Upload
listiana-masyita-dewi
View
339
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Laporan Kasus
PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM PADA PERITONITIS GENERALISATA ET CAUSA SUSPECT PERFORASI GASTER
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing : dr. Damai Suri, Sp. An
Oleh :
Pramaswida Mahastry Adhita S,Ked. J 500060017
Jalu Seantero, S.Ked J 500 06 0037
Fifi Ratna Dewi S,Ked J 500 060 0052
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
Laporan Kasus
PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM PADA PERITONITIS GENERALISATA ET CAUSA SUSPECT PERFORASI GASTER
Yang Diajukan Oleh :
Pramaswida Mahastry Adhita S,Ked. J 500 06 0017
Jalu Seantero, S.Ked J 500 06 0037
Fifi Ratna Dewi S,Ked J 500 060 0052
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pada Hari , Tanggal
Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp. An (……………………………...)
Dipresentasikan dihadapan :
dr. Damai Suri, Sp. An (……………………………...)
Disahkan KaProdi Profesi FK UMS :
dr. Hj. Yuni Prastyo K, M.MKes (……………………………....)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kemajuan ilmu kedokteran dewasa ini khususnya bidang pembedahan
tidak terlepas dari peran dan dukungan kemajuan bidang anestesiologi.
Dokter spesialis bedah sehari-hari sekarang dapat melakukan pembedahan
yang luas dan rumit pada bayi baru lahir sampai orang tua dengan kelainan
yang berat, melakukan pembedahan jantung, transplantasi berbagai organ
tubuh, yang berlangsung berjam-jam dengan aman tanpa rasa sakit
sedikitpun adalah akibat dukungan tindakan anestesi yang canggih.
Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan
penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar,
pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri
menahun.Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal,
yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya
kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang
reversible yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit
pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi ( 70-75 %) dilakukan dengan
anestesi umum, lainnya dengan anestesi lokal / regional.
Dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa
tahap yang harus dilaksanakan yaitu tahap pra anestesi, tahap
penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan, serta tahap pemulihan dan
perawatan pasca anestesi.Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan
yang sangat menentukan keberhasilan suatu anestesi. Hal yang penting
dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien, yang meliputi riwayat
penyakit pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan
teknik, obat-obat, dan macam anestesi yang digunakan, (3) memperkirakan
kemungkinan-kemungkinan yang timbul pada waktu pelaksanaan anestesi
dan komplikasi yang timbul pasca anestesi.
Tahap pelaksanaan anestesi meliputi premedikasi, induksi, dan
pemeliharaan. Obat-obat yang diberikan dapat berupa obat inhalasi atau
intravena, sampai stadium anestesi dikehendaki. Perlunya pemantauan
pada tahap ini yaitu pernafasan, sirkulasi, dan kedalaman anestesi,
dilakukan secara berkala dan terus- menerus untuk menghindari penyulit
atau komplikasi yang dapat terjadi. Pada tahap pemulihan, pengawasan
ketat masih harus dilakukan, sampai penderita benar-benar pulih dan
cukup stabil untuk dipindah ke bangsal
Hampir semua kelainan abdomen yang bersifat akut
memerlukan pembedahan sebagai upaya untuk diagnosis dan terapi. Pada
kasus ini diperlukantindakan laparatomi explorasi mengingat dari temuan
pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler, nyeri tekan yang meluas,
distensi perut, lekositosisyang mendukung ke arah peritonitis generalisata.
Pada setiap upaya pembedahandiperlukan anestesi sebagai upaya untuk
menghilangkan nyeri. Untuk melakukananestesi dengan aman salah satu
persyaratan yang harus dipenuhi adalahmengetahui kasiat, efek samping
dan cara kerja obat anestesi.Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah
anestesi umum yaituhilangnya rasa sakit di seluruh tubuh disertai hilangnya
kesadaran yang bersifatsementara dan reversible yang diakibatkan oleh obat
anestesi. Dalam memberikanobat – obat pada penderita yang akan
menjalani operasi maka perlu diperhatikantujuannya yaitu sebagai
premedikasi, induksi, maintenance dan lain – lain
B. TUJUAN PENULISAN
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk memahami tindakan anestesi
yang dilakukan pada pasien dengan diagnosa peritoneum generalisata,
sehingga dapat dipahami dan dipelajari berdasarkan tata cara tindakan
anestesi secara prosedural serta dapat dipahami kemungkinan
komplikasinya yang ditimbulkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERITONITIS GENERALISATA
Hampir semua kelainan abdomen yang bersifat akut memerlukan
pembedahan sebagai upaya untuk diagnosis dan terapi. Pada kasus ini
diperlukan
tindakan laparatomi explorasi mengingat dari temuan pemeriksaan fisik
didapatkan defans muskuler, nyeri tekan yang meluas, distensi perut, lekositosis
yang mendukung ke arah peritonitis generalisata. Pada setiap upaya
pembedahan diperlukan anestesi sebagai upaya untuk menghilangkan nyeri.
Untuk melakukan anestesi dengan aman salah satu persyaratan yang harus
dipenuhi adalah mengetahui kasiat, efek samping dan cara kerja obat anestesi.
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum yaitu
hilangnya rasa sakit di seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat
sementara dan reversible yang diakibatkan oleh obat anestesi. Dalam
memberikan obat – obat pada penderita yang akan menjalani operasi maka
perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance
dan lain – lain.
B. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali ( reversible ). Komponen
anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Pada kasus
ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum. Tanda-tanda klinis
anesthesia umum (menggunakan zat anestesi yang mudah menguap, terutama
diethyleter) menurut Guedel, dengan teknik open drop:
- Stadium I : analgesia dari mulanya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran. Rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya
pembedahan kecil yang dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini
berakhir ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata.
- Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.
- Stadium III : stadium pembedahan, dari mulai respirasi teratur hingga
berhentinya respirasi. Dibagi 4 plane yaitu :
Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur
thoracoabdominal, anak mata terfiksasi kadang – kadang
eksentrik, pupil miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi
meningkat, reflek faring dan muntah negative, tonus otot
mulai menurun.
Plane 2 : ventilasi teratur. Abdominothoracal, volume tidal
menurun, frekuensi nafas meningkat, anakmata terfiksasi di
tengah, pupil mulai midriasis, reflek cahaya mulai menurun
dan reflek kornea negative.
Plane 3 : ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena
terjadi kelumpuhan saraf interkostal, lakrimasi tidak ada,
pupil melebar dan sentral, reflek laring dan peritoneum
negative, tonus otot makin menurun.
Plane 4 : ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena
otot diafragma lumpuh yang makin nyata pada akhir plana,
tonus otot sangat menurun, pupil midriasis dan reflek
sfingter ani dan kelenjsar air mata negative.
- Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralisis diafragma hingga cardiac
arrest.
1) PERSIAPAN PRA ANESTESI
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan
pemeriksaan lain.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology)
- ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%
- ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%
- ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian /
live style terbatas. Angka mortalitas 38%
- ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%
- ASA V pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi /
dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E.
2) PREMEDIKASI ANESTESI
Dewasa ini dengan kemajuan teknik anestesi, tujuan premedikasi
bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah
obatobatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien
sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah pemberian obat
sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :
1. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. memberikan analgesia, misal pethidin
5. mencegah muntah, misal : droperidol
6. memperlancar induksi, misal : pethidin
7. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
1. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin
dan hiosin
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien
yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,
riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya
anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang
akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai
obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
1. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
2. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam dan
midazolam.
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
4. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
5. Antihistamin, misal prometazine.
6. Antasida, misal gelusil.
7. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine.
Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam
pemakaian sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapatkan
hasil yang diinginkan, misalnya kombinasi narkotik, benzodiazepin, dan
antikolinergik.
Obat yang digunakan :
Sedacum adalah preparat transquilizer dari jenis midazolam. Selain
sebagai premedikasi, midazolam juga dapat dihunakan dalam induksi
maupun pemeliharaan anestesi umum. Keuntungan dari penggunaan
midazolam ini antara lain dapat menghilangkan halusinasi akibat penggunaan
ketamin serta dapat mengendalikan kejang. Obat ini digunakan tanpa
pengenceran, dapat diberikan secara intravena, dengan dosis 0,07-0,1
mg/kgBB.
Ecron merupakan preparat muscle relaxant atau obat pelumpuh otot,
dari jenis succinil cholin tipe ultrashort acting. Preparat ini wajib digunakan
untuk melemahkan otot-otot pada jalan nafas sehingga memudahkan saat
pemasangan alat bantu dalam mempertahankan jalan nafas (dalam kasus ini,
nasal endotracheal tube) atau pada operasi perut sehingga organ abdominal
tidak keluar dan terjadi relaksasi. Obat ini digunakan tanpa pengenceran,
dapat diberikan secara intravena, dengan dosis 1-2 mg/kgBB.
