32
BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen, berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli. Pembangunan ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari otonomi daerah, untuk menunjang keberadaan pangan sampai ke tingkat rumah tangga. Dalam era otonomi daerah peranan daerah otonom sangat penting untuk meningkatkan stok pangan lokal. Namun permasalahan fundamental yang dihadapi oleh daerah otonom untuk ketahanan pangan antara lain: (1) Kurangnya pemahaman daerah terhadap pentingnya ketahanan pangan. (2) Kekurangan pemahaman daerah dalam menatalaksanakan peruntukan lahan, hal ini berdampak terhadap semakin berkurangnya lahan-lahan produktif untuk pertanian. (3) Tradisi masyarakat untuk

KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

http://privace23.blogspot.com/

Citation preview

Page 1: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia

mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh

pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Dalam Undang-Undang Nomor

7 tahun 1996 tentang pangan disebutkan Pemerintah menyelenggarakan

pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat

menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta

berperan sebagai konsumen, berhak memperoleh pangan yang cukup dalam

jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli.

Pembangunan ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari otonomi

daerah, untuk menunjang keberadaan pangan sampai ke tingkat rumah tangga.

Dalam era otonomi daerah peranan daerah otonom sangat penting untuk

meningkatkan stok pangan lokal. Namun permasalahan fundamental yang

dihadapi oleh daerah otonom untuk ketahanan pangan antara lain: (1) Kurangnya

pemahaman daerah terhadap pentingnya ketahanan pangan. (2) Kekurangan

pemahaman daerah dalam menatalaksanakan peruntukan lahan, hal ini berdampak

terhadap semakin berkurangnya lahan-lahan produktif untuk pertanian. (3) Tradisi

masyarakat untuk menyiapkan cadangan pangan melalui lumbung pangan kurang

diminati oleh masyarakat. (4) Pemanfaatan sumber pangan lokal belum digalakan

disetiap daerah. Realitas ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa upaya

peningkatan ketahanan pangan di daerah hanya sebatas slogan dan belum

memperlihatkan hasil secara optimal. Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)

melalui organisasi pangan dan pertaniannya (FAO) menyatakan 37 negara

termasuk Indonesia, mulai tahun 2008 ini akan menghadapi ancaman krisis

pangan karena perubahan iklim dan bencana alam.

Demikian juga data BPS Januari (2008) dalam Hindardi (2008) terjadi

kenaikan inflasi pada bulan Januari 2008 sebesar 1,77 persen yang seharusnya

tidak perlu terjadi apabila ketersediaan pangan dapat dilakukan dengan baik,

sebab komoditas kedelai (61,8 persen impor) dan gula (19,6 persen impor) yang

١

Page 2: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

memberatkan. Selain itu terdapat masalah besar, yakni faktor distribusi pangan

yang menyebabkan kenaikan harga pangan terutama untuk daerah-daerah

pedesaan.

Disamping itu, lahan pertanian tidak dimanfaatkan secara optimal oleh

petani pada akhirnya tidak memberikan hasil yang memadai. Padahal Indonesia

memiliki kawasan hutan seluas 120,35 juta hektar (65 persen luas daratan) yang

bahkan belum dimanfaatkan secara terprogram, kecuali di Jawa, sebagai media

penyedia pangan nasional yang amat potensial Hindardi (2008). Oleh sebab itu

penulis tertarik untuk membahas “ Beberapa Faktor Penentu Keberhasilan

Ketahanan Pangan pada Era Otonomi Daerah”.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan

bahwa berbagai masalah yang dihadapi oleh pemerintah daerah dan masyarakat

dalam peningkatan ketahanan pangan yang berkaitan dengan Otonomi Daerah,

seperti; pemahaman pemerintah daerah dan masyarakat terhadap

ketahanan pangan, kurang tepatnya penatalaksanaan peruntukan lahan

pertanian, kurang diminatinya pembuatan lumbung pangan oleh

masyarakat, dan kurangnya pemahaman tentang pemanfaatan pangan lokal

baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

c. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui Kemandirian

Pangan terkait dengan Otonomi Daerah, yang dilihat dari berbagai aspek yaitu;

Pemahaman pemerintah daerah terhadap ketahanan pangan, penatalaksanaan

peruntukan lahan pertanian, pembuatan lumbung pangan oleh masyarakat dan

pemanfaatan pangan lokal.

