128
Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH Diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia Cetakan Pertama, November 2015 ISBN Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Korelasi Putusan Hakim.indd 1 12/18/2015 3:30:40 PM

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH...Atika Nidyandari Heri Sanjaya Putra Desain Grafis & Layout W. Eka Putra Komisi Yudisial Republik Indonesia Jl. Kramat Raya No.57,

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    Diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik IndonesiaCetakan Pertama, November 2015

    ISBN

    Hak cipta dilindungi Undang-UndangDilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan

    isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

    Korelasi Putusan Hakim.indd 1 12/18/2015 3:30:40 PM

  • Susunan RedaksiPembina

    Anggota Komisi Yudisial

    PenanggungjawabDanang Wijayanto

    Pemimpin RedaksiRoejito

    EditorTitik Ariyati Winahyu

    Tri Purno UtomoImran

    Tim AnalisisDr. Shidarta, S.H., M.Hum

    Dr. Besar, S.H., M.HumBambang Pratama, S.H., M.H.

    Paulus Aluk Fajar Dwi Santo, S.H., M.H.

    SekretariatIkhsan Azhar

    Festy Rahma HidayatiM. Ilham

    Yuni YulianitaAtika Nidyandari

    Heri Sanjaya Putra

    Desain Grafis & LayoutW. Eka Putra

    Komisi Yudisial Republik IndonesiaJl. Kramat Raya No.57, Jakarta Pusat

    Telp. 021-390 5876, Fax: 021-390 6215, PO Box 2685www.komisiyudisial.go.id

    Korelasi Putusan Hakim.indd 2 12/18/2015 3:30:40 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    iii

    DAFTAR ISI

    Daftar Isi

    Tim Penyusun .................................................................... ii

    Daftar Isi .............................................................................. iii

    Daftar Putusan Hakim yang Dianalisis ......................... v

    Kata Sambutan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia ............................................................ vii

    Sekapur Sirih Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial Republik Indonesia .............................. xi

    Kata Pengantar Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia .............................. xv

    Pengantar Tim Analis ...................................................... xvii

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang ........................................................ 1

    B. Permasalahan ........................................................... 3

    C. Tujuan dan Kegunaaan Penelitian ....................... 3

    D. Metode Penelitian .................................................. 4

    E. Kerangka Teori ........................................................ 7

    Korelasi Putusan Hakim.indd 3 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    iv

    DAFTAR ISI

    Bab II. Analisis Putusan

    A. Putusan 1 ................................................................. 11

    B. Putusan 2 s.d. 6 .................................................. 35

    C. Putusan 7 s.d 17 ...................................................... 49

    D. Putusan 18 ............................................................... 77

    E. Putusan 19 s.d 20 ..................................................... 85

    Bab III. Catatan atas Laporan

    Daftar Pustaka ............................................................... 107

    Korelasi Putusan Hakim.indd 4 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    v

    DAFTAR PUTUSAN

    DAFTAR PUTUSAN HAKIM YANG DIANALISIS

    No. Nomor Putusan Asal PengadilanKualifikasi

    Pelanggaran KEPPH*

    1 36 P/Hum/2011Mahkamah Agung

    Terbukti

    2699 PK/Pdt/1996

    Mahkamah Agung

    Terbukti

    3 16/Pdt.G/2008 PN Kendari Terbukti

    4 37/Pdt.G/2001 PN Kendari Terbukti

    5 65/Pdt/2002PT Sulawesi Tenggara

    Terbukti

    63234 K/Pdt/2003

    Mahkamah Agung

    Terbukti

    7 10/Merek/2011PN Niaga, Jakarta Pusat

    Tidak Terbukti

    Korelasi Putusan Hakim.indd 5 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    vi

    DAFTAR PUTUSAN

    811/Hak Cipta/2011

    PN Niaga, Jakarta Pusat

    Tidak Terbukti

    912/Hak Cipta/2011

    PN Niaga, Jakarta Pusat

    Tidak Terbukti

    1013/Hak Cipta/2011

    PN Niaga, Jakarta Pusat

    Tidak Terbukti

    1114/Hak Cipta/2011

    PN Niaga, Jakarta Pusat

    Tidak Terbukti

    1215/Hak Cipta/2011

    PN Niaga, Jakarta Pusat

    Tidak Terbukti

    1316/Hak Cipta/2011

    PN Niaga, Jakarta Pusat

    Tidak Terbukti

    14595 K/Pdt.Sus/2011

    Mahkamah Agung

    Tidak Terbukti

    15608 K/Pdt.Sus/2011

    Mahkamah Agung

    Tidak Terbukti

    16609 K/Pdt.Sus/2011

    Mahkamah Agung

    Tidak Terbukti

    17610 K/Pdt.Sus/2011

    Mahkamah Agung

    Tidak Terbukti

    18 05/PKPU/2012 PN Niaga Medan Terbukti

    19 700/Pdt.G/2009 PA Palembang Terbukti

    20 147/Pdt.G/2007 PA Samarinda Terbukti

    *) Kualifikasi menurut Sidang Pleno Komisi Yudisial RI.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 6 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    vii

    KATA SAMBUTAN

    Putusan Hakim Menggambarkan Kehormatannya

    Putusan hakim tidak hanya pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara, tetapi juga merupakan mahkota “sekaligus” “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki, hak asasi manusia; penguasaan hukum, fakta secara mapan, mumpuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, moralitas dan kehormatan dari hakim yang bersangkutan.

    Cermin kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim tidak hanya terpancar dari tingkah laku kongkrit dirinya di dalam dan di luar sidang, tetapi juga dari putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat.

    Usaha menjaga dan menegakkan kehormatan hakim tentu saja menjadi tanggungjawab utama hakim bersangkutan. Apa yang harus dilakukannya adalah memastikan dirinya memiliki dua hal sekaligus, yaitu integritas dan kompetensi. Integritas adalah kualitas moral yang tercermin pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 7 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    viii

    KATA SAMBUTAN

    Independensi dan imparsialitas adalah dua elemen dasar dari integritas hakim. Kedua prinsip utama tersebut bukan hak hakim, melainkan beban kewajiban yang harus dimiliki dan diwujudkan hakim dalam dinas dan luar dinas. Adalah masyarakat dan terutama pencari keadilan-lah yang berhak untuk diperiksa, diadili dan diputus oleh hakim yang independen dan imparsial.

    Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.

    Sementara kompetensi adalah kedalaman ilmu pengetahuan teoritik akademik dan kecakapan tehnis-tehnis hukum di bidang perkara hukum yang ditanganinya, dan mampu mengawinkan dengan tepat teks dan konteks perkara sehingga keseluruhan proses memeriksa, mengadili dan memutus mencerminkan hakim sebagai juru bicara keadilan (speaker of justice), dan bukan corong undang (speaker of law).

    Putusan hakim bukan hanya bernilai buat perkara itu sendiri, tetapi produk kekuasaan profesi yang mencerminkan tinggi rendahnya mutu profesi hakim; paradigma hakim; ada tidaknya integritas hakim sebagai elemen dasar untuk menilai tinggi rendahnya, atau bahkan ada tidaknya kehormatan hakim.

    Putusan hakim adalah data terbuka yang menyimpan kekayaan informasi yang harus digali dan ditemukan untuk kemudian dianalisis guna merumuskan langkah-langkah peningkatan integritas dan kompetensi hakim melalui pelbagai strategi.

    Salah satu langkah KY adalah melakukan penelitian putusan yang diambil dari laporan masyarakat yang telah

    Korelasi Putusan Hakim.indd 8 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    ix

    KATA SAMBUTAN

    diputuskan dalam pleno, baik laporan yang dikatagorikan dapat ditindaklanjutu (DL) maupun yang tidak dapat ditindaklanjuti (TDL).

    Tujuan penelitian untuk mengetahui korelasi antara kualitas putusan dengan penyimpangan KE-PPH. Hasil penelitian ini berguna antara lain untuk pengayaan informasi atas anotasi yang sudah dilakukan, penambahan informasi tentang hakim-hakim tertentu yang putusannya menjadi sampel penelitian, serta untuk materi pelatihan.

    Hasil penelitian yang dimuat dalam buku ini diharapkan memberi gambaran komprehensif tentang putusan dan kontribusi bagi peningkatan kompetensi hakim di masa depan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Di samping itu, dapat melengkapi literatur kajian putusan yang tergolong langka di Indonesia.

    Kritik saran pembaca sangat kami harapkan. Kepada peneliti dan editor, kami ucapkan terimakasih. Selamat.

    Jakarta, November 2015 Ketua Komisi Yudisial

    Dr. Suparman Marzuki, S.H., M. Si.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 9 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim.indd 10 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    xi

    SEKAPUR SIRIH

    Sekapur Sirih

    Kegiatan penelitian sudah menjadi rohnya Komisi Yudisial, karena sejak kegiatan penelitian dilakukan oleh Komisi Yudisial, menjadikan hasil penelitian sebagai pijakan Komisi Yudisial untuk melakukan perubahan dan koreksi baik bagi internal Komisi Yudisial maupun sebagai masukan kepada lembaga yang menjadi mitra Komisi Yudisial. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Komisi Yudisial di dalamnya melibatkan jejaring perguruan tinggi. Kebijakan ini diambil karena Komisi Yudisial memandang untuk objektivitas dan kualitas atas hasil suatu penelitian itu sendiri. Tentunya out-put dari hasil penelitian ini bukan saja bermanfaat bagi Komisi Yudisial, terutama dalam implementasi kewenangan menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, tetapi dapat juga bermanfaat bagi para hakim dan pembaca untuk melihat aspek keilmuan dari analisis penelitian terhadap obyek penelitian itu sendiri.

    Buku yang merupakan hasil penelitian berbasis pada pengaduan masyarakat ini dilakukan untuk dua hal. Pertama untuk kepentingan internal Komisi Yudisial terkait pemberian usul penjatuhan sanksi atau tidak dijatuhi sanksi yang berbasis laporan masyarakat yang berbasis pada putusan. Kajiannya berupa, apakah usul penjatuhan yang dijatuhkan oleh Komisi Yudisial sudah tepat atau mengandung unsur kekurangcermatan analisis. Kedua, bagi pihak eksternal khususnya hakim dapat melihat secara objektif atas analisis terhadap putusan yang dijatuhkannya.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 11 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    xii

    SEKAPUR SIRIH

    Membahas korelasi antara kualitas putusan dengan dugaan penyimpangan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Di dalamnya perlu kecermatan dan pemahaman yang komprehensif antara pengetahuan hukum formil, hukum materil dan kode etik itu sendiri.