3) INDUKSI
DI-ISOPROPYL PHENOL ( PROPOFOL, DIPRIVAN )
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10%
minyak kedelai, 2,25% gliserol, dan 1,2 % phosphatide telur. Pemberian
intravena propofol (2 mg/kg BB) menginduksi anestesi secara cepat seperti
tiopental. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai dengan phlebitis atau trombosis. Propofol tidak menimbulkan aritmia
atau iskemik otot jantung. Sesudah pemberian Propofol IV terjadi depresi
pernapaasan sampai apnea selama 30 detik. Hal ini diperkuat dengan
premedikasi dengan opiat.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otak dan tekanan intrakanial akan menurun. Tak jelas adanya
interaksi dengan obat pelemas otot. Keuntungan Propofol karena bekerja lebih
cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal. Terjadi mual,
muntah dan sakit kepala mirip dengan thiopental. Cepatnya induksi dan
pemulihan dari anestesi berguna dalam pasien rawat jalan yang memerlukan
prosedur yang cepat dan singkat.
Sediaan : dalam ampul, 200mg/20cc
Dosis : 1,5-2,5 mg/kg BB
Pemberian : IV
4) PEMELIHARAAN
Obat anestesi maintenance yang digunakan dalam kasus ini adalah:
a. Halothane
Merupakan cairan yang tidak berwarna, berbau enak serta tidak
merangsang / iritasi, mudah menguap (volatile), tidak mudah meledak atau
terbakar, tidak bereaksi dengan soda lime absorber, mudah diuraikan oleh
cahaya karena itu harus disimpan dalam botol berwarna gelap (ambard).
Merupakan obat anestesia yang potent, kekuatan 4-5 kali eter atau 2 kali
kloroform. Overdosis relatif mudah terjadi dengan gejala kegagalan pernafasan
dan sirkulasi yang dapat menyebabkan kematian. Efek terhadap SSP sama
dengan obat anestesia lain pada umumnya yaitu mendepresi kortek serebral
dan medulla. Pengaruhnya terhadap kardiovaskular adalah vasodilatasi yang
menimbulkan hipotensi dan bradikardi. Uap halothane tidak menimbulkan iritasi
pada saluran pernafasan karenanya induksi mudah dicapai tanpa batuk-batuk
atau eksitasi. Halothane mendepresi pernafasan yang pada tingkat permulaan
menyebabkan pernafasan lebih cepat (takipnu) dan dangkal, dan pada stadium
lebih dalam dapat timbul gagal nafas (henti nafas). Halothane juga mempunyai
efek relaksasi yang moderat terhadap
sistem otot.
Dosis : dosis induksi 2-4%, dosis pemeliharaan 0,5-2%
Pemberian : inhalasi
b. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak
bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi
yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena
gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot,
oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat
relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
OBAT PELUMPUH OTOT
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya,
obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi
resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau
nondepolarisasi , misal kurarin.
Dalam anestesi umum , obat ini memudahkan dan menguragi cedera
tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang
dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.2 golongan obat pelumpuh
otot yaitu :
a. Depolarisasi.
- Ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan antikolinesterase
- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada
perangsangantunggal atau tetanik
- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik
- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh
otot non depolarisasi dan asidosis
Contoh: suksametonium (suksinil kolin)
b. Non depolarisasi
- Tidak ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik
inhalasi, eter, halothane, enfluran, isoflurane
- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan
tunggal atau tetanik
- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium
bromida), norkuron (pankuronium bromida), esmeron
(rokuronium bromida).
5) INTUBASI TRAKEA
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan
nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.sedangkan
ekstubasi trakea adalah tindakan pengeluaran pipa endotrakeal. Intubasi trakea
bertujuan untuk :
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi intubasi trakea adalah: tindakan resusitasi, tindakan
anestesi,pemeliharaan jalan nafas, dan pemberian ventilasi mekanis jangka
panjang. Komplikasi tindakan intubasi trakea dapat terjadi saat dilakukannya
tindakan laringoskopi dan intubasi, selama pipa endotrakeal dimasukkan, dan
setelah ekstubasi
6) TERAPI CAIRAN
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk :
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan, misalnya terapi dengan menggunakan diuretic.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena pemasukan kurang, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, adanya fistula enterokutan, penumpukan cairan pada
ruang ketiga (ruang ekstra sel yang tidak berfungsi), seperti pada ileus obstriktif,
peritonitis.
Defisit cairan ekstra sel yang terjadi dapat diduga dengan berat
ringannya dehidrasi yang terjadi. Dehidrasi ringan ( defisit cairan ekstrasel sesuai
dengan 4% dari berat badan ), dehidrasi sedang ( defisit cairan ekstrasel sesuai
dengan 6% dari berat badan ), dan dehidrasi berat ( defisit cairan ekstrasel
sesuai dengan 8% dari berat badan ).
