Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan Uploadweb

Embed Size (px)

Citation preview

KondisiSosialEkonomiRumahTanggaSektorPerikanan

Kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan Dengan Badan Pusat Statistik

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Ukuran Buku: 210mm x 297 mm Jumlah Halaman: 190 + xx Naskah: Tim Penyusun Gambar Kulit: Tim Penyusun Diterbitkan oleh: Kementerian Kelautan dan Perikanan

Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya

ii

Sambutan

Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga pemerintah dengan tugas menyelenggarakan kegiatan di bidang statistik selalu mendukung upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dalam memenuhi kebutuhan informasi data kondisi ekonomi rumah tangga perikanan. Ketersediaan data dan informasi secara berkala tentunya akan mendukung perencanaan, monitoring serta evaluasi dalam kebijakan pembangunan bagi masyarakat di sektor kelautan dan perikanan. Publikasi Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan ini disusun dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, Potensi Desa (Podes) tahun 2008 dan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008 dan data-data pendukung lainnya baik yang diterbitkan oleh BPS maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Publikasi ini disusun oleh tim gabungan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dan BPS. Penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, khususnya Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, yang telah mempercayakan tugas penyediaan data pada BPS. Penghargaan juga kami sampaikan kepada tim penulis dari kedua instansi. Semoga apa yang disajikan dalam buku ini bermanfaat untuk memenuhi sebagian kebutuhan data bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, dan dimasa datang kerjasama dapat ditingkatkan untuk penyediaan data penting lainnya.

Jakarta, Juni 2011 Badan Pusat Statistik Deputi Bidang Statistik Sosial

Wynandin Imawan, M.Sc. NIP. 19551102 197703 1 001

iii

Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan

Data merupakan bagian yang esensial bagi proses pembangunan, termasuk bagi pengembangan sektor kelautan dan perikanan. Data statistik kelautan dan perikanan adalah sebagai salah satu komponen utama pendukung suatu bentuk sistem kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Misi Pembangunan Kelautan dan Perikanan yaitu Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan, untuk mendukung hal tersebut Direktorat Ketahanan Sosial Badan Pusat Statistik dan Pusat Data, Statistik dan Informasi Setjen KKP bekerja sama untuk melakukan Penyediaan Data Kondisi Sosial Rumah Tangga Sektor Perikanan yang didalamnya termasuk Rumah Tangga Perikanan Masyarakat Pesisir. Oleh karenanya, kita patut menyambut baik atas tersusunnya publikasi mengenai data tersebut atas dasar olahan terhadap hasil data kondisi sosial ekonomi rumah tangga dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007-2010, Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2008 serta data infrastruktur wilayah dari hasil pendataan Potensi Desa (Podes) 2008. Semoga sinergitas yang positif ini dapat terus ditingkatkan.

Jakarta, Juni 2011 Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan

Dr. Ir. Gellwynn Jusuf, M.Sc.

iv

Kata Pengantar

Dalam rangka mencapai misi Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan maka data dan informasi mengenai kondisi ekonomi rumah tangga perikanan secara berkala sangat diperlukan sebagai pendukung evaluasi serta monitoring data kesejahteraan rumah tangga perikanan. Buku ini disusun atas kerjasama yang baik antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Badan Pusat Statistik. Untuk itu pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya. Kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi, baik langsung maupun tidak langsung, hingga terbitnya publikasi ini kami ucapkan terima kasih. Akhirnya kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan publikasi serupa di masa mendatang. Dengan terbitnya buku ini diharapkan sebagian kebutuhan data, khususnya yang terkait dengan kondisi sosial ekonomi rumah tangga perikanan dapat dipenuhi.

Jakarta, Juni 2011 Badan Pusat Statistik Direktur Statistik Ketahanan Sosial

Dr. Hamonangan Ritonga NIP. 19580311 198003 1 004

v

i i i v v i i vi i i i x x

v i i

vi i i

i x

x

x i

x i i

xi i i

PENDAHULUAN

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor PerikananKondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 1

2

| Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

BAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dikenal sebagai negara maritim karena memiliki wilayah lautan yang luas dan mengandung sumber daya laut yang melimpah. Wilayah laut dan pesisir Indonesia memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia. Fakta ini tercermin dari keberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan berbagai jenis ikan yang melimpah. Sepanjang wilayah pesisir terdapat potensi sumber daya alam hayati maupun non hayati, sumber daya buatan serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi penghidupan masyarakat. Pilihan untuk hidup di kawasan pesisir bagi masyarakat Indonesia tentunya relevan, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas sekitar 17.504 pulau dengan panjang garis pantai kurang lebih 95.181 km1. Sebagai negara kepulauan, sumber daya laut dan pesisir sangat penting sebagai sumber kehidupan sebagian masyarakat dan strategis bagi pengembangan ekonomi nasional. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, kondisi geografis Indonesia yang memiliki garis pantai panjang serta potensi kelautan, perikanan dan pesisir yang besar, pada dasarnya harus mampu memberi kontribusi signifikan bagi masyarakat yang betempat tinggal di sekitarnya. Besarnya potensi kekayaan ekosistem di tanah air yang melimpah tersebut, ternyata belum termanfaatkan secara optimal. Sudah seharusnya kekayaan tersebut mampu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat pesisir. Sebagian masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan, merupakan pengusaha skala kecil dan menengah.Banyak dari mereka yang bersifat subsisten.Mereka menjalani kegiatan ekonomi dengan skala kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek.Peralatan yang digunakan, hanya mampu diapakai untuk menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun kejadian tersebut relatif sedikit dibanding jumlah nelayan kecil.1

arsip.pnpm-mandiri.org

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan |

3

Beberapa pakar ekonomi sumberdaya berpendapat bahwa kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, lebih banyak disebabkan karena faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan.Faktor-faktor tersebut menyebabkan nelayan tetap hidup dalam kemiskinan dan sulit untuk bangkit. Di antar pakar-pakar tersebut antara lain adalah: 1. Pakaryang mengkaji pembangunan perikanandi berbagai negara, Smith di Asia dan Anderson di Eropa dan Amerika Utara (1979) dalam Bengen (2001), tiba pada kesimpulan bahwa kekuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama kenapa nelayan tetap tinggal/bergelut dengan kemiskinan dan seperti tidak ada upaya untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset adalah sifat aset yang sulit dilikuidasi/diubah bentuk dan fungsinya agar dapat digunakan untuk kepentingan lain. Akibatnya, pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Dalam hal ini, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis. 2. Menurut Subade and Abdullah (1993) dalam Bengen (2001) berargumen bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan adalah kegiatan/usaha alternatif lain yang lebih baik dari menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah usaha lain yang bisa dilakukan nelayan bila mereka tidak menangkap ikan. 3. Panayotou (1982)dalam Bengen (2001) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou tersebut dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan kalimat bahwa nelayan memiliki kepuasaan hidup dengan menangkap ikan dan tidak semata-mata untuk meningkatan pendapatan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjalankan kegiatan pembangunan yang berfokus pada pembangunan perikanan, penataan wilayah dan ruang pesisir, pembangunan nelayan dan pembudidaya ikan, serta eksplorasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan.Keberhasilan pembangunan atau pemberdayaan masyarakat adalah hasil dari semua upaya pembangunan yang dilaksanakan atau diprogramkan oleh setiap instansi.Hal tersebut menuntut adanya sinergitas dan koordinasi yang benar-benar terjalin antara berbagai instansi pemerintah. Dengan demikian, pembangunan atau pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilaksanakan secara lebih komprehensif, terpadu, menyangkut berbagai aspek pembangunan, bukan saja teknis tetapi juga sosial budaya. Menurut hasil penelitian (Muflikhati, 2010) memperlihatkan bahwa sebanyak 32,14% dari 16,42 juta jiwa masyarakat pesisir masih hidup dibawah garis kemiskinan dengan indikator pendapatan US$ 1 per hari (Data Direktorat PMP 2006). Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di wilayah pesisir Indonesia masih termasuk masyarakat yang miskin.

