103
Abduchalek et al. Kutu Putih Singkong (Phenacoccus manihoti) 1 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 17, No. 1: 1 – 8, Maret 2017 KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAWA DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek 1 , Aunu Rauf 2 , & Pudjianto 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat Jl. Budi Utomo No. 45, Siantan Hulu-Pontianak Utara 78241, Pontianak 2 Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Kampus IPB-Dramaga, Bogor 16680, E-mail: [email protected] ABSTRACT Cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae): Geographic distribution in Java and initiation of biological control. Cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Psedococcidae), is a recently introduced pest in Indonesia. Parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) was imported to control the pest. Studies were conducted to determine geographic distribution of P. manihoti throughout Java, and to evaluate the potential of the parasitoid as a biological control agent. Geographic distribution of the pest was determined through field survey, whereas evaluation of the parasitoid was studied through cage experiment and field release. Our survey revealed that the cassava mealybug has spread throughout Java. Heavy infestations caused shortened and distorted stems, complete defoliation, and stunted growth. In cages containing only mealybugs, all cassava plants (100%) died after two months. Whereas in cages containing both mealybugs and three pairs of parasitoid, rate of parasitization was 25% and plant mortality 20%. Parasitoids released in the field were able to survive, reproduce, and establish under Bogor climatic condition. These might indicate that parasitoid A. lopezi is a potential natural enemy to be used in biological control program of the cassava mealybug. Key words: Anagyrus lopezi, biological control, cassava mealybug, parasitoid, Phenacoccus manihoti ABSTRAK Kutu putih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae): Persebaran geografi di Pulau Jawa dan rintisan pengendalian hayati. Kutu putih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Psedococcidae), merupakan hama baru di Indonesia. Parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae) didatangkan untuk mengendalikan hama tersebut. Penelitian bertujuan menentukan persebaran geografi P. manihoti di Pulau Jawa, serta mengkaji potensi A. lopezi sebagai agens pengendalian hayati. Persebaran geografi dilakukan melalui kegiatan survei lapangan, sedangkan evaluasi potensi parasitoid dilakukan melalui percobaan kurungan dan pelepasan di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan kutu putih P. manihoti sudah tersebar luas di seluruh Pulau Jawa. Serangan berat menyebabkan batang memendek dan bengkok, gugur daun, dan pertumbuhan terhambat. Dalam kurungan yang hanya berisi kutu putih, seluruh tanaman singkong (100%) mati setelah dua bulan. Dalam kurungan yang berisi kutu putih dan tiga pasang parasitoid, tingkat parasitisasi mencapai 25% dan kematian tanaman 20%. Parasitoid yang dilepaskan di lapangan mampu berkembang biak dan menetap pada kondisi iklim di Bogor. Hal tersebut mengindikasikan bahwa parasitoid A. lopezi merupakan musuh alami yang potensial untuk digunakan dalam program pengendalian hayati kutu putih singkong. Kata kunci: Anagyrus lopezi, kutu putih singkong, parasitoid, pengendalian hayati, Phenacoccus manihoti PENDAHULUAN Indonesia menduduki lima besar negara pengekspor singkong dunia dengan volume ekspor 19,9 juta ton, di bawah Nigeria (34,4 juta ton), Thailand (26,9 juta ton), dan Brasil (26,5 juta ton), tetapi di atas Kongo (15 juta ton) (Suherman, 2014). Dalam lima tahun terakhir ini produksi singkong Indonesia terancam oleh kehadiran hama baru yaitu kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) (Rauf, 2014). Kutu putih P. manihoti mulai menjadi perhatian dunia pada saat hama ini secara tidak sengaja terbawa masuk ke Afrika pada tahun 1970 (Nwanze et al., 1979), dan kemudian masuk ke Asia pada tahun 2009 (Parsa et al., 2012). Di Indonesia kutu P. manihoti pertama

KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Abduchalek et al. Kutu Putih Singkong (Phenacoccus manihoti) 1J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 17, No. 1: 1 – 8, Maret 2017

KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE-FERRERO(HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI

DI PULAU JAWA DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI

Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2, & Pudjianto2

1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan BaratJl. Budi Utomo No. 45, Siantan Hulu-Pontianak Utara 78241, Pontianak

2 Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorKampus IPB-Dramaga, Bogor 16680,

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae): Geographic distribution inJava and initiation of biological control. Cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera:Psedococcidae), is a recently introduced pest in Indonesia. Parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae)was imported to control the pest. Studies were conducted to determine geographic distribution of P. manihoti throughoutJava, and to evaluate the potential of the parasitoid as a biological control agent. Geographic distribution of the pest wasdetermined through field survey, whereas evaluation of the parasitoid was studied through cage experiment and field release.Our survey revealed that the cassava mealybug has spread throughout Java. Heavy infestations caused shortened anddistorted stems, complete defoliation, and stunted growth. In cages containing only mealybugs, all cassava plants (100%)died after two months. Whereas in cages containing both mealybugs and three pairs of parasitoid, rate of parasitization was25% and plant mortality 20%. Parasitoids released in the field were able to survive, reproduce, and establish under Bogorclimatic condition. These might indicate that parasitoid A. lopezi is a potential natural enemy to be used in biological controlprogram of the cassava mealybug.

Key words: Anagyrus lopezi, biological control, cassava mealybug, parasitoid, Phenacoccus manihoti

ABSTRAK

Kutu putih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae): Persebaran geografi di PulauJawa dan rintisan pengendalian hayati. Kutu putih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera:Psedococcidae), merupakan hama baru di Indonesia. Parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera: Encyrtidae)didatangkan untuk mengendalikan hama tersebut. Penelitian bertujuan menentukan persebaran geografi P. manihoti di PulauJawa, serta mengkaji potensi A. lopezi sebagai agens pengendalian hayati. Persebaran geografi dilakukan melalui kegiatansurvei lapangan, sedangkan evaluasi potensi parasitoid dilakukan melalui percobaan kurungan dan pelepasan di lapangan.Hasil penelitian menunjukkan kutu putih P. manihoti sudah tersebar luas di seluruh Pulau Jawa. Serangan berat menyebabkanbatang memendek dan bengkok, gugur daun, dan pertumbuhan terhambat. Dalam kurungan yang hanya berisi kutu putih,seluruh tanaman singkong (100%) mati setelah dua bulan. Dalam kurungan yang berisi kutu putih dan tiga pasang parasitoid,tingkat parasitisasi mencapai 25% dan kematian tanaman 20%. Parasitoid yang dilepaskan di lapangan mampu berkembangbiak dan menetap pada kondisi iklim di Bogor. Hal tersebut mengindikasikan bahwa parasitoid A. lopezi merupakan musuhalami yang potensial untuk digunakan dalam program pengendalian hayati kutu putih singkong.

Kata kunci: Anagyrus lopezi, kutu putih singkong, parasitoid, pengendalian hayati, Phenacoccus manihoti

PENDAHULUAN

Indonesia menduduki lima besar negarapengekspor singkong dunia dengan volume ekspor 19,9juta ton, di bawah Nigeria (34,4 juta ton), Thailand (26,9juta ton), dan Brasil (26,5 juta ton), tetapi di atas Kongo(15 juta ton) (Suherman, 2014). Dalam lima tahunterakhir ini produksi singkong Indonesia terancam oleh

kehadiran hama baru yaitu kutu putih Phenacoccusmanihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae)(Rauf, 2014).

Kutu putih P. manihoti mulai menjadi perhatiandunia pada saat hama ini secara tidak sengaja terbawamasuk ke Afrika pada tahun 1970 (Nwanze et al., 1979),dan kemudian masuk ke Asia pada tahun 2009 (Parsaet al., 2012). Di Indonesia kutu P. manihoti pertama

Page 2: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

2 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 1 - 8

kali ditemukan di Bogor pada tahun 2010 (Muniappanet al., 2011). Serangan hama ini menyebabkankehilangan hasil sekitar 82% di Afrika (Nwanze, 1982)dan 40-50% di Asia (Wyckhuys et al., 2014; Wardani,2015).

Untuk mengendalikan hama baru ini, parasitoidAnagyrus lopezi (De Santis) (Hymenoptera:Encyrtidae) diintroduksikan dari Paraguay ke Afrika dandilepaskan pertama kali di Nigeria pada tahun 1981(Herren & Lema, 1982). Dilaporkan bahwa kiniparasitoid A. lopezi telah menyebar dan menetap di 25negara di Afrika dan mampu menekan serangan kutuputih secara signifikan (Herren & Neuenschwander,1991). Norgaard (1988) memperkirakan nilai B/C ratio= 149 : 1 dari kegiatan pengendalian hayati denganintroduksi parasitoid A. lopezi. Keberhasilan ini telahmendorong pemerintah Thailand untuk mendatangkanparasitoid dari Benin pada tahun 2011 (Lefroy, 2010).Seperti halnya yang terjadi di Afrika, introduksi parasitoidA. lopezi ke Thailand telah berhasil menekan kerusakandan kerugian akibat serangan kutu putih P. manihoti(FAO, 2011). Berdasarkan keberhasilan di Afrika danThailand, pada awal tahun 2014 Indonesia mendatangkanparasitoid A. lopezi dari Thailand (Rauf, 2014).

Segera setelah didatangkan ke Indonesia,beberapa penelitian telah dilakukan di antaranya ujikekhususan inang (Karyani, 2015) dan biologi sertakesesuaian instar inang kutu P. manihoti bagiperkembangan parasitoid (Adriani, 2016). Penelitianberikutnya yang perlu dilakukan adalah mengevaluasipotensi parasitoid A. lopezi. Terdapat beberapa metodeevaluasi, di antaranya adalah teknik eksklusi dan inklusi(Kiritani & Dempster, 1973). Pada teknik eksklusi,populasi hama di alam dilindungi dari parasitoid ataupredator dengan cara dikurung, dan kemudiandibandingkan dengan populasi yang tidak dikurung. Padateknik inklusi, parasitoid atau predator dengan sengajadimasukkan ke dalam kurungan, seperti yang dilakukanoleh Simmons & Minkenberg (1994) dalammengevaluasi Eretmocerus californicus Howard(Hymenoptera: Aphelinidae), sebagai parasitoid Bemisiaargentifolii Bellows & Perring (Hemiptera:Aleyrodidae). Teknik inklusi juga diterapkan oleh Heng-Moss et al. (1999) dalam mengevaluasi Rhopusnigroclavatus (Ashmead) (Hymenoptera: Encyrtidae),yang merupakan parasitoid kutu putih Tridiscussporoboli (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae).Tahapan berikutnya dari introduksi musuh alami adalahpelepasan di lapangan. Untuk mengetahui apakahparasitoid yang dilepas mampu berkembang biak danmenetap di lapangan, perlu dilakukan pemantuan lanjutanseperti yang dilakukan oleh Herren et al. (1987) di

Afrika. Pada gilirannya nanti, pelepasan parasitoid perludilakukan di seluruh wilayah yang terserang kutu P.manihoti. Namun demikian, hingga saat ini belumdiketahui secara pasti persebaran kutu P. manihoti inidi Indonesia, bahkan untuk lingkup Pulau Jawa sekalipun.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,penelitian ini bertujuan untuk menentukan persebarangeografi kutu putih P. manihoti dan kondisi serangan diPulau Jawa, serta mengkaji potensi parasitoid A. lopezisebagai agens pengendalian hayati kutu putih P.manihoti.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Survei dilaksanakan pada bulanOktober 2014, yang meliputi wilayah di Jawa Barat, JawaTengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.Posisi geografi setiap titik pengamatan dicatatmenggunakan Garmin GPS MAP 62.

Kondisi Serangan P. manihoti di Pulau Jawa. Padasetiap lokasi dilakukan pengamatan terhadap tingkatserangan, kerapatan populasi, dan kondisi pertanamansecara umum. Tanaman singkong yang diamati meliputitanaman yang tumbuh sebagai pagar, atau tanamanpekarangan, hingga perkebunan singkong yang luasannyasekitar 10 ha. Pengamatan dan penghitungan kutu putihdilakukan dengan cara membuka bagian pucuk tanamanmuda atau membalik bagian bawah daun. Selain itu, bilaada kesempatan, dilakukan pula wawancara denganpetani singkong.

Percobaan Parasitisasi di dalam Kurungan.Percobaan dilaksanakan di dalam kurungan berkerangkakayu (p = 60 cm, l = 50 cm, t = 120 cm), yang bagianatas dan sisinya ditutupi kain kasa. Kedalam kurungandimasukkan satu tanaman singkong berumur 3 minggu.Tanaman singkong kemudian diinokulasi dengan kutuputih instar-2 sebanyak 50 ekor, dan setelah itudimasukkan parasitoid A. lopezi. Sebagai perlakuanadalah banyaknya parasitoid yang dimasukkan ke dalamkurungan, yaitu 1 pasang, 3 pasang, dan kontrol (tanpaparasitoid). Masing-masing perlakuan diulang 10 kali.Setelah 48 jam, seluruh kutu putih dan tanaman singkongdipindahkan pada kurungan lain, dan dipelihara sampaimuncul imago parasitoid. Penghitungan parasitoiddilakukan pada 25 hari setelah inokulasi. Tingkatparasitisasi ditentukan berdasarkan banyaknya parasitoidyang muncul dibagi banyaknya kutu yang diinfestasikan.Banyaknya tanaman yang mati diamati pada hari ke-25, 45, 60 setelah diinfestasi kutu putih.

Page 3: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Abduchalek et al. Kutu Putih Singkong (Phenacoccus manihoti) 3

Percobaan Pelepasan Parasitoid di Lapangan.Percobaan dilakukan pada tiga pertanaman singkongmilik petani di daerah Kedunghalang, Kabupaten Bogor.Pertanaman singkong yang dipilih adalah yang memilikijarak tanam 1 x 1 m, jumlah tanaman minimum 2000batang, serta berumur 4-5 bulan setelah tanam. Padasetiap pertanaman dilepas sebanyak 150 pasangparasitoid A. lopezi, yang kemudian diikuti denganpenyemprotan larutan madu 10% pada area 1-20 m darititik pelepasan, sebagai sumber nutrisi imago parasitoid.Karena populasi kutu putih di lapangan sangat rendah,untuk menilai tingkat parasitisasi digunakan kutu putihhasil pembiakan di laboratorium sebagai sentinel atauperangkap. Kutu putih sentinel ini dipelihara pada bibitsingkong yang ditumbuhkan pada wadah plastik (d = 8cm, t = 11 cm) yang setengahnya berisi air. Sebelumpelepasan parasitoid, bibit singkong yang mengandungkutu putih sentinel ini diikatkan pada tiang bambu (t =150 cm) di pertanaman, pada jarak 1, 3, 7, 10, dan 20 mdari titik pelepasan.

Untuk menentukan tingkat parasitisasi, dua harisetelah pelepasan dikumpulkan kutu putih sentinelmasing-masing 10 ekor dari setiap bibit. Kutu besertabibit singkong dibawa ke laboratorium dan ditungguhingga imago parasitoid muncul. Tingkat parasitisasiditentukan berdasarkan banyaknya imago parasitoidyang muncul dari 10 kutu putih sentinel. Penentuantingkat parasitisasi juga dilakukan 2-3 bulan setelahpelepasan. Selain itu, kemampuan menetap dariparasitoid di lapangan ditentukan berdasarkanpengamatan keberadaan parasitoid pada awal musimkemarau tahun berikutnya.

Analisis Data. Persebaran kutu putih P. manihoti diPulau Jawa dipetakan dengan bantuan program Arc GISversi 10.41. Pengaruh perlakuan pelepasan A. lopeziterhadap tingkat parasitisasi diperiksa dengan sidik

ragam, yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada tarafnyata 5%. Seluruh analisis data dilakukan melaluibantuan perangkat lunak SPSS 20.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persebaran dan Kondisi Serangan P. manihoti diPulau Jawa. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwakutu P. manihoti ditemukan hampir di seluruh wilayahPulau Jawa (Gambar 1). Dari 35 titik lokasi survei, kutuputih P. manihoti dijumpai pada pertanaman singkongdi 22 lokasi yang tersebar di Jawa Barat (10 lokasi),Jawa Tengah (7 lokasi), dan Jawa Timur (5 lokasi).Sementara itu, gejala bekas serangan kutu putih, berupapemendekan buku dan distorsi batang, dijumpai pada 13lokasi lainnya.

Keberadaan P. manihoti pada tanaman singkongditandai oleh adanya koloni kutu putih yang terdiri darinimfa yang berwarna merah jambu serta imago danovisak yang berwarna putih seperti kapas, khususnyapada bagian pucuk tanaman singkong. Selain itu,tanaman yang terserang tampak daun-daun pucuknyamengeriting dan menggumpal (bunchytop), dan tidakberkembang normal. Bila pucuk tersebut dibuka, biasanyaditemukan kutu putih didalamnya. Rataan banyaknyakutu putih per pucuk berkisar antara 4,82 ekor(Kabupaten Pasurunan) hingga 45,10 ekor (KabupatenRembang). Pertanaman yang sebelumnya pernahterserang oleh P. manihoti dapat dikenali oleh adanyabagian-bagian buku yang memendek atau adanya distorsipada batang.

Berdasarkan ketinggian tempat, kutu putih P.manihoti ditemukan pada pertanaman singkong padarentang ketinggian 15 m dpl (Desa Kranjan, KabupatenPacitan) hingga 840 m dpl (Desa Semplak, KabupatenSukabumi). Tanaman singkong tersebut ada yang berupatanaman pekarangan, tanaman pagar, tanaman

Gambar 1. Persebaran kutu putih P. manihoti di Pulau Jawa

Page 4: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

4 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 1 - 8

perkebunan, tanaman sisipan atau tumpangsari di lahanhutan.

Serangan yang tergolong sangat berat ditemukanpada pertanaman singkong, yang luasnya sekitar 20 ha,di daerah Borobamban dan sekitar BandaraAbdurachman Saleh Kecamatan Pakis Malang. Ditempat ini seluruh tanaman singkong tampak daunnyarontok dan sebagian tanaman mati dan mengering. Didaerah ini penanaman singkong dilakukan tidakserempak, yang ditunjukkan oleh umur tanaman yangtidak seragam. Pola tanam yang demikian didugamerupakan salah satu faktor yang menunjangpeningkatan serangan pada musim kemarau. Selain itu,pertanaman singkong ini diusahakan di lahan tidur milikBandara sehingga kurang mendapat perawatan.Dilaporkan bahwa serangan kutu putih P. manihoti lebihberat pada tanaman yang tumbuh di lahan yang miskinhara dan kurang pupuk (Le Ru et al., 1991 dalamSchulthess et al., 1997).

Situasi berbeda ditemukan di daerah Manyarandan Karangmojo (Kabupaten Gunung Kidul) sertaJatisrono dan Ngadirejo (Kabupaten Wonogiri). Ditempat ini tidak ditemukan pertanaman singkong, karenaseluruh lahan dalam keadaan bera menunggu musimhujan tiba. Di beberapa sudut lahan tampak kumpulanbatang singkong terikat di atas lahan atau tergantungpada pohon nangka atau randu, yang dipersiapkansebagai stek/bibit untuk musim tanam berikutnya.Pengamatan menunjukkan setiap tunas yang muncul daribatang-batang tersebut tampak berwarna putih karenapenuh ditutupi oleh kutu P. manihoti. Diperkirakan kutuP. manihoti dapat menjadi hama penting di wilayah ini.Namun demikian, hasil wawancara dengan beberapapetani singkong menunjukkan bahwa keberadaan hamaini tidak terlalu dianggap penting dan menjadi masalah.Hal ini diduga karena petani menanam singkong padaawal musim hujan. Dengan cara ini, pada saat hama inimeningkat populasinya pada musim kemarau, tanamansingkong sudah berumur 6-7 bulan sehingga lebih toleranterhadap serangan P. manihoti. Menurut Nwanze(1982) pengaruh serangan kutu putih terhadap hasilpanen singkong tergantung umur tanaman pada saatserangan terjadi. Wardani (2015) melaporkan bahwakehilangan hasil lebih tinggi pada singkong yang padasaat masih muda terserang berat oleh kutu P. manihoti.

Salah satu daerah pengembangan singkong diPulau Jawa adalah Kabupaten Pati. Di daerah initerdapat pengembangan pertanaman singkong seluas 50ha, yang direalisasikan melalui pembukaan lahan danpenyediaan bibit singkong. Secara keseluruhan untukwilayah Kabupaten Pati pada tahun 2015 luas arealtanam singkong mencapai 18,259 ha dengan produktivitas

217,70 kuintal/ha dengan total produksi basah 397,498ton (Pemkab Pati, 2015). Serangan P. manihoti di daerahini tampak dari ditemukannya kutu putih dan pemendekanbuku pada tanaman terserang. Pada beberapa kebun,insidensi serangan mencapai 100% dan sebagiantanaman yang terserang tampak mati mengering.

Selain kutu putih P. manihoti, selama pengamatanlapangan sering pula dijumpai kutu putih lainnya padatanaman singkong yaitu Paracoccus marginatus,Ferrisia virgata dan Pseudococcus jackbeardsleyi.Kutu P. marginatus sangat umum dijumpai dan biasanyaterdapat pada permukaan bawah daun, sedangkan F.virgata dan P. jackbeardsley biasanya menyerangtanaman yang tumbuh merana karena terserang P.manihoti.

Survei yang dilakukan dalam penelitian ini masihterbatas pada persebaran P. manihoti di Pulau Jawa.Kunjungan lapangan ke Lampung pada bulan Juni 2014mendapatkan pertanaman singkong yang terserang beratP. manihoti (Rauf & Wyckhuys komunikasi pribadi).Mengingat kutu putih singkong berpotensi menyebar kepulau lainnya di seluruh Indonesia, kiranya perludilakukan survei secara nasional, terutama di sentrapengembangan singkong.

Tingkat Parasitisasi di dalam Kurungan. Perlakuanpelepasan parasitoid A. lopezi berpengaruh sangat nyataterhadap tingkat parasitisasi (F = 129,7; db = 2,29; P <0,001). Pada perlakuan pelepasan 3 pasang A. lopezirataan tingkat parasitisasi yaitu 25,20%, lebih tinggidibandingkan pada perlakuan pelepasan 1 pasangparasitoid (17,60%). Adanya parasitoid yang muncul(0,10%) dari perlakuan kontrol diduga karena adanyasejumlah kecil kutu putih yang terparasit pada saatperbanyakan massal di laboratorium (Gambar 2).

Pelepasan parasitoid berpengaruh terhadap lajukematian tanaman singkong. Pada kurungan tanpaparasitoid (kontrol), gejala kematian tanamanberlangsung lebih awal. Pada hari ke-25 terjadi kematiantanaman sebanyak 10% dan meningkat menjadi 20%pada hari ke-45 (Gambar 3). Pada hari ke-60 seluruhtanaman singkong (100%) menunjukkan gejalakematian. Kematian tanaman lebih rendah padakurungan dengan pelepasan parasitoid. Pada kurungandengan perlakuan 1 pasang A. lopezi kematian tanamanpada hari ke-60 adalah 50%, sedangkan pada perlakuanpelepasan 3 pasang A. lopezi 20%. Tampak pula bahwapada perlakuan pelepasan parasitoid tidak terjadikematian tanaman hingga hari ke-45. Tanaman yangmati tampak pucuknya mengering dan dipenuhi gumpalankutu putih dan ovisak.

Page 5: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Abduchalek et al. Kutu Putih Singkong (Phenacoccus manihoti) 5

Dalam percobaan ini, walaupun diinokulasiparasitoid, kematian tanaman masih tetap terjadi. Halini karena inokulasi hanya berlangsung selama dua hari,setelah itu tanaman dipindahkan ke kurungan lain. Padakeadaan parasitoid dibiarkan hidup dan berkembang biakdi dalam kurungan, dipastikan tanaman yang mati sedikitatau bahkan tidak ada, terutama pada perlakuan 3

pasang parasitoid. Parasitoid A. lopezi merupakanmusuh yang efisien karena, selain memarasit, jugamemperlihatkan perilaku pengisapan inang (host-feeding). Neuenschwander & Sullivan (1987)melaporkan bahwa kematian kutu putih akibatpengisapan inang oleh A. lopezi sekitar 2-3 kali lipatdaripada akibat diparasit. Kiranya percobaan inklusi ini

Gambar 2. Pengaruh banyaknya parasitoid yang dilepas terhadap tingkat parasitisasi

Gambar 3. Pengaruh keberadaan parasitoid terhadap laju kematian tanaman singkong oleh kutu putih

Page 6: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

6 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 1 - 8

perlu diulangi dengan membiarkan parasitoid A. lopezihidup dan berkembang lebih lama di dalam kurungan,paling tidak satu generasi.

Tingkat Parasitisasi di Lapangan. Hasil pengamatanmenunjukkan bahwa parasitoid yang dilepas berhasilmemarasit kutu putih singkong di lapangan. Berdasarkankutu putih yang dikumpulkan dua hari setelah pelepasanparasitoid, tampak bahwa jarak inang terhadap titikpelepasan berpengaruh nyata terhadap tingkatparasitisasi (F = 6,77; db = 4,14; p = 0,007). Tingkatparasitisasi tertinggi (25%) terjadi pada kutu putih yangberjarak 1 m dari titik pelepasan parasitoid. Tingkatparasitisasi menurun dengan makin jauhnya inang darititik pelepasan seperti tampak pada jarak 20 m tingkatparasitisasi rata-rata 6,59% (Gambar 4).

Bila pengambilan contoh kutu putih dilakukan padaselang waktu yang lebih lama sejak parasitoid dilepas,diperkirakan kutu putih yang terparasit dapat ditemukanpada jarak yang lebih jauh. Parasitoid A. lopezi dapatmemencar secara aktif, terbawa melalui angin, atauterbawa melalui mumi yang menempel pada stek bibit.Di Afrika dilaporkan parasitoid A. lopezi mampumemencar dengan laju 50-100 km dalam satu musimkemarau (5-8 bulan) (Herren et al., 1987).

Kolonisasi dan Keberhasilan Menetap. Hasilpengamatan yang dilakukan beberapa bulan setelahpelepasan menunjukkan bahwa parasitoid A. lopezi

berhasil berkembang biak di lapangan. Hal ini tampakdari rataan tingkat parasitisasi pada bulan kedua setelahpelepasan yang mencapai 37,67%. Parasitisasi inidipastikan dilakukan oleh keturunan (generasi-1) dariinduk parasitoid yang dilepaskan. Hal ini mengingat siklushidup A. lopezi berlangsung sekitar tiga minggu (Adriani,2016). Pengamatan pada bulan ketiga setelah pelepasanmendapatkan rataan tingkat parasitisasi sekitar 22,67%.Penurunan tingkat parasitisasi ini diduga berkaitandengan mulai banyaknya turun hujan yang berpengaruhburuk terhadap kutu putih maupun parasitoid.

Pengamatan lapangan yang dilakukan pada awalJuni 2016, atau 9 bulan setelah pelepasan, mendapatkanimago parasitoid A. lopezi di sekitar koloni kutu putih P.manihoti. Hal ini merupakan indikasi awal bahwaparasitoid A. lopezi mampu menetap di lapanganmelewati musim hujan, periode yang sangat tidakmenguntungkan bagi kehidupan parasitoid, karena inangyang tersedia di lapangan sangat rendah. Keberhasilanpengendalian hayati P. manihoti oleh parasitoid A.lopezi di banyak negara di Afrika (Hammond et al.,1987) dan di Thailand (Jaipet, 2014) diharapkan dapatterulang di Indonesia. Untuk maksud tersebut, upayapelepasan parasitoid A. lopezi di daerah yang terserangberat P. manihoti perlu segera dilakukan. Dalam kaitanini, kiranya perlu dilakukan pelatihan pembiakan danpelepasan parasitoid A. lopezi bagi petugas-petugaslaboratorium pengendalian hayati yang ada di tiapkabupaten atau provinsi.

Gambar 4. Perbandingan tingkat parasitisasi pada berbagai jarak dari titik pelepasan parasitoid

Page 7: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Abduchalek et al. Kutu Putih Singkong (Phenacoccus manihoti) 7

SIMPULAN

Kutu putih singkong P. manihoti telah tersebarluas di Pulau Jawa. Parasitoid A. lopezi yang dilepasmampu berkembang biak dan menetap di lapangan.

SANWACANA

Penelitian ini merupakan bagian dari tesis padaprogram Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogortahun ajaran 2013-2014.

DAFTAR PUSTAKA

Adriani E. 2016. Preferensi, kesesuaian dan parasitismeAnagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera:Encyrtidae) pada berbagai instar kutu putih singkongPhenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera:Pseudococcidae) . [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.Bogor.

FAO. 2011. Report of Capacity Building for SpreadPrevention and Management of Cassava PinkMealybug in the Greater Mekong Subregion. In:FAO Report. pp. 56. Bangkok.

Hammond WNO, Neuenschwander P, & Herren HR.1987. Impact of the exotic parasitoidEpidinocarsis lopezi on cassava mealybug(Phenacoccus manihoti) populations. RecentAdvances in Research on Tropical Entomology.8(4/5/6): 887-891.

Heng-Moss TM, Baxendale FP, Riordan TP, & YoungLJ. 1999. Influence of Rhopus nigroclavatus(Hymenoptera: Encyrtidae) on the mealybugsTridiscus sporoboli and Trionymus sp.(Homoptera: Pseudococcidae). EnvironEntomol. 28(1): 123-127.

Herren HR & Lema KM. 1982. CMB-first successfulreleases. Biocontrol News and Info. 3:185.

Herren HR & Neuenschwander RP. 1991. Biologicalcontrol of cassava pests in Africa. Annu. Rev.Entomol. 36: 257-283.

Herren HR, Neuenschwander P, Hennessey RD, &Hammond WNO. 1987. Introduction and dispersalof Epidinocarsis lopezi (Hym., Encyrtidae), anexotic parasitoid of the cassava mealybug,Phenacoccus manihoti (Hom., Pseudococcidae),in Africa. Agr. Ecosys. Environ. 19(2): 131-144.

Jaipet A. 2014. Thailand experiences in mass rearingparasitoid. In: CIAT-IPB Seminar on invasivemealybugs. Bogor September 24, 2014.

Karyani RD. 2015. Pengujian kesesuaian inang parasitoidAnagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera:Encyrtidae) terhadap kutu putih yang berasosiasidengan ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) [Tesis].Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kiritani K & Dempster JP. 1973. Different approach tothe quantitative evaluation of natural enemies. JAppl. Ecol. 10: 323-330.

Lefroy D. 2010. Cassava under threat: Pest nanddisease outbreaks put SE Asia on high alert. CIATE-Newsletter No. 6. Tersedia pada: http://cgspase.cgiar.org. Diakses tanggal 1 Agustus2016.

Muniappan R, Shepard BM, Watson GW, Carner GR,Rauf A, Sartiami D, Hidayat P, Afun JVK,Goergen G, & Ziaur Rahman AKM. 2009. Newrecords of invasive insects (Hemiptera:Sternorrhyncha) in Southeast Asia and WestAfrica. J Agr. Urban Entomol. 26(4): 167-174.

Neuenschwander P. 1994. Control of the cassavamealybug in Africa: lessons from a biologicalcontrol project. Afr. Cro. Sci. J. 2(4): 369-383.

Neuenschwander P & Sullivan D. 1987. Interactionsbetween the endophagous parasitoidEpidinocarsis lopezi and its host, Phenacoccusmanihoti. Int. J. Insect. Sci. 8(4/5/6): 857-859.

Norgaard RB. 1988. The biological control of cassavamealybug in Africa. Am. J. Agr. Econ. 70(2): 366-371.

Nwanze KF. 1982. Relationships between cassava rootyields and crop infestations by the mealybug,Phenacoccus manihoti. Trop. Pest Manage.28(1): 27-32.

Nwanze KF, Leuschner K, & Ezumah HC. 1979. Thecassava mealybug, Phenacoccus sp. in theRepublic of Zaire. PANS 25(2): 125-130.

Parsa S, Kondo T, & Winotai A. 2012. The cassavamealybug (Phenacoccus manihoti) in Asia: firstrecords, potential distribution, and an identificationkey. PLOS ONE 7(10): e47675.

Pemkab Pati. 2015. Profil Kabupaten Pati. Tersedia pada:http://www.jatengprov.go.id/id/profil/kabupaten-pati. Diakses tanggal 25 Desember 2015.

Page 8: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

8 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 1 - 8

Rauf A. 2014. Invasi kutu putih Phenacoccus manihoti.Di dalam: Seminar Kutu putih vs Parasitoid:Pengelolaan hama asing invasif berbasis ekologi.Bogor 24 Sep 2014.

Schulthess F, Neuenschwander P, & Gounou S. 1997.Multi-tropic interactions in cassava, Manihotesculenta, cropping systems in the subhumidtropics of West Africa. Agr. Ecosyst. Environ.66: 211-222.

Simmons GS & Minkenberg OPJM. 1994. Field cageevaluation of augmentative biological control ofBemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae)in Southern California cotton with parasitoidEretmocerus nr. californicus (Hymenoptera:Aphelinidae). Environ Entomol. 23(6): 1552-1557.

Suherman M. 2014. Kebijakan pengembangan singkongdi Indonesia. Di dalam: Seminar Kutu putih vsParasitoid: Pengelolaan hama asing invasifberbasis ekologi. Bogor 24 September 2014.

Wardani N. 2015. Kutu putih ubi kayu Phenacoccusmanihoti Matile-Ferrero (Hemiptera:Pseudococcidae), hama invasif baru di Indonesia[Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wyckhuys KAG, Rauf A, & Ketelaar J. 2014. Parasitoidintroduced into Indonesia: part of a region-widecampaign to tackle emerging cassava pests anddiseases. Biocontrol News and Inform. 35(4):35-37.

Page 9: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Yanti et al. Formulasi padat Rhizobakteria 9J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 17, No. 1: 9 – 18, Maret 2017

FORMULASI PADAT RHIZOBAKTERIA INDIGENUSBACILLUS THURINGIENSIS TS2 DAN WAKTU PENYIMPANAN

UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT PUSTUL BAKTERIXANTHOMONAS AXONOPODIS PV. GLYCINES

Yulmira Yanti, Trimurti Habazar, & Zurai Resti

Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Andalas,Kampus Limau Manis, Padang 25163

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Solid formulations of indigenous Rhizobacteria Bacillus thuringiensis TS2 and storage time to control bacterialpustule disease Xanthomonas axonopodis pv. glycines. Bacterial pustule disease caused by Xanthomonas axonopodispv. glycines is a major constraint in soybean cultivation. Indigenous rhizobacteria Bacillus thuringiensis TS2 from soybeanrhizosphere acquired from previous research is the best isolate which can control soybean bacterial pustule disease andincrease growth rate of soybean. To increased its stability and interaction with soybean plants, Bacillus thuringiensis TS2was urged to test furthermore especially its formulation with based formula tapioca powder, peat and bulk. The mosteffective storage time also need to test. Result showed that all rhizobacterial formula had ability to decrease incidence ofbacterial pustule disease compared to control. Moreover, all the three formula could increase plant growth, total of leaves,total of branch and yields. Flowering time was also advanced by 1-8 days compared to control. Decreasing of disease rateand increasing of plant growth rate variated between different formulations.

Key words: bacterial pustule, formulation, induced resistance, Rizobacterial indigenous

ABSTRAK

Formulasi padat Rhizobakteria indigenus Bacillus thuringiensis TS2 dan waktu penyimpanan untuk mengendalikanpenyakit pustul bakteri Xanthomonas axonopodis pv. glycines. Penyakit pustul bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonasaxonopodis pv. glycines merupakan masalah utama pada pertanaman kedelai. Rizobakteri indigenus Bacillus thuringiensisTS2 dari rizosfer kedelai hasil penelitian sebelumnya merupakan isolat unggul yang mampu mengendalikan penyakit pustulkedelai dan meningkatkan pertumbuhan kedelai. Untuk meningkatkan stabilitas dan interaksinya dengan tanaman kedelai,Bacillus thuringiensis TS2 perlu diuji lebih lanjut terutama setelah diformulasikan dengan bahan pembawa berupa tepungtapioka, gambut dan limbah padat tahu. Lama penyimpanan formula yang paling efektif juga perlu diteliti. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa semua perlakuan formula rhizobakteria mampu menurunkan insidensi penyakit pustul bakteri. Selainitu, ketiga formula mampu meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah ranting dan hasil tanaman. Saat munculnyabunga juga menjadi lebih cepat 1–8 hari dibanding kontrol. Tingkat penurunan penyakit dan peningkatan pertumbuhan tanamancukup bervariasi pada formulasi yang berbeda.

Kata kunci: formula, ketahanan terinduksi, pustul bakteri, Rizobakteri indigenus

PENDAHULUAN

Penyakit pustul bakteri yang disebabkan olehXanthomonas axonopodis pv. glycines (Xag) padatanaman kedelai menyebabkan kerugian secaraekonomis di berbagai negara di dunia. Penyakit initergolong penting karena penyebarannya sebagian besarmelalui benih (Khaeruni et al., 2007), air dan angin(Goradia et al., 2004). Penyakit pustul bakteri telahtersebar di Indonesia, seperti di Jawa Barat, Jawa

Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung,Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat (Yanti et al.,2013). Penurunan hasil tanaman kedelai akibat Xagdapat mencapai 21-40% pada kondisi lingkunganmendukung dan tingkat serangan yang parah (Rahayu,2005).

Usaha pengendalian penyakit pustul bakteri yangtelah dilakukan antara lain penggunaan varietas tahan(Semangun, l990), bakterisida (Sinclair & Backman,1989), pergiliran tanaman dengan tanaman yang bukan

Page 10: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

10 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 9 - 18

inangnya tidak menanam saat musim hujan (Sweets,2010), dan memusnahkan sisa tanaman sakit (Mueller,2010), namun Xag masih tetap menyerang danberkembang. Penggunaan varietas tahan tidak efektifkarena Xag mempunyai banyak strain dengan fenotipedan genotipe yang berbeda-beda (Rukayadi et al.,1999). Penggunaan bakterisida berdampak negatifterhadap lingkungan karena residu yang ditinggalkannyabersifat racun serta terjadinya resistensi bakteri terhadapbakterisida tersebut (Habazar et al., 2010).

Pengendalian biologi menggunakanmikroorganisme yang mengkoloni rizosfer, permukaandan di dalam jaringan sehat tanaman telah diterapkansebagai alternatif pengendalian yang menjanjikan jikadibandingkan dengan pestisida kimia dan lebih baikdigunakan dalam pengelolaan tanaman (Shu-Bin et al.,2012). Bakteri dari genus Bacillus merupakan agenbiokontrol yang paling banyak digunakan dan memilikikarakteristik paling baik karena keefektifannya dalammengkolonisasi akar dan kemampuannya bersporulasi(Hassan et al., 2010 ; Hu et al., 2010). Bacillus spp.juga telah banyak diketahui memiliki kemampuanmemproduksi banyak jenis antibiotik dengan kemampuandan struktur yang luas (Stein, 2005; Perez-Garcia et al.,2011). Bacillus spp. juga diketahui sebagai produserlipopeptida (LPs). LPs memberikan keberhasilan tidakhanya terhadap penghambatan pertumbuhan patogen,tetapi juga memiliki kemampuan memfasilitasi kolonisasiakar, meningkatkan kemampuan penyebaran agenbiokontrol dan meningkatkan kemampuan potensialketahanan tanaman (Ongena & Jacques, 2008;Arguelles-Arias et al., 2009; Jourdan et al., 2009). Yantiet al. (2013) melaporkan isolat rizobakteri dariperakaran kedelai (isolat P14Rz1.1) merupakan isolatterbaik dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasilkedelai dengan efektivitas 20,47%. Isolat Pl4Rz1.1merupakan Bacillus thuringiensis TS2 (Habazar et al.,2011).

Untuk mempertahankan hidupnya dalam jangkawaktu yang panjang pada kondisi optimal secaraberkelanjutan dan mudah diaplikasikan dalamperbanyakan massal, isolat rizobakteri perlu diformulasi.Bahan formula yang dapat digunakan dalam formulasiagen hayati adalah tepung tapioka, tepung talk, tanahgambut, limbah padat tahu dan minyak nabati (Bashanet al., 2014). Menurut Ardakani et al. (2010) bahanpembawa organik dan anorganik dapat meningkatkankestabilan dan efektivitas agen hayati untuk pengendalianpenyakit tanaman. Aktivitas biokontrol B. megateriumB1301 yang diformulasi dalam tepung jagung baik untukpengendalian layu bakteri oleh Ralstoniasolanacearum ras 4 pada jahe. Tepung tapioka

merupakan bahan pembawa terbaik untuk formulasiPseudomonas fluorescens (Advinda, 2009) danformulasi bakteri rizoplan untuk mengendalikan X.axonopodis pv. alii pada bawang merah (Farlina etal., 2009). Vidhyasekaran et al. (1997) melaporkan P.fluoresens yang diformula dalam tepung talk masih tetapefektif sampai 6 bulan penyimpanan pada suhu ruang,karena memiliki kelembaban yang sangat rendah danrelatif hidropobik, sehingga memiliki periodepenyimpanan lebih lama. Penyakit hawar daun bakteripada kapas yang disebabkan oleh bakteri Xam denganbentuk formulasi cair dan tepung talk (Rajendran et al.,2006) dan penyakit karat pada kedelai (Priyatno et al.,2007).

Pembahasan mengenai formulasi Bacillus spp.semakin ekspansif sekaligus terbatas ketika dilihat padabanyaknya literatur mengenai formulasi B. thuringiensisuntuk pengendalian biologis pada serangga danterbatasnya publikasi spesifik pada formulasi Bacillusspp. dalam mengendalikan patogen tanaman (Schisleret al., 2004). Untuk itu, diperlukan informasi mengenaipenggunaan bahan pembawa untuk formulasi isolatrizobakteri dan lama penyimpanan yang stabil untukpengendalian penyakit pustul bakteri pada tanamankedelai. Penelitian ini bertujuan untuk memperolehformula isolat rizobakteri yang efektif dan stabil dalammengendalikan penyakit pustul bakteri, serta mampumeningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai pada skalarumah kaca.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan diLaboratorium Mikrobiologi Program Studi ProteksiTanaman dan Rumah Kaca Fakultas PertanianUniversitas Andalas. Penelitian berlangsung mulai bulanFebruari sampai Oktober 2012.

Formulasi Isolat Rizobakteri Unggul. Pengujianformula secara in vitro di laboratorium dan in planta dirumah kaca menggunakan faktorial dalam rancanganacak lengkap (RAL) dengan 2 faktor dan 3 ulangan.Faktor I adalah jenis bahan pembawa (tepung tapioka,gambut, limbah padat tahu), dan faktor II adalah lamapenyimpanan (0, 2, 4, 6 dan 8 minggu). Isolat PL4RZ1.1(Bacillus thuringiensis TS2) yang merupakan isolatpaling efektif dalam mengendalikan penyakit pustulbakteri dan meningkatkan pertumbuhan pada tanamankedelai.

Isolat Rizobakteri indigenus (RBI) B.thuringiensis TS2 diformulasi dalam bentuk padat, isolattersebut diremajakan dalam medium Nutrient Agar (NA)

Page 11: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Yanti et al. Formulasi padat Rhizobakteria 11

selama 24 jam, kemudian 1 koloni tunggal dipindahkanke dalam 25 ml medium Nutrient Broth (preculture)dan diinkubasi pada shaker dengan kecepatan 250 rpmselama 24 jam. Selanjutnya 5 ml suspensi dari preculturedipindahkan ke dalam 500 ml air kelapa dalam labuErlenmeyer dan diinkubasi pada shaker selama 2 x 24jam (mainculture) (Yanti & Resti, 2010). Bahanpembawa B. thuringiensis TS2 (tapioka, gambut danlimbah padat tahu) disterilkan pada suhu 100 oC. Bahanaditif yang digunakan adalah sukrosa 5%. Semuakomposisi formula yang diuji dicampur secara homogen,50 g campuran formula dimasukkan dalam kantongplastik tahan panas dan disterilkan pada suhu 120 oC.Selanjutnya bahan formula diinokulasi dengan isolat RBIunggul (kepadatan populasi 108 CFU/g). Formula(Gambar 1) tersebut diuji viabilitasnya dengan lamapenyimpanan yang berbeda (0, 2, 4, 6 dan 8 minggu).

Pengujian Kestabilan Formula B. thuringiensis TS2di Rumah Kaca. Dalam tahap ini formula 3 formulasiisolat RBI (tepung tapioka, gambut dan limbah padattahu) dengan lama penyimpanan 0, 2, 4, 6 dan 8 minggudiuji kemampuannya mengimunisasi kedelai terhadappenyakit pustul bakteri di rumah kaca. B. thuringiensisTS2 diintroduksi 2x, yaitu: 1) Pada benih, formula B.thuringiensis TS2 dilarutkan dalam air (1:100), kemudianbenih kedelai direndam dalam suspensi tersebut dandikeringanginkan selama 15 menit. Benih kedelai ditanamdalam polybag dengan medium tanam 5 kg campuranpupuk kandang dan tanah steril (2:1 v/v); 2). Padatanaman kedelai muda umur 3 minggu, suspensi formulaisolat RBI disiramkan di sekeliling batang dengan jarak3 cm. Tanaman kedelai diinokulasi dengan Xanthomonasaxonopodis pv. glycines umur 1 bulan melalui pelukaanpada permukaan bawah daun, kemudian dioles dengansuspensi bakteri (kepadatan populasi 106 CFU/ml).Untuk menjaga kelembaban, tanaman kedelai yang telahdiinokulasi disungkup dengan plastik bening. Tanamandipelihara dengan pemberian pupuk, penyiangan gulma,pembumbunan.

Peubah yang diamati adalah: viabilitas isolat B.thuringiensis TS2 dalam formula, perkembanganpenyakit (masa inkubasi dan insidensi penyakit danpertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun,jumlah cabang, saat muncul bunga, saat muncul polongdan hasil). Persentase daun terserang dihitungberdasarkan persentase jumlah daun yang terserang Xagterhadap jumlah total daun). Intensitas daun dan polongterserang dihitung berdasarkan persentase luas bercakserangan Xag terhadap luas total daun ataupun polongyang diamati. Seluruh parameter pertumbuhan tanamandan perkembangan penyakit dihitung efektivitas tiapperlakuan terhadap kontrol dengan menggunakan rumusefektivitas E={(Perlakuan-kontrol)/kontrol} x 100%(untuk parameter tinggi tanaman, jumlah daun, jumlahcabang, bobot kering dan bobot basah, masa inkubasi)dan E={(kontrol- Perlakuan)/kontrol} x 100% (untukpengamatan muncul bunga pertama, persentase daunterserang, intensitas daun dan polong terserang) (Yantiet al., 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Viabilitas Formula Isolat RB. Viabilitas isolat RBIterpilih (hasil pengujian di rumah kaca) yang diformulasidalam berbagai agen pembawa (tepung tapioka, gambutdan limbah padat tahu) menunjukkan stabilitas setelahdisimpan sampai 8 minggu (Tabel 1). Hasil penelitian inihampir sama dengan penelitian Habazar et al. (2008)yang memformulasi isolat RBI dari rizosfer bawangmerah dengan bahan pembawa gambut tergolong lebihstabil dibanding air kelapa, tapioka dan tepung talkSedangkan hasil penelitian Advinda (2009) menunjukkanbahan pembawa berupa tepung tapioka mempunyaikepadatan populasi yang cukup tinggi setelah disimpan6 minggu yaitu 1,4 x1013 cfu/ml, dan sedikit terjadipenurunan populasi menjadi 5,3 x1012 cfu/ml setelah 8minggu.

Bahan pembawa rizobakteri (Pseudomonasfluorescens) yang pertama kali dikenal adalah tepung

Gambar 1. Formula isolat B. thuringiensis TS2; (A) Gambut, (B) Tapioka, (C) Limbah padat tahu

A B C

Page 12: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

12 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 9 - 18

talk (mineral alami dengan rumus kimiaMg

3Si

4O

10(OH)

2. Tepung talk memiliki kelembaban yang

sangat rendah dan relatif hidropobis, sehinggamemungkinkan sebagai bahan pembawa RB denganperiode penyimpanan yang lebih lama. Dandurand etal. (1994) dalam Nakkeeran et al. (2005)mengemukakan bahan pembawa dengan ukuran partikellebih kecil dapat meningkatkan luas permukaannya,sehingga bakteri dapat terlindung dari kekeringan.Penggunaan tepung tapioka sebagai bahan pembawadalam penelitian ini ternyata kemampuannya samadengan tepung talk, karena kondisi fisiknya hampir miripdengan tepung talk, sehingga dapat digunakan sebagaibahan pembawa isolat rizobakteri. Penggunaan tepungtapioka sebagai bahan pembawa juga telah dilaporkanHabazar et al. (2008, 2009) yang menunjukkankemampuan yang sama dengan tepung talk. Martinez-Alvarez et al., (2016) juga menunjukkan bahwaformulasi berbasis tepung B. cereus strain B25 memilikikemampuan yang baik untuk menjaga viabilitas formulasi,meningkatkan kemampuan pelekatan dan peningkatanjumlah spora B.cereus yang berkecambah, serta bersifatantagonis terhadap Fusarium verticilloides.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwaformula gambut memiliki kemampuan paling rendahdalam menjaga viabilitas bakteri. Gambut mudahdigunakan namun tidak selalu tersedia, disamping itugambut mengandung materi pengkontaminan, sehinggaperlu disterilisasi panas untuk membebaskan substansi

yang bersifat racun terhadap bakteri dan mengurangikemampuan hidupnya (Bashan, 1998 dalam Nakkeeranet al., 2005).

