Laporan Kasus I_PPT

Embed Size (px)

Citation preview

Oleh :Anggarini Tefbana (05.06.0001)

Pembimbing : dr. Bambang Priyanto, Sp.BS

Nama

Jenis Kelamin Umur Suku

Agama Alamat Tanggal MRS

Tanggal pemeriksaan RM

: Ny. Kinah : Perempuan : 55 Tahun : Sasak : Islam : Gunung Sari : 19 Maret 2012 : 20 Maret 2012 : 02 73 12

Primary Survey Airway : Patensi jalan nafas baik, sumbatan jalan

nafas (-), gargling (-), snoring (-). Breathing : Frekuensi nafas 20x/menit, teratur,

cyanosis (-) Circulation : Tekanan darah 120/70 mmHg. Nadi

96x/menit, akral hangat, capillary refill time < 2 detik Dissability : GCS E3V3M4, Reflex pupil (+/+), Isokor,

Kekuatan motorik ekstremitas atas dan bawah sulit dievaluasi, lateralisasi/hemiparese sinistra.

Anamnesa Keluhan Utama Riwayat Penyakit Sekarang

: Korban KLL : (Alloanamnesis

anak kandung pasien) Pasien diantar oleh orang lain ke UGD RSUP NTB karena tertabrak sepeda motor kira-kira pukul 21.00 WITA. Pasien adalah pejalan kaki yang ingin menyebrang jalan. Saat kejadian pasien langsung pingsan dan kemudian sadar setelah sampai di UGD dan dijahit luka dikepalanya 20 menit. Muntah saat kejadian (-), pasien baru muntah saat sampai di UGD, muntah sebanyak 3 kali, dengan jumlah yang sedikit, berisi makanan, darah (-), muntah tidak menyemprot. Kejang saat kejadian (-). Pasien tidak ingat kejadian yang dialaminya.

Riwayat Penyakit dahulu: Pasien tidak

pernah mengalami keluhan yang serupa sebelumnya. Riwayat tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), stroke (-), penyakit jantung (-). Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat penyakit tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), penyakit jantung (-). Riwayat Pengobatan : Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu.

Pemeriksaan Fisik Status Generalis Keadaan umum Kesadaran GCS Nadi kuat angkat Respirasi Suhu

: Lemah : Mengantuk : E3V3M4 : 96x/menit, irama teratur,

: 20x/menit : 37,1 C

Pemeriksaan Fisik Umum Kepala : Tampak vulnus appertum pada regio temporal sinistra dengan ukuran 1x1 cm, perdarahan (-), deformitas (-). Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+ isokor bentuk regular, Brill hematom (-). Hidung : Deformitas (-), rhinorrhea (-/-) Telinga : Otorrhea -/-, Battle sign (-). Leher : Jejas (-), kaku kuduk (-), pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)

Thorax Inspeksi : Pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, iktus kordis tidak tampak. Palpasi : Pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, nyeri tekan daerah clavicula sinistra, iktus cordis teraba pada ICS V midclavicula line sinistra. Krepitasi (+). Perkusi : Sonor kedua lapang paru Batas jantung kanan : ICS IV-V parasternal line dextra Kiri : ICS V midclavicula line sinistra Atas : ICS II Bawah : ICS V Auskultasi : Cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-) Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen Inspeksi : Distensi (-), massa (-), hematom (-). Auskultasi : Bising usus (+) normal Palpasi : Soepel, defans muskuler (-), nyeri tekan (), massa (-), Hepar, Lien, dan renal tidak teraba. Perkusi : TimpaniExtremitas Akral hangat (+) kedua telapak tangan dan kaki. Edema (-) Tampak vulnus excoriatum pada regio dorsum pedis sinistra dengan ukuran 10x3 cm, luka tampak kering, perdarahan (-) Motorik ektremitas atas dan bawah sulit dievaluasi, lateralisasi/hemiparese sinistra

