Upload
dokien
View
231
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA
(Sebuah Pendekatan Tafsir Tahlili Atas Q.S. al-Isra’ Ayat 23-24)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana
dalam Ilmu Pendidikan Islam
Oleh :
KHASAN FARID
NIM: 063111029
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Khasan Farid
NIM : 063111029
Jurusan/Program Studi : Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya
saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 02 Juni 2011
Saya yang menyatakan,
Khasan Farid
NIM: 063111029
iii
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan Telp/Fax 7601295, 7615387
Semarang 50185
PENGESAHAN
Naskah skripsi dengan:
Judul : Konsep Pendidikan Etika Bagi Anak Dan Orang Tua (Sebuah
Pendekatan Tafsir Tahlili Atas Q.S. al-Isra‟ Ayat 23-24)
Nama : Khasan Farid
NIM : 063111029
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
telah diujikan dalam siding munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiya
IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam.
Semarang, 28 Juni 2011
DEWAN PENGUJI
Ketua, Sekretaris,
Drs. H. Mat Solikhin, M.Ag. Hj. Nur Asyiah,M.Si.
NIP: 19600524 199203 1 001 NIP: 1971026 199803 2 002
Penguji I, Penguji II,
Dra. Hj. Nur Uhbiyati, M.Pd. Dr. H. Fatah Syukur, M.Ag.
NIP: 19520208 197612 2 001 NIP: 19681212 199403 1 003
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof.Dr. HM. Erfan Soebahar, MA. Drs. Ikhrom, M.Ag.
NIP: 19560624 198703 1 002 NIP:19650329199403 1 002
iv
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH
Alamat: Prof. Dr. Hamka Kampus II Telp. 7601295 Fak. 7615387
Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Semarang, 01 Juni 2011
Lamp : 4 (Empat) Eksemplar
Hal : Naskah Skripsi Kepada Yth.
An. Sdr. Khasan Farid Dekan Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudara:
Nama : Khasan Farid
NIM : 063111029
Judul : KONSEP PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG
TUA (Sebuah Pendekatan Tafsir Tahlili Atas al-Qur‟an Surat al-
Isra‟ Ayat 23-24)
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat
dimunaqasyahkan.
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. HM. Erfan Soebahar, MA. Drs. Ikhrom, M.Ag.
NIP. 19560624 198703 1 002 NIP. 19650329 199403 1 002
v
ABSTRAK
Judul : Konsep Pendidikan Etika Bagi Anak Dan Orang Tua (Sebuah
Pendekatan Tafsir Tahlili Atas Q.S. al-Isra‟ Ayat 23-24)
Penulis : Khasan Farid
NIM : 063111029
Skripsi ini membahas konsep pendidikan bagi anak dan orang tua.
Kajiannya dilatarbelakangi oleh hubungan anak dan orang tua serta peranannya
masing-masing dalam keluarga. Studi ini di maksudkan untuk menjawab
permasalahan: (1) Bagaimana pendidikan etika bagi anak dan orang tua dalam
keluarga? (2) Bagaimana gambaran al-Qur‟an tentang pendidikan etika bagi anak
dan orang tua? (3) Bagaimana konsep pendidikan etika bagi anak dan orang tua?
Permasalahan tersebut melalui studi pustaka karena kajian berkaitan dengan
pemahaman al-Qur‟an dalam surat al-Isra‟ ayat 23-24. Sumber data digolongkan
menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun sumber
primer yang diperoleh dari al-Qur‟an dan Tafsir Maraghi, Tafsir Ibn Kastir, tafsir
al-misbah dan lain sebagainya, sedang data sekunder diperoleh dari buku etika
mendidik anak sholeh, anak soleh, pola komunikasi orang tua dan anak dalam
keluarga dan lain sebagainya. Dalam menganalisis data menggunakan metode
tafsir tahlili dan metode tafsir tematik.
Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Pendidikan etika diartikan sebagai
latihan mental dan fisik yang menghasilkan manusia yang berbudaya tinggi untuk
melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dan menumbuhkan
kepribadian yang baik. Pendidikan ini memberikan anak untuk menjadi pribadi
kokoh yang seutuhnya. Hal ini keluarga yang terutama dalam memberikan pola
asuh serta dasar-dasar pendidikan kepada anak. Lingkungan dan kebiasaan
mempengaruhi dalam pergaulan anak. (2) Al-Qur‟an surat al-Isra‟ ayat 23-24
telah menjelaskan mengenai pendidikan etika bagi anak dan orang tua. Anak
harus mempunyai etika yang benar kepada orang tua dari perkataan maupun
perbuatan. Dalam keadaan masih hidup atau telah meninggal dunia dan telah
mencapai usia lanjut dalam pemeliharaan anak. Anak diperintahkan untuk
memiliki sikap dan sifat yang baik kepada orang tua. (3) Konsep pendidikan etika
bagi anak dan orang tua merupakan hak dan kewajiban serta peranannya dalam
keluarga. Anak mempunyai perilaku yang baik berawal dari pendidikan yang
diberikan oleh orang tua. Pendidikan etika bagi anak adalah kewajiban anak untuk
menghormati dan menghargai serta birrul walidain kepada orang tua. Pendidikan
etika bagi orang tua merupakan kewajiban orang tua dalam merawat dan mendidik
anak dalam mengembangkan potensi serta mempunyai karakter yang baik.
Komunikasi dalam keluarga sangat ditekankan supaya hak dan kewajiban masing-
masing antara anak dan orang tua bisa diterapkan dalam kehidupan.
vi
MOTTO
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".”
(Q.S. al-Isra‟/17:23-24)1
1 Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung:
CV. Penerbit Diponegoro, t.th), hlm. 542.
vii
TRANSLITERASI ARAB LATIN
Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman pada
SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Nomor:
158/1987 dan Nomor: 0543b/Untuk1987. Penyimpangan penulisan kata sandang
(al-) disengaja secara konsisten agar sesuai teks Arabnya.
a t}
b z}
t ‘
s| gh
j f
h} q
kh k
d l
z| m
r n
z w
s h
sy ’
s} y
d}
Bacaan madd: Bacaan diftong:
a> = a panjang = au
i> = I panjang = ai
u> = u panjang
viii
PERSEMBAHAN
Persembahan buat ayanda dan ibunda tercinta (Bapak Basari dan Ibu
Asmiyati)
Persembahan buat pengasuh Pondok Pesantren Rahmatan Lil ‘Alamin
Mijen Semanrang, KH Muhammad Nasir Muhyi beserta keluarga
Persembahan buat kakak Chusni Muchayanah beserta suami Imron
Achadi, serta adek Achmad Saiful dan keponakan Restu Fyona
Ratnasari
Persembahan buat Ustadz dan temen- temen di pondok pesantren
Rahmanatan Lil ‘Alamin Mijen Semarang(Ust. Imam, Ust. Ubay, Ust.
Ali, Ust. Zaenuri, Ust. Udin, Ust. Hamzah,Ust. Aziz, Ust. Basir, Ust.
Paul, Ust. Hanafi, kang bustom, kang karyoto, kang Joman, kang
kasyoko, kang yanto, kang taqrib, Kang Maman, Kang Suhardiman,
Kang Tobari, Kang Ibni, Kang Halimi, Fahmi, Oky, Anam, Rafi sama
Furqon)
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas
segala rahmat, hidayah dan kemudahan yang telah dan akan selalu diberikan-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan
Etika Bagi Anak Dan Orang Tua (Sebuah Pendekatan Tafsir Tahlili Atas Q.S. al
Isra‟ Ayat 23-24)” dengan baik tanpa menemui kendala yang berarti.
Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Rasulullah
SAW, beserta keluarga, sahabat-sahabat, dan para pengikutnya.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah semata
hasil dari “jerih payah” penulis secara pribadi. Akan tetapi semua itu terwujud
berkat adanya usaha dan bantuan, baik berupa moral maupun spiritual, dari
berbagai pihak. Oleh karena itu penulis tidak akan lupa untuk menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada :
1. Dr. Suja‟i, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang..
2. Prof. Dr. HM. Erfan Soebahar, MA, selaku dosen pembimbing I dan Drs.
Ikhrom, M.Ag, selaku pembimbing II terima kasih sebanyak-banyaknya atas
bimbingan dan arahannya serta kemudahan yang diberikan dengan sabar, teliti
dan tulus, serta telah bersedia meluangkan waktunya.
3. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta (Bapak Basari dan Ibu Asmiyati),
dengan ketulusan kasih sayangnya semoga Allah membalas dengan keindahan
surga-Nya, amin. Dan semoga penulis bisa menjadi anak yang sholeh. Tidak
lupa juga kakakq mas Imron Ahadi, mb Chusni Muchayanah, dan adekku
Achmad Saiful,, Restu Fyona Ratnasari.
4. Yang mulia kepada pengasuh Pondok Pesantren Rahmatan Lil „Alamin Mijen
Semarang, KH. Muhamad Nasir Muhyi (Gus Nasir) beserta keluarganya, yang
selalu memberikan motivasi dan bimbingannya serta semoga ilmu yang telah
diberikan kepada penulis barokah dan manfaat di dunia dan akhirat.
5. Teman-teman santri Pondok Pesantren Rahmatan Lil „Alamin Mijen
Semarang, baik santri salaf atau dikenal dengan sebutan F-MIB (Forum
x
Muslim Indonesia Bersatu) dan akademik dalam belajar menuntut ilmu dan
mensyiarkan agama Islam, dengan target Islam jaya di Indonesia.
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang secara
langsung maupun tidak langsung selalu memberi bantuan, dorongan dan do‟a
kepada penulis selama melaksanakan studi di Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo.
Harapan penulis, semoga amal kebaikan mereka mendapatkan balasan
yang berlipat ganda dari Allah SWT. Tidak lupa juga mengharap saran dan kritik
konstruktif dari pembaca demi sempurnanya skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
nyata bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Semarang, 02 Juni 2011
Penulis,
Khasan Farid
NIM. 063111029
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... ii
PENGESAHAN .......................................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
MOTTO ...................................................................................................... vi
TRANSLITERASI ...................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ....................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Penegasan Istilah .................................................................... 8
C. Rumusan Masalah ................................................................... 9
D. Tujuan Penelitian .................................................................... 10
E. Kajian Pustaka ......................................................................... 10
F. Kerangka Teoritik ................................................................... 11
G. Metode Penelitian.................................................................... 13
H. Sistematika Pembahasan ......................................................... 15
BAB II : PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA
DALAM KELUARGA
A. Pendidikan Etika ..................................................................... 17
1. Pengertian Pendidikan Etika ............................................. 17
2. Penilaian Baik dan Buruk................................................. 21
3. Ukuran Baik dan Buruk dalam Pendidikan Etika ............. 23
4. Aliran Baik dan Buruk dalam Pendidikan Etika ............... 28
xii
B. Anak terhadap Orang Tua dalam Keluarga ............................. 30
1. Keluarga sebagai Institusi Pendidikan .............................. 30
2. Fungsi Keluarga ............................................................... 31
3. Pola Asuh Orang Tua ....................................................... 34
4. Kewajiban anak ................................................................ 38
BAB III : GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN
ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA
A. Lafadz dan Terjemahannya .................................................... 40
B. Arti Mufrodat .......................................................................... 43
C. Munasabah .............................................................................. 43
D. Pendapat Para Mufassir ........................................................... 46
E. Telaah Isi kandungan surat al-Isra‟ ayat 23-24 menurut para
mufasir..................................................................................... 58
BAB IV : ANALISIS TENTANG KONSEP PENDIDIKAN ETIKA
BAGI ANAK DAN ORANG TUA
A. Pendidikan Etika Anak Terhadap Orang Tua ......................... 60
B. Pendidikan Etika Orang Tua Terhadap Anak ......................... 71
C. Pendidikan Etika Bagi Keduanya............................................ 79
BAB V : PENUTUP
D. Simpulan ................................................................................. 83
E. Saran-Saran ............................................................................ 85
F. Penutup .................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Karena
hal ini potensi dapat dididik dan mendidik.1 Pendidikan dalam Islam
berdasarkan pada al-Qur’an2 dan hadist.
3 Al-Qur’an sendiri sebagai sumber
utama dalam pendidikan Islam karena mengandung konsep yang berkenaan
dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Secara garis besar, ajaran dalam al-
Qur’an terdiri dari dua prinsip, yaitu yang berhubungan dengan amal yang
disebut syari’ah.4 Keimanan merupakan keyakinan yang ada dalam hati
manusia. Sedangkan amal merupakan perbuatan manusia dalam hubungannya
dengan Allah, diri sendiri, sesama dan lingkungan, serta dapat dikatakan
bahwa amal merupakan aktualisasi dari iman.
Manusia adalah makhluk yang sangat menarik, oleh karena itu
manusia menjadi sasaran studi sejak dahulu, kini dan kemudian hari. Hampir
semua lembaga pendidikan tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak
karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya.5
Pendidikan untuk memelihara dan membina hubungan baik sesama manusia
dengan mengembangkan cara dan gaya hidup yang selaras dengan nilai dan
norma yang disepakati bersama sesuai dengan nilai dan norma agama.6
Hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat dapat
dipelihara dengan cara saling membantu, suka memaafkan orang lain, lapang
1 Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 16.
2 Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan kalamullah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad yang tertulis dalam bentuk mushaf terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6666 ayat yang
berisi tentang petunjuk serta pedoman bagi manusia.
3 Hadits merupakan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada nabi Muhammad baik secara
ucapan, perbuatan dan taqrir.
4 Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 19.
5 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 10.
6Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam , hlm. 370.
2
dada, serta menegakkan keadilan dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan
orang lain. Ciri utama manusia adalah memiliki perilaku yang baik
berdasarkan norma yang berlaku. Dalam Islam prioritas perilaku maupun
akhlak sangat penting, selain dilihat dari Sunnah Nabi yang mengatakan
bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan manusia
sendiri juga diberi kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk.7
Oleh karena itu Allah SWT menciptakan manusia dengan ciptaan yang terbaik
dan dilengkapi akal pikiran. Dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan
makhluk Allah yang lebih bagus dari pada makhluk lain, yang memiliki daya
hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berpikir dan
memutuskan.
Dalam diri manusia terdapat sesuatu yang tidak ternilai harganya,
sebagai anugerah Allah yang diberikan kepada makhluk lainnya, yaitu "akal".
Sekiranya manusia tidak diberi akal niscaya keadaan dan perbuatan akan sama
dengan hewan. Dengan adanya akal, segala anggota manusia, gerak dan
diamnya, semua berarti dan berharga. Islam merupakan agama ilmu dan akal,
sehingga sebelum Islam membebankan umatnya memperoleh kepentingan
dunia, Islam lebih dahulu mewajibkan untuk mencerdaskan akal, sehingga
hidup sejalan dengan semangat al-‘adalah (keadilan), al-haq (kebenaran), dan
al-mashalih al-ammah (kemaslahatan umum).8 Mengenai pemberian akal
terhadap manusia, Allah telah berfirman dalam Q.S. An-Nahl: 78
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati agar kamu bersyukur, (Q.S. An-Nahl/16 : 78).9
7 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, hlm. 19.
8 Ibnu Husein, Pribadi Muslim Ideal, (Semarang :Pustaka Nuun, 2004), hlm. 36.
9 Az-Zikr, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), hlm. 542.
3
Ayat di atas menggunakan kata (السمع) yang berarti pendengaran
dengan bentuk tunggal dan menempatkannya sebelum kata ( atau (اال بصبر
penglihatan-penglihatan yang berbentuk jamak serta ( yang berarti (اال فئدة
aneka hati.
Menurut M. Quraish Shihab kata al-af’idah adalah bentuk jamak dari
kata (فؤاد) fu’ad yang berarti aneka hati atau akal. Didahulukan kata
pendengaran atas penglihatan merupakan perurutan yang sungguh cepat,
karena memang ilmu kedokteran membuktikan bahwa indra pendengaran
berfungsi mendahului indra penglihatan.
Kata ( dijadikan sebagai bukti bahwa manusia lahir tanpa (التعلمون شيئب
sedikit pengetahuan pun. Manusia bagaikan lertas putih yang belum dibubuhi
satu huruf pun. Hal ini pengetahuan manusia diperoleh dengan upaya
manusiawi.10
Melihat betapa pendidikan memegang peranan yang penting dalam
menentukan moral bangsa, maka tidak dapat disalahkan apabila pendidikan
yang gagal merupakan penyebab terjadinya dekadensi moral. Pendidikan
akhlak Islam diartikan sebagai latihan mental dan fisik yang menghasilkan
manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung
jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah. Pendidikan akhlak Islam berarti
juga menumbuhkan personalitas (kepribadian) dan menanamkan tanggung
jawab. Oleh karena itu, jika berpredikat muslim benar-benar menjadi penganut
agama yang baik seharusnya menaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat
Allah tetap tercurahkan. 11
Pendidikan etika merupakan proses membimbing serta terdapat arahan
yang benar bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan dan membentuk
hati nurani yang baik melalui suatu ajaran maupun keteladanan seseorang.12
Namun dalam proses pendidikan etika untuk membentuk manusia dipengaruhi
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Vol. 7, hlm. 303.
11 Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif al-Qur’an ,(Jakarta: Amzah, 2007),
hlm. 19.
12 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Pendidikan Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 56.
4
oleh hal-hal yang tidak hanya oleh komponen-komponen yang ikut terlibat
langsung dalam kegiatan pendidikan etika, seperti kurikulum, metode
pengajaran, akan tetapi faktor-faktor yang terdapat dalam diri anak, seperti
keminatan, karakter dan sifat-sifat bawaan termasuk di dalamnya tentang
hereditas.
Ajaran pendidikan ini membahas tentang baik dan buruknya suatu
perbuatan. Oleh karena itu, dalam memberikan latihan mental maupun fisik
dalam melaksanakan suatu tugas sebagai manusia yang mempunyai potensi
untuk menumbuhkan kepribadian yang lebih baik, dengan cara mendidik,
kecerdasan berpikir baik dan memberikan latihan mengenai suatu etika harus
bersifat formal maupun informal. Dalam hal ini akal berperan penting dalam
daya pikirannya untuk memecahkan dan menemukan suatu kehidupan menjadi
lebih baik dan mengikuti norma-norma yang ada.
Pendidikan etika erat hubungannya dengan tanggapan hidup, maka dari
itu suatu latihan untuk membentuk suatu kebiasaan serta memberikan teladan
baik merupakan suatu keharusan cara pendidikan etika dalam praktik. Hal ini
disebabkan pengaruh pembawaan dan lingkungan dalam menentukan
kepribadian yang baik saling terkait yang tidak dapat dipisahkan. Pembawaan
tidak dapat begitu saja diubah oleh kondisi lingkungan dan tidak dapat
diciptakan, lingkungan juga tidak dapat lepas dari pengembangan pembawaan.
Kurang adanya dukungan kondisi pembawaan dan lingkungan akan berakibat
kurang maksimalnya suatu kepribadian yang baik dalam pendidikan etika.
Pendidikan etika dalam Islam merupakan suatu pendidikan baik secara
jasmaniah maupun rohaniah sehat dan mampu diwujudkan dalam kehidupan
manusia menjadi pendidikan budi pekerti dan tingkah laku yang baik serta
berilmu pengetahuan, beragama, berbudaya dan beradab. Ini menunjukkan
bahwa ajaran Islam memberikan suatu perhatian kepada manusia terkait
dengan suatu baik dan buruknya perbuatan. Tentunya terdapat tujuan yang
benar berdasarkan sumber ajaran Islam untuk menciptakan manusia yang
mempunyai etika. Tidak adanya suatu pegangan dalam kehidupan manusia
akan berdampak rendahnya derajat manusia.
5
Anak merupakan dambaan bagi setiap orang tua, kehadirannya sangat
dinantikan setiap keluarga, sebagai penerus keturunan orang tua. Disisi lain
anak adalah amanah dan anugerah Allah SWT, sebagai orang tua bertanggung
jawab untuk merawat, mengasuh dan mendidiknya agar menjadi insan kamil,
insan yang bertaqwa kepada Allah SWT, sehat jasmani, rohani dan berguna
bagi keluarga dan masyarakat. Dalam memperhatikan anak seharusnya dilihat
secara keseluruhannya, dari pendidikannya, pergaulan, serta masa depannya.
Dengan harapan sebagai orang tua, anak mampu menjadi manusia yang bisa
bertanggung jawab apa yang dilakukannya.
