Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Konsep, Kajian dan Kebijakan
DAYA SAING DAERAH KONSEP, KAJIAN DAN KEBIJAKAN
Rina Indiastuti
Copyright © 2016
Penulis: Rina Indiastuti
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau meperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit
Cetakan ke-1, Agustus 2016 Diterbitkan oleh Unpad Press
Gedung Rektorat Unpad Jatinangor, Lantai IV Jl. Ir. Soekarno KM 21 Bandung 45363
Telp. (022) 84288867/ 84288812 Fax : (022) 84288896
e-mail: [email protected] /[email protected] http://press.unpad.ac.id
Anggota IKAPI dan APPTI
Tata Letak:
Yodi Izharivan Fitria Purnama Sari
Desainer Sampul: Becky Yubiliasrini
Perpustakaan Nasional: Katalag Dalam Terbitan (KDT) Rina Indiastuti Daya Saing Daerah: Konsep, Kajian dan Kebijakan/ Rina Indiastuti -- Cet. I – Bandung; Unpad Press; 2016 xvi + 188 hlm.; 17,6 x 25 cm ISBN 978-602- 6308-26-9 I . Daya Saing Daerah: Konsep, Kajian dan Kebijakan II. Rina Indiastuti
iv
meningkatkan dan memberlanjutkan daya saing pelaku usaha dan industri unggulan daerah untuk tujuan pertumbuhan perusahaan dan kemakmuran masyarakat. Untuk menghadapi tekanan persaingan global dan praktik integrasi pasar, dibutuhkan penjalinan jaringan dan kerjasama (networking and partnership) yang dilakukan bukan hanya oleh perusahaan, melainkan juga oleh pemerintah.
Peningkatan daya saing bagi perusahaan atau industri di pasar global sama dengan kemampuan menawarkan harga yang bersaing dan direspon oleh meningkatnya penjualan. Tren penurunan harga produk industri di pasar global menjadi tantangan perusahaan domestik dan lokal untuk sepakat meningkatkan daya saing. Pembelajaran yang diperoleh adalah kemampuan untuk meningkatkan produksi belum cukup mampu menumbuhkan daya saing. Menumbuhkan daya saing perusahaan dan industri harus disertai oleh penguatan dan sektor pendukung, yaitu teknologi, manajemen, pendidikan, riset, dan inovasi. Intinya, penciptaan daya saing merupakan penciptaan nilai tambah yang tinggi bersumber dari kegiatan produksi dan kegiatan pendukungnya yang menelusuri rantai value (value chain).
Mengingat besarnya ukuran pasar domestik Indonesia sehingga menjadi sasaran produk asing, peningkatan daya saing secara jelas ditujukan agar mampu bersaing di pasar domestik sekaligus di pasar global. Guna akselerasi, diperlukan kebijakan dan intervensi pemerintah terutama pada proses akumulasi human capital melalui pendidikan, pelatihan, dan etos kerja. Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota seyogyanya memfasilitasi terjadinya upgrading skala usaha, peningkatan produktivitas, promosi produk unggulan, iklim usaha yang kondusif dan persaingan yang sehat, serta peningkatan pendapatan masyarakat dan negara. Permasalahan dalam pengembangan daya saing daerah perlu segera disolusikan. Daerah sebagai penyedia sumber daya alam harus memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk menciptakan nilai tambah yang terus tumbuh. Aliran investasi domestik dan asing dibutuhkan untuk perbesaran skala produksi. Kinerja pertumbuhan produktivitas, ekspor, investasi, dan human capital menjadi indikator daya saing yang harus terus ditingkatkan. Efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat menjadi kinerja daya saing daerah. Pembangunan daya saing memiliki dimensi ekonomi dan sosial.
Kebijakan penumbuhan daya saing yang terus berlanjut fokus pada peningkatan nilai tambah berbasis peningkatan produktivitas dan channel value dari-dan ke global. Transmisinya akan meningkatkan dan mendistribusikan value tersebut berupa pendapatan bagi pekerja, pemilik modal, serta pajak dan devisa bagi pemerintah. Jaringan global menjadi penjamin pertumbuhan dan pendalaman daya saing yang harus direalisasikan oleh perusahaan dan pemerintah. Mengingat pemerintah juga menikmati peningkatan pajak akibat pertumbuhan daya saing, maka kebijakan fiskal dan kebijakan ketenagakerjaan harus pro-daya saing.
v
Organisasi buku terdiri atas 3 bagian yang meliputi 10 bab. Bagian pertama mendiskusikan konsep, pengukuran, dan model daya saing daerah. Pemahaman konsep menggunakan perspektif teori ekonomi mikro agar dapat memahami bahwa pembangunan daya saing harus melibatkan pelaku usaha dan pihak-pihak pemangku kepentingan. Pembahasan faktor penentu daya saing dimulai dengan melakukan kajian atas hasil pengukuran yang dilakukan oleh beberapa lembaga internasional, regional, dan nasional bereputasi. Telaah teoritis dan praktik menjadi dasar penyusunan model daya saing daerah. Bagian ke-dua melaporkan sintesis atas kajian terhadap daya saing daerah Jawa Barat. Kajian dilakukan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif untuk memformulasikan kerangka pembangunan daya saing daerah Jawa Barat. Jenis data, metode, dan determinan daya saing daerah Jawa Barat dapat digunakan untuk aplikasi model daya saing di daerah lain. Hasil kajian digunakan untuk formulasi strategi dan kebijakan yang dibahas pada bagian ke-tiga.
Hasil kajian empiris terhadap daya saing daerah mampu memetakan kekuatan dan kelemahan setiap daerah. Secara geografis, daerah yang lokasinya dekat dengan Jakarta tumbuh lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya, dimana daerah tersebut telah berkembang menjadi daerah industri sekaligus jasa. Daerah ini menjadi tujuan investasi domestik dan asing serta perbankan. Kota Bandung sebagai ibukota memang mempunyai daya saing relatif tinggi, namun sayangnya belum memberikan efek sebar yang positif terhadap daerah sekitarnya. Bagian selatan mempunyai karakteristik ekonomi yang didominasi oleh sektor pertanian. Di daerah tersebut, tanaman bahan makanan menjadi unggulan. Daya saing seyogyanya dibangun menyesuaikan pada struktur ekonomi dan ketersediaan infrastruktur. Contoh, infrastruktur jalan tol Cipularang yang diteruskan ke Cirebon lewat tol Cipali akan memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah bagian timur, terutama Cirebon dan sekitarnya.
Analisis terhadap model daya saing daerah membawa implikasi dibutuhkannya strategi dan kebijakan pembangunan daerah berbasis penumbuhan daya saing yang berproses secara dinamis dan berkelanjutan. Pendekatan pembangunan ini sangat dibutuhkan mengingat perkembangan ekonomi global yang berjalan semakin tidak seimbang. Selain mencapai sasaran berupa ukuran peningkatan produktivitas atau perbaikan efisiensi, hal penting lain adalah memberikan perhatian terhadap kualitas proses pembangunan daya saing dan transformasi pembangunan yang lebih dinamis sejalan dengan pertumbuhan pendapatan per-kapita, inklusivitas, dan kebijakan upah yang efektif. Kreasi nilai yang progresif dan ekspansif, penumbuhan daya saing yang berkelanjutan, dan partnership berupa sinergi antar pelaku baik di dalam maupun antar daerah menjadi arah pembangunan sekaligus penumbuhan daya saing daerah.
vi
Akhir kata, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang dalam kepada saudara Fitria Purnama Sari yang telah sangat membantu dalam penyelesaian buku ini. Buku ini dipersembahkan untuk pengayaan pengetahuan para civitas akademika Universitas Padjadjaran dan pihak-pihak yang sedang giat membangun daya saing daerah. Penulis sangat terbuka untuk menerima saran perbaikan untuk penyempurnaan buku edisi berikutnya.
Agustus, 2016
Rina Indiastuti
vii
DAFTAR ISI
PRAKATA III
BAGIAN I KONSEP, PENGUKURAN, DAN MODEL 1
BAB 1 KONSEP DAYA SAING 2
1.1 PERSPEKTIF EKONOMI MIKRO TENTANG DAYA SAING 3
PENGELOLAAN DAYA SAING 4
PENDEKATAN PEMBANGUNAN DAYA SAING 8
1.2 REVIEW KONSEP DAYA SAING 10
1.3 KERANGKA PEMBANGUNAN DAYA SAING DAERAH 15
DAFTAR PUSTAKA 19
BAB 2 PRAKTIK PENGUKURAN DAYA SAING 23
2.1. PENGUKURAN DAYA SAING NEGARA SECARA GLOBAL 23
2.2. PENGUKURAN DAYA SAING DAERAH 26
2.2.1. PENGUKURAN DAYA SAING PROVINSI SECARA REGIONAL 26
2.2.2 PENGUKURAN DAYA SAING EKONOMI KABUPATEN/KOTA SECARA NASIONAL 28
2.3. PENGUKURAN DAYA SAING INDUSTRI SECARA GLOBAL 30
DAFTAR PUSTAKA 32
BAB 3 MODEL DAYA SAING DAERAH 33
3.1 RELEVANSI UKURAN DAYA SAING DAERAH 33
3.2. PERSPEKTIF BARU: PILAR DAYA SAING DAERAH 35
DAFTAR PUSTAKA 37
BAGIAN II KAJIAN EMPIRIS DAYA SAING JAWA BARAT 39
4.1 PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI 42 BAB 4 DINAMIKA PEMBANGUNAN EKONOMI JAWA BARAT 42
4.1 PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI 42
viii
4.1.1 KINERJA PERTUMBUHAN SEKTORAL 43 4.1.2 DOMINASI INDUSTRI PENGOLAHAN 44 4.1.3 DIVERSIFIKASI EKONOMI 46 BOX 1 TRANSFORMASI MELALUI DIVERSIFIKASI EKONOMI DI DAERAH PERTANIAN 49
4.2 PENGGERAK KEGIATAN EKONOMI 52 4.2.1 SUMBER PERTUMBUHAN EKONOMI 52 4.2.2 POSISI DAN PERANAN SUB-SEKTOR DAN INDUSTRI 56 4.2.3 PERANAN PEMBIAYAAN PERBANKAN 59 BOX 2 DETERMINAN FINANCIAL DEEPENING DI DAERAH 63
DAFTAR PUSTAKA 64
BAB 5 POTRET DAYA SAING EKONOMI DAERAH 66
5.1 UKURAN DAYA SAING EKONOMI DAERAH 66 5.1.1 PERTUMBUHAN PRODUKTIVITAS 66 5.1.2 ALIRAN INVESTASI 71 5.1.3 KINERJA EKSPOR 73 5.2 PENCIPTAAN DAN PENGEMBANGAN KEUNGGULAN 75 5.2.1 PENETAPAN INDUSTRI UNGGULAN 75 5.2.2 PENGUATAN PELAKU USAHA 77 5.2.3 SKALA EKONOMI MELALUI AGLOMERASI INDUSTRI 81 BOX 3 HASIL REGRESI AGLOMERASI INDUSTRI JAWA BARAT 89
DAFTAR PUSTAKA 90
BAB 6 PERSPEKTIF BARU PENUMBUHAN DAYA SAING JAWA BARAT 92
6.1 PILAR PENGELOLAAN FAKTOR PRODUKSI 92 6.1.1 PRODUKTIVITAS 93 6.2 PILAR KUALITAS PROSES DAN OUTPUT 97 6.2.1 PENDAPATAN PER-KAPITA 98 6.2.2 HUMAN CAPITAL 98 6.2.3 STRUKTUR PRODUKSI DAN DIVERSIFIKASI 100 6.2.4 STRUKTUR EKSPOR DAN RCA 104 6.2.5 RISET DAN INOVASI PERUSAHAAN 106 6.2.6 ALIRAN INVESTASI DAN PEMBIAYAAN 107 6.2.7 INFRASTRUKTUR JALAN 109 6.3 PILAR OUTCOME 109 6.3.1 KUALITAS PEMBANGUNAN MANUSIA 110 6.3.2 APBD PER-KAPITA 110 6.3.3 KETIMPANGAN 112 6.3.4 KEMISKINAN 113 6.3.5 PENGANGGURAN 113 6.3.6 KEBIJAKAN UPAH 114
ix
DAFTAR PUSTAKA 118
BAB 7 DETERMINAN DAN PEMETAAN DAYA SAING KABUPATEN/KOTA 119
7.1 DETERMINAN DAYA SAING EKONOMI DAERAH 119 7.1.1 ANALISIS FAKTOR PENJELAS DAYA SAING 119 7.2 PEMETAAN DAYA SAING EKONOMI KABUPATEN/KOTA 125 7.3 PERKEMBANGAN DAYA SAING EKONOMI DAERAH 128 BOX 4 PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA 130 DAFTAR PUSTAKA 131
BAB 8 PROSPEK PERTUMBUHAN DAYA SAING DAERAH JAWA BARAT 137
8.1 LESSON LEARNED 137 8.2 PROSPEK 141 8.3 FOKUS INDUSTRI/SUBSEKTOR UNGGULAN 151
BAGIAN III STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENUMBUHAN DAYA SAING DAERAH 158
BAB 9 STRATEGI PENUMBUHAN DAYA SAING DAERAH 159
9.1 SKALA DAN SKOP EKONOMIS INDUSTRI UNGGULAN 159 9.1.1 PENINGKATAN SKALA EKONOMI MELALUI AGLOMERASI INDUSTRI 161 9.2 KREASI NILAI TAMBAH DAN KEBERLANJUTAN 163 9.2.1 KETERKAITAN EKONOMIS DAN RANTAI NILAI 164 9.2.2 RANTAI PASOK PEMBIAYAAN 167 9.2.3 MEMBANGUN KEUNGGULAN KOMPETITIF MELALUI PARTNERSHIP 169 DAFTAR PUSTAKA 170
BOX 5 KETERKAITAN EKONOMIS DAN RANTAI NILAI PERDAGANGAN 175
BOX 6 PRODUKTIVITAS PEMBIAYAAN PERBANKAN DI JAWA BARAT 178
BAB 10 KEBIJAKAN PENUMBUHAN DAYA SAING DAERAH 180
10.1 KEBIJAKAN YANG SUDAH DITERAPKAN 180 10.2 KEBIJAKAN YANG DIBUTUHKAN 182
GLOSARIUM 184
Lampiran 1 Dokumen Perencanaan dan Prospek Produksi di Jawa Barat 133 Lampiran 2 Operasionalisasi Variabel Daya Saing 135
Lampiran 3 Rantai Pasok 172 Lampiran 4 Keterkaitan Ekonomis dan Rantai Nilai Perdagangan 175
Lampiran 5 Produktivitas Pembiayaan Perbankan di Jawa Barat 178
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Indikator dari Pilar Daya Saing Global Competitiveness Index .......................... 24 Tabel 2.2 Daya Saing Negara ASEAN secara Global ........................................................ 26 Tabel 2.3 Ukuran Daya Saing Regional .......................................................................... 27 Tabel 2.4 Peringkat Daya Saing Provinsi secara Regional ................................................ 27 Tabel 2.5 Indikator-Indikator Pembentuk Daya Saing Daerah ......................................... 28 Tabel 2.6 Peringkat Daya Saing Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Barat secara Nasional .. 30 Tabel 2.7 Daya Saing Industri Negara ASEAN secara Global ............................................ 31 Tabel 2.8 Daya Saing Industri Negara ASEAN secara Global ........................................... 31 Tabel 3.1 Ukuran Daya Saing Nasional/Daerah.............................................................. 34 Tabel 3.2 Ukuran Daya Saing Industri ........................................................................... 34 Tabel 4.1. Penurunan Share Peranan Industri Pengolahan di Daerah Industri .................. 45 Tabel 4.2 Indeks Entropy, 2013 .................................................................................... 48 Tabel 4.3 Hasil Regresi Diversifikasi Ekonomi Daerah Pertanian ..................................... 51 Tabel 4.4 Konsentrasi 10 Kabupaten/Kota Terhadap PDRB Jawa Barat (%) ...................... 54 Tabel 4.5 Share dan Pertumbuhan sub-sektor dengan Tingkat Pertumbuhan di atas Jawa
Barat ............................................................................................................... 56 Tabel 4.6 Share dan Pertumbuhan sub-sektor dengan Tingkat Pertumbuhan di bawah Jawa
Barat ............................................................................................................... 57 Tabel 4.7 Share dan Rata-Rata Pertumbuhan Sub-Sektoral Jawa Barat, dengan share kurang
dari dua persen 2010-2014 ............................................................................... 58 Tabel 4.8 Hasil Regresi Determinan Financial Deepening Jawa Barat .............................. 64 Tabel 5.1 Produktivitas Tenaga Kerja, 2008-2012 .......................................................... 67 Tabel 5.2 Share Nilai tambah Industri Jawa Barat dan Indeks LQ Industri, 2008-2012 ....... 69 Tabel 5.3 Realisasi Investasi Sektoral Jawa Barat, 2007-2014 ......................................... 72 Tabel 5.4 Tren Diversifikasi Ekspor Non-Migas Jawa Barat, 2010-2014 ............................ 74 Tabel 5.5 Ekspor Neto Non-Migas (berdasar pertumbuhan positif), 2012-2014 ............... 75 Tabel 5.6 Share PDRB sub-Sektor Unggulan Jawa Barat ................................................. 76 Tabel 5.7 Jumlah Unit Usaha Berdasarkan Skala Usaha, Jawa Barat ................................ 79 Tabel 5.8 Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Skala Usaha, Jawa Barat ............................. 79 Tabel 5.9 Kelompok Industri Manufaktur yang Cenderung Terpusat ............................... 83 Tabel 5.10 Kelompok Industri Manufaktur yang Cenderung Menyebar ........................... 84 Tabel 5.11 Distribusi Spasial Industri Manufaktur Provinsi Jawa Barat, 2008-2012 ........... 85 Tabel 5.12 Konsentrasi Geografi untuk Industri Manufaktur Provinsi Jawa Barat ............. 86 Tabel 5.13 Hasil Regresi Aglomerasi Industri terhadap Produktivitas .............................. 89 Tabel 6.1 RCA Sub Sektor Industri Unggulan Jawa Barat, 2011-2014 ............................. 104
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Tingkat Produktivitas ............................................................................. 5 Gambar 1.2 Skala Ekonomi dan Learning .................................................................. 6 Gambar 1.3 Model Diamond Porter ........................................................................ 13 Gambar 2.1 Ukuran Daya Saing berdasar Global Competitiveness Index............... 24 Gambar 3.1 Agregasi Daya Saing Industri-Daerah-Negara ..................................... 35 Gambar 3.2 Kerangka Pembangunan Daya Saing ................................................... 36 Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Jawa Barat (Harga Konstan 2000) ... 43 Gambar 4.2. Komposisi PDRB Sektoral Jawa Barat , 2004-2014 ............................. 44 Gambar 4.3 Proporsi Investasi PMA/PMDN di Jawa Barat, 2010-2014 ................. 45 Gambar 4.4 Hubungan Diversifikasi Ekonomi dan Tingkat Pengangguran Terbuka
Beberapa Daerah, 2013 .............................................................................. 49 Gambar 4.5 Komposisi PDRB Sektoral Daerah Pertanian, 2013.............................. 50 Gambar 4.6 Scatter Plot Pendapatan riil per kapita dan Indeks Entropy Daerah
Pertanian, 2010-2014 ................................................................................. 50 Gambar 4.7 Sumber Pertumbuhan Ekonomi, 2005-2014 ....................................... 53 Gambar 4.8 Sumber Pertumbuhan Ekonomi berdasarkan Pengeluaran, 2006-2013
(Harga Konstan 2000) ................................................................................. 54 Gambar 4.9 Sumber Pertumbuhan berdasarkan Kabupaten/Kota, Jawa Barat ..... 55 Gambar 4.10 Share dan Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi Sub Sektoral, 2010-2014
.................................................................................................................... 56 Gambar 4.11 Proporsi Kredit di Jawa Barat, 2010-2014 ......................................... 59 Gambar 4.12 Hubungan Kredit dan Pendapatan, 2014 .......................................... 60 Gambar 4.13 Hubungan DPK per-kapita dan Pendapatan per-kapita (Harga Berlaku,
2014) ........................................................................................................... 61 Gambar 4.14 Komposisi Kredit Sektoral, 2014 ........................................................ 62 Gambar 5.1 Realisasi Investasi Jawa Barat, 2006-2015........................................... 71 Gambar 5.2 Share Ekspor Komoditas terhadap Total Ekspor Non-Migas Jawa Barat,
2010 -2014 .................................................................................................. 73 Gambar 5.3 Share Ekspor Jawa Barat terhadap Ekspor Nasional untuk Komoditas
Sejenis, 2010-2014 ...................................................................................... 74 Gambar 5.4 Proporsi PDRB Kab-Kota ...................................................................... 76 Gambar 5.5 Share PDRB non-Migas Jawa Barat Menurut Skala Usaha 2012 ......... 78 Gambar 5.6 Struktur PDRB non-Migas Sektoral Menurut Skala Usaha Jawa Barat
2011 ............................................................................................................ 79 Gambar 5.7 Distribusi Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha, Jawa Barat 2011 ........ 80
xiii
Gambar 6.1 Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Jawa Barat, 2005-2014 .....................93 Gambar 6.2 Total Factor Productivity Sektoral Jawa Barat .....................................94 Gambar 6.3 Nilai Tambah Per-Tenaga Kerja Sektoral Jawa Barat ............................95 Gambar 6.4 Produktivitas Tenaga Kerja Kab/Kota, Jawa Barat ...............................96 Gambar 6.5 Pendapatan Per-kapita 2014 dan Pertumbuhan Pendapatan per kapita
2010-2014 (juta Rp) .....................................................................................97 Gambar 6.6 Indeks Perkembangan Human Capital Kabupaten/kota, relatif
terhadap Provinsi Jawa Barat (basis tahun 2010 = 100) .............................98 Gambar 6.7 Indeks Pendidikan Kabupaten/Kota, Jawa Barat ..................................99 Gambar 6.8 Perubahan Struktur Produksi Jawa Barat ...........................................100 Gambar 6.9 Struktur Produksi Industri Pengolahan Jawa Barat ...........................100 Gambar 6.10 Struktur Produksi Sektor Pertanian, Kehutanan, Peternakan, dan
Perikanan Kabupaten/Kota .......................................................................101 Gambar 6.11 Struktur Produksi Sektor Industri Pengolahan Kabupaten/Kota ......102 Gambar 6.12 Struktur Produksi Sektor Perdagangan Besar & Eceran, Hotel, dan
Restoran Kabupaten/Kota .........................................................................102 Gambar 6.13 Diversifikasi Tenaga Kerja (Indeks Entropy) Jawa Barat ...................103 Gambar 6.14 Share Ekspor sub-sektor Industri pengolahan, Jawa Barat ..............103 Gambar 6.15 Share Ekspor Sub-Sektor Bahan Baku Pertanian & Binatang Hidup,
Jawa Barat .................................................................................................104 Gambar 6.16 RCA Produk Ekspor yang Berdaya Saing ...........................................105 Gambar 6.17 Riset dan Inovasi Perusahaan Kabupaten/Kota ...............................105 Gambar 6.18 Realisasi Investasi PMA dan PMDN Jawa Barat, 2008-2015 ............106 Gambar 6.19 Proporsi Realisasi Investasi Sektoral Jawa Barat, 2008-2014 ...........107 Gambar 6.20 Pembiayaan Bank untuk Sektoral, Jawa Barat .................................107 Gambar 6.21 Rasio Panjang Jalan terhadap Luas Wilayah, 2014 ...........................108 Gambar 6.22 Indeks Pembangunan Manusia, Kab/Kota .......................................109 Gambar 6.23 APBD Per-kapita, Kab/Kota...............................................................110 Gambar 6.24 Indeks Gini Kabupaten/Kota (Indeks Gini) .......................................111 Gambar 6.25 Persentase Penduduk Miskin, Kab/Kota .........................................112 Gambar 6.26 Tingkat Pengangguran Terbuka, Kab/Kota .......................................113 Gambar 6.27 Proporsi (%) Input terhadap Output, 2010 ......................................114 Gambar 6.28 Proporsi (%) Input Terhadap Output Industri yang Kompetitif di Pasar
ASEAN ........................................................................................................115 Gambar 6.29 Komposisi Nilai Tambah Bruto Sektoral Jawa Barat, 2010 ...............117 Gambar 7.1 Determinan Daya Saing Ekonomi Daerah ..........................................123 Gambar 7.2 Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota 2014 .....................................124 Gambar 7.3 Pemetaan Variabel Pendorong Daya Saing Ekonomi Kab/Kota 2014 125
xiv
Gambar 7.4 Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota 2010 .................................... 126 Gambar 7.5 Pengembangan Daya Saing Daerah ................................................... 128 Gambar 8.1 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan IPM ...................................... 147 Gambar 8.2 Hubungan Human Capital dengan Pendapatan Perkapita ................ 147 Gambar 9.1. Hubungan Infrastruktur Kawasan dan Pertumbuhan Industri ......... 161 Gambar 9.2 Rantai Pasok Berbasis Industri Makanan & Minuman Jawa Barat ... 165 Gambar 9.3 Rantai Pasok Pembiayaan Berbasis Usaha Tanaman Bahan Makanan
.................................................................................................................. 167 Gambar 9.4 Rantai Pasok Pembiayaan Berbasis Usaha Peternakan .................... 168 Gambar L.1 Rantai Pasok Industri Tekstil, Pakaian Jadi, kulit, dan Alas Kaki Jawa
Barat ......................................................................................................... 171 Gambar L.2 Rantai Pasok Industri Kimia, Karet, Plastik, dan Barang dari Bahan
Kimia Jawa Barat ....................................................................................... 171 Gambar L.3 Rantai Pasok Industri Barang Jadi dari Logam Jawa Barat ................. 172 Gambar L.4 Rantai Pasok Subsektor Listrik Jawa Barat ......................................... 172 Gambar L.5 Rantai Pasok Subsektor Jasa Sosial Kemasyarakatan & Jasa Lainnya
Jawa Barat ................................................................................................. 173 Gambar L.6 Rantai Pasok Subsektor Pengangkutan Jawa Barat ........................... 173 Gambar L.7 Transformasi Perdagangan ............................................................... 175
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumen Perencanaan dan Prospek Produksi di Jawa Barat .............132 Lampiran 2 Operasionalisasi Variabel Daya Saing ..................................................134 Lampiran 3 Rantai Pasok ........................................................................................171 Lampiran 4 Keterkaitan Ekonomis dan Rantai Nilai Perdagangan .........................174 Lampiran 5 Produktivitas Pembiayaan Perbankan di Jawa Barat ..........................177
xvi
Halaman ini sengaja dikosongkan
2
Daya saing atau competitiveness merupakan kemampuan suatu unit ekonomi, yaitu perusahaan atau industri, daerah atau negara, dalam memproduksi dan menjual barang dan jasa di pasar, yang mana tingkat keberhasilannya diukur sebagai kinerja. Perspektif ilmu ekonomi memahami peningkatan daya saing sebagai peningkatan kemampuan suatu unit ekonomi dalam menghasilkan barang dan jasa dengan lebih efisien sehingga lebih mampu bersaing dibandingkan pesaing. Kunci sukses dalam meningkatkan kemampuan menghasilkan barang dan jasa tersebut tergantung pada kemampuan dalam mengelola sumber daya dan ide secara efisien, inovatif, produktif, dan merespon kebutuhan pasar.
Relevan dengan globalisasi pasar, The European Commission mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional, diiringi dengan kemampuan mempertahankan pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, untuk menciptakan pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif tinggi (European Commission, 1999 dalam Gardiner, Martin, dan Tyler, 2004).
Bagaimanapun, daya saing perusahaan atau sektor bisnis harus dibangun untuk menghadapi persaingan yang semakin tinggi baik di pasar global maupun domestik. Perusahaan harus membangun daya saing dengan mengelola kemampuan internal maupun eksternal. Perusahaan akan dimudahkan dalam penciptaan dan peningkatan daya saing dengan syarat didukung oleh efisiensi ekternal, seperti memiliki lingkungan bisnis yang baik dan dijamin oleh pemerintah daerah setempat. Agregasi dan interaksi atas kemampuan perusahaan dan kemampuan daerah akan membentuk daya saing daerah.
Dengan demikian, daya saing daerah diartikan sebagai kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dalam menghadapi persaingan domestik maupun global (UK-DTI)2. Sementara CURDS3 mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kekayaan
2 United Kingdom – Department of Trade and Industry 3 Centre for Urban and Regional Development Studies, Newcastle University, UK
KONSEP DAYA SAING
1 BAB
BAB 1 KONSEP DAYA SAING
3
BAB 1 Konsep Daya Saing
yang tinggi serta berdampak pada tingkat kekayaan yang lebih merata bagi penduduknya.
Sementara Huggins (2007)4 mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan perekonomian daerah untuk menarik dan mempertahankan perusahaan-perusahaan dengan kondisi yang stabil atau dengan pangsa pasar yang meningkat, dengan tetap mempertahankan atau meningkatkan standar kehidupan pemangku kepentingan. Dalam pengertian ini, kondisi perekonomian yang kondusif jelas merupakan syarat mutlak untuk meningkatkan daya saing daerah.
Penyesuaian terhadap dinamika pasar menjadi penting untuk mengelola daya saing. Persaingan antar unit ekonomi di suatu pasar yang semakin tinggi akan memengaruhi capaian daya saing. Tuntutan melakukan proses produksi yang efisien menjadi keharusan jika ditargetkan untuk menjaga atau meningkatkan daya saing. Peluang perluasan dan pendalaman pasar, baik di pasar domestik maupun pasar internasional, menjadi semangat unit ekonomi untuk melakukan ekspansi bagi peningkatan produktivitas yang merupakan indikator daya saing.
Perubahan level daya saing suatu unit ekonomi mencerminkan perubahan kemampuan transformasi untuk menghasilkan barang dan jasa menggunakan sumber daya, ide, dan teknologi yang diukur melalui perubahan tingkat produktivitas. Kapabilitas teknologi yang melekat dalam pengelolaan organisasi sangat menentukan capaian produktivitas. Indikator kapabilitas teknologi tersebut meliputi kemampuan inovasi, level teknologi yang digunakan, dan networking.
1.1 Perspektif Ekonomi Mikro Tentang Daya Saing
Pengetahuan tentang daya saing dan kaitannya dengan pembangunan ekonomi dapat dijelaskan dari perspektif teori ekonomi mikro. Capaian daya saing suatu unit ekonomi ditentukan oleh kinerja produktivitas atas penggunaan tenaga kerja, capital dan natural endowments dalam menghasilkan nilai tambah yang maksimum. Produktivitas antar unit ekonomi dapat berbeda bergantung pada peningkatan kapabilitas mikroekonomi pada suatu perekonomian dan kemampuan bersaing. Seiring dengan peningkatan produktivitas, diimplementasikan strategi perluasan ukuran pasar baik di pasar global maupun domestik sehingga jalur ekspansi dapat dijalankan dengan tetap menjaga efisiensi. Indonesia yang terbilang kaya akan kepemilikan sumber daya alam mempunyai potensi kemakmuran bagi
4 Dalam publikasi UK Competitiveness Index
4
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
penduduknya namun harus melalui pembangunan industri pengolahan yang efisien sekaligus produktif. 5
Dengan dukungan makroekonomi yang stabil, utilisasi dari akumulasi faktor produksi atau input dalam menghasilkan produksi yang efisien akan membentuk daya saing pada level mikro atau di tingkat perusahaan. Agregasi penguatan daya saing perusahaan dapat membentuk daya saing di tingkat industri apalagi jika melalui pembangunan klaster (cluster) industri. Membentuk daya saing industri di tingkat daerah dan nasional membutuhkan kebijakan ekonomi yang saling menguatkan. Kesuksesan pembangunan daya saing secara bottom up atau dimulai dari tingkat perusahaan adalah jika mampu mengolah potensi dan kapasitas lokal dengan prinsip efisiensi.
Peranan pemerintah daerah dalam mengelola daya saing terbilang stratejik karena lokasi produksi perusahaan berada di daerah. Membangun daya saing di tingkat provinsi dan nasional sama dengan menghimpun berbagai potensi dan kinerja daya saing antar daerah kabupaten/kota yang menjadi lokasi produksi perusahaan.
Porter (1998) menyarankan pembangunan daya saing ekonomi harus berbasis daya saing perusahaan, yang dicirikan oleh terjadinya peningkatan produktivitas sejumlah perusahaan di lokasi tertentu dan mencatat kesuksesan bersaing dengan pesaing di pasar global dan di pasar domestik serta mampu mengungkit peningkatan kemakmuran masyarakat lokal dan nasional. Memerhatikan daerah di Indonesia termasuk di Jawa Barat, daerah atau wilayah memiliki potensi mampu bersaing karena dekat dengan sumber daya, kemudahan akses pasar, dan/ atau memiliki kekuatan kelembagaan. Untuk keberlanjutan, harus dilakukan inovasi dan terjadinya upgrade kapasitas perusahaan dan industri di lokasi tersebut.
Pemerintah berperan dalam menciptakan dan menjamin lingkungan bisnis yang efisien. Pembangunan klaster industri membantu perusahaan dalam beroperasi secara efisien. Kajian Porter menyimpulkan pentingnya peranan swasta atau perusahaan dalam membangun daya saing yang memerlukan kolaborasi sektor publik dengan swasta untuk mendorong produktivitas.
Pengelolaan Daya Saing
Daya saing lebih mudah dibangun pada lingkungan perusahaan atau lokasi yang masyarakatnya relatif makmur. Daerah yang semakin makmur membentuk daya tarik investasi sekaligus menyediakan SDM lebih terampil dan terdidik yang pada gilirannya memudahkan untuk peningkatan produktivitas 5 National prosperity is created, not inherited. It does not grow out of a country’s natural endowments, its labor pool, its interest rates, or its currency’s value, as classical economics insists. A nation’s competitiveness depends on the capacity of its industry to innovate and upgrade (Porter on Prosperity)
5
BAB 1 Konsep Daya Saing
perusahaan. Efek dari peningkatan produktivitas perusahaan adalah pertumbuhan standar hidup masyarakat lokal.
Dalam teori ekonomi mikro, tumbuhnya kapasitas perusahaan untuk mampu bersaing, tumbuh dan memperoleh profit merupakan indikator peningkatan produktivitas. Perusahaan yang memiliki daya saing adalah yang mampu memproduksi barang dan jasa (supply) sesuai dengan kebutuhan pasar (demand) dengan harga dan kualitas bersaing. Ukuran peningkatan daya saing adalah meningkatnya pangsa pasar. Di pasar global, pangsa pasar diukur melalui pangsa ekspor. Meningkatnya aliran sebagian produksi ke pasar non domestik akan memancing aliran investasi asing. Kualitas aliran investasi asing adalah jika merespon peningkatan produktivitas dan pangsa ekspor, atau disebut memiliki pull factor. 6
Gambar 1.1 Tingkat Produktivitas Sumber: Pindyck & Rubinfeld (2008)
Produktivitas merupakan ukuran pertumbuhan produksi yang efisien. Pada formula rasio output terhadap input, maka peningkatan produktivitas adalah jika volume output meningkat pada kondisi tidak ada perubahan volume input yang digunakan. Set input meliputi tenaga kerja, kapital, material, energi, dan input lainnya. Pada fungsi produksi yaitu output = f (input), peningkatan produktivitas adalah jika volume input ditingkatkan maka volume output meningkat lebih tinggi atau terjadi increasing returns to scale (lihat Gambar 1.1) 7.
6 Pelemahan ekonomi domestik di negara maju mendorong investasi mengalir ke negara emerging termasuk Indonesia (push factor) 7 Decreasing returns to scale adalah kebalikan dari increasing return to scale, atau menunjukkan inefisiensi produksi, atau dari sisi biaya menunjukkan diseconomies of scale.
Volume OOutput
Volume Input
Increasing returns
Constant returns
Decreasing returns
6
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Diewert (1992) mendefinisikan produktivitas perusahaan atau industri sebagai suatu ukuran terhadap perubahan yang terjadi antara rasio output terhadap input pada suatu rentang waktu tertentu. Terdapat beberapa metode dalam mengukur produktivitas suatu perusahaan atau industri. Ketersediaan data di level perusahaan atau industri menjadi salah satu sumber terdapat beberapa metode pengukuran produktivitas (Diewert, 1992; Rogers, 1998).
Jorgenson dan Griliches (1967) menggunakan rasio harga output terhadap biaya input. Biaya input pada metode ini diasumsikan terdiri dari biaya tenaga kerja, modal, dan/atau material. Nilai tambah, sebagai suatu ukuran yang dihasilkan dari proses pengurangan antara output terhadap biaya material, dijadikan alternatif pengukuran produktivitas yang diajukan oleh Morrison (1993). Produktivitas multi faktor diajukan oleh Aspen (1990) untuk mengukur tingkat produktivitas pada level agregat.
Peningkatan volume input mengakibatkan peningkatan biaya. Jika peningkatan biaya lebih rendah dibandingkan peningkatan penerimaan akibat peningkatan output, maka skala produksi dikategorikan efisien atau economies of scale. Secara jangka panjang, Learning curve digunakan untuk mengetahui peningkatan produktivitas tenaga kerja akibat semakin berpengalaman dan terampil.
Peningkatan produksi yang disertai penurunan biaya
input rata-rata merupakan capaian efisiensi atau skala
ekonomis (increasing return to scale). Peningkatan output
dalam jangka panjang tetap dapat efisien akibat hasil
learning yang dilakukan secara terus menerus. Efek learning
mampu menurunkan biaya input rata -rata.
Gambar 1.2 Skala Ekonomi dan Learning
Biaya tenaga kerja menjadi lebih efisien dibandingkan volume output yang dihasilkannya. Jika efek dari proses learning juga mengena pada input yang lain seperti kapital dan lainnya, maka efek learning adalah tingkat peningkatan biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat peningkatan volume output. Selanjutnya berbekal kurva learning, ekspansi yang dilakukan akan menghasilkan pertumbuhan produktivitas disertai oleh pertumbuhan aset dan
7
BAB 1 Konsep Daya Saing
kesempatan kerja. Dampak terhadap kesempatan kerja inilah yang menghubungkan pertumbuhan daya saing dan pembangunan ekonomi.
Pengukuran efisiensi perusahaan atau industri merupakan aspek dari pengukuran produktivitas.8 Terdapat 3 (tiga) metode yang dapat digunakan dalam mengukur efisiensi, yaitu data envelopment analysis, stochastic production frontier, dan data panel. Data Envelopment Analysis (DEA) mengasumsikan data bersifat non-parametrik, sedangkan Stochastic Production Frontier (SPF) mengasumsikan data bersifat parametrik dan terdapat kemungkinan adanya error dalam proses pengukuran output maupun input.9 Pada metode data panel, residual yang diasumsikan konstan sepanjang waktu merupakan ukuran yang digunakan untuk inefisiensi suatu perusahaan atau industri (Greene, 1993).10
Selain kemampuan mengelola faktor internal dalam transformasi input menjadi output secara efisien, produktivitas perusahaan atau industri ditentukan juga oleh faktor eksternal. Lingkungan bisnis yang kondusif dan persaingan sehat merupakan faktor eksternal yang kesuksesannya diindikasikan oleh membesarnya ukuran pasar. Kondisi ideal adalah peningkatan pangsa pasar suatu perusahaan tidak memaksa perusahaan lain untuk exit karena tidak mendapat profit. Pemerintah harus mencegah terjadinya status quo akibat ‘zero-sum’. Yang ideal adalah ‘positive-sum’. Kondisi makroekonomi, politik dan sosial suatu negara yang stabil akan memudahkan peningkatan daya saing.
Pemerintah dapat berperan menciptakan skala ekonomis melalui pembangunan cluster.11 Di Indonesia dikenal sebagai kawasan industri, kawasan ekonomi khusus, hingga sentra. Pembangunan infrastruktur menggunakan dana pemerintah. Beberapa kawasan industri bahkan sudah dibangun dan dikelola oleh swasta. Lingkungan persaingan untuk membangun daya saing akan lebih mudah diwujudkan jika perusahaan-perusahaan berlokasi dalam suatu cluster.
8 Grosskopf (1993) mendefinisikan pertumbuhan produktivitas terjadi akibat adanya perubahan
pada efisiensi, yaitu sejauh mana perubahan terjadi dari adopsi teknologi yang dilakukan pada proses produksi.
9 DEA berbentuk pemrograman matematika yang pertama kali diajukan oleh Farrell (1957) dan Koopmans (1951), adapun SPF pertama kali dibahas oleh Bauer (1990) dan Greene (1990). Pembahasan terkait respon atas metode DEA yang tidak mengekspos kemungkinan adanya randomness dalam variabel input dan output yang digunakan.
10 Nilai inefisiensi berada pada rentang 0 (nol) hingga 1 (satu). Pengurangan terhadap nilai 1 (satu) menghasilkan angka efisiensi perusahaan atau industri.
11 A cluster is a geographic concentration of related companies, organizations, and institutions in a particular field that can be present in a region, state, or nation. Clusters arise because they raise a company's productivity, which is influenced by local assets and the presence of like firms, institutions, and infrastructure that surround it.
8
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Pendekatan Pembangunan Daya Saing
Pembangunan daya saing saat ini ditawarkan melalui 4 (empat) prinsip ekonomis yaitu:
(1) Positive-sum
Pendekatan dan strategi bersaing dalam menghadapi persaingan global dan domestik yang ketat namun mampu mendapatkan akumulasi keuntungan atau benefit yaitu ‘positive-sum strategy’.12 Outcome dari pendekatan ini adalah akumulasi dari keuntungan dan kerugian yang jumlahnya positif. Hasil ini hanya mungkin jika ada ekspansi sehingga kue yang berpeluang dinikmati membesar sehingga distribusinya diantara berbagai pihak dapat lebih besar. Perbesaran kue tersebut dapat dilakukan dari sumber eksternal atau melalui kegiatan integrasi untuk menekan biaya. Namun, integrasi tersebut umumnya dilakukan melalui diskusi atau negosiasi dengan memperhatikan perbedaan kepentingan untuk mendapatkan positive sum result.
Pembangunan daya saing saat ini harus mampu mendorong berbagai faktor atau determinan daya saing untuk bergerak dan saling mendukung. Ada relasi intra-faktor pendorong daya saing dan dengan kinerja pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan ketimpangan. Untuk penerapannya, eksekutor kebijakan daya saing baik di tingkat pemerintah dan pelaku usaha swasta harus memiliki mutual advantages yang menetes kepada kemakmuran masyarakat. Seperti contoh pengembangan teknologi dan pengetahuan yang dianggap sebagai faktor penting peningkatan daya saing harus didasarkan atas platform kebijakan yang mampu mengakselerasi sasaran keuntungan dan benefit yang diterima negara, pelaku usaha swasta, dan masyarakat.
(2) Efisiensi dinamis
Persaingan yang sehat akan meningkatkan kemakmuran jika terjadi efisiensi ekonomi secara dinamis, yaitu pemanfaatan dan alokasi produksi mengakibatkan seseorang menjadi lebih baik (sejahtera) tanpa membuat orang lain berkurang kesejahteraannya.13 Secara makro, efisiensi ekonomi dicapai dengan target mewujudkan golden rule of saving.14 Artinya, pembangunan daya saing harus menghasilkan outcome yaitu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari tingkat bunga riil. Bagi perekonomian yang mengalami kesulitan meredam tingkat inflasi seperti 12 Positive-sum, zero-sum dan negative-sum adalah konsep dalam game theory untuk dapat
mengkalkulasi outcome sebagai hasil dari berbagai alternatif strategi. Outcome dapat berupa sejumlah uang (return, profit) atau benefit yang disasar oleh masing-masing pihak yang bersaing. Nomenklatur ini berbeda dengan win-lose, win-win, dan lose-lose.
13 Pareto Optimum 14 Konsep golden rule of saving adalah jika terjadi efisiensi dinamis yaitu ditandai oleh suku bunga
riill (real interest rate) lebih rendah dari tingkat pertumbuhan pendapatan riil per-kapita
9
BAB 1 Konsep Daya Saing
Indonesia, akan berakibat pelaku usaha swasta dan masyarakat kesulitan untuk efisien.
Mudahnya, jika perekonomian mencatat tingkat inflasi tertentu, maka pertumbuhan produktivitas harus lebih tinggi dibandingkan tingkat inflasi. Maka dari itu, perlu intervensi pemerintah untuk membuahkan efisiensi eksternal bagi pelaku usaha dan masyarakat.
(3) Riset dan Inovasi
Kinerja riset untuk pengembangan (R&D) dan inovasi pada suatu negara terbukti akan menentukan capaian daya saing dan penumbuhan daya saing di jangka menengah dan jangka panjang. Kegiatan R&D yang dimaksud adalah kegiatan yang berbasis ilmu pengetahuan untuk menghasilkan alternatif solusi prioritas bukan hanya untuk solusi masalah efisiensi atau produktivitas yang dihadapi, melainkan juga untuk membangun daya saing di masa mendatang.
Selanjutnya, volume dan kesesuaian R&D berperan penting dalam menumbuhkan kapasitas perusahaan dan masyarakat untuk melakukan inovasi yang berorientasi pada penumbuhan daya saing ekonomi. Inovasi dimaksud adalah untuk memperbaiki metode produksi, mengurangi biaya, dan meningkatkan kualitas produk sesuai dengan kebutuhan pasar.
Pemerintah dan perusahaan selayaknya mengalokasikan anggaran R&D secara signifikan agar tercapai ekspektasi peningkatan kinerja. Namun, data menunjukkan bahwa anggaran R&D di Indonesia relatif rendah sehingga menyulitkan penumbuhan inovasi secara masif. Saat ini praktis belum ada insentif jika meningkatkan dana R&D.
(4) Aglomerasi dan pengembangan wilayah
Prinsip pembangunan daerah dalam konteks pembangunan nasional adalah pembangunan daya saing daerah bukan dicapai atas eksploitasi sumber daya alam yang dimiliki, melainkan mengombinasikannya dengan inovasi, kreativitas, knowledge, teknologi, nilai sosial budaya, toleransi, social networks, trust, responsibility, dan nilai bermasyarakat yang positif. Kombinasi tersebut ditujukan dalam rangka menciptakan proses dan keberlanjutan pembangunan yang mampu mengajak masyarakat lokal untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya melalui etos kerja produktif. Semangat entrepreneurship menjadi lokomotif transformasi sumber daya menjadi intellectual capital, value added, pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
10
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
1.2 Review Konsep Daya Saing
Daya saing menurut teori ekonomi tradisional diartikan sebagai absolute advantage, yang kemudian menjadi comparative advantage menurut Ricardo. Heckscher dan Ohlin (H-O) kemudian menjelaskan terbangunnya comparative advantage diwujudkan akibat keunggulan dalam faktor endowments. Saat ini, relevansi teori tersebut mengalami pengayaan karena persaingan global yang semakin tinggi. Adam Smith (1976) dalam Wealth of Nations menjelaskan konsep daya saing melalui intensitas perdagangan internasional suatu negara melalui strategi division of labour. Spesialisasi, kerja sama, dan pertukaran dalam pasar persaingan menjadi semangat untuk menumbuhkan daya saing. Walaupun konsep daya saing terus diperkaya, namun teori lama masih relevan digunakan, seperti kontribusi Ricardo yang menjelaskan bahwa comparative advantage muncul akibat adanya perbedaan produktivitas tenaga kerja antar negara. Adapun model H-O menegaskan bahwa comparative advantage terbangun akibat intensifikasi suatu faktor produksi, yaitu apakah lebih intensif dalam penggunaan kapital atau tenaga kerja. Selanjutnya Leontief Paradox membantah model H-O yaitu adanya faktor penting tenaga kerja terampil yang dapat memperkuat faktor kapital.
Vernon (1966) berargumentasi bahwa keunggulan atas suatu produk tertentu bisa tidak bertahan karena product cycle yaitu produk tersebut sudah masuk tahap maturity bahkan decline, akibat kegiatan invensi dan inovasi dalam memproduksi produk baru sehingga produk lama menjadi decline. Dari perspektif teori ekonomi, terjadi pergeseran preferensi dan selera atas produk tertentu karena adanya produk substitusi yang lebih menjanjikan utilitas lebih tinggi.
Secara praktis, daya saing kemudian dipahami sebagai refleksi kekuatan suatu negara atau daerah akibat dimilikinya keunggulan. Keunggulan dalam menghasilkan suatu produk diukur dari perspektif kepemilikan factor endowments, kemampuan menguasai pasar, kemampuan produksi dengan skala ekonomis disertai efisiensi, dan jaminan keberlangsungan keunggulan tersebut.
Kinerja daya saing secara sederhana diukur oleh pertumbuhan produktivitas akibat peningkatan skala ekonomis dan efisiensi dalam berproduksi. Produktivitas yang meningkat membantu akumulasi nilai tambah yang juga meningkat sehingga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Secara teori, akumulasi nilai tambah akibat pertambahan produksi yang efisien sebagai efek dari akumulasi kapital fisik, tenaga kerja, dan human capital, seperti dijelaskan dalam new growth theory.
Dengan fokus pada penumbuhan daya saing, maka selain terjadi peningkatan nilai tambah, juga berdampak pada perluasan kesempatan kerja dan peningkatan ekspor. Namun, persoalan pelemahan ekonomi global dalam dekade terakhir yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang rendah,
11
BAB 1 Konsep Daya Saing
serta tingkat pengangguran yang tinggi, membawa persoalan terhadap penumbuhan daya saing karena meningkatnya ketidakpastian global yang menyulitkan perluasan dan penciptaan pasar, bahkan bagi produk unggulan sekalipun.
Namun demikian, peluang penciptaan pasar baru tetap ada karena kekuatan inovasi yang terus tumbuh disertai oleh kecepatan difusi informasi dan komunikasi sejalan dengan kemajuan teknologi informasi yang membantu dalam penciptaan pasar yang baru. Belajar dari Korea Selatan yang mampu terus meningkatkan produk elektronik yang dilakukan melalui dua saluran, yaitu peningkatan ukuran pasar yang sesuai dengan perusahaan Korea (domestik) dan terus menumbuhkan produktivitas dan inovasi yang mana perusahaan domestik harus responsif terhadap meningkatnya persaingan pasar global, tumbuhnya talenta, dan kemajuan teknologi.
Energi daya saing adalah responsif terhadap dinamika pasar global, perdagangan internasional, investasi, dan mobilitas sumber daya manusia bertalenta. Daya saing ekonomi harus dibangun tidak hanya di level negara, namun juga di level daerah dan tentu di level perusahaan.
Menghadapi pelemahan pertumbuhan ekonomi yang berlanjut, stimulus fiskal dan moneter serta re-regulasi keuangan saja tidak cukup. Untuk menghidupkan kembali tingkat produktivitas yang tumbuh rendah dan menemukan kembali sumber pertumbuhan ekonomi melalui inovasi, penciptaan lapangan kerja dan pengembangan perdagangan menjadi isu kebijakan penting di hampir semua negara.
Bagi Indonesia, peluang sangat besar karena dimilikinya ukuran pasar domestik yang besar dan kepemilikan sumber daya alam yang melimpah. Tantangannya adalah harmonisasi penumbuhan daya saing di level daerah dan pusat dengan reformasi struktur produksi nasional untuk menumbuhkan produktivitas produk unggulan yang meningkat skala ekonomis dan efisiensinya.
Konsep daya saing daerah mulai dibangun pada tahun 1970-an ketika banyak peneliti menangkap fenomena dinamisasi yang terjadi pada lokasi industri dan faktor-faktor yang menentukan lokasi dari aktivitas ekonomi (Vukovic et al., 2012). Daerah dipandang sebagai suatu wilayah aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada suatu wilayah meningkat akibat ketersediaan atau dekat dengan sumber daya alam, tenaga kerja, dan kemudahan akses pasar. Kegiatan produksi tinggi yang diikuti oleh adanya perkembangan teknologi serta inovasi. Perbesaran skala ekonomis produksi di suatu wilayah akan memunculkan ekternalitas ekonomi (Marshall, 1890), yang kemudian diterjemahkan dalam penumbuhan kawasan industri, hingga konsep megapolitan.
12
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Pembangunan daya saing melalui pendekatan kawasan industri diintroduksi oleh Porter (1990) yang selanjutnya mengundang berbagai penelitian tentang daya saing (Vukovic et al., 2012). Porter (1990) menyatakan bahwa berkumpulnya banyak perusahaan yang saling berhubungan dan/atau bersaing, ketersediaan input, dan pemasok dalam suatu kawasan akan memunculkan keunggulan kompetitif. Lengyel (2009) memaparkan pentingnya terdapat suatu kawasan industri yang mampu menghasilkan eksternalitas melalui aglomerasi ekonomi dan didukung oleh linkages yang terjadi pada setiap rantai aktivitas produksi.
Lengyel (2009) memaparkan beberapa faktor yang mampu mendorong daya saing daerah, antara lain (1) fundamental kesuksesan (struktur ekonomi, kemampuan tenaga kerja, lingkungan, aktivitas inovasi, struktur sosial, dan identitas wilayah), (2) faktor pembangun (R&D, infrastruktur, human capital, investasi, UMKM, kelembagaan), (3) karakteristik spesifik kawasan industri, dan (4) interdependensi antar faktor dan kawasan industri. Direkomendasikan dilakukannya upaya sistematik dalam mencapai keunggulan daerah yang bersifat bottom-up dan terkoneksi dengan praktik perkembangan kawasan industri. Fujita (1988), Krugman (1991), dan Venables (1996) juga menyatakan bahwa faktor lokasi atau aglomerasi ekonomi merupakan faktor penting dalam penumbuhan daya saing daerah. Faktor penting lainnya adalah tingkat produktivitas dan kesejahteraan.
