16

Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Terhadap Perubahan Sosial Pada MahasiswaPenulis: Juneman, Bagus TakwinJurnal Ilmiah Psikologi Vol. 5 No. 1 Desember 2011AbstrakPara pemimpin politik mengharapkan bahwa perubahan yang dilakukannya dipersepsikan berdampak besar di mata konstituennya; bilamana mungkin, nampak lebih besar daripada perubahan yang secara aktual atau sesungguhnya dilakukan. Sejumlah hasil survei memperlihatkan bahwa orang cenderung menilai kondisi bangsa ini lebih buruk daripada kondisi di masa lampau. Penelitian ini menjelaskan bahwa kedua hal tersebut dan gejala-gejala sejenis di masyarakat kita dapat dijelaskan dan dapat dicapai dengan variasi kesadaran tentang perubahan diri. Hipotesis penelitian ini adalah bahwa berkat perubahan diri yang tidak disadari, orang memberikan penilaian berlebihan (bias overestimasi) tentang perubahan dunia atau perubahan sosial. Data yang dikumpulkan dari 143 mahasiswa Jakarta (57 laki-laki, 86 perempuan, M = 20.23 tahun, SD = 0.89 tahun) dengan metode penyampelan insidental dianalisis dengan regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesadaran perubahan diri merupakan prediktor signifikan bagi persepsi tentang perubahan sosial (R2 = 0.144, F(1, 142) = 24.690, p Kata Kunci: perubahan sosial, perubahan diri, persepsi, kesadaran, bias overestimasiAbstractPolitical leaders desire that their constituents perceive that the social change they create greatly affect the society. They might even want the constituents think that the change is bigger than it looks. Survey results showed that Indonesian people tend to think that the social condition of the country is much worse than it was the previous time. This research tried to see that the politicians' expectation, the general people opinion about the current social condition in Indonesia and other similar phenomena are related to self-change awareness. The hypothesis of this research was that unaware self-changes make people wrongly overestimate the world or social change. The data was taken from 143 students in Jakarta (57 are males and 86 females, M = 20.23 years old and SD = 0.89 years). The sampling technique was incidental sampling. The data was analyzed using multiple linear regression statistical analysis. The research results showed that self-change awareness is a significant predictor for the perception of social change (R2 = 0.144, F(1, 142) = 24.690, p Key words: social change, self change, perception, awareness, overestimation bias

Citation preview

Page 1: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial
Page 2: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial
Page 3: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial
Page 4: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

PENDAHULUAN

“But I don’t want to go among mad people,” Alice remarked. “Oh, you can’t help that,” said the Cat: “We’re all mad here. I’m mad. You’re mad.” “How do you know that I’m mad?” said Alice. “You must be,” said the Cat, “or you wouldn’t have come here.” —Carroll (1865, h. 93)

Dialog Alice dengan Sang Kucing dalam novel Alice’s Adventures in Wonderland

menggambarkan dengan tepat bahwa persepsi sosial rentan mengalami bias. Dalam dialog

tersebut, Alice menilai makhluk-makhluk di sekitarnya sebagai gila (mad) tetapi penilaiannya

tersebut dinilai tidak akurat oleh Sang Kucing, karena Alice sendiri pun dalam kondisi yang

tidak berbeda dengan makhluk di sekitarnya, dan kondisi ”ketidaktahuan Alice” ini menurut

Sang Kucing telah membuatnya bias menilai yang lain.

Moskowitz (2005) menyebut fenomena seperti contoh tersebut sebagai realisme naif. Istilah ini

merujuk pada kegagalan seseorang untuk mengenali bahwa penyimpulannya mengenai orang

lain telah melalui proses subjektif. Dalam tulisannya, Ichheiser (1943, h. 145-146) menyatakan:

Orang-orang yang secara psikologis naif dan tidak reflektif meyakini bahwa ia mengalami dan mengamati orang lain dengan cara yang objektif dan tidak bias … ia tidak menyadari fakta bahwa proses-proses (salah interpretasi) tertentu tengah bekerja dalam dirinya. Proses-proses ini mendistorsi dan membuat salah tafsir (falsify) pengalamannya mengenai orang lain bahkan pada tingkat pengamatan langsung. Proses-proses ini tetap tersembunyi dari orang tersebut: bahwa yang ia anggap “fakta/kenyataan” telah disusupi atau ditembusi oleh—serta sebagian merupakan hasil dari—misinterpretasi yang tidak ia perhatikan dan tidak ia sadari namun yang secara sistematis berproses.

