Upload
ekaf570
View
49
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
trauma thorax
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA THORAX
DEPARTEMEN SURGICAL
R. 13 RSSA
Disusun Oleh:
EKA FITRI CAHYANI
NIM. 115070201111001
PROGRAM PROFESI NERS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015
LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA THORAX
1.1 Definisi
Trauma thorax adalah luka atau cedera mengenai rongga
thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax
ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam
atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax
akut. (Snell, 1998)
Trauma thorax dapat meliputi kerusakan pada dinding dada,
vertebra thoracalis, jantung, paru-paru, aorta thoracalis dan
pembuluh darah besar, namun jarang mengenai esofagus.
(Brunicardi,2004)
Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang
dapat menyebabkan tamponade jantung, perdarahan,
pneumothoraks, hematothoraks ,hematompneumothoraks (FKUI,
1995).
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding
toraks dan atau organ intra toraks, baik karena trauma tumpul
maupun oleh karena trauma tajam. Memahami kinematis dari trauma
akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas
trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera
(Kukuh, 2002; David, 2005).
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan
dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul.
(Hudak, 1999). Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital
bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru dan jantung. Paru-paru
sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah.
Jika terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ tersebut
bisa mengalami gangguan atau bahkan kerusakan.
1.2 Anatomi
Thorax (atau dada) adalah daerah tubuh yang terletak diantara
leher dan abdomen. Thorax rata dibagian depan dan belakang tetapi
melengkung di bagian samping. Rangka dinding thorax yang
dinamakan cavea thoracis dibentuk oleh columna vertebralis di
belakang, costae dan spatium di bagian samping, serta sternum dan
cartilage costalis di depan. Di bagian atas, thorax berhubungan
dengan leher dan di bagian bawah dipisahkan dengan abdomen oleh
diaphragma. Cavea thoracis melindungi paru dan jantung dan
merupakan tempat perlekatan otot-otot thorax, ekstremitas superior,
abdomen dan punggung (Snell, 1998).
Cavitas thoracis (rongga thorax) dapat dibagi menjadi: bagian
tengah yang disebut mediastinum dan bagian lateral yang ditempati
pleura dan paru. Paru diliputi oleh selapis membrane tipis yang
disebut pleura viceralis, yang beralih di hilus pulmonalis (tempat
saluran udara utama dan pembuluh darah masuk ke paru-paru)
menjadi pleura parietalis dan menuju ke permukaan dalam dinding
thorax. Dengan cara ini terbentuk dua kantong membranosa yang
dinamakan cavitas pleuralis pada setiap sisi thorax, diantara paru-
paru dan dinding thorax (Snell, 1998)
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan
berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10
pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan
2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio
dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk
tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternum.
Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam
abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk (Snell, 1998)
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus
utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius,
rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan
muskulus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus
pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior (Snell,
1998)
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan
berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi
karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan
diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga
udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus. Pleura adalah
membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik.
Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal
kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan
sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum
bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding
dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada
setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru
normal, hanya ruang potensial yang ada (Snell, 1998)
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah
iga keenam kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung
lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo sentral.
Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah
mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu,
turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa /
tenang sekitar 75% (Snell, 1998)
Gambar Rongga Thoraks :
Jantung Sternum
& perikardium Saraf frenikus
Vena Kava Superior
Trakea Left Right Oesophagus
Lung lung
Saraf vagus
Aorta Vertebra
Sal. Torasika
1.3 Etiologi
1. Trauma tembus (tajam)
Pada trauma tembus terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi)
langsung akibat penyebab trauma, terutama akibat tusukan benda
tajam (pisau, kaca, peluru, dsb). Sekitar 10-30% dari trauma
tembus memerlukan operasi torakotomi. (Snell,1998)
2. Trauma tumpul
Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
Penyebabnya antara lain kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera
olahraga, dsb. Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks
adalah kontusio paru. <10% trauma jenis ini memerlukan operasi
torakotomi.(Snell, 1998).
1.4 Epidemiologi
Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10
%, dimana trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian
karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita
meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini
seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan
diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax
dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan
tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi
dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter
yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax
(Snell, 1998)
1.5 Patofisiologi
Pada dasarnya patofisiologi yang terjadi pada trauma thorax
adalah akibat dari kegagalan ventilasi, kegagalan pertukaran gas
pada tingkat alveolar dan kegagalan sirkulasi karena perubahan
hemodinamik (Rachmad, 2002).
Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis sering disebabkan oleh trauma
thorax. Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak kuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia
(kehilangan darah), pulmonary ventilation / perfusion mismatch
(contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam
tekanan intrathorax (contoh tension pneumothorax, pneumothorax
terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya
ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat
kesadaran. Asidosis metabolic disebabkan oleh hipoperfusi dari
jaringan (Syok) (Rachmad, 2002).
Pathway (Terlampir)
1.6 Kelainan akibat trauma Thorax
Fraktur iga
Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling
sering mengalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna,
nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding
thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi.
Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan secret dapat
mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat
secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru-paru.
Fraktur sternum dan scapula secara umum disebabkan oleh
benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu
dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling sering
mengalami trauma adalah iga bagian tengah (iga ke -4 sampai ke
-9) (Snell, 1998)
Flail Chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai
kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut
terjadi karena fraktur iga multiple pada dua atau lebih tulang iga
dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest
(segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada
pergerakan dinding daad. Jika kerusakan parenkin paru di
bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang makan
akan menyebabkan hipoksia yang serius (Snell, 1998)
Kesulitan utama pada kelainan flail chest yatu trauma pada
parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun
ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal
dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, efek ini sendiri
saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya
hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang
mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma
jaringan parunya. Flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya,
karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan
pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris
dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang
abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu
diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan
terlihat fraktur iga yang multiple, akan terapi terpisahnya sendi
costochondral tidak akan terlihat (Snell, 1998)
Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia
akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis
flail chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian
ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi
cairan. Bila tidak ditemukan syok maka ada kerusakan parenkim
paru pada flail chest, maka akan sangat sensitif terhadap
kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran
yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-
benar optimal. Terapi definitive ditujukan untuk mengembangkan
paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian
cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua
penderita membutuhkan penggunaan ventilator (Snell, 1998).
Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada
penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan
untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang
terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.
Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen
arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu
indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi
(Snell,1998)
Kontusio paru
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering
ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury.
Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang
sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian sehingga
rencana penanganan definitive dapat berubah berdasarkan
perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga
diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita
dengan hipoksia bermakna (PaO2 <65 mmHg atau 8,6 kPa dalam
udara ruangan, SaO2<90%) harus dilakukan intubasi dan
diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti
penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk
melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik (Snell, 1998)
Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani
secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik.
Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas
darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan
diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi
penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan
intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.2
Pneumothorax
Pneumothorax diakibatkan masuknya udara pada ruang
potensial antara pleura visceral dan parietal. Dislokasi fraktur
veterbra juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks.
Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pneumotoraks
akibat trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga toraks
dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding
dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua
permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan
menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-
perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak
mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika
pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang
terkena dan pada perkusi hipersonor. Fototoraks pada saat
ekspirasi membantu menegakkan diagnosis (Rachmad, 2002)
Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan
pemasangan chest tube pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior
dari garis mid-aksilaris.7 Bila pneumotoraks adalah dengan
dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung
resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungan dengan
WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan
untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru.
Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh
diberikan pada penderita dengan peneumotoraks traumatic atau
pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya dapat menjadi
life thereatening tension pneumotorax, terutama jika awalnya
tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif diberikan.
Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita
ditransportasi / rujuk (Rachmad, 2002)
Pneumothorax terbuka (Sucking chest wound)
Pneumothorax terbuka defek atau luka yang besar pada
dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotorax terbuka.
Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama
dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada
mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung
mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang
atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea (Rachmad, 2002).
Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan
hipoksia dan hiperkapnia. Langkah awal adalah menutup luka
dnegan kasa steril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja.
Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter
type valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup
luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa
penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu
maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus
berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan
menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang
akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang
dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat
dipergunakan adalah Plastic wrap atau Petrolatum Gauze,
sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penjahitan luka (Rachmad,2002)
Tension pneumorothorax
Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena
ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui
dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat
keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam
rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di
intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps,
mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat
pengembalian darah vena ke jantung (venous return); ini yang
mengakibatkan kematian serta akan menekan paru kontralateral
(Sjamsuhidajat,2005)
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah
komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan
ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada
pleura visceral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai
komplikasi dari pneumotorax sederhana akibat trauma toraks
tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa
robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter
subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau
perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension
pneumothorax, jika salah cara menutup defek ata luka tersebut
dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan
menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax jua
dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami
pergeseran (displaced thoracic spine fractures).