Orang tua dan anak adalah satu ikatan dalam jiwa. Dalam keterpisahan
raga, jiwa mereka bersatu dalam ikatan keabadian. Tak seorang pun dapat
menceraiberaikannya. Ikatan itu dalam bentuk hubungan emosional antara
anak dan orang tua yang tercermin dalam perilaku.13
Meskipun suatu saat
misalnya, ayah dan ibu mereka sudah bercerai karena suatu sebab, tetapi
hubungan emosional antara orang tua dan anak tidak terputus. Sejahat-jahat
ayah adalah tetap orang tua yang harus dihormati. Lebih terhadap ibu yang
telah melahirkan dan membesarkan. Bahkan dalam perbedaan keyakinan
agama sekalipun antara orang tua dan anak, maka seorang anak tetap
diwajibkan menghormati orang tua sampai kapanpun.
Setiap orang tua yang memiliki anak selalu ingin memelihara,
membesarkan, dan mendidiknya. Seorang ibu yang telah melahirkan tanpa
ayahpun memiliki naluri untuk memelihara, membesarkan, dan mendidiknya,
meski terkadang harus menanggung beban malu yang berkepanjangan. Sebab
kehormatan keluarga salah satunya ditentukan oleh bagaimana sikap dan
perilaku anak dalam menjaga nama baik keluarga. Lewat sikap dan perilaku
anak nama baik keluarga dipertahankan. Seorang anak menurut ajaran Islam
diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan ayahnya, dalam kejadian
13
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua Dan Anak Dalam Keluarga,
(Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 27.
6
bagaimanapun. Karena hal itu merupakan bentuk etika seorang anak terhadap
orang tua yang telah berjasa besar kepadanya.14
Dalam kajian ini adalah al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-24 yang
berbunyi:
a
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia(23)
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”, (Q.S Al-Isra’/17: 23-24).15
Ayat di atas mengandung perintah kewajiban untuk mengEsakan Allah
SWT, serta berbuat baik terhadap orang tua baik dari segi perkataan,
perbuatan dan perintah perkataan yang mulia kepada mereka. Ini berbeda
dengan perkataan yang benar, meskipun apa yang disampaikan benar namun
perkataan mulia lebih utama dan diharapkan dalam berkomunikasi kepada
kedua orang tua. Hal ini menunjukkan suatu akhlak atau etika kepada Allah
SWT dan orang tua. Tentunya sangat disadari semua itu ajakan bagi kaum
muslimin dalam ibadah, mengikhlaskan diri, tidak mempersekutukan-Nya dan
memperlakukan sebaik mungkin sesuai anjuran al-Qur’an terhadap orang
tua.16
Namun dalam kajian penelitian ini menfokuskan nilai pendidikan yang
14
Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islam, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1996), hlm. 204.
15 Az-Zikr, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), hlm.
542
16 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 443.
7
terdapat dalam ayat tersebut, di antaranya menyangkut birrul walidain
(berbuat baik terhadap orang tua) dalam segi perbuatan maupun perkataan
yang sopan serta peranan kedua orang tua dalam keluarga.
“Manusia wajib mengingat nikmat yang telah diberikan oleh kedua orang tua
agar supaya bisa bersyukur atas nikmat tersebut, dan wajib mematuhi segala
perintah kedua orang tua kecuali dalam hal maksiat, dan duduk bersama
mereka dengan khusyu’, dan tidak menyakiti mereka meskipun hanya dengan
perkataan uf dan tidak diperkenankan berselisih pendapat dan jalan di depan
mereka kecuali dengan khidmat namun mendo’akan mereka dengan rahmat
dan maghfiroh, serta amar ma’ruf nahi munkar supaya menjadi sebab
keselamatannya. Kalam yang tidak menimbulkan manfaat dan menolak
kemadharatan maka kalam tersebut terdapat kebodohan dan kekurangan, oleh
sebab itu sebaiknya manusia menjaga perkataan maupun perbuatannya apalagi
terhadap kedua orang tua”.
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama
dan utama. Dinamakan pertama karena dalam keluargalah seorang anak
pertama-tama menerima pendidikan dan bimbingan. Begitu juga dikatakan
utama, karena sebagian besar kehidupan anak dilalui dalam keluarga.19
Di
dalam keluarga inilah tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak pada
usia dini, karena pada usia-usia ini anak lebih peka terhadap pengaruh dari
pendidiknya (orang tuanya dan anggota keluarga yang lain).20
17
Hafidh Hasan al-Mas’udi, Taisirul Akhlak Fi Ilmil Akhlak, (Semarang: Maktabah al-
Alawiyah), hlm. 6.
18 Sayyid Muhammad, at-Tahliyah wa Targhib Fi at-Tarbiyah Wat Tahdhib, (Surabaya: al-
Hidayah), hlm .23.
19 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 38. 20
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 177.
8
Kepribadian dapat terbentuk melalui semua pengalaman dan nilai-nilai
yang diserap dalam pertumbuhan dan perkembangannya, terutama pada tahun-
tahun pertama dari umurnya. Apabila nilai-nilai agama banyak masuk ke
dalam pembentukan kepribadian seseorang, maka tingkah laku orang tersebut
akan banyak diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama.
Disinilah letak pentingnya pengalaman dan pendidikan pada masa-
masa pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Betapapun sederhananya
pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga tetaplah sangat berpengaruh
pada pembentukan kepribadian anak. Karena dari keluargalah pertumbuhan
fisik dan mental anak dimulai. Bahkan dalam Islam, sistem pendidikan
keluarga ini dipandang sebagai penentu masa depan anak.21
Kehadiran Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini
dapat menjamin dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang
sejahtera lahir dan batin. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan
progesif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan
spiritual.
Al-Qur’an itulah yang menjadi landasan penegakan moral tersebut.
Keberadaan fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai
sumber ajaran Islam yang pertama, banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang
mengandung pelajaran yang bersifat pendidikan.22
Islam dilengkapi dengan
berbagai prasarana keilmuan akhirat yang akan membawa keselamatan di
akhirat. Semua itu tidak lain karena didasari oleh sumber keilmuan yang
paripurna, yaitu al-Qur’an al-Karim.23
Agama Islam adalah agama yang
berpegang pada nilai akal. Dengan diberlakukannya hujah-hujah (dalil-dalil)
yang didasarkan pada akal dalam menentukan hukum syari’at sehingga suatu
ilmu yang didasari dengan nalar (kognitif).
21
Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003),
hlm. 86.
22 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 19.
23 Rafy Sapuri, Psikologi Islam. (Jakarta : Rajawali Pers, 2009). hlm. 8.
9
Ayat 23-24 surat al-Isra’ besar sekali manfaatnya berhubungan dengan
pendidikan etika bagi anak berlaku pada umumnya dan semestinya terhadap
orang tua hak dan kewajibannya. Sehubungan dengan ayat diatas, maka
penulis termotivasi untuk lebih meneliti al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-24.
B. Penegasan Istilah
Untuk menghindari salah pengertian dalam memahami judul skripsi
ini, maka penulis merasa perlu memberikan penjelasan beberapa istilah yang
terkandung dalam judul skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah “KONSEP
PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA (Sebuah
Pendekatan Tafsir Tahlili Atas Q. S. al- Isra’ Ayat 23-24)
1. Konsep
Konsep adalah rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan
dari peristiwa konkret. Pengertian di sini ruang lingkup tentang suatu nilai
terhadap pendidikan.24
2. Pendidikan Etika
Pendidikan etika adalah suatu proses mendidik, memelihara,
membentuk dan memberikan latihan mental dan fisik tentang etika dan
kecerdasan berpikir baik yang bersifat formal maupun informal, sehingga
menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas
kewajiban dan bertanggung jawab dalam masyarakat.25
3. Orang Tua
Orang tua adalah “setiap orang yang bertanggung jawab dalam
suatu keluarga atau rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari lazim
disebut ibu – bapak”.26
24
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), hlm. 748. 25
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 57.
26 Thamrin Nasution, Peranan Orang Tua dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak,
(Jakarta: Gunung Mulia,1985), hal. 1.
10
4. Tafsir Tahlili
Salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan
ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya, yaitu ayat ke ayat, menguraikan
kosakata dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki serta kandungannya
dan tidak mengabaikan asbabun nuzul, munasabah (hubungan) ayat-ayat
al-Qur’an antara satu sama lain.27
C. Rumusan Masalah
Dari kerangka penelitian dan latar belakang masalah diatas dapat
dirinci lebih lanjut sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pendidikan etika bagi anak dan orang tua dalam keluarga?
2. Bagaimanakah gambaran al-Qur’an tentang pendidikan etika bagi anak dan
orang tua?
3. Bagaimanakah konsep tentang pendidikan etika bagi anak dan orang tua ?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini tidak lepas dari pokok permasalahan di
atas. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pendidikan etika anak terhadap orang tua dalam
keluarga
2. Untuk mengetahui gambaran al-Qur’an tentang pendidikan etika bagi
terhadap dan orang tua
3. Untuk mengetahui konsep tentang pendidikan etika bagi anak terhadap
orang tua
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah suatu istilah untuk mengkaji bahan atau
literature kepustakaan (literature review). Bentuk kegiatan ini yaitu
memaparkan dan mendeskripsikan pengetahuan, argumen, dalil, konsep, atau
ketentuan-ketentuan yang pernah diungkapkan dan diketemukan oleh peneliti
27
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 42.
11
sebelumnya yang terkait dengan objek masalah yang hendak dibahas. Adapun
karya-karya yang mendukung dan dijadikan kajian pustaka sebagai berikut:
Pertama, Penelitian yang ditulis oleh saudara Mustaghfirin tentang
pandangan Franz Magnis Suseno tentang Etika dan Relevansi dengan
Pendidikan Islam . Skripsi ini memaparkan tentang mengatur sikap tingkah
laku manusia terhadap dirinya, orang lain, sesama makhluk dan Tuhan sebagai
Maha Pencipta.28
Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh saudari Umi Munadzirah
tentang prinsip-prinsip pendidikan akhlak dan aktualisasinya dalam
pembinaan kepribadian muslim : kajian terhadap surat al-Hujurat 11-13 yang
membahas tentang prinsip-prinsip pendidikan akhlak menurut surat al-Hujurat
ayat 11-13 dalam pembentukan kepribadian muslim.29
Ketiga, penelitian yang diteliti oleh saudari Rohmah tentang
Pendidikan Etika dalam surat al-Hujurat ayat 11-12 dan implentasinya
terhadap pendidikan akhlak yang isinya bagaimana cara berinteraksi yang
tidak menyakitkan dan tidak menyinggung orang lain serta menghindarkan
perbuatan-perbuatan yang merusak masyarakat yang bersumber dari dalam
diri manusia sendiri.30
Penelitian yang dikaji oleh penulis menfokuskan tentang pendidikan
etika yang berhubungan dengan adab sopan santun kepada kedua orang tua
yaitu dalam surat al-Isra’ ayat 23-24. Hal ini terkait dengan hak dan kewajiban
anak terhadap orang tua atau sebaliknya.
F. Kerangka Teoritik
1. Pendidikan etika bagi anak dan orang tua dalam keluarga
Pendidikan etika dapat direalisasikan dengan berbagai cara, baik
positif maupun negatif. Adapun cara positif dengan memberi teladan yang
28
Ahmad Mustaghfirin, Pandangan Franz Magnis Suseno tentang Etika dan Relevansi
dengan Pendidikan Islam, 2009.
29 Umi Munadzirah, Prinsip-Prinsip Pendidikan Akhlak dan Aktualisainya dalam
Pembinaan Kepribadian Muslim,: Kajian Surat al-Hujurat Ayat 11-13, 2007
30 Rohmah, Pendidikan Etika dalam Surat al-Hujurat Ayat 11-12 dan Implementasinya
terhadap Pendidikan Akhlak, 2006.
12
baik, latihan untuk membentuk kebiasaan, memberi perintah, memberi pujian,
dan hadiah. Sedang cara negatif dengan memberikan berbagai bentuk
larangan, memberikan suatu teguran dan celaan serta memberikan hukuman.
Penilaian manusia tentang buruk dan baiknya dapat dilihat dari perilakunya
sehari-hari.31
Keluarga merupakan persekutuan terkecil dari masyarakat yang luas,
pangkal kedamaian dan ketentraman hidup terletak pada keluarga yang
dikepalai oleh kedua orang tua. Begitu pentingnya peranan yang dimainkan
oleh keluarga dalam mendidik anak-anaknya. Maka dalam berbagai sumber
bacaan mengenai kependidikan, keluarga selalu disinggung dan diberi peran
yang penting. Karena pada hakekatnya, pembentukan kepribadian anak terjadi
di lingkungan keluarga. Sebagaimana dalam al-Qur’an dalam surat at-Tahrim
ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka…”. (Q.S. at-Tahrim/66: 6)32
Ayat di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus
bermula dari rumah. Hal ini ayah dan ibu mempunyai peran penting dalam
keluarga. Kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga
pasangan masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah dan ibu
tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-
nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis. 33
Kewajiban anak terhadap orang tua merupakan suatu keharusan yang
dilakukan oleh anak. Perjuangan dan rasa tanggung jawab mereka dalam
merawat dan mendidik merupakan bentuk kasih sayang mereka terhadap
31
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 56.
32 Az-Zikr, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 560.
33 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 14, hlm. 327.
13
anaknya.34
Oleh karena itu, anak berusaha dengan sebaik mungkin untuk
berbakti dan tidak menyakiti mereka.
2. Gambaran al-Qur’an pendidikan etika bagi anak dan orang tua
Al-Qur’an telah menjelaskan pendidikan etika bagi anak dan orang tua dalam
kehidupan. Hal ini dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-24:
”Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia(23) Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”,
(Q.S Al-Isra’/17: 23-24).35
3. Konsep pendidikan etika bagi dan orang tua
Di dalam kehidupan keluarga orang tua merupakan cermin masa depan
anak-anaknya. Anak dan orang tua mempunyai kewajiban masing-masing
dalam keluarga. Anak berkewajiban untuk berbuat baik serta menghormati
dan menghargai orang tua dalam hidupnya. Sedang orang tua mempunyai
kewajiban dalam merawat, mendidik sehingga terbentuknya kepribadian yang
baik. Sebagaimana dalam hadis
34
Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islam, hlm . 200.
35 Az-Zikr, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 542.
14
عه ابى ىريرة رضى اهلل عنو قبل عه النبي صلى اهلل وسلم مه حق
( رواه ابه النجبر(الولدعلى الوالد ان يحسه اسمو ويحسه ادبو“Kewajiban orang tua kepada anak adalah memberikan nama yang baik
dan tata krama ”. (H.R. Ibn Nujjar)36
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu
menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama. Data-data yang
terkait dalam penelitian ini dikumpulkan melalui studi pustaka atau telaah,
karena kajian berkaitan dengan pemahaman ayat al-Qur’an. Pengumpulan
data dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode mengkaji
beberapa sumber buku pendidikan Islam sebagai library research yaitu:
penelitian kepustakaan.37
Maksudnya dalam penelitian ini mencari nilai yang terkandung
dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-24 dari berbagai tafsir yang
merupakan interpretasi dari para mufassir dalam memahami isi, maksud
maupun kandungan yang ada dalam ayat tersebut sehingga akan
mempermudah dalam kajian ini.
2. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan
menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber
data primer: sumber data yang diperoleh langsung dari sumbernya.38
Dalam hal ini al-Qur’an dan tafsir-tafsirnya surat al-Isra’ ayat 23-24,
seperti tafsir al-Maraghi, tafsir Ibnu Kastir, tafsir al-Qur’anul Majid an-
Nuur, tafsir al-Azhar dan tafsir al-Misbah. sedangkan sumber data
sekunder: sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang
berkaitan, memberi interpretasi terhadap sumber primer, seperti hadist
36
‘Alauddin Ali al-Muttaqi, Kanzul Ummal Fi Sunanil Aqwal Wal Af’al, (t. Muassasah
ar-Risalah), Juz 16, hlm. 461.
37 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001), hlm. 9.
38 Winarno Surackhmat, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1998),
hlm.134..
15
Sahih Muslim, etika mendidik anak menjadi sholeh (karangan Ust. Labib
Mz), anak sholeh (karangan Umar Hasyim), kitab taisirul kholaq, kitab at
tarbiyah wat tahdhib dan pola komunikasi orang tua dan anak dalam
keluarga (karangan Syaiful Bahri Djamarah).
3. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis berusaha menjelaskan pola
uraian yang signifikan terhadap analisis. Adapun metode yang digunakan
adalah:
a. Metode tafsir Tahlili
Yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menjelaskan
beberapa aspek yang terkandung dalam ayat ditafsirkan. Dalam uraian
ini diuraikan makna yang terkandung dalam al-Qur’an, ayat demi ayat,
surat ke surat sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf.39
Uraian
tersebut menyangkut berbagai aspek seperti kosakata, asbabun nuzul,
munasabah dan pendapat-pendapat yang berkenaan dengan tafsiran
ayat-ayat tersebut.
b. Metode Interpretatif
Metode interpretative adalah suatu metode yang digunakan
untuk menjelaskan teks naskah atau ayat dengan jalan teks naskah atau
ayat tersebut diselami untuk menangkap arti dan nuansa yang
dimaksud secara khas.40
Metode ini juga berperan untuk mencari makna yang merupakan upaya
untuk menangkap dibalik yang tersurat, selain itu juga mencari makna
yang tersirat serta mengaitkan dengan hal-hal yang terkait yang
sifatnya logic, teoritik, etik, dan transcendental.41
39
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, hlm .42.
40 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 98.
41 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm.
65.
16
H. Sistematika Pembahasan
Penulisan karya ilmiah harus bersifat sistematis, di dalam penulisan
skripsi ini pun harus dibangun secara berkesinambungan. Dalam penulisan
skripsi ini terdiri dari lima bab yang isinya adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang, penegasan istilah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritik, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan
BAB II : PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA
DALAM KELUARGA
Memaparkan tentang Pendidikan etika yang meliputi: Pengertian
Pendidikan Etika, Penilaian Baik dan Buruk, Ukuran Baik dan
Buruk dalam Pendidikan Etika, Aliran Baik dan Buruk dalam
Pendidikan Etika. Sedangkan anak dan orang tua dalam keluarga
memaparkan keluarga sebagai institusi pendidikan, fungsi
keluarga, pola asuh orang tua, kewajiban anak.
BAB III : GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN ETIKA
BAGI ANAK DAN ORANG TUA
Bab ini meliputi: lafadz dan terjemahan al-Qur’an surat al-Isra’
ayat 23-24, arti mufrodat, munasabah, pendapat para mufassir, dan
telaah isi kandungan menurut para mufassir
BAB IV : ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN
ORANG TUA
Bab empat merupakan bab analisis yang meliputi pendidikan etika
bagi anak terhadap orang tua, pendidikan etika bagi orang tua
terhadap anak dan pendidikan etika bagi keduanya.
BAB V : PENUTUP
Bab lima merupakan rangkaian terakhir dari penulisan skripsi yang
memuat simpulan, saran-saran dan penutup.
17
17
BAB II
PENDIDIKAN ETIKA BAGI ANAK DAN ORANG TUA
DALAM KELUARGA
A. Pendidikan Etika
a. Pengertian Pendidikan Etika
Pendidikan etika sangat penting dalam kehidupan manusia, baik
pada diri seseorang, keluarga, masyarakat, agama maupun bangsa. Dengan
pendidikan tersebut, kehidupan manusia lebih baik dan sejahtera.1
Pendidikan berasal dari kata didik, yaitu memelihara dan memberi latihan
mengenai etika dan kecerdasan akal.2 Etika merupakan system of moral
principles atau a system of moral standar values. artinya perilaku atau
tindakan, tata susila. Secara terminology etika didefinisikan sebagai the
normatif science of the conduct of human being lifing societies. A science
which judge this conduct to be right or wrong, to be good or bad3. Yang
artinya pengetahuan normatif yang menghubungkan kehidupan
masyarakat dan manusia. Sebuah pengetahuan yang menilai hubungan
tersebut sebagai hal benar atau salah, baik atau buruk.
Jadi pendidikan etika dapat disimpulkan tentang perbuatan
mendidik etika, ilmu-ilmu mendidik, pengetahuan tentang pendidikan
etika dan pemeliharaan (latihan-latihan) badan, batin dan jasmani untuk
pembelajaran. Untuk mencapai suatu tujuan manusia dalam melakukan
perbuatan, tentu melihat norma-norma yang berlaku dalam masyarakat itu
sendiri.4 Dalam suatu kehidupan manusia tidak lepas dari aturan yang ada,
baik dalam lingkungan maupun agama. Hal ini akal dapat difungsikan
sebagaimana mestinya untuk mempertimbangkan suatu perbuatan.
1 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 51.
2 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 55.
3 Zaenul Arifin, dkk., Moralitas al-Qur‟an dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta:
Gama Media Offset, 2002), hlm. 15.