Penyerapan tenaga kerja yang tinggi dan peningkatan pendapatan juga merupakan indikator dalam menilai kemampuan berdaya saing suatu wilayah (European Commission, 1999; Lengyel, 2004). Terdapat model daya saing daerah yang meyakini pentingnya perdagangan dalam memacu perekonomian suatu daerah. Kinerja ekonomi daerah antara lain diukur dari dimilikinya industri yang berorientasi ekspor di suatu wilayah (Armstrong & Taylor, 2000; McCan, 2001). Peningkatan ekspor merupakan ukuran peningkatan daya saing daerah yang mengindikasikan tingkat pertumbuhan permintaan di pasar. Model tersebut juga bergantung pada tingkat pertumbuhan pendapatan dan produktivitas (Dixon & Thirwall, 1975; Krugman, 1991). Peningkatan daya saing selain berdampak pada perbaikan kinerja perusahaan, juga mampu berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Ukuran produktivitas merupakan kunci utama daya saing daerah (Porter, 1990; Krugman, 1994; O’Mahony & Van Ark, 2003; Kitson et al., 2004; Sapir et al., 2004; European Commission, 2003, 2007, 2010, 2011). Porter (1990) melalui Model Diamond membahas interaksi dari empat faktor yang dapat mendorong daya saing, antara lain (i) strategi perusahaan, struktur, dan pesaing, (ii) kondisi faktor produksi, (iii) kondisi permintaan, dan (iv) kondisi industri terkait & pendukung. Interaksi yang terjadi dari keempat faktor tersebut dapat mendorong upaya
13
BAB 1 Konsep Daya Saing
peningkatan produktivitas, inovasi, dan ekspor. Kemampuan menjaga tingkat produktivitas tinggi dan cenderung meningkat sepanjang waktu adalah hal utama dalam upaya meningkatkan kualitas hidup, yang menentukan daya saing suatu daerah (Porter, 1998).
Gambar 1.3 Model Diamond Porter Sumber: Porter (1990)
Untuk bekerja secara sinergi, keempat faktor memerlukan iklim makro yang kondusif. Faktor di tingkat makro yang bersifat eksogen adalah stabilitas makroekonomi dan politik. Di tingkat meso, faktor ketersediaan input saja tidak cukup, diperlukan faktor human capital yang mencirikan kualitas manusia sebagai faktor infrastruktur sosial masyarakat yang terbukti sebagai determinan daya saing ekonomi yang penting. Selain itu, efektivitas pemerintah daerah dan desentralisasi penyusunan kebijakan promosi daya saing merupakan kelembagaan politik yang juga penting.
Di tingkat mikro, perusahaan atau unit usaha harus mampu mengolah secara optimal keempat faktor yaitu input atau faktor produksi, permintaan dan pasar, industri pendukung, dan kemampuan bersaing perusahaan, untuk tujuan menumbuhkan skala ekonomi perusahaan dan industri sekaligus sebagai pemunculan daya tarik daerah untuk mengundang perusahaan investor baru. Diperlukan kelembagaan yang harus berperanan, yaitu:
(1) Perusahaan atau industri, yang mempunyai rekam jejak keunggulan sehingga menjamin peningkatan kinerja bisnis dan produktivitas
(2) Pasar output bekerja efisien sehingga terwujud harga pasar yang efisien
(3) Pasar tenaga kerja yang efisien, yang akan mendorong tenaga kerja semakin terampil, kompeten, dan produktif disertai kenaikan upah
Strategi Perusahaan, SStruktur & Persaingan
Kondisi Permintaan
Industri Terkait & Industri Pendukung
Kondisi Faktor PProduksi
14
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
(4) Sistem keuangan dan perbankan yang efisien, yang akan menyediakan
pembiayaan yang efisien.
Untuk mendukung berperannya keempat aktor tersebut, peranan
pemerintah diperlukan untuk membangun:
(1) Iklim bisnis yang pro-kinerja ,
(2) Infrastruktur fisik,
(3) Infrastruktur knowledge.
Merujuk Budd and Hirmis (2004), perusahaan atau industri yang berlokasi
di daerah harus mengembangkan daya saing kompetitif (competitive advantage)
dengan mendorong peningkatan produktivitas. Pemerintah daerah harus
mendorong pengembangan spesialisasi industri berbasis daya saing komparatif
(comparative competitiveness). Keduanya harus terakselerasi melalui strategi
pengembangan daya saing daerah.
Relevansi konsep daya saing tersebut dapat digunakan untuk membangun
daerah di Indonesia secara bekualitas, menggunakan pendekatan baru, yaitu
berbasis pengembangan daya saing daerah yang bukan hanya sekedar
meningkatkan produktivitas menghadapi era persaingan global dan regional
namun harus disertai dengan efeknya terhadap kesejahteraan masyarakat yang
terus membaik dan merata. Pendekatannya adalah mengembangkan kemampuan
daerah untuk meningkatkan daya tarik baik bagi eksternal maupun masyarakat
lokal agar mampu bersinergi meningkatkan produktivitas semua elemen
masyarakat yang meliputi pelaku usaha, pemerintah, dan individu masyarakat.
Targetnya adalah menjamin masyarakat akan mudah mendapat pekerjaan dan
bekerja produktif. Pelaku usaha harus mampu meningkatkan produktivitas yang
berorientasi pada peningkatan nilai tambah. Demikian pula kelembagaan
pemerintah harus mengakselerasi dan mendukung penciptaan nilai tambah yang
dilakukan oleh pelaku usaha dan masyarakat. Konsep membangun daya saing
melalui peningkatan produktivitas menjadi gagal jika tidak mampu memunculkan
dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Beberapa peneliti mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan
daerah dalam menjaga tingginya aktivitas ekonomi dan menjamin peningkatan
kualitas hidup masyarakatnya secara berkelanjutan (Poot, 2000; European
Commission, 2001; Porter & Ketels, 2003; Cooke, 2004). Maka, konsep daya saing
daerah, selain berorientasi pada aktivitas ekonomi, juga menekankan pentingnya
kualitas hidup masyarakat daerah tersebut.
Kitson et al. (2004) pada penelitiannya mengenai daya saing daerah
memaparkan beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mengukur daya
saing daerah, antara lain (1) human capital (kemampuan dan kualitas tenaga kerja),
15
BAB 1 Konsep Daya Saing
(2) social-institutional capital (keeratan dan orientasi dari jaringan sosial dan struktur
institusi), (3) cultural capital (jumlah dan kualitas aset dan fasilitas budaya), (4)
infrastructural capital (skala dan kualitas infrastruktur publik), (5) knowledge/creative
capital (keberadaan kelas kreatif dan inovatif), (6) productive capital (efisiensi dari
kegiatan produksi). Faktor kualitatif (sosial) yang dicoba ditangkap Kitson et al.
(2004) adalah dalam upaya memberikan perspektif pentingnya memerhatikan
kualitas hidup dalam mengukur daya saing daerah.
Untuk percepatan penumbuhan daya saing suatu daerah, secara
konseptual, ditandai oleh meningkatnya skala ekonomis pada industri atau sektor
di daerah. Pemerintah dapat berperan dan memfasilitasi untuk meningkatkan skala
ekonomis yang bersumber dari:
(1) Internal economies, yaitu peningkatan efisiensi yang bersumber dari internal
perusahaan
(2) Localization economies, yaitu peningkatan efisiensi akibat terjadinya interaksi
antara perusahaan –perusahaan suatu industri dalam lokalisasi tertentu
(3) Urbanization economies, yaitu peningkatan efisiensi akibat interaksi antar
sektor/industri
(4) Agglomeration economies hasil interaksi atas efek localization economies dalam
memunculkan terbangunnya industri lain dan urbanization economies
1.3 Kerangka Pembangunan Daya Saing Daerah
Merujuk pada Besanko (2013), pengembangan daya saing oleh daerah tidak
lain adalah penciptaan nilai (value creation) yang dilakukan secara terus menerus.
Dari sisi pelaku usaha atau produsen, penciptaan nilai dilakukan melalui target
margin sebagai selisih antara harga dan biaya. Mereka harus menjaga agar biaya
selalu dibawah harga pasar. Tekanan persaingan yang meningkat mengancam
berkurangnya margin jika mereka bekerja tidak efisien dan tidak inovatif. Dari sisi
konsumen, penciptaan nilai dibangun melalui diperolehnya benefit akibat
terjangkaunya harga atas produk yang dibelinya. Peningkatan pendapatan
konsumen mendorong meningkatnya permintaan atas produk yang semakin
beragam dan berkualitas namun dengan harga yang tetap terjangkau. Secara
agregat, konsep penciptaan nilai terealisasikan jika benefit melebihi biaya, atau
dengan kata lain adanya surplus yang dirasakan baik oleh konsumen maupun
produsen.
Kerangka pengembangan daya tarik ekonomi suatu daerah sebagai ukuran
pengembangan daya saing ekonomi Jawa Barat harus dalam kerangka lingkungan
makro dan global yang terintegrasi baik di dalam jangka pendek dan jangka
panjang. Keterbukaan ekonomi suatu daerah menjadi syarat pengembangan daya
16
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
saing ekonomi melalui kemudahan interaksi daerah merespon perkembangan dinamis global. Dibutuhkan knowledge dan inovasi agar menjadikan perkembangan global menjadi suatu peluang ekonomi. Kegiatan riset, pendidikan dan inovasi menjadi penciri kemampuan daerah mampu berinteraksi dengan global. Krugman (2015) melakukan koreksi bahwa ukuran daya saing melalui peningkatan ekspor saja tidak cukup jika tidak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Lebih lanjut, Krugman mencontohkan bahwa pembangunan daya saing atau competitiveness kerap identik dengan kebijakan tidak populer dari sisi pemerintah baik pusat maupun daerah karena membangun daya tarik daerah atau negara kerap identik dengan pengurangan beban pajak bagi para pelaku usaha termasuk pelaku usaha asing. Kebijakan deregulasi keuangan dan kebijakan industrial untuk membangun daya tarik juga kerap dipersepsikan merugikan kepentingan pelaku usaha lokal.
Bagi suatu daerah, apakah provinsi, kota, maupun kabupaten, dikategorikan memiliki daya saing jika memiliki kemampuan untuk terus menumbuhkan unit usaha eksisting, menarik investor, dan mengundang unit usaha baru untuk menjalankan usaha di daerah tersebut. Indikator tumbuhnya daya saing perusahaan dan industri adalah peningkatan pangsa pasar perusahaan dan industri tertentu serta memunculkan dampak terhadap peningkatan standar hidup masyarakat di daerah tersebut (Storper, 1997; Kitson et al., 2004).
Lingkup daya saing daerah harus mampu mengintegrasikan kekuatan mikro, meso, dan makro. Meyer-Stamer (2008) menyatakan bahwa daya saing suatu daerah adalah kemampuan lokal atau daerah untuk meningkatkan pendapatan yang relatif tinggi dan terus meningkat serta meningkatkan livelihood atau kesejahteraan masyarakat setempat. Membangun daya saing daerah bermula dari adanya gerakan para pelaku usaha di level mikro untuk meningkatkan efisiensi, kualitas, fleksibilitas, responsif, dan perilaku stratejik. Peningkatan produktivitas berbasis knowledge sebagai pendekatan pengembangan daya saing merupakan strategi efektif untuk penciptaan wealth, bagi masyarakat (pendapatan), pelaku bisnis (laba), pemerintah (pajak), penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan nilai tambah. Pemerintah dapat menyusun kebijakan pro-daya saing termasuk penyediaan infrastruktur fisik seperti transportasi, kawasan industri, fasilitasi pengembangan teknologi, promosi ekspor, dan kebijakan spesifik pengembangan daya saing industri.
Strategi yang dijalankan suatu daerah dalam menumbuhkan keunggulan bersaing menurut Porter (1990-2011) berbasis pada human capital dan ketersediaan sumber daya alam untuk menghasilkan output yang berkualitas, bersaing di pasar, dan menciptakan permintaan pasar yang terus meningkat. Human capital sebagai karakteristik sumber daya manusia yang berkualitas, dicirikan melalui kemampuan, keterampilan, atau tingkat pendidikan yang dimiliki oleh tenaga kerja
17
BAB 1 Konsep Daya Saing
dan angkatan kerja. Peningkatan pendidikan dan pengetahuan secara terus-menerus pada kelompok tenaga kerja akan berdampak pada tingkat pertumbuhan output dalam jangka panjang (Lucas, 1988; Mankiw et al., 1992; Coulombe & Tremblay, 2001). Pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga kerja dan angkatan kerja diyakini merupakan faktor input penting dalam proses inovasi (Nelson & Phelps, 1966).
Inovasi secara luas diyakini sebagai salah satu faktor dasar bagi kinerja perusahaan dan industri (McLean & Round, 1979; Phillips, 1997; Rogers, 1998). Inovasi diartikan sebagai implementasi atas suatu ide baru atau pengembangan produk, proses, metode pemasaran, atau metode kerja, organisasi, dan hubungan eksternal yang signifikan terhadap peningkatan nilai tambah. Kegiatan inovasi terdiri dari kegiatan teknologi dan non-teknologi (Phillips, 1997). Dua orientasi inovasi adalah perbaikan kualitas dan nilai tambah. Ukuran keberhasilan inovasi adalah peningkatan pangsa pasar perusahaan, terbangunnya industri berdaya saing, serta peningkatan pendapatan masyarakat, negara, dan daerah.
Pengembangan daya saing industri harus mempunyai target capaian yang terukur dan mengikat, baik bagi pelaku usaha, pemerintah, maupun masyarakat lokal, yang meliputi:
(i) Terjadinya pertumbuhan produktivitas industri yang berkorelasi dengan peningkatan human capital. Peningkatan human capital menjadi penting untuk menjamin keberlanjutan pertumbuhan produktivitas yang mendorong keberlanjutan daya saing yang mendorong praktik pembangunan yang berbasis knowledge-based economy,
(ii) Peningkatan standar hidup masyarakat lokal akibat produktivitas lokal yang tumbuh lebih tinggi dibandingkan produktivitas nasional,
(iii) Tumbuhnya industri yang berbasis keahlian tinggi (high-skill industries) dan adopsi kemajuan teknologi (technology driven industries),
(iv) Pertumbuhan ekspor, baik ke pasar global maupun ke pasar domestik sebagai indikator produk yang dihasilkan mampu bersaing terhadap pesaing asing di pasar global dan pasar domestik. Pasar Indonesia yang sangat besar menjadi peluang peningkatan produktivitas industri,
(v) Perbaikan dari struktur ekspor yang dicirikan oleh semakin meningkatnya proporsi ekspor yang berasal dari selain produk primer (pertanian & pertambangan). Hal ini untuk menguatkan struktur industri yang menghasilkan nilai tambah yang terus meningkat akibat berkembangnya knowledge dan teknologi,
(vi) Mendorong pertumbuhan nilai tambah sektor jasa akibat tumbuhnya knowledge based services,
18
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
(vii) Meningkatnya aliran investasi terutama investasi dari luar daerah (PMDN) maupun asing (PMA) sebagi respon terhadap daya tarik ekonomi daerah sekaligus wujud terjadinya knowledge spillover. Struktur investasi diharapkan sejalan dengan struktur industri dan ekspor,
(viii) Kemampuan catching up daerah melalui terbangunnya aglomerasi industri yang terbentuk alamiah maupun melalui kebijakan pemerintah.
Implikasinya bagi pengembangan daya saing daerah perlu pembangunan yang berbasis pada tiga faktor penting, yaitu human capital dan inovasi, skala ekonomis yang meningkat, dan penguasaan pasar domestik maupun global.
Human capital dan inovasi sebagai faktor pertama merupakan dua entitas yang berhubungan kuat pembentuk daya saing daerah. Human capital menjadi faktor kunci dalam upaya meningkatkan aktivitas ekonomi yang semakin produktif. Akumulasi human capital juga diyakini dapat menjadi faktor input bagi inovasi. Kemampuan, daya olah pikir dari tenaga kerja terampil menciptakan peluang terjadinya inovasi yang mampu mengungkit produktivitas. Akumulasi human capital dan terjadinya inovasi yang melibatkan daya olah pikir mampu menarik perhatian investor untuk melakukan kegiatan produktif di daerah tersebut.
Faktor kedua yaitu mewujudkan skala ekonomis yang terus meningkat di daerah dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu (i) aglomerasi melalui pembangunan kawasan industri, (ii) fokus subsektor atau industri unggulan, (iii) efisiensi rantai pasok, dan (iv) knowledge based services. Pembangunan kawasan industri diyakini mampu memberikan eksternalitas positif, melalui terintegrasinya aktivitas antar sektor, baik sektor hulu-hilir, industri terkait maupun pesaing, dan terjadinya knowledge spillover (Porter, 1990). Manfaat tersebut mampu menciptakan efisiensi dan skala ekonomis bagi perusahaan atau industri yang beraktivitas dalam kawasan industri. Fokus pada subsektor atau industri unggulan merupakan upaya lain untuk meningkatkan pembentukan nilai (value creation) antar sektor terkait sehingga menghasilkan efek multiplier yang besar (Hirschman, 1958). Pada upaya efisiensi rantai pasok, hal tersebut bertujuan untuk memastikan terjaganya kepastian pasokan bagi input dan tersedianya pasar/pengguna bagi output. Adapun membangun skala ekonomis melalui knowledge based services bertujuan untuk memastikan terciptanya efisiensi bagi kesejahteraan jangka panjang (prosperity). Sebagai contoh, penerapan IT (Information Technology) di semua level (sektor input-pasar) menjadi salah satu solusi bagi kecepatan proses, efisiensi waktu dan biaya, serta keakuratan informasi.
Penguasaan pasar, baik pasar domestik maupun global merupakan faktor ketiga yang penting dalam era persaingan yang semakin ketat sekaligus menjadi barometer perbaikan kualitas produk dan pengembangan produksi. Kemampuan
19
BAB 1 Konsep Daya Saing
berinteraksi di pasar membutuhkan intensitas kegiatan riset, kesesuaian pendidikan, dan inovasi yang terus meningkat guna menumbuhkan produksi dan ekspor di dalam jangka menengah dan panjang. Peningkatan aktivitas ekonomi yang berdampak pada penguasaan pasar akan meneteskan efek terhadap peningkatan pendapatan dan perbaikan kualitas hidup masyarakat termasuk akan mengakselerasi akumulasi human capital.
Daftar Pustaka
Armstrong, H. & Taylor, J. 2000. Regional Economics and Policy. Oxford: Blackwell.
Aspen, C. 1990. “Estimates of Multifactor Productivity, Australia”. ABS Occassional Paper 5233.0, Canberra: AGPS.
Bank Indonesia dan LP3E FE Unpad. 2008. Profil Pemetaan dan Daya Saing Ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bauer, P. W. 1990. “Recent Developments in the Econometric Estimation of Frontiers.” Journal of Econometrics. Vol. 46 (1-2), pp. 39-56.
Cooke, P. 2004. “Competitiveness as Cohesion: Social capital and the knowledge economy.” in Boddy, M. & Parkinson, M. City Matters: Competitiveness, Cohesion, and Urban Governance, pp. 153-170.
Coulombe, S. And J. F. Tremblay. 2001. “Human Capital and Regional Convergence in Canada.” Journal of Economic Studies. Vol.28 (2), pp.199-223.
Diewert, W.E. 1992. “The Measurement of Productivity.” Bulletin of Economic Research Vol. 44(3), pp.163-198.
Dixon, R., and A. P. Thirwall. 1975. “A Model of Regional Growth-Rate Differences on Kaldorian Lines.” Oxford Economic Papers. Vol. 27(2), pp. 201-214.
European Commission. 1999. Sixth Periodic Report on the Social and Economic Situation of Regions in the EU. Brussel: European Commission.
European Commission. 2001. Second Report on Economic and Social Cohesion. Brussel: European Commission.
European Commission. 2011. European Competitiveness Report. Brussel: European Commision.
Farrell, M. 1957. “The Measurement of Productive Efficiency.” Journal of the Royal Statistical Society. Vol. A CXX (3), pp. 253-290.
Fujita, M. 1988. “A Monopolistic Competition Model of Spatial Agglomeration: A Differentiated Products Approach.” Regional Science and Urban Economics. Vol. 18, pp. 87-124.
20
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Gardiner, B., Martin, R., and P. Tyler. 2004. Competitiveness, Productivity, and Economic Growth Accross the European Regions. Cambridge: University of Cambridge.
Greene, W.H. 1990. “A Gamma-distributed Stochastic Frontier Model.” Journal of Econometrics. Vol. 466, pp. 141-163.
Greene, W.H. 1993. Econometric Analysis. New York: MacMillan.
Grosskopf, S. 1993. Efficiency and Productivity. In H-O. Fried, C. A. K. Lovell and S.-S. e. Schmidt (ed). The Measurement of Productive Efficiency: Techniques and Applications. New York; Oxford; Toronto and Melbourne: Oxford University Press: 160-194.
Hirschman, A.O. 1958. Interdependence and Industrialization: The Strategy of Economic Development. New Haven: Yale University Press.
Huggins, R. 2007. The UK Competitiveness Index 2006. Sheffield: Robert Huggins Associate.
Indiastuti, R., and A. A. Yusuf. 2013. Daya Saing Ekonomi Nasional: Masalah & Solusi Prioritas. Bandung: Unpad Press. ISBN 978-602-9238-47-1.
Jorgenson, D., and Z. Griliches. 1967. “The Explanation of Productivity Change.” Review of Economic Studies. Vol. 34, pp. 249-283.
Kitson, M., Martin, R., and Tyler, P. 2004. “Regional Competitiveness: An Elusive yet Key Concept?.” Regional Studies. Vol. 38 (9), pp. 991-999.
Koopmans, T. 1951. An Anlysis of Production as an Efficient Combination of Activities. In T. Koopmans (ed.) Activity Analysis of Production Allocation. New York: Wiley.
Krugman, P. 1991. “Increasing Returns and Economic Geography.” Journal of Political Economy. Vol. 99(3), pp.483-489.
Krugman, P. 1994. “Competitiveness: A dangerous obsession.” Foreign Affairs. Vol.73 (2), pp.28-44.
Lengyel, I. 2004. “The Pyramid Model: Enhancing Regional Competitiveness in Hungary.”Acta Economica. Vol. 54(3), pp. 323-342.
Lengyel, I. 2009. “Bottom-up Regional Economic Development: Competition, Competitiveness, and Clusters.” Regional Competitiveness, Innovation, and Environment, pp.13-38.
Lucas, R.E. 1988. “On the Mechanics of Economic Development.” Journal of Monetary Economics. Vol.22 (1), pp. 3-42.
21
BAB 1 Konsep Daya Saing
Mankiw, N.G., Romer, D., and D.N Weil. 1992. “A Contribution to the Empirics of Economic Growth.” Quarterly Journal of Economics. Vol. 107 (2), pp. 407-437.
Marshall, A. 1890. Principles of Economics. London: MacMillan.
McCan, P. 2001. Urban and Regional Economics. Oxford: Oxford University Press.
McLean, I.W., and D. K. Round. 1979. “Research and Product Innovation in Australian Manufacturing Industries.” Journal of Industrial Economics. Vol. 27(1), pp.1-12.
Meyer-Stamer, J. 2008. “Systemic Competitiveness and Local Economic Development.” Paper for publication in Shamin Bodhanya (ed.), Large Scale Systemic Change: Theories, Modelling, and Practices.
Morrison, C.J. 1993. A Microeconomic Approach to the Measurement of Economic Performance: Productivity Growth, Capacity Utilization, and Related Performance Indicators. ed.3. New York; Heidelberg; London and Tokyo: Springer.
Nelson, R.R., and E. S. Phelps. 1966. “Investment in Humans, Technological Diffusion, and Economic growth.” American Economic Review. Vol. 56(2), pp.69-75.
O’Mahony. and Van Ark. 2003. EU Productivity and Competitiveness: An Industry Perspective. Can Europe Resume the Catching-up Process?. Luxembourg: European Commission.
Phillips, R. 1997. “Innovation and Firm Performance in Autralian Manufacturing.” Staff Research Paper. Canberra: Industry Commission.
Pindyck, Robert S., and Daniel R. Rubinfeld. 2008. Microeconomics 7e. Prentice Hall Business Publishing Inc.
Poot, J. 2000. Reflectons on Local and Economy-wide Effects of Territorial Competition. In : Batey, P & Friedrich, P. Regional Competition. Springer.
Porter, M. 1990. The Competitive Advantage of Nations. London: MacMillan.
Porter, M. 1998. “Location, Clusters, and the New Economics of Competition.” Business Economics. Vol.33, pp. 7-17.
Porter, M. & Ketels, C. 2003. “UK Competitiveness: Moving to the Next Stage.” DTI Economics Paper.
Rogers, M. 1998. “The Definition and Measurement of Productivity.” Melbourne Institute Working Paper. No.9/98.
Sapir, A., Aghion, P., Bertola, G., Hellwig, M., Pisany-Ferry, J., Rosati, D., Vinals, J., Wallace, H., Buti, M., Nava, M., and P. M. Smith. 2004. An Agenda for a Growing Europe. Sapir Report. New York: Oxford University Press.
22
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Smith, A. 1976. The Wealth of Nations. edited by R.H. Campbell and A. S. Skinner, The Glasgow edition of the Works and Correspondence of Adam Smith. Vol. 2A, pp.456.
Storper, M. 1997. The Regional World: Territorial Development in a Global Economy. New York: Guilford Press.
Venables, A. J. 1996. “Equilibrium Locations of Vertically Linked Industries.” International Economic Review. Vol. 37, pp.341-359.
Vernon, R. 1996. “International Investment and International Trade in the Product Cycle.” The Quarterly Journal of Economics. Vol. 80 (2), pp. 190-207.
Vukovic, D., Jovanovic, A., and M. Dukic. 2012. “Defining Competitiveness through the Theories of New Economic Geography and Regional Economy.” J. Georg. Inst. Cvijic. Vol. 62 (3), pp. 49-64.
23
BAB 2 PRAKTIK PENGUKURAN DAYA SAING
Secara agregat, membangun daya saing identik dengan menumbuhkan daya saing industri atau sektor melalui pengembangan kapabilitas teknologi, ekspansi kapasitas produksi dan investasi infrastruktur yang dilakukan dengan pembagian peranan di antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Pemerintah biasanya menyusun kebijakan intervensi yang selektif untuk membangun keunggulan komparatif sekaligus menciptakan keunggulan kompetitif. Indonesia beruntung karena memiliki sumber daya alam yang jika diolah akan menghasilkan output yang bernilai tambah tinggi. Suatu kekeliruan jika pembangunan daya saing mengabaikan potensi keunggulan berbasis kepemilikan sumber daya.
Merujuk laporan pemeringkatan daya saing di tingkat global maupun regional dapat diketahui posisi Indonesia maupun daerah provinsi. Berikut akan disajikan indikator yang digunakan lembaga tersebut.
2.1. Pengukuran Daya Saing Negara secara Global
Pengukuran daya saing negara secara global salah satunya dilakukan oleh World Economic Forum yang diterbitkan setiap tahun dalam Global Competitiveness Report. Pada laporan tersebut dilakukan pengukuran daya saing terhadap sekitar 140 negara yang diberi bobot dan pemeringkatan berdasar pada beberapa aspek yang dijadikan kerangka pengukuran.
Terdapat 3 aspek utama yang digunakan sebagai ukuran daya saing, antara lain (i) persyaratan mendasar, yang terdiri dari pilar institusi, infrastruktur, kondisi makroekonomi, dan pendidikan & kesehatan dasar; (ii) pendorong efisiensi, yang terdiri dari pilar pendidikan dan pelatihan tingkat lanjut, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pembangunan pasar keuangan, kesiapan teknologi, dan ukuran pasar; (iii) inovasi dan kecanggihan, yang terdiri dari pilar kecanggihan bisnis, dan inovasi. Pada setiap pilar, digunakan beberapa indikator dalam mengukur daya saing seperti yang ditampilkan pada 2.1.
PRAKTIK PENGUKURAN DAYA SAING
2 BAB
24
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Gambar 2.1 Ukuran Daya Saing berdasar Global Competitiveness Index
Sumber: World Economic Forum
Tabel 2.1 Indikator dari Pilar Daya Saing Global Competitiveness Index
Pilar Indikator Pilar 1 : Institusi Hak kekayaan intelektual
Pembiayaan publik Tingkat kepercayaan publik pada politisi Tingkat korupsi Independensi hakim Kecenderungan keputusan pemerintah Tingkat belanja pemerintah yang tak terserap Beban regulasi pemerintah Efisiensi kerangka hukum Biaya bisnis atas terorisme, kriminal, dan kerusuhan Tingkat kriminalitas Standar audit dan pelaporan Kekuatan dalam proteksi investor
Pilar 2 : Infrastruktur Kualitas infrastruktur jalan, kereta, pelabuhan, bandara
Kualitas pasokan listrik Telepon & telepon seluler per kapita
Pilar 3 : Kondisi makroekonomi
Anggaran pemerintah terhadap PDB Tingkat tabungan per PDB Hutang pemerintah per PDB Peringkat hutang negara
Pilar 4 : Pendidikan dan kesehatan dasar
Kasus malaria, TBC, HIV Dampak TBC, HIV terhadap bisnis Tingkat harapan hidup Tingkat kematian bayi Kualitas pendidikan dasar
Persyaratan Dasar
Pilar 1: Institusi
Pilar 2: Infrastruktur
Pilar 3: Kondisi makroekonomi
Pilar 4: Kesehatan & pendidikan dasar
Kecanggihan Bisnis & Inovasi
Pilar 11: Kecanggihan bisnis
Pilar 12: Inovasi
Pendorong Efisiensi
Pilar 5: Pendidikan & pelatihan lanjut
Pilar 6: Efiesiensi pasar barang
Pilar 7: Pembangunan pasar tenaga kerja
Pilar 8: Pembangunan pasar finansial
Pilar 9: Kesiapan teknologi
Pilar 10: Ukuran pasar
Global Competitiveness Index
25
BAB 2 Praktik Pengukuran Daya Saing
Pilar Indikator Pilar 5 : Pendidikan &
pelatihan lanjut Angka partisipasi sekolah (SMP & SMA) Kualitas sistem pendidikan dan manajemen sekolah Kualitas pendidikan matematika & ilmu eksak Akses internet di sekolah Ketersediaan staf pelatih Ketersediaan fasilitas pelatihan
Pilar 6 : Efisiensi pasar barang
Intensitas kompetisi lokal Dominasi pasar Efektivitas kebijakan anti-monopoli Efek pajak terhadap investasi Tingkat pajak Prosedur membuka bisnis Kebijakan tarif Keberadaan perusahaan milik asing Impor per PDB Derajat orientasi konsumen
Pilar 7 : Efisiensi pasar tenaga kerja
Derajat hubungan tenaga kerja-pengusaha Fleksibilitas sistem gaji Praktik rekrutmen dan pemecatan Gaji dan produktivitas Profesionalisme manajemen Partisipasi perempuan dalam lapangan pekerjaan
Pilar 8 : Pembangunan pasar finansial
Ketersediaan & kemudahan akses ke sektor finansial Kemudahan kredit Regulasi perbankan
Pilar 9 : Kesiapan teknologi Ketersediaan teknologi terkini PMA dan transfer/penyerapan teknologi Penggunaan internet per kapita Kualitas sistem jaringan internet
Pilar 10 : Ukuran pasar Ukuran pasar domestik Ukuran pasar luar negeri PDB Ekspor per PDB
Pilar 11: Kecanggihan bisnis Kuantitas dan kualitas pemasok lokal Pembangunan kawasan industri Kondisi competitive advantage Panjang value chain Kontrol terhadap distribusi internasional Kecanggihan proses produksi Keberadaan aspek pemasaran Kemampuan delegasi kekuasaan
Pilar 12: Inovasi Kapasitas inovasi Kualitas institusi riset Pengeluaran perusahaan bagi riset dan inovasi Kolaborasi industri-universitas dalam riset & inovasi Penggunaan produk teknologi oleh pemerintah Ketersediaan peneliti dan insinyur Paten per kapita
Sumber: World Economic Forum
26
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Berdasarkan Global Competitiveness Report 2015-2016, tingkat daya saing Indonesia menempati peringkat 37 dari 140 negara yang dinilai. Dari 12 pilar yang ada, Indonesia memiliki keunggulan di pilar kecanggihan bisnis dan inovasi. Pada pilar kecanggihan bisnis, perkembangan kawasan industri, rantai pasok, dan kualitas pemasaran merupakan beberapa faktor unggul. Adapun pada pilar inovasi, upaya pemerintah dalam menggunakan produk dengan teknologi terkini dan pengeluaran perusahaan bagi riset dan pengembangan adalah beberapa faktor unggul Indonesia.
Tabel 2.2 Daya Saing Negara ASEAN secara Global
Tahun Indonesia Singapura Thailand Malaysia Filipina Jumlah negara
2015 37 2 32 18 47 140
2014 37 2 31 20 52 144
2013 38 2 37 24 59 148
2012 50 2 38 25 65 144
2011 46 2 39 21 75 139
2010 44 3 38 26 85 139
Sumber: World Economic Forum
Merujuk pada beberapa negara tetangga, bersama dengan Filipina, Indonesia merupakan negara yang mengalami peningkatan daya saing tercepat. Indonesia tercatat berada pada peringkat 44 pada 2010 dan meningkat menjadi posisi 37 pada 2015, sedangkan Filipina berada pada posisi 85 pada 2010 dan meningkat menjadi posisi 47 pada 2015. Namun demikian, posisi daya saing Indonesia masih dibawah negara tetangga Singapura, Malaysia, dan Thailand.
2.2 Pengukuran Daya Saing Daerah
2.2.1 Pengukuran Daya Saing Provinsi Secara Regional
Kerangka yang dibangun untuk mengukur daya saing yang dibuat oleh Asia Competitiveness Institute (ACI) antara lain (i) Stabilitas makroekonomi, (ii) peraturan pemerintah dan institusi, (iii) Kondisi keuangan, bisnis, dan tenaga kerja, dan (iv) kualitas hidup dan pembangunan infrastruktur.
Terdapat beberapa indikator yang mewakili setiap pilar. Pengukuran daya saing dilakukan pada level provinsi di setiap negara Asia. Data yang digunakan bersifat kuantitatif dan kualitatif, baik sekunder maupun primer. Dilakukan
27
BAB 2 Praktik Pengukuran Daya Saing
pembobotan untuk setiap indikator dan dihasilkan angka pengukur daya saing
daerah.
Tabel 2.3 Ukuran Daya Saing Regional
Pilar Indikator
Stabilitas makroekonomi
Kondisi ekonomi regional
Keterbukaan terhadap perdagangan dan jasa
Daya tarik bagi investor
Peraturan pemerintah & institusi
Kebijakan pemerintah dan fiskal
Institusi, pemerintah, dan kepemimpinan
Kompetisi, standar kebijakan dan hukum
Kondisi keuangan, bisnis, dan tenaga kerja
Financial deepening dan efisiensi bisnis
Fleksibilitas pasar tenaga kerja
Produktivitas
Kualitas hidup dan pembangunan infrastruktur
Infrastruktur fisik
Infrastruktur teknologi
Standar hidup, pendidikan, dan stabilitas sosial
Sumber: Asia Competitiveness Institute
Pengukuran daya saing di tahun 2014 menghasilkan DKI Jakarta sebagai
urutan pertama, diikuti oleh Jawa Timur, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, dan
Jawa Barat. Posisi Jawa Barat mengalami penurunan dibanding tahun 2013 yang
berada pada posisi empat. Adapun 5 (lima) provinsi yang berada pada peringkat
terendah antara lain Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Papua, Nusa Tenggara Timur,
dan Maluku Utara. Dapat dilihat bahwa provinsi-provinsi Indonesia bagian timur
berada di posisi terendah dan wilayah Indonesia bagian barat mencatat peringkat
daya saing tinggi.
Tabel 2.4 Peringkat Daya Saing Provinsi secara Regional
Peringkat Provinsi
Peringkat Provinsi
2014 2013 2014 2013
1 1 DKI Jakarta 29 18 Sulawesi Tenggara
2 2 Jawa Timur 30 27 Bengkulu
3 3 Kalimantan Timur 31 24 Papua
4 5 Jawa Tengah 32 33 Nusa Tenggara Timur
5 4 Jawa Barat 33 32 Maluku Utara
Sumber: Asia Competitiveness Institute
28
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Jawa Barat memiliki keunggulan pada komponen kondisi makroekonomi
dan kondisi keuangan, bisnis, dan tenaga kerja. Komponen kualitas hidup &
pembangunan infrastruktur Jawa Barat tercatat masih rendah. Adapun komponen
peraturan pemerintah dan institusi merupakan komponen yang juga relatif rendah
namun mengalami peningkatan yang cenderung signifikan.
2.2.2 Pengukuran Daya Saing Ekonomi Kabupaten/Kota secara Nasional
Pengukuran daya saing ekonomi kabupaten/kota secara nasional
dilakukan oleh PPSK Bank Indonesia bekerja sama dengan LP3E FE Unpad.15
Pengukuran daya saing yang dilakukan menggunakan data tahun 2005 terhadap
434 kabupaten/kota di Indonesia, dengan mengeluarkan Provinsi DKI Jakarta dari
sampel. Digunakan metode penarikan opini para pakar (expert opinion polling)
sebagai penentuan bobot, penghitungan indeks, dan pemetaan (scoring) daya saing
daerah kabupaten/kota. Indikator yang digunakan dalam pengukuran daya saing
daerah dibagi ke dalam komponen input dan output. Tabel 2.5 menampilkan
indikator-indiaktor yang digunakan dalam pengukuran daya saing
kabupaten/kota secara nasional.
Tabel 2.5 Indikator-Indikator Pembentuk Daya Saing Daerah
Indikator Sub-indikator Variabel
INPUT
1. Perekonomian Daerah Produktivitas sektoral Produktivitas sektor primer Produktivitas sektor sekunder Produktivitas sektor tersier
Keuangan daerah Kapasitas fiskal daerah Government size
Keterbukaan, investasi, dan
kemahalan daerah
Potensi ekspor daerah Total investasi perkapita Indeks kemahalan daerah Firm density
2. Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan
Sumber daya manusia Jumlah penduduk Rasio ketergantungan Rata-rata lama sekolah penduduk Angka harapan hidup
Ketenagakerjaan Rata-rata lama sekolah tenaga kerja
Jumlah angkatan kerja Laju pertumbuhan jumlah
angkatan kerja
3. Lingkungan Usaha Produktif
Lingkungan usaha produktif
oleh pemerintah
Belanja pelayanan publik perkapita
Jumlah peraturan daerah yang
15Bank Indonesia (2008)
29
BAB 2 Praktik Pengukuran Daya Saing
Indikator Sub-indikator Variabel
INPUT
bermasalah
Lingkungan usaha produktif oleh masyarakat
Jumlah sektor basis daerah Persentase penduduk dengan
pendidikan tertinggi universitas Poverty gap index Tingkat kepadatan penduduk
4. Infrastruktur, SDA, dan Lingkungan
Kondisi transportasi dan komunikasi
Nilai tambah sektor pengangkutan perkapita
Kondisi jalan menurut kualitas Jumlah sambungan telepon
perkapita Kondisi energi Konsumsi listrik industri dan
rumah tangga perkapita Produksi listrik perkapita Konsumsi BBM industri dan
rumah tangga perkapita Kondisi SDA dan lingkungan Rasio luas lahan produktif
terhadap total luas lahan Sumber daya air per kapita Nilai tambah sektor
pertambangan dan penggalian perkapita
5. Perbankan dan Lembaga Keuangan
Infrastruktur perbankan dan non-bank (koperasi)
Jumlah kantor bank Rasio nilai volume usaha
terhadap jumlah koperasi aktif Kinerja perbankan dan sektor keuangan
Total kredit perbankan DPK NPL Nilai tambah sektor keuangan
perkapita OUTPUT Produktivitas tenaga kerja
PDRB perkapita Tingkat kesempatan kerja
Sumber: PPSK Bank Indonesia & LP3E FE Unpad
Hasil pengukuran daya saing menampilkan Kota Bontang (Kalimantan Timur), Kab.Mimika (Papua), dan Kab. Kutai Timur (Kalimantan Timur) sebagai peringkat teratas daya saing kabupaten/kota di Indonesia. Daerah tersebut tergolong ke dalam daerah yang memiliki keunggulan sumber daya alam, dengan aktivitas ekonomi berbasis industri minyak, gas dan mineral. Beberapa daerah selanjutnya yang termasuk dalam peringkat daya saing tinggi adalah perkotaan dengan konsentrasi pada aktivitas industri dan jasa yaitu Kota Surabaya, Kota Batam, Kota Cilegon, Kota Tangerang, dan Kota Bandung.
30
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Tabel 2.6 Peringkat Daya Saing Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Barat secara Nasional Kabupaten Peringkat Kabupaten Peringkat
Kab. Bekasi 17 Kab. Cirebon 173
Kota Bandung 22 Kota Sukabumi 175
Kab. Bogor 28 Kab. Subang 184
Kota Cirebon 32 Kab. Sumedang 197
Kab. Bandung 43 Kab. Cianjur 206
Kota Bekasi 55 Kab. Ciamis 232
Kab. Indramayu 58 Kab. Majalengka 271
Kota Cimahi 61 Kab. Tasikmalaya 295
Kab. Karawang 64 Kab. Kuningan 300
Kab. Purwakarta 98 Kota Banjar 307
Sumber: PPSK Bank Indonesia & LP3E FE Unpad, 2008
Memperhatikan peringkat daya saing kabupaten/kota di Jawa Barat dalam pemetaan nasional, Kab.Bekasi, Kota Bandung, Kab. Bogor, Kota Cirebon, dan Kab. Bandung merupakan 5 (lima) daerah di Jawa Barat yang memiliki peringkat daya saing tinggi secara nasional. Daerah dengan peringkat daya saing tinggi tersebut umumnya memiliki ciri yang sama, yaitu keunggulan di sisi input, kecuali Kota Cirebon yang mencatat keunggulan di sisi output. Adapun beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat yang mencatat peringkat daya saing rendah secara nasional adalah Kab. Ciamis, Kab. Majalengka, Kab. Tasikmalaya, Kab. Kuningan, dan Kota Banjar. Kelemahan terletak pada sisi output atau produktivitas, kecuali Kota Banjar. Namun demikian, daerah dengan daya saing rendah tersebut mempunyai indikator SDM dan ketenagakerjaan yang baik relatif terhadap indikator lainnya. Hal ini dapat menjadi potensi untuk mendorong keunggulan daerah.
2.3 Pengukuran Daya Saing Industri secara Global
Daya saing industri menurut Industrial Competitivenes Report (UNIDO, 2013) didefinisikan sebagai kapasitas suatu daerah, atau negara dalam upaya meningkatkan peranannya di pasar domestik dan internasional yang diikuti dengan membangun sektor industri yang menghasilkan nilai tambah tinggi dan konten teknologi. Komponen yang dijadikan acuan dalam mengukur daya saing industri pada kerangka ini antara lain (i) nilai tambah industri per kapita, (ii) ekspor industri per kapita, (iii) konten teknologi pada produksi (iv) intensitas
31
BAB 2 Praktik Pengukuran Daya Saing
sektor industri dalam perekonomian, (v) konten teknologi pada produk ekspor, (vi) intensitas ekspor sektor industri, (vii) rasio output industri di pasar global, dan (viii) rasio output industri yang diekspor di pasar global.
Tabel 2.7 Daya Saing Industri Negara ASEAN secara Global16
Tahun Indonesia Singapura Thailand Malaysia Filipina Jumlah negara
2013 42 7 26 24 53 141
2012 40 7 26 24 52 140
2011 41 6 27 24 56 140
2010 41 6 23 23 56 142
Sumber: UNIDO
Berdasarkan pengukuran yang dibuat pada 2013, sektor industri Indonesia berada pada posisi 42 dari 141 negara, pada 2010 Indonesia berada di posisi 41 dari 145 negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki output dan produk ekspor berkonten teknologi tinggi. Beberapa negara ASEAN telah digolongkan ke dalam negara yang memiliki konten teknologi tinggi pada output dan produk ekspornya. Beberapa negara ASEAN yang mencatat posisi di atas Indonesia antara Thailand (26), Malaysia (24), dan Singapura (7).
Berdasarkan Global Manufacturing Competitiveness Ranking yang dikeluarkan oleh US Council on Competitiveness, daya saing industri Indonesia menempati posisi 19 dari total 40 negara pada tahun 2016. Posisi ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013, dimana Indonesia menempati posisi 17. Jika dirata-ratakan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Indonesia masuk ke dalam kelompok negara 15 besar dan memiliki potensi untuk meningkat, bersama dengan negara ASEAN lainnya yaitu Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Tabel 2.8 Daya Saing Industri Negara ASEAN secara Global 17
Tahun Indonesia Singapura Thailand Malaysia Vietnam Jumlah negara
2016 19 10 14 17 18 40
2013 17 9 11 13 18 38
Sumber: US Council on Competitiveness
16 Pengukuran daya saing industri dilakukan oleh UNIDO (United Nations Industrial Development Organization) 17 Pengukuran daya saing industri dilakukan oleh US Council on Competitiveness
32
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Indikator yang digunakan untuk mengukur daya saing industri adalah (i) human capital, (ii) keunggulan biaya, (iii) produktivitas tenaga kerja, (iv) jaringan dengan pemasok, (v) sistem hukum dan peraturan, (vi) infrastruktur pendidikan, (vii) infrastruktur fisik, (viii) sistem pajak, ekonomi, perdagangan, dan keuangan, (ix) kebijakan inovasi dan infrastruktur, (x) kebijakan energi, (xi) daya tarik pasar lokal, dan (xii) sistem kesehatan.
Daftar Pustaka
ACI. 2014. 2014 Provincial Competitiveness Ranking and Simulation Study for Indonesia. Singapore: ACI
Bank Indonesia dan LP3E FE Unpad. 2008. Profil Pemetaan dan Daya Saing Ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
UNIDO. 2013. The Industrial Competitiveness of Nations Report 2012/2013. Vienna: UNIDO.
UNIDO. 2016. Industrial Development Report 2016: The Role of Technology and Innovation in Inclusive and Sustainable Industrial Development. Vienna: UNIDO.
US Council on Competitiveness. 2013. 2013 Global Manufacturing Competitiveness Index.
US Council on Competitiveness. 2016. 2016 Global Manufacturing Competitiveness Index.
WEF. 2015. The Global Competitiveness Report 2015-2016: Insight Report. Geneva: WEF.
33
BAB 3 MODEL DAYA SAING DAERAH
Model daya saing daerah dibangun sebagai turunan dari model pertumbuhan endogenous 18, yang dipengaruhi oleh investasi untuk fisik, human capital dan pengetahuan (knowledge). Variabel-variabel tersebut terbukti mampu menjelaskan perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah dari ukuran tingkat pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat. Sesungguhnya, perbedaan capaian tingkat kemajuan antar daerah merefleksikan perbedaan tingkat daya saingnya. Capaian kinerja daya saing daerah diartikan sebagai realisasi kapasitas dan kemampuan pelaku ekonomi, masyarakat dan pemerintah suatu daerah dalam mengelola sumber daya dan ide secara efisien, inovatif, produktif dan merespon kebutuhan pasar dalam rangka mewujudkan kinerja pembangunan ekonomi yang lebih unggul dibandingkan daerah lainnya.
Secara makro daerah, membangun daya saing sama dengan pertumbuhan produksi, perbesaran nilai tambah, peningkatan pangsa pasar domestik dan global, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan seluruh pemangku kepentingan di daerah. Penguatan sisi supply yang disertai dengan pengusaan pasar serta berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat merupakan penciri kemampuan pengembangan daya saing secara berkelanjutan.
3.1 Relevansi Ukuran Daya Saing Daerah
Memerhatikan sejumlah indikator pengukuran daya saing di level negara dan daerah, terdapat beberapa ukuran penting sebagai makro daerah yang jika dibangun efektif maka akan mengakselerasi daya saing pelaku usaha dan mempunyai kontribusi terhadap pengembangan daya saing daerah. Berdasarkan Tabel 3.1, diketahui pentingnya peran pemerintah daerah yaitu dalam sisi pembiayaan sektor publik, penyediaan inftrastruktur, dan penjaminan pendidikan masyarakat. Ketiga unsur tersebut akan membantu pelaku usaha menikmati efisiensi eksternal untuk mengakselerasi efisiensi teknis sekaligus peningkatan
18 Pionir adalah Paul Romer (1994) yang menekankan pentingnya faktor human capital, selain
proses internal, sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan teori neoklasik yang menekankan pentingnya faktor teknologi untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
MODEL DAYA SAING DAERAH
3 MODEL DAY
BAB
34
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
produktivitas tenaga kerja. Peningkatan produksi akan dimudahkan dengan keberadaan dan kemudahan akses kepada lembaga keuangan.
Tabel 3.1 Ukuran Daya Saing Nasional/Daerah Kesamaan antara Global Competitiveness Index dan ACI
Pemerintah/institusi: pembiayaan publik, kerangka kebijakan/hukum Kondisi makroekonomi : PDB, ekspor/impor (ukuran pasar), standar hidup Keuangan : akses terhadap perbankan (financial deepening) Bisnis : efisiensi bisnis (terkait dengan prosedur) Tenaga kerja : gaji & produktivitas Infrastruktur : kualitas & kuantitas fisik Pendidikan : Sistem pendidikan; angka partisipasi sekolah
Untuk mewujudkan dan memperbaiki efisiensi teknis saat transformasi input menjadi output, pelaku usaha harus menjalankan penguatan teknis sekaligus perbesaran pasar. Membangun daya saing perusahaan atau industri, pertimbangan penguatan produktivitas (supply) dan penguasaan pasar (demand) menjadi sangat strategis.
Tabel 3.2 Ukuran Daya Saing Industri
UNIDO Global Manufacturing Index Kesamaan
Nilai tambah industri per kapita,
Ekspor industri per kapita, Konten teknologi pada
produksi Intensitas sektor industri
dalam perekonomian, Konten teknologi pada
produk ekspor, Intensitas ekspor sektor
industri, Rasio output industri di
pasar global, dan Rasio output industri yang
diekspor di pasar global.
human capital, keunggulan biaya produktivitas tenaga kerja jaringan dengan pemasok sistem hukum dan
peraturan infrastruktur pendidikan, infrastruktur fisik, sistem pajak, ekonomi,
perdagangan, dan keuangan,
kebijakan inovasi dan infrastruktur,
kebijakan energi, daya tarik pasar lokal, dan sistem kesehatan.
Produktivitas Orientasi pasar : luar
negeri atau domestik
Berdasarkan Tabel 3.2, produktivitas tenaga kerja menjadi salah satu ukuran yang umum digunakan untuk mengevaluasi efisiensi penggunaan faktor tenaga kerja, selain tentunya ukuran efisiensi biaya. Perbesaran pasar dilakukan memperluas pemasaran hingga ke pasar global. Keberhasilan penguasaan pasar yang diikuti oleh peningkatan produktivitas diukur menggunakan indikator ekspor. Peningkatan ekspor dan keunggulan produk umumnya diikuti oleh
35
BAB 3 Model Daya Saing Daerah
meningkatnya arus investasi termasuk investasi asing. Agar keunggulan terus dibangun, maka faktor human capital, riset, dan inovasi menjadi faktor penting.
3.2 Perspektif Baru: Pilar Daya Saing Daerah
Kegiatan riset dan inovasi terbukti mampu memperbesar dan menumbuhkan nilai tambah serta penciptaan lapangan kerja dan pendapatan (income generation). Melalui sistem dan kebijakan yang efektif, akan membantu terjadinya redistribusi pendapatan untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan di banyak negara berkembang dan emerging. Mengingat daerah-daerah di Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah, maka masih ada potensi dan kapasitas untuk membangun daya saing yang memerhatikan bukan hanya produktivitas, melainkan juga jaminan proses pembangunan berkualitas dan berkelanjutan serta menghasilkan otput dan outcome yang menyejahterakan masyarakat setempat.
Gambar 3.1 Agregasi Daya Saing Industri-Daerah-Negara
Pembangunan daya saing daerah memerlukan syarat kondisi makroekonomi terjaga baik yaitu indikator inflasi sesuai target, nilai tukar rupiah stabil, dan suku bunga tidak naik serta berperannya pemerintah dalam penyediaan inftrastruktur dan penjaminan lingkungan bisnis yang kondusif. Lingkungan makro nasional dan daerah yang pro-daya saing akan memudahkan pertumbuhan produktivitas perekonomian yang berorientasi tidak hanya pertumbuhan ekonomi, tetapi juga perbesaran kue nilai tambah untuk dinikmati sebagai peningkatan pendapatan sektor bisnis, pemerintah, dan masyarakat.
36
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Sektor bisnis meliputi pelaku usaha skala besar, menengah, kecil, dan mikro yang berperan penting dalam mengelola faktor produksi berdasarkan akses terhadap factor endowments dan karakteristik atau struktur perekonomian setempat. Prinsip kerja efisien dan produktif menghasilkan pertumbuhan dan perluasan skala produksi yang menyesuaikan pada dinamika pasar. Melalui proses pengembangan berkualitas yang didukung oleh peranan seluruh pemangku kepentingan termasuk pemerintah daerah, maka penguasaan pasar dibuktikan oleh kemampuan ekspor, mendatangkan aliran investasi, dan pembiayaan untuk perbesaran skala produksi serta diversifikasi. Pengembangan ini tentu didukung oleh peranan kelembagaan dalam kegiatan pendidikan, pengetahuan, teknologi, riset, inovasi, dan infrastuktur.
