24
Jabatan Gerejawi Dalam GMIT (Sebuah Study Kritis terhadap Implementasi Sistem Presbiterial Sinodal dalam GMIT) A. Pengantar Istilah gereja yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dengan akar kata ekklesia yang berarti dipanggil keluar, yang dalam pemahaman eklesiologi bermakna dipanggil keluar dari kehidupan yang lama ke kehidupan yang baru, adalah sebuah pengakuan atas tindakan Allah yang menyelamatkan dan membebaskan manusia dari kuasa dosa. Kuasa dosa tersebut mengikat manusia dan oleh karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus, manusia dibebaskan dan dibawa masuk ke dalam kehidupan sebagai persekutuan orang percaya. Karenanya kata ekklesia juga sering dipahami sebagai persekutuan orang percaya atau jemaat. Pemahaman ini sering digunakan oleh Paulus untuk menunjuk pada orang-orang yang bersekutu dalam nama Kristus, yakni jemaat atau gereja (bdk. Rm 16:16; Gal 1:2; I Kor 16:19). 1 Bertolak dari pemahaman di atas, sudah tentu gereja merupakan sebuah organisme iman, persekutan orang orang percaya yang di dalamnya Yesus Kristus sebagai kepala Gereja. Namun perlu disadari pula bahwa kehadiran gereja bukan saja sebagai sebuah realita iman tetapi di lain sisi 1

Klasis Sebagai Jembatan Jemaat Dan Sinode

Embed Size (px)

Citation preview

Jabatan Gerejawi Dalam GMIT(Sebuah Study Kritis terhadap Implementasi Sistem Presbiterial Sinodal dalam GMIT)

A. PengantarIstilah gereja yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dengan akar kata ekklesia yang berarti dipanggil keluar, yang dalam pemahaman eklesiologi bermakna dipanggil keluar dari kehidupan yang lama ke kehidupan yang baru, adalah sebuah pengakuan atas tindakan Allah yang menyelamatkan dan membebaskan manusia dari kuasa dosa. Kuasa dosa tersebut mengikat manusia dan oleh karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus, manusia dibebaskan dan dibawa masuk ke dalam kehidupan sebagai persekutuan orang percaya. Karenanya kata ekklesia juga sering dipahami sebagai persekutuan orang percaya atau jemaat. Pemahaman ini sering digunakan oleh Paulus untuk menunjuk pada orang-orang yang bersekutu dalam nama Kristus, yakni jemaat atau gereja (bdk. Rm 16:16; Gal 1:2; I Kor 16:19).[footnoteRef:1] [1: ]

Bertolak dari pemahaman di atas, sudah tentu gereja merupakan sebuah organisme iman, persekutan orang orang percaya yang di dalamnya Yesus Kristus sebagai kepala Gereja. Namun perlu disadari pula bahwa kehadiran gereja bukan saja sebagai sebuah realita iman tetapi di lain sisi gereja adalah sebuah realita sosial yang hadir dan berkembang di tengah dunia. Sehingga sudah tentu sebagai sebuah realita sosial, gereja dalam perkembangannya dituntut untuk mampu mengatur dirinya. Maknanya adalah bahwa sebagai sebuah reliata sosial gereja harus memiliki sistem pemerintahan dan struktur sosial yang jelas, namun hal ini tidak terlepas dari pengakuan bahwa Yesus Kristus merupakan pemimpin dan kepala Gereja. Dalam memaknai dirinya sebagai sebuah wadah sosial, yang hadir dan berkembang ditengah kehidupan manusia, Gereja kemudian mengatur dirinya dalam beberapa sistem pemerintahan gerejawi di antaranya: pertama, sistem Papalisme yang bersifat hierarki dengan Paus atau Papal sebagai pemimpin tertinggi hirarkinya. Kedua, sistem Episkopal yang dipimpin oleh seorang Uskup dan para imam berada satu level di bawah sang Uskup, ketiga, sistem Congregational atau sistem Independen di mana jemaat sebagai pengambil keputusan dan keempat, sistem Presbiterial Sinodal. Dari keempat sistem pemerintahan gerejawi tersebut, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) memilih sistem Presbiterial Sinodal sebagai sistem pemerintahan gerejawai yang diterapkan dalam kehidupan GMIT. Menururt J. Telnoni, pemilihan sistem Presbiterial Sinodal untuk digunakan sebagai sistem pemerintahan gerejawi didasari atas dua alasan, yaitu:[footnoteRef:2] [2: J. A. Telnoni, Gereja Berasas Presbiterial Sinodal. (Kupang: Cv. Inara, 2011), 25-26]

