Upload
privace23
View
666
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
http://privace23.blogspot.com/
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia
mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh
pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Dalam Undang-Undang Nomor
7 tahun 1996 tentang pangan disebutkan Pemerintah menyelenggarakan
pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat
menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta
berperan sebagai konsumen, berhak memperoleh pangan yang cukup dalam
jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli.
Pembangunan ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari otonomi
daerah, untuk menunjang keberadaan pangan sampai ke tingkat rumah tangga.
Dalam era otonomi daerah peranan daerah otonom sangat penting untuk
meningkatkan stok pangan lokal. Namun permasalahan fundamental yang
dihadapi oleh daerah otonom untuk ketahanan pangan antara lain: (1) Kurangnya
pemahaman daerah terhadap pentingnya ketahanan pangan. (2) Kekurangan
pemahaman daerah dalam menatalaksanakan peruntukan lahan, hal ini berdampak
terhadap semakin berkurangnya lahan-lahan produktif untuk pertanian. (3) Tradisi
masyarakat untuk menyiapkan cadangan pangan melalui lumbung pangan kurang
diminati oleh masyarakat. (4) Pemanfaatan sumber pangan lokal belum digalakan
disetiap daerah. Realitas ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa upaya
peningkatan ketahanan pangan di daerah hanya sebatas slogan dan belum
memperlihatkan hasil secara optimal. Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
melalui organisasi pangan dan pertaniannya (FAO) menyatakan 37 negara
termasuk Indonesia, mulai tahun 2008 ini akan menghadapi ancaman krisis
pangan karena perubahan iklim dan bencana alam.
Demikian juga data BPS Januari (2008) dalam Hindardi (2008) terjadi
kenaikan inflasi pada bulan Januari 2008 sebesar 1,77 persen yang seharusnya
tidak perlu terjadi apabila ketersediaan pangan dapat dilakukan dengan baik,
sebab komoditas kedelai (61,8 persen impor) dan gula (19,6 persen impor) yang
١
memberatkan. Selain itu terdapat masalah besar, yakni faktor distribusi pangan
yang menyebabkan kenaikan harga pangan terutama untuk daerah-daerah
pedesaan.
Disamping itu, lahan pertanian tidak dimanfaatkan secara optimal oleh
petani pada akhirnya tidak memberikan hasil yang memadai. Padahal Indonesia
memiliki kawasan hutan seluas 120,35 juta hektar (65 persen luas daratan) yang
bahkan belum dimanfaatkan secara terprogram, kecuali di Jawa, sebagai media
penyedia pangan nasional yang amat potensial Hindardi (2008). Oleh sebab itu
penulis tertarik untuk membahas “ Beberapa Faktor Penentu Keberhasilan
Ketahanan Pangan pada Era Otonomi Daerah”.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan
bahwa berbagai masalah yang dihadapi oleh pemerintah daerah dan masyarakat
dalam peningkatan ketahanan pangan yang berkaitan dengan Otonomi Daerah,
seperti; pemahaman pemerintah daerah dan masyarakat terhadap
ketahanan pangan, kurang tepatnya penatalaksanaan peruntukan lahan
pertanian, kurang diminatinya pembuatan lumbung pangan oleh
masyarakat, dan kurangnya pemahaman tentang pemanfaatan pangan lokal
baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
c. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui Kemandirian
Pangan terkait dengan Otonomi Daerah, yang dilihat dari berbagai aspek yaitu;
Pemahaman pemerintah daerah terhadap ketahanan pangan, penatalaksanaan
peruntukan lahan pertanian, pembuatan lumbung pangan oleh masyarakat dan
pemanfaatan pangan lokal.
Manfaat penulisan karya ini secara umum adalah; karya ini diharapkan
dapat berguna bagi pembuat kebijakan, pembangunan ilmu pengetahuan terutama
bidang ketahanan pangan dan otonomi daerah. Secara spesifik manfaat karya ini
sebagai berikut: (1) Karya tulis tentang ketahanan pangan dan otonomi daerah
٢
ini kiranya dapat memberikan sumbangan bagi kepentingan ilmu pengetahuan,
khususnya bidang pertanian tanaman pangan dan otonomi daerah. (2). Karya tulis
ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan bidang
ketahanan pangan dan otonomi daerah berkaitan dengan pemahaman pemerintah
daerah terhadap ketahanan pangan, penatalaksanaan peruntukan lahan pertanian,
pembuatan lumbung pangan oleh masyarakat, dan pemanfaatan pangan lokal.
