Upload
medina-fadlilatus-syaadah
View
93
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
nnnnnnnnn
Citation preview
PENGARUH HORMON TIROKSIN TERHADAP KECEPATAN
METAMORFOSIS KODOK (Bufo melanostictus)
Laporan Penelitian
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Fisiologi Hewan
Oleh
Dian Wahyu Bima Kuncara 4401409003
Rizkiya Eka Wahyuni 4401409015
Ainun Nikmah 4401409035
Sri Endhes Isthofiyani 4401409042
ROMBEL 2
PENDIDIKAN BIOLOGI 2009
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
A. Judul
PENGARUH HORMON TIROKSIN TERHADAP KECEPATAN
METAMORFOSIS KODOK (Bufo melanostictus)
B. Latar Belakang
Dewasa ini populasi Bufo melanostictus semakin berkurang. Hal ini
disebabkan semakin banyaknya orang yang memanfaatkan kodok. Sudah
sejak lama kodok dikenal manusia sebagai salah satu makanan lezat. Di
rumah-rumah makan Tionghoa, masakan kodok terkenal dengan nama swie
kee. Disebut 'ayam air' (swie: air, kee: ayam) karena paha kodok yang gurih
dan berdaging putih mengingatkan pada paha ayam. Kodok yang dikonsumsi
tersebut merupakan tangkapan dari alam.
Berkurangnya populasi kodok di alam menyebabkan munculnya berbagai
masalah seperti gagal panen akibat wereng yang semakin meningkat dan
berjangkitnya penyakit demam berdarah. Hal ini terjadi karena kodok sebagai
musuh alami dari serangga sudah jarang dijumpai di alam, sehingga populasi
serangga semakin meningkat. Keadaan ini menyebabkan ketidakseimbangan
jaring-jaring makanan di alam.
Selain itu kodok juga dimanfaatkan oleh peneliti dan mahasiswa untuk
bahan percobaan misalnya dalam percobaan termoregulasi yang bertujuan
untuk mengetahui pengaruh perubahan suhu lingkungan terhadap suhu
kodok.
Jika populasi kodok yang dimanfaatkan setiap harinya oleh manusia tidak
terkendali, dikhawatirkan populasi kodok akan menurun, sedangkan
permintaan akan kodok selalu meningkat. Permasalahannya adalah
metamorfosis pada kodok yang terjadi di alam memerlukan waktu sekitar
tiga bulan sampai menghasilkan kodok dewasa. Sehingga diperlukan suatu
upaya membudidayakan bangkong kolong (Bufo melanostictus) dengan
teknik yang tepat dan cepat, salah satu upaya mempercepat metamorFosis
kodok dengan menggunakan hormon tiroksin.
Hormon tiroksin merupakan hormon yang dapat mempengaruhi proses
metamorfosis kodok, yaitu dapat mempercepat tumbuhnya kaki belakang
diikuti dengan tumbuhnya tungkai depan dan degenerasi ekor.
Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis merumuskan masalah yang
menarik untuk dikaji, dengan melakukan penelitian yang berjudul
PENGARUH HORMON TIROKSIN TERHADAP KECEPATAN
METAMORFOSIS KODOK (Bufo melanostictus).
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut :
1. Apakah hormon tiroksin berpengaruh terhadap kecepatan metamorfosis
katak ?
2. Bagaimana pengaruh hormon tiroksin terhadap kecepatan metamorfosis
katak?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui apakah hormon tiroksin berpengaruh terhadap
kecepatan metamorfosis katak.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh hormon tiroksin terhadap
kecepatan metamorfosis katak.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi dan
masukan terhadap disiplin ilmu dibidang Biologi khususnya Fisiologi
Hewan. Selain itu juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi
peneliti lain yang akan meneliti dengan tema yang sama.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi peternak katak agar
bisa membiakkan katak dalam waktu yang lebih cepat dengan
menggunakan hormon tiroksin.