Kemajuan sektor bisnis membuahkan penciptaan dan perluasan lapangan kerja yang tentunya akan mengurangi tingkat pengangguran. Perluasan produksi dan diversifikasi akan menumbuhkan integrasi sektor dan industri sehingga menciptakan rantai nilai tambah yang akan menguatkan struktur ekonomi dan income generation bagi pemerintah dan masyarakat. Namun demikian, regulasi pemerintah tetap dibutuhkan untuk mengefektifkan efek pengembangan daya saing terhadap volume dan kualitas outcome pembangunan ekonomi dan sosial suatu daerah.
Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, disusun model pengembangan daya saing yang relevan diterapkan untuk daerah-daerah di Indonesia (lihat Gambar 3.2).
Gambar 3.2 Kerangka Pembangunan Daya Saing
37
BAB 3 Model Daya Saing Daerah
Daftar Pustaka
Borozan, D. 2008. “Regional Competitiveness: Some Conceptual Issues and Policy Implications.” Interdisciplinary Management Research. Vol.4, pp.50-63.
Romer, P. 1994. “The Origins of Endogenous Growth.” The Journal of Economic Perspective. ACI: Singapore.
38
BAGIAN I
Konsep, Pengukuran, dan Model
Halaman ini sengaja dikosongkan
39
BAGIAN II KAJIAN EMPIRIS DAYA SAING
JAWA BARAT
okasi Jawa Barat yang bersebelahan dengan Ibukota Jakarta merupakan
keuntungan eksternal yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi
dan peningkatan pendapatan masyarakat. Struktur produksi yang
didominasi oleh sektor industri pengolahan telah terbukti menjadi pengungkit
terhadap penciptaan nilai tambah di berbagai sektor ekonomi.
Perjalanan perubahan struktur ekonomi yang telah mengakibatkan
penurunan share sektor industri bukan merupakan hal buruk jika kue atau nilai
tambah sektor industri pengolahan terus meningkat apalagi disertai oleh perbaikan
produktivitas dari pelaku industri besar maupun industri menengah kecil. Merujuk
Industrial Development Report 2016 yang secara lugas menyimpulkan bahwa sektor
industri pengolahan masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di
berbagai negara terutama jika mencatat produktivitas dan inovasi yang tinggi
(UNIDO, 2016).
Produktivitas dalam model ekonomi menunjukkan proses transformasi
berbagai input yang diproduksi menjadi output dari barang dan jasa. Proses
produksi tentu berbeda antar perusahaan atau industri atau antar sektor ekonomi
dalam menghasilkan produk yang sama. Produktivitas suatu perusahaan atau
industri atau perekonomian diukur sebagai nilai output dibagi dengan nilai input
yang digunakan untuk memproduksi output tersebut. Input dimaksud adalah
tenaga kerja, kapital fisik dan kapital dana, seperti biaya pemanfaatan mesin dan
pabrik, serta input antara. Pemanfaatan sumber daya alam yang mengakibatkan
Kab Sukabumi
Kota Sukabumi
Kab Cianjur
Kab Garut
Kab Tasikmalaya
Kota
Tasikmalay
a Kab Ciamis
Kota Banjar
Kab Kuningan
Kab Cirebon
Kota Cirebon
Kab IndramayuKab Subang
Kab
Purwakarta
Kab
Majalengka
Kab
Sumedang
Kab Bandung
Kab
Bandung
Barat
Kota
CimahiKota
Bandung
Kab BogorKota Bogor
Kota Depok
Kab Karawang
Kab Bekasi
Kota
Bekasi
JAWA TENGAH
DKI JAKARTA
L
BAGIAN II
KAJIAN EMPIRIS DAYA SAING JAWA BARAT
40
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
keberlanjutan penyediaan sumber daya bahkan kerusakan alam akan menambah
biaya masyarakat, sehingga biaya pemanfaatan sumber daya alam harus
memperhatikan biaya oportunitas (opportunity cost).
Ukuran produktivitas berguna untuk melakukan asesmen terhadap
pemanfaatan input yang paling efisien. Peningkatan produktivitas mencerminkan
peningkatan output atas pemanfaatan sumber daya yang akan menghasilkan
outcome terbaik untuk masyarakat. Outcome dimaksud adalah ukuran kesejahteraan
masyarakat. Hal lain, ukuran produktivitas secara konsep ekonomi merupakan
ukuran efisiensi atas pemanfaatan sumber daya yang dimiliki suatu perekonomian.
Keputusan untuk meningkatkan produksi mutlak harus memerhatikan
daya serap pasar atau tren permintaan. Harga pasar merupakan barometer
perbaikan efisiensi secara terus menerus. Penawaran harga output yang kompetitif
akan memudahkan peningkatan output sehingga dimiliki peluang peningkatan
produktivitas sekaligus efisiensi. Selain faktor harga sebagai barometer, faktor lain
yang harus diperhatikan pula adalah ketersediaan barang substitusi di pasar,
pertumbuhan daya beli, dan perubahan preferensi termasuk tuntutan kualitas serta
ragam produk. Produktivitas akan meningkat jika melakukan pengembangan baik
dari sisi supply yaitu mampu meningkatkan produksi secara efisien juga dari sisi
demand yaitu mampu menyesuaikan produksi dengan kebutuhan pasar atau
permintaan.
Untuk memperbaiki kekuatan suppIy maupun demand diperlukan inovasi
sebagai aktivitas penting untuk meningkatkan daya saing menghadapi tekanan
persaingan yang semakin meningkat. Inovasi adalah proses mengenalkan ide-ide
baru yang dilakukan perusahaan pada suatu industri sebagai akibat terjadinya
peningkatan kinerja. Menyikapi dinamika persaingan pasar, mengutip pernyataan
Schumpeter dalam Economist (2006), bahwa amunisi daya saing yang penting
adalah dihasilkannya produk turunan dan produk baru yang disertai perbaikan
proses produksi dan kualitas produk. Peningkatan aktivitas inovasi akan
meningkatkan tingkat persaingan karena bukan hanya jumlah produk yang
ditawarkan bertambah namun juga meningkatnya produk substitusi. Strategi
bersaing untuk peningkatan daya saing adalah melalui diferensiasi dari produk
yang sudah ada atau melalui produk baru yang dihasilkan. Jika inovasi produk
baru berhasil meningkatkan pangsa pasar dan laba, maka kegiatan inovasi ini akan
terus berlanjut. Perluasan pasar akibat aktivitas inovasi merupakan kinerja inovasi
yang antara lain diukur melalui share ekspor terhadap total penjualan.
Aktivitas inovasi mempunyai rentang cukup luas, dari kegiatan peniruan
(imitasi) hingga menghasilkan produk baru. Kegiatan imitasi identik dengan
masuknya perusahaan baru namun dengan pengetahuan produk yang rendah.
Kegiatan menghasilkan produk baru dilakukan berdasarkan perbaikan yang
dilakukan terus menerus dan hasil riset. Kegiatan riset dan inovasi terbukti mampu
41
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
BAGIAN II
memperbesar dan menumbuhkan nilai tambah serta penciptaan lapangan kerja dan
pendapatan (income generation). Melalui sistem dan kebijakan yang efektif akan
membantu terjadinya redistribusi pendapatan untuk mengurangi kemiskinan dan
ketimpangan di banyak negara berkembang dan emerging. Mengingat daerah-
daerah di Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah maka masih ada
potensi dan kapasitas untuk membangun daya saing yang memerhatikan bukan
hanya produktivitas, melainkan juga jaminan proses pembangunan berkualitas dan
berkelanjutan serta menghasilkan otput dan outcome yang menyejahterakan
masyarakat setempat.
42
Dinamika pembangunan ekonomi daerah diharapkan bergerak dengan tren positif, diikuti oleh pertumbuhan daya saing ekonomi daerah. Kerangka pertumbuhan daya saing ekonomi daerah harus memehartikan karakteristik ekonomi daerah, terutama perkembangan dan pergeseran struktur ekonomi. Secara empiris, pergeseran struktur ekonomi ditandai oleh perubahan share sektoral yang berpindah dari sektor primer menuju sekunder, lalu menuju tersier.
Daerah Jawa Barat akan diamati pada daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Diperoleh fakta bahwa dinamika pembangunan ekonomi berbeda antar kabupaten/kota. Agregasinya membentuk dinamika pembangunan daerah provinsi. Penggerak dinamika ekonomi tersebut akan diamati dari aspek produksi, permintaan, perwilayahan, dan pembiayaan.
4.1 Perubahan Struktur Ekonomi
Perkembangan perekonomian suatu negara atau daerah ditandai oleh terjadinya peningkatan nilai tambah yang disumbangkan oleh sektor utama dan industri unggulan. Sesuai siklus bisnis, sektor utama yang masih mampu meningkatkan nilai tambah akan berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, sebaliknya jika terjadi perlambatan pertumbuhan nilai tambah maka kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi cenderung menurun. Penurunan pertumbuhan nilai tambah suatu sektor atau industri harus mampu memunculkan sektor atau industri lainnya untuk berperan dalam perekonomian. Itulah proses terjadinya pergeseran struktur ekonomi.
Perubahan struktur ekonomi sebenarnya merupakan refleksi proses transisi. Proses transisi yang ideal adalah proses terencana mengikuti tahapan yang jelas agar terwujud perubahan struktur ekonomi dengan fundamental yang kokoh. Hal tersebut ditujukan dalam menjamin pertumbuhan nilai tambah tetap tinggi. Perubahan struktur ekonomi yang tetap menjamin pertumbuhan produktivitas atau daya saing akan berdampak pada pertumbuhan kinerja makro ekonomi secara berkelanjutan. Pergeseran struktur ekonomi dapat ditelaah secara makro, namun dapat pula ditinjau di level meso, apakah juga terjadi perubahan struktur industri
DINAMIKA PEMBANGUNAN EKONOMI JAWA BARAT
4 BAB
43
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
pengolahan. Adapun di level mikro, perubahan struktur ekonomi diakibatkan oleh penyesuaian yang dilakukan perusahaan dalam merespon dinamika transisi menjadi sistem mekanisme pasar (Djankov and Murrell, 2002).
4.1.1 Kinerja Pertumbuhan Sektoral
Perbedaan pertumbuhan produktivitas antar sektor ekonomi akan mengakibatkan perubahan kontribusi sektoral terhadap PDRB. Selama satu dekade terakhir, pertumbuhan produktivitas yang diukur melalui pertumbuhan PDRB konstan, untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran mencatat laju relatif tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Krisis ekonomi dan keuangan global pada tahun 2008-2009 mengakibatkan laju pertumbuhan produktivitas sektor industri pengolahan mengalami penurunan tajam pada tahun 2009-2010 namun menunjukan pemulihan dengan capaian tingkat pertumbuhan mendekati tingkat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan sektor pertanian mencatat laju relatif rendah bahkan minus pada tahun 2012. Secara makro Jawa Barat, terjadi perlambatan laju pertumbuhan ekonomi pasca krisis sejak 2011 sejalan dengan perlambatan pertumbuhan sektor industri pengolahan. Artinya, karena kontribusi sektor industri pengolahan yang dominan, maka perlambatan pertumbuhannya akan signifikan memengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Struktur ekonomi makro Jawa Barat yang didominasi sektor industri pengolahan mengalami kinerja pertumbuhan naik-turun terutama akibat dampak krisis ekonomi global. Saat pelemahan sisi supply, pertumbuhan ekonomi biasanya didorong oleh pertumbuhan konsumsi sehingga mengakibatkan sektor perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh relatif tinggi. Tahun 2014 menjadi catatan penting karena pertumbuhan sektor perdagangan, hotel, dan restoran melambat dan lebih rendah dibandingkan pertumbuhan sektor industri pengolahan.
Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Jawa Barat (Harga Konstan 2000) Sumber: Badan Pusat Statistik
Catatan penting lainnya adalah, ada pola substitusi pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan. Saat krisis ekonomi, produksi sektor pertanian tumbuh mengesankan. Masyarakat daerah pertanian saat tidak ada alternatif pekerjaan di sektor lain ternyata dapat meningkatkan produktivitas pertanian bersama para pemodal yang mengembangkan bisnis pertanian. Namun saat, prospek sektor industri pengolahan lebih baik, maka pebisnis di sektor
-4%
1%
6%
11%
16%
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Industri PengolahanPerdagangan, Hotel, dan RestoranPertanian, Kehutanan, dan PerikananTotal Sektor
44
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
pertanian mengurangi intensitasnya sehingga pertumbuhan sektor pertanian relatif rendah. Untuk Jawa Barat, prospek pertumbuhan sektor pertanian hanya terjadi pada beberapa daerah yang memang mempunyai potensi perekonomian yang utama di bidang pertanian.
4.1.2 Dominasi Industri Pengolahan
Perekonomian Provinsi Jawa Barat terkategori sebagai daerah industri jika mengacu pada share sektor industri pengolahan lebih dari 40 persen dan konsisten selama satu dekade terakhir. Peningkatan share sektor jasa dapat dipahami mendukung dominasi sektor industri pengolahan dan menggantikan penurunan share sektor pertanian.
Keterangan : 1. Pertanian, kehutanan
dan perikanan 2. Pertambangan 3. Industri pengolahan 4. Listrik, gas, air bersih 5. Konstruksi 6. Perdagangan , hotel dan
restoran 7. Pengangkutan dan
komunikasi 8. Keuangan, real estate
dan jasa perusahaan 9. Jasa jasa
Gambar 4.2. Komposisi PDRB Sektoral Jawa Barat , 2004-2014 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat dan BPS Indonesia
Sejak tahun 2007 tampak tren penurunan share sektor industri pengolahan walaupun kecil. Penurunan share yang praktis relatif kecil tersebut didukung oleh terjadinya pembangunan industri pengolahan di daerah non-industri bersamaan terjadi penurunan share sektor industri pengolahan di daerah industri. Secara makro, perekonomian Jawa Barat mengalami pergeseran struktur ekonomi di level meso.
Daerah industri terutama di kawasan Bogor, Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan Bandung telah mampu menciptakan daya tarik tujuan investasi sektor industri pengolahan dari PMA maupun PMDN sehingga industri pengolahan tetap mampu berperan besar terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan per-kapita. Bahkan kawasan ini merupakan andalan sekaligus penggerak
13.4 11.9 11.1 12.0 11.5 12.3 9.8 9.3 8.9 9.1 8.7
42.1 44.5 45.3 45.0 43.7 40.8 44.5 43.9 43.2 43.2 43.6
2.8 2.9 3.0 3.0 3.4 3.5 7.0 7.2 7.8 7.9 8.1
18.8 19.1 19.0 19.1 20.5 21.6 17.8 17.8 18.3 18.2 17.7
5.3 5.3 5.9 5.9 5.7 6.1 6.4 6.6 6.7 6.9 7.3 3.0 3.0 2.7 2.9 2.7 2.7 3.7 3.7 3.9 4.1 4.0 8.4 7.3 7.2 6.8 7.4 8.2 6.8 6.9 7.2 7.1 7.3
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 20141 2 3 4 5 6 7 8 9
45
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
perekonomian Jawa Barat. Pembangunan kawasan industri, baik oleh pemerintah maupun swasta yang terus bertambah, merupakan indikasi daya tarik dan potensi pendalaman sektor industri pengolahan di kawasan tersebut.
Tujuan investasi baik PMA dan PMDN di Jawa Barat tetap menyasar daerah industri yaitu berturut-turut Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Bandung yang mana daerah ini dilalui oleh jalan tol Jakarta-Cikampek-Bandung. Beroperasinya jalan tol Cikampek-Cirebon pada Juni 2015 membawa prospek aliran investasi akan meluas ke kawasan Cikampek, Majalengka, dan Cirebon.
Gambar 4.3 Proporsi Investasi PMA/PMDN di Jawa Barat, 2010-2014 Sumber: Badan Pusat Statistik
Sejalan dengan peningkatan investasi di sektor industri pengolahan, berkembang pula sektor ikutan yaitu sektor jasa. Pembangunan kawasan industri tidak hanya terdiri atas pabrik namun juga disertai pembangunan perusahaan jasa pendukung meliputi perusahaan perdagangan, logistik, pemasaran, keuangan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. PDRB sektor jasa di daerah industri menunjukan pertumbuhan yang meningkat lebih tinggi dibandingkan sektor industri, sehingga PDRB daerah disumbang oleh peningkatan PDRB sektor jasa. Akibatnya, share PDRB sektor industri pengolahan mengalami penurunan saat terjadi peningkatan PDRB. Tabel 4.1 menunjukkan penurunan share sektor industri pengolahan walaupun nilai tambah sektor industri pengolahan tetap meningkat. Bagi daerah yang tetap mencatat share industri pengolahan diatas 40 persen masih dikatakan daerah industri yang disertai diversifikasi perekonomian melalui penumbuhan sektor jasa yang merespon kebutuhan industri dan masyarakat.
Tabel 4.1. Penurunan Share Peranan Industri Pengolahan di Daerah Industri Kabupaten 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tren
Kab. Bekasi 79,36 78,60 78,26 76,94 75,61 76,63 76,31 Turun Kab. Bogor 63,00 61,76 61,18 60,20 59,43 59,59 57,66 Turun Kab. Bandung 60,49 60,80 59,91 59,60 58,72 57,67 56,79 Turun Kota Cimahi 60,54 59,78 59,47 58,03 57,85 57,90 56,67 Turun Kab. Karawang 53,57 55,49 55,29 52,43 49,98 51,92 51,24 Naik-
Turun Kab. Purwakarta
46,87 47,65 44,74 44,64 44,50 44,27 44,15 Turun
46
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Kabupaten 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tren Kota Bekasi 46,29 45,20 42,89 42,86 42,36 42,26 41,88 Turun Kab. Bandung Barat
46,37 46,19 44,10 42,13 42,35 41,76 40,79 Turun
Kab. Indramayu
39,48 37,42 42,02 42,38 43,32 38,62 37,66 Naik-Turun
Kota Depok 37,55 36,60 36,27 35,95 35,36 35,30 34,16 Turun Kota Bogor 24,69 25,10 25,57 26,20 26,85 27,51 27,48 Naik Jumlah daerah industri
50,74 50,42 49,97 49,21 48,76 48,49 47,71 Turun
Jawa Barat (26 Kab/Kota)
45,00 43,70 40,80 44,50 43,90 43,20 43,20 Turun
Sumber: Badan Pusat Statistik
Ada tiga daerah yang mencatat pendalaman sebagai daerah industri, yaitu Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bandung. Hanya Kabupaten Bandung yang mengalami penurunan investasi PMA/PMDN, dimana hanya menyerap sekitar satu persen total investasi Jawa Barat selama lima tahun terakhir.
4.1.3 Diversifikasi Ekonomi
Pola dan struktur ekonomi di level meso atau daerah kabupaten/kota umumnya mempunyai share sektor perdagangan, hotel dan restoran yang relatif besar. Jika komposisi share sektor pertanian, industri pengolahan dan jasa dibandingkan, maka perekonomian kabupaten/kota dapat dikelompokan yaitu apakah condong sebagai daerah pertanian, daerah industri atau daerah perkotaan dengan ciri jasa.
(1) Kelompok daerah pertanian yaitu jika share PDRB sektor pertanian lebih dari 30% seperti Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Subang, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Kuningan; maka pergeseran struktur ekonomi dalam arti penurunan peranan sektor pertanian lebih mendorong peningkatan kontribusi sektor sektor jasa dibandingkan menumbuhkan industri pengolahan dengan tetap menumbuhkan keunggulan subsektor pertanian tertentu,
(2) Terdapatnya dominasi sektor industri pengolahan yaitu lebih dari 30% seperti Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bogor, dan Kota Depok; maka pergeseran struktur ekonomi ditandai oleh penurunan kontribusi sektor industri dan sebaliknya meningkatkan peranan sektor
47
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
jasa namun dengan tetap menumbuhkan keunggulan industri pengolahan tertentu,
(3) Kelompok daerah perkotaan praktis tidak mempunyai pola pergeseran struktur ekonomi karena sebagai kota tidak mempunyai dominasi sektor pertanian atau sektor industri. Contoh adalah Kota Cirebon, Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar dan Kota Sukabumi.
Untuk mengetahui terjadinya perubahan struktur ekonomi secara makro kerap menggunakan referensi terjadinya pergeseran dari peranan atau dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri kemudian bergeser ke dominasi sektor jasa (Kuznets, 1966, 1971; Chenery & Taylor, 1968). Menurut hasil penelitian tersebut, tingkat pendapatan per-kapita merupakan pendorong pergeseran struktur ekonomi.19
Mengamati di level meso, pergeseran struktur ekonomi diyakini terjadi akibat dorongan kebutuhan peningkatan pendapatan per-kapita. Dari sisi produksi, peningkatan pendapatan per-kapita dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas pada sektor ekonomi dominan atau peningkatan nilai tambah pada berbagai sektor ekonomi. Terdapat beberapa pola pergeseran struktur ekonomi, antara lain:
(1) Peningkatan produktivitas dan nilai tambah sektor dominan melalui industri unggulan. Terjadi diversifikasi yang merupakan pendalaman pada intra-sektor, atau,
(2) Penumbuhan nilai tambah pada sektor atau industri lain. Terjadi diversifikasi ekonomi pada sektor atau industri lain yang memiliki potensi penciptaan nilai tambah.
Tingkat diversifikasi ekonomi20 akan mengakibatkan pergeseran struktur ekonomi. Pertumbuhan sektor tertentu yang melambat dibandingkan sektor lain akan mengakibatkan penurunan kontribusi sektor tersebut dan sebaliknya jika pertumbuhan sektor lain lebih cepat maka mendorong terjadinya pergeseran stuktur ekonomi. Penurunan kontribusi sektor tertentu harus segera direspon dengan menumbuhkan sektor lainnya atau yang disebut terjadi diversifikasi ekonomi untuk tujuan meningkatkan nilai tambah, menjaga capaian tingkat pertumbuhan tinggi, ekspansi perekonomian, penciptaan kesempatan kerja atau mengurangi tingkat pengangguran. Perlu dicatat, diversifikasi ekonomi yang tanpa
19 Hasil kajian tentang pergeseran struktur ekonomi untuk level meso dan level mikro beragam
faktornya 20 Diversifikasi ekonomi menurut Wagner (1993) adalah proses terjadinya perluasan penyebaran
tenaga kerja antar sektor yang berdampak pada peningkatan aktivitas ekonomi di sektor lain dan dapat berpotensi menjaga kestabilan ekonomi dalam suatu wilayah yang memiliki keberagaman aktivitas.
48
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Untuk mengukur indeks diversifikasi sektor ekonomi digunakan indeks
entropy sesuai formulasi Smith dan Gibson (1988).
Indeks Entropy = ∑ 𝑆𝑖𝑙𝑛 (1
𝑆𝑖)𝑁
𝑖=1 = − ∑ 𝑆𝑖𝑙𝑛(𝑆𝑖)𝑛𝑖=1
dimana: N jumlah sektor ekonomi, S adalah share sektor ekonomi yang diukur oleh
proporsi tenaga kerja, ln adalah natural logaritmik. Indeks entropy mengukur
perbandingan distribusi tenaga kerja atau distribusi pendapatan antar sektor
ekonomi suatu daerah relatif terhadap distribusi sektor yang sama (equal). Semakin
tinggi indeks entropy mengindikasikan semakin meningkat diversifikasi ekonomi,
dan sebaliknya jika semakin rendah, maka mengindikasikan spesialisasi pada
sektor tertentu. Indeks yang maksimum menunjukkan adanya distribusi tenaga
kerja yang sama antar sektor. Sebaliknya indeks yang kecil mengindikasikan
adanya konsentrasi tenaga kerja pada sektor tertentu.
Tabel 4.2 Indeks Entropy, 2013
Wilayah Minimum Maksimum Rata-rata Standar Deviasi
Daerah Pertanian 0,6278 0,6719 0,6560 0,0144
Daerah Industri 0,6060 0,6925 0,6464 0,0363
Daerah Perkotaan/Jasa 0,5607 0,6733 0,6263 0,0478
Jawa Barat 0,69
Sumber: Badan Pusat Statistik
Indeks entropy dapat digunakan untuk mendeskripsikan tingkat
diversifikasi ekonomi suatu daerah. Daerah industri dan daerah pertanian memiliki
rata-rata indeks entropy lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Jawa Barat,
artinya sektor jasa di daerah tersebut sedang berkembang selain sektor primer dan
sekunder. Daerah perkotaan mempunyai indeks terendah karena lebih
berkonsentrasi pada sektor jasa. Kota Cirebon sebagai daerah dengan tenaga kerja
paling terkonsentrasi di sektor jasa. Indeks entropy tertinggi pada daerah industri,
yaitu Kab. Bandung Barat sebagai daerah yang mempunyai karakteristik ekonomi
sedang mengembangkan sektor primer hingga tersier. Lapangan usaha yang
ditekuni tenaga kerja berkembang dari sektor pertanian ke sektor industri hingga
sektor jasa.
49
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
Menggunakan data beberapa daerah mewakili daerah pertanian (Cianjur, Sumedang, Tasikmalaya, Kuningan,Garut, Subang), industri (Karawang) dan jasa (Kota Tasikmalaya, kota Bandung), ada hubungan antara tingkat diversifikasi ekonomi dengan tingkat pengangguran. Diversifikasi yang rendah akan menyulitkan penyediaan lapangan kerja.
Gambar 4.4 Hubungan Diversifikasi Ekonomi dan Tingkat Pengangguran Terbuka Beberapa Daerah, 2013
Deskripsi perbedaan tingkat diversifikasi di daerah pertanian dan industri menunjukkan terjadinya transformasi struktural atau pergeseran dari sektor pertanian-industri-jasa yang di daerah pertanian dan industri. Adapun daerah perkotaan sudah menunjukkan spesialisasi pada sektor jasa. Proses transformasi struktural terjadi searah dengan upaya peningkatan nilai tambah daerah dan pendapatan masyarakat. Ada kecenderungan semua daerah bergerak meningkatkan nilai tambah di sektor yang dominan atau menjadi unggulannya.
Dilihat dari standar deviasi di setiap kelompok daerah, pola distribusi tenaga kerja sektoral antar daerah pertanian paling kecil, artinya daerah pertanian memiliki kesamaan struktur ekonomi yang cenderung masih mempertahankan kekuatan dan kompetensi sektor pertanian. Sebaliknya, pola distribusi tenaga kerja sektoral di daerah industri dan perkotaan cenderung beragam, artinya terdapat beberapa kabupaten/kota yang terus berlangsung transformasi strukturalnya atau mengalami diversifikasi ekonomi.
Box 1 Transformasi melalui Diversifikasi Ekonomi di Daerah Pertanian
Struktur ekonomi yang awalnya didominasi oleh sektor pertanian mengalami pergeseran sejalan dengan kebutuhan peningkatan pendapatan masyarakat. Kajian empiris telah dilakukan pada daerah pertanian dan menghasilkan beberapa kesimpulan yaitu:
(1) Daerah pertanian mempunyai tingkat pendapatan per-kapita lebih rendah dibandingkan daerah industri dan daerah perkotaan. Menghadapi hukum diminishing returns sektor pertanian, dorongan peningkatan pendapatan per-kapita dilakukan tidak hanya melalui pendalaman subsektor pertanian unggulan, namun juga melalui penumbuhan sektor lainnya, yaitu sektor industri pengolahan hasil pertanian dan sektor jasa untuk meningkatkan nilai tambah perekonomian daerah.
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
0.540
0.560
0.580
0.600
0.620
0.640
0.660
0.680
0.700
pers
en
inde
ks (p
oin)
entropy tpt
50
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Gambar 4.5 Komposisi PDRB Sektoral Daerah Pertanian, 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik
(2) Hampir semua daerah pertanian di Jawa Barat mempunyai share sektor perdagangan, hotel dan restoran relatif besar jika dibandingkan Jawa Barat. Kabupaten Garut adalah daerah dengan share pertanian terbesar yang mengalami diversifikasi ekonomi lebih cepat. Industri pengolahan hasil pertanian berkembang baik seperti dodol, coklat, snack, kemudian didukung oleh berkembangnya usaha perdagangan, hotel dan restoran dan jasa yang terkait tata niaga hasil pertanian dan industri serta pariwisata.
Ada hubungan positif antara indeks entropy sebagai ukuran diversifikasi ekonomi dan tingkat pendapatan riil per-kapita pada daerah pertanian. Kabupaten Cianjur masih sebagai daerah dengan share sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan share sektor lainnya. Sebaliknya kabupaten Sumedang sudah mengalami pergeseran menumbuhkan sektor industri dan jasa
Gambar 4.6 Scatter Plot Pendapatan riil per kapita dan Indeks Entropy Daerah Pertanian, 2010-2014
(3) Hasil analisis regresi indeks diversifikasi ekonomi yang diukur oleh indeks entropy terhadap pendapatan riil per-kapita menunjukan adanya peningkatan diversifikasi sejalan dengan peningkatan pendapatan riil masyarakat. Peningkatan daya beli membutuhkan pemenuhan akan barang dan jasa yang semakin beragam, yang direspon oleh supply barang dan jasa dari berbagai sektor ekonomi. Namun
44.59 38.23 37.00 34.89 33.02 28.91 28.27 28.03 27.51 27.31 9.1 0.00
100.00
pers
en
Komposisi PDRB Sektoral Daerah Pertanian, 2013
Lainnya Jasa KemasyarakatanPerdagangan Besar & Eceran, Hotel, Restoran Industri PengolahanPertanian
Sukabumi
SukabumiSukabumiSukabumi
Sukabumi
Cianjur
CianjurCianjur
Cianjur
CianjurGarut GarutGarut
GarutGarut
Tasikmalaya
Tasikmalaya
TasikmalayaTasikmalayaTasikmalaya
Ciamis
Ciamis
CiamisCiamisCiamis
KuninganKuninganKuningan Kuningan
Kuningan
CirebonCirebon
Cirebon
CirebonCirebon
MajalengkaMajalengkaMajalengka MajalengkaMajalengka
SumedangSumedangSumedang
Sumedang
Sumedang
SubangSubangSubangSubangSubang
.58
.6.6
2.6
4.6
6.6
8
8 10 12 14 16Pendapatan per-kapita riil (juta Rp)
Indeks Entropy Fitted values
51
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
demikian, tingkat diversifikasi ekonomi antar daerah berbeda tergantung pada karakteristik ekonomi sosial, yang dalam penelitian ini diukur oleh dummy daerah. Kabupaten Subang termasuk daerah yang rendah tingkat diversifikasi ekonomi karena melakukan pendalaman sektor pertanian relatif tinggi dibadingkan daerah lainnya. Sebaliknya kabupaten Sukabumi, kabupaten Sumedang dan kabupaten Majalengka terkategori memiliki tingkat diversifikasi yang lebih tinggi dalam ukuran pertumbuhan berbagai sektor ekonomi sehingga share sektor non pertanian meningkat.
Tabel 4.3 Hasil Regresi Diversifikasi Ekonomi Daerah Pertanian Variabel Independen Variabel Dependen : Indeks Entropy
Model 1 Model 2
Pendapatan riil per-kapita (log) 0,153*** (0,031)
0,149*** (0,019)
Kuadrat Pendapatan riil per-kapita (log)
- 0,003 (0,004)
Dummy Kab. Cianjur 0,022*** (0,008)
0,022** (0,009)
Dummy Kab. Garut 0,036*** (0,007)
0,035*** (0,007)
Dummy Kab. Tasikmalaya 0,052*** (0,008)
0,051*** (0,008)
Dummy Kab. Majalengka 0,038*** (0,006)
0,038*** (0,006)
Dummy Kab. Cirebon 0,012* (0,007)
0,012* (0,006)
Dummy Kab. Sumedang 0,009 (0,006)
0,009* (0,005)
Dummy Kab. Sukabumi 0,026*** (0,005)
0,026*** (0,005)
Dummy Kab. Kuningan 0,033*** (0,007)
0,033*** (0,008)
Dummy Kab. Ciamis 0,068*** (0,010)
0,068*** (0,009)
Dummy Kab. Subang Konstanta 0,252***
(0,062) 0,256*** (0,052)
R-square 0,8593 0,8593 n 10 10 t 5 5
Keterangan * p < 0.1 ; ** p < 0.05 ; *** p < 0.01 ; Standard error dalam kurung Menggunakan random effect model
(4) Peningkatan indeks diversifikasi ekonomi pada daerah pertanian tidak linear dengan tingkat pendapatan riil masyarakat menandakan terjadinya pendalaman sektor pertanian dan industri terkait yang mampu memberikan pertumbuhan nilai tambah sekaligus pendapatan masyarakat. Hal ini positif untuk menumbuhkan keunggulan yang berpotensi memunculkan kekuatan daya saing subsektor pertanian atau industri tertentu.
52
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
4.2 Penggerak Kegiatan Ekonomi
4.2.1 Sumber Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetap merupakan tujuan pembangunan ekonomi, dengan syarat disertai dampak terhadap penciptaan lapangan kerja, peningkatan daya saing, peningkatan kualitas hidup, distribusi atau equality, dan pengentasan penduduk miskin. Sumber pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dapat dijelaskan baik dari sisi produksi, permintaan, dan wilayah kabupaten/kota.
(1) Produksi
Pertumbuhan ekonomi merupakan agregasi kenaikan nilai tambah semua sektor ekonomi. Membandingkan kontribusi sektoral terhadap angka pertumbuhan ekonomi dapat diketahui bahwa industri pengolahan dan sektor perdagangan hotel dan restoran merupakan penyumbang utama pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Sumber pertumbuhan sektoral selama satu dekade terakhir ditampilkan pada Gambar 4.7. Sektor industri pengolahan menyumbang pertumbuhan ekonomi lebih besar pada sebelum krisis ekonomi 2008-2009. Sebaliknya sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang pertumbuhan ekonomi lebih besar setelah krisis ekonomi menggantikan sektor industri pengolahan. Krisis ekonomi dan keuangan 2008-2009 telah mengakibatkan penurunan nilai tambah sektor industri pengolahan akibat pelemahan nilai tukar, kenaikan barang input impor, dan pelemahan permintaan produk industri. Pelemahan ekonomi global yang terus berlanjut telah menurunkan kontribusi pertumbuhan sektor perdagangan dan sebaliknya meningkatkan kontribusi pertumbuhan sektor jasa selain perdagangan pada tahun 2014.
Secara makro Jawa Barat, sektor terbesar penyumbang PDRB adalah sektor industri pengolahan yaitu 43,6% pada tahun 2014. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang 17,7% PDRB dan diikuti sektor pertanian dengan kontribusi 8,7%. Konsentrasi sektor industri pengolahan terdapat pada beberapa daerah yang dekat dengan ibukota. Sedangkan kontribusi sektor pertanian terkonsentrasi pada beberapa kabupaten di bagian tengah Jawa Barat.
53
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
1. Pertanian, kehutanan dan perikanan
2. Pertambangan 3. Industri pengolahan 4. Listrik, gas, air bersih 5. Konstruksi 6. Perdagangan , hotel
dan restoran 7. Pengangkutan dan
komunikasi 8. Keuangan, real
estate dan jasa perusahaan
9. Jasa jasa Gambar 4.7 Sumber Pertumbuhan Ekonomi, 2005-2014
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat dan BPS Indonesia
Penurunan sumber pertumbuhan industri pengolahan berjalan hingga tahun 2012 dan sejak 2013 industri pengolahan meningkat kontribusinya. Akibatnya, pergeseran struktur ekonomi makro Jawa Barat berjalan lambat dan kontribusi sektor industri pengolahan masih yang terbesar. Terjadi pergeseran struktur ekonomi sejalan dengan pertumbuhan sektor jasa. Gambar 4.7 memperlihatkan penurunan kontribusi sektor industri pengolahan terutama periode krisis ekonomi global tahun 2008-2009 namun menunjukkan tren meningkat kembali hingga tahun 2014. Komposisi perekonomian makro Jawa Barat masih lebih dari 43% bertumpu pada sektor industri pengolahan.
(2) Permintaan
Dari sisi permintaan, peningkatan pendapatan masyarakat mendorong peningkatan permintaan barang dan jasa yang lebih beragam dan berkualitas. Pemenuhan atas permintaan tersebut dapat bersumber dari impor maupun dari produksi lokal. Kerap jika kemampuan produksi lokal tidak tumbuh, maka pemenuhan kebutuhan ragam barang dan jasa mendorong tumbuhnya sektor perdagangan dan jasa.
-20%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
1 2 3 4 5 6 7 8 9
54
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Gambar 4.8 Sumber Pertumbuhan Ekonomi berdasarkan Pengeluaran, 2006-2013 (Harga Konstan 2000)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat
(3) Perwilayahan
Sub-daerah pembangunan Jawa Barat meliputi 27 kabupaten/kota. Perlu mendapat perhatian bahwa pembangunan ekonomi secara pewilayahan telah terkonsentrasi pada 10 kabupaten/kota dari indikator kontribusinya terhadap PDRB Jawa Barat mencapai 75%. Namun, diantara 10 kabupaten/kota dominan tersebut, kabupaten Bandung, kabupaten Indramayu dan Kota Bekasi mencatat penurunan share yang mengindikasikan terjadi perlambatan pembangunan dibandingkan daerah lainnya.
Tabel 4.4 Konsentrasi 10 Kabupaten/Kota Terhadap PDRB Jawa Barat (%) Kabupaten 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1. Kab. Bekasi 15,15 14,65 14,29 13,83 13,59 16,71 16,36 16,27 2. Kota Bandung 10,28 10,67 11,28 11,73 12,17 11,72 12,03 12,35 3. Kab. Karawang 7,35 7,50 7,75 8,03 8,55 11,04 11,17 11,09 4. Kab. Bogor 10,43 10,31 10,61 10,56 10,57 10,69 10,79 10,82 5. Kab. Bandung 6,77 6,76 6,62 6,59 6,53 5,33 5,38 5,46 6. Kab. Indramayu 7,02 7,22 6,48 6,56 6,75 5,27 5,03 4,85 7. Kota Bekasi 5,17 5,21 5,05 5,14 5,16 4,59 4,58 4,59 8. Kab. Purwakarta 2,29 2,33 2,27 2,28 2,28 3,16 3,22 3,25 9. Kota Depok 2,16 2,21 2,26 2,31 2,28 2,96 3,05 3,12 10. Kab. Sukabumi 2,94 2,74 2,77 2,65 2,57 3,01 3,01 2,93 Lainnya 30,45 30,38 30,60 30,30 29,57 25,52 25,37 25,28 Jumlah 10 daerah utama 69,55 69,62 69,40 69,70 70,43 74,48 74,63 74,73
Sumber: Badan Pusat Statistik
Catatan: Dominasi 10 kab/kota ditentukan dari share PDRB terhadap Jawa Barat yang tertinggi 2014
-20%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Ekspor Netto Pembentukan Modal Tetap BrutoKonsumsi Pemerintah Konsumsi LNPRTKonsumsi Rumah Tangga
55
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
Gambar 4.9 Sumber Pertumbuhan berdasarkan Kabupaten/Kota, Jawa Barat Sumber: Badan Pusat Statistik
Kabupaten/kota yang memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat terbesar dan meningkat antara lain Kab. Bogor, Kota Depok, dan Kab. Sukabumi. Adapun kabupaten/kota yang menurun antara lain Kab. Bekasi, Kota Bandung, Kab. Karawang, Kab. Bandung, Kab. Indramayu, Kota Bekasi, dan Kab.Purwakarta. Secara umum, 10 daerah utama penyumbang PDRB Jawa Barat mengalami penurunan dalam menyumbang sumber pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Di lain hal, beberapa daerah yang tergabung dalam kelompok lainnya memberikan kontribusi pertumbuhan yang meningkat. Hal tersebut mengindikasikan terjadinya penumbuhan ekonomi di luar 10 daerah utama.
56
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
4.2.2 Posisi dan Peranan Sub-Sektor dan Industri
Gambar 4.10 Share dan Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi Sub Sektoral, 2010-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik
Keterangan: ordinat y (6,1) merupakan rata-rata pertumbuhan ekonomi Jawa Barat
Subsektor yang mengalami peningkatan share dan tingkat pertumbuhan di atas rata-rata Jawa Barat antara lain sub-sektor Informasi dan Komunikasi (IFK), Jasa Pendidikan (JSP), Konstruksi (KNST), Industri Alat Angkutan (INAKT), Jasa Perantara Keuangan (JSPK), Industri Makanan-Minuman (INMM), Angkutan Darat (AKTD), Perdagangan Mobil, Sepeda Motor, dan Reparasinya (DGMM), Perdagangan Besar & Eceran (DGBE), dan Industri Tekstil dan Pakaian jadi (INTP). Subsektor tersebut umumnya memiliki share kurang dari lima persen, kecuali subsektor DGBE yang memiliki share sebesar 13,48 persen, sub-INAKT dengan share 8,24 persen, dan sub-KNST dengan share 7,93 persen.
Tabel 4.5 Share dan Pertumbuhan sub-sektor dengan Tingkat Pertumbuhan di atas Jawa Barat
Subsektor Kode Share 2014
avg. Growth
delta Share
Informasi dan Komunikasi IFK 2,45 14,7% 0,62 Jasa Pendidikan JSP 2,39 13,1% 0,96 Konstruksi KNST 7,93 10,1% 2,53 Industri Alat Angkutan INAKT 8,24 9,7% 2,46 Jasa Perantara Keuangan JSPK 2,00 8,6% 0,64 Industri Makanan dan Minuman INMM 3,88 8,5% 0,92 Angkutan Darat AKTD 3,91 8,2% 1,18 Perdagangan Mobil, Sepeda Motor, dan Reparasinya
DGMM 2,19 7,7% 0,50
57
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
Subsektor Kode Share 2014
avg. Growth
delta Share
Perdagangan Besar & Eceran, bukan Mobil dan Motor
DGBE 13,48 7,0% 2,37
Industri Tekstil dan Pakaian Jadi INTP 6,15 6,2% 1,53
Sumber: Badan Pusat Statistik
Beberapa subsektor yang memiliki share cukup besar namun rata-rata
pertumbuhan berada di bawah Jawa Barat antara lain Industri Barang Logam
(INLOG), Industri Kimia, Farmasi, dan Obat Tradisional (INKF), Industri Mesin
dan Perlengkapan (INMP), Industri Batu Bara & Pengilangan Migas (INBB),
Pertanian, perburuan (PTT), dan Administrasi Pemerintahan (ADMP). Subsektor
Pertambangan Minyak, Gas, dan Panas Bumi (TMBG) mencatat perubahan share
dan laju negatif.
Tabel 4.6 Share dan Pertumbuhan sub-sektor dengan Tingkat Pertumbuhan di bawah
Jawa Barat
Sub Sektor Kode Share 2014
avg. Growth
delta Share
Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, Optik, dan Peralatan Listrik
INLOG 10,11 5,7% 1,35
Industri Kimia, Farmasi, dan Obat Tradisional INKF 2,46 4,5% 0,36
Industri Mesin dan Perlengkapan INMP 3,83 2,6% 0,79
Industri Batubara dan Pengilangan Migas INBB 2,12 1,6% 0,09
Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian
PTT 7,93 0,6% 0,62
Administrasi Pemerintahan ADMP 2,43 0,1% 0,23
Pertambangan Minyak, Gas dan Panas Bumi TMBG 2,20 -3,5% -0,27
Sumber: Badan Pusat Statistik
*) Pertumbuhan menggunakan PDRB Konstan 2010
Terdapat beberapa subsektor yang tergolong ke dalam kelompok dengan
share yang rendah, yaitu kurang dari dua persen. Subsektor tersebut umumnya
mencatat tingkat pertumbuhan di bawah pertumbuhan Jawa Barat. Sub sektor
tersebut antara lain adalah penyediaan makan & minum, jasa lainnya, industri
karet dan barang dari karet & plastik, industri logam dasar, industri kertas dan
barang dari kertas, real estat, perikanan, industri barang galian bukan logam,
pengadaan gas dan produksi es, jasa kesehatan dan kegiatan sosial, industri kulit,
barang dari kulit dan alas kaki, pertambangan dan penggalian lainnya, industri
pengolahan lainnya, industri kayu, barang dari kayu, penyediaan akomodasi, jasa
perusahaan, angkutan udara, jasa keuangan lainnya, industri furnitur,
pergudangan, asuransi, industri pengolahan tembakau, ketenagalistrikan,
58
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
pertambangan bijih logam, kehutanan, pengadaan air & pengolahan sampah, angkutan rel, jasa penunjang keuangan, angkutan laut dan angkutan sungai danau. Berikut disajikan Tabel subsektor yang memiliki share kurang dari dua persen dan rata-rata pertumbuhan periode 2012-2014.
Tabel 4.7 Share dan Rata-Rata Pertumbuhan Sub-Sektoral Jawa Barat, dengan share kurang dari dua persen 2010-2014
Subsektor Share (%) Growth (%)
Penyediaan Makan dan Minum 1,98 0,42 Jasa Lainnya 1,78 0,48 Industri Karet, Barang dari Karet, dan Plastik 1,42 0,05 Industri Logam Dasar 1,30 0,12 Industri kertas dan Barang dari Kertas, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 1,15 -0,02
Real Estat 1,08 0,17 Perikanan 0,88 0,21 Industri Barang Galian bukan Logam 0,88 0,04 Pengadaan Gas dan Produksi Es 0,60 0,33 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 0,60 0,16 Industri Kulit, barang dari Kulit dan Alas Kaki 0,57 0,09 Pertambangan dan Penggalian Lainnya 0,53 0,08 Industri Pengolahan Lainnya 0,43 0,01 Industri Kayu, Barang dari Kayu, dan gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan, dan Sejenisnya 0,43 -0,01
Penyediaan Akomodasi 0,41 0,09 Jasa Perusahaan 0,39 0,11 Angkutan Udara 0,34 0,22 Jasa Keuangan Lainnya 0,29 0,07 Industri Furnitur 0,20 0,04 Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan; Pos dan Kurir 0,20 0,06
Asuransi dan Dana Pensiun 0,20 0,05 Industri Pengolahan Tembakau 0,19 0,01 Ketenagalistrikan 0,12 -0,01 Pertambangan Bijih Logam 0,09 -0,05 Kehutanan dan Penebangan Kayu 0,09 0,00 Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Daur Ulang 0,07 0,01
Angkutan Rel 0,04 0,02 Jasa Penunjang Keuangan 0,03 0,00 Angkutan Laut 0,01 0,00
Sumber: Badan Pusat Statistik
*) Pertumbuhan menggunakan PDRB Konstan 2010
59
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
4.2.3 Peranan Pembiayaan Perbankan
Perbankan merupakan lembaga keuangan yang berperan terhadap pasokan pembiayaan pelaku usaha di Jawa Barat. menurut Laporan Bank Indonesia, posisi akhir tahun 2014, aset perbankan di Jawa Barat, baik konvensional maupun syariah, mencapai 504 triliun rupiah. Fungsi intermediasi terbilang baik yaitu dengan LDR sebesar 89 persen dengan NPL yang relatif rendah. Perbankan ternyata sangat merespon terhadap capaian laju pertumbuhan ekonomi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi diikuti oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi diikuti oleh perlambatan pertumbuhan kredit dan simpanan dana masyarakat. Porsi kredit terkonsentrasi untuk industri pengolahan (45 persen) dan perdagangan (26 persen).
Gambar 4.11 Proporsi Kredit di Jawa Barat, 2010-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik
Dari sisi penyerapan per kabupaten/kota, terdapat beberapa daerah yang menyerap kredit dengan proporsi relatif besar, antara lain Kab. Bekasi (20 %), Kota Bandung (20%), Kab. Bandung (10%), Kab. Bogor (8%), Kab. Karawang (8%), dan Kota Bekasi (5%). Jumlah kredit di enam daerah tersebut mencapai 71 persen. Secara umum daerah-daerah tersebut adalah daerah industri, kecuali Kota Bandung sebagai kota jasa. Pelaku usaha industri pengolahan di daerah tersebut tersebar dalam skala usaha besar, menengah, dan kecil. Namun demikian, perbankan belum mendistribusikan kredit untuk industri misalnya untuk Kab. Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kab. Purwakarta yang mempunyai potensi pengembangan industri pengolahan. Hal tersebut terbukti dari serapan kredit yang relatif kecil.
Kab. Bekasi 20%
Kota Bandung 20%
Kab. Bandung
10%
Kab. Bogor 8%
Kab. Karawang 8%
Kota Bekasi 5%
Kab. Indramayu
3%
Kota Depok 3%
Lainnya23%
60
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Tingkat penyaluran kredit perbankan di Jawa Barat ternyata memerhatikan pula tingkat pendapatan daerah. Ada hubungan positif antara besarnya penyaluran kredit per kapita dengan tingkat pendapatan per kapita suatu daerah. Kota Bandung dan Kabupaten Bekasi adalah daerah penyerap kredit terbesar karena mempunyai pendapatan per-kapita tertinggi. Yang menarik adalah Kabupaten Bandung dimana sebenarnya mempunyai tingkat pendapatan per kapita tidak tinggi namun mampu menyerap kredit relatif besar karena diyakini mempunyai potensi ekonomi dan sebagai penyangga Kota Bandung. Pendapatan per kapita yang relatif besar mencirikan kemampuan produksi per kapita tersebut relatif besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Daya beli masyarakat yang tinggi meningkatkan permintaan akan barang dan jasa sehingga terjadi peningkatan kegiatan ekonomi dan permintaan kredit.
Gambar 4.12 Hubungan Kredit dan Pendapatan, 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berbeda dengan kredit, hubungan DPK per kapita dengan pendapatan per kapita menunjukkan dua jenis pola. Pada wilayah perkotaan, pendapatan per kapita yang besar searah dengan DPK per kapita yang besar. Daerah kota tersebut antara lain Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Cimahi, Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Tasikmalaya. Hal tersebut mengindikasikan besaran pendapatan yang diperoleh masyarakat perkotaan dialokasikan sebagian menjadi simpanan di bank dengan nominal yang relatif besar dibandingkan dengan daerah non-perkotaan. Menarik dicermati, Kab. Bekasi dan Kab. Karawang mencatat DPK relatif rendah walaupun tingkat pendapatan per kapita tinggi. Pelaku usaha di kedua kabupaten ini kebanyakan berkantor pusat di Jakarta sehingga simpanan tidak mengendap di perbankan Jawa Barat. Kabupaten/kota
Bogor
SukabumiCianjur
Bandung
GarutTasikmalayaCiamisKuningan
CirebonMajalengka
SumedangIndramayu
Subang
Purwakarta
Karawang
Bekasi
Bandung Barat
Kota BogorKota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota BekasiKota Depok Kota CimahiKota Tasikmalaya
Kota Banjar
0
0 20000 40000 60000 80000Pendapatan per kapita (Ribu Rp)
Kredit per Kapita (Ribu Rp)
61
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
yang mencatat pendapatan per kapita dan DPK per kapita yang rendah secara umum adalah daerah pertanian.
Gambar 4.13 Hubungan DPK per-kapita dan Pendapatan per-kapita (Harga Berlaku,
2014) Sumber: Badan Pusat Statistik
Komposisi kredit sektoral antar daerah juga menarik dicermati. Daerah pertanian lebih banyak menyerap kredit untuk sektor perdagangan. Perbankan di Jawa Barat terkesan enggan menyalurkan kredit pertanian untuk daerah yang memiliki keunggulan sektor pertanian. Keputusan perbankan menyalurkan kredit industri lebih besar untuk daerah industri dinilai sudah tepat. Untuk perkotaan, komposisi kredit perdagangan dan sektor jasa lainnya terbilang baik untuk Kota Bandung dan Kota Cirebon. Hasil penelitian tentang pengukuran efisiensi perbankan diperoleh gambaran operasional bank, terutama penyaluran kredit dinilai belum efisien akibat antara lain struktur pasar kredit yang didominasi oleh kekuatan beberapa bank besar atau mempunyai market power (Rina Indiastuti & Maman Setiawan, 2014).
Perbankan di Jawa Barat perlu lebih mendalami pasar kredit di seluruh daerah tentu dengan mengenali perkembangan kegiatan produksi dan ukuran ekonomi suatu daerah. Saat ini, praktis perbankan baru mendalami tujuh kabupaten/kota sesuai distribusi 71 persen kredit. Faktor yang dicermati sebaiknya bukan tingkat pendapatan per kapita saja namun dapat memerhatikan tingkat PAD, capaian IPM, dan karakteristik ekonomi yang menggambarkan struktur ekonomi apakah pertanian, industri, atau jasa (lihat box 2). Pendalaman sektor keuangan (financial deepening) menjadi agenda penting untuk perkuatan pembiayaan yang mendukung pembangunan daya saing perekonomian daerah di Jawa Barat.
BogorSukabumiCianjur
BandungGarutTasikmalayaCiamisKuningan
CirebonMajalengkaSumedang IndramayuSubang Purwakarta Karawang
Bekasi
Bandung Barat
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota DepokKota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
0
0 20000 40000 60000 80000Pendapatan per kapita (Ribu Rp)
DPK per Kapita (Ribu Rp)
62
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Gambar 4.14 Komposisi Kredit Sektoral, 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik
43%
32% 38%66% 53%
28%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
KotaSukabumi
Kota Bandung Kota Cirebon Kota Banjar KotaTasikmalaya
Jawa Barat
Komposisi Kredit Sektoral Daerah Jasa, 2014
Lainnya Jasa KemasyarakatanPerdagangan Besar & Eceran, Hotel, Restoran Industri PengolahanPertanian
63
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
Box 2 Determinan Financial deepening di Daerah
Financial deepening secara umum didefinisikan sebagai pertumbuhan dari skala transaksi keuangan yang terkait dengan kegiatan ekonomi riil (Hamori & Hashiguchi, 2012). Indikator yang merepresentasikan financial deepening antara lain total kredit terhadap PDRB, atau jumlah kantor bank terhadap 1000 penduduk. Telah dilakukan kajian empiris mengenai faktor-faktor yang memengaruhi besarnya financial deepening kabupaten-kota di Jawa Barat.
