Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
LAPORAN PENELITIAN
PERLINDUNGAN HUKUM ANAK
DALAM PERKAWINAN SIRI
OLEH :
EDY SISMARWOTO
AMIEK SOEMARMI
PURWOTO
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018
ii
LEMBAR PENGESAHAN
1 a. Judul Penelitian
: PERLINDUNGAN HUKUM ANAK
DALAM PERKAWINAN SIRI
b. Jurusan
Hukum Perdata
c. Bidang Ilmu/ Konsentrasi/
Kompetensi
Ilmu Hukum
2 Peneliti :
Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap dan Gelar
b. Golongan/ Pangkat/NIP /NIDN
c. Jabatan Fungsional
d. Bagian
e. Alamat rumah/ Telp/Fax/ email
:
EDY SISMARWOTO, SH. MH
Penata/IIIc/19611225 199303 1 002
Lektor
HukumPerdata
Anggota Peneliti
a. Nama Lengkap dan Gelar
b. Golongan/ Pangkat/NIP /NIDN
c. Jabatan Fungsional
d. Bagian
e. Alamat rumah/ Telp/Fax/ email
Anggota Peneliti
a. Nama Lengkap dan Gelar
b. Golongan/ Pangkat/NIP /NIDN
c. Jabatan Fungsional
d. Bagian
Alamat rumah/ Telp/Fax/ email
:
AMIEK SOEMARMI, SH.Mhum
Pembina/IVa
Lektor Kepala
HTN
-
PURWOTO, S.H., M.H.
Pembina /NIP195812211986031002 Lektor Kepala
Hukum Pidana
3 Lokasi Penelitian : Kabupaten Demak, Jawa Tengah
4 Waktu dan Biaya Peneliitian : 4,5 bulan
5 Biaya penelitian
a. DIPA FH UNDIP
: Rp.20.000.000
Rp.20.000.000
Ketua Bagian Hukum Perdata
Muhyiidin,S.Ag, MHum
Semarang, 29 Oktober 2018
Ketua Peneliti
Edy Sismarwoto, S.H., M.H.
NIP :19611225 199303 1 002
Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum.
NIP : 19671119 199303 2 002
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
ABSTRAK ..............................................................................................................v
PRAKATA ............................................................................................................ vi
BAB I ......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2. Permasalahan .............................................................................................. 21
1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................................. 21
BAB II ...................................................................................................................23
TINJAAN PUSTAKA ..........................................................................................23
BAB III..................................................................................................................38
METODOLOGI ....................................................................................................38
3.1. Pendekatan Masalah.................................................................................... 38
3.2. Sumber Data ................................................................................................. 39
3.3. Analisis Data ................................................................................................ 40
BAB IV .................................................................................................................41
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................41
4.1. Perkawinan Tidak Dicatat ........................................................................ 41
4.2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Perkawinan Tidak
Dicatat .......................................................................................................... 54
4.2.1. Aspek perlindungan ditinjau dari kehidupan sehari-hari, atau
pemeliharaan anak hasil kawin siri. .......................................... 54
iv
4.2.2. Aspek Yuridis Perlindungan Anak Dalam Hubungan Hukum
........................................................................................................... 59
BAB V ...................................................................................................................66
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................66
5.1. Kesimpulan .................................................................................................. 66
5.2. Saran ............................................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................68
LAMPIRAN ..........................................................................................................70
v
ABSTRAK
Kawin siri sah atau tidak, sering menjadi polemic yang berakibat kepada
ketidakjelasan status perkawinan yang terjadi, hal ini mengakibatkan dampak
negatif bagi para pihak yang terlibat, baik istri, suami maupun anak. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai perlindungan hukum
anak akibat perkawinan siri. Target yang hendak dicapai dalam penelitian ini
untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum,
khususnya dalam bidang hokum perkawinan.
Lahirnya undang-undang perkawinan tidak serta merta telah
menghilangkan secara keseluruhan praktek atau pola perkawinan yang tidak sesuai
dengan prosedur hokum negara. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pemahaman
akan pasal ini melahirkan berbagai persepsi mengenai perkawinan menjadi sah
asal hukum menurut agamanya telah dinyatakan sah. Dalam hukum agama Islam,
perkawinan sah apabila syarat-syarat dan rukun-rukunya terpenuhi. Akibat dari
permasalahan ini adalah adanya perkawinan yang sah menurut agama, namun
tidak mendapat legalitas yang sah menurut hokum negara. Sehingga, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban antara suami dan isteri tidak mendapat jaminan secara penuh
dari Negara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak
mempunyai dua aspek, yaitu : Aspek sosiologis perlindungan ditinjau dari
kehidupan sehari-hari, yaitu pemeliharaan anak, pendidikan, nafkah,
kesehatan dan sebagainya, diatur di dalam Undang-undang perkawinan No.1
Tahun1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Aspek ini terwujud apabila terdapat
kesadaran dan tanggungjawab dari orang yang menikah, ataudapat
dipaksakan oleh hukum apabila perkawinannya tercatat.
Kata Kunci : Perkawinan Siri, Legalitas perkawinan, akibat hukum
vi
PRAKATA
Segala puji syukur hanya bagi Allah, tiada sekutu bagiNya yang telah
menciptakan manusia dan menetapkan takdir atasnya dan batas-batas yang tidak
dapat dilampauinya kecuali dengan kehendak Allah. Penelitian ini adalah usaha
untuk mengeksplorasi ketentuan-ketentuan hukum perkawinan untuk membuka
cakrawala pemahaman mengenai kemuliaan manusia di hadapan hukum. Karena
sebenarnyalah tujuan hukum adalah untuk memuliakan manusia dalam hidup
bermasyarakat, dengan ketertiban dan ketaatan terhadap hukum itu. Tanpa
hukum, manusia akan jatuh kelembah kenistaan, kehinaan dan kerugian yang
nyata.
Apapun hasilnya, penelitian ini belumlah final, sebab keluasan ilmu
pengetahuan hukum senantiasa akan mampu mengekplorasi hukum dari jaman ke
jaman. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dekan Fakultas Hukum
Undip yang telah memberi motivasi dan membuka kesempatan penelitian ini.
Semoga hasil peneliitian iini bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum,
terutama di Fakultas Hukum Undip.
Semarang, 2018
peneliti
vii
viii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum, dimana segala persoalan di dalam
masyarakat diatur oleh hukum. Undang-undang dianggap sebagai kesepakatan
seluruh masyarakat yang diwakili oleh wakil-wakilnya di DPR, untuk
menetapkan hukum apa yang berlaku di dalam seluruh kegiatan masyarakat,
termasuk di bidang perkawinan. Undang-undang menetapkan bahwa di bidang
perkawinan, yang berlaku untuk seluruh masyarakat di Indonesia adalah
hukum agama yang dilaksanakan oleh masing-masing penganutnya. Hukum
agama adalah hukum yang hidup di alam pikiran dan kesadaran masyarakat
beragama, yang berlaku atas dasar kepatuhan kepada kepada ajaran agama,
oleh sebab itu sumbernya adalah ajaran agama masing-masing.
Menurut Yusril1, Hukum Islam adalah the living law atau hukum yang
hidup dalam masyarakat, bukan ius constitutum dan bukan pula ius
constituendum. Hukum positif adalah hukum yang diformulasikan oleh
institusi negara dan tegas kapan dinyatakan berlaku dan kapan tidak berlaku
lagi. The living law tidak diformulasikan oleh negara, tetapi hukum itu hidup
dalam alam pikiran dan kesadaran hukum masyarakat. Ia berpengaruh dalam
1https://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-
warga/wacana/16/12/25/oiosi5385-hukum-islam-adalah-the-living-law.
2
kehidupan masyarakat dan kadang-kadangdaya pengaruhnya bahkan
mengalahkan hukum positif yang diformulasikan oleh negara. Aliran Legal
Positivisme mengajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum
yang berlaku; dan hukum positif di sini adalah norma-norma yudisial yang
telah dibangun oleh otoritas negara. Hukum negara ditaati secara absolut yang
disimpulkan ke dalam suatu statement gezetz ist gezetz atau the law is the law2.
Tetapi berbeda dengan legal positivisme yang cara pandangnya bersifat abstrak
dan formal legalistis, paradigma yuridis sosiologis seperti mazhab sejarah yang
dipelopori Von Savigny telah mulai menarik perhatian banyak orang dari suatu
analisis hukum yang bersifat abstrak dan ideologis kepada suatu analisis
hukum yang difokuskan pada lingkungan sosial yang membentuknya3. Jadi,
berdasarkan pandangan Savigny tersebut, hukum itu timbul bukan karena
perintah penguasa atau kekuasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang
terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber
hukum.
Kehidupan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh pendapat bahwa
“Hukum yang dibuat, harus sesuai dengan hukum yang hidup didalam
masyarakat”. Itu adalah pernyataan yang dikatakan Eugen Ehrlich dalam
bukunya yang berjudul “grendlegung der sociological rechts (1913`). Kalimat
2Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law,
Common Law, Hukum Islam, Cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h.37-38
3R. Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Cet. 1 (Bandung: Alumni, 1993), h. 1
3
singkat yang mempunyai makna dalam. Hakim sebagai salah satu dari aparat
penegak hukum, dalam membuat keputusan harus mempertimbangkan dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat, seperti tercantum dalam pasal 5
Undang-Undang nonor 48 tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang nomor
4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :
Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Menurut Ehrlich”¸ bahwa masyarakat adalah ide umum yang dapat
digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial, yakni keluarga, desa,
lembaga-lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi maupun sistem
hukum dan sebagainya. Ehrlich memandang semua hukum sebagai hukum
sosial, tetapi dalam arti bahwa semua hubungan hukum ditandai oleh faktor-
faktor sosial ekonomis. Sistem ekonomis yang digunakan dalam produksi,
distribusi, dan konsumsi bersifat menentukan bagi keperluan hukum.4
Dalam situasi itulah, Hukum Islam berada dalam sistem hukum di
Indonesia, merupakan Living Law yang menjadi bagian dari hukum yang
diberlakukan berdasarkan dan/atau ditunjuk oleh undang-undang. Sebagian
dari hukum Islam yang sudah berlaku di dalam masyarakat Islam berlaku
berdasarkan undang-undang dengan menyebutkan sebagai kompetensi absolut
4Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), h. 213
4
dari Peradilan Agama5. Sebagian lain juga diitunjuk oleh undang-undang yang
memberikan payung hukum kepada hukum Islam yang sudah berlaku di dalam
masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah penyebutan istilah-istilah/konsep
hukum Islam yang menjadi konsep yang berlaku di bidang hubungan ekonomi
dan perbankan.6
Penjelasan singkat di atas, memperlihatkan peran dan fungsi undang-
undang di Indonesia, yaitu sebagai hukum positif sekaligus dalam
kedudukannya ia membawa living law sebagai hukum positif yang berlaku di
Indonesia. Ini berarti bahwa Indonesia bukanlah negara Islam tetapi berlaku
hukum Islam karena diatur oleh Undang-undang.7
Posisi hukum perkawinan Islam berada di bawah pengaturan Undang-
undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menjadi undang-undang
payung bagi seluruh hukum perkawinan agama di Indonesia.8 Dalam posisi ini
segala pengaturan mengenai hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
perkawinan Islam menjadi tidak berlaku apabila tidak memenuhi ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu dicatatkan menurut ketentuan
undang-undang.
5 Pasal 49 UUPA 6 Undang-undang 21 Tahu 2008 tentang Perbankan Syariah 7 Berbedadengan keadaan di Malaysia yang menjadikan hukum Islam sebagai Undang-undang. 8 Lihat Pasal2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan
5
Pencatatan nikah menyebabkan berubahnya status hukum perkawinan,
dari perkawinan bawah tangan atau Siri9 menjadi perkawinan yang legal
menurut UU. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa perkawinan Siri tetap sah
karena sesuai dengan hukum agama, tetapi merupakan perkawinan yang tidak
legal ( tidak diakui oleh hukum yang berlaku) sebelum perkawinan itu
dicatatan.10
Akibat hukum dari status legal tersebut adalah adanya
perlindungan hukum terhadap perkawinan tersebut, dan terhadap anak-anak
yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut, disamping terhadap harta dalam
perkawinan. Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah mengenai
perlindungan hukum terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan.
Anak-anak yang lahir dari perkawinan Siri tidak mendapatkan status
anak dalam hukum perkawinan disebabkan perkawinanorang tua mereka tidak
diakui oleh hukum. Artinya bahwa hubungan hukum antara orang tua dan anak
tidak diakui oleh hukum. Mereka tidak dilindungi hak-haknya sebagai seorang
anak sekalipun dilahirkan oleh kedua orang tuanya. Status mereka adalah
menjadi anak diluar nikah yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan
ibunya11
. Sehingga apabila bapaknya melalaikan kewajibannya sebagai seorang
9 Siri dalam arti perkawinan bawah tangan, merupakan istilah sosiologis yang berkembang di dalam masyarakat, berbeda dengan istilah Siri dalam arti syar’i. 10 Lihat konsep pada pasal 2 ayat (1) UU perkawinan. 11 UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sementara setelah diuji materi menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya”.