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam.
Setiap kenaikan suhu 1 0 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15%. Cairan
yang diberikan bisa berupa cairan elektrolit (ringer laktat, NaCl 0,9%), kalau
perlu diberikan cairan koloid. Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan
kardiovaskuler, tanda rehidrasi telah tercapai ialah dengan adanya produksi urin
0,5-1 ml/kg BB/ jam.
2.Selama operasi
Pada pemberian cairan selama pembedahan, harus diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
- Kekurangan cairan pra bedah
- Kebutuhan untuk pemeliharaan
- Bertambahnya “insensible loss karena suhu kamar bedah
yang tinggi, dan hiperventilasi.
- Terjadinya translokasi cairan pada daerah operasi ke dalam
ruang ketiga.
- Terjadinya perdarahan.
Defisit cairan karena puasa, 50% nya diberikan pada jam I, 25% nya pada
jam kedua, dan 25% nya lagi pada jam ketiga. Cairan yang diberikan ringer
laktat dalam dekstrose 5%, atau ringer laktat.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
- Ringan= 4 ml/kgBB/jam.
- Sedang= 6 ml / kgBB/jam
- Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume
darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran / darah dengan dosis 1-2
kali darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
7) PEMULIHAN
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Pasien yang dikelola adalah
pasien pasca anestasi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar
dimonitor jalan nafasnya apakah bebas ataukah tidak, ventilasinya cukup atau
tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain obstruksi jalan nafas
karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena spasme laring, pasca bedah dini
juga dapat terjadi muntah yang dapat menyebabkan aspirasi. Monitor
kesadaran
merupakan hal yang penting karena selama pasien belum sadar dapat terjadi
gangguan jalan nafas. Sadar yang berkepanjangan adalah akibat dari pengaruh
sisa obat anestesi, hipotermi, atau hipoksia, dan hiperkarbi. Hipoksia dan
hiperkarbi terjadi pada pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi.
Menggigil yang terjadi pasca bedah adalah akibat efek vasodilatasi obat
anestesi. Menggigil akan menambah beban jantung dan sangat berbahaya pada
pasien
dangan penyakit jantung.
Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan
ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang
disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS - Nama pasien : Tn. S
- Umur : 52 tahun
- Jenis kelamin : Laki – laki
- Alamat : Kebakkramat, Karanganyar
- Agama : Islam
- Tanggal masuk RS ` : 6 September 2012
- No. rekam medik : 25.16.90
- Diagnosa Preoperatif : Peritonitis Generalisata
- Diagnosa Postoperatif :Peritonitis Generalisata et causa
Perforasi gaster
- Macam Operasi : Laparatomi eksplorasi
- Macam Anestesi : General anestesi (Anestesi umum)
B. ANAMNESIS
Dilakukan pada pasien (autoananmnesis) di bangsal Kanthil RSUD Kabupaten
Karanganyar pada tanggal 7 September 2012
1. Keluhan Utama : Nyeri perut
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien pria usia 52 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut
sejak 3 hari SMRS. Nyeri perut dirasakan semakin berat.Awalnya
nyeri hanya dirasakan di daerah perut kanan bawah, tetapi dalam
dua hari terakhir nyeri dirasakan di hampir seluruh bagian perut.
Selain itu pasien mengeluh perutnya kembung, smual, muntah 2 kali
saat sebelum masuk RS, nafsu makan menurun, pasien demam,
susah kentut dan susah BAB. Selain itu pasien tidak ada keluhan lain.
Pasien menyangkal adanya penyakit hipertensi, DM, asma, penyakit
jantung, ginjal, dan hati.Sebelumnya pasien belum pernah operasi
dan mendapat pembiusan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit hati : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat penyakit serupa : disangkal
4. Riwayat Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit hati : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat penyakit serupa : disangkal
5. Anamnesis Sistemik
Sistem serebrospinal : lemas(-), penurunan kesadaran(-),
pusing (-)
Sistem kardiovaskuler : anemis (-), akral hangat (+), sianosis(-)
Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), mengi (-),
nafas cuping hidung(-)
Sistem genitourinarius : BAK (+) normal
Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (+), nyeri telan (-),
kembung (+), nafsu makan menurun
(+), susah BAB (+), susah kentut (+).
Sistem musculoskeletal : edema tungkai(-/-), kaku pada
extremitas(-/-), nyeri sendi/tulang(-)
Sistem integumentum : memar(-), lecet(-), ruam/bintik kemerahan (-)
6. Resume Anamnesis
Pasien pria, 52 tahun, nyeri perut sejak 3 hari SMRS, memberat.