4

| Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Dalam rangka mendukung pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi masyarakat nelayan dan pesisir, KKP memiliki misi Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan. Untuk mencapai misi tersebut, keberadaan data dan informasi mengenai kondisi sosial ekonomi rumah tangga sektor kelautan dan perikanan sangat diperlukan. Data dan informasi secara berkala tentunya akan mendukung perencanaan, monitoring, serta evaluasi dalam kebijakan pembangunan bagi masyarakat di sektor kelautan dan perikanan. Hingga saat ini belum ada survei atau sensus yang secara khusus ditujukan untuk menyajikan data sosial ekonomi rumah tangga perikanan, baik di pesisir maupun bukan pesisir. Namun demikian, tentunya kita dapat memanfaatkan data sensus dan survei yang sudah ada untuk menghasilkan estimasi data yang diperlukan sebagai dasar kebijakan makro di sektor kelautan dan perikanan. Dalam hal ini, data yang dapat digunakan sebagai data dasar adalah data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Potensi Desa (Podes), dan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Data makro tentang keterangan sosial ekonomi rumah tangga secara umum dapat diperoleh dari Susenas yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun. Untuk melengkapi data profil rumah tangga perikanan dengan informasi kewilayahan, data Susenas akan digabung (matched) dengan data hasil Podes. Sumber data lainnya yang dapat digunakan adalah data hasil PPLS yang dilakukan BPS pada tahun 2008. Dari PPLS08 dapat diperoleh data Rumah Tangga Sasaran (RTS). RTS yang dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu rumah tangga sangat miskin (SM), rumah tangga miskin (M) dan rumah tangga hampir miskin (HM).

1.2

Tujuan Secara umum, laporan ini bertujuan untuk menyajikan data dan informasi mengenai Kondisi

Sosial Ekonomi Rumah tangga Perikanan di Indonesia sebagai bahan evaluasi pembangunan khususnya di sektor perikanan dan juga sebagai bahan perencanaan kebijakan pembangunan di masa yang akan datang.

1.3

Ruang Lingkup Laporan ini menyajikan data dan informasi terkait karakteristik sosial ekonomi rumah tangga

perikanan di Indonesia yang dibedakan menurut letak geografis wilayah pesisir maupun bukan pesisir. Sumber data yang digunakan adalah dari BPS dan KKP. Data dari BPS antara lain data Susenas (2007, 2008, 2009 dan 2010), Podes08, PPLS08, serta data-data pendukung lain yang sudah dipublikasikan seperti data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Publikasi Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia.

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan |

5

Sedangkan data yang bersumber dari KKP adalah publikasi-publikasi KKP tahun 2007 sampai dengan 2010. Laporan tersebut menyajikan data pada tingkat nasional dan provinsi. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan membandingkan data antar waktu maupun antar wilayah.

1.4

Sistematika Penyajian Untuk memperoleh gambaran rinci serta mempermudah pembahasan, maka penulisan laporan

ini disajikan dalam empat bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Menguraikan tentang latar belakang, tujuan, ruang lingkup dan sistematika penyajian laporan. BAB II METODOLOGI Menguraikan tentang sumber data yang digunakan, konsep dan definisi serta keterbatasan dalam penyusunan laporan ini. BAB III HASIL DAN ANALISIS Menguraikan tentang kondisi sosial ekonomi rumah tangga perikanan yang dibedakan menurut letak geografis, pesisir dan bukan pesisir. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Berisi tentang kesimpulandan saran/rekomendasi dari hasil penulisan laporan.

6

| Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

METODOLOGI

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor PerikananKondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 7

8

| Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

BAB II

METODOLOGI2.1 Sumber Data Dalam penyusunan laporan kondisi sosial ekonomi rumah tangga perikanan 2010, sumber data dan informasi yang digunakan yaitu (Gambar 2.1) : 1. Susenas tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010 2. PPLS08 (17,5 juta rumah tangga) 3. Podes08 (75.410 desa) 4. Data-data pendukung lain, baik yang diterbitkan oleh BPS maupun KKP.

Gambar 2.1:

Sumber Data Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan 2010

Pendataan Program Perlindungan Sosial 2008 (PPLS08)

Potensi Desa 2008 (Podes08)

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 20072010

Publikasi Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan 2011

Data/Publikasi KKP dan BPS

2.1.1

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Sejak tahun 1963, BPS menyelenggarakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dalam rangka

mendapatkan data-data yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Bagi pemerintah, tersedianya data tersebut sangat diperlukan dalam perencanaan pembangunan sektoral maupun lintas sektoral.

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan |

9

Susenas dilaksanakan setiap tahun dan telah banyak mengalami penyempurnaan sepanjang penyelenggaraannya. Perbaikan Susenas dari tahun ke tahun meliputi metodologi, organisasi lapangan dan lain-lain. Selain dalam upaya mendapatkan data yang lebih berkualitas, penyempurnaan juga bertujuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat pengguna data yang semakin beragam. Jenis data yang dikumpulkan dalam kegiatan Susenas terdiri dari data kor (data pokok) dan data modul (data sasaran). Data kor dikumpulkan setiap tahun dan mencakup data demografi, pendidikan, kesehatan, perumahan, konsumsi, dan sosial ekonomi lainnya. Sedangkan pengumpulan data modul dilaksanakan setiap 3 tahun secara bergiliran dan terdiri atas modul konsumsi/pengeluaran rumah tangga, modul sosial budaya dan pendidikan, serta modul perumahan dan kesehatan. Kerangka sampel yang digunakan dalam Susenas terdiri dari 3 jenis, yaitu: kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus, kerangka sampel untuk pemilihan subblok sensus (khusus untuk blok sensus yang bermuatan rumah tangga lebih dari 150 rumah tangga), dan kerangka sampel untuk pemilihan rumah tangga dalam blok sensus/subblok sensus terpilih. Dari setiap blok sensus yang terpilih sampel tersebut, akan diambil rumah tangga sampel yang selanjutnya akan di cacah kondisi sosial ekonominya. 2.1.2 Pendataan Program Perlindungan Sosial 2008 (PPLS08) Pelaksanaan program bantuan dan jaminan sosial mensyaratkan tersedianya basis data (database) rumah tangga sasaran (RTS) yang berisi informasi tentang anggota rumah tangga dan informasi pokok perumahan. Pada tahun 2008, BPS melakukan pemutakhiran (updating) database RTS Bantuan Langsung Tunai (BLT) hasil Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005 (PSE05). Pemutakhiran data tersebut dilaksanakan melalui kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2008 (PPLS08). Tujuan PPLS08 secara khusus adalah untuk memperbaharui database RTS. Data yang diperbaharui meliputi data anggota rumah tangga (nama, umur, jenis kelamin, status sekolah, pekerjaan dan lain-lain), data perumahan (alamat dan keterangan perumahan), dan kondisi sosial ekonomi. Rumah tangga yang didata pada PPLS08 adalah seluruh rumah tangga penerima BLT tahun 2005 dan RTS baru (rumah tangga yang memnuhi kriteria untuk menjadi RTS) yang berada di wilayah Indonesia. PPLS08 dilaksanakan di 33 provinsi, yang mencakup 489 kabupaten/kota (berdasarkan data wilayah keadaan Maret 2008). Cakupan data PPLS08 antara lain adalah : 1. Keterangan rumah tangga sangat miskin, miskin dan hampir miskin yang terdiri atas keterangan keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat buang air, sumber air minum, sumber penerangan, jenis bahan bakar, dan kepemilikan aset. 2. Keterangan sosial ekonomi anggota rumah tangga (ART) antara lain hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, umur, pendidikan dan kegiatan ekonomi.

10 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

2.1.3

Potensi Desa 2008 (Podes08) Pendataan Podes dilakukan sejak tahun 1980 menjelang pelaksanaan suatu sensus. Tujuan

pendataan Podes adalah untuk memantau perkembangan potensi desa dari waktu ke waktu. Pengertian potensi dalam pendataan Podes adalah kemampuan, daya, atau kekuatan yang memiliki kemungkinan untuk berkembang kualitas dan kuantitasnya di masa depan. Sedangkan pengertian desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendataan Podes adalah kegiatan sensus dengan pendekatan wilayah yang mencakup semua desa/kelurahan atau yang disebut dengan nama lain yang telah definitif dan operasional di seluruh Indonesia. Suatu desa dikatakan telah definitif dan operasional jika desa tersebut memiliki wilayah dengan batas-batas yang jelas, ada aparat pemerintahan, dan ada penduduk yang menetap. Narasumber pendataan Podes08 adalah kepala desa/wali nagari/lurah atau aparat yang mengetahui keadaan wilayahnya. Narasumber lainnya adalah dari staf instansi terkait untuk proses konfirmasi data, misalnya dari dinas kesehatan, dinas pendidikan, dan instansi terkait lainnya. Pendataan Podes08, yang dilaksanakan pada bulan Mei 2008, mencakup 75.410 desa. Cakupan data Podes antara lain meliputi: 1. Letak geografis desa (pesisir dan bukan pesisir), 2. Penduduk dan ketenagakerjaan, 3. Perumahan dan lingkungan hidup, 4. Fasilitas sosial budaya, hiburan dan olah raga, 5. Fasilitas pendidikan dan kesehatan, 6. Fasilitas kegiatan ekonomi, 7. Fasilitas transportasi, komunikasi dan informasi. 8. Program pengentasan kemiskinan, 9. Informasi pendukung lainnya

2.1.4

Data-data Pendukung Lain Untuk melengkapi penyediaan data kondisi sosial ekonomi rumah tangga sektor kelautan dan

perikanan, data hasil Susenas, Podes dan PPLS akan disandingkan dengan data-data pendukung lain baik yang diterbitkan oleh BPS maupun Kementrian Kelautan dan Perikanan. Adapun publikasi-publikasi dari KKP dan BPS yang digunakan dalam laporan ini antara lain: 1. Kelautan dan Perikanan dalam Angka,

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 11

2. Statistik Perikanan Tangkap, 3. Statistik Perikanan Budidaya, 4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2007-2009, 5. Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia.