٣
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Ketahanan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh
pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam Undang-Undang
tersebut disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan,
pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses
produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai
konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu,
aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Kurniawan (2007) mengungkapkan bahwa, ketahanan pangan dapat
diartikan sebagai suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang
dan setiap individu mampu memperolehnya. Dalam konsep ketahanan pangan
terdapat tiga topik yang perlu untuk dibahas berhubungan dengan rencana aksi
pemantapan ketahanan pangan pemerintah Indonesia, yaitu (1) Kecukupan
pangan, (2) Kemandirian pangan, dan (3) Kedaulatan pangan. Kecukupan pangan
adalah suatu kondisi pada suatu negara yang cukup akan jumlah pangan, mutu
baik, mudah diperoleh, aman dikonsumsi, dan harga terjangkau. Sedangkan
kemandirian pangan adalah keadaan dimana suatu negara dapat memenuhi
kebutuhan pangan dengan produk sendiri (negara tersebut). Serta kedaulatan
pangan adalah suatu penentuan yang dilakukan oleh suatu negara atas pangan
untuk negaranya sendiri.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan
sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu,
upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi
pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal,
mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi
produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan
mempertahankan serta mengembangkan lahan produktif.
٤
Program pembangunan ketahanan pangan yang dilaksanakan secara
Nasional melalui Badan Ketahanan Pangan bertujuan, (1) Memantapkan
ketersediaan pangan dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki secara
berkelanjutan, (2) Memantapkan kelancaran distribusi pangan untuk menjamin
stabilitas pasokan pangan secara merata dan terjangkaunya daya akses pangan
masyarakat, (3) Meningkatkan percepatan diversifikasi konsumsi pangan,
(4) Mencegah dan menanggulangi kerawanan pangan.
Subeno (2005) menjelaskan bahwa, basis konsep ketahanan pangan
nasional adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, terutama di pedesaan.
Proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan merupakan salah satu
indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Makin besar pangsa
pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan menunjukkan makin rendah
ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Secara agregat atau makro pangsa
pengeluaran tersebut sejak 1980 hingga 2000 terus menurun. Jika pada tahun 1980
pangsa pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan sekitar 70%, maka pada
tahun 1990 telah turun menjadi 57%. Pada tahun 2000 angkanya kembali
mengalami penurunan menjadi kurang dari 50%. Besar pangsa pendapatan rumah
tangga yang digunakan untuk konsumsi pangan menunjukkan harta atau kekayaan
lain yang dimiliki dan dapat dipertukarkan untuk memperoleh satu satuan bahan
pangan juga kecil.
Berdasarkan berbagai konsep tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa ketahanan pangan (food security) merupakan kondisi tersedianya pangan
dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk kebutuhan masyarakat yang dapat
diakses dengan mudah berdasarkan kemampuan daya beli masyarakat serta
terdistribusi merata di semua wilayah dan strata masyarakat.
b. Otonomi Daerah
Dalam era otonomi daerah peranan daerah otonom sangat penting untuk
meningkatkan stok pangan lokal. Sistem ketahanan pangan sudah
didesentralisasikan ke seluruh daerah otonom yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi. Kebijakan ini diimbangi dengan desentralisasi 85
persen anggaran Departemen Pertanian ke daerah-daerah otonom, dan sisanya
٥
untuk operasional pemerintah pusat. Peranan pusat hanya membuat kebijakan-
kebijakan strategis dan bersifat normatif, sedangkan implikasi teknis di lapangan
diserahkan ke pemerintah daerah otonom.
Nainggolan (2008) menjelaskan bahwa, otonomi daerah memberikan
keleluasaan dalam menetapkan prioritas pembangunan masing-masing daerah,
diantaranya melalui pembangunan ketahanan pangan dengan memperhatikan hal-
hal sebagai berikut: (1) Melibatkan peran aktif seluruh stakeholders di bawah
koordinasi DKP (Dewan Ketahanan Pangan), (2) Melaksanakan program
pembangunan yang secara langsung memberikan manfaat kepada masyarakat,
(3) Mengembangkan kerjasama antar daerah dan antara daerah dengan pusat, dan
(4) Mempertahankan lahan produktif dan suplai air untuk pertanian.
