62
38 III. METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectionalyang bertujuan untuk mengetahui korelasi dukungan sosial dan mekanisme koping terhadap derajat nyeri pada pasien osteoarthritis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Rancangan ini observasi atau pengukuran variabel dilakukan pada saat tertentu, artinya setiap subjek hanya diobservasi satu kali saja. B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah sejumlah besar subyek yang memiliki karakteristik tertentu. Populasi target, yaitu populasi yang merupakan sasaran akhir penerapan hasil penelitian. Sedangkan populasi terjangkau adalah bagian dari populasi target yang dapat dijangkau oleh peneliti (Sastroasmoro, 2011). a. Populasi Target Populasi target pada penelitian ini adalah penderita osteoarthritis. b. Populasi Terjangkau Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah penderita osteoarthritis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

klasifikasi pada skripsi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

karya tulis ilmiah

Citation preview

38

III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah observasional analitik dengan

pendekatan cross sectionalyang bertujuan untuk mengetahui korelasi

dukungan sosial dan mekanisme koping terhadap derajat nyeri pada pasien

osteoarthritis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Rancangan ini

observasi atau pengukuran variabel dilakukan pada saat tertentu, artinya

setiap subjek hanya diobservasi satu kali saja.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah sejumlah besar subyek yang memiliki karakteristik

tertentu. Populasi target, yaitu populasi yang merupakan sasaran akhir

penerapan hasil penelitian. Sedangkan populasi terjangkau adalah

bagian dari populasi target yang dapat dijangkau oleh peneliti

(Sastroasmoro, 2011).

a. Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah penderita osteoarthritis.

b. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah penderita

osteoarthritis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara

tertentu hingga dianggap mewakili populasinya (Sastrasmoro, 2011).

Sampel penelitian adalah penderita ostearthritis di RSUD Prof. DR.

Margono Soekarjo Purwokerto.

Kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai

berikut :

Kriteria Inklusi

a. Penderita Osteoarthritis yang memenuhi kriteria diagnosis klinis

osteoarthritis

b. Mampu secara bahasa dan kognitif untuk mengisi kuesioner

39

c. Subjek bersedia untuk ikut dalam penelitian

Kriteria Eksklusi

a. Sampel sedang menderita atau memiliki riwayat trauma sendi,

operasi sendi dan penyakit sendi yang lain.

Besar sampel minimal dalam penelitian ini ditentukan dengan

menggunakan rumus yaitu: (Dahlan, 2004).

n =

Zα+Zβ

0,5∈[(1+r )(1−r )

]2 + 3

Keterangan :

n : besar sampel minimal

Zα : deviat baku normal untuk kesalahan tipe I (α),

ditetapkan α = 5%, sehingga Zα = 1,96

Zβ : deviat baku normal untuk kesalahan tipe II (β),

ditetapkan β = 10%, sehingga Zβ = 1,28

r : korelasi minimal yang dianggap bermakna,

ditetapkan 0,437

Hasil perhitungan dengan mengaplikasikan rumus di atas

diperoleh besar sampel minimal yaitu :

n =

Zα+Zβ

0,5∈[(1+r )(1−r )

]2 + 3

2 = (1,64 + 1,28)2 + 3

0,5 In [(1+0,437)/ (1-0,437)]

= 42

Berdasarkan rumus perhitungan sampel tersebut didapatkan besar

sampel minimal sebanyak 42 responden. Dengan

mempertimbangkan penambahan jumlah sampel dan antisipasi

sampel non-response sebesar 10%, maka sampel yang akan

40

diambil untuk penelitian ini adalah minimal sebanyak 42 dan

maksimal47 responden. Pengambilan sampel dilakukan

menggunakan teknik consecutive sampling yaitu semua subjek

memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai

jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.

C. Variabel Penelitian

1. Variabel terikat : Derajat Nyeri

2. Variabel bebas : Dukungan Sosial dan Mekanisme Koping

D. Definisi Operasional

1. Dukungan Sosial

Dukungan Sosial diukur dengan sebuah kuesioner untuk mengetahui

dukungan sosial yang diperoleh atau yang dirasakan dan diterima oleh

pasien Osteoarthritis dari berbagai sumber dukungan sosial yang ada. Data

dukungan sosial diperoleh dari pilihan subjek penelitian.

Kuesioner disajikan dalam bentuk pertanyaan yang bersifat

favorable dan unfavorable, dengan menggunakan empat alternatf jawaban.

Pemberian skor untuk pertanyaan yang mendukung (favorable) dilakukan

dengan cara memerikan skor 4 untuk pilihan Sangat Sesuai (SS), skor 3

untuk pilihan Sesuai (S), skor 2 untuk pilihan Tidak Sesuai (TS) dan skor

1 untuk pilihan Sangat Tidak Sesuai (STS). Sebaliknya pemberian skor

untuk pernyataan yang tidak mendukung (unfavorable) dilakukan dengan

cara memberikan skor 1 untuk pilihan Sangat Sesuai (SS), skor 2 untuk

pilihan Sesuai (S), skor 3 untuk pilihan Tidak Sesuai (TS) dan nilai 4

untuk pilihan Sangat Tidak Sesuai (STS). Semakin tinggi skor dukungan

sosial yang diperoleh menunjukan semakin tinggi dukungan sosial yang

diterima pasien. Sebaliknya, semakin rendah skor dukungan sosial yang

diperoleh menunjukan semakin rendah dukungan sosial yang diterima

pasien. Skala dukungan sosial adalah Interval.

2. Mekanisme Koping

a. Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk

menghadapi perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping

berhasil, maka orang tersebut akan dapat beradaptasi terhadap

41

perubahan tersebut. Pengukuran mekanisme koping adalah dengan

menggunakan kuesioner mekanisme koping. Pertanyaaan pada

kuesioner disusun berdasarkan bentuk penanganan koping yang

dilakukan individu yaitu dimana individu secara aktif mencari

penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi

yang menimbulkan stres atau strategi penanganan stres dimana individu

memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional.

Kuesioner disajikan dalam bentuk skala 0-100, 0 apabila pasien tidak

pernah melakukan suatu kegiatan dan 100 apabila pasien selalu

melakukan suatu kegiatan. Skala yang digunakan dalam mekanisme

koping adalah Interval.

3. Derajat Nyeri

Derajat nyeri diukur dengan menggunaan skala intensitas sederhana,

yaitu Visual Analogue Scale (VAS). VAS merupakan alat ukur beratnya

nyeri yang bersifat subyektif dan sering digunakan pada penelitian nyeri

klinis. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi

keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang

lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada

rangkaian dari pada dipaksa untuk memilih satu kata atau satu angka.

Visual Analogue Scale adalah sebuah skala berupa garis lurus sepanjang

100 mm, ujung yang satu (angka 0) digambarkan sebagai titik “tidak

nyeri” dan ujung yang lain (angka 100) menggambarkan “nyeri yang

paling berat yang sedang dirasakan”. Skala pada derajat nyeri adalah

Interval.

E. Pengumpulan Data

1. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan alat penelitian berupa kuesioner

dukungan sosial, mekanisme koping dan Visual Analogue Scale

(VAS) untuk mengukur derajat nyeri. Kuesioner yang digunakan

dalam penelitian ini menurut cara penyampaiannya termasuk tipe

langsung, yang berarti disampaikan langsung dan diisi sendiri oleh

42

orang yang dimintai informasi tentang dirinya sendiri (Notoatmodjo,

2002).

2. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara langsung

responden mengenai karakteristik responden, daftar panduan

pertanyaan, kuesioner dukungan sosial , kuesioner mekanisme koping

dan kuesioner Visual Analogue Scale (VAS).

F. Tata Urutan Kerja

1. Tahap persiapan

a. Menentukan judul penelitian

b. Studi kepustakaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

penelitian

c. Menyusun laporan proposal

2. Tahap pelaksanaan meliputi pengumpulan bahan penelitian (rekam

medis dan kuesioner) dari seluruh sampel, dilakukan dengan :

a. Peneliti meminta suat keterangan/ijin melakukan penelitian di RSUD

Prof. Dr. margono Soekarjo Purwokerto

b. Peneliti menentukan jumlah responden

c. Peneliti menjelaskan kepada responden mengenai tujuan penelitian

dengan harapan responden dapat memberikan jawaban yang benar,

jujur dan dapat bekerja sama dengan baik.

d. Responden mengisi kuesioner penelitian yang diberikan oleh peneliti.

e. Setelah pengsisan selesai dilakukan pengumpulan data semua

responden

3. Tahap pengolahan dan analisis data untuk mengetahui hubungan dukungan

sosial dan mekanisme koping terhadap derajat nyeri pada pasien

osteoarthritis.

