33
KONVERSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN (STUDI KASUS KERUSAKAN HUTAN DI PULAU KALIMANTAN) RINGKASAN MAKALAH Diajukan guna menyelesaikan tugas mata kuliah Dasar Teknik Pengendalian dan Konservasi Lingkungan Oleh : Kelompok 2 TEP C Angga Darmawan 131710201056 Mujiono Hardiansyah 131710201023 Nur Arifin 141710201108

KELOMPOK 2 KONVERSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN.doc

Embed Size (px)

Citation preview

KONVERSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN(STUDI KASUS KERUSAKAN HUTAN DI PULAU KALIMANTAN)RINGKASAN MAKALAH

Diajukan guna menyelesaikan tugas mata kuliah Dasar Teknik Pengendalian

dan Konservasi Lingkungan

Oleh :

Kelompok 2TEP CAngga Darmawan

131710201056Mujiono Hardiansyah

131710201023Nur Arifin

141710201108JURUSAN TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER

2015I. PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangHutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh-tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, rumput, jamur, dan lain sebagainya serta menempati daerah yang cukup luas. Hutan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida, habitat hewan, dan pelestarian tanah serta merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting. Hutan merupakan bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia dan dapat ditemukan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar (Arief, 2001).Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga di dunia. Dukun dari suku pedalaman dulunya menguasai daerah-daerah terpencil dari pulau ini sampai satu abad yang lalu kebanyakan dari wilayah tersebut tampak tak mungkin untuk dilewati dan dieksploitasi tetapi di tahun 1980an dan 1990an, Kalimantan mengalami transisi yang menakjubkan. Banyak hutan yang ditebangi dan berpindah ke negara-negara industri seperti Jepang dan Amerika Serikat dalam bentuk mebel untuk kebun, bubur kertas, dan sumpit.Provinsi Kalimantan mempunyai potensi sumber daya lahan yang potensial dimana sektor perkebunan adalah pemanfaatan ruang yang terbesar. Kebutuhan lahan untuk pengembangan sektor pertanian, khususnya perkebunan kelapa sawit akan membutuhkan perluasan lahan yang tidak sedikit. Mengingat sebagian besar daratan Kalimantan adalah kawasan hutan, maka perluasan kawasan perkebunan tersebut tidak dapat dihindari akan menjangkau dan melakukan pembukaan lahan pada wilayah hutan tersebut. Pembukaan lahan biasanya dilakukan dengan melakukan tebang habis dan pembakaran hutan sehingga berpengaruh pada kerusakan lingkungan dan global warming.Konversi area hutan menjadi lahan pertanian khususnya perkebunan kelapa sawit akan menimbulkan dampak positif ataupun negatif baik disektor ekonomi, sosial budaya, dan juga lingkungan. Dengan adanya dampak negatif yang terjadi akibat adanya konversi hutan menjadi lahan pertanian maka diperlukan suatu upaya untuk mengatasi masalah tersebut sehingga kelestarian hutan dapat terjaga, kerusakan hutan tidak semakin luas, dan mencegah terjadinya bencana.1.2 TujuanTujuan penulisan makalah tentang konversi hutan menjadi lahan pertanian yaitu:

