14
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111 98 KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL (Analisis Framing Model Gamson-Modigliani dalam Pemberitaan Kasus Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Sipil di Merdeka.com Edisi Februari-Maret 2019) NEWS CONSTRUCTION OF CORRUPTION OF CIVIL SERVANTS EMPLOYEES (Gamson-Modigliani's Model Framing Analysis in Reporting on Civil Servants Corruption Cases at Merdeka.com Edition February-March 2019) Launa 1 1 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Satya Negara Indonesia Jl. Arteri Pondok Indah No. 11 Jakarta Selatan 12240 Email: [email protected] 1) , Naskah diterima: 29 Maret 2019, direvisi: 8 Agustus 2019, disetujui: 20 September 2019 Abstrak Beban anggaran negara akibat korupsi yang dilakukan para PNS yang belum dipecat telah menjadi sorotan utama pemberitaan media massa nasional, termasuk menjadi hot issue di media sosial. Merdeka.com adalah salah satu media sosial yang ikut memberitakan kasus korupsi para aktor birokrasi tersebut. Pemberitaan Merdeka.com dalam kasus korupsi PNS cenderung memberi framing negatif pada sikap pemerintah. Kajian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Motode analisis yang digunakan adalah model framing Gamson-Modigliani dengan teknik analisis deskiptif-interpretif, dan metode pengumpulan data dokumentasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberitaan Merdeka.com menempatkan pemerintah pada posisi negatif sebagai dampak dari ketidakjelasan sikap para pejabatnya dalam menindak tegas PNS pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Perangkat framing (framing device) dan perangkat penalaran (reasoning device) yang digunakan Merdeka.com lebih banyak menonjolkan pernyataan bernada permisif terkait sikap pemerintah dan para pejabatnya atas kasus korupsi yang membelit institusinya. Di sisi lain, pihak pemerintah yang ditampilkan sebagai narasumber (baik ditinjau dari sisi methapors, catchphrases, exemplars, dan depictions maupun dari sisi roots, appeals to principle, dan consequence) juga terlihat defensif dalam memberi solusi atas wacana tipikor yang dilakukan para PNS. Kata kunci: Korupsi PNS, analisis framing, sikap ambigu pemerintah. Abstract - The burden of the state budget due to corruption by unscrupted civil servants has been the main focus of national mass media coverage, including being a hot issues on social media. Merdeka.com is one of the social media that has contributed to the corruption of the bureaucratic actors. News on Merdeka.com in corruption cases of civil servants tends to give a negative framing on the attitude of the government. This study uses a constructivist paradigm with a qualitative approach. The analytical method used is the Gamson- Modigliani framing model with desciptive-interpretive analysis techniques, and documentation data collection methods. The results of the analysis show that the news of Merdeka.com put the government in a negative position as a result of the unclear attitude of the officials in taking firm action against PNS perpetrators of corruption. The framing device and the reasoning device used by Merdeka.com emphasize more permissive statements regarding the attitude of the government and its officials over corruption cases that surround their institutions. On the other hand, the government shown as a resource person (both in terms of methapors, catchphrases, exemplars, and depictions as well as roots, appeals to principle, and consequence) also looks defensive in providing solutions to the corruption discourse carried out by civil servants. Keywords: Public servant corruption, framing analysis, umbiguous attitude of the government. PENDAHULUAN Fenomena korupsiyang berlangsung dalam wujud dan modus yang beragamintensitas dan penyebarannya bak virus ganas dengan stadium mematikan. Berbagai jenis terapi, resep, dan obat penawar sudah diberikan, namun virusnya telah menyebar di hampir semua lini, level, dan sektor kehidupan bangsa, tak terkecuali sektor birokrasi yang menjadi ujung tombak pelayan publik. Banyaknya PNS yang terjerat kasus korupsi membuat birokrasi menjadi trend setter korupsi. PNS yang menjadi aktor terbanyak dalam kasus korupsi karena dinilai memiliki akses sebagai pelaksana dalam sejumlah kegiatan. Pada 12 September 2018 lalu, Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah merilis sebaran data rekapitulasi 2.357 PNS yang terlibat tindak pidana korupsi. Dari jumlah itu, sebanyak 98 orang adalah PNS yang ada di sejumlah kementerian atau lembaga tingkat pusat. Sementara, 2.259 lainnya tersebar di sejumlah provinsi, kabupaten, dan kota.

KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

98

KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

(Analisis Framing Model Gamson-Modigliani dalam Pemberitaan Kasus Tindak Pidana

Korupsi Pegawai Negeri Sipil di Merdeka.com Edisi Februari-Maret 2019)

NEWS CONSTRUCTION OF CORRUPTION OF CIVIL SERVANTS EMPLOYEES

(Gamson-Modigliani's Model Framing Analysis in Reporting on Civil Servants Corruption Cases

at Merdeka.com Edition February-March 2019)

Launa1

1Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Satya Negara Indonesia

Jl. Arteri Pondok Indah No. 11 Jakarta Selatan 12240

Email: [email protected]),

Naskah diterima: 29 Maret 2019, direvisi: 8 Agustus 2019, disetujui: 20 September 2019

Abstrak – Beban anggaran negara akibat korupsi yang dilakukan para PNS yang belum dipecat telah menjadi

sorotan utama pemberitaan media massa nasional, termasuk menjadi hot issue di media sosial. Merdeka.com

adalah salah satu media sosial yang ikut memberitakan kasus korupsi para aktor birokrasi tersebut. Pemberitaan

Merdeka.com dalam kasus korupsi PNS cenderung memberi framing negatif pada sikap pemerintah. Kajian ini

menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Motode analisis yang digunakan adalah

model framing Gamson-Modigliani dengan teknik analisis deskiptif-interpretif, dan metode pengumpulan data

dokumentasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberitaan Merdeka.com menempatkan pemerintah pada

posisi negatif sebagai dampak dari ketidakjelasan sikap para pejabatnya dalam menindak tegas PNS pelaku

tindak pidana korupsi (tipikor). Perangkat framing (framing device) dan perangkat penalaran (reasoning device)

yang digunakan Merdeka.com lebih banyak menonjolkan pernyataan bernada permisif terkait sikap pemerintah

dan para pejabatnya atas kasus korupsi yang membelit institusinya. Di sisi lain, pihak pemerintah yang

ditampilkan sebagai narasumber (baik ditinjau dari sisi methapors, catchphrases, exemplars, dan depictions

maupun dari sisi roots, appeals to principle, dan consequence) juga terlihat defensif dalam memberi solusi atas

wacana tipikor yang dilakukan para PNS.

Kata kunci: Korupsi PNS, analisis framing, sikap ambigu pemerintah.

Abstract - The burden of the state budget due to corruption by unscrupted civil servants has been the main focus

of national mass media coverage, including being a hot issues on social media. Merdeka.com is one of the

social media that has contributed to the corruption of the bureaucratic actors. News on Merdeka.com in

corruption cases of civil servants tends to give a negative framing on the attitude of the government. This study

uses a constructivist paradigm with a qualitative approach. The analytical method used is the Gamson-

Modigliani framing model with desciptive-interpretive analysis techniques, and documentation data collection

methods. The results of the analysis show that the news of Merdeka.com put the government in a negative

position as a result of the unclear attitude of the officials in taking firm action against PNS perpetrators of

corruption. The framing device and the reasoning device used by Merdeka.com emphasize more permissive

statements regarding the attitude of the government and its officials over corruption cases that surround their

institutions. On the other hand, the government shown as a resource person (both in terms of methapors,

catchphrases, exemplars, and depictions as well as roots, appeals to principle, and consequence) also looks

defensive in providing solutions to the corruption discourse carried out by civil servants.

Keywords: Public servant corruption, framing analysis, umbiguous attitude of the government.

PENDAHULUAN

Fenomena korupsi—yang berlangsung

dalam wujud dan modus yang beragam—

intensitas dan penyebarannya bak virus ganas

dengan stadium mematikan. Berbagai jenis

terapi, resep, dan obat penawar sudah

diberikan, namun virusnya telah menyebar di

hampir semua lini, level, dan sektor kehidupan

bangsa, tak terkecuali sektor birokrasi yang

menjadi ujung tombak pelayan publik.

Banyaknya PNS yang terjerat kasus korupsi

membuat birokrasi menjadi trend setter

korupsi. PNS yang menjadi aktor terbanyak

dalam kasus korupsi karena dinilai memiliki

akses sebagai pelaksana dalam sejumlah

kegiatan. Pada 12 September 2018 lalu, Badan

Kepegawaian Negara (BKN) telah merilis

sebaran data rekapitulasi 2.357 PNS yang

terlibat tindak pidana korupsi. Dari jumlah itu,

sebanyak 98 orang adalah PNS yang ada di

sejumlah kementerian atau lembaga tingkat

pusat. Sementara, 2.259 lainnya tersebar di

sejumlah provinsi, kabupaten, dan kota.