Terasa nyeri seluruh bagian perut dalam 2 hari terakhir. Perut
kembung (+) mual, muntah 2 kali SMRS, nafsu makan turun, pasien
demam, susah kentut (+), dan susah BAB. Tidak ada riwayat
hipertensi, DM, asma, penyakit jantung, ginjal, dan hepar.
Pasienbelum pernah operasi dan di anestesi.
Padaanamnesissistem didapatkan kelainan pada sistem
gastrointestinal berupamual, muntah, kembung, nafsu makan
menurun, susah BAB, susah kentut.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
Vital Sign :
a. Tekanan darah : 113/69 mmHg
b. Nadi : 88 x/menit
c. RR : 20 x/menit
d. Suhu :37,60C
2. Status Lokalis
a. Kepala : Normocephal, deformitas (-)
b. Mata:Konjungtiva anemis (-/-),Edema palpebra (-/-),
sklera ikterik (-/-),
c. Telinga : Bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-),
bengkak (-), hiperemis (-), sekret (-)
d. Hidung:Deformitas(-),sekret(-), edema(-), deviasi septum(-)
e. Mulut : Bibir kering, lidah kotor (-)
f. Tenggorokan :Pembesaran tonsil (-) T1-T1, tonsil
hiperemis (-), pelebaran kripte (+), uvula sentral.
g. Leher :pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
h. Thoraks : simetris
Cor Hasil Pemeriksaan
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis pada SIC VI linea midclavicularis sin
Perkusi Batas kanan atas : SIC II, linea parasternalis dex
Batas kanan bawah : SIC IV, linea parasternalis dex
Batas kiri atas : SIC II, linea parasternalis sin
Batas kiri bawah : SIC V, linea midclavicula sin
Auskultasi Bunyi jantung I-II intensitas regular, bising (-)
Pulmo Depan Belakang
Inspeksi Simetris,
Ketinggalan gerak (-)
Retraksi intercostae (-)
Simetris,
Ketinggalan gerak (-)
Retraksi intercostae (-)
Palpasi Gerak dada simetris
Fremitus normal
Gerak dada simetris
Fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi SDV (+/+)
Wh (-/-),
Rh kering (-/-)
SDV (+/+)
Wh (-/-),
Rh kering (-/-)
i. Abdomen :
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi Permukaan perut lebih tinggi dengan permukaan dada, distended (+), darm contour (-), darm steifung (-)
Auskultasi Peristaltik (+) ↓ , metallic sound (-),
Palpasi Nyeri tekan (+) seluruh lapang perut, defans muskuler (+), hepar dan lien tak teraba
Perkusi Hipertympani (+) seluruh lapang perut
j. Ekstremitas :
Supor dextra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)
Supor sinistra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)
Infor dextra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)
Infor sinistra Akral hangat (+), edema (-), sianosis (-)
3. Status Gizi
BB : 68 kg
TB : 168 cm BMI : 24,9 kg/m2
Kesan :Tubuh ideal
4. Resume Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien
cukup, tekanan darah 113/69 mmHg, nadi 88x/menit, respirasi
18x/menit, suhu37,60C, pasien tampak lemah. Pada pemeriksaan
inspeksi abdomen didapatkan Permukaan perut lebih tinggi dengan
permukaan dada, perut tampak distended. Pada auskultasi abdomen
didapatkan peristaltik menurun dan pada perkusi abdomen
didapatkan hipertimpani pada seluruh lapang perut. Pada palpasi
terdapat nyeri tekan (+) seluruh lapang perut dan defans muskular
positif.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium darah rutin tanggal 7 September 2012
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 11,6 gr/dL 13,0-16,0gr/dL
Eritrosit 4,41µL 4,5-5,5µL
Hct 34,1% 40-48 %
Index eritrosit :
MCV
MCH
77,3fL
26,3pg
82-92 fL
27-31 pg
MCHC 34,0gr/dL 33-36 gr/dL
Leukosit 16,2µL 5,0-10,0µL
Trombosit 388 µL 150-450 µL
Golongan Darah A
Netrofil segmen 50,3% 50-70 %
Limfosit 7,8 % 20-40 %
Monosit 6,3 % 2-8 %
Clotting time 04.30 menit 2-8 menit
Bleeding time 01.30 menit 1-3 menit
2. Pemeriksaan imunologi tanggal 7 September 2012
Pemeriksaan Hasil
HBsAg -
3. Rontgen thorax 6 September 2012
Hasil Pemeriksaan :
Cor :Suspek cardiomegali
Pulmo :suspek TB paru infiltrat
E. DIAGNOSIS KERJA
Peritonitis generalisata
F. STATUS ANASTESI
GA ASA III
G. PENATALAKSANAAN
Tindakan operatif laparotomi
H. PERENCANAAN ANESTESI
Persiapan pada hari operasi, pasien telah dipuasakan selama ± 8 jam
untuk mencegah aspirasi.
