Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL
MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK PENGEMBANGAN
KAPASITAS KEWIRAUSAHAAN MASYARAKAT MISKIN
Kasus: Pendidikan Kewirausahaan untuk Anak pada Masyarakat Nelayan
Tahun ke-3 dari rencana 3 tahun
TIM PENELITI
Ketua : Dr. Ike Junita Triwardhani, S.Sos., M.Si. (NIDN: 0418067204)
Anggota : Dr. O. Hasbiansyah, Drs., M.Si. (NIDN: 0414076202)
Anne Maryani, Dra., M.Si. (NIDN: 0004036201)
Dede Lilis Ch., S.Sos., M.Si. (NIDN: 0401107101)
Dibiayai oleh Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal
Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor:
105/SP2H/PPM/DRPM/II/2016, tanggal 17 Februari 2016
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
NOVEMBER 2016
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL
MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF UNTUK PENGEMBANGAN
KAPASITAS KEWIRAUSAHAAN MASYARAKAT MISKIN
Kasus: Pendidikan Kewirausahaan untuk Anak pada Masyarakat Nelayan
Tahun ke-3 dari rencana 3 tahun
TIM PENELITI
Ketua : Dr. Ike Junita Triwardhani, S.Sos., M.Si. (NIDN: 0418067204)
Anggota : Dr. O. Hasbiansyah, Drs., M.Si. (NIDN: 0414076202)
Anne Maryani, Dra., M.Si. (NIDN: 0004036201)
Dede Lilis Ch., S.Sos., M.Si. (NIDN: 0401107101)
Dibiayai oleh Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal
Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor:
105/SP2H/PPM/DRPM/II/2016, tanggal 17 Februari 2016
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
NOVEMBER 2016
ii
RINGKASAN
Pembentukan karakter kewirausahaan hendaknya dibangun sejak dini. Pada
anak-anak membangun jiwa entrepreneurship dapat dilakukan melalui pendidikan
di sekolah. Guru dapat berperan membangun karakter kewirausahaan melalui
pendidikan di sekolah, sehingga pendidikan sekolah bisa memberi nilai lebih
kepada masyarakat.
Karakter-karakter kewirausahaan baik yang sudah ada maupun yang perlu
dibangun sebagai entrepreneurial mindset menjadi fokus dalam pendidikan
kewirausahaan. Pendidikan kewirausahaan harus mulai ditumbuhkan kembali
untuk mencapai tujuan besar meningkatkan kapasitas daya saing bangsa. Atas dasar
pemikiran tersebut maka disusun topik dalam usulan penelitian ini adalah
mengembangkan kapasitas kewirausahaan anak-anak masyarakat miskin melalui
pendidikan inklusif.
Penelitian ini menggunakan metode kualittif dengan pendekatan etnografi
komunikasi untuk melihat penggunaan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu
masyarakat pada kebudayaan tertentu serta Riset Aksi Partisipatif (Participation
Action Research). Metode ini merupakan salah satu metode dalam penelitian,
perencanaan, dan perancangan partisipatif dimana masyarakat menjadi subjek dan
bukan objek penelitian. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi,
simulasi, FGD, audiensi dan data sekunder. Wawancara dilakukan dengan pihak
sekolah dasar dan guru, simulasi dilakukan dengan siswa SD, kemudian FGD
dengan masyarakat nelayan, serta audiensi dengan pihak Dinas Pendidikan
Kabupaten Cirebon. Penelitian ini mengambil kasus masyarakat nelayan, yaitu
anak-anak masyarakat nelayan di kawasan pesisir Desa Citemu Kecamatan Mundu
Kabupaten Cirebon berdasarkan pertimbangan peran strategisnya karena kawasan
Cirebon menjadi salah satu simpul dalam rencana pembangunan berbasis
konektivitas baik dalam skala nasional maupun provinsi.
Hasil penelitian ini ialah: (1) Materi pendidikan kewirausahaan untuk anak
yang disusun mengakomodir potensi lokal kewirausahaan pada masyarakat
nelayan; (2) Menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan dan pemerintahan
dalam penerapan pendidikan inklusif untuk anak pada masyarakat nelayan telah
dilakukan oleh Tim Peneliti; (3) Uji coba pengajaran materi kewirausahaan pada
institusi pendidikan inklusif melalui ekstrakulikuler perlu segera dilaksanakan di di
sekolah-sekolah dasar untuk Guru Sekolah Dasar di desa Nelayan; (4) Model
pendidikan inklusif kewirausahaan didasari pada kebijakan untuk menanggulangi
berbagai masalah yang muncul dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah dasar; dan
(5) Pendidikan kewirausahaan telah disadari bersama bahwa perlu dibangun sejak
dini. Membangun karakter kewirausahaan pada anak-anak akan memberi harapan
munculnya wirausahawan yang tangguh di kemudian hari. Memasukkan muatan
kewirausahaan pada tiap mata pelajaran di sekolah menjadi pilihan yang menarik.
Selain itu, memasukkan pendidikan kewirausahaan pada ekstrakulikuler
kepramukaan juga menjadi usulan baik guru maupun Dinas Pendidikan.
iii
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan Rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga kami
dapat melaksanakan penelitian sampai pada penulisan Laporan Akhir Penelitian
Tahun ke-3 sebagai tahun terakhir penelitian kami. Shalawat serta salam ditujukan
kepada kekasih Allah yang mulia Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya
serta umatnya yang setia sampai akhir zaman.
Laporan ini merupakan Laporan Akhir hasil Penelitian yang mengkaji dan
merumuskan Action Model Pendidikan Inklusif untuk Pengembangan Kapasitas
Kewirausahaan Anak. Kasus penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah
masyarakat nelayan di kawasan pesisir Cirebon, khususnya anak-anak sekolah
dasar di Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon.
Penelitian ini merupakan kajian pendidikan inklusif dalam pengembangan
kapasitas kewirausahaan, sehingga diharapkan dapat bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan tentang berbagai masalah sosial. Selain itu
penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengembangan
kajian keilmuan dalam aspek fisik, ekonomi, sosio-kultural, dan institusional.
Ucapan terimakasih atas terlaksananya penelitian ini kami sampaikan
kepada :
1. Rektor Unisba Prof. Dr. M. Thaufiq S. Boesoirie, dr., MS., Sp.THT-KL(K).
2. Ketua LPPM Unisba Prof. Dr. Edi Setiadi, SH., M.H.
3. Dekan Fikom Unisba Dr. O. Hasbiansyah, M.Si.
4. Kepala UPT Pendidikan Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon.
5. Kepala Desa Citemu Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon.
6. Kepala sekolah, guru dan siswa SDN 1 Citemu Kecamatan Mundu
Kabupaten Cirebon.
7. Kepala sekolah, guru dan siswa SDN 2 Citemu Kecamatan Mundu
Kabupaten Cirebon.
8. Kepala sekolah, guru dan siswa MI Addaroin.
9. Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon.
10. Masyarakat Nelayan Desa Citemu Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon.
Semoga temuan-temuan dalam penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Bandung, November 2016
Tim Peneliti
iv
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan…………………………………………………………………
Ringkasan……………………………………………………………………...……..
Prakata………………………………………………...……………………………...
Daftar Isi……………………………………………...………………..……………..
Daftar Tabel…………………………………………………………………………..
Daftar Gambar………………………………………………………………………..
Daftar Lampiran………………………………………………………………………
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Konteks Penelitian………………………………………………………………
1.2. Tujuan Penelitian....................................................................................................
1.3. Manfaat Penelitian..................................................................................................
1.4. Urgensi Penelitian...................................................................................................
1.5. Kerangka Pemikiran………………………………………………………….......
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. State of the art dalam bidang yang diteliti ………………………………………
2.2. Studi Pendahuluan yang sudah dilaksanakan……………………………………
2.3. Tinjauan tentang Pendidikan Kewirausahaan……………………………………
2.4. Membangun Pendidikan Kewirausahaan pada Anak……………………………
2.5 Membangun Komunikasi Dengan Anak ………………………………………..
2.6. Prinsip-prinsip Komunikasi dalam Pendidikan Kewirausahaan…………………
2.7. Perkembangan Kreativitas Anak…………………………………………………
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian ………………………………………………………………..
3.2. Manfaat Penelitian ……………………………………………………………….
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1 Pendekatan Penelitian………………………………………………….………
4.2 Tahap Penelitian………………………………………………………………
4.3 Teknik Pengumpulan Data……………………………………………………...
4.4 Teknik Analisis Data ……………………………………………………… …..
4.5 Bagan Penelitian………………………………………………………………..
4.6 Tahapan Penelitian ……………………………………………………………..
BAB 5. HASIL YANG DICAPAI
5.1. Menyusun materi kewirausahaan dengan mengakomodir potensi karakter
kewirausahaan pada masyarakat miskin, dan disempurnakan dengan hasil uji
coba kepada siswa dan guru sekolah dasar di desa Nelayan yang draftnya telah
disusun pada penelitian tahun kedua.…………………………………………….
5.2. Menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan dan pemerintahan dalam
penerapan pendidikan inklusif untuk anak pada masyarakat nelayan……………
i
ii
iii
iv
vi
vii
viii
1
2
3
3
5
8
11
16
20
22
24
28
36
38
39
40
42
44
45
47
54
63
v
5.3. Menguji cobakan pengajaran materi kewirausahaan pada institusi pendidikan
inklusif melalui ekstrakulikuler di sekolah-sekolah dengan melakukan Training
of Trainer untuk Guru Sekolah Dasar di desa Nelayan………………………….
5.4. Menyusun model pendidikan inklusif kewirausahaan……………………………
5.5 Mengembangkan strategi pendidikan kewirausahaan dalam skala yang lebih luas.
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
6.1 Rencana tahapan berikutnya………………………………………………………
6.2 Luaran penelitian tahap terakhir…………………………………………………..
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan………………………………………………………………………
7.2. Saran………………………………………………………………………….….
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….…
LAMPIRAN
68
78
85
87
88
89
91
93
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Luaran tahap terakhir ……………………………………. 88
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Roadmap Penelitian ……………………………………………… 15
Gambar 2. Skema Analisis Data Kualitatif ………………………………….. 44
Gambar 3. Model Langkah Analisis Induktif ……………………………….. 45
Gambar 4. Model Hasil Penelitian ………………..…………………………. 46
Gambar 5. Peta wilayah penelitian………………………………………....... 51
Gambar 6. Desa nelayan Citemu…………………………………………….. 52
Gambar 7. Kegiatan simulasi pengajaran kewirausahaan……………………. 56
Gambar 8. Simulasi permainan kreatif………………………………………. 57
Gambar 9. Wadong…………………………. …..…………………..…..…... 57
Gambar 10. Simulasi game dengan cermin ………………………..………… 59
Gambar 11. Institusi pendidikan di wilayah Desa Citemu………………….. 64
Gambar 12. Model Pendidikan inklusif kewirausahaan……………………. 84
viii
LAMPIRAN
Lampiran 1. Action Model Pendidikan Inklusif Kewirausahaan bagi Anak Nelayan
Lampiran 2. Artikel Jurnal Internasional terindeks scopus SEARCH MALAYSIA
(draf)
Lampiran 3. Makalah pada Konferensi Internasional : ACAS’s Eighth International
Conference on Education for a Globalizing Asia: Challenges and
Opportunities, Ateneo de Manila University Filipina
Lampiran 4. Surat Ijin Audiensi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon
Lampiran 5. Berita Acara Penelitian
Lampiran 6. Foto FGD dan Audiensi dalam Kegiatan Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konteks Penelitian
Karakter kewirausahaan perlu dibangun sejak dini. Membangun karakter
pada anak-anak bisa dilakukan melalui pendidikan. Karakter-karakter
kewirausahaan baik yang sudah ada maupun yang perlu dibangun sebagai
entrepreneurial mindset menjadi fokus dalam pendidikan kewirausahaan.
Pendidikan kewirausahaan harus mulai ditumbuhkan kembali untuk mencapai
tujuan besar meningkatkan kapasitas daya saing bangsa. Atas dasar pemikiran
tersebut maka disusun topik dalam usulan penelitian ini adalah mengembangkan
kapasitas kewirausahaan anak-anak masyarakat miskin melalui pendidikan inklusif.
Menyelenggarakan pendidikan kewirausahaan ini hendaknya
mengutamakan pentingnya berorientasi pada anak. Materi disusun dengan
memperhatikan kondisi anak. Minat, ketertarikan, kebutuhan, motivasi untuk
belajar perlu diperhatikan agar sesuai dengan tujuan yaitu membangun karakter
kewirausahaan pada diri anak. Dalam penyusunan materi, kondisi lokal masyarakat
menjadi bagian dari penyusunan materi. Untuk pendidikan kewirausahaan pada
anak, khususnya bagi anak di desa nelayan ini, kekuatan-kekuatan lokal masyarakat
menjadi bagian penting dalam penyusunan materi.
Penyampaian materi melalui komunikasi yang efektif menjadi bagian dari
menyelenggarakan pendidikan kewirausahaan untuk anak. Penyampaian yang
menarik, melibatkan anak dalam belajar, dan memastikan kondisi anak terbebas
secara psikologis adalah prinsip-prinsip komunikasi yang harus diterapkan. Guru
yang akan menjadi ujung tombak dalam pendidikan ini harus menguasai teknik-
teknik berkomunikasi dengan anak selain materi yang akan disampaikan.
McGraith dan Mac Millan (dalam Modul Kewirausahaan, 2010: 16)
menyampaikan ada tujuh karakter dasar yang perlu dimiliki setiap calon wirausaha,
yaitu action oriented, berpikir simple, selalu mencari peluang-peluang baru,
mengejar peluang dengan disiplin yang tinggi, hanya mengambil peluang yang
terbaik, fokus pada eksekusi, memfokuskan energi setiap orang pada bisnis yang
digeluti. Karakter-karakter dasar yang disebut sebagai entrepreneurial mindset
2
akan memberi kekuatan di masyarakat sekaligus memberikan nilai positif untuk
peningkatan daya saing bangsa.
Kelompok masyarakat miskin yang dipilih dalam kasus penelitian ini adalah
masyarakat nelayan. Pada masyarakat nelayan fokus penelitian adalah pada anak-
anak masyarakat nelayan di kawasan pesisir Cirebon. Alasan pengambilan kasus
penelitian ini adalah karena Cirebon merupakan salah satu kawasan penghasil ikan
yang cukup besar di Jawa Barat. Pembentukan karakter kewirausahaan hendaknya
dibangun sejak dini. Pada anak-anak membangun jiwa entrepreneurship dapat
dilakukan melalui pendidikan di sekolah. Penelitian ini menggunakan pendekatan
inklusif untuk penanaman dan pengembangan nilai pada anak di masyarakat
miskin. Pendidikan inklusif mempunyai semangat education for all yang
memungkinkan masyarakat marjinal termasuk masyarakat miskin untuk
mendapatkan layanan pendidikan setara dengan masyarakat lain. Dengan
pendekatan inklusif diharapkan masyarakat miskin mempunyai kepercayaan diri
untuk mengatasi hambatan kultural dan struktural demi membangun karakter
kewirausahaan pada dirinya.
Luaran penting dari penelitian ini adalah sebuah model pendidikan inklusif
dalam mengembangkan kewirausahaan masyarakat nelayan. Diharapkan model
yang dikembangkan dapat diterapkan untuk pendidikan anak pada masyarakat
nelayan tentang kewirausahaan di seluruh Indonesia.
1.2 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, dikembangkan beberapa tujuan yang akan dicapai,
yaitu:
1. Menyusun materi kewirausahaan dengan mengakomodir potensi karakter
kewirausahaan pada masyarakat miskin, dan disempurnakan dengan hasil
uji coba kepada siswa dan guru sekolah dasar di desa Nelayan yang draftnya
telah disusun pada penelitian tahun kedua.
2. Menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan dan pemerintahan dalam
penerapan pendidikan inklusif untuk anak pada masyarakat nelayan.
3
3. Menguji cobakan pengajaran materi kewirausahaan pada institusi
pendidikan inklusif melalui ekstrakulikuler di sekolah-sekolah dengan
melakukan Training of Trainer untuk Guru Sekolah Dasar di desa Nelayan.
4. Menyusun model pendidikan inklusif kewirausahaan.
5. Mengembangkan strategi pendidikan kewirausahaan dalam skala yang lebih
luas.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat
dalam dua aspek, yaitu manfaat praktis dan manfaat akademis.
1.3.1 Manfaat Praktis
Penelitian dapat memberikan manfaat praktis, yaitu:
1. Menjadi masukan kepada pemerintah dan pemerintah daerah, selaku
pemegang otoritas dalam membuat kebijakan mengenai penyelesaian
berbagai permasalahan dalam masyarakat, khususnya pada masyarakat
miskin.
2. Memberi masukan kepada lembaga-lembaga swasta tentang konsep-konsep
dalam membuat program pengentasan kemiskinan.
3. Masukan kepada masyarakat yang terkait langsung tentang kemampuan
untuk memberdayakan diri dalam mengatasi berbagai permasalahan hidup.
1.3.2 Manfaat Akademis
Sedangkan manfaat akademisnya, yaitu:
1. Penelitian ini merupakan kajian pendidikan inklusif dalam pengembangan
kapasitas kewirausahaan, sehingga dapat berperan dalam pengembangan
ilmu pengetahuan tentang berbagai masalah sosial.
2. Memberikan masukan bagi pengembangan kajian keilmuan dalam aspek
fisik, ekonomi, sosio-kultural, dan institusional.
1.4 Urgensi Penelitian
Urgensi penelitian ini membahas tiga isu besar: 1) daya saing masyarakat
dan karakter kewirausahaan, 2) masyarakat miskin sebagai potensi wirausaha, dan
4
3) pendidikan inklusif sebagai pendekatan transformasi potensi kewirausahaan
pada masyarakat miskin.
Isu daya saing masyarakat menjadi penting dalam era persaingan global
dewasa ini. Saat ini, relasi antarbangsa di dunia semakin cair dan cepat. Eksistensi
suatu bangsa ditentukan oleh posisi dan nilai tawar terhadap bangsa lain. Suatu
bangsa akan mempunyai eksistensi yang kuat jika ia mempunyai daya saing yang
tinggi. Dan daya saing ini ditentukan dengan karakter masyarakatnya. Masyarakat
yang punya dorongan untuk berpreastasi (need for achievement, n-Ach) yang tinggi,
Isu enterpreunership menjadi mengemuka dalam permasalahan daya saing
masyarakat, karena kompetisi global ini banyak dipicu oleh aktivitas perdagangan.
Karakter inisiator, pembaharu, dan kepeloporan kewirausahaan menjadi relevan
untuk masa sekarang, sikap-sikap enterpreunership dinilai menjadi solusi bagi suatu
masyarakat untuk keluar dari keterbelakangan dan beranjak menjadi masyarakat
yang maju.
Yang lebih penting pada aspek kewirausahaa adalah perubahan paradigma,
yang lebih melihat masalah sebagai suatu potensi. Dengan paradigma ini, maka
karakter enterpreunership akan membawa seseorang untuk tidak terjebak dalam
suatu masalah tertentu. Karakter ini akan membawa kepada sikap proaktif, untuk
selalu bergerak dan membawa perubahan demi kebaikan dan kemajuan suatu
masyarakat.
Dengan paradigma kewirausahaan, maka kemiskinan perlu dilihat sebagai
potensi, bukan sekadar masalah. Paradigma konvensional selalu menganggap
kelompok masyarakat miskin sebagai beban dari kelompok masyarakat lain.
Akibatnya masyarakat miskin acapkali dimarjinalisasikan. Solusi-solusi yang
terbangun cenderung bersifat penyantunan (charity) semata, yang sering tidak bisa
berlanjut karena hanya menghasilkan ketergantungan dan bukan relasi yang saling
mempedulikan dan memberdayakan.
Sebenarnya ada kekuatan natural dari masyarakat miskin yang lebih banyak
menjadi potensi laten karena hambatan struktural dan kultural. Kekuatan ini muncul
sebagai respons terhadap kondisi sulit yang dihadapi sehari-hari. Kekuatan ini
adalah kekuatan daya tahan hidup atau survivalitas, kemampuan adaptif, dan tahan
banting, dan mampu bertahan dalam kondisi sulit. Di banyak kalangan masyarakat
5
miskin, kekuatan tersebut telah berkembang menjadi profesi tertentu, terutama di
sektor informal seperti pedagang kaki lima, pemulung, dan jasa-jasa lain, yang
hadir dan dibutuhkan oleh masyarakat luas.
Agar karakter tersebut bisa menjadi kekuatan enterpreunership, maka perlu
ada upaya perubahan, dan cara yang paling mungkin adalah lewat pendidikan.
Hambatan kultural dan struktural membutuhkan waktu lama untuk bisa diatasi.
Maka anak-anak dari masyarakat miskin adalah harapan di masa depan. Lewat
pendidikan anak, karakter enterpreunership perlu ditanamkan sejak dini, bukan saja
agar mereka bisa melepaskan diri dari kemiskinan namun juga bisa berkembang
dan membawa masyarakatnya menjadi masyarakat yang lebih maju.
Pendidian inklusif dipilih sebagai pendekatan untuk menanamkan nilai-nilai
kewirausahaan pada anak-anak masyarakat miskin. Pendidikan inklusif merupakan
representasi dari deklarasi masyarakat dunia melalui UNESCO, yang menyatakan
bahwa pendidikan merupakan hak semua manusia (education for all). Melalui
pendidikan inklusif, kelompok masyarakat marjinal mendapatkan layanan
pendidikan berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Dampak signifikan dari
sistem pendidikan inklusif adalah terciptanya kohesi sosial yang kokoh. Dengan
pendidikan inklusif, masyarakat marjinal dapat lebih mempunyai kepercayaan diri
karena keberadaannya diakui. Sedangkan buat masyarakat lain, pendidikan inklusif
menjadi media untuk meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial.
Dengan pendidikan inklusif, penelitian ini dilakukan dengan memetakan
potensi nilai-nilai kewirausahaan lokal pada kasus masyarakat yang diteliti. Untuk
itu, penelitian ini memilih pendekatan etnografi di tahun pertama penelitian, agar
bisa mendapatkan potret kultural dari masyarakat yang diteliti. Selanjutnya
penelitian ini juga memetakan institusi-institusi lokal dan para pelaku kunci yang
mempunyai visi untuk memajukan komunitas. Diharapkan, metode pendidikan
inklusif ini bisa menjadi pendidikan yang membumi dalam membangun nilai-nilai
kewirausahaan di masyarakat.
1.5. Kerangka Pemikiran
Isu daya saing masyarakat menjadi penting dalam era persaingan global
dewasa ini. Saat ini, relasi antarbangsa di dunia semakin cair dan cepat. Eksistensi
6
suatu bangsa ditentukan oleh posisi dan nilai tawar terhadap bangsa lain. Suatu
bangsa akan mempunyai eksistensi yang kuat jika ia mempunyai daya saing yang
tinggi. Dan daya saing ini ditentukan dengan karakter masyarakatnya. Masyarakat
yang punya dorongan untuk berpreastasi (need for achievement, n-Ach) yang tinggi.
Isu enterpreunership menjadi mengemuka dalam permasalahan daya saing
masyarakat, karena kompetisi global ini banyak dipicu oleh aktivitas perdagangan.
Karakter inisiator, pembaharu, dan kepeloporan kewirausahaan menjadi relevan
untuk masa sekarang, sikap-sikap enterpreunership dinilai menjadi solusi bagi suatu
masyarakat untuk keluar dari keterbelakangan dan beranjak menjadi masyarakat
yang maju.
Yang lebih penting pada aspek kewirausahaan adalah perubahan paradigma,
yang lebih melihat masalah sebagai suatu potensi. Dengan paradigma ini, maka
karakter enterpreunership akan membawa seseorang untuk tidak terjebak dalam
suatu masalah tertentu. Karakter ini akan membawa kepada sikap proaktif, untuk
selalu bergerak dan membawa perubahan demi kebaikan dan kemajuan suatu
masyarakat.
Dengan paradigma kewirausahaan, maka kemiskinan perlu dilihat sebagai
potensi, bukan sekadar masalah. Paradigma konvensional selalu menganggap
kelompok masyarakat miskin sebagai beban dari kelompok masyarakat lain.
Akibatnya masyarakat miskin acapkali dimarjinalisasikan. Solusi-solusi yang
terbangun cenderung bersifat penyantunan (charity) semata, yang sering tidak bisa
berlanjut karena hanya menghasilkan ketergantungan dan bukan relasi yang saling
mempedulikan dan memberdayakan.
Sebenarnya ada kekuatan natural dari masyarakat miskin yang lebih banyak
menjadi potensi laten karena hambatan struktural dan kultural. Kekuatan ini muncul
sebagai respons terhadap kondisi sulit yang dihadapi sehari-hari. Kekuatan ini
adalah kekuatan daya tahan hidup/ survivalitas, kemampuan adaptif, dan tahan
banting, dan mampu bertahan dalam kondisi sulit. Di banyak kalangan masyarakat
miskin, kekuatan tersebut telah berkembang menjadi profesi tertentu, terutama di
sektor informal seperti pedagang kaki lima, pemulung, dan jasa-jasa lain, yang
hadir dan dibutuhkan oleh masyarakat luas.
7
Agar karakter tersebut bisa menjadi kekuatan enterpreunership, maka perlu
ada upaya perubahan, dan cara yang paling mungkin adalah lewat pendidikan.
Hambatan kultural dan struktural membutuhkan waktu lama untuk bisa diatasi.
Maka anak-anak dari masyarakat miskin adalah harapan di masa depan. Lewat
pendidikan anak, karakter enterpreunership perlu ditanamkan sejak dini, bukan saja
agar mereka bisa melepaskan diri dari kemiskinan namun juga bisa berkembang
dan membawa masyarakatnya menjadi masyarakat yang lebih maju.
Pendidian inklusif dipilih sebagai pendekatan untuk menanamkan nilai-nilai
kewirausahaan pada anak-anak masyarakat miskin. Pendidikan inklusif merupakan
representasi dari deklarasi masyarakat dunia melalui UNESCO, yang menyatakan
bahwa pendidikan merupakan hak semua manusia (education for all). Melalui
pendidikan inklusif, kelompok masyarakat marjinal mendapatkan layanan
pendidikan berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Dampak signifikan dari
sistem pendidikan inklusif adalah terciptanya kohesi sosial yang kokoh. Dengan
pendidikan inklusif, masyarakat marjinal dapat lebih mempunyai kepercayaan diri
karena keberadaannya diakui. Sedangkan buat masyarakat lain, pendidikan inklusif
menjadi media untuk meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial.
Dengan pendidikan inklusif, penelitian ini dilakukan dengan memetakan
potensi nilai-nilai kewirausahaan lokal pada kasus masyarakat yang diteliti. Untuk
itu, penelitian ini memilih pendekatan etnografi di tahun pertama penelitian, agar
bisa mendapatkan potret kultural dari masyarakat yang diteliti. Selanjutnya
penelitian ini juga memetakan institusi-institusi lokal dan para pelaku kunci yang
mempunyai visi untuk memajukan komunitas. Diharapkan, metode pendidikan
inklusif ini bisa menjadi pendidikan yang membumi untuk dalam membangun nilai-
nilai kewirausahaan di masyarakat.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 State of The Art dalam Bidang yang Diteliti
Paradigma konvensional selalu menganggap kelompok masyarakat miskin
sebagai beban dari kelompok masyarakat lain. Akibatnya masyarakat miskin
acapkali dimarjinalisasikan. Solusi-solusi yang terbangun cenderung bersifat
penyantunan (charity) semata, yang sering tidak bisa berlanjut karena hanya
menghasilkan ketergantungan dan bukan relasi yang saling mempedulikan dan
memberdayakan.
Sebenarnya ada kekuatan natural dari masyarakat miskin yang lebih banyak
menjadi potensi laten karena hambatan struktural dan kultural. Kekuatan ini muncul
sebagai respons terhadap kondisi sulit yang dihadapi sehari-hari. Kekuatan ini
adalah kekuatan daya tahan hidup/ survivalitas, kemampuan adaptif, dan tahan
banting, dan mampu bertahan dalam kondisi sulit. Di banyak kalangan masyarakat
miskin, kekuatan tersebut telah berkembang menjadi profesi tertentu, terutama di
sektor informal seperti pedagang kaki lima, pemulung, dan jasa-jasa lain, yang
hadir dan dibutuhkan oleh masyarakat luas.
Agar karakter tersebut bisa menjadi kekuatan enterpreunership, maka perlu
ada upaya perubahan, dan cara yang paling mungkin adalah lewat pendidikan.
Hambatan kultural dan struktural membutuhkan waktu lama untuk bisa diatasi.
Maka anak-anak dari masyarakat miskin adalah harapan di masa depan. Lewat
pendidikan anak, karakter enterpreunership perlu ditanamkan sejak dini, bukan saja
agar mereka bisa melepaskan diri dari kemiskinan namun juga bisa berkembang
dan membawa masyarakatnya menjadi masyarakat yang lebih maju.
Dalam peningkatan daya saing bangsa, entrepreneurship menjadi salah satu
pilihan yang penting. Pertumbuhan angka entrepreneur di negeri ini akan membawa
perubahan yang positif terhadap kekuatan daya saing bangsa. Hal ini dikarenakan
kekuatan karakter-karakter dasar yang dimiliki oleh seorang entrepreneur.
Action oriented salah satu karakter yang harus dimiliki. Enterpreneur adalah
orang yang selalu ingin bertindak. Prinsip yang dianut adalah bertindak dan
menghadapi resiko. Selain itu seorang entrepreneur harus mampu melihat persoalan
9
dengan jernih dan menyelesaikan masalah dengan baik. Peluang-peluang usaha
baru harus selalu dikejar dan diciptakan. Hal ini harus ditunjang dengan usaha untuk
terus belajar dan membangun jaringan-jaringan baru. Peluang akan dapat diperoleh
dengan disiplin yang tinggi serta usaha keras. Selain itu entrepreneur adalah orang
yang harus memfokuskan energi pada usaha yang digeluti. Karakter-karakter ini
yang akan membangun masyarakat yang memiliki jiwa entrepreneur akan menjadi
lebih kuat.
Paradigma kewirausahaan, positive thinking, melihat masalah sebagai
sebuah potensi untuk diubah menjadi lebih baik. Dengan paradigma kewirausahaan
tersebut, keberadaan masyarakat miskin bagi sebuah bangsa bisa dilihat sebagai
sebuah potensi dan bukan masalah. Pandangan konvensional cenderung melihat
masyarakat miskin sebagai beban sehingga sering dimarjinalkan. Padahal untuk
bertahan hidup mereka mempunyai kemampuan survivalitas tinggi, adaptif, dan
tahan banting dalam kondisi-kondisi sulit. Karakter tersebut bahkan berhasil
membentuk sebuah jejaring profesi terutama di sektor nonformal yag menjadi salah
satu penyedia kebutuhan masyarakat secara luas. Potensi-potensi kewirausahaan
dalam masyarakat ini masih bersifat laten dan terabaikan sehingga perlu digali
dengan lebih cermat.
Keunikan entrepreneur di Indonesia adalah karena kekhasan yang
dimilikinya. Kekhasan tersebut adalah memiliki potensi keunikan, jiwa seni,
keunikan lokal, sikap adaptif, tahan banting. Indonesia memiliki potensi
enterpreneur yang menjadi modal untuk daya saing bangsa. Karakter sikap adaptif,
dan tahan banting dimiliki oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah karena
untuk bertahan hidup. Namun karena hambatan kultural dan struktural, potensi
tersebut hanya sekedar menjadi kemampuan untuk bertahan hidup dan bukan untuk
mengembangkan diri, sehingga perlu bantuan dari luar supaya potensi tersebut
dapat digunakan untuk pengembangan diri.
Salah satu solusi untuk mengatasi hambatan tersebut adalah melalui
pendidikan inklusif mengenai kewirausahaan. Pendidikan inklusif merupakan
manifestasi dari deklarasi dunia melalui Badan Dunia untuk Pendidikan, Penelitian,
dan Kebudayaan (UNESCO) pada Konferensi di Jomtien tahun 1990, tentang
“Pendidikan untuk Semua“, yang menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya
10
diberikan kepada semua anak, remaja dan orang dewasa dalam lingkungan yang
berkualitas dan akses yang memadai (UNESCO, 1990, pasal III:1-5) . UNESCO
kemudian melanjutkannya dengan Deklarasi Salamanca tahun 1994 tentang
“Pendidikan Inklusif“, yang mengharuskan sekolah mengakomodasi keragaman
fisik, intelektual, emosional, sosial, dan bahasa (UNESCO, 1994: pasal 2 dan 3).
Deklarasi ini dilanjutkan dengan komitmen dunia melalui Kerangka Kerja Dakar
tahun 2000 untuk menarik minat dan memelihara anak-anak dari kelompok
marjinal dan terbelakang dengan mengembangkan sistem pendidikan yang inklusif
dan lentur terhadap lingkungan dan kebutuhan para pembelajar (UNESCO, 2000,
paragraf 33).
Program pendidikan inklusif juga telah menjadi kebijakan pendidikan
nasional di Indonesia. Dalam Permendiknas RI nomor 70 tahun 2009 disebutkan,
tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang
menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Secara operasional, pendidikan inklusif diselenggarakan dalam suatu
sekolah inklusif, yang dipahami sebagai sekolah reguler yang memasukkan anak-
anak dari kalangan marjinal dalam sistem pendidikan di dalamnya (Grovinda,
2009:9). Dengan demikian, anak-anak dari kalangan marjinal dapat menjalani
proses dan lingkungan pendidikan yang berkualitas seperti sekolah pada umumnya.
Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan sarana efektif untuk melawan
diskriminasi, membangun komunitas yang bersahabat, membangun masyarakat
yang inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua (UNESCO, 1994: pasal 2).
Penelitian ini berada dalam lingkup besar penelitian tentang komunikasi
pendidikan anak. Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan meliputi bagaimana
metode komunikasi efektif agar anak bisa belajar dengan lebih baik. Perjumpaan
dengan kelompok masyarakat marjinal memperluas bidang penelitian ke dalam
ranah pendidikan inklusif. Beberapa penelitian tentang komunikasi pada
11
masyarakat marjinal antar lain tentang pola komunikasi Anak Berkebutuan Khusus
(ABK) dan komunikasi pekerja anak pada industri rumah tangga.
