38
KONTESTASI ANTAR KELOMPOK AGAMA BERBEDA (Studi Tentang Perdamaian dan Ketegangan Penganut Islam dan Kristen di Desa Tegalombo Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah) Tesis Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama dan Humaniora Pembimbing: Dr. Muhaimin AG Oleh: GHUFRON NIM: 10200124120010 AGAMA DAN STUDI PERDAMAIAN SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

KONTESTASI ANTAR KELOMPOK AGAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39488/...iii KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang menganugerahkan pikiran

  • Upload
    buinga

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

i

KONTESTASI ANTAR KELOMPOK AGAMA BERBEDA

(Studi Tentang Perdamaian dan Ketegangan Penganut Islam dan Kristen

di Desa Tegalombo Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati Propinsi Jawa

Tengah)

Tesis

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Dalam

Ilmu Agama dan Humaniora

Pembimbing:

Dr. Muhaimin AG

Oleh:

GHUFRON

NIM: 10200124120010

AGAMA DAN STUDI PERDAMAIAN

SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015

ii

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang menganugerahkan

pikiran dan kesempatan untuk merampungkan tesis yang berjudul Kontestasi

Antar Kelompok Agama Berbeda (Studi Tentang Perdamaian dan Ketegangan

Penganut Islam dan Kristen di Desa Tegalombo Kecamatan Dukuhseti

Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah).

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pimpinan Sekolah

Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Masykuri

Abdillah dan segenap dosen mata kuliah maupun penguji pada Ujian Proposal,

Work In Progress I, II dan III serta Ujian Pendahuluan, diantaranya Prof. Dr.

Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., Dr. Yusuf Rahman, MA, Dr.

Fuad Jabali, Muhammad Zuhdi M.Ed, Ph.D, Dr. Muhbib Abdul Wahab,

MA.,Prof, Dr. Fathurrahman Djamil, MA., Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Prof.

Husni Rahim, Prof. Dr. Bambang Pranowo MA, Dr. Saiful Umam, Prof. Dr.

Atho‟ Mudzhar, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia dan Dr. Ali Munhanif.

Secara khusus saya sampaikan terima kasih mendalam kepada Dr.

Muhaimin AG, selaku pembimbing tesis yang memberikan kritik, saran dan

masukan sehingga tesis ini memiliki kerangka alur dan pemikiran dalam konteks

ilmu sosial dan humaniora.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh civitas

akademika Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Mba Ima, Mas Adam, Mas Rafiq,

Mas Ali Mahmudi, Mba Nisa, Mas Singgih, Pak Henda Sukri, mba Vhemy, dan

lainnya atas kemudahan dan kelancaran proses administrasi dan studi penulis.

Tidak lupa terima kasih mendalam kepada Kementerian Pemuda dan

Olahraga Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan beaya pendidikan

selama masa studi penulis. Terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan di

Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, atas perhatian, dan berbagi pengetahuan yang

menyumbang pada terselesaiaknnya tesis ini; Hamdan, Marlin, Aulia Rahmat,

Abu Khaer, Maghfur, Naff, Mulazamah, Rifa, Ishak dan lainnya.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh jajaran

pengurus dan staf The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, yang

telah memberikan dukungan moral dan material kepada penulis dalam

merampungkan studi ini; Dwi Rubiyanti Khalifah,Musliha, Mutiara Pasaribu,

Athok Fuadi, Hanifah, Maskur Hasan, MZ. Fanani, Hafidz Ghazali.

Terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada orang tua

dan keluarga besar di Pati, do‟a dan restunya menjadi kekuatan dalam menekuni

dan merampungkan tesis ini. Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kata

sempurna. Meski demikian, besar harapan penulis akan tesis ini dapat

berkontribusi dalam studi terkait kerukunan antar umat beragama di Indonesia.

Atas kritik dan saran dari semua pihak atas tesis ini, penulis sampaikan terima

kasih yang tak terhingga. Akhir kata, penulis memohon maaf apabila dalam

penyelesaian tesis ini ada banyak kekurangan dan keterbatasan

iv

v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ghufron

NIM : 10.2.00.1.24.12.0010

Tempat/Tgl. Lahir : Pati, 14 Oktober 1981

Program Studi : S2 Pengkajian Islam

Konsentrasi : Agama dan Studi Perdamaian

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul: KONTESTASI

ANTAR KELOMPOK AGAMA BERBEDA (Studi Tentang Perdamaian

dan Ketegangan Penganut Islam dan Kristen di Desa Tegalombo

Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah) adalah benar

merupakan karya asli penulis, kecuali kutipan yang disebutkan sumber

rujukannya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya

akan menjadi tanggung jawab penulis. Selain itu jika di dalam tesis ini terdapat

plagiasi, penulis siap menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang

diberlakukan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Jakarta, 17 Agustus 2015

Ghufron

vi

vii

PERSETUJUAN PROMOTOR

Setelah dilakukan pembimbingan tesis dengan judul KONTESTASI ANTAR

KELOMPOK AGAMA BERBEDA (Studi Tentang Perdamaian dan

Ketegangan Penganut Islam dan Kristen di Desa Tegalombo Kecamatan

Dukuhseti Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah) yang ditulis oleh:

Nama : Ghufron

NIM : 10.2.00.1.24.12.0010

Jenjang Pendidikan : Program Magister (S2)

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Konsentrasi : Agama dan Studi Perdamaian

Bahwa tesis ini telah melalui Ujian Work In Progress (WIP) Tesis 1, 2, 3, Ujian

Pendahuluan Tesis dan telah diperbaiki sesuai saran sebagaimana mestinya.

Maka saya menyetujui untuk diajukan dalam Ujian Promosi Tesis.

Ciputat, 20 Agustus 2015

Promotor

Dr. Muhaimin AG.

viii

ix

PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN

Tesis yang berjudul KONTESTASI ANTAR KELOMPOK

AGAMA BERBEDA (Studi Tentang Perdamaian dan Ketegangan

Penganut Islam dan Kristen di Desa Tegalombo Kecamatan Dukuhseti

Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah) yang disusun oleh Ghufron dengan

NIM 10.2.00.1.24.12.0010 telah dinyatakan lulus dalam Ujian Pendahuluan

Tesis yang diselenggarakan pada tanggal 5 Agustus 2015.

Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para penguji

sehingga disetujui untuk diajukan pada Ujian Promosi.

Jakarta, 17 Agustus 2015

TIM PENGUJI

No Nama Penguji Tanda Tangan Tanggal

1 Prof. Dr. Masykuri Abdillah,

(Ketua Sidang/Merangkap

Penguji)

2 Prof. Dr. M. Bambang

Pranowo, MA,

(Penguji 1)

3 Dr. Saiful Umam, MA,

(Penguji 2)

4 Dr. Muhaimin AG,

(Pembimbing/Merangkap

Penguji)

x

xi

ABSTRAK

Tesis ini menyajikan fenomena kontestasi antara kelompok Islam dan

Kristen dalam konteks hubungan sosial-keagamaan yang menyebakan

ketegangan dan juga perdamaian. Metode yang digunakan adalah kualitatif

dengan pendekatan sosio-historis melalui penelusuran data-data sejarah yang

meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya yang diperkaya dengan kerja

lapangan. Sumber utama yang dipakai adalah data sejarah konflik, ketegangan

dan perdamaian antara kelompok Islam dan Kristen yang didapat dari proses

studi dokumen, observasi, diskusi kelompok terfokus dan wawancara dengan

informan kunci.

Tesis ini memperkuat bukti bahwa kearifan budaya lokal merupakan

faktor dominan dalam membangun kerukunan antar umat beragama

sebagaimana kesimpulan John Haba dalam Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi

Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso (2007) dan Elise

Boulding, Cultures of Peace: The Hidden Side of History (2000). Temuan ini

sejalan dengan pandangan para pluralis Kristen dan Muslim yang menegaskan

bahwa sikap keagamaan yang inklusif dan pluralis menjadi landasan sekaligus

jalan utama memasuki ruang inter-religious dialogue untuk membangun

harmoni antar kelompok agama berbeda. Sebaliknya, tesis ini tidak sependapat

dengan pandangan yang menyebut bahwa faktor politik paling menentukan

relasi antara Islam dan Kristen; apakah mengarah pada saling melengkapi atau

kepada situasi konflik, sebagaimana dikemukakan Richard Fletcher dalam The

Cross and The Crescent: The Dramatic Story of The Earliest Encounters

Between Christians and Muslims (2005) dan S.A. Ali dalam tulisannya

“Christian-Muslim Relations: Ushering in a New Era”, dalam, Muslim-Christian

Dialogue: Promise and Problem (2007).

Ketegangan antara kelompok Islam dan Kristen terjadi pada arena

penyebaran atau penguatan ajaran agama yaitu misi penginjilan dalam Kristen

(evangelisme) dan juga dakwah islamiyah (amar ma’ruf nahi< munkar). Ketegangan tersebut tidak sampai menimbulkan konflik kekerasan karena

kearifan lokal berupa mekanisme dialog atau rembug kampung mempertemukan

kedua kelompok untuk rekonsiliasi. Perdamaian antara kelompok Islam dan

Kristen terjadi karena kesamaan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai budaya

memberikan ruang bagi kedua kelompok membangun solidaritas, komunikasi

atau dialog dan kerja sama. Nilai-nilai budaya seperti tepo seliro, unggah-

ungguh, lung tinulung (saling menolong), saling hantar makanan, saling

kunjung, rembug (musyawarah), slametan (upacara syukur) mampu dipahami

dan diaktualisasi membentuk sikap inklusif untuk menghidupi kerukunan antar

umat beragama.