4 M. Yatimin Abdullah, Pengantar studi etika, hlm. 57.
18
Pendidikan etika merupakan proses membimbing manusia dari
kegelapan, kebodohan, untuk mencapai pencerahan pengetahuan. Dalam
arti luas pendidikan etika meliputi segala hal yang memperluas
pengetahuan manusia tentang suatu kehidupan.
Menurut caranya pendidikan etika dibagi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Dresur adalah suatu bentuk pendidikan yang berdasarkan paksaan,
artinya manusia diharuskan untuk melakukan suatu perbuatan,
mengikuti, mematuhi serta melaksanakan dengan maksimal.5
2. Latihan untuk membentuk suatu kebiasaan, dengan cara berlatih secara
terus-menerus dan tetap berkesinambungan.
3. Dengan pendidikan, dalam arti untuk membentuk hati nurani yang baik
melalui keteladanan seseorang.
Hakikat dan tujuan pendidikan etika erat hubungannya dengan
tanggapan hidup dalam merealisasikannya di muka bumi ini. Pendidikan
etika dapat direalisasikan dengan berbagai cara, baik positif maupun
negatif. Adapun cara positif dengan memberi teladan yang baik, latihan
untuk membentuk kebiasaan, memberi perintah, memberi pujian, dan
hadiah. Sedang cara negatif dengan memberikan berbagai bentuk larangan,
memberikan suatu teguran dan celaan serta memberikan hukuman.
Jadi pendidikan etika dapat diartikan sebagai latihan mental dan
fisik yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan
tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat serta
menumbuhkan personalitas (kepribadian) yang baik.6
Predikat muslim yang benar merupakan ciri manusia yang menaati
ajaran Islam dengan sungguh-sungguh dan menjaga rahmat Allah agar
selalu mengalir dalam suatu kehidupan di alam jagad raya ini. Pendidikan
ini tidak lain merupakan sistem pendidikan yang bisa memberikan
kemampuan bagi manusia untuk memimpin kehidupan ini berdasarkan
nilai-nilai Islam serta mampu memberikan warna corak suatu kepribadian.
5 M. Yatimin Abdullah, Pengantar studi etika, hlm. 56.
6 M. Yatimin Abdullah, Pengantar studi etika, hlm 57.
19
Dalam hal ini sorotan utama mengenai baik dan buruk dalam perbuatan
manusia terhadap sesama, adapun akal merupakan sebagai ukuran dalam
menentukan hidup menjadi lebih baik sesuai norma yang berlaku.
Seorang muslim yang berperan mengajak kebaikan tidak mesti
menguasai seluruh isi ilmu pengetahuan. Namun hal ini beberapa yang
dipenuhi oleh seorang muslim, yaitu:
1. Mengetahui al-Qur’an dengan sempurna, baik bacaan, tajwid dan
tafsirnya dan hadist. Karena dengan ilmu akan membawa pengaruh
yang besar dan sebagai pedoman dasar untuk mengetahui hukum Islam
dan kewajiban agama yang harus dipahami dan diterapkan.7
2. Memahami Islam secara universal serta harus diterapkan pada diri
sendiri dan orang lain, pemahaman tersebut meliputi:
a. Islam merupakan tatanan yang komplek, meliputi manifestasi
kehidupan, seperti tatanan dalam Negara, bangsa, dan instansi
pemerintah. Islam adalah norma, kekuatan, kasih sayang, peradaban,
keadilan, ilmu, hokum, materi, kekayaan, jihad dan dakwah.
b. Islam menempatkan tanggung jawab atas pendengaran, penglihatan
dan hati. Itulah agama yang membawa kearah kebaikan dan
berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam dunia pendidikan, terdapat beberapa fungsi yang
mengembangkan kehidupan manusia, sehingga terwujud manusia
paripurna (insan kamil). Adapun fungsi pendidikan etika pada kehidupan
manusia, 8yaitu:
1. Fungsi psikologis
Maksud fungsi ini adalah bahwasanya manusia dilahirkan di
bumi ini dalam keadaan lemah, baik secara fisik maupun psikis.
Dengan hal ini pendidikan etika memberikan suatu pendidikan, arahan
7 Musthafa Muhammad Tahlan, Muslim Ideal Masa Kini, (Jakarta: Cendikia Sentra
Muslim, 2000), hlm. 71.
8 Musthafa Muhammad Tahlan, Muslim Ideal Masa Kini, hlm. 51-52.
20
serta mengantarkan manusia yang lemah fisik dan psikis supaya
menjadi manusia yang dewasa, bertanggung jawab dan mandiri.
2. Fungsi pedagogis
Artinya pendidikan etika di sini menumbuhkan dan
mengembangkan potensi dasar manusia, sehingga bisa tumbuh dan
berkembang semua kemampuan yang ada dan akhirnya menjadi
manusia yang lebih baik.
3. Fungsi filosofis
Dengan dirumuskannya pendidikan etika bagi manusia agar
dapat mewujudkan manusia yang berjiwa baik, berilmu pengetahuan
tinggi dan bisa berpikir secara luas serta bijaksana.
4. Fungsi sosiologis
Manusia merupakan makhluk yang mempunyai kemampuan
dasar, dan memiliki insting untuk hidup bermasyarakat (homo socius).
Pendidikan etika sendiri mengharapkan agar potensi dasar tersebut
mampu berkembang dan berjalan sehingga terjadi interaksi yang
positif.
5. Fungsi agama
Manusia dikenal dengan sebutan homo religius (makhluk
beragama), artinya bahwa manusia mempunyai dasar ketuhanan yang
dibawa sejak lahir (fitrah). Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan
Nabi dan Rasul untuk mengembangkan fitrah keagamaan melalui
pendidikan dan pengajaran.
b. Penilaian Baik dan Buruk
Penilaian manusia tentang buruk dan baiknya dapat dilihat dari
perilakunya sehari-hari. Perilaku tersebut didorong dengan adanya
kesadaran dalam dirinya, sehingga mampu menanggapi akan makna hidup
dalam pengertian yang benar. Dengan demikian dapat dipahami terdapat
corak kehidupan manusia yang beraneka ragam.9 Manusia mampu
9 Mudlor Achmad, Etika dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 2006), hlm. 12.
21
membedakan mana yang baik dan buruk kemudian mengamalkannya
merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah, sebab telah ada sejak
masih berada dalam kandungan seorang ibu. Jadi pengertian baik buruk
merupakan tanggapan pembawaan manusia.10
Hal ini dijelaskan dalam al-
Qur’an surat As-Syam ayat 7-8:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (Q.S.
as-Syam/91: 7-8)11
Menurut Muhammad Nasib ar-Rifa’I dalam ringkasan tafsir ibnu
kastir tentang kalimat “dan jiwa serta penyempurnaannya” mempunyai
makna bahwasanya demi jiwa dan Allah telah menciptakan dengan
sempurna dan istiqomah di atas fitrah yang lurus. Manusia diberikan
potensi untuk mengembangkan segala kemampuannya berdasarkan
fitrahnya.
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan
ketaqwaannya”. Ini menunjukkan terhadap sesuatu yang mengakibatkan
kefasikan dan ketaqwaan manusia kepada Allah kemudian menjelaskan
tentang baik dan buruk. Manusia dianugrahi akal dan hati yang
mempunyai fungsi masing-masing, tentunya akal berfikir yang berdmpak
positif sehingga yang diharapkan kebaikan akan terwujud. Di sini manusia
mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.12
Manusia memberikan hukum terhadap beberapa perbuatan tentang
baik dan buruknya perilaku merata diantara manusia, baik yang tinggi
kedudukannya maupun yang rendah, baik dalam perbuatan yang besar
maupun yang kecil, diucapkan oleh ahli hukum di dalam soal undang-
undang atau ahli perusahaan, bahkan terhadap orang tua. Dengan hal itu
10
Mudlor Achmad, Etika dalam Islam, hlm.13.
11 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya., hlm. 595
12 Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Kastir, (Jakarta: Gema Insani
Press,2002), hlm. 989.
22
perbuatan dapat diukur yang akan dihukumi baik atau buruk.13
Pada
umumnya manusia memiliki puncak tujuan hidupnya, tujuan tersebut
menjadi ukuran segala perbuatan antara baik dan yang buruk. Namun
semuanya dibutuhkan adanya kesadaran dan petunjuk jalan yang dianggap
benar dalam lingkungannya.14
Terdapat beberapa pengertian mengenai baik dan buruk, sebagai
berikut:
1. Baik (خير), bahasa Arab/good, bahasa Inggris, yaitu
a. Sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan
b. Sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan,
kesenangan dan persesuaian
c. Sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang
diharapkan dan memberikan kepuasan
d. Sesuatu yang sesuai dengan keinginan
e. Bisa mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau
bahagia15
2. Buruk (شر), bahasa Arab/bad, bahasa Inggris, yaitu
a. Tidak baik, tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam
kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai
b. Keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat
diterima
c. Segala yang tercela, lawan baik, lawan pantas, lawan bagus
d. Perbuatan buruk berarti yang bertentangan dengan norma-norma
masyarakat yang berlaku
Baik merupakan sesuatu yang berharga untuk sesuatu tujuan,
bernilai buruk apabila merugikan, menyebabkan tidak tercapai tujuan.
Setiap manusia mempunyai tujuan yang berbeda, meskipun terdapat
pertentangan dalam lingkungan masyarakat, sehingga yang berharga untuk
13
Ahmad Amin, Etika,(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 2.
14 Ahmad Amin, Etika, hlm. 3.
15 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, ,hlm.23.
23
diri sendiri berbeda dengan golongan lain. Baik menurut pandangan satu
dengan yang lain sering mengalami perselisihan. Akan tetapi kembali
sumber ajaran Islam akan mengetahui kebenarannya baik dan buruknya
suatu perbuatan yang dilakukan manusia. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 216, yaitu:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu,
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah/2:
216)16
Kata (عسى) „asa yang diterjemahkan boleh jadi dan yang
mengandung makna ketidakpastian, namun tidak dari sisi pengetahuan
Allah, karena tiada sesuatu yang tersembunyi atau tidak pasti bagi Allah.
Ketidakpastian dari sisi manusia artinya manusia ketika menghadapi
sesuatu harus menanamkan rasa optimism dalam jiwanya dan mempunyai
keyakinan bisa untuk melakukannya. Dan sebaliknya ketika manusia
mendapatkan kegembiraan tidak sampai pada batas lupa diri. Dikarenakan
bisa jadi di balik yang disenangi terdapat mudharat. Pada dasarnya ayat ini
mengingatkan manusia agar berserah diri kepada Allah sekaligus
mendorongnya untuk hidup seimbang tidak kehilangan optimism ketika
mendapatkan kesedihan dan tidak larut dalam kegembiraan yang
menjadikannya lupa segalanya.17
Penilaian manusia mengenai suatu perbuatan merupakan relatif,
disebabkan adanya perbedaan agama, cara berpikir, pendidikan serta
lingkungan yang ada. Namun dalam pendidikan Islam al-Qur’an dan
Hadist adalah sumber utama dalam menentukan suatu hukum serta
dijadikan sebagai pegangan hidup bagi seorang muslim. Akal ikut
16
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 34.
17 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Vol I, hlm. 460.
24
berperan dalam pemikiran yang benar, hal ini dikarenakan keistimewaan
akal yang merupakan dasar bagi segala kebaikan sekaligus arus utama
kewajiban agama.18
c. Ukuran Baik dan Buruk dalam Pendidikan Etika
Mempersoalkan baik dan buruk dalam pendidikan etika
memperlihatkan bahwa pada perbuatan manusia, ukuran karakternya
selalu dinamis dan sulit dipecahkan. Namun, karakter baik dan buruk
perbuatan manusia dapat diukur menurut fitrah manusia.19
Terdapat
berselisih pendapat untuk menilai sesuatu perbuatan, ada yang menilai
suatu perbuatan itu baik dan ada yang menilainya buruk. Baik oleh suatu
masyarakat, dipandang buruk oleh yang lain. Dalam melihat ukuran etika
baik dan buruk dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yang
mempengaruhi, yaitu:
a) Pengaruh Adat Istiadat (al-„Urf)
Manusia dapat terpengaruh oleh adanya adat istiadat yang
terjadi di masyarakat sekitar. Kebiasaan memberikan kekuatan yang
dapat tumbuh untuk diikuti oleh kebanyakan orang. 20
Namun hal ini
penyelidikan adat istiadat tidak dapat digunakan sebagai ukuran dan
pertimbangan, dikarenakan terkadang sebagian kebiasaan yang ada
bahkan merugikan dan tidak baik dilakukannya. Seperti halnya yang
terjadi pada masa lampau bangsa Arab jahiliyah mengubur anak
perempuan dengan hidup-hidup. Ini merupakan suatu adat yang sering
terjadi di lingkungan Arab jahiliyah, akan tetapi tidak baik diteladani.
Ada beberapa cara yang dapat merubah kebiasaan yang kurang
baik, di antaranya:21
1. Niat yang sungguh tanpa keragu-raguan untuk merubah suatu
kebiasaan yang disertai dengan azam (kemauan keras).
18
Majid Fakhry, Etika dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), hlm. 78.
19 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 62.
20 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 63.
21 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponerogo, 1985), hlm. 65.
25
2. Pengertian dan kesadaran yang mendalam akan perlunya kebiasaan
yang negatif perlu ditinggalkan.
3. Dalam niat hendaklah setia apa yang sudah diniatkan, kuat
pendirian meskipun menemukan kesulitan.
4. Kebiasaan yang jelek segera diganti dengan kebiasaan yang baik,
jangan sampai kekosongan diisi kembali dengan kebiasaan jelek
lagi.
Pendidikan Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha
dan berdo’a dalam setiap perbuatannya, dengan tujuan apa yang
diharapkan dalam kebaikan mampu menjadi karakter dalam
pribadinya. Allah menjelaskan dalam firman-Nya, yaitu:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu',”. (Q.S. al-Baqarah/2: 45)22
Kata (الصبر) ash-shabr artinya menahan diri dari sesuatu yang
tidak berkenaan dihati atau juga berarti ketabahan. Secara umum
kesabaran dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Kesabaran secara jasmani, artinya kesabaran dalam menerima dan
melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota
tubuh, sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan
keletihan atau sabar dalam peperangan membela kebenaran. Termasuk
dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpa jasmani seperti
penyakit, penganiayaan dan lain sebagainya.
2. Kesabaran secara rohani, hal ini menyangkut kemampuan menahan
kehendak nafsu yang dapat mengantar terhadap keburukan seperti
menahan amarah atau menahan seksual yang bukan pada tempatnya.23
22
Departemen Agama, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 34.
23 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol I, hlm. 181.
26
Sedang kata (الصالة) ash-shalah, dari segi bahasa adalah do’a
dan segi pengertian syari’at Islam adalah “Ucapan dan perbuatan
tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam”. Shalat
juga mengandung pujian kepada Allah atas limpahan karunianya,
mengingat Allah mengantar manusia terdorong untuk melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan-Nya serta tabah menerima cobaan atau
tugas yang berat. Hal ini mempunyai maksud “mintalah pertolongan
kepada Allah dengan jalan tabah dan sabar menghadapi segala
tantangan serta dengan melaksanakan shalat.
Wa innaha lakabiratun illa „ala al-khasy‟in/ dan sesungguhnya
ia sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, artinya
bahwasanya keduanya antara sabar dan shalat tidak mudah
dipraktekkan kecuali bagi yang khusyu’. Khusyu’ (خشوع) adalah
ketenangan hati dan keengganannya mengarah kepada kedurhakaan.
Yang dimaksud dengan orang-orang yang khusyuk oleh ayat ini adalah
mampu mengendalikan nafsunya dan membiasakan diri menerima dan
merasa tenang menghadapi ketentuan Allah.24
Manusia akan menerima suatu kebiasaan dalam dirinya, apabila
dikerjakan secara terus menerus. Hal ini disebabkan sudah berakar
kuat dalam pribadi manusia. Untuk membangun kebiasaan yang baik,
tentu dibutuhkan latihan yang sungguh-sungguh. Suatu yang wajar
dalam membina kebiasaan yang baik terdapat rintangan maupun
hambatan yang menghalanginya, akan tetapi dengan keteguhan hati
serta kesabaran akan menjadi penolong dalam suatu kehidupan.
b) Pengaruh Intuisi (Intuition)
Intuisi merupakan kekuatan batin yang dapat mengenal sesuatu
yang baik atau buruk dengan sekilas pandang tanpa melihat buah dan
akibatnya. Setiap manusia mempunyai kekuatan batin sebagai suatu
instrument yang dapat membedakan baik dan buruk. Hal ini dapat
24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol I, hlm. 181.
27
berakar dalam tubuh tiap individu manusia. Manusia melihat suatu
perbuatan, secara langsung memberikan nilai perbuatan tersebut
dalam ukuran hokum baik dan buruk, sebagaimana manusia diberi
mata untuk melihat, telinga untuk mendengar serta akal untuk
membedakan mana yang baik dan buruk.25
c) Pengaruh Pendapat Pribadi
Penilaian baik dan buruknya perbuatan dapat juga dapat
ditentukan oleh pendapat pribadi, meskipun pendapat pribadi bersifat
subjektif. Subjektivitas tersebut ditentukan oleh tingkat pendidikan dan
milieu (lingkungan seseorang).26
Dan manusia dianjurkan untuk
berusaha melakukan suatu kebaikan dengan dirinya sendiri.
Dalam diri manusia diberi kemampuan untuk mempengaruhi
dirinya sendiri, yang nantinya akan membentuk pribadi muslim yang
ideal berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam
pendidikan Islam.27
Adapun pendapat pribadi berdasarkan pada hati
nurani seseorang yang cenderung kepada kebaikan dapat berlaku di
lingkungan, juga berdasarkan pengaruh ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang dimilikinya. Oleh karena itu, adakalanya sesuatu
dikatakan baik oleh seseorang, tetapi tidak sesuai bagi pihak lainnya.
Untuk menekan subjektivitas tersebut diperlukan pendidikan dan
pengetahuan sehingga mampu menghadirkan objektivitas yang mampu
diterima mayoritas manusia.
d) Pengaruh Ajaran Agama
Agama memiliki hubungan erat dengan pendidikan etika.
Setiap agama mengandung suatu ajaran etika yang menjadi pegangan
bagi perilaku penganutnya. Ajaran etika yang terkandung dalam suatu
agama meliputi dua macam aturan, yaitu:28
25
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 67.
26 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 74.
27 Ibnu Husein, Pribadi Muslim Ideal, (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm. 3.
28 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 74.
28
1. Aturan yang bersifat teknis, seperti tata cara makan, tata cara
bergaul, tata cara rumah tangga yang dapat diterima secara umum.
2. Aturan bersifat nonteknis, yaitu aturan-aturan yang lebih umum,
seperti jangan berdusta, jangan berzina, jangan menganiaya, jangan
durhaka terhadap orang tua.
Ajaran etika setiap agama berasal dari Tuhan, yang didasarkan
kepada wahyu. Dalam Islam dikenal dengan istilah ihsan (احسان) yang
berarti berbuat baik, beribadah semata-mata mencari ridho Allah. Ihsan
dapat diartikan dengan berbuat baik kepada Allah, manusia dan alam.
Tingkah laku merupakan perwujudan dari iman seseorang, karena dalam
ajaran Islam kekuatan dan kelemahan iman dapat dilihat dari tingkah laku
manusia. Setiap manusia yang ingin melakukan perbuatan, untuk
memenuhi kebutuhan nalurinya, maka wajib secara syara‟ mengetahui
hukum Allah tentang perbuatan yang akan dilakukannya.29
Seorang muslim memiliki keterkaitan terhadap hukum Allah,
karena Islam melalui sumber al-Qur’an dan Hadis mengatur secara global
semua hal dan perbuatan yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Allah
telah menjadikan Islam agama yang memiliki ajaran yang sempurna,30
berskala internasional, manusiawi, dan autentik. Kepatuhan terhadap
ikatan hukum syara‟ ( tersebut dapat mendatangkan rahmatan (حكم شرعي
lil‟alamin ( kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan dunia ,(رحمت للعالميه
akhirat. Hal ini sesuai al-Qur’an surat al-A’raf ayat 96, yaitu:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah
kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya”.(QS. Al-A’raf/7: 96)31
29 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 75.
30 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, hlm. 90.
31 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 250.