6
ayah untuk memberi nafkah, memelihara, memberi biaya pendidikan dan
kesehatan maka hukum tidak dapat memberikan perlindungan. Juga apabila
bapaknya meninggal dunia, maka anak tersebut tidak mendapat hak untuk
mewaris sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum Islam.
Hukum Islam mengatur berbagai perlindungan hukum dalam hubungan
perkawinan dan kekeluargaan secara lengkap dan jelas12
, tetapi pengaturan
tersebut menjadi tidak didukung oleh kekuasaan negara, apabila perkawinan
tersebut tidak dicatatkan.
Undang-undang No.1 tahun 1974 telah menetapkan garis hukum
sosiologis terhadap sahnya sebuah perkawinan, yaitu “dilaksanakan
menurut agama dan kepercayaannya masing-masing”, sekaligus
menetapkan kondisi yuridis formal bahwa setiap perkawinan “harus
dicatatkan”13
. Pencatatan perkawinan menghasilkan “Akta Nikah”, yang
berfungsi sebagai alat pembuktian formal yang diakui oleh negara14
.
Keadaan “aturan hukum” inilah yang kemudian menimbulkan istilah
Perkawinan Siri atau Nikah Siri atau Nikah di bawah tangan di dalam
masyarakat Islam di Indonesia.
Nikah siri dalam konteks kekinian yaitu perkawinan antara lelaki dan
perempuan yang syarat dan rukunnya telah dipenuhi, akan tetapi tak
12 Lihat KHI Buku I dan Buku II. 13 Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 jo UU No 22 Tahun 1946 14 Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam
7
dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Dalam perspektif Fiqh, pernikahan ini
sah. Namun akan diklaim salah jika dikaitkan dengan aturan pemerintah,
seperti yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
lainnya.Istilahnikahsiriataunikahyangdirahasiakanmemangsudahdikenalkalan
ganparaUlama.Hanyasajanikahsiriyangdikenalpadamasadahuluberbedapenge
rtiannyadengannikahsiripadasaatini.Dahuluyangdimaksuddengannikahsiriyait
upenikahansesuaidenganrukun-
rukunperkawinandansyaratnyamenurutsyari’at,hanyasajasaksidimintatidakme
mberitahukanterjadinyapernikahantersebutkepadakhalayakramai,kepadamsya
rakat,dandengansendirinyatidakadawalimatul-„ursy.15
NikahSiri
yangdiartikanmenurutterminologifiqhdilarangmenuruthukumIslam,karenaada
unsursiri(dirahasiakannikahnyadariorangbanyak).Nikahsemacaminibertentan
gandenganajaranagamaIslamdanbisamengundangfitnah,sertadapatmendatang
kanmudharat/resikoberatbagipelakunyadankeluarganya.
Menurut perspektif Islam, Nikah adalah langkah awal manusia
menuju kehidupan yang lebih mulia nilainya yang bersifat religius dan
bernilai sakral. Bersifat religius karena perkawinan itu tidak hanya
merupakan pemenuhan hajat hidup manusia semata, tetapi juga merupakan
sarana untuk meneruskan keturunan sesuai dengan ajaran agama
15http://www.kompasiana.com/sangatgampangdiingat/nikah-siri-tidak-sama-dengan-nikah-di-bawah-tangan_5500e12ea333115d6f5123e4
8
Islam.Bersifat sakral karena dalam proses perkawinan Islam bernilai ibadah
kepada Allah. Perkawinan adalah sebuah perbuatan yang diagungkan oleh
setiap manusia dengan diiringi satu niat suci untuk membentuk keluarga
yang bahagia, sakinah, mawaddah, warahmah16
.Menurutfiqih,hukum asal
perkawinan adalah halal, tetapi dapat berubah menjadi Wajib,
Sunnah,Haram dan Makruh.Perubahan hukum tersebut tergantung dari
situasi dan kondisi para pihak yang telah mukallafyaitu seseorang yang
telah dapat diberikan beban tanggungjawab.Hal yang demikian dipertegas
dengan hadis nabi yang menganjurkan perkawinan yang artinya17
: "Hai
kaum remaja, bila ada di antara kamu ada yang telah sanggup (mampu)
untuk kawin maka kawinlah karena kawin lebih merendahkan pandangan
mata dan memelihara kehormatan". (HR Al Jamaah dari Ibnu Mas’ud,
ra).18
Hadist nabi tersebut bermakna bahwa (1) perkawinan adalah ibadah
dan (2) merupakan hukum wajib untuk menikah bagi manusia yang telah
mampu. Mampu berarti dalam bidang materil yaitu harta, fisikdan
16 QS Arrum:21, Tafsir al Alusi menyebutkan arti sakinah adalah merasa
cenderung (muyuf) kepada isteri. Makna lain dari sakinah adalah ketenangan seperti yang disebut dalam QS Al Fath:4 yaitu “Dan Dialah yang memberi ketenangan dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah...” sedangkan mawaddah adalah al mahabbah yaitu rasa cinta dan warahmah adalah ar ra’fah yaitu kasih sayang. Wujud dari sakinah, mawaddah,wa rahmah adalah sikap nyata dalam bentuk menjaga, melindungi, membantu, memahami hak dan kewajiban masing-masing.
17 Abu Hafs Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Panduan Lengkap Nikah. Terjemahan oleh
Akhmad Saikhu.Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.hlm. 18. HR Bukhari, hadis No. 5066. 18 Abu Zakki Akhmad, Fiqh Wanita.Jakarta: Rica Grafika, 1996, hlm. 99.
9
immaterial yaitu mental. rohani atau kejiwaan sehinggaapabila seorang itu
tidak mampu menahan nafsunya dan dikhawatirkan akan berbuat
zina.19
Perkawinan dapat merupakan perisai penjaga kesucian diri20
seseorang dari perbuatan yang tercela dan diharamkan oleh agama Islam
yaitu perbuatan-perbuatan yang bersifat fakhisyah yaitu perbuatan
pelacuran dan perzinahan.21
Allah berfirman bahwa bagi orang yang tidak
mampu menikah hendaklah ia menjaga kesuciannya22
Perkawinan merupakan syariat dari Allah untuk mengatur hubungan
antara laki-laki dan perempuan dalam satu pergaulan keluarga yang penuh
kasih sayang dan berkah. Islam menyebut perkumpulan yang penuh kasih
sayang itu dengan ungkapan bahasa sakinah, mawaddah warohmah.
Adapun tujuan Perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan, selain itu
perkawinan akan melahirkan tali ikatan keluarga sebagai dasar kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Pelaksanaan perkawinan sering pula
diteguhkan dengan upacara perkawinan yang sesuai dengan adat istiadat di
komunitas masing-masing. Melaksanakan perkawinan baik laki-laki dan
perempuan bisa terhindar dari perbuatan zina dan pergaulan seks bebas.
Selain itu melangsungkan perkawinan berarti melanggengkan regenerasi
umat yang pada gilirannya akan memelihara keturunan umat manusia
19 Ibid. 20 Op.Cit.hlm. 19. 21 Ibid. hlm. 100 22 QS An-Nur:33. Ahmad Toha Putra, An Nur Alqur’an dan Terjemahan, Semarang:
Asy Syifa, 1998, hlm. 282.
10
sebagai sunnatullah. Perkawinan memberikanmanfaat yang cukup banyak
bagi manusia antara lain memelihara hak-hak dan warisan. Seorang yang
tidak menikah tidak mungkin mendapatkan keturunan atau anak.Hal ini
tidak dikehendaki oleh agama Islam.
Oleh karena itu, menikah dalam konsep Islam adalah sebuah
kewajiban bagi hamba Allah sekaligus jugasebuah hak yang diberikan
Allah kepada hambanya, hanya pelaksanaannya tergantung pada hambanya
tersebut. Hak untuk menikah yang diberikan Allah pada hambanya ini
dalam kehidupan bernegara menjadi hak dasar yang harus dilindungi
sebagai hak asasi manusia.
Mengingat perkawinan adalah hak setiap warga negara yang
merupakan bagian dari hak asasi manusia sesuai dengan kehendak yang
bebas dari calon mempelai,maka dalam UUD 45 Pasca amandemen ke-
empat Pasal 28 b ayat (1) mesebutkan bahwa setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah. Tafsir tentang perkawinan yang sah tersebut dikemudian hari menjadi
perdebatan panjang.
Lembaga perkawinan telah ada sejak kelahiran manusia pertama
yaitu nabi Adam, As, dengan Siti Hawa, yang berbeda hanyalah
formulasinya. Padamasyarakat modern satu perkawinan dianggap sah bila
telah mendapatkan pengakuan dari negara. Cara untuk mendapatkan
11
pengakuanini sering berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang
lainnya.Salah satu cara dan bentukpengakuan negara adalah dalam bentuk
pencatatan administrasi perkawinan.
Pengaturan tentang kewajiban pencatatan perkawinan dalam Alqur’an
tidak ditemukan,baik ayat yang qath‟i ataupun yang dhanni.Begitu juga
dalam fikih-fikih klasik tidak ada penyebutan tentang kewajiban pencatatan
perkawinan. Situasi ini berlangsung sejak masa sebelum nabi Adam sampai
pada masa nabi Muhammad dan hinggaIslam masuk ke nusantara pada
sekitar abad ke-7 Hijriah atau sekitar Tahun 1300 Masehi.Dengan
datangnya Islam ke nusantara, maka sistem hukum perkawinan menjadidua
sistem hukumyaitu sistem Hukum Adat dan sistem hukum Islam.Kedua
sistem hukum ini tidak tertulis tetapi sistem hukum ini tetap hidup di
masyarakat(living law).
Setelah Indonesia merdeka Tahun 1945 hukum tentang pencatatan
perkawinan talak dan rujuk yang dibuat masa penjajahan Belanda dianggap
sudah tidak sesuai karena sifatnya yang tidak unifikasi,maka pemerintah
membentuk panitia untuk membuat undang-undang pencatatan
perkawinan, talak dan rujuk.Tahun 1946 diterbitkan UU No. 22 Tahun
1946 tentang Pencatatan perkawinan, Talak dan Rujuk (UU PNTR) berlaku
untuk wilayah Jawa dan Madura. Undang-undang ini terdiri dari tujuh
pasal. Kemudian Tahun 1954 pemerintah Indonesia menjadikan UU No.22
Tahun 1946 berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dengan
12
menamainyaUU No. 32 Tahun 1954 dengan mencabutHuwelijks
Ordonansi S.1929 Nomor 348 jo S.1931, dan VorstenlandscheHuwelijks
Ordonantie Nomor 98.
Pasal 1 ayat (1) UU PNTR menyatakan bahwa perkawinan yang
dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat perkawinan
yang diangkat oleh menteri agama atau oleh pegawai yang ditunjuk
olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam
diberitahukankepada pegawai pencatat perkawinan. Secara substansi
undang-undang ini tidak mewajibkan warga untuk mencatatkan
perkawinannya, tetapi perkawinan itu diawasi oleh pegawai pencatat
perkawinan.Untuk talak dan rujuk pegawai pencatat perkawinan hanya
menerima laporan dari pelakunya saja. Tidak ada sanksi moral dalam
undang–undang ini bagi yang melanggar ketentuan agama, yang ada hanya
sanksi denda bagi yang terlambat melaporkan perceraian, dan rujuk.
Setelah munculnya undang-undang pencatatan perkawinan, maka
pada Tahun 1974 pemerintah menerbitkan Undang-UndangNomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975
(selanjutnya disingkat PP) berlaku untuk seluruh warga
Indonesia,tetapiUndang-Undang Tentang Pencatatan perkawinan, Talak
dan Rujuk No.32 Tahun 54 tetap berlaku. Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur tentang pencatatan perkawinan,
13
begitupun dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,dan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara substansi
lebih lengkap dan menyeluruh dan bersifat unifikasi bila dibandingkan
dengan UU PNTR. Akan tetapi, unifikasi yang bersifat Pluralisme dalam
istilah R.Soetoyo Prawirohamiharjo yaitu Pluralisme dalam
UUP.23
Mengingat sifat UUP yang unifikasi di tengah warga masyarakat
yang agamanya beragam inilah, maka UUP dikemudian hari menimbulkan
beberapa masalah terutama dalam perkawinan warga muslim. Masalah
yang utama adalah masalah konsep tentang sahnya perkawinan,sistem
pencatatan perkawinan dan akibat hukum yang timbul dari sistem
pencatatan perkawinan tersebut, serta besarnya peran PPN dalam sebuah
acara Ijab kabul untuk warga muslim.