Dengan demikian, tesis ini menyimpulkan bahwa budaya merupakan

fakor dominan dalam membangun relasi damai antar kelompok agama berbeda

(Islam dan Kristen). Jika kelompok-kelompok agama memiliki kebiasaan

xii

menerapkan nilai-nilai kearifan budayanya, semakin besar peluang terbangunnya

kerukunan antar umat beragama.

xiii

ABSTRACT

This thesis reveals the contestation phenomenon between Muslim and

Christian groups in the context of social-religious relation. This relation affects

the conflict and also cohesion (peace). The method of this thesis is qualitative

with social-historical approaches through tracking back the historical data

including social, economy, politics and cultural aspects. Those approaches are

also enriched by observation and field works. The main sources of this thesis

are historical conflict, tensity and peace between Muslim and Christian groups

that are obtained from the process of documents studies, observation, focused

group discussion (FGD) and interviews with key informants.

This thesis strengtens the evidenve that the wisdom of local culture

constitutes dominant factor in building the harmonious of religions as conclusion

of John Haba in Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di

Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso (2007) and Elise Boulding, Cultures of

Peace: The Hidden Side of History (2000). This result is in line with the views

of Christian and Muslim pluralists that emphazised inclusive and plural religious

attitudes are the basics and also the main paths to enter the room of inter-

religious dialogue, to build the harmony between different religions groups. Vice

versa, this thesis disagrees with the notion that political factors are the most

determined the relations between Islam and Christian; weather it is completed

each other or it affects to the conflict as stated by Richard Fletcher in The Cross

and The Crescent: The Dramatic Story of The Earliest Encounters Between

Christians and Muslims (2005) and S.A. Ali in his article “Christian-Muslim

Relations: Ushering in a New Era”, in Muslim-Christian Dialogue: Promise and

Problem (2007).

The tensity between Muslim and Christian groups that happened at the

arena of preaching and strengthening the reliogion teaching namely mission of

bible in Christian (evangelism) and also dakwah islamiyah (amar ma’ru>f nahi< munkar). The tensity did not rise the conflict and violence because of local

wisdoms, namely the dialogue mechanism or rembug kampung that met both

groups to reconsile. The peace between Muslim and Christian groups is

established because the cooperation, undertanding and the experiences of

cultural values gave the room to the both groups to build the solidarity,

communication or dialogue and cooperation. Cultural velues such as tepo seliro

(emphaty), unggah-ungguh (polite and impolite ethics), lung tinulung (helping

each other), giving food each other, visiting each other, rembug

(musyawarah/discussion), slametan (thanks giving) are able to be understood

and actualized to internalize inclusive attitudes to water the harmony between

religions adherents.

Therefore, this thesis concludes that culture is the dominant factor in

building the peace relation among the different religions groups (Islam and

Christian). If the religions groups had applied the velues of local wisdoms, then

the gate of religion harmonious is opened largely.

xiv

xv

ملخص البحث

ىل امرصاع غرض ذا امبحث ظوار امتيافس ادليية والاحامتغية امواكؼة بني املسلمني واملس يحيني امىت ثأ دي ا

ىل فم امظوار الاحامتغية من خالل هظر اجملمتع بوضف . وامطلح ملد اس تخدم امباحث امطريلة اميوغية امىت جس هتدف ا

اكن الاكرتاب الاحامتغي امتارخيي اس تخدم امباحث ميحطل ػىل امبياانت امتارخيية من امؼوامل . موضوػا نلبحث

اكهت امبياانت ال ساس ية من ذا امبحث يه . الاحامتغية والاكتطادية وامس ياس ية وامثلافية فضال غن ال غلل امليداهية

جبات امواثئق واملالحظات واملياكشات بياانت امرصاع وامطلح بني املسلمني واملس يحيني امىت حطلت ػلهيا من خالل ا

. امجلاغية املرتكزة واحلوار ابخملرب ال ويل

أ كد ذا امبحث حلائق سابلة ثلول أ ن امؼادات وامتلاميد احمللية من غوامل أ ساس ية متحليق امتضامن واحلوار

يف John Haba ذ احللائق امسابلة غرضا املفكرون امسابلون مثل حون ااب. وامطلح بني مؼتيلي ال داين يف اجملمتع

ػادة امبياء ػىل امثلافات احمللية"كتاب ضالح يف اكماميهتان امغربية، ماموكو، وبوضا: ا "ادلراسة غن امرصاع وكيفية ا

Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat,

Maluku, dan Poso (2007)يليس بودلييج حواهب : امثلافات امسلمية"يف كتاب Elise Boulding ، وا

أ كد ذا وكذكل. Culture of Peace: The Hidden Side of History (2000) "امتارخي اماكمة

واملس يحيني بأ ن امتسامح أ ساس ام ووس يةل فؼاةل يف سبيل حتليق احلوار بني امبحث ثطورات مفكري املسلمني

ىل امتضامن وامتؼايش بني امفرق ادليية اخملتلفة ىاكر ثطورات املفكرين امسابلني . ال داين واحلطول ا وملد مت ذا امبحث ا

امىت ثلول أ ن امؼالكات بني املسلمني واملس يحيني ثتوكف ػىل امؼوامل امس ياس ية، أ اكهت ثكل امؼالكات حللت امتؼايش

: امطليب وامالل"يف كتاب Ricard Flitcher ومن ؤالء املفكرين رجيارد فليجري. وامتضامن أ م وكؼت يف امرصاع

Dramatic Story of The Earliest "امتارخي املرسيح يف أ وائل امتؼامل بني املسلمني واملس يحيني

Encounters Between Christians and Muslims (2005) امؼالكة بني "، و أ محد ػل يف رسامت

Christian-Muslim Relations: Ushering in a New Era "حنو امؼد اجلديد: املسلمني واملس يحيني

(2007) .

ىل ورش امتؼاممي ادليية ن امتافس بني املسلمني واملس يحيني جس متد خذور من امرويح ادليية امىت دغهتم ا اكن . ا

ذا . املس يحيون يلومون ابل غلل امتبشريية كل يلوم املسلمون ابدلغوة اال سالمية ميأ مروا ابملؼورف ويهنوا غن امليكر

ىل امرصاع وامؼيف موحود امتلاميد احمللية امسائدة ػىل اجملمتع مثل احلوار املروي اذلى دفع املسلمني امتيافس مل يؤد ا

ىل امطلح وامتضامن اكن حسن امتفامه بني املسلمني واملس يحيني وكياهمم ابملمي امثلافية احمللية من امؼوامل . واملس يحيني ا

ىل امتضامن واحلوار واالثطال وامتؼاون ياك كمي جلافية حملية مثل امتسامح وامتؼاون والاحتفاالت . ال ساس ية امىت دغهتم ا

يية وامتساحمية يف احلياة ادليية . احمللية ادليية امىت يفموهنا ويطبلوهنا يف اجملمتع حىت جشك املواكف امتضم

xvi

ومن مث، اس تخلص ذا امبحث أ ن امؼوامل امثلافية ثؼد امؼامل امسائد ال سايس يف بياء امتضامن وامطلح بني

ن ثأ يدوا يف ثطبيق املمي امثلافية، فامطلح . أ و يف ذا امطدد بني املسلمني واملس يحيني- مؼتيلي ال داين امواكؼة يف اجملمتع ا

. بيهنم أ مر يسري وسل يف اجملمتع

xvii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam tesis ini

berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 1987 sebagai berikut:

No Arab Latin No Arab Latin No Arab Latin

أ 1Tidak

di-

lambang

kan

ز 11 z

ق 21 q

k ك s 22 س B 12 ب 2

l ل sy 23 ش T 13 ت 3

ث 4 ṡ 14 ص ṣ 24 م m

n ن ḍ 25 ض J 15 ج 5

w و ṭ 26 ط ḥ 16 ح 6

h ه ẓ 27 ظ Kh 17 خ 7

ء 28 ’ ع D 18 د 8

y ي g 29 غ Ż 19 ذ 9

f ف R 20 ر 10

1. Vokal Arab

a. Vokal Pendek

a kataba = ــــــــ

su ila س i = ــــــــ

س u = ـــــســـ yażhabu ذ

b. Vokal Panjang

qāla اا ā = ــــــــا qīla ذ ī = ــــــــي yaqūlu ـ سوذاس ū = ـــــســـو

xviii

c. Vokal Rangkap

kaifa ذ ai = ذ

ḥaula وذا au = ــــوذ

2. Ta’ Marbutah

Transliterasi untuk ta‟ marbutah ada dua, yaitu:

a. Ta‟ marbutah yang hidup atau berharakat fathah, kasrah atau dammah

ditransliterasikan adalah “t”

b. Ta‟ marbutah yang mati atau yang mendapat harakat sukun

ditransliterasikan dengan “h”