Resume Perempuan, umur 55 tahun, dibawa ke UGD karena kecelakaan lalu lintas (pejalan kaki ditabrak). Riwayat pingsan (+), muntah (+) sebanyak 3 kali berisi cairan dan makanan. Pasien tidak dapat mengingat kejadian yang dialaminya. Di UGD pasien sempat sadar. Pemeriksaan fisik : keadaan umum lemah, E3V3M4, vital sign dalam batas normal. Pada kepala didapatkan vulnus laseratum pada regio temporal sinistra dengan ukuran 1x1 cm. Luka terjahit rapi, luka tampak bersih, tidak teraba tulang. Thorax : didapatkan nyeri tekan dan krepitasi di daerah clavicula sinistra. Abdomen : didapatkan dalam batas normal. Pada ekstremitas tampak vulnus excoriatum pada regio dorsum pedis sinistra dengan ukuran 10x3 cm, luka tampak kering, perdarahan (-). Kesan : Lateralisasi/hemiparese sinistra Problem list : Trauma, Muntah, Amnesia retrograde, GCS E3V3M4 , Nyeri tekan dan krepitasi pada clavicula sinistra, Vulnus appertum temporalis sinistra, Vulnus excoriatum dorsum pedis sinistra

Diagnosis COS Vomiting Vulnus appertum temporalis sinistra Vulnus excoriatum dorsum pedis sinistra Lateralisasi/Hemiparese sinistra Suspect fraktur 1/3 lateral clavicula sinistraDiagnosis Banding Hematom Epidural Hematom Subdural Hematom Intra Serebral Hematom Sub Arakhnoid

Planning Diagnostik Pemeriksaan darah : Darah rutin (WBC, Hb, HCT, PLT, serum kreatinin), Kimia Klinik : GDS Foto Rontgen Thorax CT-Scan kepala Terapi

O2 masker 8 liter per menit Menurunkan tekanan intra kranial : Mekanik : head up (elevasi kepala) 30-450 Medikamentosa : Manitol 20 % dosis awal : bolus 0,5-1 g/KgBB secara IV, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan : 0,25-0,5 g/KgBB diberikan setiap 4-6 jam

Pasang kateter Cairan : D5 NS, 30-50 cc/KgBB/hari = 30 tetes per menit Pasang NGT, pasien dipuasakan Antikejang : Phenitoin : loading dose : 15 mg/KgBB IV perlahan-lahan, maintenance dose : 5-10 mg/KgBB/hari dalam dosis terbagi 3. Obat pencegah ulkus ventrikuli dan ulkus duodeni seperti antagonist H2 reseptor, Ranitidin dengan dosis 1-2 mg/KgBB/hari terbagi dalam dua dosis. Anti emetik : ondansetron, dengan dosis 0,15 mg/KgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Antibiotik : Ceftriaxon dosis 50-75 mg/KgBB per 12 jam, dan tidak melebihi 4 gram dalam 1 hari. Analgetik : Tramadol. 1,25-2,5 mg/KgBB/hari. Neuroprotektor : Piracetam 3 gr/8 jam (dosis 80 mg/KgBB/kali pemberian)

Monitoring

Keluhan, vital sign (suhu, tekanan darah, nadi, dan respirasi), GCS, produksi urin, status neurologis, luka post KLL. Edukasi

Penjelasan mengenai diagnosis, terapi yang diberikan, tindakan yang akan dilakukan, serta prognosis penyakit pasienPrognosis Dubia ad bonam

Interpretasi : Midline shift tak tampak bergeser Ventrikel tampak normal Tampak gambaran hiperdens bentuk bulan sabit pada daerah temporo-parietal dekstra, tampak gambaran hiperdens intra cerebral dan cysterna Gyrus dan sulcus dalam batas normal Tulang-tulang tampak normal Tampak cephal hematoma temporoparietal dekstra. Kesan : ICH + SDH Temporo-Parietal Dekstra

Cedera Kepala dan Cedera OtakDefinisi

Field (1976) : trauma yang menyebabkan kerusakan otak; Brookes (1990) mendefinisikan setiap cedera pada scalp termasuk pembengkakan, abrasi atau kontusio serta laserasi, atau riwayat benturan kepala, atau setiap pasien dengan foto rontgen kepala menunjukkan trauma dan pasien yang memiliki bukti klinis fraktur basis kranii. Perbedaan cedera kepala dengan cedera otak adalah pada cedera otak adanya defisit neurologis akibat trauma (Bullock R, Reilly P, 2005).

1.

2.

a. b.

