikit sehingga BOnya pun masih sedikit. Pada dasarnya, daerah pengangkatan
di Pulau Jawa itu terangkat bersama-sama, tetapi umur terbentuknya suatu batuan
berbeda-beda.
SITE 7
Sumber : Dokumen PribadiPada stopsite 7 ini berada di sekitar Kabupaten Klaten bagian selatan,
Provinsi Jawa Tengah yang berada di ketinggian 139,3 mdpl. Lokasi ini berada di
titik koordinat S 07◦ 47’ 37,8” LS dan E 110◦ 42’ 53”. Lokasi stopsite ini berada
di dekat jalan raya dengan macam observasi singkapan. Bentang lahan (landform)
utama nya berupa sedimen laut dalam dengan bentuk topografi berombak. Pola
drainase di daerah ini berupa dendritik, dimana anak-anak sungainya bermuara
pada induk sungai dengan sudut lancip. Model pola dendritik ini seperti pohon
dengan tatanan dahan dan ranting sebagai cabang-cabang dan anak-anak
sungainya. Pola ini biasanya terdapat pada daerah batuan yang sejenis dengan
penyebaran yang luas (Asdak, 2002). Selain itu, lerengnya berbentuk cekung yang
memungkinkan air untuk bisa tertampung disini dan menjadi sumber ketersediaan
air bagi tanaman disini. Timbulan mikro yang ada di daerah ini berupa terasering
yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Permukaan tanah di daerah ini rata-rata
didominasi oleh batuan dan kerakal dengan kondisi tanahnya kering dan
ditumbuhi oleh semak belukar serta akasia. Batuan induknya diperkirakan
merupakan batuan sedimen laut dalam yang dipengaruhi oleh arus turbid dengan
jeluk mempan atau batas akar dapat menjangkau/menyerap air hingga 50 cm.
Tingkat drainasenya tergolong baik dengan permeabilitas (masuknya air ke dalam
tanah) yang cepat dan tidak ada limpasan (run off). Bentuk erosi/sedimentasi
berupa erosi parit dengan penggunaan lahan didominasi hutan sekunder. Vegetasi
hutan ini didominasi oleh jati, kacang tanah, dan akasia dengan kesesuaian lahan
S4.
Horison pada stopsite ini sekitar 10-50 cm dengan jeluk sebesar 3-7 cm.
Warnanya putih keabu-abuan dengan matrik horison 5 YR 3/2 pada lereng dan 2,5
YR 4/2 pada daerah cekungan. Tekstur tanahnya geluh pasiran dengan banyak
terdapat batuan, kerikil, maupun kerakal dan struktur tanahnya remah. Kondisi
lengasnya basah dan tingkat konsistensi yang plastis dan agak lekat. Pori tanah
nya tergolong besar atau makro dengan jumlah yang banyak (+++). Setelah dicek,
pH lapangan 6 hingga 7,5 pada beberapa sampel tanah yang diambil. Kandungan
karbonat juga relatif banyak (+++) dan kandungan kapur yang sangat banyak (++
++).
Berdasarkan sifat dan horison pencirinya, rejim lengas tanahnya berupa
ustik dan rejim suhu tanah berupa isohipertermik. Berdasarkan klasifikasi tanah
yang ada, oleh USDA tanah di stopsite ini diberi nama entisol. Sedangkan oleh
PPT Bogor diberi nama Litosol.
SITE 8
Sumber : Dokumen PribadiPada stopsite 8 ini berada di Kaki Tebing di Pinggiran Jalan Raya di
Kawasan Teluk Pacitan, Provinsi Jawa Timur yang berada di ketinggian 75 mdpl.
Lokasi ini berada di titik koordinat S 08◦ 13’ 8,17” LS dan E 111◦ 4’ 4,14”.
Lokasi stopsite ini berada di dekat teluk pacitan ±1km. Bentang lahan (landform)
utama nya berupa intruksi andesit yang terbentuk akibat suatu adanya aktivitas
magma (plutonisme) yang berada di bawah permukaan bumi yang berusaha keluar
namun tidak muncul ke permukaan akibat adanya tekanan dan temperatur yang
sangat tinggi dari dalam bumi. Landform di daerah ini didominasi bentuk
topografi berbukit dan torehan yang sedang. Pola drainase di daerah ini berupa
dendritik. Model pola dendritik ini seperti pohon dengan tatanan dahan dan
ranting sebagai cabang-cabang dan anak-anak sungainya. Pola ini biasanya
terdapat pada daerah batuan yang sejenis dengan penyebaran yang luas (Asdak,
2002). Permukaan tanah di daerah ini terdapat batuan dan kerakal dengan jumlah
sedang dan kondisi tanahnya lembab dan ada tutupan yang tumbuh di atas
permukaan tanah pada stopsite ini. Batuan induknya diperkirakan merupakan
andesit dengan jeluk mempan atau batas akar dapat menjangkau/menyerap air 35
hingga 40 cm. Tingkat drainasenya tergolong bagus/tinggi dengan permeabilitas
(masuknya air ke dalam tanah) yang tinggi dan limpasan (run off) rendah. Tingkat
erosi/sedimentasi rendah dengan penggunaan lahan didominasi tumbuhan hutan.
Vegetasi hutan ini didominasi oleh akasia, mahoni, dan jati dengan kesesuaian
lahan S3.