xix

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar --iii

Pernyataan Bebas Plagiasi --v

Persetujuan Promotor – vii

Persetujuan Hasil Ujian Pendahuluan --ix

Abstrak Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Arab --xi

Pedoman Transliterasi Arab-Latin --xvii

Daftar Isi -- xix

Daftar Tabel --xxi

Daftar Foto --xxii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang --1

B. Permasalahan --6

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan --7

D. Tujuan Penelitian --13

E. Manfaat dan Signifikansi Penelitian --13

F. Metode Penelitian --14

G. Sistematika Penulisan --15

BAB II KONTEKS TEOLOGIS DAN SOSIOLOGIS RELASI ANTAR UMAT

BERAGAMA

A. Tipologi Sikap Keagamaan --17

1. Inklusif dan Pluralis --18

2. Eksklusif dan Klaim Kebenaran --24

B. Titik Temu dan Titik Seteru dalam Konteks Sosial-Politik --29

1. Konflik Agama dalam Perspektif Historis-Politis -29

2. Budaya sebagai Fragmen Perdamaian --34

3. Dialog Antar Umat Beragama --37

BAB III ANTARA EVANGELISME DAN AMAR MA’RUF NAHI< MUNKAR

A. Evangelisme di Tegalombo --43

1. Sejarah Evangelisme di Tegalombo --44

2. Gereja dan Umat Kristen Saat Ini -- 53

B. Revitalisasi Penduduk Muslim --57

1. Arus Pesantren dan Perkembangan Islam di Tegalombo --57

2. Lembaga Pendidikan dan Organisasi Keagamaan --59

C. Penyiaran Agama dalam Perspektif Tokoh Agama--64

D. Isu Konversi Agama --70

1. Demografi Agama --70

2. Konversi Agama di Tegalombo --72

xx

E. Agama dan Kontestasi Politik --77

BAB IV HUBUNGAN SOSIAL-KEAGAMAAN ANTARA KELOMPOK

ISLAM DAN KRISTEN

A. Harmoni Dalam Relasi Islam-Kristen --81

1. Fenomena Budaya --82

2. Dialog: Manajemen Mengelola Harmoni --95

3. Faktor Pendukung Harmoni --100

B. Ketegangan Dalam Relasi Islam-Kristen --110

1. Jejak Ketegangan Antara Kelompok Islam dan Kristen --111

2. Faktor Pemicu Ketegangan --118

3. Inisiasi Musyawarah --123

C. Prospek Relasi Islam-Kristen ke-Depan --126

BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP

A. Kesimpulan --131

B. Saran --131

Daftar Pustaka – 133

Glosarium – 143

Indeks -- 149

Biodata Penulis --155

Lampiran

xxi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Penduduk Tegalombo Berdasarkan Kelompok Agama Tahun

2006-2012

Tabel 2. Jumlah Penduduk di Dusun-Dusun Tegalombo berdasarkan Kelompok

Agama Tahu 2012

Tabel 3. Rekapitulasi Perkembangan Pemeluk Agama di Indonesia Tahun 1971-

1980

Tabel 4. Daftar Nama Kepala Desa Tegalombo

xxii

DAFTAR FOTO

Foto 1. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung (Sumber foto: Elsaonline.com)

Foto 2. Rumah Pieter Antonia Janz di Margorejo yang berdiri sejak tahun 1880

(Sumber Foto: dokumentasi pribadi)

Foto 3. Pendeta Suharto dan Gereja Injili Di Tanah Jawa (GITJ) Margorejo

(Sumber Foto: dokumentasi pribadi)

Foto 4. Salah Satu Gedung Madrasah Minsyaul Huda (Sumber Foto:

dokumentasi pribadi)

Foto 5. Kyai Muhafidz mendampingi anak-anak membaca al-Qur‟an di masjid

Sabilul Huda Tawang Rejo (Sumber Foto: dokumentasi pribadi)

Foto 6. Sungati, ketua RT 03 RW 01 Tawang Rejo (Sumber Foto: dokumentasi

pribadi)

Foto 7. Suasana forum Selapanan di Tawang Rejo yang membahas jam malam

bagi tamu luar desa (Sumber Foto: dokumentasi pribadi)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan kepentingan agama,

terutama Islam dan Kristen hampir mewarnai seluruh generasi, mulai dari Perang

Salib1 hingga berbagai perusakan tempat ibadah di berbagai tempat. Di Indonesia,

cerita kelam ini dibingkai dalam terminologi khusus SARA (Suku, Agama, Ras, dan

Antar Golongan) yang menandakan bahwa isu agama menjadi salah satu isu yang

rentan memicu konflik. Konflik Ambon dan Poso,2 pada awal masa reformasi

merupakan contoh nyata konflik atas nama agama. Sekalipun banyak orang

mengatakan bahwa konflik horizontal yang merebak di nusantara pada akhir abad

yang lalu diakibatkan oleh ketimpangan ekonomi, dan secara formal pemerintah

juga mengatakannya, tetapi tidak dapat disangkal, nuansa keagamaan, meminjam

istilah A.A.Yewangoe,3 sangat menonjol.

Sejarah mencatat bahwa konflik antar kelompok agama dan keyakinan yang

melahirkan tindakan kekerasan atas nama agama memang masif terjadi paska

tumbangnya Orde Baru yang mencapai rata-rata lebih dari 200 kasus setiap

tahunnya.4 Istilah kekerasan berbasis agama (religious-based violence), menurut

1Perang ini dikobarkan oleh Paus Urban II, 25 November 1095 di Konsili

Clermont. Ia berkhotbah di depan pendeta, ksatria, bahkan juga orang-orang miskin untuk

berperang melawan Islam. Seruan ini lantas menjadi seruan umat Kristen berperang

melawan umat Islam yang merupakan awal perang besar yang selanjutnya dikenal dengan

sebutan ‘perang suci’. Perang ini ditengarai sebagai pemicu konflik keduanya hingga saat

ini. Lihat Karen Amstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today World (New York: Anchor Books, 2001), 27.

2Pada umumnya konflik di Ambon, Poso dan Sampit lebih disebabkan pada soal

distribusi ekonomi, sosial dan politik yang dianggap tidak adil bertepatan perbedaan

identitas. Diawali kasus pertengkaran antar individu hingga dipolitisir pihak tertentu

menjadi konflik komunal dalam pengembangan isu-isu etnis dan agama. Hal tersebut

mendapat ruang ketika masyarakat labil, kurang terbimbing yang mudah terprovokasi untuk

menang secara duniawi atau mati suci mempertahankan sebuah kebenaran, sehingga pada

posisi ini masyarakat yang berkonflik sering menggunakan agama atau etnis sebagai simbol

perjuanganya. Lihat Hasrullah, Dendam Konflik Poso (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2009), 153. 3A.A.Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 43.

4Lembaga-lembaga pemantau kekerasan berbasis agama seperti SETARA Institute

dan Wahid Institite mencatat bahwa kekerasan berbasis agama terus meningkat sejak

reformasi dan kondisinya sangat memprihatinkan bahkan mengancam kesatuan bangsa.

SETARA Institute melaporkan bahwa dalam kurun 2007-2009 terjadi 817 kasus

pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dengan perincian tahun

2007 terjadi 185 kasus, tahun 2008 terjadi 367 kasus dan tahun 2009 terjadi 265 kasus.

Baca Ismail Hasani, Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat (Jakarta: Publikasi

Setara Institute, 2011). Sementara Wahid Institute mencatat pada tahun 2010-2013 terjadi

2

Sumanto Al Qurtuby, tidak hanya mengacu pada apa yang dirumuskan Johan

Galtung sebagai direct/physical violence, seperti kerusuhan, penyerangan,

perusakan, pembakaran dll, melainkan juga cultural violence atau symbolic violence

(Pierre Bourdieu) berupa pelecehan, stigmatisasi, penghinaan, penyesatan terhadap

kelompok agama/kepercayaan tertentu.5 Terjadinya benturan antar agama di

Indonesia khususnya Islam dan Kristen selalu bermula dari ketertutupan masing-

masing tentang agenda dakwah dan isu konversi. Kedua agama besar ini mempunyai

perhatian dan doktrin terhadap dakwah atau misi, dan pada titik itulah keduanya

berpotensi saling bertabrakan.6

Menyadari bahwa konflik antar umat beragama adalah persoalan serius,

berbagai pihak seperti pemerintah, tokoh agama dan pemerhati sosial politik terus

berupaya membangun resolusi konflik, salah satunya melalui dialog antar umat

beragama.7 Namun, penyelesaian konflik antar umat beragama dalam bentuk dialog

mendapat kritik dari sejumlah kalangan agamawan sendiri dan sejumlah pemerhati

sosial keagamaan karena tidak pernah ada evaluasi untuk melihat capaian serta

tantangan. Forum kerukunan ini belum bisa menjadi media untuk membendung

konflik umat beragama semasa reformasi yang menunjukkan intensitas dan

perluasannya. Franz Magnis Suseno menyinggung bahwa dialog Islam-Kristen

selama ini sering mengalami kebuntuan karena perbedaan pandangan teologis baik

Islam dan Kristen sendiri.8 Dialog dengan semangat mencari kesamaan pandangan

teologis jelas tidak mungkin dilakukan karena pada dasarnya keduanya tidak bisa

dipersatukan. Namun yang sangat dimungkinkan dalam sebuah dialog adalah upaya

sebanyak 977 kasus dengan perincian tahun 2010 terjadi 187 kasus, tahun 2011 terjadi 267

kasus, 2012 terjadi 278 kasus, dan di tahun 2013 terjadi 245 kasus. Baca Laporan Tahunan

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dan Toleransi The Wahid Institute

http://www.wahidinstitute.org/wi-id/laporan-dan-publikasi/laporan-tahunan-kebebasan-

beragama-dan-berkeyakinan.html diakses pada 11 Februari 2014. 5Sumanto Al Qurtuby, ‚Pluralisme, Dialog dan Peace Building Berbasis Agama di

Indonesia‛, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Johan Effendi (Jakarta: ICRP bekerjasama dengan Penerbit Kompas, 2009), 186-

187. 6Barbara Brown Zikmund ‚Dialog Agama-Agama dalam Konteks Misionarisme

Baru‛, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia dan Paramadina, 1998), 25.

