40
LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA THORAX DEPARTEMEN SURGICAL R. 13 RSSA Disusun Oleh: EKA FITRI CAHYANI NIM. 115070201111001 PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN

LAPORAN PENDAHULUAN

  • Upload
    ekaf570

  • View
    49

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

trauma thorax

Citation preview

Page 1: LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA THORAX

DEPARTEMEN SURGICAL

R. 13 RSSA

Disusun Oleh:

EKA FITRI CAHYANI

NIM. 115070201111001

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2015

Page 2: LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA THORAX

1.1 Definisi

Trauma thorax adalah luka atau cedera mengenai rongga

thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax

ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam

atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax

akut. (Snell, 1998)

Trauma thorax dapat meliputi kerusakan pada dinding dada,

vertebra thoracalis, jantung, paru-paru, aorta thoracalis dan

pembuluh darah besar, namun jarang mengenai esofagus.

(Brunicardi,2004)

Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang

dapat menyebabkan tamponade jantung, perdarahan,

pneumothoraks, hematothoraks ,hematompneumothoraks (FKUI,

1995).

Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding

toraks dan atau organ intra toraks, baik karena trauma tumpul

maupun oleh karena trauma tajam. Memahami kinematis dari trauma

akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas

trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera

(Kukuh, 2002; David, 2005).

Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan

dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul.

(Hudak, 1999). Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital

bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru dan jantung. Paru-paru

sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah.

Jika terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ tersebut

bisa mengalami gangguan atau bahkan kerusakan.

1.2 Anatomi

Thorax (atau dada) adalah daerah tubuh yang terletak diantara

leher dan abdomen. Thorax rata dibagian depan dan belakang tetapi

melengkung di bagian samping. Rangka dinding thorax yang

Page 3: LAPORAN PENDAHULUAN

dinamakan cavea thoracis dibentuk oleh columna vertebralis di

belakang, costae dan spatium di bagian samping, serta sternum dan

cartilage costalis di depan. Di bagian atas, thorax berhubungan

dengan leher dan di bagian bawah dipisahkan dengan abdomen oleh

diaphragma. Cavea thoracis melindungi paru dan jantung dan

merupakan tempat perlekatan otot-otot thorax, ekstremitas superior,

abdomen dan punggung (Snell, 1998).

Cavitas thoracis (rongga thorax) dapat dibagi menjadi: bagian

tengah yang disebut mediastinum dan bagian lateral yang ditempati

pleura dan paru. Paru diliputi oleh selapis membrane tipis yang

disebut pleura viceralis, yang beralih di hilus pulmonalis (tempat

saluran udara utama dan pembuluh darah masuk ke paru-paru)

menjadi pleura parietalis dan menuju ke permukaan dalam dinding

thorax. Dengan cara ini terbentuk dua kantong membranosa yang

dinamakan cavitas pleuralis pada setiap sisi thorax, diantara paru-

paru dan dinding thorax (Snell, 1998)

Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan

berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10

pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan

2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio

dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk

tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternum.

Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam

abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk (Snell, 1998)

Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus

utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius,

rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan

muskulus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus

pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior (Snell,

1998)

Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan

berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi

karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan

diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga

udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus. Pleura adalah

Page 4: LAPORAN PENDAHULUAN

membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik.

Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal

kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan

sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum

bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding

dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada

setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru

normal, hanya ruang potensial yang ada (Snell, 1998)

Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah

iga keenam kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung

lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo sentral.

Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah

mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu,

turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa /

tenang sekitar 75% (Snell, 1998)

Gambar Rongga Thoraks :

Jantung Sternum

& perikardium Saraf frenikus

Vena Kava Superior

Trakea Left Right Oesophagus

Lung lung

Saraf vagus

Aorta Vertebra

Sal. Torasika

1.3 Etiologi

1. Trauma tembus (tajam)

Pada trauma tembus terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi)

langsung akibat penyebab trauma, terutama akibat tusukan benda

tajam (pisau, kaca, peluru, dsb). Sekitar 10-30% dari trauma

tembus memerlukan operasi torakotomi. (Snell,1998)

Page 5: LAPORAN PENDAHULUAN

2. Trauma tumpul

Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.