1. Mengkaji siklus materi dan perubahan tata guna lahan terkait konversi hutan menjadi lahan pertanian di Pulau Kalimantan.2. Mengetahui dampak terhadap aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan terkait konversi hutan menjadi lahan pertanian di Pulau Kalimantan.3. Mengetahui dan menjelaskan upaya mitigasi dan adaptasi konversi hutan menjadi lahan pertanian di Pulau Kalimantan.4. Mengetahui dan menjelaskan keterkaitan etika lingkungan atau kearifan lokal dalam upaya penyelesaian masalah konversi hutan menjadi lahan pertanian di Pulau Kalimantan.II. KAJIAN PUSTAKA2.1 Definisi dan Permasalahan di LapanganMenurut Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Tingkat kerusakan hutan akibat alih fungsi hutan mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga menimbulkan dampak pada lingkungan seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, ketersediaan sumber daya air dan erosi tanah. Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian sering dilakukan dengan melakukan tebang habis dan pembakaran karena merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan lahan pertanian, tetapi meluas ke hutan primer, hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya. Hutan primer adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan memiliki ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta memiliki sifat-sifat ekologis yang unik. Pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang-batang pohon mati yang masih tegak, tunggul, serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayu-kayu tersebut biasa membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan bawah.Hutan produksi adalah areal hutan yang dipertahankan sebagai kawasan hutan karena memiliki fungsi untuk menghasilkan hasil hutan bagi kepentingan konsumsi masyarakat, industri dan eksport. Hutan ini biasanya dikelola untuk menghasilkan kayu. Dengan pengelolaan yang baik, tingkat penebangan diimbangi dengan penanaman dan pertumbuhan ulang maka hutan produksi akan terus menghasilkan kayu secara lestari. Tetapi kenyataan yang terjadi, hutan-hutan ini sering ditebang secara berlebihan dan terkadang sampai habis tanpa adanya reboisasi sehingga sangat mengancam kelestarian lingkungan.Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat alamiah untuk mengatur tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan tanah. Hutan Lindung mempunyai kondisi yang sedemikian rupa sehingga dapat memberi pengaruh yang baik terhadap tanah dan alam sekelilingnya, serta tata airnya dapat dipertahankan dan dilindungi. Dengan semakin banyaknya hutan lindung yang dikonversi menjadi lahan pertanian maka akan mengancam tata air, dan kesuburan tanah yang akan berakibat pada terjadinya bencana seperti banjir, tanah longsor, dan erosi.Kondisi lahan hutan di Pulau Kalimantan semakin memprihatinkan karena semakin banyak kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan untuk lahan perkebunan sawit tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi baik dari aspek sosial budaya, ekonomi, dan juga yang paling mengkhawatirkan adalah dampak terhadap aspek lingkungan. Dengan semakin berkurangnya luas areal hutan maka akan semakin banyak gas karbondioksida yang akan mengendap di atmosfir karena hutan yang ada tidak mampu untuk menyerap karbondioksida. Hal ini akan berpengaruh pada efek rumah kaca sehingga akan terjadi perubahan iklim di bumi.2.2 Perubahan Iklim dan Efek Rumah KacaPerubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia selama periode waktu yang panjang, biasanya berpuluh-puluh tahun atau lebih lama. Istilah pemanasan global sering digunakan saat membahas perubahan iklim (Stone, 2010). Hal ini berarti bahwa suhu rata-rata atmosfer bumi semakin tinggi. Di sebagian tempat, suhu makin hangat, sedangkan di tempat lainnya mungkin suhu semakin dingin, namun secara keseluruhan bumi semakin hangat. Tanda-tanda utama perubahan iklim global adalah:

1. Meningkatnya suhu global.

2. Perubahan curah hujan.

3. Mencairnya lapisan es di kutub.

4. Cuaca ekstrem terjadi lebih sering.

5. Perubahan tinggi permukaan air laut.

Sebagian besar meningkatnya suhu rata-rata global disebabkan oleh kenaikan gas tertentu di atmosfer. Atmosfer tersusun dari beraneka macam gas yang terjadi secara alami. Gas ini dapat dihasilkan oleh kegiatan manusia seperti penggunaan kendaraan bermotor, banyaknya pabrik, dan penggundulan hutan yang dilakukan untuk dijadikan lahan pertanian. Dengan berkurangnya areal hutan sedangkan beberapa gas rumah kaca yang dihasilkan berlebihan akibat dari aktifitas manusia maka suhu bumi akan meningkat akibat adanya efek rumah kaca. Hal ini dapat menyebabkan perubahan dalam proses alami yang pada akhirnya menyebabkan perubahan iklim di bumi.

Efek rumah kaca adalah proses alami bagaimana atmosfer menjaga agar bumi tetap hangat. Atmosfer dibentuk dari lapisan gas tak terlihat. Tanpa gas-gas itu di atmosfer untuk menahan kehangatan matahari, bumi akan menjadi planet beku dan tidak ada kehidupan yang dapat bertahan. Gas rumah kaca yang dimiliki dalam jumlah yang tepat memungkinkan bumi berada pada suhu yang tepat untuk mendukung kehidupan. Namun, kegiatan manusia seperti penebangan hutan akan mengganggu proses alami ini karena akan menambah gas rumah kaca yang berlebihan ke atmosfer dan menyebabkan lebih banyak panas yang terjebak sehingga bumi menjadi makin hangat.Pada dasarnya terdapat banyak gas rumah kaca di atmosfer. Sebagian yang penting mencakup metana (CH4) yaitu gas yang berasal dari kotoran binatang dan tanah rawa, serta kegiatan manusia seperti konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian yang akan mengurangi serapan gas karbondioksida di udara sehingga karbondioksida yang dilepaskan tidak sebanding dengan yang diterima. Karbon dioksida (CO2) yaitu gas yang dihasilkan saat zat karbon bergabung dengan oksigen di udara. Kenaikan CO2 di atmosfer adalah penyebab terbesar perubahan iklim sehingga penting bagi kita untuk lebih memahami bagaimana CO2 terbentuk dari karbon.