Kendati demikian, perseptor sosial secara umum memiliki motif atau tujuan untuk memiliki

akurasi dalam memandang dunia sosialnya, dalam menilai kualitas orang, tempat, dan objek

dalam lingkungannya (McCaslin, Petty, & Wegener, 2010; Strack, 1992). Apabila perseptor

mengetahui bahwa sejumlah faktor telah membiaskan persepsinya mengenai target persepsi, dan

perseptor merasa bahwa bias ini tidak perlu, mereka dapat menggunakan keyakinan awamnya

mengenai bagaimana faktor pembiasan ini telah mempengaruhi penilaian mereka. Mereka akan

menentukan arah dan tingkat koreksi yang diperlukan guna menyingkirkan pengaruh (bias) yang

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 5: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

tidak diinginkan tersebut. Hal ini dinyatakan dalam model koreksi berbasis teori (theory-based

correction models) (Wegener & Petty, 1997; Wilson & Brekke, 1994).

Masalahnya adalah tidak semua orang menyadari faktor-faktor yang berpotensi membiaskan

persepsinya. Orang seringkali tidak menyadari (lack of awareness) bahwa aktivitas mental telah

mempengaruhi kognisi sosialnya (Moskowitz, 2005).

Nisbett dan Wilson (1977) menemukan bahwa orang tidak hanya tidak menyadari bahwa sesuatu

mungkin mempengaruhi persepsi mereka tentang orang lain; tetapi juga orang bahkan tidak

mampu untuk melaporkan secara akurat sifat dari suatu pengaruh ketika mereka secara tepat

mencurigai bahwa sesuatu mempengaruhi persepsi mereka.

Dalam eksperimen Nisbett dan Wilson, partisipan menyaksikan sebuah wawancara dengan

seorang guru yang berbicara dengan aksen asing (foreign accent). Sebagian partisipan

menyaksikan guru yang berbicara dengan cara yang "hangat" dan positif, sedangkan sebagian

lainnya menyaksikan guru yang berbicara dengan cara yang "dingin" dan negatif. Hasil

eksperimen menunjukkan bahwa tingkat kesukaan partisipan terhadap guru akibat manipulasi

eksperimental telah mempengaruhi penilaian mereka dalam dimensi-dimensi yang lain dari guru,

bahkan dalam dimensi-dimensi yang seharusnya tidak terpengaruh (misalnya, tingkat

kemenarikan guru tersebut bagi partisipan, tingkat sejauh mana partisipan menyukai aksen guru

tersebut). Hal yang penting dalam konteks pembahasan ini bukanlah adanya "efek halo",

melainkan bahwa partisipan tidak dapat secara tepat menerka arah dari pengaruh yang

dialaminya. Mereka nampaknya mengetahui bahwa penilaian mereka terhadap guru tersebut

bias. Namun mereka meyakini bahwa kemenarikan sang guru lah yang telah mempengaruhi

tingkat kesukaan mereka terhadap guru tersebut; bukan sebaliknya, bahwa tingkat kesukaan

mereka yang bias oleh pengamatan telah mempengaruhi cara mereka menilai apakah guru

tampak menarik atau tidak. Ini merupakan contoh yang baik tentang bagaimana orang mencoba

untuk memantau proses-proses mental mereka, bahkan mencurigai bahwa mereka mungkin bias

dalam menilai, namun mereka—dalam kondisi ketidaksadaran (lack of awareness) akan suatu

pengaruh—tidak memiliki petunjuk tentang hal apa yang sesungguhnya menentukan cara mereka

mencapai suatu kesimpulan dan penilaian (bagaimana mereka mengetahui apa yang mereka

ketahui, atau mengapa mereka berperilaku sebagaimana mereka berperilaku).

Penelitian selanjutnya yang meneguhkan peran ketidaksadaran dalam bias persepsi sosial adalah

eksperimen Bargh dan Pietromonaco (1982) yang secara subliminal menyajikan stimulus

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 6: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

terhadap partisipan. Asumsi eksperimen mereka adalah bahwa jika orang tidak pernah menyadari

bahwa ia telah melihat sebuah kata, maka mustahil baginya menyadari pengaruh yang dimiliki

oleh kata tersebut terhadap penilaian dan pembentukan kesan yang dilakukannya. Bargh dan

Pietromonaco memberikan paparan kata-kata sifat kepada partisipan serta memberikan mereka

satu paragraf kalimat untuk dibaca mengenai seseorang bernama Donald. Namun kata-kata sifat

tersebut disajikan secara subliminal (di bawah ambang kesadaran). Kata-kata sifat yang disajikan

secara subliminal terkait dengan konsep “hostilitas” (misalnya, hostile, unkind, punch, hate, hurt,

rude, stab). Selanjutnya, partisipan membaca sebuah deskripsi ambigu tentang Donald yang

mungkin hostil mungkin tidak (ambiguously hostile). Partisipan diminta untuk membentuk kesan

tentang Donald. Mereka menilai Donald dalam serangkaian skala. Sejumlah skala berkaitan

dengan hostilitas, dan sejumlah skala lainnya tidak berkaitan. Hipotesis eksperimen ini adalah

bahwa apabila sebuah konsep dibuat aksesibel oleh penyajian subliminal, maka Donald

seharusnya akan dilihat sebagai lebih hostil karena konsep tersebut dibuat lebih aksesibel.