G. Uji Validitas dan Reliabelitas Instrumen

1. Uji Validitas

Sebelum data diolah terlebih dahulu dilakukan uji validitas,

khususnya pada instrument variabel dukungan sosial (X1), hal ini

dimaksudkan agar instrument pada kuesioner yang dipakai benar-benar

43

tepat mengukur apa yang hendak diukur. Validitas merupakan ketetapan

atau kejituan alat pengukur serta ketelitian, kesamaan atau ketepatan

pengukuran apa yang sebenarnya diukur. Menurut Sugiono (2002:270),

instrumen yang valid harus mempunyai validitas internal dan eksternal.

Instrumen yang mempunyai validitas internal, bila kriteria yang ada dalam

instrumen secara rasional (teoritis) telah mencerminkan apa yang diukur.

Sedangkan instrumen yang mempunyai validitas external bila kriteria

dalam instrumen disusun berdasarkan luar atau fakta-fakta empiris yang

telah ada.

Dalam penelitian ini, peneliti mengunakan validitas internal. Hal

ini karena peneliti ingin mengetahui valid dan tidaknya instrumen atas

dasar kevalidan soal setiap butir dengan mengembangkan teori-teori yang

ada. Oleh karena itu, dari item pertanyaan mengenai dukungan masyarakat

sebanyak 48 dilakukan pengujian validitas atas jawaban sebanyak 42

responden. Untuk mengetahui validitas item instrumen, dapat dilakukan

korelasi antara skor butir pertanyaan dengan total skor kontruk atau

variabel. Untuk N = 42 pada tabel r Product Moment dengan taraf

signifikansi 5%, diperoleh dk = n - 2 = 42 – 2 = 40 pada tabel didapat

angka sebesar 0,304 (Sugiono 2000:288). Jadi jika r hitung (pada kolom

Corrected Item-Total Correlation) lebih besar dari r tabel dan nilai r

positif, maka butir atau pertanyaan tersebut dinyatakan valid (Ghozali

2001:135). Dengan demikian, item yang dianggap valid adalah item yang

koefisien korelasinya lebih besar atau sama dengan ( ≥ ) 0.304 dari nilai

butir tersebut. Jika semua skor butir berkolerasi secara signifikan dengan

skor total maka dapat disimpulkan bahwa alat ukur itu mempunyai

validitas (Sugiono 2002:288). Dari hasil pengujian ini akan diperoleh item-

item yang valid dan item-item yang tidak valid. Item-item yang tidak valid

dibuang dari keseluruhan instrumen penelitian, dan selanjutnya hanya

item-item valid yang digunakan sebagai alat memperoleh data penelitian.

2. Hasil Uji Reliabilitas

44

Uji ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil suatu

pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Apakah responden

dapat mengungkapkan data-data yang ada pada variabel-variabel

penelitian. Uji ini juga merupakan syarat sebelum instrument ini

digunakan dalam proses pengumpulan data. Proses ini dilakukan agar data

yang dihasilkan oleh produk ini secara konsisten memberikan hasil yang

ajeg/sama meskipun digunakan berulang kali dan dalam kurun waktu yang

berbeda.

Husaini Usman (2000 : 293) menyatakan bahwa tes reliabitas untuk

skala Likert paling sering menggunakan analisis item, yaitu untuk masing-

masing skor item tertentu dikorelasikan dengan skor totalnya. Untuk r

yang kurang dari 0,80 dinyatakan gugur (tidak reliabel). Dengan demikian,

apabila hasil perolehan skor 0,80 ke atas dapat dinyatakan bahwa

instrumen telah memenuhi uji reliabelitas.

H. Uji Persyaratan Analisis Data

1. Uji Normalitas

Uji normalitas sampel dilakukan untuk menguji apakah dalam

model regresi (korelasi), yaitu variabel independen dan variabel

dependen terdistribusikan secara normal atau tidak. Uji normalitas ini

dilakukan pada variabel dukungan sosial, mekanisme koping, dan derajat

nyeri dengan mengunakan uji Grafik Histogram dan normal P-Plot.

Apabila hasil gambar grafik Histogram menunjukkan data yang telah

dibuat frekuensinya terlihat mempunyai kemiripan bentuk dengan dengan

kurfa normal (berbentuk seperti lonceng). Hal ini membuktikan bahwa

distribusi tersebut sudah dapat dikatakan normal (Santoso, 2003:141).

Sedangkan hasil uji dengan normal P-Plot ditunjukkan jika data

menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal

atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka

model regresi (korelasi) memenuhi asumsi normal (Ghozali, 2002:76).

2.Uji Homogenitas Varian

45

Uji homogenitas menggunakan uji heteroskedastisitas bertujuan

untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian

dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian dari

residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut

homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model

yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi

heteroskedastisitas (Ghozali, 2002:69). Dalm penelitian ini, uji

homogenitas varian dilakukan dengan menggunakan grafik Scatterplot,

apabila titik-titik menyebar secara acak serta tersebar di bawah angka 0

pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi suatu gejala

heteroskesdasitas pada model regresi (korelasi) jadi data yang ada layak

digunakan untuk analisis lebih lanjut (Ghozali, 2002:71).

3. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi ini dilakukan dengan uji mapping Durbin Watson

(DW). Uji ini digunakan untuk melihat ada tidaknya autokorelasi dalam

suatu model regresi. Dengan mendasarkan pada nilai D-W tabel,

bandingkan nilai statistik. Jika signifikan atau berada pada daerah

autokorelasi positif, maka spesifkasi model persamaan utama adalah salah,

atau misspesification (Ghozali, 2002:77).

I. Analisis Data

1. Analisis Univariabel

Analisisunivariabeldigunakanuntuk menjelaskan setiap variabel

yang diukur dalam penelitian ini. Data disajikan dalam distribusi

frekuensi untuk semua variabel yang diteliti.

2. Analisis Bivariabel

Analsis data yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah

analisis statistik dengan cara menghitung koefisien korelasi Pearson

dan korelasi parsial. Analisis ini digunakan untuk mencari korelasi

antara dukungan sosial dengan derajat nyeri dan mekanisme koping

dengan derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis.

3. Analisis Korelasi Ganda

46

Analisis korelasi ganda digunakan untuk mengetahui ada

tidaknya hubungan variable dukungan social dan menisme koping

dengan variable derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis. Dalam hal

ini korelasi ganda dilakukan melalui teknik regresi linear.

Besarnya korelasi ini menggambarkan seberapa erat hubungan

linear antar variabel, bukan hubungan sebab akibat. Notasi dari

koefisien korelasi ini adalah r yang besarnya antara -1 hingga 1.

Apabila koefisien korelasi didapatkan nilai positif maka sifat

korelasinya positif, artinya apabila dukungan sosial meningkat maka

derajat nyeri juga meningkat atau sebaliknya dan apabila mekanisme

koping meningkat maka derajat nyeri juga meningkat atau sebaliknya.

Sedangkan apabila koefisisen korelasi didapat nilai negatif, maka sifat

korelasinya negatif, artinya apabila dukungan sosial meningkat maka

derajat nyeri menurun begitu pula sebaliknya dan apabila mekanisme

koping meningkat maka derajat nyeri menurun begitu pula sebaliknya.

Berkaitan dengan besaran angka korelasi. Angka korelasi berkisar

pada 0 (tidak ada korelasi sama sekali) dan 1 (korelasi sempurna).

Sebenarnya tidak ada ketentuan yang tepat mengenai apakah angka

korelasi tertentu menunjukkan tingkat korelasi yang tinggi atau lemah.

Namun, dapat dijadikan pedoman sederhana, bahwa angka korelasi di

atas 0,5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedang di bawah 0,5

korelasi lemah (Santoso, 2003:291). Oleh karena itu untuk

menginterpretasikan nilai rs digunakan interval koefisien sebagai

berikut:

1) 0,00 – 0,29 : Tingkat hubungan sangat rendah

2) 0,30 – 0,49 : Tingkat hubungan rendah

3) 0,50 – 0,69 : Tingkat hubungan cukup kuat

4) 0,70 – 0,89 : Tingkat hubungan kuat

5) 0,90 – 1,000 : Tingkat hubungan sangat kuat.

J. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2014 pada pasien

Osteoarthritis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

47

K. Jadwal Penelitian

Kegiatan Oktober

2013

April 2014 April201

4

Mei 2014

Pembuatan

proposal penelitian

Bimbingan

proposal peneitian

Seminar proposal

penelitian

Pengumpulan data

penelitian

Analisi data

penelitian dan

seminar hasil

penelitian

48

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Data Responden

a. Identitas Responden

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai data deskriptif

responden. Data deskriptif responden ini menggambarkan berbagai

kondisi responden yang ditampilkan secara statistik dan memberikan

informasi secara sederhana tentang keadaan responden yang dijadikan

obyek penelitian. Pada penelitian ini responden digambarkan

berdasarkan jenis kelamin dan usia. Adapun data deskripsi identitas

responden yang digambarkan berdasarkan jenis kelamin dan usia dan

pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.1

Deskripsi Jenis Kelamin Responden

No Jenis Kelamin Jumlah Persentase

1 Pria 15 35,71 %

2 Wanita 27 64,29 %

Total 42 100%

Sumber : Data Primer, Diolah Tahun 2014

Berdasarkan tabel 4.1 di atas diketahui bahwa responden dalam

penelitian ini adalah penderita osteoarthritis di RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto sebagian besar adalah wanita. Jumlah

responden pria sebanyak 15 responden (35,71 %) dan wanita sebanyak

49

27 responden (64,29 %). Sedangkan berdasarkan usia responden dalam

penelitian ini diklasifikasikan sebagai berikut :

Tabel 4.2

Deskripsi Usia Responden

No. Usia (Tahun) Jumlah Persentase

1. 50 – 59 17 22,45

2. 60 - 69 15 35.71

3 70 – 80 10 23,81%

Total 42 100 %

Sumber : Data Primer, Diolah Tahun 2014

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat dijelaskan bahwa responden

dalam penelitian ini adalah penderita osteoarthritis di RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto memiliki usia minimal 50 tahun dan

maksimal 80 tahun dengan kasifikasi yang berusia antara 50 - 59 tahun

sebanyak 17 responden (40,48 %), berusia 60 – 69 tahun sebanyak 15

responden (35,71%), dan berusia 70 – 80 tahun sebanyak 10 responden

(23,81%).

2. Analisis Univariabel

Analisis univariabel digunakan untuk menjelaskan setiap variabel

yang diukur dalam penelitian ini. Data disajikan dalam distribusi

frekuensi untuk semua variabel yang diteliti.

a. Analisis Data Dukungan Sosial

Untuk mengetahui kondisi variabel dukungan sosial secara umum

dibuat lima klasifikasi, yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan

sangat rendah. Penetapan skor pada kriteria jawaban responden terhadap

variabel yang diungkap didasarkan pada perkalian jumlah item dengan

skor tertinggi pada alternatif jawaban (48 x 4 = 192), hasil perkalian

tersebut dikurangi jumlah item (192 – 48 = 144), dan hasilnya dibagi

50

jumlah klasifikasi (144 : 5 = 28,8). Jadi rentangan skor dari setiap

klasifikasi adalah 28.

Dari analisis SPSS pada lampiran …. halaman … dapat dilihat

bahwa variabel dukungan sosial memiliki skor rata-rata (mean) 169,07

standar deviasi 18,826 skor minimum 130 dan skor maksimum 192. Hasil

pernyataan responden terhadap dukungan sosial secara rinci ditunjukkan

pada tabel berikut:

Tabel 4.3

Deskripsi Variabel Dukungan Sosial

No Klasifikasi Skor Frekuensi Persentasi

1 Sangat tinggi 164 – 192 24 57,14

2 Tinggi 135 – 163 15 35,71

3 Sedang 106 – 134 3 7,15

4 Rendah 77 – 105 0 0

5 Sangat rendah 48 – 76 0 0

Jumlah 42 100

Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014

Berdasarkan tabel 4.3 di atas, menunjukkan bahwa tanggapan

responden terhadap dukungan sosial yang dialami atau dirasakan pada

klasifikasi/kriteria sangat tinggi sebanyak 24 responden (57,14%), tinggi

sebanyak 15 (35,71%), dan rendah sebanyak 3 responden (7,15%),

Sedangkan skor rata-rata (mean) 169 terdapat pada klasifikasi sangat

tinggi. Jadi, dapat dikatakan bahwa rata-rata responden merasakan

dukungan sosialnya sangat tinggi.

Persebaran tanggapan responden terhadap variabel dukungan sosial

lebih lanjut dapat digambarkan ke dalam histogram sebagai berikut:

51

130 140 150 160 170 180 190 200

DUKUNGAN

0

2

4

6

8

10

Fre

qu

en

cy

Mean = 169.07Std. Dev. = 18.826N = 42

Histogram

Sedangkan analisis berdasarkan jenis kelamin dan umur responden

terkait dengan dukungan sosial lebih rinci dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 4.4

Deskripsi Variabel Dukungan Sosial Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Rata-rata Skor Kreteria

1 Laki-laki 173 Sangat tinggi

2 Perempuan 167 Sangat tinggi

Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014

Berdasarkan tabel di atas, dukungan sosial responden jenis kelamin

laki-laki memperoleh rata-rata skor 173 dan perempuan memperoleh skor

167. Dengan demikian, responden laki-laki dan perempuan memiliki

tingkat dukungan sosial yang sangat tinggi, namun rata-rata skor dukungan

sosial laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan.

Tabel 4.5

Deskripsi Variabel Dukungan Sosial Berdasarkan Umur

No Umur Rata-rata Skor Kreteria

1 50 – 59 tahun 170 Sangat tinggi

2 60 – 69 tahun 171 Sangat tinggi

3 70 – 80 tahun 165 Sangat tinggi

Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014

Berdasarkan tabel di atas dukungan sosial umur 50-59 tahun

memperoleh rata-rata skor 170, umur 60-69 tahun memperoleh rata-rata

skor 171, dan umur 70-80 tahun memperoleh rata-rata skor 165. Dengan

Gambar 4.1 Histogram Frekuensi

Variabel Dukungan Sosial

52

demikian, semua usia responden (50-80 tahun) memiliki tingkat dukungan

sosial yang sangat tinggi, namun rata-rata skor dukungan sosial usia 60-69

tahun lebih tinggi dibanding usia 50-59 tahun dan usia 70-80 tahun.

b. Analisis Data Mekanisme Koping

Untuk mengetahui kondisi variabel mekanisme koping yang

dialami atau dirasakan responden secara umum dibuat lima klasifikasi,

yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Penetapan

skor pada kriteria jawaban responden terhadap variabel yang diungkap

didasarkan pada skor skala tertinggi dibagi lima (100 : 5 = 20). Jadi

rentangan skor dari setiap klasifikasi adalah 20.

Dari analisis SPSS pada lampiran …. halaman … dapat dilihat

bahwa variabel mekanisme koping memiliki skor rata-rata (mean) 74,24

standar deviasi 3,740 skor minimum 70 dan skor maksimum 85. Hasil

pernyataan responden terhadap mekanisme koping secara rinci

ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 4.6

Deskripsi Variabel Mekanisme Koping

No Klasifikasi Skor Frekuensi Persentasi

1 Sangat tinggi 81 – 100 13 30,95

2 Tinggi 61 – 80 29 69,05

3 Sedang 41 – 60 0 0

4 Rendah 21 – 40 0 0

5 Sangat rendah 0 – 20 0 0

Jumlah 42 100

Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014

Berdasarkan tabel 4.6 di atas, menunjukkan bahwa tanggapan

responden terhadap mekanisme koping yang dialami atau dirasakan pada

klasifikasi/kriteria sangat tinggi sebanyak 13 responden (30,95 %) dan

tinggi sebanyak 29 (69,05 %). Sedangkan skor rata-rata (mean) 72,24

53

terdapat pada klasifikasi tinggi. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa

rata-rata responden merasakan atau mengalami tingginya mekanisme

koping. Jadi rata-rata responden dapat beradaptasi terhadap perubahan

yang terjadi.

Persebaran tanggapan responden terhadap variabel mekanisme

koping lebih lanjut dapat digambarkan ke dalam histogram sebagai

berikut:

70 72.5 75 77.5 80 82.5 85

KOPING

0

2

4

6

8

10

12

14

Fre

qu

en

cy

Mean = 78.24Std. Dev. = 3.74N = 42

Histogram

Sedangkan analisis berdasarkan jenis kelamin dan umur responden

terkait dengan mekanisme koping lebih rinci dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 4.7

Deskripsi Variabel Mekanisme Koping Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Rata-rata Skor Kreteria

1 Laki-laki 78 Tinggi

2 Perempuan 78 Tinggi

Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014

Berdasarkan tabel di atas, mekanisme koping responden dengan

jenis kelamin laki-laki dan perempuan memperoleh rata-rata skor yang

sama, yaitu 78. Dengan demikian, dapat dikatan bahwa responden laki-laki

dan perempuan memiliki tingkat mekanisme koping yang sama tingginya.