2.3 Siklus KarbonKarbon merupakan unsur penyusun semua senyawa organik, dan salah satu zat yang sangat penting atau diperlukan makhluk hidup, selain oksigen, air dan nitrogen. Di alam karbon tersedia dalam bentuk gas dan dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis. Bahkan karbon banyak ditemui pada endapan dan di dalam air. Di atmosfer, unsur ini merupakan suatu komponen yang besar (kurang lebih 0,03 %) di banding dengan unsur lain, kecuali nitrogen dan oksigen. Di atmosfer, karbon biasanya terikat dengan oksigen yang akan mempengaruhi efek rumah kaca.

Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer yang disebut gas rumah kaca. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya (Stone, 2010). Gas rumah kaca dapat dihasilkan baik secara alamiah maupun dari hasil kegiatan manusia. Sebagian besar yang menyebabkan terjadi perubahan komposisi gas rumah kaca di atmosfer adalah gas-gas buang yang dihasilkan dari aktifitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu aktifitas manusia dalam alih guna lahan seperti konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian juga mengemisikan gas rumah kaca.

Gas rumah kaca yang terpenting adalah karbon dioksida (CO2). Gas ini dihasilkan saat zat karbon bergabung dengan oksigen di udara. Kenaikan CO2 di atmosfer adalah penyebab terbesar perubahan iklim, sehingga penting bagi kita untuk lebih memahami bagaimana CO2 terbentuk dari karbon. Karbon adalah salah satu unsur terbesar di alam semesta. Karbon ada di udara, di air, di tanah, di hutan, dan bahkan dalam diri manusia. Karbon ada di semua mahluk di bumi. Semua kehidupan di bumi memerlukan karbon untuk tumbuh dan bertahan hidup. Namun, karbon terdapat pula pada benda mati seperti batu, gas, atau bahan bakar fosil.

Karbon dioksida berasal dari perubahan zat karbon menjadi gas. Misalnya, saat pohon dibakar, karbon di dalam pohon bergabung dengan oksigen di udara saat terbakar dan menjadi gas yang disebut dengan karbon dioksida atau CO2 (Anda dapat melihat asap yang membawa CO2 ke udara) atau saat bensin dibakar untuk menjalankan mesin kendaraan atau kapal, karbon di dalam bensin bergabung dengan oksigen di udara dan menjadi gas CO2, hal ini dapat dilihat dari gas buang yang keluar dari mesin yang membawa CO2 ke udara, (Stone, 2010).

Proses alami karbon yang bergerak atau mengalir di antara berbagai tempat yang berbeda di mana karbon tersebut digunakan dan disimpan (tampungan) dinamakan daur karbon. Jenis area yang berbeda menyebabkan jumlah penyimpanan karbon berbeda pula. Hutan yang memiliki banyak pohon dapat menyimpan karbon dalam jumlah besar, sedangkan padang rumput atau pertanian menyimpan karbon lebih sedikit. Gerakan karbon dapat dilihat pada gambar 1, sebagai berikut:

Gambar 1. Arus Karbon

Mekanisme siklus karbon adalah karbon secara terus-menerus diserap dari karbondioksida di udara, dan disimpan dalam pohon, tumbuhan atau mahluk hidup lainnya, kemudian digunakan dan dilepaskan kembali sebagai karbondioksida ke atmosfer di mana ia menjadi bagian dari gas rumah kaca. Tumbuhan dan pohon menyimpan karbon dan mengembalikan CO2 dan oksigen ke udara melalui respirasi (seperti pernapasan). Saat tumbuhan dan binatang mati, karbon yang disimpan dalam tubuhnya dikembalikan ke tanah dan udara. Jadi, karbon terus-menerus bergerak atau mengalir di dalam daur karbon dengan berbagai cara seperti pada gambar 2 berikut ini:

