Upload
ujuddeska-sisinga-jeleg
View
62
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5/22/2018 laporan konservasi ujud
1/39
i
i
LAPORAN LENGKAP PRAKTEK LAPANG
KONSERVASI SUMBERDAYA PERAIRAN
Laporan ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan
pada Mata Kuliah Konservasi Sumberdaya Perairan
OLEH :
KELOMPOK 9
MUH. UJUD ZAM UHUD I1A511011
HARIANTO I1A1110
ENDRIK SAPUTRA I1A111009
SABARUDIN I1A111045
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
JURUSAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2014
5/22/2018 laporan konservasi ujud
2/39
ii
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Laporan Lengkap Praktek Lapang Konservasi
Sumberdaya Perairan
Laporan Lengkap : Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Pada Mata Kuliah
Konservasi Sumberdaya Perairan
Kelompok : 9 (Sembilan)
Program Studi : 1. Agrobisnis Perikanan
2. Manajemen Sumberdaya Perairan
Laporan Lengkap ini
Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh :
Koordinator Asisten Asisten Pembimbing
La Ode Mansyur, S.Pi, M.Si Arwan Arif Rahman
NIP. 19820218 201012 1 001 NIM. I1A4 10 001
Mengetahui
Koordinator Dosen Mata Kuliah,
Dr. Ir. Andi Irwan Nur, MES
NIP. 19691028 199403 1 003
Kendari,........Juni 2014
5/22/2018 laporan konservasi ujud
3/39
iii
iii
Tanggal Pengesahan
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas izin-Nya,
praktikan dapat menyelesaikan Laporan Lengkap Praktek Lapang Konservasi
Sumberdaya Perairan. Laporan lengkap ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk lulus pada mata kuliah Konservasi Sumberdaya Perairan.
Praktikan menyadari bahwa terwujudnya laporan lengkap ini tidak lepas
dari bantuan berbagai pihak, maka melalui kesempatan ini praktikan
menyampaikan terima kasih kepada Asisten Pembimbing dan Teman-teman
sekalian.
Dalam penulisan laporan lengkap Konservasi Sumberdaya Perairan ini,
praktikan menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan pengetahuan yang praktikan
miliki. Oleh karena itu, segala koreksi dan saran kearah perbaikan sangat
praktikan harapkan guna penyempurnaan laporan lengkap praktek lapang
Konservasi Sumberdaya Perairan.
Akhir kata, praktikan mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah
memberikan bantuan kepada praktikan dan semoga laporan lengkap Konservasi
Sumberdaya Perairan ini dapat bermanfaat sebagaimana yang diharapkan.
Kendari, Juni 2014
Penulis
5/22/2018 laporan konservasi ujud
4/39
iv
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL.................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. vii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..... 1
B. Tujuan................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebijakan-Kebijakan Tentang Konservasi Sumberdaya
Perairan................................................... 5
B. Kawasan Konservasi di Indonesia................................................
C. Bentuk-Bentuk Konservasi .......
7
10
D. Strategi Pengelolaan Terumbu Karang ........................................E. Teknologi Transplantasi Terumbu Karang Buatan..
F. Jenis-Jenis Terumbu Karang.....
1315
17
III. METODOLOGI PRAKTEK
A. Waktu dan Tempat
B. Alat dan Bahan
23
23
C. Praktek DiLapangan 23
D. Profil Kelompok.. 24
IV. PEMBAHASAN
A. Pemilihan Lokasi .
B. Pembuatan Rak Transplantasi
C. Proses Transplantasi
D. Taging...............................
25
26
26
29
V. PENUTUP
A. Simpulan........ 31
B. Saran ..... 31
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN
5/22/2018 laporan konservasi ujud
5/39
v
v
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Persentasi Habitat Penting yang Telah Dilindungi diSetiap
Ekoregion.................................................................... 7
2. Alat dan Bahan yang digunakan beserta
kegunaannya.................................................................... 23
5/22/2018 laporan konservasi ujud
6/39
vi
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Daerah Konservasi yang ada di Indonesia............................ 9
5/22/2018 laporan konservasi ujud
7/39
vii
vii
Lampiran
Dokumentasi Kegiatan (Photo-Photo)
5/22/2018 laporan konservasi ujud
8/39
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia berdiri di atas pengurasan
sumberdaya alam (minyak bumi, batu bara, emas, nikel, tembaga, kayu, perak).
Sebagian besar sumber daya tersebut merupakan sumberdaya yang tidak
terbaharukan. Ekstraksi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam telah sampai
pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Senge (2008) menguraikan bahwa saat
ini lebih dari 50 juta manusia setiap tahun bermigrasi ke kota-kota. Sumber-
sumber perekoniman tradisional di desa telah hancur. Kondisi lingkungan,
khususnya lahan dan perikanan, terdegradasi. Hal ini menyebabkan ketimpangan
ketimpangan dalam distribusi sumberdaya dan sekaligus dalam gaya hidup
antara penduduk kota dan desa. Indonesia sedang mengalami masalah ini dan
akan terus berakumulasi di masa depan.
Lebih jelas mengenai ketimpangan tersebut di atas, kita menyimak bukti-
bukti yang dipaparkan James Martin melalui bukunya The Meaning of the 21
Century (2007). Ia menyatakan bahwa 7% penduduk dunia mengkonsumsi 80%
energi yang tersedia. Bila kita hitung, konsumsi energi, air, dan sumberdaya alam
lainnya satu orang di negara maju setara dengan konsumsi 140 orang Afganistan
atau Ethiopia. James Martin menguraikan ada tiga macam penyebab kehancuran
sumberdaya alam: penurunan kuantitas sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk,
dan pola konsumsi. Amerika adalah negara yang memberi kontribusi tertinggi
bagi pelepasan gas carbon dioksida di atmosfer. Pernyataan James Martin tersebut
5/22/2018 laporan konservasi ujud
9/39
2
mungkin dapat mengkonfirmasi adanya asumsi determinan mengenai ledakan
penduduk dan batas-batas pembangunan sejak tahun 1970-an.
Perairan Indonesia yang luasnya 5,1 juta km2, termasuk Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2 memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi. Salah satu keanekaragaman hayati yang hidup di laut adalah terumbu
karang. Jumlah jenis karang batu (hard coral) di Indonesia tercatat sebanyak 590
jenis, yang didominasi oleh karang dari genus Acropora (91 jenis), Montipora (29
jenis) dan Porites (14 jenis) (Direktur Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
2007).