F. Landasan Teori
1. Amphibi
Amphibia adalah hewan vertebrata yang dalam hidupnya membutuhkan
dua alam. Amphibi berasal dari kata “amphi” yang berarti rangkap dan “bios”
yang berarti hidup. Hal ini menunjukkan bahwa amphibi mempunyai fase
kehidupan di air dan kemudian mempunyai fase kehidupan di darat. Pada
kedua fase itu struktur dan fungsinya menunjukkan sifat antar ikan dan
reptilian dan menunujukkan bahwa amphibi merupakan suatu keolompok
chordaae yang pertama kali keluar dari kehidupan dalam air. Amphibi
mempunyai ciri-ciri khusus antara lain :
a. Kulit selalu basah dan berkelenjar (yang masih selalu di air atau
dekat air).
b. Memiliki dua pasang kaki untuk berjalan atau berenang; berjari 4 – 5
atau lebih sedikit; tidak bersirip.
c. Terdapat dua buah nares (lubang hidung sebelah luar) yang
menghubungkan dengan cavum oris. Terdapat klep untuk menolak
air (waktu dalam air). Mata berkelopak yang dapat digerakkan;
lembar gendang pendengar terletak di sebelah luar. Mulut bergigi
dan berlidah yang dapat dijulurkan ke muka.
d. Skeleton sebagian besar berupa tulang keras, tempurung kepalanya
memiliki dua condyl; bila memiliki costae (tulang rusuk) tidak
menempel pada sternum (tulang dada).
e. Cor terbagi atas tiga ruangan, yakni dua ruang auricular dan satu
ruang ventriculum; mempunyai satu atau tiga pasang archus aorticus;
erythocyt berbentuk oval dan bernukleus.
f. Pernafasannya dengan insang, paru-paru, kulit atau garis mulut (rima
oris). Pernafasan itu terpisah atau kombinasi. Insang terdapat dalam
beberapa fase dalam sejarah hidupnya; memiliki pita suara baik pada
kintel maupun katak.
g. Otak memiliki 10 pasang nervi cranialis.
h. Suhu tubuh tergantung pada lingkungannya (poikiloterm).
i. Fertilisasi terjadi di luar tubuh atau di dalam tubuh, kebanyakan
ovipar; telur berkuning telur (yolk) dan terbungkus oleh zat gelatin;
membelah secara holoblastik tidak sama; tidak memiliki membrane
embryonic. Larva yang hidup di air mengealami fase metamorphosis
menjadi hewan dewasa (Maskoori Jasin, 1984 : 252).
Amphibi merupakan Tetrapoda atau vertebrata darat yang paling rendah.
Amphibi tidak diragukan lagi berasal dari satu nenek moyang dengan ikan,
mungkin hal itu terjadi pada zaman Devon. Transisi dari air ke darat apda
amphibi tampak pada :
a. Modifikasi tubuh untuk berjalan di darat, di samping masih memiliki
kemampuan berenang dalam air.
b. Tumbuhnya kaki sebagai pengganti beberapa pasang sirip.
c. Merubah kulit hingga memungkinkan menghadapi suasana udara.
d. Penggantian insang oleh paru-paru.
e. Merubah sistem sirkulasi untuk keperluan respirasi dengan paru-paru
dan kulit.
j. Alat sensorisnya memiliki kemampuan berfungsi baik di udara
maupun di air (Maskoori Jasin, 1984 : 252).
2. Bufo
Salah satu hewan yang termasuk amphibi adalah Bufo. Klasifikasi Bufo
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibi
Sub Kelas : Salientia (Anura)
Ordo : Procoela
Famili : Bufonidae
Genus : Bufo
Spesies : Bufo melanostictus
Rana termasuk ke dalam sub kelas Salientia (Anura) yang mempunyai
ciri umum antara lain :
a. Kepala dan badan menyatu, tidak ada leher maupun ekor.
b. Kaki depan pendek, kaki belakang membesar untuk melompat dan
dilengkapi selaput antar jari (selaput renang)
c. Jumlah vertebrae ada 10 yang terakhir kecil memanjang disebut
Urostyle.
d. Tulang rusuk mereduksi atau tidak ada
e. Telur-telur diletakkan di luar dan fertilisasi eksternal dengan cara
berpelukan jantan dan betina dewasa, larva (berudu) kepala dan
badan menyatu berbentuk ovoid dan berekor panjang dengan pina
median, aquatic, mengalami metemorfosis.
Famili Ranidae (True Frogs) mempunyai ciri-ciri antara lain :
a. Giginya ada di rahang atas
b. Ujung lidah di posterior dan bercabang dua
c. Telur-telurnya biasanya dalam massa seperti tapioca.
