Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONTEKS WACANA DALAM NOVEL LONTARA RINDU KARYA S. GEGE MAPPANGEWA
DISCOURSE CONTEXT IN THE NOVEL LONTARA RINDU BY S. GEGE MAPPANGEWA
TESIS
Oleh
ARISA
Nomor Induk Mahasiswa : 04. 08. 939. 2013
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR
2016
i
KONTEKS WACANA DALAM NOVEL LONTARA RINDU KARYA S. GEGE MAPPANGEWA
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister
Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan Oleh
ARISA
Nomor Induk Mahasiswa : 04. 08. 939. 2013
kepada
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR
2016
ii
KONTEKS WACANA DALAM NOVEL LONTARA RINDU KARYA S. GEGE MAPPANGEWA
Yang disusun dan diajukan oleh
ARISA NIM. 04. 08. 939. 2013
Telah dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Tesis pada tanggal, 14 April 2016
Menyetujui Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. H. M. Ide Said D. M., M.Pd. Prof. Dr. Anshari, M. Hum.
Mengetahui
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia
Prof. Dr. H. M. Ide Said D. M., M.Pd. Dr. Abd. Rahman Rahim. M. Hum. NBM. 988. 463 NBM. 992. 699
iii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI
Judul : Konteks Wacana dalam Novel Lontara Rindu
Karya S. Gege Mappangewa
Nama : Arisa
NIM. : 04. 08. 939. 2013
Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
Telah diseminarkan dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis
pada tanggal 14 April 2016 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan
dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
TIM PENGUJI
Prof. Dr. H. M. Ide Said D. M., M. Pd. ( ) (Pembimbing I) Prof. Dr. Anshari, M. Hum. ( ) (Pembimbing II) Dr. Sitti Aida Azis, M. Pd. ( ) (Penguji) Dr. Munirah, M. Pd. ( ) (Penguji
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Arisa
NIM. : 04. 08. 939. 2013
Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
Judul : Konteks Wacana dalam Novel Lontara Rindu
Karya S. Gege Mappangewa
Menyatakan dengan sebenanyar bahwa tesis yang saya buat dan tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan hasil ciplakan atau
dibuatkan oleh orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang
lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 14 April 2016
Yang Membuat Pernyataan
Arisa
v
MOTTO
Identitas adalah tapak nisan karya yang mengabadi, nyawa Sang Penulis dalam titian lintasan zaman. Karena itu penghargaan
tinggi adalah hak atasnya.
~Arisa~
Penyatuan sikap menerima atas kekurangan ,menjadi buah dalam pohon kebahagiaan yang
harus disyukuri
Arisa
Kita hanyalah setitik noda kecil yang tinggal di planet bumi, sementara bumi, salah satu planet kecil di antara billion bintang di Galaksi Bima Sakti, sedangkan
Bimasakti satu galaksi di antara jutaan Galaksi yang ada di alam semesta, lalu, apa yamg mesti kita sombongkan?
-ARISA-
vi
ABSTRAK
Arisa, 2016. Konteks Wacana dalam Novel Lontara Rindu Karya S. Gege Mappangewa, dibimbing oleh: H. M. Ide Said D. M., dan Anshari.
Budaya masyarakat Bugis adalah sebuah sistem yang masih dijunjung tinggi masyarakatnya, ditampilkan dengan menarik dan sarat makna dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Unsur-unsur konteks wacana yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa meliputi: 1) setting ’latar’ dan scene ’suasana’, 2) participants’ partisipasi’, 3) ends ’ hasil’, 4) act sequences ’pesan’, 5) keys ’cara’,6) Instrumentalities ’Sarana’,7) norm ’norma’, dan 8) genre’jenis’. Konsep yang berkaitan dengan konteks dalam menganalisis wacana dalam Novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa meliputi: 1) praanggapan. 2) implikatur, dan 3) inferensi serta pendidikan berkarakter dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa.
Berdasarkan karakteristik penelitian, maka penelitian ini dikategorikan ke dalam jenis penelitian kualitatif yang berarti studi yang mencakup penggunaan dan pengumpulan berbagai data empirik yang bisa dilakukan melalui studi kepustakaan, interview,fragmentasi dan interaksi, dalam hal ini ditegaskan bahwa pendekatan deskriptif kualitatif selalu mendasarkan hal-hal yang bersifat fenomena untuk dianalisis, dideskripsikan dan akhirnya disimpulkan berdasarkan temuan dan analisis yang telah dilakukan. Sumber data adalah novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa. Terbit tahun 2012 dengan jumlah 342 halaman, diterbitkan oleh Republika, Jakarta
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel Lontara Rindu terdapat konteks nonverbal wacana yang terdiri atas, 1) setting ’latar’ dan scene ’suasana’, 2) participants’ partisipasi’, 3) ends ’ hasil’, 4) act sequences ’pesan’, 5) keys ’cara’,6) Instrumentalities ’Sarana’,7) norm ’norma’, dan 8) genre’jenis’. Unsur eksternal wacana dalam Novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa meliputi: 1) praanggapan, dalam praanggapan terdapat praanggapan eksistensial, praanggapan faktif, praanggapan nonfaktif, praanggapan leksikal, dan praanggapan konterfaktual. 2) implikatur, dalam implikatur terdapat, maksim kuantitas (the maxim of quantity), maksim kualitas (the maxim of quality), maksim hubungan atau relevansi (the maxim of relevance), dan maksim cara (the maxim of manner), dan 3) inferensi. Sedangkan pendidikan berkarakter yang ditemukan ada empat, yakni 1) jujur, 2) rasa ingin tahu, 3) peduli sosial, 4) bersahabat/komunikatif.
Kata kunci : Konteks, wacana, unsur eksternal wacana, unsur nonverbal wacana, pendidikan, dan karakter.
vii
viii
PRAKATA
“Assalamu Alaikum Waramatullahi Wabarakatuh”
“Dan Allah telah mengajari Adam menyebutkan nama-nama (kemampuan
berbahasa), lalu mencerdaskan manusia lewat perantaraan
kalam(wacana). Berkat penguasaan bahasa dan wacana inilah malaikat
bersujud memuliakan Bani Adam, sementara setan dengki
menyesatkannya.” (Yudi latif dan Idi Subandi Ibrahim)
Segala puja dan puji pada Allah subhanahu wa Taala, yang telah
melimpahkan cahaya segala maujud yang bergatung pada-Nya sehingga
tesis ini dapat penulis selesaikan penuh dengan perjuangan.
Penulis menyadari bahwa perjuangan untuk menyelesaikan tesis ini
tidak akan terealisasi dengan baik tanpa uluran tangan dari berbagai
pihak. Penulis dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan terima
kasih disampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Makassar, Prof. Dr. H. M. Ide Said D. M., M. Pd.,
pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk berbagi ilmu dan
pengetahuan sejak awal penulisan hingga tesis ini selesai. Mudah-
mudahan apa yang telah diberikan bernilai ibadah dan amal jariah di sisi-
Nya, amin. Terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya
disampaikan kepada pembimbing II, Prof. Dr. Anshari, M. Hum., Wakil
Dekan 1 Universitas Negeri Makassar, atas segala arahan dan
petunjuknya.
ix
Ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah
Makassar, Dr. Rahman Rahim, S.E., M. M., beserta staf yang telah
menyediakan segenap fasilitas dan sarana pendidikan yang penulis
butuhkan selama mengikuti Program Pascasarjana. Terima kasih kepada
penguji Dr. Siti Aida Azis, M. Pd., dan Dr. Munirah, M. Pd., yang telah
memberi arahan dan petunjuk sehingga penulis memperoleh percikan
cahaya khususnya dalam bidang analisis wacana kritis, cara yang
berbeda dalam berbagi ilmu pengetahuan, karakter yang menegangkan,
diselingi oleh kelembutan sebagaimana kodrat seorang ibu,
menggerakkan penulis untuk belajar dan terus belajar, mudah-mudahan
ketulusan penguji bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wataala, amin!
Terima kasih kepada Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Dr. Abd.Rahman Rahim, M. Hum., yang secara tidak
langsung memberi penulis kesempatan untuk terus menyelesaikan
pendidikan hingga tahap akhir. Maha suci Engkau Ya Allah yang maha
membalas setiap kebaikan yang ditorehkan oleh manusia kepada
sesamanya.
Ucapan terima kasih yang mendalam disampaikan kepada
Sekretaris Program Pascasarjana Dr. H. M. Darwis Muhdina, M. Ag., atas
segala bantuannya. Tempat dan status sosial yang berbeda
menyebabkan penulis baru mengetahui bahwa penulis memiliki hubungan
keluarga yang dekat dengan beliau.
x
Penghormatan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada Kepala
Tata Usaha PPS Drs. Muh. Yasin Tawakkal, M.M., beserta staf.Terima
kasih kepada Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Makassar yang telah berjasa dalam mendidik dan memberi ilmu kepada
penulis selama perkuliahan berlangsung hingga akhir penelitian.
Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada penulis novel
Lontara Rindu, S. Gege Mappangewa, karena melalui tangannya karya
terbaik lahir dan digunakan oleh penulis sebagai objek penelitian.
Demikian pula kepada pemilik novel Lontara Rindu, Agier yang dengan
ikhlas meminjamkan novelnya selama enam bulan kepada penulis.
Ucapan terima kasih sekalipun terbungkus emas tidak akan pernah
menggantikan seluruh cinta dan kasih sayang Ibunda tercinta, Suminah
dan ayahanda terkasih, Andi Untung Paddo. Cucuran keringat, air mata,
untaian doa serta pengorbanan tiada henti menjadikan penulis pribadi
yang kuat hingga bisa berada pada tahap ini. Maafkan jika Ananda sering
menyusahkan bahkan melukai Ibunda dan Ayahanda. Keselamatan dunia
akhirat semoga tercurah untuk kalian, amin.
Ucapan terima kasih teristimewa kepada kedua mertuaku, Ayahanda
Drs. Andi Salahuddin Nonci, M. Si., dan Dra. Hj. Serley Sinar, M. Si., yang
senantiasa membantu baik dari segi materi maupun nonmateri, menerima
penulis apa adanya, penulis bersyukur menjadi bagian dari kehidupan
kalian.
xi
Terima kasih yang paling tulus penulis ucapkan kepada suami
tercinta, Andi Rahmat Munawar, S. Sos., M. Si., yang juga berperan
sebagai informan bagi penulis, pengorbanan dan motivasi yang diberikan
kepada penulis menghantarkan penulis pada tahap penyelesaian tesis,
saat penulis tidak bisa membagi waktu antara pendidikan dan mendidik
anak, penulis selalu diingatkan agar tidak melupakan kewajiban utama
sebagai seorang ibu sekaligus istri, saat penulis ingin berhenti kuliah,
suami tercintalah yang memberi semangat bahwa selalu ada jalan dan
kemudahan dalam menuntut ilmu pengetahuan. Terima kasih semoga
ikatan suci ini akan tetap terjalin sampai maut memisahkan, amin!
Buah hati penulis Andi Ali Musthafa dan Andi Khadijah Arridha,
terima kasih atas perjuangan kalian mendampingi penulis, perjalanan sulit
kalian antara Wajo dan Makassar menjadi kekuatan untuk terus berjuang
dalam pendidikan. Jadilah pribadi sederhana di mana pun kalian berada.
Terima kasih kepada Andi Istambul yang banyak membantu penulis
dalam hal menjaga anak-anak, penulis menyadari tanpa bantuan Adinda
penulis tidak akan berada pada tahap akhir pendidikan ini, maaf jika
penulis sering marah dan kesal atas sikap Adinda, petiklah hikmah yang
baik dan membuang yang buruk dari penulis.
Terima kasih kepada sepupu penulis Andi Burhanuddin, yang kuliah
di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar, atas
tumpangan kosnya, terima kasih juga kepada Dinda Andi Reski dan Dinda
Jusna atas bantuannya sebagai tukang ojek yang siap mengantar penulis
xii
selama penulis melakukan bimbingan dan ujian, terima kasih juga atas
tumpangan kosnya, semoga berkah, semoga penulis bisa membalas
kebaikan kalian. Terima kasih kepada sahabat penulis, Ermawati Umar,
S.Pd yang sempat membantu penulis saat kesulitan mencari dana
tambahan untuk pendidikan,terima kasih kepada seluruh teman
mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar
Angkatan 2013.
Selain itu, penulis juga mengucapkan permohonan maaf atas
kesalahan dan kekhilafan, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah
laku, semenjak penulis menginjakkan kaki pertama kali di Universitas
Muhammadiyah hingga selesainya pendidikan penulis. Semua itu adalah
keterbatasan penulis sebagai manusia biasa, kesempurnaan hanyalah
milik Allah Subhanahu wa Taala. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa
yang disajikan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya wacana. Semoga ini dapat bernilai ibadah di sisi-
Nya, Amin!
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Makassar, 14 April 2016
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………… ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI……………………………………. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS………………………………………. . iv
MOTTO……………………………………………………………………… v
ABSTRAK………………………………………………………………….... vi
ABSTRACT………………………………………………………………… . vii
PRAKATA………………………………………………………………….....viii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… xvi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….xvii
DAFTAR ISTILAH…………………………………………………………..xviii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Penelitian ……………………………………………… 1
B. Fokus Penelitian ………………………………………………………… 9
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….. 10
D. Manfaat Penelitian………………………………………………............ 10
E. Definisi Istilah……………………………………………………………. 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………………………………………………… 14
A. Kajian Pustaka…………………………………………………………… 14
1. Hakikat Novel……………………………………………………………. 14
xiv
2. Konteks…………………………………………………………………... 19
3. Unsur-Unsur Konteks…………………………………………………… 23
3. Unsur Eksternal Konteks Wacana…………………………………….. 26
5. Hakikat Pendidikan Karakter…………………………………………... 38
6. Nilai Pendidikan Karakter dalam Karya Sastra………………………. 40
7. Sejarah Singkat Tolotang………………………………………………. 42
B. Penelitian Relevan……………………………………………………… 44
C. Kerangka Pikir …………………………………………………………… 47
BAB III METODE PENELITIAN………………………………………...… 49
A. Pendekatan Penelitian…………………………………………………. 49
B. Unit Analisis dan Penentuan Informan……………………………….. 49
C. Data dan Sumber Data…………………………………………………. 50
D. Teknik Pengumpulan Data…………………………….………………. 51
E. Teknik Analisis Data ……………………………………………………. 52
F. Pengecekan Keabsahan Temuan…………………………………….. 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………………. 56
A. Deskripsi Karakteristik Objek Penelitian……………………………… 56
B. Penyajian Hasil Analisis Data…………………………………………. 59
1. Konteks Nonverbal Wacana dalam Novel Lontara Rindu Karya S. Gege
Mappangewa…………………………………..……….……………….. 59
2. Unsur Eksternal Wacana dalam Novel Lontara Rindu Karya S. Gege
Mappangewa…………………………………..………………………… 74
xv
3. Pendidikan Karakter dalam Novel Lontara Rindu Karya S. Gege
Mappangewa……………………………………………………………. 177
C. Pembahasan……………………………………………………………. 127
BAB V SIMPULAN DAN SARAN……………………………………….… 139
A. Simpulan…………………………………………………………………. 139
B. Saran……………………………………………………………….......... 145
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 147
LAMPIRAN
1. Sinopsis Novel Lontara Rindu…………………………………………. 150
2. Biografi S. Gege Mappangewa………………………………….......... 153
3. Korpus Data Konteks Nonverbal Wacana, Unsur Eksternal Wacana dan
Pendidikan Karakter dalam Novel Lontara Rindu Karya S. Gege
Mappangewa……………………………………………………………... 154
4. Riwayat Hidup……………………………………………………………. 155
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir……...………………………………….. 48
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Sinopsis Novel Lontara Rindu…………………………………….. 150
2. Biografi S. Gege Mappangewa…………………………………... 153
3. Korpus Data Konteks Nonverbal Wacana, Unsur Eksternal
Wacana dan Pendidikan Karakter dalam Novel Lontara Rindu
Karya S. Gege Mappangewa…………………………………….... 154
4. Riwayat Hidup……………………………………………………….. 155
xviii
DAFTAR ISTILAH
1. Tolotang : Orang Selatan
2. Timpo : Bambu yang dipakai untuk menampung
tuak
3. Tabbere Bajae : Dini hari
4. Lontara : Huruf tradisional masyarakat Bugis-
Makassar
5. Pabbulu : Orang gunung
6. Maggore Kopi : Memanggang kopi dengan wajan dari
tanah liat
7. Makkire-kire : Mengiris-iris daging hewan
8. Dewata Seuwae : Sang Hyang Widi
9. Mattapi were’ : Membersihkan beras
10. Keppang Cedde : Agak pincang
11. Pakkalipa Matu Leggai : Hanya linggis yang melepasnya;
kematian memisahkan
12. Golla-golla pese : Perment mint
13. Makkawi : Mengaitkan ujung sarung di pinggang,
ujung satunya
14. Mabbaja laleng : Membersihkan jalan;penjajakan sebelum
melamar
15. Rakkeang : Loteng
xix
16. Puang : Panggilan ningrat
17. Salaga : Alat pembajak sawah dari kayu
berbentuk sisir raksasa
18. Mappalili : Tradisi membajak sawah pertama di
awal musim tanam
19. Peco’ bale : Ikan asin yang ditumbuk dengan garam
dan cabai
20. Pammasetau : Kuburan leluhur Tolotang
21. Manu Gaga : Ayam ketawa yang diperlombakan
22. Massempe’ : Permainan saling tending dengan aturan
yang ditentukan
23. Ambo : Ayah
24. Indo : Ibu
25. Lego-lego : Serambi depan rumah panggung
26. Ketinting : Perahu kayu menggunakan mesin
27. Sokko Patunrupa : Nasi ketan empat warna;merah, kuning,
putih, dan hitam
28. Mappettu ada : Proses menentukan hari dan hal
menyangkut pernikahan
29. Dui papenre : Uang belanja pesta pernikahan
dibebankan pada pria
30. Bosara : Tatakan piring dengan pegangan di
bawah dan punya tutup
xx
31. Walasoji : Kotak persegi dari bambu untuk
seserahan pada wanita
32. Botting : Menikah
33. Jadde : Jenis kue Bugis terbuat dari singkong
parut, yang ditengahnya diberi irisan
pisang, dibungkus daun lalu direbus.
34. Silariang : Kawin lari
35. Ballo : Tuak yang dipermentasikan menjadi
minuman keras
36. Uwwa : Pemimpin Tolotang
37. Pakka salo : Sungai bercabang
38. Mappaci : Proses mendoakan calon pengantin
dengan meletakkan daun pacar di
tangan mempelai
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa dipahami dalam paradigma yang diatur dan dihidupkan oleh
pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya
adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta
pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Dengan demikian, bahasa
merupakan suatu simbol yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi
manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan sarana dalam
menuangkan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam
mencari kebenaran dalam kehidupannya (Kaelan, 1998 : 7-8). Bahasa juga
memiliki tataran yang terdiri atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana,
istilah wacana mempunyai acuan yang lebih luas dari sekadar
bacaan.Wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar dan digunakan
dalam komunikasi.
Wacana digunakan sebagai dasar pemahaman suatu teks sangat
diperlukan oleh setiap orang berbahasa dalam berkomunikasi dan saling
bertukar informasi. Wacana harus dipertimbangkan dari segi isi dan unsur-
unsur pendukungnya sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari
terutama dalam kegiatan berkomunikasi. Secara berurutan, rangkaian bunyi
2
membentuk kata, rangkaian kata membentuk frase, dan rangkaian frase
membentuk kalimat. Akhirnya rangkaian kalimat membentuk wacana (Arifin
dan Rani, 2006:3). Konteks merupakan acuan umum semua hal menyertai
sebuah wacana. Istilah konteks tidak hanya terdapat dalam sebuah wacana,
tetapi juga terjadi dalam kegiatan atau peristiwa tutur. Dalam menganalisis
sebuah wacana harus dipertimbangkan konteks tempat terdapatnya bagian
wacana agar lebih mudah dalam memahami isi sebuah wacana. Ada teks
dan teks lain yang menyertainya, teks menyertai teks itu adalah konteks
(Halliday dan Hasan, 1985:6).
Konteks memegang peranan penting dalam wacana karena konteks
dapat mambantu pembaca untuk lebih mudah dalam memahami isi wacana.
Konteks dapat mengandung sebuah pesan atau informasi yang terkandung
dalam sebuah wacana. Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, dan
unsur-unsur dalam konteks itu berhubungan dengan unsur-unsur yang
terdapat dalam setiap komunikasi bahasa.
Unsur-unsur dalam konteks dapat memberi tanda keterangan bagi
eksistensi dalam hubungannya dengan pembicara yang memperkenalkan
pada suatu percakapan (Djajasudarma, 2012:29&37). Analisis wacana
merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis
suatu unit bahasa yang lebih besar dari kalimat (Purwo,1984:21). Pada
hakikatnya karya sastra adalah cerminan dan potret kehidupan nyata yang
ada di masyarakat, dan sebagai wacana dan sarana komunikasi sosial,
3
(Cuming, 2005:5). Dengan kata lain, karya sastra memiliki standard ganda;
secara tekstual karya sastra merupakan wacana yang berdimensi estetika,
dan secara kontekstual karya sastra merupakan miniatur potret struktur
sosial budaya manusia dan segala yang melekat pada karya yang
dimaksud. Untuk mendapatkan pemaknaan total, diperlukan telaah yang
tidak saja berdimensi tekstual (mikro semata), tetapi seharusnya
diintegrasikan dengan kontekstualitas fenomena kehidupan, agar terbangun
pemaknaan yang lebih komprehensif dan natural yang meliputi, baik elemen
mikro kesastraan dan kebahasaan maupun elemen makro kesastraan.
Pada zaman modern sekarang ini kedudukan sastra semakin meningkat
dan semakin penting. Sastra tidak hanya memberikan kenikmatan dan
kepuasan batin, tetapi juga sebagai sarana penyampaian pesan moral
kepada masyarakat atas realitas sosial. Karya sastra tercipta dalam kurun
waktu tertentu dapat terjadi penggerak tentang keadaan dan situasi yang
terjadi pada masa penciptaan karya sastra itu, baik sosial budaya, agama,
politik, ekonomi, dan pendidikan, selain itu karya sastra dapat digunakan
sebagai dokumen sosial budaya yang menangkap realita dari masa tertentu,
akan tetapi bukan menjadi keharusan bahwa karya sastra yang tercipta
merupakan pencerminan situasi kondisi pada saat karya sastra ditulis. Salah
satu bentuk “susastra” sebagai penuangan ide kreatif pengarang adalah
novel. Karya sastra sebagai potret kehidupan bermasyarakat merupakan
4
suatu karya sastra yang dapat dinikmati, dipahami, dan dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat.
Karya sastra tercipta karena adanya pengalaman batin pengarang
berupa peristiwa atau problem dunia yang menarik sehingga muncul gagasan
imajinasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan karya sastra akan
menyumbangkan tata nilai figur dan tatanan tuntutan masyarakat, hal ini
merupakan ikatan timbal balik antara karya sastra dengan masyarakat,
walaupun karya sastra tersebut berupa fiksi, namun pada kenyataannya,
sastra juga mampu memberikan manfaat yang berupa nilai-nilai moral bagi
pembacanya. Sastra selalu menampilkan gambaran hidup dan kehidupan itu
sendiri, yang merupakan kenyataan sosial. Dalam hal ini, kehidupan tersebut
akan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang seorang,
antarmanusia, manusia dengan Tuhan-Nya, dan antara peristiwa yang terjadi
dalam batin seseorang. Membahas karya sastra ada beberapa bagian yang
muncul antara lain: kurangnya kemampuan pembaca dalam memahami
karya sastra yang bersifat kompleks, unik dan tidak langsung dalam
mengungkapkannya. Hal ini yang menyebabkan sulitnya pembaca dalam
menafsirkan karya sastra. Hal ini sesuai dengan pandapat Nurgiyantoro
(1995:323) yang menyatakan bahwa satu penyebab sulitnya dalam
menafsirkan karya sastra yaitu dikarenakan novel merupakan sebuah struktur
yang kompleks, unik, serta mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung,
oleh karena itu, perlu dilakukan suatu usaha kritik terhadap karya sastra
5
untuk menjelaskannya dengan disertai bukti-bukti hasil kerja analisis. Sastra
berperan sebagai penuntun hidup, hanya saja penuntun hidup itu
tersublimasi sedemikian rupa sehingga tidak mungkin bersifat mendikte
tentang apa sebaiknya tidak dilakukan di lapangan.
Sastra mampu membentuk watak pribadi secara personal, dan
akhirnya dapat pula secara sosial. Sastra mampu berfungsi sebagai
penyadar manusia akan kehadirannya yang bermakna bagi kehidupan bagi
Sang Pencipta maupun di hadapan sesama manusia.Tidak jarang manusia
mengalami kekosongan jiwa, kekacauan berpikir dan bahkan bisa mengalami
stres karena tidak mampu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.
Karya sastra dapat berperan untuk membentuk sebagai alat penting bagi
pemikir untuk menggerakkan pembaca kepada kenyataan dan menolongnya
untuk mengambil keputusan bila mengalami masalah. Selain itu, dewasa ini
banyak masyarakat jauh dari sifat-sifat kemanusiaan, lupa terhadap
kewajiban hidupnya, bersikap masa bodoh terhadap permasalahan yang
terjadi di sekelilingnya. Dalam hal ini melalui karya sastra (novel) diharapkan
dapat digunakan untuk menyadarkan masyarakat (pembaca) untuk kembali
pada fitrahnya, pada jalan yang benar. Sastra merupakan ekspresi
masyarakat. Oleh sebab itu, kemunculan suatu karya sastra erat
hubungannya dengan persoalan-persoalan yang muncul pada saat itu. Hal ini
menunjukkan bahwa persoalan sosial memang berpengaruh kuat terhadap
6
wujud sastra. Dengan kata lain, karya sastra tersebut adalah pantulan
hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Di dalam era globalisasi ini, peran sastra sangat berarti. Mengenai hal
ini Alwi, (2002: 235) mengemukakan sastra dapat berperan 3 dalam: (1)
mendorong dan menumbuhkan nilai-nilai positif manusia, seperti suka
menolong, berbuat baik, beriman dan bertakwa; (2) memberi pesan kepada
pembaca, khususnya pemimpin, agar dapat berbuat sesuai dengan harapan
masyarakat, mencintai keadilan, kebenaran, dan kejujuran; (3) mengajak
orang untuk bekerja keras demi kepentingan dirinya, dan ; (4) merangsang
munculnya watak-watak pribadi yang tangguh dan kuat.
Peristiwa atau persoalan itu sangat mempengaruhi kejiwaan. Adanya
hal demikian, seorang pengarang dalam karyanya menggambarkan
fenomena kehidupan yang ada sehingga muncul konflik atau ketegangan
batin. Sastrawan, sastra, dan kehidupan sosial merupakan fenomena yang
saling melengkapi dalam kedirian masing-masing sebagai sesuatu yang
ektensial. Sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari pengarang dan
kehidupan manusia sebagai produk kelahiran karya sastra, sastra bukan
sekadar dari kekosongan sosial, melainkan hasil racikan perenungan dan
pengalaman sastrawan dalam menghadapi problema dan nilai-nilai tentang
hidup dan kehidupan (manusia dan kehidupan) pengalaman ini merupakan
jawaban yang utuh dari jiwa manusia ketika kesadarannya bersentuhan
dengan kenyataan.
7
Penelitian analisis ilmiah dan karya tulis pada karya sastra memang
sudah banyak dilakukan, namun cenderung hanya ditelaah dari sisi struktur
dan tekstual semata. Telaah yang demikian, menghasilkan telaah yang
belum mencapai makna yang maksimal, dan kurang menyentuh. Dalam
menganalisis konteks wacana yang terdapat dalam novel Lontara Rindu
Karya S. Gege Mappangewa ini, peneliti mengkhususkan penelitian pada
konsep yang berkaitan dengan konteks dalam menganalisis wacana dan
unsur-unsur konteks wacana yang terdapat dalam novel Lontara Rindu
karya S. Gege Mappangewa.
Sejak awal 1970-an, para linguis sadar akan pentingnya konteks
dalam menafsirkan berbagai macam kalimat (Arifin dan Rani, 2006: 166).
Konteks merupakan situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi (Mulyana,
2005: 21). Konteks sangat menentukan makna suatu ujaran. Bila konteks
berubah, berubah juga makna suatu ujaran. Konteks dapat dianggap sebagai
sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan tuturan sangat bergantung pada konteks yang
melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Beberapa unsur eksternal yang
berkaitan dengan wacana yang diperlukan dalam analisis wacana yakni,
praanggapan, implikatur, inferensi, dan unsur-unsur konteks nonverbal
wacana terdiri atas setting ’latar’ dan scene ’suasana’, participants’
partisipasi’, ends ’ hasil’, act sequences ’pesan’, keys ’cara’,
instrumentalities ’sarana’, norm ’norma’, dan genre’jenis’.
8
Secara garis besar, penelitian ini mengemukakan beberapa latar
belakang dan alasan penting telaah analisis konteks wacana dalam novel
Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Alasan-alasan tersebut
meliputi beberapa pertimbangan: Dari sisi sumber data, karya sastra ini
tergolong karya sastra yang unik karena alur cerita berupa cerita fiksi
namun latar tempat, adat-istiadat, sosial, budaya dan, keyakinan yang
berbeda adalah nyata berada di Kabupaten Sidenreng Rappang.
Selain itu, novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa
merupakan novel peraih penghargaan terbaik pertama “Lomba Novel
Republika 2011 ”, sehingga banyak memperoleh pujian dan komentar
positif, sebagaimana yang dikatakan oleh Asma Nadia (penulis 46 buku
best seller) bahwa ada kejernihan yang mengharukan, bergantian dengan
kelucuan yang menggelitik saat membaca novel Lontara Rindu. Penulisnya
berhasil menjalin kisah yang menarik dengan warna lokal yang kuat, dan
teknik penceritaan yang nyaris tanpa cela. Novel Lontara Rindu karya S.
Gege Mappangewa ini bertutur tentang hubungan manusia di dalam
keluarga dan lingkungannya yang kompleks, terutama karena ada latar
belakang adat dan agama yang berbeda dalam novel ini.
Penulis menyadari bahwa warisan budaya nasional atau warisan
budaya lokal adalah cermin tingginya peradaban bangsa. Dan salah satu
ciri bangsa besar dan maju adalah bangsa yang mampu menghargai dan
melestarikan warisan nenek moyang mereka dengan berbagai cara, salah
9
satunya adalah melakukan penelitian terhadap karya sastra lokal sekalipun
hanya mengkaji sebuah novel yang sarat akan adat-istiadat, sosial dan
budaya, hal ini menjadi pertimbangan peneliti untuk melakukan penelitian
dengan menganalisis konteks wacana yang terdapat dalam novel Lontara
Rindu karya S. Gege Mappangewa.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, fokus penelitian ini
membahas tentang konteks wacana yang ada dalam novel Lontara Rindu
karya S. Gege Mappangewa.
1. Konteks nonverbal wacana yang terdapat dalam novel Lontara
Rindu karya S. Gege Mappangewa meliputi: (a) setting ’latar’ dan
scene ’suasana’, (b) participants’ partisipasi’, (c) ends ’ hasil’, (d) act
sequences ’pesan’, (e) keys ’cara’,(f) instrumentalities ’sarana’,(g)
norm ’norma’, dan (h) genre’jenis’.
2. Unsur eksternal wacana dalam Novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa meliputi: (a) praanggapan. (b) implikatur, dan (c)
inferensi.
3. Pendidikan karakter dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa.
10
C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari fokus penelitian, tujuan penelitian ini diarahkan untuk
mendapatkan penjelasan informasi yang layak dan akurat tentang konteks
wacana dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa, yang
mencakup:
1. Konteks nonverbal wacana yang meliputi: (a) setting ’latar’ dan
scene ’suasana’, (b) participants’ partisipasi’, (c) ends ’ hasil’, (d) act
sequences ’pesan’, (e) keys ’cara’,(f) instrumentalities ’sarana’,(g)
norm ’norma’, dan (h) genre’jenis’.
2. Unsur eksternal wacana dalam Novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa meliputi: (a) praanggapan. (b) implikatur, dan (c)
inferensi.
3. Pendidikan karakter dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Memperkaya kajian tentang linguistik khususnya pragmatik.
b. Memperkaya kajian tentang konteks wacana yang terdiri atas jenis
dan unsur wacana.
c. Memperkaya kajian wacana tradisi dan kehidupan sosial
masyarakat lokal khususnya penganut kepercayaan Tolotang yang
berada di Sulawesi Selatan.
11
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memotivasi dan
memberi ilmu tambahan kepada pembaca agar mendalami sastra
lebih mendalam karena dengan membaca saja tidak cukup untuk
memahami makna suatu wacana dalam dunia sastra.
b. Bagi tenaga pendidik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang tepat bagi pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di sekolah serta sebagai masukan dalam pengetahuan
bahasa khususnya konteks wacana.
c. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
pendidikan khususnya nilai kehidupan dalam bersikap dan
berperilaku.
d. Bagi peneliti lanjut, penelitian ini diharapkan dapat memberi
pemahaman tentang konteks wacana dalam novel Lontara Rindu
karya S. Gege Mappangewa dengan baik dan benar serta memberi
stimulus bagi peneliti lain untuk mengkaji analisis konteks wacana
untuk penelitian lebih lanjut.
E. Definisi Istilah
Istilah dalam penelitian ini akan didefinisikan secara operasional. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat berikut ini.
1. Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan
menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa.
12
2. Konteks wacana adalah teks yang menyertai teks lain. Pengertian hal
yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan
dituliskan, tetapi termasuk pula kejadian-kejadian nonverbal lainnya
keseluruhan lingkungan teks itu.
3. Praanggapan merupakan asumsi yang dipikirkan oleh penutur
sebelum ia menyampaikan pesan kepada mitratutur atau
pendengar.
4. Implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan
pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan sesuatu yang diucapkan dengan
yang diimplikasikan.
5. Inferensi merupakan proses penarikan simpulan yang digunakan
pendengar terhadap ujaran yang disampaikan penutur dan simpulan
tersebut ditentukan oleh situasi dan konteks sehingga, pendengar
menduga kemauan penutur dan meresponsnya
6. Setting ‘latar’ dan scene ‘suasana’, latar lebih bersifat fisik, meliputi
tempat dan waktu terjadinya tuturan. Scene merupakan latar psikis
yang mengacu pada suasana psikologis.
7. Participants ‘partisipan’, mengacu pada peserta yang terlibat dalam
komunikasi, misalnya penutur dan petutur atau penulis dan pembaca
8. Ends ‘hasil’, yang mengacu pada tujuan dan hasil komunikasi.
9. Act sequences ‘pesan’, mengacu pada bentuk dan isi pesan.
13
10. Keys ‘cara’, mengacu pada cara ketika melakukan komunikasi,
misalnya komunikasi dilakukan dengan cara yang serius, santai,
dan lain-lain.
11. Instrumentalities ‘sarana’, yang mengacu pada sarana yang dipakai
dalam menggunakan bahasa, yang meliputi (a) bentuk bahasa yaitu
lisan atau tulisan dan (b) jenis tuturannya, yaitu dengan bahasa
standar atau dengan dialek tertentu.
12. Norms ‘norma’, yang mengacu pada perilaku partisipan dalam
berinteraksi.
13. Genre ‘jenis’, yang mengacu pada tipe-tipe teks seperti dongeng,
iklan, dan lain-lain.
14. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang membentuk
kepribadian para tokoh dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa melalui pendidikan budi pekerti yang hasilnya terlihat
dalam tindakan nyata.
15. Konteks nonverbal yaitu hubungan yang berkaitan dengan hal-hal di
luar bahasa.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Hakikat Novel
Dalam kesastraan dikenal berbagai macam jenis sastra (genre). Sejak
Plato dan Aristoteles membagi karya sastra menjadi tiga kategori (Wellek dan
Warren, 1989: 300) yakni, puisi, prosa, dan drama, kini ketiga genre sastra
tersebut merupakan genre sastra secara garis besar. Menurut Nurgiyantoro
(1995:1), dunia kesastraan mengenal prosa (Inggris:prose) sebagai salah
satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian
kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana
naratif (narrative discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita
rekaan (disingkat:cerkan) atau cerita khayalan. Bentuk karya fiksi yang
berupa prosa adalah novel dan cerpen.
Kata novel berasal dari kata Latin novellas yang diturunkan pula dari kata
novies yang berarti baru. Dikatakan “baru” karena jika dibandingkan dengan
jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, jenis novel ini
muncul kemudian (Tarigan, 1987: 164). Dalam sastra Indonesia, pada
Angkatan 45 dan seterusnya, jenis prosa fiksi yang disebut roman lazim
dinyatakan sebagai novel (Waluyo, 2002: 2). Dengan demikian, untuk
15
selanjutnya penyebutan istilah novel di samping mewakili pengertian novel
yang sebenarnya, juga mewakili roman.
