Upload
melinda-oktafiani
View
119
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lampiran manajemen kualitas air
Citation preview
I. PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Manajemen kualitas air mempunyai peran yang sangat penting pada
keberhasilan budidaya udang. Air, sebagai media hidup ikan, berpengaruh
langsung terhadap kesehatan dan pertumbuhannya. Kualitas air
menentukan keberadaan berbagai jenis organisme yang ada dalam
ekosistem tambak, baik terhadap kultivan yang dibudidayakan maupun
biota lainnya sebagai penyusun ekosistem tambak tersebut. Kualitas air
yang jauh dari nilai optimal dapat menyebabkan kegagalan budidaya,
sebaliknya kualitas air yang optimal dapat mendukung pertumbuhan dan
kelulushidupan ikan.
Budidaya merupakan suatu kegiatan dimana salah satu tujuannya yaitu
untuk melestarikan suatu organisme atau makhluk hidup yang bernilai
ekonomis dimana dilakukan dalam lingkup yang terkontrol. Dalam
kegiatan budidaya tersebut, tentunya para pembudidaya harus benar –
benar mengelolah suatu usaha budidayanya dengan baik untuk
kelangsungan hidup organisme yang dibudidayakan, dalam hal ini
terhadap para pembudidaya ikan.
Pemahaman mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan tentang manajemen
kualitas air dalam budidaya perairan dan pengolahannya sangat penting
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam budidaya ikan
dan udang. Parameter kualitas air baik faktor fisika, kimia, maupun biologi
sangat berkaitan terhadap keberlangsungan usaha budidaya sehingga harus
dikontrol dengan baik, terutama usaha budidaya intensif. Oleh karena itu,
praktikum pengamatan parameter kualitas air pada akuarium ini dilakukan.
B. Tujuan
Tujuan praktikum ini, yaitu:
Untuk mengetahui dan mempelajari pengelolaan kualitas air pada
kegiatan budidaya ikan
Mempelajari hubungan antara berbagai parameter kualitas air
terhadap keberlangsungan hidup ikan budidaya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Air
Kualitas air dalam budidaya perairan meliputi faktor fisika, kimia dan
biologi air yang dpat mempengaruhi produksi budidaya perairan (Boyd,
1990). Sebagian besar manajemen kualitas air ditujukan untuk
memperbaiki kondisi kimia dan biologi dalam media budidaya (boyd,
1989). Faktor fisika sering tidak dapat dikontro atau tergantung dangan
pemilihan lokasi yang sesuai. Faktor fisika sangat tergantung dengan
kondisi geologi dan iklim suatu tempat (Boyd, 1990).
Manajemen kualitas air merupakan suatu upaya memanipulasi kondisi
lingkungan sehingga mereka berada dalam kisaran yang sesuai untuk
kehidupan dan pertumbuhan ikan. Di dalam usaha perikanan, diperlukan
untuk mencegah aktivitas manusia yang mempunyai pengaruh merugikan
terhadap kualitas air dan produksi ikan. Pengukuran kualitas air dapat
dilakukan dengan dua cara, yang pertama adalah pengukuran kualitas air
dengan parameter fisika dan kimia (suhu, O2 terlarut, CO2 bebas, pH,
konduktivitas, kecerahan, alkalinitas), sedangkan yang kedua adalah
pengukuran kualitas air dengan parameter biologi (plankton dan benthos)
(Sihotang, 2006).
Dalam pengukuran kualitas air secara umum, menggunakan metode
purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan dengaan
memperhatikan berbagai pertimbangan kondisi serta keadaan daerah
pengamatan (Fajri, 2013).
B. pH
pH atau derajat keasaman didefinisikan sebagai logaritme negatif dari
konsentrasi ion hidrogen (H+) yang mempunyai skala 0-14. Secara umum
pH pada perairan adalah kondisi asam atau basa pada perairan ditentukan
berdasarkan nilai pH. Nilai pH antara 0-14, yang mana pH 7 merupakan
pH normal. Kondisi pH kurang dari 7 menunjukkan air bersifat asam,
sedangkan pH di atas 7 menunjukkan kondisi air bersifat basa. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Affan (2012), derajat keasaman (pH) sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Nilai
pH air laut berkisar 7,5 – 8,4 dan semakin rendah ke wilayah pantai karena
pengaruh air tawar.
pH merupakan variabel kualitas air yang dinamis dan berfluktuasi
sepanjang hari. Perubahan pH merupakan efek langsung dari fotosintesisis
yang menggunakan CO2 selama proses tersebut. Karbon dioksida dalam
air bereaksi membentuk asam. Ketika fotosintesis terjadi pada siang hari,
CO2 banyak terpakai dalam proses tersebut. Turunnya konsentrasi CO2
akan menurunkan konsentrasi H+ sehngga menaikkan pH air. Sebaliknya
pada malam hari semua organisme melakukan respirasi yang
menghasilkan CO2 sehingga pH menjadi turun (Boyd, 1990).
Menurut Apridayanti (2008), sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap
perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7–8,5. Nilai pH sangat
mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi
akan berakhir jika pH rendah. Selain itu toksisitas logam-logam
memperlihatkan peningkatan pada pH rendah. Derajat keasaman (pH)
dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida serta ion–ion bersifat asam
atau basa. Fitoplankton dan tanaman air akan mengambil karbondioksida
selama proses fotosintesis berlangsung, sehingga mengakibatkan pH
perairan menjadi meningkat pada siang hari dan menurun pada malam
hari.