Page 2: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

99

Data BKN senada dengan laporan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK

menyoroti peran kepala daerah menyusul

terungkapnya sejumlah laporan bahwa masih

ada 2.357 PNS terpidana korupsi yang

berstatus aktif sebagai PNS. Data ini didapat

BKN setelah pihaknya menjalin kerja sama

dengan Dirjen Pemasyarakatan Kementerian

Hukum dan HAM pada tahun 2016. Dari

kerjasama itu ditemukan setidanya ada 7.749

PNS yang terlibat tindak pidana korupsi, 2.674

orang di antaranya telah mendapat vonis

pengadilan (inkracht). Dari 2.674 orang

tersebut, terungkap ada 317 di antaranya sudah

diberhentikan dengan tidak hormat, sementara

2.357 ternyata masih terdaftar aktif sebagai

PNS.

Namun, bila di total berdasarkan catatan

BKN, jumlah PNS yang terlibat dalam kasus

tindak pidana korupsi (tipikor) jauh lebih

besar. BKN mencatat dari 87 orang PNS yang

terlibat kasus tipikor dan masih berstatus aktif

tersebar di 17 kementerian dan lembaga.

Jumlah terbanyak ada di di Kementerian

Perhubungan (16 PNS), peringkat kedua di

Kementerian Agama (14 PNS), Menyusul 9

PNS dengan kasus tipikor dari Kementerian

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

(PUPR) dan Kementerian Ristekdikti. Selain

di kementerian, BKN juga menemukan 11

PNS yang terlibat tipikor dan berstatus aktif

sebagai pegawai dari berbagai lembaga negara.

PNS berkasus korupsi di Mahkamah Agung

berjumlah 5 orang. Terbanyak berikutnya

adalah PNS dari Setjen Komisi Pemilihan

Umum (KPU) sejumlah 3 orang.

Temuan menarik lain didapat dari hasil

penyilangan data rekapitulasi jumlah PNS

yang melakukan tipikor versi BKN, dengan

perbandingan data anggaran tiap kementerian

dan lembaga. Semakin besar anggaran

kementerian/lembaga maka jumlah PNS

pelaku tipikor juga tinggi. Melalui kajian di 10

kementerian dan 10 lembaga beranggaran

paling tinggi di tahun anggaran 2018 dari total

87 kementerian/lembaga. Berdasarkan data

pagu dan realisasi anggaran belanja

kementerian/lembaga tahun anggaran 2015-

2018, muncul pola alokasi anggaran yang

konsisten, dimana alokasi anggaran

kementerian/lembaga yang memiliki pagu

anggaran tinggi cenderung sama dari tahun ke

tahun. Namun, BKN menggunakan data

anggaran belanja kementerian/lembaga tahun

2018 sebagai patokan untuk melihat jumlah

PNS yang terlibat kasus tipikor.

Hasilnya, 90 persen kementerian yang

PNS-nya terlibat korupsi berasal dari

kementerian dan lembaga dengan besaran

anggaran belanja di atas Rp 20 triliun.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

Rakyat (PUPR), Kementerian Pertahanan, dan

Kementerian Agama adalah tiga kementerian

teratas (dengan besaran anggaran belanja

tertinggi yang memiliki) yang PNS terlibat

kasus tipikor terbanyak. Dari 10

kementerian/lembaga itu, hanya Kementerian

Sosial—menurut data rekapitulasi BKN

2018—yang tidak memiliki PNS aktif yang

terlibat kasus tipikor.

Menurut cara pandang konstruksi sosial,

berita tidak hadir dari ruang hampa. Berita

yang disusun wartawan hadir dari suatu proses

proses dialektis: siapa pemilik media itu?

(kepentingan) apa yang mendasari pendirian

media itu? Siapa orang-orang yang terlibat

dalam memproduksi teks-teks berita di media

itu? Bagaimana nilai dan rutinitas organisasi

mempengaruhi pemberitaan media?

Bagaimana watak realitas sosial, budaya,

politik, ekonomi, dan ideologi yang melatari

lingkungan ekstra media (yang menjadi tempat

dimana media itu hidup dan beroperasi)?

Kajian framing berita dengan paradigma

konstruktivis ini meyakini bahwa dalam setiap

teks berita selalu tersembunyi kepentingan

(motif) tertentu yang ingin diraih oleh si

pembuat berita, melalui penggunaan perangkat

bahasa atas suatu isu atau peristiwa tertentu

yang bisa jadi dilatari oleh berbagai

kepentingan (bisa objektif atau subjektif,

konstruktif atau destruktif, membebaskan atau

menindas) yang sadar atau tidak tengah

diperjuangkan oleh wartawan/media

bersangkutan.

Kajian ini ditujukan untuk menjawab

pertanyaan: bagaimana Merdeka.com

menempatkan pemberitaan korupsi PNS dalam

perangkat framing (framing device) dan

perangkat penalaran (reasoning device) model

William A. Gamson dan Andre Modigliani.

Dari sisi akademis, hasil kajian ini diharapkan

dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi studi

media berbasis analisis framing model

Gamson-Modigliani terkait konstruksi kasus

korupsi PNS di media online. Sementara dari

sisi praktis, hasil kajian diharapkan memberi

kontribusi praktis bagi wartawan dan para

pekerja media agar bersikap netral, objektif,

adil, dan proporsional serta khalayak pembaca

yang lebih cerdas (literatif) dalam memahami

(memilih dan memilah) isi berita.

Page 3: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

100

METODE PENELITIAN

Paradigma yang digunakan dalam kajian

ini adalah paradigma konstruksi sosial.

Melalui penggunaan paradigma konstruksi

sosial, kajian ini diharapkan dapat menyibak

framing pemberitaan melalui praktik bahasa

seperti apa yang di konstruksi di ruang teks

berita Merdeka.com. Analisis teks berita akan

dilakukan dua tahap, yaitu analisis perangkat

framing (framing devices) dan analisis

perangkat penalaran (reasoning devices).

Struktur framing devices menekankan analisis

pada aspek cara „melihat‟ suatu isu

(mencakup: metaphors, catchphrases,

exemplars, depictions, dan visual images).

Sementara struktur reasoning devices

menekankan aspek pembenaran terhadap cara

„melihat‟ isu (mencakup roots/analisis kausal,

appeals to principle/klaim moral, dan

consequences/efek atau konsekuensi yang

didapat dari bingkai).

Jenis penelitian yang digunakan dalam

kajian ini adalah penelitian kualitatif dengan

metode analisis deskriptif-interpetif.

Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian

pada prinsip-prinsip umum yang mendasari

perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala

sosial yang berlangsung dalam kehidupan

masyarakat (Bungin, 2005). Teknik analisis

menggunakan analisis framing model

Gamson-Modigliani. Tujuannya untuk

mendapat gambaran (deskripsi) atas framing

pemberitaan Merdeka.com terkait kasus

tipikor PNS melalui interpretasi wacana

(bahasa) yang digunakan.

Sumber data sebagai objek adalah

pemberitaan kasus tipikor PNS di

Merdeka.com. Sementara subjek kajian adalah

teks berita yang termuat di portal berita

Merdeka.com. Dari 7 (tujuh) teks berita kasus

tipikor PNS yang ditemukan pada teks berita

Merdeka.com (periode Februari-Maret 2019),

hanya 3 (tiga) teks berita yang dipilih secara

purposif untuk dijadikan objek analisis, yakni:

(1) “PNS Napi Korupsi Masih Digaji, Negara

Berpotensi Rugi Rp. 72 Miliar (edisi Minggi,

24 Februari 2019); (2) “Negara Merugi Rp 6,6

Miliar Akibat Banyak ASN Terpidana Korupsi

Belum Dipecat” (edisi Sabtu, 02 Maret 2019);

dan (3) “Tak Ada Alasan Pemerintah Tunda

Pemecatan ASN Terbukti Korupsi” (edisi

Minggu, 03 Maret 2019).

Teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah teknik dokumentasi. Teknik

ini diawali dengan pengumpulan data primer

berupa teks berita pada portal berita

Merdeka.com. Data (teks berita Merdeka.com)

yang berhasil terkumpul kemudian

diklasifikasi dan dianalisis dengan teknik

analisis kualitatif (deskriptif-interpretif). Data

lain yang digunakan adalah data sekunder dan

data tersier, seperti buku, jurnal, dokumen,

kajian, dan tulisan di website/internet, yang

relevan dengan kebutuhan kajian. Teknik

analisis data dilakukan melalui tahapan

berikut: (1) pengumpulan dan klasifikasi data;

(2) identifikasi teks berita yang disusun dalam

satuan-satuan analisis; (3) kategorisasi bagian-

bagian teks berita yang akan dianalisis; (4)

interpretasi dan analisis teks berita; dan (5)

penarikan kesimpulan.