7Dialog antar agama saat ini memang bukan sesuatu yang baru lagi. Mukti Ali

ketika menjabat sebagai Menteri Agama, pada tahun 1971 memprakarsai forum percakapan

bebas yang diikuti oleh sejumlah pemuka agama yang diakui (resmi) oleh negara (Islam,

Katholik, Protentan, Hindu, dan Budha). Sejak saat itu dialog antar agama dijadikan

sebagai proyek resmi Departemen Agama yang bertajuk ‚Proyek Kerukunan Hidup

Beragama‛. 8Konsep monoteisme Islam bertentangan dengan Trinitas dalam Kristen, begitu

juga tentang pengakuan Yesus atau Isa Al Masih sebagai Nabi Islam yang justru diakui

sebagai Tuhan umat Kristen. Lihat Franz Magnis Suseno, ‚Dialog Antar Agama di Jalan

Buntu?‚ dalam Roland Dumatheray dkk., Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003), 26.

3

untuk saling mengenal lebih dekat tentang agama sebagai langkah meminimalisir

prasangka serta salah paham.9

Pendekatan dialog dalam membangun relasi harmonis antar agama

seharusnya memang lebih banyak memberikan porsi pada pendekatan relasi budaya

atau mekanisme kultural masyarakat yang banyak mendiskusikan hal-hal praktis

menyangkut persoalan bersama, seperti kemiskinan, pendidikan dan lain sebagainya.

Pemikiran tersebut sebenarnya sudah mengemuka sejak tahun 1978, namun pada

tataran implementasi masih mendapati berbagai hambatan. Model pendekatan dialog

praktis kemungkinan dapat dilihat dari fenomena relasi masyarakat Islam dan

Kristen Desa Tegalombo, Kabupaten Pati.

Mekanisme kultural atau budaya dalam membangun dialog praktis yang

inklusif tersebut merupakan pencapaian atas proses panjang antara kelompok Islam

dan Kristen dalam menyemai toleransi antar agama yang berbasis pada kekuatan

nilai-nilai budaya. Budaya di Tegalomombo memberikan ruang bagi bertemunya

kedua kelompok berbeda dalam tindakan sosial yang bertendensi teologis. Namun

model relasi yang harmonis Islam-Kristen ini bukanlah sesuatu yang instan,

melainkan terbangun melalui pergumulan atau dinamika hubungan yang cukup

panjang.

Perjumpaan Islam-Kristen di Tegalombo sudah berlangsung pada era

kolonialisme Belanda, dimana umat Islam pada umumnya mengangap agama

Kristen sebagai agama yang disebarkan oleh Kolonial Belanda. Umat Islam

langsung bereaksi keras terhadap misi Kristen sebagaimana sikap keras mereka juga

terhadap kolonialisme. Perlawanan keras dari umat Islam ini memicu pemerintah

Kolonial Belanda dan misionaris untuk saling dukung. Puncaknya, pada tahun 1854

Kolonial Belanda mengeluarkan dekrit atau peraturan yang mengatur penginjilan.

Dekrit tersebut menyepakati bahwa administrasi gereja bertugas menjaga doktrin

Kristen, sehingga perlu diberikan fasilitas misionaris termasuk keuangan dan

pembebasan pajak. Sejak saat itu kristenisasi semakin disadari oleh umat Islam

sebagai sebuah ancaman mengingat semakin meningkatnya jumlah pemeluk Kristen

dan ditambah keberpihakan pemerintah Kolonial Belanda kepada gereja.

Keberpihakan Kolonial Belanda terhadap gereja kian memperburuk hubungan

kelompok Islam dan Kristen yang ditandai dengan masifnya perlawanan dari pihak

Islam. Kondisi tersebut semakin membuat umat Islam bersikap eksklusif yang

kemudian mendorong terjadinya konsolidasi serta intensifikasi identitas Islam. 10

Jika Kolonial Belanda menganak-emaskan Kristen, sebaliknya pada masa

penjajahan Jepang, umat Islam mendapat angin segar untuk mengembangkan

agama, termasuk organisasi-organisasi yang berbasis Islam. Jepang berhasil

menerapkan provokasi masa Islam untuk menyingkirikan kekuatan Belanda dan

umat Kristen dari bumi nusantara. Pada masa ini pula gerak misionaris Kristen juga

dibatasi bahkan mengalami stagnasi.11

Masa tersebut bagi umat Kristen dikenal

9Franz Magnis Suseno, ‛Dialog Antar Agama di Jalan Buntu?‛, 27.

10Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta:

Paramadina 1999), 40. 11

Harry J. Benda, Bulan Sabit Matahari Terbit (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), 154.

4

dengan istilah masa rayahan (penjarahan atau perampokan) yang mana di

Tegalombo sendiri ditandai dengan terbakarnya gereja Margorejo oleh kelompok

masa Islam pada tanggal 8 Maret 1942.12

Ketegangan antara kelompok Islam dan Kristen juga mencuat kembali pada

paska tahun 1965 yaitu setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September Partai

Komunis Indonesia (G 30 S PKI). Paska peristiwa ini, ada konversi besar-besaran

mantan anggota PKI atau orang yang dituduh terlibat dalam organisasi di bawah PKI

melakukan konversi ke agama Kristen.13

Sejarah kontestasi dan juga kekerasan antara kelompok Islam dan Kristen

tersebut lantas mendorong para tokoh agama dan juga masyarakat mencari fomat

membangun kerukunan umat beragama. Budaya menjadi media yang utama untuk

dijadikan ruang membangun kembali komunikasi, interaksi dan kerjasama antar

pemeluk agama tersebut. Sebagai contoh, pada akhir tahun 70-an, masyarakat

menghidupkan kembali budaya saling-kunjung memanfaatkan momentum perayaan

hari raya, baik Idul Fitri maupun Natal. Saat Idul Fitri, warga Kristen turut

mengunjungi warga Muslim untuk meminta maaf ‟lahir batin‟ dengan memilih hari

kedua lebaran sebagai waktu kunjung. Pemilihan waktu tersebut didasarkan niat

menghormati perayaan hari besar bagi internal umat Islam sendiri dimana pada hari

tersebut banyak kerabat atau tetangga terdekat yang saling berkunjung.

Kearifan serupa juga terjadi saat Natal yang dirayakan bertepatan dengan

perayaan tahun baru Masehi (1 Januari). Masyarakat Muslim bersilaturahmi ke

keluarga dan tetangga Kristen untuk memberikan ucapan sugeng warso enggal,

ngaturaken lepat kulo (selamat tahun baru, maafkan kesalahan saya). Momen tahun

baru Masehi dipilih sebagai strategi untuk menghindari perdebatan boleh tidaknya

12Masa rayahan atau penyerangan dan penghancuran ditandai dengan berbagai

peristiwa penyerangan terhadap jemaat Kristen dan perusakan bangunan seperti gereja dan

rumah sakit. Dalam catatan Soekoco dan Lawrence M. Yoder, di daerah Pati target yang

dirayah tidak hanya umat Kristen melainkan juga orang Tionghoa (Kristen dan non-

Kristen). Lihat Soekoco dan Lawrence M. Yoder, Tata Injil di Bumi Muria (Semarang:

Pustaka Muria berdasarkan pesanan dari sinode GITJ, 2010), 307-311. 13

Di Tegalombo, beberapa hari setelah peristiwa G 30 S PKI, tersebar kabar bahwa

pemuda Anshor gabungan dari beberapa wilayah di Pati akan datang menyerang pengikut

komunis, yang kebanyakan dari Islam (Islam abangan, yaitu Islam yang sinkretis dan

kebanyakan dari mereka berafiliasi ke partai nasionalis sekuler seperti PNI dan PKI). Untuk

menyelamatkan diri dari penyerangan, sebagian mereka berlindung di rumah Kyai dan

sebagian lainnya berlindung di rumah seorang pendeta. Paska peristiwa tersebut, banyak

Islam abangan yang saat itu berlindung di rumah pendeta kemudian dibaptis menjadi

pengikut Kristen. Wawancara awal dengan Siti Aminah (79 tahun) di Tegalombo pada

tanggal 20 Juli 2011. Siti Aminah, perempuan yang saat peristiwa itu terjadi bersama suami

dan kerabat dari suaminya berlindung di rumah Kyai. Ia bercerita bahwa ia dan suaminya

berasal dari keluarga Muslim yang taat, sehingga memilih mempertahankan agamanya.

Menurut Mujiburrahman, peristiwa konversi tersebut menandai kontinuitas ketegangan

relasi antara Islam dengan Kristen yang mencuatkan isu kristenisasi melalui berbagi metode

seperti bantuan pangan, akses pendidikan dan kesehatan terutama memasuki masa Orde

Baru. Baca Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order (Leiden: Amsterdam University Press, 2006) 18, 29, 32-34, 89, 105-107.

5

mengucapkan „selamat Natal‟ kepada penganut Kristen yang pernah difatwakan

haram oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dengan fatwa No. 432/1981 yang

dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1981, meskipun pada akhirnya fatwa tersebut

dihentikan peredarannya melalui Surat Keputusan MUI No. 139 tahun 1981.