    Namun demikian penelitian ini akan bermanfaat bagi uji akuntabilitas atas putusan yang dijatuhkan hakim. Hal ini untuk menjawab bahwa independensi tidak terlepas dari akuntabilitas, terutama suatu perkara yang sudah diputuskan dan telah memiliki kekuatan hukum mengikat (incracht). Hal ini penting karena lembaga peradilan memainkan peranan penting karena diberi mandat untuk mengelola segala permasalahan hukum dari setiap warga negara yang mengalami kesulitan dalam mencari keadilan. Sebagaimana diketahui bahwa antara independensi dan akuntabilitas memiliki korelasi. Oleh karenanya, setiap masyarakat khususnya dunia kampus dapat memerankan perannya sebagai lembaga ilmiah yang kritis terhadap dinamika masyarakat dalam sebuah bangsa. Dengan demikian hasilnya selain berguna bagi perkembangan hukum juga diharapkan akan berakibat dalam mendorong peningkatan kualitas putusan hakim dan akuntabilitas pengadilan itu sendiri.

    Berangkat dari hal itu, penelitian dengan mengambil basis data pada pengaduan masyarakat akan sangat berharga apakah dapat ditemukan dalam putusan tersebut terdapat titik taut dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim atau tidak. Secara sepintas hasil penelitian ini telah menemukan titik taut tersebut, misalnya terdapat kualitas, putusan bermasalah, dan beberapa pelanggaran atas asas-asas hukum dan asas-asas undang-undang dalam putusan. Beberapa pelanggaran terhadap asas-asas tersebut antara terhadap asas nemo judex in rex sua, asas ne bis in idem, asas audi alteran partem, asas ius curia novit, asas res judicata pro veritate habetur.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 12 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    xiii

    SEKAPUR SIRIH

    Tentunya terhadap adanya analisis dalam putusan yang melanggar asas-asas sebagaimana dikemukakan di atas, hasil penelitian ini dapat membuka cakrawala bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan hukum di pengadilan, setidaknya ketika perkara tersebut berkaitahn dengan pemahaman asas-asas tersebut.

    Mudah-mudah hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua kalangan, khususnya para hakim di dalam menangani suatu perkara yang dihadapinya.

    Jakarta, November 2015 Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan/ Penanggung Jawab Penelitian

    Dr. H. Jaja Ahmad Jayus, S.H.,M.Hum.

    .

    Korelasi Putusan Hakim.indd 13 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim.indd 14 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    xv

    Pengantar Sekjen

    PENGANTAR SEKJEN

    Penerbitan buku ilmiah merupakan tradisi Komisi Yudisial untuk melakukan terobosan sebagai upaya memberi masukan kepada mitra Komisi Yudisial maupun untuk perbaikan internal Komisi Yudisial itu sendiri. Pada kesempatan kali ini Komisi Yudisial kembali menerbitkan buku hasil penelitian bertajuk Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakm (KEPPH).

    Putusan hakim merupakan gambaran dari kualitas hakim itu sendiri, melalui putusan hakim dapat dilihat tingkat profesionalitas hakim sebagai profesi yang mulia. Melalui putusan hakim juga dapat tergambar tinggi rendahnya integritas hakim.

    Penelitian yang mengambil data dari pengaduan masyarakat ini sangat menarik untuk mengetahui korelasi antara kualitas putusan dan indikator-indikator dari dugaan pelanggaran KEPPH.

    Penelitian ini bertujuan untuk pengayaan informasi atas anotasi yang sudah dilakukan terkait laporan pengaduan masyarakat ditinjau dari sisi putusan hakim yang dijadikan lampiran pengaduan. Selain itu, melalui penelitian ini dapat menjadi pengayaan materi penyegaran/pelatihan KEPPH untuk kalangan para hakim atau pelatihan eksaminasi putusan untuk kalangan akademisi/peneliti putusan

    Korelasi Putusan Hakim.indd 15 12/18/2015 3:30:41 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    xvi

    Pengantar Sekjen

    Komisi Yudisial menyampaikan terima kasih kepada seluruh tim penyusunan buku ini dan khususnya kepada tim dari peneliti Jurusan Hukum Bisnis (Business Law Department) Universitas Bina Nusantara. Dengan harapan, adanya buku ini bisa memberi manfaat kepada semua pihak yang membutuhkan dan semakin memperbanyak referensi tentang hasil penelitian terhadap putusan hakim.

    Jakarta, November 2015

    Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial

    Danang Wijayanto

    Korelasi Putusan Hakim.indd 16 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    xvii

    Pengantar Tim Analisis

    Pengantar Tim Analisis

    Buku ini pada awalnya adalah hasil penelitian antara Komisi Yudisial dengan sejumlah perguruan tinggi untuk menganalisis putusan-putusan hakim yang dikategorikan “bermasalah” berdasarkan laporan pengaduan masyarakat. Kategori “bermasalah” di sini berangkat dari kenyataan bahwa putusan tersebut memang dipakai sebagai dokumen utama pengaduan masyarakat terhadap figur-figur hakim yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

    Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa putusan hakim yang “bermasalah” akan memiliki celah hukum (legal gap) yang sangat mungkin dapat ditelusuri melalui analisis mendalam terhadap teks putusannya. Dengan demikian, penelitian ini akan memiliki kegunaan praktis bagi Komisi Yudisial karena dapat secara spesifik menunjukkan korelasi antara kualitas putusan dan indikator-indikator dari dugaan pelanggaran tersebut. Dalam konteks ini, peneliti berupaya bersikap netral untuk tidak secara prejudice menilai putusan itu “bermasalah” atau “tidak bermasalah” kendati ada anotasi dan Keputusan Sidang Pleno Komisi Yudisial yang sudah memberikan penilaian. Justru yang diinginkan dari penelitian ini adalah kemurnian sikap peneliti untuk mengungkapkan apa-apa yang mungkin belum disinggung di dalam anotasi dan Keputusan Sidang Pleno. Dengan demikian, hasil laporan penelitian ini menjadi “another

    Korelasi Putusan Hakim.indd 17 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    xviii

    Pengantar Tim Analisis

    opinion” atas putusan-putusan hakim tersebut dari sudut pandang pihak ketiga yang independen.

    Tim analis dari Universitas Bina Nusantara dikoordinasi oleh Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. sebagai Ketua Peneliti mendapat tugas membahas 20 putusan hakim dari berbagai tingkatan. Sekalipun demikian, ke-20 putusan hakim tersebut berasal dari lima pengaduan saja sehingga ada satu pengaduan yang berkisar dari satu sampai sebelas putusan hakim yang berbeda. Ada empat laporan pengaduan yang menghasilkan kesimpulan oleh Komisi Yudisial bahwa majelis hakim yang menerbitkan putusan itu “terbukti” melanggar KEPPH. Sedangkan satu pengaduan lainnya tidak mengantarkan pada kesimpulan “terbukti melanggar”.

    Pemilihan ke-20 putusan hakim yang dianalisis ditentukan secara sepihak oleh Komisi Yudisial dengan teknik pilihan sampel secara purposif. Objek penelitian yang dikaji mencakup tidak hanya putusan hakim dari laporan pengaduan yang dapat ditindaklanjuti (DL), melainkan juga dari laporan pengaduan yang tidak dapat ditindaklanjuti (TDL). Kombinasi dari kedua jenis laporan pengaduan ini diperlukan sebagai komparasi guna memperkaya hasil analisis penelitian.

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa korelasi antara kualitas putusan dan dugaan penyimpangan KEPPH. Hasil dari penelitian ini memiliki kegunaan sebagai : (1) pengayaan informasi atas anotasi yang sudah dilakukan terkait laporan pengaduan masyarakat ditinjau dari sisi putusan hakim yang dijadikan lampiran pengaduan tersebut; (2) penetapan indikator-indikator dugaan pelanggaran KEPPH dengan penggunaan putusan sebagai akses penelusuran; (3) pengayaan materi penyegaran/pelatihan KEPPH untuk kalangan para hakim atau pelatihan eksaminasi putusan untuk kalangan akademisi/peneliti putusan; dan (4) penambahan informasi atas figur-figur hakim tertentu yang telah dijadikan subjek

    Korelasi Putusan Hakim.indd 18 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    xix

    Pengantar Tim Analisis

    pengaduan masyarakat terkait dengan kualitas putusan mereka, sehingga dapat dijadikan basis data apabila terdapat kebutuhan pemantauan/penilaian terhadap individu hakim-hakim tersebut.

    Penelitian ini menggunakan teknis analisis sekunder (secondary analysis), yang oleh Ashley Crossman (2014) dimaknai sebagai “the practice of analyzing data that have already been gathered by someone else, often for a distinctly different purpose”. Dalam hal ini apa yang dilakukan oleh hakim dalam menghasilkan suatu putusan dapat dikategorikan sebagai hasil analisis mendalam yang sudah dilakukan oleh orang lain. Tugas tim analis adalah melakukan analisis kembali atas putusan ini. Hal-hal terkait dengan metodologi ini akan diungkapkan lebih lanjut dalam subbab tersendiri dalam laporan ini.

    Dengan terlaksananya penelitian ini, tim analis dari Universitas Bina Nusantara Jakarta mengucapkan teirma kasih atas kepercayaan yang diberikan oleh Komisi Yudisial. Bantuan dan pengarahan dari para Anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia dan Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial serta rekan-rekan dari unit terkait di Komisi Yudisial sangat meringankan pekerjaan tim analis. Besar harapan dari tim analis bahwa hasil analisis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 19 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim.indd 20 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    1

    BAB I

    Bab IPendahuluan

    Latar Belakang A.

    Komisi Yudisial menerima 2.193 laporan pengaduan masyarakat pada tahun 2013. Laporan masyarakat tersebut sudah diproses melalui pembahasan dalam sidang panel pertama sejumlah 621 aduan, dengan rincian 365 aduan yang tidak dapat ditindaklanjuti dan 265 aduan yang dapat ditindaklanjuti. Kemudian laporan masyarakat yang sudah diputus dalam sidang panel kedua berjumlah 358 aduan dan sidang pleno sebanyak 160 aduan.

    Dari 160 aduan yang telah diputus dalam sidang pleno, terdapat putusan hakim yang dijadikan lampiran oleh pelapor. Rincian keputusan sidang pleno menyatakan 98 putusan berkategori dapat ditindaklanjuti (DL), dengan kriteria 63 kasus yang dijatuhkan sanksi dan 35 kasus yang diberikan peringatan. Selebihnya, terdapat 62 putusan berkategori tidak dapat ditindaklanjuti (TDL).

    Putusan-putusan ini menarik untuk dianalisis kembali secara komprehensif karena di dalamnya terdapat potensi

    Korelasi Putusan Hakim.indd 1 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    2

    BAB I

    ditemukannya indikator-indikator pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dengan perkataan lain, perlu diteliti apakah ada korelasi antara kualitas putusan hakim yang dijadikan salah satu dokumen laporan pengaduan masyarakat tersebut dengan dugaan pelanggaran KEPPH.

