Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KETERLIBATAN ORANG TUA DALAM
PENDIDIKAN ANAK DENGAN DISABILITAS DI
UNIT PELAYANAN DISABILITAS KOTA
TANGERANG SELATAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos)
Disusun oleh :
Gita Abyanti Sanjaya
NIM 11150541000066
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
i
ABSTRAK
Gita Abyanti Sanjaya (11150541000066)
Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan Anak dengan
Disabilitas di Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang
Selatan.
Anak Penyandang Disabilitas adalah mereka yang
seringkali tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dan
pendidikan. Untuk itu keterlibatan orang tua dibutuhkan terutama
dalam hal pendidikan, karena orang tua lah yang paling
memahami kondisi perkembangan dan kebutuhan anak mereka.
Adapun dasar landasan yuridis mengenai keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak tercantum dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal
7 Ayat 1 yang berisi: “Orang tua berhak berperan serta dalam
memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang
perkembangan anaknya”. Oleh karena itu, dibutuhkan
keterlibatan aktif dari orang tua dalam menumbuhkembangkan
partisipasi mereka pada proses belajar di rumah maupun di
sekolah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
bentuk keterlibatan orang tua dalam pendidikan dan bagaimana
dampak keterlibatan orang tua bagi kemandirian anak dengan
disabilitas di Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan.
Penelitian ini menggunakan pendektan kualitatif jenis deskriptif.
Teknik pengumpulan data diperoleh dari wawancara, observasi,
dan studi dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari enam bentuk
keterlibatan orang tua dalam pendidikan, satu bentuk keterlibatan
tergolong tingggi yaitu tipe sukarelawan, satu bentuk keterlibatan
tergolong sedang yaitu tipe kerja sama dengan komunitas
masyarakat, satu lainnya berada pada kategori rendah yaitu tipe
komunikasi. Sementara tiga bentuk keterlibatan sisanya
mengalami hasil yang beragam, di mana tidak ada hasil yang
mendominasi yaitu pada tipe; 1) pendidikan orang tua; 2)
pembelajaran di rumah; dan 3) membuat keputusan. Adapun
dampak keterlibatan orang tua bagi kemandirian anak terbagi
menjadi tiga area yaitu; (1) area bekerja, (2) area bina diri, dan
(3) area komunikasi dan sosialisasi.
Kata Kunci : Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan, Anak
Penyandang Disabilitas.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah atas limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan sebaik-baiknya, yang ditujukan sebagai persyaratan
mendapatkan gelar sarjana strata I. Shalawat serta salam tidak
lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan sahabatnya yang senantiasa berjalan di jalan Allah
hingga akhir zaman dan yang membawa ajaran Islam sebagai
rahmat bagi semesta alam.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini
masih banyak kekurangan baik dari segi isi ataupun teknik
penulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
penyusunan skripsi ini.
Pada kesempatan ini dengan tidak mengurangi rasa
hormat, penulis ingin menyampaikan ungkapan terimakasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu, memotivasi, dan
memberikan arahan-arahan terhadap penulis untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Suparto, M.Ed., Ph.D sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Ibu Dr. Siti Napsiyah Ariefuzzaman, MSW sebagai
Wakil Dekan Bidang Akademik. Bapak Dr. Sihabuddin Noor,
M.A sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum.
iii
Bapak Drs. Cecep Sastrawijaya, MA sebagai Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan.
2. Bapak Ahmad Zaky, M.Si, sebagai Ketua Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu
Hj. Nunung Khoiriyah, MA selaku Sekretaris Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Arief Subhan, M.Ag, sebagai dosen
pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
arahan dan masukan positif kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Para Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial yang telah
memberikan wawasan dan keilimuan serta membimbing saya
dalam mengikuti perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Para Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan
seluruh Civitas Akademika yang telah memberikan
sumbangan wawasan dan keilmuan dan membimbing saya
selama mengikuti perkulian di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, terimakasih telah membantu saya dalam memberikan
referensi buku, jurnal maupun skripsi.
7. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis, yaitu ayahanda
Abas Sanjaya dan ibunda Hamidah, yang telah mencurahkan
segenap kasih sayangnya serta senantiasa memberikan
dukungan dan doa kepada penulis dalam menempuh
pendidikan.
8. Teruntuk orang tua asuh penulis, yaitu ayahanda Husen dan
ibunda Hindun yang menjalankan figur pengganti orang tua di
saat kedua orang tua kandungku sibuk bekerja. Terimakasih
atas kebaikan, dukungan dan doa yang telah diberikan kepada
penulis.
9. Kakak kandungku yaitu Pracynthia dan Keponakanku Oryzia
yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
10. Kepada sahabat seperjuangan “Kumbang” yaitu Alvionita
Rizqi Aulia, Elyya Nindiyani, Indah Choirunnisa, Lailatun
Najah, Karimah Marwaziah, Tiara Izmi Nabilla dan Nesa
Putri Syafia yang selalu menjadi system support dan
senantiasa memberikan dukungan, semangat, kritik dan
masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
11. Teman-teman Program Studi Kesejahteraan Sosial 2015 yang
telah memberikan warna-warni di kelas dan merasakan
perjuangan bersama dalam meraih gelar sarjana strata I.
12. Ketua, Pengurus dan Jajaran Staff Unit Pelayanan Disabilitas
Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melakukan penelitian, khususnya
kepada Bapak Adi Supanggih yang telah banyak membantu
pada saat proses penelitian.
13. Para Orang tua binaan dan anak-anak binaan di Unit
Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan.
v
14. Kakak-kakak senior Program Studi Kesejahteraan Sosial 2014
yang selalu bersedia membantu dan memberikan arahan
kepada penulis dalam menyusun skripsi yaitu Kak Yulianti,
S.Sos., dan Kak Endah Ambarsari, S.Sos.
15. Teman-teman WSFams, Arabikukurasu dan para sahabat
penulis yang telah memberikan dukungan dan tawa sehingga
penulis tidak merasa jenuh dalam penulisan skripsi ini.
16. Keluarga besar Desa Ujung Alang Kecamatan Kampung Laut
Cilacap Jawa Tengah yang sudah penulis anggap sebagai
keluarga sendiri, terutama yaitu Bapak Ujang, Ibu Miyati dan
kedua adikku yaitu Revan dan Hanif yang telah memberikan
dukungan, semangat dan doa kepada penulis dalam
menempuh pendidikan.
17. Teman-teman Peer Counselor LK3 dan Center for Students
with Special Needs (CSSN) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
atas dukungan, kesempatan dan pengalaman yang tidak bisa
didapat di tempat lain.
18. Semua pihak yang telah memberi dukungan, bantuan baik
moril maupun materil sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini.
Demikianlah skripsi ini penulis persembahkan, penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khusunya dan
semua pembaca pada umumnya.
Ciputat, 5 Juli 2019
Gita Abyanti Sanjaya
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................... vi
DAFTAR TABEL ....................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .................................................................. xi
DAFTAR BAGAN ..................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Identifikasi Masalah............................................................. 8
C. Batasan Masalah .................................................................. 8
D. Rumusan Masalah ................................................................ 9
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 9
F. Tinjauan Kajian Terdahulu ................................................ 10
G. Metodologi Penelitian ........................................................ 14
H. Sistematika Penulisan ........................................................ 25
BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................... 29
A. Landasan Teori .................................................................. 29
1. Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan ................... 29
a. Definisi Keterlibatan Orang Tua dalam kkk
Pendidikan ............................................................... 29
b. Bentuk Keterlibatan Orang Tua dalam kkk
Pendidikan ............................................................... 31
vii
c. Manfaat Keterlibatan Orang Tua dalam kkk
Pendidikan ............................................................... 49
2. Pendidikan Anak Disabilitas ......................................... 51
a. Pendidikan Inklusif ................................................. 51
b. Pendidikan Luar Biasa ............................................. 54
c. Pendidikan Berkebutuhan Khusus ........................... 55
3. Anak Penyandang Disabilitas ....................................... 61
a. Definisi Anak Penyandang Disabilitas .................... 62
b. Jenis-Jenis Anak Penyandang Disabilitas ................ 61
c. Konsep Kemandirian Anak Disabilitas.................... 67
B. Kajian Pustaka ................................................................... 72
C. Kerangka Berpikir ............................................................. 75
BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA .......................... 79
A. Profil Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang kkk
Selatan................................................................................ 79
B. Struktur Organisasi Unit Pelayanan Disabilitas Kota kkk
Tangerang Selatan ............................................................. 82
C. Tenaga Pelayanan .............................................................. 86
D. Jumlah Klien dan Tipe Klien ............................................. 87
E. Sarana dan Prasarana ......................................................... 87
F. Program Pelayanan Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan ............................................................. 88
G. Alur dan Prosedur Pelayanan Klien ................................... 98
H. Sumber Dana dan Kerjasama Unit Pelayanan kkkk
Disabilitas Kota Tangerang Selatan................................. 103
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN .................. 105
A. Profil Informan ................................................................ 105
B. Bentuk Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan ......... 111
1. Tipe 1= Pendidikan Orang Tua jjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
(Parenting Education) ................................................ 112
2. Tipe 2= Komunikasi ................................................... 118
3. Tipe 3= Sukarelawan (Volunteering) .......................... 124
4. Tipe 4= Pembelajaran di Rumah ................................ 128
5. Tipe 5= Membuat Keputusan...................................... 135
6. Tipe 6= Kerjasama dengan Komunitas Masyarakat ... 138
C. Kemandirian Anak Disabilitas ......................................... 141
1. Area Bekerja ............................................................... 142
2. Area Bina Diri ............................................................. 148
3. Area Komunikasi dan Sosialisasi................................ 151
D. Manfaat Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan ....... 155
BAB V PEMBAHASAN ......................................................... 159
A. Bentuk Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan ......... 159
1. Tipe 1= Pendidikan Orang Tua ................................... 160
2. Tipe 2= Komunikasi ................................................... 161
3. Tipe 3= Sukarelawan .................................................. 164
4. Tipe 4= Pembelajaran di Rumah ................................ 165
5. Tipe 5= Membuat Keputusan...................................... 167
6. Tipe 6= Kerjasama dengan Komunitas Masyarakat ... 168
B. Kemandirian Anak Disabilitas ......................................... 169
1. Area Bekerja ............................................................... 170
2. Area Bina Diri ............................................................. 172
3. Area Komunikasi dan Sosialisasi................................ 173
C. Manfaat Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan ....... 175
ix
BAB VI PENUTUP ................................................................. 177
A. Kesimpulan ...................................................................... 177
B. Implikasi .......................................................................... 179
C. Saran ................................................................................ 180
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 183
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pedoman Wawancara ................................................ 19
Tabel 3.1 Program UPD Tangsel .............................................. 88
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Belajar Menulis ..................................................... 90
Gambar 3.2 Bernyanyi Bersama ............................................... 90
Gambar 3.3 Mengenal Warna ................................................... 90
Gambar 3.4 Belajar Memasak ................................................... 90
Gambar 3.5 Menyapu ................................................................ 90
Gambar 3.6 Proses Penerimaan Anak Binaan di luar Panti kk
atau Non Panti YSI-B ............................................. 98
Gambar 3.7 Alur Metode Penanganan Klien ............................ 99
Gambar 4.1 Foto Absensi Kegiatan .......................................... 126
Gambar 4.2 Foto Kegiatan Penyuluhan Kesehatan................... 127
Gambar 4.3 Sarana Belajar Anak di Rumah ............................. 129
Gambar 4.4 Foto pada saat H dan A Melatih Fokus ................. 134
Gambar 4.5 Foto A pada saat bersih-bersih .............................. 146
Gambar 4.6 Foto T pada saat belajar ........................................ 147
Gambar 4.7 Foto Penulis bersama dengan S ............................. 148
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian ................................... 77
Bagan 3.1 Struktur Organisasi Lembaga .................................. 82
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Pernyataan Program Studi Proposal Skripsi
yang Diajukan Memiliki Unsur Kebaruan
Lampiran 2 Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 3 Surat Izin Peneltian
Lampiran 4 Panduan Observasi Keterlibatan Orang Tua dalam
Pendidikan
Lampiran 5 Panduan Observasi Kemandirian Anak Disabilitas
Lampiran 6 Hasil Observasi
Lampiran 7 Pedoman Wawancara
Lampiran 8 Transkip Wawancara
Lampiran 9 Foto Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang mendapat perhatian
oleh seluruh bangsa. Hal ini disebabkan karena keadaan
suatu bangsa dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya manusia
di dalamnya. Sumberdaya manusia yang berkualitas
merupakan hasil suatu proses pendidikan yang dapat
membangun bangsa ke arah tujuan yang akan dicapai oleh
bangsa tersebut (Jamaris 2010, 3). Pendidikan adalah hal
yang mutlak dalam membangun generasi penerus bangsa
agar mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, sehingga
perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana,
terarah, dan berkesinambungan (Nasrawaty 2016, 1).
Pendidikan merupakan hal wajib bagi setiap warga
negara, tanpa melihat ras, suku dan agama. Bahkan sekat-
sekat harus dihilangkan termasuk bagi kaum miskin dan
kelompok disabilitas. Menurunnya kualitas pendidikan di
Indonesia membuat Indonesia tertinggal dari negara lainnya
di Asia. Hal ini memicu ketertindasan anak disabilitas dalam
memperoleh pendidikan yang layak. Berdasarkan sensus
2010 yang bersumber dari Aceh Tribun News, menyebutkan
bahwa dari keseluruhan jumlah anak berusia nol sampai
delapan belas tahun, tiga juta anak di antara nya mengalami
disabilitas dan hanya empat persen yang memperoleh
2
pendidikan. Tindakan diskriminasi terhadap anak
penyandang disabilitas masih belum bisa dihilangkan,
tindakan tersebut bahkan datang dari keluarga mereka
sendiri. Seperti halnya mengurung anak mereka di rumah,
dianggap tidak berguna serta dikucilkan dari sekolah dan
masyarakat. Menurut Laporan Sosial Anak di Dunia 2013,
Anak Penyandang Disabilitas adalah mereka yang seringkali
tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan
(Bakri 2015).
Berdasarkan data Lembaga Dinas Sosial Tangerang
Selatan, jumlah penyandang disabilitas pada tahun 2016
berjumlah 360 orang penyandang disabilitas dewasa sudah
termasuk laki-laki dan perempuan. Sedangkan jumlah anak
penyandang disabilitas sebanyak 104 orang mencakup anak
perempuan dan laki-laki. Data tersebut sudah termasuk
penyandang disabilitas yang dikelola maupun yang tidak
dikelola oleh pihak Dinas Sosial Tangerang Selatan.
Sedangkan pada tahun 2017, tercatat sejumlah 75 orang
penyandang disabilitas yang dikelola oleh pihak Dinas Sosial
Tangerang Selatan (Farah 2018, 6).
Peran orang tua sangat penting bagi pendidikan anak
terlebih pada anak berkebutuhan khusus. Pendidikan dalam
keluarga menjadi pondasi dasar bagi anak di masa
mendatang, hal ini menjadikan orang tua sebagai sekolah
pertama bagi anak-anaknya (Darmono 2015, 1). Selain itu,
belajar di sekolah atau lembaga pendidikan dengan
bimbingan guru nampaknya belum dapat dijadikan satu-
3
satunya langkah keberhasilan dari proses pembelajaran bagi
anak-anak di Indonesia, terutama anak berkebutuhan khusus.
Kebanyakan mereka membutuhkan peran dan keterlibatan
orang tua sebagai guru di rumah. Sejak 1980-an, keterlibatan
orang tua dengan sekolah menjadi sebuah isu besar yang
harus dipertimbangkan policy maker pendidikan (Nurhayati
2016).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pencapaian
siswa meningkat jika orang tua mengambil peran aktif dalam
pendidikan anak-anak mereka. Sebagaimana yang
ditunjukkan oleh hasil penelitian Harvard Family Research
Project‟s (HFRS) yang mengungkapkan bahwa keterlibatan
orang tua berkaitan erat dengan perkembangan maupun
prestasi anak. Untuk itu, keterlibatan orangtua sangat penting
bagi pendidikan anak terlebih pada anak penyandang
disabilitas (Inspirasi 2018).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim,
Nabi Muhammad SAW. bersabda sebagai berikut:
مانحل والد والدامن نحل أفضل من أدب حسن
Artinya:
“Tidak ada satu pemberian orang tua yang lebih
utama kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (H.R.
Al Hakim: 7679) (Ichwan 2018).
Berdasarkan hadits tersebut terlihat bahwa
keterlibatan orangtua terhadap pendidikan anak disabilitas
menjadi tugas utama dalam keluarga. Adapun landasan
yuridis mengenai keterlibatan orang tua dalam pendidikan
4
Anak tercantum dalam (“Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 7
Ayat 1.” 2003) yang berisi: “Orang tua berhak berperan serta
dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi
tentang perkembangan anaknya”. Hal tersebut, menujukkan
bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak adalah
hal mutlak yang harus dilakukan pada setiap lembaga
pendidikan, sehingga mampu mengoptimalkan pencapaian
perkembangan dan tujuan program pendidikan anak (Diadha
2015, 62).
Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya suatu mutu dan kualitas output pendidikan ialah
adanya keterlibatan dari pihak orang tua. Seorang anak dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik jika mendapat
perhatian dari orangtua, terutama dalam hal pendidikan
(Musyawarah 2013, 2). Keterlibatan orangtua sangat
dibutuhkan pada setiap proses program pendidikan untuk
anak penyandang disabilitas. Seperti hal melayani,
membantu kegiatan di kelas, memberikan perhatian pada saat
terapi dan melanjutkan proses di rumah serta mempelajari
keterampilan baru yang dilatihkan (Mangunsong 2016, 176).
Untuk itu, dibutuhkan peran aktif orang tua dalam
menumbuhkembangkan partisipasi mereka pada proses
belajar mengajar di rumah maupun di sekolah (Nasrawaty
2016, 5).
Perlu adanya keterlibatan dari berbagai pihak, di
mana bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak
5
pemerintah saja melainkan pula pihak swasta dalam
memberikan pelayanan yang baik bagi anak penyandang
disabilitas. Hal ini sebagaimana terdapat dalam (“Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas Bab I Pasal 1 Ayat 14” 2016) menyatakan bahwa:
“Unit Layanan Disabilitas adalah bagian dari satu Institusi
atau lembaga yang berfungsi sebagai penyedia layanan dan
fasilitas untuk penyandang disabilitas” (Nurman 2017, 3).
Dalam hal ini, Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan (UPD Tangsel) merupakan sebuah wadah
yang dibentuk untuk menjangkau anak-anak penyandang
disabilitas di wilayah kota Tangerang Selatan. Hal tersebut
menjadikan UPD Tangsel sebagai mitra dari Pemerintahan
Kota Tangerang Selatan dalam memberikan pelayanan bagi
anak-anak penyandang disabilitas di wilayah Kota Tangerang
Selatan. Di mana salah satu program pelayanan yang ada di
Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan adalah
Program Pendidikan Anak Disabilitas. Yayasan Sayap Ibu-
Bintaro (YSI-B) dan Unit Pelayanan Disabilitas (UPD) Kota
Tangerang Selatan merupakan satu kesatuan, UPD Tangsel
dapat dikatakan sebagai turunan dari YSI-B yang sebenarnya
dibuat untuk mempermudah akses bagi anak-anak
penyandang disabilitas di sekitar lingkup Tangerang Selatan
dengan tetap mengimplementasikan standar layanan yang
diberikan oleh Yayasan Sayap Ibu Cabang Banten.
Dibentuknya UPD Tangsel juga sebagai bentuk
pengembangan ide dari divisi Pengembangan Pelayanan
6
yang menginginkan bahwa tidak hanya di panti saja anak-
anak mendapatkan pelayanan, namun juga bagi mereka yang
memang masih memiliki keluarga perlu mendapatkan
pelayanan (bersifat non panti). UPD Tangsel dibentuk
sebagai jawaban dari pengembangan pelayanan yang
dilakukan oleh YSI-B untuk anak-anak disabilitas yang sulit
mengakses keberadaan panti YSI-B. Pelayanan yang
diberikan di UPD Tangsel tidak berbeda dengan pelayanan
yang diberikan oleh YSI-B di Panti kepada anak dengan
disabilitas, yang membedakan adalah keterlibatan
masyarakat sebagai relawan dalam setiap kegiatan UPD.
Salah satu program pelayanan sosial yang terdapat di
UPD Tangsel adalah Program Pendidikan Anak Disabilitas.
Gearheart dalam buku Mangunsong (2014) mengatakan
bahwa seorang anak dianggap berkelainan bila “memerlukan
persyaratan pendidikan yang berbeda dari rata-rata anak
normal, dan untuk dapat belajar secara efektif memerlukan
program, pelayanan, fasilitas dan materi khusus.”
(Mangunsong 2014, 3). Pelayanan pendidikan khusus
dibutuhkan bagi anak-anak yang mengalami hambatan atau
keterbelakangan fungsi kecerdasan atau intelektual, serta
keterlambatan dalam fungsi fisik sehingga dapat
mengembangkan kemampuan yang dimiliki secara optimal
(Maftuhatin 2014, 204).
Sejalan dengan hal tersebut, UPD Tangsel sudah
melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan sosial
kepada anak penyandang disabilitas terutama dari segi
7
pendidikan. Dalam hal ini, Program Pendidikan Anak
Disabilitas yang ada di UPD Tangsel memberikan
kesempatan bagi pihak orang tua binaan untuk terlibat dalam
proses pendidikan anak mereka. Pihak lembaga dan orang
tua dapat saling memberi masukan demi perkembangan
anak-anak binaan UPD Tangsel. Hasil yang diharapkan
dengan adaanya keterlibatan pihak orang tua adalah
menciptakan kemandirian bagi sang anak.
Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam (“Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
Nasional Bab XI Pasal 32 Ayat 1” 2003) yang berbunyi:
“Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa”.
Dengan demikian penting untuk diketahui bagaimana
realita keterlibatan orangtua dalam Pendidikan Anak
Disabilitas di Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang
Selatan, serta sejauh mana dampak keterlibatan orangtua bagi
kemandirian sang anak. Berdasarkan latar belakang masalah
di atas, penulis tertarik untuk mengkaji penelitian dengan
judul: ”KETERLIBATAN ORANGTUA DALAM
PENDIDIKAN ANAK DENGAN DISABILITAS DI
UNIT PELAYANAN DISABILITAS KOTA
TANGERANG SELATAN.”
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah
dipaparkan dapat peneliti identifikasi masalah apa saja yang
ada penelitian ini yaitu:
1. Anak dengan disabilitas membutuhkan peran serta
keterlibatan orang tua terutama dalam hal pendidikan,
karena orang tua lah yang mengerti kondisi dan kebutuhan
sang anak.
2. Partisipasi dan keterlibatan orang tua dibutuhkan pada
pendidikan anak dengan disabilitas demi meningkatkan
dan mengembangkan potensi anak.
3. Program Pendidikan Anak Disabilitas UPD Tangsel
mendukung dan memberikan kesempatan bagi para orang
tua untuk dapat berpartisipasi, hal ini dilakukan demi
menciptakan kemandirian pada sang anak.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah
di atas, diperlukan pembatasan masalah dalam penelitian
yang akan dilakukan agar tidak meluas dan mudah dipahami.
Maka pada penelitian ini, difokuskan untuk melihat bentuk
keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak dengan
disabilitas serta dampak keterlibatan orang tua bagi
kemandirian anak dengan disabilitas di Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan.
9
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka
rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Bentuk Keterlibatan Orang Tua dalam
Pendidikan Anak dengan Disabilitas di Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan?
2. Bagaimana Dampak Keterlibatan Orang Tua bagi
Kemandirian Anak dengan Disabilitas di Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini
dilakukan guna memperoleh gambaran yang jelas
mengenai:
a. Deskripsi tentang bentuk keterlibatan orang tua dalam
pendidikan anak dengan disabilitas di Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan.
b. Deskripsi tentang dampak keterlibatan orang tua bagi
kemandirian anak dengan disabilitas di Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
hasil penelitian yang telah ada sebelumnya, dan dapat
memberikan wawasan serta pengetahuan mengenai
10
keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak dengan
disabilitas. Kemudian dapat mengembangkan teori dan
keilmuan khususnya pada ranah disabilitas. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan
referensi dan atau pembanding bagi penelitian relevan
lainnya.
b. Manfaat Praktis
1) Penulis
Penulis dapat menambah wawasan tentang
keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak dengan
disabilitas. Kemudian sebagai sarana peneliti untuk
memperluas dan menerapkan ilmu pengetahuan yang
diperoleh.
2) Akademis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
berguna bagi keilmuan bidang kesejahteraan sosial
dan profesi pekerja sosial.
3) Orangtua dengan Anak Penyandang Disabilitas
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu
memberikan informasi dan wawasan, khususnya bagi
orangtua yang memiliki anak penyandang disabilitas.
F. Tinjauan Kajian Terdahulu
Penulis menggunakan beberapa literatur penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan penelitian penulis, guna
membantu dalam menyusun skripsi. Kajian pustaka yang
penulis gunakan sebagai berikut:
11
1. Skripsi karya Desi Haryanti Dewangga (2018) Mahasiswa
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Psikologi
dengan judul “Hubungan antara Persepsi terhadap
Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan dan Motivasi
Berprestasi pada Siswa Sekolah Dasar”. Pada penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan
antara persepsi keterlibatan orang tua dalam pendidikan
terhadap motivasi berprestasi anak mereka (D. D.
Haryanti 2018). Persamaan penelitian Desi dengan
penelitian peneliti adalah tentang bagaimana orang tua
berpartisipasi dan memiliki peran dalam pendidikan anak
mereka. Perbedaannya terletak pada jenis penelitan yang
digunakan Desi menggunakan jenis penelitian kuantitatif,
sedangkan jenis penelitian peneliti adalah kualitatif. Objek
penelitiannya pun berbeda, di mana pada penelitian Desi
adalah para orang tua dari siswa sekolah dasar sedangkan
pada penelitian peneliti adalah para orang tua yang
memiliki anak penyandang disabilitas. Selain itu pada
penelitian Desi membahas bagaimana hubungan antara
keterlibatan orang tua dengan motivasi berprestasi sang
anak. Sedangkan pada penelitian peneliti melihat sejauh
mana keterlibatan orang tua berdampak pada kemandirian
anak dengan disabilitas.
2. Penelitian relevan selanjutnya yaitu Tesis karya
Musyawarah (2013) Mahasiswa Pacsa Sarjana Universitas
Pendidikan Indonesia, Jurusan Pendidikan Kebutuhan
12
Khusus yang berjudul “Keterlibatan Orang Tua dalam
Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di SLB X
Kota Makassar”. Persamaan penelitian Musyawarah
dengan penelitian peneliti adalah tentang bagaimana
keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak
berkebutuhan khusus. Perbedaannya adalah jika penelitian
Musyawarah membahas tentang rancangan program yang
dapat meningkatkan keterlibatan orangtua dalam layanan
pendidikan. Sedangkan pada penelitian peneliti membahas
tentang dampak keterlibatan orang tua bagi kemandirian
anak disabilitas. Selain itu, jenis penelitan yang digunakan
Musyawarah menggunakan jenis penelitian kombinasi
(Mixed Method) dengan menggunakan desain triangulasi
(triangulation design), sedangkan penulis menggunakan
jenis penelitian kualitatif. Hasil penelitian didapati bahwa
dari keenam bentuk keterlibatan, empat di antara nya
menunjukkan bahwa keterlibatan orangtua dalam layanan
pendidikan anak berkebutuhan khusus tergolong rendah
(Musyawarah 2013).
3. Journal Of Educational Psychology. Karya L. Christa,
Green dan M. Joan T. Walker. (2007). American
Psychological Association dengan judul “Parents‟
Motivations for Involvement in Children‟s Education: An
Empirical Test of Theoretical Model of Parental
Involvement”. Vol. 99 No. 3. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia anak
13
maka semakin rendah keterlibatan orang tua baik di rumah
maupun di sekolah (Christa dan Joan 2007). Selain itu
tingkat keterlibatan orang tua terlihat lebih besar
dibandingkan dengan pihak sekolah dalam hal pendidikan
anak. Persamaan penelitian ini dengan penelitian peneliti
adalah sama-sama melihat bagaimana keterlibatan orang
tua dalam pendidikan anak baik di rumah dan di sekolah.
Perbedaannya adalah metode yang digunakan pada
penelitian ini adalah metode kuantitatif, sedangkan
metode pada penelitian peneliti adalah kualitatif. Selain
itu objek penelitian pun berbeda, di mana objek pada
penelitian ini adalah para orang tua yang memiliki anak
sekolah dasar dan menengah dan bukan penyandang
disabilitas. Sedangkan objek penelitian peneliti adalah
para orang tua dengan anak penyandang disabilitas usia
sekolah.
4. Jurnal Penelitian Karya Budiasih Retno. F, Marina Dwi.
M dan Jehan Safitri (2017). Mahasiswa Universitas
Lambung Mangkurat, Program Studi Psikologi yang
berjudul “Dinamika Keterlibatan Orangtua dalam Terapi
Anak Keterlambatan Bicara di Fusfa Klinik Psikologi dan
Pusat Terapi”. Penelitian ini menjelaskan bahwa
keterlibatan orang tua penting bagi proses dan
keberhasilan anak dalam terapi wicara (Retno, Marina,
dan Jehan 2017). Persamaan penelitian Budiasih, dkk
dengan penelitian peneliti adalah sama-sama melihat
14
bahwa orang tua memiliki peran penting dalam
perkembangan anak serta melihat apa saja faktor
pendukung dan penghambat dari keterlibatan orang tua.
Perbedaan penelitian terletak pada hal yang diteliti, jika
pada penelitian Budiasih dkk terfokus pada bagaimana
keterlibatan orang tua berpengaruh bagi proses dan
keberhasilan dalam terapi bicara sang anak. Sedangkan
dalam penelitian peneliti melihat bagaimana bentuk
keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak dengan
disabilitas, serta sejauh mana keterlibatan orang tua
berdampak bagi kemandirian sang anak.
G. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif, yaitu metode penelitian yang
digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah
(sebagai lawan dari eksperimen), di mana peneliti
merupakan instrumen kunci, tekik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (gabungan), data yang
dianalisis bersifat induktif. Penakanan pada makna terlihat
pada hasil penelitian kualitatif (Nurman 2017, 10).
Penelitian kualitatif memandang bahwa makna
adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman
seseorang dalam kehidupan sosialnya bersama orang lain.
Makna bukan sesuatu yang lahir di luar pengalaman objek
penelitian atau peneliti, akan tetapi menjadi bagian terbesar
15
dari kehidupan penelitian ataupun objek penelitian (Bungin
2008, 5).
Menurut Soekanto (1984) pendekatan kualitatif
merupakan tata cara penelitian yang menghasikan data
deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden
berupa kata-kata tertulis, lisan dan perilaku yang nyata yang
dipelajari adalah objek penelitian yang utuh (Soekanto 1984,
132).
Dengan pendekatan kualitatif, diharapkan fakta-
fakta yang ada di lapangan dapat digali lebih dalam, guna
mendapatkan gambaran secara lengkap. Dengan kata lain,
pendekatan kualitatif dipandang sebagai pendekatan yang
tepat pada penelitian ini, karena dengan pendekatan
kualitatif diharapkan dapat menjelaskan dan
menggambarkan bagaimana keterlibatan para orang tua
dalam pendidikan anak mereka yang merupakan
penyandang disabilitas dan penerima manfaat di Unit
Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai pada penelitian ini
adalah penelitian kualitatif deskriptif, di mana dapat
diuraikan dengan kata-kata menurut pendapat informan, apa
adanya sesuai dengan pertanyaan penelitiannya, kemudian
dianalisis pula dengan kata-kata apa yang melatarbelakangi
responden berperilaku (berpikir, berperasaan dan bertindak)
seperti itu tidak seperti lainnya, direduksi, ditriangulasi,
16
disimpulkan (diberi makna oleh peneliti), dan diverifikasi
(dikonsultasikan kembali kepada responden dan teman
sejawat). Ada tiga hal yang dapat digambarkan pada
penelitian ini yaitu karakteristik perilaku, kegiatan atau
kejadian-kejadian selama penelitian dan keadaan
lingkungan/ karakteristik tempat penelitian berlangsung
(Usman dan Purnomo 2009, 130).
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah para orang tua dari
anak binaan yang mengikuti program pendidikan disabilitas
dan merupakan penerima manfaat di Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan. Objek penelitiannya
berfokus pada keterlibatan para orang tua dalam pendidikan
anak disabilitas, di mana pendidikan disabilitas merupakan
salah satu program yang ada di Unit Pelayanan Disabilitas
Kota Tangerang Selatan.
4. Sumber Data
Terdapat dua sumber data yang diambil dalam
pelaksanaan penelitian ini, yaitu data primer (pokok) dan
data sekunder (pendukung):
a. Data Primer
Data primer adalah data yang belum tersedia,
sehingga untuk dapat menjawab masalah penelitian, data
harus diperoleh langsung dari sumber asli nya atau
dengan kata lain yaitu sasaran penelitian. Data yang
17
peneliti dapatkan adalah dengan cara melakukan
observasi dan wawancara kepada berbagai pihak yaitu
beberapa orang tua dari anak binaan yang mengikuti
program pendidikan dan merupakan penerima manfaat
di Unit Pelayanan Disabilitas, ketua UPD Tangsel, dan
beberapa tenaga pengajar.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapatkan
peneliti melalui sumber-sumber pendukung penelitian
yakni studi kepustakaan. Pada penelitian ini, data yang
digunakan peneliti diperoleh melalui dokumen, jurnal
dan buku yang menunjang penelitian peneliti.
5. Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan di Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan, yang bertempat di Jl.
Pinus Blok A 10/9 RW 09, Komplek Graha Permai.
Kelurahan Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan. Sedangkan
waktu penelitian dimulai dari Januari sampai dengan April
2019.
6. Teknik Pengumpulan Data
Pada saat membuat sebuah kesimpulan, diperlukan
serangkaian data yang mendukung. Hal tersebut
membutuhkan sebuah proses pengumpulan data dari subjek
yang tepat (Idrus 2009, 99). Pada tahap pengumpulan data,
peneliti secara aktif mengumpulkan data penelitian. Peneliti
18
juga mempertimbangkan hal-hal seperti penciptaan rapor,
pemilihan kasus, pengumpulan data dengan wawancara,
pengumpulan data dengan observasi, pengumpulan data
dari sumber-sumber non manusia, dan pencatatan data atau
informasi pengumpulan data (Bungin 2008, 136).
Dalam penelitian ini, untuk menentukan objek
penelitian, peneliti memilih secara khusus dengan
pertimbangan dan kriteria tertentu berdasarkan tujuan
penelitiannya (Usman dan Purnomo 2009, 45). Objek
penelitia yang dipilih berfokus pada keterlibatan enam
orang tua pada anak mereka dalam program pendidikan di
UPD Tangsel. Para orang tua yang dipilih berasal dari
beragam latar belakang baik dari tingkat pendidikan orang
tua, ekonomi maupun status mereka (single parent) atau
tidak. Alasan dipilihnya objek penelitian/ sampel dari
beragam latar belakang yaitu diharapkan dapat
menimbulkan berbagai pola keterlibatan orang tua dalam
pendidikan anak dengan disabilitas.
Setelah menentukan objek penelitian, peneliti
melakukan teknik pengumpulan data. Peneliti
menggunakan tiga teknik unutuk mengumpulkan data
secara menyeluruh. Adapun teknik yang akan dilakukan
yaitu:
a. Teknik Wawancara
Wawancara merupakan proses tanya jawab
secara lisan dan langsung yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih. Data yang didapat melalui wawancara berasal
19
dari tangan pertama (primer); kemudian sebagai
pelengkap teknik pengumpulan lainnya dan menguji
hasil pengumpulan data lainnya (Usman dan Purnomo
2009, 55).
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan
wawancara kepada beberapa pihak, yaitu para orang tua
dari anak binaan UPD Tangsel, Ketua UPD Tangsel, dan
beberapa tenaga pengajar yang ada di UPD Tangsel.
Hasil wawancara digunakan penulis sebagai sumber data
utama dalam penelitian ini. Data yang diperoleh melalui
teknik wawancara ini berasal dari beberapa para orang
tua dari anak binaan yang merupakan penerima manfaat,
para pengajar dan ketua UPD Tangsel. Dalam
melakukan wawancara dengan para informan, penulis
menggunakan pedoman wawancara.
Adapun pedoman wawancara dalam peneltian ini
yaitu:
Tabel. 1.1 Pedoman Wawancara
No Informan Informasi yang dicari Jumlah
1. Orang Tua dari
Anak Binaan
yang Mengikuti
Program
Pendidikan
Bentuk keterlibatan
orang tua dalam
pendidikan dan dampak
keterlibatan orang tua
bagi kemandirian anak
dengan disabilitas.
6 orang
2. Ketua Unit Sebagai penentu 1 orang
20
Pelayanan
Disabilitas
Tangerang
Selatan
kebijakan pelaksanaan
serta kontrolling pada
program pendidikan
yang ada di UPD
Tangsel.
3. Tenaga
Pengajar
Sebagai pelaksana
teknis program
pendidikan disabilitas,
untuk mengetahui
bagaimana pelayanan
pendidikan berjalan.
Dan bagaimana para
orang tua dilibatkan
dalam kegiatan
pembelajaran yang
dilakukan di UPD
Tangsel, terutama dalam
hal perkembangan serta
kemandirian anak.
3 orang
b. Teknik Observasi
Observasi adalah aktivitas pengamatan dan
pencatatan yang dilakukan secara sistemastis terhadap
gejala-gejala yang diteliti (Usman dan Purnomo 2009,
52). Pengamatan dapat dilakukan secara terlibat
(partisipatif) maupun nonpartisipatif. Pengamatan
21
terlibat sendiri melibatkan peneliti dalam kegiatan objek
penelitian dan tidak menutupi identitasnya sebagai
peneliti (Idrus 2009, 101).
Pengamatan yang dilakukan peneliti dilakukan
secara langsung dan terlibat selama empat bulan yaitu
pada bulan Januari sampai dengan April 2019 dan
dilakukan selama tiga sampai dengan enam jam perhari,
hal ini dikarenakan jumlah jam yang berbeda pada setiap
hari nya. Pengamatan dilakukan dengan mengamati para
orang tua dari anak binaan yang mengikuti program
pendidikan dan merupakan penerima manfaat, serta para
pengajar yang memberikan pelayanan pendidikan
langsung terhadap anak-anak binaan, sekaligus
berhubungan dengan para orang tua. Selain itu kepada
ketua UPD Tangsel yang banyak berinteraksi dengan
para orang tua binaan. Hasil pengamatan ini digunakan
peneliti sebagai informasi tambahan dalam penelitian.
c. Studi Dokumentasi
Teknik studi dokumentasi merupakan teknik
pengumpulan data yang diperoleh melalui berbagai
dokumen. Data-data yang yang dikumpulkan dengan
teknik dokumentasi cenderung merupakan data sekunder
(Usman dan Purnomo 2009, 69). Pada teknik ini,
pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah
dengan cara mengambil informasi dari arsip-arsip, serta
dokumen-dokumen yang berasal dari Unit Pelayanan
22
Disabilitas Kota Tangerang Selatan. Seperti dokumen
absen anak binaan, buku perkembangan harian kelas,
brosur UPD dan dokumentasi lainnya yang berkaitan
dengan program pendidikan anak disabilitas UPD
Tangsel.
7. Teknik Analisis Data
Menurut Bogdan dan Biklen dalam Usman dan
Purnomo (2009) analisis data adalah proses pencarian dan
penyusunan data yang sistematis melalui transkip
wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi yang secara
akumulatif menambah pemahaman peneliti terhadap yang
ditemukan (Usman dan Purnomo 2009, 84).
Sedangkan menurut Nasution dalam Usman dan
Purnomo (2009) analisis data adalah proses menyusun data
agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti dapat
menggolongkannya (mengategorikannya) dalam pola atau
tema. Tafsiran atau interpretasi artinya memberikan makna
terhadap analisis, menjelaskan pola atau kategori , serta
mencari hubungan antara berbagai konsep (Usman dan
Purnomo 2009, 84).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
analisis data ialah proses penyusunan data secara sistematis,
di mana analisis dilakukan dengan mengategorikan data
untuk mendapatkan pola, hubungan, tema dan bertujuan
untuk mendapatkan informasi baru dan kesalahan apa yang
perlu diperbaki.
23
Dari beberapa teknik analisis data dalam penelitian
kualitatif, penelitian yang digunakan penulis merupakan
teknis analisis data versi Miles dan Huberman. Dalam
teknis ini mereka menegaskan bahwa penelitian kualitatif
dilakukan melalui tiga tahap. Adapun tiga tahap dalam
teknis ini yaitu reduksi data, penyajian data (display data),
dan penarikan kesimpulan/ verifikasi :
a. Tahap Reduksi Data
Tahapan reduksi data merupakan kegiatan
analisis, di mana data-data dipilih untuk dikoding dan
atau dibuang, pola mana yang meringkas bagian tersebut
dan cerita apa yang berkembang, hal tersebut merupakan
pilihan-pilihan analitis (Idrus 2009, 150).
Pada tahap ini peneliti membuat penamaan
terhadap hasil penelitian. Tahap ini dilakukan dengan
cara menulis ulang catatan-catatan lapangan hasil
observasi, wawancara dan dokumentasi. Kemudian
dilakukan pemilihan informasi penting dengan cara
memberi tanda pada informasi yang telah dipilih. Setelah
itu peneliti menginterpretasikan informasi-informasi
yang telah dipilih dan mencari kaitan antara kode dan
memasukannya sesuai dengan fokus atau tema penelitian
(Afrizal 2014, 181).
Data-data yang direduksi memberikan gambaran
yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan
mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu-
waktu diperlukan. Reduksi dapat pula membantu
24
memberikan kode-kode pada aspek-aspek tertentu
(Usman dan Purnomo 2009, 84). Dengan begitu, proses
reduksi reduksi data dimaksudkan untuk lebih
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang
bagian data yang tidak diperlukan, serta mengorganisasi
data sehingga memudahkan untuk dilakukan penarikan
kesimpulan yang kemudian akan dilanjutkan proses
verifikasi (Idrus 2009, 150).
b. Tahap Penyajian Data (Display Data).
Menurut Miles dan Huberman dalam Idrus
(2009) penyajian data (display data) diartikan sebagai
sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan (Idrus 2009, 151). Dengan kata
lain, peneliti melanjutkan analisisnya dan kemudian
memperdalam temuan tersebut. Pada tahapan ini,
peneliti dapat menyajikan data dalam bentuk matriks,
grafik, bentuk naratif dan sebagainya. Semua dirancang
guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam
bentuk yang padu dan mudah dipahami (Usman dan
Purnomo 2009, 87).
c. Tahap Penarikan Kesimpulan
Tahap penarikan kesimpulan adalah tahap di
mana peneliti menarik kesimpulan dari temuan data.
Pada tahap ini dimaksudkan untuk mencari arti benda-
25
benda, mencatat keteraturan, pola-pola penjelasan,
konfigurasi-konfigurasi yang mungkin ada, alur sebab
akibat dan proposisi. Namun kesimpulan tersebut masih
bersifat sementara, setelah kesimpulan didapatkan
peneliti kemudian melakukan verifikasi data untuk
memastikan tidak ada kesahalan yang telah dilakukan.
Dengan melakukan verifikasi, peneliti kualitatif dapat
mempertahankan dan menjamin validitas dan realibilitas
hasil temuannya (Idrus 2009, 151).
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini menggunakan pedoman
penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi)
keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta nomor:
507 tahun 2017. Agar mempermudah para pembaca untuk
membaca bagian yang diperlukan dalam skripsi ini, peneliti
memberikan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, pada bab ini penulis akan
menjelaskan latar belakang, identifikasi masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu,
metodologi penelitian (pendekatan penelitian, jenis
penelitian, subjek dan objek penelitian, sumber
data, waktu dan tempat penelitian, teknik
pengumpulan data, dan teknik analisis data), dan
sistematika penulisan.
26
BAB II Landasan Teori, pada bab ini penulis akan
menjelaskan tentang teori-teori yang berkenaan
dengan skripsi ini yaitu kajian teori tentang
keterlibatan orang tua dalam pendidikan (definisi
keterlibatan orang tua dalam pendidikan, bentuk-
bentuk keterlibatan orang tua dalam pendidikan,
manfaat keterlibatan orang tua dalam pendidikan,
faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan
orang tua, dan upaya meningkatkan keterlibatan
orang tua). Selain itu dibahas pula kajian mengenai
pendidikan berkebutuhan khusus, anak
penyandang disabilitas dan upaya menangani anak
penyandang disabilitas.
BAB III Gambaran Umum Unit Pelayanan Disabilitas
Kota Tangerang Selatan, pada bab ini penulis
memaparkan gambaran lokasi penelitian yaitu Unit
Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan.
Gambaran lokasi penelitian ini diantaranya sejarah
berdirinya dan profil lembaga, struktur organisasi
dan uruaian tugas serta tanggungjawab setiap
divisi, tenaga pelayanan, jumlah klien dan tipe
klien, sarana dan prasarana, alur dan prosedur
penanganan klien, sumber dana dan kerjasama,
program-program pelayanan beserta treck record
yang ada di Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan.
27
BAB IV Data dan Temuan Penelitian, pada bab ini
penulis membahas uraian penyajian data hasil
temuan penelitian serta bentuk analisa tentang
keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak
dengan disabilitas di Unit Pelayanan Disabilitas
Kota Tangerang Selatan.
BAB V Pembahasan, pada bab ini berisi uraian yang
mengaitkan latar belakang, teori dan rumusan teori
baru dari penelitian yang telah dilakukan. Hasil
analisa dari data dan temuan penelitian.
BAB VI Kesimpulan, Implikasi dan Saran, bab ini
merupakan bab terakhir yang di dalamnya terdiri
dari kesimpulan yang berfungsi menjawab
memberikan jawaban umum atas pertanyaan
penelitian yang terdapat dalam BAB I, serta
implikasi dan saran-saran yang menjadi penutup
dari pembahasan yang ada di dalam skripsi.