Gambar 2. Daur Karbon Alami

Kegiatan manusia seperti konversi hutan untuk lahan pertanian dapat menghasilkan CO2 lebih banyak di atmosfer, hal ini dikarenakan ketika jumlah hutan berkurang maka penyerapan gas CO2 oleh tanaman akan berkurang. Saat hutan ditebang untuk lahan pertanian maka jumlah hutan yang tersedia untuk menarik CO2 keluar dari udara berkurang sehingga lebih banyak CO2 berada di atmosfer. Konversi hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan perubahan dari area penyimpanan karbon tinggi (hutan) menjadi penyimpanan karbon lebih rendah (lahan pertanian). Dampak kegiatan manusia yang mempengaruhi jumlah karbon dapat dilihat pada gambar. 3 sebagai berikut:

Gambar 3. Dampak Kegiatan Manusia terhadap Daur Karbon2.4 Dampak Perubahan dan KuantifikasinyaDampak dari penebangan hutan di Pulau Kalimantan secara langsung akan mengurangi luas lahan hutan yang ada di bumi. Dengan jumlah luas areal hutan yang berkurang akibat pembukaan lahan untuk mengubah hutan menjadi lahan pertanian dapat melepaskan karbondioksida lebih banyak ke atmosfer. Saat hutan ditebang untuk kayu komersial, dan lahan pertanian maka jumlah hutan yang tersedia untuk menarik CO2 keluar dari udara akan berkurang sehingga lebih banyak CO2 yang berada di atmosfer. Konversi hutan menjadi lahan pertanian akan menyebabkan perubahan dari area penyimpanan karbon tinggi (sering kali hutan atau lahan berpohon) menjadi penyimpanan karbon lebih rendah (seperti pertanian). Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya pemanasan global, terjadi erosi dan bencana alam seperti kebakaran hutan, banjir, serta tanah longsor. Menurut (Mahendra, 2010), nilai kuantifikasi akibat konversi lahan umumnya belum memiliki keandalan ataupun kesamaan pendapatan. Misalnya eksploitasi hutan akan menghasilkan banyak keuntungan rupiah, namun juga akan merubah struktur ekosistem yang menurunkan kualitas lingkungan atau bahkan merusaknya dalam jangka waktu yang cepat. Sebagai contoh kuantifikasi kerusakan lingkungan adalah sebagai berikut, kerusakan lahan hutan akibat konversi hutan mejadi lahan pertanian didekati dengan menghitung berapa rupiah yang diperlukan untuk mengembalikan kondisi hutan seperti semula. Kuantifikasi nilai kerusakan hutan akibat pembukaan lahan untuk pertanian mencakup pada berbagai unsur lingkungan yang komplek. Hal ini disebabkan karena kerusakan hutan akan membawa dampak yang merembet pada berbagai unsur lingkungan. Kerusakan hutan diantaranya akan berdampak pada kerusakan hayati, kerusakan tanah akibat erosi yang timbul, kerusakan mata air, dan juga bahaya banjir yang ditimbulkan, serta akan berpengaruh terhadap efek rumah kaca. Permasalahan yang komplek ini akan membawa pada nilai kerusakan lingkungan yang tinggi dengan biaya rekonstruksi yang tidak kecil.III. PEMBAHASAN3.1 Kajian siklus materi/perubahan tata guna lahan.

A. Siklus KarbonJumlah areal hutan di Kalimantan yang semakin sedikit mempengaruhi pemanasan global yang terjadi di bumi. Ancaman yang paling besar bagi kawasan hutan Indonesia disebabkan oleh penebangan hutan dan kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Hasil analisis tutupan hutan oleh FWI menunjukkan bahwa pada tahun 2009 luas daratan Indonesia adalah 190,31 juta ha, sementara luas tutupan hutannya adalah sekitar 46,33% dari luas daratan Indonesia secara keseluruhan. Gambar 4 menunjukkan grafik perbandingan luas tutupan hutan terhadap luas daratan indonesia pada tahun 2009 :

Gambar 4. Grafik perbandingan luas tutupan hutan terhadap luas daratan Indonesia pada tahun 2009