Masalah dari sistem hukum perkawinan saat ini adalah konsep
tentang makna perkawinan yang sah dan akibat hukumnya. Sahnya sebuah
perkawinan menurut undang-undang adalah bila pelaksanaannya dilakukan
menurut sistem hukum agama dan dicatatkan.24
23 R.Soetoyo Prawirohamiharjo,Pluralisme dalam Perundang-undangan
perkawinan. Surabaya:Airlangga University Press, 1994, hlm.1. 24 UUP Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), dan KHI Pasal 4 dan Pasal 5 mewajibkan
pencatatan nikah, UU PNTR tidak mewajibkan, tetapi hanya melakukan pengawasan dan memberi sanksi denda bila terlambat melaporkan perceraian dan rujuk.
14
Konsep perkawinan sah iniperlu dilakukan pembaharuan, karena
faktanya terdapatmasyarakat yangmelakukan perkawinan secara
agama,tanpa melakukan pencatatan di Kantor Urusan Agama
(KUA).Perkawinan yang dilakukan secara agama25
adalah perkawinan
yang sah, hanya saja tidak dicatat di KUA. Tidak mencatatkan perkawinan
tidaklah berarti anak yang lahir dari Perkawinan tersebut menjadi anak luar
perkawinan.26
Dan negaratidak boleh mengatakan bahwa “perkawinan yang
dilakukan di luar pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan
hukum”.Berdasarkan Pasal 14 KHI maka perkawinan adalah sah bila
dilakukan dengan memenuhi Rukun dan Syarat menikah yaitu: a) ada calon
suami, b) ada calon isteri, c) ada wali perkawinan, d) ada dua saksi, e) ada
Ijab Kabul, dilakukan dihadapan dan di bawah pengawasan PPN atau
PPPN27
untuk kemudian dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA)
Persoalan lain adalah pembuktian perkawinan di mana berdasarkan
Pasal 7 ayat (1) KHI bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
adanya akta perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
(PPN).Pernyataan pasal ini menyebabkan pengadilan agama hanya akan
25 Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 14 syarat sah menikah bila telah
memenuhi Rukun dan Syarat yaitu 1) ada mempelai, ada saksinya, ada wali, dan ada ijab kabul
26 Pasal 42 UUP anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah adalah anak tidak sah.
27 PPN adalah aparat negara dalam urusan perkawinan untuk masyarakat muslim. PPN dan PPPN sudah disahkan sebagai aparat hukum oleh Negara melalui Kementerian Agama untuk meneliti berkas orang yang akan menikah, mengawasi pelaksanaan perkawinan, dan menghadiri setiap ijab kabul perkawinan.
15
menerima pembuktian adanya perkawinan dengan alat bukti tunggal yaitu
akta perkawinan.Alat bukti dalam Islam tidak hanya bukti tertulis, ada juga
sumpah, ada iqrar dll. Dalam hukum acara perdata peradilan agama
disebutkan bahwa alat bukti adalah28
1) alat bukti tertulis,2) alat bukti
saksi,3) praduga,4) pengakuandan 5) sumpah.
Selain itu konsep yang digunakan oleh Kompilasi Hukum Islam
(KHI) bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan Pegawai
Pencatat Perkawinan (PPN) dan di bawah pengawasan PPN.29
Dengan
ketentuan seperti ini maka kewenanganPPN yang terlalu besar yang
diberikan negara menyebabkan PPN bila tidak hadir dalam sebuah ijab
kabul dan tidak melakukan pengawasan pada acara ijab kabul,maka
perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak diakui
negara.Ketentuan ini telah menafikan hukum materil Perkawinan
Islam,sehingga pengakuan bahwa perkawinan adalah sah menurut agama
dan kepercayaan tersebut menjadi sebuah peraturan yang tak berdaya.
Sistem hukum perkawinan dan pencatatan perkawinan bagi warga
muslim di Indonesia masih merupakan masalah,hal ini disebabkan
adanyasistem hukum pada hukum perkawinan yang mengharuskan
pencatatan perkawinan sedangkan sebagian masyarakat muslim berhukum
28 HIR Pasal 164 dan RBg 283 digunakan sebagai hukum acara di pengadilan
agama berlaku berdasarkan Pasal 54 UU Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa hukum acara untuk pengadilan agama sepanjang belum ditetapkan lain maka adalah HIR dan RBg.
29 Pasal 5 KHI.
16
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) adalah hukum
Islam yang tidak mewajibkan pencatatan perkawinan, dan hukum negara
(state law) yang mengharuskan pencatatan perkawinan, sehingga saling
berbenturan. Konsep sahnya perkawinan juga berbeda antara hukum Islam
dan hukum negara. Budaya hukum para aparat hukum yang berkait dengan
pelaksanaan hukum perkawinan yaitu PPN atau Pembantu Pegawai
Pencatat Perkawinan (PPPN) dan hakim pengadilan agama berbeda dengan
budaya hukum masyarakat. Aparat PPN dan Hakim Pengadilan Agama
berhukum dengan hukum undang-undang, sedangkan sebagian masyarakat
berhukum dengan hukum materiil Perkawinan Islam.
Hal demikian ini berimbas pada penegakan hukum di pengadilan
agamayang hanya mengakui bahwa satu-satunya alat bukti yang sah dalam
pembuktian perkawinan di pengadilan agama hanyalah akta
perkawinanyang dikeluarkan oleh lembaga negara yaitu KUA, diluar akta
perkawinan tersebut suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum
dan kekuatan pembuktian untuk kepentingan pihak ketiga.
Dengan kata lain, merubah konsep pemikiran bahwa akta
perkawinan adalah bukti administrasi biasa sama dengan bukti administrasi
lainnya,dan bukan merupakan satu-satunya alat bukti sahnya sebuah
perkawinan bukanlah hal yang mudah.Keadaan ini berimplikasi pada
proses hukum di di pengadilan agama yang selama ini melakukan
pembuktian perkawinan hanya berdasarkan pada akta perkawinan, bukan
17
pada adanya proses hukum perkawinan Islam dalam masyarakat.
Kedudukan akta perkawinan tetap menjadi penting untuk hubungan
keperdataan lainnya selain perkawinan, seperti untuk menetapkan ahli
waris, untuk penguruasan pensiun dan lain-lain.
Fungsi akta perkawinan yang utama bukanlah untuk pengesahan
sebuah peperkawinanan tetapi untuk hubungan hukum perdata lainnya di
luar perkawinan yang berhubungan dengan pihak ketiga. Dengan demikian
akta perkawinan tetap diperlukan tetapi tidak menghilangkan atau
menisbikan hukum materil perkawinan Islam.
Perkawinan yang tidak dicatat secara realitas banyak dilakukan
masyarakat.Perkawinan yang tidak dicatat banyak juga dilakukan santri
yang menganggap cukup dengan perkawinan yang tidak dicatat, karena
untuk menghindari zina.Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2007 di Desa
Wonodadi Kabupaten Kendal terdapat 213 perkawinan sah secara agama
dan negara, serta 37 perkawinan yang tidak dicatat.30
Perkawinan yang
tidak dicatat juga banyak dilakukan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di
tempat kerja mereka dan ketika pulang ke Indonesia perkawinan yang tidak
dicatat tersebuttidak juga dicatatkan ke instansi negara. Perkawinan mereka
melahirkan anak-anak. Keadaan ini bertambah rumit bila mereka,pasangan
TKI ini hendak bercerai, kemudian masing-masing akan menikah lagi,
30 Muntaha, Perkawinan yang Tidak Dicatatkan Masyarakat Wonodadi Kecamatan
Plantungan Kabupaten Kendal, Semarang : IAIN Walisongo, Tesis S2, 2008, hlm 7.
18
sehingga yang terjadi adalah perceraiannya tidak dicatat di pengadilan
agama dan terjadi pengulangan perkawinan yang tidak dicatat.
Perkawinan tidak dicatatjuga dapat ditemuidi Kabupaten
Demak,Kabupaten Pekalongan, dan Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah.
Hasil peneltian awal31
di Batursari, Kecamatan Mranggen, Kabupaten
Demak, Provinsi Jawa Tengah ditemukan keluarga yang melakukan
perkawinan yang tidak dicatat. Perkawinan yang tidak dicatat yang
dilakukannya itu melahirkan anak-anak yang kemudian kesulitan membuat
akta kelahiran.
Menurut KUA Mranggen32
, paktik kawin atau nikah siri ini disebabkan
oleh banyak faktor, antara lain karena faktor ketidaktahuan dan ketidaksadaran
akan pentingnya dokumen perkawinan maupun karena adanya maksud untuk
memanfaatkan celah hukum bagi mereka yang akan melangsungkan poligami,
atau menjaga kelangsungan tunjangan suami bagi wanita yang telah bercerai,
atau seorang istri takut tunjangannya sebagai istri Pegawai Negeri Sipil yang
ditinggal mati oleh suaminya hilang, dan atau karena masalah biaya pencatatan
perkawinan bagi mereka yang tidak mampu.Di samping faktor tersebut di atas,
di kalangan umat Islam masih ada yang berpegang teguh pada pemahaman
bahwa perkawinan sudah sah apabila dilaksanakan menurut ketentuan hukum
Islam, tidak perlu ada pencatatan dan tidak perlu ada surat atau akta nikah,
31 Edy Sismarwoto, data pra survey diolah, Januari 2016. 32 http://kuamranggen.blogspot.co.id/2013/01/nikah-siri-vs-itsbat-nikah.html
19
sehingga perkawinan di bawah tangan atau kawin siri pun tumbuh subur,
seiring dengan tidak adanya sikap proaktif Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama untuk mengawasi setiap peristiwa nikah yang ada di
wilayahnya.
Paparan tersebut menggambarkan bahwa masihdijumpai perkawinan
tidak dicatat dan adanya anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
dicatat yang sebagian besar terlantar hak-haknya, walaupun ada juga anak-
anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatyang secara materi dan
immateri tercukupi.
Tentang perlindungan hukum anak dari perkawinan yang tidak
dicatat UUP dalam pasal-pasalnya tidak memberikan ruang untuk
melindungi anak-anak tersebut. Pada Tahun 2002 pemerintah menerbitkan
Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 jo UUPA
No.35 Tahun 2014 yang memberikan pernyataan bahwa setiap anak berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.33
Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.34
Akan tetapi, dalam
kenyataannya anak-anak yang lahir dari perkawinan tidak dicatat, terutama
dari keluarga miskin,tidak mendapatkan perlindungan hukum.
33 UUD NRI Th.45 Pasal 28D ayat 1 34 UUD NRI Th 45 Pasal 28B ayat 2
20
Berdasarkan uraian di atas, makaakar masalah perkawinan yang
tidak dicatat dan tidak dilindunginya anak dari perkawinan yang tidak
dicatat oleh negara bersumber dari keberadaan sistem hukum perkawinan
tentang konsep perkawinan yang sah yang berbeda antara hukum negara
dan hukum yang hidup di masyarakat, tentang konseppencatatan
perkawinan,tentang besarnya peran PPN dalam proses akad perkawinan
serta pengabaian terhadap alat bukti perkawinan lain, selainmengakui akta
perkawinan oleh hakim pengadilan agama. Keberadaan sistem pencatatan
perkawinan yang berliku dan mengharuskan setiap perkawinan dilakukan
disaksikan dan diawasi oleh penghulu atau Pegawai Pencatat Perkawinan
menyebabkan timbulnya masalah pencatatan perkawinan. Perkawinan yang
tidak diawasi dan disaksikan oleh penghulu, maka perkawinan tersebut
tidak berkekuatan hukum dan tidak diakui negara,bahkan dalam putusan
perdata perkara Nomor 1241/Pdt.g/PA JS pada sub tanggapan pemerintah
disebutkan sebuah perkawinan yang tidakmempunyai akta perkawinan
maka perkawinan tersebut tidak pernah ada.
Dengan kata lain, masih terdapat konflik hukum perkawinan untuk
masyarakat muslimyaitu antara hukum negara dengan kepentingan dan
kebutuhan hukum masyarakat yang sampai saat ini belum ada
solusi.Konflik terjadi karena adanya perbedaan pemahaman antara budaya
hukum penegak hukum yang positivistik dan budaya hukum masyarakat
yang memegang hukum yang hidup (living law).Pertentangan
21
substansihukum perkawinan juga terjadi pada wilayah hukum negara dan
hukum yang hidup di masyarakat,sehingga sangat jelas terdapat legal gap
antara hukum yang berasal dari negara (state law), dan hukum yang hidup
dalam masyarakat (religion, ethics, moral) yang pada gilirannya di ranah
implementasi menimbulkan legal conflict antara hukum negara dan hukum
agama.
Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji dan
menganalisismasalah perlindungan hukum pada anak dari perkawinan yang
tidak dicatat.