29
Kata (لو) jikalau digunakan dalam arti perandaian terhadap sesuatu
yang mustahil atau tidak mungkin terjadi. Berbeda dengan kata (اذا)
apabila yang digunakan untuk mengambarkan perandaian bagi sesuatu
yang diduga keras akan terjadi. Penggunaan kata lau ini menunjukkan
bahwa melimpahnya keberkatan untuk penduduk negeri-negeri yang
durhaka tersebut adalah sesuatu yang mustahil. Ayat ini bisa dipahami
bahwa Allah akan melimpahkan aneka anugerah dan keberkatan kepada
penduduk negeri yang beriman dan bertaqwa. Sejarah Islam menunjukkan
bahwa penduduk Mekah yang durhaka kepada Allah mengalami masa-
masa sulit bahkan paceklik selama tujuh tahun sedang penduduk Madinah
hidup aman dan sejahtera dibawah bimbingan Rasul.32
Untuk mencari kebahagiaan dan tujuan-tujuan baik, harus
menggunakan jalan yang baik dan benar yaitu jalan yang hanya ditempuh
manusia dengan mengikuti aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang
digariskan oleh Allah. Aturan-aturan syara’ tersebut sesuai dengan akal
manusia, dan tidak berlawanan dengannya, karena akal (عقل) diberi
kedudukan tinggi dalam ajaran Islam, mendorong kaum muslimin untuk
memahami ajaran tersebut dengan menggunakan penalaran rasional. Oleh
karena itu, pada hakekatnya, umat Islam telah berfilsafat sejak
menggunakan penalaran rasional dalam memahami ajaran Islam.33
d. Aliran Baik dan Buruk dalam Pendidikan Etika
Menurut M. Yatimin Abdullah menjelaskan tentang aliran baik dan
buruk dalam pendidikan etika adalah sebagai berikut:
1) Aliran Hedonisme
Aliran hedonisme ini menjelaskan bahwa norma baik dan buruk
adalah kebahagiaan, karena suatu perbuatan apabila dapat
mendatangkan kebahagiaan maka perbuatan tersebut baik dan
sebaliknya. Hal ini manusia menginginkan kebahagiaan, yang
32
M. Qurasih Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol I, hlm. 182.
33 Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm.
31.
30
merupakan tujuan akhir dari hidup manusia.34
Perbuatan yang baik
adalah perbuatan yang menghasilkan hedone kenikmatan dan
kelezatan. Kelezatan merupakan ketenteraman jiwa yang berarti
keseimbangan badan.
2) Aliran Idealisme
Aliran ini menjelaskan mengenai wujud yang paling dalam dari
kenyataan (hakikat) yaitu kerohanian. Manusia berbuat baik
merupakan bukan anjuran dari pihak lain, melainkan atas dasar
kemauan sendiri dan merasa suatu keharusan. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia mempunyai dorongan yang kuat untuk melakukan hal
kebaikan, meskipun terdapat ancaman maupun hinaan akan tetapi
berusaha tetap selalu dalam koridor perbuatan baik. Ini membuktikan
karena adanya rasa kewajiban yang bersemi dalam rohani manusia.
Faktor penting dalam mempengaruhi manusia adalah “kemauan”
yang melahirkan tindakan konkret dan yang menjadi utamanya ada
kemauan baik. Dari kemauan baik akan melahirkan kemuliaan-
kemuliaan untuk menyempurnakan rasa kewajiban. Menurut aliran ini
kemauan merupakan faktor terpenting dari wujudnya tindakan-
tindakan yang nyata. Oleh karena itu, “kemauan yang baik” menjadi
dasar pokok dalam idealisme. 35
Perbuatan manusia harus berdasarkan
prinsip kerohanian yang tinggi, bukan berdasarkan pada kausalitas
verbal yang tampak. Perbuatan yang baik berdasarkan atas kemauan
sendiri, rasa wajib, bukan anjuran dari pihak lain atau ingin
mendapatkan pujian. Jadi, faktor yang mempengaruhi perbuatan
manusia adalah kemauan rasa kewajiban dan tujuan.36
3) Aliran Naturalisme
Manusia akan menemukan suatu kebahagiaan dengan melakukan
sesuatu sesuai fitrahnya dan melangsungkan kehidupannya. Ukuran
34
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 84.
35 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 85.
36 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm 86.
31
baik buruknya perbuatan manusia menurut aliran naturalisme adalah
perbuatan yang sesuai dengan fitrah manusia. Aliran ini menganggap
bahwa kebahagiaan yang menjadi setiap tujuan dari setiap manusia
didapat dengan jalan memenuhi panggilan-panggilan nature atau
kejadian manusia itu sendiri. Aliran ini berpendirian bahwa segala
sesuatu yang menjadi sebuah tujuan secara otomatis melalui
pertimbangan akal. Hewan menuju kepada tujuannya dengan naluri
kehewanannya dan manusia menuju tujuan baik dengan akal
pikirannya.
4) Aliran Teologi
Aliran ini menjelaskan bahwa yang menjadi ukuran baik dan
buruknya suatu perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Tuhan,
artinya sebuah perintah atau larangan. Perbuatan yang diperintahkan
Tuhan merupakan perbuatan yang baik dan segala perbuatan yang
buruk tidak lain larangan-Nya. Perbuatan yang baik merupakan
perbuatan yang sesuai dengan instruksi Tuhan untuk mencapai suatu
puncak dari kehidupan.
B. Anak dan Orang Tua dalam Keluarga
1. Keluarga sebagai Institusi Pendidikan
Keluarga merupakan sebuah institusi yang terbentuk dengan
adanya pernikahan yang sah. Keinginan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan sejahtera lahir batin adalah tujuan dari pada keluarga.
Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan
sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu
kesatuan yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya.
Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu
kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan
saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, meskipun tidak terdapat
hubungan darah.37 Keluarga sebagai pusat pendidikan pertama,
37
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam
Keluarga,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 16.
32
mempunyai tugas fundamental dalam mempersiapkan anak bagi
peranannya di masa depan. Dasar-dasar perilaku, sikap hidup dan
berbagai kebiasaan ditanamkan kepada anak sejak dalam lingkungan
keluarga.
Keluarga merupakan persekutuan terkecil dari masyarakat yang
luas, pangkal kedamaian dan ketentraman hidup terletak pada keluarga
yang dikepalai oleh kedua orang tua. Orang tua adalah orang yang
bertanggung jawab di dalam suatu keluarga atau rumah tangga yang
dalam penghidupan sehari-hari lazim disebut bapak ibu.38
Keluarga atau orangtualah yang pertama dan utama memberikan
dasar-dasar pendidikan tersebut. Apabila sikap hidup dan perilaku seperti
itu dikembangkan sejak dini akan sangat membekas pada diri anak dan
merupakan landasan kepribadian yang kokoh untuk menuju terbentuknya
pribadi muslim yang memiliki kepribadian manusia seutuhnya.
Keluarga adalah lembaga pendidikan yang bersifat kodrat karena
terdapatnya hubungan antara pendidik dan anak didiknya. Karena sifat ini
maka wewenang pendidik dalam keluarga (orang tua) juga bersifat kodrat,
dan wewenang ini tidak dapat diganggu gugat, kecuali jika keluarga
tersebut tidak mampu melaksanakan tugasnya tadi. Dengan adanya ikatan
yang bersifat kodrati ini maka terdapat hubungan yang erat antara pendidik
dan anak didik atau antara orang tua dengan anak.
Begitu pentingnya peranan yang dimainkan oleh keluarga dalam
mendidik anak-anaknya. Maka dalam berbagai sumber bacaan mengenai
kependidikan, keluarga selalu disinggung dan diberi peran yang penting.
Karena pada hakekatnya, pembentukan kepribadian anak terjadi di
lingkungan keluarga.39
Di sini seorang anak dapat belajar untuk dapat
saling mengasihi, menyayangi, bekerjasama serta berkorban untuk orang
lain. Sehingga seorang ayah dan ibu harus benar-benar sadar bahwa si
38
Thamrin Nasution, Peranan Orang tua dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak,
(Jakarta: Gunung Mulia, 1989, hlm.1.
39 Husain Mazhahiri, Surga Rumah Tangga (Jakarta : Titian Cahya, 2001), hlm. 52.
33
kecil apapun perbuatan dan ucapan mereka di rumah, semua itu akan
memberikan pengaruh secara langsung kepada anak.
2. Fungsi Keluarga
Untuk menciptakan keluarga yang berkualitas harus melihat aspek
nilai dalam kesejahteraan lahir dan batin antara bapak, ibu dan anak.
Artinya semua anggota keluarga membangun dan mengembangkan yang
dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil, sehingga fungsi
keluarga berjalan secara optimal. Dalam keluarga juga harus
memperhatikan kualitas pendidikan, kesehatan, lingkungan masyarakat,
serta nilai-nilai agama yang merupakan dasar untuk mencapai perilaku
yang benar.40
Keluarga adalah satu elemen terkecil dalam masyarakat yang
merupakan institusi sosial yang utama melalui individu-individu dengan
harapan mampu menciptakan nilai-nilai yang baik.41
Dengan demikian
peran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dalam sudut
tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan
individu.42
Pada saat yang sama keluarga sebagai unit terkecil dalam
masyarakat terbentuk berdasarkan sukarela dan cinta yang asasi antara dua
subyek manusia (suami istri)
Keluarga sebagai tempat pendidikan bagi anak-anaknya.
dikarenakan pendidikan di lingkungan keluarga ada sejak anak lahir
bahkan setelah dewasa orang tua masih mempunyai hak untuk
memberikan nasihat terhadap anaknya. Hal ini sesuai dalam al-Qur’an
surat an-Nisa’ ayat 36, yaitu:
40
Husain Mazhahiri, Surga Rumah Tangga, hlm. 17.
41 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan
(Jakarta : al-Husna Zikra, 1995), hlm. 346.
42 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 110.
34
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga
yang jauh43
, dan teman sejawat, ibnu sabil.44
dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri”.(QS. An-Nisa’/4: 36)45
Ayat diatas mengandung maksud perintah beribadah kepada Allah
serta larangan beribadah selain Allah. Dan kemudian perintah untuk
berbuat baik kepada kedua orang tua (secara khusus) dan sanak kerabat
(secara umum). Hal ini perintahnya mengarah kepada anak keturunan agar
berbuat terhadap orang tua. anak-anak sangat memerlukan arahan untuk
berbakti kepada orang tua, generasi yang mendidik dan merawatnya.
Pengarahan bermula dari orang tua, kerabat kemudian mengembang dan
meluas areanya hingga kepada keluarga kemanusiaan yang besar yang
memerlukan bantuan dan pemeliharaan.
Di dalam pendidikan keluarga merupakan dasar untuk
memperkenalkan education of religion, yang akan direalisasikan terhadap
keluarga maupun saudaranya dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
Melalui komunikasi tersebut diharapkan terjadi proses penerimaan
43
Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan,
dan ada pula antara yang muslim dan yang bukan muslim.
44 Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan
bekal. termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya
45 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 84.
35
pengetahuan dan nilai-nilai hidup dan berkembang di lingkungan
keluarga.46
Keluarga merupakan benteng utama tempat anak-anak dibesarkan
melalui pendidikan yang Islami dan telah mendasarkan aktifitasnya pada
pembentukan keluarga yang sesuai dengan syariat Islam.47
Dalam Islam
penyemaian rasa agama dimulai sejak pertemuan ibu dan bapak yang
membuahkan janin dalam kandungan, yang dimulai dengan do’a kepada
Allah, agar janinnya kelak lahir dan besar menjadi anak yang saleh.48
Demikian keluarga tersebut telah merintis untuk dilaksanakannya rancang
bangunan pendakian spiritual, jiwa dan mental anak untuk beragama.
Yang pertama kali ditanamkan pada anak adalah keimanan yang kuat
kepada Allah, kemudian iman kepada malaikat, kitab-kitab yang
diturunkan Allah, rasul-rasul Allah, hari akhirat dan kepercayaan bahwa
semua perbuatan manusia selalu di bawah pengawasan Allah.
Lembaga pendidikan keluarga memberi pengalaman pertama yang
merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak, sebab
pengalaman masa kanak-kanak yang menyakitkan walaupun sudah jauh
terpendam di masa silam, tetapi dapat mengganggu keseimbangan jiwa di
dalam perkembangan individu selanjutnya.
Melalui pendidikan keluarga ini kehidupan emosional atau
kebutuhan akan rasa kasih sayang dapat dipenuhi (dapat berkembang
dengan baik). Hal ini disebabkan karena adanya hubungan darah antara
orang tua dengan anak. Hubungan orang tua dengan anak didasarkan atas
rasa cinta kasih sayang yang murni. Kehidupan emosional ini merupakan
salah satu faktor yang terpenting di dalam membentuk pribadi seseorang.
46
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, hlm. 22.
47 Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha, Terj. Herry
Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam : dalam Keluarga, di Sekolah dan di
Masyarakat (Bandung: CV. Diponegoro, 1989), hal. 197.
48 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta : Ruhama,
1995), hal. 64.
36
3. Pola Asuh Orang Tua
Pendidikan yang diberikan dalam keluarga memiliki nilai strategis
dalam pembentukan kepribadian anak. Anak mendapatkan pendidikan dari
orang tuanya melalui keteladanan dan kebiasaan hidup sehari-hari dalam
keluarga. Kebiasaan yang terdapat dalam pendidikan keluarga akan
mempengaruhi perkembangan psikologi anak. Hal ini anak masih dalam
tahap belajar dari orang tua yang bersifat meniru apa yang biasa dilakukan
di dalam keluarga. Artinya meniru kebiasaan hidup orang tua adalah suatu
hal yang sering anak lakukan. Dalam kehidupan sehari-hari orang tua
harus memberikan teladan yang positif, baik dalam bentuk tingkah laku
atau ucapan, karena pola asuh orang tua akan mempengaruhi pendidikan
anak.49
Situasi dan kondisi keluarga besar pengaruhnya terhadap
pembentukan kepribadian anak. Sehingga Islam menganjurkan agar
keluarga menjadi tempat yang bisa menenteramkan dan menenangkan
psikis seluruh keluarganya.50
Agar keluarga menjadi penyeimbang yang
tenang dan damai untuk menjadi tempat tinggal yang menyenangkan bagi
semua anggotanya. Mereka akan berlindung kepada keluarga setiap
diganggu oleh orang lain dalam pergaulannya. Dan hanya keluarga
sakinahlah yang mampu menciptakan situasi seperti itu.
Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan
tentang nilai-nilai kehidupan merupakan faktor yang kondusif untuk
mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang
sehat.51
Karena, jika suami istri bersatu di atas landasan kasih sayang dan
ketentraman psikologis yang interaktif, maka anak-anaknya akan tumbuh
dalam suasana bahagia, percaya diri, tentram dan kasih sayang. Mereka
49
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, hlm. 25.
50 Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha, Terj. Herry
Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam : dalam Keluarga, di Sekolah dan di
Masyarakat , hal. 140.
51 Syamsul Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2001), hal. 37.
37
akan jauh dari kekacauan, kesulitan dan penyakit batin yang melemahkan
kepribadiannya.
Menurut H.M. Chabib Thoha, pola asuh adalah merupakan suatu cara
terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai
perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak.52
Dimana tanggung
jawab untuk mendidik anak ini adalah merupakan tanggung jawab primer.
Cara mendidik ini dapat dilihat dalam tiga pola asuh orang tua terhadap
anak, yakni pola asuh yang demokratis, otoriter dan permisif.
1. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua
terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu
bergantung pada orang tua. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan
kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung
jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan untuk berpartisipasi dalam
mengatur hidupnya. Bentuk-bentuk konkret dari perilaku atau sikap orang
tua yang demokratis antara lain sebagai berikut :
1) Melakukan sesuatu dalam keluarga dengan cara bermusyawarah.
2) Menentukan peraturan-peraturan dan disiplin dengan memperhatikan
dan mempertimbangkan keadaan, perasaan dan pendapat si anak, serta
memberikan alasan-alasan yang dapat diterima, difahami dan dimengerti
oleh anak.
3) Hubungan antar keluarga saling menghormati. Orang tua menghormati
anak sebagai manusia yang sedang bertumbuh dan berkembang.
Pergaulan antara ibu dan ayah juga saling menghormati.
4) Adanya komunikasi dua arah yaitu, anak juga dapat mengusulkan,
menyarankan sesuatu pada orang tuanya, dan orang tua
mempertimbangkannya.
5) Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu
dipertahankan dan yang tidak baik supaya ditinggalkan.
52
H.M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 109.
38
6) Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian.
7) Bukan mendikte apa-apa yang harus dikerjakan anak, akan tetapi selalu
disertai dengan penjelasan-penjelasan yang bijaksana.53
2. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-
aturan yang ketat, sering kali memaksa anak untuk berperilaku seperti
dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri
dibatasi. Orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar
sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak.
Pola asuh yang otoriter juga ditandai dengan penggunaan hukuman
yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur
segala keperluan dengan aturan yang ketat dan masih diberlakukan
meskipun sudah menginjak usia dewasa.
Merupakan kewajiban orang tua untuk menolong anak dalam
memenuhi kebutuhan hidup mereka, akan tetapi tidak boleh berlebih-
lebihan dalam menolong, sehingga anak tidak kehilangan kemampuan untuk
berdiri sendiri nanti.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa perilaku orang tua yang otoriter
adalah sebagai berikut :
1). Anak harus mematuhi peraturan orang tua dan tidak boleh
membantah.
2). Orang tua lebih cenderung mencari kesalahan-kesalahan pada pihak
anak dan kemudian menghukumnya.
3). Jika terdapat perbedaan pendapat orang tua dengan anak, maka anak
dianggap sebagai seorang yang suka melawan dan membangkang.
4). Lebih cenderung memberi perintah dan larangan terhadap anak dan
cenderung memaksakan disiplin kepada anak.
5). Orang tua lebih cenderung menentukan segala sesuatu untuk anak
dan anak hanya sebagai pelaksana (orang tua sangat berkuasa).54
53
Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Padang: Aksara Raya, 1987), hlm. 38.
54Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, hlm. 39-40.
39
3. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif dapat disebut juga dengan Laisser-faire. Pola asuh
ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas, anak
dianggap sebagai orang dewasa (muda), diberi kebebasan seluas-luasnya
untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Dalam hal ini pengawasan
orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan
yang cukup berarti bagi anaknya.
Cara mendidik yang demikian dapat diterapkan kepada orang dewasa
yang sudah matang pemikirannya, tetapi tidak sesuai jika diberikan kepada
anak-anak remaja. Apalagi jika diterapkan untuk pendidikan agama, banyak
hal yang harus disampaikan secara bijaksana.
Dan bentuk-bentuk pola orang tua yang permisif, adalah sebagai
berikut:
1). Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan
membimbingnya.
2). Mendidik anak acuh tak acuh atau bersifat pasif (masa bodoh).
3). Terutama memberikan kebutuhan material saja.
4). Membiarkan apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan
kebebasan untuk mengatur dirinya tanpa ada peraturan-peraturan dan
norma-norma yang digariskan oleh orang tua.
5). Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam
keluarga.55
Demikianlah jenis-jenis pola asuh (perilaku) orang tua dalam mendidik
anaknya. Dan dari ketiga jenis pola asuh tersebut kemungkinan tidak
semuanya digunakan, akan tetapi mungkin hanya salah satunya saja.
C. Kewajiban anak
Kewajiban anak adalah berbuat baik kepada orang tua. Dan itu
merupakan suatu keharusan ya ng dilakukan oleh anak. Dikarenakan
perjuangan dan rasa tanggung jawab mereka dalam merawat dan mendidik
55
Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, hlm. 41.
40
merupakan bentuk kasih sayang mereka terhadap anaknya.56
Oleh karena
itu, anak berusaha dengan sebaik mungkin untuk berbakti dan menghormati
mereka.
Hal ini berdasarkan al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 8:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
(Q.S. an-Nisa’: 36)57
Berbakti kepada orang tua merupakan suatu keharusan bagi anak.
Dalam ajaran Islam sangat dianjurkan untuk berbuat baik dengan sebaik-
baiknya. Hal ini menunjukkan derajat orang tua sangat mulia di sisi Allah.
Kasih sayang orang tua yang tulus telah tertanam dan terhunjam di dalam
dada dan batin orang tua. Dalam keadaan bagaimanapun orang tua tidak bisa
melepaskan kasih sayangnya terhadap sang anak.58
Pengorbanan orang tua
demi keselamatan dan kesejahteraan serta mencurahkan tenaga, pikirannya
untuk kemaslahatan dan masa depan sang anak pula. Maka dari itu anak
yang sudah dilahirkan melalui perantara orang tua, harus bisa memberikan
sebuah etika terhadap mereka.
Ada beberapa hal yang diperhatikan oleh anak kepada orang tua dalam
keluarga diantaranya59
:
1. Apabila orang tua menghendaki makanan, maka hendaklah dipenuhi
2. Apabila menghajati pakaian, hendaklah penuhi keinginannya
3. Apabila memanggil kepada anaknya, hendaklah menjawab dengan
baik dan datang dihadapan mereka
56
Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islam, hlm . 200.
