Upload
lamtu
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DOSEN MUDA
REORIENTASI
PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERTAMBANGAN INDONESIA
DALAM PENGELOLAAN TAMBANG MIGAS
DI BLOK CEPU, KABUPATEN BLORA DAN BOJONEGORO
Oleh:
SUBADI, SH. M.Hum
DIBIAYAI OLEH
DIREKTORAT JENDRAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
Sesuai Dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian
Nomor: 007/SP2H/PP/DP2M/III/2007, tanggal 29 Maret 2007
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
DESEMBER, 2008
2
HALAMAN PENGESAHAN
DRAF LAPORAN HASIL PENELITIAN DOSEN MUDA
1. Judul : Reorientasi Prinsip-Prinsip Hukum
Pertambangan Indonesia Dalam Pengelolaan
Tambang Migas Blok Cepu Kabupaten Blora
2. Bidang Ilmu : Hukum
3. Ketua Peneliti
a. Nama : Subadi, SH, M.Hum
b. Jenis Kelamin : Laki-Laki
c. NIP : 010.060
d. Disiplin ilmu : Hukum
e. Pangkat/Golongan : Penata / III.d.
f. Jabatan : Lektor
g. Fakultas/Jurusan : Fakultas Hukum /SDA dan Lingkungan
4. Jumlah Anggota Peneliti : -
5. Lokasi Penelitian : Blok Cepu , Kab. Blora, Kab. Bojonegoro.
6. Biaya yang diperlukan : Rp 10.000.000,00
Madiun; Oktober 2006
Mengetahui Ketua Peneliti,
Dekan Fakultas Hukum
Suwito Sugiyanto, SH,M.Hum. Subadi, SH,. M.Hum.
NIP. 131.679.460. NIP: 010.060
Mengetahui
Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat
Dra.Rusbiyanti Sripeni, M.Si
NIP. 131 409.893
3
A. LAPORAN HASIL PENELITIAN
RINGKASAN
Subadi, ”Reorientasi Prinsip-Prinsip Hukum Pertambangan Indonesia
Dalam Pengelolaan Tambang Migas di Blok Cepu, Kabupaten Blora dan
Kabupaten Bojonegoro”.
Penelitian ini dilakukan atas dasar keprihatinan, bahwa pengelolaan
tambang dan migas di Indonesia yang terjadi sejak Orde Baru sampai sekarang,
cenderung tidak dapat mewujudkan kemakmuran rakyat dan bahkan lebih banyak
menguntungkan dan memakmurkan para Investor asing, dan sebaliknya
masyarakat sekitar tambang masih tetap miskin dan sengsara.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali, membuktikan, dan mengingatkan
bahwa dalam pengelolaan tambang Migas di Blok Cepu, telah mulai banyak
melupakan dan meninggalkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia.
Prinsip-prinsip hukum tersebut terutama adalah; prinsip penguasaan negara untuk
kemakmuran rakyat, efisien, efektif, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan
tranparansi.
Penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif yang ditunjang
dengan hasil wawancara dengan berbagai pihak yang betul-betul menghayati dan
menjiwai masalah pengelolaan tambang Migas di Blok Cepu, Kabupaten Blora
dan Kabupaten Bojonegoro.
Dalam penelitian ini, telah dihasilkan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Meskipun hanya sebatas operator, penguasaan Blok Cepu oleh Exxon Mobil
Oil, telah meleset dari amanah yang diberikan oleh pasal 33 ayat 3 UUD
1945, yaitu tentang prinsip hak menguasai negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat;
(2) Jadwal produksi Blok Cepu jelas-jelas akan molor, artinya jauh dari prinsip
efektif dan efisien, dan dalam perkiraan negara akan mengalami kerugian
sebesar Rp 115 milyard per hari, artinya kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia dan rakyat sekitar Blok Cepu akan tertunda, sedangkan Exxon
Mobil Oil sebagai operator tidak akan pernah rugi, karena biaya yang
dikeluakan per hari tetap akan diperhitungkan dengan standart harga
internasional;
(3) Migas adalah sumber daya alam tak terbarui, dengan masa 30 Tahun masa
penguasaan (operator), sangat dimungkinkan pada saat habis masa kontrak
akan habis pula cadangan minyak yang ada di Blok Cepu, maka jelas tidak
ada jaminan adanya prinsip berkelanjutan.
(4) Pada kesepakatan awal Exxon Mobil Oil lahan minta 1000 hektar untuk
pengembangan kawasan produksi Blok Cepu, hal ini akan mengorbankan
lahan produktif dan juga kawasan tuhan produksi, yang sangat rentan terhadap
keberlanjutan fungsi lindung atau acaman serius terhadap prinsip berwasasan
lingkungan.
(5) Dari proses awal penemuan Blok Cepu ternyata tidak transparan artinya
Exxon Mobil Oil bukan penemu Blok Cepu yang sesungguhnya, akan tetapi
PT. Humpuss Patra Gas;
(6) Pengambil-alihan 51 % saham PT. Humpuss Patra oleh Exxon Mobil Oil juga
tidak transparan, penuh dengan intrik atau cacat moral.
4
SUMMARY
Subadi, " Indonesian Mining Rights Principles Reorientation In
Management Of Mines Migas in Blok, Cepu, Sub-Province Blora and Sub-
Province Bojonegoro".
This research done on the basis of concern, that management of mine and
migas in Indonesia happened since New Order hitherto, tend to cannot realize
prosperity of people and even more profit and prosperous of Investor are foreign,
conversely public about mine still impecunious and miserable.
This research aim to dig, prove, and remind that in management of mine
Migas in Blok, Cepu, have started many forgetting and leave applicable laws
principles in Indonesia. Principal punished the especially are; dominance
principle of state for prosperity of people, efficient, effective, continuation, with
vision of environment, and tranparansi.
Research apply method of research of law normatif which supported with
result interviewing with various party sides which really involve and souls of
problem of management of mines Migas in Blok, Cepu, Sub-Province Blora and
Sub-Province Bojonegoro.
In this research, have been yielded some thingses as follows:
(1) Though only limited to operator, domination of Blok Cepu by Exxon Mobil
Oil, have slipped from trust given by section of 33 article 3 UUD 1945, that is
concerning rights principle master state for the sebesar-besar prosperity of
people; (2) Casket block production schedule clearly molor would, mean far from
efficient and effective principle, and in estimate of state will experience loss equal
to Rp 115 billion per day, mean prosperity all people and Indonesia people about
Blok Cepu will delay, while Exxon Mobil Oil as operator will never lose, because
expense which dikeluakan per day will remain reckon with standart international
price; (3) Migas is natural resources do not be renewed, with a period of 30 Year
a period of domination operator, very enabled at the time of pot is clean a period
of contract to [used up/finished] also the oil reserve in Blok, Cepu, hence is clear
there no guarantee of existence of continuation principle; (4) At agreement of
early Exxon Mobil Oil farm ask 1000 hectare for development of area of
production Blok, Cepu, this thing will sacrifice productive farm as well as area of
production the infinite, what very susceptible to continueing covert function or
acaman is serious to principle berwasasan is environmental; (5) From process
early invention of Blok Cepu simply not be transparent mean Exxon Mobil Oil is
not inventor Blok Cepu truthfully, however PT. Humpuss Patra Gas; (6)
Assumption of of 51 % share PT. Humpuss Patra by Exxon Mobil Oil nor
transparent, full of moral handicap or intrigue.
5
PRAKATA
Puji Syukur atas kehadiran Allah SWT, atas segala rahmad dan karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian.
Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, maka perlu
adanya saran, masukan dan kritik yang membangun dari pembaca yang budiman.
Penelitian ini tidak mungkin selesai, tanpa bantuan yang tulus dan iklas
dari berbagai pihak, untuk itu kami sampaikan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak, Rektor Universitas Merdeka Madiun yang telah memberikan
kesempatan untuk melakukan penelitian ini.
2. Ketua Lembaga Penelitian dan Pusat Pengapdian Masyarakat (LPPM)
Universitas Merdeka Madiun, yang telah banyak memberikan fasilitas demi
kelancaran penelitian ini.
3. Kepala Perpustakaan Universitas Merdeka Madiun, yang telah banyak
memberikan fasilitas berbagai buku reverensi.
4. Kepada R. Prajatna Koesoemadinata (Advisor penemuan Blok Cepu) Peter
Coleman (Presiden Direktur EMOI), Kardaya Warnika (Kepala BP Migas),
Venesha dari LSM Internasional (Revenue Watch), Joko Purwanto (Direktur
Bojonegoro Institute), Madjedi Hasan (Pengamat Migas mantan vice president
Caltex), Drajad H. Wibowo (Komisi XI DPR RI), Kurtubi (Pengamat
Perminyakan), Amein Rais (Kritikus Blok Cepu), Diva Rahman (Public
Relation Exxon Mobil Oil), M. Santoso (Bupati Bojonegoro), yang telah
banyak memberikan informasi dan masukan baik langsung maupun tidak
langsung dalam penelitian ini.
5. Kepada teman sejawat dan mereka yang telah banyak membatu yang tidak
dapat kami sebut satu persatu.
Semoga Allah menerima segala amal dan kebaikan dan tidak terputus
sampai di kemudian hari.
Madiun; Oktober 2007
Ketua Peneliti,
Subadi, SH,M.Hum.
6
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………… ii
A. LAPORAN HASIL PENELITIAN
RINGKASAN .................................................................................. iii
SUMMARY ………………………………….................................. iv
PRAKATA…………………………………………………………. v
DAFTAR ISI………………………………………………………. vi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
1. Latar Belakang .......................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Paradigma Pemanfaatan Sumber Daya Tambang ................ 4
2. Kebijakan Pengusahaan dan Pengelolaan MIGAS ............... 7
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ………….. 10
BAB IV METODE PENELITIAN
1. Obyek Penelitian ……………………………………………… 15
2. Sumber Data (Bahan Hukum dan informasi) ........................ 15
3. Teknik Pengumpulan data …………………………………… 16
4. Analisa Data .............................................................................. 16
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sejarah Blok Cepu …………………………………………… 18
2. Jalannya Kontrak...................................................................... 23
3. Reorientasi Prinsip-Prinsip Hukum Tambang Migas ......... 24
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan ............................................................................... 36
2. Saran........................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………. 38
B. DRAF ARTIKEL ILMIAH ………………………………………. 40
C. SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN. ………………………… 51
7
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam
yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia.
Misalnya; kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi yang berupa
endapan-endapan mineral seperti minyak dan gas bumi. Salah satunya adalah
tambang Migas Blok Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro
Jawa Timur, yang terkenal dengan sumur tambang tua .(Sayuti Thalib,
1971:20-2; Prajatna, 2006), pertama kali ditemukan pada akhir abad ke 18
yang pengelolaanya pertama kali dilakukan oleh Bataafsche Petroleum Mij
(BPM) tahun 1890-1940 (Pertamina, tt:17).
Blok Cepu akhir-akhir ini menjadi sangat ramai dibicarakan orang,
baik dari kalangan politikus, pengamat minyak, akademisi, tokoh masyarakat
dan lain-lain yang mengatas-namakan demi kemakmuran rakyat, karena harta
karun milik bangsa Indonesia ini telah diserahkan pengelolaannya kepada
investor asing Exxon Mobil Oil dari Amerika.
Kuasa pertambangan khususnya untuk bahan galian Migas memang
sangat luas cakupannya yaitu meliputi di darat dan di laut yang pada intinya
adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemberian wilayah kuasa
pertambangan yang bersifat sentral cenderung telah menimbulkan terjadinya
tumpang tindih (konflik kepentingan) dalam penggunaan lahan/kawasan dan
masalah lain yang berhubungan dengan masyarakat sekitar/lokal dan
cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat. (Rudi Simamora, 2000:5)
8
Daftar panjang pengelolaan sumber daya tambang di Indonesia
misalnya tambang emas (ijinnya tembaga) di Timika oleh Freeport, Mobil Oil
Loh Sumawe, PT Gas Arun, dan lain-lain, yang sangat diharapkan dapat
memberikan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat, ternyata hanya
menyisakan kekecewaan, ketidak-adilan, kemiskinan lokal, kerusakan
lingkungan hidup dan menimbulkan kontroversi yang panjang, serta ribuan
pertanyaan yang tidak pernah terjawab. (Subadi, 2002, 7)
Gambaran tersebut di atas telah memberikan pengalaman buruk dan
traumatis bagi masyarakat local dan juga pemerintah daerah, misalnya
beberapa bulan yang lalu Bupati Bojonegoro telah melakukan penutupan jalan
atau akses yang menghubungkan ke proyek ekplorasi Blok Cepu. Pada hari
Senin tanggal 20 Maret 2006 telah terjadi unjuk rasa masal yang melibatkan 4
(empat) desa warga masyarakat yang sebentar lagi tanah miliknya dikuasai
oleh Exxon Mobil Oil (bandingkan, Sayuti Thalib, 1972, 20-21) menuntut
kejelasan masalah, pengadaan tanah, bagi hasil, pengelolaan lingkungan
hidup, tranparansi dan lain-lain. Wakil rakyat DPR RI yang ada di Senayan
juga tidak mau ketinggalan sibuk mempersiapkan hak angket dan rasanya
masih terus akan berlanjut dengan gerakan-gerakan lain yang mengarah pada
kritik kebijakan Blok Cepu.
Penelitian ini akan mencoba memaparkan dari sudut pandang
hukumnya yang sampai saat ini belum banyak dilakukan orang dan ini
merupakan bagian yang sangat penting dan segera untuk dilakukan penelitian.
Penelitian ini akan diawali dari hal-hal yang paling dasar dulu yaitu prinsip-
prinsip dasar atau asas-asas hukum yang harus ditaati atau ditegakan dan
9
kemungkinan telah ditinggalkan/dikesampingkan dalam kontrak karya
pengelolaan sumber daya tambang migas Blok Cepu.