Namun selama setengah abad terakhir, kualitas terumbu karang (coral reef)
di pulau-pulau kecil Indonesia telah turun hingga 50%. Tercatat antara tahun
1989-2000, keberadaan terumbu karang dengan tutupan karang hidup sebesar
telah menurun dari 36% menjadi 29% (Hari Sutanta, 2006).
Kerusakan ini lebih banyak disebabkan karena aktivitas manusia. Secara
umum ada dua jenis aktivitas manusia yang memicu kerusakan terumbu karang.
Pertama, pengambilan ikan secara berlebih. Kedua, pengambilan ikan dengan
cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Pengambilan ikan dengan menggunakan
bom dan sianida masih sering terjadi di Indonesia. Sebagai akibat kerusakan
terumbu karang, terjadi abrasi atau pengikisan garis pantai secara serius. Pada saat
yang sama, memburuknya abrasi juga menyebabkan kerusakan karang dalam
luasan yang cukup besar.
Dalam upaya menanggulangi masalah tersebut khususnya dalam rangka
memulihkan kembali fungsi dan peranan ekosistem terumbu karang sebagai
5/22/2018 laporan konservasi ujud
10/39
3
habitat biota laut, perlu segera diambil tindakan nyata untuk menjaga kelestarian
ekosistem karang melalui upaya rehabilitasi sumber daya karang yang sudah
mengalami kerusakan. Salah satu upaya tersebut dapat dilakukan melalui
transplantasi karang.
Pelaksanaan Transplantasi karang telah banyak dipraktekkan di berbagai
pulau di Indonesia. Akan tetapi biasanya transplantasi dilakukan dengan
meletakkan sejenis kerangka barang, misalnya kerangka kapal. Mobil, dll yang
nantinya diharapkan akan menjadi tempat tinggal baru bagi ikan.
Terumbu Karang merupakan salah satu sumberdaya alam pesisir yang ada
di Maluku Utara yang penyebarannya tersebar luas dan belum mendapat perhatian
serius tentang permasalahan didalamnya terutama yang terdapat di perairan pantai
sulamadaha. Perairan pantai Sulamadaha yang terdapat di kota Ternate termasuk
salah satu tempat wisata bahari yang memiliki terumbu karang yang sangat indah
dan menarik. Namun sangat disayangkan. Terumbu karang yang terdapat disekitar
perairan tersebut terancam rusak. Dalam upaya pelestarian dan pengembangan
pantai sulamadaha sebagai tempat wisata bahari maka perlu segera diambil
tindakan nyata untuk menjaga kelestarian ekosistem karang melalui upaya
rehabilitasi sumberdaya karang, salah satu upaya tersebut dapat dilakukan melalui
teknologi transplantasi karang sehingga kelestarian dari ekosistem karang dapat
terjaga.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dipandang perlu untuk melakukan
praktek lapang konservasi sumberdaya perairan khususnya tentang transplantasi
terumbu karang.
5/22/2018 laporan konservasi ujud
11/39
4
B. Tujuan
Tujuan dari praktek lapangan konservasi ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana tahapan-tahapan dalam transplantasi karang
2. Untuk mengetahui jenis-jenis terumbu karang yang akan di transplantasi.
5/22/2018 laporan konservasi ujud
12/39
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebijakan-Kebijakan Tentang Konservasi Sumberdaya Perairan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Undang-undang ini mengatur semua aspek yang
berkaitan dengan konservasi, baik ruang maupun sumber daya alamnya,
sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan-nya, bahwa Undang-undang ini
bertujuan: Untuk mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya agar
dapat menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan
mutu kehidupan manusia. Pasal 1 angka 7: Satwa liar adalah semua binatang
yang hidup di darat , dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai
sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
Penjelasan Pasal 1 angka 7: Ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian
satwa liar, tetapi termasuk di dalam pengertian satwa. Pengertian konservasi
menurut undang-undang ini adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Konservasi dilakukan melalui kegiatan : (a)
perlindungan sistem penyangga kehidupan ; (b) pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (c) pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 5).
5/22/2018 laporan konservasi ujud
13/39
6
Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memuat ketentuan mengenai
konservasi di kawasan hutan. Pasal 1 angka 2 undang-undang ini menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Selanjutnya Pasal 7 menyatakan bahwa hutan konservasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari: (a) kawasan hutan suaka
alam, (b) kawasan hutan pelestarian alam, dan (c) taman buru. Walaupun
ketentuan konservasi ini masih berorientasi daratan namun prinsipprinsip
pengaturan mengenai konservasi secara analogi dimungkinkan untuk diterapkan
untuk kawasan konservasi di perairan, khususnya untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap ekosistem yang menjadi habitat satwa langka.
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sepanjang
berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi sebagai suatu kesatuan
ekosistem, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur
penetapan status hukum kawasan lautnya. Secara khusus undang-undang ini
memberikan wewenang kepada Menteri untuk menetapkan status suatu bagian
laut tertentu sebagai kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan,
Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan. Penetapan status kawasan-
kawasan laut tersebut bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber-
sumber kekayaan\ alam hayati dan ekosistemnya.
5/22/2018 laporan konservasi ujud
14/39
7
B. Kawasan Konservasi di Indonesia
Dikaji dari perspektif perlindungan terhadap habitat penting (critical
habitats), hasil gap analysis tahun 2010 terhadap kawasan koservasi di Indonesia
menyimpulkan bahwa ekosistem terumbu karang Indonesia mencakup luasan 3,29
juta ha, mangrove 3,45 juta ha, dan luasan padang lamun 1,76 juta ha. Dari luasan
tersebut, saat ini Indonesia telah melakukan perlindungan dengan menjadi bagian
wilayah konservasi terhadap 22,7% terumbu karang (747.190 ha), 22,0%
mangrove (758.472 ha), dan 17,0% padang lamun (304.866 ha). Pencapaian
perlindungan terhadap habitat penting di tiap-tiap ekoregion disajikan pada Tabel
1 di bawah ini.