2.2

Konsep dan Definisi Konsep dan definisi yang digunakan di dalam publikasi ini berasal dari berbagai sumber, yaitu

sebagai berikut: 1. Desa Pesisir Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32 Tahun 2004). Desa pesisir adalah desa/kelurahan termasuk nagari atau lainnya yang memiliki wilayah berbatasan langsung dengan garis pantai/laut (atau merupakan desa pulau) dengan corak kehidupan rakyatnya baik tergantung maupun tidak tergantung pada potensi laut. Desa bukan pesisir adalah desa/kelurahan termasuk nagari atau lainnya yang tidak berbatasan dengan laut atau tidak memiliki pesisir. Selanjutnya yang disebut dengan rumah tangga/penduduk yang tinggal di wilayah pesisir adalah rumah tangga/penduduk yang tinggal di desa pesisir. 2. Rumah Tangga Perikanan Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus, dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumah tangga umumnya terdiri dari ibu, bapak, anak, orang tua/mertua, famili, pembantu dan lainnya (BPS). Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan). Perikanan tangkap adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau

mengawetkannya.

12 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Perikanan budidaya adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Sedangkan menurut KKP, yang dimaksud dengan rumah tangga perikanan adalah rumah tangga yang memiliki usaha perikanan. Rumah tangga perikanan adalah rumah tangga yang sekurang-kurangnya memiliki satu anggota rumah tangga yang bekerja di lapangan usaha/bidang pekerjaan utama perikanan. Rumah tangga perikanan tangkap adalah rumah tangga yang melakukan kegiatan penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air dengan tujuan sebagian/ seluruh hasilnya untuk dijual. Rumah tangga perikanan budidaya adalah rumah tangga yang melakukan kegiatan budidaya ikan/binatang air lainnya/tanaman air dengan tujuan sebagian/seluruh hasilnya untuk dijual. 3. Bekerja adalah melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi). Lapangan usaha adalah bidang kegiatan dari pekerjaan/tempat bekerja dimana seseorang bekerja. Lapangan usaha yang dimaksud dalam laporan ini adalah lapangan usaha dari pekerjaan utama selama seminggu terakhir. Pekerjaan utama adalah pekerjaan yang memiliki waktu terbanyak dalam seminggu terakhir, dan bukan dilihat dari penghasilan terbesar. Akan tetapi apabila seseorang memiliki 2 pekerjaan dengan waktu yang sama, maka yang dimaksud dengan pekerjaan utama adalah pekerjaan yang memiliki penghasilan yang lebih besar. 4. Keluhan kesehatan adalah keadaan seseorang yang mengalami gangguan kesehatan atau kejiwaan, baik karena penyakit akut, penyakit kronis (meskipun selama sebulan terakhir tidak memiliki keluhan), kecelakaan, kriminal atau hal lain. 5. Tamat sekolah adalah menyelesaikan pelajaran yang ditandai dengan lulus ujian akhir pada kelas atau tingkat terakhir suatu jenjang pendidikan di sekolah negeri maupun swasta dengan mendapatkan tanda tamat belajar/ijazah. Seseorang yang belum mengikuti pelajaran pada kelas tertinggi tetapi telah mengikuti ujian akhir dan lulus dianggap tamat sekolah. 6. Status penguasaan bangunan tempat tinggalmilik sendiri adalah jika tempat tinggal tersebut pada waktu pencacahan betul-betul sudah milik kepala rumah tangga atau salah seorang anggota rumah tangga. Rumah yang dibeli secara angsuran melalui kredit bank atau rumah dengan status sewa beli dianggap rumah milik sendiri.

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 13

7. Luas lantai adalah luas lantai yang ditempati dan digunakan untuk keperluan sehari-hari (sebatas atap). Bagian-bagian yang digunakan bukan untuk keperluan sehari-hari tidak dimasukkan dalam perhitungan luas lantai seperti lumbung padi, kandang ternak, lantai jemur (lamporan semen) dan ruangan khusus untuk usaha (misalnya warung). Luas lantai perkapita adalah luas lantai yang dimiliki suatu rumah tangga dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga. 8. Fasilitas tempat buang air besar adalah ketersediaan jamban/kakus/WC yang dapat digunakan oleh rumah tangga. Suatu rumah tangga dikatakan tidak memiliki fasilitas WC sendiri apabila rumah tangga tersebut menggunakan WC bersama-sama dengan satu atau lebih rumah tangga lainnya atau tidak menggunakan WC sama sekali. 9. Sumber air minum yang digunakan oleh rumah tangga adalah sumber dan volume air yang paling banyak digunakan oleh suatu rumah tangga. 10. Sumber penerangan adalah sumber penerangan utama yang digunakan oleh rumah tangga. 11. Rata-Rata Pendapatan Data pendapatan yang digunakan dalam laporan ini menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumah tangga sebulan untuk konsumsi rumah tangga, tidak termasuk untuk keperluan usaha rumah tangga atau yang diberikan kepada pihak lain. Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga. Pengeluaran untuk konsumsi makanan dihitung selama referensi waktu seminggu yang lalu, yang selanjutnya dikonversikan ke dalam rata-rata pengeluaran sebulan. 12. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk adalah sektor atau bidang usaha dimana sebagian besar penduduknya memperoleh penghasilan/pendapatan.

2.3

Keterbatasan Keterbatasan sumber data dalam menyajikan indikator terkait kondisi sosial ekonomi rumah

tangga perikanan, menjadi bagian penting dalam laporan ini. Keterbatasan-keterbatasan tersebut tidak bisa dipisahkan dalam menganalisa setiap indikator yang disajikan. Keterbatasan tersebut meliputi: 1. Metode penarikan sampel Susenas hanya untuk estimasi tingkat kabupaten, 2. Data PPLS08 hanya mencakup RTS 3. Perbedaan konsep dan definisi, 4. Desa unmatched pada matching Susenas dan PPLS dengan Podes.

14 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Berikut ini dijelaskan keterbatasan-keterbatasan tersebut. 1. Metode Penarikan Sampel Susenas Hanya untuk Estimasi Tingkat Kabupaten Sumber data utama yang digunakan dalam laporan ini adalah data Susenas. Dari data Susenas, dapat disajikan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga. Jumlah rumahtangga sampel Susenas tahun 2007-2010 adalah sekitar 0,5 persen dari jumlah rumah tangga di Indonesia (Tabel 2.1). Secara metodologi, jumlah sampel tersebut sudah cukup untuk mengestimasi kondisi sosial ekonomi rumah tangga sampai tingkat kabupaten/kota. Namun jika tingkat estimasinya diperdalam sampai dibedakan menurut letak geografis dan klasifikasi lapangan usaha, Susenas tidak lagi representatif. Keterbatasan metodologi penarikan sampel Susenas tersebut merupakan keterbatasan terbesar dalam laporan ini.Tabel 2.1: Jumlah Rumah Tangga, Susenas Tahun 2007-2010 No. (1) 1 2 3 4 Sumber Data (2) Susenas 2007 Susenas 2008 Susenas 2009 Susenas 2010 Populasi (3) 57.031.759 58.332.805 60.284.328 61.769.433 Sampel Susenas (4) 285.904 285.904 291.888 304.368 Persentase Sampel Susenas (5) 0,50 0,49 0,48 0,49

2

Perbedaan Konsep dan Definisi antara KKP dan BPS Keterbatasan lain, disamping rancangan sampel Susenas, adalah perbedaan konsep dan definisi

yang digunakan BPS dan KKP (Lihat Subbab 2.2). Sebagai contoh adalah perbedaan konsep rumah tangga dan konsep rumah tangga perikanan yang digunakan. Perbedaan konsep tersebut menyebabkan jumlah rumah tangga perikanan menurut KKP dan BPS cukup signifikan berbeda. Perbedaan jumlah rumah tangga perikanan akibat perbedaan konsep tersebut disajikan pada Tabel 2.2. Data lapangan usaha perikanan KKP sudah dapat dibedakan menurut perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sedangkan data Susenas tidak membedakannya. Bahkan untuk Susenas tahun 2008 dan 2009, lapangan usaha perikanan masih menjadi satu dengan pertanian, sehingga tidak bisa ditampilkan indikator ekonomi rumah tangga berdasarkan lapangan usaha. Perbedaan jumlah rumah tangga perikanan tangkap dan perikanan budidaya tersebut disajikan pada Tabel 2.3.