Kerangka Teori

Analisis Framing William Gamson

Analisis framing Gamson-Modigliani

memahami wacana media sebagai satu

gugusan perspektif interpretasi (interpretative

package). Model analisis ini berfokus pada

wacana media sebagai sejumlah kemasan

(package) yang beroperasi dalam area framing

peritiwa atau konstruksi berita (wacana

korupsi PNS). Package (rangkaian ide-ide

yang menjadi petunjuk isu apa yang penting

untuk dibicarakan dan peristiwa mana yang

relevan untuk diliput) akan sangat menentukan

perspektif wartawan saat menyeleksi isu dan

menulis berita: fakta apa yang yang diambil,

bagian mana yang ditonjolkan dan

dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita

itu (Eriyanto, 2011).

Penelitian kualitatif berbasis analisis

framing ini juga ditujukan untuk menyingkap

pengunaan bahasa—dalam fungsinya sebagai

gejala sosiokultural maupun representasi

kepentingan kompok tertentu—yang

digunakan Merdeka.com sebagai sarana

framing berita. Tujuannya adalah untuk

mendapatkan gambaran atas pola/kategori

tertentu terkait strategi framing yang

dikonstruksi atau diproduksi oleh

Merdeka.com. Sementara perspektif interpretif

memandang realitas sosial (teks berita yang

disajikan portal berita Merdeka.com) sebagai

fenomena yang bersifat holistik-dialektis.

Perspektif interpretif juga memandang realitas

sosial sebagai fenomena sosial yang bergerak

secara dinamis, penuh makna, subjektif,

bahkan bersifat ideologis (Rahardjo, 2017).

Dalam perspektif konstruktivis, media

dianggap sebagai cermin realitas. Apa yang

ditulis dan disajikan media adalah hasil dari

Page 4: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

101

konstruksi sosial atas realitas yang

merepresentasikan fakta, dan karenanya

dianggap sebagai kebenaran (Rusadi, 2015).

Melalui analisis framing model Gamson-

Modigliani, penggunaan perangkat bahasa

sebagai cermin wacana media akan terlihat

sosoknya dalam framing berita korupsi PNS

yang di konstruksi Merdeka.com. Bagaimana

teks berita di framing dalam suatu wacana;

bagaimana strategi media dalam

mengonstruksi suatu peristiwa dan memberi

pemaknaan atas peristiwa itul; bagaimana

sebuah peristiwa dipandang penting atau tidak

penting; bagaiman individu atau kelompok

tertentu dimaknai dan digambarkan (baik atau

buruk); serta strategi wacana apa yang

digunakan untuk mengubah pemahaman

khalayak terkait isu korupsi PNS melalui cara

bercerita/narasi tertentu—yang seluruhnya

akan tercermin atau terepresentasikan dalam

teks berita.

Definisi Konseptual

Korupsi. Dari sudut etimologi korupsi

berasal dari kata „corruptio‟ atau „corruptus‟

(bahasa latin) yang berarti „kerusakan‟ atau

„kebobrokan‟. Sementara secara terminologi,

korupsi adalah „penyalahgunaan kepercayaan

publik‟ (public distrust) atau „penyalahgunan

kekuasaan‟ (abuse of power) yang melekat

pada suatu jabatan publik oleh

seseorang/sekelompok orang dengan tujuan

memperkaya diri sendiri atau menguntungkan

pihak lain (Evi Hartanti, 2007).

Definisi Transparency International

menyebut “penyalahgunaan kekuasaan yang

dipercayakan untuk pendapatan pribadi”

(“corruption is operationally defined as the

abuse of entrusted power for private gain”).

Sementara Bank Dunia mendefinisikan

korupsi sebagai “penyalahgunaan jabatan

publik untuk keuntungan pribadi” (corruption

is the abuse of public office for private gain).

Berikutnya, Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

tentang Tindak Pidana Pemberantasan

Korupsi, mendefinisikan korupsi sebagai:

“perbuatan melawan hukum, memperkaya diri

orang atau badan lain yang merugikan

keuangan atau perekonomian negara (pasal 2)

serta menyalahgunakan kewenangan karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan atau perekonomian negara (pasal

3).”

PNS/ASN. Pegawai Negeri Sipil (PNS)

adalah pegawai yang telah memenuhi syarat

yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang

berwenang, dan diserahi tugas dalam suatu

jabatan negeri, atau diserahi tugas negara

lainnya. Undang Undang No. 8 Tahun 1974 jo

Undang Undang No. 43 Tahun 1999 yang

diperbarui oleh Undang-Undang No. 5 Tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)

menyebut, anggota Polri dan TNI dianggap

tidak lagi menjadi bagian dari pegawai negeri.

Adapun pada UU ASN, definisi pegawai

negeri diganti dengan Aparatur Sipil Negara.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi salah satu

jenis pekerjaan Aparatur Sipil Negara, selain

PPK/P3K (Pegawai Pemerintah dengan

Perjanjina Kerja).

Berita. Berita adalah hasil rekonstruksi

dari realitas sosial yang terdapat dalam

kehidupan. Berita adalah apa yang ditulis surat

kabar cetak (maupun online), apa yang

disiarkan radio, dan apa yang ditayangkan

televisi. Berita didefinisikan sebagai informasi

baru, penting, dan bermakna, berpengaruh

kepada khalayaknya. Berita adalah laporan

mengenai hal atau peristiwa yang baru terjadi,

menyangkut kepentingan umum, bersifat

aktual, terjadi di lingkungan terdekat dan

berpengaruh terhadap pembaca serta

diberitakan atua disiarkan secara cepat oleh

media massa.

Media Online. Media online adalah

saran komunikasi yang tersaji secara online di

situs web (website) yang dapat diakses oleh

setiap orang dengan menggunakan teknologi

internet. Media online disebut juga media

daring, media digital, media internet, dan

media siber (cyber media). Media online atau

media sosial (social media) merupakan produk

jurnalistik online (cyber journalism) yang

melakukan aktivitas jurnalistik melalui

pelaporan fakta atau peristiwa yang diproduksi

dan didistribusikan melalui jaringan internet,

seperti portal, website (situs web, termasuk

blog), radio streaming (online), TV streaming

(online), dan email. Isi media online terdiri:

teks, visual/gambar, audio, dan audio-visual

(video).

Portal Berita (Situs Web). Web portal

adalah situs web (website) yang menjadi pintu

gerbang (starting point) bagi setiap

pengunjung dunia maya yang ingin mencari

informasi/berita di internet. Portal berita online

adalah bagian dari web portal. Web portal bisa

berdiri sendiri atau merupakan konvergensi

dari media cetak dan elektronik. Kemampuan

portal web yang lebih spesifik adalah

penyediaan kandungan (content) informasi

Page 5: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

102

atau berita yang dapat diakses menggunakan

beragam perangkat teknologi informasi

modern—seperti personal computer (PC),

komputer jinjing (notebook), PDA (personal

digital assistant), atau bahkan telepon

genggam (hand phone).

Portal berita (online news) adalah jenis

penyajian berita melalui medium baru (new

media), pasca media mainstram, seperti koran,

majalah (cetak) yang menyajikan teks dan

gambar, dan radio televisi yang menyajikan

teks, gambar, dan audio (media penyiaran).

Media online—sebagai fenomena baru

jurnalistik yang eksis di awal tahun 1990-an

dengan berkembangnya internet dan website

(world wide web)—bisa memadukan teks,

gambar, audio, dan video (multimedia).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Merdeka.com adalah portal web yang

berisi berita dan artikel. Berbeda dari situs-

situs berita lainnya, Merdeka.com hanya

memiliki edisi online (versi dalam

jaringan/daring internet) yang sepenuhnya

menggantungkan pendapatan untuk

mendukung operation business-nya dari iklan

komersial. Meski demikian, Merdeka.com

adalah salah satu portal berita terdepan di

Indonesia dalam hal aktualitas atau kebaruan

berita (breaking news).

Secara historis, Merdeka.com adalah

situs (portal) berita hasil diversifikasi dari situs

berita KapanLagi.com yang menyajikan

informasi berita seputar isu selebritis dan

entertainment. KapanLagi.com didirikan awal

tahun 2003 oleh Steve Christian bersama

seorang rekannya. Tahun 2012 Steve mencoba

peruntungan baru dengan membangun situs

berita yang lebih serius. Gagasan Seteve—

yang mendapat suntikan dana dari Sugiono

Wiyono (komisaris di Trikomsel)—inilah yang

kemudian melatari kelahiran situs berita

Merdeka.com. Saat ini Merdeka.com menjadi

portal berita dengan prinsip kerja jurnalistik

modern. Komitmen Merdeka.com adalah

menyajikan informasi yang benar dan enak

dinikmati, karena di era digital yang tak

bertepi, perlu ada informasi yang benar, cepat

saji, mudah diakses, akurat, dan bisa

dipertanggungjawabkan.

Tabel 1 Teks Berita 1 Judul: “PNS Napi Korupsi Masih Digaji, Negara Berpotensi Rugi Rp 72 M”

Framing Device

(Perangkat Framing)

Reasoning Devices

(Perangkat Penalaran)

Methapors:

“Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) tidak segera

memperoleh amar putusan pengadilan”. “Jika (amar

putusan) tidak segera diterima PPK, maka pemberhentian

PNS juga akan molor”.