Tabel 1. Persentasi Habitat Penting yang Telah Dilindungi di Setiap Ekoregion
Berdasarkan Tabel di atas, maka perlu diupayakan pengembangan
KKP/KKP3K di ekoregion-ekoregion yang saat ini masih belum memenuhi target,
terutama di ekoregion Halmahera. Di ekoregion ini belum ada perlindungan
terhadap habitat penting, baik mangrove, terumbu karang maupun padang lamun.
Menurut Bohnsack et al. (2000), melindungi sekitar 20 - 30% luasan terumbu
5/22/2018 laporan konservasi ujud
15/39
8
karang telah terbukti dapat mendukung keberlanjutan ekosistem terumbu karang.
Sedangkan PISCO (2002) mensinyalir bahwa manfaat optimal dari pengelolaan
KKP melalui spill-over dan produksi larva akan meningkat pada perlindungan
terhadap 20-30% luasan habitat penting. Setelah melewati 20-30%, KKP menjadi
sangat luas, sehingga akan menurunkan produksi perikanan karena menyempitnya
daerah penangkapan bagi masyarakat. Pendapat Bohnsack hanya terfokus pada
ekosistem,sedangkan PISCO hanya berorientasi pada hasil penangkapan ikan.
Menilik luasan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil
di Indonesia yang telah mencapai 15,7 juta hektar, tentu masih dibutuhkan
pengembangan sekitar 4,3 juta ha lagi Kawasan Konservasi Perairan sampai
dengan 8 tahun mendatang. Kajian untuk memetakan rencana pengembangan
Kawasan Konservasi Perairan sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayah
telah dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat keanekaragaman hayati
wilayah perairan Indonesia, dan hasilnya telah dipublikasikan, dengan judul
Penetapan Prioritas Geografi untuk Konservasi keanekaragaman Hayati Laut di
Indonesia merupakan hasil kajian dalam menentukan wilayah-wilayah prioritas
untuk pengembangan Kawasan Konservasi Perairan di masa yang akan datang.
Buku tersebut merupakan hasil pemikiran para ahli kelautan dalam dan luar negeri
untuk mengetahui wilayah-wilayah prioritas berdasarkan pada kriteria ekologi
yang mencakup 3 aspek yaitu: (a) Ketidaktergantikan (irreplaceability) yang
mencakup tingkat endemisme, keunikan taksonomi, keberadaan spesies langka
yang berkaitan dengan keanekaragaman spesies dan habitat terumbu karang, ikan
karang, padang lamun, dan mangrove; (b) kerentanan terhadap perubahan dan
5/22/2018 laporan konservasi ujud
16/39
9
gangguan alam; dan (c) keterwakilan habitat dalam wilayah perencanaan. Ada 12
wilayah bioekoregion yang dirangking keanekaragaman hayatinya, batas-batas
ekoregion peringkat 1 (Papua, prioritas konservasi teratas) sampai ekoregion
peringkat 12 (Selat Malaka, prioritas konservasi paling rendah), seperti gambar
berikut.
Gambar 1. Daerah Konservasi yang ada di Indonesia
Pengelolaan efektif kawasan konservasi perairan merupakan target utama
dalam pengembangan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau
kecil.Metode evaluasi efektifitas pengelolaan kawasan konservasi di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil (E-KKP3K) sedang dikembangkan oleh kementerian
kelautan dan perikanan. Evaluasi efektivitas tersebut secara ringkas memuat
tingkat keefektifan pengelolaan dari berbagai aspek, meliputi: tahapan
pengelolaan, aspek ekologis, aspek sosial ekonomi dan budaya, dan aspek
penatakelolaan kawasan konservasi perairan. Secara ringkas, terdapat lima level
(tingkat) pengelolaan, yaitu: MERAH: (Level 1), merupakan kawasan konservasi
telah diinisiasi, dievaluasi dengan Pencadangan (SK); KUNING: (Level 2)
kawasan konservasi didirikan, tersedia: lembaga pengelola, zonasi&manajemen
5/22/2018 laporan konservasi ujud
17/39
10
plan; HIJAU (Level 3); kawasan konservasi dikelola minimum, tersedia : lembaga
pengelola, zonasi&manajemen plan, penguatan Kelembagaan dan SDM,
Infrastruktur dan peralatan, upaya-upaya pokok pengelolaan KKP/KKP3K; BIRU
(Level 4), kawasan konservasi dikelola optimum, pengelolaan KKP/KKP3K telah
berjalan baik; dan EMAS: (Level 5) kawasan konservasi mandiri, pengelolaan
KKP/KKP3K telah berjalan baik dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat.
Perangkat E-KKP3K dapat digunakan untuk melakukan evaluasi atau penilaian
terhadap efektivitas pengelolaan kawasan konservasi yang meliputi kawasan
konservasi perairan dan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil di Indonesia. E-KKP3K tingkat makro digunakan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan untuk melihat sebaran meruang (spatial) tingkat
pengelolaan semua kawasan konservasi perairan yang ada di Indonesia, sementara
E-KKP3K tingkat mikro dapat digunakan untuk melakukan swa-evaluasi terhadap
kinerja pengelolaan suatu kawasan konservasi perairan sekaligus membuat
perencanaan untuk meningkatkan kinerja.
C. Bentuk-Bentuk Konservasi
1. Konservasi Tingkat Genetik
Dalam satu spesies tumbuhan atau hewan bisa terdapat variasi genetik,
sehingga menimbulkan perbedaan yang jelas. Manusia meskipun satu spesies
(Homo sapiens), tapi ada orang kulit putih, Negro, Melayu, Mandarin, dan lainnya.
Macan Tutul dan Kumbang sama-sama spesies Panthera pardus. Bahkan sering
kakak beradik yang satu tutul yang lain hitam. Variasi genetik misalnya terlihat
5/22/2018 laporan konservasi ujud
18/39
11
pada jagung. Ada berbagai bentuk, ukuran dan warna jagung: jagung Metro,
jagung Kuning, jagung Merah. Contoh lain adalah padi. Kita mengenal ribuan
varietas padi, walaupun padi itu hanya satu spesies (Oriza sativa). Variasi
genetika merupakan sumber daya pokok yang penting untuk menciptakan varietas
unggul tanaman pertanian baru. Karena itu istilahnya sumberdaya genetika
tanaman. Indonesia menawarkan berbagai sumberdaya genetika tanaman dan
binatang yang sangat berharga guna pemanfaatan saat ini atau di masa mendatang.