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 15

Tabel 2.2:

Jumlah Rumah Tangga Perikanan dan Bukan Perikanan Menurut Provinsi, Data KKP Tahun 2009 dan Data BPS Tahun 2010 KKP (2009) *) BPS (2010) Perikanan (3) 65,737 87,990 82,660 42,843 28,080 145,029 18,593 62,870 17,295 33,408 5,630 417,013 202,379 50,062 217,567 34,582 26,905 52,570 57,272 31,636 36,025 60,771 106,491 31,445 60,203 111,141 44,985 13,040 21,376 55,677 3,926 15,270 53,814 52,935 106,906 29,825 36,600 11,205 33,723 7,285 42,813 23,708 34,516 13,409 124,194 155,607 4,678 240,200 22,664 26,100 33,997 42,531 43,262 22,262 44,931 52,118 33,181 45,318 101,711 39,857 11,182 13,587 34,183 11,755 17,133 26,577 Bukan Perikanan (4) 1,023,926 2,951,761 1,129,518 1,315,010 767,485 1,790,474 428,690 1,891,045 291,972 415,899 2,564,948 11,485,176 8,582,824 1,042,196 10,242,905 2,632,441 1,022,523 1,223,805 977,539 986,907 554,417 940,716 834,120 555,405 581,900 1,754,494 466,016 234,668 247,235 285,508 204,441 156,396 647,120 60,229,478 Perikanan + Bukan Perikanan (5) 1,076,861 3,058,667 1,159,343 1,351,610 778,690 1,824,197 435,975 1,933,858 315,680 450,415 2,578,357 11,609,370 8,738,431 1,046,874 10,483,105 2,655,105 1,048,623 1,257,802 1,020,070 1,030,169 576,679 985,647 886,238 588,586 627,218 1,856,205 505,873 245,850 260,822 319,691 216,196 173,529 673,697 61,769,433

Provinsi

Perikanan (2)

(1) Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

Indonesia 2,294,285 1,539,955 *) Data jumlah total rumah tangga di KKP tidak tersedia

16 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Tabel 2.3:

Jumlah Rumah tangga Perikanan Menurut Provinsidan Subsektor Perikanan, Data KKP Tahun 2009 dan Data BPS Tahun 2010 KKP (2009) Provinsi Perikanan Tangkap (2) 20,203 53,730 18,902 22,498 10,851 57,355 11,580 15,592 15,741 26,517 3,858 40,856 45,956 3,544 88,926 6,655 17,829 24,670 26,623 12,032 23,102 48,061 65,577 21,679 38,561 36,770 28,093 8,037 12,445 46,455 2,563 12,885 45,642 Perikanan Budidaya (3) 45,534 34,260 63,758 20,345 17,229 87,674 7,013 47,278 1,554 6,891 1,772 376,157 156,423 46,518 128,641 27,927 9,076 27,900 30,649 19,604 12,923 12,710 40,914 9,766 21,642 74,371 16,892 5,003 8,931 9,222 1,363 2,385 8,172 Perikanan Tangkap + Budidaya (4) 65,737 87,990 82,660 42,843 28,080 145,029 18,593 62,870 17,295 33,408 5,630 417,013 202,379 50,062 217,567 34,582 26,905 52,570 57,272 31,636 36,025 60,771 106,491 31,445 60,203 111,141 44,985 13,040 21,376 55,677 3,926 15,270 53,814 BPS (2010)*) Perikanan (5) 52,935 106,906 29,825 36,600 11,205 33,723 7,285 42,813 23,708 34,516 13,409 124,194 155,607 4,678 240,200 22,664 26,100 33,997 42,531 43,262 22,262 44,931 52,118 33,181 45,318 101,711 39,857 11,182 13,587 34,183 11,755 17,133 26,577

(1) Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

Indonesia 913,788 1,380,497 2,294,285 1,539,955 *) Susenas tidak mencakup sektor usaha perikanan tangkap ataupun perikanan budidaya

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 17

3

Data PPLS08 Hanya Mencakup Rumah Tangga Sasaran Data PPLS hanya memuat penduduk/rumah tangga miskin (SM, M, dan HM). Meski PPLS memuat

data karakteristi individu dan rumah tangga, namun PPLS tidak bisa menggambarkan kemiskinan secara umum. 4 Desa Unmatched Pada Matching Susenas dan PPLS dengan Podes Data Susenas dan PPLS, tidak memuat informasi letak geografis. Untuk mendapatkan karakteristik rumah tangga perikanan yang dibedakan menurut letak geografis pesisir dan bukan pesisir, diperlukan proses (matching) antara data Susenas dan PPLS dengan Podes. Dari hasil matching data tersebut, akan diperoleh suatu database baru yang selanjutnya akan digunakan dalam proses tabulasi dan analisis. Terdapat perbedaan unit observasi dan waktu pelaksanaan antara Susenas, PPLS dan Podes. Hal tersebut menyebabkan data matching yang dihasilkan tidak seluruhnya matched. Untuk selanjutnya, data unmatched tidak lagi digunakan. Banyak desa yang matched antara data Podes08 dengan Susenas tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010 masing-masing adalah 90,00 persen, 93,92 persen 99,09 persen dan 98,13 persen. Sedangkan yang matched dengan PPLS08 sebesar 96,93 persen. Berkurangnya sampel akibat unmatched tentunya menurunkan tingkat kerepresentatifan data tersebut.Proses matching data yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini.Gambar 2.2: Proses Tahapan Matching Data

Data Susenas 2007-2010

Data Podes 2008

Data PPLS 2008

Matching Susenas & Podes

Matching PPLS & Podes

Database

18 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Dari uraian keterbatasan diatas, berikut ini diberikan batasan-batasan yang digunakan dalam laporan ini. Tujuannya agar dapat memperjelas dan mempermudah pembaca dan pengguna publikasi ini dalam menafsirkan data yang disajikan.

1. Konsep desa pesisir yang digunakan memakai konsep desa pesisir yang dipakai dalam pendataanPodes08. Jumlah desa/kelurahan merujuk pada data Podes08. Konsep kabupaten dan kecamatan pesisir tidak disajikan karena belum adanya literatur yang merujuk pada konsep tersebut.

2. Konsep kabupaten pesisir yang digunakan adalah konsep kabupaten pesisir yang digunakan oleh KKP.Jumlah kabupaten pesisir merujuk pada data yang dikeluarkan KKP.

3. Data yang digunakan adalah data matched anatara Susenas 2007-2010 dan PPLS08 dengan Podes08. 4. Konsep rumah tangga yang digunakan adalah konsep rumah tangga menurut BPS. 5. Susenas tahun 2007 dan 2010 tidak mengidentifikasi rumah tangga perikanan tangkap dan budidaya.Profil rumah tangga tahun 2007 dan 2010 hanya disajikan menurut rumah tangga perikanan dan bukan perikanan.

6. Susenas tahun 2008 dan 2009 tidak mengidentifikasi rumah tangga perikanan (sektor perikanandigabung ke dalam sektor pertanian). Profil rumah tangga perikanan tahun 2008 dan 2009 tidak dapat disajikan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut di atas, perlu dijadikan perhatian khusus dalam menginterpretasikan setiap hasil pengolahan yang disajikan dalam laporan ini.Ketersediaan data yang ada,juga belum dapat menyajikan gambaran kondisi sosial ekonomi rumah tangga perikanan yang dibedakan menurut kategori perikanan tangkap dan perikanan budidaya serta wilayah pesisir dan bukan pesisir.Untuk mendapatkan data-data tersebut diperlukan studi atau survei khusus untuk masyarakat perikanan.

