24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konjungtiva dan kornea merupakan bagian mata yang mudah berhubungan dengan dunia luar, sehingga penyakit ini mudah sekali menular. Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa 1 . Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini, mata sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis bakteri biasanya mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak, berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan dihidung. Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair 1 . Konjungtivitis dapat berkembang menjadi keratitis (radang pada kornea). Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi virus herpes. Jika konjungtivitis tersebut disertai dengan keratitis, maka gejala-gejala yang dirasakan tidak hanya terjadi iritasi pada bagian permukaan mata saja, namun juga disertai dengan nyeri

keratokonjungtivitis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: keratokonjungtivitis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konjungtiva dan kornea merupakan bagian mata yang mudah berhubungan dengan dunia luar,

sehingga penyakit ini mudah sekali menular. Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening

yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut

menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah.

Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing,

misalnya kontak lensa1.

Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini, mata sangat berair.

Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis bakteri biasanya mengenai kedua

mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak, berwarna kuning

kehijauan. Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna

merah, mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan dihidung. Produksi air

mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair1.

Konjungtivitis dapat berkembang menjadi keratitis (radang pada kornea). Hal ini paling sering

disebabkan oleh infeksi virus herpes. Jika konjungtivitis tersebut disertai dengan keratitis, maka

gejala-gejala yang dirasakan tidak hanya terjadi iritasi pada bagian permukaan mata saja, namun

juga disertai dengan nyeri dan penglihatan menjadi kabur. Pada dasarnya konjungtivitis adalah

penyakit ringan, namun pada beberapa kasus dapat berlanjut menjadi penyakit yang serius1.

1.2 Tujuan

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan keilmuan seorang dokter muda agar dapat

mengetahui tentang salah satu penyakit pada konjungtiva sekaligus pada kornea yaitu

keratokonjungtivitis. Serta sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan kepaniteraan klinik

senior bagian mata fakultas kedokteran universitas mulawarman

Page 2: keratokonjungtivitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi2

2.1.1 Konjungtiva

Konjungtiva merupakan lapisan terluar dari mata yang terdiri dari membran mukosa tipis yang

melapisi kelopak mata, kemudian melengkung melapisi permukaan bola mata dan berakhir pada

daerah transparan pada mata yaitu kornea. Secara anatomi, konjungtiva dibagi atas 2 bagian

yaitu konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbaris. Namun, secara letak areanya, konjungtiva

dibagi menjadi 6 area yaitu area marginal, tarsal, orbital, forniks, bulbar dan limbal. Konjungtiva

bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel

kornea pada limbus.

Pada konjungtiva palpebra, terdapat dua lapisan epithelium dan menebal secara bertahap dari

forniks ke limbus dengan membentuk epithelium berlapis tanpa keratinisasi pada daerah

marginal kornea. Konjungtiva palpebralis terdiri dari epitel berlapis tanpa keratinisasi yang lebih

tipis. Dibawah epitel tersebut terdapat lapisan adenoid yang terdiri dari jaringan ikat longgar

yang terdiri dari leukosit. Konjungtiva palpebralis melekat kuat pada tarsus, sedangkan bagian

bulbar bergerak secara bebas pada sklera kecuali yang dekat pada daerah kornea.

Pada konjungtiva palpebra, terdapat dua lapisan epithelium dan menebal secara bertahap dari

forniks ke limbus dengan membentuk epithelium berlapis tanpa keratinisasi pada daerah

marginal kornea. Konjungtiva palpebralis terdiri dari epitel berlapis tanpa keratinisasi yang lebih

tipis. Dibawah epitel tersebut terdapat lapisan adenoid yang terdiri dari jaringan ikat longgar

yang terdiri dari leukosit. Konjungtiva palpebralis melekat kuat pada tarsus, sedangkan bagian

bulbar bergerak secara bebas pada sklera kecuali yang dekat pada daerah kornea.

Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan oksigen ke

kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata dengan mekanisme pertahanan

nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu,

terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya

jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.

Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup besar yaitu :

Page 3: keratokonjungtivitis

1. Penghasil musin

a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah

inferonasal.

b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis superior

dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.

c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus.

2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause dan kelenjar

Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria.

Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang

cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri

kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik.

2.1.2 Kornea

Kornea merupakan membran pelindung dan ‘jendela’ yang dilalui berkas cahaya menuju retina.

Kornea meliputi seperenam dari permukaan anterior bola mata. Kelengkungannya lebih besar

dibandingkan permukaan mata lainnya. Perbatasan antara kornea dan sklera disebut sebagai

limbus (ditandai dengan adanya sulkus yang dangkal – sulkus sklera). Kornea terdiri dari 3

lapisan yaitu epitel, substansi propria atau stroma dan endotel. Diantara epitel dan stroma

terdapat lapisan atau membran Bowman dan diantara stroma dan endotel terdapat membran

descemet.

Kornea yang sehat adalah avaskular dan tidak memiliki saluran limfatik. Nutrisi sel kornea

didapat melalui difusi dari cairan akueus, kapiler pada limbus, dan oksigen yang terlarut dalam

film prekorneal. Metabolisme kornea cenderung aerobik dan mampu berfungsi baik secara

anaerobik selama enam sampai tujuh jam. Sel yang bermetabolisme secara aktif adalah endotel,

epitel dan sel keratosit stroma. Oksigen yang menyuplai kornea kebanyakan berasal dari film

prekorneal dengan kontribusi sedikit dari kapiler di limbus dan gradien oksigen. Suplai glukosa

pada kornea 90% berasal dari cairan akueus dan 10% dari kapiler limbus.

Persarafan kornea berasal dari divisi oftalmik nervus trigeminus. Percabangan nervus ini berasal

dari ruang perikoroidal, menembus sklera dan membentuk pleksus. Pleksus ini akan menyebar

secara radier dan kemudian masuk ke stroma kornea. Serat saraf ini akan kehilangan selaput

mielin dan bergabung membentuk pleksus subepitel kornea. Cabang terminal nervus ini akan

Page 4: keratokonjungtivitis

menembus lapisan Bowman, menyebar dan membentuk pleksus intraepitel. Saraf ujung bebas

inilah yang responsif terhadap nyeri dan suhu. Akibat dari banyaknya persarafan, hal ini

menyebabkan kornea sangat sensitif terhadap berbagai stimuli.

Epitel dan endotel kornea memiliki fungsi untuk menjaga agar cairan pada stroma kornea tetap

dalam keadaan stabil. Sel- sel pada kedua lapisan ini kaya akan lipid dan bersifat hidrofobik

(sedangkan stroma bersifat hidrofilik) sehingga solubilitas garam menjadi rendah. Sel epitel

memiliki junction complexes yang mencegah masuknya air mata kedalam kornea atau keluarnya

cairan dalam kornea ke film prekorneal. Sel endotel juga memiliki junction complexes namun

influks dari cairan akueus dapat terjadi dengan adanya mekanisme transpor aktif Na-K ATPase.

2.2 Definisi

Konjungtivitis merupakan peradangan yang mengenai lapisan tipis, transparan, mucus yang

melapisi sklera dan palpebra bagian dalam sehingga mengakibatkan terjadinya dilatasi vaskular,

infiltrasi selular dan eksudasi1.

Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan

mengakibatkan kornea menjadi keruh3.

2.3 Klasifikasi1,4

a. Keratokonjungtivitis yang disebabkan oleh agen infeksi (virus)

b. Keratokonjungtivitis yang disebabkan oleh faktor imunologik (alergik)

c. Keratokonjungtivitis yang etiologinya tidak diketahui

2.3 Keratokonjungtivitis yang disebabkan oleh agen infeksi (virus)

2.3.1 Keratokonjungtivitis Morbili4

Tanda dan Gejala

Enantema khas morbili/campak seringkali mendahului erupsi kulit. Pada tahap awal ini,

konjungtiva tampak mirip seperti kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti

dengan pembengkakan lipatan semilunar (tanda Meyer). Beberapa hari sebelum

terjadinya erupsi kulit, timbul konjungtivitis eksudatif dengan sekret mukopurulen, dan

pada saat muncul erupsi kulit, timbul bercak-bercak Koplik pada konjungtiva dan

kadang-kadang pada carunculus.