Teknik anestesi : general anestesi, dengan nasal endotracheal tube
Premedikasi : sedacum, ecron, dexamethason, dan ulceranin
Induksi : recofol
Anestesi inhalasi : halothane
Pemeliharaan : O2 dan N2O
Pemberian obat lain : pronalges
I. TATALAKSANA ANESTESI
1. Persiapan anestesi :
a. Pukul 05.00 WIB dilakukan pemeriksaan kembali identitas pasien,
persetujuan operasi, lembar konsultasi anestesi, obat-obatan dan
alat-alat yang diperlukan.
b. Pukul 05.10 WIB dilakukan pemeriksaan tanda vital.
c. Infus Ringer Laktat terpasang pada tangan kanan.
d. Kateter urin tidak terpasang.
e. Mengganti pakaian pasien dengan pakaian operasi.
2. Jenis anestesi : general anestesi
Teknik anestesi : respirasi kontrol dengan ETT nasal no. 25
3. Premedikasi :
a. Pukul 09.00 WIB penderita ditidurkan di ruang operasi dengan posisi
terlentang.
b. Pengukuran SpO2 terpasang di jari ke-1 tangan kanan. SpO2 pasien
stabil.
c. Diberikan obat-obatan premedikasi berupa sedacum 0,68 mg (dosis :
0,1 mg/kgBB) dan ecron 136 mg (dosis : 2 mg/kgBB), dexamethason
170 mg (2,5 mg/kgBB), ulceranin 136 ,g (dosis 2 mg/kgBB), serta ke-
toprofen I ampul im.
4. Induksi :
a. Induksi dimulai pukul 09.30 WIB.
b. Induksi dilakukan dengan pemberian recofol 170 mg IV (dosis : 2-2,5
mg/kgBB).
c. Dilakukan pemasangan ETT, melalui nasal kemudian mulut di buka
dengan laringoskop lalu ETT di tarik dengan magill tang lalu di
masukkan ke trakea. Cuff dikembangkan agar ETT terfiksasi. Intubasi
ETT berhasil dilakukan.ETT dan pipa difiksasi dan dihubungkan
dengan mesin anestesi.
5. Maintenance :
a. Pukul 09.40 WIB anestesi sudah cukup dalam, kemudian leher
pasien di beri bantalan agar tetap dalam posisi ekstensi dan operasi
mulai di lakukan.
b. Untuk mempertahankan status anestesi digunakan N2O 4L/menit
pada awal kemudian diturunkan menjadi 2-3L/menit, O2 2L/menit,
halothane 2-1 vol%.
c. Pukul 10.30 WIB operasi selesai.
d. Operasi berlangsung selama 60 menit.
e. Kemudian dilakukan ekstubasi, setelah itu diberikan oksigen murni
menggunakan sungkup sebanyak 2L/menit selama 10 menit.
6. Terapi Cairan Perioperatif
BB : 68 kg
i. Pengganti puasa (2 ml/KgBB/jam) = 2 ml x 68 kg x 8 jam
= 1088 ml
ii. Maintenance (2 ml/KgBB/jam) = 2 ml x 68 kg x 1 jam
= 136 ml
iii. Kehilangan cairan (perdarahan) saat operasi (8 ml/KgBB/jam)
= 8 ml x 68 kg x 0,75 jam
= 408 ml
Total kebutuhan cairan = 1088 + 136 + 408 mL = 1632 mL
7. Monitoring :
Evaluasi tanda-tanda vital dan SpO2 setiap 15 menit, kedalaman
anestesi, cairan dan perdarahan.
8. Keadaan Postoperasi dan Perawatan pasca anestesi di RR :
a. Pukul 10.25 WIB pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
b. Pasien diberikan oksigen 1 L/menit melalui kanul nasal.
c. Pasien diobservasi aktivitas motorik, pernapasan, dan kesadaran :
Kesadaran : somnolen
Infus : aminofusin 30 tetes per menit
Nadi : 92 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 37oC
Saturasi O2 : 99 %
d. Pasien dipindahkan ke bangsal dengan skor Aldrete. Bila pasien
tenang dan aldrete skor > 8 pasien dapat dipindahkan ke bangsal.
