33
Kepemimpinan Dalam Islam Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.” Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab [33]: 21). Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut : “Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits). Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF): (1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya; (2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi; (3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya; (4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi,

Kepemimpinan Dalam Islam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kepemimpinan Dalam Islam

Kepemimpinan Dalam Islam

Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.”Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya :“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS.al-Ahzab [33]: 21).Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut :“Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabantentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).

Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF):(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu :Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah.Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau

Page 2: Kepemimpinan Dalam Islam

bawahannya.Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsipdasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan berfikir.

Kepemimpinan itu wajib ada, baik secara syar’i ataupun secara ‘aqli. Adapun secara syar’i misalnya tersirat dari firman Allah tentang doa orang-orang yang selamat :))    إماما للمتقين واجعلنا)) “Dan jadikanlah kami sebagai imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa” [QS Al-Furqan : 74].  Demikian pula firman Allah منك األمر أولي و الرسول أطيعوا و الله مأطيعوا )) )) “Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul dan para ulul amri diantara kalian” [QS An-Nisaa’ : 59]. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang sangat terkenal : “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya”. Terdapat pula sebuah hadits yang menyatakan wajibnya menunjuk seorang pemimpin perjalanan diantara tiga orang yang melakukan suatu perjalanan. Adapun secara ‘aqli, suatu tatanan tanpa kepemimpinan pasti akan rusak dan porak poranda.

Kriteria Seorang Pemimpin

Karena seorang pemimpin merupakan khalifah (pengganti) Allah di muka bumi, maka dia harus

bisa berfungsi sebagai kepanjangan tangan-Nya. Allah merupakan Rabb semesta alam, yang

berarti dzat yang men-tarbiyah seluruh alam. Tarbiyah berarti menumbuhkembangkan menuju

kepada kondisi yang lebih baik sekaligus memelihara yang sudah baik. Karena Allah men-tarbiyah

seluruh alam, maka seorang pemimpin harus bisa menjadi wasilah bagi tarbiyah Allah tersebut

terhadap segenap yang ada di bumi. Jadi, seorang pemimpin harus bisa menjadi murabbiy bagi

kehidupan di bumi.

Karena tarbiyah adalah pemeliharaan dan peningkatan, maka murabbiy (yang men-tarbiyah) harus

benar-benar memahami hakikat dari segala sesuatu yang menjadi obyek tarbiyah (mutarabbiy,

yakni alam). Pemahaman terhadap hakikat alam ini tidak lain adalah ilmu dan hikmah yang berasal

dari Allah. Pemahaman terhadap hakikat alam sebetulnya merupakan pemahaman (ma’rifat)

terhadap Allah, karena Allah tidak bisa dipahami melalui dzat-Nya dan hanya bisa dipahami melalui

ayat-ayat-Nya. Kesimpulannya, seorang pemimpin haruslah seseorang yang benar-benar

mengenal Allah, yang pengenalan itu akan tercapai apabila dia memahami dengan baik ayat-ayat

Allah yang terucap (Al-Qur’an) dan ayat-ayat-Nya yang tercipta (alam).

Page 3: Kepemimpinan Dalam Islam

Bekal pemahaman (ilmu dan hikmah) bagi seorang pemimpin merupakan bekal paling esensial

yang mesti ada. Bekal ini bersifat soft, yang karenanya  membutuhkan hardware agar bisa

berdaya. Ibn Taimiyyah menyebut hardware ini sebagai al-quwwat, yang bentuknya bisa beragam

sesuai dengan kebutuhan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki dua

kriteria: al-‘ilm dan al-quwwat.

Yang dimaksud dengan al-‘ilm (ilmu) tidaklah hanya terbatas pada al-tsaqafah (wawasan).

Wawasan hanyalah sarana menuju ilmu. Ilmu pada dasarnya adalah rasa takut kepada Allah.

Karena itulah Allah berfirman,”Yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para

ulama” (QS. Faathir: 28). Ibnu Mas’ud pun mengatakan,”Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya

riwayat, akan tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah”. Namun bagaimana rasa takut itu bisa

muncul ? Tentu saja rasa itu muncul  sesudah mengenal-Nya, mengenal keperkasaan-Nya,

mengenal kepedihan siksa-Nya. Jadi ilmu itu tidak lain adalah ma’rifat kepada Allah. Dengan

mengenal Allah, akan muncul integritas pribadi (al-‘adalat wa al-amanat) pada diri seseorang, yang

biasa pula diistilahkan sebagai taqwa. Dari sini, dua kriteria pemimpin diatas bisa pula

dibahasakan sebagai al-‘adalat wa al-amanat (integritas pribadi) dan al-quwwat.

Selanjutnya, marilah kita tengok bagaimanakah kriteria para penguasa yang digambarkan oleh

Allah dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita akan mengamati sosok Raja Thalut (QS. Al-Baqarah: 247),

Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 22), Nabi Dawud dan Sulaiman (Al-Anbiya’: 79, QS Al-Naml: 15).

Raja Thalut:

“Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) atas kalian dan telah mengkaruniakan kepadanya

kelebihan ilmu dan fisik (basthat fi al-‘ilm wa al-jism)” (QS. Al-Baqarah: 247).

Nabi Yusuf:

“Dan ketika dia (Yusuf) telah dewasa, Kami memberikan kepadanya hukm dan ‘ilm” (QS. Yusuf:

22).

Nabi Dawud dan Sulaiman:

“Maka Kami telah memberikan pemahaman tentang hukum (yang lebih tepat) kepada Sulaiman.

Dan kepada keduanya (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan hukm dan ‘ilm” (QS. Al-Anbiya’:

79).

Page 4: Kepemimpinan Dalam Islam

“Dan sungguh Kami telah memberikan ‘ilm kepada Dawud dan Sulaiman” (QS. Al-Naml: 15).

Thalut merupakan seorang raja yang shalih. Allah telah memberikan kepadanya kelebihan ilmu

dan fisik. Kelebihan ilmu disini merupakan kriteria pertama (al-‘ilm), sementara kelebihan fisik

merupakan kriteria kedua (al-quwwat). Al-quwwat disini berwujud kekuatan fisik karena wujud

itulah yang paling dibutuhkan saat itu, karena latar yang ada adalah latar perang.

Yusuf, Dawud, dan Sulaiman merupakan para penguasa yang juga nabi. Masing-masing dari

mereka telah dianugerahi hukm dan ‘ilm. Dari sini kita memahami bahwa bekal mereka ialah

kedua hal tersebut. Apakah hukm dan ‘ilm itu ?

Hukm berarti jelas dalam melihat yang samar-samar dan bisa melihat segala sesuatu sampai

kepada hakikatnya, sehingga bisa memutuskan untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya

(porsinya). Atas dasar ini, secara sederhana hukm biasa diartikan sebagai pemutusan perkara

(pengadilan, al-qadha’). Adanya hukm pada diri Dawud, Sulaiman, dan Yusuf merupakan kriteria al-

quwwat, yang berarti bahwa mereka memiliki kepiawaian dalam memutuskan perkara

(perselisihan) secara cemerlang. Al-quwwat pada diri mereka berwujud dalam bentuk ini karena

pada saat itu aspek inilah yang sangat dibutuhkan.

Disamping al-hukm sebagai kriteria kedua (al-quwwat), ketiga orang tersebut juga memiliki bekal

al-‘ilm sebagai kriteria pertama (al-‘ilm). Jadi, lengkaplah sudah kriteria kepemimpinan pada diri

mereka.