Tidak hanya berhenti pada saling mengucapkan selamat dan memaafkan,

baik momen Idul Fitri maupun Natal di tahun baru Masehi biasanya didahului

dengan memberi makanan jelang hari raya. Tradisi saling antar makanan ini juga

menjadi kesadaran bersama untuk berbagai kegiatan sosial-keagamaan. Pada saat

slametan14

upacara siklus kehidupan seperti kelahiran, perkawinan terdapat tradisi

berbagi makanan ke kerabat, tetangga tanpa membedakan faktor agama.

Dalam konteks Tegalombo, pentradisian relasi agama yang harmonis

berangkat dari kesadaran pengalaman keagamaan masyarakat dan juga karena

pengaruh tindakan tokoh agama (kyai maupun pendeta) yang diyakini sebagai

terjemahan ajaran agama. Tindakan tersebut misalnya saat tokoh dari kedua agama

memimpin sebuah hajatan tertentu seperti perkawinan. Jika keluarga yang

mempunyai hajat Kristen, ketika pendeta akan memimpin do‟a, terlebih dahulu

mempersilahkan umat Muslim yang hadir untuk memanjatkan do‟a secara Islam.

Sebaliknya saat hajatan keluarga Muslim, kyai yang memimpin do‟a

mempersilahkan yang beragama Kristen untuk berdo‟a sesuai keyakinannya.

Meskipun hanya tindakan dan tidak secara formal menggunakan sitiran ayat kitab

suci namun tindakan tokoh kedua agama di Tegalombo tersebut lebih dari sekedar

anjuran yang mencerminkan bagaiamana seseorang harus memahami dan

mempraktekkan sikap toleran.

Pencarian format tersebut bukan sesuatu yang mudah dan instan, melainkan

melalui proses rekonsiliasi untuk menemukan mekanisme dalam membangun dan

merawat relasi antar umat beragama. Selanjutnya fenomena relasi keduanya seperti

dalam beberapa contoh di atas telah menjangkau banyak aspek kehidupan sosial dan

lebih dari persoalan solidaritas dan saling menghargai. Relasi tersebut bahkan

memenuhi apa yang oleh Michael Walzer disebut sebagai koeksistensi damai

(peaceful coexistence), dimana kelompok yang berbeda secara identitas menyemai

toleransi.15

Masyarakat Tegalombo bahkan memiliki mekanisme tertentu untuk

menjembatani persoalan konsep teologis dan keinginan hidup berdampingan secara

damai yang dipengaruhi oleh kemampuan mengkombinasikan konsep tentang

keyakinan agama dan konsep tentang hubungan sosial-budaya. Inilah yang

14Slametan merupakan tradisi do’a dan berbagai makanan dalam masyarakat Jawa.

Clifford Geertz mengidentifikasi slametan sebagai ‚core ritual‛ budaya Jawa, bentuk ritus

animisme untuk memperkuat solidaritas masyarakat. Sementara Mark. W. Woordward

menilai slametan berakar pada tradisi Muslim untuk berbagi makanan (shadaqah) sesuai

anjuran al-Qur’an dan hadist. Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java (Glencoe, IL: Free

Press, 1960), 10-15, dan Mark. W. Woordward, ‚The Slametan: Textual Knowledge and

Ritual Performance in Central Javanese Islam‛, dalam jurnal History of Religion, Vol. 28,

No. 1 Agustus 1988, 54-89. 15

Michael Walzer, On Toleration (New Haven and London: Yale University, 1997),

2.

6

dimaksud Nurcholis Madjid sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan

keadaban” (genuine engagement of diversity within the bond of civility)16

dan bukan

lagi sekedar “kebaikan negatif” yang hanya untuk sekedar menyingkirkan fanatisme.

Jika meminjam framework relasi sosial yang diformulasikan oleh

Departemen Ekonomi dan Sosial PBB, maka relasi Islam dan Kristen di Tegalombo

merupakan relasi yang unik yang meliputi 6 relasi sosial yaitu; 1) fragmentasi, 2)

eksklusi, 3) polarisasi, 4) ko-eksistensi, 5) kolaborasi, 6) kohesi.17

Tiga relasi

pertama adalah mengarah pada kondisi yang negatif. Sementara tiga relasi lainnya

menunjukkan kondisi yang mendorong pada relasi damai atau integrasi sosial.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Relasi antar kelompok agama berbeda seperti dua sisi mata uang, dimana

pada kondisi tertentu terjadi konflik, ketegangan, serta kontestasi, dan di sisi lain

menggambarkan sebuah integrasi, konsensus dan kerukunan. Konteks di Indonesia

pun demikian, relasi keduanya bahkan disebut-sebut penuh ketegangan dan konflik

sejak era Kolonial Belanda, Pendudukan Jepang, Masa Kemerdekaan, Orde Lama,

Orde Baru dan bahkan Reformasi. Situasi konflik yang berkepanjangan antar

keduanya ditengarai karena perbedaan doktrin agama, pengalaman historis-politis

dan isu kristenisasi.

Konflik antara kelompok Islam dan Kristen tersebut tidak lantas

mengaburkan perspektif kita terhadap adanya relasi kedua agama yang lebih

menampakan sebuah relasi yang bersifat damai. Relasi damai ini banyak

ditemukan di luar konteks bidang politik, yaitu pada bidang-bidang sosial dan

budaya. Bahkan relasi keduanya semakin kuat ketika bertemu dalam gagasan-

gagasan dialog-dialog antaragama yang menyangkut masalah kemanusiaan.

2. Pembatasan Masalah

Kajian tentang relasi antar kelompok agama dapat didekati dengan melihat

dan menganalisi pola-pola relasi dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial,

ekonomi serta politik. Dengan menggunakan kerangka studi perdamain, pola relasi

dalam berbagai bidang tersebut akan dikaji dengan melihat sisi perdamaian maupun

ketegangan yang tercipta sebagai konsekuensi kontestasi dari pola-pola relasi

tersebut. Lebih spesifiknya, penelitian ini terfokus untuk menganalisa akar

ketegangan dan perdamaian dalam relasi antara kelompok Islam dan Kristen serta

melihat dinamikanya yang membentuk pola-pola relasi antar keduanya.

16Nurcholis Madjid, ‚Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan

Kemungkinan‛, dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran ‚Civil Society‛ dalam Islam Indonesia (Jakarta: Pustaka hidayah, 1999), 22.

Lihat juga dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi (Diterbitkan atas kerjasama ICRP dengan Kompas,

Jakarta: 2009), 119. 17

Lihat E Dialogue ‚Creating an Inclusive Society: Practical Strategies to Promote

Social Integration‛, http//www.un.org/esa/socdev/sib/inclusive _society/social%20relations.htm diakses tanggal 12 Januari 2013.

7

3. Rumusan Masalah

Konteks Tegalombo dapat menjadi salah satu referensi mempelajari

dinamika relasi antar kelompok agama berbeda (Islam dan Kristen) baik dalam

melihat perdamaian maupun ketegangan yang terjadi dari interaksi keduanya dengan

melihat pola-pola hubungan sosial-keagamaannya yang berbasis pada tradisi dan

budaya. Oleh karenanya rumusan masalah dalam tesis ini adalah “Bagaimana relasi

antar kelompok agama berbeda yang berbasis budaya dapat membangun kerukunan

yang berkelanjutan? Rumusan masalah tersebut selanjutnya diturunkan dalam

pertanyaan sebagai berikut:

1) Apa faktor dominan yang mendorong perdamaian dan memicu ketegangan

antara kelompok Islam dan Kristen?

2) Bagaimana pola relasi antara kelompok Islam dan Kristen dalam membangun

dan merawat kerukunan?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Buku The Cross and The Crescent: The Dramatic Story of The Earliest

Encounters Between Christians and Muslims karya Richard Fletcher secara khusus

membahas sejarah hubungan Islam dan Kristen sejak meninggalnya Nabi

Muhammad hingga masa reformasi Eropa.18

Fletcher tidak secara eksplisit

menyatakan apakah suatu fenomena relasi antara Islam-Kristen disebut damai atau

berkonflik. Ia mengantarkan pembaca untuk menilai sejarah Islam dan Kristen

dalam berbagai pola hubungan.

Pola hubungan ini disajikan Fletcher mulai dari pertemuan Islam-Kristen

dalam konteks penaklukan, diplomasi, ziarah, hingga kontak intensif di

perdagangan. Pada akhirnya, Fletcher mengarahkan semua data sejarah untuk

menunjuk kepentingan politislah yang merusak semua hubungan yang saling

melengkapi antara Islam dan Kristen.19

Karya ini memberikan tambahan informasi

sejarah relasi Islam-kristen, akan tetapi tidak banyak memberi informasi analisa

sejarah hubungan tersebut. Jika kekayaan data sejarah hubungan Islam-Kristen

dibarengi analisa yang mendalam terkait dengan hubungan tersebut, kemunkinan

kita mendapat pola relasi antar agama dalam konteks lain, seperti di Indonesia.

Buku yang ditulis oleh Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam dan

Kristen20

memiliki semangat yang sama dengan karya Fletcher. Aritonang memulai

sejarah perjumpaan Islam-Kristen sejak dimulai dari masa VOC, Hindia Belanda,

pendudukan Jepang, masa Orde Lama, Orde Baru, hingga masa reformasi.

Aritonang menunjukkan fenomena-fenomena yang seringkali menjadi konteks

intensitas relasi Islam-Kristen. Misalnya, dalam masa Orde Baru, Aritonang

18Richard Fletcher, The Cross and The Crescent: The Dramatic Story of The

Earliest Encounters Between Christians and Muslims (New York: Penguin, 2005). 19

Richard Fletcher, The Cross and The Crescent: The Dramatic Story of The Earliest Encounters Between Christians and Muslims, 40-44.

20Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen (Jakarta: PT BPK

Gunung Mulia, 2006).

8

menyebutkan enam konteks relasi Islam-Kristen. Pertama, relasi Islam-Kristen

didekati melalui konteks politik demokrasi yang membahas soal Piagam Jakarta,

soal pemilu 1971, soal partai-partai agama yang difusikan, hingga soal sidang MPR

tahun 1973.

Kedua, relasi Islam-Kristen didekati dalam konteks konflik terkait dengan

kebijakan-kebijakan yang menyangkut keagamaan, seperti Undang Undang (UU)

pembangunan rumah ibadah, UU perkawinan, dan kebijakan soal eks-tapol komunis.

Ketiga, perjumpaan intensif Islam-Kristen dalam berbagai kebijakan pembangunan

Orde Baru, seperti pembentukan MUI, UU pernikahan beda agama, soal azas

tunggal, soal RUU pendidikan 1998, hingga persoalan RUU peradilan agama.

Keempat, terkait dengan berbagai kerusuhan yang terjadi di akhir pemerintahan

Orde Baru hingga soal pembentukan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim

Indonesia).21

Kelima, perjumpaan Islam-Kristen dalam dunia literatur. Ia melihat dua

jenis pembicaraan tentang Islam-Kristen, antara lain tulisan yang cenderung

apologetis-polemis dan tulisan yang cenderung ironis-dialogis. Dua jenis tulisan ini

dipakainya untuk menjelaskan berbagai kecenderungan perspektif tentang relasi

Islam dan Kristen dalam diskursus akademis.22

Keenam, secara khusus Aritonang

melihat kemungkinan wacana dialogis menjadi proyek bersama melalui seminar

agama-agama.

Dari karya ini kita bisa melihat jejak ideologi Islam dan Kristen yang

mengemuka sebagai bagian dari etika hubungan masyarakat dan negara. Hal ini

penting untuk mendeteksi sejauh mana pola-pola ideologi relasi Islam-Kristen yang

dikembangkan negara mempengaruhi pola relasi Islam-Kristen di tingkat akar

rumput. Pendekatan yang dilakukan oleh Aritonang sangat membantu memposisikan

relasi Islam-Kristen dalam konteks fenomena kultural tertentu. Akan tetapi, rumusan

inisiasi konsep teologis dengan cara melibatkan fungsionaris agama sangat relevan

dengan konteks Tegalombo yang juga melibatkan pemuka agama dalam proses

menghidupi relasi damai Islam-Kristen di sana. Kemungkinannya, perlu kerangka

teoritis yang mampu menjembatani dua kebutuhan tersebut, agar secara metodologis

kita dapat membuat rumusan model relasi damai Islam-Kristen yang diperoleh dari

konteks kultural di Tegalombo.

Konteks perjumpaan Islam-Kristen di Indonesia lainnya dapat ditemukan

dalam disertasi M. Arfah Shiddiq yang berjudul Konflik dan Konformitas Antara

Islam dan Kristen: Studi Tentang Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia

1966-1992.23

Disertasi ini merupakan penelitian kepustakaan yang menjabarkan

tentang konsep hubungan antar umat beragama, pengalaman dari Islam dan Kristen

21Lihat juga Syamsul Hadi, Andi Widjayanto, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru:

Negara, Konflik, dan Dinamika Internasional (Jakarta :Yayasan Obor Indonesia kerjasama

dengan Centre for International Relation Studies (CIReS), 2007). 22

Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen, 480. 23

M. Arfah Shiddiq, Konflik dan Konformitas Antara Islam dan Kristen: Studi Tentang Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia 1966-1992 (Jakarta: Disertasi UIN

Syarif Hidayatullah, 2000).

9

di Indonesia. Arfah memberikan kesimpulan bahwa konflik antara Islam dan Kristen

memiliki intensitas yang cukup tinggi dengan spektrum yang luas dibanding konflik

kedua agama dengan agama lainnya. Penyebab terjadinya konflik keduanya adalah

karena faktor doktrinal, historis politis dan isu kristenisasi.

Pertama, faktor doktrinal, yaitu doktrin keagamaan keduanya yang sama-

sama eksklusif dan dipahami secara fanatik, seperti doktrin keesaan Tuhan, doktrin

tentang dosa, doktrin tentag penebusan dosa, doktrin tentang Yesus dan Isa, doktrin

keselamatan, dimana dalam kedua agama sangat fundamen perbedaanya. Kedua,

faktor historis-politis, dari Perang Salib dan dilanjutkan kolonialisme Barat (Kristen)

yang ditengarai melakukan penyebaran agama Kristen. Ketegangan juga terjadi

secara politik, ketika merumuskan ideologi negara, yang termaktub dalam Piagam

Jakarta. Begitu juga pemberlakukan syariat Islam pasca dekade 50-an dikhawatirkan

muncul kembali melalui dominasi mereka setelah PKI dibubarkan. Ketika Islam

sibuk menumpas sisa PKI, umat Kristen memanfaatkannya dengan melancarkan

kristenisasi guna menghimpun kekuatan baik yang berasal dari bekas anggota PKI

(Partai Komunis Indonesia) maupun dari pemeluk lain, khusunya Islam.24

Ketiga, kristenisasi. Isu kristenisasi menjadi isu dan faktor konflik Kristen

dan Islam, bermula tahun 1966, peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru kegiatan

kristenisasi meningkat pesat dengan membangun gereja, sekolah-sekolah di

pemukiman mayoritas Islam serta membujuk orang miskin dengan bantuan pangan,

pakain dan obat-obatan. Awalnya reaksi Muslim hanya sebatas pengaduan ke

pemerintah, namun ketika tidak ditanggaapi berubah menjadi tindakan kekerasan

berupa perusakan gereja dan sekolah Kristen.

Namun di sisi lain, relasi kedua agama menunjukkan adanya konformitas

karena faktor titik temu ajaran dan budaya serta proses dialog antar umat beragama.

Pertama, faktor titik temu ajaran agama. hal ini mengacu pada kedua doktrin agama

yang sama-sama mempunyai ajaran untuk mengatur hubungan antar agama. Kedua,

pendekatan budaya sangat penting untuk melihat konformitas Islam dan Kristen

ditengah masyarakat yang pluralistik25

.

Hampir sama dengan apa yang dilakukan Aritonang, disertasi ini

memberikan data sejarah relasi keduanya dalam ideologi, sosial, politik dan

kebudayaan yang diwarnai ketegangan dan konformitas. Terkait dengan

konformitas, karya ini tidak secara detail memberikan bukti dan analisa atas budaya

serta dinamika sosial-kultural di masyarakat yang menjadi kunci konformitas Islam

dan Kristen. Karya ini belum menjawab budaya seperti apa yang menjadi faktor kuat

konformitas, dan seperti apa pola-pola relasi yang dihasilkan dari kebudayaan yang

menghidupi konformitas antara Islam dan Kristen.

24M. Arfah Shiddiq, Konflik dan Konformitas Antara Islam dan Kristen, 111.

25Pembicaraan mengenai kebudayaan nasional sudah dimulai sejak kemerdekaan

dengan terjalinnya persatuan bangsa dengan ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila tidak

hanya monopoli pemerintah namun juga masuk dalam lembaga keagamaan, baik Islam

maupun Kristen. M. Arfah Shiddiq, Konflik dan Konformitas Antara Islam dan Kristen,

187.

10

Informasi kontekstual yang tidak kalah penting adalah soal konteks

berteologi di Indonesia. Berteologi tidak sekadar memakai isu agama sebagai arena

diskursus berbagai kepentingan. Lebih jauh, berteologi berarti mengadaptasikan

bahasa agama (sacred) dalam bahasa sosial (profane). Dalam buku Konteks

Berteologi di Indonesia26

, Azyumardi Azra mencoba menyusun bingkai teologis

yang dipakai oleh umat Islam dalam berbagai dinamika sosialnya. Secara khusus

Azyumardi membahas soal kemungkinan relasi damai antar umat beragama yang

diinisiasi oleh konsep teologis Islam.

Dalam hal ini, Azyumardi memposisikan fungsionaris agama sebagai

penjaga konsep teologis (guardian the faith)27

yang dipahami oleh umatnya. Ia

melihat kesulitan yang sering dialami oleh fungsionaris agama memaknai konsep

teologi Islam yang justru memposisikannya dalam kondisi ambigu. Satu sisi, ia

memiliki kerangka teologis yang mengakui keragaman dan keharusan toleransi, dan

di sisi lain konsep teologi yang sampai di Indonesia dipenuhi dengan doktrin yang

incompatible yang tidak kondusif untuk dialog.28

Azyumardi mencoba merumuskan model-model dialog yang bisa

mempengaruhi konsep teologis para fungsionaris agama tersebut. Model-model ini

diinisiasi oleh akademisi dan melibatkan fungsionaris agama. Ada empat model

yang dia sebutkan. Pertama, dialog parlementer yang melibatkan ratusan peserta

yang fokus dalam menciptakan dan mengembangkan kerjasama yang lebih baik

antar umat beragama. Kedua, dialog kelembagaan yang melibatkan perwakilan-

perwakilan institusi agama. Ketiga, dialog teologi yang dilakukan oleh lembaga

akademis dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang konsen pada isu teologi

dan filsafat agama. Keempat, dialog dalam masyarakat dan dialog kehidupan yang

umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian “hal-hal praktis” dan “aktual” dalam

hubungan antar agama sehari-hari.29

Tampaknya model dialog keempat yang

disebutkan Azyumardi sangat relevan atau paling dekat dengan konteks di

Tegalombo.

