43
Laporan Kasus PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM PADA PERITONITIS GENERALISATA ET CAUSA SUSPECT PERFORASI GASTER Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pembimbing : dr. Damai Suri, Sp. An Oleh : Pramaswida Mahastry Adhita S,Ked. J 500060017 Jalu Seantero, S.Ked J 500 06 0037 Fifi Ratna Dewi S,Ked J 500 060 0052 KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

Laporan Kasus

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Kasus

Laporan Kasus

PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM PADA PERITONITIS GENERALISATA ET CAUSA SUSPECT PERFORASI GASTER

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing : dr. Damai Suri, Sp. An

Oleh :

Pramaswida Mahastry Adhita S,Ked. J 500060017

Jalu Seantero, S.Ked J 500 06 0037

Fifi Ratna Dewi S,Ked J 500 060 0052

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2012

Page 2: Laporan Kasus

Laporan Kasus

PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM PADA PERITONITIS GENERALISATA ET CAUSA SUSPECT PERFORASI GASTER

Yang Diajukan Oleh :

Pramaswida Mahastry Adhita S,Ked. J 500 06 0017

Jalu Seantero, S.Ked J 500 06 0037

Fifi Ratna Dewi S,Ked J 500 060 0052

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas

Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pada Hari , Tanggal

Pembimbing :

dr. Damai Suri, Sp. An (……………………………...)

Dipresentasikan dihadapan :

dr. Damai Suri, Sp. An (……………………………...)

Disahkan KaProdi Profesi FK UMS :

dr. Hj. Yuni Prastyo K, M.MKes (……………………………....)

Page 3: Laporan Kasus

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kemajuan ilmu kedokteran dewasa ini khususnya bidang pembedahan

tidak terlepas dari peran dan dukungan kemajuan bidang anestesiologi.

Dokter spesialis bedah sehari-hari sekarang dapat melakukan pembedahan

yang luas dan rumit pada bayi baru lahir sampai orang tua dengan kelainan

yang berat, melakukan pembedahan jantung, transplantasi berbagai organ

tubuh, yang berlangsung berjam-jam dengan aman tanpa rasa sakit

sedikitpun adalah akibat dukungan tindakan anestesi yang canggih.

Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan

penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar,

pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri

menahun.Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal,

yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya

kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang

reversible yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit

pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi ( 70-75 %) dilakukan dengan

anestesi umum, lainnya dengan anestesi lokal / regional.

Dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa

tahap yang harus dilaksanakan yaitu tahap pra anestesi, tahap

penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan, serta tahap pemulihan dan

perawatan pasca anestesi.Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan

yang sangat menentukan keberhasilan suatu anestesi. Hal yang penting

dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien, yang meliputi riwayat

penyakit pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan

teknik, obat-obat, dan macam anestesi yang digunakan, (3) memperkirakan

kemungkinan-kemungkinan yang timbul pada waktu pelaksanaan anestesi

dan komplikasi yang timbul pasca anestesi.

Page 4: Laporan Kasus

Tahap pelaksanaan anestesi meliputi premedikasi, induksi, dan

pemeliharaan. Obat-obat yang diberikan dapat berupa obat inhalasi atau

intravena, sampai stadium anestesi dikehendaki. Perlunya pemantauan

pada tahap ini yaitu pernafasan, sirkulasi, dan kedalaman anestesi,

dilakukan secara berkala dan terus- menerus untuk menghindari penyulit

atau komplikasi yang dapat terjadi. Pada tahap pemulihan, pengawasan

ketat masih harus dilakukan, sampai penderita benar-benar pulih dan

cukup stabil untuk dipindah ke bangsal

Hampir semua kelainan abdomen yang bersifat akut

memerlukan pembedahan sebagai upaya untuk diagnosis dan terapi. Pada

kasus ini diperlukantindakan laparatomi explorasi mengingat dari temuan

pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler, nyeri tekan yang meluas,

distensi perut, lekositosisyang mendukung ke arah peritonitis generalisata.

Pada setiap upaya pembedahandiperlukan anestesi sebagai upaya untuk

menghilangkan nyeri. Untuk melakukananestesi dengan aman salah satu

persyaratan yang harus dipenuhi adalahmengetahui kasiat, efek samping

dan cara kerja obat anestesi.Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah

anestesi umum yaituhilangnya rasa sakit di seluruh tubuh disertai hilangnya

kesadaran yang bersifatsementara dan reversible yang diakibatkan oleh obat

anestesi. Dalam memberikanobat – obat pada penderita yang akan

menjalani operasi maka perlu diperhatikantujuannya yaitu sebagai

premedikasi, induksi, maintenance dan lain – lain

B. TUJUAN PENULISAN

Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk memahami tindakan anestesi

yang dilakukan pada pasien dengan diagnosa peritoneum generalisata,

sehingga dapat dipahami dan dipelajari berdasarkan tata cara tindakan

anestesi secara prosedural serta dapat dipahami kemungkinan

komplikasinya yang ditimbulkan.