Strategi yang dijalankan oleh pemerintah dalam membangun ketahanan
pangan di era otonomi daerah yaitu: (1) Memperlancar pasokan dan memfasilitasi
keterjangkauan masyarakat terhadap pangan, (2) Memproteksi sistem ekonomi
dalam negeri/daerah dari persaingan yang kurang menguntungkan khususnya
tekanan perdagangan global, dan (3) mengembangkan strategi dengan justifikasi
yang tepat, sehingga tidak bertentangan dengan kaidah organisasi perdagangan
internasional yang telah disepakati.
c. Beberapa Faktor Penentu Keberhasilan Ketahanan Pangan
Waluyo (2007) menyatakan bahwa, permasalahan fundamental yang
dihadapi oleh daerah otonom untuk ketahanan pangan antara lain: Kebijakan
ketahanan pangan, penataan dan pemanfaatan lahan pertanian, lumbung pangan,
pemanfaatan pangan lokal sebagaimana uraian berikut:
(1) Kebijakan Ketahanan Pangan
Terkait dengan aspek pengelolaan dan pemeliharaan cadangan pangan
pemerintah, Peraturan Pemerintah (PP) No 68 tahun 2002 menyebutkan secara
tegas tentang pentingnya peran pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan
pemerintah desa dalam menangani masalah pangan. Semangat otonomi daerah
menurut PP 68/2002 tersebut menurut Basuki (2004) pada dasarnya dapat dilihat
dari dua hal pokok. Pertama, pengakuan terhadap pentingnya peran pemerintah
٦
pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah desa dalam
pengelolaan ketahanan pangan; Kedua, pernyataan secara tegas tentang
keberagaman pola pangan masyarakat, yaitu dengan memberikan keleluasaan
pengertian atas pangan tertentu bersifat pokok, sesuai dengan pola pangan
masyarakat setempat. Dengan semangat ini dimungkinkan suatu daerah
mengembangkan dan mempromosikan pola pangan setempat sebagai pangan
tertentu yang bersifat pokok.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam peningkatan ketahanan
pangan adalah sebagai berikut; (1) Melakukan operasi pasar murni (OPM) dalam
rangka stabilisasi harga, (2) Memenuhi kebutuhan pangan akibat bencana alam
atau kerusuhan sosial, (3) Memenuhi jatah beras golongan berpendapatan tetap
dalam hal ini TNI/Polri, dan (4) Memenuhi penyaluran pangan secara khusus
seperti program raskin (Rahman, dkk, 2005).
Oleh sebab itu ketahanan pangan hanyalah satu elemen dari sistem sosial
suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, jika kesadaran
tentang ketahanan pangan telah menjiwai kebijakan pemerintah, maka akan
terlihat dari kebijakan baik di bidang ekonomi, politik, lingkungan, maupun sosial
dan budaya masyarakat tersebut. Intinya sistem dan seluruh kelembagaan dalam
masyarakat harus memiliki visi untuk mencapai ketahanan pangan. Untuk
mencapai visi ketahanan pangan tersebut diperlukan tiga dimensi ketahanan
pangan, yaitu: dimensi ketersediaan (availability), dimensi akses (access), dan
dimensi pemanfaatan (utilization).
(2) Penatalaksanaan Lahan Pertanian
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman
yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi
lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang
beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi –
sangat tinggi. Berdasarkan hasil penelitian dan data yang dipublikasikan oleh
sejumlah lembaga diperkirakan luas lahan sawah yang terkonversi tidak kurang
dari 150.000 hektar/tahun (Murniningtyas (2007).
٧
Secara teoritis terdapat tiga pendekatan yang dapat ditempuh dalam pengendalian
alih fungsi lahan sawah yaitu: (1) regulation, (2) acquisition and management,
dan (3) incentives and charges. Regulation (Murniningtyas (2007).