Penyebabnya antara lain kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera

olahraga, dsb. Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks

adalah kontusio paru. <10% trauma jenis ini memerlukan operasi

torakotomi.(Snell, 1998).

1.4 Epidemiologi

Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10

%, dimana trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian

karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita

meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini

seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan

diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax

dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan

tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi

dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter

yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax

(Snell, 1998)

1.5 Patofisiologi

Pada dasarnya patofisiologi yang terjadi pada trauma thorax

adalah akibat dari kegagalan ventilasi, kegagalan pertukaran gas

pada tingkat alveolar dan kegagalan sirkulasi karena perubahan

hemodinamik (Rachmad, 2002).

Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis sering disebabkan oleh trauma

thorax. Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak kuatnya

pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia

(kehilangan darah), pulmonary ventilation / perfusion mismatch

(contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam

tekanan intrathorax (contoh tension pneumothorax, pneumothorax

terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya

ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat

kesadaran. Asidosis metabolic disebabkan oleh hipoperfusi dari

jaringan (Syok) (Rachmad, 2002).

Pathway (Terlampir)

Page 6: LAPORAN PENDAHULUAN

1.6 Kelainan akibat trauma Thorax

Fraktur iga

Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling

sering mengalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna,

nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding

thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi.

Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan secret dapat

mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat

secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru-paru.

Fraktur sternum dan scapula secara umum disebabkan oleh

benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu

dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling sering

mengalami trauma adalah iga bagian tengah (iga ke -4 sampai ke

-9) (Snell, 1998)

Flail Chest

Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai

kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut

terjadi karena fraktur iga multiple pada dua atau lebih tulang iga

dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest

(segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada

pergerakan dinding daad. Jika kerusakan parenkin paru di

bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang makan

akan menyebabkan hipoksia yang serius (Snell, 1998)

Kesulitan utama pada kelainan flail chest yatu trauma pada

parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun

ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal

dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, efek ini sendiri

saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya

hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang

mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma

jaringan parunya. Flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya,

karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan

pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris

Page 7: LAPORAN PENDAHULUAN

dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang

abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu

diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan

terlihat fraktur iga yang multiple, akan terapi terpisahnya sendi

costochondral tidak akan terlihat (Snell, 1998)

Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia

akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis

flail chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian

ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi

cairan. Bila tidak ditemukan syok maka ada kerusakan parenkim

paru pada flail chest, maka akan sangat sensitif terhadap

kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran

yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-

benar optimal. Terapi definitive ditujukan untuk mengembangkan

paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian

cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua

penderita membutuhkan penggunaan ventilator (Snell, 1998).

Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada

penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan

untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang

terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.

Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen

arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu

indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi

(Snell,1998)

Kontusio paru

Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering

ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury.

Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang

sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian sehingga

rencana penanganan definitive dapat berubah berdasarkan

perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga

diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita

dengan hipoksia bermakna (PaO2 <65 mmHg atau 8,6 kPa dalam

Page 8: LAPORAN PENDAHULUAN

udara ruangan, SaO2<90%) harus dilakukan intubasi dan

diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.

Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti

penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk

melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik (Snell, 1998)

Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani

secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik.

Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas

darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan

diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi

penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan

intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.2

Pneumothorax

Pneumothorax diakibatkan masuknya udara pada ruang

potensial antara pleura visceral dan parietal. Dislokasi fraktur

veterbra juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks.

Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pneumotoraks

akibat trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga toraks

dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding

dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua

permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan

menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-

perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak

mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika

pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang

terkena dan pada perkusi hipersonor. Fototoraks pada saat

ekspirasi membantu menegakkan diagnosis (Rachmad, 2002)

Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan

pemasangan chest tube pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior

dari garis mid-aksilaris.7 Bila pneumotoraks adalah dengan

dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung

resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungan dengan

WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan

untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru.

Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh

Page 9: LAPORAN PENDAHULUAN

diberikan pada penderita dengan peneumotoraks traumatic atau

pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya dapat menjadi

life thereatening tension pneumotorax, terutama jika awalnya

tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif diberikan.

Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita

ditransportasi / rujuk (Rachmad, 2002)

Pneumothorax terbuka (Sucking chest wound)

Pneumothorax terbuka defek atau luka yang besar pada

dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotorax terbuka.

Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama

dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada

mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung

mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang

atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea (Rachmad, 2002).

Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan

hipoksia dan hiperkapnia. Langkah awal adalah menutup luka

dnegan kasa steril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja.

Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter

type valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup

luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa

penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu

maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus

berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan

menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang

akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang

dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat

dipergunakan adalah Plastic wrap atau Petrolatum Gauze,

sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan

dilanjutkan dengan penjahitan luka (Rachmad,2002)

Tension pneumorothorax

Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena

ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui

dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat

keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam

rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di

Page 10: LAPORAN PENDAHULUAN

intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps,

mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat

pengembalian darah vena ke jantung (venous return); ini yang

mengakibatkan kematian serta akan menekan paru kontralateral

(Sjamsuhidajat,2005)

Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah

komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan

ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada

pleura visceral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai

komplikasi dari pneumotorax sederhana akibat trauma toraks

tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa

robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter

subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau

perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension

pneumothorax, jika salah cara menutup defek ata luka tersebut

dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan

menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax jua

dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami

pergeseran (displaced thoracic spine fractures).

Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan

gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena

menunggu konfirmasi radiologi. Bila ada kemungkinan tension

pneumothorax sebaiknya tidak menunggu foto Rontgen. Dengan

pungsi darurat rongga thorax berupa tusukan sederhana dengan

jarum di ruang antariga II, penderita dapat diselamatkan

(Sjamsuhijadat, 2005). Tension pneumothorax ditandai dengan

gejala nyeri dada, sesak, distress pernafasan, takikardi, hipotensi,

deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi

vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada

kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade

jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi

yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang

terjadi tension pneumothorax dapat membedakan keduanya

(Snell,1998)

Page 11: LAPORAN PENDAHULUAN

Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera

dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum

yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada

hemitoraks yang emngalami kelainan. Tindakan ini akan

mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothorax

sederhana (catatan ; kemungkinan terjadi pneumotraks yang

bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu

diperlukan. Terapi definitive selalu dibutuhkan dengan

pemasangan selang dada (Chest tube) pada sela iga ke 5 (garis

putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris (Snell, 1998)

Hemothorax

Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru

atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria

internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul.

Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan

terjadinya hemothorax. Biasanya perdarahan berhenti spontan

dan tidak memerlukan intervensi operasi (Snell, 1998)

Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat

pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada

berukuran besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah

dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah

di dalam rongga pleura dan dapat dipakai dalam memonitor

kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga

memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan

terjadinya rupture diafragma traumatic. Walaupun banyak faktor

yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada

penderita hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang

keluar dari selang dada merupakan faktor utama (Rachmad,

2002).

Hemothorax kecil, yaitu yang tampak sebagai bayangan

kurang dari 15% pada foto Rontgen, cukup diobservasi dan tidak

memerlukan tindakan khusus. Hemothorax sedang, artinya

tampak bayangan yang menutup 15-35% pada foto Rontgen,

dipungsi dan penderita diberi transfusi. Pada pungsi sedapat

mungkin dikeluarkan semua cairan. Jika ternyata terjadi

Page 12: LAPORAN PENDAHULUAN

kambuhan, perlu dipasang penyalir sekat air. Pada hemothorax

besar (lebih dari 35%) dipasang penyalir sekat air dan diberikan

transfusi (Sjamsuhidajat,2005)

Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat

dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar

lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika

membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah

harus dipertimbangkan (Snell, 1998)

Hemotoraks masif ( >750 cc) yang terjadi kurang dari satu

jam setelah trauma adalah indikasi untuk operasi. Sebelum

operasi sebaiknya ditentukan organ mana yang dicurigai sehingga

teknik pembedahan dapat disesuaikan. Perdarahan yang terjadi

akibat fraktur iga biasanya tidak banyak dan dapat berhenti

sendiri. Namun harus tetap diwaspadai akan adanya perdarahan

dari arteri interkostalis yang robek. Monitoring untuk semua kasus

perdarahan dalam rongga toraks setelah pemasangan water

sealed drainage (WSD) adalah sebagai berikut: (Rachmad, 2002)