1.2. Permasalahan
Dari uraian di atasmaka permasalahannya adalah:
1. Bagaimanakah potret perkawinan Siri atau perkawinan yang tidak
dicatat? Mengapa masih ada masyarakat memilih untuk menikah tanpa
mencatatkan perkawinannya ?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anakpada
perkawinantidak dicatat ?
1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.Tujuan Penelitian
1) Untuk mendiskripsikan, menjelaskan dan menganalisis tentang
potret perkawinan bagi warga muslim Indonesia dalam rangka
22
perlindungan hukum terhadap perkawinan yang tidak dicatat dan
perlindungan terhadap anak dari perkawinan yang tidak dicatat
berdasarkan hukum positif dan dianalisis berdasarkan perspektif
hukum Islam,Untuk mengkaji secara empiris, mengidentifikasi
dan mendeskripsikan alasan-alasan masyarakat melakukan
perkawinan yang tidak dicatat.
2) Menganalisa sistem hukum pencatatan perkawinan warga
muslim dalam rangka perlindungan anak.
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan sistem hukum pencatatan perkawinan guna
perlindungan hukum terhadap lembaga perkawinan yang tidak
dicatat dan perlindungan hukum terhadap anak dari perkawinan
yang tidak dicatat, dan pengembangan konsep teoritik tentang
sistem hukum perkawinan bagi warga muslim Indonesia dalam
rangka perlindungan hukum terhadap anak dari perkawinan yang
tidak dicatat tersebut.
b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
23
BAB II
TINJAAN PUSTAKA
Pengertian perkawinan menurut UUP Pasal 2 ayat (1) yaitu
Perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya
itu. Dari sudut pandang aliran positivisme yang mana aliran ini
mengutamakan kepastian hukum melalui “hukum adalah undang-undang”
maka redaksional pasal ini tidak ada lagi keraguan,semua jelas dan terang
benderang bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut agama
dan kepercayaannya itu.
Sejalan dengan UUP tersebut, Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya
disingkat KHI) Pasal 4 KHI35
memberikan pengertian perkawinan sah
adalah sah bila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat
(1) UUP.36
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Definisi ini memberikan gambaran bahwa perkawinan adalah suatu ikatan
dengan waktu yang kekal, bukan temporer. Selanjutnya Pasal 2 ayat (2)
35 Kompilasi Hukum Islam, Inpres. 1 Tahun 1991. 36 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.
24
UUP menyatakan bahwa perkawinan dicatatkan menurut perundangan
yang berlaku. Pasal ini diperjelas dalam Pasal 5 ayat (1) KHI yaitu:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan pada ayat (1) tersebut dilakukan oleh pejabat
pencatat perkawinan sesuai undang-undang.
Pasal 5 ayat (1) KHI ini memperjelas bahwa perkawinan harus
dicatatkan sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo UU No.32
Tahun 1954 tentang Pencatatan perkawinan, Talak, dan Rujuk (selanjutnya
disingkat (UU PNTR). KHI Pasal 5 tersebut diperjelas lagi dengan
ketentuan KHI Pasal 6 yang isinya sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi Pasal 5 KHI maka perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai
pencatat perkawinan;
2. Perkawinan yang dilangsungkan di luar pengawasan pegawai
pencatat perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ketentuan KHI Pasal 5 dan KHI Pasal 6 ayat (2) tentang perkawinan
ini dengan tegas telah mematahkan konstruksi ketentuan UUP Pasal 2 ayat
(1) bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut agama dan
kepercayaannya itu dan ketentuan KHI Pasal 4 di mana perkawinana adalah
sah bila dilakukan menurut hukum Islam sesuai Pasal 1 ayat (1) jo sesuai
25
Pasal 14 KHI bahwa untuk melaksanakan perkawinan, maka harus ada
calon suami, calon isteri, wali perkawinan dan ijab kabul.
Penyimpangan terhadap ketentuan UUP Pasal 2 ayat (2) dan KHI
Pasal 5 dan Pasal 6 tersebut yang menimbulkan istilah sosial yaitu
perkawinan secara agama, ada juga perkawinan yang tidak dicatat, dan
perkawinan bawah tangan, ada juga menyebutnya perkawinan siri. Akan
tetapi, dalam praktik tidak semua orang dapat menerima peraturan
mengenai keharusan pencatatan perkawinan tersebut mengingat
berdasarkan sejarah hukum asli perkawinan yang telah turun temurun
dilakukan sejak masa nabi Muhammad tidak gampang dihapus dengan
pemberian pemahaman positivistik. Paham hukum Islam yang tidak tertulis
yang hidup di masyarakat ini sebagian masih kental digunakan.
Prinsip yang digunakan oleh sebagian masyarakat pada perkawinan
tidak dicatat karena perkawinan dalam konsep Hukum Islam adalah sah
bila rukun dan syarat untuk menikah telah dipenuhi dan hal tersebut tidak
pernah berubah sejak masa datangnya Islam yaitu harus ada mempelainya,
laki-laki dan perempuan, ada walinya untuk mempelai perempuan, ada
saksinya, ada maharnya dan ada ijab kabulnya. Untuk mempelai laki-laki
syaratnya adalah laki-laki, Islam, tertentu, dan tidak mempunyai isteri 4
orang, tidak ada penghalang perkawinan, harus ada wali. Syarat wali adalah
laki-laki, muslim, baliqh, dan berakal. Urutan yang berhak menjadi wali
telah ditentukan dalam Alqur’an Surat An-Nisa ayat (32). Harus ada dua
26
saksi dengan syarat saksinya dewasa, muslim, tidak buta, tidak bisu,
minimal 2 orang laki-laki, sehat jasmani dan rohani. Harus ada mahar
seperti yang disebutkan dalam Alqur’an Surat An-Nisa:4. Syarat mahar
harus yang halal dan thayyib, halal barangnya dan halal mendapatkannya.
Mahar boleh utang dan boleh tunai. Ada ijab kabul yaitu suatu akad
penyerahan anak perempuan oleh walinya kepada mempelai laki-laki, bila
Rukun dan Syarat ini telah terpenuhi, maka perkawinan tersebut adalah sah
menurut hukum Islam.
Stigma bahwa perkawinan tersebut adalah tidak sah didasarkan
pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUP dan Pasal 5 dan 6 KHI yang
menyebutkan bahwa perkawinan yang tidak dicatat adalah perkawinan
tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat hukumnya menurut Pasal 42
UUP yang menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
tidak dicatat adalah anak luar kawin.
Menurut penulis pasal tersebut sudah harus ditinjau ulang atau
direformasi atau diperbaharui. Apabila dihubungkan dengan konsep hukum
Satjipto Raharjo tentang hukum progresif yang bertujuan untuk membuat
orang bahagia maka pilihannya adalah mereformasi Pasal 2 UUP dan Pasal
42 UUP, UUNTR, UUPA dan KHI serta aturan hukum di bawahnya,
sehingga anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat dapat
dilindungi hak-haknya secara hukum.
27
Perkawinan adalah hak kodrati yang dimiliki oleh setiap manusia
yang berasal dari Tuhan sehingga setiap perkawinan diatur menurut hukum
Tuhan atau hukum agama.37
Menurut hukum Islam setiap perkawinan
adalah perbuatan hukum yang mempunyai hubungan dua sisi yaitu
hubungan dengan Tuhan (Rabb) dan hubungan manusia dengan manusia.
Keduanya dirangkum dalam perkawinan yang disebut oleh Alqur’an
sebagai “Mitsaqan Gholidhan38
ikatan yang sangat kuat yaitu:
a. Perjanjian antara manusia dengan Allah swt39
yang diwakili oleh Wali
Perkawinan sehingga sah atau tidaknya perkawinan harus mengikuti
syariat yang telah ditetapkan Allah. Mempelai laki-laki pada
hakekatnya berjanji kepada Allah untuk menjadikan seorang wanita
sebagai isterinya. Perjanjian perkawinan tersebut dinamakan dengan
Akad Perkawinan yang merupakan perilaku hukum seorang mukallaf.
Menurut hukum Islam Rukun dan Syarat menikah40
harus ada empat
hal41
1) ada mempelai, 2) ada wali, 3) ada saksi dan 4) ada ijab Kabul.
Apabila rukun dan syarat menikah ini telah terpenuhi maka perkawinan
37 Konsep ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. 38 QS Annisa ayat (1, 21).Lihat juga KH. 39 QS Al Fath:10 yaitu bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu
sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah diatas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
40 Amnawaty, Hukum dan hukum Islam, op.cit., 2009, hlm 87. 41 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, Yogjakarta: Graha Ilmu, 2011, hlm.10.
28
tersebut adalah sah. Ketentuan tentang wali perkawinan telah ditetapkan
dalam alqur’an.
b. Perjanjian keperdataan antara sesama manusia yang substansinya
mengandung hukum perikatan yang tidak didasarkan pada azas
kebebasan berkontrak, melainkan pada hukum Allah swt yaitu hukum
Perkawinan Islam. Secara konseptual hukum yang timbul dari
perjanjian akad perkawinan ini adalah perikatan yang sangat kuat
karena bersifat memaksa para pelakunya untuk melaksanakan peraturan
hukum Perkawinan Islam.
Alqur’an surat Al A’raf ayat (32) isinya “....dan nikahkanlah orang-
orang yang sendirian di antara kamu..... “, kemudian Alqur’an Surat Ar
Rum ayat 21, Alqur’an Surat An-Nisa ayat (1), ayat (4) dan ayat (21).
Konsep ini dalam masyarakat Islam di Indonesia sebagai hukum
agama yang memberi dasar sah atau tidaknya Perkawinan. Hal ini
merupakan dasar hukum untuk melaksanakan Perkawinan, hanya saja
legalitas perkawinan secara Islam ini belum mendapatkan pengakuan dari
negara sebelum perkawinan tersebut dicatatkan pada lembaga KUA.
Pengertian perkawinan menurut ulama fiqh Abu Yahya Zakarya al
Anshary yang dikutip dari Maya Aufa adalah akad yang mengandung
ketentuan hukum tentang halalnya hubungan suami istri dengan lafaz
29
perkawinan.42
Menurut Muhammad Ismail bin Ismail menikah adalah
mengumpulkan dua orang.43
Selanjutnya Muhammad Abu Zahrah
mengatakan perkawinan adalah sebagai akad yang menimbulkan akibat
hukum berupa halalnya hubungan suami isteri, saling tolong menolong dan
menimbulkan hak dan kewajiban bagi keduanya. Imam Taqiyuddin44
dalam
Kifayat Al Akhyar mengatakan perkawinan sebagai/ ibarat tentang akad yang
mashur yang terdiri dari rukun dan syarat dan juga al wat‟. Menurut Imam
Hanafi, Maliki dan Syafii perkawinan adalah suatu akad yang menghalalkan
hubungan suami isteri.45
Menurut yuris Islam, Hazairin46
inti dari
perkawinan adalah sahnya hubungan suami isteri. Menurut Ibrahim
Husein47
perkawinan adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan
suami isteri. Tahir Mahmod mendefinisikan perkawinan adalah sebuah
ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang masing-masing menjadi
suami isteri dalam rangka memperoleh kebahagiaan dan membagun
keluarga dalam sinaran ilahi: The Marriage is a relationship of body and
42 Abu Yahya Zakarya al Anshary, dalam Maya Aufa. Semarang:Tesis S2 IAIN
Walisongo, hlm. 16. 43 Muhammad Ismail bin Ismail, ibid. 44 Muhammad Abu Zahrah, ibid., hlm.16. 45 Abdurrahman Al Jaziri, Talak Dalam Kompilasi Hukum Islam. Semarang: Tesis,
2002. 46 Hazairin, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Tinta Mas, 1961, hlm. 61. 47 Ibrahim Husein, op.cit., hlm.70.
30
the soul between a man and women as a husband and wife of establisthing
a happy and lasting family foundedon belief in God almighty.48
Rusli R.Tama mengatakan definisi perkawinan adalah hidup
bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu.49
Perkawinan menurut UUP yaitu ikatan lahir batin
antara seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan menurut KHI adalah akad yang sangat kuat mitsaqan gholidan
untuk mantaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.
Konsep Alqur’an tentang perkawinan berdasarkan Alqur’an Surat
Al A’raf (7):189 yaitu perkawinan adalah penyatuan kembali pada bentuk
asal kemanusiaan yang hakiki yaitu nafsin wahidah (diri yang satu),
sehingga perkawinan adalah reunifikasi antar laki-laki dan perempuan pada
tingkat praktik, setelah didahului pada tingkat hakikat yaitu kesamaan asal
usul kejadian manusia dari diri yang satu. Ali Imron50
mengatakan
perkawinan adalah ikatan antara perempuan dan laki-laki harus saling
menganggap diri masing-masing sebagai perekat dan penyatu antara satu
dan lainnya tidak ada perbedaan, subordinat, dan kepemilikan mutlak.
