Upload
fransiska-puteri
View
2.949
Download
12
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Citation preview
LAPORAN KIMIA PANGAN
ACARA I
KARBOHIDRAT
Kelompok 2:
Andy Imam (H0912012)
Agatha Arissa (H0912003)
Deanda Putri (H0912033)
Dwi Astuti (H0912043)
Endah Palupi (H0912045)
Fransiska Putri (H0912056)
Irma Puspita E. (H0912067)
ACARA I
KARBOHIDRAT
A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum acara I Karbohidrat adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh asam alkali terhadap gula sederhana
2. Untuk mengetahui proses gelatinisasi pati
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Teori
Karbohidrat terbagi menjadi tiga kelompok utama, gula,
oligosakarida (rantai pendek karbohidrat) dan polisakarida. Gula meliputi
(i) monosakarida, (ii) disakarida dan (iii) polisakarida (alkohol gula).
Oligosakarida yang baik adalah malto-oligosakarida, terutama terjadi dari
hidrolisis pati dan non glukan seperti raffinose dan stachyose
(galactosides), Frukto dan galacto-oligosakarida oligosakarida lainnya.
Polisakarida dapat dibagi menjadi Pati (1:4 dan 1:6 glucans) dan non-Pati
polisakarida (NSPs), komponen utama polisakarida adalah polisakarida
dinding sel tanaman seperti selulosa, hemiselulosa dan pektin
(Chumming and Stephen, 2007).
Karbohidrat merupakan sumber utama dari energi yang
dikonsumsi oleh tubuh manusia. Karbohidrat merupakan polihidroksi
alkohol dengan gugus karbonil aktif yang terdiri dari aldehida atau keton
grup. Monosakarida tidak dapat dihidrolisis menjadi lebih jauh sederhana.
Disakarida dapat dihidrolisis menjadi dua monosakarida. Polisakarida
terdiri dari homopolisakarida dan heteropolisakarida. Pati adalah bentuk
penyimpanan glukosa dalam tubuh. Pati terdiri dari amilosa dan
amilopektin. Pati berisi amilase (10-20%) dan amilopektin (80-90%). Pati
memberikan warna biru dengan penambahan iod (Asif, et.al, 2011).
Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa
gula sederhana, heksosa, pentosa maupun karbohidrat dengan berat
molekul yang tinggi seperti pati, pektin, selulosa, dan lignin. Pada
umumnya buah-buahan mengandung monosakarida seperti glukosa dan
fruktosa. Disakarida seperti gula tebu banyak terkandung dalam batang
tebu; di dalam air susu terdapat laktosa atau gula susu. Beberapa
oligosakarida seperti dekstrin terdapat dalam sirup pati, roti, dan bir.
Sedangkan berbagai polisakarida seperti pati, banyak terdapat dalam
serealia dan umbi-umbian; selulosa dan pektin banyak terdapat dalam
buah-buahan. Sumber karbohidrat utama bagi bahan makanan kita adalah
serelia dan umbi-umbian (Winarno, 2004).
Kandungan karbohidrat yang tinggi dalam bekatul dapat
dimanfaatkan untuk produksi gula reduksi. Karbohidrat dalam bekatul
berbentuk polisakarida, terutama pati, sehingga diperlukan enzim amilase
untuk menghidrolisis pati menjadi polimer pendek berupa dekstrin dan
gula reduksi. Proses pemecahan pati menjadi gula reduksi disebut sebagai
proses sakarifikasi. Gula reduksi dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal,
misalnya produksi etanol dan asam laktat (Dewi, dkk. 2004).
Oksidasi mempunyai peranan penting dalam kimia dan analisis
karbohidrat. Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah
seperti larutan benedict dan fehling. Pati adalah poliglukosida berbobot
molekul tinggi sebagai tempat menyimpan karbohidrat bagi tumbuh
tumbuhan. Amilopektin, komponen pati yang larut air, berbeda dengan
amilosa dalam hal rantai cabang poliglukosida yang dihubungkan dengan
atom karbon. Pati selain dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat,
digunakan dalam makanan sebagai zat pengental dan pen-jel. Penerapan
utama pati di luar bidang pangan ialah sebagai zat perekat untuk
memperbaiki kekuatan dan mutu penulisan permukaan kertas (Pine, 1988).
Pati dapat dikonversi dengan cara menghidrolisis suspensi pati
secara terkendali dengan menggunakan asam dan pemanasan. Beberapa
bagian dari ikatann glikosidik akan mengalami pemutusan dengan
perlakuan asam sehingga dapat dihasilkan molekul pati yang lebih pendek.