28
29
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan
a. Definisi Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan
Keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak
dapat memberikan pengaruh positif apabila orang tua
dan guru memahami arti dan makna dari keterlibatan
tersebut. Pemahaman tersebut dibutuhkan agar pihak
orang tua dapat memutuskan tindakan yang tepat dan
sesuai dalam pendidikan anak mereka di sekolah.
Begitupun sebalikya, jika orangtua dan guru tidak
memahami makna, bentuk serta tujuan keterlibatan itu
sendiri, dikhawatirkan akan membawa dampak yang
tidak diharapkan (Diadha 2015, 63).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
“keterlibatan” berasal dari kata dasar “libat” yang berarti
adanya keikutsertaan individu atau berperannya sikap
ataupun emosi individu dalam situasi tertentu.
Sedangkan keterlibatan itu sendiri adalah kondisi atau
keadaan terlibat (Departemen Pendidikan Nasional 2005,
668). Makna dari keterlibatan orang tua dalam
pendidikan juga telah didefinisikan secara beragam oleh
beberapa tokoh, di antaranya adalah LaRocque dalam De
Gomes (2017) mengartikan keterlibatan orang tua dalam
pendidikan anak sebagai bentuk dukungan orang tua
30
yang bertujuan pada perkembangan potensi anak, di
mana para orang tua ikut mengambil peran mereka
dalam pendidikan anak melalui relasi rumah sekolah
(home-school related) yang saling mendukung (De
Gomes 2017, 23).
Sedangkan Musyawarah (2013) berpendapat
bahwa keterlibatan orang tua dalam layanan pendidikan
merupakan bentuk peran serta orang tua dalam
membantu proses pendidikan anaknya, baik di
lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah
(Musyawarah 2013, 2). Kemudian Hawes & Jesney
dalam Diadha (2015) mengungkapkan bahwa
keterlibatan orangtua merupakan partisipasi orangtua
dalam proses pendidikan dan pengalaman anak mereka.
Definisi ini menunjukan bahwa keterlibatan sebagai
bentuk di mana orang tua turut mengalami apa yang
dialami oleh anak mereka dalam proses pendidikan yang
diikutinya seperti halnya kehadiran orang tua pada saat
proses belajar anak mereka (Diadha 2015, 63).
Menurut Hill & Taylor dalam Amini (2015)
menjelaskan bahwa keterlibatan orangtua adalah
serangkaian tindakan orangtua meliputi: pemeliharaan
arah kemajuan anak, menjalin komunikasi dengan guru,
memastikan bahwa anak-anak menikmati tantangan,
kelas pembelajaran yang baik dan mengarahkan anak
untuk memiliki motivasi berprestasi tinggi di sekolah
(Amini 2015, 11).
31
Selanjutnya pada proyek penelitian keluarga
Harvard dalam Diadha (2015) juga mendefinisikan
keterlibatan keluarga dalam pendidikan sebagai kegiatan
yang menghubungkan pihak orang tua dengan pihak
lembaga pendidikan, baik secara langsung atau tidak
dalam mendukung pendidikan anak mereka (Diadha
2015, 63). Pendapat ini sejalan dengan apa yang
disampaikan oleh White & Coleman dalam Diadha
(2015) mereka mendefinisikan keterlibatan orang tua
sebagai beragam kegiatan yang dilakukan secara
kerjasama antara orang tua dan guru, baik di sekolah
maupun di rumah untuk mendukung pendidikan anak
(Diadha 2015, 63).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak
merupakan berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan
oleh orang tua melalui kerjasama dengan pihak sekolah
seperti guru, baik di rumah maupun di sekolah guna
memaksimalkan perkembangan dan pendidikan anak di
sekolah.
b. Bentuk Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan
Keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak
dapat mempengaruhi sikap anak terhadap pelajaran yang
diajarkan (Silvia dan Pramesti 2015, 12). Namun, hal
tersebut belum sepenuhnya disadari oleh para orang tua
bahwa betapa pentingnya keterlibatan mereka dalam
32
pendidikan anak (Darmono 2015, 2). Bentuk keterlibatan
orang tua dalam pendidikan pada umumnya berupa
dukungan dari segi pendanaan dan terhadap hal-hal
tertentu pada pendidikan anak mereka (Diadha 2015, 64).
Berbagai bentuk keterlibatan orangtua sangat
dibutuhkan pada setiap proses pendidikan, khususnya
pada anak berkebutuhan khusus. Seperti hal melayani,
membantu kegiatan di kelas, memberikan perhatian pada
saat terapi dan melanjutkan proses di rumah serta
mempelajari keterampilan baru yang dilatihkan
(Mangunsong 2016, 176). Beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa bentuk keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak berupa kehadiran dalam kegiatan
anak, mengantar dan menjemput anak dan membayar
uang sekolah (Amini 2015, 11).
Sebuah lembaga pendidikan akan berusaha
menyediakan berbagai alternatif kegiatan yang
melibatkan para orangtua, sehingga dapat menunjang
keterlibatan mereka dengan mempertimbangkan kondisi
dan kebutuhan masing-masing para orangtua di sekolah.
Hal ini dilakukan apabila pihak lembaga pendidikan
memahami tentang pentingnya keterlibatan orangtua
dalam pendidikan anak di sekolah (Diadha 2015, 64).
Bentuk-bentuk keterlibatan orang tua tersebut
telah dicetuskan dalam Teori Overlapping Sphere of
Influence yang dikemukan oleh Epstein dalam (Diadha
2015, 64–66) yang membagi bentuk keterlibatan orang
33
tua ke dalam enam tipe keterlibatan, yakni parenting
education (pendidikan orang tua), komunikasi,
volunteering (sukarelawan), pembelajaran di rumah,
membuat keputusan dan bekerjasama dengan komunitas.
Adapun penjelasan masing-masing tipe adalah sebagai
berikut:
1) Tipe 1: Parenting Education (Pendidikan Orang
Tua)
Parenting education ini berupa keterlibatan
orang tua dalam kegiatan pendidikan bagi orang tua
yang bertujuan membantu mereka untuk menciptakan
lingkungan rumah yang mendukung anak sebagai
pelajar, dan mendapatkan informasi tentang kesehatan,
keamanan, gizi dan setiap hal yang berhubungan
dengan perkembangan anak (Diadha 2015, 64).
Kegiatan pendidikan orang tua ini dapat
dilaksanakan secara formal di sekolah atau pun secara
non formal, dan dapat dilakukan langsung maupun
tidak langsung. Pada kegiatan pendidikan ini, orang
tua tidak hanya berperan sebagai narasumber
berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang
dimiliki. Peran lainnya yang dilakukan adalah sebagai
penerima materi, baik dari guru atau tenaga ahli
lainnya. Hal ini dilakukan mampu membuat orang tua
dan guru saling berbagi pengalaman dan pengetahuan
tentang anak berdasarkan pengetahuan mereka
masing-masing (Diadha 2015, 65).
34
Adapun kegiatan dari pendidikan orang tua
dapat dilakukan melalui bentuk-bentuk kegiatan
sebagai berikut:
a) Pendidikan bagi orang tua tentang perkembangan
dan kesehatan anak atau lainnya secara informal.
Menurut Henniger dalam Diadha (2015)
pada kegiatan pendidikan ini, orang tua akan
menerima pendidikan dalam situasi atau kondisi
yang tidak resmi dan dilakukan secara
berkelompok (Diadha 2015, 65). Di mana mereka
saling berbagi pengetahuam dan pengalaman
masing-masing dalam hal mendidik atau merawat
anak mereka, dan kegiatan tersebut dilakukan pada
suasana santai. Melalui kegiatan ini lah orang tua
mendapatkan pengetahuan atau cara-cara baru
yang sesuai dan dapat digunakan dalam mendidik
maupun mengasuh anak mereka di rumah.
b) Pendidikan bagi orang tua secara formal.
Keterlibatan orang tua dalam bentuk ini
dapat dilaksanakan melalui keikutsertaan orang tua
dalam kegiatan workshop, seminar atau pelatihan
tentang pendidikan, perkembangan dan kesehatan
anak yang diberikan oleh narasumber atau tenaga
ahli. Tenaga ahli tersebut dapat diberdayakan
berupa tenaga ahli dari orang tua sendiri atau pun
tenaga ahli yang diundang secara khusus untuk
menyajikan materi.
35
c) Informasi tentang pendidikan, perkembangan dan
kesehatan anak pada berbagai media.
Keterlibatan orangtua dalam bentuk ini
dilakukan di mana orang tua memperoleh
informasi dari buku-buku, video, atau media lain
yang menyediakan informasi tentang pendidikan,
pengasuhan maupun perkembangan dan kesehatan
anak. Informasi yang dimaksud juga dapat berisi
tentang apa yang disampaikan pada workshop
maupun seminar. Informasi yang diperoleh dapat
diterapkan orang tua dalam membimbing dan
mendidik anak baik di rumah maupun di sekolah.
d) Kunjungan ke rumah anak yang dilakukan oleh
guru (Home visit).
Menurut Epstein dalam Diadha (2015)
program home visit penting dilakukan oleh guru
terutama terhadap orang tua yang sangat sulit
terlibat secara langsung di sekolah (Diadha 2015,
65). Program ini berfungsi sebagai bukti
kepedulian guru terhadap orang tua dan anak.
Tujuan dari program home visit adalah agar guru
lebih memahami anak dan orang tua dengan
mengetahui latar belakang mereka. Tujuan lainnya
yakni agar orang tua juga lebih mampu terbuka
dan memahami guru.
36
2) Tipe 2: Komunikasi
Keterlibatan dalam bentuk komunikasi ini
berupa keterlibatan orang tua dalam komunikasi dua
arah antara rumah dan sekolah atau sebaliknya
(Diadha 2015, 65). Adapun bentuk keterlibatan ini
diharapkan mampu mengkomunikasikan tentang
program sekolah maupun pendidikan, perkembangan
dan kesehatan anak guna meningkatkan kerjasama
dan pemahaman orang tua dan guru tentang anak.
Sehingga dengan adanya komunikasi aktif antara
orang tua dan guru, maka anak dapat melihat bahwa
orang tua dan guru mereka bekerjasama dalam
mendidik mereka.
Adapun kegiatan komunikasi yang dimaksud
dapat berupa pertemuan orang tua dan guru, melalui
telepon, e-mail, website, buku penghubung atau surat
dengan lembar tanggapan, pengambilan rapor, papan
pengumuman, kegiatan atau bahan belajar anak di
rumah serta kotak saran. Kualitas komunikasi yang
terjalin oleh kedua belah pihak menentukan
keberhasilan berbagai jenis keterlibatan orang tua dan
terbentuknya hubungan yang baik antara orang tua di
rumah dengan guru di sekolah(Diadha 2015, 65).
Henniger dalam Diadha (2015) merumuskan
tujuh metode komunikasi yang efektif dalam
menghasilkan hubungan yang berkualitas antara
orang tua dan guru yakni komunikasi melalui telepon,
37
komunikasi tertulis, komunikasi melalui teknologi,
alat komunikasi visual, kunjungan rumah, pertemuan
orang tua dan konfrensi orang tua dan guru (Diadha
2015, 66). Komunikasi yang efektif antara orang tua
dan guru tersebut tidak dapat tercipta dengan
sendirinya, akan tetapi memerlukan kemampuan dan
keterampilan guru sebagai pendidik dalam
mewujudkannya. Adapun keterampilan yang
dimaksud adalah keterampilan mendengar, ketegasan,
mendengar reaksi lainnya dan penyelesaian masalah
secara kolaboratif .
3) Tipe 3: Volunteering (Sukarelawan)
Keterlibatan orang tua dalam bentuk volunteer
atau sukarelawan ini berupa kegiatan orangtua dalam
memberikan bantuan dan dukungan secara langsung
pada kegiatan pembelajaran di sekolah. Kegiatan
yang dilakukan tentunya disesuaikan dengan
kemampuan dan keterampilan yang dimiliki para
orang tua. Kegiatan sukarelawan ini dapat berupa
pendampingan guru di kelas, membantu guru di
perpustakaan, di ruang makan, di halaman bermain,
ruang komputer, ruang keluarga, dan sebagainya
termasuk dalam menghadiri penampilan anak,
kegiatan olahraga, perayaan-perayaan dan
pendampingan anak pada kegiatan kunjungan
lapangan (Diadha 2015, 66).
38
4) Tipe 4: Pembelajaran di rumah
Keterlibatan orang tua dalam pembelajaran di
rumah yang dimaksud adalah kegiatan orang tua
dalam membantu proses belajar anak di rumah
berdasarkan kegiatan yang ada di sekolah, seperti
membantu anak mengerjakan tugas di rumah,
membacakan buku cerita yang mendidik bagi anak,
dan sebagainya (Diadha 2015, 66).
5) Tipe 5: Membuat keputusan
Keterlibatan orang tua dalam membuat
keputusan di sekolah seperti hal nya keikutsertaan
orang tua dalam komite sekolah serta keikutsertaan
orang tua dalam persatuan orang tua dan guru dan
sebagainya. Kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk
rasa memiliki orang tua terhadap lembaga pendidikan
tempat di mana anak mereka belajar (Diadha 2015,
66).
6) Tipe 6: Bekerjasama dengan komunitas
masyarakat
Bentuk keterlibatan ini menghubungkan pihak
orang tua dengan pihak guru, murid dan pihak
masyarakat. Kegiatan direncanakan dan dilakukan
secara bersama-sama dalam meningkatkan kualitas
sekolah. Bentuk kegiatan ini memerlukan kontribusi
masyarakat atau pun sebaliknya, seperti layanan
kesehatan, kelompok budaya, rekreasi dan sebagainya
(Diadha 2015, 66).
39
Sedangkan menurut (D. Haryanti 2017, 60–64)
terdapat enam tipe bentuk lainnya dari keterlibatan orang
tua dalam pendidikan anak yang melandasi pendekatan
komprehensif terhadap perkembangan anak:
1) Tipe 1: Keterlibatan dan Pemberdayaan
Pribadi/Individu
Pada tipe ini, berbagai kegiatan pelibatan
dapat dilakukan orang tua dalam pendidikan anak,
sebagai berikut:
a) Menyediakan kelas-kelas pendidikan untuk
orangtua.
Penyediaan kelas ini ditujukan dalam hal
memberi kesempatan belajar kepada orang tua
mengenai ruang lingkup anak, seperti
perkembangan anak, membantu anak dalam proses
belajar misalnya membaca dan berhitung (D.
Haryanti 2017, 61).
b) Melaksanakan program-program pelatihan.
Berbagai program pelatihan yang dilakukan
seperti halnya memberikan wawasan dan
keterampilan kepada orang tua mengenai asistensi
kelas, membantu aktivitas kelas dan
menghubungkan pada system support lainnya,
merencanakan kurikulum serta pembuatan
kebijakan kelas maupun sekolah bagi sang anak.
Program-program pelatihan tersebut ditujukan
dalam mendukung pendidikan anak. Ketika orang
40
tua sudah memahami apa yang harus dilakukan,
maka selanjutnya proses pemberdayaan akan
terjadi. Melibatkan orang tua di kelas dapat
menjadi metode yang baik untuk menyediakan
pekerjaan dan pelatihan. Namun perlu diingat
bahwa siapa pun yang terlibat harus memiliki
panduan, arahan dan pelatihan.
c) Aktivitas kelas dan pusat pembelajaran.
Meskipun tidak semua orang tua dapat
terlibat dalam pembelajaran di kelas, perlu
diperhatikan bahwa keterlibatan orang tua di kelas
memerlukan panduan, arahan dan pelatihan.
d) Perpustakaan dan sarana lainnya (D. Haryanti
2017, 62).
Keluarga memperoleh manfaat dari buku-
buku dan artikel lain yang berkaitan dengan
parenting. Beberapa program memiliki ruang
khusus dengan kursi yang nyaman untuk
mendorong keluarga menggunakan sarana ini.
2) Tipe 2. Keterlibatan dan Pemberdayaan
Keluarga
Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat
menunjukkan keterlibatan dan pemberdayaan
keluarga antara lain:
a) Performa seni dan drama.
Kegiatan performa seni dan drama biasanya
banyak melibatkan anak, hal ini cenderung
41
menarik perhatian orang tua maupun keluarga
untuk datang ke sekolah. Tujuan dari kegiatan ini
tidak hanya ditujukan pada kehadiran orang tua,
melainkan orang tua dapat ikut berpartisipasi dan
mendukung penampilan anak mereka di atas
panggung.
b) Telepon Hotline.
Jaringan telepon digunakan dalam
membantu orang tua mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan anak di sekolah. Seperti
mendapatkan informasi mengenai tugas-tugas dan
pekerjaan rumah anak, serta pengalaman belajar
anak pada hari tersebut. Untuk itu orang tua dapat
bertanya melalui telepon kepada pihak sekolah.
c) Newsletter cetak dan elektronik.
Newsletter merupakan salah satu metode
untuk manjalin komunikasi dan informasi antara
tenaga pendidik dan orang tua, informasi yang
biasa diberikan antara lain mengenai kemajuan
program, aktivitas terkini dan informasi kurikulum
(D. Haryanti 2017, 62).
d) Buku-buku dan materi-materi lain bagi orang tua
dan anak untuk digunakan di rumah.
Menyediakan materi bagi orang tua untuk
dibacakan secara pribadi atau dibaca bersama
anak-anak mereka (D. Haryanti 2017, 63).
42
e) Program pendidikan individual (IEP) bagi anak-
anak berkebutuhan khusus.
f) Website untuk orangtua.
3) Tipe 3: Keterlibatan dan Pemberdayaan
Berbasis Sekolah
Adapun kegiatan-kegiatan atau program yang
dapat dilakukan adalah:
a) Komite Sekolah.
b) Waktu Pentutoran.
c) Partisipasi di lokakarya dan seminar.
4) Tipe 4: Keterlibatan, Pemberdayaan dan
Kepemimpinan Berbasis Komunitas.
Kegiatan-kegiatan yang melibatkan orangtua
pada tipe ini antara lain:
a) Lakukan malam keluarga, jamuan budaya, pesta
kebun dan camping bersama.
b) Mengadakan pertemuan dengan kelompok
pendukung orangtua.
c) Mengadakan kunjungan ke rumah.
5) Tipe 5: Kepemimpinan, Pembuatan Keputusan,
Advokasi, dan Pemberdayaan.
Kegiatan yang dapat dilakukan pada tipe ini
adalah:
a) Pameran dan bazar. Pada kegiatan ini banyak
membutuhkan keterlibatan orang tua dalam aspek
proses dan pembuatan keputusan. Pembuatan
keputusan dilakukan demi mendukung sang anak.
43
b) Dewan orangtua. Kegiatan yang dilakukan oleh
dewan sekolah adalah mengkaji anggaran,
merekomendasikan program, mensponsori
kegiatan-kegiatan, mencari solusi masalah, dan
menggalang dana bagi aktivitas-aktivitas khusus
sekolah.
c) Dewan Sekolah. Pembuatan keputusan berbasis
sekolah menjadi tanggung jawab pihak dewan
sekolah. Keputusan yang diambil dapat
mempengaruhi pendidikan anak di sekolah.
Misalnya dalam hal memutuskan untuk menyewa
guru-guru khusus, menyetujui aturan-aturan
sekolah dan memutuskan seragam anak (D.
Haryanti 2017, 64).
d) Menyewa tenaga ahli dan terlibat di dalam
penyiapan kebijakan.
e) Pengembangan dan pengkajian kurikulum.
Keterlibatan orangtua di dalam perencanaan
kurikulum membantu anak belajar dan
memahami apa yang melandasi sebuah program
yang berkualitas, dan apa yang terlibat di dalam
kurikulum yang sesuai dengan usia
perkembangan anak. Ketika keluarga memahami
kurikulum yang ada di sekolah anak tersebut,
mereka akan lebih mendukung kesuksesan
pendidikan anak.
44
6) Tipe 6: Keterlibatan dan Penguatan Berbasis
Negara
Menurut Morrison dalam Haryanti (2017,
h.64) keterlibatan dan penguatan berbasis Negara
merupakan langkah keterlibatan orang tua pada ranah
nasional. Di Indonesia, terdapat berbagai organisasi
dengan fokus anak yang dapat melibatkan orangtua,
seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Di Negara luar, seperti Amerika, terdapat organisasi
yang bernama Stand For Children. Organisasi ini
merupakan organisasi independen yang bekerja sama
dengan orang tua untuk melibatkan mereka di dalam
advokasi (D. Haryanti 2017, 64).
Adapun bentuk keterlibatan orang tua sesuai
dengan peran dan tanggung jawabnya sebagaimana yang
diungkapkan oleh Mangunsong (2016, 176-179) sebagai
berikut:
1) Orang Tua sebagai Pengambil Keputusan
Pilihan tentang alternatif mana yang akan
ditempuh anak penyandang disabilitas sepenuhnya
adalah hak dan tanggungjawab orangtua. Orang tua
harus terlibat langsung dalam keseluruhan proses
secara sistematis, meliputi tahap identifikasi, evaluasi
serta memutuskan tentang penempatan (placement)
anak penyandang disabilitas (Mangunsong 2016,
176). Tanpa keterlibatan yang nyata dari orang tua,
45
akan sulit melakukan pengambilan keputusan dan
mempertanggungjawabkannya. Ada dua bentuk
tanggungjawab pengambilan keputusan orang tua
yang menyangkut pendidikan, yakni:
a) Bertanggungjawab dalam keterlibatannya
terhadap proses evaluasi. Misalnya turut menilai
kemajuan anaknya dalam membaca huruf Braille.
Dengan demikian orang tua bisa melihat
perkembangan kemajuan yang dicapai anaknya,
serta berbagai kebutuhan yang diperlukan anak
untuk mendukung kemajuan yang diinginkan. Di
samping itu juga bisa saling bertukar informasi
dengan pengajar atau ahli yang menangani dan
menerima interpretasi dari ahli, mengenai
kemajuan yang telah dicapai anak.
b) Bertanggungjawab untuk terlibat dalam
pengembangan Program Pengajaran Individual
(PPI). Berdasarkan proses evaluasi yang telah
dilakukan, kemudian disusun PPI yang dalam
pelaksanaannya akan melibatkan orang tua. Bila
orang tua telah ikut terlibat dalam proses evaluasi,
maka tidak akan ada kesulitan untuk berperan
serta dalam PPI.
2) Tanggungjawab sebagai Orangtua, meliputi:
a) Proses penyesuaian diri. Sebagai orang tua yang
memiliki anak penyandang disabilitas,
hendaknya mereka dapat menyesuaikan diri. Hal
46
ini perlu dilakukan agar dapat memahami
bagaimana seharusnya mereka bersikap dan
berperilaku terhadap anak mereka. Terdapat tiga
hal yang perlu diperhatikan dalam proses
penyesuaian diri yaitu; Pertama, orang tua harus
menerima realitas. Kedua, mereka harus memliki
kesadaran intelektual mengenai kondisi
disabilitas anaknya. Ketiga, mereka harus bisa
melakukan penyesuaian secara emosional. Hal ini
dapat dibantu dengan “parent support group”, di
mana dengan forum ini para orang tua dapat
saling bertukar pengalaman dengan sesama orang
tua yang memiliki masalah yang sama
(Mangunsong 2016, 177).
b) Sosialisasi anak. Untuk menghindari dari rasa
kecewa dan keprihatinan orangtua tentang
perilaku negatif masyarakat normal terhadap
anak mereka, dapat diatasi apabila orang tua
bekerjasama dengan tenaga profesional untuk
memecahkan masalah. Selain itu, langkah
sosialisasi anak penyandang disabilitas dimulai
melalui lingkungan kehidupan terdekatnya.
c) Memperhatikan hubungan saudara-saudara anak
luar biasa. Para orang tua sebaiknya peka
terhadap situasi kakak ataupun adik dari anak
penyandang disabilitas. Mereka seringkali
membutuhkan bantuan khusus untuk bisa
47
memahami keadaan saudara nya yang disabilitas.
Diharapkan saudara-saudaranya dapat memiliki
kesan positif dan bersikap optimis baik terhadap
saudara nya maupun diri sendiri.
d) Merencanakan masa depan dan perwalian. Para
orang tua dari anak penyandang disabilitas
sebaiknya merencanakan secara sistematis
langkah-langkah yang harus ditempuh untuk
mewujudkan harapan itu. Bila perlu, perwalian
ini dikuatkan dengan hukum yang berlaku. Hal
ini merupakan masalah penting karena
memikirkan siapa yang akan bertanggungjawab
terhadap masa depan anak apabila orang
tuamereka telah meninggal.
3) Tanggungjawab sebagai Guru
Orang tua dipandang sebagai “instructional
resources” dalam mempertemukan antara kebutuhan
anak dengan kebutuhan pendidikannya yang
disesuaikan dengan perkembangan anak
(Mangunsong 2016, 178). Ada beberapa alasan
mengapa orang tua juga memiliki tanggungjawab
sebagai guru:
a) Orang tua memiliki pengaruh yang sangat kuat
terhadap anak-anaknya.
b) Orang tua memiliki pengetahuan yang lebih baik
dan lebih banyak mengenai kondisi anak
dibandingkan orang lain.
48
c) Orang tua memiliki lebih banyak waktu bersama
anaknya dibandingkan pihak lain (pendidik/ ahli).
d) Efektivitas intervensi pendidikan akan lebih
meningkat apabila orang tua rela membantu
melanjutkan latihan keterampilan yang telah
diajarkan di sekolah.
Namun posisi orang tua bukan lah sebagai
tenaga pendidik profesional, yang lebih ditekankan
adalah kesanggupan orang tua dalam memberi
pelatihan pada aspek-aspek tertentu sesuai dengan
kemampuan yang orang tua miliki (Mangunsong
2016, 178).
4) Tanggungjawab sebagai Advokat
Orang tua harus dapat dan mampu tampil
sebagai pembela bagi kepentingan anaknya. Anak
penyandang disabilitas seringkali berada dalam posisi
yang kepentingannya dirugikan, misalnya mereka
ditolak dalam bermain/ bergaul dengan teman sebaya
nya. Pada posisi ini, orang tua dapat memberikan
penjelasan yang baik kepada orang tua anak normal
mengenai keadaan disabilitas anaknya.
Demikian pada hal pendidikan dan pekerjaan
anak di masa depan, orang tua memiliki
tanggungjawab sebagai pendukung maupun pembela
bagi kepentingan anak mereka, misalnya dengan
membuat asosiasi “advocacy”. Selain itu, orang tua
dapat melaksanakan hasil konsultasi atau anjuran para
49
ahli dalam pendidikan anaknya di masa depan, hal ini
dilakukan dalam hal tanggung jawab orang tua
sebagai pendukung dan pembela kepentingan anak
mereka (Mangunsong 2016, 179).
c. Manfaat Keterlibatan Orang Tua dalam
Pendidikan
Keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak
memberikan manfaat bagi anak, pihak lembaga penyedia
pendidikan atau sekolah, dan pihak orang tua itu sendiri
(De Gomes 2017, 25). Menurut Hornby dalam Diadha
(2015), manfaat yang dapat diraih anak dengan adanya
keterlibatan orang tua dalam pendidikan adalah
meningkatkan kehadiran anak di sekolah, sikap dan
perilaku kemandirian mereka (Diadha 2015, 64).
Keterlibatan orang tua juga dapat meningkatkan prestasi
dan perilaku positif. Hal ini disebabkan dukungan afektif
orang tua yang mampu meningkatkan konsep diri
akademik (academic self-concept) anak/ siswa yang
berkaitan langsung dengan kesuksesan akademiknya (De
Gomes 2017, 25).
Hornby juga mengungkapkan bahwa manfaat
dari adanya keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak juga dapat dirasakan oleh pihak orang tua, seperti
kepercayaan diri dan kepuasan dalam mengasuh anak
mereka (Diadha: 2015, h.64). Selain itu, Epstein dkk
dalam Diadha (2015, h.64) menambahkan bahwa
50
keterlibatan orang tua dapat meningkatkan wawasan,
pengalaman dan keterampilan orang tua dalam
mengasuh serta mendidik anak mereka. Manfaat tersebut
akan sangat membantu mereka dalam menjalankan
tugasnya sebagai orang tua anak.
Kemudian dengan adanya keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak dapat menyelaraskan kegiatan
anak di rumah dengan program sekolah, dapat mengikuti
kemajuan belajar anak dan memberikan dukungan untuk
kemajuan anak, memperbaiki pandangan terhadap
sekolah, meningkatkan kepuasan terhadap guru, dan
mempererat hubungan dengan anak (De Gomes: 2017,
h.26).
Pihak lain yang juga merasakan manfaat dari
adanya keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak
adalah lembaga pendidikan di mana anak belajar.
Menurut Desimone dalam De Gomes (2017) manfaat
yang dapat diperoleh adalah mampu memperbaiki iklim
sekolah dan meningkatkan kualitas sekolah (De Gomes
2017, 25). Selain itu dapat meningkatkan hubungan
antara guru dan orang tua yang berpengaruhi positif
terhadap kesan guru dan cara pandangnya tentang siswa.
Hubungan antara guru dan orang tua dapat
menciptakan sinergisitas antara program pendidikan di
sekolah dan praktik pengasuhan anak dalam keluarga.
Tanpa sinergisitas antara kedua hal ini maka akan
menimbulkan kebingungan dalam diri anak. sekolah
51
mendapatkan informasi yang lengkap tentang
perkembangan anaknya baik dalam hal akademis
maupun tingkah lakunya. Informasi tersebut dapat
menjadi rujukan bagi sekolah untuk mengembangkan
program pendampingan anak yang tepat sesuai dengan
kondisi riilnya (De Gomes 2017, 26).
2. Pendidikan Anak Disabilitas
Tipologi pendidikan untuk anak dengan disabilitas
terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Pendidikan Inklusif
Menurut Hallahan dalam Darmono (2015)
Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang
ditujukan bagi semua peserta didik, di mana siswa
berkebutuhan khusus ditempatkan di dalam sekolah
reguler yang sama dengan peserta didik lainnya
sepanjang hari (Darmono 2015, 5). Dalam hal ini
pendidikan inklusif diselenggarakan sebagai wadah
untuk anak berkebutuhan khusus dalam memperoleh
pendidikan yang terintegrasi di dalam sekolah reguler
yang dilaksanakan secara berkelanjutan.
Pendidikan inklusif merupakan sistem layanan
pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan
khusus dapat belajar di sekolah-sekolah terdekat di
dalam kelas biasa bersama teman-teman seusianya.
Pendidikan inklusif memberi ruang bagi anak
berkebutuhan khusus agar dapat saling berinteraksi
52
dengan anak biasa sesuai dengan tuntunan kehidupan
sehari-hari di masyarakat, kemudian kebutuhan
pendidikannya dapat terpenuhi sesuai dengan potensi
masing-masing. Berbagai perubahan diperlukan pihak
sekolah dalam penyelenggaran pendidikan inklusif,
seperti sikap, cara pandang, serta proses pendidikan yang
tidak mendiskriminasi individu (Maftuhatin 2014, 206).
Menurut Darmono (2015) bahwa prinsip
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah sebagai
berikut:
1) Prinsip Pemerataan dan Peningkatan Mutu.
Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam
menyusun strategi upaya pemerataan kesempatan
memperoleh layanan pendidikan dan peningkatan
mutu (Darmono 2015, 7).
2) Prinsip Kebutuhan Individual. Setiap anak memiliki
kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda
karena itu pendidikan harus diusahakan untuk
menyesuaikan dengan kondisi anak.
3) Prinsip Kebermaknaan. Pada prinsip ini, pendidikan
inklusif berupaya menciptakan dan menjaga kondisi
kelas yang ramah, yaknidengan menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
4) Prinsip Keberlanjutan. Di mana pendidikan inklusif
diselenggarakan secara berkelanjutan pada semua
jenjang pendidikan.
53
5) Prinsip Keterlibatan. Keterlibatan seluruh komponen
pendidikan terkait diperlukan dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Penempatan anak dengan disabilitas di sekolah
inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai
berikut :
1) Bentuk kelas reguler penuh. Anak dengan disabilitas
ditempatkan dan dapat belajar bersama anak biasa
sepanjang hari di kelas reguler dengan
menggunakan kurikulum yang sama (Darmono 2015,
7).
2) Bentuk kelas reguler dengan cluster. Anak dengan
disabilitas belajar bersama anak biasa di kelas
reguler dalam kelompok khusus (Darmono 2015, 8).
3) Bentuk kelas reguler dengan pull out. Anak dengan
disabilitas belajar di kelas reguler bersama anak
biasa, namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik
dari kelas reguler dan dibawa ke ruang belajar
tersendiri bersama guru pembimbing khusus.
4) Bentuk kelas reguler dengan pull out dan cluster.
Anak dengan disabilitas belajar di kelas reguler
bersama anak biasa dalam kelompok khusus, dan
dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas
reguler dan dibawa ke ruang belajar tersendiri
bersama guru pembimbing khusus.
54
5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai
pengintegrasian. Anak dengan disabilitas belajar di
kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam
bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak
biasa di kelas reguler.
6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler.
Samuel A. Kirks dalam Darmono (2015) membuat
gradasi layanan pendidikan bagi anak dengan
disabilitas, bergradasi dari model segregasi ke
model mainstreaming.
b. Pendidikan Luar Biasa
Pendidikan luar biasa merupakan tempat
pendidikan formal bagi anak dengan disabilitas seperti
penderita tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa
dan tunalaras (Mangunsong 2016, 184). Pendidikan luar
biasa (PLB) adalah bagian terpadu dari sistem
pendidikan nasional yang secara khusus di
selenggarakan di taman kanak-kanak luar biasa (TKLB),
sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah lanjutan
tingkat pertama luar biasa (SLTPLB) dan sekolah
menengah luar biasa (SMLB) (Mangunsong 2016, 183).
Melihat realitas di mana masih banyak anak dengan
disabilitas sulit memasuki sekolah umum, maka sekolah
luar biasa menjadi solusi atas hal tersebut (Mangunsong
2016, 184).
55
Pendidikan luar biasa atau sekolah luar biasa
dibagi menjadi enam bagian menurut jenis disabilitas
anak, yaitu:
1) SLB Bagian A untuk anak tunanetra.
2) SLB Bagian B untuk anak tunarungu.
3) SLB Bagian C untuk anak tunagrahita.
4) SLB Bagian D untuk anak tunadaksa.
5) SLB Bagian E untuk anak tunalaras.
6) SLB Bagian F untuk anak autis.
7) SLB Bagian G untuk anak tunaganda.
Pembagian SLB berdasarkan jenis disabilitas
anak ditujukan untuk menyederhanakan dan
memudahkan penyelenggaraan program pendidikannya
(Mangunsong 2016, 184). Adapun lama nya waktu
pendidikan untuk satuan pendidikan luar biasa adalah
sebagai berikut:
1) TKLB berlangsung selama satu sampai tiga tahun;
2) SDLB berlangsung selama sekurang-kurangnya
enam tahun;
3) SLPTLB berlangsung selama sekurang-kurangnya
tiga tahun;
4) SMLB berlangsung selama sekurang-kurangnya tiga
tahun (Mangunsong 2016, 192).
c. Pendidikan Berkebutuhan Khusus
Berbeda dengan pendidikan inklusif dan
pendidikan luar biasa (PLB) keduanya biasa diterapkan
56
pada lembaga penyedia pendidikan atau sekolah yang
bersifat formal. Sedangkan pada pendidikan
berkebutuhan khusus bersifat nonformal, dan dalam
konteks ini sesuai dengan sistem pendidikan yang
berjalan di Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang
Selatan.
Istilah Pendidikan Berkebutuhan Khusus
sebagaimana dalam UU Sidiknas disebut sebagai
pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Pendidikan khusus merupakan pendidikan yang
ditujukan bagi siswa dengan kebutuhan khusus yang
memiliki hambatan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelaianan dan atau kondisi
keterbatasan fisik, emosional, mental, sosial dan potensi
kecerdasan serta bakat istimewa. Sedangkan pendidikan
layanan khusus merupakan pendidikan yang ditujukan
untuk siswa berkebutuhan khusus yang mengalami
bencana alam, maupun sosial dengan tingkat ekonomi
rendah, serta masyarakat adat terpencil atau terbelakang
(Mangunsong 2016, 182).
Pendidikan Khusus yang diungkapkan oleh
Hallahan dan Kauffman dalam Mangunsong (2014)
adalah instruksi yang dirancang khusus untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang tidak umum dari siswa
berkebutuhan khusus, seperti materi, teknik mengajar
atau peralatan dan atau fasilitas khusus diperlukan
(Mangunsong 2014, 3). Pelayanan yang dibutuhkan
57
meliputi transportasi khusus, asesmen psikologis, terapi
fisik dan okupasional, treatmen medis serta konseling
dibutuhkan pendidikan khusus berjalan efektif. Tujuan
utama dari pendidikan khusus adalah menemukan dan
menitikberatkan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
Pendidikan Khusus bukanlah pendidikan yang
secara menyeluruh berbeda dari pendidikan untuk anak-
anak umumnya. Pendidikan khusus menunjukkan hanya
pada aspek-aspek pendidikan yang unik dan atau dalam
penambahan program-program pembelajaran untuk
seluruh anak (Mangunsong 2016, 183).
Pendidikan berkebutuhan khusus telah tertuang
ke dalam (“Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI Pasal 32
Ayat 1” 2003) menyatakan bahwa: “Pendidikan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”.
Berdasarkan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dalam buku Mangunsong (2016)
Penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa ditujukan untuk
membantu siswa berkebutuhan khusus yang
menyandang keterbatasan dan atau kelainan fisik, mental,
perilaku dan sosial, agar mampu mengembangkan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan mereka sebagai pribadi
maupun anggota masyarakat dalam melakukan
58
hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya,
dan alam sekitarnya serta dapat mengembangkan
kemampuan mereka dalam dunia kerja atau mengikuti
pendidikan lanjutan (Mangunsong 2016, 182).
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan khusus
adalah pendidikan yang ditujukan bagi peserta didik
yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial dan membutuhkan pelayanan khusus seperti
materi, tehnik mengajar atau peralatan dan atau fasilitas
khusus. Tujuan utama dari pendidikan khusus adalah
menemukan dan menitikberatkan kemampuan siswa
berkebutuhan khusus.
Pengembangan prinsip-prinsip pendekatan secara
khusus yang dapat dijadikan dasar dalam upaya
mendidik siswa berkebutuhan khusus (Abdullah 2013, 8),
antara lain sebagai berikut:
1) Prinsip kasih sayang. Prinsip kasih sayang pada
dasarnya adalah menerima kondisi mereka
sebagaimana adanya, upaya yang perlu dilakukan
untuk mereka: (1) tidak bersikap memanjakan anak;
(2) tidak bersikap cuek terhadap kebutuhannya, dan;
(3) memberikan tugas yang sesuai dengan
kemampuan anak.
2) Prinsip layanan individual. Pelayanan individual
perlu dilakukan pada porsi yang lebih besar dalam
mendidik anak berkebutuhan khusus, adapun upaya
59
yang perlu dilakukan untuk mereka selama
pendidikannya: (1) jumlah siswa berkebutuhan
khusus yang dilayani guru tidak lebih dari 4-6 orang
dalam setiap kelasnya, (2) pengaturan kurikulum
dan jadwal pelajaran dapat bersifat fleksibel, (3)
penataan kelas harus dirancang dengan sedemikian
rupa sehingga guru dapat menjangkau semua
siswanya dengan mudah, dan (4) modifikasi alat
bantu pengajaran.
3) Prinsip kesiapan. Kesiapan diperlukan siswa
berkebutuhan khusus dalam menerima suatu
pelajaran. Khususnya kesiapan mereka pada
pelajaran yang akan diajarkan, terutama pada
pengetahuan prasyarat, baik prasyarat pengetahuan,
mental dan fisik diperlukan untuk menunjang
pelajaran berikutnya.
4) Prinsip keperagaan. Alat peraga yang digunakan
sebagai media pembelajaran perlu diupayakan yakni
dengan menggunakan benda atau situasi aslinya,
namun apabila hal itu sulit dilakukan, dapat
menggunakan benda tiruan atau minimal gambarnya
(Abdullah 2013, 9).
5) Prinsip motivasi. Prinsip motivasi ini lebih
difokuskan pada cara mengajar dan pemberian
evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi siswa
berkebutuhan khusus. Contoh, pembelajaran tentang
pengenalan suara binatang akan lebih menarik dan
60
mengesankan bagi anak dengan kondisi netra
apabila mereka diajak ke kebun binatang dalam
memperoleh pembelajaran dan pengalaman secara
langsung.
6) Prinsip belajar dan bekerja kelompok. Pada prinsip
ini, menitikberatkan pada proses hubungan timbal
balik/ bergaul dengan masyarakat lingkungannya
tanpa harus merasa minder dengan kondisi mereka.
Oleh karena itu, sifat seperti egosentris atau egoistis
pada anak tunarungu dan tuna laras karena sikap dan
perilaku mereka yang cenderung tidak menghayati
perasaan, agresif, dan destruktif perlu diminimalkan
atau dihilangkan melalui prinsip ini. Melalui
kegiatan belajar dan bekerja kelompok tersebut
diharapkan dapat memahami bagaimana cara
bergaul dengan orang lain secara baik dan wajar.
7) Prinsip keterampilan. Pendidikan ketrampilan yang
diberikan kepada siswa berkebutuhan khusus dapat
berfungsi sebagai edukatif, rekreatif, selektif, dan
terapi, juga dapat menjadi bekal dalam
kehidupannya kelak.
8) Prinsip penanaman dan penyempurnaan sikap.
Secara fisik dan psikis sikap siswa berkebutuhan
khusus terbilang kurang baik sehingga perlu
diupayakan dalam perubahan sikap mereka agar
tidak selalu menjadi perhatian orang lain (Abdullah
2013, 9).
61
3. Anak Penyandang Disabilitas
a. Definisi Anak Penyandang Disabilitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
Penyandang diartikan sebagai orang yang menyandang
(menderita) sesuatu (Departemen Pendidikan Nasional
2005, 992). Sedangkan kata Disabilitas berasal dari
Bahasa Inggris yaitu disable, disability yang memiliki
arti cacat atau ketidakmampuan. Istilah disabilitas
ditujukan pada seseorang yang mengalami gangguan,
keterbatasan aktivitas dan partisipasi. Disabilitas sendiri
merupakan sebuah fenomena kompleks, yang
mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang
dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal (Rahayu
2014, 77).
The Social Work Dictionary mendefinisikan
disability dengan reduksi fungsi secara permanen atau
temporer serta ketidakmampuan seseorang untuk
melakukan sesuatu yang mampu dilakukan oleh orang
lain sebagai akibat dari kecacatan fisik atau mental
(Jamal dan Wilela 2017, 224).
Anak Penyandang Disabilitas (APD) adalah
seseorang yang belum berusia delapan belas tahun yang
memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual dan
sensorik dalam jangka waktu yang lama dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya
dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk
62
berpartisipasi penuh berdasarkan kesamaan hak
(Nurman 2017, 38).
Sedangkan menurut Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
(2013) Anak penyandang disabilitas (APD) adalah anak
yang mengalami keterbatasan atau kelainan yang
mempengaruhi proses tumbuh kembang mereka baik
fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional
dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia
dengannya (KPPPA 2013, 4).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa anak
penyandang disabilitas adalah seseorang yang belum
berusia delapan belas tahun yang mengalami
ketidakmampuan dan keterbatasan dalam aktifas dan
partisipasi dikarenakan adanya kecacatan baik fisik,
mental, intelektual, sensorik, sosial dan emosional yang
mempengaruhi proses pertumbuhan dan
perkembangannya.
b. Jenis-Jenis Anak Penyandang Disabilitas
Adapun jenis-jenis anak penyandang disabilitas,
sebagai berikut:
1) Anak disabilitas penglihatan adalah anak yang
mengalami gangguan daya penglihatan berupa
kebutaan menyeluruh (total) atau sebagian
(lowvision) (KPPPA 2013, 4). Gangguan
penglihatan yang dimaksud adalah adanya
63
kerusakan penglihatan di mana walaupun sudah
dilakukan perbaikan, masih mempengaruhi prestasi
belajar secara optimal (Mangunsong 2014, 55).
2) Anak disabilitas pendengaran adalah anak yang
mengalami gangguan dan kendala pada pendengaran,
baik sebagian maupun menyeluruh, dan biasanya
mereka juga mempunyai kendala dalam berbahasa
dan berbicara (KPPPA 2013, 4). Secara pedagogis,
seorang anak dapat dikategorikan disabilitas indra
pendengaran atau tunarungu, jika dampak dari
disfungsinya organ-organ yang berfungsi sebagai
penghantar dan persepsi pendengaran
mengakibatkan ia tidak mampu mengikuti program
pendidikan anak normal sehingga memerlukan
layanan pendidikan khusus untuk meniti tugas
perkembangannya (Abdullah 2013, 2).
3) Anak disabilitas intelektual adalah anak yang
memiliki inteligensia yang signifikan berada
dibawah rata-rata anak seusianya dan disertaidengan
ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku, yang
muncul dalam masa perkembangan (KPPPA 2013,
4). Kondisi ini menyebabkan seorang anak
mengalami hambatan dalam belajar dan melakukan
berbagai fungsi dalam kehidupannya serta dalam
penyesuaian diri (Jamaris 2010, 269).
4) Anak disabilitas fisik adalah anak yang mengalami
gangguan dan kendala pada anggota gerak (tubuh)
64
akibat kelumpuhan, kelainan bentuk dan fungsi
tubuh serta tidak lengkapnya anggota badan
(KPPPA 2013, 4). Menurut Hallahan dan Kauffman
dalam Mangunsong (2016) anak-anak dengan
kekurangan fisik atau gangguan kesehatan lainnya
adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau
masalah kesehatannya mengganggu kegiatan belajar
atau sekolah sehingga membutuhkan pelayanan,
pelatihan, peralatan, material, atau fasilitas-fasilitas
khusus (Mangunsong 2016, 25).