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 19

20 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

HASIL DAN ANALISIS

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor PerikananKondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 21

22 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

BAB III

HASIL DAN ANALISISMasalah pembangunan memiliki visi memberdayakan manusia dan masyarakat dalam arti seluasluasnya.Keberdayaan masyarakat merupakan modal utama masyarakat untuk mengembangkan dirinya serta mempertahankan dirinya di tengah-tengah masyarakat lainnya.Masyarakat pesisir, yang sebagian besar merupakan masyarakat nelayan memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat lainnya.Perbedaan ini karena adanya keterkaitan yang erat dengan karakterstik ekonomi wilayah pesisir, latar belakang budaya dan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang. Pada umumnya masyarakat pesisir memiliki nilai budaya yang orientasinya selaras dengan alam.Oleh karenanya, teknologi yang digunakan untuk memanfaatan sumberdaya alam adalah teknologi adaptif dengan kondisi wilayah pesisir. Kehidupan sosial masyarakat pesisir biasanya pendidikannya rendah, produktivitasnya sangat tergantung pada musim, terbatasnya modal usaha, kurangnya sarana penunjang, buruknya mekanisme pasar dan lamanya transfer teknologi dan komunikasi. Hal-hal tersebut mengakibatkan pendapatan masyarakat pesisir, khususnya nelayan pengolah, menjadi tidak menentu. 3.1 Kondisi Wilayah Berdasarkan letak geografisnya, desa/kelurahan terbagi dalam dua kategori yaitu desa pesisir dan desa bukan pesisir. Desa pesisir adalah desa/kelurahan termasuk nagari atau lainnya yang memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan garis pantai/laut (atau merupakan desa pulau). Hasil Podes08 menunjukkan bahwa dari 75.410 desa/kelurahan yang ada di Indonesia, 10.664 desa atau sebanyak 14,14 persen diantaranya merupakan desa pesisir. Secara nasional, tiga provinsi dengan persentase desa pessir terbesar adalah Maluku (85,21%), Kepulauan Riau (81,90%), dan Maluku Utara (74,52%). Hal tersebut sangat relevan mengingat provinsi tersebut berbentuk kepulauan. Sementara itu, tiga provinsi dengan persentase desa pesisir terkecil adalah Sumatera Selatan (0,71%), Jambi (2,15%) dan Kalimantan Tengah (2,83%). Banyaknya desa pesisir dan bukan pesisir untuk setiap provinsi pada tahun 2008 dapat dilihat pada tabel lampiran.

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 23

Tingkat keberhasilan pembangunan suatu daerah dapat dilihat dari kelengkapan infrastruktur yang tersedia. Ketersediaan fasilitas umum seperti jalan, listrik, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan, dapat digunakan sebagai gambaran keberhasilan pembangunan serta tingkat kesejahteraan penduduk di daerah tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan listrik bukan lagi sekedar infrastruktur semata, tetapi telah menjadi sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, ketersediaan pasokan listrik menjadi salah satu prasyarat yang harus tersedia dalam upaya mempercepat perkembangan suatu daerah guna meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakatnya. Persentase desa yang memakai listrik sebagai penerang jalan menurut letak geografis tahun 2008, disajikan pada Gambar 3.1 berikut.Persentase Desa yang Memakai Listrik Sebagai Penerang Jalan Menurut Letak Geografis, Tahun 2008

Gambar 3.1:

80 60 40 20 0 Pesisir Sumber: BPS-Podes08 45,93

61,27

59,1

Bukan Pesisir

Pesisir + Bukan Pesisir

Pada tahun 2008, Persentase desa pesisir yang memakai listrik sebagai penerang jalan ada sebesar 45,93 persen. Angka tersebut cukup jauh berada di bawah angka desa bukan pesisir dengan selisih 15,34 persen. Secara nasional, terdapat 59,1 persen desa yang memiliki listrik sebagai penerang jalan. Selain listrik, fasilitas yang tidak kalah pentingnya adalah jalan penghubung antar daerah. Ketersediaan sarana jalan yang memadai tentunya diperlukan untuk menunjang kelancaran transportasi. Persentase desa yang memiliki jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun menurut letak geografisnya disajikan pada Gambar 3.2 berikut.

24 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Gambar 3.2:

Persentase Desa yang Memiliki Jalan yang Dapat Dilalui Kendaraan Roda Empat Sepanjang Tahun Menurut Letak Geografis, 2008 87,67 76,75 80 60 40 20 0 Pesisir Bukan Pesisir Pesisir + Bukan Pesisir

100

86,12

Sumber: BPS-Podes08

Sebanyak 76,75 persen desa pesisir sudah memiliki jalan yang dapat dilalui roda empat sepanjang tahun. Sementara itu untuk wilayah bukan pesisir, masih ada 12,33 persen desa yang belum memiliki akses jalan yang dapat dilalui roda empat sepanjang tahun. Data ini menunjukkan bahwa pembangunan fasilitas dan sarana jalan yang memadai masih harus terus diperhatikan dalam rangka menunjang proses pembangunan, khususnya di wilayah pesisir.

3.2

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah tangga perikanan, dalam kajian ini, didefinisikan sebagai rumah tangga yang memiliki

anggota rumah tangga yang bekerja di sektor perikanan. Sedangkan menurut letak geografisnya, suatu rumah tangga dikatakan bertempat tinggal di wilayah pesisir apabila rumah tangga tersebut bertempat tinggal di desa pesisir. Data rumah tangga/penduduk perikanan dan letak geografis tempat tinggalnya, diperlukan sebagai data dasar mengenai gambaran umum rumah tangga/penduduk yang menggantungkan hidup pada potensi perikanan. Persentase rumah tangga perikanan menurut letak geografis tahun 2007 dan 2010 disajikan pada Gambar 3.3 berikut.

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 25

Gambar 3.3:

Persentase Rumah Tangga Perikanan Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010

20 16 12 8 4 0

15,26

15,43 Pesisir Bukan Pesisir 1,08 2,56 1,02 2010 2,49 Total

2007

Sumber: Susenas (2007 dan 2010) dan Podes08

Menurut letak geografis, terlihat bahwa persentase rumah tangga perikanan di daerah pesisir (lebih dari 15,2 persen) jauh lebih tinggi dibanding bukan pesisir (kurang dari 1,1 persen). Bila ditinjau antar waktu, persentase rumah tangga perikanan di daerah pesisir mengalami peningkatan sebesar 0,17 persen, sedangkan di daerah bukan pesisir terjadi penurunan sebesar 0,06 persen. Penduduk perikanan dalam laporan ini didefinisikan sebagai penduduk yang tinggal di rumah tangga perikanan. Definisi ini masih bisa dikembangkan karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut dan pesisir.Mereka terdiri atas nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, dan supplier faktor sarana produksi perikanan.Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa berprofesi sebagai penjual jasa pariwisata, transportasi, pemanfaat sumberdaya non-hayati laut dan pesisir dan lain-lain. Untuk lebih operasional, definisi populasi masyarakat pesisir yang luas ini tidak seluruhnya diambil tetapi hanya difokuskan pada kelompok nelayan dan pembudidaya ikan.Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan ini pula yang sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan

budidaya.Kelompok

mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh

Indonesia.Persentase penduduk perikanan menurut letak geografis tahun 2007 dan 2010 disajikan pada Gambar 3.4 berikut.

26 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Gambar 3.4:

Persentase Penduduk Perikanan Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 17,28

20 16 12 8 4 0

17,18

Pesisir Bukan Pesisir 1,26 2,98 1,21 2,96 Total

2007

2010

Sumber: Susenas (2007 dan 2010) dan Podes08

Pertumbuhan penduduk perikanan menurut letak geografis, sejalan dengan pertumbuhan rumah tangga perikanan. Untuk wilayah pesisir mengalami peningkatan (sebesar 0,10 persen), sedangkan untuk wilayah bukan pesisir mengalami penurunan (sebesar 0,05 persen). Selanjutnya akan diuraikan kondisi sosial ekonomi di sektor perikanan menurut letak geografis.Kondisi sosial ekonomi yang dimaksud meliputi komposisi penduduk, karakteristik pendidikan, kesehatan, perumahan, pola konsumsi, Nilai Tukar Nelayan. 3.2.1 Komposisi Penduduk Komposisi penduduk yang disajikan menurut umur dan jenis kelamin memiliki banyak kegunaan. Beberapa kegunaan tersebut di antaranya adalah: untuk perencanaan pengembangan kesempatan kerja pada tingkat usia produktif dan asuransi sosial pada usia lanjut, melihat komposisi penduduk usia sekolah, penghitungan angka kelahiran, kematian dan migrasi secara indirect method (metode tidak langsung), menghitung Angka Beban Ketergantungan atau dikenal dengan istilah Dependency Ratio.Persentase penduduk perikanan menurut kelompok umur dan letak geografis, tahun 2007 dan 2010 disajikan pada Tabel 3.1 berikut.