    Penelitian ini berangkat dari asumsi putusan hakim yang “bermasalah” akan memiliki celah hukum (legal gap) yang sangat mungkin dapat ditelusuri melalui analisis mendalam terhadap teks putusannya. Dengan demikian, penelitian ini akan memiliki kegunaan praktis bagi Komisi Yudisial karena dapat secara spesifik menunjukkan korelasi antara kualitas putusan dan indikator-indikator dari dugaan pelanggaran tersebut.

    Objek penelitian yang akan dikaji tidak hanya mencakup putusan hakim dari laporan pengaduan yang dapat ditindaklanjuti (DL), melainkan juga dari laporan pengaduan yang tidak dapat ditindaklanjuti (TDL). Kombinasi dari kedua jenis laporan pengaduan ini diperlukan sebagai komparasi guna memperkaya hasil analisis penelitian.

    Mengingat konfidensialitas yang cukup tinggi atas laporan-laporan pengaduan yang lampiran putusannya dijadikan objek analisis dalam penelitian ini, maka peneliti pada program penelitian tahun 2014 ini tidak lagi ditawarkan secara terbuka kepada jejaring Komisi Yudisial. Selama beberapa tahun terakhir, ada empat koordinator tim analis yang telah terlibat menyusun TOR beserta instrumen, sekaligus mengawal, menilai, dan mengkompilasi hasil penelitian putusan pengadilan, sehingga tim analis tersebut dilakukan penunjukan langsung. Tim inilah yang diminta untuk menyusun TOR dan instrumen, sekaligus bertanggung jawab memimpin dan menjalankan penelitian putusan ini.

    Setelah melalui berbagai proses pertimbangan yang diputuskan dalam rapat Anggota Komisi Yudisial, tim dari Jurusan Hukum Bisnis (Business Law Department) Universitas Bina

    Korelasi Putusan Hakim.indd 2 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    3

    BAB I

    Nusantara termasuk salah satu dari sekian tim yang dipercaya melakukan riset ini. Tim ini melakukan analisis atas dua puluh putusan yang secara karakteristik berasal dari lima laporan pengaduan yang masuk ke Komisi Yudisial selama tahun 2013.

    PermasalahanB.

    Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah terdapat korelasi antara kualitas putusan dengan dugaan penyimpangan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)? Dengan demikian yang menjadi fokus analisis adalah kualitas dari tiap putusan dan apa kaitannya dengan penyimpangan menurut KEPPH.

    Tujuan dan Kegunaan PenelitianC.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa korelasi antara kualitas putusan dan dugaan penyimpangan KEPPH.

    Hasil dari penelitian ini memiliki kegunaan sebagai :1. Pengayaan informasi atas anotasi yang sudah dilakukan

    terkait laporan pengaduan masyarakat, ditinjau dari sisi putusan hakim yang dijadikan lampiran pengaduan tersebut;

    2. Penetapan indikator-indikator dugaan pelanggaran KEPPH dengan penggunaan putusan sebagai akses penelusuran;

    3. Pengayaan materi penyegaran atau pelatihan KEPPH untuk kalangan para hakim atau pelatihan eksaminasi putusan untuk kalangan akademisi/peneliti putusan; dan

    4. Penambahan informasi atas figur-figur hakim tertentu yang telah dijadikan subjek pengaduan masyarakat terkait dengan kualitas putusan mereka, sehingga dapat dijadikan basis data apabila terdapat kebutuhan pemantauan atau penilaian terhadap individu hakim-hakim tersebut.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 3 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    4

    BAB I

    Metode PenelitianD.

    Mengingat penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa korelasi antara kualitas putusan dan dugaan penyimpangan KEPPH, maka objek penelitian adalah putusan-putusan yang berasal dari dokumen yang menjadi bagian dari berkas laporan pengaduan masyarakat.

    Penelitian ini mengandalkan objek putusan yang telah diputus dalam sidang pleno pada tahun 2013. Sidang pleno sendiri bekerja setelah laporan ini dianotasi oleh Tenaga Ahli Komisi Yudisial.

    Dari 160 putusan tersebut, kemudian dipilih objek putusan hakim dengan rincian 60 putusan kategori DL dari semula 63 putusan yang telah ditetapkan rekomendasi sanksinya (95,24%). Sementara itu, untuk putusan TDL dipilih sebanyak 20 putusan dari total 62 putusan (32,26%) yang dilaporkan pada tahun 2013. Dari jumlah tersebut, khusus untuk setiap tim analis, dibagikan sebanyak 20 putusan yang merepresentasikan karakteristik putusan-putusan dimaksud.

    Alur penetapan sampel putusan hakim yang dijadikan objek penelitian sebagai berikut:

    Korelasi Putusan Hakim.indd 4 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    5

    BAB I

    Penelitian ini menggunakan metode analisis sekunder (secondary analysis). Menurut Chadwick dkk. (1991: 292), analisis sekunder biasanya mengacu pada pemakaian bahan-bahan penelitian yang sudah dilakukan orang lain. Jadi tim analis dalam konteks ini tidak bertugas mengumpulkan data.

    Dalam kaitan dengan data ini, para ahli di bidang metode penelitian membedakan antara laporan yang disebut sumber primer dan sumber sekunder. Putusan hakim di level judex facti, terlebih pada pengadilan tingkat pertama dapat dimasukkan ke dalam sumber primer karena apa yang ditulis dalam putusan itu adalah apa yang diperoleh langsung oleh hakim di ruang sidang. Sementara apa yang ditulis oleh hakim di pengadilan tingkat kedua (kendati masih judex facti) dan Mahkamah Agung (sebagai judex juris) bisa diasosiasikan ke sumber sekunder. Chadwick, dkk. menyatakan bahwa dalam klasifikasi konvensional, sumber-sumber primer jelas lebih disukai.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 5 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    6

    BAB I

    Metode analisis sekunder memiliki kemiripan dengan metode analisis isi (content anaylsis) yang lazim digunakan dalam penelitian-penelitian ilmu komunikasi. Dalam penelitian ini, sesungguhnya dapat juga dianalogikan bahwa objek penelitian bukan pemberitaan atau artikel media massa sebagaimana dikenal dalam penelitian ilmu komunikasi, melainkan berupa putusan-putusan hakim.

    Secara esensial, baik pemberitaan atau artikel media massa maupun putusan hakim memiliki peran yang sama, yaitu untuk disampaikan kepada pihak lain (pembaca). Putusan hakim tidak dibuat untuk diri si hakim dan para pihak yang terkait, melainkan untuk didiseminasi kepada publik. Putusan hakim yang sudah dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum adalah informasi publik.

    Walaupun memungkinkan berpegang pada analogi ini, tim analisis lebih memilih untuk menggunakan terminologi analisis sekunder sebagaimana disebutkan oleh Chadwick (1991: 292-315). Alasan pemilihan ini karena kelaziman yang dikenal di dalam analisis isi mengarah pada model analisis kuantitatif, yang cukup “menyulitkan” jika diterapkan untuk penelitian putusan hakim ini.

    Penelitian dengan analisis sekunder ini dilakukan dengan cara membaca secara cermat kasus posisi. Ada anggota dari tim analis yang ditugaskan untuk membaca kronologi duduk perkara peristiwa tersebut. Kemudian diidentifikasi apakah memang duduk perkara ini layak diidentifikasi sebagai peristiwa hukum, sebagaimana ditetapkan oleh majelis hakim. Fokus dari analisis ini adalah melihat seberapa tepat pertimbangan hukum dari majelis hakim dimunculkan dalam merelasikan antara dasar hukum dan peristiwa konkret yang dikonstatasi oleh majelis tersebut.

    Mengingat banyak pertimbangan hakim yang bisa dimunculkan dalam penelitian ini, maka tim analis harus membuat prioritas. Dasar logika putusan dipilih secara purposif

    Korelasi Putusan Hakim.indd 6 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    7

    BAB I

    sebagai sampel karena putusan tersebut menjadi bagian dari dokumen pengaduan masyarakat. Maka dengan sendirinya, substansi pengaduan ini harus digunakan sebagai orientasi analisis juga. Artinya, seberapa jauh putusan tadi bisa dikaitkan dengan dugaan penyimpangan KEPPH, sebagaimana ditanyakan di dalam rumusan masalah, akan bergantung pada seperti apa pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat kepada Komisi Yudisial.

    Dalam penelitian ini dijumpai kesulitan yang lazim ditemukan dalam penelitian dengan metode analisis sekunder. Sumber informasi yang diperoleh dari penelitian ini hanya mengandalkan teks yang ada di dalam dokumen. Padahal, tidak semua dokumen ini mampu menyajikan urutan-urutan fakta secara logis. Ada majelis hakim yang cukup cermat sehingga mengurutkan peristiwa hukum secara linear, tetapi ada juga yang sebaliknya. Dalam hal ini, tim analis harus menempuh cara dengan melakukan pembacaan ulang setiap putusan oleh analis yang berbeda. Dengan demikian, diharapkan kesalahan dalam membaca teks dapat diminimalisasi.

    Kelemahan lainnya adalah kelengkapan dokumen yang disajikan. Ada berkas putusan, misalnya, yang urutan halamannya melompat karena tidak terkopi lengkap. Tatkala hal ini ditanyakan kepada Komisi Yudisial, ketidaklengkapan ini rupanya sudah sejak pertama kali dokumen diterima dari pihak pelapor. Dalam hal ada kesulitan demikian, tim analis akan mengupayakan melengkapi informasinya dari sumber-sumber lain, seperti dokumen anotasi dan keputusan sidang pleno.

    Kerangka TeoriE.

    Penelitian ini menggunakan putusan hakim sebagai objek analisis. Kata “putusan” sendiri mengandung pengertian yang khas. Menurut R. Subekti (1982: 125), dalam dunia peradilan

    Korelasi Putusan Hakim.indd 7 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    8

    BAB I

    dibedakan antara putusan (vonnis) dan penetapan hakim (beschikking). Putusan diambil untuk memutusi suatu perselisihan atau sengketa (perkara), sedangkan penetapan berhubungan dengan suatu permohonan, yaitu dalam rangka yurisdiksi voluntair. Dalam hal yang terakhir ini, pengadilan (hakim) melakukan tindakan yang tidak berdasarkan suatu pemeriksaan terhadap para pihak yang saling berhadapan di mana yang satu dapat membantah apa yang diajukan oleh yang lain.