Hal ini mengakibatkan sifat kemampuan gelatinisai pati menurun, dimana
akan dihasilkan pati dengan viskositas yang lebih rendah pada saat
pemasakan. Dengan demikian, konsentrasi pati yang dapat digunakan
dalam proses pengolahan dapat lebih besar. Pati akan lebih larut dengan
viskositas yang lebih rendah, tetapi dapat menghasilkan struktur gel yang
lebih kuat (Kusnandar, 2011).
Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dihubungkan
dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air,
maka energi panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air
masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk
ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam
granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran
granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula
pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan
amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang
menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan
gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan
suhu gelatinisasi. Proses gelatinisasi pati menyebabkan perubahan
viskositas larutan pati (Bastian, 2011).
Amilosa memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan
hidrogen atau mengalami retrogradasi. Semakin banyak amilosa pada pati
akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas
granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan
intramolekulnya. Sifat amilosa yang penting jika dibandingkan dengan
amilopektin adalah amilosa lebih mudah keluar dari granula dan memiliki
kemampuan untuk mudah berasosiasi dengan sesamanya. Tingginya
amilosa pada substitusi tepung tapioka akan menghasilkan tekstur yang
tinggi karena dilihat dari bentuk rantai amilosa yang lurus atau terbuka
maka amilosa memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga
memungkinkan untuk lebih banyak menyerap atau mengikat air dan sifat
binder yang dimiliki tepung tapioka akan mengurangi kerapuhan sehingga
lebih halus (Harijono dkk., 2000) dalam (Lestari, 2008).
Bentuk granula merupakan ciri khas dari masing-masing pati.
Perbedaan bentuk maupun ukuran granula ternyata hanya untuk
mengidentifikasi macam umbi atau merupakan ciri khas dari masing-
masing pati umbi. Tidak ada hubungan yang nyata antara gelatinisasi
dengan ukuran granula pati, tetapi suhu gelatinisasi mempunyai
hubungan dengan kekompakan granula, kadar amilosa dan amilopektin.
Granula pati dapat menyerap air dan membengkak tetapi tidak dapat
kembali seperti semula. Air yang terserap dalam molekul menyebabkan
granula mengembang. Kadar amilosa yang tinggi dapat meningkatkan
absorbsi air (Richana, 2004).
Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pati yang
berperan sebagai rangka struktur pati. Kedua molekul tersebut tersusun
oleh beberapa unit glukosa yang saling berikatan. Amilosa merupakan
molekul linier polisakarida dengan ikatan α-1,4 dengan derajat polimerasi
(DP) beberapa ratus unit glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai
struktur amilosa pada rantai lurus dan juga memiliki konfigurasi bercabang
yang terdapat pada setiap 20-25 residu glukosa dengan ikatan α-1,6
(Whistler & Daniel 1984, diacu dalam Munarso 2004).
2. Tinjauan Bahan
Pereaksi benedict berupa larutan yang mengandung kuprisulfat,
natriumkarbonat dan natriumsitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu++ dari
kuprisulfat menjadi ion Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O.
Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning atau merah bata.
Warna endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang
diperiksa. Glukosa adalah suatu aldoheksosa dan sering disebut dektrosa
karena mempunyai sifat dapat memutar cahaya terpolarisasi ke arah kanan.
Amilum terbentuk dari glukosa dengan jalan penggabungan molekul
molekul glukosa yang membentuk rantai lurus maupun berabang dengan
melepaskan molekul air (Poedjiadi dan Titin, 2009).
Benedict test, digunakan untuk mendeteksi disakarida. 2 ml
larutan benedict dipindahkan ke 5 tetes larutan tes dalam tabung mendidih,
dan panas diterapkan dalam penangas air selama 2-3 menit. Warna merah
setelah pemanasan mengindikasikan adanya disakarida. Uji Iodine
dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan pati. Warna
biru-hitam mengidentifikasikan bahwa terdapat pati dalam sampel tersebut
(Aladesida, 2013).
Glukosa dan gula-gula lain yang mampu mereduksi semyawa
pengoksidasi disebut gula pereduksi. Sifat ini berguna dalam analisa gula.
Dengan mengukur jumlah dari senyawa pengokisdasi yang tereduksi oleh
suatu larutan gula tertentu, dapat dilakukan pendugaan konsentrasi gula.
Aldosa merupakan gula pereduksi yang berarti bahwa fungsi aldehida
bebas dari bentuk rantai terbuka mampu untuk dioksidasi menjadi gugus
asam karboksilat. Glukosa sebagai suatu aldoheksosa yang merupakan
gula pereduksi (Lehninger, 1982).