“Ada PPK yang baru menjabat, (sehingga) enggan

memberhentikan (PNS korup)”.

“Ada surat edaran dari pengacara LBH Korpri kepada

KPK untuk menunda eksekusi pemberhentian dengan

tidak hormat”.

“Karena beberapa pasal dalam Undang-Undang ASN

sedang diujimaterikan”.

Roots:

Kasus korupsi PNS yang tidak dipecat dan telah

membebani APBN jangan dilihat secara parsial sebagai

semata kesalahan Badan Kepegawaian Negara (BKN),

akan tetapi terkait dengan:

- Lambatnya salinan putusan pengadilan dari MA yang

diterima oleh PPK dan BKN;

- Pejabat PPK yang baru bertugas.

- Pejabat PPK enggan memberhentikan PNS yang telah

diputus bersalah oleh pengadilan.

- LBH Korpri yang menyurati KPK untuk menunda

eksekusi (pemecatan) terhadap PNS yang melakukan

korupsi.

- Azas praduga tak bersalah.

- UU ASN yang sedang dalam proses uji materil di

Mahkamah Konstitusi.

Catchphrases:

“Menurut BKN, ada sekitar 1.466 PNS/ASN yang telah

divonis bersalah, tapi masih mendapat gaji”. “ICW

memperkirakan, negara masih harus mengeluarkan dana

sekitar Rp 6,5 miliar/bulan, atau Rp 72 miliar/tahun buat

mereka.”

Appeals to Principle Lambatnya pemecatan PNS yang terlibat kasus tindak

pidana korupsi, yang hingga saat ini masih berdinas,

sehingga membebani anggaran negara karena masih terus

menerima gaji dan tunjangan, bukan semata-mata

kesalahan PPK dan BKN, tapi juga kesalahan banyak

pihak.

Exemplars:

“Kemendagri mengalami kesulitan, karena tidak ada

salinan putusan pengadilan. Ini dorongan juga bagi MA,

untuk memberikan seluruh salinan putusan pengadilan

kepada instansi terkait. Jadi PPK yang dijabat kepala

daerah, atau menteri, atau sekretaris daerah itu bisa

melakukan pemecatan”.

Consequences:

PPK dan BKN tidak bisa dipersalahkan terkait banyaknya

jumlah PNS pelaku tindak pidana korupsi yang

membebani anggaran negara karena belum dipecat; dan

hingga saat ini terus menerima gaji dan tunjangan.

Depictions:

Kosa kata „terjerat‟, „mengambil titik tengah‟, „azas

Page 6: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

103

praduga tak bersalah‟, dan „silahkan tanya PPK‟

digunakan sebagai leksikon untuk memberi label

„moderat‟ (bermakna mederasi; sikap permisif; sikap

defensif) terhadap PNS pelaku tipikor.

Visual Images:

Foto PNS sedang berbaris dan mengenakan seragam

Korpri; menunjukkan posisi dan peran PNS sebagai state

servant dan public servant.

Elemen inti berita (idea element) Dalam pandangan Merdeka.com, kasus

korupsi yang dilakukan para PNS yang belum

dipecat dan masih tercatat aktif sebagai PNS

selama ini telah membebani anggaran negara

yang cukup besar. Berdasarkan alasan ini,

Indonesian Corruption Watch (ICW)—salah

satu LSM terkemuka nasional yang bergiat di

bidang advokasi, riset, publikasi, dan

deseminasi korupsi—mendatangi Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melaporkan

dugaan potensi kerugian negara yang diaki-

batkan para PNS yang terjerat kasus tipikor—

namun hingga saat ini belum dipecat, masih

berstatus PNS dan masih tetap menerima gaji

dan berbagai tunjangan dari pemerintah.

ICW—seperti dituturkan oleh Wana

Alamsyah (staf divisi investigasi ICW)—

memperkirakan negara masih harus

mengeluarkan dana sekitar Rp 6,5 miliar per

bulan, atau Rp 72 miliar per tahun buat para

PNS yang terlibat tipikor. Jumlah potensi

kerugian negara kemungkinan akan lebih besar

dan akan terus bertambah. Pasalnya, nilai

potensi kerugian negara yang dihitung ICW

hanya berbasis perkiraan kasar, yakni dihitung

dari gaji pokok PNS pelaku tipikor.

Perangkat framing (framing device)

yang tersaji dalam konten pemberitaan

Merdeka.com—terkait kasus tipikor yang

berlangsung massif di lingkungan birokrasi

pemerintah mendapat respon cukup kritis dari

staf divisi investigasi ICW itu. Namun, dalam

kutipan pernyataan Wana kepada

Merdeka.com terlihat statement yang permisif

terkait temuan ICW atas kasus tipikor para

PNS yang sudah dilaporkan kepada

pemerintah.

Menurut Wana, dalam pertemuan ICW

dengan pihak pemerintah (pejabat BKN),

pejabat pemerintah yang berwenang cenderung

merespon secara permisif, dimana saat

dikonfirmasi banyak memakai kalimat

pengandaian (perumpaan) saat memberi

keterangan kepada ICW—seperti “masalahnya

PPK tidak segera memperoleh amar putusan

pengadilan.” Sebab, “jika (amar putusan) tidak

segera diterima PPK, maka pemberhentian

PNS juga akan molor”. Argumen lain dari

pihak pemerintah juga masih berkutat pada

kendala-kendala teknis, semisal “ada PPK

yang baru menjabat (baru diangkat/menduduki

jabatan sebagai PPK), sehingga enggan

memberhentikan PNS pelaku tipikor.” Atau

pernyataan “adanya surat edaran dari

pengacara LBH Korpri kepada KPK untuk

menunda pemberhentian (PNS pelaku tipikor)

dengan tidak hormat,” serta pernyataan

“beberapa pasal dalam Undang-Undang ASN

sedang diujimaterikan” (methapors).

Padahal, menurut Wana, jika kita kaji

dari sisi jumlah kasus tipikor yang dilakukan

oleh para PNS tersebut, jika dilihat dari sisi

jumlah pelaku cukup banyak (termasuk jumlah

uang negara yang mereka curi). Menurut

keterangan BKN, “masih ada sekitar 1.466

PNS yang telah divonis bersalah karena

terbukti melakukan tipikor, tapi masih

mendapat gaji dan tunjangan.” Sementara ICW

memperkirakan “negara masih harus

mengeluarkan dana sekitar Rp 6,5 miliar

sebulan, atau Rp 72 miliar setahun buat

mereka.” Kedua pernyataan di atas merupakan

frase yang kontras dan menonjol yang

digunakan Merdeka.com sebagai jargon

(catchphrases) pemberitaannya.

Dalam keterangan lain yang

disampaikan Wana, pejabat BKN kerap

menggunakan pernyataan klise, seperti

“Kemendagri mengalami kesulitan, karena

tidak ada salinan putusan (dari) pengadilan. Ini

sebetulnya dorongan juga bagi Mahkamah

Agung, untuk segera memberikan seluruh

salinan putusan pengadilan kepada instansi

terkait. Artinya, Pejabat Pembina

Kepegawaian (PPK) yang dijabat kepala

daerah, menteri, atau sekretaris daerah itu bisa

melakukan tindakan pemecatan (dengan

segera).” Keterangan pihak pemerintah (BKN)

yang bersumber dari Wana ini digunakan

Merdeka.com sebagai perbandingan untuk

memperjelas bingkai pemberitaannya terkait

ketidakjelasan sikap pemerintah dalam

menindak para PNS pelaku tipikor

(exemplars).

Page 7: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

104

Sementara itu, kasus tipikor PNS

sepertinya juga tidak dipandang pemerintah

sebagai perilaku menyimpang (deviant

behavior) para pelayan publik dan abdi negara,

yakni tindak kejahatan luar biasa (extra

ordinary crime). Sebab, kosa kata yang

digunakan pemerintah makna kalimatnya

terkesan bersayap atau bermakna ganda

(konotatif), seperti: „terjerat,‟ „mengambil titik

tengah,‟ „azas praduga tak bersalah,‟ dan

„silahkan tanya PPK.‟ Kalimat bersayap

(konotatif) ini ditonjolkan Merdeka.com

sebagai leksikon (depictions) untuk memberi

penekanan sebagai representasi sikap (pejabat)

pemerintah yang terkesan kompromis,

permisif, dan defensif dalam menindak para

PNS pelaku tipikor yang telah terbukti

melakukan korupsi keuangan negara.

