Upload
vankhuong
View
241
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KERENTANAN SOSIAL-EKONOMI (SOCIO-ECONOMIC
VULNERABILITY) PEDAGANG KAKI LIMA PASCA RELOKASI
(STUDI KASUS: PEDAGANG KAKI LIMA PASAR TANAH
ABANG BLOK G)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
REZA AGUSTIAN
NIM: 1112111000033
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
KERENTANAN SOSIAL-EKONOMI (SOCIO-ECONOMIC
VULNERABILITY) PEDAGANG KAKI LIMA PASCA
RELOKASI
(STUDI KASUS: PEDAGANG KAKI LIMA PASAR TANAH
ABANG BLOK G)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
REZA AGUSTIAN
NIM: 1112111000033
Di Bawah Bimbingan:
RR. SATITI SHAKUNTALA, M.SI
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
KERENTANAN SOSIAL-EKONOMI (SOCIO-ECONOMIC
VULNERABILITY ) PEDAGANG KAKI LIMA PASCA RELOKASI
(STUDI KASUS: PEDAGANG KAKI LIMA PASAR TANAH ABANG
BLOK G)
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Desember 2017
Reza Agustian
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Reza Agustian
NIM : 1112111000033
Program Studi : Sosiologi
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
KERENTANAN SOSIAL EKONOMI (SOCIO ECONOMIC
VULNERABILITY) PEDAGANG KAKI LIMA PASCA RELOKASI (STUDI
KASUS: PEDAGANG KAKI LIMA PASAR TANAH ABANG BLOK G)
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 14 Desember 2017
Mengetahui,
Ketua Program Studi,
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.
NIP. 197609182003122003
Menyetujui,
Pembimbing,
Rr. Satiti Shakuntala, M.SI
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KERENTANAN SOSIAL-EKONOMI (SOCIO-ECONOMIC
VULNERABILITY) PEDAGANG KAKI LIMA PASCA RELOKASI (STUDI
KASUS: PEDAGANG KAKI LIMA PASAR TANAH ABANG BLOK G)
oleh
Reza Agustian
1112111000033
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Januari 2018.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial
(S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si. Dr. Joharotul Jamilah, M.Si.
NIP. 197609182003122003 NIP. 196808161997032002
Penguji I, Penguji II,
M. Hasan Ansori, Ph.D Husnul Khitam, M.Si
NIP. NIP. 198308072015031003
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 16 Januari 2018
Ketua Program Studi Sosiologi,
FISIP UIN Jakarta
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.
NIP. 197609182003122003
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa kerentanan sosial-ekonomi (socio-economic
vulnerability) pedagang kaki lima pasca relokasi. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menggambarkan realitas vulnerabilitas/kerentanan sosial ekonomi PKL
pasca relokasi. teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kerentanan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.
Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan teknik wawancara dan
observasi sebagai data primer dan studi dokumentasi sebagai data pendukung.
Temuan dari penelitian ini adalah adanya vulnerability (kerentanan) pada
sosial-ekonomi pedagang yang direlokasi ke Blok G, kerentanan-kerentanan
tersebut adalah penghasilan, hubungan sosial PKL dengan konsumen, serta
kemiskinan. Pada kerentanan tersebut terdapat keterkaitan, yang pada intinya
sangat berpengaruh pada keberlangsungan hidup para pedagang. Dimana
penghasilan yang berkurang atau bahkan mati sekalipun karena tidak ada pembeli
dapat berpengaruh pada pendidikan anak para pedagang sebagai keturunan atau
penerus, atau rentan untuk menjadi miskin kembali saat mereka telah di klasifikasi
sebagai aktor miskin di perkotaan.
Artinya jika para pedagang merasa dirinya akan rentan saat direlokasi ke
Blok G, maka mereka akan memilih meninggalkan Blok G sebagai langkah untuk
menghindari kerentanan tersebut. Upaya-upaya yang mereka lakukan diantaranya
“kucing-kucingan” dengan Satpol PP saat ada penertiban, pindah ke area
pemukiman warga atau di dalam gang-gang, “buang barang” dan ada pula yang
tetap bertahan di Blok G tapi jualan di trotoar juga.
Kata kunci: Kerentanan, Sosial-Ekonomi dan Pedagang Kaki Lima
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada penulis, sehingga penulisan Skripsi dengan judul Kerentanan Sosial-
Ekonomi (Socio-Economic Vulnerability) Pedagang Kaki Lima Pasca Relokasi
(Studi Kasus: Pedagang Kaki Lima Pasar Tanah Abang Blok G) ini dapat
terselesaikan walaupun masih terdapat banyak kekurangan. Salawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya. Semoga para ummatnya mampu menyambut rongkat estafet
perjuangan yang beliau sampaikan melalui agama Islam.
Terselesaikannya skripsi ini tentunya tidak lepas dari kontribusi berbagai
pihak yang dengan ikhlas memberikan bantuannya, baik secara moril maupun
materil. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bapak/Ibu/Saudara yang terhormat, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Program Studi Sosiologi,
FISIP, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Joharatul Jamilah, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi
Sosiologi, FISIP, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Rr. Satiti Shakuntala, M.Si., selaku dosen pembimbing penulisan
skripsi ini, berkat ketelitian, kesabaran dan keikhlasannya penulis dapat
vii
menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas waktu, tenaga dan pikiran
yang telah beliau berikan.
5. Bapak Husnul Khitam, M.Si., selaku dosen yang telah membantu penulis
dalam mengarahkan skripsi ini.
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen pengajar Prodi Sosiologi, FISIP, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu,
motivasi, inspirasi, dan bimbingannya selama masa perkuliahan.
7. Para staff pengurus bidang akademik dan administrasi, FISIP, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dalam kepengurusan berkas
dan administrasi dalam proses penulisan skripsi ini.
8. Segenap staff PD Pasar Jaya dan para Pedagang Pasar Tanah Abang yang
telah berbaik hati meluangkan waktu untuk penulis wawancarai dalam
proses pengumpulan data.
9. Paman (Om Faisal) dan Tante (Bik Sulas) yang telah memberi masukan,
motivasi tentang kehidupan dan inspirasi kepada peneliti, sehingga peneliti
dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Pelatih (Om Dedi, Bu Widuri dan Kak Febri), Sahabat (Taufan, Handi,
Hermawan, Maulana, Indah dan Dika) dan segenap anggota Perguruan
Kungfu Nagamas (Wushu) yang telah memberi motifasi serta dukungan
untuk peneliti menyelesaikan penulisan skripsi ini.
viii
11. Kawan-kawan Gabuters, Ojay, Galih, Faizal, Alby, Arif, Ara, Ayu, Rahmi,
Tegar dan Cuplix yang bersedia berbagi suka duka bersama penulis.
12. Teman-teman Sosiologi 2012, Rusydan (engkong), Doyok, Ayu Fitri,
Lukman, Suki, Raka, Runi, Ella, Yuni, Elita, Mega, Neneng, Anisya Bella,
Divya, Aul, Ismi, Ina, Irma, Kiki, Hanip, Embe’, Fajrul, Hartadi dan yang
lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih telah
mengisi hari-hari perkuliahan penulis.
13. Teman-teman KKN LENTERA, Dwi, Eryan, Irfan, Jufry, Isan (pekat),
Isti, Qoleb, Rahma, Tia, Lilis, Nanda, dan Dziah Terima kasih telah
membantu penulis menjadi lebih baik selama kegiatan KKN.
14. Seorang yang sangat spesial, Ovi Fauzia Tihamayati, yang telah
membantu, mengingatkan, memberi motivasi, menjadi penyemangat serta
senantiasa menemani peneliti selama proses penelitian.
15. Tanpa membeda-bedakan, untuk sahabat Remaja Perdos UNHAS
Makassar, Kikin, Iman, Ilow, Herul, Ammar. Terima kasih atas
loyalitasnya. Semoga persahabatan kita kekal abadi, aamiin.
Terakhir ucapan terima kasih penulis haturkan untuk kedua orang tua yang
teristimewa, Ayah Saefuddin dan Mamah Irawati, semoga senantiasa dimurahkan
rezeki dan dilimpahkan nikmat sehat wal’afiat, serta Adikku Rizky Ramadhan
dan Kakakku Desi. Tanpa kasih sayang, do’a, dukungan, motivasi dan materi
yang telah diberikan selama perkuliahan dan penulisan skripsi ini, penulis tidak
akan bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini.
ix
Demikian, ucapan terima kasih ini penulis sampaikan. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca, bidang studi Sosiologi, dan semua pihak yang
memerlukan dan membutuhkannya.
Jakarta, 14 Desember 2017
Reza Agustian
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. PERNYATAAN MASALAH ........................................................................ 1
B. PERTANYAAN PENELITIAN .................................................................... 6
C. TUJUAN PENELITIAN ................................................................................ 7
D. MANFAAT PENELITIAN ............................................................................ 7
E. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 8
F. KERANGKA KONSEP ............................................................................... 15
1. Sosial Ekonomi ......................................................................................... 15
2. Pedagang Kaki Lima (PKL) ...................................................................... 17
G. KERANGKA TEORITIS ............................................................................ 17
1. Kerentanan Sosial Ekonomi (Socio-Economic Vulnerability) .................. 17
H. METODE PENELITIAN ............................................................................. 20
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian................................................................ 20
2. Informan Penelitian ................................................................................... 21
3. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 24
4. Jenis dan Sumber Data .............................................................................. 24
5. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 24
6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 27
I. SISTEMATIKA PENULISAN .................................................................... 29
BAB II GAMBARAN UMUM PASAR TANAH ABANG
A. Sejarah Pasar Tanah Abang dan Pasar Tanah Abang Blok G ...................... 30
B. Karakteristik PKL Pasar Tanah Abang Blok G Berdasarkan Jenis Usaha .. 37
C. Relokasi Pedagang Kaki Lima Pasar Tanah Abang Blok G ........................ 38
xi
D. Kondisi Sosial-Ekonomi Pedagang Kaki Lima Pasca Relokasi .................. 44
1. Kondisi Sosial ........................................................................................... 45
a.) Hubungan Sosial PKL ......................................................................... 45
b.) Kelayakan dan Kenyamanan Usaha .................................................... 51
2. Kondisi Ekonomi ...................................................................................... 54
BAB III KERENTANAN SOSIAL EKONOMI PKL PASCA RELOKASI
A. Kondisi Kerentanan Sosial-Ekonomi (Socio-Economic Vulnerability)
Pedagang Kaki Lima Pasca Relokasi ................................................................ 59
1. Penghasilan ............................................................................................... 60
2. Hubungan Sosial PKL Dengan Pembeli ................................................... 63
3. Ancaman Kemiskinan ............................................................................... 66
a.) Menurunnya Pendidikan Untuk Anak-anak PKL ............................... 71
B. Berbagai Upaya PKL Dalam Menangani atau Mengatasi Kerentanan ........ 76
1. Pindah ke Area Pemukiman atau Gang-gang Sempit ............................... 78
2. Kabur-kaburan atau “Kucing-kucingan” ................................................... 79
3. Buang Barang ........................................................................................... 82
4. Jualan di Blok G dan di Trotoar ................................................................ 84
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 87
B. Saran ............................................................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 91
LAMPIRAN
Transkrip Wawancara ........................................................................................ 95
xii
DAFTAR TABEL
Tabel I.E.1 Perbandingan Tinjauan Pustaka ..................................................... 12
Tabel I.G.1 Informan Penelitian ........................................................................ 22
Tabel II.A.1 Data Teknis UPB Tanah Abang Blok G ....................................... 34
Tabel II.A.2 Laporan Aktifvitas Tempat Usaha bulan Oktober 2016 Pasar
Tanah Abang Blok G ......................................................................................... 34
Tabel II.A.3 Laporan Luas Tempat Usaha Berdasarkan Jenis .......................... 35
Tabel II.A.4 Laporan Jumlah TU (Tempat Usaha) ........................................... 36
Tabel II.B.1 Laporan Jumlah TU (Tempat Usaha) Aktif .................................. 37
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.A.1 Tampak depan Pasar Tanah Abang Blok G ................................. 5
Gambar II.A.1 Persentase Luas Kecamatan Tanah Abang ............................... 31
Gambar II.A.2 Peta Lokasi Pasar Tanah Abang ............................................... 33
Gambar II.C.1 Kesemrawutan jalan Jati Baru ................................................... 44
Gambar III.B.1 (1. Kondisi lantai dasar, 2. Kondisi lantai 1, 3. Kondisi lantai 2,
dan 4. Kondisi lantai 3). .................................................................................... 64
Gambar III.C.2 Lokasi yang paling sering terkena penertiban Satpol PP. ........ 82
Gambar Denah Lokasi Lt. Dasar Blok G Pasar Tanah Abang ........................ 119
Gambar Denah Lokasi Lt. 1 Blok G Pasar Tanah Abang ............................... 120
Gambar Denah Lokasi Lt. 2 Blok G Pasar Tanah Abang ............................... 121
Gambar Denah Lokasi Lt. 3 Blok G Pasar Tanah Abang ............................... 122
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. PERNYATAAN MASALAH
Penelitian ini membahas mengenai fenomena yang berkaitan dengan
pedagang kaki lima, baik itu tentang penggusuran, relokasi, serta pro dan kontra
akan kegiatan tersebut. Penelitian ini berfokus pada bagaimana realitas kerentanan
sosial ekonomi pedagang kaki lima pasca relokasi. Penelitian ini melihat
bagaimana para pedagang kaki lima berupaya bertahan dari suatu keadaan yang
rentan, baik itu dari sisi sosial maupun ekonomi sebagai akibat dari legal atau
tidaknya lahan/tempat mereka berjualan.
Berdasarkan data hasil perhitungan BPS, hasil proyeksi menunjukkan
bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun mendatang terus meningkat
yaitu dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,6 juta. Kondisi ini
menyebabkan Indonesia menduduki posisi ke-empat negara dengan jumlah
penduduk terbanyak di dunia, dan posisi pertama di Asia Tenggara. Salah satu ciri
penduduk Indonesia adalah persebaran antar pulau dan provinsi yang tidak
merata. Sejak tahun 1930, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pulau
Jawa, padahal luas pulau itu kurang dari 7 persen dari luas total wilayah
Indonesia, namun secara perlahan persentase penduduk Indonesia yang tinggal di
pulau Jawa terus menurun dari sekitar 57,4 persen pada tahun 2010 menjadi 54,7
persen pada tahun 2035. Sebaliknya persentase penduduk yang tinggal di pulau-
pulau lain meningkat, seperti pulau Sumatera naik menjadi 21,3 persen menjadi
22,4 persen, Kalimantan naik dari 5,8 persen menjadi 6,6 persen pada periode
2
yang sama. Selain pertumbuhan alami di pulau-pulau tersebut memang lebih
tinggi dari pertumbuhan alami di Jawa, faktor arus perpindahan yang mulai
menyebar ke pulau-pulau tersebut juga menentukan distribusi dan komposisi
penduduk (BPS, 2013:23). Berdasarkan data tersebut memperlihatkan bahwa
dengan kesenjangan jumlah penduduk dapat berdampak baik dan bahkan buruk.
Disatu sisi pertumbuhan penduduk dapat menjadi peluang tumbuhnya pasar
domestik dan dapat menaikan penyerapan angkatan kerja. Namun disisi lain,
pertumbuhan penduduk yang besar dan tidak diimbangi dengan ketersediaan
lapangan pekerjaan dapat mengakibatkan pengangguran merajalela, kemiskinan
dimana-mana, dan akhirnya justru menjadi masalah sosial yang berkepanjangan.
Pedagang kaki lima merupakan suatu fenomena yang memunculkan para
agen-agen ekonomi baru yang bergerak dalam perekonomian sektor informal.
Pedagang kaki lima (Street Trading) adalah salah satu pekerjaan yang paling
nyata dan penting dikebanyakan kota di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Amerika
Latin. Namun meskipun penting, pedagang kaki lima hanya sedikit saja
memperoleh perhatian akademik dibandingkan dengan kelompok pekerjaan
utama yang lain. Pedagang kaki lima biasanya digambarkan sebagai perwujudan
pengangguran yang luas dan pertumbuan yang luar biasa dari jenis pekerjaan
sektor tersier yang sederhana di kota di dunia ketiga (Chris & Tadjuddin:
1985:228-229).
Pada dasarnya, PKL ada karena beberapa faktor yang
melatarbelakanginya, yakni: pertama, tingginya tingkat pertumbuhan dan
perpindahan penduduk dari desa ke kota. Kedua, pembangunan perekonomian dan
pendidikan yang tidak merata. Ketiga, tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi
mereka yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan yang tidak memiliki
kompetensi.
3
Fenomena pedagang kaki lima merupakan suatu permasalahan yang tak
akan pernah habis dibahas dan tidak akan pernah bosan orang untuk mengkaji
permasalahan seputar apa yang terjadi pada kegiatan ekonomi sektor informal ini.
Pekerjaan ini sebenarnya membantu setiap orang yang tidak memiliki pekerjaan
formal agar tetap dapat memperoleh penghasilan dan memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Namun ada kala bahwa keberadaan PKL ini justru meresahkan atau
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebagian dari mereka mungkin menjadi
perusak pemandangan kota dengan berjualan di trotoar dan lokasi larangan
berdagang lainnya, yang dapat mengakibatkan kemacetan dan dapat merugikan
orang lain. Maka dari itu sering kita dengar atau kita saksikan di media elektronik
yang menayangkan pembahasan seputar PKL (salah satunya yakni PKL di area
sekitaran Pasar Tanah Abang), baik itu terkait penertiban, penggusuran,
perlawanan, dan berbagai konflik yang terjadi. Hal tersebut terjadi kerena ulah
para pedagang kaki lima yang tidak mentaati peraturan pemerintah terkait lokasi
larangan berdagang. Seperti yang terjadi pada Kamis, 2 Juni 2016 penertiban
dilaksanakan lagi dikarenakan para pedagang kembali berdagang di bahu jalan
dan trotoar. Kericuhan pun mewarnai kegiatan penertiban tersebut. Sejumlah
pedagang kala itu dibantu warga sekitar melakukan perlawanan sehingga
menyebabkan beberapa personil Satpol PP terluka
(http://megapolitan.kompas.com pada 25 Mei 2017). Penertiban yang dilakukan
oleh pemerintah setempat sebenarnya bertujuan agar para pedagang kaki lima
tidak lagi berdagang dipinggir jalan dan di atas trotoar agar tidak mengganggu
aktifitas pengguna jalan serta tidak mengakibatkan kemacetan.
4
BPAD (Badan Perpustakaan dan Arsip Negara) berasumsi berapa tepatnya
jumlah pedagang kaki lima di wilayah DKI Jakarta tampaknya susah diestimasi.
Selain karena pendefinisiannya yang masih kabur, dinamikanya pun sangat cepat
untuk diikuti. Tumbuh dan matinya pedagang kaki lima dapat dalam hitungan
hari, sehingga data yang akurat tentu sulit didapat. Namun demikian, jika kita
prediksi jumlah PKL lima persen saja dari populasi, maka terdapat sekitar lebih
dari 500 ribu pedagang kaki lima dengan berbagai jenis dagangan. Angka ini tentu
tidak dapat dipandang kecil, apalagi jika dilihat dari tingkat pertumbuhannya yang
mencapai tingkat 60-70% per-tahun. Menurut data terakhir di Dinas KUMKM
pada tahun 2005, jumlah PKL di Jakarta sebesar 273 ribu. Namun, diperkirakan
dari pendataan PKL tahun 2014 sudah mencapai 500 ribu pedagang.
(http://jakartapedia.bpadjakarta.net pada 3 Mei 2017)
Pasar Tanah Abang merupakan lokasi pusat perdagangan yang menjadi
magnet bagi para pedagang ataupun para konsumen yang terlibat aksi jual-beli.
Pasar Tanah Abang sangat terkenal sebagai pusat penjualan pakaian (grosir atau
kodi) terbesar di Indonesia. Para pedagang pun tersebar di beberapa gedung di
antaranya gedung Blok A, Blok B, Blok F dan Blok G. Blok G sendiri baru
diresmikan pada pada tahun 2013 (Hartanto: 2014:2).
Hingga saat ini, realisasi terkait relokasi pedagang yang berjualan di
pinggir jalan atau trotoar ke Pasar Tanah Abang Blok G masih sangat terkendala.
Baik itu dari segi sarana dan prasarana, serta aksi kontra para pedagang yang tidak
ingin direlokasi. Walaupun telah tertera dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 41 tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang
5
Kaki Lima. Akan tetapi realitanya justru peraturan tersebut seakan menjadi
wacana semata yang tidak terealisasikan maksud dan tujuan pembentukannya.
Seperti yang terjadi di lapangan, penertiban dan relokasi yang dilakukan PEMDA
setempat justru menuai banyak kontra dari para pedagang. Para pedagang
menganggap bahwa tindakan penertiban yang dilakukan sangat tidak manusiawi,
dan tidak memberikan solusi bagi mereka. Menurut beberapa pedagang, relokasi
ke pasar Blok G bukanlah solusi. Karena, kondisi pasar sepi, dan tidak menjamin
pembeli akan berdatangan. Karena pembeli lebih memilih di jalan dan mudah
diakses.
Gambar I.A.1 Tampak depan Pasar Tanah Abang Blok G
(Sumber: Observasi tanggal 08 Desember 2017. Lokasi: Pasar Tanah Abang Blok G)
Selain itu permasalahan yang dirasakan oleh pedagang setelah direlokasi
bisa saja terkait dengan permasalahan yang berimplikasi pada kehidupan mereka
kedepannya, entah itu dari sisi ekonomi atau bahkan kehidupan sosialnya. Para
pedagang akan memikirkan apa yang akan terjadi dan bagaimana seharusnya
mereka bertindak.
6
Terkait dengan penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana keadaan
sosial dan ekonomi para pedagang kaki lima serta vulnerabilitas/kerentanan yang
terjadi sebagai akibat dari relokasi pedagang kaki lima. Selain itu peneliti
mencoba untuk menjadikan pasar Tanah Abang Blok G sebagai studi kasus
penelitian, karena permasalahan terkait dengan pedagang di lokasi tersebut selalu
saja menjadi perbincangan hangat setiap pergantian kepala daerah dilaksanakan.
Bukan hanya itu, bahkan tiap tahun pun permasalah tentang pedagang kaki lima
pasar Tanah Abang selalu saja menjadi topik hangat untuk diperbincangkan.
Gubernur terpilih DKI Jakarta tahun 2017 Anies Baswedan dan Sandiaga Uno
misalnya, yang telah memiliki program khusus untuk para pedagang kaki lima di
kawasan tersebut (Kompas.TV/Aiman). Untuk itulah skripsi ini berjudul
Kerentanan Sosial-Ekonomi (Socio-Economic Vulnerability) Pedagang Kaki
Lima Pasca Relokasi (Studi Kasus Pedagang Kaki Lima Pasar Tanah Abang
Blok G).
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Dengan berbagai penjelasan yang telah dipaparkan pada latarbelakang
mengenai permasalahan pedagang kaki lima. Maka dari itu, penulis akan
merumuskan pertanyaan penelitian mengenai PKL sebagai berikut;
1. Bagaimana kerentanan sosial-ekonomi pedagang kaki lima (PKL)
pasca direlokasi?
2. Bagaimana para PKL berupaya untuk menangani atau menghadapi
kerentanan tersebut?
7
C. TUJUAN PENELITIAN
Setelah kita mengetahui rumusan masalah dari permasalahan yang akan
dibahas, maka penulis akan memaparkan tujuan dari penelitian ini. Tujuannya
ialah:
1. Menggambarkan realita kerentanan atau vulnerabilitas sosial ekonomi
pedagang kaki lima (PKL) pasca relokasi.
2. Menggambarkan upaya yang dilakukan para pedagang kaki lima
(PKL) dalam menangani kerentanan yang mereka hadapi.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis: Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
berkontribusi bagi pengembangan ilmu di FISIP sendiri atau bahkan di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai referensi untuk penelitian-
penelitian sejenis dari mahasiswa lainnya.
2. Manfaat Praktis: Dengan penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan
masukan dalam perumusan kebijakan, sehingga dapat menjadi alternatif
untuk menempatkan pedagang kaki lima pada lokasi yang strategis serta
sarana dan prasarana, yang mana dapat membantu perekonomian para
pedagang serta membantu mendorong atau memperbaiki perekonomian
kota menjadi lebih baik.
8
E. TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa penelitian tentang pedagang kaki lima telah banyak dilakukan.
Dibawah ini ada beberapa jurnal yang akan dijadikan penulis sebagai literature
review.
Pertama, dalam Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi, oleh Nur Ainun
Jariyah dan Irfan Budi Pramono, dengan judul “Kerentanan Sosial Ekonomi dan
Biofisik di DAS Serayu: Collabirative Management”. Dalam penelitiannya,
mereka menggunakan metode kuantitatif. Data yang diambil merupakan data
primer dan sekunder. Pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan dengan
wawancara langsung menggunakan kuesioner, dan data biofisik diperoleh dari
hasil interpretasi peta-peta dan pengamatan langsung di lapangan. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa kerentanan sosial ekonomi tinggi terjadi pada
daerah dengan kerentanan biofisik tinggi atau sebaliknya. Pengelolaan DAS tidak
dapat di tentukan apakah aspek sosial ekonomi atau biofisik yang diprioritaskan,
tapi harus dilihat kasus perkasus. Dan pengelolaan DAS akan berhasil apabila
dilakukan secara “collaborative management”, sehingga diperlukan partisipasi
aktif semua stakeholder.
Kedua, jurnal sosiologi oleh Muhammad Zunaidi, dengan judul penelitian
“Kehidupan Sosial Ekonomi Pedagang Di Pasar Tradisional Pasca Relokasi Dan
Pembangunan Pasar Modern”. Dalam menjawab permasalahan tersebut, Zunaidi
menggunakan teori konflik Dahrendroft dan menganalisis menggunakan metode
deskripsi kualitatif dengan pengumpulan data berupa wawancara. Hasil penelitian
yang diperoleh yakni; Alasan pedagang untuk pindah dagang tidak lain di latar
9
belakangi oleh ketidaksetujuan pedagang adanya relokasi dan pembangunan pasar
modern dengan alasan takut akan nilai ketradisionalan pasar Babat akan luntur
dan harga kios yang mahal. Adanya pro dan kontara berakibat pada kehidupan
sosial ekonomi pedagang, dari dimensi sosial seperti terpecah-belahnya
kebersamaan antara pedagang lama dan mulai untuk bersosialisasi dengan
pedagang yang baru dikenal. Kemudian dari dimensi ekonomi dimana pedagang
yang berada di luar area pasar Babat mengalami penurunan berbeda pada waktu
berdagang di pasar tradisional. Selanjutnya pedagang tradisional yang berada di
pasar modern terlihat relatif stabil dan yang terakhir kehidupan social ekonomi
pedagang yang berada di wilayah pasar agrobis mengalami peningkatan terutama
bagi pedagang yang melayani grosir.
Ketiga, Seperti dalam tesis Whinarko, yang meneliti tentang Evaluasi
Dampak Sosial Ekonomi Relokasi Pedagang Kaki Lima Menjadi Pujasera Di
Kota Semarang Tahun 2013. Fokus penelitiannya adalah untuk mengetahui
seberapa besar dampak sosial ekonomi dari relokasi pedagang kaki lima di
kawasan simpang lima dan jalan pahlawan kota semarang. Dalam penelitiannya,
Whinarko menggunakan teori Lokasi dan metode penelitian kuantitatif, dan
pengambilan data sample dilakukan dengan teknik proportional cluster random
sampling. Serta pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi,
kuesioner dan wawancara. Hasil penelitian yang diperoleh dari permasalahan
setelah adanya relokasi adalah suatu strategi serta solusi yang baik bagi para PKL.
Para PKL merasakan kondisi ditempat berjualan mengalami banyak kemajuan
yaitu kondisi tempat berjualan yang lebih nyaman, aman dan kebersihan yang
10
terjaga. Namun secara teknis, Whinarko menyebutkan bahwa terdapat beberapa
kendala yang dihadapi oleh para PKL. Baik itu dari sarana dan prasarana yang
tersedia dari segi fasilitas seperti shelter tempat berjualan yang rusak dan lahan
parkir yang kurang luas perlu mendapat perhatian dari pihak terkait.
Keempat, jurnal oleh Mochammad Hatta Karuniawan, Ardi Perdana
Sukma, dan Efandi Dwi Kurniawan, yang meneliti tentang Analisis Dampak
Sosial Ekonomi Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) (Gelanggang Olah Raga
(GOR) Kabupaten Sidoarjo). Fokus penelitian ini adalah untuk menjelaskan
dampak relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Gelanggang Olah Raga (GOR)
Sidoarjo. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif-kualitatif. Teknik
penelitian dilakukan melalui observasi dan wawancara secara mendalam untuk
membandingkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku mengenai
dampak sosial ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat dampak positif dan negatif dari relokasi PKL. Dampak positif dari
relokasi yaitu kondisi ekonomi Pedagang Kaki Lima (PKL) terbantu dengan
masih banyaknya pembeli yang datang meskipun lokasi berdagang dipindahkan.
Sedangkan dampak negatif dari relokasi antara lain yang pertama gelanggang olah
raga (GOR) menjadi tidak tertata (semrawut) sehingga mengganggu fungsi
gelanggang olah raga (GOR) sebagai tempat olah raga. Kedua yaitu berdampak
pada faktor lingkungan yang tidak bersih dan tampak kumuh, dan yang ketiga
yaitu berkurangnya jaminan keselamatan Pedagang Kaki Lima (PKL).
Kelima, yakni dalam jurnal Adrian Hartanto, yang meneliti tentang Intensi
Kembali Berjualan Di Jalan Pada Pedagang Kaki Lima Yang Direlokasi. Fokus
11
penelitian ini adalah untuk mengetahui intensi kembali berjualan di jalan pada
pedagang Blok G yang direlokasi. Penelitian ini menggunakan desain non-
eksperimental dimana variabel yang ada dilihat apa adanya tanpa ada manipulasi,
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Secara
garis besar, dalam penelitian ini menunjukan bahwa hasil yang diperoleh ialah
sebagian besar pedagang pasar Blok G merasa tidak puas dengan rendahnya
tingkat penjualan di Blok G, sebagai akibat dari hal tersebut, bukan tidak mungkin
jika banyak pedagang Blok G yang akan kembali berjualan di jalan. Hasil tersebut
dibuktikan dengan menunjukan hasil perhitungan analisis regresi yang
menunjukkan bahwa sebanyak 64,3% intensi dibentuk oleh determinan-
determinan yang ada yaitu attiude toward behavior, subjective norm, dan
perceived behavior control. Kontribusi dalam membentuk intensi pada perceived
behavior control adalah 46,9%, attitude toward behavior 40,7% , dan subjective
norm adalah 31,4%.
Dan terakhir yakni penelitian dari jurnal sosiologi oleh Rafif Ramadhan,
dengan judul penelitian “Perubahan Sosial – Ekonomi PKL ( Pedagang Kaki
Lima ) Dalam Program Sentralisasi Sektor Informal Perkotaan Di DTC
Wonokromo1”. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi PKL
sebelum–sesudah program sentralisasi, mengetahui hubungan sosial PKL dengan
lingkungan baru, serta strategi adaptasi PKL dalam lingkungan barunya beserta
perangkat peraturan yang ada di dalamnya. Dalam penelitiannya, Rafif
menggunakan metode penelitian kuantitatif, serta pengumpulan data dilakukan
dengan metode dokumentasi, kuesioner dan wawancara. Kemudian Rafif
12
menggunakan teori pertukaran Peter M. Blau dalam menganalisis permasalahan.