Page 5: Laporan Kasus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERITONITIS GENERALISATA

Hampir semua kelainan abdomen yang bersifat akut memerlukan

pembedahan sebagai upaya untuk diagnosis dan terapi. Pada kasus ini

diperlukan

tindakan laparatomi explorasi mengingat dari temuan pemeriksaan fisik

didapatkan defans muskuler, nyeri tekan yang meluas, distensi perut, lekositosis

yang mendukung ke arah peritonitis generalisata. Pada setiap upaya

pembedahan diperlukan anestesi sebagai upaya untuk menghilangkan nyeri.

Untuk melakukan anestesi dengan aman salah satu persyaratan yang harus

dipenuhi adalah mengetahui kasiat, efek samping dan cara kerja obat anestesi.

Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum yaitu

hilangnya rasa sakit di seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat

sementara dan reversible yang diakibatkan oleh obat anestesi. Dalam

memberikan obat – obat pada penderita yang akan menjalani operasi maka

perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance

dan lain – lain.

B. ANESTESI UMUM

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali ( reversible ). Komponen

anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Pada kasus

ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum. Tanda-tanda klinis

anesthesia umum (menggunakan zat anestesi yang mudah menguap, terutama

diethyleter) menurut Guedel, dengan teknik open drop:

- Stadium I : analgesia dari mulanya induksi anestesi hingga hilangnya

kesadaran. Rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya

pembedahan kecil yang dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini

berakhir ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata.

Page 6: Laporan Kasus

- Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya

respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.

- Stadium III : stadium pembedahan, dari mulai respirasi teratur hingga

berhentinya respirasi. Dibagi 4 plane yaitu :

Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur

thoracoabdominal, anak mata terfiksasi kadang – kadang

eksentrik, pupil miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi

meningkat, reflek faring dan muntah negative, tonus otot

mulai menurun.

Plane 2 : ventilasi teratur. Abdominothoracal, volume tidal

menurun, frekuensi nafas meningkat, anakmata terfiksasi di

tengah, pupil mulai midriasis, reflek cahaya mulai menurun

dan reflek kornea negative.

Plane 3 : ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena

terjadi kelumpuhan saraf interkostal, lakrimasi tidak ada,

pupil melebar dan sentral, reflek laring dan peritoneum

negative, tonus otot makin menurun.

Plane 4 : ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena

otot diafragma lumpuh yang makin nyata pada akhir plana,

tonus otot sangat menurun, pupil midriasis dan reflek

sfingter ani dan kelenjsar air mata negative.

- Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralisis diafragma hingga cardiac

arrest.

1) PERSIAPAN PRA ANESTESI

Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan

pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan

tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:

a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal dengan

melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan

pemeriksaan lain.

Page 7: Laporan Kasus

b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang

sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.

c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society

Anesthesiology)

- ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan

faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%

- ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang

sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka

mortalitas 16%

- ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian /

live style terbatas. Angka mortalitas 38%

- ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,

tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,

angina menetap. Angka mortalitas 68%

- ASA V pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir

tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi /

dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E.

2) PREMEDIKASI ANESTESI

Dewasa ini dengan kemajuan teknik anestesi, tujuan premedikasi

bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah

obatobatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien

sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah pemberian obat

sebelum anestesi.

Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :

1. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

2. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

3. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

4. memberikan analgesia, misal pethidin

5. mencegah muntah, misal : droperidol

6. memperlancar induksi, misal : pethidin

Page 8: Laporan Kasus

7. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

8. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.

1. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin

dan hiosin

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien

yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka

pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan

mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,

riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,

riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya

anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang

akan digunakan.

Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai

obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:

1. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.

2. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam dan

midazolam.

3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.

4. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.

5. Antihistamin, misal prometazine.

6. Antasida, misal gelusil.

7. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine.

Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam

pemakaian sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapatkan

hasil yang diinginkan, misalnya kombinasi narkotik, benzodiazepin, dan

antikolinergik.

Obat yang digunakan :

Sedacum adalah preparat transquilizer dari jenis midazolam. Selain

sebagai premedikasi, midazolam juga dapat dihunakan dalam induksi

maupun pemeliharaan anestesi umum. Keuntungan dari penggunaan

midazolam ini antara lain dapat menghilangkan halusinasi akibat penggunaan

Page 9: Laporan Kasus

ketamin serta dapat mengendalikan kejang. Obat ini digunakan tanpa

pengenceran, dapat diberikan secara intravena, dengan dosis 0,07-0,1

mg/kgBB.

Ecron merupakan preparat muscle relaxant atau obat pelumpuh otot,

dari jenis succinil cholin tipe ultrashort acting. Preparat ini wajib digunakan

untuk melemahkan otot-otot pada jalan nafas sehingga memudahkan saat

pemasangan alat bantu dalam mempertahankan jalan nafas (dalam kasus ini,

nasal endotracheal tube) atau pada operasi perut sehingga organ abdominal

tidak keluar dan terjadi relaksasi. Obat ini digunakan tanpa pengenceran,

dapat diberikan secara intravena, dengan dosis 1-2 mg/kgBB.