5) Anak disabilitas sosial adalah anak yang memiliki
masalah atau hambatan dalam mengendalikan emosi
dan kontrol sosial, serta berperilaku menyimpang
(KPPPA 2013, 4). The National Mental Health and
Special Education Coalition dalam Mangunsong
(2016) memberikan batasan mengenai pengertian
tuna laras, di mana gangguan emosi dan tingkah
laku adalah ketidakmampuan yang dicirikan dengan
respon emosi dan tingkah laku di sekolah yang
sangat berbeda dari segi umur, budaya atau norma
etik yang seharusnya, sehingga mempengaruhi
prestasi akademik. Prestasi akademik yang
dimaksud adalah kemampuan akademik, sosial,
vokasional dan kemampuan pribadi (Mangunsong
2016, 56).
6) Anak dengan gangguan pemusatan perhatian
dan hiperaktivitas (GPPH) atau ADHD adalah
65
anak yang mengalami gangguan perkembangan,
yang ditandai dengan ganggguan pengendalian diri,
masalah rentang atensi atau perhatian, hiperaktivitas
dan impulsivitas, yang menyebabkan kesulitan
berperilaku, berfikir, dan mengendalikan emosi
(KPPPA 2013, 4). Tidak semua anak yang hiperaktif
itu menyandang ADHD, namun anak dengan
ADHD pasti hiperaktif (Darmono 2015, 4).
7) Anak dengan gangguan spektrum autisma adalah
anak yang mengalami gangguan dalam tiga area
dengan tingkatan berbeda-beda, yaitu kemampuan
komunikasi dan interaksi sosial, serta pola-pola
perilaku yang repetitif dan stereotip (KPPPA 2013,
4). Gejala ini mulai tampak sebelum anak berusia 3
tahun, bahkan pada autistik infantil gejalanya sudah
ada sejak lahir. Anak autis mempunyai masalah
dalam bidang; komunikasi, interaksi sosial,
gangguan sensoris, pola bermain, perilaku, dan
emosi (Darmono 2015, 3).
8) Anak dengan gangguan ganda adalah anak yang
memiliki dua atau lebih gangguan/ hambatan
sehingga memerlukan pendampingan, layanan,
pendidikan khusus maupun alat bantu belajar yang
khusus (KPPPA 2013, 5). Tujuan pelayanan bagi
anak tuna ganda dan majemuk bukanlah
“kemandirian” melainkan upaya keterwujudan sisa
66
potensi secara optimal dan tingkat penyesuaian
sosialnya (Mangunsong 2016, 75).
9) Anak lamban belajar adalah anak yang memiliki
potensi intelektual sedikit dibawah rata-rata, namun
belum termasuk gangguan mental. Mereka butuh
waktu lama dan berulang-ulang untuk dapat
menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non
akademik (KPPPA 2013, 5). Mereka membutuhkan
waktu belajar lebih lama dibandingkan dengan
teman sebayaknya. Sehingga mereka memerlukan
layanan pendidikan khusus (Maftuhatin 2014, 211).
10) Anak dengan kesulitan belajar khusus adalah
anak yang mengalami kendala atau penyimpangan
pada satu atau lebih proses psikologis dasar yang
mencakup pengertian atau penggunaan bahasa baik
lisan maupun tulisan, di mana hambatannya dapat
berupa ketidakmampuan mendengar, berpikir,
berbicara, membaca, menulis, mengeja dan
berhitung. Kendala tersebut dimaksud dengan MBD
(Minimal Brain Dysfunction) di mana sang anak
mengalami kerusakan otak dan mengakibatkan
gangguan persepsi, kesulitan membaca dan
memahami kata-kata (Mangunsong 2014, 199).
11) Anak dengan gangguan kemampuan
komunikasi adalah anak yang mengalami
penyimpangan dalam perkembangan bahasa wicara,
suara, irama, dan kelancaran dari usia rata-rata
67
umumnya yang disebabkan oleh faktor fisik,
psikologis dan lingkungan, baik reseptif maupun
ekspresif (KPPPA 2013, 5).
12) Anak dengan potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa adalah anak yang memiliki
kemampuan luar biasa sehingga mampu
menghasilkan unjuk kerja yang luar biasa yang
meliputi inteligensi umum, kemampuan akademik,
kemampuan dan dalam bidang spesifik, kemampuan
berpikir produktif, kreatifitas, kemampuan
kemimpinan dan seni (Jamaris 2010, 279).
c. Konsep Kemandirian Anak Disabilitas
Kemandirian berasal dari kata dasar “diri” yang
memiliki awalan “ke” dan akhiran “an”, dan membentuk
suatu keadaan atau kata benda. Karena kemandirian
berasal dari kata dasar “diri”, maka pembahasan tentang
kemandirian tidak bisa lepas dari perkembangan diri itu
sendiri (Rizky 2015, 3).
Kemandirian pada anak disabilitas adalah suatu
keadaan di mana mereka dapat melakukan segala
aktivitas keseharian untuk memenuhi segala kebutuhan
dan keinginannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan
dari orang lain sehingga anak dengan disabilitas dapat
menumbuhkan kemampuan dan rasa percaya diri yang ia
miliki dan merasa mempunyai peran dan manfaat dalam
kehidupannya (Rezha 2016, 26).
68
Kemandirian bukanlah keterampilan yang
muncul secara tiba-tiba, melainkan perlu dibina dan
dipelajari dalam kehidupan seseorang terutama pada
anak penyandang disabilitas. Proses belajar tersebut
memerlukan peran keluarga agar seorang anak dapat
mengalami perubahan dari keadaan yang sepenuhnya
tergantung pada orangtua menjadi mandiri (Muharani,
Hartati, dan Sari 2008, 4).
Kemandirian pada anak disabilitas mampu
berkembang dengan baik apabila anak diberikan latihan
secara terus menerus dan dilakukan sejak dini.
Pemberian tugas-tugas tanpa bantuan dan tentu nya
disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak
merupakan hal yang dapat dilatihkan pada anak. Dengan
latihan terus menerus akan tumbuh sikap mandiri dalam
diri anak yang pada gilirannya dengan sikap mandiri
tersebut seorang anak akan mampu menghadapi
permasalahan (Retnowati 2008, 203).
Adapun tiga area kemandirian anak berdasarkan
Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan
Khusus Pendidikan Dasar (2013) yang menjadi acuan
dari Yayasan Sayap Ibu Bintaro maupun Unit Pelayanan
Disabilitas, yaitu:
1) Area Bekerja.
Anak disabilitas dapat dilatih dan mampu
melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya.
Bekerja dalam konteks ini diartikan sebagai tanggung
69
jawab anak dalam kegiatan sehari-hari sebagai bagian
dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Kemudian
sebagai peran serta yang dapat dilakukan untuk orang
lain selain dirinya. Pada arti yang lebih tinggi dapat
dimaksudkan sebagai keterampilan yang dapat
menghasilkan karya sehingga mampu menopang
hidupnya di masa depan (Direktorat Pembinaan
Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan
Dasar 2013, 53).
Beberapa contoh dari ruang lingkup area
bekerja meliputi apek-aspek sebagai berikut
(Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan
Layanan Khusus Pendidikan Dasar 2013, 54):
a) Membuat makanan dan minuman sederhana
b) Menjaga kebersihan lingkungan
c) Berbelanja
d) Berkebun
e) Mencuci pakaian
2) Area Bina Diri
Bina diri merupakan suatu proses kegiatan
pembinaan dan latihan yang dilakukan oleh orang tua,
pengasuh dan guru berdasarkan Program
Pembelajaran Individu (PPI) pada pendidikan anak
disabilitas termasuk tuna ganda dan MDVI. Pada
dasarnya area bina diri dilakukan dalam membantu
anak disabilitas belajar dan mampu melakukan
aktifitas menolong diri sesuai dengan kemampuan
70
yang dimiliki, sehingga mereka mereka dapat
mengembangkan potensinya secara optimal dan
mandiri (melayani diri sendiri).
Adapun ruang lingkup area bina diri
(Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan
Layanan Khusus Pendidikan Dasar 2013, 98) meliputi
aspek berikut:
a) Berpakaian, dalam hal ini melatih keterampilan
anak untuk bisa mandiri pada saat melepas dan
memakai pakaian sehari-hari.
b) Makan dan minum, dalam hal ini melatih
keterampilan anak untuk bisa mandiri pada saat
makan dan minum yang diajarkan secara rutin
dan konsistensi dengan melatihkan cara makan
dan minum yang benar dan mengenalkan mereka
berbagai macam makanan dan minuman.
c) Membersihkan diri, dalam hal ini melatih
keterampilan anak untuk bisa mandiri pada saat
mandi, gosok gigi, keramas, toilet dan berhias.
d) Kebersihan dan kesehatan alat reproduksi pada
wanita / laki-laki, dalam hal ini melatih
keterampilan anak untuk bisa mandiri pada saat
mereka melakukan aktifitas kebersihan dan
menjaga kesehatan wanita pada saat menstruasi,
dan mimpi basah pada laki-laki.
e) Pendidikan seksual.
71
3) Area Komunikasi dan Sosialisasi
Pada umumnya komunikasi disampaikan
melalui kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh
kedua pihak. Apabila tidak ada bahasa yang tidak
dapat dimengerti oleh kedua pihak, komunikasi masih
bisa dilakukan menggunakan gerakan-gerakan badan
atau menunjukan sikap tertentu. Dalam
berkomunikasi, kedua pihak berperan aktif, saling
memberi informasi dan menerima perintah,
mengomentari dan sebagainya. Bagi anak-anak
disabilitas maupun tuna ganda dan MDVI, mereka
mungkin hanya mampu melakukan beberapa hal saja.
maka perlu adanya komitmen dari kedua belah pihak
untuk membangun kepercayaan (Direktorat
Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
Pendidikan Dasar 2013, 130).
Adapun ruang lingkup area komunikasi dan
sosialisasi (Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus
dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar 2013, 131)
meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a. Identitas diri, dalam hal ini mengajarkan anak
memahami identitas dirinya.
b. Memahami orang lain yang terdekat, dalam hal
ini mengenalkan orang lain yang ada di sekitar
anak, meliputi keluarga inti, guru, teman dan
lingkungan sekitar.
72
c. Memahami wilayah tempat tinggal
lingkungannya, dalam hal ini mengenalkan
tempat tinggal lingkungan di sekitar rumah
seperti rumah tetangga, nama tetangga, dsb.
d. Memahami lingkungan sekolah, dalam hal ini
mengenalkan lingkungan sekolah di sekitar
sekolah, ruang kelas, nama-nama orang yang
berada di sekolah.
e. Memahami dan mengetahui tempat-tempat
umum di luar sekolah, dalam hal ini
mengenalkan tempat dan fasilitas umum di
sekitar sekolah, seperti tempat ibadah, tempat
belaja, tempat rekreasi, dsb.
f. Berinteraksi dengan masyarakat sekitar, dalam
hal ini mengenalkan dan melakukan
kegiatan/aktivitas yang terjadi di sekitar
masyarakat seperti melayat, berkunjung ke rumah
orang sakit, hajatan, dsb. Sehingga anak
mengetahui aturan yang ada di masyarakat.
B. Kajian Pustaka
Pada penelitian ini, peneliti mengkaji beberapa
literatur yang berkaitan dengan penelitian peneliti sehingga
dapat menunjang penelitian yang akan dilakukan. Beberapa
literatur yang digunakan peneliti diperoleh melalui jurnal,
skripsi maupun tesis yang berkaitan dengan tema penelitian
73
peneliti yaitu tentang keterlibatan orang tua dalam
pendidikan anak dengan disabilitas.
Penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Psikologis
Amerika (American Psychological Association)
menunjukkan bahwa seiring bertambahnya usia anak maka
keterlibatan yang dilakukan orang tua baik di rumah maupun
di sekolah menjadi semakin rendah. Selain itu dalam hal
pendidikan anak, tingkat keterlibatan orang tua terlihat lebih
besar dibandingkan dengan pihak sekolah (Christa dan Joan
2007).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Desi
Haryanti mengenai Hubungan antara Persepsi terhadap
Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan dan Motivasi
Berprestasi pada Siswa Sekolah Dasar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semakin tinggi keterlibatan orang tua
siswa dalam pendidikan maka semakin tinggi pula motivasi
berprestasi yang dimiliki siswa dan begitupun sebaliknya.
Dengan kata lain terdapat hubungan positif antara persepsi
terhadap keterlibatan orang tua dalam pendidikan dan
motivasi berprestasi pada siswa. Untuk itu partisipasi dan
peran yang dijalankan orang tua dalam hal pendidikan anak
berpengaruh terhadap kemajuan anak mereka (D. D. Haryanti
2018).
Pada penelitian selanjutnya yaitu karya Musyawarah
menunjukkan bahwa empat dari enam keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak dengan disabilitas masih tergolong
74
rendah. Adapun enam bentuk keterlibatan orang tua dalam
pendidikan anak disabilitas, yaitu (Musyawarah 2013):
1. Mencari informasi seputar hakikat dan kebutuhan
anaknya yang berkebutuhan khusus.
2. Menyusun rencana pendidikan anak.
3. Aktif menjalin komunikasi dengan pihak sekolah untuk
mendapatkan pemahaman tentang cara-cara membantu
anak belajar.
4. Berperan aktif dalam kegiatan sekolah.
5. Pendampingan belajar di rumah.
6. Mengajarkan dan melatih keterampilan bina diri bagi
anak.
Pada penelitian keempat yang dilakukan oleh Retno,
Marina dan Jehan tentang Dinamika Keterlibatan Orang Tua
dalam Terapi Anak Keterlambatan Bicara di Fusfa Klinik
Psikologi dan Pusat Terapi, terdapat beberapa informasi
mengenai Keterlibatan Orang Tua dalam perkembangan
anak dengan disabilitas. Informasi yang dijelaskan pada
penetian ini adalah mengenai faktor yang mempengaruhi
keterlibatan orang tua terhadap progres anak disabilitas.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan orang
tua yaitu kondisi sosial ekonomi orang tua, latar belakang
pendidikan orang tua, struktur keluarga dan pola asuh, serta
jenis kelamin (Retno, Marina, dan Jehan 2017).
75
C. Kerangka Berpikir
Anak penyandang disabilitas adalah seseorang yang
belum berusia delapan belas tahun yang mengalami
ketidakmampuan dan keterbatasan dalam menjalani aktifas
dan partisipasi dikarenakan adanya kecacatan baik fisik,
mental, intelektual, sensorik, sosial, emosional maupun
kecacatan ganda yang mempengaruhi proses pertumbuhan
dan perkembangan mereka.
Kondisi keterbatasan yang dimiliki anak penyandang
disabilitas membuat mereka memerlukan persyaratan
pendidikan yang berbeda dari rata-rata anak normal lainnya,
dan untuk dapat belajar secara efektif, mereka memerlukan
program, pelayanan, fasilitas dan materi khusus. Pelayanan
pendidikan khusus dibutuhkan bagi anak-anak yang
mengalami hambatan atau keterbelakangan fungsi
kecerdasan atau intelektual, serta keterlambatan dalam fungsi
fisik sehingga kemampuan yang dimiliki sang anak dapat
berkembang secara optimal.
Untuk itu, keterlibatan orangtua sangat penting dalam
pendidikan anak dengan disabilitas. Keterlibatan orangtua
terhadap pendidikan anak disabilitas menjadi tugas utama
dalam keluarga. Keterlibatan orangtua terhadap anak
penyandang disabilitas secara langsung adalah mendidik
mereka guna menciptakan ilmu yang bermanfaat, baik di
rumah, melalui lembaga pendidikan maupun di lingkungan
masyarakat. Hal ini mencakup penyediaan materi dan sumber
76
dukungan yang menentukan keberhasilan dalam pendidikan
anak dengan disabilitas.
Adanya keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak
dengan disabilitas diharapkan mampu menciptakan
kemandirian pada anak, baik dalam melakukan aktivitas
sehari-hari maupun pada tugas-tugas di sekolah. Manfaat
lainnya juga akan dirasakan oleh para orang tua, di mana
orang tua dapat meningkatkan wawasan, pengalaman dan
keterampilan dalam mengasuh serta mendidik anak mereka.
Selain itu, manfaat selanjutnya juga akan dirasakan bagi
pihak lembaga pendidikan, seperti halnya mendukung
terwujudnya suasana sekolah yang lebih baik, adanya
perbaikan pada perilaku dan sikap guru dalam menyesuaikan
diri dalam hal mendidik anak dengan disabilitas serta
memperbaiki hubungan antara orang tua dan guru.
77
2.1 Bagan Kerangka Berpikir Penelitian
ANAK PENYANDANG DISABILITAS
Jenis:
Fisik
Mental
Sosial
Tuna Ganda
Keterlibatan Orang Tua dalam
Pendidikan Anak:
1. Pendidikan Orang Tua
2. Komunikasi
3. Sukarelawan (Volunteering)
4. Pembelajaran di Rumah
5. Membuat Keputusan
6. Bekerjasama dengan Komunitas
Masyarakat
Lingkungan
Kemandirian Anak:
1. Area Bekerja
2. Area Bina Diri
3. Area Komunikasi & Sosialisasi
Rumah
Program Pendidikan Anak
Disabilitas
UPD Tangsel
78
79
BAB III
GAMBARAN UMUM LEMBAGA
A. Profil Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang
Selatan
1. Sejarah Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang
Selatan
Keberadaan layanan terhadap anak disabilitas sangat
dibutuhkan terutama bagi para keluarga yang memiliki anak
disabilitas dan berada pada kondisi ekonomi menengah ke
bawah atau merupakan keluarga pra-sejahtera. Unit
Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan (UPD
Tangsel) didirikan oleh Yayasan Sayap Ibu Cabang
Provinsi Banten (YSI-B) yang mana melayani anak-anak
disabilitas yang masih tinggal dan dalam asuhan oleh orang
tua/ keluarga terdekat dengan jumlah lebih dari 120 anak
binaan.
Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan
(UPD Tangsel) didirikan pada tanggal 26 Desember 2014
ditandai dengan pengukuhan para pengurus UPD Tangsel
yaitu Ketua, Sekretaris serta Bendahara oleh Ketua Umum
YSI-B Periode 2010-2015 dan diresmikan oleh Walikota
Tangerang Selatan yaitu Ibu Airin Rachmy Diani, SH. MH
pada tanggal 11 Februari 2015 dan dihadiri oleh Dinas
Sosial Kota Tangerang Selatan serta Camat, Lurah, sampai
Tokoh Masyarakat di wilayah Kelurahan Sawah.
80
UPD Tangsel merupakan program Yayasan Sayap
Ibu Cabang Provinsi Banten (YSI-B) sebagai jawaban dari
divisi pengembangan pelayanan yang dilakukan oleh YSI-B
serta menjadi wadah untuk menjangkau anak-anak
penyandang disabilitas di wilayah Kota Tangerang Selatan.
UPD Tangsel dibentuk untuk anak-anak disabilitas yang
sulit mengakses keberadaan panti YSI-B. Pelayanan yang
diberikan di UPD Tangsel tidak berbeda dengan pelayanan
yang diberikan oleh YSI-B di Panti kepada anak dengan
disabilitas, yang membedakan adalah keterlibatan
masyarakat sebagai relawan dalam setiap kegiatan UPD
Tangsel.
Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan
berlokasi di Jalan Pinus Blok. A 10/9 Komplek Graha
Permai Rw.09 Kelurahan Sawah, Kecamatan Ciputat.
Tangerang Selatan. Saat ini UPD Tangsel telah menjadi
wadah bagi para orang tua dengan anak disabilitas untuk
saling bertemu, berbagi pengalaman tentang bagaimana
mereka merawat anak-anak dan saling membantu sama lain.
2. Visi, Misi dan Tujuan Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan
a. Visi
Setiap anak berhak atas kehidupan yang layak,
penelantaran tidak dapat ditolerir, maka Yayasan Sayap
Ibu melakukan upaya guna mewujudkan kesejahteraan
81
anak yang holistik berkesinambungan serta penuh
kasih sayang.
b. Misi
1) Melakukan penyantunan dan pendidikan anak
penyandang disabilitas.
2) Meningatkan kemampuan anak penyandang
disabilitas baik fisik, psikis dan sosial secara
optimal.
3) Memfasilitasi akses pendidikan, kesehatan, dan
sosialisasi di masyarakat.
4) Menjalin kemitraan dengan berbagai pihak agar
terciptanya masyarakat inklusif.
c. Tujuan
1) Tersedianya wadah layanan rehabilitasi sosial
penyandang disabilitas di masyarakat.
2) Terwujudnya partisipasi aktif penyandang
disabilitas, keluarga dan masyarakat dalam kegiatan
rehabilitasi sosial.
3) Terlatihnya kader di masyarakat dalam rehabilitasi
sosial penyandang disabilitas secara
berkesinambungan.
4) Terwujudnya kesinambungan pelayanan rehabilitasi
sosial penyandang disabilitas di masyarakat.
5) Terwujudnya forum komunikasi penyandang
disabilitas, keluarga dan masyarakat.
6) Terwujudnya kemitraan terpadu dalam layanan
rehabilitasi sosial penyandang disabilitas.
82
Bagan 3.1 Stuktur Organisasi Unit Pelayanan Disabilitas
Sumber: Hasil Studi Dokumentasi
B. Struktur Organisasi Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan
1. Struktur Organisasi LembagaUnit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan
YSI CABANG
PROVINSI BANTEN
KETUA UPD
TANGERANG SELATAN
SEKRETARIS BENDAHARA
Kasi Organisasi &
Perencanaan
Sub: Program + Anggaran
Sarpras + SDM
Kasi Humas, Informasi &
Publikasi
Sub; Sosialisasi, Penyuluhan
Jejaring Sosial
Kasi
Pengembangan
Sub: Usaha
Kemitraan
Terminasi
Kasi Pelayanan
Sub: Pendidikan
Bansos
Kesehatan
Kasi Identifikasi
Sub: Pendataan
Home visit
assesmen
83
SUSUNAN PENGURUS
UNIT PELAYANAN DISABILITAS TANGERANG SELATAN
YAYASAN SAYAP IBU PROVINSI BANTEN
KETUA
: ADI SUPANGGIH
SEKRETARIS
: MUSTAKIM
BENDAHARA
: M.A. GINTING, BE
Kasi ORGANISASI &
PERENCANAAN : Z A I N I
H. YANTO
HENDRI ZARKASIH
Kasi HUMAS,
INFORMASI dan
PUBLIKASI :
WANTI PURWANTO
KHOMSIAH
LILIS NURCHAMID
Kasi IDENTIFIKASI
: WAHYUNA BAY
SUMIATY
Kasi PELAYANAN
: SITI KHOTIJAH
ROMI SAWIYAH
SARINAH
Kasi PENGEMBANGAN : HJ .SRI PURWANINGRUM
ROIPAH
84
Penjelasan:
a. Ketua UPD bertanggung jawab kepada Ketua YSI Cabang
Provinsi Banten
b. Ketua, Sekretaris dan Bendahara UPD, adalah Pengurus
Inti, yang selalu bersinergi, merupakan satu kesatuan.
c. Secara teknis, Sekretaris sekaligus sebagai koordinator
Seksi Humas, Informasi dan Publikasi.
d. Bendahara, sekaligus sebagai koordinator seksi Organisasi
dan Perencanaan
e. Sedangkan Seksi Identifikasi, Pelayanan dan Seksi
Pengembangan berada di bawah koordinasi Ketua UPD.
2. Uraian Tugas dan Tanggungjawab
a. Ketua UPD : Mengkoordinir seluruh kegiatan
b. Sekretaris : Bertanggung jawab atas segala kegiatan
Administrasi. (Mengkoordinir seksi
Humas, Dok, Publikasi)
c. Bendahara : Bertanggung jawab atas keluar masuknya
uang ( Mengkoorninir seksi Organisasi,
Program).
d. Seksi Organisasi & Program : Legalitas Lembaga, Sarana
Prasarana, Personalia dan
Program Kegiatan.
85
e. Seksi Humas, Dok, Publikasi : Membuka Media (cetak,
Elektronik, Online). Meliput,
menyiarkan, mendokumentasikan
penyuluhan.
f. Seksi Identifikasi : Pendataan Klien, Home Visit,
Case Study – Asesment, Pemetaan
data klien.
g. Seksi Pelayanan : Invetarisasi kebutuhan klien
berdasarkan pemetaan data /
Assesment, Membuat Program
Pelayanan (siapa; apa; kapan; s/d
kapan), Membuat Data Klasifikasi
Pelayanan.
h. Seksi Pengembangan : Ikut Monitoring perkembangan
klien, selama dalam pelayanan,
Membuat Data Terminasi dan
Potensi klien. Menentukan
kelanjutan pelayanan klien
(dihentikan atau dilanjutkan),
Membangun kemitraan.
86
C. Tenaga Pelayanan
Tenaga kerja yang terlibat di Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan terdiri dari beragam latar
belakang profesi seperti pekerja sosial, guru hingga pada
fisioterapis. Lama nya pergantian pengurus dilakukan setiap
3 tahun sekali, namun hal ini hanya berlaku pada ketua,
sekretaris dan bendahara saja. Untuk status tenaga pelayanan
juga dibedakan menjadi karyawan, tenaga kontrak dan
relawan. Adapun daftar tenaga pelayanan di UPD Tangsel
yaitu:
1. Karyawan Tetap
Tenaga pelayanan UPD Tangsel yang berstatus
karyawan tetap hanya berjumlah satu orang yaitu Ketua
UPD Tangsel saja, di mana beliau berstatus sebagai
karyawan dari Yayasan Sayap Ibu Cabang Provinsi Banten.
UPD Tangsel sendiri merupakan bagian dari divisi
pengembangan pelayanan YSI-B.
2. Tenaga Kontrak
Tenaga pelayanan UPD Tangsel yang berstatus
tenaga kontrak yaitu satu orang fisioterapis. Lamanya
waktu kontrak sekitar 1-2 tahun.
3. Relawan
Tenaga pelayanan UPD Tangsel yang berstatus
relawan yaitu satu orang sekretaris, satu orang bendahara,
dan tujuh orang tenaga pengajar, divisi organisasi dan
perencanaan, divisi humas dan publikasi, divisi identifikasi,
divisi pelayanan dan divisi pengembangan. Namun hanya
87
sekretaris dan bendahara yang memiliki masa jabatan.
Selebihnya tidak memiliki ikatan atau kontrak yang tetap
dan bersifat relawan. Hanya saja status relawan yang
dimaksud adalah mereka yang benar-benar memiliki
komitmen pada UPD Tangsel.
D. Jumlah Klien dan Tipe Klien
Jumlah keseluruhan anak binaan Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan sebanyak 150 orang, dan
tercatat hanya 30-40 orang yang aktif mengikuti kegiatan dan
program pelayanan di UPD Tangsel. Secara garis besar anak
binaan UPD Tangsel memiliki tingkat disabilitas tergolong
berat, hal ini identik dengan Yayasan Sayap Ibu Cabang
Provinsi Banten yang memiliki anak binaan disabilitas
dengan gangguan tuna ganda, majemuk dan memiliki jenis
disabilitas yang beragam.
Adapun jenis disabilitas yang ada pada anak binaan di
Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan antara
lain yakni Cerebal Phalsy, Hidrosefalus, Mikrosefalus,
Autisme Spectrum, Down Syndrome, Tuna Rungu, Tuna
Grahita, Tuna Netra, MDVI dan Tuna Ganda.
E. Sarana dan Prasarana
Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan
belum memiliki gedung permanen dalam menjalakan
kegiatan dan program pelayanan. Gedung yang ditempati
UPD Tangsel berbentuk sebuah rumah dengan luas 200 m2.
88
Rumah tersebut disewa pihak UPD Tangsel dengan biaya
sebesar 20-25 juta pertahun.
Adapun sarana dan pra sarana yang dimiliki oleh
UPD Tangsel yaitu dua ruang kelas dan satu ruang fisioterapi
dengan ditunjang alat bantu yang mendukung kegiatan
pelayanan. Seperti halnya di ruang kelas tersedianya meja
dan kursi, buku-buku, pensil hingga pada alat peraga.
Sedangkan di ruang fisioterapis juga memiliki alat bantu
seperti halnya stetoskop, bed/ ranjang pasien, bantal matras
dengan beragam bentuk. Selain itu, tersedia nya satu buah
komputer dan sebuah mesin print, beberapa kursi roda yang
bisa dipakai anak binaan pada saat mengikuti kegiatan
pelayanan serta beragam mainan tersedia.
F. Program Pelayanan Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan
Tabel 3.1 Program UPD Tangsel
Sumber: Hasil Studi Dokumentasi
PROGRAM KERJA
1 Pendidikan Anak Disabilitas
2 Fisioterapi
3 Familly Development Session (FDS)
4 Pelatihan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)
5 Penyuluhan Deteksi Dini Disabilitas
6 Penjangkauan (Pendataan Disabilitas)
7 Pembagian Nutrisi Tambahan
89
8 Parenting Skill
9 Pemeriksaan Kesehatan
10 Konseling Disabilitas
11 Publikasi dan Sosialiasi
12 Jaringan dan Kerjasama
1. Program Pendidikan Anak Disabilitas
Program ini bertujuan untuk mendidik dan melatih
para anak binaan penyandang disabilitas agar terbentuknya
kemandirian serta mengembalikan keberfungsian mereka.
Sasaran dari program ini adalah para anak binaan disabilitas
yang ada di UPD Tangsel. Waktu pelaksanaan program
pendidikan anak disabilitas ini diadakan setiap dua kali
dalam seminggu yaitu pada hari rabu dan kamis. Saat ini,
UPD Tangsel memiliki tiga kelas utama yaitu:
a. Kelas Pra-vokasional. Kegiatan pendidikan yang
berjalan dilakukan untuk mempersiapkan anak dalam
kegiatan kerumahtanggaan/ bekerja, kegiatan yang
dilakukan seperti belajar melipat dan menyetrika baju,
menyapu serta mencuci piring.
b. Kelas Behaviour. Kelas dengan kegiatan pendidikan
perilaku.
c. Kelas Persiapan. Kelas dengan kegiatan latihan
motorik dan sensorik, juga mengenal warna, hewan dan
benda-benda serta latihan menulis.
90
Di bawah ini penulis akan menyajikan hasil
dokumentasi dari setiap kegiatan yang dilaksanakan di
program Pendidikan Anak Disabilitas:
Gambar 3.1 Belajar Menulis Gambar 3.2 Bernyanyi Bersama
Gambar 3.3 Mengenal Warna Gambar 3.4 Belajar Memasak
Gambar 3.5 Menyapu
Sumber: Hasil Dokumentasi Penulis
91
2. Program Fisioterapi
Salah satu bentuk pelayanan terhadap anak binaan
UPD Tangsel yang mengalami disabilitas fisik terutama
jenis disabilitas cerebral phalsy adalah kegiatan fisioterapi.
Pelayanan/ kegiatan fisioterapi ini dilakukan oleh
fisioterapis profesional. Kegiatan ini diberikan dengan
berorientasi kepada kebutuhan dasar masing-masing anak
binaan. Latihan yang diberikan pun beragam, tergantung
pada kebutuhan dan tingkat keparahan sang anak. Kegiatan
ini berfungsi untuk menstabilkan dan atau memperbaiki
gangguan gerak anak binaan, di mana syaraf dan otot
mereka cenderung kaku dan tegang, kemudian melancarkan
aliran darah yang ada di dalam tubuh anak, serta
memperbaiki struktur tulang anak yang bengkok, dsb.
Sasaran pada kegiatan fisioterapi tidak hanya
ditujukan bagi para anak disabilitas binaan UPD Tangsel,
melainkan kepada orang tua binaan. Di mana pada sesi
terapi berlangsung, fisioterapis memberikan pelatihan
gerakan-gerakan dasar yang bisa dilatihkan orang tua
kepada anak mereka di rumah. Pelayanan fisioterapi ini
diadakan setiap dua kali dalam seminggu yaitu pada hari
selasa dan jum‟at.
3. Program Familly Development Session (FDS)
Program ini biasa disebut sebagai forum keluarga, di
mana terdapat materi panduan khusus yang dibuat oleh tim
yakni Pak Fahmi dan Pak Adi. Forum ini bertujuan untuk
92
memberi wadah bagi para orang tua untuk saling berdiskusi
dan bertukar pengalaman serta saling memberi saran dan
atau masukan agar dapat lebih memahami pengasuhan anak
mereka dalam kegiatan sehari-hari yang kemudian akan
dipresentasikan. Forum ini dilakukan dengan cara membagi
para orang tua ke dalam kelompok-kelompok kecil dan
dibantu oleh satu orang fasilitator. Materi yang diberikan
pun beragam seperti halnya pemaparan tentang hak-hak
anak, dan berkembang sesuai jalannya diskusi. Program ini
dilaksanakan setiap satu kali dalam satu bulan atau fleksibel.
4. Program Pelatihan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)
Program ini dilakukan untuk meningkatkan
perekonomian keluarga dari anak binaan UPD Tangsel.
Program ini dilaksanakan satu kali dalam satu tahun.
Program ini ditujukan kepada para orang tua binaan dan
terdiri dari beragam kegiatan seperti pelatihan tata boga,
pemberian modal usaha dan alat masak serta keterampilan
lainnya seperti pembekalan bagaimana mengemas produk
yang baik dan menarik.
Pemberian modal yang diberikan berkisar 500.000
rupiah sampai dengan 2.000.000 rupiah, tergantung usaha
apa yang akan dijalankan masing-masing orang tua binaan.
Pemberian modal ini dinamakan “modal bergilir”, modal
yang telah diberikan akan dikembalikan dengan cara dicicil
setiap minggu atau setiap bulannya tergantung kesepakatan
masing-masing orang tua binaan terhadap pihak UPD
93
sebesar 50ribu. Idealnya waktu penyetoran cicilan
dilakukan sebanyak 10 kali.
Pelatihan ini terlaksana berkat bantuan sponsor dan
kerjasama dari Pihak BRI dan satu yayasan lainnya.
Pelatihan masak dilakukan oleh trainer yang merupakan
tenaga profesional, dan standar yang diajarkan trainer pun
memiliki nilai yang tinggi. Sebelumnya, para orang tua
diajak berbelanja kebutuhan bahan masakan bersama di
salah satu pasar swalayan. Barang yang dibeli pun
disesuaikan dengan masing-masing kebutuhan masakan
yang akan mereka jual.
Menu-menu masakan yang diajarkan tidak hanya
berupa kue basah dan kue kering saja melainkan juga
masakan utama seperti soto, gado-gado dsb. Selain
pelatihan memasak, para orang tua diberikan modal berupa
alat masak untuk menunjang usaha mereka seperti oven,
etalase kaca, panci, penggorengan, dsb. Namun alat masak
yang diberikan tergantung pada kebutuhan masing-masing
usaha para orang tua.
Pelatihan usaha ekonomi produktif memang
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan orang tua dan
menciptakan peluang usaha bagi mereka. Namun setelah
dievaluasi, banyak modal yang tidak kembali dan usaha
yang sudah tidak berjalan lagi. Hal ini dirasakan oleh pihak
UPD karena mereka menyadari kurangnya pendampingan
dan pemantauan kepada para orang tua yang disebabkan
oleh minimnya tenaga SDM yang ada di UPD.
94
5. Program Penyuluhan Deteksi Dini Disabilitas
Program ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman dan pengenalan tentang disabilitas kepada
masyarakat, dan mengurangi serta menghilangkan stigma
negatif yang berkembang di masyarakat mengenai anak
disabilitas. Penyuluhan ini dilakukan oleh Pak Adi, Pak
Fahmi dan Pak Doni secara bergantian. Penyuluhan deteksi
dini dilakukan melalui kerja sama dengan puskesmas dan
posyandu setempat, pertemuan pkk kelurahan maupun
kecamatan, PAUD dan masyarakat yang tinggal di sekitar
UPD.
Sasaran dari program ini adalah masyarakat
Tangerang Selatan terutama pada ibu hamil dan ibu muda.
Penyuluhan dilakukan dua sampai tiga kali dalam setahun.
Program ini berkaitan dengan program Penjangkauan, di
mana pada selesai sesi penyuluhan, pihak UPD diberi daftar
identitas keluarga yang memiliki anak penyandang
disabilitas yang kemudian didata oleh pihak UPD dan
diterima menjadi anak binaan di UPD Tangsel.
6. Program Penjangkauan (Pendataan Disabilitas)
Program penjangkauan bertujuan agar anak
penyandang disabilitas di wilayah Tangerang Selatan
memiliki aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhannya.
Selain itu, penjangkauan yang dilakukan pihak UPD
Tangsel kepada anak binaan yang sudah tidak aktif yakni
mengunjungi rumah anak binaan tersebut bersama dengan
95
tim kesehatan atau fisioterapis dan atau tenaga pengajar.
Sedangkan pada pendataan disabilitas dilakukan bersamaan
dengan program penyuluhan deteksi dini yang dilakukan di
puskesmas, posyandu, dll.
Di mana pihak UPD diberi daftar identitas keluarga
yang memiliki anak penyandang disabilitas, dan selanjutnya
pendaatan dilakukan pada calon binaan UPD Tangsel
dengan mendatangi lokasi tempat tinggal calon anak binaan.
Sasaran dari program ini adalah calon anak binaan UPD
Tangsel maupun anak binaan yang sudah tidak aktif
mengikuti kegiatan di UPD Tangsel. Waktu penjangkauan
dan pendataan yang dilakukan bersamaan dengan program
penyuluhan deteksi dini, dan bisa dilakukan kapan saja
terutama dalam menjangaku anak binaan yang sudah tidak
aktif.
7. Program Pembagian Nutrisi Tambahan
Tujuan dari program ini adalah untuk membantu
memberikan gizi tambahan kepada anak binaan. Pembagian
nutrisi dilakukan secara rutin dan gratis bagi anak binaan
UPD Tangsel, barang-barang yang diberikan seperti susu,
popok, beras, obat dan sebagainya. Sesuai dengan
tujuannya, sasaran dari kegiatan ini adalah untuk para anak
binaan di UPD Tangsel. Waktu pemberian nutrisi tambahan
yakni pada minggu ke-2 setiap bulan.
96
8. Program Parenting Skill
Tujuan dari program ini adalah agar para orang tua
memahami peran, tugas dan tanggung jawab mereka yang
merupakan anak penyandang disabilitas. Berbeda dengan
program Family Development Session, kegiatan ini tidak
hanya melibatkan para orang tua saja, namun juga
melibatkan para anak binaan. Kegiatan ini memiliki sesi di
mana para orang tua diberikan pembekalan tentang
bagaimana menangani anak disabilitas oleh beberapa
fasilitator. Sasaran dari program ini ditujukan untuk para
orang tua binaan UPD Tangsel. Waktu pelaksanaan
program ini adalah dua sampai tiga kali dalam setahun.
9. Program Pemeriksaan Kesehatan
Program ini berjalan atas kerjasama antara pihak
UPD Tangsel dan pihak puskesmas setempat. Kegiatan ini
bertujuan untuk memeriksa kondisi kesehatan anak binaan
UPD Tangsel. Sesuai dengan tujuannya, sasaran dari
kegiatan ini ditujukan bagi para anak binaan disabilitas di
UPD Tangsel. Waktu pemeriksaan dilakukan sebanyak satu
kali dalam satu bulan. Pemeriksaan kesehatan dilakukan
oleh seorang tenaga medis profesional dan satu orang
asisten medis.
10. Program Konseling Disabilitas
Tujuan dari program ini adalah memberi wadah bagi
para orang tua binaan di UPD Tangsel apabila ingin
97
mengkonsultasikan permasalahan yang sedang mereka
alami. Kegiatan konseling dilakukan oleh psikolog
profesional yang merupakan volunteer dari Yayasan
Sayap Ibu Cabang Banten. Sasaran dari kegiatan ini
adalah para orang tua binaan UPD Tangsel. Namun pada
tahun 2018, program ini belum berjalan kembali karena
tidak adanya volunteer.
11. Publikasi dan Sosialiasi
Tujuan dari program ini adalah mempublikasikan
dan memperkenalkan kepada masyarakat Tangerang
Selatan mengenai keberadaan dan kegiatan UPD Tangsel,
sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam kegaiatan
yang ada di UPD Tangsel. Bentuk sosialisasi tidak hanya
berupa media cetak maupun media elektronik. Sosialisasi
dapat dilakukan pada saat penyuluhan deteksi dini, di
mana pihak UPD Tangsel mengunjungi berbagai tempat
seperti posyandu dan PAUD dalam memperkenalkan
keberadaan UPD Tangsel. Selain itu, sosialisasi pun
dilakukan apabila terdapat masyarakat umum yang ingin
memperoleh info seputar disabilitas ke pihak upd. Sasaran
dari kegiatan ini adalah masyarakat Tangerang Selatan.
Waktu pelaksanaan bisa kapan saja.
12. Jaringan dan Kerjasama
UPD Tangsel memiliki jalinan kerjasama dengan
beberapa lembaga seperti lembaga LAYAK (Lembaga)
98
yaitu lembaga yang dapat menyediakan periksa mata dan
kacamata untuk anak disabilitas dan Lembaga WAFCAI
yaitu lembaga perantara penyedia kursi roda.
G. Alur dan Prosedur Pelayanan Klien
1. Proses Penerimaan Anak Binaan diluar Panti atau
Non Panti YSI-B
Gambar 3.6 Proses Penerimaan Anak Binaan di luar Panti atau
Non Panti YSI-B
Sumber: Hasil Studi Dokumentasi
Dalam hal ini, alur dan prosedur pelayanan anak-
anak binaan yang ada di UPD dan YSIB Non panti adalah
sama karena keduanya sama-sama bersifat non panti atau
mereka yaitu anak-anak binaan yang masih memiliki
keluarga dan tinggal bersama keluarga mereka. Adapun
kriteria menjadi anak non panti:
99
a. Anak Disabilitas
b. Umur di bawah 18 tahun
c. Keluarga tidak mampu
2. Alur Metode Penanganan Klien
Gambar 3.7 Alur Metode Penanganan Klien
Sumber: Hasil Studi Dokumentasi
Penjelasan:
a. Pendekatan Awal (intake, engagement, identification)
1) Intake: memperoleh informasi dari klien tentang
masalah-masalahnya dan alasan-alasan meminta
pertolongan. Memperoleh data anak.
2) Engagement: membangun hubungan atau
membangun rasa kepercayaan klien terhadap
pekerja sosial. Mengkaji situasi masalah,
memperoleh informasi menyeluruh tentang klien
dan berbagai aspek sistem terkait.
100
3) Identification: hal ini sama dengan kegiatan di atas,
yaitu sama-sama mengidentifikasi apapun yang
terakit klien yang nantinya dapat digunakan untuk
acuan pemberian pelayanan.
b. Observasi, pengungkapan dan pemahaman kasus
Dari observasi ini akan diperoleh identifikasi
masalah awal, observasi dilakukan dengan skill
observasi yang meliputi pengamatan. Dan dilakukan
dengan ketentuan, misalnya ingin observasi
lingkungannya atau sosialnya dll. Pengungkapan dan
pemahaman kasus yaitu data terpendam atau
tersembunyi dari klien dan bisa diperoleh dari observasi.
c. Perencanaan kegiatan dan kontrak
Kegiatan ini merupakan jembatan yang
menghubungkan assesmen dan tahap intervensi. Ini
dilakukan sesuai dengan tujuan pencapaian dan bekerja
dengan klien, klien wajib terlibat penuh dalam
keseluruhan kegiatan. Dan kegiatan perencanaan
pelayanan ini harus disepakati bersama-sama dengan
klien atau wali dari klien. Lalu merumuskan kontrak,
komponen utama kontrak adalah rincian tentang apa
yang akan dilakukan selama proses pelayanan. Dan ini
tertera di dalam form yang berisi informasi tentang
tujuan, metode, jadwal kerja dan ini disepakati bersama
antara pekerja sosial dengan klien atau wali dari klien.
d. Assessment
101
Assesmen ialah proses mencari informasi dari
klien dan pihak alin yang memiliki hubungan dengan
klien untuk rencana penyelesaian masalah. Proses ini
akan menghasilkan profil yang akurat tentang klien,
masalah klien, potensi/kekuatan klien serta sumber-
sumber di sekililing klien. Tiga kegiatan utama dalam
assesmen: menyiapkan instrumen (form-form: face sheet,
tools BPSS), mengumpulkan data lalu menganalisis
masalah. Ini bisa dilakukan dengan wawancara,
pengamatan, studi dokumentasi.
e. Rencana Intervensi
Kegiatan pelayanan yang akan dilakukan ini
diperoleh dari hasil assesmen yang telah dikaji. Rencana
intervensi dilakukan untuk mengurutkan secara
sistematis kegiatan-kegiatan apa saja yang ingin
dilakukan. Ini dilampirkan dalam sebuah form yang
isinya ada permasalahan/kebutuhan klien, target dari
pelayanan, pelayanan yang diberikan sampai orang atau
lembaga yang bertanggung jawab.
f. Akses ke (sesuai kebutuhan klien)
Ini dilakukan setelah melihat hasil assesmen dan
rencana kegiatan, jika klien membutuhkan terapi maka
klien diakseskan ke tempat terapi. Apa yang paling
dibutuhkan dan itu semua sesuai hasil assesmen.
g. Intervensi
Intervensi adalah kegiatan yang dilakukan sesuai
rencana: pekerja sosial dan klien melaksanakan rencana
102
untuk mencapai tujuan. Intervensi dapat menggunakan
berbagai pendekatan dan tekhnik spesifik. Intervensi
dilakukan untuk keadaan klien yang lebih baik lagi.
Menghubungkan klien dengan sistem-sistem yang dapat
menyediakan sumber, pelayanan dan kesempatan.
Intervensi bisa dilakukan dengan 3 metode pekerja sosial
yaitu case work, case manajer dan group work.
h. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi perlu dilakuakn untuk
memperoleh informasi terus menerus dari kinerja
program/intervensi yang telah dilakukan bersama klien.