3. Morfologi Bufo
Kodok berukuran sedang, pada hewan dewasa berperut gendut dan
berbintil – bintik kasar. Bangkong jantan memiliki panjang dari moncong
ke anus yaitu 55-80 mm sedangkan pada hewan betina panjangnya 65-85.
Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap,
kekuningan, kemerahan sampai kehitaman. Terdapat bintil-bintik kasar di
punggung dengan ujung kehitaman. Sisi bawah tubuh berwarna putih
keabu-abuan berbintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki warna hitam
atau kehitaman, tanpa selaput renang atau kaki dengan selaput renang
yang sangat pendek. Hewan jantan pada umumnya biasanya mempunyai
dagu dengan warna kusam kemerahan.
4. Metamorfosis Bufo
Metamorfosis dapat didefinisikan sebagai serentetan perubahan
pasca embrio yang meliputi perubahan struktur, fisiologi, biokimia, dan
perubahan tingkah laku (Duellman, 1986 :179).
Proses metamorphosis katak secara umum dimulai dari telur
amphibia yang terkena cairan sperma yang nampak diselimuti oleh lender
dan mengambang berkelompok di permukaan air. Telur-telur ini pada
awalnya nampak berwaran bening (terang), setelah empat jam kemudian
terlihat pada sebelah atasnya berwarna gelap. Pada kondisi demikian
bagian berwarna terang berada di bagian bawah. Telur yang mengalami
perubahan di atas menandakan bahwa telur tersebut sudah dibuahi. Proses
perkembangan telur disebut fase embrio. Fase embrio akan berakhir
sekitar empat minggu. Telur-telur katak tersebut akan menetas daalm
tempo dua hari dan dan menjadi berudu atau disebut juga fase larva. Fase
larva akan berakhir setelah tiga bulan.
Metamorfosis pada kodok termasuk metamorfosis sempurna. Berikut
uariannya :
a. Kodok dewasa bertelur dan setelah 10 hari akan menetas dan
dinamakan berudu.
b. Setelah 2 hari lagi akan tumbuh insang luar yang berbulu yang
digunakan untuk bernafas.
c. Umur tiga minggu, berudu tersebut akan ditutup oleh kulit.
d. Umur delapan minggu kodok akan memiliki kaki belakang.
e. Umur dua belas minggu kaki depan akan terbentuk dan seiring itu kaki
belakang akan membesar dan ekor jadi mengecil. Setelah ekor hilang,
kodok akan bernafas dengan paru-paru dan dinamakan kodok dewasa.
Pada metamorfosis amphibi banyak sekali mengalami perubahan
baik secara morfologi maupun fisiologi.
a. Proses morfologi
Pada amphibi, metamorfosis berhubungan dengan perubahan persiapan
dari organisme aquatic unutk menjadi organisme darat. Perubahan
metamorfosis berlangsung secara dramatis dan kebanykan organ-
organnya telah termodifikasi. Perubahan ini meliputi hialngnya gigi dan
insang internal pada anak katak, seperti hilangnya ekor. Kemudian akan
terjadi proses pembentukan seperti seperti berkembangnya anggota
tubuh dan morfogenesis kelenjar dermoid. Perubahan lokomosi terjadi
terjadi dari pergerakan ekor menjadi terbentuknya lengan depan dan
lengan belakang. Insang mengalami degenerasi, paru-paru membesar,
otot dan tulang rawan berkembang unutk memompa udara masuk dan
keluar paru-paru.
b. Proses biokimia
Proses perubaaahan morfologi juga mengakibatkan terjadinya
transformasi biokimia selama metamorfosis. Pada berudu, fotopigmen
yang retina yang utama adalah porphyropsin. Pengikatan hemoglobin
(Hb) dengan O2 juga mengalami perubahan. Enzim yang terdapat di hati
juga mengalami perubahan. Hal ini disebabkan adanya perubahan
habitat. Kecebong bersifat ammonotelik yaitu mensekresikan ammonia,
sedangkan kodok dewasa bersifat ureotelic yaitu mensekresikan urea.
Selama metamorfosis, hati mensekresikan enzim untuk siklus urea agar
dapat membentuk atau menghasilkan urea dari CO2 dan ammonia.
c. Perubahan spesifik
Pada setiap organ tubuh merespon stimulasi hormon dengan cara
berbeda. Stimulus yang sama menyebabkan diferensiasi dan
perkembangan yang berbeda. Respon hormon thyroid lebih spesifik
pada bagian-bagian tertentu. Pada ekor, hormon T3 menyebabkan
kematian dari sel-sel epidermal. Meskipun terjadi kematian dari sel-sel
epidermal pada ekor, kepala dan epidermis tubuh tetap melanjutkan
fungsinya.