Introduksi Formula B. thuringiensis TS2 padaTanaman Kedelai untuk Pengendalian PenyakitPustul Bakteri

Perkembangan Penyakit Pustul Bakteri.Formula B. thuringiensis TS2 dengan berbagai bahanpembawa dan disimpan sampai 8 minggu, setelahdiintroduksi pada benih kedelai menunjukkankemampuan yang relatif stabil dalam menekanperkembangan penyakit pustul bakteri. Umumnyaformula isolat RBI yang diintroduksi pada tanamankedelai mampu menghambat perkembangan penyakitpustul bakteri (Tabel 2). Masa inkubasi Xag padatanaman kedelai yang diintroduksi dengan formula B.thuringiensis TS2 menunjukkan penekanan masainkubasi lebih baik (7,33-11,00 hsi) dibanding dengankontrol (6 hsi) dengan efektivitas berkisar antara 13,34-70,02%. Masa inkubasi Xag yang paling lama adalahpada tanaman kedelai yang diintroduksi dengan B.thuringiensis TS2 dalam formula tepung tapioka yangdisimpan selama 0 minggu (11,00 hsi) dengan efektivitas70,02%. Intensitas serangan penyakit pustul bakteri padadaun kedelai yang diintroduksi dengan beberapa formulaB. thuringiensis TS2 bervariasi antara 6,33-17,00%dengan efektivitas 17,99-69,45%. Formula isolat RBIyang terbaik dalam menekan perkembangan penyakit

Formula Lama penyimpanan Kepadatan populasi (107)

Tepung tapioka (A)

0 5,07 a2 4,50 b4 3,97 cd6 3,07 gh8 2,67 i

Gambut (B)

0 4,63 b2 4,03 c4 3,47 ef6 2,77 hi8 1,67 j

Limbah padat tahu (C)

0 4,17 c2 3,37 efg4 3,67 de6 3,33 fg8 2,93 hi

Tabel 1. Kepadatan populasi B. thuringiensis TS2 dalam formula berbeda dan disimpan dalam waktu yang berbeda(CFU/g/ml)

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyatamenurut LSD pada taraf 5%

Page 13: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Yanti et al. Formulasi padat Rhizobakteria 13

Tabe

l 2. P

erke

mba

ngan

pen

yaki

t pus

tul b

akte

ri p

ada

tana

man

ked

elai

yan

g di

intr

oduk

si d

enga

n fo

rmul

aB

. thu

ring

iens

isT

S2 d

i rum

ah k

aca

Ang

ka y

ang

diik

uti o

leh

huru

f yan

g sa

ma

pada

kol

om y

ang

sam

a m

enun

jukk

an n

ilai

yan

g ti

dak

berb

eda

nyat

a m

enur

ut L

SD p

ada

tara

f 5%

, HSI

= h

ari s

etel

ahin

okul

asi

Page 14: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

14 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 9 - 18

pustul bakteri adalah formulasi tepung tapioka yangdisimpan 0, 2, 4 minggu dan gambut yang disimpan 0minggu. Intensitas polong terserang Xag pada tanamanyang diintroduksi dengan isolat Rb bervariasi antara14,33-21,00% dibanding kontrol (24,93%) denganefektivitas 15,76-42,51%. Hasil penelitian yang samatelah dilaporkan Habazar et al. (2008) bahwa tanamanbawang merah yang diintroduksi dengan isolat JB2sktE1yang diformulasi dengan tepung tapioka (7,80%)mempunyai efektivitas 71,25%. Hasil penelitian Monteiroet al. (2005) menunjukkan bahwa formula yangdifermentasi oleh B. megaterium pv. cerealis dan B.subtilis menunjukkan kemampuan mengendalikan X.campestris pv. campestris pada tanaman cruciferaceae.Menurut Vidhyasekaran (1997), efektivitas formularizobakteri dalam mengendalikan penyakit tanamantergantung kepada jenis formula dan lama simpanformula tersebut. Formula tepung talk efektif sampai 6bulan disimpan dan dapat meningkatkan hasil tanamandi lapangan dan formula gambut efektif sampai 60 hari

disimpan. Sedangkan formula vermiculite, lignite, dankaolinite masa simpannya lebih singkat.

Pertumbuhan Tanaman Kedelai. Pertumbuhantanaman kedelai yang diintroduksi dengan B.thuringiensis TS2 umumnya menunjukkan peningkatandibanding tanaman kontrol, tinggi tanaman meningkatberkisar antara 66,67-84,33 cm dibanding kontrol (61,40cm) dengan efektivitas 8,58-37,35%, jumlah daunberkisar antara 24,00-60,00 helai dibanding kontrol (23helai) dengan efektivitas 28,57-48,33%, dan jumlahcabang berkisar antara 6,00-9,00 buah dibanding kontrol(5,33 buah) dengan efektivitas 12,57-68,86% (Tabel 3dan Gambar 2).

Hasil penelitian ini menunjukkan kecenderunganyang sama dengan beberapa penelitian lainnya, antaralain: menurut Chakraborty et al. (2012) bioformulasi B.megaterium dalam serbuk gergaji, gabah dan limbahteh efektif meningkatkan pertumbuhan teh (tinggitanaman dan jumlah daun). Habazar et al. (2009)

Tabel 3. Pertumbuhan tanaman kedelai setelah diintroduksi dengan B. thuringiensis TS2 di rumah kaca

Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada lajur yang sama adalah berbeda tidak nyata menurut LSDpada taraf 5 %. A = Tepung tapioka, B= Gambut, C = Limbah padat tahu, K = Kontrol.

FormulaLama

penyimpanan(minggu)

Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah cabang

cmEfektivitas

(%)Helai

Efektivitas(%)

cabangEfektivitas

(%)

A 0 84,33 a 37,35 48,33 a 32,78 9,00 a 68,86A 2 82,67 ab 34,64 47,00 a 29,12 8,33 ab 56,35A 4 81,00 bc 31,92 44,67 ab 22,71 8,00 ab 50,09A 6 80,33 bc 30,84 42,67 b 17,22 8,00 ab 50,09A 8 77,33 de 25,95 37,67 c 3,48 8,33 ab 56,35

B 0 75,67 ef 23,24 35,67 cde -2,01 7,67 bc 43,84B 2 76,33 ef 24,32 32,67 e -10,26 7,33 bcd 37,59B 4 80,00 bcd 30,29 32,00 ef -12,09 6,67 cde 25,08B 6 79,67 cd 29,75 26,00 g -28,57 6,67 cde 25,08B 8 76,00 ef 23,78 28,33 fg -22,16 6,00 ef 12,57

C 0 75,00 ef 22,15 33,67 de -7,51 6,33 def 18,82C 2 73,67 fg 19,98 32,33 e -11,17 6,33 def 18,82C 4 72,00 g 17,26 35,00 cde -3,85 6,00 ef 12,57C 6 66,67 h 8,58 35,00 cde -3,85 6,33 def 18,82C 8 66,67 h 8,58 34,67 cde -4,76 6,67 cde 25,08

K 0 61,00 i 35,67 cde 5,67 efgK 2 62,67 i 35,67 cde 5,33 fgK 4 61,67 i 37,00 cd 5,33 fgK 6 61,00 i 35,67 cde 4,67 gK 8 60,67 i 38,00 c 5,67 efg

Page 15: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Yanti et al. Formulasi padat Rhizobakteria 15

Tabel 4. Waktu muncul bunga dan hasil tanaman kedelai setelah diintroduksi dengan B. thuringiensis TS2

FormulaLama

penyimpanan(minggu)

Muncul bunga Berat basah biji Berat kering biji

HSTEfektivitas

(%)g

Efektivitas(%)

gEfektivitas

(%)

A 0 38,33 h 9,74 24,53 a 131,01 17,59 a 118,54A 2 43,67 ab -2,82 21,34 bc 100,94 16,17 ab 100,89A 4 40,67 fg 4,25 22,00 b 107,16 16,42 ab 103,95A 6 41,67 cdefg 1,89 21,48 b 102,26 16,36 ab 103,22A 8 38,33 h 9,74 19,76 cd 86,10 14,80 bc 83,86

B 0 38,00 h 10,53 16,63 f 56,59 13,09 cd 62,59B 2 41,00 efg 3,46 16,82 f 58,41 13,07 cd 62,41B 4 40,33 g 5,03 16,96 ef 59,67 13,30 cd 65,27B 6 41,33 defg 2,68 14,00 gh 31,83 10,68 e 32,62B 8 42,67 abcde -0,46 12,73 ghi 19,84 10,39 e 29,13

C 0 44,33 a -4,39 17,67 ef 66,42 12,74 d 58,26C 2 42,00 bcdefg 1,11 18,47 de 73,95 14,18 cd 76,17C 4 43,00 abcd -1,25 14,23 g 33,96 10,70 e 32,84C 6 43,33 abc -2,03 14,02 gh 32,05 10,51 e 30,56C 8 43,33 abc -2,03 12,52 hi 17,86 9,39 ef 16,65

K 0 41,67 cdefg 10,74 j 8,02 fK 2 42,00 bcdefg 11,49 ij 8,56 fK 4 43,00 abcd 10,73 j 8,20 fK 6 43,33 abc 9,97 j 7,67 fK 8 42,33 bcdef 10,15 j 7,81 f

Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada lajur yang sama adalah berbeda tidak nyata menurut LSDpada taraf 5 %. A = Tepung tapioka, B= Gambut, C = Limbah padat tahu, K = Kontrol; HST= hari setelah tanam.

melaporkan bahwa tanaman jahe kultivar Gajah yangdiintroduksi dengan formula beberapa isolat RBImenunjukkan peningkatan pertumbuhan tanaman (tinggi,jumlah daun dan anakan) dibanding kontrol di rumah

Gambar 2. Perbandingan pertumbuhan kedelai yang diintroduksi dengan formula B. thuringiensis TS2 (J) dengankontrol (P)

kaca. Bustamam (2006) melaporkan bahwa penggunaanmikroba antagonis (jamur, bakteri) dari suppressive soilpada areal pertanaman jahe yang endemik penyakit layubakteri dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jahe.

Page 16: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

16 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 9 - 18

DAFTAR PUSTAKA

Advinda L. 2009. Tanggap Fisiologis Tanaman Pisangyang Diintroduksi dengan Formula PseudomonadFluoresen Terhadap Blood Disease Bacteria(BDB). [Tesis]. Program Pascasarjana Univ.Andalas. Padang.

Ardakani SS, Heydari A, Khorasani N, & Arjmandi R.2010. Development of new bioformulations ofPseudomonas fluorescens and evaluation of theseproducts against damping-off of cotton seedlings.J. Plant Pathol. 92(1): 83–88.

Arguelles-Arias A, Ongena M, Halimi B, Lara Y, BransA, Joris B, & Fickers P. 2009. Bacillusamyloliquefaciens GA1 as a source of potentantibiotics and other secondary metabolites forbiocontrol of plant pathogens. Microbial CellFactories 8(1): 63.

Bashan Y, de-Bashan LE, Prabhu SR, & HernandezJP. 2014. Advances in plant growth-promotingbacterial inoculant technology: formulations andpractical perspectives (1998–2013). Plant Soil378(1): 1–33.

Bustamam H. 2006. Seleksi mikroba rizosfer antagonisterhadap bakteri Ralstonia solanacearumpenyebab penyakit layu bakteri pada tanaman jahedi lahan tertindas. Jurnal Ilmu-Ilmu PertanianIndonesia 8(1):12–18.

Chakraborty U, Chakraborty BN, & Chakraborty AP.2012. Induction of plant growth promotion inCamellia sinensis by Bacillus megaterium andits bioformulations. World J. Agr. Sci. 8(1): 104–112.

Farlina R, Habazar T, & Yanti Y. 2009. Stabilitasbeberapa formula isolat bakteri rizoplan dalampenyimpanan dan kemampuannya menekanpenyakit hawar daun bakteri (Xanthomonasaxonopodis pv. alii) pada tanaman bawang merah.Manggaro 10(2): 49–54.

Habazar T, Nasrun, Jamsari, Rusli I, Ernita M, Irfandri,Resti Z, & Yanti Y. 2009. Introduction ofrhizobacteria indigenous strains from healthyonion rhizosphere to control Xanthomonas leafblight disease on onion. International Seminarand Workshop Biodivesity, Biotechnology, andCrop Production. Padang (ID): PBPI KomisariatSumatera Barat.

Perkembangan Muncul Bunga dan Hasil Kedelai.Hampir semua formula B. thuringiensis TS2 mampumempercepat perkembangan saat muncul bunga sertameningkatkan hasil tanaman kedelai (Tabel 4). Saatmuncul bunga pada tanaman kedelai yang diintroduksidengan B. thuringiensis TS2 berkisar antara 38,00-42,67 hari dibandingkan kontrol (42,47 hari), denganefektivitas -4,39-10,53%. Berat basah biji kedelai yangdiintroduksi dengan B. thuringiensis TS2 berkisarantara 12,52-24,53 g/rumpun dibandingkan kontrol (10,62g/rumpun), dengan efektivitas 17,86-131,01%. Beratkering biji kedelai yang diintroduksi dengan B.thuringiensis TS2 berkisar antara 9,39-17,59 g/rumpundibandingkan kontrol (8,05 g/rumpun), dengan efektivitas16,65-118,54%. Formula yang terbaik dalam memacumempercepat munculnya bunga serta meningkatkanhasil kedelai adalah diformulasi dengan tepung tapiokadan disimpan 0 minggu. Hasil penelitian ini berbedadengan Habazar et al. (2008) yang melaporkan bahwaisolat JmIIRp yang diformulasi dengan gambut dandiintroduksi pada bawang merah menunjukkan hasil yangtertinggi (108 g/rumpun atau 17,41 ton/ha) denganpeningkatan 146,69 % dan JmIIRp yang diformulasidengan tapioka (90,55 g/rumpun atau 14,49 ton/ha)dengan efektivitas 105,33 % dibanding kontrol (44,10 g/rumpun atau 7,06 ton/ha). Hasil penelitian Basu (2014)menunjukkan peningkatan hasil cabai yang cukupsignifikan dengan perlakuan formulasi P. fluorescensdibanding kontrol dan bakterisida serta mampumengendalikan penyakit layu bakteri Ralstoniasolanacearum.

SIMPULAN

Viabilitas B. thuringiensis TS2 yang diformulasidalam berbagai agen pembawa (gambut, tapioka danlimbah padat tahu) bersifat stabil setelah disimpansampai 8 minggu. Formula B. thuringiensis TS2 denganberbagai bahan pembawa dan disimpan sampai 6 minggusetelah diintroduksi pada benih kedelai menunjukkankemampuan yang relatif stabil dalam menekanperkembangan penyakit pustul bakteri. Hampir semuatanaman kedelai yang diintroduksi dengan beberapaformula B. thuringiensis TS2 menunjukkan peningkatanpertumbuhan tanaman, formula yang terbaik adalahformula tepung tapioka pada penyimpanan 0 minggu.

SANWACANA

Penelitian ini dibiayai oleh DP2M DIKTIDEPDIKNAS melalui Hibah Kompetensi Tahun 2012dengan Kontrak No. 063/UN.16/PL/Hikom/2012. Untukitu tim peneliti menyampaikan banyak terimakasih.

Page 17: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Yanti et al. Formulasi padat Rhizobakteria 17

Habazar T, Yanti Y, & Resti Z. 2011. Pengembanganteknik penapisan rizobakteria indigenus secara inplanta untuk pengendalian bakteri patogentanaman. Laporan Hasil Penelitian HibahKompetensi Tahun 2011.

Habazar T, Nasrun, Jamsari, & Rusli I. 2008.penyebaran penyakit hawar daun bakteri(Xanthomonas axonopodis pv. alii) padabawang merah dan upaya pengendaliannyamelalui imunisasi menggunakan rhizobakteria.Laporan Hasil Penelitian KKP3T BALITBANGPERTANIAN.

Habazar T, Yanti Y, & Resti Z. 2010. Pengembanganteknik penapisan rizobakteria indigenus secara inplanta untuk pengendalian bakteri patogentanaman. Laporan Akhir Penelitian Tahun IHibah Kompetensi, DP2M DIKTI.

Hassan MN, Osborn AM, & Hafeez FY. 2010.Molecular and biochemical characterization ofsurfactin producing Bacillus species antagonisticto Colletotrichum falcatum Went causingsugarcane red rot. Afr. J. Microbiol. Res. 4(20):2137–2142.

Hu HQ, Li XS, & He H. 2010. Characterization of anantimicrobial material from a newly isolatedBacillus amyloliquefaciens from mangrove forbiocontrol of Capsicum bacterial wilt. Biol.Control 54(3): 359–365.

Jourdan E, Henry G, Duby F, Dommes J, Barthélemy P,Thonart P, & Ongena M. 2009. Insights into thedefense-related events occurring in plant cellsfollowing perception of surfactin-type lipopeptidefrom Bacillus subtilis. Mol. Plant-MicrobeInteract. 22(4): 456–468.

Khaeruni A, Suwanto A, Tjahjono B, & Sinaga MS.2007. Deteksi cepat penyakit pustul bakteri padakedelai menggunakan teknik PCR dengan primerspesifik. HAYATI J. Bioscience. 14(2): 76-80.

Monteiro L, Mariano RdLR, & Souto-Maior AM. 2005.Antagonism of Bacillus spp. againstXanthomonas campestris pv. campestris. Braz.Arch. Biol. Technol. 48(1): 23–29.

Mueller JD. 2010. Soybean Disease Control. http://w w w. c l e m s o n . e d u / e d i s t o / s o y b e a n s /disease_control/. [18 Juni 2011].

Nakkeeran S, Fernando WGD, & Siddiqui ZA. 2005.Plant Growth Promoting RhizobacteriaFormulations and its Scope in Commercializationfor the Management of Pests and Diseases. In:Z.A. Siddiqui (Ed.), PGPR: Biocontrol andBiofertilization. pp 257–296. Springer, Dordrecht,The Netherlands

Ongena M & Jacques P. 2008. Bacillus lipopeptides:versatile weapons for plant disease biocontrol.Trends Microbiol. 16(3): 115–125.

Perez-Garcia A, Romero D, & de Vicente A. 2011. Plantprotection and growth stimulation bymicroorganisms: biotechnological applications ofBacilli in agriculture. Curr. Opin. Biotechnol.22(2): 187–193.

Priyatno TP, Chaerani, Suryadi Y, & Sudjadi M. 2007.Teknik Produksi dan Formulasi Bakteri Kitinolitikuntuk Pengendalian Penyakit Karat Kedelai. BalaiPenelitian Bioteknologi Tanaman Pangan (BPTP),Bogor.

Rahayu M. 2005. Tanggapan Varietas Kedelai terhadapPenyakit Pustul Xanthomonas axonopodis danPotensi Ekstrak Nabati untuk Pengendaliannya.Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan danUmbi-umbian. Prosiding Seminar Nasional BalaiPenelitian Tanaman Kacang-Kacangan danUmbi-Umbian. Pp. Balitkabi, Malang.

Rajendran L, Saravanakumar D, Ragunchander T, &Samiyappan R. 2006. Endophytic bacterialinduction of defence enzymes againts bacterialblight of cotton. Department of Plant Pathology,Centre for Plant Protection Studies, Tamil NaduAgriculture University, Coimbatore-641003, TamilNadu, India.

Rukayadi Y, Suwanto A, Tjahjono B, & Harling R. 1999.Survival and epiphytic fitness of a nonpathogenicmutant of Xanthomonas campestris pv. glycines.Appl. Environ. Microbiol. 66 (3): 1183-1189.

Schisler DA, Slininger PJ, Behle RW, & Jackson MA.2004. Formulation of Bacillus spp. for biologicalcontrol of plant diseases. Phytopathology 94 (11):1267–1271.

Semangun H. l990. Pengantar Ilmu PenyakitTumbuhan. Yogyakarta. Gadjah Mada UniversityPress.

Page 18: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

18 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 9 - 18

Shu-Bin L, Mao F, Ren-Chao Z, & Juan H. 2012.Characterization and evaluation of the endophyteBacillus B014 as a potential biocontrol agent forthe control of Xanthomonas axonopodis pv.dieffenbachiae - induced blight of Anthurium.Biol. Control. 63(1): 9–16.

Sinclair JB & Backman PA. 1989. Compendium ofSoybean Diseases . 3 rd Ed. The AmericanPhytopathological Society. United States ofAmerica.

Stein T. 2005. Bacillus subtilis antibiotics: structures,syntheses and specific functions. Mol. Microbiol.56(4): 845–857.

Sweets L. 2010. Soybean Foliage Diseases may Beginto Show Up. Vol. 20, No. 13. http://ppp.missouri.edu/newsletters/ipcm/archives/v20n13/a1.pdf [24 Juni 2011].

Vidhyasekaran P, Sethuraman K, Rajappan K, &Vasumathi K. 1997. Powder formulations ofPseudomonas fluorescens to control pigeonpeawilt. Biol. Control 8(3):166–171.

Yanti Y, Habazar T, Resti Z, & Suhalita D. 2013.Penapisan isolat rizobakteri dari perakarantanaman kedelai yang sehat untuk pengendalianpenyakit pustul bakteri (Xanthomonasaxonopodis pv. glycines). J. HPT. Tropika13(1): 24–34.

Yanti Y & Resti Z. 2010. Induksi Ketahanan TanamanBawang Merah dengan bakteri rhizoplan indigenosterhadap penyakit hawar daun bakteri(xanthomonas axonopodis pv allii). DalamSoesanto L, Mugiastuti E, Rahayuniati RF &Manan A (Eds). Prosiding Seminar NasionalPengelolaan OPT Ramah LingkunganPurwokerto,10-11 November 2010. Hal. 235–241.

Page 19: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Suharti et al. Deteksi Bakteri Patogen Terbawa Benih 19 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 17, No. 1: 19 – 36, Maret 2017

DETEKSI BAKTERI PATOGEN TERBAWA BENIH AKOR(ACACIA AURICULIFORMIS A. CUNN. EX BENTH.)

Tati Suharti1, Tri Joko2, & Triwidodo Arwiyanto2

1Program Studi Fitopatologi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada2Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada

Bulaksumur, Yogyakarta 55281E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Detection of seed-borne pathogenic bacteria of northern black wattle (Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.).Intensive research of seed-borne pathogen of A. mangium and A. crassicarpa which have been established in industrialtimber estate (HTI), while plantings development of northern black wattle in Indonesia 1990 have not recent been establishedin the 1990s. Very limited information available on northern black wattle diseases especially seed-borne diseases. Theobjectives of this study were to identify seed-borne pathogenic bacteria of northern black wattle and the effects on seedgermination. Methods for the isolation of bacteria were by seed soaking, seed griding, blotter test, growing-on test onpaper and soil. Identification of bacteria by PCR used 63F/1387R primer. The results showed that seed-borne bacteria ofnorthern black wattle were Paenochrobactrum sp., Ralstonia sp., Burkholderia cepacia complex, Pseudomonas stutzeri,Acinetobacter sp., Alcaligenes faecalis, Salmonella bongori, Escherichia hermannii while pathogenic bacteria causeseedling leafspot were Micrococcus luteus and Burkholderia cepacia complex. Burkholderia cepacia complex, A. faecalis,Acinetobater sp., P. stutzeri, S. bongori and Ralstonia sp. reduced seed germination and increased rotten seed, suggestedthat they were the pathogenic bacteria of northern black wattle seed. Ralstonia sp. significantly increased the percentageof rotten seed and decreased shoot length and root length. P. stutzeri and S. bongori significantly inhibited the rootgrowth. Paenochrobactrum sp. and E. hermannii were assumed as pathogen with weak virulence due to seed germination,the percentage of rotten seed and vigour index were relatively similar to untreated seed.

Key words: Acacia auriculiformis, bacteria, pathogen, seed

ABSTRAK

Deteksi bakteri patogen terbawa benih akor (Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.). Penelitian patogen terbawa benihsudah banyak dilakukan untuk mangium (A. mangium) dan krasikarpa (A. crassicarpa) yang banyak dikembangkan di HTInamun untuk pengembangan tanaman akor (Acacia auriculiformis) di Indonesia baru dimulai tahun 1990-an sehingga belumbanyak informasi mengenai penyakit pada akor di Indonesia khususnya penyakit terbawa benih. Tujuan penelitian ini adalahuntuk mengetahui bakteri patogen terbawa benih akor dan pengaruhnya terhadap perkecambahan benih. Isolasi bakteridilakukan dengan perendaman benih, penggerusan benih, inkubasi benih, growing on test pada kertas dan pada tanah steril.Identifikasi bakteri dengan PCR dengan menggunakan primer 63 F/1378R. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa bakteriterbawa benih akor antara lain Paenochrobactrum sp., Ralstonia sp., Burkholderia cepacia complex, Pseudomonas stutzeri,Acinetobacter sp., Alcaligenes faecalis, Salmonella bongori, Escherichia hermannii sedangkan patogen penyebab bercakpada daun bibit akor adalah Micrococcus luteus dan Burkholderia cepacia complex. Burkholderia cepacia complex, A.faecalis, Acinetobater sp., P. stutzeri, S. bongori dan Ralstonia sp. dapat menurunkan daya berkecambah dan meningkatkanpersentase benih berlendir sehingga bakteri tersebut diduga merupakan patogen pada benih akor. Ralstonia sp. meningkatkanpersentase benih berlendir dan menurunkan panjang tunas dan panjang akar P. stutzeri dan S. bongori berpengaruh nyatadalam menghambat pertumbuhan akar. Paenochrobactrum sp. dan E. hermannii diduga merupakan patogen dengan virulensilemah karena daya berkecambah, persentase infeksi benih terinfeksi dan index vigor benih yang diinokulasi E. hermannii danPaenochrobactrum sp. relatif sama dengan pada kontrol.

Kata kunci: Acacia auriculiformis, bakteri, benih, patogen

Page 20: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

20 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 19 - 36

PENDAHULUAN

Akor (Acacia auriculifomis) merupakan jenistanaman hutan yang cepat tumbuh (fast growingspecies). Akor mempunyai banyak manfaat antara lainuntuk industri mebel, bahan baku kertas, konstruksiringan, sumber tanin, penghijauan, rehabilitasi lahan kritisdan bekas tambang, pemecah angin, pencegah erosi,bahan bakar, peneduh jalan, agroforestri, penghasilmadu, substrat jamur edible, industri batik dan keperluanestetik (Turnbull et al., 1998; Joker, 2001).

Dewasa ini akor banyak dikembangkan di hutantanaman industri (HTI) dan hutan rakyat mengingatsalah satu potensi dari tanaman ini sebagai sumber energi.Produktivitas kayu akor 12-15 m3/ha/tahun dengan rotasi10-12 tahun sedangkan produksi arang dari akormencapai 16 ton/ha/tahun (Gosling, 2007). Akor untukkebutuhan sumber energi dapat dipanen pada umur 3tahun (Haishui & Zengjiang, 1993). Produksi kayu akordi Indonesia mencapai 15-20 m3/ha/tahun dengan rotasi10-12 tahun (Das, 1986 dalam Islam, 2013).

Dalam mendukung program penanaman akoruntuk berbagai peruntukan tersebut diperlukan benihbermutu. Namun salah satu kendala dalam pelaksanaanpenanaman yaitu tidak tersedianya benih bermutu baikmutu fisik, fisiologis, genetik maupun patologis dalamjumlah yang cukup.

Patogen terbawa benih dapat menyebabkankerugian secara ekonomi. Kerugian akibat patogenterbawa benih dapat terjadi baik pada saat di lapanganmaupun ditempat penyimpanan. Kerugian tersebut dapatterjadi secara langsung pada tanaman yang berasal daribenih yang bersangkutan seperti menurunkan kualitasbenih, mengurangi perkecambahan benih, vigor bibit dandaya simpan benih atau dapat terjadi dalam jangkapanjang setelah patogen mampu bertahan di tanah, sisatanaman dan gulma.

Penelitian patogen terbawa benih sudah banyakdilakukan pada mangium (A. mangium) dan krasikarpa(A.crassicarpa) yang banyak dikembangkan di HTInamun untuk pengembangan tanaman akor di Indonesiabaru dimulai tahun 1990-an (Hendrati et al., 2014)sehingga belum banyak informasi mengenai penyakitpada akor di Indonesia khususnya penyakit terbawabenih. Penelitian jamur patogen terbawa benih akorsudah dilakukan pada penelitian sebelumnya sedangkaninformasi bakteri patogen terbawa benih akor belumbanyak dijumpai. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukandengan tujuan mengetahui bakteri patogen terbawa benihakor dan pengaruhnya terhadap perkecambahan benih.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Lokasi pengunduhan benih akor(Acacia auriculiformis) yaitu di Desa Banaran,Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul,Yogyakarta. Penelitian dilakukan di LaboratoriumBakteriologi Tumbuhan, Departemen Hama danPenyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, UniversitasGadjah Mada dari bulan Juli 2015 sampai Juni 2016.

Isolasi Bakteri dengan Perendaman danPenggerusan Benih. Benih didisinfeksi dengan natriumhipoklorit 0,5% selama 4 menit selanjutnya dicuci denganair suling steril sebanyak 3 kali (Umesha, 2006).Ekstraksi benih menurut Bolkan et al. (1997) yaitu 400benih dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 50ml buffer fosfat (7,75 g/l of K2HPO4+ 1,65 g/l KH2PO4)pH7,4 selanjutnya digojok selama 15 menit.Pengenceran berseri sampai10-5 dilakukan dengan bufferfosfat. Sebanyak 0,1 ml dari masing-masing pengenceranditumbuhkan pada media YPA (pepton 10 g, yeast 3 g,akuades 1000 ml) (Schaad et al., 2001) dan King’s B(pepton 20 g, KH2PO4 1,5 g, MgSO4.7H2O 1,5 g, gliserol15 ml, agar 5 g, akuades 1000 ml) (Schaad et al., 2001)yang ditambahkan 100 ppm Cycloheximide. Untukpenggerusan, benih setelah disterilisasi digerus denganmenggunakan mortar selanjutnya digojok selama 15 menitdan dilakukan pengenceran berseri.

Metode Inkubasi dengan Media Kertas. Benihsebanyak 400 (100 x 4 ulangan) diletakkan di dalamcawan petri berdiameter 15 cm yang telah diberi tigalapis kertas saring basah. Sebelum dikecambahkan,terdapat 2 perlakuan terhadap benih yang disterilisasiterlebih dahulu dengan NaOCl 0,5 % kemudian dicuciair steril sebanyak 3 kali dan benih yang tidak disterilisasi(hanya dicuci air steril). Selanjutnya benih diinkubasipada suhu kamar dengan penyinaran lampu 12 jamterang dan 12 jam gelap secara bergantian selama 7hari. Pengamatan meliputi identifikasi bakteri patogen,gejala penyakit pada benih dan persentase infeksibakteri.

Growing-on Test pada Media Kertas. Benihsebanyak 400 (100 x 4 ulangan) direndam dalam airpanas (suhu ± 97 ºC) dan dibiarkan sampai dingin selama24 jam selanjutnya ditabur pada media kertas steril.Pengamatan dilakukan selama 4 minggu, meliputi dayaberkecambah dan persentase benih terinfeksi bakteri.

Page 21: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Suharti et al. Deteksi Bakteri Patogen Terbawa Benih 21

Growing-on Test pada Media Tanah Steril. Uji iniditujukan untuk meniru atau mewakili kondisi lapangan.Pengujian ini dilakukan untuk bakteri patogen terbawabenih yang membutuhkan waktu inkubasi lama sehinggamenghasilkan gejala pada bibit. Benih ditabur sebanyak400 butir (100 x 4 ulangan) pada nampan berisi tanahsteril. Polybag (20 x 10 cm) diisi tanah steril sebanyak¾ volume polybag selanjutnya bibit yang berumur 1 bulandipindah ke polybag sebanyak 1 bibit/polybag.Pengamatan dilakukan sampai bibit berumur 3 bulan.Apabila terdapat penyakit yang disebabkan bakteri,patogen diisolasi dan selanjutnya diidentifikasi.

Uji Reaksi Hipersensitif (HR). Suspensi bakteridibuat dengan air steril dengan kepadatan ±108 sel/ml.Suspensi bakteri diinfiltrasikan ke dalam helai dauntembakau dengan alat injeksi yang jarumnya dilepassampai nampak bercak kebasahan (hijau tua). Kontrolmenggunakan air steril. Pengamatan dilakukan sampaitujuh hari kemudian.

Uji Inokulasi Buatan pada Tanaman Inang. Bibitakor diinokulasi dengan suspensi bakteri yangmenunjukkan gejala klorosis atau nekrosis pada uji HR.Gunting dicelupkan dalam suspensi bakteri dengankepadatan ±108 sel/ml. Selanjutnya daun diinokulasidengan suspensi bakteri dengan cara menggunting daunsebanyak 4 ulangan untuk masing-masing isolat. Kontrolmenggunakan air steril.

Uji Reaksi Gram. Isolat yang menunjukkan gejala padauji patogenesitas kemudian dilakukan uji Gram.Pengujian dengan menggunakan KOH 3%. Satu osebakteri diletakkan pada gelas benda dan diberi satu tetesKOH 3% lalu dicampur-ratakan. Apabila ketika jarumose diangkat terbentuk benang lendir maka bakterimerupakan Gram negatif.

Uji Oksidasi Fermentasi (OF). Satu ose bakteriditusukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi mediaOF (pepton 2,0 g, NaCl 5,0 g, glukosa 10,0 g, KH2PO40,3 g, agar 15 g, bromtymol blue (1%) 3,0 ml, aquades1000 ml, PH 6,8 -7,1 (Sands, 1990). Media diberi minyakparafin dan tidak diberi minyak parafin masing-masingsebanyak 3 tabung. Selanjutnya semua tabung tersebutdiinkubasi pada suhu kamar dan diamati selama 2minggu. Apabila terjadi perubahan warna hijau menjadikuning pada tabung yang diberi dan tidak diberi minyakparafin, maka bakteri tersebut aerob/anaerob fakultatif.

Uji Oksidase. Satu ose bakteri digoreskan pada kertasfilter yang telah mengandung tetramethil-

parafenilendiamin dihidroklorida (C6H4[N(CH3)2]2·2HCl) 1%. Apabila terjadi perubahan warna menjadimerah keunguan dalam waktu 10-60 detik, maka bakterimempunyai sitokrom C.

Uji Katalase. Satu ose bakteri diletakkan pada gelasbenda. Selanjutnya diberi satu tetes (H2O2). Apabilaterbentuk gelembung udara maka bakteri mempunyaienzim katalase.

PCR. Isolat bakteri yang akan diidentifikasi dengan PCRadalah isolat yang menunjukkan gejala klorosis ataunekrosis pada uji HR dan uji inokulasi buatan padatanaman inang dari setiap metode (perendaman benih,penggerusan benih, inkubasi pada kertas, growing-ontest pada kertas dan tanah steril). Apabila dari masing-masing metode tersebut menghasilkan warna koloni yangberbeda maka koloni yang berbeda warna tersebutdiidentifikasi dengan PCR. Primer yang digunakan yaituprimer universal 63F (5 – CAG GCC TAA CAC ATGCAA GTC–3) dan 1378R (5 –GGG CGG WGT GTACAA GGC – 3) (Marchesi et al., 1998). Pasanganprimer 63 F/1378R memiliki urutan basa 1300 pasangbasa. Marker yang dipakai adalah 1 kilo pasang basa.Tahapan identifikasi dengan PCR yaitu isolasi DNAbakteri, amplifikasi DNA dengan PCR danelektroforesis.

Isolasi DNA bakteri. Isolasi DNA mengikuti metodeyang dikembangkan Ausubel et al. (2003) denganmodifikasi (Berlian, 2012).

Amplifikasi DNA dengan PCR. Mesin PCRyang digunakan yaitu MJ Research PTC-150MiniCycler, BIO RAD. Komposisi yang digunakansebanyak 25 µl yang terdiri dari 12,5 µl kapa taq readymix, 1 µl primer F 10 pmol, 1 µl primer R 10 pmol,aquabides 9,5 µl dan DNA bakteri 1 µl. Siklus amplifikasiyang digunakan yaitu predenaturasi dengan suhu 95 oCselama 3 menit, denaturasi dengan suhu 95 oC selama30 detik, annealing dengan suhu 50 oC selama 30 detik,ekstension dengan suhu 72 oC selama 1 menit denganfinal ekstension dengan suhu 72 oC selama 2 menitsebanyak 35 siklus.

Elektroforesis. Visualisasi DNA menggunakanagarose 1%. Agarose ditimbang sebanyak 0,3 g dandimasukkan ke dalam botol kaca selanjutnya ditambahTBE 1 X sebanyak 30 ml. Setelah itu dipanaskan denganmenggunakan microwave selama ± 5 menit. Larutandituang ke dalam cetakan (gel tray). DNA hasilamplifikasi dimasukkan ke dalam sumuran gel masing-masing sebanyak 3 µl. DNA marker yang digunakanadalah 1 kilo pasang basa sebanyak 3 µl. Gel agarosa

Page 22: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

22 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 19 - 36

dimasukkan ke dalam mesin elektroforesis yang berisiTBE 1 X. Elektroforesis dilakukan selama 45 menit pada50 volt. Setelah itu dilakukan pewarnaan denganmenggunakan ethidium bromide (EtBR) denganmerendam gel selama 10 menit selanjutnya visualisasiDNA dengan menggunakan UV transiluminator (UVTransiluminator 2000, BIO RAD).

Analisis Sekuen DNA dan Filogenetik. DNAhasil amplifikasi selanjutnya disekuensing yang dilakukanoleh PT. Genetika Science Indonesia denganmenggunakan pasangan primer 63 F/1387 R. Analisishomologi hasil sekuensing menggunakan program Blast(Basic Local Alignment Search Tool) di NCBI. Analisissekuen nukelotida isolat dan filogenetik menggunakansoftware MEGA 6 (Tamura et al., 2013) berdasarkanpendekatan Neighbor- Joining (NJ).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Benih Akor Diduga Terinfeksi Bakteri padaPerkecambahan di Media Kertas. Benih yang didugaterinfeksi bakteri ditandai dengan adanya lendir padapermukaan benih. Benih yang berlendir tersebut secara

umum tidak dapat berkecambah. Gejala lain benih yangdiduga terinfeksi bakteri yaitu dengan ditandai benihberlendir, hampa dan busuk (Gambar 1). Pada bibit umur2 bulan ditemukan bibit yang diduga terinfeksi patogendengan ditandai bercak coklat yang dimulai dari ujungdaun (Gambar 1c).

Lendir yang terdapat di permukaan benih diamatidengan menggunakan TEM (transmission electronmicroscope). Lendir pada permukaan benih akor diperkecambahan diduga terdapat populasi berbagai jenisbakteri dengan bermacam-macam bentuk sepertibatang, batang bengkok, batang bulat (Gambar 2).

Identifikasi Bakteri Patogen Terbawa Benih Akor.Pada metode penggerusan benih dan diisolasi pada mediaKings’B tidak ditemukan koloni bakteri setelah diinkubasiselama seminggu. Jumlah isolat bakteri dan persentaseisolat yang menunjukkan gejala klorosis dan nekrosispada uji hipersensif dan uji inokulasi buatan pada tanamaninang dari masing-masing metode tertera pada Tabel 1.

Gejala klorosis dan nekrosis pada uji HR yangpaling banyak ditemukan pada isolat dari inkubasi benihbaik yang disterilisasi dengan NaOCl maupun yang tidakdisterilisasi dan isolat dari daun bibit (growing on test)

A B C D E

Gambar 2. Morfologi sel bakteri terbawa benih akor; A. Morfologi beberapa jenis bakteri yang terdapat padapermukaan benih akor di Perkecambahan, B. Sel bakteri berbentuk batang oval (ovoid bacillus) denganflagel, C. Sel bakteri berbentuk panjang dengan flagel, D. Sel bakteri berbentuk panjang (bacillus)tidak berflagel dan berbentuk batang bulat (coccusbacillus), E. Sel bakteri berbentuk panjangmembengkok (curve bacillus)

Gambar 1. Beberapa gejala penyakit yang diduga disebabkan bakteri pada benih, kecambah dan daun bibit; A.Benih berlendir dan benih sehat, B. Kecambah busuk, C. Bercak coklat

A B C

Page 23: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Suharti et al. Deteksi Bakteri Patogen Terbawa Benih 23

sedangkan yang paling sedikit menghasilkan gejaladiperoleh dari penggerusan benih (47%). Gejala dimulaidengan klorosis tetapi apabila berkembang dengan cepatdapat menghasilkan gejala nekrosis (Gambar 3).Umumnya gejala klorosis dan nekrosis jelas terlihat pada48 jam setelah inokulasi. Fanani et al. (2015) melaporkanbahwa pada uji HR, bakteri patogen pada tanamankantong semar menunjukkan gejala nekrosis dalamwaktu 48 jam setelah inokulasi.

Gejala klorosis dan nekrosis pada uji inokulasibuatan muncul mulai hari ke-4. Hadianto et al. (2015)melaporkan bahwa uji inokulasi buatan Xanthomonasoryzae pv. Oryzae pada padi var ietas Inpari

menghasilkan gejala nekrosis pada hari ke-4. Gejala yangditimbulkan yaitu bercak nekrotik berwarna coklat disekitar tempat inokulasi atau klorosis di jaringan sekitartempat inokulasi (Gambar 4). Isolat yang diperoleh daribenih (bukan dari bibit) menghasilkan gejala klorosis dannekrosis pada uji inokulasi buatan yang sama denganpada uji HR yaitu paling sedikit ditemukan pada isolatpenggerusan benih (20,75%) sedangkan yang palingbanyak ditemukan pada isolat inkubasi benih yangdisterilisasi NaOCl (70%). Dengan demikian metodepenggerusan benih menghasilkan isolat paling sedikityang menghasilkan gejala pada uji HR dan uji inokulasibuatan, sebaliknya metode yang menghasilkan isolat yang

Metode Media Jumlah isolat Uji Hipersensitif (%)

Uji Inokulasi Buatan (%)

Perendaman KB 21 66,67 45,00 Perendaman YPA 42 57,14 26,19 Penggerusan KB - - - Penggerusan YPA 53 47,00 20,75 Inkubasi pada kertas disterilisasi NaOCl YPA 10 100,00 70,00 Inkubasi pada kertas tidak disterilisasi NaOCl YPA 18 100,00 44,44 Growing on test pada kertas YPA 10 60,00 50,00 Growing on test pada tanah steril YPA 10 100,00 30,00

Tabel 1. Jumlah isolat bakteri dari berbagai metode yang menunjukkan gejala klorosis dan nekrosis pada uji hipersensitifdan uji inokulasi buatan pada tanaman inang

Gambar 4. Gejala pada uji inokulasi buatan; A. Nekrosis, B. Klorosis

A B

Gambar 3.Gejala klorosis dan nekrosis pada uji HR

Page 24: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

24 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 19 - 36

relatif banyak menghasilkan gejala pada uji HR dan ujiinokulasi buatan adalah metode inkubasi benih yangdisterilisasi NaOCl.

Isolat yang menunjukkan gejala klorosis dannekrosis pada uji inokulasi buatan selanjutnya dilakukanuji Gram, katalase, oksidase dan oksidasi fermentasi

Metode Isolat Morfologi koloni G K O OF

Perendaman diisolasi pada King’s B

KB 2 Krem, abu-abu kecoklatan, mukoid, bulat, tepi halus - + + + KB 3 Krem, abu-abu kecoklatan, mukoid, bulat, tepi halus - + + + KB 4 Krem, abu-abu kecoklatan, mukoid, bulat, tepi halus - + + + KB 11 Krem, abu-abu kecoklatan, mukoid, bulat, tepi halus - + + + KB 13 Krem, abu-abu kecoklatan, mukoid, bulat, tepi halus - + + + KB 15 Krem, abu-abu kecoklatan, mukoid, bulat, tepi halus - + + + KB 17 Krem, abu-abu kecoklatan, mukoid, bulat, tepi halus - + + +

Perendaman disolasi pada YPA

Y 1.4 Putih, krem, bulat, tepi halus - + + + Y 1.8 Krem, kuning, bulat, tepi halus - + + + Y 1.15 Putih, krem, tak beraturan, pinggir berlekuk, kering - + + + Y 1. 17 Krem,kuning, bulat, tepi halus - + + + Y 2.12 Krem,kuning, bulat, tepi halus - + + + Y 2.14 Putih, krem, tak beraturan, pinggir berlekuk, kering - + + + Y 2.17 Krem,kuning, bulat, tepi halus - + + + Y. 2.21 Krem,kuning, bulat, tepi halus - + + +

Penggerusan diisolasi pada YPA

YT 1.1 Putih, krem, tak beraturan, pinggir berlekuk, kering - + + + YT 1.2 Putih, krem, tak beraturan, pinggir berlekuk, kering - + + + YT 1.17 Krem, kuning, bulat, tepi halus - + - +

Inkubasi pada kertas disterilisasi NaOCl

Na 1 Kuning muda, bulat, tepi halus - + + + Na 2 Kuning muda, kuning, bulat, tepi halus - + + + Na 3 Krem, kuning, bulat, tepi halus - + + + Na 4 Krem,kuning, bulat, tepi halus, - + + + Na 5 krem, kuning tua, bulat, tepi halus - + + + Na 7 krem, kuning tua, tepi halus, - + + + Na 8 Krem, kuning, bulat, tepi halus - + + +

Growing on test pada kertas

AP 2 Kuning, bulat, tepi halus - + + + AP 3 Kuning, bulat, tepi halus - + + + AP 5 Kuning, bulat, tepi halus - + + + AP 6 Kuning, bulat, tepi halus - + + + AP 7 Kuning, bulat, tepi halus - + + +

Inkubasi pada kertas tidak disterilisasi NaOCl

ST 1.1 Putih, krem, bulat, tepi halus, mukoid - + - + ST 1.3 Putih, krem, bulat, tepi halus, mukoid - + - + ST 2.1 Kuning, bulat, tepi halus - + + + ST 2.2 Kuning, bulat, tepi halus - + + + ST 2.3 Krem, kuning, bulat, tepi halus - + + + ST 2.7 Kuning, bulat, tepi halus - + + + ST 2.11 Krem, kuning, bulat, tepi halus - + + + B1 Krem, kuning, bulat, tepi halus - + + + B2 Kuning, bulat, tepi halus + + + + B4 Krem, kuning, bulat, tepi halus - + + +

Tabel 2. Beberapa karakteristik isolat dari masing-masing metode

G: Gram; K: Katalase; O: Oksidase; OF: Oksidasi fermentasi

sebanyak 40 isolat. Hampir semua isolat yang diujimerupakan bakteri Gram negatif. Terdapat satu isolat(B2) merupakan bakteri Gram positif. Semua isolat yangdiuji merupakan bakteri aerob dan mempunyai enzimkatalase (Tabel 2).

Page 25: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Suharti et al. Deteksi Bakteri Patogen Terbawa Benih 25

Hasil pengujian menggunakan metode PCRditentukan berdasarkan panjang produk DNA yangdihasilkan dari proses PCR. Panjang produk PCRditentukan dengan mensejajarkan pita DNA targetdengan marker yang memiliki skala penanda panjangDNA. Hasil positif ditentukan dari posisi pita DNA yangsesuai dengan panjang produk yang diharapkan. FragmenDNA hasil amplifikasi masing-masing isolat bakteriteramplifikasi dan diperkirakan mempunyai ukuran ±1300 pasang basa (Gambar 5). Keberhasilan amplifikasi

DNA dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunyayaitu konsentrasi primer. Joko et al. (2011) melaporkanbahwa pengenceran primer 10x (10 pmol) menghasilkanamplifikasi DNA yang optimal.

Hasil analisis sekuensing semua isolat denganBLAST pada NCBI diperoleh E-value nol sehinggasemua sekuen homolog dengan sekuen yang terdapatdi NCBI (Tabel 3). Pensejajaran hasil sekuensing dengansekuen yang terdapat pada GenBank diperoleh tingkatkemiripan > 98% sebanyak 9 isolat dan terdapat 2 isolat

Tabel 3. Hasil pensejajaran sekuen isolat beberapa bakteri pada benih dan bibit akor dengan sekuen yang terdapatpada GenBank

Isolat Max score

Total score

Query cover E-value Ident Sekerabat

KB 3 987 987 72% 0 87% Paenochrobactrum sp. AP 3 2169 2169 95% 0 97% Ralstonia sp. B1 2170 2170 93% 0 99% Burkholderia cepacia complex B2 2226 2226 97% 0 98% Micrococcus luteus Na1 1238 1238 100% 0 100% Alcaligenes faecalis Na7 1271 1271 85% 0 88% Acinetobacter sp. ST 1.13 1136 1507 99 % 0 99 % Escherichia hermannii ST 2.2 1832 2424 99 % 0 99 % Burkholderia cepacia complex YT 1.2 1858 2482 99 % 0 99 % Pseudomonas stutzeri YT 1.17 1875 2401 99 % 0 99 % Salmonella bongori Y 2.12 1881 2406 99 % 0 99 % Burkholderia cepacia complex Y 2.14 1149 1474 99 % 0 99 % Pseudomonas stutzeri

Gambar 5. Hasil elektroforesis gel amplifikasi gen 16S rRNA; 1. isolat AP 3, 2. isolat B1, 3. isolat Na7, 4. isolat YT1.17, 5. isolat ST 2.2, 6. isolat Y 2.12, 7. isolat KB 3, 8. isolat B2, 9. isolat Na1, 10. isolat YT 1.2, 11.isolat ST 1.3, 12. isolat Y 2.14, m = marker

1 2 3 4 5 6 m 7 8 9 10 11 12

1300 pasang basa

Page 26: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

26 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 19 - 36

Paenochrobactrum gallinarii Sa25 Paenochrobactrum glaciei Pi 26

Paenochrobactrum pullorum 280KB3

Pseudochrobactrum asaccharolyticum CCUG 46016

Pseudochrobactrum kiredjianiae CCUG 49584T Falsochrobactrum ovis B1315

Ochrobactrum grignonense S-6 Ochrobactrum gallinifaecis MLS-7-8

Ochrobactrum pecoris 08RB2639T Rhizobium etli NBRC 15573 Rhizobium galegae LMG 6214

Rhizobium huautlense HNSQ3 Acinetobacter schindleri YNB103

Alcaligenes faecalis L48 Micrococcus luteus WS7

Streptomyces scabiei D1100

97

100

100

100

99

99 98

87

83

75

49

47

94

0.02

Gambar 6. Pohon filogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan antara isolat KB3 berdasarkan sekuen 16SrRNA yang terdapat di GenBank. Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan pendekatan Neighbor-Joining (NJ) dengan bootstrap 1000x. Sekuen Acinetobacter shindleri, Alcaligenes faecalis,Micrococcus luteus dan Streptomyces scabiei digunakan sebagai outgroup

yang mempunyai tingkat kemiripan relatif rendah yaituAP3 (87 %) dan Na7 (88 %). Selanjutnya hubungankekerabatan untuk tiap isolat divisualisasikan dalampohon filogenetik.