1. Jemaat sebagai basisBasis yang dimaksudkan di sini adalah basis dalam pengertian Jemaat sebagai kenyataan yang utuh dan lengkap dari gereja universal. Tiap-tiap jemaat bersifat otonom dalam mengurus dirinya sendiri. Tetapi bukanlah jemaat independen melainkan terikat dalam satu persekutuan secara sinodal2. Pimpinan pemerintahan gereja adalah suatu persekutuan para pelayanDalam organisasi gereja tidak bersifat kepemimpinan tunggal. Semua pejabat gereja terhimpun dalam suatu persekutuan pelayan, meskipun dalam tata organisasi gereja memiliki tugas dan fungsi yang berbeda secara struktural tetapi memiliki kedudukan yang setara Tidak ada yang lebih tinggi dan sebaliknya tidak ada yang lebih rendah.

B. Sistem Presbiterial SinodalSistem presbiterial Sinodal merupakan salah satu sistem pemerintahan gerejawi yang dikembangkan oleh Jean Cauvin atau yang lebih dikenal sebagai Johanes Calvin, sebagai upaya untuk membebaskan diri dari pola kepemimpinan Gereja yang hirarkhis di abad-abad pertengahan.[footnoteRef:3] Sistem ini kemudian berkembang ke berbagai Negara di Eropa hingga ke Indonesia, yang dibawa oleh bangsa Belanda. Sistem ini digunakan oleh gereja-gereja reform. Untuk memahami sistem ini ada beberapa poin yang akan dibahas. [3: Ibid, 30]

1. Istilah dan PengeritanPresbiterial Sinodal yang dalam bahasa Indonesia terdiri atas 2 kata, yaitu Presbiterial dan Sinodal, berasal dari bahasa Yunani. Pertama, kata Presbiterial adalah kata sifat dari kata presbiter yang berarti tua-tua. Dalam kaitannya dengan jabatan gerejawi istilah ini dipakai untuk jabatan penatua. Bentuk katanya adalah kata benda, yaitupresbyteros, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Penatua. Asas presbiterial yang dimaksudkan adalah kehadiran, kedudukan, fungsi dan peranan penatua-penatua sebagai pejabat gerejawi di dalam menata dan menyelenggarakan pelayanan gereja.[footnoteRef:4] Istilah yang kedua adalah sinodal yang juga adalah kata sifat dan terbentuk dari dua kata Yunani yaitu syn yang berarti bersama-sama dan hodos yang berarti jalan. Jadi synode yang kemudian di-Indonesia-kan menjadi Sinode berarti berjalan bersama-sama.[footnoteRef:5] Bobot dari kebersamaan yang dimaksudkan di sini adalah persekutuan dalam pelayanan gereja. [4: Ibid, 16-17] [5: Ibid, 18-19]

Dengan demikian maka asas Presbiterial Sinodal berarti pelayanan ditata dan diselenggarakan secara bersama-sama oleh para Presbiter dalam roh persekutuan untuk melayani bersama-sama sebagai sesama kawan sekerja Allah. [footnoteRef:6] Para presbiter adalah orang yang dituakan, yang mengatur pelayanan bersama-sama dan melaksanakan tugas pelayanan secara bersama-sama sesuai dengan tugas dan fungsi pelayanan yang dimandatkan. Hal ini membuktikan bahwa pada sistem Presbiterial Sinodal tidak terdapat sistem hirarki dalam Gereja. Para Presbiter dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidaklah memiliki kedudukan yang lebih tinggi ataupun lebih rendah satu sama lain, melainkan semuanya setara. Ketua tidak lebih tinggi dari sekretaris dan sebaliknya anggota tidak lebih rendah dari ketua. Semuanya berkedudukan setara hanyalah tugas dan fungsi pelayanannya yang berbeda. Prinsip non-hirarkis tidak hanya berlaku pada para presbiternya saja tetapi dalam lembaga-lembaga gereja yang terkandung di dalamnya. [6: Ibid, 19]

Bertolak dari pemahaman di atas, maka dirumuskanlah beberapa ciri utama sistem Presbiterial Sinodal,[footnoteRef:7] diantaranya: [7: Samuel B. Hakh, Makalah: Seminar Tata Dasar Gereja Masehi Injili di Timor tanggal 16 17 April 2009, 6-7.]

a. Bertitik tolak dari Jemaat (Gereja) setempat.b. Pemimpin atau pemerintahan gereja dipercayakan kepada majelis yang beranggotakan pejabat-pejabat gerejawi.c. Sidang-sidang jemaat dan siding-sidang lain yang lebih luas bidang cakupannya.d. Gereja memiliki kemandirian tertentu terhadap pemerintah, khususnya biang tugas pelayanan pejabat-pejabat.

2. Jabatan-jabatan GerejawiPikiran dasar dari sistem Presbiterial Sinodal adalah bahwa Kristuslah yang memerintah atas gerejaNya atau yang lebih dikenal dengan istilah Kristokrasi. Artinya bahwa Pemerintahan gereja oleh Kristus sebagai kepala dan Tuhan, artinya bahwa Kristus adalah kepala atas tubuhNya dan Tuhan atas jemaatNya. Untuk menjalankan pemerintahan Kristus atas jemaatNya, gereja membutuhkan jabatan-jabatan gerejawi sebagai alat sekaligus saluran untuk melaksanakan kuasa tersebut. Kata jabatan sendiri diterjemahkan dari kata Yunani leitourgos yang berarti pelayan publik atau penolong. Dalam PB kata jabatan dikaitkan dengan sejumlah tugas yang berkaitan dengan pelayanan rohani dalam gereja, Jabatan gerejawi merupakan pemberian Kristus yang dimaksudkan untuk memperlengkapi anggota jemaat bagi pekerjaan pelayanan dalam gereja dan masyarakat.[footnoteRef:8] Sehingga istilah jabatan pada hakekatnya adalah jabatan pelayanan. Jabatan yang dikaruniakan oleh Allah kepada pejabat gereja sebagai hamba Allah yan berkedudukan setara namun berbeda dalam fungsinya.[footnoteRef:9] Jabatan tersebut diberikan kepada orang-orang tertentu, sehingga mereka menjadi pejabat-pejabat gerejawi. Pejabat gereja adalah anggota gereja yang dipilih dan dipercayakan oleh jemaat dalam pimpinan Roh Kudus untuk menerjemahkan visi Kerajaan Allah dan memimpin pelaksanaan misi yang dipercayakan Tuhan kepada GerejaNya.[footnoteRef:10] Sebagai pejabat gerejawi tentunya mereka dituakan dan memiliki wibawa ketuaan. Makna dituakan dan ketuaan bukanlah distandarkan pada usia seseorang. Ketuaan yang dimaksudkan adalah ditandai dengan kematangan spiritual, kematangan emosional, kematangan intelektual, kematangan sosial dan kematang pastoral.[footnoteRef:11] Dengan memiliki kematangan pastoral, maka akan membedakan seorang pejabat gerejawi dengan seorang pejabat organisasi ssekuler. Memiliki kematangan pastoral merupakan titik terkuat yang sangat menentukan di dalam menetapkan kriteria pencalonan dan tolok ukur menilai kemampuan seorang pemimpin gereja.[footnoteRef:12] [8: Tata Gereja Masehi Injili di Timor, (Kupang: Majelis Sinode GMIT, 2010), 67.] [9: Samuel Hakh, makalah: Seminar, 8.] [10: Tata Gereja, 67] [11: Telnoni, Gereja, 43.] [12: Ibid, 43-44.]

Menurut Calvin, Tuhanlah yang memerintah di dalam gerejaa dengan firmnanNya. kehadiranNya tentu saja tidak secara real dapat dirasakan, karenanya para pejabat gereja yang diangkat merupakan alat Tuhan dalam penyampaian firmanNya. Sekembalinya dari Genewa, Calvin menyusun tata gereja baru pada tahun 1541 dengan menentukan empat jabatan gereja yaitu Gembala (Pastor atau Pendeta), Pengajar (doctor), Penatua dan Diaken.[footnoteRef:13] [13: Samuel Hakh, Makalah: Seminar, 8]

a. Gembala (Pastor atau Pendeta) Jabatan gembala atau yang lebih general dipakai dalam gereja dengan istilah Pendeta tidak terdapat dalam Alkitab. Kata Pendeta sendiri diimpor dari bahasa sansekerta yang didefinisikan sebagai: orang pandai, pertapa, pemuka, pemimpin atau guru agama. Jabatan gembala atau Pendeta dikembangkan oleh Calvin dari pemahamannya atas fungsi penatua yang berkhotbah dan mengajar (bdk. 1Tim 5:17; Ef 4:11).[footnoteRef:14] Untuk menjadi seorang Pendeta, seseorang harus mengikuti proses pendidikan Teologi dan proses persiapan melalui masa vikariat barulah dithabiskan menjadi seorang Pendeta. Tugas dari seorang Pendeta adalah memberitakan Firman, melayani sakramen, mengadakan pengembalaan, peneguhan sidi, pemberkatan, mengajar, mengelolah administrasi gereja.[footnoteRef:15] [14: Telnoni, Gereja, 86.] [15: Samuel Hakh, makalah: Seminar, 9-10.]

b. PenatuaKata Penatua diterjemahkan dari bahasa Yunani Presbyteros yang secara harafiah diterjemahkan sebagai orang tua atau orang yang berusia tinggi. Hal ini berkaitan dengan kehormatan dan kewibawaan karena kualitasnya. jabatan Penatua dalam gereja reformasi adalah suatu daya penentang yang kuat terhadap pemerintahan gereja yang sewenang-wenang oleh pejabat lainnya termasuk Pendeta.[footnoteRef:16] Penatua dipilih oleh jemaat dan tidak memiliki kedudukan lebih rendah dari Pendeta. Penatua adalah penghubung antara Pendeta dan Jemaat, sehingga posisinya di tengah-tengah Pendeta dan jemaat atau sebagai penghubung antara keduanya. Adapun tugas dari Penatua,[footnoteRef:17] diantara: melayani Firman dan Sakramen, pengembalaan, mengajar jemaat dan melakukan pelayanan khusus seperti administrasi jemaat, mengelolah keuangan jemaat serta terlibat dalam pelayanan kategorial. [16: Ibid, 10.] [17: Ibid, 10-11.]

c. DiakenKata Diaken berasal dari kata Yunani diakonos yang berarti pelayan meja, hamba yang melayani. Jabatan ini memiliki fungsi sebagai jabatan pelayan yang dikhususkan untuk melayani orang-orang yang hidup dalam kekurangan.[footnoteRef:18] Jabatan ini sangat mulia dan sama penting dengan jabatan lainnya, sehingga tidak dibenarkan jika jabatan ini dianggap sebagai jabatan yang lebih rendah dari jabatan Pendeta, Penatua maupun Pengajar. Calvin sangat menekankan jabatan diaken untuk melaksanakan pelayan diakonia bagi mereka yang membutuhkannya, antara lain mengurus orang-orang yang sakit dan menolong orang-orang miskin dan lemah.[footnoteRef:19] [18: Telnoni, Gereja, 84.] [19: Samuel Hakh, makalah: Seminar, 12.]

d. Pengajar (doctor)Istilah pengajar diterjemahkan dari kata Yunani didaskalos. Pengajar merupakan salah satu jabatan dalam dunia PB. Calvin menyebut jabatan pengajar sebagai jabatan tersendiri yaitu: Doktor, yang bertugas di dalam gereja untuk mengajar calon-calon Pendeta dan menjaga supaya pemberitaan Injil oleh gereja tidak bercela.[footnoteRef:20] Pengajar dalam GMIT dapat dipahami sebagai warga gereja yang diangkat oleh Majelis Sinode dalam tugas sebagai pelayan Pendidikan Agama Kristen (PAK) di jemaat atau yang dipekerjakan pada lembaga pendidikan Teologi atau lembaga lain yang memerlukan tenaga pengajar.[footnoteRef:21] Sejauh pemahaman ini dimaksudkan GMIT telah mengaktualisasikan konsep pengajar sesuai dengan penekanan Calvin dalam sistem Presbiterial Sinodal. [20: Ibid, 13.] [21: Tata Dasar Gereja Masehi Injili di Timor (Kupang: Majelis Sinode GMIT, 1999), 13.]

Pejabat-pejabat gerejawi ini adalah pelayan-pelayan yang menerima jabatan pelayanan dari Tuhan Yesusu Kristus bagi pembangunan tubuh Kristus, yang mana penerimaan jabatan tersebut bukanlah sebuah tujuan, melainkan sebuah jalan dan alat untuk pembangunan iman jemaat.[footnoteRef:22] Di satu pihak ia adalah abdi Tuhan dan di lain pihak ia adalah abdi yang melayani bagi kedewasaan iman umat Tuhan. Dalam melaksanakan tugas sebagai pejabat gerejawi yang berasaskan sistem presbiterial sinodal tidaklah mengenal sistem hirarki yang menggolongkap presbiter dalam tingkatan-tingkatan, tetapi semuanya memiliki kedudukan yang setara, baik itu Pendeta, Penatua, Diaken dan Pengajar. Masing-masing menjalankan fugas dan fungsinya sesuai dengan yang dimandatkan tanpa adanya pemahaman yang terutama [22: Telnoni, Gereja, 44-45.]

3. Struktur dan Organisasi GerejaStruktur dan Organisasi Gereja dalam sistem Presbiterial Sinodal terdiri atas 3 lingkup, yaitu Jemaat, Klasis dan Sinode. Jemaat berkaitan dengan lingkup local gereja, klasis berkaitan dengan lingkup jemaat yang tergabung dalam klasis serta relasinya dengan sinode sedangkan sinode meliputi lingkup yang lebih luas. Walaupun ke-tiganya memiliki ruang lingkup yang berbeda, tidak berarti bahwa ketiganya memiliki hubungan hirarki. Dalam pemahaman bahwa asas Presbiterial Sinodal yang berprinsipkan non-hirarkis juga berlaku pada lembaga-lembaga gerejawi. Sinode tidak lebih tinggi dari klasis dan klasis tidak lebih tinggi dari jemaat. Masing-masing lembaga berdaulat atau memiliki kewenangan sepenuhnya atas tugas pelayanan yang diemban; dalam pemaknaan bahwa jemaat berhak mengatur pelayanan local, klasis dalam wilayahnya, dan Sinode mengatur kepentingan seluruh Gereja.[footnoteRef:23] Jika sebuah keputusan Sinode lebih diutamakan dari keputusan jemaat, itu tidaklah menggambarkan kedudukan Sinode lebih tinggi, melainkan semata-mata karena lingkup sinode lebih luas, inklusif atau merangkul lebih banyak warga daripada lingkup Jemaat atau Klasis.[footnoteRef:24] [23: John Campbell-Nelson, Makalah:Asas Presbiterial Sinodal, 3.] [24: Ibid.]

a. JemaatJemaat merupakan persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus yang berdomisili di suatu wilayah geografis tertentu dalam rentang waktu yang terukur jelas di mana firman diberitakan, sakramen dilayankan, dan dipimpin oleh majelis jemaat.[footnoteRef:25] Organisasi dan kepemimpinan dan pelayanan di lingkup jemaat terdiri atas rapat jemaat dan majelis jemaat yang dapat digolongkan dalam Majelis Pekerja Harian Jemaat (MPH Jemaat) serta Majelis Pekerja Lengkap Jemaat (MPL Jemaat). [25: Tata Gereja, 19.]

b. KlasisKlasis adalah persekutuan jemaat-jemaat dalam suatu kesatuan wilayah pelayanan.[footnoteRef:26] Kesatuan wilayah yang dimaksud, dipertajam oleh Telnoni dengan mengatakan bahwa memiliki karakteristik tertentu seperti kebudayaan, kondisi topografis wilayah atau suatu pergumulan pelayanan tersendiri.[footnoteRef:27] Kepemimpinan dalam lingkup klasis menggunakan pola dan nama yang sama dengan yang ada di Jemaat dan Sinode, yaitu Majelis Pekerja Harian Klasis dan Majelis Pekerja Lengkap Klasis. Kewenangan klasis adalah ditingkat klasis. Klasis yang sebenarmya tidak terdapat dalam Alkitab secara eksplisit tapi termaktub secara implisit memiliki fungsi sebagai penghubung. Penghubung yang dimaksud adalah menghubungkan dan memperlancar penyelenggaraan pelayanan di antara jemaat-jemaat yang satu klasis, sekaligus menghubungkan jemaat dengan Sinode.[footnoteRef:28] [26: Ibid, 20.] [27: Telnoni, Gereja,,,. 139.] [28: Ibid, 143.]

c. SinodeSinode dalam pemahaman bergereja adalah suatu sistem dan pola kehidupan bergereja dan melayani dalam iklim jalan bersama-sama, yang berarti orang-orang yang mengelola kehidupan dan pelayanan gereja, melakukannya dalam Roh hidup bersama dan menjadi sesama satu terhadap yang lain.[footnoteRef:29] Tetapi hakikat dari sinode bukanlah pejabat-pejabat yang terpilih di dalam persidangan itu, melainkan sinode adalah rapat gereja secara menyeluruh. [29: Ibid, 148.]

C. Jabatan Gerejawi dalam GMIT sebagai Implementasi Sistem Presbiterial Sinodal.Gereja Masehi Injili di Timor atau GMIT yang lahir pada tanggal 31 Oktober 1947 merupakan gereja hasil pekabaran injil Badan-Badan Pekabaran Injil Belanda, berlatar belakang tradisi Hervormed yang bersumber dari ajaran Calvin. GMIT sendiri awalnya merupakan salah satu gereja bagian dari Gereja Protestan di Indonesia (Indische Kerk), yang pada sidang Am GPI pada tahin 1933 direkomendasikan untuk menjadi gereja mandiri selain Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) dan Gereja Protestan Maluku (GPM).[footnoteRef:30] Satu tahun setelah diresmikan sebagai gereja mandiri yaitu tahun 1948, GMIT kemudian bergabung menjadi anggota Dewan Gereja-Gereja se-Dunia, dan waktu didirikan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia pada bulan Mei 1950, GMIT merupakan salah satu dari anggotanya. [30: Frank L. Cooley, Benih yang Tumbuh 11.(Jakarta: Lembaga Penelitian dan Study Dewan Gereja-Gereja di Indonesia), 56.]

Pada saat diresmikan sebagai gereja mandiri, sinode GMIT yang pertama terdiri atas 6 klasis,[footnoteRef:31] yaitu: [31: Ibid, 56.]

1. Klasis Kupang yang meliputi Kupang dan Amarasi, dengan Pdt. J. Arboldus sebagai ketua Klasis.2. Klasis Camplong yang meliputi Fatuleu dan Amfoang, dengan Pdt. Naiola sebagai ketua Klasis.3. Klasis SoE yang meliputi Amanatun, Amanuban, Mollo, Timor Tengah Utara dan Belu, dengan Pdt. M. Bolla sebagai ketua Klasisnya.4. Klasis Alor atau Pantar, dedt. Molina sebagai ketua Klasisnya.5. Klasis Rote, dengan Pdt. J. Zacharius sebagai ketua Klasisnya.6. Klasis Sabu, dengan Pdt. M. Raja Haba sebagai ketua Klasis.Gereja Masehi Injili di Timor atau GMIT sebagaimana Gereja yang bersumber pada ajaran Calvin tentunya menggunakan sistem Presbiterial Sinodal sebagai sistem pemerintahan gerejawi. GMIT menerima prinsip Presbiterial Sinodal sebagai implikasi dari prinsip Imamat Am orang percaya dan ecclesia reformata semper reformada.[footnoteRef:32] Sebagai penganut sistem Presbiterial Sinodal sedari awalnya hingga saat ini bukan hal yang mudah untuk mengimplementasikannya secara tepat. Tentunya ada berbagai kekurangan. Hal ini dapat ditemukan dalam sejarah GMIT dari saat didirikan. Jika melakukan flash back ketika didirikan, perlu diakui bahwa pola yang ditransfer dari Gereja Protestan di Indonesia (Indische Kerk) tidak teraktualisasi secara baik. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pekerjaan Gereja di berbagai daerah masih belum lama dan baru saja dimulai.[footnoteRef:33] Luasnya cakupan daerah pelayanan, minimnya tenaga pelayan serta pemahaman yang kurang mendalam tentang sistem Presbiterial Sinodal menjadi kendala yang cukup kronis saat itu. Tetapi dengan berjalannya waktu GMIT secara berkesinambungan berusaha untuk memperbaiki diri. Walaupun disadari pula bahwa dalam kenyataannya pemahaman tentang sistem ini belum sepenuhnya terserap dan dilaksanakan dengan baik. [32: Tata Gereja, 18] [33: Frank L. Cooley, Benih, 57.]

Dalam asas Presbiterial Sinodal, dengan jelas mengatur tentang kedudukan dari presbiter atau pejabat gerejawi yang terdiri atas Pendeta, Penatu, Diaken dan Pengajar.[footnoteRef:34] Tentunya masing-masing jabatan memiliki tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. namun kedudukan dari Pendeta, Penatua, Diaken dan Pengajar adalah setara. Tidak ada yang mendominasi dan terdominasi. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dari lainnya. Seorang Pendeta dengan tugas dan fungsi sebagai pemberita Firman Tuhan melalui mimbar Gereja setiap minggunya tidak serta merta memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan seorang Diaken yang berfungsi untuk melakukan pelayanan terhadap orang miskin. Begitu juga seorang pengajar yang berfungsi sebagai pendidik tidak lebih rendah dari seorang penatua. Masing-masing presbiter memiliki kedudukan yang setara, yang membedakan hanyalah fungsi dan tugasnya yang berbeda. Meskipun secara nyata dan baku prinsip teologi dalam sistem Presbiterial Sinodal tidak mengenal sistem hirarki dalam Gereja, namun dalam prakteknya sering ditemukan terjadi bahwa seolah-olah ada sistem hirarki dalam tubuh presbiter. Seorang Pendeta digambarkan memiliki kedudukan yang lebih tinggi karena dianggap memiliki pemahaman teologi yang lebih tinggi dan memiliki tugas mulia melalui pemberitaan Firman Tuhan di mimbar serta memiliki otoritas untuk memberikati jemaat, sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah dari Pendeta karena minimnya pengetahuan teologi serta tidak menjadi pengkhotbah di mimbar.[footnoteRef:35] Seorang Penatua pun terkadang dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari seorang Diaken karena dipengaruhi oleh pemahaman akan tugas dan fungsinya dalam pelayanan. Hal itu juga tergambarkan dalam kepemimpinan di tingkat jemaat, seorang Ketua Majelis Jemaat sering dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari bendahara ataupun seorang sekretaris memiliki kedudukan yang lebih rendah dari seorang wakil ketua. Ataupun Majelis Jemaat Harian terkadang menganggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari anggota Majelis di luar Majelis Jemaat Harian. [34: Tata Gereja, 67.] [35: Wawancara dengan Pnt. R. Mengga pada tanggal 14 Februari 2013.]

Realita yang terjadi ini merupakan imbas dari minimnya pemahaman akan sistem presbiterial Sinodal. Selain itu faktor budaya dan sistem politik sebagai tempat gereja tumbuh dan berkembang memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemahaman yang keliru akan sistem presbiterial Sinodal yang menjadi dasar sistem pemerintahan dalam GMIT. Kekeliruan ini juga dapat ditemukan dalam kesimpang-siuran pemahaman dan pelaksanaan tugas dari masing-masing presbiter. Hal ini lebih nyata dalam pelaksanaan tugas dari penatua dan diaken dalam melakukan pelayanan. Misalnya diaken yang tugasnya adalah sebagai seorang pelayan yang seharusnya melayani orang sakit dan orang-orang miskin, terkadang tidak melaksanakan tugasnya tersebut karena disibukan dengan keterlibatan dalam melaksanakan tugas pemberitaan Firman Tuhan, sehingga imbasnya tugas pokok dalam memperhatikan orang sakit dan orang miskin tidak berjalan sama sekali.[footnoteRef:36] Sedangkan dalam asas Presbiterial Sinodal, Calvin sangat menegaskan pada pelayanan kepada orang-orang miskin serta orang-orang sakit. [36: Wawancara dengan Dkn. O. Banamtuan pada tanggal 14 Februari 2013]

Meurut Telnoni asas Presbiterial Sinodal bukanlah suatu prinsip yang harus diterapkan dengan kaku dan mutlak di setiap gereja, melainkan dapat disesuaikan dengan kondisi gereja di mana asas ini dipakai.[footnoteRef:37] Sepintas pernyataan ini sepertinya memberikan ruang bagi penyelewengan terhadap asas Presbiterial Sinodal, tetapi yang ingin ditekankan oleh Telnoni adalah adanya upaya kontekstualisasi terhadap asas Presbiterial Sinodal. Asas yang lahir dari pergumulan gereja abad pertengahan terkadang dalam penerapannya kurang menjawab pergumulan jemaat abad 21. Sehingga disadari atau tidak banyak gereja yang membuat kebijakan sendiri, yang di satu sisi terkadang tidak sejalan dengan sistem presbiterial Sinodal tetapi di sisi yang berbeda dapat menjawab pergumulan jemaat. Misalnya dalam sistem Presbiterial Sinodal yang menjadi asas GMIT menekankan segala bentuk pelayanan haruslah dilaksanakan oleh Presbiter. Kaum awam atau non-presbiter tidak dilibatkan. Di Efata SoE sebagai salah satu jemaat GMIT melibatkan kaum awam atau non-Presbiter dalam pelayanan.[footnoteRef:38] Dalam artian bahwa dalam GMIT mengenal lingkup terkecil dalam jemaat adalah rayon dan ini diterapkan di hampir semua Jemaat yang ada di GMIT, hanyalah di Jemaat GMIT Efata SoE menggunakan istilah Rukun. Jika dalam Rayon yang menjadi badan pengurusnya adalah presbiter, di dalam Rukun, non-Presbiter dilibatkan sebagai badan pengurus. Jika dilihat dari sistem presbiter yang mengharuskan para presbiter menjadi bagian penting dalam pelayanan, kebijakan dari Jemaat GMIT Efata Soe tentang kaum awam dalam pelayanan ditingkat Rukun adalah kurang tepat. Tetapi ini merupakan sebuah hasil kontekstualisasi terhadap keadaan jemaat. Kehadiran kaum non-Presbiter sebagai pelayan dalam lingkup Rukun memberikan dampak positif bagi lancarnya pelayanan dan sangat membantu para presbiter di tiap-tiap rukun.[footnoteRef:39] Dalam prakteknya pengurus rukun dan presbiter di rukun merupakan rekan sekerja dalam pelayanan. Menurut Luakusa, apa yang telah ditempuh dalam Jemaat Efata SoE tidaklah salah karena kaum awam yang dilibatkan di tiap Rukun bersama-sama presbiter Rukun mengatur pelayanan dan perlu digarisbawahi bahwa GMIT bukanlah gereja para presbiter melainkan kaum awam.[footnoteRef:40] Para presbiter itu juga sebenarnya berasal dari kaum awam, jika tugasnya selesai sebagai seorang Presbiter maka ia akan kembali menjadi kaum awam. Seharusnya kaum non-presbiter atau kaum awam harus diberdayakan sebagai kekuatan dalam sebuah jemaat, hal ini semestinya harus diperhatiakan oleh GMIT.[footnoteRef:41] Dengan melibatkan kaum awam dalam pelayanan, secara tidak langsung mempersiapkan kaum awam ketika terpanggil sebagai presbiter. Hal ini juga merupakan sebuah pembinaan dan proses pengkaderan dalam kehidupan berjemaat. Walaupn disadari bahwa terdapat pula kekurangan, tetapi dengan pembinaan yang berkesinambungan akan memberikan dampak yang positif. [37: Telnoni, Gereja, 24] [38: Wawancara dengan Pdt. Em. Y. Luakusa pada tanggal 9 Februari 2013.] [39: Wawancara dengan Pnt. D. Selan pada tanggal 13 Februari 2013.] [40: Wawancara dengan Pdt. EM. Y. Kuakusa pada tanggal 9 Februari 2013.] [41: Wawancara dengan Pdt. EM. Y. Kuakusa pada tanggal 9 Februari 2013.]

D. PenutupSetelah mengkaji tentang jabatan gerejawi sebagai implikasi sistem Presbiterial Sinodal dalam jemaat GMIT, maka terdapat beberapa hal menarik yang dapat digarisbawahi sebagai kesimpulan.1. Sistem Presbiterial Sinodal yang menjadi asas GMIT adalah sebuah asas bagi pelayanan yang ditata dan diselenggarakan secara bersama-sama oleh para Presbiter dalam roh persekutuan untuk melayani bersama-sama sebagai sesama kawan sekerja Allah.2. Para Presbiter yang dimaksudkan adalah Pendeta, Penatua, Diaken dan Pengajar yang adalah jabatan dalam Gereja.3. Sistem organisasi dan struktur gereja terdiri atas lingkup Jemaat, lingkup Klasis dan lingkup Sinode.4. Sebagai asas yang mengharuskan para Presbiter berjalan bersama-sama maka sistem hirarki tidak dikenal dalam kehidupan bergereja. Baik itu dalam hubungan antar presbiter maupun hubungan antar organisasi dan struktur gereja (Jemaat, Klasis dan Sinode). Semuanya adalah kawan sekerja dalam Tuhan dan memiliki kedudukan yang setara. Tidak ada yang mendominasi dan terdominasi.5. Walaupun sistem presbiterial Sinodal merupakan asas GMIT, namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan. Hal ini disebabkan oleh karena minimnya pemahaman akan sistem itu serta adanya upaya kontekstualisasi terhadap pergumulan dalam kehidupan berjemaat.Berdesarkan pemaparan yang telah dikemukakan maka ada beberapa hal yang menjadi saran:1. Perlu adanya strategi dari GMIT dalam memperkenalkan sistem Presbiterial Sinodal karena minimnya pengetahuan Jemaat bahkan Presbiter tentang sistem ini. Misalnya untuk Presbiter adanya seminar dan sejenisnya untuk memperkaya pengetahuan tentang sistem presbiterial Sinodal. Sedangkan bagi jemaat disarankan agar asas GMIT ini menjadi satu materi dalam katekesasi, sehingga jemaat dari masih muda telah diperkenalkan tentang sistem resbiterial Sinodal.2. Perlu adanya perhatian dan pengkajian terhadap kemungkinan untuk melibatkan kaum awam atau non-Presbiter dalam pelayanan sebagai proses pembinaan, kaderisasi dan pengembangan jemaat.

Daftar PustakaCooley, Frank L. Benih yang Tumbuh 11. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Study Dewan Gereja-Gereja di Indonesia.Hakh, Samuel B. 2009. Makalah: Seminar Tata Dasar Gereja Masehi Injili di Timor tanggal 16 17 April 2009.Nelson-Cambell, John. Makalah: Asas Presbiterial Sinodal.Majelis Sinode GMIT. 1999. Tata Dasar Gereja Masehi Injili di Timor. Kupang: Majelis Sinode GMIT.Majelis Sinode GMIT. 2010. Tata Dasar Gereja Masehi Injili di Timor. Kupang: Majelis Sinode GMIT.Telnoni, J. A. 2011. Gereja Berasas Presbiterial Sinodal. Kupang: CV. Inara.

Jabatan Gerejawi Dalam GMIT(Sebuah Study Kritis terhadap Implementasi Sistem Presbiterial Sinodal dalam GMIT)

Disusun OlehMelkisdek Selan

SOE 2013