3) INDUKSI

DI-ISOPROPYL PHENOL ( PROPOFOL, DIPRIVAN )

Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10%

minyak kedelai, 2,25% gliserol, dan 1,2 % phosphatide telur. Pemberian

intravena propofol (2 mg/kg BB) menginduksi anestesi secara cepat seperti

tiopental. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang

disertai dengan phlebitis atau trombosis. Propofol tidak menimbulkan aritmia

atau iskemik otot jantung. Sesudah pemberian Propofol IV terjadi depresi

pernapaasan sampai apnea selama 30 detik. Hal ini diperkuat dengan

premedikasi dengan opiat.

Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,

metabolisme otak dan tekanan intrakanial akan menurun. Tak jelas adanya

interaksi dengan obat pelemas otot. Keuntungan Propofol karena bekerja lebih

cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal. Terjadi mual,

muntah dan sakit kepala mirip dengan thiopental. Cepatnya induksi dan

pemulihan dari anestesi berguna dalam pasien rawat jalan yang memerlukan

prosedur yang cepat dan singkat.

Sediaan : dalam ampul, 200mg/20cc

Dosis : 1,5-2,5 mg/kg BB

Pemberian : IV

Page 10: Laporan Kasus

4) PEMELIHARAAN

Obat anestesi maintenance yang digunakan dalam kasus ini adalah:

a. Halothane

Merupakan cairan yang tidak berwarna, berbau enak serta tidak

merangsang / iritasi, mudah menguap (volatile), tidak mudah meledak atau

terbakar, tidak bereaksi dengan soda lime absorber, mudah diuraikan oleh

cahaya karena itu harus disimpan dalam botol berwarna gelap (ambard).

Merupakan obat anestesia yang potent, kekuatan 4-5 kali eter atau 2 kali

kloroform. Overdosis relatif mudah terjadi dengan gejala kegagalan pernafasan

dan sirkulasi yang dapat menyebabkan kematian. Efek terhadap SSP sama

dengan obat anestesia lain pada umumnya yaitu mendepresi kortek serebral

dan medulla. Pengaruhnya terhadap kardiovaskular adalah vasodilatasi yang

menimbulkan hipotensi dan bradikardi. Uap halothane tidak menimbulkan iritasi

pada saluran pernafasan karenanya induksi mudah dicapai tanpa batuk-batuk

atau eksitasi. Halothane mendepresi pernafasan yang pada tingkat permulaan

menyebabkan pernafasan lebih cepat (takipnu) dan dangkal, dan pada stadium

lebih dalam dapat timbul gagal nafas (henti nafas). Halothane juga mempunyai

efek relaksasi yang moderat terhadap

sistem otot.

Dosis : dosis induksi 2-4%, dosis pemeliharaan 0,5-2%

Pemberian : inhalasi

b. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,

tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak

bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi

yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena

gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot,

oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat

relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas

terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak

oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan

Page 11: Laporan Kasus

pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.

Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah

sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.

OBAT PELUMPUH OTOT

Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga

menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya,

obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi

resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau

nondepolarisasi , misal kurarin.

Dalam anestesi umum , obat ini memudahkan dan menguragi cedera

tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang

dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.2 golongan obat pelumpuh

otot yaitu :

a. Depolarisasi.

- Ada fasikulasi otot

- Berpotensiasi dengan antikolinesterase

- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada

perangsangantunggal atau tetanik

- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik

- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh

otot non depolarisasi dan asidosis

Contoh: suksametonium (suksinil kolin)

b. Non depolarisasi

- Tidak ada fasikulasi otot

- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik

inhalasi, eter, halothane, enfluran, isoflurane

- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan

tunggal atau tetanik

- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase

Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium

Page 12: Laporan Kasus

bromida), norkuron (pankuronium bromida), esmeron

(rokuronium bromida).

5) INTUBASI TRAKEA

Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan

nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.sedangkan

ekstubasi trakea adalah tindakan pengeluaran pipa endotrakeal. Intubasi trakea

bertujuan untuk :

1. Mempermudah pemberian anestesi.

2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.

3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.

5. Pemakaian ventilasi yang lama.

6. Mengatasi obstruksi laring akut.

Indikasi intubasi trakea adalah: tindakan resusitasi, tindakan

anestesi,pemeliharaan jalan nafas, dan pemberian ventilasi mekanis jangka

panjang. Komplikasi tindakan intubasi trakea dapat terjadi saat dilakukannya

tindakan laringoskopi dan intubasi, selama pipa endotrakeal dimasukkan, dan

setelah ekstubasi

6) TERAPI CAIRAN

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati

jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan

untuk :

1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama

operasi.

2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang

diberikan, misalnya terapi dengan menggunakan diuretic.

