36
1 Bidang Unggulan : Ketahanan Pangan Kode/Nama Bidang Ilmu : 169/Ilmu Pangan LAPORAN KEMAJUAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI Ekstraksi dan Modifikasi Pati Keladi dengan Pemanasan-Pendinginan (Autoclaving-Cooling) dalam Upaya Meningkatkan Nilai Tambah Umbi-umbian Lokal TIM PENELITI A.A Istri Sri Wiadnyani, S.TP., M.Sc Dr.Ir. IDG. Mayun Permana, MS I Wayan Rai Widarta, S.TP.,M.Si NIDN: 0006017902 NIDN: 0007115904 NIDN: 0012098004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERITAS UDAYANA 2015

LAPORAN KEMAJUAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI filePengolahan umbi-umbian menjadi bentuk pati mempunyai daya simpan yang lebih tinggi dan peluang pasarnya lebih luas karena dapat dicampur

Embed Size (px)

Citation preview

1

Bidang Unggulan : Ketahanan PanganKode/Nama Bidang Ilmu : 169/Ilmu Pangan

LAPORAN KEMAJUANHIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

Ekstraksi dan Modifikasi Pati Keladi denganPemanasan-Pendinginan (Autoclaving-Cooling) dalam

Upaya Meningkatkan Nilai Tambah Umbi-umbian Lokal

TIM PENELITI

A.A Istri Sri Wiadnyani, S.TP., M.Sc

Dr.Ir. IDG. Mayun Permana, MS

I Wayan Rai Widarta, S.TP.,M.Si

NIDN: 0006017902

NIDN: 0007115904

NIDN: 0012098004

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERITAS UDAYANA2015

2

3

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

RINGKASAN .......................................................................................................... iv

JUDUL PENELITIAN ........................................................................................... 1

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3

2.1. Keladi .................................................................................................... 3

2.2. Pati ......................................................................................................... 4

2.3. Ekstraksi Pati ......................................................................................... 6

2.4. Modifikasi Pati ...................................................................................... 7

2.5. Autoclaving-cooling .............................................................................. 8

BAB III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 10

3.1. Bahan dan Alat Penelitian .... ................................................................. 10

3.2. Tahapan Pelaksanaan Penelitian ............................................................ 10

3.3. Parameter Pengamatan .......................................................................... 15

3.3.1. Kadar Air ..................................................................................... 15

3.3.2. Kadar Abu ................................................................................... 16

3.3.3. Kadar Protein................................................................................ 16

3.3.4. Kadar Lemak ................................................................................ 17

3.3.5. Kadar karbohidrat ......................................................................... 17

3.3.6. Rendemen ..................................................................................... 17

3.3.7. Kadar Pati .................................................................................... 18

3.3.8. Derajat Putih ................................................................................ 18

3.3.9.Kadar Oksalat ................................................................................ 18

3.3.10.Kadar Amilosa............................................................................. 19

3.3.11.Amilografi Pati ............................................................................ 20

3.3.12.Swelling Power dan Kelarutan .................................................... 20

3.3.13.Paste Clarity ................................................................................ 21

3.3.14.Resistant Starch ........................................................................... 21

4

3.3. Luaran Penelitian ......................................................................................... 23

3.4. Indikator Capaian Penelitian ....................................................................... 24

BAB IV. HASIL SEMENTARA ........................................................................... 25

4.1. Kadar Proksimat Umbi Talas Kimpul ........................................................ 25

4.2. Ekstraksi dan Karakterisasi Pati Talas Kimpul .......................................... 25

4.2.1. Rendemen ......................................................................................... 25

4.2.2. Kadar Pati ......................................................................................... 25

4.2.1. Kadar Ca-Oksalat ............................................................................. 25

4.2.2. Derajat Putih ..................................................................................... 25

BAB V. KESIMPULAN ......................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 26

5

RINGKASAN

Keladi (Xanthosoma sagittifolium) sebagai salah satu umbi minor merupakanumbi-umbian lokal Bali yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhikebutuhan pangan. Keladi hanya dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif didaerah-daerah tertentu apabila terjadi paceklik atau bencana alam. Sampai saat ini, umbikeladi biasanya hanya diolah secara sederhana dengan dikukus, direbus atau dengansedikit variasi dibuat berbagai produk olahan antara lain getuk, keripik, perkedel dansebagainya. Pengolahan umbi-umbian menjadi bentuk pati mempunyai daya simpan yanglebih tinggi dan peluang pasarnya lebih luas karena dapat dicampur dengan olahan tepunglain untuk memperoleh gizi yang lebih baik serta dibuat menjadi berbagai produk olahanyang lebih beragam sehingga dapat meningkatan nilai ekonomis keladi itu sendiri. Hal inisangat terkait dengan isu ketahanan pangan yang ada dinegara kita maupun di dunia padasaat sekarang ini.

Pati digunakan secara luas dalam industri pangan (Taylor dkk., 2006). Oleh karenaitu, ekstraksi pati keladi akan dapat memperluas aplikasinya dalam bidang pangan. Hasilpenelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstraksi pati keladi memiliki rendemen yangcukup tinggi yaitu 19,21% (Wiadnyani dan Widarta, 2012). Namun, dibalik tingginyarendemen yang dihasilkan, kadar pati yang diperoleh masih belum optimal.

Salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah pati adalah memodifikasi patisehingga memiliki sifat-sifat atapun karakteristik yang baik dan cocok diaplikasikan padatertentu. Industri pangan sudah banyak yang memanfaatkan pati termodifikasi untukmaembantu dalam produk makanan tertentu sehingga dapat meningkatkan kualitas dannilai fugsionalnya

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk pemanfaatan umbi keladi lokal diBali sebagai sumber pangan pokok alternatif pengganti beras dan terigu sehinggaUniversitas Udayana sebagai universitas negeri terbesar di Bali dapat berperan sertamembantu mewujudkan ketahanan pangan melalui ekplorasi dan diversifikasi bahanpangan lokal yang ada. Target khusus yang ingin dicapai dalam penelitian inimendapatkan konsentrasi NaCl dan waktu perendaman yang tepat untuk menghasilkanpati dengan rendemen yang tinggi dan karakteristik terbaik. Selain itu adalahmemodifikasi pati keladi dengan metode autoclaving-cooling untuk meningkatkanpenggunan pati modifikasi pada aplikasi di bidang pangan

Pada penelitian tahap 1 akan dilakukan ekstraksi pati dengan tujuan menentukankondisi ekstraksi dengan cara basah meliputi konsentrasi NaCl dan waktu perendamankeladi. Konsentrasi NaCl yang digunakan adalah 0 M (tanpa NaCl), 0,3 M dan 0,6 Msedangkan waktu perendamannya adalah 30, 45 dan 90 menit. Seluruh perlakuan diulangsebanyak dua kali sehingga diperoleh 18 unit percobaan. Parameter yang diamati padapenelitian ini meliputi analisis proksimat seperti kadar air, kadar abu, kadar protein, kadarlemak, kadar serat dan karbohidrat dilakukan terhadap bahan baku, sedangkan pada tahapekstraksi pati keladi Indikator yang digunakan sebagai hasil terbaik adalah rendemen patiterbanyak dengan tingkat kemurnian paling tinggi (kadar pati paling tinggi).

Pada penelitian tahap 2 dilakukan modifikasi pati dengan metode autoclavibg-cooling dengan 3 taraf yaitu pati alami sebagai kontrol, pati modifikasi satu siklus danmodifikasi 2 siklus, seluruh perlakuan diulangi 3 kali sehingga didapatkan 9 unitpercobaan. Parameter yang diamati meliputi kadar amilosa, amilografi pati, paste clarity,kelarutan, swelling power dan Resistant starch.

6

BAB I. PEDAHULUAN

Di Indonesia, umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat yang penting setelah

beras dan jagung. Tanaman umbi-umbian yang sudah biasa dijadikan sebagai sumber

pangan dan bahan baku industri adalah ubi kayu (singkong) dan ubi jalar. Penguasaan

kedua jenis umbi tersebut relatif lebih luas dibandingkan umbi-umbian lain (umbi minor),

padahal potensi umbi minor cukup baik untuk dikembangkan. Umbi minor Indonesia

mempunyai banyak jenis dan varietasnya, antara lain talas, keladi, uwi, ganyong, suweg

dan gembili. Sebagai bahan pangan, umbi-umbi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai

pensubstitusi terigu dan mengurangi ketergantungan pada beras, karena mengandung

karbohidrat dalam jumlah tinggi.

Keladi (Xanthosoma sagittifolium) atau yang dikenal dengan talas kimpul sebagai

salah satu jenis umbi lokal bali belum dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi

kebutuhan pangan. Keladi hanya dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif di

daerah-daerah tertentu apabila terjadi paceklik atau bencana alam. Padahal keladi

merupakan sumber karbohidrat yang mudah dicerna dengan komposisi sekitar 70-80%

(Kusumo dkk., 2002). Sampai saat ini, umbi keladi biasanya hanya diolah secara

sederhana dengan dikukus, direbus atau dengan sedikit variasi dibuat berbagai produk

olahan antara lain getuk, keripik, perkedel dan sebagainya (Marinih, 2005).

Sebagai sumber karbohidrat, keladi dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku

industri dalam bentuk tepung umbi, pati umbi, dan hidrolisat pati serta produk dari pati

(starch-based products). Dalam bentuk tepung dan pati, keladi dapat digunakan dalam

substitusi terigu dan beras sehingga dapat menghemat devisa dan mengurangi

ketergantungan akan beras. Hal ini sangat terkait dengan isu ketahanan pangan yang ada

dinegara kita maupun di dunia pada saat sekarang ini.

Pati digunakan secara luas dalam industri pangan (Taylor dkk., 2006). Oleh

karena itu, ekstraksi pati keladi akan dapat memperluas aplikasinya dalam bidang pangan.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstraksi pati keladi memiliki rendemen

yang cukup tinggi yaitu 19,21% (Wiadnyani dan Widarta, 2012). Namun, dibalik

tingginya rendemen yang dihasilkan, kadar pati yang diperoleh masih belum optimal.

Hasil penelitian Widowati dkk. (1997) melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi dan

semakin lama perendaman dalam larutan NaCl dalam ekstraksi pati talas maka rendemen,

7

derajat putih dan kadar pati yang dihasilkan juga semakin tinggi. Suhu perendaman juga

mempengaruhi hasil ekstraksi pati. Peningkatan suhu cenderung meningkatkan rendemen

pati talas. Hal ini disebabkan karena pada suhu yang tinggi sel-sel umbi menjadi lunak

sehingga granula pati menjadi lebih mudah lepas, namun semakin tinggi suhu sebagian

pati akan tergelatinisasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan optimalisasi proses ekstraksi

pati untuk meningkatkan rendemen dan kemurnian pati keladi yang dihasilkan.

Penggunaan pati alami (native) menyebabkan beberapa permasalahan yang

berhubungan dengan retrogradasi, sineresis, kestabilan rendah, dan ketahanan pasta yang

rendah terhadap pH dan perubahan suhu. Sifat fungsional pati yang terbatas menyebabkan

terbatasnya pula aplikasinya pada produk pangan. Hal tersebut menjadi alasan dilakukan

modifikasi pati secara fisik, kimia, dan enzimatik atau kombinasi dari cara-cara tersebut

(BeMiller dan Whistler, 2009). Salah satu cara modifikasi pati secara fisik yang dapat

dilakukan untuk mengubah sifat-sifat pati adalah dengan metode pemanasan tinggi-

pendinginan (autoclaving-cooling). Modifikasi fisik secara umum adalah dengan

pemanasan, bila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih

aman karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia.

Metode autoclaving-cooling atau yang disebut dengan teknik pemanasan suhu

tinggi-pendinginan dapat mengubah karakteristik gelatinisasi pati yaitu meningkatkan

suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, membatasi pembengkakan,

meningkatkan stabilitas pasta pati dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami

retrogradasi (Sajilata dkk., 2006). Metode Autoclaving-cooling dapat memperbaiki sifat

fisik, kimia dan fungsional berbagai varietas pati ubi kayu (Nazrah dkk., 2014) dan pada

pati pisang (Nurhayati dkk., 2014). Menurut Faridah dkk. 2013, Modifikasi fisik dengan

autoclaving-cooling dapat meningkatan serat pangan, kadar Resistant strach (pati tahan

cerna) pada pati garut dan pati pisang (Sugiono dkk., 2009) dan pati beras (Yuliwardi

dkk., 2014). Resistant starch secara fisiologi memiliki efek kesehatan sehingga dengan

demikian Resistant starch dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pangan fungsional.

Penelitian ekstraksi pati keladi dan modifikasi pati secara fisik dengan

autoclaving-cooling urgen dilakukan untuk memperbaiki sifat fisik, kima dan fungsional

pati keladi sehingga memperluas penggunaannya pada industri pangan. Peningkatan

penggunaan pati keladi sebagai bahan baku produk pangan diharapkan dapat menurunkan

penggunaan terigu. Disamping itu, peningkatan konsumsi keladi diharapkan dapat

meningkatkan pendapatan petani pedesaan yang memproduksi keladi.

8

II. TINJUAN PUSTAKA

2.1. Keladi

Di Indonesia produksi umbi minor sangat terbatas, bahkan pembudidayaan oleh

petani dan balai-balai penelitian terbatas untuk mempertahankan sumberdaya plasma

nutfah. Beberapa jenis umbi bahkan dapat diandalkan sebagai sumber pangan pokok,

sehingga jika budidaya dan pemanfaatan tanaman umbi-umbian ini dikembangkan

menjadi tanaman komersial di bidang pertanian, maka paling tidak tanaman umbi minor

ini bisa setara popularitasnya dengan ubi kayu dan ubi jalar.

Tanaman keladi (Xanthosoma sagittifolium) mempunyai umbi (cormels) yang

banyak, sehingga sering disebut talas kimpul (umbinya berkumpul) (Giacometti dan Leon,

1994). Keladi merupakan jenis umbi-umbian dan salah satu komoditas pertanian yang

memiliki peranan yang cukup strategis tidak hanya sebagai sumber pangan dan bahan

baku industri tetapi juga pakan ternak. Sebagai tanaman penghasil karbohidrat yang cukup

produktif, keladi merupakan tanaman yang mudah ditanam dan cukup potensial, sehingga

sangat layak untuk dikembangkan (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Keladi merupakan

tanaman yang telah dikenal di Bali, sejak jaman Bali Kuno. Umbi keladi disebutkan

berkali-kali dalam prasasti Bali kuno sebagai salah satu hasil pertanian (Anon., 2014a).

Hal tersebut mnyebabkan keladi sangat mudah tumbuh di daerah-daerah pertanian di pulau

Bali. Potensi produksi rata-rat per hektar adalah 30 ton (Anon., 2014b), suatu produksi

yang jauh lebih tinggi dibandingkan padi (4-6 ton per hektar).

Keladi merupakan tanaman yang berasal dari Benua Amerika dan menyebar ke

wilayah Asia, Kepulauan pasifik dan Afrika pada abad ke-19 (Onwueme, 1978). Negara-

negara yang udah memperhatikan kegunaan keladi dan membudidayakan secara luas

adalah Cina, Jepang dan India sedangkan di Indonesia jenis umbi-umbian ini belumlah

mendapat perhatian.

Tanaman keladi memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena hampir sebagian besar

bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi manusia. Tanaman keladi yang

merupakan penghasil karbohidrat berpotensi sebagai suplemen/substitusi beras atau

sebagai diversifikasi bahan pangan, bahan baku industri dan lain sebagainya. Sampai saat

ini, produk pangan yang dibuat menggunakan bahan baku keladi sangat jarang ditemui.

Keladi umumnya di daerah Bali, diolah hanya dengan jalan direbus saja atau digunakan

sebagai pakan ternak sehingga kurang memiliki nilai ekonomis, padahal keladi

9

mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan karena berbagai manfaat dan dapat

dibudidayakan dengan mudah.

Keladi merupakan sumber pangan yang penting karena zat gizi utama terdapat

pada umbi keladi adalah pati, yang merupakan sumber kalori yang penting. Selain

merupakan sumber karbohidrat, protein dan lemak, keladi juga mengandung beberapa

unsur mineral dan vitamin. Komposisi zat yang terkandung dalam 100 gram talas dapat

dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Komposisi zat gizi umbi keladi

Komponen Komposisi

Air (%) 67,10 *) 71,09 **)

Protein (%) 1,55 0,95

Lemak (%) 0,44 0,11

Pati (%) 27,6 17,23

Gula (%) 0,42 0,49

Serat makanan (%) 0,99 1,58

Vitamin C mg/100g 13,60 13,26

Abu (%) 1,04 0,75

Kalsium mg/100g 8,50 -

Sumber : *) Bradbury dan Holloway (2000)

**) Suprapta dkk. (2003)

2.2. Pati

Struktur kimia pati berupa karbohidrat kompleks (polisakarida) tersusun dari

banyak unit glukosa. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.

Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta

apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Amilosa merupakan polimer yang

mempunyai struktur lurus dengan ikatan α (1,4)-glikosidik serta membentuk bagian

kristalin yang kompak dan pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa sedangkan

amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α-(1,4)-glikosidik dan ikatan α-

(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya membentuk bagian amorf dari pati sehingga

lebih mudah ditembus oleh air, enzim dan bahan kimia. Setiap cabang terdiri dari 25-30

unit D- glukosa (Moorthy, 2004). Struktur polimer amilosa dan amilopektin dapat dilihat

pada Gambar 1.

10

Selain perbedaan struktur, panjang rantai polimer, dan jenis ikatannya, amilosa

dan amilopektin mempunyai perbedaan dalam hal penerimaan terhadap iodin. Amilosa

akan membentuk kompleks berwarna biru sedangkan amilopektin membentuk kompleks

warna ungu-coklat bila ditambah iodin. Komposisi dari amilosa dan amilopektin berbeda-

beda untuk tiap jenis pati. Sifat fisikokimia amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada

Tabel 2. Setiap jenis pati memiliki perbedaan rasio kandungan amilosa dan amilopektin

tergantung pada sumber botaninya, dapat dilihat pada Tabel 2.

Pati dan juga produk turunannya merupakan bahan yang multiguna dan banyak

digunakan pada berbagai industri antara lain pada minuman dan confectionary, makanan

yang diproses, kertas, makanan ternak, farmasi dan bahan kimia serta industri non pangan

seperti tekstil, detergent, kemasan dan sebagainya. Kegunaan pati dan turunannya pada

industri makanan dan minuman memiliki persentase paling besar yaitu 60%, industri

kertas dan tekstil sebanyak 25%, industri farmasi dan bahan kimia 10%, industri non

pangan 4% dan makanan ternak sebanyak 1% (Copeland dkk., 2009).

Gambar 1. Struktur amilosa dan amilopektin polimer pati (Moorthy, 2004)

11

Tabel 2. Kandungan amilosa dan amilopektin pada berbagai jenis pati

Pati Amilosa (%) Amilopektin (%)

Jagung 25 75

Jagung Ketan 0 100

Jagung Amilo-5 53 47

Jagung Amilo-7 70 30

Kentang 22 78

Gandum 23 77

Beras 19 81

Kasava 17 83

Pisang 20 80

Shoti 30 70

Sumber: Robyt ( 2008)

2.3. Ekstraksi Pati

Pati digunakan secara luas dalam industri pangan (Taylor dkk., 2006). Oleh karena

itu, ekstraksi pati keladi akan dapat memperluas aplikasinya dalam bidang pangan.

Tahapan-tahapan proses pembuatan pati dari umbi meliputi tahap persiapan dan ekstraksi,

tahap pemurnian, tahap pemisahan dan pengeringan serta tahap finishing. Tahapan

persiapan dan ekstraksi ini mencakup penghancuran dinding-dinding sel dan pemisahan

granula-granula dari bahan-bahan tak terlarut lainnya seperti kotoran dan bahan dinding

sel. Kegiatannya mencakup pencucian umbi, pengupasan umbi, penghancuran umbi

menjadi bubur, menambahan air dan menyaringnya untuk mendapatkan susu pati (Utami,

2009).

Pada tahap pemurnian dilakukan substitusi air terhadap cairan yang mengelilingi

granula-granula pati untuk memudahkan pemisahannya. Kegiatannya meliputi

pengendapan susu pati dan mencucinya dengan air. Tahap pemisahan air dan pengeringan

bertujuan untuk membuang air sampai kering, dengan kadar air tertentu. Tahap terakhir

yaitu tahap finishing mencakup kegiatan penghancuran gumpalan pati serta operasi-

operasi lainnya (Utami, 2009). Tahapan ekstraksi pati membutuhkan air proses yang

nantinya berpengaruh pada pati yang dihasilkan. Air yang berhubungan dengan hasil-hasil

industri pengolahan pangan harus memenuhi setidak-tidaknya standar mutu yang

12

diperlukan untuk minum atau air minum (Buckle, 1985).

Salah satu kendala sampai sejauh ini adalah keladi kurang diminati dijadikan

produk pangan karena adanya kalsium oksalat (oksalat tidak larut) pada keladi yang

menyebabkan rasa gatal di mulut. Rasa gatal tersebut dikarenakan oleh tusukan-tusukan

kristal kalsium oksalat tersebut bila seseorang mengkonsumsi umbi-umbian seperti keladi,

talas, suweg dan lain-lain. Kandungan kalsium oksalat pada keladi adalah 23 mg/100g

(Bradbury dan Holloway, 2000). Selain itu kesulitan dalam ekstraksi pati talas adalah

banyaknya kandungan lendir dan gum yang menghalangi proses pemisahan granula pati

dari komponen-komponen lainnya. Modifikasi metode ekstraksi ataupun isolasi pati

keladi dengan cara pemisahan dan pemurnian ditujukan untuk memperoleh pati yang

lebih banyak dengan tingkat kemurnian yang tinggi

Penurunan kandungan oksalat pada bahan pangan dapat dilakukan dengan

beberapa cara seperti perendaman dalam air, perendaman dalam larutan garam dan

perendaman dalam larutan asam encer. Penurunan asam oksalat pada talas menggunakan

asam klorida (HCl 0,3M; 5 menit) dilakukan oleh Yuliani (2009) dimana kadar oksalat

dapat diturunkan 98,59%. Penurunan 75% oksalat pada pati talas dilakukan dengan

perendaman dalam air pada suhu 40°C selama 3 jam dan 97,22% menggunakan larutan

garam (7,5%; 60 menit) (Yuliani, 2009). Hasil penelitian Widowati dkk. (1997)

melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaCl yang digunakan dalam ekstraksi pati

talas maka rendemen, derajat putih dan kadar pati yang dihasilkan juga semakin tinggi.

Pati talas yang direndam dalam larutan NaCl 0,3 M memberikan hasil ekstraksi,

kemurnian dan derajat putih yang paling tinggi dibandingkan perendaman dengan larutan

CaCO3 (Widowati dkk., 1997).

Suhu perendaman juga mempengaruhi hasil ekstraksi pati. Peningkatan suhu

cenderung meningkatkan rendemen pati. Hal ini disebabkan karena pada suhu yang tinggi

sel-sel umbi menjadi lunak sehingga granula pati menjadi lebih mudah lepas, namun

semakin tinggi suhu sebagian pati akan tergelatinisasi. Hasil pati tertinggi sebesar 96,51%

adalah perendaman dalam larutan NaCl 0,3 M pada suhu 50oC selama 30 menit dan

95,71% dalam larutan CaCO3 20% suhu 50oC selama 12 jam (Widowati dkk., 1997).

2.4. Modifikasi Pati

Penggunaan pati alami (native) menyebabkan beberapa permasalahan yang

berhubungan dengan retrogradasi, sineresis, kestabilan rendah, dan ketahanan pasta yang

13

rendah terhadap pH dan perubahan suhu. Hal tersebut menjadi alasan dilakukan

modifikasi pati secara fisik, kimia, dan enzimatik atau kombinasi dari cara-cara tersebut

(BeMiller dan Whistler, 2009). Setiap jenis pati memiliki karakteristik dan sifat fungsional

yang berbeda. Sifat fungsional pati yang terbatas menyebabkan terbatasnya pula

aplikasinya pada produk pangan.

Modifikasi pati adalah cara mengubah struktur dan mempengaruhi ikatan hidrogen

dengan cara terkontrol untuk meningkatkan dan memperluas kegunaannya.

Pati diberi perlakuan tertentu dengan tujuan menghasilkan sifat yang lebih baik untuk

memperbaiki sifat sebelumnya atau untuk merubah sifat sebelumnya. Perlakuan ini dapat

mencakup penggunaan panas, alkali, asam atau bahan kimia lainnya yang akan

menghasilkan gugus kimia baru, perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati

(Koeswara, 2006). Modifikasi pati diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan

fungsional dari pati alami. Salah satu cara modifikasi pati secara fisik yang dapat

dilakukan untuk mengubah sifat-sifat pati adalah dengan metode pemanasan tinggi-

pendinginan (autoclaving-cooling).

2.5. Autoclaving-Cooling

Perlakuan modifikasi secara fisik melibatkan beberapa factor antara lain: suhu,

tekanan dan kadar air pati. Granula pati dapat diubah secara parsial maupun total. Prinsip

modifikasi fisik secara umum adalah dengan pemanasan, bila dibandingkan dengan

modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan

berbagai pereaksi kimia. Perlakuan modifikasi secara fisik antara lain: ekstruksi,

praboiling, iradisi, steam-cooking, microwave, hydrothermal treatment dan autoclaving-

cooling (Sajilata dkk., 2006; Bao dan Bergman, 2004).

Metode autoclaving-cooling atau yang disebut dengan teknik pemanasan suhu

tinggi-pendinginan dapat mengubah karakteristik gelatinisasi pati yaitu meningkatkan

suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, membatasi pembengkakan,

meningkatkan stabilitas pasta pati dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami

retrogradasi yang akan mempengaruhi kristalinitas pati, dan pengembangan granula pati

(Shin dkk., 2002; Zabar dkk., 2008). Menurut BeMiller dan Whistler (2009), Modifikasi

tersebut dapat menyebabkan terjadinya pengaturan kembali dan peningkatan derajat

asosiasi rantai molekul penyusun pati. Keadaan ini didukung dengan melelehnya daerah

14

kristalin kembali atau dapat dikatakan terjadinya reorientasi. Perubahan molekuler tersebut

berdampak nyata terhadap sifat reologi pati.

Menurut Sajilata dkk. (2006) perlakuan pemanasan dengan menggunakan

autoclaving dapat menurunkan daya cerna pati dan meningkatkan produksi pati resisten

(resistant starch) hingga 9%. Metode autoclaving dilakukan dengan mensuspensikan pati

dengan penambahan air lalu dipanaskan dengan menggunakan autoklaf pada suhu tinggi.

Setelah diautoklaf, suspensi pati tersebut disimpan pada suhu rendah agar terjadi

retrogradasi. Untuk meningkatkan kadar pati resisten, siklus tersebut dapat dilakukan

berulang.

RS sendiri dibagi menjadi empat golongan yaitu RS I, RS II, RS III dan RS IV. RS

III merupakan pati yang paling resisten, terutama berupa amilosa teretrogradasi yang

terbentuk selama pendinginan pati tergelatinisasi. Pati autoclaving-cooling termasuk jenis

RS III (Sajilata dkk., 2006). Resistant starch (RS), didefinisikan sebagai fraksi pati atau

produk degradasi pati yang tidak terabsorbsi dalam usus halus individu yang bersifat

resisten terhadap hidrolisis enzim amylase (Shin dkk., 2004). RS dikategorikan sebagai

bagian dari serat pangan. RS memiliki efek fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan

menurunkan kadar gula darah, sebagai prebiotik, mengurangi resiko pembentukan batu

empedu, menghambat akumulasi lemak (Sajilata dkk., 2006) sehingga dengan demikian

RS dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pangan fungsional (Soto dkk., 2004)

15

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1.Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah : keladi yang diperoleh

langsung dari perkebunan petani di Desa Daup Bangli sedangkan bahan kimia yang

digunakan adalah aquades, NaCl, NaOH, H2SO4, HCl, Petroleum eter, larutan Nelson,

larutan arsenomolibdat, BaSO4, amilosa murni, asam asetat, buffer fosfat, -amilase,

glukoamilase, glukosa murni, GOD, larutan kalium sodium tartrat, larutan buffer Na-

fosfat, indikator PP, etanol, NH4OH, CaCl2, KMnO4, larutan iod.

Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Aluminium foil, kertas

label, kain saring, pisau, parutan, ember, waskom, Loyang, container plastik, plastik

HDPE, Tissu, kuas, botol semprot, pipet tetes, kertas saring, lumpang, Oven, refrigerator,

autoclaf, ayakan 100 mesh, gelas ukur, timbangan roti, timbangan analitik, pengaduk

mekanik atau manual, kabinet dyer, eksikator, blender, muffle furnace, labu keldahl,

labu soxlet, becker, erlenmeyer, Labu takar, chromameter, petridish, sentrifuse,

spektrofotometer, perajang mekanis, waterbath, Brabender Amylograph.

3.2. Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan. Tahapan penelitian pertama adalah

ekstraksi pati keladi dengan perlakuan konsentrasi NaCl dan lama perendaman, sedangkan

tahapan kedua adalah modifikasi pati keladi dengan metode pemanasan-pendinginan.

Adapun sistematika tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 dan Garis

besar (Roadmap) penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 3. Sistematika pelaksanaan penelitianTahapan Kegiatan

Tahap 1 Ekstraksi pati keladi

a. Persiapan alat, bahan kimia, dan bahan baku

b. Analisis proksimat pada bahan baku

c. Ekstraksi pati keladi dengan perlakuan konsentrasi NaCl

dan waktu perendaman

d. Analisis rendemen, kadar pati, derajat putih, dan kadar

oksalat

e. Penentuan metode ekstraksi terbaik

Tahap 2. Modifikasi pati keladi dengan metode Pemanasan-pendinginan

16

Gambar 2. Garis Besar (Roadmap) Penelitian

a. Persiapan alat, bahan kimia, dan bahan baku

b. Modifikasi pati keladi (hasil terbaik dari ekstraksi pati

keladi tahap 1) dengan metode pemanasan-pendinginan

c. Analisis sifat fisikokimia dan fungsional pati keladi

termodifikasi

d. Penentuan kondisi modifikasi pati dengan Pemanasan-

pendinginan yang tepat

Modifikasi pati keladi denganmetode autoclaving- cooling

Satu siklus Dua siklus

17

Tahap 1. Ekstraksi pati keladi

Sebelum dilakukan penelitian tahap 1, dilakukan analisis proksimat terhadap keladi

segar meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar serat, kadar abu dan kadar

karbohidrat by difference.

Penelitian tahap 1 diawali dengan memilih bahan yang diperlukan berupa keladi

yang berkualitas baik atau tidak mengalami cacat fisik yang didapat dari Desa Daup

Bangli yang sebelumnya telah dilakukan analisis proksimat. Keladi dikupas lalu dicuci

bersih dan dipotong lalu direndam dalam air selama 1 jam selanjutnya diparut. Keladi

yang sudah diparut direndam dalam larutan NaCl pada suhu 50oC dengan perlakuan

konsentrasi (0, 0,3 dan 0,6 M) dan lama perendaman (30, 60 dan 90 menit), selanjutnya

dilakukan ekstraksi dengan menggunakan kain saring dan diperoleh filtrat 1. Ampas

yang diperoleh, kemudian dicampurkan lagi dengan air dengan perbandingan

ampas dan air 1 : 3 dan dilakukan ekstraksi hingga diperoleh filtrat 2. Filtrat 1 dan 2

dicampur. Filtrat yang terbentuk ditambahkan NaOH 0,05 N dan diendapkan selama 2 X

24 jam pada suhu 4oC. Air dan endapan kemudian dipisah dan endapan yang diperoleh

disebut pati basah. Pati basah kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven

pengering selama 24 jam pada suhu 50ºC, hingga diperoleh pati kering. Pati

kering selanjutnya digiling dan diayak dengan menggunakan ayakan ukuran 100

mesh, dan diperoleh pati dalam bentuk tepung. Diagram alir proses ekstraksi pati

keladi dapat dilihat pada Gambar 3. Pati yang diperoleh disimpan dalam wadah yang

tertutup rapat. Parameter yang diamati pada tahap ini meliputi : rendemen, kadar pati,

kadar oksalat dan derajat putih. Hasil terbaik dari penelitian tahap pertama ini akan

digunakan dalam penelitian tahap ke- 2.

Tahapan pertama dari penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok

(RAK) yaitu perlakuan konsentrasi NaCl yang terdiri dari 5 taraf:

P0 : 0 M

P1 : 0,15 M

P2 : 0,3 M

P3 : 0,45 M

P4 : 0,6 M

Seluruh perlakuan tahap pertama diulang sebanyak dua kali sehingga

diperoleh 15 unit percobaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, dan

apabila terdapat pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati, maka akan

18

dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Hasil terbaik dari penelitian tahap

pertama digunakan untuk penelitian tahap kedua. Indikator yang digunakan adalah

rendemen pati terbanyak dengan tingkat kemurnian paling tinggi (kadar pati paling

tinggi)serta derajat putih terbaik dan kadar Ca-oksalat terendah

Tahap 2. Modifikasi pati dengan metode Autoclaving-cooling

Tahapan penelitian yang kedua adalah modifikasi pati keladi dengan metode

pemanasan suhu tinng-pendinginan (Autoclaving-cooling). Pati keladi terbaik dari tahap 1

disuspensian dalam air 20% (diberi perlakuan pengaturan kadar air 20%), kemudian pati

keladi dikemas dalam plastik HDPE dan disimpan di refrigerator pada suhu 4°C

selama 12 jam agar penyebaran air pada pati merata. Lalu dilakukan perlakuan

pemanasan menggunakan autoklaf pada suhu 121 selama 15 menit.. Pati kemudian

langsung didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam untuk mencegah gelatinisasi lebih

lanjut.. Selanjutnya pati diretrogradasi dengan didinginkan pada suhu 4OC selama 24 jam.

Untuk perlakuan autoclaving-cooling 2 siklus peoses pemanasan dengan autoclave dan

pendinginan suhu 4OC diulangi sekali lagi. Setelah itu dilakukan pengeringan pada suhu

50°C selama 4 jam. Pati kering selanjutnya digiling dan diayak dengan

menggunakan ayakan ukuran 100 mesh. Lalu pati dikemas dan dianalisis sifat

fisikokimia dan fungionalnya. Modifikasi pati dengan metode Autoclaving-cooling dapat

dilihat pada Gambar 4. Parameter yang diamati dalam penelitian tahap ini meliputi: kadar

amilosa, amilografi pati, swelling power, kelarutan, paste clarity, granula pati dan

resistant strach. Hasil terbaik pada tahap ini dibandingkan dengan karakteristik sifat

fisikokima dan fungsional pati keladi alaminya.

Penelitian tahap kedua ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan

perlakuan siklus autoclaving cooling yang terdiri dari 3 taraf yaitu:

P0 : Pati alami terbaik

P1 : Pati modifikasi satu siklus

P2 : Pati Modifikasi dua silus

Seluruh perlakuan tahap kedua diulang sebanyak tigakali sehingga diperoleh 9 unit

percobaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, dan apabila terdapat

pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati, maka akan dilanjutkan dengan uji

Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

19

Gambar 3. Diagram alir proses ekstraksi pati keladi (Utami, 2009

yang dimodifikasi)

20

Gambar 4. Diagram alir modifikasi pati dengan Autoclaving–cooling (Lehman dkk., 2003;

Nurhayati, 2014)

3.3. Parameter yang Diamati

Analisis proksimat dilakukan terhadap keladi segar meliputi kadar air, kadar

protein, kadar lemak, kadar abu dan kadar karbohidrat by difference. Parameter yang

diamati pada tahap pertama meliputi : Rendemen, kadar pati, kadar oksalat dan derajat

putih. Pada penelitian tahap kedua parameter yang diamati meliputi: kadar amilosa,

amilografi pati, swelling power, kelarutan, paste clarity, Resistant starch.

3.1. Kadar air metode oven (AOAC, 1995).

1) Bahan ditimbang sebanyak 2- 5 gram

2) Ditaruh dalam cawan petri yang telah diketahui beratnya (cawan petri sebelumnya

dioven kurang lebih 4 jam untuk mendapatkan berat konstan dan didinginkan

dalam desikator selama 10 menit)

3) Kemudian dimasukkan dalam oven suhu 105oC selama kurang lebih 6 jam

Pati KeladiPengkondisian pada kadar

air 20%Pengemasan

(plastik HDPE)

Penstabilan dalam refrigerator(4OC, 12 jam)

Pemanasan dalam autoclave(suhu 121OC, 15 menit)

PendinginanPada suhu ruang (1 jam)

Pendinginan(suhu 4OC, 24 jam)

Pengeringan dengan oven(50OC, 4 jam)

Penggilingan

Pengayakan (100 mesh)

Pati keladitermodifikasi

Dua siklus

21

kemudian dimasukkan desikator 10 menit dan ditimbang beratnya

4) Kemudian dimasukkan oven lagi sampai beratnya konstan

5) Dihitung kadar air dengan perhitungan

Kadar air (%b/b) =

100a

b-a %

Dimana, a = berat sampel awal

b = berat sampel akhir

3.3.2. Kadar abu (AOAC, 1995)

1) Cawan porselin dikeringkan di dalam ovenselama satu jam pada suhu 105oC

2) Dinginkan selama 30 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan

berat tetap

3) Ditimbang sampel sebanyak 2 g, dimasukkan ke dalam cawan porselin dan

dipijarkan di atas nyala api pembakar bunsen hingga tidak berasap lagi,

4) Masukkan ke dalam tanur listrik (furnace) dengan suhu 650oC selama ± 12 jam.

Selanjutnya cawan didinginkan selama 30 menit pada desikator, kemudian

ditimbang hingga didapatkan berat tetap. Kadar abu dihitung dengan cara sebagai

berikut :

%x100a

b(%)abuKadar

Dimana, a = berat sampel awal

b = berat sampel akhir/abu

3.3.3. Kadar Protein dengan metode kjeldahl (AOAC, 1995)

1) Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam labu kjedahl 100 ml.

2) Tambahkan 2 g campuran selen (Kjeltab) dan 25 ml H2SO4 pekat

3) Panaskan di atas pemanas listrik atau api pembakar sampai mendidih dan larutan

menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam) dan dibiarkan hingga dingin

4) Panaskan di atas pemanas listrik atau api pembakar sampai mendidih dan larutan

menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam) dan dibiarkan hingga dingin

5) Setelah didinginkan, diencerkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml tepat

hingga garis tanda,

22

6) Larutan dipipet 5 ml dan dimasukkan ke dalam alat penyuling

7) Tambahkan 5 ml NaOH 30 % dan beberapa tetes indikator metil merah

8) Destilasi dengan alat penyuling dan disulingkan selama kurang lebih 10 menit,

sebagai penampung digunakan 10 ml larutan asam borat 2 % yang telah dicampur

indikator metil merah. Setelah ditampung, ujung pendingin dibilas dengan

aquades,

9) Titrasi menggunakan larutan HCl 0,01 N,

10) Prosedur yang sama juga dikerjakan terhadap blanko. Kadar protein dihitung

dengan cara sebagai berikut :

3.3.4.Kadar Lemak dengan metode soxhlet (AOAC, 1995)

1) sebanyak 2 g sampel ditimbang, selanjutnya sampel dibungkus dengan selongsong

dari kertas saring bebas minyak dan dimasukkan ke dalam tabung soxhlet. Pada

saat ekstraksi sistem pendinginan dihidupkan dan tabung soxhlet diisi pelarut

petroleum eter secukupnya dan diekstraksi berlangsung selama 4 jam.

2) Sesudah ekstraksi selesai petroleum ether yang telah mengandung minyak

dipindahkan kedalam botol timbang yang diketahui beratnya..

3) Kkemudian dipanaskan diatas penangas air sampai sampel menjadi pekat. Botol

timbang berisi sampel dipanaskan dalam oven pada suhu 100OC sampai dicapai

berat konstan. Berat sampel dinyatakan sebgai berat minyak.

Kadar lemak (%) = x100%sampelberat

kosongberatdiovensetelahberat

3.3.5.Kadar Karbohidrat by differences (AOAC, 1995).

% Karbohidrat = (100% - Kadar air - Kadar Lemak - Kadar protein - Kadar

Abu – Kadar serat kasar)

3.3.6.Rendemen

Rendemen merupakan persentase dari perbandingan antara berat pati yang

dihasilkan (g) dengan berat talas yang digunakan (g). Rendemen dapat dihitung

dengan menggukana rumus :

23

Rendemen (%) = %100x(g)digunakanyangbahanberat

(g)dihasilkanyangpatiberat

3.3.7. Kadar Pati (AOAC, 1995)

1) Sampel sebanyak 2-5 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam beker glass 250 ml

2) Tambahkan 50 ml aquades dan diaduk selama 1 jam

3) Suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan aquades sampai volume

filtrat menjadi 250 ml

4) Residu dipindahkan secara kualitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer dengan

pencucian 200 ml aquades

5) Tambahkan 20 ml HCl 25% ditutup dengan pendingin balik

6) Panaskan di atas penangas air mendidih selama 2,5 jam

7) Setelah dingin dinetralkan dengan larutan NaOH 45% dan diencerkan sampai

volume 500 ml

8) Kadar gula dinyatakan sebagai kadar glukosa dari filtrat yang diperoleh

9) Penentuan glukosa seperti pada penentuan gula reduksi. Kadar glukosa dikalikan

dengan 0,9 yang dinyatakan sebagai kadar pati

Gula reduksi :

1) Sampel diambil sebanyak 5 ml, tambahkan 2,2 ml NaOH 1 N kemudian

diencerkan dalam gelas ukur sampai 100 ml

2) Sampel diambil sebanyak 1 ml, tambahkan larutan nelsen dan panaskan selama 20

menit

3) Tambahkan larutan arsenomolibdat sebanyak 1 ml dan aquades sebanyak 7 ml

4) Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada 540 nm

3.3.8.Derajat Putih (AOAC, 1995)

Uji derajat putih diukur dengan alat Minolta Chromameter CR-310. Mula-mula

alat distandarisasikan dengan warna putih (BaSO4 =100 %), kemudian sampel diukur

dari display alat akan terlihat besarnya nilai derajat putih (L).

3.3.9.Kadar Oksalat (Oke, 1966 yang dimodifikasi)

Sampel ditimbang sebanyak ± 1 g dimasukan ke dalam erlrnmeyer 50 ml,

ditambahkan 10 ml HCl 6 N diaduk dan didiamkan selama 1 jam. Dimasukan ke dalam

labu takar 250 ml dan ditambahkan aquades sampai tanda tera, dituangkan kembali

24

kedalam erlenmeyer ditambahkan dengan PP, lalu ditetesi NH4OH pekat sampai warnanya

berubah menjadi merah jambu. Sampel disaring dan diambil filtratnya, ditambahkan 10 ml

CaCl2 5%, sampel disentrifugasi pada 2500 rpm, supernatannya dibuang, endapan yang

diperoleh dilarutkan dengan 10 ml H2SO4 20%, lalu diencerkan sampai tanda tera dalam

lanu ukur 250 ml. Diambil 100 ml sampel lalu dipanaskan hingga suhu 70oC, yang

ditandai dengan embun pada dinding erlenmeyer. Selanjutnya dititrasi dengan KMnO4

0,05M sampai berwarna pink diusahakan bertahan 30 detik.

3.3.10. Kadar Amilosa (AOAC, 1995)

Penentuan Kurva Standar1) Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan

1 ml ethanol 95%, dan 9 ml NaOH 1 N. Campuran dipanaskan dalam air mendidih

selama 10 menit sampai membentuk gel dan didinginkan. Campuran dipindahkan

ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan aquades sampai total volume menjadi

sebesar 100 ml.

2) Larutan tersebut diambil masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml kemudian dimasukkan

ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian ke dalam labu takar tersebut ditambahkan

asam asetat 1 N masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml, lalu ditambahkan

masing-masing 2 ml larutan iodin 0,2%. Campuran dalam labu takar ditambahkan

aquades sampai tanda tera, dan kemudian didiamkan selama 20 menit.

3) Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang

gelombang 625 nm. Kemudian dibuat kurva standard antara konsentrasi dan

amilosa.

Penentuan Amilosa Sampel

1) Sebanyak 100 mg sampel pati dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian

ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan dipanaskan dalam air

mendidih selama 10 menit, kemudian dibiarkan sampai dingin. Larutan

dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan dengan aquades sampai

tanda tera.

2) Larutan tersebut diambil 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml.

Larutan dalam labu takar ditambahkan aquades sampai tanda tera, lalu dikocok dan

didiamkan selama 20 menit.

3) Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang

25

gelombang 625 nm.

4) Kadar amilosa dihitung dengan :

100% x100 xfp xX

amilosa%W

Keterangan :X = konsentrasi amilosa dari persamaan kurva standard.fp = faktor pengenceranW = berat sampel (mg)

3.3.11. Amilografi Pati (Shimelis dkk., 2006)1) Pati sebanyak 1 gram dilarutkan dalam 10 ml aquades yang dilanjutkan dengan

homogenisasi.

2) Larutan pati ini kemudian dimasukkan ke dalam alat pengukur viskositas pasta

pati ( Visco amilograph )

3) Selama 20 menit suhu dinaikkan dari 30oC sampai menjadi 95oC kemudian

dipertahankan selama 10 menit.

4) Selama 15 menit kemudian suhu diturunkan dari 95 oC menjadi 50 oC.

5) Selama proses pengukuran viskositas pasta pati, larutan pati diagitasi secara

periodik menggunakan agitator otomatis

3.3.12. Swelling power dan kelarutan (Tester dan Morrison, 1990)

1) Sebanyak 0,2 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan

ditambahkan 10 ml air. Sampel diekuilibrasi pada suhu 25°C selama 5

menit.

2) Sampel dipindahkan dalam waterbath suhu 95°C, selama 30 menit.

3) Sampel didinginkan selama 1 menit pada suhu 20°C. Sampelkemudian

disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 15 menit untuk

memisahkan gel dan supernatan.

4) Gel kemudian ditimbang untuk menentukan kekuatan pengembangan pati

5) Supernatan kemudian dipindahkan dalam petridish dan dikeringkan pada

suhu 100°C selama 4 jam untuk menghitung kelarutan pati.

Kekuatan pengembangan dan kelarutan pati dihitung dengan persamaan :

Swelling power =sampelBerat

wadah)sampel(beratwadah)gel(berat

26

Kelarutan pati = %x100sampelberat

supernatankeringBerat

3.3.13. Paste clarity (Sandhu dkk., 2008)

1) Suspensi pati 1 % (w/w) dipanaskan dalam waterbath pada suhu 90OC selama 30

menit dengan pengadukan konstan.

2) Suspensi pati kemudian didinginkan sampai suhu 30OC dan disimpan selama 5 hari

pada suhu 4oC

3) Persentase transmittance (% T) diukur dengan spektrofotometer pada panjang

gelombang 640 nm.

4) Setiap 24 jam sampel diukur dengan spektrofotometer dengan membandingkan air

sebagai blanko.

3.3.14. Resistant Starch (Ebihara dkk., 2006)

Preparasi resistant starch

1) Penentuan waktu inkubasi enzim α-amilase

Pati modifikasi 1 gram disuspensikan ke dalam 50 ml larutan buffer fosfat 0,08 M

dan pH 5,9. Kemudian dipanaskan pada air mendidih sampai tergelatinisasi.

Ditambahkan 10 μl -amilase dan diinkubasikan suhu 65°C selama 10, 20, 30, 40

dan 50 menit. Kemudian dilakukan analisis kadar gula reduksi. Setelah didapatkan

kadar gula reduksi pada satu waktu paling tinggi maka digunakan untuk inkubasi

amilase

2) Penentuan waktu inkubasi glukoamilase

Setelah didapatkan kadar gula reduksi pada satu waktu paling tinggi maka

digunakan untuk inkubasi amilase. Dilanjutkan suspensi didinginkan pada suhu

ruang lalu ditambah HCl 1 N sampai tercapai pH 4,3. Kemudian dimasukkan 20 μl

glukoamilase dan diinkubasikan pada suhu 60°C selama 0,5; 1; 1,5; 2 jam.

Kemudian dilakukan analisis kadar gula reduksi Didapatkan kadar gula reduksi

pada satu waktu paling tinggi maka digunakan untuk inkubasi glukoamilase.

3) Penentuan kurva standar glukosa

a. Larutan glukosa standar 1 mg/10 ml. Dimasukkan ke dalam tabung sebanyak

0,0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0 dan ditambahkan aquades sebanyak 1; 0,8; 0,6; 0,4;

27

0,2; 0 sehingga didapakan konsentrasi 0; 2; 4; 6; 8; 10 mg/100 ml.

b. Ditambahkan larutan Nelson A:B (25:1) dan pemanasan dalam penangas air

selama 20 menit. Pendinginan sampai suhu tabung 25°C. Ditambahkan

masing-masing 1 ml reagensia Arseno-molibdat, gojog sampai semua endapan

larut kembali, kemudian masing-masing tabung ditambah 3 mL aquadest,

gojog.

c. Peneraan dengan spektofotometer pada 540 nm.

4) Penentuan gula reduksi

a. pengambilan 1 ml sampel kemudian dimasukkan dalam labu takar 100 ml,

ditambahkan larutan Pb asetat sebanyak 50 tetes, kemudian ditambahkan

aquades sampai tanda. Pengambilan 50 ml dan dimasukkan dalam labu takar

100 ml kemudian ditambahkan Na oksalat sampai jernih. Kemudian

penambahan aquades sampai tanda dan penggojogan.

b. pengambilan sebanyak 1 ml dan ditambah 9 ml aquades.

c. Ditambahkan larutan Nelson A:B (25:1) dan pemanasan dalam penangas air

selama 20 menit. Pendinginan sampai suhu tabung 25°C. Ditambahkan

masing-masing 1 ml reagensia Arseno-molibdat, gojog sampai semua endapan

larut kembali, kemudian masing-masing tabung ditambah 3 mL aquadest,

gojog.

d. Peneraan dengan spektofotometer pada 540 nm.

Analisis resistant starch

1) Penentuan kurva standar

a. Larutan glukosa standar berkadar 300 mg/l diambil 0.5; 1; 2; dan 3 ml

kemudian ditambah aquadest sebanyak 2,5; 2; 1; dan 0 ml aquadest. Blanko

menggunakan aquadest sebanyak 3 ml. Lalu dimasukkan ke dalam tabung

reaksi.

b. Larutan ditambahkan dengan GOD 1% sebanyak 3 ml lalu ditutup dengan

plastik. Setelah itu dipanaskan dalam penangas air 100°C selama 10 menit.

Lalu didinginkan pada suhu kamar.

c. Ditambahkan 1 ml larutan Kalium sodium tartrat (garam Rochelle) 40%. Lalu

divortex. Peneraan dengan spektrofotometer dilakukan pada panjang

gelombang 575 nm.

28

2) Penentuan Resistant Starch

a. Pati modifikasi 1 gram kemudian disuspensikan ke dalam 50 ml larutan buffer

fosfat 0,08 M dan pH 5,9. Kemudian diinkubasi suhu 100°C sampai

tergelatinisasi. Lalu didinginkan pada suhu kamar. Ditambahkan 10 μl -

amilase dan diinkubasikan suhu 65°C selama 40 menit. Setelah diinkubasikan,

suspensi didinginkan pada suhu ruang lalu ditambah HCl 1 N sampai tercapai

pH 4,3. Kemudian dimasukkan 20 μl glukoamilase dan diinkubasikan pada

suhu 60°C selama 1 jam.

b. Suspensi diambil 10 μl dan ditambahkan 1 ml GOD. Lalu dicampur dan

diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-25°C.

c. Peneraan dilakukan pada panjang gelombang 500 nm.

% 100sampelberat

0.9glukosaberat1RS

3.4. Luaran Penelitian

Luaran penelitian tahun I adalah berupa:

1. Mendapatkan konsentrasi NaCl dan waktu perendaman yang tepat dalam proses

ekstraksi pati untuk memperoleh rendemen pati keladi yang tinggi dengan

karakteristik terbaik

2. Mengetahui karakteristik fisikokimia dan fungsional pati talas termodifikasi

dengan metode autoclaving-cooling dalam upaya meningkatkan penggunaaanya

pada produk pangan.

3. Pati keladi termodifikasi yang dihasilkan diharapkan dapat diaplikasikan secara

luas sebagai bahan pangan pokok alternatif atau pun ingridien pangan pengganti

terigu sehingga mengurangi ketergantungan dan impor terigu dari luar negeri

4. Universitas Udayana sebagai universitas negeri terbesar di Bali dapat berperan

serta membantu mewujudkan ketahanan pangan melalui ekplorasi dan diversifikasi

bahan pangan lokal yang ada.

5. Luaran tambahan dari hasil penelitian ini berupa bahan ajar yang dapat

disampaikan di topik-topik mata kuliah yang terkait dengan penelitian ini sehingga

hal-hal yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dibagi kepada mahasiswa.

29

3.5. Indikator Capaian Penelitian

Indikator capaian penelitian yang terukur dari penelitian ini adalah :

1. Teknologi ekstraksi pati keladi yang tepat dan mampu menghasilkan rendemen

dan kemurnian yang tinggi

2. Teknologi modifikasi pati keladi yang tepat sehingga menghasilkan pati

termodifikasi dengan karakteristik yang terbaik

3. Pengajuan makalah untuk publikasi di jurnal nasional terakreditasi bertopik “

Ekstraksi dan Modifikasi Pati Keladi dengan Metode Pemanasan–Pendinginan

(Autoclaving-Cooling) ”

30

BAB IV. HASIL SEMENTARA

Penelitian tahap 1 diawali dengan memilih bahan yang diperlukan berupa keladi

yang berkualitas baik atau tidak mengalami cacat fisik yang didapat dari Desa Daup

Bangli. Keladi dikupas lalu dicuci bersih dan dipotong lalu direndam dalam air selama 1

jam selanjutnya diparut. Keladi yang sudah diparut direndam dalam larutan NaCl pada

suhu 50oC dengan perlakuan konsentrasi (0; 0,15; 0,3; 0,45 dan 0,6 M) dengan

perbandingan 1:1 terhadapp berat keladi dengan lama perendaman 30 menit, selanjutnya

dilakukan ekstraksi dengan menggunakan kain saring dan diperoleh filtrat 1. Ampas

yang diperoleh, kemudian dicampurkan lagi dengan air dengan perbandingan

ampas dan air 1 : 3 dan dilakukan ekstraksi hingga diperoleh filtrat 2. Filtrat 1 dan 2

dicampur. Filtrat yang terbentuk ditambahkan NaOH 0,05 N dan diendapkan selama 12

jam. Air dan endapan kemudian dipisah dan endapan yang diperoleh disebut pati basah.

Pati basah kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pengering selama 24 jam

pada suhu 50ºC, hingga diperoleh pati kering. Pati kering selanjutnya digiling

dan diayak dengan menggunakan ayakan ukuran 100 mesh, dan diperoleh pati

dalam bentuk tepung.. Pati yang diperoleh disimpan dalam wadah yang tertutup rapat.

Tahapan pertama dari penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yng

terdiri dari 5 taraf:

K0 : 0 M

K1 : 0,15 M

K2 : 0,3 M

K3 : 0,45 M

K2 : 0,6 M

Seluruh perlakuan tahap pertama diulang sebanyak tiga kali sehingga diperoleh 15

unit percobaan.. Hasil terbaik dari penelitian tahap pertama digunakan untuk penelitian

tahap kedua. Indikator yang digunakan adalah rendemen pati terbanyak dengan tingkat

kemurnian paling tinggi (kadar pati paling tinggi) serta derajat putih terbaik dan kadar Ca-

oksalat terendah.

31

4.1. Kadar Proksimat Umbi Talas Kimpul

Tabel 3. Kadar Proksimat Umbi talas Kimpul

No Komposisi (%)

1 Kadar Air 66.75

2 Kadar Abu 1.16

3 Kadar Lemak 0.71

4 Kadar Protein 1.93

5 Kadar Karbohidrat 29.84

4.2. Ekstraksi dan Karakterisasi Pati talas Kimpul

4.2.1. Rendemen

Tabel 4. Rendemen Pati talas kimpul yang diberi perlakuan NaCl

No Rendemen (%)

1 P0 15.92 c

2 P1 16.63 bc

3 P2 16.73 bc

4 P3 17.93 a

5 P4 17.43 abKet : Huruf yang sama menunjukkan bahwa volume spesifik tidak berbeda nyata pada tingkat

kepercayaan 95%

4.2.2. Kadar pati

Tabel 5. Kadar Pati talas kimpul yang diberi perlakuan NaCl

No Kadar Pati (%)

1 P0 90.68 d

2 P1 92.32 c

3 P2 93.05 bc

4 P3 93.85 ab

5 P4 94.60 a

32

4.2.3. Kadar Ca-Oksalat

Tabel 6. Kadar Ca Oksalat Pati talas kimpul yang diberi perlakuan NaCl

NoKadar

Ca-Oksalat (%)

1 P0 2.41 e

2 P1 1.41 d

3 P2 1.12 c

4 P3 0.81 b

5 P4 0.58 a

4.2.4. Derajat Putih

Tabel 7. Derajat Putih Pati talas kimpul yang diberi perlakuan NaCl

No DerajatPutih

(%)

1 P0 90.57 a

2 P1 91.17 a

3 P2 90.85 a

4 P3 89.91 ab

5 P4 88.37 b

V. KESIMPULAN SEMENTARA

1. Pada penelitian tahap 1 ini yaitu ekstraksi dan karakterisasi pati talas kimpul didapatkanhasil terbaik adalah P3 (NaCl konsentrasi 0,45 M) dengan Rendemen 17,93%, Kadar Pati93.85%, Kadar Ca-Oksalat 0.81% dan Derajat Putih 89.91%

33

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2014a. Pertanian Bali Kuno.http://mbojo.wordpress.com/2012/04/04/pertanian-pada-masa-bali-kuno. Diakses 27September 2014

Anonimus. 2014b. Budidaya Pertanian. http://warintek.bantul.go.id/we.php?mod=basisdata&kat=1&sub=2&file=191. Diakses 27 September 2014.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of AOAC International. Sixteenth Edition, 5thRevision, 1999. Vol. 2. USA : AOAC Inc.

Ahmad L. 2009. Modifikasi Pati Jagung dan Aplikasinya untuk Perbaikan Kualitas MiJagung. [Tesis] Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bao J dan Bergman CJ. 2004. The Fuctionality of Rise Starch. Di dalam: Elliason AC,editor. Stach in Food: Structure, Fuction and Applications., Cambridge, England:Woodhead Publising, CRC Press.

BeMiller J. dan Whistler R. 2009. Starch : Chemistry and Technology. Food Science andTechnology. International series, Third Edition, USA.

Bradbury HJ dan Holloway WD. 2000. Chemistry of Tropical Root Crops. AustralianCentre for International Agriculture Research, Canberra

Buckle KA. 1985. Kimia pangan. Diterjemahkan oleh Purnomo, H. dan Adiono. UI-Press.Jakarta

Copeland L, Blazek J, Salman H, Tang CM. 2009. Form and functionality of starch..Food Hydrocolloids, 1-8.

Donovan JW, Lorenz K, Kulp K. 1983. Differential scanning calorimetry of heat-moisture treatment wheat and potato starches. Cereal Chem 60: 381-387

Ebihara K, Nakai Y, Kishida T. 2006. Hydroxypropyl-distarch phosphate from potatostarch increases fecal output, but does not reduce zinc, iron, calcium, andmagnesium absorption in rats. J Food Sci 71: S163-S168.

Faridah DN, Rahayu WP, Apriyadi MS. 2013. Modifikasi Pati Garut dengan PerlakuanHidrolisis Asam dan Siklus Pemanasan-Pendinginan untuk Menghasilkn Pti ResistenTipe 3

Giacometti DC dan Leon J. 1994. Tannia, Yautia (Xanthosoma sagittifolium),p 253-258.In J.E. Hernando Bermejo and J. Leon (eds), Neglected Crops: 1492 from DifferentPerspective. FAO, Rome.

Koeswara. 2006. Teknologi Modifikasi Pati. Ebook Pangan

34

Kusumo S, Khasanah M dan Moeljopawiro S. 2002. Panduan karakterisasi dan evaluasiplasma nutfah talas. Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembanganpertanian Komisi Nasional Plasma Nutfah. Jakarta.

Lehman U, jacabasch G, Schmiedi D. 2003. Characterization of Resistant Starch Type IIIfrom Banana (Musa acuminate). J of Agricultural and Food Chemistry 50: 5236-5240

Marinih. 2005. Pembuatan Keripik Kimpul Bumbu Balado dengan tingkat Pedas yangBerbeda. Semarang: Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi, Universitas NegeriSemarang.

Moorthy S. N. 2004. Starch in food Structure, Function and Applications. England :Woodhead Publishing Limited.

Nazrah, Julianti E, Masniary L. 2014. Pengaruh Proses Modifikasi Fisik terhadapKarakteristik Pati dan Produksi Pati Resisten dari Empat Varietas Ubi Kayu(Manihot esculenta). J Rekayasa Pertanian dan Pert. 2(2): 1-9.

Nurhayati, Lkasmi BS, Widowati S dan Kusumaninggrum HD. 2014. Komposisi Kimiadan Kristalinitas Tepung Pisang termodifikasi secara FermentasiSpontan dan SiklusPemanasan Bertekanan-Pendinginan. J Agritech 34(2): 146-150.

Oke. 1966. Chemical Studies on Some Nigerian Vegetables. J Trop Sci 8(3): 128-132

Onwueme IC. 1978. The Tropical Tuber Crops Yams Cassava Sweeet Potato andCocoyam. John Wiley Chichester

Robyt JF 2008. Starch : Structure, Properties, Chemistry and Enzymology.Departement of Biochemistry, Biophysics, and Molecular Biology. Iowa StateUniversity, Ames, USA

Rubatzky VE dan Yamaguchi M. 1998. Sayuran Dunia I: Prinsip, Produksi dan Gizi.Penerjemah: Herison C. Bandung: Penerbit ITB.

Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant Starch- a Review. J Comprehensivereviews in Food Science and Food Safety.

Sandhu KS, Kaur M, Singh N, Lim ST. 2008. A Comparison of Native and OxidizedNormal and Waxy Corn Starches: Physicochemical, Thermal, Morphological andPasting Properties. LWT 41: 1000–1010

Shimelis EA, Rakhsit SK dan Meaza M. 2006.Physicochemical properties,pastingbehavior and functional characteristics of flours and starches from improvedbean (Phaseolus vulgaris L.)Varieties grown in East Africa.Agric Eng Int 8:1-19

Shin S, Byun J, Park KW dan Moon TW. 2004. Effect of Partial Acid and Heat MoistureTreatment of Formation of Resistant Starch. J Cereal Chemistry 81(2): 194-198

Soto dkk. 2004. Resistant Starch Made from Banana Starch by Autoclaving and

35

Debranching. J Starch 56: 495-499.

Sugiono, Pratiwi R, Faridah DN. 2009. Modifikasi Pati Garut (Marantha Arundinaceae)dengan Perlakuan Siklus Pemanasan-Pendinginan (Autoclaving-Cooling Cycling)untuk Menghasilkan Pati Resisten tipe III. J Tek. Industri Pangan XX(1): 17-24.

Suprapta DN, Antara M, Arya M, Sudana M, Duniaji AS, Sudarma M. 2003. PenelitianPeningkatan Kualitas dan Diversifikasi Penggunaaan Umbi-umbian sebagai PanganAlternatif di Bali. Fak.Pertanian Univ. Udayana, Denpasar

Taylor JRN, Schober TJ dan Bean SR. 2006. Novel and non-food uses for sorghum andmillets. Cereal Sci 44: 252-271.

Tester RF dan Morrison WR, 1990. Swelling gelatinization of cereal starches I. effectof amylopectin, amylase and lipids. Cereal Chem 67: 551- 557.

Utami PY. 2009. Peningkatan Mutu Pati Ganyong (Canna edulis Ker) Melalui PerbaikanProses Produksi. Skripsi Fak. Tekn0logi Pertanian IPB, Bogor.

Wiadnyani AAIS. dan Widarta IWR. 2012. Modifikasi Pati Talas dengan Heat MoistureTreatment (HMT) untuk Memperbaiki Karakteristik Starch Noodle (Sohun).Laporan Penelitian Dosen Muda Universitas Udayana. Tidak dipublikasikan.

Widowati S, Waha MG dan Santosa BAS. 1997. Ekstraksi dan karakterisasi sifatfisikokimia dan fungsional pati beberapa varietas talas (Colocasia esculenta (L.)Schott). Prosiding Seminar Teknologi Pangan

Yuliani S. 2009. Reduksi Senyawa Penyebab Rasa Gatal (Oksalat Protease) hingga 90%pada Proses Pembuatan Tepung Talas. Laporan Penelitian Balai Besar Penelitian danPengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.

Yuliwardi F, Syamsira E, Hariyadi P Widowati S. 2014. Pengaruh Sikliu Autoclaving-Cooling terhadap Kadar Pati Resisten Tepung Beras dan Bihun yang Dihasilkan.Artikel Pangan 23(1): 43-52.

Zabar S, Shimoni E and Peled HB. 2008. Development of Nano Structure in ResistantStarch Type III During Thermal Treatments and Cycling. J Macromol Bioscience 8:163-170.

36