Hasil penelitian yang diperoleh ialah ternyata program tersebut tidak serta–merta
berjalan mulus, karena PKL harus memulai lagi membangun jaringan
perdagangan dengan pelanggan, disributor, dan dengan lingkungan baru yaitu
pihak pasar. Praktek sentralisasi juga menimbulkan persaingan dagang di luar dan
di dalam terlihat kental dengan penempatan yang sama pada setiap jenis dagangan
yang sama. Penjelasan mengenai kondisi tersebut dilihat dari kondisi PKL
sebelum – sesudah program sentralisasi, kondisi ekonomi sebelum – sesudah
program sentralisasi, mengetahui hubungan sosial PKL dengan lingkungan baru
yaitu konsumen, pedagang lain, distributor dan pengurus pasar, serta strategi
adaptasi PKL dalam lingkungan barunya dilihat dari adanya aturan, dan jika ada
pergantian kepengurusan pasar.
Berikut adalah ringkasan beberapa penelitan tersebut;
Tabel I.E.1 Perbandingan Tinjauan Pustaka
No
.
Peneliti dan
Judul Penelitian
Subjek
Penelitian dan
Objek
Penelitian
Metode
Penelitian
Teori yang
digunakan Hasil Penelitian
1. Nur Ainun
Jariyah dan Irfan
Budi Pramono
Kerentanan
Sosial Ekonomi
dan Biofisik di
DAS Serayu:
Collaborative
Management
Masyarakat
sekitar Daerah
Aliran Sungai
(DAS) Serayu,
Jawa Tengah
Kerentanan
Sosial
Ekonomi dan
Biofisik
Kuantitatif Kerentanan
(Vulnerabili
ty)
a. Kerentanan sosial
ekonomi tinggi terjadi
pada daerah dengan
kerentanan biofisik tinggi
atau sebaliknya.
b. Pengelolaan DAS tidak
dapat di tentukan apakah
aspek sosial ekonomi atau
biofisik yang
diprioritaskan, tapi harus
dilihat kasus perkasus
13
c. Pengelolaan DAS akan
berhasil apabila dilakukan
secara “collaborative
management”, sehingga
diperlukan partisipasi aktif
semua stakeholder
2. Muhammad
Zunaidi
Kehidupan Sosial
Ekonomi
Pedagang Di
Pasar
Tradisional
Pasca Relokasi
Dan
Pembangunan
Pasar Modern
Pedagang Kaki
Lima
Keadaan Sosial
– Ekonomi
Deskripsi
Kualitatif
Konflik Ralf
Dahrendroft
a. Ketidaksetujuan pedagang
adanya relokasi dan
pembangunan pasar
modern dengan alasan
takut akan nilai
ketradisionalan pasar
Babat akan luntur dan
harga kios yang mahal.
b. Adanya pro dan kontara
berakibat pada kehidupan
sosial ekonomi pedagang
c. Pedagang yang berada di
wilayah pasar agrobis
mengalami peningkatan
terutama bagi pedagang
yang melayani grosir.
3. Whinarko
Evaluasi Dampak
Sosial Ekonomi
Relokasi
Pedagang Kaki
Lima Menjadi
Pujasera Di Kota
Semarang Tahun
2013
Pedagang Kaki
Lima
Dampak Sosial
Ekonomi
Kuantitatif Teori
Lokasi
a. Para PKL merasakan
kondisi ditempat berjualan
mengalami banyak
kemajuan
b. Namun secara teknis,
peneliti menyebutkan
bahwa terdapat beberapa
kendala. Seperti: shelter
tempat berjualan yang
rusak dan lahan parkir
yang kurang luas
4. Mochammad
Hatta
Karuniawan,
Ardi Perdana
Sukma, dan
Efandi Dwi
Kurniawan
Analisis Dampak
Sosial Ekonomi
Pedagang Kaki
Lima
Dampak Sosial
Ekonomi
Kualitatif a. Dampak positif dari
relokasi yaitu kondisi
ekonomi PKL terbantu
dengan masih banyaknya
pembeli yang datang
meskipun lokasi
berdagang dipindahkan.
b. Dampak negatif dari
relokasi antara lain yang
pertama GOR menjadi
14
Relokasi
Pedagang Kaki
Lima (PKL)
tidak tertata (semrawut)
sehingga mengganggu
fungsi GOR sebagai
tempat olah raga. Kedua
yaitu masalah kebersihan.
Ketiga yaitu
berkurangnya jaminan
keselamatan PKL.
5. Adrian Hartanto
Intensi Kembali
Berjualan Di
Jalan Pada
Pedagang Kaki
Lima yang
Direlokasi (Studi
Pada Pedagang
Kaki Lima Blok
G Tanah Abang)
Pedagang Kaki
Lima
Intensi
Kembali
Berjualan Di
Jalan Pasca
Relokasi
Kuantitatif
deskriptif
a. Sebagian besar subjek
penelitian memiliki
intensi yang lemah untuk
menampilkan perilaku
kembali berjualan di
jalan.
b. Semua determinan
pembentuk intensi yaitu
attitude toward behavior,
subjective norm dan
perceived behavior
control secara signifikan
membentuk intensi
kembali berjualan di jalan
pada pedagang Blok G.
6. Rafif Ramadhan
Perubahan Sosial
– Ekonomi PKL
(Pedagang Kaki
Lima) Dalam
Program
Sentralisasi
Sektor Informal
Perkotaan Di
DTC
Wonokromo1
Pedagang Kaki
Lima
Perubahan
Sosial –
Ekonomi
Kuantitatif Pertukaran a. Program tersebut tidak
serta–merta berjalan
mulus, karena PKL harus
memulai lagi membangun
jaringan perdagangan
dengan pelanggan,
disributor, dan dengan
lingkungan baru yaitu
pihak pasar.
b. Praktek sentralisasi juga
menimbulkan persaingan
dagang di luar dan di
dalam
Dari beberapa penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan, bawasannya
penelitian yang telah dijabarkan tersebut, terdapat beberapa perbedaan dengan apa
yang penulis teliti. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari subjek, objek serta teori
15
yang digunakan. Akan tetapi tidak sepenuhnya berbeda antara penelitian lain
dengan penelitian ini, seperti halnya penelitian milik Adrian Hartanto yang hampir
serupa dengan penelitian peneliti, hanya saja terdapat beberapa perbedaan dalam
mengambil informan dan metode penelitian. Persamaan dengan penelitian ini
dengan penelitian Adrian Hartanto ialah lokasi penelitian, yakni pasar Tanah
Abang Blok G. Jika dalam penelitian tersebut hanya menjelaskan keinginan para
pedagang yang telah direlokasi ke Blok G untuk kembali ke jalan. Namun dalam
penelitian ini, peneliti ingin menjelaskan kerentanan yang terjadi pada para PKL
bukan dari keinginan PKL yang ingin kembali ke trotoar, tapi dari beberapa PKL
yang telah kembali ke trotoar. Maka dari itu, peneliti menganggap bahwa
penelitian ini cukup penting untuk dilakukan, sebagai masukan untuk perencanaan
pembangunan perkotaan, terutama terkait dengan penataan pedagang kaki lima.
F. KERANGKA KONSEP
1. Sosial Ekonomi
Kata sosial ekonomi terdiri dari dua kata yaitu: sosio dan ekonomi. Kata
sosio dalam bahasa latin adalah socius artinya sahabat. Kata ekonomi dalam
bahasa yunani adalah “oikonomikos”, “oikonomia”, dari penggalan kata
“oikos” sama dengan rumah dan “nemein” sama dengan mengurus atau
mengelola. Istilah sosial ekonomi di sini membawa kita kepada persoalan
yang saling berkaitan. Pertama manusia adalah mahluk bersahabat atau
mahluk sosial tidak bisa hidup menyendiri. Kedua manusia adalah mahluk
ekonomi yang mana manusia tidak mungkin hidup tanpa makan dan
16
minuman. Secara gamblangnya sosio ekonomi bertujuan untuk menggali
persoalan ekonomi dan sosial pada masyarakat.
M. Zunaidi menjelaskan pengertian sosial ekonomi jarang dibahas
secara bersamaan. Pengertian sosial dan pengertian ekonomi sering
di bahas secara terpisah. Pengertian sosial dalam ilmu sosial
merujuk pada objek yakni masyarakat. Sedangkan pada
deperteman sosial merujuk pada kegiatan yang ditunjukkan untuk
mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang
kesejahteraan yang ruang lingkupnya terkait dengan kesejahteraan
sosial. Sedangkan dalam konsep sosiologi, manusia sering disebut
sebagai mahluk sosial yang artinya; manusia tidak dapat hidup
wajar tanpa ada bantuan orang lain di sekitar, sehingga kata-kata
sosial dapat ditafsirkan hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat.
Sementara istilah ekonomi sendiri berasal dari bahasa yunani yakni
“oikos”yang berarti keluarga atau rumah tangga dan nomos
peraturan atau aturan hukum. Maka, secara garis besar ekonomi
diartikan sebagai peraturan rumah tangga atau menejemen rumah
tangga (Whinarko:2013:54).
Sedangkan berdasarkan paham sosiologi ekonomi, proses dan interaksi
sosial berhubungan dengan ekonomi. Hubungan ini dapat dilihat dari sisi
saling pengaruh-mempengarui (Damsar. 2013:11).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa sosial ekonomi merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan yang ada di masyarakat atau yang lebih umumnya
terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Untuk melihat kondisi sosial
ekonomi Melly G. Tan mengatakan dapat dilihat dari pekerjaan, pendidikan,
kesehatan dan pemenuhan kebutuhan hidup dalam rumah tangga.
Berdasarkan ini masyarakat dapat digolongkan kedudukan sosial ekonomi
atas, menengah dan bawah (M. Zunaidi. 2013:54).
17
2. Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pedagang Kaki Lima (Sektor Informal) adalah mereka yang melakukan
kegiatan usaha dagang perorangan atau kelompok yang dalam menjalankan
usahanya menggunakan tempat-tempat fasilitas umum, seperti trotoar,
pinggir-pinggir jalan umum, dan lain sebagainya. Pedagang yang
menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka tertentu dengan menggunakan
sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dibongkar-pasang dan
mempergunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usaha.(Moch Hatta K,
et al,. 2015:111)
Sektor informal biasanya digunakan untuk menunjukkan aktivitas
ekonomi berskala kecil dan sering mengalami banyak kesulitan untuk
menjalin hubungan secara resmi. Sektor informal yang dimaksud di sini
adalah suatu kegiatan berskala kecil yang bertujuan untuk mendapatkan
kesempatan kerja. Elemen yang umumnya termasuk dalam sektor ini adalah
yang berpendidikan kurang, keterampilan kurang dan umumnya para
pendatang.
G. KERANGKA TEORITIS
1. Kerentanan Sosial Ekonomi (Socio-Economic Vulnerability)
Neil Adger (dalam Erdian: 2015) menyatakan bahwa kerentanan adalah
keadaan berisiko terhadap hal yang merugikan serta berhubungan dengan
perubahan lingkungan dan sosial; disebabkan tidak adanya kemampuan
untuk beradaptasi. Selanjutnya, menurut Beck, kerentanan terhadap
18
gangguan harus berfungsi sebagai pendahuluan dari munculnya gangguan.
Maksud penjelasan ini ialah kerentanan merupakan sebagai sesuatu yang
dianggap pendahulu atau orang akan mulai mengetahui bahwa akan terjadi
sebuah gangguan atau bencara yang akan mereka alami.
Konsep kerentanan dalam kajian kebencanaan dalam hal ini tidak hanya
kerentanan fisik, tetapi juga meliputi kerentanan sosial dan kerentanan
ekonomi (Aris. 2015:166). Menurut Eko Riyadi,
kerentanan (vulnerability) yaitu sekumpulan kondisi yang mengarah dan
menimbulkan konsekuensi (fisik, sosial, ekonomi dan perilaku) yang
berpengaruh buruk. Rriyadi juga menambahkan bahwa salah satu yang
mengalami kerentanan yakni buruh migran atau bisa dikatakan seseorang
yang berasal dari desa pindah ke kota untuk mencari pekerjaan.
Kerentanan buruh migran adalah akibat dari banyak hal, bukan hanya
karena mereka berasal dari kelompok miskin dan kurang berkesempatan
mendapatkan pendidikan, lebih jauh dan lebih dalam adalah karena
negara (tempat bekerja maupun Indonesia sebagai negara asal) tidak
menyediakan sistem perlindungan yang memadai (Riyadi, et al,.
2012:327).
Riyadi menambahkan, sebagai kelas sosial yang lemah buruh migran
Indonesia dihadapkan pada kenyataan lemahnya perlindungan hak-hak asasi
mereka. Buruh migran Indonesia terus mengalami peningkatan dalam kasus
pelanggaran hak asasi manusia, sementara pemerintah tidak mampu
mengambil langkah-langkah efektif untuk memberikan perlindungan yang
komprehensif (2012:331).
Antonio dalam bukunya yang berjudul “Mendahulukan Si Miskin”
menegaskan, meskipun persentase jumlah penduduk miskin cenderung
menurun sejak tahun 1999, kerentanan (terhadap kemiskinan) masih cukup
besar.
19
Selain data agregat itu, secara empirik kita juga menyaksikan berbagai
kerentanan sosial-ekonomi yang dihadapi rakyat miskin. Orang miskin
selalu rentan dan bahkan menjadi korban utama lahirnya kebijakan yang
bermasalah; bencana alam yang bertubi-tubi, ketidakpastian musim dan
cuaca, kekeringan, gagal panen, dan seterusnya. Fenomena busung lapar
yang terjadi belakangan merebak di berbagai daerah adalah sebuah
bentuk kerentanan sosial yang dihadapi orang miskin. Di perkotaan, para
pedagang asongan, pedagang kaki lima atau pemulung selalu rentan
dengan represi dan regulasi negara. mereka seperti kaum ilegal yang
tidak tersentuh kebajikan dan kebijakan (Antonio. 2008:48-49).
Berdasarkan pengertian yang disampaikan oleh Riyadi dan Antonio,
menjelaskan bahwa kerentanan yang terjadi ialah sebagai akibat lemahnya
perlindungan hukum bagi mereka yang termasuk ke dalam kategori orang-
orang yang rentan. Seperti yang dijelaskan Antonio bahwa pedagang kaki
lima disebut sebagai orang yang mengalami kerentanan sosial ekonomi. Hal
tersebut terjadi karena para pedagang ini termasuk ke dalam kategori orang
miskin.
Kerentanan sosial ekonomi berkaitan dengan kemampuan individu atau
kelompok orang dalam menanggulangi, bertahan dan pulih dari dampak
kejadian bencana. Dalam penelitian Dian dan kawan-kawannya beranggapan
bencana akan terjadi ketika masyarakat menghadapi fenomena bahaya yang
melebihi kapasitas masyarakat dalam menghadapi bahaya tersebut (Dian.
2017:85).
Dalam penelitian ini, peneliti lebih berfokus pada kerentanan
penghidupan (livelihood vulnerability). Artinya kerentanan yang akan
dijelaskan pada penelitian ini ialah mengenai rentannya pemenuhan
kebutuhan hidup pedagang kaki lima. Misalkan indikator penghidupan
rumah tangga seperti keragaman arus penghasilan. Kemudian bagaimana hal
20
tersebut berpengaruh terhadap pendidikan anak, kesehatan keluarga dan lain
sebagainya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kerentanan ialah suatu
kondisi dimana seseorang menyadari bahwa adanya bahaya yang
mengancam, baik itu dari segi fisik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya.
Dalam prespektif ini, seseorang diharapkan dapat mengetahui dan
mendahului dari berbagai gangguan. Keterkaitan dengan permasalahan yang
akan peneliti teliti ialah, bahwa dalam proses berlangsungnya relokasi
terhadap pedagang, apakah terdapat kerentanan yang akan terjadi, lalu apa
saja kerentanan tersebut. Maka dari itu, penulis ingin mencoba
mendeskripsikan permasalah tersebut dalam penelitian ini seputar pedagang
kaki lima dengan menggunakan konsep kerentanan (vulnerability).
H. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berpegang kepada paradigma
naturalistik atau fenomenologi. Ini karena penelitian kualitatif senantiasa
dilakukan dalam setting alamiah terhadap suatu fenomena. Pendekatan
kualitatif adalah pendekatan sistematis dan subjektif dalam menjelaskan
pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris). Pendekatan
kualitatif lebih berorientasi kepada upaya untuk memahami fenomena secara
menyeluruh. Pendekatan kualitatif berangkat dari ilmu prilaku manusia dan
21
ilmu sosial, hakikat dari holistik bagi manusia melalui penelaahannya
terhadap orang-orang dalam interaksinya dalam setting social. (Iskandar.
2013:190&192)
Sasaran utama penelitian kualitatif ialah manusia, karena manusialah
sumber masalah dan sekaligus penyelesaian masalah. Sekalipun demikian,
penelitian kualitatif tidak membatasi penelitian terhadap manusia saja,
sasaran lain dapat berupa kejadian, sejarah, benda berupa foto, artefak,
peninggalan-peninggalan peradaban kuno dan lain sebagainya. Intinya
sasaran penelitian kualitatif ialah manusia dengan segala kebudayaan dan
kegiatannya. (Sarwono. 2006:194)
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, yaitu
penelitian yang bermaksud memaparkan suatu situasi atau kejadian.
Penelitian sosial menggunakan format deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau
berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian
(Burhan. 2013:48).
2. Informan Penelitian
Informan penelitian dalam penelitian ini adalah para pedagang kaki
lima di area sekitaran Pasar Tanah Abang Blok G, baik itu yang berada
didalam Blok G serta diluar Blok G dengan menggunakan teknik
purposefully select. Gagasan di balik penelitian kualitatif adalah memilih
dengan sengaja dan penuh perencanaan (purposefully select) para partisipan
22
dan lokasi (dokumen atau meteri visual) penelitian yang dapat membantu
peneliti memahami masalah yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif, tidak
terlalu di butuhkan random sampling atau pemilihan secara acak terhadap
para partisipan dan lokasi penelitian, yang biasanya dijumpai dalam
penelitian kuantitatif. Pembahasan mengenai para partisipan dan lokasi
penelitian dapat mencakup 4 aspek yang dinyatakan oleh Miles dan
Hubermas, yaitu setting (lokasi penelitian), aktor (siapa yang akan
diobservasi dan diwawancarai), peristiwa (kejadian apa saja yang dirasakan
oleh aktor yang akan dijadikan topik wawancara dan observasi), dan proses
(sifat peristiwa yang dirasakan oleh aktor dalam lokasi penelitian) (Creswell.
2016:253). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka informan dalam
penelitian ini sebanyak 13 informan, pemilihan informan berdasar klasifikasi
yang menurut peneliti tepat untuk menjawab pertanyaan peneliti, di awali
dengan beberapa staf pengelola pasar, kemudian beberapa pedagang yang
masih aktif di Blok G, setelah itu barulah peneliti mencari informan yang
berada di trotoar, baik itu yang pernah direlokasi ke Blok G namun kembali
lagi ke trotoar dan mereka yang sama sekali belum pernah jualan di Blok G.
Tabel I.G.1 Informan Penelitian
Informan PD Pasar Jaya
No. Nama Status
1. Nasrulloh, SE Asisten Manager Seksi Keuangan dan Administrasi UPB Pasar Tanah Abang (A-G)
2. Amat Japar, SH Asisten Manager Seksi Usaha dan Pengambangan UPB Pasar Tanah Abang (A-G)
3. Eju Warles Staf UPB Pasar Tanah Abang Blok G
Informan Pedagang
No. Nama Jenis
Kelamin Asal Usia
Pendidikan
Akhir Status
Jenis
Dagangan
4. Siti Aisyah Perempuan DKI Jakarta 48 Th SMA Pedagang Pasar
Tanah Abang
Pedagang
Pakaian
23
Blok G
5. Nasri Laki-laki Padang 42 Th SMA
Pedagang Pasar
Tanah Abang
Blok G
Pedagang
Sepatu dan
Sendal
6. Ratna Perempuan Jambi 40 Th SMEA
Pedagang Pasar
Tanah Abang
Blok G
Pedagang
Pakaian
Batik
7. Mila Perempuan DKI Jakarta 44 Th SMK Pedagang bahu
jalan Jati Baru
Pedagang
Pakaian
8. Iman Laki-laki DKI Jakarta 33 Th SMP
Pedagang bahu
jalan Jati Baru
yang pernah
direlokasi ke
Blok G
Pedagang
Pakaian
9. Aput Laki-laki Jawa
Tengah 25 Th SMA
Pedagang
dalam gang Jati
Baru
Pedagang
Pakaian
10. Ari Laki-laki Aceh 30 Th SMA
Pedagang di
Kios di bahu
jalan Jati Baru
Pedagang
Pakaian
11. Irwan Laki-laki DKI Jakarta 34 Th SMP
Pedagang bahu
jalan Jati Baru
yang pernah
direlokasi ke
Blok G
Pedagang
Pakaian
12. Yuri Laki-laki Padang 41 Th SMA
Pedagang
Kawasan Jati
Baru yang
pernah
direlokasi ke
Blok G
Pedagang
Pakaian
13. Awaluddin Laki-laki Padang 39 Th SMA
Pedagang
Kawasan Jati
Baru yang
pernah
direlokasi ke
Blok G
Pedagang
Pakaian
14. Rahmat Laki-laki Padang 52 Th SMA
Pedagang Pasar
Tanah Abang
Blok G
Pedagang
Pakaian
24
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan disekitar kawasan Pasar Tanah Abang Blok G
yang terletak di kelurahan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sedangkan waktu
penelitian yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data melalui teknik
dokumen berupa wawancara, observasi serta mengolah, menganalisis dan
menyajikan penelitian ini mulai dilakukan sejak bulan Maret 2017 sampai
Desember 2017.
4. Jenis dan Sumber Data
Penulis menggunakan dua sumber data dalam penelitian ini, yaitu data
primer dan data sekunder. Data Primer data yang langsung diperoleh melalui
informan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang diperoleh
melalui wawancara dan observasi. Dan data Sekunder adalah data yang
diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumber yang telah
ada. Data sekunder yang diperoleh pada penelitian ini adalah data dari pihak
pengelola pasar, di kantor PD Pasar Jaya Blok G pasar Tanah Abang pada
Senin, 18 September 2017.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, diperlukan sejumlah teknik. Untuk itu,
penulis menggunakan 2 (dua) teknik pengumpulan data. Teknik tersebut
ialah dengan menggunakan observasi dan wawancara.
Metode observasi kualitatif adalah ketika peneliti langsung turun ke
lapangan untuk mengamati prilaku dan aktivitas individu-individu di lokasi
penelitian dalam pengamatan ini, peneliti merekam/mencatat – baik dengan
25
cara terstruktur maupun semistruktur (misalnya dengan mengajukan
pertanyaan yang memang ingin diketahui oleh peneliti) – aktivitas-aktivitas
di lokasi penelitian. Pada umumnya observasi ini bersifat open-ended di
mana peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan umum kepada partisipan
yang memungkinkan partisipan bebas memberikan pandangan-pandangan
mereka (Creswell, 2016:254). Secara luas, observasi atau pengamatan
berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran. Akan tetapi, observasi
atau pengamatan disini diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan
menggunakan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-
pertanyaan (Soehartono. 2011:69-70). Penulis menggunakan metode
obsevasi dengan mengamati kejadian-kejadian yang terjadi di dalam Pasar
Tanah Abang Blok G dan kawasan Pasar Tanah Abang. Dengan pengamatan
langsung, penulis dapat melihat kegiatan-kegiatan yang terjadi di daerah
tersebut yang dijadikan sebagai sumber data untuk penelitian ini. Kegiatan-
kegiatan yang terjadi di lokasi penelitian yang peneliti temukan ialah kondisi
pasar Tanah Abang Blok G yang selalu sepi saat peneliti melakukan
observasi, kemudian peneliti sering kali mendengar keluhan beberapa
pedagang Blok G yang sambil berteriak-teriak “sepinyaa”. Selain itu,
kemudian peneliti juga mengamati kegiatan para pedagang yang berada di
trotoar, mulai dari memindah-mindahkan barang dagangan ke belakan garis
kuning atau batas larangan, padatnya trotoar, kemacetan, pemasangan
pembatas antara trotoar dengan jalan oleh dinas PU, kemudian yang terbaru
ini ialah penutupan jalan Jati Baru yang dijadikan lokasi berjualan para PKL.
26
Dalam wawancara kualitatif, peneliti dapat melakukan face to face
interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan, mewawancarai
mereka dengan telepon, atau terlibat dalam facus group interview
(wawancara dalam kelompok tertentu) yang terdiri dari enam sampai
delapan partisipan per kelompok. wawancara-wawancara seperti ini tentu
saja memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang secara umum tidak terstruktur
(unstructured) dan bersifat terbuka (open-ended) yang dirancang untuk
memunculkan pandangan dan opini dari para partisipan (Creswell.
2016:254). Teknik ini berguna untuk mengetahui informasi secara detail dan
mendalam tentang permasalahan tertentu dari informan. Peneliti memulai
kegiatan wawancara dengan informan pada Juli 2017 hingga November
2017 di kantor Pusat PD Pasar Jaya Tanah Abang Blok A-F, kantor PD
Pasar Jaya Pasar Tanah Abang Blok G, dan kawasan jalan Jati Baru, Tanah
Abang, Jakarta Pusat.
Namun selama proses wawancara, penulis sedikit mengalami kesulitan
dalam menentukan informan. Banyak dari mereka yang tidak ingin
diwawancarai, ada yang mengaku hanya anak buah saja dan tidak
mengetahui atau mengerti pertanyaan dari peneliti, selain itu ada beberapa
pedagang yang mau diwawancarai akan tetapi tidak sesuai dengan apa yang
peneliti inginkan seperti baru beberapa saat dagang di lokasi tersebut, atau
tidak pernah direlokasi ke Blok G. Kemudian kesulitan lainnya, banyak dari
pedagang yang tidak mau terbuka dengan peneliti, misalkan terkait dengan
penghasilan. Jadi yang mereka sebutkan hanya “sekitar”, “kurang lebih”
27
atau bahkan tidak ingin menyebutkan nominal, sehingga peneliti sulit untuk
mengklarifikasi penghasilan rata-rata para pedagang ini.
6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Analisis kualitatif merupakan analisis yang mendasarkan pada adanya
hubungan semantis antar variabel yang sedang diteliti. Tujuannya ialah agar
peneliti mendapatkan makna hubungan variabel-variabel sehingga dapat
digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian.
Menurut Sugiono (dalam Iskandar 2013:223) analisis data kualitatif adalah
proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari
hasil pengamatan (observasi), wawancara, catatan lapangan dan studi
dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke sintesis, menyusun
kedalam pola memilih mana yang penting dan mana yang akan dipelajari,
dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri
maupun orang lain.
Menurut Miles dan Huberman, analisis data penelitian kualitatif dapat
dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) reduksi data; (2)
display/penyajian data; dan (3) mengambil kesimpulan lalu diverifikasi.
Yang pertama yakni reduksi data. Reduksi data merupakan proses
pengumpulan data, merekam data lapangan dalam bentuk catatan-catatan
lapangan (field note), harus ditafsirkan, atau diseleksi masing-masing data
yang relevan dengan fokus masalah yang diteliti. Reduksi data merupakan
analisis yang menajamkan untuk mengorganisasikan data, dengan demikian
28
kesimpulannya dapat diverifikasi untuk dijadikan temuan penelitian
terhadap masalah yang diteliti.
Setelah melakukan reduksi data, proses analisis data selanjutnya ialah
display/penyajian data. Penyajian data ialah data yang telah diperoleh ke
dalam sejumlah matriks atau daftar kategori setiap data yang didapat,
penyajian data biasanya berbentuk teks naratif. Biasanya dalam penelitian,
kita akan mendapatkan data yang sangat banyak, data yang kita dapat tidak
mungkin kita paparkan secara keseluruhan. Untuk itu, dalam penyajian data
penelitian dapat dianalisis oleh peneliti untuk disusun secara sistematis, atau
simultan sehingga data yang diperoleh dapat menjelaskan atau menjawab
masalah yang diteliti. Kemudian proses analisis yang terakhir ialah
mengambil kesimpulan/verifikasi. Dalam proses penarikan kesimpulan
biasanya masih berupa kesimpulan sementara, masih dapat diuji kembali
dengan data dilapangan, sehingga kebenaran ilmiah dapat tercapai. Setelah
hasil penelitian telah diuji kebenarannya, maka peneliti dapat menarik
kesimpulan dalam bentuk deskriptif sebagai laporan penelitian.
29
I. SISTEMATIKA PENULISAN
Guna memudahkan pembahasan, maka dalam penulisan skripsi ini dibagi
menjadi empat bab yang terdiri dari:
BAB I Pendahuluan: Membahas Pernyataan Masalah, Pertanyaan
Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka
Konsep, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II Gambaran Umum Pasar Tanah Abang: Membahas Sejarah Pasar
Tanah Abang dan Pasar Tanah Abang Blok G, Karakteristik PKL Pasar Tanah
Abang Blok G Berdasarkan Jenis Usaha, Relokasi Pedagang Kaki Lima Pasar
Tanah Abang Blok G dan Kondisi Sosial Ekonomi Pedagang Kaki Lima
BAB III Analisis dan Data: Kondisi Kerentanan Sosial-Ekonomi (Socio-
Economic Vulnerability) Pedagang Kaki Lima Pasca Relokasi dan Beberapa
Upaya Menghadapi Kerentanan.
BAB IV Penutup: Berisi kesimpulan penelitian disertai dengan saran-saran.
Daftar Pustaka: Merupakan daftar kepustakaan atau rujukan bacaan yang
digunakan dalam penulisan ini. Baik yang berasal dari media cetak maupun
media elektronik. Selain itu, bagian ini juga memuat daftar wawancara yang
telah dilakukan penulis demi menjawab pertanyaan penelitian.
Lampiran Penelitian: Merupakan daftar lampiran-lampiran keterangan
pada saat melakukan penelitian
30
BAB II
GAMBARAN UMUM PASAR TANAH ABANG
A. Sejarah Pasar Tanah Abang dan Pasar Tanah Abang Blok G
Jakarta Pusat terdiri dari 8 kecamatan dan 44 kelurahan. Salah satu
Kecamatannya yaitu Tanah Abang. Kecamatan Tanah Abang terdiri dari 7
Kelurahan yaitu: Gelora, Bendungan Hilir, Karet Tengsin, Kebon Melati,
Petamburan, Kebon Kacang, dan Kampung Bali. Kecamatan Tanah Abang
merupakan salah satu kecamatan di ibukota negara, yang terletak di Kota
Administrasi Jakarta Pusat. Lalu lalang kendaraan, udara panas, dan lembab,
serta orang-orang yang bergegas mengejar waktu adalah pemandangan yang
sudah biasa terlihat di Kecamatan Tanah Abang.
Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) Kota Administrasi Jakarta
Pusat, Kecamatan Tanah Abang merupakan daerah yang sebagian besar
perkantoran, pusat perbelanjaan dan pemukiman penduduk. Lokasinya dekat
dengan pemerintahan kota membuat kecamatan ini menjadi tempat ideal bagi
penduduk asli maupun pendatang untuk bermukim. Berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 Tahun 2007, maka luas
wilayah kecamatan Tanah Abang adalah 9,3 Km² (19,3% dari total luas wilayah
Kota Administrasi Jakarta Pusat). Kelurahan Gelora merupakan kelurahan yang
terluas dengan luas wilayah 2,59 Km² atau sekitar 28% dari seluruh luas
kecamatan Tanah Abang dan kelurahan yang terkecil luasnya adalah kelurahan
Kampung Bali dengan luas wilayah 0,73 Km² atau sekitar 8% dari seluruh luas
31
wilayah kecamatan Tanah Abang. (https://jakpuskota.bps.go.id diakses pada 3
Mei 2017)
Gambar II.A.1 Persentase Luas Kecamatan Tanah Abang
Sumber Gambar: Statistik Kecamatan Tanah Abang 2016 (https://jakpuskota.bps.go.id diakses
pada 3 Mei 2017)
Pasar Tanah Abang yang terletak di jantung kota Jakarta, masuk dalam
wilayah Jakarta Pusat, lebih spesifiknya yakni berada dalam kelurahan
Kampung Bali. Pasar Tanah Abang merupakan pasar terbesar di Jakarta yang
menjual bahan tekstil, busana anak-anak dan orang dewasa, busana muslim,
sepatu, tas dan barang-barang kebutuhan lainnya dengan harga murah atau harga
miring baik eceran maupun grosir.