Kajian lain terkait relasi Islam-Kristen di Indonesia dalam konteks konflik

dan sikap saling terancam dapat dilihat dari karya Mujiburrahman Feeling

Threatened; Muslim-Christian Relathionship In Indonesia‟s New Order30

. Buku ini

memberikan fakta dan analisa sejarah terkait hubungan kedua agama yang

cenderung merasa saling terancam. Kelompok Islam merasa terancam dengan

kristenisasi yang dianggap tidak adil dan cenderung agresif untuk mengkristenkan

orang Muslim ke Kristen melalui berbagai cara seperti dengan menawarkan bantuan

uang, makanan, pendidikan, dan kesehatan, membangun sebuah gereja di daerah

mayoritas Muslim dsb. Dalam pandangan kelompok Islam, kristenisasi juga

dianggap sebagai sebuah konspirasi politik Kristen dengan musuh-musuh Islam

26Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam.

27Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, 57.

28Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, 59.

29Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, 62-63.

30Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s

New Order (Leiden: Amsterdam University Press, 2005).

11

lainnya, khususnya sekularis, dalam dan luar negeri, untuk melemahkan kelompok

Islam secara budaya, politik dan ekonomi.

Jika kelompok Muslim merasa tidak aman dan terancam oleh praktek

kristenisasi, pihak Kristen merasakan ancaman dari cita-cita sebuah Negara Islam.

Setelah PKI secara fisik dan politik hancur di akhir 1960-an, kelompok Islam

merasa lebih percaya diri dalam mengejar ambisi ideologis mereka. Bagi mereka,

hidup di sebuah negara Islam di mana hukum syari'ah dilaksanakan akan

menyebabkan umat Kristen berubah menjadi warga kelas dua. Oleh karenanya

sebagai penganut agama yang minoritas dibandingkan umat Islam, penganut Kristen

lebih memilih pandangan politik sekuler pemisahan agama dan negara.

Mujiburrahman menilai bahwa isu kristenisasi dan isu akan terciptanya

pemerintahan Islam di indonesia tidak terlepas dari berbagai masalah terkait

kebebasan menyiarkan agama, kebebasan beribadah, kebebasan mengikuti atau tidak

mengikuti pelajaran agama di sekolah, kebebasan menerima bantuan dari luar negeri

dan kebebasan perkawinan antaragama. Kebebasan beragama di Indonesia sendiri

merupakan sesuatu yang rumit dan kompleks dimana persoalan agama merupakan

persoalan politik yang mencakup intepretasi ideologi pancasila dan hukum negara

Indonesia

Senada dengan Mujiburrahman, Sudarta dalam bukunya Konflik Islam-

Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia

menjelaskan bahwa kegiatan penginjilan pada masa Kolonial Belanda merupakan

pemicu ketegangan Islam dengan Kristen, dimana saat itu misionaris mendapat

bantuan besar dari Belanda, baik politik maupun finansial.31

Sedangkan dari sisi

politik, Sudarta melihat bahwa pada masa Orde Lama ketegangan antar keduanya itu

mencuat saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang konstituante hasil pemilu

1955. Dalam pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan tujuh kata yang bernuansa

islami, yang oleh kaum Kristen dianggap sebagai upaya pembentukan negara Islam,

meskipun pada akhirnya ke-tujuh kata tersebut dihapuskan.

Dinamika relasi Islam dan Kristen sebagaimana telah diuraikan di atas

menunjukkan kepada kita bahwa terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi

relasi konflik maupun damai. Buku-buku tersebut tidak mengeksplorasi secara

mendalam model yang terbentuk atas hubungan yang harmonis antar umat

beragama, khususnya Islam dan Kristen. Istilah model sendiri sebenarnya merujuk

pada rumusan pola-pola relasi antaragama yang diperkenalkan Paul Knitter dalam

bukunya, Introducing to Theologies of Religions.32

Keempat model itu adalah model

penggantian, model pemenuhan, model mutualitas, dan model penerimaan.

Dalam menguraikan model-model tersebut, Knitter berangkat dari perspektif

dogma-dogma Kristiani yang sekaligus mencerminkan tahapan evolutif dalam ranah

interpretasi normativitas agama Kristen. Pertama, model penggantian total, yaitu

hanya satu agama yang benar. Model ini memberikan pandangan bahwa satu-

31Sudarta, Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antar Umat

Beragama di Indonesia (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 79-80. 32

Paul Knitter, Introducing to Theologies of Religions (New York: Orbis Book,

2002).

12

satunya agama yang benar adalah agama Kristen sebagai cerminan perspektif awal

para pemeluk agama Kristen terhadap agama-agama lain. Knitter mencatat bahwa

model ini masih merupakan arus besar keberagamaan umat Kristen hingga saat ini,

terutama aliran fundamentalisme dan evangelisme.33

Dalam tradisi Kristen, model

ini merujuk pada prinsip extra ecclesium nulla salus (tidak ada keselamatan di luar

gereja). Sementara sebagai landasan dalam Islam kita temukan dalam salah satu

ayat, seperti ‘Ali Imra>n ayat 19 yang berarti “Sesungguhnya agama (yang benar) di

sisi Allah adalah Islam”.

Kedua, model pemenuhan; yang satu menyempurnakan yang banyak.

Knitter menulis, “Model ini menawarkan satu teologi yang dapat memberikan bobot

yang sama kepada kedua keyakinan dasar Kristiani yang telah kita dengar bersama:

bahwa kasih Allah itu universal, ditujukan kepada semua bangsa, namun kasih itu

juga partikular, diberikan secara nyata dalam Yesus Kristus.”34

Landasan

epistemologi-teologis tentang kasih “universal” dan “partikular” ini juga dikenal

dalam tradisi Islam, misalnya dalam perbincangan seputar dua sifat Allah: al-rahma>n dan al-rahi>m. Pada prinsipnya umat Islam meyakini bahwa Allah memberikan kasih

sayang kepada seluruh umat manusia, namun juga bersifat al-rahi>m yang terbatas

kepada umat yang beriman saja.

Ketiga, model mutualitas. Model ini merupakan kebalikan dari model

pemenuhan. Model ini memerlukan keseimbangan posisi agar terjalin jalan dialog

yang baik di antara agama-agama. Model mutualitas memang bukanlah arus utama,

tetapi ia tetap merupakan bagian penting dari pola relasi antaragama, terutama dalam

kisaran wacana pluralisme. Keempat, model penerimaan: banyak agama yang benar.

Model ini menjadi paradigma utama sejak abad ke-20 karena ia berusaha untuk

“menerima diversitas nyata dari semua agama”. Sebagai model yang paling inklusif,

ada usaha-usaha untuk penyeimbangan relasi dan dialog antaragama bukan dengan

cara menonjolkan superioritas sebuah agama atau mencari sesuatu yang sama dari

setiap agama.7

Model relasi di atas juga sangat dipengaruhi sikap keberagaman individu

atau kolektif masyarakatnya. Mengenai sikap keagamaan manusia dalam konteks

pluralisme agama, Raimundo Panikkar, mengklasifikasi tiga macam sikap

keagamaan manusia: eksklusif, inklusif dan paralel/ plural. Sikap ekslusif artinya

seseorang menganggap bahwa hanya agamanya saja yang benar, sementara yang

lain salah; sikap inklusif artinya seseorang beranggapan, bahwa agamanya yang

paling benar, tetapi agama lain juga mengandung kebenaran; sikap plural artinya,

seseorang menganggap bahwa semua agama sama dan mengandung kebenaran

masing-masing.22

Dalam konteks Tegalombo, relasi antar kelompok agama yang bersifat

damai dapat didekati dengan salah satu dari model maupun sikap keagamaan di atas.

Apa yang dimaksud dengan relasi damai Islam-Kristen di Tegalombo adalah ketika

33Knitter, Introducing to Theologies of Religions, 21.

34Knitter, Introducing to Theologies of Religions, 73.

22Raimundo Pannikar, The Intrareligious Dialogue (New Jersey: Paulist Press,

1999), 18.

13

konsep kultural dapat mempertemukan kedua umat beragama dalam suatu tindakan

yang bermakna teologis. Seperti contoh penyembelihan hewan merupakan hal yang

bersifat kultural (profane). Akan tetapi ketika orang Kristen melibatkan orang Islam

dan memaknai tindakan menyembelih sebagai bagian dari keyakinan teologis, maka

penyembelihan ini bermakna sakral (sacred). Dengan melihat dan mengkaji banyak

fenomena sosial dan keagamaan, kita akan dapat menemukan model relasi damai

antar agama dari interaksi umat Islam dengan umat Kristen di Tegalombo.

D. Tujuan Penelitian

Secara khusus penelitian ini memiliki dua tujuan. Pertama, mengidentifikasi

dan menganalisa akar ketegangan dan perdamaian dalam relasi antara kelompok

Islam dan Kristen. Kedua, menyajikan fenomena relasi antar kelompok agama

berbeda yang berbasis pada budaya dalam membangun dan merawat kerukunan.