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 27

Tabel 3.1:

Persentase Penduduk Perikanan Menurut Kelompok Umur dsn Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 Pesisir 2007 (2) 33.52 63.21 3.26 2010 (3) 33.37 63.59 3.04 Bukan Pesisir 2007 (4) 31.20 65.58 3.22 2010 (5) 30.31 66.10 3.58 Pesisir + Bukan Pesisir 2007 2010 (6) 32.65 64.11 3.25 (7) 32.02 64.70 3.28

Kelompok Umur (1) 0-14 15-64 65+

Sumber : Susenas 2007 dan 2010 dengan Podes08

Pada tahun 2007, komposisi penduduk perikanan pada kelompok umur 15-64 tahun (usia produktif) di wilayah pesisir adalah 63,21 persen. Angka ini lebih rendah 2,37 persen dibanding di wilayah bukan pesisir. Hal tersebut memberi gambaran bahwa angka beban ketergantungan penduduk perikanan usia produktif di wilayah pesisir lebih berat dibandingkan bukan pesisir. Hal yang sejalan juga terjadi pada tahun 2010. Dari tahun 2007 ke 2010, terjadi kenaikan persentase penduduk perikanan usia produktif baik di wilayah pesisir maupun bukan pesisir. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kelahiran penduduk perikanan di wilayah pesisir belum dapat ditekan. Pada penduduk perikanan di kelompok tua (65+ tahun), terjadi penurunan sebesar 0,22 persen di wilayah pesisir, sedangkan di wilayah bukan pesisir terjadi kenaikan sebesar 0,36 persen. Pada kelompok tua, penurunan angka tersebut mengindikasikan bahwa derajat kesehatan penduduk perikanan di pesisir belum cukup baik. Sebaliknya, kenaikan angka akan mengindikasikan derajat kesehatan yang kurang baik. Dependency ratio adalah angka yang menyatakan perbandingan antara banyaknya orang yang tidak produktif (penduduk berumur dibawah 15 tahun ditambah dengan penduduk berumur 60 tahun ke atas) dengan banyaknya penduduk yang termasuk produktif secara ekonomi (umur 15-59 tahun). Angka ini dapat digunakan sebagai indikator ekonomi suatu negara atau daerah apakah tergolong maju atau tidak, apabila angka dependency ratio semakin rendah maka akan semakin baik karena hal ini akan menunjukkan suatu daerah tersebut semakin maju. 3.2.2 Karakteristik Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk.Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk suatu wilayah, maka umumnya tingkat kesejahteraan penduduk di wilayah tersebut juga relatif tinggi.Tingkat keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator, di antaranya fasilitas pendidikan yang tersedia, angka partisipasi sekolah, tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan, dan angka buta aksara.

28 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Peningkatan kualitas di bidang pendidikan cukup menentukan keberhasilan pembangunan. Tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sejalan dengan hal tersebut, pendidikan akan berhasil apabila ditunjang dengan fasilitas pendidikan yang memadai. Semakin mudah fasilitas pendidikan dapat dijangkau, tentu akan memperluas kesempatan masyarakat untuk meningkatkan kemampuannya. Persentase desa menurut ketersediaan fasilitas pendidikan dan letak geografis tahun 2008 disajikan pada Tabel 3.2 berikut.Tabel 3.2: Persentase Desa Menurut Ketersediaan Fasilitas Pendidikan dan Letak Geografis, Tahun 2008 Bukan Pesisir (3) 87.87 37.18 16.08 3.50

Jenjang Pendidikan (1) SD dan Sederajat SLTP dan Sederajat SMU dan Sederajat Akademi/ Perguruan Tinggi Sumber: BPS-Podes08

Pesisir (2) 91.31 39.76 16.30 3.07

Secara umum, perbedaan keberadaan fasilitas pendidikan di desa pesisir dan bukan pesisir tidaklah jauh. Perbedaan terbesar adalah pada tingkat sekolah dasar. Ada sebanyak 91,31 persen desa pesisir yang memiliki fasilitas SD dan sederajat, lebih banyak 3,44 persen dibanding desa bukan pesisir. Pembangunan fasilitas pendidikan masih terfokus pada pendidikan tingkat, sedangkan pembangunan fasilitas pendidikan tingkat lanjut belum memadai. Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan perbandingan antara jumlah murid kelompok usia sekolah tertentu yang bersekolah terhadap penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indokator ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang telah bersekolah di semua jenjang pendidikan.Makin tinggi APS berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah. APS penduduk perikanan menurut kelompok umur dan letak geografis tahun 2007 dan 2010 disajikan pada Tabel 3.3 berikut.Tabel 3.3: Angka Partisipasi Sekolah Penduduk Perikanan Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 Pesisir + Bukan Pesisir 2007 2010 (6) 95.76 76.26 38.82 (7) 96.71 77.37 43.23

Kelompok Umur (1) 7-12 13-15 16-18

Pesisir 2007 (2) 95.43 74.86 37.36 2010 (3) 96.55 78.08 42.54

Bukan Pesisir 2007 (4) 96.32 78.60 40.95 2010 (5) 96.92 76.45 44.16

Sumber: Susenas (2007 dan 2010) dan Podes08

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 29

Secara umum, dari tahun 2007 ke tahun 2010, terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah.Namun jika kita bandingkan antar wilayah pesisir dan bukan pesisir, ada perbedaan yang cukup signifikan pada kelompok umur 16-18 tahun. Pada tahun 2010, APS penduduk perikanan di wilayah pesisir pada kelompok 16-18 tahun lebih rendah 1,62 persen. Perlu dikaji lebih mendalam mengenai penyebabnya, apakah ini akibat keterbatasan sarana pendidikan di daerah pesisir ataukah karena penduduk pada kelompok tersebut cenderung memilih untuk bekerja. Selanjutnya adalah indikator tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan.Tamat pada suatu jenjang pendidikan adalah selesai mengikuti pelajaran pada kelas tertinggi di jenjang tersebut, dengan mendapatkan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) atau ijazah. Apabila seseorang belum mengikuti pelajaran pada kelas tertinggi tetapi ia mengikuti ujian dan lulus, maka ia dianggap tamat pada jenjang pendidikan tersebut. Persentase penduduk perikanan menurut jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan letak geografis tahun 2007 dan 2010 disajikan pada Tabel 3.4 berikut.Tabel 3.4: Persentase Penduduk Perikanan Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki dan Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 Pesisir 2007 (2) 68.59 18.31 13.10 2010 (3) 66.01 20.07 13.92 Bukan Pesisir 2007 (4) 59.35 20.84 19.81 2010 (5) 58.10 21.96 19.94 Pesisir + Bukan Pesisir 2007 2010 (6) (7) 64.98 62.41 19.30 15.72 20.93 16.66

Ijazah Tertinggi (1) = SMA

Sumber: Susenas (2007 dan 2010) dan Podes08

Dari tabel di atas, yang perlu menjadi perhatian adalah penduduk perikanan berumur 15 tahun ke atas di wilayah pesisir yang memiliki ijazah SMA. Pada tahun 2010, persentase penduduk di kelompok tersebut hanya 13,92, cukup jauh di bawah wilayah bukan pesisir yang mencapai 19,94 persen. Penyebab hal tersebut mungkin sama dengan penyebab rendahnya APS pada kelompok umur 16-18 tahun di wilayah pesisir. Kualitas pendidikan dapat juga tercermin dari indikator angka buta aksara. Peningkatan kualitas pendidikan harus sejalan dengan penurunan angka buta aksara. Pada Gambar 3.5, disajikan persentase penduduk perikanan berumur 15 tahun ke atas yang buta huruf menurut letak geografis tahun 2007 dan 2010.

30 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Gambar 3.5:

Persentase Penduduk Perikanan Berumur 15 Tahun ke Atas yang Buta Huruf Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 10,56 9,75 8,5 8,46 7,51 8,05 2007 2010

11 10 9 8 7

Pesisir

Bukan Pesisir

Pesisir + Bukan Pesisir

Sumber: Susenas (2007 dan 2010) dan Podes08

Terjadi penurunan persentase penduduk perikanan yang buta huruf, baik di wilayah pesisir ataupun bukan. Jika ditinjau menurut wilayah, angka buta aksara di wilayah pesisir masih lebih tinggi. Hal ini menuntut upaya pemerataan kesempatan belajar yang lebih bagi masyarakat pesisir. Namun demikian terjadi perbaikan dalam hal selisih angka buta aksara antar wilayah. Tahun 2007, angka buta aksara penduduk perikanan di wilayah pesisir lebih tinggi 2,1 persen. Selisih angka tersebut turun menjadi 0,99 persen pada tahun 2010. 3.2.3 Karakteristik Kesehatan Kesehatan merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk. Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat bisa mendapat pelayanan kesehatan yang baik, mudah, murah dan merata. Dengan demikian, akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Indikator yang terkait dengan pembangunan di bidang kesehatan adalah ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas dan sarana kesehatan. Persentase desa yang memiliki fasilitas kesehatan menurut jenis fasilitas kesehatan dan letak geografis disajikan pada Tabel 3.5.Tabel 3.5: Persentase Desa yang Memiliki Fasilitas Kesehatan Menurut Jenis Fasilitas Kesehatan dan Letak Geografis, Tahun 2008 Fasilitas Kesehatan (1) Rumah Sakit Rumah Sakit Bersalin/Rumah Bersalin Poliklinik / Balai Pengobatan Puskesmas Puskesmas Pembantu Tempat Praktek Dokter Tempat Praktek Bidan Poskesdes Polindes Posyandu Apotek Sumber: BPS-Podes08 Pesisir (2) 1,59 1,81 4,82 13,15 36,97 12,36 24,60 10,74 29,52 94,59 4,98 Bukan Pesisir (3) 2,14 4,74 10,24 11,07 29,69 16,95 49,35 15,66 34,17 92,61 7,73