Penelitian ini mencoba menggunakan paradigma pendidikan inklusif pada
kelompok masyarakat marjinal lain, yaitu masyarakat miskin, menyesuaikan
dengan salah satu topik Riset Strategis Nasional 2014 yaitu pengentasan
kemiskinan. Dengan rekam jejak penelitian komunikasi anak dan pendidikan
inklusif, diharapkan penelitian ini mampu memetakan potensi lokal anak-anak dari
masyarakat miskin, dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan, dan
mengembangkan metode pendidikan inklusif untuk mengangkat nilai-nilai lokal
tersebut ke dalam semangat kewirausahaan.
2.2 Studi Pendahuluan yang Sudah Dilaksanakan
1) Penelitian tentang Metode Komunikasi Guru
Penelitian tentang Metode Komunikasi Guru yang berjudul “Kajian Metode
Komunikasi Persuasif Guru Dalam Perkembangan Kreativitas Anak Taman
Kanak-Kanak”. Hal yang menarik yang dikaji dalam penelitian ini adalah cara guru
mengembangkan komunikasi persuasifnya dengan pesan yang mengena pada
persepsi anak. Permasalahan ini dijabarkan dalam identifikasi masalah sebagai
berikut: (1) Bagaimana cara guru mempersuasi dengan pesan yang menggunakan
ungkapan yang dimengerti oleh anak; (2) Bagaimana cara guru membangun empati
terhadap anak dalam menyampaikan pesannya; (3) Bagaimana guru melakukan
pendampingan terhadap anak dalam mengaplikasikan pesan yang disampaikannya;
(4) Bagaimana bentuk pujian dan dorongan yang diberikan guru untuk mendukung
keberhasilan pesan yang disampaikan; dan (5) Bagaimana guru dalam
menyampaikan pesan yang mendorong kebebasan pada anak dalam memberikan
responnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa apa yang dikembangkan guru dalam
metode komunikasi persuasif dalam mengajar berkaitan dengan perkembangan
kreativitas anak. Keterkaitan ini menghasilkan prinsip-prinsip umum komunikasi
persuasif guru yang terkait dengan kreativitas anak, yang dapat dilihat diantaranya
sebagai berikut: guru menjalin keterdekatan dengan anak, hal ini akan mengurangi
hambatan anak untuk berekspresi. Ketika guru memberikan pertanyaan dengan
12
jawaban elaboratif, anak akan terdorong dan terlatih untuk berpikir variatif dalam
mengembangkan kreativitasnya.
2) Penelitian tentang Pendidikan Inklusif
Penelitian tentang sekolah inklusif dengan judul Pola komunikasi Guru
dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusi (Studi Fenomenologi tentang
Pola Komunikasi Guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar di SD Hikmah Teladan
Cimahi).
Penelitian ini memfokuskan pada komunikasi guru dalam proses belajar
mengajar di kelas. Penelitian ini menjawab beberapa pertanyaan penelitian: (1)
bagaimana komunikasi guru dalam menyampaikan materi pelajaran di kelas
inklusi?; (2) bagaimana komunikasi guru agar siswa normal dapat menerima anak
berkebutuhan khusus?; serta (3) bagaimana komunikasi guru dalam membantu anak
berkebutuhan khusus agar berhasil di sekolah inklusif?
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi guru dalam
menyampaikan materi pelajaran di keas dilaksanakan dalam empat tahap yaitu
pengkondisian siswa, pengenalan materi, penjeasan materi, latihan soal dan
pembahasan. Komunikasi guru agar siswa normal dapat menerima Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) yaitu dengan menumbuhkan pengertian dalam diri
siswa normal baik secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi guru dalam
menumbuhkan empati yaitu dengan memberi penjelasan dan berdialog tentang
kondisi ABK serta membaurkan siswa normal dengan ABK. Guru juga berusaha
menciptakan suasana kelas agar siswa dapat menerima ABK yaitu dengan cara
menyatukan anak dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Dengan perlakuan yang
sama antara siswa normal dan ABK berarti memberikan kesempatan yang sama
pada mereka.
Keberhasilan ABK di sekolah inklusif didorong oleh komunikasi yang
diciptakan oleh guru di kelas. Guru membantu ABK agar mau belajar di kelas yaitu
dengan cara pendampingan, menciptakan mood, tutor sebaya, memberikan reward
dan punishment. ABK juga dibantu beradaptasi dan bersosialisasi yaitu dengan cara
memperkenalkan aturan kelas, memperkenalkan teman sekelas, membuat ABK
lebih lama diam di kelas, membantu ABK mengenali potensi dari pemberian tugas
13
dengan mengeksplorasi siswa, mengamati dari keseharian, melalui hobi ataupun
dengan cara alami.
3) Penelitian Tentang Metode Komunikasi Guru Pendamping/Helper
Penelitian tentang metode komunikasi helper dengan judul Metode
Komunikasi Helper di Sekolah Inklusif Pendidikan Anak Usia Dini di Bandung.
Penelitian ini mengkaji dan merumuskan metode komunikasi helper (guru
pendamping) di sekolah inklusif, yaitu bertujuan untuk meneliti bagaimana cara
helper membantu ABK dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah
inklusi, yang meliputi: (1) metode atau cara helper berkomunikasi dalam membantu
ABK memahami materi; (2) metode atau cara helper berkomunikasi dalam
membantu ABK bersosialisasi; dan (3) metode atau cara helper berkomunikasi
dalam menumbuhkan kemandirian ABK.
Hasil penelitian menunjukkan (1) metode komunikasi helper dalam
membantu abk mengikuti pelajaran yaitu dengan cara: pengkondisian,
pendampingan, menciptakan mood (suasana hati) , tutor sebaya, reward &
punishment dan belajar sambil bermain; (2) metode komunikasi helper dalam
membantu abk bersosialisasi yaitu dengan memperkenalkan aturan kelas,
memperkenalkan teman sekelas, membuat abk lebih lama diam di kelas dan berbaur
dengan siswa lain; dan (3) metode komunikasi helper dalam menumbuhkan
kemandirian abk yaitu dengan pembiasaan, memberi kepercayaan, mendidik
disiplin, memberi kesempatan memilih, menghargai usaha anak.
4) Penelitian tentang Pekerja Anak
Penelitian tentang pekerja anak dengan judul Pola Komunikasi Pengusaha
dengan Pekerja Anak pada Industri Kecil di Bandung. Penelitian ini mengkaji
bagaimana pekerja anak mengelola komunikasi dengan orang dewasa di lingkungan
kerjanya sehingga memperoleh gambaran mengenai pola komunikasinya, Hasil
penelitian menunjukkan :
a) Komunikasi pekerja anak dengan atasan dengan atasan meliputi pembicaraan
hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan pembagian pekerjaan, cara
melakukan pekerjaan, pemberian motivasi untuk terus bekerja dan
14
melaksanakan pekerjaan dengan baik. Beberapa keputusan yang berkaitan
dengan permasalahan pekerjaan seperti system penggajian, uang lembur, ijin
cuti, teguran bila pekerja anak melakukan kesalahan juga dikomunikasikan oleh
atasan kepada pekerja anak. Seorang atasan memiliki kredibilitas yang baik
dimata pekerja anak karena anak menganggap atasan adalah orang yang paling
kompeten tentang hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan sehingga informasi
yang disampaikan akan sangat dipercaya oleh anak.
b) Komunikasi pekerja anak dengan pekerja dewasa meliputi pembicaraan yang
berkaitan dengan bimbingan dalam melaksanakan pekerjaan, motivasi dalam
melakukan pekerjaan, percakapan ringan disela-sela waktu bekerja dengan
berbagai tema yang sering tidak cocok untuk anak-anak. Pekerja anak terlihat
nyaman berkomunikasi dengan pekerja dewasa, karena sudah merasa dekat satu
dengan yang lainnya. Intensitas komunikasi yang terjalin cukup tinggi
mengingat para pekerja tersebut berinteraksi satu dengan lainnya karena mereka
berada di tempat yang sama baik ketika bekerja maupun di luar waktu bekerja.
Hal ini terjadi karena mereka tinggal di tempat yang sama sehingga sulit untuk
menghindari interaksi. Tema yang lebih tepat diperuntukkan bagi orang dewasa
mendominasi komunikasi antara mereka cenderung membuat anak terlalu cepat
dewasa dan tidak sesuai dengan perkembangan usianya.
c) Komunikasi Pekerja Anak dengan Sesama Pekerja Anak meliputi permasalahan
di luar teknis pekerjaan. Mereka saling memotivasi untuk terus bekerja karena
kondisi mereka yang rata-rata sama. Pekerja anak meninggalkan keluarganya di
kampong untuk bekerja yang sebagian penghasilannya dikirim untuk keluarga di
kampong. Selain itu mereka juga saling melemparkan candaan disela-sela waktu
bekerja untuk menghilangkan kejenuhan. Keluh kesah juga sering muncul
diantara mereka ketika ada permasalahan yang bersifat pribadi. Dengan teman
yang usianya sebaya, sasama pekerja anak merasa lebih nyaman berkomunikasi
karena mereka merasa tidak ada hambatan psikologis dalam berkomunikasi.
Tindak lanjut dari penelitian ini adalah program-program pendidikan
kewirausahaan pada anak-anak masyarakat miskin di Indonesia. Diharapkan,
melalui pendidikan, beberapa anak dari kelompok masyarakat marjinal ini bisa
mengembangkan potensi lokal yang dimilikinya dan mentransformasikannya
15
menjadi karakter kewirausahaan. Program ini bisa diselenggarakan melalui
mekanisme pendidikan non-formal dalam skema kementerian pendidikan nasional
RI. Selain itu, program ini juga bisa diusulkan melalui skema program
pertanggungjawaban sosial masyarakat (CSR) dan pengembangan komunitas
(community development) dari perusahaan-perusahaan swasta.
Gambar 1. Roadmap Penelitian
Komunikasi Persuasif Guru
terhadap Kreativitas Anak(Tesis, 2002)
Komunikasi
Pendidikan
Anak
Komunikasi Pengajaran
Musik Anak(Penelitian LPPM Unisba, 2003)
Pendidikan
Inklusif
pada Anak
Kajian
Kelompok
Masyarakat
Marginal
Konstruksi Gender pada
Komunikasi Orang Tua
kepada Anak(Penelitian Kajian Wanita Dikti,
2008)
Komunikasi Anak di Sekolah
Inklusif(Disertasi, 2011)
Komunikasi Helper pada
PAUD(Penelitian LPPM Unisba, 2010)
Komunikasi Pekerja Anak(Penelitian LPPM Unisba, 2012)
Pendidikan Inklusif untuk
Kewirausahaan pada
Masyarakat Miskin(Usulan Penelitian Stranas 2014)
Program
Pendidikan
Non-Formal
Kementerian
Pendidikan RI
Program-
Program CSR
Penelitian Terdahulu Usulan Penelitian Agenda Keberlanjutan Penelitian
Program Pendidikan
Kewirausahaan pada
Masyarakat Miskin
16
2.3 Tinjauan tentang Pendidikan Kewirausahaan
Kewirausahaan adalah proses mengidentifikasi, mengembangkan, dan
membawa visi ke dalam kehidupan. Visi tersebut bisa berupa ide inovatif, peluang,
cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu. Hasil akhir dari proses tersebut
adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi risiko atau
ketidakpastian.
Kewirausahaan adalah sikap mental yang ditandai oleh kemadirian,
kemampuan bekerja sama, kemampuan mengambil resiko (risk taking), jujur,
tanggung jawab, tangguh (resillince), reasoning, dan kepedulian. Sikap hidup
semacam itu bukanlah sesuatu yang dilatihkan (training/workshop) dalam satu
bulan atau tiga bulan, tetapi sikap itu harus dibangun secara konsisten, terus
menerus dan berkesinambungan baik melalui pendidikan formal (kurikulum)
maupun kegiatan ekstrakulikuler dan kemasyarakatan.
Budaya kewirausahaan yang tumbuh secara alami dalam suatu keluarga atau
kelompok masyarakat Indonesia merupakan suatu asset yang sangat berharga bagi
bangsa Indonesia. Dinamika Perekonomian bangsa yang bertumpu pada
pertumbuhan budaya kewirausahaan tradisinal ini, perlu dipadukan dengan
penguasaan IPTEK dalam suatu kegiatan pendidikan penumbuhkembangkan
budaya wirausaha dalam pendidikan dasar menjajikan harapan cerah bagi
terciptanya sumber daya manusia yang mandiri dalam berpikir dan bertindak,
mampu menerapkan IPTEK yang dipahaminya untuk kesehjateraan diri dan
masyarakatnya. Adanya jiwa wirausaha sangat diperlukan bagi pengembangan
individu dalam mengarungi kehidupan di samping secara lebih luas lagi, yaitu
untuk mengembangkan kemadirian bangsa.
Dalam ranah pendidikan, persoalan pendidikan kewirausahaan menyangkut
bagaimana dikembangkan praksis pendidikan yang tidak hanya menghasilkan
manusia terampil dari sisi ulah intelektual, tetapi juga praksis pendidikan yang
inspiratif-pragmatis.Praksis pendidikan, lewat kurikulum, system, dan
penyelenggaraannya harus serba terbuka, eksploratif, dan membebaskan. Tidak
hanya praksis pendidikan yang link and match (tanggem), yang lulusannya siap
memasuki lapangan kerja, tetapi juga siap menciptakan lapangan kerja.
17
Selaras dengan kemampuan softskills, maka para peserta didik perlu
dibekali dengan pendidikan kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship) yang
handal. Dengan dibekali pengetahuan kewirausahaan yang memadai dan disertai
segi-segi praktiknya, maka para lulusan mempunyai kemauan dan kemampuan
yang memadai, sehingga tidak merasa kebingungan ketika harus memasuki pasaran
kerja.
Mata pelajaran kewirausahaan sekarang ini perlu diberikan kepada semua
peserta didik. Demikian juga kalau memungkinkan setiap pelajaran dimasukkan
unsure kewirausahaan yang didalamnya terkandung kreativitas, inovasi, dan tidak
takut kepada risiko, sehingga aspek praktik lapangan menjadi prioritas utama.
Seorang wirausaha memang harus berani mengambil risiko, tetapi jauh
lebih penting bagi wirausaha adalah sikap kreatifnya untuk menjadikan sebuah
risiko terkendali. Mengapa wirausaha berani mengambil risiko karena sikap
kreatifnya mampu meninimalisir risiko yang akan terjadi. Berani ambil risiko tanpa
perhitungan sebelumnya sama juga bunuh diri.
Kebijakan pendidikan kewirausahaan mempunyai landasan yang kuat.
Landasan acuannya adalah melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
system pendidikan Nasional pasal 3, menyatakan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah seringkali kurang
memperhatikan penumbuhan sikap, minat, dan perilaku wirausaha peserta didik,
baik di sekolah-sekolah kejuruan, maupun di pendidikan professional. Fokus utama
pendidikan pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja. Untuk itu, perlu
dicari penyelesaianya, bagaimana pendidikan dapat berperan untuk mengubah
manuasia menjadi insane wirausaha. Untuk mencapai hal tersebut bekal apa yang
perlu diberikan kepada peserta didik agar mampu menjadi wirausaha yang tangguh
dan siap sehingga mampu menghidupi dirinya.
18
Untuk mencapai tujuan tersebut, proses dapat dicapai apabila proses
pembelajaran berlangsung secara efektif dan peserta didik dapat menghayati dan
menjalani proses pembelajaran tersebut secara bermakna. Kualitas produk tercapai
apabila peserta didik menunjukan tingkat penguasaan yang tinggi terhadap tugas-
tugas belajar sesuai dengan kebutuhannya dalam kehidupan dan tuntutan dunia
kerja. Dengan demikian untuk kemampuan di atas perlu dikembangkan model
kewirausahaan dari mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini, Sekolah Dasar sampai
Sekolah Menengah Atas. Pendidikan harus berorientasi pada kemampuan untuk
menumbuhkan sikap, minat, dan perilaku wirausaha pada siswa.
Arah kebijakan pembangunan pendidikan nasional dimaksudkan untuk
penerapan metodologi pendidikan akhlak mulia dan karakter bangsatermasuk
karakter wirausaha. Kebijakan untuk menanggulangi masalah ini terutama masalah
yang terkait dengan kewirausahaan antara lain dapat dilakukan dengan cara : a)
menanamkan pendidikan kewirausahaan ke dalam semua mata pelajaran, bahan
ajar, ekstrakulikuler, maupun pengembangan diri, b) mengembangkan kurikulum
pendidikan yang memberikan muatan pendidikan kewirausahaan yang mampu
meningkatkan pemahaman tentang kewirausahaan, menumbuhkan jiwa dan
karakter wirausaha serta menumbuhkan skill berwirausaha, serta c) menumbuhkan
budaya berwirausaha di lingkungan sekolah.
Keberhasilan program pendidikan kewirausahaan dapat diketahui melalui
pencapaian kriteria oleh peserta didik, yang antara lain meliputi :
1. Memiliki karakter wirausaha
2. Memahami konsep kewirausahaan
3. Mampu melihat peluang
4. Memiliki keterampilan (skill)
5. Terbentuknya lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar
yang berwawasan kewirausahaan.
Kerangka pengembangan kewirausahaan di kalangan tenaga pendidik
dirasakan sangat penting karena pendidik adalah “Agent of change” yang
diharapkan mampu menanamkan ciri-ciri sifat, dan watak serta jiwa kewirausahaan
atau jiwa entrepreneur juga sangat diperlukan bagi peserta didiknya. Di samping
itu, jiwa entrepreneur juga sangat diperlukan bagi seorang pendidik, karena melalui
19
jiwa ini, para pendidik akan memiliki orientasi kerja yang lebih efisien, kreatif,
inovatif, produktif, dan mandiri. Jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) dapat
ditanamkan oleh para pendidik maupun orang tua ketika anak-anak mereka masih
berusia dini. Kewirausahaan lebih mengarah pada perubahan mental. Pengenalan
terhadap diri sendiri (self awareness)
Pendidikan yang berwawasan kewirausahaan adalah pendidikan yang
menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup
(life skill) pada peserta didiknya melalui kurikulum yang terintegrasi yang
dikembangkan di sekolah.
Kecakapan hidup (life skill) dapat dipilah menjadi lima bagian, ialah
kecakapan mengenal diri (self awareness), kecakapan berpikir rasioanal (thinking
skill), kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademik (academic skill), dan
kecakapan vokasional (vocational skill).
1. Kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan diperlukan bagi
seseorang untuk mengenal dirinya secara utuh. Kecakapan ini mencakup :
- Penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan
- Penghayatan diri sebagai anggota keluarga dan masyarakat
- Penghayatan diri sebagai warga Negara
- Menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan diri
- Menjadikan kelebihan dan kekurangan sebagai modal dalam
meningkatkan diri agar bermanfaat bagi diri dan lingkungannya
2. Kecakapan berpikir rasional (thinking skill) adalah kecakapan yang
diperlukan dalam pengembangan potensi berpikir, mencakup :
- Kecakapan menggali dan menemukan informasi (information
searching)
- Kecakapan mengelolah informasi dan mengambil keputusan
(information processing and decision making skills)
- Kecakapan memecahkan masalah secara kreatif (creative problem
solving skill)
3. kecakapan sosial atau kecakapan interpersonal (social skill) mencakup :
- kecakapan komunikasi dengan empati (communication skill), empati,
sikap penuh pengertian dan seni komunikasi dua arah, perlu ditekankan
20
karena yang dimaksud berkomunikasi bukan sekadar menyampaikan
pesan, tetapi isi dan sampainya pesan, disertai dengan “kesan” baik,
akan menumbuhkan hubungan yang harmonis.
- Kecakapan bekerja sama
4. Kecakapan akademik (academic skill) atau kemampuan berpikir ilmiah,
mencakup komponen-komponen :
- Kemampuan melakukan identifikasi variabel
- Kemampuan merumuskan hipotesis
- Kemampuan melakukan penelitian
5. Kecakapan vokasional (vocational skill), adalah keterampilan yang
dikaitkan dengan berbagai bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di
masyarakat.
2.4 Membangun Pendidikan Kewirausahaan pada Anak
1. Melalui Pengembangan Diri
Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran
sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan
diri merupakan upaya pembentukan karakter termasuk karakter wirausaha dan
kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling
ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan karier. Untuk kesatuan pendidikan
khusus, pelayanan konseling menekankan peningkatan kecakapan hidup sesuai
dengan kebutuhan khusus peserta didik.
Dengan Pembelajaran praktik berwirausaha, pembelajaran kewirausahaan
diarahkan pada pencapaian tiga kompetensi yang meliputi penanaman karakter
wirausaha, pemahaman konsep, dan skill, dengan bobot yang lebih besar pada
pencapaian kompetensi jiwa dan skill, dengan bobot yang lebih besar pada
pencapaian kompetensi jiwa dan skill dibandingkan dengan pemahaman konsep.
Salah satu contoh model pembelajran kewirausahaan yang mampu menumbuhkan
karakter dan perilaku wirausaha dapat dilakukan dengan cara mendirikan kantin
yang dikelola oleh anak-anak sendiri.
21
2. Dalam Bahan/Buku Ajar
Bahan/buku ajar merupakan komponen pembelajaran yang paling
berpengaruh terhadap apa yang sesungguhnya terjadi pada proses pembelajaran.
Banyak guru yang mengajar semata-mata mengikuti urutan penyajian dan kegiatan-
kegiatan pembelajarana (task) yang telah dirancang oleh penulis buku ajar, tanpa
melakukan adaptasi yang berarti. Penginternalisasian nilai-nilai kewirausahaan
dalam buku ajar baik dalam pemaparan materi, tugas maupun, evaluasi.
3. Melalui Kultur Sekolah
Budaya/kultur sekolah adalah suasana kehidupan sekolah di mana peserta
didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan
sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya dan antara anggota kelompok
dalam masyarakat sekolah. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan
kewirausahaan dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan
kepala sekolah, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan peserta
didik dan menggunakan fasilitas sekolah, seperti kejujuran, tanggung jawab,
disiplin, komitmen, dan budaya berwirausaha di lingkungan sekolah (seluruh warga
sekolah melakuakn aktivitas berwirausaha di lingkungan sekolah).
4. Ke dalam Muatan Lokal
Mata pelajaran ini memberikan peluang kepada peserta didik untuk
mengembangkan kemampuannya yang dianggap perlu oleh daerah yang
bersangkutan. Oleh karena itu, mata pelajaran muatan lokal harus memuat
karakteristik budaya lokal, keterampilan, nilai-nilai luhur budaya setempat dan
mengangkat permasalahan sosial dan lingkungan yang pada akhirnya mampu
membekali peserta didik dengan keterampilan dasar (life skill) sebagai bekal dalam
kehidupan sehinnga dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Contoh : anak yang
berada di lingkungan sekitar pantai, harus bisa menangkap potensi lokal sebagai
peluang untuk mengelolah menjadi produk yang memiliki nilai tambah, yang
kemudian diharapkan anak mampu menjual dalam rangka untuk memperoleh
pendapatan.
22
2.5 Membangun Komunikasi dengan Anak
Pendidikan kewirausahaan untuk anak hendaklah memperhatikan anak
sebagai subjek dan bukan objek dalam pendidikan. Salah satu faktor penting adalah
membangun komunikasi dengan anak. Seorang guru yang juga sebagai sumber
memegang peran yang penting dalam membangun komunikasi. Dalam konteks
komunikasi dengan anak, seorang sumber yang sekaligus sebagai orang yang lebih
dewasa akan membimbing dan membantu dalam berkomunikasi dengan anak.
Teori keterlibatan lebih menjelaskan kepada penerima. Tokohnya adalah
Muzafer Sherif. Teori tersebut mempunyai dua konsep pokok yang keduanya secara
internal didasarkan pada penerima (Larson, 1996:365). Pendapat terdahulu
merupakan pandangan internal yang ada di dalam diri masing-masing. Penerima
ketika dihadapkan pada kebutuhan untuk melakukan sesuatu sering merujuk pada
hal-hal internal yang ada dalam dirinya dan membandingkan informasi yang sudah
ada yang relevan. Informasi akan dapat diterima bila dekat dengan hal-hal yang ada
di sekitar dirinya dan berada di dalam ruang geraknya yang disebut sebagai ruang
gerak penerimaan.
Sangat penting bagi seorang sumber untuk mengetahui ruang gerak
penerimanya atau berempati dengan keadaan penerimanya sebelum menyampaikan
pesan. Semakin besar keterlibatan pesan dengan keadaan dirinya, maka semakin
besar ruang penerimaan terhadap pesan tersebut.
Bila pesan masuk dalam ruang gerak penolakan, maka sulit diterima. Di
antara ruang gerak penerimaan dan penolakan terdapat ruang gerak non
commitment dimana penerima tidak memiliki sikap yang kuat untuk menerima atau
menolak.
Menurut Sherif hal yang terpenting lainnya adalah keterlibatan ego (ego
involvement) dengan pesan yang disampaikan. Apabila keterlibatan orang sangat
kuat, maka mereka bisa menempatkan dirinya dalam suatu posisi dan mudah untuk
menerima informasi atau pesan yang disampaikan.
Ketika orang dewasa menyatukan diri dengan anak, baik dengan lambang
verbal maupun non verbal, dan menggambarkan bahwa ia sama dengan anak atau
menjadi satu dengan anak. Sebagai contoh penggunaan kata kita, bukan saya atau
kami, dengan maksud agar anak merasa terlibat dengan apa yang disampaikan oleh
23
orang dewasa. Orang dewasa biasanya akan mengambil posisi untuk mengartur
kedekatan dengan anak.
1. Penyampaian Pesan
Manusia belajar akan suatu harapan atau ekspektansi yaitu rasa percaya
bahwa suatu respon perilaku akan membawa kepada suatu peristiwa atau hal
tertentu. Dalam pendidikan anak, teori ini banyak digunakan untuk melihat isi pesan
yang disampaikan, misalnya topik yang berkaitan erat dengan dunia anak-anak,
seperti cerita-cerita rakyat atau dongeng binatang, akan lebih mudah diterima oleh
anak.
2. Pelaksanaan Komunikasi kepada Anak
Tujuan komunikasi adalah membuat audiens percaya dan mau mengikuti
kehendak penyampai pesan. Untuk mencapai kondisi seperti ini, ada beberapa
tahapan tipikal yang dapat dilakukan oleh sumber:
1. Pembangkitan Pesan
Berbagai cara dapat dilakukan oleh sumber untuk membangkitkan perhatian
sasaran, misalnya dengan pengaturan gaya bicara melalui pemilihan kata-kata
yang menarik, serta gaya penampilan fisik yang simpatik. Cara seperti ini
merupakan contoh langkah persuasif untuk membangkitkan perhatian sasaran
sehingga proses komunikasi diharapkan lebih efektif.
2. Penumbuhan minat.
Menumbuhkan minat sasaran ini dapat berhasil dengan mengutarakan hal-hal
yang menyangkut kepentingan sasaran. Oleh karena itu sumber harus mengenal
sasaran yang dihadapinya, sehingga kepentingannya dapat ditangkap, dan pesan
komunikasi persuasif dapat disusun sesuai dengan minat sasarannya tersebut.
3. Pemunculan Hasrat
Hasrat sasaran dapat dimunculkan dengan melakukan ajakan dan bujukan.
Pada tahap ini imbauan emosional (emotional appeal) perlu ditampilkan.
Sementara dari sisi sasaran (audiens), ada beberapa ciri yang menandakan
proses tahapan komunikasi persuasif, yang diklasifikasikan oleh Larson, (1986:34),
sebagai berikut:
1. Attention (perhatian). Jika sasaran tidak memberikan perhatian pada pesan,
maka ia tidak dapat terpengaruh oleh pesan tersebut. Dengan demikian
24
efektifitas persuasi mensyaratkan terlebih dahulu harus ada perhatian dari
sasaran.
2. Comprehension (pemahaman). Jika sasaran tidak memahami atau tidak
mengerti pesan yang disampaikan, maka mereka sangat sulit untuk dipersuasi
melalui proses komunikasi.
3. Acceptance (penerimaan). Jika sasaran tidak memperhatikan dan tidak
memahami pesan, maka akan terjadi permasalahan dalam penerimaan pesan
persuasi.
4. Retention (penangguhan). Sering sasaran menyembunyikan atau menahan
pesan-pesan yang telah dipahaminya sampai waktu tertentu yang dirasakan
olehnya tepat untuk bertindak.
5. Action (perbuatan/tindakan). Perubahan sikap atau tindakan sesuai dengan
himbauan pesan yang diterima.
2.6 Prinsip-Prinsip Komunikasi dalam Pendidikan Kewirausahaan
Untuk mencapai komunikasi yang efektif, maka harus dikembangkan
prinsip-prinsip komunikasi. Dari berbagai sumber dan penelitian pakar, penulis
menyimpulkan ada beberapa prinsip komunikasi yang harus dikembangkan dalam
berkomunikasi dengan anak.
1. Meningkatkan kredibilitas
Orang dewasa apalagi bagi seseorang yang dihormati oleh seorang anak
(apakah sebagai orang tua, atasan, maupun guru) mempunyai kredibilitas
yang tinggi di mata anak, maka akan membuat anak lebih percaya dan dapat
mengubah pendapat dengan ketertarikan langsung. Umumnya semakin
tinggi kredibilitas seseorang akan memberikan daya tarik yang lebih
meyakinkan.
Sedangkan personalitas anak juga mempengaruhinya dalam menerima
pesan. Seorang anak yang percaya akan kemampuan dirinya akan menerima
pesan yang sesuai dengan apa yang telah terbentuk dalam pikirannya dan
yang mempunyai hubungan walaupun kecil dengan kehidupannya. Seorang
anak akan cepat menerima pesan yang berkaitan dengan sesuatu yang
disukainya. Individu akan memperhatikan bagian-bagian komunikasi yang
25
mendukung pandangannya (perspektif selektif) mengerti dan mengingat
informasi hanya jika informasi tersebut memperkuat bayangan sebelumnya
(selektif memori), dan memutarbalikkan pertanyaan untuk menghindari
materi-materi yang bertentangan (selektif distortion). Singkatnya anak
mendengar apa yang ingin mereka dengar, berdasarkan kepercayaan dan
sikapnya terdahulu (Karlins dan Abelson,1999:99).
2. Menumbuhkan motivasi pada anak
Kekuatan motivasi yang dikomunikasikan sangat penting bagi anak dalam
bekerja maupun belajar. Keberhasilan komunikasi ini ditentukan oleh
tindakan atau sikap sasaran yang tumbuh akibat dorongan dari dalam.
Seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan baik jika berpikir bahwa dia
mampu untuk melakukannya. Hal ini akan berhasil tergantung pada
pengertian bagaimana seorang anak menerima pandangan-pandangan orang
lain. Proses komunikasi secara keseluruhan menganjurkan perubahan yang
terbaik menurut penilaian audiensnya. Dalam memberikan perubahan
secara memyeluruh posisi orang dewasa harus dekat dengan anak, dan harus
berempati dengan anak.
3. Bersikap sejajar
Komunikasi yang efektif mensyaratkan adanya kesejajaran antara sumber
dan sasaran, sumber tidak bersifat menggurui. Di sini tercipta suasana
kebersamaan, sumber mencoba mendalami sasarannya, sasaran
menganggap sumber sebagai teman, dan pesan dapat diterima akibat
kedekatan yang terjadi (Depsos dan UNDP,1997).
Dalam konteks komunikasi pada pendidikan anak, sikap kesejajaran ini
ditunjukkan ketika orang dewasa tidak menganggap dirinya lebih tahu
segalanya dari anak, sehingga cenderung memaksa anak untuk mengikuti
kemauannya. Ketika ia menempatkan diri sebagai seorang teman bercerita,
dan dia berusaha mendalami anak, maka sang anak akan merasa dekat,
sehingga pesan yang disampaikan akan dilaksanakan oleh anak sebagai
dorongan yang muncul dari dalam.
26
4. Memperbanyak diskusi
Komunikasi banyak melibatkan sasaran untuk menyampaikan pendapatnya
dalam proses komunikasi. Orang dewasa dan anak ada dalam sebuah proses
interaksi simbolik yang melingkar (Applbaum dan Anatol,1974:203).
Sangat mungkin, dalam komunikasi, pesan yang diterima merupakan hal
yang sebenarnya sudah diketahui oleh sasaran, sumber hanya memberikan
penegasan atau penjelasan lebih kuat terhadap apa yang sudah dipahami
sasaran (Depsos dan UNDP,1997).
Dalam konteks pendidikan anak, misalnya ketika orang dewasa
menyampaikan penjelasan, ia merasa perlu untuk memberi kesempatan
anak untuk ikut memberi komentar terhadap apa yang ia ceritakan. Dengan
demikian terbuka kesempatan bagi guru untuk menyampaikan pesan,
misalnya pesan moral dan nilai-nilai, dengan menggunakan kerangka
pemahaman yang sudah ada pada anak tersebut (misalnya sudah terbentuk
dari keluarga). Suasana diskusi dalam konteks anak-anak akan lebih berupa
kegiatan mengobrol atau bercerita bersama, lebih memungkinkan proses
transfer pengalaman sesama anak. Dan anak akan lebih mudah memahami
dan mendalami pesan ini, karena pesan ini bukan sesuatu yang asing bagi
mereka.
5. Memberikan kebebasan berkreasi
Komunikasi bertujuan untuk menghasilkan sikap dan perilaku yang
berubah. Sumber akan lebih berhasil jika dia membiarkan anak untuk
menggambarkan dengan idenya masing-masing. Membiarkan anak untuk
membuat kesimpulan sendiri akan sukses bila pesan yang disampaikan
lebih kompleks. (Karlins dan Abelson,1999:99).
6. Menghargai perbedaan
Perbedaan individu adalah hal yang perlu disadari dalam sebuah proses
belajar. Perbedaan individu mengindikasikan bahwa tidak ada dua anak
yang merespon dengan cara yang sama dalam usaha pengaruh yang identik.
Daya tarik yang sama diterima oleh audiens yang berbeda terjadi karena
karakteristik kepribadian mereka yang berbeda. Kepribadian merupakan hal
yang mudah mempengaruhi individu (Karlins dan Abelson, 1999:110).