Pasar Tanah Abang ini didirikan oleh Yustinus Vinck pada 30
agustus 1735 atas izin dari Gubenur Jendral Abraham Patramini. Awalnya pasar
ini berdiri hanya menjual barang kelontong dan buka pada setiap hari Sabtu.
Oleh karena itu Pasar Tanah Abang sering disebut juga sebagai pasar Sabtu.
Kemudian pada akhirnya pasar tersebut mampu menyaing Pasar Senen (Welter
Vreden) yang sudah lebih dulu maju pada saat itu. Tahun 1740 terjadi peristiwa
Chineezenmoord yaitu pembantaian orang-orang China dan juga perusakan
harta benda, termasuk Pasar Tanah Abang diporak-porandakan dan dibakar.
32
Tahun 1881 Pasar Tanah Abang kembali dibangun serta ditambah
hari bukanya yaitu hari Rabu dan Sabtu. Sehingga Pasar Tanah Abang dibuka 2
kali dalam seminggu. Bangunan pasar pada mulanya sangat sederhana terdiri
dari bambu dan papan serta atap rumbia. Pasar Tanah Abang terus mengalami
perbaikan hingga akhir abad ke 19. Tahun 1913 Pasar Tanah Abang kembali
diperbaiki dan pada tahun 1926 pemerintah Batavia membongkar Pasar Tanah
Abang dan di ganti bangunan permanen berupa tiga los panjang dari tembok dan
papan serta beratap genteng.
Pasar Tanah Abang semakin berkembang setelah dibangunnya Stasiun
Tanah Abang. Masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, tahun 1973 Pasar
Tanah Abang diremajakan terdari empat bangunan dan 4 lantai. Seiring dengan
perkembangan zaman beberapa kali Pasar Tanah Abang mengalami perubahan
dan perluasan pasar seperti sekarang ini. Saat ini Pasar Tanah Abang adalah
pasar grosir yang tertua dan terbesar se-Asia Tenggara. Pasar Grosir Tanah
Abang merupakan pusat perdagangan tekstil utama, ke berbagai wilayah di
Indonesia, Asia maupun dunia. (http://jakartapedia.bpadjakarta.net diakses pada
3 Mei 2017)
Blok G merupakan salah satu bagunan dari Pasar Tanah Abang yang
dijadikan lokasi untuk berjualan para pedagang. Blok G didirikan pada tahun
1986 dan diperbaiki lagi pada tahun 2003. Pada awal pembangunannya mungkin
ditujukan sama seperti blok-blok lain dari Pasar Tanah Abang, hingga pada
pertengahan tahun 2013 terjadi perombakan besar-besaran dari Pemerintah
Daerah yang ingin menjadikan Blok G sebagai tempat relokasi pedagang kaki
33
lima yang berada di pinggir jalan, trotoar, dan lain sebagainya. Dimana pada
saat itu kondisi jalan di sekitar Pasar Tanah Abang menjadi tak terkendali,
pedagang kaki lima secara tidak teratur berjualan di tempat-tempat yang
sebenarnya tidak diperuntukkan untuk berjualan, sehinggal terjadi kemacetan
panjang, angkot berhenti disembarang tempat karena banyak orang yang
berlalu-lalang di pinggir jalan. Berikut adalah gambar sebaran PKL Pasar Tanah
Abang.
Gambar II.A.2 Peta Lokasi Pasar Tanah Abang
Sumber gambar: http://google.maps.com diakses pada 09 November 2017
Pada gambar tersebut menggambarkan sebaran para pedagang kaki lima
yang berada pada pinggir jalan atau trotoar jalan Jati Baru Raya serta di dalam
gang-gang pemukiman warga. Jika dilihat dari gambar tersebut memang jarak
antara statiun Tanah Abang menuju Blok G itu lumayan jauh, sehingga
34
mengakibatkan banyak dari para pembeli lebih memilih untuk masuk ke dalam
gang-gang tersebut dibanding harus jalan langsung ke Blok G.
Berikut adalah data teknis Pasar Tanah Abang Blok G
Tabel II.A.1 Data Teknis UPB Tanah Abang Blok G
1 Total Pedagang 899
2 Jumlah Kios 2,200
3 Jumlah Lantai 4 Lantai
4 Luas Lahan 5,669 M2
5 Luas Bangunan 16,875 M2
6 Asal Pakaian Lokal
7 Transaksi Perhari 400 Juta/hari
8 Jumlah Pengunjung 300/hari
9 Didirikan Tahun Bangunan 1986 & 2003
10 Jenis Dagangan Pakaian jadi, tas, koper, sembako, sayur
mayur, daging sapi, daging ayam, dan lain-lain Sumber: Kantor PD Pasar Jaya UPB Pasar Tanah Abang Blok G pada 18 September 2017
Berdasarkan data terakhir PD. Pasar Jaya, Blok G terbagi atas 4 lantai.
Dalam data tersebut menunjukan jumlah keseluruhan tempat usaha yang
terdapat di Blok G yakni 2.200 unit yang terbagi menjadi Kios sebanyak 369
unit, Counter/CT sebanyak 1.439 unit, dan Losmen sebanyak 392 unit. Jumlah
tempat usaha terbanyak di Blok G yakni pada lantai 1, dengan jumlah tempat
usaha 587 unit yang terbagi menjadi 222 unit Kios, 188 unit Counter/CT, dan
177 unit Losmen. Berikut adalah tabel jumlah tempat usaha berdasarkan
Laporan Aktifvitas Tempat Usaha bulan Oktober 2016 Pasar Tanah Abang Blok
G.
Tabel II.A.2 Laporan Aktifvitas Tempat Usaha bulan Oktober 2016 Pasar
Tanah Abang Blok G
NO. BLOK G TEMPAT USAHA
KIOS CT LOS TD JML
1 LT. DASAR 147 95 215 - 457
2 LT. I (SATU) 222 188 177 - 587
3 LT. II (DUA) - 577 - - 577
35
4 LT. III (TIGA) - 579 - - 579
JUMLAH 369 1439 392 - 2200 Sumber: Kantor Pusat PD Pasar Jaya UPB Pasar Tanah Abang Blok A-G pada 18
September 2017
Berdasarkan jumlah tempat usaha tersebut, masing-masing tempat usaha
terbagi atas luas yang berbeda-beda. Luas keseluruhan untuk kios pada lantai
dasar ialah 588.00 M² dibagi jumlah tempat usaha Kios pada lantai dasar yang
berjumlah 147 unit, maka dapat diketahui untuk masih-masing Kios di lantai
dasar itu memiliki luas 4 M²/kios, dan untuk lantai 1 itu memiliki luas 3
M²/kios. Sedangkan untuk Counter/CT pada setiap lantai masing-masing
memiliki 2.7 M²/CT. Dan terakhir itu losmen, pada losmen sendiri memiliki luas
yang sama dengan Counter, yakni 2.7 M²/Losmen. Akan tetapi losmen hanya
tersedia pada lantai dasar dan lantai 1. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah tabel
Luas tempat usaha berdasarkan jenis yang berbeda-beda.
Tabel II.A.3 Laporan Luas Tempat Usaha Berdasarkan Jenis
NO. BLOK G LUAS (M²)
KIOS CT LOS TD JML
1 LT. DASAR 588.00 256.50 580.50 - 1,425.00
2 LT. I (SATU) 666.00 507.60 477.90 - 1,651.50
3 LT. II (DUA) - 1,557.90 - - 1,557.90
4 LT. III (TIGA) - 1,563.30 - - 1,563.30
JUMLAH 1,254.00 3,885.30 1,058.40 - 6,197.70 Sumber: Kantor Pusat PD Pasar Jaya UPB Pasar Tanah Abang Blok A-G pada 18 September 2017
Berdasarkan jumlah unit yang tersedia, data yang didapat menunjukkan
bahwa tidak semua unit terisi oleh pedagang, misalnya terdapat beberapa unit
yang batal diisi oleh pedagang, serta ada pula yang memang belum
diperuntukkan untuk diisi atau tidak aktif. Selain itu ada juga beberapa unit yang
ditangguhkan atau dalam tahap penutupan sementara karena beberapa alasan.
Jumlah keseluruhan tempat usaha yang aktif sampai dengan oktober 2016 ialah
36
1,282 unit. Jumlah tempat usaha yang aktif terbanyak berada pada lantai 1,
dengan jumlah total 509 unit yang terbagi atas 209 unit kios, 151 unit counter
dan 149 unit los. Kemudian jumlah tempat usaha yang batal secara keseluruhan
berjumlah 856 unit, dimana lantai 4 menjadi tempat yang paling banyak batal
diisi, dengan jumlah 570 unit. Dan terakhir ialah tempat usaha yang belum
diperuntukkan atau tidak aktif, dengan jumlah total ialah 62 unit untuk counter
secara keseluruhan. Berikut adalah tabel tempat usaha yang aktif, batal dan
belum diperuntukkan atau tidak aktif Pasar Tanah Abang Blok G.
Tabel II.A.4 Laporan Jumlah TU (Tempat Usaha)
Sumber: Kantor Pusat PD Pasar Jaya UPB Pasar Tanah Abang Blok A-G pada 18 September 2017
Namun berdasarkan wawancara terakhir antara peneliti dengan informan
Eju (staf PD.Pasar Jaya di Blok G) menunjukan bahwa terjadi pengurangan TU
aktif pada Juni 2017. Dalam wawancara tersebut, informan Eju menerangkan
bahwa jumlah TU aktif pada oktober 2016 yakni 1,282 unit dikurangi 27 unit
TU yang belum CMS atau yang belum bayar DPP, kemudian dikurangi lagi TU
batal sebanyak 207 unit, dan terakhir yakni TU dalam tahap peringatan
penutupan sementara. Sehingga jumlah akhir TU aktif hingga Juni 2017
sebanyak 944 unit.
37
B. Karakteristik PKL Pasar Tanah Abang Blok G Berdasarkan Jenis Usaha
Berdasarkan jenis usaha yang dijalani, PKL yang berada di Blok G
memiliki beragam jenis usaha, mulai dari makanan dan minuman, buah dan
sayuran, pakaian jadi, busana muslim, tekstil, bumbu/rempah-rempah,
kelontong, asesoris, perhiasan emas, sepatu dan sendal, jam/arloji, tas/koper,
kacamata, daging ayam, daging sapi, daging kambing dan lain sebagainya. Pada
dasarnya mereka menjual berbagai keperluan yang diperlukan masyarakat
sehari-hari.
Dari data yang diperoleh, kebanyakan dari mereka menjual pakaian, mulai
dari pakaian anak, dewasa, dan busana muslim sesuai dengan banyak TU yang
aktif dari keseluruhan, yakni 420 TU. Jenis usaha terbanyak kedua ialah warung
makanan dan minuman, dengan jumlah TU aktif 219. Kemudian jenis usaha
terbanyak ketiga penjual sayur mayur, buah-buahan dan lain sebagainya dengan
jumlah TU aktif 179. Sedangkan pedagang lainnya kurang dari 100 TU aktif
yang digabung secara keseluruhan ialah pedagang assesoris, perhiasan, dan
daging-dagingan.
Tabel II.B.1 Laporan Jumlah TU (Tempat Usaha) Aktif
NO Komoditi Jumlah
TU
1 Pakaian jadi, Tekstil, Busana
Muslim, Kerudung 420
2 Warung Makanan, Minuman, dan
Pangan Lain 219
3
Sayur Mayur, Buah-buahan, Beras,
Kelapa, Bumbu/Rempah-rempah,
Kelontong, Rokok, dan lain-lain
179
4
Assesoris, Bunga Hias, Perhiasan
Emas, Sepatu/Sendal, Barang
Teknik, Jam/Arloji, Ikat Pinggang,
Tas/Koper, Kacamata
72
38
5 Ayam Hidup dan Potong, Daging
Sapi, Daging Kambing 46
6 Jasa 8
Jumlah 944
Sumber: Kantor PD Pasar Jaya UPB Pasar Tanah Abang Blok G pada 18 September 2017
Pada penelitian ini, peneliti mengambil informan yang terkena dampak
penertiban yang dilakukan oleh pemerintah setempat dan sekarang menempati
lokasi relokasi yang telah disediakan, yang tersebar pada lantai dasar, lantai 1
dan 2 Blok G Pasar Tanah Abang. Serta peneliti mengambil beberapa informan
yang telah direlokasi ke Pasar Tanah Abang Blok G sebelumnya namun kembali
lagi berjualan di tempat larangan berjualan, untuk kerentanan yang dialami oleh
pedagang tersebut.
C. Relokasi Pedagang Kaki Lima Pasar Tanah Abang Blok G
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata relokasi berarti
pemindahan lokasi. Artinya, relokasi adalah suatu kegiatan yang mengharuskan
sesuatu itu berpindah tempat dari lokasi semula, menuju lokasi baru yang telah
ditentukan. Dalam hal ini, kegiatan relokasi yang terjadi di kawasan Pasar
Tanah Abang menuai pro dan kontra. Ada dari meraka yang pro terhadap
kegiatan relokasi tersebut, dan ada pula yang kontra dikarenakan beberapa
alasan yang membuat mereka tidak ingin di relokasi.
Dalam Hartanto (2014), realisasi dari Perda No.8 tahun 2007 terutama
tentang penertiban PKL dilakukan secara bertahap. Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta memulai dengan melakukan razia bagi para PKL di beberapa titik lokasi
yang dianggap perlu diperhatikan terlebih dahulu. Setelah para PKL ditertibkan,
pemerintah Provinsi DKI Jakarata menerapkan kebijakan bahwa para PKL yang
39
ditertibkan berhak mendapatkan kios di lokasi yang telah ditunjuk pemerintah.
Para PKL yang pernah menempati kawasan Pasar Tanah Abang diberikan kios
di Blok G yang berlokasi di dekat stasiun kereta api Tanah Abang.
Pada awalnya, kebanyakan PKL yang berada di kawasan Pasar Tanah
Abang merupakan PKL binaan Walikota Jakarta Pusat, sehingga keberadaannya
pun bisa dikatakan resmi atau legal. Seperti apa yang di ungkapkan oleh salah
seorang pedagang (Nasri);
“Kita kan waktu dibawah kan pedagang resmi, binaan walikota. Jadi kita
dikasi surat peringatan. Pas pinggir jalan itu dulu, emang binaan walikota.
Sekarang aja emang sembarang orang..”(wawancara pribadi dengan
informan di Blok G Pasar Tanah Abang pada Sabtu, 7 Oktober 2017)
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dibuktikan bahwa PKL di kawasan
Pasar Tanah Abang sebelumnya merupakan PKL yang resmi dan merupakan
PKL binaan Walikota Jakarta Pusat. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah
PKL yang berada di kawasan tersebut menjadi tidak terkendali, mungkin yang
awalnya hanya berada di dalam jalan Jati Baru X, kini banyak PKL yang mulai
menempati lokasi-lokasi larangan berjualan, misalnya trotoar atau bahu jalan
yang mengakibatkan penumpukan orang dipinggir jalan, sehingga terjadi
kemacetan dan lain sebagainya.
Maka dari itu Pemerintah Daerah Jakarta Pusat mulai berinisiatif untuk
merealisasikan Perda tersebut dengan mulai menyebar selebaran sebagai
peringatan untuk segera memindahkan barang dagangan. Setelah itu petugas
setempat mulai melaksanakan razia pada para PKL untuk memindahkan barang
dagangannya. Kemudian razia besar-besaran pun mulai dilaksanakan pada
pertengahan bulan Juni 2013, pada saat itu para PKL yang “nakal” pun akhirnya
40
ditertibkan secara paksa oleh petugas Satpol PP, tanpa ragu dan belas kasihan
barang dagangan PKL pun di sita. Dari kegiatan ini tidak sedikit dari PKL yang
kontra terhadap kegiatan penertiban tersebut. Hingga akhirnya ketegangan pun
terjadi.
Sebelum dilakukan razia besar-besaran tersebut, dinas UMKM sudah
terlebih dahulu mendata para PKL yang akan direlokasi ke Pasar Tanah Abang
Blok G, sehingga memang pada saat razia, tidak banyak dari para PKL yang
ikut melakukan penolakan terhadap kegiatan relokasi tersebut. Asisten Manager
Seksi Keuangan & Administrasi UPB Pasar Tanah Abang (Blok A-G),
Nasrulloh mengatakan dalam wawancara pribadi dengan peneliti mengakui
bahwa:
“Tentunya ada sosialisasi sebelum relokasi, sebelumnya pedagang kaki
lima tuh di data yang di pinggir jalan, siapa yang punya KTP (DKI), nanti
sama UMKM di data tuh, lalu UMKM ngasi data ke pasar Jaya, kemudian
sarana yang ada berapa? Lalu diselaraskan.” (wawancara pribadi dengan
informan di kantor pusat PD Pasar Jaya Blok A-F pada Kamis, 27 Juli
2017. Pukul 13.25 WIB)
Pada dasarnya, sasaran pemerintah dalam merelokasi para PKL ialah
mereka yang memiliki KTP DKI Jakarta, yakni bisa dikatakan penduduk
pribumi yang berada di daerah tersebut. Namun kebanyakan dari pedagang
tersebut ialah PKL yang berasal dari luar Jakarta, misalnya orang Tasikmalaya,
Padang dan lain sebagainya. Seperti apa yang telah diungkapkan Eju, sangat
jarang penduduk pribumi atau orang Jakarta yang berdagang di daerah sekitar
Pasar Tanah Abang, justru kebanyakan dari mereka adalah preman. Jadi para
pedagang yang berasal dari luar Jakarta, banyak yang ber-KTP DKI Jakarta agar
dapat di data oleh dinas UMKM, dan melakukan aktifitas jual-beli kembali
41
ditempat relokasi yang telah di tunjuk oleh Pemerintah Daerah, yakni Pasar
Tanah Abang Blok G.
Setelah para pedagang di data, selanjutnya mereka akan diundi untuk dapat
mengisi kios-kios yang tersedia di Blok G. Tujuannya ialah agar para PKL tertib
dan tidak berebut untuk menempati kios-kios yang dianggap terjangkau oleh
pembeli. Informan Eju mengatakan;
“Namun yang mendapatkan undian di lantai 2 dan 3 Pasar Tanah Abang
Blok G, kebanyakan penduduk asli atau orang Jakarta yang notabennya
bukan pedagang asli, sehingga kebanyakan dari mereka pada beberapa
bulan setelah itu mulai kabur atau meninggalkan kios yang ditempati,”
(wawancara pribadi dengan informan di kantor PD Pasar Jaya Blok G
pada Senin, 18 September 2017. Pukul 14.48 WIB)
Kemudian selang beberapa tahun, tepatnya pada Minggu pagi 3 Mei 2015,
kawasan Pasar Tanah Abang dipenuhi oleh para PKL dan diwarnai aksi protes
keras dan keluhan para PKL. Para pedagang menilai aksi penertiban sangat tidak
manusiawi lantaran tidak disertai dengan upaya relokasi. Walaupun mengaku
bersalah karena menempati area publik, seperti badan jalan dan saluran air,
tetapi para pedagang menganggap penertiban kurang tepat karena tidak disertai
dengan solusi. Para pedagang sebelumnya hanya diinformasikan seluruh
kawasan jalan Jati Baru X hanya akan ditata tanpa pembongkaran. Menurut
salah seorang pedagang, kalaupun direlokasi ke Blok G, itu bukanlah solusi.
Karena kondisi pasar yang sepi dan tidak menjamin pedagang dapat bertahan.
Sedangkan banyak pembeli yang lebih memilih ke jalan Jati Baru X, karena
mudah dijangkau (http://megapolitan.kompas.com diakses pada 25 Mei 2017).
Sementara itu dari pihak Pemda membantah bahwa jajarannya melakukan
penertiban tanpa adanya solusi. Pihak Pemda sendiri mengaku telah
42
berkordinasi oleh PD Pasar Jaya untuk mempersiapkan kios dan los, serta
memperbaiki segala fasilitas yang ada seperti toilet, eskalator dan sarana lainnya
dan dapat beroperasi secara optimal. Jadi, jika ada pedagang yang mendirikan
lapak atau kios di badan jalan atau di atas saluran air, maka pihak penertib akan
langsung membongkar dan menyita barang dagangan tersebut. Hal tersebut juga
disampaikan oleh Nasri salah seorang pedagang sepatu dan sendal di Blok G, ia
mengaku bahwa;
“Sebenarnya kami ini kan udah buat perjanjian, siapa yang nempatin di atas
itu udah ngga boleh turun ke bawah. Jadi kalau misalnya turun lagi dan
ketangkap, yaudah barangnya diambil oleh petugas/disita, udah
perjanjiannya.” (wawancara pribadi dengan informan di Blok G Pasar Tanah
Abang pada Sabtu, 7 Oktober 2017. Pukul 14.08 WIB)
Kemudian pada tahun berikutnya, tepatnya pada Kamis (2 Juni 2016)
penertiban pun dilaksanakan lagi dikarenakan para pedagang kembali berdagang
di bahu jalan dan trotoar. Kericuhan pun mewarnai kegiatan penertiban tersebut.
Sejumlah pedagang kala itu dibantu warga sekitar melakukan perlawanan
sehingga menyebabkan beberapa personil Satpol PP terluka. Dan pada akhirnya,
kepala Satpol PP (Iyan Sophian Hadi) daerah tersebut pun menarik mundur
personilnya, dan membatalkan penertiban PKL. Namun Iyan mengungkapkan
bahwa Satpol PP akan tetap menertibkan para pedagang yang melanggar aturan
(http://megapolitan.kompas.com pada 25 Mei 2017)
Hingga saat ini, kegiatan penertiban PKL sering dilakukan oleh Satpol PP,
namun masih tetap ada saja pedagang yang berjualan di daerah larangan
berjualan seperti badan jalan, trotoar dan di atas saluran air. Akan tetapi, di balik
suksesnya penertiban yang dilakukan, tentunya harus ada sikap ketegasan yang
43
kuat dari pihak penertib. Dimana saat melakukan penertiban, seharusnya pihak
penertib harus dapat meyakinkan pedagang untuk berdagang di Blok G dan
melarang keras bagi mereka yang kedapatan melanggar aturan lagi. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan peneliti, ada jam-jam tertentu dimana para
pedagang dapat berjualan di lokasi larangan berjualan. Hal tersebut tentunya
telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat oleh Pemerintah Daerah, yang
mana seharusnya memang kawasan tersebut merupakan kawasan larangan
berjualan. Seperti yang diungkapkan oleh Nasrulloh;
“...Sekarang yang jadi permasalahan adalah aparat setempatnya itu
continue ngga, seharusnya kan continue. Kan bisa liat di jalan tadi, ada
ngga aparatnya. Harusnya kan berkesinambungan. Ini kan ngga selamanya
ada aparat minggir, ngga ada aparat pada maju, pedagang kaki lima kan
gitu,,,.. Kalau kita kan ya itu tadi berkaitan dengan aparat terkait,
berkesinambungan, apakah mereka (pedagang yang menempati bahu jalan,
trootoar, kios-kios sekitaran jalan Jati Baru) ada izin-izinnya, kita ngga tau
juga kan, terus pedagang kaki limanya kan banyak banget kan. Karena
pedagang kaki lima begitu di usir dan pas aparatnya ngga ada balik lagi
mereka, yaudah begitu terus. Sekarang gini, ketika diambil barangnya,
terus dia ngambil lagi ke kantornya, ya kan.” (wawancara pribadi dengan
informan di kantor pusat PD Pasar Jaya Blok A-F pada Kamis, 27 Juli
2017. Pukul 13.25 WIB)
Berdasarkan pengakuan tersebut menggambarkan pihak pengelola pasar
Tanah Abang yang menyayangkan tindakan pihak penertib yang tidak tegas
dalam melaksanakan tugas, artinya pihak penertib yang tidak berkelanjutan
dalam penertiban, sehingga banyak dari pedagang yang kembali lagi ke trotoar
dan meninggalkan Blok G.
44
Gambar II.C.1 Kesemrawutan jalan Jati Baru
(Sumber Gambar: Observasi tanggal 08 Desember 2017. Lokasi: Jalan Jati Baru, kawasan
Pasar Tanah Abang)
Pada gambar tersebut menggambarkan kemacetan yang terjadi di jalan Jati
Baru Raya samping pintu keluar stasiun Tanah Abang. Hal tersebut terjadi
akibat para pejalan kaki yang menyebrang jalan dan ada beberapa pejalan kaki
yang berjalan di jalanan karena di trotoar sudah penuh dengan PKL dan pejalan
kaki yang sedang melihat-lihat atau membeli barang dagangan PKL. Sebenarnya
bukan hanya itu saja, tapi kemacetan juga di sebabkan oleh para pengendara
angkutan umum yang ngetem dan parkir sembarangan seperti angkot hingga
ojek online.
D. Kondisi Sosial-Ekonomi Pedagang Kaki Lima Pasca Relokasi
Pasar Tanah Abang Blok G merupakan bangunan yang dibangun oleh
Pemerintah untuk merelokasi pedagang kaki lima yang dianggap berada atau
berjualan pada lokasi-lokasi larangan untuk berjualan. Kegiatan relokasi ini
tidak jarang menimbulkan konflik yang sering terjadi saat ada penertiban.
Namun relokasi atau pemindahan pedagang ke Blok G dianggap bukanlah solusi
45
yang tepat. Hal tersebut justru dapat merugikan pedagang karena kondisi pasar
yang semakin sepi dari hari ke hari, sehingga akan menimbulkan kerentanan-
kerentanan yang akan terjadi pada pedagang. Oleh karena itu, pada penelitian
ini, peneliti akan terlebih dahulu menggambarkan kondisi sosial ekonomi para
pedagang, baik yang berada di pasar Tanah Abang Blok G maupun pedagang
yang berada di luar Blok G atau para pedagang yang telah direlokasi ke Blok G
tapi kembali lagi berjualan di luar Blok G.
1. Kondisi Sosial
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kata sosial dalam ilmu sosial merujuk
pada satu objek, yakni masyarakat. Sedangkan dalam konsep sosiologi,
manusia sering disebut sebagai mahluk sosial yang artinya; manusia tidak
dapat hidup wajar tanpa ada bantuan orang lain di sekitar, sehingga kata-kata
sosial dapat ditafsirkan hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Dalam
kaitannya dengan apa yang penulis teliti ialah pedagang kaki lima Pasar Tanah
Abang bisa dikatakan makhluk sosial yang dimaksud. Dimana para pedagang
tentunya terlibat dengan unsur-unsur sosial, seperti berinteraksi antar sesama
pedagang atau konsumen, konflik dan lain sebagainya.
Berikut adalah beberapa kondisi yang menggambarkan kategori kondisi
sosial yang dialami para pedagang kaki lima pasca relokasi berdasarkan hasil
wawancara:
a.) Hubungan Sosial PKL
Pada setiap kegiatan jual-beli, pasti akan terjalin suatu hubungan,
baik itu disengaja atau tidak. Hubungan tersebut bisa terjadi antar
46
pedagang dengan pedagang lainnya, atau pedagang dengan pembeli.
Hubungan yang baik antar pedagang dengan pedagang lainnya terjalin
jika mereka bersikap positif antar sesama pedagang yang bisa dilihat
dari persaingan yang sehat dengan penentuan dan penyelarasan harga
barang dagang, saling bertegur-sapa, saling membantu dan lain
sebagainya. Hal-hal tersebut dapat dilihat dari interaksi yang terjadi di
kedua sisi pedagang yang penulis teliti, yakni dari pedagang Pasar
Tanah Abang Blok G dan pedagang yang berjualan di bahu jalan Jati
Baru.
Berdasarkan informan yang didapat, semua informan merasa
memiliki hubungan yang baik antar sesama pedagang lainnya.
Misalnya di Blok G, para pedagang mengatakan mereka berhubungan
baik dengan para pedagang di Blok G, bahkan dengan pedagang di luar
Blok G pun baik-baik saja. Seperti yang diungkapkan Ratna “Ya deket
sih, ada juga pedagang yang dari bawah, sering ketemu.”(wawancara
pribadi dengan informan di Blok G Pasar Tanah Abang pada Senin, 09
Oktober 2017. Pukul 10.53 WIB). Bahkan tidak jarang dari mereka
adalah sesama keluarga, dan merekapun tidak ada masalah jika harus
bersaing dalam hal berdagang. Seperti yang diungkapkan Siti dan
Nasri, bahwasannya banyak keluarga mereka yang sama-sama
berjualan di Blok G serta ada pula di luar Blok G.
Kemudian dari pedagang yang berada di kawasan Pasar Tanah
Abang (bahu jalan Jati Baru atau bahkan dalam gang Jati Baru) pun
47
merasakan hal yang sama ketika ditanyakan tentang kedekatannya
dengan pedagang lain. Seperti yang di ungkapkan oleh Awaluddin:
“Ya kalau sama pedagang lain sih deket aja ya, tuh kayak sama
bang Yuri tadi. Kadang nanya barang kalau misalnya disini udah
abis, saya ngambil ke dia. Ya dia juga gitu sebaliknya.”
(wawancara pribadi dengan informan di jalan Jati Baru pada
Rabu, 08 November 2017. Pukul 16.28 WIB)
Hal yang sama pun diungkapkan oleh Aput:
“Ya deket aja sih, kita kadang juga sering nanya ukuran atau
model pakaian yang diminta yang beli. Itu sih kalau ada.”
(wawancara pribadi dengan informan di gang menuju Blok A
atau Blok F pada Rabu, 08 November 2017. Pukul 14.06 WIB)
Hampir kebanyakan dari mereka lebih akrab saat mereka sama-
sama berada pada titik kerawanan. Misalnya saling membantu saat
sedang kesulitan, atau bahkan saling tukar menukar barang dagangan
yang mana salah satu dari mereka tidak memiliki jenis tertentu. Namun
lebih banyak dari mereka yang seperti itu adalah para pedagang yang
telah memiliki toko atau lapak tetap. Sedangkan mereka yang berada di
bahu jalan lebih banyak mengambil barang dari pedagang yang telah
memiliki toko. Seperti yang diungkapkan oleh Ari, “Deket sih, sama
pedagang sini, yang disebelah sana juga deket tuh sama mereka yang
sering ngambil barang ke sini.”(wawancara pribadi dengan informan di
jalan Jati Baru, menuju Blok G pada 08 November 2017) Mereka
merasa dekat dengan pedagang lain, baik dengan pedagang sekitar
lapaknya, atau bahkan dengan pedagang yang berada di bahu jalan Jati
Baru samping stasiun Tanah Abang. Kedekatan mereka terjalin karena
ada beberapa pedagang yang mengambil barang dagangannya, lalu
dijual kembali di bahu jalan Jati Baru.