Berbeda dengan pati dan selulosa, rendahnya gula reduksi yang
dihasilkan dari hidrolisis sukrosa dapat disebabkan oleh jenis ikatan kimia
yang berbeda antara maltosa dan sukrosa. Maltosa merupakan pereduksi
sempurna dengan ikatan α-glukosida, dan proses hidrolisisnya
menghasilkan 2 molekul glukosa, sedangkan sukrosa bukan pereduksi dan
mempunyai ikatan α-ß-glikosidik. Untuk memutus ikatan sukrosa menjadi
glukosa dan fruktosa dibutuhkan enzim yang spesifik, yang mungkin
kurang dalam cairan rumen yang dikoleksi untuk mendapatkan enzim
kasar (Syahrir, dkk. 2011).
Pati dari tapioka terdiri atas 17% amilosa dan 83% amilopektin.
Granula tapioka berbentuk semibulat dengan salah satu bagian ujungnya
mengerucut dengan ukuran 5−35 μm. Suhu gelatinisasinya berkisar antara
52−64°C, kristalinisasi 38%, kekuatan mengembang 42, dan kelarutan
31%. Kekuatan mengembang dan kelarutan tapioka lebih kecil dibanding
pati kentang, tetapi lebih besar dari pati jagung. Suhu gelatinisasi tapioka
berkisar antara 58,5−70,0°C, bergantung pada varietas ubi kayu yang
digunakan untuk memproduksi tapioka (Herawati, 2012).
C. METODOLOGI
1. Alat
a. Tabung reaksi
b. Pipet Volume
c. Pipet tetes
d. Lampu spiritus
e. Pemanas air
f. Beaker glass
g. Gelas obyek
h. Gelas penutup
i. Mikroskop
j. Kompor listrik
k. Pengaduk kaca
l. Penjepit kayu
m. Termometer
n. pH universal
o. Sendok
2. Bahan
a. Larutan sukrosa 5%
b. NaOH 0,1 N
c. HCl 0,1 N
d. Air suling
e. NaHCO3 (kristal)
f. Pereaksi Benedict
g. Larutan glukosa 0,1M
h. Tepung tapioka
i. Tepung beras
j. Larutan Iodin
3. Cara Kerjaa. Pengaruh Asam dan Alkali Terhadap Gula Sederhana
Percobaan 1
2ml sakarosa murni 5%
Disiapkan 3 tabung reaksi
Dimasukkan ke dalam masing-masing tabung
Perlakuan 1 : ditambahkan dengan 5ml NaOH
Perlakuan 2 : ditambahkan dengan 5ml HCl 0,1 N
Perlakuan 3 : ditambahkan dengan 5ml aquades
Ketiga tabung dipanaskan dengan lampu spiritus sampai mendidih selama 2-3 menit
Diamati perubahan warnanya
NaHCO3 kristal
Dimasukkan pada tabung ke 2 untuk penetralan
2ml masing-masing larutan
Dipindahkan ke dalam 3 tabung reaksi yang lain
Ditambahkan 3 ml peraksi benedict
Dipanaskan pada penangas air mendidih selama 5 menit
Percobaan 2
5ml larutan glukosa 0,1 M
Dimasukkan masing-masing ke dalam tabung
Perlakuan 1 : ditambahkan 2ml NaOH 0,1 N
Perlakuan 2 : ditambahkan 2ml HCl 0,1 N
Perlakuan 3 : ditambahkan 2ml aquades
Dipanaskan ke 3 tabung pada lampu spiritus sampai mendidh selama 5 menit
Diamati perubahan warna yang terjadi
b. Gelatinisasi Pati
2 jenis pati (tapioka dan tepung beras)
Diambil masing-masing ½ sendok teh kedalam 4 gelas beaker 100ml
Ditambahkan bertetes-tetes sampai terbentuk pasta kental
Aquades
Perlakuan 1 : ditambahkan air suhu kamar sambil diaduk
Perlakuan 2 : ditambahkan air bersuhu 500C sambil diaduk
Perlakuan 3 : ditambahkan air bersuhu 650C sambil diaduk
Perlakuan 4 : ditambahkan air bersuhu 800C ambil diaduk
Dibuat masing-masing preparat pada gelas obyek
Larutan iodine encer
Ditambahkan pada gelas obyek
Diamati dengan gelas penutup dan diamati dibawah mikroskop
Dibuat gambar granula pati pada masing-masing preparat
Dibandingkan pula dengan pengamatan pada preparat dari suspensi pati dalam air dingin + larutan iodine
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1.1 Hasil Pengamatan Pengaruh Asam dan Alkali Terhadap Sukrosa
KelPerlakuan
Pemanasan I Pemanasan IIWarna awal Warna akhir Warna Endapan
1 2ml larutan sukrosa 5% + 5ml NaOH 0,1 N
Bening Bening Biru tua Tidak ada4 Bening Bening Biru tua Tidak ada
2 2ml larutan sukrosa 5% + 5ml HCl 0,1 N
Bening Bening Biru Tidak ada
5 Bening Bening Biru Tidak ada3 2ml larutan sukrosa 5%
+ 5ml aquadesBening Bening Biru Tidak ada
6 Bening Bening Biru Tidak adaSumber : Laporan Sementara
Dari data diatas telah didapatkan hasil percobaan pengaruh asam
dan alkali terhadap sukrosa. Sukrosa merupakan karbohidrat yang termasuk
dalam jenis disakarida. Sukrosa atau yang biasa disebut gula tebu terdiri dari
glukosa dan fruktosa. Pada percobaan ini dilakukan dengan tiga perlakuan.