Dari sisi semiotik, Merdeka.com juga

menyertakan foto PNS dengan tanda atau citra

visual (visual image) yang tengah berbaris

mengenakan seragam Korps Pegawai Republik

Indonesia (Korpri). Citra visual ini jelas

bermakna sarkasme (sindiran): Sebagai abdi

negara dan pelayan masyarakat, PNS

seyogyanya memegang teguh nilai dan etika

profesi yang menjunjung tinggi kejujuran,

keikhlasan, dan kerelaan berkorban untuk

masyarakat, bangsa, dan negara. Citra visual

ini dikonstruksi untuk melegitimasi bingkai

pemberitaan (framing device) secara

keseluruhan.

Perangkat penalaran (reasoning devices)

yang disajikan Merdeka.com bahwa kasus

tipikor yang dilakukan para PNS yang tidak

dipecat dan telah membebani anggaran negara

itu jangan dilihat secara parsial; semata-mata

kesalahan an sich pemerintah. Namun,

kondisi/situasi tersebut terkait dengan: (1)

lambatnya salinan putusan pengadilan (yang

telah berkekuatan hukum tetap—inkracht) dari

Mahkamah Agung yang (tidak segera)

diterima oleh PPK dan BKN; (2) Pejabat

Pembina Kepegawaian yang baru mendapat

tugas sebagai PPK; pejabat PPK yang enggan

memberhentikan PNS yang telah diputus

bersalah oleh pengadilan; (3) ada upaya

hukum yang dilakukan LBH Korpri (dengan

menyurati KPK) untuk menunda eksekusi

(tindakan pemecatan) terhadap PNS yang

melakukan korupsi; (4) prinsip azas praduga

tak bersalah (kendati PNS pelaku tipikor sudah

terbukti bersalah); dan (5) Undang-Undang

ASN yang sedang dalam proses uji materil di

Mahkamah Konstitusi. Perangkat penalaran ini

digunakan Merdeka.com sebagai analisis

sebab-akibat (roots) untuk menekankan

kepada khalayak bahwa berita yang

disampaikan terkait sikap ambigu

(inkonsisten) pemerintah atas kasus tipikor

PNS adalah benar (sesuai fakta berita).

Perangkat penalaran yang terbaca dalam

bentuk premis dasar atau klaim moral (sesuatu

yang dianggap benar sebagai landasan untuk

mengonstruksi kesimpulan) terkait kasus

tipikor para PNS, terkonstruksi dalam argumen

Wana yang menyebut bahwa lambatnya proses

pemecatan para PNS yang terlibat kasus

tipikor—yang hingga saat ini masih aktif

berdinas dan menerima gaji serta tunjangan

sebagai PNS—menurut pihak pemerintah

bukan semata-mata kesalahan mereka (baca:

PPK dan pejabat BKN), tapi juga kesalahan

pihak lainnya (appeals to principle).

Konsekuensi (consequences) dari

pernyataan Wana yang disajikan sebagai

framing pemberitaan Merdeka.com jelas

menunjukkan bahwa pemerintah (PPK dan

pejabat BKN) tidak bisa dipersalahkan atas

kasus banyaknya jumlah PNS pelaku tipikor

yang membebani anggaran negara karena

belum dipecat.

Tabel 2 Teks Berita 2 Judul: “Negara Merugi Rp 6,6 Miliar Akibat Banyak ASN Terpidana Korupsi Belum

Dipecat”

Framing Device

(Perangkat Framing)

Reasoning Devices

(Perangkat Penalaran)

Methapors:

“Banyak alasan” (kenapa PPK tidak memberhentikan

PNS/ASN korup).

“Aspek kemanusiaan” (sebagai variabel utama yang

mempengaruhi kenapa PNS/ASN yang melakukan tipikor

sampai saat ini belum diberhentikan).

“Saya kan‟ cuma kena getahnya.”

“Ya suruh aja bupati yang (ada) di sana yang

memberhentikan.”

Roots:

Sulitnya penanganan para PNS/ASN yang terlibat

korupsi namun hingga saat ini masih tetap berstatus PNS

aktif, belum ditindak, dan mendapat sanksi keras berupa

pemecatan karena alasan kemanusiaan (sesama korps

pegawai negeri/aparatur sipil negara); alasan “saya kan

(PPK) cuma kena getahnya”; alasan (BKN) yang

meminta bupati (atau menteri) untuk memberhentikan

PNS dilingkup kerjanya masing-masing yang melakukan

korupsi. Semua alasan itu bermuara pada ketidaktegasan

pemerintah dalam mengambil tindakan tegas terhadap

kasus korupsi yang melibatkan secara massif para

Page 8: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

105

PNS/ASN.

Catchphrases:

“BKN mencatat 2.357 ASN terpidana korupsi belum

dipecat. Hal ini menyebabkan negara merugi sekitar Rp

6,6 miliar setiap bulannya dan Rp 72 miliar setahun.”

Appeals to Principle Kelambanan pemerintah dalam mengambil tindakan

tegas berupa pemecatan PNS yang terlibat kasus tindak

pidana korupsi di lingkungan kerjanya masing-masing

yang dilatari oleh berbagai alasan (seperti alasan

kemanusiaan, dan lempar tangan) telah mengakibatkan

kerugian negara.

Exemplars:

“Aspek penyebab ASN yang terpidana korupsi belum

dipecat. Salah satunya adalah kolusi ASN terpidana

korupsi dengan PPK.”

“Konflik kepentingan (pada diri PPK) akhirnya tidak

menghukum yang bersangkutan (para PNS pelaku tindak

pidana korupsi).”

Consequences:

PPK dan BKN memiliki alasan kemanusiaan dalam

semangat „saling melindungi‟ (esprit de corps) yang pada

akhirnya berdampak pada beban anggaran negara, karena

pemerintah harus memberi gaji dan tunjangan pada PNS

yang terus berlindung dibalik alasan-alasan yang

irasional dan subjektif.

Depictions:

Kosa kata „kolusi,‟ „konflik kepentingan,‟ „political will

pemerintah,‟ „keindahan politik‟ digunakan sebagai

leksikon untuk memberi label „kendala teknis‟ (bermakna

pe-ma‟af-an; sikap permisif) terhadap PNS pelaku

tipikor. Visual Images:

Foto PNS yang sedang keluar kantor/ruangan, terlihat

sibuk, lelah karena beban pekerjaan untuk memberi

penekanan pada kerja keras PNS selaku pelayan

masyarakat dan abdi negara.

Elemen inti berita (idea element)

Dalam pandangan Merdeka.com, kasus

tipikor yang dilakukan oleh para PNS telah

menyebabkan kerugian negara yang sangat

besar (Rp 6,6 miliar/bulan atau Rp 72

miliar/tahun). Fakta berita ini merupakan hasil

wawancara kedua Merdeka.com dengan Irham

Dilmy, Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil

Negara. Saat merespon isu tersebut, Dilmy

menjelaskan sebab yang melatari PNS yang

terlibat tipikor yang hingga saat ini belum

dipecat.

Perangkat framing Merdeka.com yang

ditulis dari hasil wawancara dengan Irham

Dilmy, direspon dalam kalimat perumpaan

atau pengandaian (methapors). Pemilihan

kalimat (diksi) Dilmy menunjukkan ada

sesuatu yang „ditutupi,‟ karena isu ini

menyangkut kepentingan korps (esprit de

corps), seperti terlihat dalam jawaban

narasumber: “(ada) banyak alasan kenapa

PPK tidak memberhentikan PNS pelaku

tipikor,” atau kalimat “ada pertimbangan

karena ini menyangkut aspek kemanusiaan,”

atau statement kontradiktif, “saya kan‟ cuma

kena getahnya.”

Pernyataan Dilmy terkesan pejoratif,

dilihat dari sisi komitmen (slogan) pemerintah

untuk menciptakan aparatur pemerintahan

yang bersih. Pernyataan Dilmy menjadi frase

yang menonjol yang digunakan Merdeka.com

sebagai perangkat framing pemberitaannya

(catchphrases).

Pernyataan Dilmy juga bersifat

konjungtif dan komparatif. Ada upaya untuk

menghubungkan dan membandingkan proses

penegakan hukum PNS pelaku tipikor dengan

aspek psikologis yang melatari budaya

organisasi (kentalnya tradisi kolusi dan konflik

kepentingan di tubuh birokrasi. Menurut

Dilmy, “aspek penyebab ASN yang terpidana

korupsi belum dipecat salah satunya adalah

kolusi ASN terpidana korupsi dengan PPK,”

atau “adanya faktor konflik kepentingan pada

diri PPK, yang akhirnya tidak menghukum

yang bersangkutan” sesuai ketentuan

perundangan yang ada. Keterangan Dilmy

ditonjolkan Merdeka.com untuk memperjelas

bingkai pemberitaannya terkait kentalnya

nuansa kolusi, nepotisme, dan conflict of

interest serta sikap ragu dan ambigu para

pejabat pemerintah untuk menindak tegas para

PNS pelaku tipikor (exemplars).

Sebagai sebuah tindakan penyimpangan,

pembiaran atas kasus tipikor PNS jelas

berbahaya bagi penciptaan PNS yang bersih.