Sumber: Forest Watch Indonesia (2011), Potret Keadaan Hutan Indonesia. Periode Tahun 2000-2009

Menurut laporan Wetlands Inter National dan Delft Hydraulies (Hooijer (2006), Indonesia merupakan negara penyumbang emisi terbesar ke 3 di dunia yang berasal dari penebangan hutan secara berlebihan setelah Cina dan Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan kurangnya pohon yang berfungsi menyerap CO2. Berikut ini komposisi gas rumah kaca:

Gambar 5. Komposisi gas rumah kaca

Sumber: IPCC (2007), IEA (2010)

Konversi areal hutan di Kalimantan menjadi lahan pertanian akan membuat kandungan CO2 dari Indonesia semakin meningkat. Hal ini memicu terjadinya efek rumah kaca, global warming, dan perubahan iklim. Menurut WRI (dalam WWF. 2002) penebangan hutan dan pengalihan fungsi lahan telah mencapai 2 juta hektare per tahun atau sama dengan 85% dari jumlah total CO2 yang dihasilkan Indonesia per tahunnya. Menurut World Wildlife Fund of Nature (WWF) bukti bahwa iklim telah berubah adalah suhu di Indonesia meningkat 0,3%, pola cuaca berubah, dan angin musim akan datang terlambat 30 hari, dan curah hujan meningkat 10%.

Peristiwa tersebut terjadi akibat berkurangnya jumlah hutan yang tersedia sehingga tidak mampu untuk menyerap karbondioksida. Banyaknya lahan hutan yang dijadikan sebagai lahan pertanian sangat mempengaruhi kondisi bumi dan berdampak pada kehidupan bumi. Hal ini dikarenakan apabila jumlah hutan mulai berkurang, sedangkan produksi gas semakin meningkat akibat aktifitas manusia maka kandungan gas di atmosfer akan semakin banyak dan akan terjadi pemanasan global.B. Perubahan Tata Guna Lahan.Tata guna lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu, misalnya pertanian, pemukiman, industri dan lainnya. Penggunaan lahan adalah suatu aktivitas manusia pada lahan yang langsung berhubungan dengan lokasi dan kondisi lahan (Sugiono, 2002).

Pembukaan lahan untuk pertanian membuat luas areal hutan semakin berkurang, dan untuk mengembalikan hutan seperti semula akan memakan biaya yang sangat besar dan waktu yang sangat lama. Menurut (Kartodiharjo dan Supriono, 1997) hampir 7 juta ha hutan secara prinsip telah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan. Selain 6.8 juta ha yang telah disetujui untuk pengembangan perkebunan , 9 juta ha lainnya sedang diajukan untuk dijadikan perkebunan. Bahkan tanpa memasukkan angka 9 juta ha ini, sebenarnya jika 6.8 juta ha telah disetujui untuk dikonversi dan benar-benar semuanya dikonversi menjadi perkebunan, maka Sumatera dan Kalimantan menghadapi kekurangan lahan hutan yang serius.

Dengan perubahan tata guna areal hutan menjadi perkebunan sawit di Kalimantan yang cukup luas serta dilakukan dengan cara tebang habis dan pembakaran maka secara langsung akan terlihat bagaimana kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pembukaan lahan yang dilakukan untuk perkebunan kelapa sawit. Kondisi hutan Kalimantan ynag sangat lebat sebelumnya berfungsi sebagai paru-paru dunia, tetapi sekarang menjadi rusak dan menjadi penyumbang gas rumah kaca yang cukup besar.3.2 Perkiraan dampak terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