C. Suhu
Suhu air dipengaruhi oleh radiasi cahaya matahari, suhu udara, cuaca dan
lokasi. Radiasi matahari merupakan faktor utama yang mempengaruhi
naik turunnya suhu air. Sinar matahari menyebabkan panas air di
permukaan lebih cepat dibanding badan air yang lebih dalam. Densitas air
turun dengan adanya kenaikan suhu sehingga permukaan air dan air yang
lebih dalam tidak dapat tercampur dengan sempurna. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya stratifikasi suhu dalam badan air, dimana akan
terbentuk tiga lapisan air, yaitu epilimnion, hypolimnion, dan thermoclin
(Boyd, 1990).
Air mempunyai kapasitas yang besar untuk menyimpan panas sehingga
suhunya relatif konstan dibandingkan dengan suhu udara (Boyd, 1990).
Perbedaan sushu air antara pagi dan siang hari hanya sekitar 2 0C,
misalnya suhu pagi 280C maka suhu siang 300C. Energi matahari sebagian
besar diabsorbsi di lapisan permukaan air. Semakin ke dalam energinya
semakin berkurang. Konsentrasi baha-bahan terlarut di dalam air akan
menaikkan penyerapan panas. Terjadinya trnasfer panas dari lapisan atas
ke lapisan bawah tergantung dari kekuatan pengadukan air (angin, kincir,
dan sebagainya).
Secara umum suhu pada perairan, suhu di ekosistem perairan tawar mudah
berubah. Perubahan suhu baik musiman dan harian terjadi pada bagian
permukaan dari perairan, sementara bagian dalam biasanya akan lebih
konstan. Suhu rata-rata perairan bisa mengalami kenaikan disebabkan oleh
aktivitas manusia, seperti pemukiman, industri dan area pertanian. Suhu
secara fisika dinyatakan dalam satuan 0C. Metode pengukuran dilakukan
dengan menggunakan termometer atau termistor. Termistor merupakan
alat pengukur suhu berbasis elektronik. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Affan (2012), suhu berperan penting bagi kehidupan dan
perkembangan biota laut, peningkatan suhu dapat menurun kadar oksigen
terlarut sehingga mempengaruhi metabolisme seperti laju pernafasan dan
konsumsi oksigen serta meningkatnya konsentrasi karbon dioksida. Suhu
perairan hasil penelitian ini berkisar 29,26 – 29,38 oC.
Menurut Apridayanti (2008), suhu berpengaruh terhadap proses
metabolisme sel organisme air. Peningkatan suhu akan menyebabkan
peningkatan kecepatan proses metabolisme sel dan respirasi organism air,
dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan dekomposisi bahan organik
mikroba. Kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton
adalah suhu antara 20 – 30 °C.
D. DO
Secara umum oksigen terlarut adalah salah satu gas yang terlarut dalam
perairan. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang
terdapat di atmosfer dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan
fitoplankton. Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air dapat terjadi secara
langsung pada kondisi air diam atau terjadi karena agitasi atau pergolakan
massa air akibat adanya gelombang atau ombak dan air terjun. Hal ini
diperkuat oleh Affan (2012), oksigen terlarut merupakan parameter yang
paling kritis di dalam budidaya ikan. Kelarutan oksigen didalam air
dipengaruhi suhu, salinitas dan tekanan udara. Peningkatan suhu, salinitas
dan tekanan menyebabkan penurunan oksigen, begitu juga sebaliknya.
untuk bertahan hidup ikan memerlukan kadar oksigen 1 mg/l, namun
untuk dapat tumbuh dan berkembang minimal 3 mg/l.
Oksigen terlarut meupakan variabel kualitas air yang sangat penting dalam
budidaya perairan. Semua organisme akuatik membutuhkan oksigen
terlarut untuk metabolisme. Kelarutan oksigen dalam air tergantung pada
suhu dan pH. Jika suhu dan pH naik maka kelarutan oksigen akan turun.
Hal ini perlu diperhatikan karena dengan adanya kenaikan suhu air, hewan
air akan lebih aktif sehingga memerlukan lebih banyak oksigen (Boyd,
1990). Oksigen masuk ke dalam air melalui beberapa proses, seperti difusi
secara langsung dari atmosfer, fotosintesis, dan penambahan alat
penambah suplai oksigen. Tingginya kepadatan tebar (Stocking density)
dan pemberian pakan (feeding rate) dapat menyebabkan turunnya
konsentrasi oksigen terlarut dalam air. Sisa pakan (uneaten feed) dan sisa
metabolisme mengakibatkan tingginya kebutuhan oksigen untuk
menguraikannya (oxygen demand) yang menyebabkan rendahnya
konsentrasi oksigen terlarut dalam air (Boyd, 1990).
Menurut Apridayanti (2008), oksigen merupakan parameter yang penting
di suatu perairan. Oksigen terlarut penting bagi organisme perairan yang
bersifat aerobik, disamping menentukan kecepatan metabolisme dan
respirasi dari keseluruhan ekosistem perairan, juga sangat penting bagi
kelangsungan hidup dan pertumbuhan biota air. Keberadaan oksigen di
perairan ditentukan oleh kemelimpahan fitoplankton. Hal ini erat
kaitannya dengan kandungan klorofil pada fitoplankton yang
menghasilkan oksigen pada proses fotosintesis. Kandungan oksigen
terlarut di perairan selama penelitian berkisar antara 6,086-12,854 mg/L.