Page 5: keratokonjungtivitis

Pada pasien imunokompeten, keratokonjungtivitis campak hanya meninggalkan sedikit

atau sama sekali tanpa sekuele (gejala sisa), namun pada pasien malnutrisi atau

imunoinkompeten, penyakit mata ini seringkali disertai dengan infeksi HSV atau infeksi

bakterial sekunder oleh S pneumoniae, H influenzae, dan organisme lainnya. Agen ini

dapat menyebabkan konjungtivitis purulen yang disertai dengan ulserasi kornea dan

penurunan penglihatan yang berat. Infeksi Herpes dapat menyebabkan ulserasi kornea

berat dengan perforasi kornea dan kehilangan penglihatan pada anak-anak kurang gizi di

negara berkembang.

Temuan Laboratorium

Kerokan konjungtiva menunjukkan adanya reaksi sel mononuklear, kecuali jika ada

pseudomembran atau infeksi sekunder. Pada sediaan dengan pewarnaan Giemsa akan

terlihat mengandung sel-sel raksasa.

Terapi

Tidak ada terapi spesifik, maka hanya tindakan penunjang saja yang dilakukan, kecuali

jika ada infeksi sekunder

2.3.2 Keratokonjungtivitis Epidemika4

Agen Penyebab

Disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (sub-kelompok D dari adenovirus

manusia)

Sumber Penularan Penyakit

Penularan nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi melalui jari-jari

dokter, penggunaan instrumen oftalmik yang kurang steril, atau penggunaan larutan yang

terkontaminasi. Larutan untuk mata, terutama anestesi topikal, mungkin terkontaminasi

ketika ujung penetes obat menyedot materi yang terinfeksi dari konjungtiva atau silia.

Virus ini dapat bertahan dalam larutan tersebut, yang menjadi sumber penyebaran.

Tanda dan Gejala

Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada satu mata saja,

dan biasanya mata yang terkena pertama kali lebih parah. Pada awalnya pasien merasa

ada infeksi dengan nyeri sedang dan berair kemudian diikuti fotofobia dalam 5-14 hari,

keratitis epitel, dan kekeruhan subepitel yang melingkar. Sensasi kornea normal. Nyeri

tekan pada nodus preaurikuler merupakan karakteristik yang khas. Edema pada kelopak

Page 6: keratokonjungtivitis

mata (palpebral), kemosis, dan hiperemia konjungtiva menandakan fase akut. Folikel dan

perdarahan subkonjungtival sering muncul dalam waktu 48 jam. Pseudomembran (dan

kadang-kadang membran sejati) dapat terjadi dan dapat diikuti oleh luka parut atau

pembentukan symblepharon.

Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel terutama

terdapat di pusat kornea, dan bukan di tepian, dan menetap selama berbulan-bulan namun

akan sembuh tanpa meninggalkan parut.

Keratokonjungtivitis epidemika pada orang dewasa hanya terbatas pada mata bagian luar,

namun pada anak-anak mungkin terdapat gejala-gejala sistemik infeksi virus seperti

demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare.

Temuan Laboratorium

Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (sub-

kelompok D dari adenovirus manusia). Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel

dan diidentifikasi dengan uji netralisasi. Kerokan konjungtiva menunjukkan reaksi

inflamasi mononuklear primer, ketika terbentuk pseudomembran, maka terdapat banyak

sel-sel neutrophil.

Tindakan Pencegahan

Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan memakai penetes steril pribadi

atau memakai tetes mata dengan kemasan unit-dose. Mencuci tangan secara berkala

diantara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi instrumen yang menyentuh mata-

terutama tonometer-juga merupakan suatu keharusan. Tonometer aplanasi harus

dibersihkan dengan alkohol atau larutan hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan

dikeringkan secara hati-hati.