(1) Total kredit Jawa Barat didominasi oleh kredit yang digunakan di kegiatan industri pengolahan. Pada daerah industri, kredit untuk sektor pengolahan mendominasi kecuali Kab.Indramayu dimana sektor lainnya merupakan sektor yang banyak menyerap kredit. Begitu pula Kota Depok dan Kota Bogor, dimana sektor jasa juga menyerap kredit yang lebih besar dari industri pengolahan. Hal tersebut terkait kondisi kedua wilayah yang kegiatan ekonominya sudah cukup beragam. Pada daerah jasa, besaran kredit didominasi oleh sektor jasa, namun dengan distribusi yang cenderung beragam. Tidak seperti daerah industri, daerah jasa memiliki besaran kredit yang juga cukup besar di beberapa sektor, antara lain sektor industri pengolahan dan sektor lainnya. Daerah jasa memiliki kegiatan ekonomi yang lebih beragam dibandingkan daerah lainnya. Daerah pertanian menunjukkan pola yang berbeda, dimana besarnya share PDRB pertanian tidak diikuti oleh dominasi serapan kredit di sektor pertanian. Serapan kredit daerah pertanian didominasi oleh sektor PHR.
(2) Hasil analisis regresi menunjukkan rasio PAD terhadap PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan financial deepening. Besarnya PAD terhadap PDRB suatu daerah menunjukkan peningkatan pendapatan daerah yang umumnya didapat melalui pajak. Pajak yang besar menunjukkan besarnya kapasitas perekonomian/produksi suatu daerah dan hal tersebut seiring dengan kebutuhan kredit yang semakin besar. Selain itu, kondisi pembangunan manusia yang baik di suatu daerah juga menunjukkan financial deepening yang lebih baik. Daerah dengan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi memiliki financial depeening yang lebih rendah. Sebaliknya, semakin besarnya pendapatan per kapita suatu daerah semakin meningkatkan fin.deepening. Selain itu, struktur ekonomi suatu daerah turut berpengaruh terhadap peningkatan fin.deepening. Dominasi sektor sekunder dan tersier dalam suatu wilayah berpengaruh terhadap peningkatan fin.deepening lebih besar.
64
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Tabel 4.8 Hasil Regresi Determinan Financial Deepening Jawa Barat
Dependent Variable: Rasio Total Kredit (log)
Model 1 Model 2 Model 3
Rasio PAD (log) 0.327*** 0.194*** 0.200*** (0.080) (0.076) (0.076)
Tk. Kemiskinan(log) -0.734** 0.363 (0.365) (0.400)
IPM 0.144*** 0.163*** (0.028) (0.035)
Pendapatan 1.182*** 0.621** 0.680** Per-kapita (log) (0.303) (0.281) (0.289)
Share sek.sekunder 1.722*** 0.868* 0.873* (log) (0.487) (0.468) (0.469)
Share sek.tersier 2.392*** 1.138* 1.127* (log) (0.674) (0.655) (0.656)
Konstanta -1.557 -10.314*** -10.910*** (1.671) (2.416) (2.506)
n 27 27 27
t 4 4 4
R-square 0.772 0.822 0.824 Keterangan * p < 0.1 ; ** p < 0.05 ; *** p < 0.01 ; Standard error dalam kurung
Daftar Pustaka
Chenery, Hollis B. and Lance J. Taylor. 1968. “Development Pattern : Among Countries and Over Time.” Review of Economics and Statistics.
Djankov, S. and P. Murrell. 2002. “Enterprise Restructuring in Transition: A Quantitative Survey.” Journal of Economic Literature. Vol. XL, pp. 739-792.
Hamori, S. and Y. Hashiguchi. 2012. “The Effect of Financial Deepening on Equality: Some International Evidence.” Journal of Asian Economics. Vol. 23, pp. 353-359.
Indiastuti, Rina and Maman Setiawan. 2014. “Cost Efficiency and Market Power Effect in Indonesian Banking Industry.” 14th International Convention of the East Asian Economic Association. Bangkok, proceedings.
Kuznets, Simon. 1966. Modern Economic Growth: Rate, Structure, and Spread. New Haven and London : Yale University Press.
65
BAB 4 Dinamika Pembangunan Ekonomi Jawa Barat
Smith, S.M, and C.S Gibson. 1988. “Industrial Diversification in Non-metropolitan Counties and Its Effect on Economic Stability.” Western Journal of Agricultural Economics. Vol. 13, pp. 193-201.
Wagner, John E. 2000. “Regional Economic Diversity: Action, Concept, or State of Confusion.” The Journal of Regional Analysis & Policy. Vol.30 (2), pp. 1-22.
66
BAB 5 POTRET DAYA SAING EKONOMI
Pengetahuan yang baik tentang karakteristik perekonomian dan pergeseran struktur ekonomi menjadi dasar untuk pengukuran daya saing ekonomi daerah guna keperluan penyusunan strategi pengembangan daya saing. Ukuran daya saing, yaitu produktivitas, telah lama dan umum digunakan. Khusus bagi daerah, selain ukuran produktivitas, terdapat indikator lain dalam mengukur daya saing ekonomi, yaitu aliran investasi dan pertumbuhan ekspor.
Di level industri, strategi pengembangan daya saing ekonomi daerah dapat didorong melalui pengembangan daya saing industri yang diunggulkan, penguatan pelaku usaha termasuk skala kecil dan menengah, serta penciptaan skala ekonomi melalui aglomerasi industri.
5.1 Ukuran Daya Saing Ekonomi Daerah
5.1.1 Pertumbuhan Produktivitas
Evaluasi terhadap posisi daya saing daerah Jawa Barat dimulai dengan menilai kondisi input, proses, dan output. Indikator kondisi input meliputi tenaga kerja, kapital, sumber daya alam, dan material. Proses transformasi input menjadi output memerlukan teknologi, infrastruktur, dan inovasi. Proses transformasi input menjadi output yang ekonomis membutuhkan sinergi efisiensi internal maupun eksternal. Pencapaian skala ekonomi biasanya berbeda pada industri berat yang kerap membutuhkan banyak kapital atau industri ringan yang kebanyakan padat tenaga kerja. World Development Report (2009) menjelaskan bahwa industri berat atau yang padat modal lebih mudah memperoleh internal economies karena sifatnya yang increasing returns to scale. Sebaliknya industri padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, olahan kulit, meubel dan lainnya sering menghadapi constant atau diminishing returns to scale. Melalui pengembangan teknologi, inovasi, atau perluasan skop ekonomi, maka industri padat karya dapat menghindari diminishing returns to scale.
POTRET DAYA SAING EKONOMI DAERAH
5 B 5 POTRET
BAB
67
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
(1) Produktivitas Tenaga Kerja
Salah satu ukuran produktivitas yaitu ukuran rasio nilai tambah terhadap tenaga kerja atau disebut produktivitas tenaga kerja. Secara mudah, peningkatan produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu indikator untuk membangun daya saing. Peningkatan produktivitas tenaga kerja merupakan prospek perusahaan untuk tumbuh dan menyerap tenaga kerja. Pertumbuhan kesempatan kerja atau menurunnya tingkat pengangguran merupakan outcome daya saing ekonomi pada suatu daerah. Outcome selanjutnya adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan, meningkatnya knowledge, dan inovasi di daerah tersebut.
Jika perusahaan dan industri tertentu mampu mengembangkan kemampuan bersaing kompetitif (competitive advantage) dengan disertai oleh daerah atau negara yang mampu memunculkan kemampuan bersaing komparatif (comparative advantage), maka akan terbentuk daya saing daerah yang bersifat dinamis. Kemampuan bersaing kompetitif perusahaan atau industri akan lebih kuat jika dibangun atas dasar efisiensi dan inovasi, yang berada pada lokasi atau kawasan atau cluster industri. Localization economies atau aglomerasi terbukti mampu mendorong pengembangan kemampuan bersaing kompetitif.
Tabel 5.1 Produktivitas Tenaga Kerja, 2008-2012
Kabupaten
Produktivitas (dalam ribu Rp) *) Rata-Rata Pertumbuhan (%)
Total Sektor Industri Pengolahan Total
Sektor Industri
Pengolahan 2010 2013 2010 2013
Kab. Bogor 39.409 37.380 47.748 42.620 -1,75% -3,72%
Kab. Sukabumi 20.665 21.088 9.133 8.453 0,68% -2,55%
Kab. Cianjur 20.792 22.490 3.681 3.378 2,65% -2,83%
Kab. Bandung 35.073 37.535 31.233 31.638 2,29% 0,43%
Kab. Garut 28.000 29.052 8.135 10.505 1,24% 8,90%
Kab. Tasikmalaya 15.227 16.516 2.237 3.174 2,75% 12,37%
Kab. Ciamis 21.445 24.670 3.923 4.786 4,78% 6,85%
Kab. Kuningan 19.837 21.431 3.563 3.599 2,61% 0,33%
Kab. Cirebon 22.695 25.502 7.881 8.635 3,96% 3,09%
Kab. Majalengka 16.872 18.771 10.579 10.596 3,62% 0,05%
Kab. Sumedang 24.213 27.626 24.356 28.698 4,49% 5,62%
Kab. Indramayu 23.459 23.787 55.581 60.502 0,46% 2,87%
Kab. Subang 22.086 23.328 14.753 12.933 1,84% -4,29%
Kab. Purwakarta 43.630 49.760 46.054 51.089 4,48% 3,52%
Kab. Karawang 54.896 61.841 55.426 64.129 4,05% 4,98%
68
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Kabupaten
Produktivitas (dalam ribu Rp) *) Rata-Rata
Pertumbuhan (%)
Total Sektor Industri Pengolahan Total
Sektor Industri
Pengolahan 2010 2013 2010 2013
Kab. Bekasi 98.975 105.605 116.757 98.633 2,18% -5,47%
Kab. Bandung Barat 32.926 32.727 33.561 38.034 -0,20% 4,26%
Kota Bogor 28.799 29.315 21.307 26.193 0,59% 7,12%
Kota Sukabumi 44.163 39.897 8.635 7.170 -3,33% -6,01%
Kota Bandung 69.765 79.235 46.228 34.954 4,33% -8,90%
Kota Cirebon 96.259 98.909 127.222 134.444 0,91% 1,86%
Kota Bekasi 36.170 36.459 35.719 27.135 0,27% -8,76%
Kota Depok 19.029 19.572 22.089 27.787 0,94% 7,95%
Kota Cimahi 63.481 68.097 47.582 59.770 2,37% 7,90%
Kota Tasikmalaya 31.012 32.895 7.732 8.681 1,98% 3,94%
Kota Banjar 23.031 24.675 7.264 10.058 2,33% 11,46%
Jawa Barat 36.792 39.325 38.140 38.658 2,24% 0,45%
Sumber: Badan Pusat Statistik, data diolah
*) Produktivitas tenaga kerja merupakan hasil bagi nilai tambah riil terhadap jumlah tenaga kerja
Daya saing industri pengolahan yang merupakan sektor dominan perekonomian Jawa Barat mengalami ancaman pelemahan daya saing dari ukuran pertumbuhan produktivitas tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan sektor keseluruhan. Hal lain, produktivitas tenaga kerja tidak tumbuh relatif dibandingkan capaian tingkat pertumbuhan ekonomi. Artinya, kontribusi kapital dalam mendukung pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan kontribusi tenaga kerja. Hal ini akan mengendala proses penciptaan lapangan kerja dan menyulitkan proses peningkatan upah tenaga kerja yang berbasis produktivitas. Indikator tersebut semakin meyakinkan pemerintah sebagai penyusun kebijakan bahwa pembentukan human capital mendesak segera diwujudkan jika tidak ingin penikmat return pembangunan didominasi pemilik modal. Kabupaten Bekasi sebagai daerah industri ternyata tidak mampu menciptakan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sektor industri pengolahan sehingga dapat dimengerti sulit menjaga daya tarik bagi industri baru atau bahkan terjadi relokasi pabrik keluar dari Bekasi.
69
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
(2) Produktivitas dan Perubahan Struktur Ekonomi
Pergeseran struktur ekonomi yang ditandai oleh pergeseran peranan sektor
pertanian, industri, dan jasa telah mengakibatkan perubahan struktur industri
pengolahan. Perubahan struktur industri selain akibat perubahan struktur
produksi atau supply, juga merespon perubahan kondisi pasar dan kemampuan
perusahaan lokal berkompetisi di pasar domestik maupun internasional serta
perilaku agen ekonomi. Yang jelas, perubahan strukur industri tetap berorientasi
pada peningkatan nilai tambah. Intensitas perdagangan luar negeri akan
menentukan proses perubahan struktur industri.
Ada keterkaitan antara perubahan struktur ekonomi dan daya saing
industri. Daya saing industri diukur oleh share industri lokal terhadap nasional.
Selanjutnya, keterbukaan ekonomi mempercepat perubahan struktur ekonomi.
Tingkat pertumbuhan sektor yang berbeda mengakibatkan proses pergeseran
struktur ekonomi.
Dari sisi mikro, karakteristik perusahaan atau unit usaha memengaruhi
proses perubahan struktur ekonomi melalui kesempatan kerja (employment).
Karakteristik yang utama adalah profil kinerja produktivitas perusahaan dan
industri. Kebijakan pemerintah dan insentif juga sebagai faktor penting lainnya.
Secara internal perusahaan, perubahan struktur output ditentukan oleh struktur
dan kualitas input, teknologi dan manajemen/organisasi (Grosfeld and Roland,
1996).
Tabel 5.2 Share Nilai tambah Industri Jawa Barat dan Indeks LQ Industri, 2008-2012
Kode ISIC 2 Digit
Jenis Industri VA Industri
Jabar VA Industri Indonesia
Proporsi VA (%)
LQ
29 Industri Kendaraan Bermotor, Trailer dan Semi Trailer
35.346.001.920 81.663.156.224 39,99 1,83
13 Industri Tekstil 15.757.905.920 32.259.287.040 48,83 1,8
14 Industri Pakaian Jadi 13.734.950.912 29.185.875.968 46,09 1,63
26 Industri Komputer, Barang Elektronik dan Optik
9.949.744.128 20.608.759.808 47,73 1,54
27 Industri Peralatan Listrik
4.469.999.104 10.310.984.704 42,41 1,45
28 Industri Mesin dan Perlengkapan ytdl
3.838.481.408 6.854.555.648 58,04 1,42
32 Industri Pengolahan Lainnya
3.059.544.576 5.382.976.000 57,55 1,39
23 Industri Barang Galian Bukan Logam
8.676.457.472 28.175.095.808 30,68 1,38
21 Industri Farmasi, Produk Obat Kimia
268.093.840 724.068.480 37,19 1,08
70
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Kode ISIC 2 Digit
Jenis Industri VA Industri Jabar
VA Industri Indonesia
Proporsi VA (%) LQ
dan Obat Tradisional
11 Industri Minuman 2.354.092.288 5.789.028.864 39,92 1,02
19
Industri Produk dari Batu Bara dan Pengilangan Minyak Bumi
132.188.328 494.733.184 28,03 1,01
25 Industri Barang Logam, Bukan Mesin dan Peralatannya
8.142.530.560 25.000.534.016 31,55 0,98
30 Industri Alat Angkutan Lainnya 4.569.900.032 14.492.575.744 36,1 0,93
22 Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik 9.507.168.256 38.980.968.448 24,29 0,84
15 Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 2.435.519.488 9.706.425.344 25,04 0,83
20 Industri Bahan Kimia dan Barang dari Bahan Kimia
13.848.396.800 49.303.416.832 28,87 0,83
17 Industri Kertas dan Barang dari Kertas 28.192.495.616 52.912.914.432 50,64 0,82
18 Industri Pencetakan dan Reproduksi Media Rekaman
3.670.583.296 13.914.619.904 29,34 0,68
24 Industri Logam Dasar 6.858.278.912 37.959.540.736 17,45 0,66 31 Industri Furnitur 1.491.170.432 9.127.779.328 16,48 0,65 10 Industri Makanan 12.002.633.728 154.985.725.952 7,51 0,54
16 Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus 2.312.940.800 26.419.228.672 8,06 0,32
12 Industri Pengolahan Tembakau 31.599.940 58.734.206.976 0,05 0,01
Sumber: Badan Pusat Statistik
Kinerja perubahan daya saing setiap industri memengaruhi proses restrukturisasi industri. Suatu industri semakin kompetitif diukur dari share dalam pasar domestik dan internasional yang meningkat otomatis merefleksikan terjadinya penyesuaian proses produksi. Ada kausalitas antara restrukturisasi industri dan daya saing industri.
Kekuatan industri pengolahan Jawa Barat menjadi fokus pengembangan daya saing ekonomi daerah. Mengukur keunggulan jenis industri pengolahan relatif terhadap industri sejenis nasional dapat dilakukan melalui indeks LQ (Location Quotient). Diketahui ada 11 (sebelas) jenis industri yang dianggap memiliki potensi daya saing, yaitu:
(1) Industri kendaraan bermotor, trailer, dan semi trailer (industri angkutan),
71
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
(2) Industri tekstil,
(3) Industri pakaian jadi,
(4) Industri komputer, barang elektronik, dan optik,
(5) Industri peralatan listrik,
(6) Industri mesin dan perlengkapan lainnya,
(7) Industri pengolahan lainnya
(8) Industri barang galian bukan logam,
(9) Industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional,
(10) Industri minuman,
(11) Industri produk dari batubara dan pengilangan minyak bumi.
5.1.2 Aliran Investasi
Realisasi investasi yang diserap oleh lapangan usaha di Jawa Barat terdiri dari investasi dari dalam negeri dan luar negeri. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) cenderung meningkat sepanjang 2008-2015. PMA tercatat mengalami penurunan kembali pada 2014, namun PMDN meningkat dari Rp. 9 triliun pada 2013 menjadi Rp. 34,1 triliun pada 2015. Jika dilihat dari kontribusinya, PMA cenderung mendominasi investasi Jawa Barat dengan rata-rata share sebesar 80%. Namun, seiring dengan peningkatan PMDN yang signifikan sejak 2013, dominasi PMA cenderung menurun.
Gambar 5.1 Realisasi Investasi Jawa Barat, 2006-2015
Sumber: Bank Indonesia
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
PMDN (miliar Rp) PMA (miliar US$)
72
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Beberapa sektor yang menjadi tujuan utama investasi adalah: (i) industri kendaraan bermotor dan alat transportasi, (ii) industri logam, mesin, dan elektronik, (iii) listrik, gas, dan air, serta (iv) perdagangan dan reparasi. Secara umum, industri pengolahan menjadi tujuan utama investasi terbesar sepanjang periode dengan rata-rata share sebesar 70,5%. Pada tahun 2012, industri logam, mesin, dan elektronik mencatat share realisasi investasi terbesar, yaitu sebesar 55% dari total realisasi investasi.
Tabel 5.3 Realisasi Investasi Sektoral Jawa Barat, 2007-2014 Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Peternakan
127 37 168 48 94 331 319 384
Pertambangan 0 0 14 0 0 0 158 659 Industri Pengolahan 22.008 24.452 16.344 24.466 25.575 44.714 80.738 62.963
Listrik, Gas, Air 0 711 2.024 4.089 7.326 626 503 9.644 Konstruksi 427 1.058 37 0 165 786 1.677 13.148 Perdagangan Besar, Reparasi, Hotel & Restoran
482 1.548 638 1.180 6.660 2.466 26.355 17.882
Transportasi, Gudang, dan Komunikasi
77 820 251 9.356 118 410 4.262 1.515
Perumahan, Kawasan Industri & Perkantoran
294 109 2.358 365 2.461 2.893 2.467 2.903
Jasa Lainnya 119 868 119 7.099 6.256 954 3.057 2.427 Total Realisasi Investasi 23.534 29.603 21.953 46.603 48.656 53.181 119.537 111.526
Sumber: Badan Pusat Statistik
Dengan besarnya dominasi industri pengolahan sebagai tujuan investasi, kawasan industri merupakan daerah tujuan utama investasi. Sebagai kawasan industri, Kab.Bekasi dan Kab.Karawang merupakan dua daerah yang menarik investor terbesar sepanjang 2008-2015 dengan rata-rata share masing-masing sebesar 27,63% dan 18,07%. Daerah lainnya adalah Kab.Purwakarta, Kab. Bogor, Kab. Sukabumi, dan Kota Bandung. Pada tahun 2010 Kota Bandung menarik investasi terbesar dengan share sebesar 30,38% terhadap total investasi. Berbeda dengan Kab.Bekasi dan Kab. Karawang dimana perkembangan share realisasi investasi cenderung meningkat. Kab.Bogor dan Kab.Purwakarta cenderung memiliki share investasi menurun sepanjang 2008-2015.
73
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
5.1.3 Kinerja Ekspor
Terdapat beberapa industri utama Jawa Barat yang menunjukkan kinerja positif, yaitu melalui peningkatan share ekspor dan rata-rata pertumbuhan di atas Jawa Barat. Kelompok industri tersebut antara lain:
(1) Industri Kulit dan barang dari Kulit (KLT)
(2) Industri makanan, minuman, dan Tembakau (MMT)
(3) Industri Kendaraan, PesawatTerbang, dan perlengkapannya (KND)
(4) Industri Kimia dan sejenis (INKM)
(5) Industri Alat Optik, Fotografi, Musik, Kedokteran, Bedahm dan jam (OPT)
(6) Industri Tekstil dan Barang dari Tekstil (TPT)
Gambar 5.2 Share Ekspor Komoditas terhadap Total Ekspor Non-Migas Jawa Barat,
2010 -2014 Sumber: Bank Indonesia
Kue ekspor terbesar terdapat pada produk permesinan dan tekstil & produk tekstil (TPT). Namun, rata-rata pertumbuhan ekspor permesinan tercatat negatif, mengindikasikan perlunya penguatan kembali daya saing industri mesin dan perlengkapannya yang merupakan industri unggulan Jawa Barat dan memiliki infrastruktur kawasan industri yang sudah mapan. Bagi Indonesia, industri otomotif mempunyai potensi daya saing di ASEAN. Hal lainnya, industri TPT yang saat ini mengalami penurunan jumlah perusahaan kerap disebut memasuki sunset
74
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
industry. Namun, kejayaan industri TPT yang merupakan industri unggulan Jawa Barat seyogyanya tetap dipulihkan daya saingnya karena produk TPT dibutuhkan oleh pasar domestik dan global.
Pertimbangan lain adalah, ekspor produk mesin dan perlengkapan serta TPT memberikan kontribusi relatif besar terhadap ekspor nasional, relatif dibandingkan produk lainnya. Produk lain yang perlu dikuatkan daya saingnya adalah produk kulit dan alas kaki, apalagi Jawa Barat pernah terkenal oleh produk alas kaki Cibaduyut.
Gambar 5.3 Share Ekspor Jawa Barat terhadap Ekspor Nasional untuk Komoditas
Sejenis, 2010-2014 Sumber: Bank Indonesia, UN Trade Statistics
Keterangan: Gambar 1: Origin x= 0 ; y = 3,16% (rata-rata growth Jabar) Gambar 2: Origin x = 0,14% (delta share Jabar) ; y = 3,16% (rata-rata growth
Jabar) Besaran bubble menggunakan skala yang sama untuk kedua gambar
Tabel 5.4 Tren Diversifikasi Ekspor Non-Migas Jawa Barat, 2010-2014
Keterangan 2010 2011 2012 2013 2014
Rasio Ekspor non-migas per PDRB 23,98 23,87 23,54 25,90 24,41
Rasio Ekspor Neto 13,07 12,29 12,34 13,66 13,38
Keterangan: Ekspor dihitung dengan satuan Rupiah; menggunakan kurs tengah Bank Indonesia
75
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
Pertumbuhan perekonomian Jawa Barat antara lain ditopang oleh kinerja ekspor. Rasio ekspor non-migas terhadap PDRB menunjukkan peningkatan hingga tahun 2013. Kelesuan pasar global telah menurunkan kinerja ekspor pada tahun 2014 hingga 2015. Namun demikian, transaksi perdagangan luar negeri menunjukkan ekspor masih lebih besar dibandingkan dengan impor. Rincian ekspor per kelompok barang dapat dilihat pada Tabel 5.5. Hampir semua kelompok barang ekspor mencatat impor yang terus mengecil. Artinya, barang-barang tersebut memiliki daya saing di pasar global.
Tabel 5.5 Ekspor Neto Non-Migas (berdasar pertumbuhan positif), 2012-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik
5.2 Penciptaan dan Pengembangan Keunggulan
5.2.1 Penetapan Industri unggulan
Membandingkan nilai tambah subsektoral, diketahui ada 5 (lima) subsektor yang menjadi andalan Jawa Barat mewakili sektor perdagangan, industri, dan pertanian serta konstruksi. Industri barang logam dan elektronika, dan industri alat angkutan menyumbang nilai tambah masing-masing 10% dan 9% pada tahun 2014. Sumbangan nilai tambah industri alat angkutan terus meningkat sehingga industri ini dapat dikategorikan industri unggulan Jawa Barat. Pabrik terkonsentrasi di kawasan Bekasi dan Karawang. Subsektor yang mencatat peningkatan share nilai tambah adalah konstruksi. Pergeseran struktur pada berbagai daerah yang meningkat share sektor jasa mengakibatkan permintaan akan konstruksi meningkat. Konsekuensinya adalah alih fungsi lahan pertanian tidak terhindarkan.
Kelompok Barang Nilai (Ribu USD)
2012 2014 Makanan, Minuman, dan Tembakau 954.461 1.200.220 Tekstil dan Produk dari Tekstil 3.957.899 4.127.004 Kulit, Barang dari Kulit, Alas Kaki, Tutup Kepala, Payung, dan Bunga Tiruan
797.970 1.176.345
Produk Industri Kimia dan Industri Sejenis 540.232 555.851 Barang dari Batu, Semen, Gips, Asbes, Kaca, Mika, Produk Keramik
215.093 245.200
Alat Optik, Fotografi, Musik, Kedokteran, Bedah, dan Jam
200.113 282.131
Kendaraan, Pesawat Terbang, Kendaraan dan Perlengkapannya
753.409 925.831
76
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Tabel 5.6 Share PDRB sub-Sektor Unggulan Jawa Barat
Subsektor 2010 2011 2012 2013 2014
Perdagangan Besar & Eceran, bukan Mobil dan Motor
13,34% 13,40% 13,73% 13,63% 13,09%
Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, Optik, dan Peralatan Listrik
10,55% 9,93% 10,22% 10,29% 9,84%
Industri Alat Angkutan 7,63% 7,89% 7,81% 8,32% 8,59%
Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian
8,86% 8,40% 7,98% 8,09% 7,74%
Konstruksi 6,96% 7,23% 7,80% 7,87% 8,12%
Total 47,34% 46,85% 47,54% 48,19% 47,38%
Sumber: Badan Pusat Statsitik
Karakteristik ekonomi antar kabupaten/kota dapat dikenali melalui share nilai tambah sehingga dapat dikenali apakah sebagai daerah yang mempunyai potensi pertanian, industri, atau jasa. Diversitas potensi tersebut akan menjadi kekuatan ekonomi daerah Jawa Barat karena terbuka luas untuk mengembangkan keunggulan pertanian, industri, dan jasa sekaligus namun disebar di daerah yang berbeda.
Gambar 5.4 Proporsi PDRB Kab-Kota
Sumber: Badan Pusat Statsitik
Untuk mengukur dan menentukan subsektor unggulan, hasil riset terhadap variabel nilai tambah dan pembiayaan sub-sektoral pada kabupaten/kota tanpa wilayah Bogor, Depok, Bekasi, dan Karawang, menghasilkan indeks
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Lainnya Jasa Pemerintahan, Pendidikan, PertahananKonstruksi Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa PertanianPerdag. Besar & Eceran Industri non-migas
77
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
komposit nilai tambah kinerja pembiayaan kredit (Rina Indiastuti, 2013-2015)21. Komoditas tanaman bahan makanan merupakan subsektor pertanian unggulan.
Terdapat 4 (empat) subsektor/industri yang terkategori ‘sangat unggul’ karena mempunyai share PDRB maupun share kredit di atas rata-rata atau indeks komposit, yaitu berturut-turut:
(1) Perdagangan besar & eceran,
(2) Industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki,
(3) Industri makanan, minuman, dan tembakau,
(4) Industri alat angkut, mesin, dan peralatannya,
Subsektor/industri terkategori ‘unggul’ jika mempunyai salah satu dari share PDRB atau share kredit yang di atas rata-rata, yaitu berturut-turut:
(5) Tanaman bahan makanan (mempunyai share PDRB di atas rata-rata),
(6) Subsektor konstruksi (mempunyai share PDRB di atas rata-rata),
(7) Subsektor pos dan telekomunikasi (mempunyai share kredit di atas rata-rata),
(8) Subsektor restoran (mempunyai share PDRB di atas rata-rata)
(9) Subsektor jasa sosial dan kemasyarakatan (mempunyai share kredit di atas rata-rata),
(10) Subsektor angkutan jalan raya (mempunyai share PDRB di atas rata-rata),
(11) Industri semen dan barang galian bukan logam (mempunyai share kredit di atas rata-rata).
5.2.2 Penguatan Pelaku Usaha
Skala usaha dikelompokkan menjadi empat jenis yang didasarkan atas kekayaan bersih dan omzet tahunan yang dihasilkan, antara lain : (i) usaha mikro, dengan kekayaan bersih < Rp.50 juta dan omzet < Rp. 300 juta (ii) usaha kecil, dengan kekayaan bersih Rp.50 juta – Rp. 500 juta, dan omzet Rp.300 juta-Rp.2,5miliar (iii) usaha menengah, dengan kekayaan bersih Rp. 500 juta – Rp. 1 miliar, dan omzet Rp.2,5 miliar – Rp. 50 miliar, serta (iv) usaha besar, dengan kekayaan bersih > Rp. 1 miliar, dan omzet > Rp. 50 miliar (UU No.20 Th.2008). Data resmi terkait aktivitas ekonomi berdasar skala usaha umumnya terbatas, dimana data tidak diterbitkan secara tahunan. Dalam menganalisis kegiatan ekonomi
21 Laporan kajian saat menjadi Chief Regional Economist Bank BNI
78
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
berdasar kelompok usaha, kegiatan produksi migas tidak dimasukkan ke dalam penghitungan data karena umumnya sektor migas masih dikuasai oleh BUMN.
Gambar 6 menyajikan data mengenai share PDRB non-migas berdasarkan skala usaha dan perubahan yang terjadi sepanjang 2009-2012. Usaha berskala besar menyumbang PDRB terbesar yaitu 45,45% pada 2012, namun porsi ini menurun 1,67% jika dibandingkan dengan peranannya di tahun 2009.
Gambar 5.5 Share PDRB non-Migas Jawa Barat Menurut Skala Usaha 2012
Sumber: Badan Pusat Statistik, bekerja sama dengan Dinas UMKM Jawa Barat
Penurunan share pada usaha besar disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan PDRB di sektor industri pengolahan, dimana industri pengolahan merupakan sektor yang mendominasi skala usaha besar dengan porsi 55,89%. Dengan share terbesar kedua, yaitu sebesar 31,78%, skala usaha mikro merupakan kelompok usaha yang menunjukkan peningkatan tertinggi dalam menyumbang PDRB, lalu diikuti skala usaha menengah dan skala usaha kecil. Sektor yang dominan pada skala usaha mikro adalah sektor pertanian dan PHR. Adapun sektor yang dominan pada skala usaha menengah adalah sektor industri pengolahan, PHR, dan pengangkutan & komunikasi, sedangkan sektor yang dominan pada skala usaha kecil adalah sektor PHR dan industri pengolahan.
Pada sektor industri pengolahan, nilai tambah yang tercipta disumbang oleh skala usaha besar dengan kontribusi 73%, diikuti oleh skala menengah, mikro dan kecil. Skala usaha besar juga mendominasi sektor konstruksi, jasa kemasyarakatan, dan LGA. Sektor-sektor tersebut umumnya merupakan sektor usaha formal, dimana terdapat aturan birokrasi terkait izin usaha, ketenagakerjaan, dan modal usaha, serta terdapat beberapa usaha yang tergolong ke dalam
-4%
-2%
0%
2%
4%
6%
8%
10%
-20%
-10%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Besar Mikro Menengah Kecil
Share PDRB 2012 perubahan share PDRB 2012 dibandingkan 2009
79
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
pengelolaan pemerintah daerah/pusat. Pada sektor PHR dan pertanian, skala usaha mikro berkontribusi besar dengan sumbangan masing-masing 45% dan 92%. Kedua sektor tersebut umumnya bersifat informal, dimana tidak banyak terikat aturan birokrasi terkait aktivitas usaha, sehingga lebih mudah membentuk unit usaha baru. Dengan kata lain, sektor ini mudah untuk dimasuki pelaku usaha.
Gambar 5.6 Struktur PDRB non-Migas Sektoral Menurut Skala Usaha Jawa Barat 2011
Sumber: Badan Pusat Statistik, bekerja sama dengan Dinas UMKM Jawa Barat
Tabel 5.7 Jumlah Unit Usaha Berdasarkan Skala Usaha, Jawa Barat
Skala Usaha
Unit Usaha 2009 2010 2011 2012
Besar 1.536 1.566 1.728 1.853 Mikro 8.410.246 8.616.254 8.626.671 9.042.519 Menengah 7.496 7.408 8.181 8.235 Kecil 106.752 106.592 116.062 115.749 Total 8.526.030 8.731.820 8.752.642 9.168.356
Sumber: Badan Pusat Statistik, bekerja sama dengan Dinas UMKM Jawa Barat
Tabel 5.8 Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Skala Usaha, Jawa Barat Skala Usaha
Tenaga Kerja (orang) 2009 2010 2011 2012
Besar 2.289.161 2.237.358 2.402.049 2.517.108 Mikro 13.552.205 13.672.222 13.934.389 14.692.441 Menengah 455.450 478.871 527.186 553.624 Kecil 604.613 577.111 642.344 660.921 Total 16.901.430 16.965.563 17.505.967 18.424.094
Sumber: Badan Pusat Statistik, bekerja sama dengan Dinas UMKM Jawa Barat
80
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Skala usaha besar cenderung bersifat padat modal, sedangkan usaha mikro, sebagai penyumbang PDRB terbesar kedua, cenderung bersifat padat karya. Hal tersebut terkonfirmasi pada Tabel 5.7 dan Tabel 5.8 dimana terlihat jumlah unit usaha dan jumlah tenaga kerja setiap kelompok usaha. Dengan share PDRB yang besar, skala usaha kecil memiliki unit usaha dan tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan usaha besar. Sektor pertanian merupakan sektor yang mendominasi terkonsentrasinya tenaga kerja, diikuti oleh PHR dan industri pengolahan. Tenaga kerja sektor pertanian dominan berada pada skala usaha mikro, sedangkan tenaga kerja PHR dominan berada di skala usaha mikro dan kecil. Adapun tenaga kerja sektor industri pengolahan banyak terdapat di skala usaha besar dan menengah.
Gambar 5.7 Distribusi Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha, Jawa Barat 2011
Sumber: Badan Pusat Statistik, bekerja sama dengan Dinas UMKM Jawa Barat
Jika melihat penyerapan tenaga kerja pada setiap pembukaan unit usaha baru, skala usaha besar menyerap tenaga kerja dengan rata-rata penyerapan sebanyak 719 orang untuk setiap dibukanya satu unit usaha. Pada skala usaha menengah, pembukaan satu unit usaha mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 133 orang. Adapun pada skala usaha mikro mampu menyerap dua orang, dan usaha kecil menyerap enam orang tenaga kerja. Apabila merujuk pada pertumbuhan ekonomi setiap kelompok usaha, sektor usaha mikro mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan kelompok lainnya. Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen per tahun, usaha mikro mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 53.988 orang per tahun. Adapun usaha besar mampu menyerap tenaga kerja dengan rata-rata 15.634 orang per tahun, diikuti oleh usaha menengah sebanyak 4.914 orang per tahun, dan usaha kecil sebanyak 2.493 orang per tahun.
Skala usaha mikro, kecil, dan menengah memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Adapun usaha besar,
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
Besar Mikro Menengah Kecil Total
51%
12%
57%
31% 19%
31%
12%
34%
26%
36% 29%
40%
7% 5% 10%
12%
7% 6% 18% 16%
7%
Industri Pengolahan PHRPertanian KonstruksiJasa Kemasyarakatan Pengangkutan, Komunikasi
81
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
dengan perlambatan yang terjadi di sektor industri pengolahan, memiliki rata-rata pertumbuhan di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sepanjang 2009-2012. Hal ini mengindikasikan bahwa periode krisis relatif berdampak pada skala usaha besar. Skala usaha menengah mengalami pertumbuhan negatif pada 2009 dan kembali positif serta diatas rata-rata Jawa Barat di tahun 2010. Seperti halnya usaha besar, usaha menengah juga terkena dampak dari krisis, namun pertumbuhan yang relatif tinggi pasca krisis memperlihatkan proses recovery usaha menengah lebih cepat. Ketergantungan terhadap bahan baku impor menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh skala usaha besar. Adapun usaha mikro, kecil, dan menengah terkendala pada kemampuan berdaya saing, permodalan, sarana dan prasarana, dan faktor bencana alam. Kemampuan berdaya saing tersebut mencakup permasalahan internal usaha, seperti efisiensi produksi dan kualitas produk.
5.2.3 Skala Ekonomi melalui Aglomerasi Industri
Salah satu strategi pengembangan daya saing suatu daerah, antara lain melalui penciptaan skala ekonomi kegiatan yang bersifat kolektif, yang dilakukan baik oleh individu perusahaan, individu tenaga kerja, industri, dan pemerintah. Salah satu pendekatan dalam menumbuhkan skala ekonomis adalah melalui aglomerasi ekonomis. Aglomerasi ekonomis ditandai oleh dihasilkannya jumlah produksi dalam skala besar dan efisien. Efek positif aglomerasi industri adalah meningkatkan efisiensi perusahaan atau industri yang berada pada lokalisasi tersebut. Aglomerasi disebut pula merupakan faktor efisiensi eksternal bagi perusahaan atau industri.
Walaupun aglomerasi industri mempunyai efek terhadap peningkatan produktivitas namun beberapa studi menyebutkan efeknya tidak stabil. Pada kondisi produktvitas yang semakin meningkat akibat aglomerasi kerap diikuti oleh urbanisasi akibat efek kemajuan daerah. Urbanisasi ini yang mengancam keberlanjutan pertumbuhan produkvitas jika daerah tidak mampu mengembangkan mutu SDM akibat efek urbanisasi ini.
Situasi dimana terjadi peningkatan UMK meningkatkan urbanisasi pada daerah yang telah tumbuh baik ekonomisasi aglomerasi industri dikawatirkan akan mengganggu kestabilan pertumbuhan produktivitas. Hal ini mungkin sejalan dengan Henderson (1997) dalam studinya yang menyebutkan bahwa given tingkat upah, maka produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh lokalisasi industri dan urbanisasi.
Pertumbuhan produktivitas industri tertentu akibat lokalisasi perusahaan sejenis dapat dinamis jika menikmati benefit akibat keunggulan atas spesialisasi dan keterampilan tenaga kerja. Efek ekonomi akibat lokalisasi ini adalah
82
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
berkembangnya industri lain di sekitar lokasi tersebut sehingga memunculkan efek urbanisasi. Efek aglomerasi telah memberikan kontribusi yang signifikan pada pertumbuhan dan kontribusi sektor industri terhadap pendapatan per-kapita. Kemajuan yang tampak selain dari peningkatan pendapatan per-kapita juga pertumbuhan sektor pendukung seperti pemasok, perdagangan, dan logistik. Skala ekonomis akan dinikmati oleh sektor pendukung.
Perkembangan yang dialami daerah yang sudah menikmati skala ekonomis akibat aglomerasi industri adalah kebutuhan masyarakat akan perumahan atau real estate, pendidikan, kesehatan, dan hiburan. Selain itu, perusahaan setempat membutuhkan sektor jasa seperti pemasaran, pengemasan, katering, transportasi, keamanan dan lainnya.
Skala ekonomis yang dialami berbagai sektor terkait tersebut terancam tidak berlanjut jika tidak diikuti oleh kemajuan knowledge, teknologi dan inovasi yang dilakukan baik oleh individu perusahaan, industri, dan pemerintah. Dengan demikian, konsep atas skala ekonomi akibat aglomerasi industri idealnya memunculkan 3 (tiga) efek yaitu internal returns to scale (firm specific economies of agglomeration), localization economies (industry specific economies of agglomeration), dan urbanization economies (city specific economies of agglomeration). Idealnya, agregasi dan akumulasi dari 3 (tiga) jenis ekonomisasi tersebut mampu menciptakan ‘added value’. Interaksi diantara ketiga player yaitu individu perusahaan, industri, dan pemerintah harus mampu memunculkan ‘value’ sekaligus memunculkan aliran knowledge, teknologi, dan inovasi yang selanjutnya akan menjamin keberlanjutan daya saing perusahaan, industri maupun daerah.
Model Porter (1990, 1998) melalui model diamond dapat diadopsi untuk menumbuhkan daya saing perusahaan dan industri di suatu daerah melalui peningkatan efisiensi kolektif yang dimunculkan dari kerja cluster industri. Aliran knowledge dan teknologi akan menguntungkan perusahaan skala kecil dan menengah yang berlokasi di sekitar perusahaan besar. Aliran informasi yang terjadi pada cluster akan memudahkan praktek perilaku bersaing sehat dan inovasi.
Model aglomerasi industri kemudian diperkuat oleh urbanization economies seperti di kota Jababeka Bekasi bukan diawali oleh model cluster industri ala Porter karena pendekatannya adalah kawasan industri Jababeka mengundang beberapa jenis industri tumbuh dan berkembang terutama elektronik dan otomotif. Kawasan industri Jababeka Bekasi dikembangkan oleh pengembang kawasan industri pada tahun 1989 yang mempunyai lokasi strategis, yaitu dilewati jalan tol Jakarta Cikampek. Pada tahun 1994 menjadi perusahaan terbuka pertama di Indonesia untuk industrial estate. Kawasan tersebut menyediakan lahan dan infrastruktur untuk industri ringan, menengah, dan otomotif. Pendekatan pembangunannya adalah penyediaan lahan yang luas bagi berbagai jenis industri dilengkapi dengan pendukungnya, dimana hal tersebut merupakan penciri aglomerasi industri.
83
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
Pengembangan kawasan saat ini menjadi Kota Jababeka meliputi kawasan industri dan area pemukiman serta infrastruktur pendukung lainnya diatas lahan lebih dari 3800 ha. Terdapat sekitar 1.650 perusahaan nasional dan multinasional lebih dari 30 negara dan telah mempekerjakan lebih dari 700.000 pekerja dan 4.300 ekspatriat. Perseroan memiliki tenant yang terdiri dari perusahaan multinasional seperti Loreal, ICI Paints, Mattel, Samsung, Unilever, United Tractors, Akzo Nobel, Nissin Mas dan lainnya. Perkembangan saat ini telah dilengkapi dengan fasilitas rekreasi, pendidikan, kesehatan, pusat bisnis, lapangan golf, dan beberapa fasilitas lain. Dapat dikatakan bahwa saat ini Kota Jababeka merupakan kota baru atau aglomerasi kota (urban agglomeration) dibawah administrasi Kabupaten Bekasi.
Ellison dan Glaeser (1997) mengukur aglomerasi industri dengan indikator share sektor industri dari suatu sub-wilayah terhadap share wilayahnya dan direpresentasikan dalam sebuah indeks. Orientasi wilayah dapat berupa share provinsi terhadap nasional, dapat pula kabupaten/kota terhadap provinsi. Besaran indeks merepresentasikan keterpusatan sektor industri tersebut pada suatu wilayah. Pada Tabel 5.8 ditampilkan data mengenai kelompok industri yang cenderung terpusat dalam suatu wilayah di Provinsi Jawa Barat. Keterpusatan tersebut diindikasikan dengan rata-rata indeks lebih dari 0.05 (Sjoberg & Sjoholm, 2004). Sektor Industri Pakaian Jadi merupakan sektor industri yang memiliki indeks aglomerasi terbesar. Industri Tekstil dan Produk Tekstil merupakan salah satu industri unggulan dari Provinsi Jawa Barat. Selain itu, kelompok industri makanan adalah salah satu sektor yang kegiatan usahanya relatif lebih terkumpul dibandingkan dengan kelompok industri lainnya. Kelompok industri makanan umumnya banyak terdapat di Kab. Cirebon, Kota Bandung, dan Kab. Bogor. Subsektor industri daun teh banyak terdapat di Kab. Bogor, Kab. Cianjur, dan Kab. Bandung. Adapun kelompok industri tekstil dan pakaian jadi banyak terdapat di Kota Bandung, Kab. Bandung, dan Kota Cimahi.
Tabel 5.9 Kelompok Industri Manufaktur yang Cenderung Terpusat
Deskripsi Aglomerasi Industri
2008 2009 2010 2011 Pakaian Jadi 0,52 0,71 1,42 1,02 Kain tenun 0,35 0,41 0,51 0,36 Benang celup, pintal, polyester, kapas, lainnya 0,26 0,26 0,38 0,32 Plastik lembaran dari polimer propilena 0,33 0,41 0,46 0,43 Obat-obatan 0,45 0,31 0,36 0,24 Industri Remilling Karet 0,31 0,16 0,05 0,1 Ubin, lubang angin, tiang beton, lainnya 0,02 0,17 0,16 0,13 Bahan konstruksi dari baja 0,1 0,1 0,11 0,59 Barang logam bukan aluminium siap pasang lainnya untuk bangunan
0,17 0,19 0,16 0,18
Barang-barang logam lainnya 0,18 0,19 0,18 0,19
84
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Deskripsi Aglomerasi Industri
2008 2009 2010 2011 Perlengkapan rumah tangga dari motor listrik 0,17 0,17 0,17 0,19
Kompor dan komponennya 0,08 0,17 0,11 0,14 Komponen listrik 0,15 0,16 0,15 0,11 Perlengkapan rumah tangga dari motor listrik 0,15 0,03 0,15 0,09 Transformator 0,15 0,01 0,12 0,09 Komponen untuk motor diesel 0,14 0,16 0,16 0,13 Perlengkapan mesin pengolah logam 0,14 0,15 0,16 0,04 Karoseri bus, minibus, mobil box, lainnya 0,14 0,25 0,07 0,17 Komponen kendaraan bermotor 0,02 0,04 0,07 0,03 Lampu, sedan, sepeda motor roda tiga 0,04 0,05 0,04 0,12 Komponen dan perlengkapan motor, mobil lainnya 0,07 0,07 0,07 0,12
Chiki, Terasi, Keripik, Makanan lainnya 0,37 0,53 0,36 0,14 Sumber: Badan Pusat Statistik, data diolah
Beberapa wilayah yang dikhususkan memiliki kawasan industri yang besar, seperti Kab. Karawang dan Kab.Bekasi, memiliki variasi kelompok industri yang cenderung beragam. Namun, terdapat beberapa jenis industri yang tergolong memiliki indeks aglomerasi yang tinggi seperti industri barang-barang dari logam, industri peralatan listrik, dan industri mesin. Kelompok sektor tersebut pun cenderung mengalami peningkatan angka indeks. Peningkatan keterpusatan kelompok ini dapat disebabkan oleh dibukanya kawasan-kawasan industri di daerah tersebut. Tumbuhnya kawasan industri membuka akses pesatnya pertambahan jumlah perusahaan-perusahaan di sektor manufaktur berskala besar.
Adapun industri yang memiliki indeks aglomerasi industri yang kecil umumnya berasal dari kelompok industri makanan/minuman dan sektor-sektor industri yang mengolah sisa industri utama. Hal itu dapat dikarenakan sektor industri ini hanya sebagai sektor yang menopang pengolahan sisa industri, sehingga tidak terlalu diutamakan untuk berkumpul dalam suatu wilayah. Konsentrasi sektor pengolahan sisa industri ini jauh lebih kecil dari konsentrasi industri utamanya.
Tabel 5.10 Kelompok Industri Manufaktur yang Cenderung Menyebar
Deskripsi Aglomerasi Industri
2008 2009 2010 2011 Ransum setengah jadi, lainnya -0,01 0,00 -0,02 0,01
air minum dalam kemasan -0,02 -0,01 -0,01 -0,05
tepung tapioka -0,04 0,01 -0,02 -0,10
bungkil kacang tanah -0,01 -0,03 -0,03
Glukosa lainnya 0,00 0,01 0,01 0,00
85
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
Deskripsi Aglomerasi Industri
2008 2009 2010 2011 udang galah -0,02 0,00 0,00 -0,19
Barang dari tali lainnya (rafia, jaring) -0,49 -0,01 -0,40 0,02
Kertas glasin dan kertas jernih yang dikilapkan lainnya -0,19 -0,06 -0,20 -0,14
Barang lainnya dari kertas dan karton -0,11 -0,04 -0,03 -0,06
Perekat epoksi 0,01 -0,02 -0,02 0,03
Karet skim lainnya 0,01 0,03 0,03 -0,17
Serat sintetis putus-putus (stapel) lainnya -0,01 -0,02 -0,03 0,01
Kapur sirih, kapur tembok -0,08 0,01 0,00 -0,04
Batu bata pres tangan, mesin, lainnya -0,04 -0,02 0,01 0,05
Hasil ikutan dari logam aluminium siap pasang untuk bangunan
-0,02 -0,07 -0,10 -0,12
Buluh, pipa berongga dari besi dan baja, lainnya 0,13 -0,01 0,01 0,02
Alat masak dari logam bukan aluminium lainnya 0,02 0,04 0,04 -0,02
mesin pemotong lainnya -0,62 -0,01 -0,01 -0,01
Komponen mesin industri tekstil -0,11 -0,10 -0,06 -0,01
sisa industri pompa dan kompresor -0,37 -0,39 -0,35 -0,28
Sumber: Badan Pusat Statistik, data diolah
Dua komponen yang dapat dilihat melalui indeks aglomerasi adalah distribusi spasial dan konsentrasi geografi. Distribusi spasial merepresentasikan besaran struktur industri manufaktur suatu kabupaten-kota terhadap provinsi. Kab. Bekasi, Kab. Karawang, Kab. Bogor, dan Kab. Bandung adalah beberapa daerah yang memiliki distribusi industri manufaktur yang besar relatif terhadap daerah lainnya. Adapun daerah yang memiliki distribusi spasial yang rendah adalah Kab. Majalengka, Kab. Ciamis, dan Kota Banjar. Walaupun rendah, namun ketiga daerah tersebut mengalami rata-rata pertumbuhan distribusi spasial positif sepanjang 2008-2012.
Tabel 5.11 Distribusi Spasial Industri Manufaktur Provinsi Jawa Barat, 2008-2012
Kabupaten Nilai Tambah/Tenaga Kerja (%)
2008 2009 2010 2011 2012 Kab. Bogor 6,47 7,93 6,87 6,87 5,59 Kab. Sukabumi 1,67 1,68 2,31 2,31 2,63 Kab. Cianjur 2,43 2,52 2,11 2,11 2,43 Kab. Bandung 2,71 2,62 3,46 3,46 3,17 Kab. Garut 1,09 1,75 2,07 2,07 2,38 Kab. Tasikmalaya 1,12 2,5 2,36 2,36 1,83 Kab. Ciamis 1,4 0,93 1,03 1,03 1,35 Kab. Kuningan 3,04 2,76 2,45 2,45 2,45 Kab. Cirebon 3,57 3,66 4,86 4,86 4,93
86
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Kabupaten Nilai Tambah/Tenaga Kerja (%)
2008 2009 2010 2011 2012 Kab. Majalengka 1,05 0,66 1 1 1,4 Kab. Sumedang 4,66 4,74 3,77 3,77 3,8 Kab. Indramayu 3,9 8,04 8,9 8,9 8,96 Kab. Subang 3,03 3 2,47 2,47 2,42 Kab. Purwakarta 4,71 5,15 5,35 5,35 5,33 Kab. Karawang 6,29 5,69 6,79 6,79 7,43 Kab. Bekasi 8,9 9,73 9,98 9,98 9,82 Kab. Bandung Barat 2,02 1,85 2,1 2,1 2,02 Kota Bogor 3,41 4,07 4,08 4,08 4,03 Kota Sukabumi 2,95 2,36 2 2 2,32 Kota Bandung 2,78 2,85 2,87 2,87 2,03 Kota Cirebon 7,77 3,43 2,32 2,32 2,24 Kota Bekasi 9 9,14 9,21 9,21 9,18 Kota Depok 8,95 6,91 6,69 6,69 6,22 Kota Cimahi 4,81 4,36 2,86 2,86 3,14 Kota Tasikmalaya 1,37 0,88 0,97 0,97 1,33 Kota Banjar 0,9 0,79 1,11 1,11 1,57
Sumber: Badan Pusat Statistik
Komponen lainnya dalam indeks aglomerasi industri adalah konsentrasi geografi. Besarnya tingkat konsentrasi geografi merepresentasikan bahwa struktur industri suatu wilayah didominasi oleh satu atau beberapa sektor industri, sebaliknya, rendahnya konsentrasi geografi suatu wilayah menggambarkan kondisi struktur industri yang cenderung beragam di wilayah tersebut. Beberapa wilayah yang memiliki tingkat konsentrasi geografi yang cenderung besar antara lain Kab.Cirebon, Kab.Majalengka, dan Kab.Indramayu. Dengan konsentrasi geografi terbesar, Industri Minyak Makan dan Lemak, serta Industri Furnitur dari Rotan dan Bambu adalah beberapa sektor yang mendominasi Kab. Cirebon. Kab. Bekasi dan Kab. Karawang memiliki konsentrasi geografi yang cenderung kecil. Hal tersebut mengindikasikan bahwa besarnya jumlah industri dan dominasi Kab Bekasi dan Kab Karawang dari segi distribusi spasial, sektor-sektor industri yang ada di wilayah tersebut cenderung beragam dibandingkan dengan wilayah dengan konsentrasi geografi yang besar.