Hutan memiliki nilai sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi suatu negara dan khususnya bagi masyarakat setempat. Jika peranan itu tidak seimbang, yang satu lebih ditekankan daripada yang lainnya, maka keberlanjutan hutan akan semakin terancam. Dari aspek sosial pembukaan lahan untuk pertanian adalah persoalan buruh perkebunan dimana banyak buruh diperlakukan tidak layak. Kondisi buruh perkebunan di Indonesia adalah suatu ironis, dimana membaiknya harga tandan buah segar (tbs) tidak berdampak kepada baiknya situasi buruh. Saat ini, kurang lebih 70 % buruh yang bekerja di lahan-lahan perkebunan adalah BHL (Buruh Harian Lepas) (Sawit Watch, 2011).Permasalahan ekonomi yang muncul akibat pembukaan lahan di Kalimantan bukan saja kerugian finansial akibat hilangnya pohon, akan tetapi lebih berdampak pada ekonomi dalam arti luas, seperti hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman produk di masa depan. Selain itu dengan pembukaan areal hutan untuk lahan pertanian akan menyebabkan terjadinya bencana alam seperti banjir bandang, dan tanah longsor. Jika sudah terjadi bencana alam maka akan banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk menanggulangi dampak bencana alam yang sudah terjadi.Dampak lingkungan dari pembukaan areal hutan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan adalah adanya limbah-limbah baik dari pabrik cpo yang dapat mencemari lingkungan sekitar sehingga masyarakat sekitar aka dirugikan. Dampak lingkungan lainnya adalah pemanasan global dan perubahan iklim. Pengembangan kebun sawit yang kerap dilakukan dengan mengkonversi hutannternyata melepaskan jutaan ton karbon dioksida (CO2) dan membuat Indonesia menjadi kontributor emisi CO2 terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China. Akibatnya gas rumah kaca di atmosfer akan meningkat dan mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim.Dari sekian banyak dampak negatif yang ditimbulkan, ternyata pembukaan areal hutan menjadi lahan pertanian masih mempunyai dampak positif seperti tersedianya lapangan pekerjaan, mempengaruhi penyebaran penduduk, dan meningkatkan devisa negara dari hasil penjualan sektor kelapa sawit. Tetapi perbandingan dampak negatif dengan dampak positifnya cukup jauh sehingga pembukaan areal hutan harus segera dihentikan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan yang lebih parah.3.3 Upaya mitigasi dan adaptasi di lapangan.Upaya mitigasi merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menekan dan mengurangi penyebab terjadinya kerusakan yang lebih parah. Dengan melakukan upaya mitigasi maka kerusakan hutan di Kalimantan dapat diminimalisir dan dicegah. Adapun upaya mitigasi guna meminimalisir kerusakan hutan di Kalimantan adalah sebagai berikut:a. Memberlakukan undang-undang bagi para pemilik lahan perkebunan sawit untuk tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran serta memberi sanksi yang keras bagi siapa saja yang melanggarnya.b. Pembukaan lahan harus dilakukan dengan sistem tebang pilih.c. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya pemanasan global yang salah satunya disebabkan berkurangnya areal hutan.d. Menghidupkan kembali kearifan lokal yang ada agar hutan Kalimantan memiliki mitos yang akan ditakuti oleh para pelaku pembukaan lahan.e. Menjalin kesesuaian antara kinerja kelembagaan dengan tata nilai masyarakat dalam pengelolaan hutan sehingga berpengaruh besar terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan hutan rakyat.Menurut (Harun, 2006), salah satu permasalahan yang terdapat dalam kelembagaan hutan di Kalimantan adalah belum optimalnya pemanfaatan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat oleh para stakeholder hutan rakyat. Kelembagaan yang dimaksud oleh Harun tersebut lebih menekankan kepada tata nilai yang dianut oleh masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat. Hal ini sejalan dengan pendapat (Rahmawati, 2004) yang menyebutkan bahwa salah satu permasalahan dalam pengelolaan hutan rakyat adalah belum dipahaminya nilai-nilai sosial, norma, dan aturan main yang berlaku di masyarakat oleh para stakeholder pengelolaan hutan rakyat.