Tabel 4.8

Deskripsi Variabel Mekanisme Koping Berdasarkan Umur

No Umur Rata-rata Skor Kreteria

Gambar 4.2 Histogram Frekuensi

Variabel Mekanisme Koping

54

1 50 – 59 tahun 79 Tinggi

2 60 – 69 tahun 77 Tinggi

3 70 – 80 tahun 79 Tinggi

Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014

Berdasarkan tabel di atas mekanisme koping umur 50-59 tahun

memperoleh rata-rata skor 79, umur 60-69 tahun memperoleh rata-rata

skor 77 dan umur 70-80 tahun memperoleh rata-rata skor 79. Dengan

demikian, dapat dinyatakan bahwa semua usia responden (50-80 tahun)

memiliki tingkat mekanisme koping yang tinggi, namun rata-rata skor

mekanisme koping antara usia 50-59 tahun dan usia 70-80 memiliki

tingkatan yang sama serta lebih tinggi dibanding usia 60-69 tahun.

c. Analisis Derajat Nyeri

Untuk mengetahui kondisi variabel derajat nyeri yang dialami atau

dirasakan responden penderita osteoarthritis secara umum dibuat tiga

klasifikasi, yaitu nyeri hebat, nyeri sedang, dan nyeri rendah. Pengukuran

tersebut berdasarkan Visual Analogue Scale (VAS) pada nilai dibawah 40

dikatakan sebagai nyeri ringan, nilai diantara 40-70 dinyatakan sebagai

nyeri sedang, dan diatas 70 dianggap sebagai nyeri hebat.

Dari analisis SPSS pada lampiran …. halaman … dapat dilihat

bahwa variabel derajat nyeri memiliki skor rata-rata (mean) 47,14, standar

deviasi 15,817 skor minimum 20 dan skor maksimum 80. Hasil pernyataan

responden terhadap derajat nyeri akibat menderita osteoarthritis secara

rinci ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 4.9

Deskripsi Variabel Derajat Nyeri

No Klasifikasi Skor Frekuensi Persentasi

1 Nyeri hebat 71 – 100 11 26,19

2 Nyeri sedang 40 – 70 29 69,05

3 Nyeri ringan 1 – 39 2 4,76

Jumlah 42 100

55

Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014

Berdasarkan tabel 4.9 di atas, menunjukkan bahwa tanggapan

responden terhadap derajat nyeri yang dialami atau dirasakan akibat

menderita osteoarthritis pada klasifikasi/kriteria nyeri hebat sebanyak 11

responden (26,19 %), nyeri sedang sebanyak 29 responden (69,05 %), dan

nyeri ringan sebanyak 2 responden (4,76 %). Sedangkan skor rata-rata

(mean) 47,14 terdapat pada klasifikasi sedang. Jadi, secara umum dapat

dikatakan bahwa rata-rata responden penderita osteoarthritis merasakan

atau mengalami nyeri sedang.

Persebaran tanggapan responden terhadap variabel derajat nyeri

lebih lanjut dapat digambarkan ke dalam histogram sebagai berikut:

20 40 60 80

NYERI

0

2

4

6

8

10

Fre

qu

en

cy

Mean = 47.14Std. Dev. = 15.817N = 42

Histogram

Sedangkan analisis berdasarkan jenis kelamin dan umur responden

terkait dengan derajat myeri lebih rinci dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 4.10

Deskripsi Variabel Derajat Nyeri Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Rata-rata Skor Kreteria

1 Laki-laki 49 Nyeri sedang

2 Perempuan 46 Nyeri sedang

Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014

Gambar 4.3 Histogram Frekuensi

Variabel Derajat Nyeri

56

Berdasarkan tabel di atas derajat nyeri responden jenis kelamin

laki-laki memperoleh rata-rata skor 49 dan perempuan 46, ke duanya

sama-sama pada derajat nyeri sedang, namun derajat nyeri laki-laki lebih

tinggi dibanding derajat nyeri perempuan.

Tabel 4.11

Deskripsi Variabel Derajat Nyeri Berdasarkan Umur

No Umur Rata-rata Skor Kreteria

1 50 – 59 tahun 46 Nyeri sedang

2 60 – 69 tahun 44 Nyeri sedang

3 70 – 80 tahun 53 Nyeri sedang

Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2014

Berdasarkan derajat nyeri responden yang berumur 50-59 tahun

memperoleh rata-rata skor 46, umur 60-69 tahun memperoleh rata-rata

skor 44 dan umur 70-80 tahun memperoleh rata-rata skor 53, ke tiganya

pada kondisi derajat nyeri sedang. Namun derajat nyeri usia 70-80 tahun

paling tinggi dibanding derajat nyeri usia 50-59 tahun dan usia 60-69

tahun.

3. Uji Validitas dan Reliabelitas Instrumen

a. Hasil Uji Validitas

Dari item pertanyaan mengenai dukungan masyarakat sebanyak 48

dilakukan pengujian validitas atas jawaban sebanyak 42 responden. Untuk

mengetahui validitas item instrumen, dapat dilakukan korelasi antara skor

butir pertanyaan dengan total skor kontruk atau variabel. Untuk N = 42

pada tabel r Product Moment dengan taraf signifikansi 5%, diperoleh dk =

n - 2 = 42 – 2 = 40 pada tabel didapat angka sebesar 0,304 (Sugiono

2000:288). Jadi jika r hitung (pada kolom Corrected Item-Total

Correlation) lebih besar dari r tabel dan nilai r positif, maka butir atau

pertanyaan tersebut dinyatakan valid. Dengan demikian, item yang

dianggap valid adalah item yang koefisien korelasinya lebih besar atau

sama dengan ( ≥ ) 0.304 dari nilai butir tersebut. Jika semua skor butir

berkolerasi secara signifikan dengan skor total maka dapat disimpulkan

bahwa alat ukur itu mempunyai validitas.

57

Setelah dilakukan uji validitas sesuai dengan prosedur sebagaimana

uraian tersebut di atas didapatkan hasil analisis butir masing-masing

instrumen penelitian pertanyaan tentang dukungan sosial diperoleh skor rxy

dalam rentangan nilai terendah 0,315 sampai dengan nilai tertinggi 0,822

sebagaimana terlampir pada lampiran… halaman… Berdasarkan hasil

perhitungan validitas tersebut, setelah dikonsultasikan dengan rxy table

dengan taraf signifikansi sebesar 5% dan N 42 diperoleh nilai r tabel

sebesar 0,304. Karena hasil r hitung ke 48 item pertanyaan lebih besar dari

r tabel (rxy hitung > rxy tabel), maka ke 48 butir pertanyaan tersebut

dinyatakan valid dan dapat digunakan sebagai instrumen variable

dukungan sosial dalam penelitian ini.

b. Hasil Uji Reliabilitas

Uji reliabitas untuk skala Likert paling sering digunakan adalah

analisis item, yaitu untuk masing-masing skor item tertentu dikorelasikan

dengan skor totalnya. Untuk r yang kurang dari 0,80 dinyatakan gugur

(tidak reliabel). Dengan demikian, apabila hasil perolehan skor 0,80 ke

atas dapat dinyatakan bahwa instrumen telah memenuhi uji reliabelitas.

Berdasarkan hasil uji reliabilitas instrumen variabel dukungan

sosial memperoleh skor Cronbach Alpha sebesar 0,971. Jadi, dapat

dinyatakan bahwa instrumen variabel dukungan sosial reliabel (andal)

untuk dipakai dalam penelitian ini.

4. Hasil Uji Persyaratan Analisis Data

a. Uji Normalitas

Uji normalitas sampel dilakukan untuk menguji apakah dalam

model regresi (korelasi), yaitu variabel independen dan variabel

dependen terdistribusikan secara normal atau tidak. Uji normalitas ini

dilakukan pada variabel dukungan sosial, mekanisme koping, dan derajat

nyeri dengan mengunakan uji Grafik Histogram dan normal P-Plot.

Hasil Grafik Histogram sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.4

di bawah ini:

58

-2 -1 0 1 2 3

Regression Standardized Residual

0

2

4

6

8

10

Fre

qu

en

cy

Mean = 4.3E-16Std. Dev. = 0.975N = 42

Dependent Variable: NYERI

Histogram

Gambar 4.4 Histogram Uji Normalitas

Pada gambar grafik Histogram tersebut menunjukkan bahwa data

yang telah dibuat frekuensinya terlihat mempunyai kemiripan bentuk

dengan dengan kurfa normal (berbentuk seperti lonceng). Hal ini

membuktikan bahwa distribusi tersebut sudah dapat dikatakan normal

(Santoso, 2003:141).