Kandungan oksigen terlarut di Waduk Lahor tergolong tinggi mungkin
karena kelimpahan fitoplanktonnya juga tinggi.
E. Bobot/individu
Bobot ikan merupakan suatu tanda dimana ikan mengalami pertumbuhan.
Bobot/individu sangat berkaitan erat dengan biomassa ikan dan
dipengaruhi oleh pakan. Tolak ukur keberhasilan budidaya ikan dapat
diamati dari biomassa ikan dalam proses produksi. Target produksi dapat
ditentukan dari jumlah bobot ikan yang dihasilkan yakni dengan cara
menghitung biomassa pada sekuen kegiatan pembesaran. Semakin tinggi
biomassa yang diperoleh saat pemanenan maka dapat dikatakan semakin
tinggi keberhasilan budidaya. Pakan sangat berpengaruh pada laju dan
kualitas ikan yang kita budidayakan. kualitas dan kandungan pakan yang
kita berikan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan dari ikan. Kualitas
pakan dapat diamati secara langsung. Pakan yang baik tidak menunjukkan
kerontokan atau berdebu saat kita pegang dan bentuk akan berubah secara
perlahan apabila sudah terkena air. Berbeda dengan pakan berkualitas
baik, pakan berkualitas buruk akan menunjukkan kerontokan bila kita
pegang atau angkat dan akan langsung memencar ketika terkena air. Pakan
diberikan sebesar 3-4% dari berat badan ikan perhari dengan waktu
pemberian pakan sesuai dengan karakter ikan yang dibudidayakan maupun
kuantitas yang diberikan pada ikan tersebut. Bobot ikan dapat dilihat
dengan secara bertahap atau dapat juga disebut sampling. Teknik sampling
ini bertujuan untuk melihat tingkat pertumbuhan ikan, dan dapat melihat
efisiensi pakan yang diberikan (Prasetyo, 2011).
F. Ammoniak
Secara umum ammonia pada suatu perairan berasal dari urin dan feses
yang dihasilkan oleh ikan. Kandungan ammonia ada dalam jumlah yang
relatif kecil jika dalam perairan kandungan oksigen terlarut tinggi.
Sehingga kandungan ammonia dalam perairan bertambah seiring dengan
bertambahnya kedalaman. Pada dasar perairan kemungkinan terdapat
ammonia dalam jumlah yang lebih banyak dibanding perairan di bagian
atasnya karena oksigen terlarut pada bagian dasar relatif lebih kecil.
Konsentrasi ammonia yang tinggi pada permukaan air akan menyebabkan
kematian ikan yang terdapat pada perairan tersebut. Hal ini diperkuat oleh
pendapat Djenar (2008), air limbah berasal dari sisa – sisa pengolahan
limbah cair yang mengandung amoniak dan urea yang dibuang ke badan
air sehingga terjadi penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan
gangguan, kerusakan dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang
bergantung pada sumberdaya air tersebut contohnya amoniak yang
terkandung dalam limbah cair pada konsentrasi 1 – 3 ppm dapat meracuni
ikan dan makhluk air yang lain. Jika kandungan ammonia yang dibuang ke
perairan lebih tinggi daripada baku mutu air golongan B, maka air yang
mengandung ammonia tersebut dapat dikategorikan sebagai limbah
ammonia. Pada suhu dan tekanan normal ammonia di perairan alami
berada dalam bentuk gas dan membentuk kesetimbangan dengan ion
ammonium.
Menurut Syamsuddin (2008), konsentrasi ammonia tertinggi (0,26 ppm)
terjadi pada lokasi restoran terapung dan tempat penambatan perahu dan
pemukiman penduduk. Hal ini disebabkan menumpuknya limbah yang
mengandung protein dan urea yang berasal dari restoran dan pemukiman
penduduk. Konsentrasi amoniak pada perairan sekitar areal pertambakan
di Desa Bojo (Teluk Labuange) berkisar 0,16-0,19 ppm. Gas ammonia di
lokasi terutama berasal dari sisa – sisa pakan udang di tambak – tambak
yang mengalami dekomposisi dan keluar ke perairan di sekitarnya pada
saat penggantian air dan pengeringan tambak menjelang dan sesudah
panen
G. Kepadatan
Kepadatan banyaknya ikan dalam suatu tempat atau wadah sangat
berpengaruh pada pertumbuhan dan kesehatan ikan. Ikan membutuhkan
oksigen dan ruang yang cocok dan cukup untuk tumbuh. Apabila wadah
budidaya terlalu sempit dapat menyebabkan kompetisi oksigen antar ikan
dan dapat dimungkinkan terjadinya kematian. Wadah yang terlalu luas
dapat menimbulkan hasil yang positif bagi pertumbuhan ikan namun dapat
meningkatkan kerugian yang diterima pengelola pembudidaya.