27
Sumber akan lebih sukses bila merencanakan dan menyediakan kondisi
dimana setiap anak dapat belajar, dan guru menerapkan sebuah bentuk
umum tentang objektif dan prosedur yang dibagi dengan kemampuan
seorang anak dengan anak lainnya.
7. Mengarahkan secara halus
Komunikasi dengan anak tidak bersifat memaksa, perubahan sikap atau
perilaku berasal dari dorongan pribadi. Dengan demikian komunikasi lebih
menciptakan sikap dan perilaku yang konsisten. Cara-cara kasar cenderung
membuat sasaran menjalankan keinginan sumber karena rasa takut, bukan
atas kesadaran sendiri.
Dalam konteks komunikasi dengan anak, mengarahkan secara halus akan
menghindarkan anak dari rasa takut dan keterpaksaan ketika anak
melakukan sesuatu yang sebenarnya merupakan perintah dari orang dewasa
atau atasannya. Suatu cara-cara halus yang menyentuh emosi dan afeksi
anak akan membuat anak merasa memiliki dan menyenangi tindakan yang
harus dilakukannya.
8. Mendampingi
Salah satu tujuan dari komunikasi adalah adalah perubahan sikap dari
sasaran, sehingga sumber perlu terus bertanggungjawab, mengawal atau
mendampingi sasaran hingga pesannya sampai (Depsos dan UNDP,1997).
Dalam konteks pendidikan anak, komunikasi tidak akan efektif jika gatasan
(orang dewasa) hanya memberikan instruksi, dan kemudian membiarkan
anak memahami pesan tersebut tanpa arahan. Ketika anak tengah
menjalankan apa yang diinginkan sumber, maka pendampingan akan
membuat anak merasa aman karena ia merasa ada yang siap memberi
pertolongan jika ia membutuhkan.
9. Menciptakan iklim informal
Penciptaan suasana informal akan membuat perbedaan-perbedaan menjadi
sesuatu yang mudah dimaklumi dan tidak menghambat komunikasi. Sumber
berusaha menciptakan iklim yang informal dan santai dalam belajar maupun
bekerja, dimana anak bebas mengekspresikan pendapat mereka. Persepsi ini
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang digunakan dalam komunikasi tersebut.
28
Jika evaluasinya positif anak akan menerima ide yang disampaikan oleh
sumber. Jika evaluasi negatif, mungkin memerlukan penghargaan (reward),
dorongan dan bimbingan agar anak bisa menerima ide tersebut (Karlins dan
Abelson,1999:99).
10. Mendengar keluh kesah
Komunikasi mengakomodasi hal-hal yang di luar konteks komunikasi
namun berpengaruh pada kondisi emosional sasaran. Keluh kesah sasaran
perlu menjadi pertimbangan, keluh kesah ini bisa menjadi penghambat
ketika sasaran hendak menjalankan apa yang dimaui sumber (Depsos dan
UNDP,1997).
Dalam konteks pendidikan anak, hal ini terlihat ketika orang dewasa harus
sabar dalam melayani permintaan anak-anak yang sebenarnya tidak terkait
dengan apa yang tengah diajarkan. Suatu pengekangan atau pembatasan
terhadap keluh kesah akan mengurangi rasa kepemilikan terhadap apa yang
disampaikan.
2.7 Perkembangan Kreativitas Anak
Salah satu perkembangan pada anak menurut penggolongan dari Hurlock
adalah perkembangan kreativitas. Arti kreativitas yang paling populer menekankan
pembuatan sesuatu yang baru dan berbeda. Kreativitas tidak selalu membuahkan
hasil yang dapat diamati dan dinilai. Dengan demikian kreativitas harus dianggap
sebagai suatu proses, suatu proses adanya sesuatu yang baru, apakah itu gagasan
atau benda dalam bentuk atau rangkaian yang baru dihasilkan. Penekanan pada
tindakan menghasilkan ketimbang pada hasil akhir tindakan tersebut yang menjadi
inti konsep kreativitas (Hurlock,1999:2).
Kreativitas biasanya merupakan gabungan dari gagasan atau produk lama
ke dalam bentuk baru, tetapi yang lama merupakan dasar bagi yang baru.
Kreativitas merupakan proses mental yang unik, suatu proses yang semata-mata
dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, berbeda dan orisinal
(Hurlock,1999:3).
Kreativitas tidak dapat berfungsi dalam kekosongan. Ia menggunakan
pengetahuan yang diterima sebelumnya (Hurlock,1999:5). Kreativitas memberi
29
anak- anak kesenangan dan kepuasan pribadi yang sangat besar terhadap
perkembangan kepribadiannya. Kreativitas seperti halnya setiap potensi lain, perlu
diberi kesempatan dan rangsangan oleh lingkungan untuk berkembang. Kondisi
yang menguntungkan bagi perkembangan kreativitas harus diadakan pada awal
kehidupannya ketika kreativitas mulai berkembang dan harus dilanjutkan terus
sampai berkembang dengan baik.
Dorongan Eksternal/Motivasi dari Lingkungan bagi seorang anak
memerlukan kondisi yang memupuk dan memungkinkan bibit itu mengembangkan
sendiri potensinya. Untuk itu kita harus mengupayakan lingkungan (kondisi
eksternal) yang dapat memupuk dorongan dalam diri anak (internal) untuk
mengembangkan kreativitasnya:
1) Keamanan psikologis, terbentuk dengan tiga proses yang saling berhubungan:
o Menerima individu sebagaimana adanya dengan segala kelebihan dan
keterbatasannya.
o Mengusahakan suasana yang di dalamnya evaluasi eksternal tidak ada
(tidak ada efek mengancam).
o Memberikan pengertian secara empatis, ikut menghayati dan mengenal
perasaan anak, pemikiran-pemikirannya, tindakan-tindakannya, dapat
melihat dari sudut pandang anak.
2) Kebebasan Psikologis, memberikan kesempatan pada anak untuk bebas
mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atan perasaan-perasaannya,
dan memberikan pada anak kebebasan dalam berpikir atau merasa sesuai
dengan apa yang ada dalam dirinya. Cara berpikir yang kreatif menjajaki
berbagai kemungkinan jawaban dengan kemampuan berpikir divergen, bukan
hanya mencari satu jawaban yang benar (berpikir konvergen). Kemampuan
berpikir divergen merupakan indikator dari kreativitas.
Perkembangan Kreativitas Anak memiliki beberapa indikator yang dapat
terlihat dari hal berikut:
1. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan unik
Menurut Elizabeth Hurlock (Hurlock,1999:3) kreativitas adalah adanya
sesuatu yang baru baik dalam bentuk gagasan atau suatu hasil karya. Dalam
kreativitas yang diciptakan adalah sesuatu yang baru dan berbeda dari yang
30
telah ada dan sifatnya unik. Keunikan dekat dengan keaslian (originalitas).
Linda K. Fouler (dalam Elizabeth Shaffer, “Encouraging Creativity in
Children”, 2002) menambahkan bahwa kemampuan untuk membuat sesuatu
yang orisinal (asli), yaitu murni diri ide anak yang didukung oleh pengetahuan
dan informasi yang telah diperoleh sebelumnya..
Keunikan ini tidak melulu produk, namun juga bisa dalam bentuk gagasan
atau ide (Hurlock, 1999:4). Juga diungkapkan oleh Linda K. Fouler, bahwa
anak yang kreatif kerapkali mendatangkan dan melahirkan ide-ide baru.
Barron dan Harrington (dalam Sara Gable “Creativity in Young Children”
2002), bahwa ide ide orisinal muncul dari diri anak sendiri yang didukung
oleh pengetahuan dan informasi yang telah diperoleh sebelumnya
2. Kemampuan untuk Mentransformasikan “Gagasan Lama” ke dalam “Bentuk-
Bentuk Baru”
Tidak semua hal baru sesuatu yang orisinal, tetapi membuat sesuatu yang
sudah ada menjadi bentuk baru. Menurut Hurlock (Hurlock,1999:3),
kreativitas juga berarti mentransformasikan gagasan lama ke dalam bentuk
baru: gagasan yang lama merupakan dasar dari yang baru. Jika orang ingin
kreatif mereka memerlukan pengetahuan yang diterima sebelum mereka
dapat menggunakannya dengan cara yang baru dan orisinal.
Dalam bahasa lain, Linda K. Fouler (Shaffer, 2002) menjelaskan bahwa
kreativitas juga terlihat pada kemampuan untuk membuat sesuatu yang
umum menjadi khusus dan sesuatu yang khusus menjadi umum. MaryAnn
Kohl (dalam “Earlychildhood News”, 2001) menambahkan bahwa
kemampuan mentansforamsi ini juga tercermin pada kemampuan melihat
sesuatu dengan cara yang baru.
MaryAnn Kohl memberikan contoh, jika ada murid yang mengerjakan tugas
yang sama dengan cara-cara yang berbeda. Artinya anak selalu
mengembangkan idenya tidak hanya meniru apa yang disampaikan guru
tetapi mengembangkan cara tersebut dengan ide-ide kreatifnya.
3. Kemampuan untuk Membangun Imajinasi dan Fantasi yang Terarah
Imajinasi bisa diartikan sebagai kemampuan membayangkan sesuatu yang
tidak ada, mampu mengembangkan idenya dan menghubungkannya dengan
31
sesuatu yang pernah diketahui atau dilihatnya. (Linda K. Fouler, Shaffer,
2002). Mempunyai daya imajinasi, dapat juga menjadi salah satu ukuran
kreativitas seorang anak (Munandar, 1999:45). Daya imajinasi dapat
dikembangkan dengan cara memberikan kebebasan pada anak untuk
mengekspresikan dirinya secara kreatif dengan bimbingan dan arahan guru.
Menurut Hurlock, kreativitas merupakan imajinasi atau fantasi yang terarah.
Mereka memerlukan pengetahuan yang diterima sebelum mereka dapat
menggunakannya dengan cara yang baru dan orisinil (Hurlock,1999:3).
Hasil yang dicapai terarah pada acuan dan pengetahuan yang mereka miliki
sebelumnya baik dari pengetahuan yang diberikan oleh guru maupun dari
bacaan atau tayangan yang pernah mereka lihat. Ada maksud dan tujuan
yang ditentukan, jadi bukan fantasi semata, walaupun berbentuk sebuah
hasil atau gagasan yang tidak lengkap.
Barron dan Harrington (Gable, 2002), menyebutkan bahwa imajinasi yang
terarah ini bisa ditumbuhkan lewat permainan imajinatif. Dengan sering
dilibatkannya anak dalam permainan imajinatif yang selalu mendorong
anak untuk berpikir dan berkreasi maka anak akan terbiasa untuk selalu
berusaha menghasilkan ide-ide yang kreatif.
4. Kemampuan Berpikir Divergen
Berpikir divergen adalah kemampuan untuk melihat berbagai kemungkinan
jawaban untuk satu masalah. Cara berpikir yang kreatif menjajaki berbagai
kemungkinan jawaban dengan kemampuan berpikir divergen, bukan hanya
mencari satu jawaban yang benar.
Hal ini dimungkinkan jika tercipta kebebasan psikologis pada anak. Anak
diberi kesempatan untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-
pikiran atan perasaan-perasaannya, dan memberikan pada anak kebebasan
dalam berpikir atau merasa sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya
( Munandar, 1999:34).
5. Adanya Rasa Ingin Tahu yang Luas dan Mendalam
Salah satunya parameter kreativitas adalah adanya rasa ingin tahu yang luas
dan mendalam (Munandar,1999:45). Anak tidak puas dengan hanya
menerima informasi yang disampaikan guru saja tetapi dia akan mencoba
32
mengetahui untuk tahap selanjutnya. Hal ini dapat ditandai dengan
seringnya anak mengajukan pertanyaan, baik yang terkait langsung dengan
materi atau terkait dengan hal lain saat guru bercerita atau menerangkan
sesuatu.
6. Adanya Minat yang Luas dan Keinginan Bereksplorasi
Minat yang luas ditunjukkan oleh anak-anak kreatif dengan cara keinginan
untuk menjalani atau mempelajari hal-hal yang baru. Tingkat energi,
spontanitas dan kepetualangan sering tampak pada anak yang kreatif.
Mereka mempunyai keinginan yang besar untuk mencoba aktivitas yang
baru dan mengasyikkan. Dalam skala tertentu, mereka berani melakukan
sesuatu yang berbeda dari yang dilakukan oleh temannya dan melakukan
sesuatu yang memang disukainya untuk selalu kreatif (Munandar, 1999:45).
MaryAnn Kohl (dalam Earlychildhood News2001) juga menegaskan bahwa
anak-anak perlu belajar melakukan eksplorasi. Anak diberikan kebebasan
seluas luasnya dengan dukungan sarana dan prasarana yang ada untuk
melakukan eksplorasi sehingga dapat mendorong munculnya ide-ide
kreatif.
7. Adanya Perhatian pada Proses, bukan sekadar Hasil Akhir
Kreativitas dianggap sebagai suatu proses atau proses adanya sesuatu yang
baru. Penekanannya adalah pada tindakan menghasilkan daripada hasil
akhir tindakan tersebut (Hurlock, 1999:3). Hal senada diungkapkan oleh
Barron dan Harrington (Gable, 2002) yang lebih memfokuskan pada proses
dan bukan pada hasil akhirnya. Melalui pendekatan pada proses, yang lebih
dilihat adalah bagaimana munculnya ide-ide orisinal untuk kreatif dan tidak
terpaku pada produk akhir yang menjadi bukti kreativitas seorang anak. Hal
yang sama diungkapkan oleh MaryAnn Kohl (dalam Earlychilhood
News,2001) yang lebih mementingkan proses dari pada hasil akhirnya
dalam suatu proses kreativitas. Kreativitas adalah proses bagaimana
melakukan pekerjaan. Sehingga yang lebih dilihat adalah bagaimana proses
dilahirkannya ide-ide orisinal dan tidak harus mementingkan produk akhir.
33
8. Adanya Kesenangan dan Kepuasan Pribadi dalam Melakukan Pekerjaan
Kreativitas itu memberikan kesenangan dan kepuasan pribadi yang sangat
besar pada anak (Hurlock, 1999:4). Anak akan mendapatkan penghargaan
atau pujian yang mempunyai pengaruh nyata terhadap perkembangan
kepribadiannya. Anak akan merasa puas bila mampu menciptakan rumah-
rumahan dengan bentuk yang di desainnya sendiri. Pujian dari orang lain
akan membuatnya senang sedangkan cemoohan akan membuat kondisi
yang sebaliknya.
9. Adanya Pengetahuan Awal sebagai Modal
Kreativitas tidak dapat berfungsi dalam kekosongan, ia menggunakan
pengetahuan yang sudah diterima sebelumnya sebagai rangsangan dan ini
tergantung juga dari individu yang menerapkannya (Hurlock ,1999:3).
Barron dan Harrington (Gable, 2002), menyebutkan bahwa ide orisinal
didukung oleh pengetahuan dan informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
10. Kepekaan akan Keindahan (Sense of Beauty)
Mempunyai rasa keindahan akan menunjukkan salah satu kriteria anak
yang kreatif (Munandar, 1999:45). Anak mampu mengapresiasi rasa
keindahan yang ditimbulkan oleh suatu benda atau karya. Rasa keindahan
ini dikembangkannya dengan menciptakan gagasan-gagasan baru terhadap
benda atau karya yang dilihatnya. Anak mempunyai minat yang cukup besar
terhadap seni, sastra, musik, teater.
11. Kemampuan Berpikir Asosiatif dan Bermain dengan Gagasan
Berpikir asosiatif berarti mencoba mengaitkan hal-hal yang berlainan dalam
suatu pemahaman tertentu. Dalam mengaitkan ini, permainan gagasan
sering terjadi, karena tidak adanya aturan baku dalam pengaitan fenomena
ini. Disinilah kreativitas tumbuh. Rasa ingin tahu yang mendalam
menyebabkan anak kreatif berusaha mengaitkan informasi-informasi atau
materi yang disampaikan oleh guru dengan dikaitkan dengan hal-hal yang
sudah diketahui sebelumnya atau dikaitkan dengan pengalaman yang sudah
diperoleh sebelumnya (Munandar, 1999:45).
Akibatnya sering ada ungkapan anak yang mengkaitkan apa yang tengah
diceritakan dengan apa yang ada dalam pikirannya sebagai suatau ungkapan
34
yang tidak pernah terduga sebelumnya. Maka menurut Utami Munandar, di
sini sebenarnya anak sedang bermain dengan ide, konsep atau
kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan. Bahkan menurut MaryAnn
Kohl (dalam Earlychildhood News,2001) keberanian bermain dengan ide
yang baru ini anak sering melakukan hal yang berbeda dengan aturan yang
diberikan oleh orang dewasa.
12. Kepekaan Melihat Hal Unik dari Lingkungan Sekitar dan Aktivitas Sehari-
hari.
Alam sekitar dan kehidupan sehari-hari merupakan sumber inspirasi yang
tak ada habis-habisnya. Linda K. Fouler (Shaffer, 2002) menyebutkan anak
kreatif mempunyai kemampuan melihat hal-hal dan peristiwa-peristiwa atau
cara-cara baru setiap harinya.
13. Kemampuan Mengungkapkan Gagasan
Salah satu parameter kreativitas kemampuan bercerita. Anak sering
melakukan kegiatan bercerita baik di rumah maupun di sekolah. Apabila
pendengar menunjukkan reaksi senang terhadap cerita mereka, anak akan
terdorong untuk bercerita dan bisa berkembang menjadi sebuah kesenangan.
Pada mulanya bercerita sifatnya reproduktif. Anak menceritakan hal-hal
yang telah mereka dengar dari radio atau televisi atau yang diceritakan guru
padanya. Kelak cerita mereka akan menjadi kreatif. Anak membuat cerita
berdasarkan bahan dari berbagai sumber, dan menambah detik-detik
orisinal pada cerita itu.
MaryAnn Kohl (dalam Earlychildhood News,2001) menyarankan untuk
membiarkan anak menceritakan hasil karyanya. Anak dibiasakan untuk
mengungkapkan ide-idenya sehingga dengan penjelasan anak akan
membantu pemahaman terhadap ide-ide tersebut dan tidak melakukan
penafsiran sendiri dengan kacamata orang dewasa.
Utami Munandar (Munandar,1999:45) menjelaskan bahwa keberanian
mengemukakan gagasan tumbuh karena adanya dorongan dari lingkungan
sekitarnya. Misalnya dengan pemberian informasi atau materi yang
mendorong anak untuk selalu dapat mengembangkan pemikirannya.
35
Disamping itu juga adanya sikap menghargai yang diberikan ketika anak
berusaha mengungkapkan gagasannya.
14. Adanya Lingkungan yang Kondusif
Lingkungan yang merangsang sangat mendukung munculnya
kreativitas seseorang. Seorang anak yang berada dalam lingkungan yang
selalu merangsangnya untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan berbeda
dan membiarkannya menggunakan cara-cara sendiri akan lebih terdorong
untuk kreatif daripada yang selalu dituntut untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan aturan dan contoh yang sudah ada.
Tersedianya sarana yang cukup untuk bermain dan sarana lainnya
untuk merangsang dorongan eksperimentasi dan eksplorasi juga merupakan
unsur penting untuk menumbuhkan kretaivitas (Hurlock,1999:11). Barron
dan Harrington (Gable,2002) menyebutkan faktor-faktor eksternal yang
dapat merangsang kreativitas adalah pemberian seperti ganjaran dan
insentif. Faktor eksternal ini sangat penting untuk mendorong munculnya
daya kreativitas anak dan sebagai perangsang anak melakukan hal-hal yang
kreatif diantaranya dengan memberikan penghargaan dan pujian dan tidak
melakukan celaan terhadap hasil karya anak.
36
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk merumuskan model
pendidikan inklusif untuk pengembangan kapasitas kewirausahaan masyarakat
miskin melalui pendidikan inklusif. Dalam penelitian ini, dikembangkan beberapa
tujuan yang akan dicapai, yaitu:
1. Memetakan potensi karakter kewirausahaan pada masyarakat miskin yang
diteliti yaitu keunikan lokal, kemampuan untuk adaptif dan tahan banting.
Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan desa
citemu, kecamatan mundu kabupaten Cirebon. Dalam memetakan potensi
karakter kewirausahaan pada masyarakat nelayan tersebut, peneliti
mencoba memetakan karakteristik wilayah meliputi kondisi geografis,
potensi sumber daya alam, luas daerah, kemudian juga memetakan
karakteristik masyarakat yang meliputi mata pencaharian, kebiasaan , pola
pikir dan keyakinan masyarakat setempat sehingga tergambar potensi-
potensi yang dimiliki masyarakat sekitar seperti keunikan local serta
kemampuan masyarakat yang merupakan factor penting yang dapat
membangun karakteristik kewirausahaan.
2. Memetakan potensi-potensi institusi dalam penerapan pendidikan inklusif
untuk masyarakat miskin yang diteliti.
Dalam memetakan potensi institusi, peneliti memetakan sekolah-sekolah
yang ada di desa Citemu Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon terutama
sekolah Dasar karena di sekolah inilah nantinya model pendidikan inklusif
untuk pengembangan kapasitas kewirausahaan masyarakat miskin melalui
pendidikan inklusif akan diterapkan.
Selain itu pemetaan institusi daerah, terutama institusi pemerintahan dalam
hal ini pemerintah desa Citemu yang mengetahui peta masyarakat desa
nelayan tersebut yang dapat mendukung penerapan model pendidikan
inklusif untuk pengembangan kapasitas kewirausahaan masyarakat.
37
3. Mengembangkan materi pendidikan kewirausahaan berbasis karakter lokal
Dari hasil pemetaan terhadap karakteristik wilayah dan karakteristik
masyarakat dan institusi yang terkait terutama institusi pendidikan dalam
hal ini pendidikan dasar, peneliti mencoba mengembangkan materi
pendidikan kewirausahaan, karena berdasarkan temuan di lapangan materi
pendidikan kewirausahaan belum di berikan di sekolah sekolah tersebut.
4. Menguji cobakan pada institusi yang bisa menyelenggarakan pendidikan
inklusif
Untuk mengetahui apakah materi pendidikan kewirausahaan yang coba
dikembangkan tersebut dapat diterapkan dengan baik atau tidak tentu saja
perlu adanya uji coba pada institusi yang berkaitan. Dalam hal ini peneliti
akan mengujicobakan penerapan pendidikan kewirausahaan pada sekolah-
sekolah dasar yang ada di desa nelayan tersebut. Untuk kemudian di
evaluasi untuk menyempurnakan model pendidikan yang dibuat.
5. Menyusun model pendidikan inklusif kewirausahaan
Dari hasil uji coba tersebut , dapat diketahui kekurangan dan kelebihan dari
model pendidikan yang disusun tersebut. Dengan harapan model
pendidikan inklusif kewirausahaan tersebut dapat dimasukkan dalam
kurikulum sekolah, misalnya dalam muatan local. Atau kalaupun tidak
dapat masuk dalam kurikulum sekolah, setidaknya model pendidikan ini
dapat diselipkan misalnya pada materi pelajaran atau pada kegiatan
ekstrakurikulum.
6. Mengembangkan strategi pendidikan kewirausahaan dalam skala yang lebih
luas
Apabila pada uji coba menunjukkan hasil yang positif, diharapkan
pendidikan kewirausahaan ini dapat diterapkan pada scope yang lebih luas
pada daerah-daerah yang memiliki karakteristik yang sama dengan
karakteristik daerah dan karakteristik masyarakat yang menjadi subjek
penelitian.
38
3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat
dalam dua aspek, yaitu manfaat praktis dan manfaat akademis. Manfaat praktis dari
penelitian yang dilakukan ini, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi
masukan kepada pemerintah dan pemerintah daerah, selaku pemegang otoritas
dalam membuat kebijakan mengenai penyelesaian berbagai permasalahan dalam
masyarakat khususnya pada masyarakat miskin, terutama masyarakat desa nelayan.
Di samping itu hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan
kepada lembaga-lembaga swasta tentang konsep-konsep dalam membuat program
pengentasan kemiskinan, sehingga diharapkan partisipasi besar dari lembaga-
lembaga swast, misalnya melalui program CSR dari lembaga swasta tersebut,
karena pengentasan kemiskinan bukan hanya tugas pemerintah, melainkan
merupakan tanggungjawab bersama.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan kepada
masyarakat yang terkait langsung tentang kemampuan untuk memberdayakan diri
dalam mengatasi berbagai permasalahan hidup. Sehingga menumbuhkan kesadaran
masyarakat bahwa dengan potensi yang ada mereka dapat keluar dari kemiskinan
dengan kekuatan yang dimilikinya tanpa harus mengharapkan bantuan dari pihak
lain.
Penelitian ini merupakan kajian pendidikan inklusif dalam pengembangan
kapasitas kewirausahaan, sehingga diharapkan secara akademis hasil penelitan ini
dapat berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang berbagai masalah
sosial. Dan juga memberikan masukan bagi pengembangan kajian keilmuan dalam
aspek fisik, ekonomi, sosio-kultural, dan institusional.
39
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian pada tahun ke tiga ini dilakukan dengan pendekatan dan metode
Riset Aksi Partisipatif (Participation Action Research). Metode ini merupakan
salah satu metode dalam penelitian, perencanaan, dan perancangan partisipatif
dimana masyarakat menjadi subjek dan bukan objek penelitian. Di sini peneliti
perlu mengetahui latar belakang dari masyarakat yang ditelitinya, melalui
wawancara, observasi, atau data sekunder. Pelaksanaan metode ini membutuhkan
kesetaraan partisipan. Peneliti terlibat aktif sebagai fasilitator dalam proses
pengambilan keputusan yang terjadi di masyarakat, memandu perencanaan dan
perancangan yang baik (Sanoff, 2000: 62-65) .
Dengan metode ini, penelitian dilakukan dengan memetakan terlebih dahulu
latar belakang, peran, kepentingan dari pelaku kunci yang pada penelitian ini adalah
guru, masyarakat nelayan, siswa sekolah dasar di desa nelayan. Kemudian
dibuatkan mekanisme agar pelaku kunci tersebut bisa saling berinteraksi,
membangun kesepakatan-kesapakatan, dan menggagas inisiasi program. Jika
forum interaksi ini bisa berjalan, peneliti menjadi fasilitator untuk bisa
melaksanakan kegiatan pendidikan kewirausahaan bagi siswa sekolah dasar di desa
nelayan.
Penerapan draft metode pembelajaran kewirausahaan bagi siswa dilakukan
disekolah-sekolah dasar desa nelayan. Pada aplikasi metode pembelajaran
dilakukan monitoring dan evaluasi dengan menggunakan parameter-parameter
komunikasi efektif yang dirumuskan. Untuk itu peneliti menggunakan juga metode
etnografi komunikasi untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
Dengan melihat karakteristik, latar belakang, tujuan penelitian, maka
penelitian mengenai model pendidikan inklusif kewirausahaan pada masyarakat
nelayan menggunakann metode kualitatif, yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi
40
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007 : 6).
Creswell mendefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk
memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan
gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan
informan secara terperinci (2002 : 1).
Mulyana & Solatun (2007 : 5) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang bersifat interpretif (menggunakan penafsiran) yang
melibatkan banyak metode, dalam menelaah masalah penelitiannya. Cresswel
(1998) mengemukakan lima tradisi penelitian kualitatif : biografi, fenomenologi,
Grounded theory study, etnografi dan studi kasus.
Pendekatan penelitian ini menggunakan metode etnografi komunikasi.
Pendekatan etnografi komunikasi melihat penggunaan bahasa dalam perilaku
komunikatif suatu masyarakat pada tema kebudayaan tertentu. Dengan pendekatan
ini, maka penelitian akan memfokuskan diri pada pola komunikasi anak dalam
masyarakat tutur di sekolah.
Etnografi komunikasi sebagai suatu pendekatan terhadap pengkajian bahasa
dalam konteks sosial. Etnografi pada dasarnya adalah kegiatan peneliti untuk
memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena
teramati dalam kehidupan sehari-hari (Harris dalam Creswell 1998:58). Metode ini
dapat menggambarkan, menjelaskan, dan membangun hubungan dari kategori-
kategori dan data yang ditemukan. Tujuan dari studi etnografi komunikasi adalah
untuk menggambarkan, menganalisis, dan menjelaskan perilaku komunikasi dari
suatu kelompok sosial (Kuswarno, 2008:86).
4.2 Tahap Penelitian
1) Tahap Pengumpulan Data
Setelah peneliti melakukan berbagai kegiatan pengumpulan data di
lapangan dari para sumber informasi, data diorganisasikan dan dimasukkan ke
dalam penyimpanan data untuk memudahkan proses lebih lanjut. Pencatatan data
di lapangan dilakukan dengan membuat catatan harian dalam sebuah log book, yang
41
bisa dikombinasikan dengan data-data pendukung berupa data-data audio visual
(foto, sketsa, rekaman, atau video).
2) Tahap Reduksi dan Analisis Data
Peneliti melakukan proses pemilahan untuk menyederhanakan data yang
bersifat abstrak dan "kasar". Reduksi data diawali dengan memberikan kode pada
setiap data yang dikumpulkan. Dengan adanya kode ini, data yang dikumpulkan
akan lebih mudah untuk dipilah-pilah. Di sini peneliti juga mempelajari data-data
secara lebih mendalam dan berusaha untuk menemukan makna-makna untuk
masing-masing individu dan kemudian mengelompokkannya berdasarkan kategori
yang tepat atau sesuai.
3) Tahap Penyajian Data
Tahap penyajian data ini merupakan tahap lanjut dari reduksi, yaitu mulai
menyusun data-data menurut alur cerita tertentu. Beberapa data yang dinilai
merusak suatu alur cerita dipertimbangkan untuk tidak ditampilkan. Dengan teknik
menampilkan data seperti ini, diharapkan gambaran mengenai temuan penelitian
dapat diketahui secara bertahap.
4) Tahap Interpretasi dan Penarikan Kesimpulan
Pada tahap ini peneliti berupaya melakukan interpretasi terhadap temuan-
temuan penelitian. Interpretasi ini didasarkan pada hasil-hasil kajian literatur yang
telah dilakukan atau dikaitkan dengan wacana-wacana yang terkait dengan temuan
penelitian. Hasil interpretasi ini mengarahkan penelitian pada kesimpulan, yang
menjawab pertanyaan penelitian yang telah dinyataan pada awal penelitian ini.
Kesimpulan yang disusun diharapkan dapat ditarik lebih lanjut pada pernyataan-
pernyataan yang bersifat lebih umum, menjadi tesis sebagai hasil penelitian yang
dilakukan.
42
4.3 Teknik Pengumpulan Data
1) Pengamatan Berperan Serta (Participatory Observation)
Pengamatan berperan serta adalah sebuah teknik pengumpulan data dimana
peneliti berusaha untuk menemukan peran yang dimainkan sebagai anggota
masyarakat tersebut, dan mencoba untuk memperoleh perasaan dekat dengan nilai-
nilai kelompok dan pola-pola masyarakat (Kuswarno,2008:49).
Tujuan pengamatan berperan serta adala untuk menelaah sebanyak mungkin
proses sosial dan perilaku dalam budaya tersebut, yakni dengan menguraikan
settingnya dan menghasilkan gagasan-gagasan teoritis yang akan menjelaskan apa
yang dilihat dan di dengar peneliti.
Melalui pengamatan berperan serta, peneliti dapat berpartisipasi dalam
rutintas subjek penelitian baik mengamati apa yang mereka lakukan, mendengarkan
apa yang mereka katakan dan memberikan pertanyaan pada orang-orang di sekitar
dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan keterlibatan peneliti bisa terbuka
(diketahui orang dalam), bisa juga sembunyi (tanpa diketahui orang dalam), atau
dalam kebanyakan kasus, orang dalam akan diberitahu peneliti mengenai minat dan
tujuan peneliti.
Tujuan melakukan observasi atau pengamatan berperan serta adalah untuk
mendapatkan keterangan yang lebih rinci dan lengkap dari semua kegiatan dan
peristiwa yang berkaitan dengan fokus penelitian. Salah satu jenis pengamat adalah
peserta sebagai pengamat (participant as observer), dengan membiarkan
kehadirannya sebagai peneliti dan mencoba membentuk serangkaian hubungan
dengan subjek sehingga mereka berfungsi sebagai responden dan informan.
Sedangkan partisipan penuh (complete participant) , niatnya untuk meneliti tidak
diketahui ketika ia mengamati pihak yang diteliti. Hal ini berkaitan dengan penting
bagi pengamat untuk memainkan berbagai peran yang sesuai dengan situasi
(Mulyana, 2001:166). Jadi hingga derajat tertentu mereka juga melakukan
pengelolaan kesan di hadapan subjek penelitiannya, untuk mencapai hubungan
yang cukup nyaman dengan orang-orang yang diamati. Keterjagaan hubungan
antara peneliti dan pihak yang diteliti merupakan kunci penting keberhasilan
penelitian, karena hanya dengan memelihara hubungan itulah peneliti dapat melihat
dunia sekeliling subjek penelitian dengan menggunakan kacamata subjek
43
penelitian. Oleh karena itu dalam laporang penelitian, mekanisme hubungan antara
pengamat dan pihak yang diamati, termasuk problem yang dihadapi ketika
memasuki dunia orang-orang yang akan diteliti.
2) Wawancara mendalam
Wawancara mendalam adalah wawancara yang tidak memiliki alternatif
respon yang ditentukan sebeumnya atau lebih dikenal dengan wawancara tidak
berstruktur. Jenis wawancara ini mendorong subjek penelitian untuk
mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya, untuk menggunakan istilah-
istilah mereka sendiri mengenai objek penelitian (Kuswarno, 2008:54).
Wawancara mendalam atau disebut juga wawancara tak terstruktur mirip
dengan percakapan informal. Metode ini bertujuan untuk memperoleh bentuk-
bentuk informasi dari semua responden, tetapi susunan kata dan urutannya
disesuaikan dengan responden. Wawancara etnografis juga penting untuk
memperoleh informasi di bawah permukaan dan menemukan apa yang orang
pikirkan dan rasakan mengenai peristiwa tertentu.
Wawancara mendalam dan pengamatan berperan serta saling melengkapi
dan mengurangi ketidakajegan. Ini menuntut uraian tidak saja mengenai apa yang
diucapkan dan dilakukan dengan subjek penelitian, tetapi juga bagaimana secara
spontan berperilaku di lingkungan mereka secara alamiah. Jadi sebuah gambaran
yang komprehensif tentang subjek yang diperoleh dan suatu pandangan mendalam
juga dicapai dengan membandingkan apa yang orang katakan dengan apa yang
mereka lakukan keadaan tertentu muncul (Bungin, 2009:108).
3) Telaah dokumen
Telaah dokumen yaitu mencoba menemukan gambaran mengenai
pengalaman hidup atau peristwa yang terjadi beserta penafsiran subjek penelitian
melalui dokumen seperti buku harian, surat kabar, kliping, dsb (Kuswarno,
2008:59). Informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini juga diperoleh melalui
sumber-sumber tertulis sebagai data sekunder, antara lain dari buku-buku dan
literatur yang relevan dengan penelitian, berbagai bahan cetakan dan dokumen
lainnya untuk mendukung terpenuhinya data penelitian.
44
4.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data untuk penelitian ini disusun dengan mengadopsi teknik
analisis data kualitatif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Dalam teknik
ini, analisis data-data kualitatif dilakukan dalam beberapa bagian, yaitu 1)
pengumpulan data, 2) reduksi data, 3) penyajian data, dan 4) penarikan kesimpulan.
Keempat bagian ini bukan merupakan bagian yang saling terpisah, namun
merupakan satu kesatuan yang saling terkait (Miles dan Huberman, 1992: 16-21).
Selengkapnya, skema teknik analisis data kualitatif tersebut tersaji dalam gambar
1-3 di bawah:
Gambar 2. Skema Analisis Data Kualitatif (sumber: Miles dan Haberman, 1992)
Rancangan Analisis
Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen dalam Moleong adalah
upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain (Moleong,
2007 :248).
Pengumpulan data
Penyajian
data
Reduksi
data
Penarikan kesimpulan
45
Bungin (2007 : 144) dalam bukunya penelitian Kualitatif menjelaskan
bahwa strategi analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis proses sosial yang
berlangsung dan makna dari fakta-fakta yang tampak di permukaan. Dengan
demikian, maka analisis kualitatif digunakan untuk memahami sebuah proses dan
fakta dan bukan sekadar untuk menjelaskan fakta tersebut. Kemudian Bungin
menjelaskan tahapan analisis sebagai berikut :
1. Melakukan pengamatan terhadap fenomena sosial, melakukan identifikasi,
revisi-revisi, dan pengecekan ulang terhadap data yang ada.
2. melakukan kategorisasi terhadap informasi yang diperoleh
3. menelusuri dan menjelaskan kategorisasi
4. menjelaskan hubungan-hubungan kategorisasi
5. menarik kesimpulan-kesimpulan umum
6. membangun atau menjelaskan teori
4.5 Bagan Penelitian
Bagan penelitian menggambarkan kerangka pikir yang menjadi acuan untuk
penelitian ini. Bagan penelitian disusun dengaan menggunakan beberapa layer,
yaitu: a) pengembangan model, b) kasus penelitian (dan perancangan), c) substansi
Gambar 3 : Model Langkah analisis induktif
( Sumber : Bungin, 2007: 144)
46
penelitian , c) keluaran, dan d) kemitraanyang dikembangkan. Dengan adanya
bagan ini, maka langkah-langkah penelitian akan lebih mudah untuk dipetakan,
sekaligus memandu proses monitoring secara lebih substantif terhadap proses dan
hasil penelitian.
Berdasarkan bagan tersebut, model sebagai hasil penelitian ini dikembangkan
dalam 4 tahap utama, yaitu: 1) model normatif (normative model), yang disusun
berdasar studi-studi yang pernah dilakukan terdahulu, 2) model terkonsolidasi
(consolidated model), yang disusun berdasarkan atas evaluasi model normatif
terhadap best practices, 3) model tindakan (action model), 4) model terapan
(applied model), . Model ini diharapkan siap diimplementasikan secara lebih luas
pada masyarakat nelayan di kabupaten dan kota di Indonesia.
Gambar 4. Model Hasil Penelitian
47
4.6 Tahapan Penelitian
Berdasarkan bagan penelitian yang telah disusun, penelitian ini dijalankan
dalam 3 tahap utama selama 3 tahun, dengan rincian sebagai berikut:
1. Pada tahun pertama peneliti telah melakukan berbagai tahapan dalam
kegiatan penelitian yaitu:target utama adalah tersusunnya model normatif
tentang pendidikan inklusif dalam pengembangan kapasitas kewirausahaan
masyarakat miskin. Tahap-tahap kegiatan penelitian yang telah
dilaksanakan di tahun ke-1 adalah:
a. Persiapan pekerjaan Desk study mengenai kajian-kajian penelitian
terdahulu. Telah dikaji penelitian yang berkaitan dengan pendidikan anak
sehingga mampu memperkaya wawasan dalam penelitian ini.
b. Melakukan studi literatur yang meliputi konsep-konsep dan teori untuk
mendukung penelitian ini.
c. Mengumpulan data di lapangan yaitu memetakan potensi-potensi lokal
pada masyarakat nelayan . Dalam tahap ini berhasil digali potensi-potensi
lokal pada masyarakat nelayan di pesisir Cirebon.
d. Melakukan focus group discussion dengan guru-guru di sekolah dasar desa
nelayan untuk mengetahui lebih jauh tentang karakter masyarakat nelayan
dan penjajakan materi wirausaha yang dibutuhkan bagi anak-anak di desa
nelayan. Selain itu juga dijajagi cara mengaplikasikan materi kewirausahaan
pada siswa sekolah dasar di desa nelayan.
e. Menggambarkan potret kultural dari masyarakat yang diteliti berdasarkan
hasil penjajakan di lapangan.
f. Memetakan potensi nilai-nilai kewirausahaan berbasis kultur lokal yang
akan dikembangkan dalam materi pendidikan kewirausahaan.
g. Memetakan insitusi dan pelaku lokal untuk pengembangan nilai-nilai
kewirausahaan dalam pendidikan anak
h. Mengembangkan jaringan kemitraan dengan pemangku kepentingan.
Dalam tahap ini sudah berhasil dijalin kemitraan dengan pembuatan MOU
dengan sekolah-sekolah desa Nelayan Citemu, pihak desa dan UPT
Pendidikan.
48
i. Menyusun model yang terkonsolidasi hasil evaluasi terhadap kasus
penelitian (consolidated model).
Pada tahun ke 2 dengan target capaian utama adalah tersusunnya action model yang
siap diterapkan pada masyarakat. Tahap-tahap kegiatan penelitian yang
dilaksanakan pada tahun ke-3 adalah:
a. Review hasil penelitian tahun kedua
b. Persiapan riset action Pendataan anak-anak pada masyarakat nelayan.
c. Uji coba penanaman nilai-nilai kewirausahan pada anak-anak melalui
pendidikan inklusif berbasis institusi dan pelaku potensial yang menjadi
temuan dalam penelitian tahun pertama.
d. Penyusunan draft model pendidikan inklusif kewirausahaan untuk
masyarakat nelayan
e. Penjajakan mitra-mitra potensial Jaringan kemitraan yang terjalin
dilembagakan melalui kesepakatan resmi, terutama kemitraan dengan
pemerintah daerah.
f. Diseminasi pengetahuan dalam bentuk tulisan populer, seminar.
Pada Tahun 2, dengan target capaian utama adalah tersusunnya model pendidikan
inklusif dalam pengembangan kapasitas kewirausahaan masayarakat miskin.
Tahap-tahap kegiatan penelitian yang dilaksanakan pada tahun ke-2 adalah:
a. Review terhadap draft model pendidikan inklusif dalam pengembangan
kapasitas kewirausahaan masyarakat miskin.
b. Penyusunan model.
c. Kerjasama dengan mitra potensial dalam penerapan model tersebut kepada
masyarakat.
d. Implementasi model untuk kelompok miskinsecara lebih luas.
e. Pemantapan model untuk bisa dikembangkan secara lebih luas dan
diseminasi pengetahuan dalam bentuk buku.
Pada penelitian tahun ke tiga, kegiatan penelitian di fokuskan pada
tersusunnya applied model yang siap diterapkan di masyarakat. Adapun tahap-
tahap kegiatan penelitian yang dilaksanakan pada tahun ke-3 meliputi :
49
1. Review hasil penelitian tahun kedua
Pada penelitian tahap kedua telah dihasilkan sebuah model pendidikan
inklusif kewirausahaan, namun tentu saja model ini perlu ditelaah lagi
apakan model ini dapat diterapkan atau tidak untuk tujuan tersebutlah
review ini dilakukan
2. Persiapan riset action Pendataan anak-anak pada masyarakat nelayan.
Karena model ini akan di terapkan di sekolah yang terdapat di desa nelayan,
maka perlu pendataan lebih lanjut mengenai anak-anak yang ada di
masyarakat nelayan yang meliputi jumlah anak-anak usia sekolah, jumlah
anak-anak yang bersekolah, jumlah anak-anak yang putus sekolah beserta
karakteristik anak-anak tersebut.
3. Pada tahun ke tiga ini pendidikan kewirausahaan anak nelayan akan
diaplikasikan pada sekolah-sekolah dasar nelayan.
4. Akan dilakukan Training of Trainer (TOT) pada guru Sekolah Dasar dengan
materi pendidikan kewirausahaan pada masyarakat nelayan.
5. Uji coba penanaman nilai-nilai kewirausahan pada anak-anak melalui
pendidikan inklusif berbasis institusi dan pelaku potensial.
6. Penyusunan draft model pendidikan inklusif kewirausahaan untuk
masyarakat nelayan
7. Dari uji coba yang dilakukan peneliti dapat mengevaluasi mana yang efektif
dan mana yang tidak efektif untuk kemudian dapat disusun draft model
pendidikan inklusif kewirausahaan untuk masyarakat nelayan
8. Penjajakan mitra-mitra potensial Jaringan kemitraan yang terjalin
dilembagakan melalui kesepakatan resmi, terutama kemitraan dengan
pemerintah daerah.
Untuk penerapan yang lebih luas bagi draft model pendidikan inklusif
kewirausahaan untuk masyarakat nelayan ini, tentu saja diperlukan
kemitraan dari berbagai pihak, baik dari pihak pemerintah untuk kelancaran
perijinan maupun pihak swasta untuk kepentingan pendanaan.
9. Diseminasi pengetahuan dalam bentuk tulisan populer, seminar.
Agar hasil penelitian ini bermanfaat lebih luas maka perlu dilakukan
diseminasi pengetahuan dalam bentuk tulisan populer, seminar.
50
10. Kerjasama dengan mitra potensial dalam penerapan model tersebut kepada
masyarakat.
11. Pemantapan model untuk bisa dikembangkan secara lebih luas dan
diseminasi pengetahuan dalam bentuk buku.
51
BAB V
HASIL YANG DICAPAI
Kota Cirebon dan sekitarnya terletak dalam koridor strategis di Jawa, yaitu
dilewati oleh jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) dan berada di simpul dengan jalur
ke Bandung. Posisinya sebagai simpul konektivitas menjadikan Kota Cirebon dan
sekitarnya salah satu simpul percepatan dan perluasan pembangunan nasional. Kota
Cirebon dan sekitarnya dimasukkan dalam koridor Jawa dalam kebijakan Master
Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Kota Cirebon menjadi salah satu kawasan yang akan dikembangkan sebagai
kawasan metropolitan dalam kebijakan pembangunan metropolitan dan pusat
pertumbuhan di Jawa Barat. Diharapkan kemitraan dengan pemerintah provinsi
Jawa Barat yang telah terbangun pada tahun pertama dapat dilanjutkan dan
dikembangkan pada penelitian tahun kedua dengan lokasi kota Cirebon dan
sekitarnya.
Gambar 5. Peta wilayah penelitian
Desa Citemu terletak di kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon, memiliki
luas wilayah sekitar 763 Ha dengan jumlah penduduk sekitar 4000 jiwa dengan
jumlah kepala keluarga sebanyak 1.126 kk. Desa ini merupakan desa yang
letaknya di daerah pesisir pantai, sehingga mayoritas penduduknya bermata
pencaharian sebagai nelayan, berdasarkan wawancara tim peneliti dengan kepala
52
desa Citemu, Bapak Saerun , 92 % penduduk Desa Citemu adalah Nelayan, sisanya
ada yang bermata pencaharian sebagai petani, sebagai pegawai negeri atau pun
sebagai wirausahawan.
Gambar 6. Desa nelayan Citemu Kabupaten Cirebon
Masyarakat Desa Citemu yang mayoritas bermata pencaharian sebagai
nelayan tentu saja setiap harinya pergi melaut untuk mencari ikan. Hasil dari melaut
biasanya dijual di tempat pelelangan ikan yang ada di desa tersebut yang letaknya
tidak jauh dari pesisir pantai. Selain dijual langsung di tempat pelelangan, hasil
melaut juga sebagian diolah menjadi ikan asin. Selain melaut mencari ikan, mereka
juga mendapatkan penghasilan dari membuat perangkap rajungan yang mereka
sebut wadong. Di samping itu beberapa nelayan juga mendapatkan penghasilan
dengan menjadi petani garam.
Tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan ini bisa dikategorikan kurang
sejahtera, karena ikan di laut bersifat musiman, maka penghasilan mereka juga
menjadi tidak tentu. Disamping itu hasil laut juga semakin menurun karena
berkurangnya habitat ikan di laut tersebut. Selain faktor musiman tersebut,
menurunnya hasil ikan di laut juga dipengaruhi oleh kehadiran PLTU (Pembangkit
Listrik Tenaga Uap) di daerah tersebut. Karena letak PLTU tersebut berada di laut
sehingga mengganggu habitat ikan dilaut tersebut dan berpengaruh pada
menurunnya ikan-ikan dilaut desa Citemu.
53
Pada bulan-bulan tertentu saat ikan di laut berkurang, masyarakat nelayan
Desa Citemu harus pergi melaut ke luar kota. Berdasarkan keterangan masyarakat
nelayan di Desa Citemu, mereka harus pergi melaut ke luar kota untuk mendapatkan
ikan yang lebih banyak, hal ini biasanya mereka lakukan pada sekitar bulan Juni
dan Juli. Dan daerah yang paling banyak dituju adalah Muara Angke yang terletak
di Jakarta, dengan alasan pada bulan-bulan tersebut hasil ikan paling banyak
terdapat di sana.
Pekerjaan nelayan biasanya tidak dikerjakan sendiri melainkan melibatkan
seluruh anggota keluarga. Bahkan anak-anak juga harus membantu orang tua
melakukan pekerjaan ini. Meski pun anak-anak tidak diajak melaut, biasanya anak-
anak membantu orangtua membuat wadong (perangkap rajungan), atau membantu
mengupas rajungan. Jadi secara tidak langsung profesi nelayan ini dilakukan secara
turun temurun.
Karena pekerjaan nelayan ini dilakukan secara turun temurun, artinya
diturunkan orangtua kepada anaknya, maka kebanyakan orangtua menganggap
sekolah itu tidak perlu, karena pada akhirnya sudah pasti jadi nelayan juga.
Berdasarkan pengakuan warga desa Citemu yang tinggal di pesisir pantai, anak-
anak nelayan di Desa ini kebanyakan disekolahkan oleh orangtuanya dengan tujuan
agar sekadar bisa membaca dan menulis. Setelah itu mereka harus kembali bekerja
membantu orang tua. Ada yang ikut melalut, ada juga yang membantu mengupas
rajungan, atau membuat wadong. Jadi dapat di katakan bahwa kesadaran
masyarakat akan pendidikan masih kurang. Selain itu orangtua juga belum bisa
melihat manfaat lebih pendidikan selain hanya kemampuan membaca dan menulis.
Para orang tua di desa ini beranggapan bahwa tugas utama anak-anak
bukanlah bersekolah dan memperoleh pendidikan demi masa depan yang lebih
baik, melainkan adalah membantu pekerjaan orangtuanya sebagai nelayan.
Sehingga kadangkala anak-anak meninggalkan bangku sekolah demi membantu
orangtua bekerja entah itu membantu mengupas rajungan, atau membuat wadong
atau pun membantu orangtua mengolah ikan asin atau mengolah air laut menjadi
garam atau bertani garam.
54
5.1 Menyusun materi kewirausahaan dengan mengakomodir potensi
karakter kewirausahaan pada masyarakat miskin, dan disempurnakan
dengan hasil uji coba kepada siswa dan guru sekolah dasar di desa
Nelayan yang draftnya telah disusun pada penelitian tahun kedua
Masyarakat Desa Citemu kecamatan Mundu memiliki karakter-karakter
lokal yang menarik dan cukup kuat sebagaimana desa-desa nelayan lainnya.
Nelayan punya karakter pemberani, tekun dan ulet sebagai syarat untuk mampu
menaklukkan lautan. Dari hasil observasi karakter-karakter tersebut dapat
dikembangkan dalam pendidikan kewirausahaan.
Masyarakat nelayan memiliki kekhasan tersendiri. Bila dilihat dari kekuatan
karakter yang dimilikinya, masyarakat nelayan memiliki potensi yang luar biasa
yang seharusnya mampu dikembangkan untuk membangun kehidupan yang lebih
baik lagi. Potensi-potensi kewirausahaan yang berhasil digali dalam penelitian ini
diantaranya adalah kreativitas, daya juang yang tinggi, tahan banting menghadapi
kehidupan yang susah, sangat adaptif dan mau mengambil resiko. Materi
kewirausahaan yang disampaikan kepada anak-anak berorientasi pada membangun
mental anak untuk memiliki jiwa kewirausahaan. Mental yang ditanamkan sejak
dini diharapkan akan lebih mudah terbangun dan bermanfaat untuk mereka hingga
dewasa nanti sehingga akan memunculkan wirausaha-wirausaha yang tangguh
dikemudian hari untuk bangsa Indonesia.
Ujicoba modul kepada siswa di SD Citemu yang terletak di desa nelayan.
Ujicoba dilakukan pada siswa sekolah dasar Citemu yang berada di Desa Citemu.
Dalam ujicoba tersebut dilakukan oleh Tim peneliti dengan melibatkan guru
sekolah tersebut secara langsung.
Kewirausahaan adalah sikap mental yang ditandai oleh kemadirian,
kemampuan bekerja sama, kemampuan mengambil resiko, jujur, tanggung jawab,
tangguh, beralasan, dan kepedulian. Sikap hidup semacam itu bukanlah sesuatu
yang dilatihkan (training/workshop) dalam satu bulan atau tiga bulan, tetapi sikap
itu harus dibangun secara konsisten, terus menerus dan berkesinambungan baik
melalui pendidikan formal (kurikulum) maupun kegiatan ekstrakulikuler dan
kemasyarakatan. Budaya kewirausahaan yang tumbuh secara alami dalam suatu
55
keluarga atau kelompok masyarakat Indonesia merupakan suatu asset yang sangat
berharga bagi bangsa Indonesia.
Nilai-nilai kemandirian, kerja keras, percaya pada diri sendiri, tidak mudah
menyerah, mampu mengambil resiko, mengembangkan kreativitas dapat
dikembangkan dalam pendidikan kewirausahaan yang dalam penelitian ini akan
dikembangkan untuk anak-anak. Pendidikan kewirausahaan untuk anak setelah
melihat kondisi di lapangan akan disampaikan dalam kegiatan ekstrakulikuler di
sekolah.
Pengembangan Muatan Lokal dalam Pendidikan Kewirausahaan di desa
nelayan, meliputi:
- Kekayaan alam bahari yang harus dijaga
- Kekayaan alam bahari untuk menunjang perekonomian masyarakat
- Pengolahan hasil laut yang bisa meningkatkan nilai tambah
- Kemampuan mengelola kebutuhan produksi
- Kemampuan mengelola kebutuhan konsumsi
- Kemandirian dan daya tahan berjuang dengan kemampuan sendiri,
- Pengembangan karakter pemberani
- Kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul (problem
solving)
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi pendidikan anak tidak
boleh diabaikan. Komunikasi efektif yang dbangun harus memperhatikan unsur
empati, kesetaraan, membangun diskusi dengan anak, kebebasan berekspresi pada
anak, mengembangkan kreativitasnya dan memahami kondisi masing-masing anak
yang berbeda. Penerapan pendidikan ini akan didukung oleh institusi-institusi
pendidikan dan institusi swasta lainnya, sehingga pendidikan kewirausahaan
nelayan pada anak-anak dapat segera diaplikasikan.
Kegiatan simulasi pengajaran kewirausahaan untuk anak nelayan
dilaksanakan di Sekolah Dasar Citemu 2 Kabupaten Cirebon. Simulasi pengajaran
yang diikuti oleh 42 anak ini berlangsung dengan lancar dan menyenangkan bagi
anak-anak. Selama kegiatan berlangsung, anak-anak cukup antusias dengan metode
belajar dan bermain yang diterapkan oleh peneliti.
56
Gambar 7. Kegiatan simulasi pengajaran kewirausahaan
Belajar sambil bermain banyak melibatkan berbagai sensor dalam tubuh
manusia, sehingga murid dapat merasakan dan mengaplikasikan konsep yang
diajarkan seorang guru. Metode yang digunakan bukan metode konvensional
dimana guru mengajar satu arah. Murid hanya menjadi subjek saja. Siswa bersikap
pasif mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru.
Penyampaian materi melibatkan siswa pada situasi nyata diakui lebih
efektif, karena siswa dapat memahami materi melalui keterlibatannya melalui
permainan kreatif guru atau trainer. Melalui permainan kreatif, Guru dapat
mentransformasikan pengetahuannya dengan lebih mudah dan menyenangkan.
Siswa dapat lebih antusias mengikuti materi pelajaran dan dapat lebih memahami
materi yang diberikan guru.
Permainan kreatif ini dapat membangkitkan tidak saja kemampuan analitis
siswa tetapi juga motorik siswa sehingga siswa dapat lebih terampil dalam
melakukan sesuatu. Permainan kreatif ini melibatkan siswa dan guru dalam suatu
proses pengajaran yang lebih efektif Karena lebih dapat diresapi siswa. Permainan
yang digunakan dalam pengajaran dapat dipilih sesuai dengan materi, kondisi
tempat,situasi dan material yang dimiliki oleh guru.
Untuk mengembangkan permainan kreatif ini guru perlu terus mencari
referensi dan aktif mengikuti pelatihan-pelatihan khusus yang dapat
mengembangkan ketrampilan guru dalam pengajaran kreatif melalui permainan.
Permainan kreatif yang dapat dijadikan alternatif pendekatan pembelajaran pada
siswa sehingga siswa dapat lebih memahami materi dan lebih kreatif.
57
Gambar 8. Simulasi permainan kreatif
Mengawali materi wirausaha untuk anak nelayan ini ditampilkan gambar
“Wadong”. Benda ini sangat dekat dan dikenal dengan baik oleh anak-anak
nelayan.
Gambar 9. Wadong
Wadong adalah alat untuk mencari kepiting. Bagi masyarakat Citemu
wadong sangat dikenal. Selain bagi masyarakat nelayan wadong sangat bermanfaat
58
untuk mencari kepiting, sebagian besar warga citemu terutama untuk ibu-ibu dan
ada sebagian anak-anak membuat wadong untuk menambah penghasilan sehari-
hari.
Materi pengantar kewirausahaan dimulai mengantarkan kewirausahaan
melalui gambar Wadong terlebih dahulu. Di sini mulai dipancing imajinasi anak-
anak tentang wirausaha melalui gambar Wadong. Ada yang menyampaikan
mendapat uang jajan dari orang tua karena mereka membuat wadong, membeli alat
tulis karena orang tuanya membuat wadong, serta ada yang mendapat upah karena
membuat wadong.
Pengalaman yang tercipta dari gambar Wadong ini membuat anak-anak
memahami apa yang dimaksud dengan entrepreneur tersebut. Mereka mulai
mengembangkan imajinasi tentang kewirausahaan melalui kondisi lokal yang
mereka kenali.
Setelah itu ditampilkan tokoh-tokoh yang sukses untuk memancing dan
memotvasi anak-anak. Ditampilkan tokoh dengan keterbatasan fisik tetapi mampu
menjadi orang yang sukses, tokoh yang bermanfaat bagi orang banyak baik skala
nasional maupun internasional.
Dalam materi motivasi ini juga disampaikan tentang bagaimana memotivasi
anak-anak dan meyakinkan mereka bahwa mereka memiliki kemampuan dan
kapasitas yang cukup baik untuk berkembang. Rata-rata anak-anak nelayan merasa
dirinya tidak memiliki potensi. Akses informasi yang diperoleh membuat mereka
kagum pada kehebatan orang lain dan memandang dirinya tidak memiliki potensi.
Setelah itu ditampilkan tokoh-tokoh yang sukses untuk memancing dan memotvasi
anak-anak. Ditampilkan tokoh dengan keterbatasan fisik tetapi mampu menjadi
orang yang sukses, tokoh yang bermanfaat bagi orang banyak baik skala nasional
maupun internasional.
Game yang menarik yang ditampilkan disini antara lain adalah
menunjukkan siapa orang hebat. Game dengan alat cermin yang ditutup kain
penutup mampu membangkitkan motivasi dan kebanggaan anak pada dirinya
sendiri. Menurut pengamatan peneliti reaksi anak-anak cukup luar biasa. Ketika
mereka diminta membayangkan tokoh idola dengan membuka cermin berpenutup
kain dan mendapatkan wajah mereka dalam ceermin tersebut. Di sinilah dijelaskan
59
bahwa yang hebat adalah mereka sendiri. Dengan mengembangkan kemampuan
yang dimilikinya mereka akan menjadi orang yang hebat dikemudian hari.
Gambar 10. Simulasi game dengan cermin
Mengkombinasikan materi dengan game membuat anak-anak sangat
senang. Dalam kondisi ini mereka akan lebih mudah menerima materi. Melalui
sebuah game mereka disadarkan bahwa ternyata mereka anak yang hebat, memiliki
potensi dan dapat mengembangkan dirinya menjadi orang yang hebat. Berbagai
profesi dapat mereka tekuni untuk menyalurkan kehebatan tersebut. Beragam
profesi mereka pilih dan salah satu yang diangkat dalam pendidikan ini adalah
profesi wirausaha
Belajar sambil bermain banyak melibatkan berbagai sensor dalam tubuh
manusia, sehingga murid dapat merasakan dan mengaplikasikan konsep yang
diajarkan seorang guru. Proses belajar mengajar konvensional, pola komunikasi
guru dan murid cenderung satu arah Guru sebagai nara sumber sedangkan siswa
mendengarkan dan menerima secara sepihak apa yang disampaikan guru. Metode
ini walaupun masih digunakan sudah mulai ditinggalkan karena membuat siswa
menjadi pasif dan kurang memahami materi yang disampaikan guru. Pengalaman
tiga dimensi atau pengajaran yang melibatkan siswa pada situasi nyata diakui lebih
efektif, karena siswa dapat memahami materi melalui keterlibatannya melalui
permainan kreatif guru atau trainer. Melalui permainan kreatif, Guru dapat
mentransformasikan pengetahuannya dengan lebih mudah dan menyenangkan.
60
Siswa dapat lebih antusias mengikuti materi pelajaran dan dapat lebih memahami
materi yang diberikan guru.
Permainan kreatif ini dapat membangkitkan tidak saja kemampuan analitis
siswa tetapi juga motorik siswa sehingga siswa dapat lebih terampil dalam
melakukan sesuatu. Permainan kreatif ini melibatkan siswa dan guru dalam suatu
proses pengajaran yang lebih efektif Karena lebih dapat diresapi siswa. Permainan
yang digunakan dalam pengajaran dapat dipilih sesuai dengan materi, kondisi
tempat,situasi dan material yang dimiliki oleh guru. Untuk mengembangkan
permainan kreatif ini guru perlu terus mencari referensi dan aktif mengikuti
pelatihan-pelatihan khusus yang dapat mengembangkan ketrampilan guru dalam
pengajaran kreatif melalui permainan. Buku ini memberikan gambaran mengenai
permainan kreatif yang dapat dijadikan alternative pendekatan pembelajaran pada
siswa sehingga siswa dapat lebih memahami materi dan lebih kreatif.
Dalam ujicoba tersebut terlihat siswa antusias sekali. Dengan
menggabungkan metode pengajaran antara bermain, menyampaikan game,
melibatkan siswa dalam belajar, ada movement atau gerakan baik pada siswa
maupun guru. Metode pengajaran ini menurut pengamatan peneliti sangat menarik
dan membuat siswa sangat antusias dalam belajar.
Metode ini membuat siswa tidak merasa jenuh walaupun mereka belajar
dalam waktu yang cukup panjang. Dalam belajar mereka juga diberi kesempatan
dan dilatih untuk menyampaikan ide dan gagasanna. Sehingga mereka dituntut
untuk selalu berpikir. Penciptaan kondisi ini cukup berhasil. Di awal memang
cukup sulit untuk meminta mereka menyampaikan pendapat dan gagasannya karena
tidak terbiasa. Tapi dorongan atau motivasi yang diberikan oleh guru mampu
merubah keadaan sehingga siswa berani menyampaikan pendapatnya. Kondisi ini
menular pada siswa lainnya. Sehingga suasana kelas menjadi hidup. Siswa
berlomba-lomba menyampaikan ide atau gaasannya.
Gerakan atau movement baik yang dilakukan oleh guru maupun siswa
ternyata mampu menghilangkan kejenuhan dalam belajar. Siswa sangat senang
ketika harus bergerak mengikuti game atau mencari informasi karena memang
bermain dan bergerak adalah kondisi natural anak. Mereka terlihat sangat senang.
Kondisi ini memenuhi unsur penting bagi pendidikan anak yaitu kebebasan secara
61
psikologis. Dalam kondisi nyaman dan senang anak akan mampu memaksimalkan
proses belajar menagajar karena tidak ada ketakutan dan kejenuhan.
Selain cara berkomunikasi guru, pemilihan materi juga menentukan
keberhasilan proses belajar mengajar. Penyampaian materi tentang kewirausahaan
untuk anak nelayan ini lebih diutamakan pembangunan karakter untuk anak-anak
sehingga di kemudian hari mereka dapat menjadi pengusaha yang tangguh. Matri-
materi yang disampaian oleh guru nanti yang sudah disusun dalam modul adalah:
1. Penjelasan kepada siswa tentang apa itu wirausaha,
siapa saja enterprener yang sukses dan bisa menjadi
contoh, keberagaman hal yang terkait dengan
wirausaha.
2. Prinsip-prinsip komunikasi dalam pendidikan
kewirausahaan
3. Membangun wirausaha sejak dini. Berisi permainan-
permainan kreatif bagi siswa sekolah dasar yang
berkaitan dengan membangun karakter wirausaha.
4. Menciptakan lingkungan berwirausaha yang kondusif
5. Karakter-karakter lokal yang akan dikembangkan
dalam pendidikan kewirausahaan
6. Mengenal Potensi diri
7. Mengembangkan kreativitas pada anak
8. Kemampuan mengungkapkan gagasan
9. Membangun karakter inovatif pada anak
10. Motivasi Enterpreneurship
11. Mengambil resiko dalam berwirausaha
Pengembangan materi kewirausahaa untuk anak nelayan, materi lokal
menjadi hal yang penting. Untuk itu peneliti berusaha menggali lebih dalam lagi
untuk mengembangkan data-data yang diperoleh dalam penelitian terdahulu. Untuk
memperoleh mater lokal ini peneliti menggalinya dari nelayan langsung yang
berada di desa citemu. Peneliti menyelenggarakan Focus Group Discussion yang
dihadiri oleh para nelayan.
62
Materi lokal yang perlu dikuatkan untuk pengajaran Wirausaha anak
nelayan yaitu:
- Motivasi menjadi nelayan ataupun pengusaha dibidang kelautan.
Kedekatan dengan laut bahkan sejak mereka lahir. Kehidupan sebagai
nelayan, mengolah ikan sudah sangat dikenal oleh anak-anak dan
bahkan banyak dari mereka yang terlibat dengan kegiatan ini.
Pengamatan peneliti terlihat bahwa mereka tidak bisa mengambil jarak
dengan kondisi ini. Sehingga cara memandang masa depan justru yang
berada jauh dari kehidupan mereka. Dalam menyampaikan materi
motivasi perlu diangkat kekuatan yang dimiliki mereka yaitu
kepiawaian mereka tentang berbagai hal yang berkaitan dengan dunia
nelayan. Bagaimana kekuatan ini seharusnya dikembangkan. Sehingga
mereka tidak memulai dari awal lagi dan sudah punya modal
kemampuan yang cukup. Memotivasi mereka untuk menjadi wirausaha
dibidang kelautan bis juga dengan mengangkat tokoh=tokoh yang
berhasil di usaha nelayan tersebut. Baik tokoh yang berada di kampung
atau desa mereka, atau tokoh nasional atau bahkan internasional yang
menggeluti dinia nelayan atau keautan.
- Kemampuan untuk mengembangkan inovasi
Pekerjaan untuk nelayan tidak hanya sebatas mencari ikan di laut.
Teknologi pengolahan ikan, pasar yang berkembang, kemapuan
membuat peralatan mencari ikan atau kepiting seperti wadong menjadi
kemampuan yang telah dimiliki oleh masyarakat di desa nelayan. Selain
itu efisiensi mencari ikan yaitu dengan menyingkat jarak yang berarti
menghemat bahan bakar kapal dan juga menghemat waktu dapat
dilakukan dengan bantuan GPS. Kemampuan yang dimiliki oleh
sebagian nelayan ini terus dikembangkan. Dengan pendidikan yang
lebih baik nelayan akan dapat mengembangkan hidupnya dengan
berbagai inovasi yang sudah muncul dan seharusnya terus
dikembangkan. Anak-anak nelayan seharusnya terus diajarkan untuk
berani berinovasi. Kata inovasi sebenarnya bukan hal asing bagi
kehidupan nelayan dan mereka harus mau mengembangkannya. Inovasi
63
di sini termasuk mengemangkan pemasaran baik ikan, hasil olahan
maupun peralatan untuk menangkap ikan. Inovasi menjadi materi
penting dalam mengembangkan kewirausahaan anak nelayan.
- Keberanian mengambil resiko
Keberanian mengambil resiko penting untuk karakter seorang
enterpreneur. Materi dengan muatan lokal yang berkaitan dengan
pengambilan resiko berdasarkan pengalaman masyarakat nelayan
adalah berani berdiri sendiri dan tdak tergantung orang lain.
Kebanyakan masyarakat karena tidak berani mengambil resiko lebih
senang untuk bekeja dengan orang lain daripada bekerja sendiri.
Seorang nelayan yang menjalankan usahanya sendiri ketika berani
mengambil resiko tidak hanya akan mendapat penghasilan yang besar,
tetapi juga mampu mempekerjakan orang lain. Kondisi nelayan di
daerah Citemu sudah banyak yang tergantung pada penyedia modal
sehingga hasil jerih payah mereka sangat minimal dan tidak sebanding
dengan yang diterima oleh pemodal.
5.2 Menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan dan pemerintahan
dalam penerapan pendidikan inklusif untuk anak pada masyarakat
nelayan
Penelitian ini sudah dapat menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan
yaitu UPT Kecamatan Citemu, SD Negeri 1 Citemu, SD Negeri 2 Citemu, MI
Addaroin yag sudah diperoleh pada tahun pertama dan kedua penelitian ini.
Di Desa Citemu terdapat 3 Sekolah Dasar, yaitu SDN I Citemu, SDN 2
Citemu dan MI Addaroin. Ketiga sekolah tersebut letaknya tidak begitu jauh dari
laut. Sekolah yang paling dekat dengan pesisir pantai adalah SDN 2 Citemu.
64
Gambar 11. Institusi Pendidikan di wilayah Desa Citemu
a. Sekolah Dasar Negeri 1 Citemu
SDN 1 Citemu adalah sekolah dasar negeri yang berada di desa Citemu
Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon . Sekolah ini berlokasi di tengah-tengah
perkampungan penduduk yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Bila dibandingkan dengan SDN 2 Citemu, sekolah ini memiliki jumlah
murid lebih banyak. Hal ini karena lokasi sekolah berada ditengah perkampungan
penduduk.
Kondisi kelas bisa dibilang cukup memadai namun luas lahan terasa kurang
karena ruang terbukanya sangat sempit bila dibanding jumlah murid. Bangunan
sekolah terdiri dari enam ruang kelas dan satu ruang guru. Ke enam ruang kelas
tersebut digunakan oleh siswa dari kelas 1 hingga kelas 6, dengan jumlah siswa
masing-masing kelas sebanyak kurang lebih 30 anak. Sedangkan satu ruang guru
di isi oleh delapan orang guru termasuk kepala sekolah.
65
Animo sekolah di SDN 1 juga termasuk rendah. Rata-rata jumlah siswa
menurun ketika mereka menginjak kelas empat atau lima. Alasannya hampir sama
karena pada usia tersebut orang tua merasa anak sudah cukup mampu membantu
orang tua bekerja. Anak-anak tidak membantu melaut, mungkin para orang tua
sadar akan bahayanya, melainkan mereka membantu orangtua mengerjakan
pekerjaan seperti mengupas rajungan, membantu membuat wadong atau semacam
perangkap untuk menangkap rajungan. Ataupun membantu pekerjaan orangtuanya
sebagai petani garam.
b. Sekolah Dasar Negeri 2 Citemu
SDN 2 Citemu merupakan sekolah yang berstatus negeri yang berdiri pada
tahun 1985, terletak di jalan TPI Karang Pandan Desa Citemu Kecamatan Mundu
Kabupaten Cirebon. Sekolah ini berada tepat di pinggir pesisir pantai, sehingga
apabila para nelayan tidak sedang melaut banyak sekali perahu-perahu nelayan
yang di parkir di pantai depan sekolah.
Kondisi kelas bisa dibilang kurang memadai, bangunan sekolah yang berada
di atas tanah seluas 2676 m2 X 479 m2 tampak kurang terawat dan fasilitasnya pun
kurang memadai. Bangunan tersebut terdiri dari enam ruang kelas dan satu ruang
guru. Ke enam ruang kelas tersebut digunakan oleh siswa dari kelas 1 hingga kelas
6, dengan jumlah siswa masing-masing kelas sebanyak kurang lebih 25 anak.
Sedangkan satu ruang guru di isi oleh delapan orang guru termasuk kepala sekolah.
Dari beberapa kali kunjungan peneliti ke sekolah ini, seringkali sekolah
tampak sepi. Mungkin karena memang jumlah siswanya sedikit. Tetapi
berdasarkan keterangan penduduk sekitar, seringkali siswa banyak yang mangkir
sekolah karena harus membantu orangtuanya bekerja sebagai nelayan.
Menurut keterangan penduduk sekitar juga, kebanyakan orangtua yang
menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut tidak memprioritaskan pendidikan
anak, mereka lebih memprioritaskan bagaimana anaknya dapat membantu
meringankan pekerjaan orangtua sebagai nelayan, sehingga asal anaknya sudah bisa
membaca dan menulis sudah cukup.
Berdasarkan keterangan Bapak Darsono, kepala sekolah SDN 2 Citemu,
memang mayoritas siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Citemu adalah anak nelayan.
66
Dari jumlah siswa sebanyak 108 siswa, Sekitar 90% orang tuanya berprofesi
sebagai nelayan. Yang lainnya berprofesi sebagai buruh, pedagang atau
wiraswasta, pegawai negeri dan ada pula sebagai pegawai swasta.
c. Madrasah Ibtidaiyah (MI) Addaroin
Tak jauh dari SDN 2 Citemu, kurang lebih 5 km jaraknya, tepatnya
bersebelahan dengan kantor kuwu Citemu, terdapat sekolah swasta berbasis agama
islam yang setara dengan SD yaitu madrasah ibtidaiyah (MI) Addaroin. Beralamat
di jalan Raya KM 7 Kancilosari Desa Citemu Kecamatan Mundu Kabupaten
Cirebon.
Berdasarkan keterangan dari Kepala Desa Citemu, Bp. Saerun, sekolah
swasta ini justru memiliki siswa yang lebih banyak, karena sekolah ini berbasis
agama sehingga kebanyakan orangtua di desa ini lebih percaya menyekolahkan
anaknya di sekolah ini.
Sekolah yang berdiri pada tahun 1984 ini dibangun diatas tanah seluas
400m2 dengan luas bangunan 340m2. Meski sekolah ini tidak seluas SDN 2
Citemu, sekolah ini nampaknya memiliki fasilitas yang lebih baik di banding
dengan SDN Citemu. Di bawah kepemimpinan bapak Mahfud sebagai kepala
sekolah, sekolah ini berhasil memperbaiki fasilitas sekolah yang meliputi tujuh
ruang kelas, satu ruang guru yang diisi oleh 14 orang guru dan satu ruang kepala
sekolah. Selain itu menurut pengakuan kepala sekolah, sekolah ini juga mendapat
berbagai macam dukungan dari berbagai kalangan sehingga dapat
menyelenggarakan berbagai kegiatan ekstrakulikuler seperti pramuka, drumband
dan paskibra. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah ini cukup tinggi. Bahkan
banyak donator yang membantu sekolah ini sehingga jauh lebih maju dan bisa
membiayai operasional sekolah tanpa bantuan khusus dari pemerintah.
Tidak jauh berbeda dengan SDN 2 Citemu, 90% orangtua siswa dari MI
Addaroin juga berprofesi sebagai nelayan. Sisanya berprofesi sebagai buruh,
wiraswasta atau pedagang atau pegawai negeri. Siswa yang orangtuanya berprofesi
sebagai nelayan biasanya juga membantu pekerjaan orangtuanya seusai sekolah.
Karena kegiatan sekolah berlangsung di pagi hari, maka mereka membantu
pekerjaan orang tuanya di siang hari sepulang sekolah.
67
Berdasarkan keterangan bapak Imron,wakil kepala sekolah MI Addaroin,
sekolah ini memiliki 326 siswa yang tersebar dari kelas 1 hingga kelas 6, dimana
jumlah rata-rata masing-masing kelas sekitar 40 siswa. Namun sayang,
berdasarkan data yang peneliti peroleh dari kepala sekolah, dalam satu tahun
sebanyak 24 siswa yang tersebar dari kelas 1 hingga kelas 5 mengalami putus
sekolah (DO) dan ini merupakan angka yang cukup tinggi.
Tingginya jumlah siswa yang putus sekolah dalam satu tahun menunjukkan
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Mereka lebih
mengutamakan anak-anaknya dapat membantu orang tua mencari nafkah dibanding
memperoleh pendidikan di bangku sekolah demi masa depan yang lebih baik.
Fakta ini juga didukung oleh pernyataan bapak Imron selaku wakil kepala
sekolah MI Addaroin bahwa sekitar 50% dari siswa yang lulus sekolah dasar
melanjutkan ke sekolah menengah. Berarti sekitar 50% juga siswa yang lulus
sekolah dasar tidak melanjutkan ke sekolah menengah.
Sekolah yang dipilih untuk mengujicobakan materi wirausaha adalah
Sekolah Dasar Citemu 2. Sekolah ini yang paling siap untuk menyelenggarakan
pendidikan kewirausahaan. Komitmen guru cukup tinggi dalam menerapkan
program ini dan siswanya juga cukup antusias
Selain keberadaan sekolah institusi yang akan berpengaruh adalah UPT
pendidikan di Wilayah Kecamatan Citemu. Untuk menerapkan Pendidikan
Kewirausahaan secara lebih luas tim peneliti akan mengajukkannya pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Cirebon.
Untuk memperluas penerapan modul Pendidikan Kewirausahaan untuk
Anak, peneliti menjajaki kerjasama melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon.
Peneliti beraudiensi dengan para pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan
Kabupaten Cirebon. Setelah memaparkan hasil penelitian dan modul pendidikan
kewirausahaan untuk anak nelayan, pihak Dinas pendidikan sangat tertarik dan
akan merencanakan program pengajaran kewirausahaan untuk anak khususnya di
desa nelayan dengan modul pengajaran tersebut.
Untuk mengaplikasikan pendidikan kewirausahaan pada anak perlu
penyesuaian dengan kurikulum yang diberlakukan oleh Dinas pendidikan kepada
Sekolah Dasar di Kabupaten Cirebon. Dalam diskusi ini muncul wacana bahwa
68
pendidikan kewirausahaan untuk anak ini pada masa awal akan diintegrasikan
dengan kegiatan Kepramukaan sebagai salah satu kegiatan ekstrakulikuler wajib
yang ada di tiap Sekolah Dasar di Kabupaten Cirebon. Materi ini juga dirasa sesuai
apabila disampaikan dalam kegiatan Kepramukaan mengingat karakter yang
dibangun dalam diri seorang wirausaha juga sesuai dengan nilai-nilai yang
dikembangkan di kepramukaan.
5.3 Mengujicobakan pengajaran materi kewirausahaan pada institusi
pendidikan inklusif melalui ekstrakulikuler di sekolah-sekolah dengan
melakukan Training of Trainer untuk Guru Sekolah Dasar di desa
Nelayan
Nilai-nilai kemandirian, kerja keras, percaya pada diri sendiri, tidak mudah
menyerah, mampu mengambil resiko, mengembangkan kreativitas dapat
dikembangkan dalam membangun karakter kewirausahaan pada anak. Pendidikan
kewirausahaan ini akan diberikan pada anak-anak nelayan dengan fokus
membangun karakter kewirausahaan pada anak.
Membangun sikap mental menjadi hal yang penting dalam pencapaian hasil
pendidikan. Pendidikan pada anak perlu kiranya menekankan pada aspek emosi dan
mental. Begitu juga kalau kita akan mengenalkan pendidikan kewirausahaan untuk
anak. Materi dan cara penyampaian serta tujuan yang akan dicapai akan sangat
berbeda ketika hal tersebut diperuntukkan untuk orang dewasa. Untuk membangun
sikap mental kewirausahaan pada anak-anak dapat dilakukan melalui berbagai
macam cara. Tentu saja cara yang menarik sehingga anak merasa senang dan
memudahkan memahami materi yang disampaikan.
Masyarakat Desa Citemu kecamatan Mundu memiliki karakter-karakter
lokal yang menarik dan cukup kuat sebagaimana desa-desa nelayan lainnya.
Nelayan punya karakter pemberani, tekun dan ulet sebagai syarat untuk mampu
menaklukkan lautan. Dari hasil observasi karakter-karakter tersebut dapat
dikembangkan dalam pendidikan kewirausahaan.
Masyarakat nelayan memiliki kekhasan tersendiri. Bila dilihat dari kekuatan
karakter yang dimilikinya, masyarakat nelayan memiliki potensi yang luar biasa
yang seharusnya mampu dikembangkan untuk membangun kehidupan yang lebih
baik lagi. Potensi-potensi kewirausahaan yang berhasil digali dalam penelitian ini
69
diantaranya adalah kreativitas, daya juang yang tinggi, tahan banting menghadapi
kehidupan yang susah, sangat adaptif dan mau mengambil resiko.
Materi kewirausahaan yang disampaikan kepada anak-anak berorientasi
pada membangun mental anak untuk memiliki jiwa kewirausahaan. Mental yang
ditanamkan sejak dini diharapkan akan lebih mudah terbangun dan bermanfaat
untuk mereka hingga dewasa nanti sehingga akan memunculkan wirausaha-
wirausaha yang tangguh dikemudian hari untuk bangsa Indonesia.
Pendidikan kewirausahaan untuk anak rencananya akan diberikan melalui
kegiatan ekstrakulikuler yang ada di sekolah dasar. Ekstra kulikuler yang dipilih
adalah Kepramukaan. Selain sebagai ekstrakulikuler wajib, materi dalam
membangun karakter kewirausahaan dengan anak juga sesuai dengan nilai-nilai
yang dibangun dalam kepramukaan.
Pendidikan kewirausahaan yang disampaikan di sekolah hendaknya
berorientasi pada pengembangan muatan lokal. Mata pelajaran ini memberikan
peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya yang
dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, mata pelajaran
muatan lokal harus memuat karakteristik budaya lokal, keterampilan, nilai-nilai
luhur budaya setempat dan mengangkat permasalahan sosial dan lingkungan yang
pada akhirnya mampu membekali peserta didik dengan keterampilan dasar (life
skill) sebagai bekal dalam kehidupan sehinnga dapat menciptakan lapangan
pekerjaan. Contoh : anak yang berada di lingkungan sekitar pantai, harus bisa
menangkap potensi lokal sebagai peluang untuk mengelolah menjadi produk yang
memiliki nilai tambah, yang kemudian diharapkan anak mampu menjual dalam
rangka untuk memperoleh pendapatan.
Muatan lokal yang bisa digali akan memfokuskan pada proses pembelajaran
sehingga anak akan memiliki pemikiran kreatif mensiasati berbagai kondisi
sehingga mampu bertahan menjadi nelayan yang unggul kelak dikemudian hari.
Materi kewirausahaan yang dibangun adalah kewirausahaan yang berbasis
karakter lokal. Dalam ranah pendidikan, persoalan pendidikan kewirausahaan
menyangkut bagaimana dikembangkan praksis pendidikan yang tidak hanya
menghasilkan manusia terampil dari sisi intelektual, tetapi juga praksis pendidikan
yang inspiratif-pragmatis.
70
Pengembangan Muatan Lokal dalam Pendidikan Kewirausahaan di desa
nelayan
- Kekayaan alam bahari yang harus dijaga
- Kekayaan alam bahari untuk menunjang perekonomian masyarakat
- Pengolahan hasil laut yang bisa meningkatkan nilai tambah
- Kemampuan mengelola kebutuhan produksi
- Kemampuan mengelola kebutuhan konsumsi
- Kemandirian dan daya tahan berjuang dengan kemampuan sendiri
- Pengembangan karakter pemberani
- Kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul (problem
solving)
Target keberhasilan pendidikan kewirausahaan yang diaplikasikan pada
anak-anak nelayan ini adalah:
1. Siswa memiliki karakter wirausaha dan mampu mengembangkannya
dalam berbagai aspek kehidupan. Walaupun anak belum terjun langsung
menjadi wirausaha, namun karakter ini akan tampak dalam kegiatan
yang dilakukan anak-anak sehari-hari baik di sekolah maupun dirumah.
Diantaranya saat anak melakukan kegiatan membantu orang tua
melakukan berbagai kegiatan atau usahanya.
2. Peserta didik memahami konsep kewirausahaan secara benar. Hal ini
bisa disampaikan melalui materi-materi yang disampaikan tentang
kewirausahaan dalam berbagai sumber dan berdasar pada kondisi anak-
anak nelayan tersebut.
3. Kemampuan melihat peluang menjadi salah satu target keberhasilan
pendidikan kewirausahaan ini. Saat ini lingkungan sekitar desa nelayan
Citemu bisa ditemukan berbagai peluang usaha yang berkaitan dengan
pencarian dan pengolahan ikan. Peluang ini sering diambil oleh orang-
orang di luar desa sehingga warga desa hanya menjadi buruh saja di
desanya sendiri. Kemampuan menangkap peluang ini peru diajarkan
kepada anak-anak sehingga dapat membantu orang tua atau memberikan
masukan kepada orang tua dalam mengembangkan kegiatan
perekonomiannya. Bahkan kemampuan melihat peluang yang sudah
71
diasah sejak kecil akan menjadikan anak-anak ini seorang pengusaha
yang hebat kelak dikemudian hari.
4. Memiliki ketrampilan (skill). Ketrampilan tentang usaha yang berkaitan
dengan mencari ikan dan mengolahnya harus diajarkan kepada anak
sehingga anak mempunyai ketrampilan khusus sesuai dengan porsi
kemampuan dan usia anak..
5. Terbentuknya lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan
belajar yang berwawasan kewirausahaan menjadi target dalam
pendidikan kewirausahaan. Sekolah hendaknya membangun lingkungan
yang mendukung wawasan kewirausahaan sehingga karakter anak akan
terbangun dengan terus menerus dan kemampuan (skill) nya juga akan
terasah.
6. Membangun kultur sekolah yaitu membangun suasana kehidupan
sekolah di mana peserta didik berinteraksi dengan dengan semua warga
sekolah selalu mengembangkan karakter-karakter kewirausahaan.
Karakter ini bisa dibangun bersama-sama dengan membangun kultur
sekolah.
Materi pendidikan kewirausahaan untuk anak yang tertuang dalam modul
pengajaran diperuntukkan bagi guru sekolah dasar. Modul ini dapat menjadi
pegangan bagi guru dalam melaksanakan pengajaran kewirausahaan utuk siswanya.
Materi yang tersusun dalam modul ini berasal dari masukan guru, masyarakat
nelayan untuk unsur lokalitasnya, dan juga berasal dari siswa yang telah
diujicobakan di kelas.
Dalam mengenalkan materi kewirausahaan untuk anak-anak sekolah dasar
ini perlu kegiatan Training of Trainer untuk guru dalam skala yang lebih luas.
Semakin banyak guru yang memahami materi ini dan bersedia mengaplikasikannya
di dalam kelas, semakin banyak anak yang memiiki kesempatan untuk belajar dan
membangun karakter kewirausahaannya sejak dini.
72
5.3.1 Materi yang disampaikan dalam kegiatan TOT Pendidikan
Kewirausahaan untuk Anak Nelayan adalah:
1. Mengenalkan Kewirausahaan pada Anak
Pengenalan kewirausahaan menyampaikan secara umum tentang apa
profesi wirausaha, lingkup, arti kata dan mengenal wirausaha-wirausaha
tangguh baik dalam skala internasional, nasional maupun yang ada di
lingkungan mereka. Materi ini juga mengenalkan tentang kelebihan-
kelebihan seorang wirausaha, kendala-kendala yang dihadapi serta
kemampuan diri dengan kemauan yang kuat untuk menjadi wirausahawan.
Materi pengenalan kewirausahaan juga menyampaikan tentang profil
wirausaha yang membuat anak-anak itu mengerti apa arti wirausaha
2. Memotivasi Anak untuk menjadi Wirausahawan
Potensi dan kemampuan untuk menjadi wirausahawan yang tangguh
harus kita gali dan kita kembangkan. Kita tidak mungkin tahu potensi kita
kalau kita tidak pernah mencobanya. Oleh karena itu, untuk mengetahui
potensi diri kita, kita harus menggalinya dengan berani mencoba berbagai
kesempatan yang ada. Kita lahir tidak akan langsng bisa, tetapi melalui
belajar dan mencoba, lama-lama jadi bisa. Apa yang tadinya kita anggap
tidak mungkin bisa, setelah kita berani mencobanya, boleh jadi kita
tercengang: ternyata kita mampu dan lebih hebat dari yang kita bayangkan.
Untuk itu guru perlu memotivasi siswa bahwa potensi menjadi
wirausahawan tangguh ada pada diri siswa. Potensi tersebut harus digali dan
dipelajari.
Motivasi harus diberikan terus kepada siswa. Memotivasi anak-anak dan
meyakinkan mereka bahwa mereka memiliki kemampuan dan kapasitas
yang cukup baik untuk berkembang. Rata-rata anak-anak nelayan merasa
dirinya tidak memiliki potensi. Akses informasi yang diperoleh membuat
mereka kagum pada kehebatan orang lain dan memandang dirinya tidak
memiliki potensi. Setelah itu ditampilkan tokoh-tokoh yang sukses untuk
memancing dan memotvasi anak-anak. Ditampilkan tokoh dengan
73
keterbatasan fisik tetapi mampu menjadi orang yang sukses, tokoh yang
bermanfaat bagi orang banyak baik skala nasional maupun internasional.
3. Mengajarkan anak untuk berani mengambil resiko
Bagi seorang wirausaha, mengambil risiko berkaitan dengan kreativitas dan
inovasi serta bagian penting dalam mengubah ide atau gagasan tentang akan
berjualan apa, hingga gagasan itu menjadi kenyataan. Kita benar-benar
berjualan seperti apa yang kita bayangkan. Pengambilan risiko juga
berkaitan dengan kepercayaan pada diri sendiri, bahwa kita mampu
melakukan apa yang kita inginkan untuk berusaha. Semakin besar
keyakinan kita pada diri kita sendiri, maka akan semakin besar kesanggupan
kita untuk mengambil keputusan berusaha. Bagi orang yang bermental
pegawai, itu merupakan risiko, tapi bagi orang yang bermental wirausaha,
itu ialah tantangan dan peluang untuk mendapatkan hasil sebagaimana yang
kita harapkan atau inginkan.
Gede Prama dalam bukunya Sukses dan Sukses (2004) memberikan contoh
kata-kata yang dapat melemahkan motivasi untuk berwirausaha, seperti:
tidak bisa, tidak mungkin, tidak berpengalaman, tidak berpendidikan, tidak
cukup umur, terlalu tua, tidak pernah mencoba, tidak cocok, dan tidak
punya bakat. Itu ialah kata-kata yang dihasilkan oleh persepsi kita tentang
berbagai kejadian. Kata-kata itu bisa menjadi penghambat pertama
manakala kita ingin mulai berwirausaha. Jadi, kita harus terlebih dahulu
mengabaikan kata-kata tersebut dan mulai membuka pikiran serta berpikir
lebih positif dalam memahami berbagai peristiwa dalam kehidupan sehari-
hari, bahwa tidak ada yang mustahil (tidak mungkin), selama kita mau
berusaha.
4. Mendorong anak untuk mengembangkan kreativitasnya
Kreativitas adalah menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dari yang
telah ada dan sifatnya unik. Keunikan dekat dengan keaslian (originalitas).
Linda K. Fouler (dalam Elizabeth Shaffer, “Encouraging Creativity in
Children”, 2002) menambahkan bahwa kemampuan untuk membuat
74
sesuatu yang orisinal (asli), yaitu murni diri ide anak yang didukung oleh
pengetahuan dan informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
Keunikan ini tidak melulu produk, namun juga bisa dalam bentuk gagasan
atau ide (Hurlock, 1999:4). Juga diungkapkan oleh Linda K. Fouler, bahwa
anak yang kreatif kerapkali mendatangkan dan melahirkan ide-ide baru.
Barron dan Harrington (dalam Sara Gable “Creativity in Young Children”
2002), bahwa ide ide orisinal muncul dari diri anak sendiri yang didukung
oleh pengetahuan dan informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
Menurut Hurlock, kreativitas merupakan imajinasi atau fantasi yang terarah.
Mereka memerlukan pengetahuan yang diterima sebelum mereka dapat
menggunakannya dengan cara yang baru dan orisinil (Hurlock,1999:3).
Hasil yang dicapai terarah pada acuan dan pengetahuan yang mereka miliki
sebelumnya baik dari pengetahuan yang diberikan oleh guru maupun dari
bacaan atau tayangan yang pernah mereka lihat. Ada maksud dan tujuan
yang ditentukan, jadi bukan fantasi semata, walaupun berbentuk sebuah
hasil atau gagasan yang tidak lengkap.
5. Menciptakan lingkungan yang kondusif
Lingkungan yang merangsang sangat mendukung munculnya kreativitas
seseorang. Seorang anak yang berada dalam lingkungan yang selalu
merangsangnya untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan berbeda dan
membiarkannya menggunakan cara-cara sendiri akan lebih terdorong untuk
kreatif daripada yang selalu dituntut untuk melakukan sesuatu sesuai dengan
aturan dan contoh yang sudah ada.
Tersedianya sarana yang cukup untuk bermain dan sarana lainnya untuk
merangsang dorongan eksperimentasi dan eksplorasi juga merupakan unsur
penting untuk menumbuhkan kretaivitas (Hurlock,1999:11). Barron dan
Harrington (Gable,2002) menyebutkan faktor-faktor eksternal yang dapat
merangsang kreativitas adalah pemberian seperti ganjaran dan insentif.
Faktor eksternal ini sangat penting untuk mendorong munculnya daya
kreativitas anak dan sebagai perangsang anak melakukan hal-hal yang
75
kreatif diantaranya dengan memberikan penghargaan dan pujian dan tidak
melakukan celaan terhadap hasil karya anak.
Belajar sambil bermain banyak melibatkan berbagai sensor dalam tubuh
manusia, sehingga murid dapat merasakan dan mengaplikasikan konsep
yang diajarkan seorang guru. Proses belajar mengajar konvensional, pola
komunikasi guru dan murid cenderung satu arah Guru sebagai nara sumber
sedangkan siswa mendengarkan dan menerima secara sepihak apa yang
disampaikan guru. Metode ini walaupun masih digunakan sudah mulai
ditinggalkan karena membuat siswa menjadi pasif dan kurang memahami
materi yang disampaikan guru.
6. Mendorong anak untuk mengembangkan inovasi
Dunia kewirausahaan adalah dunia yang penuh dengan persaingan. Ketika
kita baru saja membuka usaha, akan bermunculan usaha-usaha baru yang
sejenis yang akan menjadi pesaing kita. Belum lagi banyak pula usaha-
usaha yang sudah ada sebelumnya, menambah panjang daftar pesaing kita.
Menciptakan sesuatu yang baru, yang berbeda, yang lain daripada yang lain
merupakan salah satu cara untuk menang dalam persaingan usaha. Inilah
yang disebut inovasi. Menurut Stopper (2000), Inovasi adalah
memperkenalkan sesuatu yang baru ke dalam pasaran (Innovation is simply
the introduction of something new into the marketplace).
Inovasi tidak melulu hanya menciptakan sesuatu yang sama sekali baru
yang belum pernah ada sebelumnya. Inovasi berarti juga melakukan
perubahan dari sesuatu yang sudah ada. Dari produk yang sudah ada,
dengan sentuhan kreatifitas bisa tampil menjadi sesuatu yang baru yang
bisa jadi lain daripada yang lain. jadi intinya inovasi adalah melakukan
perubahan.
Berfikir inovatif merupakan salah satu karakter entrepreuneur. Berfikir
inovatif dapat menjadi modal yang sangat penting bagi seorang wirausaha.
Dengan pola fikir inovatif kita dapat memenangkan persaingan. Dengan
kekuatan inovatif kita akan selalu melakukan perubahan, dengan demikian
kita bisa survive karena akan selalu menemukan hal-hal baru , baik itu
76
produk baru, strategi baru, jalan keluar baru, terobosan-terobosan baru yang
dengan semua itu kita dapat melangkah lebih maju meninggalkan para
pesaing kita.
Hal yang penting dalam pendidikan kewirausahaan selain materi yang
disampaikan adaah komunikasi guru terhadap anak ektika mengajar.
5.3.2 Komunikasi Efektif Guru dalam Mengajar
Komunikasi memegang peranan yang penting dalam proses belajar
mengajar. Komunikasi kepada anak juga memiliki kekhasan tersendiri karena
memang anak adalah pribadi yang unik yang tidak dapat disamkan engan orang
dewasa. Guru sebagai ujung tomak dalam menyampaikan materi kepada anak-anak
perlu menguasai kaidah-kaidah dalam berkomunikasi dengan anak. Mengenal
dunia anak, memperlakukan mereka secara personal, membangun keceriaan pada
anak adalah hal-hal yang harus diperhatikan ketika mengajar.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi pendidikan anak tidak
boleh diabaikan. Komunikasi efektif yang dbangun harus memperhatikan unsur
empati, kesetaraan, membangun diskusi dengan anak, kebebasan berekspresi pada
anak, mengembangkan kreativitasnya dan memahami kondisi masing-masing anak
yang berbeda. Penerapan pendidikan ini akan didukung oleh institusi-institusi
pendidikan dan institusi swasta lainnya, sehingga pendidikan kewirausahaan
nelayan pada anak-anak dapat segera diaplikasikan.
Guru sebagai sumber atau komunikator dalam berkomunikasi di kelas harus
memperhatikan unsur-unsur sebagai berikut:
a. Kredibilitas sumber. Guru harus kredibel di depan siswanya sehingga akan
menumbuhkan kepercayaan dan ketertarikan pada siswa. Apabila diperinci,
kredibilitas yang harus dibangun meliputi: keahlian, dapat dipercaya,
keterbukaan, ketenangan, dan menyampaikan dengan sungguh-sungguh.
b. Atraksi (Attractiveness) . Atraksi ini meliputi: daya tarik fisik, kesamaan,
ganjaran, kemampuan, keakraban, kedekatan, dan keramahan.
c. Kekuasaan (power) meliputi kekuasaan untuk menginformasikan, memberi
penghargaan, kekuatan mengarahkan, kekuasaan yang sah serta keahlian.
77
Salah satu kekhasan pada diri anak adalah bermain. Belajar sambil bermain
banyak melibatkan berbagai sensor dalam tubuh manusia, sehingga murid dapat
merasakan dan mengaplikasikan konsep yang diajarkan seorang guru. Metode yang
digunakan bukan metode konvensional dimana guru mengajar satu arah. Murid
hanya menjadi subjek saja. Siswa bersikap pasif mendengarkan apa yang
disampaikan oleh guru.
Penyampaian materi melibatkan siswa pada situasi nyata diakui lebih
efektif, karena siswa dapat memahami materi melalui keterlibatannya melalui
permainan kreatif guru atau trainer. Melalui permainan kreatif, Guru dapat
mentransformasikan pengetahuannya dengan lebih mudah dan menyenangkan.
Siswa dapat lebih antusias mengikuti materi pelajaran dan dapat lebih memahami
materi yang diberikan guru.
Permainan kreatif ini dapat membangkitkan tidak saja kemampuan analitis
siswa tetapi juga motorik siswa sehingga siswa dapat lebih terampil dalam
melakukan sesuatu. Permainan kreatif ini melibatkan siswa dan guru dalam suatu
proses pengajaran yang lebih efektif Karena lebih dapat diresapi siswa. Permainan
yang digunakan dalam pengajaran dapat dipilih sesuai dengan materi, kondisi
tempat,situasi dan material yang dimiliki oleh guru.
Proses belajar mengajar konvensional, pola komunikasi guru dan murid
cenderung satu arah Guru sebagai nara sumber sedangkan siswa mendengarkan
dan menerima secara sepihak apa yang disampaikan guru. Metode ini walaupun
masih digunakan sudah mulai ditinggalkan karena membuat siswa menjadi pasif
dan kurang memahami materi yang disampaikan guru. Pengalaman tiga dimensi
atau pengajaran yang melibatkan siswa pada situasi nyata diakui lebih efektif,
karena siswa dapat memahami materi melalui keterlibatannya melalui permainan
kreatif guru atau trainer. Melalui permainan kreatif, guru dapat
mentransformasikan pengetahuannya dengan lebih mudah dan menyenangkan.
Siswa dapat lebih antusias mengikuti materi pelajaran dan dapat lebih memahami
materi yang diberikan guru.
Permainan kreatif ini dapat membangkitkan tidak saja kemampuan analitis
siswa tetapi juga motorik siswa sehingga siswa dapat lebih terampil dalam
melakukan sesuatu. Permainan kreatif ini melibatkan siswa dan guru dalam suatu
78
proses pengajaran yang lebih efektif Karena lebih dapat diresapi siswa. Permainan
yang digunakan dalam pengajaran dapat dipilih sesuai dengan materi, kondisi
tempat,situasi dan material yang dimiliki oleh guru. Untuk mengembangkan
permainan kreatif ini guru perlu terus mencari referensi dan aktif mengikuti
pelatihan-pelatihan khusus yang dapat mengembangkan ketrampilan guru dalam
pengajaran kreatif melalui permainan. Buku ini memberikan gambaran mengenai
permainan kreatif yang dapat dijadikan alternative pendekatan pembelajaran pada
siswa sehingga siswa dapat lebih memahami materi dan lebih kreatif.
Mengkombinasikan materi dengan game membuat anak-anak sangat
senang. Dalam kondisi ini mereka akan lebih mudah menerima materi. Melalui
sebuah game mereka disadarkan bahwa ternyata mereka anak yang hebat, memiliki
potensi dan dapat mengembangkan dirinya menjadi orang yang hebat. Berbagai
profesi dapat mereka tekuni untuk menyalurkan kehebatan tersebut. Beragam
profesi mereka pilih dan salah satu yang diangkat dalam pendidikan ini adalah
profesi wirausaha.
Penyampaian materi melibatkan siswa pada situasi nyata diakui lebih
efektif, karena siswa dapat memahami materi melalui keterlibatannya melalui
permainan kreatif guru atau trainer. Melalui permainan kreatif, Guru dapat
mentransformasikan pengetahuannya dengan lebih mudah dan menyenangkan.
Siswa dapat lebih antusias mengikuti materi pelajaran dan dapat lebih memahami
materi yang diberikan guru.
5.4 Menyusun Model Pendidikan Inklusif Kewirausahaan
Pendidikan kewirausahaan untuk anak berorientasi pada pendidikan
karakter anak agar menjadi wirausahawan yang tangguh. Penerapan pendidikan
kewirausahaan yang akan diselenggarakan di sekolah dasar- sekolah dasar terutama
di desa nelayam memerlukan berbagai pertimbangan. Menyisipkan dalam
kurikulum yang sedang berjalan ternyata cukup sulit mengingat materi yang
disampaikan kepada siswa sekolah dasar cukup padat. Salah satu yang dapat
menjadi pertimbangan adalah menerapkan pendidikan kewirausahaan pada anak
melalui ekstrakulikuler kepramukaan.
79
Dalam menyusun model pendidikan inklusif kewirausahaan, peneliti
mengacu pada komponen-komponen penting dalam pendidikan anak yaitu
pentingnya komunikasi pendidikan yang efektif dalam menyampaikan pesan
kepada anak.
Berikut ini prinsip-prinsip komunikasi yang penting diterapkan dalam
pendidikan kepada anak:
1. Meningkatkan kredibilitas
Guru yang mempunyai kredibilitas yang tinggi di mata anak didik, maka
akan membuat anak lebih percaya dan dapat mengubah pendapat dengan
ketertarikan langsung. Umumnya semakin tinggi kredibilitas seseorang akan
memberikan daya tarik yang lebih meyakinkan.
Sedangkan personalitas anak juga mempengaruhinya dalam menerima
pesan guru. Seorang anak yang percaya akan kemampuan dirinya akan menerima
pesan yang sesuai dengan apa yang telah terbentuk dalam pikirannya dan yang
mempunyai hubungan walaupun kecil dengan kehidupannya. Seorang anak akan
cepat menerima pesan yang berkaitan dengan sesuatu yang disukainya. Individu
akan memperhatikan bagian-bagian komunikasi yang mendukung pandangannya
(perspektif selektif) mengerti dan mengingat informasi hanya jika informasi
tersebut memperkuat bayangan sebelumnya (selektif memori), dan
memutarbalikkan pertanyaan untuk menghindari materi-materi yang bertentangan
(selektif distortion). Singkatnya anak mendengar apa yang ingin mereka dengar,
berdasarkan kepercayaan dan sikapnya terdahulu (Karlins dan Abelson,1999:99).
2. Menumbuhkan Motivasi Belajar Anak
Kekuatan dari komunikasi persuasif sangat penting dalam belajar, karena
keberhasilan komunikasi ini ditentukan oleh tindakan atau sikap sasaran yang
tumbuh akibat dorongan dari dalam. Dalam konteks pendidikan, komunikasi secara
persuasif yang dapat membentuk motivasi belajar. Seorang anak dapat melakukan
sesuatu dengan baik jika berpikir bahwa dia mampu untuk melakukannya. Dan
persuasi akan berhasil tergantung pada pengertian bagaimana seorang anak
menerima pandangan-pandangan gurunya. Proses komunikasi secara keseluruhan
menganjurkan perubahan yang terbaik menurut penilaian audiensnya. Dalam
80
memberikan perubahan secara memyeluruh posisi guru harus dekat dengan anak,
guru harus berempati dengan anak.
3. Bersikap Sejajar
Komunikasi persuasif mensyaratkan adanya kesejajaran antara sumber dan
sasaran, sumber tidak bersifat menggurui. Di sini tercipta suasana kebersamaan,
sumber mencoba mendalami sasarannya, sasaran menganggap sumber sebagai
teman, dan pesan dapat diterima akibat kedekatan yang terjadi (Depsos dan
UNDP,1997).
Dalam konteks komunikasi pada pendidikan anak, sikap kesejajaran ini
ditunjukkan ketika guru tidak menganggap dirinya lebih tahu segalanya dari anak,
sehingga cenderung memaksa anak untuk mengikuti kemauan guru. Ketika ia
menempatkan diri sebagai seorang teman bercerita, dan dia berusaha mendalami
anak, maka sang anak akan merasa dekat dengan guru, sehingga pesan yang
disampaikan guru akan dilaksanakan oleh anak sebagai dorongan yang muncul dari
dalam.
4. Memperbanyak Diskusi
Komunikasi persuasif banyak melibatkan sasaran untuk menyampaikan
pendapatnya dalam proses komunikasi. Guru dan anak ada dalam sebuah proses
interaksi simbolik yang melingkar (Applbaum dan Anatol,1974:203). Sangat
mungkin, dalam komunikasi persuasif, pesan yang diterima merupakan hal yang
sebenarnya sudah diketahui oleh sasaran, sumber hanya memberikan penegasan
atau penjelasan lebih kuat terhadap apa yang sudah dipahami sasaran (Depsos dan
UNDP,1997).
Dalam konteks pendidikan anak, misalnya ketika guru bercerita, ia merasa
perlu untuk memberi kesempatan anak untuk ikut memberi komentar terhadap apa
yang ia ceritakan. Dengan demikian terbuka kesempatan bagi guru untuk
menyampaikan pesan, misalnya pesan moral dan nilai-nilai, dengan menggunakan
kerangka pemahaman yang sudah ada pada anak tersebut (misalnya sudah terbentuk
dari keluarga). Suasana diskusi dalam konteks anak-anak akan lebih berupa
kegiatan mengobrol atau bercerita bersama, lebih memungkinkan proses transfer
81
pengalaman sesama anak. Dan anak akan lebih mudah memahami dan mendalami
pesan ini, karena pesan ini bukan sesuatu yang asing bagi mereka.
5. Memberikan Kebebasan dalam Berkreasi
Dalam komunikasi persuasif guru berusaha meningkatkan kesempatannya
untuk menghasilkan sikap dan perilaku yang berubah. Guru akan lebih berhasil jika
dia membiarkan anak untuk menggambarkan dengan idenya masing-masing dalam
komunikasi persuasifnya. Membiarkan anak untuk membuat kesimpulan sendiri
akan sukses bila pesan yang disampaikan guru lebih kompleks. (Karlins dan
Abelson,1999:99).
6. Menghargai Perbedaan
Perbedaan individu adalah hal yang perlu disadari dalam sebuah proses
belajar. Perbedaan individu mengindikasikan bahwa tidak ada dua anak yang
merespon dengan cara yang sama dalam usaha pengaruh yang identik. Daya tarik
yang sama diterima oleh audiens yang berbeda terjadi karena karakteristik
kepribadian mereka yang berbeda. Kepribadian merupakan hal yang mudah
mempengaruhi individu dalam persuasi (Karlins dan Abelson:1999:110). Guru
akan lebih sukses bila merencanakan dan menyediakan kondisi dimana setiap murid
dapat belajar, dan guru menerapkan sebuah bentuk umum tentang objektif dan
prosedur yang dibagi dengan kemampuan seorang anak dengan anak lainnya.
7. Mengarahkan secara Halus
Komunikasi persuasif tidak bersifat memaksa, perubahan sikap atau
perilaku berasal dari dorongan pribadi. Dengan demikian komunikasi persuasif
lebih menciptakan sikap dan perilaku yang konsisten. Cara-cara kasar cenderung
membuat sasaran menjalankan keinginan sumber karena rasa takut, bukan atas
kesadaran sendiri.
Dalam konteks pendidikan anak, mengarahkan secara halus akan
menghindarkan anak dari rasa takut dan keterpaksaan ketika anak melakukan
sesuatu yang sebenarnya merupakan perintah dari guru. Suatu cara-cara halus yang
82
menyentuh emosi dan afeksi anak akan membuat anak merasa memiliki dan
menyenangi tindakan yang harus dilakukannya.
8. Mendampingi
Tujuan komunikasi persuasif adalah perubahan sikap dari sasaran, sehingga
sumber perlu terus bertanggungjawab, mengawal atau mendampingi sasaran hingga
pesannya sampai (Depsos dan UNDP,1997).
Dalam konteks pendidikan anak, komunikasi tidak akan efektif jika guru
hanya memberikan instruksi, dan kemudian membiarkan anak memahami pesan
tersebut tanpa arahan. Ketika anak tengah menjalankan apa yang diinginkan guru,
maka pendampingan akan membuat anak merasa aman karena ia merasa ada yang
siap memberi pertolongan jika ia membutuhkan.
9. Menciptakan Iklim Informal
Elemen yang paling penting adalah penciptaan suasana di kelas. Suasana di
kelas mengacu pada tujuan sikap guru dan anak di kelas dimana anak berbagi
dengan kondisi individu yang berbeda (Flander 1963). Penciptaan suasana informal
akan membuat perbedaan-perbedaan menjadi sesuatu yang mudah dimaklumi dan
tidak menghambat komunikasi.
Guru berusaha menciptakan iklim yang informal dan santai dalam belajar,
dimana anak bebas mengekspresikan pendapat mereka dan mengkritisi materi yang
disampaikan. Hal ini terlihat dalam cara-cara menjawab pertanyaan anak yang
menjadi persepsi unik di kelas. Persepsi ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
digunakan di kelas dan materi yang dipresentasikan. Jika evaluasinya positif anak
akan menerima ide yang dipresentasikan oleh guru. Jika evaluasi negatif, mungkin
memerlukan penghargaan (reward), dorongan dan bimbingan guru agar anak bisa
menerima ide tersebut. (Karlins dan Abelson,1999:99).
10. Mendengarkan keluh kesah
Komunikasi persuasif mengakomodasi hal-hal yang di luar konteks
komunikasi namun berpengaruh pada kondisi emosional sasaran. Keluh kesah
sasaran perlu menjadi pertimbangan, keluh kesah ini bisa menjadi penghambat
83
ketika sasaran hendak menjalankan apa yang dimaui sumber. (Depsos dan
UNDP,1997).
Dalam konteks pendidikan anak, hal ini terlihat ketika guru harus sabar
dalam melayani permintaan anak-anak yang sebenarnya tidak terkait dengan apa
yang tengah diajarkan. Suatu pengekangan atau pembatasan terhadap keluh kesah
akan mengurangi rasa kepemilikan terhadap apa yang disampaikan.
Kebijakan untuk menanggulangi berbagai masalah yang muncul dalam
pelaksanaan pendidikan di sekolah dasar, pendidikan kewirausahaan antara lain
dapat dilakukan dengan cara : a) menanamkan pendidikan kewirausahaan ke dalam
semua mata pelajaran, bahan ajar, ekstrakulikuler, maupun pengembangan diri, b)
mengembangkan kurikulum pendidikan yang memberikan muatan pendidikan
kewirausahaan yang mampu meningkatkan pemahaman tentang kewirausahaan,
menumbuhkan jiwa dan karakter wirausaha serta menumbuhkan skill berwirausaha,
c) menumbuhkan budaya berwirausaha di lingkungan sekolah.
Pengembangan model kewirausahaan dari mulai dari Pendidikan Anak Usia
Dini, Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Pendidikan harus berorientasi
pada kemampuan untuk menumbuhkan sikap, minat, dan perilaku wirausaha pada
siswa.
Kebijakan untuk menanggulangi masalah ini terutama masalah yang terkait
dengan kewirausahaan antara lain dapat dilakukan dengan cara : a) menanamkan
pendidikan kewirausahaan ke dalam semua mata pelajaran, bahan ajar,
ekstrakulikuler, maupun pengembangan diri, b) mengembangkan kurikulum
pendidikan yang memberikan muatan pendidikan kewirausahaan yang mampu
meningkatkan pemahaman tentang kewirausahaan, menumbuhkan jiwa dan
karakter wirausaha serta menumbuhkan skill berwirausaha, c) menumbuhkan
budaya berwirausaha di lingkungan sekolah.
Model Pendidikan Kewirausaan yang disusun pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
84
Gambar 12. Model Pendidikan inklusif kewirausahaan
Model tersebut menjelaskan bahwa masyarakat nelayan memiliki kekhasan
tersendiri. Bila dilihat dari kekuatan karakter yang dimilikinya, masyarakat nelayan
memiliki potensi yang luar biasa yang seharusnya mampu dikembangkan untuk
membangun kehidupan yang lebih baik lagi. Potensi-potensi kewirausahaan yang
berhasil digali dalam penelitian ini diantaranya adalah kreativitas, daya juang yang
tinggi, tahan banting menghadapi kehidupan yang susah, sangat adaptif dan mau
mengambil resiko.
Nilai-nilai tersebut dapat dikembangkan dalam pendidikan kewirausahaan
yang dalam penelitian ini akan dikembangkan untuk anak-anak. Pendidikan
kewirausahaan untuk anak setelah melihat kondisi di lapangan akan disampaikan
dalam kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
komunikasi pendidikan anak tidak boleh diabaikan. Komunikasi efektif yang
dbangun harus memperhatikan unsur empati, kesetaraan, membangun diskusi
dengan anak, kebebasan berekspresi pada anak, mengembangkan kreativitasnya
dan memahami kondisi masing-masing anak yang berbeda. Penerapan pendidikan
85
ini akan didukung oleh institusi-institusi pendidikan dan institusi swasta lainnya,
sehingga pendidikan kewirausahaan nelayan pada anak-anak dapat segera
diaplikasikan.
5.5 Mengembangkan strategi pendidikan kewirausahaan dalam skala
yang lebih luas
Pendidikan kewirausahaan telah disadari bersama bahwa perlu dibangun
sejak dini. Membangun karakter kewirausahaan pada anak-anak akan memberi
harapan munculnya wirausahawan yang tangguh di kemudian hari. Kesadaran ini
menjadi modal untuk mengembangkan pendidikan pada anak dalam skala yang
lebih luas.
Untuk menerapkan pengembangan kewirausaan pada anak, pendidikan
menjadi sarana yang tepat. Setelah meninjau kurikulum yang diberlakukan di
sekolah, muatan yang ada di dalamnya muncullah berbagai alternatif pilihan.
Berdasarkan diskusi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon, pendidikan
kewirausahaan pada anak sekolah dasar dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Memasukkan muatan kewirausahaan pada tiap mata pelajaran di sekolah menjadi
pilihan yang menarik. Selain itu, memasukkan pendidikan kewirausahaan pada
ekstra kulikuler kepramukaan juga menjadi usulan baik guru maupun Dinas
Pendidikan. Alasannya adalah dalam pendidikan kewirausahaan untuk anak,
karakter yang dibangun pada anak sesuai dengan nilai-nilai dalam kepramukaan.
Untuk memperluas penerapan srtategi pendidikan kewirausahaan pada
anak-anak, peneliti telah beraudiensi dengan Dinas pendidikan. Dalam kesempatan
tersebut, tim peneliti juga menyerahkan modul pendidikan kewirausahaan anak
yang telah tersusun dalam penelitian ini. Hasil penelitian dipresentasikan dan
didiskusikan bersama.
Ketertarikan terhadap hasil penelitian yang disampaikan oleh Dinas
Pendidika n untuk menjawab berbagai permasalahan pendidikan yang muncul di
Kabupaten Cirebon. Membangun karakter anak yang selama ini masih menjadi
pekerjaan rumah Dinas Pendidikan. Penerapan Pendidikan Kewirasahaan untuk
anak ini akan diagendakan dalam kegiatan Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon.
Kegiatan yang akan dilakukan dalam waktu dekat adalah melaksanakan pelatihan
86
untuk guru-guru sekolah dasar dengan menggunakan modul pendidikan
kewirausahaan yang telah dihasilkan oleh Tim Peneliti. Pelatihan terhadap guru ini
diharapkan mencapai tujuan terlaksananya pendidikan kewirausahaan untuk anak,
mengingat guru adalah garda depan yang akan mengajarkan dan menyampaikan
langsung pada siswa di kelas.
Materi yang akan disampaikan dalam pelatihan guru ini adalah materi-
materi tentang pembentukan karakter kewirausahaan untuk anak. Selain itu hal
penting yang akan disampaikan kepada guru adalah bagaimana berkomunikasi
dengan anak yang benar sehingga materi yang diajarkan sampai dan dipahami oleh
anak.
87
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
6.1 Rencana Tahapan Berikutnya
Penelitian model pendidikan inklusif kewirausahaan untuk anak nelayan
miskin di daerah pesisir Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon pada tahun ini telah
berakhir setelah dilakukan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak 2014 s.d. 2016.
Pada penelitian tahun ke tiga ini sebagai tahun terakhir, kegiatan penelitian
telah menyelesaikan capaian dan target luaran berikut:
1) Menyusun applied model yang siap diterapkan di masyarakat dan
dikembangkan menjadi buku ajar.
2) Mereview hasil penelitian tahun kedua. Pada penelitian tahap kedua telah
dihasilkan sebuah model pendidikan inklusif kewirausahaan, namun tentu
saja model ini perlu ditelaah lagi agar dapat diterapkan sebagai action
model.
3) Melakukan riset action dengan penelusuran lebih lanjut pentingnya
membangun karakter kewirausaahn bagi anak sejak dini melalui kegiatan
eksplorasi focus group discussion dengan para orang tua siswa, dalam hal
ini para nelayan di Desa Citemu.
4) Modul pendidikan kewirausahaan bagi anak sekolah dasar, khususnya di
daerah nelayan dibahas lebih lanjut dengan pihak pemangku kepentingan di
Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon melalui audiensi. Dari kegiatan ini
dihasilkan kesepakatan bahwa pendidikan karakter kewirausahaan ini perlu
ditindaklanjuti untuk disampaikan sejak dini di tingkat sekolah dasar,
khususnya melalui kegiatan ekstrakulikuler. Untuk itu diperlukan kegiatan
Training of Trainer bagi para guru yang akan menyampaikan materi.
5) Memungkinkan untuk adanya kerjasama antara pihak sekolah dasar
dan/atau Dinas Pendidikan di Kabupaten Cirebon dengan pihak peneliti
untuk menyelenggarakan TOT bagi guru sekolah dasar.
6) Tindak lanjut modul pendidikan inklusif kewirausahaan untuk anak-anak
pada masyarakat nelayan menjadi buku ajar sebagai pegangan bagi para
guru.
88
7) Diseminasi pengetahuan dalam bentuk tulisan ilmiah dalam forum
pertemuan di tingkat internasional serta menindaklanjuti submit artikel ke
jurnal internasional terindeks scopus agar hasil penelitian ini bermanfaat
lebih luas.
Rencana tahapan berikutnya dari penelitian ini memungkinkan untuk
melakukan penelitian lanjutan dengan wilayah penelitian yang berbeda dengan
tetap fokus pada masyarakat miskin sebagai upaya untuk membantu mengentaskan
kemiskinan. Selain itu, memungkinkan untuk menindaklanjuti hasil penelitian
yang telah dicapai selama 3 (tiga) tahun melalui kerjasama dengan berbagai
lembaga pendidikan untuk menerapkan model pendidikan inklusif bagi anak-anak
pada masyarakat nelayan miskin, dan bekerjasama dengan pihak pemerintah
khususnya dinas pendidikan untuk menerapkan model ini secara lebih luas, serta
melakukan kerjasama dengan pihak swasta untuk memperluas penerapan model
pendidikan inklusif kewirausahaan.
6.2 Luaran Penelitian Tahap Terakhir
Luaran penelitian tahap terakhir di tahun ketiga ini dapat dilihat pada tabel di
bawah:
Tabel 1. Luaran tahap terakhir
No. Jenis
luaran
Tahun ke-3
1 Model Applied model
2 Publikasi - Seminar internasional
- Jurnal internasional (draf)
- Buku ajar (draf)
3 Kemitraan Kerjasama dalam mengaplikasikan model
dalam skala yang lebih besar
89
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Materi pendidikan kewirausahaan untuk anak yang disusun
mengakomodir potensi lokal kewirausahaan pada masyarakat nelayan.
Karakter-karakter lokal yang dimiliki masyarakat nelayan seperti
kemampuan untuk beradaptasi yang cukup tinggi, tahan banting, ulet,
berani menghadapi resiko, kreativitas yang harus dikembangkan,
pekerja keras, menjadi bagian penting dalam materi penddikan
kewirausahaan untuk anak nelayan. Karakter-karakter unggul yang bisa
mendorong terbentuknya jiwa kewirausahaan ternyata ditemui dari
masyarakat nelayan. Pantang menyerah, tahan banting, berani, ulet akan
menjadi muatan penting dalam pendidikan wirausaha bagi masyarakat
nelayan. Untuk memutus mata rantai pola kehidupan masyarakat desa
nelayan, dan mengembangkan potensi sumber daya alam yang dimiliki
daerah tersebut demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, perlu
ditumbuhkan jiwa kewirausahaan dalam diri anak-anak melalui
pendidikan kewirausahaan, dengan menerapkan model pendidikan
inklusif kewirausahaan untuk anak-anak.
2. Menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan dan pemerintahan
dalam penerapan pendidikan inklusif untuk anak pada masyarakat
nelayan telah dilakukan oleh Tim Peneliti. Potensi institusi yang ada di
masyarakat untuk membantu menerapkan pendidikan inklusif
kewirausahaan dalam penerapan pendidikan inklusif untuk anak-anak
pada masyarakat nelayan ternyata cukup tersedia. Sekolah bisa menjadi
tempat untuk pengelolaan pendidikan inklusif kewirausahaan tersebut.
Melalui kegiatan ekstrakulikuler materi kewirausahaan bisa
disampaikan kepada anak-anak dengan cara belajar yang menyenangkan
yang sesuai dengan kebutuhan anak. Institusi pendidikan memiliki peran
yang sangat besar untuk penerapan pendidikan inklusif tentang
90
kewirausahaan pada masyarakat miskin. Sekolah bisa menjadi faktor
pendukung utama dalam pendidikan kewirausahaan pada anak-anak.
3. Uji coba pengajaran materi kewirausahaan pada institusi pendidikan
inklusif melalui ekstrakulikuler perlu segera dilaksanakan di di sekolah-
sekolah dasar untuk Guru Sekolah Dasar di desa Nelayan. Mengenalkan
materi kewirausahaan untuk anak-anak sekolah dasar ini perlu kegiatan
Training of Trainer untuk guru dalam skala yang lebih luas. Semakin
banyak guru yang memahami materi ini dan bersedia
mengaplikasikannya di dalam kelas, semakin banyak anak yang
memiiki kesempatan untuk belajar dan membangun karakter
kewirausahaannya sejak dini. Komunikasi memegang peranan yang
penting dalam proses belajar mengajar. Komunikasi kepada anak juga
memiliki kekhasan tersendiri karena memang anak adalah pribadi yang
unik yang tidak dapat disamkan engan orang dewasa. Guru sebagai
ujung tomak dalam menyampaikan materi kepada anak-anak perlu
menguasai kaidah-kaidah dalam berkomunikasi dengan anak. Mengenal
dunia anak, memperlakukan mereka secara personal, membangun
keceriaan pada anak adalah hal-hal yang harus diperhatikan ketika
mengajar.
4. Model pendidikan inklusif kewirausahaan didasari pada kebijakan
untuk menanggulangi berbagai masalah yang muncul dalam
pelaksanaan pendidikan di sekolah dasar, pendidikan kewirausahaan
antara lain dapat dilakukan dengan cara : a) menanamkan pendidikan
kewirausahaan ke dalam semua mata pelajaran, bahan ajar,
ekstrakulikuler, maupun pengembangan diri, b) mengembangkan
kurikulum pendidikan yang memberikan muatan pendidikan
kewirausahaan yang mampu meningkatkan pemahaman tentang
kewirausahaan, menumbuhkan jiwa dan karakter wirausaha serta
menumbuhkan skill berwirausaha, c) menumbuhkan budaya
berwirausaha di lingkungan sekolah.
91
5. Pendidikan kewirausahaan telah disadari bersama bahwa perlu
dibangun sejak dini. Membangun karakter kewirausahaan pada anak-
anak akan memberi harapan munculnya wirausahawan yang tangguh di
kemudian hari. Kesadaran ini menjadi modal untuk mengembangkan
pendidikan pada anak dalam skala yang lebih luas. Untuk menerapkan
pengembangan kewirausaan pada anak, pendidikan menjadi sarana yang
tepat. Memasukkan muatan kewirausahaan pada tiap mata pelajaran di
sekolah menjadi pilihan yang menarik. Selain itu , memasukkan
pendidikan kewirausahaan pada ekstra kulikuler kepramukaan juga
menjadi usulan baik guru maupun Dinas Pendidikan. Alasannya adalah
dalam pendidikan kewirausahaan untuk anak, karakter yang dibangun
pada anak sesuai dengan nilai-nilai dalam kepramukaan.
7.2 Saran
1. Hendaknya masyarakat nelayan diberikan pemahaman akan pentingnya
pendidikan bagi anak demi masa depan yang lebih baik melalui penyuluhan
dari berbagai pihak yang dipercaya oleh masyarakat, misalnya pemerintah
desa ataupun para opinion leader di wilayahnya.
2. Perlunya dibangun kesadaran terhadap institusi sekolah tentang pentingnya
membangun karakter bagi anak-anak. Pendidikan karakter diantaranya
dengan membangun karakter yang berkaitan dengan kewirausahaan untuk
menjadikan pribadi yang tangguh pada diri anak-anak kelak di kemudian
hari.
3. Perlunya kesadaran guru untuk terus belajar dan mengembangkan
kemampuannya dalam mengajar khususnya dalam berkomunikasi dengan
anak sehingga proses belajar mengajar menjadi menyenangkan dan anak
dapat menyerap materi dengan baik.
4. Perlunya komitmen dari pemerintah yang dalam hal ini Dinas Pendidikan
untuk memberikan pendidikan dan pelatihan untuk guru sehingga program
pendidikan kewirausahaan untuk anak ini bisa segera dijalankan.
5. Hendaknya masyarakat nelayan diberikan pemahaman akan pentingnya
pendidikan bagi anak demi masa depan yang lebih baik melalui penyuluhan
92
–penyuluhan dari pihak yang dipercaya oleh masyarakat misalnya
pemerintah desa atau pun para opinion leader di wilayahnya.
6. Perlunya kerjasama dengan pihak-pihak terkait untuk memperbaiki system
pengajaran di sekolah agar tujuan penyelenggaraan sekolah inklusif
kewirausahaan dapat tercapai.
93
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya
Bungin, H.M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya.Jakarta : Kencana
Creswell, John.W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design. Choosing
Among Five Traditions. Thousand Oaks, California : Sage
CSIE (Centre for Studies on Inclusive Education). 2005. Ten Reasons for Inclusion,
http://inclusion.uwe.ac.uk/ csie/10rsns.htm.
Creswell, John.W. 2002. Desain Penelitian : Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif.
Penterjemah : Angkatan III&IV KIK-UI bekerja sama dengan Nur
Khabibah. Jakarta : KIK Press
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2003). Pedoman Pelaksanaan Pendidikan
Inklusi
Gartanti, W. T. 2009. Pola Komunikasi Guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar di
Sekolah Inklusi: Studi Fenomenologi tentang Pola Komunikasi Guru dalam
Kegiatan Belajar Mengajar di SD Hikmah Teladan Cimahi. Tesis. Bandung:
Program Pascasarjana UNPAD.
IDP Norway. Lokakarya Nasional tentang Pendidikan Inklsuif: www.idp-
europe.org/indonesia/start.htm
Kuswarno, Engkus. 2011. Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran
Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi: Fenomena Pengemis Kota Bandung.
Bandung: Widya Padjadjaran.
Moleong, Lexy.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif : edisi revisi. Bandung :
Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komu
nikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Remaja Rosedakarya
Mulyana, Deddy & Solatun. 2007. Metode Penelitian Komunikasi : Contoh-contoh
Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Kasali, Rhenald. 2005. Change. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
94
Kasali, Rhenald. 2007. Re-Code Your Change DNA. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
Kasali, Renald. 2010. Cracking Zone. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Sanoff, Henry (2000). Community Participation Methods in Design and Planning.
John Wiley and Sons Inc., New York
LAMPIRAN
Lampiran 1. Action Model Pendidikan Inklusif Kewirausahaan bagi Anak Nelayan
Lampiran 2. Artikel Jurnal Internasional terindeks scopus SEARCH MALAYSIA (draf)
Lampiran 3. Makalah pada Konferensi Internasional : ACAS’s Eighth International
Conference on Education for a Globalizing Asia: Challenges and
Opportunities, Ateneo de Manila University Filipina
Lampiran 4. Surat Ijin Audiensi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon
Lampiran 5. Berita Acara Penelitian
Lampiran 6. Foto FGD dan Audiensi dalam Kegiatan Penelitian
ACTION MODEL
PENDIDIKAN INKLUSIF KEWIRAUSAHAAN BAGI ANAK NELAYAN
1
Lampiran 2. Artikel untuk Jurnal Internasional SEARCH MALAYSIA
Communication in Entrepreneurship Inclusive Education
to Poor Fishermen Children (Case: Entrepreneurship Education
to Fishermen Children in Cirebon)
1Dr. Ike Junita Triwardhani, 2Dr. O. Hasbiansyah, 3Dr. Anne Maryani and 4Dede Lilis Ch.
1,2,3,4Department of Communication Management, Faculty of Communication Science, Bandung
Islamic University, Bandung, West Java 40116, Indonesia;
Abstract
Entrepreneurship became an important choice in developing the nation’s economy.
Entrepreneurship potentialities in the society were now still latent and neglected
that they needed to be dug up more meticulously. Potentialities of entrepreneurship
were also found in poor society. More than just an effort to eradicate poverty, this
spirit of entrepreneurship also became an important part of the improvement of the
nation’s competitive capacity as a whole. Establishment of entrepreneurship values
would be required through education as investment for the future. The formation of
entrepreneurship characters would be better to be developed as early as possible. In
children, developing entrepreneurship spirit could be performed through education
in schools. This writing used inclusive approach for the establishment and
development of values in poor society children. Establishment of entrepreneurship
values would be required through education as investment for the future.
Entrepreneurship education for children should consider the children itself as the
subject instead of object in education. One of the important factors was to develop
communication with children. A teacher must have important principles in
communicating with children. In this entrepreneurship education the local
potentialities owned by fishermen would become important parts in the education
process.
Keywords: children, communication, inclusive, entrepreneurship, education.
Introduction
Entrepreneurship becomes an important choice to develop the nation’s
economy. To Indonesian nation, although the number of entrepreneurs in Indonesia
is still relatively smaller compared to that of the other countries in the world,
Indonesian entrepreneurs have their own uniqueness in terms of potentiality. In
addition to abundant natural resources, character strength is a quite massive
potentiality. High fighting spirit, perseverance, holding out and adaptive are several
characters which can be easily found in Indonesian society, generally in middle to
lower classes societies.
In entrepreneurship paradigm, the condition of middle to lower classes
society mostly in poor society, is seen as a potentiality instead of merely a problem.
Conventional paradigm always considers poor society as the burden of the upper
class society. As the consequence poor society is often time marginalized and
abandoned. The developed solutions also tend to be merely charity, which often
2
times unable to be continued because they only result on the dependency of the poor
society on the charity program, instead of developing a parallelize relation by
considering and empowering the poor. Perhaps the poverty number is decreasing in
quantity, but it does not necessarily mean it shows decreasing in quality. This is
because poverty measurement is only seen from the point of view of poor people in
quantity. It has never been focused on the improvement of the society’s life quality
and not on the improvement of human development index.
Actually there is natural power of the poor society which often times
becomes latent potentiality due to structural and cultural obstacles. This power
arises as the response towards difficult conditions they must face every day. This
power is the survivability, adaptability, holding out and capability to survive in
difficult conditions. In order for the characters to become the strength in
entrepreneurship, it takes efforts to change, and the most possible way is through
education. The reason is that overcoming cultural and structural obstacles will need
a long time to handle, therefore the children from poor society is the hope in the
future. Through education, entrepreneurship spirit can be established since early
stage, not only for them to release themselves off the property, but also in order to
be developed and to bring their society into a more advanced society.
McGraith and Mac Millan (Kasali, 2010: 16) stated that there were seven
fundamental characters all future entrepreneurs must have, namely action-oriented,
think simply, always find new opportunities, chase opportunities in high discipline,
only take the best opportunity, focus on execution and focus on energy of every
person in the business they are handling. The fundamental characters referred as
entrepreneurial mindset will give strength to the society and give positive values to
the improvement of the nation’s competitiveness.
Entrepreneurship characters, whether they have existed or need to be
established as entrepreneurial mindset, are the focus in entrepreneurship education.
Entrepreneurship education must be able to be re-established to reach the great goal
of improving the nation’s competitive capacity. Poor society group selected in this
writing case is the fishermen society. In the fishermen society, the research focuses
on the children of fishermen society in Cirebon shore region. The reason for the
case selection in this writing is because Cirebon is one of the regions producing fish
in great amount in West Java. Moreover, Cirebon is one of the important regions
becoming the node for connectivity-based development plan in national scale and
in regional scale, for example in the West Java Province Metropolitan Development
Management in Indonesia.
Inclusive education is selected as the approach to establish entrepreneurship
values to poor society children. Inclusive education is the representation of the
world community declaration through UNESCO, which states that education is the
right of all mankind (education for all). Through inclusive education, marginal
society groups will receive education services by blending with the general society.
The significant effect of inclusive education system is the creation of strong social
cohesion. By inclusive education, marginal society will have more confidence
because their existence is acknowledged. Meanwhile to other societies, inclusive
education becomes the media to improve their social awareness and concern.
This writing uses inclusive approach for the establishment and development
of values on children in poor society. Inclusive education has “education for all”
spirit which eases marginal society, including children of poor society, to be able
3
to obtain education services in equal to the children from the other classes. By
inclusive approach it is hoped that the children will have self confidence to
overcome structural and cultural obstacles in order to develop entrepreneurship
characters in them.
In this writing, some objectives to be reached are developed, namely:
1. To develop entrepreneurship materials for children by accommodating
local entrepreneurship character potentialities on poor society.
2. To develop effective communication methods in entrepreneurship
education for children.
Literature Review
The improvement of the nation’s competitiveness is very much closely
related to various poverty eradication programs. Various efforts to overcome
poverty have often been performed by the government, community organizations,
private organizations or non-governmental organizations. However, poverty has
always still appeared that the social issue cannot be overcome more and more.
Poverty eradication programs will still be continued.
One of the entrepreneurship paradigms, positive thinking, sees an issue as a
potentiality to be changed into a better thing. In the entrepreneurship paradigm, the
existence of poor society to a nation can be seen as a potentiality instead of a
problem. Conventional view tends to see poor society as a burden therefore they
are often being marginalized. Whereas to survive they have high survival ability,
adaptive and resilience in difficult conditions. The characters even succeed to form
a profession network mainly in non-formal sectors which become one of the
providers of society’s needs. Entrepreneurship potentialities in the society are now
still latent and neglected therefore they need to be dug up meticulously.
Uniqueness of entrepreneurs in Indonesia is due to their peculiarities. The
peculiarities are to have potentialities of uniqueness, artistic spirit, local uniqueness,
adaptive characters, resilience. Indonesia is having entrepreneur potentialities to
become the capital for the nation’s competitiveness. The characters of adaptive and
resilience are owned by middle to lower classes society because they need those to
survive. However, due to cultural and structural obstacles, the potentialities are
merely just the capability to survive instead of to develop themselves, therefore they
need external help in order for the potentialities to be used for self development.
One of the solutions to overcome the obstacles is through inclusive
education on entrepreneurship. Inclusive education is the manifestation of the
world’s declaration through World Organization for Education, Research and
Culture (UNESCO) in the Conference in Jomtien in 1990 on “Education for All”,
which states that basic education should be given to all children, teenagers even
adults in qualified environment with adequate access (UNESCO, 1990, article III:1-
5). UNESCO then continues by Salamanca Declaration in 1994 about “Inclusive
Education” which requires schools to accommodate physical, intellectual,
emotional, social and language diversity (UNESCO, 1994: articles 2 and 3). This
declaration is continued by the world’s commitment through Dakkar Framework
2000 to attract the children’s interests and to take care of the children of marginal
and underdeveloped groups by developing inclusive and flexible education system
towards the environment and requirements of the learners (UNESCO, 2000,
paragraph 33).
4
Operationally, inclusive education is implemented in an inclusive school,
which is understood as regular school which includes children from marginal circles
in their educational system (Grovinda, 2009:9). Therefore, children from marginal
circles may undergo qualified education process and environment like schools in
general. Regular schools with inclusive orientation are the effective facilities to
fight against discrimination, to build friendly community, to build inclusive society
and to reach education for all (UNESCO, 1994: article 2).
Method
The approach for the research in this writing uses communication
ethnography method. Communication ethnography approach sees the utilization of
language in communicative behavior of a society in certain cultural theme. With
this approach, the research will focus on children communication pattern in speech
society in schools.
Communication ethnography as an approach towards language studies in
social context. Ethnography is basically research activity to understand how people
interact and cooperate through phenomena which are observed in their daily lives
(Harris in Creswell, 1998:58). This method can describe, explain and build relations
from the categories and data found. The objective of communication ethnography
study is to describe, analyze and explain communication behavior of a social group
(Kuswarno, 2011: 86).
Discussion
Fishing work is usually not performed by oneself, but involves all family
members. Children even have to help their parents in doing this work. Although the
children are not asked to go to the sea, they usually help their parents to make
wadong (crab trap) or to help peeling crabs. Therefore this fisherman profession is
directly performed throughout the generations.
Because this work is performed throughout generations, which means it is
generated by parents to their children, most parents consider school as unnecessary,
because in the end the children will become fishermen too. According to the
admittance of the people of Citemu village who live on the shore, fishermen
children in the Village are often sent to school by their parents merely to be able to
read and write. Afterwards they must return working to help their parents in the sea.
Therefore it can be said that the society still lacks awareness on education.
The parents in this village consider that the children’s main task is not to go
to school and obtain education in order to reach a better future, their task is to help
their parents’ works as fishermen. Therefore sometimes children leave school in
order to help their parents, whether to help peeling crabs or making wadong or
helping their parents processing salted fish or processing seawater into salt or salt
farming.
Fishermen children who have also known and directly involved in helping
their parents in their works are better to know the tremendous potentialities of
fishermen in their glorious past. Don’t just these children only follow what their
parents experience without obtaining the matters to be established in order to
become a great fisherman. The superior potentialities the fishermen have should be
rediscovered and established into the children therefore they will obtain the spirit
to become fishermen in even better quality.
5
One of the most important things taught to the children is to become
fishermen with entrepreneur spirit. Creative fishermen will find a way to improve
their businesses, they become unyielding fishermen. It is performed to overcome
the various conditions occurred nowadays.
Entrepreneurship education is required to be delivered in schools which
majority of the students’ parents works as fishermen. This entrepreneurship
material will add to the subjects delivered in schools that children will have more
capability to start to understand the efforts to be established in order to become
successful fishermen.
Act Number 20 of 2003 on the National education system article 3 states
that national education functions to develop the ability and form the nation’s
characters and dignified civilization in order to enrich the nation’s life, is aimed to
develop the potentialities of learners in order to be faithful pious men, with noble
morals, healthy, knowledgeable, skillful, creative, independent and democratic and
responsible citizens.
Entrepreneurship-oriented education will create brave souls who are
capable in dealing life problems and livelihood reasonably, creative souls to find
the solution to overcome the problem, independent souls who are not dependant to
others. One of the entrepreneurship spirits to be developed through education in
early childhood is life skill.
a. Entrepreneurship Education
Entrepreneurship is the process to identify, develop and bring vision into
life. The vision may be innovative ideas, opportunities, better ways in implementing
something. The final result of the process is the creation of new business which is
formed in risky and uncertain condition.
Entrepreneurship is mental attitude which is marked by independence, the
ability to cooperate, the ability to take risk (risk taking), honesty, responsibility,
resilience, reasoning and care. Such live attitudes are not something being trained
by training/workshop in one or three months, but are established consistently,
continuously and sustainably through formal education (curriculum) and
extracurricular and societal activities.
Entrepreneurship culture which grows naturally in a family or group of
Indonesian society is a very valuable asset for Indonesian nation. The dynamics of
the nation’s economy which rest on the mastery of science and technology in an
education activity will grow entrepreneurship culture in basic education which
promises bright hopes to the creation of independent human resources in
contemplating and taking action, able to implement the science and technology they
are understood for the welfare of themselves and their society. The existence of
entrepreneurship spirit is very much required for the development of individuals in
living their lives and in developing the nation’s independence.
In education sector, the matter of entrepreneurship education relates to how
it is developed by education praxis which not only produces skillful men in terms
of intellectuality and also inspiring-pragmatic education praxis. Education praxis,
through the curriculum, system and implementation, must be open, explorative and
liberating. The education praxis is not only link and match, which graduates are
ready for work but also are prepared to create work sectors.
6
In accordance with the soft-skill ability, learners must receive reliable
entrepreneurship capability education. By receiving adequate entrepreneurship
knowledge and its practices, the graduates will have adequate willingness and
capability therefore they will not be confused when they must work.
Entrepreneurship subject needs to be given to all learners. The same goes to
including entrepreneurship elements to all school subjects when possible. The
elements are creativity, innovation and fearless towards risk that the main priority
is the field practice.
An entrepreneur indeed must be brave in taking risks, but it is far more
important for an entrepreneur to be creative in making the risks controlled. The
reason why entrepreneurs are brave enough in taking risk is that because their
creative selves are capable to minimize the possible risks. Being brave in taking
risk without prior calculation is the same as suicide.
Education implementation in schools are often time lacking in considering
the growth of entrepreneur attitude, interest and behavior of the learners, whether it
is in vocational schools or in professional educations. The main focus of education
in general is only to prepare manpower. Therefore, we must find a solution, on how
education will have the role to change human into entrepreneur self. In order to
reach the objective what are the guides to be given to learners in order to become
strong and prepared entrepreneurs who can support their life?
In order to reach the objective, the process can be reached if the learning
process takes place effectively and learners can appreciate and go through the
learning process meaningfully. Product quality will be reached if learners show high
mastery towards the subject tasks in accordance with their needs in life and in work
life. Therefore to reach the ability above we need to develop entrepreneurship
model from Early Childhood Education, Elementary School to High School.
Education must be oriented on the ability to grow entrepreneurial attitude, interest
and behavior to the students.
The direction of national education development is aimed for the
implementation of noble moral education methodology and national character
including entrepreneur characters. The policy to overcome this problem is mainly
on the issues related with entrepreneurship such as by: a) establishing
entrepreneurship education into all subjects, study materials, extracurricular, or self
development, b) developing education curriculum which gives entrepreneurship
education content which is capable in improving understanding on
entrepreneurship, growing entrepreneurship spirit and character and growing
entrepreneurship skills, c) growing entrepreneurship culture in school environment.
The success of entrepreneurship education program may be acknowledged
through the achievement of the following criteria by learners, such as:
1. Having entrepreneurship characters
2. Understanding entrepreneurship concept
3. Having the ability to see opportunity
4. Having skills
5. The formation of school life environment as entrepreneurship-insight
learning environment.
Entrepreneurship development framework among the educators is
considered as important because educators are the “agents of change” who are
expected to be able to establish the characteristics of nature and quality and
7
entrepreneurship spirit or that the entrepreneurship spirit is very needed by the
learners. Moreover, entrepreneur spirit is very much needed by an educator, because
through this spirit the educators will have more efficient, creative, innovative,
productive and independent. Entrepreneurship spirit can be established by the
educators and parents when their children are still very young. Entrepreneurship is
more directed to mental change. Self awareness.
Entrepreneurship-insight education is the education implementing the
principles and methodology towards life skill formation of the learners through
integrated curriculum developed in schools. Life skill can be divided into five parts,
namely self awareness, rational thinking skill, social skill, academic skill and
vocational skill.
1. Self awareness or the skill needed by a person to acknowledge himself or
herself wholly. This skill includes:
Self appreciation as God’s creature
Self appreciation as family and society members
Self appreciation as a Citizen
Realization and gratitude on their positive and negative aspects
Making their positive and negative aspects as their assets in improving
themselves in order to be useful for themselves and their environment
2. Rational thinking skill is the skill needed in the development of thinking
potentiality, which includes:
Information searching and finding skill
Information processing and decision making skills
Creative problem solving skill
3. Social skill or interpersonal skill which includes:
Communication skill with empathy, empathy, understanding and two-
way communication art, needs to be highlighted because
communicating is not merely about delivering messages, but the
content and deliverance of the message which are accompanied by
good “impression” will grow harmonious relationship.
Cooperation skill
4. Academic skill or the ability to think scientifically, includes the following
components:
The ability to conduct variable identification
The ability to formulize hypothesis
The ability to perform research
5. Vocational skill is the skill related with various certain works available in
the society.
b. Building Entrepreneurship Education on Children
1) Through Self Development
Self development is education activity outside school subjects as integral
part of the school/madrasa’s curriculum. Self development activity is a character
formation effort, including entrepreneurship character and personality of learners
which is conducted by counseling service activities aimed for the improvement of
creativity and career. For special education unity, counseling service emphasizes
on the improvement of life skill in accordance with special needs of the learners.
8
By entrepreneurship practical learning, entrepreneurship learning is directed
on the achievement of three competences which include establishment of
entrepreneurship characters, concept establishment and skill, with greater weights
on the achievement of soul and skill competence, with greater weights on the
achievement of soul and skill competence compared to concept understanding. One
of the examples of entrepreneurship learning model which is able to grow
entrepreneurship characters and behavior can be performed by establishing a
canteen managed by the children.
2) In Learning Materials/Books
Learning materials/books are the learning component which is the most
influential towards what actually occurs in the learning process. Many teachers
teach merely by following the presentation order and learning activities (tasks)
designed by the writer of the books without conducting meaningful adaptation.
Internalization of entrepreneurship values in learning books can be conducted in the
material explanation, tasks or evaluation.
3) Through School’s Culture
School’s culture is the atmosphere of school life where the learners interact
with each other, teachers with teachers, counselors with fellow colleague,
administration officer with fellow colleague, and between group members in the
school society. Development of values in entrepreneurship education in the school
culture includes the activities performed by headmasters, counselors,
administration officers when communicating with learners and using school’s
facilities, such as honesty, responsibility, discipline, commitment and
entrepreneurship culture in the school environment (all school members perform
entrepreneur activities in the school environment).
4) Into Local Content
This subject gives opportunity to learners to develop their ability which is
considered as necessary by the concerned region. Therefore, local content subject
must includes characteristics of local culture, skill, local culture noble values and
enhancing social and environmental problems which in the end are capable to enrich
learners by basic skills as the asset of their life that it may create occupation. For
example: children in beach environment must be able to capture local potentialities
as the opportunity to process them into products with added value, and then the
children are expected to be able to sell in order to get income.
c. Developing entrepreneurship materials for children by accommodating
entrepreneurship character potentialities on poor society
Building mental attitude becomes an important matter in the achievement
of education result. Education on children must emphasize the emotional and
mental aspects. The same thing happens when we are trying to introduce
entrepreneurship education to children. The material and presentation method and
the goal to be reached will be very much different than when it is aimed for adults.
In order to build entrepreneurship mental attitude on children, it can be performed
by many ways. Of course the method must be attractive that children will be
delighted and it makes them easier to understand the materials delivered.
The people of Citemu Village of Mundu Sub-District in Cirebon Regency
have attractive and strong local characters as have the other fisherman villages.
Fishermen have the following characteristics: brave, diligent and resilient as the
9
requirements to be able to conquer the ocean. From the observation, these characters
can be developed in entrepreneurship education.
Fishermen society has their own uniqueness. If it is seen from the character
power they are having, fisherman society has outstanding potentiality which is
supposed to be able to be developed to build a better life. Entrepreneurship
potentialities succeeded to be explored in this writing are creativity, high fighting
power, resilient in facing hard life, very adaptive and willing to take risk.
Teaching entrepreneurship to children must be oriented in building
children’s mentality to have entrepreneurship spirit. The mentality established since
early age is expected to be easily built and useful for them until they grow up which
will create tough entrepreneurs in the future of Indonesian nation. Several important
matters delivered in entrepreneurship education for fishermen children are:
1. Introduction to Entrepreneurship
Introducing entrepreneurship is to deliver in general the profession of
entrepreneur, scope, term and introduction to tough entrepreneurs in
international scale and national scale, and those living in their
environment. It is important to deliver the positive values of an
entrepreneur to children, the obstacles the entrepreneur is facing and self
capability with strong will to become an entrepreneur. Successful
entrepreneur profiles need to be introduced to children to establish their
interest and to motivate them to become successful entrepreneurs.
2. Motivation to become an entrepreneur
Every person has the potentiality and ability. The potentiality and ability
must be explored and developed. It is impossible for us to know our
potentiality if we have never tried it. Therefore, in order to know our self
potentiality, we must explore bravely trying the various opportunities
existed. We are born not straightly being able to do everything, but by
learning and trying we will finally capable of doing something. What we
consider to be unable at first, after we are brave enough to try, will make
us astounded: we are eventually capable and greater than we have
imagined. The material about motivation as a whole will motivate the
children to have the willingness to become entrepreneurs in the future.
In motivating the children, one of the ways to do is by displaying success
of entrepreneurs in order to attract the children to have a dream to become
entrepreneurs. Children will realize the greatness the people have and the
ability to see the greatness in them. This consists of self assets they own to
the ability to develop the self assets.
In this motivational material we also deliver how to motivate the children
and to ensure them that they have the ability and adequate capacity to
develop. Most fishermen children believe that they don’t have the
potentiality. Access to the obtained information makes them amazed to
other people’s greatness and sees themselves as not having the potentiality.
Through a game they will be realized that they are great children, that they
have the potentiality and capable to develop themselves into great people.
There are many professions they can choose to channel their greatness.
They can choose various professions and one profession being discussed
in this education is entrepreneur.
3. The Courage to Take Risk
10
Everything we do always contains risk. Although we imagine to have huge
profit if we sell something, there is actually always a risk of anything we
sell. To an entrepreneur, taking risk relates with creativity and innovation
and it is an important part in changing the idea on what kind of
entrepreneurship he or she will choose, in order for the idea to become
reality. We really try as what we imagine.
Risk taking also relates with self confidence, that we are capable to do
what we want to have business. The greater our confidence the bigger our
capability to take decision to have business. To a person with employee
mentality, it is a risk, but to a person with entrepreneur mentality, it is a
challenge and an opportunity to obtain results as what we hope for or want.
4. Developing Creativity
According to Elizabeth Hurlock (Hurlock, 1999:3) creativity is something
new whether in idea or works. In creativity we create something new and
different from what has existed and it is unique. Uniqueness is close to
originality. Linda K. Fouler (Fouler in Shaffer, 2002) adds that the ability
to make something original is purely the children’s idea which is supported
by knowledge and information they have obtained previously.
Creativity also means to transform an old idea into a new shape: the old
idea is the basis of the new one. If a person wants to be creative they need
knowledge they have obtained before they can use it in a new and original
way (Hurlock, 1999:3). In creativity we need to build imagination.
Children’s growth is not separated from imagination development. In
developing imagination, children are trained to be able to imagine
something which does not exist. Children are trained to develop their ideas.
Children are taught to perform association, namely to connect something
with something else which they once know or see. In creativity,
imagination becomes an important thing. Being imaginative will
encourage creativity growth in children. Imagination can be developed by
giving freedom to children to express themselves creatively with guidance
and direction from their teachers.
Stimulating environment really supports the emerging of someone’s
creativity. A child in an environment always stimulates him or her to create
something new and different and let him or her using his or her own ways
will be more encouraged to be creative than what always being demanded
to do something in accordance with the existing rules and examples.
The availability of sufficient facility to play and the other facility to
stimulate experimentation and exploration are also important elements to
grow creativity. Learning by playing involves various sensors in human’s
body, that students can feel and apply the concept a teacher teaches them.
Teachers are required to transform their knowledge easier and more
enjoyable. Students can be more enthusiastic in following the subjects and
will be more understand the materials delivered by their teacher.
In teaching entrepreneurship to children, this creative play can establish
not only the students’ analytic capability but also their motor ability that
they will be more skillful in doing something. This creative play involves
students and teachers in a more effective learning process because it can
be absorbed more by the students. The games used in the teaching can be
11
chosen in accordance with the materials, place condition, situation and the
materials owned by the teachers. To develop this creative play teachers
need to continuously find reference and active in following special
trainings to develop their skills in creative teaching through games. This
book gives description on creative games which can be made the
alternative of learning approach on students that they can understand more
the materials and can be more creative.
5. Developing Innovation
Entrepreneurship world is the world full of competition. When we just
open a business, similar new businesses will start to appear which will be
our competitors. Moreover there are many businesses which have been
existed previously, adding the long list of our competitors. Creating
something new, something different, different than any others is one of the
ways to win the business competition. This is innovation. Innovation is not
only about creating something necessarily new which has never been there
before. Innovation also means to perform modification of something
which has existed. Of the existing product, with a touch of creativity, it can
appear into something new and perhaps different than any others.
Therefore the point is that innovation is performing modification.
Innovative thinking is one of an entrepreneur’s characteristics. Innovative
thinking can become a very important asset for an entrepreneur. By
thinking innovatively we can win competition. By innovative strength we
will always perform changes, therefore we can survive because we will
always find new things, whether it is new products, new strategy, new way
out, new breakthroughs which we can use to move forward leaving our
competitors behind.
Transformation thinking, finding something new, something different
from the others, creating breakthroughs are not something easy. However,
it is not impossible to do. With the willingness to think hard every person
will be able to do it. Basically every person has the potentiality to think
innovatively. Since we were born we were blessed by God with brain. With
our brain we are given the ability to think. By thinking we will be able to
find something new, to find a way out.
A child who has not yet capable to communicate will try to do many things
in order for the adults to understand him or her and give what he or she
wants. The child will cry if he or she wants something, if the thing he or
she wants has not yet fulfilled, he or she will try other ways, perhaps crying
louder, or he or she will cry rolling on the floor, and he or she will keep
trying to try other ways to get what he or she wants. Finding another way,
a new way performed by the child is innovation.
When a child is learning to walk, he or she will try many ways in order for
him or her to walk. And if we observe further, although the child is guided
by his or her parents, in the end every child will find his or her own way
to walk, and probably one child’s way will be different than the other
child’s. This is also called innovation. Therefore basically every child has
the potentiality to think innovatively, because in his or her life without
being realized he or she will always find new things, new methods. It is
how we, parents, teachers or adults around the child train the potentiality.
12
d. Developing effective communication method in entrepreneurship education
for children
Entrepreneurship is a mentality attitude which is marked by independency,
the ability to cooperate, the ability to take risk, honesty, responsibility, strength,
reasonable and care. Such life attitude is not something trained in one or three
months, but it must be established consistently, continuously and sustainably,
whether it is through formal education (curriculum) or extracurricular and societal
activities.
The values of independency, hard work, self confidence, not easily giving
up, capable of taking risk, developing creativity may be developed in
entrepreneurship education which in this research will be developed for children.
Having observed condition in the field the entrepreneurship education will be
delivered in extracurricular activities in schools.
The matters need to be considered in children education communication
may not be ignored. The effective communication needs to be developed must
consider elements such as empathy, equality, building discussion with children,
freedom of expression on children, developing their creativity and understanding
the different condition of each child. The implementation of this education will be
supported by educational institutions and other private institutions, that fisherman
entrepreneurship education on children can be immediately applied.
Learning by playing often involves various sensors in human body,
therefore students can feel and apply the concept being taught by the teacher. The
method used is not conventional method where the teacher teaches in one direction
way where the students are merely subjects. Students being passive in listening
what their teacher delivers. The material deliverance which involves the students in
real situation is admitted to be more effective because students can understand the
materials through their involvement in creative games with their teachers or
trainers. Through creative games, teachers can transform their knowledge easier
and funnier. Students can be more enthusiastic in following the subject materials
and can more understand the materials delivered by their teachers.
The creative games can awake not only the students’ analytical capability
but also their motor ability therefore they can be more skillful in doing something.
The creative games involve the students and teachers in a more effective teaching
process because it can be more absorbed by the students. The games used in the
teaching can be chosen in accordance with the materials, location condition,
situation and materials owned by the teachers.
In order to develop the creative games, teachers need to continuously find
the reference and active in joining special trainings which can develop their skills
in creative teaching through games. The creative games which can be the alternative
of learning approach on students that they can be more understand the materials and
can be more creative.
Combining the materials with games makes the children very happy. In this
condition they will easily receive the materials. Through games they are realized
that they are actually great children, having the potentiality and can develop
themselves to become great people. They can choose various professions to channel
the greatness. They can choose various professions and one of them which is
discussed in this education is entrepreneur.
13
e. Building Communication with Children
Entrepreneur education for children must consider children as the subject
instead of object in education. This is one of the important factors in building
communication with children. A teacher who is also the source holds an important
role in building the communication. In the context of communication with children,
a source and also a more adult person will guide and help in communication with
children.
In order to reach effective communication, communication principles must
be developed. From various sources and expert researches, the writer concludes that
there are several communication principles need to be developed in communication
with children.
A teacher needs to improve his or her credibility in front of the children.
Improving credibility is important to a teacher who in this context is the adult being
respected by the children with high credibility in front of the children, will make
the children give more trust and can change their opinions with direct attraction.
Generally the higher a person’s credibility is the more the person will give
convincing attraction.
A child’s personality will also influence him or her in receiving a message.
A child who believes on his or her own capability will receive the message in
accordance with what has been formed in his or her mind and which has relation,
although small, with his or her life. A child will quickly receive a message which
is related with something he or she likes. A child usually wants to listen to a message
he or she does want to hear. The most important thing is how the message to be
delivered to the child to be attractive as possible.
The power of motivation communicated is very important to children when
learning. The success of this communication is determined by action or attitude of
target who grows up due to inner encouragement. A child will be able to do
something properly if he or she thinks he or she is able to do it. It will succeed
depending on the understanding on how a child will receive other people’s views.
The overall communication process suggests that the best transformation is
depending on the audience’s assessment. In giving total transformation, the adult’s
position must be close to the child and must empathize the child.
Effective communication requires equality between the source and the
target, where the source is not being talk down to. Here the atmosphere of
togetherness is created; the source tries to delve deeply into the target, the target
considers the source as a friend, and the message can be received thanks to the
closeness (Social Department and UNDP, 1997). In the communication context of
children education, this equality is shown when an adult doesn’t consider
themselves as knowing more than children, which will forces the children to follow
the adult’s will. When he or she places himself or herself as a friend, and he or she
tries to delve deeply into the children, the children will feel close, that the message
delivered will be performed by the children as an encouragement from inside.
In the context of children education, for example when an adult delivers an
idea, he or she would feel needed to give opportunity to children to give
commentary on what the adult says. Therefore there is an open opportunity to
teachers to deliver the message, for example on morality and values, by using the
understanding framework the children already have. Discussion atmosphere in
14
children context will be in the form of chatting or storytelling, which will make
possible the experience transfer process among the children. They will also be
easier to understand and delve deeply into this message, because it is not something
peculiar to them.
Individual difference is the issue needs to be realized in a learning process.
Individual difference indicates that there are never two children responding in the
same way in identical influence efforts. The same attraction is received by different
audience due to their different personality characteristics. Personality is an easy
thing to influence an individual (Karlins and Abelson, 1999:110). The source will
be more successful if he or she plans and provides the condition where every child
will learn, and the teacher stipulates a general shape on objectivity and procedures
which are divided in accordance with a child’s ability and the other child’s.
Communication with children is not compelling, changes of attitude or
behavior originate from personal encouragement. Therefore communication creates
consistent attitude and behavior. Discourteous ways tend to make target the source’s
will because of fear, not of their own awareness.
In the context of communication with children, softly directing will avoid
children from fear and compulsion when children do something which is actually
an order from adults or superior. Soft ways which touch the children’s emotion and
affection will make them feel to own and be happy on the actions they must do.
Communication will not be effective if the teacher only gives instruction
and then lets the children understand the message without direction. When children
is doing something the source wants, accompaniment will make children feel secure
because they feel there is someone who is ready to give help whenever they need
it.
Combining games in the deliverance of the materials will be able to create
context in a fun learning. The creation of informal atmosphere will make the
differences to become something easily comprehended and will not hamper the
communication. The source tries to create informal and relaxed atmosphere while
learning or working, where the children are free to express their opinions. This
perception is influenced by the values used in the communication. If the evaluation
is positive the children will accept the idea delivered by the source. If the evaluation
is negative, perhaps they need reward, encouragement and guidance in order for
them to be able to accept the idea (Karlins and Abelson, 1999:99).
f. Organizing an Entrepreneurship Inclusive Education Model
Fishermen children who also have started to know even have directly
practiced helping their parents in their work should know the great potentiality of
fishermen in their glorious past. Don’t let these children only follow what their
parents experienced without obtaining the things need to be established to be great
fishermen. The superior potentialities the fishermen have should be re-explored and
established into the children in order for them to get the spirit to become fishermen
in an even better quality.
One of the important matters taught to the children is to become fishermen
with entrepreneur spirit. Creative fishermen will find a way to continuously
improve their business, to become unyielding fishermen. It is performed to trick the
various conditions occurring nowadays.
15
Entrepreneurship education is apparently needed to be delivered in schools
which majority students have parents working as fishermen. This entrepreneurship
material will add to the subject materials delivered in schools therefore the children
will have extra capability to start to understand the necessity of the business
established in order to become successful fishermen.
Education with entrepreneurship spirit orientation, namely the brave spirit
and capable in facing life and livelihood problems reasonably, creative spirit to find
the solution and to overcome the solution, independent spirit and not depending to
others. One of the entrepreneurship spirits needs to be developed through early
childhood education is about life skill.
Conclusion
Entrepreneurship materials for children are organized by including local
elements. Because the implementation of this education will be performed to
fishermen children, the potentialities of fishermen society become important
priority. Moreover, important consideration of the material organization is the
objective of entrepreneurship education in children which refers to the formation of
children character that in the future they will be tough entrepreneurs.
The implementation of entrepreneurship education for children may
cooperate with various education institutions for children. The potential institution
which will support the implementation of entrepreneurship education for children
is elementary schools which will be ready to implement entrepreneurship education
in extracurricular activities in schools.
In implementing entrepreneurship education for children, it requires
effective communication method in order for the message delivered to the children
to succeed. The implementation of teaching which combines the materials with
games is apparently capable to awaken the children’s spirit to learn and make them
interested and enthusiast in following the materials. The lack of children’s
concentration can be overcome by various creative games. Through creative games
which are integrated with the materials delivered, we will be able to establish the
character aimed in entrepreneurship education for fishermen children.
Bibliography
Creswell, John W. (1998) Qualitative Inquiry and Research Design. Choosing
Among Five Traditions. Beverly Hills: Sage Publication, Inc.
Hurlock, Elizabeth B. (1999) Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: PT. Gramedia.
Kasali, Rhenald, et. al. (2010) Modul Kewirausahaan: Untuk Program Strata 1,
Hikmah.
Kuswarno, Engkus (2011) Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran.
Sanoff, Henry (2000) Community Participation Methods in Design and Planning.
New York: John Wiley and Sons, Inc.
Shaffer, Elizabeth (2002) Encouraging Creativity in Children.
UNESCO, 1990, 1994, 2000.
Inclusive Education for Fishermen Children in Cirebon, Indonesia
Dr. Ike Junita Triwardhani ([email protected])
Dr. Anne Maryani ([email protected])
Faculty of Communication Science, Bandung Islamic University, Bandung, West Java
40116, Indonesia;
Abstract
Inclusive education is a representation of the world’s community declaration through
UNESCO, which states that education is the right of all people (education for all). Through
inclusive education, marginal society group obtains educational services by joining public
community. The significant effect of this inclusive education system is the realization of
strong social cohesion. By inclusive education, marginal society may have more self
confident because their existence is acknowledged. Meanwhile, to other society, inclusive
education becomes the media to improve their social sensitivity and concern.
An inclusive education needs strongly local content, so this research explores local
values of entrepreneurship . Entrepreneurial character formation should be built early. To
build entrepreneurial spirit for children can be done through education in schools. Teachers
can improve a character entrepreneurship through education in schools. Education can give
more value to society. By means inclusive education approach expected to improve the
confidence of children and to overcome the cultural and structural barriers to build an
entrepreneurial character of children. They will have the confidence to handling his cultural
and structural barriers in order to build their entrepreneurial characters.
The approach in this writing uses ethnography of communication method. The
ethnography of communication approach sees the utilization of language in communicative
behavior of a society in certain cultural theme. By this approach, the research will focus on
children communication patterns in verbal society at school.
Keywords: entrepreneurship, children, education, inclusive, communication
I. Introduction
Inclusive education is a representation of the world’s community declaration through
UNESCO, which states that education is the right of all people (education for all). Through
inclusive education, marginal society group obtains educational services by joining public
community. The significant effect of this inclusive education system is the realization of
strong social cohesion. By inclusive education, marginal society may have more self
confident because their existence is acknowledged. Meanwhile, to other society, inclusive
education becomes the media to improve their social sensitivity and concern.
The inclusive education program has also become policy of national education in
Indonesia. In the Regulation of the Minister of National Education of the Republic of
Indonesia number 70 of 2009 it is stated that the objective of inclusive education is to give
opportunities as wide-ranging as possible to all receiving education who have physical,
emotional, mental and social disorders or those who have intelligence potentiality and or
special talent to obtain qualified education in accordance with their necessity and ability and
to realize implementation of education which appreciates diversity and indiscriminative to all
receiving education.
Inclusive education is chosen as an approach to promote values on poor society
children. Inclusive education is a representation of the world’s community declaration
through UNESCO, which states that education is the right of all people (education for all).
Operationally, inclusive education is implemented in an inclusive school, which is
understood as regular school which includes the children of marginal circle in its internal
education system (Grovinda, 2009:9). Therefore, children from marginal society may
undergo qualified educational process and environment as the general school. Regular
schools with inclusive orientation are effective facilities to fight against discrimination, to
build friendly community, to develop inclusive society and to reach education for all
(UNESCO, 1994: article 2).
The approach in this writing uses ethnography of communication method. The
ethnography of communication approach sees the utilization of language in communicative
behavior of a society in certain cultural theme. By this approach, the research will focus on
children communication patterns in verbal society at school. Ethnography of communication
as an approach towards language review in social context. Basically ethnography is
researcher’s activity to understand how people interact and cooperate through observed
phenomenon in the daily lives (Harris in Creswell, 1998:58).
II. Inclusive Education for Local Entrepreneurship
An inclusive education needs strongly local content, so this research explores local
values of entrepreneurship . Entrepreneurial character formation should be built early. To
build entrepreneurial spirit for children can be done through education in schools. Teachers
can improve a character entrepreneurship through education in schools. Education can give
more value to society. By means inclusive education approach expected to improve the
confidence of children and to overcome the cultural and structural barriers to build an
entrepreneurial character of children. They will have the confidence to handling his cultural
and structural barriers in order to build their entrepreneurial characters.
In order to become an enterpreneur ,a person needs to do an efforts in changes, and the
most possible way is through education. Cultural and structural obstacles need a long time to
surpass, therefore children of poor society are the hope in the future. Through children
education, entrepreneurship character must be learned as early as possible to develop and
bring their society to improve
In educational field, entrepreneurship education matters on how educational praxis is
developed which not only produces skillful people in terms of intellectual behavior, but also
inspirational-pragmatics educational praxis. Educational praxis, through curriculum, system
and its implementation, must be open, explorative and freeing. The graduates of educational
praxis with link and match are not only ready for employment but also ready to create
employment.
The policy of entrepreneurship education has a very strong basis. Its basic reference is
through Act Number 20 of 2003 on National Education System article 3 which states that
“national education functions to develop the capability, character and civilization of the
nation for enhancing its intellectual capacity, and is aimed at developing learners’ potentials
so that they become persons imbued with human values who are faithful and pious to one and
only God; who possess morals and noble character, who are healthy, knowledgeable,
competent, creative, independent; and as citizens, are democratic and responsible.”
The implementation of education at schools often lacks of attention in development of
entrepreneurship attitude, interest and behavior of the learners, both in vocational schools and
in professional education. The main focus of education is basically focusing only on the
preparation of manpower. Therefore, we must find the solution on how education may have
the role to change humans into entrepreneur individuals. In order to reach the matter, the
learners must be given sufficient investment to be able to be tough entrepreneurs and to be
ready in supporting themselves.
III. Exercising Inclusive Education for Local Entrepreneurship development
The city of Cirebon and its surroundings are located in strategic corridor in Java,
namely they are passed by the Javanese Northern Coastal lane (Pantura) and is located in the
checkpoint with a lane towards Bandung. Its position as the connectivity checkpoint makes
Cirebon and its surrounding one of the acceleration and expansion checkpoints of national
development. Cirebon and its surrounding therefore are included in the Java corridor in the
policy of Master Plan on Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Development
(MP3EI). Cirebon also becomes one of the regions to be developed as metropolitan area in
the policy of metropolitan development and growth center in West Java.
Fisherman’s children in Cirebon who have started to acknowledge and even worked
to help their parents in terms of their occupation have known fisherman’s great potentials
which was glorious in the past. However, we don’t want these children only follow what their
parents have experienced without obtaining things to be developed in order to become great
fishermen. Leading potentials owned by the fishermen must be reviewed and planted on the
children’s mentality, that they will gain the spirit to become fishermen with even better
quality.
Entrepreneurship culture which grows naturally in an Citemu Village in Cirebon
family a valuable asset for Indonesian nation. The dynamics of nation’s economy which rests
on the development of traditional entrepreneurship culture must be integrated with mastering
of science and technology in educational activities to develop entrepreneurship culture. In
elementary education it promises bright hopes for the creation of human resources which is
independent to think and to act and is able to implement science and technology they are
understood for the welfare of themselves and their community. Entrepreneurship is needed
for individual’s development in living his or her life and in a wider necessity, to develop the
nation’s independency.
This uniqueness on Indonesian entrepreneurs expecially in fisherman village
Cirebonis because they have potentiality in uniqueness, art spirit, local entity, adaptive
behavior and mentality to hold out in hard times. Indonesia has entrepreneur potentiality
which may be the investment for the nation’s competitiveness. These adaptive spirit and
mentality to hold out in hard times characters are owned by middle to lower classes society to
survive. However, due to cultural and structural obstacles, the potentiality merely becomes
the ability to survive and not to develop themselves, that they need external help in order for
the potentiality to be used for their development.
One of the most important things to teach to the children is to become fishermen with
entrepreneurship spirit. Creative fishermen will find a way to continuously improve their
businesses, to become fishermen who will never give up. This is done to overcome the
various conditions occurring nowadays.
It is necessary to deliver entrepreneurship education at schools in Citemu fishermen
village Cirebon which majority of students’ parents are fishermen. This entrepreneurship
material will add up to the subjects taught at school, therefore children will have better ability
to start to understand the necessity of business to be developed in order for them to become
successful fishermen.
Entrepreneurship education delivered in schools is supposed to orientate on the
development of local contents. This subject gives opportunities to the learners to develop the
abilities considered as necessary by the concerned region. Therefore, local content subjects
must accommodate characteristics of local culture, skills, local culture noble values and
raising social and environmental matters, which in the end those issues are able to complete
learners with basic skills (life skills) as equipment needed for their lives in order to create
occupation. For example: a child in coastal environment must be able to catch local potentials
as the opportunity to process them into products with added values, which in the future the
children are expected to be able to sell in order to obtain income.
The success targets of entrepreneurship education applied on these fisherman children
are:
1. Students have the entrepreneurship characters and are able to develop them in the
various aspects of life. Although they are not yet being involved directly as
entrepreneur, these characters will appear in the activities performed by children in
their daily lives, both at school and at home. For example, we can see this when
children help their parents in their activities or businesses.
2. Learners understand the entrepreneurship concept correctly. It can be delivered through
materials learned about entrepreneurship in various sources and is based on the
condition of the fisherman’s children.
3. The ability to see opportunities becomes one of the success targets of entrepreneurship
education. Nowadays in the neighborhood of Citemu fisherman village we can find
various business opportunities related to fishing and fish processing. These
opportunities are often being taken by people from outside the village, therefore the
villagers are only becoming labors in their own village. The ability to catch
opportunities must be taught to the children, that they can help their parents or give
inputs to their parents in developing their economic activities. This ability to see
opportunities, if it is trained since childhood, will make these children great
entrepreneurs in the future.
4. Having skills. Skills on businesses related to fishing and fish processing must be taught
to children, that they will have special skills in accordance with the ability portion and
children’s age.
5. The set up of school live environment as learning environment with entrepreneurship
insight will be the target in entrepreneurship education. Schools must build
environment supporting entrepreneurship insights, therefore children’s characters will
be built continuously and their skills will also be sharpened.
6. Building school culture, namely building the atmosphere of school life where learners
interact with all school members who always develop entrepreneurship characters.
These characters may be developed together by building school culture.
Entrepreneurship is mental attitude which is marked by independency, the ability to
cooperate, the ability to take risk, honesty, responsibility, strength, reasoning and care. Such
living attitude is not something trained in one month or three months. It must be built
consistently, continuously and sustainably through formal education (curriculum) or
extracurricular and societal activities. Entrepreneurship culture which arises naturally in a
family or group in an Indonesian society is a very valuable asset for the Indonesian nation.
Independency, hard work, confidence, not easily giving up, capable in taking risk,
developing creativity can be developed in entrepreneurship education which in this research
will be developed for children. Entrepreneurship education for children can be performed
after seeing the real condition which will be submitted to extracurricular activities at school.
The characters which can be developed in this entrepreneurship education are: brave
in taking risks, but the more important character for an entrepreneur is the creative attitude to
make a risk controlled, introduction towards himself or herself (self awareness), endurance,
bravery, able to think critically, able to solve problems (problem solving), able to
communicate effectively, able to bring himself or herself in various environment or to act
elegantly, to respect time (time orientation), empathy, willing to share with others, able to
overcome stress, able to control emotion, able to take decisions, having goals and dreams in
the future, and motivations to reach the dreams.
There is natural power of those poor people who are often becoming latent
potentiality due to structural and cultural obstacles. The power appears as the response
towards difficult conditions they are facing in their daily lives. The power is the power to
survive or survivality, adaptive ability, endurance and ability to hold on in difficult condition.
In many poor society circles, the power has developed to certain professions, mainly in
informal sectors such as side-walk vendors, scavengers and other services, which are present
and needed by the people.
Therefore, in order for the character to be able to become entrepreneurship power, it
needs efforts in changes, and the most possible way is through education. Cultural and
structural obstacles need a long time to surpass, therefore children of poor society are the
hope in the future. Through children education, entrepreneurship character must be learned as
early as possible, not only that they can release themselves from poverty but also that they
may be able to develop and bring their society to improve.
Fisherman’s children who have started to acknowledge and even worked to help their
parents in terms of their occupation have known fisherman’s great potentials which was
glorious in the past. However, we don’t want these children only follow what their parents
have experienced without obtaining things to be developed in order to become great
fishermen. Leading potentials owned by the fishermen must be reviewed and planted on the
children’s mentality, that they will gain the spirit to become fishermen with even better
quality.
One of the most important things to teach to the children is to become fishermen with
entrepreneurship spirit. Creative fishermen will find a way to continuously improve their
businesses, to become fishermen who will never give up. This is done to overcome the
various conditions occurring nowadays.
It is necessary to deliver entrepreneurship education at schools which majority of
students’ parents are fishermen. This entrepreneurship material will add up to the subjects
taught at school, therefore children will have better ability to start to understand the necessity
of business to be developed in order for them to become successful fishermen.
IV. Conclusion
1. Entrepreneurial character and spirit should be built and learned since very early in
person’s life. To build entrepreneurial spirit for children can be done through inclusive
education in schools. Teachers can improve a character entrepreneurship through
education in schools.
2. People of fisherman’s village have marine natural resource as their assets which may be
developed and become the potentials to enhance the people’s welfare. The majority of
fisherman village people who earn their income from marine products perform their
daily occupations as fishermen by involving their children to help their work.
3. To break the chain of fisherman village society living pattern and to develop the
potentials of natural resources owned by the region for the sake of improvement of
societal welfare, entrepreneurship spirit must be encouraged in the children through
entrepreneurship education by implementing entrepreneurship inclusive education .
REFERENCE
Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya
Bungin, H.M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik
dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta : Kencana.
Creswell, John.W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design. Choosing Among Five
Traditions. Thousand Oaks, California : Sage.
______________. 2002. Desain Penelitian : Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif.
Penerjemah: Angkatan III&IV KIK-UI bekerja sama dengan Nur Khabibah. Jakarta:
KIK Press.
CSIE (Centre for Studies on Inclusive Education). 2005. Ten Reasons for Inclusion,
http://inclusion.uwe.ac.uk/ csie/10rsns.htm.
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2003). Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Inklusi.
Gartanti, W. T. 2009. Pola Komunikasi Guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah
Inklusi: Studi Fenomenologi tentang Pola Komunikasi Guru dalam Kegiatan Belajar
Mengajar di SD Hikmah Teladan Cimahi. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana
UNPAD.
Herianti, Diah, M.psi. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran
Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing Dan Karakter
Bangsa, Jakarta.Pengertian-Kewirausahaan.html.
IDP Norway. Lokakarya Nasional tentang Pendidikan Inklsuif: www.idp-
europe.org/indonesia/start.htm.
Kasali, Rhenald. 2005. Change. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
_____________. 2007. Re-Code Your Change DNA. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
_____________. 2010. Cracking Zone. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi: Fenomena Pengemis Kota Bandung. Bandung:
Widya Padjadjaran.
_____________. 2011. Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran.
Moleong, Lexy.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Remaja Rosedakarya
______________ & Solatun. 2007. Metode Penelitian Komunikasi : Contoh-contoh
Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.
Sutrisno, Joko, Pengembangan Pendidikan Berwawasan Kewirausahaan Sejak Usia Dini
Triwardhani, Ike Junita. 2011. Komunikasi Anak di Sekolah Inklusif. Bandung: Unpad Press.
AUTHOR’S PROFILE
First Author
Dr. Ike Junita Triwardhani, S.Sos., M.Si. is a lecturer of Faculty of Communication, Bandung
Islamic University. She was born in Jakarta, June 18th, 1972. She took higher education in
Faculty of Social and Politic, communication major, Diponegoro University, Semarang
(1991-1995). Her master degree was achieved in communication major, Padjadjaran
University, Bandung, in 2002, and she also achieved doctoral degree in communication major
from Padjadjaran University, Bandung, in 2011. She is interesting in communication for
education, children, and organization.
Second Author
Dr. Anne Maryani, Dra., M.Si. is a lecturer of Faculty of Communication, Bandung Islamic
University. The researcher graduated for bachelor degree to the field of communication
science at Padjadjaran University, and then graduated for postgraduate of Communication
Department at Padjadjaran University. Doctoral Program of Communication science has
been achieved at Padjadjaran University. She has been conducting research and community
service, especially in the field of communication. Several studies conducted concerning, "The
relationship between Syntagmatic Training and the Leadership of Student", Community
Services have been done including "The Leadership for High School Students in Bandung".
Eighth International Conference of the Ateneo Center for Asian Studies in cooperation with Southeast Asian Studies Program
Theme: Education for a Globalizing Asia: Challenges and Opportunities26 August 2016 • Ateneo de Manila University
PROGRAM
8:30 Invocation Welcome Remarks Fr Jose Ramon T. Villarin SJ President, Ateneo de Manila University (TBC) Orientation Dr Violet B Valdez Director, ACAS
Introduction of Keynote Speaker Dr Fernando Aldaba Dean, School of Social Sciences
9:00 Keynote Address Fr Bienvenido F Nebres Past President, Ateneo de Manila University “Education for a Globalising Asia: Balancing Competitiveness and Relevance”
9:30 Plenary 1: Internationalization Strategies in Asian Universities Venue: Leong Hall Auditorium Dr Guanghan Liang Associate Professor, Sun Yat-sen University & Chinese Director, Confucius Institute at the Ateneo Univ-Prof Dr Martin Loeffelholz Visiting Professor, Atma Jaya Yogyakarta University Former Rector, Swiss German University, Indonesia
Fr Johnny C Go SJ Assistant to the President for Education Development Ateneo de Manila University
10:30 Coffee Break (Leong Hall Lobby)
10:45 Plenary 2: Educating Asians for Global Citizenship Venue: Leong Hall Auditorium
Dr. Theresa Alviar-Martin Co-Director, Center for Governance and Citizenship
Education University of Hong Kong
Master of Ceremonies: Dr Severino Sarmento
11:45 Lunch Break (Leong Hall Roofdeck) 13:00 Panel 1: Language, Literature and Education
Moderator: Mr Sidney Christopher Bata
Venue: Leong Hall Auditorium
Developing a Continuing Foreign Language Program in Nihongo in Senior High School
Rodolfo Narciso
Ateneo de Manila University
Asian Novels Go Global: Implications in our Classrooms
Alona Guevarra
Ateneo de Manila University
Mga Piling Awiting Pinoy: Isang Pagsusuri
Romel Aceron
Batangas State University
The effectiveness of personalized learning in improving student performance in World History
Leah Marie Tumlos-Castillo
De La Salle Santiago Zobel
Panel 2: Education Reforms: Issues and Challenges
Moderator: Dr Diana J Mendoza
Venue: SDC Conference Hall
Academic Differentiation and the Teaching of Controversial Topics in Social Studies
Classrooms: A Singapore Story
Dr. Enrique Niño Leviste
Ateneo de Manila University
Inclusive Education for Fishermen Children in Cirebon, Indonesia
Anne Maryani and Ike Junita Triwardhani
Bandung Islamic University
Extension Activities for Badjao Learners in Malitan Elementary School
Ivy Panelo
Batangas State University
14:00 Panel 3: Challenges and Prospects of Higher Education in Asia
Moderator: Dr Ellen Palanca
Venue: Leong Hall Auditorium
Internationalizing Higher Education in Indonesia: Trends, Challenges and Practices
Lukas Ispandriarno and Martin Loeffelholz
Atma Jaya Yogyakarta University
Educational and cultural Exchange in Regional ASEAN as Public Diplomation
Ani Yuningsih and Neni Yulianita
Bandung Islamic University
Risk-based regulation on higher education in the Philippines: An Appraisal
Severo C. Madrona, Jr.
Ateneo de Manila University
Panel 4: Education in Religion, Religion in Education
Moderator: Dr Manuel Dy
Venue: SDC Conference Hall
Pesantaren: Traditional Islamic Education in Indonesia
O. Hasbiansyah
Bandung Islamic University
Theological education and the non-Catholics in Catholic universities
Willard Enrique Macaraan
De La Salle University
Distinctive Features of Journalism Education in Myanmar and Cambodia
Dr. Violet Valdez
Ateneo de Manila University
15:00 Panel 5: Implications of Globalization on Education
Moderator: Dr Ruben Mendoza
Venue: Leong Hall Auditorium
K to 12 in the Philippines: Obliterating Spaces for Critical Pedagogy
Michael San Juan
De La Salle University
The Integration and Disintegration of Education: The Philippines' K-12 Reform in the
context of the ASEAN Community
Dr. Anne Lan K. Candelaria
Ateneo de Manila University
Education and Globalization: Impact of K to 12 Program to the Improvement of the Knowledge Capital of Umak Students
Pompeyo C. Adamos III, University of Makati
Rachel Vincent M. Racelis, University of the Philippines - Diliman
Globalization, Deregulation, and Quality of Education in the Philippines
Danilo Arao
University of the Philippines – Diliman
Panel 6: Media, Communication and Education
Moderator: Dr Anjo Lorenzana
Venue: SDC Conference Hall
Research Collaboration between Institutions with Differential Capacities: A Philippine Case Study
Anjo Lorenzana, Ateneo de Manila University
Nida Rodriguez, Notre Dame University of Cotabato
Cigarette's Brand Jamming: A Media Literacy Approach to Reduce Indonesia's Replacement Smoker's Figure
Santi Indra Astuti
Bandung Islamic University
The World of Education in Media View
Dr. Kiki Zakiah Darmawan
Bandung Islamic University
The Existence of Communication Education in the AEC Area
Dr. Nurrahmawati and Tresna Wiwitan
Bandung Islamic University
16:00 Coffee Break (Leong Hall Lobby)
16:15 Plenary 3: Culture and Education in Indonesia
Venue: Leong Hall Auditorium
Indonesian Culture
Mr. Firdaus, M. Pd, Indonesian Embassy
Reog Ponorogo
Dra. Nursilah, Indonesian Embassy
16:30 Performance from ISI Padang Panjang by the Indonesian Institute of the Arts
Venue: Leong Hall Auditorium
17:00 Cultural Presentation: Reog Ponorogo by the Indonesian Institute of the
Arts
17:45 Closing Ceremony
FOTO FGD DENGAN WARGA NELAYAN
30 Mei 2016, Desa Citemu Kec. Mundu Kab. Cirebon
FOTO AUDIENSI DENGAN DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN CIREBON
31 MEI 2016, KANTOR DISDIK SUMBER KAB. CIREBON
Lampiran Biodata Ketua dan Anggota
Biodata Ketua Peneliti
I. IDENTITAS DIRI
1.1 Nama Lengkap (dengan Gelar) Dr. Ike Junita Triwardhani,S.Sos.,M.Si.
1.2 Jabatan Fungsional Lektor Kepala
1.3 NIDN 0418067204
1.4 Tempat dan Tanggal Lahir Jakarta, 18 Juni 1972
1.5 Alamat Rumah Jalan Ligar Jaya 6 Bandung
1.6 Nomor Telepon/ Faks 022-2505668
1.7 No HP 085220080484
1.8 Alamat Kantor Jalan Tamansari No. 1 Bandung
1.9 Nomor Telepon/ Faks Telp. 022-2504962, faks. 022-2530705
1.10 Alamat e-mail [email protected]
1.11 Matakuliah yang diampu 1. Wirausaha Komunikasi
2. Dasar-dasar Manajemen Komunikasi
3. Komunikasi Antarpribadi
4.Komunikasi Organisasi
II. RIWAYAT PENDIDIKAN
No Program S-1 S-2 S-3
2.1 Nama PT UNDIP UNPAD UNPAD
2.2 Bidang Ilmu Ilmu Komunikasi Komunikasi Ilmu Komunikasi
2.3 Tahun Masuk 1991 2000 2008
2.4 Tahun Lulus 1996 2002 2011
2.5 Judul Skripsi/
Tesis/Disertasi
Iklan Testimonial
sebagai Agen
Ikonoklasme
Komunikasi Persuasif
Guru dalam Menum-
buhkan Kreativitas
Siswa
Pola Komunikasi
Siswa di Sekolah
Inklusif
2.6 Pembimbing/
Promotor
Dr.Darmanto
Djatman
Prof.Samsunuwijati
Mar’at
Prof.Dr.Engkus
Kuswarno,M.S
III. PENGALAMAN PENELITIAN
No Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jumlah dana (Rp)
1 2013 Metode Pendampingan Komunikasi Anak
Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif
(Ketua peneliti)
Dikti 40.000.000,00
2 2013 Komunikasi Terapeutik dalam
Pendampingan ABK
LPPM Unisba 14.000.000,00
3 2011 Komunikasi Anak di Sekolah Inklusif
(peneliti utama)
Dikti 20.000.000,00
4 2011 Pola Komunikasi Pekerja Anak di Industri
kecil (peneliti utama)
LPPM Unisba 10.000.000,00
5 2010 Komunikasi Persuasif Helper pada Siswa
ABK di Sekolah Inklusif Pendidikan Anak
Usia Dini (peneliti utama)
LPPM Unisba 10.000.000,00
6 2010 Pengaruh Motivasi terhadap Keberhasilan
Studi Mahasiswa (anggota peneliti)
BK Mankom
Fikom Unisba
3.000.000,00
IV PENGALAMAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
No Tahun Judul PKM Pendanaan
Sumber Jumlah
1 2013 Seminar Bahaya Video Game pada Anak
(Kerjasama dg NXG untuk Guru SD dan
SMP)
Next Generation dan
FIKOM Unisba.
2 2011 Pelatihan Teknik Presentasi untuk siswa
MAN 2 Bandung
Manajemen
Komunikasi FIKOM
Unisba
3 2010 Pelatihan Teknik Presentasi untuk siswa
Pesantren Banjaran Bandung
Manajemen
Komunikasi Fikom
Unisba
V PENGALAMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH
No Tahun Judul Artikel Kegiatan Luaran
1 2013 Model Kampanye untuk
Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan pada Lingkungan
Seminar Nasional Komunikasi di
Univ. Bina Darma Palembang
Proceeding
2 2012 Inclusiveness and Religiosity: a
Study of Religio-Inclusive
Culture in Children Education
Communication
Jogja International Conference of
Communication 2012
Communication in Culture:
Whose Culture?
Proceeding
3 2012 Pengembangan Komunikasi
Persuasif sebagai Upaya
Preventif dalam Sistem
Pertahanan dan Keamanan
Rakyat Semesta
Konferensi Nasional ASPIKOM
Komunikasi Militer, Perang
Modern, dan Pengembangan
Ketahanan Nasional
Di Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta
Proceeding
4 2011 Program Corporate Social
Responsibility
sebagai Upaya Membangun
Brand Image Perusahaan
Seminar Nasional Branding
Universitas Brawijaya Malang
Proceeding
Biodata Anggota 1
A. Identitas Diri
1 Nama Lengkap (dengan gelar) Dr. O. Hasbiansyah, Drs., M.Si.
2 Jenis Kelamin Laki-laki
3 Jabatan Fungsional Lektor Kepala
4 NIP/NIK/Identitas lainnya D. 89.0.100
5 NIDN 0414076202
6 Tempat dan Tanggal Lahir Subang, 14 Juli 1962
7 E-mail [email protected]
8 Nomor Telepon/HP 081320432971
9 Alamat Kantor Fikom Unisba
Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116
10 Nomor Telepon/Faks 022-4264070
11 Lulusan yang Telah Dihasilkan S-1 = 120 orang
12. Mata Kuliah yang Diampu 1. Pengantar Psikologi
2. Psikologi Komunikasi
3. Komunikasi Organisasi
4. Penulisan Kreatif
5. Metode Penelitian Komunikasi (Kualitatif)
6. Metode Penelitian Komunikasi (Kuantitatif)
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan
Tinggi
Universitas Padjadjaran Universitas Padjadjaran Universitas
Padjadjaran
Bidang Ilmu Ilmu Komunikasi Ilmu Komunikasi Ilmu Komunikasi
Tahun Masuk-
Lulus
1982 – 1987 1993 – 1997 2003 - 2009
Judul Skripsi/
Tesis/Disertasi
Hubungan antara terpaan
film televisi dengan
perilaku komunikasi
anak
Konsep diri dan
kepemimpinan penyuluh
KB dalam kegiatan
institusi masyarakat
desa Sumedang
Pelayanan
informasi publik
melalui website di
Kota Bandung
Nama
Pembimbing
1. FX.Ins. Semendison,
Drs., MU.
2. Sri Rahayu, Dra., MU.
1. Dr. Pang S. Asngari
2. Dr. Prabowo Citro
Pranoto, M.Sc
1.Prod.Dr. Nina
W
2. Prof. Deddy
M., M.A., Ph.D.
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
N
o.
Tahu
n
Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jml (Juta
Rp)
1 2011 “Hubungan antara Pelatihan Kepemimpinan dengan
Sikap Kepemimpinan Mahasiswa.”
LPPM
Unisba
12.000.000
2 2012 “DinamikaKomunikasidanTransparansiPartaiPolitikseb
agaiBadanPublik”. DibiayaiDikti, 2012.
Hibah
Fundament
al DIKTI
40.000.000
3 2012 “SosialisasiUndang-Undang KDRT: Studi Kasus
mengenaiSosialisasiUndang-Undang KDRT No. 23
Tahun 2004 Tentang KDRT di Jawa Barat
LPPM
Unisba
12.000.000
4 2013 DinamikaKomunikasidanTransparansiPartaiPolitikseba
gaiBadanPublik”. Tahap II
Hibah
Fundament
al DIKTI
40.000.000
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat
Pendanaan
Sumber Jml (Juta Rp)
1 2013 Pelatihan Motivasi Siswa LPPM Unisba 13.000.000
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/Nomor/Tahun
1 “MetodePenelitianFenomenologi”
MediaTor Fikom
Unisba
2008
2 “Komunikasi Pemerintahan:
Konsep, Aplikasi, dan
Keterbukaan.”
Observasi, Kajian
Komunikasi dan
Informatika BPPKI –
Kemenkominfo
Volume 9,Nomor 2,
2011
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir
No Nama Pertemuan Ilmiah/ Seminar Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
1 “Seminar Sosialisasi Undang-
undang KIP” untuk perwakilan
seluruh SKPD
Narasumber Pemkot Bandung, 27
Maret 2010
2 Call for Papers Seminar Nasional
Univ. Mercu Buana
“Ketebukaan Informasi
Publik: Menuju Revolusi
Kultural”
Universitas Mercu
Buana Jakarta, 2010
3 “Sosialisasi Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik (UU
KIP)”
Narasumber Kota Bandung, Kab.
Bandung Barat, Kab.
Bandung, Kota Depok,
Kab. Ciamis, 2011
Biodata Anggota 2
A. Identitas Diri
1 Nama Lengkap (dengan gelar) Anne Maryani, Dra.,M.Si.
2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Jabatan Fungsional LektorKepala
4 NIP/NIK/Identitas lainnya D.90.2.054
5 NIDN 0004036201
6 Tempat dan Tanggal Lahir Bandung,4 Maret 1962
7 E-mail [email protected]
8 Nomor Telepon/HP 082116132026
9 Alamat Kantor FikomUnisba
Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116
10 Nomor Telepon/Faks 022-4264070
11 Lulusan yang Telah Dihasilkan S-1 = 100 orang
12. Mata Kuliah yang Diampu 1. Dasar Manajemen Komunikasi
2. Computer Mediated Communication (CMC)
3. Komunikasi Kelompok
4. Komunikasi Antarpribadi
5. Hukum dan Kebijakan Komunikasi
6. Analisis Sistem Informasi
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan
Tinggi
Universitas
Padjadjaran
Universitas
Padjadjaran
Universitas Padjadjaran
Bidang Ilmu IlmuKomunikasi IlmuKomunikasi IlmuKomunikasi
Tahun Masuk-Lulus 1981 -1987 1996 - 2000 2009 – sekarang
Judul Skripsi/Tesis/
Disertasi
Hubungan antara
penyuluhan
perkawinan dengan
aspek kognitif, afektif
dan konatif peserta
pada perkawinan
Hubungan antara
komunikasi persuasif
dan kohesivitas
kelompok dengan
apresiasi seni gamelan
Sunda di Kalangan
mahasiswa
Transformasi budaya
bisnis pebisnis online
wanita
NamaPembimbing 1. Drs. Iir Sjair
2. Drs. Suhadi
1. Prof. Dr. Mien
Hidayat
2. Prof. Dr. Kusnaka
A.
1. Prof. Dr. Yudistira
2. Prof. Dr. Soleh S.
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jml (JutaRp)
1 2008 Kajian Komunikasi Organisasi di
Kalangan Mahasiswa
LPPM Unisba 3.000.000
2 2010 Analisis Isi Berita Kemenpera Perancang Adhinusa Jakarta
3 2011 Hubungan Antara Pelatihan Model
Sintakmatik dengan Sikap
Kepemimpinan Mahasiswa
LPPM Unisba 12.000.000
4 2012 Kualitas Kepemimpinan Mahasiswa
dalam Menumbuhkan Motivasi Belajar
Bidang Kajian Manajemen
Komunikasi Fikom Unisba
3.000.000
5 2012 Pola Penggunaan Sistem Komunikasi
Pebisnis Online
LPPM Unisba 12.000.000
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat
Pendanaan
Sumber Jml (JutaRp)
1 2008 Metodologi Penelitian untuk
Meningkatkan Ketrampilan
meneliti bagi Dosen PTS di
Lingk.Kopertis Wilayah IV Jawa
Barat dan Banten
Koordinasi Perguruan Tinggi
Swasta Wilayah IV Jawa Barat
dan Banten
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No JudulArtikelIlmiah NamaJurnal Volume/Nomor/Tahun
1 Karakteristik Hyperpersonal
Communication dalam Internet
Relay Chat
Jurnal Mediator Fikom
Unisba
2006
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 TahunTerakhir
No Nama Pertemuan Ilmiah/
Seminar
Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
1 Seminar Internal Fakultas
Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Bandung
Implikasi Sosial Anonimitas
Pengguna Internet
2011, FikomUnisba
2 Seminar Nasional Komuni-
kasi, FISIP Univ. Jendral
Soedirman
Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Iklan 26 September 2012,
Univ.Jend. Soedirman
Purwokerto,
6 Seminar Internasional
Universiti Teknologi Mara
Malaysia (UiTM) Malaysia
Film Animasi Upin Ipin sebagai
Perekat Budaya Indonesia-Malaysia
4 Oktober 2012
Universiti Teknologi
Mara (UiTM) Malaysia
Biodata Anggota 3
A. Identitas Diri
1 Nama Lengkap (dengan gelar) Dede Lilis Ch., S.Sos.,M.Si.
2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Jabatan Fungsional LektorKepala
4 NIP/NIK/Identitas lainnya D.97.0.287
5 NIDN 0401107101
6 Tempat dan Tanggal Lahir Serang, 1 Oktober 1971
7 E-mail [email protected]
8 Nomor Telepon/HP 022-92716233/082117494549
9 Alamat Kantor FikomUnisba
Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116
10 Nomor Telepon/Faks 022-4264070
11 Lulusan yang Telah Dihasilkan S-1 = 30 orang
12. Mata Kuliah yang Diampu 1. Dasar Manajemen Komunikasi
2. Produksi Siaran Radio
3. Dasar Logika
4. Penulisan Kreatif
5. Hukum dan Kebijakan Komunikasi
6. Azas Manajemen
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2
Nama Perguruan
Tinggi
Universitas Padjadjaran Universitas Padjadjaran
Bidang Ilmu Ilmu Komunikasi Ilmu Komunikasi
Tahun Masuk-
Lulus
1992 – Feb 1997 2005 – Feb 2009
Judul Skripsi/
Tesis
Komunikasi Orang Tua-Anak dalam
Membimbing Perilaku Seksual
Remaja
Idealisasi Anak dalam Majalah Anak-
Anak: Representasi Anak dalam
Wacana Rubrik Nonfiksi Majalah Bobo
Nama
Pembimbing
1. Purwanti Hadisiwi, Dra.,M.Ex.Ed.
2. Pramono Benyamin, Drs., M.Pd.
1. Prof. DeddyMulyana, M.A.,Ph.D.
2. Dr. EniMaryani, M.Si.
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
No
.
Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jml (JutaRp)
1 2010 Konstruksi Sosial Poligami di Kalangan
Istri Ulama: Tinjauan Fenomenologis
LPPM Unisba 3.000.000
2 2010 Marjinalisasi Ronggeng (Sinden) dalam
Konstruksi Sosial (Studi Fenomenologis
Ronggeng di Kec.Pagaden Kabupaten
Subang)
Hibah Studi Kajian
Wanita DIKTI
6.000.000
3 2011 Identifikasi Menonton Televisi dalam
Keluarga di Kalangan Masyarakat Kota
Bandung
LPPM Unisba 6.000.000
4 2013 Manajemen ProduksiSiaran Radio
Komunitas di Kabupaten Bandung
LPPM Unisba 13.000.000
5 2013 Radio Komunitas dalam Membangun
Keterbukaan Informasi Masyarakat
Nelayan: Manajemen dan Produksi Siaran
Radio Komunitas Nelayan di Daerah
Pantura Jawa Barat
Hibah Bersaing DIKTI 55.000.000
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 TahunTerakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Pendanaan
Sumber Jml (JutaRp)
1 2011 Pelatihan Dasar Public Speaking bagi
Siswa SMA di Kota Bandung
LPPM Unisba 6.000.000
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/Nomor/Tahun
1 Sosialisasi Anak dalam Majalah
Bobo
MediaTor Fikom Unisba Vol. 8/No. 1/ 2008
2 Representasi Simbolik Film Kartun
Dora the Explorer melalui
Ethnographic Content Analysis
MediaTor Fikom Unisba Vol. 8/ No. 2/ 2008
3 Anak dalam Wacana Nonfiksi
Majalah Bobo
MimbarUnisba, Vol. XXV/ no. 1/ 2010
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir
No Nama Pertemuan
Ilmiah/Seminar
Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
1 Lomba Karya Tulis Ilmiah
Dosen Unisba
Dekonstruksi Keislaman di Unisba:
Reaktualisasi Unisba sebagai
Perguruan Tinggi Islam
2008, Aula Unisba
2 Konferensi Nasional Komu-
nikasi, Program Magister
Ilmu Komunikasi
Universitas Mercu Buana
Budaya Media Anak di Indonesia:
KajianBudayakritismengenaiIdolising
ChildrendalamTayangan “IdolaCilik”
danRubrik “Profil” MajalahBobo.
10 Juni 2010,
UniversitasMercu
Buana Jakarta
3 Seminar Ilmiah Intern
Komunikasi Dosen Fikom
Unisba
Audit Sistem Informasi Unisba:
Realitas dan Tantangan Masa Depan
28 Juni 2010,
FikomUnisba,
4 Konferensi Nasional Ilmu
Komunikasi (KNIK) Univ.
Pelita Harapan
Menyuarakan Anak-Anak Melalui
Penelitian Berbasis Paradigma
Subjektivistik.
10 Februari 2012,
Univ. Pelita
Harapan,
Tangerang,
5 Seminar Nasional Komuni-
kasi, FISIP Univ. Jendral
Soedirman
Mengusung Radio Komunitas sebagai
Basis Kearifan Lokal
26 September
2012, Univ.
Jend.Soedirman,
Purwokerto,
6 Seminar Internasional
Universiti Teknologi Mara
(UiTM) Malaysia
Film Animasi Upin Ipin sebagai
Perekat Budaya Indonesia-Malaysia
4 Oktober 2012
Universiti
Teknologi Mara
(UiTM) Malaysia
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No
.
JudulBuku Tahun Jumlah
Halaman
Penerbit
1 Editor buku Budaya Populer
Sebagai Komunikasi. Penulis Idi
Subandy Ibrahim.
cetakankedua,
Maret2011
417 Jalasutra Yogyakarta
2 Editor buku Resistensi dan Media.
Penulis Dr. EniMaryani.
Januari2011 224 Rosdakarya
Bandung
3 Kontributor buku Ilmu Komunikasi:
Sekarang dan Tantangan Masa
Depan.
Mei 2011 568 Univ. Mercu Buana
& Kencana Jakarta
4 Editor Bahasa buku Transforming
Woman’s Voices: Catatan Pengala-
man 5 Tahun Pejuang Perempuan di
Parlemen. Karya Dr. BRA Mooryati
Soedibyo.
April 2011 191 Mooryati Institute
Jakarta