Berdasarkan prediksi bahwa kekuatan aksesibilitas memiliki pengaruh terhadap asimilasi konsep,

penelitian memanipulasi seberapa kuat konsep-konsep yang disajikan secara subliminal akan

diaktifkan. Ada dua kondisi. Satu kondisi menyajikan secara subliminal 20% kata sifat yang

bersifat hostil, kondisi lainnya 80%. Hasilnya menunjukkan bahwa Donald dinilai lebih hostil

dalam kondisi 80% dibandingkan dengan kondisi 20%.

Jadi, dalam eksperimen-eksperimen di atas, perseptor eksperimental tidak menyadari adanya

kekuatan pengaruh (influencing force) yang berasal dari manipulasi cara guru berbicara (Nisbett

& Wilson, 1977) atau kata-kata yang disajikan secara subliminal (Bargh & Pietromonaco, 1982)

terhadap diri mereka. Partisipan juga tidak melihat bahwa penilaian mereka telah dibentuk oleh

hal-hal yang tidak mereka sadari pengaruhnya tersebut.

Eibach, Libby, dan Gilovich (2003) melengkapi temuan-temuan di atas, bahwa bias dalam

persepsi sosial disebabkan oleh ketidaksadaran perubahan diri. Namun mereka memfokuskan

diri pada target persepsi berupa dunia sosial yang berubah. Sebagai contoh (Eibach, Libby, &

Gilovich, 2003, h. 918):

… ada saat-saat di mana dilema atribusional tidak begitu mudah dipecahkan: … “Apakah globalisasi telah mereduksi (mengurangi) harga segala sesuatu, ataukah hal ini sebenarnya perkara saya yang telah menghasilkan uang yang sesungguhnya?”

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 7: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

(… there are occasions in which the attributional dilemma is not so easily resolved: … “Has globalization reduced the price of everything, or is it that I’m finally making real money?”)

Terhadap pertanyaan di atas, misalnya, tesis mereka menawarkan kemungkinan jawaban bahwa

penurunan harga barang yang nampak di mata perseptor bukan akibat faktual dari globalisasi,

melainkan karena diri perseptor sendiri telah mengalami perubahan menjadi lebih mampu

menghasilkan banyak uang, sehingga harga barang dipersepsikan berkurang.

Topik ini menjadi penting, karena dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menemukan

fenomena sejenis yang disebutkan di atas. Ambil contoh, misalnya, komentar seorang warga

masyarakat, Jaim, sebagai berikut: “Pada Zaman Pak Harto, harga-harga kebutuhan pokok sangat

terkontrol dan belum pernah rakyat antri untuk beli BBM seperti sekarang" (Kompas, 2008).

Pernah juga dilansir hasil survei LSI yang diselenggarakan tanggal 1 sampai 5 Mei 2010 (Dayat,

2010):

Setelah 12 tahun reformasi bergulir dan jatuhnya Soeharto, publik ternyata merindukan kembali Orde Baru. Hanya 16,9 % dari masyarakat Indonesia yang merasa kondisi di era reformasi lebih baik. Jauh lebih banyak, 44,5%, yang menyatakan justru kondisi di era Orde Baru lebih baik. Salah satu penyebabnya, reformasi yang sudah 12 tahun berjalan belum membuahkan ekonomi rakyat yang lebih baik. Mereka menganggap ekonomi di era Orde Baru jauh lebih baik.

Perubahan sosial (perubahan orde baru ke orde reformasi) dinilai lebih buruk atau lebih negatif

oleh masyarakat. Fenomena ini sudah lazim di mana-mana dan dijelaskan Schwarz, Wanke, dan

Bless (1994), bahwa perbandingan dengan masa lalu seringkali dilakukan ketika terdapat

problem di masa sekarang yang dahulunya tidak ada. Padahal, terdapat pula problem-problem

yang ada di masa lalu dan tidak terdapat lagi di masa sekarang. Dengan demikian, pengurangan

kesalahan atribusi ini adalah dengan melakukan perbandingan dengan arah sebaliknya, yakni

bukannya membandingkan masa sekarang dengan masa lalu, melainkan membandingkan masa

lalu dengan masa sekarang. Dengan melakukan perbandingan terbalik berarti bahwa orang dibuat

sadar mengenai perubahan dirinya yang terjadi di antara masa lalu dan masa sekarang.