Sedangkan hasil uji dengan normal P-Plot sebagaimana

ditunjukkan pada gambar 4.5 di bawah ini:

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Observed Cum Prob

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

Ex

pe

cte

d C

um

Pro

b

Dependent Variable: NYERI

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Gambar 4.5 Normal P-P Plot

Gambar di atas menunjukkan bahwa semua data berdistribusi secara

normal dan tidak terjadi penyimpangan. Hal ini dibuktikan dengan

memperhatikan sebaran data yang menyebar disekitar garis diagonal pada

“Normal P-Plot of Regresion Standardized Residual”. Hasil ini sesuai

59

penjelasan Ghozali (2002:76) yang menyatakan bahwa jika data menyebar

di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik

histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi

(korelasi) memenuhi asumsi normal.

b. Uji Homogenitas Varian

Uji homogenitas menggunakan uji heteroskedastisitas bertujuan

untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian

dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian dari

residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut

homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model

yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi

heteroskedastisitas (Ghozali, 2002:69).

Dalm penelitian ini, uji homogenitas varian dilakukan dengan

menggunakan grafik Scatterplot sebagaimana ditunjukkan pada gambar

4.6 di bawah ini:

-2 -1 0 1 2 3

Regression Standardized Predicted Value

-2

-1

0

1

2

3

Re

gre

ss

ion

Stu

de

nti

ze

d D

ele

ted

(P

res

s)

Re

sid

ua

l

Dependent Variable: NYERI

Scatterplot

Gambar 4.6 Grafik Scatterplot

Hasil pengujian heteroskedastisitas melalui tampilan grafik

Scatterplot dengan persebaran antara nilai prediksi variabel terikat dengan

residulnya tidak membentuk suatu pola yang pasti, atau terjadi persebaran

yang tidak menggerombol membentuk suatu pola yang teratur. Hasil ini

sesuai penjelasan Ghozali (2002:71) yang menyatakan bahwa apabila titik-

titik menyebar secara acak serta tersebar di bawah angka 0 pada sumbu Y.

60

Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi suatu gejala

heteroskesdasitas pada model regresi (korelasi) jadi data yang ada layak

digunakan untuk analisis lebih lanjut.

c. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi ini dilakukan dengan uji mapping Durbin Watson

(DW). Uji ini digunakan untuk melihat ada tidaknya autokorelasi dalam

suatu model regresi. Dengan mendasarkan pada nilai D-W tabel,

bandingkan nilai statistik. Jika signifikan atau berada pada daerah

autokorelasi positif, maka spesifkasi model persamaan utama adalah salah,

atau misspesification (Ghozali, 2002:77). Dari regresi diperoleh angka DW

sebesar 2,09 (lihat lampiran .... halaman ...). Dengan jumlah data (n) = 42

dan jumlah variabel (k) = 3 serta = 5% diperoleh angka dL = 1,34 dan dU

= 1,66. Hasilnya seperti terangkum seperti tabel berikut.

Tabel 4.12

Hasil Pengujian Durbin Watson

Autokorel

asi

Negative

Tanpa

Kesimpula

n

Tidak

Terdapat

Autokorelasi

Tanpa

Kesimpula

n

Autokorel

asi Positif

dL dU DW 4-dU 4-dL

1,34 1,66 2,09 2,34 2,66

Sumber: Output SPSS 2014, Diolah.

Karena DW = 2,09 terletak antara 4 - dU dan 4 - dU, maka model

persamaan regresi yang diajukan tidak terdapat autokorelasi baik positif

maupun negatif.

5. Analisis Hipotesis

61

Uji hipotesis dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji 3

hipotesis, yaitu: 1) menguji hubungan dukungan sosial (X1) dengan derajat

nyeri pada penderita osteoarthritis (Y), 2) menguji hubungan mekanisme

koping (X2) dengan derajat nyeri pada penderita osteoarthritis (Y), dan 3)

menguji hubungan dukungan sosial (X1) dan mekanisme koping (X2) dengan

derajat nyeri pada penderita osteoarthritis (Y) di RSUD Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto.

Analsis data yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah analisis

statistik dengan cara menghitung koefisien korelasi Pearson dan korelasi

parsial. Analisis ini digunakan untuk mencari korelasi antara dukungan sosial

dengan derajat nyeri dan mekanisme koping dengan derajat nyeri pada

penderita Osteoarthritis.

Besarnya korelasi ini menggambarkan seberapa erat hubungan linear

antar variabel, bukan hubungan sebab akibat. Notasi dari koefisien korelasi

ini adalah r yang besarnya antara -1 hingga 1. Apabila koefisien korelasi

didapatkan nilai positif maka sifat korelasinya positif, artinya apabila

dukungan sosial meningkat maka derajat nyeri juga meningkat atau

sebaliknya dan apabila mekanisme koping meningkat maka derajat nyeri juga

meningkat atau sebaliknya. Sedangkan apabila koefisisen korelasi didapat

nilai negatif, maka sifat korelasinya negatif, artinya apabila dukungan sosial

meningkat maka derajat nyeri menurun begitu pula sebaliknya dan apabila

mekanisme koping meningkat maka derajat nyeri menurun begitu pula

sebaliknya.

Selain hal di atas, untuk menguji ketiga hipotesis ini digunakan juga

analisis korelasi dan analisis regresi. Analisis korelasi bertujuan untuk

mengukur kekuatan asosiasi (hubungan) linear antara dua variabel. Korelasi

juga tidak menunjukkan hubungan fungsional. Dengan kata lain, analisis

korelasi tidak membedakan antara variabel dependen dengan variabel

independen. dalam analisis regresi, selain mengukur kekuatan hubungan dua

variabel atau lebih, juga menunjukkan arah hubungan variabel dependen

dengan variabel independen (Ghozali 2002:42).

62

Berkaitan dengan besaran angka korelasi. Angka korelasi berkisar

pada 0 (tidak ada korelasi sama sekali) dan 1 (korelasi sempurna).

Sebenarnya tidak ada ketentuan yang tepat mengenai apakah angka korelasi

tertentu menunjukkan tingkat korelasi yang tinggi atau lemah. Namun, dapat

dijadikan pedoman sederhana, bahwa angka korelasi di atas 0,5 menunjukkan

korelasi yang cukup kuat, sedang di bawah 0,5 korelasi lemah (Santoso,

2003:291). Oleh karena itu untuk menginterpretasikan nilai rs digunakan

interval koefisien sebagai berikut:

6) 0,00 – 0,29 : Tingkat hubungan sangat rendah

7) 0,30 – 0,49 : Tingkat hubungan rendah

8) 0,50 – 0,69 : Tingkat hubungan cukup kuat

9) 0,70 – 0,89 : Tingkat hubungan kuat

10) 0,90 – 1,000 : Tingkat hubungan sangat kuat

a. Hubungan Variabel Dukungan sosial (X1) dengan Derajat Nyeri (Y)

Untuk menguji keeratan hubungan antara variabel dukungan sosial

(X1) dengan derajat nyeri (Y) digunakan korelasi koefisien korelasi

Pearson dan korelasi parsial dengan pengolahan data menggunakan

menggunakan komputer dan SPSS versi 17. Hasilnya sebagaimana

penjelasan di bawah ini.

Tabel 4.13

Hasil Uji Korelasi Person X1 dengan Y

Correlations

1 -,324*

. ,036

42 42

-,324* 1

,036 .

42 42

Pears on Corre lation

Sig. (2-tai led)

N

Pears on Corre lation

Sig. (2-tai led)

N

DUKUNGAN

NYERI

DUKUNGAN NYERI

Corre lation is s ign i fi c ant a t the 0.05 lev el (2-ta i led).*.

Tabel di atas menunjukkan dukungan sosial (X1) dengan derajat

nyeri (Y) memperoleh angka koefisien korelasi sebesar -0,324. Nilai

63

korelasi tersebut kemudian diinterpretasikan dengan tabel interpretasi nilai

r berada pada interval di bawah 0 (nol) artinya negative atau tidak ada

hubungan sama sekali. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

sama sekali antara dukungan sosial yang tinggi dengan tingginya derajat

nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dinyatakan bahwa tingginya

dukungan sosial berhubungan dengan menurunnya derajat nyeri pada

penderita osteoarthritis.

Kemudian untuk mengukur korelasi antar dua variabel dengan

mengeluarkan pengaruh dari satu atau beberapa variabel (disebut variabel

kontrol) menggunakan korelasi parsial (Santoso 2003:301), hasilnya

sebagai mana dijelaskan di bawah ini.

Tabel 4.14

Hasil Uji Korelasi Parsial X1 dengan Y

Correl at i ons

1, 000 -, 277

. , 079

0 39

-, 277 1, 000

, 079 .

39 0

Correlat ion

Signif icance (2-t ailed)

df

Correlat ion

Signif icance (2-t ailed)

df

DUKUNGAN

NYERI

Cont rol Var iablesKOPI NG

DUKUNGAN NYERI

Dari hasil perhitungan korelasi parsial di atas, angka degree of

freedom (df) = 39, yaitu dari jumlah sample (n) - jumlah kontruk (2),

maka didapat 42-3 = 39. Setelah variabel mekanisme koping dikeluarkan

(sebagi variabel kontrol) dan dilakukan korelasi antara dukungan sosial

dengan derajat nyeri, besaran korelasi berubah menjadi -0,277. Artinya

dengan adanya mekanisme koping masuk sebagai variabel kontrol, maka

besaran korelasi meningkat dari (-0,324) menjadi (-0,227) atau sebesar

0,097.

Kemudian untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara

dukungan sosial dengan derajat nyeri menggunakan hasil nilai kolom Sig

(2-tailed) dengan hipotesis:

64

Ho≠ : 1 = 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial

dengan derajat nyeri.

Ha : 1 ≠ 0 : Ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial

dengan derajat nyeri.

Pengambilan keputusan:

- Jika probabilitas lebih besar dari 0,05 atau ρ > 0,05 maka Ho diterima

- Jika probabilitas lebih kecil dari 0,05 atau ρ < 0,05 maka Ho ditolak

Hasil pada tabel di atas menunjukkan perolehan nilai pada

korelasi person 0,036 dan pada korelasi parsial 0,079, karena perolehan

ρ > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak, jadi dapat dinyatakan bahwa

tingginya dukungan sosial tidak signifikan berhubungan dengan

tingginya derajat nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dikatakan

tingginya dukungan sosial berhubungan secara signifikan dengan

rendahnya derajat nyeri pada penderita osteoarthritis. Jadi apabila

dukungan sosial meningkat maka derajat nyeri menurun dan sebaliknya

apabila dukungan sosial menurun maka derajat nyeri akan meningkat.

b. Hubungan Variabel Mekanisme Koping (X2) dengan Derajat Nyeri

(Y)

Untuk menguji keeratan hubungan antara variabel mekanisme

koping (X2) dengan derajat nyeri (Y) digunakan korelasi koefisien

korelasi Pearson dan korelasi parsial dengan pengolahan data

menggunakan menggunakan komputer dan SPSS versi 17. Hasilnya

sebagaimana penjelasan di bawah ini.

Tabel 4.15

Hasil Uji Korelasi Person X2 dengan Y

65

Correlations

1 -,355*

. ,021

42 42

-,355* 1

,021 .

42 42

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)

N

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)

N

KOPING

NYERI

KOPING NYERI

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).*.

Tabel di atas menunjukkan mekanisme koping (X2) dengan derajat

nyeri (Y) memperoleh angka koefisien korelasi sebesar -0,355. Nilai

korelasi tersebut kemudian diinterpretasikan dengan tabel interpretasi

nilai r berada pada interval di bawah 0 (nol) artinya negative atau tidak

ada hubungan. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan sama

sekali antara mekanisme koping yang tinggi dengan tingginya derajat

nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dinyatakan bahwa tingginya

mekanisme koping berhubungan dengan menurunnya derajat nyeri pada

penderita osteoarthritis.

Kemudian untuk mengukur korelasi antar dua variabel dengan

mengeluarkan pengaruh dari satu atau beberapa variabel (disebut variabel

kontrol) menggunakan korelasi parsial (Santoso 2003:301), hasilnya

sebagai mana dijelaskan di bawah ini.

Tabel 4.16

Hasil Uji Korelasi Parsial X2 dengan Y

Correlations

1,000 -,313

. ,046

0 39

-,313 1,000

,046 .

39 0

Correlat ion

Signif icance (2-tailed)

df

Correlat ion

Signif icance (2-tailed)

df

KOPING

NYERI

Cont rol VariablesDUKUNGAN

KOPING NYERI

Dari hasil perhitungan korelasi parsial di atas, angka degree of

freedom (df) = 39, yaitu dari jumlah sample (n) - jumlah kontruk (2),

maka didapat 42-3 = 39. Setelah variabel dukungan sosial dikeluarkan

66

(sebagi variabel kontrol) dan dilakukan korelasi antara mekanisme

koping dengan derajat nyeri, besaran korelasi berubah menjadi -0,313.

Artinya dengan adanya dukungan soaial masuk sebagai variabel kontrol,

maka besaran korelasi meningkat dari (-0,355) menjadi (-0,313) atau

sebesar 0,042.

Kemudian untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara

mekanisme koping dengan derajat nyeri menggunakan hasil nilai kolom

Sig (2-tailed) dengan hipotesis:

Ho≠ : 1 = 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara mekanisme

koping dengan derajat nyeri.

Ha : 1 ≠ 0 : Ada hubungan yang signifikan antara mekanisme koping

dengan derajat nyeri.

Pengambilan keputusan:

- Jika probabilitas lebih besar dari 0,05 atau ρ > 0,05 maka Ho diterima

- Jika probabilitas lebih kecil dari 0,05 atau ρ < 0,05 maka Ho ditolak

Hasil pada tabel di atas menunjukkan perolehan nilai pada korelasi

person 0,021 dan pada korelasi parsial 0,046, karena perolehanρ > 0,05

maka Ho diterima dan Ha ditolak, jadi dapat dinyatakan bahwa tingginya

mekanisme koping tidak signifikan berhubungan dengan tingginya

derajat nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dikatakan tingginya

mekanisme koping berhubungan secara signifikan dengan menurunnya

derajat nyeri pada penderita osteoarthritis. Jadi apabila apabila

mekanisme koping meningkat maka derajat nyeri menurun dan

sebaliknya apabila mekanisme koping menurun maka derajat nyeri akan

meningkat.

c. Hubungan Variabel Dukungan Sosial (X1) dan Mekanisme Koping

(X2) dengan Derajat nyeri (Y)

Hasil uji hubungan dukungan sosial (X1) dan mekanisme koping

(X2) dengan derajat nyeri (Y), uji ini dilakukan melalui regresi linear.

Model Summaryb

,-440a ,-193 ,-152 14,567 2,092

Model1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Durbin-Watson

Predictors: (Constant), KOPING, DUKUNGANa.

Dependent Variable: NYERIb.

67

Hasil koefisien korelasi (R) sebesar -0,440 sebagaimana tabel di

bawah ini kemudian diintepretasikan dengan tabel interpretasi nilai r

berada pada interval di bawah nilai 0 (nol) atau negatif. Hal ini dapat

diartikan bahwa tidak terdapat sama sekali hubungan antara tingginya

dukungan sosial dan tingginya mekanisme koping dengan tingginya

derajat nyeri atau dapat dikatakan terjadi hubungan antara tingginya

dukungan sosial dan meknisme koping dengan menurunnya derajat nyeri

pada penderita osteoarthritis.

Tabel 4.17

Hasil Uji Koefisien Korelasi X1 dan X2 dengan Y

Untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara dukungan

sosial dan mekanisme koping dengan derajat menggunakan korelasi ganda.

Hipotesis:

Ho≠ : 1 = 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial

dan mekanisme koping dengan derajat nyeri.

Ha : 1 ≠ 0 : Ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan

mekanisme koping dengan derajat nyeri.

Pengambilan keputusan menggunakan uji F adalah:

- Jika probabilitas lebih besar dari 0,05 atau ρ >0,05 maka Ho diterima

- Jika probabilitas lebih kecil dari 0,05 atau ρ <0,05 maka Ho ditolak

Hasil uji F sebagamana tabel di bawah ini

Tabel 4.18

Hasil Uji F X1 dan X2 dengan Y

68

ANOVAb

1981, 801 2 990, 900 4, 670 , 015a

8275, 342 39 212, 188

10257, 143 41

Regression

Residual

Tot al

Model1

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Predict ors: (Const ant ) , KOPI NG, DUKUNGANa.

Dependent Var iable: NYERIb.

Berdasarkan hasil perhitungan SPSS diperoleh nilai signifikansi F

sebesar 0,015 menunjukkan lebih besar dari 0,05. Dengan demikian Ho

diterima dan Ha ditolak, sehingga hipotesis yang menyatakan tidak ada

hubungan yang positif dan signifikan antara tingginya dukungan sosial dan

mekanisme koping dengan tingginya derajat nyeri dapat diterima. Hal ini

dapat diartikan semakin tinggi dukungan sosial dan mekanisme koping

akan menurunkan derajat nyeri dan sebaliknya semakin rendah dukungan

sosial dan mekanisme koping akan dapat meniingkatkan derajat nyeri.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian deskripsi identitas responden dan

derajat nyeri di atas, memberikan gambaran mengenai derajat nyeri yang

dialami atau dirasakan responden di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto akibat menderita osteoarthritis dengan klasifikasi derajat nyeri

hebat sebanyak 26,19 %, nyeri sedang sebanyak 69,05 %, dan nyeri ringan

sebanyak 4,76 %. Usia mereka pada kisaran 50-80 tahun dengan jenis

kelamin sebagian besar adalah wanita (64,29 %) dan selebihnya laki-laki

(35,71 %). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Zeng QY et

al (2008) yang menyebutkan bahwa prevalensi nyeri rematik di Indonesia

mencapai 23,6% hingga 31,3 %, juga sejalan dengan hasil penelitian

SUSENAS (2004) dalam Depkes (2006) yang menyebutkan bahwa

prevalensi sakit persendian pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-

laki. Prevalensi sakit persendian mulai meningkat tajam pada kelompok

umur 35-44 tahun. Setelah melampaui umur tersebut prevalensi mulai

69

meningkat tajam pada kelompok umur 55-64 tahun sampai lebih dari 65

tahun.

Hasil penelitian di atas menguatkan pernyataan Felson (2008)

bahwa usia adalah faktor risiko yang paling berpotensi untuk terjadinya

osteoarthritis. Bukti radiografik menunjukan bahwa jarang terjadi

osteoarthritis pada usia kurang dari 40 tahun dan pada beberapa sendi

seperti osteoarthritis pada tangan 50% terjadi padaa usia lebih dari 70

tahun. Penuaan meningkatkan kerentanan sendi melalui beberapa

mekanisme. Sedangkan pembebanan dinamis sendi merangsang sintesis

matriks kartilago oleh kondrosit dalam tulang rawan muda, tulang rawan

yang lebih tua kurang responsif terhadap rangsangan tersebut. Orang tua

mengalami keadaan dimana terdapat kegagalan sintesis dari matriks,

kartilago semakin menipis karena usia, dan tulang rawan yang lebih tipis

tersebut mengalami tegangan geser tinggi pada lapisan basal dan beresiko

lebih besar terhadap kerusakan tulang rawan. Pelindung sendi juga lebih

sering mengalami kegagalan dengan meningkatnya usia. Otot yang

menjembatani sendi menjadi lemah dan menjadi kurang respon terhadap

laju impuls. Input saraf sensorik semakin melambat dan akan

memperlambat umpan balik mekanoreseptor ke otot dan tendon. Ligamen

semakin meregang mengakibatkan kurang mampu menyerap impuls.

Wanita pada dekade keenam akan meningkatkan risiko terkena

osteoarthritis pada semua sendi.

Nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek

fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan

psikologis), pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan

akibat adanya kerusakan atau potensial akan adanya kerusakan jaringan

kerusakan jaringan. Sedangkan penderita osteoarthritis (OA) merupakan

penyakit reumatik kronis yang menjadi penyebab utama rasa nyeri,

hilangnya fungsi dan kecacatan sehingga mengganggu aktivitas sehari-

hari. Osteoartritis dapat mengenai beberapa sendi seperti sendi di cervical,

lumbosacral, pinggul, lutut, metatarsal phalangeal, interphalangeal

proximal dan distal.

70

Sebagian besar Osteoartritis menyerang bagian pinggul dan lutut.

Osteoartritis dapat didiagnosis dari kelainan struktural yang terjadi atau

dari gejala-gejala yang ditimbulkan oleh kelainan tersebut. Osteoartritis

mempengaruhi semua struktur dalam sendi. Tidak hanya kartilago hialin

yang hilang, pertumbuhan osteofit, remodelling tulang juga terjadi, dengan

peregangan kapsul dan kelemahan otot periarticular. Beberapa pasien akan

muncul sinovitis, kelemahan pada ligamen dan lesi di sumsum tulang yang

berkembang dan mungkin menggambarkan trauma tulang.

Berbagai pengobatan dilakukan untuk mengurangi atau bahkan

menghilangkan rasa nyeri akibat menderita osteoarthritis baik secara

medis maupun non medis, diantaranya melalui dukungan social dan

mekanisme kopin. Dukungan sosial merupakan dukungan emosional yang

berasal dari teman, anggota keluarga, bahkan pemberi perawatan

kesehatan yang membantu individu ketika suatu masalah muncul.

Dukungan sosial berbeda dengan kontak sosial, yang tidak selalu

memberikan dukungan emosional.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, terkait dengan dukungan

sosial yang dirasakan oleh penderita osteoarthritis di RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto pada klasifikasi sangat tinggi sebanyak

57,14%, klasifikasi tinggi sebanyak 35,71%, dan klasifikasi rendah

sebanyak 7,15% dengan rata-rata responden merasakan adanya dukungan

social yang sangat tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa dukungan social

yang dirasakan responden mengacu pada kesenangan yang dirasakan,

penghargaan akan kepedulian, atau membantu orang menerima dari orang-

orang atau kelompok lain. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh

dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan,

mendapatkan saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Kondisi

ini sejalan dengan Bisconti & Bergeman. (2006) yang menyatakan bahwa

hubungan sosial yang bermakna dengan keluarga atau teman terbukti

memperbaiki hasil akhir kesehatan dan kesejahteraan pada individu

dewasa lanjut. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa unsur esensial

71

dari perbaikan hasil tersebut adalah keluarga atau teman berespons dengan

memberi dukungan ketika hal tersebut diminta.

Hasil perhitungan korelasi menunjukkan dukungan sosial dengan

derajat nyeri memperoleh angka koefisien sebesar -0,324. Nilai korelasi

tersebut di bawah 0 (nol) artinya negative atau tidak ada hubungan sama

sekali. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan sama sekali

antara dukungan sosial yang tinggi dengan tingginya derajat nyeri pada

penderita osteoarthritis atau dapat dinyatakan bahwa tingginya dukungan

sosial berhubungan dengan rendahnya derajat nyeri pada penderita

osteoarthritis. Hasil tersebut diperkuat oleh nilai ρ > 0,05 maka Ho

diterima dan Ha ditolak, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa

tingginya dukungan sosial tidak signifikan berhubungan dengan tingginya

derajat nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dikatakan tingginya

dukungan sosial berhubungan secara signifikan dengan rendahnya derajat

nyeri pada penderita osteoarthritis. Jadi apabila dukungan sosial

meningkat maka derajat nyeri menurun dan sebaliknya apabila dukungan

sosial menurun maka derajat nyeri akan meningkat.

Hasil tersebut memperkuat dua model peranan dukungan sosial

dalam kehidupan sebagaimana pernyataan Lubis (2006) bahwa terdapat

dua model peranan dukungan sosial dalam kehidupan yaitu model efek

langsung (direct effect) dan model efek penyangga (buffer effect). Dalam

efek langsung tetap berpendapat bahwa dukungan sosial itu bermanfaat

bagi kesehatan dan kesejahteraan tidak peduli banyaknya stress yang

dialami seseorang. Menurut efek dukungan sosial yang positif sebanding

di bawah intensitas-intensitas stres tinggi dan rendah. Sedangkan efek

penyangga, dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dengan melindungi

orang itu terhadap efek negatif dari stres berat. Fungsi yang bersifat

melindungi ini hanya atau terutama efektif kalau orang itu menjumpai

stres yang kuat. Efek penyangga bekerja paling sedikit dengan dua cara.

Orang-orang dengan dukungan sosial tinggi mungkin akan kurang menilai

situasi penuh stres. Orang-orang dengan dukungan sosial tinggi akan

mengubah respon mereka terhadap sumber stres.

72

Hasil uji signifikansi tersebut juga sejalan dengan manfaat

dukungan sosial dalam bidang klinis sangat besar karena terbukti dapat

membantu manusia dalam mencapai perkembangan yang optimal.

Sebagaimana hasil penelitian La Rocco, dkk dalam Sarafino (2006) yang

menyimpulkan bahwa dukungan sosial memiliki peranan yang sangat

besar terhadap kesehatan mental. Dukungan sosial berhubungan dengan

berkurangnya kecemasan, gangguan umum, somatisasi, dan depresi,

termasuk di dalamnya mampu menurunkan derajat nyeri pada penderita

osteoarthritis.

Solichah (2009) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan

sumber koping yang mempengaruhi situasi yang dinilai stressful dan

menyebabkan orang yang stres mampu mengubah situasi, mengubah arti

situasi atau mengubah reaksi emosinya terhadap situasi yang ada.

Friedman (2010) mendefinisikan koping sebagai respons yang positif,

sesuai dengan masalah, afektif, persepsi dan respon perilaku yang

digunakan keluarga dan subsistemnya untuk memecahkan suatu masalah

atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh masalah atau peristiwa.

Koping pasien adalah reaksi terhadap tekanan yang berfungsi

memecahkan, mengurangi dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan.

Dengan demikian, koping merupakan suatu reaksi atau respons dari

individu dalam memecahkan suatu masalah yang dilaksanakan secara

sadar dan menyangkut mekanisme pengaruh psikis. Mekanisme koping

berhubungan dengan derajat nyeri pada penderita osteoarthritis.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, terkait dengan mekanisme

koping yang dilakukan responden penderita osteoarthritis di RSUD Prof.

Dr. Margono Soekarjo Purwokerto menunjukkan bahwa mekanisme

koping yang dilakukan responden pada klasifikasi sangat tinggi sebanyak

30,95 % dan klasifikasi tinggi 69,05 %. Lebih rinci mekanisme koping

responden dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan usia pada

kisaran 50-80 tahun memperoleh rata-rata skor yang sama pada klasifikasi

tinggi. Artinya responden laki-laki dan perempuan memiliki tingkat

mekanisme koping yang sama tingginya. Jadi, secara umum dapat

73

dikatakan bahwa rata-rata responden melakukan, merasakan, atau

mengalami tingginya mekanisme koping sehingga dapat beradaptasi

terhadap perubahan kesehatan yang terjadi.

Hasil deskripsi variable mekanisme koping tersebut sejalan dengan

pernyataan Folkmann dan Lazarus dalam Resick (2001) yang

mengemukakan factor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap strategi

coping, diantaranya: 1) factor usia, dimana orang dewasa lebih sering

menggunakan PFC dalam mengurangi stresor karena individu yakin akan

dapat mengubah situasi yang stressful, 2) factor jenis kelamin, pria

cenderung menggunakan PFC karena biasanya pria menggunakan rasiao

atau logika dan terkadang kurang emosional, sedangkan wanita lebih

cenderung menggunakan EFC, 3) kesehatan fisik, sumber stres ada di

dalam setiap diri individu salah satunya adalah kesehatan fisik, kesehatan

fisik yang kurang baik akan memunculkan tingkat stres yang berbeda dan

akan berpengaruh dalam coping, 4) factor karakteristik kepribadian,

dimana karakteristik kepribadian dapat berpengaruh secara langsung

maupun tidak langsung dalam coping. Conthnya: individu ekstrovert

sering mengeluhkan rasa nyeri.

Hasil angka koefisien korelasi yang menunjukkan sebesar -0,355

atau di bawah 0 (nol) artinya korelasi negative atau tidak ada hubungan

sama sekali antara tingginya mekanisme koping dengan tingginya derajat

nyeri pada penderita osteoarthritis. Hal ini dapat dinyatakan bahwa

tingginya mekanisme koping berhubungan dengan menurunnya derajat

nyeri pada penderita osteoarthritis. Hasil ini juga diperkuat oleh perolehan

nilai korelasi person 0,021 dan pada korelasi parsial 0,046, atauρ > 0,05,

maka Ho diterima dan Ha ditolak, jadi dapat dinyatakan bahwa tingginya

mekanisme koping tidak signifikan berhubungan dengan tingginya derajat

nyeri pada penderita osteoarthritis atau dapat dikatakan tingginya

mekanisme koping berhubungan secara signifikan dengan rendahnya

derajat nyeri pada penderita osteoarthritis. Dengan demikian, apabila

apabila mekanisme koping meningkat maka derajat nyeri menurun dan

74

sebaliknya apabila mekanisme koping menurun maka derajat nyeri akan

meningkat.

Terkait hasil penelitian di atas, untuk menurun derajat nyeri bagi

penderita osteoarthritis meningkatkan mekanisme koping perlu

memperhatikan factor-faktor yang dapat mempengaruhi mekanisme

koping sebagamana disebutkan dalam Sutrisno & Hany (2008): 1)

Kesehatan fisik, dimana seorang individu membutuhkan tenaga yang

cukup besar ketika menghadapi stress, 2) Keyakinan atau pandangan

positif, seperti keyakinan akan nasib atau external of control yang

mengarahkan seorang individu pada penilaian ketidakberdayaan yang

menurunkan kemampuan strategi coping, 3) Ketrampilan memecahkan

masalah yang meliputi kemampuan mencari inti masalah, menganalisa

situasi, mengidentifikasi masalah dan menyelesaikan masalah, 4)

Ketrampilan sosial, yaitu kemampuan berkomunikasi dan bertingkah laku

sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat, 5) Dukungan

sosial, meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional

yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga, saudara, teman, serta

lingkungan masyarakat, dan 6) Materi, yaitu sumber daya berupa uang,

barang atau layanan yang bisa dibeli.

Tingginya dukungan social dan mekanisme koping mrupakan

kekuatan hubungan ganda secara signifikan dapat menurunkan derajat

nyeri pada penderita osteoarthritis. Hal ini dibuktikan oleh hasil koefisien

korelasi (R) sebesar -0,440 di bawah nilai 0 (nol) atau negatif. Hal ini

dapat diartikan bahwa tidak terdapat sama sekali hubungan antara

tingginya dukungan sosial dan tingginya mekanisme koping dengan

tingginya derajat nyeri atau dapat dikatakan terjadi hubungan antara

tingginya dukungan sosial dan meknisme koping denga rendahnya derajat

nyeri pada penderita osteoarthritis. Hasil korelasi tersebut diperkuat

perolehan nilai signifikansi F sebesar 0,015 menunjukkan lebih besar dari

0,05. Dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak, sehingga hipotesis

yang menyatakan tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara

tingginya dukungan sosial dan mekanisme koping dengan tingginya

75

derajat nyeri dapat diterima. Bila kekuatan hubungan ganda ini secara

simultan ditingkatkan akan signifikan menurunkan derajat nyeri penderita

osteoarthritis. Dengan demikian, dapat disimpulkan semakin tinggi

dukungan sosial dan mekanisme koping akan menurunkan derajat nyeri

dan sebaliknya semakin rendah dukungan sosial dan mekanisme koping

akan dapat meningkatkan derajat nyeri penderita osteoarthritis.

76

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Terdapat korelasi yang signifikan antara dukungan sosial dengan

menurunnya derajat nyeri pada penderita osteoarthritis artinya apabila

dukungan sosial meningkat maka derajat nyeri pada penderita

Osteoarthritis menurun dan sebaliknya apabila dukungan sosial

menurun maka derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis akan

meningkat.

2. Terdapat korelasi yang signifikan antara mekanisme koping dengan

menurunnya derajat nyeri pada penderita osteoarthritis artinya apabila

mekanisme koping meningkat maka derajat nyeri pada penderita

Osteoarthritis menurun dan sebaliknya apabila mekanisme koping

menurun maka derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis akan

meningkat.

3. Terdapat korelasi yang signifikan antara dukungan sosial dan

mekanisme koping dengan menurunnya derajat nyeri pada penderita

osteoarthritis artinya apabila dukungan sosial dan mekanisme koping

meningkat maka derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis menurun

dan sebaliknya apabila dukungan sosial dan mekanisme koping

menurun maka derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis akan

meningkat.

77

B. Saran

1. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi untuk menambah

ilmu pengetahuan dan wawasan di bidang ilmu kedokteran jiwa dan ilmu

penyakit dalam, khususnya mengenai korelasi dukungan sosial dan

mekanisme koping terhadap derajat nyeri pada penderita Osteoarthritis baik

secara parsial maupun secara simultan.

2. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum

tentang pengelolaan derajat nyeri yang disebabkan oleh Osteoarthritis dengan

meningkatkan kualitas hidup pasien melalui manajemen selain obat, yaitu

melalui peningkatan dukungan sosial dan mekanisme koping.

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi

peneliti lain, khususnya pertimbangan mengenai pembahasan korelasi

dukungan sosial dan mekanisme koping dengan derajat nyeri pada penderita

Osteoartritis.

4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan atau kajian pustaka bagi instansi,

khususnya yang terkait dengan kesehatan sebagai bacaan untuk memperluas

ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai korelasi dukungan sosial dan

mekanisme koping dengan derajat nyeri pada penderita Osteoartritis.