Mekanisme trauma kepala dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu beban statik (static loading) dan beban dinamik (dynamic loading). Beban statik timbul perlahan, tekanan yang mengenai kepala secara bertahap, dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik (Satyanegara, 2010). Beban dinamik (dynamic loading) berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (< 200 mili detik). Beban dinamik ini dibagi menjadi dua jenis yaitu beban guncangan (impulsive loading) dan beban benturan (impact loading). Beban guncangan (impulsive loading) bila kepala mengalami kombinasi akselerasi-deselerasi secara mendadak. Beban benturan (impact loading) merupakan kombinasi dari kekuatan beban kontak (contact forces) dan kekuatan beban lanjut (intertial forces). (Satyanegara, 2010).

Proses cedera otak dibagi menjadi : Proses primer, yaitu kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh benturan/proses mekanik yang membentur kepala dan menyebabkan deformasi jaringan. Tahap lanjutan dari kerusakan otak primer disebut dengan tahap sekunder yang timbul karena peningkatan kerusakan jaringan dimana kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur anatomi maupun fungsional dari otak.

Bertambahnya kerusakan sel otak yang terjadi pada cedera otak sekunder terjadi melalui tiga mekanisme yaitu (Retnaningsih, 2008) : Gangguan autoregulasi penurunan aliran darah ke otak kadar oksigen di otak menurun gangguan metabolisme berupa peningkatan asam laktat edema otak. Peningkatan rangsangan simpatis peningkatan tahanan vaskular sistemik dan meningkatnya tekanan darah penurunan tekanan pembuluh darah pulmonal sehingga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik yang memicu terjadinya kebocoran cairan kapiler edema paru cardiac output menurun dan timbul gangguan perfusi jaringan, terhambatnya difusi oksigen yang dikompensasi oleh tubuh dan memberi gambaran klinis berupa perubahan pola pernafasan. Respon stres peningkatan katekolamin, dan sekresi asam lambung sehingga timbul mual, dan muntah asupan nutrisi pada pasien berkurang.

Cedera otak dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi (Arif M, 2000) 1. Mekanisme Cedera Otak : cedera tumpul dan cedera tembus. 2. Beratnya Cedera Otak : Berdasarkan GCS, ringan : 13-15, sedang : 9-12, berat : 3-8 3. Morfologi, dibagi menjadi 2 yaitu fraktur tengkorak dan lesi intrakranial.

Ditentukan oleh derajat cedera dan lokalisasinya. Lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinis (Syamsuhidajat, 2004).

Prinsip

penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam survey primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Tujuan utama penatalaksanaan perawatan intensif pada cedera otak adalah mencegah kerusakan ataupun cedera sekunder pada otak yang sudah tercederai (Felice, 2010).

Survei primer : Airway : Pengamatan patensi jalan nafas. Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan. Breathing : Pengamatan terhadap frekuensi nafas, gerak dada, ada tidaknya sianosis. Circulation : Perhatian terhadap nadi, warna kulit, capillary refill time, dan tekanan darah. Dissability : Penilaian GCS, reflex pupil, kekuatan motorik ekstremitas atas dan bawah. Exposure : Pengamatan dan mencari tempattempat perdarahan.

Survei sekunder (Satyanegara, 2010) : Breathing. Perhatian mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Blood. Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboraturium (Hb, leukosit). Brain. Ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik, dan verbal (GCS). Bladder. Kandung kemih perlu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan peningkatan tekanan intrakranial. Bowel. Seperti halnya di atas, bahwa usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan tekanan intrakranial. Bone. Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan infeksi sekunder.

Pengobatan medikamentosa : Pencegahan tekanan tinggi intrakranial (Iskandar, 2004; Felice, 2010) Menghindari terjadinya hiperkapnea. Hindarkan pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian steroid terutama metylprednisolon dapat menghambat pembentukan membran yang permeabel terhadap protein dan mengurangi ukuran hematom (Plaha, 2008). Penelitian terakhir menunjukkan steroid tidak bermanfaat (Felice, 2010). Manuver head up (elevasi kepala 30-450). Diuretik osmosis (manitol). Dengan konsentrasi carian 20 % dengan dosis 0,5-1 gr/KgBB diberikan secara bolus IV, dan dilanjutkan dengan maintenance dose 0,25-0,5 gr/KgBB. Loop diuretik (furosemid) menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal.