    Dalam konteks penelitian ini, ada sejumlah putusan hakim yang secara karakteristik merupakan hasil permohonan, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai “putusan” (vonnis). Sekalipun demikian untuk memberikan penyeragaman penggunaan istilah, khusus untuk judul penelitian ini, digunakan satu istilah yang sama yaitu putusan hakim. Dengan pengertian adalah produk hukum yang ditetapkan oleh majelis hakim yang bersidang di pengadilan.

    Dalam Pasal 183, 184, 187 HIR (bandingkan dengan Pasal 194, 195, dan 198 Rbg), disinggung tentang apa-apa yang harus dimuat dalam putusan hakim. Sudikno Mertokusumo (1988: 177-183) menyebut bagian-bagian putusan hakim menjadi: (1) kepala putusan, (2) identitas para pihak, (3) pertimbangan, dan (4) amar.

    Dalam konteks penelitian ini, analisis sekunder dilakukan dengan memusatkan perhatian pada pertimbangan-pertimbangan hakim, baru kemudian akan ditelaah seberapa jauh muatan pertimbangan ini sinkron dengan amar. Kualitas putusan yang menjadi pertanyaan kunci di dalam rumusan masalah lebih dilihat dari aspek penalaran hakim dalam membuat pertimbangan untuk kemudian sampai pada kesimpulan di bagian amar putusan. Sisi formalitas putusan sejauh bersinggungan akan ikut disinggung.

    Sudikno Mertokusumo (1988: 178) menyatakan, pertimbangan atau apa yang sering disebut konsiderans

    Korelasi Putusan Hakim.indd 8 12/18/2015 3:30:42 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    9

    BAB I

    merupakan dasar dari putusan. Pertimbangan dalam putusan pada umumnya dapat dibagi dua, yaitu pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwa dan pertimbangan tentang hukumnya. Dalam proses perdata terdapat pembagian tugas antara para pihak dan hakim. Para pihak harus mengemukakan peristiwanya, sedangkan soal hukum adalah urusan hakim. Atas dasar itulah maka dalam penelitian ini, fokus perhatian lebih kepada pertimbangan hukum. Hal yang terkait dengan peristiwa hukum dituangkan di dalam tabel kronologi posisi kasus.

    Kualitas putusan hakim akan ditentukan seberapa majelis hakim dapat membuat konsistensi berpikir antara pertimbangan fakta dan pertimbangan hukum, hingga sampai pada amar putusan. Selama tidak terjadi “jumping to conclusion” dapat diasumsikan putusan ini memiliki kualitas yang baik. Oleh karena di sisi lain ada laporan pengaduan masyarakat yang

    Korelasi Putusan Hakim.indd 9 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    10

    BAB I

    sudah terlebih dulu menyampaikan catatan terhadap “kualitas putusan” ini, dengan asumsi sudah terjadi pelanggaran KEPPH, maka analisis dilakukan untuk menjawab rumusan masalah, yaitu: apakah ada korelasi antara kualitas putusan dengan dugaan penyimpangan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim?

    KEPPH yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009. Dalam KEPPH ini dikatakan, hakim adalah hakim agung dan hakim di semua lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, termasuk hakim ad hoc.

    Posisi KEPPH di sini diposisikan sebagai suatu kerangka acuan untuk menilai perihal dugaan penyimpangan dan bukan penyimpangan. Secara yuridis posisi KEPPH pernah dijadikan objek uji materiil di Mahkamah Agung, yang berarti ditempatkan sebagai peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, secara akademis KEPPH dapat juga dianggap sebagai peraturan kebijakan yang tidak proporsional untuk dijadikan objek uji materiil.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 10 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    11

    BAB II

    BAB IIAnalisis Putusan

    Putusan Perkara 1 A.

    Nomor Perkara 36 P/HUM/2011

    Identitas Perkara

    Isu kunci : • Pengujian Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah

    Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.Para Pihak :• - Henry P. Pangabean, Humala Simanjuntak, Linton

    O. Siahaan, Sarmanto Tambunan (Pemohon).- Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi

    Yudisial RI (Termohon I dan II).Majelis Hakim : Pemeriksa Perkara Nomor 36 P/• HUM/2011.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 11 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    12

    BAB II

    a. Posisi Kasus

    No Waktu Peristiwa

    1 24 Agustus 2011 Empat orang berprofesi advokat di Jakarta (beberapa adalah pensiunan hakim agung) mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009. Permohonan dilakukan agar rincian butir 8 dan 10 KEPPH dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum (dicabut).

    2 9 Januari 2012 Terkait permohonan ini, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 36 P/Hum/2011 yang mengabulkan permohonan Pemohon.

    3 15 Februari 2012 Lima orang dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Peradilan melakukan pelaporan ke Komisi Yudisial dengan register Nomor 0091/L/KY/II/2012.

    4 28 Mei 2013 Komisi Yudisial mengeluarkan Keputusan Sidang Pleno Nomor 53/SP.KY/V/2013 yang menyatakan majelis hakim dalam Putusan Nomor 36 P/Hum/2011 telah melanggar KEPPH dan menjatuhkan sanksi ringan kepada dua orang anggota majelis hakim agung (yang belum pensiun) dengan teguran tertulis.

    b. Dasar permohonan

    Dari segi formal, pembentukan Surat Keputusan Bersama • (SKB) tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) adalah produk hukum yang melaksanakan

    Korelasi Putusan Hakim.indd 12 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    13

    BAB II

    perintah undang-undang, sehingga SKB ini mempunyai kekuatan hukum mengikat karena diperintahkan oleh undang-undang.Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan uji • materiil terhadap butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 KEPPH.Pemohon sebagai badan hukum privat, kelompok • masyarakat, dan/atau individu profesional telah memenuhi kualifikasi dan kedudukan.

    c. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan

    Dalam putusannya, majelis hakim telah membaca jawaban dari para Termohon. Namun, majelis hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat meruntuhkan dalil-dalil para Pemohon dalam permohonannya.

    Ada banyak sisi dari pertimbangan hukum yang dimasukkan di dalam putusan ini. Namun, salah satu hal yang menarik untuk dianalisis dalam konteks penelitian berbasis pengaduan masyarakat ini adalah pertimbangan soal ada tidaknya konflik kepentingan antara majelis hakim dengan perkara yang ditanganinya (asas nemo judex in rex sua).1

    Pertimbangan hakim (dengan modifikasi redaksional seperlunya) dalam kaitannya dengan asas ini adalah sebagai berikut :

    Majelis hakim menetapkan untuk mengadili kasus ini • karena “hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang lengkap” (Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

    1 Dalam beberapa literatur, asas ini juga ditulis “nemo iudex in causa sua” yang berarti tiada seorang pun dapat menjadi hakim untuk kasusnya sendiri.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 13 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    14

    BAB II

    Kecuali Mahkamah Agung, tidak ada lagi badan peradilan • lain yang secara absolut berwenang menyidangkan permohonan hak uji materiil.Asas • “nemo judex in rex sua” ini seharusnya menjadi kekhawatiran Pemohon, bukan Termohon. Dalam kenyataannya, justru Termohon II yang berkeberatan, padahal kepentingannya paralel (sama) dengan Termohon I (Mahkamah Agung).Mahkamah Agung boleh memeriksa dan mengadili • produk bersama dengan badan lain, tidak semata-mata produk Mahkamah Agung sendiri, dan harus bertanggung jawab sendiri.Majelis hakim lalu menyatakan keberatan Termohon II

    (Komisi Yudisial) terhadap terlanggarnya asas nemo judex in rex sua ini tidak beralasan nalar yang sehat (common sense), sehingga harus ditolak dan karenanya harus ditolak. Karena itu, dari segi formil atau prosedural hak uji materiil adalah cukup beralasan dan dapat diterima.

    Atas dasar pertimbangan ini pula, maka pada amar putusan majelis hakim menerima permohonan dengan menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 SKB bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perudang-undangan tingkat lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

    Sebagai konsekuensi, semua butir yang disebutkan di atas dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, dan memerintahkan kepada Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial untuk mencabut butir-butir di atas. Panitera Mahkamah Agung diperintahkan untuk mencantumkan petikan

    Korelasi Putusan Hakim.indd 14 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    15

    BAB II

    putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara, serta biaya perkara sebesar satu juta rupiah dibebankan kepada para Termohon (Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial).

    d. Dugaan Pelanggaran yang Dilaporkan

    Para pelapor yang terdiri dari Tama S. Langkun, Refli Saputra, Choky Risda Ramadhan, Jamil Mubarok, dan Ilham Saenong dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Peradilan menyatakan para hakim yang mengadili kasus dengan Nomor Putusan 36 P/HUM/2011 ini telah melanggar KEPPH, dengan alasan:

    KEPPH adalah panduan keutamaan moral bagi hakim, • sehingga hakim agung sesungguhnya juga terikat pada KEPPH. Di sini ada conflict of interest.Hakim agung yang mengadili perkara ini telah melanggar • Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kahakiman yang mewajibkan hakim mengundurkan diri dari persidangan apabila ada kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara. Pasal 17 ayat (6) kemudian menyatakan : ”Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.Hakim agung yang mengadili perkara ini telah melanggar • Angka 5.1.2 KEPPH dalam hal kewajiban berintegritas tinggi. Butir 5.1.2 KEPPH ini menegaskan, “Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki

    Korelasi Putusan Hakim.indd 15 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    16

    BAB II

    konflik kepentingan baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan”.

    e. Analisis Putusan

    Jika dicermati, permohonan uji materiil ini berawal dari argumentasi tentang adanya inkonsistensi materi muatan SKB dengan dua undang-undang, yakni Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung.2

    Perbandingan antara dua kelompok aturan itu adalah sebagai berikut :

    2 Pada tanggal 5 Maret 2012, bertempat di Gedung YLBHI Jakarta, ketua tim analis penelitian ini, Shidarta, pernah diundang membawakan makalah untuk diskusi publik dengan tema “Pencabutan SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.” Sebagian dari uraian di dalam laporan ini mengutip pandangan yang bersangkutan.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 16 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    17

    BAB II

    Pasal-pasal dalam UU terkait yang dinilai dilanggar :

    Butir-butir dalam SKB yang dinilai melanggar :

    Pasal 40 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman :Dalam melakukan p e n g a w a s a n s e b a g a i m a n a dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial m e m p u n y a i tugas melakukan p e n g a w a s a n terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

    Butir 8 :8.1. Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan.8.2. Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan.8.3. Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.8.4. Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk, harus mendistribusikan perkara kepada majelis hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada hakim yang memiliki konflik kepentingan.

    Butir 10 :10.1. Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.10.2. Hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administratif dan bekerja sama dengan para hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan.10.3. Hakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan yang lain secara profesional.10.4. Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.

