Kepustakawanan

Embed Size (px)

Citation preview

Kepustakawanan Istilah kepustakawanan perlu dibicarakan bersama istilah ilmu perpustakaan dalam pembahasan untuk lebih memahami bagaimana sebuah profesi dan ilmu lahir, tumbuh, dan berkembang di masyarakatnya. Kita memakai kata kepustakawanan untuk menerjemahkan kata librarianships, menyesuaikannya dengan kata pustakawan sebagai terjemahan dari librarian. Di dalam pengertian bahasa aslinya, akhiran ships mengacu kepada empat artian (makna kata), yaitu:

Keadaan atau kualitas sesuatu, misalnya dalam kata companionships (kesetiakawanan, keadaan atau kualitas perkawanan atau pertemanan). Status, formalitas, atau kehormatan, misalnya dalam kata citizenships (kewarganegaraan, status atau kehormatan sebagai warganegara). Tingkatan keterampilan dalam kapasitas melakukan pekerjaan tertentu, misalnya dalam kata workmanships (kekaryaan, keterampilan dan kapasitas sebagai pekerja). Keberkumpulan atau kebersamaan, misalnya dalam kata memberships (keanggotaan, kebersamaan di dalam satu perkumpulan tertentu). (Lihat http://dictionary.reference.com/browse/-ship)

Dengan empat artian tersebut, maka kepustakawanan sebenarnya mengandung pengertian kualitas (artian pertama) dan rasa hormat atau respek masyarakat (artian kedua) terhadap sebuah profesi, yakni profesi pustakawan. Selain itu, kepustakawanan juga memperlihatkan kebanggaan dan keanggotaan sebagai pustakawan, sebagaimana yang terdapat dalam artian terakhir. Namun dalam artian yang lebih spesifik untuk dunia praktik, kita menggunakan salah satu dari keempat artian di atas. Misalnya, di dalam kamus , librarianships diartikan sebagai: a profession concerned with acquiring and organizing collections of books and related materials in libraries and servicing readers and others with these resources; the position or duties of a librarian. (Lihat http://dictionary.reference.com/browse/librarianship) Dengan definisi di atas, maka librarianships dibatasi pada artian ketiga dan dihubungkan hanya dengan profesi atau kekaryaan. Ini sebenarnya adalah artian yang sangat sempit, walaupun sebagian besar masyarakat memang mengartikannya begitu. Secara sederhana, dari artian-artian sempit maupun luas di atas, kita dapat membayangkan bahwa librarianships atau kepustakawanan memang berintikan sebuah profesi, yaitu pustakawan. Namun profesi ini tidak berada dalam kekosongan, melainkan di dalam sebuah masyarakat yang berisikan berbagai nilai tentang kualitas, kehormatan, dan kebersamaan. Dalam konferensi IFLA di New Delhi pada 24 28 Agustus 1992 terlihat dengan jelas betapa kepustakawanan diartikan secara lebih luas:

Pustakawan bekerja berdasarkan etos-etos kemanusiaan, humanistic ethos yang dianggap sebagai elan kepustakawanan, sebagai lawan dari kegiatan pertukangan. Pustakawan sebagai fasilitator kelancaran arus informasi dan pelindung hak asasi manusia dalam akses ke informasi. Pustakawan memperlancar proses transformasi dari informasi dan pengetahuan menjadi kecerdasan sosial atau social intelligence.