Sedikitnya 6.000 spesies flora dan fauna asli Indonesia dimanfaatkan sehari-hari
oleh orang Indonesia untuk makanan, obat, pewarna, dll.
Pembentukan genetik suatu individu tidak statis. Selalu berubah akibat
faktor internal dan eksternal. Keragaman materi genetik memungkinkan terjadi
seleksi alam. Umumnya, kian besar populasi suatu spesies kian besar
keanekaragaman genetiknya, sehingga makin kecil kemungkinannya punah.
2. Konservasi Tingkat Spesies
Sangat mengherankan, para cendikiawan lebih tahu berapa banyak bintang
di galaksi daripada jumlah spesies makhluk hidup di bumi. Hingga kini baru 1,7
juata spesies teridentifikasi, dari jumlah seluruh spesies yang diperkirakan 5-100
juta. Kelompok makhluk hidup yang memiliki jumlah spesies terbanyak adalah
serangga dan mikroorganisme. Sekalipun demikian masih saja ada anggapan,
bahwa hanya organisme besar seperti tanaman berbunga, mamalia dan vertebrata
lain, yang mempengaruhi kehidupan manusia secara langsung. Padahal
mikroorganisme, termasuk alga, bakteri, jamur, protozoa dan virus, vital perannya
bagi kehidupan di bumi. Contohnya, tak akan ada terumbu karang jika tak ada
5/22/2018 laporan konservasi ujud
19/39
12
alga. Terganggunya keseimbangan mikroorganisme tanah, dapat menyebabkan
kualitas kehidupan di tanah merosot, hingga mengakibatkan perubahan besar pada
ekosistem.
Suatu wilayah yang memiliki banyak spesies satwa dan tumbuhan,
keragaman spesiesnya lebi besar, dibandingkan wilayah yang hanya memiliki
sedikit spesies yang menonjol. Pulau dengan 2 spesies burung dan 1 spesies kadal,
lebih besar keragamannya daripada pulau dengan 3 spesies burung tanpa kadal.
Indonesia sangat kaya spesies. Walau luasnya Cuma 1,3% luas daratan dunia,
Indonesia memiliki sekitar 17% jumlah spesies di dunia. Paling tidak negara kita
memiliki 11% spesies tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia, 15% spesies
amphibi dan reptilia, 17% spesies burung, dan 37% spesies ikan dunia. Kekayaan
dunia serangga kita terwakili oleh 666 spesies capung dan 122 spesies kupu-kupu.
Spesies didefinisikan secara biologis dan morfologis. Secara biologis, spesies
adalah Sekelompok individu yang berpotensi untuk ber-reproduksi diantara
mereka, dan tidak mampu ber-reproduksi dengan kelompok lain. Sedangkan
secara morfologis, spesies adalah Sekelompok individu yang mempunyai karakter
morfologi, fisiologi atau biokimia berbeda dengan kelompok lain. Ancaman bagi
spesies adalah kepunahan. Suatu spesies dikatakan punah ketika tidak ada satu
pun individu dari spesies itu yang masih hidup di dunia. Terdapat berbagai
tingkatan kepunahan, yaitu :
- Punah dalam skala global : jika beberapa individu hanya dijumpai di
dalam kurungan atau pada situasi yang diatur oleh manusia, dikatakan
telah punah di alam.
5/22/2018 laporan konservasi ujud
20/39
13
- Punah dalam skala lokal (extirpated) : jika tidak ditemukan di tempat
mereka dulu berada tetapi masih ditemukan di tempat lain di alam
- Punah secara ekologi : jika terdapat dalam jumlah yang sedemikian sedikit
sehingga efeknya pada spesies lain di dalam komunitas dapat diabaikan
- Kepunahan yang terutang (extinction debt) : hilangnya spesies di masa
depan akibat kegiatan manusia pada saat ini
Diperkirakan pada masa lampau telah terjadi 5 kali episode kepunahan
massal. Kepunahan massal terbesar diperkirakan terjadi pada akhir jaman permian,
250 juta tahun lalu. Diperkirakan 77%-96% dari seluruh biota laut punah ketika
ada gangguan besar seperti letusan vulkanik serentak atau tabrakan dengan
asteroid yang menimulkan prubahan dramatik pada iklim bumi sehingga banyak
spesies mengalami kepunahan. Kepunahan sesungguhnya merupakan fenomena
alamiah, namun mengapa hilangnya spesies menjadi masalah? Pengurangan atau
penambahan spesies secara efektif ditentukan oleh laju kepunahan dan laju
spesiasi. Spesiasi adalah proses yang lambat. Selama laju spesiasi sama atau leih
cepat daripada laju kepunahan maka keanekaragaman hayati akan tetap konstan
atau bertambah. Pada periode geologi yang lalu hilangnya spesies diimbangi atau
dilampaui oleh evolusi dan pembentukan spesies baru. Saat ini tingkat kepunahan
mencapai 100-1000 kali dari tingkat kepunahan. Disebabkan oleh aktivitas
manusia. Kepunahan saat ini disebut kepunahan keenam.
D. Strategi Pengelolaan Terumbu Karang
Suatu pengelolaan yang baik adalah yang memikirkan generasi mendatang
untuk dapat juga menikmati sumberdaya yang sekarang ada. Dengan demikian
5/22/2018 laporan konservasi ujud
21/39
14
dalam pengelolaan terumbu karang haruslah mempertimbangkan hal sebagai
berikut 1) : Pertama, melestarikan, melindungi, mengembangkan, memperbaiki
dan meningkatkan kondisi atau kualitas terumbu karang dan sumberdaya yang
terkandung di dalamnya bagi kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta
memikirkan generasi mendatang. Kedua, mendorong dan membantu pemerintah
daerah untuk menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan sesuai
dengan karakteristik wilayah dan masyarakat setempat serta memenuhi standar
yang ditetapkan secara nasional berdasarkan pertimbanganpertimbangan daerah
yang menjaga antara upaya ekploitasi dan upaya pelestarian lingkungan. Ketiga,
mendorong kesadaran, partisipasi dan kerjasama/kemitraan dari masyarakat,
pemerintah daerah, antar daerah dan antar instansi dalam perencanaan dan
pelaksanaan pengelolaan terumbu karang (Santoso, A. D dan Kardono. 2008).