5. Hormon Tiroksin
Hormon merupakan senyawa kimia, terdapat dalam darah dengan
kadar yang sangat rendah, mempunyai pengaruh terhadap pengaturan
metabolism alat atau jaringan spesifik. Hormon disekresi langsung ke
dalam darah dengan jumlah yang sangat kecil oleh sel-sel khusus.
Hormon-hormon diangkut lewat darah ke jaringan spesifik yang disebut
jaringan sasaran, dimana mereka melakukan pengaruh pengaturannya
(Montgomery, 1993 dalam Ning Setiati, 1998).
Hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) merupakan hormon
yang paling berperan dalam proses metamorfosis amphibi. Suatu bentuk
kontrol hormon tiroid pada anura dan perubahan pada metamorfosis,
menurut Etkin, 1968 dalam Ning Setiati, 1998 adalah sebagai berikut :
a. Premetamorfosis
b. Prometamorfosis awal
c. Akhir prometamorfosis
d. Metamorfosis klimaks
Hormon yang mempunyai fungsi khusus dalam memacu proses
metamorfosis berudu katak sampai stadium dewasa merupakan hormon
yang telah diisolasi dari jaringan tiroid, hormon ini sudah merupakan
hormon yang mengandung yodium.
Metamorfosis dikontrol hormon thyroid. Hormon thyroid berfumgsi
untuk membentuk hubungan timbal balik dengan kelenjar pituitary yang
menyebabkan menginduksi thyroid untuk menghasilkan T3 dan T4 lebih
banyak. Selain itu, hormon thyroid juga berfungsi untuk transkripsi dan
mengaktivasi transkripsi pada beberapa gen. seperti transkripsi gen untuk
albumin, globin, keratin kulit dewasa diaktivasi oleh hormon thyroid.
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah eksperimen kualitatif.
b. Desain Penelitian
Desain pada penelitian ini adalah penelitian korelasi sebab-akibat untuk
mengetahui pengaruh keadaan pertama terhadap keadaan kedua. Pada
penelitian ini desain penelitian korelasi sebab-akibat untuk mengetahui
pengaruh hormon tiroksin terhadap kecepatan metamorfosis Bufo
melanostictus.
2. Variabel Penelitian
Variabel adalah gejala yang bervariasi. Gejala adalah objek
penelitian, sehingga variabel adalah objek penelitian yang bervariasi
(Sutrisno Hadi dalam Arikunto, 2006:116).
Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah :
a. Variabel bebas
Hormon tiroksin
b. Variabel terikat
Kecepatan metamorfosis kodok
c. Variabel kontrol
Suhu, cahaya, air, makanan.
Dalam penelitian ini juga diadakan kelompok kontrol yaitu berudu
Bufo melanostictus yang tidak diberi hormon tiroksin dan kelompok
eksperimen yaitu berudu Bufo melanostictus yang diberi hormon tiroksin.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan sebuah penelitian sangat memerlukan adanya data
untuk memperkuat hasil penelitian tersebut. Metode pengumpulan data
yang akan dilakukan oleh peneliti adalah dengan melakukan eksperimen,
yaitu memberikan perlakuan yang bervariasi terhadap objek penelitian.
4. Metode Pelaksanaan
Alat :
a. 5 buah bak plastik
b. Kamera digital
Bahan :
a. Berudu Bufo melanostictus
b. Hormon tiroksin berupa kemasan tablet Euthyrox
Cara Kerja :
a. Memelihara berudu fase metamorfosis dalam 5 bak plastik masing-
masing 15 berudu tiap bak.
b. Menambahkan hormon tiroksin (T4) pada bak 2, 3 dan 4. Bak 1
berlaku sebagai kelompok kontrol. Dosis yang digunakan yaitu 0,05
mg/liter, 0,075 mg/liter, 0,1 mg/liter, 0,125 mg/liter. (Ning Setiati,
1998)
c. Memelihara berudu hingga mencapai fase klimaks metamorfosis
d. Mengamati perbedaan kecepatan metamorfosis berudu pada tiap bak
5. Metode Analisis Data
Pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh dimaksudkan suatu
cara mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat dibaca
(readable) dan dapat ditafsirkan (interpretable), (Azwar, 2001 : 123).
Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diolah secara
deskriptif karena yang diperoleh adalah data perkembangan kecepatan
metamorfosis kodok.
I. ANALISIS DATA
Pada bak 1 yaitu dengan kadar hormon tiroksin 0 mg/L atau bak yang
digunakan sebagai control, kecebong tidak mengalami perubahan sampai
hari kedelapan. Semua kecebong tetap hidup dan belum mempunyai
tungkai belakang ataupun tungkai depan.
Pada bak 2 dengan kadar hormone tiroksin 0,05 mg/L, kecebong mulai
memiliki tunas tungkai belakang pada hari ketiga. Ekor juga mulai
mengalami resorbsi. Pada hari ketujuh tungkai depan mulai terbentuk dan
semua kecebong bertahan hidup.
Pada bak 3 dengan kadar hormone tiroksin 0,075 mg/L pada hari ketiga
sudah mulai muncul tunas tungkai belakang. Tungkai belakang terbentuk
sempurna pada hari ke 4 dan terbentuk tungkai depan pada hari keenam.
Hanya 6 kecebong yang bertahan hidup dari total 15 ekor kecebong.
Pada bak 4 dengan kadar hormone tiroksin 0,1 mg/L tunas tungkai
belakang mulai muncul pada hari kedua. Pada hari ketiga tungkai belakang
sudah terbentuk sempurna. Tungkai depan mulai muncul pada hari ketiga.
Pada hari kedelapan semua kecebong mati.
Pada bak 5 dengan kadar hormone tiroksin 0,125 mg/L mulai muncul
tunas tungkai belakang pada hari ketiga dan tungkai belakang terbentuk
sempurna pada hari keempat. Pada hari kelima tungkai depan mulai
terbentuk. Semua kecebong mati pada hari kedelapan.
J. PEMBAHASAN
Penelitian yang kami lakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh
hormon tiroksin terhadap kecepatan metamorfosis kodok. Suatu bentuk
kontrol hormon tiroid pada perkembangan Bufo sp dan proses metamorfosis
menurut Etkin (1968) yang telah disempurnakan oleh M. Dodd dan J.Dodd
(1976) dan A. White dan Nicoll (1981) adalah sebagai berikut :
1. Selama premetamorfosis
Medula otak dan hipotalamus belum berkembang dan otak hanya
sedikit atau sama sekali tidak berpengaruh terhadap kontrol fungsi
adenohipofisis. Akibatnya sekresi prolaktin tinggi dan sekresi TSH
turun sehingga prolaktin dapat meningkatkan pertumbuhan larva tanpa
pengaruh dari hormon tiroksin. Hormon tiroid memberi umpan balik
negatif pada sekresi TSH.
2. Selama Prometamorfosis Awal
Sekresi hormon tiroid meningkat, tetapi hal ini tidak berpengrauh
terhadap peningkatan protein plasma yang membentuk iodin. Hal ini
dimungkinkan karena kecepatan kerja hormon tiroid. Peningkatan
sekresi hormon tiroid dimungkinkan karena hasil dari peningkatan
TSH. Peningkatan ini menggambarkan perkembangan yang bertahap
dari pengaruh hipotalamus yang terdapat pada adenohipofisis. Tingkat
sekresi hormon tiroid bertambah secara kontinyu sehingga pada akhir
prometamorfosis kemampuan jaringan untuk mengikat dan
memanfaatkan hormon tiroid terpenuhi. Akibatnya peningkatan
pengeluaran hormon tiroid yang berkelanjutan menghasilkan
gelombang plasma hormon.
Peningkatan hormon tiroid juga meningkatkan perkembangan medulla
otak dan pembentukan pintu penghubung antara adenohipofisis dan
hipotalamus. Pada peningkatan proses ini, sekresi TRH yang tinggi
dapat mencapai pituitary untuk menstimulasi peningkatan sekresi
hormon tiroid. Peningkatan sekresi hormon tiroid dapat merningkatkan
perkembangan lebih lanjut pada medulla otak. Sehingga terjadi umpan
balik positif.
Selama kontrol hipotalamus pada fungsi pituitari berkembang, sekresi
prolaktin berada pada pengaruh kontrol inhibitor dan tingkat sirkulasi
prolaktin makin menurun. Hal ini menyebabkan kerja prolaktin
antagonis terhadap hormon tiroid menurun sehingga proses
perkembangan lebih cepat.