Terdapat empat komponen utama kelembagaan ditinjau dari sisi sosiologi kehutanan, diantaranya adalah norma (norm), sanksi (sanction), nilai (value), dan kepercayaan (beliefs) (Sardjono, 2004). Keempat komponen tersebut saling berhubungan erat dalam membentuk sebuah pola kelembagaan hutan rakyat yang pada akhirnya menjadi sebuah budaya masyarakat dalam pengelolaan hutan. Misalnya norma yang bersumber pada ajaran agama Islam bahwa menanam dan merawat pohon merupakan salah satu bentuk shadaqah dan amal jariyah. Hal ini disandarkan kepada Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang menyebutkan : Muslim yang menanam pohon/tanaman, dan sebagian hasilnya dimakan burung, binatang, dan manusia, melainkan tercacat untuknya sebagai sebuah shadaqah. Yang menanam pohon itu akan tetap mendapatkan pahala selama pohon itu berproduksi dan ada yang memanfaatkannya.Selain itu, adaptasi di lapangan merupakan kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dalam suatu keadaan, sehingga masyarakat dapat terus bertahan hidup dengan cara mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya. Bentuk adaptasi dalam menghadapi kerusakan hutan di Kalimantan adalah masyarakat harus sabar dalam melakukan upaya reboisasi pada hutan-hutan yang rusak dan gundul karena untuk mengembalikan hutan seperti semula melalui kegiatan reboisasi maka akan memerlukan waktu yang lama dan biaya yang sangat besar.3.4 Peran etika lingkungan/kearifan lokal mengatasi permasalahan.Etika atau perilaku yang baik masyarakat sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian dan keamanan hutan. Munculnya kerusakan hutan dari perilaku manusia disebabkan karena etika lingkungan tidak pernah dikedepankan. Kerusakan lingkungan diperparah karena manusia menganut paham materialisme. Kita baru sadar kembali setelah ada isu pemanasan global, kerusakan di darat, laut dan pencemaran udara, dll. Dengan melihat kondisi tersebut maka peranan etika lingkungan sangat penting dalam rangka menjaga kelestarian hutan.

Etika lingkungan dapat dilakukan dengan cara bersikap saling menghormati. Saling menghormati dalam hal ini adalah penghargaan kepada semua mahluk hidup sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Setiap makluk mempunyai kedudukan yang sama dimata Tuhan. Diantara makluk hidup yang perlu mendapat perhatian adalah tanaman, hewan dan manusia. Ketiga makluk hidup ini memerlukan tempat tinggal untuk hidup dan berkembang. Oleh karena itu manusia merupakan makluk hidup yang paling istimewa yaitu mempunyai akal, maka manusia mempunyai kewajiban memelihara kelestarian dan keseimbangan untuk kehidupan makluk hidup lainnya.

Selain itu sikap pengendalian juga merupakan etika lingkungan. Yang dimaksud dengan pengendalian adalah kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sumberdaya alam supaya penggunaannya tidak mubazir, artinya setiap pemanfaatan sumberdaya alam harus diperhitungan nilai manfaat, jangan sampai ada salah kelola atau salah manfaat. Contohnya dalam pembukaan area pertanian di kawasan hutan, harus benar-benar diperhitungkan masak-masak. Karena lahan pertanian akan merusak bentang lahan hutan dan membabat habis tanaman di atasnya.

Sikap bertanggung jawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam juga merupakan etika lingkungan. Selama ini banyak investor yang tidak bertanggung jawab dalam memanfaatkan sumber daya alam. Contohnya seperti melakukan penebangan hutan untuk lahan pertanian tetapi tidak diimbangi dengan melakukan reboisasi sehingga jumlah hutan akan semakin berkurang.

Berdasarkan lansiran resmi Mongabay.co.id, Indonesia kehilangan 15,8 juta hektar antara tahun 2000 dan 2012, peringkat kelima di belakang Rusia, Brasil, Amerika Serikat, dan Canada dalam hal hilangnya hutan. Dari ke lima negara di atas, Indonesia berada di peringkat pertama dari laju kehilangan hutan yaitu 8,4 persen. Dari 98 persen kehilangan hutan di Indonesia, deforestasi terjadi di wilayah hutan berkerapatan tinggi seperti di Kalimantan, lokasi dimana konversi hutan menjadi lahan pertanian amat marak selama 20 tahun terakhir. Dengan angka-angka seperti ini Indonesia bisa mengatasi permasalahan ini dengan kearifan lokal yang dimilikinya.

Masyarakat suku dayak berdomisili di pulau Kalimantan. suku Dayak mengetahui bahwa tanah gambut yang mereka tempati (disebut Petak Uwap) tidak sesuai dengan pengembangan pertanian dan perkebunan. Masyarakat yang tinggal di hutan secara mayoritas lebih tahu cara-cara berhutan. Keberlanjutan hidup mereka sangat tergantung kepada hutan. Mereka menganggap hutan dan dirinya adalah satu kesatuan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengatakan pengelolaan hutan adat oleh masyarakat adat pada prinsipnya Droit Inviolable Et Sacre yaitu hak yang tidak dapat diganggu-gugat, bagi masyarakat dayak hutan adalah darah dan nafas (Apai Janggut, Sungai Utik).