57 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Jumanatul ART,
2005), hlm. 84. 58
Umar Hasyim, Anak Sholeh, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), hlm. 1
59 Umar Hasyim, Anak Sholeh, hlm. 15.
41
4. Mematuhi dengan baik segala perintah orang tua, kecuali dalam hal
maksiat atau durhaka kepada Allah.
5. Melemah lembutkan perkataan ketika berbicara kepada orang tua
6. Memanggil orang tua dengan panggilan yang menyenangkan hatinya.
7. Meneladani perbuatan orang tua selama masih dalam koridor ajaran
Islam
8. Memohonkan ampun kepada Allah atas orang tua, selain memohon
ampunan terhadap kesalahan sendiri.
42
BAB III
GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN ETIKA
BAGI ANAK DAN ORANG TUA
A. Lafadz dan Terjemahannya
Pendidikan etika bagi anak dan orang tua dijelaskan dalam al-Qur’an
surat al-Isra’ ayat 23-24. Surat ini termasuk Makkiyah yang terdiri dari 111
ayat dan dinamakan surat Bani Isra’il, karena menguraikan tentang
pembinasaan dan penghancuran Bani Isra’il, selain itu juga dinamai dengan
surat Subhana karena awal ayat dimulai dengan kata tersebut. Adapun kajian
dalam penelitian ini adalah ayat 23-24 yang berbunyi:
”Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia(23) Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”, (Q.S Al-Isra’/17: 23-24).1
B. Arti Mufrodat
( ) : memberi keputusan dan perintah
( ) : berbuat baik kepada orang tua
1 Az-Zikr, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Sinar Baru Algensindo Offset, 2007),
hlm. 542.
43
( ) : Jangan katakana kepada mereka (orang tua)
merupakan ال yang mempunyai makna النهى
“jangan” dan تقم merupakan fiil mudhori‟ dari يقىل–
Dan .قال صىت ينبئ عن تضجز mempunyai makna اف
artinya adalah suara yang menimbulkan muak, kesal
dan tidak sopan
( ) : Janganlah kamu membentak mereka
( ) : Katakan kepada mereka (orang tua) dengan
perkataan mulia merupakan fiil amr yang قم
mengandung makna perintah, yang berarti
“katakanlah”
( ) : Merendahkan sayap terhadap orang tua. Adapun
yang dimaksud adalah tawadhu’ dan merendahkan
diri
( ) : Katakanlah: Wahai Tuhanku! Kasihinilah mereka
( ) : Sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku
waktu kecil
C. Munasabah
Munasabah merupakan unsur terpenting dalam memaknai suatu ayat,
yang mana ayat-ayat tersebut telah tersusun dengan baik berdasarkan petunjuk
dari Allah. Untuk mengetahui pengertian suatu ayat kurang dapat dipahami
tanpa mempelajari ayat-ayat yang berhubungan erat dan keterkaitan antara
ayat sebelumnya dan sesudahnya. Adapun pengertian munasabah secara
etimologi adalah مقا ربة (mendekatkan). Sedangkan secara terminology adalah
suatu hubungan antara beberapa kalimat dalam satu ayat atau suatu ayat/surat
dengan ayat/surat yang lain, baik yang ada dibelakangnya maupun di
44
mukanya.2 Dalam penelitian ini adalah munasabah antara surat al-Isra’ dengan
an-Nahl dan al-Kahf serta ayat sebelum dan sesudah ayat 23-24 surat al-Isra’.
1. Munasabah Surat
Dalam surat al-Isra’ persesuaiannya dengan sebelumnya, yaitu
surat an-Nahl:
a. Kedua surat tersebut sama-sama menerangkan tentang ketuhanan serta
keesaan Allah, karena awal surat al-Isra’ diawali dengan kata Subhana
yang berarti Maha Suci Allah.
b. Surat an-Nahl secara global menerangkan tentang kehendak manusia
dalam konteks iman, kufur, hidayah dan kesesatan, sedang dalam surat
al-Isra’ menerangkan mengenai Bani Israil mengenai Isra’nya Nabi
Muhammad saw.
c. Surat al-Nahl menyebutkan mengenai soal interaksi sosial, seperti
ihsan yang merupakan penutup dari surat tersebut, sedangkan dalam
surat al-Isra’ menyinggungnya pula.3
d. Keduanya sama menjelaskan tentang kesempurnaan kuasa Allah dan
keluasan ilmu-Nya, di mana surat an-Nahl sebagai pengantar dalam
surat al-Isra’ yang mana lebah (makna dari an-Nahl) melukiskan
keajaiban ciptaan-Nya sebagai pengantar perbuatan-Nya dalam
peristiwa Isra’ Mi’ra’ Nabi Muhammad saw.
Adapun persesuaian surat al-Isra’ dengan surat sesudahnya yaitu,
surat al-Kahf:
a. Surat al-Isra’ menerangkan ajakan menuju ke hadirat Allah swt, dan
meninggalkan selain-Nya, adapun dalam surat al-Kahf juga
mengandung ajakan menuju kepercayaan yang haq dan beramal sholeh
melalui pemberitaan yang menggembirakan dan peringatan.
b. Surat al-Isra’ banyak mengulang kata Subhana yang memaparkan
tentang keesaan Allah dari segala bentuk persekutuan, sedang dalam
2 Ahmad Syadzali dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur‟an I, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),
hlm 68. 3 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Vol. 7, hlm. 175-177.
45
surat an-Nahl menggambarkan betapa al-Qur’an merupakan satu kitab
yang bisa mencegah manusia mempersekutukan Allah.
c. Surat al-Isra’ menerangkan bahwa Allah memberi suatu keutamaan
siapa yang dikehendaki-Nya serta melakukan apa saja yang
dikehendaki-Nya, sedangkan dalam surat an-Nahl menceritakan secara
haq dan benar berita sekelompok manusia yang telah dianugerahi
keutamaan pada masanya.
d. Surat al-Isra’ menguraikan kisah yang bisa diambil hikmahnya
mengenai suatu akidah, dalam surat al-Kahf juga menjelaskan tentang
akidah yang benar melalui pemaparan kisah-kisah yang menyentuh.4
2. Munasabah Ayat
Dalam Q.S. al-Isra’ ayat 23-24 mempunyai munasabah dengan
ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu ayat 22 dan 25 yang berbunyi:
“Janganlah kamu adakan Tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu
tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)”.(Q.S. al-Isra’/17:
22)5
“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-
orang yang baik, Maka Sesungguhnya dia Maha Pengampun bagi orang-
orang yang bertaubat”. (Q.S. al-Isra’/17: 25)6
Munasabah ini berbentuk persambungan dengan cara diathafkan
surat al-Isra’ 22-23 dengan menggunakan huruf athaf, yaitu wawu (و).
Kemudian ayat 24-25 disambungkan dengan lafadz rabbukum (ربكم) yang
merupakan bentuk jawaban dari ayat sebelumnya (22-24).
4 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 8, hlm.
3-4. 5 Az-Zikr, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 542.
6 Az-Zikr, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 542.
46
Kesesuaian isi dan kandungan dari keempat ayat tersebut adalah
ayat 22 menjelaskan tentang dilarang mempersekutukan Allah dengan
sesuatu apapun. Ayat 23-24 menerangkan mengenai keputusan dan
perintah untuk tidak menyembah Tuhan selain Allah dan berbuat baik dari
segi perkataan maupun perbuatan terhadap orang tua. 7Ayat 25
menjelaskan tentang keikhlasan dan niat baik manusia untuk
menghambakan diri kepada Allah dan berusaha patuh dan hormat secara
tulus kepada orang tua, karena Allah mengetahui apa yang terbetik di hati
manusia.
D. Pendapat Para Mufassir
Dalam mengkaji ayat al-Qur’an, pendapat para mufassir berperan
penting sebagai acuan dalam mengetahui dan memahami masalah yang
dibahas dalam ayat yang dikaji. Berikut ini pendapat beberapa mufassir
mengenai surat al-Isra’ ayat 23-24:
1. Ahmad Musthofa al-Maraghi
a. , yaitu
Artinya: Dan berbuat baiklah kepada orang tua supaya Allah bersamamu.
b. , yaitu
7 Syaikh Abdul Malik bin Abdul Karim Abdullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar, (Surabaya:
Yayasan Latimojong, 1981), Juz XV, hlm. 40-41.
8 Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Musthofa al-Halbi wa Auladih, t.
th), juz 13, hlm. 33.
9 Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hlm. 35.
47
Janganlah kamu berkata uffin dari apa yang kamu lihat dari salah satu
orang tuamu atau keduanya yang menyebabkan secara umumnya
manusia merasa sakit, bersabarlah dari apa yang dilakukan keduanya,
sebagaimana mereka sabar terhadap kamu di waktu kamu masih kecil
janganlah kamu menyusahkan keduanya dengan kata-kata yang
bersifat mencela mereka, Oleh karena itu dilarang memperlihatkan
perbedaan kedua orang tua dengan ucapan atas penolakan dan
menganggap bohong kepada mereka, dan hendaknya kamu
mengatakan kepada kedua orang tua dengan perkataan yang baik yang
disertai memuliakan dan mengagungkan.
c. , yaitu
Artinya: Bertawadhu’lah kepada kedua orang tua dan merendahkan
hati, dan menaati dalam semua perintah yang tidak
mengakibatkan maksi’at kepada Allah karena rahmat dan
kasih sayangmu kepada kedua orang tua
d. , yaitu
Artinya: Berdo’a kepada Allah supaya kedua orang tua diberi
rahmat, sebagaimana memberikan kasih sayangnya di
waktu kecilmu dan bagusnya ketulusan kepadamu
2. Imam Fakhruddin
a. , yaitu
Artinya: Sebuah isyarah untuk keagungan karena perintah Allah dan
isyarah untuk kasih sayang kepada makhluknya Allah
10
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hlm. 35.
11 Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hlm. 36.
12 Imam Fakhruddin, Tafsir al-Kabir, ( Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, t.th), Jilid 10, hlm.
148.
48
b. , yaitu,
Artinya: Sesungguhnya kedua orang tua telah mencapai kelemahan,
maka jadikanlah pemeliharaanmu keduanya dalam akhir
umurnya seperti halnya kamu dalam pemeliharaan mereka
pada awal umur
c. , yaitu
Artinya: Dilarang memperlihatkan penyesalan sedikit maupun banyak
dan dilarang memperlihatkan perbedaan dan berbohong
dalam menolak suatu perkataan, adapun perkataan yang
diperintahkan adalah perkataan yang baik, artinya berbicara
kepada orang tua dengan kalam yang disertai dengan rasa
perhormatan dan kemuliaan
d. , yaitu
Artinya: Maksudnya adalah bersungguh-sungguh dalam bertawadhu’
karena kesungguhan kasih sayangmu kepada kedua orang tua
dan rendahkanlah dirimu kepada kedua orang tua karena tua
dan lemahnya mereka.
e. , yaitu
13
Imam Fakhruddin, Tafsir al-Kabir, hlm. 150. 14
Imam Fakhruddin, Tafsir al-Kabir, hlm. 152 15
Imam Fakhruddin, Tafsir al-Kabir, hlm. 152. 16
Imam Fakhruddin, Tafsir al-Kabir, hlm. 153.
49
Artinya: Sesungguhnya belajar berbuat baik kepada orang tua tidak
hanya dari ucapan saja, tetapi juga harus perilaku yaitu
mendo’akan orang tua agar mendapatkan rahmat, dan jenis
ini merupakan suatu kebaikan sebagaimana kebaikan orang
tua kepada anak dalam mendidiknya.
3. Wahbah az-Zuhaili
a. , yaitu
Artinya: Berbuat baiklah kepada kedua orang tua dengan sebaik-
baiknya karena keduanya adalah sebab adanya yang nampak
untuk wujud dan hidup
b. , yaitu
Artinya: Jangan katakan kepada kedua orang tua dengan kata-kata uf,
adapun uf adalah kata yang menunjukkan kebosanan dan
kejengkelan
c. , yaitu
Artinya: Bersikaplah lemah lembut kepada kedua orang tua (tawadhu’
dan merasa rendah dihadapan keduanya) dan baik
pemeliharaannya dan juga bersunggh-sungguh, rendah itu
disamakan dengan burung yang mempunyai sayap, hal ini
adalah isti’arah dalam hal kasih sayang kepada kedua orang
tua
17
Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir, (Beirut: Darul Fikr, t.th), hlm. 50. 18
Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir, hlm. 50. 19
Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir, hlm. 50.
50
d. , yaitu
Artinya: Kasih sayang anak seperti kasih sayangnya kedua orang tua
terhadap anaknya
4. Imam Jalil al-Hafidh
a. , yaitu
Artinya: Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua
b. , yaitu
Artinya: Janganlah kamu memperdengarkan kepadanya kata-kata yang
jelek apalagi kata-kata uff karena kata-kata tersebut serendah-
rendahnya kata yang jelek dan janganlah kamu
memperlihatkan perilaku yang jelek kepadanya, dan
janganlah kamu membiarkan keduanya dan hendaklah kamu
katakan kepada kedua orang tua dengan perkataan yang baik
dan lemah lembut dengan beradab dan mengagungkannya
c. , yaitu
Artinya: Bertawadhu’ kepada kedua orang tua dengan perbuatanmu
20
Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Munir, hlm. 50. 21
Imam Jalil al-Hafidh, Mukhtashor Tafsir Ibn Kastir,(Suriah: Daru bil Qalam al-Arabi,
t.th) hlm. 373. 22
Imam Jalil al-Hafidh, Mukhtashor Tafsir Ibn Kastir,hlm. 373. 23
Imam Jalil al-Hafidh, Mukhtashor Tafsir Ibn Kastir,hlm. 373.
51
d. , yaitu
Artinya: Mendo’akan kedua orang tua kepada Allah pada saat tua dan
telah meninggal dunia
5. Imam Abi Su’ud
a. , yaitu
Artinya: Berbuat baiklah kepada kedua orang tua dengan sebaik-
baiknya karena merekalah menjadi sebab untuk wujud dan
hidup
b. , yaitu
Artinya: Setiap seseorang dilarang untuk mengucapkan kata uf kepada
kedua orang tua dan membentak baik tingal seorang diri atau
masih ada keduanya dengan suara yang menimbulkan kesal
maksudnya janganlah kamu membuat kesal kepada kedua
orang tua karena kamu merasa jijik kepada keduanya dan
merasa berat untuk membiayainya dan janganlah kamu
mencela keduanya dari apa yang tidak mengherankanmu
dengan menyalahkannya dan tetapi hendaknya seseorang
berkata kepada kedua orang tua dengan perkataan yang bagus
yang dapat menimbulkan adab yang baik
24
Imam Jalil al-Hafidh, Mukhtashor Tafsir Ibn Kastir,hlm. 373. 25
Imam Abi Su’ud, Tafsir Abi Su‟ud, (Beirut: Daru Ihya’ at-Tarku al-Arabi, t.th), Juz 5,
hlm. 166. 26
Imam Abi Su’ud, Tafsir Abi Su‟ud, hlm. 166.
52
c. , yaitu
Artinya: Suatu ibarat tentang tawadhu’ dan merasa rendah kepada
kedua orang tua karena memuliakan kedua orang tua itu tidak
ada kecuali dengan tawadhu’ dan rendah hati yang disertai
dengan kasih sayang dan memaafkan terhadap mereka.
d. , yaitu
Artinya: Berdo’a kepada Allah untuk kedua orang tua agar
mendapatkan rahmat-Nya baik di dunia maupun di akhirat,
dari sebagian rahmat adalah hidayah menuju Islam dan
rahmat seperti mendidiknya orang tua terhadap anak di waktu
kecil
6. Abi al-Hasan
a. , yaitu
Artinya: Maknanya adalah Allah berwasiat untuk berbuat baik kepada
kedua orang tua dalam bentuk perbuatan maupun perkataan.
b. , yaitu,
Artinya: Ketika sudah mencapai dewasa dan sempurna akalmu dan
ketika pula orang tua sudah mencapai lemah dan pikun
27
Imam Abi Su’ud, Tafsir Abi Su‟ud, hlm. 166. 28
Imam Abi Su’ud, Tafsir Abi Su‟ud, hlm. 167. 29
Abi al-Hasan, an-Nuktu wal „Uyun Tafsir al-Mawardi, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,
t.th), Juz 3, hlm. 238. 30
Abi al-Hasan, an-Nuktu wal „Uyun Tafsir al-Mawardi, hlm. 238.
53
c. , yaitu
Artinya: Dalam penjelasan kata uffin ada 3 macam, yaitu: 1)
Sesungguhnya kata uffin itu adalah setiap perkataan yang
dirasa berat dan dirasa jelek. 2) Sesungguhnya kata uffin
menganggap jeleknya sesuatu. 3) Sesungguhnya uffin adalah
kalimat yang menunjukkan kejenuhan dan kekesalan
d. , yaitu
Artinya: Perkataan mulia mengandung dua hal: 1) Lemah lembut, 2)
Kebaikan
7. Imam Abi Muhammad al-Husain
a. , yaitu
Artinya: Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dengan
sebaik-baiknya dan kasih sayang terhadap mereka
b. , yaitu
31
Abi al-Hasan, an-Nuktu wal „Uyun Tafsir al-Mawardi, hlm. 238. 32
Abi al-Hasan, an-Nuktu wal „Uyun Tafsir al-Mawardi, hlm. 238. 33
Imam Abi Muhammad al-Husain, Tafsir al-Baghowi, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,
t,th), Juz 3, hlm. 91. 34
Imam Abi Muhammad al-Husain, Tafsir al-Baghowi, hlm. 91.
54
Artinya: Makna uffin itu adalah kalimat yang bersifat benci dan
janganlah kamu mencela keduanya tetapi berkatalah dengan
perkataan yang baik dan lemah lembut dan ketika mereka
sudah mencapaiusia lanjut kemudian kencing dalam
pemeliharaanmu maka jangan kamu merasa jijik terhadapnya
dan janganlah katakan kepada kedua orang tua dengan
perkataan uffin ketika kamu memindahkan mereka dari
tempat buang air besar maupun buang air kecil sebagaimana
mereka memindahkan kamu dari tempat buang air besar
maupun buang air kecil di waktu kamu kecil.
c. , yaitu
Artinya: Bersikaplah lemah lembut kepada kedua orang tua dan
tunduklah kepada mereka atau bersikaplah lemah lembut
dengan penuh kasih sayang kepadanya sehingga kamu tidak
mencegah dari apa yang mereka sukai
8. M. Quraish Shihab
Kewajiban pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan
Allah dan beribadah kepada-Nya adalah berbakti kepada kedua orang tua.
Kata احساناmengandung dua hal, pertama memberi nikmat kepada orang
lain dan kedua perbuatan baik, oleh karena itu kata “ ihsan” lebih luas
maknanya tidak hanya memberi nikmat atau nafkah. Dalam surat al-Isra’
احسانا نىاندين وبا , menggunakan kata penghubung huruf (ب) ba ketika
menjelaskan tentang berbakti kepada kedua orang tua. Akan tetapi dalam
bahasa membenarkan penggunaan li yang berarti untuk dan ila yang
berarti kepada.
Penggunaan kata penghubung ila menurut ahli pakar bahasa
mengandung makna jarak, sedangkan Allah tidak menghendaki adanya
jarak, meskipun sedikit hubungan antara anak dan orang tua. Anak selalu
harus mendekat dan merasa dekat kepada kedua orang tua, bahkan
35
Imam Abi Muhammad al-Husain, Tafsir al-Baghowi, hlm. 92.
55
diperintahkan untuk melekat kepada mereka. Hal ini mengandung arti
ilshaq, yang berarti kelekatan. Dengan kelekatan ini, maka bakti (انصاق)
diperintahkan kepada anak kepada orang tuanya dan pada hakikatnya
untuk kebaikan sang anak sendiri.36
Bentuk ihsan (bakti) kepada orang tua yang diperintahkan agama
Islam adalah bersikap sopan dalam ucapan dan perbuatan sesuai dengan
adat kebiasaan masyarakat, sehingga terciptanya keharmonisan dan
terpenuhi segala kebutuhan kedua orang tua.
Kata (اما يبهغن عندك انكبزااحدهما او كالهما ) menekankan bahwa keadaan
apapun orang tua, masih lengkap dengan ibu bapak atau tinggal satu harus
mendapatkan perhatian dari anak. Kebiasaan orang tua yang sudah
mencapai usia lanjut meniru seperti anak kecil, dengan ini anak lebih
memperhatikannya dengan baik tidak menghina atau mengeluarkan kata-
kata yang tidak sopan tetapi bersikap lemah lembut kepada orang tua.
kariman diartikan sebagai mulia. Maksudnya adalah apa yang (كزيما)
disampaikan kepada orang tua tidak hanya benar dan tepat atau yang
sesuai dengan adat kebiasaan yang baik dalam suatu masyarakat, tetapi
harus yang terbaik dan termulia.37
nupadA , yang berarti sayap. Artinya diibaratkan dengan ح جنا
burung ketika mendekat dan bercumbu kepada pasangannya, sayapnya
merendah dan merangkulnya, dengan tujuan terhindarnya suatu bahaya
yang akan menimpanya. Kata (انذل ), yang berarti kerendahan. Hal ini
burung mengembangkan sayapnya untuk melindungi dari sebuah
ancaman. Dalam lingkungan anak diperintahkan untuk merendah diri
kepada orang tua dengan didorong penghormatan dan rasa takut
melakukan hal yang tidak sesuai dengan kedudukan kedua orang tua.