48 Tahir Mahmod, Personal Law In Islamic Countries, New Delhi: Academy law
and Religion, 1987, hlm.209. 49 R. Rusli Tama, 1984, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya, Bandung:
Santika Dharma, hlm. 10. 50 Ali Imron, Wawasan Alqur’an Terhadap Perempuan dalam Perkawinan.
Semarang; IAIN. Tesis S2, 2001, hlm. 80.
31
Dengan uraian di atas maka menurut penulis perkawinan adalah
sebuah ikatan yang kuat lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami isteri, dilakukan dengan memenuhi rukun dan
syarat menikah, tidak melanggar larangan-larangan perkawinan dalam
Islam dengan niat yang tulus untuk membentuk keluarga sakinah,
mawaddah dan wa rohmah dalam cahaya Ilahi. Akan tetapi, dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia hal-hal yang berhubungan dengan munakahat
Islam seperti dinafikan dengan lebih mengutamakan pengakuan pada
sahnya sebuah perkawinan pada legalitas formal syarat dan prosedur
menikah yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan melalui lembaga
Kantor Urusan Agama (KUA).
Tentang perkawinan yang tidak dicatat dalam masyarakat biasa
disebut perkawinan siri terdapat dua macam yaitu pertama perkawinan
yang dilakukan tanpa wali yang sah, atau suatu perkawinan yang dilakukan
dengan melanggar Rukun dan Syarat yang telah ditetapkan syariat,
dilakukan biasanya secara siri (diam-diam). Kedua, perkawinan yang
dilakukan telah memenuhi Rukun dan Syarat sesuai dengan syariat Islam,
dipublikasi, tetapi tidak dicatat pada lembaga KUA karena alasan-alasan
yang tertentu dan rumit misalnya karena perceraiannya tidak dilakukan di
pengadilan agama, adayang karena faktor biaya yaitu tidak mampu
membayar administrasi pencatatan, ada yang disebabkan karena takut
ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri berpoligami
32
tanpa izin atasan dan izin isteri pertama, ada juga karena menikah di luar
negeri ketika menjadi TKI, ada yang perkawinan yang tidak dicatat karena
saat perkawinan berlangsung berada di tempat atau wilayah konflik, dan
lain sebab yang rumit lainnya.
Berdasar uraian tentang dua model atau macam perkawinan yang
tidak dicatat di atas maka dalam tulisan ini yang digunakan adalah
perkawinan yang tidak dicatat model kedua yaitu suatu perkawinan yang
dilakukan telah memenuhi Rukun dan Syarat Menikah adalah benar
menurut syariah, tetapi tidak dicatat di KUA.
Perkawinan yang tidak dicatat mempunyai dampak terhadap
perkawinan itu sendiri dan terhadap anak-anak yang lahir.. Padahal setiap
anak dilahirkan fitrah atau suci, maka kedua orang tuanya yang akan
menjadikan dia Majusi atau Nasrani. Seorang anak tidak dapat memilih
mau dilahirkan dari orang tua yang mana, begitu juga ia tidak dapat
memilih untuk dilahirkan dari perkawinan orangtua yang seperti apa,
apakah sah menurut negara atau sah menurut agama. Oleh karena itu,
seorang anak harus diberikan perlindungan baik karena hak asasinya atau
karena hal lainnya oleh orangtua, keluarga dan negara. Sebagai anak yang
lahir dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempunyai
Pancasila sebagai dasar negara sudah seharusnya negara memberikan
perlindungan hukum pada anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
dicatat.
33
Pancasila adalah way of life bangsa Indonesia di mana sila pertama
Ketuhanan yang Maha Esa artinya hukum agama diakui oleh negara,
negara berdasar atas hukum Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 Pasca
Amandemen dan memberi perlindungan pada setiap warganegara, negara
berkeadilan sosial dan negara juga berdasarkan kesejahteraan (Pancasila
sila kelima) kesejahteraan dalam arti lahir dan batin seperti dikutip dari
ensiklopedi Pancasila bahwa sejahtera tidak hanya dari segi materi tetapi
juga dari segi immateri, sehingga negara seharusnya mengakui anak
tersebut sebagai anak sah dan memberikan perlindungan atas hak-hak
mereka. Oleh karena itu, Pancasila haruslah menjadi pegangan dalam
penulisan ini. Pancasila dan UUP mempunyai hubungan yang kuat dalam
membahas sistem perkawinan dilaksanakan menurut agama dan
kepercayannya itu yang berpijak pada sila kesatu Pancasila yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 29 UUD NRI 1945.
Mengenai pencatatan perkawinan adalah istilah yang digunakan
oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 khusus untuk pencatatan
perkawinan yang dilakukan untuk warga beragama Islam,51
sedangkan
untuk istilah Pencatatan perkawinan digunakan oleh UUP. Pencatatan
dilakukan oleh PPN, dan akta perkawinan dikeluarkan oleh lembaga Kantor
Urusan Agama kecamatan setempat. Syariat Islam baik Alqur’an maupun
assunnah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan
51 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP.
34
perkawinan. Hal ini berbeda dalam hal muamalat yang dalam hal tertentu
diperintahkan untuk mencatat.52
H. Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia dan UUD 1945
menjadi syarat utama di samping persyaratan-persyaratan lain, Pancasila
merupakan instrumen dari Margin of Appreciation Doctrine. Pancasila
menjadi acuan/ parameter bagi penerapan Margin of Appreciation
Doctrine.53
Pancasila sebagai falsafah selayaknya benar-benar diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat dan sekaligus mewujudkan masyarakat
adil dan makmur.54
Falsafah Pancasila dan sistem hukum perkawinan
menurut penulis dalam tulisan ini dilakukan melalaui sila pertama yaitu
Ketuhanan yang Maha Esa dan sila ke lima yaitu Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Reformasi sistem hukum (law reform) terhadap hukum perkawinan
pada hakikatnya merupakan suatu upaya reformasi atau
reformasi/restrukturisasi system hukum perkawinan dan pencatatan
perkawinan dalam rangka perlindungan hukum terhadap anak yang lahir
dari perkawinan yang tidak dicatat. Barda Nawawi Arief55
menjelaskan
52 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta :PT Raja Grafindo, 2000, hlm
107. 53 UU No.12 Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-Undangan 54Ibid. 55Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru, hlm. 1.
35
bahwa “reformasi”, yaitumembangun kembali sistem hukum nasional. Jadi,
istilah itu sangat berkaitan erat dengan masalah law reform dan law
development, khususnya berkaitan dengan reformasi/pembangunan sistem
hukum perkawinan.
Reformasi hukum perkawinan sesuai dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025,56
kondisi saat ini, di era
reformasi upaya perwujudan sistem hukum nasional terus dilanjutkan
mencakup beberapa hal:
a. Pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum
tidak tertulis telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum
nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan
aspirasi masyarakat, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
b. Penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif terus dilanjutkan.
c. Pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran
hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional
yang dicita-citakan.
. Reformasi hukum (law reform) sistem hukum perkawinan ditujukan
untuk mengatasi masalah perkawinan yang tidak dicatat, menanggulangi
dampak yang timbul dari perkawinan yang tidak dicatat, tentunya dengan 56Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang
RencanaPembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005– 2025.
36
jalan pembangunan kembali/reformasi sistem hukum
perkawinan.Reformasi sistem pencatatan perkawinan ini harus dilakukan
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan
kembali sistem hukum perkawinan perlu dilakukan.
Pembangunan hukum/mereformasi sistem hukum (law reform)
pencatatan perkawinan dipandang sangat penting dan mendesak ini secara
konseptual belum sejalan dengan kebijakan Pemerintah RI dan DPR RI
yang tercantum dalam Daftar Rancangan Undang-Undang (RUU) Tahun
2010–2014 Program Legislasi Nasional (Prolegnas).57
Reformasi/pembangunanhukum perkawinan melalui UUP, UUPA
dan KHI masih belum menjadi perhatian apalagi mengagendakan
perumusan dan pembahasannya. Sementara yang sudah diagendakan adalah
RUU tentang Pemberantasan Perdagangan Anak, yang sebenarnya
substansi RUU ini hanya sebagian kecil persoalan di antara persoalan-
persoalan “gunung es” perlindungan terhadap hak anak dari perkawinan
yang tidak dicatat. Formulasi yang dikandung Prolegnas tidak menjangkau
upaya perlindungan terhadap hak anak dari perkawinan yang tidak dicatat
apalagi perkawinann tidak dicatatnya.
57 Daftar Rancangan Undang-Undang (RUU) Tahun 2010–2014 Program
Legislasi Nasional(Prolegnas).
37
Upaya mereformasihukum secara umum di Indonesia, menurut
pandangan Barda Nawawi Arief58
bahwa sebenarnya sudah dimulai sejak
lahirnya UUD 1945, tentu tidak dapat dilepaskan pula dari landasan
sekaligus tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia seperti telah
dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum berdasarkan
Pancasila”.
Mengingat belum dimasukkannya pembaharuan sistem hukum
perkawinan dalam Prolegnas pada periode tahun 2014, maka diharapkan
untuk periode 2015-2019, pembaharuan sistem hukum pekawinan di
masukkan dalam Prolegnas.
58 Pandangan Barda Nawawi Arief dikutip dalam Satjipto Rahardjo, Membangun
danMerombak Hukum Indonesia: Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. xiii.
38
BAB III
METODOLOGI
3.1. PendekatanMasalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative dan yuridis
empiris. Pendekatan yuridis normative dilakukan dengan cara menelaah dan
menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas,
konsepsi, doktrin dan norma hukum yang berkaitan dengan perlindungan
hukum terhadap anak hasil perkawinan siri. Adapun pendekatan yuridis
empiris dilakukan dengan penelitian lapangan yang ditujukan pada kasus
perkawinan siri.
Pada dasarnya penelitian ini adalah penelitian yuridis normative yang
menggunakan pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hokum utama
dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hokum serta
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.
Pendekatan ini digunakan dengan pertimbangan bahwa konflik di bidang
hukum perkawinan adalah konflik norma yang terjadi antara perundang-
undangan dengan norma yang hukum Islam yang diyakini masyarakat,
bukan antara peraturan hukum dan implementasinya. Oleh sebab itu
diperlukan analisa yuridis normatif yang didukung oleh data empiris
sebagai gambaran riel akibat konflik norma tersebut.
39
3.2. Sumber Data
Di dalam, sumber utamanya adalah bahan hokum yang dikaitkan dengan
fakta social karena dalam penelitian ilmu hokum empiris yang dikaji adalah
bukan hanya bahan hokum saja akan tetapi ditambah dengan pendapat para
ahli. Penulisan proposal skripsi ini menggunakan data primer, yaitu data yang
diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi
maupun laporan yang berbentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah
oleh peneliti, dan data sekunder, yaitu data yang di ambil dari bahan pustaka
yang terdiri dari 3 (tiga) sumber bahan hokum yaitu bahan hokum primer,
sekunder dan tersier. Untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan
sebagai berikut:
1. Bahan hokum primer
a. Undang-UndangNo. 1 Tahun 1974
b. Kompilasi Hukum Islam.
c. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002
jo UUPA No.35 Tahun 2014
d. Putusan Perdata Perkara Nomor 1241/Pdt.g/PA JS pada sub
tanggapan pemerintah
e. UU HAM No 39 tahun 1999 tentang HAM
2. Bahan Hukum Sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara langsung dari
penelitian lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang
40
diteliti, yakni dilakukannya wawancara.
3. Bahan Hukum Tersier.
Bahan hukum yang menguatkan penjelasan dari bahan hokum primer
dan sekunder yaitu berupa kamus hukum.
3.3. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif,
artinya menguraikan data yang diolah secara rinci kedalam bentuk kalimat-
kalimat (deskritif). Analisis kualitatif yang dilakukan bertitik tolak dari analisis
empiris, yang dalam pendalamannya dilengkapi dengan analisis normatif.
Berdasarkan hasil analisis ditarik kesimpulan secara dedukatif, yaitu cara
berpikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum untuk kemudian
ditarik suatu kesimpulan bersifat khusus.
41
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perkawinan Tidak Dicatat
Perkawinan yang tidak tercatat tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Oleh sebab itu penelitian ini mengambil sampel empiris di Kecamatan
Mranggen sebagai model masyarakat Indonesia pada umumnya. Perkawinan
siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan dapat digambarkan sebagai berikut:
GAMBAR 1Skema Perkawinan Siri
Sedangkan perkawinan yang dicatatkan dapat digambarkan sebagai
MEMPELAI
WALI
SAKSI
AKAD
NIKAH/IJAB
KOBUL
PERKAWINAN SAH KARENA
MEMENUHI RUKUN PERKAWINAN
PASAL 2(1)
UU NO.1 /1974
42
berikut :
GAMBAR 2 Perkawinan Tercatat
Berdasarkan wawancara dengan beberapa penduduk dan kades yang
mengikuti penyuluhan Hukum Perkawinan pada tanggal 17 Juni 2018 di
kelurahan Batursari, didapat data sebagai berikut:
1. Menurut Kades Batursari masih terdapat perkawinan siri yang
dilakukan oleh penduduk Batursari, per 2017 ada 16 keluarga yang
terdata menikah siri disebabkan perkawinan dengan isteri kedua dan
tinggal di perumnas.