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan
gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena
menunggu konfirmasi radiologi. Bila ada kemungkinan tension
pneumothorax sebaiknya tidak menunggu foto Rontgen. Dengan
pungsi darurat rongga thorax berupa tusukan sederhana dengan
jarum di ruang antariga II, penderita dapat diselamatkan
(Sjamsuhijadat, 2005). Tension pneumothorax ditandai dengan
gejala nyeri dada, sesak, distress pernafasan, takikardi, hipotensi,
deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi
vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada
kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade
jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi
yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang
terjadi tension pneumothorax dapat membedakan keduanya
(Snell,1998)
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera
dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum
yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada
hemitoraks yang emngalami kelainan. Tindakan ini akan
mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothorax
sederhana (catatan ; kemungkinan terjadi pneumotraks yang
bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu
diperlukan. Terapi definitive selalu dibutuhkan dengan
pemasangan selang dada (Chest tube) pada sela iga ke 5 (garis
putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris (Snell, 1998)
Hemothorax
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru
atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria
internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul.
Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan
terjadinya hemothorax. Biasanya perdarahan berhenti spontan
dan tidak memerlukan intervensi operasi (Snell, 1998)
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat
pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada
berukuran besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah
dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah
di dalam rongga pleura dan dapat dipakai dalam memonitor
kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga
memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan
terjadinya rupture diafragma traumatic. Walaupun banyak faktor
yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada
penderita hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang
keluar dari selang dada merupakan faktor utama (Rachmad,
2002).
Hemothorax kecil, yaitu yang tampak sebagai bayangan
kurang dari 15% pada foto Rontgen, cukup diobservasi dan tidak
memerlukan tindakan khusus. Hemothorax sedang, artinya
tampak bayangan yang menutup 15-35% pada foto Rontgen,
dipungsi dan penderita diberi transfusi. Pada pungsi sedapat
mungkin dikeluarkan semua cairan. Jika ternyata terjadi
kambuhan, perlu dipasang penyalir sekat air. Pada hemothorax
besar (lebih dari 35%) dipasang penyalir sekat air dan diberikan
transfusi (Sjamsuhidajat,2005)
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat
dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar
lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika
membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah
harus dipertimbangkan (Snell, 1998)
Hemotoraks masif ( >750 cc) yang terjadi kurang dari satu
jam setelah trauma adalah indikasi untuk operasi. Sebelum
operasi sebaiknya ditentukan organ mana yang dicurigai sehingga
teknik pembedahan dapat disesuaikan. Perdarahan yang terjadi
akibat fraktur iga biasanya tidak banyak dan dapat berhenti
sendiri. Namun harus tetap diwaspadai akan adanya perdarahan
dari arteri interkostalis yang robek. Monitoring untuk semua kasus
perdarahan dalam rongga toraks setelah pemasangan water
sealed drainage (WSD) adalah sebagai berikut: (Rachmad, 2002)
0-3 cc/Kg BB/ jam................................observasi
>3 - <5 cc/Kg BB/jam.....................observai ketat, bila
berturut turut dalam 3 jam.........operasi
3-5 cc/Kg BB/jam..................................operasi
Pembagian diatasa didasarkan pada pembagian syok:
Kelas % darah hilang dari
total volume darah
dalam tubuh
Volume darah dalam cc
(volume darah 80cc/kg
BB)
I 15 < 750
II 30 75-1500
III 40 2000
IV >40 > 2000
Ligasi arteri interkostalis transtorakal posterior dapat
mengakibatkan neuralgia interkostalis tetapi tindakan ini cukup
baik untuk menyelamatkan jiwa sementara. Tindakan yang terbaik
adalah torakotomi dan ligasi arteri interkostalis secara a vue
(Rachmad,2002)
Hemotoraks masif
Hemothoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan
cepat lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering
disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah
sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat
disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan
hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya
hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena
leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang terjadi efek
mekanik dari darah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong
mesdiastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh
vena leher (Snell, 1998)
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok
yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi
dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif
adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan
bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan
infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarus besar dan
kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik
secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam
penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan
dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38
French dipasang setinggi putting susu, anterior dari garis
midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika
kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk
melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500
ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan
torakotomi segera. Beberapa penderita yang pada awalnya
darah yang keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap
berlangsung. Ini juga membutuhkan torakotomi (Snell, 1998).
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan
darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai
4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan.
Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk torakotomi.
Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang
dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan
darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti
yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan
merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar
dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior
medial dari garis putting susu dan luka di daerah posterior, medial
dari scapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan
dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai
pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial
menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli
bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah
mendapat latihan (Snell, 1998)
Cedera trakea dan bronkus
Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma
tumpul atau trauma tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang
biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna,
hemopneumothorax, krepitasi subkuntan dan gawat nafas.
Empisema mediastinal dservical dalam atau pneumothorax
dengan kebocoran udara massif. Penatalaksanaan yaitu dengan
pemasangan pipa endotrakea (melalui control endoskop) di luar
cedera untuk kemungkinan ventilasi danmencegah aspirasi
aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax
atau pneumothorax (Snell, 1998).
Tamponade jantung
Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus.
Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan
pericardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar
maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri
dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relative sedikit
darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas
jantung dan mengganggu pengisian jantung, mengeluarkan
darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml,
melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki
hemodinamik. Diagnosis tamponande jantung tidak mudah (Snell,
1998)
Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri
dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan
suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit
didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisik.
Distensi vena leher tidak ditemukan bila penderita mengalami
hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana
terjadi penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi
spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini
merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda
pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit
mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika
terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan
sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda Kussmaul
(peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah
kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan
menunjukkan adanya temponande jantung (Rachmad, 2002).
PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension
pneumothorax harus dicurigai adanya temponande jantung.
Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan
yang tinggi dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain.
Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non
invasif yang dapat membantu penilaian pericardium, tetapi banyak
penelitan yang melaporkan angka negative yang lebih tinggi yaitu
sekitar 50 % (medlinux). Pada penderita trauma tumpul dengan
hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG
abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung
perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi. Evakuasi
cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita
dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi
cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini
menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk
mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan (Snell, 1998).
Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari
perikard adalah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang
tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak
memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan
indikasi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui
metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan
operasi jendela perikad atau torakotomi dengan perikardiotomi
oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di
ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.2
Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade
jantung, pemberian cairan infuse awal masih dapat meningkatkan
tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara,
sambil melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis
melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-
sheated needle atau insersi dengan teknik seldinger merupakan
cara paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas
adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring
elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard
(peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum
perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia
(Snell, 1998).
Kontusio Miocard
Terjadinya karena ada pukulan langsung pada sternum
dengan diikuti memar jantung dikenal sebagai kontusio miocard.
Manifestasi klinis cedera jantung mungkin bervariasi dari ptekie
epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural. Disritmia
merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan jantung
yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik
(atls), EKG mungkin meperlihatkan perubahan gelombang T – ST
yang non spesifik atau disritmia. Adapun penalaksanaan berupa
suportif (Snell, 1998).
Trauma tumpul jantung
Dapat menyebabkan kontusio otot jantung, rupture atrium
atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung
ditandai dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat
primary suvery. Kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat
terjadi bila yang ruptur adalah atrium. Penderita dengan kontusio
miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi
keluhan tersebut juga bias disebabkan kontusio dinding dada atau
fraktur sternum dan / atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat
ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami
trauma. Gejala klinis yang penting pada miokard adalah
hipotensi, gangguan hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan
dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan
ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi
dan kadang menunjukkan suatu infark miokard yang jelas.
Kontraksi ventrikel premature yang multiple, sinus takikardi yang
tak bias diterangkan, fibrilasi atrium, l bundle branch block
(biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan
segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari
tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan
petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio
jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri
mungkin dapat disebabkan adanya serangan infak miokard akut.
Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis karena adanya
konduksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya distimia
akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval
tersebut resika disritmia akan menurun secara bermakna
(Sjamsuhidajat, 2002).
Ruptur Diafragma
Ruptur diafragma pada trauma thoraks biasanya
disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah thoraks inferior atau
abdomen atas yang tersering oleh kecelakaan. Trauma tumpul di
daerah thoraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intra abdominal mendadak yang diteruskan ke diafragma. Ruptur
terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut,
herniasi organ intrathoraks dan strangulasi organ abdomen dapat
terjadi. Dapat pula terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus
pada daerah thoraks inferior. Pada keadaan ini trauma tembus
juga akan melukai organ-organ lain (intra thoraks atau intra
abdominal). Ruptur umumnya terjadi di “puncak” kubah diafragma,
ataupun kita bisa curigai bila terdapat luka tusuk dada yang
didapatkan pada: dibawah ICS 4 anterior, didaerahh ICS 6 lateral,
didaerah ICS 8 posterior. Kejadian ruptur diafragma lebih sering
terjadi di sebelah kiri daripada sebelah kanan. Kematian dapat
terjadi dengan cepat setelah terjadinya trauma oleh karena shock
dan perdarahan pada cavum pleura kiri.