E. Manfaat Penelitian

Secara akademik, penelitian ini memperkuat bukti terkait pentingnya peran

budaya dalam memperkuat kohesi sosial dan kerukunan antar umat beragama

sebagaimana yang dikemukakan John Haba dalam Revitalisasi Kearifan lokal: Studi

Resolusi konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso (2007) dan Elise Boulding,

Cultures of Peace: The Hidden Side of History (2000). Tesis ini juga sejalan dengan

pandangan pluralis Kristen (John Hick, Paul Knitter, Frithjof Schuon, Raimundo

Panikar) dan Muslim (Abdul Aziz Sachedina, Farid Esack) yang menggarisbawahi

bahwa sikap keagamaan yang inklusif dan toleran menjadi modal dasar dan penting

untuk membangun dialog antaragama sebagai fondasi membangun dan merawat

kerukunan umat beragama (religious harmony). Penelitian ini ingin memberikan

bukti bahwa persepsi dan mitos yang keliru tentang agama lain dapat menyeret umat

beragama dalam situasi konflik. Sebaliknya, kerjasama antar kelompok agama

berbasis budaya yang mengedepankan penerimaan terhadap eksistensi agama lain

dapat berkontribusi pada upaya mewujudkan kebebasan beragama dan

berkeyakinan.

F. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah desa Tegalombo kecamatan Dukuhseti yang

terletak di pesisir utara Kabupaten Pati. Kecamatan Dukuhseti sendiri merupakan

kecamatan di ujung utara Pati yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Jepara.

Untuk mencapai Desa Tegalombo kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km

arah utara dari kota Pati. Desa ini berpenduduk 5969 jiwa dengan komposisi

berdasarkan agama yaitu 71,9% (4294 jiwa) beragama Kristen dan 28,1% (1675

jiwa) beragama Islam.35

Tegalombo terbagi dalam tiga (3) pedukuhan yaitu

Margorejo, Krajan dan Tawang Rejo. Margorejo merupakan dukuh dengan basis

pemeluk Kristen yang mencapai 1922 atau 32,1 % dari total penduduk Tegalombo.

Di Krajan yang terletak di sebelah utara Margorejo komposisi penduduknya adalah

35Laporan Monografi desa Tegalombo tahun 2012.

14

58,9% beragama Kristen dan 41,0% beragama Islam. Sementara di Tawang Rejo

dusun yang berbatasan langsung dengan laut Jawa ini penduduk yang beragama

Kristen berjumlah 1185 (59,1%) dan 796 jiwa (40,1%) memeluk Islam.

Desa Tegalombo pada mulanya merupakan „desa persil‟ yang didirikan oleh

misionaris Pieter Antonia Jansz pada tahun 1883 sebagai tempat pelayanan dan

pusat pekabaran Injil di wilayah Pati Utara. Dalam perspektif relasi Islam-Kristen,

desa ini cukup relevan untuk menyajikan narasi hubungan sosial-keagamaan baik

yang mengarah pada harmoni maupun ketegangan. Dari desa ini kita akan

mendapati bagaimana model relasi antar agama berbasis pada kekuatan budaya

mampu mendorong hubungan antar kelompok agama berbeda bisa tumbuh dalam

perdamaian yang berkelanjutan.

2. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, dimana penulis selaku peneliti

terlibat aktif langsung di lokasi penelitian untuk melihat dan merasakan situasi

sosial untuk mendapatkan data-data terkait tujuan penelitian. Pendekatan yang

digunakan adalah sosio-historis dengan menelusuri pengalaman sejarah masyarakat

Tegalombo yang sedikit banyak mempengaruhi terjadinya konflik dan perdamaian

antara kelompok Islam dan Kristen di sana. Pendekatan ini juga berupaya melihat

bagaimana masyarakat di sana mempertahakan nilai atau filosofi kebudayaan yang

dimilikinya untuk memperkuat kerukunan antar kelompok agama berbeda.

Teori habitus Pierre Bourdieu digunakan sebagai kerangka untuk membedah

fenomena kontestasi antara kelompok Islam dan Kristen baik yang mengarah pada

terjadinya konflik maupun perdamaian. Habitus didefinisikan sebagai seperangkat

skema (tatanan) yang memungkinkan agen-agen menghasilkan keberpihakannya

kepada praktek-praktek yang telah diadaptasi atau disesuaikan dengan perubahan

situasi yang terus terjadi.36

Habitus dikonsepkan dalam berbagai cara seperti

sebagai kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara khusus, motivasi,

preferensi, cita rasa dan emosi, perilaku yang mendarah daging, pandangan tentang

dunia (kosmologi) dan kemampuan sosial praktis.

3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber utama yang digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah data-

data tentang konflik, ketegangan dan perdamaian antara kelompok Islam dan Kristen

yang tersaji dari fenomena sosial-keagamaan. Data yang dimaksudkan adalah

berbagai peristiwa yang menyebabkan kedua kelompok bersitegang dalam proses

penyebaran dan penguatan kelompok agama yang dimulai sejak pertemuan Islam

dengan Kristen masa Kolonial Belanda hingga penelitian ini berlangsung.

Sedangkan data yang menunjukkan perdamaian diperoleh dari berbagai konsep

kultural hubungan sosial-keagamaan antara kelompok Islam dan Kristen.

Teknik pengumpulan data dilakukan melaui proses wawancara mendalam,

observasi live in, dan kajian data tertulis berbagai dokumen. Observasi dilakukan

36Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001)

179-181.

15

untuk melihat kondisi geografis, pola kehidupan sehari-hari penganut Muslim dan

Kristen, interaksi antar masyarakat, budaya dan tradisi masyarakat, kegiatan ibadah,

dan lain sebagaianya. Sedangkan dalam wawancara, peneliti melakukan komunikasi

secara langsung dengan informan, baik tokoh agama, pengurus masjid dan gereja,

tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan, jemaat gereja, jamaah masjid, serta

anggota masyarakat yang dapat memberikan informasi sesuai tujuan penelitian.

4. Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh dari proses observasi, wawancara dan dokumentasi

selanjutnya dipilah menjadi dua bagian, yaitu data yang menunjukkan relasi

ketegangan dan relasi perdamaian baik dari aspek kultural dan data pemakna

teologisnya. Pemilahan data juga dilakukan berdasarkan konteks pedukuhan yang

ada di Tegalombo untuk melihat komparasi komposisi Islam-Kristen terhadap

beberapa fenomena sosial-keagamaan. Selanjutnya data-data tersebut dianalisa pola-

pola pemaknaannya sehingga dari sanalah kita dapat merumuskan model relasi

Islam-Kristen di Tegalombo.

G. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan, penelitian ini terdiri dari lima bab. Data-data di

lapangan yang menjadi sumber penelitian dituangkan ke dalam beberapa bab dan

sub bab yang tersusun dalam sistematika penulisan. Berikut sistematika penulisan

penelitian ini:

Bab pertama berisi pendahuluan yang didalamnya dikemukakan latar

belakang sebagai bentuk kegelisahan akademik penulis atas sebuah permasalahan

untuk dijadikan obyek penelitian. Dari sini kemudian ditentukan pokok-pokok

permasalahan yang dirinci ke dalam identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan

kemudian dirumuskan menjadi masalah utama penelitian. Dari sini selanjutnya

dipaparkan tujuan dan manfaat penelitian baik secara akademik maupun praktis.

Setelah itu akan diuraikan penelitian sebelumnya yang relevan dengan fokus

penelitian. Kemudian dipaparkan juga metode penelitian sebagai cara memperoleh

dan menganalisa data-data lapangan. Bagian terakhir bab pertama ini adalah

menjabarkan sistematika penulisan sebagai garis besar isi penelitian.

Perdebatan akademik tentang konteks teologis dan sosiologis relasi antar

umat beragama tersaji di bab dua. Bab ini diawali dengan menjelaskan tipologi sikap

keagamaan sebelum beranjak pada diskusi tentang titik temu dan titik seteru relasi

Islam-Kristen. Bab ini diakhiri dengan pembahasan tentang peluang rekonsiliasi

konflik melalui dialog antaragama.

Pokok kajian tesis disajikan dalam bab tiga dan empat. Bab tiga secara

umum menyajikan narasi tentang evangelisme dan amar ma’ruf nahi< munkar. Evangelisme di Tegalombo akan menjadi pembuka pada bab ini yang menuturkan

sejarah evangelisme dan kondisi gereja maupun umat Kristen saat ini. Setelah itu

akan disajikan bagaimana upaya revitalisasi penduduk Muslim Tegalombo.

Pandangan tokoh agama tentang konsep misi atau dakwah akan menguraikan

tentang konsep teologis dalam membangun relasi antar agama. Bab ini juga

menganalisa fakta pertambahan penduduk secara alamiah dan konversi yang

memberikan narasi demografi agama. Sebagai penutup bab tiga ini akan dibahas

16

mengenai agama dan kontestasi politik untuk melihat relasi agama dengan

kepentingan politik.

Bab keempat akan menyajikan fenomena perdamaian dan ketegangan dalam

relasi antara kelompok Islam dan Kristen yang dituliskan secara analitis. Relasi

harmoni antara Islam dan Kristen dan faktor pendukungnya dapat ditemukan dari

analisa data-data berbagai fenomena kehidupan sosial-keagamaan. Sementara

ketegangan yang lahir dari kontestasi terangkum dalam pembahasan tentang jejak

konflik antara kelompok Islam dan Kristen. Bab ini diakhiri dengan refleksi dan

prediksi masa depan relasi Islam- Kristen.

Bab kelima, sebagai bab penutup berisi uraian kesimpulan dari bab

sebelumnya. Selain itu, bab ini juga berisi rekomendasi yang dapat digunakan untuk

pertimbangan dalam khazanah akademik maupun praktis dalam membangun relasi

damai antar umat beragama.