Tabel 5.12 Konsentrasi Geografi untuk Industri Manufaktur Provinsi Jawa Barat
Kabupaten Konsentrasi
Geografi (2012)
Kelompok Industri yang Mendominasi
Kab. Bogor 0,27 Industri Pakaian Jadi, Industri Pengolahan Susu Segar dan Krim, Industri Furnitur Dari Kayu, Industri Barang Dari Kulit dan Kulit Buatan
Kab. Sukabumi 0,33 Industri Pakaian Jadi, Industri Kapur, Industri Genteng Dari Tanah Liat / Keramik, Industri Air Minum dalam Kemasan
87
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
Kabupaten Konsentrasi
Geografi (2012)
Kelompok Industri yang Mendominasi
Kab. Cianjur 0,30 Industri Pengolahan Kopi dan Teh Kab. Bandung 0,31 Industri Pertenunan, Industri Pakaian Jadi Kab. Garut 0,31 Industri Kue-kue Basah, Industri Batu Bata Dari Tanah Liat
/ Keramik, Industri Pengolahan Kopi dan Teh Kab. Tasikmalaya
0,34 Industri Pengolahan Kopi dan Teh, Industri Pati Ubi Kayu
Kab. Ciamis 0,30 Industri Kerupuk, Keripik, Peyek dan Sejenisnya ; Industri Roti dan Sejenisnya
Kab. Kuningan 0,35 Industri Roti dan Sejenisnya; Industri Makanan Lainnya Kab. Cirebon 0,49 Industri Minyak Makan dan Lemak; Industri Furnitur dari
Rotan dan Bambu Kab. Majalengka
0,41 Industri Genteng dari Tanah liat
Kab. Sumedang 0,33 Industri Pemintalan Benang; Industri Kerupuk, Keripik, Peyek dan Sejenisnya; Industri Alat Permainan
Kab. Indramayu 0,40 Industri Penggilingan Padi dan Penyosohan Beras Kab. Subang 0,34 Industri Penggilingan Padi dan Penyosohan Beras,
Industri Pakaian Jadi Kab. Purwakarta
0,33 Industri Genteng Dari Tanah Liat / Keramik
Kab. Karawang 0,25 Industri Perlengkapan dan Komponen Kendaraan roda dua dan empat; Industri Pengolahan & Pengawetan Ikan; Industri Konstruksi Berat Siap Pasang Dari Baja
Kab. Bekasi 0,24 Industri Suku Cadang dan Aksesori Kendaraan; Industri Komponen dan Perlengkapan Sepeda Motor; Industri Tabung dan Katup Elektronik; Industri Semi Konduktor dan Komponen Elektronik; Industri Tabung Elektron dan Konektor Elektronik; Jasa Penunjang Pencetakan
Kab. Bandung Barat
0,30 Industri Pertenunan; Industri Pakaian Jadi; Industri Barang Dari Batu Untuk Keperluan RT; Industri Kapur
Kota Bogor 0,23 Industri Pakaian Jadi; Industri Produk Roti dan Kue; Industri Percetakan
Kota Sukabumi 0,27 Industri Furnitur Dari Kayu; Industri Karoseri Kendaraan Bermotor Roda Empat
Kota Bandung 0,29 Industri Pakaian Jadi (menurun); Industri Pakaian Jadi Rajutan; Industri Produk Roti dan Kue; Industri Kerupuk, Keripik, Peyek dan Sejenisnya
Kota Cirebon 0,39 Industri Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So'un Kota Bekasi 0,25 Industri Cat; Industri Produk Roti dan Kue; Industri
Komponen dan Suku Cadang Motor (Meningkat) Kota Depok 0,29 Industri Percetakan, Industri Sabun dan Bahan Pembersih,
Industri Barang Jadi Tekstil Untuk Keperluan Kesehatan
Kota Cimahi 0,30 Industri Pertenunan, Industri Penyempurnaan Kain, Industri Kain Rajut, Industri Kemasan Dari Plastik
Kota Tasikmalaya
0,24 Industri Pakaian Jadi; Industri Alas Kaki Untuk Keperluan Sehari-hari; Industri Roti dan Sejenisnya
88
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Kabupaten Konsentrasi
Geografi (2012)
Kelompok Industri yang Mendominasi
Kota Banjar 0,30 Industri Kerupuk, Keripik, Peyek dan Sejenisnya; Industri Batu Bata Dari Tanah Liat / Keramik; Industri Pak0aian Jadi
Sumber: Badan Pusat Statistik, data diolah
(1) Konsentrasi Industri Priangan Timur Priangan Timur terdiri dari Kab. Garut, Kab. Sumedang, Kab. Tasikmalaya,
Kota Tasikmalaya, Kab. Ciamis, dan Kota Banjar. Berdasarkan tingkat konsentrasi geografi industri, Kab. Garut, Kab. Sumedang, dan Kota Banjar adalah beberapa wilayah yang memiliki tingkat konsentrasi geografi yang relatif besar dibandingkan dengan daerah Priangan Timur lainnya. Industri pengolahan kopi dan teh serta industri pengolahan pati ubi kayu adalah kelompok industri yang mendominasi struktur industri di Kab. Tasikmalaya. Adapun industri pemintalah benang, industri kerupuk, keripik, peyek, serta industri alat permainan adalah kelompok industri yang mendominasi struktur industri di Kab. Sumedang. Industri Kue basah, Industri batu bata, serta pengolahan teh dan kopi merupakan kelompok industri yang mendominasi struktur industri di Kab. Garut. Industri Pengolahan teh dan kopi adalah salah satu industri yang banyak terdapat di wilayah Priangan Timur. Selain itu, industri kerupuk, keripik, peyek, serta industri batu bata dari tanah liat juga terdapat di beberapa wilayah di Priangan Timur. Sepanjang periode penelitian, tingkat konsentrasi geografi di setiap wilayah Priangan Timur mengalami peningkatan yang positif.
Wilayah Jawa Barat bagian timur menunjukkan peningkatan share nilai tambah industri dan memiliki tingkat konsentrasi geografi yang relatif besar. Peningkatan distribusi nilai tambah yang cenderung signifikan di wilayah ini sejalan dengan rencana pembangunan Bandara Kertajati di Kab.Majalengka. Dibangunnya bandara tersebut menambah opsi akses transportasi bagi sektor industri. Kedekatan lokasi dengan sarana perhubungan seperti Bandara dapat membuat biaya transportasi berkurang. Wilayah-wilayah tersebut juga umumnya merupakan wilayah yang masih kosong, dimana harga tanah dan tenaga kerja cenderung lebih rendah dibandingkan dengan wilayah yang sudah bercirikan sebagai kota industri ataupun metropolitan. Pemangkasan biaya transportasi, harga tanah, dan biaya tenaga kerja dapat mendorong perusahaan untuk membangun pabrik, baik berupa relokasi maupun pembangunan pabrik baru.
89
BAB 5 Potret Daya Saing Ekonomi Daerah
Box 3 Hasil Regresi Aglomerasi Industri Jawa Barat
Untuk melihat pengaruh aglomerasi industri terhadap produktivitas, dilakukan analisis regresi. Data
yang digunakan dalam analaisis regresi bersumber dari data Survei Industri Manufaktur Skala
Menengah dan Besar yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik secara berkala. Industri
manufaktur skala menengah-besar adalah perusahaan-perusahaan yang tergolong dalam industri
pengolahan yang memiliki tenaga kerja lebih dari 99 orang. Data digunakan dalam level perusahaan,
dengan rata-rata jumlah usaha per tahun sebanyak 6.861 unit dan periode penelitian yaitu
sepanjang 2008-2012.
Variabel dependen dalam model penelitian adalah produktivitas industri, yang didapat dari
pembagian antara nilai tambah terhadap tenaga kerja. Maka, produktivitas merepresentasikan nilai
tambah yang dihasilkan oleh setiap tenaga kerja dalam perusahaan. Variabel independen yang
digunakan dalam model antara lain aglomerasi industri, intensitas kapital, skala dan struktur
kepemilikan usaha. Aglomerasi industri menggunakan indikator indeks aglomerasi industri
berdasarkan metode penghitungan yang dibuat oleh Ellison-Glaeser (1997).
Tabel 5.13 Hasil Regresi Aglomerasi Industri terhadap Produktivitas
Variabel Independen Fixed Effect
Aglomerasi Industri 1.127***
(0.081)
Rasio K/L (log) 0.415***
(0.005)
Ukuran Perusahaan (dummy) 3.180***
(0.070)
Perusahaan Asing (dummy) 4.048***
(0.133)
Konstanta 5.358***
(0.034)
R2 0.3198
F 3225.19
n 34305
Standard errors in parentheses * p < 0.05. ** p < 0.01. *** p < 0.001
Adapun intensitas kapital menggunakan indikator rasio kapital terhadap tenaga kerja, skala usaha
dengan indikator dummy ukuran perusahaan. Perusahaan besar memiliki tenaga kerja lebih dari 100
orang, sedangkan perusahaan menengah memiliki tenaga kerja kurang dari 100 orang. Perusahaan
besar diwakili dengan nilai 1, sedangkan perusahaan menengah dengan nilai nol. Struktur
kepemilikan usaha direpresentasikan dengan dummy kepemilikan usaha, dimana perusahaan asing
dengan nilai 1 dan perusahaan domestik dengan nilai 0. Tes statistik telah dilakukan dan hasil regresi
dengan metode fixed effect generalized least square regression ditampilkan pada Tabel 5.13,
Dari Tabel dapat dilihat bahwa aglomerasi industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap
peningkatan produktivitas. Peningkatan rata-rata keterpusatan aktivitas industri dalam suatu
90
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Daftar Pustaka
Budd, Leslie and Amer Hirmis. 2004. “Conceptual Framework for Regional Competitiveness.” Regional Studies. Vol.38 (9), pp.1015-1028.
Ellison, Glenn and Edward L. Glaeser. 1997. “Geographic Concentration in U.S Manufacturing Industries: A Dartboard Approach.” Journal of Political Economy. Vol.105 (5), pp. 889-927.
Grosfeld, I and G. Roland. 1996. “Defensive and Strategic Restructuring in Central European Enterprise.” Journal of Transforming Economies and Societies. Vol 3, pp. 21-46.
Henderson, J. V. 1997. “Externalities and Industrial Development.” Journal of Urban Economics. Vol. 42, pp. 449-470.
Kitson, M., Martin, Ron and P. Tyler. 2004. “Regional Competitiveness: An Elusive yet Key Concept?.” Regional Studies. Vol.38 (9), p.991-999.
Meyer Stamer, J. 2008. Systemic Competitiveness and Local Economic Development. Duisberg: Meso Partner.
Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York: Free Press.
Sjoberg, Orjan and Fredrik Sjoholm. 2004. “Trade Liberalization and the Geography of Production: Agglomeration, Concentration, and Dispersal in Indonesia’s Manufacturing Industry.” Economic Geography. Vol 80(3), pp. 287-310.
Storper, Michael. 1997. The Regional World: Territorial Development in a Global Economy. Guilford Press.
www.bi.go.id
www.bps.go.id
wiayah berpengaruh terhadap peningkatan rata-rata produktivitas sebesar 1,13 persen, dengan mempertimbangkan bahwa intensitas kapital, ukuran perusahaan, dan status kepemilikan usaha bersifat tetap.
Variabel independen lain dalam model secara keseluruhan juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan produktivitas industri. Intensitas kapital pada sektor industri pengolahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap rata-rata peningkatan produktivitas. Perusahaan berskala besar, dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang, berpengaruh terhadap peningkatan rata-rata produktivitas sebesar 3,18 persen. Dengan kata lain, perusahaan berskala besar berpengaruh lebih besar 3,18% terhadap rata-rata peningkatan produktivitas industri jika dibandingkan dengan perusahaan berskala menengah. Dilihat dari struktur kepemilikan, perusahaan yang setidaknya terdapat 10 persen modal kepemilikan asing menghasilkan rata-rata produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan struktur permodalan tanpa pihak asing. Keberadaan kepemilikan modal asing dalam suatu usaha berpengaruh terhadap rata-rata peningkatan produktivitas industri sebesar 4,05 persen.
91
BAB 6 PERSPEKTIF BARU PENUMBUHAN DAYA SAING
Daya saing daerah menunjukkan kemampuan perekonomian daerah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sekaligus kesejahteraan masyarakatnya secara berkelanjutan. Transmisi pembangunan daya saing dibangun dari level mikro atau perusahaan yang kemudian di translasikan ke level meso yaitu industri atau sektor untuk kemudian diagregasikan di level makro daerah. Daya saing yang dimunculkan di level mikro dan level meso diukur dari ketercapaian efisiensi dan produktivitas. Penjaminan atas peningkatan efisiensi atau produktivitas harus melalui perbaikan kualitas transformasi atas pemanfaatan input menjadi output. Selanjutnya, terjadinya peningkatan daya saing harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat daerah sekaligus untuk menjamin penguatan daya saing di dalam jangka menengah dan panjang. Oleh karenanya, menurut penulis, ada tiga pilar untuk mengukur daya saing daerah dengan syarat kondisi makroekonomi terjaga baik dari ukuran tingkat inflasi sesuai target, nilai tukar rupiah stabil, dan suku bunga tidak naik, serta berperannya pemerintah dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan.
Sebagai referensi, indeks daya saing Jawa Barat telah diukur oleh The Asia Competitiveness Institute (ACI)22 menggunakan empat kriteria penilaian, antara lain (i) stabilitas ekonomi makro; (ii) perencanaan pemerintah dan institusi; (iii) kondisi keuangan, bisnis, dan tenaga kerja; (iv) kualitas hidup dan pembangunan infrastruktur. Dalam laporan ACI tahun 2013, Jawa Barat berada di urutan ke-empat setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
6.1 Pilar Pengelolaan Faktor Produksi
Konsep yang digunakan merujuk pada faktor penggerak daya saing, yaitu produktivitas, yang digunakan sebagai ukuran daya saing negara menurut Global
22 ACI melakukan penghitungan indeks daya saing pada level provinsi dan dilakukan untuk
beberapa negara Asia
PERSPEKTIF BARU PENUMBUHAN DAYA SAING JAWA BARAT
6 BAB
92
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Competitiveness Index (GCI)23. Pemanfaatan sumber daya atau faktor produksi dalam model Diamond Porter akan menghasilkan output yang merupakan respon atas permintaan dan dilakukan dengan strategi bisnis tertentu. Faktor produksi menurut Porter harus dikuasai atau dapat diakses untuk ditransformasikan menjadi barang dan jasa yang siap dipasarkan. Ketersediaan sumber daya alam di Jawa Barat terhimpun menurut sektor pertanian, perikanan, kehutanan dan mineral tambang. Produktivitas dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam tersebut diperjuangkan menjadi penciptaan dan peningkatan nilai tambah pada sektor pemilik sumber daya alam dan sektor lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut seperti sektor industri dan sektor jasa.
Dapat dimengerti jika diinginkan peningkatan nilai tambah maka dapat dicapai melalui perbaikan efisiensi atau peningkatan produktivitas selain melalui kemampuan inovasi untuk peningkatan skop ekonomi dalam rangka peningkatan nilai tambah tersebut. Ukuran produktivitas dapat diagregasikan menjadi ukuran kinerja perekonomian di level meso dan level makro. Adapun pertumbuhan produksi merupakan ukuran kinerja makroekonomi, apalagi disertai dengan peningkatan ekspor. Dari konsep tersebut, indikator yang digunakan untuk mengukur daya saing dari pilar pengelolaan input adalah produktivitas.
6.1.1 Produktivitas
Pertumbuhan output atau produksi, sebagai implikasi model Diamond Porter, dijamin jika terjadi sinergi atas penguasaan input, kemampuan membangun pasar (permintaan), pendukungan industri terkait, mampu menghadapi pesaing, dan menerapkan strategi memenangkan persaingan. Kemampuan menjaga tingkat pertumbuhan output akan menciptakan nilai tambah yang terus tumbuh.
Tahun 2008 terjadinya krisis keuangan global melemahkan pertumbuhan produksi Jawa Barat dan pelemahan berulang terjadi lagi di tahun 2014 akibat pelemahan ekonomi global maupun domestik. Gambar 6.1 memperlihatkan pelemahan pertumbuhan produksi hampir semua sektor di tahun 2014 akibat terjadi pelemahan pasar (permintaan) dan penurunan daya saing produk domestik menghadapi pesaing di pasar domestik maupun global. Sejak 2009, walaupun pertumbuhan produksi industri pengolahan bergerak fluktuatif namun mempunyai tren meningkat hingga tahun 2013 namun menurun di tahun 2014.
23 Terdapat 11 pilar pada metode penghitungan daya saing berdasar Global Competitiveness Index
(GCI), antara lain pilar institusi, infrastruktur, kondisi makroekonomi, kesehatan & pendidikan dasar, pendidikan & pelatihan lanjut, efisiensi pasar barang, pembangunan pasar tenaga kerja, pembangunan pasar finansial, kesiapan teknologi, kecanggihan bisnis, dan inovasi.
93
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.1 Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Jawa Barat, 2005-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik
Pertumbuhan produksi yang dikaitkan dengan penggunaan input harus merujuk ukuran produktivitas. Produktivitas didefiniikan sebagai efisiensi produksi, merupakan rasio output produksi terhadap input. Ada 2 (dua) ukuran produktivitas yang digunakan yaitu produktivitas tenaga kerja dan Total Factor Productivity (TFP). Ukuran produktivitas tenaga kerja merupakan perbandingan output dibagi tenaga kerja. Perhitungan produktivitas tenaga kerja sektoral, besaran output menggunakan PDRB atau nilai tambah pada harga konstan. Ukuran ini merupakan salah satu ukuran kinerja perekonomian yang penting untuk barometer standar hidup masyarakat.
Ukuran TFP merupakan ukuran yang lebih komprehensif karena mengukur perubahan output relatif terhadap perubahan input tenaga kerja maupun kapital. Pertumbuhan TFP dapat digunakan sebagai indikator kemajuan perekonomian dari aspek kemajuan teknologi yang juga mencerminkan kemampuan manajerial, kompetensi organisasi, riset dan pengembangan, alokasi sumberdaya, dan difusi teknologi. Terjadinya pertumbuhan TFP menunjukan terjadinya perbaikan efisiensi produksi sekaligus terjadinya kemajuan teknologi dan inovasi. Jelas bahwa pertumbuhan TFP akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan TFP menunjukan adanya perbaikan daya saing, bisa akibat comparative advantage, perbaikan proses learning by doing, dan perluasan pasar global. Jika terjadi pelemahan pasar global seperti sejak tahun 2014 maka akan menyulitkan penumbuhan TFP yang selanjutnya menyulitkan pendalaman rantai nilai (value chain) untuk mendorong pergerakan pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi.
-4%
-2%
0%
2%
4%
6%
8%
10%
12%
14%
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Industri Pengolahan LainnyaPerdagangan, Hotel, dan Restoran Pertanian, Kehutanan, dan PerikananJasa Kemasyarakatan Total Sektor
94
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Dengan kondisi Jawa Barat yang beruntung akibat arus FDI yang relatif tinggi, seharusnya mempunyai ekspektasi peningkatan TFP karena efek FDI seharusnya meningkatkan kemampuan lokal untuk lebih produktif sekaligus memudahkan akumulasi human capital.
Pengukuran TFP sektoral diaplikasikan untuk data Jawa Barat dan Indonesia menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dimana Y adalah produksi menggunakan data nilai tambah sektoral atas dasar harga konstan, K adalah akumulasi modal, dan L adalah tenaga kerja. α and β masing masing adalah elastisitas produksi terhadap modal dan tenaga kerja. Sesuai model Solow, residual merepresentasikan perubahan teknologi atau efisiensi.
Yit = AtKit α Lit β ..................... (1)
Faktor residual menurut asumsi Neo-classical dianggap faktor eksogen yang dapat meningkatkan efisiensi meliputi disembodied technological changes (perbaikan manajemen dan organisasi, R&D and inovasi)24. Selain itu, faktor residual juga dapat menjelaskan berbagai kombinasi faktor lainnya seperti skala ekonomis, efek spillover, alokasi sumber daya, kelembagaan dan faktor non ekonomi lainnya.
Gambar 6.2 Total Factor Productivity Sektoral Jawa Barat
Jawa Barat mencatat pertumbuhan investasi dalam negeri dan asing yang tinggi sehingga elastisitas produksi terhadap kapital lebih tinggi dibandingkan terhadap tenaga kerja. Industri Jawa Barat lebih bersifat capital intensive. Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja tidak lebih dari 3%. Bandingkan dengan
24 Dalam kerangka Neo-classical growth framework, pertumbuhan TFP dihitung sebagai faktor residual, mengurangkan pertumbuhan produksi terhadap kontribusi caital dan tenaga kerja.
95
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
China yang dapat mencapai hingga 7% pada tahun 2013 namun juga menurun di tahun 2014.
Dari pengukuran empiris yang disajikan pada Gambar 6.2, terjadi tren penurunan TFP pasca krisis ekonomi global tahun 2008-2009. Temuan ini menguatkan teori bahwa pelemahan permintaan global melambatkan pertumbuhan produksi industri Indonesia dan Jawa Barat. Pertumbuhan PMA atau FDI ternyata tidak cukup mampu memunculkan spillover untuk meningkatkan produktivitas dan mengakselerasi integrasi produksi merepon permintaan global.
Industri pengolahan adalah sektor yang mendominasi perekonomian Jawa Barat, dengan kontribusi sebesar 43,61 persen pada 2014. Besarnya dominasi tersebut menunjukkan bahwa kinerja industri pengolahan berperan penting dalam menentukan daya saing ekonomi Jawa Barat. Untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan daya saing ekonomi Jawa Barat, dibutuhkan perhatian khusus pada kinerja sub-sektor industri pengolahan unggulan.
Gambar 6.3 Nilai Tambah Per-Tenaga Kerja Sektoral Jawa Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berdasarkan rencana induk nasional, terdapat lima sub-sektor industri pengolahan unggulan Jawa Barat, yaitu : (i) industri makanan & minuman, (ii) industri elektronika, (iii) industri otomotif, (iv) industri kimia, dan (v) industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Keunggulan dapat dihitung dengan pendekatan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Dengan melakukan penghitungan RCA sebagai indikator dari keunggulan komparatif, industri makanan & minuman dan industri TPT adalah dua sub industri yang memiliki keunggulan komparatif. Adapun keunggulan kompetitif diwakilkan dengan indikator net ekspor, dimana semua sub-sektor tersebut bernilai positif.
0.0%0.5%1.0%1.5%2.0%2.5%3.0%3.5%4.0%4.5%5.0%5.5%6.0%
020406080
100120140160180Juta Rp
Produktivitas TK 2014 (juta Rp)Pertumbuhan Produktivitas TK Rata-Rata 2010-2014
96
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Namun, sepanjang tahun 2010 hingga 2014, kontribusi sektor industri pengolahan Jawa Barat mengalami penurunan. Kecukupan energi listrik, kualitas tenaga kerja, distribusi, dan logistik, serta proses importasi bahan baku adalah masalah krusial yang dihadapi sektor industri pengolahan. Penurunan kinerja sektor industri pengolahan juga sejalan dengan penurunan yang terjadi pada realisasi investasi ke sektor tersebut. Investasi merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong kinerja sektor industri pengolahan. Kompleksitas birokrasi, peningkatan UMK setiap tahun tanpa adanya peningkatan produktivitas dan kompetensi buruh, suku bunga yang tinggi, premanisme, mahalnya lahan industri, serta tidak sinkronnya kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah adalah beberapa tantangan dan risiko yang menghambat peningkatan investasi.
Gambar 6.4 Produktivitas Tenaga Kerja Kab/Kota, Jawa Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik
6.2 Pilar Kualitas Proses dan Output
Pilar kualitas proses dan output merepresentasikan optimalisasi dari transformasi input menjadi output. Relevansi ukuran-ukuran dalam pilar ini untuk daerah mengabaikan ukuran efisiensi pasar input dan pasar output karena bersifat nasional.
0%
1%
2%
3%
4%
5%
6%
020406080
100120140160180200
Kab.
Bek
asi
Kab.
Kar
awan
gKo
ta B
andu
ngKa
b. P
urw
akar
taKo
ta C
irebo
nKa
b. In
dram
ayu
Kota
Cim
ahi
Kab.
Bog
orKo
ta B
ogor
Kota
Suk
abum
iKo
ta B
ekas
iKa
b. B
andu
ng B
arat
Kab.
Ban
dung
Kota
Dep
okKo
ta T
asik
mal
aya
Kab.
Sum
edan
gKa
b. C
irebo
nKa
b. S
ukab
umi
Kab.
Gar
utKa
b. S
uban
gKo
ta B
anja
rKa
b. K
unin
gan
Kab.
Cia
njur
Kab.
Maj
alen
gka
Kab.
Tas
ikm
alay
aKa
b. C
iam
isJa
wa
Bara
t
Juta Rp
Produktivitas TK 2014 (juta Rp) Pertumbuhan Rata-Rata Produktivitas TK 2010-2014
97
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
6.2.1 Pendapatan Per-kapita
Gambar 6.5 Pendapatan Per-kapita 2014 dan Pertumbuhan Pendapatan per kapita 2010-
2014 (juta Rp) Sumber: Badan Pusat Statistik
6.2.2 Human Capital
Human capital adalah sumber daya yang ada di dalam diri manusia berupa kemampuan fisik dan mental, yang membentuk kualitas serta kesejahteraan hidup (Becker, 1962). Kemampuan fisik dan mental dapat dilatih melalui berbagai cara, di antaranya pendidikan, pelatihan, bekerja, memakan makanan yang sehat bagi tubuh, dan menjaga kesehatan. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai investasi bagi human capital (Schultz, 1959).
Indikator ukuran human capital dihitung sebagai rata-rata lamanya pendidikan yang ditempuh oleh angkatan kerja. Angkatan kerja di perkotaan umumnya mempunyai tingkat pendidikan relatif tinggi, dan jika mereka mempunyai kemudahan akses pada lapangan kerja sektor industri ternyata membentuk indeks human capital yang juga tinggi. Sektor industri telah mensyaratkan tenaga kerjanya dengan latar belakang pendidikan tertentu yang memicu perbaikan pendidikan angkatan kerja.
98
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.6 Indeks Perkembangan Human Capital Kabupaten/kota, relatif terhadap
Provinsi Jawa Barat (basis tahun 2010 = 100) Sumber: Badan Pusat Statistik
Keterangan: perhitungan menggunakan basis human capital Jawa Barat 2010
Perkembangan indeks human capital yang diukur berbasis angkatan kerja terkait erat dengan indeks pendidikan yang berbasis jumlah penduduk. Indeks pendidikan diukur menggunakan indikator rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah. Indikator nya adalah rata-rata lama sekolah (mean years schooling/MYS) dan harapan lama sekolah (expected years schooling/EYS). MYS merepresentasikan lamanya pendidikan penduduk usia 25 tahun keatas, dimana batas maksimum pendidikan adalah 15 tahun dan minimumnya 0 tahun. EYS merepresentasikan lamanya sekolah yang diharapkan akan dirasakan oleh anak usia 7 tahun keatas di masa mendatang, batas maksimum 18 tahun dan batas minimum 0 tahun.
Membandingkan data indeks pendidikan antar daerah, diketahui kota Cimahi mencatat indeks pendidikan tertinggi diikuti oleh kota Bandung, kota Bekasi dan kota Depok. Sarana dan prasarana pendidikan serta kesadaran penduduk perkotaan lebih baik dibandingkan kabupaten pada umumnya.
99
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.7 Indeks Pendidikan Kabupaten/Kota, Jawa Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik
Keterangan: Terdapat beberapa perbedaan penulisan judul dalam beberapa buku, secara umum lebih tepat dengan indeks pendidikan. Indeks pendidikan mewakili indikator dari dimensi pengetahuan, dimana dimensi pengetahuan adalah satu dari tiga dimensi pembentuk indeks pembangunan manusia.
6.2.3 Struktur Produksi dan Diversifikasi
Industri pengolahan merupakan sektor utama penopang perekonomian Jawa Barat diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Secara umum, terjadi penurunan pada sektor industri pengolahan dan pertanian, kehutanan, dan perikanan, serta pertambangan. Secara subsektor, penurunan kontribusi industri pengolahan disumbang oleh penurunan yang terjadi subsektor barang logam & elektronik, kimia & farmasi, batu bara & pengilangan minyak, karet & plastik, kertas & barang dari kertas, serta barang galian bukan logam.
100
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.8 Perubahan Struktur Produksi Jawa Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik
Subsektor alat angkutan, tekstil & pakaian jadi, mesin, dan makan & minuman adalah beberapa sektor utama yang mengalami peningkatan share. Peningkatan share subsektor tersebut salah satunya didorong oleh peningkatan produksi berorientasi ekspor.
Gambar 6.9 Struktur Produksi Industri Pengolahan Jawa Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik
101
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.10 Struktur Produksi Sektor Pertanian, Kehutanan, Peternakan, dan
Perikanan Kabupaten/Kota Sumber: Badan Pusat Statistik
Secara perwilayahan, penurunan kontribusi sektor industri pengolahan tidak hanya terjadi di daerah industri, pada daerah pertanian dan daerah jasa juga mengalami penurunan kontribusi PDRB industri pengolahan, pengecualian Kota Bogor mengalami peningkatan share PDRB industri pengolahan.
Daerah pertanian mengalami penurunan di sektor pertanian. Kondisi penurunan produksi di sektor primer tidak direspon dengan terjadinya perpindahan peningkatan intensitas produksi sekunder, melainkan peningkatan produksi di sektor tersier.
102
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.11 Struktur Produksi Sektor Industri Pengolahan Kabupaten/Kota
Sumber: Badan Pusat Statistik
Gambar 6.12 Struktur Produksi Sektor Perdagangan Besar & Eceran, Hotel, dan
Restoran Kabupaten/Kota Sumber: Badan Pusat Statistik
103
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.13 Diversifikasi Tenaga Kerja (Indeks Entropy) Jawa Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik (Sakerda, berbagai edisi)
6.2.4 Struktur Ekspor dan RCA
Penurunan kontribusi industri pengolahan terhadap PDRB juga dialami pada penurunan share ekspor pada beberapa subsektor. Dominasi subsektor mesin dan pesawat mekanik mengalami penurunan sepanjang 2010-2014. Penurunan ekspor juga terjadi pada subsektor industri plastik & karet dan pulp & kertas.
Gambar 6.14 Share Ekspor sub-sektor Industri pengolahan, Jawa Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik
0.6905
0.6910
0.6915
0.6920
0.6925
0.6930
0.6935
2010 2011 2012 2013
104
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Subsektor prioritas lainnya, yaitu tekstil dan produk tekstil mengalami peningkatan ekspor sepanjang 2010-2014 namun tidak signifikan. Peningkatan share ekspor tertinggi terjadi di subsektor kulit & alas kaki, diikuti oleh subsektor kendaraan & pesawat terbang, dan subsektor makanan-minuman.
Gambar 6.15 Share Ekspor Sub-Sektor Bahan Baku Pertanian & Binatang Hidup, Jawa
Barat Sumber: Badan Pusat Statistik
Terdapat beberapa subsektor industri Jawa Barat yang memiliki daya saing. Pada Tabel 6.1 ditampilkan nilai daya saing untuk lima subsektor industri unggulan Jawa Barat. Industri berdaya saing ditunjukkan melalui nilai RCA lebih dari 1 (satu). Industri makanan & minuman dan Industri tekstil & produk tekstil mencatat RCA di atas satu. Selain kelima subsektor industri unggulan, beberapa subsektor industri Jawa Barat mencatat RCA di atas satu antara lain (i) subsektor kulit & barang dari kulit, (ii) subsektor pulp, kerta, dan barang dari kertas, dan (iii) subsektor berbagai barang hasil pabrik.
Tabel 6.1 RCA Sub Sektor Industri Unggulan Jawa Barat, 2011-2014
Sub-sektor Industri Unggulan 2011 2014
Industri Makanan & Minuman 0,92 1,02
Industri Elektronik 0,94 0,96
Industri Otomotif 0,54 0,8
Industri Kimia 0,67 0,67
Industri Tekstil dan Produk Tekstil 5,93 5,98
Sumber: Kajian Ekonomi Regional Jawa Barat tw.III 2014, Bank Indonesia
105
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.16 RCA Produk Ekspor yang Berdaya Saing
Sumber: Badan Pusat Statistik
6.2.5 Riset dan Inovasi Perusahaan
Gambar 6.17 Riset dan Inovasi Perusahaan Kabupaten/Kota
Sumber: Survei Industri Menengah-Besar, Badan Pusat Statistik
Tercatat terdapat 5843 perusahaan di Jawa Barat pada 2011, 295 perusahaan
diantaranya aktif melakukan riset25, dan terdapat 587 perusahaan melakukan
inovasi26. Riset perusahaan banyak terdapat di Kab. Bekasi, Kab. Karawang, Kab.
Bandung, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kab. Bogor. Keenam kabupaten/kota
tersebut memiliki share 50 persen terhadap jumlah perusahaan yang melakukan
riset.
25 Riset adalah kegiatan kreatif yang dilakukan dengan sistematis untuk menambah pengetahuan,
dan pemanfaatan pengetahuan untuk merancang penerapan baru. Riset dapat dikelompokkan menjadi riset dasar, riset terapan, dan pengembangan eksperimental (BPS, 2011).
26 Inovasi adalah implementasi sesuatu yang baru atau pengembangan yang signifikan pada produk (barang dan jasa), proses, metode pemasaran, atau metode organisasi pada praktik bisnis, pengorganisasian pekerjaan atau hubungan eksternal (BPS, 2011).
Kab. Bekasi10% Kab.
Karawang10%
Kab. Bandung
8%
Kota Bandung
8% Kota Bekasi
8%
Kab. Bogor6%
lainnya50%
Riset PerusahaanKota Bandung
18%
Kab. Karawang
10%
Kab. Cirebon9%
Kab. Bekasi
9%Kab. Bogor
8%
Kab. Bandung
7%
lainnya39%
Inovasi Perusahaan
106
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Kota Bandung, Kab. Karawang, Kab. Cirebon, Kab. Bekasi, Kab. Bogor, dan
Kab. Bandung tercatat sebagai kabupaten/kota yang banyak memiliki perusahaan
melakukan inovasi.
6.2.6 Aliran Investasi dan Pembiayaan
Di sisi pembiayaan, realisasi investasi dan pembiayaan perbankan
merupakan dua instrumen yang mampu membantu ekspansi aktivitas sektor
ekonomi. dari Gambar 6.18, dapat dilihat Jawa Barat mampu menarik investasi
pihak asing relatif besar. Realisasi investasi PMA terakumulasi relatif besar
terhadap realisasi investasi PMDN. Namun, juga terjadi kecenderungan
peningkatan modal yang berasal dari domestik. Sektor industri pengolahan masih
menjadi tujuan utama investasi, namun dengan tren menurun. Di tengah
penurunan serapan investasi ke sektor industri pengolahan, terjadi peningkatan
serapan investasi ke sektor konstruksi dan perdagangan besar & eceran, hotel &
restoran.
Gambar 6.18 Realisasi Investasi PMA dan PMDN Jawa Barat, 2008-2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (Nasional)
4,29 4,7215,80 11,19 11,38 9,01
18,73
34,1027,9518,18
15,2134,82
40,72
86,8581,63
59,47
0
20
40
60
80
100
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Triliun Rp
PMDN (Triliun Rp) PMA (Triliun Rp)
107
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.19 Proporsi Realisasi Investasi Sektoral Jawa Barat, 2008-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat
Peningkatan investasi oleh sektor konstruksi dan perdagangan besar &
eceran, hotel, restoran sejalan dengan peningkatan yang terjadi pada serapan
pembiayaan perbankan. Selain kedua sektor tersebut, sektor industri pengolahan
dan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan merupakan dua sektor yang
mencatat peningkatan pembiyaan perbankan. Bagi sektor industri, penurunan yang
terjadi pada investasi masih dapat ditutupi oleh pembiayan perbankan.
Gambar 6.20 Pembiayaan Bank untuk Sektoral, Jawa Barat
Sumber: Bank Indonesia
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air BersihKonstruksi Perdag.Besar, Hotel, RestoranPengangkutan, Komunikasi Sewa, Keuangan, Jasa PerusahaanJasa Kemasyarakatan Lainnya
108
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
6.2.7 Infrastruktur Jalan
Kondisi infrastruktur jalan diukur melalui rasio panjang jalan terhadap
luas wilayah. Dari Gambar 6.21 dapat dilihat bahwa rasio panjang jalan terhadap
luas wilayah umumnya rendah. Jalan pada wilayah kota, seperti Kota Bandung,
Kota Cirebon, Kota Cimahi, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Sukabumi umumnya
mencukupi. Pada kabupaten, umumnya jalan banyak ditujukan bagi industri dan
di sekitar jalan tol. Jalan yang ditujukan bagi penduduk kurang. Membandingkan
dengan kondisi di tahun 2010, perubahan pada panjang jalan terhadap luas
wilayah tidak signifikan. Perbaikan jalan yang tidak signifikan dan kecenderungan
pemusatan bagi aktivitas industri berpotensi memunculkan adanya disparitas di
wilayah tersebut.
Gambar 6.21 Rasio Panjang Jalan terhadap Luas Wilayah, 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik
6.3 Pilar Outcome
Pilar outcome daya saing digunakan sebagai barometer dalam mengukur
benefit yang didapat oleh masyarakat dari adanya aktivitas pembangunan. Benefit
yang diterima oleh masyarakat diukur melalui capaian kesejahteraan masyarakat
yang meliputi kualitas pembangunan manusia, peranan pemerintah, ketimpangan,
kemiskinan, pengangguran, dan kebijakan upah minimum.
Secara umum, wilayah perkotaan dan daerah industri mencatat kualitas
pembangunan manusia relatif lebih tinggi dibandingkan daerah pertanian, namun
109
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
mencatat ketimpangan dan tingkat pengangguran yang lebih tinggi. Penduduk
miskin banyak terdapat di daerah pertanian.
6.3.1 Kualitas Pembangunan Manusia
Pembangunan manusia diartikan sebagai suatu proses dalam rangka
memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia (UNDP, 1990). Secara
prinsip, terdapat tiga pilihan mendasar yang dijadikan ukuran dari pembangunan
manusia, antara lain berumur panjang dan sehat, memperoleh pendidikan, dan
memiliki akses terhadap sumber-sumber kebutuhan agar dapat hidup secara layak.
Ketiga prinsip tersebut dijadikan patokan dalam menghitung seberapa tinggi
kualitas pembangunan manusia di suatu wilayah.
Gambar 6.22 Indeks Pembangunan Manusia, Kab/Kota
Sumber: Badan Pusat Statistik
6.3.2 APBD Per-kapita
Keberhasilan pembangunan daerah dalam era otonomi daerah antara lain
dapat diukur dari tingkat APBD per-kapita. Pertumbuhan APBD merupakan salah
satu kinerja pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Peningkatan
APBD merupakan instrumen kebijakan peningkatan belanja pemerintah daerah
untuk penyediaan inftrastruktur, belanja pendidikan, belanja kesehatan dan belanja
sektor publik lainnya.
Kebijakan peningkatan belanja modal adalah salah satu kebijakan yang
diambil pemerintah Jawa Barat dalam upaya mendukung peningkatan daya saing
110
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
ekonomi.27 Hal tersebut mencakup pembangunan infrastruktur strategis (jalan tol,
jalan di pusat produksi dan distribusi, irigasi, pembangkit tenaga listrik, pelabuhan
perikanan) dan pendayagunaan energi terbarukan. Beberapa kebijakan lain yang
ditujukan dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi adalah : (i) peningkatan
aksesibilitas permodalan bagi UMKM sebesar Rp.200 Miliar/tahun yang
dilengkapi dengan pelatihan peningkatan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas
produk serta kemampuan mengakses pasar; (ii) peningkatan modal usaha petani
bagi ketahanan pangan; (iii) peningkatan kinerja pemerintah desa; (iv) Program
Jabar mengembara, yaitu pelatihan dan sarana infromasi untuk bekerja di luar
negeri; (v) anggaran pendidikan sebesar 20% dan kesehatan sebesar 10% dari total
belanja.
Dalam upaya perbaikan iklim investasi bagi peningkatan perekonomian,
pada tahun 2014, Pemerintah Jawa Barat mengagendakan pembangunan kawasan
berikat, penerapan one stop service, dan pembentukan forum West Java Incorporated,
yaitu sebuah medium yang dibentuk oleh Pemda, BI, dan Kadin Jawa Barat bagi
calon investor untuk mendapatkan informasi menyeluruh mengenai peluang
investasi di Jawa Barat. Sektor industri pengolahan dan PHR adalah sektor yang
masih menjadi tujuan utama investasi, diikuti oleh sektor keuangan, jasa
perusahaan, serta sektor pengangkutan dan komunikasi, dimana kedua sektor ini
mengalami peningkatan menggantikan sektor pertanian yang mengalami
penurunan.
Gambar 6.23 APBD Per-kapita, Kab/Kota
Sumber: Badan Pusat Statistik
27 Berdasarkan Laporan Kajian Ekonomi Regional Bank Indonesia Prov.Jawa Barat periode 2012
111
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
Besaran APBD yang meningkat tidak cukup apabila tidak disertai oleh
peningkatan APBD per-kapita. Dengan membandingkan besaran APBD per kapita
antar kabupaten/kota, dapat diketahui tentang kemampuan membangun daerah.
Wilayah kota mencatat APBD per-kapita besar kecuali untuk Kota Bekasi dan Kota
Cimahi. Besaran APBD per-kapita searah dengan perubahan yang terjadi sepanjang
2010-2014 dimana wilayah kota tersebut mencatat peningkatan APBD per-kapita
relatif besar dibandingkan wilayah lainnya.
Wilayah kabupaten umumnya memiliki kemampuan membangun daerah
yang rendah, ditandai dengan APBD per-kapita yang relatif kecil. Namun, Kab.
Majalengka, Kab.Sumedang, dan Kab. Purwakarta mencatat perubahan APBD per-
kapita yang relatif besar sepanjang 2010-2014. Hal tersebut dikarenakan terdapat
prioritas pembangunan pada ketiga daerah tersebut, dimana terdapat prioritas
pembangunan bandara di Kab. Majalengka, pembangunan kawasan pendidikan di
Kab.Sumedang, dan peningkatan kawasan industri di Kab. Purwakarta.
Dibutuhkan anggaran relatif besar terutama bagi pembangunan infrastruktur.
6.3.3 Ketimpangan
Ketimpangan memberikan gambaran mengenai sejauh mana kue ekonomi
terbagi dan dirasakan oleh masyarakat. Ketimpangan yang ada di masyarakat
dapat diukur melalui besaran ketimpangan pada pendapatan. Bank Dunia
mengelompokan pendudukan ke dalam tiga kelompok sesuai dengan besarnya
pendapatan, yaitu 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah, 40 persen
dengan pendapatan menengah, dan 20 persen dengan pendapatan tinggi.
Ketimpangan pendapatan diukur dengan persentase jumlah pendapatan dari
kelompok yang berpendapatan 40 persen terendah dibandingkan dengan total
pendapatan penduduk di daerah tersebut (BPS, 2016).
Gambar 6.24 Indeks Gini Kabupaten/Kota (Indeks Gini)
Sumber: Badan Pusat Statistik
112
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
6.3.4 Kemiskinan
Pada Gambar 6.25 dapat dilihat bahwa secara umum terjadi penurunan
tingkat kemiskinan di semua wilayah dengan penurunan yang signifikan terjadi di
Kota Tasikmlaya dan Kab.Cianjur. Penurunan tingkat kemiskinan di Kab. Cianjur
tidak diikuti dengan penurunan pada tingkat penganggurannya. Daerah pertanian
umumnya mencatat tingkat kemiskinan relatif tinggi dibandingkan dengan daerah
industri dan daerah jasa.
Gambar 6.25 Persentase Penduduk Miskin, Kab/Kota
Sumber: Badan Pusat Statistik
6.3.5 Pengangguran
Tingkat pengangguran terbuka merupakan persentase antara banyaknya
penduduk angkatan kerja yang menganggur terhadap jumlah penduduk angkatan
kerja pada suatu wilayah (kabupaten/kota). Penduduk yang dikategorikan sebagai
angkatan kerja adalah individu yang berusia 15 tahun ke atas (BPS, 2016).
Pengangguran terdiri dari (i) mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan sedang
mencari pekerjaan, (ii) mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan mempersiapkan
usaha, (iii) mereka yang tidak memiliki dan tidak mencari pekerjaan, karena
merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan, dan (iv) mereka yang sudah punya
pekerjaan, namun belum mulai bekerja (ILO, 1992).
113
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.26 Tingkat Pengangguran Terbuka, Kab/Kota
Sumber: Badan Pusat Statistik
6.3.6 Kebijakan Upah
Konsep daya saing secara tradisional dibangun melalui kemampuan
menetapkan harga yang kompetitif sebagai hasil terjadinya efisiensi biaya. Tekanan
persaingan harus direspon antara lain melalui kemampuan berproduksi yang
efisien, dapat melalui skala produksi yang meningkat disertai diperolehnya harga
satuan input yang efisien. Kinerja efisiensi biaya input menjadi salah satu unsur
pembentuk harga output yang bersaing. Biaya input yang relatif besar biasanya
adalah biaya atas kompensasi tenaga kerja. Biaya input lainnya adalah biaya bahan
baku, bahan penolong, energi dan utilitas lain. Ketergantungan atas bahan baku
dan penolong impor akan mengganggu peningkatan efisiensi biaya. Sebaliknya
penguasaan bahan baku dan penolong dari sumber daya alam yang dimiliki akan
memudahkan peningkatan efisiensi biaya. Penetapan UMK oleh pemerintah
daerah yang kenaikannya relatif tinggi juga akan mengganggu peningkatan
efisiensi biaya.
114
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.27 Proporsi (%) Input terhadap Output, 2010
Sumber: Bappeda Jawa Barat
Gambar 6.27 menunjukan efisiensi biaya di sektor perdagangan hotel dan
restoran lebih tinggi dibandingkan sektor lain, dari rasio input terhadap output
yang relatif rendah. Pada lapangan usaha ini belum diberlakukan penetapan UMK
sehingga biaya tenaga kerja dapat ditekan apalagi sektor ini padat tenaga kerja
yang didukung persediaan tenaga kerja relatif melimpah. Sektor jasa
kemasyarakatan terutama sektor pemerintahan di bidang pendidikan dan
kesehatan yang umumnya bersifat nirlaba sehingga menanggung beban biaya
tenaga kerja yang besar dengan rasio biaya input terhadap output lebih tinggi
dibandingkan sektor lainnya. Lapangan usaha orientasi laba seperti industri
pengolahan dan jasa perusahaan mencatat rasio input terhadap output relatif tinggi
yaitu lebih dari 45%. Kedua sektor ini wajar memiliki rasio input terhadap output
relatif tinggi karena faktor upah dan beban input non tenaga kerja. Yang menarik,
sektor pemilik sumber daya alam yaitu sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan
peternakan merupakan sektor yang relatif efisien dari ukuran rasio input terhadap
output, artinya mempunyai prospek bisnis yang cerah dengan syarat diproduksi
dengan skala ekonomis yang tinggi.
Secara teknis, pengukuran efisiensi biaya tidak mudah dilakukan berkala
karena ketersediaan data pada semua lapangan usaha sangat terbatas, kecuali dari
publikasi Biro Pusat Statistik berupa Tabel Input-Output yang terbit lima tahun
sekali.
Rasio input terhadap output industri pengolahan pada tahun 2010 sebesar
55,97% dan meningkat menjadi 57,15% pada tahun 2012. Artinya terjadi penurunan
efisiensi biaya pada industri pengolahan. Namun demikian, ada beberapa jenis
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
50%
Proporsi Input terhadap Output
116
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
lainnya yang meliputi sektor keuangan dan jasa perusahaan lebih tinggi dibandingkan industri pengolahan jika membandingkan indeks output per tenaga kerja dan harga tenaga kerja. Khusus sektor jasa kemasyarakatan yang umumnya nirlaba memberikan gaji dan upah dengan indeks relatif tinggi dibandingkan dengan produktivitas dari ukuran output per-tenaga kerja.
Tabel 6.2 Indeks Harga TK dan Output Sektoral Jawa Barat, 2010
Sektor Biaya
gaji/upah (Juta Rp)
TK (ribu
orang)
gaji/TK (juta Rp)
Indeks harga
TK
% biaya gaji
terhadap output
Output (Juta Rp)
Output/TK (juta
Rp)
Indeks prod.
TK
Industri pengolahan
117.509.519 3.118 37,69 100,0 15,64% 751.350.946 240,96 100,0
Sektor lainnya 47.438.862 1.503 31,54 83,7 13,13% 361.324.240 240,26 99,7 PHR 46.598.109 2.629 17,72 47,0 20,46% 227.786.087 86,63 36,0 Pertanian, Kehutanan, Peternakan, Perikanan
21.215.411 2.295 9,25 24,5 14,47% 146.642.980 63,91 26,5
Jasa kemasyaraka-tan
45.529.765 1.467 31,05 82,4 38,71% 117.627.724 80,21 33,3
Total 278.291.666 11.013 25,27 67,1 17,34% 1.604.731.976 145,72 60,5 Sumber: Bappeda Jawa Barat
Jika biaya input semakin efisien relatif terhadap capaian output, maka akan menghasilkan nilai tambah yang semakin tinggi karena nilai tambah adalah selisih dari output terhadap input. Industri pengolahan tetap menghasilkan output maupun nilai tambah per-tenaga kerja yang paling tinggi walaupun mengalami ancaman penurunan daya saing dari ukuran biaya input TK, rasio input terhadap output dan keunggulan komparatif. Namun demikian, dapat diketahui bahwa Jawa Barat masih mempunyai kekuatan daya saing untuk produk unggulan yaitu industri tekstil dan pakaian jadi serta industri kendaraan bermotor, yang mana kedua industri ini telah memberikan kontribusi pada nilai tambah atau PDRB Jawa Barat.
Selanjutnya akan dianalisis komposisi pembentukan nilai tambah yang diuraikan menjadi gaji, penyusutan, surplus, dan pajak sesuai balas saja faktor produksi berturut turut tenaga kerja, kapital, manajerial, skill dan entrepreneurship, serta pemerintah. Menarik dicermati bahwa proporsi surplus terbesar terjadi untuk pemilik sumber daya alam pada sektor pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Di Sektor ini praktis penyusutan atas faktor kapital relatif kecil. Pemilik lahan akan mendapat porsi surplus besar. Porsi nilai tambah untuk balas jasa atas faktor tenaga kerja sektor jasa kemasyarakatan adalah yang terbesar. Artinya, daya saing usaha jasa tertentu selain industri pengolahan mempunyai prospek.
117
BAB 6 Perspektif Baru Penumbuhan Daya Saing Jawa Barat
Gambar 6.29 Komposisi Nilai Tambah Bruto Sektoral Jawa Barat, 2010
Sumber: Tabel Input-Output, Bappeda Jawa Barat
Daftar Pustaka
Becker, Gary S. 1962. “Investment in Human Capital : A Theoretical Analysis.” The Journal of Political Economy. Vol.70 (5), Part 2: Investment in Human Beings, pp. 9-49
ILO. 1992. Surveys of Economically Active Population,Employment, Unemployment and Underemployment : An ILO Manual on Concepts and Methods. Geneva: ILO.
United Nations Development Programme. 1990. Human Development Report. New York: UNDP.
Schultz, T.W. 1959. “Investment in Man: An Economic’s View.” Social Service Review.
www.bi.go.id
www.bps.go.id
www.comtrade.un.org
29.17% 24.79% 28.88% 23.81%
73.46%
31.31%
54.35% 53.75%
59.15% 72.45%
13.65%
53.86%
12.60% 18.07% 7.95%
2.06% 11.60% 11.41%
3.88% 3.39% 4.03% 3.41%
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
Gaji&Upah Surplus Penyusutan Pajak
118
BAB 7 DETERMINAN DAN PEMETAAN DAYA SAING
Pertumbuhan dan kemajuan pembangunan diantara daerah kabupaten/kota di Jawa Barat ternyata tidak sama, sehingga kemampuan untuk menumbuhkan daya saing juga berbeda. Pembahasan ini mengkaji factor-faktor yang membentuk daya saing ekonomi daerah kabupaten/kota. Berdasarkan identifikasi determinan daya saing daerah, pada pembahasan ini telah dilakukan pemetaan untuk mengetahui posisi daya saing kabupaten/kota dilakukan secara visual untuk mengetahui perbedaan posisi dan capaian daya saing suatu daerah secara relative di lingkungan provinsi Jawa Barat. Kemudian dapat diketahui pemetaan kekuatan dan kelemahan pembentuk daya saing di setiap kabupaten/kota. Hasil perbandingan daya saing antar waktu juga dilakukan terhadap beberapa daerah yhang dipilih sebagai lesson learned bagi daerah lainnya.
7.1 Determinan Daya Saing Ekonomi Daerah
7.1.1 Analisis Faktor Penjelas Daya Saing
Tabel 7.1. menjelaskan 22 indikator atau variabel penjelas daya saing sesuai 3 pilar daya saing yang telah dibahas pada Bab 6. Indikator ini merupakan variabel yang diobservasi. Untuk mengetahui variabel yang kuat menjelaskan capaian daya saing ekonomi setiap daerah, telah dilakukan seleksi variabel daya saing menggunakan Analisis Faktor. Analisis Faktor tidak membedakan secara apriori status variabel apakah tergolong variabel terikat atau variabel tidak terikat. Dianggap semua variabel yang diobservasi diduga saling berkorelasi.