Terapi

Untuk saat ini belum ada terapi yang spesifik, namun kompres dingin akan meringankan

beberapa gejala. Penggunaan kortikosteroid selama konjungtivitis akut dapat

memperpanjang keterlibatan kornea sehingga harus dihindari penggunaannya. Agen

antibakteri perlu diberikan jika terjadi superinfeksi bakterial.

2.4 Keratokonjungtivitis yang disebabkan oleh faktor imunologik (alergik)

2.4.1 Keratokonjungtivitis Vernalis4,5

Definisi

Page 7: keratokonjungtivitis

Penyakit ini, juga dikenal sebagai "catarrh musim semi" dan “konjungtivitis musiman”

atau "konjungtivitis musim kemarau”, yaitu penyakit alergi bilateral yang jarang.

Penyakit ini lebih jarang terjadi di daerah beriklim sedang dan hampir tidak ada pada

daerah yang beriklim dingin. Penyakit ini hampir selalu lebih parah selama musim panas,

musim semi, dan musim gugur daripada pada saat musim dingin. Penyakit ini lebih

sering dijumpai di daerah sub-Sahara Afrika dan Timur Tengah.

Insiden

Biasanya dimulai pada tahun-tahun prapubertas dan berlangsung selama 5-10 tahun.

Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan.

Faktor Penyebab

Pada penyakit ini sebenarnya alergen spesifiknya sulit untuk diidentifikasi, namun pasien

dengan keratokonjungtivitis vernalis kadang-kadang menampakkan manifestasi alergi

lainnya yang berkaitan dengan sensitivitas terhadapa serbuk sari rumput.

Patofisiologi

Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang insterstitial yang

banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Pada konjungtiva akan

dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan

hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang

tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada

konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone. Jaringan ikat yang berlebihan

ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan

tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut

pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsaltidak jarang

mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis serta

erosi epitel kornea.

Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertropi

yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan pada limbus sering

menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan dalam kualitas maupun

kuantitas stem cells limbus. Kondisi yang terakhir ini mungkin berkaitan dengan

konjungtivalisasi pada penderita keratokonjungtivitis dan di kemudian hari berisiko

Page 8: keratokonjungtivitis

timbulnya pterigium pada usia muda. Di samping itu, juga terdapat kista-kista kecil yang

dengan cepat akan mengalami degenerasi.

Sekresi mukus yang kental dan melekat pada penderita keratokonjungtivitis vernalis,

menurut Neumann dan Krantz, mengandung banyak mukopolisakarida serta asam

hyaluronat. Dalam hal ini memungkinkan timbulnya tarikan sel epitel kornea dan gesekan

dari papil tarsal pada kornea akan mengakibatkan kerusakan kornea yang meluas ke tepi.

Kerusakan kornea diduga juga berkaitan dengan infiltrasi sel radang yang berasal dari

konjungtiva. Menyusul kerusakan kornea ini dapat menjadi difus, pembentukan ulkus,

dan perubahan degeneratif lainnya seperti pseudogerontoxon. Pembentukan ulkus

epitelial non-infeksi yang berbentuk oval atau perisai dapat terjadi yang mendasari

timbulnya kekeruhan stroma kornea di sentral maupun superior9. Lebih jauh, kurvatura

kornea juga akan memperlihatkan perubahan disertai astigmatisme miopik dan pada

tahap lanjut dapat terjadi keratokonus serta keratoglobus.

Tanda dan Gejala

Pasien umumnya mengeluh rasa gatal yang hebat dan keluar tahi mata yang berserat-serat

dan kental. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi (hay fever/demam jerami, eksema,

dll). Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat banyak papila halus di

konjungtiva tarsal inferior. Pada konjungtiva palpebral superior sering terdapat papila

raksasa mirip batu kali. Setiap papilla raksasa berbentuk poligonal, memiliki puncak yang

datar, dan mengandung berkas-berkas kapiler.

Mungkin terdapat tahi mata yang berserabut dan pseudomembran fibrinosa (tanda

Maxwell-Lyons). Pada beberapa kasus, terutama pada ras negro keturunan Afrika, lesi

yang paling mencolok terletak di limbus, yaitu pembengkakan gelatinosa (papillae).

Adanya suatu pseudogerontoxon (arcus) sering terlihat pada kornea yang berdekatan

dengan papila limbus. Bintik-bintik Tranta adalah bintik-bintik putih yang terlihat pada

limbus pada beberapa pasien dengan keratokonjungtivitis vernal selama tahap fase aktif

dari penyakit ini.

Mikropannus sering terlihat pada keratokonjungtivitis vernal palpebral dan limbal,

namun pannus besar jarang dijumpai. Adanya jaringan parut pada konjungtiva biasanya

tidak timbul kecuali jika pasien telah diobati dengan kryoterapi, operasi pengangkatan

papila, iradiasi, atau prosedur yang dapat merusak lainnya. Mungkin timbul ulkus kornea

Page 9: keratokonjungtivitis

superfisial (“tameng”) (lonjong dan terletak di superior) dan dapat berakibat terbentuknya

jaringan parut ringan pada kornea. Sering terdapat keratitis epithelial difus yang khas.

Tidak satu pun lesi kornea ini berespon baik terhadap terapi standar. Penyakit ini

mungkin dapat disertai dengan keratokonus

Temuan Laboratorium

Banyak eosinofil dan granulae eosinofilik bebas ditemukan pada sediaan hapusan dengan

larutan Giemsa dari eksudat konjungtiva.

Terapi

Karena keratokonjungtivitis vernal adalah penyakit yang bersifat self-limited disease,

maka perlu diingat bahwa medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya memberikan

manfaat jangka pendek dan akan menimbulkan efek merugikan pada penggunaan jangka

panjang. Steroid topikal atau sistemik, yang mengurangi rasa gatal, hanya sedikit

mempengaruhi penyakit kornea ini, dan efek sampingnya (glaukoma, katarak, dan

komplikasi lain) dapat sangat merugikan. Cromolyn topical adalah agen profilaktik yang

baik untuk kasus sedang sampai berat. Vasokonstriktor, kompres dingin, dan kompres es

juga bermanfaat, dan tidur (jika mungkin juga bekerja) di ruangan sek ber-AC sangat

menyamankan pasien. Agaknya yang paling baik adalah pindah ke tempat yang beriklim

sejuk dan lembab. Pasien yang melakukan hal ini akan sangat tertolong bahkan dapat

sembuh total.

Gejala berat dari pasien yang sangat fotofobik sehingga tidak dapat berbuat apa-apa,

seringkali dapat ditolong dengan penggunaan jangka pendek steroid topikal atau sistemik

dan diikuti dengan pemberian vasokonstriktor, kompres dingin, dan secara teratur

memakai tetes mata cromolyn. Medikasi anti-radang non-steroid yang lebih baru, seperti

ketorolac dan iodoxamide, cukup bermanfaat dalam mengurangi gejala.

2.4.2 Keratokonjungtivitis Atopik4

Faktor Predisposisi

Biasanya ada riwayat alergi (hay fever, asma, atau ekszema) pada pasien atau

keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopik sejak bayi. Parut

pada lipatan-lipatan fleksura lipat siku dan pergelangan tangan an lutut sering ditemukan.

Seperti dermatitisnya, keratokonjungtivitis atopik berlangsung berlarut-larut dan sering

engalami eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini

Page 10: keratokonjungtivitis

cenderung menjadi kurang aktif ketika pasien mencapai dasawarsa kelima/berusia 50

tahun.

Tanda dan Gejala

Sensasi terbakar, bertahi mata berlendir, merah, dan fotofobia. Tepian palpebral

eritematosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu. Terdapat papilla halus, namun

papila raksasa tiidak berkembang seperti pada keratokonjungtivitis vernal dan terjadi

lebih sering terdapat di tarsus inferior-berbeda dengan papila raksasa keratokonjungtivitis

vernal, yang terdapat pada tarsus superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada

perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi berulang kali. Timbul

keratitis perifer superfisial yang diikuti oleh vaskularisasi. Pada kasus yang parah,

seluruh kornea tampak kabur dan bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan sangat

berkurang. Penyakit ini mungkin disertai dengan keratokonus.

Temuan Laboratorium

Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil meski tidak sebanyak yang terlihat pada

keratokonjungtivitis vernal.

Terapi

Antihistamin oral termasuk terfenadine (60-120mg dua kali sehari), astemizole (10mg

empat kali sehari), atau hydroxyzine (50mg waktu tidur, dinaikkan sampai 200mg)

ternyata bermanfaat. Obat-obatan anti radang non-steroid yang lebih baru, termasuk

ketorolac dan lodoxamide, ternyata dapat mengatasi gejala pendek pada pasien-pasien ini.

Suatu pemberian steroid topikal jangka pendek juga bisa meringankan gejala. Pada kasus

yang parah, plasmapheresis merupakan terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan

komplikasi kornea yang berat, transplantasi kornea mungkin diperlukan untuk

mengembalikan ketajaman penglihatannya.

2.4.3 Keratokonjungtivitis Sicca4

Keratokonjungtivitis sicca biasanya berhubungan dengan Sindrom Sjӧgren, yaitu penyakit

sistemik yang ditandai oleh trias gangguan: keratokonjungtivitis sicca, xerostomia, dan disfungsi

jaringan ikat (arthritis). Untuk menegakkan diagnosis sindrom SJӧgren, setidaknya harus ada

dua dari tiga gangguan tersebut. Penyakit ini jauh lebih banyak ditemukanpada wanita menjelang

atau sesudah menopause daripada pada kelompok lain, walaupun pria dan wanita yang lebih

Page 11: keratokonjungtivitis

muda dapat pula terkena. Kelenjar lakrimal diinfiltrasi oleh limfosit dan kadang-kadang oleh sel

plasma, dan ini menyebabkan atrofi dan destruksi struktur-struktur kelenjar.

Tanda dan Gejala

Keratokonjungtivitis sicca ditandai hiperemia konjungtiva bulbi (terutama pada aperture

palpebrae) dan gejala iritasi yang jauh lebih berat daripada yang dicerminkan oleh tanda-

tanda inflamasi yang ringan. Keadaan ini sering dimulai sebagai konjungtivitis ringan

dengan tahi mata yang mukoid. Lesi epitel mirip bisul muncul pada kornea, lebih banyak

di belahan bawahnya, dan mungkin tampak filamen-filamen. Nyeri makin terasa

menjelang malam hari namun hilang atau hanya ringan di pagi hari. Film air mata

berkurang (hasil tes Schirmer abnormal) dan sering mengandung serpihan mukus.

Temuan Laboratorium

Pewarnaan dengan Rose bengal pada apertura palpebrae adalah tes diagnostik yang

membantu.

Diagnosis ditegakkan dengan memperlihatkan adanya infiltrasi sel limfositik dan sel

plasma pada kelenjar ludahtambahan pada biopsi bibir yang diperoleh dengan prosedur

bedah sederhana.

Terapi

Pengobatan hendaknya diarahkan untuk mempertahankan dan mengganti film air mata

dengan air mata buatan, dengan menutup puncta, dan dengan perisai samping, bilik

pembasah, dan perisai Buller. Studi klinis terbaru menunjukkan efektivitas dari

pengawet-bebas/preservatife-free, dosis rendah preparat kortikosteroid dan siklosporin

topikal dalam pengobatan sicca keratokonjungtivitis sekunder pada sindrom Sjogren's.

`2.4.4 Keratokonjungtivitis Flikten6

Definisi

Keratokonjungtivitis flikten adalah radang epitel kornea dan konjungtiva yang

merupakan reaksi imun yang mungkin sel mediated atau reaksi hipersensitivitas tipe

lambat pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen atau toksin endogen.

Flikten adalah akumulasi setempat limfosit, monosit, makrofag, dan akhirnya netrofil.

Lesi ini mula-mula muncul di limbus, namun pada serangan-serangan berikutnya akan

mengenai konjungtiva bulbi dan kornea. Fliktenul kornea umumnya bilateral, berakibat

Page 12: keratokonjungtivitis

sikatriks dan vaskularisasi, namun fliktenul konjungtiva tidak akan meninggalkan bekas.6

Flikten disebut juga blister.

Epidemiologi

Keratoknjungtivitis flikten menyebar secara kosmopolitan dan sporadik. Penyakit ini

sering dihubungkan dengan S. aures di Negara-negara berkembang, dahulu sering

dihubungkan dengan M. tuberculosis pada anak-anak malnutrisi di seluruh Negara yang

endemic tuberkulosis. Sering ditemukan pada anak-anak dekade pertama dan kedua

kehidupan dengan puncaknya antara usia 3 sampai 15 tahun. Insiden lebih banyak pada

perempuan daripada laki-laki.

Etiologi

Keratokonjugtivitis flikten merupakan fenomena alergi, reaksi hipersensitivitas tipe IV

epitel kornea dan konjungtiva terhadap berbagai macam protein atau alergen endogen

yang akan berkembang membentuk sebuah nodul. Reaksi ini tidak spesifik, tapi

kebanyakan disebabkan oleh protein tuberkulin. Respon ini berhubungan dengan fraksi

lipid antigen tuberkulin. Organisme lain yang dapat menyebabkan flikten adalah

S'taphylococcus, Streptococcus, Gonococcus, Candida, Coccidomycosis,

Limphogranuloma, danAscariasis.

Patofisiologi

Keratokonjungtivitis flikten biasanya timbul unilateral dan kadang-kadang mengenai dua

mata, dekat dengan limbus, pada konjungtiva bulbi atau kornea.2 Jumlah nodul

bervariasi, dapat tunggal sampai multipel. Ketika nodul yang timbul lebih dari satu,

menandakan penyebaran dari tempat lain atau nodul tersebut bergabung untuk menyerang

bagian limbus atau pada kasus yang lebih berat menyerang seluruh kornea. Flikten yang

tidak diobati akan sembuh dalam 10-14 hari dan tidak akan kambuh di tempat yang sama.

Pada awalnya lesi yang timbul sedikit menyerupai sebuah flikten (benjolan putih

kemerahan dikelilingi konjungtiva yang kemerahan) di limbus, dimana pembuluh darah

episklera masih dapat terlihat melalui lesi ini seperti pada (gambar 4), tapi sebenarnya

merupakan nodul yang padat (gambar 5). Setelah 4 hari lesi tidak tampak berkilauan lagi

karena terjadi nekrosis dan ulserasi di tengahnya, kemudian nodul mengering dan

menjadi flatter. Setelah 2 atau 3 minggu bagian yang nekrotik menghilang dan bagian

Page 13: keratokonjungtivitis

yang hiperemis berkurang (gambar 6). Lesi sembuh tanpa meninggalkan bekas, kecuali

lesi pada kornea akan menimbulkan sikatrik.

Flikten konjungtiva berkembang 1-2 mm dari limbus sebagai vesikel pucat yang

kemudian membentuk nodul. Ukuran awalnya mungkin sebesar kepala peniti, kemudian

membesar menjadi 1-2 mm. Nodul timbul dekat limbus atau dimana pun pada

konjungtiva bulbi, jarang pada konjungtiva palpebra.4,5 Akan terlihat kumpulan pembuluh

darah yang mengelilingi nodul dengan warna kuning kelabu seperti suatu mikroabses.

Biasanya abses ini menjalar ke arah sentral atau kornea dan terdapat tidak hanya satu.

Tanda dan Gejala

Gejala keratokonjungtivitis flikten tergantung pada jumlah flikten; hubungan dengan

konjungtivitis bakteri, dan keterlibatan kornea. Mata akan memberikan gejala lakrimasi

dan fotofobia disertai rasa sakit. Bila disertai dengan infeksi sekunder dapat memberikan

sekret mukopurulen. Bentuk keratitis dengan gambaran bermacam-macam, dengan

ditemukannya infiltrat dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran karakteristiknya

adalah dengan terbentuknya papul atau pustula pada kornea ataupun konjungtiva. Pada

mata terdapat flikten pada kornea berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih

keabuan, dengan atau tanpa neovaskularisasi yang menuju ke arah benjolan tersebut.

Pada gambaran klinis akan terlihat suatu keadaan sebagai hiperemia konjungtiva,

kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan panas disertai gatal dan tajam

penglihatan berkurang apabila mengenai pupil. Pada limbus dapat didapatkan benjolan

putih kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva yang hiperemia. Bila terjadi

penyembuhan akan terjadi sikatriks dengan neovaskularisasi pada kornea.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan tes tuberkulin dan foto toraks diperlukan untuk mengetahui apakah

penyebabnya karena M. tuberkulosis. Bila terdapat infeksi sekunder dapat dilakukan

kultur dan uji sensitivitas dari sekret konjungtiva sebagai penuntun penatalaksanaan dan

pemberian antibiotik yang empiris.

Terapi

Flikten tanpa konjungtivitis infektif, dapat diberikan steroid topikal, sepert deksametason

0,1% 4 jam sekali pada hari pertama. Kemudian ditappering off.

Page 14: keratokonjungtivitis

Flikten dengan konjungtivitis infektif diobati sebagai konjungtivitis catarrhal dengan

steroid topikal di bawah pengawasan. Jika kornea terkena ditambahkan atropin pada

steroid untuk mengurangi spasme siliar. Hal ini mempercepat penyembuhan. Pada anak-

anak yang ternyata memiliki riwayat tuberkulosis perlu diberikan pengobatan dengan

obat anti tuberculosis.

Pada kasus alergi terhadap Sthaphylococcus perlu diperhatikan juga kebersihan kelopak

mata, dapat dicuci dengan menggunakan air hangat yang dicampur dengan shampo bayi

untuk mengurangi kolonisasi bakteri dan akumulasi kelenjar sebasea. Pemberian

antibiotik diperlukan. Anak-anak yang lebih dari 8 tahun diberikan doksisiklin 100 mg

satu kali perhari selama 10 hari, sedangkan anak yang usianya kurang dari 8 tahun

diberikan eritromisin dengan dosis 25 mg/KgBB selama 7-10 hari bersama dengan

pemberian steroid topikal.

Anak-anak yang dicurigai menderita kecacingan sebaiknya diberikan anti helminth.

Albendazol merupakan obat yang efektif, diberikan dalam bentuk tablet kunyah dosis

tunggal. Anak-anak di atas 2 tahun sebaiknya diberikan dosis tunggal 400 mg dan

diulangi bila perlu.

Page 15: keratokonjungtivitis

DAFTAR PUSTAKA

1. Ferdiriva.2009.Konjungtivitis, (Online),

(http://referatku.blogspot.com/2009/05/konjungtivits.html, diakses 31 Desember 2010)

2. Janssen.2009.Dampak Paparan asap Rokok terhadap Frekuensi Mengedip dan Keluhan

yang Dirasakan pada Mata pada Pria Usia 20-40 Tahun di Kelurahan Kesawan Medan.

(Online), (http://www.google.co.id/url?

sa=t&source=web&cd=24&ved=0CCgQFjADOBQ&url=http%3A%2F

%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream

%2F123456789%2F16739%2F7%2FCover.pdf&rct=j&q=anatomi

%20konjungtiva&ei=xKUbTeWJLofnrAfnrqi-

Cw&usg=AFQjCNGAsbOHJOcpnbhvjxsM7wYm2s-3Yw&cad=rja, diakses 31

Desember 2010)

3. Ilyas, Sidarta. Radang Kornea: Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI. 2009

4. Vaughan D. Opthalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta :Widya Medika. 2000.

5. Wahid, D.I.2009. Keratokonjungtivitis Vernalis. (Online),

(http://diyoyen.blog.friendster.com/2009/05/, diakses 31 Desember 2010)

6. Wiki, I.2009.Keratitis. (Online), (http://www.tempo.co.id/medika/arsip/042002/pus-

1.htm, diakses 30 Oktober 2010)