Padat penebaran berpengaruh sangat nyata terhadap laju oksidasi amoniak,
laju oksidasi nitrit dan laju nitrifikasi. Baik laju oksidasi amoniak, laju
oksidasi nitrit, maupun laju nitrifikasi meningkat dengan meningkatnya
padat penebaran yang secara tidak langsung berkaitan dengan makin
meningkatnya buangan metabolit dan sisa pakan di dalam sistem
budidaya. Dekomposisi metabolit dan sisa pakan yang meningkat akan
meningkatkan konsentrasi amoniak di dalam sistem (Hirayama 1970;
Spotte 1979), sehingga mendorong meningkatnya laju oksidasi amoniak,
laju oksidasi nitrit, dan laju nirifikasi. Boyd (1981) menyatakan bahwa
untuk proses oksidasi amoniak dibutuhkan amoniak (NH4-N) sebagai
sumber energi, CO2 sebagai sumber karbon dan O2 untuk proses
oksidasinya. Hanya saja di atas padat penebaran 40 ekor/100 l, dan pada
padat penebaran berapa laju oksidasi amoniak, laju oksidasi nitrit, dan laju
nitrifaksi dalam sistem resirkulasi tertutup mulai menurun, hasilnya tidak
dapat diketahui dari penelitian ini.
Berbeda dengan laju nitrifikasi, pengaruh padat penebaran terhadap
pertumbuhan bersifat berbanding terbalik. Pertumbuhan ikan makin baik
pada padat penebaran yang makin rendah, sehingga mempunyai hubungan
yang terbalik juga dengan laju nitrifikasi. Makin rendahnya pertumbuhan
seiring dengan meningkatnya kepadatan merupakan sebuah gejala yang
normal. Christensen (1989) menyatakan bahwa pada padat penebaran yang
tinggi, ruang gerak ikan menjadi sempit sehingga kompetisi terhadap
oksigen dan pakan menjadi meningkat. Akibatnya pertumbuhan ikan akan
terhambat. Kepadatan yang tinggi juga mempercepat penurunan kualitas
air budidaya, akibat akumulasi metabolit dan sisa pakan, sehingga
berpengaruh besar terhadap pertumbuhan (Zonnefeld et al. 1991).
III. METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat
Adapun waktu pelaksanaan praktikum ini pada tanggal 22 Mei – 3 Juni
Juni 2013 bertempat di Laboraturium Nutrisi dan Pakan Ternak Jurusan
Peternakan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas lampung.
B. Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu akuarium, aerator,
heater, filter, DO-meter, pH-meter, thermometer, tetra kit, pippet tetes,
tabung reaksi, cuvet, spektrofotometer, dan timbangan digital. Adapun
bahan yang digunakan, yaitu ikan gurame dan pakan, serta larutan sodium
phenate, lautan MnSO4, dan larutan Natrium Clhorat.
C. Cara Kerja
Cara kerja dari praktikum ini adalah :
1. Persiapan Akuarium
Menyiapkan akuarium sebanyak 9 buah (volume seragam)
Meletakkan akuarium pada kondisi yang sama (cahaya dan suhu)
diruang tertutup
Mengisi air dengan volume air 5 cm dari atas akuarium
Membagi akuarium sebanyak tiga kelompok
Menggunakan aerasi
Menggunakan filter
Menggunakan filter dan heater
2. Persiapan Ikan
Menghitung jumlah ikan yang akan digunakan disesuaikan dengan
volume akuarium
Volume ikan dibagi menjadi tiga kelompok
Kepadatan 25/m³
Kepadatan 50/m³
Kepadatan 100/m³
Menyiapkan ikan dengan jenis, umur dan ukuran yang seragam
Menempatkan ikan yang akan digunakan pada satu bak selama 3
hari (diberi pakan dan disifon)
Memasukan ikan ke dalam akuarium yang sudah diberi label sesuai
kelompok
3. Pemeliharaan Ikan
Dilakukan selama 14 hari
Pemberian pakan 3% dari rata-rata bobot ikan sebanyak 3x sehari
4. Pengamatan Kualitas Air Akuarium
Parameter yang akan diamati, yaitu
DO (setiap hari)
pH (setiap hari)
Suhu (setiap hari)
Amoniak (3 hari sekali)
Biomassa (3 hari sekali)
SR (akhir praktikum)
IV. HASIL DAN PENGAMATAN
A. Hasil Pengamatan
1. Suhu
Tabel 1. Suhu Air dalam Akuarium
NoPrameter
I II III IV V VI VII VIII IX1 27 28 28 29 29 29 36 31 34
2 27.5 27
27,5 30
29.5 29 29
34.5 34
3 27.5
27.5
27,5
30.6
29.5
29.5
34.5
34.5 34
4 27.5 28 30
30.5 30
29.5
32.5
34.5
34.5
527
26.5 27
28.5
29.5
29.5 32 33 34
627 28
26,5
27.5
29.5 29
32.5 32 -
726 27
25,5
28.5 29
28.5 35 34 35
825 26
25,5
27.5
29.5 28 36 34 34
925 27 26
26.5
28.5
29.5 33 34
33.5
1025 28 26
30.5 30 29 35 34 34
1126 27 27 29
29.5 34
33.5 35
12 27.5 26
28.5
32.5 35
34.5
1327 29 35
33.5
34.5
14 34 34
2. Dissolvedd Oxygen (DO)
Tabel 2. DO Air dalam Akuarium
Hari ke
Perlakuan ke-I II III IV V VI VII VIII IX