48
Seperti halnya dengan apa yang peneliti sampaikan sebelumnya
bahwa hubungan yang baik dapat terjalin antar sesama pedagang ialah
dengan bersikap positif, baik itu terkait penentuan harga dan lain
sebagainya. Hal itu disebutkan juga oleh Mila, “persaingan biasa, yang
penting orangnya aja enak apa engga” (wawancara pribadi dengan
informan di trotoar jalan Jati Baru pada Senin, 09 Oktober 2017. Pukul
13.28 WIB).
Selain hubungan antar sesama pedagang, hubungan lainnya yang
terjadi adalah hubungan antar pedagang dengan pembeli. Hubungan
antar pedagang dan pembeli dapat dikatakan hubungan yang paling
penting dalam kegiatan jual-beli. Hubungan yang baik antar pedagang
dan pembeli dapat dilihat dari bagaimana cara pedagang
memperlakukan pembeli, setelah itu bagaimana para pedagang
menjaga pelanggan agar dapat kembali membeli barang dagangannya.
Jika dilihat dari pedagang blok G, banyak dari mereka yang mengaku
memilih bertahan kerena sudah memiliki pelanggan. Walaupun tidak
banyak, mereka tetap berusaha agar barang dagangan mereka terjual
dengan cara bersikap ramah, menawarkan barang dagangannya kepada
setiap pembeli yang lewat di depan tokonya serta menarik pelanggan
baru.
Namun di balik itu, mereka tetap merasa bahwa berjualan dibawah
(diluar Blok G) lebih menguntungkan dan lebih banyak pelanggan
dibandingkan dengan di Blok G. Walaupun modal bisa sampai puluhan
49
juta, tapi mereka mengaku lebih menguntungkan diluar Blok G, karena
lebih banyak orang yang melintas di depan lapak mereka, dan tidak
jarang dari pembeli yang membeli dalam jumlah besar. Seperti yang
diungkapkan Siti saat peneliti tanyakan keinginan untuk kembali lagi
ke jalan atau luar Blok G;
“Waktu di jalanan aja nih antara Blok F dan Blok A, se-meter
bisa 20juta, omset aja bisa sampai 8juta, kalau emang rejeki.
Paling dagangannya cuma gini nih (kaos oblong), walaupun
emang lebih rame, tapi kan tempatnya susah, udah gitu mahal.
Pernah waktu itu nyewa, kita tempatin sehari, besoknya udah
ngga ada. Diambil sama preman, disini kan banyak preman.
Maen dulu-duluan, geng-gengan, beking-bekingan.” (wawancara
pribadi dengan informan di Blok G Pasar Tanah Abang pada
Sabtu, 07 Oktober 2017. Pukul 12.37 WIB)
Walaupun seperti itu, mereka tetap sadar bahwa berjualan di bahu
jalan atau wilayah larangan berjualan adalah hal yang menyalahi
aturan. Mereka mengaku lelah jika harus terus berurusan dengan pihak
keamanan setempat, walaupun mereka telah bayar uang retribusi atau
biaya uang sewa seperti yang diungkapkan Siti sebelumnya. Selain itu
Nasri juga menyampaikan:
“Kalau saya sih udah engga, karena udah umur juga kan udah
ngga memungkinkan untuk dibawah,,,
mau ngga mau mending bertahan, sekarang kalau diuber-uber
sama kamtib (satpol PP) kan dibawah.” (wawancara pribadi
dengan informan di Blok G Pasar Tanah Abang pada Sabtu, 07
Oktober 2017. Pukul 14.08 WIB)
Ratna pun mengungkapkan hal yang sama;
“Kalau dibawah kan kita ngangkat-ngangkat. Sebelumnya kan
kaki lima yang dipinggir jalan itu, ntar kalau tutup ya diangkat.”
(wawancara pribadi dengan informan di Blok G Pasar Tanah
Abang pada Senin, 09 Oktober 2017. Pukul 10.53 WIB)
Disamping mereka menyadari bahwa berjualan di luar Blok G atau
kawasan larangan dagang adalah perbuatan yang menyalahi aturan,
50
mereka pun sadar bahwa usia dan tenaga mereka tidak lagi mampu jika
berhadapan dengan penertiban-penertiban yang sering dilaksanakan
oleh Satpol PP.
Kemudian jika dilihat dari sisi PKL yang berada di luar Blok G
mengaku bahwa mereka pun merasakan hal-hal yang sama, terkhusus
bagi mereka yang telah kembali berjualan di luar Blok G. Mereka
mengaku bahwa berjualan di lokasi yang ditempatinya saat ini lebih
banyak bertemu dengan pembeli dibandingkan di Blok G. Seperti yang
di ungkapkan oleh Awaluddin
“Kalau pelanggan mah ada aja, ngga tentu juga. Yang penting
mah ada aja yang beli. Ngga kayak di blok G, tadinya kan
sebelum saya dipindahin ke situ (blok G), saya udah ada
langganan, eh pas disana saya malah ngga punya langganan.
Udah aja saya balik lagi ke sini”(wawancara pribadi dengan
informan di trotoar jalan Jati Baru pada Rabu, 08 November
2017. Pukul 16.28 WIB).
Bahkan Irwan mengaku, ia tidak mementingkan pelanggan. Ia
lebih mementingkan lokasi dagang, asalkan lokasi dagang banyak
dilalui orang, “Pelanggan mah ngga tentu, saya mah asal banyak orang
yang lewat sini aja, nanti juga ada aja yang beli”(wawancara pribadi
dengan informan di trotoar jalan Jati Baru pada Rabu, 08 November
2017. Pukul 15.23 WIB).
Akan tetapi, tidak semua ungkapkan bahwa jualan di luar Blok G
atau bahu jalan bisa mendapatkan banyak pelanggan seperti yang di
ungkapkan beberapa pedagang di Blok G. Seperti yang di ungkapkan
Mila,
51
“Alhamdulillah ada sih kalau pelanggan mah, ya cuman gitu lah
kalau bukan lebaran mah perlunya ngga banyak, ya paling kalau
menjelang puasa tuh lumayan lah, bisa nyimpen, kalau sekarang
mah makan doang (wawancara pribadi dengan informan di
trotoar jalan Jati Baru pada Senin, 09 Oktober 2017. Pukul 13.28
WIB).
Pengakuan tersebut menjelaskan bahwa memang lokasi paling
strategis agar mendapatkan pembeli dan pelanggan adalah lokasi yang
banyak dilalui orang. Hal itu di buktikan dengan lokasi jualan Mila
yang lumayan jauh dari pintu keluar stasiun Tanah Abang. Sama
halnya dengan yang diungkapkan oleh Ari;
“Ya alhamdulillah sih ada. Kalau hari-hari biasa jangankan ini
ya, dari bulan Juni udah mulai agak sepi...
.... disini juga orang jarang belanja, jauh. Banyak orang yang
lebih milih disana (samping stasiun sampai Jati Baru bagian
dalam) dari pada disini. Sebenernya saya juga udah ngga
nyanggupin kalau disini. Kalau misalnya disana kan bisa 2, 3
atau 4 kodi barang bisa laku seminggu. Kalau disini kan orang
engga, cuma lewat doang.” (wawancara pribadi pada Rabu, 08
November 2017. Pukul 14.39 WIB)
Hal tersebut juga diakui oleh Ari yang merupakan pedagang di
toko bahu jalan Jati Baru, dimana lokasi jualan Ari dipertengahan
antara Blok G dan stasiun Tanah Abang.
b.) Kelayakan dan Kenyamanan Usaha
Setiap orang yang berjualan tentunya menginginkan tempat
berjualan yang layak dan nyaman. Kelayakan tempat berjualan juga
dapat menunjang maju atau tidaknya usaha seseorang dalam berjualan.
Disamping memberi kesan yang rapih dan bersih, tentunya dapat
mengundang pembeli untuk membeli barang dagangannya. Jika dilihat
dari kelayakan dan kenyamanan tempat usaha, tentu Pasar Tanah
52
Abang Blok G lebih layak dan nyaman dibandingkan dengan di bahu
jalan Jati Baru. Berdasarkan pengakuan informan yang peneliti
wawancara, walaupun agak sepi, tapi mereka merasa lebih nyaman
berjualan di Blok G. Salah satunya Ratna yang mengakui hal tersebut:
“Saya sih setuju aja direlokasi juga, soalnya tempatnya enak, kan
beda tuh ya sama yang dibawah, kalau dibawah tuh kalau ujan
kan ribet tuh, ngangkat-ngangkat barang.” (wawancara pribadi
dengan informan di Blok G Pasar Tanah Abang pada Senin, 09
Oktober 2017. Pukul 10.53 WIB)
Sebenarnya Blok G memang nyaman untuk berdagang, tidak akan
panas-panasan seperti di trotoar. Namun jika kondisi pasar sepi
pembeli, hal tersebut tidak dapat menunjang perekonomian pedagang
untuk dapat bertahan hidup atau menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Sebenarnya jika dilihat secara fisik, bahwa Pasar Tanah Abang
Blok G memanglah layak untuk dijadikan tempat untuk usaha. Namun
jika diperhatikan berdasarkan data, bahwa seharusnya Pasar Tanah
Abang Blok G sudah bisa dikatakan tidak layak untuk digunakan,
karena telah melewati batas penggunaan bangunan fisik. Nasri
mengatakan “soalnya ini juga sebenarnya bangunannya ini waktu
pemakaiannya udah abis, ini kan seharusnya hanya 25 tahun, ini saja
sudah 35 tahun lebih” (wawancara pribadi dengan informan di Blok G
Pasar Tanah Abang pada Sabtu, 07 Oktober 2017. Pukul 14.08 WIB).
Hal ini juga dibenarkan dari data yang telah dilampirkan di BAB II
pada tabel Data Teknis UPB Tanah Abang Blok G. Walaupun
sebenarnya telah dilakukan renovasi atau penambahan lantai, namun
tetap saja perlu ada pembaharuan lain pada fisik bangunan, selain
53
untuk menarik penjual untuk kembali ke Blok G dan juga menarik
pembeli, pembaharuan fisik bangunan juga memberi rasa aman dan
nyaman pada setiap orang yang beraktifitas di Pasar Tanah Abang
Blok G.
Selain itu, terkait dengan sarana dan prasarana yang ada juga
hampir tidak semua berjalan dengan semestinya. Salah satunya ialah
eskalator. Pengadaan eskalator oleh Pemerintah Daerah pada Pasar
Tanah Abang Blok G merupakan suatu langkah atau sebagai faktor
penunjang agar pembeli berdatangan ke Blok G. Namun berdasarkan
pengamatan peneliti, setiap peneliti mengunjungi Pasar Tanah Abang
Blok G selalu dalam keadaan mati atau tidak berjalan. Nasri mengaku
bahwa eskalator sudah tidak berfungsi, padahal uang listrik untuk
pengadaan eskalator ditarik dari para pedagang,
“Eskalator juga udah ngga jalan, paling di hidupkan kalau
misalnya ada pejabat dateng lah. Kalau orang biasa begini mana
ada. Padahal dari pembayaran CMS tadi udah masuk
pembayaran listrik eskalator. Sumbangan iya dari pemerintah,
tapi pembayaran listrik itu ditanggung pedagang. Ngga tau tuh,
kalau ada orang PD dateng, baru dinyalain, orang penting dateng,
baru dinyalain.” (wawancara pribadi dengan informan di Blok G
Pasar Tanah Abang pada Sabtu, 07 Oktober 2017. Pukul 14.08
WIB)
Sebenarnya hal tersebut sangat disayangkan mengingat bahwa
pengadaan eskalator tersebut merupakan penunjang untuk menarik
pembeli agar berdatangan, namun kenyataan lapangan berbicara lain.
54
2. Kondisi Ekonomi
Secara garis besar, ekonomi diartikan sebagai peraturan rumah tangga atau
menejemen rumah tangga. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa
ekonomi disini menjurus pada permasalahan tentang bagaimana mengurus
rumah tangga. Dimana hal-hal tersebut sangat berkaitan dengan pendapatan,
pengeluaran, pekerjaan yang dapat menunjang keberlangsungan hidup dalam
rumah tangga.
Pasca relokasi pasar Tanah Abang tentunya telah memberi berbagai
dampak pada para pedagang, salah satunya ialah penghasilan. Untuk melihat
kondisi ekonomi pedagang dapat dilihat dari penghasilannya, baik itu dari
pendapatan maupun pengeluaran. Peneliti akan menggambarkan terlebih
dahulu kondisi ekonomi pedagang kaki lima Pasar Tanah Abang pasca
relokasi yang dilihat dari pendapatan dan pengeluaran para PKL, baik yang
masih bertahan di Blok G dan yang telah kembali ke bahu jalan Jati Baru.
Walaupun tidak banyak dari mereka yang memilih kembali ke jalan Jati
Baru atau pergi dari Blok G, masih ada beberapa pedagang yang masih tetap
bertahan walau merasakan hal yang sama dengan mereka yang meninggalkan
Blok G. Jika dilihat dari pendapatan, beberapa informan mengaku bahwa
pendapatan yang mereka dapatkan tidak menentu. Seperti yang diungkapkan
oleh informan Ratna:
“Pendapatan ngga tentu sih, kalau lagi rame ya rame, kalau lagi sepi
ya sepi. Seharipun ngga tentu, kadang ada penglaris, kadang ngga
ada penglaris. Sementara disini biasanya rame sabtu dan minggu.
Kadang 500ribu seminggu ngga apa-apa lah, dari pada nganggur
dirumah.” (wawancara pribadi dengan informan di Blok G Pasar
Tanah Abang pada Senin, 09 Oktober 2017. Pukul 10.53 WIB)
Hal serupa juga disampaikan oleh informan Nasri:
55
“Sekarang sih kurang banget ya, pengunjung juga sepi, jual-belinya
juga kurang, jauh. Pendapatan juga kurang. Kalau awal mah rame itu
ya, waktu pak Jokowi dulu gitu, kalu sekarang mah kurang. Kalau
omset udah jauh turun.
...Omset itu beda-beda. Kalau tiap bulan itu ngga bisa dipastiin.
Perhari itu kadang-kadang 500ribu, itu alhamdulillah sih.”
(wawancara pribadi dengan informan di Blok G Pasar Tanah Abang
pada Sabtu, 07 Oktober 2017. Pukul 14.08 WIB)
Berdasarkan pengakuan tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi ekonomi
yang di alami pedagang Blok G sulit untuk diklarifikasi karena pendapatan
yang tidak menentu. Sehingga bisa dikatakan biasa-biasa saja. Banyak dari
mereka yang memilih bertahan memang pada dasarnya berlatar belakang
seorang pedagang seperti yang diungkapkan oleh Eju; “yang bertahan sampai
sekarang itu yang bener-bener pedagang, karena mereka punya langganan”
(wawancara pribadi dengan informan pada Senin, 18 September 2017).
Kemudian, Siti pun beranggapan “tapi kalau misalkan emang bener pedagang
mah sabar. Orang tuh kalau jiwa dagang tuh harus sabar” (wawancara pribadi
pada Sabtu, 07 Oktober 2017. Pukul 12.37 WIB). Selain itu, tidak sedikit dari
mereka memang telah berdagang di Blok G sejak sebelum relokasi, artinya
mereka adalah pedagang lama di Blok G, sehingga mereka tidak terlalu
khawatir akan dilema untuk berjualan di Blok G.
Kemudian kondisi ekonomi yang dirasakan oleh pedagang yang berada di
luar Blok G pun mengungkapkan hal yang sama, walaupun mereka bisa
dikatakan lebih memiliki untung dibandingkan dengan pedagang Blok G.
Karena walau bagaimanapun juga, akses lokasi jualan mereka lebih mudah
diakses oleh pembeli. Tidak seperti di Blok G, pembeli harus jalan kaki (jika
56
dari arah stasiun Tanah Abang), menyeberang jalan, naik anak tangga, atau
lahan parkir yang lumayan susah, terutama untuk kendaraan roda 4.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, bahwa tidak semua pedagang di
luar Blok G bisa memiliki pelanggan banyak, atau selalu mendapatkan
penenghasilan. Hal tersebut dirasakan oleh Mila dan Ari, artinya disini ialah
lokasi jualan sangat mempengaruhi pendapatan seseorang. Jika dilihat dari
pedagang yang berjualan di lokasi yang strategis, mereka mengaku lebih
mementingkan banyaknya orang yang berlalu-lalang di depan lapak mereka,
seperti yang diungkapkan Irwan. Maksudnya ialah mereka lebih
mementingkan lokasi dari pada pelanggan tetap. Karena jika banyak orang
yang berlalulalang di depan lapak mereka, nantinya pun akan ada yang beli.
Berdasarkan data yang diperoleh, hampir semua informan yang peneliti
wawancarai memiliki permasalahan pengeluaran yang sama, mulai dari rumah
yang mengontrak atau ada yang memiliki rumah sendiri, ada beberapa yang
masih memiliki balita atau anak yang masih sekolah, artinya permasalahan
tersebut terletak pada keadaan pemenuhan kebutuhan keluarga. Yang
membedakan hanya dari kontribusi yang dikeluarkan saat berdagang.
Berdasarkan pengakuan informan Nasri, retribusi yang dibayarkan untuk
berdagang di Blok G sebagai berikut;
“Saya pakai 3 petak, bayar retribusi sekitar 350ribu sebulan. Ngga sama
listrik, kalau listrik sekitar 170 sebulan. Alhamdulillah masih nutup lah”
(wawancara pribadi pada Sabtu, 07 Oktober 2017. Pukul 14.08 WIB).
Hal tersebut juga disebutkan oleh Jafar (sebagai Asisten Manager Seksi
Usaha dan Pengambangan UPB Pasar Tanah Abang (A-G) terkait pembayaran
sewa kios;
57
“Di Blok G tidak di pungut biaya sewa selama 6 bulan, hanya membayar
listrik sesuai pemakaian dan air apabila diperlukan, kan ngga semuanya
pakai air.
Terkait biaya sewa, setelah 6 bulan kemudian membayar DPP, tapi
berhubung disana menjadi sangat sepi dan pedagang juga pengunjungnya
sudah berkurang” (wawancara pribadi pada Senin, 02 Oktober 2017).
Jika di Blok G, pedagang memiliki kewajiban retribusi pembayaran sewa
kios Rp.105.000 sampai dengan Rp.130.000, pembayaran listrik sesuai
pemakaian, serta pembayaran air jika memakai. Berdasarkan pengakuan Jafar,
saat 6 bulan pertama di Blok G kala itu tidak dipungut biaya sewa untuk kios-
kios yang ada. Namun setelah 6 bulan berlalu, pedagang baru mulai
membayarkan retribusi sesuai pemakaian kios. Hal tersebut juga
mengakibatkan banyak pedagang yang akhirnya kembali kejalan, karena
merasa pasar yang semakin sepi, dan mereka mulai punya kewajiban untuk
membayar sewa kios.
Selain itu, jika dilihat dari pedagang di trotoar, banyak yang mengaku
hanya membayar uang kebersihan saja, hal itu diakui beberapa pedagang
dalam tayangan Kompas.TV/Aiman. Walaupun sebenarnya masih ada
pembayaran-pembayaran lainnya, tapi entah mengapa mereka tidak mau
mengakui hal tersebut. Oleh karena itu banyak media surat dan elektronik
yang mengatakan adanya penyewaan lapak di trotoar. Entah itu benar atau
tidak, penulis pun tidak berhasil mendapatkan data tersebut. Namun lain
halnya dengan para pedagang yang berada di dalam gang-gang menuju Blok F
atau Blok A. Aput mengakui;
“Kalau yang narikin itu biasanya setiap hari senin dan kamis, soalnya
hari itu kan ada pasar tasik. Semacam uang keamanan lah pemuda
kampung belakang, pungutan lah 2.000. kalau buat tempatnya sih udah
58
sistem kontrak. Udah ada pengelolanya masing-masing” (wawancara
pribadi pada Rabu, 08 November 2017. Pukul 14.06 WIB).
Jika dari pedagang dalam gang mengaku bahwa kios tempat mereka
berdagang telah ada pengelolanya, namun tidak disebutkan apakah maksud
perorangan itu adalah rumah warga atau perusahaan perorangan. Sedangkan
menurut Jafar, bahwa;
“Di wilayah sekitar Pasar Tanah Abang Blok G, banyak area yang
beralih fungsi. Misal; kebanyakan warga sekitar area pasar Tanah Abang
banyak yang menyewakan rumah, sehingga rumah-rumah tersebut
beralih fungsi, banyak jalan utama (jalan Jati Baru X) yang masuk ke
area pemukiman serta Gang-gang sempit (dari stasiun masuk ke dalam)
berubah menjadi tempat berjualan” (wawancara pribadi pada Senin, 02
Oktober 2017).
Berdasarkan hal tersebut, artinya para pedagang di area tersebut pun telah
ada retribusi khusus untuk lapak yang disewanya, kemudian listrik, serta
pembayaran retribusi untuk pemuda kampung belakang, atau bisa dikatakan
uang keamanan sebesar Rp.2.000 setiap hari Senin dan Kamis.
Dari data-data tersebut menggambarkan bahwa klasifikasi para pedagang
berdasarkan tempat yang berbeda, tentu mengalami pengeluaran yang berbeda-
beda pula. Entah itu dari lapak yang di tempati, pembayaran listrik, air atau
bahkan uang keamanan sekalipun. Sehingga kini pedagang mulai pintar untuk
memilih-milih lokasi yang tepat dan sesuai dengan budget atau modal yang
dimiliki, agar dapat berdagang dengan tenang dan nyaman.
59
BAB III KERENTANAN SOSIAL EKONOMI PKL PASCA RELOKASI
A. Kondisi Kerentanan Sosial-Ekonomi (Socio-Economic Vulnerability)
Pedagang Kaki Lima Pasca Relokasi
Kerentanan ialah suatu kondisi dimana seseorang menyadari bahwa
adanya bahaya yang mengancam, baik itu dari segi fisik, sosial, ekonomi dan
lain sebagainya. Dalam Marbruno Habibi dan Imam Buchori, menjelaskan
bahwa faktor-faktor kerentanan meliputi: kerentanan fisik, kerentanan sosial,
kerentanan ekonomi dan kerentanan lingkungan (2013:3). Dikarenakan peneliti
hanya berfokus pada sosial ekonomi, maka peneliti hanya akan menggunakan
kerentanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan ekonomi (penghasilan dan
kemiskinan) berdasarkan faktor-faktor yang telah ditunjukkan oleh Habibi &
Imam untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Selain itu, Melly G. Tan
mengatakan untuk melihat kondisi sosial ekonomi dapat dilihat dari pekerjaan,
pendidikan, kesehatan dan pemenuhan kebutuhan hidup dalam rumah tangga.
Berdasarkan ini masyarakat dapat digolongkan kedudukan sosial ekonomi atas,
menengah dan bawah (M. Zunaidi. 2013:54).
Relokasi pedagang kaki lima yang terjadi di Pasar Tanah Abang banyak
menuai pro dan kontra, terlebih lagi mereka yang mencoba melawan ketika
ditertibkan. Alasan mengapa mereka yang tidak ingin direlokasi atau
dipindahkan telah banyak diklasifikasikan oleh beberapa peneliti terdahulu, baik
dari segi sarana dan prasarana penempatan atau bahkan jarak yang sering
dikeluhkan oleh pedagang. Keterkaitan dengan penelitian ini adalah dimana
60
peneliti ingin melihat dan menggambarkan bagaimana relokasi pedagang kaki
lima dari bahu jalan dan kawasan larangan berdagang ke Pasar Tanah Abang
Blok G melahirkan vulnerability (kerentanan-kerentanan) dari segi sosial
ekonomi yang dialami para pedagang.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka peneliti akan menganalisis
kerentanan-kerentanan yang terjadi pada para pedagang yang direlokasi ke Blok
G sebagai berikut;
1. Penghasilan
Salah satu keadaan rentan yang dialami oleh pedagang kaki lima yang
direlokasi namun kembali lagi ke bahu jalan atau kawasan Pasar Tanah
Abang ialah penghasilan. Penghasilan sangat terkait dengan pendapatan dan
pengeluaran sesuai yang telah dibahas pada subbab sebelumnya. Keadaan
rentan pada penghasilan ini terjadi sebagai akibat dari relokasi, maksudnya
ialah tempat relokasi yang ditentukan tidak dapat memastikan pendapatan
sehingga berpengaruh pada kehidupan pedagang. Ketidakpastian pendapatan
dikarenakan sepinya Blok G dan akses menuju Blok G agak jauh dari
stasiun Tanah Abang. Selain itu, faktor lain yang mengakibatkan pedagang
merasa rentan dari penghasilan ialah pendapatan yang tidak sesuai dengan
pengeluaran. Maksudnya pengeluaran yang dikeluarkan lebih besar dari
pendapatan yang dihasilkan, baik itu pengeluaran pemenuhan kebutuhan
hidup ataupun penunjang berdagang. Seperti yang diungkapkan oleh Siti
“Makanya sekarang banyak pada lari kebawah karena pemasukan ngga
seimbang dengan pengeluaran” (wawancara pribadi dengan informan di
Blok G pada Sabtu, 07 Oktober 2017. Pukul 12.37 WIB)
61
Kondisi pasar yang kadang ramai dan sepi ini mengakibatkan
pendapatan pedagang pun menjadi tak menentu, sehingga peneliti sulit
untuk mengidentifikasi tinggi rendahnya pendapatan pedagang dalam jangka
waktu tertentu. Alasan sepi pembeli sepertinya sudah menjadi alasan utama
para PKL tidak ingin direlokasi ke Blok G. Karena pada kenyataannya, saat
kondisi yang terus menerus sepi akan berpengaruh pada pendapatan mereka.
Harus di akui bahwa pendapatan sangat berpengaruh pada keberlangsungan
hidup para PKL ini, baik untuk dirinya sendiri ataupun keluarganya. Seperti
yang disampaikan beberapa pedagang pakaian yang pernah direlokasi ke
Blok G, namun kembali lagi ke bahu jalan atau kawasan lainnya, seperti
Iman;
“Kalau disini kan lumayan lah ngga kayak di sana (blok G), setiap hari
pasti ada aja yang laku. Kalau disana kan parah bang, tuh yang lain aja
kan rata-rata yang pernah di blok G juga, tapi pada balik lagi ke sini.
Pemasukan ngga ada, pengeluaran kan terus aja tuh, dari PD lah, uang
kontribusi kios kan, listrik. Padahal dulu kan gratis tuh, tpi ngga lama.
Terus belum lagi buat hidup sehari-hari kan” (wawancara pribadi dengan
informan di atas trotoar pada Senin, 09 Oktober 2017. Pukul 15.48
WIB).”
Kemudian Yuri pun berpendapat;
“Ya ngga ada penghasilan disana, ngapain dipertahanin,,
Pendapatan pasti mati bang,,
Semua yang keluar dari blok G pasti alasannya sama bang. Yang
namanya pasar kalau perhubungan mati, pasti akan mati juga. Untuk apa
kita bertahan kalau pasar sepi. Percuma capek tapi ngga ada hasilnya,
yang namanya pedagang kan ngga ada yang mau rugi, semua pasti mau
untung. Jadi ujung-ujungnya pasti balik lagi” (wawancara pribadi pada
Rabu, 08 November 2017. Pukul 15.45 WIB)
Awaluddin pun berpendapat sama;
“Ya mau gimana lagi bang, orang pasarnya aja sepi, gimana mau untung.
Belum pengeluaran ini lah, itu lah,,,
62
Itu aja sehari ngga tentu ada yang beli bang, waktu itu pernah 2 sampe 3
hari ngga laku. Banyak yang kayak gitu bang, coba aja abang tanya yang
pernah di blok G, pasti gitu semua jawabannya” (wawancara pribadi pada
Rabu, 08 November 2017. Pukul 16.28 WIB).
Segala cara telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk meramaikan pasar
Tanah Abang Blok G, mulai dari pengadaan eskalator, sampai bazar ataupun
undian dari Pemerintah daerah saat itu. Bahkan dari pedagang pun telah
berupaya agar blok G menjadi ramai pembeli seperti Blok-blok lain di pasar
Tanah Abang. Seperti yang diungkapkan oleh Sapril (salah seorang mantan
pedagang Blok G dalam wawancaranya di salah satu acara stastiun televisi
(Aiman Kompas.tv))
“padahal udah coba jual murah disini daripada di jalan sana kan, buat
pancing pembeli, tapi engga ada juga, yang dipancing juga ngga
ada.”(Kompas.tv/Aiman yang ditayangkan pada 27 November 2017)
Dalam wawancara tersebut menjelaskan bahwa para pedagang pun telah
berupaya agar pasar Tanah Abang Blok G menjadi ramai dengan cara
memberikan harga lebih murah di bandingkan dengan di jalan atau trotoar.
Namun apa daya, bukannya ramai, pasar tetap saja sepi dan pada akhirnya
mereka pun mulai pergi dari Blok G, dan kembali ke jalan atau trotoar
dengan alasan kondisi pasar yang sepi, yang akan mengakibatkan
penghasilan mereka berkurang atau lebih parah lagi dapat merugikan
mereka.
Berdasarkan pengakuan-pengakuan tersebut menggambarkan bahwa
alasan mereka memilih pergi dari Blok G karena mereka sendiri merasakan
bahwa ada kerentanan yang akan terjadi dari penghasilan mereka saat
63
mereka bertahan di Blok G. Mengingat bahwa penghasilan sangat
berpengaruh pada kelangsungan hidup serta keluarga mereka.
2. Hubungan Sosial PKL Dengan Pembeli
Pada pembahasan ini, peneliti akan menggambarkan kerentanan lainnya
yang akan dihadapi oleh para pedagang yang direlokasi ke Blok G, yakni
rentan hubungan sosial dengan pembeli, maksudnya ialah interaksi jual-beli.
Tentunya saat para pedagang akan direlokasi ke Blok G mengharapkan tetap
ada kegiatan jual-beli di pasar secara rutin layaknya di trotoar. Namun
berdasarkan data yang di dapat, justru mereka mengeluhkan pasar yang sepi
pembeli atau bahkan tidak ada sama sekali dalam beberapa hari. Sama
seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya tentang Hubungan
Sosial PKL. Hal tersebut tergambarkan dengan jelas dengan kondisi pasar
yang selalu sepi saat peneliti melakukan kegiatan observasi di Blok G.
64
Gambar III.B.1 (1. Kondisi lantai dasar, 2. Kondisi lantai 1, 3. Kondisi lantai
2, dan 4. Kondisi lantai 3).
(Sumber: Observasi tanggal 08 Desember 2017. Lokasi: Pasar Tanah Abang Blok G)
Kondisi inilah yang mengakibatkan para pedagang memilih kembali ke
jalan yang ramai dengan pejalan kaki, sehingga lebih banyak orang yang
akan melihat-lihat barang dagangan mereka hingga membelinya, tidak
seperti di Blok G yang sangat jarang sekali orang yang datang. Walaupun
ada, itu hanya dibeberapa lantai saja, seperti lantai dasar dan lantai 1. Tapi
lantai-lantai berikutnya mulai terasa sepinya pembeli. Seperti yang
diungkapkan oleh Eju ketika ditanyakan mengapa lantai 3 kosong;
“Lantai 3 kosong sama sekali, kalau lantai 2 masih ada beberapa
pedagang. Yang bertahan sampai sekarang itu yang bener-bener
pedagang, karena mereka punya langganan, mereka pindah ke Blok G
ternyata masih laku karena ada langganan.
Namun yang mendapatkan undian di lantai 2 dan 3 Pasar Tanah Abang
Blok G, kebanyakan penduduk asli atau orang Jakarta yang notabennya
bukan pedagang asli, sehingga kebanyakan dari mereka pada beberapa
bulan setelah itu mulai kabur atau meninggalkan kios yang ditempati”
(wawancara pribadi dengan informan pada Senin, 18 September 2017)
65
Sebenarnya untuk lantai dasar dan lantai 1 merupakan bangunan awal
yang telah ada pedagangnya, dan rata-rata telah memiliki pelanggan tetap,
seperti para pedagang daging. Namun untuk lantai 2 dan 3 itu merupakan
pada pedagang hasil relokasi, tidak heran jika kondisi lantai pasar tersebut
yang sepi pembeli, karena lokasi yang lumayan jauh, kemudian dari
kebiasaan pembeli juga yang kebanyakan lebih sering ke Blok A dan F
langsung dari pintu keluar stasiun Tanah Abang. Seperti yang diungkapkan
oleh Aput saat ditanyakan tentang pendapatnya mengenai Blok G;
“Kayaknya kurang peminat dan pembelinya disitu (Blok G) lebih ramai
disini. Dari segi apapun itu, pembeli lebih ke sini. Orang dari kebiasaan
sih lebih sering lewat sini” (wawancara pribadi pada Rabu, 08 November
2017. Pukul 14.06 WIB)
Karena itulah para pedagang lebih memilih kembali ke jalan atau
menyebar pada lokasi-lokasi lainnya yang ramai akan pejalan kaki.
Walaupun meski harus sering berhadapan dengan Satpol PP, atau berdagang
di jam-jam tertentu. Hal tersebut dilakukan agar mereka dapat lebih sering
bertemu dengan pembeli dan mendapatkan penghasilan yang sesuai untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Jika dilihat dari sisi hubungan/interaksi antar sesama pedagang, peneliti
dapat langsung menyimpulkan bahwa tidak ada kerentanan pada dimensi ini.
Hal tersebut telah dijelaskan dan dapat dilihat pada BAB 2 tentang
Hubungan Sosial PKL, bahwa hubungan mereka tetap baik-baik saja
walaupun meski harus berpindah-pindah lokasi.
66
3. Ancaman Kemiskinan
Dalam Manning dan Tadjuddin, sektor informal merupakan jenis
kesempatan kerja yang kurang terorganisir, yang sulit dicacah, dan karena
itu sering dilupakan dalam sensus resmi, serta akhirnya merupakan
kesempatan kerja yang persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan-
aturan hukum (1985:139). Dengan keadaan tersebut, orang-orang yang
bekerja di sektor informal ini seringkali menghadapi ketidakpastian-
ketidakpastian dalam pekerjaannya. Misalnya kondisi fisik pekerja dan
tempat kerja yang tidak menguntungkan menunjukkan bahwa sebagian besar
para pekerja sektor informal tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum
mereka dalam hal perumahan dan pelayanan yang berkaitan dengannya,
tingkat pendapatan yang memadai yang diperoleh dalam sektor ini tidak
selamanya menunjukkan bahwa keadaan hidup keluarga di atas garis
kemiskinan (Manning dan Tadjuddin, 1985:104) dan masih banyak lagi
yang mengakibatkan sektor informal dapat dikaitkan dengan kerentanan.
Misalnya saja seperti yang diungkapkan oleh Nasri yang merupakan
pedagang Blok G;
“Sekarang sih kurang banget ya, pengunjung juga sepi, jual-belinya
juga kurang, jauh. Pendapatan juga kurang. Kalau awal mah rame
itu ya, waktu pak Jokowi dulu gitu, kalu sekarang mah kurang.
Kalau omset udah jauh turun.” (wawancara pribadi pada Sabtu, 07
Oktober 2017. Pukul 14.08 WIB)
Pengakuan tersebut menggambarkan bahwa para pedagang Blok G pun
mengakui bahwa saat ini pendapatan mereka berkurang dari waktu awal
mereka di relokasi, omset menjadi turun drastis dan lain sebagainya.
67
Para PKL ini sering disebutkan sebagai aktor-aktor miskin di perkotaan,
seperti yang di ungkapkan oleh Suparlan;
Diantara semua jenis mata pencaharian yang dipunyai oleh orang miskin
yang menjadi masalah perkotaan adalah berdagang di kaki lima. Pada
pedagang kaki lima (PKL) pada umumnya berjualan di tepi-tepi jalan
yang ramai dengan lalu lintas kendaraan dan orang. Mereka bahkan
bukan hanya menempati tepi jalan atau trotoar untuk menggelar
jualannya, tetapi juga menempati sebagian dari badan jalan raya tempat
lalu lintas kendaraan bermotor.akibatnya lalu lintas menjadi macet atau
terhenti dan kerumunan pejalan kaki juga tidak mungkin untuk dengan
cepat dapat meninggalkan tempat itu dengan menggunakan kendaraan
umum atau berjalan kaki. Kalau diperhatikan sungguh-sungguh maka
prinsip berjualan para PKL sama dengan prinsip berjualan di toko.
Toko-toko mempunyai etalase untuk orang dapat melihat barang-barang
yang dipamerkan yang dijual di toko tersebut. Barang-barang yang
dipamerkan adalah selektif sedangkan barang yang dijual ada di toko
atau di gudang toko tersebut. Sedangkan para PKL memamerkan semua
barang yang dijualnya, di gelar secara terbuka, dan memilih tempat
tempat yang ramai dengan pejalan kaki atau penunggu kendaraan umum.
Barang jualan yang digelar adalah pameran dan sekaligus barang yang
dijual. Mekanisme pasar model PKL inilah yang menyebabkan
kemacetan lalu lintas dan kerumunan yang semrawut yang mengundang
berbagai bentuk kejahatan. Karena itu para PKL biasanya menolak untuk
dipindahkan ke tempat yang sepi dari kerumunan pejalan kaki atau
penunggu kendaraan umum.(Suparlan, 1995:65)
Selain kerentanan-kerentanan yang telah disebutkan sebelumnya, yang
merupakan inti dari permasalahan-permasalahan tersebut adalah kemiskinan.
Bahwasannya kemiskinan merupakan alasan pertama pedagang enggan
untuk bertahan di Blok G. Dengan alasan kondisi pasar yang sepi pembeli,
tentunya membuat para pedagang yang hanya mengharapkan penghasilan
dari hasil dagangannya merasa rentan menjadi miskin. Serta itu akan
berpengaruh pada taraf kehidupan mereka ataupun keluarga mereka. Maka
dari itu kebanyakan dari mereka lebih banyak memilih untuk kembali ke
jalan atau kawasan Pasar Tanah Abang sekitar samping pintu keluar stasiun
Tanah Abang, sama seperti yang di ungkapkan Suparlan sebelumnya bahwa
68
para PKL enggan untuk dipindahkan di lokasi yang sepi dari kerumunan
pajalan kaki. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh
Nasrulloh,
“Umumnya pedagang kaki lima kan ingin di lalui orang kan. Beda ya
dengan pedagang di kios-kios begitu. Kalau kaki lima, otomatis orang
bawa motor bisa kan, paling beli apa sih, ya kan” (wawancara pribadi
pada Kamis, 27 Juli 2017. Pukul 13.25 WIB).
Kemiskinan adalah fenomena sosial yang kompleks, berdimensi
majemuk, dan tidak mudah untuk dijabarkan dengan sebuah penjelasan yang
definitif. Lembaga-lembaga yang berkepentingan untuk hal ini seperti Bank
Dunia dan Badan Pusat Statistik menjelaskan kemiskinan sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi standar kebutuhan hidup tertentu.
(Suryahadi dan Marbun, 2009:14) Walaupun sangat sulit mendifinisikan
secara pasti, namun pengertian menurut Bank Dunia dan Badan Pusat
Statistik dapat digunakan sebagai acuan.
Kemiskinan merupakan faktor yang berpengaruh pada mobilitas sosial,
menurut Saripudin kemiskinan menghambat terjadinya mobilitas naik
(2010:73). Tentu saja kemiskinan dapat mengakibatkan seseorang terhambat
untuk dapat mengubah taraf hidupnya menjadi lebih baik, misalnya dari
kebutuhan-kebutuhan tertentu yang tidak terpenuhi, baik itu sandang,
pangan ataupun papan, sangat sulit untuk seseorang mengalami mobilitas
naik. Saripudin menyebutkan bahwa kemiskinan bisa digambarkan seperti
“lingkaran setan”;
Umpamanya karena pendapatan kecil, maka akan mengalami kekurangan
pangan, tidak dapat berpakaian yang layak, dan kondisi papannya pun
jauh dari memenuhi syarat sebagai tempat “berteduh”. Keadaan itu
mengakibatkan tingginya kepekaan atau resiko besar untuk terserang
69
penyakit, tingkat produktifitas kerja yang rendah, tingkat pendidikan
yang juga rendah, dan akibat lanjutannya adalah dengan sendirinya
pendapatan yang diterimanya pun akan sangat rendah pula. Berarti di sini
kemiskinan merupakan penyebab dan sekaligus dampak.(2010:74)
Itulah mengapa kemiskinan bisa digambarkan seperti “lingkaran setan”,
karena kemiskinan itu sendiri merupakan penyebab dan sekaligus dampak
seperti yang telah dijelaskan di atas. Karena hal tersebut lah yang menjadi
alasan mengapa banyak pedagang tidak ingin bertahan di Blok G dan
memilih kembali ke jalan atau kawasan tertentu yang banyak dilalui pejalan
kaki atau kendaraan. Para pedagang menyadari bahwa mereka akan menjadi
miskin dan menjadi rentan saat mereka harus bertahan di Blok G yang sepi
dari pembeli.
Bisa dikatakan hampir semuanya meresakan hal yang sama. Seperti yang
diungkapkan para pedagang luar pasar Blok G misalnya;
Iman mengakatan;
“Sepi bang disana. Jarang ada yang beli. Makanya saya ikut yang lain aja
pada balik lagi ke jalan. Ya abis mau gimana lagi, masa mau dipaksa
bertahan disana, mau makan apa nanti” (wawancara pribadi pada Senin,
09 Oktober 2017),
Ari pun mengaku;
“Kalau saya sih ngga mau dipindah kesana (blok G), disini juga orang
jarang belanja, jauh”(wawancara pribadi pada Rabu, 08 November 2017),
Irwan pun mengaku;
“Saya sih udah ngga mau lagi disana. Mau makan apa saya kalau
dagangan ngga laku-laku” (wawancara pribadi pada Rabu, 08 November
2017),
Kemudian Yuri, “Ya ngga ada penghasilan disana, ngapain dipertahanin,
pendapatan pasti mati bang” (wawancara pribadi pada Rabu, 08 November
2017)
70
Awaluddin pun mengatakan hal yang sama “Ya mau gimana lagi bang,
orang pasarnya aja sepi, gimana mau untung” (wawancara pribadi pada
Rabu, 08 November 2017).
Saat mereka berdagang di Blok G, bukan keuntungan yang di dapat,
justru kerugian besar yang mereka rasakan. Hal tersebut bukan hanya 1 atau
2 orang yang merasakan, namun hampir dari semua pedagang yang pernah
berdagang di Blok G mengalami kerugian karena tidak ada pembeli di Blok
G. Informan Yuri mengaku rugi besar saat peneliti menanyakan tentang
keinginan untuk kembali ke Blok G, “engga lah. Sepi disana, rugi 36 juta.
Dalam sebulan habis 1 atau 2 potong aja. Rugi total.” (wawancara pribadi
pada Rabu, 08 November 2017). Selain itu Sapril yang merupakan Informan
dari salah satu acara di stasiun televisi, (Aiman Kompas.tv); “bayar DP 2
kios ini 4,5 juta. Dan ngga kembali modal, mana ada untung”
(Kompas.tv/Aiman yang ditayangkan pada 27 November 2017). Kerugian
yang dialami pedagang-pedagang ini bukan hanya hitungan ratusan ribu,
namun bisa sampai puluhan juta. Bahkan Sapril pun mengaku saat itu ia
bahkan sampai kehabisan modal untuk berdagang dan akhirnya harus hutang
sana-sini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menggambarkan
bahwa kerugian yang mereka alami membuat mereka sadar, bahwa mereka
dalam keadaan rentan jika harus bertahan pada lokasi tersebut (Blok G).
Karena hal tersebut, kita dapat beranggapan wajar jika para pedagang
kembali ke jalan atau trotoar untuk menjual barang dagangan mereka. Saat
71
mereka berjualan di trotoar, setidaknya mereka akan merasa aman dari
rentan kemiskinan sebagai imbas dari kerugian yang akan mereka hadapi.
Berdasarkan pengakuan-pengakuan tersebut dapat peneliti simpulkan
bahwa semua merasa khawatir dan takut atau dalam bahasa penelitian ini
rentan menjadi miskin karena berbagai faktor yang dirasakan oleh para
pedagang ini. Maka dari itu pedagang memilih kembali ke jalan dan banyak
dari mereka yang kabur atau kucing-kucingan dengan petugas ketika ada
penertiban, dan masih ada beberapa lainnya.
Setelah menjelaskan tentang kemiskinan, peneliti akan menggambarkan
kerentanan lainnya yang akan terjadi sebagai akibat saat mereka menjadi
miskin;
a.) Menurunnya Pendidikan Untuk Anak-anak PKL
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan
merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan (Damsar. 2011:8). Berdasarkan pengertian
tersebut menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu proses untuk
mendewasakan manusia melalui pengubahan sikap dan tata laku seseorang
dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya itu, dalam pendidikan
sendiri diharapkan manusia dapat melakukan perubahan-perubahan guna
kemajuan negara atau dunia sekalipun.
Namun pada penelitian ini, peneliti lebih berfokus pada pendidikan
untuk anak para pedagang, dan tidak berfokus pada para pedagangnya.
72
Karena pada umumnya para pedagang tersebut rata-rata memperoleh
pendidikan rendah atau hanya sampai SMA. Seperti yang terdapat dalam
buku Manning dan Tadjuddin tentang sektor informal;
Sektor informal dianggap sebagai suatu manifestasi dari situasi
pertumbuhan kesempatan kerja di negara sedang berkembang, karena itu
mereka yang memasuki kegiatan berskala kecil ini di kota, terutama
bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada
memperoleh keuntungan. Karena mereka yang terlibat dalam sektor ini
pada umumnya miskin, berpendidikan sangat rendah, tidak terampil, dan
kebanyakan para migran, jelas bahwa mereka bukanlah kapitalis yang
mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukan pengusaha
seperti yang dikenal pada umumnya (h.90).
Maka dari itu, peneliti lebih berfokus pada kerentanan pendidikan
untuk anak para pedagang daripada para pedagangnya itu sendiri. Karena
pada kenyataannya, para pedagang pun mengakui bahwa mereka
berdagang dan menghasilkan pendapatan salah satunya untuk
menyekolahkan anaknya. Setidaknya bisa melebihi tingkat pendidikan
orang tuanya.
Kerentanan pada pendidikan disini ialah dimana para pedagang merasa
rentan jika harus bertahan di Blok G dengan kondisi pasar yang sepi. Jika
pasar sepi, maka secara langsung akan berpengaruh pada penghasilan
mereka, dan karena hal tersebut secara tidak langsung akan berefek pula
pada pendidikan anak mereka. Maka dari itu, jika perekonomian keluarga
pedagang tersebut terhambat, maka akan berpengaruh pada segala
pemenuhan kebutuhan pada keluarga pedagang tersebut. Seperti yang di
jelaskan Saripudin dalam bukunya yang berjudul “Interpretasi Sosiologis
dalam Pendidikan”, ia menerangkan bahwa antara pendidikan dengan
sistem ekonomi terdapat hubungan. Jika dalam suatu masyarakat memiliki
73
taraf kehidupan ekonomi yang baik, maka potensi pengembangan
pendidikan pada masyarakat tersebut akan lebih besar, karena mereka
lebih siap dan lebih banyak dana yang tersedia (h:119). Kaitannya dengan
penelitin ini adalah jika perekonomian atau taraf kehidupan ekonomi para
pedagang baik, maka potensi pengembangan pendidikan pada anak mereka
pun akan menjadi baik. Mereka akan menjadi lebih siap untuk
menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi sekalipun. Hal itu
terjadi karena mereka merasa siap dan percaya diri bahwa hasil dari usaha
mereka saat berdagang dapat mencukupi untuk pendidikan anak. Namun
jika sebaliknya, maka hal terburuk yang akan terjadi adalah anak mereka
akan mengalami putus sekolah. Seperti yang di ungkapkan oleh
Awaluddin;
“ya mau gimana lagi bang, orang pasarnya aja sepi, gimana mau untung.
Belum pengeluaran ini lah, itu lah, belum lagi anak-anak masih
sekolah.”(wawancara pribadi pada Rabu, 08 November 2017. Pukul
16.28 WIB).
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa jika para pedagang bertahan di
Blok G yang sepi akan pembeli, maka akan berpengaruh pada taraf
kehidupan ekonomi mereka, selain itu pada pendidikan anak pula.
Walaupun telah ada upaya Pemerintah tentang “Wajib Belajar 12 Tahun”,
pengadaan KJP (Kartu Jakarta Pintar) ataupun KIP (Kartu Indonesia
Pintar), namun kenyataannya banyak masyarakat yang mengaku bahwa hal
tersebut masih kurang membantu, faktanya ada hal tertentu yang
memerlukan biaya sebagai penunjang pendidikan anak mereka.
74
Setiap orang tua, saat ingin menyekolahkan anaknya, pasti
mengharapkan bahwa anaknya dapat merubah nasib atau kedudukan sosial
ekonominya di masa depan. Artinya para orang tua mengharapkan adanya
mobilitas vertikal ke atas. Hal ini juga sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Saripudin dalam bukunya;
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dipercaya menjadi salah satu
faktor yang akan mempercepat terjadinya mobilitas sosial. Dengan fungsi
pendidikan sebagai sebuah proses penyeleksian untuk menempatkan
orang pada masyarakat sesuai dengan kemampuan dan keahliannya,
pendidikan menjadi sinkron dengan tujuan mobilitas sosial karena di
dalam mobilitas sosial yang terpenting adalah kemampuan dan keahlian
seseorang. Kalau selama ini ditempatkan pada sebuah posisi karena
koneksi atau latar belakang keluarga, pendidikan memungkinkan hal itu
tidak terjadi (h.81)
Artinya dengan adanya pendidikan yang tinggi dan baik, seseorang
diharapkan mampu untuk mengubah taraf hidup atau mobilitas sosial
vertikal ke atas. Namun tidak jarang seseorang bisa mengalami mobilitas
horizontal atau bahkan ke bawah. Seperti dalam buku Manning dan
Tadjuddin;
Adanya kesulitan untuk mendapatkan tempat dalam pasar tenaga kerja
dan keharusan untuk mencarinya dalam jaringan sosio-ekonomi yang
terbatas tidak berarti tidak ada mobilitas vertikal. Meskipun jalur untuk
naik sering kali terhalang, jalur untuk turun sangat gampang untuk
dilalui,,,
kelompok-kelompok sosio-ekonomi bawah termobilisir dalam
perekonomian kota dalam keadaan semakin tegang dan dalam keadaan
yang jelas menunjukkan semakin merosotnya kedudukan sosial dan
ekonomi mereka secara keseluruhan. (h.166-167)
Dengan adanya tingkat pendidikan yang baik, seseorang diharapkan
mampu untuk memiliki pekerjaan yang baik pula dimasa yang akan
datang. Namun pada kenyataannya, saat ini persaingan untuk mendapatkan
pekerjaan semakin ketat, syarat-syarat yang diminta oleh pasar tenaga
75
kerja pun semakin menyulitkan angkatan-angkatan kerja baru, sehingga
banyak orang yang berpendidikan tinggi sekalipun sulit untuk
mendapatkan pekerjaan. Walaupun ada, mungkin itu tidak setimpal
dengan apa yang telah ia usahakan saat mengenyam pendidikan. Maka dari
itu mobilitas sosial horizontal atau bahkan vertikal turun sekalipun dapat
terjadi pada anak para pedagang tersebut, jika pada akhirnya mereka tidak
mendapatkan kerja yang sesuai dengan pendidikannya atau yang di
inginkan, kemungkinan besar mereka akan meneruskan pekerjaan orang
tuanya, yakni berdagang.
Beralih dari permasalahan tersebut, peneliti pun menemukan beberapa
pedagang yang lebih memilih bertahan di Blok G agar dapat tetap
menyekolahkan anaknya. Namun hal tersebut diungkapkan karena jika
harus kembali ke jalan, mereka harus mencari tempat lagi dan harus
berurusan dengan preman atau keamanan sekitar yang berjaga pada lokasi
yang diinginkan. Selain itu ia juga tidak berdagang sendiri, tapi berdagang
bersama suaminya, tapi berbeda lantai. Siti mengungkapkan;
“....karena budgetnya minim. Belum lagi anak yang minta kuliah,
makanya saya bingung, kalau saya sih maunya bertahan dulu, liat nanti
gimana gitu ya,,.. Paling dagangannya Cuma gini nih (kaos oblong),
walaupun emang lebih rame, tapi kan tempatnya susah, udah gitu
mahal.,,. Cuma kan gini, karena kita juga ngontrak dan pengeluaran
masih banyak, jadi yaa ditahan aja dulu. Kalau misalnya udah ngga
ngontrak, pengeluaran ngga terlalu banyak, mungkin kita terjun ke
bawah...
....pengeluaran sekolah anak untuk uang pangkalan SMK aja 12juta, uang
bulanannya 500ribu, terus besok ikut seminar bayar 250ribu, terus belum
ini itu nya, yyaahh kalau dihitung mah gitu. Terus untuk pembayaran ini
ke bank 120ribu, buat bayar listrik 120ribu, tergantung sih, jadi ngga
menentu, ngga ngerti deh, pokoknya ada yang 125ribu, ada yang 120ribu.
Terus hariannya seribu rupiah. Jadi kira-kira sebulan itu 270ribu.”
(wawancara pribadi pada Sabtu, 07 Oktober 2017. Pukul 12.37 WIB)
76
Siti mengaku karena anaknya ingin kuliah, ia lebih memilih bertahan
untuk sementara di Blok G. Selain itu pula, dikarenakan ia masih
mengontrak, pengeluarannya pun masih sangat besar, jadi kemungkinan
untuk mendapatkan lapak di luar Blok G masih terkendala. Siti memilih
bertahan dikarenakan posisi lapak yang lumayan strategis, yakni di lantai
2, pas dekat dengan tangga depan, dan bisa dilihat dari luar Blok G.
Lain halnya dengan Ratna, “Kalau biaya sekolah anak sih dari suami,
kalau dari sini mah ngga cukup.” (wawancara pribadi pada Senin, 09
Oktober 2017. Pukul 10.53 WIB). Ia memilih bertahan karena hanya
mengisi waktu luang. Jika permasalahan pendidikan anak adalah urusan
suami yang bekerja di tempat perusahaan swasta. Namun jika Ratna
berpatok pada penghasilan berdagang di Blok G, ia pun akan kesulitan,
artinya kemungkinan besar anaknya pun tidak akan memperoleh
pendidikan yang baik ataupun pendidikan tinggi.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kerentanan
dalam hal pendidikan anak dapat terjadi jika pedagang merasa penghasilan
mereka berkurang atau tidak ada sekalipun jika harus bertahan di Blok G.
Meskipun tidak semua berpendapat demikian, namun pada intinya tetap
akan terjadi kerentanan jika penghasilan terhambat.
B. Berbagai Upaya PKL Dalam Menangani atau Mengatasi Kerentanan
Dalam Nurhayati (2015), Sjahbana menjelaskan ada beberapa alasan yang
melatarbelakangi seseorang terlibat dengan ekonomi sektor informal, antara lain
77
adalah karena terpaksa, tidak ada pekerjaan lain, terkena PHK, mencari rezeki
halal, berupaya tidak bergantung pada orang lain, menghidupi keluarga dan
sulitnya pekerjaan di desa (h.4). Pemilihan seseorang untuk terlibat dalam
ekonomi sektor informal bukan karena keinginan sendiri seperti yang telah
dijelaskan oleh Sjahbana. Namun keadaan tersebut membantu mereka untuk
tetap bertahan hidup dibalik sulitnya persaingan hidup di kota.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan mengenai kerentanan yang di alami
para pedagang saat berada di Blok G pasar Tanah Abang, selanjutnya peneliti
ingin menggambarkan upaya apa saja yang dilakukan para pedagang ini dalam
mengatasi kerentanan yang mereka hadapi.
Lagi-lagi dengan alasan kondisi pasar yang sepi pembeli, para pedagang
mengaku tidak mampu untuk bertahan di tempat relokasi yang ditentukan oleh
Pemerintah. Banyak pedagang memilih kembali ke jalan atau trotoar sebagai
tempat berjualan dengan alasan lokasi tersebut ramai pejalan kaki. Walaupun
mereka sendiri tahu bahwa lokasi tersebut adalah lokasi larangan untuk
berdagang. Berikut adalah pendapat Nasrulloh tentang kembalinya pedagang ke
jalan;
“Karena pedagang kaki lima begitu di usir dan pas aparatnya ngga ada balik
lagi mereka, yaudah begitu terus. Sekarang gini, ketika diambil barangnya,
terus dia ngambil lagi ke kantornya, ya kan” (wawancara pribadi pada Kamis,
27 Juli 2017. Pukul 13.25 WIB).
Berdasarkan pengakuan tersebut, maka peneliti akan menggambarkan
upaya-upaya yang dilakukan para pedagang sebagai langkah untuk mengatasi
kerentanan yang mereka hadapi;
78
1. Pindah ke Area Pemukiman atau Gang-gang Sempit
Tidak sedikit dari pedagang kaki lima yang telah direlokasi memilih
pergi meninggalkan Blok G lalu kembali berjualan di luar Blok G sebagai
upaya untuk menangani kerentanan, salah satunya yakni pindah ke area
pemukiman atau gang-gang sempit yang ada di jalan Jati Baru.
Jafar sebagai salah seorang pegawai PD Pasar Jaya berpendapat;
“Di wilayah sekitar Pasar Tanah Abang Blok G, banyak area atau
pemukiman warga yang beralih fungsi, dan gang-gang sempit yang
berubah menjadi tempat berjualan.
Karena para pedagang, untuk mempermudah berdagang, maka para PKL
hasil relokasi tersebut banyak yang menyewa rumah/gang besar/gang
sempit ke warga. Dengan alasan bahwa bisa dijadikan tempat tinggal,
kemudian bisa sambil usaha disitu.” (wawancara pribadi pada Senin, 02
Oktober 2017. Pukul 11.13 WIB).
Pendapat tersebut menjelaskan bahwa banyak pedagang yang menyewa
rumah di gang-gang sempit jalan Jati Baru. Artinya memang banyak
pemukiman warga yang awalnya hanya dijadikan tempat tinggal, kini
beralih fungsi menjadi lokasi berjualan para PKL. Kondisi tersebut dianggap
sebagai upaya untuk berada pada kondisi aman. Misalnya seperti apa yang
dilakukan oleh Yuri ketika ditanyakan tentang lokasi berdagangnya saat ini;
“Kalau sekarang sih di belakang sini, udah ngga kena.
Kalau sekarang sih udah alhamdulillah, pokoknya ngga kyak di blok G
lah bang” (wawancara pribadi dengan informan di kawasan Pasar Tanah
Abang pada Rabu, 08 November 2017)
Maksudnya ialah ada sebagian pedagang yang memilih berada pada
kondisi aman dengan memilih lokasi dagang tertentu yang tidak berada pada
lokasi larangan dagang. Misalnya memilih berada di dalam pemukiman dan
berdagang di kios pinggir trotoar, yang bisa dikatakan tidak terkena
penertiban oleh Satpol PP. Selain terhindar dari penertiban, tempat tersebut
79
bisa dijadikan tempat tinggal sesuai dengan yang disampaikan oleh Jafar.
Namun tidak semua seperti itu, kebanyakan dari mereka menempati rumah-
rumah tersebut hanya untuk usaha saja.
2. Kabur-kaburan atau “Kucing-kucingan”
Skema kabur-kaburan atau kucing-kucingan sering kali dilakukan para
pedagang yang berdagang di trotoar. Hal tersebut tentunya sebagai langkah
atau upaya lainnya untuk menghadapi kerentanan. Hal tersebut digambarkan
dengan aksi kabur-kaburan pedagang saat ada penertiban yang dilakukan
oleh Satpol PP sebagai utusan dari pemerintah daerah dalam melaksanakan
atau menjalankan undang-undang nomor 29 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, yakni trotoar adalah hak pejalan kaki. Para pedagang
kaki lima telah melanggar undang-undang tersebut karena membuat trotoar
menjadi semakin sempit dan menyulitkan arus pejalan kaki
(https://kompas.id diakses pada 17 November 2017).
Aksi kucing-kucingan tersebut seakan menjadi pemandangan yang biasa
terjadi di pasar Tanah Abang. Akibat para pedagang yang enggan untuk
direlokasi ke Blok G, maka mereka merasa sudah terbiasa membongkar dan
mengangkat-angkat barang dagangan mereka saat ada penertiban, dan hal
tersebut terus saja terjadi setiap ada penertiban. Iman sebagai PKL di trotoar
pun mengakui hal tersebut saat ditanyakan tentang penertiban;
“Ya paling kabur-kaburan aja bang kayak yang lain.
Kalau hari-hari biasa mah paling ada jam-jamnya tuh ngga boleh
ngelewatin garis kuning ini. Biasa ini mah bang, paling ntar lagi juga
udah pada bebas kalau petugas udah pada bubar. Tuh liat aja, masih pada
di dalem garis kan, ntar juga jam 4an udah pada diluar lagi. Ya paling
80
kalau misalnya ada petugas, terus ngga diapa-apain, paling ngasi 2ribu
aja. Pada gitu sih.” (wawancara pribadi pada Senin, 09 Oktober 2017.
Pukul 15.48 WIB)
Para pedagang berhamburan melarikan diri saat ada penertiban atau
mendengarkan instruksi untuk tidak berjualan pada lokasi tersebut,
kemudian mereka akan kembali lagi ketika pihak penertib sudah tidak ada.
Atau yang lebih sering terjadi yakni para pedagang hanya menarik barang
dagangannya yang berada di luar garis kuning (yang menjorok ke jalan) saat
ada Satpol PP yang sedang mengawasi pasar, dan para pedagang pun
memberikan uang sebesar dua ribu rupiah agar dapat tetap berjualan
walaupun masih berada di dalam garis kuning. Setelah beberapa saat atau
jam-jam tertentu ketika para Satpol PP sudah tidak ada, mereka akan
kembali memadati trotoar. Hal tersebut seakan menjadi hal biasa yang terus
terjadi diantara para pedagang dengan petugas Satpol PP.
Aksi kabur-kaburan atau kucing-kucingan juga disampaikan oleh
beberapa pedagang lainnya, misalnya Yuri;
“Semua yang keluar dari blok G pasti alasannya sama bang. Yang
namanya pasar kalau perhubungan mati, pasti akan mati juga. Untuk apa
kita bertahan kalau pasar sepi. Percuma cape tapi ngga ada hasilnya, yang
namanya pedagang kan ngga ada yang mau rugi, semua pasti mau
untung. Jadi ujung-ujungnya pasti balik lagi.” (wawancara pribadi pada
Rabu, 08 November 2017. Pukul 15.45 WIB)
Awaluddin pun mengakui bahwa;
“Tapi rata-rata juga mereka kalau di gusur, nanti kalau udah ngga ada
satpol PP pada balik lagi, gitu terus.” (wawancara pribadi pada Rabu, 08
November 2017. Pukul 16.28 WIB)
Selain itu, Siti sebagai pedagang pakaian di Blok G mengatakan;
“Tuh kalau lagi ada razia, pada naek dah tuh ke atas. Tapi kalau udah
ngga ada, pada balik lagi dah tuh. Kita sih liatin aja dari atas”
(wawancara pribadi pada Sabtu, 07 Oktober 2017. Pukul 12.37 WIB).
81
Lain halnya dengan Ratna, ia justru menginginkan para PKL di
pindahkan kembali ke Blok G agar Blok G kembali ramai;
“Kalau menurut saya sih bagus ya peraturan tentang larangan jualan di
jalan, biar semua masuk ke sini. Karena disini masih sepi sih Blok G nya,
makanya pada turun lagi ke bawah. Awal-awal rame, tapi orangnya
makin lama makin sepi.” (wawancara pribadi pada Senin, 09 Oktober
2017. Pukul 10.53 WIB)
Pengakuan tersebut menggambarkan walaupun ada beberapa pedagang
yang menginginkan pedagang lainnya kembali ke Blok G agar Blok G
menjadi ramai kembali, namun hal tersebut seolah dianggap mustahil oleh
para pedagang yang merasa bahwa berdagang di Blok G merugikan. Maka
dari itu mereka tidak ingin untuk direlokasi kembali ke Blok G dan memilih
kembali ke jalan atau trotoar. Seperti yang diungkapkan oleh Sapril;
“gimanapun juga, walau diusir, tetep aja balik ke kaki lima. Kenapa?
Karena kita kan butuh biaya, butuh makan
Sebenernya siapa yang mau di trotoar, di tempat panas, enakan di Blok G
lah. Tapi dari pada engga makan, apa mau tahan disini tapi ngga
makan?”(Kompas.TV/Aiman yang ditayangkan pada 27 November
2017)
Maksudnya ialah, walaupun para pedagang kaki lima yang berada di
trotoar diusir oleh Satpol PP, pada suatu saat atau bahkan saat itu pula,
mereka akan kembali lagi berjualan. Hal tersebut mereka lakukan hanya
karena untuk memenuhi kebutuhan hidup. Walaupun mereka sendiri tidak
ingin berjualan di trotoar yang panas, desak-desakan, bahkan rawan copet
sekalipun. Banyak yang mengakui bahwa di Blok G lebih nyaman seperti
apa yang peneliti ungkapkan sebelumnya.
82
Berikut adalah gambar lokasi yang sering ditertibkan oleh Satpol PP,
karena lokasi tersebut paling banyak orang yang melintas dan lebih sering
menjadi penyebab kemacetan di wilayah tersebut.
Gambar III.C.2 Lokasi yang paling sering terkena penertiban Satpol PP.
(Sumber: Observasi tanggal 08 Desember 2017. Lokasi: Pintu keluar stasiun Tanah
Abang)
Irwan yang merupakan pedagang di trotoar menegaskan;
“Kalau menurut saya sih disini ngga bakal pindah, pedagang kaki lima
ngga bakal pindah. Susah bang disana kalau sepi. Disini baru rame, kan
orang pas banget jalan dari stasiun tuh. Ini aja arah blok F dan kedalem
baru rame. Kalau ke blok G orang muter kan jarang. Kalau disini kan
orang turun dari angkot, dari kereta langsung belanja tuh.
Ya kena semua, cuma pada kabur-kaburan, udah biasa begitu mah.”
(wawancara pribadi pada Rabu, 08 November 2017. Pukul 15.23 WIB)
Penegasan tersebut mengisyaratkan bahwa para pedagang yang telah
direlokasi ini merasa optimis bahwa dengan bertahan di Blok G, mereka
akan menjadi rentan, baik itu dari segi pendapatan atau menjadi miskin.
Maka dari itu mereka memilih untuk tetap di trotoar walau harus kepanasan
atau bahkan kucing-kucingan dengan petugas.
3. Buang Barang
Dalam melaksanakan proses wawancara, peneliti sering kali menemukan
istilah-istilah baru yang disampaikan oleh beberapa informan, salah satunya
83
Ari, yang merupakan pedagang yang berdagang pakaian wanita di kios
pinggir jalan Jati Baru. Ari menyampaikan istilah “buang barang” kepada
peneliti;
“Ya alhamdulillah sih ada. Kalau hari-hari biasa jangankan ini ya, dari
bulan Juni udah mulai agak sepi. Makanya kalau disini saya “buang
barang” ke depan sana (samping stasiun Tanah Abang). Ya orang
ngambil-ngambil kesini” (wawancara pribadi pada Rabu, 08 November
2017. Pukul 14.39 WIB).
Maksud dari istilah buang barang ialah saat Ari memberikan barang
dagangannya kepada orang yang jualan di bahu jalan samping stasiun Tanah
Abang, lalu pedagang yang diberikan barang tersebut mengembalikan hasil
dagangannya kepada Ari. Ada pula yang membeli barang dagangan Ari, lalu
dijualkan kembali ke lokasi yang ramai di lalui orang, yakni bahu jalan Jati
Baru samping stasiun Tanah Abang. Hal tersebut Ari lakukan untuk
menambah penghasilan dan barang dagangannya bisa habis.
Tidak kehabisan akal, bahkan ada beberapa pedagang yang menjualkan
barang dagangan orang lain kepada pembeli, dimana barang yang ingin
dibeli oleh pembeli tidak ada dilapaknya. Dalam hal ini, antara menjual
barang orang lain dan buang barang hampir memiliki kesamaan. Jika buang
barang itu memberikan barang dagangan untuk dijual orang lain, sedangkan
menjual barang dagangan orang lain itu lebih kepada pedagang yang tidak
memiliki barang yang diinginkan pembeli, namun pedagang tersebut malah
mengambil stok barang dari lapak orang lain. Hal ini disampaikan oleh
informan Siti yang merupakan pedagang pakaian oblong di Blok G;
84
”Keuntungan 500ribu-1juta. Ngga menentu sih. Saya mah disini nawarin
apa aja, orang nanya apa juga saya bilang aja ada, terus abis itu saya
nyari dah ke bawah, kadang ada orang beli berapa kodi gitu, kan lumayan
gitu walaupun buka barang kita kan dapet lah cipratannya.” (wawancara
pribadi pada Sabtu, 07 Oktober 2017. Pukul 12.37 WIB)
Jadi, untuk menunjang dan menambah pendapatan, banyak dari mereka
menjual barang dagangan orang seperti yang dilakukan Siti Aisyah. Hal
serupa juga terjadi dengan beberapa pedagang yang berada di luar Blok G,
seperti halnya yang di lakukan oleh Awaluddin dan Yuri, mereka saling
bertukar barang saat ada salah satu jenis barang yang tidak ada.
“Ya kalau sama pedagang lain sih deket aja ya, tuh kayak sama bang
Yuri tadi. Kadang nanya barang kalau misalnya disini udah abis, saya
ngambil ke dia. Ya dia juga gitu sebaliknya.”( wawancara pribadi dengan
informan di jalan Jati Baru pada Rabu, 08 November 2017)
Pada dasarnya banyak dari beberapa pedagang melakukan hal-hal
tersebut, entah dari pedagang Blok G sendiri, pedagang di area pemukiman,
ataupun kios-kios di pinggir trotoar. Dengan pendapatan yang tidak
menentu, pedagang mulai memutar otak untuk memperoleh penghasilan
yang sesuai agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan
kebutuhan penunjang berdagang.
4. Jualan di Blok G dan di Trotoar
Untuk mengatasi kerentanan-kerentanan yang mereka alami, para
pedagang banyak yang melakukan inisiatif-inisiatif atau upaya tertentu
sebagai penunjang pendapatan mereka seperti yang dilakukan oleh Siti pada
pembahasan sebelumnya. Namun tidak semua dapat melakukan seperti apa
yang Siti lakukan, sehingga banyak dari mereka yang menginggalkan lapak
mereka di Blok G dan kembali ke jalan seperti yang dilakukan oleh Irwan,
85
Awaluddin, Yuri, dan Iman (sebagai Informan peneliti) serta Sapril yang
merupakan informan dalam acara Kompas.TV/Aiman. Hal tersebut terjadi
karena mereka merasa tidak mampu untuk bertahan lebih lama lagi di Blok
G, karena mereka mengetahui bahwa kebutuhan hidup mereka tidak akan
terpenuhi.
Kemudian upaya terakhir yang peneliti temukan ialah pedagang yang
berdagang di Blok G, tapi ia juga dagang di trotoar. Seperti yang di
ungkapkan Rahmat;
Kalau orang di bawah tuh kan ada sebagian orang disini, dia punya toko
disini, terus merasa sepi, lalu turun.
Memang pedagang di bawah itu sebagian ya, ngga semuanya. 40 atau
50% ada pedagang blok G ini. Gitu sistimnya. Umpamanya kan ini sepi
nih, di atas tetap buka, terus entar turun. Entar sore nutup, taro lagi ke
sini. Ada yang total, ada yang sebagian buka, ada yang total tutup khusus
buat dibawah aja (wawancara pribadi pada Rabu, 08 Desember 2017.
Pukul 14.06 WIB).
Berdasarkan ungkapan tersebut menggambarkan ada beberapa pedagang
yang tetap berdagang di Blok G saja, ada yang total tutup di blok G dan
pindah ke trotoar atau lokasi lainnya, atau bahkan yang terakhir adalah
pedagang yang terdata berdagang di Blok G, namun ia tetap berdagang di
trotoar. Artinya ia berjualan di Blok G, tapi juga berdagang di trotoar.
Dalam penjelasannya, Rahmat menegaskan bahwa kebanyakan pedagang
Blok G, saat ini berjualan di Blok G, tapi jualan di trotoar juga. Para
pedagang ini merasa bahwa dengan kondisi pasar yang setiap harinya sepi,
dan tidak dapat memperoleh penghasilan yang pasti, akhirnya mereka
berinisiatif untuk pindah ke trotoar seperti yang dilakukan pedagang lain
yang lebih dulu meninggalkan Blok G. Rahmat menambahkan;
86
Cuman ya gitu, masa orang dagang, kita ngga dagang juga yang depan
mata kita, kan gitu. Makanya mereka turun juga lah, masalah bayar kan
tinggal bayar (wawancara pribadi pada Rabu, 08 Desember 2017. Pukul
14.06 WIB).
Maksudnya ialah, ketika para pedagang Blok G melihat pedagang yang
berjualan di trotoar lebih ramai dan lebih sering bertemu dengan pembeli,
maka mereka juga akan turun ke trotoar agar lebih sering bertemu dengan
pembeli, serta penghasilanpun bertambah, tidak seperti di Blok G. Namun
tidak semua yang benar-benar murni turun ke trotoar, artinya ada beberapa
dari mereka yang tetap berdagang di Blok G, dan ada pula yang tetap di
Blok G, tapi tidak digunakan untuk berdagang, jadi hanya digunakan
sebagai tempat penyimpanan stok barang. Ketika pagi ia ke Blok G untuk
mengambil barang dan berjualan di trotoar, lalu sore hari ia kembali ke Blok
G untuk menyimpan barang dagangan.
Peneliti sangat sulit untuk bertemu secara langsung dengan pedagang
yang melakukan upaya ini, banyak pedagang yang tidak ingin terbuka saat
wawancara atau bahkan dimintai pendapat tetang hal tersebut. Peneliti
mengetahui hal ini pun hanya dari Rahmat (pedagang di Blok G) yang
dengan lantangnya mengakui jika upaya tersebut memang ada, namun ia
sendiri tidak menyebutkan siapa yang melakukan hal tersebut.
87
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberadaan pedagang kaki lima kawasan pasar Tanah Abang dewasa ini
mengalami dilemanya sendiri. Mereka dihadapkan pada pilihan pindah ke Blok G
atas intruksi Pemerintah atau bertahan di trotoar atau kawasan larangan berjualan.
Bagi para pedagang yang memilih pindah dan bertahan di Blok G, maka
keberadaan mereka sebenarnya adalah hal yang diharapkan oleh Pemerintah demi
terciptanya keamanan dan kenyamanan pada kawasan pasar Tanah Abang.
Berdasarkan seluruh data yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,
menunjukkan adanya kerentanan yang terjadi pada kondisi sosial-ekonomi bagi
hampir kebanyakan pedagang yang direlokasi. Akibat keadaan rentan tersebut,
maka banyak dari pedagang yang memilih untuk pergi dari Blok G dan tidak ingin
direlokasi lagi ke Blok G.
Kerentanan-kerentanan yang akan dialami oleh pedagang dapat dilihat dari
segi penghasilan dan hubungan sosial PKL dengan pembeli, lalu kemiskinan.
Penghasilan disini terkait dengan pendapatan dan pengeluaran yang mereka
dapatkan. Dari sisi pedagang Blok G, penghasilan yang dirasakan tidak stabil,
sehingga banyak diantara mereka yang melakukan inisiatif-inisiatif untuk
mendapatkan pendapatan yang sebanding dengan pengeluaran mereka atau
bahkan melebihi. Kemudian dari sisi pedagang yang pernah direlokasi ke Blok G
namun kembali ke trotoar atau lapak lainnya, mengakui bahwa adanya kerentanan
pada penghasilan mereka. Dengan kondisi yang tidak pasti atau bahkan sepi,
88
mengakibatkan pendapatan mulai tidak sebanding dengan pengeluaran. Hal
tersebut yang mengakibatkan banyak kios di Blok G menjadi kosong karena
ditinggal oleh pemilik atau penyewanya.
Selain itu, kerentanan lainnya dapat dilihat dari hubungan sosial pedagang
dengan pembeli. Artinya ada interaksi yang diharapkan. Namun kenyataannya
pedagang mengeluhkan lokasi pasar yang sepi pembeli dan sangat sulit untuk
mendapatkan pelanggan. Sehingga para PKL kembali ke trotoar dan tidak ingin
direlokasi kembali ke Blok G.
Kemudian terkait kemiskinan. Tentunya setiap orang yang memulai usaha,
hampir dari semua aktor pada sektor informal ini menginginkan dirinya terhindar
dari kemiskinan. Maka dari itu, pada data serta hasil penelitian ini menunjukkan
adanya kerentanan kemiskinan saat bertahan untuk berdagang di Blok G, dan
memilih untuk berjualan di lokasi larangan berjualan seperti di trotoar atau bahu
jalan. Hal tersebut mereka lakukan untuk menghindari keadaan rentan yang akan
mereka hadapi dimasa yang akan datang. Sebagaimana yang digambarkan
Saripudin bahwa kemiskinan seperti “lingkaran setan”, merupakan penyebab
sekaligus dampak. Artinya saat mereka miskin, maka mereka sangat rentan akan
terus menjadi miskin. Saat penghasilan kecil, maka akan berpengaruh pada
mobilitas yang diharapkan naik melalui pendidikan ataupun pekerjaan, kemudian
mereka akan tetap menjadi miskin.
Selain itu, saat seseorang mengalami kemiskinan, maka akan berpengatuh
pada pendidikan. Fokus pada permasalahan ini lebih kepada pendidikan anak para
pedagang. Jika pendapatan mereka berkurang atau berpenghasilan kecil, maka
89
akan berpengaruh pada pendidikan yang akan didapatkan oleh anak mereka.
Karena dengan pendidikan, diyakini dapat memperbaiki keadaan sosial-ekonomi
atau bisa dikatakan mobilitas vertikal.
Kemudian yang terakhir adalah saat mereka mengalami kerentanan, maka
tentunya ada upaya yang dilakukan sebagai langkah untuk menghindari atau
menangani kerentanan-kerentanan tersebut. Misalnya; 1.) Dengan pindah ke area
pemukiman warga atau kawasan tertentu yang jarang atau bahkan tidak tersentuh
oleh penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP, 2.) kabur-kaburan atau kucing-
kucingan, skema kabur-kaburan atau kucing-kucingan digambarkan dengan saat
ada penertiban, para PKL akan mulai berlarian, menyembunyikan barang
dagangan, kabur-kaburan ke dalam area pemukiman. Kemudian selang beberapa
saat mereka akan kembali lagi ke jalan, 3.) buang barang, artinya seorang
pedagang besar yang lapaknya jarang dikunjungi pembeli, kemudian ia
memberikan dagangannya ke pedagang yang berada di lokasi yang ramai pejalan
kaki untuk menjualkan barang dagangannya dan memberikan hasil jualannya, 4.)
jualan di Blok G dan di trotoar, ialah saat pedagang yang terdata merupakan
pedagang aktif di Blok G, tapi ia juga berdagang di trotoar karena melihat di trotar
lebih ramai pembeli dibandingkan dengan di Blok G.
B. Saran
Berdasarkan temuan yang telah dipaparkan peneliti melihat bahwa relokasi
ke Blok G bukanlah solusi yang dapat membantu serta memperbaiki kondisi
sosial-ekonomi pedagang. Saran untuk para pedagang yang berada pada lokasi
larangan berdagang adalah untuk lebih sadar bahwa area tersebut merupakan area
90
larangan untuk berdagang. Terkait solusi yang diharapkan ada baiknya
dibicarakan dengan pihak terkait dengan seksama, agar sama-sama saling
mendapatkan keuntungan jika ada tempat yang lebih baik dan tidak melanggar
aturan.
Saran untuk pemerintah serta pihak terkait lainnya, hendaklah menentukan
lokasi yang strategis pada para pedagang kaki lima yang dianggap melanggar
aturan agar mereka tidak kembali lagi ke lokasi yang dilarang untuk berjualan.
Diharapkan tidak hanya melakukan penertiban setiap saat tanpa adanya penentuan
lokasi yang pasti serta ramai pembeli agar pedagang memperoleh keuntungan
yang dapat memperbaiki kondisi sosial-ekonomi mereka. selain itu, rencana-
rencana yang telah dibuat, hendaklah direalisasikan untuk melihat apakah rencana
tersebut merupakan solusi yang tepat bagi para pedagang seperti dengan
pengadaan jembatan penghubung dari stasiun Tanah Abang menuju Blok G.
Untuk peneliti lain yang ingin meneliti permasalahan seputar pedagang
kaki lima atau lebih khususnya pedagang kaki lima pasar Tanah Abang Blok G,
diharapkan dapat menemukan kerentanan-kerentanan lainnya yang dapat
menggambarkan kondisi sosial-ekonomi pedagang. Penulis menyarankan untuk
mencoba menelisik lebih dalam lagi dengan data yang lebih banyak dari penulis,
jika menggunakan metode yang sama, atau menggunakan metode lain seperti
metode kuantitatif, atau bahkan ada baiknya penelitian ini dilanjutkan dengan
menggunakan konsep ketahanan (resiliance) agar penelitian tersebut dapat
menjadikan saran penunjang untuk dapat membantu pemerintah dalam
merumuskan solusi relokasi yang tepat untuk para pedagang.
91
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Aris Marfai, Muh. at,al. 2015. Peran Kearifan Lokal dan Modal Sosial dalam
Pengurangan Resiko Bencana dan Pembangunan Pesisir (Integrasi
Kajian Lingkungan, Kebencanaan dan Sosial Budaya). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Bungin, Burhan. 2013. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi (Format-
format Kuantitatif dan Kualitatif Untuk Studi Sosiologi, Kebijakan,
Publik, Komunikasi, Manajemen, dan Pemasaran). Jakarta:
KencanaPrenada Media Group.
Creswell, John W. 2014. RESEARCH DESIGN: Pendekatan Metode Kualitatif,
Kuantitatif dan Campuran. Yogyakarta: PUSTAKA BELAJAR.
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
Damsar & Indrayani. 2013. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana.
Erdian. Joko, S & Yustinus Saras. 2015. Mengatasi Kerentanan Stres Melalui
Coping Religius (Studi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik). Yogyakarta:
PT KANISIUS.
Iskandar. 2013. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial. Jakarta. Referensi
Manning, Chris & Tadjuddin Noer Effendi. 1985. Urbanisasi, Pengangguran, dan
Sektor Informal di Kota. Jakarta: PT Gramedia.
Nurhayati, Cucu. 2015. Pembangunan Sosial Sektor Informal Perkotaan; (Studi
Kasus Pedagang Kaki Lima di Pasar Minggu). Jakarta: Orbit Publishing
Jakarta
Riyadi, Eko. at,al. 2012. Vulnerable Groups: Kajian dan Mekanisme. Yogyakarta:
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM
UII).
Saripudin, Didin. 2010. Interpretasi Sosiologis Dalam Pendidikan. Bandung:
Karya Putra Darwati
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Soehartono, Irawan. 2011. METODE PENELITIAN SOSIAL (Suatu Teknik
Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya).
Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
92
Suparlan, Parsudi. 1995. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Jurnal, Tesis dan Artikel:
Dian Adhietya Arif, Djati Mardiatna dan Sri Rum Giyarsih. Kerentanan
Masyarakat Perkotaan Terhadap Bahaya Banjir di Kelurahan Legok,
Kecamatan Telanipura, Kota Jambi. Majalag Geografi Indonesia. Vol.
31 No. 2, September 2017.
Habibi, Marbruno & Imam Buchori. 2013. Model Spasial Kerentanan Sosial
Ekonomi dan Kelembagaan Terhadap Bencana Gunung Merapi. Jurnal
Teknik PWK. Vol. 2 No. 1, 2013. Diakses dari http://ejournal-
sl.undip.ac.id/index.php/pwk pada 20 Oktober 2017.
Hartanto, Adrian. 2014. Intensi Kembali Berjualan Di Jalan Pada Pedagang Kaki
Lima Yang Direlokasi. Artikel. Diakses dari
http://repository.unpad.ac.id/19570/1/Intensi-Kembali-Berjualan-Di-
Jalan-Pada-Pedagang-Kaki-Lima.pdf pada 3 Mei 2017
Irmayani S. 2007. Informasi; Kajian Permasalahan Sosial dan Usaha
Kesejahteraan Sosial. Membangun Keluarga Berketahanan Sosial Dalan
Era Modernisasi. Jurnal Sosial Vol. 12, No. 02, 2007. Departemen
Sosial Republik Indonesia.
Ifdil dan Taufik. Urgensi Peningkatan Dan Pengembangan Resiliensi Siswa Di
Sumatera Barat. Jurnal Online PEDAGOGI. Jurnal Ilmiah Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Padang Vol. XII No. 2, November 2012
Moch Hatta Karuniawan, Ardi Perdana Sukma, Efandi Dwi Kurniawan. Analisis
Dampak Sosial Ekonomi Relokasi Pedagang Kaki Lima (Pkl)
(Gelanggang Olah Raga (Gor) Kabupaten Sidoarjo). Jurnal Ilmu
Administrasi Negara, FISIP, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Vol.
3, No. 1, Maret 2015.
Nur Ainun Jariyah dan irfan Budi Pramono. Kerentanan Sosial Ekonomi dan
Biofisik di DAS Serayu: Collaborative Management. Jurnal Penelitian
Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 10 No. 3, September 2013
Ramadhan, Rafif. Perubahan Sosial – Ekonomi PKL ( Pedagang Kaki Lima )
Dalam Program Sentralisasi Sektor Informal Perkotaan Di DTC
Wonokromo1. Jurnal Sosiologi. Diakses dari
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmntse83b2df794full.pdf
pada 8 Juni 2016.
Suryahadi, A dan Marbun, D. Kriteria Kemiskinan Konsumsi Praktik di Indonesia
dan Beberapa Catatan. Jurnal Analisis Sosial. Vol. 14 No. 2, 2009.
93
Whinarko. Evaluasi Dampak Sosial Ekonomi Relokasi Pedagang Kaki Lima
Menjadi Pujasera Di Kota Semarang Tahun 2013. Tesis Jurusan Ilmu
Pemerintahan, Fisip, Universitas Diponegoro. Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=142851&val=4924.
pada 25 September 2015.
Zunaidi, Muhammad. Kehidupan Sosial Ekonomi Pedagang Di Pasar Tradisional
Pasca Relokasi Dan Pembangunan Pasar Modern. Jurnal Sosiologi
Islam, Vol. 3, No.1, April 2013.
Web On-line:
Aiman Kompas TV. Jakarta dan Anggaran Siluman (PKL Tanah Abang). Yang
ditayangkan di Kompas TV pada 27 November 2017
BPS (Badan Pusat Statistik) Kota Jakarta Pusat. Statistik Kecamatan Tanah
Abang 2016. Diakses dari
https://jakpuskota.bps.go.id/Publikasi/view/id/49 pada 3 Mei 2017.
________________________. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035.
Jakarta. Diakses dari https://bappenas.go.id pada 13 Januari 2018.
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta. Pusat
Belanja Pasar Grosir Tanah Abang. Diakses dari
http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/PUSAT_BELANJA_PAS
AR_GROSIR_TANAH_ABANG pada 3 Mei 2017.
Jakartapedia, BPAD. Pedagang Kaki Lima Di Jakarta. Diakses dari
http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Pedagang_Kaki_Lima_Di_
Jakarta pada 29 April 2017.
Kompas. “Ditertibkan, PKL Tanah Abang Sebut Direlokasi ke Blok G Bukan
Solusi”. Diakses dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/05/03/22500011/Ditertibkan.
PKL.Tanah.Abang.Sebut.Direlokasi.ke.Blok.G.Bukan.Solusi pada 25
Mei 2016
_______. “Penertiban PKL di Tanah Abang Terpaksa Ditunda Karena Pedagang
Melawan”. Diakses dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/06/02/15421591/penertiban.p
kl.di.tanah.abang.terpaksa.ditunda.karena.pedagang.melawan. pada 25
Mei 2016
_______. “Membedah Kesemrawutan Tanah Abang”. Diakses dari
https://kompas.id/baca/utama/2017/11/08/membedah-kesemrawutan-
tanah-abang/ pada 17 November 2017.
MENDAGRI Republik Indonesia. “Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2012”. Diakses dari
94
http://www.kemendagri.go.id/media/documents/2012/06/20/p/e/permen_
no.41_th_2012.doc pada 25 September 2015.
Wawancara
Wawancara pribadi dengan Nasrulloh pada Kamis, 27 Juli 2017
Wawancara pribadi dengan Eju pada Senin, 18 Septtember 2017
Wawancara pribadi dengan Jafar pada Senin, 02 Oktober 2017
Wawancara pribadi dengan Siti Aisyah pada Sabtu, 07 Oktober 2017.
Wawancara pribadi dengan Nasri pada Sabtu, 07 Oktober 2017.
Wawancara pribadi dengan Ratna pada Senin, 09 Oktober 2017.
Wawancara pribadi dengan Mila pada Senin, 09 Oktober 2017.
Wawancara pribadi dengan Iman pada Senin, 09 Oktober 2017.
Wawancara pribadi dengan Aput pada Rabu, 08 November 2017.
Wawancara pribadi dengan Ari pada Rabu, 08 November 2017.
Wawancara pribadi dengan Irwan pada Rabu, 08 November 2017.
Wawancara pribadi dengan Yuri pada Rabu, 08 November 2017.
Wawancara pribadi dengan Awaluddin pada Rabu, 08 November 2017.
Wawancara pribadi dengan Rahmat pada Jum’at, 08 Desember 2017.
95
LAMPIRAN
Transkrip Wawancara
Nama : Nasrulloh, SE
Status : Asisten Manager Seksi Keuangan & Administrasi UPB Pasar Tanah
Abang (A-G)
Hari/Tanggal : Kamis, 27 Juli 2017
Waktu/Tempat : Pukul 13.25 WIB / Kantor PD Pasar Jaya UPB Pasar Tanah
Abang (A-G)
Peneliti Bagaimana sih pendapat Bapak tentang para PKL yang kembali lagi
ke jalan padahal udah di relokasi ke Blok G?
Informan Umumnya pedagang kaki lima kan ingin di lalui orang kan. Beda ya
dengan pedagang di kios-kios begitu. Artinya gini, dengan jenis
jualan yang sama, 1 2 3 mungkin kan. Nah itu lah kenapa Blok G
sepi. Yang pertama penyebebnya itu tadi, harga persaingan disini kan
banyak, umumnya apa, grosir kan, ngga eceran kan, beda lah ya.
Kalau kaki lima, otomatis orang bawa motor bisa kan, paling beli apa
sih, ya kan. kalau disitu (Blok G) kan yang pertama apa? Parkir, trus
orang juga mesti ke atas, ya kan. Sebenernya dari Pasar Jaya sudah
berusaha untuk meramaikan Blok G eskalator dan lain sebagainya,
kan banyak tuh. Seperti apa yang saya bilang tadi, banyak yang ngga
bertahan dan ngga kuat.
Peneliti Mengenai kemacetan yang disebabkan PKL itu gimana pendapat
Bapak?
Informan Yang bikin macet itu kan sebenernya kedisiplinan aparat, kalau Pasar
Jaya kan artinya mendirikan sarana dan prasarananya ya kan,
tempatnya. Sekarang yang jadi permasalahan adalah aparat
setempatnya itu continue ngga, seharusnya kan continue. Kan bisa
liat di jalan tadi, ada ngga aparatnya. Harusnya kan
berkesinambungan. Ini kan ngga selamanya ada aparat minggir, ngga
ada aparat pada maju, pedagang kaki lima kan gitu. Seperti halnya
becak jaman dulu sampai di gusur, kenapa becak digusur? Setiap
gang atau perempatan, setiap orang yang turun dari metro mini atau
bus, nampung aja, bikin macet kan. Artinya begini, jangan sampai
berfikir kalau ngga semua pedagang kaki lima itu turun ke jalan, dan
mereka-mereka juga mungkin udah pindah kemana, atau ke kios
yang lain. padahal di Blok G itu murah ya. Tarifnya murah, cuma
buat distribusi dan listrik yang dipakai,
Peneliti Itu kalau dari spacenya itu apa ngga kekecilan pak? Sehingga banyak
pedagang yang mengeluhkan itu?
Informan Mengenai space, ini kan bekas revitalisasi tahun 2004 kalau ngga
salah, itu memang udah ada ukurannya masing-masing, itu kan jenis
96
konter, dulunya bekas counter semua ya, sekarang ada los, kios juga,
dan ukurannya kecil. Untuk mengatasi biaya tersebut juga sesuai
dengan yang dipakai. Ngga mungkin ibaratnya, sekarang gini
kemampuan pedagang itu kan relatif ya, beda-beda ibaratnya. Kita
pakai 2 set katakanlah 4, distribusinya katakan lah 300ribu, sekarang
tempatnya kecil gitu kan, klasifikasinya kan “C”, beda dengan Blok F
yang klasifikasinya “A”. Disarana Blok G kan beda, mobil juga ngga
masuk. Bedala sama tempat-tempat yang lain. memang juga kita
udah upaya eskalator, tangga-tangga, sampai pintu masuknya kan
juga sudah kita perbaiki. Memang perkembangannya kayak gini,
susah. Ya umumnya gimana sih, penataan pedagang dilihat banyak
sama ngga banyak kan beda, kira-kira orang seneng ngga sih, kan
ngga seneng, beda yaa.
Peneliti Kemudian dari perawatannya itu gimana pak?
Informan Kalau dari maintenance itu kita memang ada, ya itu tadi makanya
pasar Blok G itu sampai saat ini defisit. Kenapa defisit? Ya itu tadi,
kan berapa lantai tuh 1 2 3 4 5, perawatannya besar, kan mahal juga
kan. Sehingga tidak sebanding dengan income yang masuk. Ya
sekarang gini, pendapatan bisa besar karena pedagangnya ada kan,
sekarang kalau pedagangnya ngga ada pendapatan. Semuanya begitu,
ya income dari pedagang ya begitu tadi, kalau pedagangnya banyak,
ya otomatis pendapatan kita juga banyak, dan pasti perawatannya
bagus.
Informan Dulunya Blok G itu terminal. Yang pertama itu jumlah TU Blok 369,
yang baru itu di atas bangunan yang lama. Lantai 3 dan 4 itu
bangunan baru. Sebenarnya prospek margin wilayahnya itu besar.
Karna kalau kita perhatikan Blok G dari segi pemasarannya kan di
lalui kendaraan semua, otomatis kan yang beli itu bisa dari arah slipi,
atas dari arah stasiun, justru kalau ke Blok A kan jauh dan hanya di
lalui 1 jalan.
Peneliti Terkait dengan penertiban, apakah sbelum ditertibkan, para PKL ini
di berikan sosialisasi?
Informan Tentunya ada sosialisasi sebelum relokasi, sebelumnya pedagang
kaki lima tuh di data yang di pinggir jalan, siapa yang punya KTP
(DKI), nanti sama UMKM di data tuh, lalu UMKM ngasi data ke
pasar Jaya, kemudian sarana yang ada berapa? Lalu diselaraskan.
Peneliti Lalu bagaimana realisasinya pak?
Informan Realisasi relokasi pedagang kaki lima itu kalau ngga salah bulan
Juni-Juli 2014, saat itu ramai. Tapi sebelum itu masih ada juga, kan
waktu itu dari pasar jaya juga udah memberikan sesuatu agar
pedagang berminat, memberi hadiah, belanja dapet kupon sekian,
seperti itu waktu itu, memperjuangkan, dan juga dari pihak walikota
jakarta pusat kalau ngga salah setiap hari sabtu atau minggu ada
kegiatan seni, untuk meramaikan, ibaratnya sudah diperjuangkan dari
masing-masing pihak terkait gimana supaya pasar ini bisa rame.
Kalau sekarang mah udah ngga ada, udah susah.
97
Informan Akhirnya gini, dari pihak pasar jaya melihat struktur bangunan, dan
sudah banyak ditinggal pedagang kan, memang itu ada rencana
rusunawa, jadi dibawahnya pasar, di atasnya rusunawa. Rencananya
tuh ya namun sekarang belum terrealisir. Dan juga memang ada
pembangunan, jadi pasar Blok G pindah ke Bongkaran, yang dekat
parkiran bus itu belakang pasar Blok G, para pedagang akan
dipindahkan karena bangunannya sudah tidak layak.
Peneliti Kemarin itu saya sempat lihat di televisi, katanya ada rencana
pembangunan jembatan penyebrangan dari stasiun Tanah Abang ke
Blok G, itu bagaimana pak?
Informan Terkait JPO itu memang sudah direncanakan seperti itu, sudah ada
planning-planningnya ya, bagaimana meramaikan pasar Blok G.
Informan Alasan pertama itu kan disepanjang jalan itu udah banyak ruko-ruko,
udah berjamur. Kalau kita kan ya itu tadi berkaitan dengan aparat
terkait, berkesinambungan, apakah mereka ada izin-izinnya, kita
ngga tau juga kan, terus pedagang kaki limanya kan banyak banget
kan. Karena pedagang kaki lima begitu di usir dan pas aparatnya
ngga ada balik lagi mereka, yaudah begitu terus. Sekarang gini,
ketika diambil barangnya, terus dia ngambil lagi ke kantornya, ya
kan.
Nama : Eju Warles
Status : Staf UPB Pasar Tanah Abang Blok G
Hari/Tanggal : Senin, 18 September 2017
Waktu/Tempat : Pukul 14.48 WIB / Kantor UPB Pasar Tanah Abang Blok G
Peneliti Bagaimana pendapat bapak terkait pasar Blok G ini jadi sepi?
Informan Pedagang itukan kebanyakan orang padang, sunda, orang jakarta tuh
jarang, orang jakarta tuh jadi peremannya. Begitu aturan relokasi,
yang ditempatkan disini yang ber-KTP DKI, orang padang, orang
sunda punya KTP DKI juga, jadi yang dapet premannya disini.
Peneliti Pedagang pada lari kemana tuh pak?
Informan Itu kan ada gang (jalan Jati Baru X) itu sampai tembus stasiun itu kan
udah toko semua. Tadinya mah ngga ada itu, rumah-rumah biasa.
Informan Yang paling sering kena razia aparat setempat itu yang di pinggir-
pinggir stasiun (pinggir jalan Jati Baru Raya).
Peneliti Nih bisa sampai bisa kosong gini ya pak lantai 3?
Informan Lantai 3 kosong sama sekali, kalau lantai 2 masih ada beberapa
pedagang. Yang bertahan sampai sekarang itu yang bener-bener
pedagang, karena mereka punya langganan, mereka pindah ke Blok
G ternyata masih laku karena ada langganan,
Informan Namun yang mendapatkan undian di lantai 2 dan 3 Pasar Tanah
98
Abang Blok G, kebanyakan penduduk asli atau orang Jakarta yang
notabennya bukan pedagang asli, sehingga kebanyakan dari mereka
pada beberapa bulan setelah itu mulai kabur atau meninggalkan kios
yang ditempati
Peneliti Bagaimana sih yang terjadi saat relokasi saat itu pak?
Informan Jadi yang mengisi Blok G itu dari undian dinas UMKM, syaratnya itu
KTP DKI, sasarannya sih pedagang jalanan/pedagang kaki lima, tapi
pedagang kaki lima itu kan banyak yang bukan penduduk DKI. Jadi
yang dapet undian di lantai 3 lantai 2 itu kebanyakan penduduk sini
yang bukan pedagang, makanya pada kabur itu. Kalau pedagang mah
ngga bakal kabur.
Nama : Amat Japar, SH
Status : Asisten Manager Seksi Usaha dan Pengambangan UPB Pasar Tanah
Abang (A-G)
Hari/Tanggal : Senin, 02 Oktober 2017
Waktu/Tempat : Pukul 11.13 WIB / Kantor PD Pasar Jaya UPB Pasar Tanah
Abang (A-G)
Peneliti Bagaimana menurut Bapak terkait Blok G yang menjadi sepi?
Informan 2013 PKL dari jalan di relokasi ke Blok G. Di Blok G tidak di pungut
biaya sewa selama 6 bulan, hanya membayar listrik sesuai pemakaian
dan air apabila diperlukan, kan ngga semuanya pakai air. Setelah 6
bulan relokasi, ternyata pedagang sudah tidak betah lagi berdagang di
Blok G. Namun, sebagian pedagang masih ada yang bertahan,
walaupun jumlahnya tidak full.
Informan Di wilayah sekitar Pasar Tanah Abang Blok G, banyak area yang
beralih fungsi. Misal;
1. Di area Blok G banyak rumah tinggal berubah fungsi sebagai
tempat berdagang
2. Warga sekitar kebanyakan mengontrakkan rumah sebagai
tempat untuk berjualan
3. Banyak jalan utama (jalan Jati Baru X) yang masuk ke area
pemukiman menjadi tempat berjualan. Sekarang gang
pertama yang gede disana, yang dibawah jembatan itu.
4. Gang-gang sempit (dari stasiun masuk ke dalam) berubah
menjadi tempat berjualan, sehingga banyak kerawanan. dan
banyak pengunjung yang melewati gang sempit tersebut,
banyak yang kecopetan. Dan melaporkannya kepada anggota
satpam setempat, walaupun akhirnya diarahkan ke kepolisian
setempat.
99
Peneliti Realisasi dari relokasi saat itu bagaimana pak?
Informan Saat ini untuk pedagang hasil relokasi pada masa pemerintah
daerah/gubernur pak Joko Widodo, untuk saat ini pedagang Blok G
sepi. Karena para pedagang, untuk mempermudah berdagang, maka
para PKL hasil relokasi tersebut banyak yang menyewa rumah/gang
besar/gang sempit ke warga.
Informan Area Bongkaran yang selama ini buat area parkiran truk besar/truk
ekspedisi, beralih fungsi untuk berjualan pedagang Tasik setiap hari
senin dan kamis. Sehingga pengunjung ke Pasar Tanah Abang Blok
G menjadi berkurang.
Peneliti Kalau dari biaya sewa itu bagaimana ya pak? Katanya pasca relokasi,
6 bulan awal itu tidak dipungut biaya sewa, tapi setelah 6 bulan itu
ada biaya.
Informan Terkait biaya sewa, setelah 6 bulan kemudian membayar DPP, tapi
berhubung disana menjadi sangat sepi dan pedagang juga
pengunjungnya sudah berkurang karena banyak rumah warga yang
beralih fungsi, jadi peminat sangat berkurang.
Informan Pedagang yang bertahan itu biasanya memperhitungkan pengeluaran
dan pemasukan saat berdagang di Blok G. Sedangkan pedagang yang
mengontrak di rumah warga mungkin beralasan bahwa bisa dijadikan
tempat tinggal, kemudian bisa sambil usaha disitu.
Nama / Usia : Siti Aisyah / 48 Tahun
Asal Daerah : DKI Jakarta
Pend. Akhir : SMA
Status : Pedagang Pasar Tanah Abang Blok G (Pedagang Pakaian)
Hari/Tanggal : Sabtu, 07 Oktober 2017
Waktu/Tempat : Pukul 12.37 WIB / Lantai 2 Pasar Tanah Abang Blok G
Peneliti Apakah sudah memiliki rumah?
Informan Belum punya rumah (ntontrak), sebenarnya ada, hanya ada kendala
dengan saudara, makanya saya ngalah aja daripada berantem ya kan.
Peneliti Apakah sudah punya anak?
Informan Satu anak.
Peneliti Sudah berapa lama ibu jualan disini?
Informan Dari zaman gubernur Sutiyoso. Sebenernya suami duluan yang
dagang disini tapi di lantai satu. Kalau ini kan untuk yang direlokasi.
Tadinya ini dikontrakin, tapi sekarang udah punya suami, saya hanya
bantuin, kalau soal dagang saya mah hobi.
Peneliti Sebelumnya ibu udah pernah jualan di pinggir jalan atau kawasan
pasar Tanah Abang?
Informan Saya sih tadinya dagang dimana aja, diacara-acara jambore, di gang-
100
gang Blok F juga pernah. Cuman disini kan kita tetep daftar, dulu kan
di kontrakin. Cuman sekarang kan udah ngga boleh di kontrakin,
karena orangnya udah beda-beda. Ganti gubernur, ganti peraturan
lagi. Nah waktu pak Jokowi jadi gubernur, saya ikut tuh ngambil
yang disini.
Peneliti Lalau kenapa ibu memilih bertahan disini kalau banyak PKL yang
kembali ke jalan?
Informan Kalau di jalan kan bisa di gituin (penertiban) sama satpol PP. Tempat
kita mikir-mikir, ya pasti pitinya (bayarannya), lagian juga kalau
udah ada tempat, tapi kalau ngga ditempatin jadi mubadzir. Ya masih
ingin bertahanlah walau gimanapun juga. Insya Allah kalau rejeki
mah ngga ketuker lah. Alhamdulillah dari sini juga masih ada
rejekinya walau sedikit-sedikit. Kita ngeliat ke bawah, kadang ada
yang engga makan. Kalau difikirin sih pusing, makanya jangan
difikirin.
Peneliti Kalau dari ibu sendiri, apakah ada keinginan untuk kembali ke jalan?
Informan Kalau soal pindah, saya sih ikutin suami. Kalau suami sih pilihannya
engga ya, karena budgetnya minim. Belum lagi anak yang minta
kuliah, makanya saya bingung, kalau saya sih maunya bertahan dulu,
liat nanti gimana gitu ya. Maunya tuh di relokasikan dulu, walaupun
misalnya tadinya 3meter, dibagi jadi 1,5meter yang penting kan dapet
ya. Kalau ini kan 2,8meter. Waktu di jalanan aja nih antara Blok F
dan Blok A, se-meter bisa 20juta, omset aja bisa sampai 8juta, kalau
emang rejeki. Paling dagangannya Cuma gini nih (kaos oblong),
walaupun emang lebih rame, tapi kan tempatnya susah, udah gitu
mahal. Pernah waktu itu nyewa, kita tempatin sehari, besoknya udah
ngga ada. Diambil sama preman, disini kan banyak preman. Maen
dulu-duluan, geng-gengan, beking-bekingan. Cuma kan gini, karena
kita juga ngontrak dan pengeluaran masih banyak, jadi yaa ditahan
aja dulu. Kalau misalnya udah ngga ngontrak, pengeluaran ngga
terlalu banyak, mungkin kita terjun ke bawah.
Peneliti Kalau menurut ibu nih, bagaimana seharusnya blok G ini biar rame?
Informan Kalau menurut saya tuh pintu kereta bukanya disini, biar disini juga
rame, ini malah makin jauh. Kalau misalnya udah dipindahin kesini
masih sepi juga, baru dah tuh. Trus dari angkot juga kalau kita bilang
berenti di Tanah Abang, dituruninnya disana jalan jati baru, aturan
mah turunin aja di sini kek, biar rame juga, lagian muternya juga di
depan sini. Kalau misalnya diturunin disana, orang kan bisa langsung
kemana-mana.
Informan Relokasi nya belum ada, buat apaan kita direlokasi. Kayak pasar
rumput lah, tempatnya ada dulu, baru kita pindah. Kalau dibongkaran
sih sebenernya ngga masalah, tapi kalau bisa mah tempatnya yang
deket stasiun, kan dicoba dulu dong, kan istilahnya disinikan kita
bayar. Kalau di jati baru mah bukannya penuh, tapi tergantung sama
yang punya tanahnya, dia kalau bisa ngerayu, pepet-pepet dikit, ya
pokoknya gimanapun kan kitanya bayar juga. Tapi disini juga
101
bagaimana, apa lagi disana(Bongkaran). Ya tadi itu, maunya pintu
stasiun dibuka gitu, kalau disana kan nanti orang pada lari kesane,
lari kesono, walaupun katanya kan mau dibangun jembatan kesini.
Peneliti Bagaimana kedekatan ibu dengan pedagang lain, atau apakah ada
saudara disini?
Informan Sodara sih disini banyak, tapi dari suami, ya biasa lah orang padang.
Peneliti Kalau dari keuntungan ibu jualan disini tuh gimana bu?
Informan Keuntungan 500ribu-1juta. Ngga menentu sih. Saya mah disini
nawarin apa aja, orang nanya apa juga saya bilang aja ada, terus abis
itu saya nyari dah ke bawah, kadang ada orang beli berapa kodi gitu,
kan lumayan gitu walaupun buka barang kita kan dapet lah
cipratannya.
Informan Dulu gimana ngga rame waktu jaman pak Jokowi jadi gubernur, jadi
warga dikasi kupon, dikasi kupon setiap warga terus belanja kesini.
Dapet lah omset, kan mau ngga mau tuh kupon harus dibelanjain
karena ada masa berlakunya.
Peneliti Ibu disini pakai berapa tempat? 1 doang? Terus barang dagangan ibu
yang disitu ngga apa-apa tuh bu?
Informan Iya pakai 1 petak doang, selebihnya ya disuruh sama orang pasar
jaya, dari pada kosong melompong, mending kita pake.
Peneliti Terus yang sebelah ibu ini gimana, apa balik kejalan lagi atau
gimana?
Informan Sebenernya ini udah dibayarin sama orang PT, tadinya ada, mungkin
karena bukan pedagang, dan ngeliat disini sepi, makanya ngga
bertahan. Tapi kalau misalnya emang bener pedagang mah sabar.
Orang tuh kalau jiwa dagang tuh harus sabar.
Peneliti Kemudian kalau dari pengeluaran ibu tuh bagaimana bu?
Informan Pengeluaran sekolah anak untuk uang pangkalan SMK aja 12juta,
uang bulanannya 500ribu, terus besok ikut seminar bayar 250ribu,
terus belum ini itu nya, yyaahh kalau dihitung mah gitu. Terus untuk
pembayaran ini ke bank 120ribu, buat bayar listrik 120ribu,
tergantung sih, jadi ngga menentu, ngga ngerti deh, pokoknya ada
yang 125ribu, ada yang 120ribu. Terus hariannya seribu rupiah. Jadi
kira-kira sebulan itu 270ribu.
Informan Makanya sekarang banyak pada lari kebawah karena pemasukan
ngga seimbang dengan pengeluaran,
Informan Kalau sebelah nih yang punya satpol pp beli cash, dulu tapi soalnya
dulu mah bisa beli, kalau kita kan masih nyicil, kalau dia beli
langsung. Kalau sekarang kan udah ngga bisa diperjual-belikan. Kios
kakak saya dijual 50juta , dulu. Sekarang mah ngga boleh.
Peneliti Kalau menurut ibu tuh dengan orang-orang yang pada balik lagi ke
jalan gimana bu?
Informan Tuh kalau lagi ada razia, pada naek dah tuh ke atas. Tapi kalau udah
ngga ada, pada balik lagi dah tuh. Kita sih liatin aja dari atas. Padahal
sih solusinya sudah semua dikerjain sama pak Jokowi biar rame ya,
misalnya kayak pengadaan eskalator. Kalau misalnya yang
102
dagangnya lengkap, jadi istilahnya orang tuh bakal naek.
Nama / Usia : Nasri / 42 Tahun
Asal Daerah : Padang
Pend. Akhir : SMA
Status : Pedagang Pasar Tanah Abang Blok G (Pedagang Sepatu dan
Sendal)
Hari/Tanggal : Sabtu, 07 Oktober 2017
Waktu/Tempat : Pukul 14.08 WIB / Lantai 1 Pasar Tanah Abang Blok G
Peneliti Sudah berkeluarga dan memiliki anak pak?
Informan 2 anak, yang besar sudah kerja, yang kecil SMK kelas 3.
Peneliti Sudah berapa lama disini pak?
Informan Disini udah 5tahunan lah, kira-kira 2012-2013 lah, kan pindahan dari
bawah.
Peneliti Kalau dari pendapatan bapak disini bagaimana pak?
Informan Sekarang sih kurang banget ya, pengunjung juga sepi, jual-belinya
juga kurang, jauh. Pendapatan juga kurang. Kalau awal mah rame itu
ya, waktu pak Jokowi dulu gitu, kalu sekarang mah kurang. Kalau
omset udah jauh turun.
Peneliti Lalu omset bapak bagaimana sekarang?
Informan Omset itu beda2. Kalau tiap bulan itu ngga bisa dipastiin. Perhari itu
kadang2 500ribu, itu alhamdulillah sih.
Peneliti Dulu tuh ada sosialisasinya ngga sih pak waktu relokasi?
Informan Udah jauh-jauh hari udah dikasi tau. Kita kan waktu dibawah kan
pedagang resmi, binaan walikota. Jadi kita dikasi surat peringatan.
Pas pinggir jalan itu dulu, emang binaan walikota. Sekarang aja
emang sembarang orang.
Informan Sebenarnya kami ini kan udah buat perjanjian, siapa yang nempatin
di atas itu udah ngga boleh turun ke bawah. Jadi kalau misalnya turun
lagi dan ketangkap, yaudah barangnya diambil oleh petugas/disita,
udah perjanjiannya.
Peneliti Lalu kenapa bapak pilih bertahan?
Informan Mau ngga mau mending bertahan, sekarang kalau diuber-uber sama
kamtib (satpol PP) kan dibawah.
Peneliti Biasanya ada jam-jam tertentu ngga sih pak biar bisa dagang dibawah
tuh sepengetahuan bapak?
Informan Biasanya sih jam 3, kalau sabtu tuh bisa dari pagi buat jualan. Tapi
sebenarnya mah udah ngga boleh, PKL udah ngga boleh sama sekali,
Peneliti Kalau dari bapak sendiri, ada keinginan ngga sih kembali ke jalan?
Informan Kalau saya sih udah engga, karena udah umur juga kan udah ngga
103
memungkinkan untuk dibawah.
Informan Kalau dibawah kan sewa-sewa tempat sama preman gitu kan. Kan
banyak tuh di jalan-jalan. Sebenarnya tuh di jalan-jalan Blok F itu
udah ngga boleh, tapi ya itu, ada aja preman-preman itu atau satpam-
satpam dalamnya lah. Padahal area banyak copet juga, kasian juga
orang udah jauh-jauh malah dicopet, sampai ada yang nangis.
Peneliti Dulu sosialisasinya gimana tuh pak?
Informan Dulu sih bagus sosialisasinya, cicilan ini itunya. Tapi sekarang tuh
udah ngga kuat untuk bertahan di lantai 2 tuh ngga kuat. Waktu baru-
baru doang tuh rame, tau-tau lama-lama sepi, malah jadi ngga ada.
Peneliti Denger-denger nih pak, katanya ini pedagang yang di blok G mau
direlokasi lagi karena ada revitalisasi bangunan, bagaimana menurut
bapak?
Informan Kalau saya sih tempat relokasinya bagus sih ngga apa-apa. Soalnya
ini juga sebenarnya bangunannya ini waktu pemakaiannya udah abis,
ini kan seharusnya hanya 25 tahun, ini saja sudah 35tahun lebih.
Harusnya sudah ditentukan dan di setujui oleh para pedagang. Kalau
untuk di bongkaran itu saya ngga mau, paling sebulan 2 bulan udah
abis itu, ngga dagang lagi. Itu kejahatannya tinggi lho disitu.
Peneliti Bagaimana kedekatan bapak dengan pedagang lain?
Informan Ya baik-baik aja sih, Disini sih masih banyak keluarga juga
Peneliti Kalau dari keinginan bapak tuh gimana sih pak terkait relokasi ini?
Informan Itu yang penting itu, rencana pembangunan jembatan ke sini, di
atasnya penampungan PKL. Tapi belum terrealisasi.
Informan Ya kami sebagai pedagang, penampungan kalau mau dibangun,
penampungan yang baik lah. Kalau untuk di jati baru ngga mungkin
lah, kan udah penuh, lokasi udah ngga ada yang kosong saya liat. Ya
solusinya itu tadi dulu, dibangun jembatan dari stasiun ke sini, bikin
kios di atas. Kalau di pindahin ke sini nih boleh yang jembatan
penyambung samping Blok G. Kalau ngga salah udah hampir kelar
tuh, kalau disitu ngga apa-apa deh. Ntar kalau udah selesai kembali
lagi lah gitu,
Peneliti Bapak disini pakai berapa petak pak? Terus biayanya gimana?
Informan Saya pakai 3 petak, bayar retribusi sekitar 350ribu sebulan. Ngga
sama listrik, kalau listrik sekitar 170 sebulan. Alhamdulillah masih
nutup lah.
Peneliti Eskalator ini kok mati ya pak?
Informan Eskalator juga udah ngga jalan, paling di hidupkan kalau misalnya
ada pejabat dateng lah. Kalau orang biasa begini mana ada. Padahal
dari pembayaran CMS tadi udah masuk pembayaran listrik eskalator.
Sumbangan iya dari pemerintah, tapi pembayaran listrik itu
ditanggung pedagang. Ngga tau tuh, kalau ada orang PD dateng, baru
dinyalain, orang penting dateng, baru dinyalain.
Peneliti Kalau pelayanan dari pihak pengelola itu gimana pak?
Informan Pelayanan dari PD kurang banget. Kalau dulu kan ada “gimana
104
keadaan pasar”, “apa cara/solusinya” sekarang udah ngga ada. Dulu
ada bazar, tiap sabtu minggu diadain musik, sekarang udah ngga ada.
Sekarang promosinya kurang. Kalau dulu ada diskon-diskon kan ada,
sekarang kurang.
Nama / Usia : Ratna / 40 Tahun
Asal Daerah : Jambi
Pend. Akhir : SMEA
Status : Pedagang Pasar Tanah Abang Blok G (Pedagang Pakaian Batik)
Hari/Tanggal : Senin, 09 Oktober 2017
Waktu/Tempat : Pukul 10.53 WIB / Lantai 2 Pasar Tanah Abang Blok G
Peneliti Sudah berkeluarga dan memiliki anak?
Informan Sudah. 2 anak, yang satu kelas 2 SMP, yang satu lagi kelas 3 SD.
Peneliti Apakah sudah memiliki rumah?
Informan Udah.
Peneliti Sudah berapa lama jualan disini?
Informan Jualan disini sejak relokasi waktu itu, sebelumnya jualan di jalan jati
baru (pinggir jalan). Sudah ada sosialisasi memang sebelumnya, jadi
kita dikasih tau, ada nomor-nomornya gitu. Jadi di undi dari walikota
itu.
Peneliti Terkait dengan relokasi nih bu, bagaimana menurut ibu, apakah
setuju atau tidak?
Informan Saya sih setuju aja di relokasi juga, soalnya tempatnya enak, kan
beda tuh ya sama yang dibawah, kalau dibawah tuh kalau ujan kan
ribet tuh, ngangkat-ngangkat barang.
Peneliti Kalau dari peraturan larangan berjualan di jalan itu gimana bu?
Informan Kalau menurut saya sih bagus ya peraturan tentang larangan jualan di
jalan, biar semua masuk ke sini. Karena disini masih sepi sih Blok G
nya, makanya pada turun lagi ke bawah. Awal-awal rame, tapi
orangnya makin lama makin sepi.
Peneliti Bagaimana kedekatan ibu dengan pedagang lain?
Informan Ya deket sih, ada juga pedagang yang dari bawah, sering ketemu.
Kalau langganan ada. Biasanya kalau udah beli sekali, nantinya balik
lagi. Iya lah beda harga, karena lebih murah. Kalau dibawah kan beda
ya agak mahal, ya selisih dikit sih harganya.
Peneliti Denger-denger nih bu, katanya ini pedagang yang di blok G mau
direlokasi lagi karena ada revitalisasi bangunan, dan akan di relokasi
sementara ke Bongkaran, bagaimana menurut ibu?
Informan Ya kita mah ngikutin aja. Tapi kalau dibongkaran mah jangan. Kan
ngga aman disitu, sepi juga kan. Maunya ke lokasi-lokasi lain gitu ya
ngga apa-apa.
105
Informan Setuju sih pembangunannya.
Peneliti
Informan Kalau dibawah kan kita ngangkat-ngangkat. Sebelumnya kan kaki
lima yang dipinggir jalan itu, ntar kalau tutup ya diangkat.
Peneliti Pendapatan disini gimana ya bu?
Informan Pendapatan ngga tentu sih, kalau lagi rame ya rame, kalau lagi sepi
ya sepi. Seharipun ngga tentu, kadang ada penglaris, kadang ngga
ada penglaris. Sementara disini biasanya rame sabtu dan minggu.
Kadang 500ribu seminggu ngga apa-apa lah, dari pada nganggur
dirumah.
Informan Pendapatan ya paling gede itu dibawah, kalau sekarang mah
menurun, tapi tempatnya aja enak nih.
Peneliti Ibu disini pakai berapa kios? Dan biayanya berapa bu?
Informan Pakai 2 kios, kan dapet undiannya 1, satu lagi kan masih punya
orang, buat gudang aja. Bayar juga, yang ini 102ribu, kalau belakang
105ribu. Ini suami yang bayarin. Suami mah kerja di tempat lain.
kalau suami kerja disini mah bisa ngga makan.
Peneliti Terus itu ngga apa-apa bu barang dagangan ibu di situ?
Informan Kalau barang-barang itu mah ngga apa-apa, dipajang-pajang aja kan,
ngga ada yang jualan ini, biar keliatan rame juga barangnya.
Peneliti Terus kalau misalnya ada terobosan-terobosan lagi kyak jaman pak
Jokowi jadi Gubernur gimana bu?
Informan Ya ngga apa-apa kalau itu ada lagi, biar menarik pembeli (pengadaan
kupon dari pemerintah, seperti jaman pemerintahan gubernur Joko
Widodo),
Peneliti Lalau apakah pendapatan ibu seimbang dengan pengeluaran?
Informan Ya seimbang sih, karena rumah juga ngga ngontrak. Kalau biaya
sekolah anak sih dari suami, kalau dari sini mah ngga cukup.
Peneliti Kalau dari ibu sendiri, apakah ada keinginan untuk kembali ke jalan?
Informan Ngga ada sih, nanti di gusur lagi sama trantip (satpol PP)
Nama / Usia : Mila / 44 Tahun
Asal Daerah : DKI Jakarta
Pend. Akhir : SMK
Status : Pedagang bahu jalan Jati Baru (Pedagang Pakaian)
Hari/Tanggal : Senin, 09 Oktober 2017
Waktu/Tempat : Pukul 13.28 WIB / Jalan Jati Baru
Peneliti Ibu jualan disini ngga kena gusur atau penertiban bu?
Informan Alhamdulillah sih engga, karena kan kita udah standar, ngikutin
peraturan. Peraturannya sampai batas kuning kebelakang, kalau
106
kuning kedepan mah kena penertiban.
Peneliti Kalau misalnya keamanan atau penertiban ditingkatkan, atau bahkan
sama sekali ngga boleh jualan disini gimana bu?
Informan Kalau bisa sih jangan, karena kan itu pendapatan harian kita. Saya
kan korban PHK, dulu sempet kerja juga, karena udah di PHK
makanya jadi jualan. Kalau bisa sih jangan, soalnya ntar kita mau
gimana lagi, kalau sekarang kan cari kerja susah. Udah ngelamar-
ngelamar juga kan belum tentu di terima.
Peneliti Kalau di blok G gimana?
Informan Tapi itu mah sepi, harus ada terobosan-terobosan baru, sepanduk atau
apa kek gitu. Jauh kan kalau dibandingin sama Blok A, kalau Blok A
kan banyak fasilitasnya, kayak misalnya AC, lift, ya kayak gitu.
Peneliti Kalau misalnya benar ada terobosan-terobosan baru, apakah ibu mau
ke blok G?
Informan Boleh sih kalau kyak gitu, asalkan menarik konsumen ke kita kan
ngga apa-apa. Itu kan udah ada solusi, cuman kalau kyak gini kan
belum ada solusinya, ya ada sih solusi kyak ATM atau eskalator.
Cuma kan kalau untuk yang lainya masih kurang.
Peneliti Kalau disini, apakah ramai yang beli?
Informan Agak sepi sih, tapi kalau mau lebaran ya lumayan. Cuma kalau abis
lebaran gini mah agak sepi.
Peneliti Lalu gimana, apakah menutupi untuk biaya kehidupan sehari-hari?
Informan Kalau bulan-bulan gini sih cuma cukup buat makan ya. Kalau kita
kan soalnya ngga ngontrak, ya paling cukup buat makan. Tapi kalau
misalnya ngontrak mah ngga bakal cukup.
Peneliti Kalau misalnya mengharuskan ibu ke blok G setelah ada perbaikan,
apa ibu mau?
Informan Ya pengennya sih gitu, emang kalau harus ke Blok G ya ngga apa-
apa, tapi liat kyak misalnya cara cicilnya, pokoknya manusiawi dikit
lah, jangan di samain kayak di Blok A, Blok A kan mahal,
bulanannya kan 60 juta untuk bayar sewanya, kalau begitu mau
untung dari mana, ngga ketutup kalau sama omset, apa lagi kita
dengan modal minim begini, saya begini kan barangnya orang, saya
mah buat dagang sendiri sama modal tempat aja. Jadi kalau misalnya
dibawa sama satpol PP ya kita yang harus tanggung jawab. Ya kalau
memang solusi ke Blok G sih ngga apa-apa, tapi jangan cekik
pedagang juga, bayaran bulanannya mahal atau apa gitu kan. Itu kan
mereka juga banyak saingan kan, belum Blok G, Blok B, Blok A,
Metro.
Peneliti Bagaimana kedekatan ibu dengan pedagang lain, apakah ada
persaingan?
Informan Persaingan biasa, yang penting orangnya aja enak apa engga.
Peneliti Apakah ibu ada pelanggan tersendiri yang sering beli di tempat ibu?
Informan Alhamdulillah ada sih kalau pelanggan mah, ya cuman gitu lah kalau
bukan lebaran mah perlunya ngga banyak, ya paling kalau menjelang
107
puasa tuh lumayan lah, bisa nyimpen, kalau sekarang mah makan
doang.
Peneliti Udah punya anak bu?
Informan Kalu anak udah ada yang berumah tangga, dan ada yang udah kerja
juga.
Peneliti Kalau suami jualan juga bu?
Informan Ngga sih,, suami ngojek (OJOL), gojek juga udah sepi sih, itu juga
persaingannya ketat.
Peneliti Lalu keinginan ibu tuh kalau di larang disini gimana bu?
Informan Ya kalau misalnya harganya murah sih pengennya ke Blok A.
kayaknya sih kurang strategi atau gimana ya Blok G mah, soalnya
juga udah banyak pengeluaran-pengeluaran di Blok G juga
keliatannya masih sama aja, belum keliatan rame juga. Sebenernya
sih kalau menurut saya Blok G itu bagusnya jadiin terminal, bukan
buat mal. Kan saya ngalamin banget tuh waktu masih SMP, itu
terminal rame banget. Soalnya dia kalau buat pertokoan tuh ngga
cocok. Orang yang di Blok G juga udah pada ngeluh, makanya pada
balik lagi ke jalan. Ngga tau persaingan di Blok A nya tuh ngga
ngerti juga ya, tapi emang sebelum ada Blok A juga udah sepi disitu.
Kan sebelum ada Blok A kan Blok G dulu. Cuman dulu mah ngga
terlalu bagus kayak sekarang, masih biasa-biasa aja.
Informan Kalau bisa sih jangan sampai digusur. Kadang-kadang janjinya suka
meleset, kan waktu itu bilangnya gratis, ngga taunya tetep aja bayar.
Nama / Usia : Iman / 33 Tahun
Asal Daerah : DKI Jakarta
Pend. Akhir : SMP
Status : Pedagang bahu jalan Jati Baru (Pedagang Pakaian)
Hari/Tanggal : Senin, 09 Oktober 2017
Waktu/Tempat : Pukul 15.48 WIB / Jalan Jati Baru
Peneliti Udah punya rumah bang?
Informan Ada, rumah orang tua sih
Peneliti Udah berumah tangga dan memiliki anak?
Informan Anak 1, masih kecil.
Peneliti Pernah direlokasi ke blok G?
Informan Iya pernah dulu, waktu jamannya pak Jokowi jadi Gubernur.
Informan Saya di lantai 2 waktu itu.
Peneliti Lalu kenapa abang balik lagi ke sini bang?
Informan Sepi bang disana. Jarang ada yang beli. Makanya saya ikut yang lain
aja pada balik lagi ke jalan. Ya abis mau gimana lagi, masa mau
dipaksa bertahan disana, mau makan apa nanti.
Peneliti Terus kenapa abang memilih disini?
108
Informan Kalau disini kan lumayan lah ngga kayak di sana (blok G), setiap hari
pasti ada aja yang laku. Kalau disana kan parah bang, tuh yang lain
aja kan rata-rata yang pernah di blok G juga, tapi pada balik lagi ke
sini. Pemasukan ngga ada, pengeluaran kan terus aja tuh, dari PD lah,
uang kontribusi kios kan, listrik. Padahal dulu kan gratis tuh, tpi ngga
lama. Terus belum lagi buat hidup sehari-hari kan. Untungnya sih
punya rumah, coba ngontrak, duh pusing saya.
Peneliti Kalau misalnya ada penertiban lagi, gimana tuh?
Informan Ya paling kabur-kaburan aja bang kayak yang lain.
Peneliti Terus kenapa sekarang bisa jualan disini bang?
Informan Kalau hari-hari biasa mah paling ada jam-jamnya tuh ngga boleh
ngelewatin garis kuning ini.
Informan Biasa ini mah bang, paling ntar lagi juga udah pada bebas kalau
petugas udah pada bubar. Tuh luat aja, masih pada di dalem garis
kan, ntar juga jam 4an udah pada diluar lagi. Ya paling kalau
misalnya ada petugas, terus ngga diapa-apain, paling ngasi 2ribu aja.
Pada gitu sih.
Peneliti Itu ke semua petugas?
Informan Ya engga semua lah, paling buat 1 atau 2 orang aja. Kalau ngasi ke
semua mah tekor kita.
Peneliti Terus kalau misalnya mengharuskan ke blok G, gimana bang?
Informan Kalau saya sih misalnya blok G masih gitu-gitu aja, saya ngga mau
bang balik lagi kesitu. Mending cari tempat laen dah, yang banya
orang lewat.
Informan Kecuali kalau bener ya emang mau di buka pintu stasiun di deket
blok G, mungkin saya bakal kesana, kalau engga mah ngapain.
Peneliti Kan katanya blok G juga bakal di benerin dan pedagang bakal
direlokasi sementara ke Bongkaran, gimana bang?
Informan Waah engga bang, kalau disana mah (Bongkaran), apa lagi disitu,
mending disini aja dah.
Peneliti Terus menurut abang tuh seharusnya blok G tuh gimana, biar para
PKL mau ke blok G?
Informan Ya kalau bisa mah gitu aja bang, buka pintu stasiun deket situ,
mungkin bakal rame lagi tuh blok G.
Peneliti Kalau berdasarkan aturan nih, abang sebenernya tau ngga sih kalau
disini dilarang dan kenapa dilarang disini?
Informan Iya tau. Dilarang kan karena ini jalan buat yang jalan kaki, tau itu
mah. Ya abis mau gimana lagi bang, ngga ada tempat laen. Ya itu
tadi, paling kalau ada satpol PP mah kabur-kaburan aja. Lagian juga
kan kalau ada satpol PP mah tetep di belakang garis ini nih.
Nama / Usia : Aput / 25 Tahun
Asal Daerah : Jawa Tengah
109
Pend. Akhir : SMA
Status : Pedagang dalam gang Jati Baru (Pedagang Pakaian)
Hari/Tanggal : Rabu, 08 November 2017
Waktu/Tempat : Pukul 14.06 WIB / Gang menuju Blok A/F Jati Baru
Peneliti Sudah punya rumah bang?
Informan Numpang sama saudara.
Peneliti Udah berkeluarga dan memiliki anak?
Informan Belum
Peneliti Udah berapa lama jualan disini bang?
Informan Udah 7 tahun
Peneliti Disini kena penertiban juga ngga sih bang?
Informan Kalau disini mah ngga dilarang, kalau disini udah termasuk pasar.
Informan Kalau yang dipindah ke blok G kan pedagang kaki lima, kalau disini
mah udah ada pengelolanya. Sistem kontrak kalau disini.
Peneliti Itu sistem kontraknya gimana bang, apakah ada penarikan biaya?
Informan Kalau yang narikin itu biasanya setiap hari senin dan kamis, soalnya
hari itu kan ada pasar tasik. Semacam uang keamanan lah pemuda
kampung belakang, pungutan lah 2.000. kalau buat tempatnya sih
udah sistem kontak. Udah ada pengelolanya masing-masing.
Peneliti Kalau disini itu gimana sih bang, bukannya masuk dalam kategori
pemukiman? Kok ngga kena penertiban?
Informan Biasanya itu yang dipindahin itu pedagang kaki lima yang didepan.
Kalau disini soalnya udah ada yang punya. Misalnya 1 tempat itu, 1
orang punya beberapa toko, kalau yang di atas kan (blok A, B, F dan
G) punya kantor, kalau disini kan punya perorangan. Nantinya
dibelakang juga udah ada yang beli itu mau dijadiin pasar juga.
Informan Kalau disini udah murni pasar, tapi kalau dibelakang sana masih
campur dengan pemukiman.
Peneliti Kalau jualan disini tuh emang selalu rame bang?
Informan Karena berhubung berdekatan dengan stasiun, jadikan orang-orang
yang mau ke pasar Tanah Abang yang dari stasiun kan pasti lewat
sini, yang mau ke Blok A juga kan lewat sini.
Peneliti Kalau menurut abang sendiri blok G itu gimana sih?
Informan Kayaknya kurang peminat dan pembelinya disitu (Blok G) lebih
ramai disini. Dari segi apapun itu, pembeli lebih ke sini. Orang dari
kebiasaan sih lebih sering lewat sini.
Peneliti Kalau dari kedekatan dengan pedagang lain gimana?
Informan Ya deket aja sih, kita kadang juga sering nanya ukuran atau model
pakaian yang diminta yang beli. Itu sih kalau ada.
Peneliti Disini banyak ngga bang pelanggannya?
Informan Kalau pelanggan sih ada aja bang, kadang ada yang beli banyak juga.
Tapi kebanyakan juga orang yang liat-liat dulu sih, kalau cocok ya
dibeli.
110
Nama / Usia : Ari / 30 Tahun
Asal Daerah : Aceh
Pend. Akhir : SMA
Status : Pedagang di Kios di bahu jalan Jati Baru (Pedagang Pakaian)
Hari/Tanggal : Rabu, 08 November 2017
Waktu/Tempat : Pukul 14.39 WIB / Jalan Jati Baru
Peneliti Udah punya rumah bang disini?
Informan Ngontrak bang.
Peneliti Sudah berkeluarga dan memiliki anak?
Informan Belum berkeluarga. Tuh baru baru ada calonnya. Dalam waktu dekat
sih baru mau nikah.
Peneliti Ini disini ngga kena gusur bang kalau ada penertiban?
Informan Saya sih ngga kena sekarang, tapi biasanya yang depan sini aja yang
kena satpol PP
Informan Kalau disini mah ngga kena, karena ngga ngelewatin garis. kalau
disini udah tetap, karena disini udah ada pengurusnya sih.
Peneliti Yang paling sering kena penertiban itu dimana sih bang?
Informan Paling yang sering kena itu kan disana (samping stasiun Tanah
Abang). Kalau yang bikin macet itu kan disana, karena macetnya kan
macet angkot, bukan macet orang. Kemaren ada yang bilang
macetnya karena pejalan kaki itu ngga jelas itu orangnya, macet kan
gara-gara angkot, bukan pejalan kaki.
Informan Katanya juga kan ini dari ujung jalan sana sampai blok G mau
ditutup. Rencananya jalan ini mau dijadiin tempat untuk pedagang,
dan untuk pejalan kaki juga, tapi tetep pedagang ngga boleh di atas
ini trotoar. Ya dengernya sih baru mulai sabtu besok.
Peneliti Kalau dari pendapatan disini tuh gimana bang?
Informan Ya alhamdulillah sih ada. Kalau hari-hari biasa jangankan ini ya, dari
bulan Juni udah mulai agak sepi. Makanya kalau disini saya “buang
barang” ke depan sana (samping stasiun Tanah Abang). Ya orang
ngambil-ngambil kesini. Mereka yang disana itu rata-rata bukan
pedagang tetap.
Peneliti Kalau disuruh pindah ke blok G gimana bang?
Informan Kalau saya sih ngga mau dipindah kesana (blok G), disini juga orang
jarang belanja, jauh. Banyak orang yang lebih milih disana (samping
stasiun sampai Jati Baru bagian dalam) dari pada disini. Sebenernya
saya juga udah ngga nyanggupin kalau disini. Kalau misalnya disana
kan bisa 2, 3 atau 4 kodi barang bisa laku seminggu. Kalau disini kan
orang engga, cuma lewat doang.
Peneliti Menurut abang, bok G itu gimana sih bang?
Informan Blok G kyaknya mati tuh, bukannya dibuat ngetem angkot aja disitu.
Sebenernya sih itu, biar ngga macet banget. Biasanya tuh kalau sore
sana macet, sini macet. Sebenernya kan angkot doang, ngga ada lagi.
111
Macet kan sampe ujung itu tuh, dari depan jalan sana sampai ke blok
G macet. Disitu kan Polisi ada, Dishub ada, tapi tetep aja macet.
Informan Blok G bagusnya tuh buat ini aja terminal angkot ini, kan disana
banyak tutup, udah kosong malah.
Informan Kalau mau bagus lagi nih, kalau bisa nih jalan ditutup biar ngga bisa
mobil lewat lagi, atau kalau bisa satu jalur aja jadinya, itu lebih
bagus. Itu sih menurut pandangan saya sehari-sehari.
Peneliti Bagaimana kedekatan abang dengan pedagang lain?
Informan Deket sih, sama pedagang sini, yang disebelah sana juga deket tuh
sama mereka yang sering ngambil barang ke sini.
Nama / Usia : Irwan / 34 Tahun
Asal Daerah : DKI Jakarta
Pend. Akhir : SMP
Status : Pedagang bahu jalan Jati Baru (Pedagang Pakaian)
Hari/Tanggal : Rabu, 08 November 2017
Waktu/Tempat : Pukul 15.23 WIB / Jalan Jati Baru
Peneliti Apakah udah memiliki rumah atau masih ngontrak bang?
Informan Saya sih ngontrak.
Peneliti Sudah berkeluarga dan memiliki anak?
Informan Punya 1, masih kecil
Peneliti Kenapa balik ke sini lagi bang?
Informan Kalau menurut saya sih disini ngga bakal pindah, pedagang kaki lima
ngga bakal pindah. Susah bang disana kalau sepi. Disini baru rame,
kan orang pas banget jalan dari stasiun tuh. Ini aja arah blok F dan
kedalem baru rame. Kalau ke blok G orang muter kan jarang. Kalau
disini kan orang turun dari angkot, dari kereta langsung belanja tuh.
Peneliti Kalau ada penertiban lagi dan disuruh ke blok G lagi gimana bang?
Informan Saya sih udah ngga mau lagi disana. Mau makan apa saya kalau
dagangan ngga laku-laku, emang pemerintah mau ngasi makan,
engga kan. Belum lagi keluarga, apa lagi anak saya tuh yang masih
kecil, nanti kan bakal sekolah, mau nyekolahin gimana. Istri aja
sambil kerja juga. Kadang anak dititipin di rumah orang tua saya.
Peneliti Terus kalau ada penertiban gimana?
Informan Ya kena semua, cuma pada kabur-kaburan, udah biasa begitu mah.
Peneliti Kalau misalnya bener-bener mengharuskan abang ke blok G gimana?
Informan Kalau gratis sih ngga apa-apa. Kalau misalnya bayar mah ngapain.
Informan Lagian juga saya sih cuma ngambil barang, jadi cuma bisa dagang
begini doang, kalau pindah ke blok G mah ngga bisa.
Peneliti Menurut abang bagaimana sih blok G?
Informan Kalau dari tempat sih lumayan bagus lah, walaupun petak-petak kecil
112
begitu kan, ngga kepanasan juga, tapi ya itu, sepi. Kalau disini mah
walaupun panas juga yang penting mah barang dagangan laku aja
dah.
Peneliti Apa disini banyak pelanggan bang?
Informan Pelanggan mah ngga tentu, saya mah asal banyak orang yang lewat
sini aja, nanti juga ada aja yang beli.
Peneliti Kalau disini abang dengan pedagang lain sering adain kegiatan-
kegiatan atau musyawarah gitu ngga bang?
Informan Ngga ada sih. Ngga tau deh kalau yang lain. saya sih ngga tau.
Peneliti Kan udah ada peraturan nih bang tentang larangan jualan disini,
abang sebenernya tau ngga sih, dan kenapa sampai dilarang?
Informan Ya tau, kalau kayak gitu sih semua udah tau bang, ya kan mereka
ngga asal dateng terus jualan gitu aja. Ya tapi kan mau buka lapak
dimana lagi, di dalem gang sini udah penuh, di Blok G sepi, ya jadi
mau gimana lagi.
Nama / Usia : Yuri / 41 Tahun
Asal Daerah : Padang
Pend. Akhir : SMA
Status : Pedagang bahu jalan Jati Baru (Pedagang Pakaian)
Hari/Tanggal : Rabu, 08 November 2017
Waktu/Tempat : Pukul 15.45 WIB / Jalan Jati Baru
Peneliti Sudah memiliki rumah atau ngontrak?
Informan Ngontrak disini bang.
Peneliti Sudah berkeluarga dan memiliki anak?
Informan Anak ada 2, yang 1 udah kerja, 1 lagi masih SMA
Peneliti Pernah dagang di blok G bang?
Informan Dulu pernah
Peneliti Terus kenapa pindah dari blok G bang?
Informan Ya ngga ada penghasilan disana, ngapain dipertahanin. Sarang judi
tuh di atas bang, maen judi semua orang disitu. Dibawah tuh bang
tempat tukang sayur, daging, ikan kan, di lantai 1 pedagang pakaian
dan campur kan, lantai 2 pakaian juga. Tapi kalau dulu mah lantai 2
dan 3 tempat jab**y. Jadi abis dagang sayur, dagang pakaian, dapat
duit langsung ngejab**y, langsung tobat di lantai atas (terdapat
Masjid).
Informan Itu soalnya lokasinya mati, ngga bisa. Prospek pedagangnya mati,
perhubungan kesana mati.
Peneliti Lalu pendapat abang, seharusnya gimana?
Informan Kalau misalnya pintu stsiun dibuka disitu, kemungkinan besar bisa
hidup lagi tuh blok G, apalagi kalau terminalnya dekat situ. Yang
113
namanya pasar, kalau begitu tetap aja mati. Apalagi itu kan PD, kalau
PD itu kan pengurusannya ngga bakal bener.
Peneliti Kalau dari pendapatan disana tuh gimana bang waktu itu?
Informan Pendapatan pasti mati bang.
Peneliti Sekarang abang jualan dimana?
Informan Kalau sekarang sih di belakang sini, udah ngga kena.
Informan Semua yang keluar dari blok G pasti alasannya sama bang. Yang
namanya pasar kalau perhubungan mati, pasti akan mati juga. Untuk
apa kita bertahan kalau pasar sepi. Percuma cape tapi ngga ada
hasilnya, yang namanya pedagang kan ngga ada yang mau rugi,
semua pasti mau untung. Jadi ujung-ujungnya pasti balik lagi.
Informan Dimana aja kalau pasar tapi ngga ada pedagang kaki lima tuh pasti
mati, bener. Dimanapun itu, mau dipasar kampung, pasar pagi, pasar
daerah pasti dipenuhi pedagang kaki lima.
Peneliti Kalau disuruh balik lagi kesana gimana bang?
Informan Kan udah dipindah di blok G semua kan, akhirnya kosong kan, balik
lagi. Itu sebenernya kalau perencanaannya dan pelaksanaannya
benerkan pasti rame kan.
Peneliti Kalau misalnya direlokasi ke Bongkaran gimana bang?
Informan Kalau di bongkaran tuh ada kemungkinan rame kalau misalnya
semua dialihkan kesana, tapi kan saya sendiri belum pernah kesana
ya. Tapi kalau hari senin kami tuh ada disana pasar tasik.
Peneliti Abang udah berapa lama sih dagang di Tanah Abang?
Informan Saya udah 14tahun di Tanah Abang, tapi 3tahun ini udah balik
dibawah. Tapi disana masih ada yang bertahan.
Peneliti Kira-kira ngga ada keinginan disana lagi bang?
Informan Engga lah. Sepi disana, rugi 36 juta. Dalam sebulan habis 1 atau 2
potong aja. Rugi total.
Peneliti Terus sekarang gimana?
Informan Kalau sekarang sih udah alhamdulillah, pokoknya ngga kyak di blok
G lah bang
Peneliti Kalau dari pedagang sini tuh sering ada musyawarah ngga sih bang,
atau kegiatan-kegiatan gitu?
Informan Ngga ada, kalau gitu-gituan dari pedagang mah ngga ada, paling dari
warga-warga sini aja kayak remaja-remaja atau preman-premannya,
ngga tau yang diomongin apaan. Ya paling buat keamanan-keamanan
sini atau iuran gitu kali.
Nama / Usia : Awaluddin / 39 Tahun
Asal Daerah : Padang
Pend. Akhir : SMA
Status : Pedagang bahu jalan Jati Baru (Pedagang Pakaian)
Hari/Tanggal : Rabu, 08 November 2017
Waktu/Tempat : Pukul 16.28 WIB / Jalan Jati Baru
114
Peneliti Udah punya rumah sendiri atau ngontrak?
Informan Ngontrak bang
Peneliti Sudah berkeluarga dan memiliki anak?
Informan Ada 2, masih sekolah dua-duanya.
Peneliti Pernah dagang di blok G?
Informan Pernah waktu itu
Peneliti Lalu kenapa kembali ke sini bang?
Informan Ya mau gimana lagi bang, orang pasarnya aja sepi, gimana mau
untung. Belum pengeluaran ini lah, itu lah, belum lagi anak-anak
masih sekolah.
Informan Itu aja sehari ngga tentu ada yang beli bang, waktu itu pernah 2
sampe 3 hari ngga laku. Banyak yang kayak gitu bang, coba aja
abang tanya yang pernah di blok G, pasti gitu semua jawabannya.
Peneliti Lalu kalau disini gimana bang?
Informan Kalau disini sih lumayan lah walaupun ngga rame-rame banget, tapi
yang penting ada lah, ngga kayak di blok G. Ya biasanya sih bisa
lebih dari 3 kodian lah dalam seminggu.
Informan Sebenernya yang rame tuh pas di gang itu samping stasiun sampe ke
dalam.
Peneliti Kalau misalnya ada penertiban lagi dan disuruh kembali ke blok G
gimana bang?
Informan Kalau saya sih ngga sanggup bang jualan disana. Menurut saya blok
G tuh ngga jalan, walaupun udah di usahain gimana juga, tetep susah
bang. Kalau misalnya pintu stasiun dibuka dekat situ tuh yang
rencananya bakal gitu, mungkin bisa rame. Ini jarak kesana aja
lumayan jauh, orang kan pada males. Akhirnya orang pada milih
masuk gang itu tuh yang samping stasiun, teruus sampe ke blok A
atau F.
Peneliti Terus sekarang gimana, ini ngga kena gusur ya kalau ada penertiban?
Informan Ya sekarang sih saya udah ngga kena gusuran lagi, karna ini juga kan
di dalem. Kecuali yang di pinggir jalan tuh baru kena. Tapi rata-rata
juga mereka kalau di gusur, nanti kalau udah ngga ada satpol PP pada
balik lagi, gitu terus.
Peneliti Bagaimana kedekatan abang dengan pedagang lain?
Informan Ya kalau sama pedagang lain sih deket aja ya, tuh kayak sama bang
Yuri tadi. Kadang nanya barang kalau misalnya disini udah abis, saya
ngambil ke dia. Ya dia juga gitu sebaliknya.
Peneliti Kalau pelanggan gimana bang, apa disini rame?
Informan Kalau pelanggan mah ada aja, ngga tentu juga. Yang penting mah
ada aja yang beli. Ngga kayak di blok G, tadinya kan sebelum saya
dipindahin ke situ (blok G), saya udah ada langganan, eh pas disana
saya malah ngga punya langganan. Udah aja saya balik lagi ke sini.
115
Nama / Usia : Rahmat / 53 Tahun
Asal Daerah : Padang
Pend. Akhir : SMA
Status : Pedagang Pasar Tanah Abang Blok G (Pedagang Pakaian)
Hari/Tanggal : Jum’at, 08 Desember 2017
Waktu/Tempat : Pukul 14.06 WIB / Pasar Tanah Abang Blok G
Peneliti Apa ada kegiatan musyawarah-musyawarah dari pedagang yang
membahas sesuatu, entah dari pedagang Blok G atau dari pedagang
lain?
Informan Ngga ada, ya bebas-bebas gitu aja. Kalau orang di bawah tuh kan ada
sebagian orang disini, dia punya toko disini, terus merasa sepi, lalu
turun.
Informan Memang pedagang di bawah itu sebagian ya, ngga semuanya. 40 atau
50% ada pedagang blok G ini. Gitu sistimnya. Umpamanya kan ini
sepi nih, di atas tetap buka, terus entar turun. Entar sore nutup, taro
lagi ke sini. Ada yang total, ada yang sebagian buka, ada yang total
tutup khusus buat dibawah aja.
Peneliti Berarti kalau kegiatan-kegiatan seperti musyawarah gitu dari
pedagang ngga ada sama sekali ya pak?
Informan Ngga ada itu. Kalau pedagang paling lebih ke koperasi. Itu yang
resmi yakan. Ya ada lah usaha-usahanya koperasi, gimana
membicarakan dengan PD (Pasar Jaya), gimana kelanjutan pasar ini.
Rencana pasar ini kan mau dibongkar, direnovasi begitu, tapi isu-isu
aja, asal dari PD nya juga belum ada sosialisasi.
Informan Sejak Jokowi Gubernur kan dia tuh yang bikin acara, umpamanya
dibawah sering ada musik, terus kayak persatuan gitu, dikirim
belanja kesini, terus dikasi voucher. Nah itu kan, nanti orang belanja
dikasi voucher, nah itu adanya jaman Jokowi. Itu tahun 2013-14 lah.
Itu rame tu di sini. Ya lagi pula yang dibicarakan itu apaan lagi,
pedagang yang dibawah itu kan sama aja pedagang dari sini, yakan.
Paling ada 10 orang.
Informan Dibawah sebenernya kalau Cuma bikin begitu doang (jualan di
trotoar) ngga ngaruh ke sini. Waktu dulu kan sebelum 2015 dulu kan
itu karena ke tutup jalan, karena seng-seng itu kan, itu kan udah ada
meja, udah ada ini, itu kan karena ada itu kan ngga keliatan ini pasar.
Kalau sekarang-sekarang ini ngga ngaruh, justru malah bikin bagus,
bikin bagusnya gini, kan orang ngga langsung aja ke Blok A, kadang
orang lewat lah depan sini, diliat ada pedagang diatas, datang lah ke
sini. Justru lebih bagus. Cuma jangan sampai jalan ditutup pakai
tenda segala macam. Kalau kayak gitu aja ngga ngaruh. Cuma
kadang pedagang tuh karena kecemburuan sosial aja, orang-orang
dagang dibawah nih, disini sepi, padahal engga juga. Kalau dagang
tuh sekarang tuh emang lagi sepi. Jadi ngga disini aja. Yang namanya
dagang itu turun-naik biasa.
116
Peneliti Karena mungkin sekarang orang lebih memilih belanja online ya?
Informan Nah itu, itu gede pengaruhnya. Orang semuanya main online aja, itu
dibawah ada yang buka online kan, ngirim barang tiap hari, orang
yang ke pasar ini udah jarang. Jadi bukan karena Blok G sepi,
pedagangnya turun ke kaki lima, itu cuma isu buat orang-orang
politik aja, buat politik dia aja itu mereka. kalau dagang tu ramenya 3
bulan mau puasa, itu dimana aja orang dapat uang, jangankan di Blok
G. Itu kan komoditi politik aja. Jokowi naik nya itu dari sini, dari
Blok G. Salah satu panggungnya Jokowi itu Blok G.
Informan Paling kalau musyawarah-musyawarah gitu paling dari orang-orang
kampung sini aja, kayak buat-buat paguyuban gitu. Misalnya IKJB
(Ikatan Keluarga Jati Baru), itu tujuannya semuanya duit, nanti dia
pakai baju, pake jaket, nanti narik duit ke pedagang, ya itu aja
tujuannya. Imbasnya ke pedagang kan ngga ada. Bikin persatuan-
persatuan gitu, semuanya bodong aja, ngga ada faedahnya. Jadi
gunanya itu musyawarah-musyawarah gitu ngga ada.
Informan Ya paling itu kayak koperasi aja, kalau koperasi kan ada dananya,
resmi juga. Paling kalau ada apa-apa di pedagang kan koperasi yang
ngomong ke PD. Umpamanya gembel-gembel banyak nih dipasar
kita ni, apa solusinya? Ya udah cukup, koperasi aja yang ngomong
nanti ke pihak PD, nanti PD kan yang langsung ke aparat sini. Jadi
bentuk organisasi musyawarah gitu ngga ada artinya. Kalau ada itu
kebentuk kan otomatis ada sumbangan dana dong, nah larinya kan
dari pedagang juga, mau dari mana dananya itu kebentuk, kan
mungkin ngga kalau dari luar. Jadi bukan pedagang sendiri-sendiri
aja bukan, paling ke koperasi aja, KOPAS Blok G namanya.
Informan Jadi cukup lah dengan adanya koperasi aja, umpamanya disini kan
ada 1.000 atau 2.000an lebih pedagang, cukup aja ngomong misalkan
saya nih, misalkan orang-orang penting atau yang lebih lama lah
disini, misalnya ngomong oh ini pasar sampahnya ngga ke urus,
gimana nih? Cukup aja 3-4 orang yang ngomong, nanti pergi ke
koperasi kan, ini gimana nih pak ketua, pasar kita nih ini itu. Kan
langsung disampaikan. Makanya langsung abis kan itu sampah-
sampahnya. Cuman yang musyawarah-musyawarah gitu sengaja
ngga ada, kita selain dari wadah-wadah itu ngga diijinin, karena
efeknya itu tetap ke pedagang. Itu ngga ada untungnya. Kita udah
pengalaman, udah 30 tahun.
Informan Itu 1 stenlis itu yang dipajang itu kan mereka kena 500ribu bayarnya.
Bayar ke jagoannya, ada premannya. Kan ada batas-batasnya. Di
tanah Abang mana ada yang gratis. Katanya kalau dagang di Tanah
Abang, preman dapat duit, Satpol PP dapat duit, ya pasti lah itu dapat
duit, ngapain diributin lagi. Sedangkan orang kencing aja bayar
2ribu, masa cari duit, untung 1juta/2juta ngga bayar atau Cuma bayar
seribu 2ribu aja, ya kan ngga mungkin.
Peneliti Bapak punya kenalan atau teman dibawah pak?
Informan Banyak yang kenal sama saya di luar sana.
117
Peneliti Kira-kira mereka tuh tau ngga sih kalau dagang disitu sebenarnya
salah atau mengganggu?
Informan Ya pasti lah tau itu, ngga ada yang ngga tau. Padahal mereka itu udah
teriak-teriak perda, jamannya si Ahok itu. Ini melanggar perda, udah
pintar dia. Knapa ngga tau. Cuman ya gitu, masa orang dagang, kita
ngga dagang juga yang depan mata kita, kan gitu. Makanya mereka
turun juga lah, masalah bayar kan tinggal bayar. Itu kan di tangkap-
tangkapin sama si Ahok kan ini, mereka tetap turun lagi aja. Apalagi
sekarang yang ngga terlalu keras. Sekarang kan bebas, ngga boleh
ditangkap, Anis (Gubernur DKI terpilih) kan ngomong gitu, soalnya
kan dia menjaga namanya, exis, yakan gitu. Sekarang kan ngga boleh
nangkap-nangkap, kan di tangkapin tuh sama satpol PP, di geret-
geret, katanya kembalikan fungsi trotoar sebagaimana mestinya.
Kalau sekarang kan beda lagi, ratingnya pencitraan dulu atau gimana
kah itu, misalnya kalau pedagang ditangkapin, apa bedanya dengan
rezim si Ahok kemaren. Nah dia mau beda, boleh dirapihin aja, ada
peraturannya seperti itu. Sedangkan dikerasin aja ngga rapih, apalagi
yang lembek-lembek gitu.
118
Lampiran Gambar
Gambar peneliti bersama beberapa informan
Sumber: Gambar pribadi dengan Informan
Irwan pada Rabu, 08 November 2017. Lokasi:
Trotoar seberang pintu keluar stasiun Tanah
Abang.
Sumber: Gambar pribadi dengan Informan Siti
Aisyah pada Jum’at, 08 Desember 2017.
Lokasi: Lt.2 Pasar Tanah Abang Blok G.
Sumber: Gambar pribadi dengan Informan
Nasrulloh pada Jum’at, 08 Desember 2017.
Lokasi: Kantor PD Pasar Jaya Blok A-F
Sumber: Gambar pribadi dengan Informan
Rahmat pada Jum’at, 08 Desember 2017.
Lokasi: Lt.2 Pasar Tanah Abang Blok G.
119
Gambar Denah Lokasi Lt. Dasar Blok G Pasar Tanah Abang
Sumber Gambar: Kantor PD Pasar Jaya Pasar Tanah Abang Blok G pada 18 September 2017
120
Gambar Denah Lokasi Lt. 1 Blok G Pasar Tanah Abang
Sumber Gambar: Kantor PD Pasar Jaya Pasar Tanah Abang Blok G pada 18 September 2017
121
Gambar Denah Lokasi Lt. 2 Blok G Pasar Tanah Abang
Sumber Gambar: Kantor PD Pasar Jaya Pasar Tanah Abang Blok G pada 18 September 2017
122
Gambar Denah Lokasi Lt. 3 Blok G Pasar Tanah Abang
Sumber Gambar: Kantor PD Pasar Jaya Pasar Tanah Abang Blok G pada 18 September 2017