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka dalam pengelolaan terumbu
karang diperlukan strategi sebagai berikut:
1. Memberdayakan masyarakat pesisir yang secara langsung bergantung
pada pengelolaan terumbu karang :
a. Mengembangkan mata pencaharian alternatif yang bersifat
berkelanjutan bagi masyarakat pesisir.
b. Meningkatkan penyuluhan dan menumbuhkembangkan keadaan
masyarakat akan tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya
terumbu karang dan ekosistem nya melalui bimbingan, pendidik an
dan penyuluhan tentang ekosistem terumbu karang.
5/22/2018 laporan konservasi ujud
22/39
15
c. Memberikan hak dan kepastian hukum untuk mengelola terumbu
karang bagi mereka yang memilikikemampuan.
2. Mengurangi laku degradasi kondisi terumbu karang yang ada saat ini :
a. Mengidentifikasi dan mencegah penyebab kerusakan terumbu karang
secara dini.
b. Mengembangkan program penyuluhan konservasi terumbu karang dan
mengembangkan berbagai alternatif mata pencaharian bagi masyarakat
local yang memanfatakannya.
c. Meningkatkan efektifitas penegakan hukum terhadap berbagai
kegiatan yang dilarang oleh hukum seperti pemboman dan
penangkapan ikan dengan Cyanide.
3. Mengelola terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi,
pemanfaatan dan status hukumnya:
a. Mengidentifikasi potensi terumbu karang dan pemanfaatannya.
b. Menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan pelestarian
lingkungan.
E. Teknologi Transplantasi Terumbu Karang Buatan
a. Terumbu karang buatan
Metode sederhana ini adalah dengan menengelamkan struktur bangunan di
dasar laut agar dapat berfungsi seperti terumbu karang alami sebagai tempat
berlindung ikan. Dalam jangka waktu tertentu, struktur yang dibuat dengan
berbagai bahan seperti struktur beton berbentuk kubah dan piramida, selanjutnya
membantu tumbuhnya terumbu karang alami di lokasi tersebut. Dengan demikian,
5/22/2018 laporan konservasi ujud
23/39
16
fungsinya sebagai tempat ikan mencari makan, serta tempat memijah dan
berkembang biak berbagai biota laut dapat terwujud (Suharsono, 1998).
b. Pencangkokan
Metode ini dikenal dengan transplantasi. Dengan memotong karang hidup,
lalu ditanam di tempat lain yang mengalami kerusakan diharapkan dapat
mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak dan dapat pula dipakai
untuk membangun daerah terumbu karang baru yang sebelumnya tidak ada. Bibit
karang yang sering digunakan pada uji coba transplantasi ini adalah dari genus
Acropora yang terdiri dari A tenuis, A austera, A formosa, A hyacinthus, A
divaricata, A nasuta, A yongei, A aspera, A digitifera, A valida, dan A glauca.
persen. Hal tersebut diperkirakan karena spesiesspesies tersebut memiliki cabang
yang kecil dan mudah rapuh. Berdasarkan per tambahan tinggi masing-masing
karang tersebut, setelah berumur satu bulan pertambahan tinggi terbesar dialami
oleh Acropora yongei (rata-rata 0,4 cm), sedangkan pertambahan tinggi terkecil
dialami Acropora digitifera, yakni 0,1 cm.
c. Mineral Accretion
Metode ini dikembangkan oleh Thomas J. Goreau and Wolf Hilbertz
seorang ahli biologi dari AS 2). Mereka mengkaitkan terumbu karang pada
bronjong-bronjong kawat baja yang dialiri listrik DC (direct current) dengan
voltage rendah. Aliran listrik yang mengalir melalui kawat baja tesebutdiharapkan
dapat merangsang percepatan pertumbuhan karang. Hasil dari transplantasi model
ini ternyata lebih cepat 3-5 kali dibanding cara transplantasi cara biasa.
5/22/2018 laporan konservasi ujud
24/39
17
F. Jenis-Jenis Terumbu Karang
Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan
kondisi lingkungan perairan. Berbagai jenis bentuk pertumbuhan karang
dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, hydrodinamis (gelombang dan arus),
ketersediaan bahan makanan, sedimen, subareal exposure dan faktor genetik.
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora
dan non-Acropora (English et.al., 1994). Perbedaan Acropora dengan non-
Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang
disebut axial koralitdan radial koralit, sedangkan non-Acroporahanya memiliki
radial koralit.
Hard Coral adalah hewan karang yang membentuk kerangka kapur hasil
penumpukan oleh jutaan koloni polyp. Terdapat sebanyak sekitar 500 species
karang menyebar di daerah Indo-Pacific, dengan 70 % nya terdapat di Indonesia,
yang umumnya berbentuk koloni dan ada beberapa yang hidup soliter seperti
famili Fungiidae. Genus Acropora merupakan jenis yang melimpah di habitat
karang.
Karang lunak atau Soft Corals merupakan karang yang penting dan terkenal
hidup di habitat karang. Beberapa diantaranya tumbuh dengan cepat dan
merupakan taman bunga liar 10 ~ 30 m di bawah permukaan laut. Strukturnya
menyerupai karang keras (Hard corals) yaitu terdiri dari koloni polyp yang
mengumpulkan makanan berbentuk plankton. Soft corals tidak membentuk
kerangka kapur yang keras. Tubuhnya berbentuk jaringan lunak ditunjang oleh
matriks partikel mikroskopis disebut sclerites. Bentuk, ukuran dan ornamen
5/22/2018 laporan konservasi ujud
25/39
18
sclerites merupakan parameter yang berguna untuk mengidentifikasi jenis-
jenisnya.
Menurut Suharsono (1996), Genus karang yang umum terdapat di Indonesia
antara lain meliputi :
1. Genus Acropora ( Familia Acroporidae )
Genus Acropora memiliki jumlah jenis (species) terbanyak dibandingkan
genus lainnya pada karang. Karang jenis ini biasanya tumbuh pada perairan jernih
dan lokasi dimana terjadi pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang
dan tergolong jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap
sedimentasi dan aktivitas penangkapan ikan.
Karakteristik bentuk rangka kapur genus Acropora antara lain :
- Koloni biasanya bercabang, jarang sekali menempel ataupun submasif.
- Koralit dua tipe, yaitu : axial dan radial.
- Septa umumnya mempunyai dua lingkaran.