1 - - - - - 5,33 - - -2 2.77 3.375 2.74 2.755 2.775 5.49 - 2.7 2.8853 5.205 5.5 5.465 5.65 5.25 5.605 6.275 5.325 5.4254 5.305 5.4 5.46 5.085 5.655 5.605 8.095 5.275 5.335 8.175 4.845 2.385 3.375 5.365 5.405 2.36 5.16 2.9056 7.715 5.3 3.955 4.58 5.18 8.49 7.82 6.715 5.3357 8.755 7.235 8.675 3.985 9.415 8.925 9.53 8.865 7.938 9.345 9.58 9.505 6.16 10.555 8.87 9.875 9.885 10.359 8.48 8.935 9.775 7.26 9.02 9.165 7.48 6.21 9.24
10 - 9.945 8.24 2.71 8.82 8.785 4.53 4.785 4.62511 - 9.78 7.31 3.73 8.98 8.77 9.63 7.265 7.78512 - 9.51 18.33 - 8.845 - 10.74 7.965 9.7913 - 10.4 4.86 - 9.82 - 10.75 10.35 4.185
3. pH (Derajat Keasaman
Tabel 3. pH Air dalam Akuarium
NoPerlakuan ke
I II III IV V VI VII VIII IX1 6 6 6 6 6 6 6 6 62 6 6 6 6 6 6,5 6 6 63 6 6 6 6 6 6 6 6 64 6 6 7 6 6 6 6 6 65 6 6 7 6 6 6,5 6 6 66 6 6 7 6 6 6 6 6 67 6 6 7 6 6 5,5 6 6,5 68 6 6 7 6 6,5 5,5 6 6 69 6 6 6 6 6 6 6 6
10 6 6 7 6 6,5 5,5 5,25 5,5 5,5
11 6 6 6 5,5 6 612 6 6 6 613 7 6 614
4. Bobot Ikan
Tabel 4. Bobot Ikan dalam Akuarium
Pengamatan ke
Perlakuan ke-I II III IV V VI VII VIII IX
1 2,54 2,54 2,54 2,54 2,54 2,54 2,54 2,54 2,542 0,87 4,2 0,4 3 4,3 4,63 5,3 5,3 6,73 5 3 0,52 3 5,5 7.5 5,67 5,12 34 - - 8 2 3 6 6 4,94 4
5. Total Amoniak
Tabel 5. Total Amoniak dalam Akuarium
Pengamatan ke
Perlakuan ke-I II III IV V VI VII VIII IX
1 0,311 0,045 0,045 0,044 0,046
0,046 0,054 0,044 0,051
2 - 0,297 0,031 0,029 0,031
0,038 0,034 0,031 0,026
3 - 0,304 0,250 0,350 0,026
0,030 - 0,005 0,032
B. Pembahasan
Pada praktikum Manajemen Kualitas Air tentang pengamatan pH,
digunakan kertas lakmus untuk melihat pH air di akuarium. Caraya
dengan mnyelupkan kertas lakmus ke dalam air, ditunggu beberapa saat
kemudian diangkata dan dicatat hasilnya. Dari hasil praktikum yang
didapat diketahui bahwa pH di setiap perlakuan cenderung stabil. Pada
perlakuan I dan IV, pH air dari awal hingga akhir adalah 6, yang berarti
bahwa air akuarium bersifat asam. Pada perlakuan II, pH air dari hari ke-1
hingga ke-12 tetap 6 dan naik menjadi 7 pada hari ke-13. Untuk perlakuan
III, pH air dari hari ke-1 hingga ke-3 ialah 6 dan dari hari ke 4 hingga ke
10 naik menjadi 7 yang bersarti netral. Untuk perlakuan V, pH berada
pada kisaran 6 – 6,5 yang berarti asam, meskipun tidak terlalu asam karena
hampir mencapai pH netral. Untuk perlakuan VI pH awal 6 namun turun
menjadi 5,5 di hari ke-10 dan 11, dari sini terlihat bahwa pada perlakuan
VI dan VIII pH berada pada kondisi kurang stabil, karena berubah-ubah,
dari pH 6 naik menjadi 6,5 dan turun menjadi 5,5. Pada perlakuan VII dan
IX, pH yaitu 6, namun kemudian di hari ke-10 turun menjadi 5,25 dan 5,5,
namun naik kembali di hari ke-11. Menurut Apridayanti (2008), sebagian
besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH
sekitar 7–8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan,
misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Selain itu
toksisitas logam-logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah.
Derajat keasaman (pH) dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida serta
ion–ion bersifat asam atau basa. Fitoplankton dan tanaman air akan
mengambil karbondioksida selama proses fotosintesis berlangsung,
sehingga mengakibatkan pH perairan menjadi meningkat pada siang hari
dan menurun pada malam hari.
Pengukuran suhu dilakukan dengan memasukkan termometer ke dalam air
akuarium selama beberapa menit dan dilihat suhunya. Berdasarkan data
yang ada, diketahui bahwa suhu pada masing-masing perlakuan berbeda-
beda. Untuk suhu yang paling rendah yaitu pada perlakuan I yang hanya
menggunakan aerator tanpa heater dan filter dengan kepadatan 250 ekor/
m3, sebesar 250C. Suhu tertinggi ialah perlakuan dengan menggunakan
heater dan filter, yaitu sebesar 350C. Berdasarkan pengamatan, seharusnya
suhu pada perlakuan I tidak serendah itu hingga mencapai 250C, tetapi hal
ini dapat disebabkan karena termometer yang rusak di tengah pengamatan,
sehingga pengamatan sedikit terganggu. Sedangkan tingginya suhu pada
perlakuan menggunakan hiater dan filter dapat disebabkan oleh pengaturan
suhu yang tinggi pada heater atau terjadi akumulasi suhu pada perlakuan
tersebut. Menurut pernyataan Affan (2012), suhu berperan penting bagi
kehidupan dan perkembangan biota laut, peningkatan suhu dapat menurun
kadar oksigen terlarut sehingga mempengaruhi metabolisme seperti laju
pernafasan dan konsumsi oksigen serta meningkatnya konsentrasi karbon
dioksida. Suhu perairan hasil penelitian ini berkisar 29,26 – 29,38 oC.