Pernyataan Dilmy yang menggunakan kosa

kata, seperti „ada faktor kolusi,‟ „ada situasi

konflik kepentingan,‟ rendahnya „political will

pemerintah,‟ dan pentingnya menjaga

„keindahan politik‟ sebagai leksikon—

digunakan sebagai justifikasi sekaligus

labeling terkait faktor budaya organisasi

Page 9: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

106

birokrasi yang secara existing masih bermental

KKN sebagai akar utamanya. Framing ini

memberi ilustrasi pada khalayak pada

lemahnya inisiatif dan komitmen pemerintah

untuk menindak PNS pelaku tipikor

dilingkungan internalnya (depictions).

Secara semiotik, Merdeka.com juga

menyertakan foto barisan PNS dengan citra

visual (visual image) yang menggambarkan

sekelompok PNS sedang keluar dari kantor

(entah istirahat atau pulang kantor), terlihat

sibuk dan menampakan gesture „lelah.‟

Visualisasi ini untuk memberi penekanan pada

sosok PNS sebagai pekerja keras. Secara

simbolik, visualisasi ini bisa dimaknai: sebagai

pelayanan publik, PNS berhak mendapat

perlindungan pemerintah, respek publik, dan

kelayakan hidup yang digunakan sebagai citra

visual bingkai pemberitaan Merdeka.com.

Perangkat penalaran (reasoning devices)

yang digunakan Merdeka.com terkait kasus

tipikor para PNS adalah statement narasumber,

seperti „rasa kemanusiaan,‟ adanya

„semangat/kehormatan korps‟ (esprit de

corps), dan potensi „konflik kepentingan‟

(conflict of interest) di antara para pejabat

pemilik kewenangan. Sulitnya penanganan

para PNS korup lebih disebabkan oleh alasan

kemanusiaan serta alasan bahwa BKN telah

meminta bupati (atau menteri) untuk segara

memecat PNS dilingkup kerjan (instansi)-nya

masing-masing yang terbukti melakukan

tipikor.

Semua alasan itu digunakan sebagai

perangkat penalaran untuk menjelaskan

adanya faktor sebab-akibat (roots) yang

melatari keenggan dan sikap permisif para

pejabat pemerintah untuk: (1) melakukan

tindakan tegas (dalam bentuk pemecatan); dan

(2) alasan-alasan yang subjektif-irasional

(seperti pertimbangan kemanusiaan, nama baik

dan kehormatan institusi/esprit de corps).

Reasoning device ini ditujukan untuk memberi

penekanan kepada khalayak pembaca bahwa

berita yang disampaikan terkait sikap permisif

dan defensif pejabat pemerintah untuk

mengambil tindakan tegas terhadap para PNS

pelaku tipikor adalah benar (sesuai dengan

fakta berita).

Perangkat penalaran lain yang terlihat

sebagai premis dasar atau klaim moral

(sesuatu yang dianggap benar sebagai landasan

untuk mengonstruksi kesimpulan) terlihat

dalam argumen narasumber yang menyatakan

bahwa kelambanan dan keengganan

pemerintah (baik di tingkat pusat maupun

daerah) dalam mengambil tindakan tegas

berupa pemecatan PNS yang terlibat kasus

tipikor di lingkungan kerjanya masing-masing

yang dilatari oleh alasan „kemanusiaan,‟

„semangat korps,‟ dan pejabat yang „saling

lempar tanggung jawab‟ telah berakibat pada

perugian anggaran/keuangan negara (appeals

to principle).

Konsekuensi (consequences) dari

pernyataan narasumber yang digunakan

sebagai framing berita Merdeka.com jelas

menunjukkan bahwa pemerintah (khususnya

PPK dan pejabat BKN) tidak correct dan

serius dalam menindak atau memberi sanksi

pada perilaku koruptif PNS.

Tabel 3 Teks Berita 3 Judul: “Tak Ada Alasan Pemerintah Tunda Pemecatan ASN Terbukti Korupsi”

Framing Device

(Perangkat Framing)

Reasoning Devices

(Perangkat Penalaran)

Methapors:

„Very clear‟ (“Sudah ada UU No. 5/2014 tentang

Aparatur Sipil Negara pasal 87 ayat 1; junto PP No.

11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil; junto

PP No. 32/1979 tentang Pemberhentian PNS; junto SKB

Menteri PAN-RB, Mendagri, dan BKN, Surat Edaran

(SE) Mendagri No. 800/2012 tentang Pemecatan PNS—

yang kemudian direvisi menjadi SE Mendagri No.

180/6867/SJ tentang tentang Penegakan Hukum

Terhadap Aparatur Sipil Negara yang Melakukan Tindak

Pidana Korupsi).

„Amunisi dan senjata sudah ada‟ (“Jika negara mau serius

memerangi korupsi, pemerintah tinggal menggunakan

aturan perundangan yang ada”).

Roots:

Terhambatnya sanksi pemecatan PNS/ASN pelaku

korupsi oleh pemerintah tidak masuk akal karena amunisi

dan sejata (seperti tercermin dalam berbagai aturan

perundangan) sudah sangat jelas dan tegas mengatur itu.

Problemnya, pemerintah dinilai tidak serius dalam

menangani kasus korupsi PNS, padahal pembiaran kasus

itu selama ini telah menjadi beban anggaran negara

cukup besar.

Catchphrases:

“BKN mencatat 2.357 ASN terpidana korupsi belum

dipecat, membuat negara setiap bulannya merugi sekitar

Rp 6,6 miliar atau Rp 72 miliar setahun.”

Appeals to Principle Pemerintah tak memiliki alasan logis untuk terus

memberi ruang para PNS pelaku tipikor karena berbagai

peraturan perundangan yang disiapkan negara sangat

lengkap, jelas, dan rinci sebagai pandu dalam menindak

Page 10: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

107

para PNS pelaku tipikor.

Exemplars:

"Kalau bicara tentang hukum sebenarnya tidak kurang

lagi terkait peraturan perundang-undangan pemecatan

PNS terutama terkait korupsi."

"Masalahnya adalah di level pelaksanaan.” “Menteri,

Gubernur, Bupati dan Walikota belum mau memecat

ASN dengan segala argumennya.”

Consequences:

Berbagai alasan pemerintah yang berujung pada tidak

adanya upaya untuk mengambil tindakan tegas pada para

PNS pelaku tipikor tak hanya akan membebani anggaran

negara (Rp 6,6 miliar per bulan atau Rp 72 triliun per

tahun), namun tindakan itu sangat berbahaya bagi

pembentukan nilai-nilai positif bernegara: mewujudkan

birokrasi pelayanan berorientasi profesional, dan handal;

dus potensial merusak kepercayaan publik (lokal,

nasional maupun internasional) pada pemerintah.

Depictions:

Kosa kata „verry clear,‟ „amunisi,‟ „senjata,‟ dan „asas

legalitas,‟ digunakan sebagai leksikon untuk memberi

label „lengkapnya peraturan perundangan‟ untuk

memecat PNS pelaku tindak pidana korupsi.

Visual Images:

Karikatur dua orang yang tengah bersalaman, memberi

penekanan pada simbol persahabatan, kekeluargaan dan

kekompakan (esprit de corps) sebagai citra negatif

(kolusi, nepotisme). Citra, nilai/budaya organisasi ini

tumbuh subur di hampir seluruh level birokrasi

pemerintah (pusat maupun daerah).

Elemen Inti Berita (idea element)

Dalam pandangan Merdeka.com, kasus

tipikor yang dilakukan para PNS sebenarnya

sudah ada aturan perundangan yang mengatur,

dimana PNS dapat langsung dipecat jika

terbukti melakukan korupsi. Merdeka.com

mendasari elemen inti pemberitaan dari

pandangan Hery Firmansyah (pengajar Hukum

Pidana Universitas Tarumanegara, Jakarta).

Menurut Firmansyah, aturan pemecatan PNS

pelaku tipikor sesungguhnya telah diatur

secara lengkap dan rinci, baik dalam Undang-

Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur

Sipil Negara (pasal 87 ayat 1); junto Peraturan

Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2017 tentang

Manajemen Pegawai Negeri Sipil; junto

Peraturan Pemerintah (PP) No. 32 Tahun 1979

tentang Pemberhentian PNS; junto Surat

Keputusan Bersama (SKB) Menteri PAN-RB,

Mendagri dan BKN No. 182/6597/SJ, No. 15

Tahun 2018, dan No. 153/KEP/2018 tentang

Penegakan Hukum Terhadap Pegawai Negeri

Sipil yang Telah Dijatuhi Hukuman

Berdasarkan Putusan Pengadilan yang

Berkekuatan Hukum Tetap Karena Melakukan

Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak

Pidana Kejahatan yang Ada Hubungannya

Dengan Jabatan (menggantikan Surat Edaran

(SE) Mendagri No. 800 Tahun 2012 tentang

Pemecatan PN)—yang kemudian di revisi

menjadi SE Mendagri No. 180/6867/SJ

tentang tentang Penegakan Hukum Terhadap

Aparatur Sipil Negara yang Melakukan Tindak

Pidana Korupsi.

SKB merupakan komitmen sekaligus

bentuk sinergitas antar kementerian dan

lembaga, guna menciptakan kepastian hukum,

tertib administrasi, dan meningkatkan disiplin

PNS. Dengan terbitnya SKB, pemerintah telah

memberi dasar hukum yang makin kokoh

untuk mendesak para PPK maupun pejabat

berwenang untuk meningkatkan sistem

pengawasan informasi kepegawaian. SKB juga

sudah rinci mengatur penjatuhan sanksi

kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK)

dan Pejabat yang Berwenang (PyB) yang tidak

melakukan tindakan tegas kepada PNS pelaku

tipikor yang telah dijatuhi hukuman pidana

tipikor oleh pengadilan (inkracht).

Perangkat framing (framing device)

Merdeka.com didapat dari hasil interview

mendapat respon kritis dari Firmansyah,

dinyatakan dalam kalimat perumpaan atau

pengandaian (methapors), seperti kalimat “jika

negara mau serius memerangi korupsi,” atau

kalimat “tinggal bagaimana pemerintah

menggunakan aturan perundangan yang sudah

ada itu untuk menegakkan aturan.” Statement

narasumber menjadi frase yang kontras dan

ditonjolkan dalam pemberitaan Merdeka.com

sebagai perangkat framing pemberitaan

(catchphrases)-nya.

Perangkat framing Merdeka.com juga

menempatkan secara jelas contoh, komparasi

atau uraian praktis (exemplars) seperti

dinarasikan narasumber, bahwa "kalau kita

bicara tentang landasan hukum sebenarnya

tidak kurang lagi, jadi tidak ada alasan untuk

tidak memecat PNS pelaku tipikor." Menurut

Page 11: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

108

Narasumber, “masalahnya adalah di level

pelaksanaan, dimana menteri, gubernur, bupati

dan walikota belum mau memecat ASN.”

Kosa kata „verry clear,‟ „amunisi,‟

„senjata,‟ dan „asas legalitas‟ digunakan

sebagai leksikon untuk memberi label

„lengkapnya perangkat peraturan

perundangan‟ untuk memecat PNS pelaku

tindak pidana korupsi. Pernyataan narasumber

memperkuat argumentasi perangkat framing,

bahwa landasan hukum untuk menegakkan

aturan sudah sangat jelas („very clear‟—sudah

ada asas legalitas, yakni berbagai perangkat

peraturan perundangan, terakhir adalah SKB

tiga menteri—Mendagri, Menpan RB, dan

BKN—tentang Penegakan Hukum Terhadap

Aparatur Sipil Negara yang Melakukan

tipikor). Jadi kejelasan aturan sebagai asas

legalitas untuk memecat PNS pelaku tipikor

sudah sangat lengkap (depictions).

Untuk mendukung perangkat framing

pemberitaan, Merdeka.com juga menempatkan

gambar karikatur dua sosok laki-laki yang

tengah bersalaman, memberi penekanan

simbol persahabatan, kekeluargaan dan

kekompakan (esprit de corps) sebagai citra

negatif (nepotisme), yakni nilai, tradisi, atau

budaya organisasi yang tumbuh subur di

hampir seluruh level birokrasi pemerintah

sebagai aspek visual images-nya. Visualisasi

(gambar karikatur) ini ditujukan untuk

memberi penekanan (citra) yang mendukung

bingkai pemberitaan (framing device) secara

keseluruhan.

Perangkat penalaran (reasoning devices)

yang digunakan Merdeka.com terkait wacana

pemerintah yang lamban dan enggan memberi

sanksi pemecatan para PNS pelaku tipikor,

menurut narasumber adalah hal yang tidak

masuk akal karena berbagai aturan

perundangan yang ada cukup lengkap, rinci,

jelas dan tegas mengatur tatacara/prosedur

pemecatan para PNS pelaku tipikor.

Problemnya, pemerintah dinilai tidak serius

dalam menangani kasus tipikor PNS.

Argumen yang digunakan sebagai

perangkat penalaran Merdeka.com untuk

menjelaskan adanya faktor sebab-akibat

(roots), yakni pemerintah sesungguhnya tidak

memiliki alasan, motif atau argumen yang

logis—baik ditinjau dari aspek yuridis, etis,

maupun politis—karena berbagai peraturan

perundangan yang disiapkan negara sudah

sangat lengkap, jelas, dan rinci sebagai

guidance dalam menindak para PNS pelaku

tipikor (appeals to principle).

Konsekuensi (consequences) dari

pernyataan narasumber yang digunakan

sebagai framing berita Merdeka.com jelas

menunjukkan bahwa berbagai alasan yang

berujung pada tiadak adanya upaya serius

pemerintah untuk mengambil tindakan tegas

pada para PNS pelaku tipikor.

Dari hasil analisis kasus tipikor PNS

dengan menggunakan analisis framing berita

model Gamson-Modigliani, asumsi paradigma

konstruksi sosial terafirmasi dalam kajian ini, dimana „realitas objektif‟ (objective reality)—

sebagai rutinitas tindakan/tingkah laku yang

telah terpola mapan serta dihayati oleh

individu sebagai fakta sosial—tercermin dalam

pemberitaan kasus korupsi PNS yang

berlangsung massif dan eksesif dilingkungan

birokrasi pemerintah. Stigma atas perilaku koruptif birokrasi

sebagai realitas objektif adalah bentuk

konstruksi sosial yang dihadirkan media, yang

pemaknaannya tidak bisa dilepaskan dari

konteks sosial, budaya, dan kekuasaan. Dalam

konteks wacana individual, seperti diafirmasi

oleh Gamson dan Modigliani, publik pembaca

memaknai korupsi birokrasi sesuai dengan

pengalaman, wawasan sosial, dan kondisi

psikologisnya. Sementara pada level kultural,

publik menginterpretasi korupsi sebagai

wacana legitimate yang selalu hadir sebagai

konstruksi wacana dominan (kekuasaan).

Framing Merdeka.com terkait kasus

tipikor PNS adalah bentuk tindakan yang

terkait dan terhubung secara dialektis dengan

struktur sosial. Wacana korupsi PNS

dipengaruhi oleh kondisi sosial (opini dan

persepsi publik tentang birokrasi sebagai

institusi korup), dan sebaliknya, opini dan

persepsi publik (birokrasi sebagai institusi

korup) juga dipengaruhi oleh praktik korupsi

sebagai produk kekuasaan negara.

Di sisi lain, wacana (korupsi) sebagai

praktik diskursif yang dikendalikan oleh

individu atau kelompok politik dominan.

Wacana (korupsi) tidak lahir dari ruang

hampa, namun dikondisikan dan dibentuk oleh

kekuatan politik dominan (relasi kuasa

negara). Melalui narasumber Merdeka.com

sebagai aktor yang berkehendak, orientasi

korupsi (jahat, buruk, dst) dan nilai korupsi

(salah, amoral, dst) sebagai representasi dari

praktik regulatif kemudian didefinisikan,

diberi makna serta diinterpretasikan secara

otonom oleh pembaca di dalam ruang teks

pemberitaan.

Page 12: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

109

Berikutnya, wacana (korupsi) harus

dipahami sebagai sebuah peristiwa sosial

dengan empat ciri utamanya: (1) wacana

(korupsi) selalu terkait dengan tempat dan

waktu tertentu; (2) wacana (korupsi) selalu

memiliki subjek („siapa yang berbicara/who

speak)‟ karena peristiwa (korupsi) terjadi

ketika ada pihak yang menghadirkan bahasa

dalam waktu dan tempat tertentu; (3) wacana

(korupsi) selalu menunjuk pada sesuatu yang

sedang dibicarakan (baca: penggerogotan

anggaran negara), merujuk pada dunia yang

sedang digambarkan (baca: birokrasi sebagai

sarang koruptor); dan (4) wacana (korupsi)

merupakan locus bagi berlangsungnya

pertukaran pesan dan pemaknaan atas

peristiwa (antara pemerintah, media, dan

khalayak).

Dalam pemahaman framing berbasis

paradigma konstruksi sosial, teks pemberitaan

(korupsi PNS) tidak bisa dipisahkan dari

konteks (birokrasi sebagai ruang praktik

korupsi) dan wacana (ujuran, tuturan,

rangkaian kalimat bermakna), karena

ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh.

Dengan demikian, framing pemberitaan kasus

tipikor PNS yang disajikan sebagai fakta

penulisan berita oleh Merdeka.com telah

memberi dampak negatif pada citra

pemerintah.

KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan dan analisis

pemberitaan kasus tipikor PNS di

Merdeka.com—ditinjau dari model analisis

framing device dan reasoning device Gamson-

Modigliani—dapat disimpulkan sebagai

berikut.

Teks berita 1. Perangkat framing berita

(framing device) Merdeka.com cenderung

memberi citra negatif pada pemerintah.