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 31

Pada Tabel 3.5 terlihat bahwa ketersediaan rumah sakit dan klinik di daerah pesisir relatif lebih sedikit. Hal tersebut perlu mendapat perhatian khusus dalam pemerataan pembangunan di bidang kesehatan. Fasilitas kesehatan yang tersedia hampir di seluruh desa, terutama daerah pesisir, adalah posyandu. Ketersediaan fasilitas kesehatan akan lebih bermanfaat apabila ditunjang oleh tenaga kesehatan yang memadai. Persentase Desa/Kelurahan yang Memiliki Tenaga Kesehatan Menurut Jenis Tenaga Kesehatan dan Letak Geografis tahun 2008, disajikan pada Tabel 3.6Tabel 3.6: Persentase Desa/Kelurahan yang Memiliki Tenaga Kesehatan Menurut Jenis Tenaga Kesehatan dan Letak Geografis, Tahun 2008 Tenaga Kesehatan (1) Dokter pria Dokter wanita Bidan Mantri Kesehatan Dukun bayi Sumber: BPS-Podes08 Pesisir (2) 10,62 5,86 61,34 46,13 79,77 Bukan Pesisir (3) 11,89 6,91 71,72 43,49 71,20

Ketersediaan tenaga dokter dan bidan di desa pesisir relatif masih lebih rendah, sedangkankeberadaan dukun bayi di daerah pesisir masih cukup tinggi. Kemungkinan yang terjadi di daerah pesisir dari gambaran tersebut adalah: pemerataan tenaga medis yang masih kurang di daerah pesisir, atau kesadaran penduduk perikanan di pesisirtentang kualitas kesehatan masih kurang. Dengan demikian, perlu perlu upaya pemerataan tenaga medis di wilayah pesisir, atau pemberian informasi yang lebih luas tentang pentingnya kesehatan pada penduduk perikanan di wilayah pesisir. Tingkat kesehatan penduduk,secara sederhana dapat tergambar dari angka kesakitan. Angka kesakitan adalah persentase penduduk yang mengalami gangguan sehingga mengganggu kegiatan seharihari. Angka kesakitan penduduk perikanan menurut letak geografis tahun 2007 dan 2010 disajikan pada Gambar 3.6berikut.Gambar 3.6: Angka Kesakitan PendudukPerikanan Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010

70 65 60 55 50 Pesisir Bukan Pesisir Pesisir + Bukan Pesisir 63,2 60,16 57,98 57,11 61,28 58,89 2007 2010

Sumber: Susenas (2007 dan 2010) dan Podes08

32 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Dari tahun 2007 ke tahun 2010, terjadi penurunan angka kesakitan pada penduduk perikanan. Hal positif tersebut mencerminkan adanya peningkatan kualitas hidup sehat. Namun demikian, angka kesakitan di wilayah pesisir selalu lebih tinggi. Perlu ada upaya lebih bagi pemerintah guna meningkatkan kualitas hidup sehat, terutama di daerah pesisir. Indikator lain yang dapat menggambarkan tingkat kesehatan penduduk adalah peran tenaga medis dalam proses persalinan. Persentase balita di rumah tangga perikanan yang proses kelahirannya ditolongoleh tenaga medis menurut letak geografis tahun 2007 dan 2010 disajikan pada Gambar 3.7 berikut. Gambar 3.7: Persentase Balita di Rumah Tangga Perikanan yang Proses Kelahirannya Ditolong oleh Tenaga Medis Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Pesisir Bukan Pesisir Pesisir + Bukan Pesisir 2007 2010 48,36 58,65 62,94 53,27 70,39 63,56

Sumber: Susenas (2007 dan 2010) dan Podes08

Peningkatan persentase balita di rumah tangga perikanan yang proses kelahirannya ditolong oleh tenaga medis, mengalami peningkatan dari tahun 2007 ke tahun 2010. Namun demikian, dari sisi wilayah, angka pesisir masih lebih rendah.Perlu upaya pemerintah untuk mempermudah akses ke tenaga medis/fasilitas kesehatan bagi wanita yang melahirkan, khususnya penduduk perikanan pesisir. Hal tersebut perlu agar para ibu hamil dapat melahirkan dengan selamat dan bayi juga terlahir dengan selamat. Persalinan yang aman memastikan bahwa semua penolong persalinan memiliki pengetahuan, keterampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih, serta memberikan pelayanan nifas kepada ibu dan bayi2. Berdasarkan indikator cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak, pertolongan persalinan sebaiknya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan (dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan, pembantu bidan dan perawat bidan) tidak termasuk dukun bayi3. Di daerah pesisir, hanya 61,34% desa yang memiliki bidan. Angka ini cukup rendah dibanding desa yang memiliki dukun bayi yang mencapai 79,77 persen.

2

Prawirohardjo S. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 3 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Standar Pelayanan Minimal Provinsi Jawa Tengah 2008. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2008.

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 33

3.2.4

Karakteristik Perumahan Pada subbab, disajikan karekateristik kondisi fisik tempat tinggal rumah tangga perikanan tahun

2007 dan 2010. Sumber data yang digunakan adalah Susenas tahun 2007 dan 2010. Karakteristik yang disajikan meliputi: 1. Jenis lantaiGambar 3.8: Persentase Rumah Tangga Perikanan yang Tempat Tinggalnya Berlantai Tanah Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 16 13,66 14 12 10 8 Pesisir Bukan Pesisir Pesisir + Bukan Pesisir 9,37 12,63 10,26 13,02 2007 9,77 2010

2. Luas lantai per kapitaGambar 3.9: Persentase Rumah Tangga Perikanan yang Luas Lantai Tempat Tinggal Perkapitanya 2 Kurang dari 8 m Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 28 26 24 22 20 18 16 Pesisir Bukan Pesisir Pesisir + Bukan Pesisir 26,06 23,71 21,18 18,65 24,22 21,46 2007 2010

3. Tempat pembuangan akhir tinjaGambar 3.10: Persentase Rumah Tangga Perikanan yang Tempat Pembuangan Akhir Tinjanya Bukan Tangki/SPAL Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 75 70 65 60 55 50 Pesisir Bukan Pesisir Pesisir + Bukan Pesisir 61,43 73,04 69,6 63,94 58,74 55,38 2007 2010

34 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

4. Jarak sumber air minum ke penampungan kotoranGambar 3.11: Persentase Rumah Tangga Perikanan dengan Jarak Sumber Air Minum ke Penampungan Kotoran/Tinja Kurang dari 10 m Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 16 15 14 13 12 11 10 Pesisir Bukan Pesisir Pesisir + Bukan Pesisir 10,92 11,72 10,88 12,14 11,35 2007 2010 14,14

5. Penggunaan listrikGambar 3.12: Persentase Rumah Tangga Perikanan Pengguna Listrik Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 92,2 92 86,9 87,18 2007 83,47 84 81,22 2010 89,25

88

80 Pesisir Bukan Pesisir Pesisir + Bukan Pesisir

6. Cara memperoleh air minumGambar 3.13: Persentase Rumah Tangga Perikanan yang Memperoleh Air Minum dengan Cara Membeli Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 38,47 34,74 31,98 30,76 35,59 2007 2010 24,22

42 38 34 30 26 22

Pesisir

Bukan Pesisir

Pesisir + Bukan Pesisir

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 35

7. Menggunakan minyak tanahGambar 3.14: Persentase Rumah Tangga Perikanan Yang Menggunakan Minyak Tanah Sebagai Bahan Bakar Utama untuk Memasak Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 41,15 35,57 39,04

44 40 36 32 28 24 20 16 12

2007 21,73 19,12 15,87 2010

Pesisir

Bukan Pesisir

Pesisir + Bukan Pesisir

Dari ketujuh karakteristik perumahan tersebut, ada empat karakteristik yang menggambarkan kualitas perumahan rumah tangga perikanan di pesisir lebih memerlukan perhatian. Karakteristik tersebut adalah: - Luas lantai tempat tinggal perkapita kurang dari 8 m2, wilayah pesisir lebih tinggi. - Tempat pembuangan akhir tinjanya bukan tangki/spal, wilayah pesisir lebih tinggi. - Pengguna listrik, wilayah pesisir lebih rendah. - Memperoleh air minum dengan membeli, wilayah pesisir lebih tinggi. Memerlukan perhatian berarti kondisi tempat tinggal tersebut kurang/tidak memenuhi standar hidup sehat/layak. 3.2.5 Pola Konsumsi Berbicara masalah kesejahteraan tentunnya tidak terlepas dari nilai pendapatan. Besarnya pendapatan biasanya berbanding lurus dengan pengeluaran. Sehingga analisis pendapatan dapat didekatkan dengan pola pengeluaran untuk konsumsi, baik konsumsi makanan maupun konsumsi bukan makanan. Berikut ini disajikan nilai rata-rata pengeluaran rumah tangga perikanan selama sebulan menurutletak geografis tahun 2007 dan 2010

36 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Tabel 3.7:

Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Perikanan (dalam Rupiah) Selama Sebulan Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 Pesisir + Bukan Pesisir 2007 2010 (6) 779,092 514,163 1,293,255 (7) 1,109,692 655,903 1,765,595

Kelompok Pengeluaran (1) Makanan Bukan Makanan Total

Pesisir 2007 (2) 774,002 462,409 1,236,411 2010 (3) 1,112,513 617,570 1,730,082

Bukan Pesisir 2007 (4) 787,469 599,331 1,386,800 2010 (5) 1,106,174 703,706 1,809,880

Sumber: Susenas (2007 dan 2010) dan Podes08

Selama periode tahun 2007 ke 2010, nilai rata-rata pengeluaran rumah tangga perikanan meningkatcukup besar.Peningkatan ini tentunya tidak secara langsung menggambarkan peningkatan kesejahteraan

mengingat nilai tersebut tidak memperhitungkan nilai yang dikonsumsi oleh penduduk. Sebagai ilustrasi, misalkan ada 2 rumah tangga (rumah tangga A dan rumah tangga B) memiliki pengeluaran sebesar satu juta rupiah. Rumah tangga A terdiri atas 2 orang anggota rumah tangga, sedangkan B terdiri atas 4 orang anggota rumah tangga. Bila di tinjau berdasarkan rumah tangga, nilai pengeluaran keduanya adalah sama yaitu sebesar satu juta rupiah. Tentunya angka kesamaan ini tidak relevan dibandingkan mengingat perbedaan banyak orang yang mengkonsumsi. Satu juta rupiah di rumah tangga A hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan 2 orang (rata-rata sebesar lima ratus ribu perorang), sedangkan di rumah tangga B digunakan untuk memenuhi kebutuhan 4 orang (rata-rata sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah perorang). Tentunya akan lebih bermakna jika pengeluaran tersebut disajikan berdasarkan penduduk pengkonsumsi. Nilai rata-rata pengeluaran penduduk perikanan selama sebulan menurut letak geografis tahun 2007 dan 2010 disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.8:

Rata-rata Pengeluaran Penduduk Perikanan (dalam Rupiah)Selama Sebulan Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 Pesisir + Bukan Pesisir 2007 2010 (6) 168,238 110,843 279,081 (7) 244,799 144,521 389,320

Kelompok Pengeluaran (1) Makanan Bukan Makanan Total

Pesisir 2007 (2) 165,702 99,121 264,824 2010 (3) 244,376 135,530 379,906

Bukan Pesisir 2007 (4) 172,423 130,190 302,613 2010 (5) 245,333 155,854 401,187

Sumber: Susenas (2007 dan 2010) dan Podes08

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 37

Nilai rata-rata pengeluaran penduduk perikanan, meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2010.Jika ditinjau menurut letak wilayah, nilai rata-rata pengeluaran penduduk perikanan di pesisir masih cukup jauh dibanding wilayah bukan pesisir.Hal tersebut tentunya menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk perikanan di wilayah pesisir masih cukup tertinggal dan perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran, dapat mempertajam analisis kesejahteraan masyarakat. Makin besar proporsi pengeluaran untuk makanan, secara umum akan berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan. Persentase pengeluaran perkapita penduduk perikanan untuk konsumsi makanan terhadap total pengeluaran menurut letak geografis, tahun 2007 dan 2010 disajikan pada Tabel berikut.Gambar 3.15: Persentase Pengeluaran Perkapita Penduduk Perikanan untuk Konsumsi Makanan Terhadap Total Pengeluaran Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010 68 67 66 64,96 64,86 65 64 Pesisir Bukan Pesisir Pesisir + Bukan Pesisir

67,37 66,68 66,46 65,88 2007 2010

Sumber: Susenas (2007 dan 2010) dan Podes08

Persentase pengeluaran penduduk perikanan untuk makanan menurun dari tahun 2007 ( 66,46 persen) ke tahun 2010 (65,88 persen). Hal tersebut mengindikasikan adanya peningkatan kesejahteraan penduduk perikanan. Pada wilayah pesisir, kendati terjadi penurunan persentase yang jauh lebih besar bila dibanding wilayah bukan pesisir, namun persentase pengeluaran untuk makanan tetap lebih besar. Data tersebut kembali memperkuat analisa bahwa penduduk di wilayah pesisir masih kurang sejahtera. Jika ditinjau menurut letak wilayah, nilai rata-rata pengeluaran penduduk perikanan di pesisir masih cukup jauh dibanding wilayah bukan pesisir.Hal tersebut tentunya menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk perikanan di wilayah pesisir masih cukup tertinggal dan perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

38 | Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan

Ikan merupakan sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi. Konsumsi ikan yang cukup dengan ditunjang pemenuhan standar gizi lainnya, tentu akan sangat baik bagi kesehatan dan akan meningkatkan produktivitas. Persentase pengeluaran perkapita penduduk perikanan untuk konsumsi ikan terhadap pengeluaran makanan menurut letak geografis, tahun 2007 dan 2010 disajikan pada Tabel berikut.Gambar 3.16: Persentase Pengeluaran Perkapita Penduduk Perikanan untuk Konsumsi Ikan Terhadap Konsumsi Makanan Menurut Letak Geografis, Tahun 2007 dan 2010

20 19 18 17 16

19,73 19,85 18,44 18,38 2007 2010 16,32 16,53

Pesisir

Bukan Pesisir

Pesisir + Bukan Pesisir

Sumber: Susenas (2007 dan 2010) dan Podes08

Dari tahun 2007 ke tahun 2010, tidak ada perubahan signifikan dari persentase pengeluaran untuk konsumsi ikan. Perbedaan signifikan terjadi jika kita membandingkan hal tersebut antar wilayah.Angka wilayah pesisir, sekita 3 persen lebih tinggi dari angka bukan pesisir.Hal pertama yang mungkin menjadi alasan adalah karena masyarakat pesisir lebih mudah dan lebih murah untuk mendapatkan ikan.Alasan lainnya adalah variasi makanan di wilayah pesisir relatif tidak terlalu bervariasi dibanding wilayah bukan pesisir yang lebih banyak pilihan.Persentase pengeluaran untuk ikan tidak dapat berdiri sendiri dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan. 3.2.6 Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menurut UNDP,adalah indeks komposit yang dapat menunjukkan tingkat pembangunan manusia suatu wilayah melalui pengukuran keadaan penduduk yang sehat dan berumur panjang, berpendidikan dan berketrampilan, serta memiliki pendapatan yang memungkinkan untuk dapat hidup layak.IPM memberikan gambaran perbandingan antar wilayah (Kabupaten/Kota) serta perkembangan antar waktu.Data Susenas merupakan data utama dalam penghitungan IPM. Tiga parameter yang digunakan untuk mengukur IPM yaitu: a. Derajat kesehatan, diukur dari angka harapan hidup (AHH) saat lahir (life expectancy rate), selanjutnya membentuk indeks X1.

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan | 39

b. Tingkat pendidikan, diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lamanya sekolah,

selanjutnya membentuk indeks X2.c. Tingkat pendapatan, diukur dengan daya beli masyarakat (purchasing power parity), selanjutnya membentuk indeks X3. Untuk menghitung IPM digunakan rumus sebagai berikut: Kualitas pembangunan manusia, berdasarkan nilai IPM, dibagi menjadi empat klasifikasi sebagaimana tersaji pada tabel berikutTabel 3.9: Klasifikasi Kualitas Pembangunan Manusia Menurut Nilai IPM Kualitas Pembangunan Manusia (3) Rendah Menengah Bawah Menengah Atas Tinggi

No. (1) 1 2 3 4

Nilai IPM (2)