Pada dasarnya, kriteria-kriteria penguasa yang dikemukakan oleh para ulama bermuara pada dua

kriteria asasi diatas. Meskipun demikian, sebagian ulama terkadang menambahkan beberapa

kriteria (yang sepintas lalu berbeda atau jauh dari dua kriteria asasi diatas), dengan argumentasi

mereka masing-masing. Namun, jika kita berusaha memahami hakikat dari kriteria-kriteria

tambahan tersebut, niscaya kita dapati bahwa semua itu pun tetap bermuara pada dua kriteria

asasi diatas. Wallahu a’lamu bish shawaab.

Pemilihan Kepala Negara Menurut Islam

Oleh : Abu Aisyah

Page 5: Kepemimpinan Dalam Islam

Islam sebagai agama yang komprehensif telah mengatur seluruh sendi kehidupan

manusia, tidak hanya dalam masalah individual namun juga masalah kenegaraan telah diatur

oleh Islam. Demikian juga dalam hal pemilihan kepala negara, walaupun Al-Qur’an dan Al-

Hadits tidak memberikan secara tekstual mekanisme pemilihan tersebut, namun secara

implisit ia telah diatur dalam fiqh Islam. Konsep pemilihan kepala negara dalam

Islam tidak spesifik disebutkan mekanismenya yang baku, namun dari

praktek yang telah disepakati oleh umat Islam maka bisa ditarik satu

kesimpulan bahwa mekanisme pemilihan kepala negara didasarkan

kepada bimbingan wahyu dan pendapat para shahabat Nabi. Hal ini

tampak dari proses pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama hingga

masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Seluruh mekanisme yang terjadi tersebut

telah memberikan gambaran kepada kita bagaimana mekanisme

pemilihan seorang kepala negara dalam Islam.

Pemilihan dan penetapan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah dilakukan secara

demokratis. Pencalonannya, dilaksanakan oleh perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang

ternyata disetujui oleh semua yang hadir pada saat itu. Karena Rasulullah SAW memang

tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin

setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum

muslimin sendiri untuk menentukannya.

Ketika Abu Bakar sakit dan merasa kematiannya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan

para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan

maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan

umat Islam. Para pemuka tersebut ternyata tidak keberatan dengan pilihan khalifah Abu

Bakar tersebut.

Selanjutnya setelah Khalifh Umar wafat, posisi beliau digantikan Usman bin Affan.

Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar.

Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang

diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi

Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, dan

Abdurrahman bin Auf. Keenam sahabat ini mempunyai hak memilih dan dipilih. Setelah

Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah.

Masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan cukup lama sehingga menghabiskan

energy khalifah. Maka muncullah gerakan oposisi yang menyebarkan fitnah mengenai

Page 6: Kepemimpinan Dalam Islam

khalifah dan berujung dengan pembunuhan Utsman bin Affan di rumahnya. Sementara

khalifah terbunuh dan penggantinya belum ada.

Berkaitan dengan kekhalifahan Ali, menurut Rais sesungguhnya

pembaitan terhadapnya berlangsung dalam situasi yang penuh gonjang-

ganjing. Walaupun harus digaris bawahi bahwa beliau adalah sahabat

terbaik yang masih hidup pada saat itu dan paling berhak memegang

kekhalifahan, sayangnya kondisinya tidak mendukung. Sayyidina Ali telah

dibaiat oleh penduduk Madina, kecuali sekelompok kalangan sahabat

yang menolak. Di antara yang ikut membaiat adalah kelompok

pemberontak yang menentang Ustman, dan sebagian di antara mereka

ikut bertanggung jawab atas darah kematian Ustman.

Selanjutnya model pemilihan kepala negara berikutnya adalah

didasarkan kepada system monarki yaitu diambil dari keturunan atau

keluarga terdekatnya. System kerajaan denagan pemilihan kepala Negara

dari keluarga dekat terus berlanjut hingga masa-masa kberikutnya

bahkan pada beberapa wilayah Islam saat ini juga masih berlaku system

keturunan tersebut.

Menurut Mehdi Muzaffari ia mengatakan “Agama Islam dalam bentuk

asalnya, tidak menetapkan cara atau prosedur tertentu dalam memilih

seorang khalifah, pengganti Rasulullah Saw. Kenyataan ini adalah suatu

opini yang dipegang oleh sejumlah (jumhur) umat Islam, dalam madzhab

sunni, ta adanya sebuah nas yang memberikan intruksi tentang cara-cara

pemilihan seorang pemimpin ini, menimbulkan berbagai cara dan

prosedur empat khalifah Rasyidun yang secara silih berganti memimpin

masyarakat Islam selama 29 tahun (632-661 M), jelas nampak, bahwa

setiap khalifah terpilih dengan cara-cara yang berbeda ( empat cara) :

1.      Pada pemilihan khalifah pertama (Abu Bakar Sidik) yaitu dengan cara

pembaiatan dari para sahabat, lalu diikuti oleh para kaum muslimin

secara langsung.

2.      Dengan cara menyampaikan amanat oleh khalifah Abu Bakar kepada

Umar bin khatab ra sebagai pelanjutnya sebagai khalifah yang kedua.

Tetapi setlah Abu bakar wafat, Umar menyerahkan kembali kekuasaannya

kepada umat Islam lalu beliau terpilih kembali melalui syura.

Page 7: Kepemimpinan Dalam Islam

3.      Membentuk suatu majelis terbatas yang terdiri dari orang-orang pilihan,

lalu setelah memperhatikan aspirasi umat majelis tersebut memilih satu

diantara mereka Utsman bin Affan ra sebagai khalifah ketiga.

4.      Pada pemilihan yang ke empat hampir sama dengan yang ketiga yaitu

pemilihan dengan cara melalui perwakilan umat dan hasil dari

penjaringan opini umum yang ada memilih Ali bin Abi Thalib ra. Sebagai

Khalifah ke empat dalam pemerintahan islam.

Itulah cara pemilihan kepala negara yang dilakukan pada masa

khulafau Rasyidun, dan untuk selanjutnya dalam sejarah Islam kita lihat

untuk menentukan para pemimpin masa selanjutnya seperti pada masa

bani Uamayah, Abasiyah dan seterusnya yang paling dominan seperti

sistem kerajan.

Haykal menyatakan dalam Islam tidak ada sistim yang baku yang

harus dipegangi dalam pemilihan kepala negara. Sistim yang diterapkan

Abubakar, berbeda dengan masa Khalifah Umar, dan seterusnya. Apalagi

sistem pemilihan masa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Dengan kata

lain, sistim pemilihan kepala negara dalam Islam mengalami perubahan

mengikuti perkembangan situasi sosiohistoris yang mengitarinya. Al-

Qur’an dan Sunnah menurut Haykal tidak merinci bagaimana seharusnya

sistim pemrintahan berlaku. Oleh karenya dalam memilih kepala negara,

dengan menggunakan ijtihad yang tentu tetap berpegang teguh pada

prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kebebasan memilih kepala negara

menurut Haykal mengarah pada pemilihan dengan pemilihan yang bebas

dan Musyawarah. Haykal merujuk pada mekanisme pemilihan Khalifah

masa Abubakar.