2. Sedangkan 2 keluarga nikah siri yang tinggal di dusun Ndaleman
dilakukan karena kondisi ekonomi pihak perempuan yang menikah
MEMPELAI
WALI
SAKSI
AKAD
NIKAH/IJAB
KOBUL
PENCA
TATAN
NIKAH
PERKAWINAN SAH KARENA
MEMENUHI RUKUN PERKAWINAN
BUKU NIKAH
PASAL PASAL 2(1) UU NO.1 /1974
PASAL 2(2) UU NO.1 /1974
43
dengan orangkaya dari luar daerah.
3. Informasi dari penduduk sekitar, anak yang dilaahirkan dari nikah
siiri tetap mendapatkan biaya pendidikan dari pihak suaminya, yang
datang secara periodik pada waktu tertentu.
Perbedaan kedua perkawinan diatas hanyalah pada proses administrasi
pencatatan nikah, bukan pada unsur – unsur perbuatan “perkawinan”. Pasal 2
Ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 menetapkan bahwa ketentuan mengenai
perkawinan yang “sah” harus dilakukan menurut agama masing-masing.
Sedangkan pada ayat (2) nya menetapkan ketentuan administratif bahwa
pwrkawinan harus dicatatkan menurut UU yang berlaku. Dari 2 (dua) ayat
dalam Pasal 2 UU Perkawinan ini muncul perdebatan hokum mengenai sah
tidaknya perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai ajaran agama namun
tidak dicatatkan dalam dokumen yang sah dalam negara. Akibat dari
permasalahan ini adalah adanya perkawinan yang sah menurut agama, namun
tidak mendapat legalitas yang sah menurut hokum negara. Sehingga, hak-hak
dan kewajiban-kewajiban antara suami dan isteri tidak mendapat jaminan
secara penuh dari Negara.
Sedangkan konsepsi dan pemaknaan nikah siri dalam konteks Fikih
klasik pada dasarnya adalah perkawinan yang bertujuan untuk "merahasiakan"
pernikahan agar ada pihak-pihak tertentu yang tidak mengetahui terjadinya
pernikahan tersebut. Nikah siri dalam makna tersebut dianggap tidak sah.
Pemaknaan nikah siri dari sisi konsep tersebut, merupakan bentuk pernikahan
44
yang secara substantif didalamnya terdapat indikasi kekurangan syarat dan
rukun perkawinan walaupun secara formal terpenuhi.
Dinamakan siri karena dilangsungkan secara diam-diam, tertutup,
rahasia atau sembunyi-sembunyi tanpa adanya publikasi. Munculnya fenomena
nikah siri yang semakin marak dilakukan, dengan alasan tertentu tanpa wali
perempuan, bahkan terkadang juga tanpa saksi dan tanpa sepengetahuan orang
tua pihak perempuan. Pernikahan seperti ini tidak sah secara agama dan
apalagi secara hukum Negara, walaupun pelaku nikah sebagian masyarakat
menganggap bahwa pernikahan model seperti ini sudah sah berdasarkan
pemahaman agama yang diyakini tanpa memikirkan segala resiko dan dampak
yang ditimbulkan oleh nikah siri terutama bagi perempuan dan anak yang
dihasilkan dari pernikahan siri. Perkawinan siri juga berkaitan dengan umur
perkawinan wanita yang masih beradadi bawah umur, sehingga harus
melakukan memilih perkawinan siri. Hal tersebut dapat dilihatpada tabel yang
dirilis oleh SUPAS sebagai berikut:
Tabel.1.UmurPerkawinanPertamaWanitaUsia10-
54diPedesaanMenurutSUPAS2015
UmurPerkawinanPertama Frekuensi %
<13tahun 1393411 5,10
14 1481929 5,42
15 2522914 9,23
16 3310195 12,10
17 3561335 13,02
18 3292704 12,04
45
19 2889733 10,57
20-21 4240671 15,51
22-24 2866180 10,48
25-29 1437156 5,26
30+ 333755 1,22
NotRespon 16612 0,06
Jumlah 27346595 100,00
Sumber: SUPAS,2015
Umur perkawinan wanita dibawah 19 tahun pada tahun 2005
mencapai lebih dari 50% dari jumlah wanita yang menikah. Kementerian
Agama mencatat, 48 persen dari 80 juta anak di Indonesia lahir dari proses
perkawinan yang tidak tercatat, artinya, 35 juta anak di Indonesia sulit
mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk, hak-hak hokum seperti hak
waris, dan sebagainya. Ada kecenderungan sekarang ini di kalangan
masyarakat yang melakukan nikah siri atau kawin mut'ah. Begitu gampangnya
mereka melakukan perkawinan, tetapi juga begitu mudahnya melakukan
perceraian, meningkatnya praktek ini dalam beberapa tahun terakhir
menimbulkan gelombang perceraian yang sangat tinggi, yaitu sekitar 200 ribu
orang per tahun diantara 2 juta orang yang menikah, padahal sebelumnya
angka perceraian rata-rata tiap tahun hanya sekitar 50.000 orang
(Kliping.depag.go.id.)
46
Berkaitan dengan kondisi tersebut, penelitian di kecamatan Mranggen
mencatat adanya perkawinan siri yang dilakukan karena berbagai alasan.
Sekalipun jumlah orang yang melakukan kawin siri tidak terdata di KUA
tetapi diperkirakan cukup banyak. Secara administrative desa Batursari
M r a n g g e n terdiri atas 7 dusun yang mencakup 297 RT dan 38 RW,
berikut data perangkat desa Batursari. Jumlah penduduk desa Batursari
mencapai 34.406 jiwa dan dengan jumlah pemilih tetap sebanyak 21681 jiwa,
dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 17.196 jiwa sedangkan jumlah
penduduk perempuan sebanyak 17.210 jiwa. Masyarakat desa Batursari
mayoritas beragama Islam, yaitu mencapai 72 persen, Kristen Protestan
sebanyak 11 persen dan sisanya sebanyak 17 persen masyarakat lagi terbagi
dalam agama Kristen Katholik, Hindu dan Budha. Wilayah desa Batursari juga
2015 20162017 2015 - 2017
2017
Tabel 2 Nikah, Talaq dan Cerai Penduduk P Jawa 2016-2018
47
dikenal sebagai wilayah hijau, atau julukan lain dari kawasan yang didominasi
kelompok warga yang beragama Islam. Di wilayah ini terjadi banyak
perkawinan siri.
Menurut KUA Mranggen59
, paktik kawin atau nikah siri ini
disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena faktor yaitu :
a. ketidaktahuan dan ketidaksadaran akan pentingnya dokumen
perkawinan
b. maupun karena adanya maksud untuk memanfaatkan celah hukum
bagi mereka yang akan melangsungkan poligami,
c. atau menjaga kelangsungan tunjangan suami bagi wanita yang
telah bercerai,
d. atau seorang istri takut tunjangannya sebagai istri Pegawai Negeri
Sipil yang ditinggal mati oleh suaminya hilang,
e. dan atau karena masalah biaya pencatatan perkawinan bagi
mereka yang tidak mampu.
Di samping faktor tersebut di atas, di kalangan umat Islam masih ada
yang berpegang teguh pada pemahaman bahwa perkawinan sudah sah apabila
dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam, tidak perlu ada pencatatan dan
tidak perlu ada surat atau akta nikah, sehingga perkawinan di bawah tangan
atau kawin siri pun tumbuh subur, seiring dengan tidak adanya sikap proaktif
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agamauntuk mengawasi setiap
59 http://kuamranggen.blogspot.co.id/2013/01/nikah-siri-vs-itsbat-nikah.html
48
peristiwa nikah yang ada di wilayahnya.Hasil peneltian di Batursari,
Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah
ditemukan keluarga yang melakukan perkawinan yang tidak dicatat.
Perkawinan yang tidak dicatat banyak juga dilakukan santri yang
menganggap cukup dengan perkawinan yang tidak dicatat, karena untuk
menghindari zina.Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2007 di Desa
Wonodadi Kabupaten Kendal terdapat 213 perkawinan sah secara agama
dan negara, serta 37 perkawinan yang tidak dicatat.60
Perkawinan yang
tidak dicatat juga banyak dilakukan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di
tempat kerja mereka dan ketika pulang ke Indonesia perkawinan yang tidak
dicatat tersebuttidak juga dicatatkan ke instansi negara. Perkawinan mereka
melahirkan anak-anak. Keadaan ini bertambah rumit bila mereka,pasangan
TKI ini hendak bercerai, kemudian masing-masing akan menikah lagi,
sehingga yang terjadi adalah perceraiannya tidak dicatat di pengadilan
agama dan terjadi pengulangan perkawinan yang tidak dicatat.
Paparan tersebut menggambarkan bahwa masihbanyak dijumpai
perkawinan tidak dicatat dan adanya anak-anak yang lahir dari perkawinan
yang tidak dicatat yang sebagian besar terlantar hak-haknya, walaupun ada
juga anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatyang secara
materi dan immateri tercukupi.
60 Muntaha, Perkawinan yang Tidak Dicatatkan Masyarakat Wonodadi Kecamatan
Plantungan Kabupaten Kendal, Semarang : IAIN Walisongo, Tesis S2, 2008, hlm 7.
49
Dalam tingkat pemahaman agama Islam merupakan agama mayoritas
yang dianut oleh masyarakat, banyak diantara mereka yang taat menjalankan
ajaran agama seperti shalat, zakat, puasa dan ibadah-ibadah lain baik yang
berhubungan langsung dengan Allah SWT. Maupun sesame manusia. Pengajian
diselenggarakan pada tiap dusun secara rutin dan tingkat desa secara mingguan
juga dalam memperingati hari besar agama Islam yang diselenggarakan oleh
para kyai, para ustadz dan organisasi pemuda yang ada di Desa Sumberejo.
Adapun masyarakat di desa Sumberejo dalam pemahaman terhadap ajaran
agama Islam sebagian besar masih kurang, kebanyakan dari mereka mengikuti
apa yang dikerjakan dan dianjurkan oleh kyai setempat yang dianggap sebagai
orang yang paling pintar, benar, mengerti tentang agama dan menjadi suri
tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu masyarakat menganggap
bahwa segala bentuk ibadah dianggap baik tanpa mengetahui sumber dan dasar
hukum yang sebenarnya. Misalnya tentang hokum nikah, ada sebagian
masyarakat menganggap bahwa nikah itu cukup dilaksanakan berdasarkan
syari’at islam yaitu adanya wali dan dua orang saksi, tanpa memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Indonesia. Maka
masyarakat desa Sumberejo perlu memperoleh sosialisasi dan bimbingan dari
para ulama atau para da’i agar dapat menjalankan perintah Allah sesuai dengan
al-Qur'an dan sunnah rasul serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara substansi
lebih lengkap dan menyeluruh dan bersifat unifikasi bila dibandingkan
50
dengan UU PNTR. Akan tetapi, unifikasi dalam istilah R.Soetoyo
Prawirohamiharjo yaitu Pluralisme dalam UUP.61
Mengingat sifat UUP
yang unifikasi di tengah warga masyarakat yang agamanya beragam inilah,
maka UUP dikemudian hari menimbulkan beberapa masalah terutama
dalam perkawinan warga muslim. Masalah yang utama adalah masalah
konsep tentang sahnya perkawinan, sistem pencatatan perkawinan dan
akibat hukum yang timbul dari sistem pencatatan perkawinan tersebut, serta
besarnya peran PPN dalam sebuah acara Ijab kabul untuk warga muslim.
Konsep Tentang Sahnya Perkawinan
Masalah dari sistem hukum perkawinan saat ini adalah konsep
tentang makna perkawinan yang sah dan akibat hukumnya. Sahnya sebuah
perkawinan menurut undang-undang adalah bila pelaksanaannya dilakukan
menurut sistem hukum agama dan dicatatkan.62
Konsep perkawinan sah ini perlu dilakukan pembaharuan, karena
faktanya terdapat masyarakat yang melakukan perkawinan secara agama,
tanpa melakukan pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA). Perkawinan
61 R.Soetoyo Prawirohamiharjo,Pluralisme dalam Perundang-undangan
perkawinan. Surabaya:Airlangga University Press, 1994, hlm.1. 62 UUP Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), dan KHI Pasal 4 dan Pasal 5 mewajibkan
pencatatan nikah, UU PNTR tidak mewajibkan, tetapi hanya melakukan pengawasan dan memberi sanksi denda bila terlambat melaporkan perceraian dan rujuk.