Warna horison tanah di stopsite ini adalah brown hingga dark yellowish
dengan matrik horison 10 Yr 4/4. Tekstur tanahnya lempung debuan dengan tidak
terdapat batuan, kerikil, maupun kerakal dan struktur tanahnya remah. Kondisi
lengasnya lembab hingga basah dan tingkat konsistensi gembur, agak plastis, dan
agak lembab. Setelah dicek, pH lapangan 6,5 pada beberapa sampel tanah yang
diambil. Kandungan karbonat tidak ada dengan sedikit bahan organik dan
kandungan kapur yang sangat banyak (++++).
Berdasarkan sifat dan horison pencirinya, rejim lengas tanahnya berupa
ustik dan rejim suhu tanah berupa isohipertermik. Berdasarkan klasifikasi tanah
yang ada, oleh USDA tanah di stopsite ini diberi nama entisol. Menurut FAO
diberi nama regosol. Sedangkan oleh PPT Bogor diberi nama Litosol.
SITE 9
Pengamatan Site “Bukit Bedoyo” dilakuakan di lokasi dengan koordinat S 08° 13' 8.17" dan E 111° 4' 4.14" pada ketinggian 75 mdpl. Setelah dilakukan pengamatan, didapatkan data-data seperti bentang lahan (Landform), kelerengan, pola drainase, kenampakkan permukaan tanah, bahan induk, vergetasi, penggunaan lahan serta kesesuaian lahannya.
Tanah andosol yang berada di Bedoyo gunung kidul merupakan stopsite
yang unik dimana ditemukan tanah andosol di atas bukit kapur. Hal ini merupakan
suatu yang unik bila dilihat dari pembentukan tanah andosol, tanah ini merupakan
tanah yang terbuat dari bahan induk yaitu abu vulkan yang merupakan abu akibat
kegiatan vulkanik gunung berapi. Sebelumnya proses pengankatan sepertinya
lebih dulu terjadi pada masa eosin sampai miosen sehingga terbentuklah bukit
kapur di wilayah Bedoyo, kemudian adanya letusan gunung berapi dari gunung
lawu membuat material gunung api berupa abu vukan banyak terdapat di atas
bukit kapur tersebut. Batuan yang menjadi batuan induk pembentuk tanah andosol
adalah campuran dari abu vulkan disekitar bukit Bedoyo dan batu kapur koral atau
lautan dangkal. Kemudian seiring berjuta-juta tahun abu vulkan tersebut melapuk
kemudian menjadi tanah andosol yang berada di atas bukit kapur. Karena tanah
andosol mengandung alofan maka dalam uji khemikalia dingunakan NaF untuk
mengukur pH tanah ini. Dari uji PH dengan menggunakan KCl yang
menujnukkan PH potensial menghasilkan PH 6 sedangkan pada pengujian pH
NaF 8,5 seharusnya pH NaF andosol lebih dari 9 yang menandakan terdapat
mineral alofan. Hal ini disebabkan karena kesalahan analisis dan waktu
penganalisisan yang lama sehingga menyebabkan tanah menjadi kering dan
mineral alovannya hilang.
Keberadaan Mineral alofan menyebabkan tanah ini mempunyai KTK
yang besar, Retensi air tinggi dan bobot isi yang rendah. Akan tetapi pada tingkat
perkembangan alofan menjadi haloysit maka Andisol akan kehilangan sifat KTK
tanah yang besar , daya menahan air yang tinggi . Umumnya mempunyai
kejenuhan basa relatif rendah tetapi mempunyai AL dapat ditukar relatif tinggi.
Terbawa oleh sifat mineral lempung dominan yang dimilikinya maka andosol
mempunyai sifat tiksotrofik, mempunyai kemampuan mengikat air besar,
porositas tinggi, bobot isi rendah, gembur, tidak plastis dan tidak lengket serta
kemampuan fiksasi fosfat yang tinggi.
Daftar Pustaka
Munir, M. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Prasetyo, B. H. 2007. Perbedaan sifat-sifat tanah Vertisol dari berbagai bahan
induk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 9 (1): 20-31.
Sunarminto, B. H, Makruf Nurudin, Sulakhudin, Cahyo Wulandari, 2014. Peran
Geologi dan Mineralogi Tanah untuk Mendukung Teknologi Tepat
Guna dalam Pengelolaan Tanah Tropika.Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Ford, D.C., Williams, P., 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology. John
Wiley & Sons. Chichester.
Haryono, E., Adji, T.N.,2004. Geomorfologi dan Hidrologi Karst. Bahan Ajar.
Kelompok Studi Karst. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Litwin, L., Andreychouk, V., 2007. Characteristics of High-Mountain Karst Based
on GIS and Remote Sensing. Environ Geol. 54: 979-994. DOI:
10.1007/s00254-007-0893-5.
Milanovic, P. 2005. Water Resources Engineering in Karst. CRC Press. Florida
Parise, M., Qiriazi, P., Sala, S., 2007. Evaporite Karst of Albania: Main Feature
and Case of Environmental Degradation. Environ Geol. 53: 967-974. DOI:
10.1007/s00254-007-0722-x.
Soil Survei Staff. 2014. Key to Soil Taxonomy. USDA. USA
Waltham, T., Bell, F., Culshaw, M., 2005. Sinkholes and Subsidensce – Karst and
Cavernous Rocks in Engineering and Construction. Springer. Chichester.