Framing negatif tersebut terlihat pada

penonjolan kalimat yang bernada permisif

(methapors), kalimat ambigu sebagai

catchphrases, kalimat perbandingan yang

bernada klise (exemplars), kosa kata (leksikon)

bemakna konotatif/bahasa bersayaf

(depictions), serta cita visual (visual images)

yang secara semiotik bermakna menyindir

(sarkastik).

Dari sisi perangkat penalaran (reasoning

device), Merdeka.com menonjolkan sikap

inkonsisten dan ambigu sebagai alasan sebab-

akibat (roots) yang melatari sikap permisif

pemerintah. Sikap ini juga terlihat dari klaim

moral pemerintah (appeals to principle),

bahwa lambannya proses pemecatan para PNS

pelaku tipikor bukan semata-mata kesalahan

tunggal mereka. Konsekuensi (consequences)

dari klaim moral: pemerintah bukanlah satu-

satunya pihak yang harus dipersalahkan.

Teks berita 2. Perangkat framing berita

(framing device) Merdeka.com juga cenderung

memberi citra negatif pada pemerintah, seperti

terlihat pada penonjolan kalimat „saya kan‟

cuma kena getahnya‟ (methapors), kontras

dengan komitmen (slogan) pemerintah untuk

menciptakan aparatur sipil negara yang bersih

dan bebas KKN (catchphrases), adanya sikap

ragu dan ambigu (exemplars), serta lemahnya

inisiatif dan komitmen pemerintah dalam

menindak PNS pelaku tipikor (depictions),

serta penggunaan citra visual (visual image)

bermakna „permohonan penghargaan‟ (respek

publik).

Dari sisi perangkat penalaran (reasoning

device), Merdeka.com menonjolkan „sisi

kemanusiaan‟, „kehormatan korps‟ (esprit de

corps), dan „conflict of interest‟ sebagai alasan

sebab-akibat (roots), serta diksi „lempar

tanggung jawab‟ sebagai klaim moral yang

mendasari sikap permisif dan defensif

pemerintah dalam mengambil tindakan tegas

pada PNS pelaku tipikor (appeals to

principles). Konsekuensi dari alasan subjektif

pemerintah („kemanusiaan‟, „semangat korps‟,

„conflict of interest‟) jelas akan memberi

dampak pada meningkatnya beban APBN

dalam jangka panjang (consequences).

Pada teks berita 3, perangkat framing

pemberitaan (framing device) Merdeka.com

tetap pada framing negatif, seperti terlihat

pada kalimat pengandaian „jika negara mau

serius memerangi korupsi‟ dan „aturan untuk

itu sudah ada (lengkap)‟ (methapors).

Penggunaan kalimat methapors ini sekaligus

menjadi frase yang kontras (ditonjolkan)

sebagai catchphrases. Sementara pada kalimat

„masalah ada di level pelaksanaan‟ digunakan

sebagai exemplars, serta kosa kata (leksikon)

seperti „verry clear,‟ „amunisi,‟ „senjata,‟ dan

„asas legalitas‟ sebagai depictions.

Penempatan gambar karikutur sosok laki-laki

yang tengah bersalaman (visual images) secara

semiotik bisa dimaknai sebagai simbol kolusi

dan nepotisme (nilai, tradisi atau budaya yang

masih sulit dieksklusi dari tubuh birokrasi).

Dari sisi perangkat penalaran (reasoning

devices), faktor sebab-akibat (roots) terlihat

dalam kalimat „tidak ada alasan, motif atau

argumen yang logis‟; serta aspek appeals to

principle terlihat dari kalimat „lengkapnya

Page 13: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

110

aspek yuridis, etis, dan politis‟; serta

konsekuensi (consequences), yakni tidak

adanya tindakan tegas yang dilakukan

pemerintah pada para PNS pelaku tipikor—

jelas akan memberi dampak pada beban

anggaran negara, sulitnya membentuk nilai-

nilai positif bernegara (mewujudkan birokrasi

bermental pelayanan, profesional, dan handal)

serta potensial merusak kredibilitas, integritas,

dan kepercayaan publik terhadap komitmen

penegakan hukum pemerintah.

Kajian ini merekomendasikan beberapa

hal berikut. Pada level khalayak pembaca

diharapkan lebih kritis dan cerdas dalam

memilih dan memilah pemberitaan yang

disajikan media, khususnya media online.

Pada level praktisi media, peneliti

menyarankan agar menulis dengan komitmen

„menyampaikan peristiwa apa adanya‟

(objektif) bukan „menciptakan atau

merekayasa peristiwa‟ (subjektif). Sebagai

media online ternama, Merdeka.com dapat

memosisikan dirinya sebagai media online

yang memiliki tanggung jawab sosial sebagai

landasan penting untuk melahirkan masyarakat

pembaca yang kritis, cerdas, dan sadar akan

kebenaran informasi (smart and well

informated society).

Pada level pemilik media, Merdeka.com

diharapkan menjadi media online mampu

memberi public awareness dan menyajikan

prinsip pemberitaan objektif, adil, profesional,

proporsional, dan seimbang (cover both side)

sesuai dengan kaidah, norma, etika, dan

prinsip kerja jurnalistik modern.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Pimpinan Redaksi Jurnal Media dan

Komunikasi (DIAKOM), para editor DIAKOM,

dan Mitra Bestari DIAKOM yang telah

memberi kesempatan kepada penulis untuk

mempublikasikan naskah artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas

(1990). Tafsir Sosial Atas Kenyataan:

Risalah Sosiologi Pengetahuan. Jakarta:

LP3ES.

Bungin, Burhan (2005). Metodologi Penelitian

Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi dan

Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial

Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Eriyanto (2011). Analisis Framing:

Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.

Yogyakarta: LKiS.

Fatkhuri (2017). Korupsi dalam Birokrasi dan

Strategi Pencegahannya. Jurnal Ilmiah

Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial, 2

(1), 65-76. DOI:

10.26623/themessenger.v6i1.166.

Gamson, William A. and Andre Modigliani

(1989). Media Discourse and Public

Opinion on Nuclear Power: A

Constructionist Approach. American

Journal of Sociology, 1 (95), 1-37.

Gerintya, Scholastica (2018). Kementerian dan

Lembaga Mana yang Jadi Sarang Para PNS

Korupsi? Retrieved from in

https://tirto.id/kementerian-dan-lembaga-

mana-yang-jadi-sarang-para-pns-korupsi-

cZvp.

Hartanti, Evi (2007). Tindak Pidana Korupsi.

Jakarta: Sinar Grafika.

Helping Countries Combat Corruption: The

Role of the World Bank. Retrieved from

http://www1.worldbank.

org/publicsector/anticorrupt/corruptn/cor02

.htm.

http://jurnalistikonline1.blogspot.com/2015/11

/pengertian-karakteristik-media-

online.html.

http://www.kpk.go.id/modules/edito/content_f

aq.php?id=15.

http://www.zainalhakim.web.id/pengertian-

web-portal.html.

https://id.wikipedia.org/wiki/KapanLagi.com.

https://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial.

https://id.wikipedia.org/wiki/Merdeka.com.

https://id.wikipedia.org/wiki/Pegawai_pemerin

tah_dengan_perjanjian_kerja.

https://kbbi.web.id/berita.

https://kompas.id/baca/utama/2018/09/18/koru

psi-di-sektor-birokrasi-jadi-tren-saat-ini/

https://tirto.id/2357-koruptor-masih-berstatus-

pns-kpk-soroti-peran-kepala-daerah-

cW8M.

https://www.komunikasipraktis.com/2018/10/p

engertian-berita-online-online-news.html.

https://www.merdeka.com/company/tentang-

kami.html.

https://www.merriam-

webster.com/dictionary/esprit_de_corps.

Huda, Sokhi (2018). Model-Model Analisis

Teks Media. Retrieved from

https://www.researchgate.net/

publication/331476275_Analisis_Teks_Me

dia, 27 (October), 1-5. DOI:

10.5281/zenodo.2582231.

Page 14: KONSTRUKSI PEMBERITAAN KORUPSI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 1, September 2019: 98-111

111

Kresno, Slamet Dodi (2014). Konstruksi

Sosial Pemberitaan Kasus Simulator Sim di

Media Online Kompas. com. Jurnal The

Messenger, 1 (6), 34-41. DOI:

http://dx.doi.org/10.26623/themessenger.v6

i1.166.

Newsom, Doug and James A. Wollert (1985).

Media Writing, News for The Mass Media.

California: Wadsworth Publishing

Company.

Rahardjo, Mudjia (2018). Paradigma

Interpretif. Retrieved from

http://repository.uin-

malang.ac.id/2437/1/2437. pdf, 1-5.

Rusadi, Udi (2015). Kajian Media: Isu

Ideologis dalam Perspektif, Teori dan

Metode. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Sobur, Alex (2015). Analisis Teks Media:

Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

www.transparancy.org/news_room/faq/corrupt

ion_faq.