Pemberian cairan operasi dibagi :

1. Pra operasi

Dapat terjadi defisit cairan karena pemasukan kurang, puasa, muntah,

penghisapan isi lambung, adanya fistula enterokutan, penumpukan cairan pada

Page 13: Laporan Kasus

ruang ketiga (ruang ekstra sel yang tidak berfungsi), seperti pada ileus obstriktif,

peritonitis.

Defisit cairan ekstra sel yang terjadi dapat diduga dengan berat

ringannya dehidrasi yang terjadi. Dehidrasi ringan ( defisit cairan ekstrasel sesuai

dengan 4% dari berat badan ), dehidrasi sedang ( defisit cairan ekstrasel sesuai

dengan 6% dari berat badan ), dan dehidrasi berat ( defisit cairan ekstrasel

sesuai dengan 8% dari berat badan ).

Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam.

Setiap kenaikan suhu 1 0 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15%. Cairan

yang diberikan bisa berupa cairan elektrolit (ringer laktat, NaCl 0,9%), kalau

perlu diberikan cairan koloid. Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan

kardiovaskuler, tanda rehidrasi telah tercapai ialah dengan adanya produksi urin

0,5-1 ml/kg BB/ jam.

2.Selama operasi

Pada pemberian cairan selama pembedahan, harus diperhatikan hal-hal

sebagai berikut:

- Kekurangan cairan pra bedah

- Kebutuhan untuk pemeliharaan

- Bertambahnya “insensible loss karena suhu kamar bedah

yang tinggi, dan hiperventilasi.

- Terjadinya translokasi cairan pada daerah operasi ke dalam

ruang ketiga.

- Terjadinya perdarahan.

Defisit cairan karena puasa, 50% nya diberikan pada jam I, 25% nya pada

jam kedua, dan 25% nya lagi pada jam ketiga. Cairan yang diberikan ringer

laktat dalam dekstrose 5%, atau ringer laktat.

Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :

- Ringan= 4 ml/kgBB/jam.

- Sedang= 6 ml / kgBB/jam

- Berat = 8 ml / kgBB/jam.

Page 14: Laporan Kasus

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari

10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume

darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat

dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran / darah dengan dosis 1-2

kali darah yang hilang.

3. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan

selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

7) PEMULIHAN

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan

anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu

ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Pasien yang dikelola adalah

pasien pasca anestasi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar

dimonitor jalan nafasnya apakah bebas ataukah tidak, ventilasinya cukup atau

tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain obstruksi jalan nafas

karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena spasme laring, pasca bedah dini

juga dapat terjadi muntah yang dapat menyebabkan aspirasi. Monitor

kesadaran

merupakan hal yang penting karena selama pasien belum sadar dapat terjadi

gangguan jalan nafas. Sadar yang berkepanjangan adalah akibat dari pengaruh

sisa obat anestesi, hipotermi, atau hipoksia, dan hiperkarbi. Hipoksia dan

hiperkarbi terjadi pada pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi.

Menggigil yang terjadi pasca bedah adalah akibat efek vasodilatasi obat

anestesi. Menggigil akan menambah beban jantung dan sangat berbahaya pada

pasien

dangan penyakit jantung.

Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan

ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian

pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang

disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

Page 15: Laporan Kasus

BAB III

ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS - Nama pasien : Tn. S

- Umur : 52 tahun

- Jenis kelamin : Laki – laki

- Alamat : Kebakkramat, Karanganyar

- Agama : Islam

- Tanggal masuk RS ` : 6 September 2012

- No. rekam medik : 25.16.90

- Diagnosa Preoperatif : Peritonitis Generalisata

- Diagnosa Postoperatif :Peritonitis Generalisata et causa

Perforasi gaster

- Macam Operasi : Laparatomi eksplorasi

- Macam Anestesi : General anestesi (Anestesi umum)

B. ANAMNESIS

Dilakukan pada pasien (autoananmnesis) di bangsal Kanthil RSUD Kabupaten

Karanganyar pada tanggal 7 September 2012

1. Keluhan Utama : Nyeri perut

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien pria usia 52 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut

sejak 3 hari SMRS. Nyeri perut dirasakan semakin berat.Awalnya

nyeri hanya dirasakan di daerah perut kanan bawah, tetapi dalam

dua hari terakhir nyeri dirasakan di hampir seluruh bagian perut.

Selain itu pasien mengeluh perutnya kembung, smual, muntah 2 kali

saat sebelum masuk RS, nafsu makan menurun, pasien demam,

susah kentut dan susah BAB. Selain itu pasien tidak ada keluhan lain.

Pasien menyangkal adanya penyakit hipertensi, DM, asma, penyakit

Page 16: Laporan Kasus

jantung, ginjal, dan hati.Sebelumnya pasien belum pernah operasi

dan mendapat pembiusan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat sakit jantung : disangkal

Riwayat penyakit hati : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat kejang : disangkal

Riwayat penyakit serupa : disangkal

4. Riwayat Keluarga

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat sakit jantung : disangkal

Riwayat penyakit hati : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat kejang : disangkal

Riwayat penyakit serupa : disangkal

5. Anamnesis Sistemik

Sistem serebrospinal : lemas(-), penurunan kesadaran(-),

pusing (-)

Sistem kardiovaskuler : anemis (-), akral hangat (+), sianosis(-)

Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), mengi (-),

nafas cuping hidung(-)

Sistem genitourinarius : BAK (+) normal

Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (+), nyeri telan (-),

kembung (+), nafsu makan menurun

(+), susah BAB (+), susah kentut (+).

Sistem musculoskeletal : edema tungkai(-/-), kaku pada

extremitas(-/-), nyeri sendi/tulang(-)

Page 17: Laporan Kasus

Sistem integumentum : memar(-), lecet(-), ruam/bintik kemerahan (-)

6. Resume Anamnesis

Pasien pria, 52 tahun, nyeri perut sejak 3 hari SMRS, memberat.

Terasa nyeri seluruh bagian perut dalam 2 hari terakhir. Perut

kembung (+) mual, muntah 2 kali SMRS, nafsu makan turun, pasien

demam, susah kentut (+), dan susah BAB. Tidak ada riwayat

hipertensi, DM, asma, penyakit jantung, ginjal, dan hepar.

Pasienbelum pernah operasi dan di anestesi.

Padaanamnesissistem didapatkan kelainan pada sistem

gastrointestinal berupamual, muntah, kembung, nafsu makan

menurun, susah BAB, susah kentut.

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

Keadaan Umum : Lemah

Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6

Vital Sign :

a. Tekanan darah : 113/69 mmHg

b. Nadi : 88 x/menit

c. RR : 20 x/menit

d. Suhu :37,60C

2. Status Lokalis

a. Kepala : Normocephal, deformitas (-)

b. Mata:Konjungtiva anemis (-/-),Edema palpebra (-/-),

sklera ikterik (-/-),

c. Telinga : Bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-),

bengkak (-), hiperemis (-), sekret (-)

d. Hidung:Deformitas(-),sekret(-), edema(-), deviasi septum(-)

e. Mulut : Bibir kering, lidah kotor (-)

f. Tenggorokan :Pembesaran tonsil (-) T1-T1, tonsil

hiperemis (-), pelebaran kripte (+), uvula sentral.

Page 18: Laporan Kasus

g. Leher :pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)

h. Thoraks : simetris

Cor Hasil Pemeriksaan

Inspeksi Ictus cordis tidak tampak

Palpasi Ictus cordis pada SIC VI linea midclavicularis sin

Perkusi Batas kanan atas : SIC II, linea parasternalis dex

Batas kanan bawah : SIC IV, linea parasternalis dex

Batas kiri atas : SIC II, linea parasternalis sin

Batas kiri bawah : SIC V, linea midclavicula sin

Auskultasi Bunyi jantung I-II intensitas regular, bising (-)

Pulmo Depan Belakang

Inspeksi Simetris,

Ketinggalan gerak (-)

Retraksi intercostae (-)

Simetris,

Ketinggalan gerak (-)

Retraksi intercostae (-)

Palpasi Gerak dada simetris

Fremitus normal

Gerak dada simetris

Fremitus normal

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi SDV (+/+)

Wh (-/-),

Rh kering (-/-)

SDV (+/+)

Wh (-/-),

Rh kering (-/-)

i. Abdomen :

Abdomen Hasil pemeriksaan

Inspeksi Permukaan perut lebih tinggi dengan permukaan dada, distended (+), darm contour (-), darm steifung (-)

Auskultasi Peristaltik (+) ↓ , metallic sound (-),

Palpasi Nyeri tekan (+) seluruh lapang perut, defans muskuler (+), hepar dan lien tak teraba

Perkusi Hipertympani (+) seluruh lapang perut

Page 19: Laporan Kasus

j. Ekstremitas :

Supor dextra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)

Supor sinistra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)

Infor dextra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)

Infor sinistra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)

3. Status Gizi

BB : 68 kg

TB : 168 cm BMI : 24,9 kg/m2

Kesan :Tubuh ideal

4. Resume Pemeriksaan Fisik

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien

cukup, tekanan darah 113/69 mmHg, nadi 88x/menit, respirasi

18x/menit, suhu37,60C, pasien tampak lemah. Pada pemeriksaan

inspeksi abdomen didapatkan Permukaan perut lebih tinggi dengan

permukaan dada, perut tampak distended. Pada auskultasi abdomen

didapatkan peristaltik menurun dan pada perkusi abdomen

didapatkan hipertimpani pada seluruh lapang perut. Pada palpasi

terdapat nyeri tekan (+) seluruh lapang perut dan defans muskular

positif.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium darah rutin tanggal 7 September 2012

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hb 11,6 gr/dL 13,0-16,0gr/dL

Eritrosit 4,41µL 4,5-5,5µL

Hct 34,1% 40-48 %

Index eritrosit :

MCV

MCH

77,3fL

26,3pg

82-92 fL

27-31 pg

Page 20: Laporan Kasus

MCHC 34,0gr/dL 33-36 gr/dL

Leukosit 16,2µL 5,0-10,0µL

Trombosit 388 µL 150-450 µL

Golongan Darah A

Netrofil segmen 50,3% 50-70 %

Limfosit 7,8 % 20-40 %

Monosit 6,3 % 2-8 %

Clotting time 04.30 menit 2-8 menit

Bleeding time 01.30 menit 1-3 menit

2. Pemeriksaan imunologi tanggal 7 September 2012

Pemeriksaan Hasil

HBsAg -

3. Rontgen thorax 6 September 2012

Hasil Pemeriksaan :

Cor :Suspek cardiomegali

Pulmo :suspek TB paru infiltrat

E. DIAGNOSIS KERJA

Peritonitis generalisata

F. STATUS ANASTESI

GA ASA III

G. PENATALAKSANAAN

Tindakan operatif laparotomi

H. PERENCANAAN ANESTESI

Persiapan pada hari operasi, pasien telah dipuasakan selama ± 8 jam

untuk mencegah aspirasi.

Teknik anestesi : general anestesi, dengan nasal endotracheal tube

Premedikasi : sedacum, ecron, dexamethason, dan ulceranin

Induksi : recofol

Anestesi inhalasi : halothane

Page 21: Laporan Kasus

Pemeliharaan : O2 dan N2O

Pemberian obat lain : pronalges

I. TATALAKSANA ANESTESI

1. Persiapan anestesi :

a. Pukul 05.00 WIB dilakukan pemeriksaan kembali identitas pasien,

persetujuan operasi, lembar konsultasi anestesi, obat-obatan dan

alat-alat yang diperlukan.

b. Pukul 05.10 WIB dilakukan pemeriksaan tanda vital.

c. Infus Ringer Laktat terpasang pada tangan kanan.

d. Kateter urin tidak terpasang.

e. Mengganti pakaian pasien dengan pakaian operasi.

2. Jenis anestesi : general anestesi

Teknik anestesi : respirasi kontrol dengan ETT nasal no. 25

3. Premedikasi :

a. Pukul 09.00 WIB penderita ditidurkan di ruang operasi dengan posisi

terlentang.

b. Pengukuran SpO2 terpasang di jari ke-1 tangan kanan. SpO2 pasien

stabil.

c. Diberikan obat-obatan premedikasi berupa sedacum 0,68 mg (dosis :

0,1 mg/kgBB) dan ecron 136 mg (dosis : 2 mg/kgBB), dexamethason

170 mg (2,5 mg/kgBB), ulceranin 136 ,g (dosis 2 mg/kgBB), serta ke-

toprofen I ampul im.

4. Induksi :

a. Induksi dimulai pukul 09.30 WIB.

b. Induksi dilakukan dengan pemberian recofol 170 mg IV (dosis : 2-2,5

mg/kgBB).

c. Dilakukan pemasangan ETT, melalui nasal kemudian mulut di buka

dengan laringoskop lalu ETT di tarik dengan magill tang lalu di

masukkan ke trakea. Cuff dikembangkan agar ETT terfiksasi. Intubasi

ETT berhasil dilakukan.ETT dan pipa difiksasi dan dihubungkan

dengan mesin anestesi.

Page 22: Laporan Kasus

5. Maintenance :

a. Pukul 09.40 WIB anestesi sudah cukup dalam, kemudian leher

pasien di beri bantalan agar tetap dalam posisi ekstensi dan operasi

mulai di lakukan.

b. Untuk mempertahankan status anestesi digunakan N2O 4L/menit

pada awal kemudian diturunkan menjadi 2-3L/menit, O2 2L/menit,

halothane 2-1 vol%.

c. Pukul 10.30 WIB operasi selesai.

d. Operasi berlangsung selama 60 menit.

e. Kemudian dilakukan ekstubasi, setelah itu diberikan oksigen murni

menggunakan sungkup sebanyak 2L/menit selama 10 menit.

6. Terapi Cairan Perioperatif

BB : 68 kg

i. Pengganti puasa (2 ml/KgBB/jam) = 2 ml x 68 kg x 8 jam

= 1088 ml

ii. Maintenance (2 ml/KgBB/jam) = 2 ml x 68 kg x 1 jam

= 136 ml

iii. Kehilangan cairan (perdarahan) saat operasi (8 ml/KgBB/jam)

= 8 ml x 68 kg x 0,75 jam

= 408 ml

Total kebutuhan cairan = 1088 + 136 + 408 mL = 1632 mL

7. Monitoring :

Evaluasi tanda-tanda vital dan SpO2 setiap 15 menit, kedalaman

anestesi, cairan dan perdarahan.

8. Keadaan Postoperasi dan Perawatan pasca anestesi di RR :

a. Pukul 10.25 WIB pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.

b. Pasien diberikan oksigen 1 L/menit melalui kanul nasal.

c. Pasien diobservasi aktivitas motorik, pernapasan, dan kesadaran :

Kesadaran : somnolen

Infus : aminofusin 30 tetes per menit

Page 23: Laporan Kasus

Nadi : 92 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 37oC

Saturasi O2 : 99 %

d. Pasien dipindahkan ke bangsal dengan skor Aldrete. Bila pasien

tenang dan aldrete skor > 8 pasien dapat dipindahkan ke bangsal.