Pemberian obat anti kejang. Dapat diberikan pilihan golongan obat anti kejang antara lain : Golongan barbiturat (phenobarbital) dosis loading dose 15-20 mg/KgBB. Maintenance dose 5-10 mg/KgBB/hari. Golongan hidantoin (phenitoin) dosis 15 mg/KgBB. Kemudian maintenance dose 5-10 mg/KgBB/hari. Golongan benzodiasepin (diazepam ) dosis 0,15 mg/KgBB/hari. Golongan trisiklik (carbamazepin) dosis 10-20 mg/KgBB/hari. Golongan asam karboksilat (asam valproat) dosis 20-40 mg/KgBB/hari terbagi dalam dua sampai tiga dosis (Satyanegara, 2010).

Obat pencegah ulkus ventrikuli atau ulkus duodeni dapat diberikan pilihan golongan : Antagonis reseptor H2 (ranitidin) dosis 1-2 mg/KgBB/hari terbagi dalam dua dosis. Proton pump inhibitor (omeperazol) dosis 0,4 mg/KgBB/hari (Satyanegara, 2010). Obat antiemetik dapat diberikan pilihan golongan : Antagonis reseptor H3 (ondansetron) dosis 0,15 mg/KgBB terbagi dalam tiga dosis. Antagonis reseptor H1 (difenhidramin) dosis 0,5 mg/KgBB/kali pemberian, dapat diberikan tiga kali dalam sehari (Satyanegara, 2010).

Penggunaan antibiotika. Mencakup tujuan : pengobatan terhadap infeksi dan profilaksis. Pengobatan profilaksis harus memperhatikan : antibiotika yang diberikan sudah harus berada di jarngan pada saat operasi dimulai; jika operasi berlangsung lama pemberian dapat diulang; sebaiknya menggunakan antibiotik yang berspektrum luas. Dapat diberikan Ampisilin (3 gram/6 jam IV), kloramfenikol 1 gr/6 jam IV), sefotaksim 2 gr/4 jam IV), gentamisin (1,7 mg/KgBB/8 jam IV), kanamisin (7,5 mg/KgBB/12 jam IV), amikasin (7,5 mg/KgBB/12 jam IV), vancomisin (1 gr/12 jam IV), sefazolin (2 gr/6 jam IV), seftazidim (2 gr/6 jam IV), seftriakson 2 gr/12 jam IV), metronidazol (30 mg/KgBB/hari IV dosis terbagi 2-4 kali sehari) (Iskandar, 2002).

Penggunaan analgetika. Dapat diberikan pilihan golongan analgetika : Paracetamol dengan dosis 10-15 mg/KgBB/kali pemberian. Ibuprofen dengan dosis 5-10 mg/KgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Metampiron dengan dosis 20-30 mg/KgBB/hari terbagi dalam tiga sampai empat dosis. Ketorolak dengan dosis 0,5 mg/KgBB/hari terbagi dalam tiga dosis Tramadol dengan dosis 1,25-2,5 mg/KgBB/hari. Codein dengan dosis 1 mg/KgBB/hari (Satyanegara, 2010).

Hematom subdural adalah terkumpulnya darah diruang subdural (diantara lapisan meningeal dan arakhnoid). Hematom subdural akut bila gejala timbul hari pertama sampai hari ketiga. Sub akut bila timbul antara hari ketiga sampai minggu ke tiga, dan kronis terjadi lebih dari 3 minggu secara perlahan dan progresif (Sjamsuhidajat, 2004). Etiologi hematom subdural akut disebabkan oleh akumulasi darah akibat laserasi parenkim otak atau akibat robeknya pembuluh darah superficial atau bridging vein yang mengalami akselerasi dan deselerasi saat terjadi pergerakan kepala (Tobing, 2011).

Gejala klinis hematom subdural disebabkan karena laserasi parenkim otak, maka hampir tidak ditemukan lucid interval dan defisit neurologis fokal akan ditemukan belakangan kurang terlihat dibandingkan dengan hematom epidural. Namun jika hematom subdural disebabkan oleh robeknya bridging vein maka kerusakan otak akan lebih berat dan lucid interval akan disertai dengan perburukan keadaan yang cepat (Tobing, 2011). Hematom subdural akut berkaitan dengan letargi progresif, confuse, dan defisit neurologi fokal yang tampak setelah beberapa hari, dan dapat menghilang setelah pengangkatan hematom. Hematom subdural kronis biasanya timbul akibat robekan bridging vein karena cedera kepala minor dan sering kali tidak diketahui. Hematom ini paling umum ditemukan pada pasien lanjut usia dengan atrofi otak atau pada bayi (Schwartz, 2000).