Perlakuan pertama yaitu larutan sukrosa 5% ditambahkan dengan
5ml NaOH 0,1 N dengan dua kali pemanasan. Warna awal dari larutan
tersebut adalah bening dan setelah dilakukan pemanasan dengan lampu
spiritus selama 2-3 menit tidak terjadi perubahan warna pada larutan. Setelah
pemanasan pertama, sampel diambil sebanyak 2ml dan dipindahkan ke
tabung reaksi yang lain dan ditambahkan dengan 3ml pereaksi benedict.
Setelah penambahan benedict larutan berubah warna menjadi biru tua dan
dilakukan pemanasan untuk ke dua kalinya pada penangas air mendidih
selama 5 menit, tidak terdapat endapan pada larutan.
Perlakuan kedua yaitu larutan sukrosa 5% ditambahkan dengan 5ml
HCl 0,1 N dengan dua kali pemanasan. Warna awal dari larutan tersebut
adalah bening dan setelah dilakukan pemanasan dengan lampu spiritus selama
2-3 menit tidak terjadi perubahan warna pada larutan. Setelah pemanasan
pertama larutan ditambahkan dengan kristal NaHCO3, sampel diambil
sebanyak 2ml dan dipindahkan ke tabung reaksi yang lain dan ditambahkan
dengan 3ml pereaksi benedict. Setelah penambahan benedict larutan berubah
warna menjadi biru dan dilakukan pemanasan untuk ke dua kalinya pada
penangas air mendidih selama 5 menit, tidak terdapat endapan pada larutan.
Seharusnya menghasilkan warna merah bata atau kecoklatan dengan adanya
endapan, namun pada praktikum kali ini terjadi penyimpangan yang
diakibatkan oleh suhu pemanasan yang tidak stabil dan reagen benedict tidak
dapat bekerja dengan baik pada kondisi asam. Sedangkan pada suasana yang
sedikit basa, benedict mampu bekerja secara maksimal (Wilbraham, 1992).
Perlakuan ketiga yaitu 2ml larutan sukrosa 5% ditambahkan
dengan 5ml aquades. Perlakuan selanjutnya tidak berbeda dengan perlakuan
pertama dan kedua. Warna awal pada larutan bening dan tidak terjadi
perubahan warna setelah pemanasan. Setelah penambahan pereaksi benedict,
larutan berubah warna menjadi biru dan tidak terdapat endapan setelah
pemanasan yang kedua pada penangas air mendidih.
Pengujian benedict dilakukan untuk mengetahui adanya gula
pereduksi dalam suatu sampel bahan. Gula pereduksi memberikan uji positif
dengan pereaksi benedict. Uji positif diperoleh apabila gula yang bentuk
hemiasetal dan hemiketalnya berada dalam kesetimbangan dengan bentuk
terbuka. Glukosa dan fruktosa termasuk dalam jenis gula pereduksi.
Sedangkan sukrosa termasuk dalam jenis gula non pereduksi yang tidak
memberikan uji positif karena struktur gula nonpereduksi berbentuk siklik
yang berarti bahwa hemiasetal dan hemiketalnya tidak berada dalam
kesetimbangannya
Sukrosa oleh HCl dalam keadaan panas akan terhidrolisis, lalu
menghasilkan glukosa dan fruktosa. Monosakarida dan beberapa disakarida
mempunyai sifat dapat mereduksi terutama dalam suasana basa. Sifat
reduktor ini disebabkan oleh adanya gugus aldehida dan keton bebas dalam
molekul karbohidrat. Saat sukrosa dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai
menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert. Inversi sukrosa
terjadi dalam suasan asam.
Tabel 1.2 Hasil Pengamatan Pengaruh Asam dan Alkali Terhadap Gula reduksi (Larutan Glukosa)
Kel. Perlakuan Warna awal Warna akhir1 5ml larutan glukosa 0,1 M
+ 2ml NaOH 0,1 NBening Coklat teh
4 Bening Coklat teh2 5ml larutan glukosa 0,1 M
+ 2ml HCl 0,1 NBening Bening
5 Bening Bening3 5ml larutan glukosa 0,1M
+ 2ml AquadesBening Bening
6 Bening BeningSumber : Laporan Sementara
Pada umumnya karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi
monosakarida, ologosakarida, serta polisakarida. Monosakarida merupakan
suatu molekul yang dapat terdiri dari lima atau enam atom C, sedangkan
oligosakarida meruapakn polimer dari 2-10 monosakarida, dan pada
umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri lebih dari 10
monomer monosakarida.