J. FOLLOW UP POST OPERASI

K.

PROGNOSIS

Ditentukan berdasarkan status fisik pasien pra-anestesi, ASA

(American Associety of Anesthesiologist). Pada pasien ini dikelompokan pada

JAM ANAMNESIS

(Alloanamnesis)

PEMERIKSAAN

FISIKTERAPI

16.00 Nyeri paska operasi (+),

mual/muntah (-), kentut

(+) satu kali, latihan

minum sedikit (+). BAB (-),

BAK (+) normal.

KU : cukup

Kesadaran : CM

HR : 92 x/menit

RR : 24 x/menit

t : 36,3 oC

Cefotaxime 500mg/8 jam

As. Tranexamat 1 amp/8 jam

Dexamethasone 1 amp/8 jam

Ketorolac 1 amp/12 jam

Ranitidine 1 amp/12 jam

22.00 Nyeri paska operasi (+) ,

mual/muntah (-), kentut

(+) 3 kali, latihan minum

sedikit (+). BAB (-), BAK

(+) normal.

KU : cukup

Kesadaran : CM

HR : 84 x/menit

RR : 20 x/menit

t : 36 oC

Cefotaxime 500mg/8 jam

As. Tranexamat 1 amp/8 jam

Dexamethasone 1 amp/8 jam

Ketorolac 1 amp/12 jam

Ranitidine 1 amp/12 jam

Page 24: Laporan Kasus

ASA II E, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik

karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Alasan dikelompokan kedalam

ASA II E yaitu adanya kelainan pada sistem gastrointestinal berupa

permukaan perut lebih tinggi dengan permukaan dada, perut tampak

distended, pada auskultasi abdomen didapatkan peristaltik menurun dan

pada perkusi abdomen didapatkan hipertimpani pada seluruh lapang perut.

Selain itu pada palpasi terdapat nyeri tekan (+) seluruh lapang perut dan

defans muskuler positif. Permasalahan pada pasien ini harus segera

ditangani, dan apabila tidak segera ditangani akan mengancam hidup pasien,

maka pasien ini dikategorikan sebagai kasus emergensi.

.

Page 25: Laporan Kasus

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Permasalahan dari segi medis

Adanya penyakit tersebut menyebabkan nyeri perut, dan dapat

menjadi fokal infeksi.

B. Permasalahan dari segi bedah

1. Jika operasi tidak dilakukan maka dapat menyebabkan fokal infeksi yang

jika dibiarkan dapat menjadi bakteremia.

2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)

C. Permasalahan dari segi anestesi

1. Pemeriksaan pra anestesi

Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :

a. Puasa lebih dari 8 jam (pasien sudah puasa selama 8 jam)

b. Pemeriksaan laboratorium darah

Permasalahan yang ada adalah :

c. Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum

dilakukan anestesi dan operasi.

d. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan

keadaan umum penderita.

Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada

penderita perlu dilakukan :

e. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.

f. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung,

sehingga bahaya muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.

g. Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada

operasi ini diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit dan amnesia dengan

menggunakan premedikasi sulfas atropin dan pethidin. Teknik anestesinya

semi closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal tube, dan

perencanaan ini sudah tepat karena bila dengan face mask bahaya aspirasi

dan terganggunya jalan napas lebih besar

Page 26: Laporan Kasus

h. Selama operasi dipasang ET teknik cepat.

1. Premedikasi

a. Untuk mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus serta mencegah

adanya vagal reflek yang ditimbulkan oleh tindakan bedah itu sendiri

maka diberikan Sulfas atropin 0,25 mg I.V

b. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah, mengurangi

kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi digunakan Pethidin

50 mg I.V

2. Induksi

a. Digunakan Propofol 100 mg I.V karena memiliki efek induksi yang cepat,

dengan distribusi dan eliminasi yang cepat.

b. Untuk mengurangi cedera karena pemasangan endotracheal tube,

merelaksasikan otot saluran napas, maka diberikan Succinyl choline 50

mg I.V dan dilanjutkan dengan pemberian Tracrium 30 mg I.V sebagai

pelemas otot.

1. Maintenance

Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2,5 L/3,5L.

Juga digunakan halothane 1,5 vol %, yang merupakan anestesi

inhalasi yang potent, di mana kekuatan anestesinya 4-5 kali eter atau 2 kali

kloroform. Halothane tidak merangsang / menimbulkan iritasi pada

saluran pernafasan sehingga induksi mudah dicapai tanpa batuk-batuk atau

eksitasi. Selain itu, masa pemulihan berjalan cepat. Terhadap sistem otot,

halothane mempunyai efek relaksasi yang moderat. Relaksasi otot

abdominal hanya dapat dicapai pada stadium dalam di mana telah terjadi

overdosis.