Dari hasil CT-scan kepala, ditemukan gambaran hiperdens berbentuk bulan sabit atau kresentik yang menyelimuti permukaan otak dapat menyebrang sutura dan terdapat di falx dan tentorium tetapi tidak melekat pada dura (Tobing, 2011). Hematom subdural yang akut akan berbentuk sebagai bulan sabit dan batasnya berliku-liku, sedangkan hematom subdural yang kronis luput dikenal. Densitas gambaran CT-scan hematom subdural berubah sesuai dengan perkembangan hematom. Terdapat tiga fase hematom subdural pada gambaran CT-scan, yaitu (Plaha, 2008) : Hiperdens pada fase akut Isodens pada fase subakut Hipodens pada fase kronik

Tata

laksana operasi diindikasikan pada hematom subdural simpatomatik yang lesinya lebih dari 1 cm ketebalan atau pergeseran garis tengah > 0,5 cm (Tobing, 2011). Terapi operatif dalam penatalaksanaan hematom subdural kronis terdiri atas burrhole drainage, twist drill drainage, dan craniotomy. Pasien dengan subdural hematom yang dioperasi dalam waktu 4 jam sejak trauma dan dengan GCS 4 cm memiliki prognosis yang lebih baik (Tobing, 2011). Gambaran CT-scan hematom subdural yang isodens memberikan prognosis yang positif, sedangkan gambaran hipodens memberikan prognosis yang negatif (Karnath, 2004).

Hematom intraserebral adalah perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat di dalam parenkim otak (Tobing, 2011). Terbanyak pada lobus temporalis, selain itu bisa pula pada lobus frontalis dan parietalis, kadang-kadang pada serebellum (Wells, 2002). Gejala yang ditimbulkan oleh hematom intraserebral antara lain penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan CT-Scan kepala hematom intra serebral dapat memberikan gambaran antara lain satu atau lebih hematom yang terlokalisir dan kadang-kadang terletak pada lokasi yang dalam. Selain itu juga dapat ditemukan edema pada area disekeliling hematom. Jika pada CT-Scan pertama tidak ditemukan maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT-Scan kepala follow up untuk mendeteksi delayed hematom intra serebral (Tobing, 2011).

Berdasarkan

hasil pemeriksaan CT-Scan kepala, Fukamachi dkk, 1985 membagi hematom intra serebral atas : Tipe 1, hematom sudah terlihat pada awal CT Scan Tipe 2, hematom berukuran kecil sampai sedang pada awal CT Scan kemudian membesar pada CT Scan selanjutnya Tipe 3, hematom terbentuk pada daerah yang normal pada CT Scan awal Tipe 4, hematom berkembang pada daerah abnormal sejak awal (salt and pepper) (Iskandar, 2004).

Tatalaksana

hematom intra serebral dapat berupa konservatif atau operatif. Tindakan operasi. Harus memenuhi indikasi sederhana tindakan operasi yaitu lesi massa intra atau ekstra aksial yang menyebabkan pergeseran garis tengah yang melebihi 5 mm (Satyanegara, 2010). Apabila hipertensi intrakranial menetap meskipun dengan terapi medis, kraniektomi dekomprensif merupakan pilihan bedah untuk kondisi membengkaknya otak. Prosedur ini dilakukan dalam 49 jam pertama dari cedera awal (Felice, 2010).

Arief, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ke-3 jilid 2. Jakarta : Media Asesculapis. Bullock R, Reilly P. 2005. Head Injury Pathophysiology and management 2nd edition. New York : Oxford University Press. Felice Su, MD, FAAP; Chief Editor; Timothy E Corden, MD. Last Update : Jul 16, 2010. Neurointensive Care for Traumatic Brain Injury in Children. Available from http://emedicine.medscape.com. Iskandar Japardi, 2004. Memahami Aspek-Aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. Marjono M, Sidharta P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : PT Dian Rakyat Retnaningsih, 2008. Neurologi update 2008 : Cedera Kepala Traumatik. Semarang : FK Undip. Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Schwartz S. I. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Jakatra : EGC Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakatra : EGC. Tobing Haif, 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Jakarta : Sagung Seto.