Novel menurut Stanton (2007:90) mampu menghadirkan perkembangan
satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak
atau sedikit karakter, dan bebagai peristiwa rumit yang terjadi beberapa
waktu silam secara lebih merenik. Dengan demikian, dalam novel, pelukiskan
tentang perkembangan watak tokoh digambarkan secara lebih lengkap.
Novel menawarkan sebuah dunia imajinatif, yang menampilkan rangkaian
cerita kehidupan seseorang yang dilengkapi dengan peristiwa,
permasalahan, dan penonjolan watak setiap tokohnya.
Novel (cerita rekaan) dapat dilihat dari beberapa sisi. Jika ditinjau dari
panjangnya, novel pada umumnya terdiri atas lima belas ribu hingga empat
puluh lima ribu kata. Berdasarkan sifatnya, novel (cerita rekaan) bersifat
expands, ‘meluas’ yang menitikberatkan pada complexity. Sebuah novel tidak
akan selesai dibaca sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerita pendek.
Dalam novel (cerita rekaan) juga dimungkinkan adanya penyajian
panjang lebar tentang tempat atau ruang. Sementara itu, menurut Tarigan
(1987: 165), jika ditinjau dari segi jumlah kata, biasanya novel mengandung
kata-kata yang berkisar antara 35.000 buah sampai tak terbatas. Novel yang
paling pendek itu harus terdiri atas 100 halaman dan rata-rata waktu yang
dipergunakan untuk membaca novel minimal 2 jam. Lebih lanjut dikemukakan
oleh Nurgiyantoro (1995: 11), jika dilihat dari segi panjang cerita, novel (jauh)
16
lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan
sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci,
lebih rinci, dan lebih banyak melibatkan permasalahan yang lebih kompleks.
Cerita rekaan atau novel adalah salah satu genre sastra yang
dibangun oleh beberapa unsur. Sesuai dengan pendapat Waluyo, (2002:
136) bahwa cerita rekaan (dalam hal ini novel) adalah wacana yang dibangun
oleh beberapa unsur.
Unsur-unsur itu membangun suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi
diri atau membangun sebuah struktur. Struktur dalam novel merupakan
susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi
hubungan timbal balik, saling menentukan untuk membangun kesatuan
makna.Unsur-unsur itu bersifat fungsional, artinya dicipta pengarang untuk
mendukung maksud secara keseluruhan dan maknanya ditentukan oleh
keseluruhan cerita itu.
a. Tokoh dan penokohan
1) Tokoh
Tokoh merupakan bagian intrinsik novel yang ikut membangun
terwujudnya sebuah fiksi. Aminuddin (2002: 79), tokoh adalah pelaku yang
mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peritiwa itu mampu
menjalin cerita. Berdasarkan funsinya atau penting tidaknya dibagi kehadiran
tokoh dalam cerita dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral/utama dan
tokoh bawahan. Tokoh utama merupakan tokoh yang memegang peranan
17
dalam sebuah ceita. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh yang kurang
begitu penting kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya diperlukan
untuk menunjang dan mendukung tokoh utama.
2) Penokohan
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang
yang diambilkan dalam cerita (Nurgiyantoro, 1995:165). Setiap tokoh pasti
memiliki watak atau karakter. Watak adalah sifat dan sikap tokoh dalam
cerita. Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang
diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan dapat diperoleh melalui
tindak tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan
dengan apa yang dilakukan. Cara pengarang dalam menggambarkan atau
memunculkan tokohnya dapat menggunakan berbagai macam cara dan
karakter yang beragam.
Perwatakan/karakter dapat dilihat dari:
(a) Cakapan.
(b) Pikiran tokoh.
(c) Stream of consciousness.
(d) Lukisan perasaan tokoh.
(e) Perbuatan tokoh.
(f) Sikap tokoh.
(g) Pandangan tokoh satu kepada tokoh lain.
(h) Lukisan fisik, lukisan datar.
18
Stream of consciousness mencakup monolog soliloquy. Monolog
adalah cakapan batin yang menjelaskan kejadian-kejadian yang sudah terjadi
dan yang sedang terjadi. Soliloquy merupakan cakapan batin yang
menjelaskan hal-hal yang akan terjadi.
b. Latar atau Setting.
Latar atau setting cerita mencakup unsur tempat atau ruang, unsur
waktu serta unsur suasana. Setiap kejadian akan terjadi dalam suatu tempat
dan waktu tertentu. Latar atau tempat sangat penting, yaitu untuk
memberikan gambaran kepada pembaca dan menciptakan suasana tertentu
yang membuat ceita tampak nyata. Yang termasuk dalam latar yaitu ruang
atau tempat, dan waktu.
c.Tema
Tema merupakan gagasan ide, pikiran utama pokok pembicaraan di
dalam karya sastra yang dapat dirumuskan dalam kalimat pernyataan. Tema
adalah makna yang terkandung dari sebuah cerita, merupakan gagasan
dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan terkandung di dalam
teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan
dan perbedaan-perbedaan (Nurgiyantoro, 1995:67).
Dalam sebuah karya sastra tema kadang tidak dengan mudah
ditemukan, karena tak jarang harus melakukan kegiatan membaca dan
memahami seluruh bacaan terlebih dahulu untuk menemukan sebuah tema.
Harus memulai pengamatan yang jeli, menghubungkan setiap persoalan
19
yang ada, mencari fakta-fakta yang terdapat dalam cerita dan
menghubungkannya dengan persoalan, mempelajari karakter-karakter dan
sikap para tokoh, dan kemudian baru menyimpulkan tema.
2. Konteks
a. Pengertian Konteks
Sesuai dengan namanya konteks berarti yang berkenaan dengan teks,
yakni benda-benda atau hal-hal beserta canda bersama teks dan menjadi
lingkungan itu. Menurut Brown dan Yule (1996:70), konteks adalah
lingkungan (envirenment) atau keadaan (circum stances) tempat bahasa
digunakan. Dapat pula dikatakan bahwa konteks adalah lingkungan teks. Di
samping istilah konteks dalam khazanah istilah linguistik Indonesia juga
digunakan istilah lingkungan, lingkupan yang sama mempunyai makna yang
berbeda karena konteks yang berbeda.
Dardjowidjojo (1985:89) menyebutkan bahwa ada dua lingkungan atau
konteks dalam penggunaan bahasa, yakni konteks linguistik dan konteks
ekstra linguistik. Dalam wujud dan yang berupa konteks linguistik (berupa
unsur bahasa) konteks adalah satuan bahasa (kata, frasa, kalimat atau
untaian kalimat) yang mendahului atau yang mengikuti unsur bahasa dalam
ujaran. Konteks linguistik tersebut juga diistilahkan dengan konteks, yakni
bagian teks yang menjadi lingkungan sebuah teks dalam teks yang sama
makna pronomina posesif.
20
Konteks sangat penting dalam penentuan makna kata. Sepanjang
masalahnya menyangkut konteks verbal (konteks berupa ujaran atau
bahasa), hal ini sudah diketahui oleh beberapa pionir di bidang semantik
sebagai suatu hal yang fundamental. Misalnya, Darmesteter berbicara
tentang berbagai unsur penyatu kalimat yang memodifikasikan makna setiap
kata. Begitu pula kutipan-kutipan kalimat dalam perkamusan (leksikografi)
diakui sebagai dasar tuntutan oleh penyusun kamus seperti Dr. Johnson,
yang menyusun Oxford English Dictionary, dan juga para penyuntingnya
yang kemudian menggantikannya. Tetapi, para linguis modern ternyata tidak
hanya menempatkan tekanan yang besar terhadap konteks itu, tetapi sudah
memperluas sekali ruang lingkupnya dan mempersoalkan lebih dalam lagi ke
arah pengaruh konteks terhadap makna kata.
Di samping konteks verbal itu, linguis juga harus menaruh perhatian
kepada apa yang disebut konteks situasi. Konteks ini diperkenalkan ke dalam
linguistik oleh seorang antropolog Bronislaw Malinowski berdasarkan
pengalaman lapangannya tentang bahasa dan kebudayaan penduduk
Trobriand Island di Fasifik Selatan. Konteks situasi itu tidak hanya berarti
situasi yang sebenarnya tempat ujaran terjadi, tetapi juga rnenyangkut
keseluruhan latar belakang budaya di mana peristiwa tutur itu muncul.
Menurut Malinowski, “konsep tentang konteks itu harus menembus ikatan-
ikatan yang hanya bersifat kebahasaan dan harus diteruskan kepada analisis
terhadap kondisi-kondisi umum yang memayungi ketika hahasa itu
21
dituturkan. Studi tentang sesuatu bahasa, yang dipakai oleh orang yang
hidup berbeda kondisinya dilakukan dalam hubungan dengan studi tentang
kebudayaan dan lingkungan mereka”.
Prinsip ini sangat penting sekali bagi semantik historis. Makna
sepenuhnya dan selengkapnya dari sebuah kata dapat ditangkap kembali
hanya jika kita tempatkan kata itu dalam konteks budaya pada zaman kata itu
hidup. Misalnya, kata Latin rex ‘raja’ tidaklah persis sama maknanya dengan
king ‘raja’ dalam bahasa Inggris atau roi ‘raja’ dalam bahasa Prancis, karena
rex itu, yang mengacu bentuk monarki pada awal sejarah Romawi,
mempunyai konotasi mengerikan dan menjadi lambang tirani: “setelah
pengusiran Tarquinius orang Romawi segan mendengar kata ‘raja’ itu, tulis
Cicero dalam De Republica.
Konteks budaya itu bahkan lebih relevan untuk memahami sepenuhnya
apa yang disebut “kata kunci” (key-word) yang mengikhtisarkan cita-cita
suatu peradaban tertentu: misalnya kata cortegiano dari zaman Renaissans
Italia, honnete homme dari zaman Prancis abad ke-17, dan kata Inggris
gentelman (semua itu kira-kira berarti seorang laki-laki yang memang
seharusnya begitu, ‘yaitu jantan’). Kata gentelman kemudian hidup terbesar
dalam bahasa Eropa daratan, tetapi ada sedikit perubahan tekanan dan
perubahan dalam implikasi nuansa.
Perluasan cakupan konteks ini, baik kebahasaan maupun
nonkebahasaan, telah membuka cakrawala baru bagi studi makna. Apa yang
22
menjadi tujuan kita ialah “urutan kontekstualisasi atas fakta-fakta, konteks
dalam konteks, masing-masingnya menjadi sebuah fungsi, suatu organ
dalam konteks yang lebih besar dan semua konteks itu menyatu dalam wujud
yang bisa disebut konteks budaya (Sumarsono, 2011:32).
Semantik modern juga mulai memperhatikan lebih cermat terhadap
dampak konteks atas makna. Kini cukuplah dikatakan secara singkat
beberapa bentuk utama dari dampak itu. Secara umum dapat dikatakan ada
dua jenis pengaruh konteks terhadap kata, yaitu yang berpengaruh terhadap
kata apa saja, dan yang lebih besar berpengaruhnya terhadap beberapa kata
daripada kata yang lain. Tiap kata, tidak peduli betapa tepat dan pasti
maknanya, akan menurunkan dari konteksnya suatu kepastian (makna) yang
pada hakikatnya hanya dapat muncul dalam ujaran-ujaran yang spesifik. Ini
pun berlaku bagi nama diri (proper name), jenis kata yang paling konkret di
antara semua jenis kata yang ada.
Nama diri itu mempunyai berbagai aspek, tetapi hanya satu aspek saja
yang paling relevan untuk sesuatu situasi tertentu. Misalnya, jika kita
berbicara tentang Soekarno, hanya konteks yang akan menunjukkan apakah
kita sedang berbicara tentang Presiden pertama RI atau tentang bekas
Kepala Kepolisian RI tahun 1960-an, atau tentang Sukarno-Sukarno yang
lain. Faktor lain yang sangat bergantung kepada konteks adalah segi emotif
makna kata. Pendeknya, tiap kata praktis dapat memperoleh unsur emotif
dalam suatu konteks; sebaliknya, ada kata-kata yang mempunyai visi
23
emosional yang kuat, kadang-kadang diperlakukan biasa-biasa saja.
Misalnya, dalam bahasa Inggris, kata home dianggap sebagai salah satu
kata yang mempunyai nilai emotif tinggi, dipakai dalam banyak konteks,
seperti “home sweet home”, “England home and beauty,” dst.; tetapi nilai
emosi itu benar-benar dipreteli dalam konteks seperti Home Office, BBC
Home Service.
Jenis kekaburan atau keambiguan lain yang kepastian maknanya hanya
bisa ditentukan oleh konteks adalah kata-kata yang mempunyai berbagai
kemungkinan untuk masuk ke berbagai jenis kata. Hal ini khususnya banyak
terjadi pada bahasa Inggris, karena banyak kata yang bisa berpindah dari
satu jenis kata ke jenis kata yang lain melalui proses yang disebut konversi.
Seperti yang pernah kita bicarakan di muka, kata down misalnya, bisa masuk
ke dalam setidaknya lima jenis kata.
3. Unsur-Unsur Konteks
Konteks nonverbal yaitu hubungan yang berkaitan dengan hal-hal di
luar bahasa. Konteks nonverbal meliputi situasi sosial,dan budaya.
Pemahaman konteks situasi dan budaya dalam wacana dapat dilakukan
dengan berbagai prinsip penafsiran dan analogi. Prinsip-prinsip tersebut
yaitu: prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip
penafsiran temporal, dan prinsip analogi (Sumarlam, 2005 : 47-54).
Prinsip penafsiran personal berkaitan dengan siapa sesuangguhnya
yang menjadi partisipan di dalam suatu wacana. Dalam hal ini, siapa penutur
24
dan siapa mitratutur sangat menentukan makna sebuah tuturan. Prinsip
penafsiran lokasional berkenaan dengan penafsiran tempat atau lokasi
terjadinya suatu situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam rangka
memahami wacana. Penafsiran temporal berkaitan dengan pemahaman
mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya kita dapat menafsirkan kapan atau
berapa lama waktu terjadinya suatu situasi (peristiwa, keadaan, proses).
Prinsip analogi digunakan sebagai dasar, baik oleh penutur maupun
mitratutur, untuk memahami makna dan mengidentifikasi maksud dari (bagian
atau keseluruhan) sebuah wacana. Inferensi adalah proses yang harus
dilakukan oleh komunikan (pembaca/pendengar/mitratutur) untuk memahami
makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan
oleh komunikator (pembicara/ penulis/ penutur).
Konteks wacana yang mendukung pemaknaan ujaran, tuturan, atau
wacana adalah situasi kewacanaan. Situasi kewacanaan berkaitan erat
dengan tindak tutur. Sejalan dengan pandangan Dell Hymes (1972) yang
menyebut komponen tutur dengan singkatan SPEAKING.
a. Setting ‘latar’ dan scene ‘suasana’, latar lebih bersifat fisik, meliputi tempat
dan waktu terjadinya tuturan. Scene merupakan latar psikis yang
mengacu pada suasana psikologis.
b. Participants ‘partisipan’, mengacu pada peserta yang terlibat dalam
komunikasi, misalnya penutur dan petutur atau penulis dan pembaca.
c. Ends ‘hasil’, yang mengacu pada tujuan dan hasil komunikasi.
25
d. Act sequences ‘pesan’, mengacu pada bentuk dan isi pesan.
e. Keys ‘cara’, mengacu pada cara ketika melakukan komunikasi,
misalnya komunikasi dilakukan dengan cara yang serius, santai, dan
lain-lain.
f. Instrumentalities ‘sarana’, yang mengacu pada sarana yang dipakai dalam
menggunakan bahasa, yang meliputi (1) bentuk bahasa yaitu lisan atau
tulisan dan (2) jenis tuturannya, yaitu dengan bahasa standar atau
dengan dialek tertentu.
g. Norms ‘norma’, yang mengacu pada perilaku partisipan dalam
berinteraksi.
h. Genre ‘jenis’, yang mengacu pada tipe-tipe teks seperti dongeng, iklan, dan
lain-lain (dalam Mulyana, 2005: 23).
Berikut ini adalah contoh kedelapan unsur konteks wacana yang telah
disebutkan di atas.
“Pukul enam sore, Desa Sukamaju sudah tampak sunyi seperti kuburan. Terpaksa aku menutup pintu rumah. Masuk, dan tiduran. Aku terbangun jam tiga pagi dan mendengar suara gaduh di dapur. Ternyata aku melihat Ibu sudah sibuk mempersiapkan barang dagangan. “Ibu masak apa untuk dijual hari ini?” tanyaku pada ibu. “Masak sayur asem dan sayur lodeh, Nak” jawab ibu. “Semoga dagangan ibu hari ini laku terjual habis, ya Bu!” “Amin. Nak, kamu iarus belajar yang rajin ya agar jadi orang yang sukses.” “Iya, saya akan belajar dengan sungguh-sungguh agar dapat mewujudkan keinginan ibu. Doakan saya selalu ya, Bu”. “Iya, Nak, di setiap doa ibu selalu teserta namamu”.
26
Pada contoh dating aspek setting tempat terlihat pada kata Desa
Sukamaju dan dapur. Setting waktu terlihat pada jam tiga pagi. Kemudian
partisipannya adalah ibu dan anak. Tujuan akhir pembicaraan ends ditujukan
oleh perkataan ibu terhadap anaknya yang menginginkan anaknya itu sukses
di masa depan.
Act atau bentuk pesan yang ada pada contoh tersebut adalah bentuk
nasihat. Selanjutnya, cara (key) yang ditunjukkan adalah pembicaraan yang
serius dengan sarana (instrumentalities) lisan. Pesan yang disampaikan si
ibu adalah norma yang halus. Genre atau jenis contoh di atas adalah jenis
fiksi prosa.
4. Unsur Eksternal Konteks Wacana
Unsur eksternal (unsur luar) wacana adalah sesuatu yang menjadi
bagian wacana, namun tidak nampak secara implisit. Sesuatu itu berada di
luar satuan lingual wacana atau sering disebut unsur ekstralinguistik wacana.
Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana.
Unsur-unsur eksternal ini terdiri atas praanggapan, implikatur, dan
inferensi. Analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut dapat
membantu pemahaman tentang suatu wacana.
a. Praanggapan
Brown dan Yule (1996:43) menyatakan bahwa praanggapan atau
presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai
kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presupposisi
27
adalah penutur bukan kalimat. Cummings (2005:42) menyatakan bahwa
praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat
dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu.
Dari definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa
praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum
melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh
mitratutur. Ada beberapa Jenis praanggapan yaitu; Praanggapan
Eksistensial, Praanggapan Faktif, Praanggapan Nonfaktif, Praanggapan
Leksikal, Praanggapan Struktural, dan Praanggapan Konterfaktual.
1). Praanggapan Eksistensial
Praanggapan eksistensial adalah praanggapan yang mengasosiasikan
adanya suatu keberadaan. Penyebab praanggapan ini tidak hanya
diasumsikan terdapat dalam susunan posesif.
Misalnya: “Mobil Anda berarti „Anda punya Mobil )
Tetapi juga lebih umum dalam frasa nomina tertentu. Dalam pemakaian
pembicara diasumsikan terlibat dalam hal-hal yang disebutkan.
“ Yacht itu milik Anda, bukan?” (Liye, Tere, 2013 : 74)
Contoh tersebut mengandung praanggapan eksistensial yaitu ada
sebuah Yacht. Frasa nomina „yacht itu mempraanggapan keberadaan
sebuah yacht di suatu tempat.
28
2). Praanggapan Faktif (PF)
Praanggapan faktif merupakan praanggapan yang mengikuti kata kerja
yang dapat dianggap sebagai suatu kenyataan. Sejumlah kata kerja seperti
„tahu , „menyadari , dan „sadar memiliki praanggapan faktif.
Contoh: Maggie : “Tidak selalu. Kami tidak hanya menulis berita sesuai fakta yang ada. Secara prinsip demikian, tapi kenyataannya, kami selalu bisa memasukkan opini di dalam berita tersebut.Thomas sudah memberikan opininya. Kita telah mendengarnya. Pendapatnya jelas tidak relevan karena dia berkepentingan, tapi boleh jadi memiliki kebenaran. Aku juga berhak memiliki opini, dan aku memilih mempercayai Thomas. Terlalu naïf jika penangkapan ini tidak ada kaitannya dengan konvensi partai. Kita semua bebas-bebas saja memiliki pendapat yang berbeda.” (Liye, Tere, 2013, hlm. 142).
Tuturan tersebut mempraanggapan bahwa pada kenyataannya
seorang wartawan selalu memasukkan opininya di dalam sebuah berita,
dalam kasus ini, Maryam sebagai wartawan melakukan hal tersebut di atas.
3). Praanggapan Leksikal (PL)
Praanggapan leksikal merupakan praanggapan yang dalam pemakaian
suatu bentuk dengan makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan
dengan praanggapan lain (yang tidak dinyatakan) yang dipahami. Dalam
Praanggapan leksikal, pemakaian ungkapan khusus oleh penutur diambil
untuk mempraanggapkan sebuah konsep lain (tidak dinyatakan), sedangkan
pada kasus praanggapan faktif, pemakaian ungkapan khusus diambil untuk
mempraanggapkan kebenaran informasi yang dinyatakan setelah itu.
29
Contoh: Theo : “Dalam lima hal, empat di antaranya dia memiliki kesamaan denganmu, Thomas. Namanya Lee―aku tidak tahu nama lengkapnya. Dia juga tidak terkalahkan. Penerus salah satu konglomerasi terbesar di Hong Kong. Pemilik banyak gedung dan bisnis properti di kawasan Asia Pasifik, terutama Hong Kong dan Makau.” (Liye, Tere, 2013, hlm.16).
Maksud dari kalimat ini menyatakan bahwa Lee „lawan main Thomas
adalah seorang petarung yang tidak pernah kalah ketika bertanding, artinya
kejadian ini sudah terjadi di pertandingan-pertandingan sebelumnya karena
Lee selalu memenangkan pertandingan dan tidak pernah terkalahkan. Jadi
tuturan yang dituturkan Theo di atas merupakan bentuk praanggapan
leksikal.
4). Praanggapan Struktural (PS).
Dalam praanggapan struktural, struktur kalimat telah dianalisis sebagai
praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah
diasumsikan kebenarannya. Penutur diasumsikan dapat menggunakan
struktur-struktur yang sedemikian untuk memperlakukan informasi seperti
yang diprasangkakan dan dari sinilah kebenarannya dapat diterima oleh
penutur.
Contoh: Maggie : “Baik, akan kukatakan demikian. Satu lagi, dan ini penting, Thomas, wartawan dari review mingguan politik itu kembali menghubungi, kapan kau ada waktu untuk wawancara?” (Liye, Tere, 2013, hlm. 24).
Kata tanya ‘kapan’ dalam tuturan tersebut mengasumsikan bentuk
jawaban yang mengiringi praanggapan. Praanggapan ini dapat menuntun
30
penutur untuk memercayai bahwa informasi yang diberikan itu benar, bukan
sekadar praanggapan seseorang yang sedang bertanya. Jadi, tuturan di atas
termasuk ke dalam jenis praanggapan struktural karena tuturan tersebut
sudah diasumsikan kebenarannya.
5). Praanggapan NonFaktif (PNF)
Praanggapan nonfaktif merupakan suatu praanggapan yang
diasumsikan tidak benar. Kata-kata kerja seperti „bermimpi, membayangkan,
dan berpura-pura digunakan dengan praanggapan yang mengikutinya tidak
benar.
Contoh: Thomas : “Kau bisa mengarang yang lebih baik lagi, Meg. Aku sedang terapi kesehatan. Kau bisa bilang ekor di pantatku tumbuh semakin panjang, misalnya.” (Liye, Tere 2013, hlm. 24).
Kata mengarang dalam kutipan tersebut dapat diartikan sebagai
sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi atau hanya angan-angan
penutur saja yakni angan-angan tokoh Thomas yang menyuruh Maggie
mengarang cerita kepada orang lain jika ada yang bertanya tentang dirinya.
Jadi, tuturan di atas termasuk ke dalam jenis praanggapan nonfaktif karena
tuturan tersebut merupakan asumsi yang tidak benar-benar terjadi.
6. Praanggapan Konterfaktual (PKF)
Praanggapan konterfaktual berarti bahwa apa yang dipraanggapkan
bukan hanya tidak benar, melainkan kebaikan dari benar atau tidaknya
dengan kenyataan.
31
Thomas : “Anda sepertinya lebih cocok menjadi motivator, atau guru, bahkan seorang juru selamat, bukan seorang politikus.” Penanya (wartawan) : “Eh, tidak cocok? Maksud Anda, Tuan Thomas?” (Liye, Tere, 2013, hlm. 26).
Kata ‘sepertinya’ di atas bertolak belakang dari kenyataan, artinya apa
yang diucapkan Thomas di atas kenyataannya bertolak belakang dengan
kondisi yang sebenarnya. Kenyataannya penanya yang bertanya bukanlah
seorang motivator, guru, ataupun juru selamat melainkan ia seorang politikus
sebab konferensi itu merupakan konferensi politik sehingga peserta yang
hadir pun pastinya adalah orangorang yang berkiprah dalam dunia politik.
Jadi, kalimat tersebut untuk mempraanggapkan sesuatu yang tidak benar
atau bertolak belakang dari kenyataan.
b. Implikatur
Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh Grice (1991) untuk
memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh
teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang
dimaksud oleh penutur berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah
(Brown dan Yule, 1996:31).
Dalam lingkup analisis wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat
atau menjadi bahan pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi
sebagai jembatan yang menghubungkan sesuatu yang diucapkan dengan
yang diimplikasikan (Mulyana, 2005: 11).
32
Grice (dalam Mulyana, 2005: 12) menyatakan, ada dua macam
implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan.
Implikatur konvensional ditentukan oleh arti konvensional kata-kata yang
dipakai. Semua orang umumnya sudah mengetahui tentang maksud atau
pengertian hal tertentu, misalnya:
“Dia orang Medan, oleh karena itu dia bicara lantang.”
Contoh tersebut tidak secara langsung menyatakan suatu ciri (bicara
lantang) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Medan), tetapi bentuk ungkapan
yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu
ada. Kalau individu yang dimaksud itu orang Medan dan tidak bicara lantang,
implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tida salah. Sementara itu,
implikatur percakapan muncul dalam satu tindak percakapan dan bersifat
temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan), berikut contohnya.
Ibu: Rani, adikmu belum pulang. Rani: Ya, Bu. Saya ambil jaket dulu.
Percakapan Ibu dan Rani tersebut mengandung implikatur yang
bermakna “perintah menjemput”. Tuturan itu berbentuk kalimat perintah. Ibu
hanya memberitahukan “adik belum pulang”. Namun, Rani dapat memahami
implikatur yang disampaikan ibunya, ia menjawab dan siap untuk
melaksanakan perintah ibunya.
Implikatur percakapan mengutip prinsip kerja sama atau kesepakatan
bersama untuk dapat menggunakan bahasa secara berhasil dan berdaya
33
guna. Dalam penerapannya, prinsip kerja sama ditopang oleh seperangkat
asumsi yang disebut bidal-bidal kesepakatan atau maksim. Grice (1991:309)
menyatakan bahwa percakapan akan mengarah pada penyamaan unsur-
unsur pada transaksi kerja sama yang semula berbeda. Penyamaan tersebut
dilakukan dengan jalan: (1) menyamakan jangka tujuan pendek, meskipun
tujuan akhirnya berbeda atau bahkan bertentangan, (2) menyatukan
sumbangan partisipasi sehingga penutur dan mitratutur saling membutuhkan,
dan (3) mengusahakan agar penutur dan mitratutur mempunyai pengertian
bahwa transaksi berlangsung dengan suatu pola tertentu yang cocok, kecuali
bila bermaksud hendak mengakhiri kerja sama.
Dalam rangka memenuhi keperluan tersebut, Grice menyatakan teori
tentang aturan percakapan atau maksim yang dipandang sebagai
prinsip/dasar kerja sama. Prinsip kerja sama tersebut yakni berikanlah
sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana yang diperlukan sesuai
dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat di
dalamnya (Grice 1991:45). Prinsip tersebut mengharapkan para penutur
untuk menyampaikan ujarannya sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa
tutur, tujuan tutur dan giliran tutur yang ada. Prinsip kerja sama tersebut,
ditopang oleh maksim-maksim percakapan (maxim of conversation), yaitu :
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi,maksim cara.
1) Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)
34
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat
memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin
sesuai yang dibutuhkan. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi
yang sebenarnya dibutuhkan petutur. (Grice, 1991) Memberikan jumlah
informasi yang tepat, yaitu :
a. Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan.
b. Sumbangan informsi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan.
Contoh [1]:
A : “Apa judul tugas analisis wacana kamu? (1)
B : “ Penggunaan bahasa Indonesia dalam Wacana Politik di Media Massa”.
Contoh (2)
B : “ Menggunakan analisis wacana kritis (AWK) siapa?” (3)
A : “ Fairclough.” (4)
Pada wacana [1] B menyampaikan informasi sesuai yang diminta oleh
A. Inisiasi A dengan tuturan (1) dan (3) direspons dengan informasi yang
memadai oleh B dengan tuturan (2) dan (4). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa dalam wacana [1] para peserta tutur telah menaati maksim
kuantitas, yakni submaksim pertama. Para peserta tutur dalam sebuah
interaksi menaati maksim kuantitas dengan tujuan agar informasi yang
disampaikan dapat dipahami oleh mitratuturnya dengan jelas agar tidak
terjadi salah paham.
2) Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)
35
Dengan maksim kualitas peserta tutur diharapkan untuk tidak
mengatakan sesuatu yang tidak benar dan tidak mengatakan sesuatu yang
bukti kebenarannya kurang meyakinkan. (Grice, 1991).
Contoh [4] :
G : Andi, kamu sudah mengerjakan tugas? (9)
A : Sudah, Pak! (10)
G : Apa kamu punya kesulitan? (11)
A : (soal) Nomor 4, Pak. (12)
G : Coba, bapak lihat! (13)
A : Ini, Pak. (14)
Pada wacana [4] di atas, Andi telah memberikan informasi yang benar
kepada gurunya. Kebenaran informasi yang disampaikan Andi dapat dilihat
dari koherensi tuturan-tuturannya. Pada tuturan (10) Andi menyatakan bahwa
ia telah mengerjakan tugas. Hal ini didukung oleh pengetahuannya tentang
soal yang sulit (tuturan 12) dan dibuktikan dengan hasil kerjanya (tuturan 14).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Andi telah menaati maksim
kualitas, submaksim pertama. Dalam komunikasi apabila seseorang tidak
memberikan informasi yang benar, maka orang tersebut melanggar maksim
kualitas, baik submaksim pertama (tidak memberikan informasi yang diyakini
salah) maupun submaksim kedua (tidak memberikan informasi yang tidak
didukung oleh bukti yang cukup).
3) Maksim Hubungan atau Relevansi (The Maxim of Relevance)
36
Di dalam maksim hubungan atau relevansi, dinyatakan bahwa agar
terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan petutur, masing-masing
hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang
sedang dipertuturkan itu. (Grice, 1991).
Contoh: (6)
H : Nama? (19)
S : Suparmin. (20)
H : Alamat? (21)
S : Sawojajar, Malang. (22)
H : Pekerjaan? (23)
S : Swasta. (24)
Pada wacana [6] di atas, saksi (S) memberikan informasi yang relevan
dengan inisiasi yang diberikan oleh hakim (H). tuturan S (20), (22), dan (24)
selalu relevan dengan inisiasi H (19), (21), dan (23). Bertutur dengan tidak
memberikan jawaban atas tuturan yang disampaikan dianggap tidak
mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.
Contoh: (7)
A : Aku lapar sekali, lebih baik kita makan dahulu yuk! (25)
B : Wah, kasihan sekali Nenek itu. (26)
B menentang maksim hubungan atau relevansi dengan menjawab
pertanyaan yang tidak berhubungan dengan tentang ujaran A.
4) Maksim Cara (The Maxim of Manner)
37
Maksim cara memiliki empat submaksim, yaitu:
(1). Hindarilah ungkapan yang kabur.
(2) Hindarilah kata-kata yang berarti ganda (ambigu).
(3) Berbicaralah dengan singkat, dan
(4) Berbicaralah dengan teratur.
Dalam realisasinya, peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati
maksim cara dengan cara menghindari tuturan yang kabur, menghindari
tuturan yang berarti ganda, tidak berbelit-belit, dan menyampaikan tuturan
secara teratur. Biasanya, tuturan yang menaati maksim kuantitas sekaligus
juga menaati maksim cara. (Grice,1991).
c. Inferensi
Inferensi atau penarikan simpulan ditentukan oleh situasi dan konteks
percakapan sehingga pendengar menduga kemauan penutur dan
meresponsnya (Arifin dan Rani, 2006: 161). Pembaca atau pendengar harus
dapat mengambil pengertian, pemahaman, atau penafsiran suatu makna
tertentu. Dapat dikatakan, pembaca harus mampu mengambil simpulan
sendiri, meskipun makna tersebut tidak terungkap secara eksplisit.
Selanjutnya, Cummings (2005: 105) menyatakan, proses inferensi
merupakan proses yang dapat digunakan oleh lawan bicara untuk
memperoleh implikatur-implikatur dari ujaran penutur yang dikombinasikan
dengan ciri-ciri konteks. Jadi, dapat disimpulkan bahwa inferensi merupakan
proses penarikan simpulan yang digunakan pendengar terhadap ujaran yang
38
disampaikan penutur dan simpulan tersebut ditentukan oleh situasi dan
konteks.
Wacana lisan yang bersifat dialogis (percakapan) tidak hanya
menentukan oleh aspek-aspek formal bahasa dalam makna ujaran, tetapi
oleh konteks situasional. Dengan cara itu, pendengar dapat menduga
maksud dari pembicara, dan dengan itu pula pendengar dapat memberikan
responsnya. Di samping aspek konteks situasional, aspek sosio-kultural juga
menjadi faktor penting dalam memahami wacana inferen, sebagai contoh:
A: Wah, sudah masuk kota. Kita cari dodol dulu.
B: Langsung ke ibu Nurjannah saja!
Kota yang dimaksud dalam percakapan tersebut adalah Kota
Kandangan. Penjelasan itu dipastikan benar, karena secara kultural
Kandangan dikenal sebagai kota sentra pembuatan dodol. Lebih jelas lagi,
jawaban B yang menekankan “Ibu Nurjannah” yang memang dikenal sebagai
pembuat dodol yang enak. Proses inferensi itu yang harus dilakukan
pendengar atau pembaca untuk mendapatkan simpulan yang jelas.
5. Hakikat Pendidikan Karakter
Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani, paedagogike
yang merupakan kata majemuk yang terdiri atas dua kata, yaitu pais yang
berarti anak dan Ago yang berarti kubimbing. Jadi secara sederhana
paedagogike adalah aku membimbing anak (Hadi, 2003:17). Pendidikan
adalah usaha membentu seseorang menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan
39
bukan saja mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan lebih kepada sarana
pembudayaan dan penyaluran nilai.
Sementara itu, karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Depdiknas, 2008:682) adalah tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Sedangkan
menurut Kamisa, (1997:281) bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari orang lain, tabiat,
watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian.
Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian
seseorang melalui pendidikan budi pekerti yang hasilnya terlihat dalam
tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung
jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya (Gunawan,
2012:24). Penerapan pendidikan karakter merupakan sesuatu yang sangat
penting dimiliki peserta didik untuk mengarungi dunia pendidikan. Karakter
sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu Charasain, yang artinya mengukir
hingga membentuk suatu pola. Jadi, untuk mendidik anak agar memiliki
karakter diperlukan proses mengukir, yakni pengasuhan dan pendidikan yang
tepat (Nurchaili, 2010:235). Pendidikan karakter merupakan suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran, atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama,
40
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang memiliki
kepribadian.
6. Nilai Pendidikan Karakter dalam Karya Sastra
Semi (1993:18) menyatakan bahwa sastra selalu memegang peranan
yang sangat penting, karena hampir selalu mengekspresikan nilai-nilai
kemanusiaan, karena sifat satra yang normatif, maka sastra lebih mudah
berkomunikasi sehingga nilai-nilai yang disampaikan lebih mudah dicerna.
Sedangkan Suryaman (2011:2) mengatakan bahwa karya sastra membawa
nilai-nilai luhur manusia, yang mengembangkan empati dalam diri pembaca
terhadap permasalahan manusia. Kehadiran karya sastra dalam ranah
kehidupan manusia menjadi jembatan untuk membentuk karakter pembaca
untuk lebih memahami satu sama lain. Sastra mampu menghadirkan dan
menghargai nilai-nilai kehidupan yang ada untuk diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari yang bertujuan membentuk karakter seseorang.
Nilai-nilai pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2010:9-10)
terbagi menjadi 18 (delapan belas), yaitu: 1). Religius, sikap dan perilaku
yang patuh dalam menganut ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, 2). Jujur, perilaku yang didasarkan pada
upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan, dan pekerjaan, 3). Toleransi, sikap dan tindakan yang
menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan
orang lain yang berbeda dari dirinya, 4). Disiplin, tindakan yang menunjukkan
41
perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan, 5). Kerja
keras, perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya, 6) Kreatif, berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki, 7).