DETERMINAN DAN PEMETAAN DAYA SAING KABUPATEN/KOTA
7 BAB
119
BAB 7 Determinan dan Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota
Tabel 7.1 Pilar Pembangunan Daya Saing Kabupaten/Kota
Indikator pada Pilar Produktivitas
Indikator pada Pilar Kualitas Proses dan
Output
Indikator pada Pilar outcome dan Efektivitas
Kebijakan 1. Produktivitas tenaga kerja
(TK) agregat 2. Produktivitas TK
pertanian 3. Produktivitas TK industri
Pengolahan 4. Produktivitas TK PHR 5. Produktivitas TK jasa
Kemasyarakatan 6. Produktivitas TK sektor
lainnya
1. Pendapatan per kapita 2. Human capital 3. Diversifikasi ekonomi 4. Karakteristik daerah 5. Ekspor luar negeri 6. Riset perusahaan 7. Inovasi perusahaan 8. Investasi PMDN-PMA 9. Pembiayaan perbankan
10. Infrastruktur jalan
1. Mutu SDM (IPM) 2. APBD per-kapita 3. Ketimpangan 4. Kemiskinan 5. Pengangguran terbuka 6. Efektivitas kebijakan upah
Menggunakan data pada 22 variabel pada 26 kabupaten/kota di Jawa Barat telah dilakukan analisis hubungan antara variabel daya saing. Kabupaten Pangandaran tidak dianalisis mengingat baru pemekaran dari Kabupaten Ciamis sehingga data tidak tersedia lengkap. Data yang digunakan data tahunan kecuali data investasi dan pembiayaan perbankan menggunakan data akumulasi.
Tabel 7.2 Hasil Analisis Faktor terhadap Determinan Daya Saing Principal Components/Correlation Jumlah observasi = 26
Jumlah komponen = 5
Trace = 22 Rotation: orthogonal varimax (Kaiser off) Rho = 0,8073
Variabel Notasi Variabel Komp 1 Komp 2 Komp 3 Komp 4 Komp 5 Unexplained
Produktivitas tenaga Kerja agregat
Prod 0,0046 0,4047 0,0947 0,0252 -0,0460 0,0357
Produktivitas tenaga kerja pertanian
Prod1 0,0304 -0,1290 0,1303 0,1052 0,6137 0,3559
Produktivitas tenaga kerja industri
Prod2 -0,0115 0,4854 -0,1519 -0,0253 -0,0033 0,1646
Produktivitas tenaga kerja PHR
Prod3 0,1623 0,1324 0,1277 0,2751 -0,0830 0,2359
Produktivitas tenaga kerja jasa kemasyarakatan
Prod4 -0,0025 0,0415 0,1415 0,4997 0,1213 0,2524
Produktivitas tenaga kerja sektor lainnya
Prod5 -0,0175 0,3231 -0,1223 0,3137 0,0836 0,1787
120
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Variabel Notasi Variabel Komp 1 Komp 2 Komp 3 Komp 4 Komp 5 Unexplained
Pendapatan per kapita Pdrbk 0,0845 0,3778 0,0342 0,0833 -0,0673 0,0383
Human capital Hcap 0,4203 0,0040 -0,0286 -0,1259 0,0842 0,1037
Diversifikasi ekonomi Ent -0,2847 -0,0935 0,1671 -0,0566 -0,2418 0,2867
Karakteristik daerah Dkar 0,2544 0,1584 -0,0957 0,0980 -0,0913 0,3473
Ekspor luar negeri Shex -0,1258 0,3364 0,1693 -0,2263 -0,0545 0,1328
Riset perusahaan Nrsc -0,0007 0,0184 0,4797 -0,0616 0,0989 0,1043
Inovasi perusahaan Nino 0,0365 -0,0573 0,5381 0,1496 0,0485 0,1062
Investasi PMDN-PMA Shinv -0,1301 0,3240 0,2102 -0,1734 0,0877 0,1226
Pembiayaan perbankan Shkr 0,0640 0,0900 0,4122 0,0114 -0,0953 0,1082
Inrastruktur jalan Jln 0,4038 -0,0726 0,0468 0,0171 0,0957 0,1719
Mutu SDM Ipm 0,4238 -0,0377 0,0584 -0,0846 -0,0038 0,0940
APBD per-kapita Apbdpp 0,1755 0,1150 -0,2633 0,2482 0,0051 0,2881
Ketimpangan Gini 0,3207 -0,0814 0,1285 0,1693 -0,3533 0,1563
Kemiskinan Pov -0,3331 -0,0136 -0,0597 0,2993 0,0618 0,2418
Pengangguran terbuka Tpt 0,0259 0,1067 -0,0554 -0,0566 0,5803 0,4005
Efektivitas kebijakan upah minimum
Outcost -0,1285 -0,1255 0,0137 0,4799 -0,0880 0,3125
Catatan: variabel terpilih yang memiliki unexplained maks. 0,31
Aplikasi analisis faktor mampu mereduksi informasi menjadi empat komponen yang menjelaskan 80,73% informasi terwakili oleh 19 variabel yang dinilai memiliki hubungan erat terhadap capaian daya saing ekonomi daerah. Hasilnya dapat dikelompokkan dalam komponen atau faktor ke-satu yaitu relevan terhadap kualitas hidup masyarakat, mencakup variabel:
(1) Mutu SDM,
(2) Human capital,
(3) Infrastruktur jalan,
(4) Ketimpangan,
Komponen atau faktor ke-dua mendeskripsikan tentang produktivitas dan daya tarik ekonomi daerah, meliputi variabel:
(5) Pendapatan per kapita,
121
BAB 7 Determinan dan Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota
(6) Produktivitas tenaga kerja agregat,
(7) Produktivitas tenaga kerja industri,
(8) Produktivitas tenaga kerja sektor lainnya,
(9) Investasi PMDN-PMA,
(10) Ekspor luar negeri,
Komponen atau faktor ke-tiga mencerminkan tentang inovasi dan ekspansi, yaitu diukur dari variabel:
(11) Inovasi perusahaan,
(12) Riset perusahaan,
(13) Pembiayaan perbankan,
(14) Diversifikasi ekonomi,
Komponen atau faktor ke-empat, yaitu menjelaskan tentang pengembangan sektor jasa dan peranan pemerintah daerah:
(15) Produktivitas tenaga kerja PHR
(16) Produktivitas tenaga kerja jasa kemasyarakatan
(17) Kemiskinan
(18) APBD per-kapita
(19) Efektivitas kebijakan upah minimum
Selanjutnya untuk keperluan pemetaan daya saing dilakukan analisis faktor terhadap 19 variabel menggunakan 4 komponen disajikan pada Tabel 7.3 Pengelompokan variabel dilakukan berdasarkan keeratan hubungan dan kesamaan komponen.
Tabel 7.3 Hasil Analisis Faktor terhadap Determinan Daya Saing Variabel Komp 1 Komp 2 Komp 3 Komp 4 Unexplained Urutan prod 0,0073 0,4009 0,1106 0,0330 0,0447 2 prod2 0,0105 0,5030 -0,1577 -0,0218 0,1457 10 prod3 0,1358 0,1205 0,1610 0,3025 0,2465 14 prod4 -0,0333 0,0543 0,1326 0,4887 0,2797 15 prod5 -0,0188 0,3521 -0,1424 0,3032 0,1689 11 pdrbk 0,0885 0,3815 0,0459 0,0990 0,0392 1 hcap 0,4468 0,0217 -0,0440 -0,0946 0,1136 5 ent -0,3239 -0,1403 0,2224 -0,0655 0,2953 16 shex -0,1155 0,3233 0,1827 -0,2354 0,1395 8 nrsc -0,0016 0,0255 0,4534 -0,0919 0,1425 9 nino 0,0135 -0,0691 0,5388 0,1375 0,1110 4
122
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Variabel Komp 1 Komp 2 Komp 3 Komp 4 Unexplained Urutan shinv -0,1134 0,3417 0,1814 -0,2108 0,1188 6 shkr 0,0512 0,0812 0,4211 0,0090 0,1189 7 jln 0,4183 -0,0585 0,0334 0,0466 0,1835 12 ipm 0,4414 -0,0236 0,0491 -0,0515 0,0886 3 apbdpp 0,1613 0,1076 -0,2297 0,2858 0,3361 18 gini 0,2865 -0,1309 0,2127 0,2457 0,2981 17 pov -0,3614 -0,0088 -0,0675 0,2599 0,2463 13 outcost -0,1733 -0,1142 0,0116 0,4598 0,3434 19
Berdasarkan hasil analisis faktor pada Tabel 7.2, dilakukan sintesa untuk menyimpulkan determinan daya saing ekonomi daerah seperti disajikan pada Gambar 7.1, yang dapat direklasifikasikan menjadi 5 (lima) faktor, yaitu:
(1) Produktivitas tenaga kerja dan Daya Tarik Ekonomi
Produktivitas tenaga kerja pada kabupaten/kota yang diukur sebagai nilai tambah per tenaga kerja mempunyai hubungan sangat kuat tingkat daya tarik ekonomi suatu daerah. Produktivitas sektor produksi mempunyai hubungan kausalitas dengan ekspor dan aliran investasi. Akselerasinya ditentukan pula oleh tingkat pendapatan per-kapita yang semakin tinggi akan memperkuat daya tarik ekonomi terutama dalam mengundang investor.
(2) Kualitas Hidup Masyarakat
Mutu manusia dan human capital merepresentasikan kualitas hidup manusia dan memiliki hubungan dengan tingkat daya saing daerah. Ketersediaan inftrastruktur jalan yang mencukupi akan memudahkan pergerakan dan akses masyarakat untuk mengakumulasikan pendidikan, kesehatan dan kemampuan ekonomi. Pembentukan kualitas hidup masyarakat akan mengalami kesulitan untuk daerah mencatat ketimpangan. Pembangunan daya saing daerah lebih mudah untuk daerah yang tingkat ketimpangannya relatif rendah.
(3) Inovasi dan Ekspansi
Hasil kajian ini juga mengkonfirmasi laporan lembaga pemeringkat daya saing yaitu tentang pentingnya factor inovasi selain human capital dalam penumbuhan daya saing. Intensitas inovasi sejalan dengan intensitas riset yang dilakukan perusahaan. Semakin banyak perusahaan melakukan inovasi dan riset akan menumbuhkan daya saing perusahaan dan daya saing daerah. Indikator penting lainnya adalah pembiayaan. Pembiayaan perbankan memiliki hubungan positif dengan pengembangan daya saing. Pada daerah yang terindeks daya saing tinggi ternyata didukung oleh pembiayaan perbankan yang juga tinggi. Daerah dengan konsentrasi industri mampu menumbuhkan perusahaan untuk melakukan riset. Temuan lain yaitu meningkatnya inovasi, riset dan dukungan pembiayaan akan memudahkan terjadinya ekspansi perusahaan dan industri. Jalur ekspansi
123
BAB 7 Determinan dan Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota
mengundang kegiatan diversifikasi yang pada akhirnya mendorong diversifikasi ekonomi dan produktivitas sektoral.
Gambar 7.1 Determinan Daya Saing Ekonomi Daerah
(4) Pengembangan Sektor Jasa
Meningkatnya produktivitas sektor produksi selain mendorong ekspansi dan diversifikasi, akan mengundang investasi pada sektor jasa sebagai pelengkap dan pendukung penumbuhan daya saing daerah. Pengembangan sektor jasa, yaitu PHR dan jasa kemasyarakatan memiliki hubungan kausalitas dengan pertumbuhan daya saing daerah. Beberapa kabupaten/kota yang terindeks berdaya saing tinggi mencatat aktivitas sektor PHR dan jasa kemasyarakatan yang meningkat.
(5) Peranan Pemerintah Daerah Hasil kajian terhadap pemetaan daya saing kabupaten/kota di Jawa Barat
menunjukan bahwa penumbuhan daya saing akan terhambat jika daerah memiliki indicator social ekonomi yang buruk diukur dari tingkat kemiskinan. Beban atas tingkat kemiskinan akan menyulitkan pembentukan mutu SDM dan human capital yang merupakan factor penting daya saing daerah. Hal penting lainnya, kebijakan pemerintah daerah untuk meningkatkan upah minimum regional dan
Peranan Pemerintah Daerah
- Tingkat kemiskinan
- APBD per-kapita
- Efisiensi biaya tenaga kerja
Produktivitas Tenaga Kerja dan Daya Tarik Ekonomi
Daerah - Pendapatan perkapita - Produktivitas tenaga kerja
sektor produksi - Investasi PMDN-PMA - Ekspor luar negeri
Kualitas Hidup Masyarakat: - Mutu SDM (IPM) - Human capital - Infrastruktur transportasi - ketimpangan
Inovasi & Ekspansi
- Inovasi perusahaan - Riset perusahaan - Pembiayan perbankan - Diversifikasi ekonomi
Pengembangan Sektor Jasa - Produktivitas tenaga kerja PHR
- Produktivitas tenaga kerja jasa kemasyarakatan
124
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
kabupaten/kota perlu dievaluasi efektivitasnya jika menurunkan efisiensi biaya atau produktivitas tenaga kerja. Selain itu, kemampuan pembiayaan pemerintah daerah untuk mendorong daya saing daerah ternyata bervariasi jika diukur dari APBD per-kapita. Bahkan pada beberapa daerah perlu dievaluasi kualitas belanja APBD karena belum menumbuhkan daya saing daerah.
7.2 Pemetaan Daya Saing Ekonomi Kabupaten/Kota
Pemetaan posisi daya saing daerah dilakukan dengan teknik multidimensional scaling (MDS). MDS merupakan teknik visualisasi dari hasil analisis faktor, dimana observasi dari variabel yang telah direduksi tersebut terpetakan dalam dua dimensi dan dibagi menjadi empat kuadran. Beberapa observasi yang memiliki kemiripan karakteristik variabel akan membentuk suatu kumpulan atau berada pada jarak yang berdekatan. Peta yang dihasilkan oleh MDS perlu memenuhi uji reliabilitas dan validitas. Terdapat beberapa uji yang dapat dilakukan, kali ini digunakan uji stress berdasarkan Kruskal (1978) dimana nilai stress ideal sebesar < 0,10. Pemetaan posisi daya saing setiap daerah menggunakan MDS ini dapat dikategorikan menggunakan informasi yang memadai dari hasil uji stress Kruskal sebesar 0,09.
Gambar 7.2 Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota 2014
Sumber: Pengolahan data
Keterangan: 16: Kab.Sumedang, 19: Kab. Garut, 24: Kota Banjar
Kab. BogorKab. SukabumiKab. Cianjur
Kab. Bandung19Kab. Tasikmalaya
Kab. CiamisKab. KuninganKab. CirebonKab. Majalengka16
Kab. Indramayu
Kab. SubangKab. Purwakarta
Kab. KarawangKab. Bekasi
Kab. Bandung Barat
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
21
-150
-100
-50
050
100
-100 -50 0 50 100 150Dimension 1
(loss:stress = 0.09)
Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota
125
BAB 7 Determinan dan Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota
Posisi kabupaten/kota dalam pemetaan daya saing dipengaruhi oleh kombinasi dari variabel-variabel pendorong sesuai faktor atau komponen. Pada Gambar 7.3 ditampilkan tingkat dukungan variabel-variabel tersebut. Pemetaan variabel ini menggunakan teknik biplot pada analisis faktor. Posisi observasi direpresentasikan melalui simbol titik, dengan angka sebagai kode setiap observasi (kabupaten/kota). Garis panah menunjukkan arah dorong variabel dan panjang garis panah mencirikan variasi data. Variabel produktivitas tenaga kerja agregat merupakan variabel yang memiliki variasi terbesar antar daerah yang mengakibatkan posisi daya saing antar daerah bervariasi, kemudian diikuti oleh produktivitas industri dan produktivitas sektor lainnya.
Gambar 7.3 Pemetaan Variabel Pendorong Daya Saing Ekonomi Kab/Kota 2014
Keterangan: 1= Kab. Bekasi, 2= Kab. Karawang, 3= Kota Bandung, 4= Kab. Purwakarta, 5= Kota Cirebon, 6= Kab. Indramayu, 7= Kota Cimahi, 8= Kab. Bogor, 9= Kota Bogor, 10= Kota Sukabumi, 11= Kota Bekasi, 12= Kab. Bandung Barat, 13= Kab. Bandung, 14= Kota Depok, 15= Kota Tasikmalaya, 16= Kab. Sumedang, 17= Kab. Cirebon, 18= Kab. Sukabumi, 19= Kab. Garut, 20= Kab. Subang 21= Kota Banjar, 22= Kab. Kuningan, 23= Kab. Cianjur, 24= Kab. Majalengka, 25= Kab. Tasikmalaya, 26= Kab. Ciamis
Yang perlu menjadi perhatian, ada 3 (tiga) variabel yang perlu dijadikan variabel solusi dalam bentuk kebijakan karena kontraproduktif terhadap capaian daya saing yaitu efisiensi biaya tenaga kerja, APBD per-kapita, dan tingkat kemiskinan. Kesesuaian upah tenaga kerja dengan output yang dihasilkan merupakan ukuran efisiensi tenaga kerja. Biaya tenaga kerja yang tidak efisien
outcost
prod
prod2
prod3
prod4
prod5
hcapent
shexnrscshinv
shkripm
gini
povapbdpp
jlnpdrbk
12
34
5
6
7
891011
12
1314
151617
18
19202122
2324
25
26
-10
-50
510
-5 0 5 10 15Dimension 1
Variables Observations
Pemetaan Variabel Pendorong Daya Saing Ekonomi Kab/Kota
126
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
adalah jika upah tenaga kerja relatif tinggi dibandingkan output yang dihasilkan. Implikasi kebijakan upah minimum mutlak memperhatikan produktivitas tenaga kerja tersebut. Variabel kedua yang belum sejalan dengan daya saing adalah APBD per-kapita. Ada daerah yang baik capaian daya saing dan PDRB nya namun memiliki kemampuan APBD untuk rakyatnya relatif rendah. Daerah umumnya menjadi lokasi pabrik namun kantor pusat ada di Jakarta sehingga pajak masuk ke Jakarta. Walaupun ada dana alokasi dari pusat namun relatif tidak cukup jika dari APBD mengalokasikan dana pembangunan daerah untuk belanja modal dan belanja pendidikan. Perlu disempurnakan kebijakan alokasi anggaran dari psuat berbasis aktivitas pabrik dan kantor cabang di daerah. Kebijakan lain yang perlu dieksekusi oleh pemerintah daerah adalah pengentasan tingkat kemiskinan. Daerah dengan tingkat kemiskinan relatif tinggi akan mengkendala pembangunan daya saing.
Gambar 7.4 Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota 2010
Keterangan: 12= Kab. Bandung Barat, 13= Kab. Bandung, 16= Kab. Sumedang, 19= Kab. Garut, 20= Kab. Subang, 21= Kota Banjar; telah dilakukan analisis faktor untuk data tahun 2010 dan dihasilkan variabel terpilih yang sama dengan hasil analisis faktor untuk data 2014, yaitu terpilih 19 variabel dari 22 variabel yang ada
Kab. BekasiKab. Karawang
Kota BandungKab. Purwakarta
Kota CirebonKab. Indramayu
Kota Cimahi
Kab. Bogor
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bekasi12
13Kota Depok
Kota Tasikmalaya
16Kab. Cirebon
Kab. Sukabumi19
2021Kab. KuninganKab. Cianjur
24Kab. Tasikmalaya
Kab. Ciamis
-150
-100
-50
050
100
-100 -50 0 50 100 150Dimension 1
(loss:stress=0.09)
Pemetaan Daya Saing Kab/Kota
127
BAB 7 Determinan dan Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota
7.3 Perkembangan Daya Saing Ekonomi Daerah
Pemetaan daya saing setiap daerah dapat dilakukan setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi perubahan posisi secara relatif. Membandingkan Gambar 7.2 dan 7.428, dapat diketahui beberapa kesimpulan penting:
(1) Daerah Jawa Barat memiliki keuntungan dalam membangun daya saing karena memiliki sumberdaya alam lahan subur, SDM dan kemudahan akses dari dan ke Jakarta. Potensi yang berbeda antar kabupaten/kota mengakibatkan profil dan posisi daya saing berbeda. Transformasi ekonomi dan aglomerasi ekonomi ternyata mempercepat pembangunan daya saing yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat daerah.
(2) Faktanya, baru 5 daerah dari 22 kabupaten/kota yang mempunyai kinerja pembangunan daya saing relatif unggul dan konsisten selama 2010-2014, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, dan Kota Bandung. Hasil analisis dan pengukuran terhadap kemajuan daya saing selama periode tersebut mampu disusun ranking atas kinerja pembangunan daya saing yaitu:
Tabel 7.4 Peringkat Indeks Kinerja Daya Saing 2010-2014
No Daerah Indeks Kinerja Daya Saing 2010-2014
1 Kabupaten Karawang 121,60
2 Kabupaten Purwakarta 113,77
3 Kabupaten Bekasi 106,06
4 Kabupaten Bogor 103,63
5 Kota Bandung 101,63
(3) Analisis terhadap perbandingan kinerja pembangunan daya saing antar periode dapat diketahui dengan membandingkan pergerakan skor antar komponen. Pada Gambar 7.5 terlihat beberapa kabupaten/kota mengalami peningkatan kinerja di komponen 2, antara lain Kab. Karawamng, Kab. Purwakarta, dan Kab. Bekasi. Peningkatan produktivitas industri dan pendapatan per-kapita menjadi pendorong peningkatan daya saing pada ketiga daerah tersebut. Kab. Bogor cenerung mengalami peningakatn di setiap komponen. Kota Bandung memiliki karakter yang berbeda dimana terjadi peningkatan di komponen 4 dan penurunan di komponen 1. Peningkatan aktivitas sektor jasa
28 Telah dilakukan analisis pemetaan MDS untuk tahun 2010 dengan struktur data dan metode
yang digunakan saat melakukan analisis faktor untuk data tahun 2014. Analisis faktor yang dilakukan pada data tahun 2010 menghasilkan reduksi variabel yang sama dengan variabel terpilih untuk data tahun 2014.
128
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
menjadi ciri Kota Bandung, namun ketimpangan menjadikan pembangunan daya
saing Kota Bandung terhambat.
Gambar 7.5 Pengembangan Daya Saing Daerah
Hasil analisis MDS memperlihatkan Kab. Karawang, Kab. Purwakarta,
Kab.Bekasi, Kab. Bogor, dan Kota Bandung berada pada kuadran I. Daerah yang
berada pada kuadran I merupakan daerah yang memiliki nilai komponen
pendorong daya saing yang relatif tinggi. Tabel 7.5 mendeskripsikan variabel
pendorong daya saing pada setiap daerah tersebut.
Tabel 7.5 Faktor Pendorong Daya Saing Melekat Per-Daerah
Daerah Faktor Spesifik Faktor Umum
Kab. Karawang ▪ Investasi PMDN-PMA ▪ APBD per-kapita ▪ Produktivitas TK agregat ▪ Pendapatan per-kapita ▪ Pembiayaan perbankan
▪ Produktivitas TK agregat ▪ Pendapatan per-kapita
Kab. Purwakarta ▪ Investasi PMDN-PMA ▪ Produktivitas TK agregat ▪ Produktivitas TK industri ▪ Ekspor luar negeri ▪ Pendapatan per-kapita
Kab. Bekasi ▪ Produktivitas TK agregat ▪ Produktivitas TK industri ▪ Inovasi perusahaan ▪ Ekspor luar negeri ▪ Pendapatan per-kapita
Kab. Bogor ▪ Produktivitas TK agregat ▪ Produktivitas TK jasa
kemasyarakatan ▪ Human capital ▪ Pendapatan per-kapita
129
BAB 7 Determinan dan Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota
Daerah Faktor Spesifik Faktor Umum
Kota Bandung ▪ Produktivitas TK agregat ▪ Produktivitas TK jasa
kemasyarakatan ▪ Produktivitas TK PHR ▪ Pendapatan per-kapita ▪ Inovasi perusahaan
Produktivitas tenaga kerja agregat dan pendapatan per kapita mampu
membedakan posisi daya saing antar daerah. Variabel penjelas lainnya yang
melekat pada setiap daerah yang memiliki daya saing relatif tinggi adalah ekspor
dan investasi. Hingga saat ini produktivitas tenaga kerja mencatat deviasi yang
relatif besar antar daerah. Box 4 menjelaskan temuan empiris tentang variabel
penjelas produktivitas tenaga kerja yaitu human capital, ekspor dan pendapatan per-
kapita.
Box 4 Produktivitas Tenaga Kerja
Produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota berbeda cukup lebar. Kajian empiris dilakukan untuk
mengetahui determinan yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja. Indikator produktivitas
tenaga kerja yang digunakan merupakan hasil bagi dari total produksi (PDRB konstan) terhadap total
tenaga kerja.
(1) Terdapat beberapa daerah yang memiliki produktivitas tenaga kerja tinggi, antara lain Kab.
Bekasi, Kab. Karawang, Kota Bandung, dan Kab. Purwakarta. Sektor industri merupakan
sektor yang menghasilkan produktivitas tinggi, kecuali Kota Bandung yang lebih ke sektor
jasa. Daerah yang mencatat produktivitas relatif rendah antara lain Kab. Kuningan, Kab.
Cianjur, Kab. Majalengka, Kab. Tasikmalaya, dan Kab. Ciamis yang umumnya merupakan
daerah yang didominasi oleh sektor pertanian. Menggunakan variabel dalam komponen
produktivitas tenaga kerja dan keunggulan sumber daya manusia sebagai komponen utama
daya saing ekonomi daerah dan menambahkan variabel ekspor.
Tabel 7.6 Hasil Regresi Determinan Produktivitas Tenaga Kerja
Variabel Dependen: Produktivitas tenaga kerja agregat
Variabel Independen Koefisien
Human Capital 0.4608* (0.2622)
Ekspor 0.0339* (0.0193)
Pendapatan per-kapita 0.4239*** (0.0699)
Konstanta -1.9966** (0.7832)
R-square 0.8701
N 26
T 3
Keterangan: *p < 0.1 ; **p < 0.05 ; ***p < 0.01;
130
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Standard error dalam kurung ; menggunakan random effect model
(2) Hasil regresi pada Tabel 7.6 menunjukkan bahwa human capital berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja. Tingkat pendidikan angkatan kerja digunakan sebagai ukuran human capital. Dalam upaya meningkatkan produktivitas, selain memerlukan human capital yang tinggi, diperlukan juga kapasitas produksi yang berorientasi ekspor. Kemampuan ekspor menunjukan produksi kita mampu bersaing di pasar global. Dengan human capital yang semakin tinggi akan berkontribusi pada efisiensi dan perbaikan kualitas yang memudahkan produk berkompetisi di pasar global maupun domestik. Selain itu, pendapatan per-kapita bersama human capital berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja.
(3) Meningkatkan tingkat pendidikan angkatan kerja merupakan agenda prioritas pemerintah bersama dengan sektor swasta untuk menumbuhkan daya saing perekonomian daerah dan nasional. Peranan pemerintah sangat strategis didalam membangun human capital menghadapi era persaingan global dan regional yang semakin ketat.
Daftar Pustaka
Bank Indonesia. Berbagai edisi. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Jawa Barat. Jakarta: Bank Indonesia.
Drejer, Ina. 2002. Input-Output Based Measures of Interindustry Linkages Revisited – A Survey and Discussion. Denmark: Dissertation for Ph.D, Aalborg University.
Hewings, Geoffrey J.D, et al. 1998. “The Hollowing-Out Process in the Chicago Economy, 1975-2011.” Geographical Analysis. Vol. 30, No.3. Ohio State University Press.
Hirschman, A.O. 1958. Interdependence and Industrialization: The Strategy of Economic Development. New Haven: Yale University Press.
Hirschman, A.O. 1977. A Generalized Linkage Approach to Development, with Special Reference to Staples. In M. Nash (ed.), Essays on Economic Development and Cultural Change – in honour of Bert F. Hoselitz. Economic Development and Cultural Change. Vol. 15, Supplement.
Jones, L.P. 1976. “The Measuremnet of Hirschmanian Linkages.” Quarterly Journal of Economics. Vol. 90, No.2, pp. 323-333.
Kruskal, J.B, and M. Wish. 1978. Multidimensional Scaling. Newburrry Park, CA: Sage.
Lindqvist, G. 2009. Disentangling Clusters: Agglomeration and Proximity Effects. Sweden: Dissertation for the Degree of Doctor of Philosophy, Stockholm School of Economics.
131
BAB 7 Determinan dan Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota
Marshall, Alfred. 1920. Principle of Economics : An Introductory Volume. 8th ed. London: Macmillan.
Narjoko, Dionisius A. 2011. The Determinants of Industrial Agglomeration in Indonesia. Centre for Strategic and International Studies, Jakarta: Indonesia.
Porter, Michael E. 1998a. On Competition. Harvard Business School Pr.
Porter, Michael E. 1998b. Competitive Advantage of Nations. Free Press.
Porter, Michael E. 2000. “Location, Competition, and Economic Development: Local Clusters in a Global Economy.” Economic Development Quarterly. Vol.14, pp.15-34.
Rabelloti, Roberta. 1999. “Recovery of a Mexican Cluster: Devaluation Bonanza or Collective Efficiency?.” World Development. Vol.27 No.9, pp.1571-1585.
www.bi.go.id
www.bps.go.id
132
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Lampiran 1 Dokumen Perencanaan dan Prospek Produksi di Jawa Barat Bappenas Bappeda/Pemprov Jabar MP3EI
- Agribisnis, kelautan, pariwisata, dan industri kecil menengah (Kawasan Priangan Timur)
- Priangan Timur : Peternakan domba dan sapi (Kab.Garut), industri penyamakan kulit dan barang jadi dari kulit sapi dan domba
- SDM dan R&D sudah diperhatikan walau belum dominan, namun iklim usaha dan kemitraan masih kurang
Sumber : Bappenas. Pengembangan Ekonomi Daerah berbasis Kawasan Andalan: Membangun Model Pengelolaan dan Pengembangan Keterkaitan Program
- Kawasan Andalan Sukabumi & sekitarnya : a. Kota Sukabumi : agribisnis,
agropolitan, agrowisata, perdagangan & jasa, industri non-polutif & hemat air
b. Kab. Sukabumi : agribisnis (karet, teh, kelapa, palawija), ternak ruminansia (domba), wisata pantai, wisata agro
c. Kab. Cianjur : agribisnis, perkebunan (teh, kelapa), pertanian, kehutanan (mahoni, sengon), ternak ruminansia (domba, sapi), wisata agro, wisata alam, industri kreatif
- Kawasan Andalan Priangan Timur -Pangandaran : a. Kota Tasikmalaya : industri
kerajinan, perdagangan dan jasa
b. Kab. Tasikmalaya : pertanian, perkebunan (kopi, manggis, pisang, tomat), kehutanan (mahoni, sengon), peternakan (sapi potong), agroindustri, perikanan, industri kerajinan, wisata alam, pertambangan mineral logam & non-logam (pasir hitam)
c. Kab. Garut : industri pegolahan pertanian (padi, palawija, sayuran), perkebunan (teh, kelapa), kehutanan (kayu afrika, sengon), peternakan (domba), dan wisata alam (pantai, gunung)
d. Kab. Ciamis : industri pengolahan pertanian (kelapa, kopi, kakao, holtikultura), perkebunan, kehutanan (kayu jati, mahogani, sengon), peternakan, perikanan, wisata pantai, pertambangan mineral non-logam
e. Kota Banjar : perdagangan dan jasa
- Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur : a. Pengembangan
pertanian b. Pengembangan
pariwisata c. Pengembangan industri d. Pengembangan
perikanan - Kawasan Sukabumi &
Sekitarnya a. Pengembangan
perikanan b. Pengembangan
pertanian c. Pengembangan
pariwisata d. Pengembangan
perkebunan - Kawasan Purwakarta,
Subang, Karawang (Purwasuka) a. Pengendalian
pertanian pangan abadi
b. Pengembangan industri
c. Pengembangan pariwisata
d. Pengembangan perikanan
- Kawasan Cekungan Bandung a. Rehabilitasi kawasan
industri pengolahan b. Pengembangan
pertanian c. Pengembangan wisata d. Pengembangan
perkebunan - Kawasan Cirebon-
Indramayu-Majalengka-Kuningan & Sekitarnya a. Pengembangan
pertanian b. Pengembangan
industri c. Pengembangan
perikanan
133
BAB 7 Determinan dan Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota
Bappenas Bappeda/Pemprov Jabar MP3EI f. Kab. Pangandaran :
pertanian (kelapa), perikanan tangkap & kelautan, peternakan (sapi,domba), wisata pantai
*) Kawasan andalan adalah wilayah yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang ditetapkan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Sumber : Perda Prov. Jawa Barat No.28 tahun 2010 tentang Pengembangan Wilayah Jabar Bagian Selatan tahun 2010-2029
d. Pengembanganpertambangan
- Kawasan Priangan Timur-Jawa Barat a. Pengembangan
pertanian b. Pengembangan
industri c. Pengembangan
perkebunan d. Pengembangan
pariwisata e. Pengembangan
perikanan
Sumber : PP No.28 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
134
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Lampiran 2. Operasionalisasi Variabel Daya Saing Variabel Notasi
Variabel Ukuran Satuan
Produktivitas tenaga Kerja agregat
Prod Juta
rupiah/orang
Produktivitas tenaga kerja pertanian
Prod1 Juta
rupiah/orang
Produktivitas tenaga kerja industri
Prod2 Juta
rupiah/orang
Produktivitas tenaga kerja PHR
Prod3 Juta
rupiah/orang
Produktivitas tenaga kerja jasa kemasyarakatan
Prod4
Juta
rupiah/orang
Produktivitas tenaga kerja sektor lainnya Prod5
Juta
rupiah/orang
Pendapatan per kapita Pdrbk
Juta rupiah
Human capital Hcap
Tahun
Diversifikasi ekonomi
Ent
Indeks
Karakteristik daerah Dkar
Daerah pertanian = 1, daerah industri = 2, daerah jasa = 3 dummy
Ekspor luar negeri Shex
Persen (%)
Riset perusahaan Nrsc
Jumlah perusahaan melakukan riset pada setiap kabupaten/kota Unit
Inovasi perusahaan Nino
Jumlah perusahaan melakukan inovasi pada setiap kabupaten/kota Unit
Investasi PMDN-PMA Shinv
Persen (%)
Pembiayaan perbankan Shkr
Persen (%)
Inrastruktur jalan Jln Rasio
Mutu SDM Ipm
Indeks pembangunan manusia (IPM) Indeks
APBD per-kapita Apbdpp
Persen (%)
135
BAB 7 Determinan dan Pemetaan Daya Saing Kabupaten/Kota
Variabel Notasi Variabel
Ukuran Satuan
Ketimpangan Gini
Indeks gini Indeks
Kemiskinan Pov
Persen (%)
Pengangguran terbuka Tpt Persen (%)
Efektivitas kebijakan upah minimum
Outcost
Indeks
136
BAB 8 PROSPEK PERTUMBUHAN DAYA SAING DAERAH
JAWA BARAT
Pada bab ini akan dibahas kesimpulan hasil kajian tentang daya saing
daerah di Jawa Barat yang dibahas pada bab sebelumnya. Terdapat kekuatan
sekaligus kelemahan perekonomian daerah dalam pembangunan daya saing.
Menyikapi tantangan dan peluang pasar, maka prospek pertumbuhan daya saing
daerah di Jawa Barat terbilang besar dengan syarat dilengkapi aksi strategis yang
dilakukan oleh pelaku usaha, masyarakat, kelembagaan, dan pemerintah.
8.1 Lesson Learned
Struktur ekonomi Jawa Barat telah mengalami transformasi memperbesar
peranan sektor jasa atau tersier walaupun kontribusi sektor industri pengolahan
masih yang terbesar yaitu sekitar 43% pada tahun 2014. Kesuburan lahan,
ketersediaan sumber daya alam, kelengkapan kelembagaan ekonomi, dan lokasi
berdampingan dengan Jakarta merupakan kekuatan perekonomian Jawa Barat.
Kelemahannya adalah kesenjangan kemajuan ekonomi antar daerah. Daerah yang
berada dekat dengan Jakarta relatif lebih maju disamping kota Bandung sebagai
ibukota. Diversifikasi ekonomi di daerah ini mampu mendorong peningkatan
pendapatan per-kapita dan kualitas hidup penduduknya sehingga menjadi faktor
pendorong penumbuhan daya saing daerah.
Pembangunan daya saing Jawa Barat penting bagi pertumbuhan daya
saing nasional. Kontribusi perekonomian Jawa Barat terhadap nasional sebesar
13,37% pada tahun 2014 sedikit turun dibandingkan tahun 2010 sebesar 14,06%.
Share ekspor Jawa Barat tehadap ekspor Indonesia sebesar 15,57% pada tahun 2014,
sekitar dua kali share impor sebesar 7,71%. Proporsi penduduk Jawa Barat terhadap
Indonesia sekitar 18% dengan mobilitas tinggi merespon kemajuan Jakarta. Industri
unggulan sebagai potensi keunggulan dan prospek pertumbuhan daya saing
daerah telah terbangun. Pertumbuhan ekspor yang rata-rata lebih tinggi dari
nasional telah menjadi faktor penarik investasi baik PMA maupun PMDN. Aliran
investasi merupakan potensi scaling-up industri unggulan dan tumbuhnya industri
unggulan baru. Namun, efek pertumbuhan ekspor dan investasi tersebut ternyata
PROSPEK PERTUMBUHAN DAYA SAING DAERAH JAWA BARAT
8
BAB
137
BAB 8 Prospek Pertumbuhan Daya Saing Daerah Jawa Barat
belum mampu menjadi akselerasi pertumbuhan produktivitas industri Jawa Barat.
Hal tersebut berkontribusi pada perlambatan pertumbuhan ekonomi daerah.
Indikasi tersebut merupakan permasalahan pembangunan daya saing
daerah Jawa Barat karena menghadapi perlambatan pertumbuhan sektor industri
termasuk industri unggulan, kelesuan pasar global, dan ketimpangan
pembangunan antar daerah. Ketimpangan pembangunan cukup mencolok karena
75% PDRB Jawa Barat disumbang oleh 10 kabupaten/kota yaitu berturut-turut
dengan kontribusi terbesar Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kabupaten
Karawang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Indramayu, Kota
Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kota Depok dan Kabupaten Sukabumi. Mayoritas
atau 8 diantaranya memiliki sektor industri sebagai penyumbang PDRB terbesar.
Keterbatasan konektivitas ke seluruh wilayah Jawa Barat terutama jalan tol menjadi
faktor kelemahan pembangunan daya saing daerah.
Dari hasil kajian yang telah dibahas pada bab sebelumnya, disimpulkan 9
(Sembilan) butir yang dapat menjadi dasar penyusunan strategi dan kebijakan
penumbuhan daya saing daerah, antara lain:
1. Indikator daya saing daerah yang relevan diperhatikan, bersumber dari
peranan sektor bisnis, yaitu pertumbuhan produktivitas tenaga kerja,
pertumbuhan produksi industri unggulan, ekspor dan investasi (PMA,
PMDN) industri unggulan, serta investasi pada industri atau sektor sasaran
baru sejalan dengan diversifikasi ekonomi. Indikator yang berasal dari
peranan kelembagaan, masyarakat dan pemerintah daerah yang penting
adalah capaian pendapatan per-kapita, pemupukan human capital dan
tingkat kesejahteraan masyarakat yang diukur dari IPM. Ada bukti bahwa
peningkatan produktivitas tenaga kerja lebih mudah terjadi pada daerah
yang memiliki kelengkapan semua indikator tersebut. Pembangunan daya
saing daerah harus memadukan dimensi ekonomi dan non-ekonomi
(perkembangan teknologi, perubahan sosial, dan lingkungan);
2. Indikator human capital, kemampuan ekspor dan pendapatan per-kapita
memengaruhi produktivitas tenaga kerja di daerah secara positif dan
signifikan. Hal prioritas untuk menjadi program pemerintah daerah adalah
program pemupukan human capital melalui pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan. Diperlukan jaminan bahwa pelaku usaha mampu
meningkatkan produksi yang ditujukan untuk ekspor dan pasar domestik.
Program prioritas lain yaitu efektivitas belanja APBD untuk berkontribusi
pada peningkatan pendapatan per-kapita masyarakat daerah disertai
penurunan ketimpangan sebagai efek dari pertumbuhan ekonomi yang
disertai oleh penyediaan lapangan kerja dan penumbuhan wirausaha baru;
138
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
3. Peningkatan produktivitas harus mempuyai efek pada pertumbuhan nilai
tambah sekaligus penguatan struktur ekonomi daerah. Pengaruh
diversifikasi ekonomi terhadap pendapatan per-kapita adalah positif dan
signifikan. Terdapat kesuksesan suatu daerah yang mengalami
diversifikasi melalui pendalaman struktur intra-industri dan dengan sektor
ekonomi lain. Contoh, struktur industri di Kabupaten Bekasi tergolong
kuat karena memiliki struktur usaha berskala besar, menengah dan kecil
yang relatif seimbang serta didukung oleh konektivitas yang baik sehingga
dapat dipahami jika memiliki capaian daya saing relatif tinggi. Sedangkan
beberapa daerah pertanian mengalami kendala pembangunan daya saing
akibat keterbatasan konektivitas dan proses transformasi ekonomi yang
memperbesar kegiatan sektor jasa namun kurang mendorong
pembangunan industri yang mengolah hasil pertanian;
4. Pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada pembangunan daya saing
daerah harus menjamin terjadinya pertambahan lapangan kerja pada
industri unggulan dan sektor ekonomi andalan. Indikasi ini dapat
dijadikan dasar pemahaman atas terjadinya kemampuan mengolah potensi
daerah dalam rangka membangun daya saing daerah yang akan
berpengaruh terhadap outcome yaitu peningkatan kesejahteraan
masyarakat disertai pengurangan ketimpangan. Faktor kualitas hidup
manusia mempunyai hubungan timbal balik dengan pertumbuhan daya
saing daerah. Indikator kualitas hidup manusia suatu daerah adalah
ukuran IPM, human capital, ketersediaan infrastruktur untuk konektivitas,
dan ketimpangan yang rendah. Terbukti bahwa peningkatan ketimpangan
di tingkat nasional, provinsi dan beberapa kabupaten/kota akan
menghambat penumbuhan daya saing daerah;
5. Membandingkan angka pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi pada
beberapa kabupaten yang berdekatan dengan kota yang mempunyai angka
pengangguran tinggi, maka persoalan pembangunan daya saing untuk
mengurangi ketimpangan dapat menggunakan pola kerja sama dan sinergi
antar kabupaten/kota terdekat. Pendekatan pembangunan daya saing
melalui aglomerasi industri terbukti mendorong kemajuan daerah baik dari
aspek ekonomi, sosial, dan fisik. Kemajuan knowledge, teknologi dan inovasi
bersifat strategis dan dapat diungkit dari aglomerasi industri. Ada
pembuktian atas hasil kajian bahwa interaksi perusahaan atau industri,
masyarakat, dan pemerintah terjalin efektif melalui pembangunan
aglomerasi industri berlokasi pada lebih satu kabupaten/kota. Efek
increasing returns to scale selain mengakselerasi pertumbuhan nilai tambah
juga memajukan kualitas hidup masyarakat dan perbaikan mutu SDM
setempat. Program pemerintah daerah melalui pembangunan sentra atau
139
BAB 8 Prospek Pertumbuhan Daya Saing Daerah Jawa Barat
cluster sebenarnya masih relevan jika terjamin aliran knowledge, teknologi
dan inovasi masyarakat lokal. Kawasan industri sudah dibangun oleh
swasta di daerah industri yaitu Bekasi, Karawang, Bogor, dan Purwakarta
yang dapat menjamin pertumbuhan produktivitas industri unggulan
seperti otomotif, permesinan, dan peralatan. Perusahaan di kawasan
industri juga sudah mulai melakukan kegiatan riset dan terbukti
mendorong penumbuhan daya saing daerah. Idealnya, industri kecil
menengah seharusnya dapat tumbuh terkait dengan pertumbuhan jenis
industri skala besar di kawasan industri;
6. Terdapat empat subsektor unggulan daerah Jawa Barat yang eksisting,
menggunakan kriteria produksi dan penyaluran kredit, yaitu berturut-
turut perdagangan besar dan eceran, industri tekstil, barang kulit dan alas
kaki, industri makanan minuman, dan industri alat angkut, mesin, dan
peralatannya. Ketiga jenis industri unggulan ini telah menyumbang ekspor
Jawa Barat dan nasional. Subsektor tanaman bahan makanan terkategori
unggul dari sisi potensi produksi namun belum mampu menarik
pembiayaan. Optimis, masih ada potensi industri unggulan baru
mengingat dimilikinya factor endowment yang tersebar di kabupaten/kota
di wilayah Jawa Barat;
7. Konektivitas antar kabupaten/kota di seluruh wilayah provinsi Jawa Barat
belum merata. Beberapa kabupaten/kota mempunyai keuntungan
konektivitas dengan Jakarta dan dengan daerah di Jawa Barat lainnya yang
meningkatkan aliran orang dan barang sehingga mengakselerasi
penumbuhan daya saing daerahnya. Sebaliknya, daerah yang memiliki
keterbatasan konektivitas seperti di daerah Priangan Timur tergolong
kurang mampu menciptakan kesempatan kerja untuk penambahan
angkatan kerja;
8. Peranan pembiayaan oleh perbankan sangat penting dalam mendorong
daya saing daerah. Distribusi kredit berbeda antar kabupaten/kota,
berkorelasi positif dengan tingkat kemajuan ekonomi daerah (ukuran
pendapatan per-kapita). Preferensi penyaluran kredit perbankan masih
untuk sektor perdagangan dan belum berani mengambil risiko untuk
sektor produksi. Hasil kajian menyarankan perbankan dapat
mempertimbangkan indikator, selain tingkat pendapatan per-kapita, yaitu
kemampuan keuangan pemerintah daerah, IPM, dan struktur ekonomi
daerah dalam rangka pendistribusian alokasi kredit sekaligus peningkatan
pendalaman sektor keuangan (financial deepening) di daerah. Pemerintah
daerah dapat membantu pendalaman sektor keuangan di daerah dengan
menekan tingkat kemiskinan, karena akan menghambat pendalaman
sektor keuangan;
140
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
9. Peranan pemerintah daerah dalam mengelola daya saing sangat penting.
Sasarannya adalah pengurangan kemiskinan. Namun sayangnya,
kemampuan APBD per-kapita pada kebanyakan kabupaten/kota relatif
rendah sehingga mutlak dibutuhkan tambahan pembiayaan dari provinsi
dan pemerintah pusat agar mengakselerasi pertumbuhan daya saing
daerah. Kebijakan penetapan UMR/UMK oleh pemerintah daerah
sebenarnya positif untuk menjamin daya beli masyarakat. Namun, hasil
kajian menunjukkan kebijakan tersebut belum efektif terutama dalam
mengungkit produktivitas tenaga kerja.
8.2 Prospek
Pertumbuhan ekonomi makro provinsi dan makro kabupaten/kota
seharusnya mempunyai efek tetes berupa benefit yaitu perbaikan kualitas hidup
masyarakat lokal dan pertumbuhan kinerja pelaku usaha di kabupaten/kota.
Idealnya, pertumbuhan kinerja pertumbuhan ekonomi mampu mendorong
tumbuhnya industri yang mengolah sumber daya setempat, tumbuhnya lapangan
kerja, peningkatan daya beli, mutu pendidikan, dan mutu kesehatan serta menjaga
lingkungan.
Penciptaan lapangan kerja merupakan salah satu outcome pembangunan
daya saing ekonomi. Penciptaan lapangan kerja dapat dilakukan dengan syarat
adanya stabilitas ekonomi makro sehingga menjamin pelaku bisnis eksisting terus
berkembang dan memunculkan start-up atau wirausaha baru. Pelaku usaha
eksisting dan wirausaha baru dapat tumbuh di daerah untuk mengolah potensi
lokal dengan dukungan kebijakan pemerintah daerah yang kondusif. Perlu
pendekatan integratif untuk mengekplorasi masyarakat lokal sebagai aktor
pembangunan daerah sehingga penciptaan lapangan kerja dapat terus tumbuh
sekaligus mengurangi ketimpangan ekonomi dan sosial.
Jumlah angkatan kerja di Jawa Barat meningkat rata-rata 5,44% per tahun.
Pertumbuhan angkatan kerja tertinggi terdapat di Kota Sukabumi, yaitu dengan
rata-rata pertumbuhan 13,30%, diikuti oleh Kota Depok (10,86%), Kota Bekasi
(10,30%), Kab. Bogor (9,60%), Kota Banjar (8,89%), Kab. Sukabumi (7,14%), Kota
Cirebon (6,90%), Kab. Bandung (6,63%), dan Kab. Garut (6,62%). Wilayah tersebut
merupakan wilayah yang memiliki rata-rata pertumbuhan di atas rata-rata
provinsi. Di daerah tersebut memerlukan akselerasi pertumbuhan ekonomi agar
terjamin penyediaan lapangan kerja atau kondusif memunculkan wirausaha baru.
Tingkat pengangguran Jawa Barat menunjukkan penurunan selama
periode 2010-2014 menjadi 8,45% pada tahun 2014. Namun, tingkat pengangguran
berbeda antar kabupaten/kota. Beberapa daerah mencatat tingkat pengangguran
dua digit atau tergolong tinggi, yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cirebon,
141
BAB 8 Prospek Pertumbuhan Daya Saing Daerah Jawa Barat
Kabupaten Karawang, Kota Sukabumi dan Kota Cirebon. Membandingkan dengan
angka pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi pada beberapa kabupaten yang
berdekatan dengan kota yang mempunyai angka pengangguran tinggi, maka
persoalan pembangunan daya saing dapat menggunakan pola kerja sama dan
sinergi antara kabupaten/kota terdekat.
Tabel 8.1 Angkatan Kerja dan Jumlah Tenaga Kerja
Kabupaten/Kota Angkatan Kerja (orang) % Bekerja % Tidak Bekerja
2010 2012 2014 2010 2012 2014 2010 2012 2014
Kab. Bogor 1.927.377 2.193.981 2.315.176 89,36 90,93 92,35 10,64 9,07 7,65
Kab. Sukabumi 952.323 1.062.398 1.093.219 90,11 90,26 91,91 9,89 9,74 8,09
Kab. Cianjur 938.203 1.013.648 1.031.622 88,79 88,74 85,13 11,21 11,26 14,87
Kab. Bandung 1.432.029 1.496.741 1.628.076 89,31 88,40 91,52 10,69 11,60 8,48
Kab. Garut 899.564 1.000.365 1.022.545 92,25 93,62 92,29 7,75 6,38 7,71
Kab. Tasikmalaya 819.946 853.097 845.869 92,21 95,10 93,07 7,79 4,90 6,93
Kab. Ciamis 761.982 790.395 767.041 94,88 94,72 95,08 5,12 5,28 4,92
Kab. Kuningan 452.967 487.990 467.066 92,13 92,91 93,12 7,87 7,09 6,88
Kab. Cirebon 858.952 907.699 913.940 87,03 83,96 86,68 12,97 16,04 13,32
Kab. Majalengka 570.927 597.143 628.959 94,18 93,29 95,53 5,82 6,71 4,47
Kab. Sumedang 524.856 526.745 557.618 92,10 92,58 92,49 7,90 7,42 7,51
Kab. Indramayu 764.785 793.828 766.583 88,71 92,25 91,99 11,29 7,75 8,01
Kab. Subang 677.179 753.650 729.932 91,28 91,99 93,26 8,72 8,01 6,74
Kab. Purwakarta 383.080 414.313 407.360 90,46 90,74 92,17 9,54 9,26 7,83
Kab. Karawang 949.935 1.033.921 1.026.868 85,12 88,75 88,90 14,88 11,25 11,10
Kab. Bekasi 1.257.416 1.200.377 1.389.958 90,97 92,22 93,21 9,03 7,78 6,79
Kab. Bandung Barat 587.776 649.511 637.436 86,69 89,91 91,85 13,31 10,09 8,15
Kota Bogor 418.742 422.528 458.665 82,80 90,67 90,52 17,20 9,33 9,48
Kota Sukabumi 107.612 123.630 138.129 84,35 88,37 88,36 15,65 11,63 11,64
Kota Bandung 1.079.477 1.171.551 1.192.770 87,83 90,83 91,95 12,17 9,17 8,05
Kota Cirebon 128.772 133.261 147.148 88,33 87,50 88,98 11,67 12,50 11,02
Kota Bekasi 1.015.941 1.070.719 1.236.114 87,89 91,25 90,64 12,11 8,75 9,36
Kota Depok 779.963 828.909 958.587 91,66 90,58 91,56 8,34 9,42 8,44
Kota Cimahi 247.612 246.912 270.284 86,41 91,43 90,38 13,59 8,57 9,62
Kota Tasikmalaya 284.224 295.063 289.572 91,84 92,97 94,62 8,16 7,03 5,38
Kota Banjar 72.195 81.719 85.602 94,13 93,80 92,62 5,87 6,20 7,38
Jawa Barat 18.893.835 20.150.094 21.006.139 89,67 90,92 91,55 10,33 9,08 8,45
Sumber: Badan Pusat Statistik
Secara makro Jawa Barat, setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan mampu
menciptakan kesempatan kerja sekitar 467,4 ribu orang. Namun demikian,
142
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
kemampuan penciptaan kesempatan kerja atas capaian pertumbuhan ekonomi
ternyata berbeda antar kabupaten/kota. Daerah industri seperti Kabupaten Bogor
dan Kabupaten Bandung walaupun mencatat pertambahan angkatan kerja yang
tinggi namun juga berhasil menciptakan lapangan kerja yang tinggi pula.