Terkait dengan tiga pendekatan alih fungsi lahan maka pengendalian fungsi lahan
sawah yang selama ini telah dilancarkan ternyata belum efektif. Hal itu
merupakan akibat dari dua faktor yang sifatnya saling mempengaruhi sebagai
berikut. Pertama, di sebagian besar daerah, instrumen yang terkait dengan
berbagai kebijakan pemerintah pusat dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah
belum terlembagakan karena petunjuk teknis pelaksanaannya belum berhasil
dirumuskan. Kedua, di daerah komitmen berbagai lembaga terkait untuk
mengendalikan alih fungsi lahan sawah masih beragam.
Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik
lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengan
transaksi jual beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya
berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan
kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent)
jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan
perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar
(prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal
pemilik lahan yang bersangkutan).
Secara empiris, instrumen kebijakan yang selama ini menjadi andalan
dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah adalah aturan pelaksanaan Peraturan
Daerah yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sangat
disayangkan bahwa proses penyusunan RTRW yang pada umumnya cukup alot
ternyata juga belum menghasilkan petunjuk teknis yang benar-benar operasional.
(3) Lumbung Pangan
Secara formal pengaturan cadangan pangan menjadi tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat. Menurut Ramahman dkk (2005) cadangan pangan
pemerintah dan masyarakat harus sama-sama eksis dan satu sama lain harus saling
melengkapi (komplemen). Oleh sebab itu memelihara tradisi penyediaan lumbung
pangan yang pernah ada, baik secara individu maupun secara kolektif, untuk
٨
cadangan pangan demi keberlanjutan kehidupan masyarakat merupakan salah satu
alternatif untuk meningkatkan ketahanan pangan.
Di Indonesia, pengelolaan cadangan pangan oleh masyarakat dikelola
secara kolektif dalam bentuk lumbung pangan telah ada sejak tahun 1890 (Azis,
1995), oleh karena itu pengelolaan cadangan masyarakat sudah menjadi tradisi,
kemudian lumbung pangan berkembang dengan pesat pada tahun 1930-an
sewaktu masa krisis ekonomi dunia (malaise) Azis (1995), Sosrodiharjo, (1995).
Sebaliknya pada tahun 1980 perkembangan lumbung pangan merosot tajam Azis
(1995), Sapuan dan Supanto (1995), Simatupang (1999). Kondisi ini terjadi
adalah sebagai dampak dari kebijaksanaan kembar berupa stabilitas harga beras
dan swasembada beras yang berhasil membuat harga beras antar waktu relatif
stabil. Akibatnya lembaga cadangan pangan berupa lumbung pangan tidak
menarik lagi karena tidak memberikan nilai tambah dari segi ekonomi. Namun
terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 telah mendorong pemerintah untuk
memberdayakan lumbung pangan dengan pertimbangan lembaga ini sangat
strategis sebagai salah satu sarana penunjang ketahanan pangan.
(4) Pemanfaatan Pangan Lokal
Untuk menunjang keberhasilan ketahanan pangan penduduk Indonesia
harus kembali ke makanan pokok lokal daerahnya masing-masing, sebagai
contoh; orang Madura dengan makanan pokok jagung, maka penduduk Madura
wajib mengkonsumsi jagung, tetapi pada saat ini mana ada orang yang suka
makan jagung terus-menerus, tentunya akan merasa bosan dan merasa gengsi,
maka jagung harus diolah dengan baik dan lebih bervariasi, begitu pula makanan
pokok lainnya.
Pemanfaatan pangan lokal dapat membantu masyarakat lokal dalam
memenuhi pangan secara berkesinambungan terutama untuk kebutuhan pangan
rumah tangga. Sumber-sumber pangan lokal (jagung, ubi kayu, ubi jalar, kentang,
sagu, dan sumber karbohidrat lainnya) sangat potensial untuk dikembangkan
sebagai bahan pangan pokok pendamping beras.
٩
Tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan pangan lokal
adalah sebagai berikut: (1) pemerintah daerah harus memperhatikan on farm
untuk menjamin ketersediaan bahan baku. (2) Pemanfaatan bahan baku lokal
menjadi bahan olahan pengindustrian pangan secara optimal, (3) Sosialisasi
secara terus menerus dan kerjasama semua pihak untuk pemanfaatan sumber
pangan lokal bagi pemerintah daerah.