Mandiri, sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas, 8). Demokratis, cara berpikir, bersikap,
dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain,
9). Rasa ingin tahu, sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui yang lebih mendalam dan meluas dari suatu yang dipelajarinya,
dilihat, dan didengar, 10). Semangat kebangsaan, cara berpikir, bertindak,
dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan diri dan kelompoknya, 11). Cinta tanah air, cara berpikir,
bersikap, dan berbuat, yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsa, 12). Menghargai prestasi, sikap, dan tindakan
yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain, 13).
Bersahabat/komunikatif, tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain, 14). Cinta damai:
sikap perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang
dan aman atas kehadiran dirinya, 15). Gemar membaca, kebiasaan
42
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan
kebajikan bagi dirinya, 16). Peduli lingkungan, sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang
sudah terjadi, 17). Peduli sosial, sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan, dan
18). Tanggung jawab, sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang
Maha Esa.
7. Sejarah Singkat Tolotang
Di Kabupaten Sidenreng Rappang (disingkat menjadi Kabupaten
Sidrap) Sulawesi Selatan ada komunitas yang menganut Agama Lokal atau
yang disebut sebagai agama To Lotang. Mereka sebenarnya sudah
mengenal Tuhan terlebih dahulu dari agama pendatang yang mengaku
bahwa merekalah yang memperkenalkan konsep Tuhan kepada Masyarakat
Bugis secara umum.
Agama-agama import menyudutkan masyarakat yang beragama To
Lotang ini, sebagai Animisme dan Dinamisme. Dewata Seuwae Dewatae
(Tuhan Yang Maha Esa) mempunyai Gelar Patotoe (yang menentukan
Takdir). Esensi kosakata sakral tersebut jelas merupakan penekanan pada
makna Yang Maha Segala-galanya. To Lotang atau To Wani merupakan
43
istilah yang pertama kali diucapkan oleh La Patiroi, Addatuang Sidenreng VII,
untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah Selatan, yaitu Wajo.
To Lotang terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To (dalam bahasa Bugis
yang berarti orang), dan kata Lotang (dalam bahasa Bugis Sidrap, dengan
ucapan Lautang, yakni berarti Selatan – dari arah Lautan).
Masyarakat To Lotang (To Lautang – dari arah Lautan) percaya bahwa
manusia pertama dibumi ini sudah musnah (Tenggelamnya Atlantis). Adapun
manusia yang hidup sekarang adalah manusia periode kedua (Setelah
Tenggelam-nya Atlantis,). Di Kelurahan Amparita lama, Kecamatan Tellu
Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang, sebuah komunitas bernama Towani
Tolotang, bermukim sejak ratusan tahun lalu. Komunitas ini, terjaga secara
turun-temurun dan terus berkembang hingga sekarang. Bagi sebagian orang,
ketika mendengar komunitas Tolotang disebut, mungkin akan berpikir tentang
sebuah kampung pedalaman yang orang-orang di dalamnya begitu tertinggal
layaknya pemukiman dan komunitas di pedalaman Papua. Namun, itu sama
sekali salah. Sebaliknya, komunitas ini berada di Ibu kota kecamatan. Dari
Ibu kota Kabupaten, Pangkajene, Amparita hanya berjarak sekitar 8 km.
Jarak tempuh dengan kendaraan roda dua ataupun empat paling lama
setengah jam.
44
B. Penelitian yang Relevan
Kajian teoretis penelitian mengenai analisis tentang konteks pada
sebuah wacana selama ini telah banyak dilakukan oleh peneliti. Berikut
beberapa penelitian terdahulu yang relevan degan penelitian ini dan dapat
dijadikan sebagai kajian pustaka. Furoidatul Khusnia (2006) dalam tesis yang
berjudul Gaya Penuturan pada Shalawat Nabi. Analisis tulisan ini lebih
menekankan pada analisis secara tekstual dan stilistika yang ada pada
sumber data semata dan tidak banyak dikaitkan dengan telaah konteks yang
terkait dengan pola wacana sebagai cermin masyarakat. Bentuk temuan dan
analisisnya masih bertumpu pada analisis elemen-elemen kebahasaan
secara makro, sehingga menghasilkan temuan yang lebih berorentasikan
pada konvensi kebahasaan.
Penelitian oleh Mutia Naily (2012) dengan judul ”Analisis Wacana Puisi
Kembang Sepasang Karya Joko Pinurbo (Analisis Konteks, Aspek
Gramatikal, dan Leksikal) menunjukkan bahwa analisis konteks puisi ini
mencakup analisis konteks sosial budaya yang menggunakan perumpamaan
kembang sepasang untuk menggambarkan hubungan anak dan ibu, serta
lelaki dan perempuan yang sangat manusiawi dan hakiki. Juga mencakup
analisis konteks situasi, yang difokuskan pada konteks fisik yang meliputi
tempat: pojok halaman, waktu: dari kembang sepasang mekar sampai
menjadi layu, dan objek atau topik: kembang sepasang. Analisis
gramatikalnya meliputi pengacuan (pengacuan persona, demonstratif:
45
pronomina demonstratif tempat dan pronomina demonstratif waktu),
pelesapan, dan konjungsi. Analisis aspek leksikal yang terdapat dalam puisi
ini, meliputi repetisi (repetisi anafora, mesodiplosis, dan penuh), antonimi
(oposisi kutub, hubungan, dan hierarkial), kolokasi, dan hiponimi.
Nanik Herawati (2008) dengan judul penelitiannya Analisis WacanaSyair
Lagu Anak-Anak Karya A.T Mahmud Kajian Eksternal dan Internal. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa kajian ekternal ini di antaranya mencakup
tentang konteks situasi yang meliputi konteks fisik, sosial, dan epistemis.
Konteks fisik ini meliputi tempat terjadinya lagu ”Ambilkan Bulan” yang terjadi
di luar rumah di tempat terbuka dengan langit yang cerah, sedangkan tempat
terjadinya lagu ”Pelangi” adalah alam terbuka dan terjadi ketika setelah hujan
turun dan cuaca kembali cerah. Alam bebas dengan pepohonan
kemungkinan merupakan tempat burung benyanyi, yang secara fisik tidak
digambarkan dalam teks lagu ”Burung Bernyanyi” Topik pembicaraan lagu
”Ambilkan Bulan” dan ”Pelangi” berdasarkan perilaku anak yang mengangumi
keindahan alam, sedangkan topik ”Burung Bernyanyi” adalah mengenai
suasana hati yang riang.
Konteks sosial dalam lagu ”Ambilkan Bulan” memperlihatkan kenangan
masa kanak-kanak A.T Mahmud, pada malam hari saat akan tidur dengan
menggunakan lampu yang remang-remang, sehingga menjadikan bulan
sebagai penerang. Lagu ”Pelangi” memperlihatkan peran pendidikan ,yang
sejak kecil anak dididik untuk selalu mengagungkan Tuhan, sehingga
46
membuat anak dekat dengan Tuhan, dan mencintai lingkungannya. Lagu
”Burung Bernyanyi” memperlihatkan suasana pedesaan dengan pepohonan
yang rimbun yang memungkinkan tempat burung bernyanyi riang. Konteks
epistemis pada ”Ambilkan Bulan”, adalah bahwa si penutur bercakap-cakap
dengan ibunya tentang keindahan bulan. Dia menginginkan bulan tersebut
dapat menerangi kamarnya yang gelap. Pada syair lagu ”Pelangi” dan
”Burung Bernyanyi” konteks epistemisnya tidak nyata, karena penutur hanya
bertutur secara monolog.
Berdasarkan hasil penelitian yang relevan, maka ditemukan persamaan
dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaannya adalah menganalisis
wacana secara umum berdasarkan unsur-unsur konteks wacana seperti
setting, participants, isi pesan, dan ends. Perbedaannya adalah tentang
objek kajian yakni judul novel yang berbeda serta konsep konteks dan
pendidikan karakter yang digunakan dalam menganalisis wacana.
Tinjauan hasil penelitian di atas, mengilhami peneliti untuk melakukan
analisis konteks wacana pada novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa yang menggunakan pendekatan pragmatik sehingga
memperoleh pemaknaan secara terpadu yang tercermin dalam fenomena
karya sastra, konteks sangat menentukan makna suatu ujaran. Bila konteks
berubah, berubah juga makna suatu ujaran. Konteks dapat dikatakan
sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu dialog atau pembicaraan.
47
C. Kerangka Pikir
Berdasarkan pembahasan teori pada bagian tinjauan pustaka, maka
penulis menguraikan kerangka pikir yang akan menjadi landasan penelitian
ini untuk memecahkan masalah yang akan dipaparkan.
Sebuah karya sastra adalah hasil imajinatif yang berangkat dari
sebuah kenyataan kemudian diolah sedemikian rupa oleh pengarang atau
penulis menjadi sebuah karya yang sarat dengan nilai. Penulis karya sastra
adalah anggota masyarakat yang mencoba mempunyai ide, gagasan, dan
pendapat. Sebagian karya sastra terlahir dari kenyataan, sehingga penulis
membentuk alur cerita sesuai dengan keadaan sosial budaya yang
dihadapinya. Maka tidak heran jika dalam karya sastra seperti novel
terkandung endapan-endapan pengalaman sosial pengarangnya.
Pada novel Lontara Rindu Karya S. Gege Mappangewa, objek
penelitian dianalisis berdasarkan konteks wacana yang ada dalam novel
tersebut. Untuk mengetahui konteks wacana tersebut maka, penulis
memfokuskan penelitian dengan mengkaji unsur eksternal dan konteks
nonverbal wacana yang meliputi praanggapan, implikatur, dan inferensi serta
Setting’Latar’ dan Scene’Suasana’, Participants’ Partisipasi’, Ends’ Hasil’, Act
Sequences’Pesan’,Keys’Cara’,Instrumentalities’Sarana’, Norm’Norma’,
Genre’Jenis.
48
Gambar 1 : Bagan Kerangka Pikir
Novel Lontara Rindu Karya S. Gege Mappangewa
Unsur Eksternal Wacana
Konteks Nonverbal Wacana
a. Praanggapan
b. Implikatur
c. Inferensi
a. Setting’Latar’ dan Scene’Suasana’
b. Participants’ Partisipasi’
c. Ends’ Hasil’
d. Act Sequences’Pesan’
e. Keys’Cara’
f. Instrumentalities’Sarana’
g. Norm’Norma’
h. Genre’Jenis
Temuan
Konteks Wacana
Pendidikan Karakter
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berarti studi yang
mencakup penggunaaan dan pengumpulan berbagai data empirik yang bisa
dilakukan melalui interview, observasi dan interaksi, dalam hal ini, (Denzin &
Lincoln, 2009:2), menegaskan bahwa pendekatan deskriptif kualitatif selalu
mendasarkan hal-hal yang bersifat fenomena untuk dianalisis, dideskripsikan
dan akhirnya disimpulkan berdasarkan temuan dan analisis yang telah
dilakukan.
C. Unit Analisis dan Penentuan Informan
Secara garis besar peneliti mengemukakan beberapa latar belakang
dan alasan penting telaah analisis konteks wacana dalam novel Lontara
Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Alasan-alasan tersebut meliputi
beberapa pertimbangan, dari sisi sumber data, karya sastra ini tergolong
karya sastra yang merupakan novel peraih penghargaan terbaik pertama
“Lomba Novel Republika 2011 ”, sehingga banyak memperoleh pujian dan
komentar positif, sebagaimana yang dikatakan Asma Nadia ( penulis 46
buku best seller ) bahwa ada kejernihan yang mengharukan, bergantian
dengan kelucuan yang menggelitik saat membaca Lontara Rindu.
50
Penulis novel Lontara Rindu berhasil menjalin kisah yang menarik
dengan warna lokal yang kuat, dan teknik penceritaan yang nyaris tanpa
cela. Novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa bertutur tentang
hubungan manusia di dalam keluarga dan lingkungannya yang kompleks,
terutama karena ada latar belakang adat-istiadat dan agama yang berbeda
dalam novel ini. Hal ini menjadi pertimbangan penulis untuk melakukan
penelitian dengan menganalisis konteks wacana yang terdapat dalam novel
tersebut. Informan yang akan peneliti pilih adalah Informan yang memiliki
pengetahuan cukup tentang budaya dan adat-istiadat masyarakat Amparita
Sidrap khusunya Tolotang yang merupakan latar tempat dalam novel Lontara
Rindu Karya S.Gege Mappangewa.
D. Data dan Sumber Data
1. Data
Data yang diperoleh berupa data primer, yakni data yang diperoleh
secara langsung dari novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa.
Adapun data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah unsur eksternal
wacana yang meliputi praanggapan, implikatur, dan inferensi, sedangkan
konteks nonverbal wacana meliputi Setting’Latar’ dan Scene’Suasana’,
Participants’ Partisipasi’, Ends’ Hasil’, Act Sequences’pesan’,
Keys’Cara’,Instrumentalities’Sarana’, Norm’Norma’, Genre’Jenis dan
pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa.
51
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel
Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa yang diterbitkan oleh Harian
Republika tahun 2012 dengan ketebalan buku 342 halaman.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dikumpulkan
dengan teknik kaji dokumen yang memuat jenis dan unsur konteks wacana.
Data dipilih sesuai keperluan sehingga data yang diperlukan untuk ditelaah
cukup konfrehensif, berdasarkan fokus penelitian yaitu, unsur eksternal
wacana yang meliputi praanggapan, implikatur, dan inferensi, sedangkan
konteks nonverbal wacana meliputi Setting’Latar’ dan Scene’Suasana’,
Participants’ Partisipasi’, Ends’ Hasil’, Act Sequences’Pesan’,
Keys’Cara’,Instrumentalities’Sarana’, Norm’Norma’, Genre’Jenis.
Dalam pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik, seperti
membaca, mencatat, dan mengistimasi. Langkah pertama dilakukan dengan
membaca secara saksama dan berulang terhadap novel tersebut. Setelah
melakukan kegiatan awal, disusul dengan kegiatan pencacatan terhadap
semua data ke dalam kartu data (korpus) untuk menghindari hadirnya data
yang tidak terkendali, maka peneliti mengadakan eliminasi terhadap data
yang tidak sesuai dengan pokok persoalan yang dikaji. Eliminasi data
dilakukan dengan mengeliminasi sejumlah data berdasarkan keyakinan
peneliti sebagai instrument kunci dalam penelitian ini.
52
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan dengan cara pembacaan intensif,
ditelaah, secara semiotik, heuristik (dianalisis dari konvensi linguistik)
hermeneutik dan retroaktif (konvensi sastra) disempurnakan dengan
fragmentasi, penyajian, diskusi, elaborasi, dan pengintepretasian yang
selanjutnya dideskripsikan dan disimpulkan, jadi tidak melalui uji hepotesis.
1. Pembacaan Heruistik dan Diteruskan Retroaktif
Teknik analisis ini digunakan sejak awal penelitian, yaitu dengan cara
membaca secara seksama dan telaah secara teks dan konteks. Teknik ini
sebenarnya diilhami oleh model strategi telaah hermeneutik; strategi ini
ditempuh agar penulis memperoleh gambaran yang jelas isi dan maksud
secara kontekstual akan lebih berarti jika diteruskan membaca retroaktif;
membaca secara berulang sehingga semakin valid dan jelas pemaknaannya
terutama ketika membaca teks yang berkonvensi kesasteraan. Pembacaan
yang demikian akan memperoleh pemaknaan teks yang lebih mendekati
kontekstual maksud sebuah teks yang sebenarnya (Refatterre (1978: 5-6).
2. Fragmentasi (Fragmentating)
Setelah melakukan pemetaan isi dari sumber data, peneliti melakukan
fragmentasi; pemilihan bagian sumber data yang terkait dengan fokus
masalah yang terdapat dalam rumusan masalah atau fokus masalah 1, 2,
dan 3 yang telah diformulasikan dalam bab satu. Selanjutnya, setelah
melakukah pembacaan dengan cara pemenggalan sumber data secara
53
akurat yang berupa frase ataupun kalimat yang dipastikan terkait dengan
fokus masalah dan sumber data yang telah ditetapkan, dan sekaligus
sebagai elemen signifikan yang menjadi sentral analisis dan temuan, yang
terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege mappangewa, yang
selanjutnya disebut dengan fragmentasi (Soekemi, 1988)
3. Penyajian
Hasil pemetaan yang sudah akurat dari fragmentasi perlu disajikan dalam
bentuk paparan, tabel dan bagan agar mudah dicerna dan sistemetik dalam
penampilan pembahasan dan diskusi. Model penyajian ini berfungsi sebagai
pendukung fakta dan eviden dari sumber data yang telah dikaitkan dengan
fokus masalah.
4. Diskusi dan Elaborasi
Tahapan analisis ini merupakan kegiatan utama dan paling penting
seriring paradigma dan pendekatan kualitatif memang intinya mencari makna
di balik data yang tersurat, dan yang tersirat; yaitu dengan cara
mendiskusikan dan mengelaborasi setiap elemen sumber data dengan
landasan teori yang digunakan dan menggunakan logika dan intuitif yang
dituangkan melalui expresi kata-kata. Frase dan kalimat, baik berupa
penjelasan, sanggahan penegasan, evaluasi, generalisasi ataupun
penyimpulan.
54
G. Pengecekan Keabsahan Temuan
Pengecekan keabsahan temuan terhadap data yang dikumpulkan
menggunakan triangulasi.
1. Reduksi Data
Kegiatan reduksi data meliputi; seleksi, simplikasi, abstraksi dan
pemindahan yang masih mentah dari catatan yang dilakuakan di lapangan.
Selanjutnya, data diverifikasi menurut kelompok data sesuai dengan fokus
yang diteliti yaitu, memilih novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa
ke dalam slot-slot framen yang terkait dengan fokus masalah data yang ada.
Kegiatan ini meliputi presentasi data yang sudah diperoleh
berdasarkan masing-masing kelompok fokus, disajikan dan dianalisis, dan
selanjutnya disimpulkan sesuai dengan fokus yang sudah ditetapkan, dalam
bentuk tabel, matrik, ataupun dalam bentuk penjelasan lainnya.
2. Verifikasi
Verifikasi dilakukan dalam rangka melakukan pemikiran induktif untuk
mendapatkan simpulan terakhir, yaitu dengan cara“cross chesk” data satu
dengan data yang lainya. Cara yang lazim dipakai yaitu dengan sistem
“Trianggulasi”, yang meliputi tiga tahapan, pertama dengan cara
membanding antara data satu dengan data yang lain, data yang sudah
didapatkan dari sumber data Novel Lontara Rindu yang sudah terjaring
berdasarkan fokus masalah diadakan pengecekan secara cermat dengan
cara memilih dan membangdingkan antara data satu terhadap data lain,
55
sehingga data yang terpilih merupakan data yang akurat isinya dengan fokus
masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Tahapan penelitian ini diterapkan
pada semua rumusan masalah 1, 2, dan 3. (trianggulasi data). Selanjutnya
tahapan kedua, peneliti melakukan trianggulasi personal dengan melibatkan
pakar dan promotor/ pembimbing.
1. Konsultasi ke Pembimbing
Konsultasi ini dilakukan beberapa kali untuk menguji keabsahan data
dan memeriksa dan mencocokkan pemahaman peneliti dan validator tentang
objek penelitian yang sedang dilakukan. Selain itu, agar lebih terarah peneliti
berkonsultasi kepada Pembimbing I, Prof. Dr. H. M. Ide Said. D. M.,M. Pd.,
dan Pembimbing II, Prof. Dr. Anshari, M. Hum.
Keabsahan data diperiksa dengan cara membaca dan menelaah secara
teliti dan intensif terhadap sumber data penelitian ini, untuk memperoleh
kebenaran secara akurat, sehingga diperoleh pemaknaan yang memadai
dalam mendukung penelitian ini.
2. Diskusi dengan Teman Sejawat
Diskusi ini dilakukan untuk memperoleh informasi atau bertukar pikiran
tentang hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini. Sebagai langkah
awal dalam memberikan suatu kepercayaan dan kesempatan untuk memulai
menjajaki hipotesis yang muncul dari pemikiran peneliti dalam memulai
penelitian ini.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Karakteristik Objek Penelitian
Deskripsi singkat tentang objek penelitian ini dapat dilihat dari sisi
sumber data, karya sastra ini tergolong karya sastra yang merupakan novel
peraih penghargaan terbaik pertama “Lomba Novel Republika 2011
sehingga banyak memperoleh pujian dan komentar positif, sebagaimana
yang dikatakan Asma Nadia ( penulis 46 buku best seller ) bahwa ada
kejernihan yang mengharukan, bergantian dengan kelucuan yang
menggelitik saat membaca Novel Lontara Rindu Karya S. Gege
Mappangewa.
Penulis memilih novel Lontara Rindu sebagai objek penelitian karena
bertutur tentang hubungan manusia di dalam keluarga dan lingkungannya
yang kompleks, terutama karena ada latar belakang adat-istiadat dan
agama yang berbeda dalam novel ini.
Konteks wacana yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah jenis
eksternal konteks wacana yang meliputi praanggapan, implikatur, dan
inferensi, sedangkan unsur-unsur konteks wacana meliputi Setting’Latar’ dan
Scene’Suasana’, Participants’ Partisipasi’, Ends’ Hasil’, Act
Sequences’Pesan’, Keys’Cara’,Instrumentalities’Sarana’, Norm’Norma’,
Genre’Jenis dan pendidikan karakter.
57
Novel Lontara Rindu Karya S. Gege Mappangewa ini menceritakan
tentang kerinduan, agama dan budaya yang sarat dengan adat dan tradisi.
Rindu yang terdapat dalam novel Lontara Rindu bukanlah perasaan yang
mutlak ditujukan kepada kekasih saja tetapi untuk orang-orang tertentu
seperti rindu Vito kepada ayah dan adiknya. Penulis novel menggunakan
sudut pandang impersonal, penulis berdiri di luar cerita dan serba tahu. Ia
melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia
batin yang paling dalam dari tokoh.
Alur yang digunakan dalam novel Lontara Rindu Karya S. Gege
Mappangewa ini adalah alur mundur (flash back progresif) dan alur maju
(Progresif). Dari kisah Halimah yang baru dimunculkan di flash back di
Lontara Rindu 4, pertemuan setelah tokoh utama menjalankan
penokohannya sendiri dan perjalanan tokoh utama yang alurnya terus maju
mencari ayahnya. Latar cerita adalah Sidenreng Rappang Kabupaten Sidrap
dan Kota Samarinda Kalimantan Timur.
Ada beberapa tokoh yang terlibat dalam Novel Lontara Rindu Karya S.
Gege Mappangewa. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Vito anak yang tak
putus asa dalam mencari ayahnya dan tinggal bersama ibunya Halimah; Vino
merupakan saudara kembar Vito yang ikut dengan ayahnya;Halimah
perempuan yang jatuh cinta pada Azis, kawin lari lalu kembali pada orang
tuanya dan melahirkan anak kembar yang diberi nama Vito dan Vino; Ilham
pria Tolotang yang kawin lari bersama Halimah lalu meninggalkan Halimah
58
dan menikah di Kalimantan Timur; Azis sepupu Halimah, sekaligus calon
suami Halimah yang ditinggal karena Halimah kawin lari bersama Ilham;
Kakek ayah dari Halimah dan Kakek yang pemarah tetapi sangat sayang
pada Vito; Ibu Maulindah guru IPS Vito dan teman-temannya; Pak Amin guru
olahraga Vito sekaligus guru yang mengajarkan nilai-nilai budaya dan agama
kepada Vito dan teman-temannya.
Pak Bahtiar Kepala Sekolah Vito; Nadia istri Ilham yang menculik Vito
agar bisa bertemu ayahnya; Irfan sahabat Vito yang punya ide-ide kreatif;
Jihang teman main Vino semasa kecil; Ibu Irfan yang suka marah-marah
pada ayah Irfan; Nenek Malomo tokoh intelektual sekaligus penasihat
kerajaan pada zaman Raja Sidenreng Rappang, La Patiroi; Pak Saleng
sahabat Ilham, tempat Vito meminta alamat ayahnya; Pak Fadhil orang yang
menculik Vito, suruhan Nadia ibu tiri Vino; Anugrah sahabat Vito; Sarah , Alif ,
Allauddin, Bimo, Waddah , Adnan mereka adalah sahabat Vito sekaligus
teman bermain, baik suka maupun duka. Dalam penelitian ini penulis juga
mencantumkan kutipan yang langsung oleh pengarang, Ibu Halimah , Ayah
Halimah , dan Ayah Irfan.
59
B. Penyajian Hasil Analisis Data
1. Konteks Nonverbal Wacana dalam Novel Lontara Rindu Karya S.
Gege Mappangewa
a. Setting ’Latar’ dan Scene ’Suasana’, Participants’ Partisipasi, ‘Ends’ Hasil’, Act Sequences’ Pesan’, Keys’ Cara’, Instrumentalities’ Sarana’, ‘Norm’ Norma’, dan‘Genre’ Jenis’.
Data 1
“Mau kemana?” Seorang laki-laki sepantaran dengannya, yang dari gelagatnya juga senasib dengannya, mendekat.
“Co-Corawali!” jawabnya dengan gugup. “Saya mau ke Amparita. Tapi sepertinya tak ada lagi mobil malam
ini.” Halimah melirik lelaki yang berdiri tak jauh dari sampingnya. Di bawah lampu jalan yang mulai temaran, lelaki itu mendapat penilaian sempurna di matanya. Bukan hanya wajah. Dari cara bicaranya yang sopan, Halimah menangkap kesan jika lelaki itu berpendidikan.
“Kenapa bisa kemalaman?”. Lelaki itu membuka topik. “Saya dari menjelang magrib berdiri di sini…,” ucap Halimah tanpa
sekali pun menatap mata lawan bicaranya. “Menjelang magrib? Kalo menjelang magrib, harusnya tadi nunggu
di terminal. Biasanya mobil yang full penumpang ndak lewat sini lagi, tapi mengambil jalur lewat depan Rumah Sakit Nenek Mallomo. Di sini khusus nunggu mobil dari Parepare.”
“Kalau tidak ada angkot hingga isya, saya bisa pinjam mobil kakak sepupu saya yang di sini. Saya janji akan antar kamu sampai ke Corawali.”
(LR, 2012:46-48)
Situasi percakapan:
Berdasarkan kutipan data (1) percakapan terjadi di jalan poros Sidrap,
ketika Halimah menunggu mobil untuk pulang ke Corawali, Halimah bertemu
dengan Ilham, di tempat itulah awal pertemuan keduanya. Jangankan ke
60
Pangkajene, bahkan ke Corawali pun, bagi Halimah adalah momen yang
sangat indah. Meninggalkan Pakka Sallo yang setiap harinya hanyalah
berpemandangan sungai, pegunungan, dan kebun jambu mete, adalah
impian semua remaja Desa Pakka Sallo, termasuk Halimah. Dua hari yang
lalu ayahnya mengajak Halimah ke Corawali karena ada kerabat dekat yang
menikah. Anak gadis harus rajin-rajin menghadiri hajatan yang diadakan
keluarga, di samping untuk membantu, juga untuk berkenalan dengan
keluarga yang lain. Siapa tahu diacara itu akan bertemu dengan jodoh karena
biasanya pemuda desa pun menghadiri hajatan, bukan semata untuk
membantu tetapi juga untuk mencari jodoh.
Analisis:
Pada wacana di atas setting tempat percakapan berada di jalan poros
Pangkajene, tempat lain yang disebutkan oleh partisipan adalah Corawali,
Amparita, Rumah Sakit Nenek Mallomo. Setting waktu terjadi malam hari,
partisipannya adalah Ilham dan Halimah. Tujuan akhir pembicaraan atau
ends ditujukan oleh perkataan Ilham terhadap Halimah yang mengatakan
bahwa jika tidak ada angkot hingga isya, Ilham akan meminjam mobil
sepupunya dan mengantar Halimah sampai di Corawali. Act atau bentuk
pesan yang ada pada wacana di atas adalah perkenalan. Selanjutnya, cara
(key) yang ditunjukkan adalah pembicaraan yang santai dengan sarana
(Instrumentalities) lisan. Norms’ norma’ atau perilaku Ilham selaku partisipan
61
dalam berinteraksi dengan Halimah adalah halus dan sopan. Genre atau
jenis percakapan pada wacana tersebut adalah fiksi prosa.
Data 2
“ingat! Ini sekolah baru! Kalau kalian tak bisa diatur, bisa-bisa pemerintah meniadakan kembali sekolah ini. Kalian mau ke sekolah kecamatan melanjutkan sekolah? Berapa biaya yang harus kalian keluarkan? Dan yang lebih mengecewakan, sudah hampir satu tahun kalian belajar di sini, tak satu pun dari kalian yang bisa menyumbangkan satu piala untuk sekolah kita….?”
(LR, 2012:13)
Situasi percakapan:
Berdasarkan kutipan data (2) tampak bahwa percakapan terjadi di
sekolah, Ibu Maulindah marah karena terus dikerjai oleh murid-muridnya. Jika
Ibu Maulindah marah tidak ada yang berani mengangkat wajah, semua
tertunduk, lebih khusyuk dibanding saat berdoa. Hampir setiap hari mereka
mengerjai Bu Maulindah saat lagi mengkhayal. Setiap marah Bu Maulindah
pasti menagih piala dari siswa-siswanya.
Analisis:
Pada wacana di atas setting tempat percakapan berada di sekolah.
Setting waktu terjadi pagi hari. Partisipannya adalah Ibu Maulindah dan
siswa-siswinya. Tujuan akhir pembicaraan atau ends ditujukan oleh
perkataan Ibu Maulindah terhadap siswa-siswinya yang mengatakan bahwa,
sudah hampir satu tahun siswa-siswinya belajar, namun tidak satu pun dari
mereka yang menyumbangkan satu piala untuk sekolah mereka. Act atau
62
bentuk pesan yang ada pada wacana di atas adalah teguran. Selanjutnya,
cara (key) yang ditunjukkan adalah pembicaraan yang serius dengan sarana
(Instrumentalities) lisan. Norms’ norma’ atau perilaku Ibu Maulindah selaku
partisipan dalam berinteraksi dengan siswa-siswinya dalam keadaan marah.
Genre atau jenis percakapan pada wacana tersebut adalah fiksi prosa.
Data 3
“Kamu memang keterlaluan, To! Harusnya waktu kami ke rumahmu dengan Pak Amin, kamu jujur aja. Bukan malah pura-pura terpukul dengan kematian kakek kamu.”
“Apalagi saat Pak Amin lari tunggang langgang karena melihat kakek kamu di tengah malam, itu sama saja merontokkan cambang Pak Amin yang selama ini membuatnya kekar. Lain kali kalau mau bohong, pikir-pikir dulu, To! Selain dosa, merugikan orang lain, juga merugikan diri sendiri.”
“Waduh, kalo mau ceramah, jangan di depan saya deh! Sekalian di masjid hari Jumat, gantikan katte(khatib) Lolo baca kutbah,” protes Vito saat Irfan ikut menyalahkannya.
“Ssst!Pak Amin datang!” seluruh siswa beranjak ke tempat duduk masing-masing.
“Hari ini Bu Maulindah ndak masuk. Saya yang gantikan pelajaran IPS.” Irfan menyenggol kaki Vito pertanda memintanya ke depan kelas untuk meminta maaf. Vito masih kikuk. Berikutnya tendangan dari belakang oleh Adnan. Dengan isyarat yang sama, meminta Vito maju untuk meminta maaf sebelum pelajaran dimulai.
(LR, 2012:52-53)
Situasi percakapan:
Percakapan di atas terjadi antara Vito dan Irfan, sejak rahasia Vito
terbongkar, Irfan terus menasihatinya agar minta maaf pada Pak Amin.
Kebenaran ungkapan itu dirasakan oleh Pak Amin, yang pernah datang
membawa rasa berduka saat Vito tidak masuk sekolah dengan alasan
63
kakeknya meninggal, bukan hanya diam, saking marahnya, Pak Amin selalu
melarikan pandangannya ke arah lain karena tidak ingin melihat wajah Vito.
Analisis:
Pada wacana di atas setting tempat percakapan terjadi di sekolah
terlihat pada kata Hari ini Bu Maulindah tidak masuk, yang gantikan pelajaran
IPS adalah saya. Setting waktu terjadi pagi hari, partisipannya adalah Vito
dan Irfan, Adnan dan Pak Amin. Tujuan akhir pembicaraan atau ends
ditujukan oleh perkataan Irfan terhadap Vito yang mengatakan bahwa, kalau
ingin berbohong harus dipikirkan terlebih dahulu, karena tidak hanya
merugikan orang lain, tetapi juga diri sendiri. Act atau bentuk pesan yang ada
pada wacana di atas adalah nasihat. Selanjutnya, cara (key) yang di
tunjukkan adalah pembicaraan yang halus dengan sarana (Instrumentalities)
lisan. Norms’ norma’ atau perilaku Irfan selaku partisipan dalam berinteraksi
dengan Vito adalah halus sebaliknya cara Vito berinteraksi dengan Irfan
sedikit kasar. Genre atau jenis percakapan pada wacana tersebut adalah fiksi
prosa.
Data 4
“Halimah, kamu ke sini dulu, “teriak ayahnya dari ruang tengah. Halimah memenuhi panggilan itu dengan seribu tanda tanya. Tak biasanya ia dilibatkan dengan ‘upacara’ minum kopi ayah dan ibunya.
“Tadi pamanmu menemuiku di kebun mete….” Suara ayahnya berhenti sambil menyorot wajah Halimah di bawah cahaya lampu sepuluh watt.
“Dia banyak bercerita tentang Azis, sepupumu yang dulu sekelas dengan kamu waktu SD,” lanjut ibunya.
64
“Maksud, ibu?” tanyanya saat menangkap sinyal aneh dari kalimat ibunya.
“Sepertinya dia mabbaja laleng (membersihkan jalan): ungkapan yang berarti penjajakan. Biasanya dilakukan keluarga laki-laki sebelum datang melamar).”
“Tapi….” “Tapi kau mencintai Ilham? Begitu maksud kamu?” tegas ayahnya “Dua bulan tinggal di kampung kita, sekali pun dia tak pernah ke
masjid. Setinggi apa pun sekolahnya, bagiku Azis yang selalu azan di masjid, masih jauh lebih berpendidikan daripada dia.”
(LR, 2012:87)
Situasi percakapan:
Percakapan terjadi antara Halimah, ayah dan ibunya. Dengan halus,
ayah Halimah menyampaikan bahwa orang tua Azis mulai membuka jalan
untuk menjodohkan Azis dengan Halimah, dari dulu ayah Halimah berharap
Halimah menikah dengan Azis, tetapi karena dia di pihak perempuan jadi tak
mungkin yang mengutarakan keinginan itu duluan. Beberapa orang Bugis
memang lebih cendrung menikahkan anaknya dengan sepupunya, selain
keluarga telah saling mengenal, juga agar warisan tidak lari ke mana-mana.
Analisis:
Pada wacana di atas setting tempat percakapan berada di rumah
Halimah tepatnya di ruang tengah. Setting waktu terjadi malam hari dengan
memperhatikan kalimat ‘Di bawah cahaya lampu sepuluh watt’, partisipannya
adalah ayah, ibu dan Halimah. Tujuan akhir pembicaraan atau ends ditujukan
oleh perkataan ayah terhadap Halimah yang mengatakan bahwa ‘setinggi
apa pun sekolah Ilham jika tidak pernah menginjak masjid maka Azis yang
65
sering ke masjid jauh lebih berpendidikan’ meski tidak sekolah tinggi Azis
adalah pemuda yang rajin ke masjid oleh karena itu ayah Halimah sangat
menyukainya. Act atau bentuk pesan yang ada pada wacana di atas adalah
penyampaian dan nasihat . Selanjutnya, cara (key) yang ditunjukkan adalah
pembicaraan yang serius dengan sarana (Instrumentalities) lisan. Norms’
norma’ atau perilaku ayah dan Ibu Halimah selaku partisipan dalam
berinteraksi dengan Halimah adalah lembut dan kasar. Genre atau jenis
percakapan pada wacana tersebut adalah fiksi prosa.
Data 5
“Saya menemanimu tidur malam ini bukan untuk bercerita tentang ayahmu. Aku ingin mengajakmu menjadi lelaki Bugis yang sesungguhnya!” Vito yang tadinya memeluk guling untuk menyembunyikan tangis,kini meleraikan gulingnya.
“Lelaki Bugis tak berpantang menangis, tapi saat dia menangis, tak boleh ada yang berubah. Harus tetap tegar!”
“Ayahku juga Bugis?” Vito mencoba menyelidik. Suara generator dari pinggiran kampung sudah mati, berarti sudah jam sepuluh. Tak ada lagi suara, kecuali bunyi kelelawar berebut buah semu jambu mete. Juga sesekali suara burung hantu yang bertengkar di puncak pohon asam yang daunnya banyak meranggas akibat kemarau berkepanjangan.
(LR, 2012:118)
Situasi percakapan:
Percakapan data (5) terjadi antara Vito dan kakeknya, sejak kepergian
ayah Vito, lelaki tua itu tidak bisa apa-apa. Tetapi, dia berusaha tegar di
depan Vito dan Halimah. Meski banyak bungkam, kakek Vito selalu memberi
semangat kepada Vito agar semangat menjalani hidup.