51
yang dilakukan secara agama63
adalah perkawinan yang sah, hanya saja
tidak dicatat di KUA. Tidak mencatatkan perkawinan tidaklah berarti anak
yang lahir dari Perkawinan tersebut menjadi anak luar perkawinan.64
Dan
negara tidak boleh mengatakan bahwa “perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hukum”.
Berdasarkan Pasal 14 KHI maka perkawinan adalah sah bila
dilakukan dengan memenuhi Rukun dan Syarat menikah yaitu: a) ada calon
suami, b) ada calon isteri, c) ada wali perkawinan, d) ada dua saksi, e) ada
Ijab Kabul, dilakukan dihadapan dan di bawah pengawasan PPN atau
PPPN65
untuk kemudian dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA)
Persoalan lain adalah pembuktian perkawinan di mana berdasarkan
Pasal 7 ayat (1) KHI bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
adanya akta perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
(PPN). Pernyataan pasal ini menyebabkan pengadilan agama hanya akan
menerima pembuktian adanya perkawinan dengan alat bukti tunggal yaitu
akta perkawinan. Alat bukti dalam Islam tidak hanya bukti tertulis, ada juga
63 Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 14 syarat sah menikah bila telah
memenuhi Rukun dan Syarat yaitu 1) ada mempelai, ada saksinya, ada wali, dan ada ijab kabul
64 Pasal 42 UUP anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah adalah anak tidak sah.
65 PPN adalah aparat negara dalam urusan perkawinan untuk masyarakat muslim. PPN dan PPPN sudah disahkan sebagai aparat hukum oleh Negara melalui Kementerian Agama untuk meneliti berkas orang yang akan menikah, mengawasi pelaksanaan perkawinan, dan menghadiri setiap ijab kabul perkawinan.
52
sumpah, ada iqrar dll. Dalam hukum acara perdata peradilan agama
disebutkan bahwa alat bukti adalah66
1) alat bukti tertulis, 2) alat bukti
saksi, 3) praduga, 4) pengakuan dan 5) sumpah.
Selain itu konsep yang digunakan oleh Kompilasi Hukum Islam
(KHI) bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan Pegawai
Pencatat Perkawinan (PPN) dan di bawah pengawasan PPN.67
Dengan
ketentuan seperti ini maka kewenangan PPN yang terlalu besar yang
diberikan negara menyebabkan PPN bila tidak hadir dalam sebuah ijab
kabul dan tidak melakukan pengawasan pada acara ijab kabul, maka
perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak diakui
negara. Ketentuan ini telah menafikan hukum materil Perkawinan Islam,
sehingga pengakuan bahwa perkawinan adalah sah menurut agama dan
kepercayaan tersebut menjadi sebuah peraturan yang tak berdaya.
Sistem hukum perkawinan dan pencatatan perkawinan bagi warga
muslim di Indonesia masih merupakan masalah, hal ini disebabkan adanya
sistem hukum pada hukum perkawinan yang mengharuskan pencatatan
perkawinan sedangkan sebagian masyarakat muslim berhukum dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) adalah hukum Islam
yang tidak mewajibkan pencatatan perkawinan, dan hukum negara (state
66 HIR Pasal 164 dan RBg 283 digunakan sebagai hukum acara di pengadilan
agama berlaku berdasarkan Pasal 54 UU Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa hukum acara untuk pengadilan agama sepanjang belum ditetapkan lain maka adalah HIR dan RBg.
67 Pasal 5 KHI.
53
law) yang mengharuskan pencatatan perkawinan, sehingga saling
berbenturan. Konsep sahnya perkawinan juga berbeda antara hukum Islam
dan hukum negara. Budaya hukum para aparat hukum yang berkait dengan
pelaksanaan hukum perkawinan yaitu PPN atau Pembantu Pegawai
Pencatat Perkawinan (PPPN) dan hakim pengadilan agama berbeda dengan
budaya hukum masyarakat. Aparat PPN dan Hakim Pengadilan Agama
berhukum dengan hukum undang-undang, sedangkan sebagian masyarakat
berhukum dengan hukum materiil Perkawinan Islam.
Hal demikian ini berimbas pada penegakan hukum di pengadilan
agama yang hanya mengakui bahwa satu-satunya alat bukti yang sah dalam
pembuktian perkawinan di pengadilan agama hanyalah akta perkawinan
yang dikeluarkan oleh lembaga negara yaitu KUA, diluar akta perkawinan
tersebut suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum dan kekuatan
pembuktian untuk kepentingan pihak ketiga.
Dengan kata lain, merubah konsep pemikiran bahwa akta
perkawinan adalah bukti administrasi biasa sama dengan bukti administrasi
lainnya, dan bukan merupakan satu-satunya alat bukti sahnya sebuah
perkawinan bukanlah hal yang mudah. Keadaan ini berimplikasi pada
proses hukum di di pengadilan agama yang selama ini melakukan
pembuktian perkawinan hanya berdasarkan pada akta perkawinan, bukan
pada adanya proses hukum perkawinan Islam dalam masyarakat.
Kedudukan akta perkawinan tetap menjadi penting untuk hubungan
54
keperdataan lainnya selain perkawinan, seperti untuk menetapkan ahli
waris, untuk penguruasan pensiun dan lain-lain.
Fungsi akta perkawinan yang utama bukanlah untuk pengesahan
sebuah peperkawinanan tetapi untuk hubungan hukum perdata lainnya di
luar perkawinan yang berhubungan dengan pihak ketiga. Dengan demikian
akta perkawinan tetap diperlukan tetapi tidak menghilangkan atau
menisbikan hukum materil perkawinan Islam.
4.2. Perlindungan Hukum Terhadap AnakPada
PerkawinanTidak Dicatat
Hasil penelitian mengenai perlindungan anak akibat kawin siri
meliputi beberapa aspek, yaitu :
4.2.1. Aspek perlindungan ditinjau dari kehidupan sehari-hari,
atau pemeliharaan anak hasil kawin siri.
Tentang perlindungan hukum anak dari perkawinan yang
tidak dicatat UUP dalam pasal-pasalnya tidak memberikan ruang
untuk melindungi anak-anak tersebut. Pada Tahun 2002 pemerintah
menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun
2002 jo UUPA No.35 Tahun 2014 yang memberikan pernyataan
bahwa setiap anak berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
55
hadapan hukum.68
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.69
Akan tetapi, dalam kenyataannya
anak-anak yang lahir dari perkawinan tidak dicatat, terutama dari
keluarga miskin, tidak mendapatkan perlindungan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, maka akar masalah perkawinan
yang tidak dicatat dan tidak dilindunginya anak dari perkawinan
yang tidak dicatat oleh negara bersumber dari keberadaan sistem
hukum perkawinan tentang konsep perkawinan yang sah yang
berbeda antara hukum negara dan hukum yang hidup di masyarakat,
tentang konsep pencatatan perkawinan, tentang besarnya peran PPN
dalam proses akad perkawinan serta pengabaian terhadap alat bukti
perkawinan lain, selain mengakui akta perkawinan oleh hakim
pengadilan agama. Keberadaan sistem pencatatan perkawinan yang
berliku dan mengharuskan setiap perkawinan dilakukan disaksikan
dan diawasi oleh penghulu atau Pegawai Pencatat Perkawinan
menyebabkan timbulnya masalah pencatatan perkawinan.
Perkawinan yang tidak diawasi dan disaksikan oleh penghulu, maka
perkawinan tersebut tidak berkekuatan hukum dan tidak diakui
negara, bahkan dalam putusan perdata perkara Nomor
1241/Pdt.g/PA JS pada sub tanggapan pemerintah disebutkan 68 UUD NRI Th.45 Pasal 28D ayat 1 69 UUD NRI Th 45 Pasal 28B ayat 2
56
sebuah perkawinan yang tidak mempunyai akta perkawinan maka
perkawinan tersebut tidak pernah ada.
Dengan kata lain, masih terdapat konflik hukum perkawinan
untuk masyarakat muslim yaitu antara hukum negara dengan
kepentingan dan kebutuhan hukum masyarakat yang sampai saat ini
belum ada solusi. Konflik terjadi karena adanya perbedaan
pemahaman antara budaya hukum penegak hukum yang positivistik
dan budaya hukum masyarakat yang memegang hukum yang hidup
(living law). Pertentangan substansi hukum perkawinan juga terjadi
pada wilayah hukum negara dan hukum yang hidup di masyarakat,
sehingga sangat jelas terdapat legal gap antara hukum yang berasal
dari negara (state law), dan hukum yang hidup dalam masyarakat
(religion, ethics, moral) yang pada gilirannya di ranah implementasi
menimbulkan legal conflict antara hukum negara dan hukum agama.
Dalam rangka mewujudkan fungsi keadilan guna
perlindungan hukum pada anak dari perkawinan tidak dicatat dapat
dilihat dari sudut hak azasi anak yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari hak azasi manusia (HAM). Di Indonesia
perlindungan atas hak azasinya telah dikeluarkan UU HAM No 39
tahun 1999 tentang HAM sebagai payung hukum.
57
Pada pertimbangan point a-e UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM disebutkan bahwa:
a. bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta
dengan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat
manusia, oleh PenciptaNya dianugerahi hak asasi untuk
menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya
serta keharmonisan lingkungannya
b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan
langgeng oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau
dirampas oleh siapapun
c. bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban
dasar anatar manusia yang satu dengan yang lain dan terhadap
masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota PBB mengemban
tanggungjawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan
melaksanakan deklarasi universal tentang HAM yang ditetapkan
oleh PBB serta berbabagai instrumen lainnya mengenai HAM
yang telah diterima oleh negara RI
58
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a,b, c, dan d dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR
RI Nomor XVII?MPR/1998 tentang HAM perlu membentuk UU
tentang HAM
Selain pengertian dasar tersebut UU N0.39 Tahun 1999 memberikan
pengertian dasar tentang ketentuan umum HAM yang ditetapkan
pada point 1-6 UU No. 39 Tahun 1999. Yang dimaksud dengan
HAM diterangkan dalam point 1 sebagai berikut:
Hak asasi manuisa adalah hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha esa
dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia
Makna diskriminasi diterangkan dalam point 3 sebagai berikut:
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung didasarkan atas pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan,
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
59
atau pengunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan
baik individu maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosbud, dan aspek kehidupan lainnya.
Sebagaimana orang dewasa maka anak juga mempunyai hak
yang sama seperti yang disebutkan UU No.39 Tahun 1999 tentang
HAM pada beberapa bagian pentingnya seperti perlakuan non
diskriminasi baik atas perkawinannya maupun atas anak-anak yang
lahir dari perkawinan tidak dicatat tersebut.
Perlindungan hak anak adalah suatu kegiatan bersama yang
bertujuan untukuntuk mengusahakan pengamaanan dan pemenuhan
kesejahteraan rohani dan jasmani anak yang sesuai dengan
kepentingannya dan hak asasinya70
.
4.2.2. Aspek Yuridis Perlindungan Anak Dalam Hubungan Hukum
Berdasarkan pasal 280 KUHPerdata, seorang anak luar kawin
akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah
diakui secara sah, dengan demikian apabila seorang anak luar kawin
tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan
keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya, namun
70 Arief Gosita, masalah Korban kejahatan, jakarta: Akademik Presindo, 1993, hlm.3
60
menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur
dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan, hanya saja dalam ayat (2) disebutkan bahwa kedudukan
anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan
pemerintah, akan tetapi sampai saat ini peraturan tersebut tidak pernah
ada untuk melindungi anak yang dihasilkan luar nikah, sehingga
kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya Undang-
Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan tetap diperlukan suatu
pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang
anak luar kawin dengan orang tuanya, pengakuan terhadap anak luar
kawin dapat dilakukan dengan 2 cara,yaitu :
a. Pengakuan Sukarela
Suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara
yang ditentukan undang–undang bahwa ia adalah bapaknya (ibunya)
seorang anak yang telah dilahirkan diluar perkawinan, dengan
adanya pengakuan maka timbul hubungan perdata antara si anak dan
bapak (ibu) yang telah mengkuinya sebagaiamana diatur dalam pasal
280 KUHPerdata.
b. Pengakuan Paksaan
61
Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan,
yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir diluar perkawinan itu,
dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya
kepada Pengadilan Negeri. Agar supaya anak luar kawin dalam arti
sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini
diatur dalam pasal 287–289 KUHPerdata. Anak luar kawin yang
dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit yaitu anak
yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang
syah baik diantara mereka maupun dengan orang lain
Mahkamah Konstitusi republik Indonesia telah memberikan
putusan tentang adanya permohonan gugatan mengenai status
kedudukan anak yang lahir dari hasil pernikahan siri, dimana
didalam Undang – Undang Pernikahan Nomor 1 tahun 1974 pasal
42 disebutkan “ Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah “, sedangkan dalam pasal
43 ayat (1) dijelaskan “anak yang dilahirkan diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya“ jika dilihat dari bunyi kedua pasal tersebut diatas, maka
status atau kedudukan anak yang dilahirkan di luar nikah
sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 1 tahun
1974 maka Anak tidak memiliki hubungan keperdataan terhadap
Ayahnya sehingga hilanglah pertanggunjawaban ayah biologisnya
62
terhadap anak kandungnya dari hasil pernikahan siri atau
pernikahan yang tidak sah tersebut dan lepaslah pertanggung
jawaban ayah biologisnya terhadap perkembangan serta
penghidupannya anak yang di hasilkan dari pernikahan siri.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
pasal 2 ayat (1) dijelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan
kepercayaannya itu“. dan dalam ayat (2) diterangkan “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang
berlaku”. Bila melihat dari pasal 2 ayat (1) dan (2) bahwa
perkawinan yang sah adalah bila dilakukan menurut hukum agama
dan kepercayaannya masing-masing, serta dicatatkan menurut
peraturan perundang-undangan. Sehingga status kedudukan Anak
yang didapat dari hasil pernikahan siri maka dapat
dikatakanstatus anak tersebut adalah tidak sah karena dihasilkan
dari pernikahan yang tidak sah karena tidak sesuai dalam Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahanpasal 42 dan
pasal 43.