Sedangkan ( صغيزا ربيانى كما ), menuntun anak agar supaya
mendo’akan kepada kedua orang tua. Dalam hal ini keadaan orang tua
masih hidup atau telah meninggal dunia. Dan orang tua menganut agama
36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur;an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Vol. 7, hlm. 444. 37
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur;an, hlm. 445.
56
Islam dan tidak mempersekutukan Allah. Meskipun dari pihak anak
terkadang masih sulit untuk menerima larangan tersebut, tetapi al-Qur’an
tidak membolehkan dari orang tua yang meninggal dalam keadaan
musyrik mendapatkan do’a dari anak.38
9. Prof. DR. H. Abdul Malik bin Abul Karim Amrullah ( HAMKA)
Berkhidmat dan bersikap baik, berbudi mulia kepada ibu bapak
merupakan suatu kewajiban bagi anak. Dikarenakan apabila manusia telah
berumah tangga tidak sering lagi untuk memperhatikan khidmat kepada
ibu bapak. Harta benda anak keturunan sering menjadi fitnah dan ujian
dalam mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua.
(Jika kiranya salah seorang mereka atau keduanya telah tua dalam
pemeliharaanmu, maka janganlah katakan perkataan uffin kepada
keduanya)
Maksud dari terjemahan di atas adalah apabila kedua orang tua
telah berusia lanjut, dari salah seorang atau keduanya bahkan tidak kuasa
untuk hidup sendiri dan sangat tergantung kepada belas kasihan dari
anaknya, maka ayat tersebut memerintahkan untuk sabar memelihara
orang tua. Dikarenakan bertambahnya tua, sering memunculkan sifat
kekanak-kanakan.39
Perkataan uffin menurut Abu Raja’ at-Atharidi merupakan kata-
kata yang mengandung kejengkelan dan kebosanan, meskipun tidak keras
diucapkan. Selain larangan dalam mengeluarkan kata uff , yaitu mengeluh
mengerutkan kening, membentak atau menghardik. Hal ini dilihat dari
perasaan orang tua yang telah berjuang untuk anak dari diasuh, dididik
dengan penuh kasih sayang, kelak menjadi manusia yang berarti, tetapi
kedua orang tua telah berusia lanjut diperlakukan tidak baik. Dan sikap ini
Allah tidak meridhoi perilaku anak terhadap orang tua.40
(Dan rendahkanlah kepada keduanya sayap merendah diri, karena
sayang)
38 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur;an, hlm. 446.
39 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hlm. 4031.
40 Hamka, Tafsir al-Azhar, hlm. 4032.
57
Ayat di atas menjelaskan mengenai sikap anak terhadap kedua
orang tua yang diperintahkan untuk merendah diri, meskipun anak telah
menjadi orang besar, mempunyai pakaian kebesaran dan pangkat. Akan
tetapi anak harus merasa kecil dihadapan kedua orang tua, artinya tetap
mempunyai sikap yang luhur.
(Dan ucapkanlah: Ya Tuhan! Kasihinilah keduanya sebagaimana
keduanya memelihara aku di kala kecil)
Ayat di atas mengajarkan kepada anak untuk mendo’akan kepada
orang tua, semoga Allah mengasihi sebagai kasihnya di kala anak masih
kecil dalam pemeliharaan mereka. Hal ini dijelaskan susah payah ibu
bapak dalam mendidik dan merawat di waktu anak masih kecil hingga
tumbuh besar. Kelemahan orang tua sejak masih mengandung,
menyusukan dan sampai mengasuh. Di mana sari tulang belulangnya
dibagikan untuk menyuburkan badan sang anak yang masih lemah. Dan
anak hanya diperintahkan untuk berbakti dan berbuat baik kepada orang
tua, dan tidak lebih dari itu, sehingga derajat sang anak menjadi anak yang
sholeh dengan sebab mendo’akan kepada orang tua.
10. Menurut Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
,
Sebuah perintah untuk berbuat ihsan (kebajikan) kepada ibu bapak
dan berbakti kepadanya. Dikarenakan mereka yang pertama menyayangi
dengan tabiat kasih sayang yang ditanamkan oleh Allah kepada setiap
orang tua. Hal ini menyatakan bahwa suatu nikmat kasih sayang orang tua
terhadap anaknya, sehingga mensyukuri apa yang telah diberikan oleh
orang tua.41
41
Muhammad Hasbi as-Shiddiey, Tafsir al-Qur‟anul Majid an-Nur, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2000), hlm. 2317.
58
,
Menurut Muhammad Hasbi ash-Shiddiqiey, bahwasanya ketika
orang tua keadaan dalam pemeliharaan sang anak, maka wajib untuk
mencurahkan belas kasih dan perhatian kepada mereka dan
memperlakukan dengan cara baik dan sopan. Adapun hal itu dapat
dilakukan dengan cara42
:
1. Tidak mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hatinya, apabila
terdapat sesuatu yang tidak disenangi, maka dianjurkan untuk bersabar
dan berharap pahala dari Allah.
2. Tidak membentak-bentak atau mengeruhkan perasaan dengan ucapan-
ucapan yang tidak baik dan tidak memperlihatkan rasa tidak senang
karena perbuatan orang tua yang tidak menyenangkan kepada anak.
3. Berbicara bersama kedua orang tua dengan kata-kata atau ucapan yang
baik dengan disertai penghormatan yang sesuai dengan adab (akhlak)
dan etika.
4. Bertawadhu’ dan menaatinya dalam semua perintah yang tidak
mengakibatkan kedurhakaan kepada Allah, dan melaksanakan perintah
tersebut semata-mata kasih sayang anak terhadap orang tua bukan
menurut suatu perintah.
5. Mendo’akan kepada orang tua agar diberi rahmat oleh Allah sebagai
imbangan rahmat bapak ibu kepada anak semasa masih kecil.
E. Telaah Isi kandungan surat al-Isra’ ayat 23-24 menurut para mufassir
Dari beberapa pendapat mufassir di atas sepakat bahwasanya
penghormatan anak terhadap kedua orang tua ditampilkan anak dalam
komunikasi dengan baik yang dilahirkan dalam sikap dan perilakunya.
42
Muhammad Hasbi as-Shiddiey, Tafsir al-Qur‟anul Majid an-Nur, hlm. 2318.
59
Komunikasi dan interaksi dengan orang tua tidak hanya di batasi dengan kata
sapaan yang sopan, melainkan mendo’akan mereka berdua. Oleh sebab itu
Allah memerintahkan untuk berbuat baik terhadap kedua orang tua, dalam
keadaan bagaimanapun karena kedua orang tua adalah perantara seorang anak
lahir ke dunia, merawat dan mendidiknya sampai ia dewasa dan mandiri.
Etika seorang anak kepada kedua orang tua tidak hanya mereka masih
hidup akan tetapi sudah meninggal dunia pun masih dianjurkan untuk berbuat
baik dengan cara mendo’akan serta memohonkan ampun atas dosa-dosa kedua
orang tua selama hidup di dunia. Hal itu menunjukkan sebuah pendidikan bagi
anak untuk menghargai serta menghormati kedua orang tua. Dengan tujuan
pendidikan tersebut bahwa untuk menciptakan karakter anak yang baik dan
mempunyai etika yang benar terhadap kedua orang tua serta menjadi anak
yang sholeh atau sholehah.
Salah satu karakteristik utama dari seorang muslim sejati adalah
perlakuannya yang bijak dan baik kepada orang tuanya, sebab memperlakukan
orang tua dengan hormat dan baik merupakan salah satu ajaran teragung
Islam. Islam mengangkat derajat orang tua pada tingkat yang tidak dikenal
dalam agama lain.43
Islam menempatkan kebaikan dan sikap hormat kepada
orang tua berada hanya satu tingkat di bawah keimanan kepada Allah dan
ibadah yang benar kepada-Nya.44
Banyak ayat al-Qur’an telah menjelaskan mengenai pendidikan etika
dari anak maupun kedua orang tua. Di mana dari anak mempunyai hak serta
kewajibannya dan orang tua mempunyai kedudukan masing-masing. Hal ini
karena anak bisa memiliki etika yang benar dalam kehidupannya disebabkan
di mulai dari pendidikan orang tua dalam keluarga.
Dikarenakan sangat jelas bahwa interaksi dalam keluarga antara anak
dan orang tua sangat menentukan hak dan kewajibannya masing-masing
menjadi keluarga yang bisa menjaga dari api neraka. Hal ini sebagaimana
firman Allah dalam surat at-Tahrim ayat 6 yaitu:
43
Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001),
hlm. 71. 44
Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, hlm. 72.
60
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka…”. (Q.S. at-Tahrim/66: 6)45
Sangat penting peranan kedua orang tua dalam menentukan sifat dan
sikap anak dalam dirinya. Tidak terlepas dari pendidikan yang telah diberikan
serta perhatian yang cukup untuk menciptakan anak yang mempunyai
akhlakul mahmudah (akhlak yang baik) dan karena semua itu adalah yang
diharapkan al-Qur’an. Dalam hal ini, anak memiliki kepribadian yang baik
berawal dari rasa tanggung jawab kedua orang tua. Orang tua harus
memberikan teladan serta pendidikan yang cukup bagi anak-anaknya.
45
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, hlm. 560.
61
PBAB IV
ANALISIS KONSEP TENTANG PENDIDIKAN ETIKA
BAGI ANAK DAN ORANG TUA
A. Pendidikan Etika Bagi Anak
Pendidikan etika merupakan sistem pendidikan yang dapat
memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin suatu kehidupan sesuai
dengan norma yang berlaku serta keinginan yang kuat dalam cita-citanya.1
Dalam pendidikan dan pengajaran Islam tidak hanya memenuhi otak seorang
anak, akan tetapi mendidik akhlak, jiwa, dan membiasakan dengan kesopanan
tinggi. Adapun tujuan dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan
pendidikan jiwa. Hal ini nilai-nilai Islam akan berpengaruh dalam menjiwai
dan mewarnai corak kepribadian seorang muslim.2
Adapun untuk mencapai seorang muslim yang sebenarnya tentunya
harus menjadi penganut agama yang baik dengan mempelajari serta
mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan, agar rahmat Allah tetap
tercurahkan kepadanya. Namun dalam mengamalkan ajaran Islam harus
didorong oleh iman sesuai dengan akidah islamiyah, sehingga menciptakan
tatanan suatu kehidupan yang saling menghormati dan menghargai.
Dikarenakan dalam pergaulan yang baik adalah melaksanakan pergaulan
menurut norma-norma kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan
hukum syara‟, serta memenuhi segala hak yang berhak mendapatkannya
masing-masing menurut kadarnya. 3
Seorang anak memiliki kepribadian yang baik karena terdapat pondasi
yang kuat dalam pendidikan dirinya, dalam hal ini pendidikan agama yang
1 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Pendidikan Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 57.
2 Muhammad „Athiyah al-Abrasyi, Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), hlm. 15.
3 Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, (Semarang: Wicaksana, 2001), hlm.
383.
62
kuat sehingga bisa mengendalikan diri dengan baik. Dalam pendidikan anak
sangat diperhatikan untuk menciptakan karakter yang baik. Jasa yang besar
dalam kehidupan sang anak adalah orang tua dimana masih dalam kandungan
hingga dewasa yang dibekali dengan pendidikan bagi dirinya, maka dari itu
anak memiliki rasa tanggung jawab untuk berbuat baik, memelihara serta
merawatnya kepada orang tua
Tindakan anak terhadap orang tua dalam berkomunikasi maupun
berbuat terhadap orang tua harus memiliki etika yang benar dalam pergaulan
yaitu menghormati serta menghargainya.
Maka sesuai dengan konsep pendidikan etika yang perlu diperhatikan
bagi anak yang terkandung dalam al-Qur‟an surat al-Isra‟ ayat 23-24, adalah
sebagai berikut:
1.
Berbuat baik kepada orang tua dikenal dengan sebutan birrul
walidain. Istilah “al-barr” meliputi aspek kemanusiaan dan
pertanggungjawaban ibadah kepada Allah. Dalam jalur hubungan
kemanusiaan dan tata hubungan hidup keluarga serta lingkungan
masyarakat wajib dipahami bahwa kedua orang tua yaitu ayah dan ibu
menduduki posisi yang paling utama. Namun demikian kewajiban ibadah
kepada Allah dan taat kepada Rasul tetap berada di atas hubungan
horizontal kemanusiaan. 4
Hal ini memberikan pengertian bahwa kewajiban berbakti,
mengabdi dan menghormati kedua orang tua (ayah dan ibu) setelah
beribadah kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Dalam etika Islam,
dorongan untuk berbuat baik kepada orang tua telah menjadi salah satu
akhlak yang mulia (mahmudah). Dorongan dan kehendak tersebut harus
tertanam sedemikian rupa, sebab pada hakikatnya hanya ayah dan ibu yang
paling besar dan terbanyak berjasa kepada setiap anak-anaknya.
4 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005),
hlm. 45.
63
Nabi saw mengangkat ajaran-ajarannya ke puncak ketika beliau
menasihati para pengikutnya untuk memperlakukan dengan baik dan
bersikap hormat kepada orang tua meskipun mereka mengikuti agama
selain Islam. Seorang muslim sejati yang memahami makna bimbingan al-
Qur‟an dan ajaran Nabi saw tidak bisa kecuali menjadi yang terbaik dan
berbuat yang terbaik kepada orang tua. 5
Seorang anak wajib taat dan patuh kepada orang tua namun bila
orang tua mengajak ke arah kemusyrikan, maka anak tidak ada kewajiban
untuk mentaatinya. Hanya saja sebagai anak tetap menggauli mereka
dengan baik senantiasa ditunjukkan. Hal ini merupakan bentuk dari sikap
anak dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Seperti yang
terungkap dalam al-Qur‟an surat al-Ankabut ayat 8, yaitu:
“Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka
janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu,
lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan”.(Q.S. al-
Ankabut/29 : 8)6
Islam telah menggariskan kepada pemeluknya untuk berlaku adil
dan menghormati hak-hak orang lain sepanjang bukan menyangkut
masalah syirik, sekalipun orang tua yang musyrik, tidak boleh memutus
hubungan silaturrahim dan kekeluargaan. Ini menggambarkan pentingnya
ajaran Islam dalam menjaga keharmonisan keluarga. Karena dalam suka
duka orang tua tetap berusaha dengan segala kemampuan memelihara,
mendidik dan menyayanginya sejak kecil hingga dewasa.
5Achmad Sunarto, Diterjemahkan dari kitab aslinya Riyadhus Shalihin, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1999), hlm.325.
6Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Jumanatul ART,
2005), hlm. 397.
64
Orang tua adalah kerabat yang paling dekat dan paling dicintai.
Akan tetapi dalam akidah terdapat perbedaan dengan ajaran Islam dan
menimbulkan kemusyrikan, anak tidak mengikuti mereka atas
membangkangnya kepada Allah. Hal ini dikarenakan imani manusia
menjadi prioritas utama dalam hubungan kemanusiaan. Namun demikian
anak masih mempunyai kewajiban untuk memperlakukan orang tuanya
dengan baik dan hormat serta memelihara mereka.7
Seorang muslim yang dibentuk oleh ajaran Islam benar-benar
berbuat baik kepada orang tuanya. Dia menunjukkan kepada sikap hormat
sepenuhnya, berdiri untuk menghormati mereka ketika mereka masuk
rumah sementara mereka tengah duduk, mencium tangan mereka,
merendahkan suara ketika berbicara kepada mereka, rendah hati, berbicara
dengan nada yang lemah lembut, tidak pernah memakai kata-kata yang
kasar atau melukai, tidak memperlakukan mereka dengan cara-cara yang
tidak hormat, apapun keadaannya.8
Karena hal ini merupakan tujuan keagamaan bahwa setiap pribadi
muslim beramal untuk akhirat atas petunjuk dan ilham keagamaan yang
benar, yang tumbuh dan dikembangkan dari ajaran-ajaran Islam yang
bersih dan suci. Pandangan pendidikan Islam dan para pendidik muslim
mengandung esensi yang amat penting dalam kaitannya dengan
pembinaan individual, diibaratkan sebagai anggota masyarakat yang harus
hidup di dalamnya dengan banyak berbuat dan bekerja untuk membina
sebuah gedung yang kokoh dan kuat.9
7 Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
2001), hlm. 86.
8 Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, hlm. 85.
9 Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm. 36.
65
“Sungguh Allah telah perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua
dengan sebab-sebab di bawah ini:
1. Karena orang tua itulah yang belas kasih kepada anaknya, dan telah
bersusah payah dalam memberikan kebaikan kepada-Nya dan
menghindarkan bahaya.
2. Bahwa anak merupakan belahan jiwa dari orang tua
3. Orang tua telah memberi kenikmatan kepada anak, baik anak sedang
dalam keadaan lemah atau tidak berdaya sedikitpun. Oleh karena itu
wajib bersyukur telah memiliki orang tua yang telah memberikan
apapun demi kebaikan sang anak, di mana orang tua dalam keadaan
sudah berusia lanjut”. 10
2.
Perkataan uffin biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan hus atau ah. Akan tetapi hus menurut rasa bahasa orang Jawa lebih
tidak sopan mengandung penghinaan dan mempunyai maksud
membungkam orang yang dibentak dengan kata-kata hus, ah adalah
sebagian lambang kekesalan hati bagi orang yang berkata. Adapun yang
menyebabkan anak mengatakan dengan perkataan tersebut adalah orang
tua yang sudah terlalu tua, loyo dan jompo. Dan kebiasaan yang sering
dilakukannya kencing dan berak ditempat yang disukai atau sudah makan
tetapi mengatakan belum.
Semakin tua, orang tua selalu sulit diatur dan cerewet serta minta
dilayani dengan layanan yang sempurna seperti halnya anak kecil. Hal ini
anak harus mempunyai rasa tanggung jawab merawat dan mempersiapkan
semua kebutuhan sehari-hari. Ini terkadang anak merasa jengkel, bosan,
dan kesal terhadap orang tua atas perbuatan orang tua yang semakin tua
dan pikun. Perasaan jengkel dan lain sebagainya tidak boleh terjadi pada
10
Ahmad Mustofa al-Maraghi, Terjemah. Tafsir al-Maraghi, terj. Hery Noer Aly, dkk.,
(Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 59.
66
seorang anak, apalagi sampai mengeluarkan perkataan ah dan hus kepada
kedua orang tua.11
Selain anak tidak boleh jengkel dan kesal terhadap kedua orang
tua, meskipun tidak dalam bentuk perkataan seperti muka cemberut,
mengerutkan pening dan mencibirkan bibir. Dan itu semua tergolong
perkataan uffin. Akan tetapi anak sudah berusaha dalam berbakti dan
berkhidmat kepada kedua orang tua, tetapi orang tua masih sulit untuk
diatur yang baik, merengek, bawel dan sang anak apabila terdapat rasa
jengkel maka disimpan dalam hati serta tidak dinyatakan dalam bentuk
ucapan atau sikap kerut muka dan keningnya.
3.
Konsep ini memberikan pendidikan kepada anak untuk bersikap
tidak membentak, hormat, lemah lembut dan merendahkan suara
dihadapan orang tua merupakan perintah Allah dalam al-Qur‟an maupun
dalam hadis. Hal itu akan menimbulkan kesukaan hati kedua orang tua dan
terjadi suasana harmonis serta kesejukan hubungan dalam keluarga, yakni
antara anak dan orang tua. Orang tua dapat meridhai tingkah laku anak,
karena sang anak memang mendasarkan tingkah lakunya kepada
keridhaan orang tua. Maka sang anak dapat menjaga perasaan dan
kehendak serta cita-cita orang tua dapat menanamkan pendidikan mulia
terhadap anak. Hal itu tidak akan terjadi tanpa kewibawaan orang tua dan
tanpa pengakuan kewibawaan orang tua oleh anaknya. Maka orang anak
akan menghormati orang tua dan orang tua mengasihi anaknya.