66
Analisis:
Pada wacana di atas setting tempat percakapan berada di rumah Vito.
Setting waktu terjadi malam hari, partisipannya adalah Vito dan kakek.
Tujuan akhir pembicaraan atau ends ditujukan oleh perkataan kakek
terhadap Vito yang mengatakan bahwa lelaki Bugis tidak boleh menangis,
kalaupun harus menangis tidak boleh berubah dan harus tetap tegar. Act
atau bentuk pesan yang ada pada wacana di atas adalah nasihat.
Selanjutnya, cara (key) yang ditunjukkan adalah pembicaraan yang santai
dengan sarana (Instrumentalities) lisan. Norms’ norma’ atau perilaku kakek
selaku partisipan dalam berinteraksi dengan Vito adalah lembut dan halus.
Genre atau jenis percakapan pada wacana tersebut adalah fiksi prosa.
Data 6
“Ada yang hampir terlupa, saya pertama ke Pakka Sallo tahun delapan puluhan. Kalian tahu untuk urusan apa?” semua menggeleng. Semua penasaran. Mereka bisa membaca gaya bicara Pak Amin saat bercerita dan bertanya retoris, itu berarti ada cerita yang sangat menarik dari jawabannya nanti.
“Dulu saking makmurnya negeri ini, saat musim tanam tiba, ratusan hetare sawah yang ada di kecamatan ini hampir semuanya terisi padi menghijau.”
“Hampir?” Alif mencoba mengorek lebih jauh, mengapa tak semua lahan tertananmi. Semua mata beralih ke Alif karena pertanyaannya dianggap mengganggu cerita.
“Lahan yang tidak tertanami adalah lahan yang tak bisa digarap lagi, karena musim hujan akan segera berakhir. Biasanya lahan seperti inilah yang akan ditempati kerbau dan sapi mencari makan….”
“Oke, sudah sore. Kita harus pulang!”
(LR, 2012:158)
67
Situasi percakapan:
Pak Amin melakukan perjalanan bersama siswa-siswinya menuju ke
Sumur Citta. Dalam perjalanan Pak Amin singgah di Danau Sidenreng dan
banyak bercerita tentang tokoh Nenek Mallomo. Betapa suburnya daerah
mereka dahulu. Saat ini sungai di Pakka Sallo kering. Danau Sidenreng
kering. Kebanyakan nelayan berubah profesi menjadi petani jagung. Itu pun
harus memompa air dari sungai yang menghubungkannya dengan Danau
Tempe di Kabupaten Wajo. Andai kemarau panjang terus berlanjut, maka
gelar Sidrap sebagai kota beras benar-benar hanya sebagai simbol.
Analisis:
Pada wacana di atas setting tempat percakapan berada di Danau
Sidenreng, meski tersirat akan tetapi setting tempat dijelaskan pada situasi
percakapan. Setting waktu terjadi sore hari, partisipannya adalah Pak Amin
dan siswa-siswinya. Tujuan akhir pembicaraan atau ends ditujukan oleh
perkataan Pak Amin terhadap siswa-siswinya yang mengatakan bahwa ‘
‘Dahulu negeri mereka sangat subur dengan padi yang menghijau, jika ada
lahan yang tidak tertanami maka itu adalah lahan yang tidak bisa digarap
lagi’. Act atau bentuk pesan yang ada pada wacana di atas adalah bercerita
dan memberi nasihat. Selanjutnya, cara (key) yang ditunjukkan adalah
pembicaraan yang santai dengan sarana (Instrumentalities) lisan. Norms’
norma’ atau perilaku Pak Amin selaku partisipan dalam berinteraksi dengan
68
siswa-siswinya adalah halus dan sopan. Genre atau jenis percakapan pada
wacana tersebut adalah fiksi prosa.
Data 7
“Lima jam perjalanan kaki meninggalkan Pakka Sallo, menelusuri setapak belantara di antara gelap. Cinta telah memberinya keberanian serupa itu. tak sedikit pun ketakutan menyusup di hatinya meski belantara terkadang benar-benar gelap ketika cahaya purnama tak bisa menembus rimbun pepohonan, sementara cahaya senternya hanya mampu menerangi jalan setapak tempat kakinya akan berpijak. Matahari baru saja menyapa pagi ketika dia tiba di Corawali. Lalu sebuah angkot mengantarnya ke Pangkajene. Tapi sedikit kecewa saat tempat yang ditujunya itu tak ada Ilham, masih ada harapan, dia akan menunggu sampai Ilham akan datang menemuinya. Pagi sejuk telah berubah terik. Terik pun telah melayu dan berganti sore. Ilham tak datang. Halimah gelisah.”
“Boleh saya tahu siapa yang kamu tunggu? Laki-laki, perempuan?” “Teman saya, laki-laki.” Ungkap Halimah pada Pak Sopir “Enam hari berturut-turut ada seorang lelaki yang duduk di sini.
Katanya menunggu seseorang. Menunggu dari pagi dan pulang malam dengan agkot terakhir.”
(LR, 2012:178-179)
Situasi percakapan:
Halimah melangkah diam-diam, agar lantai papan yang diinjaknya tidak
membangunkan tamu-tamu yang lain. Kutipan di atas menjelaskan
perjalanan Halimah meninggalkan rumah serta pernikahannya dengan Azis
yang hanya tinggal beberapa jam. Halimah hanya berbekal beberapa lembar
pakaian dengan satu senter dua baterai. Halimah telah berjanji pada Ilham
bahwa mereka akan bertemu di Pangkajene lalu kawin lari. Di Pangkajene
Halimah bertemu dengan Sopir mobil yang pernah bertemu dengan Ilham.
69
Analisis:
Pada wacana di atas setting tempat percakapan berada di Pakka Sallo
ketika Halimah dalam perjalanan dan pada akhirnya sampai di Corawali, dan
melanjutkan kembali perjalanannya menuju Pangkajene. Setting waktu
terjadi malam hari di mana Halimah menunggu semua orang tertidur lelap,
setelah itu pagi hari sampai di Corawali dan dari Corawali Halimah
melanjutkan perjalanan ke Pangkajene. Di Pangkajene Halimah menunggu
Ilham hingga sore hari. Waktu perjalanan yang ditempuh Halimah adalah lima
jam saat melakukan perjalanan kaki dari Pakka Sallo menuju Corawali.
Partisipannya Halimah dan sopir mobil Pangkajene. Tujuan akhir
pembicaraan atau ends ditujukan oleh perkataan sopir mobil terhadap
Halimah bahwa ada seorang lelaki yang menunggu seseorang hingga enam
hari berturut-turut. Act atau bentuk pesan yang ada pada wacana di atas
adalah pelarian. Selanjutnya, cara (key) yang ditunjukkan adalah
pembicaraan yang santai dengan sarana (Instrumentalities) lisan. Norms’
norma’ atau perilaku sopir selaku partisipan dalam berinteraksi dengan
Halimah adalah halus dan sopan. Genre atau jenis percakapan pada wacana
tersebut adalah fiksi prosa.
Data 8 “Tonronge sekarang seperti pasar.”Pak Amin membuka cerita
sambil merapatkan duduk di kursi kayu yang tersedia di lego-lego. “Hanya sawah kita yang tidak diberi patok pembatas.”
“Sudah kamu patok tadi?” “Ya, sabarlah! Insya-Allah, tanah kita aman. Buktinya ndak ada
yang mau mengakuinya…”
70
“Bukan ndak ada, tapi belum ada.” “Tadi pagi, katanya, orang dari Dinas pertambangan sudah
mengambil sampel tanahnya. Tunggu sampai ada pengumuman resmi dari pemerintah….”
“Kalau cuman mau lihat-lihat sawah , saya juga bisa. Kenapa ndak di patok tadi?.” Ayahnya sudah menaikkan nada suaranya beberapa oktaf. Pak Amin menghela nafas panjang. Tak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskannya. Ayahnya sudah terprovokasi dengan orang-orang kampung untuk tidak percaya dengan apa pun yang dikatakan oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Pertambangan dan energi. Termasuk pengolahan emas jika Tonronge betul-betul jadi ladang emas.”
(LR, 2012:212)
Situasi percakapan:
Kutipan wacana terjadi di rumah orang tua Pak Amin, percakapan
mereka terkait Tonronge, tempat sawah keluarga Pak Amin, setelah isu
adanya emas mulai beredar dari mulut ke mulut. Tonronge yang gersang dan
tidak pernah diperhatikan oleh pemilikya ramai bagaikan pasar. Warga
bergantian datang untuk memberi tanda, dipatok bahkan diberi kawat berduri
agar orang lain tidak mengambil lahan mereka. Pak Amin berada di tempat
itu karena tidak ingin mengecewakan ayahnya yang juga percaya akan
keberadaan emas di Tonronge. Ayah Pak Amin sempat emosi karena Pak
Amin seolah-olah tidak percaya akan keberadaan emas yang ramai
dibicarakan oleh warga.
Analisis:
Pada wacana di atas setting tempat percakapan berada di rumah orang
tua Pak Amin tepatnya di lego-lego rumah. Tempat lain yang disebut pada
71
wacana tersebut adalah Tonronge. Setting waktu terjadi malam hari,
partisipannya adalah Pak Amin dan ayahnya. Tujuan akhir pembicaraan atau
ends ditujukan oleh perkataan Pak Amin terhadap ayahnya yang mengatakan
bahwa Firman sudah mengirimkan sampel tanah ke Palu, di sana ada
temannya yang kerja di pabrik emas. Kabarnya, positif mengandung emas.
Act atau bentuk pesan yang ada pada wacana di atas adalah peringatan.
Selanjutnya, cara (key) yang ditunjukkan adalah pembicaraan yang serius
dengan sarana (Instrumentalities) lisan. Norms’ norma’ atau perilaku Pak
Amin selaku partisipan dalam berinteraksi dengan ayahnya adalah halus dan
sopan. Genre atau jenis percakapan pada wacana tersebut adalah fiksi
prosa.
Data 9
“Hari Ahad, Pak Amin dan tujuh siswa laki-lakinya berkumpul di lapangan sekolah. Pak Bahtiar turut hadir.
“Pekan depan, kita akan ikut lomba futsal antara sekolah tingkat Kecamatan di Corawali!”
“Yes! Kita turun gunung lagi! Pekik Irfan dalam hati. Turun ke Corawali bagi mereka itu sama halnya tamasya ke kota, meninggalkan perbukitan yang mengekang pandangan.
“Ingat! Semua ini masih mimpi! Pak Amin kini yang berteriak. Suasana tenang lagi.
“Lawan-lawan kita di luar sana sudah siap sejak dua bulan lalu. Sedangkan waktu kita tinggal sepekan karena suratnya baru diterima. Jadi, kita harus berlatih sepuluh kali lipat dari mereka jika kita ingi menang,” Lanjut Pak Bahtiar.
(LR, 2012:234)
72
Situasi percakapan:
Percakapan terjadi antara Pak Amin, Pak Bahtiar dan ketujuh siswa laki-
laki. Mereka berkumpul di lapangan sekolah. Pak Bahtiar turut hadir. Siswa
Pak Amin belum pernah menang dalam lomba apa pun, sehingga ketika ada
kesempatan ikut bertanding, mereka memanfaatkan waktu dengan latihan.
Pak Amin dan Pak Bahtiar tidak hanya melatih tetapi memberi semangat dan
motivasi mengingat siswanya hanya tujuh orang.
Analisis:
Pada wacana di atas setting tempat percakapan berada di lapangan
sekolah. Setting waktu tidak tertulis pada wacana di atas hanya dijelaskan
mereka berkumpul pada hari Ahad dan bisa saja itu terjadi pagi hari atau
siang hari. Partisipannya adalah Pak Amin, Pak Bahtiar dan ketujuh siswa
laki-lakinya. Tujuan akhir pembicaraan atau ends ditujukan oleh perkataan
Pak Bahtiar terhadap ketujuh siswanya yang mengatakan bahwa mereka
harus berlatih dengan giat jika ingin menang. Act atau bentuk pesan yang
ada pada wacana di atas adalah nasihat. Selanjutnya, cara (key) yang
ditunjukkan adalah pembicaraan yang serius dengan sarana
(Instrumentalities) lisan. Norms’ norma’ atau perilaku Pak Amin dan Pak
Bahtiar selaku partisipan dalam berinteraksi dengan ketujuh siswanya adalah
halus dan sopan. Genre atau jenis percakapan pada wacana tersebut adalah
fiksi prosa.
73
Data 10
“Kalian ke ruang kepala sekolah!” Ketujuhnya langsung tatap. Ada
irama ketakutan dari degup jantung mereka. “Berani berbuat, berani bertanggung jawab!” ucap Pak Amin saat
belum ada yang berani melangkah ke ruang kepala sekolah. Lagi-lagi Irfan mengambil langkah pertama, disusul yang lain. Waddah dan Sarah terlihat cemas. Duduknya gelisah. Matanya menatap penuh harap kepada Pak Amin. Bebaskan mereka dari hukuman, Pak! Pak Amin yang diharapkannya terpaku di tempat. Tak sampai sepuluh menit setelah mereka menemui kepala sekolah, mereka telah kembali tapi bukan ke kelas. Mereka digiring ke lapangan. Di sana mereka berguling, lompat kodok keliling lapangan, sambil menirukan suara burung gagak.”
(LR, 2012:265)
Situasi percakapan:
Pak Amin marah sekaligus kagum kepada murid-muridnya, meskipun
apa yang mereka lakukan salah, tetapi niatnya baik, mereka merusak ballo
Pak Japareng, mereka mengambil keputusan tanpa memberi tahu Pak Amin.
Pak Japareng melapor kepada kepala sekolah yakni Pak Bahtiar sehingga
Pak Amin meminta mereka mempertanggungjawabkan apa yang mereka
lakukan. Waddah dan Sarah berusaha menolong, tetapi Pak Amin tetap
dengan pendiriannya.
Analisis:
Pada wacana di atas setting tempat percakapan berada di sekolah.
Setting waktu tidak tertulis pada wacana di atas, namun jika kejadiannya
berada di sekolah maka waktu sekolah hanya terjadi mulai pagi hari hingga
74
siang hari. Partisipannya adalah Pak Amin, Wardah, Sarah dan ketujuh siswa
laki-lakinya. Tujuan akhir pembicaraan atau ends ditujukan oleh perkataan
Pak Amin terhadap ketujuh siswanya yang mengatakan bahwa jika berani
berbuat harus berani bertanggung jawab. Setiap kesalahan yang mereka
perbuat harus mereka tangani sendiri. Act atau bentuk pesan yang ada pada
wacana di atas adalah teguran dan nasihat. Selanjutnya, cara (key) yang
ditunjukkan adalah pembicaraan yang serius dengan sarana
(Instrumentalities) lisan. Norms’ norma’ atau perilaku Pak Amin selaku
partisipan dalam berinteraksi dengan ketujuh siswanya adalah halus dan
tegas. Genre atau jenis percakapan pada wacana tersebut adalah fiksi prosa.
2. Unsur Eksternal Wacana dalam Novel Lontara Rindu Karya S. Gege
Mappangewa.
a. Praanggapan
1). Praanggapan Eksistensial
Data 11
“Hei, mau kau bawa ke mana kerbau-kerbauku?”
(LR, 2012:217) Situasi percakapan:
Percakapan di atas terjadi menjelang sore hari, saat Pak Amin masih
kecil dan ibunya mau menggiring kerbau-kerbau itu pulang ke kandang,
ternyata dari arah yang juga tidak jauh dari tempatnya duduk berteduh di
75
bawah pohon, seseorang datang menegurnya, Pak Amin dan ibunya salah
mengambil kerbau. Yang mereka ambil adalah kerbau orang lain.
Analisis:
Praanggapan eksistensial adalah praanggapan yang mengasosiasikan
adanya suatu keberadaan dan wacana di atas adalah wacana eksistensial
yaitu ada seekor ‘kerbau’. ‘kerbau’ mempraanggapan keberadaan seekor
‘kerbau’ di suatu tempat, yakni di Tonronge. Tonronge adalah tanah yang
sudah tidak ditanami padi, hanya kerbau-kerbau warga yang dipelihara di
Tonronge.
Data 12
“Ayahku juga bugis?”
(LR, 2012:118)
Situasi percakapan:
Percakapan itu terjadi antara Vito dengan kakeknya. Kakek terus
menasehati Vito agar kuat dan jangan bersedih, kakek mengatakan pada Vito
bahwa lelaki Bugis tak berpantang menangis, tetapi saat menangis tidak
boleh ada yang berubah. Harus tetap tegar. Mendengar ungkapan kakeknya,
Vito bertanya balik “Ayahku juga Bugis?”
Analisis:
Praanggapan tidak hanya mengasosiasikan keberadaan, akan tetapi
lebih umum dalam frasa nomina tertentu. Dalam pemakaian pembicara
diasumsikan terlibat dalam hal-hal yang disebutkan. Ketika kakek
76
mengatakan lelaki Bugis berpantang menyerah, Vito pun langsung
mengatakan “Ayahku lelaki Bugis?”. Jika Vito Bugis artinya ayahnya adalah
Bugis. Itu termaksud dalam praanggapan eksistensial. Hal itu termasuk cara
Vito mencari informasi akan siapa dan di mana keberadaan ayah
kandungnya.
Data 13
“Bu Maulindah berhenti mengajar.”
(LR, 2012:125)
Situasi percakapan:
Kutipan percakapan tersebut terjadi antara Irfan dan Pak Amin, ibu
Maulindah berhenti mengajar karena akan melanjutkan pendidikannya di
Jepang. Alif yang tidak mengetahui informasi tersebut ditarik tangannya oleh
Pak Amin menaiki motor dan melintasi jalan berbatuan menuju Kota
Kecamatan, berharap dapat bertemu dengan ibu Maulindah yang telah
meninggalkan sekolah.
Analisis:
Kutipan wacana tersebut mengandung wacana eksistensial umum, jika
ibu Maulindah “berhenti mengajar” maka praanggapan eksistensialnya
adalah ibu Maulindah adalah seorang guru, seorang guru yang berhenti
mengajar.
77
Data 14
“Itu sana sawah ayahmu, cepat patok! Jangan sampai ada yang mengakui sebagai tanahnya.”
(LR, 2012:204)
Situasi percakapan:
Kutipan wacana terjadi di Tonronge, tempat sawah keluarga Pak Amin,
setelah isu adanya emas beredar,Tonronge yang gersang dan tidak pernah
diperhatikan oleh pemilikya ramai bagaikan pasar. Warga bergantian datang
untuk memberi tanda, dipatok bahkan diberi kawat berduri agar orang lain
tidak mengambil lahan mereka. Pak Amin berada di tempat itu karena tidak
ingin mengecewakan ayahnya yang juga percaya akan keberadaan emas di
Tonronge.
Analisis:
Pada kutipan wacana tersebut dikandung praanggapan eksistensial,
yang mengasosiasikan adanya keberadaan. “Itu sana sawah ayahmu, cepat
patok” keberadaan sawah tersebut di Tonronge, dan menunjukkan hak milik
dari ayahnya Pak Amin dan bukan orang lain.
2). Praanggapan Faktif (PF)
Data 15
“Saya juga tak tahu. Mungkin saya akan ke tempat pertama kita bertemu. Berdiam diri di sana sampai orang mengenalku sebagai orang gila. Saya rela, daripada harus menerima tawaranmu…”
(LR, 2012:186)
78
Situasi percakapan:
Halimah terluka bukan karena Ilham tidak mencintainya melainkan,
karena dari awal pertemuan Ilham menyembunyikan statusnya yang
menganut kepercayaan Tolotang sehingga Halimah beranggapan mereka
menganut kepercayaan yang sama. Pesan cinta yang damai saling
menghargai, dan menyayangi dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini
ternyata begitu sulit tercapai. Hakikat cinta yang semestinya dirasakan
manusia sebagai karunia Tuhan justru menjadi malapetaka ketika manusia
merusak nilai cinta itu sendiri. Terlebih jika mereka berpandangan bahwa
mencintai berarti harus memiliki. Mencintai harus menodai kesucian diri
maupun orang yang dicintai. Kejujuran adalah modal utama dalam menjalani
sebuah hubungan, hal inilah yang tidak dimiliki oleh Ilham sehingga saat
Halimah mengambil keputusan yang besar, bukan kebahagiaan yang
didapatnya melainkan penyesalan.
Hakikat cinta yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai agama,
mengangkat harkat kemanusiaan, dan mengedepankan akhlak terpuji,
seringkali ternoda oleh nafsu berlumur dosa. Akhirnya, cinta dan nafsu pun
berjalan seiring, tanpa ada pembatas. Cinta yang begitu dalam membuat
Ilham mengambil keputusan salah yakni mengajak Halimah kawin lari.
Cinta yang semacam itulah yang harus dihindari dari para remaja,
pelajar dan mahasiswa saat ini. Agar tidak terpuruk masa depannya. Cinta itu
karunia, fitrah. Berbahagialah orang yang telah dirahmati cinta. Sengsaralah
79
orang yang tidak memiliki cinta. Dan celakalah orang yang mempermainkan
cinta dengan sesuatu yang berbau maksiat.
Analisis:
Tuturan tersebut mempraanggapan bahwa Halimah menebak
bagaimana masa depannya jika harus meninggalkan kepercayaannya selaku
pemeluk agama Islam. Halimah memilih gila daripada mengikuti tawaran
Ilham untuk menganut Tolotang. Apa yang dikatakan oleh Halimah
berpotensi menjadi kenyataan sebab Halimah baru mengetahui bahwa Ilham
berasal dari keluarga Tolotang, tetapi untuk kembali ke rumahnya itu hal yang
mustahil. Hal ini pula yang akan menjadi jurang pemisah di antara keduanya,
karena Ilham tidak akan diakui sebagai anak dan keluarga Tolotang jika tetap
bersama Halimah. Dalam novel ini diceritakan banyaknya ajaran agama yang
menyimpang dengan ajaran Islam di antaranya ritual yang masih
menganggap bahwa upacara di makam mendatangkan sesuatu berkah.
Data 16
“Sebetulnya tidak dicuri tetapi dirusak! Nilainya pun tak seberapa, tapi cara mencurinya yang profesional, membuat saya yakin bahwa ada orang yang mem-back up aksi ini”.
(LR, 2012:260)
Situasi percakapan:
Kutipan cerita tersebut terjadi saat Pak Saleng datang ke sekolah
menemui Pak Bahtiar selaku kepala sekolah. Pak Saleng marah dan telah
mengetahui bahwa siswa-siswa Pak Aminlah yang telah merusak ballonya.
80
Analisis:
Tuturan tersebut mempraanggapan bahwa ada beberapa anak yang
telah merusak ballonya dan ada yang mendalangi semua itu. praanggapan
tersebut mengikuti kata kerja yang dianggap sebagai suatu kenyataan. Meski
tidak mencuri, beberapa anak yang dicurigai Pak Saleng telah merusak ballo
miliknya.
Data 17
“Awas kena parang, jangan duduk di depan ayah!”
(LR, 2012:112)
Situasi percakapan:
Percakapan tersebut terjadi pada saat Vito masih kecil. Ayahnya
membuat gasing agar Vito bisa bermain dengan adiknya Vino. Vito berusaha
mengingat kembali kenangan masa kecilnya dengan sang ayah.
Analisis:
Kutipan di atas merupakan praanggapan faktif yang dianggap sebagai
suatu kenyataan. Kata “awas” dan “jangan” menegaskan bahwa pekerjaan
yang dilakukan ayah Vito berbahaya dan anak kecil tidak boleh mendekat.
Meski belum terkena dampak dari larangan tersebut, Vito sangat berpeluang
terkena parang jika duduk di depan ayahnya yang sedang membuat gasing.
Sebelum hal itu terjadi, Vito telah mendapat peringatan dari ayahnya.
81
3). Praanggapan Leksikal (PL)
Data 18
“Bu Maulindah sebenarnya kagum dengan kepintaran Vito bercerita. Paling jago ngarang cerita. Selalu punya alasan yang membuat temannya terpesona sekaligus membuat Bu Maulindah menyembunyikan senyum karena tak ingin dianggap luluh di depan Vito”
(LR, 2012:14)
Situasi percakapan:
Situasi di atas terjadi saat Vito lagi-lagi terlambat padahal rumahnya
dekat dengan sekolah. Ibu Maulindah sebenarnya kagum dengan kepintaran
Vito bercerita, apalagi mengarang cerita jika terlambat, karena itu ibu
Maulindah selalu menghukum Vito dengan menyuruhnya bercerita sebelum
duduk mengikuti pelajaran.
Analisis:
Maksud dari kalimat ini menyatakan bahwa, Vito paling pandai
mengarang cerita dalam kelas. Vito selalu punya alasan agar selamat dari
hukuman ibu Maulindah. Artinya kejadian seperti yang dialami Vito sudah
terjadi pada pertemuan-pertemuan pembelajaran lainnya. Ketika terlambat
Vito selalu bisa menarik perhatian guru dan teman-temannya sehingga
tuturan di atas adalah bentuk praanggapan leksikal karena merupakan
praanggapan yang dalam pemakaiannya dinyatakan secara konvensional
dan ditafsirkan dengan praanggapan lain yang dipahami.
82
Data 19
“Saya sudah puluhan tahun jual-beli kambing, sapi, dan kerbau. Tinggal unta saja yang belum pernah saya beli. Baru kali ini saya mendapatkan kerbau yang susah sekali dinaikkan ke truk.”
(LR, 2012:33)
Situasi percakapan:
Dalam novel Lontara Rindu, meskipun Pakka Salo merupakan
kampung yang akses jalannya belum diaspal, PLN belum beroperasi akan
tetapi, mata pencaharian masyarakat Pakka Sallo sangat beragam. Pak Amin
dan ibu Maulindah berprofesi sebagai guru, ada petani, ada yang bertani
jambu mete, ada yang menjual dan membeli kerbau dan ada pula menjual
ballo untuk menutupi biaya hidup yang semakin bertambah.
Analisis:
Pernyataan pertama, Pak Saleng sudah puluhan tahun jual-beli
kambing, sapi, dan kerbau, praanggapan pertama, unta saja yang belum ia
beli, praanggapan kedua, baru kali ini ada kerbau susah dinaikkan ke dalam
truk. Praanggapan Pak Saleng adalah kalaupun Pak Saleng harus membeli
unta meski sekali tentu akan mudah baginya memasukkan ke dalam truk
apalagi dengan kerbau yang bertahun-tahun telah dilakoninya. Padahal saat
membeli unta tidak bisa ditarik simpulan apakah akan mudah untuk
memasukkannya dalam truk. Praanggapan tersebut merupakan praanggapan
leksikal yang bentuk dan maknanya dinyatakan secara konvensional
83
ditafsirkan dengan praanggapan lain yang dipahami. Pemakaian ungkapan
khusus diambil untuk mempraanggapankan sebuah konsep lain.
4). Praanggapan NonFaktif (PNF)
Data 20
“Pokoknya kita harus bersatu! Jangan sampai ada yang diberi iming-iming harga tinggi lalu menjualnya. Akan lebih menguntungkan kalau kita sendiri yang mengelolanya. Ndak usah takut! Saya akan mengajari kalian cara menambang. Saya pernah ikut menambang di Sulawesi Tenggara beberapa bulan yang lalu,waktu terdengar kabar ada tambang emas ditemukan di sana. Bayangkan dalam satu hari saya bisa dapat dua kilogram emas.”
(LR, 2012:206)
Situasi percakapan:
Kutipan cerita di atas terjadi di pematang sawah. Pak Amin pun berada
di sawah itu dan mendengarkan pembicaraan warga. Setiap hari Tonronge
ramai bak pasar. Petakan sawah yang dulunya gersang dan tak dilirik
pemiliknya, kini telah dibatasi dengan patok bahkan dipagari kawat berduri.
Warga berkumpul untuk bersatu agar warga lain tidak menjual tanahnya
dengan harga murah. Mereka bahkan sepakat akan melawan pemerintah jika
dipersulit dalam hal pembuktian adanya emas di Tonronge.
Analisis:
Maksud kalimat tersebut menyatakan bahwa Tonronge adalah tanah
yang kemungkinan besar ada kadar emasnya. Karena adanya kandungan
emas itulah warga tidak boleh menerima iming-iming dari orang lain,
84
praanggapan lainnya adalah daripada orang lain yang mengelola tanah
tersebut sebaiknya warga setempat yang mengelolanya. Untuk bisa
mengelola tanah Tonronge dibutuhkan keahlian karena itu ada salah satu
warga yang pernah menjadi penambang akan mengajari warga lainnya.
Dalam praanggapan leksikal pemakaian ungkapan khusus oleh penutur
diambil untuk mempraanggapkan sebuah konsep lain.
Data 21
“Ini situasinya darurat. Bayangkan kalau gurunya tahu dia bohong, bukan hanya dia, tetapi saya sebagai kakeknya dan kamu sebagai mamanya akan ikut dipermalukan.”
(LR, 2012:23)
Situasi percakapan:
Kakek Vito sangat mengenal karakter Pak Amin yang merupakan guru
penjaskes Vito. Setiap Pak Amin marah, dia selalu mengancam siswanya
seperti itu. Lari keliling sekolah, lompati tembok sekolah, terus lempari pohon
kelapa yang ada di belakang sekolah sampai buahnya berjatuhan.
Analisis:
Praanggapan pertama, ‘Jika gurunya tahu Vito berbohong’,
sedangkankan praanggapan kedua, ‘Bukan hanya Vito, melainkan Kakek
dan Ibunya pun akan dipermalukan’. Kata berbohong memberi arti bahwa
Vito tidak akan dipermalukan karena kebenarannya tidak diketahui oleh Pak
Amin. Kakek berpraanggapan demikian kepada Pak Amin dan itu sesuai
85
dengan apa yang diyakini Vito. Kalimat yang dipakai oleh kakek Vito
bukannya tidak wajar atau sesuai, hanya saja apa yang dilakukan oleh kakek
tidak sesuai dengan tindakan Pak Amin saat mengetahui Vito berbohong.
Jujur merupakan harga yang tidak bisa ditawar. Jujur berarti pantang untuk
berbohong apa pun resikonya. Kejujuran inilah yang harus ditanamkan ke
dalam dunia pendidikan agar menjadi pegangan dalam mengolah pendidikan
itu sendiri yang merupakan jantung berbangsa dan bernegara. Sehingga
benarlah bahwa praanggapan leksikal adalah pemakaian ungkapan khusus
oleh penutur diambil untuk mempraanggapkan sebuah konsep lain.
Data 22
”Bagaimana kalau kita ketuk pintu rumahnya Pak Amin?” ”Pak Amin bisa saja tak setuju dengan aksi kita, bahkan malah
menyerahkan kita ke warga untuk diadili.”
(LR, 2012:231)
Situasi percakapan:
Saat Vito dan Irfan kebingungan dan tidak tahu harus meminta bantuan
kepada siapa, mereka memutuskan untuk ke rumah Pak Amin untuk
bersembunyi setelah merusak ballo yang dibuat oleh Pak Japareng. Saat
Vito bermaksud mengetuk pintu rumah Pak Amin, Irfan jutru ragu dan
khawatir Pak Amin bisa saja tidak setuju dengan aksi mereka dan bahkan
malah menyerahkan mereka ke warga untuk diadili.
86
Analisis: Praanggapan pertama, yang dijadikan dasar pemikiran oleh Irfan adalah
benar dan praanggapan kedua, juga benar. Sehingga dapat ditarik
praanggapan umum bahwa Pak Amin bisa saja tidak setuju bahkan akan
menyerahkan mereka ke warga untuk diadili. Dari praanggapan itu Vito dan
Irfan memutuskan untuk tetap mengetuk pintu rumah Pak Amin tetapi bukan
sebagai pelaku yang telah menggagalkan ballo Pak Japareng tetapi sebagai
warga yang memberi tahu Pak Amin bahwa telah terjadi pengrusakan yang
menyebabkan Pak Japareng mengalami kerugian besar dan segera
membutuhkan pertolongan. Sehingga benarlah bahwa praanggapan leksikal
adalah pemakaian ungkapan khusus oleh penutur diambil untuk
mempraanggapkan sebuah konsep lain.
5). Praanggapan Konterfaktual (PKF)
Data 23
”Waduh, kalo mau ceramah, jangan di depan saya deh! Sekalian di masjid hari Jumat, gantikan katte (khatib) Lolo baca khutbah.”
(LR, 2012:52)
Situasi percakapan:
Percakapan terjadi dalam kelas, Vito merasa bersalah karena telah
berbohong pada Pak Amin bahwa kakeknya telah meninggal. Vito yang
malas sekolah selalu mencari alasan agar tidak dimarahi oleh guru-gurunya.
87
Akan tetapi, kebohongan Vito kali ini tidak bisa dimaafkan. Irfan selaku
sahabat memberi nasihat kepada Vito agar minta maaf pada Pak Amin..
Mendengar nasihat tersebut Vito menegur Alif karena telah menceramahi
dirinya.
Analisis:
Kutipan cerita di atas bertolak belakang dari kenyataan, artinya apa
yang diucapkan oleh Vito bertolak belakang dengan kenyataan yang
sebenarnya. Alif yang memberi nasihat bukanlah seorang penceramah, tetapi
pelajar, Vito menegur Alif seperti itu karena kesal dengan sikap Alif yang
banyak bicara layaknya orang tua bicara pada anaknya. Jadi, kalimat
tersebut untuk mempranggapkan sesuatu yang tidak benar atau bertolak
belakang dari kenyataan.
b. Implikatur
1). Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)
Data 24
“Sebelum masuk ceritakan dulu alasan keterlambatan!” “Saat mau berangkat ke sekolah tadi, warga kampung
dihebohkan dengan seekor ular hitam yang tiba-tiba muncul dari semak.”
“Panjangnya lebih dari dua meter…” (LR, 2012:14)
Situasi Percakapan:
Percakapan di atas terjadi saat Vito lagi-lagi terlambat padahal
rumahnya dekat dengan sekolah. Ibu Maulindah sebenarnya kagum dengan
88
kepintaran Vito bercerita, apalagi mengarang cerita jika terlambat karena itu
ibu Maulindah selalu menghukum Vito dengan menyuruhnya bercerita
sebelum duduk mengikuti pelajaran.
Analisis :
Pada data (24), inisiasi Bu Maulindah dengan tuturannya direspons
dengan informasi yang memadai oleh Vito. Inisiasi berupa perintah ‘Sebelum
masuk ceritakan dulu alasan keterlambatan!’, maka respons yang diberikan
lebih panjang dibanding respons terhadap inisiasi perintah. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pada data (24), para peserta tutur telah menaati
maksim kuantitas, submaksim pertama.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penaatan maksim
kuantitas dalam sebuah interaksi berfungsi untuk (1) meminta informasi yang
jelas, (2) menyampaikan informasi yang jelas (3) menghindari
kesalahpahaman. Singkatnya, penaatan maksim kuantitas dilakukan peserta
tutur agar interaksi yang diikuti berlangsung dengan lancar dan sampai pada
tujuannya. Tujuannya adalah agar Vito bisa belajar dengan teman-temannya.
Data 25
”Saya atau Vino yang sulung,Ma?” ”Kamu yang sulung.” ”Berarti adik Vino sekarang sudah sebesar saya ya, Ma!”
(LR, 2012:239)
89
Situasi Percakapan:
Percakapan itu terjadi saat Halimah menunggu Vito di kamarnya, pada
hari ulang tahun Vito, Ia berniat menceritakan segalanya pada Vito, bahwa
benar Vito memiliki saudara kembar yakni Vino.
Analisis:
Pada data (25) Halimah menyampaikan informasi sesuai yang diminta
oleh Vito. Inisiasi Vito dengan tuturan pertama direspons dengan informasi
yang memadai oleh Halimah dengan tuturan kedua. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa data (25) para peserta tutur telah menaati maksim
kuantitas, yakni submaksim (1) meminta informasi yang jelas, (2)
menyampaikan informasi yang jelas (3) menghindari kesalahpahaman. Para
peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati maksim kuantitas dengan
tujuan agar informasi yang disampaikan dapat dipahami oleh mitra tuturnya
dengan jelas agar tidak terjadi salah paham. Vito pun mengetahui jika Vino
sebesar dirinya sebab mereka adalah saudara kembar.
Data 26
“Boleh saya tahu siapa yang kamu tunggu? Laki- laki,perempuan?”
”Teman saya,laki-laki.” ”Enam hari berturut-turut ada seorang lelaki yang duduk di sini.
Katanya menunggu seseorang. Menunggu dari pagi dan pulang malam dengan angkot terakhir.”
”Pulang ke mana?” ”Katanya dia orang Amparita. Dia sempat memperkenalkan nama
pada saya….” ”Namanya Ilham?”. (LR, 2012:179)
90
Situasi percakapan:
Percakapan data (26) terjadi saat Halimah berada di terminal
Pangkajene, Halimah melarikan diri dari rumah dan meninggalkan Azis yang
yang hanya hitungan jam akan menikah dengan dirinya. Halimah telah
berjanji diam-diam dengan Ilham bahwa sebelum pernikahan dimulai mereka
akan bertemu di Pangkajene. Namun, kenyataannya berbeda Halimah tidak
bertemu dengan Ilham, sampai akhirnya seorang sopir datang dan
menjelaskan tentang Ilham yang juga berhari-hari menunggu kedatangan
Halimah.