Dari ketiga pendapat di atas, terlihat bahwa kepustakawanan berkaitan dengan kualitas hidup manusia, terutama kualitas intelektual. Kepustakawanan dan Sistem Sosial Kadang-kadang, karena terlalu berkonsentrasi pada kegiatan teknis perpustakaan, kita lupa bahwa kepustakawanan sebenarnya adalah kegiatan antar manusia, yang berpusaran pada aktivitas-aktivitas menyimpan dan menata pustaka bagi keperluan para pencari informasi. Dikatakan sebagai antar manusia, karena setidaknya ada dua pihak yang terlibat di sini, yakni orangorang yang melakukan penyimpanan dan penataan itu (pustakawan) dan orangorang yang mencari informasi (pemakai). Kedua pihak melakukan kegiatan ini secara interaktif dan berulang-ulang dalam sebuah rentang waktu dan ruang, sehingga membentuk pola tertentu di suatu masyarakat. Giddens menyatakan keterpolaan ini sebagai institusi (1989, h. 19). Kita perlu memperjelas arti institusi di sini, supaya jangan berkesan bahwa sebuah institusi adalah bentuk fisik dari gedung, atau sebuah badan pemerintahan. Ada dua hal utama yang membentuk sebuah institusi, yakni struktur masyarakat itu dan aktor (atau agen), yaitu individu-individu di dalam masyarakat. Struktur sosial adalah tata aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang dipakai oleh aktor-aktor individual dalam masyarakat ketika mereka melakukan tindakan-tindakan (actions). Pada saat yang sama, tata-aturan dan sumberdaya itu sendiri adalah buatan dan hasil negosiasi antar individu itu pula, sehingga terjadilah hubungan ganda (duality) antara struktur dan agen. Di dalam sebuah masyarakat, kepustakawanan juga adalah sistem sosial, dalam wujud interaksi dan kegiatan antar aktor (aktor pustakawan dan aktor anggota masyarakat) yang terus menerus dilakukan (diproduksi) dan diulang-lakukan (reproduksi). Semua ini bisa disebut praktik-praktik sosial (social practices) yang teratur sepanjang ruang dan waktu. Dalam sebuah sistem sosial, para aktor menggunakan struktur untuk bertindak. Pada saat yang sama, struktur adalah hasil dari tindakan karena aturan-aturan dan sumberdaya dalam sebuah sistem terwujud jika ditaati dan dilaksanakan oleh anggota-anggota sistem. Dengan kata lain, struktur secara terus-menerus terwujudkan sebagai aksi (enacted) dan diulang-wujudkan (re-enacted) di dalam dan melalui interaksi.

Kita musti ingat, struktur di sini adalah tata-aturan, termasuk nilai dan norma, serta sumberdaya, baik sumberdaya fisik maupun non-fisik, yang dipakai bersama sebuah masyarakat. Kepustakawanan sebagai struktur adalah segala aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik, gedung, dan sebagainya. Misalnya, jam buka perpustakaan adalah aturan, kemerdekaan berpikir adalah nilai, bersikap tertib dan sopan di ruang perpustakaan adalah norma, akses ke Internet adalah fasilitas, cara membuat OPAC adalah teknik, dan sebagainya. Kita juga musti ingat, struktur (aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik) ini harus disepakati oleh aktor-aktor (pustakawan, pegawai, anggota perpustakaan, birokrat, teknolog), lalu harus diwujudkan atau dipraktikkan berulang-ulang (enacted and re-enacted). Kesepakatan dan perwujudan secara berulang-ulang inilah yang disebut institusi kepustakawanan. Kalau tidak ada (atau kurang ada) kesepakatan dan keterulangan, maka tidak ada (atau kurang ada) kepustakawanan. Kepustakawanan dan Teknologi Informasi Lalu bagaimana dengan teknologi yang digunakan di perpustakaan? Apakah kepustakawanan tidak mengandung teknologi atau dibicarakan secara terpisah dari teknologi informasi? Sebaiknya kita melihat teknologi bukan semata-mata mesin. Pacey (1983) sudah menegaskan teknologi lebih tepat disebut technology practice. Sebagian besar masyarakat hanya melihat teknologi dalam arti terbatas (sempit), yang mengandung di dalamnya alat atau mesin, selain juga pengetahuan dan keterampilan menggunakan alat atau mesin tersebut. Padahal teknologi sempit ini bersinggungan dengan aspek budaya dan aspek organisasional untuk menjadi sebuah aktivitas yang terus menerus dan meluas di sebuah masyarakat. Itu sebabnya Pacey menegaskan, teknologi adalah kebiasaan sosial (social practice). Memakai cara pandang Pacey di atas, kita dapat melihat kepustakawanan sebagai technology practice, khususnya untuk teknologi komunikasi (termasuk telekomunikasi) dan informasi. Misalnya buku (dan kini e-book) adalah teknologi sempit yang dihasilkan oleh teknik-teknik percetakan (dan kini komputer). Teknik-teknik percetakan dan komputer yang menghasilkan buku dan e-book ini sendiri lahir di laboratorium-laboratorium yang dihuni oleh komunitas ilmuwan (misalnya komunitas ilmuwan kimia yang menghasilkan temuan tentang tinta cetak, dan komunitas ilmuwan elektronik yang menghasilkan temuan tentang portable reader untuk e-book). Buku dan e-book, atau koran elektronik dan digital television, akan tetap menjadi teknologi sempit kalau tidak bersinggungan dengan sistem yang lebih luas, yang di dalamnya mengandung aspek sosial, budaya dan aspek organisasional. Ketika buku menjadi bagian dari koleksi fisik perpustakaan, bersama dengan ebook menjadi koleksi digitalnya, dan koran serta televisi tersedia di ruang baca, maka terbentuklah technology practice berupa kepustakawanan.

Tentu saja, benda-benda teknologi ini pada saat sama juga menjadi bagian dari berbagai technology practice lainnya, seperti industri buku, komunikasi massa, dan pemilihan umum karena pemilihan umum moderen akhirnya melibatkan media massa, dan sekarang juga Internet; para calon presiden Amerika Serikat kini tampil di You-tube. Lalu, sebagaimana terjadi di Indonesia, You-tube juga menimbulkan kontroversi luas. Teknologi yang tadinya sempit akhirnya menjadi persoalan sosial. Kepustakawanan sebenarnya juga adalah persoalan sosial (walaupun tidak selalu kontroversial) yang berkaitan dengan teknologi juga. Kehadiran komputer dan Internet menimbulkan konfigurasi baru, tata aturan, nilai, dan norma baru, selain fasilitas baru. Keseluruhan praktik, persoalan, perdebatan, pemanfaatan, penolakan, dan segala hiruk-pikuk inilah yang mewarnai sebuah kepustakawanan. Sedemikian hiruk pikuknya persoalan itu, sehingga selalu muncul keinginan untuk memahami dan menemukan solusi di bidang kepustakawanan. Keinginan ini amat kuat dan amat penting, sehingga lahirlah apa yang sekarang kita sebut Ilmu Perpustakaan.

Evaluasi Sebelum DevaluasiPosted by putubuku pada Oktober 30, 2008 Tanpa harus menjadi nyinyir kita perlu mengakui bahwa eksistensi perpustakaan dan sistem informasi di masyarakat sangat rentan terhadap pertanyaan sinis: buat apa sih sebenarnya institusi-institusi itu? Pada umumnya orang awam lebih terkesima oleh gemerlap teknologi yang ada di institusi tersebut, dan hanya akan mengatakan bahwa perpustakaan atau sistem informasi bernilai sesuai nilai teknologi yang ada di dalamnya. Semakin baru teknologinya, semakin baik citra perpustakaan atau sistem informasi yang bersangkutan. Stereotip yang mengecilkan hati itu sebenarnya cukup beralasan. Baik orang awam maupun kaum profesional sebenarnya sama-sama menemui kesulitan jika harus sungguh-sungguh memastikan: apa sebenarnya kegunaan dari membangun gedung penuh koleksi buku yang kita namakan perpustakaan itu? Bagaimana menentukan aspek mana dari perpustakaan itu yang sebenarnya berguna bagi suatu kegiatan tertentu. Apakah koleksinya mempengaruhi prestasi belajar? Apakah kinerja pustakawannya meringankan beban pengajar? Apakah tataruangnya membantu pengunjung tidur lebih nyenyak? Serupa walau tak sama, orang juga sering bertanya: apa gunanya membangun sistem informasi yang begitu canggih di sebuah bank yang akhirnya bangkrut karena dikorupsi pemiliknya? Atau yang lebih seram: bagaimana sebuah sistem informasi yang konon mampu mencegah perang nuklir dapat meloloskan dua pesawat sipil untuk dihantamkan ke the Twin Tower?

Dari pertanyaan yang sepele sampai yang fundamental di atas muncullah motivasi untuk salah satu jenis penelitian paling populer di bidang informasi, yaitu penelitian evaluasi alias evaluation research. Penelitian jenis ini seringkali mengandung maksud meyakinkan orang lain maupun diri sendiri bahwa apa yang kita kerjakan memang patut dikerjakan. Khusus di bidang perpustakaan dan informasi, jenis penelitian ini amat populer. Tulisan Powell (2006) memaparkan berbagai variasi jenis penelitian ini dan membuat daftar berisi sedikitnya 10 alasan kuat untuk melakukan penelitian evaluasi. Selain untuk mendukung proses pengambilan keputusan di sebuah organisasi, penelitian evaluasi seringkali juga didorong oleh keinginan menghindari pengulangan kesalahan yang pernah dibuat, dan untuk meningkatkan citra di kalangan pengguna. Mengutip berbagai pendapat, Powell mengungkapkan bahwa penelitian evaluasi sebenarnya bukanlah tujuan akhir dari sebuah proses perbaikan kinerja. Seringkali penelitian evaluasi justru menjadi awal dari berbagai penelitian berikutnya, termasuk penelitian operasi (operation research) dan uji-coba atau eksperimen. Pada umumnya penelitian evaluasi memang ingin menguji efektivitas dan efisiensi kerja sehingga sangat berurusan dengan pengukuran (measurement). Itu sebabnya penelitian evaluasi seringkali memakai pendekatan kuantitatif. Banyak pula penelitian evaluasi, khususnya di bidang perpustakaan dan informasi dimotivasi oleh keinginan mengukur kinerja (performance) dan kualitas jasa (service quality). Salah satu jenis penelitian ini yang amat populer adalah yang berbasis SERV-QUAL dan dimodifikasi untuk perpustakaan dengan nama LibQUAL. Silakan lihat situs tentang metode tersebut di sini: http://www.libqual.org/ Penggunaan standar kinerja dan benchmarking juga amat populer di bidang perpustakaan. Berbagai jenis perpustakaan menggunakan standar-standar yang dibuat oleh asosiasi profesi. Misalnya, untuk profesi pustakawan umum (public librarians) di Australia tersedia puluhan standar kinerja (lihat di sini http://www.alia.org.au/governance/committees/public.libraries/standards.html). Di situs mereka terdaftar sedikitnya ada 11 kategori standar, yaitu: 1. Free access to information 2. Information as a commodity 3. Joint-use libraries 4. Library and information sector: core knowledge, skills and attributes 5. Library and information services appointments 6. Libraries and privacy guidelines 7. Non-standard employment 8. Professional conduct 9. Public library services 10. Employer roles and responsibilities in education and professional development 11. Senior library staff and information services appointments

Masing-masing dari 11 standar itu dapat menjadi landasan untuk melakukan penelitian evaluasi. Misalnya, standar tentang information as a commodity sangat bagus untuk melakukan evaluasi apakah sebuah perpustakaan umum sudah patut menjual informasi, dan kalau menjual berapa harga yang patut. Tentu saja ini semua memperhitungkan pula kenyataan bahwa perpustakaan umum adalah lembaga publik yang didanai pemerintah. Untuk jenis penelitian evaluasi yang menggunakan standar, para peneliti perlu menyadari bahwa standar-standar tersebut sebenarnya cocok untuk konteks sosialkultural masyarakat tertentu. Sebab itu, jika ingin mengadopsi sebuah standar untuk mengukur kinerja perpustakaan, seorang peneliti perlu memeriksa kecocokan konteks ini. Salah satu kelemahan penelitian evaluasi yang menggunakan standar dan pengukuran kuantitatif ini adalah pengabaian konteks. Maka dari itu sebuah penelitian evaluasi perlu membuka kemungkinan penggunaan metode kualitatif, dan ini bukan sesuatu yang di-haram-kan dalam penelitian evaluasi. Seringkali, metode kualitatif dipakai terlebih dahulu untuk membangun pemahaman tentang konteks sosial-budaya, sebelum kemudian membuat atau mengadopsi sebuah standar dari negara lain.

1. Tetapkan Pikiran (dan Hati)Kita hendak melakukan penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi, maka wajar dan masuk akal banget kalau kita memulainya dengan kepastian bahwa penelitian kita memang tentang ilmu itu. Cara terbaik untuk memastikan hal ini adalah dengan membaca sebanyak mungkin definisi tentang ilmu ini. Misalnya, dengan mengklik kategori definisi di blog ini. Saat tulisan ini dibuat, memang baru ada beberapa definisi tentang ilmu, tetapi mudah-mudahan akan semakin banyak. Jangan pula enggan untuk browsing di Internet dan membaca sebanyak mungkin buku tentang ilmu ini. Kalau Anda baru mulai membaca sekarang, memang agak terlambat, ya.. tetapi bagusan terlambat daripada enggak sama sekali. Definisi tentang ilmu dapat memberi gambaran tentang dua hal penting: APA yang dapat diteliti, dan BAGAIMANA menelitinya. Secara keren bisa dipakai istilah ontologi (apa) dan epistemologi (bagaimana), tapi kadang lebih enak pakai istilah umum saja, walau nggak keren . Sebagai sekadar contoh, kita kutip definisi Vickery & Vickery yang mengatakan bahwa Ilmu Perpustakaan dan Informasi antara lain mempelajari: Penggunaan teknologi, terutama teknologi komputer dan telekomunikasi, dalam pengelolaan informasi. Pernyataan pendek itu cukup memberikan petunjuk bahwa teknologi untuk pengelolaan informasi adalah APA-nya Ilmu Perpustakaan dan Informasi menurut Vickery & Vickery. APA ini dapat dijadikan bahan penelitian. Lebih jauh lagi, Vickery & Vickery juga menyatakan bahwa pengelolaan informasi itu terutama menyangkut fenomena transfer (perpindahan) dokumen. APA di atas perlu lebih dikembangkan. Perhatikan kata fenomena. Apakah yang kita maksud dengan fenomena di sini? Coba buka kamus, dan kira-kira kita dapat definisi ini: 1. An occurrence, circumstance, or fact that is perceptible by the senses. 2. pl. -nons. a. An unusual, significant, or unaccountable fact or occurrence; a marvel. b. A remarkable or outstanding person; a paragon. 3. Philosophy. In the philosophy of Kant, an object as it is perceived by the senses, as opposed to a noumenon. 4. Physics. An observable event. Pengertian nomor 1, 3, dan 4 bisa kita gunakan. Fenomena adalah kejadian, keadaan, atau fakta yang dapat diterima indera. Jadi, APA yang dapat kita teliti sekarang menjadi lebih jelas, yaitu:

Kejadian, keadaan, atau fakta pengelolaan perpindahan dokumen yang menggunakan teknologi informasi Lumayan, kan, udah punya TOPIK umum Coba terus kembangkan, utak-atik, tarik-ulur kata-kata yang ada di kalimat tebal warna biru di atas. Apa yang akan kita maksud dengan pengelolaan -apa bisa kita pakai kata manajemen? Apa yang dimaksud dokumen di kalimat itu? Bagaimana dengan perpindahan -pindah dari mana ke mana? Dan bagaimana dengan kata yang hebat itu: teknologi informasi apa pula ini?

2. Kreatif, dong!Seorang peneliti walaupun ia tergolong peneliti dadakan atau terpaksa jadi peneliti memerlukan kreativitas. Seorang peneliti Ilmu Perpustakaan dan Informasi pertama-tama memang perlu mengenal ilmunya sendiri, seperti contoh di atas, untuk mengetahui fenomena yang patut jadi APA yang dapat diteliti. Setelah mengenal ilmunya, seorang peneliti perlu kreatif menggunakan pemahamannya. Bagaimana menjadi kreatif? Apakah dengan duduk melamun di bawah pohon rindang? Atau masuk ke gua dan bersemadi di sana? Kreativitas tidak sama dengan melamun! Kreativitas dapat muncul dari kehidupan sehari-hari di bidang yang sedang kita tekuni. Kalau kita mau meneliti Ilmu Perpustakaan dan Informasi, maka kita harus masuk atau terjun ke dalamnya. Lihatlah sekeliling, apakah ada kejadian, fakta, huru-hara (becanda!) yang berkaitan dengan pengelolaan perpindahan dokumen yang menggunakan teknologi informasi? Lihat kantor, perusahaan, toko, rumah tangga, kampus, warung, kelurahan, pangkalan ojek Lihat baik-baik, simak baik-baik, pasang mata, pasang telinga. Itulah tandanya orang yang kreatif! Kreativitas ini juga sangat membumi, sebab berdasarkan pengamatan tentang keadaan sesungguhnya. Secara formal-prosedural, pengamatan ini dikenal dengan istilah pengamatan pendahuluan atau prelimenary research. Pengamatan ini juga akan membantu kita menghubungkan ide atau teori (misalnya dalam bentuk definisi dari Vickery & Vickery itu) dengan kenyataan di kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, setelah mengamati sebuah kantor kelurahan, kita menemukan topik ini: Pengelolaan dokumen kependudukan di Kelurahan Segopecel dalam rangka pelayanan KTP melalui Internet. Semua unsur dalam definisi Vickery & Vickery terpenuhi. Ada soal pengelolaan, ada soal dokumen, ada soal perpindahan (atau transaksi) antara petugas kelurahan dan penduduk, serta ada teknologi informasi (melalui Internet). Nah,.. ini namanya kreatif! Kalau kelurahannya ada di sebelah rumah, itu namanya strategis! Biaya murah, penelitian selesai, sarjana bisa diraih, habis itu bisa melamar atau dilamar untuk kawin! Siip.. lah

Tetapi jangan buru-buru dulu, karena kita harus menggunakan rumus K2P2 (kadua, pe-dua). Apaan, tuh? Kenali Konteks, Pahami Persoalan. Apaan, tuh? Tunggu tulisan berikutnya Sabtu, 19 April 2008

3. Kenali Konteks, Pahami PersoalanApa, sih, konteks itu? Sebagai sebuah kata, konteks datang dari bahasa Latin contextus atau contexere (bentuk lampau), dan bermakna menyatukan atau menjalin. Kata ini berkaitan erat dengan kata teks yang juga berarti serupa, yaitu menjalin. (lihat http://www.answers.com/topic/context?cat=technology) Apa hubungannya konteks dengan penelitian? Di atas kita sudah menyatakan, seorang peneliti harus kreatif sekaligus membumi (lawan dari mengawang-awang) dengan melakukan kegiatan penelitian awal (preliminary research). Ketika melakukan pengamatan inilah sebenarnya seorang peneliti juga sedang mengamati konteks. Ia harus mau (dan mampu) melihat fenomena yang sedang diamatinya sebagai suatu jalinan dan kesatuan dari berbagai hal. Seandainya ia sedang mengamati fenomena Pengelolaan dokumen kependudukan di Kelurahan Segopecel dalam rangka pelayanan KTP melalui Internet, maka ia harus juga mengamati segala sesuatu yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan fenomena tersebut. Tetapi, banyak banget hal yang berkaitan dengan sebuah fenomena. Apa semuanya harus diperhatikan? Bisa jontor, dong Untuk membatasi hal-hal yang perlu kita perhatikan sebagai sebuah konteks, seorang peneliti dapat kembali membuka-buka catatannya tentang ilmu yang ia pelajari. Sebagai seorang peneliti Ilmu Perpustakaan & Informasi, maka ia pun dapat menggunakan petunjuk dari ilmunya sebagai bekal dalam mengamati sebuah konteks. Mari lacak-balik (trace back) langkah yang sudah kita jalani. Kita sudah memutuskan bahwa fenomena Pengelolaan dokumen kependudukan di Kelurahan Segopecel adalah fenomena yang patut diteliti. Fenomena ini kita sesuaikan dengan pendapat Vickery & Vickery tentang Ilmu Perpustakaan. +> Berarti, fenomena ini dapat dilihat sebagai fenomena kepustakawanan.

+> Berarti, fenomena ini juga dapat dilihat sebagai institusi sosial dan praktik teknologi (tentang hal ini, silakan baca di halaman Kepustakawanan di blog ini). +> Berarti, Pengelolaan dokumen kependudukan di Kelurahan Segopecel adalah institusi sosial dan praktik teknologi. Berarti: Pengelolaan dokumen kependudukan di Kelurahan Segopecel akan mengandung unsur-unsur berikut ini: > Aktor > Struktur > Teknologi sempit > Pemanfaatan (praktik) teknologi Sekarang, kita urai satu persatu masing-masing unsur di atas:

Aktor : petugas kelurahan, penduduk sekitar yang berurusan dengan kelurahan, pak/bu lurah, pak/bu camat Struktur kita bagi lagi: o Norma dan nilai : segala kesepakatan tentang cara bertindaktanduk penduduk di kelurahan itu, khususnya yang berkaitan dengan urusan kependudukan o Aturan : segala prosedur yang berlaku dalam urusan kependudukan, termasuk aturan main, tata tertib, undang-undang, peraturan administrasi, dan sebagainya. o Fasilitas : segala kelengkapan di kelurahan itu yang digunakan oleh petugas, pak/bu lurah, penduduk. Gedung, peralatan kantor, suasana kantor, akses ke kelurahan, sarana telepon, prasarana pendukung (telepon, kan, perlu kabel dan sebagainya), adalah bagian dari fasilitas ini. Teknologi sempit: dokumen kependudukan adalah teknologi. Kalau dokumen itu berupa kertas, maka digunakan teknologi tulisan/cetak. Kalau dokumen itu berupa digital, maka digunakan teknologi komputer. Teknologi-teknologi tersebut adalah teknologi dalam arti sempit. Pemanfaatan teknologi: kegiatan yang dilakukan para aktor (petugas, penduduk) menggunakan dokumen yang dimaksud. Kalau dokumennya menggunakan teknologi tulisan/cetak, pasti kegiatan yang dilakukan para aktor itu berbeda dibandingkan kalau dokumennya menggunakan teknologi komputer. Segala sesuatu kegiatan atau tindakan menggunakan teknologi itu dapat disebut sebagai praktik teknologi (technology practice).

Nah,.. sekarang dapat kita lihat bahwa konteks dari fenomena Pengelolaan dokumen kependudukan di Kelurahan Segopecel sudah lebih terbatas, walau masih tetap banyak! (dan masih bisa bikin kita jontor juga.. he he he). Tetapi setidaknya, kita sudah tahu bahwa hal-hal lain di luar daftar di atas tidak perlu diamati. Kita tidak perlu mengamati, apakah pak/bu lurah punya anak yang cantik

atau ganteng. Kita tidak perlu mengamati, apakah pegawai kelurahan sudah berpakaian dengan rapi dan necis. Itu namanya nggak nyambung alias tulalit. Sambil memperhatikan semua konteks di atas dengan seksama, maka seorang peneliti sebenarnya juga melakukan kegiatan penting berikutnya, yaitu memahami persoalan. Sambil mengamati cara kerja petugas kelurahan dan interaksi mereka dengan penduduk, sambil membaca-baca peraturan kependudukan yang ada di kelurahan itu, sambil melihat-lihat dokumen (kertas atau digital) di kelurahan itu, sambil ngobrol dengan pak/bu lurah sambil melakukan semua itu, seorang peneliti membangun pemahamannya tentang persoalan-persoalan yang terjadi di kantor kelurahan. Dari berbagai persoalan yang muncul ketika seorang mengamati konteks sebuah fenomena, maka mungkin lahir pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Mungkin akan muncul pertanyaan: Mengapa urusan kependudukan di Kelurahan Segopecel selalu memakan waktu lebih dari satu hari? Mengapa para penduduk yang mengurus KTP kelihatan murung? Mengapa pak/bu lurah galak banget? Mengapa penduduk jalan kaki ke kelurahan, padahal urusan bisa dilakukan lewat Internet? Pertanyaan mengapa ini amat penting dalam setiap penelitian, dan kalau Anda ingin menjadi peneliti -baik peneliti dadakan maupun terpaksa jadi peneliti maka sebaiknya Anda punya pertanyaan di benak Anda. Seorang peneliti yang tidak punya pertanyaan, namanya Sok Tau dan nggak pantes jadi peneliti. Mendingan jadi pak/bu lurah aja deh.. he he he.. Pertanyaan-pertanyaan mengapa begini, mengapa begitu di atas harus dihimpun dan disusun secara sistematik menjadi apa yang sering disebut Masalah Pokok Penelitian. Tentang hal ini, kita lanjutkan nanti, yaa Jumat, 25 April 2008

4. Masalah Pokok PenelitianSekarang kita sampai pada sebuah titik penting dalam perjalanan menyusun rencana penelitian, yaitu penetapan masalah pokok penelitian. Sebelum membahasnya, mari refleksi sejenak. Dari jejak-jejak yang kita telah lalui di atas, muncul beberapa istilah yang saling berkaitan. Mari kita periksa, apa saja istilah itu, dan bagaimana saling keterkaitannya:

Ilmu > definisi > lingkup kajian. Setiap ilmu berupaya menetapkan batas disiplinnya, sekalipun ilmu itu interdisipliner (lihat pembahasan tentang interdisiplin di blog ini). Jejak langkah pertama dalam penelitian ilmiah, tentu saja adalah dengan memahami lingkup kajiannya. Artinya,

harus banyak baca tentang ilmu dengan rajin-rajin ke perpustakaan. Wajar, lah.. topik realita. Pemahaman tentang lingkup kajian menghasilkan gambaran tentang topik umum, atau sebuah ide, pemikiran, gambaran di kepala. Supaya jangan hanya berupa ide mengawang-awang, maka setiap peneliti harus membenturkan ide dengan realita. Itu sebabnya ada tanda panah dua arah topik realita. ( topik realita ) > kreatif melihat persoalan. Jika kita rajin bulakbalik dari ide (pikiran) ke realita (kenyataan yang kita alami) dan sebaliknya, maka mudah-mudahan muncul kreativitas. Mulai muncul kejernihan tentang apa sesungguhnya yang ingin kita teliti. Pengamatan pendahuluan > konteks + permasalahan. Jika kita kreatif melihat persoalan, maka hampir dipastikan kita akan lebih terfokus mengamati sebuah fenomena, dan dari pengamatan yang kreatif ini kita akan mulai melihat konteks dan permasalahan. Semakin jernih, semakin terang, semakin nyalang gemilang . Tetapi -hati-hati- seringkali justru kejernihan ini melahirkan semangat berlebihan untuk meneliti sebanyak mungkin, berbagai hal, seluas-luasnya. Ini sering dialami peneliti pendahulu dan akhirnya justru menimbulkan frustrasi,.. merasa tersesat lost bingung pusing nangis murung.. (dramatisasi! he he he). (konteks + permasalahan)