    Pasal 41 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman :Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

    Pasal 32A UU Mahkamah Agung :Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 17 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    18

    BAB II

    Ada cara sederhana untuk memahami kedua kelompok aturan dalam tabel di atas, yakni dengan menganalisis masing-masing norma itu menurut (1) subjek norma, (2) operator norma, (3) objek norma, dan (4) kondisi norma. Fokus dari ketentuan yang dijadikan patokan pelanggaran adalah Pasal 40 ayat (2), sedangkan pasal-pasal lain hanya memberi penegasan tentang otoritas yang membuat KEPPH, sebagaimana disinggung dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

    Analisis terhadap semua ketentuan di atas akan menghasilkan suatu struktur aturan sederhana sebagai berikut:1. Subjek norma : Komisi Yudisial;2. Operator norma : wajib (perintah);3. Objek norma : bertugas melakukan

    pengawasan perilaku hakim [berdasarkan KEPPH];3

    4. Kondisi norma : a. dalam hal Komisi Yudisial melakukan pengawasan;b. dalam hal KEPPH telah ditetapkan oleh Mahkamah

    Agung dan Komisi Yudisial.Jika mengacu pada struktur aturan di atas, maka dapat

    langsung dipahami bahwa sejak awal niat para pemohon untuk pengujian materi ini adalah untuk mengurangi kewenangan Komisi Yudisial, sekalipun Mahkamah Agung justru diposisikan sebagai Termohon I dan Komisi Yudisial sebagai Termohon II.4

    3 Keterangan di dalam tanda kurung siku [...] ini sebenarnya juga bisa diposisikan sebagai kondisi norma. Pengertian kondisi norma dalam analisis ini dimaknai luas, tidak hanya sekadar soal waktu dan tempat berlakunya norma, melainkan termasuk juga syarat-syarat dan sebab-akibat (kondisional) yang terkait dengan tindakan (kata kerja) sebagaimana tercantum pada objek norma. Biasanya kondisi norma bisa dikenali antara lain dari anak kalimat dengan diawali kata-kata: “dalam hal...,” “secara...,” atau “jika....” Juga kata-kata yang menunjukkan kondisi yang diharapkan akan terjadi bila melakukan tindakan itu, misalnya dengan kata-kata “untuk...,” “agar/supaya...” atau “sehingga...”.

    4 Dengan status sebagai Termohon, MA mungkin dapat berkilah bahwa secara

    Korelasi Putusan Hakim.indd 18 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    19

    BAB II

    Melalui struktur aturan itu juga dapat diketahui bahwa Komisi Yudisial baru diwajibkan menjalankan tugas pengawasan setelah ada KEPPH yang ditetapkan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Jika kewenangan dari subjek norma Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan eksternal berdasarkan sejumlah butir KEPPH ini dibatalkan, maka kewenangan melakukan pengawasan internal dari subjek norma Mahkamah Agung pun juga ikut pula terbatalkan.

    Struktur aturan serupa seperti di atas dapat pula dibuat untuk setiap butir SKB yang dipermasalahkan. Namun, jika keseluruhan butir tersebut (kecuali butir 8.4) digabungkan, maka struktur aturannya kurang lebih menjadi sebagai berikut :1. Subjek norma : Setiap hakim2. Operator norma : wajib (perintah/keharusan)3. Objek norma :

    a. mengetahui, mendalami, melaksanakan tugas pokok [sesuai perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan];

    b. menghormati hak-hak para pihak [dalam proses peradilan];

    c. berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara [secara sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku];

    d. membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan [untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan];

    institusional ia sebenarnya ikut “dikalahkan” dalam putusan ini, namun tidak dapat disangkal bahwa MA telah memberi apresiasi atas putusan ini. Dalam situs resmi MA, putusan ini ternyata dikategorikannya sebagai “yurisprudensi”. Untuk itu lihat: akses tanggal 2 Maret 2012. Sayangnya tidak jelas kaidah hukum apa yang menjadi petunjuk adanya yurisprudensi dimaksud.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 19 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    20

    BAB II

    e. mengambil langkah-langkah memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi [untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik];

    f. melaksanakan tanggung jawab administratif dan bekerja sama dengan para hakim dan pejabat pengadilan lain [dalam menjalankan administrasi peradilan; secara tekun];

    g. mengutamakan tugas yudisial di atas kegiatan yang lain [secara profesional];

    h. menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yamg menguntungkan terdakwa atau para pihak [dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya].

    Khusus untuk butir 8.4, struktur aturannya dapat diformulasikan sebagai berikut:1. Subjek norma : Ketua Pengadilan/Hakim yang

    ditunjuk;2. Operator norma : wajib (perintah/keharusan);3. Objek norma :

    a. mendistribusian perkara kepada Majelis Hakim [secara adil dan merata];

    b. menghindari pendistribusian perkara kepada hakim yang memiliki konflik kepentingan.

    Sangat menarik bahwa yang dijadikan “sasaran tembak” pengujian adalah kedelapan butir KEPPH di dalam SKB, sementara butir induknya, yaitu angka 8 dan 10 sama sekali tidak dipermasalahkan. Angka 8 KEPPH bertajuk “Berdisiplin Tinggi,” sedangkan angka 10 KEPPH “Bersikap Profesional”.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 20 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    21

    BAB II

    Dengan dihapusnya butir-butir ini, berarti angka 8 dan 10 tidak lagi diberikan rumusan penerapannya, melainkan dibiarkan terumuskan secara abstrak. Amar Putusan Mahkamah Agung ini tidak eksplisit memerintahkan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan susun ulang butir-butir yang dicabut itu, sekalipun dalam pertimbangan ada disebutkan kata-kata: “...dan selanjutnya perlu disusun atau diterbitkan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dalam penerapannya untuk memperjelas dan memberikan definisi yang konkrit tentang bentuk-bentuk teknis pengawasan yang menjadi wewenang Mahkamah Agung dan pengawasan perilaku dan pelanggaran kode etik yang menjadi ranah kewenangan Komisi Yudisial,...”5

    Apabila kedua kelompok struktur aturan ini dihadap-hadapkan, yaitu antara kelompok Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung versus kelompok penerapan butir-butir 8 dan 10 KEPPH, maka sesungguhnya dapat dilihat bahwa secara eksplisit tidak ada pertentangan prinsip di antara kedua struktur itu.

    Struktur aturan pertama dialamatkan ke Komisi Yudisial, sedangkan struktur kedua ditujukan kepada setiap hakim. Komisi Yudisial diperintahkan oleh undang-undang untuk melakukan pengawasan dan hakim adalah sasaran pengawasannya. Untuk melakukan pengawasan itu, dikondisikan harus ada KEPPH yang ditetapkan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Amanat undang-undang itu sudah pula dilaksanakan melalui pemberlakuan SKB.

    5 Ada analogi yang bisa diajukan dalam hal ini, yaitu terhadap putusan MK Nomor 012/PUU-I/2003 ketika beberapa pasal dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibatalkan oleh MK. Salah satu pasal yang dinyatakan tidak lagi mengikat adalah Pasal 158 yang memuat alasan-alasan pihak pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja. Dengan hapusnya pasal ini, tidak lalu berarti pengusaha tidak dapat memutuskan hubungan kerja.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 21 12/18/2015 3:30:43 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    22

    BAB II

    Permasalahan baru terlihat setelah pertimbangan-pertimbangan hukum dari majelis hakim disimak secara mendalam. Di situ terlihat bahwa analisis atas pertentangan struktur aturan KEPPH ternyata pertama-tama tidak dihadapkan dengan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana diajukan pemohon.

    Pasal-pasal yang dikonfrontasikan melalui pertimbangan hakim justru pertama-tama adalah Pasal 39 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, khususnya ayat (4). Subjek norma dari pasal ini adalah Mahkamah Agung, tetapi oleh majelis dianggap berlaku juga secara mutatis mutandis bagi Komisi Yudisial dalam hal melakukan pengawasan eksternal.

    Jika bunyi penafsiran majelis hakim itu diformulasikan ulang secara bebas, maka kurang lebih akan tampak buah penalaran mereka menjadi berbentuk silogisme berikut ini:

    Premis mayor

    Semua lembaga negara yang mengawasi hakim adalah institusi yang terlarang melaksanakan pengawasan yang dapat mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

    Premis minor

    Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mengawasi hakim.

    Konklusi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial adalah institusi yang terlarang melaksanakan pengawasan yang dapat mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

    Dalam silogisme di atas, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial diposisikan oleh majelis hakim pada posisi sejajar, yakni sebagai sesama lembaga pengawas. Baru pada penalaran berikutnya, majelis hakim menyatakan bahwa sumber

    Korelasi Putusan Hakim.indd 22 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    23

    BAB II

    kewenangan kedua lembaga tersebut berbeda. Mahkamah Agung mendasarkan kewenangannya pada Pasal 39, sedangkan Komisi Yudisial pada Pasal 40 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

    Dengan menggunakan rumusan Pasal 40 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, majelis ingin menonjolkan kata “perilaku hakim” sebagai area pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini berbeda dengan area pengawasan Mahkamah Agung yang mencakup tiga bidang sekaligus, yaitu teknis yuridis, administrasi, dan perilaku hakim. Namun, majelis hakim kemudian menambahkan bahwa di bidang teknis yuridis pun ada kewenangan Komisi Yudisial, yakni dengan pembatasan hanya pada analisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 42 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman).

    Area kewenangan di atas lalu dipertentangkan dengan butir 8.1 yang menurut pertimbangan majelis sama sekali tidak masuk ke dalam cakupan kedua area itu. Prihal pengetahuan atau pemahaman, menurut majelis, masuk ke wilayah kognitif bukan wilayah perilaku (behavior).

    Gaya bernalar demikian kembali dapat diformulasikan secara bebas dalam pola silogisme berikut:

    P r e m i s mayor

    Semua perilaku hakim dan teknis yuridis tertentu (analisis putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap) adalah area pengawasan Komisi Yudisial.

    P r e m i s minor

    Kewajiban hakim mengetahui dan mendalami peraturan perundang-undangan adalah BUKAN perilaku hakim dan BUKAN teknis yuridis tertentu (analisis putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap).

    Konklusi Kewajiban hakim mengetahui dan mendalami peraturan perundang-undangan adalah BUKAN area pengawasan Komisi Yudisial.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 23 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    24

    BAB II

    Sayangnya, majelis hakim tidak bersedia membaca rumusan butir 8.1 secara lengkap. Butir 8.1 tidak boleh dipotong hanya sampai pada kata-kata “mengetahui dan mendalami”, tetapi harus diteruskan sampai pada “SERTA melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku...(dan seterusnya)”. Kata sambung “SERTA” pada rumusan itu menunjukkan keseluruhan rumusan butirnya sebagai satu kesatuan.

    Selain butir 8.1, ada butir lain yang juga dimaknai sama, yaitu butir 10.4. Bunyi butir itu adalah: “Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yamg menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya”. Menurut majelis hakim, pasal ini adalah di dalam wilayah kognisi. Apakah benar demikian?

    Untuk memetakan secara tegas mana yang termasuk wilayah kognisi dan mana wilayah perilaku, seyogianya digunakan analisis dengan menggunakan dasar teoretis tertentu. Majelis Hakim Mahkamah Agung, sayangnya, sama sekali tidak bersedia menunjukkan dasar referensi mereka.

    Apa yang disampaikan oleh Sussanne K. Langer dalam bukunya “Philosophy in A New Key” (1948) dan “Feeling and Form” (1952) mungkin bisa membantu memberikan pembedaan antara konsep “wilayah koginisi” dan “wilayah perilaku” sebagaimana disebut-sebut dalam putusan. Menurut filsuf Amerika keturunan Jerman tersebut, pada saat kita mendapatkan informasi tertentu, maka informasi itu akan kita cerna dalam bentuk diskursif. Cernaan ini memang sepenuhnya bersifat kognitif.

    Jadi bila diterapkan dalam konteks butir 8.1, berarti tatkala hakim mendapat informasi-informasi terkait fakta hukum dan dasar hukum untuk kasus yang ditanganinya, ia wajib mencerna semua informasi itu. Pencernaan ini, sekali lagi,

    Korelasi Putusan Hakim.indd 24 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    25

    BAB II

    dilakukan secara kognitif. Pada langkah berikutnya, hakim tentu harus menuangkan hasil serapan kognitifnya itu dalam format putusan. Penuangan ini termasuk kategori presentasional, yang oleh Sussanne K. Langer dinyatakan sebagai karya yang bersifat ekspresif.

    Dengan meminjam kerangka berpikir demikian, jelaslah bahwa ada perbedaan wilayah kognisi dan wilayah perilaku. Sesuatu yang masih berada di dalam wilayah kognisi, tidak akan mungkin bisa diamati. Namun, ketika serapan kognisi itu diekspresikan menjadi sebuah karya presentasional, ia menjadi dapat diamati oleh orang lain lagi. Orang lain ini kembali melakukan serapan kognitifnya, untuk mungkin akan diekspresikan lagi kepada orang lain berikutnya. Dapat diduga, bahwa pada setiap karya presentasional yang baru, sangat terbuka ada penambahan atau pengurangan dari karya persentasional sebelumnya. Demikian rangkaian seperti itu terus berulang.6

    Jadi, apabila hakim menerbitkan sebuah putusan, maka putusan itu hakikatnya adalah suatu karya presentasional yang bersifat ekspresif. Dengan meminjam kalimat Majelis Hakim Mahkamah Agung ini, wilayah ekspresif ini disebutkan sebagai “wilayah perilaku”. Justru karena sudah masuk ke dalam wilayah perilaku itulah, maka putusan itu dapat dicermati dan diberikan penilaian orang lain. Artinya, mustahil bagi Komisi Yudisial untuk dapat menilai wilayah kognisi hakim sebelum hakim itu menuangkannya ke dalam putusan.

    Argumentasi di atas dapat saja dibantah oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dengan menyatakan bahwa kekurangpengetahuan dan kekurangpendalaman hakim itu seharusnya tidak perlu dinilai oleh Komisi Yudisial, tetapi bisa

    6 Tentu tidak semua karya presentasional harus dicerna secara kognitif dan diekspresikan kembali. Sebagai contoh, apabila kita mendengar sebuah lagu asing yang makna syairnya tidak dimengerti , kita tentu tetap bisa menikmati lagu itu sebagai sebuah karya estetis. Juga tidak ada keharusan pula, misalnya, untuk menyanyikan kembali atau mengomentari lagu tersebut kepada pihak lain.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 25 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    26

    BAB II

    dinilai melalui mekanisme upaya hukum sebagaimana diatur dalam hukum acara.

    Komisi Yudisial jelas tidak dapat ikut serta dalam pengawasan melalui mekanisme upaya hukum ini. Oleh sebab itulah Komisi Yudisial disebut sebagai pengawas eksternal. Kendati demikian, perlu diingat bahwa setiap putusan hakim selalu diucapkan di muka umum. Menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, putusan hakim juga termasuk kategori informasi publik. Dengan demikian, pada detik putusan itu dibacakan, pada detik itu juga putusan itu menjadi milik publik (public domain).

    Selain itu, publik pun (khususnya komunitas hukum), sangat perlu untuk diajak ikut serta mencermati putusan-putusan pengadilan, mengingat konsekuensi yang tidak kecil dari berlakunya jargon “res judicata pro veritate habetur”. Dengan demikian, sebenarnya sah-sah saja jika putusan pengadilan yang telah dipublikasikan itu dinilai oleh publik. Apabila publik diberi keleluasaan untuk menilai, mengapa Komisi Yudisial harus dikecualikan dari keleluasaan demikian?

    Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan ini kurang lebih mengatakan bahwa Komisi Yudisial perlu “dikecualikan” dari keleluasaan demikian karena dengan keleluasaan itu terbuka peluang bagi Komisi Yudisial untuk mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Misalnya, Komisi Yudisial dikhawatirkan akan berwenang memanggil hakim-hakim yang diduga telah melakukan kekeliruan itu, sehingga hal ini dipandang termasuk ke dalam kategori membahayakan kemandirian hakim.

    Untuk tidak menunjukkan pandangan majelis hakim yang tendensius menolak keberadaan Komisi Yudisial dan KEPPH, Majelis Hakim Mahkamah Agung kemudian dalam pertimbangannya mencoba sedikit menetralisasi pandangannya dengan kata-kata sebagai berikut:

    Korelasi Putusan Hakim.indd 26 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    27

    BAB II

    Akan tetapi Majelis Hakim berpendapat, jika memang ditemukan oleh Komisi Yudisial adanya indikasi yang didukung oleh bukti-bukti awal yang cukup bahwa kekeliruan itu dilakukan dengan sengaja, masalah ini masuk ke dalam wilayah pengawasan “perilaku”, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Komisi Yudisial secara sendiri atau bersamaan. Pernyataan dalam pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah

    Agung ini sangat penting untuk dicermati secara hati-hati karena berpotensi memunculkan kesesatan petitio principii. Majelis hakim mengatakan Komisi Yudisial boleh melakukan pengawasan jika ditemukan adanya bukti awal yang cukup tentang kesengajaan kekeliruan hakim terhadap penerapan butir-butir 8 dan 10 KEPPH, khususnya butir 8.1 dan 10.4.

    Konteks pengawasan demikian, menurut majelis hakim, termasuk ke dalam wilayah pengawasan perilaku. Berangkat dari rumusan pertimbangan hukum versi Majelis Hakim Mahkamah Agung tersebut, maka kurang lebih dapat dipaparkan definisi wilayah pengawasan perilaku itu akhirnya menjadi sebagai berikut:7

    Wilayah pengawasan perilaku adalah area kewenangan Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung dalam menindaklanjuti temuan yang mengindikasi hakim untuk sengaja keliru dalam menerapkan butir-butir 8 dan 10 KEPPH, dengan persyaratan bahwa temuan itu didukung oleh bukti-bukti awal yang cukup.Apabila benar inilah tawaran formulasi ulang atas rumusan

    butir-butir 8.1 dan 10.4 yang disarankan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung, maka bagi Komisi Yudisial sebenarnya tidak

    7 Dalam kaitannya dengan supra catatan kaki nomor 4, seandainya ingin tetap juga dicari ada tidaknya sebuah kaidah yurisprudensi dalam putusan ini, maka barangkali formulasi tentang makna “wilayah pengawasan perilaku” inilah yang mendekati sebuah penemuan hukum. Penafsiran atas pengertian ini jelas merestriksi makna butir 8 dan 10 KEPPH. Lazimnya sebuah penemuan hukum yang bernilai tinggi sebagai yurisprudensi diperoleh dari penafsiran yang memperluas, bukan mempersempit.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 27 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    28

    BAB II

    harus ada keberatan yang berarti. Sebab, Komisi Yudisial berarti diminta untuk selalu melengkapi temuan-temuannya dengan bukti awal yang cukup.

    Dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti awal ini, Komisi Yudisial berarti sangat boleh menganalisis putusan-putusan yang mengindikasikan keganjilan tertentu. Bukankah sebagian besar indikasi itu justru bertolak dari putusan? Oleh karena putusan hanya terdiri dari kumpulan teks, maka kesengajaan kekeliruan itu tidak akan dapat ditemukan di sana. Cara satu-satunya yang paling elegan adalah dengan meminta klarifikasi langsung dari hakim dan/atau pihak-pihak lain terkait di dalam perkara itu.

    Pada titik ini perdebatannya menjadi sangat klasik, yaitu analisis putusan dan permintaan klarifikasi ini lalu ditafsirkan sebagai bentuk “ancaman” terhadap kemandirian hakim dan/atau intervensi ke dalam ranah teknis yudisial. Padahal, jika saja cara-cara permintaan keterangan itu disiapkan dan disepakati bersama, maka perdebatan seputar hal teknis ini seharusnya dapat diakhiri. Pekerjaan penyusunan tata cara dan instrumen demikian memang tidaklah mudah, tetapi dengan antara lain bantuan ahli-ahli etika profesi dan para profesional hukum, tidak ada kesulitan yang tidak bisa teratasi.

    Dalam pertimbangan hukum yang diajukan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini, terdapat sebuah isu etis yang tampil ke permukaan. Saat majelis hakim memuat pertimbangan atas butir 10.4, tercantum kata-kata sebagai berikut: Kewenangan pengawasan teknis yuridis dilakukan oleh

    Mahkamah Agung melalui penggunaan upaya-upaya hukum sesuai hukum acara oleh para pihak berperkara. Kewenangan Komisi Yudisial bersumber pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yaitu pengawasan atas perilaku hakim sebagai bentuk pengawasan eksternal. Dengan demikian, pengawasan eksternal oleh

    Korelasi Putusan Hakim.indd 28 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    29

    BAB II

    Komisi Yudisial menurut ketentuan undang-undang harus semata-mata menyangkut “perilaku hakim” guna menegakkan martabat dan kehormatan hakim. Kewenangan atas masalah teknis hukum hanya sebatas kewenangan menganalisis putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) sesuai ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, sehingga tidak ada dasar hukum kewenangan bagi Komisi Yudisial untuk melakukan tugas pengawasan teknis hukum terhadap kasus yang belum berkekuatan hukum tetap.Sekalipun tidak eksplisit disebutkan, ada kesan

    dari pertimbangan di atas, ditambah dengan amar berupa pencabutan atas delapan butir KEPPH, menggarisbawahi bahwa penghormatan hakim terhadap hukum acara dipandang hanya bersentuhan dengan masalah teknis yuridis yang ada dibawah kewenangan Mahkamah Agung untuk mengawasinya.