Pada praktikum Manajemen Kualitas Air tentang pengamatan DO
(Oksigen Terlarut), langkah pertama yang harus dilakukan adalah
disiapkan alat dan bahan. Kemudian pen DO meter dicelupkan dalam
akuarium, selanjutnya ditekan tombol ON/ OFF pada DO-meter.
Selanjutnya ditunggu hingga angka yang muncul pada layar DO meter
stabil. Dan dicatat hasilnya. Berdasarkan hasil yang didapat, diketahui
bahwa semakin lama waktu praktikum, maka semakin besar nilai DO yang
didapat, meskipun terdapat penurunan DO pada hari-hari tertentu dan
perlakuan tertentu. Namun secara umum dapat dikatan bahwa DO
meningkat meskipun tidak stabil. Seperti pada perlakuan I pada hari ke-1
didapat nilai DO sebesar 2,77 dan terus meningkat hingga hari ke 5 dan
turun pada hari ke-6, namun kembali naik pada hari ke-7 dan 8. Menurut
Affan (2012), oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis di
dalam budidaya ikan. Kelarutan oksigen didalam air dipengaruhi suhu,
salinitas dan tekanan udara. Peningkatan suhu, salinitas dan tekanan
menyebabkan penurunan oksigen, begitu juga sebaliknya. untuk bertahan
hidup ikan memerlukan kadar oksigen 1 mg/l, namun untuk dapat tumbuh
dan berkembang minimal 3 mg/l.
Parameter kualitas air di atas, seperti suhu, pH (derajat keasaman) dan Do
(dissolved oxygen) juga mempengaruhi survival rate (SR) ikan budidaya.
Dalam praktikum Manajemen Kualitas Air tentang Survival Rate (kelulus
hidupan) tidak dapat dihitung dengan pasti karena yang diperoleh, yaitu
jumlah ikan awal dan ikan yang hidup di akhir praktikum tidak
dilampirkan dengan jelas, sehingga menyulitkan perhitungan. Namun,
secara teori, menurut literatur tingkat kelulushidupan (SR) dihitung
dengan rumus:
SR = NtNo
x 100%,
Keterangan :
SR = Survival rate (%)
Nt = Jumlah benih pada akhir penelitian (ekor)
N0 = Jumlah benih pada awal penelitian (ekor)
Untuk nilai SR yang paling rendah didapat pada perlakuan ke I, IV, dan
VI, yairu masing-masing 0%. Hal ini terjadi karena pada akhir praktikum
tidak terdapat lagi ikan yang hidup. Sedangkan SR untuk kelompok lain
juga sangat kecil dan berbeda untuk masing-masing kelompok. Nilai
tersebut berbeda – beda karena terdapat faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal di antaranya seperti umur, daya tahan tubuh ikan,
gen, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan di
mana dalam hal ini meruakan perlakuan yang diberikan yang
menyebabkan kematian pada ikan tersebut, seperti suhu, pH, DO, dan lain-
lain. Mortalitas atau angka kematian dapat juga dijadikan sebagai tolak
ukur keberhasilan dalam budidaya. Salah satu target produksi dapat
ditentukan dari banyaknya jumlah ikan yang dihasilkan (menghitung
tingkat kelangsungan hidupnya) khususnya untuk sekuen kegiatan
pembenihan. Budidaya dapat dikatakan berhasil apabila prosentase
mortalitas ikan yang dibudidayakan kurang dari 25%. Semakin rendah
angka mortalitas maka semakin besar persentase keberhasilan budidaya
yang dilakukan.
Untuk pengaruh kualitas air terhadap amoniak cukup terlihat jelas. Kadar
amoniak tertinggi didapat dari akuarium yang menggunakan aerator dalam
perlakuannya, kadar amoniak terendah perlakuan menggunakan filter,
sedangkan kadar amoniak menggunakan filter dan heater berada di
antaranya. Namun, hal tersebut juga dipengaruhi oleh kepadatan. Dari data
tersebut diketahui bahwa kadar amoniak atau di sni yang dihitung ialah
Total Amoniak Nitrogen (TAN) diengaruhi oleh perlakuan dan padat
tebar. Dari tabel di atas didapatkan hasil bahwa kadar amoniak tertinggi
ialah pada perlakuan yang hanya menggunakan aerasi dengan padat tebar
250 ekor/ m3, yaitu sebesar 0,311 mg/l. Sedangkan kadar amoniak yang
paling rendah pada perhitungan pertama ialah dengan perlakuan filter
dengan padat tebar 500 ekor/m3, yaitu 0,044 mg/l dan perlakuan
menggunakan heater dan filter pada padat tebar 500 ekor/m3, yaitu 0,044
mg/l. Pada perhitungan ketiga kadar amoniak yang paling rendah masih
dengan perlakuan menggunakan heater dan filter pada padat tebar sebesar
500 ekor/m3, yaitu 0,005 mg/l dan yang tertinggi dengan perlakuan
menggunakan aerasi dengan padat tebar 500 ekor/ m3, yaitu sebesar 0,304
mg/l. Dari data tersebut terlihat bahwa kadar total amoniak nitrogen
diengaruhi oleh jenis perlakuan dan jumlah padat tebar. Tetapi untuk nilai
amoniaknya sendiri, selain dipengaruhi oleh jenis perlakuan dan jumlah
padat tebar, juga dipengaruhi oleh suhu dan pH.
Dari hasil pengamatan selama hampir 2 minngu dam pengamatan
amoniak seminggu setiap 3 hari sekali, didapatkan hasil bahwa amoniak
rata – rata tiap perlakuan di 3 hari pertama ke 3 hari kedua dan 3 hari
ketiga berbeda. Berdasarkan data yang didapat dari praktikum yang telah
dilaksanakan diketahui bahwa kepadatan berpengaruh terhadap nilai total
amoniak nitrogen (TAN) pada air dalam akuarium meskipun pengaruhnya
tidak terlalu signifikan. Kadar amoniak yang didapat tidak stabil dan
cenderung tidak dapat ditarik kesimppula dari data tersebut. Seperti dapat
dilihat pada tabel 5 bahwa nilai kenaikan atau penurunan nilai amoniak
tidak beraturan terhadap kepadatan yang ditebar. Pada perlakuan
menggunakan aerasi, nilai amoniak naik seiring dengan naiknya padat
kepadatan dan konstan pada kenaikan kepadatan berikutnya, begitu juga
pada perlakuan menggunakan filter, namun pada perlakuan menggunakan
heater dan filter, nilai amoniak turun dari padat tebar 250 ekor/m3 ke 500
ekor/m3 dan naik di kepadatan 1000 ekor/m3. Padahal berdasarkan
penelitian Sidik dkk (2002) padat penebaran berpengaruh sangat nyata
(P<0.01) terhadap laju oksidasi amoniak, laju oksidasi nitrit dan laju
nitrifikasi. Baik laju oksidasi amoniak, laju oksidasi nitrit, maupun laju
nitrifikasi meningkat dengan meningkatnya padat penebaran yang secara
tidak langsung berkaitan dengan makin meningkatnya buangan metabolit
dan sisa pakan di dalam sistem budidaya. Dekomposisi metabolit dan sisa
pakan yang meningkat akan meningkatkan konsentrasi amoniak di dalam
sistem (Hirayama 1970; Spotte 1979), sehingga mendorong meningkatnya
laju oksidasi amoniak, laju oksidasi nitrit, dan laju nirifikasi. Namun
peningkatan kadar amoniak hanya terjadi pada perlakuan menggunakan
aerator dan filter. Pada perlakuan menggunakan aerator, dengan kepadatan
250 ekor/m3 didapatkan nilai TAN sebesar 0,311 mg/l dan meningkat
pada kepadatan 500 ekor/m3 menjadi 0,045 0 mg/l, namun nilainya tetap
sama pada kepadatan 1000 ekor/m3 yaitu 045 mg/l. Pada perlakuan
menggunakan filter dengan kepadatan 250 ekor/m3 didapatkan nilai TAN
sebesar 0,044 mg/l dan meningkat pada kepadatan 500 ekor/m3 menjadi
0,046 mg/l, namun nilainya tetap sama pada kepadatan 1000 ekor/m3
yaitu 0,046 mg/l. Pada perlakuan menggunakan filter dan heater , dengan
kepadatan 250 ekor/m3 didapatkan nilai TAN sebesar 0,054 mg/l dan turun
pada pengitungan amoniak pada kepadatan 500 ekor/m3 menjadi 0,044
mg/l, dan meningkat pada kepadatan 1000 ekor/m3 yaitu 0,51 mg/l.
Adapun permasalahan yang terdapat pada pelaksanaan praktikum ini ialah
ikan yang digunakan untuk praktikum telah terjangkiti penyakit, sehingga
survival rate-nya sangat kecil. Seperti diketahui bahwa penyakit dan hama
adalah salah satu kendala yang paling sering kita jumpai dalam budidaya.
Penyakit biasanya disebabkan oleh infeksi dari organisme patogen berupa
jamur dan bakteri. Dalam praktikum ini diperkirakan penyakit yang
menjangkiti ikan disebabkan oleh jamur karena tubuh ikan diselimuti oleh
benang-benang hifa yang menyebabkan pergerakan ikan melambat dan
nafsu makannya berkurang. Penyakit atau hama dapat menyerang ikan
yang kita budidayakan dikarenakan lemahnya kondisi kekebalan tubuh
dari ikan itu sendiri. Meskipun telah diobati menggunakan metilen blue
sebelum dimasukkan ke dalam akuarium, namun ternyata pengangan
tersebut belum opttimal. Sisa jamur masih menempel di badan ikan
sehingga penyakit terus menyebar dan menyebabkan kematian ikan. Selain
itu juga, perlakuan praktikkan dalam mengontrol kualitas air kurang
optimal, sehingga perlakuan yang dilakukan kurang optimal pula. Seperti
pada kelompok 4 yang menggunakan filter, namun pada minggu kedua
filter tersebut rusak, sehingga perlakuan yang diamati kurang tepat dengan
keadaan riilnya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi
penyakit yang menyerang ikan ialah dengan menjaga kualitas air yang
digunakan. Di sini maksudnya ialah menjaga kualitas air sebelum dan
sesudah ikan dimasukkan ke dalam akuarium. Dalam menjaga kualitas air
diharuskan melakukan penggantian air secara berkala agar kemungkinan
adanya organisme patogen dapat dihindarkan. Penggantian air dilakukan
dengan tujuan untuk mengeluarkan atau membuang air yang mengandung
kotoran dan sisa-sisa makanan yang masuk ke dasar kolam. Penggantian
air dapat juga dilakukan dengan cara memberi in let di permukaan kolam
untuk saluran masuknya air baru dan out let pada dasar kolam untuk
saluran keluarnya air lama. Serangan penyakit dan hama dapat juga
diminimalisir dengan pemberian pakan yang mengandung antibody untuk
kekebalan tubuh ikan. Pada ikan yang telah terjangkit hama atau penyakit
dapat dilakukan pengobatan dengan menggunakan obat yang telah
disesesuaikan untuk masalah penyakit yang diderita ikan. Pemberian
antibiotik dengan cara penyuntikan juga dapat dilakukan untuk
meningkatkan kekebalan tubuh ikan terhadap penyakit. Intinya SR
tertinggi terdapat pada perlakuan menggunaka heater dan filter karena
kontrol kualitas air yang dilakukan lebih intensif, yaitu dari suhu dan
kejernihan air.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yag dapat diambil dari praktikum ini antara lain:
Parameter kualitas air, seperti suhu, pH dan DO sangat
mempengaruhi nilai survival rate (SR) yang didapat.