Monosakarida
Monosakarida dengan enam atoom C disebut heksosa, misalnya glukosa,
fruktosa dan galaktosa. Sedangkan yang mempunyai lima atom C disebut
pentosa, misalnya xilosa, arabinosa dan ribosa.
Oligosakarida
Oligosakarida yang terdiri dari dua molekul disebut disakarida, dan bila
terdiri dari tiga molekul disebut triosa ; bila sukrosa terdiri dari molekul
glukosa dan fruktosa, laktosa terdiri dari molekul glukosa dan galaktosa
Polisakarida
Polisakarida dalam bahan makanan contohnya selulosa, hemiselulosa,
pektin, lignin. Sebagai sumber energi contohnya pati, dekstrin, glikogen,
fruktan.
Larutan basa encer pada suhu kamar akan mengubah sakarida.
Perubahan ini terjadi pada atom C anomerik dan atom C tetangganya tanpa
mempengaruhi atom-atom C lainnya. Jika D-glukosa dituangi larutan basa
encer maka sakarida itu akan berubah menjadi campuran: D-glukosa, D-
manosa, D-fruktosa. Perubahan menjadi senyawaan tersebut melalui bentuk-
bentuk enediolnya. Bilamana basa yang digunakan berkadar tinggi maka akan
terjadi fragmentasi atau polimerisasi. Sehingga monosakarida akan mudah
mengalami dekomposisi dan menghasilkan pencoklatan non-enzimatis bila
dipanaskan dalam suasana basa. Tetapi pada disakarida dalam suasana sedikit
basa akan lebih stabil terhadap reaksi hidrolisis (Soeharsono,1978).
Percobaan kali ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh asam dan
alkali terhadap gula reduksi. Percobaan ini menggunakan sampel 5ml larutan
glukosa 0,1 M. Glukosa merupaka karbohidat yang termasuk kedalam jenis
monosakarida. Tidak jauh berbeda dengan percobaan pada sukrosa,
percobaan pada glukosa juga dilakukan dengan tiga perlakuan namun
pemanasan hanya dilakukan satu kali. Perlakuan pertama yaitu larutan sampel
ditambahkan dengan 2ml NaOH 0,1 N warna awalnya bening dan setelah
dilakukan pemanasan dengan lampu spiritus selama 5 menit warnanya
berubah menjadi coklat teh. Sedangkan perlakuan kedua, sampel
ditambahkan dengan 2ml HCl 0,1N. Pada perlakuan kedua tidak terjadi
perubahan warna sebelum dan sesudah pemanasan, warna tetap bening.
Perlakuan ketiga sampel ditambahkan dengan 2ml aquades. Pada perlakuan
ini juga didapatkan hasil yang sama dengan perlakuan kedua. Dimana tidak
terjadi perubahan warna setelah pemanasan.
Tabel 1.3.1 Hasil Pengamatan Penentuan Suhu Gelatinisasi pada Tepung Tapioka
Kel PerlakuanGambar
KeteranganPengamatan Referensi
1
Pati Tapioka + aquades + suhu kamar
Bentuk : semi bulat dengan salah satu bagian ujungnya mngerucut dan bergerombolUkurannya sangat kecilPerbesaran : 10 x 100
3
Bentuk : semi bulat dengan salah satu bagian ujungnya mngerucut dan bergerombolUkurannya sangat kecilPerbesaran : 10 x 100
2
Pati Tapioka + aquades + suhu 50°C
Bentuk : tetap bulat dan mengerucut pada salah satu ujungnyaUkurannya agak besar Perbesaran : 10 x 100
4
Bentuk : tetap bulat dan mengerucut pada salah satu ujungnyaUkurannya agak besar Perbesaran : 10 x 100
3
Pati Tapioka + aquades + suhu 65°C
Bentuk: sebagian tetap bulat sebagian mulai tidak berbentukUkurannya membesarPerbesaran : 10 x 100
5
Bentuk: sebagian tetap bulat sebagian mulai tidak berbentukUkurannya membesarPerbesaran : 10 x 100
4
Pati Tapioka + aquades + suhu 80°C
Bentuk : tidak beraturan karena sudah pecah (tergelatinisasi)Ukuran : lebih besar dari pati tapioka suhu 65°CPerbesaran : 10 x 100
6
Bentuk : tidak beraturan karena sudah pecah (tergelatinisasi)Ukuran : lebih besar dari pati tapioka suhu 65°CPerbesaran : 10 x 100
Sumber: Laporan Sementara
Pada pengamatan penentuan suhu gelatinisasi pada tepung tapioka
ini bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi pada pati tapioka. Bahan
yang digunakan adalah polisakarida berupa tepung tapioka, kisaran suhu yang
dipakai dalam percobaan ini yaitu suhu kamar, 50°C, 65°C, dan 80°C. Pada
percobaan ini, masing-masing dibuat preparat mikroskopisnya pada gelas
obyek dan ditambah larutan Iodine encer, agar warna yang terlihat lebih jelas,
sehingga dapat ditentukan range suhu gelatinisasi. Semua pengamatan
menggunakan perbesaran 10 x 100 kali.