- Columella tidak ada.
- Dinding koralit dan Coenosteum rapuh.
- Tentakel umumnya keluar pada malam hari
2. Genus Montipora ( Familia Acroporidae )
Genus Montipora sering ditemukan mendominasi suatu daerah. Sangat
tergantung pada kejernihan suatu perairan. Biasanya berada pada perairan dangkal
berkaitan dengan intensitas cahaya yang diperolehnya dengan bentuk koloni
berupa lembaran.
Karakteristik bentuk rangka kapur genus Montipora antara lain :
5/22/2018 laporan konservasi ujud
26/39
19
- Bentuk koloni bervariasi, ada yang submasif, laminar, menempel ataupun
bercabang.
- Ukuran koralit umumnya kecil.
- Septa umumnya memiliki dua lingkaran dengan bagian ujung (gigi)
muncul keluar. Apabila disentuh maka akan terasa tajam.
- Tidak memiliki Columella.
- Dinding koralit dan Coenosteum keropos. Coenosteum memiliki beberapa
tipe: Papillea bila Coenosteum lebih kecil dibandingkan dengan ukuran
koralit, dan tuberculea jika sebaliknya. Apabila berkelompok mengelilingi
koralit disebut thecal papillae dan juga ada thecal tuberculae.
- Tentakel umumnya keluar pada malam hari
3. Genus Pocillopora ( Familia Pocilloporidae)
Karakteristik bentuk rangka kapur genus Montipora antara lain :
- Koloni umumnya berbentuk submasif, bercabang, ataupun bercabang
dengan bentuk pipih.
- Koloni ditutupi dengan verrucae.
- Koralit cekung ke dalam pada verrucae.
- Koralit mungkin tidak memiliki struktur dalam atau memiliki columella
yang kurang berkembang.
- Memilki dua lingkaran septa yang tidak sama.
- Coenesteum biasanya ditutupi oleh granules (butiran).
- Tentakel umumya keluar pada malam hari.
5/22/2018 laporan konservasi ujud
27/39
20
- Genus Pocillopora merupakan satu-satunya genus karang yang memiliki
verrucae. Hal tersebut menjadi ciri khas yang membedakannya dengan
genus-genus karang yang lain
4. Genus Seriatopora ( Familia Pocilloporidae )
Karakteristik bentuk rangka kapur genus Montipora antara lain :
- Ciri khas koloninya berbentuk compact bushes dengan cabang yang halus.
- Koralit tersusun rapi sepanjang cabang.
- Koralit sebagian besar tenggelam dan struktur internal tidak begitu
berkembang kecuali columella.
- Septa umumnya berjumlah satu.
- Coenosteum ditutupi oleh spinules (duri-duri) yang halus
5. Genus Favia (Familia Faviidae)
Karakteristik bentuk rangka kapur genus Favia antara lain :
- Bentuk koloni umumnya submasif, flat atau dome-shaped.
- Koralit sebagian besar monocentric (satu colomella dalam satu corallite)
dan plocoid.
- Memperbanyak koralit melalui pembelahan intratentacular.
- Tentakel umumnya keluar pada malam hari
6. Genus Favites ( Familia Faviidae )
Struktur rangka kapur genus favia mirip dengan genus favites tapi dapat
dibedakan dengan perbedaan tipe koralit karang. Tipe koralit Favites tergolong
ceroid, sedangkan tipe koralit tergolong plocoid. Karakteristik bentuk rangka
kapur genus Favites antara lain :
5/22/2018 laporan konservasi ujud
28/39
21
- Bentuk koloni umumnya masif, flat atau dome-shaped
- Koloni berbentuk monocentric dan ceroid, beberapa berbentuk subplocoid.
- Pada koloni karang ini antara dua koralit dibatasi oleh satu dinding koralit
(Johan, 2003)
7. Genus Porites (Familia Poritidae)
Genus Porites ini mirip dengan genus Montipora dan Stylaraea, namun
memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan antara porites dengan Montipora ialah
bahwa Porites memilki bentuk pertumbuhan yang lebih beragam, koralit pada
Porites lebih besar, kokoh dan tidak ada elaborate thecal perpanjangan dinding
koralit. Genus Montipora memiliki dua tipe coenosteum, yaitu reticulum papillae
dan tubercuae. Selain itu, Porites memiliki koralit yang umumnya selalu terlihat
septanya, sementara montipora hanya memilki perpanjangan gigi septa yang
menonjol keluar sehingga terasa runcing dan kasar bila disentuh. Karakteristik
bentuk rangka kapur genus Porites antara lain :
- Bentuk koloni ada yang flat, masif dan bercabang.
- Koloni yang masif berbentuk bulat ataupun setengah bulat. Koloni masif
yang kecil akan terlihat berbentuk seperti helm, dengan diameter dapat
mencapai lebih dari 5 meter.
- Koralit berukuran kecil, cekung ke dalam (terbenam) pada badan koloni
dengan lebar Calice kurang dari 2 mm.
- Tentakel umumnya keluar pada malam hari
8. Genus Goniopora (Familia Poritidae)
Karakteristik bentuk rangka kapur genus Goniopora antara lain :
5/22/2018 laporan konservasi ujud
29/39
22
- Bentuk koloni columnar, masif dan encrusting.
- Koralit tebal tapi kadang keropos dan calice memiliki septa yang kokoh
dan memiliki columella.
- Polip genus Goniopora berukuran panjang dan keluar baik pada malam
hari maupun siang hari.
- Polip genus Goniopora memiliki 24 tentakel
5/22/2018 laporan konservasi ujud
30/39
23
III. METODOLOGI PRAKTEK
A. Waktu Dan Tempat
Praktek Lapang Konservasi Sumberdaya Perairan ini dilaksanakan pada
Hari Minggu tanggal 25 Mei 2014 pukul 08.00 Wita sampai selesai pukul 13.00
Wita. Praktek ini bertempat di Desa Tononggeu,Kecamatan Abeli, Kota Kendari,
Provinsi Sulawesi Tenggara.
B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada saat praktek lapang Konservasi
Sumberdaya Perairan adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Alat dan bahan Beserta Kegunaannya yang digunakan pada saat Praktek
Lapang Konservasi Sumberdaya Perairan.