Anak hasil pernikahan siri atau (diluar pernikahan) menjadi
Anak diluar pernikahan berdasarkan norma hukum dalam pasal 43
ayat (1) UU perkawinan, di sisi lain hal ini telah menimbulkan
permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi
63
tidak jelas dan sah, sedangkan dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa
anak terlantar saja yang status orang tuanya tidak jelas, dipelihara
oleh Negara, dan hal yang berbeda diperlakukan terhadap anak yang
dihasilkan dari perkawinan sah, sesuai dengan rukun Nikah dan
Norma Agama justru dianggap tidak sah oleh Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan Konstitusi
Republik Indonesia tidak menghendaki sesuatu yang sudah sesuai
dengan Norma agama justru dianggap melanggar hukum
berdasarkan norma hukum, bukankah hal ini merupakan
pelanggaran oleh Norma hukum terhadap norma agama.
Kelahiran anak dalam suatu pernikahan yang dilakukan
secara Norma Agama bukanlah suatu kehadiran tanpa sebab, tetapi
sebagai hasil hubungan kasih sayang antara kedua orang tuanya,
namun akibat dari ketentuan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan,
menyebabkan beban psikis terhadap anak dikarenakan tidak adanya
pengakuan dari bapaknya atas kehadirannya didunia, tentu saja hal
ini akan menyebabkan kecemasan, ketakutan dan ketidak nyamanan
anak dalam pergaulannya di masyarakatbukankah Van Apeldoorn
dalam bukun “Incleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland“
menyatakan bahwa tujuan hukum untuk mengatur pergaulan hidup
secara damai, hukum menghendaki kedamaian, dan kedamaian
diantara manusia dipertahankanolehhokumdengan
64
melindungikepentingan-kepentinganmanusia yang tertentu yaitu
kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan lain sebagainya
terhadap yang merugikannya. Kepentingan individu dan
kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu
sama lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini selalu akan
menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain kalau tidak
diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian dengan
mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi,
dimana setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang
menjadi haknya71
.
Norma konstitusi yang termaktub dalam UUD 1945 salah
satunya mengandung tujuan hukum, dan tujuan hukum dapat
ditinjau dari teori etis (etische theorie) yang menyatakan hukum
hanya semata-mata bertujuanmewujudkankeadilan, kelemahannya
adalah peraturan tidak mungkin dibuat untuk mengatur setiap orang
dan setiap kasus, tetapi dibuat untuk umum, yang sifatnya abstrak
dan hepotesis, dan kelemahan lainnya adalah hukum tidak selalu
mewujudkan keadilan, disisi lain menurut teori Utilitis ( Utilitis
theorie ) hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang
berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan
sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak – banyaknya,
71VanApeldoorn,PengantarIlmuHukum,terjemahanIncleidingtotdestudievanHetNederlanndseRechtolehMr.OetaridSadino,Noordhoff-kalffN.V.Jkt.Cet.IV,1958,hal.13
65
kelemahannya adalah hanya memperhatikan hal – hal umum, dan
terlalu individualistis, sehingga tidak memberikan kepuasan bagi
perasaan hukum. Bellefroid menyatakan bahwa isi hukum harus
ditentukan menurut dua asas, yaitu keadilan dan faedah. Utrecht
menyatakan hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum
(rechtszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas
itutersimpul dua tugas lain, yaitu tersimpul pula tugas ketiga yaitu
hukum bertugas Polisionil (politionele taak van het recht) Hukum
menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri
(eigenrichting), sedangkanWiryonoProdjodikoro berpendapat
tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan bahagia dan tertib
dalam masyarakat72
berdasarkan penjelasan tersebut, norma hukum
yang termaktub dalam UU Perkawinan telah melanggar hak
Konstitusional Anak hasil dari pernikahan siri.
Putusan Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa anak hasil
perkawinan siri mempunyai hubungan keperdataan terhadap ayah
biologisnya, sehingga anak tersebut mempunyai hak yang sama
sebagaimana anak hasil pernikahan yang tercatat sebagaimana diatur
dalam perundang-undangan nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, dan secara konstitusi juga mendapatkan perlindungan
hukum.
72Riduan Syahrani, Rangkuman inti sari ilmu hukum, Pustaka Kartini, cet, pertama, 1991, hal. 23 – 26
66
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
a. Perkawinan yang tidak dicatat pada dasarnya sah menurut norma
agama karena telah memenuhi rukun perkawinan, dimana
seharusnya mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang
telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi perkawinan
tersebut berhadapan dengan norma hukum nasional yang
menghendaki setiap perkawinan harus dicatatkan supaya
mendapatkan perlindungan hukum atas dasar adanya bukti
perkawinan yang sah menurut undang-undang. Konflik norma
sebenarnya bukan pada sah atau tidaknya perkawinan yang sudah
dilaksanakan menurut agama, tetapi pada persepsi mengenai
kewajiban pencatatan yang tujuannya adalah untuk ketertiban
hukum. Pada satu sisi, pencatatan nikah memang diperlukan dalam
pluralitas hukum perkawinan, pada sisi lain pencatatan nikah
menisbikan bukti lain selain akta nikah sehingga bersifat rigid.
b. Perlindungan hukum terhadap anak hasil nikah siri telah diatur
dalam hukum Indonesia dalam dua aspek,yaitu: pertama, aspek
kehidupan sehari-hari sebagai seorang anak hasil perkawinan, telah
diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam dan fikih Munakahat.
67
Apabila perkawinan itu didasarkan kepada ketaatan kepada Allah,
maka mereka akan mengikuti aturan tersebut. Kedua, dari aspek
yuridis berkaitan dengan hubungan hukum, telah diatur melalui
putusan MK bahwa seorang anak luar kawin mempunyai hubungan
hukum keperdataan terhadap ayah biologisnya, sehingga mempunyai
hak waris.
5.2. Saran
a. Perlu adanya upaya internalisasi pencatatan nikah terhadap masyarakat,
sehingga masyarakat Islam Indonesia membudayakan pencatatan Nikah
di dalam setiap perkawinan.
b. Negara perlu melakukan evaluasi terhadap peraturan pencatan Nikah
dan pembuktian Nikakh yang bersifat rigid guna membangun
fleksibelitas pembuktian perkawinan.
68
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Somad. HUKUM ISLAM: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012.
Abu Hafs Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Panduan Lengkap Nikah.
Terjemahan olehAbu Zakki Akhmad, Fiqh Wanita.Jakarta: Rica
Grafika, 1996.
Ahmad Toha Putra, An Nur Alqur‟an dan Terjemahan, Semarang: Asy Syifa,
1998.
Akhmad Saikhu.Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.hlm. 18. HR Bukhari, hadis No.
5066.
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam wa „Adillatuh. Juz VIII. Cet. III. Beirut:
Dar al-Fikr. 1989.
Amin, Ma’ruf. dkk. HIMPUNAN FATWA MUISEJAK 1975. Jakarta: Erlangga.
2011.
Aulawi, Wasit. Pernikahan Harus MelibatkanMasyarakat, Mimbar Hukum.
No. 28. 1996.
Fenomena-nikah-siri-di-indonesia-jaman.html. 19/09/2013. 11:31.
69
http://www.google.com/Pernikahan-Siri-dari-Perspektif-Hukum-Indonesia.
19/09/2013. 11:36.
Kompilasi Hukum Islam
Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998.
Muntaha, Perkawinan yang Tidak Dicatatkan Masyarakat Wonodadi
Kecamatan Plantungan Kabupaten Kendal, Semarang : IAIN
Walisongo, Tesis S2, 2008.
R.Soetoyo Prawirohamiharjo,Pluralisme dalam Perundang-undangan
perkawinan.
Rusli, An R. Tama. Perkawinan antar agama dan masalahnya. Penerbit :
Shantika Dharma. Bandung. 1984.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Hukum yang Membebaskan, Jurnal
Hukum Progresif, Vol. 1/No.1/April/ 2005, Program Doktor Ilmu
Hukum UNDIP, Semarang.
Shihab, Quraish. Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Perbagai
Persoalan Umat. Cet. VIII. Jakarta: Mizan. 1998.
Syarifuddin, Amir. Hukum Nikah Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat
dan Undang-Undang Nikah .Cet. II. Jakarta: Kencana. 2007.
UU No 22 Tahun 1946
70
UU No. 1 Tahun 1974
UUD NRI Th.1945
LAMPIRAN
1. Jadwal Kegiatan
No Kegiatan PREBUARI MARET APRIL MEI JUNI
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pembuatan
Proposal
2 Pengumpulan
Data
3 Pengolahan
Data
4 Analisis Data
5 Penyusunan
Laporan
sementara
6 Penulisan
laporan akhir
7 Paparan Hasil
penelitian
8 Pengiriman
Jurnal Hasil
71
2. Personalia Penelitian
1. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Edy Sismarwoto, SH. MH
b. Golongan/Pangkat : III C
c. NIP /NIDN : 19611225199301001/0025126111
d. Jabatan Fungsional : Lektor
e. Bagian : Hukum Perdata
f. Waktu untuk penelitian : 5 (lima) bulan
2. Anggota
a. Nama Lengkap : Amiek Soemarmi, SH. MHum
b. Golongan/Pangkat : IV A
c. NIP : 195910321986032002
d. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
e. Bagian : Hukum Tata Negara
f. Waktu untuk penelitian : 5 (lima) bulan
72
3. Justifikasi Anggaran
1. Anggaran Pengumpulan, Pengolahan Data, Publikasi, dan Seminar
No Nama Kegiatan Volume Harga Satuan Besarnya
(Rp)
1 FGD 6 FGD 600.000 3.600.000
2 Pengolahan Data 1 analisa 1.000.000 1.000.000
3 Publikasi 1 majalah 1.000.000 1.000.000
4 Seminar 1 forum 1.925.000 1.925.000
JUMLAH 7.525.000
2. Anggaran untuk Perjalanan
No Nama Volume Harga
Satuan
Besarnya (Rp)
1 Edy Sismarwoto, SH. MH 8
BULAN
500.000 4.000.000
2 Amiek Soemarmi, SH.
MHum
8
BULAN
500.000 4.000.000
JUMLAH 8.000.000
3. Anggaran untuk Bahan Habis Pakai
73
Uraian
Volume Harga Satuan Besarnya
(Rp)
HVS 80 gr 8 rim 50.000 400.000
Tinta Desjet Printer 1 unit 300.000 300.000
Block Note 15 buah 5000 75.000
Stabilo Besar 1 Set 150.000 150.000
Flashdisk 5 buah 100.000 500.000
JUMLAH 1.425.000
4. Anggaran untuk Lain-lain
Uraian
Volume Harga Satuan Besarnya
(Rp)
Komunikasi 1 unit 400.000 400.000
Penggandaan Laporan 5 buah 50.000 250.000
Institusional fee 10 % 20.000.000 2.000.000
JUMLAH 3.050.000
5. Rekapitulasi Anggaran
No Komponen Biaya Besarnya (Rp)
1 Anggaran Pengumpulan, Pengolahan Data, Publikasi,
dan Seminar
7.525.000
2 Anggaran untuk Perjalanan 8.000.000
74
3 Anggaran untuk Bahan Habis Pakai 1.425.000
4 Anggaran untuk Lain-lain 3.050.000
JUMLAH 20.000.000
6. Laporan Keuangan