Dari percobaan tersebut dapat diketahui bahwa pada pasta kental
tapioka dengan perlakuan pada suhu kamar belum terlihat pemecahan
granula, bentuk granula tapioka kecil dan bergerombol. Sejumlah kecil air
mungkin akan di adsorbsi pada permukaan granula. Pada suhu 50°C air yang
teradsorbsi lebih banyak dan ukuran graula mulai membesar namun belum
terjadi gelatinisasi. Pada tepung tapioka yang ditambah air pada suhu 65°C,
sudah mulai terjadi gelatinisasi dan pada tambahan air pada suhu 80°C
gelatinisasi telah terjadi hampir keseluruhan bagian. Dari data ini dapat
disimpulkan bahwa kisaran suhu gelatinisasi pada tepung tapioka adalah
antara suhu 50°C - 65°C. Percobaan ini telah sesuai dengan teori menurut
Wurzburg (1989) dalam Herawati (2012), suhu gelatinisasi tapioka berkisar
antara 58,5−70,0°C, bergantung pada varietas ubi kayu yang digunakan untuk
memproduksi tapioka.
Granula pati tepung tapioka akan menyerap air lebih cepat jika
dipanaskan sehingga ukuran granula pati akan mengembang karena menyerap
air. Semakin tinggi suhu, maka akan semakin banyak air yang diserap oleh
granula pati, sehingga ukurannya akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bastian (2011) yang menyatakan bahwa apabila granula pati
dipanaskan di dalam air, maka energi panas akan menyebabkan ikatan
hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk
selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin.
Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan
granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum
akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian
amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati
yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan
gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan
suhu gelatinisasi.
Pati dari tapioka terdiri atas 17% amilosa dan 83% amilopektin.
Granula tapioka berbentuk semibulat dengan salah satu bagian ujungnya
mengerucut dengan ukuran 5−35 μm. Suhu gelatinisasinya berkisar antara
52−64°C, kristalinisasi 38%, kekuatan mengembang 42%, dan kelarutan
31%. Kekuatan mengembang dan kelarutan tapioka lebih kecil dibanding pati
kentang, tetapi lebih besar dari pati jagung. Suhu gelatinisasi tapioka berkisar
antara 58,5−70,0°C, bergantung pada varietas ubi kayu yang digunakan untuk
memproduksi tapioka (Herawati, 2012).
Tabel 1.3.2 Hasil Pengamatan Penentuan Suhu Gelatinisasi Tepung Beras
Kel Perlakuan Gambar Keterangan
Pengamatan Referensi
1
Pati Beras + aquades
suhu kamar
Bentuknya bulat bergerombol, ukurannya kecilPerbesaran : 10 x 100
3Pati Beras + aquades suhu 50°C
Bentuknya masih tetap bulat, ukurannya agak besar Perbesaran : 10 x 100
2Pati Beras + aquades suhu 65°C
Bentuknya tetap bulat, ukuran lebih besarPerbesaran : 10 x 100
4Pati Beras + aquades suhu 80°C
Bentuknya tidak beraturan, ukurannya membengkak maksimal (granula pati pecah)Perbesaran : 10 x 100
Sumber: Laporan Sementara
Pada pengamatan penentuan suhu gelatinisasi pada tepung beras ini
bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi pati tepung beras. Bahan yang
digunakan polisakarida berupa tepung beras, kisaran suhu yang dipakai dalam
percobaan ini adalah suhu kamar, 50°C, 65°C, dan 80°C. Pada percobaan ini,
masing-masing dibuat preparat mikroskopisnya pada gelas obyek, dari setiap
sampel diambil 1 tetes dan ditambah 1 tetes larutan Iodine encer, agar warna
yang terlihat lebih jelas, sehingga dapat ditentukan range suhu gelatinisasi.