Hal ini membuktikan hutan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat dayak karena hutan menjadi sumber penghidupan dan tempat dilakukanya ritual-ritual adat. Hal ini dapat dilihat secara khusus di Kalimantan dimana Hutan Adat memiliki 2 jenis yaitu Hutan Adat yang fungsinya boleh diambil hasilnya demi keberlangsungan hidup masyarakat, dalam pengelolaan hutan tersebut diatur oleh hukum adat (Temawank) dan yang ke 2 yaitu hutan keramat yaitu kawasan hutan yang digunakan untuk ritual adat dan hutan ini hasilnya tidak boleh diambil siapa saja karena peruntukannya hanya digunakan untuk upacara adat (Padagi). Dengan adanya hutan yang dikeramatkan kembali oleh suku dayak setempat maka diharapkan hutan Kalimantan menjadi ditakuti kembali oleh para pelaku pembukaan lahan, hal ini dikarenakan akan adanya pembalasan dari para leluhur sesuai mitos-mitos dan hukum adat yang berlaku.IV. KESIMPULAN DAN SARAN4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas maka disimpulkan sebagai berikut:1. Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian sering dilakukan dengan cara tebang habis dan pembakaran hutan sehingga dapat kerusakan lingkungan.2. Berkurangnya jumlah hutan akibat konversi hutan akan berpengaruh pada efek rumah kaca, dan akan mengakibatkan perubahan iklim global.3. CO2 merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim di dunia.4. Etika lingkungan dapat mencegah kerusakan hutan yang lebih parah.4.2 Saran

Dari pembahasan diatas maka terdapat beberapa saran sebagai berikut:

1. Pemerintah harus lebih tegas dalam menjaga kelestarian hutan dengan menegakkan hokum yang berlaku.

2. Harus dilakukan kegiatan reboisasi dan tebang pilih untuk menjaga kelestarian hutan.

3. Mengurangi kegiatan yang dapat meningkatkan kandungan CO2 di atmosfir seperti mengurangi pemakaian BBM, tidak melakukan pembakaran hutan, dll.4. Memberikan pendidikan etika lingkungan sejak dini.5. Kearifan lokal harus diberlakukan kembali agar hutan di Kalimantan mempunyai nilai mistis sehingga para pelaku pembukaan lahan tidak melakukan penebangan pohon seenaknya.Daftar Pustaka

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999.

Artikel non-personal. 2010. Definisi Hutan Lindung. http://pengertiandefinisi. blogspot.in/ 2010/10/definisi-hutan-lindung.html?m=1. Diakses 18 Februari 2015.

Artikel non-personal. 2011. Definisi Hutan Produksi. http://pengertiandefinisi. blogspot.in/ 2011/10/hutan-produksi.html?m=1. Diakses 18 Februari 2015.

Artikel non-personal. 2012. Definisi Hutan Primer. Wikibuku. http://.id.m. wikipedia.org/wiki/Hutan_ primer . Diakses 18 Februari 2015.

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan Ketiga (revisi). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.Harun. 2006. Kajian Kelembagaan Hutan Rakyat di Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Kehutanan. Banjarbaru.Lestari. 2009. Faktor-faktor Terjadimya Alih Fungsi Lahan. Dalam Tinjauan Pustaka. Universitas Sumatra Utara

Mahendra, N. 2010. Kebakaran Hutan dan Kuantifikasi Kerusakan Lingkungan. https://nicholasmahendra.wordpress.com/2010/04/26/kebakaran-hutan-dan-kuantifikasi- kerusakan-lingkungan/. Diakses 18 Februari 2015.Rahmawati. 2004. Tinjauan Aspek Pengembangan Hutan Rakyat. Univeritas Sumatera Utara. Medan.

Sardjono. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat lokal, politik, dan kelestarian sumberdaya. Debut Press. Jogyakarta.

Stone, S. 2010. Perubahan Iklim dan Peran Hutan. Jurnal Penelitian. Conservation International.Sugiono, A. 2002. Kelembagaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Jurnal Penelitian. Universitas Gajah Mada.WWF. 2006. Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk beradaptasi dengan dampak ekstrem pemanasan global?http://www.wwf.or.id/index. php?fuseaction=press.detail&language=i&id=PRS1149220173. Diakses 18 Februari 2015.