Analisis:
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat
memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin
sesuai yang dibutuhkan. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi
yang sebenarnya dibutuhkan petutur. Selain itu, ujaran Pak Sopir juga
melanggar maksim kualitas, Pak Sopir sebenarnya tidak mengetahui bahwa
Halimah adalah wanita yang selalu ditunggu oleh Ilham, karena itu Pak Sopir
bertanya pada Halimah dan Halimah menjawab dengan singkat ‘pulang
kemana’ sehingga Pak Sopir seharusnya tidak panjang lebar menjelaskan
tetapi cukup menjawab Amparita, bahkan Pak Sopir tidak langsung menyebut
nama Ilham sehingga mendorong mitratutur menyebutkan nama dengan
nada bertanya kembali pada Pak Sopir. Maka itu, ujaran Pak Sopir tersebut
dapat dikatakan melanggar maksim kualitas. Dari pelanggaran maksim
91
kuantitas dan kualitas, ada implikatur yang timbul adalah Pak Sopir ingin
memberikan informasi kepada Halimah tentang seorang lelaki yang
menunggunya.
Data 27
”Mau ke mana?” ”Co-Corawali!” ”Saya mau ke Amparita. Tapi, sepertinya tak ada lagi mobil
malam ini.” (LR, 2012:46)
Situasi percakapan:
Pada percakapan data (27), seorang lelaki menghampiri Halimah dan
langsung bertanya padanya. Halimah sangat gugup karena sebelumnya tidak
pernah berbicara dengan orang asing apalagi di tempat umum. itulah
pertemuan pertama antara keduanya.
Analisis:
Ujaran Ilham di atas dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas serta
relevansi, karena ujaran tersebut selain dapat dikatakan berlebihan, juga
keterkaitannya dengan pertanyaan Ilham pada tuturan pertama. Ilham dan
Halimah bercakap tetapi, masih dalam tahap perkenalan, tetapi Ilham justru
merespons jawaban Halimah dengan bercerita panjang lebar tentang tempat
yang akan didatanginya.
Oleh karena pelanggaran maksim tersebut, maka ujaran tersebut
mengandung implikatur percakapan yakni, Ilham ingin menjelaskan pada
Halimah agar Halimah tidak salah paham terhadapnya bahwa dia laki-laki
92
baik yang hanya ingin berkenalan saja dengan Halimah. Meski melanggar
maksim kuantitas, Ilham hanya ingin menyakinkan Halimah bahwa niatnya
baik. Percakapan juga akan mengurangi rasa jenuh akibat menunggu mobil
yang tidak kunjung tiba.
Data 28
”Sekali lagi, saya akan datang. Kamu jangan pernah menerima lamaran lelaki mana pun.”
”Sampai kapan?” ”Begitu kuliahku selesai, itu paling lama setahun dari sekarang,
saya akan datang menghilangkan keraguanmu sekaligus menghapus kerinduanku.”
(LR, 2012:84)
Situasi percakapan:
Percakapan data (28) terjadi saat Ilham akan meninggalkan Pakka Sallo
karena KKN yang dijalaninya telah berakhir. Halimah merasa penantiannya
akan menyisakan lara, Halimah bertanya “sampai kapan” pada Ilham karena
ia tahu hubungannya dengan Ilham belum mendapatkan restu dari ayahnya.
Analisis:
Pada wacana (28) Halimah menyampaikan informasi tidak sesuai yang
diminta oleh Ilham. Inisiasi Ilham dengan tuturan pertama direspons dengan
informasi yang tidak memadai oleh Halimah dengan tuturan kedua,
seharusnya Halimah menjawab apa yang ditanyakan, akan tetapi justru
bertanya kembali pada Ilham ‘Sampai kapan?’. Selain itu, Ilham menjawab
kembali tuturan Halimah dengan jawaban yang melebihi apa yang dibutuhkan
93
oleh Halimah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam wacana (28)
para peserta tutur tidak menaati maksim kuantitas, yakni submaksim pertama
dan kedua.
Ilham tidak mendapat informasi yang cukup karena Halimah tidak
menjawab dengan tepat pertanyaannya, pada percakapan kedua, saat
percakapan seinformatif justru Ilham yang memberikan informasi yang
melebihi apa yang dibutuhkan. Para peserta tutur dalam sebuah interaksi
tidak menaati maksim kuantitas khususnya Ilham karena berusaha untuk
menyakinkan Halimah bahwa ia pasti akan datang untuk melamar. Halimah
pun terbawa oleh suasana hati yang tidak menentu oleh karena itu, saat Iham
bertanya ia tidak merespons dengan tepat justru bertanya kembali sesuai
dengan apa yang terlintas dalam pikirannya bahwa penantian, bukan hal
yang mudah.
2). Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)
Data 29
“Saya ucapkan terima kasih sekaligus memberikan dua jempol kepada Vito yang tak pernah lagi terlambat!”
”Tapi, Bu, kita ndak pernah lagi dengar cerita dari Vito karena tidak pernah lagi terlambat.”
”Kalian mau cerita?saya juga bisa bercerita…”
(LR, 2012:101)
Situasi percakapan:
Percakapan pada wacana (29) adalah efek dari perubahan besar yang
dialami Vito, setelah berbohong pada Pak Amin, Vito menghukum dirinya
94
sendiri dengan berlari di belakang sekolah, memanjat tembok, melempar
pohon kelapa hingga pingsan. Sejak saat itu Vito yang awalnya suka
berbohong, sering terlambat ke sekolah berubah drastis. Vito yang tadinya
malas mulai rajin, bahkan hadir lebih awal di sekolah mendahului teman-
temannya. Sehingga Bu Maulindah memberikan apresiasi yang luar biasa
lewat dua jempol kepada Vito, Irfan menanggapi dengan pernyataan terbalik
bahwa sejak Vito rajin ke sekolah sudah tidak ada lagi siswa yang dihukum
dengan bercerita, menanggapi itu Bu Maulindah menawarkan diri untuk
bercerita menggantikan Vito.
Analisis:
Situasi percakapan wacana (29) memberikan informasi yang benar
bahwa Vito telah mengalami perubahan yang baik. Kebenaran informasi yang
disampaikan Bu Maulindah dapat dilihat dari koherensi tuturan-tuturannya
‘Saya ucapkan terima kasih sekaligus memberikan dua jempol kepada Vito
yang tak pernah lagi terlambat”’ Bu Maulindah menyaksikan sendiri
perubahan Vito oleh sebab itu, ucapan secara langsung disampaikan dengan
ucapan terima kasih dan dua jempol kepada Vito. Bu Maulindah tidak
melanggar maksim kualitas, hanya saja penutur kedua yakni Irfan dengan
tuturannya ‘Tapi, Bu, kita ndak pernah lagi dengar cerita dari Vito karena
tidak pernah lagi terlambat.’ Membalas tuturan pertama dengan tidak tepat
sehingga melanggar maksim kualitas. Berubahnya Vito dari segi sifat tidak
menutup kemungkinan bahwa Vito masih bisa menceritakan kisah yang jauh
95
lebih menarik. percakapan kedua seharusnya dijawab oleh Vito agar menaati
maksim kualitas tetapi justru itu tidak terjadi. Pada percakapan ketiga Bu
Maulindah menanggapi percakapan kedua bahwa dirinya akan menggantikan
Vito bercerita jika mereka menginginkannya. Sehingga percakapan kedua
dan ketiga menaati maksim kualitas dan maksim relevansi.
Data 30
”Kamu belum tidur, To?” ”Belum ngantuk, Kek!” ”Belum ngantuk atau lagi pikirkan sesuatu?”
(LR, 2012:270)
Situasi percakapan:
Percakapan wacana (30) terjadi saat kakek datang ke kamar Vito, kakek
tahu kegelisahan Vito yang terus merindukan ayah dan adiknya Vino. Vito
yang sudah terbiasa akan diamnya kakek tentang keberadaan ayahnya pun
tidak banyak berkomentar, bahkan sering menyembunyikan apa yang
dipikirkannya.
Analisis:
Dalam komunikasi apabila seseorang tidak memberikan informasi yang
benar maka orang tersebut telah melanggar maksim kualitas. Kakek
sebenarnya telah mengetahui bahwa Vito sulit tidur bukan karena tidak
mengantuk, melainkan oleh beban pikiran. Percakapan kedua telah
melanggar maksim kualitas karena telah memberikan informasi yang salah.
96
Dari percakapan tersebut muncullah implikatur bahwa kakek telah
mengetahui penyebab sulitnya Vito untuk memejamkan mata, meskipun Vito
tidak jujur dalam menjawab apa yang kakek tanyakan, kakek berusaha
menyakinkan Vito bahwa memang benar Vito sulit tidur karena memikirkan
sesuatu. percakapan pertama dan kedua tidak terjalin prinsip kerja sama
yang baik.
3). Maksim Hubungan atau Relevansi (The Maxim of Relevance).
Data 31
“Kamu ndak usah bangun kalo gitu, kamu sembunyi aja di kamar…”
“Ayah ini bagaimana, masa mendidik anak seperti itu?” “Ini situasinya darurat. Bayangkan kalo gurunya tahu dia
bohong…”
(LR, 2012:23)
Situasi percakapan:
Percakapan data (31) kakek berusaha membantu cucunya Vito untuk
sembunyi di kamar, guru dan teman-teman Vito datang berkunjung karena
informasi yang mereka dapat Vito sedang sakit. Apa yang dilakukan kakek ini
ditanggapi oleh Halimah sementara kakek terus membela cucu
kesayangannya itu.
Analisis:
Dalam ujaran (31) dapat dikatakan terdapat pelanggaran maksim
kuantitas dan relevansi pada percakapan pertama dan kedua. Kakek
sebenarnya berbicara pada Vito, namun ditanggapi oleh Halimah yang
97
memberikan tanggapan terhadap pernyataan kakek. Pelanggaran maksim
relevansinya adalah ujaran yang tidak ada sangkut pautnya dengan
pernyataan kakek. Pada percakapan kedua dan ketiga terjadilah hubungan
dan relevansi Kalimat baru tersebut berisi pernyataan Halimah yang
ditanggapi kembali oleh kakek dan itu relevan tentang sesuatu yang sedang
dipertuturkan itu.
Implikatur yang ditampilkan Halimah yakni bahwa ia sedang mengganti
topik pembicaraan tetapi itu mengandung nasihat bahwa didikan kakek
terhadap Vito itu tidak benar. Dan kakek pun melakukan itu karena rasa
sayang yang berlebihan untuk melindungi cucunya.
Data 32
”Kamu pernah ke Pasar Amparita?” “Ada apa sih, Ma?Kok seperti aneh sekali dengar pasar
Amparita?” ”Bagaimana tidak aneh, Pasar Corawali saja kamu tak
pernah injak kalo tidak ditemani…”
(LR, 2012:76)
Situasi percakapan:
Vito selalu menggunakan waktu untuk mencari tahu tentang ayah dan
adiknya Vino, setelah mendengar kabar bahwa kakek dari ayahnya berada di
Amparita, Vito pun berusaha mencari tahu keadaan ayah dan adiknya di
Amparita, sehingga Halimah merasa aneh saat menanggapi pertanyaan Vito
sebelumnya, Halimah mengalihkan situasi pembicaraan dengan alasan
‘Pasar Corawali saja kamu tak pernah injak kalo tidak ditemani’. Vito belum
98
pernah ke pasar Corawali sendirian. Selalu ditemani oleh ibunya. Apalagi
mau langsung ke pasar Amparita.
Analisis:
Ujaran Vito di atas dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas serta
relevansi, karena ujaran tersebut selain dapat dikatakan berlebihan, juga
keterkaitannya dengan pertanyaan Halimah dapat dikatakan tipis. Halimah
bertanya pada Vito, akan tetapi Vito berpendapat bahwa Halimah sangat
aneh jika pembahasannya adalah Amparita sehingga Halimah menanggapi
dengan jawaban yang relevan namun terlalu berlebihan sehingga kesannya
kurang tepat.
Oleh karena pelanggaran percakapan pertama dan kedua, maka ujaran
tersebut mengandung implikatur percakapan yakni, Halimah berusaha
menyembunyikan kebenaran dari Vito. Amparita adalah tempat Ilham selaku
ayah Vito dilahirkan. Hanya saja Ilham tidak tinggal di Amparita. Ilham tinggal
di Kalimantan Timur membawa serta Vino saudara kembar Vito. Halimah
ingin menjelaskan pada Vito agar Vito tidak salah paham terhadapnya,
Halimah pun merasa curiga dengan berbagai macam pertanyaan
sebelumnya yang ditanyakan oleh Vito karena pertanyaan itu selalu berkaitan
dengan Amparita .
Data 33
”saya tahu maksud ayah, Di sana sekarang ada emas, kan? Orang Pakka Sallo juga ramai-ramai membicarakannya.”
99
”Jadi, kamu sudah tau? Terus kenapa tertawa? Kamu ndak percaya kalo Tonronge sekarang jadi tambang emas?”
”Ayah untuk memastikan tanah punya kadar emas atau tidak, itu ndak bisa dengan mata telanjang.”
(LR, 2012:197)
Situasi percakapan:
Percakapan Pak Amin dengan Ayahnya terkait areal persawahan
ratusan hektare yang tidak pernah dilirik lagi oleh para pemilikya. Begitu juga
dengan ayah Pak amin. Sekitar lima hektare sawahnya di lokasi itu tak
pernah lagi dikunjunginya. Ketiadaan irigasi membuat petani tergantung pada
air hujan. Pak Amin bukannya tidak percaya dengan lahan yang telah tertidur
puluhan tahun itu menyimpan emas di bawah lapisan tanahnya. Hanya saja,
rumor tentang emas itu muncul bersama dengan hal-hal yang berbau mistik.
Oleh sebab itu, pada percakapan di atas Pak Amin tertawa di depan
ayahnya. Untuk memeriksa kadar emas dalam tanah tidak hanya dengan
mata telanjang tetapi harus dilakukan dengan penelitian lebih lanjut dan
ilmiah apalagi belum ada bukti emas yang ditemukan di lahan tersebut.
Analisis:
Respons Ayah Pak Amin pada ujaran data (33) dapat dikatakan bingung
akan tindakan Pak Amin yang sudah tahu ada isu emas di Tonronge, tetapi
bersikap biasa saja. Jawaban ayahnya pada tuturan kedua adalah jawaban
tidak langsung bahwa memang benar di Tonronge ada emas. Pertanyaan
100
ayahnya adalah bagian dari kekesalannya pada Pak Amin sehingga respons
tersebut dapat dikatakan tidak melanggar maksim relevansi. Di dalam
maksim hubungan atau relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama
yang baik antara penutur dan petutur, masing-masing hendaknya dapat
memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang
dipertuturkan.
Pak Amin ingin menegaskan pernyataan sebelumnya bahwa untuk
memastikan tanah punya kadar emas atau tidak, itu tidak bisa dibuktikan
dengan mata telanjang saja. Pernyataan Pak Amin hanya untuk
mempertegas bahwa sampai detik itu tidak ada bukti emas yang ditemukan
hanya isu semata.
Data 34
”Kamu mau apakan air itu?” ”Buat diminum, Pak,” ”Saya mengajak kalian ke sini bukan untuk menyakini
cerita-cerita mistik yang ada di balik sejarah sumur ini tapi untuk memperlihatkan kepada kalian, bahwa kisah Nenek mallomo yang melegenda di Sidrap benar-benar pernah terjadi. Bukan dongeng semata!”
(LR, 2012:142)
Situasi percakapan:
Percakapan wacana (34) adalah kelanjutan kisah perjalanan Pak Amin
dan kesembilan siswanya saat berada di Sungai Citta. Pak Amin melihat
Anugrah memasukkan air sumur ke dalam botol minumannya. Pak Amin
langsung menegurnya, bahwa air yang berada di sumur itu tidak boleh
101
disalahgunakan untuk hal-hal mistik. Siswa-siswinya pun langsung mengunci
rapat-rapat pikiran yang sebelumnya beranggapan bahwa air sumur itu
benar-benar bisa membawa berkah dan mengusir roh-roh jahat. Pak Amin
bukan sekadar guru penjas, melainkan ustaz yang selalu menuntun mereka,
Pak Amin selalu mengingatkan mereka tentang shalat.
Analisis:
Ujaran (34) Anugrah tidak melanggar maksim relevansi, di mana Pak
Amin yang kembali bertanya mengenai motif Anugrah memasukkan air sumur
ke dalam botol minumannya. Dan setelah Anugrah membalas pada
percakapan kedua dengan jawaban singkat dan padat, Pak Amin
menanggapi dengan pernyataan yang berkaitan dengan pengetahuan dan
menyatakan bahwa ‘Saya mengajak kalian ke sini bukan untuk menyakini
cerita-cerita mistik yang ada di balik sejarah sumur ini tapi untuk
memperlihatkan kepada kalian, bahwa kisah Nenek Mallomo yang
melegenda di Sidrap benar-benar pernah terjadi. Bukan dongeng semata!’
Dalam maksim relevansi hendaknya dapat memberikan kontribusi yang
relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan agar terjalin kerja sama
yang baik antara penutur dan petutur.
Data 35
”Kenapa ya, Bu Maulindah sering sekali mengkhayal?” “Mikir jodoh kali ya?” “Jangan berisik, pesawat mau boarding nih!”
(LR, 2012:18)
102
Situasi percakapan:
Ibu Maulindah menjadi bahan perbincangan dalam kelas hal itu
disebabkan oleh kebiasaannya yang sering melamun. Hal itu sangat wajar
karena Bu Maulindah adalah satu-satunya perempuan yang sudah sarjana di
Pakka Sallo, bahkan Bu Maulindah tidak pernah bermimpi untuk menjadi
seorang guru. Selain itu, Bu Maulindah juga belum menikah sementara
umurnya sudah menginjak 30-an tahun sehingga Waddah langsung
merespons dengan kalimat ‘Mikir jodoh kali ya?’ dan ‘Pesawat yang mau
boarding’ menurut Alif adalah Bu Maulindah yang akan masuk dalam ruang
kelas.
Analisis:
Ujaran Irfan, Waddah, dan Alif dapat dikatakan melanggar maksim
relevansi. Perhatikan percakapan tersebut ‘Kenapa ya, Bu Maulindah sering
sekali mengkhayal?’ dan ‘Mikir jodoh kali ya?’ serta ‘Jangan berisik, pesawat
mau boarding nih!’ Ujaran kedua dan ketiga tersebut sama sekali tidak ada
hubungannya. Ujaran pertama dan kedua sangat tipis sekali hubungannya,
Waddah menuturkan ujaran ‘Mikir jodoh kali ya?’ karena Waddah dan teman-
temannya mengetahui usia Bu Maulindah telah menginjak 30-an tahun ke
atas namun belum menikah, ketika masuk dalam ruangan pun Bu Maulindah
lebih banyak melamun daripada mengajar.
103
Dugaan Waddah belum bisa dibenarkan karena konteks sebelumnya
menjelaskan bahwa Bu Maulindah tidak pernah bermimpi menjadi seorang
guru, cita-citanya adalah pegawai kantoran yang sukses di kota besar.
Implikasi yang muncul adalah siswa-siswi Bu Maulindah hanya menebak apa
yang menjadi penyebab sering melamunnya Bu Maulindah.
Data 36
”Namamu Vito? ”Vito Ilhamsyah Putra”
(LR,2012:39)
Situasi percakapan:
Pak Saleng adalah sahabat Ilham yang merupakan ayah Vito, saat Pak
Saleng ke Pakka Sallo membeli kerbau ia bertemu dengan Vito, ia tahu cerita
tentang kerbau kembar membuat Vito melamun sehingga Pak Saleng fokus
pada wajah Vito dan mengenalinya. Oleh sebab itu, Pak Saleng langsung
bertanya’Namamu Vito?’ setelah itu dibenarkan oleh Vito dengan menyebut
nama lengkapnya.
Analisis:
Pada wacana (36) Vito memberikan informasi yang relevan dengan
pertanyaan yang diberikan oleh Pak Saleng. Tuturan Pak Saleng untuk
menyakinkan dirinya sendiri bahwa anak yang berdiri di depannya itu
memang benar Vito. Jawaban dari petutur kedua menyebabkan terjalin kerja
sama yang baik antara keduanya.
104
Data 37
”Kek,tengah malam gini, ngapain ke sini?” ”Saya kesini bawain sleeping bag kamu yang tertinggal.” ”Waduuh, Kek bukan tertinggal. Emang sengaja saya
ndak bawa…” ”Nah itu dia!Kakek ndak bisa tidur mikirin uang
belasungkawa…”
(LR, 2012:42)
Situasi percakapan:
Saat Vito dan teman-temannya berkemah, tiba-tiba kakek datang
menghampirinya dengan alasan membawa sleeping bag. Kakek gelisah
memikirkan uang belasungkawa yang diberikan oleh guru dan teman-teman
Vito serta berniat mengembalikannya. Sementara teman-temannya kaget
melihat kakek ternyata masih hidup, Pak Amin pun telah mengetahui
kebohongan Vito.
Analisis:
Pada wacana (37) ujaran pertama, kedua dan ketiga menaati
maksim relevansi atau hubungan. Sedangkan pada submaksim keempat
pernyataan kakek ‘Nah itu dia!’ sudah tepat tetapi tuturan yang mengikuti
tuturan awal sangat berlawanan arah dengan ujaran pertama, kedua, dan
ketiga. Ujaran keempat konteksnya berbeda, karena berhubungan dengan
Vito yang berbohong kepada guru dan teman-temannya bahwa alasan ia
tidak sekolah disebabkan meninggalnya kakek. Saat itu Vito dan Halimah
menerima uang belasungkawa dari sekolah, implikasi yang muncul adalah
105
kakek mendatangi perkemahan Vito hanya untuk mengurangi
kegelisahannya serta mengembalikan uang belasungkawa yang tidak berhak
ia terima.
Data 38 ”Mama Sakit?” ”Saya menunggu kamu pulang sekolah!” ”Saya baru ingat ! Hari ini dua puluh sembilan september.
Saya ulang tahunya,Ma?”
(LR, 2012:238)
Siatuasi percakapan:
Saat pulang sekolah Vito melihat Halimah duduk di lego-lego.
Pemandangan itu jarang terjadi, biasanya Halimah berada di kebun mete
hingga sore. Vito mengira bahwa Halimah sedang sakit. Keanehan lain
adalah Halimah tidak pernah menunggunya khusus serupa itu. keningnya
masih mengernyit. Tatapan Vito menetaskan ribuan pertanyaan ke Halimah,
akhirnya Vito menemukan jawaban bahwa hari itu ulang tahunnya.
Analisis:
Wacana (38) pada ujaran pertama Vito bertanya pada Halimah ‘Mama
sakit?’ akan tetapi ditanggapi oleh Halimah dengan topik lain, lalu ditanggapi
secara berlebihan dan tidak relevan oleh Vito. Sehingga dalam percakapan
itu petutur dan mitratutur telah melanggar maksim hubungan atau relevansi.
Seharusnya kerja sama bisa terjalin karena ini hanya percakapan antara ibu
dan anak, masing-masing tidak memberikan kontribusi yang relevan tentang
106
sesuatu yang sedang dipertuturkan. Percakapan Vito dan Halimah tersebut
mengandung implikatur yang bermakna keterbukaan, di mana Halimah
sebenarnya ingin menceritakan semua kisah tentang kepergian ayah serta
adik kembarnya yakni Vino. Begitu pun sebaliknya dengan Vito yang ingin
mengetahui keberadaan ayah serta adiknya. Akibat dari ketidakterbukaan
sejak awal terjadilah kecanggungan di antara ibu dan anak dalam
mengungkapkan apa yang menjadi beban pikiran sehingga keduanya tidak
menaati maksim relevansi atau hubungan.
Data 39
”Ayah pergi membawa adik Vino?” ”Nama ayah, Ilham kan, Ma?” ”Ayahmu seorang penganut Tolotang…”
(LR, 2012:240)
Situasi percakapan:
Percakapan antara Halimah dan Vito terkait kisah perpisahan Halimah
dengan Ilham ayah Vito. Halimah tidak bisa melupakan pengkhianatan Ilham.
Halimah membuktikan bahwa dirinya bisa merawat luka bekas kepergian
suaminya. Tetapi, kerinduannya pada Vino selalu ingin membuatnya berlari
melintasi pengunungan yang mengelingi Pakka Sallo demi menemui anaknya
itu. Setelah meninggalkan Halimah selama beberapa tahun Ilham kembali
kepada Halimah, namun itu hanya berlangsung dua tahun, setelah itu Ilham
membawa Vino lari meninggalkan Vito dan Halimah. Itulah sebabnya pada
107
hari ulang tahun Vito digunakan Halimah untuk menceritakan segalanya pada
Vito.
Analisis:
Percakapan wacana (39), Vito bertanya pada Halimah ’Ayah pergi
membawa adik Vino?”’ dan pertanyaan pada ujaran kedua ‘Nama ayah,
Ilham kan, Ma?’ secara kualitas pertanyaan Vito hanya membutuhkan
jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’ namun itu tidak terjadi. Dua kali Vito melontarkan
pertanyaan dan hanya dijawab sekali oleh Halimah itu pun bukan jawaban
yang diminta oleh Vito. Sehingga dapat ditarik simpulan bahwa percakapan
antara Vito dan Halimah telah melanggar maksim hubungan atau relevansi.
Mencermati jawaban Halimah pada ujaran ketiga ‘Ayahmu seorang
penganut Tolotang…’ Halimah tidak menjawab pertanyaan Vito, tetapi hanya
menuturkan sebuah pernyataan bermakna. Pernyataan inilah yang
memunculkan implikatur bahwa Halimah secara tidak langsung ingin
menjelaskan pada Vito bahwa salah satu penyebab perpisahan antara dia
dan ayahnya karena ayah Vito seorang penganut Tolotang. Harapan yang
muncul adalah Vito tidak perlu lagi menanyakan banyak hal karena satu
alasan sudah cukup untuk diketahuinya.
Data 40
”Ada yang bisa saya bantu, Pak?” ”Saya Japareng, Pak!”
(LR, 2012:259)
108
Situasi percakapan:
Pada percakapan di atas Pak Japareng melangkah masuk ke kantor
untuk bertemu dengan Pak Bahtiar. Pak Japareng sangat marah kepada
tujuh siswa Pak Amin karena mereka adalah penyebab rusaknya ballo yang
di kelola Pak Japareng di pohon enau milikya. Kedatangannya untuk
melaporkan Pak Amin dan tujuh siswanya kepada kepala sekolah agar
mereka dihukum sesuai dengan apa yang mereka lakukan.
Analisis:
Pada wacana (40) Pak Bahtiar selaku Kepala Sekolah mempersilakan
kepada Pak Japareng agar masuk dalam ruangan dan dipersilakan duduk.
Pak Bahtiar mengira bahwa ada murid baru yang akan masuk sekolah
ternyata dugaannya salah. Pak Bahtiar bertanya ‘Ada yang bisa saya bantu,
Pak?’ kalimat yang diucapkan Pak Bahtiar adalah kalimat sopan sebagai
tanda menghargai tamu, akan tetapi jawaban dari Pak Japareng ‘Saya
Japareng, Pak!” kebalikan dari kesopanan karena dari segi ujaran
menegaskan bahwa ‘Sayalah Pak Japareng!’ orang paling berpengaruh di
Pakka Sallo karena penjualan ballonya. Tanda (!) adalah ketegasan dalam
perintah, itu menandakan Pak Japareng sangat marah ketika menghadap
Pak Bahtiar. Tujuannya adalah bertemu dengan Pak Amin dan ketujuh
siswanya.
Dari penjelasan di atas terjadilah pelanggaran maksim hubungan atau
relevansi, di mana tidak terjalin kerja sama. Jawaban ujaran kedua tidak
109
sesuai dengan apa yang diminta oleh ujaran pertama. Implikasi yang muncul
saat itu adalah Pak Japareng mendatangi sekolah bukan dengan niat yang
baik melainkan untuk mencari pelaku yang menyebabkan kerusakan pada
pohon enau yang airnya akan dijadikan ballo.
4). Maksim Cara (The Maxim of Manner)
Dalam realisasinya, peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati
maksim cara dengan cara menghindari tuturan yang kabur, menghindari
tuturan yang berarti ganda, tidak berbelit-belit, dan menyampaikan tuturan
secara teratur. Biasanya, tuturan yang menaati maksim kuantitas sekaligus
juga menaati maksim cara.
Data 41
”Korupsi itu sama dengan mencuri ya, Pak?” ”Ooohhh, jelassss!Koruptor itu di atasnya pencuri. Mereka adalah
penyamun-penyamun berdasi,” ”Jangan-jangan mereka penyebab kemarau panjang ini!” ”Kita tidak boleh memvonis seperti itu. Kita tanya hati kita masing-
masing dan jawab dengan hati kita masing-masing. Pernahkah kita tak jujur selama ini? Pernakah kita mencuri selama ini? Ingat putra Nenek Mallomo yang membawa petaka berkepanjangan hanya mencuri setangkai kayu. Itu pun niatnya bukan mencuri karena batang kayu yang dicurinya adalah kayu yang batangnya menjulur ke kebunnya.”
(LR, 2012:140)
Situasi percakapan:
Situasi percakapan data (41) menceritakan perjalanan Pak Amin dan
kesembilan siswanya menuju sumur Citta, sepanjang jalan mereka
disuguhkan cerita tentang Nenek Mallomo oleh Pak Amin. Pada zaman
110
Nenek Mallomo manusia diazab dengan kemarau panjang karena ada rakyat
yang tidak jujur atau bahkan mencuri. Adnan menanyakan bahwa korupsi itu
sama dengan mencuri dan Pak Amin mendukung pertanyaan Adnan bahwa
koruptor itu di atasnya pencuri. Pak Amin banyak mengajarkan tentang
makna kehidupan pada siswa-siswanya.
Analisis:
Tuturan pada data (41) memiliki kadar kejelasan rendah, sehingga
kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan penutur Pak Amin yang
berbunyi ‘Ooohhh, jelassss!Koruptor itu di atasnya pencuri. Mereka adalah
penyamun-penyamun berdasi,’ sama sekali tidak memberikan kejelasan
tentang apa yang sebenarnya diminta oleh penutur. Pertanyaan pertama
dibuka dalam tuturan tersebut ‘Korupsi itu sama dengan mencuri ya, Pak?’
pertanyaan itu hanya butuh penjelasan letak kesamaan korupsi dengan
pencuri. Jawaban Pak Amin pada awalnya ‘Ooohhh, jelas!’ artinya korupsi
dan mencuri itu sama, namun kalimat dibelakangnya menjelaskan kembali
bahwa koruptor itu di atasnya pencuri. kadar ketaksaan dan kekaburan yang
tinggi, akan menyebabkan Adnan bingung memahami makna yang
sebenarnya sehingga maknanya pun semakin kabur.
Dapat dikatakan demikian, karena kata itu dimungkinkan untuk
ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula dengan tuturan yang
disampaikan petutur Aldi, yakni ‘Jangan-jangan mereka penyebab kemarau
panjang ini!’ jika tidak ada penengah dalam percakapan maka dapat
111
mendatangkan banyak kemungkinan penafsiran karena dalam tuturan
tersebut tidak jelas apa sebenarnya hubungan korupsi, mencuri dan
kemarau. Tuturan demikian dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama
karena tidak mematuhi submaksim ungkapan yang kabur, submaksim kata-
kata ganda, submaksim berbicara dengan singkat dan submaksim berbicara
dengan teratur.
Data 42
”kita harus membantu Pak Saleng menaikkan kerbau ke truknya. Ada yang punya ide?”
”Gimana kalau kita pancing” “Maksud kamu, kita naikkan rumput ke atas truk, siapa tau kerbau
itu mau memakan rumput itu?” “Kalau mau rumput ndak usah naik truk, tuh kan disekeliling truk
banyak rumput segar. Toh dia ndak minat.”
(LR, 2012:36)
Situasi percakapan:
Pak Saleng kesulitan menaikkan kerbaunya ke truk, padahal itu adalah
pekerjaan yang dilakoninya puluhan tahun. Melihat kejadian itu Pak Amin dan
siswa-siswanya berusaha untuk membantu. Mereka tidak hanya membantu
Pak Saleng, tetapi berusaha menjadikan suasana yang tadinya tegang
menjadi lebih ceria dengan bersenda gurau.
Analisis:
Pada data (42), tuturan kedua memiliki kadar kejelasan rendah,
sehingga kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan penutur Irfan
112
yang berbunyi ‘Gimana kalau kita pancing?’ sama sekali tidak memberikan
kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh penutur, sehingga
diperjelas maknanya oleh Pak Amin ‘Maksud kamu, kita naikkan rumput ke
atas truk, siapa tahu kerbau itu mau memakan rumput itu?’ selanjutnya
ditanggapi kembali oleh Irfan ‘Kalau mau rumput ndak usah naik truk, tuh kan
di sekeliling truk banyak rumput segar. Toh dia ndak minat.’ Sehingga
semakin kabur jawaban yang diminta oleh penutur pertama.
Secara umum tuturan pertama telah memenuhi submaksim singkat
akan tetapi melanggar submaksim yang lain yakni tidak menyampaikan
informasi secara jelas kata “pancing” belum menunjukkan cara bagaimana di
pancing, tuturan ketiga tidak singkat dan tidak teratur lalu menjadi ambigu
pada tuturan keempat.
Data 43 ”Pekan depan, kita akan ikut lomba futsal
antarsekolah tingkat Kecamatan di Corawali!”. ”Kita harus jadi pemenang!” ”Kita ke Pangkajene?” ”Yess! Kalo begitu kita harus menang!” ”Kita harus latihan!”
(LR, 2012:233-234)
Situasi percakapan:
Percakapan data (43) terkait Pak Amin dan siswa-siswanya yang akan
mengikuti lomba futsal di Kecamatan Corawali. Pak Amin memberi mereka
semangat agar mereka tidak putus harapan walaupun jumlah laki-laki hanya
tujuh orang.
113
Analisis:
Pada data (43) di atas, Pak Amin memberikan informasi kepada Alif
dan teman-temannya. Wacana di atas memiliki konteks akan ada
pertandingan lomba futsal antarsekolah di Kecamatan Corawali. Tuturan
kedua memberikan informasi bahwa mereka harus jadi pemenang.
Sedangkan tuturan ketiga menimbulkan efek tidak teratur dalam percakapan
tersebut karena telah mengetahui lombanya di Corawali, tetapi masih saja
bertanya ‘Kita ke Pangkajene?’ setelah itu pada tuturan berikutnya Alif
menuturkan ‘Yess! Kalo begitu kita harus menang!’ dan ‘Kita harus latihan!”’.
implikasi yang dimunculkan adalah agar bisa menang harus dilakukan
dengan latihan karena semangat saja tidak cukup.
Secara umum, penaatan maksim cara dalam sebuah interaksi memiliki
fungsi untuk menyampaikan informasi secara jelas, tidak ambigu, singkat,
dan teratur dalam rangka menunjang tercapainya tujuan interaksi yang
sedang diikuti. Secara khusus, penaatan maksim cara pada percakapan di
atas berfungsi untuk Pak Amin karena menyampaikan informasi yang jelas
sehingga tidak kabur, dan tuturan kedua Pak Amin berbicara dengan singkat
dan teratur, dan Alif berbicara tidak teratur pada tuturan ketiga, serta
meluruskan topik pembicaraan pada tuturan keempat dan kelima.
Pelanggaran maksim cara juga sering terjadi dalam sebuah interaksi,
baik submaksim pertama (menghindari ungkapan yang kabur), submaksim
kedua (menghindari kata-kata yang berarti ganda), submaksim ketiga
114
(berbicara singkat), dan submaksim keempat (berbicara yang teratur).
Umumnya, peserta tutur melanggar maksim cara dengan cara memberikan
informasi yang berbelit-belit, tidak singkat, sehingga mitratutur tidak
mendapatkan informasi sebagaimana diinginkan.
3. Inferensi
Data 44
” Mau diapakan air itu?” ” Buat diminum Pak,” ”Saya mengajak kalian ke sini bukan untuk menyakini cerita-cerita
mistik yang ada dibalik sejarah sumur ini tapi untuk memperlihatkan kepada kalian, bahwa kisah Nenek Malomo yang melegenda di Sidrap benar-benar pernah terjadi. Bukan dongeng semata!”
(LR, 2012:142)
Situasi percakapan:
Percakapan di atas terjadi di sumur Citta, letaknya di pinggir jalan poros
menuju Pangkajene. Pak Amin menegur Anugrah yang memasukkan air
sumur ke dalam botol minumannya. Siswa-siswa Pak Amin mulai
beranggapan bahwa air sumur itu benar-benar bisa membawa berkah dan
mengusir roh-roh jahat. Oleh karena itu, Pak Amin selalu menuntun dan
mengingatkan siswa-siswanya untuk tidak menyakini hal-hal mistik.