3. Prometamorfosis Akhir
Selama prometamorfosis akhir medulla otak dan jaringan
penghubungnya dengan hipofisis terbentuk. Terpenuhinya suatu
jaringan dengan hormon tiroid secara cepat dan melengkapi
transformasi (klimaks). Kadar prolaktin dalam darah berkurang secara
drastis pada periode ini, menyebabkan penghambatan hipotalamus
secara maksimal. Jadi, perkembangan dari prolaktin penghambat
(prolaktin-mediated-inhibitor) dari kerja hormon tiroid diperkecil.
4. Selama Metamorfosis Klimaks
Selama metamorfosis klimaks interaksi umpan balik positif dari
hipotalamus-hipofisis-tiroid hilang. Hal ini mungkin terjadi karena
‘Aminergic fiber; yang berada pada adenohipofisis larva berpengaruh
pada umpan balik positif maupun negatif. Serabut ini hilang selama
metamorfosis klimaks. Jadi, peningkatan hormon tiroid selama
prometamorfosis akhir mungkin bekerja pada hipotalamus dan
menyebabkan serabut ini untuk meningkatkan sekresi TSH.
Peningkatan hormon tiroid juga menyebabkan degenerasi bertahap
pada serabut ini. Jadi, stimulus bagi sekresi TSH hilang dan
penghambatan aktivitas hormon tiroid dapat bekerja tanpa hambatan.
Dalam penelitian ini kami mengulangi percobaan tiga kali.
Percobaan pertama dan kedua gagal. Pada percobaan pertama kami
melakukan pengamatan dan penggantian air setiap dua hari sekali. Pada
pengamatan hari keenam kecebong mati dan percobaan gagal. Hal ini
diindikasikan karena pemberian makanan berupa pelet ikan dalam jumlah
yang berlebihan. Pellet ikan tersebut juga diindikasikan bereaksi negatif
dengan hormon tiroksin yang kami tambahkan pada air habitat kecebong
karena kecebong pada bak dengan kadar hormon tiroksin lebih tinggi lebih
banyak yang mengalami kematian. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh
penempatan kecebong pada tempat yang kurang cahaya matahari selama 3
hari sehingga hydrilla yang terdapat di dalam bak tidak dapat melakukan
fotosintesis.
Percobaan yang kedua pengamatan dilakukan sehari sekali dengan
penggantian air setiap dua hari sekali. Percobaan yang kedua juga
mengalami kegagalan. Pada pengamatan hari ke-empat kecebong. Kali ini
kematian kecebong disebabkan oleh air yang digunakan untuk habitat
kecebong terkontaminasi oleh zat kimia karena kecebong pada semua bak
mati.
Karena kegagalan pada percobaan pertama dan kedua, kami
mengulangi percobaan untuk yang ketiga kali. Pada percobaan ketiga
pengamatan dilakukan setiap satu hari sekali dengan penggantian air dua
hari sekali. Pengamatan ini berjalan selama delapan hari. Berdasarkan data
hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa perkembangan kecebong
bervariasi sesuai dengan kadar hormon tiroksin yang diberikan. Pada kadar
hormon tiroksin sebanyak 0,1 mg/l menunjukkan perkembangan yang
paling signifikan daripada kecebong pada kadar yang lain. Tetapi, pada
hari keempat sudah ada kecebong yang mati. Pada hari ketujuh hanya
tersisa 2 ekor kecebong dan pada hari kedelapan semua kecebong mati.
Hal ini diindikasikan terjadi karena hormone tiroksin terlalu tinggi dan
kecebong hanya mampu bertahan dalam waktu yang relative singkat.
Kecebong tidak mampu bertahan hingga fase klimaks metamorfosis.
Hal yang serupa juga terjadi pada kecebong dengan kadar hormone
tiroksin 0,125 mg/L. kecebong juga mengalami perubahan dalam waktu
singkat, tetapi kecebong juga mempunyai daya tahan yang lebih singkat.
Berdasarkan analisis data, dapat diketahui bahwa kadar hormone
tiroksin yang mampu ditolerir oleh kecebong adalah 0,05 mg/L. Semua
kecebong tetap dapat bertahan hidup dan mengalami perkembangan yang
lebih cepat dari kelompok kontrol. Tetapi perkembangan pada kadar
hormone tiroksin ini tidak secepat pada kadar hormone tiroksin 0,1 mg/L
dan 0,125 mg/L.