Selain itu kepala negara seharusnya dipilih karena posisi dan prestasi

dalam Islam, bukan karena faktor keluarga, atau kekayaan. Bahkan

Haykal menyebutkan, hendaknya calon kepala negara tidak mencalonkan

untuk dipilih, apalagi melakukan kampanye. Seluruh umat Islam

menurutnya berhak untuk dipilih karena masing-masing mempunyai

kedudukan yang sama. Selanjutnya kepala negara bertanggung jawab

kepada Allah, kepada dirinya, dan kepada rakyat yang membaiatnya.

Page 8: Kepemimpinan Dalam Islam

Konsep pemilihan kepala negara ketika masa Khulafaurrasyidin,

menurut Haykal berbeda dengan masa bani Abbasiyah. Pertama, konsep

pemikiran Arab bahwa keberadaan Abubakar dan Umar adalah manusia

biasa, yang kemudian memperoleh kekuasaan dari rakyat untuk dipilih

sebagai khalifah. Ketika keduanya dilantik, pidato pelantikannnya

mencerminkan jabatannya sebagai kepercayaan umat. Kedua, konsep

pemikiran persia bahwa khalifah mendapatkan hak memerintah dari Allah,

bukan dari manusia, maka tanggung jawab kepemimpinannya hanya

kepada Allah. Pada pidato pelantikannya mereka mencerminkan klaim

bahwa posisinya adalah wakil atau bayangan Tuhan dibumi. Terlihat jelas

dalam pemikiran mengenai sistim pemilihan kepala negara ini, Haykal

menyatakan keberpihakannya pada golongan Sunni, bahwa kepala negara

hendaknya dipilih bukan karena faktor keturunan

Penulis dalam hal ini hanya melihat cara pemilihan kepala negara

pasca Rasulullah yaitu pada zaman Khulafau Rasyidun, karena pada

zaman berikutnya banyak yang memakai sistem kerajaan. Kemudian

penulis bisa mengambil kongklusi dan berpandangan bahwa

kepemimpinan dalam islam merupakan hal yang sangat diperlukan, atau

wajib adanya dan bukan saja calon pemimpin yang harus memenuhi

syarat bahkan calon pemilih atau masyarakat pun dalam pandangan Islam

harus memiliki persyaratan adapun bentuk atau cara pemilihan tidak ada

bentuk yang dibakukan, begitu juga mengenai waktu memiliki jabatan

tidak ada ketentuan berapa tahun tapi hal ini diserahkan kepada umat

Islam tentu selama orang itu memiliki kereteria persayaratan dia

diperbolehkan untuk menjadi pemimpin, tetapi sebenarnya dapat juga

ditentukan/ dibatasi lamnya memimpin.

Page 9: Kepemimpinan Dalam Islam

KEPEMIMPINAN WANITA DALAM PANDANGAN ISLAM

Rasulullah saw, ketika mendengar kaum Persi dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra raja Kisra yang bernama Bûran, beliau berkata,

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita.”

Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ni, menurut al-Qâdli Abû bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.

Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.

Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama.

Page 10: Kepemimpinan Dalam Islam

Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.

Ibn Jarîr al-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;

“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.

Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).

Pemilihan kepala negara sama artinya dengan memilih Khalifah pada masa awal kematian Nabi dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada aturan main yang ditetapkan oleh Islam.

Didalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita ini diatur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar. Hidup adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma agama termasuk tingkah laku dalam berpolitik.

Seputar Ketentuan Pemimpin wanita :

1.    Tidak ada Nabi dan Rasul wanita

(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia lainnya)

Rujukannya lihat :

“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari golongan malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki.” (Qs.al-An’aam 6:9)

“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk suatu negeri.”  (Qs. Yusuf 12:109)

Page 11: Kepemimpinan Dalam Islam

“Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. “ (Qs. Al-Anbiyaa’ 21:7)

2.    Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita (berdasarkan Imam Hanafi, Syafi’I, Hambali dan Ja’fari/ Imammiah)

3.    Laki-laki sudah ditetapkan sebagai pemimpin wanita

Rujukannya :“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (Qs. An-Nisaa’ 4:34)

Ayat ini memang konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi secara logikanya, seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apalagi seorang kepala negara yang notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak kepala keluarga lain, maka tidak bisa lain, dia haruslah laki-laki.

“Dan anak laki-laki tidaklah sama dgn anak wanita” (Qs. Ali Imron 3:36)

4.    Hadist :

Musnad Ahmad 19603: Abu Bakrah berkata; Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda: “Siapakah yang memimpin urusan penduduk Persi? Mereka menjawab; “Seorang wanita.” Beliau bersabda: “Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusannya kepada mereka.”

Hadist diatas memang diucapkan oleh Rasul ketika menanggapi kabar dipilihnya seorang wanita, puteri Anusyirwan dari Persi, menjadi pemimpin. Akan tetapi coba perhatikan konteks sabda tsb tidak menyebut bahwa ucapan tsb hy berlaku bagi kerajaan Persi, namun suatu gambaran umum tentang tidak layaknya wanita dijadikan pemimpin dalam suatu bangsa.

Pertanyaan yg timbul …

1.    Bagaimana dgn pemerintahan Ratu Saba’ yang dikenal bernama Balqis ?

Jawab : Ratu Balqis menjadi kepala negara, jauh sebelum dia mengenal Islam dan dipercaya kawin dengan Nabi Sulaiman. Setelah dia ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi istrinya, otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan lagi Balqis.

2.    Apakah Islam melakukan diskriminasi terhadap perempuan ?

Jawab : Islam tidak melakukan diskriminasi,

Untuk memimpin suatu negara, orang harus benar-benar total, baik dalam waktu, pikiran maupun resiko dan tanggung jawabnya bahkan terkadang harus rela disibukkan oleh aktifitasnya, menghadiri rapat diberbagai kesempatan, melakukan perjalanan dinas dan seterusnya yang tentu saja sulit dilakukan oleh seorang wanita, karena ia juga harus melayani suami dan anak-anak sebagai tugas utamanya.

Page 12: Kepemimpinan Dalam Islam

“Bagi para wanita, mereka punya hak yg seimbang dgn kewajibannya menurut cara yg benar. Tapi para suami memiliki satu tingkat kelebihan dari istrinya.” (Qs. Al-Baqarah 2:228)

“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin dlm keluarganya, dan dia harus mempertanggung jawabkan kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin dlm rumah suaminya dan diapun bertanggung jawab thd kepemimpinannya.” (Hadist Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)

Dalam sejarah, Nabi Saw mengikut sertakan wanita dalam medan perang, namun mereka bukan dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas memberikan pertolongan bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah az-Zahrah puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi seperti dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau.Bahkan Khadijah istri Nabi yang pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).

Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu As-syifa’ al-Ansyoriah sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah (kalau sekarang ini mungkin bisa disetarakan dengan kedudukan menteri ekonomi).

Patut dicatat bahwa tugas seorang menteri tidak seberat dan sebesar tanggung jawab tugas kepala negara. Disisi lain, menteri tetap harus bertanggung jawab kepada pemimpinnya, yaitu presiden (dlm istilah agamanya, isteri memiliki tanggung jawab atas kepemimpinannya dalam rumah tangga suaminya).

Munirulabidin's Blog

August 19, 2011

Penegakan HAM Menurut Islam

Filed under: Uncategorized — Dr. Munirul Abidin, M.Ag @ 7:11 am       1 Votes

Dunia Barat umumnya memandang Hak Asasi Manusia bersifat anthroposentris, dengan pengertian bahwa manusia dipandang sebagai tolak ukur semua pemikiran dan perbuatan[1] dalam pendidikan kewargaan, demokrasi, hak asasi dan masyarakat madani. Dijelaskan pula bahwa untuk memahami HAM itu diawali dengan memahami kata dasarnya yaitu hak. Adapun hak yaitu merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berprilaku, melindungi kebebasan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia untuk menjaga harkat dan martabatnya.[2] Melihat pengertian tersebut, dapatlah di ambil pemahaman bahwa hak

Page 13: Kepemimpinan Dalam Islam

memiliki tiga unsur yaitu: pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak, dan pihak lain yang bersedia memberikan hak. Dengan demikian, HAM sebenarnya terbentuk akibat adanya interaksi dengan pihak lain. Pengertian lain HAM adalah hak yang melekat pada manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugerah dari Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu masyarat dan negara.[3]

Istilah Hak-hak Asasi Manusia (HAM) bermula dari Barat yang dikenal dengan “Right of Man“, menggantikan istilah “natural man“. Karena istilah right of man dipandang tidak mencakup right of women, maka Eleanor Roosevelt menggantinya dengan istilah human right, yang dipandang lebih netral dan universal. Sedangkan dalam Islam dikenal dengan istilah Huqūq al-Insān al-Darūriyyah dan Huqūq Allāh. Kedua istilah ini tidak dapat dipisahkan, ada keterkaitan satu dengan lainnya. Inilah yang membedakan konsep Barat tentang HAM dengan konsep Islam.[4]

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang dibawa sejak lahir dan melekat dengan potensinya sebagai makhluk dan wakil Tuhan. Mustafa Kamal Pasha yang mengutip pernyataan Miriam Budiardjo menegaskan bahwa hak-hak asasi manusia sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat.[5]

Hak-hak dasar itu berkaitan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan, sedangkan nilai dasar itu adalah nilai moral (etika) yang setiap tindakannya harus dia pertanggungjawabkan, baik di depan manusia maupun pencipta-Nya.[6]

Di dunia Barat, Penegakan HAM dimulai sekitar abad XIII, ketika pada tahun 1215 Raja John dari Inggris mengeluarkan sebuah piagam yang dikenal dengan nama Magna Charta, atau Piagam Agung. Piagam ini memuat beberapa hak yang diberikan kepada kaum bangsawan sebagai buah hasil tuntutan mereka, sekaligus membuat pembatasan kekuasaan raja. Isinya berhubungan pula dengan konsep manusia tentang hak-hak asasi dan hak-hak warga Negara. Piagam ini pada abad ke-18 diadopsi dalam proklamasi dan konstitusi Amerika serikat dan Perancis.[7] Puncak perkembangan HAM terjadi pada tanggal 10 Desember 1948. Ketika disahkannya Hak-Hak Asasi Manusia sedunia (Universal Declaration Of Human Right) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setelah selama dua tahun dibahas oleh suatu panitia (Commision of Human Right) komisi hak-hak asasi yang dibentuk PBB. Komisi ini merumuskan hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan sebagainya.yang terdiri 30 pasal. Majelis Umum PBB menyatakan bahwa deklarasi ini merupakan suatu pelaksanaan umum yang baku bagi semua bangsa dan Negara, yang kemudian diumumkan dan disetujui oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 217 A (III).[8]

Pada dasarnya semua Rasul dan Nabi Allah adalah pejuang-pejuang penegak hak- HAM yang paling gigih. Mereka tidak hanya sekedar membawa serangkaian pernyataan akan HAM sebagaimana termuat dalam kitab-kitab suci, seperti Zabur, Taurat, Injil dan al-Qurān, akan tetapi sekaligus memperjuangkannya dengan penuh kesungguhan dan pengorbanan. Agama Islam adalah merupakan agama yang universal, di samping mengajarkan hubungannya dengan sang Pencipta (Hablu min Allāh), juga menegaskan betapa pentingnya hubungan antara manusia. (Hablu min al-Nās)[10] pengakuan ini bukan saja merupakan Truth Claim umat Islam, tetapi kaum orientalispun mengakui kesempurnaan Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh: V.N. Dean bahwa “Islam adalah perpaduan yang sangat sempurna antara agama, sistem politik, pandangan hidup, dan

Page 14: Kepemimpinan Dalam Islam

penafsiran sejarah.” Begitu juga Gibb menyatakan bahwa “Sungguh ajaran Islam jauh lebih banyak dari sebuah sistem teologi, Islam adalah peradaban yang sangat sempurna.”[11]

Dalam hubungannya dengan HAM, dari ajaran pokok di atas tentang Hhablu min Allāh dan Hhablu min al-Nās, maka muncullah dua konsep hak, yakni hak Allah dan hak manusia. Setiap hak saling melandasi satu sama lain. Konsep Islam mengenai kehidupan manusia ini didasarkan pada pendekatan teosentris atau yang menempatkan Allah melalui ketentuan sharī’at-Nya, sebagai tolak ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga negara.

Oleh sebab itu, konsep Islam tentang HAM berpijak pada tauhid, yang pada dasar di dalamnya mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia yang oleh Harun Nasution disebut sebagai ide perikemakhlukan. Ide perikemakhlukan mengandung makna bahwa manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap sesama makhluk, termasuk juga pada binatang dan alam sekitar.[12]

Dengan demikian HAM dalam Islam lebih dulu muncul. Tepatnya, Magna Charta tercipta  600 tahun setelah kedatangan Islam. Di samping nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip HAM itu ada dalam sumber ajaran Islam, yakni al-Qurān dan al-Hadits, juga terdapat dalam praktek-praktek kehidupan Islam. Tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap HAM yaitu: pendeklarasian Piagam Madinah yang dilanjutkan dengan deklarasi Kairo.[13]

Dalam Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal, paling tidak ada dua ajaran pokok yang berhubungan dengan HAM, yaitu semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa (pasal 1), dan hubungan antara komunitas muslim dengan nonmuslim didasarkan pada prinsip-prinsip yaitu:[14] a) berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga. b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. c) saling menasehati. d) membela yang teraniaya. e) persamaan dan keadilan terhadap hak dan kewajiban sosial. f) menghormati kebebasan beragama.[15]

Adapun ketentuan HAM yang terdapat dalam Deklarasi Kairo adalah sebagai berikut:[16] a) Hak persamaan dan kebebasan. b) Hak hidup. c) Hak perlindungan diri. d) Hak kehormatan pribadi. f) Hak berkeluarga. g) Hak kesetaraan Wanita dengan Pria. h) Hak anak dari orang tua. i) Hak mendapatkan Pendidikan. j) Hak kebebasan beragama. k) Hak kebebasan mencari suaka. l) Hak memperoleh pekerjaan. m) Hak memperoleh perlakuan sama. n) Hak kepemilikan. o) Hak tahanan.[17]

Atas dasar itu, Islam sejak jauh-jauh hari mengajarkan bahwa dalam pandangan Allah semua manusia adalah sama, yang membedakan manusia adalah tingkat kesadaran moralitasnya, dalam perspektif Islam ini di sebut dengan “nilai ketakwaannya.” Apalagi manusia diciptakan untuk mempresentasikan dan melaksanakan ajaran Allah di muka bumi, sudah barang tentu akan semakin memperkuat pelaksanaan HAM.[18]

HAM merupakan sesuatu yang sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia. Ia bersifat kodrati dalam arti melekat pada diri dan dalam kehidupan manusia, sebagai entitas yang penting karena keberadaannya menentukan eksistensi kehidupan dan martabat manusia.[19] Untuk keperluan studi ini, kiranya perlu ditegaskan bahwa pengertian HAM di dunia Barat meliputi serangkaian hak yang diartikulasikan dalam pasal-pasal Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) (DUHAM), yang diproklamirkan melalui resolusi majelis umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 217 A (III) pada

Page 15: Kepemimpinan Dalam Islam

tanggal 10 Desember 1948 dan kovenan-kovenan serta perjanjian-perjanjian internasional yang disepakati sebagai dasar pelaksanaan umum Hak Asasi Manusia bagi semua bangsa dan negara di dunia, dan berbagai hak yang relevan dan berhubungan dengan semangat dan substansi Hak Asasi Manusia.[20]

HAM dalam pengertian di atas bersifat universal, dalam arti menyeluruh bagi seluruh umat manusia, tidak ada perbedaan antara laki-laki-perempuan, hitam dan putih atau kaya dan miskin. Semua itu merupakan hak-hak bagi manusia. Selain karena berkaitan dengan eksistensi dan martabat manusia, posisi HAM menduduki posisi yang sangat penting dalam kehidupan karena, ada hubungan yang erat antara penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dengan perdamaian di antara bangsa-bangsa.[21]Bahkan menjadi dasar bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia.[22]Karena itu maka kajian, penghormatan dan terutama implementasi HAM di dalam realitas kehidupan merupakan sesuatu yang relevan dan signifikan untuk dilakukan.

Sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki dan harus dijunjung tinggi oleh setiap individu dan kelompok masyarakat, terdapat kesulitan untuk melacak kapan dan di mana HAM dilahirkan. Namun, sebagai suatu sistem yang mengikat secara normatif dan formal, umumnya menyatakan bahwa kelahiran HAM dimulai dari Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), The American Declaration (1776), The French Declaration (1789), The Four Freedoms (1941), lalu Universal Declaration of Human Rights (1948) dan kemudian diikuti dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat belakangan guna mengimplementasikannya. Dalam hal ini, dua perjanjian yang paling penting dikeluarkan pada 1966 yaitu ”Perjanjian internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan kultural” (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) dan ”Perjanjian internasional mengenai hak-hak sipil dan politik” (International Covenant on Civil and Political Rights).[23]

Berbagai langkah penghormatan terhadap HAM di Inggris, Amerika dan Perancis kemudian diikuti oleh negara-negara lain yang mencantumkannya di dalam konstitusi mereka, seperti yang terjadi di Belanda (1798), Swedia (1809), Spanyol (1812), Jordania (1848), Denmark (1848) dan Spanyol pada tahun 1850.[24] Semangat penegakan HAM itu memperoleh momentumnya pada saat sebelum dan sesudah Perang Dunia Kedua (PD.II) sebagai reaksi atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh kaum Sosialis Nasional Jerman selama tahun 1933 sampai 1945, momentum ini pada gilirannya telah mendorong disepakatinya suatu deklarasi kemanusiaan yang dikenal dengan Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948.

Dengan memperhatikan kronologi kelahiran dan substansi HAM yang dirumuskannya, maka sejarah pertumbuhan dan perkembangan HAM dapat dibagi kedalam lima fase sebagai berikut:[25]

Fase pertama sebelum PD II, fase ini dapat dikatakan sebagai embrio atau rintisan menuju terbentuknya formulasi HAM universal yang berlaku secara internasional. Pada fase ini, norma-norma HAM masih terbatas pada beberapa aspek dan masih bersifat lokal dalam arti hanya berlaku pada wilayah negara tertentu.[26]

Fase kedua, adalah fase kelahiran HAM, yaitu Universal Declaration of Human Rights setelah PD II, tepatnya 10 Desember 1948 yang bersifat universal dan dinyatakan berlaku secara Internasional (setidaknya meliputi kurang lebih 50 negara yang menyepakati deklarasi HAM waktu itu).[27]

Page 16: Kepemimpinan Dalam Islam

Fase ketiga, adalah fase perkembangan HAM universal tahap kedua yang berkehendak memperluas cakupan HAM dari sekedar meliputi hak hukum dan politik.[28]

Fase keempat, adalah fase perkembangan HAM universal tahap ketiga yang ingin berusaha menutupi kelemahan-kelemahan yang ada pada fase sebelumnya. Pada fase ini formula HAM dimaknai secara lebih utuh dan komprehensif dibanding sebelumnya.

Fase kelima, merupakan fase yang menghendaki  adanya “kewajiban asasi” menyertai “hak asasi” yang telah berkembang sebelumnya.[29] Formulasi HAM dalam deklarasi universal PBB telah dirumuskan dalam 30 pasal,  substansinya secara singkat dapat dirangkum sebagai berikut:[30]

a)  Hak persamaan (pasal 1 dan 2). Pasal ini menyatakan bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan sama kedudukan dan hak-haknya. Setiap orang memiliki hak dan kebebasan, tanpa perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, paham, asal-usul sosial, hak milik, kelahiran atau status apapun.[31]

b)     Hak hidup bebas merdeka (pasal 3, 4 dan 5). Pasal-pasal ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak hidup, bebas, merdeka, dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun boleh diperbudak, dianiaya atau dihukum secara tidak berperikemanusiaan.[32]

c)  Hak hukum (pasa 6, 7 dan 8). Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang dimanapun berhak untuk diakui pribadinya sebagai manusia dan berhak mendapat perlindungan yang sama didepan hukum, serta berhak memperoleh ganti rugi yang efektif atas tindakan-tindakan melanggar HAM yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh hukum.[33]

d) Hak tidak ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang, dan diperlakukan sama untuk didengar keterangannya didepan umum oleh Pengadilan yang bebas dan tidak memihak (pasal 9 dan 10).[34]

e)  Hak dianggap tidak bersalah sampai terbukti kesalahannya menurut hukum oleh suatu sidang Pengadilan terbuka disertai jaminan yang diperlukan bagi pembelaannya dan tidak dijatuhi hukuman yang lebih berat daripada ketentuan pidana yang telah ada pada saat perbuatan tersebut dilakukan (pasal 11).[35]

f)   Hak privasi (pasal 12). Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum atas gangguan dan pelanggaran terhadap urusan pribadi, keluarga, rumah tangga atau hubungan surat menyuratnya, juga atas pelanggaran terhadap kehormatan dan nama baiknya.[36]

g)  Hak atas kebebasan bergerak (pasal 13 dan 14). Setiap orang berhak untuk bergerak dan bertempat tinggal di dalam perbatasan setiap negara, meninggalkan suatu negeri termasuk negerinya sendiri dan kembali ke negeri tersebut. Mereka juga berhak mendapat tempat pelarian di negara lain untuk menjauhi pengejaran atas kasus yang sesuai dengan tujuan dan dasar-dasar PBB.[37]

h)  Hak kewarganegaraan (pasal 15). Setiap orang berhak mendapat kewarganegaraan dan mengganti dengan kewarganegaraan di tempat lain.[38]

i)    Hak mencari jodoh dan membentuk keluarga (pasal 16). Setiap orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan jodoh dan membentuk keluarga sesuai dengan

Page 17: Kepemimpinan Dalam Islam

pilihannya, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan dan agamanya, dan hak yang sama di dalam perkawinan maupun perceraian.[39]

j)    Hak atas harta benda (pasal 17). Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang berhak atas hak milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain dan tidak boleh dicabut hak miliknya secara sewenang-wenang.[40]

k)  Hak atas kebebasan berpikir (pasal 18). Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertobat dan beragama, termasuk berganti agama atau kepercayaan dan bebas untuk menyatakan agama atau kepercayaannya itu dalam ibadah dan menaati ajarannya, baik sendirian maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum maupun tersendiri.[41]

l)    Hak berpendapat dan berkumpul (pasal 19 dan 20). Setiap orang berhak untuk bebas berpendapat dan menyatakan pendapatnya, berkumpul secara damai dan berorganisasi atau tidak berorganisasi.[42]

m)    Hak turut serta dalam pemerintahan (pasa 21). Setiap orang berhak ikut ambil bagian dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilihnya secara bebas. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan pemerintahan negaranya.[43]

n)      Hak atas jaminan sosial (pasal 22). Sebagai anggota masyarakat, setiap orang berhak atas jaminan sosial sekaligus mewujudkannya dalam usaha-usaha nasional maupun kerja sama internasional sesuai dengan organisasi dan sumber kekayaan negaranya dan melaksanakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang diperlukan bagi keluhuran martabatnya.[44]

o)      Hak mendapat pekerjaan (pasal 23 dan 24). Setiap orang berhak memperoleh pekerjaan, kebebasan memiliki pekerjaan dan mendapat upah atau imbalan jasa yang adil dan menyenangkan, yang menjamin diri dan keluarganya untuk hidup bermartabat sebagai manusia serta bebas membentuk dan bergabung dalam serikat-serikat kerja untuk melindungi hak dan kepentingannya. Mereka juga mempunyai hak beristirahat dan berlibur dengan tetap mendapat upah (gaji).[45]

p)      Hak mendapat taraf hidup layak (pasal 25). Setiap orang berhak atas taraf hidup yang memadai bagi kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk sandang pangan, perawatan kesehatan, serta layanan dan jaminan sosial saat menganggur, sakit, cacat, menjadi janda, usia lanjut atau kekuarangan mata pencaharian diluar kemampuannya. Ibu-ibu dan anak-anak berhak memperoleh perawatan dan bantuan khusus semua anak, baik yang lahir didalam maupun diluar perkawinan harus mendapat perlindungan sosial yang sama.[46]

q)      Hak atas pendidikan (pasal 26). Setiap orang berhak memperoleh pendidikan dengan cuma-cuma, setidaknya tingkat pendidikan dasar. Pendidikan harus diarahkan kepada perkembangan kepribadian manusia dan untuk memperkuat penghormatan atas HAM dan kebebasan-kebebasan dasar, harus meningkatkan saling pengertian, toleransi dan persaudaraan antar bangsa, ras ataupun kelompok agama dan meningkatkan aktifitas pemeliharaan pendidikan.[47]

r)       Hak atas kebudayaan (pasal 27). Setiap orang berhak untuk bebas berpartisipasi dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, manikmati kesenian dan berperan serta dalam

Page 18: Kepemimpinan Dalam Islam

memajukan ilmu pengetahuan dan menikmati manfaatnya. Setiap orang berhak memperoleh perlindungan moral maupun material yang diperoleh dari hasil usahanya dalam keilmuan, kesusastraan dan kesenian yang diciptakannya.[48]

s)       Hak atas ketertiban (pasal 28). Setiap orang berhak akan ketertiban sosial dan internasional yang memungkinkan semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.[49]

t)       Pasal 29 menyatakan bahwa setiap orang berkewajiban berhubungan dengan masyarakat sehingga memungkinkan dapat mengembangkan pribadinya secara penuh. Dalam melaksanakan atas kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan tujuan semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan akan hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, ketertiban dan kesejahteraan umum didalam masyarakat yang demokratis. Hak-hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh digunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip PBB.[50]

u)      Pasal 30 berisi catatan bahwa tidak satupun yang ada dalam deklarasi ini dapat ditafsirkan sebagai pemberian hak kepada sesuatu negara, golongan atau perorangan untuk melakukan kegiatan apapun yang bertujuan merusak hak dan kebebasan yang tercantum didalamnya.[51]

Dari 30 pasal sebagaimana diuraikan di atas, minimal dapat dirinci dalam 4 macam hak asasi yang prinsipil, yaitu a) hak asasi yang bersifat natural, b) hak-hak sipil (umum), c) hak-hak keperdataan (private), d) hak asasi manusia (modern).[52]

[1]Sementara Islam memandang Hak Asasi Manusia  itu bersifat theosentris, yang mana segala sesuatunya bersanDār kepada Allah. Lihat: Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsep Islam. (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), 242.

[2]A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Shari Hidayatullah Jakarta, 2003), 199.

[3]Dede Roshada, et al, Pendidikan Kewargaan, 200.

[4]A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 200.

[5]Mustafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), 109.

[6]Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997), 68.

[7]Mustafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan, 110.

[8]Adeng Muchtar Ghazali, Civic Education, Pendidikan Kewarganegaraan Perspektif Islam (Bandung: Benang Merah Press, 2004), 95.

[9]Lihat: QS. 5:3.

Page 19: Kepemimpinan Dalam Islam

[10]Lihat: QS. 3:112.

[11]Mustafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan, 123.

[12]A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, 220.

[13]A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, 221.

[14]Prinsip-prinsip dalam hubungan muslim dan non muslim tersebut bisa ditemukan pada pasal 13, 16, 18, 24, 25, 37, 44 dan 46. Lihat: isi redaksi lengkapnya pada Muhhammad Hamidullah, Majmū’ah al-Wasā’iq al-Siyāsiyah li al-‘Ahd al-Nabawiy wa al-Khilāfah al-Rāshidah (Beirūt: Dār al-Irshād, 1969), Cet. Ke-3, 39-47.

[15]Pada pasal 25 Piagam Madinah disebutkan “bagi  orang-orang Yahudi, agama mereka dan bagi orang-orang Islam, agama mereka. Pasal ini dengan jelas memberi jaminan kebebasan beragama. Di antara wujud kebebasan beragama itu ialah beribadat menurut ajaran agama masing-masing. Pada pasal ini juga dinyatakan bahwa kaum Yahudi adalah satu umat bersama kaum muslimin. Penyebutan demikian menurut Watt mengandung arti bahwa dilihat: dari kesatuan atas dasar agama, orang-orang Yahudi merupakan satu komunitas yang paralel dengan komunitas kaum muslimin. Dalam kehidupan bersama itu, komunitas Yahudi bebas dalam melaksanakan ajaran agama mereka. Montgomery Watt,  Muhhammad at Medina, 241.

[16]A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, 221-222.

[17]Ketentuan HAM dalam Deklarasi Kairo di atas sesuai dengan ayat-ayat al-Qurān sebagai berikut: a) Hak persamaan dan kebebasan (Qs.al-Isra: 70. an-Nisa: 58. 105. 107&135. al-Mumtahanah: 8); b) Hak hidup (Qs. Al-Maidah: 45 dan al-Isra: 33.); c) Hak Perlindungan diri. (Qs. Al-Balad: 12-17 dan Qs al-Taubah: 6); d) Hak kehormatan pribadi (Qs.at-Taubah:6); e) Hak berkeluarga (Qs. Al-Baqarah:221, al-Rum:21. an-Nisa: 1 al-Tahrim: 6); f) Hak kesetaraan Wanita dengan Pria. (Qs. Al-Baqarah:228.& al-Hujurat:13); g) Hak anak Dari orang tua. (Qs. al-Baqarah: 233. al-Isra: 23-24); h) Hak mendapatkan Pendidikan. (Qs. At-Taubah: 122. dan al-’Alaq: 1-5); i) Hak kebebasan beragama. (Qs. Al-Kafī run: 1-6. al-Baqarah: 156 dan al-Kahfī :29); j) Hak kebebasan mencari suaka. (al-Nisa: 97. al-Mumtahanah: 9); k) Hak memperoleh pekerjaan. (Qs. at-Taubah:105. al-Baqarah: 286. dan al-Mulk: 15); l) Hak memperoleh perlakuan sama. (Qs.al-Baqarah: 275-278. al-Nisa 161 dan Ali Imran: 130); m) Hak kepemilikan. (Qs. Al-Baqarah: 29 dan al-Nisa:29); n) Hak tahanan. (Qs.al-Mumtahanah: 8).

[18]Adeng Muchtar Ghazali, Civic Education, Pendidikan, 101-102.

[19]Berkaitan dengan sifat kodrati hak-hak asasi manusia, berlaku teori Filsafat tentang hukum kodrat yang menyatakan bahwa setiap individu manusia sejak lahir membawa hak-hak asasi tertentu dalam dirinya sendiri yang tidak dapat dihilangkan oleh siapapun. David Weissbrodf, “Hak-hak Asasi Manusia: Tinjauan Dari Perspektif Kesejarahan” dalam Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia diterjemahkan Dari Human Rights, 1991), 2.

[20]Weissbrodf, “Hak-hak Asasi Manusia: Tinjauan Dari Perspektif  Kesejarahan” dalam Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia, 2-3.

Page 20: Kepemimpinan Dalam Islam

[21]John Humphrey, “Magna Charta Umat Manusia” dalam Peter Davies (ed.), tt. Human Rights, 46.

[22]David P. Forshthe, Hak-hak Asasi Manusia dan Politik Dunia (Bandung: Angkasa, 1993), diterjemahkan Dari, Human Rights & World Politics (Nebraska: University of Nebraska Press, 1989), 197.

[23]Edward W. Said, “Nationalism, Human Rights, dan Interpretation”, dalam Barbara Johnson (ed.), Freedom and Interpretation: The Oxford Amnesty Lectures 1992 (New York: Basic Books, 1993), 196.

[24]David Weissbrodt, “Hak-hak Asasi Manusia : Tinjauan Dari Perspektif Kesejarahan” dalam Peter Davies. Hak-hak Asasi Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), 8-9. diterjemahkan Dari Human Rights (1991)

[25]David Weissbrodt, “Hak-hak Asasi Manusia”, 1-30.

[26]Termasuk dalam fase ini adalah (1) Magna Charta (Piagam Agung, 1215) yang berisi beberapa hak yang diberikan Raja Inggris kepada para bangsawan yang sekaligus mengurangi kekuasaannya sebagai raja. Dari piagam ini lahir doktrin bahwa raja tidak kebal hukum dan harus mempertanggung jawabkan kebijakan pemerintahannya kepada parlemen. (2) Bill of Rights (Undang-undang Hak, 1689), yang diperoleh parlemen Inggris melalui revolusi hak berDārah atas pemerintahan Raja Janus II. (3) The American Declaration of Independence yang disusun oleh rakyat Amerika pada tahun 1769 dan berlaku hanya di Amerika. Melalui deklarasi ini dipertegas bahwa manusia merdeka sejak dalam perut ibunya, sehingga tidak logis bila sesudah lahir harus dibelenggu. (4) Declaration of The Rights of Man and of The Citizen atau The French Declaration pada tahun 1789, yang berisi hak-hak kewarganegaraan bagi rakyat prancis. Deklarasi ini berisi larangan penangkapan dan penahanan semena-mena tanpa alasan yang sah yang dikeluarkan pejabat yang sah (5) The Four Freedom (Empat kebebasan) yang digagas oleh presiden Amerika Serikat Roosevelt pada tanggal 06 Januari 1941, yang terdiri atas (a) kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (b) kebebasan memilih agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya (c) kebebasan Dari kemiskinan, dan (d) kebebasan Dari ketakutan.

[27]Formulasi HAM pada fase awal kelahirannya ini lebih diwarnai oleh hak-hak hukum dan politik, seperti hak untuk hidup, untuk tidak menjadi budak atau diperbudak, tidak disiksa atau ditahan, hak kesamaan dimuka hukum, dan hak praduga tidak bersala, Hal ini dapat dipahami sebagai akibat Dari kehidupan kenegaraan yang totaliter dan fasis pada tahun-tahun menjelang PD II, selain dipengaruhi juga oleh adanya tuntutan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan tertib hukum.

[28]Fase ini ditandai oleh lahirnya dua perjanjian (covenant), yaitu International covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights pada tahun 1966. Lahirnya dua kovenan ini sebagai tuntutan Masyarakat dunia, terutama negara dunia ketiga untuk memberi perhatian pada masalah sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.

[29]Fase ini ditandai oleh lahirnya Declaration of The Basic Duties of Asia People and Government yang dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia pada 1983.

Page 21: Kepemimpinan Dalam Islam

[30]Rangkuman ini disarikan Dari Naskah Universal Declaration of Human Rights, David P.Forshthe, Hak-hak Asasi Manusia, 198.

[31]Isi lengkap pasal 1: Semua makhluk manusia dilahirkan dengan martabat, hak dan kebebasan yang sama. Mereka diakruniai akal dan nurani, dan harus saling memperlakukan dalam semangat persauDāraan. Pasal 2 ayat 1: Setiap orang berhak atas segala hak dan kebebasan yang diuraikan dalam pernyataan ini, tanpa adanya perbedaan apapun, seperti ras, warna, kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal bangsa atau status sosial, harta, kelahiran dan status lainnya.

[32]Isi lengkap pasal 3: Setiap orang memiliki hak atas hidup, kebebasan dan keamanan individu. Pasal 4: Tidak seorangpun boleh diperbudak atau dijadikan budak; perbudakan dan perdagangan budak harus dilarang dilarang dalam segala bentuknya. Pasal 5: Tidak seorangpun boleh dikenakan siksaan atau perlakuan kejam tak berprikemanusiaan, atau merendahkan martabat atau hukuman.

[33]Isi lengkap pasal 6: Setiap orang memiliki hak untuk diakui di manapun sebagai person di hadapan hukum. Pasal 7: Semua orang sama di hadapan hukum dan menikmati hak tanpa diskriminasi apapun atas perlindungan hukum. Semua orang memiliki hak sama atas perlindungan terhadap diskriminasi apapun yang menyalahi pernyataan ini, dan terhadap gesekan apapun ke arah terjadinya diskriminasi itu. Pasal 8: Setiap orang memiliki hak atas suatu penyelesaian efektif oleh pengadilan-pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang merugikan prinsip-prinsip hak yang diberikan oleh konstitusi atau undang-undang kepadanya.

[34]Isi lengkap pasal 9: Siapapun tidak boleh dikenakan penangkapan, penahanan dan pembuangan sewenang-wenang. Pasal 10: Setiap orang memiliki hak sama sepenuhnya untuk didengar secara adil dan terbuka oleh sebuah peradilan (mahkamah) bebas tak memihak, dalam penentuan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan dalam penentuan tuntutan kriminal apapun terhadap dirinya.

[35]Isi lengkap pasal 11 ayat (1) Setiap orang yang dituduh melakukan tindak kriminal memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah,sesuai dengan undang-undang di dalam suatu peradilan terbuka, dimana dia memiliki segala jaminan yang diperlukan bagi pembelaannya; (2) Tidak seorangpun boleh dianggap bersalah mengenai tindak pidana apapun, berdasarkan tindakan apapun yang dilakukan atau tak dilakukan yang bukan merupakan suatu tindak pidana menurut hukum nasional atau internasional, pada saat tindak pidana telah dilakukan. Demikian pula tidak boleh ada hukuman yang dijatuhkan lebih berat Dari hukuman yang berlaku sewaktu tindak pidana dilakukan.

[36]Isi lengkap pasal 12: Tidak seorangpun boleh dicampuri secara sewenang-wenang mengenai pribadi, keluarga, rumah atau surat menyuratnya, begitu juga tidak boleh diganggu kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang memiliki hak atas perlindungan hukum terhadap gangguan atau serangan-serangan demikian.

[37]Isi lengkap pasal 13 ayat (1) Setiap orang memiliki hak atas kebebasan bergerak dan menetap di dalam batas-batas setiap negara; (2) Setap orang memiliki hak untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negaranya sendiri, dan untuk kembali lagi ke negaranya.  Pasal 14 ayat (1) Setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara-negara lain, terhadap adanya pengejaran; (2) Hak ini tidak dapat digunakan dalam

Page 22: Kepemimpinan Dalam Islam

penuntutan-penuntutan yang timbul Dari kejahatan non politik atau Dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

[38]Isi lengkap pasal 15 ayat (1) Setiap orang memiliki hak atas suatu kebangsaan; (2) Tidak seorangpun boleh diambil kebangsaannya secara sewenang-wenang, demikian pula tidak boleh ditolak haknya untuk mengganti kebangsaannya.

[39]Isi lengkap pasal 16 ayat (1) Pria-pria dan wanita-wanita dewasa, tanpa dibatasi oleh ras, kebangsaan atau agama memiliki hak untuk kawin dan membangun suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak sama dalam hal perkawinan, selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan.

[40]Isi lengkap pasal 17 ayat (1) Setiap orang memiliki hak untuk mempunyai harta secara perorangan dan juga dalam hubungan dengan orang-orang lain; (2) Tidak seorangpun boleh diambil haknya secara sewenang-wenang.

[41]Isi lengkap pasal 18: Setiap orang memilikihak atas kebebasan berpikir, berkepercayaan,dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaannya, serta kebebasan baik perseorangan maupun secara berkelompok dengan orang-orang lain, dan secara umum atau secara pribadi untuk menghayati agama atau kepercayaannya berupa ajaran, latihan, pujaan, dan perayaan.

[42]Isi lengkap pasal 19: Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapatnya. Hak ini mencakup kebebasan untuk mempunyai pendapat-pendapat tanpa diganggu-ganggu, untuk mencari,menerima, dan menyebarkan penerangan dan ide-ide melalui media apapun tanpa pandang batas. Pasal 20 ayat (1) Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai.

[43]Isi lengkap pasal 21 ayat (1) Setiap orang memiliki hak untuk ikut serta di dalam pemerintahan negaranya, langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; (2) Setiap orang memiliki kesamaan hak dalam memasuki dinas umum di negaranya.

[44]Isi lengka pasal 22: Setiap orang sebagai anggota Masyarakat memiliki hak atas jaminan sosial dan memiliki hak atas perwujudannya melalui usaha nasional dan kerjasama internasional,sesuai dengan organisasi dan sumber masing-masing negara, hak-hak ekonomi, sosial dan kultural yang mutlak bagi martabatnya dan bagi perkembangan bebas kepribadiannya.

[45]Isi lengkap pasal 23 ayat (1) Setiap orang memiliki hak atas pekerjaan, atas pilihan bebas pekerjaan, atas syarat-syarat pekerjaan adil dan menyenangkan, atas perlindungan terhadap pengangguran; (4) Setiap orang memiliki hak untuk membentuk dan bergabung pada serikat-serikat kerja untuk melindungi kepentingan-kepentingannya. Pasal 24: Setiap orang memiliki hak untuk istirahat dan bersantai, termasuk di dalamnya pengurangan-pengurangan jam-jam kerja layak dan liburan periodik dengan mendapat bayaran.

[46]Isi lengkap pasal 25 ayat (1) Setiap orang memiliki hak atas standar hidup yang mencukupi kesehatan dan keselamatan diri sendiri dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan rawatan medis, serta jasa-jasa sosial yang dibutuhkan. Setiap orang mempunyai hak atas jaminan sosial sekiranya menganggur, sakit, cacat, kehilangan suami/istri, mencapai usia tua atau kehilangan mata pencaharian lainnya karena hal-hal di

Page 23: Kepemimpinan Dalam Islam

luar kesalahannya; (2) Ibu dan anak memiliki hak atas perawatan dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang lahir di dalam maupun di luar perkawinan, mendapat perlindungan sosial yang sama.

[47]Isi lengkap pasal 26 ayat (1) Setiap orang memiliki hak atas pengajaran. Pengajaran harus bebas, artinya pada tingkat-tingkat elementer dan fundamental. Pengajaran elementer harus wajib. Pengajaran teknik dan prodesi pada umumnya harus terbuka, dan pengajaran tinggi harus terbuka bagi semua berdasarkan kecakapannya; (2) Pengajaran harus diarahkan pada perkembangan penuh kepribadian insani dan pengokohan rasa hormat terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kebebasan. Dia harus memajukan pengertian, toleransi dan persahabatan di antara kelompok-kelompok ras dan keagamaan, di samping harus mengembangkan aktivitas-aktivitas perserikatan bangsa-bangsa dalam menjaga perdamaian.

[48]Isi lengkap pasal 27 ayat (1) Setiap orang memiliki hak untuk bebas ikut serta dalam kehidupan kebudayaan Masyarakat, untuk menikmati kesenian dan untuk berbagi di dalam kemajuan ilmiah beserta keuntungan-keuntungannya

[49]Isi lengkap pasal 28. Setiap orang memiliki hak atas suatu tata sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diuraikan dalam pernyataan ini, bisa sepenuhnya terwujud.

[50]Isi lengkap pasal 29 ayat (1) Setiap orang mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap Masyarakat hanya apabila Masyarakat itu memungkinkan terjadinya perkembangan bebas dan penuh kepribadiannya; (2) Dalam menunaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang hanya bisa dikenai pembatasan-pembatasan demikian sebagaimana ditentukan oleh undang-undang semata dengan tujuan menjamin pengakuan dan rasa hormat yang layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, di samping untuk memnuhi tuntutan-tuntutan layak moralitas, tata tertib umum dan kesejahteraan umum di dalam suatu Masyarakat demokratis.

[51]Isi lengkap pasal 30: Tidak seorangpun di dalam pernyataan ini dapat diinterpretasikan sebagai kemungkinan bagi negara, kelompok atau personal manapun untuk memberi hak bergerak dalam aktivitas apapun atau untuk melakukan tindak apapun tertuju pada pemusnahan salah satu Dari hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diuraikan di sini.

[52]Abdul Halim Khauldun Kannany, “Hak Asasi dan Peranan Unesco”, dalam M. Luqman Hakiem (ed.) Deklarasi Islam tentang HAM (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), cet. ke-1, 63.