Perubahan sosial (Jordan & Pile, 2002, h. xiv) dalam hal ini merupakan:

[Perubahan] waktu dan tempat bilamana dan di mana masyarakat menjadi berbeda … [Orang-orang] berurusan dengan situasi di mana hal-hal menjadi asing (strange), ketika hal-

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 8: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

hal baru dan hal-hal lama bersentuhan satu sama lain atau mengalami evolusi menjadi bentuk sosial yang lain.

Memang, dalam tinjauan sosiologi, dimensi kunci dari perubahan sosial yang signifikan adalah

aspek kekinian (kekontemporeran)-nya. Seringkali dinyatakan bahwa periode saat ini merupakan

satu dari perubahan sosial substansial apabila dibandingkan dengan era sebelumnya.

Namun demikian, Matthew Adams (2007) menunjukkan bahwa apabila sejumlah orang ditanyai

mengenai perubahan sosial apa sajakah yang signifikan dalam 50 tahun terakhir, maka orang-

orang tersebut dapat tidak memberikan jawaban yang serupa. Penjelasannya adalah bahwa, pada

kenyataannya, apa yang dipersepsikan orang sebagai perubahan sosial yang penting akan

bervariasi bergantung pada sejarah pribadi, relasi-relasi, dan konteks kekinian orang tersebut.

Perubahan sosial, seperti misalnya jatuhnya tembok Berlin, dapat dialami sebagai sangat

signifikan bagi sejumlah orang, namun tidak relevan bagi orang yang lain. Generalisasi yang

disepakati bersama sejak dini mengenai perubahan sosial yang penting sangatlah sulit. Inilah

sebabnya perubahan sosial dalam penelitian ini diperlakukan secara perseptual.

Menurut Adams (2007), terdapat relasi antara perubahan sosial dan diri-identitas (self-identity).

Adams melakukan kajian spekulatif dan mengemukakan bahwa terdapat ragam diri (self) yang

dapat menjelaskan hubungan mutual antara kedirian (selfhood) dengan perubahan sosial, serta

bahwa diri sangat mungkin diganggu oleh pengalaman ketidakpastian (uncertainty) dan

ketiadaan kendali (lack of control) yang timbul dari peristiwa perubahan sosial.

Diri (self) dalam hal ini merupakan konstruk sentral yang mewarnai cara orang mempersepsikan

tentang sesuatu, berpikir, dan bertindak (Banaji & Prentice, 1994; Baumeister, 1998). Guna

mengerti kesadaran perubahan diri, perlu dipahami terlebih dahulu apa itu kesadaran diri. Untuk

memahami kesadaran diri dalam penelitian ini digunakan definisi proses, bahwa kesadaran diri

merupakan sebuah proses dinamis, bukan sebuah fenomena statis. Sebagaimana dinyatakan oleh

Rochat (2003, h. 728):

Sebagai orang dewasa, kita secara konstan bergerak-gerak dalam tingkat kesadaran kita: dari bermimpi atau kehilangan kesadaran tentang diri kita selama tidur, sampai dengan sadar diri yang tinggi (highly self-conscious) dalam situasi publik atau dalam keadaan kebingungan dan disosiasi ketika kita “menyelamkan” diri kita dalam film atau bacaan novel.

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 9: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

Penelitian ini hendak menguji pendapat Adams (2007) serta kemampuan prediksi dari model

teoretis Eibach, Libby, dan Gilovich (2003) sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya pada

mahasiswa di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, "perubahan sosial" atau "perubahan dunia" secara operasional dibatasi

sebagai "perubahan dunia kampus". “Dunia kampus” sendiri merupakan istilah yang sudah

dikenal luas oleh mahasiswa dan komunitas perguruan tinggi lainnya untuk menggambarkan

kehidupan formal, informal, dan nonformal yang terkait dengan perguruan tinggi. Sebagai

buktinya, elisitasi istilah yang dilakukan melalui mesin pencari Google saat ini menunjukkan

bahwa istilah “dunia perguruan tinggi” memunculkan 100.000 entri, “kehidupan kampus”

250.000 entri, dan “dunia kampus” memunculkan lebih dari 300.000 entri hasil pencarian (jadi:

paling banyak). Istilah “kesadaran perubahan diri” merujuk pada kesadaran mengenai diri yang

berubah. Dalam konteks penelitian ini, "perubahan diri" dibatasi sebagai "perubahan diri dalam

kaitannya dengan dunia kampus".

Partisipan studi ini terdiri atas 40 orang (14 laki-laki, 26 perempuan) untuk penelitian pilot, dan

143 orang (57 laki-laki, 86 perempuan, Musia = 20.23, SDusia = 0.89) untuk penelitian

pelaksanaan. Seluruh partisipan untuk penelitian pilot maupun penelitian pelaksanaan merupakan

mahasiswa, dari Universitas Bina Nusantara, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, dan

Universitas Mercu Buana Jakarta yang berasal dari berbagai program studi. Seluruh partisipan

diambil dengan metode penyampelan insidental.

Partisipan diberikan skala baik dalam penelitian pilot maupun penelitian pelaksanaan. Skala

kesadaran perubahan diri berjumlah 8 butir, memiliki rentang respons dari Sangat Tidak Sesuai

(1) sampai dengan Sangat Sesuai (5), dikembangkan oleh peneliti berdasarkan teori diri (self

theory) dari William James (1890). Contoh pernyataan dalam skala ini: “Selama berada di dunia

kampus, saya mengalami banyak perubahan dalam penampilan” (diri material); “Selama berada

di dunia kampus, saya mengalami banyak perubahan dalam pergaulan” (diri sosial); “Selama

berada di dunia kampus, saya mengalami banyak perubahan dalam cita-cita” (diri spiritual); dan

“Selama berada di dunia kampus, saya mengalami banyak perubahan dalam pemikiran dan

perasaan mengenai identitas diri” (ego murni). Berdasarkan data uji coba yang diperoleh dari

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 10: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

partisipan, skala ini menunjukkan konsistensi internal yang tinggi (α = 0.690) dengan menghapus

2 butir. Seluruh butir skala memiliki corrected item total di atas 0.30.

Skala persepsi terhadap perubahan sosial berjumlah 10 butir, dikembangkan oleh peneliti

berdasarkan aspek-aspek pemangku kepentingan sebuah perguruan tinggi, yakni (1) Dosen, (2)

Mahasiswa, (3) Karyawan, dan (4) Institusi Universitas. Contoh pernyataan dalam skala ini:

“Selama ini, dunia kampus banyak mengalami perubahan dalam kualitas dosen”; “Dunia kampus

banyak mengalami perubahan dalam pergaulan antar mahasiswa”; “Dunia kampus banyak

mengalami perubahan dalam pelayanan terhadap mahasiswa”; “Dunia kampus banyak

mengalami perubahan dalam materi pelajaran”. Berdasarkan data uji coba yang diperoleh dari

partisipan, skala ini menunjukkan konsistensi internal yang tinggi (α = 0.815), tanpa ada butir

pernyataan yang harus dieliminasi untuk meningkatkan koefisien reliabilitas. Seluruh butir skala

memiliki corrected item total di atas 0.30.

Desain studi ini adalah desain korelasional, dengan prediktor kesadaran perubahan diri, serta

variabel dependen persepsi terhadap perubahan dunia/sosial. Data dianalisis dengan

menggunakan analisis regresi linear berganda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Regresi linear berganda menunjukkan hasil R2 = 0.144, F(1, 142) = 24.690, p < .01. Rincian

analisis nampak dalam Tabel 1.

Tabel 1.

Hasil Analisis Regresi Linear Berganda untuk Memprediksi Persepsi Terhadap Perubahan

Sosial (n = 143)

Variabel B SE B ß

Kesadaran perubahan diri -0.753 0.155 -0.379**

Catatan. **p < .01.

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 11: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

Ditemukan bahwa semakin tinggi kesadaran perubahan diri, maka persepsi perubahan sosial

semakin rendah (ß = -0.379, p < .01). Dengan perkataan lain, dunia sosial dipandang berubah lebih

banyak pada orang yang mengalami kesadaran perubahan diri yang rendah.

Temuan penelitian ini menguatkan tesis Eibach, Libby, dan Gilovich (2003) bahwa diri yang

tidak sadar (unaware/blind self) mengenai perubahannya akan memberikan penilaian yang

berlebihan mengenai jumlah perubahan yang terjadi di dunia sosialnya. Kelompok orang yang

tidak atau kurang menyadari perubahan dirinya menilai bahwa dunia telah berubah, atau bahwa

dunia telah berubah lebih banyak, dibandingkan dengan kelompok orang yang sadar tentang

perubahan dirinya.

Penjelasannya adalah karena perubahan diri seringkali bersifat subtil atau samar, gradual,

perlahan-lahan, tidak menonjol (nonsalient), sehingga sering tidak disadari. Jadi, perubahan yang

terkait dengan bagaimana dunia nampak pada diri seseorang yang sedang atau telah berubah

diatribusikan orang itu sebagai perubahan aktual (sebagaimana adanya) dunia.

Eibach dan Libby (2009) pernah melakukan analisis terhadap ketakutan akan kemerosotan moral

dalam masyarakat guna menjelaskan daya tarik psikologis dari nostalgia, tradisi, dan opini-opini

konservatif secara politis. Mereka menemukan bahwa, misalnya, ketika orang menjadi orangtua,

mereka melihat dunia sebagai tempat yang lebih berbahaya, namun gagal mengenali bahwa

perubahan dirinya lah yang bertanggung jawab terhadap persepsi itu. Oleh karena orangtua mulai

memiliki anak, dunia ini nampak lebih berbahaya untuk keselamatan anak-anak mereka. Uraian

Eibach dan Libby kongruen dengan temuan penelitian ini. Orang juga gagal menyadari bahwa

pandangannya mengenai kemerosotan sosial (social decline) dewasa ini dipengaruhi oleh kondisi

fisik dan mentalnya yang mengalami perubahan yaitu penurunan karena penuaan (aging),

sehingga mereka merasa mengalami lebih banyak frustrasi dengan perubahan-perubahan dunia.

Sebagai hasilnya, orang mengalami “gravitasi” ke arah posisi yang lebih konservatif dan

menjustifikasi sistem yang sudah ada serta menolak gagasan perubahan.

Dalam kehidupan sehari-hari, temuan penelitian ini dapat digunakan dalam rangka pendidikan,

konseling, maupun psikoterapi terhadap orang-orang yang mengalami frustrasi terhadap

lingkungan sesungguhnya disebabkan oleh perubahan diri sendiri yang tidak disadari. Ambil

contoh, seorang Indonesia yang baru lulus sarjana di dalam negeri kemudian melanjutkan studi

pascasarjana di luar negeri dan sempat bekerja di sana. Ketika ilmuwan ini pulang ke Indonesia,

ia merasa kecewa karena merasa kurang atau tidak dihargai di tanah air (dibandingkan dengan di

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 12: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

luar negeri) dari sisi ganjaran finansial maupun non-material. Sangat mungkin bahwa taraf

penghargaan terhadap ilmuwan di tanah air tetap atau tidak mengalami perubahan signifikan.

Orang tersebut dapat dibantu untuk menyadari bahwa ketidakterlibatan dirinya dengan Indonesia

selama tidak berada di tanah air telah menyebabkan pelemahan kesadaran tentang perubahan

dirinya. Dirinya sangat mungkin telah berubah dalam hal kemampuan dan dalam hal aspirasi

akan apresiasi terhadap kualifikasi/kemampuannya. Peningkatan aspirasi ini serta merta

dijadikan patokan oleh orang tersebut untuk menilai sejauh mana orang/lembaga lain di tanah

airnya menghargainya. Hal ini akan memicu kekecewaan yang berkepanjangan, frustrasi, bahkan

depresi klinis, atau reaksi lari (flight) keluar dari tanah air, apabila orang tersebut gagal

mengenali bahwa bukan tanah air yang berubah menjadi kurang atau pun tidak apresiatif

terhadap dirinya, melainkan bahwa aspirasi dirinya lah yang mengalami kenaikan kualitas.

Dalam kehidupan profesional, terutama profesi-profesi yang bersifat “menentukan nasib” orang

lain, seperti hakim, bias ini dapat juga berakibat merugikan orang lain. Yusti Probowati Rahayu

mengungkapkan salah satu hasil wawancara dalam rangka disertasi doktoralnya di Universitas

Gadjah Mada yang dilakukan dengan seorang hakim di Yogyakarta (HukumOnline, 2008).

Dalam wawancara, hakim tersebut menunjukkan bahwa ada seorang hakim memutuskan

hukuman yang sangat berat kepada terdakwa perkara pencurian, bila dibandingkan dengan

putusan yang lazim untuk kasus pencurian. Putusan itu disebabkan karena pada malam sehari

sebelum membuat keputusan, rumah hakim tersebut tiba-tiba kemalingan. Rahayu

menjelaskannya sebagai berikut:

Nah, saya pikir ini kondisi emosi, kan? Pada saat hakim itu ada dalam kondisi emosional harusnya hakim tak boleh membuat putusan. Sayang, kadang-kadang mereka tidak sadar. Mereka selalu mengklaim, “Kita tidak bias, kok”.

Apabila dikaitkan dengan hasil penelitian ini, hal yang dipaparkan Rahayu di atas sesungguhnya

dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada saat mengambil keputusan, sang hakim tidak menyadari

bahwa dirinya mengalami perubahan (kehilangan harta benda dan segala akibatnya terhadap

psike hakim) dan bahwa hal tersebut berimplikasi pada caranya melihat dunia sosial, dalam hal

ini orang lain (terdakwa pencuri). Kesalahan yang dilakukan terdakwa menjadi nampak lebih

banyak atau lebih tinggi kualitasnya di mata hakim, sehingga putusan yang dijatuhkannya pun

menjadi jauh lebih berat.

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 13: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

Koefisien determinasi (R2) 0.144 berarti bahwa 14.4% dari variasi persepsi terhadap perubahan

sosial dapat dijelaskan oleh kesadaran perubahan diri, sedangkan 85.6% sisanya dijelaskan oleh

variabel lain yang tidak menjadi fokus penelitian ini. Foster dan Caplan (1994) dalam

penelitiannya menemukan bahwa orang menilai tinggi (overestimate) tingkat perubahan dunia

ketika hal yang dinilai tersebut tidak stabil dan ambigu. Dengan demikian, persepsi terhadap

perubahan sosial juga dapat disumbang oleh variabel kejelasan objek yang dipersepsikan.

Penjelasannya adalah karena eksagerasi (pembesaran) persepsi tentang tingkat perubahan sosial

(yang tidak terkait dengan tingkat perubahan aktual atau sesungguhnya) merupakan metode

penanggulangan (coping) terhadap ambiguitas dan ketidakstabilan, guna memelihara konsep diri

yang positif.

Selanjutnya, Lieberman dan Pfeifer (2005) dalam risalahnya memberikan kita penerangan bahwa

dewasa ini tiga aspek pemrosesan diri (self-processing) yang bertanggungjawab terhadap

persepsi sosial adalah kesadaran diri (self-awareness), pengenalan atau pengetahuan diri (self-

recognition, self-knowledge), dan pengendalian diri (self-control). Kesadaran diri adalah

kapasitas untuk merefleksikan dan mengidentifikasikan diri dengan pengalaman dan tindakan

sendiri. Pengetahuan diri adalah kapasitas untuk mengenali diri sendiri serta gudang informasi

menyangkut kepribadian, preferensi/pilihan, dan sejarah otobiografis. Pengendalian diri adalah

kapasitas pengaturan untuk secara strategis mengatasi dorongan atau impuls dan kebiasaan

sendiri. Menariknya, ketiga aspek diri ini bahkan telah dibuktikan keberadaan jejaring neuralnya

dan proses-proses neurokognitifnya dalam penelitian-penelitian neurosains kognitif.

Yang menjadi fokus penelitian kali ini adalah kesadaran diri, dan secara spesifik: kesadaran

perubahan diri (self-change awareness). Penelitian ini menduga bahwa variasi persepsi tentang

perubahan dunia antara lain dapat diprediksi juga oleh pengenalan/pengetahuan diri dan

pengendalian diri. Namun demikian, yang tetap perlu digarisbawahi adalah bahwa diri

mengalami konstruksi dan rekonstruksi sepanjang waktu sebagai fungsi dari konstrain situasional

dan interpersonal.

SIMPULAN DAN SARAN

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 14: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

Penelitian ini merupakan penelitian pertama di Indonesia yang menyelidiki persepsi terhadap

perubahan sosial ditinjau dari kesadaran perubahan diri. Penelitian ini menemukan bahwa

keduanya berkorelasi negatif.

Sebagai saran metodologis, penelitian ini menganjurkan dilakukannya studi eksperimental guna

lebih memastikan relasi kausal antara kesadaran perubahan diri dan persepsi terhadap perubahan

sosial. Setelah dilakukan randomisasi menjadi dua kelompok dan kontrol kondisi, eksperimenter

dapat membagikan kuesioner yang diadaptasi dari Eibach, Libby, dan Gilovich (2003, h. 924).

Kuesioner ini bertujuan memanipulasi dan mengukur kesadaran perubahan diri. Instrumen ini

terdiri atas dua versi. Versi pertama diberikan kepada kelompok eksperimen, versi kedua

diberikan kepada kelompok kontrol. Pada kuesioner versi pertama, partisipan diminta untuk

mendaftarkan tiga hal mengenai diri mereka yang telah berubah sejak mereka menjadi

mahasiswa. Instruksinya adalah sebagai berikut:

Buatlah daftar 3 (tiga) hal atau aspek tentang diri Anda (misalnya: Kepribadian, Sikap, Pandangan terhadap sesuatu, dan sebagainya) yang telah berubah sejak Anda berada di dunia kampus / menjadi mahasiswa. Selanjutnya, ceritakan satu hal tentang diri Anda yang telah berubah pada masing-masing aspek tersebut. Tuliskan dengan sespesifik / serinci mungkin dalam menggambarkan tiap-tiap perubahan tentang diri Anda sejak Anda berada di dunia kampus.

Instrumen versi kedua sama dengan versi pertama, kecuali bahwa instruksi dalam instrumen ini

meminta partisipan untuk mendaftarkan 12 hal yang berubah dari diri mereka sejak mereka

menjadi mahasiswa. Pengisian kuesioner ini dapat mengambil waktu kira-kira 7 sampai 10

menit. Asumsinya, pemberian kuesioner versi pertama (instruksi mendaftarkan 3 hal) akan

memanipulasi kondisi partisipan, dalam hal mana partisipan akan menemukan bahwa dirinya

relatif mudah untuk menghasilkan daftar hal-hal yang berubah pada dirinya sejak menjadi

mahasiswa. Dengan demikian, mereka akan menyimpulkan bahwa mereka telah berubah cukup

banyak. Sebaliknya, partisipan yang diminta untuk mendaftarkan 12 hal (kuesioner versi kedua)

akan menemukan bahwa dirinya relatif sulit untuk menghasilkan daftar dua belas hal yang

berubah pada dirinya. Sebagai konsekuensinya, mereka akan menyimpulkan bahwa mereka telah

berubah relatif sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 15: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

Adams, M. 2007. Self and social change. Sage Publications, London.

Banaji, M. R., & Prentice, D. A. 1994. “The self in social context.” Annual Review of

Psychology vol. 45, pp. 297–332.

Bargh, J. A., & Pietromonaco, P. 1982. “Automatic information processing and social

perceptions: The influence of trait information presented outside of conscious awareness on

impression formation.” Journal of Personality and Social Psychology vol. 43, pp. 437-444.

Baumeister, R. F. 1998. The self. Dalam D. T. Gilbert, S. T. Fiske, & G. Lindzey (Eds.),

Handbook of social psychology (4th ed., h. 680–740). McGraw-Hill, New York.

Carroll, L. 1865. Alice’s adventures in wonderland. Penguin Group, New York.

Dayat. 2010, 19 Mei. Survei LSI: Publik rindukan orde baru. Diakses pada 26 Mei 2010, dari

http://www.tribunnews.com/2010/05/19/survey-lsi-publik-rindukan-orde-baru

Eibach, R. P., & Libby, L. K. 2009. Ideology of the good old days: Exaggerated perceptions of

moral decline and conservative politics. Dalam J. T. Jost, A. C. Kay, & H. Thorisdottir

(Eds.), Social and psychological bases of ideology and system justification. Oxford

University Press, New York.

Eibach, R. P., Libby, L. K., & Gilovich, T. D. 2003. “When change in the self is mistaken for

change in the world.” Journal of Personality and Social Psychology vol. 84, pp. 917-931.

Foster, D. A., & Caplan, R. D. 1994. “Cognitive influences on perceived change in social

support, motivation, and symptoms of depression.” Applied Cognitive Psychology vol. 8, pp.

123-139.

HukumOnline. 2008, 25 Februari. Yusti Probowati Rahayu: Kalau sedang tidak mood, hakim

jangan ambil putusan. Diakses pada 31 Mei 2010, dari

http://hukumonline.com/berita/baca/hol18596/yusti-probowati-rahayu-kalau-sedang-tidak-

imoodi-hakim-jangan-ambil-putusan

Ichheiser, G. 1943. “Misinterpretations of personality in everyday life.” Character and

Personality vol. 11, pp. 145-160.

James, W. 1890. The principles of psychology. Holt, New York.

Jordan, T. & Pile, S. (Eds.). 2002. Social change. Blackwell, Oxford.

Kompas. 2008, 28 Januari. Soeharto di mata rakyat. Diakses pada 26 Mei 2010, dari

http://travel.kompas.com/read/2008/01/28/1531559/Soeharto.di.Mata.Rakyat

Lieberman, M. D., & Pfeifer, J. H. 2005. The self and social perception: Three kinds of questions

in social cognitive neuroscience. Dalam A. Easton & N. Emery (Eds.), Cognitive

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

Page 16: Kesadaran Perubahan Diri dan Persepsi Perubahan Sosial

Ini adalah draf awal. Untuk membaca naskah publikasi selengkapnya dapat dilihat pada buku jurnal yang telah terbit

neuroscience of emotional and social behavior (pp. 195-235). Psychology Press,

Philadelphia.

McCaslin, M. J., Petty, R. E., & Wegener, D. T. 2010. Self-enhancement and theory-based

correction processes. Journal of Experimental Social Psychology vol. 46, pp. 830–835.

Moskowitz, G. B. 2005. Social cognition: Understanding self and others. Guilford Press, New

York.

Nisbett, R. E., & Wilson, T. D. 1977. “Telling more than we can know: Verbal reports on mental

process.” Psychological Review vol. 84, pp. 231-259.

Rochat, P. 2003. “Five levels of self-awareness as they unfold early in life.” Consciousness and

Cognition vol. 12, 717–731.

Schwarz, N., Wanke, M., & Bless, H. 1994. “Subjective assessments and evaluations of change:

Some lessons from social cognition research.” European Review of Social Psychology vol. 5,

181–210.

Strack, F. 1992. The different routes to social judgments: Experiential versus informational

based strategies. Dalam L. L. Martin & A. Tesser (Eds.), The construction of social

judgments (h. 249–275). Erlbaum, Hillsdale, NJ.

Wegener, D. T., & Petty, R. E. 1995. “Flexible correction processes in social judgment: The role

of naive theories in corrections for perceived bias.” Journal of Personality & Social

Psychology vol. 68, pp. 36–51.

Wilson, T. D., & Brekke, N. 1994. “Mental contamination and mental correction: Unwanted

influences on judgments and evaluations.” Psychological Bulletin vol. 116, pp. 117–142.