1.7 Penanganan Trauma Toraks
Torakosentesis Jarum
Prosedur ini untuk tindakan penyelamatan pada tension
pneumothorax. Jika tindakan ini dilakukan pada penderita bukan
tension pneumothorax, dapat terjadi pneumothorax dan/atau
kerusakan pada parenkim paru.
1. Identifikasi thorax penderita dan status respirasi
2. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai
kebutuhan
3. Identifikasi sela iga, di linea midklavikula di sisi tension
pneumothorax
4. Asepsis dan antisepsis dada
5. Anestesi local jika penderita sadar atau keadaan mengijinkan
6. Penderita dalam keadaan posisi tegak jika fraktur servikal
sudah disingkirkan
7. Pertahankan Luer-Lok di ujung distal kateter, insersi jarum
kateter (panjang 3-6 cm) ke kulit secara langsung tepat di atas
iga ke dalam sela iga
8. Tusuk pleura parietal
9. Pindahkan Luer-Lok dari kateter dan dengar keluarnya udara
ketika jarum memasuki pleura parietal, menandakan tension
pneumothorax telah diatasi
10. Pindahkan jarum dang anti Luer-Lok di ujung distal kateter.
Tinggalkan kateter plastic di tempatnya dan ditutup dengan
plester atau kain kecil (Sjamsuhidajat, 2002)
Potensi morbiditas yang berhubungan dengan torakosentesis
jarum termasuk pneumothorax (dan potensi menjadi tension
pneumothorax), tamponade jantung, perdarahan (yang dapat
mengancam jiwa), loculated intrapleural hematom, atelektasis,
pneumonia, emboli udara arteri (ketika torakosentesis jarum dilakukan
dan tidak ada tension pneumothorax), dan rasa sakit kepada pasien
(Sjamsuhidajat,2002).
B. Chest Tube
1. Tentukan tempat insersi, biasanya setinggi putting (sela iga V)
anterior linea midaksilaris pada area yang terkena
2. Siapkan pembedahan dan tempat insersi ditutup dengan kain
3. Anestesi lokal kulit dan periosteum iga
4. Insisi transversal (horizontal) 2-3 cm pada tempat yang telah
ditentukan dan diseksi tumpul melalui jaringan subkutan, tepat
di atas iga
5. Tusuk pleura parietal dengan ujung klem dan masukkan jari ke
dalam tempat insisi untuk mencegah melukai organ yang lain
dan melepaskan perlekatan, bekuan darah, dll
6. Klem ujung proksimal tube torakostomi dan dorong tube ke
dalam rongga pleura sesuai panjang yang diinginkan hingga
lubang terakhir berada di rongga pleura
7. Cari adanya “fogging” pada chest tube pada saat ekspirasi
atau dengar aliran udara
8. Sambung ujung tube torakostomi ke WSD
9. Jahit tube di tempatnya
10. Tutup dengan kain/kasa dan plester (Sjamsuhidajat, 2002).
1.8 Asuhan Keperawatan Trauma Thorax
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses
keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien dengan trauma thoraks (. Doenges, 1999) meliputi
:
1. Aktivitas / istirahat: Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
2. Sirkulasi:
Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical
berpindah, tanda Homman , TD , hipotensi/hipertensi , DVJ.
3. Integritas ego:
Tanda : ketakutan atau gelisah.
4. Makanan dan cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
5. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau
regangan, tajam dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas
dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi,
mengkerutkan wajah.
6. Pernapasan
Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma,
penyakit paru kronis, inflamasi,/infeksi paaru, penyakit interstitial
menyebar, keganasan ; pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.
Tanda : Takipnea ; peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun
atau tak ada ; fremitus menurun ; perkusi dada hipersonan ; gerakkkan
dada tidak sama ; kulit pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan ;
mental ansietas, bingung, gelisah, pingsan ; penggunaan ventilasi
mekanik tekanan positif.
7. Keamanan
Gejala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk
keganasan.
Penyuluhan/pembelajaran.
Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya
bedah intratorakal/biopsy paru.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang
tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi
sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan
dan reflek spasme otot sekunder.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan
dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
6. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme
sekunder terhadap trauma.
C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang
akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa
keperawatan (Boedihartono, 1994:20).