١٠
BAB III
PEMBAHASAN
a. Pemahaman Pemerintah terhadap Ketahanan Pangan
Cadangan pangan merupakan salah satu sumber penyediaan pangan yang
penting. Dikaitkan dengan peran pemerintah daerah dalam implementasi otonomi
daerah, pengelolaan cadangan pangan yang baik oleh pemerintah daerah dan
partisipasi masyarakat secara luas, diharapkan dapat meminimalkan terjadinya
kasus-kasus kerawanan dan kekurangan pangan di daerah. Pemerintah
provinsi/kabupaten/desa sesuai dengan kewenangannya dapat mengembangkan
cadangan pangan tertentu yang bersifat pangan pokok sesuai dengan pola pangan
setempat. Dengan demikian, apabila terjadi kasus kekurangan pangan di suatu
wilayah dapat segera direspon oleh pemerintah daerah setempat tanpa harus
menunggu kebijakan pemerintah pusat.
Demikian halnya keberadaan cadangan pangan rumah tangga juga sangat
urgen baik bagi mereka yang berada di daerah dengan aksesibilitas tinggi
maupun dengan aksesibilitas rendah, karena rumah tangga/individu adalah obyek
terakhir dimana ketahanan pangan harus diwujudkan. Idealnya, rumah tangga
baik secara individual maupun secara kolektif menguasai cadangan pangan guna
mengantisipasi kekurangan pangan yang bersifat sementara yang disebabkan
terhentinya pasokan bahan pangan, misalnya karena putusnya prasarana dan
sarana transportasi akibat bencana alam. Dalam kondisi seperti ini pemenuhan
kebutuhan pangan dengan mengandalkan bantuan dari pemerintah apalagi
pemerintah pusat membutuhkan waktu lama, baik karena sistem birokrasi yang
relatif panjang maupun karena kendala putusnya prasarana dan sarana
transportasi.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam peningkatan ketahanan
pangan bagi golongan berpendapatan rendah/miskin melalui kebijakan penyaluran
pangan secara khusus seperti program raskin. Program bantuan pangan (beras)
dengan harga bersubsidi bagi kelompok miskin (Raskin). Upaya bantuan pangan
melalui Raskin tersebut sangat signifikan dalam penanggulangan kerawanan
pangan bagi penduduk miskin. Namun demikian, dalam pelaksanaan penyaluran
١١
program Raskin tersebut di beberapa daerah ditemukan berbagai ketidaksesuaian
dalam penetapan rumah tangga sasaran, jumlah beras yang diterima oleh rumah
tangga, waktu penyaluran, dan atau ketidaktepatan sistem administrasi. Dalam
hal demikian, penyempurnaan dari berbagai kelemahan yang ada dalam
pelaksanaan penyaluran Raskin sangat diperlukan.
b. Penatalaksanaan Lahan Pertanian
Dari aspek produksi domestik, untuk mewujudkan kemandirian pangan
paling tidak ada tiga hal kebijakan yang harus diimplementasikan oleh instansi
terkait. Pertama, perlu adanya penataan penguasaan atau pengusahaan lahan yang
dilandasi efisiensi skala ekonomi. Dengan luas pemilikan dan pengusahaan yang
sempit, hampir semua kebijakan ekonomi tidak mungkin dapat melepaskan petani
dari cengkeraman kemiskinan dan kerawanan pangan, sehingga mustahil rumah
tangga pedesaan dapat mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan.
Secara teoritis terdapat tiga pendekatan yang dapat ditempuh dalam
pengendalian alih fungsi lahan sawah yaitu: (1) regulation, (2) acquisition and
management, dan (3) incentives and charges. Regulation (Murniningtyas (2007).
Penatalaksanaan lahan melalui pendekatan regulation adalah pengambil
kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada.
Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil
kebijakan bisa melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan yang ada serta
kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang
jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada
dalam proses alih fungsi lahan. Dalam tatanan praktisnya, pola ini telah
diterapkan pemerintah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah, namun
RTRW yang dirancang di daerah belum berhasil membuat konsep yang baik
disamping itu pelaksana di lapang belum sepenuhnya konsisten menerapkan
aturan penatalaksanaan lahan.
١٢
Disamping itu Acquisition and Management terkait menyempurnakan
sistem dan aturan jual beli lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan
(land tenure system) sesuai kondisi wilayah yang ada guna mendukung upaya ke
arah mempertahankan keberadaan lahan pertanian dengan didukung oleh
Peraturan Daerah. Cukup banyak kasus dikemukakan bahwa lemahnya penegakan
hukum terkait kepentingan daerah untuk mengembangkan sektor non pertanian
secepat mungkin dengan harapan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesempatan kerja. Sementara itu advokasi publik yang cukup kuat dan konsisten
masih sangat kurang. Belum ada kelembagaan sosial yang berperan nyata dalam
pengendalian alih fungsi lahan sawah. Hal ini terkait dengan kesulitan yang
dihadapi dalam menumbuhkembangkan inisiatif seperti itu.
Sementara incentives and charges berkaitan dengan pemberian subsidi
kepada para petani untuk dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki,
serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan
pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain dalam upaya pencegahan alih fungsi
lahan pertanian. Selain itu, pengembangan prasarana yang ada lebih diarahkan
untuk mendukung pengembangan kegiatan budidaya pertanian berikut usaha
ikutannya.
Pada akhirnya pelaku utama di lapangan adalah petani. Implikasinya,
dinamika petani dan pedesaan harus diperhitungkan sebagai salah satu faktor
penentu efektivitas instrumen hukum maupun instrumen ekonomi tersebut di atas.
Pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang perikehidupan petani
adalah syarat utama untuk menumbuhkembangkan inisiatif masyarakat sebagai
subyek dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah. Sehubungan itu maka
rancang bangun kebijakan dan strategi implementasi di daerah akan lebih mudah
dirumuskan jika petani dilibatkan pada setiap tahap perumusan dan implementasi
kebijakan.
١٣
c. Pendirian Lumbung Pangan
Memelihara tradisi penyediaan lumbung pangan yang pernah ada, baik
secara individu maupun secara kolektif pada saat ini sangat sulit bagi masyarakat.
Walaupun pengelolaan cadangan pangan oleh masyarakat telah ada sejak tahun
1890 dan sudah menjadi tradisi sebagaimana diuraikan (Azis, 1995), kemudian
lumbung pangan berkembang dengan pesat pada tahun 1930-an sewaktu masa
krisis ekonomi dunia (malaise) Azis (1995), Sosrodiharjo, (1995). Sebaliknya
pada tahun 1980 perkembangan lumbung pangan merosot tajam Azis (1995),
Sapuan dan Supanto (1995), Simatupang (1999). Kondisi ini terjadi adalah
sebagai dampak dari kebijakan kembar berupa stabilitas harga beras dan
swasembada beras yang berhasil membuat harga beras antar waktu relatif stabil.
Akibatnya lembaga cadangan pangan berupa lumbung pangan tidak menarik lagi
karena tidak memberikan nilai tambah dari segi ekonomi. Namun terjadinya
krisis ekonomi tahun 1997 telah mendorong pemerintah untuk memberdayakan
lumbung pangan dengan pertimbangan lembaga ini sangat strategis sebagai salah
satu sarana penunjang ketahanan pangan.
Lumbung pangan merupakan salah satu cara untuk mengatasi krisis yang
pangan yang dialami oleh masyarakat pada tingkat rumah tangga. Cadangan
pangan yang dikuasai oleh rumah tangga baik secara individu maupun secara
kolektif berfungsi untuk: (1) mengantisipasi terjadinya kekurangan bahan pangan
pada musim paceklik, dan (2) mengantisipasi ancaman gagal panen akibat
bencana alam seperti serangan hama dan penyakit, anomali iklim, dan banjir.
Namun pendirian dan pemanfaatan lumbung pangan di tingkat rumah
tangga baik secara individual maupun secara kolektif kurang diminati lagi oleh
masyarakat di daerah, maka bentuk cadangan pangan yang dijumpai di suatu
wilayah kabupaten/kota adalah cadangan pangan yang dikuasai pemerintah dan
pedagang. Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan minat masyarakat dalam
pendirian dan pemanfaatan lumbung pangan perlu diadakan sosialisasi secara
bersama-sama kepada masyarakat pedesaan.
١٤
d. Pemanfaatan Pangan Lokal
Mencermati fenomena bidang pangan, maka budaya ketergantungan
dengan beras sebagai bahan makanan pokok perlu ditekan melalui berbagai
kampanye dan promosi pemanfaatan sumber pangan lokal selain beras. Pola
konsumsi pangan harus dirubah dengan tidak menggantungkan pangan beras akan
tetapi pangan yang berasal dari sumber daya lokal. Indonesia sebagai negara
berkembang dengan penduduk yang banyak harus melakukan diversifikasi pangan
berbasis sumber daya lokal.
Sumber pangan lokal sudah sejak lama dikonsumsi sebagai makanan
alternatif bagi penduduk Indonesia, namun sumber pangan lokal tersebut kalah
bersaing dengan sumber pangan impor seperti gandum dengan bentuk produk mei
dan sejenisnya. Pada hal idealnya makanan pokok bagi masyarakat bersumber
dari bahan baku lokal agar biaya transportasi bisa ditekan serendah mungkin. Di
Indonesia begitu banyaknya jenis makanan lokal yang bisa dimanfaatkan menjadi
bahan makanan alternatif dalam menuju ketahanan pangan, ubi jalar merupakan
salah satu dari 20 jenis pangan yang berfungsi sebagai sumber karbohidrat.
Untuk menunjang keberhasilan ketahanan pangan penduduk Indonesia
harus kembali ke makanan pokok lokal daerahnya masing-masing, sebagai
contoh; orang Madura dengan makanan pokok jagung, maka penduduk Madura
wajib mengkonsumsi jagung, tetapi pada saat ini mana ada orang yang suka
makan jagung terus-menerus, tentunya akan merasa bosan dan merasa gengsi,
maka jagung harus diolah dengan baik dan lebih bervariasi, begitu pula makanan
pokok lainnya.
Program diversifikasi pangan lokal yang bervariasi dan bergizi dapat
memotivasi masyarakat Indonesia untuk pemanfaatan pangan lokal, beberapa hal
yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam peningkatan ketahanan
pangan adalah sebagai berikut:
(1) Untuk menjamin ketersediaan bahan baku pemerintah daerah harus
memperhatikan on farm sehingga produktivitas bahan baku lokal
dapat lebih tinggi, jika produktivitasnya meningkat maka
ketersediaan bahan baku tidak menjadi kendala dan biayanya dapat
ditekan, sehingga produk yang dihasilkan dapat lebih murah.
١٥
(2) Pemanfaatan bahan baku lokal menjadi bahan olahan pengindustrian
pangan alternatif yang bernilai gizi tinggi dan secara ekonomis
menguntungkan bagi pelakunya, membuka lapangan kerja baru,
dalam kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan promosi, untuk
mendukung program diversifikasi pangan.
(3) Sosialisasi secara terus menerus dan kerjasama sumua pihak untuk
pemanfaatan sumber pangan lokal bagi pemerintah daerah.
Pemerintah daerah hendaknya dapat memberikan berbagai subsidi
dan kebijakan proteksi seperti mewajibkan kapada semua penduduk
di daerah seperti Provinsi atau Kabupaten/Kota sehari tanpa beras
dalam seminggu.
Kegiatan diversifikasi melalui pengindustrian bahan pangan lokal dapat
membangun ketahanan pangan yaitu; dengan mengembangkan komoditas pangan
lokal yang dapat membantu masyarakat lokal dalam memenuhi pangan secara
berkesinambungan terutama untuk kebutuhan pangan rumah tangga. Hal ini perlu
ditunjang oleh kerjasama antar sektor, antara lain sektor pertanian, sektor industri,
sektor perbankan dan koperasi, sektor tenaga kerja, dan sektor
perdagangan/pemasaran. Karena melalui kerjasama antar sektor tersebut
masyarakat dapat mengakses ketersediaan pangan baik secara nasional maupun
daerah.
١٦
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Pemerintah dalam membangun ketahanan pangan di era otonomi daerah,
perlu melibatkan masyarakat secara partisipatif pada setiap perencanaan
pembangunan khususnya pembangunan ketahanan pangan wilayah, karena
dengan melibatkan masyarakat secara partisipatif maka pemerintah dapat secara
pasti dan pro aktif mengetahui masalah kekurangan pangan di setiap individu
masyarakat dan secara langsung menumbuhkembangkan dan sekaligus
memelihara tradisi penyediaan lumbung pangan yang pernah ada, baik secara
individu maupun secara kolektif, untuk memelihara cadangan pangan bagi
keberlanjutan kehidupannya.
Pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam
pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis,
ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan bisa melakukan pewilayahan (zoning)
terhadap lahan yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi.
Penyempurnaan sistem dan aturan jual beli lahan serta pola penguasaan lahan
(land tenure system) sesuai kondisi wilayah Sementara itu advokasi publik yang
cukup kuat dan konsisten masih sangat kurang. Belum ada kelembagaan sosial
yang berperan nyata dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah. Hal ini terkait
dengan kesulitan yang dihadapi dalam menumbuhkembangkan inisiatif seperti itu.
Program diversifikasi pangan lokal yang bervariasi dan bergizi melalui
dengan pengindustrian bahan baku lokal dengan memperhatikan on farm untuk
menjamin ketersediaan bahan baku, pemanfaatan bahan baku lokal menjadi bahan
olahan pengindustrian pangan secara optimal, dan sosialisasi secara terus menerus
serta kerjasama semua pihak untuk pemanfaatan sumber pangan lokal
١٢
b. Saran
Langkah operasional yang diusulkan antara lain: (a) Reforma agraria,
(b) Pengaturan bahkan pembatasan alih fungsi lahan pertanian produktif,
(c) Revitalisasi lumbung pangan (d) Pemanfaatan sumber pangan lokal dengan
pengembangan sistem usaha model 'cooperative atau corporate farming'.
١٨
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008, Revitalisasi Peran Bahan Pangan Pokok Lokal dalam Menunjang
Ketahanan.
Anonim, 2009. 20 Oktober 2009. “Alih Fungsi Lahan’; (online)
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/538/
Azis, M. A. 1995. Evolusi dan Prospek Pengembangan Lumbung Desa di
Indonesia. Majalah Komunikasi dan Informasi Pangan, No. 21
Vol.V:58-68.
Anonim, 2009. 20 Oktober 2009. “Masalah Strategi”; (online)
http://bkp.deptan.go.id/dewan/KUKP/Bab%20IV.Masalah%20Strategis
%20KP.pdf
Bahua, Mohamad Ikbal. 20 Oktober 2009. “Pembangunan Ketahanan Pangan Di
Era Otonomi Daerah”; (online) http://eeqbal.blogspot.com/
Basuki, T. E. 2004b. Otonomi Perwujudan Ketahanan Pangan. dalam Suryana, A
(Penyunting). Kemandirian Pangan Menuju Ketahanan Pangan
Berkelanjutan. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian
bekerjasama dengan Harian Umum Suara Pembaharuan.
Departemen Pertanian. 1999. Departemen Pertanian. 1999. Program
Pembangunan Pertanian Kabinet Persatuan Nasional 1999-2004.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Edy Purwo Saputro, (2009), Alih fungsi lahan pertanian subur di Jawa perlu
segera dihentikan , Bisnis Indonesia, Artikel 11 Juni 2009.
Iqbal, Muhammad dan Sumaryanto. 20 Oktober 2009. “Strategi Pengendalian
Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat”;
(online) http://pse.litbang.deptan.go.id
Rachman, Handewi P.S. 20 Oktober 2009. “Kebijakan pengelolaan Cadangan
Pangan pada Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog”; (online)
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE23-2a.pdf
Sapuan dan A. Supanto. 1995. Profil Lumbung Desa dan Strategi Pembinaan
Ke Arah Pengembangan Sebagai Lembaga Cadangan Ketahanan
١٩
Pangan masyarakat. Majalah Komunikasi dan Informasi Pangan, No. 21
Vol.V:50-57
Simatupang, P. 1999. Towards Sustainable Food Security: The Need for A New
Paradigm. International Seminar Agricultural Sector During
Turbulence of Economic Crisis : Lessons and Future Direction. 17 – 18
February 1999. Centre for Agro-Socio economic Research, AARD.
Bogor
Sosrodiharjo, S. 1995. Kondisi Sosial Ekonomi dan Keberadaan Lumbung Desa.
Majalah Komunikasi dan Informasi Pangan, No. 21 Vol.V:19-22.
٢٠
Lampiran
1. Lumbung Pangan
2. Penatalaksanaan Lahan
Gambar Contoh Kegiatan Lumbung PanganPara pekerja melakukan aktivitasnya Kegiatan observasi di lumbung pangan١.٢ .
Petalaksanaan LahanPersawahan yang kondisinya sudah layak dan bagus produktivitasnya
١.
٢١