Ini bisa dilakukan dengan pengamatan atau pun
menggunakan form monitoring dan evaluasi. Evaluasi
dilakukan untuk melihat keberhasilan dari suatu
intervensi yang dilakukan pekerja sosial.
i. Case Record
Case record ini bisa dilakukan dengan individu
maupun kelompok.
j. Terminasi
Terminasi merupakan pemutusan pelayanan
dilihat dari hasil monitoring dan evaluasi. Jika intervensi
berhasil maka pelayanan segera dicukupkan, dan jika
intervensi ada yang kurang berhasil pekerja sosial bisa
melakukan rujukan ke profesi yang bisa lebih menangani
permasalahn tersebut.
103
H. Sumber Dana dan Kerjasama Unit Pelayanan Disabilitas
Kota Tangerang Selatan
Sumber dana Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan berasal dari Yayasan Sayap Ibu Cabang
Provinsi Banten dan berbagai donatur yang tidak terikat.
Dana yang berasal dari Yayasan Sayap Ibu Cabang Provinsi
Banten digunakan untuk kegiatan operasional seperti sewa
rumah, pelaksanaan kegiatan program dan honor para tenaga
staff profesional. Selanjutnya dana yang diberikan oleh para
donatur ke UPD Tangsel tetap harus dilaporkan kepada pihak
Yayasan Sayap Ibu Cabang Provinsi Banten yang kemudian
akan dicatat ke dalam buku laporan.
Saat ini Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang
Selatan menjalin kerjasama dengan berberapa pihak, di
antaranya:
1. Puskesmas Kelurahan Sawah, Ciputat. Kerjasama yang
dilakukan dalam rangka pemeriksaan kesehatan para anak
binaan penyandang disabilitas. Di mana pemeriksaan kesehatan
dilakukan oleh satu orang dokter dan satu orang asisten
kesehatan.
2. Prodi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Kerjasama yang dilakukan dalam rangka
penyelenggaraan program praktikum, magang dan
penelitian mahasiswa kesejahteraan sosial.
104
105
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Berdasarkan hasil temuan lapangan melalui metode
wawancara dan studi dokumentasi, dapat diperoleh beberapa
informasi terkait keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak
dengan disabilitas di Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang
Selatan. Pada bab ini penulis menjabarkan hasil data dan temuan
penelitian mengenai keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak dengan disabilitas di Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan.
Dalam menentukan informan, peneliti menentukannya
melalui kualifikasi yakni berasal dari beragam latar belakang,
latar belakang yang dimaksudkan oleh peneliti adalah usia,
pendidikan, status ekonomi dan status sosial. Kualifikasi tersebut
ditujukan untuk keenam orang tua dari anak binaan UPD Tangsel
yang dijadikan sebagai informan utama. Selain para orang tua
dari anak binaan, penulis juga mewawancarai para informan
pendukung yaitu ketua UPD Tangsel yang merupakan seorang
pekerja sosial yang bertugas sebagai penentu kebijakan dan tiga
orang tenaga pengajar sebagai pelaksana teknis program
pendidikan.
A. Profil Informan
1. Informan Utama
a. Informan Pertama
106
Informan utama pertama yang penulis
wawancarai yaitu bernama Ibu DR atau yang biasa
dipanggil dengan Ibu DR. Ibu DR merupakan orang tua
dari SF yang mengalami MDVI atau Multiple
Disability with Visual Impairment di mana seorang
anak mengalami gangguan penglihatan ditambah
dengan hambatan lain yaitu cerebral palsy jenis
quadriplegia dan berusia 17 tahun. Penulis
mewawancarai Ibu DR pada hari Selasa tanggal 7 Mei
2019 sekitar pukul 10.18 WIB. Ibu DR adalah seorang
ibu rumah tangga yang berusia 49 tahun dan memiliki
1 orang anak. Ibu DR sudah bergabung di Yayasan
Sayap Ibu selama 8 tahun yaitu sejak tahun 2011
bahkan sebelum Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan dibentuk. Ibu DR beragama Islam
dan pendidikan terakhirnya adalah SD. Penulis
mewawancarai Ibu DR karena Ibu DR mewakili salah
satu kualifikasi yaitu salah satu orang tua yang paling
lama bergabung di Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan.
b. Informan Kedua
Informan utama kedua yang penulis
wawancarai yaitu bernama Ibu ND atau yang biasa
dipanggil dengan Ibu N. Ibu N merupakan orang tua
dari TE yang mengalami Gangguan Pemusatan
Perhatian dan Hiperaktivitas dan berusia 7,5 tahun.
107
Penulis mewawancarai Ibu N pada hari Selasa tanggal
7 Mei 2019 sekitar pukul 15.05 WIB. Ibu N adalah
seorang ibu rumah tangga yang berusia 38 tahun dan
memiliki 1 orang anak. Ibu N sudah bergabung di Unit
Pelayanan Disabilitas selama 2 tahun, yaitu sejak tahun
2017. Ibu N beragama Katolik dan pendidikan
terakhirnya adalah D4. Penulis mewawancarai Ibu N
karena Ibu N mewakili salah satu kualifikasi yaitu
salah satu orang tua yang memiliki latar pendidikan
terakhir D4 dan seorang ibu rumah tangga.
c. Informan Ketiga
Informan utama ketiga yang penulis
wawancarai yaitu bernama Ibu DM atau yang biasa
dipanggil dengan Ibu DM. Ibu DM merupakan orang
tua dari NAP yang mengalami Tuna Rungu dan berusia
8 tahun. Penulis mewawancarai Ibu DM pada hari
Rabu tanggal 8 Mei 2019 sekitar pukul 15.10 WIB. Ibu
DM adalah seorang ibu rumah tangga yang berusia 36
tahun dan memiliki 2 orang anak. Ibu DM sudah
bergabung di Unit Pelayanan Disabilitas selama 1
tahun, yaitu sejak tahun 2018. Ibu DM beragama Islam
dan pendidikan terakhirnya adalah SMP. Penulis
mewawancarai Ibu DM karena Ibu DM mewakili salah
satu kualifikasi yaitu memiliki latar belakang
pendidikan SMP dan salah satu orang tua yang masih
108
tergolong baru bergabung di Unit Pelayanan Disabilitas
Kota Tangerang Selatan.
d. Informan Keempat
Informan utama keempat yang penulis
wawancarai yaitu bernama Ibu SW atau yang biasa
dipanggil dengan Ibu S. Ibu S merupakan orang tua
dari NA yang mengalami Down Syndrome dan berusia
20 tahun. Penulis mewawancarai Ibu S pada hari
Kamis tanggal 9 Mei 2019 sekitar pukul 10.26 WIB.
Ibu S adalah seorang ibu rumah tangga yang berusia 42
tahun dan memiliki 2 orang anak. Ibu S sudah
bergabung di Unit Pelayanan Disabilitas selama 4
tahun, yaitu sejak tahun 2015. Ibu S beragama Islam
dan pendidikan terakhirnya adalah SD. Penulis
mewawancarai Ibu S karena Ibu S mewakili salah satu
kualifikasi yaitu salah satu orang tua yang memiliki
memiliki latar pendidikan terakhir SD dan memiliki
kesibukan yakni sebagai penjual makanan.
e. Informan Kelima
Informan utama kelima yang penulis
wawancarai yaitu bernama Ibu DM atau yang biasa
dipanggil dengan Ibu DW. Ibu DW merupakan orang
tua dari HS yang mengalami Retardasi Mental dan
berusia 15 tahun. Penulis mewawancarai Ibu DW pada
hari Kamis tanggal 9 Mei 2019 sekitar pukul 15.03
WIB. Ibu DW adalah seorang ibu rumah tangga yang
109
berusia 53 tahun dan memiliki 4 orang anak. Ibu DW
sudah bergabung di Unit Pelayanan Disabilitas selama
2 tahun, yaitu sejak tahun 2017. Ibu DW beragama
Kristen dan pendidikan terakhirnya adalah SD. Penulis
mewawancarai Ibu DW karena Ibu DW mewakili
kualifikasi yaitu berstatus sebagai orang tua tunggal.
f. Informan Keenam
Informan utama keenam yang penulis
wawancarai yaitu bernama Ibu K atau yang biasa
dipanggil dengan Ibu T. Ibu T merupakan orang tua
dari AA yang mengalami Down Syndrome dan berusia
9 tahun. Penulis mewawancarai Ibu T pada hari Sabtu
tanggal 11 Mei 2019 sekitar pukul 10.23 WIB. Ibu T
adalah seorang ibu rumah tangga yang berusia 43 tahun
dan memiliki 2 orang anak. Ibu T sudah bergabung di
Yayasan Sayap Ibu Cabang Bintaro sejak tahun 2012
bahkan sebelum Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan dibentuk,. Ibu T beragama Islam
dan pendidikan terakhirnya adalah SMA. Penulis
mewawancarai Ibu T karena Ibu T mewakili kualifikasi
yaitu memiliki latar pendidikan terakhir SMA.
2. Informan Pendukung
a. Informan Pertama (Tenaga Pengajar)
Informan pendukung pertama yang penulis
wawancarai yaitu bernama SR atau yang biasa
dipanggil dengan Ibu R. Ibu R berusia 52 tahun.
110
Penulis mewawancarai Ibu R pada hari Rabu tanggal
15 Mei 2019 sekitar pukul 13.32 WIB. Ibu R
merupakan guru pengajar di kelas Pra Vokasional sejak
tahun 2015. Ibu R dikenal sebagai guru yang lembut
dan sabar dalam mengajar.
b. Informan Kedua (Tenaga Pengajar)
Informan pendukung kedua yang penulis
wawancarai yaitu bernama SK atau yang biasa
dipanggil dengan Ibu SK. Penulis mewawancarai Ibu
SK pada hari Kamis tanggal 16 Mei 2019 sekitar pukul
13.09 WIB. Ibu SK berusia 52 tahun. Ibu SK dikenal
sebagai guru yang tegas dalam mengajar. Ibu R
merupakan guru pengajar di kelas Persiapan sejak
tahun 2015.
c. Informan Ketiga (Tenaga Pengajar)
Informan pendukung ketiga yang penulis
wawancarai yaitu bernama T atau yang biasa dipanggil
dengan Ibu T. Penulis mewawancarai Ibu T pada hari
Kamis tanggal 16 Mei 2019 sekitar pukul 14.53 WIB.
Ibu T berusia 44 tahun. Ibu T dikenal sebagai guru
yang ramah, baik kepada murid maupun wali murid.
Ibu T sangat sabar dalam menghadapi siswanya yang
memiliki berbagai macam tingkah laku.Ibu T
111
merupakan guru pengajar di kelas Behaviour sejak
tahun 2017.
d. Informan Keempat (Ketua UPD Tangsel)
Informan pendukung terakhir yang penulis
wawancarai yaitu bernama AS atau yang biasa dipanggil
dengan Bapak A. Bapak A merupakan Ketua Unit
Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan sejak
diresmikan pada tahun 2015 hingga sekarang. Penulis
mewawancarai Bapak A pada hari Kamis tanggal 16 Mei
2019 sekitar pukul 15.40 WIB. Bapak A berusia 52 tahun.
Bapak A dikenal sebagai seorang yang sabar, ramah dan
murah hati kepada anak-anak binaan dan orang tua binaan.
B. Bentuk Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan
Keterlibatan berasal dari kata dasar “libat” yang
berarti adanya keikutsertaan individu atau berperannya sikap
ataupun emosi individu dalam situasi tertentu. Keterlibatan
orang tua dalam pendidikan anak merupakan berbagai bentuk
kegiatan yang dilakukan oleh orang tua melalui kerjasama
dengan pihak sekolah seperti guru, baik di rumah maupun di
sekolah guna memaksimalkan perkembangan dan pendidikan
anak.
Berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan oleh
penulis, melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi,
terdapat enam bentuk keterlibatan orang tua dalam
pendidikan anak, di antaranya yaitu; (1) pendidikan orang
tua; (2) komunikasi; (3) sukarelawan; (4) pembelajaran di
112
rumah; (5) membuat keputusan; (6) kerjasama dengan
komunitas masyarakat. Berikut hasil data dan temuan
lapangan mengenai keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak dengan disabilitas di Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan adalah sebagai berikut:
1. Tipe 1= Pendidikan Orang Tua (Parenting Education)
Bentuk keterlibatan tipe pertama yang penulis
sebutkan adalah tipe pendidikan orang tua atau parenting
education. Tipe pertama yang dimaksud adalah bukan
mengenai latar belakang pendidikan orang tua, melainkan
bagaimana langkah dan upaya yang diambil orang tua dalam
mengedukasi dirinya dan menambah pengetahuan terkait
perkembangan maupun kebutuhan anak.
Hasil penelitian menunjukkan bentuk keterlibatan
tipe pertama mengalami hasil yang beragam, di mana dari
jumlah enam orang tua yang penulis wawancarai, tiga
orang tua menunjukkan keterlibatan tinggi, dan tiga orang
tua lainnya menunjukkan keterlibatan rendah.
Pada tiga informan yang memiliki keterlibatan
tinggi yaitu Ibu T, Ibu N dan Ibu DR. Adapun hasil
observasi yang dilakukan penulis kepada ketiga orang tua
yang memiliki keterlibatan tinggi pada tipe pertama ini
memang terlihat lebih aktif hadir di lembaga, baik pada
saat acara tertentu yang diadakan lembaga, maupun pada
kegiatan kelas biasa. Kemudian, ketiganya terlihat dekat
dengan para guru dan ketua lembaga. Mereka juga aktif
113
bertanya, terutama pada waktu kegiatan pendidikan
berlangsung.
Kemudian, tidak hanya program pendidikan
disabilitas saja yang dirancang UPD Tangsel dalam
membantu orang tua di bidang pendidikan sehingga dapat
bermanfaat untuk meningkatkan kemandirian anak
disabilitas seperti program parenting skill dan program
family development session. Pada program parenting skill,
orang tua dilatih oleh narasumber, baik terapis, ahli gizi
maupun narasumber lain.
Hal-hal yang dibahas tentunya terkait
permasalahan anak, seperti bagaimana melatih anak yang
mengalami delay speech. Selain itu tentang bagaimana
melatih anak dalam mengurangi sikap tantrum. Karena
kebanyakan anak disabilitas memiliki emosi yang tidak
terkontrol. Pelatihan diberikan melalui gerakan-gerakan
tertentu dan biasanya langsung dipraktekkan dengan anak
masing-masing.
Sedangkan pada program family development
session dilakukan melalui metode group work atau
metode kerja kelompok. Di mana para orang tua dibagi
menjadi beberapa kelompok yang kemudian dipimpin
oleh satu orang narasumber. Selanjutnya tiap-tiap orang
tua diberikan kesempatan untuk maju ke depan dan
menceritakan permasalahan yang dialami dan kemudian
akan dicari solusinya secara bersama-sama. Adapun
output yang diharapakan dari kedua program tersebut
114
adalah menciptakan kemandirian pada anak (Hasil
observasi FDS pada tanggal 8 Mei 2019).
Selain melalui hasil observasi, data diperoleh
dengan wawancara yang dilakukan penulis kepada ketiga
informan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa beragam
cara dilakukan para orang tua dalam menambah
pengetahuan mereka seputar penanganan anak di rumah,
salah satunya yaitu melalui internet. Seperti yang
diungkapkan Ibu T:
“Biasanya browsing tentang cara menangani
anak terutama mengontrol emosi anak.” (Kristanti
2019)
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibu N:
“Saya cari di google tentang cara penanganan
anak di rumah sama gimana cara ngelatih fokusnya
dia. Karena dia susah fokus.” (Dwiyana 2019)
Selain itu, Ibu N juga mengatakan bahwa beliau
pernah mengikuti seminar dalam menambah informasi
seputar anak.
“Pernah, tahun 2018. Taunya dari grup di upd.
Ada seminar free di rumah sakit mayapada waktu
itu hari anak autis. Ngebahas kesukaan anak apa,
karena kan anak autis cenderung suka sama satu
hal.” (Dwiyana 2019)
Ibu DR mengatakan juga pernah terlibat pada
seminar yang diadakan pihak YSI-B dalam hal
penanganan anak.
“Pernah, waktu itu ikut seminar di YSI tentang
kemandirian anak, cara ngurus anak kaya gini. Ada
115
prakteknya juga, jadi kita sambil peragain ke anak.”
(Daronah 2019)
Berbeda dengan Ibu T, Ibu T mengungkapkan
pernah mengikuti seminar di luar dari UPD Tangsel dan
YSI-B.
“Pernah, di BXChange sini dari yayasan
YCHI. Seminar psikiater, cara menangani anak
kaya gini. Waktu itu si Nn buat peraga, jadi aku
ikut denger seminarnya.” (Kristanti 2019)
Selain cara-cara di atas, para orang tua biasanya
memperoleh informasi seputar anak dengan cara bertanya
kepada pihak lembaga, baik guru, terapis maupun ketua
lembaga. Sebagaimana yang diungkapkan oleh ibu DR:
“Kalo forum sih emang jarang ada ya, paling
nanya ke guru dan pa adi, sama ke ibu-ibu lain aja
sambil ngobrol.” (Daronah 2019)
Hal serupa juga dilakukan oleh Ibu N:
“Tanya ke gurunya gimana tadi belajar di
kelas, terus informasi dari forum, dari pa adi sama
terakhir dari sesama ibu-ibu di sana. Mereka suka
kasih tau saya slb yang bagus dan ga terlalu mahal
di mana.” (Dwiyana 2019)
Sedangkan pada Ibu T biasa bertanya kepada
terapis tentang cara melatih anak di rumah. Sebagai
berikut:
“Kalo aku lebih banyak dapet informasi dari
yayasan/ YSI dan lebih sering ke yayasan,
informasi tentang perkembangan anak. Cara anak
bisa ngomong dan jalan karena Nn kakinya lemah.
Dan aku bertanya ke terapis gimana cara
116
ngelatihnya, jadi aku yang belajar buat nerapin di
rumah. Kalo di upd ya paling kaya sosialisasi dan
proses belajar anak di sekolah kaya gimana.”
(Kristanti 2019)
Adapun pernyataan dari Ibu SK yaitu salah satu
pengajar di UPD Tangsel mengatakan bahwa orang tua
bertanya kepada guru tentang proses belajar anak di kelas.
“Biasanya mereka nanya ke Pak Adi, paling
beberapa aja yang nanya ke kita tentang gimana
proses belajar anaknya di kelas, terutama anak
yang belum bisa fokus.” (Khodijah 2019)
Selain itu, ketua UPD Tangsel menjelaskan
tentang hal-hal yang biasa para orang tua tanyakan kepada
pihak lembaga terutama informasi mengenai anak mereka.
“Biasanya nanya jenis disabilitas anaknya,
karena mereka bingung dan bahkan gatau. Cara
megang anak seperti ini di rumah gimana, sama
kaya nanya tempat terapi atau sekolah slb untuk
anaknya. Karena jenis terapi di sini kan cuma ada
fisioterapi, untuk okupasi dan terapi wicara belum
ada.” (Supanggih 2019)
Sedangkan tiga orang tua sisanya menunjukkan
keterlibatan yang rendah pada bentuk keterlibatan tipe
satu ini yaitu Ibu DW, Ibu DM dan Ibu S. Adapun hasil
observasi yang dilakukan penulis kepada ketiga informan
yang memiliki keterlibatan rendah pada tipe pertama ini
terlihat lebih pasif dibanding ketiga informan sebelumnya.
Selain itu pada Ibu DW dan Ibu S terlihat jarang hadir di
lembaga pada saat jadwal kegiatan pendidikan
117
dikarenakan pekerjaan mereka yaitu penjual makanan.
Berbeda dengan Ibu DM yang membuka usaha warung
kelontong yang terbilang cukup kecil di depan rumah
kontrakan yang ditinggalinya.
Karena pekerjaan yang dimiliki Ibu DW dan Ibu S,
menyebabkan anak Ibu DW jarang masuk kelas,
sedangkan anak ibu S biasa diantar bergantian, baik oleh
suami ibu S maupun anak kedua Ibu S. Kemudian
ketiganya juga sama-sama masih menggunakan
handphone model lama yang tidak memiliki support untuk
mengakses media sosial, sehingga akses yang dimiliki
ketiga orang tua sangat terbatas dalam menggunakan
media sosial yang dapat dipakai untuk mencari informasi
seputar anak (Hasil observasi pada tanggal 9 Mei 2019).
Selain melalui hasil observasi, data diperoleh
dengan wawancara yang dilakukan penulis kepada ketiga
informan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
kurangnya usaha yang dilakukan orang tua dalam mencari
informasi dan pengetahuan seputar anak, terlebih dalam
memanfaatkan media sosial yang disebabkan oleh
beberapa faktor, salah satunya yaitu pekerjaan orang tua.
Sebagaimana yang diungkapkan ibu DW.
“Engga, ga pernah. Karena aku juga kurang
paham pake internet. Karena kita dulu sibuk kerja
buat cari makan, jadi ga pernah bisa cari-cari info.”
(Manalu 2019)
118
Terbatasnya akses juga mengakibatkan ibu DM
kurang memanfaatkan media dalam mencari informasi
seputar anak:
“Engga si soalnya kan hape saya ga ada
internetnya, hape ayahnya aja yang ada....”
(Darmini 2019)
Hal serupa juga dialami oleh Ibu S, di mana beliau
kurang memanfaatkan berbagai media sosial maupun
internet dalam mencari informasi seputar anak:
“Kalo saya ga pernah, jarang sih cari info
lewat media atau internet gitu.” (Waningsih 2019)
Kemudian Ibu S juga belum pernah mengikuti
kegiatan seminar atau pelatihan yang terkait tentang anak.
“Belum pernah si kayanya, belum ada yang
ngajakin. Kalo ada sih mau.” (Waningsih 2019)
Ibu DM juga mengungkapkan belum pernah
mengikuti kegiatan seminar atau pelatihan:
“Belum pernah ikut seminar atau pelatihan
tentang anak. Saya baru ikut forum gitu setelah
gabung upd.” (Darmini 2019)
2. Tipe 2= Komunikasi
Bentuk keterlibatan tipe kedua yang penulis
sebutkan adalah tipe komunikasi. Di mana pada tipe ini
menjelaskan tentang usaha yang dilakukan para orang tua
dalam hal mengkomunikasikan tentang program sekolah
maupun pendidikan, perkembangan dan kesehatan anak
119
dengan pihak lembaga baik pada saat bertemu langsung
maupun melalui handphone.
Hasil penelitian menunjukkan dari jumlah enam
orang tua, tiga orang tua menunjukkan keterlibatan yang
rendah, dua orang tua dengan keterlibatan sedang dan satu
lainnya menunjukkan keterlibatan tinggi. Pada tiga orang
tua dengan keterlibatan rendah yaitu Ibu DW, Ibu DM dan
Ibu T. Adapun hasil observasi yang dilakukan penulis
kepada ketiga informan yang memiliki keterlibatan rendah
pada tipe komunikasi terlihat bahwa komunikasi yang
dilakukan kepada Ibu DW dan Ibu DM hanya bisa sebatas
telfon dan pesan singkat saja, dikarenakan ponsel mereka
belum support untuk mengakses media sosial (lihat hal.
117).
Penulis juga sempat bertanya kepada pihak guru
dan ketua lembaga, mereka mengatakan bahwa ketiganya
jarang bertanya dan muncul di grup ataupun melalui pesan
personal. Terutama pada Ibu DW yang tidak pernah
memberi kabar apabila anaknya tidak masuk kelas.
Sedangkan Ibu DM dan Ibu T masih menyempatkan izin
melalui grup yang ada di whatsapp. Pada saat penulis
melakukan kunjungan rumah, ketiganya mengaku bahwa
jarang menghubungi pihak lembaga di luar jam kegiatan
pendidikan, baik melalui pesan singkat ataupun melalui
telfon (Hasil observasi pada tanggal 9 Mei 2019).
Selain melalui hasil observasi, data diperoleh
dengan wawancara yang dilakukan penulis kepada ketiga
120
informan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa di mana
dua di antara ketiga informan mengatakan bahwa proses
komunikasi hanya terjadi pada saat bertemu langsung di
lembaga. Seperti Ibu DW yang tidak pernah menjalin
komunikasi kepada pihak lembaga melalui handphone,
dan komunikasi terjadi hanya pada saat bertemu langsung.
“Ga pernah kalo lewat hape, paling ketemu
langsung di UPD.”(Manalu 2019)
Hal serupa juga terjadi pada ibu DM:
“Di sekolah aja, karena kalo di grup whatsapp
kan saya jarang liat. Kalo suami saya udah di
rumah aja soalnya grupnya ada di hape dia.”
(Darmini 2019)
Sedangkan Ibu T menjelaskan bahwa adanya grup
whatsapp hanya memberikan informasi seputar kunjungan
saja dan kurangnya informasi mengenai anak.
“Kalo di grup paling info-info ada apa, ada
kunjungan apa. Jarang sih kalo ngebahas masalah
anak atau pak Adi ngasih motivasi. Kalo chatt
personal paling izin ga masuk karena ga ada ongkos.”
(Kristanti 2019)
Hasil tersebut juga diperkuat oleh jawaban yang
dikemukakan oleh Ketua Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan
“Masih sebagian kecil kalo untuk bertanya secara
langsung, paling mereka bertanya saat ada forum.
Kadang mereka bingung juga apa yang mau mereka
tanyain, memang harus kitanya yang kasih stimulus.
121
Harus kita panggil dan ajak ngobrol, baru mereka
cerita.” (Supanggih 2019).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibu R yakni
salah satu pengajar di UPD Tangsel.
“Kalo untuk bertanya secara personal via
whatsapp kayanya jarang ya, paling mereka
ngabarinnya melalui grup atau mungkin kirim
pesan personal ke Pak Adi. Ke saya pribadi si ga
pernah ada yang nanya, kalo ke guru lain kurang
tau ya kak. Kalo ketemu langsung juga jarang pada
nanya tentang progres anaknya di kelas cuma
sebagian kecil aja.” (Sarinah 2019)
Sementara dua orang tua lainnya memiliki
keterlibatan sedang pada tipe komunikasi yaitu Ibu S dan
Ibu N. Adapun hasil observasi yang dilakukan penulis
kepada kedua informan yang memiliki keterlibatan sedang
pada tipe komunikasi terlihat bahwa mereka lebih sering
terlihat ngobrol dengan para guru dan ketua lembaga
dibanding ketiga informan sebelumnya. Terutama pada
selesai jam belajar. Selanjutnya pada saat penulis bertanya
kepada pihak guru maupun ketua lembaga, pihak lembaga
mengatakan bahwa keduanya masih menyempatkan
mengirim pesan secara personal walaupun bisa dikatakan
tidak begitu intens (Hasil observasi pada tanggal 9 Mei
2019).
Selain melalui hasil observasi, data diperoleh
dengan wawancara yang dilakukan penulis kepada kedua
informan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
122
komunikasi yang dilakukan orang tua kepada pihak
lembaga dikatakan cukup aktif, orang tua sudah berupaya
bertanya dan berkonsultasi kepada pihak lembaga
terutama kepada guru dalam proses belajar anak. Seperti
yang dikatakan oleh ibu N:
“Iya saya nanya ke gurunya gimana tadi anak
saya di kelas, gurunya bilang kalo dia mau nulis tapi
susah fokus. Pa Adi juga nyaranin buat sekolah
tambahan di luar.” (Dwiyana 2019)
Hal tersebut juga dilakukan oleh Ibu S yang
berupaya mengkonsultasikan perihal anak kepada pihak
lembaga, baik secara langsung maupun tidak langsung
yakni melalui chatt personal kepada guru dan ketua
lembaga.
“Ketemu langsung kalo engga lewat hape, ada
grupnya di whatsapp. Tapi grupnya ada di hape
adenya azka. Kalo kerja hapenya dibawa. Paling
nanti dia yang ngabarin ke saya kalo ada info di
grup. Kalo tanya tentang anak biasanya si chatt
personal Pak Adi atau gurunya,” (Waningsih 2019)
Sedangkan satu orang tua sisanya memiliki
keterlibatan yang tinggi yaitu Ibu DR. Hasil wawancara
menunjukkan bahwa proses komunikasi tidak hanya
terjadi pada saat bertemu langsung tetapi juga
memanfaatkan handphone dengan menghubungi guru dan
ketua upd secara personal dalam bertanya seputar anak.
Selain itu orang tua tidak hanya bertanya mengenai proses
belajar anak di kelas, melainkan berupaya mencari
123
informasi tentang sumber-sumber kebutuhan anaknya
seperti sekolah formal dan tempat terapi. Seperti yang
dilakukan oleh Ibu DR:
“Tanya ke guru anak saya di kelasnya gimana
bisa apa engga belajarnya, kalo ngobrol sama pak Adi
paling saya nanyain dia kaya nanya sekolah yang
murah di mana sama tempat terapi barangkali pak Adi
tau. Kalo di grup dikasih tau ada kegiatan apa di
lembaga. Kalo chatt personal paling kaya nanya
keperluannya dia kaya pempers, susu, izin ga masuk.”
(Daronah 2019)
Selain melalui hasil wawancara, data diperoleh
dengan observasi yang dilakukan penulis kepada
informan. Hasil observasi menunjukkan bahwa Ibu DR
memang sangat menjaga komunikasi kepada pihak
lembaga, baik melalui pesan personal maupun dengan
menelfon. Hal tersebut juga diakui oleh para guru dan
ketua lembaga, mereka mengatakan bahwa Ibu DR sering
mengirim pesan personal, baik hanya untuk menanyakan
kabar ataupun membahas perihal anak (Hasil observasi
pada tanggal 6 Maret 2019).
Kemudian hal tersebut juga dialami penulis, Ibu
DR juga beberapa kali menghubungi penulis baik melalui
telfon maupun pesan personal. Hal yang dibicarakan entah
itu menanyakan kabar penulis sampai memberikan kabar
tentang anaknya. Kabar terakhir yang penulis dapatkan
dari Ibu DR adalah Ibu DR meminta doa kepada penulis
karena anak Ibu DR ingin menjalani operasi katarak.
124
3. Tipe 3= Sukarelawan (Volunteering)
Bentuk keterlibatan tipe ketiga yang penulis
sebutkan adalah tipe sukarelawan atau volunteering. Di
mana pada tipe ini menjelaskan tentang keterlibatan dan
partisipasi orang tua pada setiap kegiatan yang diadakan
oleh pihak lembaga. Empat dari enam orang tua yang
penulis wawancarai selalu menyempatkan hadir dan ikut
pada kegiatan yang diadakan oleh pihak lembaga atau
dapat dikatakan memiliki keterlibatan yang tergolong
tinggi yaitu Ibu S, Ibu T, Ibu DR dan Ibu DM.
Seperti Ibu S yang mampu memaparkan dengan
baik kegiatan apa saja yang biasa dilakukan di lembaga,
yaitu:
“Hari kartini, penyuluhan kesehatan, pelatihan
usaha buat orang tua, forum sesama orang tua,
buka puasa bersama sama ulang tahun anak
dirayain di sana sama hari-hari besar lainnya pasti
dibuat kegiatan di lembaga.” (Waningsih 2019)
Ibu T juga mampu menjelaskan setiap proses yang
dilakukan dengan cukup baik:
“Prosesnya ada tanya jawab, kadang ada orang
tua maju sharing pengalamannya. Banyak juga sih
yang nanya, tapi ada juga yang gak aktif.”
(Kristanti 2019)
Bagi Ibu DR, segala kegiatan yang ada di lembaga
dianggap beliau sebagai ruang bagi orang tua dalam
menambah keterampilan:
125
“Ya bagus jadi ada kegiatan untuk ibu-ibu,
nambah keterampilan juga. Ga cuma buat anak
aja.” (Daronah 2019)
Pada salah satu orang tua lainnya yaitu Ibu DM
menganggap kegiatan yang dilakukan di lembaga
menambah system support untuk dirinya:
“Ya bagus, saya juga dulu sempet minder
punya anak kaya gini. Alhamdulillah sekarang
banyak yang ngasih semangat, bahkan masih
banyak anak yang lebih parah dibanding anak
saya.”(Darmini 2019)
Ibu DM menambahkan bahwa bantuan yang
diberikan para orang tua bersifat sukarela baik dalam
bentuk makanan maupun tenaga dalam mendukung
kegiatan yang diadakan lembaga.
“Saya bantu apa yang bisa saya bantu, ya
paling inisiatif aja si kaya bantu rapiin snack kalo
ada acara gitu, bawa snack juga. Tapi pak Adi gak
maksa si, semampunya kita aja.” (Darmini 2019)
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibu T:
“Biasanya ibu-ibu suka bawa konsumsi, tapi
ga ada paksaan harus bawa apa.” (Kristanti 2019)
Adapun jawaban yang diberikan Bapak A yaitu
ketua lembaga menjelaskan bahwa banyaknya orang tua
yang hadir dalam kegiatan yang dilakukan oleh pihak
lembaga, yaitu:
“Banyak orang tua yang hadir kalo ada
kegiatan, baik yang hanya melibatkan orang tua
126
seperti sosialisasi gizi maupun melibatkan anak
seperti pemeriksaan kesehatan dan sosialisasi
kesehatan, kartini, buka puasa bersama.”
(Supanggih 2019)
Sebagimana pula yang dikatakan oleh Ibu T yakni
salah satu pengajar di UPD Tangsel:
“Kalo ada kegiatan suka rame yang dateng,
biasanya Pak Adi kasih info di grup. Kalo
kegiatannya kaya sosialisasi tentang kesehatan
atau gizi kan cuma ngelibatin orang tua. Kalo kaya
gitu, anaknya tetap belajar di kelas, orang tua di
luar ikut kegiatan. Kalo kaya acara kartini atau
buka puasa bersama itu kan ngelibatin keduanya,
jadi tidak ada kegiatan kelas.” (Tuti 2019)
Berikut hasil dokumentasi penulis pada salah satu
kegiatan yang ada di UPD Tangsel yakni pada tanggal 15
Mei 2019 yang bertepatan dengan kegiatan pemeriksaan
dan penyuluhan kesehatan, di mana terlihat lebih dari
sembilan belas orang tua bersama anak binaan yang hadir
pada kegiatan tersebut:
Gambar 4.1 Foto Absensi Kegiatan
127
Gambar 4.2 Foto Kegiatan Penyuluhan Kesehatan
Gambar diatas merupakan gambaran dilangsungkannya
kegiatan penyuluhan kesehatan, di mana terlihat banyaknya
orangtua yang hadir pada kegiatan tersebut (Hasil observasi
pada tanggal 15 Mei 2019).
Sedangkan dua orang tua lainnya memiliki
keterlibatan yang tergolong sedang yaitu Ibu DW dan Ibu
N, di mana keterlibatan orang tua pada tipe sukarelawan
ini terhambat dikarenakan oleh pekerjaan, sebagaimana
yang dikatakan oleh ibu DW:
“Paling ulang tahun anak-anak, nanam di UPD
waktu itu si Hendrik ikutan. Waktu kartini ga ikut
karena ada acara waktu itu di gereja. Saya jarang
ikut kak, karena kerja.” (Manalu 2019)
Pada informan selanjutnya yaitu Ibu N, beliau
hanya mampu menjelaskan sebagian kecil kegiatan yang
ada di UPD Tangsel:
128
“Kartini, penyuluhan, buka puasa juga ada
bersama tapi saya kan ga ikut.”
Kemudian saat ditanya bagaimana proses dari
kegiatan tersebut, Ibu N terlihat bingung dan sedikit lama
menjawab pertanyaan yang diberikan penulis.
“Iya....lumayan rame. Ada tanya jawab
biasanya. Tapi banyakan yang pasif ibu-ibunya.”
Pada saat penulis melakukan kunjungan ke rumah
kedua informan, penulis juga sempat bertanya terkait
kehadiran keduanya dalam acara yang diadakan lembaga.
Keduanya mengatakan bahwa dapat menyempatkan hadir
pada acara yang diadakan lembaga, kecuali pada hari
minggu di mana jadwal mereka pergi ibadah ke gereja.
Dan apabila tidak bentrok dengan jadwal terapi di RS
Fatmawati seperti yang dijelaskan Ibu N. Sedangkan
waktu yang dimiliki Ibu DW lebih susah karena harus
bekerja, hal ini dikarenakan Ibu DW merupakan orang tua
tunggal. Keduanya juga mengaku akan menyempatkan
hadir apabila ada waktu luang (Hasil observasi pada
tanggal 9 Mei 2019).
4. Tipe 4= Pembelajaran di Rumah
Bentuk keterlibatan tipe keempat yang penulis
sebutkan adalah tipe pembelajaran di rumah. Dapat
disimpulkan dari hasil wawancara yang peneliti lakukan
mengalami hasil yang beragam, di mana dari jumlah enam
129
orang tua yang peneliti wawancarai, tiga orang tua
menunjukkan keterlibatan tinggi dan tiga orang tua
lainnya menunjukkan keterlibatan sedang.
Pada ketiga orang tua yang memiliki keterlibatan
tinggi yaitu Ibu DM, Ibu N dan Ibu T. Hasil observasi
menunjukkan ketiganya terbilang sangat memfasilitasi
kebutuhan belajar anak di rumah. Adapun hasil
dokumentasi penulis tentang sarana pembelajaran anak
yang disediakan orang tua, sebagai berikut:
Gambar 4.3 Sarana Belajar Anak di Rumah
Dapat dilihat dari gambar 4.3 di mana orang tua telah
menyediakan sarana belajar anak di rumah (Hasil observasi
pada tanggal 11 Mei 2019).
Selain melalui hasil observasi dan dokumentasi,
penulis melakukan wawancara kepada ketiga informan.
Hasil wawancara menunjukkan mereka selalu berusaha
mengajarkan anak mereka belajar di rumah walaupun
tanpa jadwal belajar yang khusus. Seperti yang dilakukan
oleh Ibu N.
130
“Setiap hari sih saya usahain buat ngajarin dia
walaupun ga tentu, hari ini pagi, besok sore gitu.”
(Dwiyana 2019)
Hal serupa juga dilakukan oleh Ibu DM.
“Kadang saya ajarin setiap pagi kan dulu
sebelum sekolah di upd, kalo lagi ga mau saya ga
paksa. Kadang dia sendiri yang ngajak belajar, nanti
kalo bosen dia pergi. Ga ada jadwal khusus tapi tetep
saya usahain buat belajar.” (Darmini 2019)
Ibu T juga menyebutkan tidak ada jadwal belajar
secara khusus.
“Ga ada jadwal belajar, suka-suka dia tapi dia
memang suka megang buku. Bangun tidur bawa
buku sama pulpen terus main di depan rumah.”
(Kristanti 2019)
Ibu T biasa mengajarkan anaknya dengan metode
menebalkan titik-titik yang dibuat. Kemudian ibu T
memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan
PR sendiri.
“Kalo belajarnya lama ya bosen, dia gabisa
lama paling seperempat jam. Kalo aku sih ngajarin
biasanya pake titik-titik nanti dia ikutin titiknya.
Dia sih lebih senengnya kalo aku ajarin nyanyi.
Sama kalo dia ada PR, biasanya aku lepas biarin
dia belajar sendiri nanti kalo ada yang salah baru
aku koreksi.” (Kristanti 2019)
Hal serupa juga dilakukan oleh Ibu DM.
“Paling cuma nulis huruf dan angka. Biasanya
15 menit si dia fokusnya, abis itu bosen.” (Darmini
2019)
131
Tidak jauh berbeda dengan Ibu T dan Ibu DM,
selain mengajarkan menulis, beragam hal juga diajarkan
Ibu N kepada anaknya seperti menyanyi, berhitung dan
mengenal panca indera.
“Saya ajarin nulis, menegenal panca indera,
menyanyi, berhitung. Dia bisa ngikutin cuma
konsentrasinya ga lama paling cuma 10 menit.”
Selain belajar, orang tua juga mengajarkan anak
dalam hal bina diri di rumah seperti makan dan
berpakaian.
“Kalo untuk bina diri itu awalnya aku ajarin,
misal kaya pake baju kadang dia pake sendiri nanti
aku liatin. Kalo pake bajunya kebalik baru aku
benerin. Kalo makan aku biarin aja dia makan sendiri,
mau berantakan atau apa gapapa biar dia bisa makan
sendiri nantinya.” (Kristanti 2019)
Hal serupa juga dilakukan oleh Ibu DM terutama
dalam hal mandi.
“Pertamanya dimandiin, terus lama-lama saya
suruh dia mandi sendiri sambil saya liatin terus
saya arahin.” (Darmini 2019)
Berbeda dengan Ibu DM, Ibu N menjelaskan
bahwa proses bina diri yang dilakukan tidak hanya
diajarkan secara langsung, namun terjadi secara tidak
langsung seperti halnya perilaku orang tua yang ditiru
sang anak.
“Saya ngajarin dia pake baju, kalo untuk
makan dia biasa ambil sendok sendiri di meja.
132
Karena sering liat mama papanya jadi dia niru.”
(Dwiyana 2019)
Sementara ketiga orang tua lainnya yang memiliki
keterlibatan sedang yaitu Ibu DW, Ibu S dan Ibu DR,
dikarenakan mereka hanya melakukan salah satu upaya
antara menerapkan bina diri dan pembelajaran di rumah.
Seperti yang dialami oleh ibu DW yang sulit membujuk
anak untuk belajar, Ibu DW mengatakan bahwa sang anak
sering kali mengeluhkan dirinya stress ketika harus belajar
di rumah.
“Jadwal belajar ga pernah saya bikin, dia ga mau
kalo saya suruh belajar sampe marah buku disobekin
sama dia katanya dia stress kalo belajar.” (Manalu
2019)
Sementara dalam hal bina diri anak Ibu DW sudah
mampu melakukan beberapa hal secara mandiri hanya
saja masih butuh pendampingan.
“Kalo mandi sendiri dari dulu sudah bisa
walaupun gak bersih, paling saya suruh gosok
kakinya, telinganya bersihin, tangannya juga
sambil saya liatin.” (Manalu 2019)
Pada Ibu S, beliau tidak begitu kesulitan dalam
mengajak anak untuk belajar, hanya saja anak sulit fokus.
“Kalo diajarin kaya angka gitu dia ga fokus,
lupa-lupa terus. Kalo pake gambar kaya binatang
dan warna lama-lama dia hafal walaupun ga
secepat anak normal. Paling diajarin keseharian
kaya abis makan taro piringnya.” (Waningsih
2019)
133
Dalam hal bina diri, anak Ibu S sudah mampu
melakukan secara mandiri hanya saja masih perlu diberi
perintah.
“Pertama diajarin sama saya, tapi lama-lama
bisa sendiri dia. Tapi males anaknya harus
disuruh.” (Waningsih 2019)
Beda halnya pada Ibu DR, beliau hanya dapat
mengajarkan pembelajaran di rumah saja seperti
mengenalkan hewan, mewarnai dan membaca buku.
“Saya ajarin mengenal hewan pake poster, baca
buku cerita juga, atau denger dari kaset. Kalo lagi
minta mewarnai dia mewarnai, tapi kalo udah bosen
dilempar pensilnya. Kalo lagi saya ajarin bisa dia
nyamain hewan. Paling cuma setengah jam doang
abis itu udah.” (Daronah 2019)
Sedangkan dalam hal mengajarkan bina diri
kepada anak, upaya yang diajarkan ibu DR terbilang
terbatas. Hal ini dikarenakan oleh kondisi keterbatasan
gerak pada anak ibu DR yang mengalami MDVI.
“Saya suruh dia makan sendiri, saya bilangin aja
mau sampe kapan disuapin mamanya terus. Tapi ya
namanya kondisi dia kaya gini pasti nanti ujung-
ujungnya ibunya yang nyuapin.” (Daronah 2019)
Selain hasil wawancara, penulis juga melakukan
observasi kepada ketiga anak informan selama proses
belajar di kelas. Di mana, pada anak Ibu DW dan Ibu S
memang dapat dikatakan sulit fokus selama belajar. Hal
ini dikarenakan kondisi disabilitas yang dialami anak Ibu
134
DW (H) dan Ibu S (A), di mana H mengalami retardasi
mental dan A mengalami down syndrome. Dalam hal ini,
gangguan/ hambatan yang dialami terletak pada kognisi
mereka.
Pada saat penulis diberi kesempatan untuk
membimbing H dan A di kelas, penulis ingin mengetahui
dan melatih fokus mereka dengan cara mengajak H dan A
untuk memindahkan kedua warna biji congklak ke tiap-
tiap lubang dengan jumlah yang sama. Hasil observasi
menunjukkan bahwa H dan A masih kesulitan dan butuh
lebih banyak bimbingan. Selain itu, fokus mereka juga
tidak lama hanya sekitar lima belas menit.
Selebihnya mereka mengeluh kesulitan dan bosan.
Selain hambatan kognisi yang mereka alami, kondisi
mood dan emosi mereka juga terkadang sulit terkontrol.
Di luar itu, kemampuan komunikasi dan bina diri S dan A
cukup baik. Berikut hasil dokumentasi penulis pada saat
mengajak H dan A belajar sambil bermain.
Gambar 4.4 Foto pada saat H dan A Melatih Fokus
135
Gambar diatas adalah salah satu kegiatan yang dilakukan dalam
melatih fokus H dan A (Hasil observasi pada tanggal 28
Februari 2019).
5. Tipe 5= Membuat Keputusan
Bentuk keterlibatan tipe kelima yang penulis
sebutkan adalah membuat keputusan. Pada tipe ini
menjelaskan tentang keterlibatan orang tua dalam hal
menentukan alternatif mana yang akan ditempuh anak
yang didasarkan pada kebutuhan dan tujuan sang anak.
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara yang peneliti
lakukan, tiga dari enam orang tua memiliki keterlibatan
yang tinggi dalam membuat keputusan, dan tiga orang tua
lainnya memiliki keterlibatan sedang pada tipe membuat
keputusan.
Bagi ketiga orang tua yang memiliki keterlibatan
tinggi pada tipe membuat keputusan yaitu Ibu DR, Ibu N
dan Ibu DM, keputusan dan eksekusi yang mereka
lakukan sudah tepat dalam hal perkembangan anak. Di
mana para orang tua tidak hanya memasukkan anaknya di
UPD Tangsel saja, melainkan pada kelas terapi yang dapat
menunjang perkembangan anak dan dalam hal
mempersiapkan anak masuk ke sekolah formal.
Sebagaimana yang diungkapkan ibu N:
“Dari 2016 saya ikut OTTW (okupasi terapi
terapi wicara) di fatmawati sampe sekarang masih. Di
sana juga kan diajarin menulis dan mengenal huruf.”