Perluasan lapangan kerja dapat diukur dari pertambahan tenaga kerja yang
diserap oleh berbagai lapangan kerja. Pertumbuhan pertambahan tenaga kerja
tertinggi terjadi di Kota Bogor, Kab.Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota
Sukabumi. Keempat daerah tersebut secara umum memiliki pendapatan per-kapita
dan IPM yang tinggi. Kab Bandung Barat mengalami peningkatan jumlah unit
usaha yang relatif besar dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga mampu
menyerap tenaga kerja yang terus meningkat.
Membandingkan pertambahan penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan
ekonomi dapat dijadikan dasar pemahaman atas potensi kemampuan daerah untuk
membangun dan menyediakan kesempatan kerja. Menggunakan data tahun 2010-
2014, dihitung rasio rata-rata pertambahan tenaga kerja per-tahun terhadap tingkat
pertumbuhan ekonomi rata-rata tahunan. Tabel berikut dapat diketahui
kemampuan perekonomian antar daerah dalam menyediakan kesempatan kerja.
Kabupaten Bogor mampu menyediakan lapangan kerja relatif banyak
dibandingkan derah lain dan dibandingkan rata-rata Jawa Barat. Kabupaten Bogor
mempunyai keuntungan konektivitas dengan Jakarta dan dengan daerah di Jawa
Barat lainnya yang memudahkan aliran orang dan barang. Sebaliknya, daerah yang
memiliki keterbatasan konektivitas seperti di daerah Priangan timur hingga 2014
tergolong kurang mampu menciptakan kesempatan kerja.
Tabel 8.2 Kemampuan Penciptaan Kesempatan Kerja
Kabupaten/Kota
Jml Tenaga Kerja (orang) Pertambahan
TK/th Pertumbuhan
Ekonomi/th
Penyerapan TK per 1%
pert. Ekonomi
2010 2012 2014
Kab. Bogor 1.722.345 1.995.032 2.137.954 103.902 6,23% 16.672
Kab. Sukabumi 858.133 958.955 1.004.798 36.666 4,89% 7.500
Kab. Cianjur 833.036 899.502 878.215 11.295 4,97% 2.272
Kab. Bandung 1.278.933 1.323.166 1.490.031 52.775 6,20% 8.507
Kab. Garut 829.818 936.552 943.727 28.477 5,05% 5.641
Kab. Tasikmalaya
756.064 811.323 787.281 7.804 4,54% 1.720
Kab. Ciamis 723.004 748.629 729.286 1.571 5,23% 300
Kab. Kuningan 417.310 453.382 434.948 4.410 5,77% 764
Kab. Cirebon 747.544 762.065 792.245 11.175 5,09% 2.195
Kab. Majalengka 537.671 557.086 600.843 15.793 4,91% 3.216
Kab. Sumedang 483.406 487.639 515.735 8.082 4,88% 1.656
Kab. Indramayu 678.476 732.279 705.180 6.676 5,20% 1.285
Kab. Subang 618.117 693.303 680.739 15.656 4,68% 3.343
Kab. Purwakarta 346.526 375.959 375.455 7.232 6,54% 1.106
Kab. Karawang 808.590 917.556 912.864 26.069 7,17% 3.636
143
BAB 8 Prospek Pertumbuhan Daya Saing Daerah Jawa Barat
Kabupaten/Kota
Jml Tenaga Kerja (orang) Pertambahan
TK/th Pertumbuhan
Ekonomi/th
Penyerapan TK per 1%
pert. Ekonomi
2010 2012 2014
Kab. Bekasi 1.143.817 1.107.002 1.295.522 37.926 6,34% 5.984
Kab. Bandung Barat
509.565 583.954 585.465 18.975 6,04% 3.140
Kota Bogor 346.727 383.111 415.162 17.109 6,28% 2.725
Kota Sukabumi 90.771 109.249 122.046 7.819 5,78% 1.352
Kota Bandung 948.124 1.064.167 1.096.799 37.169 8,73% 4.257
Kota Cirebon 113.750 116.605 130.927 4.294 5,70% 754
Kota Bekasi 892.876 977.043 1.120.471 56.899 6,65% 8.554
Kota Depok 714.891 750.820 877.684 40.698 7,12% 5.720
Kota Cimahi 213.970 225.763 244.278 7.577 5,64% 1.344
Kota Tasikmalaya
261.023 274.314 274.001 3.245 6,19% 524
Kota Banjar 67.957 76.652 79.287 2.833 5,38% 526
Jawa Barat 16.942.444 18.321.108 19.230.943 572.125 6,12% 93.484
Sumber: Badan Pusat Statistik
Lebih lanjut tentang sektor manakah yang mampu berkembang dan
menyediakan kesempatan kerja, ternyata berbeda polanya diantara kategori daerah
pertanian, industri dan perkotaan (jasa). Perbedaan pola tersebut antara lain:
(1) Daerah pertanian ternyata kurang mampu menyediakan lapangan kerja di
sektor pertanian itu sendiri kecuali Kabupaten Cirebon. Namun sektor jasa
kemasyarakatan (pendidikan, kesehatan, dan lainnya) mencatat
pertumbuhan sehingga ada kesenjangan struktural akibat belum
dikembangkannya sektor industri terutama yang mengolah hasil pertanian.
Secara total, Kab.Subang mengalami kenaikan jumlah tenaga kerja tertinggi
dan di atas rata-rata provinsi Jawa Barat. Sebaliknya, kenaikan jumlah
tenaga kerja terendah dialami Kabupaten Garut, yang sebanding dengan
rendahnya pertumbuhan pendapatan per kapita dan angka IPM jika
dibandingkan dengan daerah pertanian lainnya,
(2) Pada daerah industri, penciptaan lapangan kerja sektoral cukup beragam.
Umumnya peningkatan jumlah tenaga kerja terjadi di sektor perdagangan
besar, eceran, hotel dan restoran serta sektor jasa kemasyarakatan.
Peningkatan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan terjadi di
Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten
Karawang, dan Kota Bekasi. Apabila dilihat secara total, Kota Bogor
mengalami peningkatan jumlah tenaga kerja tertinggi,
(3) Pada perkotaan atau daerah jasa, umumnya penciptaan lapangan kerja
terjadi di sektor pendukung sektor produksi yaitu konstruksi, pengadaan
gas dan air bersih, real estat, jasa keuangan dan jasa perusahaan (sektor
lainnya). Tenaga kerja sektor jasa kemasyarakatan mengalami penurunan
di beberapa daerah, antara lain Kota Sukabumi, Kota Bandung, dan Kota
144
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Cirebon. Sektor jasa kemasyarakatan terdiri dari jasa pendidikan, jasa
kesehatan, dan jasa pemerintah. Apabila dilihat secara total, peningkatan
tenaga kerja tertinggi terjadi di Kota Sukabumi dan Kota Bandung, dan
kedua kota ini memiliki pendapatan per kapita dan IPM yang lebih tinggi.
Pertambahan kesempatan kerja dapat dikaitkan dengan pertambahan
jumlah unit usaha. Pertambahan jumlah unit usaha di Provinsi Jawa Barat
sepanjang 2012-2014 praktis tidak bertambah atau tumbuh rata-rata 0,84% per
tahun. Ada masalah dalam iklim usaha dan investasi yang kurang mampu
mendorong tumbuhnya unit usaha baru. Data Kabupaten Bandung Barat
tampaknya masih tercampur dengan kabupaten Bandung pasca pemekaran.
Kabupaten yang memiliki pertumbuhan unit usaha diatas rata-rata provinsi antara
lain Kab.Karawang (3,51%), Kab.Tasikmalaya (2,34%), Kota Banjar (2,31%),
Kab.Kuningan (2,25%), Kab.Bandung (1,72%), Kab.Ciamis (1,37%), dan Kab Bekasi
(1,22%). Jenis usaha terbesar adalah usaha kecil menengah (UKM) sektor
perdagangan. Struktur usaha di Kabupaten Bekasi tergolong baik karena memiliki
usaha besar, usaha menengah dan usaha kecil sehingga dapat dipahami jika
memiliki tingkat capaian daya saing yang relative tinggi dibandingkan daerah
lainnya.
Tabel 8.3 Jumlah Unit Usaha Besar, Menengah, dan Kecil
Kabupaten/Kota 2010 2012 2014
Kab. Bogor 14.975 14.975 15.141
Kab. Sukabumi 15.471 15.471 15.782
Kab. Cianjur 1.244 1.244 1.250
Kab. Bandung 13.473 13.483 13.941
Kab. Garut 9.813 9.813 9.846
Kab. Tasikmalaya 1.414 1.480 1.481
Kab. Ciamis 1.382 1.408 1.420
Kab. Kuningan 2.350 2.430 2.457
Kab. Cirebon 10.677 10.699 10.795
Kab. Majalengka 7.396 7.396 7.401
Kab. Sumedang 5.130 5.130 5.149
Kab. Indramayu 2.377 2.377 2.391
Kab. Subang 3.410 3.410 3.426
Kab. Purwakarta 10.850 10.850 10.920
Kab. Karawang 9.341 9.341 10.009
Kab. Bekasi 10.704 10.704 10.966
Kab. Bandung Barat 17 52 137
145
BAB 8 Prospek Pertumbuhan Daya Saing Daerah Jawa Barat
Kabupaten/Kota 2010 2012 2014
Kota Bogor 8.123 8.227 8.319
Kota Sukabumi 9.436 9.436 9.449
Kota Bandung 10.820 10.821 10.890
Kota Cirebon 9.379 9.379 9.380
Kota Bekasi 9.891 9.891 9.985
Kota Depok 10.308 10.308 10.367
Kota Cimahi 6.097 6.112 6.138
Kota Tasikmalaya 9.734 9.734 9.782
Kota Banjar 9.248 9.248 9.680
Jawa Barat 203.060 203.419 206.502
Sumber: Badan Pusat Statistik
Catatan: *) perlu akurasi pasca pemekaran
Pada Tabel 8.4 ditampilkan pendapatan per-kapita kabupaten-kota di Jawa
Barat berdasarkan harga berlaku yang disandingkan dengan rata-rata
pertumbuhan (growth) dan indeks, untuk menganalisis kemampuan setiap daerah
dalam menumbuhkan daya saing. Rata-rata pertumbuhan dihitung menggunakan
pendapatan per kapita atas dasar harga konstan tahun dasar 2010. Adapun indeks
merujuk pada rasio pendapatan per kapita kabupaten/kota terhadap pendapatan
per kapita Jawa Barat. Data indeks merepresentasikan nilai tahun 2014. Dari Tabel
dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita Jawa Barat
sepanjang 2010-2014 adalah sebesar 5,09%. Beberapa wilayah yang memiliki
pertumbuhan diatas rata-rata provinsi antara lain Kota Bandung (7,89%),
Kabupaten Kuningan (7,58%), Kota Banjar (6,04%), Kabupaten Karawang (5,68%),
Kabupaten Sumedang (5,67%), dan Kota Tasikmalaya (5,35%). Daerah tersebut
mempunyai fondasi terbangunnya daya saing.
Tabel 8.4 Pendapatan per-Kapita Daerah, 2010-2014
Kabupaten
Pendapatan per-Kapita (Harga Berlaku, dalam juta Rp)
Growth (Rata-Rata)
Indeks (2014)
2010 2011 2012 2013 2014
Kab. Bogor 15.466 16.869 18.905 21.082 23.754 3,33% 0,93
Kab. Sukabumi 7.900 8.459 9.031 9.945 10.438 4,00% 0,56
Kab. Cianjur 8.579 9.308 10.660 11.876 12.831 4,21% 0,42
Kab. Bandung 14.520 15.852 17.918 19.921 21.992 3,86% 0,72
Kab. Garut 10.317 11.240 12.216 13.462 14.680 3,79% 0,48
Kab. Tasikmalaya 7.637 8.232 11.089 12.386 13.548 3,73% 0,45
Kab. Ciamis 10.160 11.597 12.694 13.590 15.084 1,18% 0,58
146
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Kabupaten
Pendapatan per-Kapita (Harga Berlaku, dalam juta Rp)
Growth (Rata-Rata)
Indeks (2014)
2010 2011 2012 2013 2014
Kab. Kuningan 8.773 9.504 10.547 12.890 14.256 7,58% 0,47
Kab. Cirebon 9.283 9.971 11.616 14.059 15.616 4,53% 0,51
Kab. Majalengka 8.740 9.382 13.342 14.988 16.325 4,70% 0,54
Kab. Sumedang 10.521 11.287 14.139 18.007 19.747 5,67% 0,65
Kab. Indramayu 27.582 31.321 35.271 37.945 40.352 4,90% 1,33
Kab. Subang 10.772 11.474 15.352 16.480 17.658 4,06% 0,58
Kab. Purwakarta 18.738 20.679 21.718 24.553 32.886 4,79% 1,64
Kab. Karawang 26.371 30.967 32.428 36.705 41.986 5,68% 2,27
Kab. Bekasi 36.766 39.876 41.376 44.818 58.597 1,87% 2,40
Kab. Bandung Barat
11.513 12.476 15.259 17.235 19.049 4,37% 0,63
Kota Bogor 14.825 16.009 23.143 25.722 28.235 4,11% 0,93
Kota Sukabumi 17.256 19.474 21.103 23.442 25.844 4,49% 0,85
Kota Bandung 34.241 39.429 45.456 52.963 56.221 7,89% 2,30
Kota Cirebon 36.925 40.360 39.536 45.173 49.430 4,92% 1,63
Kota Bekasi 15.398 16.724 20.491 22.454 24.267 3,40% 0,80
Kota Depok 9.297 10.122 10.572 11.885 15.333 2,97% 0,71
Kota Cimahi 23.736 25.602 29.344 32.199 35.524 3,87% 1,17
Kota Tasikmalaya 13.382 14.338 17.052 18.862 20.792 5,35% 0,68
Kota Banjar 9.563 9.874 11.954 13.355 15.355 6,04% 0,55
Jawa Barat 20.885 23.097 24.743 27.815 30.378 5,09% 1,00
Sumber: Badan Pusat Statistik
Pengalaman baik telah dialami oleh daerah yang mampu menumbuhkan
ekonomi sekaligus dengan peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM).
Kedua indikator mempunyai korelasi positif. IPM mengukur pembangunan
manusia berbasis komponen dasar kualitas hidup, antara lain umur panjang dan
sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak (Badan Pusat Statistik, 2014). Secara
umum, IPM Provinsi dan kabupaten-kota mengalami peningkatan sepanjang tahun
2010-2014. Beberapa kabupaten-kota yang memiliki nilai IPM di atas rata-rata
provinsi antara lain adalah Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi,
Kota Bogor, Kota Cirebon, Kota Sukabumi, Kab.Bekasi, Kota Tasikmalaya, dan
Kab.Bandung. Ternyata, daerah perkotaan cenderung memiliki IPM tinggi akibat
dukungan kelembagaan pendidikan dan kesehatan yang mencukupi. Gambar 8.1
memperlihatkan korelasi positif antara indeks pertumbuhan ekonomi dan IPM.
Ukuran bubble merupakan Share PDRB berlaku tahun 2014.
147
BAB 8 Prospek Pertumbuhan Daya Saing Daerah Jawa Barat
Gambar 8.1 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan IPM
Peningkatan tingkat pendidikan masyarakat terjadi di semua kabupaten.
Hal ini sangat penting dalam memupuk human capital yang merupakan indikator
penting pendorong daya saing daerah. Terdapat daerah kabupaten/kota yang
mampu mengakumulasikan peningkatan human capital namun belum cukup untuk
menjadi pendorong peningkatan pendapatan per-kapita. Pada daerah ini
memerlukan biaya ungkit seperti tingkat produktivitas tenaga kerja. Human capital
yang semakin baik belum menjamin pertumbuhan daya saing daerah manakala
tidak disertai oleh pertumbuhan produktivitas. Salah satu strategi peningkatan
produktivitas adalah perbesaran skala produksi yang menjadi unsur daya tarik
perekonomian daerah.
Gambar 8.2 Hubungan Human Capital dengan Pendapatan Perkapita
148
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Membangun daya saing daerah kabupaten/kota harus memanfaatkan apa
yang dilakukan oleh provinsi dan nasional. Pembangunan secara nasional pasti
berlokasi di kabupaten/kota yang manfaatnya didistribusikan masyarakat lokal
dan masyarakat di daerah lain di Indonesia. Hal yang sama dilakukan oleh
provinsi. Artinya, kemampuan daerah kabupaten/kota dalam melakukan
pembangunan di daerahnya selain harus mampu menggali potensi dan
merealisasikannya, namun juga mampu merealisasikan efek tetes atas aksi
pembangunan yang diinisiasi oleh pelaku usaha dan pemerintah lingkup nasional
maupun provinsi.
Sumber pertumbuhan daya saing daerah dapat digali dari penciptaan nilai
tambah berbagai sektor ekonomi yang saling terkait yang sekaligus memperkokoh
sisi supply. Transformasi struktural yang disertai oleh penguatan supply merespon
kebutuhan pasar akan mewujudkan keunggulan dan daya tarik daerah apalagi jika
dilengkapi dengan terbangunnya knowledge-intensive industries. Faktor penting
lainnya penentu transformasi sektor primer-sekunder-tersier adalah karakteristik
sosial budaya daerah dalam memupuk human capital untuk menumbuhkan
produktivitas, inovasi dan keberlanjutan pembangunan daya saing daerah.
Kajian atas pola pergeseran struktur ekonomi menjelaskan bahwa
terjadinya peningkatan pendapatan per-kapita masyarakat akan meningkatkan
permintaan terhadap ragam barang dan jasa, atau mendorong terjadinya
diversifikasi ekonomi. Diversifikasi ekonomi yang mendorong perubahan struktur
ekonomi secara makro, akan berdampak terhadap penyediaan lapangan kerja dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan daya saing daerah harus dilakukan sinergis oleh pelaku usaha
di daerah, masyarakat, kelembagaan, dan pemerintah daerah. Sumber kemampuan
pembangunan daya saing dapat berasal dari internal maupun eksternal.
Direkomendasikan tindak kerja bersifat stratejik dengan tetap tidak memunculkan
distorsi pasar seperti ditunjukan pada Tabel 8.5 yang disusun berdasarkan hasil
kajian daya saing dan lesson learned.
149
BAB 8 Prospek Pertumbuhan Daya Saing Daerah Jawa Barat
Tabel 8.5 Matriks Sasaran Strategis Pembangunan Daya Saing Daerah
Kemampuan membangun daya saing daerah
Aksi Kegiatan Strategis dengan sasaran
Internal (kabupaten/ kota/
provinsi)
Eksternal (Nasional/luar
negeri)
Pelaku usaha ▪ IKM pengolah SDA daerah
▪ UMKM ▪ Wirausaha baru
(start-up)
▪ IKM terkait potensi internal
▪ UKM komplementer
1. Pengolahan SDA daerah efisien dan berkelanjutan
2. Produktivitas tenaga kerja 3. Kreasi nilai tambah
progresif, efisien dan ekspansif
4. Pemupukan human capital 5. Produktivitas total sektor
industri dan ekspor 6. Perusahaan melakukan
riset bersinergi dengan universitas dan lembagariset
7. Perusahaan melakukan inovasi
8. Diversifikasi dan penguatan struktur ekonomi
9. Paket pembiayaan perbankan untuk industri unggulan industri/ sektor terkait
10. Iklim bisnis, investasi dan persaingan
11. Kemampuan APBD menumbuhkan daya saing daerah sekaligus mengurangi kemiskinan dan ketimpangan
12. Kebijakan UMR/UMK yang efektif
Masyarakat ▪ Angkatan kerja berpendidikan
▪ SDM kompeten ▪ Ide kreatif dan
inovasi
▪ SDM kompeten (nasional dan asing)
▪ Difusi teknologidan knowledge
Kelembagaan ▪ Lembagapembiayaan
▪ Lembagapendidikan
▪ Lembaga riset ▪ Lembaga
kesehatan ▪ Distribusi dan
logistik
▪ Lembaga pembiayaan dan pasar uang
▪ Lembagapendidikan
▪ Lembaga riset▪ Distribusi dan
logistik
Pemerintah daerah
▪ Kemudahan perijinan
▪ Efektivitas belanja daerah
▪ Regulasi upah minimum
▪ Iklim bisnis, investasi dan persaingan
▪ Efektivitas belanja pemerintah pusat
▪ Kebijakan moneter dan fiskal
Menghadapi perkembangan perekonomian global yang dicirikan oleh
global imbalances, maka peranan pemerintah menjadi sangat penting untuk
mendukung dan mengendalikan berjalannya kegiatan ekonomi dan bisnis.
Sejumlah kebijakan dan inisiatif yang bersifat makro telah dieksekusi di tataran
pemerintah pusat melalui berbagai paket kebijakan ekonomi untuk menumbuhkan
daya saing daerah maupun nasional. Iklim persaingan sehat juga penting untuk
perlindungan konsumen dan perlindungan hukum bagi perusahaan. Infrastruktur
keuangan dan pembiayaan harus dibangun oleh pemerintah pusat untuk
meningkatkan informasi dan transparansi pasar uang dan kredit. Pemerintah
150
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
daerah dapat mengambil peranan untuk membuat daya tarik perekonomian
daerah melalui perbaikan iklim bisnis.
Kebijakan afirmasi pemerintah daerah yang spesifik diperlukan sebagai
kendali internal menumbuhkan bisnis Usaha Mikro Kecil (UMK) dan Industri Kecil
(IK) berbentuk:
(1) Promosi UMK dan IK pemula, seperti penawaran skema pembiayaan yang
dibuat bersama pemerintah daerah dan lembaga keuangan dengan
kemudahan syarat agunan, dengan syarat memiliki kelayakan usaha,
(2) Fasilitasi kemudahan perizinan usaha,
(3) Fasilitasi ekspor IK,
(4) Fasilitasi adopsi teknologi yang tepat digunakan UMK dan IK agar efisien
dan produktif,
(5) Program peningkatan skill tenaga kerja UMK dan IK dalam rangka
memupuk human capital,
(6) Membangun sentra atau cluster melibatkan UMK dan IK.
Sentra di beberapa kabupaten merupakan unggulan IKM daerah seperti
industri makanan, dan aneka kerajinan di Kabupaten Garut. Keunggulan sentra
seperti di Kabupaten Indramayu yaitu makanan dan barang dari kayu dan bambu,
di Kabupaten Bandung dengan aneka kerajinan, tekstil dan produk tekstil, serta
makanan, di Kab. Cirebon untuk makanan dan furnitur, serta di Kabupaten Ciamis
untuk sentra makanan dan barang olahan dari bambu. Artinya, sentra umumnya
dibangun untuk industri makanan, minuman, kerajinan dan furnitur.
8.3 Fokus Industri/Subsektor Unggulan
Identifikasi subsektor atau industri yang prioritas dikembangkan adalah
jika mempunyai keterkaitan tinggi dengan subsektor atau industri lainnya
(Hirschman, 1958). Tingkat keterkaitan yang tinggi menghasilkan efek multiplier
yang besar. Analisis atas keterkaitan ke belakang (backward linkages) dan
keterkaitan ke depan (forward linkages) dilakukan menggunakan tabel input-output
Jawa Barat tahun 2010 terinci untuk 29 subsektor. Subsektor yang mempunyai
keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang kuat akan mempunyai efek
multiplier tinggi dalam arti mampu menumbuhkan subsektor-subsektor penyedia
input dalam merespon permintaan. Sedangkan subsektor yang mempunyai efek
multiplier tinggi berdasarkan keterkaitan ke depan (forward linkages) yang kuat
dalam arti subsektor tersebut mampu menghasilkan output yang digunakan untuk
menciptakan peningkatan nilai tambah oleh subsektor-subsektor lain. Subsektor
151
BAB 8 Prospek Pertumbuhan Daya Saing Daerah Jawa Barat
strategis adalah jika mempunyai keterkaitan ke belakang maupun ke depan diatas
rata-rata (indeks diatas 1).
Subsektor berbasis sumber daya alam agro mempunyai keterkaitan ke
belakang (backward linkages) yang tinggi atau diatas rata-rata yaitu berturut-turut (i)
Subsektor perkebunan, (ii) subsektor peternakan, (iii) subsektor perikanan, (iv)
subsektor tanaman bahan makanan, dan (v) subsektor kehutanan. Namun sektor
pertanian tersebut tidak mempunyai indeks keterkaitan ke depan yang tinggi
karena hanya mencatat keterkaitan dengan beberapa subsektor yaitu industri
makanan, industri kimia dan subsektor bangunan.
Adapun sektor yang mempunyai keterkaitan kuat ke depan (forward
linkages) dalam arti peningkatan output subektor ini akan mampu mendorong
peningkatan output subsektor di depannya. Subsektor tersebut yaitu (i) Industri
Barang Jadi dari Logam, (ii) Subsektor pengangkutan, (iii) Subsektor perdagangan
besar dan eceran, (iv) Industri pengilangan minyak bumi, dan (v) Subsektor jasa
sosial kemasyarakatan. Tabel 8.6 menyimpulkan subsektor atau industri yang
mempunyai efek multiplier tinggi yang menumbuhkan perekonomian Jawa Barat.
Tabel 8.6 Subsektor Prioritas Penggerak Perekonomian Jawa Barat berdasarkan Tabel
Input Output 2010
No. Industri/Subsektor BLI FLI
1 Industri Makanan & Minuman 1,22 1,12
2 Industri tekstil, Pakaian jadi, Kulit dan Alas kaki 1,38 1,41
3 Industri Kimia, Karet, Plastik, dan Barang dari Bahan Kimia 1,32 1,72
4 Industri Barang Jadi dari Logam (Mesin, Kendaraan dan angkutan lainnya)
1,28 2,17
5 Listrik 1,13 1,09
6 Pengangkutan 1,07 1,56
7 Jasa Sosial Kemasyarakatan & Jasa Lainnya 1,08 1,02
Sumber: Tabel Input Output Jawa Barat 2010, diolah
Keterangan:
Subsektor strategis jika BLI (Backward Linkage) > 1 dan FLI (Forward Linkage) >1
1) Rasio Input Antara terhadap Total Input
2) Rasio Permintaan Antara terhadap Total Output
3) Total Input = Total Output
Terdapat 4 jenis industri unggulan dalam arti mempunyai efek multiplier
tinggi. Industri tersebut ternyata juga sebagai penyumbang ekspor Jawa Barat.
Keunggulan industri juga telah mampu meningkatkan daya saing Jawa Barat di
pasar internasional. Industri barang jadi dari logam merupakan salah satu
penggerak perekonomian dalam arti jika output ditingkatkan akan menciptakan
permintaan intra dan inter industri baik dari domestik dan internasional. Industri
152
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
ini menyumbang ekspor terbesar (34,0% ekspor Jawa Barat). Industri makanan dan
minuman menyumbang 4,4% ekspor Jawa Barat. Industri unggulan lainnya yaitu
industri tekstil dan barang dari tekstil serta industri kulit, alas kaki dan barang dari
kulit masing-masing menyumbang 24,4% dan 5,03% ekspor Jawa Barat.
Selanjutnya, proporsi ekspor produk industri kimia, karet, plastik dan barang dari
bahan kimia sebanyak 12,57%.
Tabel 8.7 Kinerja Daya Saing Industri Unggulan Jawa Barat, 2014
Subsektor Share Nilai
Tambah
Share Ekspor
Porsi PMDN-PMA
Industri Makanan dan minuman 4,02% 4,45% 5,96%
Industri tekstil, pakaian jadi, kulit, dan alas kaki 7% 29,43% 5,36%
Industri Kimia, Karet, Plastik, dan Barang dari Bahan Kimia
3,72% 12,57% 8,66%
Industri barang jadi dari logam 22,45% 34,02% 30,27%
Jumlah 37,19% 80,47% 50,26%
Sumber: Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia
Selain itu, terdapat 7 subsektor strategis yang menyumbang 57,66% dari
output total Jawa Barat. Share nilai tambah terhadap PDRB Jawa Barat sebanyak
44,05%. Industri makanan minuman dan industri barang jadi dari logam
menanggung input antara yang besar sehingga nilai tambah yang diciptakan relatif
rendah dibandingkan subsektor jasa. Hal ini ditunjukan oleh rasio input antara
terhadap total input (output) atau tingkat efisiensi industri yang lebih besar
dibandingkan subsektor jasa.
Tabel 8.8 Subsektor Prioritas
Subsektor Share
Output
Share Nilai
Tambah
Efisiensi
1 2
Industri Makanan & Minuman 8,53% 4,04% 70,31% 24,82%
Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit, dan Alas Kaki
11,13% 8,31% 47,96% 38,92%
Industri Kimia, Karet, Plastik, dan Barang dari Bahan Kimia
4,34% 2,67% 52,26% 68,56%
Industri Barang Jadi dari Logam 22,06% 17,42% 56,05% 44,92%
Listrik 2,86% 2,32% 51,49% 46,21%
Pengangkutan 5,96% 6,18% 40,81% 53,53%
Jasa Sosial Kemasyarakatan 2,78% 3,11% 42,32% 55,37%
Jumlah 57,66% 44,05%
Sumber: Bappeda Provinsi Jawa Barat
153
BAB 8 Prospek Pertumbuhan Daya Saing Daerah Jawa Barat
Keterangan: 4) Rasio Input Antara terhadap Total Input 5) Rasio Permintaan Antara terhadap Total Output 6) Total Input = Total Output
Subsektor jasa sosial kemasyarakatan dan jasa lainnya meliputi jasa
pendidikan swasta, jasa kesehatan swasta, jasa kemasyarakatan lainnya, jasa
rekreasi dan kebudayaan dan olah raga, jasa perorangan dan rumah tangga serta
jasa lainnya merupakan subsektor berdaya saing urutan 6.
Produksi barang ekspor menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 8.9.
Komoditas ekspor utama dihitung berdasarkan share ekspor terbesar terhadap
jumlah ekspor kabupaten/kota tersebut. Kelompok komoditas tersebut secara
umum mewakili share ekspor di atas 60 persen, dengan beberapa kabupaten hanya
memiliki satu komoditas yang diekspor, seperti Kab. Indramayu yang mengekspor
komoditas makanan.
Tabel 8.9 Komoditas Ekspor Utama Jawa Barat
Kabupaten Komoditas Ekspor Utama Proporsi Terhadap
Kab/Kota
Kab. Bogor - Karet, Plastik, dan Barang Olahannya - Kimia dan Barang dari Bahan Kimia - Kulit dan Barang dari Kulit - Pakaian Jadi
62%
Kab. Sukabumi - Pakaian Jadi - Makanan
81%
Kab. Cianjur - Barang Pabrik Lainnya - Makanan
95%
Kab. Bandung - Tekstil - Pakaian Jadi
72%
Kab. Garut - Barang Pabrik Lainnya - Makanan
86%
Kab. Tasikmalaya - Pakaian Jadi - Makanan - Karet, Plastik, dan Barang Olahannya
93%
Kab. Ciamis - Karet, Plastik, dan Barang Olahannya - Kayu, Bambu, Rotan dan Barang olahannya
86%
Kab. Kuningan - Makanan - Kayu, Bambu, Rotan, dan Barang Olahannya
99%
Kab. Cirebon - Tekstil - Furnitur
94%
Kab. Majalengka - Pakaian Jadi 90%
Kab. Sumedang - Tekstil - Pakaian Jadi
99%
Kab. Indramayu - Makanan 100%
Kab. Subang - Pakaian jadi - Tekstil - Furnitur
81%
154
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Kabupaten Komoditas Ekspor Utama Proporsi Terhadap
Kab/Kota
- Farmasi, Produk obat, jamu - Tekstil
Kab. Purwakarta - Peralatan Listrik - Tekstil - Pakaian Jadi
82%
Kab. Karawang - Kertas dan Barang dari Kertas - Karet, Plastik, dan Barang Olahannya - Kendaraan Bermotor, Trailer, dan Semi Trailer - Kimia dan Barang dari Bahan Kimia - Pakaian Jadi
70%
Kab. Bekasi - Komputer, Barang Elektronik, dan Optik - Kertas dan Barang dari Kertas - Barang Logam, Bukan Mesin - Kendaraan Bermotor, Trailer, dan Semi Trailer
75%
Kab. Bandung Barat
- Makanan - Tekstil - Barang Galian Bukan Logam - Pakaian Jadi
78%
Kota Bogor - Pakaian Jadi - Tekstil - Makanan - Furnitur
78%
Kota Sukabumi - Pakaian jadi 99%
Kota Bandung - Pakaian Jadi - Tekstil - Farmasi, Produk Obat, dan Jamu
82%
Kota Cirebon - Makanan - Tekstil
92%
Kota Bekasi - Karet, Plastik, dan Barang Olahannya - Pakaian Jadi - Tekstil
72%
Kota Depok - Komputer, Barang Elektronik, dan Optik - Peralatan Listrik - Mesin dan Perlengkapan ytdl - Farmasi, Produk Obat, dan Jamu
78%
Kota Cimahi - Tekstil 98%
Kota Tasikmalaya - Kayu, Bambu, Rotan, dan Barang Olahannya - Barang Hasil Pabrik Lainnya
86%
Kota Banjar - Kayu, Bambu, Rotan, dan Barang Olahannya - Barang Hasil Pabrik Lainnya
100%
Sumber: Survei Industri Menengah dan Besar, 2012, Badan Pusat Statistik
Keterangan: Komoditas ekspor utama ditentukan menurut share ekspor komoditas
terbesar terhadap total ekspor kabupaten tsb.
Jika disandingkan dengan daftar komoditas/sektor unggulan, beberapa
komoditas ekspor utama di kabupaten/kota yang juga merupakan komoditas
unggulan daerah tersebut, antara lain seperti:
155
BAB 8 Prospek Pertumbuhan Daya Saing Daerah Jawa Barat
(1) Produk makanan yang terdapat di Kab.Sukabumi, Kab. Cianjur, Kab.
Garut, Kab. Tasikmalaya, Kab. Kuningan, Kab. Indramayu, Kab. Bandung
Barat, Kota Bogor, Kota Cirebon,
(2) Tekstil dan produk tekstil di Kab. Bandung, Kab. Sumedang, Kab.
Purwakarta, Kab. Bandung Barat, Kota Cimahi, Kota Bogor, Kota Bekasi,
dan Kota Depok, Kota Cirebon
(3) Kayu, Bambu, Rotan dan Olahannya di Kab. Ciamis, Kab. Kuningan, dan
Kota Tasikmalaya,
(4) Furnitur di Kab. Cirebon,
(5) Kendaraan Bermotor dan perlengkapannya di Kab. Karawang, Kab. Bekasi,
(6) Kertas dan Barang dari kertas di Kab. Karawang.
Tabel 8.10 Sebaran Subsektor Unggulan
Subsektor Keterkaitan Komoditas Lokasi
Tanaman Bahan Makanan
FLI > 1 Padi Kab. Sukabumi, Kab. Cianjur, Kab. Garut, Kab. Indramayu
Jagung Kab. Sumedang, Kab. Majalengka, Kab. Ciamis
Sayuran kab. Cianjur, Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya
Perkebunan Keterkaitan kecil
Buah-Buahan Kab. Tasikmalaya (manggis), Kab. Majalengka (mangga), kab. Cianjur (pisang)
Teh Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi, Kab. Bandung Barat
Cengkeh Kab. Majalengka
Kelapa kab. Cirebon, Kab. Sukabumi, Kab. Cianjur, Kab. Ciamis
Peternakan Keterkaitan kecil
Ayam ras Kab. Bogor, Kab. Ciamis
Sapi potong Kab. Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Pangandaran
Perikanan Keterkaitan kecil
Perikanan tangkap laut
Kab. Cirebon, Kab. Sukabumi, Kab,.
Industri Pengolahan
BLI & FLI > 1 Makanan dan minuman
Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab. Bekasi, Kab. Karawang, Kab. Bogor, Kota Bekasi, Kota Depok, Kab. Indramayu
BLI & FLI >1 Tekstil dan produk tekstil
Kab. Bandung, Kota Cimahi, Kab. Bandung Barat, Kab. Purwakarta
BLI & FLI >1 Peralatan Transportasi
Kab. Bekasi, Kab. Purwakarta, Kab. Karawang, Kab. Bogor
156
BAGIAN II
Kajian Empiris Daya Saing Jawa Barat
Subsektor Keterkaitan Komoditas Lokasi
BLI & FLI >1 Produk Karet dan plastik
Kab Bogor, kota Depok, Kab. Indramayu
BLI & FLI >1 Farmasi dan Obat
Kota Bandung
Perdagangan Besar dan Eceran
FLI > 1 Perdagangan besar dan eceran
Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar
Jasa Sosial Kemasyarakatan dan Jasa lainnya
BLI & FLI > 1 Pariwisata Kab. Sukabumi, Kab. Pangandaran, Kab. Garut, Kota Bandung, Kab. Bandung Barat, Kota Cirebon, Kab. Cianjur
Selain terdapat industri skala menengah dan besar, terdapat prospek
industri dan usaha skala kecil dan menengah. Visi pengembangan UMKM di setiap
daerah sudah mengarah pada upaya peningkatan daya saing. Dalam mendukung
visi tersebut, baik pemerintah kab/kota terkait, pemerintah provinsi, maupun
pemerintah pusat banyak melakukan program dan kegiatan dalam mendorong
UMKM berdaya saing. Sektor unggulan di setiap daerah menjadi objek prioritas
dalam kebijakan terkait peningkatan daya saing UMKM.
Kab.Garut tercatat memiliki banyak koperasi, merupakan lembaga yang
membantu akses pembiayaan. Contoh, Kab. Garut telah mendorong peningkatan
UMKM sektor unggulan, seperti kulit dan barang olahannya. Di beberapa daerah
lain, seperti di Kab.Sumedang dan Kab. Bandung, mengembangkan kualitas
produk makanan olahan, Kab. Tasikmalaya berfokus pada peningkatan kualitas
dan diversifikasi desain bordir, Kab. Purwakarta dan Kab. Sukabumi dalam
pelatihan peningkatan sektor unggulan yang bersumber dari hutan. Dewasa ini
pengembangan IKM dan UKM berorientasi pro-lingkungan.
Intensitas keterkaitan tidak hanya terhadap subsektor atau industri lain
namun juga terhadap subsektor unggulan yang berskala kecil dan menengah, yang
memiliki hambatan dalam scaling up dikarenakan kemampuan modal, manajerial,
dan penguasan teknologi yang rendah.
157
BAGIAN III STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENUMBUHAN DAYA
SAING DAERAH
trategi dan kebijakan pembangunan dan penumbuhan daya saing daerah
berbasis pada penciptaan efisiensi internal, eksternal dan kolektif. Target
penumbuhan daya saing daerah adalah meningkatkan dan menguatkan
kemampuan suatu daerah, apakah sendiri atau bersama-sama, meningkatkan
produktivitas, menumbuhkan ekspor, menarik investasi, berdaya tarik untuk
meningkatkan aliran uang, orang, barang, dan menjamin efeknya untuk
kemakmuran daerah.
Menarik menjadi perhatian, penumbuhan daya saing ekonomi daerah akan lebih
akseleratif jika disesuaikan oleh karakteristik ekonomi dan sosial masyarakat di
masing-masing kabupaten/kota. Indikator tingkat kemiskinan tidak dapat
diabaikan dalam membangun daya saing daerah provinsi maupun
kabupaten/kota. Evaluasi atas determinan daya saing daerah, ternyata banyak
pemerintah daerah dinilai belum efektif dalam mendorong pembangunan daya
saing akibat kemampuan APBD per-kapita yang rendah.
S
BAGIAN III
STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENUMBUHAN DAYA SAING DAERAH
158
BAB 9 STRATEGI PENUMBUHAN DAYA SAING DAERAH
Formulasi strategi penumbuhan daya saing daerah diawali dengan
penilaian terhadap kekuatan, kelemahan, potensi, dan prospek pembangunan
ekonomi berbasis penumbuhan daya saing daerah. penilaian berdasarkan kajian
menggunakan pengukuran kuantitatif dan kualitatif. Strategi penumbuhan daya
saing daerah disusun sebagai perangkat inisiatif stratejik yang layak dikerjakan
oleh pemangku kepentingan di daerah sehingga terbentuk penguatan kemampuan
untuk membangun dan menumbuhkan keunggulan dan daya tarik daerah.
Penguatan kemampuan tersebut mengombinasikan kemampuan internal maupun
eksternal melalui kerja sama dan sinergi dengan eksternal. Perangkat inisiatif
stratejik tersebut melengkapi kerja keras semua pihak untuk menjalin dan
mengefektifkan kolaborasi serta kerja sama untuk mewujudkan peningkatan
keunggulan dan daya saing daerah dengan memunculkan benefit peningkatan
kemakmuran daerah.
Sasaran dilaksanakannya inisiatif stratejik adalah mengungkit kolaborasi
dan kerja sama untuk menghadapi tantangan dan prospek keunggulan dan daya
saing daerah dengan menggunakan kerangka pembangunan daya saing daerah.
Sasaran tersebut masuk ke dalam konteks pembangunan nasional dan global,
melibatkan masyarakat dan pelaku usaha setempat, dan dicocokkan pada
kebutuhan serta ekpektasi dari pemangku kepentingan daerah, yang meliputi
pelaku usaha, profesional atau expert, masyarakat, kelembagaan, dan pemerintah
daerah.
9.1 Skala dan Skop Ekonomis Industri Unggulan
Inisiatif stratejik pertama adalah fokus pembangunan daya saing daerah
melalui promosi industri atau subsektor unggulan. Promosi dimaksud adalah
meningkatkan dan menguatkan keunggulan bersaing di pasar global dan domestik.
Peningkatan keunggulan bersaing di pasar global diindikasikan oleh pertumbuhan
ekspor. Dari hasil kajian diketahui terdapat korelasi antara penetapan jenis industri
unggulan dengan kemampuan ekspor. Penetapan jenis industri unggulan
dilakukan dengan menggunakan berbagai kriteria. Agar industri atau subsektor
unggulan tersebut benar memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan pesaing,
STRATEGI PENUMBUHAN DAYA SAING DAERAH
9
BAB
159
BAB 9 Strategi Penumbuhan Daya Saing Daerah
maka strategi produksinya harus dalam skala terus meningkat dan efisien.
Peningkatan daya saing industri atau subsektor unggulan dilakukan melalui
peningkatan skala dan skop ekonomisnya.
Untuk produk unggulan yang sudah eksisting, diperlukan strategi
penumbuhan daya saing melalui sumber keunggulan seperti menjamin harga
bersaing, produk berkualitas, dan memberikan layanan superior menyesuaikan
pada kebutuhan pasar. Adanya potensi ketersediaan sumber daya alam yang
belum diolah menjadi potensi dihasilkannya produk unggulan yang baru.
Kestrategisan lokasi suatu daerah juga merupakan daya tarik mengalirnya barang
dan dana sehingga berpotensi dibangunnya industri unggulan dengan jenis produk
turunan yang beragam. Daya saing atas produk unggulan akan lebih mudah
diwujudkan karena kontribusi tenaga kerja yang produktif dan dukungan
masyarakat yang terdidik dan bertalenta. Dari pembahasan atas kajian daya saing
di Jawa Barat, diketahui bahwa meningkatnya ketimpangan pendapatan
masyarakat merupakan risiko yang menyulitkan penumbuhan daya saing daerah.
Berikut adalah perangkat inisiatif stratejik:
(1) Penjaminan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pusat
Penjaminan dimaksudkan agar kinerja sektor bisnis tidak terganggu oleh
risiko atas gangguan makroekonomi dan turbulensi pasar global. Beruntung bahwa
fondasi makroekonomi Indonesia sudah dijamin stabil oleh negara. Untuk
menghadapi risiko atas turbulensi pasar global, maka insiatif yang dapat
dikerjakan oleh pemerintah daerah adalah mengurangi potensi inefisiensi eksternal
yang menjadi beban pelaku usaha melalui penjaminan iklim bisnis, investasi, dan
persaingan sehat serta penyediaan infrastruktur yang memadai agar biaya
distribusi dan logistik tidak meningkat. Pemerintah daerah layak mempunyai
program untuk fasilitasi tumbuhnya wirausaha baru sehingga jumlah pelaku usaha
di daerah terus meningkat baik berskala besar, menengah, kecil dan mikro.
Program lain adalah menarik investor dari domestik dan asing serta pembiayaan
dari perbankan.
(2) Riset dan Inovasi dilakukan oleh perusahaan berkolaborasi dengan
lembaga pendidikan, lembaga riset dan pemerintah
Hasil riset berupa paten dapat diterapkan untuk meningkatkan efisiensi
dan skala ekonomis produk unggulan. Proses inovasi dan penerapannya dapat
diterapkan untuk melakukan inovasi menghasilkan produk turunan dan produk
terkait, sebagai jalan mewujudkan skop ekonomis yang secara makro daerah akan
mengungkit diversifikasi ekonomi dengan struktur yang kokoh. Difusi kegiatan
inovasi akan memunculkan ide kreatif dari masyarakat sehingga memunculkan
temuan untuk pengayaan jenis dan mutu produk serta mencetak wirausaha baru di
bidang industri kreatif dan jasa.
160
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
(3) Peningkatan produktivitas, ekspor dan investasi.
Pertumbuhan ekspor dan investasi berkorelasi dengan pertumbuhan
produktivitas industri atau subsektor unggulan khususnya dan produk daerah
pada umumnya. Untuk mengungkit produktivitas yang terus tumbuh, maka
pelaku usaha harus mengelola efisiensi biaya agar memiliki keunggulan harga dan
mutu produk yang dijual. Efisiensi kolektif dapat diwujudkan oleh pelaku usaha
hasil dari melalui aglomerasi industri.
9.1.1 Peningkatan Skala Ekonomi melalui Aglomerasi Industri
Kinerja suatu daerah dalam menumbuhkan daya saing diukur dari
pertumbuhan produktivitas, peningkatan mutu standar hidup, termasuk perbaikan
kompensasi untuk faktor SDM. Ukuran pendapatan riil masyarakat merupakan
ukuran mutu standar hidup. Bagi daerah, benefit penumbuhan daya saing daerah
tidak lain adalah penciptaan lapangan kerja secara kuantitas maupun kualitas agar
terjadi peningkatan pendapatan riil per-kapita sekaligus mampu menghasilkan
produk unggul yang mampu bersaing di pasar global dan domestik.
Untuk membangun daya saing daerah dan negara, diperlukan
infrastruktur kawasan atau cluster industri.29 Adanya kawasan industri yang
didalamnya beroperasi perusahaan-perusahaan terkemuka, efisien, dan inovatif,
akan mengakselerasi aliran investasi ke suatu daerah dan mendorong peningkatan
ekspor. Kawasan atau cluster industri yang efisien atau produktif membutuhkan
dukungan pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang berkualitas. Strategi
menumbuhkan produktivitas di dalam jangka menengah dan panjang antara lain
melalui aglomerasi ekonomi yang dinamis.30
Pada beberapa daerah telah dibangun kawasan industri oleh pemerintah
atau swasta untuk tujuan peningkatan efisiensi industri atau skala ekonomis
industri, daya tarik investasi, industri yang menjaga lingkungan, dan
pembangunan infrastruktur pendukung. Kawasan industri merupakan suatu
kawasan berkumpulnya berbagai perusahaan yang memiliki keterkaitan, termasuk
terdapat usaha mikro, kecil, menengah di sekitar kawasan sebagai komplementer
(Marshall, 1920; Rabelloti, 1999; Porter, 2000; Lindqvist, 2009). Kawasan industri di
Jawa Barat dan daerah lain di Indonesia dibangun dekat dengan akses jalan tol,
beberapa diantaranya dibangun oleh swasta.
Kawasan industri yang dikelola oleh swasta umumnya memiliki sarana
dan prasarana pendukung yang dibutuhkan, seperti tempat pengolahan air,
29 Porter, Michael E. 1998a. On Competition. Harvard Business School Pr. 30 Porter, Michael E. 1998b. Competitive Advantage of Nations. Free Press.
161
BAB 9 Strategi Penumbuhan Daya Saing Daerah
pengolahan limbah, dry port (terminal), penyediaan energi seperti gas dan
pembangkit listrik, infrastruktur jalan, permukiman, serta fasilitas pendidikan dan
kesehatan. Kawasan industri yang besar dan dikelola swasta antara lain
memfasilitasi pabrik untuk industri kendaraan dan industri terkait besi-baja yang
sekaligus merupakan industri unggulan Jawa Barat, dibangun di Kabupaten Bekasi
dan Kabupaten Karawang. Lokasi kawasan industri yang dikelola swasta lainnya
tersebar di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kabupatan
Sumedang. Praktik yang sama terjadi di daerah lain di Indonesia.
Kawasan industri yang dikelola pemerintah umumnya adalah kumpulan
industri yang beroperasi dari hulu hingga hilir dan berdasarkan faktor produksi
yang dimiliki daerah tersebut, seperti agroindustri, industri tekstil dan produk
tekstil, serta industri pertambangan migas, logam, dan non-logam. Beberapa
daerah yang memiliki kawasan industri yang dikelola pemerintah antara lain Kab.
Bandung, Kab. Cirebon, Kab. Bandung Barat, Kota Depok, dan Kota Cimahi.
Kawasan industri yang dikelola pemerintah umumnya muncul pada era 1970-1989.
Di dalam atau dekat dengan kawasan industri dapat dibangun sentra
(cluster) industri. Industri yang secara umum didominasi oleh industri skala kecil-
menengah (IKM) untuk menghasilkan jenis produk serupa. Sentra di beberapa
kabupaten merupakan unggulan IKM daerah seperti industri makanan minuman,
kerajinan, batik, produk tekstil, fashion, furnitur, dan lainnya. Harus dilakukan
inisiatif yaitu ada keterkaitan antara sentra IKM dan industri skala besar yang
berlokasi di kawasan industri. Keterkaitan ini akan mendorong efisiensi sekaligus
peningkatan kinerja para pelaku usaha.
Gambar 9.1. Hubungan Infrastruktur Kawasan dan Pertumbuhan Industri
Sumber: Disperindag Prov.Jawa Barat, BKPM, website pemerintah kab/kota
162
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
Keterangan: Ukuran bubble share PDRB industri kabupaten/kota terhadap PDRB
industri Jawa Barat
Efek dari pertumbuhan produktivitas perusahaan di kawasan industri
maupun sentra akan mendorong tumbuhnya sektor pendukung terutama sektor
jasa dan perumahan. Akselerasi antar sektor ekonomi mendorong penciptaan
lapangan kerja sekaligus peningkatan pendapatan per-kapita dan standar hidup
masyarakat. Kemajuan daerah selanjutnya akan mengakselerasi pertumbuhan daya
saing daerah. Gambar 9.1 menunjukkan adanya korelasi antara penyediaan
infrastruktur kawasan industri dengan pertumbuhan kinerja industri termasuk
kemampuan ekspor dan menarik investasi. Jumlah kawasan industri di suatu
daerah diyakini menjadi penyumbang pertumbuhan industri dan berbagai sektor
ekonomi daerah.
9.2 Kreasi Nilai Tambah dan Keberlanjutan
Penciri pelaku usaha yang mempunyai potensi berdaya saing salah satunya
adalah mencatat pertumbuhan laba. Pendorong pertumbuhan laba tersebut karena
dilakukannya kreasi nilai (value creation) melalui perbaikan secara terus menerus.
Kreasi nilai yang menghasilkan nilai ekonomi (economic value) jika benefit lebih besar
dibandingkan biaya (cost). Benefit merupakan sumber penciptaan kemauan
konsumen (surplus konsumen) untuk membeli barang dan jasa hasil dari
penciptaan atau kreasi nilai tersebut. Peningkatan permintaan akan mendorong
peningkatan produksi sekaligus permintaan terhadap barang dan jasa dari
pemasok dan dari perusahaan pendukung. Terjadi efek makro akibat terjadinya
peluang bisnis yang menguntungkan banyak pihak (win-win business opportunities).
Artinya, penumbuhan daya saing perusahaan atau industri tertentu akan
menumbuhkan daya saing industri terkait lainnya. Dengan iklim persaingan yang
sehat antara lain tidak adanya hambatan untuk perusahaan baru untuk terlibat
dalam rantai kreasi nilai tersebut, seperti era masyarakat ekonomi ASEAN, maka
semua perusahaan akan bersaing melalui penawaran harga bersaing dan produk
lebih unggul. Harga input yang bersaing menciptakan efisiensi ekonomi bersumber
dari biaya input dan biaya pasca produksi yang dapat ditekan. Jangka pendek ini,
pemerintah mempunyai peranan penting untuk menjamin lingkungan persaingan
yang sehat, namun untuk situasi tertentu dapat melakukan afirmasi untuk
mendorong perusahaan lokal mampu melakukan kreasi nilai dan bersaing di pasar
domestik maupun ASEAN.
Menumbuhkan produktivitas melalui skala dan skop ekonomis secara
teknis memerlukan inisiatif stratejik yang dilaksanakan oleh pelaku usaha dan
kelembagaan ekonomi untuk menjamin keberlanjutan pertumbuhan daya saing
daerah. Perangkat inisiatif stratejik yang layak dijalankan meliputi:
163
BAB 9 Strategi Penumbuhan Daya Saing Daerah
(1) Pemupukan human capital melalui peningkatan mutu pendidikan dan
kapabilitas teknis angkatan kerja
Peningkatan mutu SDM harus menjadi komitmen perusahaan, masyarakat,
lembaga pendidikan, dan pemerintah. Komitmen berupa penyediaan biaya sebagai
investasi yang di kemudian hari akan menjadi return ekonomi dan sosial.