2. RumusanMasalah
Kontrak-kontrak karya pertambangan di Indonesia yang di awali sejak
tahun 1967 (Freeport) sampai Exxon Mobil Oil di Blok Cepu cenderung hanya
menguntungkan pihak investor asing dan merugikan masyarakat lokal,
pemerintah daerah dan bangsa Indonesia pada umumnya. Ada dugaan kuat
bahwa kontrak-kontrak karya pertambangan tersebut telah meninggalkan atau
dengan sengaja mengesampingkan prinsip-prinsip dasar atau asas-asas hukum
nasional, maka penelitian ini akan menjawab dan/atau membuktikan dugaan
tersebut. Mengesampingkan atau melupakan prinsip-prinsip atau asas-asas
hukum nasional hanya akan mengakibatkan menguntungkan investor asing
dan merugikan bangsa sendiri dan sebaliknya dengan kembali pada prinsip-
prinsip hukum nasional (reorientasi) kita akan berada di pihak yang
diuntungkan.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Paradigma Pemanfaatan Sumber Daya Tambang
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam
beraneka ragam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Sumber
daya alam baik hayati maupun non hayati merupakan unsur dasar lingkungan
yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Dalam
kerangka ini para pendiri negara kita (the founding fathers) telah
mengamanatkan dalam rumusan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal ini merupakan
suatu ideologi bangsa yang akan mendasari seluruh undang-undang yang akan
lahir dan mengatur tentang sumber daya alam ( Harsono, 1999, 27; Subadi,
2001, 5).
Dalam konteks Internasional pemanfaatan sumber daya alam untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara eksplisit disebutkan dalam
Resolusi PBB No. 523 (XI) tanggal 12 Januari 1952 yang menyatakan;
“mengakui hak setiap negara untuk menggunakan kekayaan alam guna
pengembangan ekonomi”. Kemudian dipertegas lagi dalam Resolusi PBB No.
1803 (XVIII) tanggal 14 Desember 1962 tentang “princple of permanent
souvereignity over natural resources” mengakui adanya hak penguasaan
abadi oleh setiap negara terhadap kekayaan alamnya dan menerima
11
berdasarkan persamaan kedaulatan yang kemudian dilanjutkan dengan
Deklarasi Stockholm tahun 1972 yang menyatakan:
“Principle 21 of Stockholm Declaration, 1972; “State have, in
accordancewith the Charter of the United Nations and the principles of
international law, the souvereign right to exploit their own resourches
pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to
ensure that activities within their jurisdiction or control donot cause
damage to the environment of other states or of areas beyond the limit
of national jurisdiction.”(Rudi Simamora, 2000:137-145; Hardjo
Soemantri, 1991, 34)
Dalam pernyataan ini pada prinsipnya menegaskan bahwa bagi setiap negara
berdaulat berhak untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya tetapi bertanggung
jawab atas pelestarian lingkungan hidupnya sehubungan dengan adanya
kegiatan eksploitasi tersebut.
Dalam konteks ketatanegaraan sejalan dengan tuntutan perubahan oleh
masyarakat melalui reformasi yang menginginkan demokratisasi, otonomi
daerah dan good governence. Perubahan tersebut tidak luput dari landasan
paradigma baru pertambangan yaitu pembangunan manusia berkelanjutan
dalam sektor pertambangan yang esensinya adalah menciptakan transformasi
sosial menuju kesejahteraan antar generasi.(Munggoro,2002,.23). Dengan
demikian tujuan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam
konteks otonomi daerah adalah menciptakan transformasi sosial untuk
mencapai sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Amanat UUD 1945 pasal 33
ayat (3) adalah pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat,
yang berarti tujuan pemanfaatan bukan sekedar untuk pertumbuhan ekonomi
semata, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk kesejahteraan umat
manusia dari generasi ke generasi. Penafsiran ini sejalan dengan makna
12
pembangunan manusia sustainable human development (berkelanjutan)
(Wirosudarmo, 2000:18-19).
Perubahan terjadi seiring dengan setuasi situasi politik pembangunan
Indonesia di era Orde Baru, yang menekankan pada kapitalisme dengan
kebijakan pintu terbukanya (open door policy) yang melibatkan swasta dan
modal asing di dalam perekonomian negara (Bachriadi, 1998:62;
Damanik,2002,7). Perubahan ini juga berimbas pada paradigma baru
pembangunan pertambangan dilandasi oleh amanat UUD 1945 pasal 33 ayat
(3). Dengan orientasi pada UUD 1945 pasal 1 ayat (1), pasal 18, 18A dan 18B
jo Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN, Bab IV Arah Kebijakan,
huruf H Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup angka 3 dan 4 dan Tap
MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
berkeadilan serta perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Subadi, 2002, 2003, 12).
Esensi dari pasal 18 UUD 1945 adalah pengakuan terhadap eksistensi
komunitas, baik itu bernama daerah maupun komunitas kecil berupa desa,
nagari dusun ataupun marga, artinya pertambangan tersebut dapat mendukung
pengembangan masyarakat setempat dan pemberdayaan dalam kaitannya
dengan investasi pertambangan, yang berarti industri pertambangan
merupakan industri alternatif yang paling efektif untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah yang penduduknya berada dalam
kemiskinan struktural. Kebijakan pengelolaan sumber daya mineral yang
13
sentralistik selama ini cenderung mengabaikan faktor-faktor lokalitas dan
masyarakat.(Wirosudarno, 2000:3 , Subadi, 2002, 15).
2. Kebijakan Pengusahaan dan Pengelolaan MIGAS
Industri migas adalah industri yang bersifat sementara karena mineral
merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, meskipun sementara
pertambangan mempunyai potensi yang sangat besar untuk menciptakan
momentum bagi berlangsungnya transformasi sosial menuju masyarakat
sejahtera (Subadi, 2004, 20).
Minyak dan Gas Bumi (MIGAS) merupakan sumber daya alam yang
strategis yaitu sebagai sumber energi dalam negeri, sumber devisa negara,
bahan baku industri dan sebagai modal dasar pembangunan nasional (Subadi,
2003, 13). MIGAS termasuk dalam bahan galian golongan A seperti yang
disebutkan dalam pasal 3 ayat (1) huruf a dan PP No. 27 tahun 1980 tentang
Bahan Galian Tambang. Pengertian Strategis Migas ini secara eksplisit
disebutkan dalam konsideran menimbang UU No. 44 Prp tahun 1960 tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
Pengaturan dan pemanfaatan SDA migas ini didasarkan pada UUD
1945 pasal 33 ayat (2) dan (3) yang menyebutkan bahwa; “ Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara “(ayat (2)), “Bumi dan air dan kekayaan alam terkandung
didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat “ (ayat( 3)) lebih lanjut disebutkan dalam pasal 3 UU No.
44 Prp tahun 1960 bahwa “ Pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi
14
hanya diselenggarakan oleh negara.” Yang dipertegas dalam pasal 6 UUPP
bahwa pemanfaatan usaha pertambangan bahan galian strategis (MIGAS)
dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menteri dan
berbentuk perusahaan negara. Untuk merealisasikan pelaksanaan kewenangan
negara dalam usaha pertambangan migas pemerintah menyerahkan kepada
perusahaan milik negara (PERTAMINA) berdasarkan ketentuan dengan
memberikan landasan hukum yang kuat berupa UU No. 8 tahun 1971 tentang
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU No. 8 tahun 1971 yaitu:
(1) Pertamina diberikan kewenangan dalam pengusahaan migas yang meliputi
kegiatan eksplorasi,eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan
dan penjualan serta bidang lain sebagaimana disebutkan dalam pasal 6
ayat (2) undang-undang ini,
(2) Pertamina diberikan kuasa pertambangan atas seluruh wilayah hukum
pertambangan Indonesia sepanjang mengenai migas,
(3) Pertamina dapat bekerjasama dengan pihak lain dengan bentuk Kontrak
Production Sharing;
(4)Pengaturan struktur perusahaan, permodalan, kepengurusan dan
pembukuan untuk menjamin penyelenggaraan pengusahaan migas
tersebut.
Maksud pemberian tugas dan kewenangan kepada Pertamina yaitu
untuk mengoptimalkan kinerja Pertamina dalam mengemban amanat pasal 33
ayat (2) dan (3) UUD 1945 dengan memanfaatkan kekayaan alam Migas
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, (Rudi Simamora, 2000:89).
15
Sedangkan tujuan Pertamina yaitu untuk membangun dan
melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnya
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara serta menciptakan
ketahanan nasional.
Berdasarkan ketentuan di atas maka sifat industri migas merupakan
natural monopoly (yang menyebabkan in-effisiensi karena tidak adanya
kompetisi). Seiring dengan berkembangnya tren liberalisasi. privatisasi dan
restrukturisasi, dengan reformasi dan otonomi daerah dipandang perlu untuk
mereposisi, dan meredefinisi peran Pertamina dengan paradigma baru
sehingga pengelolaanya harus dapat maksimal memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat yang selama ini terabaikan, dengan menciptakan
perusahaan yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisiensi dan
berwawasan lingkungan serta mendorong perkembangnya potensi dan peranan
nasional. (Noer Fauzi:2001:256 ; Noer Fauzi:2001)
Dalam rangka otonomi daerah sebagai suatu skema politik baru yang
membawa harapan tersendiri bagi masyarakat dan daerah antara lain menjadi
wahana pemberdayaan rakyat, mendekatkan pemerintah dengan rakyat,
sehingga gerak program pemerintah dapat mengakomodasikan aspirasi dan
kepentingan masyarakat. (Subadi, 2003, 6). Makna otonomi daerah sendiri
dalam konteks politik hukum merupakan hak rakyat di daerah untuk mengurus
kepentingan daerahnya sendiri, dalam konteks ketatanegaraan otonomi daerah
merupakan perubahan radikal dan mendasar bagi seluruh bangsa Indonesia.
Perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan pada tataran politik hukum
16
disebabkan proses desentraliasasi telah menciptakan tiga perubahan utama
yaitu :
1. Perubahan dalam otoritas pengelolaan sumber daya alam.
2. Perubahan dalam otoritas sumber-sumber keuangan (pajak dan
retribusi).
3. Memindahkan alokasi anggaran dari pemerintah pusat ketingkat daerah
namun prinsip dasar yang menyatakan bahwa sumber daya alam
adalah milik negara tidaklah berubah. (Launela, Zakaria:2002, 54).
Dalam kerangka otonomi daerah maka dibuatlah Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2001, Tentang Migas (disingkat UU No.22 Tahun 2001)
sebagaimana terlihat dalam konsideran mengingat angka 2 dengan
mempertimbangkan Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan pusat
dan daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia., namun
kewenangan dan kebijakan yang berhubungan dengan pemerintah daerah
dalam rangka otonomi daerah yang diatur dalam ketentuan ini hanya sebatas
pada hal-hal kecil saja. (Subadi, 2001, 12).
Kebijakan pemerintah menyangkut Migas dalam undang-undang
disebutkan secara jelas dalam UU No.22 Tahun 2001, pasal 8 ayat (10 yaitu :
Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan gas bumi untuk
kebutuhan dalam negeri dan bertugas menyediakan cadangan startegis
minyak bumi guna mendukung penyediaan bahan bakar minyak dalam
negeri yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
17
Kewajiban pemerintah yang sentralistik terlihat dalam ayat (2) pasal
ini yang menyebutkan “pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran
pendistribuasian bahan bakar minyak yang merupakan komoditas vital dan
menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.” Prinsip-prinsip penyelenggaraan kegiatan Migas dalam
undang-undang ini disebutkan dalam UU No.22 Tahun 2001, pasal 2 dengan
berdasarkan pada :
“..ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan,
pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak,
keamanan, keselamatan dan kepastian hukum serta berwawasan
lingkungan.”
Tujuan penyelenggaraan kegiatan Migas ini jelas dan seimbang antara
tujuan ekonomi (dengan perolehan devisa negara) dengan kesejahteraan rakyat
seperti disebutkan dalam pasal 3 UU No.22 Tahun 2001 yaitu :
a. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha
eksplorasi dan eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta
berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas minyak dan gas bumi milik
negara yang trategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang
terbuka dan transparan.
b. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengolahan,
pengangkutan, penyimpanan, dan niaga secara akuntabel yang
diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,
sehat dan transparan.
18
c. Menjamin efisiensi dan efektivitas tersediannya minyak bumi dan gas
bumi, baik sebagai energi maupun sebagai bahan baku, untuk
kebutuhan dalam negeri.
d. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk
lebih bersaing ditingkat nasional, regional maupun internasional.
e. Meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang
sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan
serta memperkuat posisi industri dan perdaganngan Indonesia.
f. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat yang adil dan merata serta menjagakelestarian
lingkungan hidup.
Kegiatan usaha Migas dalam peraturan ini dipisahkan menjadi 2
bagian (pasal 5) yaitu:
(1) Kegiatan hulu yang mencakup usaha eksplorasi dan eksploitasi; dan
(2) kegiatan hilir yang mencakup usaha pengelolaan, pengangkutan,
penyimpanan dan niaga, untuk usaha kegiatan hilir ini
diselenggarakan dengan mekanisme persaingan usaha yang wajar,
sehat dan transparan.
Dalam rangka transparansi dibentuklah dua lembaga baru yaitu Badan
Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian
usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi (pasal 1 (2,3)), dan Badan
Pengatur adalah badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribsian bahan bakar minyak dan
gas bumi serta pengangkutan gas bumi melalui pipa pada kegiatan usaha hilir.
19
(Noer Fauzi:2001). Dengan demikian sesungguhnya, dengan terbentuknya
dualembaga baru tersebut, masalah transparansi di bidang imndustri migas,
seharusnya sudah dapat dijamin masalah transparansi atau keterrbukaan.
20
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mengungkap dan membuktikan bahwa kontrak-kontrak karya
pertambangan migas telah banyak meninggalkan atau sengaja
mengesampingkan prinsif-prinsif hukum dan hukum pertambangan
Indonesia yaitu asas utama, asas umum dan asas khusus;
b. Untuk mengingatkan betapa pentingnya reorientasi prinsip-prinsip hukum
terhadap kontrak-kontrak karya pertambangan migas ke depan, agar tidak
merugikan masyarakat local, pemerintah daerah dan bangsa Indonesia
sebagai pemilik.
3. Manfaat Penelitian
a. Dari segi teoritis penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum
pertambangan Indonesia pada umumnya dan pertambangan Migas
khususnya.
b. Dari segi praktis, penelitian ini dapat memberikat kontrol bagi para
praktisi pertambangan migas yang terlibat langsung dalam pengelolaan
Blok Cepu..
21
BAB IV
METODE PENELITIAN
5. Obyek Penelitian
Penelitian kualitatif ini akan difokuskan pada pengelolaan tambang
migas oleh Pertamina dan Exxon Mobil Oil di Blok Cepu, kabupaten Blora,
kabupaten Bojonegoro dan akan bertolak dari penelitian hukum normatif,
maka obyek penelitiannya adalah berbagai peraturan perundang-undangan
yang relevan dengan masalah pengelolaan tambang migas dalam era otonomi
daerah. Untuk hal ini maka digunakan pendekatan; filosofis, historis dan
perbandingan hukum.
6. Sumber Data (Bahan Hukum dan informasi)
Bahan-bahan hukum dan informasi yang diperlukan dalam penelitian
ini adalah:
Pertama; berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
masalah pengelolaan tambang migas misalnya; Undang-Undang
Pertambangan, Undang-Undang Migas, Undang-Undang Penanaman
Modal Asing, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dokumen-
dokumen resmi kontrak karya pertambangan migas dan peraturan
perundang-undangan yang relevan lainnya
Kedua; berbagai buku-buku/literatur hukum dan pertambangan, jurnal ilmiah,
makalah-makalah pertemuan ilmiah dan lain-lain.
Ketiga; keterangan atau penjelasan pejabat terkait, pakar hukum dan pakar
pertambangan migas dan pihak-pihak yang betul-betul menghayati dan
22
menjiwai dalam proses-proses pengelolaan tambang migas Blok
Cepu.
7. Teknik Pengumpulan data
Data atau bahan hukum tersebut akan diperoleh dengan cara melacak
dan mengumpulkan dari berbagai institusi yang terkait dengan masalah
pengelolaan tambang migas Blok Cepu misalnya; Arsip Nasional, kantor
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, PT. Pertamina yang semua
berkedudukan di Jakarta dan termasuk di Blok Cepu, Kabupaten Blora, dan
Kabupaten Bojonegoro.
Sedangkan bahan-bahan berwujud buku-buku reverensi, akan dilacak
dengan cara studi pustaka (library research) ke berbagai perpustakaan
misalnya UGM, UPN Yogyakarta, ITB Bandung dan tidak kalah pentingnya
adalah wawancara (indepth interieu) dengan pakar di bidangnya misalnya;
Prajatna Koesoemadinata ITB Bandung (pakar pertambangan), Amin Rais
UGM Yogyakarta (kritikus Blok Cepu), Komisi DPR RI, Kapala Daerah
Pemda setempat dan pihak-pihak yang betul-betul mengahyati dan menjiwai
masalah pengelolaan Blok Cepu.
8. Analisa Data
Bahan hukum yang berupa; undang-undang, peraturan pemerintah,
keputusan menteri, peraturan tingkat departemen, peraturan daerah, perjanjian/
kontrak karya pertambangan migas kemudian diklasifikasikan untuk
23
diinterprestasikan kemudian, disistematisasi dan dianalisis menggunakan
content analysis atau analisis isi.
Dari sini akan ditemukan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum (asas
utama, asas umum dan asas khusus) yang seharusnya ditaati dalam kontrak
karya pertambangan migas, kemudian akan dihubungan dengan informasi lain
tentang pengelolaan tambang migas yang telah diperoleh dari berbagai
informen dan para pakar, selanjutnya akan dibahas dengan menggunakan
teori-teori hukum yang memadai dan dianalisis secara kualitatif untuk
mendapatkan kesimpulan yang diharapkan.
24
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sejarah Pengelolaan Blok Cepu
Menurut R. Prajatna Koesoemadinata seorang advisor atau
penasehat penemuan Blok Cepu, secara garis besar dan terinci menjelaskan
bahwa, Blok Cepu adalah ladang minyak tua yang sudah ditemukan sejak
jaman penjajahan Belanda. Meskipun sudah diketahui sebagai ladang minyak,
namun untuk penemuan terumbu-terumbu minyak yang ada sekarang itu baru
dilakukan pada awal tahun 1990 hingga 1995, yang dilakukan oleh PT.
Humpuss Patra Gas, dan merupakan pemilik konsesi Blok Cepu yang
memiliki beberapa ladang minyak seperti Banyu urip, Cendana dan Alastua.
Blok Cepu ditemukan dengan ide baru, baik menyangkut konsep
maupun teknologinya. Dikatakan baru disebabkan karena langkah-langkah
sebelumnya juga sudah dilakukan oleh Pertamina dan ternyata tidak
menemukan apa-apa. Namun langkah-langkah tersebut harus tetap diakui
bahwa Pertamina telah berjasa, hal ini disebabkan karena Humpuss belajar
dari kegagalan-kegagalan yang telah dialami oleh Pertamina. Jadi penemuan
itu merupakan proses yang panjang, mulai dari ekplorasi, survei seismik
sampai pengeboran. Konsep-konsep lama itu hanya mengambil di lapisan
atasnya saja, dengan ide baru mencari di lapisan di bawahnya dan di situ akan
ditemukan lapangan minyak baru dan ini harus ditunjang dengan teknologi
yang baru yaitu teknologi yang up to date. Setelah dilakukan survei mutakhir
hingga kedalaman 1200 meter, baru ditemukan terumbu-terumbu baru
tersebut.
25
Gambar-gambar terumbu inilah yang menjadi primadona dan kami
tawarkan kepada pihak asing. Ada 8 (delapan) yang berminat, namun hanya
ingin mengambil alih operatorship, mulai Total, Unocal, Shell dan Ampolex
yang akhirnya kami ajak kerjasama, dan Mobil Oil tidak berminat. Ampolex
tidak memaksakan kehendak untuk menjadi operatorship tetapi mereka minta
untuk menempatkan 2 (dua) orang yakni vice president exploration dan chief
geologisti dalam tim ekplorasi kami lakukan antara tahun 1996 – 1997 dan
pengeboran dimulai pada tahun 1998.
Waktu itu faktor perubahan politik reformasi di pusat (Jakarta) sangat
berpengaruh, tahu-tahu yang menguasai pengeboran akhirnya orang-orang
Mobil Oil padahal operatorshipnya Humpuss Patra Gas, yang memiliki saham
51 %. pengeboran pertama minyak Banyuurip -1 sudah keluar, inti
pengeboran dilihat, tekanan ditentukan, contoh minyak juga sudah keluar
hanya belum di tes berapa laju produksi per hari, belum ditentukan karena
keadaan sedang reformasi dan orang Mobil Oil memanfaatkanya dengan
merahasiakan semuanya dan tidak mengumumkan kepada Pertamina, dan
menunda pengeboran dengan alasan ada gas H 2 S, karena pada saat itu
operatorship masih Humpuss Patra Gas, maka kewenangan operatorship akan
menjadi milik Humpuss bukan mereka dari Mobil Oil. Padahal pengeboran itu
akan dilanjutkan menunggu pengalihan saham yang 51 % tersebut.
Baru setelah Mobil Oil mengambil alih seluruh participating interst
Humpuss Patra Gas hingga 100% pengelolaan dimiliki, mereka melanjutkan
pengeboran sekitar 300 sampai 400 meter dan melakukan test dan
mengumumkan bahwa Exxon Mobil Oil sebagai penemu seismic 3D dan
26
memiliki 100% kewenangan atas Blok Cepu dan melupakan menemuan
seismik 2D dan temuan-temuan yang dilakukan Humpuss Patra Gas.
Secara legalitas pengalihan konsesi seperti menjual Humpuss Patra
Gas hingga seratus persen, yang menjadi persoalan pengalihan participating
hingga 49 persen membutuhkan persetujuan Pertamina dan Menteri
Pertambangan (Ginandjar Kartasasmita waktu itu) dan nyatanya juga sudah
mereka dapatkan.
Satu hal yang menarik adalah saat menemuan minyak oleh Humpuss
Patra Gas, sudah dilaporkan kepada Pertamina, namun sebagai pengawas
yakni Badan Pembinaan Pengusaha Kontraktor Asing (BPPKA) ternyata diam
saja. Sedangkan pejabat Pertamina sudah mendapat laporan tentang penemuan
oleh Humpuss, justru pihak yang melaporkan terus dipindah tugaskan ke BP
Migas. Dengan kata lain dari argumen tersebut, secara yuridis formal maka
Mobil Oil dinyatakan sebagai penemu dengan segala intriknya.
Pendapat lainnya yitu menurut pandangan Amein Rais Blok Cepu
termasuk yang ditengarai mengandung sisi historis kolusi sehingga harus
diperiksa oleh pemerintah sendiri dan jika perlu masuk kasus hukum dan
politik.
Pada tahun 1987, berdasar SK Menteri Pertambangan dan Energi
No.0177/K/1987 tanggal 5 Maret 1987, wilayah kuasa pertambangan (WKP)
mencakup kawasan seluas 973 km persegi. Semula dikelola oleh PT Migas,
kemudian diserahkan kepada Pertamina UEP III Lapangan Cepu. Setelah
Pertamina melakukan berbagai macam survei, penyiapan lahan dan siap
melaksanakan pengeboran, pada April 1990, pengelolaan Blok Cepu diambil
27
alih PT Humpus Putra Gas dengan penandatanganan technical assistence
contract (TAC) untuk masa 20 tahun (1990 – 2010).
Humpuss Patra Gas, kemudian melakukan survei seismik 2 D sehingga
dapat diidentifikasi 29 prospek migas. Terindentifikasi dua jenis prospek
untuk yang dangkal ditangani sendiri dan prospek target migas yang dalam
(reservoir gamping Kujung reef) akan dikerjasamakan dengan pihak lain.
Struktur Banyu Urip memiliki potensi minyak minimum 235 MMBO
dan gas belasan TCF (Koesoemadinata, 2005). Hingga 1998 lebih dari 15
sumur sudah dibor, di antaranya sumur Nglobo Utara –1 dan Alas Dara –1
yang sudah menghasilkan minyak mentah. Dari sinilah kisruh awal
penguasaan Blok Cepu menjadi rancu sehingga hak negara dan hak Pertamina
semakin jauh untuk menguasai ladang minyak yang besar itu. Indikasi muncul
pada saat PT Humpuss telah menjual barang yang bukan haknya kepada pihak
lain yaitu pihak Mobil Oil.
Kerja sama TAC di tangan PT Humpuss pada dasarnya adalah hak
pengelolaan yang tidak bisa dialihkan kepada pihak lain, dengan kata lain
apabila masa kontrak selesai, hak harus kembali kepada Pertamina sebagai
Pemiliknya. Jadi pemindahan hak dari tangan Humpuss kepada pihak lain
adalah pelanggaran hukum dan pada saat itilah Blok Cepu telah menjadi
barang haram atau barang tadahan. Tepatnya Humpuss dan Exxon Mobil telah
melakukan praktek illgal dan posisinya sebenarnya sangat lemah.
Tahun 1996 bulan Mei, Humpuss melepas 49 % sahamnya ke
Ampolex Cepu Ltd, perusahaan Australia, Desember 1996 , Mobil Oil
membeli Ampolex dan pada pertengahan 1997, Mobil Oil mengambil alih
28
seluruh saham-saham Ampolex Cepu Ltd, Desember 1999, Exxon
Corporation melakukan merger dengan Mobil Oil dan menjadi Exxon Mobil
Oil, berpusat di Irving, Texas Amerika Serikat. Ketika Exxon Mobil Oil
menjadi perusahaan minyak raksasa, pada saat yang sama, sedang mengambil
alih saham-saham Humpus yang tersisa di TAC Blok Cepu
Pada 29 Juni 2000, Mobil Cepu Ltd (MCL), anak perusahaan yang
dibentuk Exxon Mobil Oil untuk menjadi operator lapangan Blok Cepu,
mengambil alih pengoperasian dan 51 persen sisa saham TAC Cepu dari
Humpuss Patra Gas dan mulai saat inilah Exxon Mobil Oil memiliki 100
persen saham TAC Blok Cepus. Tidak lama setelah akuisisi saham tersebut,
pada tahun itu juga Exxon Mobil Oil melakukan ekplorasi seismik di wilayah
Blok Cepu.
Kenyataan lapangan membuktikan bahwa potensi migas Blok Cepu
sudah diketahui lebih dari 100 tahun yang lampau. Karena kelemahan dan
kenaifan kita bersama dengan besarnya KKN, maka penguasaan pada tambang
strategis lepas begitu saja sehingga rakyat banyak dirugikan, sehingga pabrik-
pabrik pupuk, industri kekurangan gas dan dampaknya harga pupuk sangat
tinggi hampir tidak terbeli oleh petani dan sebagainya.
TAC (teknical assistence contract) Humpuss mengoptimalkan
lapangan migas tua dengan mendapatkan bagian lebih besar (30 berbanding
70) dan telah melakukan penyimpangan dengan mengekplorasi tambang baru
yaitu dengan PSC (production sharing contract), dengan pembagian
prosentase 20 berbanding 80 atau 15 berbanding 85). (Jawa Pos 27 Pebruari
2006).
29
2. Jalannya Kontrak
Telah diketahui bersama bahwa negosiasi antara pemerintah dengan
Exxon Mobil Oil, berjalan sangat alot, Tim pemerintah yang dipimpin oleh
Martiono Hadianto dinilai sangat lemah, sedangkan tim Exxon Mobil Oil
yang dipimpin oleh Greenlee dan dengan dukungan pemerintah Amerika
Serikat sangat gigih mempertahankan memimpin Blok Cepu. Dengan
disaksikan oleh Menko Perekonomian Aburizal Bakri dalam pertemuan awal
dan dalam situasi informal telah ditandatangani ”perjanjian prinsip”
pengelolaan Blok Cepu. Kedua belah pihak menyepakati pola konbinasi
(adjusted split) yang merupakan gabungan antara pola bagi hasil dan
participating interest dengan bagian yang akan diperoleh Exxon Mobil Oil
antara 6,75 % - 13,5 % tergantung pada harga minyak dunia dan ini
merupakan pola yang tidak lazim digunakan di Indonesia selama ini.
(Pemerintah dinilai terlalu lemah dalam memperjuangkan kepentingan
nasional.)
Dokumen kementerian BUMN, bahwa JOA (Joint Operating
Agreement) seharusnya diteken pada bulan Juni 2006, mengapa diteken
bersama-sama dengan kedatangan Cony (Condoleezza Rice) pada tanggal 15
Maret 2006, apa urgensinya. Untuk menservice Menteri Luar Negeri tersebut.
Kebohongan publik yang telah dilakukan pemerintah yaitu pernyataan
bahwa kerja sama tersebut dilakukan dengan prinsip “business to business”.
Dari dokumen tersebut, juga terungkap bahwa tim negosiasi telah melakukan
22 kali pertemuan yang beberapa kali diantaranya dengan Menko
30
Perekonomian Aburizal Bakrie dan beberapa kali dengan Presiden dan Wakil
Presiden.
Terlepas dari segala macam kejanggalan tersebut di atas, Exxon Mobil
Oil Indonesia (EMOI), akhirnya jelas sebagai operator pengelolaan Blok
Cepu, yang bakal menanamkan modalnya dengan asumsi pengembangan
minyak di sumur Banyu Urip, dengan hitungan kasar hingga USD 2 Miliar
(hampir 17,8 triliun). Presiden Direktur EMOI Peter Coleman menyatakan
pihaknya saat ini sedang memastikan berapa cadangan gas yang ada di Blok
Cepu. Untuk keperluan tersebut akan dilakukan pengeboran di 2-3 sumur dan
berapa yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sedangkan untuk produksi minyaknya, Peter menyatakan akan segera
mempercepat proses produksinya yang diperkirakan bisa berproduksi pada
akhir 2008, sebelumnya diperkirakan akan molor sampai akhir 2009, yang
dikarenakan terkait berbagai kendala mulai pembebasan tanah hingga belum
disetujuinya Working Program and Budgeting-WP&B.
Menurut Kepala BP Migas Kardaya Warnika, menjelaskan bahwa
percepatan ekplorasi Blok Cepu pada akhir tahun 2008 merupakan jangka
waktu yang realistis, yaitu dengan menggunakan asumsi pipa Petro China.
Produksi minyak pada akhir 2008 diperkirakan baru mencapai 15 ribu barel
per hari, sedangkan produksi puncaknya diprediksi 165 -168 ribu barel per
hari, baru bisa terealisasi pada akhir 2010.
3. Reorientasi Prinsip-Prinsip Hukum
a. Prinsip Hak Menguasai Negara Untuk Kemakmuran Rakyat
31
Menurut Joseph E. Styiglitz peraih Nobel Ekonomi bahwa
nasionalisasi Ekplorasi Migas, lebih menguntungkan negara, maka beliau
menyarankan bahwa, agar ekplorasi minyak dan gas bumi di Indonesia
seharusnya dikerjakan sendiri oleh perusahaan milik pemerintah. Karena
akan mendatangkan keuntungan yang lebih banyak dibandingkan dengan
melibatkan swasta dalam negeri apalagi perusahaan asing. Beberapa
negara seperti Malaysia, Brasil, Cile, dan Norwegia, telah menunjukan
bahwa pemerintah atau perusahaannya dapat menjalankan sama seperti
yang dilakukan oleh perusahaan swasta atau asing, dan secara umum
hasilnya banyak mendatangkan keuntungan bagi negara.
Menurut Styiglitz dalam banyak kasus di beberapa negara,
keterlibatan swasta dan atau asing dalam sektor migas justru merugikan
negara, oleh karena itu bagi negara yang sudah terlanjur, dia menyarankan
dilakukan negosiasi ulang, “kontrak kerja sama minyak gas” seperti yang
telah dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, telah menunjukan
negosiasi ulang dan mampu merubah perjanjian menjadi lebih baik.
Penulis buku yang berjudul “ Making Globalization Work ” ,
menjelaskan bahwa kerjasama ekplorasi dengan swasta sebenarnya bukan
masalah asal menguntungkan negara. Namun dalam pengamatannya,
banyak perjanjian kontrak kerja sama dengan perusahaan asing di berbagai
negara berkembang, hanya memberi keuntungan yang sedikit atau bahkan
merugikan negara tersebut. Ditegaskan bahwa dalam banyak kasus negara
hanya memperoleh keuntungan yang lebih kecil.
32
Menurut Kurtubi, pengamat perminyakan, mengamini atau
menyetujui semua pernyataan Styiglitz, bahkan yang terjadi di Indonesia,
keterlibatan asing dengan model kontrak karya sangat merugikan negara,
seperti pada pertambangan umum, emas, dan tembaga oleh Freeport di
Papua dan Newmont di Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan karena,
perjanjian tersebut masih warisan penjajah sehingga menghisap kekayaan
negara. Namun untuk pertambangan migas, tidak separah yang yang
terjadi di pertambangan umum sebagaimana yang dijelaskan oleh
Styiglitz. Namun bukan berarti tidak terjadi kerugian, karena model
kontraktor bagi hasil ( production sharing contract) yang digunakan dalam
perjanjian ekplorasi migas dengan swasta asing di Indosesia pada saat ini,
sangat rawan penyimpangan. Pada awalnya production sharing contract
(KPS), akan memindahkan resiko dan biaya dari negara kepada
kontraktor, namun karena pengawasan yang buruk, akhirnya akan menjadi
beban negara. Atas alasan tersebut, akan dilakukan negosiasi ulang, dan
merupakan jalan yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk
mendapatkan keuntungan. Mernurut Kartubi, terutama akan memperjelas
“item biaya ekplorasi (cost recovery)”dalam perjanjian production sharing
contract (KPS) dan yang lebih membahayakan adalah kolusi antara
pejabat pemerintah dengan kontraktor.
Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Boediono,
menyatakan bahwa kasus-kasus yang dikemukakan Styiglitz, merupakan
hasil pengamatan yang terjadi di banyak negara, namun yang terjadi
dalam perjanjian ekplorasi migas di Indonesia situasinya berbeda dan
33
tentunya kita harus melihat situasi kita sendiri. Tidak ada agenda asing
yang tersembunyi dalam setiap kebijakan ekonomi pemerintah, kebijakan-
kebijakan yang ditempuh murni untuk mencapai sasaran-sasaran ekonomi
yang dinginkan masyarakat Indonesia. Tidak ada anggota tim ekonomi
yang menjual prinsip-prinsip mereka dengan wacana ideologi-ideologi
apapun.( Sindo Rabu, 15 Agustus 2007).
Kontrak Karya pengelolaan Blok Cepu akhirnya juga mendapatkan
kritik dari Gerakan Rakyat Penyelamat Blok Cepu (GRPBC); Amein Rais,
Try Sutrisno, Wiranto dan Marwah Daud Ibrahim (Ketua Presidium ICMI)
dan Marwan Batubara, Drajad H. Wibowo (DPR RI/Pan) Alvin Lie
(DPRRI /Pan) Ismet Hasan Putro (Masyarakat Provesional Madani) dan
Candra Wijaya (Pengusaha) “Ketika General Menager (GM) diserahkan
kepada Exxon Mobil Oil, kita telah memilih menjadi pelayan”.
Dalam kritiknya salah satu kesalahan dalam kontrak Blok Cepu
oleh Exxon Mobil Oil adalah :
1. Pengalihan kontrak dari TAC (Technical Asistence Contract) menjadi
PSC (Production Sharing Contract) dalam kontrak kerjasama yang
diteken pada tanggal 17 September 2005;
2. Melaporkan Pemda Bojonegoro, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan
Usaha) yang telah menunjuk rekanan tanpa melalui mekanisme tender.
Drajad H. Wibowo dari Komisi XI DPR RI telah mengkritisi
operator asing dalam perjanjian bagi hasil pengelolaan migas, bagi hasil
besar belum tentu mengguntungkan karena dihitung setelah cost recovery
34
dikeluarkan. Artinya setelah dipotong dengan berbagai pengeluaran dan
biaya yang telah dikeluarkan selama pelaksanaan kontrak.
Indonesia Petrolium Assosiation (IPA), telah membantah adanya
mark up cost recovery, karena prosesnya telah melalui prosedur yang
berlapis-lapis dan telah diaudit oleh BPK dan BPKP. Beaya ekplorasi di
berbagai negara naik, menimbulkan kesenjangan antara kapasitas yang
dimiliki dengan kebutuhan pasar, akibatnya mengakibatkan kenaikan
harga yang signivican misalnya proses seismic, fabrikasi, tarip rig yang
telah naik sampai 300%. (Jawa Pos Rabu 29 Maret 2006).
Menurut Drajad D. Wibowo, landasan kerja yang ada saat ini
adalah tidak syah, ke depan kalau diteruskan, nantinya proses-proses
penyimpangan-penyimpangan akan semakin berpotensi besar. Dengan
kata lain kontrak karya yang diawali dengan ketidak-jujuran dan tidak
adanya transparansi, akan berpotensi banyak menimbulkan berbagai
bentuk penyimpangan.
Pengelolaan Blok Cepu juga dinilai kontra produktip bagi
kelangsungan proyek itu sendiri, meskipun pengelolaan secara bersama-
sama, sebenarnya masih terdapat “resiko pengelolaan yang bias
menyebabkan cadangan minyak 600 juta barel tidak terekplorasi secara
optimal atau belum tentu bisa semuanya keluar, dan resiko ini harus dibagi
antara Pertamina dengan Exxon Mobil Oil” dan hal ini sudah biasa dalam
pengelolaan industri minyak.( Jawa Pos Minggu; 26 Maret 2006).
Dalam kontrak pengelolaan Blok Cepu tersebut, sejumlah anggota
DPR mesara ditelikung oleh Eksekutif, mereka adalah Zainal Arifin,
35
Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismiyatun, Hendarso Hadipartono, dan Bambang
Wuryanto dan dualainnya adalah Drajad Wibowo dan Tjatur Sapto Edy,
mereka meminta Mahkamah Konstitusi mencabut pasal 11 ayat 2 UU
No.22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan menyatakan bahwa
pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Sebagai anggota DPR, mereka merasa kehilangan hak
konstitusional untuk memberikan persetujuan atau menolak memberikan
persetujuan atas perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah di sektor
migas terutama yang dilakukan dengan pihak asing. Dalam ketentuan
pasal tersebut, DPR memang tidak diberi prioritas, pemerintah cq BP
Migas hanya berkewajiban memberitahukan setiap kerja sama yang
ditandatangani secara tertulis kepada DPR, padahal kontrak-kontrak atau
perjanjian tersebut punya nilai sangat besar dan nyata-nyata berdampak
luas bagi kehidupan rakyat.
Dalam pasal 11 ayat 2 UUD 1945, telah diamanatkan bahwa segala
perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi
kepentingan rakyat harus disertai persetujuan DPR. Hal tersebut juga
bertentangan denganpasal 20 A ayat 1 yang menyebutkan bahwa DPR
memiliki fungsi pengawasan termasuk pada kontrak atau perjanjian yang
dilakukan pemerintah. (Sindo, Kamis, 2 Agustus 2007)
b. Prinsip efektif dan efisien.
Indonesia sangat beruntung memiliki Blok Cepu, dengan produksi
optimal yang diperkirakan akan mencapai 160 ribu barel. Namun akhir-
36
akhir ini masyarakat, dihantui kekawatiran yang cukup mendalam bahwa
produksi Blok Cepu akan mengalami molor.
Kekawatiran molornya produksi Blok Cepu, sangat beralasan.
Menurut Kurtubi dalam penjelasannya di Jakarta pada tanggal 2 Oktober
2007, hal ini disebabkan karena, negara akan mengalami kerugian sebesar
Rp 115 milyard per hari. Hitungan tersebut menggunakan asumsi harga
minyak dunia sebesar USD 80 per barel. Fenomena kerugian negara ini,
masih menggunakan hitungan kotor dan masih harus dikurangai biaya-
biaya produksi.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Petrolium Studies (CPS),
bahwa kekawatiran dan dorongan-dorongan produsen itu, masih sangat
normal, hal ini mengingat bahwa harga minyak dunia belum mengalami
tanda-tanda turun. Dengan demikian kalau Blok Cepu molor, yang akan
mengalami kerugian bukan saja masyarakat Bojonegoro, akan tetapi
seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, harus ada inisiatip turun tangan ikut mengatasi hambatan-
hambatan, yang muncul dalam langkah persiapan proses produksi,
terutama masalah pembebasan tanah dan problem lainya yang
mengemuka.
Sebagaimana kita ketahui dan dijelaskan oleh Kurtubi, bahwa
penemuan Blok Cepu sudah berumur 8 (delapan ) tahun, dan sungguh
keterlaluan kalau sampai sekarang belum produksi.
Sebagai hambatan yang cukup menyita waktu, adalah masalah
pembebasan tanah seluas 600 (enam ratus) hektar, yang sekarang banyak
37
disiyalir sudah dikuasai oleh para makelar. Namun menurut M. Santoso
Bupati Bojonegoro, bahwa masalah pembebasan tanah akan dapat
selesesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan atau akan selesai pada awal
tahun depan. Tanah kawasan yang akan dibebaskan tersebut memang
masih dalam betuk petok D, dan ada letter C, namun yang sangat
diharapkan, pada saat ini harus dihindari adanya kemingkinan-
kemungkinan dipindah tangankan atau langkah –langkah sertifikasi akan
tidak menghambat proses pengadaan tanah. (Jawa Pos, 3 Oktober 2007, 8)
Madjedi Hasan (Pengamat Migas mantan vice president Caltex),
menjelaskan bahwa, pengelolaan Blok Cepu bisa berkaca pada langkah
Pertamina untuk mengebor sumur di Trembul di kedalaman 1.300 meter,
namun tidak ada minyak yang keluar. Cadangan minyak itu bias jadi
dalam proses ekplorasi yang ada kemudian menipis, bahkan menghilang
sama sekali, tetapi kalau investasi yang dilakukan berjalan dengan baik,
bukan tidak mungkin cadangan tersebut bertambah.
Keputusan pemerintah untuk memberikan pengelolaan Blok Cepu
secara bersama-sama harus didukung oleh semua pihak, maka dalam
kerangka pengelolaan Blok Cepu ini, langkah yang lebih baik memikirkan
bagaimana mengoptimalkan dan mengawasi pengelolaan Cepu dari pada
memolemikkan dan satu-satunya kesalahan dalam keputusan pemerintah
adalah keterlambatan keputusan tersebut yang seharusnya sudah bisa
dilakukan sejak beberapa tahun lalu dan hasilnya sudah dapat dinikmati
masyarakat. (Jawa Pos 27 Pebruari 2006).
38
c. Prinsip Berkelanjutan
Public Relation Exxon, Diva Rahman, menjelaskan bahwa
kandungan minyak di Blok Cepu diperkirakan mencapai 250 juta barel.
Pada tahun 2010, produksi puncak diperkirakan akan mencapai 165.000
barel per hari. Kontrak Exxon sendiri di wilayah Blok Cepu selama 30
tahun. Selain di Banyu Urip, Jambaran, dan Cendana, sudah ditemukan
lapangan minyak baru , diantaranya Alastuo Barat, Alastuo Timur dan
Kedung Keris yang semuanya di Bojonegoro.
Dia juga menjelaskan sampai saat ini pihaknya masih melakukan
proses negosiasi harga pengadaan tanah seluas 600 hektar untuk untuk
pembangunan Central Processing Facility (CPF) dan uga sosialisasi
pengadaan tanah untuk pembangunan pipa Bojonegoro – Tuban sepanjang
75 Km.
Di samping kegiatan yang telah dijalankan tersebut, tak puas
menguras isi perut bumi Bojonegoro, sampai bulan Oktober 2008, Exxon
juga terus akan melebarkan sayap bisnisnya dengan mencari sumber
kandungan minyak baru dengan melakukan uji seismik di lima kabupaten
lain yang masih masuk dalam Blok Cepu . Adapun lima kabupaten
tersebut adalah; Tuban, Ngawi (Jatim), Rembang, Pati dan Blora (Jateng).
Adapun tujuan dilakukan kegiatan seismik tersebut, adalah untuk mencari
sumber-sumber minyak baru yang bisa dilakukan ekplorasi, selain yang
sudah ada di lapangan Banyuurip, Jambaran, dan Cendana, dan
selanjutnya akan diawali dengan dilakukan sosialisasi. (Sindo Kamis; 20
September 2007).
39
Dari gambaran tersebut, sudah dapat dibayangkan bahwa pada
masa akhir kontrak nati, sangat dimungkinkan cadangan minyak yang
berada di perut Blok Cepu akan habis pula. Maka yang terjadi adalah anak
cucu kita tidak akan dapat ikut merasakan tentang kekayaan, dan kejayaan
dari hasil pengelolaan Blok Cepu.
d. Prinsip Transparansi
Berdasarkan atas penjelasan Venesha salah satu dari anggta tim
Revenue Watch yaitu LSM Internasional yang aktif bergerak di bidang
transparansi anggaran perminyakan, secara jelas menyatakan bahwa;
“sampai saat ini, banyak negara penghasil minyak, masyarakatnya justru
malah miskin, demikian juga yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia”. Pernyataan Venesha tersebut sungguh tidak mengejutkan dan
memang sangat sesuai dengan kenyataan, misalnya penguasaan Migas di
Lohsumawe oleh Mobil Oil, Gas Arun dan lainnya. Kenyataan pahit ini
tentu tidak boleh terulang lagi pada Blok Cepu yang pengelolaannya
secara operasional diserahkan kepada Exxon Mobil Oil. Maka Venesha
sangat menekankan bahwa pengelolaan keuangan Blok Cepu harus jelas
atau kata lain harus memperhatikan dan harus dikembangkan prinsip-
prinsip transparan.
Penawaran penyertaan modal (participating interst - PI) Blok Cepu
sebesar 10 % , masih sering mengalami jalan buntu. Sampai saat ini
menurut Ketua Badan Kerja Sama (BKS) empat BUMN yang terdiri dari
BUMN Bojonegoro, BUMN Propinsi Jatim, BUMN Propinsi Jateng dan
40
BUMN Blora, belum mencapai kata sepakat, tentang berapa besarnya PI
dan siapa leader PI yang ditunjuk. Maka sampai saat ini hanya
mematangkan pertemuan dan belum bisa dilakukan penawaran-penawaran
dan belum ada alternatif-alternatif lain karena penerima PI statusnya
adalah konsorsium yang terdiri dari empat BUMN tersebut.
Berdasarkan hasil kesepakatan sementara, direncanakan bahwa
Kabupaten Bojonegoro nantinya akan mendapatkan anggaran dari hasil
penyertaan modal (participating interst - PI) Blok Cepu sebesar 4,5 %,
kemudian bagi hasil sekitar 6 % dan juga dana community development
(comdev) dari operator yaitu Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI).
Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa masyarakat Bojonegoro
dan Blora punya hak untuk mengetahui keuangan minyak dan gas bumi
(migas) yang terkandung di bumi Bojonegoro dan Blora. Sehubungan
dengan hal tersebut maka semua pihak harus mendorong terciptanya
tranparansi anggaran, agar supaya nantinya mengena pada kesejahteraan
masyarakat miskin. (Penjelasan Venesha (Renue Watch) di Gedung Griya
Dharma Kusuma Bojonegoro, tanggal 27 Mei 2007.)
Semua pihak harus mendorong adanya koalisi masyarakat sipil
untuk menciptakan transparansi dan sebagai salah satu cara untuk
mencapai hal tersebut salah satunya adalah harus dilakukan dengan
pressure, serta membangun koalisi nasional dan internasional.
Transparansi juga harus dilakukan pada proses pengelolaan minyak
gas, diantaranya dimulai dari adanya keputusan kontrak antara pemerintah
(daerah dan pusat) dengan operator migas, pembagian hasil antara
41
perusahaan pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga pengalokasian
anggaran perminyakan tersebut. Maksud dan harapan dari pernyataan ini
adalah bahwa nantinya masyarakat punya hak untuk mengetahui secara
jelas; apa, bagaimana, hak dan kewajibannya.
Direktur Bojonegoro Institute (BI) Joko Purwanto menjelaskan
bahwa, keberadaan Blok Cepu masih menyisakan tanda tanya besar bagi
masyarakat, karena masyarakat tidak pernah tahu apa isi dari
Kesepahaman (MoU) yang telah dibuat antara Pemkab dengan pihak
operator karena semua masih tertutup. Hal ini jelas awal yang tidak baik,
yaitu mulai tidak transparan.
42
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan atas uraian hasil penelitian tersebut dapat disimpulan sebagai
berikut:
(7) Meskipun hanya sebatas operator, penguasaan Blok Cepu oleh Exxon Mobil
Oil, telah meleset dari amanah yang diberikan oleh pasal 33 ayat 3 UUD
1945, yaitu tentang prinsip dasar dan utama yaitu tentang ”hak menguasai
negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;
(8) Jadwal produksi Blok Cepu jelas-jelas akan molor, artinya jauh dari prinsip
efektif dan efisien, dan dalam perkiraan negara akan mengalami kerugian
sebesar Rp 115 milyard per hari, artinya kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia dan rakyat sekitar Blok Cepu akan tertunda, sedangkan Exxon
Mobil Oil sebagai operator tidak akan pernah rugi, karena biaya yang
dikeluakan per hari tetap akan diperhitungkan dengan standart harga
internasional;
(9) Migas adalah sumber daya alam tak terbarui, dengan masa 30 Tahun masa
penguasaan (operator), sangat dimungkinkan pada saat habis masa kontrak
akan habis pula cadangan minyak yang ada di Blok Cepu, maka jelas tidak
ada jaminan adanya prinsip berkelanjutan.
(10) Pada kesepakatan awal Exxon Mobil Oil lahan minta 1000 hektar untuk
pengembangan kawasan produksi Blok Cepu, hal ini akan mengorbankan
lahan produktif dan juga kawasan tuhan produksi, yang sangat rentan terhadap
43
keberlanjutan fungsi lindung atau acaman serius terhadap prinsip berwasasan
lingkungan.
(11) Dari proses awal penemuan Blok Cepu ternyata tidak transparan artinya
Exxon Mobil Oil bukan penemu Blok Cepu yang sesungguhnya, akan tetapi
PT. Humpuss Patra Gas;
(12) Pengambil-alihan 51 % saham PT. Humpuss Patra oleh Exxon Mobil Oil
juga tidak transparan, penuh dengan intrik atau cacat moral.
2. Saran-Saran.
Hendaknya priinsip utama yang telah diatur dalam pasal 33 ayat 2 dan
ayat 3 UUD 1945, harus dijadikan ideologi kerja (working ideology) dalam
pengelolaan Blok Cepu, kemudian segera diikuti dan dikembalikan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang diatur dalam Undang-Undang
tentang Migas (UU No.22 Tahun 2001) dan UU No.32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah.
44
DAFTAR PUSTAKA
Asshofa, Burhan (2001), Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, Rineka
Cipta, Jakarta
Bachriadi, Dianto, (1998), Merana Di Tengah Kelimpahan, ELSAM, Jakarta.
Damanik, Jayadi (2002), Pembaharuan Agaria dan Hak-hak Asasi Manusia,
Merajut Beragam Serpihan Pemikiran, Cetakan I, LAPERA, Yogyakarta.
Fauzi Noer et.al (2000), Otonomi Daerah dan Sengketa Tanah, Pergeseran
Politik di bawah Problem Agaria, Cetakan I, LAPERA, Yogyakarta
---------, (2001), Otonomi Daerah Sumber Daya Alam Lingkungan, cetakan
Pertama, LAPERA, Yogyakarta
Hardjo Soemantri, Koesnadi (1991), Hukum Perlindungan Lingkungan
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta
Harsono, Boedi (1999), Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksananya, Jilid I, Ed revisi,
Cetakan 8, Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta
Koesoemadinata, Prajatna, 2006, Tokoh di Balik Penemuan Blok Cepu (Blok Cepu
Ditemukan Dengan Ide Baru), Jawa Pos;12 Maret 2006.
Launela, Anu dan Zakaria Yando (2002), Berebut Tanah, Beberapa Kajian
Perspektif Kampus dan Kampung, Cetakan Pertama, Insist Press
Munggoro, Dani W, eds, (1999), Menggugat Ekspansi Industri Pertambangan di
Indonesia, Pustaka Latin, Bogor
Pertamina (tt), Perkembangan Industri Perminyakan di Indonesia
Raharjo, Satjipto, (1986), Ilmu Hukum, Citra Adiyta Bakti, Bandung
Simamora, Rudi M, 2000, Hukum Minyak dan Gas Bumi, Djambatan, Jakarta.
Subadi, 2001, Otonomi Daerah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Ancaman Terhadap NKRI, Fak. Hukum Unmer Madiun..
---------, 2002, Hak dan Kewajiban Hukum Masyarakat Lokal Dalam Kontrak-
Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia., Fak. Hukum Unmer
Madiun..
--------, 2003, Kedudukan Hukum Pemerintah Daerah Dalam Kontrak-Kontrak
Karya Pertambangan Dalam Perspektif Otonomi Daerah.
45
---------, 2004, Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Pertambangan
Migas DOH Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.,Jurnal Puslit, Unmer
Madiun
Thalib, Sayuti, 1971, Hukum Pertambangan Indonesia, AGB, Bandung.
Wirosudarmo, Rachman et.al (2000), Agenda Pertambangan Untuk
Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan, Proyek Agenda 21
Sektoral Kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan
UNDP, Jakarta.
Zakie, Mukmin (2000), Kaitan Kuasa Pertambangan Dengan Hak-hak Atas
Tanah Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, Jurnal Hukum UII, No. 13
Vol. 7 April
46
B. DRAF ARTIKEL ILMIAH
ABSTRAK:
Pengelolaan tambang dan migas di Indonesia yang terjadi sejak Orde
Baru sampai sekarang, cenderung tidak dapat mewujudkan kemakmuran
rakyat dan bahkan lebih banyak menguntungkan para Investor asing, dan
sebaliknya masyarakat sekitar tambang masih tetap miskin dan sengsara.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali, membuktikan, dan
mengingatkan bahwa dalam pengelolaan tambang Migas di Blok Cepu, mulai
banyak meninggalkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia.
Prinsip-prinsip hukum tersebut terutama adalah; prinsip menguasai negara
untuk kemakmuran rakyat, efisien, efektif, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, dan tranparansi.
Penelitian hukum normatif yang ditunjang dengan hasil wawancara
mendalam dengan berbagai pihak yang menghayati dan menjiwai masalah
pengelolaan tambang Migas di Blok Cepu, telah dihasilkan beberapa hal
sebagai berikut:
(1) Penguasaan Blok Cepu oleh Exxon Mobil Oil, telah meleset dari amanah
yang diberikan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yaitu tentang prinsip hak
menguasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
(2) Molornya jadwal produksi, jauh dari prinsip efektif dan efisien, dalam
perkiraan negara akan mengalami kerugian sebesar Rp 115 milyard per
hari, artinya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia dan rakyat sekitar Blok
Cepu akan tertunda, sedangkan Exxon Mobil Oil sebagai operator tidak
akan pernah rugi, karena biaya yang dikeluakan per hari tetap akan
diperhitungkan dengan standart harga internasional;
(3) Migas adalah sumber daya alam tak terbarui, dengan masa 30 Tahun masa
penguasaan (operator), sangat dimungkinkan pada saat habis masa kontrak
akan habis pula cadangan minyak yang ada di Blok Cepu, maka jelas tidak
ada jaminan adanya prinsip berkelanjutan;
(4) Penggunaan lahan oleh Exxon Mobil Oil seluas 1000 hektar untuk
pengembangan kawasan produksi Blok Cepu, yang mengorbankan lahan
produktif dan juga kawasan tuhan produksi, sangat rentan terhadap
keberlanjutan fungsi lindung atau acaman serius terhadap prinsip
berwasasan lingkungan;
(5) Dari awal penemuan Blok Cepu ternyata tidak transparan artinya Exxon
Mobil Oil bukan penemu Blok Cepu yang sesungguhnya, akan tetapi PT.
Humpuss Patra Gas;
(6) Pengambil-alihan 51 % saham PT. Humpuss Patra oleh Exxon Mobil Oil
juga tidak transparan, penuh dengan intrik atau cacat moral, dan diduga
keras mengadung cacat hukum.
Kata kunci: Reorientasi, prinsip hukum, pengelolaan, Blok Cepu.
A. LATAR BELAKANG
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam
yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia.
47
Misalnya; kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi yang berupa
endapan-endapan mineral seperti minyak dan gas bumi. Salah satunya adalah
tambang Migas Blok Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro
Jawa Timur, yang terkenal dengan sumur tambang tua .(Sayuti Thalib,
1971:20-2; Prajatna, 2006), pertama kali ditemukan pada akhir abad ke 18
yang pengelolaanya pertama kali dilakukan oleh Bataafsche Petroleum Mij
(BPM) tahun 1890-1940 (Pertamina, tt:17).
Blok Cepu akhir-akhir ini menjadi sangat ramai dibicarakan orang,
baik dari kalangan politikus, pengamat minyak, akademisi, tokoh masyarakat
dan lain-lain yang mengatas-namakan demi kemakmuran rakyat, karena harta
karun milik bangsa Indonesia ini telah diserahkan pengelolaannya kepada
investor asing Exxon Mobil Oil dari Amerika.
Kuasa pertambangan khususnya untuk bahan galian Migas memang
sangat luas cakupannya yaitu meliputi di darat dan di laut yang pada intinya
adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemberian wilayah kuasa
pertambangan yang bersifat sentral cenderung telah menimbulkan terjadinya
tumpang tindih (konflik kepentingan) dalam penggunaan lahan/kawasan dan
masalah lain yang berhubungan dengan masyarakat sekitar/lokal dan
cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat. (Rudi Simamora, 2000:5)
Daftar panjang pengelolaan sumber daya tambang di Indonesia
misalnya tambang emas (ijinnya tembaga) di Timika oleh Freeport, Mobil Oil
Loh Sumawe, PT Gas Arun, dan lain-lain, yang sangat diharapkan dapat
memberikan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat, ternyata hanya
menyisakan kekecewaan, ketidak-adilan, kemiskinan lokal, kerusakan
lingkungan hidup dan menimbulkan kontroversi yang panjang, serta ribuan
pertanyaan yang tidak pernah terjawab. (Subadi, 2002, 7)
Gambaran tersebut di atas telah memberikan pengalaman buruk dan
traumatis bagi masyarakat local dan juga pemerintah daerah, misalnya
beberapa bulan yang lalu Bupati Bojonegoro telah melakukan penutupan jalan
atau akses yang menghubungkan ke proyek ekplorasi Blok Cepu. Pada hari
Senin tanggal 20 Maret 2006 telah terjadi unjuk rasa masal yang melibatkan 4
(empat) desa warga masyarakat yang sebentar lagi tanah miliknya dikuasai
48
oleh Exxon Mobil Oil (bandingkan, Sayuti Thalib, 1972, 20-21) menuntut
kejelasan masalah, pengadaan tanah, bagi hasil, pengelolaan lingkungan
hidup, tranparansi dan lain-lain. Wakil rakyat DPR RI yang ada di Senayan
juga tidak mau ketinggalan sibuk mempersiapkan hak angket dan rasanya
masih terus akan berlanjut dengan gerakan-gerakan lain yang mengarah pada
kritik kebijakan Blok Cepu.
Penelitian ini akan mencoba memaparkan dari sudut pandang
hukumnya yang sampai saat ini belum banyak dilakukan orang dan ini
merupakan bagian yang sangat penting dan segera untuk dilakukan penelitian.
Penelitian ini akan diawali dari hal-hal yang paling dasar dulu yaitu prinsip-
prinsip dasar atau asas-asas hukum yang harus ditaati atau ditegakan dan
kemungkinan telah ditinggalkan/dikesampingkan dalam kontrak karya
pengelolaan sumber daya tambang migas Blok Cepu.
B. RUMUSAN MASALAH
Kontrak-kontrak karya pertambangan di Indonesia yang di awali sejak
tahun 1967 (Freeport) sampai Exxon Mobil Oil di Blok Cepu cenderung hanya
menguntungkan pihak investor asing dan merugikan masyarakat lokal,
pemerintah daerah dan bangsa Indonesia pada umumnya. Ada dugaan kuat
bahwa kontrak-kontrak karya pertambangan tersebut telah meninggalkan atau
dengan sengaja mengesampingkan prinsip-prinsip dasar atau asas-asas hukum
nasional, maka penelitian ini akan menjawab dan/atau membuktikan dugaan
tersebut. Mengesampingkan atau melupakan prinsip-prinsip atau asas-asas
hukum nasional hanya akan mengakibatkan menguntungkan investor asing
dan merugikan bangsa sendiri dan sebaliknya dengan kembali pada prinsip-
prinsip hukum nasional (reorientasi) kita akan berada di pihak yang
diuntungkan.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif yang
dititik beratkan pada study undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
menteri, peraturan tingkat departemen, peraturan daerah, perjanjian/ kontrak
49
karya pertambangan migas ditunjang dengan hasil wawancara dengan
berbagai pihak yang betul-betul menghayati dan menjiwai masalah
pengelolaan tambang Migas di Blok Cepu, Kabupaten Blora dan Kabupaten
Bojonegoro.
Dari kedua data dan imformasi tersebut kemudian diklasifikasikan
untuk diinterprestasikan kemudian, disistematisasi dan dianalisis
menggunakan content analysis atau analisis isi. Dari sini akan ditemukan
prinsip-prinsip atau asas-asas hukum (asas utama, asas umum dan asas
khusus) yang seharusnya ditaati dalam kontrak karya pertambangan migas.
C. PEMBAHASAN
1. Sejarah Pengelolaan Blok Cepu
Menurut R. Prajatna Koesoemadinata seorang advisor atau
penasehat penemuan Blok Cepu, secara garis besar dan terinci menjelaskan
bahwa, Blok Cepu adalah ladang minyak tua yang sudah ditemukan sejak
jaman penjajahan Belanda. Meskipun sudah diketahui sebagai ladang minyak,
namun untuk penemuan terumbu-terumbu minyak yang ada sekarang itu baru
dilakukan pada awal tahun 1990 hingga 1995, yang dilakukan oleh PT.
Humpuss Patra Gas, dan merupakan pemilik konsesi Blok Cepu yang
memiliki beberapa ladang minyak seperti Banyu urip, Cendana dan Alastua.
Blok Cepu ditemukan dengan ide baru, baik menyangkut konsep
maupun teknologinya. Dikatakan baru disebabkan karena langkah-langkah
sebelumnya juga sudah dilakukan oleh Pertamina dan ternyata tidak
menemukan apa-apa. Namun langkah-langkah tersebut harus tetap diakui
bahwa Pertamina telah berjasa, hal ini disebabkan karena Humpuss belajar
dari kegagalan-kegagalan yang telah dialami oleh Pertamina. Jadi penemuan
itu merupakan proses yang panjang, mulai dari ekplorasi, survei seismik
sampai pengeboran. Konsep-konsep lama itu hanya mengambil di lapisan
atasnya saja, dengan ide baru mencari di lapisan di bawahnya dan di situ akan
ditemukan lapangan minyak baru dan ini harus ditunjang dengan teknologi
yang baru yaitu teknologi yang up to date. Setelah dilakukan survei mutakhir
50
hingga kedalaman 1200 meter, baru ditemukan terumbu-terumbu baru
tersebut.
Gambar-gambar terumbu inilah yang menjadi primadona dan kami
tawarkan kepada pihak asing. Ada 8 (delapan) yang berminat, namun hanya
ingin mengambil alih operatorship, mulai Total, Unocal, Shell dan Ampolex
yang akhirnya kami ajak kerjasama, dan Mobil Oil tidak berminat. Ampolex
tidak memaksakan kehendak untuk menjadi operatorship tetapi mereka minta
untuk menempatkan 2 (dua) orang yakni vice president exploration dan chief
geologisti dalam tim ekplorasi kami lakukan antara tahun 1996 – 1997 dan
pengeboran dimulai pada tahun 1998.
Waktu itu faktor perubahan politik reformasi di pusat (Jakarta) sangat
berpengaruh, tahu-tahu yang menguasai pengeboran akhirnya orang-orang
Mobil Oil padahal operatorshipnya Humpuss Patra Gas, yang memiliki saham
51 %. pengeboran pertama minyak Banyuurip -1 sudah keluar, inti
pengeboran dilihat, tekanan ditentukan, contoh minyak juga sudah keluar
hanya belum di tes berapa laju produksi per hari, belum ditentukan karena
keadaan sedang reformasi dan orang Mobil Oil memanfaatkanya dengan
merahasiakan semuanya dan tidak mengumumkan kepada Pertamina, dan
menunda pengeboran dengan alasan ada gas H 2 S, karena pada saat itu
operatorship masih Humpuss Patra Gas, maka kewenangan operatorship akan
menjadi milik Humpuss bukan mereka dari Mobil Oil. Padahal pengeboran itu
akan dilanjutkan menunggu pengalihan saham yang 51 % tersebut.
Baru setelah Mobil Oil mengambil alih seluruh participating interst
Humpuss Patra Gas hingga 100% pengelolaan dimiliki, mereka melanjutkan
pengeboran sekitar 300 sampai 400 meter dan melakukan test dan
mengumumkan bahwa Exxon Mobil Oil sebagai penemu seismic 3D dan
memiliki 100% kewenangan atas Blok Cepu dan melupakan menemuan
seismik 2D dan temuan-temuan yang dilakukan Humpuss Patra Gas.
Secara legalitas pengalihan konsesi seperti menjual Humpuss Patra
Gas hingga seratus persen, yang menjadi persoalan pengalihan participating
hingga 49 persen membutuhkan persetujuan Pertamina dan Menteri
51
Pertambangan (Ginandjar Kartasasmita waktu itu) dan nyatanya juga sudah
mereka dapatkan.
Satu hal yang menarik adalah saat menemuan minyak oleh Humpuss
Patra Gas, sudah dilaporkan kepada Pertamina, namun sebagai pengawas
yakni Badan Pembinaan Pengusaha Kontraktor Asing (BPPKA) ternyata diam
saja. Sedangkan pejabat Pertamina sudah mendapat laporan tentang penemuan
oleh Humpuss, justru pihak yang melaporkan terus dipindah tugaskan ke BP
Migas. Dengan kata lain dari argumen tersebut, secara yuridis formal maka
Mobil Oil dinyatakan sebagai penemu dengan segala intriknya.
Pendapat lainnya yitu menurut pandangan Amein Rais Blok Cepu
termasuk yang ditengarai mengandung sisi historis kolusi sehingga harus
diperiksa oleh pemerintah sendiri dan jika perlu masuk kasus hukum dan
politik.
Pada tahun 1987, berdasar SK Menteri Pertambangan dan Energi
No.0177/K/1987 tanggal 5 Maret 1987, wilayah kuasa pertambangan (WKP)
mencakup kawasan seluas 973 km persegi. Semula dikelola oleh PT Migas,
kemudian diserahkan kepada Pertamina UEP III Lapangan Cepu. Setelah
Pertamina melakukan berbagai macam survei, penyiapan lahan dan siap
melaksanakan pengeboran, pada April 1990, pengelolaan Blok Cepu diambil
alih PT Humpus Putra Gas dengan penandatanganan technical assistence
contract (TAC) untuk masa 20 tahun (1990 – 2010).
Humpuss Patra Gas, kemudian melakukan survei seismik 2 D sehingga
dapat diidentifikasi 29 prospek migas. Terindentifikasi dua jenis prospek
untuk yang dangkal ditangani sendiri dan prospek target migas yang dalam
(reservoir gamping Kujung reef) akan dikerjasamakan dengan pihak lain.
Struktur Banyu Urip memiliki potensi minyak minimum 235 MMBO
dan gas belasan TCF (Koesoemadinata, 2005). Hingga 1998 lebih dari 15
sumur sudah dibor, di antaranya sumur Nglobo Utara –1 dan Alas Dara –1
yang sudah menghasilkan minyak mentah. Dari sinilah kisruh awal
penguasaan Blok Cepu menjadi rancu sehingga hak negara dan hak Pertamina
semakin jauh untuk menguasai ladang minyak yang besar itu. Indikasi muncul
52
pada saat PT Humpuss telah menjual barang yang bukan haknya kepada pihak
lain yaitu pihak Mobil Oil.
Kerja sama TAC di tangan PT Humpuss pada dasarnya adalah hak
pengelolaan yang tidak bisa dialihkan kepada pihak lain, dengan kata lain
apabila masa kontrak selesai, hak harus kembali kepada Pertamina sebagai
Pemiliknya. Jadi pemindahan hak dari tangan Humpuss kepada pihak lain
adalah pelanggaran hukum dan pada saat itilah Blok Cepu telah menjadi
barang haram atau barang tadahan. Tepatnya Humpuss dan Exxon Mobil telah
melakukan praktek illgal dan posisinya sebenarnya sangat lemah.
Tahun 1996 bulan Mei, Humpuss melepas 49 % sahamnya ke
Ampolex Cepu Ltd, perusahaan Australia, Desember 1996 , Mobil Oil
membeli Ampolex dan pada pertengahan 1997, Mobil Oil mengambil alih
seluruh saham-saham Ampolex Cepu Ltd, Desember 1999, Exxon
Corporation melakukan merger dengan Mobil Oil dan menjadi Exxon Mobil
Oil, berpusat di Irving, Texas Amerika Serikat. Ketika Exxon Mobil Oil
menjadi perusahaan minyak raksasa, pada saat yang sama, sedang mengambil
alih saham-saham Humpus yang tersisa di TAC Blok Cepu
Pada 29 Juni 2000, Mobil Cepu Ltd (MCL), anak perusahaan yang
dibentuk Exxon Mobil Oil untuk menjadi operator lapangan Blok Cepu,
mengambil alih pengoperasian dan 51 persen sisa saham TAC Cepu dari
Humpuss Patra Gas dan mulai saat inilah Exxon Mobil Oil memiliki 100
persen saham TAC Blok Cepus. Tidak lama setelah akuisisi saham tersebut,
pada tahun itu juga Exxon Mobil Oil melakukan ekplorasi seismik di wilayah
Blok Cepu.
Kenyataan lapangan membuktikan bahwa potensi migas Blok Cepu
sudah diketahui lebih dari 100 tahun yang lampau. Karena kelemahan dan
kenaifan kita bersama dengan besarnya KKN, maka penguasaan pada tambang
strategis lepas begitu saja sehingga rakyat banyak dirugikan, sehingga pabrik-
pabrik pupuk, industri kekurangan gas dan dampaknya harga pupuk sangat
tinggi hampir tidak terbeli oleh petani dan sebagainya.
TAC (teknical assistence contract) Humpuss mengoptimalkan
lapangan migas tua dengan mendapatkan bagian lebih besar (30 berbanding
53
70) dan telah melakukan penyimpangan dengan mengekplorasi tambang baru
yaitu dengan PSC (production sharing contract), dengan pembagian
prosentase 20 berbanding 80 atau 15 berbanding 85). (Jawa Pos 27 Pebruari
2006).
2. Jalannya Kontrak
Telah diketahui bersama bahwa negosiasi antara pemerintah dengan
Exxon Mobil Oil, berjalan sangat alot, Tim pemerintah yang dipimpin oleh
Martiono Hadianto dinilai sangat lemah, sedangkan tim Exxon Mobil Oil
yang dipimpin oleh Greenlee dan dengan dukungan pemerintah Amerika
Serikat sangat gigih mempertahankan memimpin Blok Cepu. Dengan
disaksikan oleh Menko Perekonomian Aburizal Bakri dalam pertemuan awal
dan dalam situasi informal telah ditandatangani ”perjanjian prinsip”
pengelolaan Blok Cepu. Kedua belah pihak menyepakati pola konbinasi
(adjusted split) yang merupakan gabungan antara pola bagi hasil dan
participating interest dengan bagian yang akan diperoleh Exxon Mobil Oil
antara 6,75 % - 13,5 % tergantung pada harga minyak dunia dan ini
merupakan pola yang tidak lazim digunakan di Indonesia selama ini.
(Pemerintah dinilai terlalu lemah dalam memperjuangkan kepentingan
nasional.)
Dokumen kementerian BUMN, bahwa JOA (Joint Operating
Agreement) seharusnya diteken pada bulan Juni 2006, mengapa diteken
bersama-sama dengan kedatangan Cony (Condoleezza Rice) pada tanggal 15
Maret 2006, apa urgensinya. Untuk menservice Menteri Luar Negeri tersebut.
Kebohongan publik yang telah dilakukan pemerintah yaitu pernyataan
bahwa kerja sama tersebut dilakukan dengan prinsip “business to business”.
Dari dokumen tersebut, juga terungkap bahwa tim negosiasi telah melakukan
22 kali pertemuan yang beberapa kali diantaranya dengan Menko
Perekonomian Aburizal Bakrie dan beberapa kali dengan Presiden dan Wakil
Presiden.
Terlepas dari segala macam kejanggalan tersebut di atas, Exxon Mobil
Oil Indonesia (EMOI), akhirnya jelas sebagai operator pengelolaan Blok
54
Cepu, yang bakal menanamkan modalnya dengan asumsi pengembangan
minyak di sumur Banyu Urip, dengan hitungan kasar hingga USD 2 Miliar
(hampir 17,8 triliun). Presiden Direktur EMOI Peter Coleman menyatakan
pihaknya saat ini sedang memastikan berapa cadangan gas yang ada di Blok
Cepu. Untuk keperluan tersebut akan dilakukan pengeboran di 2-3 sumur dan
berapa yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sedangkan untuk produksi minyaknya, Peter menyatakan akan segera
mempercepat proses produksinya yang diperkirakan bisa berproduksi pada
akhir 2008, sebelumnya diperkirakan akan molor sampai akhir 2009, yang
dikarenakan terkait berbagai kendala mulai pembebasan tanah hingga belum
disetujuinya Working Program and Budgeting-WP&B.
Menurut Kepala BP Migas Kardaya Warnika, menjelaskan bahwa
percepatan ekplorasi Blok Cepu pada akhir tahun 2008 merupakan jangka
waktu yang realistis, yaitu dengan menggunakan asumsi pipa Petro China.
Produksi minyak pada akhir 2008 diperkirakan baru mencapai 15 ribu barel
per hari, sedangkan produksi puncaknya diprediksi 165 -168 ribu barel per
hari, baru bisa terealisasi pada akhir 2010.
3. Reorientasi Prinsip-Prinsip Hukum
Dalam masalah pengelolaan tambang migas sesungguhnya cukup
banyak dikenal adanya prinsip-prinsip hukum yang diatur dalam berbagai
undang-undang yang relevan dengan masalah pengelolaan tambang migas.
Namun dalam penelitian ini rasanya, cukup menampilan beberapa prinsip
yang mendasar yang sampai pada perkembangan awal pengelolaan migas di,
Blok Cepu ini, yang dianggap perlu mendapatkan perhatian khusus. Prinsip-
prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Hak Menguasai Negara Untuk Kemakmuran Rakyat
Menurut Joseph E. Styiglitz peraih Nobel Ekonomi bahwa
nasionalisasi Ekplorasi Migas, lebih menguntungkan negara, maka beliau
menyarankan bahwa, agar ekplorasi minyak dan gas bumi di Indonesia
seharusnya dikerjakan sendiri oleh perusahaan milik pemerintah. Karena
akan mendatangkan keuntungan yang lebih banyak dibandingkan dengan
55
melibatkan swasta dalam negeri apalagi perusahaan asing. Beberapa
negara seperti Malaysia, Brasil, Cile, dan Norwegia, telah menunjukan
bahwa pemerintah atau perusahaannya dapat menjalankan sama seperti
yang dilakukan oleh perusahaan swasta atau asing, dan secara umum
hasilnya banyak mendatangkan keuntungan bagi negara.
Menurut Styiglitz dalam banyak kasus di beberapa negara,
keterlibatan swasta dan atau asing dalam sektor migas justru merugikan
negara, oleh karena itu bagi negara yang sudah terlanjur, dia menyarankan
dilakukan negosiasi ulang, “kontrak kerja sama minyak gas” seperti yang
telah dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, telah menunjukan
negosiasi ulang dan mampu merubah perjanjian menjadi lebih baik.
Penulis buku yang berjudul “ Making Globalization Work ” ,
menjelaskan bahwa kerjasam ekplorasi dengan swasta sebenarnya bukan
masalah asal menguntungkan negara. Namun dalam pengamatannya,
banyak perjanjian kontrak kerja sama dengan perusahaan asing di berbagai
negara berkembang, hanya memberi keuntungan yang sedikit atau bahkan
merugikan negara tersebut. Ditegaskan bahwa dalam banyak kasus negara
hanya memperoleh keuntungan yang lebih kecil.
Menurut Kurtubi, pengamat perminyakan, mengamini atau
menyetujui semua pernyataan Styiglitz, bahkan yang terjadi di Indonesia,
keterlibatan asing dengan model kontrak karya sangat merugikan negara,
seperti pada pertambangan umum, emas, dan tembaga oleh Freeport di
Papua dan Newmont di Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan karena,
perjanjian tersebut masih warisan penjajah sehingga menghisap kekayaan
negara. Namun untuk pertambangan migas, tidak separah yang yang
terjadi di pertambangan umum sebagaimana yang dijelaskan oleh
Styiglitz. Namun bukan berarti tidak terjadi kerugian, karena model
kontraktor bagi hasil ( production sharing contract) yang digunakan dalam
perjanjian ekplorasi migas dengan swasta asing di Indosesia pada saat ini,
sangat rawan penyimpangan. Pada awalnya production sharing contract
(KPS), akan memindahkan resiko dan biaya dari negara kepada
kontraktor, namun karena pengawasan yang buruk, akhirnya akan menjadi
56
beban negara. Atas alasan tersebut, akan dilakukan negosiasi ulang, dan
merupakan jalan yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk
mendapatkan keuntungan. Mernurut Kartubi, terutama akan memperjelas
“item biaya ekplorasi (cost recovery)”dalam perjanjian production sharing
contract (KPS) dan yang lebih membahayakan adalah kolusi antara
pejabat pemerintah dengan kontraktor.
Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Boediono,
menyatakan bahwa kasus-kasus yang dikemukakan Styiglitz, merupakan
hasil pengamatan yang terjadi di banyak negara, namun yang terjadi
dalam perjanjian ekplorasi migas di Indonesia situasinya berbeda dan
tentunya kita harus melihat situasi kita sendiri. Tidak ada agenda asing
yang tersembunyi dalam setiap kebijakan ekonomi pemerintah, kebijakan-
kebijakan yang ditempuh murni untuk mencapai sasaran-sasaran ekonomi
yang dinginkan masyarakat Indonesia. Tidak ada anggota tim ekonomi
yang menjual prinsip-prinsip mereka dengan wacana ideologi-ideologi
apapun.( Sindo Rabu, 15 Agustus 2007).
Kontrak Karya pengelolaan Blok Cepu akhirnya juga mendapatkan
kritik dari Gerakan Rakyat Penyelamat Blok Cepu (GRPBC); Amein Rais,
Try Sutrisno, Wiranto dan Marwah Daud Ibrahim (Ketua Presidium ICMI)
dan Marwan Batubara, Drajad H. Wibowo (DPR RI/Pan) Alvin Lie
(DPRRI /Pan) Ismet Hasan Putro (Masyarakat Provesional Madani) dan
Candra Wijaya (Pengusaha) “Ketika General Menager (GM) diserahkan
kepada Exxon Mobil Oil, kita telah memilih menjadi pelayan”.
Dalam kritiknya salah satu kesalahan dalam kontrak Blok Cepu
oleh Exxon Mobil Oil adalah :
1. Pengalihan kontrak dari TAC (Technical Asistence Contract) menjadi
PSC (Production Sharing Contract) dalam kontrak kerjasama yang
diteken pada tanggal 17 September 2005;
3. Melaporkan Pemda Bojonegoro, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan
Usaha) yang telah menunjuk rekanan tanpa melalui mekanisme tender.
Drajad H. Wibowo dari Komisi XI DPR RI telah mengkritisi
operator asing dalam perjanjian bagi hasil pengelolaan migas, bagi hasil
57
besar belum tentu mengguntungkan karena dihitung setelah cost recovery
dikeluarkan. Artinya setelah dipotong dengan berbagai pengeluaran dan
biaya yang telah dikeluarkan selama pelaksanaan kontrak.
Indonesia Petrolium Assosiation (IPA), telah membantah adanya
mark up cost recovery, karena prosesnya telah melalui prosedur yang
berlapis-lapis dan telah diaudit oleh BPK dan BPKP. Beaya ekplorasi di
berbagai negara naik, menimbulkan kesenjangan antara kapasitas yang
dimiliki dengan kebutuhan pasar, akibatnya mengakibatkan kenaikan
harga yang signivican misalnya proses seismic, fabrikasi, tarip rig yang
telah naik sampai 300%. (Jawa Pos Rabu 29 Maret 2006).
Menurut Drajad D. Wibowo, landasan kerja yang ada saat ini
adalah tidak syah, ke depan kalau diteruskan, nantinya proses-proses
penyimpangan-penyimpangan akan semakin berpotensi besar. Dengan
kata lain kontrak karya yang diawali dengan ketidak-jujuran dan tidak
adanya transparansi, akan berpotensi banyak menimbulkan berbagai
bentuk penyimpangan.
Pengelolaan Blok Cepu juga dinilai kontra produktip bagi
kelangsungan proyek itu sendiri, meskipun pengelolaan secara bersama-
sama, sebenarnya masih terdapat “resiko pengelolaan yang bias
menyebabkan cadangan minyak 600 juta barel tidak terekplorasi secara
optimal atau belum tentu bisa semuanya keluar, dan resiko ini harus dibagi
antara Pertamina dengan Exxon Mobil Oil” dan hal ini sudah biasa dalam
pengelolaan industri minyak.( Jawa Pos Minggu; 26 Maret 2006).
Dalam kontrak pengelolaan Blok Cepu tersebut, sejumlah anggota
DPR mesara ditelikung oleh Eksekutif, mereka adalah Zainal Arifin,
Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismiyatun, Hendarso Hadipartono, dan Bambang
Wuryanto dan dualainnya adalah Drajad Wibowo dan Tjatur Sapto Edy,
mereka meminta Mahkamah Konstitusi mencabut pasal 11 ayat 2 UU
No.22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan menyatakan bahwa
pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Sebagai anggota DPR, mereka merasa kehilangan hak
konstitusional untuk memberikan persetujuan atau menolak memberikan
58
persetujuan atas perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah di sektor
migas terutama yang dilakukan dengan pihak asing. Dalam ketentuan
pasal tersebut, DPR memang tidak diberi prioritas, pemerintah cq BP
Migas hanya berkewajiban memberitahukan setiap kerja sama yang
ditandatangani secara tertulis kepada DPR, padahal kontrak-kontrak atau
perjanjian tersebut punya nilai sangat besar dan nyata-nyata berdampak
luas bagi kehidupan rakyat.
Dalam pasal 11 ayat 2 UUD 1945, telah diamanatkan bahwa segala
perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi
kepentingan rakyat harus disertai persetujuan DPR. Hal tersebut juga
bertentangan denganpasal 20 A ayat 1 yang menyebutkan bahwa DPR
memiliki fungsi pengawasan termasuk pada kontrak atau perjanjian yang
dilakukan pemerintah. (Sindo, Kamis, 2 Agustus 2007)
b. Prinsip efektif dan efisien.
Indonesia sangat beruntung memiliki Blok Cepu, dengan produksi
optimal yang diperkirakan akan mencapai 160 ribu barel. Namun akhir-
akhir ini masyarakat, dihantui kekawatiran yangcukup mendalam bahwa
produksi Blok Cepu akan mengalami molor.
Kekawatiran molornya produksi Blok Cepu, sangat beralasan.
Menurut Kurtubi dalam penjelasannya di Jakarta pada tanggal 2 Oktober
2007, hal ini disebabkan karena, negara akan mengalami kerugian sebesar
Rp 115 milyard per hari. Hitungan tersebut menggunakan asumsi harga
minyak dunia sebesar USD 80 per barel. Fenomena kerugian negara ini,
masih menggunakan hitungan kotor dan masih harus dikurangai biaya-
biaya produksi.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Petrolium Studies (CPS),
bahwa kekawatiran dan dorongan-dorongan produsen itu, masih sangat
normal, hal ini mengingat bahwa harga minyak dunia belum mengalami
tanda-tanda turun. Dengan demikian kalau Blok Cepu molor, yang akan
mengalami kerugian bukan saja masyarakat Bojonegoro, akan tetapi
seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
59
Daerah, harus ada inisiatip turun tangan ikut mengatasi hambatan-
hambatan, yang muncul dalam langkah persiapan proses produksi,
terutama masalah pembebasan tanah dan problem lainya yang
mengemuka.
Sebagaimana kita ketahui dan dijelaskan oleh Kurtubi, bahwa
penemuan Blok Cepu sudah berumur 8 (delapan ) tahun, dan sungguh
keterlaluan kalau sampai sekarang belum produksi.
Sebagai hambatan yang cukup menyita waktu, adalah masalah
pembebasan tanah seluas 600 (enam ratus) hektar, yang sekarang banyak
disiyalir sudah dikuasai oleh para makelar. Namun menurut M. Santoso
Bupati Bojonegoro, bahwa masalah pembebasan tanah akan dapat
selesesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan atau akan selesai pada awal
tahun depan. Tanah kawasan yang akan dibebaskan tersebut memang
masih dalam betuk petok D, dan ada letter C, namun yang sangat
diharapkan, pada saat ini harus dihindari adanya kemingkinan-
kemungkinan dipindah tangankan atau langkah –langkah sertifikasi akan
tidak menghambat proses pengadaan tanah. (Jawa Pos, 3 Oktober 2007, 8)
Madjedi Hasan (Pengamat Migas mantan vice president Caltex),
menjelaskan bahwa, pengelolaan Blok Cepu bisa berkaca pada langkah
Pertamina untuk mengebor sumur di Trembul di kedalaman 1.300 meter,
namun tidak ada minyak yang keluar. Cadangan minyak itu bias jadi
dalam proses ekplorasi yang ada kemudian menipis, bahkan menghilang
sama sekali, tetapi kalau investasi yang dilakukan berjalan dengan baik,
bukan tidak mungkin cadangan tersebut bertambah.
Keputusan pemerintah untuk memberikan pengelolaan Blok Cepu
secara bersama-sama harus didukung semua pihak, lebih baik memikirkan
bagaimana mengoptimalkan dan mengawasi pengelolaan Cepu dari pada
memolemikkan dan satu-satunya kesalahan dalam keputusan pemerintah
adalah keterlambatan keputusan tersebut yang seharusnya sudah bisa
dilakukan sejak beberapa tahun lalu dan hasilnya sudah dapat dinikmati
masyarakat. (Jawa Pos 27 Pebruari 2006).
60
c. Prinsip Berkelanjutan
Public Relation Exxon, Diva Rahman, menjelaskan bahwa
kandungan minyak di Blok Cepu diperkirakan mencapai 250 juta barel.
Pada tahun 2010, produksi puncak diperkirakan akan mencapai 165.000
barel per hari. Kontrak Exxon sendiri di wilayah Blok Cepu selama 30
tahun. Selain di Banyu Urip, Jambaran, dan Cendana, sudah ditemukan
lapangan minyak baru , diantaranya Alastuo Barat, Alastuo Timur dan
Kedung Keris yang semuanya di Bojonegoro.
Dia juga menjelaskan sampai saat ini pihaknya masih melakukan
proses negosiasi harga pengadaan tanah seluas 600 hektar untuk untuk
pembangunan Central Processing Facility (CPF) dan uga sosialisasi
pengadaan tanah untuk pembangunan pipa Bojonegoro – Tuban sepanjang
75 Km.
Di samping kegiatan yang telah dijalankan tersebut, tak puas
menguras isi perut bumi Bojonegoro, sampai bulan Oktober 2008, Exxon
juga terus akan melebarkan sayap bisnisnya dengan mencari sumber
kandungan minyak baru dengan melakukan uji seismik di lima kabupaten
lain yang masih masuk dalam Blok Cepu . Adapun lima kabupaten
tersebut adalah; Tuban, Ngawi (Jatim), Rembang, Pati dan Blora (Jateng).
Adapun tujuan dilakukan kegiatan seismik tersebut, adalah untuk mencari
sumber-sumber minyak baru yang bisa dilakukan ekplorasi, selain yang
sudah ada di lapangan Banyuurip, Jambaran, dan Cendana, dan
selanjutnya akan diawali dengan dilakukan sosialisasi. (Sindo Kamis; 20
September 2007).
Dari gambaran tersebut, sudah dapat dibayangkan bahwa pada
masa akhir kontrak nati, sangat dimungkinkan cadangan minyak yang
berada di perut Blok Cepu akan habis pula. Maka yang terjadi adalah anak
cucu kita tidak akan dapat ikut merasakan tentang kekayaan, dan kejayaan
dari hasil pengelolaan Blok Cepu.
d. Prinsip Transparansi
61
Berdasarkan atas penjelasan Venesha salah satu dari anggta tim
Revenue Watch yaitu LSM Internasional yang aktif bergerak di bidang
transparansi anggaran perminyakan, secara jelas menyatakan bahwa;
“sampai saat ini, banyak negara penghasil minyak, masyarakatnya justru
malah miskin, demikian juga yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia”. Pernyataan Venesha tersebut sungguh tidak mengejutkan dan
memang sangat sesuai dengan kenyataan, misalnya penguasaan Migas di
Lohsumawe oleh Mobil Oil, Gas Arun dan lainnya. Kenyataan pait ini
tentu tidak boleh terulang lagi. Pada Blok Cepu yang pengelolaannya
secara operasional diserahkan kepada Exxon Mobil Oil. Maka Venesha
sangat menekankan bahwa pengelolaan keuangan Blok Cepu harus jelas
atau kata lain harus memperhatikan dan harus dikembangan prinsip-
prinsip transparan.
Penawaran penyertaan modal (participating interst - PI) Blok Cepu
sebesar 10 % , masih sering mengalami jalan buntu. Sampai saat ini
menurut Ketua Badan Kerja Sama (BKS) empat BUMN yang terdiri dari
BUMN Bojonegoro, BUMN Propinsi Jatim, BUMN Propinsi Jateng dan
BUMN Blora, belum mencapai kata sepakat, tentang berapa besarnya PI
dan siapa leader PI yang ditunjuk. Maka sampai saat ini hanya
mematangkan pertemuan dan belum bisa dilakukan penawaran-penawaran
dan belum ada alternatif-alternatif lain karena penerima PI statusnya
adalah konsorsium yang terdiri dari empat BUMN tersebut.
Berdasarkan hasil kesepakatan sementara, direncanakan bahwa
Kabupaten Bojonegoro nantinya akan mendapatkan anggaran dari hasil
penyertaan modal (participating interst - PI) Blok Cepu sebesar 4,5 %,
kemudian bagi hasil sekitar 6 % dan juga dana community development
(comdev) dari operator yaitu Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI).
Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa masyarakat Bojonegoro
dan Blora punya hak untuk mengetahui keuangan minyak dan gas bumi
(migas) yang terkandung di bumi Bojonegoro dan Blora. Sehubungan
dengan hal tersebut maka semua pihak harus mendorong terciptanya
tranparansi anggaran, agar supaya nantinya mengena pada kesejahteraan
62
masyarakat miskin. (Penjelasan Venesha (Renue Watch) di Gedung Griya
Dharma Kusuma Bojonegoro, tanggal 27 Mei 2007.)
Semua pihak harus mendorong adanya koalisi masyarakat sipil
untuk menciptakan transparansi dan sebagai salah satu cara untuk
mencapai hal tersebut salah satunya adalah harus dilakukan dengan
pressure, serta membangun koalisi nasional dan internasional.
Transparansi juga harus dilakukan pada proses pengelolaan minyak
gas, diantaranya dimulai dari adanya keputusan kontrak antara pemerintah
(daerah dan pusat) dengan operator migas, pembagian hasil antara
perusahaan pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga pengalokasian
anggaran perminyakan tersebut. Maksud dan harapan dari pernyataan ini
adalah bahwa natinya masyarakat punya hak untuk mengetahui secara
jelas; apa, bagaimana, hak dan kewajibannya.
Direktur Bojonegoro Institute (BI) Joko Purwanto menjelaskan
bahwa, keberadaan Blok Cepu masih menyisakan tanda tanya besar bagi
masyarakat, karena masyarakat tidak pernah tahu apa ini dari
Kesepahaman (MoU) yang telah dibuat antara Pemkab dengan pihak
operator karena semua masih tertutup. Hal ini jelas awal yang tidak baik,
yaitu mulai tidak transparan.
D. KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, berusaha mengungkap dan membuktikan adanya
penyimpangan dan pelanggaran prinsip-prinsip hukum dalam pengelolaan
Blok Cepu, dan berdasarkan hasil penelitian diketemukan beberapa
penyimpangan sebagai berikut:
1. Bahwa meskipun hanya sebatas operator, penguasaan Blok Cepu oleh
Exxon Mobil Oil, telah meleset dari amanah yang diberikan oleh pasal 33
ayat 3 UUD 1945, yaitu tentang prinsip hak menguasai negara untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
2. Jadwal produksi Blok Cepu jelas-jelas akan molor, artinya jauh dari
prinsip efektif dan efisien, dan dalam perkiraan negara akan mengalami
63
kerugian sebesar Rp 115 milyard per hari, artinya kemakmuran seluruh
rakyat Indonesia dan rakyat sekitar Blok Cepu akan tertunda, sedangkan
Exxon Mobil Oil sebagai operator tidak akan pernah rugi, karena biaya
yang dikeluakan per hari tetap akan diperhitungkan dengan standart harga
internasional;
3. Migas adalah sumber daya alam tak terbarui, dengan masa 30 Tahun masa
penguasaan (operator), sangat dimungkinkan pada saat habis masa kontrak
akan habis pula cadangan minyak yang ada di Blok Cepu, maka jelas tidak
ada jaminan adanya prinsip berkelanjutan.;
4. Pada kesepakatan awal Exxon Mobil Oil lahan minta 1000 hektar untuk
pengembangan kawasan produksi Blok Cepu, hal ini akan mengorbankan
lahan produktif dan juga kawasan tuhan produksi, yang sangat rentan
terhadap keberlanjutan fungsi lindung atau acaman serius terhadap prinsip
berwasasan lingkungan.
5. Dari proses awal penemuan Blok Cepu ternyata tidak transparan artinya
Exxon Mobil Oil bukan penemu Blok Cepu yang sesungguhnya, akan
tetapi PT. Humpuss Patra Gas;
6. Pengambil-alihan 51 % saham PT. Humpuss Patra oleh Exxon Mobil Oil
juga tidak transparan, penuh dengan intrik atau cacat moral.
DAFTAR PUSTAKA
Asshofa, Burhan (2001), Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, Rineka
Cipta, Jakarta
Bachriadi, Dianto, (1998), Merana Di Tengah Kelimpahan, ELSAM, Jakarta.
Damanik, Jayadi (2002), Pembaharuan Agaria dan Hak-hak Asasi Manusia,
Merajut Beragam Serpihan Pemikiran, Cetakan I, LAPERA, Yogyakarta.
Fauzi Noer et.al (2000), Otonomi Daerah dan Sengketa Tanah, Pergeseran
Politik di bawah Problem Agaria, Cetakan I, LAPERA, Yogyakarta
---------, (2001), Otonomi Daerah Sumber Daya Alam Lingkungan, cetakan
Pertama, LAPERA, Yogyakarta
64
Hardjo Soemantri, Koesnadi (1991), Hukum Perlindungan Lingkungan
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta
Harsono, Boedi (1999), Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksananya, Jilid I, Ed revisi,
Cetakan 8, Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta
Koesoemadinata, Prajatna, 2006, Tokoh di Balik Penemuan Blok Cepu (Blok Cepu
Ditemukan Dengan Ide Baru), Jawa Pos;12 Maret 2006.
Launela, Anu dan Zakaria Yando (2002), Berebut Tanah, Beberapa Kajian
Perspektif Kampus dan Kampung, Cetakan Pertama, Insist Press
Munggoro, Dani W, eds, (1999), Menggugat Ekspansi Industri Pertambangan di
Indonesia, Pustaka Latin, Bogor
Pertamina (tt), Perkembangan Industri Perminyakan di Indonesia
Raharjo, Satjipto, (1986), Ilmu Hukum, Citra Adiyta Bakti, Bandung
Simamora, Rudi M, 2000, Hukum Minyak dan Gas Bumi, Djambatan, Jakarta.
Subadi, 2001, Otonomi Daerah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Ancaman Terhadap NKRI, Fak. Hukum Unmer Madiun..
---------, 2002, Hak dan Kewajiban Hukum Masyarakat Lokal Dalam Kontrak-
Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia., Fak. Hukum Unmer
Madiun..
--------, 2003, Kedudukan Hukum Pemerintah Daerah Dalam Kontrak-Kontrak
Karya Pertambangan Dalam Perspektif Otonomi Daerah.
---------, 2004, Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Pertambangan
Migas DOH Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.,Jurnal Puslit, Unmer
Madiun
Thalib, Sayuti, 1971, Hukum Pertambangan Indonesia, AGB, Bandung.
Wirosudarmo, Rachman et.al (2000), Agenda Pertambangan Untuk
Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan, Proyek Agenda 21
Sektoral Kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan
UNDP, Jakarta.
Zakie, Mukmin (2000), Kaitan Kuasa Pertambangan Dengan Hak-hak Atas
Tanah Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, Jurnal Hukum UII, No. 13
Vol. 7 April
65
C. SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN
Penelitian dengan obyek pengelolaan Blok Cepu rasanya sangat perlu
terus dilakukan penelitian lanjutan, yaitu masalah efektivitas pelaksanaan
prinsip-prinsip/asas-asas hukum dalam perjalanan pengelolaan Blok Cepu ke
depan. Terutama masalah prinsip dan tanggung jawab Exxon Mobil Oil
terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar tambang migas. Masalah tanggung
jawab inilah yang disebut tanggung jawab sosial atau yang biasa disebut
dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR), yang dalam praktek
hampir 60 tahun penguasaan dan pengelolaan sumber daya tambang di
Indonesia telah banyak dilupakan.
Banyaknya pengalaman buruk dalam masalah pelaksanaan prinsip
tanggung sosial perusahaan dan keberpihakan kepada masyarakat lokal,
rasanta sudah cukup untuk dijadikan pengalaman pahit dan tidak boleh terjadi
pengulangan kesalahan yang sama terhadap masyarakat sekitar Blok Cepu.
Atas dasar argumentasi tersebut, rasanya masalah tanggung jawab
sosial atau Corporate Social Responsibility Exxon Mobil Oil, perlu menjadi
perhatian khusus dan sangat perlu dikembangkan dalam pengelolaan Blok
Cepu, Kabupaten Bojonegoro.
Filename: Soft Copy DOSEN MUDA
Directory: C:\Users\user\Documents
Template:
C:\Users\user\AppData\Roaming\Microsoft\Templates\Normal.
dotm
Title: LAPORAN PENELITIAN
Subject:
Author: USER
Keywords:
Comments:
Creation Date: 15/04/2007 7:58:00
Change Number: 59
Last Saved On: 02/09/2012 19:03:00
Last Saved By: user
Total Editing Time: 917 Minutes
Last Printed On: 02/09/2012 19:04:00
As of Last Complete Printing
Number of Pages: 65
Number of Words: 15.224 (approx.)
Number of Characters: 86.777 (approx.)