Menjadi seorang muslim yang sejati memperlakukan orang tuanya
dengan baik dan hormat dalam segala keadaan. Tidak ada keterbatasan
untuk membahagiakan kedua orang tua selama masih dalam koridor yang
wajar dan tidak berlebihan yang bisa menjauhkan kepada Allah. Menjadi
seorang anak harus menunjukkan sikap hormat, menyediakan makanan,
pakaian, tempat tinggal yang baik berdasarkan status dan lingkungan
11
Umar Hasyim, Anak sholeh, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), hlm. 4.
67
sosial dalam standar Islam. Selain itu harus memperlihatkan dengan
bermuka ramah, murah senyum, menunjukkan rasa cinta, kelembutan,
kepercayaan dan rasa syukur kepada orang tua yang telah memberikan
perlakuan baik terhadap anak.12
Keadaan yang demikian Allah sangat menyukai dan sebaliknya
bila yang terjadi dalam keluarga selalu tegang, maka Tuhan juga tidak
akan memberkahi keluarga tersebut. Anak selalu bertindak melanggar
sopan santun keluarga dan berbuat durhaka kepada orang tua, hal ini
karena anak tidak mau menaati orang tua, maka Tuhan bisa murka karena
tingkah laku perbuatan anak membuat orang tua marah. Artinya bukan
berarti Tuhan mengikuti kehendak orang tua, akan tetapi Allah tidak rela
bila ada anak yang durhaka kepada orang tuanya. Orang tua marah karena
anak melanggar akhlak mulia, melanggar etika keluarga dan berbuat
sesuatu yang tidak sesuai dengan kewajaran yang benar dalam keluarga.
4. Merendahkan diri dan mendo‟akan serta memohonkan ampun kepada
orang tua baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal
Anak mempunyai kewajiban untuk bertawadhu‟ kepada orang tua
melalui tindakan serta mendo‟akan atas limpahan rahmat Allah pada saat
keduanya masih hidup maupun telah meninggal dunia. 13
Mendo‟akan orang tua merupakan suatu kewajiban bagi anak.
Berdo‟a untuk mereka bukan hanya ketika sudah meninggal, akan tetapi
orang tua yang masih hidup dido‟akan. Adapun waktunya lebih utama
ketika selesai shalat fardhu. Tujuan anak mendo‟akan orang tua adalah
supaya Allah memberikan rahmat kepada orang tua, dengan memanjatkan
do‟a, maka cinta kepada orang tua akan tetap tumbuh di dalam hati
seorang anak. Mendo‟akan orang tua boleh menggunakan bahasa Arab
atau dengan bahasa apa saja yang bisa dipahami.
12
Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, hlm. 87.
13 Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I . Penj. Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir
(Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 46.
68
Arti kata do‟a adalah memohon atau meminta, yakni memohonkan
kepada Allah. Dalam hal ini anak mendo‟akan kepada orang tuanya.
Mendo‟akan orang tua kepada Allah adalah berisi permohonan agar amal
perbuatan orang tua diterima Allah dan dibalas berlipat ganda, juga
mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah. Adapun berdo‟a
memintakan ampun dosa-dosa orang tua kepada Allah agar Allah
memberikan ampunan-Nya. Yang demikian anak yang mau mendo‟akan
orang tua tergolong anak yang sholeh.14
Pada akhir ayat 24 dalam surat al-Isra‟ merupakan salah contoh
do‟a kepada orang tua yang berbunyi:
“Dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil". (Q.S. al-
Isra‟/17: 24)15
Ada beberapa contoh dalam al-Qur‟an tentang do‟a Nabi mengenai
orang tua, di antaranya:
a. Do‟a Nabi Ibrahim yang terdapat dalam surat Ibrahim ayat 40-41:
“Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap
mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan
kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang
mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (Q.S. Ibrahim/14 : 40-
41)16
14
Umar Hasyim, Anak Sholeh, hlm. 73.
15 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 284.
16 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 260.
69
b. Do‟a Nabi Sulaiman yang terdapat surat an-Naml ayat 19:
“Maka dia tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan
semut itu. dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap
mensyukuri nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan
kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang
Engkau ridhai; dan masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam
golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (QS. an-Naml/27 : 19)17
c. Do‟a Nabi Nuh yang terdapat dalam surat Nuh ayat 28:
“Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke
rumahKu dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan
perempuan. dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang
zalim itu selain kebinasaan". (QS. Nuh/71 : 28)18
Anak mempunyai kewajiban untuk berbuat baik kepada kedua
orang tua yang sudah meninggal dunia. Adapun caranya sebagai berikut:
1. Mendo‟akan kedua orang tua dan memintakan ampun kepada Allah
Ini termasuk berbakti kepada kedua orang tua yang telah
meninggal dunia ikut serta dalam menshalati jenazahnya. Dengan
tujuan semua bentuk amal kebaikan bisa diterima di sisi Allah. Dan
tidak hanya berdo‟a saat berada di atas batu nisan orang tua, akan
tetapi mendo‟akan kedua orang tua yang telah meninggal dunia tidak
17
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 387.
18 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 571.
70
terpancang oleh waktu dan keadaan, di mana saja berada ada
kesempatan diperbolehkan untuk berdo‟a.19
2. Menyalati dan memohonkan ampun bagi dosa-dosa orang tua
Agama Islam menganjurkan untuk menziarahi kubur orang tua
yang sudah meninggal setelah prosesi menyalati, pemakaman telah
usai. Dengan tujuan benar-benar menjadi manusia yang berbakti
kepada kedua orang tua secara sempurna, dalam keadaan masih hidup
ataupun sudah meninggal dunia.20
Namun dalam ketentuan bahwa tidak boleh mendo‟akan atau
memohonkan ampun serta menyalati orang-orang kafir atau meninggal
dunia dalam keadaan tidak Islam. Hal ini sesuai dengan al-Qur‟an surat
at-Taubah ayat 80, yaitu:
“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan
ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati pun kamu
memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah
sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian
itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik, (Q.S. At-Taubah/9 :
80).21
Hal ini bukan disebut anak yang sholeh dikarenakan tidak
mendo‟akan orang tua yang telah meninggal dunia, akan tetapi
disebabkan karena kemusyrikan atau kekafiran mereka yang tidak
boleh mendo‟akan orang tua.
19
Umar Hasyim, Anak Sholeh, hlm. 66.
20 Labib, Etika Mendidik Anak Menjadi Sholeh (Surabaya: Putra Jaya, 2007), hlm. 76.
21 Al-Qur'an Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 200.
71
3. Memenuhi segala pesan, wasiat dan menjunjung tinggi nama baik
orang tua
Di antara cara berbakti kepada kedua orang tua adalah
memenuhi segala pesan dan wasit orang tua setelah meninggal dunia.
Namun pesan dan wasiat yang baik, tidak melanggar ajaran Islam.
Memenuhi pesan dan wasiat serta menjunjung tinggi nama baik orang
tua meninggal dunia adalah sama halnya dengan memenuhi pesan dan
menjunjung tinggi nama baik orang tua ketika masih hidup.
Orang tua telah berpesan hal yang baik dan berwasiat kebaikan
anak harus memenuhi pesan tersebut, karena itu merupakan tanda anak
masih mencintai dan berbakti kepada kedua orang tua meskipun telah
meninggal dunia.22
4. Menghubungkan silaturrahim
Kata silah adalah sebuah perkataan dari berbahasa Arab shilah,
yang artinya hubungan, dan rahmi atau rahim adalah ruhum tempat
anak atau asal kejadian manusia dalam perut ibunya. Adapun ruhum
berarti kasih sayang atau rahmat antara sesama manusia.
Anak mempunyai silah atau hubungan yang erat dengan ibu
bapaknya, dan kepada kerabat lainnya. Dan memutuskan hubungan
silaturrahim merupakan perbuatan dosa yang besar dan mendapatkan
siksa dari Allah. Karena hal ini sesuatu yang sangat penting dan harus
mendapat perhatian dari umat Islam secara keseluruhan.
Meskipun orang tua sebenarnya termasuk kerabat, tetapi dalam
agama Islam kerabat dibedakan menjadi dua (2), yaitu: pertama,
kerabat yang ada hubungannya dengan kelahiran seperti ibu, bapak dan
saudara. Kedua, keluarga atau kerabat yang berhubungan dengan
rahim, seperti paman, bibi dan lain sebagainya.23
22 Umar Hasyim, Anak Sholeh, hlm. 77.
23 Umar Hasyim, Anak Sholeh, hlm. 78.
72
B. Pendidikan Etika Bagi Orang Tua
Pendidikan etika bagi orang tua merupakan dari peranan serta
tanggung jawab kedua orang tua (ayah dan ibu) terhadap anak.
1. Kedudukan Orang Tua
Dalam sebuah rumah tangga, orang tua mempunyai kedudukan
yang sangat menentukan. Dari kedudukan tersebut melahirkan suatu
kewajiban dan tanggung jawab bagi dirinya sendiri serta hak bagi anggota
keluarga yang lain. Ibu bapak mempunyai posisi sebagai tempat rujukan
bagi anaknya baik dalam soal moral maupun untuk memperoleh informasi.
Peran ini harus disadari seseorang semenjak dia menjadi Ibu atau Bapak
dari anak-anak yang menjadi amanahnya.
Adapun kedudukan orang tua adalah sebagai berikut :
a) Sebagai Pelindung dan Pemelihara
Suatu kenyataan bahwa anak lahir sebagai seseorang individu yang
lemah yang memerlukan bantuan orang lain untuk menjaga kelangsungan
hidupnya. “ Potensi-potensi yang dibawa sejak lahir itu justru akan
berkembang dalam pergaulan hidup sesama manusia maka anak manusia
yang baru dilahirkan itu tidak akan menjadi manusia sebenarnya.” 24
Maka menjadi kewajiban orangtualah untuk membimbing,
mendorong, dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat tumbuh
dan berkembang secara wajar, sehingga anak dapat tumbuh menjadi
individu yang berdaya guna yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
(jasmani maupun rohani) dan dapat melakukan sosialisasi dengan
lingkungannya.
Kewajiban orang tua sebagai pelindung dan pemelihara keluarga
meliputi pemeliharaan segi moral maupun material. Adapun bagi anak
intinya membantu anak memenuhi kebutuhannya demi menjaga
kelangsungan hidupnya. Kebutuhan tersebut antara lain :
24
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1992), hlm.192.
73
1. Kebutuhan Jasmani/biologis, yang merupakan kebutuhan hidup
primer seperti makan, pakaian dan tempat tinggal.
2. Kebutuhan Psikis, “Kebutuhan ini meliputi kebutuhan rasa kasih
sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa kebebasan sukses dan
kebutuhan rasa tahu/mengenal.” 25
3. Kebutuhan sosial, yaitu untuk dapat bergaul dan berinteraksi dengan
lingkungannya, karena manusia merupakan makhluk sosial yang
mempunyai pembawaan untuk hidup bermasyarakat.
4. Kebutuhan Agama sebagaimana firman Allah :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),
(tetapkanlah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”(Q.S.ar-Ruum/30 : 30). 26
5. Kebutuhan Paedagogis.
Kebutuhan pendidikan ini merupakan inti dari semua kebutuhan
anak, dalam arti semua kebutuhan anak tersebut diatas akan dapat
terpenuhi melalui bantuan dari orang lain berupa pendidikan.
Sehingga dalam perkembangannya anak akan dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri dengan bekal pendidikan yang telah
diterimanya.
b) Sebagai Pendidik
Kedudukan orang tua sebagai pendidik merupakan tanggung
jawab kodrati. Karena anak dilahirkan dengan membawa sejumlah
25
Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung,1986), hlm.76.
26 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 408.
74
potensi dimana potensi itu tidak akan berkembang dengan sendirinya
melainkan memerlukan bantuan dari orang lain untuk
mengembangkannya.
“Ayah dan ibu merupakan dwitunggal yang bersama-sama
menjalankan tugas pendidikan dalam keluarga yang dijalin
dengan kerjasama dan saling pengertian sebaik-baiknya, agar
timbul keserasian dalam menunaikan tugas tersebut baik yang
bersifat paedagogis ataupun psikologis dalam pembentukan dan
pengembangan watak/sikap anak”.27
c) Sebagai Peletak Dasar Pendidikan.
Manusia adalah makhluk yang harus dididik, agar fungsi
hidupnya dapat berfungsi dengan baik dan sempurna, sebab manusia
dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak tahu apa-apa. Allah
berfirman :
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia
dijadikan bersifat lemah”. (Q.S. an-Nisaa‟/4 : 28)28
Dan pada ayat lain Allah juga berfirman :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamiu pendengaran,
penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur”. (Q.S. An Nahl/16 : 78) 29
Berdasarkan pada kedua ayat diatas dapat dipahami bahwa yang
lemah pada diri manusia itu adalah jasmaninya dan yang tidak tahu apa-
apa adalah rohaninya. Karena itu pendidikan bagi manusia adalah meliputi
pendidikan jasmani dan rohani. Pendidikan jasmani yang utama adalah
27
HM. Arifin, Hubungan Timbal balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan
Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang , 1978), hlm.88.
28 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 83.
29 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 285.
75
agar dia menjadi kuat dan cekatan, sedangkan pendidikan rohani itu
meliputi berbagai segi, sebab rohani manusia itu terdiri dari berbagai
aspek. Para ahli jiwa mengatakan bahwa di dalam jiwa atau rohani
manusia terdapat enam rasa, yaitu rasa intelek, rasa susila, rasa seni, rasa
harga diri, rasa agama, dan rasa sosial. Apabila rasa intelek dididik, maka
manusia akan menjadi pintar, apabila rasa susila dididik, maka manusia
akan menjadi bermoral, begitu seterusnya. Untuk memenuhi pendidikan
anak yang demikian, maka orangtualah yang pertama kali memberikannya.
Jelaslah bahwa orang tua yang bertanggung jawab untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki seorang anak sebelum potensi itu
dikembangkan oleh pendidik yang lain.
Menurut Zakiah Derajat, “Orang tua merupakan pendidik pertama
dan utama bagi anak-anak mereka, karena merekalah anak mula-mula
menerima pendidikan.”30
Jadi sebelum anak mengenal lembaga lain seperti
sekolah dan lembaga lainnya, maka yang pertama kali yang dikenal oleh
adalah lingkungan keluarga dan orang tua sebagai pemimpin sekaligus
gurunya, sehingga anak-anak memperoleh dasar-dasar pendidikan yang
akan dikembangkan lebih lanjut melalui lembaga-lembaga pendidikan
lain.
2. Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak
Islam telah memberikan pernyataan bahwa anak dilahirkan dalam
keadaan lemah tidak berdaya, sehingga memerlukan uluran tangan untuk
meyentuhnya, dalam arti mengajar, membimbing dan mengarahkannya.
Maka fase pertama, orangtualah yang paling dominan dalam merubah
sikap dan karakter anak.
Pendidikan merupakan faktor penting yang harus diberikan kepada
anak, mengingat anak-anak merupakan calon pemimpin, tiang dan penentu
masyarakat di masa mendatang, sehingga dapat dikatakan yang menjadi
hak anak adalah menjadi kewajiban orang tua yang didalamnya termasuk
30
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 35.
76
pendidikan. Misal shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka
dari itu dalam keluarga kedua orang tua mempunyai tanggung jawab untuk
perintah mendirikan shalat kepada anaknya, Hal ini berdasarkan hadis
Nabi saw:
) “Perintahlah kepada anak-anakmu untuk mendirikan shalat ketika sudah
berusia tujuh tahun dan pukulah ketika meninggalkan shalat dalam usia
sepuluh tahun dan pisahlah mereka dalam tempat tidur”. (H.R. Abu
Daud)31
Orang tua mempunyai peranan penting terhadap pendidikan anak.
Hal ini merupakan ciri-ciri dan watak rasa tanggung jawab setiap orang tua
.atas kehidupan anak-anak mereka untuk masa kini dan masa mendatangع
Karena itu tidak diragukan lagi bahwa tanggung jawab pendidikan secara
mendasar terpikul pada orang tua.
Orang tua merupakan orang dewasa pertama yang memikul
tanggung jawab pendidikan, sebab secara alami anak berada ditengah-
tengah ibu dan ayahnya pada masa-masa awal kehidupannya. Dari
merekalah anak mulai mengenal pendidikan. Dasar-dasar pandangan
hidup, sikap hidup, dan ketrampilan hidup banyak tertanam sejak anak
berada ditengah-tengah orang tuanya. Mereka dapat mengenalkan kepada
anak segala hal yang ingin beritahukan kepada anak atau anak sendiri
ingin mengetahuinya.32
Adapun pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tua,
menurut Zakiah Daradjat dan kawan-kawan, adalah sebagai berikut :
1. Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk yang paling
sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan
dorongan alami untuk kelangsungan hidup manusia.
31
Imam al-Hafidh Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah,
1996), Juz I, hlm. 173.
32 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998), hlm.87.
77
2. Melindungi dan menjamin keselamatan baik jasmaniah maupun
rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan
kehidupan, dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah hidup dan
agama yang dianutnya.
3. Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh
peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan
setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
4. Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan
pandangan dan tujuan hidup muslim.33
Melihat kenyataan sekarang, bahwa tidak mungkin para orang tua
dapat memikul tanggung jawab itu sendiri secara sempurna, lebih-lebih
dalam masyarakat yang lebih maju. Hal ini wajar saja, karena hal itu
tidaklah sepenuhnya dipikul orang tua secara sendiri-sendiri, sebab mereka
sebagai manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Meskipun
demikian perlu diingat bahwa orang tua tidak dapat mengelakkan tanggung
jawab itu.
Anak adalah amanat Allah. Kalau orang tua tidak dapat
menunaikan amanat Allah dalam hal membimbing dan memelihara anak
tersebut, maka bukan tidak mungkin suatu dosa telah menjadi beban orang
tua sehingga membawa derita di akhirat.34
karena itulah maka orang tua
harus menjaga dan memelihara serta menyampaikan amanah itu kepada
yang berhak menerima.
Akibat salah didik terhadap anak, bisa berakibat sang anak akan
menjadi pemberang yang nakal terhadap orang tua. Salah didik atau
menelantarkan pendidikan anak adalah salah satu bentuk dari menyia-
nyiakan amanat Allah. Maka sebagai orang tua harus melaksanakan amanat
Allah sebaik-baiknya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
seperti di atas.
33
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, hlm.38.
34 Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu,1983), hlm
.21.
78
Dalam kefitriannya, anak membawa potensi yang siap dikembang-
kan, baik melalui tangan orang tuanya, pendidik maupun masyarakat
sekitarnya. Akan tetapi yang lebih utama dalam mengembangkan potensi
tersebut adalah orang tua. Karenanya orang tua harus pandai dan bijak
dalam memberikan arahan, bimbingan dan pendidikan bagi anak-anaknya.
Sebagai perwujudan dari keikutsertaan orang tua dalam mendidik
anak, ada beberapa aspek yang sangat penting untuk diperhatikan orang tua,
yaitu :
1. Pendidikan Ibadah
2. Pokok-pokok ajaran Islam dan membaca Al Qur‟an
3. Pendidikan Akhlakul Karimah
4. Pendidikan Aqidah Islamiyah
Keempat aspek pendidikan tersebut mencakup dalam pengertian
yang terkandung dalam surat Lukman ayat 12-19.35
Jadi jelaslah kiranya
pembahasan mengenai peranan orang tua terhadap pendidikan anak, dan
selanjutnya akan dibahas mengenai konsep-konsep pendidikan Islam yang
meliputi beberapa hal yang akan diuraikan kemudian.
Orang tua sedikit demi sedikit membimbing dan mengarahkan
sikap dan perilaku anak sesuai dengan ukuran pada orang tua, dan sesuai
dengan ajaran-ajaran agama yang diyakininya yakni agama Islam.
Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Al-baqarah : 132
“… Hai anak-anakku ! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini
bagimu, maka jangan kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
(Q.S. al-Baqarah/2 : 132)36
Dalam keluarga orang tua bertanggung jawab memberikan
pendidikan kepada anak berdasarkan nilai-nilai akhlak yang luhur.
Pembentukan pribadi yang mempunyai budi pekerti merupakan tujuan
35
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka, Pelajar,
1996), hlm.105.
36 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 20.
79
utama dalam pendidikan Islam, karena akan tercermin pribadi yang mulia.
Adapun pribadi yang mulia adalah pribadi yang hendak ingin dicapai
dalam mendidik anak dalam keluarga. Perhatian dan pengamatan sangat
diperlukan terhadap anak, realitas yang ada lingkungan mempunyai
pengaruh besar terhadap perkembangan anak. Sebagai orang tua harus
mampu memperlihatkan sikap dan perilaku yang dianggap baik di mata
anak, sehingga rangsangan ke arah buruk anak bisa mengendalikan.