Hasil pensejajaran sekuen isolat KB3 dengansekuen pada GenBank sekerabat denganPaenochrobactrum sp. (Gambar 6) dengan tingkatkemiripan sebesar 87%.

Paenochrobactrum sp. merupakan bakteriendofit pada kilemo (Litsea cubeba) (Ling et al., 2012).Bakteri dari famili yang sama (Brucellaceae) yaituOchrobactrum antropi merupakan patogen pada benihPrunus dulcis (Rakhashiya et al., 2016).

Isolat AP3 sekerabat dengan Ralstonia sp.dengan tingkat kemiripan sebesar 97% (Gambar 7).Ralstonia sp. ditemukan pada benih mentimun (Ofeket al., 2011).

Isolat B1, ST 2.2 dan Y 2.12 sekerabat denganBurkholderia cepacia complex dengan tingkatkemiripan 99% (Gambar 8). Dari Gambar 8 terlihatbahwa ketiga isolat belum bisa dipastikan spesiesnya

karena Burkholderia cepacia complex memilikihubungan kekerabatan yang dekat, namun ketiga isolatini memiliki kekerabatan genetik yang dekat denganBurkholderia contaminans. Burkholderia cepaciacomplex terdiri dari 17 spesies antara lain Burkholderiacepacia, B. multivorans, B. cenocepacia, B. stabilis,B. vietnamiensis, B. dolosa, B. ambifaria, B. anthina,B. pyrrocinia, B. ubonensis, B. latens, B. diffusa, B.arboris, B. seminalis, B. metallica, B. contaminansdan B. lata. Dua spesies terbaru yaitu B. contaminansdan B. lata (Vanlaere et al., 2009). Beberapa spesiesdilaporkan memiliki hubungan kekerabatan yang dekatseperti Burkholderia cepacia complex (>97,5 %)dengan 16S rRNA (Coenye et al., 2001) sehingga untukmembedakan ketiga isolat tersebut sebaiknyamengunakan primer gen housekeeping. Genhousekeeping merupakan gen fungsional yangmempunyai laju evolusi lebih tinggi daripada gen 16SrRNA (Avise, 1994). Mahenthiralingam et al. (2000)melaporkan bahwa gen recA merupakan genhousekeeping yang dapat membedakan keragaman

Page 27: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Suharti et al. Deteksi Bakteri Patogen Terbawa Benih 27

Ralstonia respiraculi AU3313 Ralstonia respiraculi H2S2 Ralstonia respiraculi SLR1

AP3 Ralstonia gilardii MXC3-9 Ralstonia gilardii 009\817

Ralstonia gilardii isolat 009\817 Ralstonia taiwanensis LMG 19424 Ralstonia taiwanensis MS1 Ralstonia necator NBRC 102504 Ralstonia eutropha VKPM B5786 Ralstonia eutropha VKPM B8562

Ralstonia campinensis WS2 1 Ralstonia insidiosa AU2944 1

Ralstonia mannitolilytica SDV Ralstonia thomasii LMG 6866

Ralstonia pseudosolanacearum UQRS 461 Ralstonia solanacearum LMG 2299 Ralstonia syzygii sub sp. celebesensis UQRS

Pseudomonas stutzeri BD-2.2.174

78

84

85

95

100

99

100 44

99

81

71

37

55

32

0.02 Gambar 7. Pohon filogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan antara isolat AP3 berdasarkan sekuen 16S

rRNA yang terdapat di GenBank. Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan pendekatan Neighbor-Joining (NJ) dengan bootstrap 1000x. Sekuen Pseudomonas stutzeri digunakan sebagai outgroup

Burkholderia cepacia complex. Burkholderia sp.ditemukan pada benih mentimun (Ofek et al., 2011).Burkholderia sp. dapat berada di xylem, substomatalchamber dan bagian aerial tanaman anggur melaluialiran transpirasi (Compant et al., 2005). Burkholderiacepacia complex dilaporkan ditemukan pada akar danbatang tebu (Gonzalez et al., 2011).

Isolat B2 sekerabat dengan Micrococcus luteusdengan tingkat kemiripan 98% (Gambar 9). Micrococussp. merupakan patogen pada tanaman horse chestnut(Aesculus L.). Patogen menyebabkan tunas kering dan1/3 sampai 1/2 permukaan daun nekrosis. Terdapatklorosis di sekitar nekrosis. Nekrosis terdapat pada ujungsampai tengah daun kemudian menjadi kering (Iakovlevaet al., 2013). Gejala tersebut sama seperti yang terdapatpada daun bibit akor. Rakhashiya et al. (2015)melaporkan bahwa di India, M. luteus menyebabkanbercak daun mangga. Daun yang terinfeksi dapat gugursehingga dapat menurunkan produksi buah mangga.

Isolat Na 1 sekerabat dengan Alcaligenesfaecalis dengan tingkat kemiripan 100% (Gambar 10).

Bakteri ini ditemukan pada benih gulma Abutilontheophrasti dan Datura stramonium (Kremer et al.,1987).

Isolat Na 7 sekerabat dengan Acinetobacter sp.dengan tingkat kemiripan 88% (Gambar 11). Daribeberapa penelitian melaporkan bahwa Acinetobactersp. dapat menyebabkan kerusakan pada fase benih,kecambah sampai tanaman dewasa pada berbagai jenistanaman seperti tanaman hortikultur, tanaman pangandan tanaman keras dan menginfeksi berbagai organ(benih, tangkai bunga, batang, tunas). Bakteri iniditemukan pada benih gulma Abutilon theophrasti,Datura stramonium (Kremer et al., 1987), Cassiafistula (Kaur et al., 2009) dan mentimun (Ofek et al.,2011). Bakteri ini dapat menyebabkan busuk kecambahkedelai (Yun & Kim, 2003), layu pada bibit pinus (Pinusthunbergii) (Xie et al., 2004), penyakit pada daunmangrove (Rhizophora mangle) (Ukoima et al., 2009),patah tangkai bunga gerbera (Gerbera jasmonii L.)(Balestra et al., 2005) dan kurma (Phoenix dactilyfera)(Rivas et al., 2007), mati pucuk pada mangga (Khan et

Page 28: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

28 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 19 - 36

Burkholderia cepacia 37 Burkholderia cepacia PSTJ15

Burkholderia cepacia H-2 Burkholderia lata T0H6

Burkholderia contaminans J2956Burkholderia contaminans LMG 23361 Burkholderia contaminans RA 07A1.3

ST 2.2 B1

Y 2.12 Burkholderia cenocepacia 163-A Burkholderia cenocepacia CRIDA PSB3 Burkholderia cenocepacia LC1

Burkholderia multivorans LMG 13010TBurkholderia vietnamiensis LMG 10929

Burkholderia seminalis DSM 2351 R-24196TBurkholderia stabilis LMG 14294

Burkholderia pyrrocinia R1904Burkholderia ambifaria F-15 Burkholderia metallica JN73 Burkholderia metallica R-16017

Burkholderia metallica R-16017T

Burkholderia arboris R-24201T Burkholderia anthina LMG 20980

Burkholderia cordobensis LMG 27620T

76

62

70

56 35

13

37

35

2

37

2

37 27

6

8

37

0.005

Gambar 8. Pohon filogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan antara isolat B1, ST 2.2 dan Y 2.12 berdasarkansekuen 16S rRNA yang terdapat di GenBank. Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan pendekatanNeighbor-Joining (NJ) dengan bootstrap 1000x

B2 Micrococcus luteus WS7

Micrococcus luteus WD818Micrococcus yunnanensis JCR-24

Micrococcus aloeverae AE-6 Micrococcus endophyticus YIM 56238

Micrococcus flavus LW4 Micrococcus lylae 3432

Micrococcus cohnii WS4601T Micrococcus terreus V3M1

Micrococcus lactis DW152T8669

94

45

81

71

44

85

0.002

Gambar 9. Pohon filogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan antara isolat B2 berdasarkan sekuen 16S rRNAyang terdapat di GenBank. Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan pendekatan Neighbor-Joining(NJ) dengan bootstrap 1000x

Page 29: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Suharti et al. Deteksi Bakteri Patogen Terbawa Benih 29

Alcaligenes faecalis KMDH6 Alcaligenes faecalis C 9

Na1 Alcaligenes aquatilis C 15

Alcaligenes defragrans 54Pin

Alcaligenes xylosoxidans A2

100

5267

0.005 Gambar 10. Pohon filogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan antara isolat Na1 berdasarkan sekuen 16S

rRNA yang terdapat di GenBank. Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan pendekatan Neighbor-Joining (NJ) dengan bootstrap 1000x

Na7 Acinetobacter schindleri YNB103

Acinetobacter schindleri EM21Acinetobacter johnsonii ATCC 17909Acinetobacter gyllenbergii RUH 422T

Acinetobacter kookii 11-0202Acinetobacter baumannii (DSM30007)

Acinetobacter nectaris SAP 763.2 Acinetobacter guangdongensis 1NM-4

Acinetobacter indicus A648Micrococcus luteus WS7

9656

45

83 93

60

4754

0.05 Gambar 11. Pohon filogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan antara isolat Na 7 berdasarkan sekuen 16S

rRNA yang terdapat di GenBank. Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan pendekatan Neighbor-Joining (NJ) dengan bootstrap 1000x. Sekuen Micrococcus luteus digunakan sebagai outgroup

al., 2014), bercak bergaris pada daun tebu dan busuktunas tebu (Patro, 2006), busuk kayu pohon poplar(Populus nigra) (Tiedemann et al.,1977).

Isolat ST 1.3 sekerabat dengan Escherichiahermannii dengan tingkat kemiripan sebesar 99%(Gambar 12). Penelitian melaporkan bahwa E.hermannii merupakan endofit pada benih jagung (Liuet al., 2013).

Isolat YT 1.17 sekerabat dengan Salmonellabongori dengan tingkat kemiripan sebesar 99%(Gambar 13). S. enterica merupakan patogen danditemukan pada benih Arabidopsis thaliana (Cooleyet al., 2003) dan kecambah alfalfa (Rudrappa et al.,

2008). S. bongori ditemukan pada nodul pada batangpohon Conzattia multiflora (Wang et al., 2006).

Isolat YT 1.2 dan Y 2.14 sekerabat denganPseudomonas stutzeri dengan tingkat kemiripan 99%(Gambar 14). P. stutzeri ditemukan pada benih gulmaAbutilon theophrasti dan Ipomoea hederacea (Kremeret al., 1987) dan menyebabkan bercak coklat coklat padajamur tiram (Pleurotus ostreatus) dan jamur kancing(Agaricus bisporus) (Dawoud & Eweis, 2006).

Pengaruh Isolat Bakteri terhadap PerkecambahanBenih. Hasil sidik ragam pengaruh isolat bakteriterhadap perkecambahan benih akor tertera pada Tabel

Page 30: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

30 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 19 - 36

ST 1.3 Escherichia hermannii MH7Escherichia hermannii MH5Enterobacter cowanii E68

Enterobacter hormaechei E11 Kosakonia cowanii m-2 Salmonella bongori SL9

Enterobacter cloacae CK555 Salmonella enterica sub sp. enterica JCM 1651

Escherichia coli (ATCC 11775T) Pseudomonas stutzeri BD-2.2.1

61

9054

95

60

63

5635

0.02

Gambar 12. Pohon filogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan antara isolat ST 1.3 berdasarkan sekuen 16SrRNA yang terdapat di GenBank. Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan pendekatan Neighbor-Joining (NJ) dengan bootstrap 1000x. Sekuen Pseudomonas stutzeri digunakan sebagai outgroup

Salmonella bongori 10AYT 1.17 Enterobacter hormaechei E11

Enterobacter cowanii E68 Escherichia hermannii MH7

Kosakonia cowanii m-2 Enterobacter cloacae CK555

Salmonella enterica sub sp. enterica JCM 1651 Escherichia coli (ATCC 11775T)

100

81

7463

93

39

0.005 Gambar 13. Pohon filogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan antara isolat isolat YT 1.17 berdasarkan

sekuen 16S rRNA yang terdapat di GenBank. Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan pendekatanNeighbor-Joining (NJ) dengan bootstrap 1000x

4. Dari Tabel 4 diketahui bahwa isolat bakteriberpengaruh nyata terhadap persentase benih terinfeksibakteri (berlendir), panjang tunas, panjang akar danindeks vigor namun tidak berpengaruh nyata terhadapdaya berkecambah benih.

Untuk mengetahui perbedaan dari masing-masingperlakuan dilakukan uji beda rata-rata dengan uji Duncan(Tabel 5). Dari Tabel 5 terlihat bahwa pada kontrol,masih terdapat benih yang berlendir (20,5%), didugabakteri masih terdapat di permukaan benih walaupunsudah diberi NaOCl dan air panas. Barampuram et al.,

(2014) melaporkan bahwa sterilisasi benih kapas denganH2O2 dapat memperbaiki daya berkecambah danmenurunkan mikroorganisme kontaminan dibandinglarutan pemutih (NaOCl). Pencucian permukaan benihtidak dapat menghilangkan S. enterica dan E.coli, halini menunjukkan bahwa bakteri berada di tempat yangterlindungi/bagian dalam benih (Cooley et al., 2003).Selain itu berbagai metode sterilisasi permukaan benihpun tidak dapat mematikan bakteri enteric (Beuchat etal., 2001). Namun sterilisasi dengan NaOCl dapatmeningkatkan daya berkecambah sebesar 6% dan

Page 31: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Suharti et al. Deteksi Bakteri Patogen Terbawa Benih 31

YT 1.2 Y 2.14 Pseudomonas stutzeri BD-2.2.1Pseudomonas stutzeri KM7A

Pseudomonas kunmingensis HL22-2Pseudomonas chengduensis MBR 1

Pseudomonas resinovorans ATCC 14235 Pseudomonas aeruginosa DSM 50071T Pseudomonas poae DSM 14936T

Pseudomonas syringae ATCC 19310 Pseudomonas protegens CHA0T

Pseudomonas aestusnigri CCUG 64165Pseudomonas pelagia CL-AP6Pseudomonas pictorum ATCC 23328

87

98

4098

7781

45

96

98

0.02

Gambar 14. Pohon filogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan antara isolat isolat YT 1.2 dan Y 2.14 berdasarkansekuen 16S rRNA yang terdapat di GenBank. Rekonstruksi pohon filogenetik menggunakan pendekatanNeighbor-Joining (NJ) dengan bootstrap 1000x

Peubah F hitung

Daya berkecambah 1,054 Permukaan berlendir 1,520 Hampa berlendir 6,516** Total lendir 2,451* Panjang tunas 2,11* Panjang akar 13,89 ** Indeks vigor 2,585*

Tabel 4. Analisis sidik ragam pengaruh pengaruh isolat bakteri terhadap perkecambahan benih akor

* = berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95%

menurunkan persentase benih berlendir sebesar 21,5%dibanding perlakuan pendahuluan dengan air panas(KU).

Bakteri tahan terhadap disinfektan dan suhu tinggikarena adanya pertahanan sel biofilm. Terbentuknyabeberapa lapis biofilm (multilayer) menyebabkansenyawa klorin tidak bisa menembus bagian dalam.Semakin banyak matriks ekstraseluler yang dikeluarkansemakin besar kemampuan menghalangi masuknyaklorin. Selain itu senyawa ekstraseluler sebagian besarmerupakan senyawa organik dapat menghambatmekanisme kerja klorin. Biofilm Salmonella sp. dan E.coli sulit dihilangkan walaupun dengan suhu 100 °Ckarena EPS dapat melindungi sel sehingga tidak semuabakteri dapat dimatikan. Suhu panas merusak EPS dan

sebagian besar bakteri yang dekat dengan permukaan(Silitonga et al., 2012).

Secara umum daya berkecambah benih yangdiinokulasi bakteri lebih rendah dibanding kontrolsedangkan jumlah benih berlendir lebih tinggi dibandingkontrol. Daya berkecambah kontrol lebih besar dibandingdaya berkecambah pada perlakuan panas dan dibiarkandingin selama 24 jam (KU). Daya berkecambah kontrolsebesar 47,5%. Suita (2013) melaporkan bahwa dayaberkecambah benih akor asal Riau sebesar 41,33– 62%. Semua parameter yang diamati pada benih yangdiinokulasi E. hermannii dan Paenochrobactrum sp.relatif sama dengan pada kontrol.

Burkholderia cepacia complex, A. faecalis,Acinetobater sp., P. stutzeri, S. bongori dan Ralstonia

Page 32: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

32 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 19 - 36

sp. dapat menurunkan daya berkecambah danmeningkatkan persentase benih berlendir. Bakteritersebut dilaporkan dapat sebagai patogen tanamanseperti Burkholderia cepacia complex (Ibrahim et al.,2012), Acinetobacter (Jackson, 2009 dalam Khan,2014), Ralstonia (Coenye et al., 1999), P. stutzeri(Dawoud & Eweis, 2006) dan Salmonella (Kirzingeret al., 2011).

Panjang akar pada perlakuanPaenochrobactrum sp. lebih tinggi dari kontrolsedangkan perlakuan P. stutzeri, S. bongori danRalstonia sp. menghasilkan panjang akar yang lebihrendah dan berbeda nyata dengan kontrol. Dengandemikian indeks vigor benih yang diinokulasiPaenochrobactrum sp. lebih tinggi dibanding kontrolsedangkan indeks vigor benih yang diinokulasi P. stutzeri,S. bongori dan Ralstonia sp. lebih rendah dibandingkontrol.

Panjang tunas pada perlakuan inokulasi P. stutzerilebih tinggi sedangkan panjang akar lebih pendekdibanding kontrol. Sejalan dengan penelitian Raheem &Ali (2015) yang melaporkan bahwa panjang tunasgandum yang diinokulasi P. stutzeri lebih besar dibandingkontrol. Azmat (2014) melaporkan bahwa inokulasi P.stutzeri pada benih kacang hijau menyebabkanpenurunan panjang akar.

A. faecalis dapat menurunkan dayaberkecambah dan meningkatkan panjang akar dibandingkontrol. Alcaligenes sp. menghasilkan auksin yangberfungsi dalam pertumbuhan akar tanaman (Mihalache,2015). Penelitian lain (Kremer, 1990) melaporkan bahwaA. faecalis dapat menghambat pertumbuhan bibitbeberapa jenis gulma. Bakteri menghasilkan toksin yangdapat menurunkan viabilitas benih dan vigor bibit.

Auksin mempunyai peranan dalam patogenesitasbakteri. Auksin yang dihasilkan dapat menginduksitanaman untuk menghasilkan auksin sehinggakonsentrasi auksin tinggi. Konsentrasi auksin tinggi dapatmeningkatkan virulensi patogen (Fu et al., 2011 dalamDuca et al., 2014). Selain itu konsentrasi auksin yangtinggi merupakan salah satu mekanisme patogen untukmengkolonisasi inang (Chen et al., 2007 dalam Duca etal., 2014).

Panjang akar pada perlakuan (Burkholderiacepacia complex) lebih besar dibanding kontrol.Burkholderia sp. menghasilkan hormon giberelin danenzim ACC deaminase yang berfungsi untuk mengaturpertumbuhan dan perkembangan akar (Mihalache,2015). Hormon giberelin berperan juga dalampatogenesis (Baca & Elmerich, 2007). Menurut Levy(2007), B. vietnamiensis dapat menurunan pesentaseperkecambahan Trifolium subterraneum dengan

Tabel 5. Hasil uji D

uncan pengaruh isolat bakteri terhadap perkecambahan benih akor di m

edia kertas

Angka yang diikuti oleh huruf yang sam

a pada kolom yang sam

a tidak berbeda nyata menurut uji D

uncan taraf 5 %

Page 33: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Suharti et al. Deteksi Bakteri Patogen Terbawa Benih 33

populasi 1 x 106 sehingga B. vietnamiensis bv. trifoliimerupakan patogen tanaman dan menurunkanperkecambahan Acacia colei pada populasi 1 x 108

namun bakteri ini dapat meningkatkan perkecambahanA. colei pada populasi 1 x 106 sehingga bakteri inimenguntungkan atau merugikan tergantung pada jenisbenih (genotipe tanaman) dan kepadatan populasibakteri.

Escherichia sp. dapat menghasilkan sitokinin(Mihalache, 2015). Sitokinin berperan dalampertumbuhan tanaman dan juga patogenesis (Baca &Elmerich, 2007). Rata-rata panjang akar benih akor yangdiinokulasi bakteri ini lebih tinggi dibanding kontrol. E.hermannii dapat menyebabkan fitotoksik lemah (Zhao,2009).

Bakteri menimbulkan penyakit salah satunyakarena mempunyai faktor patogenesitas dan tingkatpatogenesitas dipengaruhi oleh faktor virulensi (Joko etal., 2014). Beberapa faktor penentu patogenesitasbakteri patogen tanaman antara lain sistem sekresi tipeI-VI (Rakhashiya et al., 2016), eksopolisakarisa (EPS)dan lipopolisakarida (LPS) (Arwiyanto, 2014). T3SSmerupakan mekanisme penting dalam patogenesitasbakteri Gram negatif patogen tanaman (Rakhashiya etal., 2016). Keberadaan salah satu atau beberapa faktorpenentu patogenesitas dapat menyebabkan bakteribersifat patogen atau deleterious terhadap inang.Beberapa bakteri endofit dilaporkan mengandung genfaktor virulensi seperti Salmonella enterica (Barak,2005).

SIMPULAN

Bakteri terbawa benih akor (A. auriculiformis)antara lain Paenochrobactrum sp., Ralstonia sp.,Burkholderia cepacia complex, Pseudomonasstutzeri, Acinetobacter sp., Alcaligenes faecalis,Salmonella bongori , Escherichia hermanniisedangkan patogen penyebab bercak pada daun bibitakor adalah Micrococcus luteus dan Burkholderiacepacia complex. Burkholderia cepacia complex A.faecalis, Acinetobater sp., P. stutzeri, S. bongori danRalstonia sp. dapat menurunkan daya berkecambah danmeningkatkan persentase benih berlendir sehinggabakteri tersebut diduga merupakan patogen pada benihakor. Ralstonia sp. meningkatkan persentase benihberlendir dan menurunkan panjang tunas dan panjangakar. P. stutzeri dan S. bongori menghambatpertumbuhan akar. Paenochrobactrum sp. dan E.hermannii diduga merupakan patogen dengan virulensilemah karena daya berkecambah, persentase infeksi

benih terinfeksi dan index vigor benih yang diinokulasiE. hermannii dan Paenochrobactrum sp. relatif samadengan pada kontrol.

SANWACANA

Penulis mengucapkan terima kasih kepada PusatDiklat Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup danKehutanan yang telah membantu dana penelitian ini sertaIbu Ir. Woro Darmini, Pak Andri dan Pak Maryono yangtelah membantu terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arwiyanto T. 2015. Ralstonia solanacearum: Biologi,Penyakit yang Ditimbulkan dan Pengelolaannya.Gadjah Mada University Press.

Ausubel FM, Brent R, Kingston RE, Moore DD,Seidman JG, & Smith JA. 2003. CurrentProtocols in Molecular Biology. John Willyey& Sons Inc.

Avise JC. 1994. Molecular Markers, Natural Historyand Evolution. NewYork: Chapman & Hall.

Azmat R. 2014. The impact of siderophore secretionby Pseudomonas stutzeri to chelating Cu metal insolution culture. Pak. J. Bot. 46(1) : 383–387.

Baca BE & Elmerich C. 2007. Microbial production ofplant hormones. In: Elmerich C & Newton WE(eds.). Associative and Endophytic Nitrogen-fixing Bacteria and Cyanobacterial Associations.pp. 113–143. Springer, The Netherlands.

Balestra GM, Agostini R, Bellincontro A, Mencarelli F,& Varvaro L. 2005. Bacterial populations relatedto gerbera (Gerbera jamesonii L.) stem break.Phytopathol. Mediterr. 44: 291–299.

Barak JD, Gorski L, Naraghi-Arani P, & CharkowskiAO. 2005. Salmonella enterica virulence genesare required for bacterial attachment to plant tissue.Appl. Environ. Microbiol. 71(10): 5685–5691.

Barampuram S, Allen G, & Krasnyansi KS. 2014.Effect of various sterilization procedures on thein vitro germination of cotton seeds. ResearchNote. Plant Cell Tiss. Org. 118(1): 179–185.

Berlian I. 2012. Analisis Patogenesitas danKarakterisasi Keragaman Genetik Banana BloodDiseases Bacterium (BBDB). [Tesis].Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Page 34: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

34 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 19 - 36

Beuchat LR, Ward TE, & Pettigrew CA. 2001.Comparison of chlorine and a prototype producewash product for effectiveness in killingSalmonella and Escherichia coli O157:H7 onalfalfa seeds. J. Food Prot. 64(2): 152–158.

Bolkan HA, Waters CM, & Fatmi M. 1997. Clavibactermichiganenesis sub sp. michiganensis. WorkingSheet 67 In: ISTA Handbook on Seed HealthTesting. Zurich, Switzerland: International SeedTesting Association.

Coenye T, Falsen E, Vancanneyt M, Hoste B, GovanJRW, Kersters K, & Vandamme P. 1999.Classification of Alcaligenes faecalis-like isolatesfrom the environment and human clinical samplesas Ralstonia gilardii sp. nov. Int. J. of Syst.Bacteriol. 49: 405–413.

Coenye T, Vandamme P, Govan JRW, & LiPuma JJ.2001. Taxonomy and identification of theBurkholderia cepacia complex. J. Clin.Microbiol. 39(10): 3427–3436.

Compant S, Reiter B, Sessitsch A, Nowak J, ClementC, & Barka EA. 2005. Endophytic colonizationof Vitis vinifera L. by plant growth-promotingbacterium Burkholderia sp. strain PsJN. Appl.Environ. Microbiol. 71(4): 1685–1693.

Cooley MB, Miller WG, & Mandrell RE. 2003.Colonization of Arabidopsis thaliana withSalmonella enterica and enterohemorrhagicEscherichia coli O157:H7 and competition byEnterobacter asburiae. Appl. Environ.Microbiol. 69(8): 4915–4926.

Dawoud MEA & Eweis M. 2006. Phytochemicalcontrol of edible mushrooms pathogenic bacteria.J. Food, Agric. Environ. 4(1): 321–324.

Duca D, Lorv J, Patten CL, Rose D, & Glick BR. 2014.Indole-3-acetic acid in plant–microbe interactions.Antonie van Leeuwenhoek 106(1): 85–125.

Fanani AK, Abadi AL, &Aini LQ. 2015. Eksplorasibakteri patogen pada beberapa spesies tanamankantong semar (Nepenthes sp.). Jurnal HPT 3(3): 104–110.

Castro-Gonzalez R, Martinez-Aguilar L & Ramirez-Trujillo A, Estrada-de los Santos P, & Caballero-Mellado J. 2011. High diversity of culturableBurkholderia species associated with sugarcane.Plant Soil 345(1): 155–169.

Gosling P. 2007. Raising Trees and Shrubs from Seed.Practice Guide. Forestry Commision. Edinburgh.

Hadianto W, Hakim L, & Bakhtiar. 2015. Ketahananbeberapa genotipe padi terhadap penyakit hawardaun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae).Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika15(2): 152–163.

Haishui Z & Zengjiang Y. 1993. Acacias for rural,industrial, and environmental development inSouthern China. In: Awang K & Taylor DA (eds.).Acacias for Rural, Industrial, and EnvironmentalDevelopment. pp. 15-20 .The Second Meetingof the Consultative Group for Research andDevelopment of Acacias (COGREDA), Thailand,February, 15–18, 1993.

Hendrati RL, Nurrohmah SH, Susilawati S, & Budi S.2014. Budidaya Acacia auriculiformis untukKayu Energi. IPB Press.

Iakovleva LM, Makhinia LV, Shcherbina TN, &Ogorodnik LE. 2013. Micrococcus sp. thepathogen of leaf necrosis of horse-chestnuts(Aesculus L.) in Kiev. Mikrobiol. Z. 75(3): 62–67.

Ibrahim M, Tang Q, Shi Y, Almoneafy A, Fang Y, Xu L,Li W, Li B, & Xie GL. 2012. Diversity of potentialpathogenicity and biofilm formation amongBurkholderia cepacia complex water, clinicaland agricultural isolates in China. World J.Microb. Biot. 28(5): 2113–2123.

Islam SS, Islam MS, Hossain Md. AT, & Alan Z. 2013.Optimal rotation interval of akashmoni (Acaciaauriculiformis) plantations in Bangladesh.Kasetsart J. Soc. Sci. 34: 181–190.

Joker. 2001. Acacia auriculiformis Cunn. ex Benth.Informasi Singkat Benih. Direktorat PerbenihanTanaman Hutan.

Joko T, Kusumandari N, & Hartono S. 2011. Optimasimetode PCR untuk deteksi Pectobacteriumcarotovorum, penyebab penyakit busuk lunakanggrek. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia17(2): 54–59.

Joko T, Subandi A, Kusumandari N, Wibowo A, &Priyatmojo A. 2014. Activities of plant cell wall-degrading enzymes by bacterial soft rot of orchid.Arch. Phytopathol. Plant Prot. 47(10): 1239–1250.

Page 35: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Suharti et al. Deteksi Bakteri Patogen Terbawa Benih 35

Kaur N, Sharma S, Sood A, & Kumar V. 2009.Incidence and interaction of seed borne microflora of Cassia fistula in the Himalayan Region.Cameroon J. Exp. Biol. 5(1) : 21–24.

Khan IA, Khan A, Asif H, Jiskani MM, Muhlbach HP,& Azim MK. 2014. Isolation and 16s rDNAsequence analysis of bacteria from diebackaffected mango orchards in Southern Pakistan.Pakistan J. Bot. 46(4): 1431–1435.

Kirzinger MWB, Nadarasah G, & Stavrinides J. 2011.Insights into cross-kingdom plant pathogenicbacteria. Genes 2(4): 980–997.

Kremer RJ. 1987. Identity and properties of bacteriainhabiting seeds of selected broadleaf weedspecies. Microb. Ecol. 14(1): 29–37.

Kremer RJ, Begonia MFT, Stanley L, & Lanham ET.1990. Characterization of rhizobacteria associatedwith weed seedlings. Appl. Environ. Microbiol.56(6): 1649–1655.

Levy A. 2007. Modelling Rhizosphere Interactions ofBurkholderia Species. [Thesis]. Microbiology andImmunology School of Biomedical and ChemicalSciences. The University of Western Australia.

Liu Z, Zuo S, Zou Y, Wang J, & Song W. 2013.Investigation on diversity and populationsuccession dynamics of endophytic bacteria fromseeds of maize (Zea mays L., Nongda108) atdifferent growth stages. Ann. Microbiol. 63(1):71–79.

Mahenthiralingam E., Bischof J, Byrne SK, RadomskiC, Davies JE, Av-Gay Y, & Vandamme P. 2000.DNA-based diagnostic approaches foridentification of Burkholderia cepacia complex,Burkholderia vietnamiensis, Burkholderiamultivorans, Burkholderia stabilis , andBurkholderia cepacia Genomovars I and III.J. Clin. Microbiol. 38(9): 3165–3173.

Marchesi JR, Sato T, Weightman AJ, Martin TA, FryJC, Hiom SJ, Dymock D, & Wade WG. 1998.Design and evaluation of useful bacterium-specificPCR primers that amplify genes coding forbacterial 16S rRNA. Appl. Environ. Microb.64(2): 795–799.

Mihalache G, Zamfirache MM, & Stefan M. 2015. Rootassociated bacteria – friends or enemies?.Memoirs of the Scientific Sections of theRomanian Academy Tome XXXVIII: 28-54.

Ofek M, Hadar Y, & Minz D. 2011. Colonization ofcucumber seeds by bacteria during germination.Environ. Microbiol. 13(10): 2794–2807.

Patro TSSK, Rao GVN, & Gopalakrishnan J. 2006.Association of Acinetobacter baumannii with atop rot phase of sugarcane redstripe disease inIndia. Indian Phytopathology 59(4): 501–502.

Raheem A & Ali B. 2015. Halotolerant rhizobacteria:beneficial plant metabolites and growthenhancement of Triticum aestivum L. in salt-amended soils. Arch. Agronom. Soil Sci. 61(12):1691–1705.

Rakhashiya PM, Patel PP, & Thaker VS. 2015. Wholegenome sequences and annotation ofMicrococcus luteus SUBG006, a novelphytopathogen of mango. Genomics Data 6: 10–15.

Rakhashiya PM, Patel PP, Sheth BP, Tank JG, & ThakerVS. 2016. Detection of virulence andpathogenicity genes in selected phytopathovars.Arch. of Phytopathology Plant Protect. 49(1 -4): 64–73.

Rivas R, Fraile PG, Mateos PF, Martinez EM, &Velazquez E. 2007. Characterization ofxylanolytic bacteria present in the bractphyllosphere of the date palm Phoenixdactylifeca. Lett. Appl. Microbiol. 44(2): 181–187.

Rudrappa T, Biedrzycki ML, & Bais HP. 2008. Causesand consequences of plant-associated biofilms.FEMS Microbiol. Ecol. 64(2): 153 – 166.

Sands DC. 1990. Physiological criteria: determinativetests. In: Klement Z, Rudolph K, & Sands DC(eds.). Methods in Phytobacteriology. pp. 133–143. Akademiai Kiado, Budapest.

Schaad NW, Jones JB, & Chun W. 2001. LaboratoryGuide for Identification of Plant PathogenicBacteria. Third Edition. APS Press.

Silitonga YW, Jamilah I, & Suryanto D. 2012.Pengendalian sel biofilm bakteri patogenoportunistik dengan panas dan klorin. SaintiaBiologi 1(1): 46–51.

Suita E. 2013. Pengaruh sortasi benih terhadap viabilitasdan pertumbuhan bibit akor (Acaciaauriculiformis). Jurnal Perbenihan TanamanHutan 1(2): 83–91.

Page 36: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

36 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 19 - 36

Tamura K, Stecher G, Peterson D, Filipski A, & KumarS. 2013. MEGA6: molecular evolutionarygenetics analysis version 6.0. Mol. Biol. Evol.30(12): 2725–2729.

Tiedemann G, Bauch J, & Bock E. 1977. Occurrenceand significance of bacteria in living trees ofPopulus nigra L. Forest Pathology 7(6): 364-374.

Turnbull JW, Midgley SJ, & Cossalter C. 1998. Tropicalacacias planted in Asia : an overview. In: TumbullJW, Crompton HR, & Pinyopusarerk K (eds.).Recent Developments in Acacia Planting. pp.14–28. Australian Centre for InternationalAgricultural Research, Hanoi, Vietnam, October,27–30, 1997.

Ukoima HN, Wemedo SA, & Ekpirikpo AO. 2009.Survey of bacterial pathogens on leaves and seedsof red mangrove (Rhizophora mangle). AfricanJ. Environ. Sci. Technol. 3(5): 116–119.

Umesha S. 2006. Occurrence of bacterial canker intomato fields of Karnataka and effect of biologicalseed treatment on disease incidence. Crop Prot.25(4): 375–381.

Vanlaere E, Baldwin A, Gevers D, Henry D, De BrandtE, LiPuma JJ, Mahenthiralingam E, Speert DP,Dowson C, & Vandamme P. 2009. Taxon K, acomplex within the Burkhlolderia cepaciacomplex, comprises at least two novel species,Burkholderia contaminans sp. nov. andBurkholderia lata sp. nov. Int. J. Systematicand Evolutionary. Microbiol. 59: 102–111.

Wang ET, Tan ZY, Guo XW, Duran RR, Boll G, &Romero EM. 2006. Diverse endophytic bacteriaisolated from a leguminous tree Conzattiamultiflora grown in Mexico. Arch. Microbiol.186(4): 251–259.

Xie L, Ju Y, & Zhao B. 2004. Dynamics of populationsof nematode and bacteria in the process of pinewilt disease. Scientia Silvae Sinicae 40(4): 124-129.

You L, Wei Q, Gua H, & Zhang Y. 2013. Phylogeneticdiversity of cultivable endophytic bacteria isolatedfrom Litsea cubeba. J. Northwest A & FUniversity - Natural Science Edition 4(4): 210–216.

Yun SC & Kim YH. 2003. Pathogenic bacteria causingrot in commercial soybean sprout cultivation.Korean J. Crop Sci. 48(2): 113–119.

Zhao BG, Lin F, Guo D, Li R, Li S, Kulinich O, & RyssA. 2009. Pathogenic roles of the bacteria carriedby Bursaphelenchus mucronatus. J. Nematol.41(1): 11–16.

Page 37: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Saputra et al. Keanekaragaman Hymenoptera Parasitika 37J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 17, No. 1: 37 – 44, Maret 2017

KEANEKARAGAMAN HYMENOPTERA PARASITIKAPADA TIPE EKOSISTEM BERBEDA DI BANGKA TENGAH,

KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Herry Marta Saputra1, Nina Maryana 2, & Pudjianto 2

1Program Studi Entomologi, Sekolah Pascasarjana, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJl. Kamper Kampus IPB Dramaga, Bogor, Indonesia 16680

2Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJl. Kamper Kampus IPB Dramaga, Bogor, Indonesia 16680

Email: [email protected]

ABSTRACT

Diversity of parasitic Hymenoptera in different ecosystem types in Central Bangka, Bangka-Belitung Islands. Hymenopterarichness is dominated by parasitic species. More than 80% of Hymenoptera play a role as parasitoid on arthropods that aremostly insects. Diversity of parasitic Hymenoptera is widely studied in various types of terrestrial ecosystems including agro-ecosystem and non-agro-ecosystem. This study aimed to invent and compare the diversity of parasitic Hymenoptera in threedifferent ecosystems in Central Bangka Regency, Bangka Island, i.e., forest, oil palm plantation, and ex-tin mining. The studywas conducted in Juli 2014 until October 2015. Parasitic Hymenoptera was collected with insect sweep net and yellow pan trapon one transect line with 1000 m length. Parasitic Hymenoptera were found on forest as much as 732 morphospecies, 326morphospecies on oil palm plantations, and 293 morphospecies on ex-tin mining. Diversity and abundance of parasiticHymenoptera on forest was higher than oil palm plantation and ex-tin mining area. Braconidae family was found dominant onforest, however on oil palm plantation and ex-tin mining area the dominant family was Scelionidae.

Key words: Parasitic Hymenoptera, diversity, forest, oil palm plantation, ex-tin mining

ABSTRAK

Keanekaragaman Hymenoptera parasitika pada tipe ekosistem berbeda di Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung.Kekayaan Hymenoptera didominasi oleh spesies parasitoid. Lebih dari 80% Hymenoptera berperan sebagai parasitoid padaartropoda yang umumnya adalah serangga. Keanekaragaman Hymenoptera parasitika dipelajari secara luas di berbagai tipeekosistem terestrial yakni agroekosistem dan non-agroekosistem. Penelitian ini bertujuan untuk mengiventarisasi danmembandingkan keanekaragaman Hymenoptera parasitika pada tiga tipe ekosistem berbeda, yaitu hutan, perkebunan kelapasawit, dan area pasca tambang timah. Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Bangka Tengah, Pulau Bangka. Penelitiandilakukan pada Juli 2014 hingga Oktober 2015. Hymenoptera parasitika dikoleksi dengan jaring ayun serangga dan perangkapnampan kuning pada satu garis transek yang telah ditentukan sepanjang 1000 m. Hymenoptera parasitika yang ditemukan dihutan sebanyak 732 morfospesies, 326 morfospesies pada perkebunan kelapa sawit, dan 293 morfospesies pada area pascatambang timah. Keanekaragaman dan kelimpahan Hymenoptera Parasitika pada hutan lebih tinggi dibandingkan denganperkebunan kelapa sawit dan area pasca tambang timah. Famili Braconidae ditemukan lebih dominan pada hutan, sedangkanpada perkebunan kelapa sawit dan area pasca tambang timah famili yang dominan adalah Scelionidae.

Kata kunci: Hymenoptera parasitika, keanekaragaman, hutan, perkebunan kelapa sawit, area pasca tambang timah

PENDAHULUAN

Hymenoptera merupakan ordo serangga terbesarke-tiga setelah Lepidoptera dan Coleoptera (Grimaldi &Engel, 2005). Ordo ini terdiri atas serangga fitofag,serangga sosial, lebah, tabuhan soliter dan parasitoid(Wharton, 1997). Walaupun lebah, tabuhan dan semutumumnya lebih dikenal dalam Ordo Hymenoptera akantetapi Hymenoptera parasitika mempunyaikeanekaragaman yang tinggi di dalam ordo ini.

Berdasarkan peranan di alam, sekitar 80% dari kelompokHymenoptera didominasi oleh spesies parasitoid. Spesieslainnya adalah fitofag, polinator dan predator (Quicke,1997).

Keanekaragaman spesies khususnyaHymenoptera parasitika merupakan salah satu topikutama dalam penelitian ekologi untuk mempelajarisusunan dan komposisi spesies serta kelimpahannyadalam suatu ekosistem. Sharkey (2007) menyatakanbahwa parasitoid sensitif terhadap perubahan dan

Page 38: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

38 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 37 - 44

kerusakan habitat. Ekosistem yang berbeda dapatmempengaruhi keanekaragaman spesies Hymenopteraparasitika yang hidup di dalamnya terutama kekayaanspesies.

Tumbuhan dan serangga saling berinteraksi diekosistem. Keanekaragaman Hymenoptera parasitikamengikuti keanekaragaman serangga fitofag yangmenjadi inang parasitoid dan keanekaragaman seranggafitofag bergantung pada tumbuhan yang tersedia diekosistem (Sahari, 2012). Berdasarkan karakteristikvegetasi, kawasan hutan dicirikan dengan komunitastumbuhan yang didominasi oleh pepohonan dantumbuhan berkayu lainnya dengan berbagai stratifikasitajuk (Spurr & Barnes, 1980), sedangkan perkebunankelapa sawit dicirikan dengan dominannya tumbuhanvegetasi bawah seperti gulma teki-tekian, gulma rumput-rumputan, gulma daun lebar, dan gulma pakisan (Adriadiet al., 2012). Pada lahan pasca tambang timah di Bangka,vegetasi tumbuhan terdiri atas rerumputan, herba, semak,dan pohon tertentu yang adaptif terhadap kondisi lahanpasca tambang (Nurtjahya, 2008). Lestari et al. (2008)menyatakan bahwa tumbuhan dominan pada lahan pascatambang timah adalah kedebik (Melastomamalabathricum L.) dan mentenuk (Commersonia sp.).Berdasarkan hal tersebut, keanekaragaman HymenopteraParasitika di tipe ekosistem yang berbeda tersebutmenarik untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untukmenginventarisasi dan membandingkan keanekaragamanHymenoptera Parasitika pada hutan, perkebunan kelapasawit, dan area pasca tambang timah di KabupatenBangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung.

METODE PENELITIAN

Tempat dan waktu. Penelitian dilakukan di KabupatenBangka Tengah, Bangka, Provinsi Kepulauan BangkaBelitung. Identifikasi Hymenoptera Parasitika dilakukandi Laboratorium Biosistematika Serangga, DepartemenProteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor. Identifikasi tumbuhan dilakukan di LaboratoriumBidang Botani Puslit Biologi, Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia, Cibinong. Penelitian dilaksanakan mulai bulanJuli 2014 sampai Oktober 2015.

Penentuan Lokasi. Lokasi penelitian ditentukan denganmemilih tiga lokasi untuk hutan, tiga lokasi perkebunankelapa sawit, dan tiga lokasi area pasca tambang timah.Penelitian di hutan dilakukan pada kawasan lindung yangterletak di Desa Namang, Terentang III dan Trubus.Penelitian di perkebunan kelapa sawit dilakukan padalahan pertanaman kelapa sawit dengan umur 2 hingga 3tahun setelah tanam yang terletak di Desa Jongkong V,Arung Dalam dan Padang Mulya. Penelitian di area pascatambang timah dilakukan pada lahan vegetasi suksesialami dengan umur ± 3 tahun sejak tidak dieksploitasilagi yang terletak di Desa Kulur Ilir, Jongkong V danJongkong XII. Lokasi penelitian ditampilkan padaGambar 1.

Koleksi Hymenoptera Parasitika. Di setiap lokasipenelitian ditentukan satu garis transek sepanjang 1000m dan jika lokasi penelitian tidak mencapai jarak tersebut,maka diadakan pembelokan kembali ke arah semula

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Page 39: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Saputra et al. Keanekaragaman Hymenoptera Parasitika 39

(Hamid et al., 2003). Koleksi Hymenoptera Parasitikadi masing-masing lokasi penelitian dilakukan denganjaring ayun serangga sebanyak dua kali dan perangkapnampan kuning sebanyak satu kali pengambilan.

Penjaringan Hymenoptera parasitika dilakukanselama dua hari berturut-turut pada pukul 09.00-12.00WIB. Penjaringan serangga dilakukan denganmengayunkan jaring ke kiri dan ke kanan sambil berjalandi sepanjang garis transek 1000 m. Jika panjang lokasipenelitian tidak mencapai jarak tersebut, maka garisdibelokkan ke arah semula dengan jarak 100 m dari garisyang telah dilewati. Total ayunan di sepanjang garistransek 1000 m adalah 1500 kali ayunan ganda. Hasilpenjaringan serangga dimasukkan ke dalam separatorsetiap 10 kali ayunan ganda.

Perangkap nampan kuning dipasang pada pukul09.00 WIB. Perangkap nampan kuning digunakan untukmemerangkap serangga yang tertarik pada warna kuning.Jumlah nampan kuning yang dipasang di sepanjang garistransek 1000 m adalah 50 buah dengan jarak antaranampan kuning 20 m. Nampan kuning yang digunakanterbuat dari wadah plastik berbentuk piring dengandiameter bawah (alas) 20 cm, diameter atas 26 cm dantinggi 3 cm. Nampan kuning diletakkan di atas permukaantanah yang terbuka agar mudah dilihat oleh serangga.Setelah nampan kuning diletakkan di atas permukaantanah, larutan deterjen dimasukkan sebanyak setengahdari tinggi nampan kuning. Larutan deterjen digunakanuntuk mengurangi tegangan permukaan air sehinggaserangga akan tenggelam dan akhirnya mati. Seranggayang terperangkap di dalam nampan kuning diambilsetelah 1 x 24 jam.

Pengamatan Vegetasi. Sepanjang garis transekditentukan lima plot vegetasi yang berukuran 8 x 8 mdengan jarak antar plot 200 m. Tumbuhan yangdiidentifikasi sampai tahap spesies adalah rerumputan,semak, liana, dan semai (diameter batang < 2 cm dengantinggi < 1.5 m) (BSN, 2011). Tumbuhan yang dikoleksidibuat herbarium kering untuk memudahkan prosesidentifikasi.

Identifikasi Serangga. Hymenoptera parasitika hasiltangkapan di lokasi penelitian diidentifikasi dilaboratorium. Hymenoptera parasitika diidentifikasidengan beberapa kunci identifikasi (Grissell & Schauff,1990; Goulet & Huber, 1993; Gibson et al., 1997). Famili-famili Hymenoptera parasitika diidentifikasi sampaitingkat morfospesies.

Analisis Data. Hasil identifikasi serangga ditabulasikandalam tabel pivot pada perangkat lunak Microsoft Excel

untuk menjadi database. Data kemudian diprosesdengan program R statistic 3.0.2 paket vegan untukmenampilkan nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks kemerataan spesies dan kekayaan spesies.Perbedaan nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks kemerataan spesies, kekayaan spesiesdan kelimpahan spesies antar lokasi penelitian dianalisisdengan menggunakan analisis ragam (Oneway Anova).Jika hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh nyatamaka dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT (Duncan’smultiple range test) pada taraf kepercayaan 95% denganperangkat lunak SAS versi 9.1.3 (Yaherwandi et al.,2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Hymenoptera Parasitika.Keanekaragaman Hymenoptera parasitika yangdidapatkan dengan jaring ayun serangga dan perangkapnampan kuning di semua tipe ekosistem adalah 32 familidan 1151 morfospesies. Hymenoptera Parasitika yangdidapatkan di hutan, perkebunan kelapa sawit dan areapasca tambang timah masing-masing adalah 732, 326dan 293 morfospesies (Tabel 1). Hasil tersebutmenunjukkan bahwa morfospesies HymenopteraParasitika di hutan dua kali lebih tinggi dibandingkandengan dua tipe ekosistem lainnya. Berdasarkan kekayaanmorfospesies, famili Braconidae mempunyai kekayaanmorfospesies tertinggi dibandingkan dengan famililainnya. Kekayaan morfospesies Braconidae di hutanmencapai enam hingga tujuh kali lebih tinggidibandingkan dengan dua ekosistem lainnya. Hal inisejalan dengan penelitian Maeto et al. (2009) dan Ruiz-Guerra et al. (2015) yang melaporkan bahwa spesiesBraconidae lebih tinggi ditemukan pada hutandibandingkan dengan non-hutan.