J. FOLLOW UP POST OPERASI
K.
PROGNOSIS
Ditentukan berdasarkan status fisik pasien pra-anestesi, ASA
(American Associety of Anesthesiologist). Pada pasien ini dikelompokan pada
JAM ANAMNESIS
(Alloanamnesis)
PEMERIKSAAN
FISIKTERAPI
16.00 Nyeri paska operasi (+),
mual/muntah (-), kentut
(+) satu kali, latihan
minum sedikit (+). BAB (-),
BAK (+) normal.
KU : cukup
Kesadaran : CM
HR : 92 x/menit
RR : 24 x/menit
t : 36,3 oC
Cefotaxime 500mg/8 jam
As. Tranexamat 1 amp/8 jam
Dexamethasone 1 amp/8 jam
Ketorolac 1 amp/12 jam
Ranitidine 1 amp/12 jam
22.00 Nyeri paska operasi (+) ,
mual/muntah (-), kentut
(+) 3 kali, latihan minum
sedikit (+). BAB (-), BAK
(+) normal.
KU : cukup
Kesadaran : CM
HR : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
t : 36 oC
Cefotaxime 500mg/8 jam
As. Tranexamat 1 amp/8 jam
Dexamethasone 1 amp/8 jam
Ketorolac 1 amp/12 jam
Ranitidine 1 amp/12 jam
ASA II E, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Alasan dikelompokan kedalam
ASA II E yaitu adanya kelainan pada sistem gastrointestinal berupa
permukaan perut lebih tinggi dengan permukaan dada, perut tampak
distended, pada auskultasi abdomen didapatkan peristaltik menurun dan
pada perkusi abdomen didapatkan hipertimpani pada seluruh lapang perut.
Selain itu pada palpasi terdapat nyeri tekan (+) seluruh lapang perut dan
defans muskuler positif. Permasalahan pada pasien ini harus segera
ditangani, dan apabila tidak segera ditangani akan mengancam hidup pasien,
maka pasien ini dikategorikan sebagai kasus emergensi.
.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Permasalahan dari segi medis
Adanya penyakit tersebut menyebabkan nyeri perut, dan dapat
menjadi fokal infeksi.
B. Permasalahan dari segi bedah
1. Jika operasi tidak dilakukan maka dapat menyebabkan fokal infeksi yang
jika dibiarkan dapat menjadi bakteremia.
2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
C. Permasalahan dari segi anestesi
1. Pemeriksaan pra anestesi
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa lebih dari 8 jam (pasien sudah puasa selama 8 jam)
b. Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah :
c. Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum
dilakukan anestesi dan operasi.
d. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan
keadaan umum penderita.
Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada
penderita perlu dilakukan :
e. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.
f. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung,
sehingga bahaya muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.
g. Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada
operasi ini diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit dan amnesia dengan
menggunakan premedikasi sulfas atropin dan pethidin. Teknik anestesinya
semi closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal tube, dan
perencanaan ini sudah tepat karena bila dengan face mask bahaya aspirasi
dan terganggunya jalan napas lebih besar
h. Selama operasi dipasang ET teknik cepat.
1. Premedikasi
a. Untuk mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus serta mencegah
adanya vagal reflek yang ditimbulkan oleh tindakan bedah itu sendiri
maka diberikan Sulfas atropin 0,25 mg I.V
b. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah, mengurangi
kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi digunakan Pethidin
50 mg I.V
2. Induksi
a. Digunakan Propofol 100 mg I.V karena memiliki efek induksi yang cepat,
dengan distribusi dan eliminasi yang cepat.
b. Untuk mengurangi cedera karena pemasangan endotracheal tube,
merelaksasikan otot saluran napas, maka diberikan Succinyl choline 50
mg I.V dan dilanjutkan dengan pemberian Tracrium 30 mg I.V sebagai
pelemas otot.
1. Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2,5 L/3,5L.
Juga digunakan halothane 1,5 vol %, yang merupakan anestesi
inhalasi yang potent, di mana kekuatan anestesinya 4-5 kali eter atau 2 kali
kloroform. Halothane tidak merangsang / menimbulkan iritasi pada
saluran pernafasan sehingga induksi mudah dicapai tanpa batuk-batuk atau
eksitasi. Selain itu, masa pemulihan berjalan cepat. Terhadap sistem otot,
halothane mempunyai efek relaksasi yang moderat. Relaksasi otot
abdominal hanya dapat dicapai pada stadium dalam di mana telah terjadi
overdosis.
5. Terapi Cairan
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam
35 cc x 55 kg x 6/24 jam = 481,25 cc
b. Kebutuhan cairan selama operasi besar dan karena trauma operasi
selama 1,5 jam
= (35 cc x 55 kg x 1,5/24 jam) + (8 cc x 55 kg x 1,5 jam)
= 120,3125 cc + 660 cc = 780,31 cc
c. Perdarahan yang terjadi = 450 cc
EBV = 70 cc x 55 kg = 3850 cc
Jadi kehilangan darah = 450/3850 x 100% = 11,68 %
Diganti dengan cairan kristaloid 3 x 450 = 1350 cc
1. Penilaian dan persiapan pra anestesi
a. menanyakan identitas pasien, hari operasi, dan bagian tubuh yang akan di-
operasi
b. anamnesa pasien
c. pemeriksaan fisik
d. pemeriksaan laboratorium
e. pemeriksaan radiologi
f. menyuruh pasien puasa jam pre operasi
g. Menentukan klasifikasi ASA
h. Menentukan jenis anestesi yang akan dilakukan
2. Pelaksanaan anestesi:
- persiapan pasien: - Cek ulang tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu.
- Pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan tindakan
anestesi, meliputi: kondisi gigi geligi (memakai gigi
palsu atau tidak), membuka mulut, lidah besar atau
tidak, leher pendek atau tidak. Memeriksa apakah ada
deviasi septum nasi,fraktur os nasal,edema mukosa
hidung yang akan mempersulit intubasi ETT melalui
nasal.
- Persiapan alat: meliputi STATICS
S= Scope: stetoskop dan laringoskop
T= tube: pipa trakea non KK dengan cuff (+) No.30.
A= airway: pipa mulut-faring (guedel, orotracheal airway)
T= tape: plester
I= introducer: mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
C= conector: penyambung antara pipa dengan peralatan anestesia
S= suction: penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.
- Persiapan obat:
1. Premedikasi: SA 0,25 mg, Petidin 50 mg.
2. Induksi: propofol 100 mg
3. Maintenance : Halotan, N2O 2L/menit, O2 2 L//menit
- Monitoring Selama Anestesi
i. Monitoring Kedalaman Anestesi
Pada kasus ini, sebelum dimulai intubasi, tekanan darah pasien
sempat meningkat drastis. Tetapi lambat laun tekanan darah pasien
mulai turun setelah proses induksi dimulai.
ii. Monitoring Kardiovaskular: Nadi, tekanan darah, curah jantung,
dan EKG
Saat operasi tekanan darah pasien relatif tinggi, namun cukup
stabil, yaitu berkisar antara 155/90 mmHg – 175/105 mmHg.
Nadi: 95 – 115 x per menit
iii. Monitoring respirasi: Gerakan nafas, saturasi O2
Pernafasan pasien selama operasi dilakukan merupakan
pernafasan yang dikontrol oleh ventilator mekanik. Saturasi O2
stabil dan cukup yaitu antara 95 – 100 %.
iv. Monitoring Suhu : dilakukan pada pembedahan lama, bayi/anak
kecil, pasien demam, dan teknik anesthesia dengan anesthesia bu-
atan. Pada pasien ini tidak dilakukanmonitoring suhu.
v. Monitoring ginjal: produksi urin
Pada pasien ini tidak dilakukan pemasangan kateter urethra,
sehingga monitoring produksi urin tidak dilakukan
vi. Monitoring kebutuhan cairan
Dilakukan pemberian cairan infuse RL selama operasi
berlangsung
vii. Monitoring perdarahan pasien
Pada kasus ini, meskipun terjadi perarahan yang memancar saat
ekstubasi, namun, tidak diperlukan transfusi darah.
- Pemulihan pasca anestesi
1. Pemantauan SSP: derajat kesadaran, refleks pupil, reaksi rangsang
dengar, nyeri, gelisah, dan pernafasan.
2. Pemantauan respirasi: airway, gerakan dinding dada, frekuensi,
dan kedalamannya.
3. Pemantauan kardiovaskular: TD, nadi, akral hangat/dingin.
4. Pemantauan pencernaan: mual/muntah
5. Pemantauan warna kulit: pucat/sianosis
6. Pemantauan perdarahan
7. Pemantauan suhu
8. Pengukuran skor alderate.
BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap
operasiyang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul
sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
operasi cito laparatomi pada penderita laki-laki, usia 19 tahun, status fisik ASA
IIE. Dengan diagnosis Peritonitis Generalisata et causa Appendicitis Perforasi
dengan menggunakan teknik anestesi semi closed dengan ET no.7 respirasi
terkontrol.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan
yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama
operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi
maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi
hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan
penanganan anestesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian.