Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
oleh:
Yustinus Kurniawan
091224079
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
oleh:
Yustinus Kurniawan
091224079
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA
oleh:
Yustinus Kurniawan
091224079
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing I
Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. Yogyakarta, 16 Desember 2016
Dosen Pembimbing II
Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd. Yogyakarta, 16 Desember 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA
Dipersiapkan dan disusun oleh:
Yustinus Kurniawan
091224079
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 16 Desember 2016
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda tangan
Ketua : Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd. ................
Sekretaris : Dr.R.Kunjana Rahardi,M.Hum. ................
Anggota 1 : Dr.R.Kunjana Rahardi,M.Hum. ................
Anggota 2 : Prof. Dr. Pranowo.M.Pd. ................
Anggota 3 : Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd. ................
Yogyakarta, 16 Desember 2016
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Rohandi, Ph.D.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria terkasih yang selalu memberkati, menyertai , dan
melindungi dalam setiap langkah saya.
2. Orang tua tercinta, Bapak Rinerius Wijiyanto dan Ibu Florentina Sumiyati yang selalu
memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan kesabaran bagi saya.
3. Kakak ,Winarto dan aAnto , yang selalu memberikan dukuangan.
4. Mbah Putri, Mbah Kakung yang terlebih dulu bertemu dengan Yesus, terima kasih
sudah memberikan banyak pelajaran hidup dari masa kecil hingga remaja saya.
5. Seluruh sahabat di Prodi PBSI angkatan 2009 yang telah memberikan warna selama
berjuang bersama menyelesaikan studi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
Cobalah dan berusahalah agar tahuseberapa batas kemampuan yang dapat kita capai
untuk mencapai tujuan yang ingin kita capai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 16 Desember 2016
Penulis
Yustinus Kurniawan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Yustinus Kurniawan
Nomor Mahasiswa : 091224079
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
memublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 16 Desember 2016
Yang menyatakan
(Yustinus Kurniawan)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Yustinus Kurniawan. 2016. Ketidaksantunan Berbahasa dalam Ranah AgamaHindu di Wilayah Kota Madya, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI,JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas ketidaksantunan berbahasa. Tujuan penelitian iniadalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatikketidaksantunan berbahasa, (2) mendeskripsikan maksud ketidaksantunanberhasa, serta (3) mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatikketidaksantunan berbahasa dalam ranah Agama Hindu Kota Madya, Yogyakarta.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian iniberupa tuturan lisan yang tidak santun yang diucapkan pemuka dan umat sertapemuka dengan pemuka agama Hindu di wilayah Kota Madya Yogyakarta.Tuturan semuanya diambil secara natural dalam perbincangan dalam ranahagama. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah petunjuk wawancara(berupa pertanyaan pancingan dan daftar kasus) dan blangko pengamatan denganbekal teori ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik. Metodepengumpulan data yang digunakan, yaitu metode simak dengan teknik rekam danteknik catat serta, metode cakap dengan teknik dasar berupa tenik pancing.Analisis data pada penelitian ini menggunakan metode kontekstual.
Sesuai dengan tujuan penelitiannya, hasil penelitian ini disampaikan sebagaiberikut (1) wujud ketidaksantunan berbahasa pragmatik dan linguistik (2) maksudketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik (3) penanda ketidaksantunanlinguistik dan pragmatik dalam ranah agama Hindu di Wilayah Kota MadyaYogyakarta. Pertama wujud ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatikberupa tuturan lisan tidak santun yang terbagi dalam kategori melanggar normadengan subkategori, menegaskan; kategori mengancam muka sepihak dengansubkategori memerintah dan mengancam; kategori melecehkan muka dengansubkategori menyindir, memperingatkan, menegur dan menasehati; kategorimenghilangkan muka dengan subkategori menegur, menegaskan, menyindir,menyingung dan memperingatkan; kategori menimbulkan konflik dengansubkategori mengejek, menegaskan, mengancam, memperingatkan, menyingungdan mengumpat, kedua maksud ketidaksantunan berbahasa linguistik danpragmatik berbahasa yang disampaikan oleh penutur yaitu memberi pengertian,mengingatkan, menegur, introspeksi diri, kesal, menasehati, supaya tidakdimarahi, asal bicara, meremehkan, kecewa, protes, ketiga penandaketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik diketahui dari (1) konteksekstralinguistik meliputi penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur,tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, tuturan sebagai produk tindakverbal, (2) intralinguistik meliputi diksi, kategori fatis, tekanan, intonasi dan nada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Yustinus Kurniawan. 2016. Impoliteness Language in the Hindu ReligionDomain of Municipality City Region, Yogyakarta. Thesis. Yogyakarta:PBSI, JPBS, USD
This study discusses the lack of politeness in a language. The purpose ofthis study is (1) to describe the linguistic forms and the pragmatics of languageimpoliteness, (2) to describe what impoliteness in a language, and (3) to describethe linguistic and pragmatics source of impoliteness speak in the realm of Hindumunicipality, Yogyakarta.
This research is a qualitative descriptive study. The research data are in theform of verbal utterances which were not polite spoken by religious andcommunity leaders as well as leaders of the Hindu religious leaders in theMunicipality of Yogyakarta. The speeches were all taken naturally inconversation in the topic of religion. Instruments used in this research are to guidethe interview (in the form of inducement questions and a list of cases) and theblank observation armed with the theory of linguistic and pragmatic impolitenessin a language. Data collection method used is with the recording technique andrefers to the technical note as well, the method of conversation with basictechniques such as fishing technique. Analysis of the data in this study usescontextual method.
In accordance with the purpose of research, the results of this study arepresented as follows: (1) the nature language impoliteness pragmatic andlinguistics (2) the meaning of linguistic and pragmatic impoliteness (3) themarkers for impoliteness linguistic and pragmatic in the realm of Hindu religionin Regional Municipality of Yogyakarta. First, the manifestation of linguistics andpragmatics of language impoliteness is in the form of verbal utterances which arenot polite, then divided into norms violation category with emphasizingsubcategory; the face-threatening category with threatening and assertingsubcategories; the face-insinuating category with the harassing, warning,admonishing and counseling subcategories,; face-eliminating category withreprimanding, asserting, quipping, offending, and warning subcategories; conflict-causing category with mocking, asserting, threatening, warning, offending, andcursing subcategories. Second, the intention behind linguistics and pragmatics ofimpoliteness language delivered by speakers who give understanding, warning,reprimanding, self-introspection, annoyed, advising, so as not to be scolded,talking nonsense, dismissing, disappointed, protesting. Last time, the marker oflinguistics and pragmatics of language impoliteness is known from (1) the contextof extra-linguistics which includes speakers and utterers, the context of thespeech, the purpose of the speaker, and speech as a form of action or activity,speech as a product of verbal acts, (2) intra-linguistics which includes diction,phatic category, stress, intonation and tone.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus yang senantiasa
memberi berkat dan kasih, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Agama Hindu
wilayah KotaMadya Yogyakarta”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk
menyelesaikan studi di Prodi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI),
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan
dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma.
2. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak dukungan,
pendampingan, saran, dan sebagai dosen pembimbing yang dengan
bijaksana, sabar, dan penuh ketelitian membimbing, mengarahkan,
memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga
bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan sebagai dosen pembimbing yang
dengan bijaksana, sabar, dan penuh ketelitian membimbing, mengarahkan,
memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga
bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh dosen prodi PBSI yang dengan penuh dedikasi mendidik,
mengarahkan, membimbing, membagi ilmu pengetahuan, memberikan
dukungan, dan bantuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai
selesai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
5. R. Marsidiq, selaku karyawan sekretariat Prodi PBSI yang dengan sabar
memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam menyelesaikan
berbagai urusan administrasi.
6. Teman-teman yang memberikan bantuan dan dukungan (Valentina Tris
Marwati, dan Nuridang Fitra Nagara, Fabianus Anga Renato, Bambang
Sumarwanto, Yudahening Pinandito, Nurbeta Kistanti) untuk
menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat angkatan 2009, yang berdinamika bersama selama menjalani
perkuliahan di PBSI.
8. Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
Yogyakarta, 16 Desember 2016
Penulis
Yustinus Kurniawan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERSEMBAHAN iv
HALAMAN MOTTO v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
KATA PENGANTAR x
DAFTAR ISI xii
DAFTAR BAGAN xv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat Penelitian 5
1.5 Batasan Istilah 6
1.6 Sistematika Penelitian 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA 8
2.1 Penelitian yang Relevan 8
2.2 Pragmatik 14
2.3 Fenomena Pragmatik 15
2.3.1 Praanggapan 15
2.3.2 Implikatur 16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
2.3.3 Deiksis 19
2.3.4 Kesantunan Berbahasa 21
2.3.5 Ketidaksantunan Berbahasa 25
2.3.6 Teori-teori Ketidaksantunan 26
2.4 Konteks 30
2.4.1.1 Konteks Ekstra Linguistik 33
2.4.1.2 Penutur dan Lawan tutur 33
2.4.1.3 Konteks Tuturan 33
2.4.1.4 Tujuan Penutur 33
2.4.1.5 Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas 34
2.4.1.6 Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal 34
2.4.1.7 Konteks Intra Linguistik 35
2.4.1.8 Unsur Segmental 35
2.4.1.9 Diksi 35
2.4.1.10 Kategori Fatis 42
2.4.1.11 Unsur Suprasegmental 44
2.4.1.12 Tekanan 44
2.4.1.13 Intonasi 45
2.4.1.14 Nada 45
2.5 Teori Maksud 46
2.6 Kerangka Berpikir 48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 50
3.1 Jenis Penelitian 50
3.2 Subjek Penelitian 51
3.3 Data dan Sumber Data 51
3.4 Instrumen Penelitian 52
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 53
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data 55
3.7 Trianggulasi Data 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 58
4.1 Deskripsi Data 58
4.1.1 Analisis Data 60
4.1.2 Melanggar Norma 60
4.1.3 Mengancam Muka Sepihak 63
4.1.4 Melecehkan Muka 69
4.1.5 Menghilangkan Muka 79
4.1.6 Menimbulkan Konflik 87
4.2 Pembahasan 99
BAB V PENUTUP 129
5.1 Simpulan 129
5.2 Saran 131
5.2.1 Bagi Pemuka dan Umat beragama 131
5.2.2 Bagi Peneliti Lanjutan 131
DAFTAR PUSTAKA 133
LAMPIRAN 136
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
DAFTAR BAGAN
Hal.
Bagan 1 Kerangka Berpikir 48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi uraian (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah,
(3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) sistematika penyajian.
Berikut adalah uraian dari kelima hal tersebut.
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan selalu
hidup berdampingan dengan manusia yang lain. Manusia membutuhkan interaksi
antara manusia satu dengan yang lain, alat yang digunakan untuk interaksi yang
disebut bahasa. Sebagai ilmu kajian bahasa yang terus mengalami perkembangan,
kajian bahasa linguistik memiliki berbagai cabang ilmu yang saling bersinergi
yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Secara umum, linguistik menganalisis bahasa mengenai aspek yang
berhubungan dengan struktur kebahasaannya. Percabangan ilmu bahasa
menunjukkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang terakhir.
Pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau
penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006:3). Objek
kajian lingustik lebih pada struktur bahasa yang meliputi fonologi, morfologi,
sintaksis dan semantik. Kajian pragmatik muncul dikarenakan ada beberapa kajian
bahasa yang tidak dapat dijelaskan dengan kajian liguistik, terutama hubungan
antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakainya untuk memperjelas maksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
dari penutur, oleh karena itu dalam pengunaan bahasa agar maksud dan tujuan
penutur dapat tersampaikan dengan baik serta dapat diterima oleh mitra tutur,
dengan memadukan kajian linguistik dan pragmatik akan menghasilkan tuturan
yang baik.
Hal ini perlu disadari bahwa dengan bahasa adalah salah satu alat yang
digunakan untuk berinteraksi serta menyampaikan keinginan kita kepada lawan
bicara. Dalam pengunaan bahasa hendaknya kita dapat melihat situasi agar dapat
diterima oleh mitra tutur. Menurut Rahardi (2006: 20) konteks tuturan dapat pula
diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge)
yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan
mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang
dimaksudkan oleh penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur.
Dalam kehidupan sehari hari tidak lepas dari interaksi dengan tindak tutur
secara lisan dan tulis, patut disadari bahwa bahasa lisan berkembang sangat cepat
hampir tidak terkontrol oleh kajian ilmu yang mendasarinya, kesantunan dalam
bertindak tutur kian luntur oleh perkembangan bahasa lisan, konteks dan situasi
tidak lagi menjadi acuan dalam bertutur, tidak terlepas dari situasi yang formal
dan diangap sakral seperti halnya dalam tidak tutur dalam upacara keagamaan.
Kota Yogyakarta adalah salah satu Kota yang terkenal dengan budaya Jawa
yang menjunjung tinggi kesantunan dalam bertindak tutur. Serta keberagaman
agama yang ada di wilayah kota Yogyakarta. Salah satu agama yang terdapat di
wilayah Yogyakarta adalah agama Hindu. Menurut Badan Statistika Kota
Yogyakarta, Agama Hindu 0,42% dari total penduduk Kota Yogyakarta (BPS,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
2012:16). Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit dibandingkan agama lain
yang mendiami wilayah Yogyakarta.
Banyaknya warga pendatang dari berbagai wilayah serta latar belakang yang
berbeda dengan membawa bahasa daerah yang berbeda beda membuat
keberagaman bahasa di wilayah kota Yogyakarta semakin banyak, sehingga kota
Yogyakarta cukup layak untuk menjadi subjek penelitian kebahasaan dalam
kesantunan bertindak tutur. Penelitian yang akan dilakukan untuk mengetahui
kesantuanan tuturan akan dilakukan dalam lingkup keagamaan. Lingkup ini
dipilih karena agama adalah salah satu forum yang mempunyai situasi resmi yang
secara tidak langsung memaksa setiap penganutnya bertutur dengan bahasa yang
menurut penutur baik untuk berinteraksi dengan mitra tutur.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti di atas, maka permasalahan
utama penelitian ini adalah bagaimana manifestasi ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik berbahasa umat pemuka agama Hindu di wilayah Kotamadya
Yogyakarta. Selanjutnya secara terperinci masalah-masalah yang akan diteliti
dalam penelitian ini meliputi:
a. Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang
terdapat dalam ranah agama Hindu yang diungkapkan oleh pemuka
kepada umatnya dan antar umat agama Hindu di wilayah Kotamadya
Yogyakarta?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
b. Maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-
bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah agama Hindu di
wilayah Kotamadya Yogyakarta?
c. Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang
digunakan oleh pemuka kepada umatnya dan antar umat agama
Hindu wilayah Kotamadya Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah seperti di atas, tujuan utama penelitian ini
adalah mendeskripsikan manifestasi ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
berbahasa umat beragama Hindu di wilayah Kotamadya Yogyakarta. Secara rinci
tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
a) Mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik yang terdapat
dalam ranah agama Hindu yang terdapat di wilayah Kotamadya
Yogyakarta.
b) Mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan
bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah agama
Hindu yang terdapat di wilayah Kotamadya Yogyakarta.
c) Mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik yang terdapat
dalam ranah agama Hindu yang terdapat di wilayah Kotamadya
Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ketidaksantunan berbahasa dalam ranah agama ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi para pihak yang memerlukan. Terdapat dua manfaat yang
dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian yaitu:
a. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
memperluas kajian serta memperkaya khasanah teoretis tentang
ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik
baru.Penelitian ini dapat dikatakan memiliki kegunaan teroretis karena
dengan memahami teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli dapat
digunakan sebagai tambahan pengetahuan baru dan referensi untuk
menghindari ketidaksantunan berbahasa dalam berkomunikasi.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ketidaksantunan berbahasa ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan khususnya bagi tokoh agama dalam berkomunikasi
untuk menghindari penggunaan bahasa yang kurang santun. Demikian pula,
penelitian ini akan memberikan masukan kepada para praktisi dalam bidang
pendidikan terutama bagi dosen, guru, mahasiswa, siswa, dan tenaga
kependidikan untuk mempertimbangkan adanya ketidaksantunan berbahasa
dalam komunikasi yang harus dihindari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.5 Batasan Istilah
Supaya tidak menimbulkan adanya perbedaan pengertian, perlu ada
penjelasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Batasan istilah yang
digunakan diambil dari pendapat dari beberapa pakar dalam bidangnya. Beberapa
batasan istilah yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut:
1) Ketidaksantunan berbahasa
Struktur bahasa penutur yang tidak berkenan di hati mitra tutur.
2) Pragmatik
Ilmu bahasa yang mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan
lingkungan sosial budaya tertentu (Rahardi, 2003:16).
3) Ketidaksantunan linguistik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek-aspek linguistik suatu
tuturan.
4) Ketidaksantunan pragmatik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang
menyertai suatu tuturan.
5) Ranah
Lingkungan yang memungkinkan terjadinya percakapan, merupakan
kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat misal keluarga,
pendidikan, tempat kerja, keagamaan, dan sebagainya (Depdiknas
2008:1139).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.6 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis
masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan berbahasa.
Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1) penelitian-
penelitian yang relevan, (2) fenomena pragmatik, (3) teori pragmatik, (4) teori
ketidaksantunan, (5) teori mengenai konteks, (6) unsur segmental, dan (7) unsur
suprasegmental.
Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur
yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III akan
diuraikan (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) metode dan teknik
pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data,
dan (6) sajian hasil analisis data.
Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3)
pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan
saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian ketidaksantunan
berbahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan diuraikan penelitian yang relevan, landasan teori dan
kerangka teori. Landasan teori berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan
analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, mengenai teori
kesantunan berbahasa, dan teori ketidaksantunan berbahasa.serta penelitian lain
yang sejenis. Kerangka berpikir berisi acuan teori yang digunakan dalam
penelitian ini atas dasar penelitian terdahulu dan teori terdahulu yang relevan yang
akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah.
2.1 Penelitian Yang Relevan
Penelitian pragmatik sekarang semakin banyak diteliti karena dirasa masih
banyak kajian pragmatik yang layak untuk diteliti dan dikaji ulang untuk
mengembangkan ilmu pragmatik agar dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-
hari. Dari dasar penelitian kesantunan yang mengunakan ilmu pragmatik menarik
untuk diteliti dan dikaji ulang. Hal ini menimbulkan kurang seimbangnya karena
penelitian yang ada lebih banyak meneliti kesantunnan sedangkan penelitian
ketidaksantunan masih jarang ditemukan. Peneliti menemukan beberapa
penelitian mengenai kesantunan berbahasa. Peneliti menemukan empat penelitian
yang meneliti tentang ketidaksantunan. Keempat penelitian itu adalah penelitian
Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013), Caecilia Petra Gading May Widyawari
(2013), Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), dan Olivia Melissa Puspitarini (2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Penelitian tentang kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh Galuh Eka
Noviyanti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa
Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif komunikatif. Pengumpulan
data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak dan
metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan instrumen berupa
pedoman atau panduan wawancara, pancingan, dan daftar kasus. Data dalam
penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Pada penelitian
ini, peneliti menemukan bahwa Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik yang
ditemukan berupa tuturan lisan yang telah ditranskripsi, sedangkan wujud
ketidaksantunan pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan.
Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) nada, (2)
tekanan, (3) intonasi, dan (4) pilihan kata (diksi). Penanda ketidaksantunan
pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks
tersebut meliputi (1) penutur dan mitra tutur, (2) situasi dan suasana, (3) tindak
verbal, dan (4) tindak perlokusi. Ketiga, makna penanda ketidaksantunan dari
masing-masing jenis ketidaksantunan meliputi (1) makna penanda
ketidaksantunan melecehkan muka adalah penutur menyindir, menghina, dan
mengejek mitra tutur sehingga dapat melukai hati mitra tutur, (2) makna penanda
ketidaksantunan memainkan muka adalah penutur membuat kesal dan jengkel
mitra tutur dengan tingkah laku penutur yang tidak seperti biasanya, (3) makna
penanda ketidaksantunan kesembronoan yang disengaja adalah penutur
bermaksud untuk bercanda sehingga membuat mitra tutur terhibur, tetapi tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
menutup kemungkinan bahwa candaannya tersebut dapat menimbulkan konflik,
(4) makna penanda ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur
membuat mitra tutur benar-benar malu dihadapan banyak orang, dan (5) makna
penanda ketidaksantunan mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman
atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok dan tidak
memberikan pilihan bagi mitra tutur.
Penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan juga dilakukan oleh
Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan
Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID
Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Jenis penelitian dari
penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini
mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna
ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan
2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Peneliti menggunakan dua mtode
dalam penelitan ini, pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik
sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap,
kedua metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik
lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Simpulan dari
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan simpulan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Galuh Eka Noviyanti (2013). Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik
dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka,
sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra
tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur). Kedua,
penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan,
intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak
verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur. Ketiga, makna ketidaksantunan
berbahasa yaitu: (1) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan
dapat melukai hati, (2) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan
itu menjengkelkan, (3) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, (4)
menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur didepan banyak orang, dan (5)
mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.
Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa lainnya dilakukan oleh
Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan
Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
Tahun Ajaran 2012/2013. Pengumpulan data pada penelitian ini serupa dengan
penelitian ketidaksantunan sebelumnya, yakni dengan menggunakan metode
simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa
pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan
yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka,
memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan
muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak
verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan
diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur,
tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1)
melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga
melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat
bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur
yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur
bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut
dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan
ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5)
menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak
orang.
Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan oleh
Olivia Melissa Puspitarini (2013) yang mengangkat judul Ketidaksantunan
Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program
Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian yang menjadikan
dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID sebagai sumber data ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif, serupa dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
ketiga peneliti diatas. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
metode simak dan metode cakap, dengan menggunakan instrumen berupa
panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Penelitian ini
juga menemukan hasil serupa seperti penelitian sebelumnya, yakni pertama,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
wujud ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud
ketidaksantunan pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut.
Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan
diksi, serta penanda pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni
penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi (1) melecehkan muka yakni penutur
menyindir atau mengejek mitra tutur, (2) memainkan muka yakni penutur
membuat jengkel dan bingung mitra tutur, (3) kesembronoan yang disengaja
yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan
tersebut dapat menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara
berlebihan, (4) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur
didepan banyak orang, dan (5) mengancam muka yakni penutur memberikan
ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.
Dari beberapa penelitian diatas didapat kesimpulan, bahwa dari segi hasil
penelitian ternyata masih banyak ditemukan ketidaksantunan berbahasa yang
dikaji secara Linguistik, Pragmatik dan berdasarkan teori-teori ketidaksantunan
dalam buku Impoliteness in Language oleh Bousfield et al (Eds.). Kita dapat
menemukan kesimpulan yang lain dari keempat penelitian tersebut, yaitu dari segi
jenis penelitian termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Pengambilan data dengan
menggunakan metode simak dan metode cakap. Berdasarkan fakta-fakta yang
ditemukan dari beberapa penelitian diatas, peneliti semakin yakin untuk
digunakan sebagai referansi serta acuan untuk mengkaji ketidaksantunan
berbahasa secara Linguistik, Pragmatik, dan berdasarkan teori-teori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
ketidaksantunan yang ada. Khususnya digunakan untuk mengkaji ketidaksantunan
berbahasa dalam ranah agama Hindu.
2.2 Pragmatik
Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi dan memiliki daya
ekspresi dan dan informatif yang besar. Bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia
karena dengan bahasa manusia bisa menemukan kebutuhan mereka dengan cara
berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Komunikasi tidak lepas dari suasana
maupun kontek. Untuk mengkaji mengenai hal tersebut salah satu caranya adalah
melalui sudut pandang pragmatik.
Huang (2007:2) memaparkan bahwa “pragmatics is the systematic study of
meaning by virtue of, or dependent on, the use of language”. Huang menjelaskan
definisi pragmatik sebagai studi sistematis tentang makna yang berdasarkan atau
tergantung pada penggunaan bahasa. Definisi lain dijelaskan oleh Levinson
(1983:9) via Nadar (2009:4) dalam bukunya yang berjudul Pragmatik &
Penelitian Pragmatik, yang mendefinisikan pragmatik sebagai berikut:
“Pragmatics is the study of those relations between language and context that are
grammaticalized, or encoded in the structure of language”. Maksud dari definisi
Levinson adalah pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan
konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.
Yule (2006:3) menelaah ada 4 (empat) definisi pragmatik, yaitu (1)
bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna
menurut konteksnya; (3) bidang yang mengkaji tentang bagaimana agar lebih
banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan, dan (4) bidang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
mengkaji tentang ungkapan dari jarak hubungan.
Berdasarkan berbagai pendapat dari para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pragmatik adalah bagian dari studi linguistik yang mengkaji penggunaan
bahasa. Pengkajian bahasa dalam pragmatik akan selalu terikat dengan koteks dari
pengguna bahasa tersebut.
2.3 Fenomena Pragmatik
Pragmatik membagi menjadi empat fenomena, yakni praanggapan,
implikatur, deiksis dan kesantunan. Keempat fenomena itu akan dijelaskan
sebagai berikut.
2.3.1 Praangapan
Dalam berkomunikasi seseorang memiliki suatu gagasan yang akan
dituturkan kepada mitra tutur. Hal tersebut diasumsikan bahwa mitra tutur telah
mengetahui sesuatu yang telah dituturkan oleh penutur. Karena informasi telah
mendapat anggapan untuk diketahui, maka informasinya biasanya tidak
dinyatakan dan akibatnya akan menjadi bagian dari apa yang disampaikan tetapi
tidak dikatakan. Hal ini didukung oleh pendapat Harimurti (2001:176), yang
menyatakan bahwa praanggapan atau presuposisi merupakan syarat yang yang
diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat.
Levinson (1983:201-202) dalam Nadar (2009:66) menyimpulkan dari
berbagai definisi-definisi pragmatik yang dikemukakan oleh para ahli bahasa,
mengemukakan bahwa presupposisi pragmatik mengandung dua hal pokok yaitu
kesesuaian ‘appropriateness’ atau kepuasan ‘felicity’ dan pemahaman bersama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
‘mutual knowledge’, atau ‘common ground’ dan ‘joint assumption’. Dengan
demikian pemahaman bersama ‘common ground’ dan kesesuaian
‘appropriateness’ merupakan hal-hal mendasar dalam berbagai definisi mengenai
presupposisi pragmatik. Jadi, praanggapan merupakan sesuatu yang dianggap dan
diketahui oleh lawan tutur.
2.3.2 Implikatur
Implikatur menerangkan apa yang dimaksudkan penutur, berbeda dengan
apa yang dikatakan sebenarnya oleh penutur. Dalam rangka memahami apa yang
dimaksudkan oleh penutur lawan tutur harus selalu melakukan interpretasi pada
tuturan-tuturannya (Nadar, 2009:60). Pemahaman terhadap implikatur percakapan
tidak lepas dari asas kerjasama (cooperative principl) (Grice dalam Yule 1996:31-
32). Grice menjabarkan prinsip kerjasama tersebut ke dalam empat maksim
percakapan, yakni pertama, maksim kuantitas. Maksim kuantitas menjelaskan
mengenai percakapan yang singkat tetapi maknanya padat, tepat dan tidak
berbelit-belit. Kedua, maksim kualitas yang menjelaskan mengenai percakapan
yang sesuai dengan kenyataan dan fakta yang terjadi. Ketiga, maksim relevansi
merupakan suatu hubungan antara penutur dan mitra tutur yang terjalin secara
baik dan membicarakan sesuai permasalahan. Terakhir adalah maksim cara yakni
antara penutur dan mitra tutur menghindari tuturan yang tidak jelas, ketakaburan
ujaran, ketaksaan dan menugkapkan tuturan secara sistematis.
Grice membagi implikatur menjadi dua, yakni conventional implikatur
(implikatur konvensional), dan conversation implikatur (implikatur percakapan).
Dalam implikatur konvensional, maksud diperoleh langsung dari makna kata dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
bukan dari prinsip percakapan. Implikatur ini bersifat secara umum dan
konvensial. Berbeda dengan implikatur perckapan, yakni implikatur memliki
variasi karena makna dan pengertian yang dimaksudkan bergantung pada konteks
pembicaraan. Implikatur percakapan terjadi karena adanya kenyataan bahwa
sebuah ujaran yang mempunyai implikasi berupa proposisi yang sebenarnya
bukan bagian dari tuturan tersebut dan tidak pula merupakan konsekuensi yang
harus ada dari tuturan itu.
Menurut Yule (2006:69–80) implikatur dibedakan menjadi lima macam
sebagai berikut.
1) Implikatur percakapan
Penutur yang menyampaikan makna lewat implikatur dan
pendengarlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan
lewat inferensi. Kesimpulan yang sudah dipilih ialah kesimpulan
yang mempertahankan asumsi kerja sama.
2) Implikatur percakapan umum
Jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk
memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, hal ini
disebut implikatur percakapan umum.
3) Implikatur berskala
Informasi tertentu yang selau disampaikan dengan memilih
sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Ini
secara khusus tampak jelas dalam istilah-istilah untuk
mengungkapkan kuantitas, seperti yang ditunjukkan dalam skala
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
(semua, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit) dan (selalu,
sering, kadang-kadang), dimana istilah-istilah itu didaftar dari
skala nilai tertinggi ke nilai terendah. Dasar implikatur berskala
adalah bahwa semua bentuk negatif dari skala yang lebih tinggi
dilibatkan apabila bentuk apapun dalam skala itu dinyatakan.
4) Implikatur percakapan khusus
Percakapan sering terjadi dalam konteks yang sangat khusus di
mana kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara
lokal. Inferensi-inferensi yang sedemikian dipersyaratkan untuk
menentukan maksud yang disampaikan menghasilkan amplikatur
percakapan khusus.
5) Implikatur konvensional
Kebalikan dari seluruh implikatur percakapan yang dibahas
sejauh ini, implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip
kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak
harus terjadi dalam percakapan, dan tidak bergantung pada
konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Seperti halnya
presupposisi leksikal, implikatur konvensional diasosiasikan
dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan
yang disampaikan apabila kata-kata tersebut digunakan. Kata
yang memiliki implikatur konvensional adalah kata ‘bahkan’ dan
‘tetapi’.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Di dalam sebuah pertuturan yang sesungguhnya, si penutur dapat secara
lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan yang
dipertuturkan itu. Diantara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak
percakapan yang tidak tertuis, bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu sudah
saling dimengerti dan saling dipahami. Grice (1975) dalam Rahardi (2003)
menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan
bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan semacam itu disebut
implikatur percakapan (Rahardi, 2006:85).
2.3.3 Deiksis
Penafsiran deiksis tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-
ungkapan itu mengungkapan jarak hubungan. Diberikannya ukuran kecil dan
rentangan yang sangat luas dari kemungkinan pemakainya, ungkapan-ungkapan
deiksis selalu menyampaikan lebih banyak hal dari pada yang diucapkan (Yule,
2006:26)
Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang
hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan kontek
pembicaraan. Deiksis idefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan
konteksnya. Deiksis juga mengacu pada perbedaan antara ungkapan-ungkapan
deiksis “dekat penutur (proksimal)” dan “jauh dari penutur (distal)”. Ungkapan
yang termasuk dalam deiksis dekat penutur (proksimal) adalah di sini, ini,
sekarang, sedangkan deiksis jauh dari penutur (distal) menggunakan ungkapan itu,
di sana, pada saat itu. Istilah-istilah proksimal biasanya ditafsirkan sebagai istilah
‘tempat pembicara’, atau ‘pusat deiksis’, sehingga ‘di sini’ umumnya dipahami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
sebagai acuan terhadap titik atau keadaan pada saat tuturan penutur terjadi di
tempatnya. Sementara itu, untuk istilah distal yang menunjukkan ‘jauh dari
penutur’, tetapi dapat juga digunakan untuk membedakan antara ‘dekat dengan
lawan tutur’ dan ‘jauh dari penutur maupun lawan tutur’ (Yule, 2006:14).
Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan
hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri.
Deiksis terbagi lima macam yakni deiksis persona, deiksis tempat, deiksis
waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Hal tersebutakan dipaparkan
sebagaiberikut :
1) Deiksis Persona, yakni menentukan suatu ujaran yang dipengaruhi oleh
peran peserta dalam peristiwa berbahasa. Peran peserta berbahasa
terbagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori
rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan
dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu
kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang
hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga
ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan
pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya
dia dan mereka.
2) Deiksis Tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta
dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia-
membedakan antara “yang dekat kepada pembicara” (di sini) dan “yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
bukan dekat kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada
pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41).
3) Deiksis Waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang
dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Deiksis waktu juga
ditujukan pada partisipan dalam wacana. Dalam banyak bahasa, deiksis
(rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense)
(Nababan, 1987: 41).
4) Deiksis Wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam
wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan,
1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora
ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan
sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi.
Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-
bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah
kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut,
begitulah, dan sebagainya.
5) Deiksis Sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan
kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar.
Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa
bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar
yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-
kata tertentu (Nababan, 1987: 42).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
2.3.4 Kesantunan Berbahasa
Dalam kesantunan tercermin antara kesantunan berperilaku dan kesantunan
berbahasa. Kesantunan berperilaku merupakan tata cara bertindak atau gerak-
gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu. Sedangkan,
kesantunan berbahasa dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata
cara berbahasa. Bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang, yang berarti
bahasa (yang digunakan) seseorang atau suatu bangsa dapat diketahui
kepribadiaannya (Pranowo, 2009:3).
Pranowo (2009:3) menjelaskan bahasa verbal adalah bahasa yang
diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan
bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak
gerik tubuh, sikap atau perilaku. Pemakaian bahasa verbal lebih mudah untuk
dilihat atau diamati. Namun, disamping itu terdapat pula bahasa nonverbal yang
mendukung pengungkapan kepribadian seseorang, yakni berupa mimik, gerak-
gerik tubuh, sikap, atau perilaku.
Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh
penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca
(Pranowo, 2009:4). Ketika berkomunikasi, penggunaan bahasa dengan baik dan
benar saja belum cukup. Agar dapat membentuk perilaku seseorang menjadi lebih
baik hendaknya juga menerapkan penggunaan bahasa yang santun.
Pemakaian bahasa seseorang berbeda-beda, dalam masyarakat masih
terdapat penggunaan bahasa yang santun maupun tidak santun. Pada
kenyataannya, penggunaan bahasa yang tidak santun lebih banyak terjadi dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Pranowo (2009:51) memaparkan
beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, antara lain (a) tidak semua orang
memahami kaidah kesantunan, (b) ada yang memahami kaidah tetapi tidak mahir
menggunakan kaidah kesantunan, (c) ada yang mahir menggunakan kaidah
kesantunan dalam berbahasa, tetapi tidak mengetahui bahwa yang digunakan
adalah kaidah kesantunan, dan (d) tidak memahami kaidah kesantunan dan tidak
mahir berbahasa secara santun. Maka dari itu, agar terwujudnya dominasi
penggunaan bahasa santun daripada bahasa yang tidak santun perlu melakukan hal
berikut (a) kaidah kesantunan berbahasa sudah dideskripsikan dengan baik, (b)
kaidah yang sudah dideskripsikan tersebut kemudian disosialisasikan kepada
masyarakat, (c) pembinaan terus menerus melalui berbagai jalur (sekolah, kantor,
lembaga-lembaga lain yang menjadi tempat berkimpulnya orang banyak), (d)
pengawasan yang sifatnya “sapa senyum” agar masyarakat semakin sadar untuk
menggunakan bahasa yang santun terus menerus (Pranowo, 2009:52).
Pemakaian bahasa, baik santun maupun tidak dapat dilihat dari dua hal,
yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah
ketepatan pemakaian kata untuk mengefektifkan pesan dalam konteks tertentu
sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Sedangkan, gaya bahasa
digunakan untuk memperindah tuturan dan kehalusan budi pekerti penutur.
Beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk melihat santun tidaknya
pemakaian bahasa dalam bertutur, antara lain: majas hiperbola, majas
perumpamaan, majas metafora, dan majas eufemisme. Selain hal tersebut,
Pranowo (2009:76–79) menjelaskan adanya dua aspek penentu kesantunan, yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi aspek
intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara
(berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau
bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur
kalimat. Sedangkan, aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya
masyarakat (misalnya aturan anak kecil yang harus selalu hormat kepada orang
yang lebih tua, dan sebagainya), pranata adat (seperti jarak bicara antara penutur
dengan mitra tutur, gaya bicara, dan sebagainya).
Melihat fenomena-fenomena kebahasaan yang terjadi dalam masyarakat,
beberapa ahli mengidentifikasikan indikator kesantunan berbahasa. Indikator
adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa seseorang
dapat dikatakan santun atau tidak. Dell Hymes (1978) dalam Pranowo (2009:100–
101) menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya
memerhatikan beberapa komponen tutur yang meliputi latar, peserta, tujuan
komunikasi, pesan yang ingin disampaikan, bagaimana pesan itu disampaikan,
segala ilustrasi yang ada di sekitar peristiwa penutur, pranata sosial
kemasyarakatan, dan ragam bahasa yang digunakan. Sedangkan, Grice (2000)
dalam Pranowo (2009:102) lebih menekankan tata cara ketika berkomunikasi.
Kemudian Leech (1983) via Pranowo (2009:102–103), memaparkan prisnsip
kesantunannya sebagai indikator kesantunan berbahasa, yakni: maksim
kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim kerendahan hati, maksim
kesetujuan, maksim simpati, dan maksim pertimbangan. Selanjutnya, Pranowo
(2009:103–105) mengemukakan indikator kesantunan berupa nilai-nilai luhur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
yang mendukung kesantunan, yaitu sikap rendah hati. Sikap rendah hati seseorang
dapat tumbuh dan berkembang jika seseorang mampu memanifestasikan nilai-
nilai lain, seperti tenggang rasa (angon rasa, adu rasa), angon wayah, mau
berkorban, mawas diri, empan papan, dan sebagainya.
2.3.5 Ketidaksantunan Berbahasa
Ketidaksantunan berbahasa ini muncul dengan melihat realita di masyarakat
dalam menggunakan bahasa atau berkomunikasi. Penggunaan bahasa yang santun
dalam berkomunikasi masih jauh dari yang diharapkan.
Ketidaksantunan berbahasa merupakan bentuk yang menunjuk pada
perilaku kebahasaan yang tidak baik, kasar, dan melanggar tata krama. Selain
kelima fenomena di atas, muncul fenomena baru yang belum banyak dikaji oleh
para ahli linguistik dan pragmatik, fenomena tersebut merupakan ketidaksantunan
berbahasa. Pranowo (2009:68-71) memaparkan gejala penutur yang bertutur
secara tidak santun, yaitu penutur menyampaikan kritik secara langsung
(menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar, penutur didorong rasa emosi
yang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan marah kepada mitra tutur,
penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya (hal demikian
dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain), penutur
sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur, penutur terkesan
menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur.
Atas dasar identifikasi di atas, Pranowo (2009:72-73) menyebutkan empat
faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian bahasa. Pertama, ada orang
yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Kedua, faktor pemerolehan kesantunan. Ketiga, ada orang yang sulit
meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih
terbawa dalam kebiasaan baru (interferensi bahasa Indonesia). Keempat, karena
sifat bawaan “gawan bayi” ang memang suka berbicara tidak santun di hadapan
mitra tutur.
2.3.6 Teori-Teori Ketidaksantunan
Ketidaksantunan berbahasa merupakan bentuk pertentangan dari
kesantunan berbahasa. Kesantunan menunjuk pada perilaku sopan santun dan tata
karma yang baik. Sebaliknya, ketidaksantunan menunjuk pada perilaku yang tidak
baik, kasar, dan melanggar tata karma. Teori-teori yang mendasari
ketidaksantunan berbahasa adalah sebagai berikut.
Menurut pandangan Locher (2008), ketidaksantunan dalam berbahasa
dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating in a
particular context.’ Jadi intinya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada
perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Berikut ini disampaikan tuturan
yang mengandung ketidaksantunan yang diucapkan oleh umat agama Hindu.
Umat 1 : “ Hari ini ceramahnya tentang dunia lain”Umat 2 : “Iya, pasti setan yang dimaksud mukanya sepertimu”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat setelah selesai mengikutiupacara keagamaan. Berdasarkan contoh tersebut dapat kita lihat umat 2menunjukan ketidaksantunan perilaku melecehkan muka.
Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar
‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti yang ditawarkan dalam banyak
definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and Levinson (1987), atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving
Goffman (cf. Rahardi, 2009). Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi
Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut
sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku
yang ‘memain-mainkan muka’. Contoh dari tuturan yang memain-mainkan muka
tampak pada cuplikan berikut.
Umat 1 : “Kamu sebagai orang yang beragama, Jangan suka mencela oranglain seperti itu”
Umat 2 : “Siapa kamu Bapaku juga bukan berlagak menasehatiku”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika ada orang cacatberjalan di depanya. Berdasarkan contoh tersebut dapat kita lihat umat duamenunjukan ketidaksantunan perilaku melecehkan muka.
Dalam pandangan Derek Bousfield (2008), ketidaksantunan dalam
berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionallygratuitous and
conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’
Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’(gratuitous), dan
konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu.
Umat 1 : “Apakah beliau yang akan memimpin upacra keagamaan hari ini”Umat 2 : “Iya, benar sekali orang yang sangat pendek seperti tuyul”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika upacara keagamanakan dimulai. Berdasarkan contoh tersebut dapat kita lihat umat duamenunjukan ketidaksantuanan dengan memberikan penekanankesembronoan dengan mengejek orang lain .
Pemahaman Culpeper (2008) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah,
‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to
cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’ Dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau
dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’
(kehilangan muka).
Umat 1 : “Selamat pagi (umat satu menyapa)”Umat 2 : “Pagi juga , mau pergi kemana?”Umat 1 : “Saya ingin pergi ber ibadah”Umat 2 : “Orang miskain ya! Ke tempat ibadah memakai pakaian compang
camping”Umat 1 : “(tetap berjalan sambil menundukan kepala)”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh umat ketika sedang berjalan menujutemapat ibadah. Berdasarkan contoh di atas menunjukan ketidaksantuananyang dilakukan olah umat 2 dengan memberikan penekanan pada fakta.
Terkourafi (2008) memandang ketidaksantunan sebagai, ‘impoliteness
occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of
occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is
attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam
pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee)
merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur
(speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya.
Umat 1 :“Berjalan di sela-sela orang banyak”Umat 2 : “Dasar sialan tidak punya mata ya? (ketika umat satu tidak
sengaja menginjak kaki umat dua )”Umat 1 :“Maaf mas saya tidak sengaja”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika upacara keagamaanberlangsung.
Mereka berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang
secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior), lantaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Juga mereka
menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan
hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning). Selengkapnya pandangan
mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini, ‘impolite behaviour and face-
aggravating behaviour more generally is as much as this negation as polite
versions of behavior.’ (cf. Lohcer and Watts, 2008:5).
Umat 1 : “Menundukan kepala sambil sambil berbisik aduh siapa ini yangmengangu. “gelisah karena ada yang mencolek kupingnya ”
Umat 2 : “Hehe tertawa lirih sambil mencolek kuping umat didepanyadengan maksud bercanda ”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika upacara keagamaansedang berlangsung. Dalam contoh di atas menunjukan perilaku umat 2melangar norma sosial karena pada saat menjalankan upacara keagamaanberperilaku sembrono.
Sebagai rangkuman dari sejumlah teori ketidaksantunan yang disampaikan
dibagian depan, dapat ditegaskan bahwa terdapat beberapa teori mengenai
ketidaksantunan berbahasa yang dikemukakan oleh para ahli yaitu (1) teori
ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Miriam A. Locher adalah sebagai
tindak berbahasa yang melecehkan muka dan memain-mainkan muka, (2) teori
ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Bousfield adalah perilaku
berbahasa yang mengancam muka yang mengacu pada kesembronoan
(gratuitous), hingga mendatangkan konflik, dan tindakan tersebut dilakukan
dengan kesengajaan (purposeful), (3)teori ketidaksantunan berbahasa menurut
pandangan Culpeperadalah perilaku berbahasa untuk membuat orang benar-benar
kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan
muka, (4) teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
perilaku berbahasa yang bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman
terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak
mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya, dan (5) teori
ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Locher and Watts adalah perilaku
berbahasa yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior),
lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima
teori ketidaksantunan berbahasa itu, semuanya akan digunakan sebagai kacamata
untuk melihat praktik berbahasa yang tidak santun dalam mengamati tuturan
dalam ranah agama Hindu wilayah Kota Yogyakarta
2.4 Konteks
Rahardi (2003;18) konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada
aneka macam kemungkinan latar belakang kemungkinan latar pengetahuan
(beckground knowledge)yang muncul dan dilmiliki bersama-sama baik oleh si
penutur maupun oelh mitra tutur, serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya
menyertai ,mewadahi serta melatarbelakangi hadirnya sebuah penuturan tertentu.
Maka dengan mendasarkan pada gagasan leech tersebut , Wijana (1996) dengan
tegas menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut juga konteks
situasi pertuturan (spceeh situational context)
Selanjutnya Leech (1983:13) mengartikan konteks dalam sebuah tuturan
sebagai “context to be any background knowledge assumed to be shared by s and
h and which contributes to h’s interpretation of what s means by a given
utterance”. Kemudian Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119)
menjelaskan bahwa untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
antara situasi aktual sebuah tuturan dalam semua keberagaman ciri-ciri tuturan
mereka, dan pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang
berhubungan dengan produksi dan penafsiran tuturan.
Berdasarkan penjelasan di atas, konteks dapat diartikan sebagai segala
sesuatu yang berhubungan dengan situasi dan kondisi peserta tutur dengan latar
belakang pengetahuan yang sama atas apa yang dituturkan dan dimaksudkan oleh
penutur. Komponen konteks mempengaruhi tuturan seseorang serta berhubungan
dengan penafsiran dari mitra tutur.
Kemudian Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119) menjelaskan
bahwa untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan antara situasi
aktual sebuah tuturan dalam semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka, dan
pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang berhubungan
dengan produksi dan penafsiran tuturan.
Hymes (1974) via Nugroho (2009:119) menghubungkan konteks dengan
situasi tutur. Hymes melibatkan istilah ‘komponen tutur’ dalam menjelaskan
tentang konteks. Seperti yang dikutip oleh Sumarsono (2008:325−334), Hymes
menyebutkan terdapat enam belas komponen tutur, yaitu (1) bentuk pesan
(message form), (2) isi pesan (message content), (3) latar (setting), (4) suasana
(scene), (5) penutur (speaker, sender), (6) pengirim (addressor), (7) pendengar
(hearer, receiver, audience), (8) penerima (addressee), (9) maksud-hasil
(purpose-outcome), (10) maksud-tujuan (purpose-goal), (11) kunci (key), (12)
saluran (channel), (13) bentuk tutur (forms of speech), (14) norma interaksi (norm
of interaction), (15) norma interpretasi (norm of interpretation), dan (16) kategori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
wacana (genre). Dalam situasi tutur tersebut, terdapat delapan komponen yang
mempengaruhi tuturan seseorang. Kedelapan komponen tutur tersebut meliputi
latar fisik dan latar psikologis (setting and scene), peserta tutur (participants),
tujuan tutur (ends), urutan tindak (acts), nada tutur (keys), saluran tutur
(instruments), norma tutur (norms), dan jenis tutur (genres) (Hymes, 1974) via
(Nugroho, 2009:119).
Berdasarkan penjelasan di atas, konteks dapat diartikan sebagai segala
sesuatu yang berhubungan dengan situasi dan kondisi peserta tutur dengan latar
belakang pengetahuan yang sama atas apa yang dituturkan dan dimaksudkan oleh
penutur. Konteks tersebut disertai dengan komponen-komponen tuturan yang
sangat mempengaruhi tuturan seseorang. Kehadiran konteks berhubungan dengan
produksi dan penafsiran dari tuturan. Konteks secara liguistik terbagi menjadi dua
yaitu intra liguistik dan ekstra liguistik. Faktor intra liguistik adalah faktor yang
ada di dalam bahasa itu sendiri, yang termasuk intra liguistik adalah unsur
segmental, diksi, kategori fatis, unsur suprasekmental, tekanan, intonasi, nada.
Faktor ekstra liguistik, yaitu faktor yang berada di luar bahasa yang meliputi latar
belakang sosial budaya, yang termasuk dalam extraliguistik adalah penutur dan
lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau
aktivitas, tuturan sebagai bentuk tindak verbal.
Leech (1983) via Rahardi (2012) menggunakan istilah ‘speech situations’
atau situasi tutur dalam pemahamannya tentang konteks. Sehubungan dengan
bermacam-macamnya maksud yang dikomunikasikan oleh penuturan sebuah
tuturan, Leech (1983) dalam Wijana (1996:10−13) mengemukakan sejumlah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik.
Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.
2.4.1.1 Konteks Ekstra Linguistik
Faktor ekstra liguistik, yaitu faktor yang berada di luar bahasa yang meliputi
latar belakang sosial budaya, yang termasuk dalam extraliguistik adalah penutur
dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan
atau aktivitas, tuturan sebagai bentuk tindak verbal.
2.4.1.2 Penutur Dan Lawan Tutur
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca
bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek
yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang
sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.
2.4.1.3 Konteks Tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek
fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang
bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial
disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua
latar belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami bersama
oleh penutur dan lawan tutur.
2.4.1.4 Tujuan Penutur
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh
maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang
bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.
Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan
(goal oriented activities). Ada perbedaan yang mendasar antara pandangan
pragmatik yang bersifat fungsional dengan pandangan gramatika yang bersifat
formal. Di dalam pandangan yang bersifa formal, setiap bentuk lingual yang
berbeda tentu memiliki makna yang berbeda.
2.4.1.5 Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan Atau Aktivitas
Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang
abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dan
sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi
dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini, pragmatik menangani bahasa dalam
tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai
entitas yang konkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat
pengutaraannya.
2.4.1.6 Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang
dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh
karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai
contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? Dapat ditafsirkan
sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini, dapat ditegaskan ada
perbedaan yang mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan (utturance).
Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan
lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
2.4.1.7 Konteks Intra Linguistik
Faktor intra liguistik adalah faktor yang ada di dalam bahasa itu sendiri,
yang termasuk intra liguistik adalah unsur segmental, diksi, kategori fatis, unsur
suprasekmental, tekanan, intonasi, nada.
2.4.1.8 Unsur Segmental
Unsur segmental berkenaan dengan wujud tuturan. Unsur segmental hanya
akan didapati pada bahasa tulisan, bukan pada bahasa lisan. Unsur ini mencakup
penggunaan diksi, dan kategori fatis yang terdapat dalam tuturan. Berikut
pemaparan dari setiap unsur tersebut.
2.4.1.9 Diksi
Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai
untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan
kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya
mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Keraf (1986:24)
mendefinisikan pilihan kata atau diksi sebagai kemampuan membedakan secara
tepat bentuk-benuk makna dari gagasan yang disampaikan, dan kemampuan untuk
menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang
dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai
hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau
perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud dengan
perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang
dimiliki oleh sebuah bahasa. Penggunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua
persoalan pokok, yaitu pertama, ketepatan pemilihan kata untuk mengungkapkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan, dan kedua, kesesuaian
atau kecocokan dalam mempergunakan kata tadi.
Keraf (1986:87−101) menjelaskan bahwa, pendayagunaan kata pada
dasarnya dibagi menjadi dua persoalan pokok, yakni pertama, ketepatan pilihan
kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang
tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau
dirasakan oleh penulis dan pembicara. Beberapa butir perhatian dan persoalan
berikut hendaknya diperhatikan setiap orang agar bisa mencapai ketepatan pilihan
kata itu. Berikut persyaratan ketepatan diksi.
1) Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. Dari dua kata yang
mempunyai makna yang mirip satu sama lain, harus menetapkan mana
yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan. Kata yang tidak
mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut denotasi,
sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaan
tertentu, nilai rasa tertentu di samping arti yang umum, dinamakan
konotasi
2) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Kata-
kata yang bersinonim tidak selalu memiliki distribusi yang saling
melengkapi. Sebab itu, penulis atau pembicara harus berhati-hati memilih
kata dari sekian sinonim yang ada untuk menyampaikan apa yang
diinginkannya, sehingga tidak timbul interpretasi yang berlainan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
3) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Bila penulis atau
penutur tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya itu,
maka akan membawa akibat yang tidak diinginkan, yaitu salah paham.
4) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri. Bahasa selalu tumbuh dan
berkembang sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat.
Perkembangan bahasa pertama-tama tampak dari pertambahan jumlah
kata baru. Namun, hal itu tidak berarti bahwa setiap orang boleh
menciptakan kata baru seenaknya. Kata baru biasanya muncul untuk
pertama kali karena dipakai oleh orang-orang terkenal atau pengarang
terkenal. Bila anggota masyarakat lainnya menerima kata itu, maka kata
itu lama-kelamaan akan menjadi milik masyarakat. Neologisme atau kata
baru atau penggunaan sebuah kata lama dengan makna dan fungsi yang
baru termasuk dalam kelompok ini.
5) Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata
asing yang mengandung akhiran asing tersebut.
6) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara
idiomatis.
7) Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus
membedakan kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih tepat
menggambarkan sesuatu daripada kata umum. Dengan demikian,
semakin khusus sebuah kata atau istilah, semakin dekat dengan titik
persamaan atau pertemuan yang dapat dicapai antara penulis dan
pembaca. Sebaliknya, semakin umum sebuah istilah, semakin jauh pula
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
titik pertemuan antara penulis dan pembaca. Sebuah istilah atau kata
yang umum dapat mencakup sejumlah istilah yang khusus.
8) Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang
khusus. Suatu jenis pengkhususan dalam memilih kata-kata yang tepat
adalah penggunaan istilah-istilah yang menyatakan pengalaman-
pengalaman yang diserap oleh pancaindria (serapan indria pengelihatan,
pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Karena kata-kata indria
melukiskan suatu sifat yang khas dari penserapan pancaindria, maka
pemakaiannya pun harus tepat.
9) Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah
dikenal. Kenyataan yang dihadapi oleh setiap pemakai bahasa adalah
bahwa makna kata tidak selalu bersifat statis. Dari waktu ke waktu,
makna kata-kata dapat mengalami perubahan sehingga akan
menimbulkan kesulitan-kesulitan baru pemakain yang terlalu bersifat
konservatif. Sebab itu, untuk menjaga agar pilihan kata selalu tepat, maka
setiap penutur bahasa harus selalu memperhatikan perubahan-perubahan
makna yang terjadi. Perubahan-perubahan makna yang penting diketahui
oleh pemakai bahasa adalah perluasan arti, penyempitan arti, ameliorasi,
peyorasi, metafora, dan metonimi.
10) Memperhatikan kelangsungan pilihan kata. Kalangsungan pilihan kata
adalah teknik memilih kata yang sedemikian rupa, sehingga maksud atau
pikiran seseorang dapat disampaikan secara tepat dan ekonomis.
Kelangsungan dapat terganggu bila seorang pembicara atau pengarang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
mempergunakan terlalu banyak kata untuk suatu maksud yang dapat
diungkapkan secara singkat, atau mempergunakan kata-kata yang kabur,
yang bisa menimbulkan ambiguitas (makna ganda).
Persoalan kedua dalam penggunaan kata-kata adalah kecocokan atau
kesesuaian. Terdapat beberapa hal yang perlu diketahui setiap penulis atau
pembicara, agar kata-kata yang dipergunakan tidak akan mengganggu suasana,
dan tidak akan menimbulkan ketegangan antara penulis atau pembicara dengan
para hadirin atau para pembaca. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut
(Keraf, 1986:102−111).
1) Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu
situasi yang formal. Bahasa substandar adalah bahasa dari mereka yang
tidak memperoleh kedudukan atau pendidikan yang tinggi. Pada dasarnya
bahasa ini hanya digunakan untuk pergaulan biasa, tidak dipakai pada
tulisan-tulisan, bersenda-gurau, berhumor, atau untuk menyatakan
sarkasme atau menyatakan ciri-ciri kedaerahan. Dengan demikian, dalam
suasana formal, harus dipergunakan unsur-unsur bahasa standar, harus
dijaga agar unsur-unsur nonstandar tidak boleh menyelinap ke dalam
tutur seseorang.
2) Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam
situasi yang umum hendaknya penulis dan pembicara mempergunakan
kata-kata populer. Kata-kata populer adalah kata-kata yang dikenal dan
diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan kata-kata ilmiah
adalah kata-kata yg biasa dipakai oleh kaum terpelajar, dalam pertemuan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
pertemuan resmi, diskusi-diskusi khusus, teristimewa dalam diskusi
ilmiah.
3) Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. Jargon
merupakan bahasa yang khusus sekali, maka tidak akan banyak artinya
bila dipakai untuk suatu sasaran yang umum.
4) Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata-
kata slang. Kata-kata slang adalah semacam kata percakapan yang tinggi
atau murni. Kata slang adalah kata nonstandar yang informal, yang
disusun secara khas; atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer;
atau kata-kata kiasan yang khas, bertenaga dan jenaka yang dipakai
dalam percakapan. Kadangkala kata slang dihasilkan dari salah ucap
yang disengaja, atau kadangkala berupa pengrusakan sebuah kata biasa
untuk mengisi suatu bidang makna yang lain.
5) Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan. Kata
percakapan adalah kata-kata yang biasa dipakai dalam percakapan atau
pergaulan orang-orang yang terdidik. Kata-kata percakapan mencakup
kata-kata populer, kata-kata idiomatis, kata-kata ilmiah, dan kata-kata
yang tidak umum (slang) yang biasa dipakai oleh golongan terpelajar
saja.
6) Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati). Idiom adalah
pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang
umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
diterangkan secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada
makna kata-kata yang membentuknya.
7) Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial. Yang dimaksud bahasa
artifisial adalah bahasa yang disusun secara seni. Bahasa yang artifisial
tidak terkandung dalam kata yang digunakan, tetapi dalam pemakaiannya
untuk menyatakan suatu maksud.
Bahasa standar dan bahasa nonstandar digunakan dalam pemilihan kata,
penulis atau pembicara harus dapat membedakan kedua bentuk bahasa tersebut.
Keraf (1986:104) memaparkan pengertian bahasa standar dan bahasa nonstandar
tersebut. Bahasa standar adalah semacam dialek kelas dan dapat dibatasi sebagai
tutur dari mereka yang mengenyam kehidupan ekonomis atau menduduki status
sosial yang cukup dalam suatu masyarakat. Secara kasar kelas ini dianggap
sebagai kelas terpelajar. Kelas ini meliputi pejabat-pejabat pemerintah, ahli-ahli
bahasa, ahli-ahli hukum, dokter, pedagang, guru, penulis, penerbit, seniman,
insinyur, serta semua ahli lainnya, bersama keluarganya. Bahasa nonstandar
adalah bahasa dari mereka yang tidak memperoleh kedudukan atau pendidikan
yang tinggi. Pada dasarnya, bahasa ini dipakai untuk pergaulan biasa, tidak
dipakai dalam tulisan-tulisan. Kadang-kadang unsur nonstandar dipergunakan
juga oleh kaum terpelajar dalam bersenda-gurau, berhumor, atau untuk
menyatakan sarkasme atau menyatakan ciri-ciri kedaerahan. Bahasa nonstandar
dapat juga berlaku untuk suatu wilayah yang luas dalam wilayah bahasa standar
tadi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
2.4.1.10 Kategori Fatis
Kridalaksana (1986:111) mengartikan kategori fatis sebagai kategori yang
bertugas melalui, mempertahankan, atau mengkukuhkan pembicaraan antara
pembicara dan lawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam
lisan. Ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka
kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang
banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.
Berikut adalah bentuk-bentuk dari kata fatis (Kridalaksana, 1986:113–116).
1) ah menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh.
2) ayo menekankan ajakan.
3) deh menekankan pemksaan dengan membujuk, pemberian
persetujuan, pemberian garansi, sekedar penekanan.
4) dong digunakan untuk menghaluskan perintah, menekankan
kesalahan kawan bicara.
5) ding menekankan pengakuan kesalahan pembicara.
6) halo digunakan untuk memulai dan mengukuhkan pembicaraan
di telepon, serta menyalami kawan bicara yang dianggap akrab.
7) kan apabila terletak pada akhir kalimat atau awal kalimat, maka
kan merupakan kependekan dari kata bukan atau bukanlah, dan
tugasnya ialah menekankan pembuktian. Apabila kan terletak di
tengah kalimat maka kan juga bersifat menekankan pembuktian
atau bantahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
8) kek mempunyai tugas menekankan pemerincian, menekankan
perintah, dan menggantikan kata saja.
9) kok menekankan alasan dan pengingkaran. Kok dapat juga
bertugas sebagai pengganti kata tanya mengapa atau kenapa bila
diletakkan di awal kalimat.
10) -lah menekankan kalimat imperatif dan penguat sebutan dalam
kalimat.
11) lho bila terletak di awal kalimat bersifat seperti interjeksi yang
menyatakan kekagetan. Bila terletak di tengah atau di akhir
kalimat, maka lho bertugas menekankan kepastian.
12) mari menekankan ajakan.
13) nah selalu terletak pada awal kalimat dan bertugas untuk minta
supaya kawan bicara mengalihkan perhatian ke hal lain.
14) pun selalu terletak pada ujung konstituen pertama kalimat dan
bertugas menonjolkan bagian tersebut.
15) selamat diucapkan kepada kawan bicara yang mendapatkan atau
mengalami sesuatu yang baik.
16) sih memiliki tugas menggantikan tugas –tah dan –kah, sebagai
makna ‘memang’ atau ‘sebenarnya’, dan menekankan alasan.
17) toh bertugas menguatkan maksud; adakalanya memiliki arti
yang sama dengan tetapi.
18) ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang
ditanyakan kawan bicara, bila dipakai pada awal ujaran dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
meminta persetujuan atau pendapat kawan bicara bila dipakai
pada akhir ujaran.
19) yah digunakan pada awal atau di tengah-tengah ujaran, tetapi
tidak pernah pada akhir ujaran, untuk mengungkapkan keragu-
raguan atau ketidakpastian terhadap apa yang diungkapkan oleh
kawan bicara atau yang tersebut dalam kalimat sebelumnya, bila
dipakai pada awal ujaran; atau keragu-raguan atau
ketidakpastian atas isi konstituen ujaran yang mendahuluinya,
bila di tengah ujaran.
2.4.1.11 Unsur Suprasegmental
Dalam bahasa tulisan, tanda baca memiliki peranan penting. Namun, dalam
bahasa lisan tidak akan didapati tanda baca tersebut. Disinilah peranan unsur
suprasegmental. Unsur suprasegmental hanya akan didapati pada bahasa lisan,
unsur ini adalah tekanan, intonasi, nada, jeda. Berikut akan dipaparkan unsur-
unsur suprasegmental tersebut.
2.4.1.12 Tekanan
Tekanan menyangkut masalah keras lunaknya bunyi. Suatu bunyi segmental
yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan
amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah
bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat sehingga
amplitudonya menyempit, pasti dibarengi dengan tekanan lunak. Tekanan ini
mungkin terjadi secara sporadis, mungkin juga telah berpola, mungkin juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
bersifat distingtif, dapat membedakan makna, mungkin juga tidak distingtif
(Achmad & Alek, 2013:33−34).
2.4.1.13 Intonasi
Intonasi dalam bahasa Indonesia sangat berperan dalam pembedaan maksud
kalimat. Bahkan, dengan dasar kajian pola-pola intonasi ini, kalimat bahasa
Indonesia dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya
(interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Kalimat berita (deklaratif) ditandai
dengan pola intonasi datar-turun. Kalimat tanya (interogatif) ditandai dengan pola
intonasi datar-turun. Kalimat perintah (imperatif) ditandai dengan pola intonasi
datar-tinggi (Muslich, 2009:115−117).
Keraf (1991:208) menambahkan kalimat seru ke dalam kalimat bahasa
Indonesia. Kalimat seru adalah kalimat yang menyatakan perasaan hati, atau
keheranan terhadap suatu hal. Kalimat seru ditandai dengan intonasi yang lebih
tinggi dari kalimat inversi.
2.4.1.14 Nada
Dalam penuturan bahasa Indonesia, tinggi-rendahnya (nada) suara tidak
fungsional atau tidak membedakan makna. Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan pembedaan makna, nada dalam bahasa Indonesia tidak fonemis.
Walaupun demikian, ketidakfonemisan ini tidak berarti nada tidak ada dalam
bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara,
arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. Makin tegang pita
suara, yang disebabkan oleh arus udara dari paru-paru, makin tinggi pula nada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
bunyi tersebut. Begitu juga posisi pita suara. Pita suara yang bergetar lebih cepat
akan menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi (Muslich, 2009:112).
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi
segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai
dengan nada tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi getaran
rendah,tentu akan disertai juga dengan nada rendah. Achmad & Alek
(2013:33−34) membedakan empat macam nada, yaitu:
1) Nada yang paling tinggi, diberi tanda dengan angka empat.
2) Nada tinggi, diberi tanda dengan angka tiga.
3) Nada sedang atau biasa, diberi tanda dengan angka dua.
4) Nada rendah, diberi tanda dengan angka satu.
2.5 Teori Maksud
Ilmu pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam
konteks situasi dan sosial budaya tertentu. Karena yang dikaji dalam ilmu
pragmatik adalah maksud penutur dalam menyampaikan tuturannya, maka
dapat dikatakan pragmatik ilmu yang sejajar dengan semantik (Rahardi,
2003:16-17). Semantik yang mengkaji makna bahasa, tetapi makna bahasa
yang dikaji secara internal. Jadi sesungguhnya perbedaan yang mendasar antar
keduanya adalah pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara
eksternal, semantik mengkaji makna satuan lingual tersebut secara internal.
Unsur ini ada dalam bahasa, makna berbeda dengan maksud. Maksud adalah
elemen di luar bahasa yang bersumber dari pembicara. Maksud bersifat
subyektif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Maksud dilihat dari segi si pengujar, orang yang berbicara, atau pihak
subjeknya. Penutur mengujarkan suatu ujaran yang berupa kalimat maupun
frasa, tetapi maksudnya tidak sama dengan makna ujaran itu sendiri. Maksud
banyak digunakan dalam bentuk-bentuk ujaran yang berbagai bentuk-bentuk
gaya bahasa. “Selama masih menyangkut segi bahasa, maka maksud itu masih
dapat disebut sebagai persoalan bahasa. Ketika sudah terlalu jauh dan tidak
berkaitan lagi dengan bahasa, maka tidak dapat lagi disebut sebagai
persoalan bahasa” (Chaer, 1995:36). Jadi, setiap kata yang digunakan pasti
mengandung maksud, asal saja lambang-lambang yang digunakan masih
berbentuk lingual.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
2.6 Kerangka Berpikir
FENOMENA KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIKDAN PRAGMATIK DALAM RANAH AGAMA
HINDU DI KOTA YOGYAKARTA
TEORI KETIDAKSANTUNANBERBAHASA
LOCHER(2008)
BOUSFIELD(2008)
LOCHER ANDWATTS (2008)
TERKOURAFI (2008)
CULPEPER(2008)
METODE PENELITIANDESKRIPTIF KUALITATIF
METODE PENGUMPULAN DATA: METODESIMAK DAN METODE CAKAP METODE
TEKNIK ANALISIS DATA: KONTEKSTUAL
HASIL PENELITIAN
WUJUDKETIDAKSANTUNAN
BERBAHASA LINGUISTISDAN PRAGMATIS DALAMRANAH AGAMA HINDU DI
KOTA YOGYAKARTA
MAKSUDKETIDAKSANTUNAN
BERBAHASA LINGUISTIKDAN PRAGMATIK DALAMRANAH AGAMA HINDU DI
KOTA YOGYAKARTA
PENANDAKETIDAKSANTUNAN
BERBAHASA LINGUISTIKDAN PRAGMATIG DALAMRANAH AGAMA HINDU DI
KOTA YOGYAKARTA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Fenomena ketidaksantunan berbahasa biasa terjadi dimana saja dan pada
situasi apa saja . Penelitian ini memiliki kerangka pikir sebagai berikut, yang
pertama kali dilakukan adalah pengambilan data atau tuturan yang tidak santun
yang digunakan oleh pemuka agama dan umatnya dalam ranah agama Hindu di
Kota Yogyakarta.
Langkah kedua, penggolongan tuturan yang tidak santun ke dalam teori-
teori ketidaksantunan berbahasa. Terdapat lima teori ketidaksantunan berbahasa
yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, teori ketidaksantunan menurut
Miriam A Locher (2008), Kedua, teori ketidaksantunan berbahasa menurut
Bousfield (2008), Ketiga, teori ketidaksantunan berbahasa menurut Culpeper
(2008), Keempat, teori ketidaksantunan berbahasa menurut Terkourafi (2008),
Kelima, teori ketidaksantunan berbahasa menurut Locher and Watts.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian ini mendeskripsikan fenomena ketidaksantunan berbahasa dalam ranah
agama, khususnya agama Hindu di Kota Yogyakarta. Metode dan teknik analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini secara kontekstual.Hasil penelitian
untuk digunakan menjawab rumusan masalah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisi uraian tentang jenis penelitian, subjek penelitian,
metode dan teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, metode dan
teknik analisis data, serta sajian hasil analisis data.
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk
menyelidiki keadaan, kondisi atau hal-hal lain yang sudah disebutkan, yang
hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian (Arikunto, 2010:3).
Penelitian kualitatif menurut Moleong (2006: 6) adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Secara holistik,
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Dalam penelitian ini dideskripsikan bentuk tuturan ketidaksantunan yang
terjadi dalam ranah agama khususnya agama Hindu serta ditafsirkan
berdasarkan konteks situasinya. Penelitian ini juga termasuk kedalam jenis
penelitian kualitatif karena data yang diperoleh berupa tuturan
ketidaksantunan yang terjadi didalam ranah agama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
3.2 Subjek Penelitian
Kesantunan dalam bertutur kepada mitra tutur menjadi hal yang penting
untuk dapat diterima. Ketidaksantunan dalam bertutur dapat terjadi didalam
percakapan yang formal sekalipun seperti dalam upacara keagamaan,
penelitian ini subyek penelitiannya adalah seluruh umat beragama hindu
wilayah Kotamadya Yogyakarta, karena peneliti banyak menemukan
ketidaksantunnan yang terjadi dalam percakapan ketika upacara keagamaan.
3.3 Data Dan Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data diperoleh.
Sumber data merupakan tempat asal muasal data diperoleh (Arikunto,
2010:172). Sumber data penelitian ini diambil dari pemuka dan umat
beragama Hindu di wilayah Kotamadya Yogyakarta berbagai macam
cuplikan tuturan yang diambil secara langsung dan natural dalam
perbincangan dalam ranah agama secara khusus agama Hindu. Wujud dari
data ini berupa tuturan yang diperoleh dari percakapan serta kotbah yang
dilakukan oleh umat dan pemuka pemuka agama dalam situasi upacara
keagamaan yang mengandung maksud yang tersirat ataupun mengandung
tersurat. Dengan demikian, data dari penelitian ini ialah Obyek sasaran
penelitian dan konteksnya berupa bentuk –bentuk kebahasaan yang tidak
santun bersama entitas kebahasaan yang mengikuti dan mengawalinya. Dari
hasil tersebut dipisahkan mengunakan kajian linguistik dan pragmatik untuk
membedakan kesantunan dan ketidaksantunan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi peneliti dalam
mengumpulkan data (Zuriah 2006:168). Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ketidaksantunan berbahasa ini adalah pedoman atau panduan
wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, dan daftar kasus dengan berbekal
teori ketidaksantunan berbahasa. Teori-teori tersebut akan digunakan untuk
menganalisis bentuk tuturan yang digunakan umat Hindu dalam kegiatan
kerohanian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ketidaksantunan
berbahasa ini adalah pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan,
pancingan, dan daftar kasus) dengan berbekal teori ketidaksantunan berbahasa.
Teori-teori tersebut akan digunakan untuk menganalisis bentuk tuturan yang
digunakan umat agama Hindu. Data-data yang didapat akan dicatat untuk
kemudian dianalisis lebih lanjut selanjutnya.
Data-data yang didapat akan dicatat untuk kemudian dianalisis lebih lanjut.
Data tersebut akan dimasukkan ke dalam blangko yang telah dipersiapkan seperti
di bawah ini:
No:
Tuturan:
Wujud ketidaksantunan:
Maksud tuturan:
Penanda ketidaksantunan:
Makna ketidaksantunan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
3.5 Metode Dan Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Sudaryanto (1992:62) mengatakan bahwa istilah deskriptif menyarankan
suatu penelitian dilakukan berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena
yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang
dihasilkan atau yang dicatat berupaperian bahasa yang biasa dikatakan
sifatnya seperti potret: paparan seperti adanya. Penelitian ini berusaha
mendeskripsikan tentang fakta-fakta yang ada pada saat penelitian
berlangsung. Fakta-fakta tersebut adalah berupa tuturan-turuan yang bersifat
tidak santun yang dituturkan oleh umat dan pemuka agama Hindu di wilayah
kota Yogyakarta.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
simak dan metode cakap. Sudaryanto (2007:92) mengemukakan bahwa cara
yang digunakan untuk memperoleh data dengan menggunakan metode simak
dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Metode ini memiliki teknik
dasar yang berwujud teknik sadap. Peneliti akan menyimak setiap tuturan
ketika berlangsungnya upacara keagamaan. Peneliti mengunakan alat bantu
perekam suara untuk menghindari hilangnya kata saat proses menyimak .
Peneliti juga akan terlibat langsung dalam upacara keagamaan tersebut untuk
mengetahui situasi dan konteks arah tuturan yang terjadi saat peneliti
mengumpulkan data. Peneliti berbekal alat tulis untuk mencatat setiap tuturan
yang disimak beserta konteks situasinya ketika tuturan itu diucapkan oleh
penutur. Diasumsikan dari hasil data yang diperoleh dengan mengunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
metode rekam serta catat dapat diperoleh data yang natural serta dapat
ditemukan tuturan yang menurut ilmu linguistik dan pragmatik merupakan
tuturan bentuk ketidaksantunnan.
Selain metode simak peneliti juga menggunakan metode cakap untuk
memperoleh data penelitian. Metode cakap adalah cara penyediaan data
berupa percakapan antara peneliti dengan informan (Mahsun, 2005:95).
Sudaryanto (2007:95) mengemukakan bahwa cara yang digunakan untuk
memperoleh data dengan menggunakan metode cakap dilakukan dengan
melakukan percakapan antara peneliti dengan informan. Metode cakap
memiliki teknik dasar berupa teknik pancing karena percakapan yang
diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul
jika peneliti memberikan stimulasi (pancingan) pada informan untuk
memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Gejala
kebahasaan tersebut adalah gejala kebahasaan yang bersifat tidak santun.
Mahsun (2007:95) mengartikan teknik pancing sebagai teknik dasar dari
metode cakap, karena dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimululasi
(pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang
diharapkan oleh peneliti. Sejalan dengan Mahsun, Rahardi (2009:34)
mengemukakan bahwa teknik pancing merupakan teknik dasar dari metode
cakap yang dilakukan dengan cara memancing seseorang atau beberapa orang
agar mereka berbicara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
3.6 Metode Dan Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan secara kontekstual yakni dengan
memerantikan dimensi-dimensi konteks dalam menginterpretasi data yang telah
berhasil diidentifikasi, diklasifikasi, dan ditipifikasikan. Metode pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan. Secara
kontekstual, metode yang digunakan adalah metode padan. Metode pandan disini
diartikan sebagai hal menghubung-bandingkan (Mahsun, 2005:117).
Metode pengumpulan secara linguistik menggunakan metode pandan
intralingual yaitu metode analisis dengan cara menghubung-bandingkan unsur-
unsur yang bersifat intralingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun
dalam beberapa bahasa berbeda (Mahsun, 2005:118). Teknik yang digunakan
adalah teknik dasar teknik hubung banding yang bersifat lingual.
Metode dalam analisis data secara pragmatik menggunakan metode padan
ekstralingual. Metode padan ekstralingual adalah metode analisis yang digunakan
untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan
masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa (Mahsun, 2007:120).
Teknik yang digunakan dalam pelaksanaan metode ini adalah teknik dasar teknik
hubung banding yang bersifat ekstralingual.
Peneliti menganalisis data dalam penelitian ini dengan tahapan sebagai
berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
1) Peneliti mentranskripsi data yang telah dikumpulkan.
2) Peneliti mengklasifikasikan data ke dalam teori-teori ketidaksantunan
berbahasa dengan mengacu dari penanda khas dari setiap jenis
ketidaksantunan berbahasa tersebut.
3) Peneliti memasukkan tuturan yang telah diklasifikasikan ke dalam tabulasi
data yang berisi tuturan, penanda ketidaksantunan secara lingual dan
nonlingual, persepsi ketidaksantunan, dan informasi indeksal.
4) Peneliti menyusun parameter penentu ketidaksantunan berbahasa berdasarkan
hasil tabulasi data.
5) Atas hasil tabulasi data, peneliti menganalisis data dengan mengacu dari
parameter penentu ketidaksantunan yang telah disusun. Data tersebut
dianalisis secara linguistik dan pragmatik. Analisi secara linguistis dilakukan
berdasarkan unsur-unsur intralingual, sedangkan analisis secara prakmatik
dilakukan berdasarkan unsur-unsur ekstralingual.
6) Hasil analisis data tersebut dideskripsikan dalam bentuk sajian analisis data.
3.7 Trianggulasi Data
Menurut Lexy J. Moleong (1989:195), trianggulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data
untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data. Dalam penelitian ini,
peneliti membuat trianggulasi dengan tujuan untuk melakukan pengecekan
terhadap validitas dan keterpercayaan hasil temuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Trianggulasi dalam penelitian ini meliputi dua hal, yaitu trianggulasi teori
dan trianggulasi logis. Trianggulasi teori peneliti gunakan untuk membandingkan
beberapa teori ketidaksantunan berbahasa dari beberapa ahli bahasa dengan tujuan
untuk melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing. Peneliti juga melakukan
trianggulasi logis, yaitu dengan melakukan bimbingan bersama dosen
pembimbing yaitu Dr.Yuliana Setiyaningsih,M.Pd.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi Deskripsi data. Analisis data berisi penyusunan data secara
sistematis melalui traskrip wawancara, serta dokumentasi. Sedangkan pada bagian
pembahasan berisi uraian jawaban atas pertanyaan yang terdapat dalam rumusan
masalah
4.1 Deskripsi Data
Data penelitian berupa tuturan yang diperoleh dari percakapan serta kotbah
yang dilakukan oleh umat dan pemuka-pemuka agama Hindu di Kota Madya
Yogyakarta. Data dikumpulkan mulai bulan Juni 2013 hingga bulan Oktober
2013. Pengambilan data dilakukan berdasarkan fenomena kebahasaan yang
berwujud tidak santun. Data yang terkumpul berjumlah 30 tuturan. Jumlah yang
terkumpul diidentifikasi serta dikategorikan menurut kategori
ketidaksantunannya, yaitu: (1) melanggar norma, (2) mengancam muka sepihak,
(3) melecehkan muka, (4) menghilangkan muka, dan (5) menimbulkan konflik.
Jumlah data yang terkumpul adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan
No. Kategori Ketidaksantunan Jumlah Tuturan1. Melanggar Norma 22. Mengancam Muka Sepihak 43. Melecehkan Muka 84. Menghilangkan Muka 75. Menimbulkan Konflik 9
JUMLAH 30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Berdasarkan data yang dapat dilihat di atas satu sama lain memiliki jumlah
yang berbeda temuan tuturan yang terbanyak ditemukan dalam tuturan
menimbulkan konflik yaitu berjumlah sembilan tuturan tidak santun, tuturan
terbanyak kedua adalah melecehkan muka yaitu delapan tuturan, tuturan posisi
ketiga adalah menghilangkan muka dengan jumlah tujuh, tuturan keempat
terdapat dalam kategori mengancam muka sepihak berjumlah empat, urutan
kelima yaitu tuturan yang paling sedikit ditemukan kategori melangar norma
berjumlah dua.
(1) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatig berupa tuturan lisan
tidak santun antar umat dan pemuka agama yang terbagi dalam kategori
melanggar norma (subkategori menegaskan), mengancam muka sepihak
(memerintah dan mengancam), melecehkan muka (menyindir, memperingatkan,
menegur dan menasehati), menghilangkan muka (menegur, menegaskan,
menyindir, menyingung dan memperingatkan), dan menimbulkan konflik
(mengejek, menegaskan, mengancam, memperingatkan, menyingung dan
mengumpat), wujud ketidaksantunan pragmatik berdasarkan cara penyampaian
penutur yang menyebabkan tuturan lisan tidak santun, (2) maksud
ketidaksantunan berbahasa yang disampaikan oleh penutur adalah memeberi
pengertian, mengingatkan, menegur, intropeksi diri, kesal, menasehati, supaya
tidak dimarahi, asal bicara, meremehkan, kecewa, protes, (3) penanda
ketidaksantunan linguistik diketahui dari diksi, kata fatis, nada, tekanan, dan
intonasi sedangkan penanda ketidaksantunan pragmatik dapat diketahui
berdasarkan uraian konteks yang berupa, penutur dan mitra tutur, situasi saat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
terjadi tuturan, waktu dan tempat ketika tuturan terjadi, serta tindak verbal dan
tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut.
4.1.1 Analisis Data
Semua data yang terkumpul diidentifikasi terkumpul berjumlah 30 tuturan
terbagi dalam lima kategori tuturan dengan kategori ketidaksantunan melangar
norma yaitu dua tuturan, kemudian tuturan dengan kategori ketidaksantunan
menghilangkan muka terdapat tujuh tuturan. Tuturan ketidaksantunan kategori
melecehkan muka terdapat delapan tuturan, sedangkan untuk kategori
menimbulkan konflik yang disengaja terdapat sembilan tuturan, dan kategori
ketidaksantunan mengancam muka sepihak yaitu empat tuturan. Analisis lebih
lanjut mengenai ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa di dalam
ranah agama Hindu Wilayah Kotamadya Yogyakarta adalah sebagai berikut.
4.1.2 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma
Kategori ketidaksantunan yang melanggar norma yang ditemukan memiliki
satu subkategori yaitu subkategori menegaskan pada teori Locher and Watts
(2008:5) berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara
normatif dianggap negatif (negatively marked behavior) karena melanggar norma-
norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kedua ahli tersebut juga
menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan
hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning).
Suatu tuturan dalam kategori melanggar norma terjadi bila tuturan penutur
terjadi saat penutur telah atau berusaha melanggar suatu hal yang telah disepakati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
dengan mitra tutur. Suatu tuturan dalam kategori ini dikatakan tidak santun, jika
tuturan penutur membuat mitra tutur kesal.
Tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan melanggar norma
yang disajikan berdasarkan subkategori ketidaksantunan, yaitu (1) penutur
menegaskan serta berpura pura bertanya agar tidak dipersalahkan umat lain
penutur telah melangar norma yang telah di sepakati bersama saat sembayang
berlangsung. Berikut ini contoh tuturan tersebut.
Berikut ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
melangar norma yang disajikan berdasarkan subkategori ketidaksantunan dan
disajikan dengan (1) wujud linguistik, (2) wujud pragmatik, (3) penanda
linguistik, (4) penanda pragmatik (konteks tuturan), dan maksud ketidaksantunan.
a) Subkategori Menegaskan
Subkategori menegaskan muncul akibat tuturan penutur yang
secara sengaja menegaskan dan memberi tekanan pada nada bicara
agar mitra tutur mengetahui maksud dari penutur . Pada kategori
melanggar norma, subkategori menegaskan lebih berhubungan
dengan suatu kesepatan yang telah diketahui secara umum oleh umat
agama hindu yang sering melakukan pertemuan ditempat tersebut.
Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori
menegaskan.
Cuplikan tuturan A1
MT : Dari mana saja kamu baru datang ?PT : Sudah mulai dari tadi ya?(sambil tersenyum )MT : Sudah tinggal menunggu kamu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
(konteks tuturan: Tuturan terjadi di aula asrama agama hindu.Tuturan terjadi antara umat hindu. Penutur datang melebihi waktuyang telah disepakati bersama. Tujuan penutur agar mitra tutur tidakmenyalahkan dirinya karena dengan sengaja datang terlambat.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Sudah mulai dari tadi ya?(sambil tersenyum)”.Wujud pragmatik
Tuturan disampaikan dengan cara pura-pura bertanya. Penutur
berusaha menegaskan serta mengalihkan pembicaraan agar ia tidak di
persalahkan karena keterlambatanya datang. Penanda linguistik
Penutur berbicara dengan nada sedang Tekanan lembut. Penanda
pragmatik tuturan terjadi di aula asrama agama hindu. Tuturan terjadi
antara umat hindu. Penutur datang melebihi waktu yang telah
disepakati bersama. Tujuan penutur agar mitra tutur tidak
menyalahkan dirinya karena dengan sengaja datang terlambat penutur
melangar jam yang telah disepakati bersama penutur terkesan acuh
tak acuh mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan pertanyaan
yang sedikit kesal. Maksud penutur bermaksud agar tidak dimarahi.
Cuplikan tuturan A2
MT : Gimana orang ini sembayang hp tidak di matikan dahulu.PT : “Hallo , ada apa saya lagi sembayang di pura” (sambil berjalan
keluar)PT :(Dengan wajah biasa kembali melanjutkan sembayang dengan
biasa saja)(konteks tuturan: Tuturan terjadi didalam area pura. Tuturan terjadisaat ibadat berlangsung. Penutur melanggar norma yang telah disepakati bersama ketika sembayang hp dinon aktifkan.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Hallo, ada apa saya lagi sembayang di pura!”. Wujud pragmatik
tuturan disampaikan dengan nada sedang ketika sembayang sedang
berlangsung. Penutur melangar norma yang selama ini sudah
disepakati bersama ketika sembayang hanpone dimatikan, penutur
telah melangar norma denagan mengangkat telepon ketika sembayang
akibatnya menganggu umat lain yang sedang sembayang. Penanda
linguistik intonasi dalam tuturan ini menggunakan intonasi seru.
Penutur mengunakan nada yang sedang. Tekanan yang digunakan
lunak. Diksi yang dipakai bahasa popular atau kata yang telah dikenal
masyarakat. Penanda pragmatik penutur mengangakat telepon disaat
ibadat berlangsung . Penutur tidak mematikan telepon saat sembayang
seperti yang telah disepakati bersama. Tuturan terjadi di dalam area
pura. Tuturan terjadi saat ibadat berlangsung. Penutur melanggar
norma yang telah disepakati bersama ketika sembayang hanpone
dinon aktifkan). Maksud penutur bermaksud mengangkat telepon
memberi pengertian kepada penelpon.
4.1.3 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak
Berikut ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
mengancam muka sepihak yang disajikan berdasarkan subkategori
ketidaksantunan dan disajikan dengan (1) wujud linguistik, (2) wujud pragmatik,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
(3) penanda linguistik, (4) penanda pragmatik (konteks tuturan), dan (5) maksud
ketidaksantunan.
Terkourafi (2008:3–4) memandang ketidaksantunan sebagai, ‘impoliteness
occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of
occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is
attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam
pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee)
merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur
(speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya.
Suatu tuturan dalam kategori mengancam muka sepihak terjadi bila penutur
tidak sengaja mengucapkan suatu tuturan yang membuat mitra tutur tersinggung.
Hal inilah yang membuat suatu tuturan dalam kategori ini menjadi tidak santun.
Berikut ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
mengancam muka sepihak yang disajikan berdasarkan subkategori
ketidaksantunan dan disajikan dengan (1) wujud linguistik, (2) wujud pragmatik,
(3) penanda linguistik, (4) penanda pragmatik (konteks tuturan), dan maksud
ketidaksantunan.
a) Subkategori Memerintah
Subkategori memerintah dalam kategori mengancam muka
sepihak Suatu tuturan dalam kategori mengancam muka sepihak
terjadi bila penutur tidak sengaja mengucapkan suatu tuturan yang
membuat mitra tutur tersinggung dan membuat mitra tutur merasa
terancam atau merasa malu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Cuplikan tuturan B1
PT : “Kalau mau sembayang itu pakai baju yang pantas?”MT : “iya”(Konteks tuturan: Tuturan terjadi ketika penutur sedang duduk diteras puramenunggu dimulainya sembayang di pura, ketika itu datangsalah satu orang dan mengingatkan . Tuturan terjadi pada siang haridi lingkungan pura. Penutur laki-laki usia 67 tahun, MT laki-laki usia15 tahun. Penutur menegur MT. agar mengenakan baju yang pantasdan sopan ketida datang untuk beribadah)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Kalau mau sembayang itu pakai baju yang panta
s?”. Wujud pragmatik tuturan membuat malu mitra tutur.
Tuturan bersifat menyinggung mitra tutur tetapi tidak menyadari
bahwa tuturan telah mengancam muka mitra tutur. Tuturan
disampaikan dengan ketus. Penanda linguistik tuturan menggunakan
intonasi perintah. Penutur berbicara menggunakan nada sedang.
Tuturan disampaikan dengan tekanan yang lunak. Diksi yang dipakai
adalah bahasa nonstandar, dengan memakai istilah bahasa Jawa.
Penanda pragmatik tuturan terjadi ketika penutur sedang duduk di
teras pura menunggu dimulainya sembayang di pura, ketika itu datang
salah satu orang dan mengingatkan . Tuturan terjadi pada siang hari di
lingkungan pura. penutur laki-laki usia 67 tahun, MT laki-laki usia 15
tahun. Penutur menegur MT agar mengenakan baju yang pantas dan
sopan ketika datang untuk beribadah. Maksud penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
menyampaikan dengan maksud menegur mitra tutur agar ketika
berangkat ibadah mengunakan pakaian yang pantas .
Cuplikan tuturan B2
PT : “Tolong diam saya mau mendengarkan nyoman berbicara!”(Konteks tuturan: Tuturan terjadi ketika nyoman menjelaskanmengenai tarian yang benar kepada para penari tetapi sebagianbesar asik berbicara sendiri, ketika itu ada salah satu yang menyahutmeminta teman-temannya diam.)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Tolong diam saya mau mendengarkan nyoman berbicara!”. Wujud
pragmatik penutur tidak menyadari bahwa ia berbicara pada orang
yang banyak dan yang lebih tua dari dirinya. Penutur membuat mitra
tutur merasa direndahkan dalam keadaan tersebut. Tuturan
disampaikan dengan cara yang sembrono. Penanda linguistik penutur
berbicara menggunakan nada yang tingi. Tuturan disampaikan dengan
tekanan yang keras. Penanda pragmatik tuturan terjadi ketika nyoman
menjelaskan mengenai tarian yang benar kepada para penari tetapi
sebagian besar asik berbicara sendiri, ketika itu ada salah satu yang
menyahut meminta teman-temannya diam. Maksud penutur menegur
teman yang lain agar tidak ribut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Cuplikan tuturanB3
PT :” Tolong hormati yang sedang sembayang nanti saja kalausudah selesai”
(Konteks tuturan: Tuturan terjadi ketika dipura masih yang berdoadan didekat pura banyak yang sedang duduk dan berbicara terlampaukeras sehingga dinagap menganggu oleh seorang umat. Penuturmerasa tergangu adalah tindakan tidak sopan, maka penuturbermaksud untuk menegur MT).
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Tolong hormati yang sedang sembayang nanti saja kalau sudah
selesai”. Wujud pragmatik tuturan terjadi di area pura, tuturan terjadi
saat ada yang ingin membersihkan pura, tujuan PT agar tidak
menggangu orang yang sedang sembayang. Penanda linguistik
intonasi perintah nada tutur penutur berbicara dengan nada sedang
(sinis dan menyindir) tekanan lembut. Penanda pragmatik tuturan
terjadi ketika di pura masih ada yang berdoa Sedangkan banyak yang
masih berada disekitar pura dan berbicara terlampau keras sehingga
dianggap menganggu oleh seorang umat. Penutur merasa tergangu
adalah tindakan tidak sopan, maka penutur bermaksud untuk menegur
MT. Maksud penutur menyampaikan dengan maksud menegur kepada
orang yang membereskan bekas persembahan agar membersihkanya
setelah sepi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
b) Subkategori mengancam
Subkategori mengancam pada kategori mengancam muka
sepihak bersifat mengkritik mengenai tuturan yang disampaikan oleh
mitra tutur. Berkaitan dengan kategori ini tuturan disampaikan dengan
tidak sengaja, namun hal tersebut telah merendahkan mitra tutur.
Cuplikan tuturan B4
PT : “Kita serius latihanya yang tidak serius silahkan pulang!MT : (hanya terdiam)(Konteks tuturan : Tuturan ini terjadi di lingkungan pura Penuturlaki-laki, pemuka agama 67 tahun, MT orang yang datang umtukberlatih tarian yang akan digunakan dalam acara hari besar . penuturdiangap tidak sopan karena diangap menyingung orang lain makapenutur bermaksud untuk menegur MT)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Kita serius latihanya yang tidak serius silahkan pulang!. Wujud
pragmatik tuturan disampaikan dengan cara ketus walaupun bersifat
untuk menasehati. Tuturan terjadi di aula asrama hindu, tuturan terjadi
saat latihan tarian adat. Situasi saat latihan dengan serius, tujuanya
agar mitra tutur berlatih dengan serius. Penanda linguistik tuturan
menggunakan intonasi perintah. Penutur berbicara menggunakan
nada tinggi. Tekanan pada tuturan keras diksi yang digunakan standar.
Penanda pragmatik tuturan ini terjadi di lingkungan pura penutur laki-
laki, pemuka agama 67 tahun, MT orang yang datang umtuk berlatih
tarian yang akan digunakan dalam acara hari besar. Penutur diangap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
tidak sopan karena diangap menyingung orang lain maka penutur
bermaksud untuk menegur MT. Maksud penutur menyampaikan
dengan maksud mengingatkan agar tidak malas untuk berlatih gerakan
yang kurang sesuai dibenaknya.
4.1.4 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka
Miriam A Locher (2008) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam
berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating
in a particular context.’ Maksudnya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk
pada perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Interpretasi lain yang
berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah
bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan
muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan
berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa
yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan
dengan kata ‘aggravate’ itu.
Suatu tuturan dalam kategori melecehkan muka terjadi bila penutur dengan
sengaja mengucapkan suatu tuturan yang membuat mitra tutur tersinggung. Hal
inilah yang membuat suatu tuturan dalam kategori ini menjadi tidak santun.
Berikut ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
melecehkan muka yang disajikan berdasarkan subkategori ketidaksantunan dan
disajikan dengan (1) wujud linguistik, (2) wujud pragmatik, (3) penanda
linguistik, (4) penanda pragmatik (konteks tuturan), dan (5) maksud
ketidaksantunan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Subkategori Menyindir
Subkategori menyindir terjadi dan disampaikan oleh penutur
secara sengaja atau tidak sengaja mengkritik mitra tutur karena
mengalami kejadian yang kurang berkenan di dalam benak penutur.
Cuplikan tuturan C1
PT : Jangan lupa berterimakasih kepada yang memberi kehidupan inijangan meminta terus.
(Konteks tuturan : Tuturan terjadi diforum kotbah agama hindu.Penutur laki-laki berusia 38 tahun, sedangkan mitra tutur adalahsegenap umat hindu yang datang dalam ibadah tersebut Penuturberbicara penutur berbicara dengan umat dengan berbagai umursehingga kalimat yang bersifat menyindir dinangap kurang tepat..)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
”Jangan lupa berterimakasih kepada yang memberi kehidupan ini
jangan meminta terus”. Wujud pragmatik tuturan disampaikan dengan
cara yang keras. Penutur berbicara pada semua orang yang hadir
dalam ibadah tersebut. Penanda linguistik Intonasi dalam tuturan ini
mengunakan intonasi kalimat perintah. Penutur menggunakan nada
yang keras. Tekanan yang digunakan keras. Diksi yang digunakan
menggunakan bahasa popular atau kata-kata yang dikenal masyarakat.
Penanda pragmatik tuturan terjadi diforum kotbah agama hindu.
Penutur laki-laki berusia 38 tahun, sedangkan mitra tutur adalah
segenap umat hindu yang datang dalam ibadah tersebut Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
berbicara penutur berbicara dengan umat dengan berbagai umur
sehingga kalimat yang bersifat menyindir dinangap kurang tepat.
Maksud penutur bermaksud menasehati umat yang datang dengan
kalimat sindiran.
Cuplikan tuturan C2
MT : Pantatku terasa panas kelamaan duduk saat sembayangtadi.
PT : “Kapan anda akan berpulang?”MT : haha kamu ini {tertawa)(Konteks tuturan : Tuturan terjadi diforum diskusi agama hindu. MTperempuan berusia 16 tahun dan seorang umat, penutur seoranglaki-laki, berusia 23 tahun. MT bertanya mengenai pertanyaan yangmerupakan kalimat sindiran. MT bertanya kepada teman yangberada disebalahnya dengan nada yang keras. Penutur menanggapipertanyaan MT dengan jawaban yang bercanda)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut. Wujud
linguistik “Kapan anda akan berpulang?” Wujud pragmatik tuturan
yang disampaikan dengan cara yang ketus. Tuturan terjadi setelah
selesai sembayang. Tuturan terjadi antar umat,penutur bermaksud
menyindir agar segera selesai. Penanda linguistik intonasi dalam
tuturan ini menggunakan intonasi tanya. Penutur mengunakan nada
dengan tekanan yang sedang, berupa sindiran. Diksi yang dipakai
bahasa popular atau kata yang selah dikenal masyarakat. Penanda
Pragmatik tuturan terjadi diforum diskusi agama hindu. MT
perempuan berusia 16 tahun dan seorang umat, penutur seorang laki-
laki, berusia 23 tahun. MT bertanya mengenai pertanyaan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
merupakan kalimat sindiran. MT bertanya kepada teman yang berada
disebalahnya dengan nada yang keras. Penutur menanggapi
pertanyaan MT dengan jawaban yang bercanda. Maksud penutur
bermaksud menyindir agar forum diskusi segera selesai.
Cuplikan tuturan C4
PT :“Umat sedarma kita harus menghargai waktu sebaikmungkin.jangan seperti hari ini.”
(Konteks tuturan : Tuturan ini terjadi di dalam pura, saat acarakeagamaan. Penutur laki-laki, umat berusia 27 tahun, mitratuturperempuan, umat berusia 19 tahun. Mitratutur bertutur pada mitraTuturan terjadi di dalam lingkup pura Tuturan terjadi saat ibadatberlangsung Kotbah dari pemuka agama Suasana saat khusuksembayang
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Umat sedarma kita harus menghargai waktu sebaik mungkin.jangan
seperti hari ini”.Wujud pragmatik Tuturan yang disampaikan kurang
menghargai penutur yang sedang berbicara. Tutuan yang disampaikan
dengan cara ketus ketidaksantunan penutur kurang terima dengan
tindakan yang dilakukan MT. Penanda linguistik Intonasi
mempergunakan intonasi perintah. Penutur berbicara dengan nada
yang sedang. Tekanan yang digunakan adalah lembut. Penanda
pragmatik tuturan ini terjadi didalam pura, saat acara keagamaan.
Penutur laki-laki, umat berusia 27 tahun, mitratutur perempuan, umat
berusia 19 tahun. Tuturan terjadi di dalam lingkup pura tuturan terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
saat ibadat berlangsung Kotbah dari pemuka agama suasana saat
khusuk sembayang. Maksud penutur bermaksud menyindir yakni
dengan memasukan dalam kotbah.
Cuplikan tuturan C8
MT : Dasar lola (daya tangkap lambat)PT : “Ya sebelumya kamu lihat dirimu seperti apa sebelum
komentar.”(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di aula asrama hindu ,tuturanterjadi saat latihan tarian adat PT merasa jengkel karena selalu dianggap kurang bisa mengikuti,tujuan PT agar MT dalam memberitau dengan sopan. Penutur perempuan berusia 23 tahun, sedangkanMT laki-laki, seorang umat berusia 25 tahun dan menganggap MTtidak memberikan alasan yang pantas atas kekeliruanya.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Ya sebelumya kamu lihat dirimu seperti apa sebelum komentar”.
Wujud pragmatik penutur menanggapi pernyataan dengan sepele.
tuturan yang disampaikan kurang pantas, karena dapat menyinggung
perasaan mitra tutur. Tuturan disampaikan dengan cara yang ketus
atau sinis. Penanda linguistik tuturan menggunakan intonasi perintah.
Penutur menggunakan nada yang sedang. Tekanan keras pada frasa
“ya” diksi yang dipakai adalah bahasa nonstandard yang memakai
istilah bahasa tidak baku. Penanda pragmatik tuturan terjadi di aula
asrama hindu ,tuturan terjadi saat latihan tarian adat PT merasa
jengkel karena selalu dianggap kurang bisa mengikuti, tujuan PT agar
MT dalam memberi tau dengan sopan. Penutur perempuan berusia 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
tahun, sedangkan MT laki-laki, seorang umat berusia 25 tahun dan
menganggap MT tidak memberikan alasan yang pantas atas
kekeliruanya. Maksud penutur bermaksud agar mitra tutur intropeksi
diri melihat tindakan yang dilakukannya.
Subkategori Memperingatkan
Subkategori memperingatkan terjadi dan disampaikan oleh
penutur secara sengaja mengkritik mitra tutur karena mengalami
kejadian yang kurang berkenan di dalam benak penutur. Hal tersebut
tanpa disadari penutur membuat mitra tutur merasa malu dan merasa
dilecehkan muka.
Cuplikan tuturan C3
MT : Sukurin kena marah hahahahaPT : “Kamu tidak percaya adanya karma?”(Konteks tuturan : Tuturan ini terjadi di halaman pura, usai diadakanacara keagamaan. Penutur laki-laki, umat berusia 24 tahun, MTperempuan, umat berusia 30 tahun. Penutur dalam keadaan merasajengkel karena apenutur dimarahin yang disebabkan oleh mitratutur).
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Kamu tidak percaya adanya karma ?”. Wujud pragmatik penutur
kurang terima dengan mitra tutur yang menertawakan ketika penutur
dalam kesusahan. Penutur menggunakan cara yang ketus dalam
mengungkapkan tuturannya. Penutur memberi jawaban yang
mengganggu perasaan MT Penanda linguistik Intonasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
mempergunakan intonasi tanya. Penutur berbicara dengan nada yang
keras namun dengan tekanan yang lembut yang menunjukan
sindiran.dan diksi standar. Penanda pragmatik tuturan ini terjadi
dihalaman pura, usai diadakan acara keagamaan. Penutur laki-laki,
umat berusia 24 tahun, MT perempuan, umat berusia 30 tahun.
Penutur dalam keadaan merasa jengkel karena apenutur dimarahin
yang disebabkan oleh mitra tutur). Tindakan verbalkomisif dan tindak
perlokusi mitra tutur mengucapkan spontan yang membuat mitra tutur
merasa dilecehkan mukanya. Maksud penutur bermaksud
mengingatkan yakni dengan mengkritik mitra tutur yang
menertawakan.
Cuplikan tuturan C5
PT : “Ingatlah dengan adanya punarbawa dan karma pala”(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di dalam pura Tuturan terjadi saatibadat berlangsung Tuturan dari pemuka agama yan sedang kotbah.Penutur laki-laki, seorang pemimpin umat berusia 48 tahun. MT umatyang hadir. Mengutarakan berbuat kebaikan tapi mengharapkanpamrih.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut. Wujud
linguistik “Ingatlah dengan adanya punarbawa dan karma pala”.
Wujud pragmatik tuturan disampaikan dengan cara sindiran
agardalam hidup bisa saling tolong menolong dan saling
menghormati. Tuturan terjadi di dalam pura, tuturan terjadi saat ibadat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
berlangsung ,tuturan dari pemuka agama yang sedang kotbah.
Penanda linguistik intonasi yang digunakan adalah perintah. Penutur
berbicara dengan nada yang sedang dengan kalimat yang menyindir,
diksi non standar mempergunakan kata-kata popular. Penanda
pragmatik tuturan terjadi di dalam pura Tuturan terjadi saat
sembayang berlangsung Tuturan dari pemuka agama yan sedang
kotbah. Penutur laki-laki, seorang pemimpin umat berusia 48 tahun.
MT umat yang hadir. Mengutarakan berbuat kebaikan tapi
mengharapkan pamrih. Tuturan ini terjadi disebuah ibadah ketika
forum kotbah. Penutur laki-laki, seorang pemimpin umat berusia 48
tahun. Maksud penutur bermaksud mengingatkan mitra tutur yakni
dengan persepsi mengenai berbuat kebaikan jangan mengharapkan
pamrih.
Subkategori Menegur
Subkategori menegur terjadi dan disampaikan oleh penutur
secara sengaja kepada mitra tutur karena mengalami kejadian yang
kurang berkenan di dalam benak penutur. Hal tersebut tanpa disadari
penutur membuat mitra tutur merasa malu dan merasa dilecehkan
muka.
Cuplikan tuturan C6
PT : “meski saya bukan yudistira yang benar-benar menerapkandarma cobalah hargai orang yang sedang bicara”
(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di dalam pura Tuturan terjadisaat ibadat berlangsung tuturan dari pemuka agama yan sedang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
kotbah. Penutur laki-laki, seorang pemimpin umat berusia 48tahun. MT umat yang hadir.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“meski saya bukan yudistira yang benar-benar menerapkan darma
cobalah hargai orang yang sedang bicara”. Wujud pragmatik tuturan
disampaikan dengan cara yang sederhana namun merupakan teguran.
Penutur menuduh tanpa bukti yang cukup jelas. Penutur memberi
penjelasan menyinggung perasaan mitra tutur. Penanda linguistik
intonasi yang digunakan adalah perintah. Penutur berbicara dengan
nada yang sedang . Tekanan tuturan yang menunjukan teguran keras
sehingga membuat mitra tutur merasa tersingung. Penanda pragmatik
tuturan terjadi di dalam pura saat ibadat berlangsung Tuturan dari
pemuka agama yan sedang kotbah. Penutur laki-laki, seorang
pemimpin umat berusia 48 tahun. MT umat yang hadir. Maksud
penutur bermaksud menegur pada mitra tutur mengenai keributan
yang terjadi saat kotbah.
Subkategori Menasehati
Subkategori menasehati terjadi dan disampaikan oleh penutur
secara sengaja menasehati mitra tutur karena mengalami kejadian
yang kurang berkenan di dalam benak penutur. Hal tersebut tanpa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
disadari penutur membuat mitra tutur merasa malu dan merasa
dilecehkan muka.
Cuplikan tuturan C7
PT : Jangan biarkan niatmu yang suci dihalangi oleh alam untukmelakukan yudnya(persembahan suci secara iklas)
(Konteks tuturan :Tuturan terjadi diarea pura tuturan terjadi saatibadat berlangsung tuturan terjadi saat pemuka agama kotbah.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik”
Jangan biarkan niatmu yang suci dihalangi oleh alam untuk
melakukan yudnya” (persembahan suci secara iklas) Wujud pragmatik
penutur menanggapi pernyataan. Tuturan yang disampaikan kurang
pantas, karena dapat menyinggung perasaan mitra tutur. Tuturan
disampaikan dengan cara yang lembut. Penanda linguistik tuturan
menggunakan intonasi perintah. Penutur menggunakan nada yang
sedang tekanan lembut. Diksi yang dipakai adalah bahasa nonstandard
yang memakai istilah bahasa daerah. Penanda pragmatik tuturan
terjadi diarea pure ,tuturan terjadi saat ibadat berlangsung tuturan
terjadisaat pemuka agama sedang melakukan kotbah. Penutur laki-laki
berusia 45 tahun, sedangkan mitra tututr dadalah umat yang
menghadiri ibadat tersebut. Maksud penutur bermaksud menasehati
mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
4.1.5 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka
Berikut ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
menghilangkan muka yang disajikan berdasarkan subkategori ketidaksantunan
dan disajikan dengan (1) wujud linguistik, (2) wujud pragmatik, (3) penanda
linguistik, (4) penanda pragmatik (konteks tuturan), dan (5) maksud
ketidaksantunan.
Teori kategori ketidaksantunan menghilangkan muka diungkapkan oleh
Culpeper. Pemahaman Culpeper (2008) mengenai ketidaksantunan berbahasa
adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior
intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’
Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau
dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’
(kehilangan muka). Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau
fakta ‘kehilangan muka’ untuk menjelaskan konsep ketidaksantunan dalam
berbahasa. Sebuah tuturan akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun jika
tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang. Jadi, ketidaksantunan
(impoliteness) dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang
diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan
muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.
Suatu tuturan dalam kategori menghilangkan muka terjadi bila penutur
secara sengaja mengucapkan suatu tuturan yang tidak hanya membuat mitra tutur
tersinggung, tetapi juga membuat mitra tutur malu. Hal inilah yang membuat
suatu tuturan dalam kategori ini menjadi tidak santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Subkategori Menegaskan
Subkategori menegaskan dalam menghilangkan muka terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan disengaja secara tegas kepada
mitra tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan
tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan
yang termasuk dalam subkategori menegaskan.
Cuplikan tuturan D1
MT : apakah anda sudah mengerti? (menjelaskan hal yang sudahdiketahui PT )PT : Anda pintar namun memintari(Konteks tuturan : Tuturan terjadi didalam area aula asramaHindu.Tuturan terjadi saat sharing antar pemuda pemudi pemelukagama Hindu. MT mengulangi penjelasan yang telah dibahas minggukemarin. Penutur membalas dengan berbicara dengan tinggi(sinis).)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Anda pintar namun memintari”. Wujud pragmatik tuturan
disampaikan dengan nada tinggi dan sinis. Penutur terkesan terganggu
dengan tuturan mitra tutur. Tuturan yang disampaikan penutur
terkesan sembrono dan tidak pantas. Penanda linguistik tuturan
memakai intonasi berita. Penutur berbicara dengan nada tinggi.
Tekanan yang digunakan tekanan tinggi. diksi yang dipakai
menggunakan bahasa standar. Penanda pragmatik tuturan terjadi di
dalam area aula asrama Hindu.Tuturan terjadi saat sharing antar
pemuda pemudi pemeluk agama Hindu. Penutur menyindir mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
dengan kata- kata yang kurang pantas. tindak verbal ekspresif.
Ttindak perlokusi mitra tutur merasa dirinya terganggu oleh penutur.
Maksud penutur bermaksud meremehkan mitra tutur.
Subkategori Menyindir
Subkategori menyindir dalam menghilangkan muka terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan sindiran kepada mitra tutur,
sehingga membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan tersebut
tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang
termasuk dalam subkategori menyindir.
Cuplikan tuturan D2
PT : “Apakah pemuka agama selalu benar?”(Konteks tuturan : Tuturan terjadi saat ibadat berlangsun di dalamarea pura. Penutur merasa dirinya tersindir atas perlakuan mitratutur.)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Apakah pemuka agama selalu benar?”. Wujud pragmatik tuturan
disampaikan dengan nada sedang dan datar. Penutur terkesan
menyindir mitra tutur. Tuturan yang disampaikan penutur terkesan
sembrono dan tidak pantas. Penanda linguistik tuturan memakai
intonasi tanya. Penutur berbicara dengan nada sedang. tekanan yang
digunakan tekanan lembut. diksi yang dipakai menggunakan bahasa
standar. Penanda pragmatik tuturan terjadi saat ibadat berlangsung di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
dalam area pura. Penutur merasa terganggu atas perlakuan mitra tutur
yang menyinggung dirinya. Penutur menyindir mitra tutur dengan
kata-kata yang kurang pantas tindak verbal ekspresif, tindak
perlokusiya mitra tutur merasa tersindir oleh tuturan penutur. Maksud
penutur bermaksud memberitahu mitra tutur untuk mengintrospeksi
diri karena mitra tutur dianggap sebagai pemuka agama.
Subkategori Menyinggung
Subkategori menyinggung dalam menghilangkan muka terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan menyingung perasaan mitra
tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan
tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan
yang termasuk dalam subkategori menyinggung.
Cuplikan tuturan D3
MT : Permisi.PT : “Sudah pukul berapa ini? Baru kelihatan teman-teman sudah
pada berkeringat”.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi saat perkumpulan pemuda-pemudiHindu di dalam aula asrama Hindu. MT terlambat datang ketikaacara telah dimulai.)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Sudah pukul berapa ini? Baru kelihatan teman-teman sudah pada
berkeringat?”. Wujud pragmatik tuturan disampaikan dengan nada
sedang dan datar. Penutur terkesan menyindir mitra tutur karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
datang terlambat. Tuturan yang disampaikan penutur terkesan terlalu
melebih-lebihkan. penanda linguistik tuturan memakai intonasi tanya.
Penutur berbicara dengan nada sedang. tekanan yang digunakan
tekanan lembut. diksi yang dipakai menggunakan bahasa standar
dengan kata-kata sehari-hari. Penanda pragmatik tuturan terjadi saat
perkumpulan pemuda-pemudi Hindu di area asrama Hindu. Penutur
memberi teguran kepada mitra tutur dengan menyindir atas
keterlambatan mitra tutur. tindak verbal ekspresif, tindak perlokusi
mitra tutur menangapi sindiran penutur dengan nada kesal. Maksud
penutur bermaksud menegur keterlambatan mitra tutur secara tidak
langsung atas keterlambatan yang dilakukan mitra tutur.
Subkategori Menegur
Subkategori menegur dalam menghilangkan muka terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan teguran kepada mitra tutur,
sehingga membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan tersebut
tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang
termasuk dalam subkategori menegur.
Cuplikan tuturan D4
M T : (sedang bercerita dengan teman disampingnya)PT : “Kalau ingin bercerita di luar sana , disini tempat sembayang”(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di dalam area pura tuturan terjadisaat ibadat berlangsung penutur merasa terganggu oleh MT penuturmenyuruh MT keluar di hadapan umat lain.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Kalau ingin bercerita di luar sana , disini tempat sembayang.” Wujud
pragmatik tuturan terjadi di dalam area pura. Tuturan terjadi saat
sembayang berlangsung penutur merasa terganggu oleh MT penutur
menyuruh MT keluar dihadapan umat lain . Penanda linguistik
intonasi yang dituturkan adalah perintah. Penutur mempergunakan
nada tingi tekanan tuturan keras. Penanda pragmatik tuturan terjadi di
lingkungan pura, ketika MT dan penutur sedang sembayang, penutur
berusia 58 tahun, MT laki-laki berusia 17 tahun. MT sedang asik
bercerita. Tujuan penutur menegur agar bersikap tenang di rumah
ibadah. Maksud penutur bermaksud menegur terhadap mitra tutur
karena melihat mitra tutur asik bercerita, namun hal itu disampaikan
didepan banyak orang.
Cuplikan tuturan D5
MT : Jangan lupa mengunakan pakaian adat yang lengkap !PT : Terimakasih telah mengingatkan , tetapi jika anda bisa menjadi
contoh akan lebih baik.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi didalam area pura tuturan terjadisaat ibadat mau di mulai MT dan PT bertemu di depan pura ketikaingin sembayang PT mengangap pakaian MT kurang pantas tujuanpenutur agar MT menganti pakaiannya dengan pakaian yang lebihpantas.)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
“Terimakasih telah mengingatkan, tetapi jika anda bisa menjadi
contoh akan lebih baik”. Wujud pragmatik tuturan terjadi di dalam
area pura tuturan terjadi saat ibadat mau dimulai MT dan PT bertemu
didepan pura ketika ingin sembayang PT mengangap pakaian MT
kurang pantas tujuan penutur agar MT menganti pakaiannya dengan
pakaian yang lebih pantas. Penanda linguistik intonasi yang digunakan
adalah perintah. Penutur berbicara menggunakan nada yang sedang.
Tekanan tuturan lunak. diksi tuturan adalah bahasa standart. Penanda
pragmatik tuturan terjadi pada waktu acara sembayang akan
belangsung di pura. Penutur merupakan seorang pemuka umat yang
berusia 67 tahun sedangkan, MT adalah seorang umat 26 tahun. tujuan
penutur menyindir MT dengan alasan menasehati agar mengunakan
pakaian adat yang pantas ketika beribadah. Maksud penutur
bermaksud menegur mitra tutur, namun hal itu disampaikan didepan
banyak orang. Hal tersebut yang membuat mitra tutur marasa malu.
Cuplikan tuturan D6
MT : Sudah mulai dari tadi ya?PT : “Bagaimana kamu ini tidak bisa menunggu kloter kedua ,
sembayang sudah mau selesai baru datang”.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di dalam area pura tuturan terjadisaat ibadat berlangsung MT datang dan langsung mengikutisembayang sambil bertanya dengan PT upacara sembayang sudahhampir selesai tujuan PT agar MT mengikuti sembayang yang kloterkedua
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
“Bagaimana kamu ini tidak bisa menunggu kloter kedua”, sembayang
sudah mau selesai baru datang. Wujud pragmatik tuturan terjadi di
dalam area pura tuturan terjadi saat ibadat berlangsung, MT datang
dan langsung mengikuti sembayang sambil bertanya dengan PT
upacara sembayang sudah hampir selesai tujuan PT agar MT
mengikuti sembayang yang kloter kedua. Penanda linguistik tuturan
memakai intonasi berita. Penutur berbicara dengan nada tinggi (sinis)
tekanan tinggi pada frasa bagaimana kamu ini. diksi yang dipakai
adalah bahasa nonstandar karena menggunakan istilah campuran tidak
baku. Penanda pragmatik tuturan terjadi didalam area pura tuturan
terjadi saat ibadat berlangsung MT datang dan langsung mengikuti
sembayang sambil bertanya dengan PT upacara sembayang sudah
hampir selesai tujuan PT agar MT mengikuti sembayang yang kloter
kedua. Maksud penutur bermaksud menegur terhadap mitra tutur
mengenai tindakan mitra tutur dalam menyambut hari besar, dan
tempat sudah penuh Tuturan ini berdampak pada mitra tutur yang
sangat malu karena hal itu disampaikan didepan banyak orang.
Cuplikan tuturan D7
MT :Brottt, tiutt (suara kentut)PT : “Tidak pernah diajari sopan santun ya”MT : Maaf kelepasan.(Konteks: Tuturan terjadi di dalam area pura tuturan terjadi saatibadat berlangsung PT merasa jengkel keduanya sama-sama sedangkhusuk sembayang tujuan PT agar jika MT merasa kentut hendaknyakeluar sebentar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Tidak pernah diajari sopan santun ya?”. Wujud pragmatik tuturan
terjadi di dalam area pura tuturan terjadi saat ibadat berlangsung PT
merasa jengkel keduanya sama-sama sedang khusuk sembayang
tujuan PT agar jika MT merasa kentut hendaknya keluar sebentar.
Penanda linguistik tuturan memakai intonasi tanya. Penutur berbicara
dengan nada yang keras. Tekanan keras pada frasa diajari! diksi yang
dipakai adalah bahasa nonstandar karena menggunakan istilah bahasa
Jawa. Penanda pragmatik tuturan terjadi di dalam area pura tuturan
terjadi saat ibadat berlangsung PT merasa jengkel keduanya sama-
sama sedang khusuk sembayang tujuan PT agar jika MT merasa
kentut hendaknya keluar sebentar. Maksud penutur bermaksud kesal
terhadap mitra tutur mengenai tindakan mitra tutur dalam ceramah.
Tuturan ini berdampak pada mitra tutur yang sangat malu karena hal
itu disampaikan di depan banyak orang.
4.1.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik
Berikut ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
menimbulkan konflik yang disajikan berdasarkan subkategori ketidaksantunan
dan disajikan dengan (1) wujud linguistik, (2) wujud pragmatik, (3) penanda
linguistik, (4) penanda pragmatik (konteks tuturan), dan (5) maksud
ketidaksantunan. Bousfield (2008:3) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and
conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’
Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ (gratuitous) dan
konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila
perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka dan ancaman terhadap muka
itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan
berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik atau bahkan
pertengkaran dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful),
maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan. Suatu tuturan
dalam kategori menimbulkan konflik terjadi bila penutur secara sengaja
mengucapkan suatu tuturan yang dapat menimbulkan konflik di antara penutur
dan mitra tutur. Hal inilah yang membuat suatu tuturan dalam kategori ini menjadi
tidak santun.
Subkategori Mengejek
Subkategori mengejek dalam menimbulkan konflik terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan disengaja seperti mengejek atau
meremehkan mitra tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung
karena tuturan tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini
contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori mengejek
Cuplikan tuturan E1
MT : Heh kamu yang keras dong suaranya jangan badan aja yangdigedein.
PT : “Dasar kurang ajar!”MT : Hahahaa semangat .
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
(Konteks tuturan : Tuturan terjadi ketika latihan tari disamping pura.MT merasa tersingung dengan ejekan penutur. Tuturan terjadi saatlatihan tari adat untuk digunakan dalam perayaan hari raya TujuanPT agar MT mengira PT marah tetapi sesunguhnya hanya bercanda.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Dasar kurang ajar!”. Wujud pragmatik tuturan disampaikan dengan
nada tinggi. Penutur terkesan mengejek mitra tutur. Tuturan yang
disampaikan penutur terkesan terlalu kasar. Penanda linguistik
tuturan memakai intonasi seru. Penutur berbicara dengan sedang.
tekanan yang digunakan tekanan keras diksi yang dipakai
menggunakan bahasa standar dengan kata-kata sehari-hari. Penanda
pragmatik tuturan terjadi saat perkumpulan pemuda-pemudi Hindu di
area asrama Hindu. Penutur memberi teguran kepada mitra tutur
dengan mengejek. Tindak verbal ekspresif, tindak perlokusi mitra
tutur menangapi sindiran penutur dengan nada kesal. Maksud penutur
bermaksud menegur karena kurang serius dalam latihan.
Cuplikan tuturan E3
MT : sudah lama aku tak pernah sembayang di pura.PT : Dasar kafirMT : memangya kamu selalu sembayang ke pura?(Konteks tuturan : Tuturan terjadi didepan Pura. Mitra tutur merasadirinya tidak rajin sembayang di Pure tetapi kata-kata penuturmembuat mitra tutur merasa tersingung.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“dasar kafir” Wujud pragmatik tuturan disampaikan dengan nada
sinis. Penutur terkesan megejek mitra tutur yang kurang rajin
beribadah di pura. Tuturan yang disampaikan penutur terkesan kurang
santun dan kasar. Penanda linguistik Tuturan memakai intonasi
berita. Penutur berbicara dengan tinggi dan sisnis. Tekanan yang
digunakan tekanan tinggi.. Diksi yang dipakai menggunakan bahasa
nonstandar. Penanda pragmatik tuturan terjadi di depan pura.
perkumpulan pemuda-pemudi Hindu di area asrama Hindu. Penutur
memberi teguran kepada mitra tutur dengan menyindir atas
keterlambatan mitra tutur. Tindak verbal representative, tindak
perlokusi mitra tutur menangapi tuturan penutur dengan pertanyaan
bernada kesal. Maksud penutur bermaksud asal bicara penutur yang
kurang rajin beribadat di pura.
Subkategori Menegaskan
Subkategori menegaskan dalam menimbulkan konflik terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan disengaja meremehkan mitra
tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan
tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan
yang termasuk dalam subkategori menegaskan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Cuplikan tuturan E2
MT: Siapa yang mengajarimu tarian seperti itu? (dengan wajah sinis)PT : “Ngapain pengen tau?”MT: Ndak, pengen tau aja.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di aula asrama Hindu. Penuturmerasa kesar atas perilaku mitra tutur. MT mengejek MT dengansindiran namun dalam suasana santai PT menyadari jika ia sedang diejek oleh MT)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut.Wujud linguistik
“Ngapain pengen tau?” Wujud pragmatik Tuturan disampaikan
dengan nada tinggi dan sinis. Penutur terkesan meremehkan mitra
tutur karena datang terlambat. Penanda linguistik Tuturan memakai
intonasi tanya. Penutur tinngi dan sinis, tekanan yang digunakan
tekanan tinggi, diksi yang dipakai menggunakan bahasa
nonstandar.Penanda pragmatik Tuturan terjadi di aula asrama Hindu.
Penutur merasa kesal atas pertanyaan sindirian aoleh mitra tutur.
Penutur menyadari bahawa dirinya sedang diejek oleh mitra tutur.
Tindak verbal: representatif. Tindak perlokusi: mitra tutur menangapi
tuturan penutur dengan pernyataan yang sedikit kesal. Maksud
penutur bermaksud kesal karena tariannya kurang baik.
Subkategori Mengancam
Subkategori mengancam dalam menimbulkan konflik terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan disengaja yang membuat mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
tutur merasa terancam. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk
dalam subkategori mengancam.
Cuplikan tuturan E4
MT : “lagi malas aku bantu- bantu membersihkan gamelanPT : “Besok kalau mati mayatnya mau dikubur sendiri”MT : hehehe capek aku.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi saat perkumpulan pemuda agamahindu tuturan terjadi di aula samping pura saat perkumpulanberlangsung tujuan PT agar MT mau membersihkan gamelan)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Besok kalau mati mayatnya mau dikubur sendiri.” Wujud
pragmatik tuturan terjadi saat perkumpulan pemuda agama hindu
tuturan terjadi saat perkumpulan berlangsung, tujuan PT agar MT mau
membantu membersihkan gamelan. Penanda linguistik tuturan
mengunakan intonasi seru. Penutur berbicara dengan nada sedang .
Tekanan keras pada frasa dikubur sendiri. Penanda pragmatik tuturan
terjadi saat perkumpulan pemuda agama hindu,penutur memberi
teguran berupa sindiran kepada mitra tutur agar mau membersihkan
gamelan sebelum gamelan digunakan untuk latihan. Maksud
penutur menakut nakuti mitra tutur yang menjawab perintahnya
dengan muka yang masam dan terkesan mengabaikan perintah dari
penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Subkategori Memperingatkan
Subkategori memperingatkan dalam menimbulkan konflik
terjadi karena penutur mengucapkan tuturan disengaja
memperingatkan dengan nada ketus, sehingga membuat mitra tutur
tersinggung karena tuturan tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur.
Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori
memperingatkan.
Cuplikan tuturan E5
MT : Serius banget sembayangnya.(sambil colek-colek)PT : “Kamu kalau ndak ganggu orang sembayang bisa ndak?”MT : Huh bgitu saja marah “(Konteks tuturan : Tuturan terjadi didepan pura saat sembayangberlangsungTuturan terjadi antara umat tujuan PT agar MT tidakmengulangi hal yang sama di kemudian hari.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“kamu kalau ndak ganggu orang sembayang bisa ndak?” Wujud
pragmatik tuturan terjadi didepan pura saat sembayang berlangsung
tuturan terjadi antara umat tujuan PT agar MT tidak mengulangi hal
yang sama dikemudian hari. Penanda linguistik tuturan memakai
intonasi tanya . Penutur berbicara dengan nada sedang. Tekanan keras
pada frasa kalo kamu ndak gangu. Diksi pada tuturan menggunakan
bahasa nonstandard yang memakai istilah bahasa Jawa. Penanda
pragmatik tuturan ini terjadi didalam pura ketika sembayangan sedang
dilaksanakan. Penutur laki laki berusia 27 tahun. MT laki-laki, berusia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
17 tahun. Penutur telah memperingatkan agar tidak menggangu karena
penutur sedang sembayang. Peringatan penutur membuat MT terusik
dan menasehati balik penutur. Tujuan penutur menasehati MT agar
tuturan penutur direnungkan terlebih dulu oleh penutur. Maksud
penutur merasa kesal karena dingangu oleh mitra tutur ketika sedang
sembayang.
Cuplikan tuturan E6
MT : Senari itu yang bagus jangan begituPT : “Itu motor saya ada kacanya”MT : Hehehehe(Konteks tuturan : Tuturan terjadi pada sore hari di lingkungan puratepatnya di aula saat latihan tari ,tuturan terjadi disela-sela istirahatpenutur merasa mitra tutur dalam menari masih kurang baik , penuturbertujuan agar mitra tutur ikut berlatih.)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Itu motor saya ada kacanya” Wujud pragmatik tuturan membuat
malu mitra tutur. Tuturan bersifat menyinggung mitra tutur tetapi
tidak menyadari bahwa tuturan telah menyingung. Tuturan
disampaikan dengan ketus/ sembrono karena mitra tutur dalam menari
masih kurang baik. Penanda linguistik tuturan menggunakan intonasi
berita. Penutur berbicara menggunakan nada sedang (sindiran).
Tuturan disampaikan dengan tekanan yang lunak. Penanda pragmatik
tuturan terjadi pada siang hari dilingkungan pura penutur
menyampaikannya di depan umat yang hadir.Tuturan penutur sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
sembrono karena tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tujuan
penutur menyuruh MT untuk memperbaiki gerakan agar terlihat lebih
bagus. Maksud penutur menyampaikan dengan maksud kesal, yakni
dengan mengunakan sindiran.
Subkategori Menyingung
Subkategori menyngung dalam menimbulkan konflik terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan disengaja seperti mengejek atau
meremehkan mitra tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung
karena tuturan tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini
contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori menyingung.
Cuplikan tuturan E7
MT : Adek kesini jangan lari-lari terus.(memangil anaknya)PT : Jangan terlalu memanjakanMT : Ya tak apa-apa toh itu anak saya satu-satunya.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi saat setelah sembayamh selesai PTmerasa terganggu saat sembayang MT merasa tersinggung saat PTmemperingatkan agar MT jagan terlalu memanjakan anaknya TujuanPT agar MT menasehati anaknya agar tidak bermain saat upacaraibadat)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Jangan terlalu memanjakan” Wujud pragmatik penutur tidak
menyadari bahwa ia berbicara pada orang yang lebih tua dari dirinya.
Penutur membuat mitra tutur merasa malu. Tuturan disampaikan
dengan cara yang sembrono. Penanda linguistik tuturan menggunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
intonasi seru. Penutur berbicara menggunakan nada sedang. Tuturan
disampaikan dengan tekanan yang lunak, diksi yang dipakai adalah
bahasa nonstandar, dengan memakai istilah bahasa Jawa. Penanda
pragmatik tuturan ini terjadi saat setelah selesai ibadah. Penutur
menyampaikan tuturannya dengan cara sinis. MT merasa dirinya
disalahkan sedangkan penutur merasa tidak bersalah MT menyanggah
tuturan penutur sehingga terjadi adu mulut, penutur hanya bermaksud
mengingatkan agar anak dididik sejak dini. Penutur tidak sadar bahwa
tuturannya membuat mitratutur merasa tersingung. Maksud penutur
menyampaikan dengan maksud mengingatkan, yakni dengan
menyimpulkan keadaan sekitar secara umum saja.
Cuplikan tuturan E8
MT :”Bukan gitu nadanya!PT : “Santai lho, bli” kita khan latihan wajar kl masih belum baik!”MT : Ya! Makanya dengarkan dulu kalau di beri contoh.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi saat latihan tari di asrama hindututuran terjadi saat latihan berlangsung mitra tutur merasatersingung dengan ucapan penutur tujuan penutur agar mitra tuturmendengarkan jika diberikan contoh)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Santai lho, bli” kita khan latihan wajar kl masih belum baik! Wujud
pragmatik penutur membuat mitra tutur merasa tersingung karena
penutur membenarkan nada yang salah ketika latihan tari berlangsung
sambil mulut bersuara nyayian. Tuturan yang disampaikan bersifat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
ketus. Penutur tidak menyadari bahwa tuturannya telah menyingung
mitra tutur. Penanda linguistik tuturan menggunakan intonasi seru.
Penutur berbicara menggunakan nada tinggi. Tuturan disampaikan
dengan tekanan yang keras, diksi yang dipakai adalah bahasa
nonstandar, dengan memakai istilah bahasa Jawa. Penanda pragmatik
Penutur menyampaikan tuturannya dengan cara sinis.MT merasa
dirinya disalahkan sedangkan penutur merasa tidak bersalah MT
meyanggah tuturan penutur sehingga terjadi adu mulut. Tuturan ini
terjadi saat diadakan latihan tari yang akan dipentaskan ketika hari
raya. Maksud penutur menyampaikan dengan maksud protes, yakni
dengan menyimpulkan keadaan sekitar secara umum saja.
Subkategori Mengumpat
Subkategori mengumpat dalam menimbulkan konflik terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan yang tidak pantas sehingga
membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan tersebut tidak
berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk
dalam subkategori mengumpat.
Cuplikan tuturan E9
PT : Nanti anda yang menjelaskan ya!MT : Ndak –ndak saya ndak bisa ! anda saja.MT : Tidak apa-apa silahkan,PT : Ubuan jeleme to(binatang orang itu) (kata kasar di ucapkan
lirih) ya sudah saya jawab sebisanya.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi didepan pura saat sering tuturanterjadi antara umat umat saling melempar tanggung jawab PT merasakesal karena MT asal menunjuk).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Ubuan jeleme to (binatang orang itu) (kata kasar di ucapkan lirih) ya
sudah saya jawab sebisanya. Wujud pragmatik tuturan membuat
mitra tutur merasa malu. Tuturan disampaikan dengan cara ketus
walaupun bersifat untuk menasehati. Tuturan tidak secara sengaja
namun penutur merasa bahan pembicaraan tidak cocok dibahas.
Penanda linguistik tuturan 'menggunakan intonasi seru, Penutur
berbicara menggunakan nada tinggi. Tekanan pada tuturan keras, diksi
yang dipaki adalah bahasa nonstandar dengan istilah bahasa daerah
Bali. Penanda pragmatik tuturan ini terjadi dilingkungan pura
tepatnya di aula . Penutur laki-laki, tujuan penutur tidak memiliki
maksud tertentu, penutur hanya memperingatkan MT untuk tidak
berbincang ketika ada yang sedang berbicara. Penutur
menyampaikannya didepan umat yang hadir. Tuturan penutur sangat
sembrono karena mengucapkan kata yang kurang pantas. Maksud
penutur menyampaikan dengan maksud asal bicara, karena penutur
juga merasa jengkel untuk membicarakan bahan pembicaraan yang
kurang pas dibenaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
4.2 Pembahasan
Hasil dari kajian yang dilakukan terhadap tuturan yang ada di dalam ranah
agama Hindu Wilayah Kota Madya Yogyakarta. Pada bagian ini, pembahasan
akan didasarkan pada tiga pokok rumusan masalah yang diangkat dalam
penelitian ini. Ketiga rumusan masalah tersebut meliputi wujud ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta
maksud ketidaksantunan penutur. Tuturan yang termasuk ke dalam tuturan yang
tidak santun tersebut terbagi menjadi lima kategori ketidaksantunan, yaitu (a)
melanggar norma, (b) mengancam muka sepihak, (c) melecehkan muka, (d)
menghilangkan muka, dan (e) menimbulkan konflik.
Tuturan diangap santun atau tidaknya suatu tergantung pada wujud tuturan
tersebut. Wujud ketidaksantunan tuturan tersebut dapat berupa wujud
ketidaksantunan linguistik dan wujud ketidaksantunan pragmatik. Wujud
ketidaksantunan linguistik merupakan hasil transkrip tuturan lisan yang tidak
santun, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik berkaitan dengan cara
penyampaian penutur saat mengatakan tuturan tidak santun tersebut.
Selain dilihat dari wujud linguistiknya, ketidaksantunan suatu tuturan juga
dilihat dari wujud pragmatiknya. Wujud ketidaksantunan pragmatik tuturan dalam
setiap kategori ketidaksantunan memiliki wujud yang berbeda dan wujud tersebut
menjadi ciri khas dari setiap kategori tersebut. Berikut ini adalah wujud
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik yang dikelompokan dalam lima kategori
ketidaksantunan, yaitu melanggar norma, mengancam muka sepihak, melecehkan
muka, menghilangkan muka, dan menimbulkan konflik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Tuturan terlihat dari santun tidaknya akan tampak dari wujud tuturannya itu
sendiri. Wujud ketidaksantunan suatu tuturan dapat dilihat dari tuturan lisan yang
dianalisis menggunakan segi linguistik dan pragamatik. Wujud ketidaksantunan
linguistik adalah hasil transkrip dari tuturan lisan yang tidak santun, sedangkan
wujud pragmatik adalah keterkaitan antara cara penyampaian tuturan yang tidak
santun oleh penutur.
Peneliti menemukan 30 tuturan tidak santun dari ranah agama Hindu yang
terdapat di Kota Madya Yogyakarta. Tuturan lisan yang diperoleh merupakan
hasil transkrip dan hal tersebut yang disebut dengan wujud linguistik. Tuturan
lisan yang diperoleh tersebut diklasifikasi dalam lima kategori ketidaksantunan,
yaitu melecehkan muka, menghilangkan muka, melanggar norma, menimbulkan
konflik, dan mengancam muka sepihak/ kesembroan yang disengaja.
Berikut merupakan wujud ketidaksantunan ditinjau dari aspek pragmatik.
Setiap kategori ketidaksantunan memiliki wujud yang berbeda dengan satu sama
lain sebagai ciri khas dari masing-masing kategori ketidaksantunan tersebut.
Kategori ketidaksantunan melanggar norma terdapat empat tuturan yang
terdapat dalam ranah ini. Kategori melanggar norma merupakan kategori tuturan
yang secara normatif dianggap negatif, karena dianggap melanggar norma-norma
sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu). Tuturan tersebut diwujudkan
dengan cara bertutur secara ketus dan sinis sehingga membuat mitra tutur merasa
malu dan merasa direndahkan. penutur yang merasa tidak bersalah meski telah
melanggar kesepakatan yang ada. Contoh tuturan yang terdapat pada kategori ini
adalah tuturan A1 dan A2 dari kedua tuturan tersebut, dapat dilihat bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
kategori ketidaksantunan melanggar norma ditandai dengan penutur yang tidak
merasa bersalah meski sudah melanggar peraturan yang telah disepakati, penutur
tidak mengindahkan teguran dari mitra tutur dan hal ini ditunjukkan dengan cara
penutur menanggapi mitra tutur, misalnya berbicara dengan kethus. Tanda-tanda
tersebut semakin tidak santun karena penutur bertindak demikian kepada orang
yang lebih tua.
Wujud ketidaksantunan tuturan (A1) ditunjukan dari penutur yang tidak
mengindahkan kesepakatan yang disepakati bersama dan (A2) ditunjukan dari
penutur yang tidak mengindahkan peraturan mematikan telepon genggam saat
ibadah berlangsung yang sudah disepakati oleh umat agama hindu yang sering
beribadah di pura tersebut dengan tidak merasa bersalah.
Ketidaksantunan mengancam muka sepihak. Tuturan yang ditemukan
adalah 4 tuturan. Wujud ketidaksantunan pragmatik pada kategori mengancam
muka sepihak. Berikut ini contoh tuturan dari kategori mengancam muka sepihak.
kedua tuturan tersebut, dapat ditemukan bahwa wujud ketidaksantunan
pragmatiknya ditandai dengan penutur yang tidak memperhatikan keadaan mitra
tutur dan siapa mitra tutur saat menuturkan suatu tuturan. (Pranowo, 2009:100–
101). Meskipun penutur tidak memiliki maksud untuk menyinggung mitra tutur,
mitra tutur akan tetap merasa tersinggung bila tuturan penutur tidak
memperhatikan keadaan mitra tutur dan siapa mitra tutur itu. Hal inilah yang
membuat tuturan yang dianggap oleh penutur biasa saja, tetapi bagi mitra tutur
tuturan tersebut tidak santun. pada tuturan (B1), wujud ketidaksantunan pragmatik
ditunjukan ketika penutur menegur mitra tutur saat ingin memasuki tempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
ibadah. Penutur tidak mempedulikan bagaimana latar belakang atau alasan
mengapa mitra tutur mengunakan pakaian yang dikenakan. Lain halnya dengan
penutur (B2) yang membuat mitra tutur kesal. Hal ini terjadi karena penutur
merasa kesal dengan umat yang berada di sekitar penutur yang asik berbicara
sendiri dan ketika itu nyaman sedang menjelaskan. Selanjutnya, wujud
ketidaksantunan pragmatik pada tuturan (B3) ditunjukan oleh penutur yang
berbicara dengan tidak memandang mitra tutur sambil mendorong pelan mitra
tutur supaya menjauh darinya. Hal ini dilakukan karena penutur merasa
terganggu oleh mitra tutur yang sedang membersihkan pura setelah digunakan
untuk ibadat namun situasi saat itu masih banayak umat yang berada di pura
tersebut. Walaupun penutur tidak memiliki maksud untuk menyinggung, mitra
tutur ternyata merasa hal yang dilakukan diangap bersalah dan tidak diinginkan.
Ketidaksantunan yang dilakukan oleh penutur (B4) mengancam mitra tutur,
berbicara dengan ekspresi datar, tanpa merasa takut ketika mengungkapkan alasan
jika tidak serius berlatih mitra tutur dipersilahkan pulang. Penutur tidak
menyadari bahwa tuturannya didengar oleh mitra tutur membuat mitra tutur
tersingung.meskipun dengan tujuan agar mitra tutur serius dalam berlatih. Hal-hal
inilah yang membuat tuturan-tuturan tersebut tidak santun.
Kategori melecehkan muka terdapat delapan tuturan yang tidak santun.
Kategori melecehkan muka merupakan tuturan yang disengaja sehingga membuat
mitra tutur merasa tersinggung, kecewa, dan malu. Wujud ketidaksantunan
pragmatik diperlihatkan dengan posisi penutur mengenai posisinya dan mitra
tutur. Tuturan tersebut pada umumnya disampaikan dengan cara yang sinis,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
sembrono maupun ketus. Wujud ketidaksantunan pragmatik yang selanjutnya
yaitu pada kategori melecehkan muka. Berikut ini contoh tuturan tidak santun
dalam kategori melecehkan muka.
Tuturan C1 dan C5 dapat dijadikan contoh dari wujud pragmatik kategori
ketidaksantunan melecehkan muka. Tuturan C1 menunjukan bahwa penutur
menyampaikan dengan sinis dan ketus pada mitra tutur. Penutur juga berbicara
dengan umat. Penutur juga membuat mitra tutur merasa malu karena disampaikan
di depan banyak orang dengan sindiran. Tuturan tersebut menyinggung mitra
tutur. Tuturan C5 tidak jauh berbeda dengan tuturan C1. Wujud pragmatik dari
tuturan ini juga disampaikan dengan cara yang sinis atau ketus. Penutur
mengungkapkan hal yang tidak pantas dalam beribadah mengunakan kalimat
sindiran hal Ini dapat mengakibatkan mitra tutur merasa jengkel atas tuturan mitra
tutur.
Kategori ketidaksantunan selanjutnya adalah kategori menghilangkan muka.
Kategori menghilangkan muka mengolongkan tuturan yang disengaja dan
membuat mitra tutur merasa tersinggung sampai mitra tutur merasa kehilangan
muka. Kategori ini terdapat tujuh tuturan yang tidak santun. Tuturan tidak santun
yang disengaja ditujukan kepada mitra tutur sangat menyinggung perasaannya.
Mitra tutur akan merasa tersinggung, bahkan sangat malu akan tuturan yang
disampaikan kepadanya. Wujud pragmatik dalam kategori ini dapat dicontohkan
D1 dan D3. Wujud pragmatik dari tuturan D1 yakni penutur menyampaikan
candaan tapi dengan kesan mengejek. Tuturan membuat malu mitra tutur karena
di sampaikan di banyak orang. Penutur menyampaikan dengan cara yang sinis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Berbeda dengan tuturan D3, penutur menyampaikan di depan banyak orang dan
membuat malu mitra tutur. Tuturan secara tidak langsung menghilangkan muka
mitra tutur didepan banyak orang saat mitra tutur datang terlambat. Tuturan akan
menyinggung perasaan mitra tutur.
Kategori yang terakhir adalah menimbulkan konflik merupakan kategori
dimana tuturan yang disengaja dan dilakukan secara sembrono hingga tuturan
tersebut menimbulkan konflik. Wujud ketidaksantuan yang terdapat dalam
kategoi ini adalah penutur yang berbicara pada orang yang lebih tua. Tuturan
disampaikan dengan cara ketus bahkan dengan nada yang keras. Kategori ini
terdapat sembilan tuturan yang tidak santun. Sebagai contoh tuturan itu yakni
tuturan E1dan E3. Ketika lawan tutur yang lebih tua dari penutur. Penutur juga
mempergunakan cara ketus dan keras dalam menyatakan tuturannya. Penutur
memperingatkan mitra tutur dengan sengaja. Hal ini menyebabkan mitra tutur
merasa jengkel atau marah.
Tuturan E1 yang diperlihatkan adalah penutur berbicara dengan orang yang
lebih tua. juga tidak jauh berbeda dengan tuturan E3. Tuturan disampaikan dengan
cara ketus. Penutur memperingatkan mitra tutur dengan sengaja. Penutur
berbicara . Penutur terkesan tidak hormat dengan mitra tutur serta merupakan
ejekan dengan kata-kata yang tidak sopan. Rahardi (2003:16−17) menjelaskan
mengenai ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur dalam
konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Maksud dalam KBBI
(Depdiknas, 2005) dapat diartikan sebagai yang dikehendaki; tujuan; niat; arti;
makna (dari suatu perbuatan, perkataan, peristiwa, dsb). Maksud ialah elemen luar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
bahasa yang bersumber dari pembicara, sedangkan informasi adalah elemen luar
bahasa yang bersumber dari isi tuturan. Maksud bersifat subjektif, sedangkan
informasi bersifat objektif (Wijana & Muhammad, 2008:2001). Oleh sebab itu,
maksud ketidaksantunan berarti sesuatu yang dikehendaki atau yang menjadi
niatan suatu perbuatan, perkataan, yang ada dalam diri penutur kepada mitra
tuturnya, karena maksud penutur melekat pada diri penutur itu sendiri, perlu
adanya konfirmasi langsung dari penutur mengenai maksud atau tujuan yang
terkandung dalam tuturannya. Maksud tersebut bisa bernilai positif maupun
negatif. Walaupun maksud dari penutur bersifar positif, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa tuturan yang dihasilkan berupa tuturan tidak santun.
Peneliti mendapatkan konfirmasi maksud dari penutur sebanyak dua belas
maksud dari 30 tuturan yang didapatkan Berikut ini adalah pembahasan dari
masing-masing maksud ketidaksantunan penutur. Maksud mengingatkan dalam
beberapa tuturan berikut berupa penyamaan persepsi antara penutur dengan mitra
tutur. Tujuan dari maksud tersebut agar mitra tutur mengetahui hal yang dihadapi
seiring dengan konteks yang sedang berlangsung. Tuturan tidak santun yang
digunakan penutur dengan maksud mengingatkan ada pada tuturan B4, C3, C4,
C5, D3, D4 dan E2. Berikut pembahasan mengenai masing-masing tuturan.
Tuturan B4 yang terdapat dalam kategori mengancam muka sepihak
mempunyai maksud mengingatkan karena penutur mempunyai maksud untuk
berlatih lagi dengan lebih giat. Nada yang digunakan oleh penutur ketika
mngucapkan tuturan adalah tinggi. Penutur juga mengancamkan mitra tutur agar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
memperhatikan yang penutur tuturkan. Hal tersebut ditandai dengan frasa “Yang
tidak serius, silakan pulang!”
Tuturan C3 yang dilakukan oleh penutur pada mitra tutur memiliki maksud
mengingatkan ditandai dengan konteks yang sedang terjadi dalam tuturan
tersebut. Penutur merasa jengkel karena ejekan dari mitra tutur. Penutur
menanggapi ejekan tersebut dengan mengingatkan mitra tutur tentang hukum
karma yang akan diterima mitra tutur suatu saat nanti. Maksud mengingatkan
pada tuturan C4 yang ada dalam kategori melecehkan muka merupakan suatu
khotbah dalam proses peribadahan. Tuturan ini memiliki maksud mengingatkan
yang dikemas berupa tuturan sindiran pada semua umat yang ada dalam Pura.
Maksud mengingatkan terdapat pada frasa “kita harus menghargai waktu sebaik
mungkin”. Pada tuturan C5 maksud mengingatkan ditandai dengan frasa dan
istilah “adanya punarbawa dan karmapala”. Kondisi situasional saat terjadinya
tuturan tersebut sama dengan tuturan C4, dimana saat khotbah berlangsung.
Penutur yakin bahwa kehidupan manusia akan mengalami gejolak atau hokum
sebab-akibat.
Tuturan D3 dalam kategori menghilangkan muka bermaksud
mengingatkan ditandai pada frasa “sudah pukul berapa ini?”. Penutur berusaha
mengingatkan mitra tutur karena sering datang tidak tepat waktu dalam suatu
pertemuan kegiatan keagamaan. Penutur ingin memberikan dampak jera terhadap
mitra tutur. Tuturan tersebut menyebabkan mitra tutur malu karena disampaikan
di depan teman-teman dari mitra tutur. Pada kategori menghilangkan muka yang
bermaksud mengingatkan lainnya, yakni tuturan D4. Tuturan D4 merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
tuturan yang dilakukan oleh penutur, dengan perasaan kesal karena kondisi
situasional dalam tuturan itu sedang hening. Tuturan itu bermaksud mengingatkan
sama halnya dengan tuturan D3, yakni memberikan efek jera pada mitra tutur dan
melakukan sikap yang seharusnya dilakukan saat sembayang berlangsung.
Tuturan E2 yang digolongkan pada kategori menimbulkan konflik/
kesembronoan yang disengaja memiliki maksud mengingatkan ditandai dengan
sikap penutur yang menyampaikan tuturan secara datar. Penutur tidak
mempedulikan tuturan mitra tutur yang sebenarnya menyinggung perasaan dari
penutur. Penutur menyadari jika mitra tutur sedang mengejeknya, namun dia
hanya menanggapi dengan santai dengan maksud mengingatkan mitra tutur secara
tidak langsung.
Pada penelitian ini, tuturan dengan maksud menegur, terdapat dalam
kategori mengancam muka sepihak dan kategori melecehkan muka. Dalam
kategori mengancam muka sepihak ada pada tuturan B1, B2, dan B3, sedangkan
pada kategori melecehkan muka ditandai dengan tuturan C6. Berikut pembahasan
tuturan-tuturan yang mengandung maksud protes, dikedua kategori tersebut.
Maksud menegur di tuturan B1 dilihat berdasarkan frasa “ Kalau mau
sembayang itu pakai baju yang pantas”. Tuturan tersebut merupakan suatu
teguran pada mitra tutur yang memakai baju yang tidak pantas saat akan
mengikuti upacara keagamaan. Mitra tutur berdalih merasa terancam tidak dapat
mengikuti sembayang karena tuturan dari penutur. Teguran dari penutur membuat
mitra tutur menjalani proses peribadahan dengan perasaan terbebani karena
pakaian yang dikenakannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Penutur bermaksud menegur dalam tuturan B2, karena kondisi yang riuh
ketika proses sarasehan keagamaan setelah selesai sembayang. Penutur merasa
terganggu karena ingin mendengarkan tanggapan dari salah satu peserta
sarasehan. Frasa yang menjadi maksud menegur, yakni “Tolong diam!” yang
disampaikan dengan tekanan yang keras. Pada tuturan B3 maksud menegur dilihat
pada frasa “Tolong hormati yang sedang sembayang!”. Tuturan ini disampaikan
penutur karena kondisi situasional, di mana sedang diadakan membersihkan Pura
bersamaan dengan beberapa tokoh keagaman yang sedang melakukan
sembayangan. Maksud menegur dalam tuturan C6 juga terlihat berdasarkan frasa
“Cobalah hargai orang yang sedang berbicara”, seperti pada tuturan B2 dan B3.
Tujuan penutur mengucapkan tuturan tersebut adalah untuk menarik perhatian
dari khalayak dalam khotbah keagamaan.
Tuturan yang mempunyai maksud bercanda dan digunakan oleh penutur,
yakni tuturan C2 yang ada dalam kategori melecehkan muka. Tuturan yang
bermaksud bercanda dalam kategori menimbulkan konflik/ kesembronoan yang
disengaja, terdapat pada tuturan E1, E3, dan E4. Berikut pemaparan tuturan-
tuturan dengan maksud bercanda. Tuturan C2 yang ada dikategorikan dalam
melecehkan muka memilki maksud bercanda karena penutur menyampaikannya
secara tidak langsung dan terkesan merendahkan mitra tutur. Penutur
mengucapkan tuturan tersebut disebabkan mitra tutur berusia lebih tua dari
penutur. Kondisi situasional saat tuturan berlangsung adalah obrolan candaan
mengenai kehidupan yang dihadapi oleh penutur dan mitra tutur. Antara penutur
dan mitra tutur sudah sangat akrab, sehingga penutur tidak merasa canggung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
ketika melontarkan tuturan tersebut. Dalam tuturan E1 yang berada pada kategori
ketidaksantunan menimbulkan konflik, maksud bercanda ditandai dengan frasa
ejekan dari mitra tutur “yang keras dong suaranya, jangan badan aja yang
digedein”. Hal tersebut memicu kekesalan penutur sehingga merespon mitra tutur
dengan menuturkan tuturan E1. Hubungan antara mitra tutur dan penutur adalah
teman sepermainan, jadi mereka sudah akrab satu sama lain.
Konteks situasional dalam tuturan E3 adalah dalam kondisi yang santai.
Pelaku tuturan E1 dilakukan oleh penutur dan mitra tutur yang sama. Penutur
menuturkan tuturan tersebut secara semena-mena. Mitra tutur merasa tersinggung
dengan pernyataan dari penutur, dimana mitra tutur merasa sudah lama
sembayang dan rajin datang ke Pura, namun menerima tanggapan yang
bermaksud candaan dan disampaikan secara sinis dari penutur. Tuturan E4
mempunyai maksud bercanda karena dalam tuturan itu terlihat pernyataan
sindiran dari penutur ke mitra tutur. Penutur merasa kesal terhadap mitra tutur
yang selalu mengeluh saat membersihkan gamelan di lingkungan Pura. Penutur
menyampaikan dengan ketus, tapi mitra tutur tidak mempedulikan tuturan dari
penutur. Maksud introspeksi diri merupakan sikap menyadari atau penilaian
terhadap diri sendiri mengenai kekurangan serta kesalahan tentang ketidakpuasan
material ataupun jasmaniah. Sikap introspeksi diri juga mendorong seseorang
untuk melakukan perubahan ke dalam kehidupan yang lebih baik. Penelitian ini
mengupas tuturan tidak santun yang memiliki maksud introspeksi diri yang
ditujukan pada mitra tutur. Tuturan yang dikupas adalah tuturan C8 dalam
kategori melecehkan muka, tuturan D2, D5 dalam kategori menghilangkan muka,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
dan tuturan E6 dikategori menimbulkan konflik/ kesembronoan yang disengaja.
Berikut pembahasan masing-masing tuturan mengenai maksud introspesi diri.
Tuturan C8 yang mengandung maksud introspeksi diri dilihat dari
frasanya, yakni ”lihat dirimu sebelum berkomentar”, secara jelas bahwa mitra
tutur disuruh untuk introspeksi diri terhadap yang dia ucapkan sebelumnya.
Tuturan D2 juga bermaksud introspeksi diri, karena dalam anggapan dari penutur,
pernyataan dari mitra tutur belum tentu benar. Tuturan tersebut bertujuan agar
mitra tutur introspeksi diri bahwa pemuka agama juga makhluk Tuhan yang juga
memiliki kesalahan dalam hidupnya.
Tuturan D5 bermaksud introspeksi diri karena penutur berusaha diingatkan
oleh mitra tutur namun, dia tidak terima dengan ungkapan dari mitra tutur.
Penutur berusaha membela diri yang diatandai dalam frasa “tetapi jika anda bisa
menjadi contoh akan lebih baik.” Tuturan E6 bermaksud introspeksi diri karena
penutur merasa tersinggung sebab dikritik oleh mitra tutur mengenai caranya
menari. Penutur menganggap tarian yang dilakukannya sangat susah, dan belum
tentu mitra tutur mampu melakukan secara baik. Tuturan E6 adalah perintah
introspeksi diri pada mitra tutur untuk berkaca terlebih dahulu sebelum mengkritik
penutur. Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang kesal karena ungkapannya
tidak tercapai sesuai kehendak ataupun oleh alasan tertentu. Berkaitan dengan
penelitian ini, sikap dan maksud kesal yang ditujukan oleh penutur terhadap mitra
tutur terdapat pada tuturan D6, D7, dan E7. Berikut pembahasan dari tuturan yang
terdapat dalam kategori menghilangkan muka dan menimbulkan konflik/
kesembronoan yang disengaja. Kekesalan dari penutur dalam tuturan D6 karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
tuturan dari mitra tutur yang merasa dirinya tidak bersalah. Tuturan D6
bermaksud kesal ditandai dalam frasa “Menunggu kloter kedua, sembayang sudah
mau selesai baru datang.”
Tuturan D7 merupakan kejengkelan penutur terhadap sikap yang tidak
sopan dari mitra tutur. Tuturan dari penutur juga membuat mitra tutur merasa
sangat malu karena tindakannya. Dalam tuturan E7 yang bermaksud kesal
hubungan antara penutur dan mitra tutur adalah suami-istri. Penutur adalah suami
sedangkan istri adalah mitra tutur. Kondisi yang terjadi adalah ketika anak dari
penutur dan mitra tutur sedang bermain dan berjalan ke belakang mitra tutur tanpa
pengawasan dari keduanya. Dalam tuturan E7, penutur merasa kesal karena mitra
tutur berteriak memanggil anaknya. Hal tersebut membuat penutur merasa malu
dan melontarkan tuturan tersebut pada mitra tutur.
Tuturan tidak santun yang mempunyai maksud menasehati ada dalam
kategori melecehkan muka dan menimbulkan konflik. Maksud menasehati di
kategori melecehkan muka ditandai pada tuturan C1, sedangkan dalam kategori
menimbulkan konflik terjadi pada tuturan E5. Berikut pembahasan mengenai
tuturan-tuturan tidak santun yang mengandung maksud menasehati. Pada tuturan
C1 yang bermaksud menasehati adalah wejangan yang diberikan penutur pada
mitra tutur tentang memaknai rasa syukur yang diberikan oleh Tuhan. Penutur
bermaksud menasehati dan menambahkan pernyataan dari mitra tutur.
Hubungan antara penutur dan mitra tutur dalam tuturan E5 adalah kakak-
adik. Kondisi yang sedang berlangsung dalam tuturan tersebut, mana kala penutur
sedang khusyuk menjalankan ibadah, dan diganggu oleh mitra tutur, yakni
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
adiknya. Penutur merasa sangat kesal karena adiknya yang masih anak-anak.
Penutur berusaha menasehati dengan nada yang lirih/rendah.
Tuturan tidak santun yang terdapat maksud supaya tidak dimarahi ditandai
dalam kategori melanggar norma. Tuturan tersebut adalah tuturan A1. Berikut
penjelasan maksud supaya tidak dimarahi pada tuturan tersebut. Tuturan A1
adalah sikap pengalihan perhatian yang dilakukan oleh penutur. Penutur
menyadari bahwa dia salah karena telah datang terlambat ke suatu pertemuan
keagamaan. Penutur juga sadar jika dia akan dimarahi ketika dia tidak datang.
Dalam pemahamannnya lebih baik datang walaupun terlambat.
Maksud asal bicara yang disampaikan oleh penutur, berupa umpatan atau
gerutu. Hal tersebut dilakukan penutur secara sadar dan tanpa memperhatikan
situasi sekitar. Tuturan dengan maksud asal bicara dalam penelitian ini terdapat
pada tuturan A2 dalam kategori melanggar norma. Berikut cuplikan tuturan
tersebut.
Tuturan A2 yang memiliki maksud asal bicara merupakan tuturan serta
tindakan dari penutur dengan menerima panggilan telepon saat sembayang sedang
berlangsung. Penutur lupa dan secara tidak sadar mengangkat panggilan tersebut.
Penutur merasa malu sehingga berjalan keluar dari lokasi ibadah.
Penutur dalam berinteraksi dengan mitra tutur sering mempunyai maksud
untuk memberikan gagasan ataupun wejangan. Hal tersebut bertujuan agar mitra
tutur dapat menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya. Tuturan yang
mengandung maksud memberikan motivasi terdapat pada C7. Berikut cuplikan
dan pembahasan maksud motivasi. Dalam tuturan C7 yang bermaksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
memberikan motivasi ditandai pada frasa “Jangan biarkan niatmu yang suci
dihalangi oleh alam”. Hal tersebut disampaikan oleh penutur di sesi khotbah
keagamaan. Interaksi antara penutur dan mitra tutur dalam tuturan D1
mempunyai maksud meremehkan. Tuturan D1 ada dalam kategori menghilangkan
muka. Berikut penjelasan maksud meremehkan di dalam tuturan tersebut.
Tuturan D1 merupakan tuturan yang bermaksud meremehkan mitra tutur
karena timbul pertentangan persepsi antara penutur dan mitra tutur. Tuturan
dilakukan saat acara sarasehan keagamaan. Mitra tutur sudah menyampaikan
gagasan secara jelas, tapi hanya ditanggapi secara kurang berkesan oleh penutur.
Tuturan tidak santun dengan maksud kecewa ditandai dalam kategori
menimbulkan konflik/ kesembronoan yang disengaja, yakni tuturan E9. Berikut
pemaparan mengenai tuturan tidak santun tersebut.
Tuturan E9 yang bermaksud kecewa dilihat dari penutur yang tidak ingin
disuruh oleh mitra tutur. Mitra tutur mempersilakan penutur untuk menjelaskan
materi ibadah yang akan dijadikan untuk bahan khotbah di pertemuan kegamaan.
Penutur merasa kecewa karean dia belum siap mempelajari materi dan
mengembangkan materi yang tersedia.
Maksud protes yang disampaikan oleh penutur berupa ketidaksepahaman
tentang suatu kesepakatan bersama. Tuturan yang mempunyai maksud protes
terdapat dalam kategori menimbulkan konflik, dalam tuturan E8.
Tuturan E8 adalah pernyataan sanggahan dari penutur ke mitra tutur.
Penutur merasa kesal terhadap mitra tutur yang menyampaikan tuturan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
nada yang tinggi. Penutur menanggapinya dengan kesal juga, mendengar tuturan
dari mitra tutur.
Penanda ketidaksantunan linguistik dilihat dari unsur segmental dan
suprasegmental suatu kalimat atau tuturan, sedangkan penanda ketidaksantunan
pragmatik dilihat dari konteks tuturan tersebut. Berikut merupakan penanda
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik yang tersaji dalam lima jenis kategori
ketidaksantunan. Marsono (2008: 115) menyebutkan bahwa penanda
ketidaksantunan linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu unsur segmental dan unsur
supra segmental. Unsur segmental merupakan penanda ketidaksantunan linguistik
yang terdiri dari partikel atau kata fatis, dan diksi, sedangkan bunyi
suprasegmental ialah bunyi yang menyertai bunyi segmental. Unsur
suprasegmental terdiri atas intonasi, tekanan dan nada. Berikut merupakan
pembahasan dari masing-masing unsur segmental dan suprasegmental.
Intonasi adalah panjang atau kuantitas lamanya bunyi diucapkan. Intonasi
juga berperan dalam pembedaan maksud kalimat. Dasar dari pola-pola intonasi
dalam kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya
(interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Kalimat berita (deklaratif) ditandai
dengan pola intonasi datar-turun. Kalimat tanya (interogatif) ditandai dengan pola
intonasi datar-naik. Kalimat perintah (imperatif) ditandai dengan pola intonasi
datar-tinggi (Muslich, 2009:115−117). Selain ketiga pola intonasi kalimat
tersebut, Keraf (1991: 208) juga menambahkan satu pola kalimat, yaitu kalimat
seru. Kalimat seru merupakan kalimat yang menyatakan perasaan hati,
kekaguman, atau keheran terhadap suatu hal. Kalimat ini biasanya ditandai oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
kata-kata atau ungkapan-ungkapan tertentu: sungguh, alangkah, betapa, dan dapat
juga dinyatakan dengan intonasi yang lebih tinggi dari kalimat inversi.
Penanda linguistik dan pragmatik dalam kategori melanggar norma tampak
pada tuturan A1 dan A2 yang diklasifikasikan ke dalam intonasi tanya. Tuturan
A1 bermaksud untuk menegasan pertanyaan penutur apakah ibadat sudah dimulai
dari tadi. Begitu pula dengan tuturan A2, penutur ber maksud untuk bertanya
sekaligus menegaskan bahwa penututur sedang melakukan sembayang sehingga
tidak bisa diganggu.
Unsur segmental berikutnya adalah nada. Menurut Achmad & Alek
(2013:33−34), nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu
bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan
disertai dengan nada tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi
getaran rendah,tentu akan disertai juga dengan nada rendah. Dalam hal ini
biasanya dibedakan adanya empat macam nada, yaitu: (1) Nada yang paling
tinggi, diberi tanda dengan angka 4; (2) Nada tinggi, diberi tanda dengan angka 3;
(3) Nada sedang atau biasa, diberi tanda dengan angka 2; dan (4) Nada rendah,
diberi tanda dengan angka 1. Tuturan A1 dan A2 pada kategori ini menggunakan
nada sedang.
Tekanan merupakan hal yang menyangkut masalah keras lunaknya bunyi.
Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga
menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras.
Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang
tidak kuat sehingga amplitudonya menyempit, pasti dibarengi dengan tekanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
lunak. Tekanan ini mungkin terjadi secara sporadis, mungkin juga telah berpola,
mungkin juga bersifat distingtif, dapat membedakan makna, mungkin juga tidak
distingtif (Achmad & Alek, 2013:33−34). Pada kategori ini tuturan A1,
menggunakan tekanan lunak karena penutur tidak merasa bersalah kepada mitra
tutur padahal iaterlambat. Berbeda dengan tuturan A1, tuturan A2 menggunakan
tekanan keras pada frasa ada apa dan lagi sembayang sekalipun dengan berbisik.
Kridalaksana (1986:113) mengelompokkan partikel di dalam kategori fatis.
Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau
megkukuhkan pembicaraan antara pembicaa dan kawan bicara. Sebagian besar
kategori fatis merupakan ciri ragam lisan. Karena ragam lisan pada umumnya
merupakan ragam nonstandar, kebanyakan kategori fatis terhadap dalam kalimat-
kalimat nonstandar yang menggunakan kata tidak baku. Partikel yang ada pada
kategori ini terjadi pada tuturan A1, yaitu ya.
Menurut Pranowo (2009:77), diksi atau pilihan kata merupakan salah satu
penentu kesantunan dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Ketika
seorang sedang bertutur, kata-kata yang digunakan, dipilih sesuai dengan topik
yang dibicarakan, konteks pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang
disampaikan dan sebagainya. Diksi yang dipakai pada kategori melanggar norma
adalah bahasa nonstandar. Hal ini dapat dilihat dari adanya partikel ya pada
tuturan A1 dan kata lagi pada tuturan A2 yang menunjukkan ketidakbakuan
bahasa.
Leech (dalam Rahardi, 2007:19-22) menjelaskan bahwa tuturan tidak
santun yang dilihat dari segi pragmatik, penandanya didasarkan pada konteks
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
tuturan itu sendiri. pemaparan konteks situasi pertuturan menjadi lima bagian,
yaitu (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tutur, (4) tuturan
sebagai bentuk tindakan, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.
Tuturan A1 terjadi antara penutur dan mitra tutur yang yang merupakan
sesama umat Hindu. Konteks situasi yang timbul dari tuturan tersebut adalah
adanya kesepakatan waktu antara penutur dan mitra. Penutur melanggar
kesepakatan waktu dengan datang terlambat. Tuturan yang disampaikan oleh
penutur menandakan seolah-olah penutur lupa akan waktu yang telah disepakati
sebelumnya. Menyinggung perasaan mitra tutur. Tuturan disampaikan dengan
maksud untuk menegaskan bahwa ibadat sudah mulai ketika dia belum datang.
Tujuan tuturan adalah agar mitra tutur tidak menyalahkan penutur yang terlambat.
Tindak tutur tuturan adalah representatif. Tindak perlokusi yang tampak setelah
tuturan disampaikan yaitu mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan
pertanyaan yang sedikit kesal.
Tuturan A2 terjadi antara sesama umat Hindu yang ada di dalam pura saat
ibadat berlangsung. Konteks situasi yang timbul dari tuturan tersebut adalah
adanya peraturan untuk mematikan alat komunikasi atau handphone ketika ibadat
berlangsung. Pada saat itu, penutur melanggar aturan tersebut sehingga ketika ada
panggilan masuk handphone penutur berbunyi. Tuturan yang disampaikan oleh
penutur menandakan seolah-olah penutur baru ingat bahwa handphone-nya belum
dimatikan dan untuk menutupi rasa malunya, penutur bersikap biasa saja. Tuturan
disampaikan dengan maksud untuk menegaskan bahwa penutur sedang
sembayang sehingga tidak bisa diganggu. Tujuan tuturan adalah agar mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
yang meneleponnya mengerti dan bisa menghubungi penutur lagi ketika ibadat
sudah selesai. Tindak tutur tuturan adalah ekspresif dan tindak perlokusi yang
tampak setelah tuturan disampaikan yaitu mitra tutur yang juga sedang mengikuti
ibadat merasa terganggu.
Analisis unsur segmental dalam kategori mengancam muka sepihak
digunakan juga untuk mengetahui penanda ketidaksantunan linguistik pada
keempat tuturannya.Tuturan B1 dan B3 diucapkan dengan nada sedang,
sedangakan tuturan B2 dan B4 diucapkan dengan nada tinggi. Berdasarkan
intonasi tuturan, tuturan B1, B2, B3, dan B4 menggunakan intonasi perintah.
Intonasi perintah terdapat pada keempat tuturan tersebut karena keempat tuturan
tersebut memiliki tujuan untuk memerintah mitra tutur melakukan sesuatu.
Pada kategori ini, tekanan keras terdapat pada tuturan B2 dan B4. Tekanan
pada tuturan B2 terdapat pada frasa tolong diam. Tekanan pada tuturan B4
terdapat pada frasa pakai silahkan pulang. Selain tekanan keras, terdapat pula
tekanan lembut yang terpadat pada tuturan B1 dan B3. Diksi yang digunakan pada
keempat tuturan kategori ini adalah bahasa nonstandar. Pada keempat tuturan
tersebut, penanda pragmatik didasarkan pada konteks tuturannya. Tuturan B1
terjadi antara sesama umat Hindu di pintu masuk pura. Penutur yang melihat
pakaian mitra tutur kurang pantas dipakai ketika sembayang mencoba menegur
mitra tutur. Tuturan ini menjadi tidak santun karena penutur menyampaikan
dengan sinis. Tuturan ini memiliki maksud supaya mitra tutur tersindir dan dapat
lebih memperhatikan cara berpakaiannya ketika sembayang. Tindak verbal yang
terdapat dalam tuturan ini adalah representatif. Tujuan dari tuturan penutur adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
supaya mitra tutur mengganti pakaian yang sedang dipakai dengan pakaian yang
lebih pantas untuk sembayang. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah mitra
tutur menanggapi penutur dengan pernyataan yang sedikit kesal.
Penanda pragmatik pada tuturan B2 terjadi antara umat Hindu di area pura
setelah selesai ibadat. Tujuan dari tuturan adalah penutur memperingatkan mitra
tutur supaya dapat bersikap menghargai orang yang sedang berbicara dengan tidak
bicara sendiri. Berdasarkan tuturan tersebut, tindak verbal yang tampak adalah
tindak verbal komisif. Tindak perlokusi atas tuturan yang terjadi adalah mitra
tutur bergumam terhadap tuturan penutur.
Seperti tuturan B2, tuturan B3 juga terjadi antara umat Hindu di area pura.
Tuturan mempunyai konteks yang mengandung hal menyindir mitra tutur. Tujuan
dari tuturan adalah penutur menyindir mitra tutur supaya tidak mengganggu orang
yang sedang sembayang. Tindak perlokusi atas tuturan yang disampaikan adalah
mitra tutur bergumam tidak senang mendengar tuturan penutur. Tindak verbal
yang tampak dari tuturan ini adalah komisif.
Tuturan B4 pun terjadi antara umat Hindu dan terjadi saat latihan tarian adat
di aula asrama umat Hindu. Tuturan ini menjadi tidak santun karena penutur
menunjukkan rasa jengkelnya kepada mitra tutur secara langsung. Tujuan tuturan
ini adalah penutur berharap mitra tutur dapat berlatih dengan serius. Tindak verbal
dari tuturan ini adalah komisif. Tindak perlokusi yang muncul adalah mitra tutur
bergumam terhadap tuturan penutur karena juga merasa kesal.
Penanda ketidaksantunan linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu unsur
segmental dan unsur supra segmental. Unsur segmental sebagai penanda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
ketidaksantunan linguistik terdiri dari partikel atau kata fatis, dan diksi. Bunyi
suprasegmental ialah bunyi yang menyertai bunyi segmental (Marsono,
2008:115). Unsur suprasegmental terdiri dari intonasi, tekanan dan nada. Berikut
merupakan pembahasan dari masing-masing unsur segmental dan suprasegmental.
Intonasi dikenal juga sebagai panjang atau kuantitas lamanya bunyi diucapkan.
Intonasi juga berperan dalam pembedaan maksud kalimat. Dasar dari pola-pola
intonasi dalam kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat
tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Kalimat berita (deklaratif)
ditandai dengan pola intonasi datar-turun. Kalimat tanya (interogatif) ditandai
dengan pola intonasi datar-naik. Kalimat perintah (imperatif) ditandai dengan pola
intonasi datar-tinggi (Muslich, 2009:115−117). Keraf juga menambahkan kalimat
seru dalam pola intonasi kalimat. Kalimat seru merupakan kalimat yang
menyatakan perasaan hati, kekaguman, atau keheran terhadap suatu hal. Kalimat
ini biasanya ditandai oleh kata-kata atau ungkapan-ungkapan tertentu: sungguh,
alangkah, betapa, dan dapat juga dinyatakan dengan intonasi yang lebih tinggi
dari kalimat inversi (Keraf, 1991:208). Berikut merupakan pembahasan
selanjutnya mengenai penanda ketidaksantunan linguistik yang dipaparkan
berdasarkan intonasinya.
Penanda linguistik ini terdapat pada kategori ketidaksantunan melecehkan
muka, yaitu tuturan C1, C2, C3, C4, C5, C6, C7, dan C8. Intoasi yang digunakan
pada kalimat C1, C3, C4, C5, C6, C7, dan C8 merupakan intonasi perintah
sedangkan pada C2 merupakan intonasi tanya. Intonasi perintah pada tuturan C1
dengan maksud menasehati mitra tutur dengan kalimat yang halus mengunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
sindiran.Tuturan C2 dan C4 memiliki maksud menyindir mitra tutur agar mitra
tutur bersikap seperti yang dikehendaki oleh penutur. Perbedaan dari tuturan
tersebut adalah tuturan C2 bermaksud menyindir dengan sifat untuk menasehati
mitra tutr, sedangkan tuturan C4 menyindir mitra tutur dengan alasan bercanda
untuk menolak hal yang ingin dijelaskan oleh penutur. Tuturan ini bermaksud
sindiran untuk mitra tutur agar segera bergegas menyesuaikan kegiatan yang
diinginkan penutur.tuturan pada C8 juga merupakan sindiran kepada mitra tutur
dengan maksud agar mitra tutur dapat intropeksi diri bahawa ia harus sesui
dengan yang diucapkanya. Tuturan C3 dan C5 mempunyai maksud
memperingatkan. Tuturan C6 mempunyai maksud teguran terhadap mitra tutur
untuk dapat mengahargai orang lain yang sedang berbicara sedangkan pada C7
penutur berusaha mengingatkan mitra tutur agar selalu melakukan kewajiban
sebagai umatyang beragama.tuturan tersebut diangap tidak sopan dan melecehkan
muka karena tuturan tersebut dapat membuat mitra tutur merasa tersingung dan
merasa malau karena prnutur menyampaikan tuturannya dihadapan orang banayak
ketika berkotbah saat sembayang berlangsung.
Tuturan yang mengandung intonasi berita yang terdapat dalam kategori
menghilangkan muka, yaitu tuturan D1 dan D6. Tuturan D1 memilki maksud
meremehkan mitra tutur dengan situasi bercanda, sedangkan tuturan D6 memiliki
maksud memperingatkan dengan menyindir tentang tingkah laku mitra tutur.
Tuturan D6 memiliki intonasi berita dengan tekanan keras , dimana tuturan
tersebut bermaksud untuk mitra tutur agar sadar dalam tindakan yang
dilakukannya dan bergegas menyesuaikan kegiatan yang sedang dialaminya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Tuturan D2, D3 dan D7 diklasifikasikan dalam nada sedang. Tekanan keras
ditunjukan pada tuturan D4dan D5. Pada tuturan D2 ditinjau dari penutur dan
mitra tutur, penutur adalah seorang umat sedangkan mitra tutur adalah seorang
pemuka agama tuturan tersebut terjadi ketika dalam forum diskusi setelah selesai
sembayang di dalam lingkungan pura. Penutur bertanya karena penutur merasa
tersingung dengan tuturan mitra tutur yang diangap oleh penutur telah
menghilangkan muka penutur. Tuturan D3 dan D7 keduanya mempunyai
kesamaan intonasi tanya serta mengunakan nada yang sedang dan lembut namun
merupakan sebuah sindiran kepada mitra tutur , pada situasi D3 mitra tutur datang
terlambat pada saat perkumpulan, sehingga penutur melontarkan kata tanya
dengan nada lembut disertai sindiran kepada mitra tutur namun hal tersebut secara
tidak langsung telah menghilangkan muka mitra tutur karena hal tersebut
dikatakan didepan banyak umat lain. Pada D7 mitra tutur tidak sengaja buang gas
dengan mengeluarkan bunyi penutur dengan sepontan mengucapkan kata tanya
kepada mitra tutur dihadapan umat lain yang membuat mitra tutur measa malu.
Tindak perlokusi yang timbul atas tuturan tersebut berupa mitra tutur merasa malu
karena mendengar ucapan dari penutur.
Tuturan D4 dan D5 terjadi di lingkungan pura , yang sedang melakukan
persiapan kebaktian sembayangan. Tuturan terjadi di lingkungan pura, ketika
mitra tutur dan penutur sedang berdoa ,penutur berusia 58 tahun,mitra tutur laki-
laki berusia 17 tahun. Mitra tutur sedang asik bercerita. Tujuan penutur menegur
agar bersikap tenang di rumah ibadah. Hal tersebut menyebabkan kegaduhan yang
dirasa mengganggu jalannya ibadah oleh penutur. Tuturan D5 Tuturan terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
pada waktu acara sembayang akan belangsung di pura. Penutur merupakan
seorang pemuka umat yang berusia 67 tahun sedangkan, MT adalah seorang umat
26 tahun. Tujuan: penutur menyindir mitra tutur dengan alasan menasehati agar
mengunakan pakaian adat yang pantas ketika beribadah.
Penutur menasehati mitra tutur agar melakukan hal yang sepantasnya.
Penutur berusaha menasehati kedua mitra tutur agar mampu memposisikan diri
dimanapun dia berada dan merasa malu mengenai umur mereka yang sudah cukup
dewasa. Tujuan penutur memberitahu mitra tutur bahwa seharusnya mereka ikut
berpartisipasi. Tindak verbal: ekspresif. Tindak perlokusi mitra tutur merasa malu
karena banyak orang lain dan menanggapi tuturan penutur dengan pertanyaan
yang sedikit kesal.
Penanda linguistik pada tuturan E1, E2, E3, E4, E5, E6, E7, E8 dan E9 yang
ada pada kategori menimbulkan konflik. Pada tuturan E1, E2, E3, E4, E5, E6
Masing-masing tuturan juga memilki kesamaan aspek intonasi, yakni intonasi
berita sedangkan pada E7, E8 dan E9 juga memiliki kesamaan intonasi yaitu
intonasi seru. Penutur juga berbicara dengan nada yang tinggi atau keras. Hal ini
sangat tidak santun karena diucapkan pada mitra tutur yang berperan sebagi mitra
tutur.
Kategori menimbulkan konflik atau kesembronoan yang disengaja, dalam
kategori ini akan ditinjau berdasarkan aspek penanda pragmatik yang melingkupi
tuturan tersebut. Penanda pragmatik pada tuturan E1, E2, E5 dan E6. Mempunyai
maksud yang sama yaitu maksud kesal terhadap penutur. Tuturan terjadi ketika E1
latihan tari di samping pura.mitra tutur merasa tersingung dengan ejekan penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Tuturan terjadi saat latihan tari adat untuk digunakan dalam perayaan hari raya
Tujuan penutur agar mitra tutur mengira penutur marah tetapi sesunguhnya
hanya bercanda. Tuturan memakai intonasi tanya. Penutur berbicara dengan
sedang. Tekanan yang digunakan tekanan lembut. Diksi yang dipakai
menggunakan bahasa standar dengan kata-kata sehari-hari. Tuturan terjadi saat
perkumpulan pemuda-pemudi Hindu di area asrama Hindu. Penutur memberi
teguran kepada mitra tutur dengan menyindir atas keterlambatan mitra tutur.
Tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi: mitra tutur menangapi sindiran penutur
dengan nada kesal.tuturan E2 Tuturan terjadi di aula asrama Hindu. Penutur
merasa kesal atas pertanyaan sindirian aoleh mitra tutur. Penutur menyadari
bahawa dirinya sedang diejek oleh mitra tutur. Tindak verbal representatif. Tindak
perlokusi mitra tutur menangapi tuturan penutur dengan pernyataan yang sedikit
kesal. Tuturan E5 Tuturan ini terjadi di dalam pura ketika sembayangan sedang
dilaksanakan. Penutur laki laki berusia 27 tahun. Mitra tutur laki-laki, berusia 17
tahun. Penutur telah memperingatkan agar tidak menggangu karena penutur
sedang sembayang. Peringatan penutur membuat mitra tutur terusik dan
menasehati balik penutur. Tujuan: penutur menasehati mitra tutur agar tuturan
penutur direnungkan terlebih dulu oleh penutur. Tuturan E6 Tuturan terjadi pada
siang hari di lingkungan pura penutur menyampaikannya di depan umat yang
hadir.Tuturan penutur sangat sembrono karena tidak melihat apa yang sebenarnya
terjadi. Tujuan penutur menyuruh mitra tutur untuk memperbaiki gerakan agar
terlihat lebih bagus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Tuturan E7, E8 dan E9 juga memiliki kesamaan intonasi yaitu intonasi seru.
Tuturan E7 ini terjadi saat setelah selesai ibadah Penutur menyampaikan
tuturannya dengan cara sini. Mitra tutur merasa dirinya disalahkan sedangkan
penutur merasa tidak bersalah mitra tutur meyanggah tuturan penutur sehingga
terjadi adu mulut, penutur hanya bermaksud mengingatkan agar anak didik sejak
dini. Penutur tidak sadar bahwa tuturannya membuat mitratutur merasa tersingung
.tuturan E8 Penutur menyampaikan tuturannya dengan cara sinis. Mitra tutur
merasa dirinya disalahkan sedangkan penutur merasa tidak bersalah mitra tutur
meyanggah tuturan penutur sehingga terjadi adu mulut. Tuturan ini terjadi saat
diadakan latihan tari yanga akan dipentaskan ketika hari raya. Tuturan
menggunakan intonasi seru. Penutur berbicara menggunakan nada tinggi. Tuturan
disampaikan dengan tekanan yang keras. Diksi yang dipakai adalah bahasa
nonstandar, dengan memakai istilah bahasa jawa. Tuturan E9 Tuturan ini terjadi
di lingkungan pura tepatnya di aula. Penutur laki-laki, Tujuan penutur tidak
memiliki maksud tertentu, penutur hanya memperingatkan mitra tutur untuk tidak
berbincang ketika ada yang sedang berbicara. Penutur menyampaikannya di depan
umat yang hadir.
Tuturan penutur sangat sembrono karena mengucapkan kata yang kurang
pantas. Tuturan menggunakan intonasi seru. Penutur berbicara menggunakan nada
tinggi. Tekanan pada tuturan keras. Diksi yang dipakai adalah bahasa nonstandar
dengan istilah bahasa daerah Bali. Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian
kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana
membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
ungkapan yang tepat, dan gaya bahasa mana yang paling baik digunakan dalam
suatu situasi. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh
penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan perbendaharaan kata atau kosa kata suatu
bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa. Penggunaan
kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu pertama, ketepatan
pemilihan kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan
diamanatkan.
Pemaparan konteks situasi pertuturan menjadi lima bagian, yaitu (1) penutur
dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tutur, (4) tuturan sebagai bentuk
tindakan, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan tidak santun yang
dilihat dari segi pragmatik, penandanya didasarkan pada konteks tuturan itu
sendiri. Leech (dalam Rahardi, 2007:19-22). Ranah agama mengkaji penanda
pragmatik berdasarkan tuturan-tuturan yang ditemukan dan dituturkan oleh
pemimpin umat dengan pemimpin umat, pemimpin umat dengan umat, maupun
umat dengan umat. Santun tidaknya sebuah tuturan akan tampak dengan
memandang konteks yang melingkupinya. Hal ini akan menjadikan sudut pandang
yang mempermudah penilaian ketidaksantunan suatu tuturan.
Diksi atau pilihan kata yang secara dominan digunakan adalah bahasa
nonstandar. Bahasa Jawa merupakan bahasa yang banyak ditemukan dalam
sebagian tuturan, dan umat Hindu (penutur dan mitra tutur) yang melakukan
tindak tutur merupakan bagian dari masyarakat Jawa. Tindak verbal yang ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
dalam kategori ini, yakni tindak verbal representatif, ekspresif, asertif, dan
komisif
Dalam penuturan bahasa Indonesia, tinggi-rendahnya (nada) suara tidak
fungsional atau tidak membedakan makna. Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan pembedaan makna, nada dalam bahasa Indonesia tidak fonemis. Achmad
& Alek (2013:33−34), ada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila
suatu bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan
disertai dengan nada tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi
getaran rendah,tentu akan disertai juga dengan nada rendah. Dalam hal ini
biasanya dibedakan adanya empat macam nada, yaitu (1) Nada yang paling
tinggi, diberi tanda dengan angka 4; (2) Nada tinggi, diberi tanda dengan angka 3;
(3) Nada sedang atau biasa, diberi tanda dengan angka 2; dan (4) Nada rendah,
diberi tanda dengan angka 1.
Tuturan yang bernada sedang yang berada pada pada kelima kategori
ketidaksantunan. (A1, A2, B1, B3, C1, C2, C4, C5, C6, C7, C8, D2, D3, D7, E4,
E6 dan E7), sedangkan tuturan yang bernada tinggi pada kategori melecehkan
muka terdapat pada (B2, B4, C3, D4, D5, D6, E1, E2, E3, E5, E8 dan E9).
Tekanan merupakan hal yang menyangkut masalah keras lunaknya bunyi. Suatu
bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga
menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras.
Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang
tidak kuat sehingga amplitudonya menyempit, pasti dibarengi dengan tekanan
lunak. Tekanan ini mungkin terjadi secara sporadis, mungkin juga telah berpola,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
mungkin juga bersifat distingtif, dapat membedakan makna, mungkin juga tidak
distingtif (Achmad & Alek, 2013:33−34). Tekanan keras/tinggi yang
menandakan suatu tuturan tidak santun terdapat pada kelima kategori (B2, B4,
D1, D4, D5, D6, E1, E2, E7, E8 dan E9). Peneliti juga menemukan tuturan yang
memilki tuturan lunak yang dianggap kurang santun untuk diucapakan. Tekanan
pada tuturan itu juga terdapat dalam empat kategori ketidaksantunan.
Pada tuturan (A1, A2, B1, B3, C1, C2, C3, C7, C8, D2, D3, D7, E4 dan E6)
mengunakan Tekanan tuturan lunak/lembut yang terdapat pada kelima kategori.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
BAB V
PENUTUP
Bab ini terdiri dari dua hal pokok, yiatu (1) simpulan dan (2) saran.
Simpulan berisi rangkuman keseluruhan isi dari penelitian ini. Sedangkan, saran
berisi hal-hal relevan yang perlu diperhatikan untuk peneliti lanjutan, baik
mahasiwa jurusan Bahasa Indonesia, maupun peneliti lain. Berikut adalah
pemaparan dari kedua hal tersebut..
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data pada bab empat, peneliti menemukan adanya
tuturan lisan tidak santun dalam komunikasi lisan antara umat beragama Hindu di
Kota Madya Yogyakarta. Temuan dalam hasil analisis data disimpulkan sebagai
berikut. Wujud ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik yang
ditemukan dalam ranah agama Hindu di Kota Madya Yogyakarta terbagi dalam
kategori melanggar norma (subkategori dan menegaskan), mengancam muka
sepihak (memerintah dan mengancam), melecehkan muka (menyindir,
memperingatkan, menegur dan menasehati), menghilangkan muka (menegur,
menegaskan, menyindir, menyingung dan memperingatkan), dan menimbulkan
konflik (mengejek, menegaskan, mengancam, memperingatkan, menyingung dan
mengumpat),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
wujud ketidaksantunan pragmatik berdasarkan cara penyampaian penutur yang
menyebabkan tuturan lisan tidak santun.
Maksud suatu tuturan hanya diketahui oleh penutur. Hal ini dikarenakan
dalam setiap tuturan, penutur memilki kehendak tertentu dalam menyampaikan
suatu tuturan pada mitra tutur. Penutur dalam tuturan ketidaksantunan kategori
melanggar norma memiliki dua maksud, yaitu maksud agar tidak dimarahi dan
memberi peringatan. Penutur dalam tuturan ketidaksantunan kategori mengancam
muka sepihak memiliki dua maksud yaitu menegur, mengingatkan. Penutur dalam
tuturan ketidaksantunan kategori melecehkan muka memiliki lima maksud, yaitu
maksud menasehati, menyindir, intropeksi diri, mengingatkan, menegur. Penutur
dalam tuturan ketidaksantunan kategori menghilangkan muka memiliki dua
maksud, yaitu maksud menegur dan kesal. Penutur dalam tuturan ketidaksantunan
kategori menimbulkan konflik memiliki tujuh maksud, yaitu maksud menegur,
kesal, menakuti, mengingatkan, protes, asal bicara.
Penanda ketidaksantunan juga dilihat berdasarkan kajian linguistik dan
pragmatik. penanda ketidaksantunan pragmatik diketahui berdasarkan konteks
yang melingkupi tuturan tersebut. Penanda ketidaksantunan linguistik diketahui
berdasarkan unsur segmental dan suprasegmental yaitu diksi, kata fatis, nada,
tekanan, dan intonasi suatu kalimat atau tuturan, sedangkan penanda
ketidaksantunan pragmatik dapat diketahui berdasarkan uraian konteks yang
berupa, penutur dan mitra tutur, situasi saat terjadi tuturan, waktu dan tempat
ketika tuturan terjadi, serta tindak verbal dan tindak perlokusi yang menyertai
tuturan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
5.2 Saran
Berdasarkan dari fenomena-fenomena pemakaian kebahasaan dalam tuturan
pada ranah agama hindu dan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah
ditemukan, Penelitian ini masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti
memberikan saran bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian sejenis.
2.5.1 Bagi Pemuka Dan Umat beragama
Fenomena ketidaksantunan berbahasa merupakan fenomena baru dalam
kajian ilmu pragmatik. Dengan hasil penelitian yang telah diuraikan, Umat
yang beragama seharusnya dapat menghindari penggunaan bahasa yang tidak
santun baik antarumat beragama. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan atau gambaran umum mengenai bentuk ketidaksantunan berbahasa itu
sehingga dengan adanya acuan ketidaksantunan berbahasa umat beragama
dapat mengurangi bahkan menghindari bertutur yang tidak santun, sebaliknya
dapat bersikap dan berperilaku yang santun dengan umat beragama lain.
2.5.2 Bagi Peneliti Lanjutan
a. Penelitian ini hanya meneliti ketidaksantunan berbahasa linguistik dan
pragmatik dalam lingkup antarumat beagama Hindu di Wilayah Kota Madya.
Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan
subjek dan ranah yang berbeda.
b. Penelitian ini menemukan lima kategori dan sepuluh subkategori.
Diharapkan peneliti lanjutan dapat menemukan kategori dan subkategori
ketidaksantunan lain untuk melengkapi teori dalam fenomena
ketidaksantunan ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
c. Selain bidang ilmu pragmatik, data tuturan yang dianalisis dari segi wujud,
maksud dan penanda ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik
dapat dianalisis pula dari beberapa bidang ilmu lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
DAFTAR PUSTAKA
Achmad dan Alek Abdullah. 2013. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga.
Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Pusat Statistik. 2012. Kota Yogyakarta dalam Angka. Yogyakarta: BPSKota Yogyakarta.
Bousfield, Derek dan Miriam A. Locher. 2008. Impoliteness in Language: Studieson its Interplay with Power in Teory and Practice. New York: Mouton deGruyter.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan DiskursusTeknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Chaer, Abdul. 2011. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta:Rineka Cipta.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta:Gramedia.
Hendropuspito.1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif: untuk Ilmu-ilmuSosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Huang, Yan. 2007. Pragmatics. New York: Oxford University Press.
Keraf, Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
___________. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:Gramedia.
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terj. Jakarta: UI Press.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, danTekniknya. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Muslich, Masnur. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif SistemBunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nababan. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Noviyanti, Agustina Galuh Eka. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan PragmatikBerbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran2012/2013. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
Nugroho, Miftah. 2009. “Konteks dalam Kajian Pragmatik” dalam PenerokaHakikat Bahasa. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Puspitarini, Olivia Melissa. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan PragmatikBerbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program Studi PBSID, FKIP,USD, Angkatan 2009—2011. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP,USD.
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:Dioma
______________. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.Jakarta: Erlangga.
______________. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.
______________. 2012. “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik danLinguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”.Presentasi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
______________. 2012. “Re-interpretasi Konteks Pragmatik”. Jurnal.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: PengantarPenelitian Wahana Kebudayaan secara Linguitis. Yogyakarta: DutaWacana University Press.
Sumarsono. 2004. Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo.
_________. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
Verhaar, J. W. M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.
Widi, Restu Kartiko. 2010. Asas Metodologi Penelitian: Sebuah Pengenalan danPenuntun Langkah demi Langkah Pelaksanaan Penelitian. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Widyawari, Caecilia Petra Gading May. 2013. Ketidaksantunan Linguistik danPragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Skripsi. Yogyakarta: PBSID,JPBS, FKIP, USD.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
Wijana, I Dewa Putu & Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik: Teori danAnalisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Yule, George. 2006. Pragmatik. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yuliastuti, Elizabeth Rita. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan PragmatikBerbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 YogyakartaTahun Ajaran 2012/2013. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta:Bumi Angkasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
A. Daftar Pertanyaan untuk Pemimpin Umat dalam Relasi dengan Umat dan Umat Relasi
dengan Umat
PETUNJUK:
Gunakan daftar pertanyaan berikut untuk mewawancarai informan, kemudian tulislah atau
rekamlah bentuk kebahasaan yang disampaikan oleh informan!
1. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada umat Anda yang jarang sekali
berangkat beribadah di Pura dan jarang sekali terlihat ikut berpartisipasi dalam kegiatan
yang berhubungan dengan Pura?
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada umat Anda yang terkesan cuek
terhadap sesama yang membutuhkan, misalnya umat yang tergolong mampu tetapi pelit
sekali dalam memberi sumbangan kolekte, atau sumbangan Pura lainnya?
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
3. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada umat Anda ketika mereka sering
sekali datang terlambat saat sembayangan, kegiatan lingkungan atau kegiatan Pura
lainnya (situasinya sedang kumpul bersama)?
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Instrumen Penelitian Tipe C:Wawancara
Metode: CakapTeknik: Catat/Rekam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
4. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada umat Anda yang anda amati selalu
sibuk berbicara dangan umat lainnya atau sibuk bermain-main hp ketika kegiatan ibadah
berlangsung?
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
5. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada umat Anda yang sama sekali tidak
ada yang mau ambil bagian bertugas menyiapkan keperluan ibadah saat akan diadakan,
padahal sudah menjadi sesuatu kesepakatan?
Penjelasan Informan:
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
B. Daftar Pertanyaan untuk Umat dalam Relasi dengan Pemimpin Umat
PETUNJUK:
Gunakan daftar pertanyaan berikut untuk mewawancarai informan, kemudian tulislah atau
rekamlah bentuk kebahasaan yang disampaikan oleh informan!
1. Bagaimana respon Anda jika anda merasakan bahwa pemuka agama di Pura yang sering
memimpin sembayangan ternyata kalau kotbah itu sangat membosankan (kotbahnya
lama, cara penyampaian kaku dan serius, penyampaian isinya tidak jelas dan terkesan
suka menyindir)?
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Bagaimana respon Anda ketika pemuka agama yang biasanya memimpin sembayang di
Pure tiba-tiba menegur anda karena sibuk berbicara dengan umat lain atau bermain-main
hp ketika sembayang sedang berlangsung?
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
3. Bagaimana respon Anda ketika mengetahui pemuka agama yang biasanya memimpin
sembayangan di Pure selalu membanding-bandingkan umat yang rajin beribadah, rajin
mengikuti semua kegiatan Pure, dan banyak dalam memberikan sumbangan ke Pure
dengan umat yang malas berangkat ke Pure dan tidak memberi sumbangan ke Pure ?
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Instrumen Penelitian Tipe C:Wawancara
Metode: CakapTeknik: Catat/Rekam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
4. Bagaimana respon anda ketika mengetahui pemuka agama yang biasa memimpin
sembayangan di lingkungan anda tiba-tiba menegur dan menyebutkan nama anda karena
anda melakuan kesalahan dalam bertugas di Pure?
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
5. Bagaiana respon Anda ketika mengetahui bahwa Pemuka agama yang sering memimpin
di tempat anda, sering sekali mangkir atau tidak hadir untuk memimpin di lingkungan
anda sehingga harus digantikan oleh pemuka lainnya?
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
6. Bagaimana respon Anda ketika mendengarkan disaat kotbah pemuka agama yang
biasanya memimpin berkata dengan sedikit menyindir “iya kalau di Pura pada rajin
berdoa, ndak tau kalau dirumah pasti juga pada malas!
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
7. Bagaimana respon anda ketika mendengarkan disaat kotbah pemuka agama yang
biasanya memimpin sembayangan berkata dengan sedikit menyindir ”kalau di Pure itu
anak-anak tidak bisa diam (kemrecek) dan orang tuanya pun ikut-ikutan ribut tidak bisa
menenangkan anaknya!”
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
8. Bagaimana respon anda ketika mendengarkan disaat kotbah pemuka agama yang
biasanya memimpin sembayang berkata dan terkadang terkesan membanding-bandingkan
kinerja pemuka yang satu dengan pemuka agama yang lain?
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
9. Bagaimana respon anda ketika mendengarkan disaat kotbah pemuka agama yang
biasanya memimpin sembayang berkata “apakah saudara yakin saudara itu penganut
agama Hindu?yakin? dan apakan saudara yakin anda akan naik ke surga Penjelasan
Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
10. Bagaimana respon anda ketika mendengarkan disaat kotbah pemuka agama yang
biasanya memimpin sembayang berkata ”umat itu aneh terkadang sudah tau dilarang
didalam agama tetapi masih dilakukan!”
Penjelasan Informan:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INSTRUMEN PENELITIAN MAKSUD PENUTUR
A. Format bercakap-cakap pemuka agama dengan menciptakan kondisi
tertentu untuk menghasilkan maksud tuturan.
Tuturan
1. Lokasi :
2. Suasana :
3. Keadaan emosi :
4. Identitas penutur :
a. Gender :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Domisili :
e. Daerah Asal :
f. Bahasa yang dipakai sehari-hari :
5. Tanggal percakapan :
6. Waktu percakapan :
Tuturan:
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
......................................................
Maksud Tuturan:
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
......................................................
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MAKSUD KETIDAKSANTUNAN PENUTUR
No. Kategori Subkategori Kode Tuturan Maksud Penutur1. Melanggar
normaMenegaskan A 1 sudah mulai dari tadi ya?(sambil tersenyum ) Agar tidak dimarahi
A2 hallo , ada apa ?saya lagi sembayang di pure” (sambil berjalankeluar)
Memberi pengertian
2. Mengancammuka sepihak
B1 Kalau mau sembayang itu pakai baju yang pantes . menegur
Memerintah B2 Tolong diam saya mau mendengarkan nyoman berbicara” Menegur
B3 Tolong hormati yang sedang sembayang nanti sajamembersihkanya kalau sudah selesai
menegur
Mengancam B4 Kita serius latihanya yang tidak serius silahkan pulang! Mengingatkan
3. Melecehkanmuka
Menyindir C1 Jangan lupa berterimakasih kepada yang memberi kehidupanini jangan meminta terus.
Menasehati
C2 Kapan anda akan berpulang? Menyindir
C4 Umat sedarma kita harus menghargai waktu sebaikmungkin.jangan seperti hari ini.
Menyindir
C8 Ya sebelumya kamu lihat dirimu seperti apa sebelumkomentar .
Introspeksi diri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Memperingatkan
C3 Kamu tidak percaya adanya karma ?! Mengingatkan
C5 Ingatlah dengan adanya punarbawa dan karma pala. Mengingatkan
Menegur C6 Meski saya bukan yudistira yang benar-benar menerapkandarma “cobalah hargai orang yang sedang bicara”
Menegur
Menasehati C7 “Jangan biarkan niatmu yang suci dihalangi oleh alam untukmelakukan yudnya” (persembahan suci secara iklas)
Mengingatkan
4. Menghilangkanmuka
Menegur D4 kalau ingin bercerita di luar sana , disini tempat sembayang. menegur
D5Terimakasih telah mengingatkan , tetapi jika anda bisamenjadi contoh akan lebih baik.
Menegur
D6 Bagaimana kamu ini tidak bisa menunggu kloter kedua ,sembayang sudah mau selesai baru datang.
Menegur
D7 Tidak pernah di ajari sopan santun ya? Kesal
Menegaskan D1 Anda pintar namun memintari Meremehkan
Menyindir D2 Apakah pemuka agama selalu benar? Kesal
Menyingung
Memperingat
D3 Sudah pukul berapa ini? Baru kelihatan teman-teman sudahpada berkeringat.
Menegur
D5 Terimakasih telah mengingatkan , tetapi jika anda bisa Menegur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kan menjadi contoh akan lebih baik.5. Menimbulkan
konflikMengejek E1 Dasar kurang ajar Kesal
E3 Dasar kafir Asal bicaraMenegaskan E2 Ngapain pengen tau? Kesal
Mengancam E4 besok kaau mati mayatnya mau dikubur sendiri Menakut nakutiMemperingatkan
E5 Kamu kalau ndak ganggu orang sembayang bisa ndak? Kesal
Menyingung E7 “jangan terlalu memanjakan.” Mengingatkan
E6 Itu motor saya ada kacanya” kesalE8 santai lho, bli” kita khan latihan wajar kl masih belum baik. Protes
Mengumpat E9 ubuan jeleme to(binatang orang itu) (kata kasar di ucapkanlirih) ya sudah saya jawab sebisanya.
Asal bicara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
TABULASI KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA
NO. KODE TUTURANPENANDA KETIDAKSANTUNAN
PRESEPSIKETIDAKSANTUNANLINGUAL
NONLINGUAL(TopikdanSituasi)
1.A1 MT:dari mana saja kamu baru
datang ?
PT :sudah mulai dari tadiya?(sambil tersenyum cuex)
MT:sudah tinggal menunggukamu.
Intonasitanya Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadasedang
TekananlembutDiksi: nonstandar
Tuturanterjadi diaula asramaagama hindu
Tuturanterjadiantara umathindu
PT datangmelebihiwaktu yangtelah disepakatibersama
Tujuanpenutur agarMT tidakmenyalahkan dirinya
Jenisketidaksantunan:melanggar norma.
Maknaketidaksantunan:menegaskan.
Wujudketidaksantunan:
penutur melangarjam yang telah disepakati bersama
penutur terkesanacuh tak acuh
Tindak verbal:representatif.
Tindakperlokusi:MTmenanggapituturanpenuturdenganpert
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
karenadengansengajadatangterlambat
anyaanyangsedikitkesal
2.A2 MT:gimana orang ini
sembayang hp tidak di matikandahulu.
PT :hallo , ada apa saya lagisembayang di pure” (sambilberjalan keluar)(dengan wajah biasa kembali
melanjutkan sembayangdengan biasa saja)
Intonasitanya Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadasedang dengantekanan lembut
Diksi: nonstandar
Tuturanterjadi didalam areapure
Tuturanterjadi saatibadatberlangsung
PTmelanggarnorma yangtelah disepakatibersamaketikasembayanghp di non
Jenisketidaksantunan:melanggar norma.
Maknaketidaksantunan:menegaskan.
Wujudketidaksantunan:
Penuturmengangakattelepon di saatibadat berlangsung
Penutur tidakmematikan teleponsaat sembayangseperti yang telahdi sepakati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
aktifkan. bersama. Tindak verbal:
ekspresif Tindakperlokusi:
MTmerasadirinyatergangguolehpenutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
TABULASI KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA
NO KODE TUTURANPENANDA KETIDAKSANTUNAN
PRESEPSIKETIDAKSANTUNAN
LINGUALNONLINGUAL(Topik dan Situasi)
1. B1 PT : Kalau mausembayang itu pakaibaju yang pantes
MT:iya”
Intonasiperintah
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadasedang (sinisdanmenyindir).
Tekananlembut
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadi dipintu masuk pure
Tuturan terjadiantar umat
MT merasaterancam tidakbisa mengikutisembayangdikarenakanrumahnya cukupjauh.
Tujuan PT agarMT mengantibajunya denagyang lebih pantas
Jenisketidaksantunan:Mengancam mukasepihak
Wujudketidaksantunan:
Penuturmenyampaikantuturannya dengantegas dan spontanmenunjuk MT.
Tujannya agar MTketika sembayangmemakai pakaianyang sopan
Tindak verbal:representatif.
Tindak perlokusi:MT menanggapituturan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
dengan pertanyaanyang sedikit kesal
2. B2 PT :Tolong diamsaya maumendengarkannyoman berbicara”
MT: (langsunghening)
Intonasitinggi(perintah)
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadatinggi(jengkel).
Tekanankeras
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadi diarea pure
Tuturan terjadisetelahselsaiibadat
Tuturan terjadisaat sesi seringbersama setelahsembayang
Tujuan PT agarMT bersikapmenghargai yangsedang berbicara
Jenisketidaksantunan:Mengancam mukasepihak
Wujudketidaksantunan:
Penuturmenyampaikantuturannya dengantegas dan spontanmenunjuk MT.
Tindak verbal:komisif.
Tindak perlokusi: MTbergumam terhadapkelakuan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
3. B3 PT :Tolong hormatiyang sedangsembayang nanti sajamembersihkanyakalau sudah selesai
Intonasiperintah
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadasedang (sinisdanmenyindir).
Tekananlembut
Diksi: standar
Tuturan terjadi diarea pure
Tuturan terjadisaat ada yanginginmembersihkanpure
Tujuan PT agartidak mengganguorang yang sedangsembayang
Jenisketidaksantunan:mengancam mukasepihak.
Wujudketidaksantunan:
Penuturmenyampaikanperkataanya kepadaMT dengan tegas.
Tindak verbal:komisif.
Tindak perlokusi: MTbergumam terhadapkelakuan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
4. B4 PT :Kita seriuslatihanya yang tidakserius silahkanpulang!MT: (Hanya terdiam )
Intonasitinggi(perintah)
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadatinggi(jengkel).
Tekanankeras
Diksi: standar
Tuturan terjadi diaula asrama hindu
Tuturan terjadisaat latihan tarianadat.
Situasi saat latihandengan serius
Tujuan PT agarMT latihandengan serius
Jenisketidaksantunan:mengancam mukasepihak.
Wujudketidaksantunan:
Penuturmenyampaikanperkataanya kepadaMT dengan tegas.
Tindak verbal:komisif.
Tindak perlokusi: MTbergumam terhadapkelakuan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
TABULASI KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA
NO. KODE TUTURANPENANDA KETIDAKSANTUNAN
PRESEPSIKETIDAKSANTUNANLINGUAL
NONLINGUAL(Topik dan Situasi)
1.C1 PT:sudah sepantasnya kita
sebagai manusia patutbersyukur
PT : Jangan lupaberterimakasih kepada yangmemberi kehidupan ini janganmeminta terus.
Intonasiperintah
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadasedang(menyindir).
Tekananlembut
Diksi: nonstandar
Tuturan terjadi dipura saat ibadatberlangsung
Tuturan terjadisaat pemukaagama kotbah
Tujuan PTmengingatkanMT agar selalubersyukur
Jenisketidaksantunan:melecehkanmuka.
Maknaketidaksantunan:memperingatkan.
Wujudketidaksantunan:
Penutur secaratidak langsungmenyuruhberterima kasih
Tuturanmerupakansindiran
Tindak verbal:komisif.
Tindak perlokusi:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
MT bergumamterhadap kelakuanpenutur
2.C2 MT:pantatku terasa panas
kelamaan duduk saatsembayang tadi.
PT :” Kapan anda akanberpulang?”
MT:haha kamu ini .(tertawa)
Intonasi tanya Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadasedang(sindiran).
Tekananlembut
Diksi yangdipakai bahasapopular ataukata yang selahdikenalmasyarakat.
Diksi: nonstandar
Tuturan terjadi didi halaman pura
Tuturan terjadisetelah umathindu selesaisembayang
Tuturan terjadiantar umat.
PT berniatmenyindir secaratidak langsung .
MT adalah orangyang sudahcukup umur
Jenis ketidaksantunan:melecehkan muka.
Maknaketidaksantunan:menegur.
Wujudketidaksantunan:
Penutur kurang terimadengan tindakan yangdilakukan MT
Tindak verbal:komisif.
Tindak perlokusi:MT bergumamterhadap kelakuanpenutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
3.C3 MT:sukurin kena marah
hahahaha
PT : Kamu tidak percayaadanya karma?
Intonasi tanya Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadakeras tinggi(sindiran).
Tekananlembut
Diksi: nonstandar
Tuturan terjadi dihalaman pura
Tuturan terjadiantar umat
PT dalamkeadaan merasajengkel
PT dimarahinyang di sebabkanoleh MT
Penutur laki-laki,umat berusia 24tahun, MTperempuan, umatberusia 30 tahun.
Jenis ketidaksantunan:melecehkan muka.
Maknaketidaksantunan:menegur.
Wujudketidaksantunan:
Penutur kurang terimadengan tindakan yangdilakukan MT
Tindak verbal:komisif.
Tindak perlokusi:MT mengucapkanspontan yangmembuat MTmerasa dilecekanmuka
4.C4
PT : Umat sedarma kita harusmenghargai waktu sebaikmungkin.jangan seperti hariini.
Intonasiperintah
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadasedang(menyindir).
Tuturan terjadi didalam lingkuppura
Tuturan terjadisaat ibadatberlangsung
Kotbah daripemuka agama
Suasana saat
Jenis ketidaksantunan:melecehkan muka.
Maknaketidaksantunan:menegur.
Wujudketidaksantunan:
Penutur kurang terimadengan tindakan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Tekananlembut
Diksi: nonstandar
khusuksembayang
Tuturan initerjadi di dalampura, saat acarakeagamaan.Penutur laki-laki,umat berusia 27tahun
dilakukan MT Tindak verbal:
komisif.Tindak perlokusi: MTbergumam terhadapkelakuan penutur
5.C5
PT : Ingatlah dengan adanyapunarbawa dan karma pala.
Intonasiperintah
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadasedang(menyindir).
TekananlembutDiksi:nonstandar
Tuturan terjadi didalam pura
Tuturan terjadisaat ibadatberlangsung
Tuturan daripemuka agamayan sedangkotbah.
Penutur laki-lakiumur 48 tahun.
Jenisketidaksantunan:melecehkanmuka.
Maknaketidaksantunan:memperingatkan.
Wujud Tindak verbal:
komisif. Tindak perlokusi:
MT bergumamterhadap kelakuanpenuturketidaksantunan:
Penuturbermaksudmenyindir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
6.C6
PT :meski saya bukanyudistira yangbenar-benar menerapkandarmacobalah hargai orangyang sedang bicara
Intonasiperintah
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadasedang(menegur).
TekanansedangDiksi:nonstandar
Tuturan terjadi diarea pura
Tuturan terjadisaat ibadatberlangsung
Tuturan terjadisaat pemukaagama kotbah..
Jenisketidaksantunan:melecehkanmuka.
Maknaketidaksantunan:memperingatkan.
Wujudketidaksantunan:
Penuturbermaksudmenyindir
Tindak verbal:komisif.
Tindak perlokusi: MTbergumam terhadapkelakuan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
7.C7
PT : Jangan biarkan niatmuyang suci dihalangi oleh alamuntuk melakukanyudnya(persembahan sucisecara iklas)
Intonasiperintah
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadasedang(menyindir).
Tekananlembut
Diksi: nonstandar
Tuturan terjadi diarea pura
Tuturan terjadisaat ibadatberlangsung
Tuturan terjadisaat pemukaagama kotbah.
Penutur laki-lakiberusia 45 tahun,sedangkan mitratututr dadalahumat yangmenghadiriibadat tersebut.
Jenisketidaksantunan:melecehkanmuka.
Maknaketidaksantunan:memperingatkan.
Wujudketidaksantunan:
Penuturbermaksudmenyindir
Tindak verbal:komisif.
Tindak perlokusi: MTbergumam terhadapkelakuan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
8.C8 MT:dasar lola(daya tangkap
lambat)
PT : Ya sebelumya kamu lihatdirimu seperti apa sebelumkomentar .
Intonasiperintah
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadasedang(menyindir).
Tekananlembut
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadi didi aula asramahindu
Tuturan terjadisaat latihantarian adat
PT merasajengkel karenaselalu di anggapkurang bisamengikuti
Tujuan PT agarMT dalammemberi taudengan sopan
Jenisketidaksantunan:melecehkanmuka.
Maknaketidaksantunan:memerintah.
Wujudketidaksantunan:
Penuturmemarahi MT.
Penuturmenyampaikantuturannyadengan caraketus.
Tindak verbal:representatif.
Tindak perlokusi: MTmenanggapi tuturanpenutur denganpertanyaan yang sedikitkesal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
TABULASI KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA
NO KODE TUTURANPENANDA KETIDAKSANTUNAN
PRESEPSIKETIDAKSANTUNAN
LINGUALNONLINGUAL(Topik dan Situasi)
1.D1 MT: (menjelaskan hal
yang sudah di ketahuiPT)
PT : Anda pintarnamunmemintari
Intonasiberita.
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadatinggi(sinis).
Tekanantinggi
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadi didalam area aulaasrama hindu
Tuturan terjadisaat sering antarmuda mudi hindu
MT mengulangipenjelasan yangtelah di bahasminggu kemarin
Penutur sedangmengikutikegiatan diskusi
Tujuan penuturagar MT segeramenjelaskanpokok masalah
Jenis ketidaksantunan:Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:menyindir.
Wujud ketidaksantunan: Peutur terkesan
menyerang MT dengankata-kata kurang pantasyang dapat menyinggungMT Tindak verbal:
ekspresif Tindak perlokusi: MT
merasa dirinya tergangguoleh penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
yang akan dibahas
2.D2
PT :Apakah pemukaagama selalu benar?
Intonasi tanya Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadasedang(sindiran).
Tekananlembut
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadi didalam area pure
Tuturan terjadisaat ibadatberlangsung
Penutur merasatersindir
Tujuan penuturagar pemukaagama intropeksidiri karena MTmenganggappemuka agamakurang selarasdenganucapannya
Jenis ketidaksantunan:Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:menyindir.
Wujud ketidaksantunan: Penutur bermaksud
menyindir MT Penutur menyinggung
perasaan MT. Penuturmenyampaikanpernyataan tanpa merasabersalah Tindak verbal:
ekspresifTindak perlokusi: MTmerasa dirinya tergangguoleh penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
3.D3 MT:Permisi.
PT :Sudah pukulberapa ini? Barukelihatan teman-teman sudah padaberkeringat.:
Intonasi tanya Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadasedang(sindiran).
Tekananlembut
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadi didalam aulaasrama hindu
Tuturan terjadisaat perkumpulanbersama mudamudi hindu
MT terlambatdatang ketikaacara telah dimulai
Jenisketidaksantunan:Menghilangkanmuka.
Maknaketidaksantunan:menyindir.
Wujudketidaksantunan:
Penutur bersikapnglulu (menegursecara tidaklangsung)
Tindak verbal:representatif.
Tindak perlokusi: MTmenanggapi tuturanpenutur dengan pertanyaanyang sedikit kesal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
4.D4 MT: (sedang
bercerita denganteman disampingnya)
PT :kalu inginbercerita di luar sana, disini tempatsembayang
Intonasitinggi(perintah)
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadatinggi(jengkel).
Tekanankeras
Diksi: satandar
Tuturan terjadi didalam area pure
Tuturan terjadisaat ibadatberlangsung
Penutur merasaterganggu olehMT
Penuturmenyuruh MTkeluar di hadapanumat lain
Jenis ketidaksantunan:Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:menegur.
Tuturan terjadi dilingkungan pure, ketikaMT dan penutur sedangberdoa ,penutur berusia58 tahun, MT laki-lakiberusia 17 tahun. MTsedang asik bercerita
Wujud ketidaksantunan:Penutur berbicara demgannada sinis , menegur MT dihadapan orang lain
Tindak verbal:representatif.
Tindak perlokusi: MTmenanggapi tuturanpenutur dengan pertanyaanyang sedikit kesal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
5.D5 MT: jangan lupa
mengunakan pakaianadat yang lengkap !
PT : Terimakasihtelah mengingatkan ,tetapi jika anda bisamenjadi contoh akanlebih baik.
:
Intonasitinggi(perintah)
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadatinggi(jengkel).
Tekanankeras
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadi didalam area pure
Tuturan terjadisaat ibadat mau dimulai
MT dan PTbertemu di depanpure ketika inginsembayang
PT mengangappakaian MTkurang pantas
Tujuan penuturagar MTmengantipakaiannyadengan pakaianyang lebih pantas
Jenisketidaksantunan:Menghilangkanmuka.
Maknaketidaksantunan:menegur.
Wujudketidaksantunan:
Penutur bermaksudmenyerang MTdengan kta-katateguran.
Penutur berbicaratanpa merasabersalah karenatelah menyinggungMT
Tindak verbal:representatif.
Tindak perlokusi: MTmenanggapi tuturanpenutur dengan pertanyaanyang sedikit kesal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
6.D6 MT:Sudah mulai dari
tadi ya?
PT :Bagaimanakamu ini tidak bisamenunggu kloterkedua , sembayangsudah mau selesaibaru datang.
Intonasiberita.
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadatinggi(sinis).
TekanantinggiDiksi:nonstandar
Tuturan terjadi didalam area pure
Tuturan terjadisaat ibadatberlangsung
MT datang danlangsungmengikutisembayangsambil bertanyadengan PT
Upacarasembayang sudahhampir selesai
Tujuan PT agarMT mengikutisembayang yangkloter kedua
Jenis ketidaksantunan:Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:menegur.
Wujud ketidaksantunan:Penutur berbicara menegurMT di hadapan orang lain
Tindak verbal:komisif.
Tindak perlokusi: MTbergumam terhadapkelakuan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
7. D7 MT:brottt,, tiutt(suara kentut)
PT : Tidak pernahdajari sopan santunya?
MT:maaf kelepasan.
Intonasi tanya Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadasedang(sindiran).
Tekananlembut
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadi didalam area pure
Tuturan terjadisaat ibadatberlangsung
PT merasajengkel
Keduanya sama-sama sedangkhusuksembayang
Tujuan PT agarjika MT merasakentut hendaknyakeluar sebentar
Jenis ketidaksantunan:Menghilangkan muka.
Makna ketidaksantunan:menegur.
Wujud ketidaksantunan:Penutur berbicara menegurMT di hadapan orang lain
Tindak verbal:ekspresif
Tindak perlokusi: MTmerasa dirinya tergangguoleh penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
TABULASI KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA
NO KODE TUTURANPENANDA KETIDAKSANTUNAN
PRESEPSIKETIDAKSANTUNAN
LINGUALNONLINGUAL(Topik dan Situasi)
1.E1 MT:heh kamu yang
keras dong suaranyajangan badan ajayang di gedein.
PT : Dasar kurangajar!
MT:hahahaasemangat .
berita. Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadatinggi(sinis).
Tekanantinggi
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadiketika latihan taridi samping pure.
MT merasatersingungdengan ejekanpenutur.
Tuturan terjadisaat latihan tariadat untukdigunakan dalamperayaan hariraya
Tujuan PT agarMT mengira PTmarah tetapisesunguhnyahanya bercanda.
Kesembronoanyang disengaja
Maknaketidaksantunan
Menegaskan Wujud
ketidaksantunan Penutur
menyinggung MT Tindak verbal:
komisif. Tindak perlokusi:
MT bergumamterhadap kelakuanpenutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
2.E2 MT:siapa yang
mengajarimu tarianseperti itu? (denganwajah sinis)
PT : Ngapainpengen tau?
MT: ndak, pengentau aja.
berita. Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadatinggi(sinis).
Tekanantinggi
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadi diaula asrama hindu
Tuturan munculkarena penuturmerasa kesalkepada MT tutur.
MT mengejekMT dengansindiran namundalam suasanasantai
PT menyadarijika ia sedang diejek oleh MT
Kesembronoanyang disengaja
Maknaketidaksantunan
Menegaskan Wujud
ketidaksantunan Penutur berbicara
dengan nada tinggi Tindak verbal:
representatif.Tindak perlokusi: MTmenanggapi tuturanpenutur dengan pertanyaanyang sedikit kesal
3.E3 MT: sudah lama aku
tak pernahsembayang di pure.
PT : Dasar kafir
MT: memangyakamu selalusembayang ke pure?
Intonasiberita.
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadatinggi(sinis).
Tekanantinggi
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadi didepan pure.
Penutur merasatersinggungdengan jawabanMT (menjawabdengansekenanya)
Tujuan PT agarMT lebih rajindatang
Kesembronoanyang disengaja
Maknaketidaksantunan
Menegaskan Wujud
ketidaksantunan Penutur mengejek
MT Tindak verbal:
representatif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
sembayang kepure
Keduanya adalahsahabat akrapyang sering salingejek
Tindak perlokusi:MT menanggapituturan penuturdengan pertanyaanyang sedikit kesal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
4.E4 MT: lagi malas aku
bantu- bantumembersihkangamelan
PT : besok kalaumati mayatnya maudi kubur sendiri
MT:hehehe capekaku.
Intonasiberita
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadasedang(sindiran).
Tekananlembut
Diksi:nonstandar
Tuturan terjadisaat perkumpulanpemuda agamahindu
Tuturan terjadisaat perkumpulanberlangsung
Tujuan PT agarMT maumembersihkangamelan
- Kesembronoan yangdisengaja
- Maknaketidaksantunan
Sindiran- Wujud
ketidaksantunan- Penutur
menyampaikannya didepan umat yanghadir.
- Tuturan penutursangat sembronokarena tidak melihatapa yang sebenarnyaterjadi.
- Tindak verbal:representatif.
- Tindak perlokusi: PTmenanggapi tuturanpenutur denganpertanyaan yangsedikit kesal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
5.E5 MT: serius banget
sembayangnya.(sambil colek-colek)
PT : Kamu kalaundak ganggu orangsembayang bisandak?
MT:huh bgitu sajamarah.
berita. Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadatinggi(sinis).
Tekanantinggi
Diksi: bahasanon standar
Tuturan terjadi didepan pure saatsembayangberlangsung
Tuturan terjadiantara umat
Tujuan PT agarMT tidakmengulangi halyang sama dikemudian hari
Kesembronoanyang disengaja
Maknaketidaksantunan
Menegaskan Wujud
ketidaksantunan PT berniat menegur
MT PT merasa
terganggu denganhal yang dilakukanoleh MT
Penutur laki lakiberusia 27 tahun.MT laki-laki,berusia 17 tahun.
Penutur telahmemperingatkanagar tidakmenggangu karenapenutur sedangsembayang.
Tindak verbal:ekspresif
Tindak perlokusi:MT merasa dirinyaterganggu oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
penutur
6.E6 MT:menari itu yang
bagus jangan begitu
PT :Itu motor sayaada kacanya”
MT: hehehehe
Intonasiberita
Nada tutur:penuturberbicaradengan nadasedang(sindiran).
TekananlemahDiksi:nonstandar
Tuturan terjadisaat latihan tari diasrama hindu
Tuturan terjadisaat sela-selaistirahat
PT merasa MTdalam menarimasih kurangbaik
Tujuan PT agarMT juga ikutberlatih
- Kesembronoan yangdisengaja
- Maknaketidaksantunan
Sindiran- Wujud
ketidaksantunan- Penutur
menyampaikannya didepan umat yanghadir.
- Tuturan penutursangat sembronokarena tidak melihatapa yang sebenarnyaterjadi.
- Tindak verbal:representatif.
- Tindak perlokusi:MT menanggapituturan penuturdengan pertanyaanyang sedikit kesal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
7. E7 MT: Adek kesinijangan lari-lariterus.(memangilanaknya)
PT : Jangan terlalumemanjakan
MT: Ya tak apa-apatoh itu anak sayasatu-satunya.
Intonasi seru. Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadasedang.
Tekanan:keras.
Diksi: bahasanonstandar
Tuturan terjadisaat setelahsembayamhselesai
PT merasaterganggu saatsembayang
MT merasatersinggung saatPTmemperingatkanagar MT jaganterlalumemanjakananaknya
Tujuan PT agarMT menasehatianaknya agartidak bermainsaat upacaraibadat
Kesembronoan yangdisengaja
Maknaketidaksantunan:menegur.
Wujudketidaksantunan: .
Penuturmenyampaikantuturannya dengancara sinis.
MT merasa dirinyadisalahkansedangkan penuturmerasa tidakbersalah
MT meyanggahtuturan penutursehingga terjadi adumulut
Tindak verbal:ekspresif
Tindak perlokusi:PT merasa dirinyaterganggu olehpenutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
8. E8MT:bukan gitunadanya
PT: santai lho, bli”kita khan latihanwajar kl masih belumbaik!
MT: ya! Makanyadengarkan dulu kalaudi beri contoh.
Intonasi seru. Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadatinggi
Tekanan:keras
Diksi: bahasanonstandar
Tuturan terjadisaat latihan tari diasrama hindu
Tuturan terjadisaat latihanberlangsung
MT merasa nadayang di ucapkanPT tidak tepat
Tujuan MT agarPT maumendengarkanjika sedang diberi contoh
Kesembronoanyang disengaja
Maknaketidaksantunan:menegur.
Wujudketidaksantunan: .
Penuturmenyampaikantuturannya dengancara sinis.
MT merasa dirinyadisalahkansedangkan penuturmerasa tidakbersalah
MT meyanggahtuturan penutursehingga terjadi adumulut
Tindak verbal:ekspresif
Tindak perlokusi: PTmerasa dirinya tergangguoleh penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
9. E9MT: Nanti anda yangmenjelaskan ya!
PT : ndak –ndak sayandak bisa ! anda saja.
MT:tidak apa-apasilahkan,
PT: ubuan jelemeto(binatang orangitu) (kata kasar diucapkan lirih) yasudah saya jawabsebisanya.
Intonasi seru. Nada tutur:
penuturberbicaradengan nadatinggi
Tekanan:keras.
Diksi: bahasanonstandar
Tuturan terjadi didepan pure saatsering
Tuturan terjadiantara umat
Umat salingmelempartanggung jawab
PT merasa kesalkarena MT asalmenunjuk
- Kesembronoan yangdisengaja
- Maknaketidaksantunan
Sindiran- Wujud
ketidaksantunan- Penutur
menyampaikannya didepan umat yanghadir.
- Tuturan penutursangat sembronokarena mengucapkankata yang kurangpantas .
- Tindak verbal:representatif.
- Tindak perlokusi:MT menanggapituturan penuturdengan peryataanyang sedikit kesal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PARAMETER PENENTU KETIDAKSANTUNAN
No.
JenisKetidaksantunan
Linguistik Pragmatik
Nada Tekanan Intonasi Diksi Situasi Suasana Partisipan
1. MelecehkanMuka Tuturandikatakandengan nadasedang(sinis,sindiran)dan nadatinggi(jengkel)
Tuturandikatakandengantekanansedangdanlemah
Intonasiberita (turun),intonasitanya (naik),intonasiperintah (tinggi)
Standar Nonstandar Bahasa
popular Jargon
(digunakanuntuk orangataukelompoktertentu)
Katapercakapan
Tempatsuatututuranterjadi: dimanasaja
Waktusuatututuranterjadi:kapansaja
Keadaanketikaterjadisuatututuran:santai, serius
Orang yangterlibatdalamtuturan: siapasajayangtermasukdalamanggotakeluarga
2. Kesembronoan(Menimbulkankonflik)
Tuturandikatakandengan nadasedang(sindiran)dan nadarendah(pemberi-tahuan)
Tuturandikatakandengantekanansedangdanlemah
Intonasiberita (turun)danintonasitanya (naik)
Bahasa Bahasapopul
er Slang dan
jargon(digunakanuntuk orangyangsebayadankelompoktertentu)
Tempatsuatututuranterjadi: dimanasaja
Waktusuatututuranterjadi:kapansaja
Keadaanketikaterjadisuatututuran: santai
Orang yangterlibatdalamtuturan: siapasajayangtermasukdalamanggotakeluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. MenghilangkanMuka
Tuturandikatakandengan nadatinggi(marah,kecewa),sedang(sindiran),rendah(pemberitahuan)
Tuturandikatakandengantekanankerasdansedang
Intonasiberita (turun),intonasitanya (naik),intonasiperintah (tinggi)
Standar Nonstandar Bahasapopul
er Jargon
(digunakanuntuk orangkelompoktertentu)
Ilmiah
Tempatsuatututuranterjadi: dimanasaja
Waktusuatututuranterjadi:kapansaja
Keadaanketikaterjadisuatututuran:tegang, serius
Orang yangterlibatdalamtuturan: siapasajayangtermasukdalamanggotakeluarga
4. MengancamMuka
Tuturandikatakandengan nadatinggi(marah,kecewa)dansedang(sindiran,sinis)
Tuturan`dikatakandengantekanankerasdansedang
Intonasiberita (turun),intonasitanya (naik),intonasiperintah (tinggi)
Standar Nonstandar Bahasapopul
er Jargon
(digunakanuntuk orangkelompoktertentu)
Idiom
Tempatsuatututuranterjadi: dimanasaja
Waktusuatututuranterjadi:kapansaja
Keadaanketikaterjadisuatututuran:tegang, serius
Orang yangterlibatdalamtuturan: siapasajayangtermasukdalamanggotakeluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5. MelanggarNorma
Tuturandikatakandengan nadatinggi(marah,kecewa),sedang(sindiran),rendah(pemberitahuan)
Tuturandikatakandengantekanankerasdansedang
Intonasiberita (turun),intonasitanya (naik),intonasiperintah (tinggi)
Tempatsuatututuranterjadi: dimanasaja
Waktusuatututuranterjadi:kapansaja
Keadaanketikaterjadisuatututuran:santai, serius
Orang yangterlibatdalamtuturan: siapasajayangtermasukdalamanggotakeluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yustinus kurniawan lahir di Yogyakarta, tanggal 21
November 1990. Ia menyelesaikan pendidikan tingkat
sekolah dasar di SD Santa Theresia Marsudirini,
Kalibawang Kulonprogo Yogyakarta pada tahun 2003.
Kemudian, ia melanjutnya studinya di Sekolah Menengah
Pertama di Pangudi Luhur 1 kalibawang Kulonprogo Yogyakarta dan tamat pada
tahun 2006. Pendidikan tingkat menengah atas ditempuhnya di SMA Pangudi
Luhur Sedayu Bantul dan lulus pada tahun 2009. Setelah menyelesaikan sekolah
tingkat menengah atas, ia melanjutnya studi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Masa pendidikan S1 tersebut berakhir pada tahun 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI