5
BAB III KRITIK TERHADAP PERENCANAAN Kritik Atas Relokasi Warga Waduk Pluit ke Rusun Marunda Menggunakan Teori 3 rd Generation Pendekatan Social Constructivism Pada perkembangannya, kasus relokasi warga waduk pluit ke rusun marunda dapat diselesaikan menggunakan pendekatan teori 3 rd generation yaitu social constructivism . Social constructivism adalah teori pengetahuan sosiologi yang menerapkan konstruktivisme filosofis umum kedalam masyarakat. Pada social constructivism , pengetahuan/ kepercayaan adalah konstruksi sosial. Pengetahuan tidak selamanya benar, tetapi berkaitan dengan, budaya, situasi, bahas, ideologi, atau kondisi sosila lainnya (Davidoff 1965) . Munculnya pendekatan social constructivism didasari karena adanya inklusi sosial dan perampasan hak-hak dari masyarakat yang lemah. Hal ini sejalan dengan yang terjadi pada warga Waduk Pluit yang relatif tidak memiliki power dalam proses perencanaan. Selama ini, perencana seringakali lebih condong berada di pihak yang memiliki kekuasaan. Padahal perencana dianggap memiliki kemampuan yang tidak dimiliki siapapun berupa: fasilitasi, mendefinisikan masalah, efisiensi, dinamika politik, dinamika dan intervensi masalah. Pengetahuan perencana diperlukan dengan melibatkan pengalaman, dugaan, intuisi, dan pengambilan resiko (Friedmann 1995) Peran perencana dalam pendekatan social constructivism adalah sebagai fasilitator, komunikator, dan pembela dalam satu sistem yang mengdepankan partisipasi dan berbasis masyarakat. Perencana selanjutnya bertugas untuk membela pandangannya sendiri dan kliennya mengenai masyarakat yang baik. Sementara, perencanaan nantinya

Kritik terhadap teori perencanaan positivism dan rasionalism

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kritik terhadap teori perencanaan positivism dan rasionalism

Citation preview

Page 1: Kritik terhadap teori perencanaan positivism dan rasionalism

BAB III

KRITIK TERHADAP PERENCANAAN

Kritik Atas Relokasi Warga Waduk Pluit ke Rusun Marunda Menggunakan Teori 3rd Generation

Pendekatan Social Constructivism

Pada perkembangannya, kasus relokasi warga waduk pluit ke rusun marunda dapat diselesaikan

menggunakan pendekatan teori 3rd generation yaitu social constructivism. Social constructivism adalah

teori pengetahuan sosiologi yang menerapkan konstruktivisme filosofis umum kedalam masyarakat. Pada

social constructivism, pengetahuan/ kepercayaan adalah konstruksi sosial. Pengetahuan tidak selamanya

benar, tetapi berkaitan dengan, budaya, situasi, bahas, ideologi, atau kondisi sosila lainnya (Davidoff

1965).

Munculnya pendekatan social constructivism didasari karena adanya inklusi sosial dan perampasan

hak-hak dari masyarakat yang lemah. Hal ini sejalan dengan yang terjadi pada warga Waduk Pluit yang

relatif tidak memiliki power dalam proses perencanaan. Selama ini, perencana seringakali lebih condong

berada di pihak yang memiliki kekuasaan. Padahal perencana dianggap memiliki kemampuan yang tidak

dimiliki siapapun berupa: fasilitasi, mendefinisikan masalah, efisiensi, dinamika politik, dinamika dan

intervensi masalah. Pengetahuan perencana diperlukan dengan melibatkan pengalaman, dugaan, intuisi,

dan pengambilan resiko (Friedmann 1995)

Peran perencana dalam pendekatan social constructivism adalah sebagai fasilitator, komunikator,

dan pembela dalam satu sistem yang mengdepankan partisipasi dan berbasis masyarakat. Perencana

selanjutnya bertugas untuk membela pandangannya sendiri dan kliennya mengenai masyarakat yang baik.

Sementara, perencanaan nantinya dilaksanakan oleh komunitas atau kelompok masyarakat yang

sebelumnya telah dilatih terlebih dahulu.

Satu masalah dalam perencanaan 3rd generation ini aadalah penentuan teknik untuk mengevaluasi

rencana alternatif yang tepat karena cost-benefit analysis kurang representatif. Oleh karena itu, social cost

and benefit analysis dianggap lebih eksplisit, dalam proses evaluasi rencana. Evaluasi sendiri dilakukan

bersama-sama oleh publik. Pada perkembangannya pendekatan 3rd generation menfokuskan pada target

group dalam hal ini masyarakat dan pada tujuan perencanaan bersama mereka. Perencanaan dilakukan

untuk melawan kemiskinan dan menyediakan kesempatan baru dan lebih baik untuk anggota masyarakat.

Hal inilah yang bisa diterapkan pada permasalahan warga Waduk Pluit. Menanggapi permasalahan yang

kompleks ini, perenacan sudah seharusnya tidak merencanakan tetapi bekerja dengan keterampilan dan

oengetahuan istimewa untuk mendekatkan diri pada kondisi ideal yang berkesinambungan dengan kondisi

riil di lapangan yang dirasakan oleh masyarakat.

Page 2: Kritik terhadap teori perencanaan positivism dan rasionalism

Pendekatan Rationalitas Instrumental

Perubahan besar pertama terjadi di era 60-an, yang disebut Taylor (1998) sebagai perubahan dari

morphological conception of space kepada sociological conception of space. Mulai disadari bahwa

perencanaan tidak mungkin dilaksanakan hanya dengan melihat aspek physical design saja, perencanaan

berkenaan dengan suatu sistem dari aktivitas yang saling berkaitan yang meliputi social life dan economic

activities (sebagai content) dan aspek physic (sebagai container).