) “Kewajiban orang tua kepada anak adalah memberikan nama yang baik
dan tata krama ”. (H.R. Ibn Nujjar)37
Secara garis besar terdapat beberapa tanggung jawab orang tua
terhadap anak, di antaranya: bergembira menyambut kelahiran anak,
memberi nama yang baik, memperlakukan dengan lemah lembut dan
penuh kasih sayang, menanamkan rasa cinta terhadap keluarga,
memberikan pendidikan akhlak, menanamkan akidah tauhid,
menempatkan dalam lingkungan yang baik. Orang tua sebagai model bagi
anak, dikarenakan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan merupakan
pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Sebagaimana model harus
mencerminkan yang terbaik dalam berbagai macam aspek penampilan
maupun gerakannya. Hal ini orang tua mengajarkan yang baik terhadap
anak.
C. Pendidikan Etika Bagi Keduanya
Manusia merupakan makhluk yang memerlukan pendidikan atau
“homo educandum”, karena dipandang sebagai “animal educabil” yang
artinya binatang yang dapat dididik dan harus dididik. 38
Hal ini
37
‘Alauddin Ali al-Muttaqi, Kanzul Ummal Fi Sunanil Aqwal Wal Af’al, (t. Muassasah
ar-Risalah), Juz 16, hlm. 461.
38 Ramayulis dkk., Pendidikan Islam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm.
6.
80
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang diberi akal oleh Allah
untuk menggunakan dalam kehidupannya.39
Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan dalam
keluarga. Anak mendapatkan norma-norma pada anggota keluarga, baik
ayah, ibu maupun kakak bahkan di lingkungan sekitar. Artinya orang tua
dalam mendidik dan memelihara anak merupakan tugas secara kodrati
sebagai manusiawi sebagai orang tua.40
Sebagai orang tua mempunyai
cita-cita yang tinggi bahwa anak-anaknya kedepan memiliki kepribadian
yang baik dan bisa berbakti kepadanya. Berbakti terhadap orang tua dalam
ajaran Islam merupakan kewajiban bagi seorang anak.
Orang tua merupakan orang yang pertama dalam keluarga yang
selalu erat hubungannya dengan anak-anaknya, maka orang tua
mempunyai pengaruh yang sangat besar baik pengaruh negatif ataupun
pengaruh positif terhadap anak-anaknya. Dalam keluarga anak dan orang
tua mempunyai kewajiban masing-masing, dan semuanya berawal dari
pendidikan yang diberikan oleh orang tua. Oleh karena itu orang tua harus
hati-hati dan banyak perhitungan di dalam menanamkan pengaruhnya ke
arah cita-cita yang diidam-idamkan anaknya. Adapun hubungan antara
orang tua dengan anaknya antara lain adalah sebagai berikut :
1. Hubungan Biologis
Anak merupakan amanat dari Allah yang diberikan kepada orang
tua yang harus dididik dan diasuh agar nantinya dapat meneruskan dan
melanggengkan garis keturunannya. Anak tercipta lantaran adanya
hubungan yang harmonis antara suami istri setelah melalui proses
pernikahan menurut syariat yang telah ditentukan.
2. Hubungan Psikologis
Pada usia dini anak sedang mengalami perkembangan dan
pertumbuhan. Perkembangan kejiwaannya belum stabil, masih mengalami
39
M. Sholeh Noor, Pendidikan Islam, (Semarang: IAIN “Walisongo”, 1987), hlm. 63.
40 M. Sholeh Noor, Pendidikan Islam, hlm. 63.
81
kegoncangan-kegoncangan. Oleh sebab itu diperlukan pengarahan dari
orang tua untuk membimbingnya.
3. Hubungan Sosiologis
Antara orang tua dan anak-anaknya dapat mengembangkan
hubungan yang hangat dan akrab yang didasarkan atas saling mengasihi
dan saling menghargai
4. Hubungan Religius
Kehidupan keagamaan anak secara umum akan meniru keagamaan
orang tuanya, atau dengan kata lain orangtualah yang akan membentuk
keagamaan anak, yaitu melalui latihan dan bimbingan.
Agar nantinya mempunyai keagamaan yang baik, dianjurkan
kepada orang tua untuk mempersiapkan diri sedini mungkin, yaitu sejak
mulai mencari pendamping hidup.41
Anak dilahirkan dengan perantara bapak dan ibu yang dipenuhi
rasa kasih sayang serta tanggung jawab untuk mendidiknya. Dengan
demikian hal yang wajar bahwa berbakti dan berlaku yang benar kepada
orang tua merupakan suatu keharusan, baik dilihat dari sisi agama maupun
kemanusiaan. Anak diciptakan memiliki suatu potensi yang positif untuk
melakukan suatu perbuatan, tetapi tergantung dalam pendidikan yang
diberikannya.42
Untuk mengenalkan, mendidik dan menanamkan akhlak yang
terpuji kepada anaknya, orang tua harus memberikan contoh kepadanya.
Karena jika kedua orang tua mendidiknya dengan akhlak yang terpuji,
sedangkan mereka tidak memberikan contoh atau tidak melakukannya,
maka si anak akan memprotesnya. Atau bahkan anak akan membalikkan
kepada orang tuanya apabila si anak melakukan perbuatan yang tidak
terpuji. Di sinilah kedua orang tua harus berhati-hati dalam berperilaku
41
Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, (Bandung: Mandar Maju,1992),
hlm. 116.
42 Labib, Etika Mendidika Anak Menjadi Sholeh, hlm. 45.
82
baik tingkah laku maupun bahasa dalam kehidupan sehari-hari di depan
anak-anaknya.
Peran dan tanggung jawab kedua orang tua dalam mengenalkan,
mengajarkan dan menanamkan akhlak terhadap anak-anaknya sangat
penting. Hal ini karena si anak telah mengetahui dan memahami mana
perbuatan yang termasuk akhlak mahmudah dan mana perbuatan yang
termasuk akhlak madzmumah. Di sisi lain, si anak akan terbiasa
melakukan perbuatan yang terpuji dan terbiasa meninggalkan akhlak yang
tercela. Sehingga ia memiliki fondasi yang sangat kuat akan sikap dan
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari bila ia dewasa kelak.
Orang tua sebagai kepala atau pemimpin keluarga mempunyai
tanggung jawab yang tidak ringan bagi kelangsungan hidup seluruh
anggotanya, baik dalam membimbing, melindungi atau mendidik anak.
Sebab anak merupakan amanat Allah yang diberikan kepada orang tua
untuk dididik agar nantinya mendapatkan kebahagiaannya di dunia dan di
akhirat.
Di dalam kehidupan sehari-hari, orang tua merupakan cermin masa
depan anak-anaknya. Apabila di dalam rumah tangga tercipta hubungan
yang harmonis antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya,
saling memenuhi hak masing-masing serta saling menghormati, maka
sudah tentu anak-anak pada masa yang akan datang akan selalu
menjunjung tinggi perintah orang tuanya, memelihara dan menjaganya
ketika usia lanjut. Sebab pada awal mulanya orang tua tersebut
memberikan contoh langsung dalam bentuk perbuatan berbakti kepada
orang tua.43
Tujuan dalam pemeliharaan dan pendidikan anak adalah untuk
menciptakan suatu karakter yang baik dan mempunyai pola pikir yang
berdasarkan tatanan kehidupan, baik secara umum maupun agama. Ajaran
Islam mengajarkan hak anak kepada orang tua maupun sebaliknya.
43
Labib, Etika Mendidika Anak Menjadi Sholeh, hlm. 49.
83
Mengingat pentingnya pendidikan anak dalam keluarga, maka orang tua
harus melaksanakan tugas dan fungsi edukatif dengan sebaik-baiknya.
Maka tidak ada alternatif lain bagi orang tua kecuali untuk mendidik anak
dan membimbingnya dan ini mutlak diperlukan oleh anak. Yang dimaksud
dengan pendidikan di sini adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar
oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani menuju
terbentuknnya kepribadian yang utama.
Anak sholeh merupakan dambaan setiap orang tua, selain
mempunyai sikap yang baik akan tetapi juga terdapat nilai bahwasanya
anak sholeh yang mendo‟akan kepada orang tuanya merupakan salah amal
yang tidak akan terputus, meskipun telah meninggal dunia.
84
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari permasalahan yang penulis paparkan dalam skripsi ini, maka
penulis dapat menarik simpulan adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan etika merupakan tentang perbuatan mendidik etika, ilmu-ilmu
mendidik, pengetahuan tentang pendidikan etika dan pemeliharaan
(latihan-latihan) badan, batin dan jasmani untuk pembelajaran. Dalam
suatu kehidupan manusia tidak lepas dari aturan yang ada, baik dalam
lingkungan maupun agama. Dalam interaksi antara anak dan orang tua
harus mempunyai tanggung jawab yang benar dalam perbuatan.
Dikarenakan keluarga merupakan pendidikan awal untuk mendidik anak.
Dari sinilah anak akan mempunyai sikap terhadap orang tua yang
diperoleh dari pendidikannya terutama dalam keluarga sendiri.
Keluarga atau orang tua merupakan lembaga yang pertama dan
utama dalam memberikan dasar-dasar pendidikan anaknya. Pendidikan
dalam keluarga sangat menentukan kepribadian anak di masa depan, baik
dari segi pengetahuan dan tingkah lakunya. Dan ini harus dimulai dan
dikembangkan sejak dini karena akan sangat membekas pada diri anak dan
merupakan landasan kepribadian yang kokoh untuk menuju terbentuknya
pribadi muslim yang seutuhnya.
Anak mempunyai kewajiban terhadap kedua orang tua adalah
berbakti, menghormati dan menghargainya baik dalam hal perkataan
maupun perbuatan. Baik keadaan kedua orang masih hidup atau telah
meninggal dunia bahkan telah mencapai usia lanjut.
2. Al-Qur’an telah menjelaskan mengenai pendidikan etika seorang anak dan
orang tua di dalam keluarga. Hal ini dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-
24, surat tersebut mengandung perintah untuk berbuat baik kepada kedua
85
orang tua. Keterangan para muffasir dalam menafsirkan surat al-Isra’
tersebut bahwa birrul walidain (berbuat baik kedua orang tua) mempunyai
kesimpulan singkat adalah dari tidak boleh mengeluarkan perkataan yang
bisa menimbulkan kesal kepada orang tua, membentak, namun
merawatnya meskipun sudah berusia lanjut. Dan merendah di hadapan
orang tua meskipun anak lebih pandai serta sikap yang harus dimiliki anak
adalah tawadhu’ dan mendo’akan mereka.
3. Konsep pendidikan etika bagi anak merupakan kewajiban anak untuk
berbuat baik kepada kedua orang tua baik masih hidup keduanya atau telah
meninggal dunia. Dikarenakan hal itu sebuah perintah serta bentuk ibadah
kepada Allah sesama makhluk-Nya. Dan juga keridhoan Allah terletak
dalam keridhoan kedua orang tua. Dan patuh semua perintah dari kedua
orang tua selama tidak mengakibatkan kemusyrikan kepada Allah atau
dalam bentuk maksiat.
Dilarang seorang anak untuk mengatakan perkataan uf yang
berarti ah, hus, kesal, bosan atau yang mengandung penghinaan dan
mempunyai maksud menyakitkan kedua orang tua. Meskipun kedua orang
tua sudah mencapai usia lanjut tetap diperlakukan dengan sebaik mungkin
dan menyinggung perasaan mereka berdua dengan perkataan yang tidak
sopan. Tidak boleh pula membentak kedua orang tua melainkan bersikap
yang baik dan mengatakan setiap sesuatu dengan perkataan yang mulia
dan lemah lembut.
Anak mempunyai kewajiban untuk bertawadhu’ dan merasa rendah
dihadapan kedua orang tua serta mendo’akan kepada Allah semoga rahmat
dan ampuan-Nya tetap terlimpahkan kepada kedua orang tua. Atau
menziarahi kuburan orang tua yang sudah meninggal dunia dengan
mengirimkan do’a buat mereka agar supaya semua amal kebaikan diterima
di sisi Allah.
Pendidikan etika bagi orang tua merupakan dari peranan serta
tanggung jawab kedua orang tua kepada anak. Kedudukan orang tua
86
sebagai pendidik merupakan tanggung jawab kodrati dan melahirkan
suatu kewajiban dan tanggung jawab bagi dirinya sendiri serta hak bagi
anggota keluarga yang lain. Ibu bapak mempunyai posisi sebagai tempat
rujukan bagi anaknya baik dalam soal moral maupun untuk memperoleh
informasi. Karena anak dilahirkan dengan membawa sejumlah potensi
dimana potensi itu tidak akan berkembang dengan sendirinya melainkan
memerlukan bantuan dari orang lain untuk mengembangkannya.
Di dalam kehidupan sehari-hari, orang tua merupakan cermin masa
depan anak-anaknya. Jadi dalam keluarga orang tua dan anak mempunyai
peranan masing-masing dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Anak
yang mempunyai kewajiban untuk birrul walidain serta menghormati dan
menghargai dalam hidupnya namun sebelumnya pendidikan dari kedua
orang tua sangat mempengaruhi dalam diri anak.
B. Saran-saran
Sehubungan dengan terselesaikannya penulisan skripsi ini, ada
beberapa hal yang hendak perlu diperhatikan anak terhadap orang tua:
1. Hendaknya selalu menanamkan rasa syukur bahwa betapa mulianya jasa
orang tua dengan penuh kasih sayangnya dari masih dalam kandungan
hingga tumbuh besar
2. Hendaknya berusaha untuk berbuat baik kepada orang tua, meskipun
mereka telah berusia lanjut.
3. Hendaknya bertawadhu’ dan menaatinya dalam semua perintah yang tidak
mengakibatkan kedurhakaan kepada Allah dan berbicara dengan kata-kata
atau ucapan yang baik serta mendo’akan kedua orang tua untuk
memintakan ampunan kepada Allah.
4. Sebagai orang tua hendaknya memperhatikan dari pendidikan dan
kebutuhannya anak, sehingga potensi yang dimiliki mampu
memaksimalkannya.
87
C. Penutup
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Ilahi Rabbi, Tuhan yang menciptakan langit, bumi serta isinya untuk
kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia, khususnya orang yang
beriman, serta memberi kekuatan dan kesabaran kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bisa bermanfaat kepada semua pihak, khususnya
bagi penulis sendiri dan mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo serta masyarakat pada umumnya. Amiin
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin, Pengantar Pendidikan Etika, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006.
_________, Studi Akhlak Dalam Perspektif al-Qur’an ,Jakarta: Amzah, 2007.
Achmad, Mudlor, Etika dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 2006.
al-Abrasyi, Muhammad „Athiyah, Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
al-Farmawi, Abd. al-Hayy, Metode Tafsir Mawdhu’iy, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996.
al-Ghazali, Muhammad, Akhlak Seorang Muslim, Semarang: Wicaksana, 2001.
al-Hafidh, Imam Jalil, Mukhtashor Tafsir Ibn Kastir,Suriah: Daru bil Qalam al-
Arabi, t.th .
al-Hasan, Abi, an-Nuktu wal ‘Uyun Tafsir al-Mawardi, Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiyah, t.th, Juz 3.
al-Hasyimi, Muhammad Ali, Menjadi Muslim Ideal Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2001.
al-Husain, Imam Abi Muhammad, Tafsir al-Baghowi, Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiyah, t,th, Juz 3.
Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2004.
al-Jumbulati, Ali, dan Abdul Futuh al-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan
Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002,.
al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi, Mesir: Musthofa al-Halbi wa
Auladih, t. th, juz 13.
al- Mas‟udi, Hafidh Hasan, Taisirul Akhlak Fi Ilmil Akhlak, Semarang: Maktabah
al-Alawiyah
_________, Terjemah. Tafsir al-Maraghi, terj. Hery Noer Aly, dkk., Semarang:
Toha Putra, 1993.
al-Muttaqi, Alauddin Ali, Kanzul Ummal Fi Sunanil Aqwal Wal Af’al, t.
Muassasah ar-Risalah, Juz 16.
Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1998.
Amin, Ahmad, Etika, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
an-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha, Terj.
Herry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam : dalam
Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat Bandung: CV. Diponegoro,
1989.
Arifin, HM., Hubungan Timbal balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah
dan Keluarga, Jakarta: Bulan Bintang , 1978.
Arifin, Zaenul, dkk., Moralitas al-Qur’an dan Tantangan Modernitas,
Yogyakarta: Gama Media Offset, 2002.
Ar-Rifa‟i Muhammad Nasib,. Penj. Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir
Jakarta: Gema Insani, 1999, . 46.
as-Shiddiey, Muhammad Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000.
Az-Zikr, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007.
az-Zuhaily, Wahbah, Tafsir al-Munir, Beirut: Darul Fikr, t.th.
Daradjat, Zakiah, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
_________, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta : Ruhama,
1995, hal. 64.
_________, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung,1986.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Al-Jumanatul
„Ali, 2005.
Djamarah, Syaiful Bahri, Pola Komunikasi Orang Tua Dan Anak Dalam
Keluarga, Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004.
Djatnika, Rachmat, Sistem Etika Islam, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1996.
Fakhruddin, Imam,, Tafsir al-Kabir, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, t.th, Jilid 10.
Fakhry, Majid, Etika dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001.
Halim, Nipan Abdul, Anak Saleh Dambaan Keluarga, Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2003.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional, 1999.
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005,
Hasyim, Umar, Cara Mendidik Anak dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu,1983.
Hasyim, Umar, Anak sholeh, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995
Husein, Ibnu, Pribadi Muslim Ideal, Semarang :Pustaka Nuun, 2004.
Idris, Zahara, Dasar-dasar Kependidikan, Padang: Aksara Raya, 1987.
Imam Abi al-Husain Muslim Ibnu al-Hajjaj Ibnu Muslim, Shahih Muslim Syarah
al-Nawawiy, Juz IV Indonesia : Maktabah Dahlan, t.th, hal. 2047.
Kartono, Kartini, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, Mandar Maju, Bandung,
1992.
Labib, Etika Mendidik Anak Menjadi Sholeh, Surabaya: Putra Jaya, 2007.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan Jakarta : al-Husna Zikra, 1995.
Ma‟arif, Syamsul, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Mazhahiri, Husain, Surga Rumah Tangga Jakarta : Titian Cahya, 2001.
Muhadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.
Muhammad, Sayyid, at-Tahliyah wa Targhib Fi at-Tarbiyah Wat Tahdhib,
Surabaya: al-Hidayah
Nasution, Thamrin, Peranan Orang tua dalam Meningkatkan Prestasi Belajar
Anak, Gunung Mulia, Jakarta, 1989.
Noor, M. Sholeh, Pendidikan Islam, Semarang: IAIN “Walisongo”, 1987.
Ramayulis dkk., Pendidikan Islam Rumah Tangga, Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005.
Sapuri, Rafy, Psikologi Islam. Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
_________, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati, 2002, Vol. 7.
Su‟ud, Imam, Abi Tafsir Abi Su’ud, Beirut: Daru Ihya‟ at-Tarku al-Arabi, t.th, Juz 5.
Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Jakarta: PT Rineka Cipta,
2005.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Sulaiman, Imam al-Hafidh Abi Daud, Sunan Abi Daud, Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiah, 1996, Juz I..
Sunarto, Achmad, Diterjemahkan dari kitab aslinya Riyadhus Shalihin, Jakarta:
Pustaka Amani, 1999.
Surackhmat, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1998.
Syadzali Ahmad,dan Ahmad Rifa‟i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia,
1997.
Syaikh Abdul Malik bin Abdul Karim Abdullah HAMKA, Tafsir al-Azhar,
Surabaya: Yayasan Latimojong, 1981, Juz XV.
Tahlan, Musthafa, Muhammad Muslim Ideal Masa Kini, Jakarta: Cendikia Sentra
Muslim, 2000.
Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1996.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008.
Ya‟qub, Hamzah, Etika Islam, Bandung: Diponerogo, 1985.
Yusuf, Syamsul, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2001.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap : Khasan Farid
2. Tempat & Tgl. Lahir : Semarang, 18 Desember 1987
3. NIM : 063111029
4. Alamat Rumah : Kp. Randusari Rt. 03 Rw. 02 Kec. Gunung Pati Semarang
HP : 081390044298/085641197308
E-mail : [email protected]
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. MI Raudhatul Atfal Gunung Pati Lulus tahun 2000
b. MTs Darul Ulum Suruh Kab.Semarang Lulus tahun 2003
c. MAN Suruh Kab.Semarang Lulus tahun 2006
d. IAIN Walisongo Semarang Lulus tahun 2011
2. Pendidikan Non- Formal
a. Pon-Pes an-Nibros al-Hasyim as-Salafy Suruh Tahun 2003 - 2006
b. Pon-Pes Rahmatan Lil ‘Alamin Mijen Tahun 2010 - sekarang
Semarang, 02 Juni 2011
Khasan Farid
NIM: 063111029