5. Terapi Cairan

a. Defisit cairan karena puasa 6 jam

35 cc x 55 kg x 6/24 jam = 481,25 cc

b. Kebutuhan cairan selama operasi besar dan karena trauma operasi

selama 1,5 jam

= (35 cc x 55 kg x 1,5/24 jam) + (8 cc x 55 kg x 1,5 jam)

= 120,3125 cc + 660 cc = 780,31 cc

c. Perdarahan yang terjadi = 450 cc

Page 27: Laporan Kasus

EBV = 70 cc x 55 kg = 3850 cc

Jadi kehilangan darah = 450/3850 x 100% = 11,68 %

Diganti dengan cairan kristaloid 3 x 450 = 1350 cc

1. Penilaian dan persiapan pra anestesi

a. menanyakan identitas pasien, hari operasi, dan bagian tubuh yang akan di-

operasi

b. anamnesa pasien

c. pemeriksaan fisik

d. pemeriksaan laboratorium

e. pemeriksaan radiologi

f. menyuruh pasien puasa jam pre operasi

g. Menentukan klasifikasi ASA

h. Menentukan jenis anestesi yang akan dilakukan

2. Pelaksanaan anestesi:

- persiapan pasien: - Cek ulang tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu.

- Pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan tindakan

anestesi, meliputi: kondisi gigi geligi (memakai gigi

palsu atau tidak), membuka mulut, lidah besar atau

tidak, leher pendek atau tidak. Memeriksa apakah ada

deviasi septum nasi,fraktur os nasal,edema mukosa

hidung yang akan mempersulit intubasi ETT melalui

nasal.

- Persiapan alat: meliputi STATICS

S= Scope: stetoskop dan laringoskop

T= tube: pipa trakea non KK dengan cuff (+) No.30.

A= airway: pipa mulut-faring (guedel, orotracheal airway)

T= tape: plester

I= introducer: mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic

C= conector: penyambung antara pipa dengan peralatan anestesia

S= suction: penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.

- Persiapan obat:

Page 28: Laporan Kasus

1. Premedikasi: SA 0,25 mg, Petidin 50 mg.

2. Induksi: propofol 100 mg

3. Maintenance : Halotan, N2O 2L/menit, O2 2 L//menit

- Monitoring Selama Anestesi

i. Monitoring Kedalaman Anestesi

Pada kasus ini, sebelum dimulai intubasi, tekanan darah pasien

sempat meningkat drastis. Tetapi lambat laun tekanan darah pasien

mulai turun setelah proses induksi dimulai.

ii. Monitoring Kardiovaskular: Nadi, tekanan darah, curah jantung,

dan EKG

Saat operasi tekanan darah pasien relatif tinggi, namun cukup

stabil, yaitu berkisar antara 155/90 mmHg – 175/105 mmHg.

Nadi: 95 – 115 x per menit

iii. Monitoring respirasi: Gerakan nafas, saturasi O2

Pernafasan pasien selama operasi dilakukan merupakan

pernafasan yang dikontrol oleh ventilator mekanik. Saturasi O2

stabil dan cukup yaitu antara 95 – 100 %.

iv. Monitoring Suhu : dilakukan pada pembedahan lama, bayi/anak

kecil, pasien demam, dan teknik anesthesia dengan anesthesia bu-

atan. Pada pasien ini tidak dilakukanmonitoring suhu.

v. Monitoring ginjal: produksi urin

Pada pasien ini tidak dilakukan pemasangan kateter urethra,

sehingga monitoring produksi urin tidak dilakukan

vi. Monitoring kebutuhan cairan

Dilakukan pemberian cairan infuse RL selama operasi

berlangsung

vii. Monitoring perdarahan pasien

Pada kasus ini, meskipun terjadi perarahan yang memancar saat

ekstubasi, namun, tidak diperlukan transfusi darah.

- Pemulihan pasca anestesi

Page 29: Laporan Kasus

1. Pemantauan SSP: derajat kesadaran, refleks pupil, reaksi rangsang

dengar, nyeri, gelisah, dan pernafasan.

2. Pemantauan respirasi: airway, gerakan dinding dada, frekuensi,

dan kedalamannya.

3. Pemantauan kardiovaskular: TD, nadi, akral hangat/dingin.

4. Pemantauan pencernaan: mual/muntah

5. Pemantauan warna kulit: pucat/sianosis

6. Pemantauan perdarahan

7. Pemantauan suhu

8. Pengukuran skor alderate.

Page 30: Laporan Kasus

BAB V

KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap

operasiyang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita

mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul

sehingga dapat mengantisipasinya.

Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada

operasi cito laparatomi pada penderita laki-laki, usia 19 tahun, status fisik ASA

IIE. Dengan diagnosis Peritonitis Generalisata et causa Appendicitis Perforasi

dengan menggunakan teknik anestesi semi closed dengan ET no.7 respirasi

terkontrol.

Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan

yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya

komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama

operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi

maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi

hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan

penanganan anestesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu

mendapat perhatian.