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun ada tahap perencanaan (Effendi,
1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien
dengan trauma thorax (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang
tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi :
a. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat
tidur. Balik ke sisi yang sakit.
b. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
c. Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan
ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
d. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital.
e. Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai
akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock
sehubungan dengan hipoksia.
f. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin
keamanan.
g. Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
h. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau
kolaps paru-paru.
i. Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik. Pertahankan perilaku tenang, bantu
pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat
dan dalam.
j. Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat
dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 – 2 jam :
a. Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang
diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase
cairan.
b. Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada
batas yang ditentukan. Air penampung/botol bertindak sebagai
pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.
c. Observasi gelembung udara botol penampung. Gelembung udara
selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari
penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya
menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural
menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi
paru lengkap/normal atau selang buntu.
d. Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan
slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran
masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela
perlu. Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan
pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.
e. Catat karakter/jumlah drainage selang dada. Berguna untuk
mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang
memerlukan upaya intervensi.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
1. Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
a. Pemberian antibiotika.
b. Pemberian analgetika.
c. Fisioterapi dada.
d. Konsul photo toraks.
Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi
sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil :
Menunjukkan batuk yang efektif.
Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
Klien nyaman
Intervensi
a. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa
terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan. Pengetahuan yang
diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana teraupetik.
b. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,
menyebabkan frustasi.
c. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
d. Lakukan pernapasan diafragma.
Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan
ventilasi alveolar.
Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan,
keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan
melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah
pengeluaran sekresi secret.
e. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
f. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi :
mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan
1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi. Sekresi kental sulit
untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang
mengarah pada atelektasis.
g. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
· Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
· Pemberian expectoran.
· Pemberian antibiotika.
· Fisioterapi dada.
· Konsul photo toraks.
· Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi
perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan
dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
• Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
• Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/ menurunkan nyeri.
• Pasien tidak gelisah.
Intervensi :
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi
dan non invasif.
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1. Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.
Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan
akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
2. Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan
kenyamanan
Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan
menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan
dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
teraupetik.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.
Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah
pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2
jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari. Pengkajian yang
optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah
kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam
melakukan tindakan yang tepat.
Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
Pantau peningkatan suhu tubuh.
suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya
proses peradangan
Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa
kering dan steril, gunakan plester kertas. Tehnik aseptik membantu
mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi. Jika
pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya
debridement. Agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak
menyebar luas pada area kulit normal lainnya. Setelah debridement, ganti
balutan sesuai kebutuhan. Balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari
tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada
daerah yang berisiko terjadi infeksi.
5. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme
sekunder terhadap trauma.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
Pantau tanda-tanda vital.
mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh
meningkat.
Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
mengendalikan penyebaran mikroorganisme pathogen.
Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter,
drainase luka, dll. Untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti
Hb dan leukosit. penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari
normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi. Kolaborasi untuk
pemberian antibiotik. Antibiotik mencegah perkembangan
mikroorganisme patogen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell R.S. Dinding Thorax. Dalam Anatomi Klinik Bagian ke Satu.
Jakarta: EGC, 1998.
2. Trauma Thorax. Available from:
http://medlinux.blogspot.com/2008/06/trauma-thorax.html. tertanggal 7
Agustus 2010 .
3. Brunicardi F.C. Schwartz’s Principles Of Surgery. Edisi ke Delapan.
McGraw-Hill’s, 2004
4. Trauma Thorax. Website Bedah Toraks Kardiovaskular
Indonesia.2009. Diakses dari: www.bedahtkv.com/index.php?/e-
Education/Toraks/Trauma-Toraks-I-Umum.html.p:1 tertanggal 7
Agustus 2009
5. Trauma Thorax. Website Bedah Toraks Kardiovaskular
Indonesia.2009. Diakses dari: www.bedahtkv.com/index.php?/e-
Education/Toraks/Trauma-Toraks-II-Kelainan- spesifik.html. tertanggal
7 Agustus 2009.
6. Sjamsuhidajat R., de Jong W. Dinding Toraks dan Pleura. Dalam:
Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 2005
7. Rachmad K.B. Penanganan Trauma Toraks. Jakarta: Subbagian
Bedah Toraks Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPNCM, 2002.
8. American College of Surgeons. Trauma Toraks. Dalam: Advanced
Trauma Life Support. Chicago: American College of Surgeons, 2004;
p. 111-27.
9. IKABI, ATLS, American College of Surgeon, edisi ke – 6, tahun 1997.