    Atas dasar kesan ini, patut dipertanyakan, benarkah hukum acara (hukum formal) lebih bersentuhan pada dimensi hukum daripada dimensi etis? Apabila mengikuti pandangan demikian, kita disadarkan bahwa uraian tentang moralitas (sebagai bahan kajian etika) menjadi penting untuk diangkat kembali. Ulasan berikut ini, sekalipun agak berbau filosofis, kiranya diperlukan untuk mendudukkan secara tepat dan proporsional tentang hakikat pengawasan yang seyogianya diperankan oleh Komisi Yudisial.

    Pandangan Lon F. Fuller berikut ini mungkin menarik untuk disimak. Lon F. Fuller dalam bukunya “The Morality of Law” (1969) pertama-tama membedakan antara moralitas kewajiban (the morality of duty) dan moralitas aspirasi (the morality of aspiration). Moralitas kewajiban ditujukan kepada para warga masyarakat, sedangkan moralitas aspirasi diarahkan ke individu.

    Moralitas kewajiban selalu terbuka untuk diubah atau ditransformasikan ke hukum positif. Moralitas ini juga bisa

    Korelasi Putusan Hakim.indd 29 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    30

    BAB II

    dipaksakan dengan sanksi. Di sisi lain, moralitas aspirasi lebih ditujukan untuk kesempurnaan individu sebagai manusia yang baik. Moralitas demikian tidak bisa dipaksakan atau ditransformasikan ke hukum positif.

    Moralitas kewajiban adalah moralitas hukum yang sebenarnya. Moralitas hukum ini masih bisa dibagi lagi menjadi moralitas hukum internal (inner morality of law) dan moralitas hukum eksternal (outer morality of law). Moralitas hukum internal berisi syarat-syarat formal yang harus dipenuhi agar suatu moralitas dapat disebut hukum. Sementara itu, moralitas hukum eksternal adalah syarat-syarat substansial agar hukum bisa berfungsi mencapai keadilan dan kebenaran.

    Sampai disini segera dapat diketahui bahwa Lon F. Fuller menunjukkan betapa moralitas hukum internal itu bersinggungan langsung dengan hukum acara. Jadi, hukum acara sebenarnya ada di dalam aras internal sebuah sistem hukum. Ketika Fuller menunjukkan ada delapan prinsip legalitas, maka terlihat bahwa kedelapan prinsip legalitas itupun merupakan asas-asas penting hukum formal.

    Dengan demikian, tuntutan agar hakim menghormati ketentuan hukum acara, dalam perspektif ini, harus dilihat sebagai tuntutan etis terhadap profesi hakim. Dalam ketentuan-ketentuan formal itu diberikan koridor perilaku supaya aparat penegak hukum, termasuk hakim, tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya. Komisi Yudisial dengan demikian tidak akan keliru bila tetap menjadikan penghormatan hakim terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara dalam sebuah putusan sebagai indikasi atas dugaan pelanggaran KEPPH.

    Terlihat bahwa conflict of interest dengan sendirinya benar telah terjadi. Alasan bahwa majelis hakim menetapkan untuk tetap mengadili kasus ini karena “hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang lengkap” (Pasal 10 ayat [1] Undang-Undang Nomor 48 Tahun

    Korelasi Putusan Hakim.indd 30 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    31

    BAB II

    2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) telah dimaknai secara keliru, sehingga maknanya jadi meleset seakan-akan setiap perkara wajib ditangani apapun alasannya.

    Dugaan pelanggaran KEPPH terlihat dari konstelasi para pemohon yang cukup “aneh” karena berasal dari para advokat. Mereka mempersoalkan butir-butir 8 dan 10 KEPPH ini. Padahal justru cukup banyak advokat yang melakukan pelaporan ke Komisi Yudisial dengan menggunakan dalih pelanggaran kedua butir ini.

    Sekalipun Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dijadikan sebagai pihak terlapor, pada hakikatnya pihak terlapor “tunggal” dalam pengujian ini adalah Komisi Yudisial. Hal ini terlihat dari pertimbangan majelis hakim yang menegaskan: (1) Asas “nemo judex in rex sua” ini seharusnya menjadi kekhawatiran pemohon, bukan termohon. Dalam kenyataannya justru Termohon II yang berkeberatan, padahal kepentingannya paralel (sama) dengan Termohon I (Mahkamah Agung) dan (2) Mahkamah Agung boleh memeriksa dan mengadili produk bersama dengan badan lain di mana tidak semata-mata produk Mahkamah Agung sendiri dan harus bertanggung jawab sendiri.

    Apabila Mahkamah Agung setuju bahwa SKB merupakan bentuk peraturan perundang-undangan, maka seharusnya Mahkamah Agung paham bahwa SKB pada dasarnya adalah keputusan internal yang bisa dipandang berdiri sendiri. Indikatornya dapat dilihat dari penomoran surat yang berbeda. SKB yang memuat KEPPH diberi nomor masing-masing oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Tidak ada SKB dengan satu nomor surat. Jadi, seharusnya wajib dibaca bahwa Mahkamah Agung menganggap keputusan itu adalah produk lembaganya, demikian pula halnya dengan Komisi Yudisial. Secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bertanggung jawab atas produk ini.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 31 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    32

    BAB II

    Oleh sebab itu, Mahkamah Agung yang menerima pengujian materiil Surat KePutusan Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 ini adalah perbuatan menguji “peraturan perundang-undangan” produk sendiri. Pernyataan Mahkamah Agung bahwa “Mahkamah Agung boleh memeriksa dan mengadili produk bersama dengan badan lain, tidak semata-mata produk Mahkamah Agung sendiri dan harus bertanggung jawab sendiri” menyiratkan kesesatan bernalar yang fatal.

    f. Simpulan

    Secara implisit terlihat bahwa Putusan Nomor 36 P/HUM/2011 mendapat “dukungan” kuat dari majelis hakim sekaligus dari insitusi Mahkamah Agung karena beberapa indikasi:

    Isu yang diangkat dari perkara ini merupakan kelanjutan • dari polemik yang berkembang, yaitu keberatan dari Mahkamah Agung terhadap tindakan Komisi Yudisial yang dinilai sudah mencampuri urusan teknis yudisial. Pintu masuk yang harus ditutup oleh Mahkamah Agung, dengan demikian adalah derivasi butir 8 dan butir 10 KEPPH.Para pemohon notabene adalah kalangan advokat • seluruhnya dan beberapa di antara mereka merupakan mantan hakim agung, yang secara faktual tidak langsung bersinggungan dengan kepentingan untuk menghilangkan eksistensi derivasi dari butir 8 dan butir 10 KEPPH.Alasan majelis untuk menerima pengujian SKB tentang • KEPPH dengan dalih bahwa aturan ini merupakan produk peraturan perundang-undangan dan Mahkamah Agung tidak dapat dianggap memeriksa dan mengadili peraturannya sendiri hanya karena SKB adalah produk bersama, memperlihatkan cara bernalar yang keliru.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 32 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    33

    BAB II

    g. Catatan atas Laporan

    Laporan yang ditujukan kepada Komisi Yudisial oleh Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Peradilan memang tidak dapat direspon lebih maksimal oleh Komisi Yudisial, kecuali dengan menyatakan bahwa laporan ini sudah diproses dan sudah diberi keputusan. Anggota Komisi Yudisial tidak cukup kompak untuk mencapai kesimpulan akhir secara aklamasi karena ada satu anggota yang menyatakan dissenting opinion.

    Terlepas dari diskresi yang dimiliki oleh para Anggota Komisi Yudisial dalam menjatuhkan keputusan di dalam sidang pleno, kesimpulan bahwa para hakim terlapor sudah melakukan pelanggaran ringan KEPPH menjadi sebuah pertanyaan tersendiri. Pertanyaan tersebut adalah: apakah hakim yang mengadili suatu perkara atau permohonan yang di dalamnya terkandung “conflict of interest” dapat dianggap sebagai pelanggaran ringan?

    Ada dua posisi yang sebenarnya bisa dipermasalahkan dalam konteks para pemohon dalam kasus ini. Kedua posisi ini dapat dibedakan menjadi dua situasi, yaitu normal dan tidak normal. Jika diasumsikan dalam keadaan “normal” permohonan oleh para advokat di atas memang benar tidak menguntungkan untuk diajukan. Hal ini terjadi karena pemohon akan berhadapan dengan Termohon I (Ketua Mahkamah Agung) dan Termohon II (Ketua Komisi Yudisial). Asumsinya, Termohon I dan Termohon II berada dalam satu posisi yang sama.

    Argumentasi dari Pemohon benar, jika diasumsikan ada “conflict of interest” maka Pemohon justru adalah pihak yang berpeluang untuk dirugikan karena majelis hakim yang memiliki benturan kepentingan ini diasumsikan akan memutus untuk kepentingan Termohon.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 33 12/18/2015 3:30:44 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    34

    BAB II

    Asumsi di atas bisa jadi keliru apabila diasumsikan situasinya sudah tidak lagi normal. Apabila digambarkan akan tampak seperti skema berikut ini:

    Di sini terlihat bahwa Pemohon dan Termohon I sangat mungkin berada dalam satu posisi yang sama. Situasi ini jelas bukan situasi yang normal. Namun, dari banyaknya kritik yang muncul dari sejumlah hakim Mahkamah Agung terhadap sikap dan tindakan Komisi Yudisial dapat dimengerti jika ada anggapan bahwa Pemohon sebenarnya sedang menyuarakan kepentingan Termohon I.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 34 12/18/2015 3:30:45 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    35

    BAB II

    Bagir Manan (2006: 9-11), misalnya, meyakini bahwa Komisi Yudisial bukanlah badan yang menjalankan kekuasaan kehakiman sehingga wewenangnya untuk “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” tidak boleh dilepaskan dari kedudukan tersebut. Komisi Yudisial dilarang campur tangan terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman, baik dalam proses peradilan maupun putusan atau penetapan pengadilan.

    Berangkat dari pemahaman Bagir Manan tersebut, maka Butir 8 dan 10 KEPPH dapat saja lalu dipahami sebagai “kekeliruan” yang harus diperbaiki. Permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh 31 orang Hakim Mahkamah Agung terkait Undang-Undang Komisi Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006) merupakan petunjuk yang kasat mata terkait situasi yang “tidak normal” di atas. Dengan demikian, posisi Pemohon untuk mengajukan uji materiil atas SKB KEPPH dalam konteks kasus ini justru sangat diuntungkan.

    Putusan Perkara 2 s.d. 6B.