Manfaat penulisan karya ini secara umum adalah; karya ini diharapkan

dapat berguna bagi pembuat kebijakan, pembangunan ilmu pengetahuan terutama

bidang ketahanan pangan dan otonomi daerah. Secara spesifik manfaat karya ini

sebagai berikut: (1) Karya tulis tentang ketahanan pangan dan otonomi daerah

٢

Page 3: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

ini kiranya dapat memberikan sumbangan bagi kepentingan ilmu pengetahuan,

khususnya bidang pertanian tanaman pangan dan otonomi daerah. (2). Karya tulis

ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan bidang

ketahanan pangan dan otonomi daerah berkaitan dengan pemahaman pemerintah

daerah terhadap ketahanan pangan, penatalaksanaan peruntukan lahan pertanian,

pembuatan lumbung pangan oleh masyarakat, dan pemanfaatan pangan lokal.

٣

Page 4: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Ketahanan Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh

pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam Undang-Undang

tersebut disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan,

pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses

produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai

konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu,

aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Kurniawan (2007) mengungkapkan bahwa, ketahanan pangan dapat

diartikan sebagai suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang

dan setiap individu mampu memperolehnya. Dalam konsep ketahanan pangan

terdapat tiga topik yang perlu untuk dibahas berhubungan dengan rencana aksi

pemantapan ketahanan pangan pemerintah Indonesia, yaitu (1) Kecukupan

pangan, (2) Kemandirian pangan, dan (3) Kedaulatan pangan. Kecukupan pangan

adalah suatu kondisi pada suatu negara yang cukup akan jumlah pangan, mutu

baik, mudah diperoleh, aman dikonsumsi, dan harga terjangkau. Sedangkan

kemandirian pangan adalah keadaan dimana suatu negara dapat memenuhi

kebutuhan pangan dengan produk sendiri (negara tersebut). Serta kedaulatan

pangan adalah suatu penentuan yang dilakukan oleh suatu negara atas pangan

untuk negaranya sendiri.

Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan

sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu,

upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi

pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal,

mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi

produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan

mempertahankan serta mengembangkan lahan produktif.

٤

Page 5: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

Program pembangunan ketahanan pangan yang dilaksanakan secara

Nasional melalui Badan Ketahanan Pangan bertujuan, (1) Memantapkan

ketersediaan pangan dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki secara

berkelanjutan, (2) Memantapkan kelancaran distribusi pangan untuk menjamin

stabilitas pasokan pangan secara merata dan terjangkaunya daya akses pangan

masyarakat, (3) Meningkatkan percepatan diversifikasi konsumsi pangan,

(4) Mencegah dan menanggulangi kerawanan pangan.

Subeno (2005) menjelaskan bahwa, basis konsep ketahanan pangan

nasional adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, terutama di pedesaan.

Proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan merupakan salah satu

indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Makin besar pangsa

pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan menunjukkan makin rendah

ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Secara agregat atau makro pangsa

pengeluaran tersebut sejak 1980 hingga 2000 terus menurun. Jika pada tahun 1980

pangsa pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan sekitar 70%, maka pada

tahun 1990 telah turun menjadi 57%. Pada tahun 2000 angkanya kembali

mengalami penurunan menjadi kurang dari 50%. Besar pangsa pendapatan rumah

tangga yang digunakan untuk konsumsi pangan menunjukkan harta atau kekayaan

lain yang dimiliki dan dapat dipertukarkan untuk memperoleh satu satuan bahan

pangan juga kecil.

Berdasarkan berbagai konsep tersebut di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa ketahanan pangan (food security) merupakan kondisi tersedianya pangan

dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk kebutuhan masyarakat yang dapat

diakses dengan mudah berdasarkan kemampuan daya beli masyarakat serta

terdistribusi merata di semua wilayah dan strata masyarakat.

b. Otonomi Daerah

Dalam era otonomi daerah peranan daerah otonom sangat penting untuk

meningkatkan stok pangan lokal. Sistem ketahanan pangan sudah

didesentralisasikan ke seluruh daerah otonom yang meliputi perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi. Kebijakan ini diimbangi dengan desentralisasi 85

persen anggaran Departemen Pertanian ke daerah-daerah otonom, dan sisanya

٥

Page 6: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

untuk operasional pemerintah pusat. Peranan pusat hanya membuat kebijakan-

kebijakan strategis dan bersifat normatif, sedangkan implikasi teknis di lapangan

diserahkan ke pemerintah daerah otonom.

Nainggolan (2008) menjelaskan bahwa, otonomi daerah memberikan

keleluasaan dalam menetapkan prioritas pembangunan masing-masing daerah,

diantaranya melalui pembangunan ketahanan pangan dengan memperhatikan hal-

hal sebagai berikut: (1) Melibatkan peran aktif seluruh stakeholders di bawah

koordinasi DKP (Dewan Ketahanan Pangan), (2) Melaksanakan program

pembangunan yang secara langsung memberikan manfaat kepada masyarakat,

(3) Mengembangkan kerjasama antar daerah dan antara daerah dengan pusat, dan

(4) Mempertahankan lahan produktif dan suplai air untuk pertanian.

Strategi yang dijalankan oleh pemerintah dalam membangun ketahanan

pangan di era otonomi daerah yaitu: (1) Memperlancar pasokan dan memfasilitasi

keterjangkauan masyarakat terhadap pangan, (2) Memproteksi sistem ekonomi

dalam negeri/daerah dari persaingan yang kurang menguntungkan khususnya

tekanan perdagangan global, dan (3) mengembangkan strategi dengan justifikasi

yang tepat, sehingga tidak bertentangan dengan kaidah organisasi perdagangan

internasional yang telah disepakati.

c. Beberapa Faktor Penentu Keberhasilan Ketahanan Pangan

Waluyo (2007) menyatakan bahwa, permasalahan fundamental yang

dihadapi oleh daerah otonom untuk ketahanan pangan antara lain: Kebijakan

ketahanan pangan, penataan dan pemanfaatan lahan pertanian, lumbung pangan,

pemanfaatan pangan lokal sebagaimana uraian berikut:

(1) Kebijakan Ketahanan Pangan

Terkait dengan aspek pengelolaan dan pemeliharaan cadangan pangan

pemerintah, Peraturan Pemerintah (PP) No 68 tahun 2002 menyebutkan secara

tegas tentang pentingnya peran pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan

pemerintah desa dalam menangani masalah pangan. Semangat otonomi daerah

menurut PP 68/2002 tersebut menurut Basuki (2004) pada dasarnya dapat dilihat

dari dua hal pokok. Pertama, pengakuan terhadap pentingnya peran pemerintah

٦

Page 7: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah desa dalam

pengelolaan ketahanan pangan; Kedua, pernyataan secara tegas tentang

keberagaman pola pangan masyarakat, yaitu dengan memberikan keleluasaan

pengertian atas pangan tertentu bersifat pokok, sesuai dengan pola pangan

masyarakat setempat. Dengan semangat ini dimungkinkan suatu daerah

mengembangkan dan mempromosikan pola pangan setempat sebagai pangan

tertentu yang bersifat pokok.

Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam peningkatan ketahanan

pangan adalah sebagai berikut; (1) Melakukan operasi pasar murni (OPM) dalam

rangka stabilisasi harga, (2) Memenuhi kebutuhan pangan akibat bencana alam

atau kerusuhan sosial, (3) Memenuhi jatah beras golongan berpendapatan tetap

dalam hal ini TNI/Polri, dan (4) Memenuhi penyaluran pangan secara khusus

seperti program raskin (Rahman, dkk, 2005).

Oleh sebab itu ketahanan pangan hanyalah satu elemen dari sistem sosial

suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, jika kesadaran

tentang ketahanan pangan telah menjiwai kebijakan pemerintah, maka akan

terlihat dari kebijakan baik di bidang ekonomi, politik, lingkungan, maupun sosial

dan budaya masyarakat tersebut. Intinya sistem dan seluruh kelembagaan dalam

masyarakat harus memiliki visi untuk mencapai ketahanan pangan. Untuk

mencapai visi ketahanan pangan tersebut diperlukan tiga dimensi ketahanan

pangan, yaitu: dimensi ketersediaan (availability), dimensi akses (access), dan

dimensi pemanfaatan (utilization).

(2) Penatalaksanaan Lahan Pertanian

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman

yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi

lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang

beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi –

sangat tinggi. Berdasarkan hasil penelitian dan data yang dipublikasikan oleh

sejumlah lembaga diperkirakan luas lahan sawah yang terkonversi tidak kurang

dari 150.000 hektar/tahun (Murniningtyas (2007).

٧

Page 8: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

Secara teoritis terdapat tiga pendekatan yang dapat ditempuh dalam pengendalian

alih fungsi lahan sawah yaitu: (1) regulation, (2) acquisition and management,

dan (3) incentives and charges. Regulation (Murniningtyas (2007).

Terkait dengan tiga pendekatan alih fungsi lahan maka pengendalian fungsi lahan

sawah yang selama ini telah dilancarkan ternyata belum efektif. Hal itu

merupakan akibat dari dua faktor yang sifatnya saling mempengaruhi sebagai

berikut. Pertama, di sebagian besar daerah, instrumen yang terkait dengan

berbagai kebijakan pemerintah pusat dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah

belum terlembagakan karena petunjuk teknis pelaksanaannya belum berhasil

dirumuskan. Kedua, di daerah komitmen berbagai lembaga terkait untuk

mengendalikan alih fungsi lahan sawah masih beragam.

Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik

lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengan

transaksi jual beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya

berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan

kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent)

jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan

perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar

(prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal

pemilik lahan yang bersangkutan).

Secara empiris, instrumen kebijakan yang selama ini menjadi andalan

dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah adalah aturan pelaksanaan Peraturan

Daerah yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sangat

disayangkan bahwa proses penyusunan RTRW yang pada umumnya cukup alot

ternyata juga belum menghasilkan petunjuk teknis yang benar-benar operasional.

(3) Lumbung Pangan

Secara formal pengaturan cadangan pangan menjadi tanggung jawab

pemerintah dan masyarakat. Menurut Ramahman dkk (2005) cadangan pangan

pemerintah dan masyarakat harus sama-sama eksis dan satu sama lain harus saling

melengkapi (komplemen). Oleh sebab itu memelihara tradisi penyediaan lumbung

pangan yang pernah ada, baik secara individu maupun secara kolektif, untuk

٨

Page 9: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

cadangan pangan demi keberlanjutan kehidupan masyarakat merupakan salah satu

alternatif untuk meningkatkan ketahanan pangan.

Di Indonesia, pengelolaan cadangan pangan oleh masyarakat dikelola

secara kolektif dalam bentuk lumbung pangan telah ada sejak tahun 1890 (Azis,

1995), oleh karena itu pengelolaan cadangan masyarakat sudah menjadi tradisi,

kemudian lumbung pangan berkembang dengan pesat pada tahun 1930-an

sewaktu masa krisis ekonomi dunia (malaise) Azis (1995), Sosrodiharjo, (1995).

Sebaliknya pada tahun 1980 perkembangan lumbung pangan merosot tajam Azis

(1995), Sapuan dan Supanto (1995), Simatupang (1999). Kondisi ini terjadi

adalah sebagai dampak dari kebijaksanaan kembar berupa stabilitas harga beras

dan swasembada beras yang berhasil membuat harga beras antar waktu relatif

stabil. Akibatnya lembaga cadangan pangan berupa lumbung pangan tidak

menarik lagi karena tidak memberikan nilai tambah dari segi ekonomi. Namun

terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 telah mendorong pemerintah untuk

memberdayakan lumbung pangan dengan pertimbangan lembaga ini sangat

strategis sebagai salah satu sarana penunjang ketahanan pangan.

(4) Pemanfaatan Pangan Lokal

Untuk menunjang keberhasilan ketahanan pangan penduduk Indonesia

harus kembali ke makanan pokok lokal daerahnya masing-masing, sebagai

contoh; orang Madura dengan makanan pokok jagung, maka penduduk Madura

wajib mengkonsumsi jagung, tetapi pada saat ini mana ada orang yang suka

makan jagung terus-menerus, tentunya akan merasa bosan dan merasa gengsi,

maka jagung harus diolah dengan baik dan lebih bervariasi, begitu pula makanan

pokok lainnya.

Pemanfaatan pangan lokal dapat membantu masyarakat lokal dalam

memenuhi pangan secara berkesinambungan terutama untuk kebutuhan pangan

rumah tangga. Sumber-sumber pangan lokal (jagung, ubi kayu, ubi jalar, kentang,

sagu, dan sumber karbohidrat lainnya) sangat potensial untuk dikembangkan

sebagai bahan pangan pokok pendamping beras.

٩

Page 10: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

Tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan pangan lokal

adalah sebagai berikut: (1) pemerintah daerah harus memperhatikan on farm

untuk menjamin ketersediaan bahan baku. (2) Pemanfaatan bahan baku lokal

menjadi bahan olahan pengindustrian pangan secara optimal, (3) Sosialisasi

secara terus menerus dan kerjasama semua pihak untuk pemanfaatan sumber

pangan lokal bagi pemerintah daerah.

١٠

Page 11: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

BAB III

PEMBAHASAN

a. Pemahaman Pemerintah terhadap Ketahanan Pangan

Cadangan pangan merupakan salah satu sumber penyediaan pangan yang

penting. Dikaitkan dengan peran pemerintah daerah dalam implementasi otonomi

daerah, pengelolaan cadangan pangan yang baik oleh pemerintah daerah dan

partisipasi masyarakat secara luas, diharapkan dapat meminimalkan terjadinya

kasus-kasus kerawanan dan kekurangan pangan di daerah. Pemerintah

provinsi/kabupaten/desa sesuai dengan kewenangannya dapat mengembangkan

cadangan pangan tertentu yang bersifat pangan pokok sesuai dengan pola pangan

setempat. Dengan demikian, apabila terjadi kasus kekurangan pangan di suatu

wilayah dapat segera direspon oleh pemerintah daerah setempat tanpa harus

menunggu kebijakan pemerintah pusat.

Demikian halnya keberadaan cadangan pangan rumah tangga juga sangat

urgen baik bagi mereka yang berada di daerah dengan aksesibilitas tinggi

maupun dengan aksesibilitas rendah, karena rumah tangga/individu adalah obyek

terakhir dimana ketahanan pangan harus diwujudkan. Idealnya, rumah tangga

baik secara individual maupun secara kolektif menguasai cadangan pangan guna

mengantisipasi kekurangan pangan yang bersifat sementara yang disebabkan

terhentinya pasokan bahan pangan, misalnya karena putusnya prasarana dan

sarana transportasi akibat bencana alam. Dalam kondisi seperti ini pemenuhan

kebutuhan pangan dengan mengandalkan bantuan dari pemerintah apalagi

pemerintah pusat membutuhkan waktu lama, baik karena sistem birokrasi yang

relatif panjang maupun karena kendala putusnya prasarana dan sarana

transportasi.

Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam peningkatan ketahanan

pangan bagi golongan berpendapatan rendah/miskin melalui kebijakan penyaluran

pangan secara khusus seperti program raskin. Program bantuan pangan (beras)

dengan harga bersubsidi bagi kelompok miskin (Raskin). Upaya bantuan pangan

melalui Raskin tersebut sangat signifikan dalam penanggulangan kerawanan

pangan bagi penduduk miskin. Namun demikian, dalam pelaksanaan penyaluran

١١

Page 12: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

program Raskin tersebut di beberapa daerah ditemukan berbagai ketidaksesuaian

dalam penetapan rumah tangga sasaran, jumlah beras yang diterima oleh rumah

tangga, waktu penyaluran, dan atau ketidaktepatan sistem administrasi. Dalam

hal demikian, penyempurnaan dari berbagai kelemahan yang ada dalam

pelaksanaan penyaluran Raskin sangat diperlukan.

b. Penatalaksanaan Lahan Pertanian

Dari aspek produksi domestik, untuk mewujudkan kemandirian pangan

paling tidak ada tiga hal kebijakan yang harus diimplementasikan oleh instansi

terkait. Pertama, perlu adanya penataan penguasaan atau pengusahaan lahan yang

dilandasi efisiensi skala ekonomi. Dengan luas pemilikan dan pengusahaan yang

sempit, hampir semua kebijakan ekonomi tidak mungkin dapat melepaskan petani

dari cengkeraman kemiskinan dan kerawanan pangan, sehingga mustahil rumah

tangga pedesaan dapat mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan.

Secara teoritis terdapat tiga pendekatan yang dapat ditempuh dalam

pengendalian alih fungsi lahan sawah yaitu: (1) regulation, (2) acquisition and

management, dan (3) incentives and charges. Regulation (Murniningtyas (2007).

Penatalaksanaan lahan melalui pendekatan regulation adalah pengambil

kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada.

Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil

kebijakan bisa melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan yang ada serta

kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang

jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada

dalam proses alih fungsi lahan. Dalam tatanan praktisnya, pola ini telah

diterapkan pemerintah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah, namun

RTRW yang dirancang di daerah belum berhasil membuat konsep yang baik

disamping itu pelaksana di lapang belum sepenuhnya konsisten menerapkan

aturan penatalaksanaan lahan.

١٢

Page 13: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

Disamping itu Acquisition and Management terkait menyempurnakan

sistem dan aturan jual beli lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan

(land tenure system) sesuai kondisi wilayah yang ada guna mendukung upaya ke

arah mempertahankan keberadaan lahan pertanian dengan didukung oleh

Peraturan Daerah. Cukup banyak kasus dikemukakan bahwa lemahnya penegakan

hukum terkait kepentingan daerah untuk mengembangkan sektor non pertanian

secepat mungkin dengan harapan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan

kesempatan kerja. Sementara itu advokasi publik yang cukup kuat dan konsisten

masih sangat kurang. Belum ada kelembagaan sosial yang berperan nyata dalam

pengendalian alih fungsi lahan sawah. Hal ini terkait dengan kesulitan yang

dihadapi dalam menumbuhkembangkan inisiatif seperti itu.

Sementara incentives and charges berkaitan dengan pemberian subsidi

kepada para petani untuk dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki,

serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan

pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain dalam upaya pencegahan alih fungsi

lahan pertanian. Selain itu, pengembangan prasarana yang ada lebih diarahkan

untuk mendukung pengembangan kegiatan budidaya pertanian berikut usaha

ikutannya.

Pada akhirnya pelaku utama di lapangan adalah petani. Implikasinya,

dinamika petani dan pedesaan harus diperhitungkan sebagai salah satu faktor

penentu efektivitas instrumen hukum maupun instrumen ekonomi tersebut di atas.

Pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang perikehidupan petani

adalah syarat utama untuk menumbuhkembangkan inisiatif masyarakat sebagai

subyek dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah. Sehubungan itu maka

rancang bangun kebijakan dan strategi implementasi di daerah akan lebih mudah

dirumuskan jika petani dilibatkan pada setiap tahap perumusan dan implementasi

kebijakan.

١٣

Page 14: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

c. Pendirian Lumbung Pangan

Memelihara tradisi penyediaan lumbung pangan yang pernah ada, baik

secara individu maupun secara kolektif pada saat ini sangat sulit bagi masyarakat.

Walaupun pengelolaan cadangan pangan oleh masyarakat telah ada sejak tahun

1890 dan sudah menjadi tradisi sebagaimana diuraikan (Azis, 1995), kemudian

lumbung pangan berkembang dengan pesat pada tahun 1930-an sewaktu masa

krisis ekonomi dunia (malaise) Azis (1995), Sosrodiharjo, (1995). Sebaliknya

pada tahun 1980 perkembangan lumbung pangan merosot tajam Azis (1995),

Sapuan dan Supanto (1995), Simatupang (1999). Kondisi ini terjadi adalah

sebagai dampak dari kebijakan kembar berupa stabilitas harga beras dan

swasembada beras yang berhasil membuat harga beras antar waktu relatif stabil.

Akibatnya lembaga cadangan pangan berupa lumbung pangan tidak menarik lagi

karena tidak memberikan nilai tambah dari segi ekonomi. Namun terjadinya

krisis ekonomi tahun 1997 telah mendorong pemerintah untuk memberdayakan

lumbung pangan dengan pertimbangan lembaga ini sangat strategis sebagai salah

satu sarana penunjang ketahanan pangan.

Lumbung pangan merupakan salah satu cara untuk mengatasi krisis yang

pangan yang dialami oleh masyarakat pada tingkat rumah tangga. Cadangan

pangan yang dikuasai oleh rumah tangga baik secara individu maupun secara

kolektif berfungsi untuk: (1) mengantisipasi terjadinya kekurangan bahan pangan

pada musim paceklik, dan (2) mengantisipasi ancaman gagal panen akibat

bencana alam seperti serangan hama dan penyakit, anomali iklim, dan banjir.

Namun pendirian dan pemanfaatan lumbung pangan di tingkat rumah

tangga baik secara individual maupun secara kolektif kurang diminati lagi oleh

masyarakat di daerah, maka bentuk cadangan pangan yang dijumpai di suatu

wilayah kabupaten/kota adalah cadangan pangan yang dikuasai pemerintah dan

pedagang. Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan minat masyarakat dalam

pendirian dan pemanfaatan lumbung pangan perlu diadakan sosialisasi secara

bersama-sama kepada masyarakat pedesaan.

١٤

Page 15: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

d. Pemanfaatan Pangan Lokal

Mencermati fenomena bidang pangan, maka budaya ketergantungan

dengan beras sebagai bahan makanan pokok perlu ditekan melalui berbagai

kampanye dan promosi pemanfaatan sumber pangan lokal selain beras. Pola

konsumsi pangan harus dirubah dengan tidak menggantungkan pangan beras akan

tetapi pangan yang berasal dari sumber daya lokal. Indonesia sebagai negara

berkembang dengan penduduk yang banyak harus melakukan diversifikasi pangan

berbasis sumber daya lokal.

Sumber pangan lokal sudah sejak lama dikonsumsi sebagai makanan

alternatif bagi penduduk Indonesia, namun sumber pangan lokal tersebut kalah

bersaing dengan sumber pangan impor seperti gandum dengan bentuk produk mei

dan sejenisnya. Pada hal idealnya makanan pokok bagi masyarakat bersumber

dari bahan baku lokal agar biaya transportasi bisa ditekan serendah mungkin. Di

Indonesia begitu banyaknya jenis makanan lokal yang bisa dimanfaatkan menjadi

bahan makanan alternatif dalam menuju ketahanan pangan, ubi jalar merupakan

salah satu dari 20 jenis pangan yang berfungsi sebagai sumber karbohidrat.

Untuk menunjang keberhasilan ketahanan pangan penduduk Indonesia

harus kembali ke makanan pokok lokal daerahnya masing-masing, sebagai

contoh; orang Madura dengan makanan pokok jagung, maka penduduk Madura

wajib mengkonsumsi jagung, tetapi pada saat ini mana ada orang yang suka

makan jagung terus-menerus, tentunya akan merasa bosan dan merasa gengsi,

maka jagung harus diolah dengan baik dan lebih bervariasi, begitu pula makanan

pokok lainnya.

Program diversifikasi pangan lokal yang bervariasi dan bergizi dapat

memotivasi masyarakat Indonesia untuk pemanfaatan pangan lokal, beberapa hal

yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam peningkatan ketahanan

pangan adalah sebagai berikut:

(1) Untuk menjamin ketersediaan bahan baku pemerintah daerah harus

memperhatikan on farm sehingga produktivitas bahan baku lokal

dapat lebih tinggi, jika produktivitasnya meningkat maka

ketersediaan bahan baku tidak menjadi kendala dan biayanya dapat

ditekan, sehingga produk yang dihasilkan dapat lebih murah.

١٥

Page 16: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

(2) Pemanfaatan bahan baku lokal menjadi bahan olahan pengindustrian

pangan alternatif yang bernilai gizi tinggi dan secara ekonomis

menguntungkan bagi pelakunya, membuka lapangan kerja baru,

dalam kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan promosi, untuk

mendukung program diversifikasi pangan.

(3) Sosialisasi secara terus menerus dan kerjasama sumua pihak untuk

pemanfaatan sumber pangan lokal bagi pemerintah daerah.

Pemerintah daerah hendaknya dapat memberikan berbagai subsidi

dan kebijakan proteksi seperti mewajibkan kapada semua penduduk

di daerah seperti Provinsi atau Kabupaten/Kota sehari tanpa beras

dalam seminggu.

Kegiatan diversifikasi melalui pengindustrian bahan pangan lokal dapat

membangun ketahanan pangan yaitu; dengan mengembangkan komoditas pangan

lokal yang dapat membantu masyarakat lokal dalam memenuhi pangan secara

berkesinambungan terutama untuk kebutuhan pangan rumah tangga. Hal ini perlu

ditunjang oleh kerjasama antar sektor, antara lain sektor pertanian, sektor industri,

sektor perbankan dan koperasi, sektor tenaga kerja, dan sektor

perdagangan/pemasaran. Karena melalui kerjasama antar sektor tersebut

masyarakat dapat mengakses ketersediaan pangan baik secara nasional maupun

daerah.

١٦

Page 17: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

Pemerintah dalam membangun ketahanan pangan di era otonomi daerah,

perlu melibatkan masyarakat secara partisipatif pada setiap perencanaan

pembangunan khususnya pembangunan ketahanan pangan wilayah, karena

dengan melibatkan masyarakat secara partisipatif maka pemerintah dapat secara

pasti dan pro aktif mengetahui masalah kekurangan pangan di setiap individu

masyarakat dan secara langsung menumbuhkembangkan dan sekaligus

memelihara tradisi penyediaan lumbung pangan yang pernah ada, baik secara

individu maupun secara kolektif, untuk memelihara cadangan pangan bagi

keberlanjutan kehidupannya.

Pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam

pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis,

ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan bisa melakukan pewilayahan (zoning)

terhadap lahan yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi.

Penyempurnaan sistem dan aturan jual beli lahan serta pola penguasaan lahan

(land tenure system) sesuai kondisi wilayah Sementara itu advokasi publik yang

cukup kuat dan konsisten masih sangat kurang. Belum ada kelembagaan sosial

yang berperan nyata dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah. Hal ini terkait

dengan kesulitan yang dihadapi dalam menumbuhkembangkan inisiatif seperti itu.

Program diversifikasi pangan lokal yang bervariasi dan bergizi melalui

dengan pengindustrian bahan baku lokal dengan memperhatikan on farm untuk

menjamin ketersediaan bahan baku, pemanfaatan bahan baku lokal menjadi bahan

olahan pengindustrian pangan secara optimal, dan sosialisasi secara terus menerus

serta kerjasama semua pihak untuk pemanfaatan sumber pangan lokal

١٢

Page 18: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

b. Saran

Langkah operasional yang diusulkan antara lain: (a) Reforma agraria,

(b) Pengaturan bahkan pembatasan alih fungsi lahan pertanian produktif,

(c) Revitalisasi lumbung pangan (d) Pemanfaatan sumber pangan lokal dengan

pengembangan sistem usaha model 'cooperative atau corporate farming'.

١٨

Page 19: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008, Revitalisasi Peran Bahan Pangan Pokok Lokal dalam Menunjang

Ketahanan.

Anonim, 2009. 20 Oktober 2009. “Alih Fungsi Lahan’; (online)

http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/538/

Azis, M. A. 1995. Evolusi dan Prospek Pengembangan Lumbung Desa di

Indonesia. Majalah Komunikasi dan Informasi Pangan, No. 21

Vol.V:58-68.

Anonim, 2009. 20 Oktober 2009. “Masalah Strategi”; (online)

http://bkp.deptan.go.id/dewan/KUKP/Bab%20IV.Masalah%20Strategis

%20KP.pdf

Bahua, Mohamad Ikbal. 20 Oktober 2009. “Pembangunan Ketahanan Pangan Di

Era Otonomi Daerah”; (online) http://eeqbal.blogspot.com/

Basuki, T. E. 2004b. Otonomi Perwujudan Ketahanan Pangan. dalam Suryana, A

(Penyunting). Kemandirian Pangan Menuju Ketahanan Pangan

Berkelanjutan. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian

bekerjasama dengan Harian Umum Suara Pembaharuan.

Departemen Pertanian. 1999. Departemen Pertanian. 1999. Program

Pembangunan Pertanian Kabinet Persatuan Nasional 1999-2004.

Departemen Pertanian. Jakarta.

Edy Purwo Saputro, (2009), Alih fungsi lahan pertanian subur di Jawa perlu

segera dihentikan , Bisnis Indonesia, Artikel 11 Juni 2009.

Iqbal, Muhammad dan Sumaryanto. 20 Oktober 2009. “Strategi Pengendalian

Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat”;

(online) http://pse.litbang.deptan.go.id

Rachman, Handewi P.S. 20 Oktober 2009. “Kebijakan pengelolaan Cadangan

Pangan pada Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog”; (online)

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE23-2a.pdf

Sapuan dan A. Supanto. 1995. Profil Lumbung Desa dan Strategi Pembinaan

Ke Arah Pengembangan Sebagai Lembaga Cadangan Ketahanan

١٩

Page 20: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

Pangan masyarakat. Majalah Komunikasi dan Informasi Pangan, No. 21

Vol.V:50-57

Simatupang, P. 1999. Towards Sustainable Food Security: The Need for A New

Paradigm. International Seminar Agricultural Sector During

Turbulence of Economic Crisis : Lessons and Future Direction. 17 – 18

February 1999. Centre for Agro-Socio economic Research, AARD.

Bogor

Sosrodiharjo, S. 1995. Kondisi Sosial Ekonomi dan Keberadaan Lumbung Desa.

Majalah Komunikasi dan Informasi Pangan, No. 21 Vol.V:19-22.

٢٠

Page 21: KIR Ketahanan Pangan Dan Otonomi Daerah

Lampiran

1. Lumbung Pangan

2. Penatalaksanaan Lahan

Gambar Contoh Kegiatan Lumbung PanganPara pekerja melakukan aktivitasnya Kegiatan observasi di lumbung pangan١.٢ .

Petalaksanaan LahanPersawahan yang kondisinya sudah layak dan bagus produktivitasnya

١.

٢١