Perlakuan yang paling baik yang menghasilkan survival rate
teringgi ialah pada perlakuan menggunakan filter dan heater.
Perlakuan yang kurang baik untuk dilakukan ialah hanya dengan
menggunakan aerator.
SR yang didapat dalam setiap praktikum bernilai kecil.
Terjadi akumulasi DO pada pagi dan sore hari.
pH yang didapat rata-rata stabil, umumnya 6 yang berati asam.
Terjadi akumulasi susuh pada agi dan sore hari.
Kepadatan mempengaruhi kadar amoniak air.
B. Saran
Praktikkan seharusnya lebih serius dan bertanggung jawab dalam menjalankan praktikum, seperti melaksanakan piket yang telah dijadwalkan. Selain itu, seharusnya ikan yang digunakan adalah ikan yang sehat, sehingga hasil pengamatan dapat diamatai dengan baik. Alat
praktikum juga sebaiknya ditambah karena dengan jumlah yang ada saat ini membuat praktikum yang dilaksankan menjadi lambat sevat harus bergantian dengan kelompok lain.
DAFTAR PUSTAKA
Affan, J.M. 2012. Identifikasi Lokasi Untuk Pengembangan Budidaya Keramba
Jaring Apung (KJA) Berdasarkan FaktorLingkungan Dan Kualitas Air di
Perairan Pantai Timur Bangka Tengah. Jurnal Mahasiswa Budidaya
Perairan. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.
Apridayanti, E. 2008. Evaluasi Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Lohor
Kabupaten Malang Iawa Timur. Tesis. Semarang.
Boyd, C.E. 1989. Water Quality Manajement for Pond Fish Culture. Departement
of Fisheries and Allied Aquacultures, Auburn University, Alabama. USA
Boyd, C.E. 1990. Water in Pond for Aquaculture. Departement of Fisheries and
Allied Aquacultures, Auburn University, Alabama. USA.
Christensen, M.S. 1989. Teknik dan Ekonomi Pemeliharaan Intensif Ikan Jelawat
dan Ikan Lempam dalam Karamba. Persada Utama. Jakarta. 141 hal.
Djenar, N.S. dan H. Budiastuti. 2008. Absopsi Polutan Amoniak Di Dalam Air
Tanah Dengan Memanfaatkan Tanaman Enceng Gondok (Eichhornia
crassipes). Vol 15. nomor 2. Spektrum Teknologi. Bandung.
Fajri, Nur El dan Agustina. 2013. Penuntun Praktikum dan Lembar Kerja
Praktikum Ekologi Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UR.
Pekanbaru.
Hirayama, K. 1970. Studies on water control by filtration through sand bed in a
marine aquarium with closed recirculating system, VI. Acidification of
aquarium water. Nippon Suisan Gakkaishi. Japan 36: 26-34
Kadarini, T. 2010. Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Sintasan Dan
Pertumbuhan Benih Ikan Hias Silver Dollar (Metynnis hypsauchen) Dalam
Sistem Resirkulasi. Jurnal Universitas Diponegoro. Semarang.
Prasetyo. 2011. Tolak Ukur Keberhasilan dan Kendala dalam Budidaya Perairan.
http://iimprasetyo.blogspot.com/2011/10/tolak-ukur-keberhasilan-dan-
kendala.html. Diakses tanggal 16 Juni 2013 pukul 20.30 WIB.
Sidik, Sarwono dan Agustina. 2002. Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Laju
Nitrifikasi Dalam Budidaya Ikan Sistem Resirkulasi Tertutup. Jurnal
Akuakultur Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sihotang,C. dan Efawani. 2006. Penuntun Praktikum Limnologi. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan UR. Pekanbaru.
Spotte, S. 1979. Fish and Invertebrate Culture: Water Management in Closed
Systems. Wiley Intersci. Pub. New York. 179 p.
Syamsuddin, R. 2008. Kondisi Ekologi Perairan Pantai Mallusetasi, Kabupaten
barru, Sulewesi Selatan(hubungan dengan perikanan Budidaya.Torani,
Vol. 18(4). 306-313. ISSN: 0853-4489. FPIK. UNHAS. Makasar.
Zonnefeld, N.E., A. Huisman & J.H. Boon, 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 318 p.
LAMPIRAN