Pengendalian hormon tiroksin pada kecepatan proses
metamorfosis
Pemacu metamorfosis adalah hormone tiroksin. Besar kecilnya
kadar tiroksin diekspresikan dalam tahapan metamorfosis. Pengaturan
sekresi tiroksin dilakukan oleh poros hipotalamus-hipofisis-kelenjar
tiroid. TRH dari hipotalamus memengaruhi sekresi. TSH dari hipofisis
memengaruhi pertumbuhan dan sekresi kelenjar tiroid untuk
menghasilkan hormone tiroksin. (Handari dan Puniawati, 1990 dalam
Ning Setiati, 1998).
Keseluruhan tahap metamorfosis merupakan suatu integrasi dari
kelenjar endokrin. Produk hasil dari pengaruh perubahan morfologi
dan psikologi Amphibi adalah sebagai berikut :
Tingkat Endokrin dan Perubahannya Selama Metamorfosis Amphibi
Prometamorfosis
Struktur atau
factor
Premetamorfosis Awal Akhir Klimak
Otak
(Hipotalamus)
Medula otak
Produksi TRH
Aminergic fibers
Efek pada
prolaktin
Efek pada TSH
Tidak
berkembang
Tidak ada
Tidak
berkembang
Tidak ada
Tidak ada
Berkembang
Sedikit
Berkembang
Sedikit
inhibitor
Sedikit
kenaikan
Berkembang
baik
Banyak
Berkembang
baik
Inhibitor
meningkat
Meningkat
Berkembang
sempurna
Banyak
Hilang
Tidak ada
Tidak ada
Sekresi Pituitary
Prolaktin
TSH
Tinggi
Rendah
Menurun
Meningkat
Rendah
Tinggi
Menurun
Tinggi
sampai
akhir
klimaks
Hormon tiroid
(T3 dan T4)
Tingkat sekresi
Kadar Plasma
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Interrenal
steroid
Aldosteron
Kortikosteron
Kortisol
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Meningkat
Meningkat
dengan
lambat
Rendah
Tinggi
Meningkat
dengan
cepat
Meningkat
untuk
tingkat
dewasa
Menurun
Tinggi
Beberapa perubahan morfologi dan fisiologi yang dipengaruhi oleh hormon tiroksin selama metamorphosis katak :
Bentuk dan struktur tubuh
Anggota Badan
Sistem saraf dan organ
indera
Sistem pernapasan
Organ
Pembentukan kelenjar kulit
Degenerasi kulit dan otot ekor
Peningkatan rodopsin dalam retina
Degenerasi insang
Induksi enzim yang mengatur siklus urea dalam hati
Pembentukan mulut dan kepala
Pertumbuhan kulit dan otot kaki
Pertumbuhan otot mata luar
Degenerasi insang yang menutup operculum
Pembentukan usus
Pembentukan membrane niktitan pada mata
Perkembangan paru-paru
Pengerasan rangka tubuh
Pertumbuhan cerebelum
Pergantian dari hemoglobin berudu mjd hemoglobin katak dewasa
K. KESIMPULAN
Dari tinjauan teoritis dan uraian pembahasan dapat diambil kesimpulan
bahwa hormone tiroksin yang disekresi oleh kelenjar tiroid berperan dalam
proses metamorfosis Bufo melanostictus. Hormon tiroksin dalam proses
metamorfosis Bufo melanostictus berpengaruh dalam pembentukan tungkai
belakang dan tungkai depan disertai dengan resorbsi ekor.
L. DAFTAR PUSTAKA
Duellman, William E dan Linda Trueb. 1986. Biology of Amphibians. New
York : Mc. Graw-Hill.
Nugroho. E, dkk. 1993. Budidaya Kodok Raksasa. Semarang : Eka Offset.
Setiati, Ning. 1998. Peranan Hormon Tiroksin Terhadap Proses Metamorfosis
Katak Lembu ( Rana catesbiana ). Penelitian Jurusan Pendidikan Biologi.
Anonim. 2010. Bahan Ajar Taksonomi Hewan. Semarang : Laboratorium
Taksonomi Hewan Jurusan Biologi FMIPA UNNES.
Norris, David O. 1980. Vertebrate Endocrinology. Philadelphia : Lea and
Febriger.