Kolaborasi di antara mereka menjadikan proses pemupukan human capital berjalan
efisien. Faktor human capital menjadi motor peningkatan skala ekonomis, skop
ekonomis, kapasitas ekspansi, dan mewujudkan kekuatan perusahaan hasil dari
proses learning dan melakukan perbaikan terus menerus (cumulative learning curve).
(2) Perbesaran nilai tambah melalui keterkaitan ekonomis
Keunggulan untuk penciptaan nilai tambah ditumbuhkan melalui
keterkaitan antar industri dan antar sektor ekonomi. Keterkaitan ekonomis yang
dibangun selain untuk meningkatkan akumulasi nilai tambah juga menjadi
pendorong diversifikasi ekonomi daerah dan menumbuhkan keunggulan baru
terkait dengan nilai seni dan budaya seperti pariwisata, ekowisata, dan industri
kreatif.
(3) Rantai pasok pembiayaan
Kebutuhan investasi dan pembiayaan harus dipenuhi untuk mewujudkan
potensi daya saing daerah. Penjelasan rinci akan dibahas pada subbab tersendiri.
(4) Kolaborasi dan kerja sama
Menumbuhkan keunggulan dan kreasi nilai tambah yang dilakukan pelaku
usaha akan efisien melalui kolaborasi dan kerja sama dengan pelaku usaha lain,
dengan lembaga terkait serta pemerintah. Kolaborasi antar pelaku usaha dan
dengan kelembagaan bertujuan agar biaya transaksi dapat ditekan sekaligus
mewujudkan efisiensi agensi. Pemerintah jika perlu dapat melakukan kebijakan
diskresi yang dibutuhkan untuk mengefektifkan kolaborasi dan kerja sama untuk
meningkatkan nilai tambah.
9.2.1 Keterkaitan Ekonomis dan Rantai Nilai
Kreasi nilai yang berujung pada perbesaran akumulasi nilai tambah daerah
bukan saja urusan pelaku usaha semata namun memerlukan fondasi ekonomi
makro yang kuat dan lingkungan bisnis yang sehat sehingga memudahkan
terjadinya perkembangan teknologi dan permintaan. Keterkaitan industri, sektor,
dan kelembagaan menciptakan proses mudah penciptaan rantai nilai (value chain)
sumber akumulasi nilai tambah. Kreasi nilai terjadi akibat perpindahan barang dan
jasa sepanjang rantai vertikal atau vertical chain atau value chain. Secara kolektif,
para pelaku usaha dan lembaga pendukung mempunyai peluang penciptaan
164
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
agregasi nilai secara progresif.31 Setiap bagian kegiatan akan menciptakan
tambahan biaya (incremental cost) sekaligus menciptakan tambahan nilai
(incremental value), yang selanjutnya terjadi akumulasi nilai tambah yang
agregasinya menjadi total produksi daerah (PDRB) dan total produksi domestik
(PDB). Terjadinya peningkatan balas jasa kepada pemilik faktor produksi sebagai
bagian nilai tambah merupakan sumber peningkatan pendapatan tenaga kerja,
pemilik input, pemilik usaha, investor, dan masyarakat yang terlibat dalam
penciptaan nilai tersebut. Jelas bahwa strategi penumbuhan daya saing di level
perusahaan, industri, dan sektor terkait adalah pengelolaan biaya oleh perusahaan
yang efisien dan penciptaan benefit yang tinggi dinikmati perusahaan dan
konsumen, yang selanjutnya akan menciptakan dan menumbuhkan nilai tambah
secara terus menerus sekaligus kemampuan bersaing di pasar.
Keterkaitan antar subsektor dapat ditujukan bagi upaya perbesaran
akumulasi nilai tambah dan peningkatan efisiensi. Pertumbuhan aktivitas pada
salah satu subsektor, terutama subsektor atau industri prioritas, akan menarik
pertumbuhan subsektor lain yang terkait melalui adanya efek multiplier. Apabila
subsektor atau industri prioritas ingin ditingkatkan, maka perlu diperhatikan
untuk meningkatkan pula sektor-sektor lain yang memiliki keterkaitan. Hal
tersebut dapat berpotensi bagi peningkatan efisiensi.
Hasil kajian atas pola keterkaitan ekonomi dapat digunakan untuk
mengetahui rantai nilai dan potensi akumulasi nilai tambah. Sebagai contoh,
industri makanan-minuman memiliki keterkaitan ekonomis dengan industri dan
subsektor lainnya. Pertumbuhan akumulasi nilai tambah terjalin melalui efek
langsung dari keterkaitan ke belakang (BL) maupun keterkaitan ke depan (FL)
yang tinggi yaitu:
Pertumbuhan industri makanan minuman akan menarik 2 (dua) subsektor
prioritas yaitu pengangkutan, dan industri kimia, karet, plastik dan barang
dari bahan kimia untuk juga meningkatkan pasokannya. Subsektor lain
yang ditarik untuk tumbuh akibat peningkatan permintaan adalah
subsektor tanaman bahan makanan, peternakan, dan pengangkutan,
Subsektor yang didorong untuk tumbuh akibat pertumbuhan industri
makanan minuman adalah industri pengolahan lainnya, subsektor hotel
dan restoran, serta subsektor pemerintahan umum dan pertahanan.
31 Value chain merepresentasikan kegiatan banyak pelaku usaha secara bersama-sama melakukan kreasi dan peningkatan nilai. Porter (2000) membedakan 5 kegiatan utama sumber pembentuk value chain yaitu inbound logistics, production operations, outbound logistics, marketing and sales and services.
165
BAB 9 Strategi Penumbuhan Daya Saing Daerah
Selain efek langsung, penciptaan nilai tambah dijalin melalui efek tidak
langsung terhadap tumbuhnya industri kimia, karet, plastik dan barang dari bahan
kimia, yaitu:
Penumbuhan industri kimia, karet, plastik, dan barang dari bahan kimia
akan menarik industri barang dari logam dan subsektor listrik untuk
tumbuh karena ketiga subsektor ini mempunyai keterkaitan yang tinggi
baik BL maupun FL. Subsektor lain yang ditarik tumbuh adalah
peternakan,
Penumbuhan industri makanan dan minuman selain menumbuhkan 4
(empat) subsektor atau industri prioritas lainnya, ternyata juga menarik
subsektor lain yaitu pertambangan dan tanaman bahan makanan untuk
meningkatkan produksinya serta mendorong pertumbuhan produksi
industri pengolahan lainnya, subsektor peternakan, hotel restoran,
pemerintahan umum, dan pertahanan.
Gambar 9.2 Rantai Pasok Berbasis Industri Makanan & Minuman Jawa Barat
Keterangan: Angka di setiap garis panah merupakan nilai keterkaitan antara kedua subsektor
: Subsektor/industri prioritas
INKKP : Industri Kimia, Karet, Plastik, dan barang dari bahan kimia
:
Subsektor/industri prioritas terkait tidak langsung
INPL : Industri pengolahan lainnya
:
Subsektor/industri terkait langsung
INBLOG : Industri Barang Jadi dari Logam
0,12
Terkait langsung
0,04
0,07
0,03
0,47 0,24
0,0
0,15 INKKP
INMM
INBLOG
INPL
PGKT
LSTRK
TBM TMBG PTRK
HR PMRT
0,0
0,20 0,04 0,04
0,05
Terkait tidak
langsung
Pri
me
r /
up
stre
am
Se
kun
de
r T
ers
ier
/
do
wn
stre
am
166
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
9.2.2 Rantai Pasok Pembiayaan
Pembiayaan perbankan merupakan salah satu determinan penumbuhan
daya saing ekonomi. Peranan perbankan dalam mendorong daya saing ekonomi
nasional dan daerah adalah jika mampu menyalurkan pembiayaan untuk subsektor
atau industri prioritas dan unggulan secara terintegrasi. Integrasi pembiayaan
menelusuri rantai produksi subsektor atau industri yang memiliki keterkaitan kuat
(strong linkages) akan menghasilkan benefit bagi perbankan maupun perekonomian.
Aliran pembiayaan secara terintegrasi menelusuri rantai keterkaitan subsektor atau
industri akan meningkatkan efisiensi baik bagi perbankan maupun subsektor atau
industri. Jika saat ini, pembiayaan melalui kredit perbankan sudah mempraktikkan
supply chain financing32 namun belum memerhatikan rantai keterkaitan subsektor
atau industri prioritas atau unggulan. Merupakan tantangan perbankan untuk
mengembangkan inovasi pembiayaan yang jika dilakukan akan memungkinkan
suku bunga kredit lebih rendah dibandingkan pembiayaan yang dilakukan parsial.
Risiko kredit juga akan menurun karena tertutupi dari prospek subsektor atau
industri unggulan yang dibiayai tersebut.
Diperlukan perubahan paradigma produk kredit perbankan yang
sebelumnya sudah dipraktikkan dari sisi manajemen aliran pembiayaan
menelusuri supply chain pembiayaan yang semula banyak berupa kredit modal
kerja menjadi bergeser menjadi pembiayaan yang membangkitkan value yang lebih
besar karena fokus pada subsektor atau industri prioritas yang mampu mendorong
daya saing perekonomian. Terobosan penyaluran pembiayaan dengan model
keterkaitan subsektor atau industri akan mampu pula mengurangi kredit
menganggur (undisbursed loan)33. Selain itu, penambahan pembiayaan untuk salah
satu subsektor atau industri akan mendorong pertumbuhan subsektor atau industri
32 Supply chain financing adalah pembiayaan yang dilakukan perbankan untuk jejaring (network) mulai dari penghasil bahan baku, produsen pengolah bahan baku dan produk akhir, dan distributor barang tersebut untuk saluran perdagangan sampai konsumen. 33 OJK menyatakan bahwa undisbursed loan sepanjang triwulan I 2016 sebesar Rp. 1.236 triliun meningkat 3,6% dibanding periode serupa tahun 2015.
:
Subsektor/industri terkait tidak langsung
HR : Hotel & Restoran
: Arah keterkaitan PMRT : Pemerintahan Umum & Pertahanan
TBM : Tanaman Bahan Makanan
PGKT : Pengangkutan
TMBG : Pertambangan Minyak dan gas
INMM : Industri Makanan & Minuman
LSTRK : Listrik
167
BAB 9 Strategi Penumbuhan Daya Saing Daerah
yang bersangkutan dan yang lain terkait. Risiko kredit akan tereleminasi dari
tarikan dan dorongan prospek subsektor atau industri lain yang terkait.
Pembiayaan perbankan dalam konteks penumbuhan daya saing harus
terintegrasi pada subsektor atau industri yang mempunyai keterkaitan tinggi
menelusuri rantai hulu (upstream) hingga hilir (downstream). Fokus pembiayaan
pada industri makanan minuman dan industri kimia, karet, plastik dan barang dari
bahan kimia akan mengungkit peningkatan nilai tambah industri yang
bersangkutan dan subsektor lainnya yang terkait baik sebagai subsektor hulu
(upstream) maupun hilir (downstream).
Peningkatan pembiayaan dapat dilakukan oleh lembaga keuangan untuk
industri atau subsektor unggulan daerah paket dengan industri atau subsektor
terkait, dengan skema rantai pasok pembiayaan yang ditelusuri dari intensitas
keterkaitan. Gambar 9.3 dan Gambar 9.4 merupakan model rantai pasok
pembiayaan.
Gambar 9.3 Rantai Pasok Pembiayaan Berbasis Usaha Tanaman Bahan Makanan
Bahan
Pendukung
Tanaman
Bahan
Makanan
Petani
Badan
Usaha
Pengolahan
&
Perdagangan
Industri
makanan
Pedagan
g Eceran
Pedagang
Besar
Hotel &
Restoran
Jasa
perorang
& RT
Rekreasi
& Wisata
Konsu-
men
Kope-
rasi
Forward Linkages Backward
Linkages
168
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
Gambar 9.4 Rantai Pasok Pembiayaan Berbasis Usaha Peternakan
9.2.3 Membangun Keunggulan Kompetitif melalui Partnership
Membangun keunggulan adalah basis pencapaian kinerja perekonomian
daerah dan harus berlanjut. Sumber keunggulan dapat berasal dari kreasi
perusahaan, kreasi masyarakat dan kreasi pemerintah daerah. Akumulasi kreasi
dari ketiganya akan membentuk akumulasi nilai tambah yang tumbuh tinggi dan
berlanjut.
Tabel 9.1 Sumber Keunggulan Bersaing Pendorong Kolaborasi dan Kerja sama
Sumber Keunggulan
Lingkungan (Daerah) Ketersediaan sumber daya alam; struktur ekonomi; lokasi strategis
Perusahaan Efisiensi biaya; harga bersaing; produk berkualitas; layanan superior; ragam produk; superior value; pertumbuhan laba
Masyarakat Terdidik, talenta, produktif, tingkat pendapatan, tidak timpang
Kelembagaan Terkait untuk meningkatkan human capital: riset; inovasi; pembiayaan
Pemerintah daerah Terkait kemampuan membangun daerah: infrastruktur; pendidikan; kesehatan; menekan kemiskinan; menekan ketimpangan; menciptakan lapangan keja; kebijakan
Peternakan
Tanam-
an
Bahan
Makan
Peter-
nak
Pengolahan &
Perdagangan
Industri
Mak-
min
Pedagang
eceran
Pedagang
besar
Hotel
&
Resto
ran
Konsu
men
Forward Linkages Backward Linkages
Kope-
rasi
Badan
Usaha
169
BAB 9 Strategi Penumbuhan Daya Saing Daerah
Daerah akan memiliki daya saing jika di daerahnya berlokasi sejumlah
perusahaan yang mampu membukukan laba dan terus tumbuh. Salah satu sumber
laba adalah efisiensi biaya, yang diperoleh atas kemampuan menekan biaya atas
faktor produksi dan distribusi per-unit produksi. Kesulitan yang telah banyak
didiskusikan adalah masalah ketergantungan impor atas bahan baku, bahan
penolong, dan barang modal yang praktis menjadi kendala pencapaian efisiensi
biaya akibat harga input impor yang berfluktuatif. Keterbatasan penyediaan
infrastruktur juga menjadi kendala pencapaian efisiensi biaya. Belum lagi,
kemampuan membangun oleh pemerintah menjadi berkurang akibat beban atas
struktur impor yang didominasi barang modal (capital goods) dibandingkan ekspor
yang sebagian besar adalah bahan mentah. Secara makro daerah dan nasional
diperlukan strategi untuk membangun industri yang mengolah sumber daya alam
berbasis agro, mineral, dan migas untuk mengurangi ketergantungan impor
sekaligus menguatkan struktur industri.
Mengingat permasalahan daya saing yang semakin kompleks, diperlukan
strategi kolaborasi dan kerja sama (partnership) yang saling menguntungkan antar
pelaku usaha, dengan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi dan konsumen,
dengan kelembagaan untuk menekan biaya transaksi dan keagenan, dan dengan
pemerintah daerah agar outcome pembangunan daya saing daerah adalah
kemakmuran yang dinikmati oleh perusahaan, masyarakat, lembaga, dan
pemerintah daerah.
Dinamika membangun partnership tersebut adalah membangun
keunggulan melalui kreasi nilai yang terus berlanjut secara efisien, kolektif, dan
terus tumbuh. Keuntungan dari keragaman potensi ekonomi antar kabupaten/kota
mampu secara kolektif mendukung peningkatan skala dan skop ekonomi.
Peningkatan skala ekonomis yang paling mudah dilaksanakan adalah untuk
produk unggulan yang sama pada beberapa daerah diproduksi dalam skala besar
dan efisien sehingga produk unggulan tersebut dapat bersaing di pasar domestik
maupun global. Strategi penumbuhan daya saing terkait dengan menumbuhkan
keunggulan sumber daya manusia yang dibangun bukan saja berpendidikan dan
sehat namun mampu bertransformasi menjadi human capital. Peningkatan
produktivitas berbasis human capital akan mampu menciptakan daya tarik daerah
yang mampu menumbuhkan arus investasi, transaksi bisnis, mobilitas orang, dan
barang masuk dan keluar daerah.
Daftar Pustaka
Lindqvist, G. 2009. Disentangling Clusters: Agglomeration and Proximity Effects.
Sweden: Dissertation for the Degree of Doctor of Philosophy, Stockholm
School of Economics.
170
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
Porter, Michael E. 2000. “Location, Competition, and Economic Development: Local
Clusters in a Global Economy.” Economic Development Quarterly, Vol.14,
pp.15-34.
Rabelloti, Roberta. 1999. “Recovery of a Mexican Cluster: Devaluation Bonanza or
Collective Efficiency?.” World Development Vol.27 No.9, pp.1571-1585.
Marshall, Alfred. 1920. Principle of Economics: An Introductory Volume. 8th ed.
London: Macmillan.
171
BAB 9 Strategi Penumbuhan Daya Saing Daerah
Lampiran 3 Rantai Pasok
Gambar L.1 Rantai Pasok Industri Tekstil, Pakaian Jadi, kulit, dan Alas Kaki Jawa Barat
Gambar L.2 Rantai Pasok Industri Kimia, Karet, Plastik, dan Barang dari Bahan Kimia
Jawa Barat
Terkait tidak
langsung
Terkait
langsung
0,03
0,10,02
5
0,02
0,060,07
5 0,03
INTPT
INPL
PGKT
LSTRK
INKKP
JSM
TMBG
0,03
INMM
Pri
me
r /
up
stre
am
Se
kun
de
r T
ers
ier
/
do
wn
stre
am
0,0
0,07
INBLOG
TBM
0,04
0,03
0,07 0,04
0,07
0,1 0,07 0,08
0,15
0,07
0,1
5 BNG PGKT
INKKP
AB
INBLOG
LSTRK
INTPT
JSM
TMBG
0,04
INMM
Terkait langsung
Terkait tidak
langsung
Pri
me
r / u
pst
ream
Se
kun
de
r T
ers
ier
/
do
wn
stre
am
172
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
Gambar L.3 Rantai Pasok Industri Barang Jadi dari Logam Jawa Barat
Gambar L.4 Rantai Pasok Subsektor Listrik Jawa Barat
Terkait langsung
0,04
0,09
0,07
0,04
BNG
INBLOG
GSK
INKKP
JSM
LSTRK
PGKT
INPL
TMBG
0,045
0,21 0,07 0,36
0,15
0,14
0,15
0,07
INTPT
INMM
Pri
mer
/ u
pstr
eam
Sek
un
der
T
ersi
er /
dow
nst
ream
Terkait tidak langsung
Terkait
langsun
g
0,03
0,145
0,10
0,15
PGKT
LSTRK
INKRT INBLOG
INKKP
INNLOG INLOGD
TMBG
DAG AB GSK
INKLG
0,07 0,04
0,045 0,04 0,105 0,195 0,1
95
Pri
mer
/
ups
trea
m
Sek
un
der
T
ersi
er /
dow
nst
ream
Terkait tidak
langsung
173
BAB 9 Strategi Penumbuhan Daya Saing Daerah
Gambar L.5 Rantai Pasok Subsektor Jasa Sosial Kemasyarakatan & Jasa Lainnya Jawa
Barat
Gambar L.6 Rantai Pasok Subsektor Pengangkutan Jawa Barat
0,04
0,15
INTPT
INMM
0,085 PMRT
INBLOG
PGKT
INKKP
JSM BLK
KOM DAG
LSTRK 0,045
0,15
0,085
0,05
5
0,07
0,12
0,04
5 0,365
0,03
5
0,04
Terkait tidak
langsung Terkait langsung
Sek
un
der
T
ersi
er /
dow
nst
ream
Terkait langsung
Terkait tidak
langsung
0,035
0,03
0,045
0,065 0,15
PGKT
INMM INLOGD
JSM
INKKP INBLOG
DAG
BLK
LSTRK
0,14
0,15
0,09
0,05 0,07 0,10
TBM Pri
mer
/
up
stre
am
Sek
un
der
T
ersi
er /
dow
nst
ream
174
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
Lampiran 4 Keterkaitan Ekonomis dan Rantai Nilai Perdagangan
Box 5 Keterkaitan Ekonomis dan Rantai Nilai Perdagangan
Skema rantai pasok pembiayaan dapat pula diterapkan pada sektor perdagangan. Perdagangan merupakan kegiatan distribusi untuk pengumpulan dan penjualan kembali (tanpa perubahan bentuk) berbagai jenis komoditas. Sesuai Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI), subsektor perdagangan meliputi perdagangan besar, perdagangan eceran, perdagangan ekspor, dan perdagangan impor. Perdagangan besar dilakukan dalam partai besar, dari tangan produsen atau importir kepada pedagang eceran, perusahaan industri, rumah sakit, usaha penyediaan akomodasi & makan-minum, maupun kepada pedagang besar lainnya. Pada perdagangan eceran, kegiatan perdagangan dilakukan dalam partai kecil, dan melakukan penjualan langsung kepada konsumen akhir. Pada perdagangan ekspor, kegiatan utamanya adalah melakukan penjualan baik baru maupun bekas, atau jasa dari dalam ke luar wilayah pabean. Pada perdagangan impor, kegiatan utamanya adalah penjualan barang baru maupun bekas, atau jasa dari luar ke dalam wilayah pabean Indonesia.
Pelaku usaha pada perdagangan besar terdiri dari distributor utama, grosir, subdistributor, pemasok besar/main supplier, dealer besar, agen tunggal pemegang merk, eksportir, dan importir. Adapun pelaku usaha pada perdagangan eceran terdiri dari swalayan dan bukan swalayan (kios, toko) termasuk yang berdagang di pasar tradisional. Kinerja perdagangan yang baik adalah jika mampu menunjukan rantai distribusi yang efisien dengan balas jasa yang sesuai kontribusi para pelaku dalam
Keterangan: Angka di setiap garis panah merupakan nilai keterkaitan antara kedua subsektor
: Subsektor/industri prioritas
INNLOG : Industri Mineral Nonlogam
:
Subsektor/industri prioritas terkait tidak langsung
INKKP : Industri Kimia, Karet, Plastik, dan barang dari bahan kimia
: Subsektor/industri terkait langsung
INPL : Industri pengolahan lainnya
: Subsektor/industri terkait tidak langsung
INBLOG : Industri Barang Jadi dari Logam
: Arah keterkaitan INKLG : Industri Pengilangan Minyak
TBM : Tanaman Bahan Makanan INMM : Industri Makanan & Minuman
TMBG : Pertambangan Minyak dan gas
PGKT : Pengangkutan
LSTRK : Listrik PMRT : Pemerintah Umum & Pertahanan
AB : Air Bersih DAG : Perdagangan BNG : Bangunan BLK : Bank & Lembaga
Keuangan Lainnya INKRT : Industri Kertas & Barang
dari Kertas KOM : Komunikasi
INLOGD : Industri Logam Dasar HR : Hotel & Restoran INKLG : Industri Pengilangan
Minyak
175
BAB 9 Strategi Penumbuhan Daya Saing Daerah
rantai tersebut.
Menggunakan tabel input-output untuk sektor perdagangan besar & eceran dapat diketahui struktur permintaan meliputi permintaan antara dan permintaan akhir. Permintaan antara adalah permintaan atas barang dan jasa yang dibutuhkan untuk proses produksi. Pada permintaan antara, barang dan jasa dapat berfungsi sebagai bahan baku, bahan penolong, jasa, dan lain-lain yang dibutuhkan oleh sektor lain, baik sektor primer, sekunder, maupun tersier. Adapun permintaan akhir adalah permintaan atas barang dan jasa yang digunakan untuk konsumsi akhir, yang terdiri dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto (PMTB), inventori, ekspor, dan impor.
Gambar L.7 Transformasi Perdagangan Sumber: Tabel Input-Output Jawa Barat 2010
Keterangan: Surplus termasuk laba dan biaya selain upah & gaji, penyusutan, dan pajak.
Gambar 9.5 memperlihatkan transformasi pada kegiatan perdagangan. Transformasi perdagangan terdiri dari dua tahap, yaitu proses input dan aktivitas perdagangan, kemudian terakumulasi sebagai output perdagangan. Proses input merupakan proses mencari barang/jasa yang akan dijual dalam aktivitas perdagangan. Terdapat dua komponen pada proses input, yaitu mencari input dari dalam negeri (domestik) dan luar negeri (impor). Kegiatan mencari input dari luar negeri yang dilakukan sektor perdagangan merupakan bagian dari kegiatan impor luar negeri.
Sebagai contoh, aktivitas perdagangan di Jawa Barat mencatat dominasi pada komponen surplus perdagangan sebesar 46,3 persen dan komponen gaji & upah sebesar 21,5 persen. Pada proses output, kegiatan perdagangan ditujukan kepada beberapa komponen, antara lain perdagangan non-tradable (perdagangan antar
Nilai
Output Input (inti)
46,4 T 198 T 151,6 T
Domestik (19,5%)
Impor (4%)
Permintaan antara (38,4%)
Rumah tangga (30,9%)
Investasi (4,8%)
Inventori (3,1%)
Aktivitas Perdagangan
▪ Upah & Gaji (21,5%)
▪ Penyusutan (5,7%) ▪ Pajak tak
Langsung (3%) ▪ Surplus (46,3%)
+ =
Ekspor (22,8%)
176
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
sektor) dan perdagangan tradable (rumah tangga, pemerintah, investasi, inventori, ekspor). Perdagangan tradable mencatat share lebih besar relatif terhadap non-tradable. Perdagangan bagi kebutuhan rumah tangga mencatat share sebesar 30,9 persen. Terdapat tren penurunan pada konsumsi rumah tangga Jawa Barat sebesar 2,9 persen sepanjang 2010-2014. Hal tersebut mengindikasikan perdagangan bagi rumah tangga Jawa Barat menurun. Pada komponen ekspor, membandingkan dengan PDRB Jawa Barat, kegiatan ekspor yang dilakukan sektor perdagangan mencatat share sebesar 19,9 persen dari total kegiatan ekspor luar negeri Jawa Barat. Terjadi tren penurunan aktivitas ekspor luar negeri, walaupun tidak cukup signifikan yaitu sebesar 0,9 persen sepanjang 2010-2014. PDRB Jawa Barat mencatat terjadinya peningkatan aktivitas ekspor antar daerah sebesar 2,4 persen sepanjang 2010-2014. Perdagangan ekspor antar daerah dapat terjadi kepada sektoral (non-tradable), rumah tangga maupun pemerintah daerah (tradable). Penurunan pada perdagangan bagi rumah tangga di Jawa Barat dan peningkatan ekspor daerah mengindikasikan terjadinya peningkatan aktivitas perdagangan antar daerah, baik ekspor maupun impor.
Kegiatan perdagangan memiliki keeratan dengan beberapa sektor, antara lain menopang input bagi industri barang jadi dari logam, industri tekstil & pakaian jadi, industri makanan-minuman, dan subsektor bangunan. Keeratan dengan subsektor di level permintaan antara terkonfirmasi melalui besaran pendapatan sektor perdagangan yang menjual komoditas bagi subsektor tersebut.
Dilihat dari komoditas yang diperdagangkan, contoh di Jawa Barat, keempat komoditas utama terkonsentrasi pada kegiatan perdagangan eceran. Perdagangan komoditas makanan-minuman merupakan komoditas yang mencatat share pendapatan tertinggi sebesar 28,9 persen diikuti oleh perdagangan mobil, motor & suku cadang sebesar 11 persen. Selain empat komoditas utama, perdagangan komoditas lainnya mencatat share relatif besar yaitu sebesar 50,1 persen meliputi (i) komoditas bahan bakar kendaraan bermotor (eceran di SPBU), (ii) hasil pertanian, perikanan, peternakan & kehutanan (iii) barang rumah tangga, dan (iv) perdagangan swalayan non-makanan.
177
BAB 9 Strategi Penumbuhan Daya Saing Daerah
Lampiran 5 Produktivitas Pembiayaan Perbankan di Jawa Barat
Box 6 Produktivitas Pembiayaan Perbankan di Jawa Barat
Pembiayaan perbankan walaupun mencatat pertumbuhan namun diduga belum optimal.
Produktivitas kredit perbankan akan berlanjut jika cocok dengan potensi ekonomi di lingkungan
kerja bank itu beroperasi. Tabel L.1 menganalisis tingkat optimasi penyaluran kredit untuk industri
yang terkategori prioritas. Hasil analisis sebagai berikut:
Tabel L.1 Evaluasi Kinerja Kredit dan Nilai Tambah Ekonomi pada Sektor Prioritas* di
Jawa Barat
Industri
Prioritas Lokasi
Share Kredit
(%)
Kolektibilitas
2013 (%)
Share Nilai
Tambah (%)
2011 2013 2011 2013 2011 2013
Industri
Makanan-
Minuman,
Kab Bandung 1,9% 3,6% 99,7% 98,7% 17,1% 16,6%
Kota Cirebon 3,3% 10,0% 96,7% 99,1% 16,1% 15,6%
Kab Cirebon 0,3% 0,8% 100,0% 92,1% 10,5% 10,8%
Kab Subang 4,1% 1,7% 96,2% 92,5% 9,6% 10,3%
Industri Tesktil
& Produk Tekstil
Kota Cimahi 2,4% 2,9% 96,9% 97,3% 51,6% 61,7%
Kab Bandung 9,9% 11,9% 98,1% 96,5% 36,0% 34,9%
Kota Bogor 19,0% 19,5%
Kab Sumedang 0,1% 0,5% 100,0% 86,8% 18,6% 17,9%
Kota Bandung 19,9% 19,1% 96,6% 99,1% 12,6% 10,8%
Kab. Purwakarta 1,7% 2,1% 100,0% 99,9% 5,82% 5,58%
Industri Kimia,
Karet, Plastik,
dan Barang dari
bahan kimia
Kab. Purwakarta 0,1% 0,3% 100,0% 98,9% 4,6% 4,4%
Kab. Sukabumi 1,7% 2,5% 100,0% 100,0% 4,1% 4,0%
Kab Bandung 0,1% 0,2% 100,0% 99% 2,35% 2,65%
Kota Bogor 3,26% 3,38%
Industri Barang
jadi dari
logam**
Kab. Purwakarta 0,4% 0,4% 100,0% 100,0% 27,0% 27,5%
Kota Bandung 3,38% 2,80% 98,19% 98,69% 5,85% 5,97%
Listrik
Kota Cimahi 0,0% 0,0% 0,0% 100,0% 3,1% 3,9%
Kab. Sumedang 0,0% 0,0% 0,0% 100,0% 2,8% 3,2%
Kab. Purwakarta 0,0% 0,0% 0,0% 100,0% 2,7% 2,8%
Pengangkutan
Kota Sukabumi 0,2% 0,5% 96,3% 99,2% 12,8% 13,6%
Kota Bogor 12,6% 12,6%
Kab. Kuningan 0,3% 0,4% 100,0% 98,7% 12,6% 12,6%
Kota Cirebon 4,6% 4,0% 100,0% 100,0% 10,8% 11,0%
Kota Tasikmalaya 1,4% 1,4% 99,9% 98,2% 11,3% 10,8%
Kota Bandung 2,5% 8,4% 99,8% 99,9% 6,6% 7,0%
Jasa sosial
kemasyarakatan
Kab Kuningan 1,9% 2,1% 50,0% 99,1% 7,8% 7,8%
Kota Tasikmalaya 4,1% 8,3% 95,7% 99,7% 5,4% 5,0%
Kota Banjar 0,7% 2,9% 96,7% 99,4% 4,9% 4,6%
Kab. Ciamis 4,2% 3,4% 99,3% 99,6% 5,0% 4,7%
Sumber: Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia
*) Hasil Kajian menggunakan analisis keterkaitan input-output **) konsentrasi di Kab. Bekasi, Kab. Karawang
178
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
Telah terjadi peningkatan alokasi kredit untuk industri dan subsektor prioritas pendorong daya saing. Pengecualian untuk alokasi kredit tekstil dan produk tekstil dan industri kimia di Kota Bandung,
Penyaluran kredit tersebut tergolong sangat lancar dilihat dari tingkat kolektibilitas. Hal ini menunjukkan industri atau subsektor tersebut memang potensial dan prospektif,
Kontribusi pengembangan industri atau subsektor prioritas tersebut telah mampu meningkatkan nilai tambah dan kontribusi terhadap perekonomian daerah. Khusus untuk industri tekstil dan produk tekstil karena mengalami ancaman daya saing, maka terbukti memberikan kontribusi pada PDRB yang juga menurun kecuali di Kota Cimahi dan Kota Bogor,
Terdapat korelasi positif antara share kredit dan share PDRB di daerah selain daerah industri Bodebekar,
Share kredit jasa sosial kemasyarakatan meningkat namun share PDRB subsektor tersebut menurun. Peningkatan penyaluran kredit ntuk sektor Jasa sosial kemasyarakatan meliputi usaha perorangan & rumah tangga, pendidikan swasta, kesehatan swasta, dan rekreasi sejalan dengan meningkatnya anggaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan serta meningkatnya peranan usaha perorangan.
179
BAB 10 KEBIJAKAN PENUMBUHAN DAYA SAING DAERAH
Kebutuhan kebijakan untuk pembangunan dan penumbuhan daya saing daerah kabupaten/kota dan provinsi dimaksudkan untuk memfasilitasi, menstimulasi, dan menjamin terlaksananya seperangkat inisiatif stratejik untuk merealisasikan potensi dan prospek serta mengeliminasi risiko atas kelemahan struktural dan tantangan integrasi pasar. Saat ini pemerintah telah mengeksekusi berbagai kebijakan tersebut, namun perlu dilengkapi dengan kebijakan yang bersifat lintas sektor dan dapat diimplementasikan pada tataran nasional dan daerah.
Berikut akan disampaikan kebijakan penumbuhan daya saing yang sudah diimplementasikan dan kebijakan pelengkap yang diusulkan. Kebijakan penumbuhan daya saing merupakan acuan pemerintah dan pemerintah daerah serta pedoman bagi pelaku usaha, pemangku kepentingan, dan masyarakat dalam rangka menunjang pelaksanaan pengembangan daya saing yang sesuai dengan peran masing–masing. Efektivitas kebijakan diukur dari keberhasilan pencapaian target pembangunan daya saing daerah yang telah disepakati oleh pemerintah, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan.
10.1 Kebijakan yang sudah Diterapkan
(1) Kebijakan Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja
Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan belanja pendidikan nasional seiring dengan peningkatan APBN akan meningkatkan keahlian dan keterampilan angkatan kerja. Belanja APBN dan APBD untuk pelatihan juga akan meningkatkan kapasitas teknis tenaga kerja. Walaupun efektivitas peningkatan mutu pendidikan dan keterampilan terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja memerlukan tenggang waktu, namun peningkatan indeks mutu pendidikan nasional dan daerah akan memudahkan dalam upaya pemupukan human capital. Pemerintah juga telah menerapkan kebijakan agar pasar tenaga kerja lebih fleksibel yaitu dengan mengurangi tekanan dari serikat pekerja kepada perusahaan, mendorong kerja paruh waktu, dan mendorong start-up bisnis baru. Sistem kompensasi melalui penerapan kebijakan upah minimum regional dan kabupaten/kota seharusnya
KEBIJAKAN PENUMBUHAN DAYA SAING DAERAH 10
BAB
180
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
berorientasi pada peningkatan produktivitas tenaga kerja. Sesuai hasil kajian di Jawa Barat, kebijakan upah minimum yang besarannya berbeda antar daerah belum efektif dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Karenanya, kebijakan upah minimum harus cermat dan dikaitkan dengan target produktivitas tenaga kerja. Untuk menjamin kesejahteraan tenaga kerja, pemerintah sudah mewajibkan perusahaan mendaftarkan tenaga kerja menjadi peserta BPJS ketenagakerjaan untuk jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian, dan jaminan pensiun.
(2) Kebijakan Investasi
Paket kebijakan ekonomi telah dirancang dan diterapkan untuk menarik investasi asing maupun domestik, dan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang efisien. Investor akan tertarik berinvestasi di daerah jika ada peningkatan produktivitas. Namun di sisi lain, untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing diperlukan tambahan kapital melalui tambahan investasi untuk belanja pabrik, mesin, dan peralatan produksi. Capaian produktivitas dan kinerja perusahaan sangat penting dalam menarik investasi. Kebijakan layanan satu atap untuk mempercepat perizinan investasi sudah diterapkan di banyak daerah dan dinilai cukup efektif untuk merealisasikan rencana investasi di daerah.
(3) Kebijakan Menciptakan Iklim Persaingan Sehat
Menghadapi integrasi pasar global, semakin tidak diperlukan lagi regulasi menghalangi perusahaan baru untuk masuk pasar. Pemerintah praktis sudah meniadakan hambatan untuk masuk (barriers to entry) sehingga pelaku usaha dan konsumen dapat melakukan praktik persaingan sehat. Hadirnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berperan menjaga iklim persaingan sehat sehingga akan efektif dalam mewujudkan efisiensi perusahaan dan konsumen. Keterbukaan ekonomi meningkatkan persaingan, namun tetap memerlukan afirmasi untuk IKM dan UMKM agar mampu bersaing dengan produk impor.
(4) Kebijakan Moneter dan Fiskal untuk Peningkatan Daya Saing Nasional
Kebijakan moneter diimplementasikan oleh Bank Indonesia untuk tujuan menjaga kestabilan harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi.34 Bank Indonesia juga menetapkan BI rate sebagai suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter, untuk memengaruhi pergerakan suku bunga deposito dan kredit perbankan merespon pergerakan suku bunga pasar uang antar bank. Sasaran kebijakan moneter, yang berdampak terhadap daya saing, adalah kestabilan nilai tukar dan suku bunga. Fluktuasi nilai tukar dan pergerakan suku bunga kredit yang meningkat akan tidak
34 Sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan sasaran utama inflasi dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).
181
BAB 10 Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
menguntungkan untuk penumbuhan daya saing nasional dan daerah. Kebijakan moneter dinilai efektif dalam mengendalikan pergerakan nilai tukar, namun efeknya terhadap suku bunga yang pro-daya saing masih diperdebatkan dan diperlukan kajian lebih lanjut.
Fondasi makroekonomi Indonesia dinilai cukup stabil dari indikator arus investasi asing yang relatif tinggi dan masih sebagai negara tujuan investasi utama di ASEAN. Pemerintah telah melakukan relaksasi dan penyederhanaan pemberian fasilitas fiskal, antara lain menerbitkan kebijakan berupa pemberian fasilitas tax holiday dan tax allowance35 serta pemberian insentif guna mendukung iklim investasi industri. Namun, efektivitasnya sangat dipengaruhi oleh mutu layanan dalam pemberian fasilitas perpajakan tersebut yang masih cukup dikeluhkan oleh perusahaan.
(5) Kebijakan Pembiayaan
Kebijakan teranyar yang diterbitkan oleh pemerintah pada bulan Maret 2016 terkait peningkatan daya saing di pasar global yaitu paket kebijakan ekonomi XI yang memberikan stimulus kepada industri maupun UMKM, dimana salah satunya adalah upaya meningkatkan ekspor. Pada paket kebijakan ini, pemerintah menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor yang lengkap dan terpadu untuk modal kerja dengan skema Kredit Modal Kerja Ekspor (KMKE) dan Kredit Investasi Ekspor (KIE) bagi UMKM dengan tingkat bunga 9% tanpa subsidi. Penyaluran kredit dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI/Indonesia Exim Bank). Sasaran utama adalah supplier/plasma yang menjadi penunjang industri dan melibatkan banyak tenaga kerja.
10.2 Kebijakan yang Dibutuhkan
(1) Kebijakan Terkait Investasi dan Persaingan Sehat
Untuk menumbuhkan hasil riset atau inovasi yang direalisasikan menjadi produk baru, dibutuhkan kebijakan yang menawarkan skema pembiayaan agar terjadi hilirisasi atas hasil riset dan inovasi yang dilakukan. Dibutuhkan skema pembiayaan dari lembaga keuangan dengan suku bunga lebih rendah dari suku bunga komersial. Skema tersebut mencakup fleksibilitas bentuk agunan, misalnya menggunakan hasil riset (paten atau HKI) atau prospek bisnis atas inovasi produk yang akan dikomersialisasikan. Selain itu, dibutuhkan insentif pajak selama proses hilirisasi dan komersialisasinya.
(2) Kebijakan Paket Pembiayaan Industri atau Subsektor Unggulan
35 PP 18/2015 dan PMK 89/2015. PMK 159/2015 mengatur bentuk insentif guna mendukung iklim investasi industri.
182
BAGIAN III
Strategi dan Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
Selain kebijakan pembiayaan yang sudah diterbitkan dalam paket kebijakan ekonomi IX pada bulan Maret 2016, masih dibutuhkan skema pembiayaan lain. Penumbuhan daya saing industri atau subsektor unggulan membutuhkan pembiayaan secara paket sesuai rantai pasok pembiayaan didasarkan atas keterkaitan ekonomis industri atau subsektor yang terkait dengan industri atau subsektor unggulan.36 Untuk pelaksanaannya dibutuhkan kebijakan penetapan suku bunga yang lebih efisien karena potensi risiko menjadi turun. Penurunan potensi risiko dijamin oleh prospek seluruh industri atau subsektor yang memiliki keterkaitan ekonomis tersebut. Dampak kebijakan ini adalah peningkatan skala dan skop ekonomis yang selain akan meningkatkan produktivitas, juga akan mendorong diversifikasi ekonomi di daerah dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja, pengurangan ketimpangan serta peningkatan pendapatan per-kapita daerah. Kebijakan pemberian suku bunga lebih rendah tentu dihindarkan untuk konsumsi, karena jika konsumsi meningkat berpotensi meningkatkan inflasi dan efeknya akan menghambat pengembangan daya saing daerah.
(3) Kebijakan Penyediaan Infrastruktur untuk Konektivitas dan Logistik
Pembangunan infrastruktur yang terkoneksi antar daerah akan memperlancar aliran orang, barang, dan dana sehingga dapat mendukung peningkatan produksi dan kelancaran distribusi. Presiden Joko Widodo telah berkomitmen membangun infrastruktur ketenagalistrikan dan konektivitas ekonomi desa-kota.37
Konektivitas antar daerah maju dan daerah sekitarnya perlu dibangun melalui infrastruktur jalan tol. Ada pembuktian bahwa penyediaan jalan tol mampu mendorong penyebaran kegiatan ekonomi dan bisnis ke daerah lain yang terhubung oleh jalan tol tersebut sehingga meningkatkan skala ekonomis dan produktivitas daerah.
(4) Kebijakan Peningkatan Inovasi dan Kapabilitas Industri
Teknologi merupakan faktor penting peningkatan produktivitas dan perbesaran kapabilitas industri. Teknologi diartikan bukan hanya mesin, melainkan juga mencakup proses dan penemuan baru berbasis IPTEK. Pembangunan daya saing dalam jangka panjang harus berbasis pada peningkatan kapabilitas inovasi melalui R&D, adopsi teknologi, dan perkembangan IPTEK. Kebijakan yang diperlukan adalah peningkatan dana riset dan pengembangan (R&D) untuk peningkatan kualitas produk atau menghasilkan produk baru. Diperlukan
36 Lihat hasil pembahasan Bab 9. 37 Perpres tentang infrastruktur ketenagalistrikan sebagai salah satu paket kebijakan ekonomi IX pada bulan Januari 2016. Kebijakan lainnya terkait peningkatan efisiensi logistik dan konektivitas ekonomi desa-kota.
183
BAB 10 Kebijakan Penumbuhan Daya Saing Daerah
peningkatan jumlah tenaga yang melakukan R&D tersebut. Sumber dana R&D berasal dari pemerintah, industri, dan calon investor. Diperlukan kebijakan pemberian insentif perpajakan kepada perusahaan yang melakukan R&D untuk penguatan daya saing industri. Insentif berupa bantuan peralatan riset dapat diberikan kepada berbagai pihak yang melakukan kolaborasi R&D untuk menghasilkan temuan baru (invention). Selain oleh pemerintah pusat, eksekusi kebijakan pemberian insentif tersebut dapat pula dilakukan oleh pemerintah daerah.
184
GLOSARIUM
Aglomerasi Berkumpulnya suatu aktivitas sejenis dalam suatu wilayah yang ditandai dengan skala produksi yang besar dan efisiensi
Analisis Faktor Metode statistik yang digunakan untuk menjelaskan variabilitas di antara variabel-variabel yang berkorelasi
Analisis Regresi Alat yang digunakan untuk analisis data numerikal yang merangkum hubungan dari variabel-variabel yang tersusun dalam suatu model persamaan
Biaya Input Besaran biaya yang dikeluarkan untuk membayarkan faktor input (tenaga kerja) dalam menghasilkan satu unit output
Cluster Industri Sentra industri; suatu kawasan industri yang secara umum didominasi oleh industri skala kecil-menengah (IKM) untuk menghasilkan jenis produk serupa
Daerah Industri Daerah dimana share utama dari pendapatan daerah (PDRB) didominasi oleh pendapatan di sektor industri pengolahan
Daerah Jasa Daerah dimana share utama dari pendapatan daerah (PDRB) didominasi oleh pendapatan di sektor jasa; daerah jasa umumnya tergolong sebagai daerah perkotaan
Daerah Pertanian
Daerah dimana share utama dari pendapatan daerah (PDRB) didominasi oleh pendapatan di sektor pertanian
Daya Saing Komparatif
Keunggulan yang dimiliki oleh suatu wilayah atas kemampuannya menghasilkan suatu barang dan jasa dengan biaya lebih rendah
Daya Saing Kompetitif
Keunggulan yang dimiliki suatu pihak (perusahaan, wilayah) terhadap pesaingnya.
Diminishing Returns
Jumlah penambahan output yang lebih kecil relatif terhadap jumlah penambahan input dalam suatu proses produksi
Distribusi Spasial
Sebaran suatu fenomena atau aktivitas dalam tampilan pewilayahan
Diversifikasi Ekonomi
Keberagaman aktivitas ekonomi dalam suatu perusahaan atau wilayah yang menghasilkan beragam jenis produk atau beragam jenis target pasar
185
Economic Inequality
Ketimpangan ekonomi; perbedaan pada distribusi kekayaan, modal atau aliran uang di antara pelaku ekonomi. Sebagai contoh, ketimpangan pendapatan merujuk pada terdapatnya distribusi pendapatan yang tidak merata antar pelaku ekonomi sehingga menimbulkan perbedaan jumlah pendapatan yang diterima
Efisiensi Pengukuran tentang seberapa besar input yang dimiliki digunakan secara baik untuk menghasilkan output yang telah ditentukan
Ekspor Pengiriman, penjualan barang dan jasa yang melewati batas-batas wilayah (daerah, negara)
Endogenous Merujuk pada teori pertumbuhan endogenous (endogenous growth theory)
Faktor Produksi Berbagai sumber daya yang digunakan dalam proses produksi barang dan jasa
Financial Deepening
Peningkatan skala transaksi keungan yang terkait dengan kegiatan ekonomi riil
Human Capital Sumber daya yang dimiliki oleh individu dalam suatu populasi. Sumber daya yang dimaksud dapat berupa pengetahuan, bakat, kemampuan, pengalaman, intelegensi atau nilai hidup yang dimiliki individu. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur human capital adalah rata-rata tingkat pendidikan yang dimiliki oleh tenaga kerja di suatu wilayah
Increasing Returns
Jumlah penambahan output yang lebih besar relatif terhadap jumlah penambahan input dalam suatu proses produksi
Indeks Entropy Indeks yang digunakan untuk mengetahui keberagaman suatu aktivitas atau fenomena ekonomi di suatu wilayah. Indeks entropy dapat digunakan untuk mengukur keberagaman tenaga kerja berdasarkan sektoral, keberagaman pendapatan antar penduduk suatu wilayah
Inovasi Pengaplikasian ide baru dalam kegiatan ekonomi, dapat berupa inovasi pada produk, proses produksi, maupun di sisi manajerial
Input Barang dan jasa berupa energi, bahan baku, atau produk antara yang dibutuhkan dalam proses produksi
Input-Output Ilmu yang mempelajari aliran barang dan jasa di antara sektor-sektor dalam perekonomian. Aliran barang dan jasa tersebut dijelaskan dalam sebuah tabel input-output
186
Investasi Proses menambahkan modal dari aset produktif riil. Hal ini dapat berarti melibatkan aset tetap, seperti gedung, mesin
Investor Pihak yang melakukan investasi Kapital Sumber daya yang dibuat dan digunakan untuk proses
produksi, sebagai contoh yaitu mesin
Kawasan Industri
Suatu kawasan berkumpulnya berbagai perusahaan yang memiliki keterkaitan, termasuk terdapat usaha mikro, kecil, dan menengah di sekitar kawasan sebagai komplementer
Kebijakan Fiskal
Penggunaan pajak dan pengeluaran pemerintah dalam rangka memengaruhi perekonomian
Kebijakan Moneter
Penggunaan suku bunga dan pengontrolan jumlah uang beredar dalam rangka memengaruhi perekonomian
Keterkaiatan ke Depan
Efek yang dihasilkan oleh suatu subsektor ketika mampu menghasilkan output yang digunakan untuk menciptakan peningkatan nilai tambah oleh subsektor-subsektor lain
Keterkaitan ke Belakang
Efek yang dihasilkan oleh suatu subsektor ketika mampu menumbuhkan subsektor-subsektor penyedia input dalam merespon permintaan
Ketimpangan Perbedaan jarak yang ditemukan dari beberapa indikator ekonomi mengenai individu dalam suatu kelompok atau wilayah. Ketimpangan umumnya diukur melalui tingkat kesejahteraan, tingkat pendapatan, atau tingkat konsumsi
Knowledge Pendekatan solusi masalah Knowledge Based Economy
Aktivitas ekonomi menggunakan pendekatan solusi masalah
Knowledge Based Services
Aktivitas ekonomi di sektor jasa dengan memuat pendekatan solusi masalah
Knowledge Spillover
Efek yang ditimbulkan akibat adanya interaksi di antara individu/perusahaan sehingga memberikan pertukaran berupa informasi, ide, atau ilmu
Konsentrasi Geografi
Terkonsentrasinya suatu fenomena atau aktivitas yang sejenis dalam suatu wilayah
Konsumsi Penggunaan akhir dari barang dan jasa oleh pelaku ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
Model Neoklasik
Seperangkat solusi yang berfokus pada determinasi dari barang, output, dan distribusi pendapatan di pasar melalui mekanisme penawaran dan permintaan
Multiplier Efek pengganda
187
Mutu Manusia Kualitas manusia yang diukur melalui indeks pembangunan manusia, yang diwakili oleh kemampuan daya beli, kualitas kesehatan, dan kualitas pendidikan
Nilai Tambah Selisih antara nilai produksi (output) dan biaya antara (biaya habis pakai selama proses produksi)
Otonomi Daerah
Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Output Hasil produksi berupa barang atau jasa Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan yang diterima oleh suatu daerah yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, dan pendapatan lain-lain yang sah
Pajak Kewajiban yang dibebankan kepada individu atau perusahaan untuk membayar sejumlah uang kepada pemerintah/negara berdasarkan peraturan yang telah dibuat
PDRB Produk Domestik Regional Bruto; total nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh pelaku usaha dalam suatu wilayah regional
Pendapatan Per-kapita
Rata-Rata pendapatan yang diterima oleh setiap orang dalam suatu wilayah
PMA Penanaman Modal Asing; partisipasi yang datang dari luar negeri untuk mendirikan usaha di suatu negara. Partisipasi dapat berupa pastisipasi di bidang manajemen, transfer teknologi, dan kapital
PMDN Penanaman modal dalam negeri; partisipasi yang datang dari dalam negeri untuk mendirikan usaha. Partisipasi dapat berupa pastisipasi di bidang manajemen, transfer teknologi, dan kapital
Produktivitas Jumlah output yang mampu dihasilkan oleh suatu perusahaan atau industri untuk setiap unit input yang dikeluarkan
Produktivitas Tenaga Kerja
Jumlah output yang mampu dihasilkan oleh setiap tenaga kerja
Sektor Unggulan
Kegiatan usaha yang memiliki keunggulan pada beberapa indikator, misalnya memiliki share nilai tambah terbesar pada suatu wilayah
Sektoral Berdasarkan sektor ekonomi atau lapangan usaha
188
Sentra Industri Lihat pengertian kawasan industri; sentra umumnya mengacu pada usaha skala mikro, kecil, menengah
Skala Ekonomis Manfaat yang diterima dari adanya besaran output atau skala operasi, dimana biaya per unit output cenderung mengalami penurunan ketika terjadi peningkatan skala produksi
Skala Produksi Besaran kapasitas output yang dihasilkan dari input tertentu dalam suatu waktu
Stakeholders Pihak yang memiliki kepentingan dalam suatu aktivitas atau tujuan
Supply Chain Financing
Pembiayaan yang dilakukan perbankan untuk jejaring (network) mulai dari penghasil bahan baku, produsen pengolah bahan baku dan produk akhir, dan distributor barang tersebut untuk saluran perdagangan sampai konsumen
Teori Pertumbuhan Endogenous
Teori yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi utamanya dihasilkan oleh faktor endogen dan bukan akibat dari dorongan eksternal. Faktor endogen tersebut antara lain human capital, inovasi, dan knowledge
TFP (Total Factor Productivity)
Salah satu ukuran produktivitas tenaga kerja, perbandingan output dibagi tenaga kerja
Tingkat Pengangguran Terbuka
Persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja
Trade off Situasi dimana terdapatnya dua pilihan, yang diikuti oleh proses memilih, kehilangan satu kualitas atau aspek untuk mendapat kualitas atau aspek lain
Upah Minimum Tingkat upah minimum yang diterima oleh tenaga kerja. Ketentuan ini ditetapkan oleh pemerintah. Upah minimum umumnya ditetapkan di level kabupaten dan/atau provinsi; disingkat UMK atau UMP