Analisis:
Air yang dimaksud Pak Amin pada wacana tersebut adalah air sumur
Citta. Pak Amin bertanya langsung kepada Anugrah’ Mau diapakan air itu?’
karena, ia menyimpulkan hanya dari tindakan Anugrah yang mengisi air
115
dalam botol. Yang digunakan adalah botol minumannya oleh sebab itu,
Anugrah berpeluang meminum air sumur tersebut. Air sumur Citta adalah
salah satu bukti kisah Nenek Mallomo yang melegenda di Sidrap dan benar-
benar pernah terjadi. Akan tetapi, bukti yang ada tidak bisa dijadikan alasan
kuat bahwa airnya dapat menyembuhkan orang sakit, membawa berkah, dan
mengusir roh jahat. Anugrah mengisi air sumur untuk diminumnya, hingga
Pak Amin langsung menyimpulkan bahwa itu mistik.
Data 45
”bisa kita bicara?saya ada bisnis menarik!” ”Dengan saya?Mau pesan Jadde’untuk besok?’
”Bukan mau pesan Jadde’. Boleh saya naik dulu ke rumah?”
(LR, 2012:200)
Situasi percakapan:
Firman berdiri di rumah I Cinnong, perempuan setengah bungkuk itu
baru pulang mencabut singkong di belakang rumahnya. I Cinnong adalah
pembuat Jadde, yang jarang dibeli oleh masyarakat karena mereka jijik
padanya. Kedatangan Firman hanya untuk membeli sawah I Cinnong di
Tonronge, tanah yang belakangan itu diyakini memiliki kadar emas, meski
belum dibuktikan dengan secara fisik. I Cinnong yang buta huruf sama sekali
tidak mengetahui maksud kedatangan Firman. Bahkan, ia beranggapan
Firman datang untuk membeli jadde buatannya.
Analisis:
116
Firman baru datang dan mengatakan ‘Bisa kita bicara?saya ada bisnis
menarik!’, kata ‘bisnis menarik’ akan memunculkan praanggapan siapa pun
yang mendengarnya. I Cinnong penjual jadde, itu bagian dari usaha kecilnya
mencari uang, sehingga I Cinnong beranggapan Firman datang untuk
membeli jaddenya. Meski melakukan simpulan yang salah, konteks dari
situasi percakapan tidak salah karena berada di rumah I Cinnong selaku
penjual jadde. Ujaran firman kurang lengkap dan Firman pun tahu bahwa I
Cinnong sudah tua dan buta huruf, sehingga dapat ditarik simpulan atau
inferensi bahwa Firman memanfaatkan situasi I Cinnong agar dapat membeli
sawahnya dengan harga murah, meski pada akhirnya Firman mengalami
kerugian karena tanah tersebut tidak mengandung emas.
Data 46
“Kamu tutup hidung saja! Saya yakin kamu ndak tahan. Ndak usah malu-malu.”
(LR, 2012:150)
Situasi percakapan:
Vito datang ke rumah Pak Saleng, untuk mencari informasi tentang
keberadaan ayahnya. Pak saleng adalah pedagang sapi dan kulit sapi serta
kerbau, Pak Saleng yang sudah terbiasa dengan bau busuk dari kulit-kulit
sapi yang dibelinya sama sekali tidak menggunakan masker. Pak Saleng
117
meminta Vito menutup hidung karena ia yakin Vito tidak seperti dirinya yang
sudah terbiasa dengan bau bangkai.
Analisis:
Kebanyakan orang yang tidak mengetahui konteks percakapan di atas
akan beranggapan bahwa bau apa yang dimaksud? Apakah bau wangi, bau
busuk sampah dan sebagainya. Ada beberapa orang yang justru terganggu
dengan wewangian tertentu. Sehingga salah memahami konteks akan salah
menginterpretasi makna. Karena informasi itu tidak langsung dinyatakan di
dalam teks. Dengan melihat sikap dan gerak-gerik Vito Pak Saleng dapat
merasakan bahwa Vito merasa terganggu dengan bau bangkai di bawah
rumahnya, oleh karena itu Pak Saleng menawarkan Vito untuk menutup
hidungnya.
3. Pendidikan Karakter dalam Novel Lontara Rindu Karya S. Gege
Mappangewa
a. Jujur
Jika membicarakan sosok guru di dalam novel Lontara Rindu karya
S. Gegge Mappangewa. Tokoh Pak Amin dan Ibu Maulindah bukanlah sentra
penting dalam novel ini, melainkan kehadiran keduanya tetap menjadi warna
tersendiri dalam hal pendidikan. Cara pandang yang khas dari Pak Amin
adalah menganggap semua muridnya sebagai juara dan memiliki potensi luar
biasa. Meskipun siswa-siswanya terlahir di dusun yang terpencil dengan
118
fasilitas pendidikan yang sangat minim, Pak Amin tetap yakin mereka
memiliki potensi untuk maju dan senantiasa memotivasi mereka.
Pak Amin juga merepresentasikan paradigma pendidikan yang
terintegritas antara ilmu umum dan nilai-nilai agama serta nilai-nilai kearifan
lokal untuk membangun karakter budi pekerti siswa-siswanya. Hal ini
tercermin misalnya dalam percakapan mereka ketika melakukan perjalanan
ke sumur Citta peninggalan Nenek Mallomo, tokoh dalam sejarah Bugis yang
konon pada masanya terjadi kemarau panjang akibat seseorang yang
berlaku tidak jujur. Ketika itu dusun Pakka Salo juga dilanda kemarau
berkepanjangan. Pak Amin dengan apik menghubungkan antara hikmah dari
cerita tersebut tentang azab yang turun jika manusia tidak jujur, perintah
agama untuk berlaku jujur dan keadaan aktual kini yang penuh dengan
ketidakjujuran seperti korupsi.
Data 47
“Koruptor itu di atasnya pencuri, mereka itu penyamun-penyamun berdasi.”. Namun Pak Amin tidak sekadar mengutuk keadaan tetapi juga mengajak siswa-siswanya berefleksi, “Kita tanya hati kita masing-masing dan kita jawab masing-masing. Pernahkan kita tidak jujur selama ini? Pernahkan kita mencuri selama ini? Ingat putra Nenek Mallomo yang membawa petaka kemarau hanya mencuri sebatang kayu.” Efek dari refeleksi Pak Amin diceritakan bahwa Sarah, Alaudin dan Adnan siswa-siswanya menjadi menyadari kesalahan mereka
(LR, 2012:140).
119
Pak Amin tidak memandang profesi guru sebagai subjek yang
bertugas “mengisi” siswa-siswanya dengan ilmu-ilmu yang diketahuinya.
Paradigma pengajaran Pak Amin adalah guru sebagai fasilitator dalam
mengembangkan kecerdasan siswa-siswanya yang beragam. Ketika
menghadapi suatu masalah Pak Amin tidak langsung menginstruksikan
pemecahan sendiri tetapi menfasilitasi siswa-siswanya untuk berdiskusi
mencari pemecahan. Pak Amin juga berparadigma bahwa pada dasarnya
tidak ada anak yang nakal, jika ada anak yang berkelakuan buruk bisa saja
karena mereka sedang tertimpa masalah tertentu. Kisah Vito yang berubah
sikapnya karena sangat merindukan sosok ayah bisa dirasakan oleh Pak
Amin dan menjadi pendamping bagi siswanya tersebut.
Kesabaran seorang guru dan orang tua dalam mendidik anak akan
membuahkan hasil yang baik, terkadang seorang anak mengharapkan
perhatian lebih dari orang tuanya.
Data 48
“La Palaga, apa yang terjadi dengan negeri ini? Sepanjang sejarah, baru kali ini negeri ini dilanda kemarau berkempanjangan,” ungkap Raja La Patiroi, saat Nenek Mallamo datang menghadap.
“Begini Puang (panggilan ningrat)! Kemarau panjang ini diakibatkan oleh salah seorang rakyat bahkan penghuni Sao Raja (istana) ini tidak jujur,” tegas Nenek Mallomo setelah memberi hormat pada Sang Raja.
“Tidak jujur? Maksud kamu?” Raja mengerutkan kening. “Tidak jujur itu bukan hanya berdusta, Puang, mencuri
juga termasuk dalam ketegori tidak jujur.”
(LR, 2012: 94 -95)
120
Kutipan tersebut di atas menunjukkan bahwa betapa perilaku tidak
jujur itu sangat memberi nilai buruk bagi kehidupan. Kutipan dialog antara
Raja La Patiroi dengan Nenek Mallomo mengisyaraktan bahwa tindakan atau
sikap tidak jujur dapat menjadi awal munculnya malapetaka dalam kehidupan
ini. Bagi kehidupan masyarakat Bugis kondisi telah disadari bahwa kejujuran
itu sangat tinggi nilainya dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat Bugis percaya bahwa dengan bersikap tidak jujur maka
akan berdampak buruk bagi kehidupan mereka. Dampak buruk itu tidak
hanya dapat merugikan orang lain, akan tetapi jauh dari masyarakat Bugis
percaya bahwa dengan bersikap tidak jujur maka yang timbul hanyalah rasa
malu terhadap masyarakat atau orang lain yang hidup di sekitarnya. Dengan
demikian konsep kejujuran dalam kehidupan pergaulan masyarakat Bugis
sangat dijunjung tinggi karena dengan bersikap jujurlah harkat dan martabat
sebagai orang Bugis dapat terlindungi.
Pada sisi yang lain, kejujuran bagi masyarakat atau orang Bugis
selalu diikuti dengan perilaku adil. Perilaku adil juga merupakan salah satu
bagian yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam menjaga siri’nya.
Perilaku adil ini terpatri dengan jelas pada hukum adat yang diberlakukan
oleh masyarakat Bugis. Seperti yang terungkap pada kutipan berikut ini.
Data 49
“Puang, ade’ temmakkeana’ nennia temmakeappo (adat tak mengenal anak dan tak mengenal cucu)
121
Nenek Mallomo sebagai hakim yang bijak lagi adil kemudian menjatuhkan vonis mati kepada putra tercintanya.
“Apa itu tidak terlalu berlebihan, Pagala?” “Puang, saya menghukumnya bukan karena kayu yang
dicurinya, tapi karena perbuatannya itu. Karenanya negeri ini telah dilanda kemarau berkepanjangan. Dia telah menyengsarakan rakyat.”
(LR, 2012: 95-96).
Berdasarkan kutipan tersebut, mengisyaratkan bahwa sikap adil
merupakan salah satu bagian kehidupan orang Bugis dalam menjaga nama
baiknya. Sikap tidak jujur yang dilakukan oleh anak Nenek Mallomo telah
membuatnya kehilangan nyawa. Pada sisi yan lain, keadilan tetap harus
ditegakan oleh Nenek Mallomo sekalipun ia mendapati bahwa pelaku dari
ketidakjujuran dalam hal pencuri itu adalah anaknya sendiri. Demi menjujung
tinggi harkat dan martabatnya lebih baik ia kehilangan anaknya daripada
harus mananggung rasa malu sepanjang hidupnya akibat perbuatan anaknya
yang telah menyengsarakan orang banyak. Bahkan pada kutipan yang lain
terungkap sebagai berikut.
Data 50
“Aku berpesan kepada tiga golongan: kepada raja, hakim, dan pelayan masyarakat. Jangan sekali-kali engkau meremahkan kejujuran itu. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab kejujuran dan tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena itu takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur. “itu pesan Nenek Mallomo semasa hidupnya yang hingga kini tak banyak lagi yang mampu melaksanakan amanah itu.”
(LR, 2012:96)
122
Dalam kenyataannya masyarakat Bugis menempatkan sikap jujur di
atas segala tindakan mereka dalam rangka berupaya keras menjaga harkat
dan martabatnya tetap dalam koridor nilai-nilai kebaikan dan terhindar dari
perbuatan yang dapat membuat mereka menjadi malu atau membuat harga
diri mereka menjadi tercoreng.
Masyarakat Bugis percaya bahwa dengan mengamalkan keempat
pesan yang dikatakan oleh Nenek Malamo akan menciptakan keteraturan
dalam hidup. Pesan tentang ‘takkan mati kejujuran itu’ dimaknai bahwa
kejujuran itu akan selalu dikenang. Dengan bersikap jujur seseorang akan
dapat dikenang dan ingat sifat sifat baiknya melalui perilaku jujurnya. Dengan
perilaku jujur itu secara tidak langsung akan membangkitkan sikap tegas
dalam diri seseorang. Hal itu dalam kehidupan orang Bugis menjadi sesuatu
yang sangat penting.
Makna ‘takkan runtuh yang datar’ bagi kalangan orang Bugis adalah
jika orang yang selalu membusungkan dada dan bertingkah sombong juga
angkuh, maka orang tersebut akan cepat tersingkir dari pergaulan dalam
masyarakat. sebaliknya orang yang sederhana seperti tidak menyombongkan
kedudukan akan menjadi lebih baik dan akan semakin dihargai
keberadaanya oleh orang lain. Sementara makna dari ‘takkan putus yang
kendur’ adalah lebih kepada sifat mengalah. Dalam pengertian bahwa
mengalah tersebut untuk menang, aman, dan damai.
123
Filosofi tersebut mengajarkan kepada orang Bugis bahwa dalam
kehidupan ini tidak boleh ada sikap terburu-buru dalam bekerja ataupun
dalam mengambil suatu keputusan. Selain itu, pula bermakna bahwa kita
harus dapat mengontrol emosi dalam suasana apa saja dari yang kita hadapi
serta selalu membangun hubungan harmonis dengan sesama manusia yang
lain. Sedangkan makna dari ‘takkan patah yang lentur’ adalah kepandaian
seseorang dalam menempatkan diri di masyarakat. Dalam masyarakat yang
penuh dengan berbagai macam kepentingan diwajibkan bagi orang-orang
Bugis untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang lain atau seseorang yang
dihadapinya. Keberadaannya tidak boleh memihak kepada sesuatu yang lain
akan tetapi selalu berusaha untuk dapat bersikap adil ketika ada sesuatu
permasalahan dalam kehidupan yang dihadapinya.
b. Peduli sosial dan bersahabat
Kepedulian sosial terbangun karena bermukim dalam satu kampung,
sekalipun dalam kelompok ini terdapat orang-orang yang sama sekali tidak
ada hubungan darahnya/keluarga. Perasaan akrab dan saling menganggap
saudara/ keluarga muncul karena mereka sama-sama bermukim dalam satu
kampung memunculkan kepedulian sosial. Biasanya, mereka saling topang-
menopang, bantu-membantu dalam segala karena mereka saling
menganggap saudara senasib dan sepenaggungan. Perhatikan kutipan
berikut ini
124
Data 51
“Vito memeluk temannya satu per satu dan mengucapkan terima kasih atas perjuangannya yang telah berhasil menyelamatkan lebih dari seperempat kebun mete…”
(LR, 2012:256)
Saat kebun mete terbakar, semua warga yang mengetahuinya turun
dari rumah dan berusaha membantu, termasuk Vito dan kawan-kawannya.
Mereka bergotong-royong membantu tetangga yang membutuhkan
pertolongan. Saat Vito diculik oleh orang yang tak dikenal, rumah Halimah
telah disesaki warga, demi menghibur dan dan mencari solusi bagaimana
cara menemukan Vito.
Data 52
“Saya sudah melapor ke kantor polisi. Kita berdoa saja, karena polisi sedang mengejar mereka dan merazia kendaraan sepanjang jalan menuju Makassar. Besok pagi, akan ada polisi yang datang ke sini untuk melaporkan hasilnya.”
(LR, 2012:304)
Kepedulian sosial dan bersahabat pada kutipan wacana di atas
terjalin antarsatu dengan yang lain. Mereka merasa senasib dan
sepenanggungan. Oleh karena jika seorang membutuhkan yang lain,
bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk
tidur melantai di lantai papan rumah panggung untuk menghibur hati tetangga
yang sedang kehilangan.
125
c. Rasa ingin tahu
Bentuk rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang
mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang
dilihat, didengar, dan dipelajari secara mendalam. Rasa ingin tahu siswa Pak
Amin dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa cukup besar.
Hal tersebut terungkap ketika Pak Amin berniat mengajak siswanya untuk
field trip ke salah satu tempat bersejarah di Sidrap.
Rasa ingin tahu merupakan salah satu pendidikan karakter yang telah
ditetapkan oleh Kemendiknas, yang tentu saja harus dimiliki oleh peserta
didik. Rasa ingin tahu tumbuh karena adanya rasa penasaran yang
berkecamuk dalam diri seseorang sehingga membuatnya mencari jawaban,
salah satu cara mencari jawaban adalah dengan bertanya.
Anugrah adalah salah satu siswa Pak Amin yang di kepalanya tumbuh
rasa ingin tahu mengenai field trip. Anugrah bertanya kepada Pak Amin
meski dengan pengucapan yang salah, karena diucapkan dengan bahasa
Indonesia. Sementara Irfan merasa aneh karena yang akan dikunjungi hanya
sungai, padahal di kampungnya, Pakka Sallo terdapat pula banyak sungai.
Irfan kemudian mengungkapkan keanehan itu dengan cara bertanya kepada
Pak Amin. Untuk lebih jelasnya mengenai rasa ingin tahu Anugrah dan Irfan,
berikut kutipan datanya:
Data 53
126
“Piltrip? Pil apa tuh, Pak? Tanya Anugrah sambil mencolek sambal dengan ubi goreng langsung dari ulekan.
“Field Trip! Itu sama dengan darmawisata. Saya akan mengajak kalian ke sebuah sumur di Allaukang.”
“Sumur? Di sungai sini juga banyak sumur, Pak,” sela Irfan”
(LR, 2012:91)
Berdasarkan kutipan tersebut, terungkap bahwa rasa ingin tahu
Anugrah tentang arti Pil. Cara pengucapan Anugrah tentang field trip tidak
benar, tetapi bukan berarti Anugrah berhenti pada ketidak tahuannya
tersebut. Ia (Anugrah) justru dengan berani bertanya kepada gurunya (Pak
Amin) arti dari kata field trip tersebut. Hal ini menunjukkan rasa ingin tahu
Anugrah sangat besar. Sedangkan rasa ingin tahu Vito, bukan pada sungai
yang akan dikunjungi, tetapi kampung yang bernama Amparita. Oleh karena
itu, tanpa sungkan Vito bertanya kepada Pak Amin mengenai Amparita.
‘Apakah Allaukang berdekatan dengan Amparita?’ cara bertanya Vito seolah
ada yang disembunyikan, itu terlihat dari tatapannya dan nada suaranya yang
serius.
Rasa ingin tahu Vito dijawab dengan tenang oleh Pak Amin tanpa
curiga jika ada maksud tertentu.
Data 54
“Oh iya, Pak! Allaukang yang akan kita kunjungi dekat dengan Amparita ya, Pak?” Vito bertanya dengan tatapan penuh harapan dan suara yang serius.
“Berbatasan! Kalau dari sini, Amparita dulu baru Allaukang, setelah itu Pangkajene Ibu Kota Kabupaten. Memang kenapa, To?
127
(LR, 2012:92)
Berdasarkan kutipan tersebut, terungkap bahwa Vito merupakan anak
yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Vito memiliki salah satu ciri karakter yang baik. Bertanya merupakan gerbang
utama untuk mengetahui apa yang tidak diketahui atau memperjelas apa
yang telah diketahui, dengan kata lain untuk menambah pengetahuan.
C. Pembahasan
Hasil analisis novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa melalui
kajian konteks nonverbal wacana ditemukan Setting ’Latar’ dan Scene
’Suasana’, Participants’ Partisipasi, ‘Ends’ Hasil’, Act Sequences’ Pesan’,
Keys’ Cara’, Instrumentalities’ Sarana’, ‘Norm’ Norma’, dan‘Genre’ Jenis’.
Konteks wacana yang mendukung pemaknaan ujaran, tuturan, atau wacana
adalah situasi kewacanaan. Situasi kewacanaan berkaitan erat dengan tindak
tutur. Sejalan dengan pandangan Dell Hymes (1972) yang menyebut
komponen tutur dengan singkatan SPEAKING.
Setting and scene (latar tempat dan waktu serta suasana tutur) dalam
novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa ditemukan latar tempat
yakni di Desa Pakka Sallo, Kecamatan Corawali, Amparita, jalan poros
Pangkajene, sumur Citta, Rumah Sakit Nenek Mallomo, dan Danau
Sidenreng. Setting tempat tersebut secara umum berada di Kabupaten
Sidenreng Rappang (SIDRAP). Akhir cerita pertemuan antara Vito dengan
ayahnya terjadi di Kota Samarinda Kalimantan Timur. Setting waktu terjadi
128
pagi, malam, dan siang hari. Ada pun suasana psikologi yang dialami
partisipan dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa adalah
sedih, bahagia, kecewa, marah, sabar, hal ini dijelaskan secara umum dalam
penyajian analisis data.
Participants (peserta) yang telibat adalah Vito tokoh utama, Vino adik
Vito sebagai tokoh pendukung, Halimah ibu dari Vito, Kakek, ayah Halimah
sekaligus kakeknya Vito, Ilham ayah Vito, Azis sepupu Halimah, Pak Amin
guru penjaskes vito, Ibu Maulindah guru IPS, Pak Bahtiar sebagai kepala
sekolah, Irfan, Adnan, Alif, Bimo, Sarah, Waddah, Allauddin yang merupakan
sahabat Vito, Jihang teman bermain Vino sewaktu kecil, Pak Saleng sahabat
Ilham, Pak Japareng penjual ballo, ayah Irfan, ibu Irfan, ayah Pak Amin,
Nadia istri kedua Ilham yang tinggal di Kota Samarinda.
Ends (hasil) merupakan tujuan akhir dari pembicaraan dalam setiap
kutipan data yang dianalisis. Tujuan akhir pembicaraan sangat beragam dan
berhubungan dengan Act atau bentuk pesan yang ada dalam novel Lontara
Rindu karya S. Gege Mappangewa. Bentuk pesan tersebut meliputi nasihat,
teguran, perkenalan, pelarian, pencarian, dan kemarahan.
Key (nada tutur) atau cara yang digunakan oleh partisipan dalam
berinteraksi dan komunikasi dengan lawan tuturnya adalah santai dan serius.
Ada pun Instrumentalities (sarana) yang digunakan dalam berbahasa adalah
lisan, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Bugis,
bahasa merupakan kebudayaan utama dan telah lama berkembang dalam
129
masyarakat Bugis yang disebut bahasa Ugi. Penggunaan bahasa daerah
setempat , yakni bahasa Bugis menunjukkan nilai budaya yang tinggi dalam
novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa dan menjadi identitas
daerah yang tetap digunakan dengan bangga oleh masyarakat setempat.
Petuah-petuah Bugis banyak diungkapkan dengan menggunakan
bahasa Bugis dan istilah-istilah yang biasa digunakan masyarakat dalam
mengungkapkan sesuatu dan menamai sesuatu yang ada dalam masyarakat.
Misalnya petuah Bugis yang terkenal hingga sekarang ini adalah Ade’t
emmakeana’ nennia temmakeappo’ yang memiliki arti adat tidak mengenal
adat dan tidak mengenal cucu. Ungkapan tersebut terdapat dalam novel
Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa yang menunjukkan bahwa
penggunaan bahasa Bugis yang terkenal hingga sekarang ini mengandung
pesan moral yang tinggi akan terasa lebih komunikatif jika menggunakan
bahasa setempat, di mana setting sebuah novel berada.
Norms (norma) mengacu pada perilaku partisipan dalam berinteraksi.
Dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa, partisipan
berinteraksi dengan perilaku marah, baik, sopan, jengkel, kecewa. Genre
(jenis) percakapan yang digunakan dalam novel Lontara Rindu karya S.
Gege Mappangewa adalah prosa fiksi.
Menurut George Yule (2006: 43) bahwa praanggapan atau presupposisi
adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum
menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan
130
kalimat. George Yule mengemukakan praanggapan terdiri atas enam jenis,
yaitu1) Praanggapan Eksistensial, 2) Praanggapan Faktif, 3) Praanggapan
Leksikal, 4) Praanggapan Struktural (PS), 5) Praanggapan NonFaktif (PNF),
6) Praanggapan Konterfaktual (PKF). Namun, dalam novel Lontara Rindu
karya S. Gege Mappangewa hanya ditemukan lima jenis praanggapan.
Praanggapan yang tidak ditemukan adalah Praanggapan Struktural (PS).
Praanggapan eksistensial adalah praanggapan yang mengasosiasikan
adanya suatu keberadaan. Selain itu, lebih umum dalam frasa nomina
tertentu. Dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa terdapat
empat jenis praanggapan eksistensial yaitu ada sebuah ‘kerbau’. ‘kerbau’
mempraanggapan keberadaan sebuah ‘kerbau’ di suatu tempat, yakni di
Tonronge. “Itu sana sawah ayahmu, cepat patok” keberadaan sawah tersebut
di Tonronge, dan menunjukkan hak milik dari ayahnya Pak Amin dan bukan
orang lain.
Selain itu, Kutipan wacana dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa mengandung wacana eksistensial umum, jika Ibu Maulindah
“berhenti mengajar” maka praanggapan eksistensialnya adalah Ibu
Maulindah adalah seorang guru, seorang guru yang berhenti mengajar.
Praanggapan faktif mempraanggapan bahwa Halimah menebak
bagaimana masa depannya jika harus meninggalkan kepercayaannya selaku
pemeluk agama Islam. Halimah memilih gila daripada mengikuti tawaran
Ilham untuk menganut Tolotang. Apa yang dikatakan oleh Halimah
131
berpotensi menjadi kenyataan sebab Halimah baru mengetahui bahwa Ilham
berasal dari keluarga Tolotang tetapi, untuk kembali ke rumahnya itu hal yang
mustahil.
Praaanggapan leksikal, praanggapan nonfaktif dan praanggapan
konterfaktual juga terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa. Praanggapan struktural tidak ditemukan dalam novel Lontara
Rindu karya S. Gege Mappangewa, alur cerita tidak menampilkan informasi
yang dapat memunculkan praanggapan yang tepat dan dapat diasumsikan
kebenarannya. Dari pembahasan terkait praanggapan menurut George Yule
(2006: 43) yang menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah
sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum
menghasilkan suatu tuturan adalah sejalan, selain itu, ditemukan teori yang
dapat bersinergi dengan pendapat George dan Yule bahwa penutur dalam
mengasumsikan sesuatu tidak hanya mencermati dari yang disampaikan
oleh lawan tutur, tetapi termasuk gerak-geri dan ekspresi wajah lawan tutur.
Grice (1991:309) menyatakan bahwa percakapan akan mengarah pada
penyamaan unsur-unsur pada transaksi kerja sama yang semula berbeda.
Penyamaan tersebut dilakukan dengan jalan: (1) menyamakan jangka tujuan
pendek, meskipun tujuan akhirnya berbeda atau bahkan bertentangan, (2)
menyatukan sumbangan partisipasi sehingga penutur dan mitratutur saling
membutuhkan, dan (3) mengusahan agar penutur dan mitratutur mempunyai
132
pengertian bahwa transaksi berlangsung dengan suatu pola tertentu yang
cocok, kecuali bila bermaksud hendak mengakhiri kerja sama.
Dalam rangka memenuhi keperluan tersebut, Grice menyatakan teori
tentang aturan percakapan atau maksim yang dipandang sebagai
prinsip/dasar kerja sama. Prinsip kerja sama tersebut yakni berikanlah
sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana yang diperlukan sesuai
dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat di
dalamnya (Grice 1975:45). Prinsip tersebut mengharapkan para penutur
untuk menyampaikan ujarannya sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa
tutur, tujuan tutur dan giliran tutur yang ada. Prinsip kerja sama tersebut,
ditopang oleh maksim-maksim percakapan (maxim of conversation), yaitu :
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi,maksim cara.
Maksim kualitas, kuantitas, relevansi, dan cara yang ditemukan dalam
novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa hanya sedikit yang sejalan
dengan prinsip Grice karena partisipan lebih banyak diperankan oleh anak-
anak yang tidak memahami bahwa seorang penutur diharapkan dapat
memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin
sesuai yang dibutuhkan. Partisipan kebanyakan menyela percakapan dengan
senda gurau sehingga terkadang melebihi bahkan tidak terkait dengan apa
yang dibutuhkan oleh penutur pertama. Ungkapan yang kabur, tidak jelas dan
tidak teratur kadang mempengaruhi makna sehingga muncullah implikasi
dalam percakapan. Oleh karena itu, penengah dalam percakapan sangat
133
penting. Dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa Pak Amin
menjadi sosok yang sangat penting. Sebab, menjadi penengah dalam
percakapan yang melibatkan dirinya dengan siswa-siswinya.
Cummings (2007: 105) menyatakan, proses inferensi merupakan proses
yang dapat digunakan oleh lawan bicara untuk memperoleh implikatur-
implikatur dari ujaran penutur yang dikombinasikan dengan ciri-ciri konteks.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa inferensi merupakan proses penarikan
simpulan yang digunakan pendengar terhadap ujaran yang disampaikan
penutur dan simpulan tersebut ditentukan oleh situasi dan konteks.
Dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa, hanya
terdapat tiga inferensi. Penarikan simpulan pertama adalah pengamatan
melalui tindakan partisipan yang menyebabkan kecurigaan pada partisipan
lainnya. Kedua ada penarikan simpulan yang salah disebabkan oleh
kesalahan penutur pertama. Penarikan simpulan oleh lawan tutur tidak tepat
disebabkan lawan tutur memanfaatkan situasi lawan tutur yang kurang
berpendidikan.
Kemendiknas tahun 2010 mengeluarkan 18 nilai pendidikan karakter,
yakni religius, jujur, , toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi,sikap, dan tindakan, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, dan peduli sosial. Dalam penelitian ini hanya
134
ditemukan empat nilai pendidikan karakter, yakni jujur, rasa ingin tahu,
bersahabat/komunikatif, dan rasa peduli soaial.
Pak Amin juga merepresentasikan paradigma pendidikan yang
terintegritas antara ilmu umum dan nilai-nilai agama serta nilai-nilai kearifan
lokal untuk membangun karakter budi pekerti siswa-siswanya. Hal ini
tercermin misalnya dalam percakapan mereka ketika melakukan perjalanan
ke sumur Citta peninggalan Nenek Mallomo, tokoh dalam sejarah Bugis yang
konon pada masanya terjadi kemarau panjang akibat seseorang yang
berlaku tidak jujur. Ketika itu dusun Pakka Salo juga dilanda kemarau
berkepanjangan. Pak Amin dengan apik menghubungkan antara hikmah dari
cerita tersebut tentang azab yang turun jika manusia tidak jujur, perintah
agama untuk berlaku jujur dan keadaan aktual kini yang penuh dengan
ketidakjujuran seperti korupsi.
Pak Amin tidak memandang profesi guru sebagai subjek yang
bertugas “mengisi” siswa-siswanya dengan ilmu-ilmu yang diketahuinya.
Paradigma pengajaran Pak Amin adalah guru sebagai fasilitator dalam
mengembangkan kecerdasan siswa-siswanya yang beragam. Ketika
menghadapi suatu masalah Pak Amin tidak langsung menginstruksikan
pemecahan sendiri tetapi menfasilitasi siswa-siswanya untuk berdiskusi
mencari pemecahan. Pak Amin juga berparadigma bahwa pada dasarnya
tidak ada anak yang nakal, jika ada anak yang berkelakuan buruk bisa saja
karena mereka sedang tertimpa masalah tertentu. Kisah Vito yang berubah
135
sikapnya karena sangat merindukan sosok ayah bisa dirasakan oleh Pak
Amin dan menjadi pendamping bagi siswanya tersebut.
Perilaku tidak jujur itu sangat memberi nilai buruk bagi kehidupan.
Kutipan dialog antara Raja La Patiroi dengan Nenek Mallomo
mengisyaraktan bahwa tindakan atau sikap tidak jujur dapat menjadi awal
munculnya malapetaka dalam kehidupan ini. Bagi kehidupan masyarakat
Bugis kondisi telah disadari bahwa kejujuran itu sangat tinggi nilainya dalam
hidup dan kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat Bugis percaya bahwa dengan bersikap tidak jujur maka
akan berdampak buruk bagi kehidupan mereka. Dampak buruk itu tidak
hanya dapat merugikan orang lain akan, tetapi jauh dari masyarakat Bugis
percaya bahwa dengan bersikap tidak jujur maka yang timbul hanyalah rasa
malu terhadap masyarakat atau orang lain yang hidup di sekitarnya. Dengan
demikian, konsep kejujuran dalam kehidupan pergaulan masyarakat Bugis
sangat dijunjung tinggi karena dengan bersikap jujurlah harkat dan martabat
sebagai orang Bugis dapat terlindungi.
Pada sisi yang lain, kejujuran bagi masyarakat atau orang Bugis
selalu diikuti dengan perilaku adil. Perilaku adil juga merupakan salah satu
bagian yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam menjaga siri’nya.
Perilaku adil ini terpatri dengan jelas pada hukum adat yang diberlakukan
oleh masyarakat Bugis. Seperti yang terungkap pada kutipan berikut ini.
136
Masyarakat Bugis percaya bahwa dengan mengamalkan keempat
pesan yang dikatakan oleh Nenek Malamo akan menciptakan keteraturan
dalam hidup. Pesan tentang ‘takkan mati kejujuran itu’ dimaknai bahwa
kejujuran itu akan selalu dikenang. Dengan bersikap jujur, seseorang akan
dapat dikenang dan ingat sifat sifat baiknya melalui perilaku jujurnya. Dengan
perilaku jujur itu, secara tidak langsung akan membangkitkan sikap tegas
dalam diri seseorang. Hal itu dalamkehidupan orang Bugis menjadi sesuatu
yang sangat penting.
Makna ‘takkan runtuh yang datar’ bagi kalangan orang Bugis adalah
jika orang yang selalu membusungkan dada dan bertingkah sombong juga
angkuh, maka orang tersebut akan cepat tersingkir dari pergaulan dalam
masyarakat. Sebaliknya orang yang sederhana seperti tidak
menyombongkan kedudukan akan menjadi lebih baik dan akan semakin
dihargai keberadaannya oleh orang lain. Sementara makna dari ‘takkan putus
yang kendur’ adalah lebih kepada sifat mengalah. Dalam pengertian bahwa
mengalah tersebut adalah untuk menang, aman, dan damai.
Filosofi tersebut mengajarkan kepada orang Bugis bahwa dalam
kehidupan ini tidak boleh ada sikap terburu-buru dalam bekerja ataupun
dalam mengambil suatu keputusan. Selain itu, pula bermakna bahwa kita
harus dapat mengontrol emosi dalam suasana apa saja dari yang kita hadapi
serta selalu membangun hubungan harmonis dengan sesama manusia yang
lain. Sedangkan makna dari ‘takkan patah yang lentur’ adalah kepandaian
137
seseorang dalam menempatkan diri di masyarakat. Dalam masyarakat yang
penuh dengan berbagai macam kepentingan diwajibkan bagi orang-orang
Bugis untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang lain atau seseorang yang
dihadapinya. Keberadaannya tidak boleh memihak kepada sesuatu yang lain
akan tetapi, selalu berusaha untuk dapat bersikap adil ketika ada sesuatu
permasalahan dalam kehidupan yang dihadapinya.
Kepedulian sosial karena sikap bersahabat hal ini terbangun karena
bermukim dalam satu kampung, sekalipun dalam kelompok ini terdapat
orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan darahnya/keluarga.
Perasaan akrab dan saling menganggap saudara/ keluarga muncul karena
mereka sama-sama bermukim dalam satu kampung memunculkan
kepedulian sosial.
Saat kebun mete terbakar, semua warga yang mengetahuinya turun
dari rumah dan berusaha memba ntu, termasuk Vito dan kawan-kawannya.
Mereka bergotong-royong membantu tetangga yang membutuhkan
pertolongan. Saat Vito diculik oleh orang yang tak dikenal, rumah Halimah
telah disesaki warga, demi menghibur dan mencari solusi bagaimana cara
menemukan Vito.
Kepedulian sosial dan bersahabat pada kutipan wacana dalam novel
Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa terjalin antarsatu dengan yang
lain. Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika seorang
membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan
138
mereka bersedia untuk tidur melantai di lantai papan rumah panggung untuk
menghibur hati tetangga yang sedang kehilangan.
Bentuk rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang
mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang
dilihat, didengar, dan dipelajari secara mendalam. Rasa ingin tahu siswa Pak
Amin dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa cukup besar.
Hal tersebut terungkap ketika Pak Amin berniat mengajak siswanya untuk
field trip ke salah satu tempat bersejarah di Sidrap. Rasa ingin tahu
merupakan salah satu pendidikan karakter yang telah ditetapkan oleh
Kemendiknas, yang tentu saja harus dimiliki oleh peserta didik. Rasa ingin
tahu tumbuh karena adanya rasa penasaran yang berkecamuk dalam diri
seseorang sehingga membuatnya mencari jawaban, salah satu cara mencari
jawaban adalah dengan bertanya.