Perubahan besar yang terjadi pada era 60-an bermuara pada penerapan rasionalitas dan pendekatan

sistem dalam merencanakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat, dapat dipandang sebagai

kulminasi dari proses pencerahan. Penerapan rasionalitas dalam perencanaan dipandang sebagai cara

terbaik dalam membangun kehidupan masyarakat yang stabil, daripada hanya menyerahkan pada

mekanisme budaya dan keyakinan semata. Seiring dengan perkembangan proses pencerahan, rasionalitas

yang diandalkan pada era ini adalah berakar pada paradigma modernisasi, yang mengedepankan

objektivitas dalam mendapatkan keilmuan dan tentunya harus bersifat bebas nilai (value free). Karena

penggunaan pengetahuan yang objektif dan rasional ini hanya dapat dipercayakan kepada para ahli, maka

perencanaan pada ini lebih menekankan pada perencanaan yang dilakukan oleh negara sebagai aktor

utama. Model perencanaan dengan aras epistemologi modernisasi ini, oleh Sandercock (1998) disebutkan

sebagai Heroic Model, dimana model perencanaan ini dibangun dengan lima pilar, yaitu: (1) Rasionalitas;

(2) Kekomprehensipan; (3) Metode ilmiah; (4) Keyakinan pada masa depan yang diarahkan oleh Negara;

dan (5) Keyakinan pada kemampuan perencana untuk mengetahui apa yang terbaik buat publik.(Masik

2005).

Cakupan perencanaan telah menjadi luas, meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat yang

dipandang sebagai suatu sistem. Pengambilan keputusan yang rasional dan pendekatan sistem yang

dominan pada paradigma modernisasi ini, menyerahkan proses perencanaan kepada para perencana, yang

menerapkan metode ilmiah yang objektif dan dipandang universal. Perencana tersebut bertindak atas

nama masyarakat dan kehidupan sosial pun dipandang sebagai homogen.(Masik 2005)

Kasus relokasi warga waduk peluit ke rusun marunda merupakan salah satu contoh perencanaan

dengan pendekatan rasional. Salah satu kelemahan pedekatan rasional adalah bahwa perencanaan disusun

oleh para ahli dengan asumsi bahwa apa yang mereka rencanakan sesuai dan yang terbaik untuk

masyarakat, akan tetapi masyarakat sendiri tidak berfungsi sebagaimana dipersepsikan oleh perencana

(Brooks, 2002). Perencanaan rasional lebih menekankan pada perencanaan yang dilakukan oleh negara

atau permerintah sebagai aktor utama sedangkan masyarakat sebagai objek perencanaan malah sangat

minim bahkan tidak memiliki peran yang signifikan dalam proses perencanaan. Hal ini menyebabkan

tidak maksimalnya hasil akhir atau implementasi produk perencanaan seperti yang terjadi pada kasus

relokasi waduk pluit di Jakarta. Contoh dari gagalnya perencanaan relokasi warga waduk pluit ke rusun

Page 3: Kritik terhadap teori perencanaan positivism dan rasionalism

marunda adalah perencana tidak memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat, sehingga timbul

masalah saat implementasi. Tingkat penghasilan masyarakat yang rendah serta jauhnya letak rusun

marunda dari lokasi permukiman di sekitar waduk pluit merupakan pertimbangan yang mungkin saja

“lepas” dari proses perencanaan relokasi ini.

Perencanaan ini menggambarkan bahwa aspek sosial menjadi semakin penting peranannya dalam

perencanaan, dimana pada era dibawah paradigma modernisasai, aspek sosial dipandang sebagai satu

kesatuan sistem yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan fisik. Bila pada era ini kehidupan sosial dilihat

dengan prinsip-prinsip yang berlaku umum, yang dapat berlaku disemua lokasi (bersumber rasionalitas

yang menerapkan metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang valid dalam

perencanaan), maka pada era post-modern, kehidupan kemasyarakatan tidak dapat lagi dipandang sebagai

sesuatu yang homogen, dimana kehidupan masyarakat terikat pada kontek dimana mereka melakukan

interaksi sosial. Karenanya perencana harus memahami bagaimana interaksi sosial yang terjadi pada

suatu kontek tertentu dalam menyusun rencana, tanpa hal ini perencanaan akan sulit untuk berhasil.

Karena kehidupan kemasyarakatan tidak dapat dipandang homogen, maka pengertian publik pun tidak

dapat dianggap tunggal yang diwakili oleh perencana (yang umumnya bekerja pada pemerintah), yang

dapat menentukan apa yang terbaik bagi masyarakat. (Masik 2005)

Makna publik tentunya harus dipahami sebagai sesuatu yang plural, beranekaragam, apa yang

disebutkan oleh Sandercock (1998) sebagai multiple publik. Menyadari keberagaman masyarakat, maka

pengetahuan bagaimana publik yang beragam tersebut berinteraksi (interaksi sosial), memberi ruang bagi

diskusi tentang arti penting modal sosial (social capital, sebagai produk dari interaksi sosial) dalam

perencanaan.

Daftar Pustaka

Davidoff, P., 1965. Advocacy and Pluralism in Planning. Journal of the American Institute of Planners,

31(4), pp.331–338.

Friedmann, J., 1995. Planning in the public domain: discourse and praxis. Classic readings in urban

planning: an introduction, pp.74–79.

Masik, A., 2005. Hubungan modal sosial dan perencanaan. , 16(3), pp.1–23.