Pada tepung beras yang telah ditambah air pada suhu kamar,
granula pati belum ada yang pecah. Bentuknya bulat bergerombol dan
ukurannya kesil. Sedangkan yang ditambah air pada suhu 50°C, bentuknya
tetap bulat. Lebih banyak air yang diadsorbsi pada permukaan granula,
ukuran granula pun lebih besar. Pada suhu 65°C, lebih banyak air diadsorbsi
di permukaan granula, ikatan hidrogen antar polimer-polimer pati dalam
granula mungkin mulai melemah, warnanya mulai pudar, dan sedikit granula
mulai pecah. Beberapa amilosa mulai lepas dan berada di permukaan granula
sehingga struktur granula menjadi lebih terbuka. Pada suhu 80°C, granula pati
akan mencapai gelatinisasi optimum dan granula membengkak maksimal
menyebabkan rusaknya granula sehingga isinya keluar. Kondisi ini
disebabkan oleh ketidakmampuan struktur dan ikatan hidrogen untuk
mempertahankan polimer pati untuk tetap bersama-sama pati menunjukkan
peristiwa gelatinisasi.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kisaran suhu gelatinisasi pada
pati tepung beras adalah suhu 65°C-80°C. Hasil percobaan ini telah sesuai
dengan teori menurut Juliano, (1972) dalam Masniawati (2012) yang
mengungkapkan bahwa suhu gelatinisasi ketan berkisar antara 58-78.5ºC,
sedangkan suhu gelatinisasi beras berkisar antara 58-79ºC. Suhu gelatinisasi
pati tapioka dan maizena berbeda karena dipengaruhi oleh jenis, sifat, dan
komponen yang terkandung dalam masing-masing bahan tersebut.
Granula pati beras memiliki ukuran paling kecil diantara pati-pati
yang umum diproduksi. Pati ini memiliki ukuran yang bervariasi dari 3µ-5µ.
Pati beras menyerupai pati gandum tetapi sedikit lebih seragam dan berbentuk
poligonal. Granula pati tepung beras akan menyerap air lebih cepat jika
dipanaskan sehingga ukuran granula pati akan mengembang karena menyerap
air. Semakin tinggi suhu, maka akan semakin banyak air yang diserap oleh
granula pati, sehingga ukurannya akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bastian (2011) yang menyatakan bahwa apabila granula pati
dipanaskan di dalam air, maka energi panas akan menyebabkan ikatan
hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk
selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin.
Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan
granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum
akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian
amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati
yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan
gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan
suhu gelatinisasi.
Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir)
yang berbeda. Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dihubungkan
dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka
energi panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke
dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen
dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula
menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan
meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut
pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin
berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan
granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi,
sedangkan suhu dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan suhu
gelatinisasi.
Menurut teori Harper (1981) dalam Masniawati (2012) mekanisme
terjadinya gelatinisasi dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, granula
pati mulai berinteraksi dengan molekul air dan dengan peningkatan suhu
suspensi terjadilah pemutusan sebagian besar ikatan intermolekul pada kristal
amilosa. Kemudian pada tahap kedua terjadi pengembangan granula pati.
Tahap akhir adalah mulai berdifusinya molekul-molekul amilosa keluar dari
granula sebagai akibat dari meningkatnya suhu panas dan air yang berlebihan,
hal ini menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Proses gelatinisasi
terus terjadi sampai seluruh molekul amilosa terdifusi keluar granula dan
hanya menyisakan amilopektin.
Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pati yang
berperan sebagai rangka struktur pati. Kedua molekul tersebut tersusun oleh
beberapa unit glukosa yang saling berikatan. Amilosa merupakan molekul
linier polisakarida dengan ikatan α-1,4 dengan derajat polimerasi (DP)
beberapa ratus unit glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai struktur
amilosa pada rantai lurus dan juga memiliki konfigurasi bercabang yang
terdapat pada setiap 20-25 residu glukosa dengan ikatan α-1,6 (Whistler &
Daniel 1984, diacu dalam Munarso 2004).
Amilosa memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen
atau mengalami retrogradasi. Semakin banyak amilosa pada pati akan
membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula.
Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulnya.
Sifat amilosa yang penting jika dibandingkan dengan amilopektin adalah
amilosa lebih mudah keluar dari granula dan memiliki kemampuan untuk
mudah berasosiasi dengan sesamanya. Tingginya amilosa pada substitusi
tepung tapioka akan menghasilkan tekstur yang tinggi karena dilihat dari
bentuk rantai amilosa yang lurus atau terbuka maka amilosa memiliki luas
permukaan yang lebih besar sehingga memungkinkan untuk lebih banyak
menyerap atau mengikat air dan sifat binder yang dimiliki tepung tapioka
akan mengurangi kerapuhan sehingga lebih halus (Harijono dkk., 2000)
dalam (Lestari, 2008).
Amilopektin merupakan komponen pati yang membentuk
kristalinitas granula pati. Viskositas pasta amilopektin akan meningkat
apabila konsentrasinya dinaikkan (0-3%). Akan tetapi hubungan ini tidak
linier sehingga diperkirakan terjadi interaksi atau pengikatan secara acak
diantara molekul-molekul cabang (Ulyarti 1997). Amilopektin yang memiliki
rantai cabang lebih panjang memiliki kecendrungan yang kuat untuk
membentuk gel. Adanya amilopektin pada pati akan mengurangi
kecendrungan pati dalam membentuk gel.
Keuletan tepung beras yang tinggi pada saat pemanasan
mengakibatkan amilopektin akan mengembang yang menyebabkan lapisan
molekul pati lebih tipis sehingga rongga udara disekitarnya semakin besar
dan strukturnya makin renggang, akibatnya bangunan amilopektin kurang
kompak dan mudah dipatahkan (Harijono dkk., 2000). Winarno (2004) yang
menyebutkan bahwa kandungan amilopektin yang rendah akan menurunkan
kekentalan karena amilopektin yang tinggi dapat mengikat air sehingga
pembengkakan butir-butir pati terjadi lebih lambat, akibatnya suhu gelatinasi
lebih tinggi. Adanya amilopektin menyebabkan gel lebih tahan terhadap
kerusakan mekanik.
E. KESIMPULANKesimpulan yang didapatkan dari praktikum Kimia Pangan acara
Karbohidrat adalah :o Glukosa tidak stabil pada kondisi basa dan stabil pada kondisi asam dan
netral
o Sukrosa relatif stabil terhadap alkali sedangkan pada koondisi asam akan
mengalami hidrolisa.
o Uji benedict dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gula reduksi pada
sampel
o Suhu gelatinisasi pada tepung tapioka berkisaran antara 50-650-
C
o Suhu gelatinisasi pada tepung beras berkisaran antara 65-800C
DAFTAR PUSTAKA
Aladesida, et.al. 2013. Cellulose Sources in the Eudrilid Earthworm, Eudrilus
Asif, H.M, et.al. 2011. Carbohydrates. International Research Journal of Biochemistry and Bioinformatics Vol. 1(1) pp. 001-005. Pakistan
Bastian, Februadi. 2011. Teknologi Pati dan Gula. Penerbit Universitas
Hassanuddin. Makasar.
Chummings, JH and AM Stephen. 2007. Carbohydrate Terminology and Classification. European Journal of Clinical Nutrition 61. Inggris
Dewi, Chandra, dkk. 2004. Produksi Gula Reduksi oleh Rhizopus oryzae dari substrat Bekatul. Bioteknologi 2 (1); 21-26. Surakarta
Eugeniae. Journal of Chemical, Biological and Physical Sciences Vol. 3 No. 3. Amerika Serikat
Herwati, Hany. 2012. Teknologi Proses Produksi Food Ingredient dari Tapioka Termodifikasi. Jurnal Litbang Pertanian 31 (2). Bogor
Kusnandar, Feri. 2011. Kimia Pangan : Komponen Makro. Dian Rakyat. Jakarta
Lehninger, Albert L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta
Lestari, Desi W. 2008. Pengaruh Substitusi Tepung Tapioka Terhadap Tekstur dan Nilai Organoleptik Dodol Susu. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang
Mcgilvery, R.W. dan G.W. Goldstein. 1996. Biokimia; Suatu Pendekatan Fungsional. Airlangga University Press. Surabaya
Munarso, S. Joni. 2004. Perubahan Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tepung Beras Akibat Proses Modifikasi Ikat-Silang. J.Pascapanen 1(1) 2004: 22-28. Bogor.
Pine, Stanley. 1988. Kimia Organik 2 Terbitan Keempat. Penerbit ITB. Bandung
Poedjiadi, Anna dan F.M Titin Supriyanti. Dasar-Dasar Biokimia. UI-Press. Jakarta
Rasulu, Hamidin. 2012. Karakteristik Tepung Ubi Kayu Terfermentasi Sebagai Bahan Pembuatan Sagukasbi. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 13, No.1. Malang
Richana, Nur dan Titi Chandra Sunarti. 2004. Karakterisasi Sifat Fisikokimiatepung Umbi dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubikelapa dan Gembili. Jurnal Pasca Panen. Vol. 1. No. 1.
Soeharsono, 1978. Petunjuk Praktikum Biokimia. PAU Pangan dan Gizi, UGM Yogyakarta
Syahrir, S, dkk. 2011. POTENSI SENYAWA 1- DEOXYNOJIRIMYCIN UNTUK MELAMBATKAN HIDROLISIS BEBERAPA JENIS KARBOHIDRAT OLEH ENZIM RUMEN. JITP Vol. 1 No. 2 . Bogor.
Tranggono,dkk., 1987. Kimia Pangan. PAU Pangan dan Gizi. UGM, Yogyakarta.
Wilbraham, and Michael S. Matta. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. ITB Press. Bandung
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta