Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 1
DAN 5 s.d. 11 Agustus 2019
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
I. Pasar Global
Pasar Saham. Wall Street ditutup melemah dibanding penutupan pekan
sebelumnya dengan indeks Dow Jones turun 0,75 persen, sementara S&P 500
mencatatkan pelemahan sebesar 0,46 persen. Sentimen utama yang
mempengaruhi pergerakan Wall Street selama sepekan bersumber dari eskalasi
perang dagang AS – Tiongkok yang belum akan mencapai kesepakatan damai,
tuduhan Trump bahwa Tiongkok memanipulasi mata uangnya, dan
kekhawatiran investor bahwa pelemahan ekonomi global bisa terjadi lebih cepat
dari perkiraan sebelumnya. Dari perang dagang AS – Tiongkok, Trump
menyatakan bahwa AS tidak akan berbisnis dengan Huawei, tetapi Gedung
Putih kemudian mengklarifikasi bahwa pernyataan tersebut hanya tentang
pemerintah AS yang tidak membeli produk Huawei. Di tengah berbagai
sentimen negatif, investor terlihat memilih mengalihkan portofolionya ke aset
dengan risiko lebih rendah, yaitu dari saham ke obligasi dan emas serta Yen
Jepang. Pada akhir pekan, data perdagangan Tiongkok yang lebih baik dari
ekspektasi sedikit memberikan ketenangan bagi investor.
Dari rilis data ekonomi AS, indikator ISM Non-Manufacturing PMI bulan Juli
2019 menunjukkan sedikit pelemahan dari 55,1 ke 53,7, di bawah ekspektasi
sebesar 55,5. Indeks ini mengukur kinerja non-manufaktur AS mencakup
aktivitas bisnis, pesanan baru, penyerapan tenaga kerja, dan pengiriman
supplier. Angka di atas 50 menunjukkan ekspansi, sementara angka di bawah 50
menunjukkan kontraksi. Di sisi lain, indeks harga produsen (PPI) bulan Juli 2019
naik sesuai ekspektasi sebesar 0,2 persen secara bulanan.
Dari kawasan Eropa, bursa saham utama di kawasan seperti FTSE 100
Inggris, DAX Jerman, dan CAC Prancis juga ditutup melemah dalam
sepekan. Selain perkembangan perang dagang AS – Tiongkok, investor di
Kawasan juga mencermati perkembangan politik di Italia. Pemimpin partai yang
memerintah, Matteo Salvini, dikabarkan menarik dukungan terhadap koalisi
pemerintahan pada tengah pekan dan menyerukan pemilu baru.
Gambar 1. Pasar Saham Global
Indikator 9 Agt 2019 Perubahan (%)
WoW YoY Ytd
T1 ---- Nilai Tukar/USD ---- Euro 0,89 0,81 (2,93) (2,37) Yen 105,69 0,84 4,85 3,65
GBP 0,83 (1,12) (6,63) (6,06) Real 3,94 (1,34) (3,72) (1,74)
Rubel 65,28 (0,04) 2,09 6,36 Rupiah 14.194,00 (0,06) 1,50 1,36 Rupee 70,79 (1,70) (3,07) (1,46) Yuan 7,06 (1,75) (3,53) (2,67) KRW 1.210,00 (1,01) (8,32) (8,44) SGD 1,39 (0,57) (1,27) (1,63)
Ringgit 4,18 (0,63) (2,69) (1,22) Baht 30,73 0,27 7,38 5,59 Peso 51,89 (0,87) 2,26 1,31
T2 ----- Pasar Modal ------
DJIA 26.287,44 (0,75) 1,04 12,69 S&P500 2.918,65 (0,46) 4,31 16,43
FTSE 100 7.253,85 (2,07) (5,81) 7,81 DAX 11.693,80 (1,50) (11,95) 10,75
KOSPI 1.937,75 (3,02) (22,98) (5,06) Brazil IBrX 867,56 (1,73) (9,82) 0,84
Nikkei 20.684,82 (1,91) (12,96) 3,35 SENSEX 37.581,91 1,25 6,58 4,20
JCI 6.282,13 (0,92) (2,94) 1,41 Hangseng 25.939,30 (3,64) (19,25) 0,36 Shanghai 2.774,75 (3,25) (20,15) 11,26
STI 3.168,94 (2,83) (10,01) 3,26 FTSE KLCI 1.615,05 (0,72) (11,34) (4,47)
SET 1.650,64 (2,02) (9,27) 5,55 PSEi 7.854,39 (3,39) (10,96) 5,20
T3 ------ Surat Berharga Negara ------ Yield 5 th, (FR 77) 6,71 (10) n/a (118) Yield 10 th, (FR78) 7,28 (10) n/a (68)
T4 ------ Komoditas ------ Brent Oil 58,53 (5,43) (7,15) 6,46
CPO 2.141,00 6,36 (13,14) 6,84 Gold 1.496,95 3,89 12,80 16,72 Coal 67,85 (1,88) (36,44) (33,51)
Nickel 15.550,00 7,61 24,70 45,46 T5 ------ Rilis Data ------
GDP Inggris Q2 : 0,2 Q1 : 05 Indonesia Q2 : 5,05 Q1 : 4,20
Interest rate India Agt : 5,40 Jul : 5,75 PMI Manufacturing Inggris Jul : 50,7 Jun : 49,7
Highlight Minggu Ini
Bursa saham Wall Street ditutup melemah seiring dengan sentimen negatif dari perang dagang AS-Tiongkok dan kekhawatiran investor terhadap pelemahan ekonomi global yang dapat terjadi lebih cepat dari perkiraan, sedangkan rilis data ekonomi AS menunjukkan indikator ISM Non-Manufacturing PMI melemah dibawah ekspektasi pada bulan Juli.
Indeks dolar AS tercatat melemah sebesar 0,59 persen dalam sepekan ke level 97,49 pada Jumat (09/08), sementara yield US Treasury 10 tahun turun sekitar 10 bps ke level 1,74 persen dalam sepekan.
Dari pasar komoditas, harga minyak mentah jenis Brent terpantau turun 5,43 persen dalam sepekan dipicu oleh memanasnya tensi perang dagang AS-Tiongkok dan kenaikan persediaan minyak AS, sementara itu harga CPO naik 6,36 persen seiring dengan ekspektasi kenaikan permintaan dari Tiongkok setelah otoritas Tiongkok menghentikan pembelian seluruh produk pertanian dari AS.
IHSG melemah sebesar 0,92 persen secara mingguan ke level 6.282,13 dengan investor nonresiden mencatatkan jual bersih hingga Rp3,07 triliun dalam sepekan, sementara Rupiah melemah 0,06 persen terhadap dollar AS ke level Rp14.194.
Neraca pembayaran Indonesia pada Q2 mencatatkan defisit sebesar US$2 miliar. Meskipun defisit, kondisi neraca pembayaran Indonesia masih menggambarkan ketahanan sektor eksternal Indonesia sekaligus positifnya kepercayaan investor, tidak hanya terhadap kondisi perekonomian Indonesia terkini namun juga prospeknya di masa depan, yang tercermin dari peningkatan FDI dan masih berlanjutnya capital inflow di pasar keuangan domestik.
Gam
bar
1. P
asa
r S
ah
am
Glo
bal
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 2
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
tidak memberikan penjelasan yang memadai
Gambar 4. Yield curve obligasi Pemerintah AS
semakin flat, secara historis menjadi indikasi resesi
Gambar 2. Yield treasury AS tenor 10 tahun turun 10
bps ke level 1,74 pada hari Jumat (09/08)
Dari rilis data ekonomi di kawasan, PDB UK Q2 2019 tumbuh sebesar 1,2
persen yoy, di bawah ekspektasi sebesar 1,4 persen yoy. Sementara itu,
produksi manufaktur UK bulan Juni 2019 mengalami kontraksi sebesar 0,2
persen secara bulanan, lebih buruk dari ekspektasi sebesar -0,1 persen. Namun
demikian, indikator composite PMI UK bulan Juli 2019 telah menunjukkan
ekspansi dengan berada di level 50,7, lebih baik dari ekspektasi sebesar 49,8.
Di Jerman, produksi industri bulan Juni 2019 berkontraksi sebesar 1,5 persen
secara bulanan, lebih buruk dari ekspektasi penurunan sebesar 0,5 persen. Hal
ini yang kemudian turut meningkatkan kekhawatiran investor atas perlambatan
perekonomian global.
Dari kawasan Asia, indeks saham di Kawasan juga ditutup sebagian besar
melemah dalam sepekan dengan indeks Hangseng Hongkong dan PSEi
Filipina mengalami pelemahan mingguan terdalam di kawasan masing –
masing sebesar 3,64 dan 3,39 persen. Sebaliknya, indeks Sensex India
mencatatkan penguatan sebesar 1,25 persen. Dari rilis data ekonomi di
kawasan, PDB Jepang Q2 2019 tumbuh sebesar 0,4 persen secara kuartalan, di
atas ekspektasi sebesar 0,1 persen. Di tempat lain, Bank Sentral India (RBI)
menurunkan suku bunga acuannya sebesar 35 bps dari 5,75 persen ke 5,40
persen, lebih rendah dari perkiraan analis pasar sebesar 5,50 persen. Di
Tiongkok, ekspor Tiongkok bulan Juli 2019 naik sebesar 3,3 persen yoy,
berbeda dengan perkiraan analis yang sebesar negatif 2 persen yoy.
Pasar Uang. Indeks dollar AS turun ke level 97,49 pada akhir perdagangan
pekan lalu (09/08) atau melemah sebesar 0,59 persen dalam sepekan
terhadap enam mata uang utama dunia dari posisi 98,07 pada akhir pekan
sebelumnya (02/08). Sepanjang pekan lalu, indeks dollar AS bergerak di
bawah 98,00 seiring pandangan yang kurang dovish dari the Fed dalam
pengumuman kebijakan moneter pekan sebelumnya serta kenaikan tensi
perdagangan AS dan Tiongkok yang mengarah pada currency war. Namun
demikian tekanan terhadap indeks dollar sedikit tertahan oleh melemahnya
Euro sebagai dampak penurunan imbal hasil obligasi di kawasan tersebut
sehingga bank sentral Eropa (ECB) diperkirakan akan memangkas suku bunga
sebesar 10 bps pada bulan September mendatang. Namun demikian, rilis data
indeks harga produsen di AS untuk bulan Juli yang naik 0,2 persen mom atau
1,7 persen yoy memberikan tekanan terhadap dollar AS mengingat kondisi
tersebut mengindikasikan inflasi yang lemah. Apabila dihitung tanpa harga
makanan, energi dan jasa perdagangan, maka indeks harga produsen inti akan
mencatatkan kontraksi 0,1 persen atau penurunan pertama sejak Oktober 2015.
Kondisi ini membentuk ekspektasi di pasar keuangan AS bahwa the Fed bisa
saja menurunkan suku bunga acuan hingga 50 bps pada bulan September
mendatang sebagai respon. Di sisi lain, dampak inflasi dari pengenaan tarif oleh
pemerintah AS terhadap produk Tiongkok masih terbatas mengingat sebagian
besar barang yang dikenakan tarif saat ini berupa barang modal. Dampak inflasi
mungkin akan terlihat apabila AS benar-benar akan mengenakan tarif sebesar
10 persen untuk US$300 miliar produk Tiongkok per 1 September mendatang
mengingat mayoritas barang yang disasar adalah barang konsumsi.
Pasar Obligasi. Yield US Treasury tenor 10 tahun pada akhir pekan lalu
(09/08) ditutup di level 1,74 persen atau turun sekitar 10 bps
dibandingkan penutupan pekan sebelumnya sekaligus melewati level
terendahnya sejak November 2016. Mayoritas investor global melakukan
langkah flight to safety sebagai respon atas semakin memanasnya tensi perang
dagang AS dan Tiongkok. Sebagai respon atas penetapan tarif sebesar 10
persen untuk produk impor dari Tiongkok senilai US$300 miliar per 1
September 2019 oleh otoritas AS, pemerintah Tiongkok merespon dengan
menghentikan pembelian seluruh produk pertanian dari AS, sementara bank
sentral Tiongkok menetapkan nilai tukar Yuan terhadap dolar AS yang lebih
rendah dibandingkan estimasi pasar. Yuan yang lebih rendah diperkirakan
menjadi senjata pemerintah Tiongkok untuk mendorong harga ekspor
Tiongkok menjadi lebih murah di pasar internasional. Melihat situasi ini, pelaku
pasar mengalihkan aset mereka terutama dari aset yang lebih berisiko seperti
saham ke US Treasury dan emas
Gambar 3. Trade war dikhawatirkan melebar menjadi
currency war setelah terjadi pelemahan Yuan
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 3
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
Gambar 6. Harga hard commodities: harga emas, nikel,
dan tembaga menguat secara mingguan sementara
harga minyak melemah
Gambar 5. Harga minyak mentah Brent, minyak
mentah WTI dan harga acuan batubara ICE
Newcastle melemah secara mingguan
Pasar Komoditas. Harga minyak Brent kontrak berjangka acuan global
pekan lalu masih melanjutkan pelemahan yang terjadi pada pekan
sebelumnya. Pada penutupan pekan Jumat (09/08), harga minyak Brent tercatat
di level US$58,53 per barel atau turun 5,43 persen dalam sepekan dari posisi
US$61,89 per barel pada Jumat (02/08). Kembali memanasnya tensi perang
dagang AS dan Tiongkok menjadi sentimen utama yang menekan harga minyak.
Pelaku pasar khawatir apabila AS merealisasikan ancaman untuk mengenakan
tarif sebesar 10 persen atas produk Tiongkok mulai 1 September 2019 maka
perlambatan perekonomian dan permintaan minyak global akan semakin parah.
Selain itu, kenaikan stok minyak mentah AS juga turut menekan harga minyak.
Energy Information Administration (EIA) AS melaporkan
persediaan minyak mentah komersial di AS naik 2,4 juta barel pada pekan yang
berakhir pada 4 Agustus 2019, jauh lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar
untuk penurunan 2,8 juta barel. Selain itu, persedian BBM AS naik 4,4 juta barel
sementara stok distilat naik 1,5 juta barel. Kenaikan persediaan minyak mentah
AS ini merupakan yang pertama setelah dalam tujuh minggu berturut-turut
mencatatkan penurunan. Saat ini stok minyak mentah AS berada sekitar dua
persen di bawah rata-rata lima tahun. EIA juga merilis rata-rata produksi minyak
mentah harian AS untuk tahun ini yang diperkirakan naik 1,28 juta barel per hari
menjadi 12,27 juta barel per hari dan terus naik ke level 13,3 juta barel per hari
pada 2020. Pesaing AS yaitu Rusia dilaporkan memompa 11,32 juta barel per
hari pada 1 hingga 8 Agustus 2019, lebih tinggi dibanding 11,15 juta barel per
hari pada Juli 2019.
Harga komoditas batubara pekan lalu masih melanjutkan pelemahan yang
terjadi pada pekan sebelumnya. Harga batubara ICE Newcastle kontrak acuan
paling aktif tercatat melemah 1,88 persen secara mingguan ke level US$67,85
per metriks ton pada hari Jumat (09/08). Sentimen negatif terhadap harga
batubara masih berasal dari Tiongkok dimana konsumsi batubara di pembangkit
listrik di wilayah Tiongkok bagian timur dan selatan sedikit berkurang setelah
hujan yang dipicu oleh angin topan membawa cuaca yang dingin. Selain itu,
otoritas bea cukai Tiongkok untuk provinsi Shandong dan beberapa pelabuhan
di Tiongkok bagian utara seperti Jingtang dan Caofeidian masih melanjutkan
pembatasan impor batubara. Selain faktor stok yang masih melimpah,
penghentian impor ini berkaitan dengan pembatasan kuota impor batubara
yang ditetapkan oleh Pemerintah Tiongkok sejak tahun 2017 demi melindungi
produsen lokal. Untuk tahun 2019, kuota impor yang ditetapkan sebesar 280,8
juta metrik ton atau sama dengan kuota tahun 2018. Hingga akhir semester
pertama 2019, impor batubara Tiongkok telah mencapai 154 juta metrik ton
atau naik 6,4 persen dibanding semester pertama 2018. Dengan demikian, kuota
yang tersisa untuk semester kedua 2019 hanya sebesar 126,8 juta metriks ton
sehingga penghentian impor menjadi hal yang wajar untuk memastikan kuota
impor 2019 tidak terlampaui. Di sisi lain, produksi batubara domestik Tiongkok
mengalami lonjakan yang signifikan. Pada Juni 2019, produksi batubara
Tiongkok mencapai 333,35 juta metrik ton atau naik 10,4 persen dibandingkan
dengan produksi pada periode yang sama tahun 2018, sementara sepanjang
semester pertama 2019 produksi batubara Tiongkok telah mencapai 1,76 miliar
ton atau naik 2,6 persen dibandingkan dengan semester pertama 2018.
Dari dalam negeri, Kementerian ESDM menetapkan harga batubara acuan untuk
bulan Agustus sebesar US$72,67 per ton, naik tipis dari bulan sebelumnya
US$71,92 per ton. Kenaikan tersebut merupakan yang pertama terjadi di tahun
2019 terutama dipengaruhi oleh kenaikan permintaan batubara berkalori
menengah dan tinggi. Kementerian ESDM juga mencatat produksi batubara
Indonesia ytd hingga awal Agustus mencapai 237,55 juta ton atau sekitar 48,51
persen dari target produksi tahun ini yang mencapai 489,73 juta ton. Total
produksi tersebut merupakan laporan dari pemegang Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) serta Izin Usaha Pertambangan
(IUP) Modal Asing namun belum menghitung produksi dari produsen batubara
pemegang Izin Usaha Pertambangan di daerah.
Dari komoditas CPO, harga CPO berjangka kontrak acuan di Bursa Malaysia
Derivatives Exchange pekan lalu menguat sebesar 6,36 persen sekaligus
mencatatkan penguatan mingguan dalam empat pekan berturut-turut.
Gambar 7. Harga soft commodities: selain kakao, semua
harga soft commodities menguat secara mingguan
https://www.fxstreet.web.id/markets/commodities/energy/oil
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 4
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
Harga CPO pekan lalu ditutup naik ke level 2.141 Ringgit/ton pada Jumat (09/08)
dari penutupan pekan sebelumnya di level 2.013 Ringgit/ton. Penguatan harga
CPO terutama terutama dipengaruhi oleh sentimen langkah Tiongkok yang
menghentikan pembelian produk pertanian dari AS sebagai respon terhadap
ancaman pengenaan tarif 10 persen terhadap produk impor dari Tiongkok
senilai US$300 miliar oleh Presiden AS Donald Trump. Langkah Tiongkok ini
berdampak serius terhadap harga produk kedelai AS yang merupakan produk
subtitusi dari minyak sawit. Penghentian pembelian kedelai diperkirakan akan
mendorong permintaan CPO oleh Tiongkok. Selain itu, otoritas Tiongkok juga
berencana menghapus minyak sawit, minyak kedelai dan minyak lobak dari
kuota tarif impornya. Kebijakan tersebut diperkirakan akan membuka potensi
peningkatan ekspor untuk komoditas minyak sawit mentah dari Indonesia. Pada
semester pertama 2019, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat
kinerja ekspor CPO Indonesia dan produk turunannya seperti biodiesel dan
oleochemical hanya naik 10 persen, dari 15,30 juta ton pada semester I 2018
menjadi 16,84.
II. Pasar Keuangan Domestik
Pekan lalu, IHSG tercatat melemah 0,92 persen secara mingguan ke level
6.282,13 dengan investor nonresiden mencatatkan jual bersih dalam
sepekan, imbal hasil SBN seri benchmark bergerak turun dengan posisi kepemilikan investor nonresiden mengalami penurunan, sementara nilai
tukar Rupiah melemah 0,06 persen ke level Rp14.185 per US$.
IHSG tercatat melemah 0,92 persen secara mingguan ke level 6.282,13 dan
diperdagangkan di kisaran 6.022,60 – 6.319,44 pekan
lalu. Investor nonresiden mencatatkan jual bersih sebesar Rp3,07 triliun
sepanjang pekan lalu dan tercatat jual bersih sebesar Rp3,61 triliun mtd dan
tercatat beli bersih sebesar Rp64,93 triliun secara ytd. Nilai rata-rata
transaksi perdagangan harian selama sepekan terpantau turun ke ke level
Rp8,63 triliun dari pekan sebelumnya yang sebesar Rp9,17 triliun.
Dari pasar SBN, yield SUN seri benchmark bergerak turun dibandingkan
posisi Jumat (02/08) dengan penurunan antara 18 hingga 30 bps.
Berdasarkan data setelmen BI tanggal 9 Agustus 2019, kepemilikan investor
nonresiden turun Rp13,72 triliun (1,35 persen) dibandingkan posisi Jumat
(02/09) dari Rp1.019,36 triliun (39,33 persen) ke Rp1.005,64 triliun (38,74
persen). Kepemilikan nonresiden naik Rp112,39 triliun (12,58 persen)
secara year to date dan turun Rp7,40 triliun (0,73 persen) secara month to date.
Nilai tukar Rupiah melemah sebesar 0,06 persen secara mingguan, secara
mtd Rupiah terdepresiasi sebesar 1,21 persen dan menguat sebesar 1,38 persen
secara ytd, berada di level Rp14.194 per US$ pada akhir perdagangan hari
Jumat (09/08). Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah relatif meningkat selama
sepekan, sebagaimana tercermin dari perkembangan spread harian antara
nilai spot dan non deliverable forward 1 bulan yang bergerak dalam rentang
Rp28 sampai Rp320 per US$, lebih tinggi dibanding spread Rp41 sampai Rp224
per US$ pada pekan sebelumnya. Pekan lalu, Rupiah diperdagangkan di
kisaran 14.175 – 14.360 per US$. Secara ytd, rata-rata penutupan harian Rupiah
berada di level Rp14.171 per US$.
III. Perekonomian Internasional
Dari kawasan AS, data lowongan pekerjaan AS JOLTS bulan Juni 2019 tercatat turun menjadi 7.348 juta atau lebih rendah dari ekspektasi pasar sebelumnya sebesar 7.450 juta. Hal ini mengindikasikan bahwa permintaan tenaga kerja menurun seiring dengan perekonomian yang melambat dan dapat memberikan alasan lain bagi Federal Reserve untuk menurunkan suku bunga selanjutnya bulan depan.
Dari kawasan Eropa Laporan ekonomi terbaru dari Inggris menunjukkan pemulihan yang cukup substansial di awal kuartal tiga tahun ini. Menurut laporan IHS Markit, hasil survei PMI untuk sektor konstruksi, jasa, dan manufaktur Inggris secara keseluruhan pulih dari 49,7 menjadi 50,7 pada periode Juli 2019. Secara khusus, PMI Jasa Inggris bahkan melonjak dari 50,2
Gambar 9. Tekanan terhadap Rupiah relatif lebih tinggi
dibanding pekan sebelumnya
Gambar 8. Pasar Keuangan Indonesia sepekan: Rupiah
terdepresiasi, IHSG melemah, yield SBN seri benchmark turun
Gambar 10. Semua mata uang Asia yang diamati
mengalami depresiasi terhadap Dollar AS secara
mingguan kecuali Baht Thailand
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 5
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
Gambar 12. RBI melakukan pemotongan suku bunga
acuan untuk keempat kalinya dalam tahun ini sehingga
tingkat repo acuan berada di level 5,40 persen
Gambar 13. Perekonomian Indonesia tumbuh 5,05 persen
pada Q2 2019
menjadi 51,4 pada bulan Juli melampaui ekspektasi yang dipatok pada 50,4 sekaligus mencetak rekor tertinggi dalam sembilan bulan terakhir.
Dari kawasan Asia Pasifik, Bank Sentral India (RBI) memangkas suku bunga acuan untuk keempat kalinya sepanjang tahun ini. Hal ini dilakukan saat India tengah berjuang mengatasi perlambatan ekonomi dan angka pengangguran yang tinggi. Tingkat repo acuan atau tingkat pinjaman kepada perbankan umum dipangkas 35 basis poin (bps) menjadi 5,40%. Penurunan itu menjadi level terendah sejak 2010. Penurunan permintaan domestik menghambat pertumbuhan ekonomi India, dengan realisasi 5,8% per kuartal II 2019. Adapun tingkat pengangguran pada periode tersebut mencapai level tertinggi sejak 1970. RBI juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi periode 2019-2020 dari 7,0% menjadi 6,9%.
IV. Perekonomian Domestik
Optimisme konsumen pada bulan Juli 2019 masih dalam level tinggi yakni di atas 100, namun lebih rendah dibandingkan dengan bulan Juni 2019 seiring dengan kondisi ekonomi ke depan yang diperkirakan melemah. Hasil survei konsumen Bank Indonesia pada Juli 2019 menyatakan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juli 2019 tetap terjaga pada level optimis (di atas 100) yaitu sebesar 124,8, meskipun lebih rendah dibandingkan dengan IKK pada bulan sebelumnya sebesar 126,4. Berdasarkan komposisinya, Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) masih dalam tren melemah di level 111,2 pada Juli 2019, sedangkan bulan sebelumnya 114,7. Sementara Indeks Ekspansi Ekonomi (IEK) naik tipis dari 138,1 pada Juni 2019 menjadi 138,4 di bulan Juli.
Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa Indonesia pad akhir bulan Juli 2019 mencapai US$125,9 miliar. Jumlah tersebut naik US$2,1 miliar dibanding Juni yang hanya US$123,8 miliar. Peningkatan cadangan devisa tersebut dipengaruhi oleh devisa migas dan valas lainnya dan terjadi karena penarikan utang luar negeri pemerintah. Cadangan tersebut setara dengan pembiayaan 7,3 bulan impor atau 7,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Pemerintah merelaksasi pemberian fasilitas fiskal berupa pembebasan bea masuk dan PPN maupun PPnBM bagi impor yang dilakukan oleh industri kecil dan menengah (IKM). Dalam beleid PMK No.110/PMK.04/2019 pemerintah menegaskan bahwa fasilitas fiskal berupa bea masuk, PPN maupun PPnBM tak hanya diberikan pada impor barang mesin tetapi juga diberikan bagi barang contoh yang digunakan untuk menunjang proses produksi yang hasil produksinya untuk tujuan ekspor. Adapun ketentuan mengenai IKM yang dapat memperoleh fasilitas fiskal tersebut diantaranya yaitu industri kecil yang memiliki nilai investasi maksimal Rp1 miliar di luar aset tanah dan bangunan.
Rilis data terbaru oleh BPS menunjukkan ekonomi Indonesia Q2-2019 tumbuh 5,05 persen (yoy). Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh hampir semua lapangan usaha, dimana pertumbuhan tertinggi dicapai Lapangan Usaha Jasa Lainnya yang tumbuh 10,73 persen. Dari sisi Pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Lembaga Nonprofit yang Melayani Rumah Tangga (PK-LNPRT) yang tumbuh sebesar 15,27 persen. Ekonomi Indonesia Q2-2019 dibanding Q1-2019 meningkat sebesar 4,20 persen (qoq). Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku Q2-2019 mencapai Rp3.963,5 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.735,2 triliun.
Survei Penjualan Eceran yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan penjualan eceran pada Juni 2019 menurun sejalan dengan kembali normalnya pola konsumsi masyarakat pasca bulan Ramadan dan perayaan Hari Raya Idulfitri. Hal ini tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) yang menurun 1,8 persen (yoy), dari IPR bulan sebelumnya yang tumbuh 7,7
persen (yoy).
Gambar 13. Inflasi Tiongkok bulan Maret 2019 tumbuh 2,3
persen yoy atau yang tertinggi dalam 5 bulan
Gambar 11. Survei PMI di Inggris menunjukkan
pemulihan substansial, meskipun masih di zona kontraksi
indeks PMI sektor konstruksi bergerak menguat ke level
45,3 dari 43,1 pada bulan Juni
Sumber: Trading Economics
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 6
KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL
Sementara itu, neraca transaksi berjalan mencatatkan defisit
sebesar US$8,4 miliar (3,0% PDB), melebar bila dibandingkan
dengan Q1 2019 yang sebesar US$7 miliar (2,6% PDB).
Pelebaran defisit transaksi berjalan tidak lepas dari penurunan
kinerja transaksi barang, transaksi jasa dan pendapatan primer
sementara pendapatan sekunder mencatatkan perbaikan
kinerja.
Meskipun masih mencatatkan surplus, neraca perdagangan
mencatatkan penurunan net export dari US$1,2 miliar pada Q1
menjadi US$0,2 miliar seiring (1) lebih rendahnya kinerja
ekspor non migas seiring penurunan permintaan secara global
dan harga komoditas yang lebih rendah serta, (2) kenaikan
defisit neraca perdagangan migas menjadi US$3,2 miliar
seiring kenaikan harga minyak dan kenaikan permintaan impor
migas musiman periode Idul Fitri dan liburan sekolah.
Di sisi lain, neraca jasa masih melanjutkan tren defisit
sebagaimana kuartal-kuartal sebelumnya dengan total defisit
yang sedikit melebar dari US$1,87 miliar pada Q1 menjadi
US$1,96 miliar yang salah satunya dipengaruhi oleh
menurunnya jasa perjalanan. Sementara itu, neraca
pendapatan primer mencatatkan defisit tertinggi sepanjang
sejarah di level US$8,7 miliar terutama disebabkan oleh
repatriasi deviden dan bunga utang yang tinggi pada bulan
Juni 2019. Terakhir, neraca pendapatan sekunder mencatatkan
perbaikan kinerja dari surplus US$1,8 miliar pada Q1 menjadi
US$2,1 miliar pada Q2.
Sebagai kesimpulan, meskipun mencatatkan defisit pada Q2
2019, kondisi neraca pembayaran Indonesia masih
menggambarkan ketahanan sektor eksternal Indonesia
Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Penyusun: Kindy Rinaldy Syahrir, Alfan Mansur, Pipin Prasetyono, Adya Asmara Muda, Nurul Fatimah, Indah Kurnia JE, Ari Nugroho Tajuk: Kindy Rinaldy Syahrir Sumber Data: Bloomberg, Reuters,
CNBC, The Street, Investing, WSJ, CNN Money, Channel News Asia, BBC, New York Times, BPS, Kontan,
IMF dan World Bank telah
menutup Spring Meeting
yang diselenggarakan
sepanjang minggu lalu. Para
pembuat kebijakan
menyampaikan pesan
mengenai kekhawatiran
yang bercampur dengan
optimisme prospek ekonomi
ke depan. Para Menteri
Keuangan dunia mengakhiri
pembicaraan di Washington
DC yang memadukan
kekhawatiran terhadap
keadaan ekonomi dunia
yang bergerak melambat
saat ini dengan keyakinan
akan segera pulih.
Pergeseran tren yang
menjauh dari pengetatan
kebijakan moneter oleh
bank sentral, kebijakan
stimulus baru-baru ini di
Tiongkok dan meredanya
ketegangan perdagangan
menjadi harapan bahwa
perlambatan ekonomi akan
berlangsung tidak terlalu
lama meskipun tidak ada
yang memperkirakan
momentum booming baru.
Rally pasar saham yang kini
terjadi cukup mengundang
optimisme tentang prospek
pertumbuhan untuk berbalik
"menguat." Direktur
Pelaksana IMF Christine
Lagarde tetap
memperingatkan dunia
berada pada "saat yang
Tajuk Minggu Ini:
Neraca Pembayaran Q2 2019: Defisit US$ 2 Miliar
Dalam rilis data oleh Bank Indonesia pada Jumat (09/08), neraca pembayaran Indonesia untuk Q2 2019 mencatatkan defisit sebesar
US$2 miliar setelah dua kuartal sebelumnya mencatatkan surplus.
Defisit tersebut disebabkan oleh peningkatan defisit pada neraca
transaksi berjalan yang tidak mampu dibiayai oleh surplus pada
neraca transaksi modal dan finansial.
Meskipun mencatatkan defisit, satu catatan penting adalah
terjaganya neraca transaksi modal dan finansial pada posisi surplus
sebesar US$7,1 miliar ditopang oleh aliran masuk investasi langsung
dan investasi portofolio. Sepanjang Q2, aliran masuk investasi
langsung mencapai US$7,0 miliar, lebih tinggi dibanding kuartal
sebelumnya sebesar US$6,1 miliar. Di sisi lain, aliran investasi
portofolio sedikit turun dari US$5,3 miliar pada Q1 2019 menjadi
US$4,5 miliar. Penurunan ini tidak lepas dari kondisi pasar keuangan
global yang masih diliputi ketidakpastian seiring berbagai sentimen
negatif seperti perang dagang dan perubahan arah kebijakan
moneter di negara-negara maju.
Kenaikan investasi langsung atau foreign direct investment (FDI)
menjadi highlight utama dari neraca finansial. Secara nominal,
realisasi investasi langsung pada Q2 2019 merupakan yang tertinggi
sejak Q3 2016. Hal ini tidak lepas dari berbagai upaya yang ditempuh
Pemerintah untuk menarik investasi, baik melalui kebijakan bersifat
insentif maupun non insentif, serta perbaikan iklim usaha. Namun
demikian, masih terdapat ruang yang luas untuk improvement
mengingat OECD dalam laporan Regulatory Restrictiveness Index
yang dirilis pada 8 Agustus 2019 menempatkan Indonesia sebagai
salah satu negara dengan hambatan regulasi investasi langsung
tertinggi, yaitu di peringkat 67 dari 69 negara.
Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Penyusun: Alfan Mansur, Pipin Prasetyono, Adya Asmara Muda, Nurul Fatimah, Indah Kurnia JE, Ari Nugroho Sumber Data: Bloomberg, Reuters, CNBC, The Street, Investing, WSJ, CNN Money, Channel News Asia, BBC, New York Times, BPS, Kontan, Kompas, Media Indonesia, Tempo, Antara News Dokumen ini disusun hanya sebatas sebagai informasi. Semua hal yang relevan telah dipertimbangkan untuk memastikan informasi ini benar, tetapi tidak ada jaminan bahwa informasi tersebut akurat dan lengkap serta tidak ada
kewajiban yang timbul terhadap kerugian yang terjadi atas tindakan yang dilakukan dengan mendasarkan pada laporan ini. Hak cipta Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.
sekaligus positifnya kepercayaan investor,
tidak hanya terhadap kondisi perekonomian
Indonesia terkini namun juga prospeknya di
masa depan. Ke depan, neraca transaksi
berjalan akan semakin membaik seiring
dengan nilai tukar Rupiah yang lebih stabil dan
FDI yang masih berpotensi untuk terus
meningkat. Terdapat setidaknya empat alasan
bahwa aliran FDI akan terus meningkat, yaitu
(1) stabilitas poliitik yang semakin kondusif, (2)
regulasi yang lebih business friendly, (3)
permintaan domestik yang robust dan (4)
tingkat suku bunga yang lebih rendah.
Gambar 14. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia
Sumber: Bank Indonesia