(Dwiyana 2019)
136
Hal serupa juga dilakukan oleh Ibu DR:
“Dulu waktu dia belum bisa ngomong, saya
masukin dia terapi di fatmawati, OTTW namanya
(okupasi terapi terapi wicara), di sana juga diajarin
nulis, belajar juga. Kalo sekarang udah ga di situ,
terapi di tempat pak fardan yang di kedaung.”
(Daronah 2019)
Berbeda dengan yang dilakukan Ibu DM, berbagai
upaya telah dilakukan dalam memenuhi kebutuhan
anaknya seperti tes bera maupun terapi.
“Kalo sekolah si belum, kalo cek kondisi dia
sih udah kaya tes bera, terapi juga udah, sampe
beli alat bantu denger juga pernah.” (Darmini
2019)
Selain hasil wawancara, penulis juga melakukan
observasi kepada ketiga informan yang memiliki
keterlibatan tinggi pada tipe membuat keputusan. Di mana
ketiganya terlihat rajin menghadiri kegiatan kelas. Hal ini
membuktikan bahwa keputusan yang dipilih orang tua
dalam memasukan anak mereka ke upd telah dioptimalkan
dengan baik (Hasil observasi pada tanggal 6 Maret 2019).
Sedangkan selama proses observasi, penulis
melihat hambatan yang dialami para orang tua yang jarang
hadir ke upd dikarenakan kesibukan orang tua, anak
mereka sakit atau sedang tidak punya uang untuk ongkos
(Hasil observasi pada tanggal 6 Maret 2019). Hal tersebut
juga diakui para orang tua pada saat proses wawancara
berlangsung.
137
Kemudian pada tiga orang tua lainnya yang
memiliki keterlibatan sedang yaitu Ibu DW, Ibu S dan Ibu
T, keputusan yang mereka buat dalam hal menyekolahkan
anak sudah cukup baik namun eksekusi yang dilakukan
tergolong rendah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Ibu S:
“Sebelum gabung di upd belum pernah
sekolah di mana-mana. Cuma udah usaha nyari
terapi di sana-sini, ada yang cocok ya ada juga
yang ga cocok ga ada perubahan dianya. Paling
saya ajarin nulis di rumah.” (Waningsih 2019)
Sedangkan Ibu DW mengungkapkan bahwa alasan
anaknya terhambat dalam pendidikan dikarenakan oleh
pekerjaan orang tua.
“....saya masukin dia SD di Jurang Mangu cuma
beberapa bulan di sana. Setelah papanya meninggal
udah ga pernah sekolah lagi soalnya gak ada yang
nganterin, saya juga kan kerja cari duit buat makan.
Sampe dikenalin sama UPD baru dia sekolah lagi.
Rencananya memang saya mau panggil guru les biar
dia bisa belajar di rumah.” (Manalu 2019)
Berbeda dengan Ibu T, Ibu T sudah menyadari
tentang pentingnya komunitas terutama dalam hal
menambah informasi tentang anak. Namun Ibu T
menambahkan bahwa rendahnya kehadiran di UPD
dikarenakan tidak adanya ongkos.
“Alasan gabung ke upd ya karena anak, aku
harus bantu dia. Kalo aku nya gak aktif dia gimana
mau berkembang, kan harus akunya yang aktif.
Aku harus cari info, harus ada komunitasnya.
138
Cuma ya gimana ya kak, kalo lagi ga ada ongkos
juga kan ga bisa ke upd. Ini juga udah lama dia gak
ke upd.” (Kristanti 2019)
6. Tipe 6= Kerjasama dengan Komunitas Masyarakat
Bentuk keterlibatan tipe keenam yang penulis
sebutkan adalah tipe kerjasama dengan komunitas
masyarakat. Dapat disimpulkan dari hasil wawancara,
ketiga dari enam orang tua menunjukkan keterlibatan
yang sedang dalam bekerjasama dengan komunitas
masyarakat, dua orang tua lainnya memiliki keterlibatan
tinggi dan satu orang sisanya memiliki keterlibatan yang
rendah.
Tiga orang yang memiliki keterlibatan sedang pada
tipe kerjasama dengan komunitas masyarakat yaitu Ibu N,
Ibu S dan Ibu T menunjukan bahwa proses mengenalkan
anak kepada lingkungan berjalan dan orang tua cukup
melibatkan anak. Namun dalam hal ini anak yang lebih
banyak mengeksplor. Sebagaimana yang diungkapkan ibu
T:
“Kalo diajak jalan nih kak ke mana gitu berapa
kali, langsung hafal gitu jalannya. Aku jarang sih
ngenalin dia tempat-tempat gitu, karena dia yang
sering main. Dia biasanya suka eksplor hal-hal sendiri,
paling kalo dia salah baru aku koreksi. Biasanya dia
liat, dia tanya dan dia jadi tau. ” (Kristanti 2019)
Sama halnya dengan Ibu N yang mengungkapkan
bahwa anak lebih banyak mengeksplor lingkungan.
“Dia kan suka masuk-masuk ruangan sendiri
jadi dia udah tau di mana kelasnya, di mana ruang
139
untuk cari mamanya, di mana kamar mandi.”
(Dwiyana 2019)
Pada Ibu S proses mengenalkan lingkungan
kepada anak telah dilakukan. Hanya saja emosi anak yang
tidak terkontrol menghambat interaksi dengan lingkungan.
“Pertamanya saya yang ngenalin, tapi kalo
sering ketemu dia paham sendiri. Dia cepet akrab
si sama orang baru. Cuma kalo buat komunikasi
emosinya masih suka gak terkontrol. Nanti dia
suka meluk, tapi juga dia suka marah.” (Waningsih
2019)
Berdasrkan hasil observasi yang dilakukan penulis,
ketiga informan di atas memang terbilang cukup aktif
dalam mengenalkan lingkungan kepada sang anak. Ketiga
anak informan juga tidak takut dengan orang baru dan
terbilang mudah akrab sehingga proses pengenalan kepada
lingkungan dapat berjalan dengan cukup baik. Proses
pengenalan biasa dilakukan kepada lingkungan sekitar
lembaga, seperti para staff upd maupun orang tua binaan
lainnya. Selain itu, beberapa kali penulis juga melihat
ketiga informan ini mengenalkan tempat-tempat di sekitar
lingkup upd kepada sang anak seperti jalan, lapangan,
masjid, dan sebagainya (Hasil observasi pada tanggal 15
Mei 2019).
Sedangkan dua orang tua yang memiliki
keterlibatan tinggi memiliki upaya yang tinggi yaitu DR
dan Ibu DM. Di mana orang tua banyak melibatkan diri
140
dengan masyarakat dalam hal mengenalkan lingkungan
kepada anaknya.
“....saya juga bilang ke temen-temen dia sama ke
tetangga kalo mau manggil anak saya harus dicolek,
karena mau dipanggil sampai teriak pun dia gak akan
denger. Tetangga juga sempet nanya ke saya kaya
gimana sih kalo nanyain ayahnya ke dia, saya ajarin
kalo simbol ayah itu pegang kepala.” (Darmini 2019)
Hal serupa juga dilakukan pada Ibu DR, di mana
Ibu DR berupaya mengenalkan orang-orang yang ditemui
anaknya.
“Setiap ketemu saya kenalin ke dia, salim nak
sama bunda guru. Salim sama bunda sumi, sama
bunda rina. Karena sering ketemu dia jadi kenal.
Di upd kan ada praktek masak, dibawa tuh dia ke
dapur sama gurunya. Paling dari situ dia ngeliat
terus jadi paham.” (Daronah 2019)
Berdasrkan hasil observasi, kedua informan di atas
sangat aktif terlibat dalam hal bekerjasama dengan
komunitas atau dalam hal ini mengenalkan anak kepada
lingkungan dan atau sebaliknya (Hasil observasi pada
tanggal 15 Mei 2019).
Sementara satu orang tua sisanya yang memiliki
keterlibatan rendah yaitu Ibu DW mengaku tidak banyak
melakukan usaha dalam mengenalkan anak kepada
lingkungan, hal ini dikarenakan anak yang lebih banyak
mengeksplor lingkungan.
141
“Biasa-biasa aja, kalo misalnya kita baru masuk
ke lingkungan baru itu dia sendiri yang cari teman.”
(Manalu 2019)
Adapun hasil observasi yang dilakukan penulis
pun demikan, upaya yang dilakukan orang tua terbilang
rendah dalam mengenalkan lingkungan kepada anak
maupun mengenalkan anak kepada lingkungan. Sang
anaklah justru yang lebih aktif mengeksplor lingkungan
sekitarnya seperti bermain dengan anak binaan lain yang
bukan teman sekelasnya dan bahkan mengobrol dengan
orang tua binaan lainnya (Hasil observasi pada tanggal 6
Maret 2019).
C. Kemandirian Anak Disabilitas
Kemandirian pada anak disabilitas mampu
berkembang dengan baik apabila anak diberikan latihan
secara terus menerus dan dilakukan sejak dini. Proses belajar
tersebut memerlukan peran keluarga agar seorang anak dapat
mengalami perubahan dari keadaan yang sepenuhnya
tergantung pada orang tua menjadi mandiri.
Adapun tiga area kemandirian anak disabilitas
berdasarkan Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan
Layanan Khusus Pendidikan Dasar (2013) yang menjadi
acuan dari Yayasan Sayap Ibu Bintaro maupun Unit
Pelayanan Disabilitas, yaitu; (1) area bekerja; (2) area bina
diri; dan (3) area komunikasi dan sosialisasi. Berikut hasil
data dan temuan lapangan mengenai dampak keterlibatan
142
orang tua bagi kemandirian anak dengan disabilitas di Unit
Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan adalah sebagai
berikut:
1. Area Bekerja
Area kemandirian pertama yaitu area bekerja, di
mana pada area ini anak disabilitas mampu melakukan
aktivitas sehari-hari atau kegiatan yang dapat mampu
menopang hidupnya di masa depan seperti membuat
makan dan minum, menjaga kebersihan lingkungan,
menyapu, berbelanja, berkebun dan mencuci pakaian.
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara yang
penulis lakukan kepada keenam orang tua dari anak
binaan menunjukkan bahwa area kemandirian pertama ini
yaitu area bekerja mengalami hasil yang beragam, di
mana dari jumlah enam orang tua yang penulis
wawancarai, dua orang tua mengatakan bahwa masing-
masing anak mereka memiliki kemadirian yang tinggi,
dua orang tua lainnya memiliki anak dengan kemandirian
sedang dan dua anak sisanya memiliki kemandirian yang
rendah.
Pada dua orang anak yang memiliki kemandirian
tinggi yaitu anak dari Ibu DM dan Ibu DW. Adapun hasil
observasi yang dilakukan penulis kepada kedua anak
informan selama di lembaga terlihat bahwa mereka sudah
mampu melakukan pekerjaan rumah yang biasa dilatihkan
di lembaga seperti mencuci tempat makan setelah mereka
143
selesai makan dan membersihkan ruang kelas. Baik H
yaitu anak ibu DW maupun P anak ibu DM sudah mampu
melakukan pekerjaan dengan baik, dan tidak
membutuhkan bantuan orang lain. Hanya saja sesekali
masih perlu pengawasan (Hasil observasi pada tanggal 9
Mei 2019).
Berdasarkan hasil wawancara dari Ibu DM dan Ibu
DW, anak mereka sudah mampu melakukan pekerjaan
rumah seperti membuat makan dan minum, walaupun
masih membutuhkan pendampingan dari orang tua.
Seperti yang diungkapkan ibu DM:
“Mungkin awalnya dia sering ngeliat, terus dia
mau coba bikin susu sendiri. Iya saya ajarin sambil
saya liatin karena kan ngeri ya air panas, tapi bisa dia.”
(Darmini 2019)
Ibu DM menambahkan bahwa anaknya juga sudah
mampu membersihkan rumah.
“Sama, dia sering liat saya nyapu ngepel jadi dia
mau coba, walaupun ga begitu bersih harus saya sapu
lagi. Udah bisa dia, tapi emang harus saya liatin.”
(Darmini 2019)
Hal serupa juga diungkapkan Ibu DW, yakni:
“Dia sudah bisa mandi sendiri, ambil makan
sendiri, cuci piring bisa, nyapu rumah bisa
walaupun sedikit gak rapi. Gak perlu disuruh juga
kalo dia liat rumah berantakan pasti dirapiin sama
dia.” (Manalu 2019)
Dalam hal berbelanja, anak sudah mampu
melakukan aktivitas belanja dan bahkan orang tua sudah
144
mempercayai anak dengan memberikan tugas belanja
kepada anak seperti yang dilakukan Ibu DW.
“Saya suruh dia ke warung, kalo banyak saya
kasih catetan. Kalo cuma satu atau dua barang dia
bisa. Saya ajarin kalo uang yang besar buat ditabung,
yang sepuluh ribuan baru boleh buat jajan.” (Manalu
2019)
Kemudian pada dua anak yang memiliki
kemandirian sedang yaitu anak dari Ibu S dan Ibu T,
kondisi anak sudah mampu melakukan beberapa aktivitas
seorang diri hanya saja masih perlu diingatkan dan masih
tergantung pada mood anak, seperti yang terjadi pada
anak dari Ibu S.
“Kalo buat makanan/ masak si awalnya dia liat
pengen ikutan, saya kasih izin buat bantuin kalo saya lagi
siapin dagangan, saya suruh aduk adonan bisa atau
motong-motong sayur bisa dia. Tapi males anaknya, perlu
disuruh dulu.” (Waningsih 2019)
Dalam hal membersihkan rumah, ibu S juga
mengatakan bahwa sang anak mampu melakukan tugas
membersihkan rumah, hanya saja bergantung pada mood
anak.
“Sama harus saya suruh juga. Kalo nyapu bisa,
ngepel gabisa peresnya jadi basah semua.
Tergantung mood anaknya kalo lagi males ya
susah.” (Waningsih 2019)
Sama halnya dengan ibu S, ibu T juga menjawab
demikian, terutama dalam mencuci pakaian.
145
“Kalo aku lagi cuci baju aja dia sering mau
ikutan, belajar ngucek-ngucek, ngerendem baju. Kalo
untuk angkat jemuran udah bisa, kadang aku minta
tolong buat angkatin jemuran yang ga terlalu tinggi
diangkatin sama dia. Sama aku suruh dia buat
ngelipetin pakaian dalem dia, udah bisa. Tapi ya
tergantung moodnya dia, kalo lagi gak mood nih dia
ya susah dimintain tolongnya. ” (Kristanti 2019)
Adapun hasil observasi yang dilakukan penulis
kepada A anak dari Ibu S dan N anak dari Ibu T juga sama
seperti yang dikatakan oleh ibu S dan Ibu T. N sudah
mampu melakukan kegiatan secara mandiri, hanya saja
masih butuh banyak pendampingan dikarenakan N masih
berumur 9 tahun. Sedangkan A sebenarnya sudah mampu
melakukan kegiatan secara mandiri hanya saja perlu
dibujuk beberapa kali sehingga A mau melakukan
kegiatan tersebut secara mandiri.
Namun hal tersebut terjadi hanya ketika mood A
sedang tidak terkontrol, selebihnya A mau dan mampu
melakukan kegiatan secara mandiri seperti halnya
membersihkan ruang kelas dan mencuci tempat makan
miliknya setelah selesai makan. Adapun dokumentasi
yang diambil penulis pada saat A bersih-bersih, sebagai
berikut.
146
Gambar 4.5 Foto A pada saat bersih-bersih
Gambar di atas adalah hasil pengamatan penulis
terhadap A dalam hal bersih-bersih (Hasil observasi
pada tanggal 27-28 Februari 2019).
Sementara pada dua anak yang memiliki
kemandirian yang rendah pada area bekerja yaitu anak
dari Ibu DR dan Ibu N, disebabkan oleh tingkat disabilitas
sang anak, di mana keterbatasan fisik dan gangguan
penglihatan atau MDVI yang dialami oleh anak dari Ibu
DR dan gangguan pemusatan perhatian atau GPPH yang
terjadi pada anak dari Ibu N menghambat proses
kemandirian anak. Seperti yang diungkapkan Ibu DR:
“Saya ajarin si biar dia bisa makan sama minum
sendiri, tapi kondisi dia kan gini. S beda sama anak
yang bisa jalan, masalah dia kan ada di fisik. Jadi
belum bisa mandiri, apa-apa masih mamanya.”
(Daronah 2019)
Kemudian pada Ibu N yang memiliki anak dengan
disabilitas GPPH atau gangguan pusat perhatian dan
147
hiperaktif mengaku bahwa anaknya masih belum mengerti
tentang konsep berbelanja.
“Paling saya jelasin ini uang dua ribu warnanya
abu-abu. dia belum bisa jajan sendiri masih belum
paham.” (Dwiyana 2019)
Dalam hal membersihkan rumah, ibu N
menambahkan bahwa anak masih belum mampu
melakukan kegiatan secara mandiri dan ditambah dengan
kondisi anak yang sulit fokus.
“Kalo nyapu ngepel belum bisa. Paling saya
suruh buang sampah, ya gitu kadang-kadang bisa
tanpa disuruh, kadang malah buang sembarangan,
soalnya dia susah fokusnya.” (Dwiyana 2019)
Adapun hasil observasi terlihat bahwa memang
benar kondisi disabilitas kedua anak informan di atas
mengambat mereka dalam melakukan kegiatan secara
mandiri. T yaitu anak Ibu N yang mengalami GPPH
menyebabkan T sulit fokus dan sangat hiperaktif. Seperti
pada saat observasi penulis selama di kelas, T sangat sulit
untuk fokus dan tenang selama proses belajar sehingga
membutuhkan bimbingan dari guru.
148
Gambar 4.6 Foto T pada saat belajar
Gambar di atas adalah hasil pengamatan yang
dilakukan penulis terhadap T di kelas (Hasil observasi
pada tanggal 8 Mei 2019).
Sedangkan S yaitu anak dari Ibu DR yang
mengalami MDVI di mana kondisi cerebal palsy dan
gangguan penglihatan yang disebabkan oleh katarak
menghambat S melakukan kegiatan secara mandiri.
Berikut dokumentasi penulis bersama S pada saat
kunjungan ke rumah Ibu DR.
Gambar 4.7 Foto Penulis bersama dengan S
Gambar di atas adalah hasil pengamatan penulis terhadap S
pada saat kunjungan ke rumah Ibu DR (Hasil observasi pada
tanggal 7 Mei 2019).
2. Area Bina Diri
Area kemandirian kedua yaitu area bina diri, di
mana pada area ini anak disabilitas mampu melakukan
149
aktifitas menolong diri sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki, sehingga mereka mereka dapat mengembangkan
potensinya secara optimal dan mandiri teutama melayani
diri sendiri, seperti berpakaian, makan dan minum dan
membersihkan diri.
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara yang
penulis lakukan kepada keenam orang tua dari anak
binaan menunjukkan bahwa empat dari enam orang anak
memiliki kemandirian yang tinggi dalam hal bina diri dan
dua orang anak lainnya memiliki kemandirian yang
rendah.
Pada keempat anak yang memiliki kemandirian
tinggi yaitu anak dari Ibu DM, Ibu S, Ibu DW dan Ibu T,
mereka sudah bisa melakukan kegiatan bina diri secara
mandiri di rumah. Seperti yang dikatakan oleh Ibu DM:
“Buat susu sendiri bisa, ambil makan bisa, pakai
baju bisa, ngelepas baju juga bisa sendiri. Mandi,
BAK, BAB bisa sendiri.” (Darmini 2019)
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibu T bahwa
sang anak sudah mampu melakukan beberapa aktivitas
secara mandiri:
“Makan sudah tapi masih berantakan, gosok
gigi juga sudah, mandi sudah bisa tapi masih saya
bantu untuk sikat bagian belakangnya. Pakai baju
dan celana bisa.” (Kristanti 2019)
Sama halnya yang terjadi pada Ibu DW.
“Udah bisa semuanya sendiri, dia sudah bisa
mandi sendiri, ambil makan sendiri, pakai dan
lepas baju sendiri.” (Manalu 2019)
150
Selain itu, pada anak disabilitas yang memasuki
usia remaja pun juga mampu melakukan bina diri secara
mandiri seperti memakai pembalut saat menstruasi dan
memakai pakaian dalam sendiri.
“Awalnya saya yang pakein pembalutnya, tapi
sekarang udah bisa pake atau ganti sendiri. Kalo pake
daleman juga gitu, awalnya saya yang pakein tapi
sekarang dia udah bisa pake sendiri.” (Waningsih
2019)
Hasil observasi yang dilakukan penulis juga
menunjukkan bahwa keempat anak informan di atas sudah
mampu melakukan kegiatan bina diri selama di lembaga,
baik itu menyiapkan buku yang akan digunakan hingga
pada merapikannya dan memasukan kembali ke dalam tas
secara mandiri. Kemudian dalam hal makan dan minum,
keempat anak informan juga mampu makan secara
mandiri pada saat jam istirahat (Hasil observasi pada
tanggal 16 Mei 2019).
Adapun observasi yang dilakukan kepada kedua
anak yaitu S dan T yang memiliki kemandirian yang
rendah dalam hal bina diri disebabkan oleh gangguan/
hambatan yang dialaminya (lihat hal. 146). Namun dalam
hal makan dan minum, S masih mampu memegang
makanan atau minum dengan kedua tangannya.
Sedangkan S masih belum mampu untuk makan secara
mandiri. Kemudian pada T, T sudah mampu melakukan
kegiatan makan dan minum secara mandiri, hanya saja
151
masih sangat berantakan dan butuh bimbingan dari orang
di sekitarnya.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa pada kedua
anak yang memiliki kemandirian yang rendah pada area
bina diri disebabkan oleh tingkat disabilitas sang anak
seperti yang terjadi pada anak dari Ibu DR dan Ibu N.
Sebagaimana yang diungkapkan Ibu DR yang memiliki
anak penyandang MDVI:
“Paling pas saya pakein baju ke dia saya
bilangin gitu ayo belajar pake baju sendiri, tapi ya
gimana ya kak dia kan keterbatasannya di fisik jadi ya
susah.” (Daronah 2019)
Sementara pada Ibu N yang memiliki anak
penyandang GPPH mengaku bahwa anaknya masih belum
mampu dalam melakukan bina diri terutama
membersihkan diri, hal ini dikarenakan gangguan fokus
yang dimiliki sang anak.
“Masih belum bisa kalo mandi sendiri, saya udah
bilang kalo mau BAB ke belakang gitu tapi
tempatnya suka gak pas kaya masih di lantai belum di
WC. Emang susah dia fokusnya.” (Dwiyana 2019)
3. Area Komunikasi dan Sosialisasi
Area kemandirian ketiga yang penulis sebutkan
yaitu area komunikasi dan sosialisai, dapat disimpulkan
dari hasil wawancara bahwa tiga dari enam orang anak
memiliki kemandirian yang sedang, sementara dua anak
152
lainnya memiliki kemandirian yang tinggi dan satu anak
sisanya memiliki kemandirian yang rendah.
Pada tiga anak yang memiliki kemandirian sedang
yaitu anak dari Ibu DM, Ibu S dan Ibu DR, mereka
mampu bersosialisasi dengan baik dan tidak takut dengan
orang baru. Hanya saja proses komunikasi yang berjalan
terhambat oleh keterbatasan yang dimiliki anak sehingga
orang lain sulit memahami sang anak. Seperti yang
diungkapkan oleh Ibu DM yang memiliki anak
penyandang Tuli.
“Awalnya saya ga ngerti dia ngomong apa,
sampe saya ajarin bahasa tubuh yang simpel sehari-
hari aja bukan bahasa isyarat yang gimana-gimana
karena saya juga kan ga paham. Manggil dia juga
harus dicolek dulu, temen-temen sama tetangga juga
masih bingung kalo ngomong sama dia.” (Darmini
2019)
Selanjutnya pada Ibu DR mengungkapkan bahwa
sang anak sebenarnya mampu diajak berinteraksi hanya
saja cara bicara anak cenderung lambat dan sulit
dimengerti sehingga menghambat proses komunikasi yang
berjalan.
“Dia bisa diajak ngobrol, ngerti dia. Cuma kan
dia kalo ngomong suka lama, terus suka ga jelas
makanya kadang orang suka ga ngerti dia
ngomong apa.” (Daronah 2019)
153
Berbeda dengan ibu S yang mengatakan bahwa
emosi anaknya masih belum dapat terkontrol sehingga
menghambat proses sosialisasi yang berjalan.
“Tapi emosinya masih suka gak kekontrol,
kadang dia cari perhatian, tapi juga kadang galak suka
mukul. Makanya kalo orang yang belum kenal sama
dia agak takut kayanya.” (Waningsih 2019)
Adapun hasil observasi yang dilakukan penulis
memiliki hasil yang sama seperti apa yang dikatakan
ketiga informan. Pada P yaitu anak Ibu DM yang
mengalami tuli memang perlu menggunakan bahasa
isyarat sederhana dalam berkomunikasi dengan P, selain
itu sentuhan perlu dilakukan agar P menyadari bahwa kita
sedang mengajak P berbicara. Sesekali penulis tidak
paham dengan maksud yang disampaikan oleh P, seperti
halnya P ingin mengajak penulis masuk ke dalam kelas.
Sehingga P menarik tangan penulis ke dalam kelas (Hasil
observasi pada tanggal 15 Mei 2019).
Kemudian pada S yaitu anak Ibu DR, S sebenarnya
mampu berbicara. Hanya saja gaya bicara S yang lambat
dan artikulasi yang kurang jelas menyebabkan penulis
sulit memahami perkataan S (Hasil observasi pada tanggal
7 Mei 2019). Sedangkan pada A yaitu anak ibu S sudah
mampu dalam melakukan komunikasi hanya saja
emosinya yang tidak terkontrol membuat komunikasi
terhambat. Sesekali A menjadi sosok yang manja dan
seringkali memeluk penulis, namun tidak jarang A juga
154
memukul dan marah terhadap penulis tanpa sebab. Bagi
beberapa orang yang baru mengenal A mungkin takut dan
merasa terganggu dengan sikap A yang mudah berubah-
ubah, hal tersebut menghambat proses interaksi (Hasil
observasi pada tanggal 16 Mei 2019).
Sementara pada dua anak yang memiliki
kemandirian tinggi yaitu anak dari Ibu T dan Ibu DW,
mereka tidak memiliki masalah dalam proses komunikasi
dan sosialisasi dengan orang di sekitarnya, bahkan sang
anak dapat memulai percakapan terlebih dahulu dengan
menanyakan nama orang yang ditemuinya. Seperti yang
diungkapkan oleh Ibu T:
“Karena dia sering eksplor sendiri, dia jadi sering
ketemu orang baru. Enggak dia ga takut sama orang
baru, malah dia duluan yang nanya nama kamu siapa
gitu.” (Kristanti 2019)
Hal serupa juga diungkapan oleh Ibu DW:
“....kalo misalnya kita baru masuk ke lingkungan
baru itu dia sendiri yang cari teman.” (Manalu 2019)
Hasil observasi yang dilakukan penulis kepada H
yaitu anak Ibu DW dan N anak Ibu T menujukkan tidak
ada masalah yang dialami keduanya dalam hal
komunikasi dan sosialisasi. Bahkan keduanya tidak ragu
memulai percakapan, seperti hanya menanyakan kabar
penulis dan sebagainya (Hasil observasi pada tanggal 15
Mei 2019).
155
Sedangkan satu orang anak sisanya memiliki
kemandirian yang rendah yaitu anak dari Ibu N, di mana
anak belum dapat berbicara dengan jelas, hiperaktif dan
sulit fokus ketika diajak bicara.
“Pake lisan si, tapi dia belum lancar ngomong
satu kalimat panjang paling kata perkata. Kalo
gerakan si misalnya dia laper terus dia nuntun tangan
papanya buat ambil piring. Dia anaknya hiperaktif
jadi susah juga ngadepinnya, terus susah fokusnya
kalo diajak bicara.” (Dwiyana 2019)
Hasil observasi yang dilakukan penulis terhadap T
yaitu anak Ibu N terlihat bahwa komunikasi dan interaksi
yang dilakukan T masih sangat rendah. Di mana T yang
sangat hiperaktif dan sulit fokus menyebabkan proses
komunikasi terhambat (Hasil observasi pada tanggal 8
Mei 2019).
D. Manfaat Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan
Dapat disimpulkan dari hasil wawancara yang penulis
lakukan kepada keenam orang tua dari anak binaan, beragam
manfat yang dirasakan pihak orang tua dengan adanya
keterlibatan mereka pada pendidikan anak. Bagi Ibu DR,
manfaat yang beliau rasakan yakni menambah pengalaman,
keterampilan dan menambah system support bagi dirinya.
“Ya nambah pengalaman, jadi tau ternyata yang
punya anak kaya gini bukan saya aja bahkan ada yang
lebih parah, hati kita jadi lebih kuat. Nambah
keterampilan juga.” (Daronah 2019)
156
Sedangkan menurut Ibu DM, selain menambah
wawasan manfaat lain yang beliau rasakan adalah
bertambahnya relasi dan pertemanan baru serta informasi-
informasi baru.
“Nambah saudara, wawasana, iya nambah temen,
nambah relasi juga jadi dapet info baru gitu....”
(Darmini 2019)
Kemudian pada Ibu T, manfaat yang beliau
rasakan adalah bertambahnya wawasan tentang
bagaimana cara menangani anak terutama ketika anak
tantrum. Selanjutnya, Ibu T merasa kepuasan dalam diri
dalam merawat anak.
“Iya nambah wawasan, aku yang tadinya gatau
jadi tau, lebih ke cara pegang dia gimana. Bukan
masalah pendidikan sih, tapi lebih ke cara merawat
dia nya gimana apalagi pada saat tantrum. Iya, jadi
ngerasa puas bisa ngerawat dia.” (Kristanti 2019)
Selain itu, manfaat keterlibatan tidak hanya
dirasakan oleh para orang tua saja, melainkan adanya
perubahan yang terjadi pada sang anak dengan adanya
keterlibatan mereka dalam pendidikan anak seperti
tumbuhnya sikap kemandirian dan kedisiplinan anak.
Sebagaimana yang diungkapkan Ibu N:
“Kalo manfaat ke anaknya sih jadi lebih pinter,
mandiri, disiplin.” (Dwiyana 2019)
Berbeda dengan Ibu DW yang merasakan bahwa
sang anak menjadi lebih patuh dan paham.
157
“Kalo ke anaknya, saya ngerasa dia jadi lebih
nurut dan ngerti kalo dibilangin.” (Manalu 2019)
Sedangkan pada Ibu S merasa lebih dekat dengan
sang anak.
“Lebih deket ke anak karena emang sehari-hari
sama saya.” (Waningsih 2019)
Pihak lain yang juga merasakan manfaat dari
adanya keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak
adalah pihak lembaga. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Ibu R yaitu salah satu pengajar di UPD Tangsel, Ibu
R merasa dengan adanya keterlibatan orang tua dalam
pendidikan anak terutama di rumah, proses belajar anak di
kelas menjadi lebih cepat dibandingkan dengan anak yang
tidak diajarkan di rumah.
“Jadi lebih cepet menangkap dan menerima
pelajaran di kelas, karena biasa diajarin di rumah
sama orang tua nya. Beda sama yang engga diajarin,
lebih lama prosesnya.” (Sarinah 2019)
Sementara itu, menurut Ibu SK yakni salah satu
guru di kelas Persiapan merasa manfaat adanya
keterlibatan orang tua pada pendidikan anak adalah
menciptakan suasana kbm yang nyaman dan lebih efektif
dikarenakan kondisi emosi anak lebih terkontrol.
“Di kelas jadi lebih terkontrol emosinya, suasana
kelas jadi lebih nyaman dan efektif kan kalo mereka
bisa diatur.” (Khodijah 2019)
158
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Ibu
T, salah satu guru di kelas behaviour yang mengatakan
bahwa anak menjadi lebih terkontrol dan dapat dengan
mudah diarahkan di kelas.
“Kalo orang tua nya aktif ngajarin di rumah kan
keliatan di kelasnya anak jadi terkontrol dan bisa
diarahkan.” (Tuti 2019)
Selanjutnya yaitu Ketua UPD Tangsel yaitu Bapak
A menegaskan bahwa manfaat dari adanya keterlibatan
orang tua pada pendidikan anak sebetulnya akan kembali
dirasakan pada diri orang tua.
“Sebenarnya setiap usaha yang dikeluarkan orang
tua pasti ada hasilnya, dan hasil yang dirasakan itu
kembali kepada mereka para orang tua.” (Supanggih
2019)
159
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini menjelaskan hasil penelitan yang telah
dilakukan dan dikaitkan dengan kerangka berfikir yang sudah
dirancang oleh peneliti dalam bab 2. Dalam kerangka berpikir
dijelaskan bahwa anak penyandang disabilitas mengalami
keterbatasan maupun gangguan tidak hanya fisik, melainkan
mental, sosial, maupun tuna ganda atau cacat ganda. Dari
keterbasan tersebut, anak penyandang disabilitas membutuhkan
adanya keterlibatan orang tua dalam pendidikan mereka.
Keterlibatan orang tua tidak hanya dilakukan di rumah
saja, melainkan pada lingkungan dan lembaga pendidikan yaitu
dalam konteks ini adalah Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan. Keterlibatan ini diharapkan dapat
menciptakan kemandirian bagi anak disabilitas, di mana sang
anak mampu melakukan bina diri dan pekerjaan rumah secara
mandiri dan dapat menjalakankan komunikasi dan sosialisasi
kepada lingkungannya.
A. Bentuk Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan
Untuk bisa mengetahui bentuk keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak, peneliti menggunakan Teori
Keterlibatan oleh Epstein yang terdapat dalam Diadha
(2015). Dari paparan bab sebelumnya, dapat dilihat bahwa
terdapat enam bentuk keterlibatan orang tua dalam
pendidikan anak, di antaranya yaitu; 1) pendidikan orang tua;
160
2) komunikasi; 3) sukarelawan; 4) pembelajaran di rumah; 5)
membuat keputusan; 6) kerjasama dengan komunitas
masyarakat. Berikut hasil analisa temuan lapangan mengenai
keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak dengan
disabilitas di Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang
Selatan.
1. Tipe 1= Pendidikan Orang Tua
Bentuk keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak tipe pertama adalah pendidikan orang tua. Hasil
penelitian menunjukkan bentuk keterlibatan tipe pertama
mengalami hasil yang beragam, di mana dari jumlah enam
orang tua, tiga orang tua di antaranya menunjukkan
keterlibatan tinggi, dan tiga orang tua lainnya
menunjukkan keterlibatan rendah. Adapun tiga orang tua
dengan keterlibatan tinggi yaitu Ibu T, Ibu N dan Ibu DR.
Pada tiga orang tua yang memiliki keterlibatan
yang tinggi pada tipe satu ini, upaya yang dilakukan orang
tua dalam hal mengedukasi diri dan mencari informasi,
pengetahuan maupun keterampilan seputar anak tergolong
besar. Baik dalam hal pendidikan, kesehatan, penanganan
maupun kebutuhan anak. Informasi yang mereka dapatkan
berasal dari pihak lembaga, seperti bertanya kepada guru,
terapis maupun ketua lembaga tentang perkembangan
anak mereka dan proses kegiatan belajar anak di kelas.
Tidak hanya itu, mereka juga memanfaatkan internet yang
dapat diakses di mana saja dan kapan saja seperti yang
161
dilakukan oleh Ibu T dan Ibu N. Kemudian ketiga orang
tua tersebut mengikuti seminar maupun pelatihan tentang
penanganan anak dalam rangka mengedukasi diri mereka
dan kemudian dapat mereka terapkan kepada anak mereka
di rumah.
Sedangkan tiga orang tua sisanya menunjukkan
keterlibatan yang rendah pada bentuk keterlibatan tipe
pertama yaitu tipe pendidikan orang tua yaitu Ibu S, Ibu
DM dan Ibu DW. Kurangnya usaha dalam mencari
informasi seputar perkembangan anak, terlebih dalam
memanfaatkan media sosial maupun ikut kegiatan yang
dapat menambah wawasan seputar anak seperti seminar
dan pelatihan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
salah satunya adalah pekerjaan orang tua. Sehingga dalam
hal ini dapat dikatakan bahwa Ibu S, Ibu DM dan Ibu DW
memiliki keterlibatan rendah pada tipe pendidikan orang
tua.
2. Tipe 2= Komunikasi
Bentuk keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak tipe kedua adalah tipe komunikasi. Hasil penelitian
menunjukkan dari jumlah enam orang tua, tiga orang tua
memiliki keterlibatan yang rendah, dua orang tua dengan
keterlibatan sedang dan satu lainnya menunjukkan
keterlibatan tinggi. Pada tiga orang tua dengan
keterlibatan rendah yaitu Ibu DW, Ibu DM dan Ibu T,
mereka menjelaskan bahwa proses komunikasi
162
berlangsung hanya pada saat bertemu di lembaga saja dan
adanya grup whatsapp di rasa kurang optimal dalam
memberikan informasi seputar anak.
Ketiga orang tua ini berada ke dalam keterlibatan
rendah dikarenakan kurangnya upaya yang dilakukan
orang tua dalam hal mengkomunikasikan tentang program
pendidikan, perkembangan, kesehatan anak. Adapun
waktu kegiatan pendidikan hanya satu hari dalam
seminggu dan dan dirasa kurang optimal dalam hal
mengkonsultasikan perihal anak. Sebenarnya komunikasi
dapat lebih banyak dilakukan orang tua melalui
handphone dikarenakan waktu kegiatan kelas hanya
terjadi satu kali seminggu. Di mana mereka bisa
menghubungi para guru dan ketua upd secara personal,
maupun via grup whatsapp. Namun hal tersebut tidak
dilakukan. Sehingga dalam hal ini Ibu DW, Ibu DM dan
Ibu T berada pada keterlibatan rendah pada tipe
komunikasi.
Sementara dua orang tua lainnya yaitu Ibu N dan
Ibu S berada pada kategori keterlibatan sedang, di mana
upaya yang dilakukan Ibu N dan Ibu S dalam melakukan
komunikasi kepada pihak lembaga dikatakan cukup aktif,
orang tua sudah berupaya bertanya dan berkonsultasi
kepada pihak lembaga terutama kepada guru dalam proses
belajar anak. Baik secara langsung maupun melalui
handphone, walaupun tidak sepenuhnya dapat dilakukan
oleh Ibu S dikarenakan whatsapp grup berada pada
163
handphone anaknya. Tetapi Ibu S sudah berupaya untuk
mengirim pesan secara personal kepada guru maupun
ketua lembaga dalam hal mengkonsultasi perihal anak.
Sedangkan pada satu orang tua lainnya yang
memiliki keterlibatan tinggi yaitu Ibu DR dikarenakan
usaha yang dilakukan orang tua tergolong besar dalam
mengkomunikasikan seputar anak mereka dengan pihak
lembaga baik pada saat bertemu langsung (waktu kegiatan
pendidikan) maupun melalui handphone yaitu di luar
waktu kegiatan pendidikan. Selain itu, orang tua tidak
hanya bertanya mengenai proses belajar anak di kelas,
melainkan berupaya mencari informasi tentang sumber-
sumber kebutuhan anak seperti sekolah formal dan tempat
terapi.
Dalam hal ini lembaga baru menyediakan alat
komunikasi berbasis teknologi saja yaitu grup whatsapp,
sedangkan alat komunikasi yang berbasis non teknologi
seperti halnya panduan yang dapat dipergunakan orang
tua dalam melakukan pembelajaran anak di rumah belum
disediakan pihak lembaga. Hal ini menyebabkan
rendahnya komunikasi yang terjalin antara pihak lembaga
dan pihak orang tua terutama dalam hal pembelajaran di
rumah, karena tidak adanya panduan yang menjadi acuan
bagi orang tua dalam hal mendidik anak di rumah.
164
3. Tipe 3= Sukarelawan
Bentuk keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak tipe ketiga adalah tipe sukarelawan. Pada tipe ini
menjelaskan tentang keterlibatan dan partisipasi orang tua
secara langsung pada setiap kegiatan yang diadakan oleh
pihak lembaga. Hasil penelitian menunjukkan dari jumlah
enam orang tua, empat orang tua di antaranya
menunjukkan keterlibatan tinggi dan dua orang tua
lainnya memiliki keterlibatan sedang. Keempat orang tua
yang memiliki keterlibatan tinggi pada tipe sukarelawan
adalah Ibu S, Ibu T, Ibu DM dan Ibu DR.
Keempat orang tua ini menyempatkan hadir dan
ikut secara langsung pada kegiatan yang diadakan oleh
pihak lembaga. Hadirnya para orang tua dalam kegiatan
tersebut dapat mendukung program-program yang
diadakan lembaga dan mendorong terciptanya tujuan yang
diinginkan. Dukungan yang diberikan para orang tua
sebenarnya bukan hanya kehadiran mereka saja,
melainkan waktu dan dedikasi mereka merupakan bentuk
kerjasama yang diberikan orang tua kepada pihak
lembaga. Selain itu, bentuk lain yang diberikan orang tua
seperti membawa konsumsi secara sukarela dan
merapikan konsumsi juga dapat dikatakan membantu
proses berlangsungnya kegiatan seperti yang dilakukan
oleh Ibu DM dan Ibu T.
Selain itu, para orang tua mampu menyebutkan
kegiatan apa saja yang pernah mereka ikuti dan
165
bagaimana proses kegiatan tersebut juga merupakan bukti
bahwa mereka sering mengikuti kegiatan yang diadakan
oleh pihak lembaga seperti yang dilakukan oleh Ibu S dan
Ibu T. Adapun pada Ibu DM dan Ibu DR, kegiatan
tersebut mereka ikuti dalam rangka menambah
keterampilan dan support system bagi diri mereka.
Sedangkan dua orang tua lainnya yang memiliki
keterlibatan sedang yaitu Ibu DW dan Ibu N. Kedua orang
tua tersebut mengaku pernah mengikuti beberapa kegiatan
yang diadakan lembaga, hanya saja terkadang mereka
berhalangan hadir dikarenakan oleh pekerjaan orang tua
seperti yang terjadi oleh Ibu DW. Ibu N juga mengaku
mengikuti beberapa kegiatan yang diadakan di lembaga.
Namun pada saat Ibu N ditanya oleh penulis mengenai
proses kegiatan tersebut, ibu N terlihat bingung dan
menjawab pertanyaan sedikit lebih lama. Untuk itu, dalam
hal ini Ibu DW dan Ibu N berada pada keterlibatan rendah
pada tipe sukarelawan.
4. Tipe 4= Pembelajaran di Rumah
Bentuk keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak tipe keempat adalah tipe pembelajaran di rumah.
Hasil penelitian meunjukkan bahwa keterlibatan orang tua
pada tipe ini adalah beragam, di mana dari jumlah enam
orang tua, tiga orang tua menunjukkan keterlibatan tinggi
dan tiga orang tua lainnya menunjukkan keterlibatan
sedang.
166
Ketiga orang tua dengan keterlibatan tinggi pada
tipe pembelajaran di rumah yaitu Ibu N, Ibu DM dan Ibu
T. Dalam hal ini, ketiga orang tua sudah berupaya
menyediakan sarana belajar untuk anak di rumah seperti
buku, pensil, buku mewarnai hingga poster alfabet. Selain
itu orang tua selalu menyempatkan diri untuk
mengajarkan anak mereka meskipun tanpa jadwal belajar
secara khusus. Hal-hal yang diajarkan seperti menulis
angka dan huruf, berhitung, mengenal panca indera,
mengenal hewan, dan sebagainya. Kemudian orang tua
juga mengajarkan anak mereka tentang aktivitas bina diri
dan memberi kesempatan anak untuk mencoba dan
mengeskplor.
Sementara tiga orang tua lainnya yaitu Ibu DR, Ibu
S dan Ibu DW berada dalam kategori keterlibatan sedang
pada tipe pembelajaran di rumah. Pada ketiga orang tua
dengan kategori keterlibatan sedang ini sebenarnya sudah
berupaya menyediakan sarana belajar untuk anak di
rumah. Namun, orang tua belum mampu membujuk anak
mereka untuk belajar di rumah dikarenakan oleh beberapa
faktor yang menghambat proses tersebut seperti anak
mengeluhkan bahwa belajar membuatnya stres, dan mood
anak yang cepat merasa bosan. Selain itu, dalam hal bina
diri pun orang tua sudah berupaya melatihkan
keterampilan bina diri kepada anak. Namun, dalam hal ini
orang tua merasa bahwa anak mereka belum mampu
melakukan bina diri secara mandiri di rumah dikarenakan
167
oleh beberapa faktor. Baik dikarenakan kondisi disabilitas
anak seperti pada anak Ibu DR yang mengalami MDVI,
maupun pada Ibu S dan Ibu DW yang merasa bahwa
beberapa aktivitas sang anak masih membutuhkan peran
orang tua.
5. Tipe 5= Membuat Keputusan
Bentuk keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak tipe kelima adalah membuat keputusan. Pada tipe ini
menjelaskan tentang pengambilan suatu keputusan atau
menentukan alternatif mana yang akan ditempuh anak
yang didasarkan pada kebutuhan dan tujuan sang anak.
Hasil penelitian menunjukkan dari jumlah enam orang tua,
tiga orang tua memiliki keterlibatan yang tinggi dalam
membuat keputusan, dan tiga orang tua lainnya memiliki
keterlibatan sedang pada tipe membuat keputusan.
Ketiga orang tua yang memiliki keterlibatan tinggi
pada tipe membuat keputusan adalah Ibu DR, Ibu N, dan
Ibu DM. Alasan orang tua dalam mengambil keputusan
cukup kuat, dan pengambilan keputusan yang dipilih atau
eksekusi yang dilakukan sudah baik bagi sang anak.
Seperti memberi terapi tambahan di luar dari kegiatan
sekolah dan terapi yang ada di UPD serta rajin menghadiri
kegiatan kelas. Hal ini membuktikan bahwa keputusan
yang dipilih orang tua dalam memasukan anak mereka ke
upd telah dioptimalkan dengan baik..
168
Sedangkan tiga orang tua lainnya menunjukkan
keterlibatan yang sedang pada bentuk keterlibatan tipe
kelima ini yaitu Ibu S, Ibu DW dan Ibu T. Alasan orang
tua dalam mengambil keputusan cukup kuat, hanya saja
pengambilan keputusan yang dipilih atau eksekusi yang
dilakukan masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh
berbagai faktor, salah satunya pekerjaan orang tua dan
ekonomi keluarga.
6. Tipe 6= Kerjasama dengan Komunitas Masyarakat
Bentuk keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak tipe keenam adalah tipe kerjasama dengan
komunitas masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan dari
jumlah enam orang tua, tiga di antaranya memiliki
keterlibatan yang sedang, dua orang tua dengan
keterlibatan tinggi dan satu orang sisanya memiliki
keterlibatan yang rendah.
Ketiga orang tua yang memiliki keterlibatan
sedang pada tipe kerjasama dengan komunitas masyarakat
adalah Ibu N, Ibu S dan Ibu T. Ketiga orang tua ini cukup
melibatkan diri dalam hal mengenalkan anak pada
lingkungan. Namun pada prakteknya, sang anak yang
lebih banyak mengeksplor lingkungan dan peran orang tua
lebih banyak sebagai pendamping mereka.
Sedangkan pada dua orang tua dengan keterlibatan
yang tinggi pada tipe ini yaitu Ibu DR dan Ibu DM, upaya
yang dilakukan para orangtua dalam hal ini tergolong
169
tinggi. Orang tua banyak melibatkan diri dalam hal
mengenalkan anak pada lingkungan seperti mengenalkan
orang-orang yang ditemui anak sebagaimana yang
dilakukan oleh Ibu DR. Selain itu orang tua juga berupaya
memberikan penjelasan kepada lingkungan tentang
kondisi keterbatasan yang dialami anaknya dan berupaya
mengajarkan bagaimana cara yang tepat dalam
berinteraksi dengan anaknya yaitu dengan cara disentuh
dan menggunakan bahasa isyarat.
Sementara pada satu orang tua sisanya yang
memiliki keterlibatan rendah, upaya yang dilakukan orang
tua tergolong rendah dikarenakan kesibukan orang tua.
Dalam hal ini anak yang lebih banyak mengeksplor
lingkungan sebagaimana yang terjadi pada Ibu DW.
B. Kemandirian Anak Disabilitas
Tiga area kemandirian anak disabilitas berdasarkan
Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan
Khusus Pendidikan Dasar (2013) yang menjadi acuan dari
Yayasan Sayap Ibu Bintaro maupun Unit Pelayanan
Disabilitas, yaitu; (1) area bekerja; (2) area bina diri; dan (3)
area komunikasi dan sosialisasi. Berikut analisa mengenai
dampak keterlibatan orang tua bagi kemandirian anak dengan
disabilitas di Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang
Selatan adalah sebagai berikut:
170
1. Area Bekerja
Area pertama dalam kemandirian anak disabilitas
adalah area bekerja, di mana pada area ini anak mampu
melakukan aktivitas atau pekerjaan rumah secara mandiri
yang manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh dirinya
sendiri melainkan juga oleh orang lain seperti halnya
membuat makan dan minum, menjaga dan membersihkan
rumah, berbelanja, mencuci pakaian maupun piring.
Hasil penelitian menunjukkan area pertama
kemandirian anak disabilitas mengalami hasil yang
beragam, di mana dari jumlah enam orang tua yang
penulis wawancarai, dua orang tua mengungkapkan
bahwa masing-masing anak mereka memiliki kemandirian
yang tinggi pada area bekerja, dua orang tua lainnya
memiliki anak dengan kemandirian sedang dan dua anak
sisanya memiliki kemandirian yang rendah.
Pada dua orang tua yang memiliki anak dengan
kemandirian tinggi pada area bekerja yaitu Ibu DM dan
Ibu DW. Di mana anak mereka sudah mampu melakukan
pekerjaan rumah secara mandiri seperti membuat makan
dan minum, berbelanja, membersihkan rumah baik
menyapu dan mengepel lantai, serta mencuci piring.
Walaupun terkadang masih perlu pengawasan dan
pendamping dari orang tua.
Terbentuknya kemandirian pada anak
menunjukkan adanya pengasuhan yang baik dari orang tua
di rumah, di mana orang tua memberi kesempatan kepada
171
anak dengan cara mengajarkan dan melatihkan mereka
pekerjaan rumah. Selain itu pemberian tugas kepada anak
juga membuat anak terlatih dalam melakukan aktivitas
secara mandiri seperti halnya dalam pemberian tugas
berbelanja.
Sementara masing-masing anak dari dua orang tua
lainnya yaitu Ibu S dan Ibu T memiliki kemandirian yang
sedang pada area bekerja. Di mana kondisi anak sudah
mampu melakukan beberapa pekerjaan rumah secara
mandiri, hanya saja masih perlu diberi perintah dan masih
tergantung pada mood anak.
Sedangkan dua orang sisanya yaitu anak dari Ibu
DR dan Ibu N memiliki kemandirian yang rendah pada
area bekerja. Hal tersebut dikarenakan kondisi disabilitas
yang dialami oleh anak mereka, di mana anak Ibu DR
mengalami MDVI yaitu cerebral palsy quadriplegia dan
gangguan penglihatan yang disebabkan oleh katarak.
Keterbatasan ini menghambat S yaitu anak dari DR dalam
mengerjakan aktivitas yang berkaitan dengan fisik.
Berbeda dengan anak dari Ibu N yang mengalami GPPH
atau gangguan pusat perhatian dan hiperaktif, Ibu N
mengaku bahwa anaknya belum mampu melakukan dan
mengerjakan pekerjaan rumah secara mandiri dikarenakan
anak sulit fokus dan hiperaktif.
172
2. Area Bina Diri
Area kedua dalam kemandirian anak disabilitas
adalah area bina diri, di mana pada area ini anak mampu
melakukan aktivitas atau pekerjaan yang dapat menolong
dirinya sendriri menolong diri sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki terutama dalam melayani diri sendiri,
seperti berpakaian, makan dan minum dan membersihkan
diri.
Hasil penelitian menunjukkan, dari enam orang tua,
empat orang tua di antaranya mengungkapkan bahwa
masing-masing anak mereka memiliki kemandirian yang
tinggi pada area bina diri. Sedangkan dua orang tua
sisanya memiliki anak dengan kemandirian yang rendah.
Pada empat orang tua yang memiliki anak dengan
kemandirian tinggi pada area bina diri yaitu Ibu DM, Ibu
S, Ibu DW dan Ibu T. Mereka mengungkapkan bahwa
anak sudah mampu melakukan beberapa aktivitas secara
mandiri, walaupun tanpa pendamping dari orang tua.
Terbentuknya kemandirian pada anak menunjukkan
adanya pengasuhan yang baik dari orang tua di rumah, di
mana orang tua memberi kesempatan kepada anak dengan
cara mengajarkan dan melatih mereka kegiatan bina diri
sehari-hari. Selain itu membiasakan anak untuk
melakukan pekerjaan secara mandiri seperti makan dan
berpakaian kepada anak juga membantu anak terlatih
dalam melakukan aktivitas.
173
Sementara pada dua sisanya yaitu masing-masing
anak dari Ibu DR dan N memiliki kemandirian yang
rendah pada area bina diri. Hal tersebut dikarenakan
kondisi disabilitas yang dialami oleh anak mereka, di
mana S yaitu anak Ibu DR mengalami MDVI yaitu
cerebral palsy quadriplegia dan gangguan penglihatan
yang disebabkan oleh katarak. Keterbatasan ini
menghambat anak dari DR mengerjakan aktivitas yang
berkaitan dengan fisik.
Berbeda dengan T yaitu anak dari Ibu N yang
mengalami GPPH atau gangguan pusat perhatian dan
hiperaktif, Ibu N mengaku bahwa anaknya belum mampu
melakukan dan mengerjakan pekerjaan rumah secara
mandiri dikarenakan anak sulit fokus dan hiperaktif.
Namun dalam hal makan dan minum, S masih mampu
memegang makanan atau minum dengan kedua tangannya.
Sedangkan S masih belum mampu untuk makan secara
mandiri. Kemudian pada T, T sudah mampu melakukan
kegiatan makan dan minum secara mandiri, hanya saja
masih sangat berantakan dan butuh bimbingan dari orang
di sekitarnya.
3. Area Komunikasi dan Sosialisasi
Area ketiga dalam kemandirian anak disabilitas
adalah area komunikasi dan sosialisasi, di mana pada area
ini anak mampu melakukan interaksi dan berbaur terhadap
lingkungannya. Hasil penelitian menunjukkan, dari enam
174
orang tua, tiga orang tua di antaranya mengungkapkan
bahwa masing-masing anak mereka memiliki kemandirian
yang sedang pada area komunikasi dan sosialisasi.
Sementara dua orang tua lainnya memiliki anak dengan
kemandirian yang tinggi, dan satu orang tua sisanya
memiliki anak dengan kemandirian yang rendah.
Pada tiga orang tua yang memiliki anak dengan
kemandirian sedang pada area komunikasi dan sosialisasi
yaitu Ibu DM, Ibu S, dan Ibu DR. Mereka
mengungkapkan bahwa anak mereka sudah mampu
bersosialisasi dan berinteraksi dengan baik dan tidak takut
dengan orang baru. Hanya saja proses komunikasi yang
berjalan terhambat oleh keterbatasan yang dimiliki anak
sehingga orang lain sulit memahami sang anak. Seperti
halnya P yaitu anak Ibu DM yang mengalami tuli,
penyampaian pesan pada sang anak hanya bisa diawali
melalui setuhan terlebih dahulu, dan kemudian
disampaikan dengan gerakan tubuh maupun pengucapan
bibir yang jelas.
Sementara pada anak Ibu DR yang mengalami
MDVI, sebenarnya anak sudah mampu diajak
berkomunikasi dengan baik hanya saja kondisi bicara
anak yang lamban dan artikulasi yang kurang jelas
menyulitkan proses komunikasi. Berbeda dengan anak
dari Ibu S yang mengalami down syndrome, di mana anak
juga sudah mampu berinteraksi dengan lingkungan.
175
Hanya saja kondisi emosi anak yang tidak terkontrol yang
menyebabkan terhambatnya proses sosialisasi.
Kemudian dua anak dengan kemandirian yang
tinggi pada area komunikasi dan sosialisasi yaitu pada
anak Ibu T dan Ibu DW. Mereka sudah mampu
melakukan sosialisasi dan interaksi dengan baik terhadap
lingkungan. Kondisi anakpun tidak takut dengan orang
baru, bahkan sang anak berani memulai percakapan
dengan menanyakan nama kepada orang yang baru
ditemuinya.
Selanjutnya pada satu orang sisanya yaitu anak
dari yaitu Ibu N, masih belum mampu menjalankan
komunikasi dan sosialisasi kepada lingkungan
dikarenakan kondisi anak yang tidak fokus dan hiperaktif
yang menyulitkan proses komunikasi.
C. Manfaat Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan
Manfaat adanya keterlibatan orang tua dalam
pendidikan anak tentu dapat dirasakan oleh pihak orang tua
seperti bertambahnya wawasan mereka tentang cara
penanganan anak terutama ketika anak mengalami tantrum
dan kemudian menambah rasa kepuasan diri orang tua dalam
merawat anak sebagaimana yang terjadi pada Ibu T. Selain
itu orang tua merasa lebih dekat dengan anak seperti yang
dirasakan oleh Ibu S.
Sementara pada Ibu DM merasa manfaat adanya
keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak adalah
176
bertambahnya jalinan relasi dan hubungan pertemanan, di
mana dari relasi tersebut menghasilkan banyaknya informasi
seputar anak. Selanjutnya, manfaat lain yang dirasakan orang
tua adalah menambah support system bagi diri mereka seperti
yang diungkapkan oleh Ibu DR. Ketua lembaga yaitu Bapak
A pun menegaskan bahwa manfaat dari adanya keterlibatan
orang tua pada pendidikan anak sebetulnya akan kembali
dirasakan pada diri orang tua.
Tidak hanya dirasakan oleh pihak orang tua, manfaat
adanya keterlibatan secara tidak langsung terjadi pada sang
anak. Di mana adanya perubahan pada anak yang dirasakan
orang tua seperti tumbuhnya sikap kemandirian dan
kedisiplinan pada anak, seperti yang dirasakan oleh Ibu N.
Kemudian anak menjadi lebih patuh dan paham sebagaimana
yang diungkapkan Ibu DW.
Selanjutnya, pihak lembaga juga merasakan adanya
manfaat keterlibatan orang tua dalam pendidikan, di mana
dengan adanya keterlibatan para orang tua proses belajar
anak di kelas menjadi lebih cepat dibandingkan dengan anak
yang tidak diajarkan di rumah seperti yang dikatakan oleh
Ibu R yakni salah satu pengajar di UPD. Kemudian
terciptanya suasana belajar yang nyaman dan lebih efektif
dikarenakan kondisi emosi anak lebih terkontrol sehingga
anak dapat dengan mudah diarahkan di kelas sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ibu guru T dan Ibu guru SK.
177
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang
dilakukan penulis, mengenai bentuk keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak dengan disabilitas di Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan dapat disimpulkan bahwa
dari enam bentuk keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak dengan disabilitas, satu bentuk keterlibatan orang tua
tergolong tinggi yaitu pada tipe sukarelawan, di mana banyak
orang tua menyempatkan hadir pada kegiatan yang diadakan
lembaga dalam mendukung program-program yang dibuat
dan mendorong terciptanya tujuan yang diinginkan.
Kemudian satu bentuk keterlibatan lain yang
tergolong sedang yaitu tipe kerjasama dengan komunitas
masyarakat, di mana para orang tua cukup melibatkan diri
dalam mengenalkan anak pada lingkungan. Namun pada
prakteknya, sang anak yang lebih banyak mengeksplor
lingkungan. Sehingga orang tua lebih banyak berperan
sebagai pendamping anak.
Pada satu tipe keterlibatan selanjutnya yaitu tipe
komunikasi, hasil penelitian menunjukkan keterlibatan
rendah dikarenakan rendahnya upaya yang dilakukan orang
tua dalam hal mengkomunikasikan tentang program
pendidikan maupun perkembangan anak kepada pihak
lembaga, baik pada saat bertemu langsung maupun melalui
178
handphone yakni di luar waktu kegiatan pendidikan.
Sementara tiga bentuk keterlibatan orang tua dalam
pendidikan sisanya menunjukkan keterlibatan yang beragam
atau tidak ada hasil yang mendominasi yaitu pada tipe; (1)
tipe pendidikan orang tua, (2) tipe pembelajaran di rumah,
dan (3) tipe membuat keputusan.
Dampak keterlibatan orang tua bagi kemandirian anak
terbagi menjadi tiga area yaitu; (1) area bekerja, (2) area bina
diri, dan (3) area komunikasi dan sosialisasi. Dari ketiga area
kemandirian ini, keterlibatan orang tua paling banyak
berdampak pada area bina diri karena sebanyak empat dari
enam orang anak menunjukkan kemandirian yang tinggi
pada area bina diri. Di mana anak sudah mampu melakukan
aktivitas bina diri secara mandiri tanpa memerlukan bantuan
dari orang tua seperti makan dan minum, membersihkan diri
dan berpakaian.
Kemudian pada area komunikasi dan sosialisasi, tiga
dari enam anak menunjukkan kemandirian yang sedang, di
mana kondisi mereka sudah mampu bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya dan tidak takut pada saat
bertemu orang baru. Hanya saja proses komunikasi yang
berjalan terhambat oleh keterbatasan yang dimiliki anak
sehingga orang lain sulit memahami sang anak.
Pada area kemandirian lainnya yaitu area bekerja
menujukkan hasil yang beragam dan tidak ada hasil yang
mendominasi dalam hal melakukan aktivitas atau pekerjaan
rumah yang manfaatnya tidak hanya dirasakan dirinya
179
sendiri melainkan dapat dirasakan orang lain, seperti
membuat makan dan minum, berbelanja, menjaga dan
membersihkan rumah. Hasil penelitian menunjukkan dua
dari enam orang anak menunjukkan kemandirian bekerja
yang tinggi, dua orang anak menunjukkan kemandirian
sedang, dan dua orang anak sisanya menunjukkan
kemandirian yang rendah pada area bekerja.
B. Implikasi
Penulis berharap dari penelitian yang telah dilakukan
dapat memberikan manfaat baik dari segi teoritik maupun
praktik. Adapun implikasi dari penelitian ini adalah:
1. Segi Teoritis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi
kontribusi positif bagi perkembangan keilmuan studi
kesejahteraan sosial dan profesi pekerja sosial,
khususnya pada ranah disabilitas.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan
referensi dan atau pembanding bagi penelitian relevan
lainnya.
2. Segi Praktis
a. Dapat memberikan wawasan serta pengetahuan kepada
para orang tua yang memiliki anak penyandang
disabilitas mengenai keterlibatan orang tua dalam
pendidikan anak dengan disabilitas.
180
C. Saran
Berdasarkan hasil data dan penelitian yang dilakukan,
sebagaimana telah disimpulkan di atas. Maka penulis ingin
menyampaikan beberapa saran kepada beberapa pihak, yaitu:
1. Orang Tua Binaan
Diharapkan kepada para orang tua untuk lebih
aktif dalam mengkosultasikan anak kepada pihak lembaga
baik guru, terapis maupun ketua lembaga dan berupaya
meningkatkan kehadiran anak di kelas. Serta lebih
semangat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab
mereka dalam mendidik dan merawat anak dengan
disabilitas. Selain itu orang tua seharusnya lebih bisa
memanfaatkan setiap kegiatan baik forum yang diadakan
lembaga, waktu mengobrol dengan sesama orang tua
binaan maupun waktu santai mereka dapat digunakan
untuk mengakses berbagai media dalam mencari
informasi seputar anak sehingga dapat memaksimalkan
pengasuhan anak di rumah.
2. Pihak Lembaga
Pihak lembaga diharapkan dapat membuat
kegiatan yang tidak hanya mempertemukan orang tua
dengan ketua lembaga atau narasumber dari luar saja.
Melainkan dapat mempertemukan pihak orang tua dan
guru dengan cara memanfaatkan adanya forum Family
Development Session yang mempergunakan metode group
work atau metode kerja kelompok. Di mana para orang tua
181
dikelompokkan berdasarkan masing-masing kelas anak
pada jadwal pendidikan yang kemudian forum tersebut
dipimpin oleh tip-tiap guru kelas, karena biasanya anak
yang tergabung di dalam kelas yang sama memiliki
permasalahan dan kebutuhan relatif sama.
Selanjutnya tiap-tiap orang tua diberikan
kesempatan untuk maju ke depan dan menceritakan
permasalahan yang dialami dan kemudian akan dicari
solusinya secara bersama-sama, karena bagaimanapun
diperlukan keselarasan antara orang tua dan guru dalam
mendidik anak. Di mana guru yang bertugas sebagai
pelaksana teknis pendidikan dan orang tua yang paling
memahami kondisi anak dapat menetukan dan membuat
bersama bagaimana metode pembelajaran yang tepat
untuk anak, baik di sekolah maupun di rumah.
Selain itu pihak lembaga diharapkan mampu
membuat suatu panduan yang dapat dipergunakan orang
tua dalam melakukan pembelajaran anak di rumah,
sehingga hal tersebut menjadi alat komunikasi yang dapat
menghubungkan orang tua dengan pihak lembaga dan
kemudian dari situlah pihak lembaga dapat mengontrol
dan memonitoring perubahan yang dicapai sehingga
diharapkan mampu meningkatkan keterlibatan orang tua
dalam hal pendidikan di rumah.
182
3. Pemerintah
Kepada pemerintah khususnya kementerian
pendidikan dan kementerian sosial diharapkan dapat lebih
banyak menyediakan lembaga pendidikan khusus atau
sekolah luar biasa baik bersifat formal maupun informal
yang mudah dijangkau oleh masyarakat, dikarenakan
masih banyak keluarga dengan anak penyandang
disabilitas yang belum dan atau tidak bersekolah, terutama
pada keluarga prasejatera.
183
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Afrizal. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja
Grafindo.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif:Komunikasi,
Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya.
Jakarta: Kencana.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan
Khusus Pendidikan Dasar. 2013. Panduan
Pengembangan Kurikulum dan Program Pembelajaran
bagi Siswa MDVI/ Deafblind. Kemendikbud.
Idrus Muhammad. 2009. Metodologi Penelitian Ilmu Sosial:
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta:PT Gelora
Aksara Pratama.
Jamaris, M. 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Yayasan Penamas Murni.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia. 2013. Panduan Penanganan
Anak Berkebutuhan Khusus Bagi Pendampingan (Orang
Tua, Keluarga, dan Masyarakat). Jakarta.
Mangunsong, Frieda. 2014. Psikologi dan Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus: Jilid Kesatu. Depok: LPSP3 UI.
Mangunsong, Frieda. 2016. Psikologi dan Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus: Jilid Kedua. Depok: LPSP3 UI.
184
Soekanto Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Usman, Husnaini dan Purnomo S.A. 2009. Metodologi
Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara.
B. Sumber Skripsi
Farah, Dinda. F. 2018. Perlindungan Hukum Anak
Disabilitas di Tangerang Selatan. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Haryanti, D. Dewangga. 2018. Hubungan antara Persepsi
terhadap Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan dan
Motivasi Berprestasi pada Siswa Sekolah Dasar.
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Nasrawaty. 2016. Peran Orangtua dalam Pendidikan Siswa
Berkebutuhan Khusus di SLB AC Mandara Kendari
(Study kasus Tuna Netra dan Tuna Grahita). Universitas
Haluoleo, Kendari.
Nurman, M. Novian. 2017. Evaluasi Hasil Program
Parenting Skill Unit Pelayanan Disabilitas (UPD)
Yayasan Sayap Ibu (YSI) Cabang Provinsi Banten
terhadap Anak Binaan. UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
C. Sumber Tesis
Musyawarah. 2013. Keterlibatan Orang Tua dalam Layanan
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di SLB X Kota
Makassar. Universitas Pendidikan Indonesia.
185
D. Sumber Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
pendidikan Nasional Bab IV Pasal 7 Ayat 1.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab VI Pasal 32 Ayat 1.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
pendidikan Nasional Bab XI Pasal 32 Ayat 1.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas Bab I Pasal 1 Ayat 14.
E. Sumber Jurnal
Abdullah, Nandiyah. 2013. Jurnal Psikologi. Mengenal Anak
Berkebutuhan Khusus. Magistra No. 86 Th. XXV, Edisi
Desember.
Ainiyah, Qurrotul. 2017. Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum.
Social Learning Theory dan Perilaku Agresif Anak
dalam Keluarga. Vol. 2 No.1, Edisi Januari-Juni. STAI
Al Falah As Suniyyah Jember, Jawa Timur.
Amini, Mukti. 2015. Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI.
Profil Keterlibatan Orang Tua Dalam Pendidikan Anak
Usia TK. Vol. 10, No.1, Edisi Juni.
Darmono, Al. 2015. Jurnal Penelitian. Peran Orangtua
dalam Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi.
Diadha, Rahminur. 2015. Jurnal Ilmu Pendidikan dan
Pengajaran. Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan
186
Anak Usia Dini di Taman Kanak-Kanak. Vol. 2 No. 1,
Edisi Maret.
De Gomes, Fransiskus. 2017. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan Missio. Parental Guidance Service: Kiat
Meningkatkan Keterlibatan Orang Tua Dalam PAUD.
Volume 9, Nomor 1, Edisi Januari.
Ervika, Eka. 2005. Jurnal Publikasi. Kelekatan (Attachment)
Pada Anak. Universitas Sumatera Utara.
Haryanti, Dwi. 2017. Jurnal Penelitian. Keterlibatan
Keluarga sebagai Mitra dalam Pendidikan Anak. Vol. 1
No. 1, Edisi Juni.
Hidayati, N. 2011. Dukungan Sosial Bagi Keluarga Anak
Berkebutuhan Khusus. Vol. 13 No. 01, Edisi April.
Universitas Muhammadiyah Gresik.
Imania, E. Eliasa. 2011. Pentingnya Kelekatan Orang Tua
dalam Internal Working Model Untuk Pembentukan
Karakter Anak. Universitas Negeri Yogyakarta.
Jamal, Nasrul dan Wilela. 2017. Jurnal Ushuluddin.
Eksistensi Kaum Difable dalam Perspektif Al-Qur‟an.
Vol. 25 No. 2, Edisi Juli-Desember. UIN Sultan Syarif
Kasim, Riau.
Juneman. 2011. Jurnal Humaniora. Teori-Teori
Transorientasional dalam Psikologi Sosial. Vol. 2, No.
2, Edisi Oktober. Universitas Binus, Jakarta.
L. Christa, Green dan M. Joan T. Walker. 2007 Journal Of
Educational Psychology. Parents‟ Motivations for
Involvement in Children‟s Education: An Empirical Test
187
of Theoretical Model of Parental Involvement. Vol. 99,
No. 3. American Psychological Association .
Maftuhatin, Lilik. 2014. Jurnal Studi Islam. Evaluasi
Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di
Kelas Inklusif di SD Plus Darul „Ulum Jombang.
Volume 5, Nomor 2, Edisi Oktober. Universitas
Pesantren Tinggi Darul „Ulum, Jombang.
Muharani, Qorizky, Sri Hartati, dan Kartika Sari. 2008.
Kemandirian pada Penyandang Low Vision: Studi Kasus
Berdasar Teori Kepribadian Adler. Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro.
Mustafa, Hasan. 2012. Perilaku Manusia dalam Perspektif
Psikologi Sosial.Edisi Januari. Universitas Katolik
Parahyangan.
Puspitawati, Herien. 2013. Jurnal Publikasi. Konsep dan
Teori Keluarga. Institut Pertanian Bogor.
Rahayu, Ekawati. 2014. Jurnal Penelitian. Mainstreaming Isu
Disabilitas Di Masyarakat Dalam Kegiatan Penelitian
Maupun Pengabdian Pada Masyarakat Di STAIN Kudus.
Vol. 8 No.1, Edisi Februari. STAIN Kudus.
Retno B. F, Marina Dwi. M dan Jehan Safitri. 2017. Jurnal
Penelitian. Dinamika Keterlibatan Orangtua dalam
Terapi Anak Keterlambatan Bicara di Fusfa Klinik
Psikologi dan Pusat Terapi. Mahasiswa Universitas
Lambung Mangkurat, Program Studi Psikologi.
Retnowati, Yuni. 2008. Pola Komunikasi Orang Tua
Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak (Kasus di
188
Kota Yogyakarta). Akademi Komunikasi Indonesia
(AKINDO) 6 No.3.
Rezha, Cut. 2016. Pengaruh Konsep Desain Universal
Terhadap Tingkat Kemandirian Difabel: Studi Kasus
Masj id UIN Sunan Kalijaga dan Masjid Kampus
Universitas Gadjah Mada. Universitas Syiah Kuala 3
No.1.
Rizky, Ravika. 2015. Kemandirian pada Dewasa Difabel.
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Silvia, M. R dan Pramesti. P. Paramitha. 2015. Jurnal
Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. Keterlibatan
Orangtua dalam Pendidikan Anak di TK Anak Ceria.
Volume 4 No. 1 Edisi April. Universitas Airlangga.
F. Sumber Website
Bakri. 2015. Diskriminasi Kaum Difable Memperoleh
Pendidikan. Diakses dari Aceh Tribun News:
https://www.google.co.id/amp/aceh.tribunnews.com/amp
/2015/12/02/diskriminasi-kaum-difabel-memperoleh-
pendidikan . Pada tanggal 11 Oktober 2018.
Inspirasi. 2018. Pentingnya Keterlibatan Orang Tua dalam
Pendidikan Anak. Diakses dari:
https://axa.co.id/inspirasi/Pentingnya-Keterlibatan-
Orang-Tua-dalam-pendidikan-anak-2. Pada tanggal 26
Desember 2018.
189
Nur M. Ichwan Muslim, 2014. Pendidikan Anak Tanggung
jawab Siapa. Diakses dari: https://muslim.or.id/20835-
pendidikan-anak-tanggung-jawab-siapa.html. Pada
tanggal 20 September 2018.
Nurhayati, 2016. Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan
Anak. Diakses dari Media Indonesia:
https://m.mediaindonesia.com/amp/amp_detail/62777-
keterlibatan-orang-tua-dalam-pendidikan-anak. Pada
tanggal 26 Desember 2018.
G. Sumber Pengamatan
Hasil pengamatan kegiatan program Pendidikan Disabilitas
di Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan,
pada tanggal 28 Februari 2019.
Hasil pengamatan kegiatan program Pendidikan Disabilitas
di Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan,
pada tanggal 6 Maret 2019.
Hasil pengamatan Kegiatan Home Visit ke rumah Ibu
Daronah dan Ibu Nency, pada tanggal 7 Mei 2019.
Hasil pengamatan kegiatan program Pendidikan Disabilitas
dan Forum Development Session di Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan, pada tanggal 8 Mei
2019.
Hasil pengamatan Kegiatan Home Visit ke rumah Ibu
Darmini, pada tanggal 8 Mei 2019.
190
Hasil pengamatan Kegiatan Home Visit ke rumah Ibu Sri dan
Ibu Dewi, pada tanggal 9 Mei 2019.
Hasil pengamatan Kegiatan Home Visit ke rumah Ibu
Kristanti, pada tanggal 11 Mei 2019
Hasil pengamatan kegiatan program Pendidikan Disabilitas
dan Pemeriksaan Kesehatan di Unit Pelayanan
Disabilitas Kota Tangerang Selatan, pada tanggal 15 Mei
2019.
Hasil pengamatan kegiatan program Pendidikan Disabilitas
di Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan,
pada tanggal 16 Mei 2019.
H. Sumber Dokumentasi
Arsip Data Pribadi Para Informan
Arsip Data Kepengurusan Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan.
Brosur Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang Selatan.
LAMPIRAN
186
LAMPIRAN 1: Surat Pernyataan Program Studi Proposal
Skripsi yang Diajukan Memiliki Unsur Kebaruan
187
LAMPIRAN 2: Surat Pembimbing Skripsi
188
LAMPIRAN 3: Surat Izin Penelitian
189
LAMPIRAN 4 Panduan Observasi Keterlibatan Orang Tua
dalam Pendidikan
No Aspek yang diamati Y T Keterangan
1 Orang tua aktif bertanya kepada
pihak lembaga.
2 Mengikuti seminar atau pelatihan
dalam memperoleh informasi anak.
3 Senantiasa menjaga komunikasi
dengan pihak lembaga.
4 Terlibat aktif dalam kegiatan yang
diadakan lembaga.
5 Menyiapkan sarana belajar untuk
anak di rumah.
6 Rajin menghadiri kegiatan kelas.
7 Orang tua aktif mengenalkan anak
kepada lingkungan sekitar.
190
LAMPIRAN 5 Panduan Observasi Kemandirian Anak
Disabilitas
No Aspek yang diamati Y T Keterangan
1 Anak mampu membersihkan kelas.
2 Anak mampu menyuci tempat
makan dan minum miliknya.
3 Anak mampu menyiapkan buku
pelajaran secara mandiri.
4 Anak mampu merapikan buku
pelajaran secara mandiri ke dalam
tas.
5 Anak mampu makan dan minum
secara mandiri pada jam istirahat.
6 Anak tidak takut dengan orang
yang baru ditemuinya.
7 Anak mampu berinteraksi dengan
orang lain.
8 Anak mampu berkomunikasi
dengan oarng lain.
191
LAMPIRAN 6 Hasil Observasi
28 Februari 2019
Pada hari ini penulis melakukan perizinan kepada pihak
lembaga dengan membawa surat izin penelitian sekaligus
melakukan observasi di Unit Pelayanan Disabilitas Kota
Tangerang Selatan, di sana penulis bertemu dengan ketua
lembaga yaitu Bapak Adi Supanggih. Tidak banyak hal yang
berubah sejak penulis melaksanakan praktikum di sana, namun
yang paling mencolok adalah mesin pencuci rambut yang terlihat
di ruang tengah. Saat penulis bertanya kepada ketua lembaga,
beliau menjelaskan bahwa mesin itu adalah kiriman dari YSI
Cabang Banten sebagai alat pembelajaran yang bisa digunakan
anak-anak di kelas besar.
Selain itu, guru-guru pengajar yang ada juga masih
terlihat sama yakni berjumlah tujuh orang. Tidak kurang dan
tidak lebih. Pada hari itu, penulis memasuki ruang kelas pra
vokasional atau biasa disebut dengan kelas besar. Seperti
sebutannya, kelas ini memang dikhususkan bagi anak-anak yang
berusia remaja ataupun memasuki usia remaja. Ada tiga orang
anak yang masuk pada hari ini, yaitu S anak laki-laki dengan
kondisi MDVI, sementara dua anak perempuan lainnya yaitu AZ
dengan kondisi down syndrome dan R dengan kondisi retardasi
mental.
Di kelas tersebut diajar oleh bunda S dan bunda T. Bunda
T mengajarkan S dengan melatih sistem motorik dengan cara
memindahkan balok mainan ke dalam wadah, sementara R
belajar mengenai mata uang yang diajarkan oleh bunda S.
Sedangkan penulis diberi kesempatan untuk mengajarkan AZ.
Penulis mengajarkan AZ berhitung dengan menggunakan biji
congklak. Fokus AZ cukup baik, hanya saja AZ kesulitan dalam
berhitung. Setelah kurang lebih satu sengah jam waktu belajar,
waktunya makan. Pada saat itu, penulis kembali ke ruang tengah
dan melihat para orang tua sedang sibuk menyiapkan makan
siang bagi anak mereka masing-masing. Kebanyakan para
orangtua tersebut berasal dari kelas persiapan atau disebut dengan
kelas kecil. Di mana kebanyakan mereka berusia sekolah, tak
banyak di antaranya yang usia pra sekolah. Selain itu, tidak ada
kegiatan khusus yang terjadi di sana.
06 Maret 2019.
192
Tidak berbeda dengan hari-hari biasanya, tidak banyak
kegiatan khusus yang dilakukan pada hari ini selain kegiatan
pendidikan. Pada kelas persiapan atau kelas kecil yang dibimbing
oleh Ibu R dan Ibu SK, terdapat empat orang anak yang hadir
pada hari ini yaitu 3 anak perempuan yaitu N yang mengalami
down syndrome, SR hidrosefalus, KS retardasi mental, dan satu
orang anak laki-laki yaitu RS yang juga mengalami retardasi
mental. Pada saat penulis masuk ke kelas tersebut, patra guru
sedang membimbing anak-anak mewarnai agar terlihat rapi.
Sedangkan di kelas pra-vokasional atau kelas besar hanya
terdapat tiga orang yang hadir yaitu HD anak laki-kali dengan
kondisi retardasi mentasl, SD anak laki-laki dengan kondisi down
syndrome dan R anak perempuan dengan kondisi retardasi
mental. HD dan SD sedang belajar menebalkan huruf dengan cara
menghubungkan titik-titik yang dibuat garis, sedangkan R belajar
berhitung. Sementara di ruang tengah, para orang tua yang
sedang mengantar dan menunggu anak mereka terlihat sedang
mengobrol. Salah satu orang tua sedang bercerita tentang
pengalamannya yang sedang mencari sekolah formal untuk
anaknya. Beberapa orang tua lain terlihat membawa dagangan
mereka. Ada yang berjualan makanan ringan, baju anak hingga
kerudung.
07 Mei 2019
Pada hari ini penulis melakukan kunjungan ke rumah para
informan. Rumah pertama yang penulis kunjungi adalah Ibu
Daronah yang berlokasi di Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan.
Rumah beliau terbilang sulit ditemukan, dikarenakan lokasinya
berada di dalam gang sempit hingga motor penulis harus parkir
beberapa meter di depan gang tersebut. Sesampainya di rumah
kontrakan Ibu Daronah, kondisi rumah tersebut terbilang cukup
sempit. Rumah tersebut terdiri dari tiga ruang, yang pertama yaitu
ruang depan yang terlihat banyak baju yang tergeletak dan satu
buah sepeda bekas almarhum suami beliau.
Di ruang kedua yaitu ruang tidur yang bercampur dengan
dapur terlihat ada satu buah ranjang, lemari pakaian, televisi dan
radio tape, di ruang ketiga adalah kamar mandi. Pada saat penulis
berkunjung sekitar pukul 10.18 WIB, Ibu Daronah bersama
seorang anaknya yaitu SL yang mengalami MDVI dan
merupakan anak binaan UPD Tangsel. Ibu Daronah memang
terlihat ramah sama seperti biasanya yaitu ketika penulis bertemu
193
di UPD Tangsel selama waktu kegiatan pendidikan. Pada saat
proses wawancarapun berjalan lancar, semua pertanyaan dijawab
dengan baik dan jelas. Sesekali Ibu Daronah bercerita tentang
pengalaman mengasuh anaknya, hingga pada hal privasi. Dalam
hal ini, penulis melihat bahwa informan sudah memiliki rasa
percaya kepada penulis hingga bersedia menceritakan hal yang
terbilang pribadi. Setelah selesai melakukan wawancara, penulis
berpamitan ke tempat selanjutnya yaitu rumah Ibu Nency.
Penulis sampai di rumah Ibu Nency pada pukul 15.05
WIB seperti jam yang sudah kami tentukan sebelumnya. Rumah
beliau berlokasi di Bintaro, Tangerang Selatan. Rumah beliau
memang berada di kawasan perumahan yang terbilang cukup
elite, dan cukup sulit ditemukan karena melewati banyak blok.
Namun walaupun berada di kawasan perumahan, kondisi rumah
beliau tampak lusuh dan kotor di bagian teras rumah. Terdapat
sebuah mobil yang terlihat sudah tidak terpakai dan berdebu.
Namun kondisi di dalam rumah terlihat cukup rapi.
Saat penulis tiba, terlihat berliau sedang duduk bersama
TR yaitu anak beliau yang mengalami GPPH. Kemudian di
tengah wawancara penulis dengan Ibu Nency, suami beliau
terlihat turun dari lantai atas menuju ke ruang dapur. Seperti
biasanya, TR memang terlihat hiperaktif layaknya di UPD. Pada
saat proses wawancara, Ibu Nency terlihat bingung di beberapa
pertanyaan yang diajukan penulis sehingga penulis harus
mengulang dan menjelaskan kembali maksud yang disampaikan.
Setelah selesai, penulis berpamitan pulang.
08 Mei 2019
Pada hari ini, selain kegiatan pendidikan yang berjalan
seperti biasanya, Unit Pelayanan Disabilitas Kota Tangerang
Selatan mengadakan FDS atau Forum Development Session. Di
mana pada forum ini, orang tua saling berdiskusi dan bertukar
pengalaman serta saling memberi saran dan atau masukan agar
dapat lebih memahami pengasuhan anak mereka dalam kegiatan
sehari-hari. Pada FDS kali ini dipimpin oleh ketua lembaga yaitu
Bapak Adi dan salah satu guru pengajar yaitu Ibu Ginting.
Tema yang dibahaspun berkembang sesuai dengan
pembicaraan yang berlangsung, artinya tidak bersifat kontekstual
seperti melatih kemandirian anak, pelayanan di UPD, hambatan
keluarga dsb. Ibu-ibu terlihat cukup aktif dalam bertanya dan
memberi masukan. Ketua lembaga menegaskan kepada para
194
orang tua untuk membiasakan anak melakukan kegiatan secara
mandiri di rumah. Seperti halnya makan, biarkan anak mencoba
untuk makan sendiri. Berantakan itu adalah salah satu hasil dari
proses.
Selain itu Pak Adi juga membahas tentang nilai plus dari
segi agama tentang keikhlasan mengasuh anak dengan kondisi
disabilitas. Pak Adi juga menyadari tentang pelayanan yang
diberikan UPD dalam hal memfasilitasi pelajaran anak tidak
terfokus pada baca dan tulis, melainkan pada komponen lain
seperti melatih fokus anak, mengontrol emosi mereka dan mampu
bersosialisasi. Pak Adi juga menyarankan, jika para orang tua
ingin anak mereka mampu membaca dan menulis secara
maksimal, upd tidak melarang para orang tua untuk membawa
anak mereka bersekolah formal di luar. Jadi anak mendapat
pelajaran tambahan di sekolah formal. Selain kegiatan FDS,
kegiatan belajar mengajar tetap berjalan seperti biasa. Di mana
anak-anak tetap belajar di kelas dan dibimbing oleh guru kelas
masing-masing. Sementara para orang tua yang menunggu anak
mereka di luar mengikuti kegiatan FDS.
Setelah selesai kegiatan di UPD Tangsel, penulis menuju
rumah informan selanjutnya yaitu Ibu Darmini. Sebelumnya
penulis sudah meminta izin dan membuat jadwal kunjungan ke
rumah Ibu Darmini. Rumah beliau terletak di Kedaung Ciputat,
Tangerang Selatan. Rumah beliau terbilang sulit ditemukan,
karena berada dalam gang-gang kecil di kawasan padat pemukim.
Beliau tinggal dengan suami dan dua orang anak, anak
pertamanya yaitu laki-laki berusia kurang lebih 15 tahun, dan
anak kedua beliau yaitu P yang mengalami tuli dan merupakan
anak binaan UPD Tangsel.
Di dalam rumah kontrakannya terlihat sebuah etalase
kaca, di mana beliau berjualan kecil-kecilan sebagai penambah
biaya hidup. Kondisi di dalam rumah terbilang cukup rapi, baik
ruang depan, ruang tengah, dapur dan kamar mandi. Proses
wawancara yang berjalanpun terbilang lancar, di mana Ibu
Darmini mampu menjawab pertanyaan dengan baik. Ibu Darmini
berperingai lembut, terlihat dari tutur bicaranya yang halus, baik
di rumah maupun di UPD Tangsel. Suami beliau seorang
pengemudi ojek online. Setelah selesai, penulis berpamitan
pulang.
9 Mei 2019
195
Pada hari ini penulis akan melakukan home visit ke rumah
para informan. Rumah pertama yang informan datangi adalah
rumah Ibu Sri. Penulis tiba di sana sekita pukul 10.26 WIB. Saat
sampai di sana, beliau sedang menyiapkan barang dagangannya
yaitu gorengan seperti lntong, bakwan, pastel, dsb. Ibu Sri
dibantu oleh Afni yaitu anak kedua beliau. Sementara Azka
berada di ruang tengah sedang menonton televisi. Azka
merupakan anak pertama Ibu Sri yang mengalami down
syndrome dan merupakan anak binaan UPD Tangsel. Pada saat
itu, suami Ibu Sri sedang bekerja sebagai satpam di puskesmas
jurang mangu.
Proses wawancara dilakukan sembari ibu sri menyiapkan
dagangannya. Walaupun demikian, Ibu Sri mampu menjawab
pertanyaan dengan baik. Setelah kurang lebih satu jam proses
wawancara, penulis menawarkan diri untuk mengantar Azka ke
upd dikarenakan Ibu Sri sedang sibuk. Setelah selesai, penulis
dan Azka berpamitan menuju UPD. Selesainya kegiatan kelas
dan mengantar Azka pulang, penulis melanjutkan berkunjung ke
rumah informan selanjutnya yaitu Ibu Dewi.
Rumah beliau terletak tidak jauh dari UPD Tangsel dan
mudah untuk ditemui. Ibu Dewi tinggal di sebuah rumah
kontrakan bersama tiga orang anak laki-laki. Kondisi depan
rumah beliau terdapat banyak barang bekas yang belum
diserahkan ke pengepul barang. Di sana, penulis bertemu dengan
beliau dan anaknya yaitu hendrik yang mengalami retardasi
mental. Paada saat proses wawancara, hendrik juga ikut duduk
bersama dengan penulis dan Ibu Dewi. Proses wawancara
berjalan cukup lancar, walaupun terdapat beberapa pertanyaan
yang sulit dipahami beliau sehingga penulis harus menjelaskan
kembali hal yang dimaksud. Namun, Ibu Dewi dapat menjawab
pertanyaan dengan cukup baik. Setelah selesai, penulispun
berpamitan pulang.
11 Mei 2019
Pada hari ini penulis akan melakukan home visit ke salah
satu rumah informan yaitu Ibu Kristanti. Penulis tiba di sana
sekitar pukul 10.23 WIB. Setibanya di sana, penulis melihat
terdapat etalase kaca yang terletak di depan rumah kontrakan ibu
tanti. Beliau menjual mainan anak. Selain itu, ibu tanti menjual
beberapa menu makanan seperti roti bakar, pisang bakar, mie
instant, dan sosis goreng. Pada saat itu, ibu tanti bersama suami
196
dan kedua anaknya. Salah satu anak ibu tanti mengalami down
syndrome yaitu Nindi.
Paada saat proses wawancara, Nindi juga ikut duduk
bersama dengan penulis dan Ibu Tanti. Proses wawancara
berjalan cukup lancar, di mana Ibu Tanti mampu menjawab
pertanyaan dengan sangat baik. Proses wawancara sesekali
terpotong karena Ibu Tanti harus melayani pembeli. Ibu Tanti
terlihat cukup tegas kepada kedua anaknya. Seperti hal yang
terjadi yaitu kedua anak beliau sedang berebutan handphone.
Beliau menujukkan sikap tegas, di mana beliau meminta kepada
anak pertamanya untuk mengizinkan adiknya memakai
handphone pertama dan selanjutnya bergantian. Setelah kurang
lebih satu setengah jam penulis berada di sana, penulis
berpamitan pulang.
15 Mei 2019
Pada hari ini, UPD Tangsel melakukan kerja sama dengan
pihak puskesmas setempat dalam hal pemeriksaan dan
penyuluhan kesehatan. Di mana, pemeriksaan ditujukan untuk
anak-anak disabilitas dan penyuluhan dilakukan untuk para orang
tua. Pada hari ini kegiatan kelas tetap berjalan seperti biasa,
pemeriksaan dilakukan secara bergantian dimulai dari kelas
persiapan. Pada saat anak-anak di kelas persiapan dipanggil satu
persatu untuk melakukan pemeriksaan, kelas yang lain tetap
belajar seperti biasa. Selain itu, hari ini juga ada kunjungan dari
mahasiswa universitas binus.
Para mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok, ada
yang membantu guru di tiap-tiap kelas, ada pula yang membantu
di ruang pemeriksaan. Anak-anak yang diperiksa didampingi oleh
orang tua masing-masing. Pemeriksaan dilakukan di ruang terapi
dan dilakukan oleh seorang dokter dan satu orang asistennya.
Setelah diperiksa, kemudian mereka diberi vitamin. Setelah
semua anak di setiap kelas selesai diperiksa, dokter bersama
asistennya menuju ruang tengah memberi penyuluhan kepada
para orang tua.
Hal-hal yang dibahas seputar kesehatan anak terutama
gigi mereka. Dokter mengatakan untuk membiasakan menyikat
gigi anak sebelum tidur dan setelah makan. Kemudian dokter
menghimbau tentang obat dan perlatan darurat yang diperlu
disediakan di rumah yaitu paracetamol dan termometer. Ketika
suhu tubuh anak melebihi 38 derajat celcius, pemberian obat
197
boleh diberikan dalam kurun waktu pertiap empat jam. Selain itu,
antibiotik yang diminum harus selalu dihabiskan. Dan tidak
menyimpan obat terutama obat racik dan masa waktu obat biasa
hanya bisa bertahan tiga bulan.
16 Mei 2019
Hari ini UPD Tangsel menerima kunjungan mahasiswa
dari Universitas Binus dan Universitas Prasetya Mulya. Di mana
mahasiswa dari universitas binus membantu para guru di setiap
kelas dengan membawa perlengkapan pembelajaran seperti buku
mewarnai dan pensil warna. Sedangkam para mahasiswa dari
unversitas prasetya mulya membawa perlengkapan untuk
melakukan kerajinan batik celup yaitu kaos putih dan pewarna
tekstil.
Kegiatan membuat batik celup dilakukan secara
bergantian, dimulai dari kelas besar. Selain mahasiswa dan anak
binaan, bapak Adi selaku ketua lembaga juga ikut dalam
membuat batik celup. Langkah pertama yaitu memasukan
pewarna ke dalam wadah, diberi air secukupnya kemudian
direbus. Selanjutnya membuat model yang diingkan dengan cara
memasukan kelereng ke dalam bagian dalam baju yang kemudian
diikat menggunakan karet. Ikat di bagian-bagian sesuai
keinginan. Setelah diikat, masukan bagian tersebut ke dalam
pewarna sesuai selera. Selanjutnya buka ikatan dan dijemur.
Setelah kelas besar selesai, bergantian dengan kelas kecil dan
proses yang dilakukan sama.
198
LAMPIRAN 7 Pedoman Wawancara
No Informan Informasi yang dicari Jumlah
1. Orang Tua dari
Anak Binaan
yang
Mengikuti
Program
Pendidikan
Bentuk keterlibatan orang tua
dalam pendidikan dan
dampak keterlibatan orang tua
bagi kemandirian anak
dengan disabilitas.
6 orang
2. Ketua Unit
Pelayanan
Disabilitas
Tangerang
Selatan
Sebagai penentu kebijakan
pelaksanaan serta kontrolling
pada program pendidikan
yang ada di UPD Tangsel.
1 orang
3. Tenaga
Pengajar
Sebagai pelaksana teknis
program pendidikan
disabilitas, untuk mengetahui
bagaimana pelayanan
pendidikan berjalan dan
bagaimana para orang tua
dilibatkan dalam kegiatan
pembelajaran yang dilakukan
di UPD Tangsel, terutama
dalam hal perkembangan serta
kemandirian anak.
3 orang
199
LAMPIRAN 8 PEDOMAN WAWANCARA
INFORMAN ORANG TUA BINAAN
Nama Informan :
Usia :
Jenjang Pendidikan :
Hari, Tanggal Wawancara :
Tempat Wawancara :
Waktu Wawancara :
A. Isi Wawancara
1. BENTUK KETERLIBATAN ORANG TUA DALAM
PENDIDIKAN ANAK
a. Tipe 1= Parenting Education
1) Bagaimana awal mula ibu/bapak mengetahui bahwa
anak ibu/bapak merupakan anak berkebutuhan khusus?
2) Bagaimana awal mula ibu/bapak bergabung ke UPD
Tangsel?
3) Informasi apa saja yang ibu/bapak cari dan dapatkan
dari UPD Tangsel mengenai anak ibu/bapak?
4) Apa saja proses yang dilakukan ibu/bapak dalam
memperoleh informasi tersebut? Dan bagaimana
prosesnya?
5) Selain di UPD Tangsel pernahkan ibu/bapak mengikuti
kegiatan workshop, seminar, pelatihan dan sejenisnya
dalam mencari informasi tentang anak? Jika ya,
bagaimana prosesnya?
6) Sejauh mana ibu/bapak memanfaatkan media sosial,
elektronik dan media cetak dalam memperoleh
informasi tentang kebutuhan anak?
7) Pernahkan guru berkunjung ke rumah dalam hal
keperluan anak?
b. Tipe 2= Komunikasi
1) Bagaimana cara ibu/bapak berkomunikasi kepada
pihak UPD baik ketua dan guru dalam hal kepentingan
anak?
2) Hal-hal apa saja yang biasa dibicarakan?
c. Tipe 3= Volunteering (Sukarelawan)
1) Selain kegiatan fisioterapi dan kelas, kegiatan apa saja
yang biasa diadakan di UPD Tangsel?
2) Bagaimana proses kegiatan tersebut?
200
3) Apa yang ibu/bapak lakukan dalam mendukung
kegiatan tersebut?
4) Bagaimana tanggapan ibu/bapak terhadap kegiatan
tersebut?
d. Tipe 4= Pembelajaran di Rumah
1) Apa yang ibu/bapak sediakan dalam memfasilitasi
kegiatan belajar anak di rumah?
2) Bagaimana jadwal belajar anak di rumah?
3) Bagaimana proses belajar anak di rumah?
4) Bagaimana ibu/bapak mengajarkan anak dalam hal
bina diri?
5) Apa saja yang sudah bisa anak lakukan di rumah?
e. Tipe 5= Membuat Keputusan
1) Sebelum bergabung ke UPD Tangsel, bagaimana
kondisi anak ibu/bapak dalam hal pendidikan?
2) Apa alasan ibu/bapak bergabung ke UPD Tangsel?
3) Setelah bergabung di UPD Tangsel, apa yang
ibu/bapak rasakan kurang dari pelayanan yang ada di
lembaga? Dan bagaimana cara ibu/bapak dalam
meningkatkan hal tersebut?
f. Tipe 6= Kerjasama dengan Komunitas Masyarakat
1) Selain di UPD Tangsel, apakah ibu/bapak bergabung di
komunitas lain dalam hal menunjang perkembangan
anak?
2) Bagaimana respon mereka terhadap anak ibu/bapak?
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
orang terdekat?
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
wilayah tempat tinggal lingkungan anak?
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
lingkungan sekolahnya?
6) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan
masyarakat sekitar?
201
2. INDIKATOR KEMANDIRIAN ABK
a. Area Bekerja
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal membuat makan dan
minum? Dan bagaimana hasilnya?
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal menjaga kebersihan
lingkungan? Dan bagaimana hasilnya?
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal berbelanja? Dan bagaimana
hasilnya?
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal berkebun? Dan bagaimana
hasilnya?
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal mencuci pakaian? Dan
bagaimana hasilnya?
b. Area Bina Diri
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal berpakaian? Dan bagaimana
hasilnya?
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal makan dan minum? Dan
bagaimana hasilnya?
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal membersihkan diri? Dan
bagaimana hasilnya?
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal kesehatan alat reproduksi?
Dan bagaimana hasilnya?
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal pendidikan seksual? Dan
bagaimana hasilnya?
c. Area Komunikasi Dan Sosialisasi
1) Bagaimana proses komunikasi yang dilakukan anak
ibu/bapak sehari-hari?
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada
anak ibu/bapak dalam hal mengenal identitas diri? Dan
bagaimana hasilnya?
202
3) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan
memahami orang terdekat?
4) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan
memahami wilayah tempat tinggal lingkungan anak?
5) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan
memahami lingkungan sekolahnya?
6) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan
masyarakat sekitar?
3. MANFAAT KETERLIBATAN ORANG TUA
a. Apa saja manfaat yang ibu/bapak rasakan dengan adanya
keterlibatan ibu/bapak dalam pendidikan anak?
203
PEDOMAN WAWANCARA
INFORMAN GURU PENGAJAR
Nama Informan :
Usia :
Hari, Tanggal Wawancara :
Tempat Wawancara :
Waktu Wawancara :
A. Isi Wawancara
1. Bagaimana tanggapan ibu terhadap keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak?
2. Hal-hal apa yang biasa orang tua tanyakan seputar anak?
3. Bagaimana proses bertanya yang dilakukan orang tua kepada
ibu selaku guru pengajar?
4. Bagaimana tingkat kehadiran orang tua pada saat diundang
dalam kegiatan di upd?
5. Apa yang ibu ajarkan/ latihkan di kelas dalam hal
kemandirian anak?
6. Manfaat apa yang ibu rasakan dengan adanya keterlibatan
orang tua terhadap pendidikan anak?
PEDOMAN WAWANCARA
KETUA LEMBAGA
Nama Informan :
Usia :
Hari, Tanggal Wawancara :
Tempat Wawancara :
Waktu Wawancara :
A. Isi Wawancara
1. Bagaimana tanggapan bapak terhadap keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak?
2. Hal-hal apa yang biasa orang tua tanyakan seputar anak?
3. Bagaimana proses bertanya yang dilakukan orang tua kepada
bapak selaku ketua lembaga?
4. Bagaimana tingkat kehadiran orang tua pada saat diundang
dalam kegiatan di upd?
5. Apa saja yang diajarkan/ latihkan di kelas dalam hal
kemandirian anak?
6. Manfaat apa yang bapak rasakan dengan adanya keterlibatan
orang tua terhadap pendidikan anak?
204
LAMPIRAN 6: Transkip Wawancara
TRANSKIP WAWANCARA
INFORMAN ORANG TUA BINAAN
Nama Informan : Ibu Daronah
Usia : 49 tahun
Jenjang Pendidikan : SD
Hari, Tanggal Wawancara : Selasa, 7 Mei 2019
Tempat Wawancara : Rumah Kontrakan Ibu Daronah
Waktu Wawancara : 10.18 WIB
A. Isi Wawancara
1. BENTUK KETERLIBATAN ORANG TUA DALAM
PENDIDIKAN ANAK
a. Tipe 1= Parenting Education
1) Bagaimana awal mula ibu/bapak mengetahui bahwa anak
ibu/bapak merupakan anak berkebutuhan khusus? Jawaban:
“Waktu dia umur setahun ga ada perkembangan, saya
langsung ke fatmawati ke dokter spesialis anak. Tapi di sana
cuma dibilang perkembangannya lambat doang. Tau ini
jenis CP pas dia umur 11 tahun dari dokter kandungan
katanya gara-gara virus binatang.”
2) Bagaimana awal mula ibu/bapak bergabung ke UPD
Tangsel? Jawaban: “Tahun 2011, itu saya ketemu pasien di
fatmawati terus dia tau anak saya kaya gini. Saya
ditunjukkin tuh ke YSI terus ketemu sama Pak Fahmi dan
Mba Ayu di sana.”
3) Informasi apa saja yang ibu/bapak cari dan dapatkan dari
UPD Tangsel mengenai anak ibu/bapak? Jawaban: “Biar
anak bisa mandiri, ya kepengennya biar dia bisa normal.
Tentang gizi juga, makan sayuran, ikan, buah. Sama biasanya
ibu-ibunya ngasih tau di sana ada tempat terapi yang bagus.”
4) Apa saja proses yang dilakukan ibu/bapak dalam
memperoleh informasi tersebut? Dan bagaimana prosesnya?
Jawaban: “Kalo forum sih emang jarang ada ya, paling
nanya ke guru dan pa adi, sama ke ibu-ibu lain aja sambil
ngobrol.”
5) Selain di UPD Tangsel pernahkan ibu/bapak mengikuti
kegiatan workshop, seminar, pelatihan dan sejenisnya dalam
mencari informasi tentang anak? Jika ya, bagaimana
prosesnya? Jawaban: “Pernah, waktu itu ikut seminar di
205
YSI tentang kemandirian anak, cara ngurus anak kaya gini.
Ada prakteknya juga, jadi kita sambil peragain ke anak.”
6) Sejauh mana ibu/bapak memanfaatkan media sosial,
elektronik dan media cetak dalam memperoleh informasi
tentang kebutuhan anak? Jawaban: “Ga pernah, paling
nanya ke orang aja.”
7) Pernahkan guru berkunjung ke rumah dalam hal keperluan
anak? Jawaban: “Belum ada, paling ketemunya di upd aja.”
b. Tipe 2= Komunikasi
1) Bagaimana cara ibu/bapak berkomunikasi kepada pihak UPD
baik ketua dan guru dalam hal kepentingan anak? Jawaban:
“Ketemu langsung, di hape juga ada grupnya.”
2) Hal-hal apa saja yang biasa dibicarakan? Jawaban: “Tanya
ke guru anak saya di kelasnya gimana bisa apa engga
belajarnya, kalo ngobrol sama pak Adi paling saya nanyain
dia kaya nanya sekolah yang murah di mana sama tempat
terapi barangkali pak Adi tau. Kalo di grup dikasih tau ada
kegiatan apa di lembaga. Kalo chatt personal paling kaya
nanya keperluannya dia kaya pempers, susu, izin ga masuk.”
c. Tipe 3= Volunteering (Sukarelawan)
1) Selain kegiatan fisioterapi dan kelas, kegiatan apa saja yang
biasa diadakan di UPD Tangsel? Jawaban: “Kartini, buka
bersama, forum. Kalo dikabarin ya saya dateng.”
2) Bagaimana proses kegiatan tersebut? Jawaban: “Lebih rame
waktu masih di rumah lama, kalo yang di rumah baru
kayanya pada gak kompak paling banyak cuma sepuluh
orang.”
3) Apa yang ibu/bapak lakukan dalam mendukung kegiatan
tersebut? Jawaban: “Pada bawa makanan si biasanya, ada
yang bantu masak. Inisiatif ibu-ibu.”
4) Bagaimana tanggapan ibu/bapak terhadap kegiatan tersebut?
Jawaban: “Ya bagus jadi ada kegiatan untuk ibu-ibu,
nambah keterampilan juga. Ga cuma buat anak aja.”
d. Tipe 4= Pembelajaran di Rumah
1) Apa yang ibu/bapak sediakan dalam memfasilitasi kegiatan
belajar anak di rumah? Jawaban: “CD atau kaset, buku,
puzzle, poster binatang, buku mewarnai.”
2) Bagaimana jadwal belajar anak di rumah? Jawaban:
“Semaunya dia, kalo ga mau ya susah.”
206
3) Bagaimana proses belajar anak di rumah? Jawaban: “Saya
ajarin mengenal hewan pake poster, baca buku cerita juga,
atau denger dari kaset. Kalo lagi minta mewarnai dia
mewarnai, tapi kalo udah bosen dilempar pensilnya. Kalo
lagi saya ajarin bisa dia nyamain hewan. Paling cuma
setengah jam doang abis itu udah.”
4) Bagaimana ibu/bapak mengajarkan anak dalam hal bina diri?
Jawaban: “Saya suruh dia makan sendiri, saya bilangin aja
mau sampe kapan disuapin mamanya terus. Tapi ya namanya
kondisi dia kaya gini pasti nanti ujung-ujungnya ibunya yang
nyuapin.”
5) Apa saja yang sudah bisa anak lakukan di rumah? Jawaban:
“Bisa dia minum susu sendiri atau pegang makanannya. Tapi
kalo lagi kolokan jadi saya yang harus nyuapin.”
e. Tipe 5= Membuat Keputusan
1) Sebelum bergabung ke UPD Tangsel, bagaimana kondisi
anak ibu/bapak dalam hal pendidikan? Jawaban: “Dulu
waktu dia belum bisa ngomong, saya masukin dia terapi di
fatmawati, OTTW namanya (okupasi terapi terapi wicara), di
sana juga diajarin nulis, belajar juga. Kalo sekarang udah ga
di situ, terapi di tempat pak fardan yang di kedaung.”
2) Apa alasan ibu/bapak bergabung ke UPD Tangsel?
Jawaban: “Buat kemajuan anak, namanya kita usaha kan ya
kak, pengennya dia bisa jalan bisa sekolah juga.”
3) Setelah bergabung di UPD Tangsel, apa yang ibu/bapak
rasakan kurang dari pelayanan yang ada di lembaga? Dan
bagaimana cara ibu/bapak dalam meningkatkan hal tersebut?
Jawaban: “Pembagian nutrisinya sering telat, kemaren aja
empat bulan ga dapet katanya.”
f. Tipe 6= Kerjasama dengan Komunitas Masyarakat
1) Selain di UPD Tangsel, apakah ibu/bapak bergabung di
komunitas lain dalam hal menunjang perkembangan anak?
Jawaban: “Di fatmawati aja itu OTTW, sama dulu cari-cari
terapi biar dipijet biar dibisa jalan ke sana-sini. Iya pijet
tradisional ada. Sekarang di pa pardan”
2) Bagaimana respon mereka terhadap anak ibu/bapak?
Jawaban: “Ini anak ada kemajuannya, berat badan juga naik
semenjak terapi di pak pardan. Terus didudukin udah bisa
tegak, dulu kan kalo didudukin jatoh.”
207
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami orang
terdekat? Jawaban: “Karena sering liat, ketemu jadi tau.
Bahkan tau nama pakdenya, liliknya.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami wilayah
tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban: “Kalo lewat
mushola saya kasih tau ini mushola, tempat buat sholat.”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami lingkungan
sekolahnya? Jawaban: “Setiap ketemu saya kenalin ke dia,
salim nak sama bunda guru. Salim sama bunda sumi, sama
bunda rina. Karena sering ketemu dia jadi kenal. Di upd kan
ada praktek masak, dibawa tuh dia ke dapur sama gurunya.
Paling dari situ dia ngeliat terus jadi paham.”
6) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan masyarakat sekitar?
Jawaban: “Dulu pas kecil sering saya ajak kalo ada acara
kaya nikahan jadi kan dia ketemu banyak orang, sekarang
udah gede jarang. Soalnya kan digendong udah berat.”
2. INDIKATOR KEMANDIRIAN ABK
a. Area Bekerja
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membuat makan dan minum? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Saya ajarin si biar dia bisa
makan sama minum sendiri, tapi kondisi dia kan gini beda
sama anak yang bisa jalan, masalah dia kan ada di fisik. Jadi
belum bisa mandiri, apa-apa masih mamanya.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal menjaga kebersihan lingkungan? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Ya paling saya bilangin ke
dia sambil bercanda, nanti kalo udah bisa jalan bantuin mama
bersih-bersih rumah ya. Belum bisa kak.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berbelanja? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Ga pernah, paling kalo lagi sama saya mampir ke
warung.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berkebun? Dan bagaimana hasilnya?
208
Jawaban: “Ga pernah, waktu di upd aja itu. itu juga dia
dibawa bunda, jadi dia ngeliatin aja.”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mencuci pakaian? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Ya sama kaya tadi saya bilang ke dia,
nanti baju kamu cuci sendiri ya, jangan mama lagi yang
nyuciin.”
b. AREA BINA DIRI
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berpakaian? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Paling pas saya pakein baju ke dia saya bilangin
gitu ayo belajar pake baju sendiri, tapi ya gimana ya kak dia
kan keterbatasannya di fisik jadi ya susah.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal makan dan minum? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Saya suruh dia makan sendiri, saya
bilangin aja mau sampe kapan disuapin mamanya terus. Dia
bisa pegang makanannya sama minum susu, cuma manja
kalo di rumah harus disuapin.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membersihkan diri? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Saya udah ajarin ke dia buat bilang
kalo pempersnya udah rembes bilang ke saya, dia jawabnya
lupa. Tapi kata terapis emang kalo anak kaya gini emang ga
berasa kalo BAK.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal kesehatan alat reproduksi? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Saya suruh dia sunat kak
ya waktu itu, eh dia mau. Gak lama dari situ kebetulan ada
yang nawarin sunat massal. Alhamdulillah dia gak nangis.”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal pendidikan seksual? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Kalo malem kan dia tidurnya pake
pempers, jadi gatau itu itu mimpi basah apa ngompol. Kalo
rembes gitu paginya saya tanya ini mimpi renang ya bisa
ngompol gini, dia jawab iya gitu aja paling. Paling kalo
pasangan gitu di upd si biasanya diledekin sama guru nya,
kamu pacarnya mana nih.”
c. AREA KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI
209
1) Bagaimana proses komunikasi yang dilakukan anak
ibu/bapak sehari-hari? Jawaban: “Dia bisa diajak ngobrol,
ngerti dia. Cuma kan dia kalo ngomong suka lama, terus suka
ga jelas makanya kadang orang suka ga ngerti dia ngomong
apa.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal identitas diri? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Dia tau namanya, kalo dipanggil
nengok.”
3) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
orang terdekat? Jawaban: “Karena sering liat, ketemu jadi
tau. Bahkan tau nama pakdenya, liliknya.”
4) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
wilayah tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban: “Tau dia
karena sering lewat/ ke sana jadi dia tau.”
5) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
lingkungan sekolahnya? Jawaban: “Sering ketemu dia jadi
kenal dan paham.”
6) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan
masyarakat sekitar? Jawaban: “Sama kak kalo sering
ketemu dia jadi kenal dan paham.”
3. MANFAAT KETERLIBATAN ORANG TUA
a. Apa saja manfaat yang ibu/bapak rasakan dengan adanya
keterlibatan ibu/bapak dalam pendidikan anak? Jawaban:
“Ya nambah pengalaman, jadi tau ternyata yang punya anak
kaya gini bukan saya aja bahkan ada yang lebih parah, hati
kita jadi lebih kuat. Nambah keterampilan juga.”
210
TRANSKIP WAWANCARA
INFORMAN ORANG TUA BINAAN
Nama Informan : Nency Dwiyana
Usia : 38 tahun
Jenjang Pendidikan : Diploma 4
Hari, Tanggal Wawancara : Selasa, 7 Mei 2019
Tempat Wawancara : Rumah Ibu Nency
Waktu Wawancara : 15.05 WIB
A. Isi Wawancara
1. BENTUK KETERLIBATAN ORANG TUA DALAM
PENDIDIKAN ANAK
a. Tipe 1= Parenting Education
1) Bagaimana awal mula ibu/bapak mengetahui bahwa anak
ibu/bapak merupakan anak berkebutuhan khusus? Jawaban:
“Dari bayi keliatan kalo ini anak hiperaktif terus saya bawa
ke dokter spesialis anak. Dia bilang anak saya itu cenderung
ADHD .”
2) Bagaimana awal mula ibu/bapak bergabung ke UPD
Tangsel? Jawaban: “Tahun 2017, dari mamanya Ef dia dulu
juga ikut terapi okupasi di fatmawati lagi ngobrol terus
dikasih tau upd.”
3) Informasi apa saja yang ibu/bapak cari dan dapatkan dari
UPD Tangsel mengenai anak ibu/bapak? Jawaban: “Dapet
informasi tentang cara melatih anak di rumah praktek sehari-
harinya. Kaya biasain dia makan sendiri walaupun
berantakan, jangan disuapin terus nanti gabisa. Sama kaya
dapet rujukan nih ada tempat terapi yang bagus di mana.”
4) Apa saja proses yang dilakukan ibu/bapak dalam
memperoleh informasi tersebut? Dan bagaimana prosesnya?
Jawaban: “Tanya ke gurunya gimana tadi belajar di kelas,
terus informasi dari forum, dari pa adi sama terakhir dari
sesama ibu-ibu di sana. Mereka suka kasih tau saya slb yang
bagus dan ga terlalu mahal di mana.”
5) Selain di UPD Tangsel pernahkan ibu/bapak mengikuti
kegiatan workshop, seminar, pelatihan dan sejenisnya dalam
mencari informasi tentang anak? Jika ya, bagaimana
prosesnya? Jawaban: “Pernah, tahun 2018. Taunya dari
grup di upd. Ada seminar free di rumah sakit mayapada
waktu itu hari anak autis. Ngebahas kesukaan anak apa,
karena kan anak autis cenderung suka sama satu hal.”
211
6) Sejauh mana ibu/bapak memanfaatkan media sosial,
elektronik dan media cetak dalam memperoleh informasi
tentang kebutuhan anak? Jawaban: “cari di google biasanya.”
7) Informasi apa saja yang ibu/bapak dapatkan dari media
tersebut? Jawaban: “Cara penanganan anak di rumah.”
8) Pernahkan guru berkunjung ke rumah dalam hal keperluan
anak? Jawaban: “Belum.”
b. Tipe 2= Komunikasi
1) Bagaimana cara ibu/bapak berkomunikasi kepada pihak UPD
baik ketua dan guru dalam hal kepentingan anak? Jawaban:
“Lebih sering ketemu langsung.”
2) Hal-hal apa saja yang biasa dibicarakan? Jawaban: “Pak Adi
nanya keseharian anak di rumah.”
c. Tipe 3= Volunteering (Sukarelawan)
1) Selain kegiatan fisioterapi dan kelas, kegiatan apa saja yang
biasa diadakan di UPD Tangsel? Jawaban: “Kartini,
penyuluhan, buka bersama tapi saya kan ga ikut.”
2) Bagaimana proses kegiatan tersebut? Jawaban: “Lumayan
rame, nanti kita dikasih kertas buat nulis pertanyaan. Ada
tanya jawab. Tapi banyakan yang pasif ibu-ibunya.”
3) Apa yang ibu/bapak lakukan dalam mendukung kegiatan
tersebut? Jawaban: “Pada patungan bawa apa gitu biasanya,
inisiatif ibu-ibunya.”
4) Bagaimana tanggapan ibu/bapak terhadap kegiatan tersebut?
Jawaban: “Seneng sih, iya perlu.”
d. Tipe 4= Pembelajaran di Rumah
1) Apa yang ibu/bapak sediakan dalam memfasilitasi kegiatan
belajar anak di rumah? Jawaban: “Buku, pensil, pensil
warna, majalah bobo.”
2) Bagaimana jadwal belajar anak di rumah? Jawaban: “Setiap
hari sih saya usahain buat ngajarin dia walaupun ga tentu,
hari ini pagi, besok sore gitu.”
3) Bagaimana proses belajar anak di rumah? Jawaban: “Saya
ajarin nulis, panca idera, menyanyi, berhitung. Dia bisa
ngikutin cuma konsentrasinya ga lama paling cuma 10 menit.”
4) Bagaimana ibu/bapak mengajarkan anak dalam hal bina diri?
Jawaban: “Saya ngajarin, sama paling nyontoh dan sering
liat.”
212
5) Apa saja yang sudah bisa anak lakukan di rumah? Jawaban:
“Pakai baju sendiri tapi kadang kebalik pakenya, BAK
sendiri, buang sampah sendiri.”
e. Tipe 5= Membuat Keputusan
1) Sebelum bergabung ke UPD Tangsel, bagaimana kondisi
anak ibu/bapak dalam hal pendidikan? Jawaban: “Dari 2016
saya ikut OTTW (okupasi terapi terapi wicara) di fatmawati
sampe sekarang masih. Di sana juga kan diajarin menulis,
mengenal huruf.”
2) Apa alasan ibu/bapak bergabung ke UPD Tangsel?
Jawaban: “Alasan saya gabung di UPD biar dia bisa
sosialisasi, nambah pinter belajarnya, nambah latihan belajar
di kelas.”
3) Setelah bergabung di UPD Tangsel, apa yang ibu/bapak
rasakan kurang dari pelayanan yang ada di lembaga? Dan
bagaimana cara ibu/bapak dalam meningkatkan hal tersebut?
Jawaban: “Udah cukup si.”
f. Tipe 6= Kerjasama dengan Komunitas Masyarakat
1) Selain di UPD Tangsel, apakah ibu/bapak bergabung di
komunitas lain dalam hal menunjang perkembangan anak?
Jawaban: “Kalo komunitas si engga, paling ya tadi OTTW
di fatmawati.”
2) Bagaimana respon mereka terhadap anak ibu/bapak?
Jawaban: “Mereka bilang anak saya ada perkembangan,
saya ngerasa dia jadi lebih banyak kosakata, ga cuma mama
papa aja, bisa nyanyi.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami orang
terdekat? Jawaban: “Sering saya ajak, dia sering liat jadi
kenal.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami wilayah
tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban: “Sama kak,
karena sering saya ajak jadi tau.”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami lingkungan
sekolahnya? Jawaban: “Dia kan suka masuk-masuk ruangan
sendiri jadi dia tau mana kelasnya, mana kamar mandi.”
6) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan masyarakat sekitar?
213
Jawaban: “Misalnya kalo mau saya ajak ke acara-acara kaya
nikahan atau jenguk yang sakit saya bilangin sebelum pergi
nanti di sana jangan nakal ya.”
2. INDIKATOR KEMANDIRIAN ABK
a. Area Bekerja
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membuat makan dan minum? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Kalo ambil makan belum,
tapi dia udah bisa ambil minum sendiri di kulkas. Saya suruh
ngerti dia.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal menjaga kebersihan lingkungan? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Paling saya suruh buang
sampah, bisa dia kadang dia buang sampah sendiri gapake
disuruh. Kalo nyapu ngepel belum bisa.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berbelanja? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Paling saya jelasin ini uang dua ribu warnanya
abu-abu. dia belum bisa jajan sendiri masih belum paham.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berkebun? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Belum pernah, cuma di upd aja waktu itu.”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mencuci pakaian? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Dia suka ngeliat papanya nyuci celana
dia, terus dijelasin celananya kotor kena pipis kamu nanti
besar nyuci sendiri ya. Kalo sekarang masih belum bisa.”
b. AREA BINA DIRI
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berpakaian? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Saya ngajarin, sama paling nyontoh dan sering
liat. Bisa pake baju sendiri walaupun masih kebalik, kalo
lepas beum bisa.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal makan dan minum? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Kalo ambil makan belum, tapi dia
udah bisa ambil minum sendiri di kulkas. Saya suruh ngerti
dia.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membersihkan diri? Dan bagaimana
214
hasilnya? Jawaban: “Masih belum bisa kalo mandi sendiri,
saya udah bilang kalo mau BAB ke belakang gitu tapi
tempatnya suka gak pas kaya masih di lantai belum di WC.
Emang susah dia fokusnya.”.”
c. AREA KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI
1) Bagaimana proses komunikasi yang dilakukan anak
ibu/bapak sehari-hari? Jawaban: “Pake lisan si, tapi dia
belum lancar ngomong satu kalimat panjang paling kata
perkata. Kalo gerakan si misalnya dia laper terus dia nuntun
tangan papanya buat ambil piring. Dia anaknya hiperaktif
jadi susah juga ngadepinnya, terus susah fokusnya kalo
diajak bicara.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal identitas diri? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Karena sering kita panggil jadi dia tau
itu namanya, dia paham kalo dipanggil namanya dia nengok.”
3) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
orang terdekat? Jawaban: “Kalo sering ketemu jadi dia
kenal.”
4) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
wilayah tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban: “sering
diajak jadi tau.”
5) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
lingkungan sekolahnya? Jawaban: “Dia kan suka masuk-
masuk ruangan sendiri jadi dia tau mana kelasnya, mana
kamar mandi.”
6) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan
masyarakat sekitar? Jawaban: “Masih belum begitu paham.”
3. MANFAAT KETERLIBATAN ORANG TUA
a. Apa saja manfaat yang ibu/bapak rasakan dengan adanya
keterlibatan ibu/bapak dalam pendidikan anak? Jawaban:
“Nambah wawasan, temen, keterampilan buat nanganin anak
kaya gini. Kalo manfaat ke anaknya sih jadi lebih pinter,
mandiri, disiplin.”
215
TRANSKIP WAWANCARA
INFORMAN ORANG TUA BINAAN
Nama Informan : Ibu Darmini
Usia : 36 tahun
Jenjang Pendidikan : SMP
Hari, Tanggal Wawancara : Rabu, 8 Mei 2019
Tempat Wawancara : Rumah Kontrakan Ibu Darmini
Waktu Wawancara : 15.10 WIB
A. Isi Wawancara
1. BENTUK KETERLIBATAN ORANG TUA DALAM
PENDIDIKAN ANAK
a. Tipe 1= Parenting Education
1) Bagaimana awal mula ibu/bapak mengetahui bahwa anak
ibu/bapak merupakan anak berkebutuhan khusus? Jawaban:
“Waktu lahir gak nangis, beberapa menit baru nangis. Pas
usia tujuh bulan dipanggil namanya tuh diem aja harus
dicolek.”
2) Bagaimana awal mula ibu/bapak bergabung ke UPD
Tangsel? Jawaban: “Akhir 2018, tau dari temen yang juga
gabung di sana.”
3) Informasi apa saja yang ibu/bapak cari dan dapatkan dari
UPD Tangsel mengenai anak ibu/bapak? Jawaban:
“Barangkali dari sini ada info yang nyediain alat bantu
dengar sama info sekolah slb yang terjangkau.”
4) Apa saja proses yang dilakukan ibu/bapak dalam
memperoleh informasi tersebut? Dan bagaimana prosesnya?
Jawaban: “Selain forum bareng pa Adi, ya paling cerita aja
sama ibu-ibu tentang anaknya tuh begini. Iya saling
menguatkan dan disyukuri jadinya.”
5) Selain di UPD Tangsel pernahkan ibu/bapak mengikuti
kegiatan workshop, seminar, pelatihan dan sejenisnya dalam
mencari informasi tentang anak? Jika ya, bagaimana
prosesnya? Jawaban: “Belum pernah ikut seminar atau
pelatihan tentang anak. Saya baru ikut forum gitu setelah
gabung upd.”
6) Sejauh mana ibu/bapak memanfaatkan media sosial,
elektronik dan media cetak dalam memperoleh informasi
tentang kebutuhan anak? Jawaban: “Engga si soalnya kan
hape saya ga ada internetnya, hape ayahnya aja yang ada.
Paling kalo di tv liat acara peduli kasih.”
216
7) Informasi apa saja yang ibu/bapak dapatkan dari media
tersebut? Jawaban: “Iya pada dapet bantuan kursi roda,
sama bantuan biaya sekolah slb gitu kan cukup mahal.
Sempet juga ada yang bilang kirim surat aja ke sana, tapi
ayahnya kan ga ada waktunya.”
8) Pernahkan guru berkunjung ke rumah dalam hal keperluan
anak? Jawaban: “Belum, paling di upd aja.”
b. Tipe 2= Komunikasi
1) Bagaimana cara ibu/bapak berkomunikasi kepada pihak UPD
baik ketua dan guru dalam hal kepentingan anak? Jawaban:
“Di sekolah aja, karena kalo di grup whatsapp kan saya
jarang liat kalo suami saya udah di rumah aja soalnya
grupnya ada di hape dia.”
2) Hal-hal apa saja yang biasa dibicarakan? Jawaban: “Pak
Adi nanya keseharian anak di rumah.”
c. Tipe 3= Volunteering (Sukarelawan)
1) Selain kegiatan fisioterapi dan kelas, kegiatan apa saja yang
biasa diadakan di UPD Tangsel? Jawaban: “Syukuran,
selametan anak ulang tahun, sama forum-forum gitu. Kalo
acara lain kaya kartini, agustusan belum, saya kan baru di
situ.”
2) Bagaimana proses kegiatan tersebut? Jawaban: “Ada tanya
jawabnya, tergantung masing-masing anak keluhannya apa.
Terus jadi saling ngasih masukan. Rata-rata pada nanya si,
tapi ada yang gak nanya juga.”
3) Apa yang ibu/bapak lakukan dalam mendukung kegiatan
tersebut? Jawaban: “Saya bantu apa yang bisa saya bantu,
ya paling inisiatif aja si kaya bantu rapiin snack kalo ada
acara gitu, bawa snack juga. Tapi pak Adi gak maksa si,
semampunya kita aja.”
4) Bagaimana tanggapan ibu/bapak terhadap kegiatan tersebut?
Jawaban: “Ya bagus, saya juga dulu sempet minder punya
anak kaya gini. Alhamdulillah sekarang banyak yang ngasih
semangat, bahkan masih banyak anak yang lebih parah
dibanding anak saya.”
d. Tipe 4= Pembelajaran di Rumah
1) Apa yang ibu/bapak sediakan dalam memfasilitasi kegiatan
belajar anak di rumah? Jawaban: “Buku ada, pensil warna,
tempat pensil, poster hijaiyah ada tapi disobekin sama dia.”
217
2) Bagaimana jadwal belajar anak di rumah? Jawaban:
“Kadang saya ajarin setiap pagi kan dulu sebelum sekolah di
upd, kalo lagi ga mau saya ga paksa. Kadang dia sendiri yang
ngajak belajar, nanti kalo bosen dia pergi. Ga ada jadwal
khusus tapi tetep saya usahain buat belajar.”
3) Bagaimana proses belajar anak di rumah? Jawaban: “Paling
cuma nulis huruf dan angka. Biasanya 15 menit si dia
fokusnya, abis itu bosen.”
4) Bagaimana ibu/bapak mengajarkan anak dalam hal bina diri?
Jawaban: “Pertamanya dimandiin, terus lama-lama saya
suruh dia mandi sendiri sambil saya liatin terus saya arahin.”
5) Apa saja yang sudah bisa anak lakukan di rumah? Jawaban:
“Buat susu sendiri bisa, ambil makan bisa, pakai baju bisa,
ngelepas baju juga bisa sendiri. Mandi, BAK, BAB bisa
sendiri.”
e. Tipe 5= Membuat Keputusan
1) Sebelum bergabung ke UPD Tangsel, bagaimana kondisi
anak ibu/bapak dalam hal pendidikan? Jawaban: “Kalo
sekolah si belum, kalo cek kondisi dia sih udah kaya tes bera,
terapi juga udah, sampe beli alat bantu denger juga pernah.”
2) Apa alasan ibu/bapak bergabung ke UPD Tangsel?
Jawaban: “Biar dia bisa sekolah, biar dia kaya yang lainnya
punya keahlian. Gak merasa sendiri gitu.”
3) Setelah bergabung di UPD Tangsel, apa yang ibu/bapak
rasakan kurang dari pelayanan yang ada di lembaga? Dan
bagaimana cara ibu/bapak dalam meningkatkan hal tersebut?
Jawaban: “Pengennya ga cuma seminggu sekali ya
belajarnya, paling engga dua hari atau tiga hari biar optimal.
Dulu kan dua hari seminggu, sekarang cuma sehari aja dan
yang dua hari itu cuma kelas autis.”
f. Tipe 6= Kerjasama dengan Komunitas Masyarakat
1) Selain di UPD Tangsel, apakah ibu/bapak bergabung di
komunitas lain dalam hal menunjang perkembangan anak?
Jawaban: “Belum, cuma cek-cek medis aja.”
2) Bagaimana respon mereka terhadap anak ibu/bapak?
Jawaban: “Hasil tesnya 50 desibel, tapi dia masalahnya
cuma pendengaran aja kalo otaknya normal.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami orang
terdekat? Jawaban: “Ya itu saya bingung, saya ngucap aja
218
dia juga kan gak denger. Karena sering ketemu terus dia tau
dan akhirnya saya buat simbol kaya adek sepupunya kan
masih bayi jadi saya pake gerakan gendong bayi nah dia
paham tuh maksudnya itu dedek. Saya juga bilang ke temen-
temen dia sama ke tetangga kalo mau manggil anak saya
harus dicolek, karena mau dipanggil sampai teriak pun dia
gak akan denger. Tetangga juga sempet nanya ke saya kaya
gimana sih kalo nanyain ayahnya ke dia, saya ajarin kalo
simbol ayah itu pegang kepala.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami wilayah
tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban: “Dia harus liat
dulu atau pernah ke sana jadi tau, karena kalo gak pernah
susah juga ngejelasinnya.”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami lingkungan
sekolahnya? Jawaban: “Pake simbol juga kak, kaya ayo
sekolah pake gerakan nulis. Terus kalo dia mau kamar mandi
biasanya dia megang perut sambil dilambai-lambai ke bawah
yang artinya dia mau BAB atau BAK. Dia udah paham mana
kamar mandi, mana kelasnya tapi ya emang apa-apa harus
pake gerakan kalo mau komunikasi.”
6) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan masyarakat sekitar?
Jawaban: “Karena sering diajak jadi paham.”
2. INDIKATOR KEMANDIRIAN ABK
a. Area Bekerja
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membuat makan dan minum? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Mungkin awalnya dia
sering ngeliat, terus dia mau coba bikin susu sendiri. Iya saya
ajarin sambil saya liatin karena kan ngeri ya air panas, tapi
bisa dia.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal menjaga kebersihan lingkungan? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Sama, dia sering liat saya
nyapu ngepel jadi dia mau coba, walaupun ga begitu bersih
harus saya sapu lagi. Udah bisa dia, tapi emang harus saya
liatin.”
219
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berbelanja? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Dia paham kalo jajan di warung kurang uangnya,
pasti balik ke rumah bilang ke saya kalo uangnya kurang.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berkebun? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Belum pernah, cuma waktu itu aja di upd.”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mencuci pakaian? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Dia bisa tapi harus ngeliat dulu
prosesnya, karena kalo dijelasinkan dia gak denger.”
b. AREA BINA DIRI
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berpakaian? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Saya ajarin awalnya. Sekarang sudah bisa sendiri,
tapi kalo lagi manja dia minta pakein.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal makan dan minum? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Awalnya saya biarin makan sendiri
walaupun berantakan , tapi sekarang udah bisa.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membersihkan diri? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Saya liatin sambil ajarin kalo dia lagi
mandi, sekarang udah bisa mandi sendiri, bilas BAB, BAK
juga bisa.”
c. AREA KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI
1) Bagaimana proses komunikasi yang dilakukan anak
ibu/bapak sehari-hari? Jawaban: “Awalnya saya ga ngerti
dia ngomong apa, sampe saya ajarin bahasa tubuh yang
simpel sehari-hari aja bukan bahasa isyarat yang gimana-
gimana karena saya juga kan ga paham. Manggil dia juga
harus dicolek dulu, temen-temen sama tetangga juga masih
bingung kalo ngomong sama dia.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal identitas diri? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Nah itu saya bingung, paling kalo
manggil dia kan harus dicolek dulu baru nengok. Mau
dipanggil kaya apa juga dia kan gak denger.”
3) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
220
orang terdekat? Jawaban: “Kalo sering ketemu dia paham,
tapi kalo jarang agak susah juga ngasih taunya.”
4) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
wilayah tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban: “Dia
harus liat dulu atau pernah ke sana jadi tau, karena kalo gak
pernah susah juga ngejelasinnya dia ga paham.”
5) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
lingkungan sekolahnya? Jawaban: “Sering liat dia jadi
paham.”
6) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan
masyarakat sekitar? Jawaban: “Karena sering diajak jadi
paham.”
3. MANFAAT KETERLIBATAN ORANG TUA
a. Apa saja manfaat yang ibu/bapak rasakan dengan adanya
keterlibatan ibu/bapak dalam pendidikan anak?
Jawaban: “Nambah saudara, wawasana, iya nambah
temen, nambah relasi juga jadi dapet info baru gitu.
Tadinya ini anak males nulis, sekarang udah mau
walaupun cepet bosen”
221
TRANSKIP WAWANCARA
INFORMAN ORANG TUA BINAAN
Nama Informan : Ibu Sri Waningsih
Usia : 42 tahun
Jenjang Pendidikan : SD
Hari, Tanggal Wawancara : Kamis, 9 Mei 2019
Tempat Wawancara : Rumah Ibu Sri
Waktu Wawancara : 10.26 WIB
A. Isi Wawancara
1. BENTUK KETERLIBATAN ORANG TUA DALAM
PENDIDIKAN ANAK
a. Tipe 1= Parenting Education
1) Bagaimana awal mula ibu/bapak mengetahui bahwa anak
ibu/bapak merupakan anak berkebutuhan khusus? Jawaban:
“Waktu Az umur delapan bulan belum bisa merangkak,
badannya masih lemes. Dari situ baru mulai ke dokter
spesialis anak, kata dokter ada jenis anak kaya gitu,
sekolahnya juga khusus nanti. Tapi dokter ga bilang jenisnya
apa. ”
2) Bagaimana awal mula ibu/bapak bergabung ke UPD
Tangsel? Jawaban: “Tahun 2015. Dikasih tau keponakan
saya, kan UPD sempet penyuluhan di paud dia. Dari situ
saya tau dan dikasih telfon Pak Adi.”
3) Informasi apa saja yang ibu/bapak cari dan dapatkan dari
UPD Tangsel mengenai anak ibu/bapak? Jawaban:
“Ternyata di luar sana banyak yang punya anak kaya Az,
sama cara megang anak kaya gitu.”
4) Apa saja proses yang dilakukan ibu/bapak dalam
memperoleh informasi tersebut? Dan bagaimana prosesnya?
Jawaban: “Cerita-cerita tentang pengalaman gimana cara
ngadepin anak kalo lagi kesel atau bosen. Biasa nya pa Adi
ngadain penyuluhan, terus tanya jawab. Ada orang khusus
juga yang dateng. Orang tua biasanya nanya sih, tergantung
anaknya ya kan beda-beda.”
5) Selain di UPD Tangsel pernahkan ibu/bapak mengikuti
kegiatan workshop, seminar, pelatihan dan sejenisnya dalam
mencari informasi tentang anak? Jika ya, bagaimana
prosesnya? Jawaban: “Belum pernah si kayanya, belum ada
yang ngajakin. Kalo ada sih mau.”
222
6) Sejauh mana ibu/bapak memanfaatkan media sosial,
elektronik dan media cetak dalam memperoleh informasi
tentang kebutuhan anak? Jawaban: “Kalo saya ga pernah,
jarang sih cari info lewat media atau internet gitu.”
7) Pernahkan guru berkunjung ke rumah dalam hal keperluan
anak? Jawaban: “Belum pernah”
b. Tipe 2= Komunikasi
1) Bagaimana cara ibu/bapak berkomunikasi kepada pihak UPD
baik ketua dan guru dalam hal kepentingan anak? Jawaban:
“Ketemu langsung kalo engga lewat hape, ada grupnya di
whatsapp. Tapi grupnya ada di hape adenya azka. Kalo kerja
hapenya dibawa. Paling nanti dia yang ngabarin ke saya kalo
ada info di grup. Kalo tanya tentang anak biasanya si chatt
personal Pak Adi atau gurunya,”
2) Hal-hal apa saja yang biasa dibicarakan? Jawaban: “Ga ada
informasi khusus si, paling seputar ada kegiatan apa di
yayasan.”
c. Tipe 3= Volunteering (Sukarelawan)
1) Selain kegiatan fisioterapi dan kelas, kegiatan apa saja yang
biasa diadakan di UPD Tangsel? Jawaban: “ Hari kartini,
penyuluhan kesehatan, pelatihan usaha buat orang tua, forum
sesama orang tua, buka puasa bersama sama ulang tahun
anak dirayain di sana sama hari-hari besar lainnya pasti
dibuat kegiatan di lembaga.”
2) Bagaimana proses kegiatan tersebut? Jawaban: “Iya rame
yang dateng, kan anak-anak suka.”
3) Apa yang ibu/bapak lakukan dalam mendukung kegiatan
tersebut? Jawaban: “Pak Adi biasanya minta tolong buat
bawain makanan, gak maksa si cuma yang bisa aja.”
4) Bagaimana tanggapan ibu/bapak terhadap kegiatan tersebut?
Jawaban: “Seneng kak kalo ada kegiatan kaya gitu.
Sebenernya pengen buat kegiatan, tapi pada ga ada yang
gerakin. Kan bisa nyenengin anak, padahal kalo mau ngadain
sendiri ibu-ibu nya bisa asal kompak.”
d. Tipe 4= Pembelajaran di Rumah
1) Apa yang ibu/bapak sediakan dalam memfasilitasi kegiatan
belajar anak di rumah? Jawaban: “Buku, aplikasi hape
sama video animasi di flashdisk.”
2) Bagaimana jadwal belajar anak di rumah? Jawaban: “Jarang
sih belajar sendiri gitu, dia nya susah diajarinnya. Belajar aja
223
gak fokus, apalagi kalo dia ga mau. Paling kalo belajar
setengah jam juga bosen.”
3) Bagaimana proses belajar anak di rumah? Jawaban: “Kalo
diajarin kaya angka gitu dia ga fokus, lupa-lupa terus. Kalo
pake gambar kaya binatang dan warna lama-lama dia hafal
walaupun ga secepat anak normal. Paling diajarin keseharian
kaya abis makan taro piringnya.”
4) Bagaimana ibu/bapak mengajarkan anak dalam hal bina diri?
Jawaban: “Pertama diajarin sama saya, tapi lama-lama bisa
sendiri dia. Tapi males anaknya harus disuruh.”
5) Apa saja yang sudah bisa anak lakukan di rumah? Jawaban:
“Mandi sendiri, buang air besar udah bisa bilas sendiri.”
e. Tipe 5= Membuat Keputusan
1) Sebelum bergabung ke UPD Tangsel, bagaimana kondisi
anak ibu/bapak dalam hal pendidikan? Jawaban: “Sebelum
gabung di upd belum pernah sekolah di mana-mana. Cuma
udah usaha nyari terapi di sana-sini, ada yang cocok ya ada
juga yang ga cocok ga ada perubahan dianya.”
2) Apa alasan ibu/bapak bergabung ke UPD Tangsel?
Jawaban: “Biar dia bisa belajar, sosialisasi juga. Biar ada
kegiatan, abis sekolah khusus kan mahal ga mampu saya.”
3) Setelah bergabung di UPD Tangsel, apa yang ibu/bapak
rasakan kurang dari pelayanan yang ada di lembaga? Dan
bagaimana cara ibu/bapak dalam meningkatkan hal tersebut?
Jawaban: “Lebih pembagian gizi, biasa nya dapet susu
sekarang jarang malah udah ga pernah. Pak Adi bilang Az
badannya udah sehat, jadi gak dapet susu lagi.”
f. Tipe 6= Kerjasama dengan Komunitas Masyarakat
1) Selain di UPD Tangsel, apakah ibu/bapak bergabung di
komunitas lain dalam hal menunjang perkembangan anak?
Jawaban: “Dulu pernah, coba banyak tempat tapi bukan
terapi kaya pijet-pijet gitu doang. Dari ga bisa jalan, dipijet
jadi bisa jalan, ngomong juga gitu. Dulu juga lehernya agak
miring sekarang udah engga.”
2) Bagaimana respon mereka terhadap anak ibu/bapak?
Jawaban: “Mereka bilang si anak saya ada
perkembangannya.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami orang
terdekat? Jawaban: Pertamanya saya yang ngenalin, tapi
224
kalo sering ketemu dia paham sendiri. Dia cepet akrab si
sama orang baru. Cuma kalo buat komunukasi emosinya
masih suka gak terkontrol. Nanti dia suka meluk, tapi juga
dia suka marah.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami wilayah
tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban: “Kalo kaya gitu
dia udah paham sekarang, ngerti sendiri. Sering saya ajak
juga misal ke masjid makanya di tau masjid itu buat sholat.”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami lingkungan
sekolahnya? Jawaban: “Sama sih, sering liat jadi hafal
sendiri dia.”
6) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan masyarakat sekitar?
Jawaban: “Saya ajak, nanti dia tau nih kalo ada undangan
itu berarti dia pergi gitu makan.”
2. INDIKATOR KEMANDIRIAN ABK
a. Area Bekerja
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membuat makan dan minum? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Kalo buat makanan/ masak
si awalnya dia liat pengen ikutan, saya kasih izin buat
bantuin kalo saya lagi siapin dagangan, saya suruh aduk
adonan bisa atau motong-motong sayur bisa dia. Tapi males
anaknya, perlu disuruh dulu.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal menjaga kebersihan lingkungan? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Sama harus saya suruh juga.
Kalo nyapu bisa, ngepel gabisa peresnya jadi basah semua.
Tergantung mood anaknya kalo lagi males ya susah.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berbelanja? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Belum, masih gak ngerti uang. Padahal udah
saya bilangin, ini lima ribu, dua ribu gitu.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berkebun? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Pernah diajarin sama abi nya, tapi gatau deh bisa
apa engga”.
225
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mencuci pakaian? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Engga belum bisa dia kalo nyuci, kalo
angkat jemuran sama ngelipet baju udah bisa dia.”
b. AREA BINA DIRI
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berpakaian? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Awalnya diajarin sama saya, saya liatin sambil
arahin. Sekarang udah bisa pake dan lepas baju sendiri.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal makan dan minum? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: ”Perlu saya suruh dulu, males anaknya.
Padahal bisa ambil makan sendiri, taro piring abis makan
juga.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membersihkan diri? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Saya ajarin dia sambil saya temenin,
terus dia ikutin. Lama-lama dia bisa.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal kesehatan alat reproduksi? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Awalnya saya yang pakein
pembalutnya, tapi sekarang udah bisa pake atau ganti sendiri.
Kalo pake daleman juga gitu, awalnya saya yang pakein tapi
sekarang dia udah bisa pake sendiri.”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal pendidikan seksual? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Lebih ngajarin ke rasa malunya,
kadang dia suka angkat-angkat baju gitu.”
c. AREA KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI
1) Bagaimana proses komunikasi yang dilakukan anak
ibu/bapak sehari-hari? Jawaban: “Dia ngerti kalo kita
ngomong, cuma dianya yang belum bisa ngomong jelas.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal identitas diri? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Saya biasanya panggil dia kakak,
makanya kalo ditanya dia siapa dia jawabnya kakak. Cuma
kalo dipanggil namanya tetep nengok. Kalo ngeliat foto dia
masih kecil aja dia tau dia kalo itu dia.”
3) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
226
orang terdekat? Jawaban: “Kalo sering ketemu juga nanti
dia hafal sendiri.”
4) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
wilayah tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban:
“Sekarang dia udah paham kalo kaya gitu.”
5) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
lingkungan sekolahnya? Jawaban: “Udah tau dan kenal dia.”
6) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan
masyarakat sekitar? Jawaban: “Ngerti dia kalo diajak
ngomong. Tapi emosinya masih suka gak terkontrol, kadang
dia cari perhatian, tapi juga kadang galak suka mukul.
Makanya kalo orang yang belum kenal sama dia agak takut
kayanya.”
3. MANFAAT KETERLIBATAN ORANG TUA
a. Apa saja manfaat yang ibu/bapak rasakan dengan adanya
keterlibatan ibu/bapak dalam pendidikan anak?
Jawaban: “Nambah temen, saudara, wawasan, dan lebih
deket ke anak karena emang sehari-hari sama saya.”
227
TRANSKIP WAWANCARA
INFORMAN ORANG TUA BINAAN
Nama Informan : Ibu Dewi Manalu
Usia : 53 tahun
Jenjang Pendidikan : SD
Hari, Tanggal Wawancara : Kamis, 9 Mei 2019
Tempat Wawancara : Rumah Kontrakan Ibu Dewi
Waktu Wawancara : 15.03 WIB
A. Isi Wawancara
1. BENTUK KETERLIBATAN ORANG TUA DALAM
PENDIDIKAN ANAK
a. Tipe 1= Parenting Education
1) Bagaimana awal mula ibu/bapak mengetahui bahwa anak
ibu/bapak merupakan anak berkebutuhan khusus? Jawaban:
“Saat Hd umur 1,4 tahun sempet jatuh dari meja tapi gak
langsung diurut, dulu juga pas umur 1,5 dia step. Dari situ
ngerasa ini anak perkembangannya lambat, umur 2 tahun
baru bisa jalan. Bicara yang bener-bener bicara pas usia 5
tahun.”
2) Bagaimana awal mula ibu/bapak bergabung ke UPD
Tangsel? Jawaban: “Sejak tahun 2017 dikasih tau temen kak,
mama Fz. Kan dia udah duluan gabung di UPD. Iya dulu kita
tetanggaan, terus dia saya suruh mampir tuh main ke
kontrakan saya. Dari situ kita ngobrol-ngobrol, akhirnya
sama-sama tau kalo anak kita kaya gini. Terus saya bilang ke
dia kalo saya pengen cari sekolah tapi yang ga terlalu mahal
biaya nya. Akhirnya mama Fz nyaranin saya ke UPD, terus
saya ditemuin ke Pak Adi besoknya samabil bawa Hd. Saat
itu Hd udah boleh belajar di UPD.”
3) Informasi apa saja yang ibu/bapak cari dan dapatkan dari
UPD Tangsel mengenai anak ibu/bapak? Jawaban: “Saya
mau dia nantinya bisa mengenal angka-angka, biar nanti saat
dia besar bisa usaha kecil-kecilan. Pa Adi juga sempet bilang
kalo di upd itu lebih ngajarin itu apa ya biar anak bisa
mandiri paling ya nulis juga tapi itu kan dorongan dari ibu
juga. Sama cari info terapi agar dia bisa bicara, masih bisa
gak ya soalnya udah 15 tahun umurnya.”
4) Apa saja proses yang dilakukan ibu/bapak dalam
memperoleh informasi tersebut? Dan bagaimana prosesnya?
Jawaban: “Kita sering cerita tentang bagaimana anak di
228
rumah, bagaimana menghadapi anak di rumah dan di luar
rumah saat kita bawa-bawa. Sama kita saling menyemangati.”
5) Selain di UPD Tangsel pernahkan ibu/bapak mengikuti
kegiatan workshop, seminar, pelatihan dan sejenisnya dalam
mencari informasi tentang anak? Jika ya, bagaimana
prosesnya? Jawaban: “Oh udah, seminar dua kali. Namanya
apa gitu lupa, tentang gizi. Pernah di gedung safari atau apa
gitu lupa. Iya tentang gizi, terus menghadapi anak harus kaya
gini, menangani anak harus kaya gini.”
6) Sejauh mana ibu/bapak memanfaatkan media sosial,
elektronik dan media cetak dalam memperoleh informasi
tentang kebutuhan anak? Jawaban: “Engga, ga pernah.
Karena aku juga kurang paham pake internet. Karena kita
dulu sibuk kerja buat cari makan, jadi ga pernah bisa cari-
cari info.”
7) Pernahkan guru berkunjung ke rumah dalam hal keperluan
anak? Jawaban: “Belum pernah, cuma pa Adi pernah dulu
berkunjung waktu awal Hd gabung di UPD sama anak
mahasiswa 2 kali ke sini.”
8) Informasi apa saja yang ibu/bapak terima maupun tanyakan
dari guru tersebut? Jawaban: “ Memberikan semangat buat
Hd supaya kita lebih kuat dan aktif dalam ngajarin Hd.”
b. Tipe 2= Komunikasi
1) Bagaimana cara ibu/bapak berkomunikasi kepada pihak UPD
baik ketua dan guru dalam hal kepentingan anak? Jawaban:
“Ga pernah kalo lewat hape, paling ketemu langsung di
UPD.”
2) Hal-hal apa saja yang biasa dibicarakan? Jawaban: “Kalo
masalah Hd tentang pribadi si Hd si kaya kalo fisiknya itu
kurang, kalo dipaksa nulis itu juga gak bisa.”
c. Tipe 3= Volunteering (Sukarelawan)
1) Selain kegiatan fisioterapi dan kelas, kegiatan apa saja yang
biasa diadakan di UPD Tangsel? Jawaban: “Paling ulang
tahun anak-anak, nanam di UPD waktu itu si Hd ikutan.
Waktu kartini ga ikut karena ada acara waktu itu di gereja.
Saya jarang ikut kak, karena kerja.”
2) Bagaimana proses kegiatan tersebut? Jawaban: “Rame si
kak pada dateng biasanya.”
3) Apa yang ibu/bapak lakukan dalam mendukung kegiatan
tersebut? Jawaban: “Kalo ibu-ibu yang ada whatsapp nya
229
kan bisa janjian, kalo kita kan gak pake whatsapp
dibilanginnya seminggu sebelum acara, terus ibu-ibu janjian
bawa apa. Inisiatif pribadi sih kak.”
4) Bagaimana tanggapan ibu/bapak terhadap kegiatan tersebut?
Jawaban: “Saya seneng, bagus. Karena bikin semangat,
bikin kompak, jadi kaya saudara banget.”
d. Tipe 4= Pembelajaran di Rumah
1) Apa yang ibu/bapak sediakan dalam memfasilitasi kegiatan
belajar anak di rumah? Jawaban: “Kalo dulu saya sediain
poster huruf, Cuma kalo dateng temennya anak-anak suka
disobekin kertasnya. Buku ada, pensil juga saya beli. itu
buku mengenal hewan ada, mengenal makan.”
2) Bagaimana jadwal belajar anak di rumah? Jawaban:
“Jadwal belajar ga pernah saya bikin, dia ga mau kalo saya
suruh belajar sampe marah buku disobekin sama dia katanya
dia stress kalo belajar.”
3) Bagaimana proses belajar anak di rumah? Jawaban: “Setiap
mau diajarin dia nolak, ngambek.”
4) Bagaimana ibu/bapak mengajarkan anak dalam hal bina diri?
Jawaban: “Kalo mandi sendiri dari dulu walaupun gak
bersih, paling saya kasih suruh gosok kakinya, telinganya
bersihin, tangannya juga sambil saya liatin.”
5) Apa saja yang sudah bisa anak lakukan di rumah? Jawaban:
“Dia sudah bisa mandi sendiri, ambil makan sendiri, cuci
piring bisa, nyapu rumah bisa walaupun sedikit gak rapi. Gak
perlu disuruh juga kalo dia liat rumah berantakan pasti
dirapiin sama dia.”
e. Tipe 5= Membuat Keputusan
1) Sebelum bergabung ke UPD Tangsel, bagaimana kondisi
anak ibu/bapak dalam hal pendidikan? Jawaban: “Pernah
saya itu masukin dia di TK waktu Hd umur 4 tahun. Selama
satu tahun di sana, katanya dia ga bisa ngikutin pelajaran.
Dari situ berenti, terus saya masukin SD di Jurang Mangu
cuma beberapa bulan di sana. Setelah papa nya meninggal
udah ga pernah sekolah lagi soalnya gak ada yang nganterin,
saya juga kan kerja cari duit buat makan. Sampe dikenalin
sama UPD baru dia sekolah lagi.”
2) Apa alasan ibu/bapak bergabung ke UPD Tangsel?
Jawaban: “Supaya dia melihat masih banyak yang seperti
dia, biar dia gak minder sama temen-temen yang melebihi
230
dia.” Setelah bergabung di UPD Tangsel, apa yang ibu/bapak
rasakan kurang dari pelayanan yang ada di lembaga?
Jawaban: “Kaya nya enggak deh.”
f. Tipe 6= Kerjasama dengan Komunitas Masyarakat
1) Selain di UPD Tangsel, apakah ibu/bapak bergabung di
komunitas lain dalam hal menunjang perkembangan anak?
Jawaban: “Belum ada, belum tau. Kalo tau dan ada yang
ajak, saya juga mau masukin Hd ke sana.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami orang
terdekat? Jawaban: “Biasa-biasa aja, kalo misalnya kita
baru masuk ke lingkungan baru itu dia sendiri yang cari
teman.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami wilayah
tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban: “Jarang kak,
kalo saya kerja dia saya tinggal di rumah. Dia suka main,
mainnya suka jauh sampe ke puskesmas sana, tapi dia tau
pulang.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami lingkungan
sekolahnya? Jawaban: “Biasa aja. Karena sering ketemu,
dia langsung hafal.”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan masyarakat sekitar?
Jawaban: “Misalnya mau kita ajak buat pergi ke nikahan,
saya bilang ke dia dari rumah nanti di sana jangan nakal.”
2. INDIKATOR KEMANDIRIAN ABK
a. Area Bekerja
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membuat makan dan minum? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Kalo makan juga ambil
sendiri biar ga ada saya di rumah. Kalo saya lagi masak,
pengen dia ikutan masukin ke penggorengannya atau
ngebalikin makanannya tapi tetep saya bantuin soalnya
mejanya tinggi, takut jatoh penggorengannya.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal menjaga kebersihan lingkungan? Dan
231
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Saya contohin cara nyapu
sama ngepel ke dia”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berbelanja? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Saya suruh dia ke warung, kalo banyak saya
kasih catetan. Kalo cuma satu atau dua barang dia bisa. Saya
ajarin kalo uang yang besar buat ditabung, yang sepuluh
ribuan baru boleh buat jajan.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berkebun? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Belum pernah”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mencuci pakaian? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Bisa, tapi kita larang biar hemat air.
Kalo angkat jemuran udah bisa disuruh.”
b. AREA BINA DIRI
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berpakaian? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Udah bisa semua, pakai sama lepas baju. Cuma
kalo pake sepatu tali masih belum bisa ngiketnya”.
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal makan dan minum? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Kalo saya tingal kerja, dari rumah saya
ajarin ambil nasi di sini, nanti piringnya taro di belakang.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membersihkan diri? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Saya kasih tau itu kakinya di gosok,
tangannya juga sambil saya liatin pas dia mandi.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal kesehatan alat reproduksi? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Saya ga tau, mungkin
pernah tapi gak ngomong dia nya. Mungkin malu.”
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal pendidikan seksual? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Saya bilang ke dia, kalo sama
perempuan jangan peluk-peluk.”
c. AREA KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI
1) Bagaimana proses komunikasi yang dilakukan anak
ibu/bapak sehari-hari? Jawaban: “Udah bisa pake lisan,
cuma masih belum jelas. Dia anaknya kalo marah biasanya
232
teriak kenceng. Iya dia bisa nolak kalo dia ga suka, sama
bilang apa yang dia mau”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal identitas diri? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Saya kasih tau nama kamu Hd, anak
ibu Dewi, marga kamu sitorus. Tau dia nama nya kalo
ditanya”
3) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
orang terdekat? Jawaban: “Saudara dari papanya dia tau,
saudara dari mama nya juga dia tau.”
4) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
wilayah tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban: “Kalo
kita bawa dia ke suatu tempat, dia yang paling tau jalan
dibanding saya.”
5) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
lingkungan sekolahnya? Jawaban: “Karena sering ketemu,
dia langsung hafal.”
6) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan
masyarakat sekitar? Jawaban: “Udah paham dianya ”
3. MANFAAT KETERLIBATAN ORANG TUA
a. Apa saja manfaat yang ibu/bapak rasakan dengan adanya
keterlibatan ibu/bapak dalam pendidikan anak?
Jawaban: “Kita jadi nambah pengetahuan, tau ternyata
banyak yang lebih susah, nambah temen juga. Kalo ke
anaknya, saya ngerasa dia jadi lebih nurut dan ngerti kalo
dibilangin.”
233
TRANSKIP WAWANCARA
INFORMAN ORANG TUA BINAAN
Nama Informan : Ibu Kristanti
Usia : 43 tahun
Jenjang Pendidikan : SMA
Hari, Tanggal Wawancara : Sabtu, 11 Mei 2019
Tempat Wawancara : Rumah Kontrakan Ibu Kristanti
Waktu Wawancara : 10.23 WIB
A. Isi Wawancara
1. BENTUK KETERLIBATAN ORANG TUA DALAM
PENDIDIKAN ANAK
a. Tipe 1= Parenting Education
1) Bagaimana awal mula ibu/bapak mengetahui bahwa anak
ibu/bapak merupakan anak berkebutuhan khusus? Jawaban:
“Ya dari awal sudah dikasih tau sama dokter, kan waktu
hamilnya saya gak usg jadi gak ketauan. Pas lahir udah
dibilangin kalo anak saya down syndrome”.
2) Bagaimana awal mula ibu/bapak bergabung ke UPD
Tangsel? Jawaban: “Tahun 2012 saat Nn berusia kurang
lebih dua tahun, saya tau dari tetangga yang juga ikut di upd.”
3) Informasi apa saja yang ibu/bapak cari dan dapatkan dari
UPD Tangsel mengenai anak ibu/bapak? Jawaban: “Kalo
aku lebih banyak dapet informasi dari yayasan/ YSI dan
lebih sering ke yayasan, informasi tentang perkembangan
anak. Cara anak bisa ngomong dan jalan karena Nn kakinya
lemah. Dan aku bertanya ke terapis gimana cara ngelatihnya,
jadi aku yang belajar buat nerapin di rumah. Kalo di upd ya
paling kaya sosialisasi dan proses belajar anak di sekolah
kaya gimana.”
4) Apa saja proses yang dilakukan ibu/bapak dalam
memperoleh informasi tersebut? Dan bagaimana prosesnya?
Jawaban: “Cerita-cerita sama ibunya tentang pengalaman,
lalu kalo ada acara di mana suka saling ngabarin. Lebih
banyak ibu-ibu lain yang nanya ke aku, aku selalu bilang
kalo terdeteksinya sejak kecil masih bisa dibentuk dan lebih
baik begitu.”
5) Selain di UPD Tangsel pernahkan ibu/bapak mengikuti
kegiatan workshop, seminar, pelatihan dan sejenisnya dalam
mencari informasi tentang anak? Jika ya, bagaimana
prosesnya? Jawaban: “Pernah, di BXChange sini dari
234
yayasan YCHI. Seminar psikiater, cara menangani anak kaya
gini. Waktu itu si Nn buat peraga, jadi aku ikut denger
seminarnya.”
6) Sejauh mana ibu/bapak memanfaatkan media sosial,
elektronik dan media cetak dalam memperoleh informasi
tentang kebutuhan anak? Jawaban: “Kebanyakannya dari
google sih paling”
7) Informasi apa saja yang ibu/bapak dapatkan dari media
tersebut? Jawaban: “Biasanya browsing tentang cara
menangani anak terutama mengontrol emosi anak”
8) Pernahkan guru berkunjung ke rumah dalam hal keperluan
anak? Jawaban: “Belum ada kunjungan, kalo dulu waktu di
YSI ada tapi orang dari Depsos bukan guru.”
9) Informasi apa saja yang ibu/bapak terima maupun tanyakan
dari guru tersebut? Jawaban: “Waktu itu mereka ke sini
cuma survey dan ngedata aja sih kak.”
b. Tipe 2= Komunikasi
1) Bagaimana cara ibu/bapak berkomunikasi kepada pihak UPD
baik ketua dan guru dalam hal kepentingan anak? Jawaban:
“ada grup whatsapp, kadang aku chatt ke gurunya atau pak
Adi secara personal.”
2) Hal-hal apa saja yang biasa dibicarakan? Jawaban: “Kalo di
grup paling info-info ada apa, ada kunjungan apa. Jarang sih
kalo ngebahas masalah anak atau Pak Adi ngasih motivasi.
Kalo chatt personal paling izin ga masuk karena ga ada
ongkos.”
c. Tipe 3= Volunteering (Sukarelawan)
1) Selain kegiatan fisioterapi dan kelas, kegiatan apa saja yang
biasa diadakan di UPD Tangsel? Jawaban: “Ada dari
puskesmas cek kesehatan sama penyuluhan setelahnya, juga
sering kumpul-kumpulkan apa dari YSI itu mas fahmi atau
terapis. kegiatan kartini juga ikut, sama kemarin ada
penyuluhan gizi di upd.”
2) Bagaimana proses kegiatan tersebut? Jawaban: “Prosesnya
ada tanya jawab, kadang ada orang tua maju sharing
pengalamannya. Banyak juga sih yang nanya, tapi ada juga
yang gak aktif.”
3) Apa yang ibu/bapak lakukan dalam mendukung kegiatan
tersebut? Jawaban: “Biasanya ibu-ibu suka bawa konsumsi,
tapi ga ada paksaan harus bawa apa.”
235
4) Bagaimana tanggapan ibu/bapak terhadap kegiatan tersebut?
Jawaban: “Seneng si jadi lebih banyak dapet info gimana
cara nanganin anak.”
d. Tipe 4= Pembelajaran di Rumah
1) Apa yang ibu/bapak sediakan dalam memfasilitasi kegiatan
belajar anak di rumah? Jawaban: “Banyak kaya buku-buku
untuk mengeja, poster hijaiyah, pensil warna, buku mewarnai,
majalah bobo.”
2) Bagaimana jadwal belajar anak di rumah? Jawaban: “Ga
ada jadwal belajar, suka-suka dia tapi dia memang suka
megang buku. Bangun tidur bawa buku sama pulpen terus
main di depan rumah.”
3) Bagaimana proses belajar anak di rumah? Jawaban: “Kalo
belajarnya lama ya bosen, dia gabisa lama paling seperempat
jam. Kalo aku sih ngajarin biasanya pake titik-titik nanti dia
ikutin titiknya. Dia sih lebih senengnya kalo aku ajarin
nyanyi. Sama kalo dia ada PR, biasanya aku lepas biarin dia
belajar sendiri nanti kalo ada yang salah baru aku koreksi.”
4) Bagaimana ibu/bapak mengajarkan anak dalam hal bina diri?
Jawaban: “Kalo untuk bina diri itu awalnya aku ajarin,
misal kaya pake baju kadang dia pake sendiri nanti aku liatin.
Kalo pake bajunya kebalik baru aku benerin. Kalo makan
aku biarin aja dia makan sendiri, mau berantakan atau apa
gapapa biar dia bisa makan sendiri nantinya.”
5) Apa saja yang sudah bisa anak lakukan di rumah? Jawaban:
“Makan sudah tapi masih berantakan, gosok gigi juga sudah,
mandi sudah bisa tapi masih saya bantu untuk sikat bagian
belakangnya. Pakai baju dan celana bisa.”
e. Tipe 5= Membuat Keputusan
1) Sebelum bergabung ke UPD Tangsel, bagaimana kondisi
anak ibu/bapak dalam hal pendidikan? Jawaban: “Kan aku
gabungnya udah lama kak, sebelum Nn usia sekolah juga aku
udah gabung ke YSI.“
2) Apa alasan ibu/bapak bergabung ke UPD Tangsel?
Jawaban: “Alasan gabung ke upd ya karena anak, aku harus
bantu dia. Kalo aku nya gak aktif dia gimana mau
berkembang, kan harus aku nya yang aktif. Aku harus cari
info, harus ada komunitasnya. Cuma ya gimana ya kak, kalo
lagi ga ada ongkos juga kan ga bisa ke upd. Ini juga udah
lama dia gak ke upd.”
236
3) Setelah bergabung di UPD Tangsel, apa yang ibu/bapak
rasakan kurang dari pelayanan yang ada di lembaga?
Jawaban: “Kekurangannya ada sih, kaya yang sekarangkan
ibu-ibu banyak ngeluh masalah pembagian gizi. Sekarang
katanya udah ga ada, kemaren telat sebulan dua bulan lalu
dikurangi porsinya. Harusnya dapet susu dua dus dan
pempers, kemarin cuma dapet pempers susunya ga dapet.”
4) Bagaimana cara ibu/bapak dalam meningkatkan hal tersebut?
Jawaban: “Ya gimana ya kalo ga dibantu keteter kitanya,
tapi sih paling kita nya nanya kenapa bisa telat datengnya.
Paling pa Adi jelasin memang stok di gudangnya juga belum
ada. ”
f. Tipe 6= Kerjasama dengan Komunitas Masyarakat
1) Selain di UPD Tangsel, apakah ibu/bapak bergabung di
komunitas lain dalam hal menunjang perkembangan anak?
Jawaban: “Sekarang sih gak ada, cuma dulu tahun 2017 di
YCHI tapi sekarang udah engga. Ada sih ajakan di daerah
jakarta selatan, komunitas khusus orang tua yang memiliki
anak down syndrome. Cuma jauh, kalo deket sih saya mau
aja.”
2) Bagaimana respon mereka terhadap anak ibu/bapak?
Jawaban: “Mereka bilang sih anak aku bagus
perkembangannya, dari situ juga aku ngerasa kalo Nn bisa
nulis karena di YCHI. Kalo di YCHI itu jarang ketemu
sesama orang tua, karena ada jadwal khusus penanganan
peranak.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami orang
terdekat? Jawaban: “Nn cepet hafal anaknya, kan suka liat
di hp ada foto-foto, tau dia ini dia ini adiknya. Dia gak takut
sama orang baru, malah dia yang tanya duluan namanya
siapa gitu.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami wilayah
tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban: “Kalo diajak
jalan nih kak ke mana gitu berapa kali, langsung hafal gitu
jalannya. Aku jarang sih ngenalin dia tempat-tempat gitu,
karena dia yang sering main. Dia biasanya suka eksplor hal-
hal sendiri, paling kalo dia salah baru aku koreksi. Biasanya
dia liat, dia tanya dan dia jadi tau. ”
237
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami lingkungan
sekolahnya? Jawaban: “Dia udah tau sendiri, malah aku
sering jail masukin tasnya ke kelas sebelah terus dia protes
kalo kelasnya bukan di situ.”
6) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan masyarakat sekitar?
Jawaban: “Kalo nikah dan menjenguk orang sakit aku ajak,
dia gak pernah banyak nanya nanya sih biasanya.”
2. INDIKATOR KEMANDIRIAN ABK
a. Area Bekerja
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membuat makan dan minum? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Aku ajarin dia ambil
mangkok plastiknya dan pegang mangkoknya dideketin biar
ga terlalu berantakan. Kalo minum, dia udah bisa ambil
minum sendiri di galon, saya kasih tau ambil minumnya
sedikit-sedikit jangan sampai penuh. Kalo untuk ambil nasi
sendiri masih belum bisa, paling kalo udah selesai makan aku
ajarin untuk naro di meja belakang.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal menjaga kebersihan lingkungan? Dan
bagaimana hasilnya? Jawaban: “Aku sediain plastik sampah,
jadi kalo ada sampah aku bilang ke dia untuk taro ke dalam
plastik. Kadang-kadang dia yang protes ke orang untuk
buang sampah ke dalam plastik. Dia kadang mau nyapu, aku
biarin aja dia belajar nyapu.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berbelanja? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Udah bisa, kadang aku suruh buat belanja ke
warung. Kalo banyak aku kasih tulisan, kalo satu barang sih
bisa dia ngomong sendiri. Kalo uang paling dia tau nya yang
paling besar sepuluh ribu lah, yang sering dia bawa ke
warung. Aku ngajarinnya si dengan main-mainan sama dia
pake uang mainan. Kan ada uang mainan anak yang mirip
sama uang asli dan harus dipraktekkin.”
4) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berkebun? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Belum pernah”
238
5) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mencuci pakaian? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Kalo aku lagi cuci baju aja dia sering
mau ikutan, belajar ngucek-ngucek, ngerendem baju. Kalo
untuk angkat jemuran udah bisa, kadang aku minta tolong
buat angkatin jemuran yang ga terlalu tinggi diangkatin sama
dia. Sama aku suruh dia buat ngelipetin pakaian dalem dia,
udah bisa. Tapi ya tergantung moodnya dia, kalo lagi gak
mood nih dia ya susah dimintain tolongnya. ”
b. AREA BINA DIRI
1) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal berpakaian? Dan bagaimana hasilnya?
Jawaban: “Awalnya aku ajarin dia, terus aku arahin untuk
pake baju dan celana. Tapi tetep aku dampingin. Sekarang
Nn udah bisa pake baju sendiri, aku hanya liatin dia aja. Kalo
kebalik pakenya aku benerin. Baru bisa pake aja sih, kalo
ngelepas belum.”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal makan dan minum? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Aku kasih tau kalo makan itu pelan-
pelan, terus piringnya dideketin biar nanti gak berantakan.
Minum juga gitu, kalo ambil minum di galon ambil airnya
dikit aja jangan penuh-penuh, terus pencet yang warna biru.
Nn sih udah bisa makan dan ambil minum sendiri.”
3) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal membersihkan diri? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Aku biarin dia buat mandi sendiri, ya
walaupun masih belum bisa ngebersihin bagian belakang dan
masih perlu bantuan aku.”
c. AREA KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI
1) Bagaimana proses komunikasi yang dilakukan anak
ibu/bapak sehari-hari? Jawaban: “Sudah full lisan”
2) Bagaimana proses yang diajarkan ibu/bapak kepada anak
ibu/bapak dalam hal mengenal identitas diri? Dan bagaimana
hasilnya? Jawaban: “Dia udah tau namanya Nn, nama
ibunya ibunya ibu Tanti. Aku kasih tau sambil main juga,
aku tanya dia namanya kakak Nn, aku kasih tau dia anaknya
ibu Tanti. Aku suka ajarin rumahnya di jalan swadaya.”
3) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
239
orang terdekat? Jawaban: “Iya dia udah bisa mengenal
orang, terutama yang sering dia temui.”
4) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
wilayah tempat tinggal lingkungan anak? Jawaban: “Dia
udah tau di mana rumahnya, masjid itu untuk sholat, di mana
rumah temennya.”
5) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal mengenal dan memahami
lingkungan sekolahnya? Jawaban: “Dia udah paham
kelasnya di mana, kamar mandi di mana, kalo mau cari
ibunya di ruang tengah tempat biasa nunggu.”
6) Bagaimana hasil dari proses yang diajarkan ibu/bapak
kepada anak ibu/bapak dalam hal berinteraksi dengan
masyarakat sekitar? Jawaban: “Karena dia sering eksplor
sendiri, dia jadi sering ketemu orang baru. Enggak dia ga
takut sama orang baru, malah dia duluan yang nanya nama
kamu siapa gitu.”
3. MANFAAT KETERLIBATAN ORANG TUA
a. Apa saja manfaat yang ibu/bapak rasakan dengan adanya
keterlibatan ibu/bapak dalam pendidikan anak?
Jawaban: “Iya nambah wawasan, aku yang tadinya
gatau jadi tau, lebih ke cara pegang dia gimana. Bukan
masalah pendidikan sih, tapi lebih ke cara merawat dia
nya gimana apalagi pada saat tantrum. Iya, jadi ngerasa
puas bisa ngerawat dia.”
240
TRANSKIP WAWANCARA
INFORMAN TENAGA PENGAJAR
Nama Informan : Sarinah (Guru Kelas Behaviour)
Usia : 52 tahun
Hari, Tanggal Wawancara : Rabu, 15 Mei 2019
Tempat Wawancara : Ruang Kelas Besar
Waktu Wawancara : 13.32 WIB
A. Isi Wawancara
1. Bagaimana tanggapan ibu terhadap keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak? Jawaban: “Sedikit sih yang aktif
terlibat, yang nanya juga sedikit paling kaya ibunya slamet,
umminya Azka kalo ibunya endrik sih jarang nanya. ”
2. Hal-hal apa yang biasa orang tua tanyakan seputar anak?
Jawaban: “Paling kalo abis kelas nanya ke saya tadi belajar
apa terus ada progres gak belajarnya. Ke anaknya juga nanya
gimana tadi belajarnya susah gak. Jarang sih kalo nanya yang
kaya gitu. Kebanyakan justru nanya seputar pembagian
nutrisi.”
3. Bagaimana proses bertanya yang dilakukan orang tua kepada
ibu selaku guru pengajar? Jawaban: “Kalo untuk bertanya
secara personal via whatsapp kayanya jarang ya, paling
mereka ngabarinnya melalui grup atau mungkin kirim pesan
personal ke Pak Adi. Ke saya pribadi si ga pernah ada yang
nanya, kalo ke guru lain kurang tau ya kak. Kalo ketemu
langsung juga jarang pada nanya tentang progres anaknya di
kelas cuma sebagian kecil aja.”
4. Bagaimana tingkat kehadiran orang tua pada saat diundang
dalam kegiatan di upd? Jawaban: “Tingkat kehadiran
mereka cukup tinggi ya dalam mengikut acara yang diadakan
lembaga kaya sosialisasi, penyuluhan.”
5. Apa yang ibu ajarkan/ latihkan di kelas dalam hal
kemandirian anak? Jawaban: “Merapikan buku dan alat tulis
dan dimasukkan ke tas secara mandiri, makan dan minum
sendiri, sama di sini biasa dilatih setiap habis makan itu anak
harus mencuci tempat makannya sendiri, buang sampah
bekas bungkusan makanannya dan merapikan kelas kaya
nyapu-nyapu gitu.”
241
6. Manfaat apa yang ibu rasakan dengan adanya keterlibatan
orang tua terhadap pendidikan anak? Jawaban: “Jadi lebih
cepet menangkap dan menerima pelajaran di kelas, karena
biasa diajarin di rumah sama orang tua nya. Beda sama yang
engga diajarin, lebih lama prosesnya.”
\
242
PEDOMAN WAWANCARA
INFORMAN TENAGA PENGAJAR
Nama Informan : Siti Khodijah (Guru Kelas Persiapan)
Usia : 52 tahun
Hari, Tanggal Wawancara : Kamis, 16 Mei 2019
Tempat Wawancara : Ruang Terapi
Waktu Wawancara : 13.09 WIB
A. Isi Wawancara
1. Bagaimana tanggapan ibu terhadap keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak? Jawaban: “Jarang pada nanya si
paling mamanya Tor, Efika, sama mamanya Tasya yang
lumayan sering nanya.”
2. Hal-hal apa yang biasa orang tua tanyakan seputar anak?
Jawaban: “Biasanya merekea nanya ke Pak Adi, paling
beberapa aja yang nanya ke kita tentang gimana proses
belajar anaknya di kelas, terutama anak yang belum bisa
fokus.”
3. Bagaimana proses bertanya yang dilakukan orang tua kepada
ibu selaku guru pengajar? Jawaban: “Biasanya bertanya
langsung setelah selesai kelas, kalo untuk via hape paling di
grup upd aja.”
4. Bagaimana tingkat kehadiran orang tua pada saat diundang
dalam kegiatan di upd? Jawaban: “Beberapa orang tua
bertanya di grup, kan ada grup whatsappnya. Mereka juga
ngabarin lewat grup biasanya, izin gak masuk karena
anaknya sakit, atau lagi ada urusan. Kalo chatt personal ke
saya belum pernah, kebanyakan orang tua biasanya chatt
personal langsung ke Pak Adi.”
5. Apa yang ibu ajarkan/ latihkan di kelas dalam hal
kemandirian anak? Jawaban: “Makan, cuci piring, lap
liurnya sendiri.”
6. Manfaat apa yang ibu rasakan dengan adanya keterlibatan
orang tua terhadap pendidikan anak? Jawaban: “Di kelas
jadi lebih terkontrol emosinya, suasana kelas jadi lebih
nyaman dan efektif kan kalo mereka bisa diatur.”
243
TRANSKIP WAWANCARA
INFORMAN TENAGA PENGAJAR
Nama Informan : Tuti (Guru Kelas Pra-Vokasional)
Usia : 44 tahun
Hari, Tanggal Wawancara : Kamis, 16 Mei 2019
Tempat Wawancara : Ruang Kelas Besar
Waktu Wawancara : 14.53
A. Isi Wawancara
1. Bagaimana tanggapan ibu terhadap keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak? Jawaban: “Sebagian besar bertanya.
Itu wajar ya kak, emang gak terlalu panjang yang gimana-
gimana. Mereka juga mungkin memahami kondisi anaknya
seperti apa.”
2. Hal-hal apa yang biasa orang tua tanyakan seputar anak?
Jawaban: “Iya paling nanya kaya anaknya mau gak ngikutin
pelajaran gitu, karena kan anak-anak kaya gini belajarnya
gak seperti anak normal. Mereka juga nanya kenapa di rumah
susah diajarinnya.”
3. Bagaimana proses bertanya yang dilakukan orang tua kepada
ibu selaku guru pengajar? Jawaban: “Ada beberapa orang
tua yang chatt personal ke saya atau ke grup whatsapp juga.”
4. Bagaimana tingkat kehadiran orang tua pada saat diundang
dalam kegiatan di upd? Jawaban: “Kalo ada kegiatan suka
rame yang dateng, biasanya Pak Adi kasih info di grup. Kalo
kegiatannya kaya sosialisasi tentang kesehatan atau gizi kan
cuma ngelibatin orang tua. Kalo kaya gitu, anaknya tetap
belajar di kelas, orang tua di luar ikut kegiatan. Kalo kaya
acara kartini atau buka puasa bersama itu kan ngelibatin
keduanya, jadi tidak ada kegiatan kelas.”
5. Apa yang ibu ajarkan/ latihkan di kelas dalam hal
kemandirian anak? Jawaban: “Melipat baju, menyetrika,
memasak, menyapu halaman, mencuci piring.”
6. Manfaat apa yang ibu rasakan dengan adanya keterlibatan
orang tua terhadap pendidikan anak? Jawaban: “Kalo orang
tuanya aktif ngajarin di rumahkan keliatan di kelasnya anak
jadi terkontrol dan lebih mudah untuk diarahkan.”
244
TRANSKIP WAWANCARA
INFORMAN KETUA UPD KOTA TANGSEL
Nama Informan : Adi Supanggih
Usia : 53 tahun
Hari, Tanggal Wawancara : Kamis, 16 Mei 2019
Tempat Wawancara : Ruang Ketua
Waktu Wawancara : 15.40 WIB
A. Isi Wawancara
1. Bagaimana tanggapan bapak terhadap keterlibatan orang tua
dalam pendidikan anak? Jawaban: “Masih sebagian kecil
kalo untuk bertanya secara langsung, paling mereka bertanya
saat ada forum. Kadang mereka bingung juga apa yang mau
mereka tanyain, memang harus kitanya yang kasih stimulus.
Harus kita panggil dan ajak ngobrol, baru mereka cerita.”
2. Hal-hal apa yang biasa orang tua tanyakan seputar anak?
Jawaban: “Biasanya nanya jenis disabilitas anaknya, karena
mereka bingung dan bahkan gatau. Cara megang anak seperti
ini di rumah gimana, sama kaya nanya tempat terapi atau
sekolah slb untuk anaknya. Karena jenis terapi di sini kan
cuma ada fisioterapi, untuk okupasi dan terapi wicara belum
ada.”
3. Bagaimana proses bertanya yang dilakukan orang tua kepada
bapak selaku ketua lembaga? Jawaban: “Kami kan
menyediakan grup whatsapp yang isinya saya, para guru,
para orang tua dan para staff. Biasanya mereka langsung
menghubungi saya secara personal jika memang yang
dibicarakan bersifat personal. Banyak dari mereka juga
biasanya memberi kabar lewat grup seperti izin gak masuk.”
4. Bagaimana tingkat kehadiran orang tua pada saat diundang
dalam kegiatan di upd? Jawaban: “Banyak orang tua yang
hadir kalo ada kegiatan, baik yang hanya melibatkan orang
tua seperti sosialisasi gizi maupun melibatkan anak seperti
pemeriksaan kesehatan dan sosialisasi kesehatan, kartini,
buka puasa bersama.”
5. Apa saja yang diajarkan/ latihkan di kelas dalam hal
kemandirian anak? Jawaban: “Kalo untuk itu beda-beda di
setiap kelasnya, memang tujuan utamanya adalah
kemandirian. Tapi kita liat lagi, kalo untuk kelas besar
biasanya itu dilatih menyapu, memasak, mencuci piring.
245
Kalo di kelas kecil dan autis kan ga mungkin kita ajarin kaya
gitu, pasti prosesnya lebih panjang. Di kelas kecil itu kita
latih untuk merapikan buku dan alat tulis sendiri, makan
sendiri, elap air liur sendiri. Hal-hal kecil yang memang terus
kita latih ulang-ulang biar mereka terbiasa mandiri nantinya.
Kalo untuk kelas autis hampir sama kaya kelas kecil, cuma
lebih ditekankan gimana caranya anak bisa fokus dan
terkontrol di kelas.”
6. Manfaat apa yang bapak rasakan dengan adanya keterlibatan
orang tua terhadap pendidikan anak? Jawaban: “Sebenarnya
setiap usaha yang dikeluarkan orang tua pasti ada hasilnya,
dan hasil yang dirasakan itu kembali kepada mereka para
orang tua.”
246
LAMPIRAN 9: Foto Penelitian
Kegiatan Forum Development Session
Pemeriksaan Kesahatan
Membuat Batik Celup
247
Penyuluhan Kesehatan
Buku Kehadiran Harian
Foto Pada Saat Penulis melakukan home visit