Morfospesies Hymenoptera parasitika yanghanya ditemukan pada ekosistem tertentu akan tetapitidak ditemukan pada ekosistem lainnya dinamakanspesies unik. Morfospesies unik Hymenoptera Parasitikapada hutan, perkebunan kelapa sawit dan area pascatambang timah berturut-turut adalah 623, 182 dan 170morfospesies (Gambar 2).

Morfospesies unik Hymenoptera Parasitika yangterdapat pada masing-masing tipe ekosistem menandakanbahwa morfospesies tersebut terbatas hanya padaekosistem itu. Morfospesies unik HymenopteraParasitika pada hutan yang lebih tinggi dibandingkandengan dua tipe ekosistem lainnya disebabkan oleh jenistumbuhan dan serangga yang lebih beragam. Rott &Godfray (2000) menyatakan bahwa komunitas parasitoidterutama dipengaruhi oleh tumbuhan makanan inang.

Page 40: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

40 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 37 - 44

Tabel 1. Keanekaragaman Hymenoptera parasitika pada masing-masing tipe ekosistem

Superfamili/famili

Kekayaan morfospesies

Total morfospesiesHutan Perkebunan

kelapa sawitPasca tambang

timah

ChrysidoideaBethylidae 0009 0010 7 0020Chrysididae 0000 0002 0001 0002Dryinidae 0007 0002 0003 0011

VespoideaMutillidae 0004 0001 0001 0005Scoliidae 0001 0002 0003 0004Tiphiidae 0001 0000 0001 0001

IchneumonoideaBraconidae 0256 0041 0035 0302Ichneumonidae 0049 0018 0019 0080

EvanioideaEvaniidae 0005 006 0007 0013Gasteruptiidae 0001 000 0001 0002

CynipoideaEucoilidae 0012 0011 00 05 0019

ProctotrupoideaDiapriidae 0038 0015 0012 0057

PlatygastroideaPlatygastridae 0021 0005 0006 0028Scelionidae 0034 0052 0051 0113

CeraphronoideaCeraphronidae 0021 0018 0006 0035Megaspilidae 0000 0000 0001 0001

ChalcidoideaAphelinidae 0024 0003 0005 0030Chalcididae 0007 0016 0006 0016Elasmidae 0008 0009 0008 0015Encyrtidae 0062 0024 0024 0093Eucharitidae 0005 0001 0004 0010Eulophidae 0078 0043 0039 0135Eupelmidae 0015 0007 0009 0027Eurytomidae 0007 0003 0007 0014Mymaridae 0035 0008 0011 0046Ormyridae 0001 0000 0000 0001Perilampidae 0000 0004 0001 0005Pteromalidae 0015 0019 0008 0034Signiphoridae 0000 0000 0001 0001Torymidae 0005 0001 0002 0006Trichogrammatidae 0011 0005 0008 0024

Mymarommatoidea 0Mymarommatidae 0000 0000 0001 0001

Total 0732 0326 0293 1151

Jenis tumbuhan yang lebih beragam akan menyediakanlebih beragam serangga dan parasitoid spesialisnya(Shaw, 2006). Jenis tumbuhan yang terdapat pada hutan,perkebunan kelapa sawit dan area pasca tambang timahberturut-turut adalah 64, 35 dan 30 spesies tumbuhan(Tabel 2).

Morfospesies Hymenoptera Parasitika yangterdapat pada tiga tipe ekosistem sebanyak 24morfospesies. Morfospesies Hymenoptera tersebutmemiliki persebaran yang luas. Diduga morfospesiesHymenoptera tersebut dapat ditemukan pada tiga lokasiyang berbeda dikarenakan ketersediaan serangga inang.

Page 41: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Saputra et al. Keanekaragaman Hymenoptera Parasitika 41

623

Hutan Pasca tambang timah

Perkebunan kelapa sawit

32

24

53 67

182

170

Gambar 2. Kesamaan morfospesies Hymenoptera parasitika dalam diagram Venn pada masing-masing ekosistem

Habitus

Ekosistem

Hutan Perkebunankelapa sawit

Pasca tambang timah

Rumput 00 10 12

Herba 05 17 08

Liana 04 02 01

Semak 9 05 04

Pohon 46 01 05

Total 64 35 30

Tabel 2. Jumlah spesies tumbuhan yang ditemukan pada masing-masing tipe ekosistem

Ketertarikan Hymenoptera Parasitika untuk mendiamisuatu ekosistem dikarenakan kesesuaian mikrohabitat,ketersediaan makanan (polen, nektar, dan embun madu)dan ketersediaan inang parasitoid yang berasosiasidengan jenis tanaman tertentu di suatu ekosistem(Sperber et al., 2004).

Dominansi Hymenoptera Parasitika. HymenopteraParasitika yang dikoleksi pada semua tipe ekosistemsebanyak 6937 individu (Tabel 3). Berdasarkankelimpahan individu, famili Braconidae dominan padahutan sedangkan famili Scelionidae dominan padaperkebunan kelapa sawit dan area pasca tambang timah.

Kelimpahan relatif Braconidae pada hutan sebesar26,14%. Kelimpahan relatif Scelionidae pada perkebunankelapa sawit dan area pasca tambang timah berturut-turut adalah 24,45% dan 35,78%. Penelitian Yaherwandiet al. (2008) melaporkan bahwa kelimpahanHymenoptera Parasitika berkorelasi positif dengankelimpahan serangga fitofag.

Famili Braconidae pada hutan memilikimorfospesies dan kelimpahan individu yang lebih tinggidibandingkan dengan dua tipe ekosistem lainnya. FamiliBraconidae merupakan endoparasitoid primer pada larvaLepidoptera, Coleoptera dan Diptera dan tergolong kedalam jenis parasitoid yang spesifik inang atau spesialis

Page 42: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

42 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 37 - 44

(Wharton, 1997) sehingga kehadirannya pada suatuekosistem berkaitan erat dengan serangga inangnya yangberada di ekosistem. Menurut Shaw (2006), parasitoidspesialis sangat tergantung pada ketersedian spesiesserangga tertentu yang menjadi inangnya. Rendahnyakelimpahan Braconidae pada perkebunan kelapa sawitdan area pasca tambang timah berkaitan dengankelimpahan inang. Penelitian Ruiz-Guerra et al. (2015)menyatakan bahwa kelimpahan Braconidae di suatuekosistem berkorelasi positif terhadap kelimpahaninangnya.

Berbeda dengan ekosistem hutan, kelimpahanScelionidae mendominasi pada ekosistem perkebunankelapa sawit dan area pasca tambang timah. KelimpahanScelionidae berkaitan dengan kepadatan inangnya

(Noyes, 1989). Scelionidae merupakan jenis parasitoidgeneralis yang memarasit berbagai telur serangga danlaba-laba sehingga mempunyai potensial inang yang luas(Noyes, 1989; Masner, 1993). Kelimpahan Scelionidaelebih tinggi pada kondisi ekosistem yang terbuka danterang (sunny habitats) seperti habitat padang rumputdibandingkan hutan (Masner, 1993). Perkebunan kelapasawit dan area pasca tambang timah dalam penelitian inimerupakan daerah dengan area yang terbuka yangumumnya ditumbuhi tumbuhan vegetasi bawah sepertirerumputan dan herba.

Pengaruh Tipe Ekosistem terhadapKeanekaragaman Hymenoptera Parasitika.Komunitas Hymenoptera parasitika yang terdapat di

Tabel 3. Kelimpahan individu (N) dan kelimpahan relatif (%) setiap famili Hymenoptera Parasitika pada masing-masing tipe ekosistem

FamiliHutan Perkebunan kelapa

sawitPasca tambang

timah TotalIndividu

N %0 N 0% N 0%

Aphelinidae 0054 01,88 0013 00,59 0015 00,80 0082Bethylidae 0043 01,49 0059 02,69 0018 00,97 0120Braconidae 0752 26,14 0318 14,48 0156 08,37 1226Ceraphronidae 0192 06,67 0211 09,61 0078 04,18 0481Chalcididae 0037 01,29 0154 07,01 0028 01,50 0219Chrysididae 0000 00,00 0002 00,09 0001 00,05 0003Diapriidae 0178 06,19 0100 04,55 0125 06,71 0403Dryinidae 0011 00,38 0002 00,09 0003 00,16 0016Elasmidae 0036 01,25 0033 01,50 0055 02,95 0124Encyrtidae 0320 11,12 0159 07,24 0099 05,31 0578Eucharitidae 0008 00,28 0004 00,18 0009 00,48 0021Eucoilidae 0063 02,19 0034 01,55 0011 00,59 0108Eulophidae 0328 11,40 0244 11,11 0178 09,55 0750Eupelmidae 0022 00,76 0009 00,41 0030 01,61 0061Eurytomidae 0012 00,42 0007 00,32 0024 01,29 0043Evaniidae 0012 00,42 0033 01,50 0089 04,77 0134Gasteruptiidae 0001 00,03 0000 00,00 0001 00,05 0002Ichneumonidae 0114 03,96 0029 01,32 0057 03,06 0200Megaspilidae 0000 00,00 0000 00,00 0001 00,05 0001Mutillidae 0007 00,24 0001 00,05 0003 00,16 0011Mymaridae 0088 03,06 0066 03,01 0096 05,15 0250Mymarommatidae 0000 00,00 0000 00,00 0002 00,11 0002Ormyridae 0001 00,03 0000 00,00 0000 00,00 0001Perilampidae 0000 00,00 0006 00,27 0001 00,05 0007Platygastridae 0237 08,24 0083 03,78 0038 02,04 0358Pteromalidae 0075 02,61 0068 03,10 0013 00,70 0156Scelionidae 0251 08,72 0537 24,45 0667 35,78 1455Scoliidae 0002 00,07 0004 00,18 0008 00,43 0014Signiphoridae 0000 00,00 0000 00,00 0001 00,05 0001Tiphiidae 0001 00,03 0000 00,00 0005 00,27 0006Torymidae 0010 00,35 0003 00,14 0009 00,48 0022Trichogrammatidae 0022 00,76 0017 00,70 0043 02,31 0082

Total 2877 0100. 2196 0100. 1864 0100. 6937

Page 43: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Saputra et al. Keanekaragaman Hymenoptera Parasitika 43

hutan, perkebunan kelapa sawit dan area pasca tambangtimah tergolong ke dalam nilai yang tinggi (H’>3)berdasarkan indeks keanekaragam Shannon-Wiener(Magurran, 1988) (Tabel 4). Komunitas HymenopteraParasitika dipengaruhi oleh tipe ekosistem (p = 0,001).Komunitas Hymenoptera parasitika pada hutan lebihtinggi dan berbeda sangat nyata dibandingkan dengankomunitas Hymenoptera parasitika pada perkebunankelapa sawit dan area pasca tambang timah berdasarkanindeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Hasil yangberbeda tidak nyata terdapat pada kelimpahan individu(p = 0,363).

Komunitas Hymenoptera parasitika pada hutanmempunyai keanekaragaman jenis lebih tinggidibandingkan dengan komunitas-komunitas yangdipengaruhi oleh gangguan tertentu seperti padaagroekosistem atau lahan terganggu (Maeto et al., 2009;Ruiz-Guerra et al., 2015). Indeks keanekaragamanShannon-wiener tergantung dari kekayaan spesies dankemerataan spesies. Jumlah morfospesies dan indekskemerataan Hymenoptera Parasitika lebih tinggi di hutandibandingkan dengan dua lokasi lainnya sehinggakomunitas Hymenoptera parasitika pada hutanmempunyai indeks Shannon-Wiener yang lebih tinggi.

Tipe ekosistem berpengaruh terhadap kekayaanmorfospesies Hymenoptera Parasitika (p = 0,010). Tipeekosistem berpengaruh terhadap kekayaan spesiesHymenoptera parasitika juga dilaporkan oleh Maeto etal. (2009) dan Ruiz-Guerra et al. (2015). MorfospesiesHymenoptera Parasitika di hutan lebih tinggi dan berbedanyata dibandingkan dengan dua habitat lainnya (Tabel4).

Kekayaan spesies Hymenoptera parasitikaberkaitan dengan keanekaragaman tumbuhan yangterdapat di ekosistem (Maeto et al., 2009). Semakinberagam spesies tumbuhan maka makin beragamserangga herbivor yang merupakan inang yang umumdiparasit oleh Hymenoptera parasitika. Selain itu, jenistumbuhan dan arsitektur tumbuhan yang kompleks padasuatu ekosistem akan meningkatkan keanekaragamanparasitoid (Hawkins & Lawton, 1987).

SIMPULAN

Keanekaragaman morfospesies HymenopteraParasitika lebih tinggi di hutan dibandingkan denganperkebunan kelapa sawit dan area pasca tambang timah.Famili Braconidae ditemukan dominan di hutan akantetapi pada perkebunan kelapa sawit dan area pascatambang timah famili Scelionidae ditemukan lebihdominan.

SANWACANA

Penulis mengucapkan terima kasih kepadaDirektorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan,Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, KemeterianPendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yangtelah memberikan beasiswa pendidikan pascasarjanamelalui Program Beasiswa Pendidikan PascasarjanaDalam Negeri 2013 (BPP-DN 2013).

Tipe ekosistem S N H' E

Hutan 314,33 a 959,00a 5,15 a 0,90 aaPerkebunan kelapa sawit 140,67 b 732,00 a 4,09 b 0,83 bPasca tambang timah 138,00 b 621,30 a 4,10 b 0,83 b

Tabel 4. Pengaruh tipe ekosistem terhadap kekayaan morfospesies (S), kelimpahan individu (N), indekskeanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan indeks kemerataan spesies Hymenoptera Parasitika (E)

Angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata berdasarkan ujiDMRT dengan taraf nyata 5%.

DAFTAR PUSTAKA

Adriadi A, Chairul, & Solfiyeni. 2012. Analisis vegetasigulma pada perkebunan kelapa sawit (Elaeisguineensis Jacq.) di Kilangan, Muaro Bulian,Batang Hari. J.Bio. UA. 1(2):108–115.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2011. Pengukurandan Penghitungan Cadangan Karbon-Pengukuran Lapangan untuk PenaksiranCadangan Karbon Hutan (Ground Based ForestCarbon Accounting). Badan StandarisasiNasional, Jakarta.

Gibson GA, Huber JT, & Woolley JB. 1997. AnnotatedKeys to the Genera of Nearctic Chalcidoidea(Hymenoptera). NRC Research Press, Ottawa.

Goulet H & Huber JT. 1993. Hymenoptera of theWorld: An Identification Guide to Families.Canada Communications Group, Ottawa.

Page 44: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

44 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 37 - 44

Grimaldi D & Engel MS. 2005. Evolution of the Insects.Cambridge University Press, New York.

Grissell EE & Schauff ME. 1990. A Handbook of theFamilies of Nearctic Chalcidoidea(Hymenoptera). The Entomological Society ofWashington, Washington.

Hamid H, Buchori D, & Triwidodo H. 2003.Keanekaragaman parasitoid dan parasitisasinyapada pertanaman padi di kawasan Taman NasionalGunung Halimun. Hayati. 10: 85–90.

Hawkins BA & Lawton JH. 1987. Species richness forparasitoids of British phytophagous insects.Nature. 326: 788–790.

Lestari T, Abdi Z, Widodo J, & Yohanes. 2008. Analisisvegetasi di lahan bekas penambangan timah DesaRebo, Kabupaten Bangka. Enviagro. 2: 1–28.

Maeto K, Noerdjito WA, Belokobylskij SA, & FukuyamaK. 2009. Recovery of species diversity andcomposition of braconid parasitic wasps afterreforestation of degraded grasslands in lowlandEast Kalimantan. J. Insect. Conserv. 13(2): 245–257.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and ItsMeasurement. Princeton University Press, NewJersey.

Masner L. 1993. Superfamily Platygastroidea. In: GouletH & Huber JT (Eds.). Hymenoptera of the World:An Identification Guide to Families. pp. 558–565. Canada Communications Group, Ottawa.

Noyes JS. 1989. A study of five methods of samplingHymenoptera (Insecta) in tropical rainforest, withspecial reference to the parasitica. J. Nat. Hist.23: 285–298.

Nurtjahya E. 2008. Revegetasi lahan pasca tambangtimah dengan berbagai jenis pohon lokal di PulauBangka [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor,Bogor.

Quicke DLJ. 1997. Parasitic Wasps. Chapman andHall, London.

Rott AS & Godfray HCJ. 2000. The structure of aleafminer–parasitoid community. J. Anim. Ecol.69(2): 274–289.

Ruiz-Guerra B, López-Acosta JC, Zaldivar-Riverón A,& Velázquez-Rosas N. 2015. Braconidae(Hymenoptera: Ichneumonoidea) abundance andrichness in four types of land use and preservedrain forest in southern Mexico. Rev. Mexi.Biodivers. 86(1): 164–171.

Sahari B. 2012. Struktur komunitas parasitoidHymenoptera di perkebunan kelapa sawit, DesaPandu Senjaya, Kecamatan Pangkalan LadaKalimantan Tengah [Disertasi]. Institut PertanianBogor, Bogor.

Sharkey MJ. 2007. Phylogeny and classification ofHymenoptera. Zootaxa. 1668: 521–548.

Shaw MR. 2006. Habitat considerations for parasiticwasps (Hymenoptera). J. Insect. Conserv. 10(2):117–127.

Sperber CF, Nakayama K, Valverde MJ, & Neves FDS.2004. Tree species richness and density affectparasitoid diversity in cacao agroforestry. Basic.Appl. Ecol. 5(3):241–251.

Spurr SH & Barnes BV. 1980. Forest Ecology. JohnWilley and Sons, New York.

Wharton RA. 1997. Manual of the new world generaof the family Braconidae (Hymenoptera):introduction. In: Wharton RA, Marsh PM, &Sharkey MJ (Eds.). Manual of the New WorldGenera of the Family Braconidae(Hymenoptera). pp: 1-12. The InternationalSociety of Hymenopterist, Washington.

Yaherwandi, Manuwoto S, Buchori D, Hidayat P, &Prasetyo LB. 2007. KeanekaragamanHymenoptera parasitoid pada struktur lanskappertanian berbeda di Daerah Aliran Sungai (DAS)Cianjur, Jawa Barat. J. HPT. Tropika. 7(1): 10–20.

Yaherwandi, Manuwoto S, Buchori D, Hidayat P, &Prasetyo LB. 2008. Struktur komunitasHymenoptera parasitoid pada tumbuhan liar disekitar pertanaman padi di Daerah Aliran Sungai(DAS) Cianjur, Jawa Barat. J. HPT. Tropika.8(2): 90–101.

Page 45: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Sutarman Pengujian Trichoderma sp. sebagai Pengendali Hawar Daun 45 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 17, No. 1: 45 – 52, Maret 2017

PENGUJIAN TRICHODERMA SP. SEBAGAI PENGENDALI HAWAR DAUNBIBIT KAKAO YANG DISEBABKAN OLEH PHYTOPHTHORA PALMIVORA

Sutarman

Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah SidoarjoJl. Raya Gelam 250 Candi Sidoarjo, Jawa Timur, 61271

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Testing of Trichoderma sp. as a biocontrol agent for cocoa seedlings leaf blight caused by Phytophthora palmivora.This study aims to determine the ability of Trichoderma sp. TCN-Klp isolates suppressed P. palmivora inoculated on theleaves of cocoa seedlings with and without wounding the leaves before inoculation. There were two kinds of experiments:inoculation without wounding the leaves (1st experiment) and inoculation with wounding leaves (2nd experiment). Both ofthem were done by inoculation treatment: pathogens, Trichoderma, pathogens and Trichoderma simultaneously, thenpathogens and incubated for 2x24 hours then inoculated. The results showed that the isolates TCN-Klp of Trichoderma spwas able to suppress pathogens by inoculation simultaneously, which was preceded and precede the pathogens with a gap of24 hours on with and without wounding leaves at 10 days after inoculation.

Key words: Trichoderma, P. palmivora, injury index, cocoa seedlings

ABSTRAKPengujian Trichoderma sp. sebagai agensia biokontrol hawar daun bibit kakao yang disebabkan oleh Phytophthorapalmivora. Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan Trichoderma sp. isolat TcN-Klp menekan P. palmivora yangdiinokulasikan pada daun bibit kakao yang dilukai dan tanpa dilukai. Dua macam percobaan yaitu inokulasi tanpa pelukaandaun dan inokulasi dengan pelukaan daun dilakukan dengan perlakuan inokulasi: patogen, Trichoderma sp., patogen danTrichoderma sp. bersamaan, patogen dan diinkubasi 2 x24 jam untuk kemudian diinokulasi Trichoderma sp., Trichoderma sp.dan diinkubasi 2x24 jam untuk kemudian diinokulasi patogen, dan tanpa inokulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwaTrichoderma sp. isolat TcN-Klp mampu menekan patogen baik dengan cara inokulasi bersamaan, didahului dan mendahuluipatogen dengan selisih waktu 24 jam pada tanpa pelukaan dan dengan pelukaan daun pada 10 hari setelah inokulasi.

Kata kunci: bibit kakao, indeks luka, P. palmivora, Trichoderma sp.

PENDAHULUAN

Banyak spesies Phytophthora berstatus sebagaipatogen yang sangat merusak dan menyebabkanpenyakit penting pada agroekosistem di seluruh dunia(Chen et al., 2013; Kroon et al., 2012; Sikora et al.,2012). P. palmivora patogen tular tanah menginfeksiberbagai tanaman penting di dunia (Quesada-Ocampoet al., 2011). Secara etiologi sangat dimungkinkan terjadiperpindahan propagul Phytophthora dari lingkungansebagai sumber inokulum potensial ke pertanaman(Davidson et al., 2011) serta berkembangnya statusorganisme pengganggu di samping menjadi patogen tulartanah yang menyerang perakaran juga menyerangbagian tajuk tanaman.

Pada umumnya pengendalian jamur patogenmenggunakan fungisida kimia, namun saat ini pengujianpengendalian biologi sebagai alternatif semakinmeningkat (Ugur Bal, 2007). Mengingat aplikasi

fungisida untuk mengendalikan patogen ini selainberdampak negatif terhadap lingkungan jugamenimbulkan resistensi patogen terhadap fungisida,maka pemanfaatan agensia hayati, terutamaTrichoderma, makin banyak dikembangkan.Trichoderma memproduksi sejumlah metabolit sekundergliotoksin (Mukherjee et al., 2013), enzim hidrolitik sertamampu memparasit inang yang terinduksi oleh responsterhadap molekul (ekstraselular) yang dikeluarkan inang(Omann et al., 2012). Dengan keunggulan berbagaikarakter biologi dan ketersediaan di area pertanaman,maka dapat diandalkan sebagai agensia hayatipengendali patogen yang efektif, efisien, juga ramahlingkungan.

Pemanfaatan Trichoderma yang berasal darilahan di sentra-sentra pengembangan pertanaman kakaomemiliki prospek yang cerah. Untuk itu isolasi danpenapisan terhadap potensi antagonis berbagai isolatTrichoderma dari sentra pengembangan kakao telah

Page 46: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

46 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 45 - 52

banyak dilakukan. Trichoderma sp. isolat Tcn-Klpsebagai isolat terpilih dan telah menunjukkan dayahambat terhadap P. palmivora penyebab hawar daunbibit kakao (Nurudin & Sutarman, 2014) memiliki potensisebagai kandidat agensia hayati. Namun demikiansebagai agensia hayati potensial, kemampuanpredisposisi, kesintasan, dan kemampuan menekanpatogen hawar daun bibit kakao oleh isolat yangsesungguhnya sebagai “soil borne” ini di permukaandaun relatif belum teruji. Di pertanaman senantiasaterjadi pelukaan tajuk oleh berbagai sebab biotikmaupun abiotik yang dapat memfasilitasi tempat tumbuhbagi Trichoderma dan jamur patogen. Kondisi tersebutdapat pula terjadi pada tajuk pertanaman kakao. Olehkarena itu diperlukan suatu pengujian kemampuanTrichoderma dalam menghambat patogen melaluipengamatan gejala berupa luas dan indeks luka daunyang diinokulasi Trichoderma kandidat agensiapengendali hayati dan patogen dengan berbagai carainokulasi.

Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuanTrichoderma sp. isolat TcN-Klp menekan P. palmivorayang diinokulasikan pada daun bibit kakao yang dilukaidan tanpa dilukai melalui beberapa cara inokulasi.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan diLaboratorium Mikrobiologi dan di Green HouseFakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sidoarjodi Desa Gelam Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjomulai bulan Maret sampai Juli 2015.

Pengujian Efektivitas Antagonistik melalui Inokulasitanpa Pelukaan Daun. Percobaan ini dilakukan selainuntuk menguji kemampuan sintasan dan kemampuanhidup Trichoderma sp. pada permukaan daun tanpa lukajuga untuk menguji kemampuannya dalam menekanpatogen. Percobaan tahap pertama ini merupakan bagiandari keseluruhan proses penelitian yang dimulai sejakmenyiapkan inokulum isolat Trichoderma sp. TcN-Klpdan patogen di Laboratorium Mikrobiologi hinggakegiatan persiapan bibit dan tahap akhir percobaan diGreen House.

Bibit kakao umur 5 minggu setelah tanam (MST),yang ditumbuhkan dalam polibag kapasitas 5 kg,diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Kakao–Jemberdan sudah teruji bebas serangan damping offdiaklimatisasi selama 3 minggu, sehingga ketika bibitberumur 8 MST siap digunakan bebas gangguan patogen.Seluruh daun tiap bibit yang digunakan dibersihkan

dengan desinfektan (alkohol 50%) dan air destilat steril,kemudian ditutup dengan kantung plastik untukmenghindari masuknya patogen (bukan perlakuan) danmenjaga kelembaban serta diinkubasi selama 1 mingguuntuk memastikan daun bebas infeksi. Di lain pihakdisiapkan isolat Trichoderma sp. (isolat TcN-Klp)(Nurudin & Sutarman, 2014) dan isolat P. palmivora(diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Kakao–Jember, Jawa Timur) masing-masing ditumbuhkandalam media PDAm (Vargass Gill et al., 2009) yangdimodifikasi dengan komposisi filtrat rebusan umbikentang (200 g), glukosa (20 g), agar (20 g), dankhloramfenikol (0,3 g). Propagul patogen dan antagonisyang diambil dari kultur media, dipanen dan diencerkandengan air steril masing-masing sampai mencapaikerapatan sekitar 4x104 sporangia dan 4x107

konidiospora per ml. Selanjutnya dipilih secara acakdaun bibit, namun bukan daun yang paling ujung (muda)dan/atau daun yang paling tua, yang akan diinokulasitersebut. Daun dibersihkan kembali dengan desinfektan(alkohol 50%) dan dibilas dengan air destilat steril. Mediatanam dalam polibag diberi air destilat tiap hari dan tiapbibit kakao disungkup oleh kantong plastik untukmencegah patogen dan kontaminan lain dari udara sertamenjaga kelembaban udara sekitar 80-90% dengan suhu26±3 oC. Daun diinokulasi dengan P. palmivora dengancara mengoleskan propagul patogen dan Trichodermayang sudah disiapkan sesuai dengan perlakuan yangmasa inkubasinya 2x24 jam. Selanjutnya inokulasidilakukan sesuai perlakuan sebagai berikut: Kontrol =daun tidak diinokulasi P. palmivora maupunTrichoderma sp.; Phyt = daun hanya diinokulasi P.palmivora, kemudian diinkubasi; Tric= daun hanyadiinokulasi Trichoderma sp., kemudian diinkubasi; Phyt-Tric = daun diinokulasi P. palmivora bersamaan denganinokulasi Trichoderma sp., kemudian diinkubasi; Phy-Tric1 = daun diinokulasi P. palmivora terlebih dahulukemudian setelah diinkubasi selama 2x24 jam, dilakukaninokulasi Trichoderma sp.; Tric-Phyt1 = daun diinokulasiTrichoderma sp. terlebih dahulu dan 2x24 jam kemudiandiinokulasi P. palmivora. Media tanam dalam polibagdiberi air destilat tiap hari dan tiap bibit kakao disungkupoleh kantong plastik untuk mencegah patogen dankontaminan lain dari udara serta menjaga kelembabanudara sekitar 80-90% dengan suhu 26 ± 3 oC.

Semua perlakuan pada percobaan ini diulangsebanyak 3 kali. Variabel yang diamati dalam percobaanini adalah gejala serangan berupa: indeks luka hawardaun yang menunjukkan berat kerusakan satu unitpercobaan berdasarkan gejala yang diamati setiap 2 harisesudah masa inkubasi 2x 24 jam hingga 10 hari setelah

Page 47: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Sutarman Pengujian Trichoderma sp. sebagai Pengendali Hawar Daun 47

kNniILk

ii %100.)(

4

1

Tabel 1. Kriteria gejala daun bibit kakao berdasarkan luka hawar yang disebabkan oleh P. palmivora (Nurudin &Sutarman, 2014)

Skor Kriteria gejala

0 Tidak tampak gejala hawar daun 1 Gejala hawar daun terbentuk di permukaan daun yang diinokulasi 2 Gejala hawar daun terbentuk dengan infeksi mulai melebar melampaui luas

permukaan daun yang diinokulasi 3 Gejala hawar daun terbentuk dengan infeksi berkembang mencapai setengah luas

permukaan daun 4 Gejala hawar daun terbentuk dengan hampir semua permukaan

KA = kinerja antagonistik relatif A = indeks luka daun yang diinokulasi hanya

oleh patogen B = indeks luka daun yang diinokulasi oleh

Trichoderma sp. dan patogen secara bersamaan atau salah satu mendahului yang lain dengan masa inkubasi 2 x 24 jam.

IL = indeks luka i = nilai numerik (skor) bibit dengan kriteria

gejala serangan teramati n = jumlah daun bibit dengan skor gejala i N = jumlah daun k = nilai numerik (skor) tertinggi dengan kriteria

gejala serangan terberat

inkubasi (HSI) dan dihitung dengan menggunakan rumusseperti digunakan You et al. (2016) yang dimodifikasimenjadi sebagai berikut:

dengan:

Kriteria gejala pada daun bibit kakao ditentukanberdasarkan kriteria gejala seperti terlihat pada Tabel1.

Pengujian Efektivitas Antagonistik melaluiInokulasi dengan Pelukaan Daun. Percobaan inidilakukan bertujuan untuk mengetahui kemampuanTrichoderma sp TcN-klp tumbuh dan menekan patogenyang diinokulasi pada daun yang dilukai. Percobaan inidilakukan secara paralel dengan pengujian efektivitasantagonistik melalui inokulasi tanpa pelukaan daundengan bibit kakao berumur sama yaitu 8 MST dipersemaian. Langkah-langkah kegiatan pengujianefektivitas tahap ini seperti pada pengujian tanpapelukaan. Daun bibit dilukai dengan karborundum yangdioleskan dengan menggunakan “cotton bud” sehinggamelukai permukaan daun seluas ± 1 cm2. Bibit yangdigunakan untuk percobaan bebas gejala penyakitdiinokulasi dengan keenam macam cara inokulasi sebagaiperlakuan dan diulang 3 kali. Pengamatan dilakukanterhadap gejala serangan berupa: (i) luas bercak ataunekrotik pada daun diamati pada 4 dan 6 hari setelahinokulasi (HSI) yang dilakukan dengan cara Nurudin &

Sutarman (2014), (ii) indeks luka hawar daun yangmenunjukkan berat kerusakan satu unit percobaanberdasarkan gejala yang diamati pada 10 HSI dengankriteria seperti tertera pada Tabel 1 dan dihitung denganmenggunakan rumus IL.

Kinerja Antagonistik. Kinerja antagonistik relatif olehTrichoderma sp. terhadap patogen dihitung dengan carasebagai berikut:

dengan:

Analisis Data. Data pada percobaan tanpa pelukaandaun yaitu indeks luka dan pada percobaan denganpelukaan daun yaitu luas luka daun dan indeks lukadianalisis dengan menggunakan sidik ragam dandilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf uji 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Efektivitas Antagonistik melalui Inokulasitanpa Pelukaan Daun. Hasil percobaan tahap ke-1(inokulasi tanpa pelukaan daun) menunjukkanpertumbuhan indeks luka mulai 2 hingga 10 HSI (Gambar1) yang memperlihatkan mulai adanya perbedaanpengaruh perlakuan sejak 4 HSI.

Berbagai cara inokulasi antara Trichoderma sp.dan P. palmivora pada daun bibit kakao pada percobaantahap pengujian efektivitas antagonistik melalui inokulasitanpa pelukaan daun menunjukkan adanya perbedaan

100% A

B-A KA

Page 48: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

48 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 45 - 52

Tabel 2. Pengaruh beberapa cara inokulasi antara Trichoderma sp. dan P. palmivora pada daun yang tidak dilukaiterhadap indeks luka hawar daun bibit kakao

Perlakuan Indeks luka (cm2)

4 HSI 6 HSI 8 HSI 10 HSI

Kontrol 0,00 c 0,00 c 0,00 c 0,00 cd Phyt 25,00 a 47,92 a 58,33 a 79,17 a Tric 0,00 c 0,00 c 0,00 c 0,00 cd Phyt-Tric 2,08 bc 4,17 bc 8,33 b 8,33 c Phyt-Tric1 4,17 b 6,25 b 10,42 b 16,67 b Tric-Phyt1 2,08 bc 8,33 b 12,50 b 18,75 b

HSI= hari setelah inokulasi; Kontrol = tanpa inokulasi, Phyt = diinokulasi dengan P. palmivora, Tric = diionkulasidengan Trichoderma sp., Phyt-Tric = inokulasi patogen dan Trichoderma sp. secara bersamaan, Phyt-Tric 1=diinokulasi patogen, diinkubasi 2x24 jam, kemudian diinokulasi Trichoderma sp., Tric-Phyt1 = diinokulasiTrichoderma sp., diinkubasi 2x24 jam, kemudian diinokulasi patogen; Angka yang diikuti oleh huruf yang berbedapada kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan pengaruh perlakuan dengan uji Duncan 5%.

pengaruh yang ditunjukkan dalam rerata indeks lukahawar daun bibit kakao mulai saat 4 hingga 10 HSI(Tabel 2).

Berbagai cara inokulasi antara Trichoderma sp.dan P. palmivora pada daun bibit pada percobaan tahapke-2 (dengan pelukaan daun) menunjukkan adanyaperbedaan pengaruh yang ditunjukkan dalam rerata luasluka (cm2) pada 4 dan 6 HSI dan indeks luka hawardaun bibit kakao pada 10 HSI (Tabel 3).

Luas luka pada per lakuan patogen danTrichoderma sp. yang diinokulasi bersamaan (Phyt-Tric)menunjukkan angka tertinggi (8,51 cm2) melampaui lukadaun yang hanya disebabkan oleh patogen (Phyt) yaitu3,53 cm2, namun demikian kondisi tersebut terbalik pada

6 HSI yaitu 12,68 cm2 untuk perlakuan inokulasi patogensaja, dan 10,14 pada perlakuan Phyt-Tric (Tabel 3).Pada perlakuan Phyt-Tric1 dan Tric-Phyt1 luas lukayang dihasilkan tidak melampaui perlakuan Phyt pada 4HSI; meskipun luas luka bertambah pada 6 HSI namuntetap di bawah luas luka pada perlakuan Phyt yaitu 8,42cm2 (Phyt-Tric1) dan 2,34 cm2 (Tric-Phyt1). Sementaraitu luas luka daun pada perlakuan Tric mencapai 0,10cm2 pada 4 HSI dan 0,23 cm2 pada 6 HSI yang secarastatistik (uji BNJ 5%) tidak menunjukkan perbedaandengan kontrol 0,14 pada 4 dan 6 HSI. Hasilpemeriksaan daun luka pada perlakuan Tric tidakditemukan adanya infeksi P. palmivora dan patogenlain.

Gambar 1. Indeks luka daun hawar daun bibit kakao yang diinokulasi patogen dan Trichoderma pada berbagaicara inokulasi

Page 49: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Sutarman Pengujian Trichoderma sp. sebagai Pengendali Hawar Daun 49

Tabel 4. Kinerja antagonistik relatif Trichoderma sp. terhadap P. palmivora pada 10 HSI

Cara inokulasi

Tanpa pelukaan Dengan pelukaan

Indeks luka

Kinerja antagonistik

Indeks luka

Kinerja antagonistik

Patogen (Phyt) 79,17 - 82,14 - Trichoderma sp. dan patogen bersamaan (Phyt-Tric) 8,33 89,5% 60,71 26,1% Patogen yang diikuti Trichoderma sp. (Phyt-Tric1) 16,67 78,9% 35,71 56,5% Trichoderma sp. yang diikuti patogen (Tric-Phyt1) 18,75 76,3% 16,07 80,4%

Tabel 3. Pengaruh beberapa cara inokulasi antara Trichoderma sp. dan P. palmivora pada daun yang dilukaiterhadap luas luka dan indeks luka hawar daun bibit kakao

Perlakuan Luas luka (cm²)

4 HSI 6 HSI 10 HSI

Kontrol 0,14 d 0,14 e 0,00 e Phyt 3,53 b 12,68 a 82,14 a Tric 0,10 d 0,23 e 3,57 e Phyt-Tric 8,51 a 10,14 b 60,71 b Phyt-Tric1 1,90 c 8,42 c 35,71 c Tric-Phyt1 0,29 d 2,34 d 16,07 d

HSI= hari setelah inokulasi; Kontrol = tanpa inokulasi, Phyt = diinokulasi dengan P. palmivora, Tric = diionulasidengan Trichoderma sp., Phyt-Tric = inokulasi patogen dan Trichoderma sp. secara bersamaan, Phyt-Tric 1=diinokulasi patogen, diinkubasi 2x24 jam, kemudian diinokulasi Trichoderma sp., Tric-Phyt1 = diinokulasi Trichodermasp., diinkubasi 2x24 jam, kemudian diinokulasi patogen; Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolomyang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan pengaruh perlakuan dengan uji Duncan5 %.

Kinerja Antagonistik. Berdasarkan data kedua macampercobaan yaitu inokulasi tanpa dan dengan pelukaandaun (Tabel 2 dan 3), maka diperoleh gambaran kinerjaTrichoderma sp. yang ditunjukkan besarnya indeks lukayang dapat ditekan dibandingkan dengan indeks luka yangdisebabkan oleh patogen (Tabel 4).

Kemampuan Trichoderma sp. dalammengendalikan atau menjalankan perannya sebagaiantagonis diukur dengan membandingkan selisihpersentase indeks luka akibat serangan patogen saja dandengan adanya kehadiran Trichoderma sp. pada areainfeksi terhadap persentase indeks luka akibat patogen.Pada kondisi predisposisi tanpa luka tampak inokulasibersamaan antara patogen dan Trichoderma sp.menunjukkan kinerja antagonistik paling tinggi (89,5%)dibandingkan perlakuan lainnya, namun pada kondisipredisposisi dengan luka daun kinerja antagonistikTrichoderma sp. terkecil (26,1%). Pada perlakuan Tric-Phyt1 kinerja antagonistik Trichoderma sp. mencapaiangka tertinggi (80,4%) pada predisposisi daun luka dan

dengan persentasi terkecil (76,3%) pada daun tanpapelukaan.

Pada kondisi daun tanpa luka, Trichodema sp.pada perlakuan Trich-Phyt1 bertahan selama 2x 24 jamdan menunjukkan kemampuannya menghambat patogenseperti ditunjukkan oleh indeks luka daun 2,08 jauh lebihkecil dibandingkan dengan perlakuan Phyt yaitu 25,00pada 4 HSI (Tabel 2). Fakta ini menunjukkankemampuan Trichoderma sp. survive di permukaandaun yang diduga hanya mengandalkan air yangterdeposisi dari kelembaban udara dan senyawa yangdikeluarkan oleh daun ke permukaan sebagai eksudat.Iklim mikro, yang direpresentasikan oleh kelembabandan suhu, di dalam sebuah kanopi memainkan peranpenting dalam kinerja patogen (Small et al., 2015) jugabagi Trichoderma. Sukses bertahan hidup dan kolonisasiantagonis sangat penting bagi agen biokontrol penyakit(Saravanakumar et al., 2016). Kemampuan yang tinggidalam sintasan dan kemampuan untuk hidup pada awalkolonisasinya dipermukaan daun disebabkan oleh

Page 50: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

50 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 45 - 52

Trichoderma berkemampuan tinggi dalam kompetisipenguasaan ruang (Siddique et al., 2012) dan memilikilaju metabolisme yang cepat (Verma et al., 2007).Pencapaian indeks luka pada 10 HSI sebesar 79,17 padaperlakuan Phyt dan 18,75 pada Trich-Phyt1menunjukkan Trichoderma sp. memiliki kemampuanmengendalikan patogen yang tinggi yang disebabkan olehkemampuan jamur ini menghasilkan enzim selulase,kitinase dan glukanase (Vinale et al., 2008), antibiotik(Al-Taweil et al., 2009), serta toksin seperti diterpenoidharziane (Zhang et al., 2016).

Kinerja Trichoderma sp. yang diinokulasibersamaan dengan patogen relatif tinggi pada percobaantanpa pelukaan daun menunjukkan kinerja antagonistikpaling tinggi (89,5 %) (Tabel 4); hal ini sejalan denganhasil penelitian Nurudin & Sutarman (2014) yang secarainvitro mampu menghambat patogen. Sebaliknya padapercobaan dengan pelukaan daun, kinerja penekananrelatif kecil (26,1%) yang menunjukkan bahwa pelukaanmempercepat proses infeksi patogen dan menurunkankemampuan Trichoderma sp. untuk menghambat kinerjapenekanan terhadap patogen. Di lain pihak kinerjaantagonistik relatif Trichoderma sp. pada daun yangdilukai menunjukkan nilai yang tinggi (80,4%). Hal inididuga tersedianya bahan organik yang berasal darijaringan yang mati (karena pelukaan) bagi kemantapanpredisposisi dan sintasan Trichoderma sp. menjelangkehadiran patogen, sehingga jamur antagonis ini lebihsiap berkompetisi dalam memanfaatkan ruang/nichedibandingkan dengan patogen. Trichoderma adalahpengkoloni yang baik pada sisa tanaman (Matarese etal., 2012). Biomassa pada jaringan yang luka kayakarbohidrat yang merupakan habitat bagiperkecambahan konidiospora Trichoderma (Metz et al.,2011).

Pada perlakuan Phyt-Tric, indeks luka yangdisebabkan patogen menunjukkan luas luka sebesar 8,51cm2 lebih besar dibandingkan dengan luas luka karenadiinokulasi hanya dengan patogen yaitu 3,53 cm2 pada 4HSI, meskipun secara bersamaan diinokulasi olehTrichoderma sp. Hal ini menunjukkan bahwa di sampingpredisposisi pada permukaan daun yang sudah dilukaiyang mendukung terjadinya infeksi oleh patogen, sebagaijamur hemibiotrof patogen ini memperoleh nutrisinyadari sel inang hidup dengan cara membentuk haustoriamelalui percabangan hifa dan pensekresian enzim yangmerombak komponen penyusun dinding sel (Hajianfaret al., 2016) yang dalam percobaan ini adalah lapisansel di bawah luka buatan. Efisiensi deposisi sporangiajamur patogen ini pada jaringan sangat mempengaruhitingkat infeksi penyakit busuk daun (Aylor et al., 2011),

meskipun patogen ini mampu bertahan pada kondisikering tanpa inang (Brylinska et al., 2016). Di lain pihakTrichoderma membutuhkan waktu untuk mampumengoptimalkan peran senyawa ekstraselular yangdapat menekan patogen. Valenzuela et al. (2015)menyampaikan hasil penelitiannya bahwa T.longibrachiatum memiliki tingkat pertumbuhan cepat,tetapi ketika kontak dengan patogen pertumbuhannyamelambat. Namun demikian pada 6 HSI luas luka daunkarena inokulasi patogen dan Trichoderma sp. secarabersamaan mencapai 10,14 cm2 lebih rendahdibandingkan pada perlakuan inokulasi patogen sajayaitu 12,68 cm2. Hal ini menunjukkan bahwaTrichoderma sp. setelah 4 HSI sudah mulai menekanpatogen. Hasil dengan kecenderungan yang samadiperlihatkan oleh jamur endofit T. hamatum yang diujisecara in vivo pada tajuk gandum mampumengendalikan Pyrenophora tritici-repentis (Larranet al., 2016). Berdasarkan fakta di atas tampaknyaTrichoderma sp. isolat TcN-Klp, seperti dikemukakanHarman et al. (2012) dapat bersifat sebagai endofit padatanaman kakao di jaringan daun dan berpotensi untukmenghambat aktivitas patogen.

SIMPULAN

Trichoderma sp. isolat TcN-Klp mampumenekan patogen dengan cara inokulasi: bersamaandengan inokulasi patogen mampu menekan indeks luka89,5% dan 26,1 %, setelah 2 hari inkubasi pasca inokulasipatogen mampu menekan indeks luka 78,3% dan 56,5%,dan mendahului inokulasi patogen dengan masa inkubasi2 hari mampu menekan indeks luka 76,3% dan 80,4%masing-masing tanpa pelukaan dan dengan pelukaandaun pada 10 hari setelah inokulasi.

SANWACANA

Terima kasih disampaikan kepada DirektoratJendral Pendidikan Tinggi Kementrian Ristekdikti (duluKementrian Pendidikan dan Kebudayaan) RepublikIndonesia atas dukungan pendanaan penelitian ini yangmerupakan bagian dan pengembangan penelitianberskema hibah Fundamental 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Taweil HI, Osman MB, Hamid AA, & Wan-YussofWM. 2009. Optimizing of Trichoderma viridecultivation in submerged state fermentation. Am.J. Appl. Sci. 6(7): 1284–1288.

Page 51: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Sutarman Pengujian Trichoderma sp. sebagai Pengendali Hawar Daun 51

Aylor DE, Schmale DG. Shields EJ, Newcomb M, &Nappo CJ. 2011. Tracking the potato late blightpathogen in the atmosphere using unmanned aerialvehicles and Lagrangian modeling. Agriculturaland Forest Meteorology 151(2): 251–260.

Brylinska M, Sobkowiak S, Stefanczyk E, & Sliwka J.2016. Potato cultivation system affects populationstructure of Phytophthora infestans. FungalEcol. 20: 132–143.

Bal U & Altintas S. 2008. Effects of Trichodermaharzianum on lettuce in protected cultivation.J. Cent. Eur. Agric. 9(1): 63–70.

Chen W, Djama ZR, Coffey MD, Martin FN, BilodeauGJ, Radmer L, Denton G, & Lévesque CA. 2013.Membrane-based oligonucleotide array developedfrom multiple markers for the detection of manyPhytophthora species. Phytopathology 103 (1):43–54.

Davidson JM, Patterson HA, Wickland AC, FichtnerEJ, & Rizzo DM. 2011. Forest type influencestransmission of Phytophthora ramorum inCalifornia oak woodlands. Phytopathology 101(4): 492–501.

Hajianfar R, Kolics B, Cernak I, Wolf I, Polgar Z, &Taller J. 2016. Expression of biotic stress responsegenes to Phytophthora infestans inoculation inWhite Lady, a potato cultivar with race-specificresistance to late blight. Physiol. Mol. PlantPathol. 93: 22–28.

Harman GE, Herrera-Estrella AH, Horwitz BA, & LoritoM. 2012. Special issue: Trichoderma – from basicbiology to biotechnology. Microbiol. 158: 1–2.

Kroon LP, Brouwer H, de Cock AW, & Govers F. 2012.The genus Phytophthora anno 2012.Phytopathology 102(4): 348–364.

Larran S, Simón MR, Moreno MV, Siurana MPS, &Perelló A. 2016. Endophytes from wheat asbiocontrol agents against tan spot disease. Biol.Control 92: 17–23.

Matarese F, Sarrocco S, Gruber S, Seidl-Seiboth V, &Vannacci G. 2012. Biocontrol of Fusarium headblight: interactions between Trichoderma andmycotoxigenic Fusarium. Microbiology. 158: 98–106.

Metz B, Seidl-Seiboth V, Haarmann T, Kopchinskiy A,Lorenz P, Seiboth B, & Kubicek CP. 2011.Expression of biomass-degrading enzymes Is amajor event during conidium development inTrichoderma reesei. Eukaryot. Cell 10(11):1527–1535.

Mukherjee PK, Horwitz BA, Herrera-Estrella A,Schmoll M, & Kenerley CM. 2013. Trichodermaresearch in the genome era. Annu. Rev.Phytopathol. 51: 105–129.

Nurudin MJ & Sutarman. 2014. Potensi Trichodermasp. sebagai pengendali Phytopthora palmivorapenyebab hawar daun bibit kakao. J. Nabatia 11(1): 21–28.

Omann MR, Lehner S, Rodrı´guez CE, Brunner K, &Zeilinger S. 2012. The seven-transmembranereceptor Gpr1 governs processes relevant for theantagonistic interaction of Trichodermaatroviride with its host. Microbiology. 158(pt1):107–118.

Quesada-Ocampo LM, Granke LL, Mercier MR, OlsenJ, & Hausbeck MK. 2011. Investigating thegenetic structure of Phytophthora capsicipopulations. Phytopathology 101 (9): 1061–1073.

Saravanakumar K, Yu C, Dou K, Wang M, Li Y, &Chen J. 2016. Synergistic effect of Trichoderma-derived antifungal metabolites and cell walldegrading enzymes on enhanced biocontrol ofFusarium oxysporum f. sp. cucumerinum. Biol.Control 94: 37–46.

Siddiquee S, Cheong BE, Taslima K, Kausar H, & HasanMM. 2012. Separation and identification of volatilecompounds from liquid cultures of Trichodermaharzianum by GC-MS using three differentcapillary columns. Journal of ChromatographicScience 50(4): 358–367.

Sikora K, Verstappen E, Mendes O, Schoen C, RistainoJ, & Bonants P. 2012. A universal microarraydetection method for identification of multiplePhytophthora spp. using padlock probes.Phytopathology 102 (6): 635–645.

Small IM, Joseph L, & Fry WE. 2015. Developmentand implementation of the BlightPro decisionsupport system for potato and tomato late blightmanagement. Comput. Electronics Agric. 115:57–65.

Page 52: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

52 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 45 - 52

Valenzuela NL, Angel DN, Ortiz DT, Rosas RA, GarcíaCFO, & Santos MO. 2015. Biological control ofanthracnose by postharvest application ofTrichoderma spp. on maradol papaya fruit. Biol.Control 91: 88–93.

Vargas Gil S, Pastorb S, & March GJ. 2009. Quantitativeisolation of biocontrol agents Trichoderma spp.,Gliocladium spp. and actinomycetes from soilwith culture media. Microbiol. Res. 164(2): 196–205.

Verma M, Brar SK, Tyagi RD, Surampalli RY, & ValeroJR. 2007. Antagonistic fungi, Trichoderma spp.:panoply of biological control. BiochemistryEngineering J. 37(1): 1–20.

Vinale F, Sivasithamparam K, Ghisalberti EL, Marra R,Barbetti MJ, Li H, Woo SL, & Lorito M. 2008. Anovel role for Trichoderma secondarymetabolites in the interactions with plants. Physiol.Mol. Plant Pathol. 72: 80–86.

You J, Zhang J, Wu M, Yang L, Chen W, & Li G. 2016.Multiple criteria-based screening of Trichodermaisolates for biological control of Botrytis cinereaon tomato. Biological Control 101: 31–38.

Zhang M, Liu JM, Zhao JL, Li N, Chen RD, Xie KB,Zhang WJ, Feng KP, Yan Z, Wang N, & Dai JG.2016. Two new diterpenoids from the endophyticfungus Trichoderma sp. Xy24 isolated frommangrove plant Xylocarpus granatum. ChineseChemical Letters 27(6): 957–960.

Page 53: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Djaenuddin & Muis Efektivitas Biopestisida Bacillus subtilis 53 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 17, No. 1: 53 – 61, Maret 2017

EFEKTIVITAS BIOPESTISIDA BACILLUS SUBTILIS BNt 8DAN PESTISIDA NABATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT

HAWAR PELEPAH DAN UPIH DAUN JAGUNG

Nurasiah Djaenuddin & Amran Muis

Balai Penelitian Tanaman SerealiaJl. Dr. Ratulangi No.274, Maros 90514

Email: [email protected]

ABSTRACT

Effectiveness of the biopesticide of Bacillus subtilis BNt 8 and botanical pesticide in controlling banded leaf and sheathblight disease on maize. Banded leaf and sheath blight disease (BLSB) caused by the fungus Rhizoctonia solani is difficultto control because it pertained soil borne fungus that can survive in a long time in the soil. Control the disease with syntheticpesticide causing contamination to the environment, so that an environmentally friendly alternative control is needed. Thisstudy aimed to obtain a Bacillus subtilis formulation as biological agents and selected botanical pesticides that effective tocontrol BLSB in the field. The study was conducted at the Plant Pathology Laboratory of Indonesia Cereals Research Institutein Maros and at the Bajeng Experimental Farm in Gowa, held from February to August 2015. The treatments consists of severalbotanical pesticides, B. subtilis formulation, a synthetic fungicide, positive and negative controls. In vitro test was inhibitiontest between botanical pesticide with R. solani and antagonistic test between the B. subtilis and botanical pesticides, each ofthem consists of 6 treatments and 3 replications, while the field activity consists of test of effectiveness of single treatmentand combination between B. subtilis formulation and botanical pesticides. The results showed that combination of formulatedB. subtilis with botanical pesticide of cloves leaves, betel leaves, and turmeric were not significantly different from singletreatment of formulated B. subtilis and botanical pesticides. Formulated B. subtilis suppressed the severity of BLSB as muchas 39.1% and yield reached 8.4 t/ha.

Key words: botanical pesticides, combination biocontrol agents, effectiveness test

ABSTRAK

Efektivitas biopestisida Bacillus subtilis BNt 8 dan pestisida nabati untuk pengendalian penyakit hawar pelepahdan upih daun jagung. Penyakit hawar pelepah dan upih daun yang disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solanipengendaliannya sulit dilakukan karena tergolong cendawan tular tanah yang dapat bertahan lama di dalam tanah. Pengendalianpenyakit tersebut dengan pestisida sintetik menyebabkan tercemarnya lingkungan sehingga dibutuhkan alternatif pengendalianyang ramah lingkungan, diantaranya adalah penggunaan biopestisida maupun pestisida nabati. Penelitian ini bertujuan untukmendapatkan biopestisida formulasi Bacillus subtilis sebagai agens pengendali hayati dan pestisida nabati yang telah diseleksiin vitro yang efektif untuk pengendalian penyakit hawar pelepah jagung di lapangan. Penelitian dilakukan di LaboratoriumPenyakit Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros dan Kebun Percobaan Bajeng Gowa, berlangsung mulai Februari sampaiAgustus 2015. Perlakuan menggunakan beberapa bahan nabati, formulasi B. subtilis, fungisida sintetik, kontrol positif dannegatif. Pengujian yang dilakukan secara in vitro adalah uji daya hambat antara ekstrak nabati dengan cendawan R. solanidan uji antagonis antara B. subtilis dan ekstrak nabati masing-masing 6 perlakuan dan 3 ulangan, sedangkan kegiatanlapangan meliputi pengujian efektifitas perlakuan tunggal dan kombinasi antara biopestisida formulasi B. subtilis dan pestisidanabati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi kombinasi formulasi B. subtilis dengan pestisida nabati ekstrak dauncengkeh, daun sirih, dan rimpang kunyit tidak berbeda nyata dengan perlakuan agens hayati dan nabati yang diaplikasikansecara tunggal. Perlakuan tunggal formulasi B. subtilis dapat menekan perkembangan penyakit hawar pelepah dan upih daunpada jagung dengan persentase serangan 39,1% dan hasil panen mencapai 8,4 t/ha.

Kata kunci: agens pengendali hayati, kombinasi, pestisida nabati, uji efektifitas

Page 54: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

54 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 53 - 61

PENDAHULUAN

Cendawan Rhizoctonia solani menyebabkanpenyakit hawar pelepah dan upih daun pada tanamanjagung. Cendawan ini hidup di dalam tanah dalam bentuksklerotia dan tidak memiliki spora aseksual. Infeksinyadapat mengurangi hasil panen bahkan menyebabkanepidemi penyakit. Salah satu cara pengendalian penyakithawar pelepah yang lebih bijaksana saat ini adalahkombinasi penggunaan bakteri antagonis sebagai agenspengendali hayati dan pestisida nabati. Pengendalianpenyakit tanaman dengan menggunakan biopestisidamerupakan alternatif yang bijak dalam memeliharaekosistem lingkungan.

Penelitian pada produk alami yang dapatmenggantikan fungisida sintetik atau berkontribusi padapengembangan agens baru untuk pengendalian penyakittanaman, telah menarik banyak perhatian dari peneliti(Gimenez et al., 2007; Huang et al., 2010). Penggunaanbiopestisida dengan memanfaatkan agens hayati danpestisida nabati merupakan suatu upaya menjagalingkungan agar sesuai untuk tanaman dan agens hayatiserta tidak sesuai untuk perkembangan patogen. Namunaspek keamanan perlu dipertimbangkan sejak agenshayati dikembangkan. Data tentang keamanan Bacillussubtilis sebagai agens hayati cukup lengkap sehinggadisimpulkan agens hayati tersebut aman bagi manusiadan lingkungan (Supriadi, 2006). B. subtilis yang diisolasidari rizosfer bersifat sebagai antagonis terhadap berbagaicendawan fitopatogenik (Grover et al. , 2010).Kompatibilitas berbagai jenis pestisida (hayati, nabati,dan sintetis), menunjukkan potensi yang cukup baik untukmengoptimalkan penggunaannya sekaligus meminimalkanpenggunaan pestisida sintetis (Supriadi, 2013). Kunyit,sirih, cengkeh, lengkuas, dan kenikir adalah beberapatanaman yang dapat dibuat menjadi ekstrak nabati untukpengendalian penyakit tanaman.

Pada penelitian sebelumnya diperoleh formulasibakteri antagonis dalam bentuk tepung yang telah diujikeefektifannya terhadap cendawan R. solani. Muis(2006) melaporkan bahwa tepung terbukti sebagai mediaformulasi terbaik untuk mempertahankan jumlah kolonibakteri B. subtilis. Hasil identifikasi Rustam et al. (2011)menyebutkan bahwa isolat BR2 yang menunjukkanefikasi konsisten yang baik dalam menekan penyakithawar pelepah R. solani pada padi setelah diidentifikasiadalah B. subtilis. Bakteri B. subtilis memproduksiberbagai senyawa antibiotik antifungal sepertizwittermisin-A, kanosamin, dan lipopeptida dari iturin,surfaktin, dan family fenzisin (Kumar et al., 2009).Namun sejalan dengan falsafah pengelolaan hamaterpadu (PHT) saat ini sedang banyak diteliti dan

dikembangkan pengendalian dengan memanfaatkankombinasi agens hayati dan beberapa pestisida nabatiyang efektif untuk mengendalikan penyakit hawarpelepah R. solani.

Beberapa penelitian tentang aplikasi kombinasipengendalian penyakit telah dilakukan. Budi et al. (2011)melaporkan bahwa pemberian isolat tunggal FNP PS-1.5, Pseudomonas fluorescens PS-4.8 atau Trichodermaviridae PS-2.1 intensitas penyakitnya antara 21,7 % -32,5 %, sedangkan aplikasi kombinasi formulasi (FNPPS-1.5 + P. fluorescens PS-4.8) dan (T. viridae PS-2.1+ P. fluorescens PS-4.8) intensitas penyakitnya lebihrendah yaitu sebesar 10% dan 12,2% pada tanamanpadi di lahan pasang surut. Wartono et al. (2012)melaporkan bahwa formulasi bakteri Burkholderiacepacia isolat E.76 mampu menekan pertumbuhancendawan R. solani pada tanaman padi secara in vitro.Menurut Ali & Nadarajah (2013), kombinasi isolatTrichoderma sp. dan B. subtilis memberikan hasil yangterbaik dalam mengendalikan cendawan patogen R.solani pada tanaman padi.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkanbiopestisida bakteri antagonis B. subtilis sebagai agenspengendali hayati dan pestisida nabati yang efektif untukmeningkatkan efikasinya dalam mengendalikan penyakithawar pelepah dan upih daun jagung yang disebabkanoleh R. solani di lapangan.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilakukan diLaboratorium Penyakit Balai Penelitian Tanaman Serealia(Balitsereal), Maros dan Kebun Percobaan Bajeng,Gowa, pada bulan Februari hingga Agustus 2015.

Penyediaan Pestisida Nabati. Pestisida nabati yangdigunakan adalah ekstrak daun cengkeh, ekstrak daunsirih, ekstrak kenikir, ekstrak lengkuas, dan ekstrakrimpang kunyit yang diperoleh dari Balai PenelitianTanaman Sayuran, Lembang.

Seleksi Pestisida NabatiUji Daya Hambat Ekstrak Nabati terhadap

Cendawan R. solani in vitro. Pengujian ini terdiri dari5 jenis ekstrak nabati yaitu daun sirih, kenikir, rimpangkunyit, daun cengkeh, dan lengkuas, ditambah denganperlakuan kontrol, sehingga total terdapat 6 perlakuan.Setiap ekstrak nabati diencerkan dengan konsentrasi 2%kemudian masing-masing dimasukkan sebanyak 1 mlke dalam cawan petri yang telah berisi 10 ml mediaPDA (DifcoTM Potato Dextrose Agar), lalu digoyangkanagar homogen. Didiamkan selama 10 menit agar suspensi

Page 55: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Djaenuddin & Muis Efektivitas Biopestisida Bacillus subtilis 55

terserap pada media. Biakan cendawan R. solanidiletakkan di bagian tengah petri, lalu diinkubasi selama3-7 hari. Untuk perlakuan kontrol, hanya ditumbuhkancendawan R. solani pada bagian tengah cawan petritanpa pemberian ekstrak nabati. Kemampuan ekstraknabati dalam menghambat perkembangan cendawan R.solani adalah dengan mengukur diameter pertumbuhanmiselia cendawan menggunakan penggaris.

Uji Antagonis antara B. subtilis dan EkstrakNabati in vitro. Ekstrak nabati daun sirih, kenikir,rimpang kunyit, daun cengkeh, dan lengkuas diuji sifatantagonisnya dengan formulasi B. subtilis (DifcoTM

Nutrient Agar). Sebanyak 10 ml media NA dituang kedalam cawan petri dan didinginkan hingga media tersebutpadat, kemudian dimasukkan 1 ml ekstrak nabatikonsentrasi 2% hingga tersebar merata pada permukaanmedia (plating), dan didiamkan selama 10 menit agarsuspensi terserap pada media. Pada setiap cawan petriditempatkan potongan kertas saring berdiameter 1 cmyang sebelumnya telah dicelupkan pada suspensi bakteri.Cawan petri tersebut ditutup bagian tepinya denganparafilm dan diinkubasi pada suhu ruangan selama 24jam. Untuk perlakuan kontrol, hanya bakteri antagonisB. subtilis yang diplating pada media NA tanpa ekstraknabati. Untuk mengetahui tingkat antagonisme setiapekstrak nabati dengan B. subtilis dilakukan denganmengukur zona bening sebagai zona hambatan. Semakinjauh jarak zona bening, tingkat antagonismenya makintinggi.

Kedua pengujian disusun dalam rancangan acaklengkap dengan 3 ulangan. Untuk mengetahui pengaruhperlakuan, maka data yang diperoleh dianalisis denganmenggunakan analisis ragam dan dilanjutkan dengan ujiDuncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) padataraf 5%.

Uji Efektifitas Biopestisida B. subtilis dan PestisidaNabati

Perbanyakan Patogen R. solani. Inokulumcendawan R. solani diisolasi dari tanaman jagung yangmenunjukkan gejala penyakit hawar pelepah dan upihdaun menggunakan media PDA. Setelah diisolasi, biakandimurnikan pada media PDA dalam cawan petri lain dandiinkubasi selama 14 hari pada suhu 30 oC. Hasilpemurnian tersebut diperbanyak lagi pada media PDAyang baru. Inokulum patogen R. solani yang akandigunakan di lapangan untuk inokulasi penyakit hawarpelepah dan upih daun dibiakkan pada media sekam (200g/kantong plastik) yang telah disterilkan selama 2 jampada tekanan 15 pound per square inch (psi) di dalamplastik tahan panas. Inokulum R. solani yang akan

dibiakkan dalam media sekam diambil dari cawan petridengan ukuran 1 cm2 sebanyak 2 blok. Biakan tersebutdisimpan pada suhu kamar selama 2 minggu.

Pengendalian di Lapangan. Uji efektivitasdilakukan di KP Bajeng, Gowa pada bulan Maret hinggaJuni 2015. Sebanyak 10 perlakuan yang diuji yaitu,perlakuan tunggal formulasi B. subtilis, 3 perlakuantunggal pestisida nabati terbaik hasil seleksi in vitro, 3perlakuan kombinasi formulasi B. subtilis + pestisidanabati terbaik hasil seleksi in vitro, fungisida bahan aktifmankozeb, kontrol positif (air steril dengan inokulasi R.solani), dan kontrol negatif (air steril tanpa inokulasi R.solani). Perlakuan disusun dalam rancangan acakkelompok dengan 3 ulangan.

Penelitian menggunakan varietas Anoman, ditanamdengan jarak tanam 75 x 20 cm, satu biji perlubang.Perlakuan formulasi B. subtilis dan pestisida nabatidiberikan sebanyak dua kali, yaitu pada saat perlakuan/perendaman benih dan saat patogen diinokulasikan.Perendaman benih dilakukan selama 24 jam dengankonsentrasi 5 mL/L untuk setiap perlakuan ekstrak nabatidan 8 g/Kg benih untuk perlakuan formulasi. Benih yangtelah diberi perlakuan/direndam kemudian ditanam.Tanaman yang berumur 4 minggu (kecuali perlakuantanpa inokulasi R. solani) masing-masing diinokulasikandengan 10 g inokulum R. solani ke bagian pangkaltanaman dengan cara ditabur. Perlakuan formulasi B.subtilis dan pestisida nabati diberikan kembali dengancara menyemprotkan formulasi B. subtilis dan pestisidanabati ke tiap pangkal tanaman yang baru sajadiinokulasikan dengan dosis aplikasi 2 Kg/ha formulasibakteri B. subtilis dan 3 L/ha ekstrak nabati.

Variabel yang diamati adalah skor penyakit, tinggitanaman pada 2, 4, dan 6 minggu setelah inokulasi (msi),dan hasil panen. Skor penyakit hawar pelepah kemudianditansformasi ke rumus persentase serangan yaitu :

dengan:I = Intensitas penyakitni = Jumlah pelepah yang terserang pada setiap kategorivi = Nilai skor pada setiap pelepah yang terserangZ = Nilai skor tertinggiN = Jumlah pelepah yang diamati pada setiap serangan

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragamdan uji lanjut Duncan’s New Multiple Range Test(DNMRT) taraf 5%.

100% NZ

vi) (ni I

Page 56: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

56 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 53 - 61

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seleksi Pestisida Nabati. Hasil pengujian in vitro padamedia PDA menunjukkan bahwa potensi daya hambatterbaik terhadap pertumbuhan cendawan R. solani invitro ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak rimpang kunyitdengan tingkat hambat sebesar 27% dan ekstrak daunsirih dan daun cengkeh masing-masing sebesar 19,4%dan 18,7%. Sedangkan hasil pengujian sifat antagonisekstrak nabati terhadap bakteri B. subtilismemperlihatkan bahwa dari lima jenis ekstrak nabati yangdiujikan, semuanya menampakkan penolakan terhadappertumbuhan bakteri B. subtilis, hal ini menunjukkanbahwa semua bahan nabati diduga mengandung senyawakimia yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteriantagonis B. subtilis (Tabel 1).

Ekstrak nabati yang memiliki kemampuanmenghambat pertumbuhan R. solani pada media padatPDA mengindikasikan bahwa bahan nabati tersebutmemiliki mekanisme penghambatan secara antibiosis.Kunyit mengandung senyawa kimia berupa minyakvolatil (keton sesuiterpen, turmeron, zingiberen,felandren, sabinen, borneol, dan sineil) yang bersifatsebagai fungisida (Setiawati et al., 2008). Ekstrak daunsirih mengandung senyawa aromatik sepertihidroksikavikol, kavikol, dan betlepenol, senyawa-senyawa aktif tersebut mampu menekan pertumbuhancendawan patogen dengan cara mengganggu dinding selatau menghambat permeabilitas dinding sel cendawansehingga komponen penting seperti protein keluar darisel dan sel cendawan berangsur-angsur mati (Sekarsariet al., 2013).

Ekstrak daun cengkeh mengandung minyak dankomponen minyaknya seperti senyawa eugenol, eugenolasetat dan -caryopyllene efektif mengendalikanpatogen penyebab penyakit hawar pelepah R. solani(BBPPTP Ambon, 2015). Lengkuas mengandungminyak atsiri yang sifatnya sebagai antifungi (Sumayani

et al. , 2008), sehingga efektif digunakan untukmengendalikan cendawan patogen.

Ekstrak lengkuas menghambat pertumbuhanbakteri B. subtilis karena lengkuas mengandung minyakatsiri yang bersifat sebagai antibakteri. Minyak atsiri yangdikandung oleh lengkuas antara lain alkohol, flavonoid,dan senyawa fenol yang ketiganya bersifat sebagaibakterisidal (Sumayani et al., 2008). Senyawa fenolbersifat sebagai koagulator protein, sehingga akanmengganggu pembentukan dinding sel bakteri padaakhirnya bakteri kehilangan kemampuan membentukkoloni dan menyebabkan kematian sel (Darwis et al.,2013). Hasil pemberian ekstrak kenikir juga menghambatpertumbuhan bakteri B. subtilis. Daun kenikir (Cosmoscaudatus) mengandung flavonoid polifenol dan minyakatsiri, akarnya mengandung hidroksieugenol dan koniferilalkohol yang memiliki efek antibakteri (Sarmoto &Sulistyorini, 2015).

Kandungan bahan kimia dari tanaman cengkehberperan aktif dalam menghambat pertumbuhanmikroorganisme, termasuk menghambat pertumbuhankoloni bakteri B. subtilis. Serasah daun cengkeh sangatefektif secara in vitro sebagai antibiotik bakterisidaterhadap beberapa bakteri termasuk B. subtilis (Asmanet al., 1997). Profit metabolit sekunder dan ekstrak etanoldari daun sirih yaitu senyawa fenol memiliki aktifitasantibakteri sehingga efektif dalam menghambatpertumbuhan bakteri B. subtilis (Sholeh, 2009). Kemampuan ekstrak nabati dalam menekanperkembangan cendawan R. solani (Gambar 1)ditunjukkan pada perlakuan ekstrak rimpang kunyit,ekstrak daun sirih, dan ekstrak daun cengkeh yang dapatmenghambat pertumbuhan cendawan R. solani,sedangkan kontrol cendawan R. solani berkembang padaseluruh media dalam petri.

Perkembangan formulasi B. subtilis yangterhambat akibat pemberian bahan ekstrak nabati terterapada Gambar 2. Nampak pada perlakuan kontrol B.

Tabel 1. Tingkat hambat lima jenis ekstrak nabati terhadap cendawan R. solani dan uji antagonistik terhadapformulasi B. subtilis

Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Tukey 5%.

Ekstrak Nabati Tingkat hambat relatif (%) ekstrak nabati terhadap

Cendawan R. solani Formulasi B. subtilis

Kontrol 0,0 c 0,9 b Daun sirih 19,4 ab 1,5 ab Kenikir 2,7 bc 1,2 ab Rimpang kunyit 27,0 a 1,8 a Daun cengkeh 18,7 ab 1,4 ab Lengkuas 4,5 bc 1,1 b

Page 57: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Djaenuddin & Muis Efektivitas Biopestisida Bacillus subtilis 57

subtilis pertumbuhannya menyebar pada seluruh mediadalam cawan petri setelah 24 jam masa inkubasi, namunpada perlakuan dengan kombinasi nabati ekstrak dauncengkeh, daun sirih, dan lengkuas, pertumbuhan bakteriantagonis B. subtilis terhambat.

Uji Keefektifan Biopestisida Formulasi B. subtilisdan Pestisida Nabati. Hasil pengujian biopestisidaformulasi B. subtilis dan pestisida nabati di lapanganmenunjukkan bahwa kejadian penyakit hawar pelepahdan upih daun pada tanaman jagung akibat masing-masingperlakuan beragam. Perlakuan tunggal formulasi B.subtilis, ekstrak daun cengkeh, dan daun sirihmemberikan kejadian penyakit terendah berturut-turutyaitu 39,1%, 37,4% dan 36,7% dibandingkan perlakuantunggal ekstrak rimpang kunyit dan perlakuan kombinasilainnya. Perlakuan tunggal formulasi B. subtilis, ekstrakdaun cengkeh, dan daun sirih tidak berbeda nyata satusama lain, bahkan tidak berbeda nyata dengan perlakuanfungisida, termasuk perlakuan kontrol. Namun, ketigaperlakuan tunggal tersebut berbeda nyata denganperlakuan kombinasi formulasi B. subtilis dan ekstrakdaun cengkeh (Tabel 2).

Formulasi B. subtilis, daun cengkeh, dan daunsirih menghasilkan senyawa metabolit sekunder yangmampu menekan perkembangan cendawan patogen.Penambahan sumber karbon dari formulasi B. subtilisakan meningkatkan produksi enzim hidrolitik yangdiketahui dapat mendegradasi dinding sel cendawanpatogen (Nalisha et al., 2006). Didukung hasil penelitianSuryadi et al. (2015) bahwa metabolit sekunder yangdihasilkan dari ekstrak bakteri B. cereus 11UJ yaknicyclolanostan dapat menghambat pertumbuhancendawan R. solani. Khaeruni et al. (2011) melaporkan,pencampuran tiga isolat rizobakteri indigenus B. subtilisST21b, B. cereus ST21e, dan Serratia galur SS29a yang

diformulasikan dalam bahan pembawa gambut danlempung mampu menekan perkembangan penyakit layufusarium pada tanaman tomat sampai 60%.

Jumlah antibiotik yang dihasilkan oleh B. subtilissebanyak 66 terutama dari golongan polipeptidadiantaranya polimiksin, difisidin, subtilin, mikobasilin, danbasitrasin (Awais et al., 2010). Persentase seranganpenyakit yang cenderung rendah pada perlakuan tunggalformulasi B. subtilis diduga karena bakteri tersebutmemiliki kemampuan untuk menghasilkan ataumemproduksi senyawa metabolit sekunder, sepertiantibiotik yang mampu menekan perkembangan patogendan enzim kitinase yang mampu mendegradasi kitin yangmerupakan salah satu komponen penyusun dinding selR. solani sehingga perkembangan cendawan tersebutterhambat akibat adanya aktivitas bakteri di sekitarperakaran tanaman (Khaeruni et al., 2014). Fatima etal. (2009) mengemukakan bahwa penggunaan rizobakterimampu meningkatkan ketahanan tanaman gandumterhadap R. solani.

Hasil pengamatan terhadap tinggi tanamanmenunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan tanamanpada perlakuan tunggal formulasi B. subtilis (255 cmpada 6 MSI) diduga karena tanaman dipengaruhi olehhormon pertumbuhan yang diproduksi oleh bakteri B.subtilis (Tabel 3). Beberapa senyawa kimia yangdihasilkan oleh B. subtilis antara lain auksin, giberelin,dan sitokinin memediasi proses pertumbuhan tanamantermasuk pembesaran sel dan akar tanaman (Choudhary& Johri, 2009).

Meningkatnya pertumbuhan tanaman tidakterlepas dari interaksi saling menguntungkan antara B.subtilis dengan tanaman. Hal ini diduga menjadipenyebab postur tanaman dan hasil panen lebih tinggi.Wartono et al. (2015) melaporkan bahwa B. subtilismengkoloni perakaran karena memerlukan senyawa

A

B C

Gambar 1. (A) Pertumbuhan miselia R. solani + ekstrak rimpang kunyit; (B) R. solani + ekstrak daun sirih; (C) R.solani pada perlakuan kontrol setelah 3 hari masa inkubasi.

A B C

Page 58: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

58 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 53 - 61

A B C D

Gambar 2. Formulasi B. subtilis yang menunjukkan penolakan terhadap ekstrak nabati yang diberikan; A. Ekstrakcengkeh vs B. subtilis, B. Ekstrak lengkuas vs B. subtilis, C. Ekstrak daun sirih vs B. subtilis, D.Kontrol (formulasi B. subtilis)

metabolit yang dihasilkan tanaman sebagai nutrisinya.Setelah terakumulasi pada perakaran tanaman, bakteritersebut akan menghasilkan zat pengatur tumbuh, yangmampu menginduksi perakaran tanaman untuk tumbuhdengan baik. Dengan perakaran yang baik maka dayatembus dan daya serap akar terhadap nutrisi akan menjadilebih baik.

Morfologi tanaman yang baik dan rendahnyaintensitas penyakit berimplikasi terhadap peningkatanhasil panen. Tabel 4 menunjukkan bahwa bobot tongkoldan jumlah tongkol dari perlakuan tunggal formulasi B.subtilis berpengaruh positif. Meskipun pada hasil panentidak berbeda nyata antar perlakuan namun padapengamatan bobot panen dan jumlah tongkol berbedanyata antar beberapa perlakuan.

Hasil pengujian formulasi B. subtilis, bobottongkol mencapai 13,5 kg, dengan rata-rata jumlah

tongkol sebanyak 73 tongkol, demikian juga pengaruhnyaterhadap hasil panen mencapai 8,4 ton/ha. Kondisi inididuga karena efek dari perlakuan formulasi yangdiinokulasikan pada benih sehingga morfologi tanamandan hormon pertumbuhan bisa bekerja lebih cepat danlebih baik. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Muis& Quimio (2006) bahwa perlakuan benih denganmenggunakan formulasi B. subtilis dapat menekan R.solani dan meningkatkan hasil panen jagung hingga 27%pada plot kecil, dan tidak berdampak negatif pada vigorbenih. Zongzheng et al. (2009) melaporkan perlakuanbenih dengan aplikasi formulasi B. subtilis SY1memberikan efek yang baik dalam memendekkan waktuperkecambahan, meningkatkan pertumbuhan embriotanaman, vigor benih, dan pertumbuhan tanaman secarasignifikan.

Angka yang berada di dalam kurung adalah hasil transformasi Arc sin %, angka dalam kolom yang diikuti olehhuruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 5%.

Tabel 2. Rata-rata persentase serangan penyakit hawar pelepah dan upih daun pada beberapa perlakuan pengendalianpada 6 MSI

Perlakuan Rata-rata kejadian penyakit (%)

Formulasi B. subtilis 39,1 (36,0) bc

Ekstrak daun cengkeh 37,4 (37,0) bc Eksrak daun sirih 36,7 (37,0) bc Ekstrak rimpang kunyit 64,8 (53,7) ab Formulasi B. subtilis + Ekstrak daun cengkeh 73,7 (59,2) a Formulasi B. subtilis + Ekstrak daun sirih 46,7 (43,2) abc Formulasi B. subtilis + Ekstrak rimpang kunyit 52,8 (46,8) abc Fungisida b.a mankozeb 32,4 (33,0) bc Kontrol positif (inokulasi R. solani) 56,1 (48,6) ab Kontrol negatif (tanpa inokulasi R. solani) 20,5 (26,1) c

KK (%) 26,8

Page 59: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Djaenuddin & Muis Efektivitas Biopestisida Bacillus subtilis 59

SIMPULAN

Ekstrak daun sirih, ekstrak kenikir, rimpangkunyit, daun cengkeh, dan ekstrak lengkuas memilikipotensi menekan penyakit hawar pelepah dan upih daunpada jagung. Ekstrak rimpang kunyit memiliki potensiyang paling tinggi untuk menekan R. solani dengan tingkat

hambat sebesar 27%. Perlakuan tunggal formulasi B.subtilis dapat menekan perkembangan penyakit hawarpelepah dan upih daun pada jagung dengan persentaseserangan penyakit 39,1% dan dapat memacupertumbuhan tanaman dengan hasil panen mencapai 8,4ton/ha.

Tabel 4. Hasil panen tongkol jagung pada uji formulasi B. subtilis dan kombinasi pestisida nabati

Angka yang berada di dalam kurung adalah hasil transformasi Arc sin %, angka dalam kolom yang diikuti olehhuruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 5%.

Perlakuan Bobot tongkol (kg)

Jumlah tongkol (tongkol)

Hasil panen (ton/ha)

Formulasi B. subtilis 13,5(3,7) a 73,3(8,5) a 8,4(91,2) a Ekstrak daun cengkeh 9,8(3,2) ab 33,3(5,8) cde 6,1(76,8) a Eksrak daun sirih 9,4(3,1) ab 48,0(7,0) abc 5,7(73,3) a Ekstrak rimpang kunyit 6,4(2,6) ab 23,3(4,9) e 4,0(62,8) a Formulasi B. subtilis + ekstrak daun cengkeh 6,6(2,7) ab 35,3(6,0) cde 4,0(63,3) a Formulasi B. subtilis + ekstrak daun sirih 10,8(3,3) ab 43,7(6,6) bcd 6,7(80,9) a Formulasi B. subtilis + ekstrak rimpang kunyit 6,6(2,6) b 27,3(5,3) de 4,2(62,5) a Fungisida b.a mankozeb 11,7(3,5) ab 62,0(7,9) ab 7,2(84,3) a Kontrol positif (inokulasi R. solani) 11,9(3,5) ab 64,0(8,0) ab 7,4(86,3) a Kontrol negatif (tanpa inokulasi R. solani) 12,0(3,5) ab 64,0(7,9) ab 7,6(86,0) a

KK (%) 18,0 12,9 19,5

Tabel 3. Tinggi tanaman pada pengujian kombinasi biopestisida formulasi B.subtilis dan pestisida nabati selamatiga kali pengamatan

Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 5%; MSI= minggusetalah inokulasi.

Perlakuan Tinggi tanaman (cm)

2 MSI 4 MSI 6 MSI

Formulasi B. subtilis Ekstrak daun cengkeh Eksrak daun sirih Ekstrak rimpang kunyit Formulasi B. subtilis + ekstrak daun cengkeh Formulasi B. subtilis + ekstrak daun sirih Formulasi B. subtilis + ekstrak rimpang kunyit Fungisida b.a mankozeb Kontrol positif (inokulasi R. solani) Kontrol negatif (tanpa inokulasi R. solani)

187,4 a 133,3 bc 139,4 bc 136,8 bc 150,4 abc 138,1 bc 120,9 c 169,6 ab 152,1 abc 168,8 ab

240,3 abc 204,3 def 219,5 bcde 202,7 ef 215,4 cdef 220,3 bcde 188,8 f 246,0 ab 248,3 a 232,0 abcd

255,0 ab 216,3 de 231,2 bcd 215,6 de 227,6 cde 232,4 bcd 204,2 e 258,0 a 260,5 a 244,2 abc

KK (%) 16,1 6,6 5,8

Page 60: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

60 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 53 - 61

DAFTAR PUSTAKA

Ali HZ & Nadarajah K. 2013. Evaluating the efficacyof Trichoderma isolates and Bacillus subtilis asbiological control agenst against Rhizoctoniasolani. Res. J. Appl. Sci. 8(1): 72–81.

Asman, Tombe AM, & Manohara D. 1997. Peluangproduk cengkeh sebagai pestisida nabati.Monograf tanaman cengkeh. Balai PenelitianTanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Awais M, Pervez A, Yaqub A, & Shah MM. 2010.Production of antimicrobial metabolites byBacillus subtilis immobilized in Polyacrylamidegel. Pakistan J. Zool. 42(3): 267–275.

BBPPTP Ambon. 2015. Serasah daun cengkeh yangmasih bermanfaat. http://ditjenbun.pertanian.go.id/. Diakses tanggal 26 Agustus 2015.

Budi IS, Mariana, & Fachruzi I. 2011. Aplikasi kombinasijamur endofit dan bakteri rizosfir dalammengendalikan penyakit busuk pangkal batangRhizoctonia di lahan pasang surut tipe D.Agroscientiae 18(3): 172–177.

Choudhary DK & Johri BN. 2009. Interactions ofBacillus spp. and plants-with special reference toinduced systemic resistance (ISR). Microbiol.Res. 164(5): 493–513.

Darwis W, Chandra D, Muslim C, & Supriati R. 2013.Uji efektifitas ekstrak rimpang lengkuas merah(Alpinia purpurata K.Schum) sebagai antibakteriEscherichia coli penyebab diare. Konservasihayati 9(1): 7–12.

Fatima Z, Saleemi M, Zia M, Sultan T, Aslam M,Rehman R, & Chaudhary MF. 2009. Antifungalactivity of plant growth-promoting rhizobacteriaisolates against Rhizoctonia solani in wheat.African J. Biotechnol. 8(2): 219–225.

Gimenez C, Cabrera R, Reina M, & Gonalez-ColomaA. 2007. Fungal endophytes and their role in plantprotection. Curr. Org. Chem 11: 707–720.

Grover M, Nain L, Singh SB, & Saxena AK. 2010.Molecular and biochemical approaches forcharacterization of antifungal trait of a potentbiocontrol agent Bacillus subtilis RP24. Curr.Microbiol. 60(2): 99–106.

Huang Y, Zhao J, Zhau L, Wang J, Gong Y, Chen X,Guo Z, Wang Q, & Jiang W. 2010. Antifungalactivity of the essential oil of Illicium verum fruitand its main component trans-anethole.Molecules. 15(11): 7558–7569.

Khaeruni A, Syair, & Sarmiza. 2011. The effectivenessof rhizobacteria mixture to control fusarium wiltdisease and stimulate tomato plant growth in ultisolsoil. Proceeding of the International Seminar andthe 21st Congress of Indonesian PhytopathologySociety. December 3–5 2011. Solo.

Khaeruni A, Asniah, Taufik M, & Sutariati GAK. 2014.Aplikasi formulasi campuran rizobakteri untukpengendalian penyakit busuk akar Rhizoctoniadan peningkatan hasil kedelai di tanah ultisol.Jurnal Fitopatologi Indonesia 10(2): 37–44.

Kumar A, Saini P, & Shrivastava JN. 2009. Productionof peptide antifungal antibiotic and biocontrolactivity of Bacillus subtilis. Indian J. Exp. Biol.47(1): 57–62.

Muis A. 2006. Biomass production and formulation ofBacillus subtilis for biological control.Indonesian J. Agric. Sci. 7(2): 51–56.

Muis A & Quimio AJ. 2006. Biological control of bandedleaf and sheath blight disease (Rhizoctonia solaniKuhn) in corn with formulated Bacillus subtilisBR23. Indonesian J. Agric. Sci. 7(1): 1–7.

Nalisha I, Muskhazli M, & Farizan TN. 2006. Productionof bioactive compounds by Bacillus subtilisagainst Sclerotium rolfsii . Malaysian J.Microbiol. 2(2): 19-23.

Rustam, Giyanto, Wiyono S, Santosa DA, & Susanto S.2011. Seleksi dan identifikasi bakteri antagonissebagai agens pengendali hayati penyakit hawarpelepah padi. Penelitian Pertanian TanamanPangan 30(3): 164–171.

Sarmoto & Sulistyorini E. 2015. Kenikir (Cosmoscaudatus Kunth.). http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id.Diakses 24 Agustus 2015.

Sekarsari RA, Prasetyo J, & Maryono T. 2013. Pengaruhbeberapa fungisida nabati terhadap keterjadianpenyakit bulai pada jagung manis (Zea mayssaccharata). J. Agrotek Tropika 1(2): 98–101.

SANWACANA

Terima kasih kepada Ibu Aminah, S.P. atasbantuan teknis di Laboratorium Penyakit BalitserealMaros maupun di Kebun Percobaan Bajeng, Gowa,Sulawesi Selatan. Ucapan terima kasih disampaikankepada Balai Penelitian Tanaman Serealia yang telahmendanai penelitian ini.

Page 61: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Djaenuddin & Muis Efektivitas Biopestisida Bacillus subtilis 61

Setiawati W, Murtiningsih R, Gunaeni N, & Rubiati T.2008. Tumbuhan bahan pestisida nabati dan carapembuatannya untuk pengendalian organismepengganggu tumbuhan (OPT). Balai PenelitianTanaman Sayuran, Bandung Barat.

Sholeh SN. 2009. Uji aktivitas antibakteri dari ekstrakn-heksana dan etanol daun sirih (Piper betleLinn.) serta identifikasi senyawa aktifnya. Skripsi.Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,Yogyakarta.

Sumayani, Kusdarwati R, & Cahyoko Y. 2008. Dayaantibakteri perasan rimpang lengkuas (Alpiniagalanga) dengan konsentrasi berbeda terhadappertumbuhan Aeromonas hydrophila secara invitro. Berkala Ilmiah Perikanan 3(1): 83–87.

Supriadi. 2006. Analisis risiko agens hayati untukpengendalian patogen pada tanaman. J. LitbangPert. 25(3): 75–80.

Supriadi. 2013. Optimasi pemanfaatan beragam jenispestisida untuk mengendalikan hama dan penyakittanaman. J. Litbang Pert. 32(1): 1–9.

Suryadi Y, Samudra IM, Priyatno TP, Susilowati DN,Lestari P, & Sutoro. 2015. Aktivitas anticendawanBacillus cereus 11UJ terhadap Rhizoctonia solaniand Pyricularia oryzae. Jurnal FitopatologiIndonesia 11(2): 35–42.

Wartono, Suryadi Y, & Susilowati DN. 2012.Keefektifan formulasi bakteri Burkholderiacepacia isolat E76 terhadap Rhizoctonia solaniKühn pada pertumbuhan tanaman padi dilaboratorium. Jurnal Agrotropika 17(2): 39–42.

Wartono, Giyanto, & Mutaqin KH. 2015. Efektivitasformulasi spora Bacillus subtilis B12 sebagai agenpengendali hayati penyakit hawar daun bakteripada tanaman padi. Penelitian PertanianTanaman Pangan 34(1): 21–28.

Zongzheng Y, Xin L, Zhong L, Jinzhao P, Jin Q, &Wenyan Y. 2009. Effect of Bacillus subtilis SY1on antifungal activity and plant growth. Int. J.Agric. & Biol. Eng. 2(4): 55–61.

Page 62: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

62 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 62 - 69J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 17, No. 1: 62 – 69, Maret 2017

METODE ISOLASI PYRICULARIA ORYZAEPENYEBAB PENYAKIT BLAS PADI

Danar Wicaksono1, Arif Wibowo2, & Ani Widiastuti2

1Program Studi Fitopatologi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada2Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada

Bulak Sumur, Yogyakarta 55281Email: [email protected]

ABSTRACT

Isolation method of Pyricularia oryzae the causal agent of rice blast disease. Rice blast is a disease that reduces riceproductivity and threatens global food reserves. The study of diversity and distribution of race fungal causing rice blastdisease required a fungal isolates collection from different places and times. One of the challenges in collecting these fungi isthe difficulty of isolation process. The purpose of this research was to study the proper isolation method of rice blastpathogen. The most appropriate isolation method of Pyricularia oryzae was to moisten the infected panicle, place on moistfilter paper in a petri dish, and incubate plate for 2 days at room temperature under fluorescent lamp. Afterward, conidium waspicked using sterile needle and transfered to potato dextrose agar without lactic acid.

Key words: isolation, Pyricularia oryzae, rice blast

ABSTRAK

Metode isolasi Pyricularia oryzae penyebab penyakit blas padi. Penyakit blas padi merupakan salah satu penyakit yangdapat menurunkan produktivitas padi dan mengancam cadangan makanan global. Kajian mengenai keragaman dan distribusiras jamur penyebab penyakit blas padi membutuhkan koleksi isolat jamur dari berbagai tempat dan waktu pengambilan. Salahsatu kesulitan dalam mengumpulkan isolat jamur penyebab penyakit blas padi adalah proses isolasi. Tujuan penelitian iniadalah mengkaji metode isolasi jamur penyebab penyakit blas padi yang tepat. Metode isolasi jamur Pyricularia oryzae yangpaling tepat adalah dengan melembapkan leher malai bergejala menggunakan kertas saring di dalam cawan petri, dan diinkubasiselama dua hari pada suhu ruang di bawah lampu TL. Setelah itu konidium P. oryzae diambil secara langsung menggunakanjarum dan ditumbuhkan pada media PDA tanpa asam laktat.

Kata kunci: isolasi, Pyricularia oryzae, penyakit blas

PENDAHULUAN

Penyakit blas padi merupakan salah satu penyakityang dapat menurunkan produktivitas padi danmengancam cadangan makanan global. MenurutKoutroubas et al. (2009), tanaman padi yang bergejalapenyakit blas dengan intensitas tinggi akan mengalamipenurunan bobot tanaman dan gabah. Menurut Hai etal. (2007), kehilangan hasil akibat penyakit blas terutamakarena gejala patah leher berupa penurunan kuantitasgabah mencapai 38,2- 64,57%, kuantitas malai mencapai3,12-11,27%, dan bobot 1000 butir gabah mencapai 3,6-5,07%.

Gejala penyakit blas pada daun padi dipengaruhioleh kondisi lingkungan, umur tanaman, dan tingkatketahanan tanaman (TeBeest et al., 2007). Gejalaterdeteksi pertama kali pada fase medium tillering.Gejala awal dari penyakit ini adalah bintik putih atau

hijau-keabu-abuan dengan tepi berwarna gelapkehijauan. Dalam perkembangannya gejala bintiktersebut berubah menjadi putih-kehijauan dengan tepimenunjukkan nekrotik berwarna cokelat-kemerahan.Sering kali gejala berbentuk oval dengan sisi runcingyang kadang bersudut sangat kecil dan kadang tidakterlalu kecil. Sisi runcing ini sejajar dengan pembuluhdaun. Ketika terjadi sporulasi pusat dari bintik menjadi/membentuk abu dan berwarna abu-abu karenakeberadaan konidia dan hifa. Bagian tersebut memilikipanjang rata-rata 1 cm dan dapat mencapai panjang 3-4 cm pada jointing stage (Muñoz et al., 2007). Selainpada daun, gejala blas padi juga terjadi pada batang.Gejala penyakit blas padi pada batang dan malai berupanekrotik berwarna cokelat tua (Gambar 1A) yangkadang dapat menghambat atau menghentikan aliran saptanaman. Gejala pada ruas batang lebih sering terjadidan lebih berbahaya dari pada gejala pada bagian antar

Page 63: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Wicaksono et al. Metode Isolasi Pyricularia oryzae 63

ruas. Gejala pada ruas batang sering kali menyebabkanbatang patah. Jamur pada ruas batang dapat bergesermengikuti aliran embun menuju daun bendera danmenginfeksi lidah-lidah pada ketiak daun (ligula)(Gambar 1B). Infeksi pada ruas batang teratas (dasarmalai) menyebabkan kerusakan yang sangat parah.Infeksi pada dasar malai menyebabkan penurunan bobotgabah dan dasar malai menjadi berwarna putih hinggamalai tegak karena gabahnya kosong. Infeksi pada dasardan cabang malai serta kerusakan pada leher malaidipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan kultivar padi.Infeksi pada batang lebih sering terjadi pada saat fasepematangan bulir (Muñoz et al., 2007). Tantangan dalampengelolaan penyakit blas adalah keragaman genetikjamur penyebab blas yang tinggi. Jamur penyebabpenyakit blas padi diketahui mempunyai banyak rasfisiologi (Santoso & Nasution, 2012). Setiap ras fisiologimemiliki sifat dan virulensi yang berbeda-beda(Semangun, 2008), sehingga memiliki tingkat ketahananterhadap usaha pengelolaan penyakit tumbuhan yangberbeda-beda pula. Kajian mengenai keragaman dandistribusi ras jamur penyebab penyakit blas membutuhkankoleksi isolat jamur dari berbagai tempat dan waktu.Salah satu tantangan dalam mengumpulkan koleksi jamurpenyebab penyakit blas padi adalah proses isolasi karenajamur penyebab penyakit blas sulit untuk diisolasi.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode isolasiyang tepat untuk mengisolasi jamur penyebab penyakitblas padi.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilakukan di SubLaboratorium Klinik Kesehatan Tanaman, DepartemenHama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada bulan Juli2015 hingga Mei 2016.

Pada penelitian ini dikaji tiga metode isolasi jamurpenyebab penyakit blas dari tanaman padi. Metodeisolasi dari suspensi spora dan leher malai disusundengan mempertimbangkan hasil isolasi dari metodesebelumnya.

Metode Isolasi Umum. Metode isolasi umummerupakan modifikasi metode isolasi jamur patogentanaman Mehrota & Aggarwal (2003). Enam belassampel daun padi bergejala blas yang digunakan dalampenelitian (Tabel 1).

Sampel daun tanaman padi bergejala blas dipotongkecil (± 1 cm2) lalu direndam kloroks 1% selama satumenit. Potongan daun bergejala tersebut kemudiandirendam dalam air steril selama satu menit untukmembilas lalu ditiriskan. Setelah itu 5 – 6 potongansampel disusun pada media PDA (Potato DextroseAgar) (PDA + 1 tetes asam laktat). Setelah beberapahari, jamur yang tumbuh dimurnikan dan diidentifikasimenggunakan mikroskop.

Metode Isolasi dengan Suspensi Spora. Metodeisolasi ini disusun berdasarkan modifikasi metode isolasiTuite (1969), dan mempertimbangkan evalusi metodeisolasi umum. Leher malai dan daun padi bergejala blasdari sampel PUR8.

Leher malai dan daun padi bergejala dipotong (7x 0,5 cm). Permukaan bagian tanaman bergejaladibersihkan dengan klorok dengan perendaman selamasatu menit. Setelah itu dibilas dengan air steril selamasatu menit. Jaringan tanaman tersebut lalu diinkubasi diatas tisu basah dalam cawan petri pada suhu ruangselama 1-2 hari. Setelah itu jaringan tanaman tersebutdipotong kecil dan direndam pada air steril. Leher malaidan daun direndam pada air steril secara terpisah.Sebelum dituang pada media buatan, suspensi diamatisecara mikroskopi terlebih dahulu. Suspensi lalu dituang

Gambar 1. Gejala penyakit blas padi; (A) pada ruas batang teratas (leher malai); (B) pada ketiak daun

Page 64: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

64 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 62 - 69

Tabel 1. Sampel yang digunakan pada isolasi metode umum

Sampel Kabupaten Provinsi Varietas

BAN2 Bantul DIY IR64BANT2 Bantul DIY -BANU3 Bantul DIY -PUR4 Ciamis Jawa Barat CiherangMAO1 Cilacap Jawa Tengah CiherangNGR1 Sragen Jawa Tengah -GON1 Sragen Jawa Tengah CiherangPED3 Klaten Jawa Tengah IR64TAW3 Sukoharjo Jawa Tengah IR64KES3 Jombang Jawa Timur CiherangNGO3 Jombang Jawa Timur IR64PET3 Jombang Jawa Timur IR64JAM3 Ponorogo Jawa Timur CiherangKAY3 Kediri Jawa Timur CiherangPON3 Malang Jawa Timur CiherangPONL3 Malang Jawa Timur Ciherang

pada PDA (PDA + asam laktat) sebanyak 50 µ l,kemudian diinkubasi selama satu malam. Konidiumdipindahkan pada PDA baru hingga menjadi biakanmurni lalu diidentifikasi.

Metode Isolasi dari Leher Malai. Metode isolasi darileher malai disusun berdasarkan modifikasi metodeisolasi Hayashi & Fukuta (2009) danmempertimbangkan evalusi metode isolasi dari suspensispora. Leher malai padi bergejala blas dari sampel PUR8.

Leher malai bergejala dipotong melintangberukuran 7 cm. Kemudian diinkubasi di atas tisu basahdi dalam cawan petri tertutup (Gambar 2). Inkubasidilakukan pada suhu ruang selama 1-2 hari dengan

keadaan selalu terang. Konidia yang muncul daripermukaan jaringan tanaman kemudian diamati denganmikroskop binokuler dan diambil dengan jarum jahit sterillalu dipindahkan pada PDA yang tidak mengandungasam laktat.

Identifikasi Berdasarkan Ciri Morfologi.Identifikasi berdasarkan ciri morfologi dilakukanmenggunakan mikroskop. Biakan murni jamur hasilisolasi konidium tunggal dipotong kecil dan diletakkanpada gelas benda, kemudian ditambah lactophenolcotton blue, setelah itu dipanaskan di atas bunsen agarmedia PDA yang ikut serta dengannya mencair. Setelahmedia PDA mencair dan tidak panas, preparat ditutup

Gambar 2. Leher malai berukuran 7 cm bergejala blas di atas tisu basah di dalam cawan petri

Page 65: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Wicaksono et al. Metode Isolasi Pyricularia oryzae 65

dengan gelas penutup. Kemudian diamati bentuk, warna,dan ukuran konidia Pyricularia oryzae denganmenggunakan mikroskop.

Identifikasi secara Molekuler. Identifikasi secaramolekuler dilakukan untuk memastikan keberhasilanisolasi pada metode isolasi dari leher malai. Jamur hasilisolasi konidium tunggal ditumbuhkan pada 40 ml mediaPotato Dextrose Broth (PDB) di dalam erlenmeyer.Kemudian miselium disaring dengan kertas saring padacorong. Kurang lebih 0,5 g miselium kering diletakkanpada mortal porselin lalu ditambahkan 700 µl CTAB 2%dan pasir kuarsa secukupnya. Setelah itu digerus hinggabenar-benar halus. Larutan tersebut lalu dipindahkanpada tabung (tube) 1,5 ml. Larutan dalam tube 1,5 mldirebus pada air bersuhu 65 oC selama 30 menit dandigojog selama 1 menit dengan interval waktu 10 menit.Selanjutnya larutan disentrifugasi 5000 rpm selama 5menit. Supernatan dipindah pada tube 1,5 ml barukemudian ditambahkan CIAA hingga tube penuh padabatas 1,5 ml lalu gojog selama 1-3 menit. Setelah itudisentrifugasi 10.000 - 12.000 rpm selama 10 menithingga terbentuk tiga lapisan. Supernatan (larutan bagianpaling atas) dipindah pada tube 1,5 ml baru. Kemudianditambahkan Etanol/alkohol absolut (alkohol 96%) dinginhingga tube penuh pada batas 1,5 ml. Larutan laludisimpan pada -20 oC selama satu malam (4-8 jam).

Setelah itu larutan digojog hingga tercampur.Kemudian larutan disentrifugasi 10.000 - 12.000 rpmselama 10 menit hingga terbentuk pellet (endapanDNA). Alkohol (bagian atas) dibuang dan pelletdipertahankan di dasar tube. Kemudian ditambahkanalkohol 70% dingin hingga tube penuh pada batas 1,5 mllalu digojog 1–3 menit hingga pellet lepas dari dasartube. Larutan kembali disentrifugasi 10.000 - 12.000 rpmselama 10 menit. Alkohol (bagian atas) dibuang kembalidan pellet dipertahankan di dasar tube. Pellet pada dasartube dikering angin menggunakan laminar air flowselama ±2 jam dalam keadaan tube terbuka. Setelahpellet kering ditambahkan 30-40 µl aquabides steril.Kemudian tube diketuk-ketuk hingga pellet DNA terlarutatau lepas dari dasar tube (Lestiyani, 2015).

Bahan yang digunakan dalam amplifikasi DNAadalah, aquabides steril 9,5 µ l, PCR master mix(KAPABIOSYSTEMS, Boston, Massachusetts) 12,5µl, Primer Forward ITS1 (5' - TCC GTA GGT GAACCT GCG G - 3') 1 µl, Primer Reverse ITS4 (5' - TCCTCC GCT TAT TGA TAT GC - 3') 1 µl, dan DNA 1 µlsehingga volume bahan amplifikasi DNA adalah 25 µl.

Amplifikasi dilakukan dengan program Pra-Denaturasi pada suhu 94 oC selama 5 menit; 40 siklusDenaturasi pada suhu 94 oC selama 1 menit, Annealing

pada suhu 55 oC selama 1 menit, dan Extention padasuhu 72 oC selama 2 menit; dan Extention akhir padasuhu 72 oC selama 5 menit. Elektroforesis menggunakan1% gel agarose dilakukan selama 45 menit pada 50 volt.Apabila pita DNA berada pada ukuran 550 bp makaproses identifikasi dilanjutkan dengan sequencing.

Tiga puluh mikroliter hasil amplifikasi dikirimkepada perusahaan penyedia jasa proses sequencing.Setelah itu hasil sequencing di cocokan dengan dataGenBank menggunakan program BLAST pada websitehttp://ncbi.nlm.nih.gov. Bila potongan nukleotida hasilsequncing cocok dengan potongan nukleotidaPyricularia oryzae yang tesimpan di GenBank makasampel tersebut teridentifikasi sebagai P. oryzae.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode Isolasi Umum. Isolasi jamur dengan metodeisolasi umum dilakukan menggunakan beberapa sampeldaun tanaman padi begejala blas (Tabel 1). Pada isolasijamur dengan metode ini diperoleh beberapa jenis jamuryang beragam. Hal ini dikarenakan metode isolasi inimemungkinkan jamur-jamur endofit yang berada didalam jaringan daun tanaman padi untuk tumbuh padamedia PDA yang digunakan. Menururt Ariyanto et al.(2013), jamur endofit yang terdapat pada daun padiantara lain Aspergillus sp ., Penicillium sp .,Nigrospora sp., Trichoderma sp., Curvularia sp.,Mucor sp., Mastigosporium sp., Alternaria sp.,Fusarium sp., dan Monosporium sp., Verticillium sp.dan Acremonium sp..

Hasil identifikasi berdasarkan ciri morfologimikroskopis menunjukkan bahwa kebanyakan isolatyang diisolasi merupakan jenis jamur Curvularia sp.,Nigrospora sp. dan beberapa tidak teridentifikasi karenatidak membentuk konidia (Tabel 2 & Gambar 3).Sunariasih et al. (2014), menunjukkan bahwa jamur-jamur endofit dari biji padi memiliki daya hambat yangbesar pada P. oryzae, sehingga diduga jamur endofitdalam proses isolasi ini mampu menghambatpertumbuhan P. oryzae.

Metode Isolasi dengan Suspensi Spora. Isolasijamur penyebab gejala bercak seperti P. oryzaesebaiknya diawali dengan induksi spora. Proses inimenyebabkan jamur yang ada pada jaringan tersebuttermasuk jamur P. oryzae akan membentuk miseliumdan/atau konidia (Tuite, 1969). Pada metode ini prosesisolasi diawali dengan induksi konidia. Proses induksikonidia dilakukan dengan cara melembapkan jaringantanaman bergejala. Menurut Shurtleff & Averre (1997),Setelah jaringan tanaman bergejala dilembabkan, konidia

Page 66: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

66 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 62 - 69

Tabel 2. Jenis jamur yang teridentifikasi dari hasil isolasi dengan metode umum

Sampel Isolat Jenis

BAN2 BAN2 - 2 Nigrospora sp.BANT2 BANT2 - 1 Tidak teridentifikasiBANU3 BANU3 - 1 Nigrospora sp.PUR4 PUR4 - 1 Tidak teridentifikasiPUR4 PUR4 - 2 Nigrospora sp.MAO1 MAO1 - 2 Curvularia sp.NGR1 NGR1 - 1 Tidak teridentifikasiGON1 GON1 - 2 Tidak teridentifikasiPED3 PED3 - 2 Tidak teridentifikasiTAW3 TAW3 - 1 Curvularia sp.KES3 KES3 - 1 Curvularia sp.NGO3 NGO3 - 1 Curvularia sp.NGO3 NGO3 - 2 Curvularia sp.PET3 PET3 - 2 Tidak teridentifikasiJAM3 JAM3 - 1 Nigrospora sp.KAY3 KAY3 - 2 Nigrospora sp.PON3 PON3 - 2 Nigrospora sp.

PONL3 PONL3 - 1 Nigrospora sp.

Gambar 3. Spora Nigrospora sp. pada sampel MAO1 (A), Nigrospora sp. pada sampel PON3 (B), dan miseliatanpa ciri morfologi pada sampel GON1(C)

yang terbentuk pada permukaan jaringan dapat diamatidengan memotong kecil jaringan bergejala tersebutkemudian melarutkannya pada air steril. Konidia yangterlarut dalam air steril diamati menggunakan mikroskopbinokuler (Gambar 4).

Pengamatan mikroskopi terhadap suspensi daundan leher malai tanaman padi bergejala blas yang telahdilembapkan menunjukkan bahwa tidak terdapat konidiaP. oryzae pada suspensi daun (Gambar 5A). Konidia P.oryzae tampak pada suspensi leher malai (Gambar 5B).Gambar 5 menunjukkan bahwa proses induksi konidiaP. oryzae dari jaringan tanaman bergejala hanya dapat

dilakukan dengan menggunakan sampel berupa lehermalai.

Hasil yang diperoleh dari beberapa kali isolasidengan metode ini adalah jenis jamur Fusarium sp. danselebihnya koloni jamur tidak tumbuh. Fusarium sp.tumbuh karena pada suspensi yang dituang tidak hanyaberisi konidium P. oryzae. Dalam proses pengambilankonidium P. oryzae konidium lain dapat terikut. Hal inidapat diatasi dengan mengencerkan suspensi ataumengambil langsung konidium P. oryzae dari malai yangtelah dilembapkan. Koloni jamur tidak tumbuh dapatdikarenakan oleh konidia tidak berkecambah. Konidia

Page 67: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Wicaksono et al. Metode Isolasi Pyricularia oryzae 67

tidak berkecambah dapat disebabkan oleh keadaanmedia yang asam karena penambahan asam laktat.Metode ini dapat disempurnakan dengan mencoba untuktidak mencampurkan asam laktat pada media PDA yangdigunakan.

Metode Isolasi dari Leher Malai. Isolasi dari lehermalai menghasilkan koloni jamur. Koloni jamur yangdiperoleh merupakan biakan murni karena tumbuh darikonidium tunggal yang diambil langsung dari bagiantanaman bergejala yang telah dilembapkan. Namunkoloni tersebut tidak membentuk ciri morfologi sepertikonidium sehingga tidak dapat diidentifikasi secaramorfologi. Koloni jamur yang diperoleh dimungkinkanberjenis P. oryzae karena koloni tersebut tumbuh darikonidium tunggal P. oryzae.

Identifikasi secara molekuler dilakukan untukmemastikan jenis jamur dari koloni yang telah ditemukan.Hasil amplifikasi menggunakan primer ITS1 dan ITS4menunjukkan pita DNA pada jenjang ± 550 bp (Gambar6). Hasil sequencing dan mencocokan dengan GenBank

menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki kemiripansebesar 99% dengan Magnaporthe oryzae [telemorph]Pyricularia oryzae [anamorph].

Morfologi koloni P. oryzae yang diperolehberwarna hitam keabu-abuan, berbentuk tipis tanpamiselium udara, membentuk lingkaran menyerupai cincinsetelah tumbuh hampir memenuhi cawan petri dalammedia PDA (Gambar 7). Namun morfologi koloni P.oryzae dimungkinkan beragam sehingga dapat berbedadengan isolat yang diperoleh pada metode ini.

Metode isolasi dari leher malai dipilih sebagaimetode terbaik karena berhasil mengisolasi P. oryzaedengan proses yang paling singkat dan sederhana.Metode ini menghasilkan isolat akhir yang murni karenatumbuh dari konidium tunggal. Metode ini memilikikelemahan berupa jenis sampel jaringan tanaman yangdapat digunakan hanya leher malai. Identifikasi punharus dilakukan secara molekuler sehinggamembutuhkan waktu dan biaya tambahan. Hal inimenjadi kendala apabila jumlah sampel yang diisolasibanyak.

Gambar 5. Suspensi konidium dari daun padi bergejala blas, tidak ditemukan konidium Pyricularia oryzae (A)dan leher malai padi bergejala blas, ditemukan konidium Pyricularia oryzae (B)

Gambar 4. Konidia Pyricularia oryzae yang tumbuh dari leher malai padi bergejala setelah dilembapkan

Page 68: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

68 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 62 - 69

Gambar 6. Hasil elektroforesis setelah amplifikasi menggunakan primer ITS1 dan ITS4 pada sampel PUR8 hasilisolasi menggunakan metode isolasi dari leher malai, menggunakan 1% agarose gel. M: Marker (100,200, 300, 400, 500, 600, 700, 800, 900, 1000, 1500, 3000)

Gambar 7. Koloni Pyricularia oryzae pada media PDA; Tampak atas (A); tampak bawah (B)

A B

SIMPULAN

Metode isolasi jamur P. oryzae yang paling tepatadalah dengan melembapkan leher malai bergejalaselama dua hari penuh cahaya, lalu konidium P. oryzaediambil secara langsung menggunakan jarum dandiisolasi pada media PDA tanpa asam laktat.

SANWACANA

Terima kasih kepada Program Studi Fitopatologidan Departeman Hama dan Penyakit Tumbuhan,Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada dan seluruhrekan-rekan yang membantu dan mendukung penelitianini.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto EF, Abadi AL, & Djauhari S. 2013.Keanekaragaman jamur saprofit pada dauntanaman padi (Oryza sativa L.) dengan sistempengelolaan hama terpadu (PHT) dankonvensional di Desa Bayem, KecamatanKasembon, Kabupaten Malang. Jurnal HPT 1(2):37–51.

Hai LH, Kim PV, Du PV, Thuy TTT, & Thanh DN.2007. Grain yield and grain-milling quality asaffected by rice blast disease (Pyriculariagrisea), at My Thanh Nam, Cai Lay, Tien Giang.Omonrice 15: 102–107.

Page 69: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Wicaksono et al. Metode Isolasi Pyricularia oryzae 69

Hayashi N & Fukuta Y. 2009. Proposal for a newinternational system of differentiating races of blast(Pyricularia oryzae Cavara) by using LTHmonogenic lines in rice (Oryza sativa L.).JIRCAS Working Report 63: 11–15.

Koutroubas SD, Katsantonis D, Ntanos DA, & LupottoE. 2009. Blas disease influence on agronomic andquality traits of rice varieties under Mediterraneanconditions. Turk. J. Agric. for Forestry 33: 487–494.

Lestiyani A. 2015. Identifikasi, Patogenisitas, danVariabilitas Penyebab Penyakit Moler padaBawang Merah. Tesis. Universitas Gadjah Mada.

Mehrota RS & Aggarwal A. 2003. Plant Pathology.Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited,New Delhi.

Muñoz MC, Álvarez IL, & Aguliar M. 2007. Resistanceof rice cultivars to Pyricularia oryzae inSouthern Spain. Spain. J. Agric. Res. 5(1): 59–66.

Santoso & Nasution A. 2012. Pengendalian PenyakitBlas dan Penyakit Cendawan Lainnya. BalaiBesar Penelitian Tanaman Padi, Jawa Barat.

Semangun H. 2008. Penyakit–Penyakit TanamanPangan di Indonesia. Gadjah Mada UniversityPress, Yogyakarta.

Shurtleff MC & Averre III CW. 1997. The PlantDisease Clinic and Field Diagnosis of AbioticDisease. The American PhytopathologicalSociety Press, Minnesota.

Sunariasih NPL, Suada IS, & Suniti NW. 2014.Identifikasi jamur endofit dari biji padi dan uji dayahambatnya terhadap Pyricularia oryzae Cav.secara in vitro. E-Jurnal AgroekoteknologiTropika. 3(2): 51–60.

TeBeest DO, Guerber C, & Ditmore M. 2007. RiceBlast. http://www.apsnet.org /edcenter/intropp/l e s s o n s / f u n g i / a s c o m y c e t e s / P a g e s /RiceBlast.aspx>. Diakses 21 Januari 2015.

Tuite J. 1969. Plant Pathological Methods. BurgessPublishing Company, Minneapolis.

Page 70: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

70 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 70 - 76J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525Vol. 17, No. 1: 70 – 76, Maret 2017

EFEKTIVITAS BEBERAPA MEDIA UNTUK PERBANYAKANAGENS HAYATI Trichoderma sp.

Gusnawaty HS, Muhammad Taufik, La Ode Santiaji Bande, & Agus Asis

Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Univeristas Halu OleoKampus Bumi Tridharma Anduonohu JL. H.E.A. Mokodompit 93232

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Effectiveness of several media for propagation biological agent Trichoderma sp.. This study aims to investigate at theeffectiveness of some media to propagation of Trichoderma sp. and to determine the effectiveness of the media that has thebest propagation of Trichoderma sp. This research consists seven treatment propagation medium; media dregs sago, dregsof the cashew nut shell, sawdust, maize, bran, rice, and husk. The results showed that the medium used for propagationTrichoderma sp. have varying effectiveness. The most effective media for propogation Trichoderma sp. was media bran, withgrowth capability Trichoderma sp on 4 days after incubation (100%), the difference in weight of the media before and afterincubation Trichoderma sp. was 2,04 g and the number of conidia was 104,125.103/g media.

Key words: effectiveness, media, propagation, Trichoderma sp.

ABSTRAK

Efektivitas beberapa media untuk perbanyakan agens Hayati Trichoderma sp.. Penelitian ini bertujuan untuk melihatefektivitas beberapa media untuk perbanyakan Trichoderma sp. dan untuk mengetahui media yang memiliki efektivitas terbaikuntuk perbanyakan Trichoderma sp.Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri atas tujuh perlakuanmedia perbanyakan yaitu 1) Media ampas sagu (A), 2) Media ampas kulit biji mete (B), 3) Media serbuk gergaji (C), 4) Mediajagung (D), 5) Media dedak (E), 6) Media beras (F), 7) Media sekam padi (G). Hasil penelitian menunjukkan bahwa media yangdigunakan untuk perbanyakan Trichoderma sp. memiliki efektivitas berbeda-beda. Media yang paling efektif untuk perbanyakanTrichoderma sp. adalah media dedak, dengan kemampuan pertumbuhan Trichoderma sp. pada 4 hari setelah inkubasi mencapai100%, selisih bobot media sebelum dan sesudah inkubasi Trichoderma sp. 2,04 g dan jumlah konidia 104,125.103/g media.

Kata kunci : efektifitas, media, perbanyakan, Trichoderma sp.

PENDAHULUAN

Trichoderma sp. merupakan cendawan saprofittanah yang secara alami menyerang cendawan patogendan bersifat menguntungkan bagi tanaman.Trichoderma sp. mampu memarasit cendawan patogentanaman dan bersifat antagonis, karena memilikikemampuan untuk mematikan atau menghambatpertumbuhan cendawan lain. Mekanisme yang terjadidi dalam tanah oleh aktivitas Trichoderma sp. yaitu (1)kompetitor ruang maupun nutrisi, (2) antibiosis yaitumengeluarkan etanol yang bersifat racun bagi patogendan (3) sebagai mikoparasit serta mampu menekanaktivitas cendawan patogen (Purwantisari et al., 2009).

Efektivitas Trichoderma sp. sebagai agens hayatitelah banyak dilaporkan seperti hasil penelitian Sunarwati& Yoza (2010) bahwa pemberian Trichoderma sp.sangat efektif menekan perkembangan penyakit

Phytophthora palmivora pada tanaman durian sampaimencapai 99%. Dilaporkan juga bahwa aplikasiTrichoderma sp. pada tanaman tomat dapatmenurunkan kehilangan hasil tanaman akibat infeksipenyakit layu fusarium (Taufik, 2008). CendawanTrichoderma sp. juga mampu berperan sebagai agensbiokontrol untuk mengendalikan bakteri Erwinia sp. padaAloe vera (Mukarlina et al., 2013).

Selain kemampuan sebagai agens hayati,Trichoderma sp. juga banyak dimanfaatkan sebagaistimulator pertumbuhan tanaman seperti yangdiungkapkan oleh Afitin dan Darmanti (2009) bahwapenggunaan Trichoderma sp. sebagai stimulator padapengomposan bahan organik mampu memberikanefektivitas yang baik dalam meningkatkan produksijagung. Menurut Tran (2010) Trichoderma sp. jugadapat berperan sebagai cendawan pengurai, pupuk hayatidan sebagai biokondisioner pada benih.

Page 71: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Gusnawaty et al. Efektivitas Beberapa Media 71

Trichoderma sp. dapat tumbuh pada berbagaimedia. Media yang sering digunakan saat ini untukperbanyakan Trichoderma sp. adalah media beras danjagung, tetapi media tersebut untuk perbanyakaan secaramassal memerlukan biaya yang lebih tinggi. Untuk itudiperlukan suatu media alternatif baru yang dapatdigunakan sebagai media biakan yang memiliki nilaiekonomi rendah,cukup nutrisi, efektif, mudah didapatkan,ketersediaan bahan baku berlimpah dan dapatdimanfaatkan oleh Trichoderma sp. untuk tumbuh danberkembang. Oleh karena itu penelitian ini bertujuanuntuk menguji efektivitas beberapa media sebagai bahan/media perbanyakan Trichoderma sp. untukmengevaluasi media yang memiliki efektivitas terbaikuntuk perbanyakan Trichoderma sp.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan diLaboratorium Jurusan Agroteknologi Unit Ilmu Hamadan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian UniversitasHalu Oleo, yang dilaksanakan pada Bulan Januari 2013.

Bahan yang digunakan adalah biakan murnicendawan Trichoderma sp., aquades, agar-agar, alkohol70%, media PDA (Potato Dextrosa Agar), ampas sagu,ampas kulit biji mete, serbuk gergaji, jagung, dedak danberas. Penelitian ini disusun berdasarkan RancanganAcak Lengkap (RAL) dengan 7 (tujuh) perlakuan mediaperbanyakan Trichoderma sp. yaitu: 1) Media ampassagu (A), 2) Media ampaskulit biji mete (B), 3) Mediaserbuk gergaji (C), 4) Media Jagung (D), 5) Media dedak(E), 6) Media beras (F), 7) Media sekam padi (G).Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kalisehingga terdapat 28 unit percobaan.

Inokulum cendawan Trichoderma sp. adalahkoleksi Laboratorium IHPT Fakultas PertanianUniversitas Halu Oleo yang kemudian disegarkankembali pada media Potato Dextrosa Agar (PDA).Pembuatan media jagung dan beras dilakukan dengancara masing-masing media direndam selama 24 jamsetelah itu dicuci dan dikukus sampai lunak. Untuk mediadedak, sekam padi, limbah jambu mete dan serbukgergaji direndam selama 24 jam kemudian diperassampai kandungan air media dalam kondisi kapasitaslapang sedangkan media ampas sagu cukupdikeringanginkan. Selanjutnya masing-masing mediaditimbang sebanyak 30 g dan dimasukkan ke dalam botol,kemudian ditutup dengan aluminium foil. Selanjutnyabotol berisi media disterilkan dalam autoklaf pada suhu121OC selama 15 menit dan siap untuk digunakansebagai media perbanyakan. Pada masing-masing mediaselanjutnya diinokulasikan cendawan Trichoderma sp.

yang telah ditumbuhkan pada media PDA selamatigaminggu setelah inkubasi (MSI), sebanyak 1 (satu)koloni dengan ukuran diameter yaitu 5 mm, selanjutnyadiinkubasi dan siap untuk dilakukan pengamatan.

Pengamatan dilakukan sejak inokulasiTrichoderma sp. pada setiap media dilakukan sampaimedia tersebut ditumbuhi dan dipenuhi olehTrichoderma sp. Beberapa variabel yang diamati padapenelitian ini yaitu: Periode inkubasi Trichoderma sp.,persentase pertumbuhan Trichoderma sp. selisih beratmedia sebelum dan setelah inokulasi Trichoderma sp.,dan jumlah spora/konidia yang dihasilkan Trichodermasp. pada setiap media perbanyakan.

Periode inkubasi Trichoderma sp. yaitu waktuyang diperlukan Trichoderma sp. untuk memperbanyakdiri pada setiap media (waktu sejak inokulasiTrichoderma sp. pada media sampai Trichoderma sp.mulai memperbanyak diri). Persentase pertumbuhanTrichoderma sp. pada media perbanyakan berdasarkanpersentase luas daerah media yang ditumbuhiTrichoderma sp. dilihat secara visual. Selisih beratmedia sebelum dan setelah inokulasi Trichoderma sp.dihitung berdasarkan berat media sebelum inokulasiTrichoderma sp. dikurangi berat media setelahTrichoderma sp. memperbanyak diri. Jumlah spora/konidia yang dihasilkan Trichoderma sp. pada setiapmedia perbanyakan. Jumlah konidia dihitungmenggunakan haemocytometer, dengan rumus :

6100,25n

dtK

dengan:K = Jumlah spora/ml pelarutt = Jumlah spora dalam semua kotak contohd = Faktor pengencerann = Jumlah semua kotak contoh yang dihitung0,25 = Faktor koreksi

Data yang dihasilkan dianalisis sidik ragam (ujiF). Apabila diantara perlakuan bepengaruh nyata, makadilanjutkan dengan BNJ pada taraf kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwapada media yang digunakan untuk perbanyakanTrichoderma sp. memiliki efektivitas yang berbeda-bedaberdasarkan persentase pertumbuhan Trichoderma sp.,selisih berat sebelum dan setelah inkubasiTrichodermasp., dan jumlah konidia yang dihasilkan kecuali rata-rataperiode inkubasi.

Page 72: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

72 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 70 - 76

Periode Inkubasi Trichoderma sp.. Berdasarkanhasil pengamatan dan analisis data terlihat bahwa untukperiode inkubasi Trichoderma sp. pada setiap mediaperbanyakan tidak menunjukkan perbedaan. Rata-rataperiode inkubasi Trichoderma sp. pada setiap mediaperbanyakan yang diujikan adalah 2 (dua) hari. Hal inimenunjukkan bahwa Trichoderma sp. memilikikemampuan untuk tumbuh pada media-mediaperbanyakan dalam waktu yang sama (Tabel 1).

Pada pengamatan periode inkubasi menunjukkanbahwa periode inkubasi Trichoderma sp. pada mediaperbanyakan yang digunakan adalah sama, yaitu rata-rata 2 hari setelah inkubasi (HSI). Hal ini membuktikanbahwa Trichoderma sp. dapat tumbuh pada media-media perbanyakan yang digunakan. Menurut Prabowoet al. (2006) bahwa Trichoderma sp. termasukcendawan yang mudah tumbuh pada berbagai habitatdan lingkungan. Menurut Harsono et al. (2001) bahwaTrichoderma sp. dapat menghasilkan enzim selulasesehingga mampu mendegradasi media yang mengandungselulosa . Oleh karena itu, bahwa Trichoderma sp. dapatberperan sebagai biodekomposer karena mampumemanfaatkan bahan-bahan organik terutama yang

mengandung selulosa sebagai sumber karbon dan energiuntuk kebutuhan hidupnya (Widyastuti et al., 2001).

Persentase Pertumbuhan Trichoderma sp..Berdasarkan Tabel 2 menunjukan bahwa pertumbuhanTrichoderma sp. pada setiap media perbanyakan padasetiap waktu pengamatan berbeda-beda (Gambar 1).Persentase pertumbuhan Trichoderma sp. tertinggiterdapat pada perlakuan media media dedak dan jagungyang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya pada 4hari setelah inokulasi (HSI). Pada 5 HSI terlihatpertumbuhan Trichoderma sp. pada media dedak,media jagung, media ampas sagu, media serbuk gergajidan sekam padi tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyatapada media beras dan media ampas kulit biji mete. Pada6&7 HSI, pertumbuhan Trichoderma sp. pada mediaperbanyakan tidak memperlihatkan perbedaan yangnyata kecuali pada media ampas kulit biji mete.

Berbeda halnya pada pengamatan persentasepertumbuhan Trichoderma sp. pada setiap mediaperbanyakan adalah berbeda-beda. Pada media dedakdan jagung, pada 4 HSI, pertumbuhan Trichoderma sp.sudah mencapai 100%. Hal ini dimungkinkan karena

Tabel 1. Rata-rata periode inkubasi Trichoderma sp. pada berbagai media perbanyakan (hari)

Perlakuan Rata-rata periode inkubasi (hari)

Media ampas sagu (A) 2Media ampas kulit biji mete (B) 2Media serbukgergaji (C) 2Media jagung (D) 2Media dedak (E) 2Media beras (F) 2Media sekampadi (G) 2

Tabel 2. Persentase pertumbuhan Trichoderma sp. pada berbagai media perbanyakan pada berbagai waktupengamatan (%)

PerlakuanHari setelah inkubasi (HSI) %

2 3 4 5 6 7

Media ampas sagu (A) 25a 76,25ab 93,75ab 100a 100a 100aMedia ampas kulit biji mete (B) 5c 10,00d 15,00d 37,5c 47,5b 60bMedia serbuk gergaji (C) 6,25c 43,75c 76,25b 100a 100a 100aMedia jagung (D) 25a 50,00bc 100a 100a 100a 100aMedia dedak (E) 10b 87,50a 100a 100a 100a 100aMedia beras (F) 5c 10,00f 43,75c 71,25b 95a 100aMedia sekam padi (G) 25a 50,00bc 75,00b 100a 100a 100a

Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata menurut uji BNJ α 0,05

Page 73: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Gusnawaty et al. Efektivitas Beberapa Media 73

Gambar 1. Pertumbuhan Trichoderma sp. pada setiap media perbanyakan pada 7 HSI; (A) Media ampas kulit bijimete; (B) Media serbuk gergaji; (C) Media jagung; (D) Media dedak; (E) Media beras; (F) Mediasekam padi

A B C

D E

F G

kandungan nutirisi pada media dedak dan jagung yanglebih banyak dan kompleks untuk kebutuhanTrichoderma sp. Selain itu Trichoderma sp. mampumenghasilkan enzim selulase yang dapat mendagradasiselulosa sehingga mempercepat asupan nutrisi bagipertumbuhan cendawan dan mempercepat ketersediaanhara. Hal ini juga dikemukan oleh Ratanaphadit et al.(2010) bahwa kemampuan cendawan Trichoderma sp.untuk memproduksi enzim seperti enzim selulotik yaituendoglukanase dan ektoglukanase sehingga mampuberperan dalam menghidrolisis selulosa.Pada medialimbah sagu, serbuk gergaji, sekam padi dan berasmenunjukan kemampuan tumbuh 100% pada 5 & 6 HSI.Persentase pertumbuhan terendah terdapat pada mediaampas kulit mete dimana sampai pada 7 HSI hanyamampu menunjukkan kemampuan tumbuh 60%.Pertumbuhan Trichoderma sp. pada media ampas kulitbiji mete lebih lambat dari media lainnya diduga karena

kandungan nutrisi media yang rendah dan kemungkinanmasih terdapatnya sisa-sisa Cashew Nut Shell Liquid(CNSL)yang bersifat menghambat pertumbuhancendawan sehingga kemampuan tumbuh Trichodermasp. menjadi lebih rendah.

Selisih Bobot Media Sebelum dan SetelahInokulasi/Iknubasi Trichoderma sp.. Berdasarkanhasil pengamatan (Tabel 3) terlihat bahwa ada selisihbobot yang terjadi antara bobot awal media sebeluminokulasi dengan bobot media setelah inkubasiTrichoderma sp. pada setiap media perbanyakan. Selisihtersebut menunjukkan adanya pengurangan bobot mediasetelah inokulasi Trichoderma sp.. Penurunan bobotmedia tertinggi terdapat pada media dedak yaitu 2,04 g,sedangkan penurunan bobot terendah terdapat padamedia ampas kulit biji mete yaitu 0,8 g.

Page 74: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

74 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 70 - 76

Pada pengamatan selisih bobot mediaperbanyakan sebelum dan sesudah inkubasiTrichoderma sp. terlihat bahwa media yang memilikiselisih bobot tertinggi adalah media dedak yaitu 2,04 gyang berbeda nyata dengan bobot pada media beras,media jagung, media limbah sekam padi, media limbahserbuk gergaji, media ampas kulit mete dan media sagu.Hal ini diduga karena Trichoderma sp. memilikikemampuan untuk merombak dedak yang lebih cepatdibandingkan dengan media lainnya karena kesesuaiannutrisi yang dibutuhkan dengan nutrisi yang tersedia padamedia.

Pengurangan bobot media setelah inkubasiTrichoderma sp. pada media terjadi karena menurut:(1) Hilakore (2008) bahwa kemampuan cendawanmemanfaatkan bahan media biakan tidak dapatmeningkatkan bobot secara signifikan, tetapi dapatmeningkatkan serat kasar yang dihasilkan dari miseliumcendawan, (2) Syahrir & Abdeli (2005) bahwa adanyaaktifitas cendawan juga menyebabkan berkurangnyakadar air akibat termanfaatkan dalam mendekomposer

media perbanyakan sebagai sumber makanan bagicendawan. Oleh karena itu, pengurangan bobot yangterjadi pada media perbanyakan merupakan hal yangsemestinya dan menunjukkan adanya aktivitas daricendawan pada media tersebut. Dengan demikiansemakin besar selisih bobot media sebelum dan sesudahinkubasi Trichoderma sp. berarti semakin tinggi aktivitasTrichoderma sp. sebagai pengurai/dekomposer padamedia.

Jumlah Konidia Trichoderma sp.. Berdasarkan hasilpengamatan pada Tabel 4 terlihat bahwa pada rata-ratajumlah konidia cendawan Trichoderma sp. tertinggiadalah media dedak 1,04×105/g media yang berbedanyata dengan perlakuan lainnya. Pada media ampassagu, beras, jagung dan sekam padi tidak berbeda nyata,tetepi berbeda nyata pada media serbuk gergaji danampas kulit biji mete. Pada media ampas kulit jambumete nampaknya tidak mendukung pertumbuhan konidia,karena pada media tersebut jumlah konidia yangdihasilkan hanya mencapai 6×103/g media. Media

Tabel 4.  Rata-rata jumlah konidiaTrichoderma sp. pada berbagai media perbanyakan (per gram media)

PerlakuanRata-rata jumlah konidia cendawan Trichoderma sp. pada media

perbanyakan (103/g media)

Media ampas sagu (A) 28,625 bcMedia ampas kulit biji mete (B) 6,00 dMedia serbukgergaji (C) 3,125 dMedia jagung (D) 45,25 abMedia dedak (E) 104,125 aMedia beras (F) 17,125 cMedia sekam padi (G) 21,375 bc

Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata menurut uji BNJ α 0,05

PerlakuanBobot sebelum

inkubasi (g)Bobot setelahinkubasi (g)

Selisih Bobot(g)

Media ampas sagu (A) 246,52 245,21 1,30bMedia ampas kulit biji mete (B) 249,70 248,90 0,80bMedia serbukgergaji (C) 242,26 241,41 0,85bMedia jagung (D) 252,43 251,30 1,14bMedia dedak (E) 241,10 239,06 2,04aMedia beras (F) 248,84 247,85 0,99bMedia sekam padi (G) 227,48 226,56 0,92b

Tabel 3. Rata-rata selisih bobot media sebelum dan setelah inkubasi masing-masing media perbanyakanTrichodermasp.

Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata menurut uji BNJ α 0,05

Page 75: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Gusnawaty et al. Efektivitas Beberapa Media 75

tersebut menjadi perlakuan dengan jumlah konidiaTrichoderma sp. yang dihasilkan paling rendah danberbeda nyata dengan perlakuan media lainnya.

Pada hasil pengamatan jumlah konidiaTrichoderma sp. yang terbentuk pada setiap mediaterlihat bahwa jumlah konidia Trichoderma sp.terbanyak terdapat pada media dedak dengan jumlahkonidia 104,125.103/g media yang berbeda nyata denganmedia lainnya. Pada media sagu dan sekam padi jumlahkonidia tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata denganperlakuan beras, ampas kulit mete, jagung dan serbukgergaji.

Dengan demikian, dalam perbanyakanTrichoderma sp. jika ditujukan untuk menghasilkanjumlah konidia Trichoderma sp. yang lebih banyak makamedia beras dapat digantikan dengan media dedak yangnilai ekonominya lebih murah tetapi mampu mendukungterbentuknya konidia Trichoderma sp. yang sama jikamenggunakan media beras. Perbedaan jumlah konidiaTrichoderma sp. yang terbentuk dimungkinkan eratkaitannya dengan kandungan nutrisi dari setiap media.Tinggi rendahnya jumlah konidia pada setiap mediadiduga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan selulosapada media sebagai sumber makanan. Hal inidiungkapkan juga oleh Armaini et al. (1995) bahwacendawan Trichoderma sp. yang tumbuh pada mediayang mengandung selulosa mampu menghasilkan banyakenzim selulase dan media yang mengandung sukrosadan glukosa dengan jumlah yang sedikit menghasilkanenzim selulase dengan jumlah yang sedikit pula sehinggaaktifitas cendawan tidak begitu terlihat.

Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian inisecara umum dapat dikatakan bahwa media dedakadalah media yang paling efektif untuk digunakansebagai media perbanyakan Trichoderma sp. karenapada setiap variabel pengamatan menunjukankemampuan Trichoderma sp. untuk tumbuh danberkembang yang lebih baik dibandingkan pada mediatumbuh lainnya, sehingga media beras dan jagung yangumumnya digunakan untuk perbanyakan Trichodermasp. dapat digantikan dengan media dedak yang nilaiekonominya lebih murah dan terjangkau dan hasilnyasama jika menggunakan media beras dan jagung.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapatdisimpulkan bahwa media yang digunakan untukperbanyakan Trichoderma sp. memiliki efektifitasberbeda-beda dan media yang paling efektif untukperbanyakan Trichoderma sp. adalah media dedak,dengan kemampuan pertumbuhan Trichoderma sp. 100

% pada hari ke-4 HSI, selisih bobot media sebelum dansetelah inokulasi/inkubasi 2,04 g dan jumlah konidia104,125.103/g media.

DAFTAR PUSTAKA

Afitin R & Darmanti S. 2009. Pengaruh dosis komposdengan stimulator Trichoderma sp. terhadappertumbuhan dan produksi tanaman jagung (Zeamays L.) varietas pioner pada lahan kering. J.Bioma. 11(2): 69–75.

Armaini, Mardiah E, & Dharma A. 1995. Pengaruhkarbohirat terhadap media fermentasi untukmemproduksi enzim selulase dari Trichoderma sp.Lembaga Penelitian Universitas Andalas. Andalas.

Chandel AK, Chan ES, Rudraavaram R, Narasu ML,Rao LV, & Ravindra P. 2007. Economic andenviromental impact of bioethanol productionTechnologies : An Appraisal. Biotechnology andMolecular Biology Review. 2(1): 14–32.

Gerhatz W. 1990. Enzym in Industry Production andApplication. VCH Verlagsgesellschaft mbH, D.6940 Weinheim.

Hilakore MA. 2008. Peningkatan kualitas nutritif putakmelalui fermentasi campuran Trichoderma reeseidan Aspergillus niger sebagai pakan ruminansia.Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut PertanianBogor.

Mukarlina, Khotimah S, & Febrianti L. 2013. Ujiantagonis Trichoderma harzianum terhadapErwinia sp. penyebab penyakit busuk bakteripada Aloe vera. J. Fitomedika 7(3): 150–154.

Prabowo AKE, Prihatiningsih N, & Soesanto L. 2006.Potensi Trichoderma harzianum dalammengendalikan sembilan isolat Fusariumoxysporum Schelecht.f.sp.zingiberi trijillo padakencur. J. Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 8(2):76–84.

Purwantisari S & Hastuti RB. 2009. Uji antagonismejamur Phytophthora infestans penyebabpenyakit busuk daun dan umbi kentang denganmenggunakan Trichoderma spp. isolat lokal. J.Bioma. 11(1): 24–32.

Ratanaphadit K, Kaewjan K, & Palakas S. 2010.Potential of glycoamylase and cellulase productionusing mixed culture of Aspergillusniger TISTR3254 and Trichodermareesei TISTR 3081. KKURes J. 15(9): 833–842.

Page 76: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

76 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 70 - 76

Sunarwati D & Yoza R. 2010. KemampuanTrichoderma sp dan Penicillium dalammenghambat pertumbuhan cendawan penyebabpenyakit busuk akar durian (Phytoptorapalmivora) secara in-vitro. Prosiding. SeminarNasional Program dan Strategi PengembanganBuah Nusantara. Balai Penelitian Tanaman Buah.Solok.

Syahrir & Abdeli M. 2005. Analisis kandungan zat-zatmakanan kulit buah kakao yang difermentasidengan Trichoderma sp. sebagai akan ternakruminansia. J. Agrisains. 6(3): 157–165.

Taufik M. 2008. Efektivitas agen antagonisTrichoderma sp. pada berbagai media tumbuhterhadap penyakit layu tanaman tomat. Prosiding.Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFIXIX Komisariat Sulawesi Selatan. Makassar.

Tran N.Ha. 2010. Using Trichoderma species forbiological control of plant pathogens in Vietnam.J. ISSAAS. 1(16):17–21.

Widyastuti SM, Sumardi, & Sumantoro P. 2001.Efektifitas Trichoderma spp. sebagai pengendalihayati terhadap tiga patogen tular tanah padabeberapa jenis tanaman kehutanan. J.Perlindungan Tanaman Indonesia. 7(2): 98–107.

Page 77: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Ginting et al. Efikasi Isolat Trichoderma Terpilih 77 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 17, No. 1: 77 – 83, Maret 2017

EFIKASI ISOLAT TRICHODERMA TERPILIH DENGANBAHAN ORGANIK UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT

BUSUK PANGKAL BATANG PADA LADA DI LAPANGAN

Cipta Ginting1, Joko Prasetyo1, Aris Nurhidayat2, & Tri Maryono1

1Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung2Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Efficacy of selected Trichoderma isolate and organic matter to control foot rot of black pepper in the field.The objectiveof this experiment was to determine the efficacy of selected Trichoderma isolatand organic matter to control the disease. Dualculture method was used to select a Trichoderma isolate. The experiment to evaluate the efficacy of selected isolate consistedof control (no application of T. harzianum or organic matter), T. harzianum and rice straw, and T. harzianum and coffee husk.As starter, T. harzianum was grown in broken rice. Two liters of organic matter was infested with suspension of 10 g starter in100 ml steril water and incubated for 2 weeks. The mixture was applied around the base of black pepper stem. The resultsshowed that all plants treated with T. harzianum and organic matter did not show disease symptom. Ten percent of the controlplants showed symptoms. However, that the occurrence of the disease was not significantly different between treatments.Applications ofT. harzianum and rice straw increased the density of Trichoderma for 1 and 2 months after application. T.harzianum and coffee husk increased the density of the fungus 1 month after application.

Key words: food rot of black pepper, Phytophthora capsici, Trichoderma, organic matter

ABSTRAK

Efikasi isolat Trichoderma terpilih dengan bahan organik untuk mengendalikan penyakit busuk pangkal batang padalada di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efikasi isolat Trichoderma terpilih dengan bahan organik untukmengendalikan penyakit busuk pangkal batang lada di lapangan. Pemilihan isolat Trichoderma spp. dilakukan dengan teknikkultur ganda (dual culture). Uji efikasi di lapangan dilakukan dengan tiga perlakuan, yaitu kontrol yaitu tanpa T. harzianumdan tanpa bahan organik, T. harzianum dan jerami, serta T. harzianum dan kulit kopi. Untuk menyiapkan starter, isolat T.harzianum diperbanyak pada menir. Sebanyak 10 g starter yang disuspensikan pada 100 ml air steril dicampurkan dengan 2 Lbahan organik. Setelah diinkubasi selama 2 minggu, T. harzianum dan bahan organik diaplikasikan pada pangkal batang ladadengan radius 30 cm. Peubah yang diamati ialah keterjadian penyakit dan populasi Trichoderma dalam tanah. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa semua tanaman lada yang diberi T. harzianum dan bahan organik bebas dari penyakit. Sementara itu,tanaman kontrol menunjukkan gejala penyakit BPBL sebanyak 10%. Akan tetapi, keterjadian penyakit tersebut tidak berbedanyata antar-perlakuan.Aplikasi T. harzianum dan jerami meningkatkan kepadatan Trichoderma 1 dan 2 bulan setelah aplikasi.Aplikasi T. harzianum dan kulit kopi hanya meningkatkan kepadatan jamur 1 bulan setelah aplikasi.

Kata kunci: busuk pangkal batang lada, Phytophthora capsici, Trichoderma, bahan organik

PENDAHULUAN

Penyakit busuk pangkal batang lada (BPBL)merupakan tantangan terpenting dalam budidaya lada,yang secara tradisi merupakan tanaman khas di ProvinsiLampung dan beberapa daerah lain di Indonesia. Penyakitini disebabkan oleh jamur Phytophthora capsici Leonian(yang sebelumnya dikenal sebagai: P. palmivora var.Piperis atau P. palmivora MF4). Jamur ini merupakanpatogen soilborne yakni yang dapat hidup relatif lama didalam tanah dan membentuk struktur atau propagulayang hidup dan dapat bertahan relatif lama di dalam

tanah, di samping bertahan pada jaringan lada yangmasih hidup. Jamur patogen ini dapat bertahan dalamtanah selama 18 bulan (Khew & Kueh, 1980).

Sumber inokulum untuk perkembangan penyakittermasuk tanah yang mencakup bagian-bagian tanamanlada yang terinfestasi patogen di dalam tanah serta bagian-bagian tanaman yang terinfeksi di atas permukaan tanah.Inokulum disebarkan dengan berbagai cara termasuk airyang mengalir atau hujan yang memercik padapermukaan tanah. Selain itu, inokulum dapat jugadisebarkan oleh angin yang membawa percikan air ataupotongan daun yang terinfeksi. Selain itu, sporangium

Page 78: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

78 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 77 - 83

yang berasosiasi dengan air hujan dapat disebarkan olehangin. Inokulum juga dapat disebabkan oleh binatang dikebun dan stek lada yang terinfeksi (Semangun, 2000).

Phytophthora capsici dapat menyerang semuabagian tanaman termasuk akar, pangkal batang, dandaun. Infeksi pada daun biasanya mulai dari daun-daunpada bagian bawah tanaman, yang menandakan bahwainokulum berasal dari permukaan atau dalam tanah.Pada daun biasanya terdapat bercak daun denganpinggiran bercak yang khas yakni bergerigi (fimbriate).Daun yang terserang tersebut biasanya gugur sebelumwaktunya. Perkembangan patogen pada daun ini,terutama daun terinfeksi yang gugur, akan meningkatkanpotensi inokulum pada tanah di sekitar pangkal batang.Hal ini akan menambah peluang terjadinya infeksi padapangka batang yang dapat membunuh tanaman. Padamusim hujan, hujan yang turun menurunkan suhu tanahsehingga jamur terstimulasi untuk membentuk zoosporayang dapat bergerak ke pangkal batang dan memulaiinfeksi. Dengan demikian, diperlukan upaya untukmenurunkan jumlah inokulum dalam tanah (Semangun,2000).

Sebagaimana dijelaskan dalam Ginting (1999) danSemangun (2000), direkomendasikan agar pengelolaanpenyakit busuk pangkal batang lada dilaksanakan denganmenggunakan varietas tahan, mulsa, perbaikan drainase,dan fungisida sintetis. Akan tetapi, sampai saat inipengelolaan penyakit busuk pangkal batang pada ladabelum memuaskan. Perkembangan penyakit di daerahpenanaman lada utama di Provinsi Lampung terusberlangsung dan turut melemahkan petani dalammempertahankan pertanaman lada atau melakukanpenanaman baru. Dalam kenyataannya, aplikasi fungisidasering tidak efektif karena penyakit busuk pangkal batangpada lada dapat berkembang dengan cepat jikalingkungan mendukung perkembangan penyakit, yangterjadi pada saat musim hujan. Hal ini didukung olehsifat biologi jamur bahwa, menurut Shea & Broadbent(1983), kepadatan propagula Phytophthora sangatberfluktuasi dalam waktu dan ruang. Lebih daripada itu,mengingat gejala awal pada pangkal batang sulit dideteksi,aplikasi fungsida sering terlambat karena umumnyadidasarkan pada gejala penyakit seperti layu pada tajuktanaman padahal gejala pada tajuk pada tanaman yangterinfeksi pada pangkal batangnya merupakan gejalalanjut.

Oleh karena berbagai permasalahan tersebut,dewasa ini telah banyak diupayakan penggunaan agensiahayati seperti Trichoderma. Hal ini berkat berbagaipertimbangan bahwa upaya ini merupakan cara yangekonomis dan ekologis, murah dan aman. AplikasiTrichoderma tidak menimbulkan residu yang

membahayakan seperti yang terjadi dalam aplikasifungisida sintesis. Penggunaan agensia hayati dalamkonsep pengelolaan penyakit secara terpadumemberikan harapan yang baik untuk mengendalikanpenyakit (Chet & Henis, 1985, Semangun, 2000, Madanet al. , 2005; Ginting, 2010;). Jamur antagonisTrichoderma spp. secara nyata dapat menekan P.capsici secara in vitro (Ginting, 1997a; Ginting, 1997b).Ginting & Maryono (2011) menyeleksi isolat terefektifdari 16 isolat Trichoderma spp. dalam menekanpertumbuhan P. capsici in vitro dan menemukan bahwaisolat T. harzianum merupakan isolat terbaik.Kombinasi perlakuan isolat T. harzianum ini dan bahanorganik menekan intensitas penyakit BPBL di rumahkaca, sedangkan jenis bahan organik tidak berpengaruhnyata terhadap intensitas penyakit.

Desai (2002) menunjukkan bahwa formulasiTrichoderma efektif di tingkat lapangan dan digunakansecara komersial. Namun perlu diketahui bahwa sampaisaat ini penggunaan cara-cara tersebut tidak dapatmemberikan hasil yang memuaskan dalam programpengendalian penyakit busuk pangkal batang pada lada.Salah satu dugaan kuat penyebabnya adalah karenateknik-teknik tersebut tidak diaplikasikan secara benardan terpadu dengan cara-cara lain (Thurston, 1992).Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keefektifanT. harzianum yang dikombinasikan dengan bahanorganik untuk mengendalikan penyakit busuk pangkalbatang pada lada di lapangan.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan diLaboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan FakultasPertanian Universitas Lampung dan Kebun PercobaanTanaman Industri dan Penyegar Cahaya Negeri, AbungBarat, Lampung Utara dari bulan Maret 2014 sampaiFebruari 2015.

Isolasi dan Identifikasi Trichoderma spp. dan P.capsici. Isolat Trichoderma spp. yang diskrining ialahisolat dari koleksi di Laboratorium Penyakit dan hasilisolasi baru dari tanah kebun lada tempat uji efikasilapangan yakni di Kebun Percobaan Tanaman Industridan Penyegar Cahaya Negeri, Abung Barat, LampungUtara. Isolat dari koleksi ditransfer ke media PDAL untukperemajaan sebelum diuji. PDAL ialah media PDA yangditambahi asam laktat sebanyak 1,4 ml per L.

Sementara itu, untuk mendapatkan isolat baru,terok tanah diambil dari sekitar pangkal batang lada yangtidak menunjukkan gejala yang dikelilingi oleh tanamanlada yang telah mati atau sedang menunjukkan gejala.

Page 79: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Ginting et al. Efikasi Isolat Trichoderma Terpilih 79

Terok tanah diambil dari empat arah sampai sejauh 30cm dari pangkal batang lada tersebut. Di laboratorium,Trichoderma diisolasi dengan metode pengenceran(Ginting & Maryono, 2011) dengan menggunakan mediaPDA-RSC. Media PDA-RSC ialah PDA yang ditambahirose bengal (40 ppm) sebelum diotoklaf dan streptomisin(60 ppm), dan klorampenikol (60 ppm) (PDA-RSC)setelah diotoklaf. Identifikasi isolat Trichoderma kespesies dilakukan menurut Rifai (1969).

P. capsici diisolasi di laboratorium dari daun ladayang menunjukkan gejala penyakit khas yaitu busuk daundengan tepi bergerigi (fimbriate). Untuk itu, daun dengangejala dibersihkan pada air keran yang mengalir, laludikeringkan dengan kertas tissu. Potongan daunberukuran 2 mm yang mencakup bagian yang bergejaladan tanpa gejala dimasukkan pada larutan natriumhipoklorida 0,5% selama 1-2 menit, lalu dibilas denganair steril, dan dikeringkan pada kertas tissu steril. Tigapotongan daun tersebut diletakkan pada permukaanmedia PDAL dalam cawan petri.

Skrining dari Tujuh Isolat Trichoderma spp. Seleksiuntuk memilih isolat Trichoderma dengan daya hambattertinggi terhadap pertumbuhan P. capsici dilakukandengan metode kultur ganda (dual culture method) padamedia PDA dalam cawan petri. Untuk itu, cawan petriberisi media yang sudah siap digunakan dibalik dan padadasarnya dibuat dua garis yang berpotongan secara tegaklurus. Pada satu garis dibuat dua titik masing-masingberjarak 2,25 cm dari pinggir cawan secara berlawanan.Cuplikan miselium Trichoderma dan P. capsiciberdiameter 0,8 cm diinfestasikan masing-masing padakedua titik tersebut. Pengamatan dilakukan setiap 24 jamdengan mengukur jari-jari koloni P. capsici pada duaarah. Arah pertama ialah ke pinggri cawan yangmerupakan kontrol dan arah kedua ke arah koloniTrichoderma yang merupakan pengaruh perlakuan.Penghambatan pertumbuhan P. capsici olehTrichoderma dihitung dengan rumus P = (K-T)/K x100% dengan P = penghamatan pertumbuhan P. capsici(%), K = jari-jari koloni P. capsici ke arah pinggir cawansebagai kontrol, dan T = jari-jari koloniP. capsici kearah koloni Trichoderma sebagai pengaruh perlakuan.

Uji Efikasi T. harzianum di Lapangan. Penelitian dilapangan dilakukan untuk menguji keefektifan berbagaiisolat T. harzianum yang diaplikasikan dengan bahanorganik yang banyak terdapat di sekitar petani, yaitujerami dan kulit kopi. Di lapangan, bahan organik yangdiperoleh dari petani dikeringkan. Jerami padi dipotong-potong sekitar 1-2 cm.Yang menjadi perlakuan ialah (1)kontrol (T. harzianum tanpa bahan organik),

(2) T. harzianum dan jerami, serta (3) T. harzianumdan kulit kopi. Perlakuan disusun dalam rancangan acakkelompok dengan tiga perlakuan dan 10 kelompok.Pengelompokan dilakukan berdasarkan kemiringan lahan.

Pembuatan starter. Sebagai starter, isolat T. harzianumT3M dikembangkan pada media menir di laboratoriumdengan prosedur sebagai berikut. Menir dikukus di atasair mendidih selama 1 jam. Menir tersebut dimasukkandalam plastik tahan panas sebanyak 250 g per plastikdan diotoklaf pada suhu 1200C tekanan 1 atm selama 15menit. Menir tersebut diinvestasi dengan T. harzianumT3M. Biakan menir diinkubasikan selama 1 bulansehingga tampak hijau secara keseluruhan bahan dansiap untuk digunakan.

Penyiapan Lahan Tempat Uji Efikasi di Lapangan.Pada setiap unit percobaan (setiap batang lada) digunakan2 L bahan organik, yang ditempatkan dalam kantongplastik untuk aplikasi dan inkubasi T. harzianumT3M.Aplikasi (infestasi) agensia (starter) pada bahan organikdilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan CahayaNegeri Balai Penelitian Tanaman Industri dan PenyegarKecamatan Abung Barat Lampung Utara. Starterdiaplikasikan sebanyak 10 g per batang dengan caradisuspensikan pada 100 ml air steril dan suspensidisiramkan kepada bahan organik. Setelah aplikasi atauinfestasi bahan organik, campuran diinkubasikan selama2 minggu lalu diaplikasikan pada pangkal batang lada.Masing-masing bahan organik diaplikasikan padasekeliling pangkal batang dengan radius 30 cm. Bahanorganik yang telah diaplikasikan di sekeliling batang ladadisiram dengan air keran.

Pengamatan. Pengamatan dilakukan setiap harisekaligus dilakukan dengan pemeliharaan tanamantermasuk penyiraman jika diperlukan (kelembabanrendah). Peubah ialah keterjadian penyakit. Data yangdiperoleh diolah secara statistika dengan uji ragam.

Peubah lain ialah populasi jamur total dalam tanah.Untuk itu, sebanyak kira-kira 0,5 kg sampel tanah diambildari empat arah di sekeliling tanaman sehat tersebut laludimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan dalamtermos es selama transportasi ke laboratotium.

Di laboratorium, jamur tanah termasukTrichoderma diisolasi dengan teknik pengenceran(dilution plate technique) (Johnson & Curl, 1972;Ginting & Maryono, 2011). Tanah yang baru disampelsebanyak 10 g setara berat kering dimasukkan ke dalamlabu erlenmeyer, diaduk dengan 90 ml akuades sterilselama 30 menit. Setelah itu, sebanyak 1 ml suspensitanah tersebut dimasukkan ke dalam labu lain yang berisi

Page 80: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

80 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 77 - 83

99 ml akuades steril untuk mendapatkan suspensi denganpengenceran 103. Dengan cara serupa dibuat suspensidengan pengenceran 105. Dari suspensi denganpengenceran 103 dan 105 tersebut diambil sebanyak0,25 ml dengan mikropipet untuk dituang dandisebarratakan pada permukaan media dalam cawanpetri. Pengamatan terhadap kultur jamur dilakukan 3–5 hari kemudian. Media yang digunakan ialah PDA-RSC. Data yang diperoleh diolah secara statistikadengan uji ragam dan dilanjutkan dengan BNT (P<0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi dan Identifikasi Trichoderma spp. danP. capsici. Dari isolasi dari sampel tanah yang diperolehdari Kebun Percobaan Tanaman Industri dan PenyegarCahaya Negeri, Abung Barat, Lampung Utara diperolehdua isolat T1 (Trichoderma harzianum) dan T3(Trichoderma koningii). Selain kedua isolat ini, limaisolat Trichoderma yang diperoleh dari KoleksiLaboratorium Penyakit Tumbuhan Unila (Tabel 1)digunakan dalam tahap skrining untuk memilih satu isolatyang paling tinggi daya antagonisnya terhadap P. capsiciuntuk uji efikasi di lapangan.

Skrining dari Tujuh isolat Trichoderma spp.. Datahasil seleksi isolat Trichoderma spp. untuk menghambatpertumbuhan P. capsici secara in vitro yang diukur daripemendekan radius koloni patogen dapat dilihat padaGambar 1. Daya hambat isolat T3M lebih tinggi daridaya hambat isolat T1, T1M, Tk, dan Tv. Dilihat dariangka daya hambatnya, isolat T3M menunjukkan angkadaya hambat yang tertinggi, meskipun tidak berbedanyata dengan daya isolat T2M dan T3. Dengan demikian,isolat T3M ini dipilih untuk diuji efikasinya dalampengendalian penyakit BPBL di lapangan.

Pada penelitian ini, terdapat zona media berwarnakekuningan pada pertemuan koloni Trichoderma dan

P. capsici. Hal ini merupakan bukti adanya aktifitasantagonisme P. capsici oleh T. harzianum dalam bentukantobiosis. Trichoderma spp. dapat digunakan sebagaiagensia hayati karena dapat berperan sebagai antagonisdengan mekanisme antibiosis, parasitisme, dan ataukompetisi (Cook & Baker, 1983; Ownley & Windham,2008).Trichoderma dapat menghasilkan senyawa yangberperan pada aktivitas antibiosis seperti enzimekstraselular β-(1,3)-glukanase dan kitinase yangdikeluarkan dari tubuh Trichoderma dan dapat merusakdinding sel patogen. Selain itu, Trichodermamengeluarkan antibiotika viridin yang merusak jamur lain(Papavizas, 1985).

Perbedaan daya hambat bahkan terjadi di antaraisolat dalam satu spesies seperti yang ditunjukkan olehisolat T1 dan T3M yang keduanya merupakan T.harzianum. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolattersebut mungkin merupakan strain yang berbeda. Rifai(1969) menyatakan bahwa dalam klasifikasi ke dalamspesies Trichoderma didasarkan pada ciri mikroskopiskultur sehingga isolat dalam satu spesies Trichodermamungkin mempunyai sifat fisiologis yang berbeda.

Uji Efikasi T. harzianum di Lapangan. Hasil uji efikasiisolat T3M yang dikombinasikan dengan jerami atau kulitkopi di lapangan menunjukkan bahwa tanaman lada yangdiberi T. harzianum dan bahan organik bebas daripenyakit. Sementara itu, tanaman kontrol yakni yangtidak menerima antagonis menunjukkan gejala penyakitBPBL sebanyak 10% (Tabel 2). Akan tetapi, analisisstatistika menunjukkan bahwa keterjadian penyakittersebut tidak berbeda nyata antar-perlakuan.

Beberapa penelitian menunjukkan keefektifanaplikasi Trichoderma yang diintegrasikan dengan bahanorganik. Abbasi et al. (2002) menunjukkan bahwa jikakandungan bahan organik dan aktivitas mikroba tanahrendah, penyakit akar tanaman cenderung meningkat.Penambahan kompos ke media pertumbuhan tanaman

Tabel 1. Isolat Trichoderma spp. yang digunakan pada penelitian

Kode Isolat Spesies Sumber Isolat

T1 Trichoderma harzianum Isolasi dari tanah lokasi uji efikasi lapangan kebun Cahaya Negeri

T3 Trichoderma koningii Isolasi dari tanah lokasi uji efikasi lapangan kebun Cahaya Negeri

T1M Trichoderma koningii Koleksi laboratorium T2M Trichoderma koningii Koleksi laboratorium T3M Trichoderma harzianum Koleksi laboratorium Tk Trichoderma koningii Koleksi laboratorium Tv Trichoderma viride Koleksi Laboratorium

Page 81: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Ginting et al. Efikasi Isolat Trichoderma Terpilih 81

menghasilkan mikrobiostatis dan penyakit tanaman dapattertekan. Akan tetapi, proses alami yang terjadi tidaksecara konsisten patogen tertekan oleh parasitisme(Hoitink et al., 1997). Infestasi agensia hayati diharapkanakan meningkatkan konsistensi pengendalian penyakit.Hal ini sejalan dengan berbagai hasil penelitian yangditunjukkan Hoitink et al.(1997) bahwa dengandisertakannya infestasi agensia hayati sepertiTrichoderma pengendalian penyakit lebih terprediksi.Berlian et al. (2013) menunjukkan mekanismeantagonisme Trichoderma spp. yaitu sinergisme antaraantibiosis, mikoparasitisme, dan kompetisi.

Akan tetapi, data hasil uji efikasi di lapangan inimenunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadapketerjadian penyakit. Tidak berbeda nyatanya pengaruhperlakuan ini dapat disebabkan rendahnya keterjadianpada tanaman uji. Selama penelitian berlangsung, curahhujan relatif rendah sehingga kurang mendukungterjadinya penyakit BPBL di kebun tempat penelitian.BMKG Stasiun Klimatologi Masgar KabupatenPasawaran Provinsi Lampung menyatakan bahwa curah

hujan pada saat penelitian (November 2014 sampaiFebruari 2015) sangat rendah jika dibandingkan denganbeberapa tahun sebelumnya (data tidak diperoleh;Harianto, Komunikasi Pribadi).

Pada kebun tempat uji efikasi lapangandibudidayakan lada varietas Ptaling 1. Varietas ini sangatrentan terhadap patogen P. capsici. Selain itu, kebunendemik penyakit BPBL. Sekitar 5 tahun terakhir,keterjadian penyakit BPBL sangat tinggi. Pada saatperencanaan penelitian yaitu pada 2014, dari jumlahtanaman Ptaling 1 yaitu 767 tanaman, hanya 309 tanamanyang masih hidup, sedangkan yang lain sudah mati akibatpenyakit BPBL. Dari 309 tanaman hidup, sebanyak 175tanaman merupakan hasil sulaman (Harianto,Komunikasi Pribadi, 2014).

Aplikasi T. harzianum yang dikombinasikandengan bahan organik secara nyata meningkatkankepadatan propagul Trichoderma (Gambar 2). AplikasiT. harzianum dan jerami meningkatkan kepadatanTrichoderma 1 dan 2 bulan setelah aplikasi, sementaraaplikasi T. harzianum dan kulit kopi hanya meningkatkan

Tabel 2. Keterjadian penyakit BPBL 3 bulan setelah infestasi T. harzianum isolat T3M dan bahan organik dilapangan

Perlakuan Keterjadian penyakit (%)

Data asli Data transformasi (x+0,5)

Tanpa T. harzianum dan tanpa bahan organik 10 1,64 a T. harzianum dan kulit kopi 0 0,71 a T. harzianum dan jerami 0 0,71 a

Gambar 1. Penghambatan pertumbuhan P. capsici yang dihitung dari pemendekan radius koloni oleh tujuh isolatTrichoderma spp. T1 = T. harzianum, T3 = T. koningii, T1M = T. koningii, T2M = T. koningii, T3M= T. harzianum, Tk = T. koningii, dan Tv = T. viride

bcab abc

c

a

abab

Page 82: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

82 J. HPT Tropika Vol. 17 No. 1, 2017: 77 - 83

kepadatan jamur 1 bulan setelah aplikasi. Keduaperlakuan cenderung meningkatkan kepadatan T.harzianum tetapi tidak berbeda nyata secara statistika.

Sampai 2 bulan setelah aplikasi, kepadatanpropagul hidup Trichoderma pada tanah yang diberiperlakuan T. harzianum dan bahan organik lebih tinggidaripada kepadatan propagul Trichoderma pada tanahkontrol tanpa perlakuan. Bahan organik yang diberikanbersama T. harzianum dimaksudkan menjadi substratawal bagi jamur antagonis ini yang segera dapatdikolonisasi sehingga Trichoderma dapat bertahan danberadaptasi dengan baik.

Kulit kopi memberi pengaruh nyata terhadappeningkatan propagul Trichoderma hanya 1 bulansetelah aplikasi, sedangkan jerami padi meningkatkanpropagul sampai 2 bulan setelah aplikasi (Gambar 1).Dari data yang diperoleh tersebut, dapat disimpulkanbahwa dibandingkan dengan kulit kopi, jerami lebih baikdalam mendukung keberadaan Trichoderma dalamtanah. Akan tetapi, hal ini masih perlu diteliti untuk jangkapanjang dan kondisi yang mendukung pertumbuhanmikroorganisme termasuk Trichoderma seperti curahhujan yang mendukung.

SIMPULAN

Dari penelitian ini dapat ditarik simpulan bahwakepadatan Trichoderma meningkat 1 dan 2 bulan setelahaplikasi aplikasi T. harzianum dan jerami. KepadatanTrichoderma juga meningkat 1 bulan setelah aplikasiT. harzianum dan kulit kopi. Semua tanaman lada yangdiberi T. harzianum dan bahan organik bebas dari

penyakit. Sementara itu, tanaman kontrol menunjukkangejala penyakit BPBL sebanyak 10% meskipun analisisstatistika menunjukkan bahwa keterjadian penyakittersebut tidak berbeda nyata antar-perlakuan.

SANWACANA

Penelitian ini didanai oleh DIPA UniversitasLampung pada tahun 2014. Ucapan terima kasihdisampaikan kepada Sdr. Harianto atas bantuan teknisdi Kebun Percobaan Tanaman Industri dan PenyegarCahaya Negeri, Abung Barat, Lampung Utara

DAFTAR PUSTAKA

Abbasi PA, Al-Dahmani J, Sahin F, Hoitink, HAJ, &Miller SA. 2002. Effect of compost amendmentson disease severity and yield of tomato inconventional and organic production systems.Plant Diseases 86 (2):156–161.

Berlian I, Setyawan B, & Hadi H. 2013. Mekanismeantagonism Trichcoderma spp. terhadapbeberapa patogen tular tanah. Warta Perkaretan32(2): 74–82.

Chet I & HenisY. 1985. Trichoderma as A BiocontrolAgent Against Soilborne Root Pathogens. In:Parker KA, Rovira AD, Moore KJ, Wong PTW,& Kullmorgen JP (Eds.). Ecology andManagement of Soilborne Plant Pathogens.pp 110-112. American Phytopathologicalsociety. St. Paul, Minn.

Gambar 2. Kepadatan propagul Trichoderma spp. pada tanah sekitar pangkal batang lada tempat perlakuan,Terok tanah diambil dari empat arah sampai 30 cm dari pangkal batang lada

Page 83: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Ginting et al. Efikasi Isolat Trichoderma Terpilih 83

Cook RJ & Baker KF. 1983. The Nature and Practiceof Biological Control of Plant Pathogens. TheAmerican Phytopathological Society, St. Paul,Minnesota. 539 pp.

Desai S. 2002. Comprehensive Testing of BiocontrolAgents. In: GnanamanickamSS (Ed.). BiologicalControl of Crop Diseases. pp 387–420. MarcelDekker. New York.

Ginting C. 1997a. Screening for fungal biocontrol agentsagainst Phytophthora capsici causing foot roton black pepper. In: Prosid. Kongr. Nas. XIVPFI. pp. 406– 410. Palembang, 27–29 Oktober1997.

Ginting C. 1997b. Determination of the occurence ofsuppressive soil to foot rot in black pepper fields.In: Prosid. Kongr. Nas. XIV PFI. pp. 320–325. Palembang, 27–29 Oktober 1997.

Ginting C. 1999. Pengendalian hama terpadu (PHT)pada tanaman lada. Makalah disampaikan padapelatihan petugas lapang pada SL-PHT lada.Diselengga-rakan oleh Proyek PengendalianHama Terpadu Perkebunan Rakyat (PHTPR/IPM-SECP) Departemen Pertanian. CahayaNegeri, Lampung Utara, 16 Juni 1999.

Ginting C. 2010. Pengelolaan Penyakit Tanamansecara Terpadu. Pidato ilmiah dalam rangkapengukuhan guru besar tetap ilmu penyakittumbuhan Fakultas Pertanian UniversitasLampung. Bandar Lampung, 13 April 2010.

Ginting C & Maryono T. 2011. Efikasi Trichidermaharzianum dengan berbagai bahan organik dalampengendalian penyakit busuk pangkal batang padalada. J. HPT Tropika 11 (2):147-156.

Johnson LF& Curl EA. 1972. Methods for Researchon the Ecology of Soil-borne Plant Pathogens.Burgess Pub. Co., Minneapolis. 247 hlm.

Hoitink HAJ, Grebus ME, & Stone AG. 1997. Impactsof compost quality on plant disease severity. In:Rosen D, Tel-Or E, Hadar Y, & Chen Y (Eds.).Modern Agriculture and the Environment. pp.363–371. Springer-Science+Business MediaDordreccht.

Khew KL & Kueh TK. 1980. Some aspects of the footrot disease of black pepper in East Malaysia(Abstract). http://www.agris.fao.org/agris-search/search.do?recordID=XB8120265.Diaksespada 4 Januari 2017.

Madan MS, Mruthyunjaya, Ramana KV, Manoj KA &Anandaraj M. 2005. Assessing the Impact ofNew Technologies : A Case Study of BiocontrolMeasure (Trichoderma harzianum) forPhytophtora Foot Rot in Black Pepper. Focuson Pepper 2(1): 1–20

OwnleyBH&Windham MT. 2008. Biological control ofplant pathogens. In: Trigiano, RN, Windham MT& Windham AS. (Eds.). Plant Pathology:Concept and Laboratory Exercise. pp. 423-435.CRC Press, Boca Raton, Florida.

Papavizas GC. 1985. Trichoderma and Gliocladium:Biology, Ecology, and Potential for Biocontrol.Ann. Rev. Phytopathol. 23: 23–54.

Rifai MA. 1969. A revision of the genus Trichoderma.Mycological Papers. 116:1– 56.

Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit TanamanPerkebunan di Indonesia. Gadjah MadaUniversity Press, Yogyakarta. 835 hlm.

Shea SR & Boadbent P. 1983. Development in culturaland biological control of Phytophthora diseases.In: Erwin DC, Bartnicki-Garcia S, & Taso PH(Eds.).Phytophthora: Its Biology, Taxonomy,Ecology, and Pathology.pp 335–350. APSPress, St. Paul, Minnesota.

Thurston HD. 1992. Sustainable Practices for PlantDisease Management in Traditional FarmingSystem. Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd

Page 84: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

84 J. HPT Tropika Vol. 17, No. 1, 2017: 84 - 95 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 17, No. 1: 84 – 95, Maret 2017

PERBANDINGAN METODE APLIKASI JAMUR ENTOMOPATOGENBEAUVERIA BASSIANA UNTUK PENGENDALIAN CYLAS FORMICARIUS

(COLEOPTERA: CURCULIONIDAE)

Yusmani Prayogo

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJl. Raya Kendalpayak, KM 08, PO BOX 66 Malang, 65101

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Comparing application methods of entomopathogenic fungus Beauveria bassiana to control Cylas formicarius (Coleoptera:Curculionidae). Cylas formicarius is a major pest of sweet potatoes. The tuber damage caused by C. formicarius reaches100%. The research objective was to compare application methods of entomopathogenic fungi Beauveria bassiana to controlC. formicarius. The research was conducted at the entomology screen house of Indonesian Legume and Tuber CropsResearch Institute (ILETRI) at Malang, East Java, from January to September 2013. The treatment consisted of 12 applicationmethods, each was repeated three times. The results showed that application of B. bassiana into the planting pit, soaking thesweet potato cuttings into the conidial suspension of B. bassiana for 30 minutes before planting, followed by spray applicationwith two week interval (2 to 12 weeks after planting, WAP) or P4 was effective in suppressing C. formicarius population andtuber damage. Tuber weight obtained from P4 treatment was 1.4 kg plant-1, while from the chemical insecticide was only 1.1kg plant-1. Tuber damage from P4 treatment was lower ( 5%) than that from chemical insecticide treatment (42%). Therefore,application of B. bassiana conidial suspension in the planting pit, continued by soaking the sweet potato cuttinginto the B.bassiana conidial suspension for 30 minutes before planting, and followed by spray applications of B. bassiana conidialsuspension at two-week intervals ( 2-12 WAP) or P4 method can be recommended to control C. formicarius.

Key words: adult, egg, larvae, tuber damage, tuber weight

ABSTRAK

Perbandingan metode aplikasi jamur entomopatogen Beauveria bassiana untuk pengendalian Cylas formicarius(Coleoptera:Ccurculionidae). Cylas formicarius merupakan hama utama ubi jalar. Kerusakan yang disebabkan C. formicariusmencapai 100%. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode aplikasi jamur entomopatogen, Beauveria bassianadalam mengendalikan C. formicarius. Penelitian dilakukan di rumah kasa entomologi, Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacangdan Umbi (BALITKABI), Malang pada bulan Januari sampai dengan September 2013. Perlakuan terdiri atas 12 metodeaplikasi, masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi konidia B. bassiana ke dalamlubang tanam, perendaman stek ke dalam suspensi konidia jamur B. bassiana selama 30 menit sebelum tanam, dilanjutkanaplikasi semprot dengan interval dua minggu mulai umur 2 sampai dengan 12 minggu setelah tanam (MST) (P4) efektifmenekan populasi C. formicarius dan kerusakan umbi. Berat umbi perlakuan P4 mencapai 1,4 kg tanaman-1, sedangkanperlakuan aplikasi insektisida kimia hanya 1,1 kg tanaman-1. Kerusakan umbi perlakuan P4 hanya 5%, sedangkan kerusakanumbi pada aplikasi insektisida kimia mencapai 42%. Efikasi perlakuan P4 dapat dilihat dari populasi telur, larva maupun imagopada waktu panen lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Oleh karena itu, aplikasi suspensi konidia B. bassianapada lubang tanam, perendaman stek selama 30 menit dan aplikasi tiap dua minggu pada umur 2 sampai dengan 12 MST (P4)dapat dianjurkan sebagai teknologi untuk pengendalian C. formicarius.

Kata kunci: bobot umbi, imago, kerusakan umbi, larva, telur

PENDAHULUAN

Usaha peningkatan produksi ubi jalar di Indonesiamasih mengalami kendala berbagai masalah antara lain;lemahnya penggunaan varietas unggul, sistem budidayamaupun adanya serangan hama dan penyakit (Suwarto

et al., 2006; Jusuf 2007; Djufry et al., 2011; Mau et al.,2011; Saleh & Rahayuningsih, 2013). Salah satu hamautama ubi jalar adalah penggerek umbi yang disebabkanoleh Cylas formicarius (Jackai et al., 2006; Reddy etal., 2012b). Kerugian hasil yang disebabkan oleh hamaini mencapai 100%. Umbi yang sudah tergerek larva

Page 85: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Prayogo Perbandingan Metode Aplikasi Jamur 85

C. formicarius tidak layak dikonsumsi manusia karenamengandung racun yang dapat mengakibatkan penyakitkanker. Pengendalian C. formicarius menggunakaninsektisida kimia belum menunjukkan hasil yangmemuaskan (Smith & Hammond, 2006; Leng et al.,2012; Reddy et al., 2012a). Hal ini disebabkan senyawainsektisida kimia yang diaplikasikan ke permukaantanaman tidak mampu menjangkau larva yang beradadi dalam umbi. Berbagai upaya untuk menanggulangiC. formicarius terus dikembangkan (Tarafdar & Sarkar2006; Foglie, 2007; Korada et al., 2010; Reddy et al.,2014; Hue & Low, 2015), salah satunya adalah upayapengendalian hayati menggunakan jamurentomopatogen (Gindin et al., 2006; Ondiaka et al.,2008; Shams et al., 2011; Khosravi et al., 2015).

Beauveria bassiana merupakan salah satu jamurentomopatogen yang memiliki kelebihan dalammenginfeksi banyak ordo dari berbagai fase kehidupanserangga, sehingga cukup prospektif digunakan sebagaialternatif insektisida kimia (Meyling & Eilenberg, 2007;Ondiaka et al., 2008; Reddy et al., 2014). Hasilpenelitian tahun 2010 menunjukkan bahwa jamurB. bassiana efektif membunuh imago, larva, maupunmenggagalkan penetasan telur C. formicarius mencapai100% (Prayogo, 2012 & 2013). Isolat jamur B. bassianayang diperoleh dari Bogor, Probolinggo, dan Tumpang(Malang) memiliki patogenisitas lebih tinggi terhadaplarva maupun imago C. formicarius dibandingkandengan isolat yang diperoleh dari lokasi lain (Prayogo,2012). Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan asalisolat memiliki keragaman patogenisitas yang berbeda(Mwamburi et al., 2010; Sharififar et al., 2011; Mishra& Malik, 2012; Qazzaz et al., 2015).

Pengendalian hama penggerek ubi jalarmenggunakan jamur entomopatogen B. bassianamempunyai prospek yang baik dan dapat dikembangkankarena aman terhadap serangga berguna serta tidakmencemari lingkungan (Zimmermann, 2007; Meikle etal., 2008; Haas-Costa et al., 2010; Li et al., 2011).Hasil penelitian Shi et al. (2008); Stafford & Allan(2010) aplikasi jamur B. bassiana pada permukaan dauncukup efektif mengendalikan hama tungau. Aplikasisuspensi jamur B. bassiana di lahan terbuka padakondisi kering juga mampu membunuh serangga darikelompok aphid (Bugeme et al., 2009). Aplikasi jamurB. bassiana di permukaan tanah lebih efektif, namunefikasi jamur tersebut lebih dipengaruhi oleh jenis danperilaku hama yang dikendalikan (Stanghellini & El-Hamalawi, 2005; Ali et al., 2009). Penelitian inibertujuan untuk membandingkan metode aplikasi jamurentomopatogen B. bassiana untuk mengendalikan hamapenggerek ubi jalar (C. formicarius).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilakukan di kebunpercobaan (KP) Kendalpayak dan LaboratoriumEntomologi, Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacangdan Umbi (BALITKABI), Malang dari bulan Januarisampai dengan bulan September 2013.

Susunan Perlakuan. Perlakuan disusun dalamrancangan acak kelompok (RAK) dan diulang tiga kali.Perlakuan adalah berbagai metode aplikasi suspensikonidia jamur entomopatogen B. bassiana antara lain;pada pangkal stek ubi jalar yang ditanam dengan caradirendam selama 30 menit, aplikasi di lubang tanammaupun aplikasi dengan cara penyemprotan padapangkal batang tanaman secara simultan mulai umur 2-12 minggu setelah tanam (MST) dengan interval duaminggu (Tabel 1).

Penyiapan Serangga Uji. Imago C. formicariusdipelihara di dalam kotak plastik yang berisi umbi ubijalar segar sebagai pakan. Kotak plastik ditutup kainkasa agar serangga yang akan dipelihara tidak keluardar i kotak pemeliharaan. Perkembangbiakanserangga dilakukan terus menerus hingga memperolehpopulasi imago sebanyak 2000 ekor untuk perlakuan.Serangga yang diinfestasikan ke tanaman adalahimago hasil pemeliharaan di laboratorium padagenerasi F2.

Penyiapan Tanaman. Stek ubi jalar varietas Sariyang digunakan ditanam di dalam polybag yang berisitanah 10 kg. Tiap polybag ditanami satu batang stekubi jalar yang digunakan sebagai unit perlakuan.Tanaman dipupuk menggunakan dosis setara 100 kgUrea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl ha-1. Gulmadisiangi dan pengairan diberikan sesuai dengankebutuhan. Tanaman pada umur 2 bulan disungkupmenggunakan kain kasa halus yang tembus sinarmatahari selanjutnya dilakukan infestasi imago C.formicarius sebanyak 10 pasang jantan dan betinatiap tanaman.

Penyiapan Jamur B. bassiana. Jamur B. bassianayang digunakan adalah isolat Pb-Bb yang diperolehdari eksplorasi di pertanaman ubi jalar di Probolinggo,hasil uji efikasi memiliki virulensi tinggi terhadap C.formicarius. Selanjutnya, isolat jamur Pb-Bbdikulturkan pada media potato dextrose agar (PDA)di dalam cawan petri. Biakan jamur yang berumur21 hari setelah inokulasi (HSI), diambil konidianyadengan cara dikerok menggunakan kuas halus pada

Page 86: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

86 J. HPT Tropika Vol. 17, No. 1, 2017: 84 - 95

Tabel 1. Metode aplikasi suspensi konidia cendawan B. bassiana untuk pengendalian hama penggerek ubijalarC. formicarius

Perlakuan Teknik aplikasi suspensi konidia B. bassiana

Kode Metode aplikasi konidia B. bassiana Lubang Stek

Aplikasi semprot pada tanaman (MST)

2 4 6 8 10 12

P1 Aplikasi di lubang tanam + - - - - - - - P2 Stek direndam 30 menit sebelum tanam - + - - - - - - P3 P1 + P2 + + - - - - - - P4 P1 + P2 + aplik. umur 2, 4, 6, 8, 10, 12 MST + + + + + + + + P5 P2 + aplik. umur 2, 4, 6, 8, 10, 12 MST - + + + + + + + P6 P1 + P2 + aplik. umur 4, 6, 8, 10, 12 MST + + - + + + + + P7 P1 + P2 + aplik. umur 4, 8, dan 12 MST + + - + - + - + P8 P1 + P2 + aplik. umur 4, dan 8 MST + + - + - + - - P9 P1 + P2 + aplik. umur 4 MST + + - + - - - - P10 P1 + P2 + aplik. umur 8 MST + + - - - + - - P11 Insektisida kimia (stek, 2, 4, 6, 8, 10, 12 MST) P12 Tanpa aplikasi (kontrol) MST= minggu setelah tanam; (+) aplikasi suspensi konidia B. bassianai; (-) tanpa aplikasi.

permukaan koloni jamur. Konidia jamur dicampurdengan air kemudian ditambahi Tween 20 sebanyak2 ml L-1 selanjutnya dikocok menggunakan shaker(099A WS 18012) selama 30 detik sampai konidiatercampur secara homogen. Suspensi konidia dihitungmenggunakan haemocytometer (Neubauer No. 1280NESCO) untuk mendapatkan kerapatan konidia 108

ml-1 sebelum diaplikasikan pada masing-masingperlakuan. Aplikasi suspensi konidia jamur B.bassiana dilakukan dengan berbagai cara; (1)menuangkan suspensi konidia ke tiap lubang tanamsebanyak 100 ml, (2) merendam pangkal stek ubijalaryang akan ditanam selama 30 menit , dan (3)menyemprotkan suspensi konidia B. bassiana kepangkal batang tanaman pada umur 2, 4, 6, 8, 10, dan12 MST. Insektisida kimia yang berbahan aktifdeltametrin dengan dosis 2 ml L-1 volume semprot600 L-1 yang diaplikasikan tiap dua minggu, pada umur2-12 MST. Perlakuan kontrol hanya disemprotmenggunakan air steril (tanpa aplikasi jamur B.bassiana maupun insektisida kimia).

Peubah yang diamati adalah (1) jumlah umbi tiaptanaman, (2) bobot umbi tiap tanaman, (3) persentasekerusakan umbi, (4) jumlah telur C. formicarius, (5)jumlah larva C. formicarius, dan (6) jumlah imago C.formicarius yang terbentuk. Kerusakan umbi akibatserangan C. formicarius dinilai berdasarkan skorkerusakan yang terbagi ke dalam lima tingkat (Zuraidaet al., 2005) yaitu:

Analisis Data. Semua data yang diperoleh dianalisismenggunakan program MINITAB versi 14. Setelah itu,apabila terdapat perbedaan di antara perlakuan makadilanjutkan uji jarak berganda (Duncan’s MultipleRange Test) pada taraf nyata = 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bobot Umbi. Keragaan pertumbuhan tanaman antarperlakuan secara visual tidak tampak berbeda terutamaapabila ditinjau dari pertumbuhan daun, karena tidak adadaun yang mengalami kerusakan akibat serangan C.formicarius mulai awal pertumbuhan sampai denganpanen. Namun perlakuan aplikasi suspensi konidia jamurB. bassiana berpengaruh nyata terhadap bobot umbiyang dihasilkan tiap tanaman. Bobot umbi tertinggidiperoleh pada perlakuan P4 yaitu mencapai 1406 gtanaman-1 (Gambar 1). Kondisi ini dapat terjadi karena

0 = Tanpa ada gejala gerekan pada umbi (0%) 1 = Kerusakan umbi oleh C. formicarius antara 1-

25% 2 = Kerusakan umbi oleh ­C. formicarius antara

26-50% 3 = Kerusakan umbi oleh C. formicarius antara 51-

75% 4 = Kerusakan umbi oleh C. formicarius >76%

(umbi tidak layak dikonsumsi)

Page 87: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Prayogo Perbandingan Metode Aplikasi Jamur 87

stek yang ditanam sudah diberi perlakuan perendamansuspensi konidia jamur B. bassiana, kemudian lubangtanam yang ditanami stek juga sudah diinokulasimenggunakan suspensi konidia sehingga inokulum jamurB. bassiana sudah hidup dan berkembang untukmengkolonisasi lahan. Selanjutnya dengan adanyaperlakuan tambahan aplikasi suspensi konidia padapertanaman mulai umur 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 MSTsemakin meningkatkan efikasi pengendalian yangditerapkan dalam membunuh C. formicarius baik padafase telur, larva maupun imago. Keadaan ini dapatdibuktikan dari jumlah telur, larva maupun imagopenggerek umbi yang teramati pada P4 berturut-turutsatu butir telur, dua ekor larva dan tidak ditemukanimago. Sementara itu, pada perlakuan kontrol (P12)ditemukan stadia telur lima butir, stadia larva sebanyak40 ekor, dan stadia imago tujuh ekor (Gambar 4).Semakin banyak jumlah larva yang ditemukan pada tiapumbi akan semakin besar pula tingkat kerusakan yangterjadi sehingga berat umbi sehat yang dapatdiselamatkan semakin rendah.

Bobot umbi yang diperoleh pada perlakuan P4tidak berbeda nyata dengan bobot umbi pada perlakuanP5 dan P6, yaitu masing-masing 1341 g tanaman-1 dan1339 g tanaman-1 (Gambar 1). Bobot umbi terendah

terjadi pada perlakuan tanpa pengendalian (P12) yaitu1133 g tanaman-1, bobot umbi tersebut tidak berbedanyata dengan perlakuan aplikasi insektisida kimia (P11).Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pengendalianC. formicarius menggunakan jamur entomopatogen B.bassiana lebih efektif jika dibandingkan denganinsektisida kimia. Namun keberhasilan penggunaan jamurB. bassiana untuk mengendalikan C. formicariusdipengaruhi oleh cara dan frekuensi aplikasi yangditerapkan. Kenyataan ini didukung oleh penelitianRiyanti et al. (2013) bahwa semakin intensif aplikasisuspensi konidia jamur B. bassiana yang diaplikasikanke tanaman ubi jalar maka akan semakin rendah jumlahumbi yang rusak akibat tergerek C. formicarius.

Pengendalian hama penggerek umbi C.formicarius menggunakan jamur B. bassiana yangdiaplikasikan ke lubang tanam satu minggu sebelumtanam, dilanjutkan dengan perendaman pangkal stek ubijalar ke dalam suspensi konidia B. bassiana sebelumtanam selama 30 menit dan ditambah aplikasi dengancara semprot tiap dua minggu pada pangkal batangtanaman pada umur 2-12 MST (P4, Gambar 1) lebihbaik dalam melindungi tanaman dari serangan penggerekdibandingkan dengan perlakuan-perlakuan lain. Kondisiini disebabkan konidia B. bassiana yang diaplikasikan

Gambar 1. Bobot umbi tiap tanaman ubi jalar yang diaplikasi menggunakan suspensi cendawan B. bassianadengan berbagai cara dan frekuensi aplikasi. (P1= aplikasi B. bassiana di lubang tanam; P2 = stekdirendam 30 menit sebelum tanam; P3 = P1 + P2; P4 = P1 + P2 + aplikasi umur 2, 4, 6, 8, 10, 12 MST;P5 = P2 + aplikasi umur 2, 4, 6, 8, 10, 12 MST; P6 = P1 + P2 + aplikasi umur 4, 6, 8, 10, 12 MST; P7 =P1 + P2 + aplikasi umur 4, 8, 12 MST; P8 = P1 + P2 + aplikasi umur 4, 8 MST; P9 = P1 + P2 + aplikasiumur 4 MST; P10 = P1 + P2 + aplikasi umur 8 MST; P11 + aplikasi insektisida kimia umur 2, 4, 6, 8, 10,12 MST; dan P12 kontrol (tanpa pengendalian)

Page 88: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

88 J. HPT Tropika Vol. 17, No. 1, 2017: 84 - 95

secara simultan pada perlakuan P4 mempunyai peluangyang besar untuk berkembang karena populasi konidiadi lapangan sudah padat sehingga lebih mapan(established) dalam mengolonisasi telur, larva maupunimago C. formicarius. Toksisitas jamur B. bassianaterhadap seluruh fase C. formicarius mencapai 100%,terutama terhadap telur sudah dilaporkan Prayogo (2012)dan Artanti et al. (2013). Aplikasi insektisida kimia tidakmampu membunuh seluruh individu C. formicariussehingga imago yang masih hidup mampu berkembangdan meletakkan telurnya ke pangkal umbi. Telur yangsudah diletakkan oleh imago betina selama kurang lebihempat hari kemudian menetas menjadi larva instar I,selanjutnya larva merusak umbi dan akhirnya umbi tidakdapat berkembang sempurna.

Bobot umbi pada perlakuan aplikasi insektisidakimia hanya 1137 g tanaman-1 dan tidak berbeda nyatadengan kontrol (tanpa pengendalian), yaitu 1133 gtanaman-1. Perlakuan tersebut hanya mampu membunuhimago C. formicarius apabila senyawa yangdiaplikasikan mengenai hama sasaran. Hal inidisebabkan imago C. formicarius memiliki pergerakanyang sangat cepat dengan cara menerbangkan diri jikaterjadi gangguan. Aplikasi insektisida kimia dengan carasemprot secara langsung akan mengganggu imago

selanjutnya imago terbang atau pindah ke tempat lainyang dianggap aman. Dengan demikian peluangkeberhasilan aplikasi insektisida kimia untuk mengenaihama sasaran terutama imago sangat rendah. Selain itu,insektisida kimia yang diaplikasikan juga tidak mampumenjangkau larva C. formicarius yang berada di dalamumbi. Selanjutnya, insektisida kimia juga belum ada yangdinyatakan toksik (ovicidal) untuk membunuh telurserangga (Hoffmann et al., 2008; Suman et al., 2010;Seidenglanz et al., 2011).

Telur dan larva C. formicarius yang tidakterbunuh akibat aplikasi insektisida kimia (P11)berkembang secara normal. Kondisi ini disebabkaninsektisida tidak bersifat ovisidal dan insektisida yangdiaplikasikan hanya ke bagian permukaan tanamansedangkan larva berkembang di dalam umbi. Larvainstar I yang bertahan hidup juga mempunyai kemampuanuntuk merusak umbi seperti larva-larva yang lebih besar(instar II, III, IV dan V). Larva instar I yang baruterbentuk langsung menggerek kulit umbi dan masuk kedalam umbi karena umbi sebagai sumber pakan padafase larva untuk berkembang menyelesaikan siklushidupnya sebelum menjadi pupa (Kuriwada et al. 2009;Reddy & Chi, 2015). Oleh karena itu, pengendalianpenggerek umbi C. formicarius menggunakan jamur

Gambar 2. Efikasi berbagai cara dan frekuensi aplikasi suspensi konidia cendawan B. bassiana untuk membunuhC. formicarius dan dampaknya terhadap kerusakan umbi. P1= aplikasi B. bassiana di lubang tanam;P2 = stek direndam 30 menit sebelum tanam; P3 = P1 + P2; P4 = P1 + P2 + aplikasi umur 2, 4, 6, 8, 10,12 MST; P5 = P2 + aplikasi umur 2, 4, 6, 8, 10, 12 MST; P6 = P1 + P2 + aplikasi umur 4, 6, 8, 10, 12MST; P7 = P1 + P2 + aplikasi umur 4, 8, 12 MST; P8 = P1 + P2 + aplikasi umur 4, 8 MST; P9 = P1 +P2 + aplikasi umur 4 MST; P10 = P1 + P2 + aplikasi umur 8 MST; P11 + aplikasi insektisida kimia umur2, 4, 6, 8, 10, 12 MST; dan P12 kontrol (tanpa pengendalian).

Page 89: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Prayogo Perbandingan Metode Aplikasi Jamur 89

entomopatogen B. bassiana lebih prospektif dalammelindungi kerusakan umbi jika dibandigkan denganinsektisida kimia.

Persentase Kerusakan Umbi. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa persentase kerusakan umbiterendah sebesar 5% terjadi pada perlakuan P4 (Gambar2). Kerusakan umbi terbesar terjadi pada perlakuan tanpapengendalian (P12), yaitu mencapai 73,75%.Pengendalian penggerek umbi menggunakan carapencelupan stek ke dalam suspensi konidia B. bassianaselama 30 menit dilanjutkan aplikasi dengan cara semprotke pangkal batang pada umur 2-12 MST (P5) cukupefektif dengan persentase kerusakan umbi akibatgerekan C. formicarius hanya sebesar 9,17% (Gambar2) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan P4.Perlakuan P5 suspensi konidia jamur B. bassiana yangmenempel pada stek ubi jalar mampu mengolonisasidaerah sekitar batang sehingga umbi yang terbentukdapat terlindungi dari serangan C. formicarius.Ditambah aplikasi suspensi konidia dengan cara semprotpada umur 2-12 HST pada P5 maka dapat menekanimago yang meletakkan telur di sekitar pangkal batang.

Kerusakan umbi akibat gerekan C. formicariusyang ditemukan pada perlakuan aplikasi insektisida kimia(P11) tidak berbeda nyata dengan perlakuan P1, yaitumasing-masing 42,33% dan 37,50% (Gambar 2). Aplikasiinsektisida kimia pada tanaman ubi jalar dengan caradisemprotkan ke pangkal batang tanaman tidak mampumenjangkau imago C. formicarius yang menghuni didalam bongkahan tanah. Hal ini disebabkan imago C.formicarius memiliki perilaku yang sangat agresifsehingga serangga bergerak cepat dan bersembunyi ketempat-tempat yang dianggap aman dari paparan residuinsektisida kimia. Imago C. formicarius pada umumnya

menghuni daerah perakaran tanaman denganmemanfaatkan rongga-rongga di sekitar perakarantanaman.

Aplikasi insektisida kimia pada pangkal batangtanaman mengakibatkan imago C. formicarius yangada di sekitar daerah tersebut berpindah mencaripersembunyian ke dalam rongga tanah menuju umbi.Diketahui bahwa kulit umbi dekat pangkal batangmerupakan tempat yang disukai oleh imago betina C.formicarius untuk meletakkan telurnya (Sakuratani etal. 1994; Samantaray & Korada, 2016). Larva instar Iyang baru keluar dari telur langsung makan umbi yangada, yang menimbulkan kerusakan pada umbi tersebut.

Perlakuan perendaman pangkal stek bibit ubijalar yang akan ditanam selama 30 menit (P2) belummampu menekan kerusakan umbi dari serangan C.formicarius. Kondisi ini ditunjukkan dengan persentaseserangan umbi oleh penggerek masih cukup tinggi (diatas 26% (Gambar 2). Dengan demikian, perlakuan P2ini kurang efektif jika tidak ditindaklanjuti dengan aplikasipenyemprotan B. bassiana secara simultan. Ditinjaudari kerusakan umbi (Gambar 3), perlakuan P4 lebihefektif dibandingkan dengan perlakuan-perlakuanlainnya.

Populasi Telur, Larva dan Imago C. formicarius padaTiap Umbi. Populasi telur, larva maupun imago C.formicarius yang hidup dan digunakan sebagai tolok ukuruntuk mengukur efikasi pengendalian menggunakanjamur B. bassiana dapat diketahui dengan caramembelah umbi yang sudah dipanen. Hasil pengamatandiperoleh berbagai fase C. formicarius, yaitu telur danlarva ditemukan di dalam umbi, sedangkan padapermukaan kulit terluar umbi ditemukan telur dan imago.Jumlah rata-rata telur yang ditemukan di lapisan kulit

Gambar 3. Keragaan ubi jalar pada; (A) perlakuan P4, (B) umbi yang tergerek larva C. formicarius padaperlakuan insektisida kimia P11, dan (C) kerusakan umbi oleh larva C. formicarius tanpa pengendalian.

A B C

Page 90: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

90 J. HPT Tropika Vol. 17, No. 1, 2017: 84 - 95

umbi berkisar antara 1-5 butir tiap umbi (Tabel 2). Jumlahtelur terbanyak mencapai 5 butir umbi-1 pada perlakuantanpa pengendalian. Jumlah telur terendah yaitu hanya1 butir umbi-1 (pada perlakuan P1). Namun, jumlah larvamaupun imago pada perlakuan P1 cukup tinggi, yaitumasing-masing 18 ekor larva umbi-1 dan 4 ekor imagoumbi-1. Kondisi ini disebabkan konidia yang diaplikasikankemungkinan hilang terhempas air pada waktupenyiraman setiap hari yang dilakukan untukmempertahankan kelembapan tanah (di polybag).

Rerata jumlah telur pada perlakuan P4 yangditemukan sedikit, yaitu hanya 1 butir tiap umbi dantidak berbeda nyata dengan perlakuan P1 (Tabel 2).Jumlah telur C. formicarius yang dapat terhitung padasemua perlakuan aplikasi jamur B. bassiana (P1-P10),lebih sedikit kecuali pada perlakuan P5 (5 butir umbi-1)tidak berbeda dengan aplikasi insektisida kimia (5 butirumbi-1).

Jumlah larva C. formicarius pada tiap umbiberagam antar perlakuan, populasi terendah hanya 2 ekortiap umbi (P4) dan tidak berbeda nyata dengan jumlahlarva pada perlakuan P7 maupun P10, yaitu berturut-turut 5 dan 6 ekor (Tabel 2). Meskipun tergerek hanyaoleh satu ekor larva C. formicarius kondisi umbi rusakdan tidak layak dikonsumsi. Jumlah larva C. formicariusinstar III pada perlakuan insektisida kimia 7 ekor umbi-

1 dalam kondisi hidup. Rendahnya jumlah larva C.formicarius yang hidup ditemukan pada perlakuanaplikasi insektisida kimia ini terjadi karena larva pada

instar I yang baru terbentuk dari telur dan belum berhasilmenggerek umbi akhirnya banyak yang mati karenateracuni oleh insektisida kimia yang diaplikasikan ikutterbawa air pada waktu penyiraman.

Jumlah larva yang hidup pada perlakuan P1, P2,P3, P5, P6, P8, dan P9 yang hidup masih relatif banyakyang dapat ditemukan masing-masing 18 (P1 & P2), 8(P3), 10 (P5, P6, P8), dan 15 ekor (P9). Keadaan inidisebabkan konidia yang diaplikasikan pada larva yangbaru terbentuk akan terhempas air yang disiramkan tiaphari, sehingga konidia tidak berhasil menempel padatubuh larva. Pada kondisi seperti itu, peluang konidiajamur B. bassiana yang diaplikasikan dapat melakukanpenetrasi ke lapisan integumen serangga juga sangatterbatas. Dengan demikian serangga tetap bertahanhidup, karena tubuhnya belum terinfeksi konidia B.bassiana. Selanjutnya larva dapat berkembang secaranormal di dalam umbi sehingga jumlah larva yangditemukan pada perlakuan tersebut relatif lebih banyak.Oleh karena itu, untuk meningkatkan efikasipengendalian menggunakan jamur B. bassianadiperlukan penambahan bahan perekat (Jin et al., 2008;Mishra et al., 2013; Mwanburi et al., 2015) atau dapatdikombinasikan dengan formulasi minyak (Ummidi &Vadlamani 2014) atau ekstrak minyak nabati (Rogerioet al., 2005; Silva et al., 2006; Mohan et al., 2007).

Perlakuan P4 tampak lebih efektif dalam menekanperkembangan populasi C. formicarius karena imagoyang hidup tidak ditemukan pada perlakuan tersebut

Tabel 2. Efikasi berbagai metode aplikasi suspensi konidia cendawan B. bassiana terhadap populasi telur, larvadan imago C. formicarius

Kode

Metode aplikasi suspensi konidia B. bassiana

Populasi C. formicarius (ekor per umbi)*

Telur Larva Imago

P1 Aplikasi di lubang tanam 1,0 e 18,0 bc 4,0 ab P2 Stek direndam selama 30 menit sebelum tanam 2,0 cd 18,0 b 1,0 bc P3 P 1 + P 2 2,0 cd 8,0 bcdef 2,0 bc P4 P 1 + P 2 + aplk. umur 2, 4, 6,8, 10 dan 12 MST 1,0 e 2,0 f 0,0 c P5 P 2 + aplk. umur 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 MST 5,0 ab 10,0 cdef 0,0 c P6 P 1 + P 2 + aplk. umur 4, 6, 8, 10 dan 12 MST 2,0 cd 10,0 ef 0,0 c P7 P 1 + P 2 + aplk. umur 4, 8 dan 12 MST 2,0 cd 5,0 bcdef 0,0 c P8 P 1 + P 2 + aplik. umur 4 dan 8 MST 3,0 bc 10,0 bcd 0,0 bc P9 P 1 + P 2 + aplik. umur 4 MST 3,0 bc 15,0 ef 1,0 bc P10 P 1 + P 2 + aplik. umur 8 MST 2,0 cd 6,0 ef 3,0 abc P11 Insektisida kimia (stek, 2, 4, 6, 8, 10, 12 MST) 5,0 ab 7,0 def 2,0 bc P12 Tanpa pengendalian (Kontrol) 5,0 a 40,0 a 7,0 a

MST= minggu setelah tanam, * Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata padauji DMRT taraf 5%.

Page 91: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Prayogo Perbandingan Metode Aplikasi Jamur 91

(Tabel 2). Efikasi B. bassiana dalam membunuh imagoC. formicarius juga terjadi pada perlakuan P6 dan P7.Keadaan ini disebabkan aplikasi jamur B. bassianadengan frekuensi lebih banyak mempunyai peluang yanglebih besar bagi konidia untuk dapat berkontak denganimago sehingga jumlah imago yang terinfeksi oleh jamurjuga lebih banyak. Akhirnya jumlah imago yang matikarena aplikasi perlakuan tersebut juga lebih besardibandingkan dengan perlakuan yang lain. Aplikasiinsektisida kimia juga menunjukkan populasi imago C.formicarius lebih rendah dibandingkan perlakuan P1maupun tanpa pengendalian. Rendahnya populasi imagoC. formicarius karena insektisida kimia yangdiaplikasikan hanya toksik terhadap imago, bukanterhadap telur maupun larva yang ada di dalam umbi.Rendahnya jumlah imago pada perlakuan aplikasiinsektisida kimia belum dapat dikatakan bahwa carapengendalian tersebut efektif karena pada perlakuaninsektisida kimia masih banyak ditemukan fase telur danlarva. Sementara itu, pengendalian hayati menggunakancendawan entomopatogen B. bassiana mampumembunuh hampir semua populasi telur, larva maupunimago. Oleh karena itu, efikasi pengendalian harusditinjau dari jumlah larva yang hidup maupun jumlahtelur yang dapat ditemukan pada umbi. Hal ini terjadikarena telur yang masih hidup berpeluang besarberkembang menjadi larva, dan seluruh fase larva yang

berada di dalam umbi yang aktif merusak umbi sehinggamenyebabkan kerugian besar.

Pengaruh Populasi Larva C. formicarius denganTingkat Kerusakan Umbi. Populasi seranggakhususnya larva berpengaruh langsung terhadap tingkatkerusakan umbi . Kondisi tersebut terjadi karenakerusakan umbi disebabkan oleh fase larva C.formicarius yang berlangsung sekitar 18 hari mulai darilarva instar I-V. Hubungan populasi larva C.formicarius dengan kerusakan umbi bersifat linier,semakin banyak jumlah larva C. formicarius yangditemukan pada umbi menyebabkan semakin besartingkat kerusakan umbi yang terjadi (Gambar 4).Persamaan regresi menunjukkan bahwa setiap ekorlarva C. formicarius dapat menyebabkan kerusakanumbi ubi jalar sebesar 4,4%. Meskipun kerusakan umbihanya 4% perlu mendapat perhatian, hal ini disebabkanbekas gerekan larva pada umbi sudah tidak layak untukdikonsumsi oleh manusia karena mengandung toksin yangdapat meracuni.

Aplikasi jamur B. bassiana hanya sekali padalubang tanam maupun perendaman stek bibit ubi jalarsebelum ditanam kurang efektif dalam menekan populasilarva C. formicarius karena masih ditemukan larvahingga mencapai 18 ekor tiap umbi (Gambar 5).Pengaruh populasi larva dengan tingkat kerusakan umbi

Gambar 4. Hubungan populasi larva C. formicarius terhadap tingkat kerusakan umbi ubi jalar

Page 92: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

92 J. HPT Tropika Vol. 17, No. 1, 2017: 84 - 95

tampak jelas pada perlakuan P4 (2 ekor tiap umbi-1 dankerusakan umbi sebesar 5%). Rendahnya populasi larvapada perlakuan P4 terkait dengan keberadaan ataupopulasi konidia B. bassiana di dalam tanah cukupbanyak sehingga mampu mengkolonisasi populasi C.formicarius. Ormond et al. (2010) dan Arooni-Hesariet al. (2015) menganjurkan untuk aplikasi konidia B.bassiana secara simultan agar diperoleh populasi konidiacukup berlimpah sehingga mampu menginfeksi danmengkolonisasi hama yang dikendalikan.

Populasi larva yang ditemukan pada perlakuanaplikasi insektisida kimia pada waktu pengamatansebanyak 7 ekor, tetapi ditinjau dari tingkat kerusakanumbi cukup tinggi yaitu mencapai 42%. Senyawainsektisida kimia mampu membunuh larva dan imagojika aplikasinya tepat sasaran. Namun senyawa tersebuttidak mampu membunuh telur karena senyawainsektisida kimia tidak bersifat ovisidal (membunuhtelur). Larva instar I yang baru terbentuk berdasarkanpengamatan juga langsung menggerek umbi. Populasitelur pada perlakuan insektisida kimia tergolong cukupbanyak yaitu 4 ekor, kelompok telur tersebut yangberkembang menjadi larva yang menyebabkankerusakan umbi lebih tinggi. Oleh karena itu, aplikasiinsektisida kimia seharusnya tepat waktu dan tepatsasaran karena insektisida kimia tidak mampu bersifatovisidal seperti jamur entomopatogen B. bassiana.

SIMPULAN

Pengendalian hama penggerek ubi jalarmenggunakan jamur entomopatogen B. bassiana lebihefektif dalam menekan populasi serangga dan menekankerusakan umbi dibandingkan aplikasi insektisida kimia.Aplikasi suspensi konidia jamur B. bassiana satu minggusebelum tanam, pencelupan stek ke dalam suspensikonidia selama 30 menit, dilanjutkan aplikasi semprotpada umur 2-12 MST efektif untuk mengendalikan C.formicarius. Penelitian ini disarankan untuk divalidasidi lapangan pada lahan yang endemik C. formicariusuntuk memperoleh teknik aplikasi B. bassiana yangtepat.

SANWACANA

Terima kasih kepada saudara Cipto Prahoro,SP selaku Kepala Kebun Percobaan (KP.) Kendalpayak(Malang) dan Heri, SP sebagai koordinator teknis yangtelah membantu menyiapkan lahan untuk pelaksanaanpenelitian ini serta saudara Antoni yang telah membantukegiatan di laboratorium maupun di lapangan. Ucapanterima kasih diucapkan kepada Badan Penelitian danPengembangan Pertanian (Balitbangtan), KementerianPertanian Republik Indonesia yang telah membiayaiseluruh penelitian ini.

Gambar 5. Pengaruh jumlah larva terhadap kerusakan umbi ubi jalar. P1= aplikasi B. bassiana di lubang tanam; P2= stek direndam 30 menit sebelum tanam; P3 = P1 + P2; P4 = P1 + P2 + aplikasi umur 2, 4, 6, 8, 10, 12MST; P5 = P2 + aplikasi umur 2, 4, 6, 8, 10, 12 MST; P6 = P1 + P2 + aplikasi umur 4, 6, 8, 10, 12 MST;P7 = P1 + P2 + aplikasi umur 4, 8, 12 MST; P8 = P1 + P2 + aplikasi umur 4, 8 MST; P9 = P1 + P2 +aplikasi umur 4 MST; P10 = P1 + P2 + aplikasi umur 8 MST; P11 + aplikasi insektisida kimia umur 2, 4,6, 8, 10, 12 MST; dan P12 kontrol (tanpa pengendalian)

Page 93: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Prayogo Perbandingan Metode Aplikasi Jamur 93

DAFTAR PUSTAKA

Ali A, Sermann H, Lerche S, & Buttner C. 2009. Soilapplication of Beauveria bassiana to controlCeratitis capitata in semi field conditions.Commun. Agric. Appl. Biol. Sci. 74: 357-361.

Arooni-Hestari H, Talaei-Hassanloui R, & Sabahi Q.2015. Simultaneous use of entomopathogenicfungus Beauveria bassiana and diatomaceousearth against the larvae of Indian meal moth,Plodia interpunctella. Adv. in Biosci. andBiotechnol. 6: 501-507.

Artanti D, Isnawati, Trimulyono G, & Prayogo Y. 2013.Cendawan entomopatogen Beauveria bassianadalam mengendalikan telur hama penggerek ubijalar (Cylas formicarius). LenteraBio 2(1): 43-48.

Bugeme DM, Knapp M, Boga HI, Wanjoya AK, &Maniania NK. 2009. Influence of temperature onvirulence of fungal isolates of Metarhiziumanisopliae and Beauveria bassiana to the two-spotted spider mite Tetranychus urticae.Mycopathol. 67(4): 221–227.

Djufry F, Lestari MS, Afifudin, & Soplanit A. 2011.Pertumbuhan dan produksi ubijalar di dataranrendah pada berbagai varietas dan sumber stek.J Agrivigor 10(3): 228-234.

Foglie KO. 2007. Priorities for sweet potato research indeveloping countries results of a survey. HortSci.42: 1200-1206.

Gindin G, Levski S, Glazer I, Soroker V. 2006. Evaluationof the entomopathogenic fungi Metarhiziumanisopliae and Beauveria bassiana against thered palm weevil Rhynchophorus ferrugineus.Phytopar. 34: 370-379.

Haas-Costa J, Alves LFA, & Daros AA. 2010. Safetyof Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. to Gallusdomesticus L. Braz. Arch. Biol. Technol. 53(2):465-471.

Hoffmann EJ, Middleton SM, & Wise JG. 2008. Ovicidalactivity of organophosphate, oxadiazine,neonicotinoid and insect growth regulatorchemistries on Northern strain plum curculloCanotrachelus nenuphar. J. of Insect Sci. 8(9):1-6.

Hue SM & Low MY. 2015. An insight into sweet potatoweevils management: A Review. Psycho: A J.of Entomol. 15: 101-112.

Jackai LE, Sosinski B, & Jackson DM. 2006.“Occurrence and intra-specific variation of sweetpotato weevil (Brentidae: Coleoptera) in relationto its potential spread in southern United Statesof America and the Caribbean,” in ISHS ActaHorticulturae 703: II International Symposium onSweetpotato and Cassava: InnovativeTechnologies for Commercialization, pp. 197–204,International Society for Horticultural Science,Leuven, Belgium, 2006.

Jin X, Streett DA, Dunlap CA, & Lyn ME. 2008.Application of hydrophilic–lipophilic balance(HLB) number to optimize a compatible non-ionicsurfactant for dried aerial conidia of Beauveriabassiana. Biol. Cont. 46: 226–233.

Jusuf M. 2007. Memperbaiki efisiensi produksi ubijalarBabi di Kabupaten Jayawijaya Papua. SeminarNasional dan Ekspose. Percepatan InovasiTeknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Jayawijaya,5-6 Juni 2007. 25 hlm.

Khosravi R, Sendi JJ, Zibaee A, & Shokrgozar MA.2015. Virulence of four Beauveria bassiana(Balsamo) (Ascomycete: Hypocreales) isolateson rose sawfly, Arge rosae under laboratorycondition. J. of King Saud University Sci. 27(1):49-53.

Korada RR, Naskar SK, Palaniswami MS, & Ray RC.2010. Management of sweet potato weevil Cylasformicarius (Fab.): An Overview. J. of RootCrops 36(1): 14-26.

Kuriwada T, Kumano N, Shiromoto K, & HaraguchiD. 2009. Copulation reduces the duration of death-feigning behaviour in the sweet potato weevilCylas formicarius. Animal Behaviour 78(5):1145-1151.

Leng H & Reddy GVP. 2012. Bioactive of selectedeco-friendly pesticides against Cylas formicarius(Coleoptera: Brentidae). Florida Entomol. 95(4):1040-1047.

Li H, Huang D, & Wang Z. 2011. Potential of Beauveriabassiana for biological control of Apriana gumari.Front. of Agric. in China 5(4):666-676.

Page 94: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

94 J. HPT Tropika Vol. 17, No. 1, 2017: 84 - 95

Mau YS, Ndiwa ASS, & Arsa IGBA. 2011. Tingkatketahanan klon potensial ubi jalar lokal asal NTTterhadap hama lanas (Cylas formicarius). JurnalHama Penyakit Tropika 11(2): 139-146.

Meikle WG, Mercadier G, Holst N, & Girod V. 2008.Impact of two treatments of a formulation ofBeauveria bassiana (Deuteromycotina:Hyphomycetes) conidia on Varroa mites (Acari:Varroidae) and on honeybee (Hymenoptera:Apididae) colony health. Exp. Appl. Acarol. 46:105-117.

Meyling NV & Eilenberg J. 2007. Ecology of theentomopathogenic fungi Beauveria bassiana andMetarhizium anisopliae in temperateagroecosystems: Potential for conservationbiological control. Biol. Cont. 43:145-155.

Mishra S & Malik A. 2012. Comparative evaluation offive Beauveria isolates for housefly (Muscadomestica L.) control and growth optimizationof selected strain. Parasitol. Res. 111: 1937-1945.

Mishra S, Kumar P, & Malik A. 2013. Evaluation ofBeauveria bassiana spore compatibility withsurfactants. Inter. J. of Medical, Biomedical,Bioengin. and Pharma. Engin. 7(1): 8-13.

Mohan MC, Reddy NP, Devi UK, Kongara K, & SharmaHC. 2007. Growth and insect assays ofBeauveria bassiana with neem to test theircompatibility and sinergism. Biocont. Sci. andTechnol. 17(10): 1059-1069.

Mwanburi LA, Laing MD, & Miller RM. 2010.Laboratory screening of insecticidal of Beauveriabassiana and Paecilomyces lilacinus againstlarval and adult housfly (Musca domestica L.).African Entomol. 18(1): 38-46.

Mwanburi LA, Laing MD, & Miller RM. 2015. Effectof surfactants and temperature on germinationand vegetative growth of Beauveria bassiana.Braz J. Microbiol 46(1): 67-74.

Ondiaka S, Maniania NK, Nyamasyo GHN, & NderituJH. 2008. Virulence of the entomopathogenicfungi Beauveria bassiana and Metarhiziumanisopliae to sweetpotato weevil Cylaspuncticollis and effects on fecundity and eggviability. Ann. Appl. Biol.153: 41-48.

Ormond EL, Thomas APM, Pugh PJA, Pell JK, &Roy HE. 2010. A fungal pathogen in time andspace: the population dynamics of Beauveriabassiana in lonifer forrest. FEMS Microbiol. Ecol.74:146-154.

Prayogo Y. 2012. Virulensi beberapa isolat cendawanentomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo)Vuill. untuk mengendalikan penggerek ubi jalarCylas formicarius. Prosiding Seminar NasionalHasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang danUmbi Tahun 2011. Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Pangan, BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian.hlm:738-754.

Prayogo Y. 2013. Toksisitas cendawan Beauveriabassiana Vuill. (Balsamo) terhadap telur danlarva penggerek ubi jalar Cylas formicarius(Coleoptera: Curculionidae). Prosiding SeminarNasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacangdan Umbi Tahun 2013. Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Pangan, BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian.hlm:669-681.

Qazzaz FO, Al-Masri MI, & Barakaf RM. 2015.Effectiveness of Beauveria bassiana nativeisolates in the biological control of theMediterranean fruit fly (Ceratitis capitata). Adv.in Entomol. 3: 44-55.

Reddy GVP, Gadi N, & Talanao AJ. 2012a. Ef- ficientsex pheromone trapping: catching the sweetpotatoweevil Cylas formicarius. J. Chem. Ecol. 38:846-853.

Reddy GVP, McConnel J, & Badilles AE. 2012b.Estimation of the population density of thesweetpotato weevils on the Mariana Islands. J.Entomol. Acarol. Res. 44: 20-23.

Reddy GVP, Zhoo Z, & Humber RA. 2014. Laboratoryand field efficacy of entomopathogenic fungi forthe management of the sweet potato weevil,Cylas formicarius (Coleoptera: Brentidae). J.of Invertebr. Pathol. 122: 10-15.

Reddy GVP & Chi H. 2015. Demographic comparisonof sweet potato weevil reared on a major hostIpomoea batatas and an alternative host I.triloba. Sci. Res. 5: 1-9.

Page 95: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Prayogo Perbandingan Metode Aplikasi Jamur 95

Riyanti N, Isnawati, Trimulyono G, & Prayogo Y. 2013.Pengaruh cara aplikasi dan frekuensi pemberiancendawan entomopatogen Beauveria bassianauntuk mengendalikan hama boleng (Cylasformicarius) dan tingkat kerusakan yangditimbulkannya pada ubi jalar. LenteraBio 2(1):49-56.

Rogerio AD, Martinez SS, & Menezes. AOJr. 2005.Compatibility of the fungus Beauveria bassiana(Bals.) Vuill (Deuteromycetes) with extracts ofneem seeds and leaves and the emulsible oil.Neotrop Entomol 34: 601-606.

Sakuratani Y, Sugimoto T, Setokuchi O, Kamikado T,Kiritani K, Okada T. 1994. Diurnal changes inmicrohabitat usage and behavior of Cylasformicarius (Fabricius) (Coleoptera:Curculionidae) Adults. Appl. Entomol. Zool.29(3): 307-315.

Saleh N & Rahayuningsih StA. 2013. Pengendalianterpadu penyakit kudis (Sphaceloma batatasSaw.) pada ubijalar. Buletin Palawija 25: 37-44.

Samantaray T, Korada RR. 2016. Electrophysiologicaland behavioural respons of sweet potato weevilCylas formicarius to green leaf volatiles andterpenoids. Res. Comm. Curr. Sci. 110(5): 902-908.

Shams G, Safaralizadeh MH, Imani S, Shoja M, &Aramidah S. 2011. A laboratory assessment ofthe potential of the entomopathogenic fungiBeauveria bassiana (Beauvarin C) to controlCallosobruchus maculatus (F.) (Coleoptera:Brucidae) and Sitophilus granaries (L.)(Coleoptera: Curculionidae). Afr. J. Microbiol.Res. (10): 1192-1196.

Sharififar M, Mossadegh MS, Vazirianza B, &Mahmoudaba AZ. 2011. Laboratory evaluationof pathogenicity of entomopathogenic fungiBeauveria bassiana (Bals.) Vuill. andMetarhizium anisopliae (Metch.) Sorok. tolarvae and adults of the housefly Muscadomestica L. (Diptera: Musxidae). Asian J. ofBiol. Sci. 4: 128-137.

Shi WB, Feng MG, & Liu SS. 2008. Sprays ofemulsifiable Beauveria bassiana formulation areovicidal towards Tetranychus urticae (Acari:Tetranychidae) at various regimes of temperatureand humidity. Exp.Appl. Acarol. 46: 247-257.

Silva RZD, Neves PMOJ, Santoro PH, & CavaguchiESA. 2006. Effect of agrochemicals based onvegetable and mineral oil on the viability ofentomopathogenic fungi Beauveria bassiana(Bals.) Vuillemin, Metarhizium anisopliae(Metsch.) Sorokin and Paecilomyces sp. Bainer.Bioassay. 1: 667-674.

Smith TP & Hammond AM. 2006. Comparativesusceptibility of sweetpotato weevil (Coleoptera:Brentidae) to selected insecticides. J. Econ.Entomol. 99: 2024-2029.

Stafford KC & Allan SA. 2010. Field applications ofentomopathogenic fungi Beauveria bassianaand Metarhizium anisopliae F52 (Hypocreales:Clavicipaceae) for the control of Ixodesscapularis (Acari: Ixodidae). J. Med. Entomol.47: 1107-1115.

Stanghellini ME & El-Hamalawi ZA. 2005. Efficacy ofBeauveria bassiana on colonized millet seed asa biopesticide for the control of short flies. Hort.Sci. 40: 1384-1388.

Suman DS, Parashar BD, & Prakash S. 2010. Efficacyof various insect growth regulators onorganophosphate resistant immatures of Culexquinquefasciatus (Diptera: Culicidae) fromdifferent geographical areas of India. J. Entomol.7: 33–43.

Suwarto, Setiawan A, & Septariasari D. 2006.Pertumbuhan dan hasil dua klon ubijalar dalamtumpangsari dengan jagung. Bul. Agron. 34(2):87-92.

Tarafdar J & Sarkar MA. 2006. Managing sweet potatoweevil Cylas formicarius in West Bengal, Indiaby some chemicals, bioproducs and sexphereomone traps. Acta. Hort. 703: 189-196.

Ummidi VRS & Vadlamani P. 2014. Preparation anduse of oil formulations of Beauveria bassianaand Metarhizium anisopliae against Spodopteralitura larvae. African J. of Microbiol. Res. 8(15):1638-1649.

Zimmermann G. 2007. Review of the entomopathogenicfungi Beauveria bassiana and B. brongniartii.Biocont. Sci. Technol. 17: 553-596.

Page 96: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

96 J. HPT Tropika Vol. 17, No. 1, 2017: 96 - 103 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 17, No. 1: 96 – 103, Maret 2017

THE WHITE-BELLIED PLANTHOPPER (HEMIPTERA: DELPHACIDAE) INFESTING CORN PLANTS IN SOUTH LAMPUNG INDONESIA

Franciscus Xaverius Susilo1, I Gede Swibawa1, Indriyati1, Agus Muhammad Hariri1, Purnomo1,Rosma Hasibuan1, Lestari Wibowo1, Radix Suharjo1, Yuyun Fitriana1, Suskandini Ratih Dirmawati1,

Solikhin1, Sumardiyono2, Ruruh Anjar Rwandini2, Dad Resiworo Sembodo1, & Suputa3

1Fakultas Pertanian Universitas Lampung (FP-UNILA)Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No 1, Bandar Lampung 35145

2UPTD Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi LampungJl. H. Zainal Abidin Pagaralam No. 1D, Bandarlampung 35132

3Fakultas Pertanian Universitas Gadjah MadaBulaksumur, Yogyakarta 55281

ABSTRACT

The White-Bellied Planthopper (Hemiptera: Delphacidae) Infesting Corn Plants in South Lampung, Indonesia. Cornplants in South Lampung were infested by newly-found delphacid planthoppers. The planthopper specimens were collectedfrom heavily-infested corn fields in Natar area, South Lampung. We identified the specimens as the white-bellied planthopperStenocranus pacificus Kirkaldy (Hemiptera: Delphacidae), and reported their field population abundance.

Key words: corn white-bellied planthopper, Lampung, Indonesia, Stenocranus pacificus.

ABSTRAK

Wereng Perut Putih (Hemiptera: Delphacidae) Menginfestasi Pertanaman Jagung di Lampung Selatan. Sejenis werengditemukan menginfestasi pertanaman jagung di Lampung Selatan, Lampung. Hama ini diidentifikasi sebagai wereng perutputih jagung, Stenocranus pacificus Kirkaldy (Hemiptera: Delphacidae). Infestasi masif hama ini terjadi pada pertanamanjagung di kawasan Natar, Lampung Selatan.

Kata kunci: wereng perut putih jagung, Lampung, Indonesia, Stenocranus pacificus.

INTRODUCTION

Corn plants are susceptible to the attacks ofplanthoppers. The commonly known planthoppersinfesting corn plants in Indonesia are Peregrinus maidis(Kalshoven, 1981). Peregrinus infestation varies in timeand place but rarely reached an epizootic level. Otherplanthoppers, Nilaparvata sp., have also been knownto associate with corn plants (Susilo & Swibawa, 2002).In November 2016, heavy planthopper attacks occurredin some farmer’s corn fields in South Lampung District.Were these the infestations of Peregrinus, Nilaparvata,or other kind(s) of planthoppers?

Are the planthoppers attacking corn plants inSouth Lampung the white-backed planthopperSogatella? The first specimens of the corn planthopperswere available at FP-UNILA’s Department of PlantProtection Clinic. The specimens were originated fromUPTD-BPTPH-Lampung Province that have beencollected on 25th November 2016 and 19th December

2016, respectively, from the heavily infested farmer cornfields at South Lampung. Upon quick inspection, wenoted general appearance of light brown notum andtergum with a median longitudinal pale stripe in each ofthe specimens and thought of them as the white-backedplanthopper. However, that did not match with the blackmesonotum and black tergum characters of the white-backed planthopper Sogatella furcifera Horvath asdescribed in Kalshoven (1981). Therefore, there was aneed for more detailed inspection in order to identifythe specimens more accurately.

The available planthopper cathes were numerousbut consisting of only nymphs. Based on thesespecimens, each being characterized by a large apicaland movable tibial spur or calcar of the hind leg, weconfirmed the family name of these planthoppers as theDelphacidae (Wilson, 2005). However, the unavailabilityof adult (especially male) specimens in the catches madeit impossible to identify the planthopper’s taxa belowthe family level.

Page 97: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Susilo et al. The White-Bellied Planthopper 97

The objectives of this study were 1) to collectand identify specimens of delphacid planthoppersinfesting corn plants in South Lampung and 2) todocument the dynamics their field abundance.

MATERIALS AND METHOD

Study Site. The planthoppers were observed on cornfields in Natar area, South Lampung. The site is located+ 15 km north-east of Bandarlampung City, Lampung,Indonesia. The observation consisted of two activities,ie. collecting the planthopper adult specimens andrecording their field abundance. Both activities were doneon 18th March 2017 and 25th March 2017.

Adult planthoppers (macropters) were field-collected using a cup trap or aspirator (Figure 1). Thecup trap consisted of a disposable mineral water cup(top dia. = 6.5 cm, bottom dia. = 4 cm, height = 9.5 cm)while the aspirator consisted of a 4.5 cm dia. x 5.2 cmhigh plastic jar equipped with two plastic hoses (long =50 cm, short = 20 cm) of 0.5 cm dia. each. The catchesin the aspirator or cup were flushed with mineral water,picked up using a small brush, and gathered into a glassvial containing 70% ethanol solution. The vials were thenbrought to FP-UNILA’s Laboratory of Arthropod Pestsfor later handling, general morphology observation, andspecimen identification.

The male specimens were used for identification.Their abdominal tagmata were cut and cleared overnightin 10% KOH solution. The cleared abdomens were thentransferred to glycerin drop on an object glass forobservation and identification. An insect pin was used togently tease the last abdominal segment to expose itsgenital structures. Specimen identification andmorphology documentation were done under a dissectingstereo-microscope (LEICA EZ4HD) using Wilson

(2005), Asche & Wilson (1990), Kumaresan et al.(2016), and Dupo & Barrion (2009).

The planthopper population abundance wasrecorded by direct counting. Five farmer fields wereobserved, ie. two fields on 18th March 2017 (size: 0.15and 0.75 ha; age: 88 and 108 days after planting, DAP)and three fields on 25th March 2017 (size: 0.5, 0.5, and0.75 ha; age: 30, 40, and 70 DAP). The first two fieldswere observed by systematic sampling of 4 rows field-1

and 5 plants row-1 while the last three fields by randomsampling of 5 rows field-1 and 5 plants row-1. In eachsampled plant, one leaf with maximum number ofplanthoppers was selected for the counting. The numberof all planthopper stages (adults and nymphs combined)on the sampled leaf was tallied directly using a hand-tally counter.

RESULTS AND DISCUSSION

The corn plants in Natar area, South Lampung,were generally heavily attacked by the delphacidplanthoppers (Figure 2A-E). Hybrid corn cultivarsincluding P27 and BIOSEED 54 were grown in the area.The planthopper attack was initiated by appearance ofwhite-cottony wax trenches or mass on the abaxial sidesof the corn leaves (Figure 2A-B). Then planthoppercolonies emerged on the leaves, as in Figure 2C thatshows abundant nymphs, exuviae, and femalebrachypters. The planthopper massive attacks resultedin hopperburn plants (Figure 2D-E).

Figure 3 shows part of a corn leaf after removalof the white-cottony wax trench. The wax is a kind ofcovering mass secreted by the female planthopper toprotect her eggs that she laid by insertion into the cornleaf tissue in patterned spots (Figure 3).

Figure 1. Aspirator (A) and cup trap (B) for collecting adult planthoppers.

A B

Page 98: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

98 J. HPT Tropika Vol. 17, No. 1, 2017: 96 - 103

Figure 2. General phenology of the planthopper attacks on corn plants. Deposition of white-cottony wax trenchesalong edges of the leaf vein (A) or smudges at theleaf base (B) indicating oviposition sites, emergence ofthe planthopper colony (C), and appearance of hopperburn symptom without (D) or with sooty-moldgrowths (E), in that order.

Figure 4. Macropters of the planthoppers attacking corn plants. Female ventralview (A), female lateral view (B),male ventral view (C), male lateral view (D). Female with white-colored abdomen (A, B), male withorange abdomen (C, D). Note conspicuous tibial spurs on hind legs (arrow, C). Also note rounded, lessacute angled vertex-frons transition (arrow, B, D).

Planthopper Identification. Observation on thecollected female and male macropters (Figure 4) showsthat the female cathes were more prominent. Femaleabdomen was white-colored while that of male was

orange. Female body size was bigger than male (lengthas measured from the tip of vertex-frons turn to the tipof wings = 4.93+ 0.03 mm for female versus 4.20 +0.04 mm for male, t-value = 14.39**, p-value = 0.000,

A B C D

A B C D E

Figure 3. Oviposition spots (openings) of the planthoppers in a corn leaf as seen under a LEICA EZ4HDmicroscope.Two rows of zigzaged spots along an edge of leaf vein after removal of the white-cottonywax cover.

0.5 mm

Page 99: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Susilo et al. The White-Bellied Planthopper 99

calculated from nmale = nfemale = n = 30). That made thefemale more conspicuous than male. Between the twosexes, female was also more frequently encountered inthe field (55.2% female, z-value = 3.54**, p-value =0.0002, n = 1150). As afore-mentioned, female was theone responsible for secreting the white-cottony wax masscovering her ovipositing spots on corn leaves and thiswhite mass indicated the start of their presence or attackson corn plants (Figure 2A-B). The white-coloration offemale abdomen should have to do with the secretionand deposition of this white mass that indicates thepresence of the species on the corn plants. After thisremarkable female, we propose a common name forour specimens as the corn white-bellied planthopper(CWBPH).

To start identification, twelve delphacid genera(Wilson, 2005) were selected as the candidate generafor our planthopper specimens. The delphacid generasensu Wilson (2005) are (in alphabetical order)Caenodelphax, Eoeurysa, Javesella, Harmalia,Laodelphax, Nilaparvata, Peregrinus, Perkinsiella,Saccharosydne, Sogatella, Tagosodes, and Toya.Nilaparvata are characterized by the presence of lateralspines on the first tarsi of their hind legs. The next eightgenera (Saccharosydne, Caenodelphax, Eoeurysa,Peregrinus, Javesella, Harmalia, Laodelphax, andToya) have a common character, that is no medianlongitudinal pale stripes on their mesonota. Sogatella arecharacterized by U-shape pygofer diaphragm margin

while the key character of Perkinsiella is their fronswith median carina forked near ventral aspect of eyes.

Identification was then worked through by selectingone genus out of the twelve based on the Wilson’s keycharacters (Wilson, 2005). Genera whose key characterdid not match with that of our specimens (Figure 5-7)were eliminated. In addition to having hind tibia with alarge apical movable spur or calcar (spur, Figure 5 A,see also Figure 4 C) which confirms their inclusion inthe Delphacidae, our specimens have other keymorphological characters. Their hind first tarsal segmentsare each without lateral spines (Figure 5 A) whicheliminates Nilaparvata as the candidate genus for ourspecimens. The mesonota of our specimens are lightbrown with median longitudinal pale stripe (Figure 5 B-C, Figure 7 B) which eliminates Saccharosydne,Caenodelphax, Eoeurysa, Peregrinus, Javesella,Harmalia, Laodelphax, and Toya. The pygoferdiaphragm margins of our specimens are not U-shape(Figure 6 A, 6 C, eliminating Sogatella). Our specimenshave median carinae forked at the dorsal aspect of eyes(Figure 7 A-B, eliminating Perkinsiella). That forkingof median carina is the key character for Tagosodes(Wilson, 2005).

There are some other genera of delphacidplanthoppers, ie. the Sogatella groups sensu Asche &Wilson (1990) that need to be considered or eliminatedin the process of generic designation for our specimens.This group includes Sogatellana, Latistria, Matutinus,

Figure 5. Hind tibiae and mesonota of the planthoppers attacking corn plants. Tibial spur or calcar large, apical, andmovable (spur, A). First tarsal segment without lateral spines (ts1, A). Mesonotum (n2) brown or light-brown with median longitudinal pale or white stripe (B-C). B = macropter, C = nymph.

Page 100: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

100 J. HPT Tropika Vol. 17, No. 1, 2017: 96 - 103

Figure 6. Pygofer (pyg) and male genitalia of the planthoppers attacking corn plants. A and C = ventro-caudal view,B = ventral view. Anal tube (atb), anal process (apc), paramere or style (sty), diaphragm (dia), protusionon the diaphragm (pro), and aedeagus (aed). Note the diaphragmal protrusion (pro, C) which is notsinuate and not U-shape. Note also the shaft-like aedeagus (aed, A-C) with a ring-like sub-apical hook(A, B).

Figure 7. Median carinae of the planthoppers attacking corn plants. Ventral view (A) and dorsal view (B). Longitudinalpale or white stripe indicated the median carinae. The median carina not forked at the ventral aspect(frons, yellow arrow, A) but forked at the dorsal aspect (vertex, red arrow, B). Note also median longitudinalpale or white stripe at the brown or light-brown mesonotum and metanotum (B).

and Tagosodes (Asche & Wilson, 1990). Sogatellana ischaracterized by two pairs of anal processes while ourspecimens by only one pair (apc, Figure 6 A).Mediodorsal pygofer diaphragm of Latistria is withsinuate protrusion; in contrast, the protrusion on thepygofer diaphragms of our specimens is not sinuate (pro,Figure 6A, 6 C). The head of Matutinusis is with acutetransition angle of vertex to frons. In our specimens, thetransition of vertex to frons is rounded and less acute-angled (Figure 4 B, D). Consequently, the choice ofgeneric designation for our specimens was, once again,narrowed down to Tagosodes.

However, we could not designate our specimensto Tagosodes sensu Wilson (2005) or Asche & Wilson(1990) because their Tagosodes male genitalia did notmatch with those of our specimens. Our specimens are

each characterized by a unique aedeagus (aed, Figure 6A-B). The aedeagus is 1) long and shaft like, 2) with aring-like sub-apical hook, and 3) without spines (aed,Figure 6 A-B). The aedeagus of Tagosodes or the otherdelphacid genera, in contrast, are mostly compressed,twisted, and/or ornamented with various patterns ofspines or teeth (Wilson, 2005; Asche & Wilson, 1990).

It is true that some delphacid planthoppers eachalso has shaft-like aedeagus but conspicuously differsfrom the aedeagus of our specimens. A species ofPerkinsiella has shaft-like aedeagus (Wilson, 2005) butwithout a sub-apical ring-like hook as is in our specimens.Instead, the Perkinsiella aedeagus is equipped with anobvious sub-apical tooth. The aedeagus of Peregrinusmaidis is also shaft-like, not compressed, and with sub-apical hook (Wilson, 2005) but is ornamented with a

Page 101: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Susilo et al. The White-Bellied Planthopper 101

row of spines and the hook is straight (not ring-like). Aspecies of Sogatellana is also known to have a shaft-like aedeagus (Asche & Wilson, 1990); however, thisaedeagus is short and ornamented with a sub-apicalclump of minute spines. In sum, no known species ofdelphacid planthoppers so far in the Nearctic or Palearcticregions has aedeagus as is in our specimens.

We then compared the aedeagus of our specimenswith that of Asian species. Among the 65 species of 31genera of Asian delphacid planthoppers (Dupo & Barrion,2009), therein exists one species named Stenocranuspacificus Kirkaldy whose aedeagus (Plate 37f in Dupo& Barrion, 2009) is similar to (or of the same form as)that of our specimens (aed, Figure 6 A-B). Therefore,we identified the scientific name of our specimens asStenocranus pacificus Kirkaldy (Hemiptera:Delphacidae). To indicate the host plant, we also usethe corn S. pacificus as another name for ourspecimens. That way, the corn S. pacificus and thecorn white-bellied planthopper (CWBPH) could be usedinterchangeably.

The body size of CWBPH is in the body sizerange of S. pacificus sensu Dupo & Barrion (2009).As afore-mentioned, the body sizes of our specimensare 4.20 + 0.04 mm for males and 4.93 + 0.03 mm forfemales, respectively. Those are in the range of S.pacificus body size of 4.0 – 6.3 mm (Dupo & Barrion,2009; species features). In their identification key,however, Dupo & Barrion (2009) attributed another,albeit larger, body size interval of 6.8 – 7.8 mm to therice S. pacificus. So far, the population of S. pacificussensu Dupo & Barrion (2009) with larger body size hasnot been found attacking corn plants in Lampung.

The number of calcar spines and the vertex-fronsmorphology of the corn S. pacificus also a bit deviatefrom those of S. pacificus sensu Dupo & Barrion (2009).Dupo & Barrion (2009) characterized the hind tibiae ofS. pacificus as each having 24-25 calcar spines. Ourspecimens each has 26-27 calcar spines (n = 20). S.pacificus sensu Dupo & Barrion (2009) is also withnoticeably narrowed or produced head in front of eyes(Dupo & Barrion, 2009). In contrast, the heads of ourplanthopper specimens are not narrowed in front eyes.It is difficult to conclude at the moment whether thesedeviances are merely statistical or true morphologicaldifferences that are consistent and unique to thepopulation of the corn S. pacificus.

S. pacificus might be exotic species for Indonesiaand has been reported to attack other plants in thePoaceae family. Dupo & Barrion (2009) mentioned thatin addition to attacking rice plants, S. pacificus couldalso attack sugarcane and grasses and they were

distributed across Philippines, Western Caroline Island,Palau, and Fiji. Wilson (2009) reported that S. pacificuswas native of Viti Levu Island, Fiji. Recently, theinfestation of S. pacificus has been very massive oncorn plants that were grown continuously in Natar area,South Lampung District, Sumatra-Indonesia.

Planthopper Field Abundance. The trend of S.pacificus or CWBPH abundance in Natar area wasillustrated in Figure 8. At 30 DAP, only a few individualswere present on corn plants. About half population ofthe corn plants of this age was still free from theplanthopper attacks while the other half was attackedby 1 or 2 macropter individuals leaf-1. The sign of white-cottony wax deposition was rarely found at this age. At40 DAP, however, the white wax trenches and smudges(as in Figure 2 A-B) were prominent. At this plant age,the abundance of combined planthopper stages (nymphs+ brachypters or macropters) increased multiplicativelythan before with nymphs (and brachypters combined)being 4 times more abundant than macropters. Theplanthopper total abundance at 70 DAP was about doublethan that at 40 DAP and the total abundance at 88 DAPwas also about double than that at 70 DAP. The conditionand appearance of the corn plants at 70 DAP or 88DAP, however, were similar to those at 40 DAP (as inFigure 2 C). The hopperburn symptom (as in Figure 2D-E) started being detected at 88 DAP and massivelyevident at 108 DAP. At 108 DAP, the planthopperabundance dropped drastically to a very low level.

The abundance of CWBPH on corn plants peakedat 88 DAP (averaged 118 + 28 individuals leaf-1, Figure8). With a leaf number average of 11 + 1 plant-1

(calculated from n = 110 plants), the planthopperabundance could reach 1,298 individuals corn plant-1

which was comparable with (or higher than) the brownplanthopper (BPH) highest abundance on rice paddy (>500 individuals hill-1; Mochida & Okada, 1979).

Was the 88 DAP peak on corn plants the onlyabundance peak of CWBPH? No easy answer based onour perliminary data. However, it has been known thatBPH on rice plants had multiple abundance peaks at a3-4 week interval (Sawada et al., 1992). One generationtime of BPH ranged 23-32 days (Mochida & Okada,1979) suggesting that the multiple peaks of BPH beactually their generation peaks (Sawada et al., 1992).On the rice plants, the abundance trend of BPH weresimilar to that of the white-backed planthopper (WBPH)(Win et al., 2011). If biological similarities indeed existedamong delphacids, it could be predicted that ourplanthoppers (CWBPH) have multiple abundance peaksduring one corn growing season. The prediction could

Page 102: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

102 J. HPT Tropika Vol. 17, No. 1, 2017: 96 - 103

REFERENCES

Asche M & Wilson MR. 1990. The delphacid genusSogatella and related groups: a revision withspecial reference to rice-associated species(Homoptera: Fulgoroidea). SystematicEntomology 15: 1 - 42.

Figure 8. Mean abundance of the planthoppers attacking corn plants in Natar area, South Lampung. DAP = daysafter planting. Bars = standard errors of the means (n = 20 plants for observation on 88 DAP and 108DAP; n = 25 plants for observation on 30 DAP, 40 DAP, and 70 DAP).

be tested by routine observations, including weeklyrecording of the planthopper abundance on the cornfields.

CONCLUSION

We identified the planthoppers that attacked cornplants in Natar area, South Lampung, as Stenocranuspacificus Kirkaldy (Hemiptera: Delphacidae). Weproposed their common name as the corn white-belliedplanthoppper (CWBPH) after the unique character andecological importance of their female abdomens. Thekey morphological characters of the planthopperspecimens are as follow. (1) Hind tibia with a large apicalmovable spur or calcar (females and males). (2) Firsttarsal segment of the hind leg without lateral spines(females and males). (3) Mesonotum light brown withmedian longitudinal pale stripe (females and males).(4) Margin of pygofer diaphragm not U-shape (males).(5) Protrusion on margin of pygofer diaphragm notsinuate (males). (6) Frons with median carina forked atdorsal aspect of eyes (females and males). (7) Aedeagusshaft like and without spines but with a ring-like sub-apical hook (males).

The field abundance of the corn S. pacificus inthe Natar area was initiated by a lag phase at the firstmonth, followed by a geometric increase in the next 2-2.5 months that inflicted bad damage on the corn plants,and ended with a drastic drop by the end of the corngrowing season.

ACKNOWLEDGMENT

This work was made possible through variousfacilitations. We thank farmers in Natar area, SouthLampung, for permitting us to observe their corn fieldsand for their participation in the observations (Mr. Jalal& Mr. Yono). We are also very grateful to Prof. IrwanSukri Banuwa (Dean of Fakultas Pertanian UniversitasLampung, FP-UNILA) for accommodation andtransportation support. Mr. Joko Prasetyo (Head ofPlant Protection Clinic, Department of Plant ProtectionFP-UNILA) deserves our appreciation for appointingsome of us as members the corn planthopper’s taskforce. We also thank our former students (HendiPamungkas, Nana Ratnawati, Fransiska Dina, and EkoSaputro) for valuable assistance during the fieldobservation. This publication is part of the outcome ofthe joint activities between FP-UNILA’s AgriculturalClinic and the Department of Plant Protection Clinic.

Page 103: KUTU PUTIH SINGKONG, PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE … · (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE): PERSEBARAN GEOGRAFI DI PULAU JAAW DAN RINTISAN PENGENDALIAN HAYATI Budi Abduchalek1, Aunu Rauf2,

Susilo et al. The White-Bellied Planthopper 103

Dupo ALB & Barrion AT. 2009. Taxonomy and generalbiology of delphacid planthoppers in riceagroecosystems. In: Heong KL & Hardy B (Eds.).Planthoppers: New Threats of theSustainability of Intensive Rice ProductionSystems in Asia. pp. 3 – 155. International RiceResearch Institute (IRRI), Metro Manila,Philippines.

Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia.Rev. transl. van der Laan PA & Rothschild GHL.PT Ichtiar Baru – van Hoeve, Jakarta.

Kumaresan N, Ilango K, Gopinath LR, BhuvaneswariR, & Archaya S. 2016. Dynamics of planthoppers diversity in Kolli Hills, Tamilnadu, India.International Journal of Fauna and BiologicalStudies 3(3): 93-97.

Mochida O & Okada T. 1979. Taxonomy and biologyof Nilaparvata lugens (Hom., Delphacidae). In:Brown planthopper: threat to rice productionin Asia. pp. 21-43. International Rice ResearchInstitute. Los Baños.

Sawada H, Subroto SWG, Suwardiwijaya E,Mustaghfirin, & Kusmayadi A. 1992. Populationdynamics of the brown planthopper in the coastallowland of West Java, Indonesia. JARQ 26: 88-97.

Susilo FX & Swibawa IG. 2002. Insect pests inagroecosystem where three corn varieties weregrown under conservation versus full tillagesystem in Natar, South Lampung, in 2001 growingseason. J. Hama dan Penyakit TumbuhanTropika 2(1): 8-14.

Wilson, SW. 2005. Keys to the families ofFulgoromorpha with emphasis on planthoppers ofpotential economic importance in the SoutheasternUnited States (Hemiptera: Auchenorrhyncha).Florida Entomologist 88(4): 464 – 481.

Wilson MR. 2009. A checlist of Fiji Auchenorrhyncha(Hemiptera). In: Evenhuis NL & Bickel DJ(Eds.). Fiji Arthropods XII. Bishop MuseumOccasional Papers 102: 33-48.

Win SS, Muhamad R, Ahmad ZAM, & Adam NA. 2011.Population fluctuations of brown plant hopperNilaparvata lugens Stal. and white backed planthopper Sogatella furcifera Horvath on rice.Journal of Entomology 8(2): 183-190.