    Perkara Nomor 16/Pdt.G/2008/PN.Kdi8 jo Nomor 03/Pdt/2011/PT.Sultra

    Perkara Nomor 11/Pdt.G/1989/PN.Kdi jo Nomor 44/Pdt/1990/PT.Sultra jo Nomor 2027/K/Pdt/1991 jo Nomor 699/PK/Pdt/1996

    Perkara Nomor 37/Pdt.G/2001/PN.Kdi jo Nomor 65/Pdt.G/2002/PT.Sultra jo Nomor 3234 K/Pdt/2003

    8 Menurut pelapor di Komisi Yudisial, ada kesalahan penulisan nomor perkara. Seharusnya Nomor 16/Pdt.G/2009/PN.Kdi.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 35 12/18/2015 3:30:45 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    36

    BAB II

    Identitas Perkara

    Isu kunci :• Sengketa kepemilikan tanah. Ada lima putusan hakim yang satu sama lain saling

    berkaitan karena mencakup duduk perkara yang sama. Oleh sebab itu, kelima putusan ini akan dianalisis sekaligus. Dari lima putusan tersebut, dua putusan pertama menjadi putusan kunci yang dilaporkan ke Komisi Yudisial.

    Para Pihak :• - Siti Chaerani Kaimuddin (Penggugat/Terbanding);- Hj. Gusti Aminah K. Jusuf, dkk. (Tergugat/

    Pembanding).Majelis Hakim :• - Majelis Hakim Putusan Nomor 16/Pdt.G/2008/

    PN.Kdi.- Majelis Hakim Putusan Nomor 03/Pdt/2011/PT

    Sultra.

    a. Posisi Kasus

    No Waktu Peristiwa

    1 Tahun 1976 Terdapat tanah seluas 2.529 m2 di Kota Kendari milik Tantuang Daeng Mangepe. Karena Tantuang dan isteri memiliki utang ke Bank BNI 46 Cabang Kendari dengan nilai jaminan Rp 3 juta, maka Tantuang minta bantuan H. Sufu Yusuf mengambil alih utang ini. Dengan pengambilalihan utang ini, tanah dan bangunan menjadi milik H. Sufu Yusuf (Akta Jual Beli Nomor 173/Kdi/1976).

    2 7 Februari 1989

    Tantuang dan isteri menggugat H. Sufu Yusuf dengan alasan tanah dan bangunan (pavilion) ini belum dilunasi.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 36 12/18/2015 3:30:45 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    37

    BAB II

    3 20 Maret 1990 Keluar Putusan PN Nomor 11/Pdt.G/1989/PN.Kdi. yang memenangkan Tantuang. Atas Putusan PN Kendari, H. Sufu Yusuf mengajukan banding.

    4 3 Oktober 1990

    Keluar Putusan PT Sultra Nomor 44/Pdt/PT Sultra yang memenangkan H. Sufu Yusuf. Amarnya membatalkan Putusan Nomor 11/Pdt.G/1989. Atas dasar Putusan PT ini Tantuang mengajukan kasasi.

    5 15 Februari 1996

    Keluar Putusan Nomor 2027 K/Pdt/1991 yang memenangkan Tantuang dengan membatalkan Putusan PT. Tanah dan bangunan dinyatakan sah milik Tantuang. Atas dasar putusan ini, kemudian H. Sufu Yusuf mengajukan peninjauan kembali.

    6 28 Januari 1997

    Sebelum Putusan PK keluar, Tantuang menjual tanah ini ke Siti Chaerani Kaimuddin. Jual beli dilakukan di hadapan PPAT dan bersertifikat hak milik Nomor 1987/Kel.Kemaraya GS Nomor 1277/1994 atas nama Chaerani Kaimuddin.

    7 9 Juli 1998 Muncul Putusan PK Nomor 699/PK/Pdt/1996 yang menyatakan tanah dan bangunan ini milik H. Sufu Yusuf.

    8 22 April 2002 Atas dasar Putusan PK ini, ahli waris H. Sufu Yusuf, yaitu Hj. Gusti Aminah K. Jusuf menggugat Tantuang. Gugatannya didaftarkan di PN Kendari dengan Nomor 37/Pdt.G/2001/PN. Kdi. Pengadilan lalu menjatuhkan putusan yang menyatakan Hj. Aminah adalah ahli waris yang sah dari H. Sufu Yusuf. Jual beli antara Chaerani Kaimuddin dan Tantuan tidak sah. Juga menghukum Chaerani untuk mengosongkan dan menyerahkan ke Hj. Aminah tanpa syarat apapun. Siti Chaerani dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp 1,142 miliar. Perbuatan para tergugat (Tantuang dan isteri serta Siti Chaerani) sebagai perbuatan melawan hukum. Atas dasar putusan ini, Tantuang mengajukan banding.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 37 12/18/2015 3:30:45 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    38

    BAB II

    9 27 November 2002

    Keluarlah Putusan PT Sultra Nomor 65/Pdt/2002/PT.Sultra yang tetap memenangkan Hj. Gusti Aminah (Tantuang tetap kalah). Putusan ini juga menyatakan Siti Chaerani (Tergugat III) adalah pembeli yang beritikad baik. Tantuang dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Tergugat I (Tantuang) dan Tergugat II (isteri Tantuang) dihukum membayar ganti rugi kepada Aminah (Penggugat/termohon banding) sebesar Rp 1,031 miliar. Atas pernyataan PT Sultra bahwa Siti Chaerani adalah pembeli yang beritikad baik, maka Gusti Aminah mengajukan kasasi.

    10 21 November 2007

    Muncul Putusan Kasasi Nomor 3234 K/Pdt/2003 yang menolak gugatan Gusti Aminah (Pemohon Kasasi) dan menyatakan PT Sultra telah benar menerapkan hukum. Atas dasar putusan ini, Siti Chaerani mengajukan gugatan ke Gusti Aminah.

    11 13 Oktober 2009

    Keluar Putusan Nomor 16/Pdt.G/2008/PN.Kdi (konon nomor yang benar adalah Nomor 16/Pdt.G/2009) yang memenangkan Siti Chaerani. Putusan menyatakan tanah sah sebagai milik penggugat (Siti Chaerani). Untuk itu, pengadilan menghukum tergugat (Gusti Aminah) untuk mengosongkan rumah dan menyerahkannya ke penggugat (Siti Chaerani). Atas putusan ini, Aminah mengajukan banding.

    12 2 Maret 2010 Keluar Putusan Nomor 03/Pdt/2010/PT.Sultra yang tetap memenangkan Siti Chaerani dengan menguatkan putusan PN Nomor 16/Pdt.G/2008. Atas putusan ini, Gusti Aminah berusaha mengajukan kasasi, tetapi dinyatakan tidak bisa karena terlambat.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 38 12/18/2015 3:30:45 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    39

    BAB II

    13 15 April 2012 Gusti Aminah mengadu ke Komisi Yudisial dan terdaftar dengan Nomor 35/SP.KY/IV/2013. Untuk itu Komisi Yudisial menyatakan semua terlapor, baik para hakim yang mengadili Perkara Nomor 16/Pdt.G/2008 dan Nomor 03/Pdt/2010/PT.Sultra sebagai telah melanggar butir 8 dan butir 10 KEPPH dan untuk itu diberikan peringatan tertulis agar lebih berhati-hati membuat putusan.

    b. Dasar Gugatan

    Ada banyak putusan saling berseliweran terkait tanah sengketa di Kota Kendari ini, mulai dari tingkat pengadilan negeri sampai ke Mahkamah Agung, bahkan ke upaya luar biasa Peninjauan Kembali. Pada hakikatnya, dasar gugatan dan upaya-upaya hukum kasus perdata ini adalah klaim kepemilikan

    Korelasi Putusan Hakim.indd 39 12/18/2015 3:30:45 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    40

    BAB II

    atas tanah berdasarkan alat-alat bukti yang ditunjukkan oleh masing-masing pihak.

    Secara garis besar ada tiga kelompok para pihak dalam kasus yang berlarut larut ini, dengan dalihnya masing-masing, yaitu :

    Tantuang Daeng Mangapeng dan keluarga (memiliki • tanah dan bangunan di atasnya karena H. Sufu Yusuf belum pernah melunasi tanah tersebut). Siti Chaerani (membeli tanah sengketa ini dari Tantuang • sebagai pembeli yang beritikad baik).H. Sufu Yusuf dan keluarga serta ahli warisnya Gusti • Aminah (memiliki tanah dan bangunan di atasnya dengan akta jual beli dari Tantuang berdasarkan kesepakatan karena Sufu Yusuf telah mengambil alih utang Tantuang di Bank BNI-46 Cabang Kendari).

    c. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan

    Amar Putusan di tingkat Pengadilan Negeri Kendari Nomor 16/Pdt.G/2008 adalah sebagai berikut:

    Mengabulkan gugatan penggugat sebagian.• Menyatakan tanah sengketa sebagai milik penggugat Siti • Chaerani.Menghukum para tergugat dan/atau siapa saja untuk • mengosongkan dan menyerahkan tanah sengketa dalam keadaan kosong.Menghukum para tergugat untuk membayar uang • paksa sebesar Rp 500 ribu setiap hari atas keterlambatan melaksanakannya sejak putusan dibacakan.Menyatakan putusan dapat dijalankan terlebih dulu • meskipun ada upaya hukum banding dan kasasi.

    Korelasi Putusan Hakim.indd 40 12/18/2015 3:30:45 PM

  • Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

    41

    BAB II

    d. Dugaan Pelanggaran yang Dilaporkan

    Dugaan pelanggaran dilakukan secara berbeda-beda oleh para terlapor yang terdiri dari majelis hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Secara umum mereka dinilai tidak cermat, khilaf, dan tidak profesional.

    Terlapor I majelis hakim di pengadilan negeri dinilai tidak cermat menulis nomor perkara (tertulis tahun 2008, seharusnya 2009). Terlapor I juga tidak cermat ketika membaca Putusan Nomor 37/Pdt.G/2001/PN.Kdi jo Putusan Nomor 65/Pdt/2002/PT.Sultra jo. Putusan Nomor 3234 K/Pdt/2003.

    Terlapor I khilaf karena mengartikan pembeli yang beritikad baik sama dengan pemilik tanah. Padahal maksudnya adalah membebaskan Tergugat III, IV, dan V dari ganti rugi atas bangunan dan tanaman tumbuh yang telah dihancurkan. Terlapor I juga bertindak tidak profesional karena tidak mempertimbangkan alat-alat bukti secara memadai (disebutkan beberapa contoh perbuatan).

    Terlapor II majelis hakim di pengadilan tinggi dinilai khilaf mempertimbangkan kepemilikan objek sengketa hanya karena mengacu ke Putusan Kasasi Nomor 2027 K/Pdt/1991