No Alat dan Bahan Kegunaan
Alat
1 Alat tulis Untuk alat menulis
2 Buku Sebagai alat menulis hasil wawancara
3 Kamera Untuk dokumentasi praktikum
Bahan
1 Bibit karang lunak Sebagai objek pengamatan
C. Praktek Dilapangan
Kegiatan yang dilakukan di lapangan pada saat praktek lapang ini adalah :
1. Mensurvei dan mengenali lokasi kegiatan konservasi dengan melihat
sekeliling lokasi dilakukannya transplantasi.
2. Mendengar arahan dari Asisten praktek lapang
5/22/2018 laporan konservasi ujud
31/39
24
3. Melakukan wawancara kepada pemilik atau penanggung jawab atas lokasi
konservasi tersebut,
4. Mencatat semua hasil wawancara yang telah di lakukan dan
5. Melakukan dokumentasi kegiatan praktek lapang.
D. Profil Kelompok
Kelompok 9 (Sembilan) merupakan kelompok praktek lapang konservasi
sumberdaya perairan yang beranggotakan 4 orang yang terdiri dari dua program
studi yaitu MSP dan Agrobisnis Perikanan.
- Muhammad Ujud Zam Uhud : I1A511011
- Endrik Saputra : I1A111009
- Sabarudin : I1A111045
- Harianto :
5/22/2018 laporan konservasi ujud
32/39
25
IV. PEMBAHASAN
A. Pemilihan Lokasi
Usulan inisiatif calon kawasan konservasi perairan dapat diajukan oleh
orang perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga penelitian, lembaga
pendidikan, lembaga pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat. Pengajuan
usulan insiatif calon kawasan konservasi perairan sebaiknya dilengkapi dengan
hasil kajian awal dan peta lokasi, dan disampaikan kepada Menteri Kelautan dan
Perikanan atau kepala daerah di level propinsi (Gubernur) atau kabupaten/kota
(Bupati atau Walikota).
Penetapan kawasan konservasi yang dilakukan hendaknya memikirkan
beberapa aspek menyangkut ekosistem yg perlu dilindungi. Karena yang menjadi
objek adalah terumbu karang, maka pemilihan lokasi konservasi haruslah
ditempat yang sesuai dengan habitat-habitat dari jenis terumbu karang tersebut.
Lokasinya juga harus melihat dan mempertimbangkan tentang faktor oseanografi,
kualitas air dan lingkungan kehidupan masyarakat.
Untuk memudahkan dalam menentukan lokasi yang tepat dalam mengelola
kawasan menjadi kawasan konservasi maka tekhnologi GPS dan Google Eart
dapat digunakan. Kembali pada pentingnya suatu kawasan konservasi maka
kawasan tersebut mesti harus dikontrol dan di beri tanda agar masyarakat tidak
melakukan kerusakan-kerusakan sehingga kegiatan konservasi tidak terbilang
percuma. Berdasarkan hasil wawancara, kawasan konservasi yang dipilih oleh
salah satu perusahaan yang peduli terhadap ekosistem terumbu karang memilih
untuk mengkonservasi di sekitaran teluk kendari. Hal ini didasari karena
5/22/2018 laporan konservasi ujud
33/39
26
ekosistem teumbu karang yang ada di sekitar teluk kendari sebagian besar telah
rusak.
B. Pembuatan Rak Transplantasi
Sebelum membuat rak transplantasi maka hendaknya membuat substrat
tempat dilekatkannya potongan-potongan karang. Substrat di buat dengan adonan
semen dan dicetak dengan ukuran yang disesuaikan dengan jenis karang.
Rak transplantasi yang umum terbuat dari rangka besi yang dicat anti karat
yang tertutupi dengan jaring yang di ikat secara kuat dan rapi. Rangka yang ideal
berukuran 110 x 100 cm berbentuk segi empat dan pada bagian ujung-ujung/sudut
segi empat tersebut terdapat kaki-kaki tegak lurus masing-masing sepanjang 50
cm. Dibagian atasnya di tutupi dengan jaring tempat mengikat substrat karang
yang berjumlah kurang lebih 12 buah, pada setiap substrat diikat bibit karang,
dimana jarak masing-masing bibit kurang lebih 25 cm.
C. Proses Transplantasi
Setelah semua persiapan-persiapan transplantasi telah selesai maka langkah
selanjutnya adalah melakukan proses transplantasi. Langkah-lankahnya adalah
sebagai berikut.
1. Pengambilan Bibit Karang
Jenis karang yang digunakan dalam kegiatan transplantasi, yaitu jenis
karang yang hidup dan tersedia di masing-masing lokasi kegiatan. Berdasarkan
data inventarisasi DKP (2002) beberapa alternatif jenis karang tersebut antara lain :
5/22/2018 laporan konservasi ujud
34/39
27
Acrophora tenuis; A. formosa; A. hyancinthus; A, difaricata; A. nasuta; A. yongei;
A. digitifera; dan A.glauca.
Pelaksanaan kegiatan transplantasi karang baik untuk pemulihan kembali
terumbu karang yang telah rusak, untuk pemanfaatan terumbu karang secara
lestari (perdagangan karang hias), untuk pengembangan wisata bahari maupun
untuk menunjang kegiatan kegiatan penelitian selalu diawali dengan pembuatan
media pembibitan transplantasi karang/nursery ground. Kemudian dilanjutkan
dengan penyediaan bibit, dan diakhiri dengan penebaran anakan hasil
transplantasi.
Perbedaan dari setiap kegiatan transplantasi terutama terletak pada jenis
bibit yang dipakai. Jenis bibit yang dipakai untuk transplantasi perdagangan
karang hias dipilih dari jenis-jenis karang yang masuk dalam daftar perdagangan
karang hias. Untuk wisata bahari, jenis bibit yang dipakai berasal dari jenis-jenis
yang memiliki penampilan warna dan bentuk yang indah serta aman disentuh
(tidak menimbulkan gatal atau luka). Untuk pemulihan kembali lokasi terumbu
karang yang telah rusak / rehabilitasi karang, jenis bibit yang dipakai dipilih dari
jenis - jenis yang terancam punah dilokasi tersebut, pernah hidup di lokasi
tersebut, dan tersedia sumber bibit yang memadai. Kegiatan transplantasi karang
yang ditujukan untuk menunjang kegiatan kegiatan penelitian, sumber bibitnya
disesuaikan dengan jenis-jenis karang yang akan diteliti. bahaya dan pada kategori
bahaya-katastropik mencapai < 50. Selanjutnya Lalamentik (1991) menyatakan
bahwa banyak tipe sedimen yang muncul pada dan sekitar terumbu karang,
5/22/2018 laporan konservasi ujud
35/39
28
termasuk didalamnya hancuran karang yang kasar, berbagai tipe pasir dan lumpur
yang halus.
2. Penempelan/Transplantasi Karang
Penyediaan bibit karang dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan
beberapa hal yaitu Sistem perwakilan plot koloni diambil tidak lebih 1/8 bagian
dari plot koloni; tidak merusak koloni; sesuai dengan MSY (potensi) di
alam/lokasi; pengangkutan bibit dilakukan di dalam air dan dilaksanakan secara
hati-hati; diambil dari lokasi yang berdekatan dengan lokasi penempatan media
pembibitan; mempunyai kedalaman perairan yang sama dengan kedalaman
penempatan media pembibitan; dipilih dari jenis karang yang sehat dan
mempunyai pertumbuhan cepat. Sedangkan cara pemotongan bibit karang
dilakukan dengan memperhatikan hal-hal seperti Bibit karang dipotong dari induk
yang besar, sehat dan mempunyai pertumbuhan yang cepat; bibit dipotong dengan
panjang lebih kurang 7 cm dengan menggunakan alat pemotong karang yang
sesuai; bibit diambil pada bagian tunas atau bagian termuda dari induk; volume
pengambilan bibit dari induk tidak boleh melebihi 1/8 bagian dari bagian induk
sehingga tidak mengganggu pertumbuhan induk.
Pada pengikatan bibit pada substrat, perlu diperhatikan pengikatan bibit
dilakukan didalam air, dengan harapan karang yang ditransplantasi tidak/sedikit
mengalami stres). Pada pengikatan, bibit diikat seerat mungkin dengan
menggunakan tali pancing atau klem plastik. Bagian bawah bibit menempel pada
substrat dengan posisi tegak terikat erat dengan patok substrat.
5/22/2018 laporan konservasi ujud
36/39
29
Batu karang bisa terkena stress juga karena dia termasuk hewan. Untuk
mengurangi stress, karang yang akan ditransplantasi dilepaskan secara hati-hati
dan ditempatkan dalam wadah plastik berlubang serta proses pengangkutan
dilakukan di dalam air. Sebaiknya operasi ini hanya menghabiskan waktu kurang
lebih 30 menit setiap tumpukan karang yang akan dipindahkan. Beberapa teknik
untuk melekatkan karang yang ditransplantasi adalah semen, lem plastik, penjepit
baja, dan kabel listrik plastik.
3. Penempatan/Deploy Rak
Peletakkan/penenggelaman substrat yang sudah diikatkan bibit ke perairan
laut. Sebelumnya, harus dilakukan terlebih dahulu calon lokasi pengambilan bibit
karang dan lokasi peletakkan substrat. Usahakan jangan sampai terlalu jauh,
untuk mempermudah pengangkutan (transportasi bibit). Lokasi pengambilan bibit
karang dan peletakkan bibit kondisi kualitas airnya harus relatif sama dan jangan
sampai terlalu mencolok perbedaannya.
Untuk menghindari terjadinya kerusakan bibit dan untuk memudahkan
dalam meletakan rak transplantasi maka lokasi yang dipilih hendaknya memiliki
substrat yang relatif rata dan arus yang tidak terlalu kencang.
D. Tagging
Tagging yaitu proses pemberian tanda pada substrat terumbu karang yang
telah dilakukan tahap transplantasi sebelumnya. Setelah substrat dirasa sudah
benar-benar kering, maka tahap selanjutnya adalah pemasangan tagging pada
masing-masing substrat. Pemasangan ini dilakukan untuk mempermudah
monitoring nantinya, bisa diketahui bibit yang berada disubstrat mana saja yang
5/22/2018 laporan konservasi ujud
37/39
30
pertumbuhannya baik, kurang baik, rusak, dan lain sebagainya. Selain itu manfaat
taging apabila karang hias ini di pasarkan maka tagging diperlukan untuk
melegalkan proses pemasaran karang hias, sebab dalam kertas tagging akan
memuat kode produksi, tanggal produksidan perusaan yang memproduksi karang
hias tersebut.
Pemasangan ini dilakukan dengan cara mengelem taging (yang sudah
dilaminating, agar tidak basah dan rusak) pada substrat, untuk menambah daya
kuat maka bias ditambak dengan memakunya secara perlahan dengan paku ukuran
kecil.
5/22/2018 laporan konservasi ujud
38/39
31
V. PENUTUP
A. Simpulan
Simpulan yang dapat diberikan berdasarkan pembahasan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Metode tansplantasi karang hias terdiri dari beberapa tahapan yaitu
pengambilan bibit, pembuatan rak transplantasi, pembuatan substrat,
penempelan karang, taging jika diperlukan dan peletakan pada lokasi
kawasan ekosistem terumbu karang.
2. Jenis-jenis karang yang dapat di transplantasi umumnya terdiri dari 8
genus yaitu : Genus Acropora, Genus Montipora. Genus Pocillopora,
Genus Seriatopora, Genus Favia, Genus Favites, Genus Porites, Genus
Goniopora
B. Saran
Saran praktikan untuk praktek berikutnya sebaiknya praktikan lebih di
libatkan dalam proses transplantasi karang hias agar makna praktek dapat
dirasakan oleh masing-masing praktikan.
5/22/2018 laporan konservasi ujud
39/39
32
DAFTAR PUSTAKA
English, S., Wilkinson, C., Baker,V,. 1994. Survey Manual For Tropical Marine
Resources. ASEAN Australia Marine Science Project Living Coastal
Resources. Australia.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut: suatu pendekatan ekologis. Penerbit :
Gramedia. Jakarta.
Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum dijumpai di Perairan Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi, Proyek Penelitian dan Pengembangan DaerahPantai, Jakarta
Suharsono. 2006. Buku Petunjuk Metode Penilaian Kondisi Terumbu Karang.
Pusat penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
PISCO (2002
Bohnsack et al. (2000
Hari Sutanta, 2006
. Senge (2008
, A. DdanKardono. 2008
Suharsono, 1998
Johan, 2003