0-3 cc/Kg BB/ jam................................observasi

>3 - <5 cc/Kg BB/jam.....................observai ketat, bila

berturut turut dalam 3 jam.........operasi

3-5 cc/Kg BB/jam..................................operasi

Pembagian diatasa didasarkan pada pembagian syok:

Kelas % darah hilang dari

total volume darah

dalam tubuh

Volume darah dalam cc

(volume darah 80cc/kg

BB)

I 15 < 750

II 30 75-1500

III 40 2000

IV >40 > 2000

Ligasi arteri interkostalis transtorakal posterior dapat

mengakibatkan neuralgia interkostalis tetapi tindakan ini cukup

baik untuk menyelamatkan jiwa sementara. Tindakan yang terbaik

adalah torakotomi dan ligasi arteri interkostalis secara a vue

(Rachmad,2002)

Page 13: LAPORAN PENDAHULUAN

Hemotoraks masif

Hemothoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan

cepat lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering

disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah

sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat

disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan

hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya

hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena

leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang terjadi efek

mekanik dari darah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong

mesdiastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh

vena leher (Snell, 1998)

Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok

yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi

dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif

adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan

bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan

infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarus besar dan

kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik

secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam

penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan

dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38

French dipasang setinggi putting susu, anterior dari garis

midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika

kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk

melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500

ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan

torakotomi segera. Beberapa penderita yang pada awalnya

darah yang keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap

berlangsung. Ini juga membutuhkan torakotomi (Snell, 1998).

Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan

darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai

4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan.

Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk torakotomi.

Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang

Page 14: LAPORAN PENDAHULUAN

dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan

darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti

yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan

merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar

dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior

medial dari garis putting susu dan luka di daerah posterior, medial

dari scapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan

dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai

pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial

menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli

bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah

mendapat latihan (Snell, 1998)

Cedera trakea dan bronkus

Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma

tumpul atau trauma tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang

biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna,

hemopneumothorax, krepitasi subkuntan dan gawat nafas.

Empisema mediastinal dservical dalam atau pneumothorax

dengan kebocoran udara massif. Penatalaksanaan yaitu dengan

pemasangan pipa endotrakea (melalui control endoskop) di luar

cedera untuk kemungkinan ventilasi danmencegah aspirasi

aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax

atau pneumothorax (Snell, 1998).

Tamponade jantung

Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus.

Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan

pericardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar

maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri

dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relative sedikit

darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas

jantung dan mengganggu pengisian jantung, mengeluarkan

darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml,

melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki

Page 15: LAPORAN PENDAHULUAN

hemodinamik. Diagnosis tamponande jantung tidak mudah (Snell,

1998)

Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri

dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan

suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit

didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisik.

Distensi vena leher tidak ditemukan bila penderita mengalami

hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana

terjadi penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi

spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini

merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda

pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit

mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika

terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan

sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda Kussmaul

(peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah

kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan

menunjukkan adanya temponande jantung (Rachmad, 2002).

PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension

pneumothorax harus dicurigai adanya temponande jantung.

Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan

yang tinggi dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain.

Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non

invasif yang dapat membantu penilaian pericardium, tetapi banyak

penelitan yang melaporkan angka negative yang lebih tinggi yaitu

sekitar 50 % (medlinux). Pada penderita trauma tumpul dengan

hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG

abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung

perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi. Evakuasi

cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita

dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi

cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini

menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk

mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan (Snell, 1998).

Page 16: LAPORAN PENDAHULUAN

Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari

perikard adalah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang

tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak

memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan

indikasi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui

metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan

operasi jendela perikad atau torakotomi dengan perikardiotomi

oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di

ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.2

Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade

jantung, pemberian cairan infuse awal masih dapat meningkatkan

tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara,

sambil melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis

melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-

sheated needle atau insersi dengan teknik seldinger merupakan

cara paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas

adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring

elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard

(peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum

perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia

(Snell, 1998).

Kontusio Miocard

Terjadinya karena ada pukulan langsung pada sternum

dengan diikuti memar jantung dikenal sebagai kontusio miocard.

Manifestasi klinis cedera jantung mungkin bervariasi dari ptekie

epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural. Disritmia

merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan jantung

yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik

(atls), EKG mungkin meperlihatkan perubahan gelombang T – ST

yang non spesifik atau disritmia. Adapun penalaksanaan berupa

suportif (Snell, 1998).

Trauma tumpul jantung

Dapat menyebabkan kontusio otot jantung, rupture atrium

atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung

ditandai dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat

Page 17: LAPORAN PENDAHULUAN

primary suvery. Kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat

terjadi bila yang ruptur adalah atrium. Penderita dengan kontusio

miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi

keluhan tersebut juga bias disebabkan kontusio dinding dada atau

fraktur sternum dan / atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat

ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami

trauma. Gejala klinis yang penting pada miokard adalah

hipotensi, gangguan hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan

dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan

ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi

dan kadang menunjukkan suatu infark miokard yang jelas.

Kontraksi ventrikel premature yang multiple, sinus takikardi yang

tak bias diterangkan, fibrilasi atrium, l bundle branch block

(biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan

segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari

tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan

petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio

jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri

mungkin dapat disebabkan adanya serangan infak miokard akut.

Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis karena adanya

konduksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya distimia

akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval

tersebut resika disritmia akan menurun secara bermakna

(Sjamsuhidajat, 2002).

Ruptur Diafragma

Ruptur diafragma pada trauma thoraks biasanya

disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah thoraks inferior atau

abdomen atas yang tersering oleh kecelakaan. Trauma tumpul di

daerah thoraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan

intra abdominal mendadak yang diteruskan ke diafragma. Ruptur

terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut,

herniasi organ intrathoraks dan strangulasi organ abdomen dapat

terjadi. Dapat pula terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus

pada daerah thoraks inferior. Pada keadaan ini trauma tembus

juga akan melukai organ-organ lain (intra thoraks atau intra

Page 18: LAPORAN PENDAHULUAN

abdominal). Ruptur umumnya terjadi di “puncak” kubah diafragma,

ataupun kita bisa curigai bila terdapat luka tusuk dada yang

didapatkan pada: dibawah ICS 4 anterior, didaerahh ICS 6 lateral,

didaerah ICS 8 posterior. Kejadian ruptur diafragma lebih sering

terjadi di sebelah kiri daripada sebelah kanan. Kematian dapat

terjadi dengan cepat setelah terjadinya trauma oleh karena shock

dan perdarahan pada cavum pleura kiri.

1.7 Penanganan Trauma Toraks

Torakosentesis Jarum

Prosedur ini untuk tindakan penyelamatan pada tension

pneumothorax. Jika tindakan ini dilakukan pada penderita bukan

tension pneumothorax, dapat terjadi pneumothorax dan/atau

kerusakan pada parenkim paru.

1. Identifikasi thorax penderita dan status respirasi

2. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai

kebutuhan

3. Identifikasi sela iga, di linea midklavikula di sisi tension

pneumothorax

4. Asepsis dan antisepsis dada

5. Anestesi local jika penderita sadar atau keadaan mengijinkan

6. Penderita dalam keadaan posisi tegak jika fraktur servikal

sudah disingkirkan

7. Pertahankan Luer-Lok di ujung distal kateter, insersi jarum

kateter (panjang 3-6 cm) ke kulit secara langsung tepat di atas

iga ke dalam sela iga

8. Tusuk pleura parietal

9. Pindahkan Luer-Lok dari kateter dan dengar keluarnya udara

ketika jarum memasuki pleura parietal, menandakan tension

pneumothorax telah diatasi

10. Pindahkan jarum dang anti Luer-Lok di ujung distal kateter.

Tinggalkan kateter plastic di tempatnya dan ditutup dengan

plester atau kain kecil (Sjamsuhidajat, 2002)

Potensi morbiditas yang berhubungan dengan torakosentesis

jarum termasuk pneumothorax (dan potensi menjadi tension

Page 19: LAPORAN PENDAHULUAN

pneumothorax), tamponade jantung, perdarahan (yang dapat

mengancam jiwa), loculated intrapleural hematom, atelektasis,

pneumonia, emboli udara arteri (ketika torakosentesis jarum dilakukan

dan tidak ada tension pneumothorax), dan rasa sakit kepada pasien

(Sjamsuhidajat,2002).

B. Chest Tube

1. Tentukan tempat insersi, biasanya setinggi putting (sela iga V)

anterior linea midaksilaris pada area yang terkena

2. Siapkan pembedahan dan tempat insersi ditutup dengan kain

3. Anestesi lokal kulit dan periosteum iga

4. Insisi transversal (horizontal) 2-3 cm pada tempat yang telah

ditentukan dan diseksi tumpul melalui jaringan subkutan, tepat

di atas iga

5. Tusuk pleura parietal dengan ujung klem dan masukkan jari ke

dalam tempat insisi untuk mencegah melukai organ yang lain

dan melepaskan perlekatan, bekuan darah, dll

6. Klem ujung proksimal tube torakostomi dan dorong tube ke

dalam rongga pleura sesuai panjang yang diinginkan hingga

lubang terakhir berada di rongga pleura

7. Cari adanya “fogging” pada chest tube pada saat ekspirasi

atau dengar aliran udara

8. Sambung ujung tube torakostomi ke WSD

9. Jahit tube di tempatnya

10. Tutup dengan kain/kasa dan plester (Sjamsuhidajat, 2002).

1.8 Asuhan Keperawatan Trauma Thorax

A.      PENGKAJIAN

Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses

keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).

Pengkajian pasien dengan trauma thoraks (. Doenges, 1999) meliputi

:

1. Aktivitas / istirahat: Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.

2. Sirkulasi:

Page 20: LAPORAN PENDAHULUAN

Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical

berpindah, tanda Homman , TD , hipotensi/hipertensi , DVJ.

3. Integritas ego:

Tanda : ketakutan atau gelisah.

4. Makanan dan cairan

Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.

5. Nyeri/ketidaknyamanan

Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau

regangan, tajam dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas

dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.

Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi,

mengkerutkan wajah.

6. Pernapasan

Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma,

penyakit paru kronis, inflamasi,/infeksi paaru, penyakit interstitial

menyebar, keganasan ; pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.

Tanda : Takipnea ; peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun

atau tak ada ; fremitus menurun ; perkusi dada hipersonan ; gerakkkan

dada tidak sama ; kulit pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan ;

mental ansietas, bingung, gelisah, pingsan ; penggunaan ventilasi

mekanik tekanan positif.

7. Keamanan

Gejala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk

keganasan.

Penyuluhan/pembelajaran.

Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya

bedah intratorakal/biopsy paru.

B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.      Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang

tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.

2.      Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi

sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.

3.      Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan

dan reflek spasme otot sekunder.

Page 21: LAPORAN PENDAHULUAN

4.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang

bullow drainage.

5.      Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan

dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.

6.      Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme

sekunder terhadap trauma.

C.     INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI

Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang

akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa

keperawatan (Boedihartono, 1994:20).

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana

keperawatan yang telah disusun ada tahap perencanaan (Effendi,

1995:40).

Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien

dengan trauma thorax (Wilkinson, 2006) meliputi :

1.    Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang

tidak maksimal karena trauma.

Tujuan : Pola pernapasan efektive.

Kriteria hasil :

Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.

Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.

Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.

Intervensi :

a. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat

tidur. Balik ke sisi yang sakit.

b. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.

c. Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan

ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

d. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau

perubahan tanda-tanda vital.

e. Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai

akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock

sehubungan dengan hipoksia.

Page 22: LAPORAN PENDAHULUAN

f. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin

keamanan.

g. Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan

mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

h. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau

kolaps paru-paru.

i. Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan

klien terhadap rencana teraupetik. Pertahankan perilaku tenang, bantu

pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat

dan dalam.

j. Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat

dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.

Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 – 2 jam :

a. Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.

Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang

diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase

cairan.

b. Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada

batas yang ditentukan. Air penampung/botol bertindak sebagai

pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.

c. Observasi gelembung udara botol penampung. Gelembung udara

selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari

penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya

menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural

menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi

paru lengkap/normal atau selang buntu.

d. Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan

slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran

masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela

perlu. Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan

pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.

e. Catat karakter/jumlah drainage selang dada. Berguna untuk

mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang

memerlukan upaya intervensi.

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :

Page 23: LAPORAN PENDAHULUAN

1.      Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.

a.       Pemberian antibiotika.

b.      Pemberian analgetika.

c.       Fisioterapi dada.

d.      Konsul photo toraks.

Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi

sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.

Tujuan : Jalan napas lancar/normal

Kriteria hasil :

Menunjukkan batuk yang efektif.

Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.

Klien nyaman

Intervensi

a. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa

terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan. Pengetahuan yang

diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap

rencana teraupetik.

b. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.

Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,

menyebabkan frustasi.

c. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.

Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.

d. Lakukan pernapasan diafragma.

Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan

ventilasi alveolar.

Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan,

keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.

Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan

melakukan 2 batuk pendek dan kuat.

Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah

pengeluaran sekresi secret.

e. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.

Page 24: LAPORAN PENDAHULUAN

Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.

f. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi :

mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan

1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi. Sekresi kental sulit

untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang

mengarah pada atelektasis.

g. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.

Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan

mencegah bau mulut.

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :

·         Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.

·         Pemberian expectoran.

·         Pemberian antibiotika.

·         Fisioterapi dada.

·         Konsul photo toraks.

·         Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi

perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan

dan reflek spasme otot sekunder.

Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.

Kriteria hasil :

• Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.

• Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/ menurunkan nyeri.

• Pasien tidak gelisah.

Intervensi :

Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi

dan non invasif.

Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya

telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.

1.      Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot

rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan

relaksasi masase.

Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan

akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.

Page 25: LAPORAN PENDAHULUAN

2.      Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.

Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi

yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.

Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan

kenyamanan

Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan

menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.

Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan

dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana

teraupetik.

Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.

Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah

pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2

jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari. Pengkajian yang

optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah

kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang

bullow drainage.

Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.

Kriteria Hasil :

• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.

• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.

• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

Intervensi :

Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.

mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam

melakukan tindakan yang tepat.

Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.

mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.

Pantau peningkatan suhu tubuh.

suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya

proses peradangan

Page 26: LAPORAN PENDAHULUAN

Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa

kering dan steril, gunakan plester kertas. Tehnik aseptik membantu

mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi. Jika

pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya

debridement. Agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak

menyebar luas pada area kulit normal lainnya. Setelah debridement, ganti

balutan sesuai kebutuhan. Balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari

tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.

Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada

daerah yang berisiko terjadi infeksi.

5. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme

sekunder terhadap trauma.

Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.

Kriteria hasil :

• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.

• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.

• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

Intervensi :

Pantau tanda-tanda vital.

mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh

meningkat.

Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.

mengendalikan penyebaran mikroorganisme pathogen.

Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter,

drainase luka, dll. Untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.

Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti

Hb dan leukosit. penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari

normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi. Kolaborasi untuk

pemberian antibiotik. Antibiotik mencegah perkembangan

mikroorganisme patogen.

Page 27: LAPORAN PENDAHULUAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell R.S. Dinding Thorax. Dalam Anatomi Klinik Bagian ke Satu.

Jakarta: EGC, 1998.

2. Trauma Thorax. Available from:

http://medlinux.blogspot.com/2008/06/trauma-thorax.html. tertanggal 7

Agustus 2010 .

3. Brunicardi F.C. Schwartz’s Principles Of Surgery. Edisi ke Delapan.

McGraw-Hill’s, 2004

4. Trauma Thorax. Website Bedah Toraks Kardiovaskular

Indonesia.2009. Diakses dari: www.bedahtkv.com/index.php?/e-

Education/Toraks/Trauma-Toraks-I-Umum.html.p:1 tertanggal 7

Agustus 2009

5. Trauma Thorax. Website Bedah Toraks Kardiovaskular

Indonesia.2009. Diakses dari: www.bedahtkv.com/index.php?/e-

Page 28: LAPORAN PENDAHULUAN

Education/Toraks/Trauma-Toraks-II-Kelainan- spesifik.html. tertanggal

7 Agustus 2009.

6. Sjamsuhidajat R., de Jong W. Dinding Toraks dan Pleura. Dalam:

Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 2005

7. Rachmad K.B. Penanganan Trauma Toraks. Jakarta: Subbagian

Bedah Toraks Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPNCM, 2002.

8. American College of Surgeons. Trauma Toraks. Dalam: Advanced

Trauma Life Support. Chicago: American College of Surgeons, 2004;

p. 111-27.

9. IKABI, ATLS, American College of Surgeon, edisi ke – 6, tahun 1997.