139
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Hasil temuan dan pembahasan unsur, jenis konteks wacana, dan
pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Unsur konteks meliputi Setting ’Latar’ dan Scene ’Suasana’, Participants’
Partisipas‘Ends’ Hasil’, Act Sequences’ Pesan’, Keys’ Cara’,
Instrumentalities’ Sarana’, ‘Norm’ Norma’, dan‘Genre’ Jenis’. Setting and
scene (Latar Tempat dan Waktu serta Suasana Tutur) dalam novel
Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa ditemukan latar tempat yakni
di Desa Pakka Sallo, Kecamatan Corawali, Amparita, jalan poros
Pangkajene, sumur Citta, Rumah Sakit Nenek Mallomo, dan Danau
Sidenreng. Setting tempat tersebut secara umum berada di Kabupaten
Sidenreng Rappang (SIDRAP). Akhir cerita pertemuan antara Vito dengan
ayahnya terjadi di Kota Samarinda Kalimantan Timur. Setting waktu terjadi
pagi, malam, dan siang hari. Adapun suasana psikologi yang dialami
partisipan dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa adalah
sedih, bahagia, kecewa, marah, sabar, hal ini dijelaskan secara umum
dalam penyajian analisis data.
140
Participants (peserta) yang telibat adalah Vito tokoh utama, Vino adik
Vito sebagai tokoh pendukung, Halimah Ibu dari Vito, Kakek, ayah
Halimah sekaligus kakeknya Vito, Ilham ayah Vito, Azis sepupu Halimah,
Pak Amin guru penjaskes Vito, Ibu Maulindah guru IPS, Pak Bahtiar
sebagai kepala sekolah, Irfan, Adnan, Alif, Bimo, Sarah, Waddah,
Allauddin yang merupakan sahabat Vito, Jihang teman bermain Vino
sewaktu kecil, Pak Saleng sahabat Ilham, Pak Japareng penjual ballo,
ayah Irfan, ibu Irfan, ayah Pak Amin, Nadia istri kedua Ilham yang tinggal
di Kota Samarinda.
Ends (hasil) merupakan tujuan akhir dari pembicaraan dalam setiap
kutipan data yang dianalisis. Tujuan akhir pembicaraan sangat beragam
dan berhubungan dengan Act atau bentuk pesan yang ada dalam novel
Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa. Bentuk pesan tersebut
meliputi nasihat, teguran, perkenalan, pelarian, pencarian, dan kemarahan.
Key (nada tutur) atau cara yang digunakan oleh partisipan dalam
berinteraksi dan komunikasi dengan lawan tuturnya adalah santai dan
serius. Adapun Instrumentalities (sarana) yang digunakan dalam
berbahasa adalah lisan, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia
dan bahasa Bugis. Norms (norma) mengacu pada perilaku partisipan
dalam berinteraksi. Dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa, partisipan berinteraksi dengan perilaku marah, baik, sopan,
141
jengkel, kecewa. Genre (jenis) percakapan yang digunakan dalam novel
Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa adalah prosa fiksi.
2. Jenis eksternal konteks meliputi, praanggapan, implikatur, dan inferensi.
praanggapan yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa terdiri atas lima jenis, yaitu1) Praanggapan Eksistensial, 2)
Praanggapan Faktif, 3) Praanggapan Leksikal, 4) Praanggapan NonFaktif
(PNF), 5) Praanggapan Konterfaktual (PKF).
Sedangkan implikatur meliputi maksim kualitas, kuantitas, relevansi dan
cara yang ditemukan dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege
Mappangewa hanya sedikit yang sejalan dengan prinsip Grice karena
partisipan lebih banyak diperankan oleh anak-anak yang tidak memahami
bahwa seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang
cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin sesuai yang dibutuhkan.
Partisipan kebanyakan menyela percakapan dengan senda gurau
sehingga terkadang melebihi bahkan tidak terkait dengan apa yang
dibutuhkan oleh penutur pertama. Ungkapan yang kabur, tidak jelas dan
tidak teratur kadang mempengaruhi makna sehingga muncullah implikasi
dalam percakapan. Oleh karena itu, penengah dalam percakapan sangat
penting. Dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa Pak
Amin menjadi sosok yang sangat penting. Sebab, menjadi penegah dalam
percakapan yang melibatkan dirinya dengan siswa-siswinya.
142
Dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa, hanya
terdapat tiga inferensi. Penarikan simpulan pertama adalah pengamatan
melalui tindakan partisipan yang menyebabkan kecurigaan pada partisipan
lainnya. Kedua ada penarikan simpulan yang salah disebabkan oleh
kesalahan penutur pertama. Penarikan simpulan oleh lawan tutur tidak
tepat disebabkan lawan tutur memanfaatkan situasi lawan tutur yang
kurang berpendidikan.
Pendidikan karakter yang ditemukan dalam penelitian ini hanya empat
nilai pendidikan karakter, yakni jujur, rasa ingin tahu,
bersahabat/komunikatif, dan rasa peduli sosial. Masyarakat Bugis percaya
bahwa dengan bersikap tidak jujur maka akan berdampak buruk bagi
kehidupan mereka. Dampak buruk itu tidak hanya dapat merugikan orang
lain, akan tetapi jauh dari masyarakat Bugis percaya bahwa dengan
bersikap tidak jujur maka yang timbul hanyalah rasa malu terhadap
masyarakat atau orang lain yang hidup di sekitarnya. Dengan demikian
konsep kejujuran dalam kehidupan pergaulan masyarakat Bugis sangat
dijunjung tinggi karena dengan bersikap jujurlah harkat dan martabat
sebagai orang Bugis dapat terlindungi.
Pada sisi yang lain, kejujuran bagi masyarakat atau orang Bugis selalu
diikuti dengan perilaku adil. Perilaku adil juga merupakan salah satu
bagian yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam menjaga siri’nya.
Perilaku adil ini terpatri dengan jelas pada hukum adat yang diberlakukan
143
oleh masyarakat Bugis. Seperti yang terungkap pada kutipan berikut ini.
Masyarakat Bugis percaya bahwa dengan mengamalkan keempat pesan
yang dikatakan oleh Nenek Malamo akan menciptakan keteraturan dalam
hidup. Pesan tentang ‘takkan mati kejujuran itu’ dimaknai bahwa kejujuran
itu akan selalu dikenang. Dengan bersikap jujur seseorang akan dapat
dikenang dan ingat sifat sifat baiknya melalui perilaku jujurnya. Dengan
perilaku jujur itu, secara tidak langsung akan membangkitkan sikap tegas
dalam diri seseorang. Hal itu dalamkehidupan orang Bugis menjadi
sesuatu yang sangat penting.
Makna ‘takkan runtuh yang datar’ bagi kalangan orang Bugis adalah
jika orang yang selalu membusungkan dada dan bertingkah sombong juga
angkuh, maka orang tersebut akan cepat tersingkir dari pergaulan dalam
masyarakat. Sebaliknya, orang yang sederhana seperti tidak
menyombongkan kedudukan akan menjadi lebih baik dan akan semakin
dihargai keberadaannya oleh orang lain. Sementara makna dari ‘takkan
putus yang kendur’ adalah lebih kepada sifat mengalah. Dalam pengertian
bahwa mengalah tersebut adalah untuk menang, aman, dan damai.
Filosofi tersebut mengajarkan kepada orang Bugis bahwa dalam
kehidupan ini tidak boleh ada sikap terburu-buru dalam bekerja ataupun
dalam mengambil suatu keputusan. Selain itu, pula bermakna bahwa kita
harus dapat mengontrol emosi dalam suasana apa saja dari yang kita
hadapi serta selalu membangun hubungan harmonis dengan sesama
144
manusia yang lain. Sedangkan makna dari ‘takkan patah yang lentur’
adalah kepandaian seseorang dalam menempatkan diri di masyarakat.
Dalam masyarakat yang penuh dengan berbagai macam kepentingan
diwajibkan bagi orang-orang Bugis untuk dapat menyesuaikan diri dengan
orang lain atau seseorang yang dihadapinya. Keberadaannya tidak boleh
memihak kepada sesuatu yang lain, akan tetapi selalu berusaha untuk
dapat bersikap adil ketika ada sesuatu permasalahan dalam kehidupan
yang dihadapinya.
Kepedulian sosial karena sikap bersahabat hal ini terbangun karena
bermukim dalam satu kampung, sekalipun dalam kelompok ini terdapat
orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan darahnya/keluarga.
Perasaan akrab dan saling menganggap saudara/ keluarga muncul karena
mereka sama-sama bermukim dalam satu kampung memunculkan
kepedulian sosial. Biasanya, mereka saling topang-menopang, bantu-
membantu dalam segala karena mereka saling menganggap saudara
senasib dan sepenaggungan. Saat kebun mete terbakar, semua warga
yang mengetahuinya turun dari rumah dan berusaha membantu, termasuk
Vito dan kawan-kawannya. Mereka bergotong-royong membantu tetangga
yang membutuhkan pertolongan. Saat Vito diculik oleh orang yang tak
dikenal, rumah Halimah telah disesaki warga, demi menghibur dan
mencari solusi bagaimana cara menemukan Vito.
145
Bentuk rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang
mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang
dilihat, didengar, dan dipelajari secara mendalam. Rasa ingin tahu siswa
Pak Amin dalam novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa cukup
besar. Hal tersebut terungkap ketika Pak Amin berniat mengajak siswanya
untuk field trip ke salah satu tempat bersejarah di Sidrap. Rasa ingin tahu
merupakan salah satu pendidikan karakter yang telah ditetapkan oleh
Kemendiknas, yang tentu saja harus dimiliki oleh peserta didik. Rasa ingin
tahu tumbuh karena adanya rasa penasaran yang berkecamuk dalam diri
seseorang sehingga membuatnya mencari jawaban, salah satu cara
mencari jawaban adalah dengan bertanya.
B. Saran
Berkenaan dengan pembahasan dan simpulan di atas, maka penulis
juga akan memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan
manfaat kepada dunia pendidikan khususnya bahasa Indonesia yakni :
1. Kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial, untuk
dapat bersosialisasi dengan baik khususnya dengan sesama. Manusia di-
tuntut untuk memahami budaya dan karakter lainnya yakni mempelajari
dengan seksama dan melestarikan perayaan yang bernilai positif dari
adat- istiadat dan kebudayaan secara umum yang baik dari lingkungannya.
1. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia mengenai sarana komunikasi yang
menjadikan novel Lontara Rindu karya S. Gege Mappangewa sebagai
146
medianya, diharapkan guru dapat memberikan penjelasan yang lebih
dalam mengenai makna-makna secara implisit yang terkandung di dalam
novel tersebut. Dengan penjelasan yang dalam dan memadai, siswa
diharapkan memiliki pengertian yang baik dan sesuai dengan tujuan
pembelajaran dan siswa dapat mencontoh bagaimana adat budaya yang
baik, tindak percakapan yang sopan terhadap orang tua, dan lebih
mengenal budaya lokalnya pada novel tersebut.
2. Dalam peranannya sebagai fasilitator, guru hendaknya mengacu pada
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sehingga tidak terbawa oleh
keinginan siswa untuk membahas hal-hal yang tidak ada relevansinya
147
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2002. Ragam Bahasa Indonesia. J. B. Wolters-Groningen:
Jakarta. Aminuddin. 2002. Analisis Wacana. Kanal: Yogyakarta Arcan, Denzin, Norman.K., dan Lincoln, V. S. 2009. Hand Book of Qualitative
Research. PustakaPelajar: Yogyakarta. Arifin, Bustanul dan Rani, A. 2006. Analisis Wacana. Sebuah Kajian Bahasa
dalam Pemakaian. Bayu Media Publishing: Malang Brown, Gillian and Yule, George.1996. Analisis Wacana. DiIndonesiakan oleh
I.Soetikno. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Cuming, Louise. 2005. Pragmatics a Multidisciplinary Perspective.
Endinburgh University Press: George Square. Dardjowidjojo, Soenjono (Ed.). 1985. Perkembangan Linguistik di Indonesia.
Cipta Gramedia : Jakarta. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3. Balai Pustaka.
Jakarta. Djajasudarma, Fatimah. 2012. Wacana dan Pragmatik. PT. Rafika Aditama:
Bandung. Eriyanto. 2005. Analisis Wacana. Pengantar Analisis Teks Media.
LKIS.Pelangi Pelajar: Yogyakarta. Grice, H.P. 1991. Logic and Conversation. Dalam Davis, S. (Ed.), Pragmatics:
A Reader . Oxford University Press: New York Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi.
Alfabeta: Bandung. Hadi, Amirul. 2003. Teknik Mengajar Sistematika. Rineka Cipta. Jakarta. Halliday, M.A.K, dan Ruqaiya Hasan. 1985. Bahasa, Konteks danTeks:
Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial,
148
diterjemahkan oleh Asruddin Barori Tou.Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Herawati, Nanik. 2008. Analisis Wacana Syair Lagu Anak-Anak Karya A.T
Mahmud Kajian Eksternal dan Internal. Hymes, Dell. 1972. Foundation in Socialinguistic. An Ethnographic Approach.
University of Pensylvania: Philadelpia. Kaelan, M. S. 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya.
Paradigma: Yogyakarta. Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Kartika: Surabaya.
Kaswanti Purwo, Bambang. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa. Puskur-Balitbang Kemendinas: Jakarta. Khusnia, Furoidatul. 2006. Gaya Penuturan pada Salawat Nabi. Tidak
Dipublikasikan. Leech, Geofrey. 1976. Semantik 1 dan 2 (Terjemahan J. Hendriex). Uitgeverij
het Spectrum: Utrecht. Liye, Tere. 2016. Hujan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Malinowsky, Bronislaw. 1923. The Problem of Meaning in Primitive
Languange, dalam Ogeden, C,K dan IA Richards(ed). The Meaning of Meaning. Rouledge Keegan. Paul.Ltd: London.
Mappangewa, S. Gege. 2012. Lontara Rindu Republika: Makasar
Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Yogyakarta.
Naily, Mutia. 2012. Analisis Wacana Puisi Kembang Sepasang Karya Joko
Pinurbo (Analisis Konteks, Aspek Gramatikal, dan Leksikal). Nurchaily. 2010. Membentuk Karakter Siswa melalui Keteladanan Guru.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 16. Edisi Khusus III, Oktober 2010. Balitbang Kemendiknas. Jakarta.
149
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar. 2014.
Pedoman Penulisan Tesis: Makasar. Refatterr.1978,Sociolinguistics. Cambridge University Press: Camridge.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Angkasa Raya. Padang.
Soekemi. S. 1988. Fragmentasi Sumber Data. Karunika: Jakarta
Stanton, Robert. 2007. An Introduction to Fiction. (Diterjemahkan oleh Sugihastuti). Pustaka Pelajar :Yogyakarta.
Sumarlam. 2005. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Pustaka Cakra:
Surakarta. Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. PustakaPelajar: Yogyakarta.
Suryaman, M. 2011. Menuju Pembelajaran Sastra yang Berkarakter dan Mencerdaskan. Makalah. Disajikan dalam Pekan Sastra pada 30 April 2011. Universitas Sebelas Maret: Surakarta
Syamsuddin, A.R. 1992. Studi Wacana: Teori Analisis-Pengajaran. FPBS
Press: Bandung Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Angkasa: Bandung.
Trilaksono. 2006. Drama Mayor Barbara karya George Bernardshow. Tidak Dipublikasikan.
Waluyo, H.J.2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Widyasari Press: Salatiga.
Wellek, Rene and Warren, Austin. 1989. Theory of Literature. Cox & Wymann Ltd: London.
Lampiran 1 : Sinopsis Novel
1. Judul Buku : Lontara Rindu 2. Pengarang : S. Gege Mappangewa 3. Penerbit : Harian Republika 4. Tempat Terbit : Jakarta 5. Cetakan ke- : 2 juni, 2014 6. Tebal : viiii+343 halaman 7. ISBN : 978-602-7595-01-9
Kehidupan Vito yang sederhana tak membuatnya patah semangat. Vito
dilahirkan di Pakka Sallo Desa terpencil di Sidenreng Rappang, saat dalam
kandungan ibunya, Vito ditinggal sang ayah ke Kalimantan,Vito memiliki
saudara kembar bernama Vino. Saat berumur satu tahun, Ilham ayah Vino
dan Vito kembali ke Pakka Sallo dan kembali berpura-pura menjadi muslim.
Satu tahun kemudian Ilham kembali menganut Tolotang dan membawa lari
Vino.
Halimah dan ayahnya sangat terpukul atas kejadian itu hingga mereka
mendidik dan menjaga Vito dengan sangat baik. Halimah dan ayahnya
sangat tertutup perihal Ilham dan Vino, Vito yang merupakan anak cerdas
dan kritis mulai bertanya tentang ayah dan saudaranya. Vito terus bertanya
pada ibu dan kakeknya tetapi mereka diam seribu bahasa hingga akhirnya
Vito memutuskan untuk mencari informasi dari guru dan sahabat ayahnya.
Selama proses pencarian itu, Vito melalui masa kecil bersama kesembilan
temannya tidak hanya pelajaran sekolah yang didapatnya tetapi pendidikan
moral dan keagamaan yang baik dari Pak Amin dan Bu Maulindah.
Pendidikan itu pula yang membuat Vito yang tadinya nakal dan suka
berbohong akhirnya berubah. Vito kembali menjadi anak rajin, pintar dan
mandiri. Pencarian Vito berlanjut, setelah mendesak kakek dan ibunya untuk
menceritakan kejadian sebenarnya Vito makin bersemangat untuk mencari
sang ayah. Terlepas dari kesalahan Ilham, Vito tetapi percaya beberapa
kesalahan yang dibuat Ilham tak akan menghapus status sebagai seorang
ayah apalagi masa kecil hingga dua tahun dilaluinya bersama sang ayah.
Vito memulai pencarian dengan berkunjung di rumah Pak Saleng di
Corawali, dari Pak Saleng Vito mendapat alamat ayahnya di Samarinda
Kalimantan Timur. Pencarian kedua adalah dengan meminta izin kepada ibu
dan kakeknya untuk ke Periyammeng, Amparita. Tempat di mana ritual
tahunan rutin diadakan orang Tolotang. Menurut informasi yang didapat ritual
yang diadakan sekali dalam setahun itu akan menjadi ajang berkumpulnya
orang-orang Tolotang. baik dari daerah Sulawesi Selatan maupun yang
merantau ke Provinsi lain. Harapan Vito untuk bertemu ayahnya gagal, yang
ia temui hanya Jihang teman masa kecil Vino dan Uwa’ yang merupakan
ayah dari Ilham.
Vito kembali ke Pakka Salo dengan kecewa, tetapi masih dengan
harapan besar. Usahanya untuk bertemu sang ayah gagal lagi, Vito mulai
belajar memahami dan menerima kenyataan, usianya masih terlalu muda
untuk merantau ke Samarinda. Dua bulan berakhir setelah pencarian
keduanya, Vito diculik oleh orang yang tak dikenal. Halimah dan ayahnya
panik. Pak Amin dan teman-teman Vito berusaha mencari, tetapi hingga
malam hari Vito tak ditemukan. Motor yang membawa Vito berbelok ke arah
Pare-Pare, Vito tak merasa diculik. Lelaki yang menjemputnya adalah
suruhan dari Nadia istri kedua ilham. Nadia memenuhi janjinya pada Ilham
untuk mempertemukannya dengan Ilham.
Vito menyadari akan kesedihan ibu dan kakeknya, tetapi tak ada pilihan
lain agar bisa bertemu sang ayah Vito harus menuruti perintah suruhan
ayahnya. Setibanya di Samarinda Vito sempat kecewa karena ayahnya tak
menjemput. Ketika tiba di sebuah rumah besar nan megah Vito sangat
takjub, ayahnya menjadi perantau sukses berbanding terbalik dengan
kehidupannya di Pakka Salo.
Pertemuan Vito dan Vino sangat mengharukan. Vino mengajak Vito ke
sebuah kamar di mana ayah mereka terbaring kaku. Air mata Vito tak
terbendung lagi, inilah alasan Vito diculik, ayahnya sakit parah hanya
menunggu maut menjemput. Rasa bahagia Vito karena ayah dan adiknya
masuk Islam dan kesedihan mendalam ia tak dapat bercengkerama dengan
ayahnya. Tiga hari tinggal di Samarinda, Vito pamit untuk pulang ke Pakka
Salo, berat meninggalkan ayahnya, tetapi lebih berat lagi Vito meninggalkan
ibunya yang saat itu sangat berduka. Vito berharap Vino bisa menjaga
ayahnya dengan baik begitupun Vito akan menjaga ibunya dengan baik. Vito
berusaha kuat dan tegar sebagaimana ia melalui masa kecil tanpa sosok
seorang ayah dan adik.
Lampiran 2: Biografi S. Gege Mappangewa
BIOGRAFI S. GEGE MAPPANGEWA
S. Gege Mappangewa lahir di Sidenreng Rappang, 31 Desember 1974.
Suami dari Nuvida Raf ini adalah alumni Universitas Muslim Indonesia,
Fakultas Teknik Jurusan Mesin, Makassar.
Pengalaman menulis, juara I Lomba Menulis Cerita Pendek Islami
Majalah (LMCPI) Anninda 2008. Juara III Lomba Cipta Cerpen Aneka Yess!
2002. Pemenang Lomba Tulis Cerita Gokil/Lucu Media Kita, 2007,
Universitas Hasanuddin. Juara Harapan Lomba Menulis Cerita Anak oleh
Guru Majalah Bobo (2011). Lebih dari seratus cerpennya, termuat di
beberapa Media (Republika, Aneka Yess!, Keren Beken, Anninda, Sabili,
Fantasi Teen, Muslimah, Favorit, Jelita, dll).
Buku- bukunya yang telah diterbitkan antara lain ; sebuah novel lucu
Cupider-Man 3G (LPPH, 2008). Kumpulan cerpen pribadi, Kupu-Kupu Rani
(LPPH, 2005) dan Save in Your Heart (Zikrul, 2007). Antologi cerpen lucu
Suparman Pulang Kampung (LPPH, 2007) dan 20 cerita Gokil (Mdia Kita,
2007. Antologi esai Ketika Penulis Jatuh Cinta (LPPH, 2005) dan Miss Right
Where Are you (LPPH, 2005) dan novel anak Janji Sepasang Layang-Layang
(Mitra Bocah Muslim/MBM, 2006). Ustadz Jefri pun Menangis (MBM, 2007),
Peribahasa Terindah (MBM, 2008) dan Rahasia Boneka Nasywa (2009).
Penulis bergiat di Forum Lingkar Pena, sebagai dewan penasehat dan
sebagai Kepala Sekolah SMP Plus Al Ashari.
Lampiran 1 : Korpus Data Konteks Nonverbal Wacana, Unsur Eksternal
Wacana dan Pendidikan Karakter Novel Lontara Rindu Karya
S. Gege Mappangewa
N
o
Fokus
Penelitian
Data Terpilih
Sumber
A
.
1.
Konteks Nonverbal
Wacana
a) Setting ’latar’ dan scene ’suasana’, b) Participants’ partisipasi’, c) Ends ’ hasil’, (d) act sequences ’pesan’, e) Keys ’cara’, f)Instrumentalities ’sarana’, g) Norm ’norma’, dan h) Genre’jenis’.
1.
“Mau kemana?” Seorang laki-laki sepantaran dengannya, yang dari gelagatnya juga senasib dengannya, mendekat. “Co-Corawali!” jawabnya dengan gugup. “Saya mau ke Amparita. Tapi sepertinya tak ada lagi mobil malam ini.” Halimah melirik lelaki yang berdiri tak jauh dari sampingnya. Di bawah lampu jalan yang mulai temaran, lelaki itu mendapat penilaian sempurna di matanya. Bukan hanya wajah. Dari cara bicaranya yang sopan, Halimah menangkap kesan jika lelaki itu berpendidikan. “Kenapa bisa kemalaman?”. Lelaki itu membuka topik. “Saya dari menjelang magrib berdiri disini…,” ucap Halimah tanpa sekali pun menatap mata lawan bicaranya. “Menjelang magrib? Kalo menjelang magrib, harusnya tadi nunggu di terminal. Biasanya mobil yang full penumpang ndak lewat sini lagi, tapi mengambil jalur lewat depan Rumah Sakit Nenek Mallomo. Di sini khusus nunggu mobil dari Parepare.” “Kalau tidak ada angkot hingga isya, saya bisa pinjam mobil kakak sepupu saya yang di sini. Saya janji akan antar kamu sampai ke Corawali.”
Novel Lontara
Rindu, 2012:46-48
2. “ingat! Ini sekolah baru! Kalau kalian tak bisa di atur, bisa-bisa pemerintah meniadakan kembali sekolah ini. Kalian mau ke sekolah kecamatan melanjutkan sekolah? Berapa biaya yang harus kalian keluarkan? Dan yang lebih mengecewakan, sudah hampir satu tahun kalian belajar disini, tak satu pun dari kalian yang bisa menyumbangkan satu piala untuk sekolah kita….?”
3.
“Kamu memang keterlaluan, To! Harusnya waktu kami ke rumahmu dengan Pak Amin, kamu jujur aja. Bukan malah pura-pura terpukul dengan kematian kakek kamu.” “Apalagi saat Pak Amin lari tunggang langgang karena melihat kakek kamu ditengah malam, itu sama saja merontokkan cambang Pak Amin yang selama ini membuatnya kekar. Lain kali kalau mau bohong, pikir-pikir dulu, To! Selain dosa, merugikan orang lain, juga merugikan diri sendiri.” “Waduh, kalo mau ceramah, jangan di depan saya deh! Sekalian di masjid hari jumat, gantikan katte(khatib) Lolo baca kutbah,” protes Vito saat Irfan ikut menyalahkannya. “Ssst!Pak Amin datang!” seluruh siswa beranjak ke tempat duduk masing-masing. “Hari ini Bu Maulindah ndak masuk. Saya yang gantikan pelajaran IPS.” Irfan menyenggol kaki Vito pertanda memintanya ke depan kelas untuk meminta maaf. Vito masih kikuk. Berikutnya tendangan dari belakang oleh Adnan. Dengan isyarat yang sama, meminta Vito maju untuk meminta maaf sebelum pelajaran dimulai.
Novel Lontara
Rindu, 2012:13
Novel Lontara
Rindu, 2012:52-53
4.
“Halimah, kamu kesini dulu, “teriak ayahnya dari ruang tengah. Halimah memenuhi panggilan itu dengan seribu tanda tanya. Tak biasanya ia dilibatkan dengan ‘upacara’ minum kopi ayah dan ibunya. “Tadi pamanmu menemuiku di kebun mete….” Suara ayahnya berhenti sambil menyorot wajah Halimah di bawah cahaya lampu sepuluh watt. “Dia banyak bercerita tentang Azis, sepupumu yang dulu sekelas dengan kamu waktu SD,” lanjut ibunya. “Maksud, ibu?” tanyanya saat menangkap sinyal aneh dari kalimat ibunya. “Sepertinya dia mabbaja laleng (membersihkan jalan): ungkapan yang berarti penjajakan. Biasanya dilakukan keluarga laki-laki sebelum datang melamar).” “Tapi….” “Tapi kau mencintai Ilham? Begitu maksud kamu?” tegas ayahnya “Dua bulan tinggal di kampung kita, sekali pun dia tak pernah ke masjid. Setinggi apa pu sekolahnya, bagiku Azis yang selalu azan di masjid, masih jauh lebih berpendidikan daripada dia.”
5.
“Saya menemanimu tidur malam ini bukan untuk bercerita tentang ayahmu. Aku ingin mengajakmu menjadi lelaki Bugis yang sesungguhnya!” Vito yang tadinya memeluk guling untuk menyembunyikan tangis,kini meleraikan gulingnya. “Lelaki Bugis tak berpantang menangis, tapi saat dia menangis, tak boleh ada yang
Novel Lontara
Rindu, 2012:87
Novel Lontara
Rindu, 2012:118
berubah. Harus tetap tegar!” “Ayahku juga Bugis?” Vito mencoba menyelidik. Suara generator dari pinggiran kampung sudah mati, berarti sudah jam sepuluh. Tak ada lagi suara, kecuali bunyi kelelawar berebut buah semu jambu mete. Juga sesekali suara burung hantu yang bertengkar di puncak pohon asam yang daunnya banyak meranggas akibat kemarau berkepanjangan.
6.
“Ada yang hampir terlupa, saya pertama ke Pakka Sallo tahun delapan puluhan. Kalian tahu untuk urusan apa?” semua menggeleng. Semua penasaran. Mereka bisa membaca gaya bicara Pak Amin saat bercerita dan bertanya retoris, itu berarti ada cerita yang sangat menarik dari jawabannya nanti. “Dulu saking makmurnya negeri ini, saat musim tanam tiba, ratusan hetare sawah yang ada di Kecamatan ini hampir semuanya terisi padi menghijau.” “Hampir?” Alif mencoba mengorek lebih jauh, mengapa tak semua lahan tertananmi. Semua mata beralih ke Alif karena pertanyaannya dianggap mengganggu cerita. “Lahan yang tidak tertanami adalah lahan yang tak bisa di garap lagi, karena musim hujan akan segera berakhir. Biasanya lahan seperti inilah yang akan ditempati kerbau dan sapi mencari makan….” “Oke, sudah sore. Kita harus pulang!”
7.
“Lima jam perjalanan kaki meninggalkan Pakka Sallo, menelusuri setapak belantara di antara gelap. Cinta telah memberinya keberanian serupa itu. tak sedikit pun ketakutan menyusup di hatinya meski
Novel Lontara
Rindu, 2012:158
Novel Lontara
Rindu, 2012:178-179
belantara terkadang benar-benar gelap ketika cahaya purnama tak bisa menembus rimbun pepohonan, sementara cahaya senternya hanya mampu menerangi jalan setapak tempat kakinya akan berpijak. Matahari baru saja menyapa pagi ketika dia tiba di Corawali. Lalu sebuah angkot mengantarnya ke Pangkajene. Tapi sedikit kecewa saat tempat yang ditujunya itu tak ada Ilham, masih ada harapan, dia akan menunggu sampai Ilham akan datang menemuinya. Pagi sejuk telah berubah terik. Terik pun telah melayu dan berganti sore. Ilham tak datang. Halimah gelisah.” “Boleh saya tahu siapa yang kamu tunggu? Laki-laki, perempuan?” “Teman saya, laki-laki.” Ungkap Halimah pada Pak Sopir “Enam hari berturut-turut ada seorang lelaki yang duduk disini. Katanya menunggu seseorang. Menunggu dari pagi dan pulang malam dengan agkot terakhir.”
8.
“Tonronge sekarang seperti pasar.”Pak Amin membuka cerita sambil merapatkan duduk di kursi kayu yang tersedia di lego-lego. “Hanya sawah kita yang tidak di beri patok pembatas.” “Sudah kamu patok tadi?” “Ya, sabarlah! Insya-Allah, tanah kita aman. Buktinya ndak ada yang mau mengakuinya…” “Bukan ndak ada, tapi belum ada.” “Tadi pagi, katanya, orang dari Dinas pertambangan sudah mengambil sampel tanahnya. Tunggu sampai ada pengumuman resmi dari pemerintah….” “Kalau cuman mau lihat-lihat sawah , saya juga bisa. Kenapa ndak di patok tadi?.”
Novel Lontara
Rindu, 2012:212
Ayahnya sudah menaikkan nada suaranya beberapa oktaf. Pak Amin menghela nafas panjang. Tak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskannya. Ayahnya sudah terprovokasi dengan orang-orang kampung untuk tidak percaya dengan apapun yang dikatakan oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Pertambangan dan energi. Termasuk pengolahan emas jika Tonronge betul-betul jadi ladang emas.”
9.
“Hari ahad, Pak Amin dan tujuh siswa laki-lakinya berkumpul di lapangan sekolah. Pak Bahtiar turut hadir. “Pekan depan, kita akan ikut lomba futsal antar sekolah tingkat Kecamatan di Corawali!” “Yes! Kita turun gunung lagi! Pekik Irfan dalam hati. Turun ke Corawali bagi mereka itu sama halnya tamasya ke kota, meninggalkan perbukitan yang mengekang pandangan. “Ingat! Semua ini masih mimpi! Pak Amin kini yang berteriak. Suasana tenang lagi. “Lawan-lawan kita di luar sana sudah siap sejak dua bulan lalu. Sedangkan waktu kita tinggal sepekan karena suratnya baru diterima. Jadi, kita harus berlatih sepuluh kali lipat dari mereka jika kita ingi menang,” Lanjut Pak Bahtiar.
10.
“Kalian ke ruang Kepala Sekolah!” Ketujuhnya langsung tatap. Ada irama ketakutan dari degup jantung mereka. “Berani berbuat, berani bertanggung jawab!” ucap Pak Amin saat belum ada yang berani melangkah ke ruang kepala sekolah. Lagi-lagi Irfan mengambil langkah
Novel Lontara
Rindu, 2012:234
Novel Lontara
Rindu, 2012:265
B
1.
Unsur Eksternal Wacana
Praanggapan
pertama, di susul yang lain. Waddah dan Sarah terlihat cemas. Duduknya gelisah. Matanya menatap penuh harap kepada Pak Amin. Bebaskan mereka dari hukuman, Pak! Pak Amin yang diharapkannya terpaku di tempat. Tak sampai sepuluh menit setelah mereka menemui Kepala Sekolah, mereka telah kembali tapi bukan ke kelas. Mereka digiring ke lapangan. Di sana mereka berguling, lompat kodok keliling lapangan, sambil menirukan suara burung gagak.”
11.
“Hei, mau kau bawa kemana kerbau-kerbauku?”
12.
“Ayahku juga bugis?”
13.
“Bu Maulindah berhenti mengajar.”
14.
“Itu sana sawah ayahmu, cepat patok! Jangan sampai ada yang mengakui sebagai tanahnya.”
15.
“Saya juga tak tahu. Mungkin saya akan ketempat pertama kita bertemu. Berdiam diri di sana sampai orang mengenalku sebagai orang gila. Saya rela, daripada
Novel Lontara
Rindu, 2012:217
Novel Lontara
Rindu, 2012:118
Novel Lontara
Rindu, 2012:125
Novel Lontara
Rindu, 2012:204
Novel Lontara Rindu,
2012:186
harus menerima tawaranmu…”
16.
“Sebetulnya tidak dicuri tapi dirusak! Nilainya pun tak seberapa, tapi cara mencurinya yang profesional, membuat saya yakin bahwa ada orang yang mem-back up aksi ini”.
17.
“Awas kena parang, jangan duduk di depan ayah!”
18.
“Bu Maulindah sebenarnya kagum dengan kepintaran Vito bercerita. Paling jago ngarang cerita. Selalu punya alasan yang membuat temannya terpesona sekaligus membuat Bu Maulindah menyembunyikan senyum karena tak ingin dianggap luluh didepan Vito”
19.
“Saya sudah puluhan tahun jual-beli kambing, sapi, dan kerbau. Tinggal unta saja yang belum pernah saya beli. Baru kali ini saya mendapatkan kerbau yang susah sekali dinaikkan ke truk.”
20.
“Pokoknya kita harus bersatu! Jangan sampai ada yang diberi iming-iming harga tinggi lalu menjualnya. Akan lebih menguntungkan kalau kita sendiri yang mengelolanya. Ndak usah takut! Saya akan mengajari kalian cara menambang.
Novel Lontara Rindu,
2012:260
Novel Lontara
Rindu, 2012:112
Novel Lontara
Rindu, 2012:14
Novel Lontara
Rindu, 2012:33
Novel Lontara Rindu,
2012:206
2.
Implikatur
Saya pernah ikut menambang di Sulawesi Tenggara beberapa bulan yang lalu,waktu terdengar kabar ada tambang emas ditemukan di sana. Bayangkan dalam satu hari saya bisa dapat dua kilogram emas.”
21.
“Ini situasinya darurat. Bayangkan kalau gurunya tahu dia bohong, bukan hanya dia, tapi saya sebagai kakeknya dan kamu sebagai mamanya akan ikut dipermalukan.”
22.
”Bagaimana kalau kita ketuk pintu rumahnya Pak Amin?” ”Pak Amin bisa saja tak setuju dengan aksi kita, bahkan malah menyerahkan kita ke warga untuk diadili.”
23.
”Waduh, kalo mau ceramah, jangan di depan saya deh! Sekalian di masjid hari Jumat, gantikan katte (khatib) Lolo baca khutbah.”
24.
“Sebelum masuk ceritakan dulu alasan keterlambatan!” “Saat mau berangkat ke sekolah tadi, warga kampung dihebohkan dengan seekor ular hitam yang tiba-tiba muncul dari semak.” “Panjangnya lebih dari dua meter…”
Novel Lontara Rindu,
2012:23
Novel Lontara Rindu,
2012:231
Novel Lontara Rindu,
2012:52
Novel Lontara Rindu,
2012:14
25.
”Saya atau Vino yang sulung,Ma?” ”Kamu yang sulung.” ”Berarti adik Vino sekarang sudah
sebesar saya ya, Ma!”
26.
“Boleh saya tahu siapa yang kamu tunggu? Laki- laki,perempuan?”
”Teman saya,laki-laki.” ”Enam hari berturut-turut ada seorang
lelaki yang duduk di sini. Katanya menunggu seseorang. Menunggu dari pagi dan pulang malam dengan angkot terakhir.”
”Pulang kemana?” ”Katanya dia orang Amparita. Dia sempat
memperkenalkan nama pada saya….” ”Namanya Ilham?”.
27.
”Mau ke mana?” ”Co-Corawali!” ”Saya mau ke Amparita. Tapi, sepertinya
tak ada lagi mobil malam ini.”
28.
”Sekali lagi, saya akan datang. Kamu jangan pernah menerima lamaran lelaki mana pun.” ”Sampai kapan?” ”Begitu kuliahku selesai, itu paling lama setahun dari sekarang, saya akan datang menghilangkan keraguanmu sekaligus menghapus kerinduanku.”
Novel Lontara Rindu,
2012:239
Novel Lontara Rindu,
2012:179
Novel Lontara Rindu,
2012:46
Novel Lontara Rindu,
2012:84
29.
“Saya ucapkan terima kasih sekaligus memberikan dua jempol kepada Vito yang tak pernah lagi terlambat!” ”Tapi, Bu, kita ndak pernah lagi dengar cerita dari Vito karena tidak pernah lagi terlambat.” ”Kalian mau cerita?saya juga bisa bercerita…”
30.
”Kamu belum tidur, To?” ”Belum ngantuk, Kek!” ”Belum ngantuk atau lagi pikirkan sesuatu?”
31.
“Kamu ndak usah bangun kalo gitu, kamu sembunyi aja di kamar…”.
“Ayah ini bagaimana, masa mendidik anak seperti itu?”.
“Ini situasinya darurat. Bayangkan kalo gurunya tahu dia bohong…”.
32.
”Kamu pernah ke Pasar Amparita?” “Ada apa sih, Ma?Kok seperti aneh sekali
dengar pasar Amparita?”. ”Bagaimana tidak aneh, Pasar Corawali
saja kamu tak pernah injak kalo tidak ditemani…”
33.
”saya tahu maksud ayah, Di sana sekarang ada emas, kan? Orang Pakka Sallo juga ramai-ramai membicarakannya.”
Novel Lontara Rindu,
2012:101
Novel Lontara
Rindu, 2012:270
Novel Lontara Rindu,
2012:23
Novel Lontara
Rindu, 2012:76
Novel Lontara Rindu,
2012:179
”Jadi, kamu sudah tau? Terus kenapa tertawa? Kamu ndak percaya kalo Tonronge sekarang jadi tambang emas?” ”Ayah untuk memastikan tanah punya kadar emas atau tidak, itu ndak bisa dengan mata telanjang.”
32.
”Kamu pernah ke Pasar Amparita?” “Ada apa sih, Ma?Kok seperti aneh sekali
dengar pasar Amparita?” ”Bagaimana tidak aneh, Pasar Corawali
saja kamu tak pernah injak kalo tidak ditemani…”
34.
”Kamu mau apakan air itu?” ”Buat diminum, Pak,” ”Saya mengajak kalian ke sini bukan untuk menyakini cerita-cerita mistik yang ada di balik sejarah sumur ini tapi untuk memperlihatkan kepada kalian, bahwa kisah Nenek mallomo yang melegenda di Sidrap benar-benar pernah terjadi. Bukan dongeng semata!”
35.
”Kenapa ya, Bu Maulindah sering sekali mengkhayal?”.
“Mikir jodoh kali ya?” “Jangan berisik, pesawat mau boarding
nih!”.
36.
”Namamu Vito? ”Vito Ilhamsyah Putra”
Novel Lontara Rindu,
2012:76
Novel Lontara Rindu,
2012:142
Novel Lontara Rindu,
2012:18
Novel Lontara Rindu,
2012:39
37.
”Kek,tengah malam gini, ngapain kesini?” ”Saya kesini bawain sleeping bag kamu
yang tertinggal”. ”Waduuh, Kek bukan tertinggal. Emang sengaja saya ndak bawa…” ”Nah itu dia!Kakek ndak bisa tidur mikirin uang belasungkawa…”
38. ”Mama Sakit?” ”Saya menunggu kamu pulang sekolah!” ”Saya baru ingat ! Hari ini dua puluh sembilan september. Saya ulang tahunya,Ma?”
39.
”Ayah pergi membawa adik Vino?” ”Nama ayah, Ilham kan, Ma?” ”Ayahmu seorang penganut Tolotang…”
40.
”Ada yang bisa saya bantu, Pak?” ”Saya Japareng, Pak!”
41.
”Korupsi itu sama dengan mencuri ya, Pak?” ”Ooohhh, jelassss!Koruptor itu di atasnya pencuri. Mereka adalah penyamun-penyamun berdasi,” ”Jangan-jangan mereka penyebab kemarau panjang ini!” ”Kita tidak boleh memvonis seperti itu. Kita tanya hati kita masing-masing dan jawab dengan hati kita masing-masing.
Novel Lontara Rindu,
2012:42
Novel Lontara
Rindu, 2012:238
Novel Lontara
Rindu, 2012:240
Novel Lontara
Rindu, 2012:259
Novel Lontara Rindu,
2012:140
3.
Inferensi.
Pernahkah kita tak jujur selama ini? Pernakah kita mencuri selama ini? Ingat putra Nenek Mallomo yang membawa petaka berkepanjangan hanya mencuri setangkai kayu. Itu pun niatnya bukan mencuri karena batang kayu yang dicurinya adalah kayu yang batangnya menjulur ke kebunnya.”
42.
”kita harus membantu Pak Saleng menaikkan kerbau ke truknya. Ada yang punya ide?” ”Gimana kalau kita pancing” “Maksud kamu, kita naikkan rumput ke atas truk, siapa tau kerbau itu mau memakan rumput itu?” “Kalau mau rumput ndak usah naik truk, tuh kan disekeliling truk banyak rumput segar. Toh dia ndak minat.”
43.
”Pekan depan, kita akan ikut lomba futsal antarsekolah tingkat Kecamatan di Corawali!”.
”Kita harus jadi pemenang!” ”Kita ke Pangkajene?” ”Yess! Kalo begitu kita harus menang!” ”Kita harus latihan!”
44.
” Mau diapakan air itu?” ” Buat diminum Pak,” ”Saya mengajak kalian kesini bukan untuk
menyakini cerita-cerita mistik yang ada dibalik sejarah sumur ini tapi untuk memperlihatkan kepada kalian, bahwa kisah Nenek Malomo yang melegenda di
Novel Lontara Rindu,
2012:36
Novel Lontara Rindu,
2012:233-234
Novel Lontara Rindu,
2012:142
C
Pendidikan Karakter
Sidrap benar-benar pernah terjadi. Bukan dongeng semata!”.
45.
”bisa kita bicara?saya ada bisnis menarik!” ”Dengan saya?Mau pesan Jadde’untuk
besok?. ”Bukan mau pesan Jadde’. Boleh saya
naik dulu ke rumah?”.
46.
“Kamu tutup hidung saja! Saya yakin kamu ndak tahan. Ndak usah malu-malu”.
47.
“Koruptor itu di atasnya pencuri, mereka itu penyamun-penyamun berdasi.”. Namun Pak Amin tidak sekadar mengutuk keadaan tetapi juga mengajak siswa-siswanya berefleksi, “Kita tanya hati kita masing-masing dan kita jawab masing-masing. Pernahkan kita tidak jujur selama ini? Pernahkan kita mencuri selama ini? Ingat putra Nenek Mallomo yang membawa petaka kemarau hanya mencuri sebatang kayu.” Efek dari refeleksi Pak Amin diceritakan bahwa Sarah, Alaudin dan Adnan siswa-siswanya menjadi menyadari kesalahan mereka
48.
“La Palaga, apa yang terjadi dengan negeri ini? Sepanjang sejarah, baru kali ini negeri ini dilanda kemarau berkempanjangan,” ungkap Raja La
Novel Lontara
Rindu, 2012:200
Novel Lontara
Rindu, 2012:150
Novel Lontara Rindu,
2012:140
Novel Lontara Rindu,
2012:94-95
Patiroi, saat Nenek Mallamo datang menghadap
49.
“Puang, ade’ temmakkeana’ nennia temmakeappo (adat tak mengenal anak dan tak mengenal cucu).
Nenek Mallomo sebagai hakim yang bijak lagi adil kemudian menjatuhkan vonis mati kepada putra tercintanya.
“Apa itu tidak terlalu berlebihan, Pagala?” “Puang, saya menghukumnya bukan
karena kayu yang dicurinya, tapi karena perbuatannya itu. Karenanya negeri ini telah dilanda kemarau berkepanjangan. Dia telah menyengsarakan rakyat”.
50.
“Aku berpesan kepada tiga golongan: kepada raja, hakim, dan pelayan masyarakat. Jangan sekali-kali engkau meremahkan kejujuran itu. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab kejujuran dan tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena itu takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur. “itu pesan Nenek Mallomo semasa hidupnya yang hingga kini tak banyak lagi yang mampu melaksanakan amanah itu.”
51.
“Vito memeluk temannya satu per satu dan mengucapkan terima kasih atas perjuangannya yang telah berhasil menyelamatkan lebih dari seperempat kebun mete…”
Novel Lontara Rindu,
2012:95-96
Novel Lontara Rindu
2012:96
Novel Lontara
Rindu 2012:256
52.
“Saya sudah melapor ke kantor polisi. Kita berdoa saja, karena polisi sedang mengejar mereka dan merazia kendaraan sepanjang jalan menuju Makassar. Besok pagi, aka nada polisi yang datang kesini untuk melaporkan hasilnya.”
53.
“Piltrip? Pil apa tuh, Pak? Tanya Anugrah sambil mencolek sambal dengan ubi goreng langsung dari ulekan. “Field Trip! Itu sama dengan darmawisata. Saya akan mengajak kalian ke sebuah sumur di Allaukang”. “Sumur? Di sungai sini juga banyak sumur, Pak,” sela Irfan”
54.
“Oh iya, Pak! Allaukang yang akan kita kunjungi dekat dengan Amparita ya, Pak?” Vito bertanya dengan tatapan penuh harapan dan suara yang serius. “Berbatasan! Kalau dari sini, Amparita dulu baru Allaukang, setelah itu Pangkajene ibu Kota Kabupaten. Memang kenapa, To?
Novel Lontara
Rindu 2012:304
Novel Lontara
Rindu 2012:91
Novel Lontara Rindu
2012:92
setting
Data 1
“Mau kemana?” Seorang laki-laki sepantaran dengannya, yang dari gelagatnya juga senasib dengannya, mendekat.
“Co-Corawali!” jawabnya dengan gugup. “Saya mau ke Amparita. Tapi sepertinya tak ada lagi mobil malam ini.”
Halimah melirik lelaki yang berdiri tak jauh dari sampingnya. Di bawah lampu jalan yang mulai temaran, lelaki itu mendapat penilaian sempurna di matanya. Bukan hanya wajah. Dari cara bicaranya yang sopan, Halimah menangkap kesan jika lelaki itu berpendidikan.
“Kenapa bisa kemalaman?”. Lelaki itu membuka topik. “Saya dari menjelang magrib berdiri disini…,” ucap Halimah tanpa sekali pun
menatap mata lawan bicaranya. “Menjelang magrib? Kalo menjelang magrib, harusnya tadi nunggu di
terminal. Biasanya mobil yang full penumpang ndak lewat sini lagi, tapi mengambil jalur lewat depan Rumah Sakit Nenek Mallomo. Di sini khusus nunggu mobil dari Parepare.”
“Kalau tidak ada angkot hingga isya, saya bisa pinjam mobil kakak sepupu saya yang di sini. Saya janji akan antar kamu sampai ke Corawali.”
(LR, 2012:46-48)
Data 2
“ingat! Ini sekolah baru! Kalau kalian tak bisa di atur, bisa-bisa pemerintah meniadakan kembali sekolah ini. Kalian mau ke sekolah kecamatan melanjutkan sekolah? Berapa biaya yang harus kalian keluarkan? Dan yang lebih mengecewakan, sudah hampir satu tahun kalian belajar disini, tak satu pun dari kalian yang bisa menyumbangkan satu piala untuk sekolah kita….?”
(LR, 2012:13)
Data 3
“Kamu memang keterlaluan, To! Harusnya waktu kami ke rumahmu dengan Pak Amin, kamu jujur aja. Bukan malah pura-pura terpukul dengan kematian kakek kamu.”
“Apalagi saat Pak Amin lari tunggang langgang karena melihat kakek kamu ditengah malam, itu sama saja merontokkan cambang Pak Amin yang selama ini membuatnya kekar. Lain kali kalau mau bohong, pikir-pikir dulu, To! Selain dosa, merugikan orang lain, juga merugikan diri sendiri.”
“Waduh, kalo mau ceramah, jangan di depan saya deh! Sekalian di masjid hari jumat, gantikan katte(khatib) Lolo baca kutbah,” protes Vito saat Irfan ikut menyalahkannya.
“Ssst!Pak Amin datang!” seluruh siswa beranjak ke tempat duduk masing-masing.
“Hari ini Bu Maulindah ndak masuk. Saya yang gantikan pelajaran IPS.” Irfan menyenggol kaki Vito pertanda memintanya ke depan kelas untuk meminta maaf. Vito masih kikuk. Berikutnya tendangan dari belakang oleh Adnan. Dengan isyarat yang sama, meminta Vito maju untuk meminta maaf sebelum pelajaran dimulai.
(LR, 2012:52-53)
Data 4
“Halimah, kamu kesini dulu, “teriak ayahnya dari ruang tengah. Halimah memenuhi panggilan itu dengan seribu tanda tanya. Tak biasanya ia dilibatkan dengan ‘upacara’ minum kopi ayah dan ibunya.
“Tadi pamanmu menemuiku di kebun mete….” Suara ayahnya berhenti sambil menyorot wajah Halimah di bawah cahaya lampu sepuluh watt.
“Dia banyak bercerita tentang Azis, sepupumu yang dulu sekelas dengan kamu waktu SD,” lanjut ibunya.
“Maksud, ibu?” tanyanya saat menangkap sinyal aneh dari kalimat ibunya. “Sepertinya dia mabbaja laleng (membersihkan jalan): ungkapan yang berarti
penjajakan. Biasanya dilakukan keluarga laki-laki sebelum datang melamar).”
“Tapi….” “Tapi kau mencintai Ilham? Begitu maksud kamu?” tegas ayahnya “Dua bulan tinggal di kampung kita, sekali pun dia tak pernah ke masjid.
Setinggi apa pu sekolahnya, bagiku Azis yang selalu azan di masjid, masih jauh lebih berpendidikan daripada dia.”
(LR, 2012:87)
Data 5
“Saya menemanimu tidur malam ini bukan untuk bercerita tentang ayahmu. Aku ingin mengajakmu menjadi lelaki Bugis yang sesungguhnya!” Vito yang tadinya memeluk guling untuk menyembunyikan tangis,kini meleraikan gulingnya.
“Lelaki Bugis tak berpantang menangis, tapi saat dia menangis, tak boleh ada yang berubah. Harus tetap tegar!”
“Ayahku juga Bugis?” Vito mencoba menyelidik. Suara generator dari pinggiran kampung sudah mati, berarti sudah jam sepuluh. Tak ada lagi suara, kecuali bunyi kelelawar berebut buah semu jambu mete. Juga sesekali suara burung hantu yang bertengkar di puncak pohon asam yang daunnya banyak meranggas akibat kemarau berkepanjangan.
(LR, 2012:118)
Data 6
“Ada yang hampir terlupa, saya pertama ke Pakka Sallo tahun delapan puluhan. Kalian tahu untuk urusan apa?” semua menggeleng. Semua penasaran. Mereka bisa membaca gaya bicara Pak Amin saat bercerita dan bertanya retoris, itu berarti ada cerita yang sangat menarik dari jawabannya nanti.
“Dulu saking makmurnya negeri ini, saat musim tanam tiba, ratusan hetare sawah yang ada di Kecamatan ini hampir semuanya terisi padi menghijau.”
“Hampir?” Alif mencoba mengorek lebih jauh, mengapa tak semua lahan tertananmi. Semua mata beralih ke Alif karena pertanyaannya dianggap mengganggu cerita.
“Lahan yang tidak tertanami adalah lahan yang tak bisa di garap lagi, karena musim hujan akan segera berakhir. Biasanya lahan seperti inilah yang akan ditempati kerbau dan sapi mencari makan….”
“Oke, sudah sore. Kita harus pulang!”
(LR, 2012:158)
Data 7
“Lima jam perjalanan kaki meninggalkan Pakka Sallo, menelusuri setapak belantara di antara gelap. Cinta telah memberinya keberanian serupa itu. tak sedikit pun ketakutan menyusup di hatinya meski belantara terkadang benar-benar gelap ketika cahaya purnama tak bisa menembus rimbun pepohonan, sementara cahaya senternya hanya mampu menerangi jalan setapak tempat kakinya akan berpijak. Matahari baru saja menyapa pagi ketika dia tiba di Corawali. Lalu sebuah angkot mengantarnya ke Pangkajene. Tapi sedikit kecewa saat tempat yang ditujunya itu tak ada Ilham, masih ada harapan, dia akan menunggu sampai Ilham akan datang menemuinya. Pagi sejuk telah berubah terik. Terik pun telah melayu dan berganti sore. Ilham tak datang. Halimah gelisah.”
“Boleh saya tahu siapa yang kamu tunggu? Laki-laki, perempuan?” “Teman saya, laki-laki.” Ungkap Halimah pada Pak Sopir “Enam hari berturut-turut ada seorang lelaki yang duduk disini. Katanya
menunggu seseorang. Menunggu dari pagi dan pulang malam dengan agkot terakhir.”
(LR, 2012:178-179)
Data 8
“Tonronge sekarang seperti pasar.”Pak Amin membuka cerita sambil merapatkan duduk di kursi kayu yang tersedia di lego-lego. “Hanya sawah kita yang tidak di beri patok pembatas.”
“Sudah kamu patok tadi?” “Ya, sabarlah! Insya-Allah, tanah kita aman. Buktinya ndak ada yang mau
mengakuinya…” “Bukan ndak ada, tapi belum ada.” “Tadi pagi, katanya, orang dari Dinas pertambangan sudah mengambil
sampel tanahnya. Tunggu sampai ada pengumuman resmi dari pemerintah….”
“Kalau cuman mau lihat-lihat sawah , saya juga bisa. Kenapa ndak di patok tadi?.” Ayahnya sudah menaikkan nada suaranya beberapa oktaf. Pak Amin menghela nafas panjang. Tak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskannya. Ayahnya sudah terprovokasi dengan orang-orang kampung untuk tidak percaya dengan apapun yang dikatakan oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Pertambangan dan energi. Termasuk pengolahan emas jika Tonronge betul-betul jadi ladang emas.”
(LR, 2012:212)
Data 9
“Hari ahad, Pak Amin dan tujuh siswa laki-lakinya berkumpul di lapangan sekolah. Pak Bahtiar turut hadir.
“Pekan depan, kita akan ikut lomba futsal antar sekolah tingkat Kecamatan di Corawali!”
“Yes! Kita turun gunung lagi! Pekik Irfan dalam hati. Turun ke Corawali bagi mereka itu sama halnya tamasya ke kota, meninggalkan perbukitan yang mengekang pandangan.
“Ingat! Semua ini masih mimpi! Pak Amin kini yang berteriak. Suasana tenang lagi.
“Lawan-lawan kita di luar sana sudah siap sejak dua bulan lalu. Sedangkan waktu kita tinggal sepekan karena suratnya baru diterima. Jadi, kita harus berlatih sepuluh kali lipat dari mereka jika kita ingi menang,” Lanjut Pak Bahtiar.
(LR, 2012:234)
Data 10
“Kalian ke ruang Kepala Sekolah!” Ketujuhnya langsung tatap. Ada irama ketakutan dari degup jantung mereka.
“Berani berbuat, berani bertanggung jawab!” ucap Pak Amin saat belum ada yang berani melangkah ke ruang kepala sekolah. Lagi-lagi Irfan mengambil langkah pertama, di susul yang lain. Waddah dan Sarah terlihat cemas. Duduknya gelisah. Matanya menatap penuh harap kepada Pak Amin. Bebaskan mereka dari hukuman, Pak! Pak Amin yang diharapkannya terpaku di tempat. Tak sampai sepuluh menit setelah mereka menemui Kepala Sekolah, mereka telah kembali tapi bukan ke kelas. Mereka digiring ke lapangan. Di sana mereka berguling, lompat kodok keliling lapangan, sambil menirukan suara burung gagak.”
(LR, 2012:265)
PRAANGGAPAN Data 11
“Hei, mau kau bawa kemana kerbau-kerbauku?”
(LR, 2012:217) Data 12
“Ayahku juga bugis?”
(LR, 2012:118)
Data 13
“Bu Maulindah berhenti mengajar.”
(LR, 2012:125)
Data 14
“Itu sana sawah ayahmu, cepat patok! Jangan sampai ada yang mengakui sebagai tanahnya.”
(LR, 2012:204)
Data 15
“Saya juga tak tahu. Mungkin saya akan ketempat pertama kita bertemu. Berdiam diri di sana sampai orang mengenalku sebagai orang gila. Saya rela, daripada harus menerima tawaranmu…”
(LR, 2012:186)
Data 16
“Sebetulnya tidak dicuri tapi dirusak! Nilainya pun tak seberapa, tapi cara mencurinya yang profesional, membuat saya yakin bahwa ada orang yang mem-back up aksi ini”.
(LR, 2012:260)
Data 17
“Awas kena parang, jangan duduk di depan ayah!”
(LR, 2012:112)
Data 18
“Bu Maulindah sebenarnya kagum dengan kepintaran Vito bercerita. Paling jago ngarang cerita. Selalu punya alasan yang membuat temannya terpesona sekaligus membuat Bu Maulindah menyembunyikan senyum karena tak ingin dianggap luluh didepan Vito”
(LR, 2012:14)
Data 19
“Saya sudah puluhan tahun jual-beli kambing, sapi, dan kerbau. Tinggal unta saja yang belum pernah saya beli. Baru kali ini saya mendapatkan kerbau yang susah sekali dinaikkan ke truk.”
(LR, 2012:33)
Data 20
“Pokoknya kita harus bersatu! Jangan sampai ada yang diberi iming-iming harga tinggi lalu menjualnya. Akan lebih menguntungkan kalau kita sendiri yang mengelolanya. Ndak usah takut! Saya akan mengajari kalian cara menambang. Saya pernah ikut menambang di Sulawesi Tenggara beberapa bulan yang lalu,waktu terdengar kabar ada tambang emas
ditemukan di sana. Bayangkan dalam satu hari saya bisa dapat dua kilogram emas.”
(LR, 2012:206)
Data 21
“Ini situasinya darurat. Bayangkan kalau gurunya tahu dia bohong, bukan hanya dia, tapi saya sebagai kakeknya dan kamu sebagai mamanya akan ikut dipermalukan.”
(LR, 2012:23)
Data 22
”Bagaimana kalau kita ketuk pintu rumahnya Pak Amin?” ”Pak Amin bisa saja tak setuju dengan aksi kita, bahkan malah
menyerahkan kita ke warga untuk diadili.”
(LR, 2012:231)
Data 23
”Waduh, kalo mau ceramah, jangan di depan saya deh! Sekalian di masjid hari Jumat, gantikan katte (khatib) Lolo baca khutbah.”
(LR, 2012:52)
IMPLIKATUR
Data 24
“Sebelum masuk ceritakan dulu alasan keterlambatan!” “Saat mau berangkat ke sekolah tadi, warga kampung dihebohkan
dengan seekor ular hitam yang tiba-tiba muncul dari semak.” “Panjangnya lebih dari dua meter…”
(LR, 2012:14)
Data 25
”Saya atau Vino yang sulung,Ma?” ”Kamu yang sulung.”
”Berarti adik Vino sekarang sudah sebesar saya ya, Ma!” (LR, 2012:239)
Data 26
“Boleh saya tahu siapa yang kamu tunggu? Laki- laki,perempuan?” ”Teman saya,laki-laki.” ”Enam hari berturut-turut ada seorang lelaki yang duduk di sini. Katanya
menunggu seseorang. Menunggu dari pagi dan pulang malam dengan angkot terakhir.”
”Pulang kemana?” ”Katanya dia orang Amparita. Dia sempat memperkenalkan nama pada
saya….” ”Namanya Ilham?”. (LR, 2012:179)
Data 27
”Mau kemana?” ”Co-Corawali!” ”Saya mau ke Amparita. Tapi, sepertinya tak ada lagi mobil malam ini.”
(LR, 2012:46)
Data 28
”Sekali lagi, saya akan datang. Kamu jangan pernah menerima lamaran lelaki manapun.”
”Sampai kapan?” ”Begitu kuliahku selesai, itu paling lama setahun dari sekarang, saya akan
datang menghilangkan keraguanmu sekaligus menghapus kerinduanku.”
(LR, 2012:84) Data 29
“Saya ucapkan terima kasih sekaligus memberikan dua jempol kepada Vito yang tak pernah lagi terlambat!”
”Tapi, Bu, kita ndak pernah lagi dengar cerita dari Vito karena tidak pernah lagi terlambat.”
”Kalian mau cerita?saya juga bisa bercerita…”
(LR, 2012:101)
Data 30
”Kamu belum tidur, To?” ”Belum ngantuk, Kek!” ”Belum ngantuk atau lagi pikirkan sesuatu?”
(LR, 2012:270)
Data 31
“Kamu ndak usah bangun kalo gitu, kamu sembunyi aja di kamar…” “Ayah ini bagaimana, masa mendidik anak seperti itu?”
“Ini situasinya darurat. Bayangkan kalo gurunya tahu dia bohong…”
(LR, 2012:23)
”Kamu pernah ke Pasar Amparita?” “Ada apa sih, Ma?Kok seperti aneh sekali dengar pasar Amparita?” ”Bagaimana tidak aneh, Pasar Corawali saja kamu tak pernah injak kalo
tidak ditemani…”
(LR, 2012:76)
Data 33
”saya tahu maksud ayah, Di sana sekarang ada emas, kan? Orang Pakka Sallo juga ramai-ramai membicarakannya.”
”Jadi, kamu sudah tau? Terus kenapa tertawa? Kamu ndak percaya kalo Tonronge sekarang jadi tambang emas?”
”Ayah untuk memastikan tanah punya kadar emas atau tidak, itu ndak bisa dengan mata telanjang.”
(LR, 2012:197)
Data 32
”Kamu pernah ke Pasar Amparita?” “Ada apa sih, Ma?Kok seperti aneh sekali dengar pasar Amparita?” ”Bagaimana tidak aneh, Pasar Corawali saja kamu tak pernah injak kalo
tidak ditemani…”
(LR, 2012:76)
Data 34
”Kamu mau apakan air itu?” ”Buat diminum, Pak,” ”Saya mengajak kalian ke sini bukan untuk menyakini cerita-cerita
mistik yang ada di balik sejarah sumur ini tapi untuk memperlihatkan kepada kalian, bahwa kisah Nenek mallomo yang melegenda di Sidrap benar-benar pernah terjadi. Bukan dongeng semata!”
(LR, 2012:142)
Data 35
”Kenapa ya, Bu Maulindah sering sekali mengkhayal?” “Mikir jodoh kali ya?” “Jangan berisik, pesawat mau boarding nih!”
(LR, 2012:18)
Data 36
”Namamu Vito? ”Vito Ilhamsyah Putra”
(LR,2012:39)
Data 37
”Kek,tengah malam gini, ngapain kesini?” ”Saya kesini bawain sleeping bag kamu yang tertinggal.” ”Waduuh, Kek bukan tertinggal. Emang sengaja saya ndak
bawa…” ”Nah itu dia!Kakek ndak bisa tidur mikirin uang belasungkawa…”
(LR, 2012:42)
Data 38 ”Mama Sakit?” ”Saya menunggu kamu pulang sekolah!” ”Saya baru ingat ! Hari ini dua puluh sembilan september. Saya
ulang tahunya,Ma?”
(LR, 2012:238)
Data 39
”Ayah pergi membawa adik Vino?” ”Nama ayah, Ilham kan, Ma?” ”Ayahmu seorang penganut Tolotang…”
(LR, 2012:240)
Data 40
”Ada yang bisa saya bantu, Pak?” ”Saya Japareng, Pak!”
(LR, 2012:259)
Data 41
”Korupsi itu sama dengan mencuri ya, Pak?” ”Ooohhh, jelassss!Koruptor itu di atasnya pencuri. Mereka adalah
penyamun-penyamun berdasi,” ”Jangan-jangan mereka penyebab kemarau panjang ini!” ”Kita tidak boleh memvonis seperti itu. Kita tanya hati kita masing-masing
dan jawab dengan hati kita masing-masing. Pernahkah kita tak jujur selama ini? Pernakah kita mencuri selama ini? Ingat putra Nenek Mallomo yang membawa petaka berkepanjangan hanya mencuri setangkai kayu. Itu pun niatnya bukan mencuri karena batang kayu yang dicurinya adalah kayu yang batangnya menjulur ke kebunnya.”
(LR, 2012:140)
Data 42
”kita harus membantu Pak Saleng menaikkan kerbau ke truknya. Ada yang punya ide?”
”Gimana kalau kita pancing” “Maksud kamu, kita naikkan rumput ke atas truk, siapa tau kerbau itu mau
memakan rumput itu?” “Kalau mau rumput ndak usah naik truk, tuh kan disekeliling truk banyak
rumput segar. Toh dia ndak minat.”
(LR, 2012:36)
Data 43 ”Pekan depan, kita akan ikut lomba futsal antarsekolah tingkat
Kecamatan di Corawali!”. ”Kita harus jadi pemenang!” ”Kita ke Pangkajene?” ”Yess! Kalo begitu kita harus menang!”
”Kita harus latihan!”
(LR, 2012:233-234) INFERENSI
Data 44
” Mau diapakan air itu?” ” Buat diminum Pak,” ”Saya mengajak kalian kesini bukan untuk menyakini cerita-cerita mistik yang
ada dibalik sejarah sumur ini tapi untuk memperlihatkan kepada kalian, bahwa kisah Nenek Malomo yang melegenda di Sidrap benar-benar pernah terjadi. Bukan dongeng semata!”
(LR, 2012:142)
Data 45
”bisa kita bicara?saya ada bisnis menarik!” ”Dengan saya?Mau pesan Jadde’untuk besok?’
”Bukan mau pesan Jadde’. Boleh saya naik dulu ke rumah?”
(LR, 2012:200)
Data 46
“Kamu tutup hidung saja! Saya yakin kamu ndak tahan. Ndak usah malu-malu.”
(LR, 2012:150)
PENDIDIKAN KARAKTER
Data 47
“Koruptor itu di atasnya pencuri, mereka itu penyamun-penyamun berdasi.”. Namun Pak Amin tidak sekadar mengutuk keadaan tetapi juga mengajak siswa-siswanya berefleksi, “Kita tanya hati kita masing-masing dan kita jawab masing-masing. Pernahkan kita tidak jujur selama ini? Pernahkan kita mencuri selama ini? Ingat putra Nenek Mallomo yang membawa petaka kemarau hanya mencuri sebatang kayu.” Efek dari refeleksi Pak Amin diceritakan bahwa Sarah, Alaudin dan Adnan siswa-siswanya menjadi menyadari kesalahan mereka
(LR, 2012:140).
Data 48
“La Palaga, apa yang terjadi dengan negeri ini? Sepanjang sejarah, baru kali ini negeri ini dilanda kemarau berkempanjangan,” ungkap Raja La Patiroi, saat Nenek Mallamo datang menghadap.
“Begini Puang (panggilan ningrat)! Kemarau panjang ini diakibatkan oleh salah seorang rakyat bahkan penghuni Sao Raja (istana) ini tidak jujur,” tegas Nenek Mallomo setelah memberi hormat pada Sang Raja.
“Tidak jujur? Maksud kamu?” Raja mengerutkan kening. “Tidak jujur itu bukan hanya berdusta, Puang, mencuri juga
termasuk dalam ketegori tidak jujur.”
(LR, 2012: 94 -95) Data 49
“Puang, ade’ temmakkeana’ nennia temmakeappo (adat tak mengenal anak dan tak mengenal cucu)
Nenek Mallomo sebagai hakim yang bijak lagi adil kemudian menjatuhkan vonis mati kepada putra tercintanya.
“Apa itu tidak terlalu berlebihan, Pagala?” “Puang, saya menghukumnya bukan karena kayu yang dicurinya, tapi
karena perbuatannya itu. Karenanya negeri ini telah dilanda kemarau berkepanjangan. Dia telah menyengsarakan rakyat.”
(LR, 2012: 95-96).
Data 50
“Aku berpesan kepada tiga golongan: kepada raja, hakim, dan pelayan masyarakat. Jangan sekali-kali engkau meremahkan kejujuran itu. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab kejujuran dan tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena itu takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur. “itu pesan Nenek Mallomo semasa hidupnya yang hingga kini tak banyak lagi yang mampu melaksanakan amanah itu.”
(LR, 2012:96)
Data 51
“Vito memeluk temannya satu per satu dan mengucapkan terima kasih atas perjuangannya yang telah berhasil menyelamatkan lebih dari seperempat kebun mete…”
(LR, 2012:256)
Data 52
“Saya sudah melapor ke kantor polisi. Kita berdoa saja, karena polisi sedang mengejar mereka dan merazia kendaraan sepanjang jalan menuju Makassar. Besok pagi, aka nada polisi yang datang kesini untuk melaporkan hasilnya.”
(LR, 2012:304)
Data 53
“Piltrip? Pil apa tuh, Pak? Tanya Anugrah sambil mencolek sambal dengan ubi goreng langsung dari ulekan.
“Field Trip! Itu sama dengan darmawisata. Saya akan mengajak kalian ke sebuah sumur di Allaukang.”
“Sumur? Di sungai sini juga banyak sumur, Pak,” sela Irfan”
(LR, 2012:91)
Data 54
“Oh iya, Pak! Allaukang yang akan kita kunjungi dekat dengan Amparita ya, Pak?” Vito bertanya dengan tatapan penuh harapan dan suara yang serius.
“Berbatasan! Kalau dari sini, Amparita dulu baru Allaukang, setelah itu Pangkajene ibu Kota Kabupaten. Memang kenapa, To?
(LR, 2012:92)
RIWAYAT HIDUP
Nama saya adalah Arisa. Akrab dipanggil dengan nama
Icha. Tempat tanggal lahir di Kalimantan Timur, 11
Oktober 1986. Saya merupakan buah hati dari pasangan
Andi Untung Paddo dan Suminah, anak kedua dari lima
bersaudara. Alamat di Jalan H. A. Tanjong No. 43 A, Kecamatan Tempe,
Kabupaten Wajo. Saya menjalani jenjang pendidikan berawal di sekolah SD
001 Tiong Ohang, Kalimantan Timur dan berhasil menyelesaikan pendidikan
SD pada tahun 2000. Setelah itu saya melanjutkan pendidikan di SMPN 25
Sendawar Kalimantan Timur dan selesai tahun 2003. Semangat penulis yang
tinggi untuk mengenyam pendidikan, mengantarkan langkah penulis
melanjutkan lagi pendidikan di SMAN 3 Unggulan Kabupaten Wajo Sulawesi
Selatan, dan berhasil melepaskan identitas putih abu-abu tahun 2006.
Perjalanan panjang saya tidak hanya sampai di situ, saya kemudian
melanjutkan lagi pendidikan S-1 di STKIP Prima Sengkang dan meraih gelar
sarjana pada tahun 2010. Sebuah keberkahan yang Tuhan berikan hingga
akhirnya saya melanjutkan pendidikan S-2 di Pascasarjana Pendidikan
Bahasa dan Sastra Unismuh Makassar). Selain itu, beberapa tangga
organisasi pun pernah saya jajaki. Peran serta saya dalam berorganisasi
yakni sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Puangrimaggalatung Sengkang
tahun 2008 hingga 2009, pada tahun yang sama 2008 hingga 2009 saya
terpilih sebagai Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Wajo.
Kemauan untuk belajar mendorong saya untuk kembali bergabung
sekaligus menjadi Pengurus Harian Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) tahun 2008 hingga 2009. Perjalanan panjang terus
mengiringi saya menjadi Anggota Lembaga Kajian Evolusi Kesadaran
Spritual dan Intelektual Cabang Wajo tahun 2007 – 2008. Untuk menjadikan
saya manusia yang lebih bermakna, saya kembali bergabung sebagai
Pengurus Daerah Aisyiah Bidang Lembaga Kebudayaan tahun 2012 hingga
sekarang. Saat ini pun saya diberi kepercayaan 2016 – 2017 menjadi notulen
tetap pada Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim NU
yang bekerja sama dengan Australian Government Departement Of Foreign
Affairs and Trade 2016 – 2017
Melalui beberapa organisasi tersebut, saya menemukan warna-warni
pengetahuan dan pengalaman baik suka maupun duka untuk menemui
makna kehidupan. Sebagai makhluk yang tidak sempurna, saya lengkapi
kehidupan dengan mengarungi bahterah rumah tangga bersama Andi
Rahmat Munawar dan kehidupan bersama sang suami telah menganugerahi
kami buah hati. Anak pertama bernama Andi Ali Musthafa yang saat ini
berumur 6 Tahun, dan anak kedua bernama Andi Khadijah Arridha berumur 3
tahun.